Senin, 17 Desember 2018

Wafat Rasulullah dan Suksesi Sepeninggalan Beliau di Saqifah



ilustrasi hiasan:



Pengarang: O. Hashem

Jakarta 2004


BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM


“Wahai orang­-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar­-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” 

Al­Qur’an  Surah An­Nisa’: 135 



Prakata Penulis


Buku‘Saqifah’ cetakan keempat oleh Yapi ini bertambah tebal hampir dua kali lipat dibandingkan cetakan sebelumnya. Kritik­-kritik tertulis dalam bentuk buku dan artikel di beberapa majalah maupun kritik lisan dalam diskusi-­diskusi khusus untuk membicarakan buku ini, memaksa penulis melengkapinya. 

Pembaca dapat langsung mengikuti peristiwa Saqifah dengan meloncat ke bab 2; ‘Sumber’. 

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada penulis ahli sejarah Islam Al Allamah, Habib Zainal 'Abidin bin Husain Al Muhdhar atas kebaikannya meminjamkan buku­-buku yang sukar didapat. 

Demikian juga kepada Ustadz Ahmad bin Abdurrahman Al Aydrus, seorang ahli sastra yang juga memberikan buku­-buku yang penulis butuhkan. Juga kepada kawan yang penulis cintai Wancik Cherid yang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan buku ini. Penulis juga berhutang budi kepada banyak teman­-teman yang tidak mungkin penulis sebut satu demi satu. 

Akhirnya kepada isteri penulis Hadijah yang dengan sabar membaca dan memberi catatan­-catatan pada naskah buku ini. 

Tanpa semua ini buku ini tidak mungkin ada. 

Wabillahi Taufiq wal Hidayah. 

Penerbit 



Bab 1 . Pengantar


Para sejarahwan, penafsir Al­Qur’an dan perawi terkenal sering membuat kesalahan dalam melaporkan suatu peristiwa. Mereka menerima berita­-berita sebagaimana disampaikan kepada mereka tanpa menilai mutunya. Mereka tidak membandingkannya dengan laporan-­laporan lain yang serupa. Mereka tidak mengukur laporan­-laporan tersebut dengan ukuran­-ukuran filsafat, dengan bantuan pengetahuan hukum alam, tidak juga dengan bantuan renungan dan wawasan sejarah. Mereka lalu tersesat dari kebenaran dan hilang dalam padang pasir perkiraan dan kesalahan­-kesalahan yang tak dapat dipertahankan. 

Ibnu Khaldun 


Sekitar dzuhur, hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 H bertepatan dengan 8 Juni 632 M, Muhammad saw, acuan umat Islam, pelakon drama kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah, wafat. Dan pada petang hari itu juga seorang sahabat nabi, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah di Saqifah Bani Saidah, sebuah Balairung milik klan Saidah yang terletak sekitar 500 meter sebelah Barat masjid Nabi. 

Pembaiatan[1] Abu Bakar sebagai khalifah pertama di Saqifah Bani Sa’idah, adalah peristiwa yang berekor panjang. Abu Bakar dan Umar sendiri kemudian mengakuinya sebagai tindakan keliru yang dilakukan secara tergesa­-gesa, faltah[2] Peristiwa ini telah menimbulkan perpecahan pertama dan terbesar yang kelanjutannya terasa sampai di zaman ini. 

Naskah-­naskah sejarah tradisional, tarikh an­naqli, yang tertera dalam buku­-buku sejarah lama, yang beredar dan tersebar luas, telah memungkinkan para ahli membuat rekonstruksi peristiwa besar itu. 

Penulis membuat rekonstruksi peristiwa Saqifah berdasarkan pidato Umar bin Khaththab dalam khotbah Jum’at­nya yang terakhir. Khotbah ini didengar banyak orang dan dicatat oleh hampir seluruh penulis sejarah lama dengan isnad yang lengkap dan melalui banyak jalur, sehingga pidato Umar ini diterima oleh semua ahli sebagai sumber yang patut dipercaya. 

Naskah tertua yang mencatat pidato Umar ini ialah as­Sirah an Nabawiyah, yakni riwayat hidup Nabi Muhammad saw karya Ibnu Ishaq, yang sampai kepada kita melalui “revisi” Ibnu Hisyam. “Celah­celah” pidato Umar ini kemudian diisi dengan sumber lama lainnya, sehingga pembaca dapat mengikuti peristiwa itu dalam satu rangkaian yang terpadu. 

Bagi yang dapat membaca dalam bahasa Arab, tersedia banyak buku mengenai peristiwa itu, baik yang ditulis secara khusus, maupun yang terselip dalam rangkaian tulisan lain. Dua buku semacam itu adalah as­Saqifah oleh Syaikh Muhammad Ridha al­Muzhaffar dan As­Saqifah wa’l­ Khilafah oleh ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud.[3] 

Bagi pembaca awam perlu diingatkan, bahwa menulis sejarah tidak sama dengan menulis buku dakwah untuk memperkuat keyakinan yang telah lama dianut. 

Penulis sejarah menulis apa adanya; tulisannya dapat berbeda dengan hipotesa atau keyakinannya semula. Dalam menulis suatu peristiwa sejarah ia harus mengumpulkan. semua laporan tentang peristiwa tersebut dan harus bertindak sebagai hakim di pengadilan yang mengambil keputusan dari keterangan-­keterangan para saksi. Hal ini disebabkan kerana para penulis sejarah zaman dahulu, terutama pada zaman para sahabat dan tabi’in[4] sering menyampaikan laporan-­laporan yang banyak tentang suatu peristiwa. 

Laporan-­laporan ini demikian rumit dan kadang-­kadang saling bertentangan. Oleh kerana itu di beberapa bagian penulis terpaksa memuat laporan itu selengkap-­lengkapnya. Sebagai contoh pembaca dapat melihat catatan pada bab ‘Pengepungan Rumah Fathimah’. 

Penulis sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi pelapor suatu peristiwa dan para penyalur yang membentuk rangkaian isnad. Ia juga harus menyadari kemungkinan adanya kesalahan dan kekeliruan mereka kerana kelemahan­-kelemahan manusiawi seperti lupa, salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya, serta latar belakang keyakinan pribadinya. 

Sejak permulaan abad ke­20 ini, telah muncul para peneliti dan penulis yang sangat tekun, antara lain yang namanya disebut di atas; namun tulisan­-tulisan mereka, dalam bahasa Arab, tidak berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan kerana buku­-buku sejarah lama telah terlanjur tersebar luas dan melembaga dalam rumusan akidah. Sebuah laporan yang diriwayatkan dalam buku sejarah dikutip ke dalam buku­-buku dakwah, seperti mengutip Hadis, kemudian dikhotbahkan di masjid-­masjid tanpa membandingkannya dengan laporan­-laporan serupa yang lain, dan tidak juga diteliti dengan dasar­dasar metode sejarah. 

Pada zaman dulu, ulama adalah manusia dua dimensi. Ia adalah ilmuwan dan sekaligus juga juru dakwah yang mengajak kaum awam mendekati agama; ia meneliti dan mengajar. Lama kelamaan, kedudukan seorang ulama makin beralih ke tugas dakwah, dan mengabaikan segi penelitian. Penelitian sejarah di zaman sahabat pun dilupakan. Maka timbullah semboyan yang terkenal: ‘Kita harus membisu terhadap segala yang terjadi di antara sahabat’[5] Para ulama telah menjadi juru dakwah semata­-mata, yang pekerjaannya ialah berdakwah dan mengajarkan agama. 

Ditutupnya pintu ijtihad, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah zaman para sahabat serta tabi’in generasi pertama dan kedua. Dan para ulama terus bertaklid pada ijtihad para imam yang hidup seribu tahun lalu. 

Para pembaharu cenderung membangun pikirannya di atas permukaan, dan tidak menelusuri khazanah kebudayaan Islam yang kaya, yang merentang dalam kurun waktu yang panjang. Dimensi­dimensi luas yang terkandung dalam Al­Qur’an, telah dibiarkan membeku dan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang. 

Itulah sebabnya, buku­-buku yang mengandung hasil studi yang kritis, tidak lagi mendapatkan pasaran. Membaca buku-­buku ini dianggap tidak memberi manfaat, kerana pikiran­-pikiran baru ini akan membuat dirinya terasing dalam kalangannya sendiri dan dari masyarakat yang telah ‘mantap’ dalam keyakinan. 

Pada sisi lain, kelemahan dalam segi kepemimpinan membuat para ulama sukar memasarkan ‘pikiran­-pikiran barunya’. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi kewajiban untuk menaati para ulama mujtahid yang kompeten, yang masih hidup, sebagai Imam. 

Buku kecil ini sebenarnya hanyalah kumpulan kutipan dari para sejarahwan awal dan bukanlah ‘barang baru’, kecuali bagi yang tidak membaca buku buku sejenis dalam bahasa Arab. Bagi mereka, membaca buku ini akan menimbulkan unek­-unek, kerana mungkin melihat adanya sumber lain yang tidak dikutip penulis. 

Misalnya, penulis sangat kritis terhadap hadis ramalan politik, hadis dan riwayat dari Saif bin Umar Tamimi dengan cerita Abdullah bin Saba’­nya, hadis dari Abu Hurairah serta hadis keutamaan, fadha’il, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan peristiwa Saqifah. Kerana itu penulis perlu membicarakan ­walaupun sepintas lalu­ dalam pengantar ini, satu demi satu bahawa Rasul Allah wafat sambil bersandar di dada Aisyah dan hadis Ummu Salamah 
Hadis Sebagai Sumber Sejarah, hadis Shahih Belum Tentu Shahih


Sumber sejarah kita adalah Al­Qur’an, hadis dan naskah sejarah lainnya. Mengenai Al­Qur’an, tidak ada beda pendapat. Al­Qur’an hanya satu. Tetapi mengenai hadis kita harus memilih hadis shahih. Namun haruslah diingat bahwa Hadis yang ‘shahih’ belum tentu shahih bila dihubungkan dengan sejarah atau ayat Al­Qur’an. Misalnya hadis Abu Hurairah mengenai mizwad, kantong mukjizat yang diikatkan di pinggangnya dan memberi makan pasukan­-pasukan dan dirinya sendiri selama dua puluh tahun. Atau hadis Abu Hurairah tentang Adam yang diciptakan seperti bentuk Allah SWT dengan panjang enam puluh hasta, yang akan dibicarakan di bagian lain pengantar ini. Atau hadis yang bertentangan satu dengan yang lain, seperti, riwayat Aisyah bahwa Rasul meninggal tatkala sedang bersandar di dada Ali bin Abi Thalib. 

Di kemudian hari muncul hadis-­hadis palsu yang jumlahnya sangat mencengangkan seperti ‘sinyalemen’ Rasul Allah saw: ‘Sejumlah besar hadis palsu akan diceritakan atas namaku sesudah aku wafat, dan barangsiapa berbicara bohong terhadapku, ia akan dimasukkan ke dalam neraka’.[6] 

H. Fuad Hashem[7] memberi gambaran menarik “..Khalifah Abu Bakar, menurut sejarawan al­ Dzahabi, dilaporkan membakar kumpulan lima ratus hadis, hanya sehari setelah ia menyerahkannya kepada putrinya Aisyah. ‘Saya menulis menurut tanggapan saya,’ kata Abu Bakar, namun bisa jadi ada hal yang tidak persis dengan yang diutamakan Nabi. Kalau saja Abu Bakar hidup sampai dua ratus tahun kemudian dan menyaksikan betapa beraninya orang mengadakan jutaan hadis yang kiranya jauh dari ‘persis’, mungkin sekali ia menangis, seperti yang dilakukannya banyak kali. 

Penggantinya khalifah Umar, juga menolak menulis serupa kerana ini tidak ada presedennya. Di depan jemaah Muslim, ia berkata, ‘Saya sedang menimbang menuliskan hadis Nabi,’ katanya. ‘Tetapi saya ragu kerana teringat kaum Ahlu’l Kitab yang mendului kaum Muslim. Mereka menuliskan kitab selain wahyu; akibatnya, mereka akhirnya malahan meninggalkan kitab sucinya dan berpegang pada kumpulan hadis itu saja’. Semua ini menunda pencatatan keterangan mengenai kehidupan awal Islam. 

“Tidak kita temui ulama memberi lebih banyak kepalsuan dari yang mereka lakukan atas hadis,” kata Muslim, pengumpul hadis tersohor. Banyak duri khurafat yang kalau dicabut, akan mengeluarkan banyak darah dan membikin sekujur tubuh merasa demam; sudah terlalu dalam, terlalu lama tertanam. Di zaman Dinasti Abbasiyah, semua keutamaan ‘Umayyah dibilas... Peranan Abbas, paman Rasul, dibenahi; ia, selagi kafir, dijadikan “pahlawan” dengan mengawal Muhammad dalam bai’at Aqabah, atau ia sebenarnya telah lama masuk Islam dan dipaksa oleh kaum Quraisy untuk ikut berperang melawan Islam dalam Perang Badr. Semua untuk memberikan legitimasi atas tahta. 

Tetapi kedua dinasti bermusuhan itu sepakat mengenai satu hal: mendiskreditkan para pengikut Ali dan berkepentingan agar Abu Thalib mati kafir. Ia ayah Ali dan dengan begitu barangkali anak cucunya kurang berhak atas jabatan pimpinan umat Islam yang diperebutkan. Penulis zaman itu pun sedikit banyak harus memperhatikan pesanan dari istana, kalau masih mau menulis lagi. Dan mereka terpaksa menulis apa yang mereka tulis. 

Dua ratus tahun sepeninggal Rasul, jumlah hadis telah mencapai jutaan dan para ulama yang memburu dengan kuda dari Spanyol sampai India mulai heran kerana persediaan hadis sudah jauh melampaui permintaan. Di situ sudah ditampung sabda Yesus, ungkapan Yunani, pepatah Persia dan aneka sisipan dan buatan yang sukar ditelusuri asal-­muasainya. Barulah ulama memikirkan cara mengontrol: memeriksa rangkaian penutur hadis ini (isnad) dengan berbagai metode untuk menguji kebenarannya. Bukhari dan Muslim serta beberapa lainnya menyortir secara ketat semua itu, lalu menggolongkannya menurut tingkat dan mutu kebenarannya; tugas yang hampir mustahil dilakukan manusia. Bagaimanapun, kerusakan telah terjadi. Sepanjang menyangkut catatan mengenai biografi Muhammad, mungkin sedikit saja motif jahat untuk mengotori sisa hidup dan perjuangannya. Juga kita dapat mencek dan menimbang lalu menyimpulkan ‘motif’ kepentingan politik dari hadis mengena selangkah atau sepatah kata Nabi, walaupun ini bukan mudah; sebab orang dulu pun pandai seperti kita untuk membuat motif itu mulus, Juput dari utikan dan dengan mudahnya menjerat kita. 

Motif itu hampir tak terbilang jumlahnya; ekonomi, kehormatan, politik atau sekadar kesadaran bahwa nama mereka masih akan dicatat dan disebut sampai detik­-detik menjelang kiamatnya alam jagad ini, sebab Islam agama universal. Maka siapa pengikut pertama, siapa yang menjabat tangan Muhammad lebih dulu dalam ikrar Aqabah, siapa yang tidak hijrah, semua diperebutkan oleh anak keturunan, murid atau malahan tetangga mereka. Ahmad Amin mengutip Ibnu Urafah, mengatakan bahwa ‘kebanyakan hadis yang mengutamakan para sahabat dan mutu sahabat Rasul, dipalsukan selama periode Dinasti ‘Umayyah.’ Demikian H. Fuad Hashem. 


Hati­-hati Terhadap 700 Pembuat Hadis Aspal


Berapa banyak jumlah hadis palsu ini dapat dibayangkan dengan contoh berikut. Dari 600.000 (enam ratus ribu) hadis yang dikumpulkan al­Bukhari, ia hanya memilih 2.761 (dua ribu tujuh ratus enam puluh satu) hadis.[8] Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya memiiih 4.000 (empat ribu).[9] Abu Dawud, dari 500.000 (lima ratus ribu) hanya memilih 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadis.[10] Ahmad bin Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000 (tiga puluh ribu) hadis.[11] 

Bukhari (194­255 H/810­869 M), Muslim (204­261 H/819­875 M), Tirmidzi (209­279 H/824­892 M), Nasa’i (214­303 H/829­915 M), Abu Dawud (203­275 H/818­888 M) dan Ibnu Majah (209­295 H/824­908 M) misalnya telah menyeleksi untuk kita hadis-­hadis yang menurut mereka adalah benar, shahih. Hadis­-hadis ini telah terhimpun dalam enam buku shahih, ash­shihah as­sittah, dengan judul kitab masing-­masing menurut nama mereka; Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Shahih (Sunan) Ibnu Majah, Shahih (Sunan) Abu Dawud, Shahih (Jami’) Tirmidzi dan Shahih (Sunan) Nasa’i.[12] 

Tetapi, bila kita baca penelitian para ahli yang terkenal dengan nama Ahlul Jarh wa’ Ta’dil, maka masih banyak hadis shahih ini akan gugur, kerana ternyata banyak di antara pelapor hadis, setelah diteliti lebih dalam adalah pembuat hadis palsu. 

Al­Amini, misalnya, telah mengumpulkan tujuh ratus nama pembohong ­yang diseleksi oleh Ahlu’l Jarh wa Ta’dil Sunni­ yang selama ini dianggap adil atau jujur, dan hadis yang mereka sampaikan selama ini dianggap shahih dan tertera dalam buku shahih enam. Ada di antara mereka yang menyampaikan, seorang diri, beribu-­ribu hadis palsu. 

Dan terdapat pula para “pembohong zuhud”[13] , yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman dan mulai pagi hari mengajar dan berbohong seharian. Para pembohong zuhud ini, bila ditanyakan kepada mereka, mengapa mereka membuat hadis palsu terhadap Rasul Allah saw yang diancam api neraka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak membuat hadis terhadap (‘ala) Rasul Allah saw tetapi untuk (li) Rasul Allah saw. Maksudnya, mereka ingin membuat agama Islam lebih bagus.[14] 

Tidak mungkin mengutip semua. Sebagai contoh, kita ambil seorang perawi secara acak dari 700 orang perawi yang ditulis Amini.[15] 

“Muqatil bin Sulaiman al­Bakhi, meninggal tahun 150 H/767 M. Ia adalah pembohong, dajjal dan pemalsu hadis. Nasa’i memasukkannya sebagai seorang pembohong; terkenal sebagai pemalsu hadis terhadap Rasul Allah saw. Ia berkata terang-­terangan kepada khalifah Abu Ja’far al­Manshur: “Bila Anda suka akan saya buat hadis dari Rasul untuk­mu”. Ia lalu melakukannya. Dan ia berkata kepada khalifah al­Mahdi dari Banu Abbas: “Bila Anda suka akan aku buatkan hadis untuk (keagungan) Abbas’. Al­Mahdi menjawab: “Aku tidak menghendakinya!”. Abu Bakar al­ Khatib, Tarikh Baghdad, jilid 13, hlm. 168; ‘Ala’udin Muttaqi al­Hindi, Kanzu’l­’Ummal, jilid 5, hlm. 16 Syamsuddin adz­Dzahabi, Mizan al­I’tidal, jilid 3, hlm. 196; al­Hafizh lbnu Hajar al­’Asqalani, Tahdzib at­Tahdzib, jilid 10, hlm. 284; Jalaluddin as­Suyuthi, al­LaAli ul Mashmu’ah, jilid 1, hlm. 168 jilid 2, hlm. 60, 122.” 

Para pembohong ini bukanlah orang bodoh. Mereka mengetahui sifat­sifat dan cara berbicara para sahabat seperti Umar, Abu Bakar, Aisyah dan lain­-lain. Mereka juga memakai nama para tabi’in seperti Ibnu Umar, ‘Urwah bin Zuba sebagai pelapor pertama, dan rantai sanad dipilih dari orang­ orang yang dianggap dapat dipercaya. Hadis-­hadis ini disusun dengan rapih, kadang-­kadang dengan rincian yang sangat menjebak. Tetapi kesalahan terjadi tentu saja kerana namanya tercantum di dalam rangkaian perawi. Dengan demikian para ahli tentang cacat tidaknya suatu hadis yang dapat menyusuri riwayat pribadi yang buruk itu, menolak Hadis-­hadis tersebut.[16] 

Demikian pula, misalnya hadis-­hadis yang menggunakan kata-­kata ‘mencerca sahabat’ tidak mungkin diucapkan Rasul, kerana kata­-kata tersebut mulai diucapkan di zaman Mu’awiyah, lama sesudah Rasul wafat. Seperti kata­kata Rasul “Barang siapa mencerca sahabat­-sahabatku maka ia telah mencercaku dan barang siapa mencercaku maka ia telah mencerca Allah dan mereka akan dilemparkan ke api neraka” yang banyak jumlahnya.[17] 

Juga, hadis-­hadis berupa perintah Rasul agar secara langsung atau tidak langsung meneladani atau mengikuti seluruh sahabat, seperti ‘Para sahabatku laksana bintang-­bintang, siapa saja yang kamu ikuti, pasti akan mendopat petunjuk’ atau ‘Para sahabatku adalah penyelamat umatku’ tidaklah historis sifatnya. 

Disamping perintah ini menjadi janggal, kerana pendengarnya sendiri adalah sahabat, sehingga menggambarkan perintah agar para sahabat meneladani diri mereka sendiri, sejarah menunjukkan bahwa selama pemerintahan Bani Umayyah, cerca dan pelaknatan terhadap Ali bin Abi Thalib serta keluarga dan pengikutnya, selama itu, tidak ada sahabat atau tabi’in yang menyampaikan hadis ini untuk menghentikan perbuatan tercela yang dilakukan di atas mimbar masjid di seluruh negeri tersebut. Lagi pula di samping fakta sejarah, al­ Qur’an dan hadis telah menolak keadilan seluruh sahabat.[18] 

Atau hadis­-hadis bahwa para khalifah diciptakan atau berasal dan nur (sinar) yang banyak jumlahnya, sebab menurut Al­Qur’an manusia berasal dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah dan tidak mungkin orang yang tidak menduduki jabatan dibuat dari tanah sedang yang ‘berhasil’ menjadi khalifah dibikin dari nur.


Para ahli telah mengumpul para pembohong dan pemalsu dan jumlah hadis yang disampaikan

Abu Sa’id Aban bin Ja’far, misalnya, membuat hadis palsu sebanyak 300. 

Abu Ali Ahmad al­Jubari 10.000 

Ahmad bin Muhammad al­Qays 3.000 

Ahmad bin Muhammad Maruzi 10.000 

Shalih bin Muhammad al­ Qairathi 10.000 

dan banyak sekali yang lain. Jadi, bila Anda membaca sejarah, dan nama pembohong yang telah ditemukan para ahli hadis tercantum di dalam rangkaian isnad, Anda harus hati-­hati. 

Ada pula pembohong yang menulis sejarah dan tulisannya dikutip oleh para penulis lain. Sebagai contoh Saif bin Umar yang akan dibicarakan di bagian lain secara sepintas lalu. Para ahli telah menganggapnya sebagai pembohong. Dia menulis tentang seorang tokoh yang bernama Abdullah bin Saba’ yang fiktif sebagai pencipta ajaran Syi’ah. Dan ia juga memasukkan 150[19] sahabat yang tidak pernah ada yang semuanya memakai nama keluarganya. Dia menulis di zaman khalifah Harun al­Rasyid. Bukunya telah menimbulkan demikian banyak bencana yang menimpa kaum Syi’ah. 

Bila membaca, misalnya, kitab sejarah Thabari dan nama Saif bin Umar berada dalam rangkaian isnad, maka berita tersebut harus diperiksa dengan teliti. 


Hati-­hati Terhadap 150 Sahabat Fiktif


Suatu rangkaian isnad yang lengkap, dengan penyalur­-penyalur yang indentitas orangnya tidak dapat dibuktikan sebagai cacat, belum lagi menjamin kebenaran suatu berita. Hal ini disebabkan adanya sahabat­-sahabat fiktif sehingga memerlukan penelitian yang lebih cermat terhadap para sahabat. 

Murtadha al­’Askari, misalnya, telah berhasil menemukan 150 nama sahabat Nabi yang fiktif, yang tidak pernah ada dalam kehidupan nyata, yang telah dimasukkan oleh penulis sejarah yang bernama Saif bin Umar, pencipta pelakon fiktif Abdullah bin Saba’, sebagai saksi­-saksi pelapor. Penulis sejarah ini telah memasukkan berbagai kota dan sungai yang kenyataannya tidak pernah ada.[20] 

Di bagian lain banyak ulama berpendapat bahwa hadis yang disampaikan seorang pembohong harus ditolak tetapi laporan sejarah yang ditulisnya harus diterima. Hal ini, misalnya terjadi pada hadis dari Saif bin Umar yang menulis buku ar­Ridda dan al­Futuh yang telah ditolak oleh banyak ulama kerana dianggap pembohong tetapi ceritanya sendiri tentang tokoh fiktif Abdullah bin Saba’ ­suatu pribadi yang tidak dikenal oleh semua penulis lain­ selama ini diterima sebagai fakta sejarah. Tetapi menurut hemat saya, kedua laporannya, hadis maupun bukan hadis harus dipandang dengan kritis. Kalau tentang Rasul Allah saw saja ia mau berbohong apa lagi tentang orang lain.


Bukhari Tidak Suka Imam Az­Zaki Al­Askari?

Kesulitan lain adalah kita kekurangan berita langsung dari sumber Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya bila berhadapan dengan peristiwa di mana mereka juga terlibat, seperti bagaimana suasana dan perasaan anak-­anak Fathimah tatkala rumah Fathimah diserbu oleh pasukan Abu Bakar,[21] atau apa kegiatan Ali selama hampir 25 tahun[22] kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bagaimana hukum fiqih berkembang dalam keluarga mereka? Bukankah Ali adalah pintu ilmu menurut hadis Rasul? Sebabnya adalah kurangnya perhatian sejarahwan Sunni terhadap sumber riwayat dari Ali, Fathimah, Hasan, Husain dan anak cucunya. Bukhari misalnya tidak mau mewawancarai Imam az­Zaki al­’Askari (yang sezaman dengannya, 232­260 H/840­870 M), cucu Rasul Allah saw dan sedikit pun juga tidak berhujah dengan Imam Ja’far Shidiq, Imam al­Kazhim, Imam ar­Ridha, Imam al­Jawad dan tidak dari al­Hasan bin al­ Hasan, Zaid bin Ali bin al­Husain, Yahya bin Zaid, an­Nafsu az­Zakiyah, ‘Ibrahim bin Abdullah, Muhammad bin Qasim bin Ali (sezaman dengan Bukhari) dan tidak dari keturunan ahlu’l­bait mana pun. Tetapi Bukhari misalnya meriwayatkan dari seribu dua ratus kaum Khawarij yang memusuhi ahlu’l­bait, dan tokoh-­tokoh yang terkenal jahil terhadap keluarga Rasul Allah saw.[23] 


Hati­-hati Terhadap Sejarah yang Telah Baku, 

Ali dan Zubair Menyembelih Ratusan Orang Tak Berdaya?
Rasul Menggali Kubur Mereka di Madinah?



Dalam hampir semua buku sejarah Rasul, diceritakan tentang pembunuhan Bani Quraizhah oleh kaum muslimin secara berdarah dingin. Cerita yang sudah dianggap baku dan memalukan ini, bila dihadapkan dengan konteks sejarah sangat diragukan. 

Menurut Ibnu Ishaq, setelah dikepung selama 25 hari (menurut Ibnu Sa’d 15hari) oleh pasukan kaum Muslimin yang berjumlah 3.000, mereka menyerah dan meminta sebagai pemimpin sekutu mereka dari Banu Aws menjadi hakam untuk menentukan hukuman mereka. Dan Sa’d menetapkan hukuman mati terhadap semua prajurit yang berjumlah antara 600 sampai 900 (Ibnu Ishaq), harta dirampas dan keluarga mereka ditawan. Menurut Ibnu Sa’d dan Waqidi, Bani Quraizhah menyerahkan keputusan kepada Rasul dan Rasul menunjuk Sa’d bin Mu’adz sebagai hakam. Tapi menurut Ibnu Sa’d, Banu Quraizhah lansung menyerahkan keputusan pada Sa’d. Bukhari menyatakan bahwa keputusan diserahkan kepada Sa’d, dan Muslim menyatakan keputusan diserahkan kepada Rasul dan Rasul menyerahkan pada Sa’d. 

Kemudian Rasul menggali liang­-liang kubur di tengah pasar kota Madinah dan Ali serta Zubair memenggal kepala mereka. Bila untuk tiap prajurit terdapat enam anggota keluarga lain, maka jumlah mereka adalah antara 3.600 sampai 5.400 orang. Mereka dikumpul di rumah Bint Harits dari Banu Najjar dan diikat dengan tali. Sekarang timbul pertanyaan. 

Di mana mereka mendapatkan tali untuk mengikat orang sebanyak itu dan berapa besar rumah Bint Harits? Bagaimana mereka makan dan bagaimana sanitasi mereka? Sebab pada masa itu, menurut Aisyah, tidak ada kakus dan mereka harus ke luar malam hari untuk itu. Apakah mungkin mereka tidak berusaha melarikan diri dan kelihatan pasrah saja? Bagaimana Rasul menggali kuburan untuk 600 atau 900 mayat di batu lahar yang demikian keras seperti di Madinah. Bagaimana perasaan Ali dan Zubair yang membunuh masing-­masing antara 300 sampai 450 orang? Berapa banyak orang yang menyaksikan? Ali dan Zubair terkenal sebagai pemberani, tetapi membunuh sekian banyak orang ‘berdarah dingin’, shabran, pasti akan membekas pada jiwa mereka. Dan Ali serta Zubair maupun banyak sahabat yang pasti turut melihat peristiwa luar biasa ini, suatu ketika, akan menyebutnya. Namun dalam Nahju’l­Balaghah atau tulisan lain, tidak kita temukan Ali menyinggung peristiwa tersebut. Cerita itu seperti hilang begitu saja di pasar Madinah.[24] 

Hampir tidak mungkin menulis satu periode sejarah tanpa memahami seluruh sejarah Islam. Misalnya, tatkala membaca suatu peristiwa, opini seseorang sering terpengaruh oleh komentar penulis peristiwa tersebut, boleh jadi ia juga terpengaruh oleh mazhab yang dianutnya, misalnya oleh keutamaan seseorang sahabat yang terlibat dalam peristiwa tersebut, sehingga kita cenderung untuk ‘berpihak’ kepadanya. Tidak kecuali peristiwa Saqifah. 


Menjatuhkan Khalifah Utsman, Sifat Jahiliyah di Kalangan Para Sahabat


H. Fuad Hashem dalam bukunya Sirah Muhammad Rasulullah[25] melukiskan sifat jahiliah itu dengan jelas. Ia mengatakan: 

Arti kata jahiliyah’ yang dimaksud Rasul tidak ada sangkut pautnya dengan kata ‘zaman’ atau ‘periode’. Kalau kedatangan Islam itu memberantas kebiasaan jahiliah, itu tidak lantas berarti bahwa babakan sejarah menjadi ‘Zaman Jahiliah’ dan ‘Zaman Islam’, sehingga implikasinya adalah bahwa jahiliyah adalah periode yang telah lewat, sudah kadaluwarsa, sudah mati dikubur ajaran Islam. Pengertian yang menyamakan zaman jahiliah sebagai ‘Zaman Kebodohan’ (Ignorance) mungkin suatu usaha untuk ikut memboncen pengertian agama Kristen bahwa jahiliah itu adalah ‘zaman sebelum datangnya Nabi’, seperti tercantum dalam Kitib Injil (Kisah Rasul­-Rasul 17:30), korban pengaruh Kristen seperti kata teolog Mikaelis. Memang banyak pengaruh itu yang disadari, misalnya dibuangnya bagian awal dari Sirah Ibnu Ishaq. Tetap ini hanya satu dari sekian aspirasi Kristen yang telah merasuk ke dalam karya literer Islam dan kalau tidak dicabut, duri ini akan tetap menyakiti daging. 

Jahiliah itu benar-­benar lepas dari pengertian zaman atau periode. Ini jelas terlihat dari kutipan ayat Al­Qur’an:[26] 

“Ketika orang kafir membangkitkan dalam dirinya kesombongan­-kesombongan jahiliah, maka Allah menurunkan ketenangan atas Rasul dan mereka yang beriman, dan mewajibkan mereka menahan diri. Dan mereka memang berhak dan patut memilikinya. Dan Allah sadar akan segalanya”. (Al­ Fath: 26) 

“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang­-orang yang berbuat kebaikan”. (Ali­Imran: 148) 

“Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu dalam urusan ini?”. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. mereka Menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh di sini”. Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang­-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar ke tempat mereka terbunuh”. dan Allah untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati”. (Ali­Imran: 154) 

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul­Nya, dan orang-­orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka rukuk”. (Al­Ma’idah: 55) 

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-­orang yang yakin?” (Al­Ma’idah: 50) 

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-­bersihnya”. (Al­Ahzab: 33) 

Ayat­-ayat ini jelas mempertentangkan jahiliah dengan ketenangan (sakinah), sifat menahan diri dan takwa…arti kata pokok jahil (jhl) bukanlah lawan dari ‘ilm (kepintaran) melainkan hilm yang artinya sifat menahan diri sebagaimana yang termaktub di dalam Al­Qur’an. 

Maka perwujudan sifat jahiliah itu adalah antara lain rasa kecongkakan suku semangat balas dendam yang tak berkesudahan, semangat kasar dan kejam yang keluar dari sikap nafsu tak terkendali dan perbuatan yang bertentangan dengan takwa. Ini bisa saja terjadi dalam zaman setelah kedatangan Islam dan keluar dari pribadi seorang Muslim. 

Sebagai ilustrasi kita teliti tanggapan Rasul dalam peristiwa Khalid bin Walid, yang terjadi sekitar pertengahan Januari 630, dalam penaklukan kota Makkah. Ibnu Ishaq bercerita:[27] ‘Rasul mengirim pasukan ke daerah sekitar Makkah untuk mengajak mereka ke dalam Islam: beliau tidak memerintahkan mereka. untuk bertempur. Di antara yang dikirim adalah Khalid bin Walid yang diperintahkannya ke kawasan datar sekitar perbukitan Makkah sebagai misionaris; ia tidak memerintahkan mereka bertempur’. 

Mulanya klan Jadzimah, penghuni wilayah itu ragu, tetapi Khalid mengatakan: ‘Letakkan senjata kerana setiap orang telah menerima Islam’. Ada pertukaran kata kerana curiga akan Khalid, tetapi seorang anggota suku itu berkata: ‘Apakah Anda akan menumpahkan darah kami? Semua telah memeluk Islam dan meletakkan senjata. Perang telah usai dan semua orang aman’. Begitu mereka meletakkan senjata, Khalid memerintahkan tangan mereka diikat ke belakang dan memancung leher mereka dengan pedangnya sampai sejumlah orang mati. Ketika berita ini sampai kepada Rasul, ia menyuruh Ali ke sana dan menyelidiki hal itu dan ‘memerintahkan agar menghapus semua praktek jahiliah’. Ali berangkat membawa wang, yang dipinjam Rasul dari beberapa saudagar Makkah untuk membayar tebusan darah dan kerugian lain, termasuk sebuah wadah makan anjing yang rusak. Ketika semua lunas dan masih ada wang sisa, Ali menanyakan apakah masih ada yang belum dihitung; mereka menjawab tidak. Ali memberikan semua sisa wang sebagai hadiah, atas nama Rasul. Ketika Ali kembali melapor, Rasul yang sedang berada di Ka’bah, menghadap Kiblat dan menengadahkan tangannya tinggi ke atas sampai ketiaknya tampak, seraya berseru: ‘Ya Allah! Saya tak bersalah atas apa yang dilakukan Khalid’, sampai tiga kali. Abdurrahman bin ‘Auf mengatakan kepada Khalid: ‘Anda telah melakukan perbuatan jahiliah di dalam Islam’. Demikian F. Hashem.[28] 

Khalid bin Walid adalah panglima perang yang terpuji, tetapi sikap jahiliah yang merasuk ke dalam jiwanya tidak bisa segera hilang. 

Ia dan asistennya Dhirar bin Azwar setelah jadi Muslim tetap minum minuman keras, syarib al­ khumur, berzina dan membuat maksiat, shahib al­fujur.[29] 

Orang mengetahui dendam Khalid pada keluarga Banu Jadzimah sebelum Islam. Terlihat jelas bahwa dendam pribadi di kalangan kaum Quraisy sangat kuat dan berlangsung lama seperti sering dikatakan Umar bin Khaththab. Perintah Rasul Allah kepada Ali untuk menyelesaikan masalah Banu Jadzimah agaknya membekas pada Khalid bin Walid. 

Tatkala ia berada di bawah komando Ali berperang melawan Bani Zubaidah di Yaman, ia mengirim surat kepada Rasul Allah melalui Buraidah, yang mengadukan tindakan Ali mengambil seorang tawanan untuk dirinya sendiri. Wajah Rasul berubah kerana marah dan Buraidah memohon maaf kepada Rasul dan menyatakan bahwa ia hanya menjalankan tugas. Rasul Allah lalu bersabda: “Janganlah kamu mencela Ali, sebab dia adalah bagian dari diriku dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah aku”. Lalu beliau mengulangi lagi: “Dia adalah hagian dari diriku dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah aku”.[30] Dalam versi yang sedikit berbeda Nasa’i meriwayatkan bahwa Rasul Allah bersabda: “Hai Buraidah, jangan kamu coba mempengaruhiku membenci Ali, kerana Ali adalah sama denganku dan aku sama dengan Ali. Dan dia adalah walimu sesudahku”.[31] Ia adalah orang pertama sesudah Umar yang dicari Abu Bakar untuk penyerbuan ke rumah Ali dan Fathimah, setelah Rasul wafat. 

Dia ditunjuk sebagai pemimpin pasukan memerangi ‘kaum pembangkang’ yang tidak mengirim zakat ke pusat pemerintahan pada zaman khalifah Abu Bakar. Di antara ulahnya adalah membunuh seorang sahabat pengumpul zakat yang diangkat Rasul, secara berdarah dingin, shabran, yang bernama Malik bin Nuwairah dan sekaligus meniduri istri Malik yang terkenal cantik, pada malam itu juga. Cerita ini sangat terkenal dalam sejarah dan jadi topik perdebatan hukum fiqih.[32] 

Tatkala Abu Bakar mengingatkan akan kebiasaannya, ‘main perempuan’ dan dosanya membunuh 1100 (seribu seratus) kaum Muslimin secara berdarah dingin, ia hanya bersungut dan mengatakan bahwa Umarlah yang menulis surat itu’.[33] 


Umar Buka Jalan Bagi Banu ‘Umayyah

Sepeninggal Rasul, dari empat khalifah yang lurus tiga di antaranya dibunuh tatkala sedang dalam tugas, yaitu Umar, Utsman dan Ali. Yang menarik adalah ramalan Umar bin Khaththab bahwa Utsman akan dibunuh kerana membuat pemerintahan yang nepotis seperti yang dikatakannya. 

Umar seperti melihat bahaya munculnya sifat-­sifat jahiliah ini sehingga tatkala ia baru ditusuk oleh Abu Lu’lu’ah dan mengetahui bahwa ia akan meninggal pada tahun 24 H­645 M, ia memanggil keenam anggota Syura yang ia pilih sendiri. 

Umar berkata: “Sesungguhnya Rasul Allah telah wafat dan ia rida akan enam tokoh Quraisy: Ali, Utsman, Thalhah, Zubair, Sa’d dan Abdurrahman bin ‘Auj.” 

Kepada Thalhah bin Ubaidillah ia berkata: “Boleh saya bicara atau tidak!” 

Thalhah: ‘Bicaralah!’. 

Umar: “Engkau belum pernah berbicara baik sedikit pun juga. Aku ingat sejak jarimu putus pada perang Uhud, orang bercerita tentang kesombonganmu, dan sesaat sebelum Rasul Allah wafat, ia marah kepadamu[34] kerana kata­-kata yang engkau keluarkan sehingga turun ayat hijab…Bukankah engkau telah berkata: “Bila Nabi saw wafat aku akan menikahi jandanya? “Bukankah Allah SWT lebih berhak terhadap wanita sepupu kita, yang menjadi istrinya, dari diri kita sendiri, sehingga Allah SWT menurunkan ayat: 

“Tiadalah pantas bagi kamu untuk mengganggu Rasul Allah, atau menikahi janda-­jandanya sesudah ia wafat. Sungguh yang demikian itu suatu dosa besar menurut Allah”.[35] 

Di bagian lain: “Bila engkau jadi khalifah, engkau akan pasang cincin kekhalifahan di jari kelingking istrimu”. Demikian kata­kata Umar terhadap Thalhah. 

Seperti diketahui ayat ini turun berkenaan dengan Thalhah yang mengatakan: “Muhammad telah membuat pemisah antara kami dan putri­-putri paman kami dan telah mengawini para wanita kami. Bila sesuatu terjadi padanya maka pasti kami akan mengawini jandanya” Dan di bagian lain: “Bila Rasul Allah saw wafat akan aku kawini Aisyah kerana dia adalah sepupuku.” Dan berita ini sampai kepada Rasul Allah saw, Rasul merasa terganggu dan turunlah ayat hijab’.[36] 

Kemudian kepada Zubair, Umar berkata: 

“Dan engkau, ya Zubair, engkau selalu gelisah dan resah, bila engkau senang engkau Mu’min, bila marah, engkau jadi kafir, satu hari engkau seperti manusia dan pada hari lain seperti setan. Dan andaikata engkau jadi khalifah, engkau akan tersesat dalam peperangan. Bisakah engkau bayangkan, bila engkau jadi khalifah? Aku ingin tahu apa yang akan terjadi pada umat pada hari engkau jadi manusia dan apa yang akan terjadi pada mereka tatkala engkau jadi setan, yaitu tatkala engkau marah. Dan Allah tidak akan menyerahkan kepadamu urusan umat ini selama engkau punya sifat ini”[37] Di bagian lain: “Dan engkau ya Zubir, demi Allah, hatimu tidak pernah tenang siang maupun malam, dan selalu berwatak kasar sekasar­-kasarnya; jilfan jafian”.[38] 

Bersama Aisyah, Thalhah dan Zubair setelah membunuh Utsman memerangi Ali dan menyebabkan paling sedikit 20.000 orang meninggal dalam Perang Jamal. Dan selama puluhan tahun menyusul, beribu-­ribu kepala yang dipancung banyak tangan dan kaki yang dipotong, mata yang dicungkil dengan mengatas namakan menuntut darah Utsman sebagaimana akan kita lihat menyusul ini. 

Kepada Utsman, Umar berkata: “Aku kira kaum Quraisy akan menunjukmu untuk jabatan ini kerana begitu besar cinta mereka kepadamu dan engkau akan mengambil Bani ‘Umayyah dan Bani Mu’aith untuk memerintah umat. Engkau akan melindungi mereka dan membagi­-bagikan wang baitul mal kepada mereka dan orang­-orang akan membunuhmu, menyembelihmu di tempat tidur”.[39] 

Atau menurut riwayat dari Ibnu Abbas yang didengarnya sendiri dari Umar “Andaikata aku menyerahkan kekhalifahan kepada Utsman ia akan mengambil Banu Abi Mu’aith untuk memerintah umat. Bila melakukannya mereka akan membunuhnya”.[40] 

Di bagian lain, dalam lafal Imam Abu Hanifah: “Andaikata aku menyerah kekhalifahan kepada Utsman, ia akan mengambil keluarga Abi Mu’aith untuk memerintah umat, demi Allah andaikata aku melakukannya, ia akan melakukannya, dan mereka akhirnya akan memotong kepalanya”.[41] Atau di bagian lain: Umar berwasiat kepada Utsman dengan kata-­kata: “Bila aku menyerahkan urusan ini kepadamu maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah mengambil keluarga Banu Abi Mu’aith untuk memerintah umat’.[42] 



Khalifah Utsman yang Dituduh Nepotis

Mari kita lihat ‘ramalan’ Umar bin Khaththab. Tatkala Ali menolak mengikuti peraturan-­peraturan dan keputusan­-keputusan Abu Bakar dan Umar, dalam pertemuan anggota Syura, Utsman justru sebaliknya. Ia berjanji menaati peraturan dan keputusan Abu Bakar dan Umar.[43] Ia menjadi khalifah tanggal 1 Muharam tahun 24 H pada umur 79 tahun dan meninggal dibunuh tanggal 18 Dzulhijjah tahun 35 H/ 17 Juni 656 M. 

Pemerintahannya dianggap nepotis oleh banyak kalangan. Misalnya, ia mengangkat anggota keluarganya, yang bernama Marwan anak Hakam Ibnu ‘Abi’l Ash yang telah diusir Rasul saw dari Madinah kerana telah bertindak sebagai mata-­mata musuh. Utsman membolehkan ia kembali dan mengangkatnya menjadi Sekretaris Negara. Ia memperluas wilayah kekuasaan Mu’awiyah, yang mula­-mula hanya kota Damaskus, sekarang ditambah dengan Palestina, Yordania dan Libanon. Ia memecat gubernur­-gubernur yang ditunjuk Umar dan menggantinya dengan keluarganya yang Thulaqa[44] , ada di antaranya yang pernah murtad dan disuruh bunuh oleh Rasul, dilaknat Rasul, penghina Rasul dan pemabuk. Ia mengganti gubernur Kufah Sa’d bin Abi Waqqash dengan Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith, saudara seibu dengannya. Walid disebut sebagai munafik dalam Al­ Qur’an. 

Ali, Thalhah dan Zubair, tatkala Utsman mengangkat Walid bin ‘Uqbah jadi gubernur Kufah, menegur Utsman: “Bukankah Umar telah mewasiatkan kepadamu agar jangan sekali­-kali mengangkat keluarga Abi Waith dan Banu ‘Umayyah untuk memerintah umat?” Dan Utsman tidak menjawab sama sekali’.[45] 

Walid adalah seorang pemabuk dan penghambur wang negara. Utsman juga mengganti gubernur Mesir ‘Amr bin ‘Ash dengan Abdullah bin Sa’id bin Sarh, seorang yang pernah disuruh bunuh Rasul saw kerana menghujat Rasul. Di Bashrah ia mengangkat Abdullah bin Amir, seorang yang terkenal sebagai munafik. 

Utsman juga dituduh telah menghambur­-hamburkan wang negara kepada keluarga dan para gubernur Banu ‘Umayyah’ yaitu orang­-orang yang disebut oleh para sejarahwan sebagai tak bermoral (fujur), pemabuk (shahibu ‘l­khumur), tersesat (fasiq), malah terlaknat oleh Rasul saw (la’in) atau tiada berguna (‘abats). Ia menolak kritik­-kritik para sahabat yang terkenal jujur. Malah ia membiarkan pegawainya memukul saksi seperti Abdullah bin Mas’ud, pemegang baitul mal di Kufah sehingga menimbulkan kemarahan Banu Hudzail. 

Ia juga membiarkan pemukulan ‘Ammir bin Yasir sehingga mematahkan rusuknya dan menimbulkan kemarahan Banu Makhzum dan Banu Zuhrah. Ia juga menulis surat kepada penguasa di Mesir agar membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Meskipun tidak sampai terlaksana, tetapi menimbulkan kemarahan Banu Taim. 

Ia membuang Abu Dzarr al­Ghifari ­­pemrotes ketidakadilan dan penyalahgunaan wang negara­ ke Rabdzah dan menimbulkan kemarahan keluarga Ghifari. Para demonstran datang dari segala penjuru, seperti Mesir, Kufah, Bashrah dan bergabung dengan yang di Madinah yang mengepung rumahnya selama 40 hari[46] yang menuntut agar Utsman memecat Marwan yang tidak hendak dipenuhi Utsman. Tatkala diingatkan bahwa wang Baitul Mal adalah milik umat yang harus dikeluarkan berdasarkan hukum syariat seperti sebelumnya oleh ‘Abu Bakar dan Umar ia mengatakan bahwa ia harus mempererat silaturahmi dengan keluarganya. Ia mengatakan: “Akulah yang memberi dan akulah yang tidak memberi. Akulah yang membagi wang sesukaku!”.[47] 

Utsman memberikan kebun Fadak kepada Marwan, yang tidak hendak diberikan Abu Bakar kepada Fathimah yang akan dibicarakan di bagian lain. 

Memerlukan beberapa buku tersendiri untuk menulis penyalahgunaan ‘wang negara’ oleh para penguasa dan ‘politisi’ pada masa itu sedang sebagian besar sahabat dan anggota masyarakat hidup kekurangan. 

Al­Amini mencatat daftar singkat hadiah yang dihambur Utsman: 

Dalam dinar: 

• Marwan bin Hakam bin Abi’l­’Ash 500.000 

• Ibnu Abi Sarh 100.000 

• Khalifah Utsman 100.000 

• Zaid bin Tsabit 100.000 

• Thalhah bin Ubaidillah 200.000 

• Abdurrahman bin ‘Auf 2.560.000 

• Ya’la bin ‘Umayyah 500.000 

Jumlah dinar 4.310.000 

Dalam Dirham: 

• Marwan bin Abi’l­’Ash 300.000 

• Keluarga Hakam 2.020.000 

• Keluarga Harits bin Hakam 300.000 

• Keluarga Said bin ‘Ash bin Umayya 100.000 

• Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith 100.000 

• Abdullah bin Khalid bin ‘Usaid (1) 300.000 

• Abdullah bin Khalid bin ‘Usaid (2) 600.000 

• Abu Sufyan bin Harb 200.000 

• Marwan bin Hakam 100.000 

• Thalhah bin Ubaidillah (1) 2.200.000 

• Thalhah bin Ubaidillah (2) 30.000.000 

• Zubair bin ‘Awwam 59.800.000 

• Sa’d bin Abi Waqqash 250.000 

• Khalifah Utsman sendiri 30.500.000 

Jumlah dirham 126.770.000 

Dirham adalah standar mata wang perak dan dinar adalah standar mata wang emas. Satu dinar berharga sekitar 10­12 dirham. Satu dirham sama harganya dengan emas seberat 55 butir gandum sedang. Satu dinar seberat 7 mitsqal. Satu mitsqal sama berat dengan 72 butir gandum. Jadi satu dinar sama berat dengan 7 X 72 butir gandum atau dengan ukuran sekarang sama dengan 4 grain. Barang dagangan satu kafilah di zaman Rasul yang terdiri dari 1.000 unta, dan dikawal oleh sekitar 70 orang berharga 50.000 dinar yang jadi milik seluruh pedagang Makkah. Seorang budak berharga 400 dirham. 

Contoh penerima hadiah dari Utsman adalah Zubair bin ‘Awwam. Ia yang hanya kepercikan wang baitul mal itu, seperti disebut dalam shahih Bukhari, memiliki 11 (sebelas) rumah di Madinah, sebuah rumah di Bashrah, sebuah rumah di Kufah, sebuah di Mesir…Jumlah wangnya, menurut Bukhari adalah 50.100.000 dan di lain tempat 59.900.000 dinar, di samping[48] seribu ekor kuda dan seribu budak.[49] 

Aisyah menuduh Utsman telah kafir dengan panggilan Na’tsal[50] dan memerintahkan agar ia dibunuh. Zubair menyuruh serbu dan bunuh Utsman. Thalhah menahan air minum untuk Utsman. Akhirnya Utsman dibunuh. Siapa yang menusuk Utsman, tidak pernah diketahui dengan pasti. Siapa mereka yang pertama mengepung rumah Utsman selama empat bulan dan berapa jumlah mereka dapat dibaca sekilas dalam catatan berikut. Mu’awiyah mengejar mereka satu demi satu. 


Cerita Demonstran

Satu tahun sebelum Utsman dibunuh, orang­-orang Kufah, Bashrah dan Mesir bertemu di Masjid Haram, Makkah. Pemimpin kelompok Kufah adalah Ka’b bin ‘Abduh, pemimpin kelompok Bashrah adalah al­Muthanna bin Makhrabah al­’Abdi dan pemimpin kelompok Mesir adalah Kinanah bin Basyir bin ‘Uttab bin ‘Auf as­Sukuni kemudian diganti at­Taji’i.


Kelompok Keluarga yang Dizhalimi Khalifah


Said bin Musayyib menceritakan adanya keluarga Banu Hudzail dan Banu Zuhrah yang merasa sakit hati atas perbuatan Utsman terhadap Abdullah bin Mas’ud, kerana Ibnu Mas’ud berasal dari kedua klan ini. Keluarga Banu Taim untuk membela Muhammad bin Abi Bakar, keluarga Banu Ghiffari untuk membela Abu Dzarr al­Ghifari, keluarga Banu Makhzum untuk membela ‘Ammar bin Yasir. Mereka mengepung rumah khalifah dan menuntut khalifah memecat sekretaris Negara Marwan bin Hakam.


Kelompok Penduduk Bashrah

Kemudian dari Bashrah datang ke Madinah 150 orang. Termasuk kelompok ini adalah Dzarih bin ‘Ubbad al­Abdi, Basyir bin Syarih al­Qaisi, Ibnu Muharrisy. Malah menurut Ibnu Khaldun jumlah mereka sama banyaknya dengan jumlah pendatang Mesir, 1000 orang, dan terbagi dalam 4 kelompok. 


Kelompok Kufah

Dari Kufah datang 200 orang yang dipimpin Asytar. Ibnu Qutaibah mengatakan kelompok Kufah terdiri dari 1000 orang dalam empat kelompok. Pemimpin masing-­masing kelompok adalah Zaid bin Suhan al­’Abdi, Ziyad bin an­Nashr al­Haritsi, Abdullah bin al­’Ashm al­’Amiri dan ‘Amr bin al­ Ahtam.



Kelompok Mesir



Dari Mesir datang 1.000 orang.[51] Dalam kelompok ini terdapat Muhammad bin Abi Bakar, Sudan bin Hamrin as­Sukuni, ‘Amr bin Hamaq al­Khaza’i. Mereka dibagi dalam empat kelompok masing­ masing dipimpin oleh ‘Amr bin Badil bin Waraqa’ al­Khaazi, Abdurrahman bin ‘Adis Abu Muhammad al­Balwi, ‘Urwah bin Sayyim bin al­Baya’ al­Kinani al­Laitsi, Kinanah bin Basyir Sukuni at­Tajidi. 

Mereka berkumpul disekitar ‘Amr bin Badil al­Ghaza’i, seorang sahabat Rasul saw dan Abdurrahman bin ‘Adis al­Tajibi. 

Kelompok Madinah

Mereka disambut oleh kelompok Madinah yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar seperti ‘Ammar bin Yasir al­’Abasi, seorang pengikut Perang Badr, Rifaqah bin Rafi’ al­Anshari, pengikut Perang Badr, at­Hajjaj bin Ghaziah seorang sahabat Rasul saw, Amir bin Bakir, seorang dari Banu Kinanah dan pengikut Perang Badr, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin ‘Awwam, peserta Perang Badr.[52]


Aisyah: ‘Bunuh Na’tsal!’



Dan sejarah mencatat bahwa ummu’l­mu’minin Aisyah, bersama Thalhah, Zubair dan anaknya Abdullah bin Zubair, telah melancarkan peperangan terhadap Amiru’l­mu’minin Ali bin Abi Thalib, yang memakan korban lebih dari 20.000 orang, dengan alasan untuk menuntut balas darah Utsman. 

Padahal ummu’l­muminin Aisyah adalah pelopor melawan Utsman dengan mengatakan bahwa Utsman telah kafir. 

Thalhah menahan pengiriman air minum kepada Utsman, tatkala rumah khalifah yang ketiga itu dikepung para ‘pemberontak’ yang datang dari daerah-­daerah. 

Zubair menyuruh orang membunuh Utsman pada waktu rumah khalifah itu sedang dikepung. Orang mengatakan kepada Zubair: “Anakmu sedang menjaga di pintu, mengawal (Utsman)”. Zubair menjawab: “Biar aku kehilangan anakku tetapi Utsman harus dibunuh!”.[53] Zubair dan Thalhah juga adalah orang­-orang pertama membaiat Ali. 

Khalifah Utsman mengangkat Walid bin ‘Uqbah, saudara seibunya jadi Gubernur di Kufah. Ayahnya ‘Uqbah pernah menghujat Rasul Allah di depan orang banyak, dan kemudian dibunuh Ali bin Abi Thalib. Walid sendiri dituduh sebagai pemabuk dan menghambur-­hamburkan wang baitul mal. Ibnu Mas’ud (Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud), seorang Sahabat terkemuka, yang ikut Perang Badr, yang mengajar Al­Qur’an dan agama di Kufah, penanggung-jawab baitul mal, menegur Walid. Walid mengirim surat kepada Utsman mengenai Ibnu Mas’ud. Utsman memanggil Ibnu Mas’,ud menghadap ke Madinah. 

Baladzuri menulis: 

Utsman sedang berkhotbah di atas mimbar Rasul Allah. Tatkala Utsman, melihat Ibnu Mas’ud datang ia berkata: “Telah datang kepadamu seekor kadal (duwaibah) yang buruk, yang (kerjanya) mencari makan malam hari, muntah dan berak!”. 

Ibnu Mas’ud: “Bukan begitu, tetapi aku adalah Sahabat Rasul Allah saw pada Perang Badr dan baiat ar­ridhwan”.[54] 

Dan Aisyah berteriak: “Hai Utsman, apa yang kau katakan terhadap Sahabat Rasul Allah ini?”. 

Utsman: “Diam engkau!”. Dan Utsman memerintahkan mengeluarkan Ibnu Mas’ud dari Masjid dengan kekerasan. Abdullah bin Zam’ah, pembantu Utsman lalu membanting Ibnu Mas’ud ke tanah. Kemudian ia menginjak tengkuk Ibnu Mas’ud secara bergantian dengan kedua kakinya hingga rusuk Ibnu Mas’ud patah. 

Marwan bin Hakam berkata kepada Utsman: “Ibnu Mas’ud telah merusak Irak, apakah engkau ingin ia merusak Syam?...Dan Ibnu Mas’ud ditahan dalam kota Madinah sampai meninggal dunia tiga tahun kemudian. Sebelum mati ia membuat wasiat agar ‘Ammir bin Yasir menguburnya diam­ diam, yang kemudian membuat Utsman marah. 

Kerana Utsman sering menghukum saksi pelanggaran agama oleh pembantu-­pembantunya, timbullah gejolak di Kufah. Orang menuduh Utsman menghukum saksi dan membebaskan tertuduh.[55] Abu’l­Faraj menulis: “Berasal dari Az­Zuhri yang berkata: ‘Sekelompok orang Kufah menemui Utsman pada masa Walid bin ‘Uqbah menjadi Gubernur. Maka berkatalah Utsman: ‘Bila seorang di antara kamu marah kepada pemimpinnya, maka dia lalu menuduhnya melakukan kesalahan! Besok aku akan menghukummu’. Dan mereka meminta perlindungan Aisyah. Besoknya Utsman mendengar kata­-kata kasar mengenai dirinya keluar dari kamar Aisyah, maka Utsman berseru: ‘Orang ‘Iraq yang tidak beragama dan fasiklah yang mengungsi di rumah Aisyah’. Tatkala Aisyah mendengar kata­kata Utsman ini, ia mengangkat sandal Rasul Allah saw dan berkata: ‘Anda meninggalkan Sunnah Rasul Allah, pemilik sandal ini’. Orang-­orang mendengarkan. Mereka datang memenuhi masjid. Ada yang berkata: ‘Dia betul!’ dan ada yang berkata: ‘Bukan urusan perempuan!’. Akhirnya mereka baku hantam dengan sandal”.[56] 

Baladzuri menulis: Aisyah mengeluarkan kata­-kata kasar yang ditujukan kepada Utsman dan Utsman membalasnya: ‘Apa hubungan Anda dengan ini? Anda diperintahkan agar diam di rumahmu (maksudnya adalah firman Allah yang memerintahkan istri Rasul agar tinggal di rumah: ‘Tinggallah dengan tenang dalam rumahmu’)[57] dan ada kelompok yang berucap seperti Utsman, dan yang lain berkata: ‘Siapa yang lebih utama dari Aisyah?” Dan mereka baku hantam dengan sandal, dan ini pertama kali perkelahian antara kaum Muslimin, sesudah Nabi saw wafat.[58] 

Tatkala khalifah Utsman sedang dikepung oleh “pemberontak” yang datang dari Mesir, Bashrah dan Kufah, Aisyah naik haji ke Makkah. 

Thabari menulis: ‘Seorang laki­-laki bernama Akhdhar (datang dari Madinah) dan menemui Aisyah. 

Aisyah: “Apa yang sedang mereka lakukan? “ 

Akhdhar: “Utsman telah membunuh orang­-orang Mesir itu!’ 

Aisyah: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Apakah ia membunuh kaum yang datang mencari hak dan mengingkari zalim? Demi Allah, kita tidak rela akan (peristiwa) ini”. 

Kemudian seorang laki­-laki lain (datang dari Madinah). 

Aisyah: “Apa yang sedang dilakukan orang itu” 

Laki­-laki itu menjawab: “Orang­-orang Mesir telah membunuh Utsman!” 

Aisyah: “Ajaib si Akhdhar. Ia mengatakan bahwa yang terbunuhlah yang membunuh’. Sejak itu muncul peribahasa, “lebih bohong dari Alkdhar”.[59] 

Abu Mikhnaf Luth al­’Azdi menulis: Aisyah berada di Makkah tatkala mendengar terbunuhnya Utsman. Ia segera kembali ke Madinah tergesa­-gesa. Dia berkata: ‘Dialah Pemilik Jari.”[60] Demi Allah, mereka akan mendapatkan kecocokan pada Thalhah. Dan tatkala Aisyah berhenti di Sarif,[61] ia bertemu dengan ‘Ubaid bin Abi Salmah al­Laitsi. 

Aisyah berkata: ‘Ada berita apa?’. 

Ubaid: Utsman dibunuh’. 

Aisyah: ‘Kemudian bagaimana?’. 

‘Ubaid: ‘Kemudian mereka telah menyerahkannya kepada orang yang paling baik, mereka telah membaiat Ali’. 

Aisyah: ‘Aku lebih suka langit runtuh menutupi bumi!. Selesailah sudah Celakalah Anda! Lihatlah apa yang Anda katakan!’. 

‘Ubaid: ‘Itulah yang saya katakan pada Anda, ummu’l­mu’minin’. 

Maka merataplah Aisyah. 

‘Ubaid: ‘Ada apa ya ummul­mu’minin! Demi Allah, aku tidak mengetahui ada yang lebih utama dan lebih berhak dari dirinya. Dan aku tidak mengetahui orang yang sejajar dengannya, maka mengapa Anda tidak menyukai wilayah­nya?’. 

Aisyah tidak menjawab. 

Dengan jalur yang berbeda-­beda diriwayatkan bahwa ‘A’isyah, tatkala sedang berada di Makkah, mendapat berita tentang pembunuhan Utsman, telah berkata: 

‘Mampuslah dia (ab’adahu’llah)! Itulah hasil kedua tangannya sendiri! Dan Allah tidak zalim terhadap hambanya!’. 

Dan diriwayatkan bahwa Qais bin Abi Hazm naik haji pada tahun Utsman dibunuh. Tatkala berita pembunuhan sampai, ia berada bersama Aisyah dan menemaninya pergi ke Madinah. Dan Qais berkata: “Aku mendengar ia telah berkata: 

‘Dialah Si Pemilik Jari!’ 

Dan tatkala disebut nama Utsman, ia berkata: 

‘Mampuslah dia! 

Dan waktu mendapat kabar dibaiatnya Ali ia berkata: ‘Aku ingin yang itu (sambil menunjuk ke langit, pen.) runtuh menutupi yang ini!’ (sambil menunjuk ke bumi, pen.) 

Ia lalu mernerintahkan agar unta tunggangannya dikembalikan ke Makkah dan aku kembali bersamanya. Sampai di Makkah ia berkhotbah kepada dirinya sendiri, seakan­-akan ia berbicara kepada seseorang. 

‘Mereka telah membunuh Ibnu ‘Affan (Utsman, pen.) dengan zalim’. Dan aku berkata kepadanya: ‘Ya ummu’l­mu’minin, tidakkah aku mendengar baru saja bahwa Anda telah berkata: ‘Ab’adahu’llah’! 

‘Dan aku melihat engkau sebelum ini paling keras terhadapnya dan mengeluarkan kata-­kata buruk untuknya!’ 

Aisyah: ‘Betul demikian, tetapi aku telah mengamati masalahnya dan aku melihat mereka meminta agar dia bertobat.. kemudian setelah ia bertobat mereka membunuhnya pada bulan haram’. 

Dan diriwayatkan dalam jalur lain bahwa tatkala sampai kepadanya berita terbunuhnya Utsman ia berkata: 

‘Mampuslah dia! Ia dibunuh oleh dosanya sendiri. Mudah­-mudahan Allah menghukumnya dengan hasil perbuatannya (aqadahu’llah)!. Hai kaum Quraisy, janganlah kamu berlaku sewenang-­wenang terhadap pembunuh Utsman, seperti yang dilakukan kepada kaum Tsamud!. Orang yang paling berhak akan kekuasaan ini adalah Si Pemilik Jari!’. 

Dan tatkala sampai berita pembaiatan terhadap Ali, ia berkata: ‘Habis sudah, habis sudah (ta’isa), mereka tidak akan mengembalikan kekuasaan kepada (Banu) Taim untuk selama­-lamanya!’ 

Dan jalur lain lagi: “Kemudian ia kembali ke Madinah dan ia tidak ragu lagi bahwa Thalhahlah yang memegang kekuasaan (khalifah) dan ia berkata: 

‘(Allah) menjauhkan dan membinasakan si Natsal. Dialah si Pemilik Jari! Itu dia si Abu Syibi![62] , ah dialah sudah misanku!. Demi Allah, mereka akan menemukan pada Thalhah kepantasan untuk kedudukan ini. Seakan­-akan aku sedang melihat ke jarinya tatkala ia dibaiat! Bangkitkan unta ini dan segera berangkatkan dia!”[63] 

Dan tatkala ia berhenti di Sarf dalam perjalanan ke Madinah ia bertemu dengan Ubaid bin Umm Kilab[64] Aisyah bertanya: ‘Bagaimana’? 

Ubaid: ‘Mereka membunuh Utsman, dan delapan hari tanpa pemimpin!’ Aisyah: ‘Kemudian apa yang mereka lakukan?” Ubaid: ‘Penduduk Madinah secara bulat (bi’l­ijma) telah menyalurkannya ke jalan yang terbaik, mereka secara bulat telah memilih Ali bin Abi Thalib’.’ 

Aisyah: ‘Kekuasaan jatuh ke tangan sahabatmu! Aku ingin yang itu runtuh menutupi yang ini. ‘Bagus![65] Lihatlah apa yang kamu katakan!’ 

Ubaid: ‘Itulah yang aku katakan, ya ummu’l­mu’minin’. 

Maka merataplah Aisyah. ‘Ubaid melanjutkan: ‘Ada apa dengan Anda, ya ummu’l­mu’minin?. Demi Allah, aku tidak menemukan antara dua daerah berlafa gunung berapi (maksudnya Madinah) ada satu orang yang lebih utama dan lebih berhak dari dia. Aku juga tidak melihat orang yang sama dan sebanding dengannya, maka mengapa Anda tidak menyukai wilayahnya?’ 

Ummul­mu’minin lalu berteriak: ‘Kembalikan aku, kembalikan aku’. Dan ia lalu berangkat ke Makkah. Dan ia berkata: ‘Demi Allah, Utsman telah dibunuh secara zalim. Demi Allah, kami akan menuntut darahnya!’ 

Ibnu Ummu’l­Kilab berkata kepada Aisyah: ‘Mengapa, demi Allah, sesungguhnya orang yang pertama mengamati pekerjaan Utsman adalah Anda, dan Anda telah berkata: ‘Bunuhlah Naltsal! Ia telah kafir! Aisyah: ‘Mereka minta ia bertobat dan mereka membunuhnya. Aku telah bicara dan mereka juga telah bicara. Dan perkataanku yang terakhir lebih baik dari perkataanku yang pertama’. 

Ibnu Ummu’l­Kilab: 

Dari Anda bibit disemai, 

Dari Anda kekacauan dimulai, 

Dari Anda datangnya badai, 

Dari Anda hujan berderai, 

Anda suruh bunuh sang imam, 

Ia ‘lah kafir, Anda yang bilang,[66] 

Jika saja kami patuh, 

Ia tentu kami bunuh, 

Bagi kami pembunuh adalah penyuruh, 

Tidak akan runtuh loteng di atas kalian, 

Tidak akan gerhana matahari dan bulan, 

Telah dibaiat orang yang agung, 

Membasmi penindas, 

menekan yang sombong, 

Ia selalu berpakaian perang, 

Penepat janji, bukan pengingkar. 

Menurut Mas’udi:[67] 

Dari Anda datang tangis, 

Dari anda datang ratapan, 

Dari Anda datangnya topan, 

Dari Anda tercurah hujan, 

Anda perintah bunuh sang imam, 

Pembunuh bagi kami adalah penyuruh.[68] 


Perang Jamal, Aisyah Memerangi Imam Ali, Dua Puluh Ribu Muslim Mati


Aisyah berangkat ke Makkah. Ia berhenti di depan pintu masjid menuju ke al­Hajar kemudian mengumpul orang dan berkata: ‘Hai manusia. Utsman telah dibunuh secara zalim! Demi Allah kita harus menuntut darahnya’. Dia dilaporkan juga telah berkata: ‘Hai kaum Quraisy! Utsman telah dibunuh. Dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib. Demi Allah seujung kuku atau satu malam kehidupan Utsman, lebih baik dari seluruh hidup Ali.’[69] 



Ummu Salamah Menasihati Aisyah

Ummu’l­mu’minin Ummu Salamah menasihati Aisyah agar ia tidak meninggalkan rumahnya: 


“Ya Aisyah, engkau telah menjadi penghalang antara Rasul Allah saw dan umatnya. Hijabmu menentukan kehormatan Rasul Allah saw, Al­Qur’an telah menetapkan hijab untukmu.[70] 


“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-­orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul­Nya”. (Al­Ahzab: 33) 

Dan jangan engkau membukanya. Tempatmu telah pula ditentukan Allah SWT dan janganlah engkau keluar. Allah­lah yang akan melindungi umatnya. Rasul Allah saw mengetahui tempatmu. Kalau Rasul Allah saw ingin memberimu tugas tentu telah beliau sabdakan. Ia telah melarang engkau mengelilingi kota-­kota. Apa yang akan engkau katakan kepada Rasul Allah saw seandainya engkau bertemu dengan beliau di perjalanan dan engkau sedang menunggangi untamu dan bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain? Allah sudah menetapkan tempatmu dan engkau suatu ketika akan bertemu dengan Rasul Allah saw di akhirat. Dan seandainya aku disuruh masuk ke surga firdaus, aku malu berjumpa dengan Rasul Allah saw dalam keadaan aku melepaskan hijabku yang telah diwajibkan Allah SWT atas diriku. Jadikanlah hijabmu itu sebagai pelindung dan jadikanlah rumahmu sebagai kuburan sehingga apabila engkau bertemu dengan Rasul Allah saw ia rela dan senang akan dirimu!”[71] 


Aisyah tidak menghiraukannya. Thalhah, Zubair dan Abdullah bin Zubair pergi bergabung dengan Aisyah di Makkah. Demikian pula Banu ‘Umayyah serta penguasa-­penguasa Utsman yang diberhentikan Ali dengan membawa harta baitul mal. 


Hafshah binti Umar yang juga ummu’l­mu’minin, diajak Aisyah, tapi membatalkan niatnya karena dilarang oleh kakaknya Abdullah bin Umar. 

Abu Mikhnaf Luth al­’Azdi berkata: ‘Setelah Ali tiba di Dzi Qar[72] , Aisyah menulis kepada Hafshah binti Umar bin Khaththab: 


‘Amma ba’du. Aku kabarkan padamu bahwa Ali telah tiba di Dzi Qar, dan ia benar-­benar sedang ketakutan setelah mengetahui jemaah kami telah siap siaga. Dan ia berada di tepi jurang, bila ia maju, akan dipancung; ‘uqira, bila mundur disembelih; nuhira, dan Hafshah memanggil para dayangnya dan menyuruh mereka menyanyi sambil memukul rebana: 

Apa kabar, apa kabar, 

Ali dalam perjalanan, 

Seperti penunggang di tepi jurang, 

Maju, terpancung, 

Mundur, terpotong. 

Wanita­-warita para thulaqa’ (mereka yang baru masuk Islam pada waktu dibukanya kota Makkah, pen) masuk ke rumah Hafshah ketika mendengar nyanyian itu. Mereka berkumpul dan menikmati nyanyian. Setelah sampai berita ini kepada Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib, ia lalu pakai jilbabnya untuk menyaru. Sampai di tengah-­tengah mereka, dia buka jilbabnya. Setelah Hafshah tahu bahwa orang itu adalah Ummu Kaltsum ia merasa malu dan berhenti bernyanyi. Lalu Ummu Kaltsum berkata: ‘Kalau engkau berdua (maksudnya Aisyah dan Hafshah, pen.) menentang Ali bin Abi Thalib sekarang, dahulu pun kamu berdua menentang saudara Ali bin Abu Thalib (maksudnya Rasul Allah saw) sehingga turun ayat mengenai kamu berdua’. Hafshah lalu menyela: ‘Stop! Mudah-­mudahan Allah merahmatimu!’. Ia lalu mengambil surat Aisyah tersebut, merobeknya dan minta ampun kepada Allah!.[73] 

Setelah sampai di wilayah ‘Iraq, Sa’id bin ‘Ash bertemu Marwan bin Hakam dan kawan­-kawannya. Ia berkata: ‘Tunggu apa lagi kamu! Pemberontak dan pembunuh Utsman berada di sekeliling unta (yang ditunggangi Aisyah) itu! Bunuhlah mereka dan kembalilah ke tempatmu sesudah itu. Jangan kamu membunuh diri kamu sendiri!’ Mereka menjawab: ‘Biar mereka saling membunuh dan pembunuh Utsman dengan sendirinya akan terbunuh!’ Mereka lalu bergabung dengan Aisyah.[74] 

Dalam perjalanan menuju Bashrah, Aisyah, Thalhah dan Zubair berhenti di Sumur Abi Musa dekat Bashrah. Utsman bin Hunaif, gubernur Bashrah mengirim utusan yang bernama Abu al­ Aswad ad­DuAli yang langsung menemui Aisyah dan ia bertanya kepada Aisyah akan maksud perjalanannya. 

Aisyah: ‘Aku menuntut darah Utsman!’ 

Abu al­Aswad: ‘Tak ada seorang pun pembunuh Utsman di Bashrah!’ 

Aisyah: ‘Engkau benar. Mereka berada bersama Ali bin Abi Thalib di Madinah. Dan aku datang membangkitkan orang Bashrah untuk memerangi Ali. Kami memarahi Utsman karena cambuknya yang memecuti kamu (umat Islam, pen.). Maka tidakkah kami juga harus membela Utsman dengan pedangmu?’ 

Abu al­Aswad: ‘Apa urusanmu dengan cambuk dan pedang!’ Engkau adalah istri Rasul Allah saw. Engkau diperintahkan untuk tinggal di rumahmu dan mengaji Kitab Tuhanmu dan perempuan tidaklah pantas untuk berperang dan tidak juga untuk menuntut darah. Sesungguhnya Ali lebih pantas dan lebih dekat hubungan keluarga untuk menuntut, karena mereka berdua (Ali dan Utsman), adalah anak ‘Abdi Manaf!’. 

Aisyah: ‘Saya tidak akan mundur, sebelum saya melaksanakan apa yang telah saya rencanakan. Apakah engkau menduga bahwa seseorang mau memerangi saya?’. 

Abu al­Aswad: ‘Ya, demi Allah! Engkau akan berperang dalam suatu peperangan yang bagaimanapun kecilnya, masih akan tetap paling dahsyat!’. Tiba di tepi kota Bashrah, orang-­orang terkagum-­kagum melihat unta Aisyah yang besar dan mengagumkan. Jariyah bin Qudamah mendatangi Aisyah dan berkata: 

‘Wahai ummu’l­mu’minin! Pembunuhan Utsman merupakan tragedi, tetapi tragedi yang lebih besar lagi adalah bahwa Anda telah keluar dari rumah Anda, menunggangi unta terkutuk ini dan merusak kedudukan dan kehormatan Anda. Lebih baik Anda pulang.’ 

Aisyah tidak peduli dan orang­-orang merasa heran. Ayat Al­Qur’an yang memerintahkan para istri Rasul agar tinggal di rumah tidak dapat lagi menahannya. 

Tatkala pasukan ini berusaha masuk kota Bashrah, Gubernur Bashrah Utsman bin Hunaif datang untuk menghalangi mereka dan tatkata dua pasukan saling berhadapan, mereka mencabut pedang masing-­masing dan saling menyerbu. Waktu sejumlah anggota pasukan telah berguguran Aisyah datang melerai dan kedua pasukan sepakat bahwa sampai Amirul mu’minin Ali bin Abi Thalib tiba, pemerintahan yang ada berjalan sebagaimana biasa, dan Utsman bin Hunaif harus tetap dalam kedudukannya sebagai gubernur. 

Pembunuhan Berdarah Dingin, Mencabuti Rambut Gubernur

Tetapi, baru dua hari berlalu, mereka menyergap Utsman bin Hunaif pada malam hari, membunuh empat puluh orang yang tidak bersalah, memukuli gubernur Utsman bin Hunaif, mencabut tiap helai rambut dan jenggotnya kemudian menawannya. Mereka lalu menyerang dan merampok Bait al­Mal sambil membunuh dua puluh orang di tempat serta lima puluh orang dibunuh berdarah dingin setelah menyerah. Setelah itu mereka merebut gudang gandum. Seorang tokoh tua kota Bashra yang bernama Hakim bin Jabalah tidak dapat lagi menahan diri. Ia mendatangi mereka dengan anggota suku dan keluarganya. Ia berkata kepada Abdullah bin Zubair: ‘Tinggalkan sebagian gandum untuk penduduk kota! Bagaimanapun juga penindasan harus ada batasnya. Kamu telah menyebarkan maut dan perusakan serta menawan Utsman bin Hunaif. Demi Allah tinggalkan perbuatan celaka ini dan lepaskanlah Utsman bin Hunaif. Apakah tidak ada lagi takwa dalam hatimu?’. Abdullah bin Zubair berkata: ‘Ini kami lakukan untuk menuntut darah Utsman!’ Hakim bin Jabalah menjawab: ‘Adakah orang-­orang yang kamu bunuh itu pembunuh Utsman? Demi Allah bila aku punya pendukung, tentu akan ku tuntut balas terhadap pembunuhan kaum Muslimin tanpa sebab ini!’ Ibnu Zubair menjawab: ‘Kami sama sekali tidak akan memberikan apa pun dari gandum ini, dan tidak akan kami lepas Utsman bin Hunaif!’. Akhirnya terjadi pertempuran dan gugurlah Hakim bin Jabalah dan kedua anaknya Asyraf dan Ri’l bin Jabalah bersama tujuh puluh anggota sukunya yang lain. 

Perang yang paling menyedihkan dalam sejarah Islam. Dalam perang ini bapak dan anak serta saudara saling membunuh, melemahkan jiwa dan raga masyarakat Islam yang sebenarnya merupakan awal berakhirnya Daulah Islamiyah dan membuka jalan kepada kerajaan. 

Ibnu ‘Abd Rabbih meriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah, sesudah Perang Jamal mendatangi Aisyah. Aisyah berkata kepadanya: ‘Hai Abu ‘Abdillah aku ingin engkau berada bersama kami pada Perang Jamal; bagaimana anak-­anak panah menembus haudaj­ku[75] dan sebagian menyentuh tubuhku!’. Mughirah bin Syu’bah menjawab: ‘Aku menghendaki satu dari panah-­panah itu membunuhmu? Aisyah: ‘Mudah­-mudahan Allah mengampunimu! Mengapa demikian?’ Mughirah menjawab: ‘Agar terbalas apa yang engkau lakukan terhadap Utsman!’.[76] 

Diriwayatkan bahwa sekali seorang wanita bertanya kepada Aisyah tentang hukumnya seorang ibu yang membunuh anak bayinya. Aisyah menjawab: ‘Neraka tempatnya bagi ibu yang durhaka itu!’. ‘Kalau demikian’, tanyanya: ‘bagaimana hukum seorang ibu yang membunuh dua puluh ribu anaknya yang telah dewasa?’. Aisyah berteriak dan menyuruh orang melempar keluar wanita tersebut. Aisyah, memang, sebagai istri Rasul ditentukan Allah SWT sebagai ibu kaum mu’minin.[77] 

“Nabi itu lebih utama bagi orang-­orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri­-isterinya adalah ibu-­ibu mereka. dan orang-­orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam kitab Allah daripada orang-­orang mukmim dan orang­-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara­-saudaramu. adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab”. 

[1200] Maksudnya: orang-­orang mukmin itu mencintai Nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan. 

[1201] Yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah Berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta. 

Dan perang yang dilancarkannya terhadap Imam Ali telah menyebabkan terbunuhnya dua puluh ribu anaknya sendiri. Setelah semua ini Aisyah kembali ke rumahnya. 

Thalhah misan Aisyah, yang diharapkan Aisyah akan menjadi khalifah, meninggal dalam Perang Jamal. Ia dibunuh oleh Marwan bin Hakam anggota pasukannya sendiri, karena keterlibatannya dalam pembunuhan Utsman. Setelah memanah Thalhah, Marwan berkata: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi darah Utsman!” Zubair bin ‘Awwam, iparnya, suami kakaknya Asma binti Abu Bakar meninggalkan pasukan setelah mendengar nasihat Ali. Ia dibunuh dari belakang oleh seorang yang bernama ‘Amr bin Jurmuz. Ali berkata: ‘Zubair senantiasa bersama kami sampai anaknya yang celaka[78] menjadi besar’. 

Sepanjang masa peperangan Jamal ini Abdullah bin Zubair menjadi imam shalat, karena Thalhah dan Zubair berebut jadi imam dan Aisyah menunjuk Abdullah. Juga, Abdullah bin Zubair menuntut bahwa ia lebih berhak terhadap kekhalifahan dari ayahnya dan Thalhah, dan menyatakan bahwa Utsman telah mewasiatkan kepadanya untuk menjabat khalifah.[79] 

Orang sering mengajukan pertanyaan mengenai Zubair dan Thalhah, seperti ‘mengapa harus Abdullah bin Zubair yang mengimami shalat padahal Zubair dan Thalhah adalah Sahabat Rasul dan mengapa mereka berdua harus berebut dan bertengkar menjadi imam sehingga Aisyah lalu menunjuk Abdullah bin Zubair? Mengapa membaiat Ali, kemudian memerangi Ali? Kalau menganggap Ali kafir, maka lari atau menyerah dari perang melawan orang kafir adalah kafir. Kalau Ali adalah Muslim, maka memerangi Ali adalah kafir’. Sedih, memang! Muhammad bin Abu Bakar, adik Aisyah yang berperang di pihak Ali melawan Aisyah, akhirnya di kemudian hari dibunuh oleh Mu’awiyah, dimasukkan dalam perut keledai lalu dibakar. Ali benar tatkala ia mengatakan bahwa ia diuji oleh empat hal. Pertama oleh orang yang paling cerdik dan dermawan, yaitu Thalhah. Kedua oleh orang yang paling berani yaitu Zubair. Ketiga oleh orang yang paling bisa mempengaruhi orang, yaitu Aisyah. Yang terakhir oleh orang yang paling cepat terpengaruh fitnah, yaitu Ya’la bin ‘Umayyah. Yang terakhir ini adalah penyedia dana utama untuk Perang Jamal, dengan membawa harta baitul mal tatkala ia jadi gubernur Utsman di Yaman. Lalu menyerahkan 400.000 dinar kepada Zubair dan menanggung pembiayaan tujuh puluh anggota pasukan orang Quraisy. Ia membelikan seekor unta yang terkenal besarnya untuk Aisyah seharga delapan puluh dinar.[80] 

Aisyah adalah seorang luar biasa. Bagaimana ia mengguncangkan dua khalifah sekaligus dan bagaimana ia berubah dari seorang yang mengeluarkan fatwa untuk membunuh Utsman dan setelah Utsman terbunuh, ia menuntut dara Utsman dan membuat umat Islam berontak melawan Ali. Rasanya, Utsman tidak akan terbunuh tanpa fatwa Aisyah yang punya pengaruh demikian besar terhadap kaum Muslimin karena kedudukannya sebagai istri Rasul. Setelah Utsman terbunuh ia gembira. Tetapi setelah Ali dibaiat ia mampu menghimpun para pembunuh dan keluarga yang terbunuh untuk bangkit melawan Ali bin Abi Thalib. Ia dapat mengubah kesan orang terhadap Ali yang membela Utsman menjadi orang yang tertuduh membunuh Utsman. 

Aisyah punya kelebihan. Setelah meruntuhkan dua khalifah­an bisa berubah menjadi orang yang tidak berdosa. Dan perannya dalam menentukan aqidah umat berlanjut sampai sekarang dengan hadis­hadisnya yang banyak. 

Ummu Salamah, misalnya, yang juga ummu’l­mu’minin tidaklah mendapat tempat yang terhormat seperti Aisyah. Hal ini disebabkan karena Ummu Salamah berpihak kepada ahlu’l­bait’ dengan sering meriwayatkan hadis hadis yang mengutamakan Ali, seperti hadis Kisa’. Ummu Salamah juga membiarkan putranya yang bernama Umar bergabung dengan Ali. Ia diangkat Ali jadi gubernur di Bahrain dan berperang bersamanya dalam perang Jamal. 

Abu Bakar, ayah Aisyah, maupun Umar bin Khaththab menyadari kemampuan Aisyah, dan sejak awal mereka menjadikan Aisyah sebagai tempat bertanya. Ibnu Sa’d, misalnya, meriwayatkan dari al­Qasim: “Aisyah sering diminta memberikan fatwa di zaman Abu Bakar. Umar dan Utsman dan Aisyah terus memberi fatwa sampai mereka meninggal”.[81] Dari Mahmud bin Labid: Aisyah memberi fatwa di zaman Umar dan Utsman sampai keduanya meninggal’. Dan sahabat-­sahabat Rasul Allah saw yang besar, yaitu Umar dan Utsman sering mengirim orang menemui Aisyah untuk menanyakan Sunnah’. Malah Umar memberikan uang tahunan untuk Aisyah lebih besar 20% dari istri Rasul yang lain. Tiap istri Rasul mendapat sepuluh ribu dinar sedang Aisyah dua belas ribu. Pernah Umar menerima satu kereta dari Irak yang di dalamnya terdapat mutiara (jauhar) dan Umar memberikan seluruhnya pada Aisyah.[82] Di samping pengutamaan Umar kepada Aisyah dalam fatwa maupun hadiah, Umar juga menahannya di Madinah dan hanya membolehkan Aisyah melakukan sekali naik haji pada akhir kekhalifahan Umar dengan pengawalan yang ketat. Umar menyadari betul peran Aisyah yang tahu memanfaatkan kedudukannya yang mulia di mata umat sebagai ibu kaum mu’minin dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempengaruhi orang. Dengan demikian mereka saling membagi keutamaan. Sedangkan Utsman, terutama pada akhir kekhalifahannya, melalaikan hal ini. 

Dan di pihak lain, Ali seperti juga Fathimah sejak awal menjadi bulan­-bulanan ummu’l­mu’minin Aisyah. Para ahli tidak dapat memecahkan misteri kebencian ummu’l­mu’minin Aisyah terhadap anak tirinya Fathimah dan Ali yang barangkali belum ada taranya dalam sejarah umat manusia bila kita pikirkan betapa tinggi kedudukan Fathimah dan Ali di mata Rasul Allah saw. Fathimah adalah satu dari empat wanita utama dalam dunia Islam, sedang Ali dikenal sebagai orang yang paling mulia dan paling utama sesudah Rasul dan jasanya terhadap Islam sangatlah besar. Kalau Mu’awiyah bersujud dan diikuti orang­-orang yang menemaninya, dan shalat dhuha enam raka’at saat mendengar Ali meninggal dunia di kemudian hari, sedangkan Aisyah melakukan sujud syukur ketika mendengar berita gembira ini seperti dilaporkan oleh Abu’l­Faraj at­Ishfahani.[83] 

Thabari, Abu’l­Faraj al­Ishfahani, Ibnu Sa’d dan Ibnu al­Atsir melaporkan bahwa tatkala seorang menyampaikan berita kematian Ali, ummu’l­mu’minin Aisyah bersyair: 

‘Tongkat dilepas, tujuan tercapai sudah’ 

‘Seperti musafir gembira pulang ke rumah!’ 

Kemudian ia bertanya: “Siapa yang membunuhnya”? 

Jawab: “Seorang laki­laki dari Banu Murad”! 

Aisyah berkata: 

“Walaupun ia jauh, 

Berita matinya telah sampai, 

Dari mulut seorang remaja, 

Yang tak tercemar tanah!”.[84] 

Maka berkatalah Zainab puteri ummu’l­muminin Ummu Salamah: “Apakah Ali yang engkau maksudkan?” 

Aisyah menjawab: “Bila aku lupa kamu ingatkan aku!”.[85] 

Kemudian Zainab berkata: 

Selalu kasidah dihadiahkan di berbagai kalangan, 

Tentang “Shiddiq” dan bermacam-­macam julukan, 

Akhirnya kau tinggalkan juga, 

Di setiap pertemuan, kau keluarkan kata-­kata, 

Seperti dengungan lalat belaka.[86] 





Daftar Isi : 

sejarah islam 1

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah 1

by: O. Hashem 1

Jakarta 1

2004 1



BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM 2

Prakata Penulis 3

Bab 1. Pengantar 6

Hadis Sebagai Sumber Sejarah, hadis Shahih Belum Tentu Shahih 11

Hati­hati Terhadap 700 Pembuat Hadis Aspal 15

Hati­hati Terhadap 150 Sahabat Fiktif 21

Bukhari Tidak Suka Imam Az­Zaki Al­Askari? 22

Hati­hati Terhadap Sejarah yang Telah Baku,Ali dan Zubair Menyembelih Ratusan Orang Tak Berdaya? Rasul Menggali Kubur Mereka di Madinah? 23

Menjatuhkan Khalifah Utsman, Sifat Jahiliyah di Kalangan Para Sahabat 26

Umar Buka Jalan Bagi Banu ‘Umayyah 32

Khalifah Utsman yang Dituduh Nepotis 36

Cerita Demonstran 41

Kelompok Keluarga yang Dizhalimi Khalifah 41

Kelompok Penduduk Bashrah 41

Kelompok Kufah 42

Kelompok Mesir 42

Kelompok Madinah 43

Aisyah: ‘Bunuh Na’tsal!’ 43

Perang Jamal, Aisyah Memerangi Imam Ali, Dua Puluh Ribu Muslim Mati 54

Ummu Salamah Menasihati Aisyah 55

Pembunuhan Berdarah Dingin, Mencabuti Rambut Gubernur 60



Catatan:

[1] Bai’at dalam bahasa Arab berarti “penepukan tangan ke tangan seseorang sebagai pengukuhan (ijab) penjualan”. Biasanya dilakukan dengan cara menjulurkan tangan kanan ke depan dengan tapak tangan menghadap ke atas dan pembaiat menepuk dan menjabatya, tetap dalam posisi demikian. Saling membaiat dilakukan dengan saling menepuk tangan (tashafaqu) atau saling menjual (tabaya’u). Berasal dari kata menjual (ba’a, yabi’u, bai, bai’ah). Dalam Islam baiat artinya menepuk tangan sebagai tanda kewajiban penjualan, sebagai tanda membuat kontrak jual beli atau sebagai tanda ketaatan akan kesepakatan yang telah diputuskan keduanya. Seorang membaiat seseorang, artinya ia berjanji kepada seseorang. Di zaman Nabi, baiat merupakan lembaga pengukuhan. Dalam peristiwa pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah ini lembaga baiat untuk pertama kali digunakan sebagai lembaga pemilihan. 

[2] Faltah, menurut kamus al­Mu’jam al­Wasith adalah ‘suatu peristiwa yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan tanpa memakai pikiran dan kearifan’, (al­amr yahdutsu min ghairrawiyyah wa ihkim). ‘Umar bin Khaththab mengancam, bahwa bila ada yang melakukan hal serupa agar dibunuh. Ibnu al­Atsir tatkala meriwayatkan peristiwa Saqifah menyamakan faltah dengan fitnah, lihat Tarikh al­Kamil, jilid 2, hlm. 157; Syaikh Muhammad al­Hasan mengatakan bahwa faltah adalah dasar dan kepala dari semua fitnah, asas at­ fitan wa ra ‘suha; Lihat Dala’il Shiaq, jilid 3, hlm. 21. 

[3] Syaikh Muhammad Ridha al­Muzhaffar, As­Saqifah, penerbit Mu’assasah al­Alamiy li’l­Mathbu’ah, Cetakan keempat, Beirut, 1973; ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, As Saqifah wa’I­Khilafah, Maktabah Gharib, Kairo, tak bertahun. 

[4] Tabi’in, generasi sesudah generasi sahabat Rasul Allah saw. 

[5] Lihat Bab 9 ‘Apendiks’, sub bab ‘Sikap Muslim Terhadap Sahabat’. 

[6] Al­Bukhari, jilid 1 hlm. 38, jilid 2, hlm. 102, jilid 4, hlm. 207, jilid 8, hlm. 54; Muslim, jilid 8, hlm. 229; Abu Dawud, jilid 3, hlm. 319­320; at­Tirmidzi, jilid 4, hlm. 524, jilid 5, hlm. 3, 35­36, 40, 199, 634; Ibnu Majah, jilid 1, hlm. 13­15. 

[7] H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasullulah, Penerbit Mizan, 1989, Bandung, hlm. 24­26 

[8] Tarikh Baghdad, jilid 2, hlm. 8; Al­Irsyad as­Sari, jilid 1, hlm. 28; Shifatu’s Shafwah, jilid 4, hlm. 143. 

[9] Tarikh Baghdad, jilid 13, hlm. 101; al­Muntazam, jilid 5, hlm. 3 2; Thabaqat al Huffazh, jilid 2, hlm. 151, 157; Wafayat al­Ayan, jilid 5, hlm. 194 

[10] Tarikh Baghdad jilid 9, hlm. 57; Thabaqat a1­Huffazh, jilid 2, hlm. 154; al­Muntazani, jilid 5, hlm. 97; Wafayat al­A’yan jilid 2, hlm. 404. 

[11] Tarikh Baghdad, jilid 4, hlm. 419­420; Thabaqat a1­Huffazh, jilid 2, hlm. 17; Tahdzib at­Tahdzib, jilid 1, hlm. 74; Wafayat al­A’yan, jilid 1, hlm. 64. 

[12] Menurut metode pengelompokan, hadits­hadits dibagi dalam Musnad, Shahih, Jami’, Sunan, Mujam dan Zawa’id. 

[13] Zuhud = orang yang menjauhi kesenangan duniawi dan memilih kehidupan akhirat. 

[14] AI­Amini, al­Ghadir, Beirut, 1976, jilid 5, hlm. 209­375. 

[15] AI­Amini, al­Ghadir, jilid 5, hlm. 266. 

[16] Contoh­contoh Ahlu’l Jarh wa Ta’dil: Ibnu Abi Hatim ar­Razi, Ahlu’l Jarh wa Ta’dil (Ahli Cacat dan Pelurusan); Syamsuddin Az­Dzahabi, Mizan al­I’tidal (Timbanga Kejujuran); Ibnu Hajar al­’Asqalani, Tahdzib at­Tahdzib (Pembetulan bagi Pembetulan) dan Lisan al­Mizan (Kata­kata Timbangan); ‘Imaduddin ibnu Katsir al­Bidayah wa’n­Nihayah (Awal dan Akhir), Jalaluddin As­Suyuthi, al­La’a­li’ul Mashnu’ah (Mutiara­mutiara buatan), Ibnu Khalikan, Wafayat al­A’yan wa Anba Abna az­Zaman (Meninggalnya Para Tokoh dan Berita Anak­anak Zaman). Dan masih banyak lagi. 

[17] Lihat AI­Muhibb Thabari, Riyadh an­Nadhirah, jilid 1, hlm. 30. 

[18] Lihat Bab 19: ‘Tiga dan Tiga’ sub bab Sahabat Rasul. 

[19] Seratus lima puluh. 

[20] Murtadha al­’Askari, Khamsun wa Mi’ah Shahabi Mukhtalaq, Beirut, 1968. 

[21] Dibicarakan di bab 10, ‘Pengepungan Rumah Fathimah’. 

[22] Sejak Rasul wafat tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriah, 12­3­11 H, sampai meninggalnya ‘Utsman tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35 Hijriah, 18­12­35 H. 

[23] Bacalah ‘Abdul Husain Syarafuddin AI­Musawi, Ajwibah Masa’il Jarallah, hlm. 71­7. 

[24] Lihat Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, A Re­examination, Delhi, 1979. 

[25] H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, Penerbit Mizan, Bandung, 1989, hlm.65, 66, 67. 

[26] Al­Qur’an 48:26; Lihat juga Al­Qur’an 3:148, 154; 5:55, 50; 33:33. 

[27] Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 2, hlm. 283. 

[28] Bacalah Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hlm. 53­57; Ibnu Sa’d, Thabaqat, hlm. 659, Bukhari dalam Kitab al­ Maghazi, bab pengiriman Khalid ke Banu Jadzimah, Tarikh Abu’l­Fida’, jilid 1, hlm. 145, UsduI­Ghabah jilid 3, hlm. 102; al­Ishabah, jilid 1, hlm. 318; jilid 2, hlm. 81 

[29] A1­1shabah, jilid 2, hlm. 209; Ibnu ‘Asakir, Tarikh, jilid 5, hlm. 30; Khazanah al­Adab jilid 2, hlm. 8. 

[30] Hadits ini berasal dari ‘Abdullah bin Buraidah. Lihat Imam Ahmad, Musnad, jilid 5, hlm. 347 

[31] Nasa’i, al­Khasha’ish al­’Alawiyah’ hlm. 17. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Jarir, Thabrani dan lain­ lain. 

[32] Akan dibicarakan di Bab 12, ‘Reaksi terhadap Peristiwa Saqifah’. 

[33] Thabari, Tarikh, jilid 3, hlm. 254; Tarikh al­Khamis, jilid 3, hlm. 343. 

[34] Sebagaimana biasa, banyak perdebatan telah terjadi mengenai kata­kata ‘Umar ini. Bukankah ‘Umar mengatakan bahwa Rasul Allah saw rida kepada mereka berenam?. 

[35] Al­Qur’an, al­Ahzab (33), ayat 53. 

[36] Lihat Tafsir al­Qurthubi jilid 14, hlm. 228; Faidh al­Qadir, jilid,4, hlm. 290; Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hlm. 506; Tafsir Baqawi jilid 5, hlm. 225; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 1, hlm. 185, 186, jilid 12, hlm. 259 dan lain­lain. 

[37] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 1, hlm. 175. 

[38] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’I­Balaghah, jilid 12, hlm. 259. 

[39] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 1, hlm. 186. 

[40] Baladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 5, hlm. 16. 

[41] Abu uysuf dalam al­Atsar, hlm. 215. 

[42] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 3, hlm. 247; Baladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 5, hlm 16; Mithibbuddin Thabari, Ar­ Riydah an­Nadhirah, jilid 2, hlm. 76 

[43] Lihat Bab 15, ‘Sikap ‘Ali terhadap Peristiwa Saqifah’ dan Bab 14: ‘Pembaiatan ‘Umar dan’Utsman’. 

[44] Yang dibebaskan, baru memeluk Islam setelah penaklukan Makkah. 

[45] Ba­ladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 5, hlm. 30. 

[46] Menurut Mas’udi, ‘Utsman dikepung selama 49 hari, Thabari 40 hari, dan ada yang mengatakan lebih dari itu. Ia dibunuh malam Jumat 3 hari sebelum berakhir bulan Dzul Hijah, tahun 34 H, 8 Juli 655 M. Lihat Muruj adz­Dzahab, jilid 1, hlm. 431­432. 

[47] Dengan lafal yang sedikit berbeda lihatlah Shahih Bukhari, jilid 5, hlm. 17; Sunan Abu Dawud, jilid 2, hlm. 25. 

[48] Shahih Bukhari, Kitab Jihad, jilid 5, hlm. 21 dll. 

[49] Lihat Mas’udi, Muruj adz­Dzahab, jilid 1, hlm. 424. 

[50] Nama lelaki asal Mesir dan berjanggut panjang menyerupai ‘Utsman. Dalam al­Lisan al­’Arab Abu Ubaid berkata: ‘Orang mencerca ‘Utsman dengan nama Na’tsal ini’. Ada yang mengatakan Na’tsal ini orang Yahudi. 

[51] Ada yang mengatakan hanya 400 orang, 500 orang, 700 orang atau 600 orang. Menurut Ibn Abil­Hadid 2.000 orang. 

[52] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 3, hlm. 49; Baladzuri, al­Ansab al­Asyraf, jilid 5, hlm. 26, 59; Ibnu Qutaibah, al­ Imamah wa’s­Siyasah, jilid 1, hlm. 334; Ibnu Qutaibah, al­Ma’rif, hlm. 84; Thabari, Tarikh, Jilid 5, hlm. 116; Muruj adz­Dzahab, jilid 1, hlm. 441; Ibnu ‘Abd Rabbih, al­’lqdal­Farid, jilid 2, hlm. 262, 263, 269; Muhibbuddin Thabari, Ar­Riyadh an­Nadhirah, jilid 2, hlm. 123, 124; Ibnu Atsir, al­Kamil, jilid 3, hlm. 66 dan lain­lain. 

[53] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 6, hlm. 35­36. 

[54] Agaknya Ibnu Mas’ud sengaja menyebut kalimat ini, karena ‘Utsman tidak hadir pada kedua peristiwa tersebut, pen. 

[55] Ibnu ‘Abd al­Barr, Kitab al­Isti’ab fi Ma’rifati’l­Ashhab, dalam pembicaraan Ibnu Mas’ud; al­Balad­zuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al­Asyraf, jilid 5, hlm. 35). 

[56] Abu’l­Faraj al­Ishfahani, al­Aghani, jilid 4, hlm. 18. 

[57] Al­Qur’an, al­Ahazb (XXXIII): 33, pen. 

[58] Baladzurli, Ansab al­Asyraf, jilid 5, hlm. 3 3. 

[59] Thabari, Tarikh, jilid 5, hlm. 166. 

[60] Dzu’l­’Ishba’, gelar Thalhah bin ‘Ubaidillah, karena beberapa jarinya buntung di perang Uhud, pen. 

[61] Sarif, suatu tempat sekitar 10 km dari Makkah arah ke Madinah, pen. 

[62] Abu Syibl, nama julukan lain Thalhah yang berarti ‘ayah dari anak singa’, pen. 

[63] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 4, hlm. 215, 216) 

[64] Ubaid bin Umm Kilab adalah orang yang sama dengan ‘Ubaid bin Abi Salmah al­Laitsi, pen. 

[65] Waihaka = kata­kata sayang, kebalikan dari wailaka!, pen 

[66] Fa minki’l bada’, wa minki’l­ghiyar, Wa minki’r­riyah, wa minki’l­mathar, Wa anti amarti bi qatli’l­imam. Wa qulti lanna innahu qad kafara. 

[67] Muruj adz­Dzahab, jilid 2, hlm. 9. 

[68] Minkil buka’wa minkil­’awil, Wa minki’r­riyah wa minki’l­mathar, Wa anti amarti bi qatli’l­imam, Wa qatlihu’ indana man amara. 

[69] Lihat Baladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 5, hlm. 71. 

[70] Al­Qur’an (33), ayat 33. 

[71] Ibnu Thaifur, Baldghat an­Nisa’, hlm. 8; Mengenai nasihat Ummu Salamah kepada ‘A’isyah, lihat juga Zamakhsyari, al­Fa’iq, jilid 1, hlm. 290; Ibnu ‘Abd Rabbih, Iqd al­Farid, jilid 3, hlm. 69; Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 2, hlm. 79. 

[72] Dzi Qar = Sebuah mata air dekat Kufah, pen. 

[73] Lihat Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 2, hlm. 157. 

[74] Usdu’l­Ghabah, jilid 2, hlm. 309­310. 

[75] Haudaj adalah tandu yang dipasang di punggung unta, pen. 

[76] Ibnu Abd Rabbih, Iqd al­Farid, jilid 4, hlm. 294. 

[77] AI­Qur’an, al­Ahzab (33): 6. 

[78] Abdullah bin Zubair. 

[79] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’I Balaghah, jilid 2, hlm. 166. 

[80] Lihat Usdu’l­Ghibah, jilid 5, hlm. 178­179. 

[81] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 3 hlm.3370. 

[82] Ibnu Sa’d, ibid., jilid 8, hlm. 67; Zarkasyi, al­ljabah, hlm. 71, 75; Kanzu’l­’Ummal, jilid 7, hlm. 116; Muntakhab, jilid 5, hlm. 118; al­Ishibah, jilid 4, hlm. 349; Thabari, ibid. jilid 4, hlm. 161; lbnu Atsir jilid 2, hlm. 247; Al­Hakim Al Nisaburi, al­Muatadrak, jilid 4, hlm. 8; Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 3, hlm. 154; al­ Baladzuri, Futuh al­Buldan, hlm. 449, 454, 455; An­Nubala, jilid 2, hlm. 132, 138. 

[83] Abu­Faraj al­Ishfahani, Maqatil ath­Thalibiyin, hlm. 43. 

[84] Abu Turab atau ‘Ali bin Abu Thalib. 

[85] Thabari, Tarikh, tatkala membicarakan sebab pembunuhan ‘Ali; Ibnu Sa’d, Thabaqat­Kubra jilid 3, hlm. 27; Abu’I­Faraj al­Ishfahani, Maqatil­Thalibiyin, hlm. 42. 

[86] Abu’l­Faraj al­Ishfahani, Maqatil at­Thalibiyin, hlm. 42. 


Mengapa Aisyah Benci Fathimah dan Ali? 

Kebencian Aisyah kepada anak tirinya Fathimah dan suami Fathimah, Ali, sangat bertalian dengan kecemburuannya kepada Khadijah yang telah lama meninggal.

Cemburu Aisyah terhadap Khadijah dapat dipahami dari kata-­katanya sendiri. 

Aisyah berkata[1] : “Cemburuku terhadap istri-­istri Rasul tidak seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasul sering menyebut dan memujinya, dan Allah SWT telah mewahyukan kepada Rasul saw agar menyampaikan kabar gembira kepada Khadijah bahwa Allah SWT akan memberinya rumah dari Permata di surga”. 

Dan di bagian lain[2] : “Aku tidak cemburu terhadap seorang dari istri­-istrinya seperti aku cemburu kepada Khadijah, meski aku tidak mengenalnya. Tetapi Nabi sering mengingatnya dan kadang­ kadang ia menyembelih kambing, memotong-­motongnya dan membagi­-bagikannya kepada teman­ teman Khadijah”. 

Di bagian lain: “Suatu ketika Halah binti Khuwailid, saudari Khadijah, minta izin menemui Rasul dan Rasul mendengar suaranya seperti suara Khadijah”. Rasul terkejut dan berkata: ‘Allahumma Halah!’. Dan aku cemburu. Aku berkata: ‘Apa yang kau ingat dari perempuan tua di antara perempuan­-perempuan tua Quraisy…dan Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik’. 

Di bagian lain lagi[3] : ‘Dan wajah Rasul Allah saw berubah, belum pernah aku melihat ia demikian, kecuali pada saat turun wahyu’. 

Dan dalam riwayat lain[4] : ‘Allah tidak mengganti seorang pun yang lebih baik dari dia. Ia beriman kepada saya tatkala orang lain mengingkari saya. Ia membenarkan saya ketika orang lain mendustakan saya. Dan ia membantu saya dengan hartanya tatkala orang lain enggan membantu saya. Allah SWT memberi anak-­anak kepada saya melaluinya dan tidak melalui yang lain’. 

Kebenciannya terhadap Ali juga disebabkan sikap Rasul saw yang mendahulukan Ali dari ayahnya, Abu Bakar, sebagaimana pengakuannya sendiri. Imam Ahmad menceritakan[5] , yang berasal dari Nu’man bin Basyir: ‘Abu Bakar memohon izin menemui Rasul Allah saw dan ia mendengar suara keras Aisyah yang berkata: ‘Demi Allah, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai Ali dari ayahku dan diriku!’, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’. Aisyah seperti lupa firman Allah: 

‘Dan ia tiada berkata menurut keinginannya sendiri. Perkataannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya’.[6] 

Ibn Abil­Hadid menceritakan: ‘Aku membacakan pidato Ali mengenai Aisyah dari Nahju’l­ Balighah[7] , kepada Syaikh Abu’ Ayyub Yusuf bin Isma’il tatkala aku berguru ilmu kalam kepadanya. Aku bertanya bagaimana pendapatnya tentang pidato Ali tersebut. Ia memberi jawaban yang panjang. Aku akan menyampaikannya secara singkat, sebagian dengan lafalnya sebagian lagi dengan lafalku sendiri.(Abu ‘Ayyub melihat dari kacamata yang umum terjadi. Penulis menerjemahkannya agak bebas). 

Abu ‘Ayyub berkata: ‘Kebencian Aisyah kepada Fathimah timbul karena Rasul Allah saw mengawini Aisyah setelah meninggalnya Khadijah. Sedang Fathimah adalah putri Khadijah. Secara umum antara anak dan ibu tiri akal timbul ketegangan dan kebencian. Istri akan mendekati ayahnya dan bukan suaminya, dan anak perempuan tidak akan senang melihat ayahnya akrab dengai ibu tirinya. Ia menganggap ibu tirinya merebut tempat ibunya. Sebaliknya anak perempuan benar­-benar jadi tumpuan kecemburuan ibu tiri. Beban cemburu Aisyah kepada almarhumah Khadijah, berpindah kepada Fathimah. Besarnya kebencian pada anak tirinya sebanding dengan bencinya kepada madunya yang telah meninggal. Apalagi bila suaminya sering mengingat istrinya yang telah meninggal itu. 

Kemudian semua sepakat bahwa Fathimah mendapat kedudukan mulia di sisi Allah SWT melalui hadis Rasul, yang juga ayahnya, sebagai Penghulu Wanita Kaum Mu’minin yang kedudukannya sejajar dengan Aisyah, Mariam binti ‘Imran dan Khadijah al­Kubra seperti yang tertera dalam hadis shahih Bukhari dan Muslim. Dan Rasul saw, memuliakan Fathimah dengan kemuliaan yang besar lebih besar dari yang disangka orang dan lebih besar dari pemuliaan yang lazim diberikan seorang ayah manapun kepada anaknya. Sampai melewati batas cinta ayah kepada anak. Dan Rasul Allah saw menyampaikannya terang-­terangan di kalangan khusus maupun umum, berulang-­ulang, bukan hanya sekali, dan di kalangan yang berbeda-­beda, bukan di satu kalangan saja bahwa Fathimah adalah penghulu kaum wanita sedunia’. Melalui hadis yang berasal dari Ali, Umar bin Khaththab, Hudzaifah Ibnu Yaman, Abu Said al­Khudri, Abu Hurairah dan lain­-lain Rasul bersabda: ‘Sesungguhnya, Fathimah adalah penghulu para wanita di surga, dan Hasan serta Husain adalah penghulu para remaja di surga. Namun ayah mereka berdua (Ali) lebih mulia dari mereka berdua’[8] Atau hadis yang diriwayatkan Aisyah sendiri bahwa Rasul telah bersabda: ‘Wahai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi penghulu para wanita sejagat atau penghulu wanita umat ini atau penghulu kaum mu’minat?’.[9] 

Rasul bersabda bahwa kedudukan Fathimah sama dengan kedudukan Mariam binti ‘Imran[10] , dan bila Fathimah lewat di tempat wuquf, para penyeru berteriak dari arah ‘arsy, ‘Hai penghuni tempat wuquf, turunkan pandanganmu karena Fathimah binti Muhammad akan lewat[11] Hadis ini merupakan hadis shahih dan bukan hadis lemah. 

Ali menikahi Fatimah setelah dinikahkan Allah SWT di langit dan disaksikan para malaikat.[12] 

Betapa sering Rasul Allah saw bersabda: ‘Barangsiapa menyakiti Fathimah, maka ia telah menyakitiku’, ‘Membencinya berarti membenciku’[13] , ‘Ia bagian dari diriku’, Meraguinya berarti meraguiku’[14] Dan semua pemuliaan dan penghormatan ini tentu menambah kebencian Aisyah yang tidak berusaha sungguh­sungguh untuk melihat konteks ini dengan kenabian Rasul saw. 

Berbeda misalnya dengan Ummu Salamah, juga istri Rasul, ummu’l­muminin, yang mencintai Fathimah, Ali, Hasan dan Husain bukan hanya sebagai anggota keluarga tetapi juga sebagai yang dimuliakan Allah dengan ayat thathhir.[15] 

Biasanya bila seorang istri merasa diperlakukan kurang baik oleh sesama wanita maka berita ini akan sampai kepada suami. Dan lumrah bila istri menceritakan ini pada suaminya di malam hari. Tetapi Aisyah tidak dapat melakukan ini, karena Fathimah adalah anak suaminya. Ia hanya bisa mengadu pada wanita­wanita Madinah dan tetangga yang bertamu ke rumahnya. Kemudian wanita­wanita ini akan menyampaikan berita kepada Fathimah, barangkali begitu pula sebaliknya. Dan yang jelas ia akan menyampaikannya kepada ayahnya, Abu Bakar. Dan sampailah kepada Abu Bakar semua yang terjadi. Kemampuan Aisyah untuk mempengaruhi orang sangatlah terkenal dan hal ini akan membekas pada diri Abu Bakar. Kemudian Rasul Allah saw melalui hadis yang demikian banyak, telah memuliakan dan mengkhususkan Ali dari sahabat­sahabat lain. Berita ini tentu menambah kepedihan Abu Bakar, karena Abu Bakar adalah ayah Aisyah. Pada kesempatan lain sering terlihat Aisyah duduk bersama Abu Bakar dan Thalhah sepupunya dan mendengar kata­kata mereka berdua. Yang jelas pembicaraan mereka mempengaruhinya sebagaimana mereka terpengaruh oleh Aisyah’. 

Kemudian ia melanjutkan: ‘Saya tidak mengatakan bahwa Ali bebas dari ulah Aisyah. Telah sering timbul ketegangan antara Aisyah dan Ali di zaman Rasul Allah saw’. Misalnya telah diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasul dan Ali sedang berbicara. Aisyah datang menyela antara keduanya dan berkata: ‘Kamu berdua berbicara terlalu lama!’. Rasul marah sekali. Dan tatkala terjadi peristiwa Ifk, menurut Aisyah, Ali mengusulkan Rasul Allah saw agar menceraikan Aisyah dan mengatakan bahwa Aisyah tidak lebih dari tali sebuah sandal. (Tapi banyak orang meragukan peristiwa Ifk yang diriwayatkan Aisyah ini. Dari mana misalnya orang mengetahui usul Ali kepada Rasul? Siapa yang membocorkannya?, pen.) 

Di pihak lain Fathimah melahirkan banyak anak lelaki dan perempuan, sedang Aisyah tidak melahirkan seorang anak pun. Sedangkan Rasul Allah saw menyebut kedua anak lelaki Fathimah, Hasan dan Husain sebagai anak­anaknya sendiri. Hal ini terbukti tatkala turun ayat mubahalah[16] 

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak­anak Kami dan anak­anak kamu, isteri­ isteri Kami dan isteri­isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang­orang yang dusta”. 

Bagaimana perasaan seorang istri, yang tidak dapat melihat bahwa suaminya adalah seorang Rasul Allah, bila suaminya memperlakukan cucu tirinya sebagai anaknya sedangkan ia sendiri tidak punya anak?. 

Kemudian Rasul menutup pintu yang biasa digunakan ayahnya ke masjid dan membuka pintu untuk Ali. Begitu pula tatkala Surat Bara’ah turun, Rasul Allah saw menyuruh Ali, yang disebutnya sebagai dari dirinya sendiri, untuk menyusul Abu Bakar dalam perjalanan haji pertama. Dan agar Ali sendiri membacakan surat Bara’ah atau Surat Taubah kepada jemaah dan kaum musyrikin di Mina. 

Kemudian Mariah, istri Rasul, melahirkan Ibrahim dan Ali menunjukkan kegembiraannya, hal ini tentu menyakitkan hati Aisyah. 

Yang jelas Ali sama sekali tidak ragu lagi, sebagaimana kebanyakan kaum Muhajirin dan Anshar, bahwa Ali akan jadi khalifah sesudah Rasul meninggal dan yakin tidak akan ada orang yang menentangnya. Tatkala pamannya Abbas berkata, kepadanya: “Ulurkan tanganmu, aku akan membaiatmu dan orang akan berkata Paman Rasul membaiat sepupu Rasul, dan tidak akan ada yang berselisih denganmu!”, Ali menjawab: ‘Wahai paman, apakah ada orang lain yang menginginkannya?’. Abbas menjawab: ‘Kau akan tahu nanti!’, Ali menjawab: ‘Sedang saya tidak menginginkan jabatan ini melalui pintu belakang. Saya ingin semua dilakukan secara terbuka’. Abbas lalu diam. 

Tatkala penyakit Rasul Allah saw semakin berat Rasul berseru agar mempercepat pasukan Usamah. Abu Bakar beserta tokoh­tokoh Muhajirin dan Anshar lainnya diikutkan Rasul dalam pasukan itu. Maka Ali ­yang tidak diikutkan Rasul dalam pasukan Usamah­ dengan sendirinya akan menduduki jabatan khalifah itu ­bila saat Rasul Allah saw tiba, ­ karena Madinah akan bebas dari orang­orang yang akan menentang Ali. Dan ia akan menerima jabatan itu secara mulus dan bersih. Maka akan lengkaplah pembaiatan, dan tidak akan ada lawan yang menentangnya. 

Itulah sebabnya Aisyah memanggil Abu Bakar dari pasukan Usamah yang sedang berkemah di Jurf ­pada pagi hari Senin, hari wafatnya Rasul dan bukan pada siang hari­ dan memberitahukannya bahwa Rasul Allah saw sedang sekarat; yamutu. 

Dan tentang mengimami shalat, Ali menyampaikan bahwa Aisyahlah yang memerintahkan Bilal, maula ayahnya, untuk memanggil ayahnya mengimami shalat, karena Rasul saw sebagaimana diriwayatkan telah bersabda: ‘Agar orang­orang shalat sendiri­sendiri’, dan Rasul tidak menunjuk seseorang untuk mengimami shalat. Shalat itu adalah shalat subuh. Karena ulah Aisyah itu maka Rasul memerlukan keluar, pada akhir hayatnya, dituntun oleh Ali dan Fadhl bin Abbas sampai ia berdiri di mihrab seperti diriwayatkan...’. 

Setelah Abu Bakar dibaiat, Fathimah datang menuntut Fadak milik pribadi ayahnya tetapi Abu Bakar menolaknya dan mengatakan bahwa Nabi tidak mewariskan. Aisyah membantu ayahnya dengan membenarkan hadis tunggal yang disampaikan ayahnya bahwa ‘Nabi tidak mewariskan dan apa yang ia tinggalkan adalah sedekah’. 

Kemudian Fathimah meninggal dunia dan semua wanita melayat ke rumah Banu Hasyim kecuali Aisyah. Ia tidak datang dan menyatakan bahwa ia sakit. Dan sampai berita kepada Ali bahwa Aisyah menunjukkan kegembiraan. Kemudian Ali membaiat Abu Bakar dan Aisyah gembira. Sampai tiba berita Utsman dibunuh dan Aisyah orang yang paling getol menyuruh bunuh Utsman dengan mengatakan Utsman telah kafir. Mendengar demikian ia berseru: ‘Mampuslah ia!’ Dan ia mengharap Thalhah akan jadi khalifah. Setelah mengetahui Ali telah dibaiat dan bukan Thalhah, ia berteriak: Utsman telah dibunuh secara kejam dan menuduh Ali sebagai pembunuh dan meletuslah perang Jamal’.[17] 

Demikian penjelasan Ibn Abil­Hadid. 


Terror Terhadap Kaum Syi’i

Mu’awiyah, yang juga seorang sahabat dan ipar Rasul Allah saw, disebut sebagai fi’ah al­baghiah atau kelompok pemberontak oleh Sunni maupun Syi’i, karena ia memerangi Imam Ali yang telah dibaiat secara syah oleh kaum Anshar dan Muhajirin. Hanya sekitar enam orang yang tidak membaiat Ali tetapi Ali membiarkan mereka. Di antara yang tidak membaiat Ali bin Abi Thalib adalah Abdullah bin Umar dan Sad bin Abi Waqqash. 

Mu’awiyah memberontak terhadap Ali. Sejak Utsman meninggal tahun 35H/656 M. Mu’awiyah melakukan tiga cara untuk melawan Ali bin Abi Thalib: 

1. Melakukan pembersihan etnik terhadap Syi’ah Ali dengan melakukan jenayah ke wilayah Ali. Pembunuhan terhadap Syi’ah Ali dilakukan terhadap lelaki maupun anak­anak. Perempuan dijadikan budak. Menyuruh seseorang melaknat Ali, dan bila ia menolak langsung dibunuh. 

2. Melaknat Ali dalam khotbah­khotbah Jum’at, Idul­Fithri dan Idul­Adha diseluruh negara. Juga pada musim haji di Makkah. 

3. Membuat hadis­hadis palsu untuk menurunkan martabat Ali serendah­rendahnya dan membesarkan dirinya serta ketiga khalifah awal. 


Membunuh, Sembelih Bayi, Perbudak Muslimah

Tatkala khalifah Ali masih hidup, Mu’awiyah mengirim ‘malikil maut’ yang bernama Busr bin Arthat dengan 4.000 anggota pasukan berkeliling ke seluruh negeri untuk membunuh siapa saja pengikut dan sahabat Ali yang ia temui termasuk perempuan dan anak­anak kemudian merampas harta bendanya. Perempuan Muslimah ditawan dan dijadikan budak untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Busr melakukannya dengan baik sepanjang perjalannnya sampai ia tiba di Madinah dan ia telah membunuh ribuan Syi’ah Ali yang tidak bersalah. Abu Ayyub al­Anshari ­ rumahnya ditempati Rasul Allah saw tatkala baru sampai di Madinah ketika hijrah­ pejabat gubernur Ali di Madinah, melarikan diri ke tempat Ali di Kufah. Kemudian Busr ke Makkah dan membunuh sejumlah keluarga Abi Lahab. Abu Musa, gubernur Ali juga melarikan diri. Ia lalu ke Sarat dan membunuh semua yang turut Ali di perang Shiffin, sampai di Najran ia membunuh Abdullah bin ‘Abdul Madan al­Harai dan anaknya, ipar keluarga Banu Abbas yang ditunjuk Ali sebagai gubernur. Kemudian ia sampai di Yaman. Pejabat di sana adalah Ubaidillah bin Abbas. Ubaidillah melarikan diri tatkala mengetahui kedatangan Busr. Busr menemukan kedua anaknya yang masih balita. Ia lalu menyembelih dengan tangannya sendiri kedua anak itu di hadapan ibunya. Kekejamannya sukar dilukiskan dengan kata­kata dan memerlukan buku tersendiri. Seorang dari Banu Kinanah berteriak tatkala Busr hendak membunuh kedua anak tersebut: 

‘Jangan bunuh mereka! Keduanya adalah anak­anak yang tidak herdosa dan bila Anda hendak membunuhnya, bunuhlah saya bersama mereka’. Maka Busr bin Arthat membunuhnya kemudian menyembelih kedua anak yang berada di tangan ibunya, yaitu Qatsm dan Abdurrahman. Sang ibu, Juwairiah binti Khalid bin Qarizh al­Kinaniah, istri Ubaidillah bin Abbas jadi linglung dan gila. Di musim haji ia berkeliling mencari kedua anaknya dan dengan menyayat hati ia bertanya tentang anaknya yang kemudian ditulis oleh penulis­penulis sejarah seperti yang tertulis dalam al­Kamil berikut. 

Siapa yang tahu di mana kedua anakku, 

Dua mutiara, baru lepas dari kerang, 

Sapa yang tahu di mana kedua bocahku, 

Kuping dan jantung­hatiku telah diculik orang, 

Siapa yang tahu di mana kedua puteraku, 

Sumsum tulang dan otakku disedot orang, 

Kudengar Busr, aku tidak percaya apa orang bilang, 

Berita itu bohong, mana mungkin ia lakukan, 

Menyembelih dua bocah, leher kecil ia potong? 

Aku bingung, tunjukkan kepadaku, sayang, 

Mana bayiku, tersesat setelah salaf hilang, 

Ia juga mengirim Sufyan bin ‘Auf al­Ghamidi dengan 6.000 prajurit menyerbu Hit[18] , al­Anbar dan al­Mada’in. Disini mereka membunuh pejabat Ali Hassan bin Hassan al­Bakri dan orang­ orangnya. Kemudian di Anbar mereka membunuh 30 dari seratus orang yang mempertahankan kota ini, mengambil semua barang yang ada, membumi­hanguskan kota al­Anbar sehingga kota itu hampir lenyap. Orang mengatakan bahwa pembumi hangusan ini sama dengan pembunuhan, karena, hati korban sangat pedih sekali. Kepedihan Ali tidak terlukiskan sehingga ia tidak dapat membaca khotbahnya dan menyuruh maulanya yang bernama Sa’d untuk membacakannya. Al­ Aghani melukiskan bahwa setelah Ghamidi sampai di kota Anbar ia membunuh pejabat Ali dan juga membunuhi kaum lelaki maupun perempuan. 

Mu’awiyah juga mengirim Dhuhhak bin Qays al­Fihfi dengan pasukan yang terdiri dari 4.000 orang ke kota Kufah untuk membuat kekacauan dengan membunuh siapa saja yang ditemui sampai ke Tsa’labiah dan menyerang kafilah haji yang akan menunaikan haji ke Makkah serta merampok semua bawaan mereka. Kemudian ia menyerang al­Qutqutanah dan turut dibunuh kemanakan Ibnu Mas’ud, sahabat Rasul, ‘Amr bin ‘Uwais bin Mas’ud bersama pengikutnya. Fitnah di mana­mana. Di mana­mana bumi disiram dengan darah orang yang tidak berdosa. Pembersihan etnik terhadap Syi’ah Ali berjalan dengan terencana dan mengenaskan. 

Kemudian Mu’awiyah mengirim Nu’man bin Basyir[19] pada tahun 39 H/659 M. menyerang ‘Ain at­ Tarm[20] dengan 1.000 prajurit dan menimbulkan bencana. Di sana hanya ada seratus prajurit Ali. Perkelahian dahsyat terjadi. Untung, kebetulan ada sekitar 50 orang dari desa tetangga lewat. Pasukan Nu’man mengira bantuan datang untuk menyerang dan mereka pergi. 


Meracuni Hasan, Cucu Nabi Berkali­-kali

Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam dengan pedang pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H/24 Januari 661 M, Hasan bin Ali dibaiat dan pertempuran­pertempuran dengan Mu’awiyah berlanjut. Pada pertengahan Jumadil Awal tahun 41 H/I 6 September 661 M. tercapai persetujuan damai antara Hasan bin Ali dan Mu’awiyah. Surat perdamaian berbunyi sebagai berikut: 

Bismillahirrahmanirrahim. 

Ini adalah pernyataan damai dari Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwa Hasan menyerahkan kepada Mu’awiyah wilayah Muslimin, dan Mu’awiyah akan menjalankan Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul Allah saw dan tatacara Khulafa ur­ Rasyidin yang tertuntun, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalifah sesudahnya, tetapi akan diadakan lembaga syura di antara kaum Muslimin dan bahwa masyarakat akan berada dalam keadaan aman di daerah Allah SWT di Syam, Iraq, Hijaz dan Yaman, dan bahwa sahabat­sahabat Ali dan Syi’ah­nya terpelihara dalam keadaan aman, bagi diri, harta, para wanita dan anak­anak mereka, dan bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan setuju dan berjanji dengan nama Allah bahwa Mu’awiyah tidak akan mengganggu atau menganiaya secara tersembunyi atau terbuka terhadap Hasan bin Ali atau saudaranya Husain bin Ali atau salah seorang ahlu’l­bait Rasul Allah saw dan tidak akan mengganggu mereka yang berada di seluruh penjuru dan bahwa Mu’awiyah akan menghentikan pelaknatan terhadap Ali… [21] 

Dan sebagaimana biasa Mu’awiyah melanggar janji. Ia meracuni Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan setelah Hasan meninggal ia bersujud yang diikuti semua yang hadir seperti dilakukannya tatkala imam Ali meninggal dunia. 

Ibnu Sa’d menceritakan: Mu’awiyah meracuni Hasan berulang­ulang’. Waqidi berkata: Mu’awiyah meminumkan racun kepada Hasan, kemudian ia selamat, kemudian diminumkan racun lagi dan selamat, kemudian yang terakhir Hasan meninggal. Tatkala maut mendekat, dokter (thabib) yang menjenguknya berulang­ulang mengatakan bahwa Hasan diracun orang.’ Adiknya Husain berkata: ‘Ya ayah Muhammad, beritahukan saya, siapa yang meminumkan racun kepadamu?’. Hasan menjawab: ‘Mengapa, wahai saudaraku?’. Husain: ‘Demi Allah, aku akan membunuhnya sebelum engkau dimakamkan. Dan bila aku tidak berhasil, akan aku meminta orang mencarinya’. Hasan berkata: ‘Wahai saudaraku, sesungguhnya dunia ini adalah malam­malam yang fana. Doakan dia, agar dia dan aku bertemu di sisi Allah, dan aku melarang meracuninya’.[22] 

Mas’udi mengatakan: ‘Tatkala ia diberi minum racun, ia bangun menjenguk beberapa orang kemudian, setelah sampai di rumah, ia berkata: ‘Aku telah diracuni, berkali­kali tetapi belum pernah aku diberi minum seperti ini, aku sudah keluarkan racun itu sebagian, tetapi kemudian kembali biasa lagi’. Husain berkata: ‘Wahai saudaraku, siapa yang meracunimu?’. Hasan menjawab: ‘Dan apa yang hendak kau lakukan dengannya? Bila yang kuduga benar, maka Allahlah yang melakukan hisab terhadapnya. Bila bukan dia, aku tidak menghendaki orang membebaskan diriku.’ Dan dia berada dalam keadaan demikian sampai 3 hari sebelum ia ra akhirnya meninggal. Dan yang meminumkan racun kepadanya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al­Kindi, dan Mu’awiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia akan dapat 100.000 dirham dan ‘aku akan mengawinkan kau dengan Yazid’. Dialah yang mengirim racun kepada Ja’dah, istri Hasan. Dan tatkala Hasan meninggal, ia mengirim uang tersebut dengan surat: ‘Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazid, kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau dengannya’.[23] 

Abu’l­Faraj al­Ishfahani menulis: ‘Hasan telah mengajukan syarat perdamaian kepada Mu’awiyah: Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalifah sesudahnya. Dan bila Mu’awiyah akan mengangkat Yazid, anaknya, jadi khalifah, maka yang memberatkannya adalah Hasan bin Ali dan Sa’d bin Abi Waqqash[24] , maka Mu’awiyah meracuni mereka berdua dan mereka meninggal. Ia mengirim racun kepada putri Asy’ats bin Qais: ‘Aku akan kawinkan kau dengan anakku Yazid, bila kau racuni Hasan’, dan ia mengirim 100.000 dirham dan ia tidak mengawinkannya dengan Yazid.[25] 

Abul Hasan at­Mada’ini berkata: ‘Hasan meninggal tahun 49 H/669 M setelah sakit selama 40 hari pada umur 47 tahun. Ia diracuni Mu’awiyah melalui tangan Ja’dah binti Asy’ats, istri Hasan dengan kata­kata: ‘Bila engkau membunuhnya dengan racun, maka engkau dapat 100.000 dan akan aku kawinkan kau dengan Yazid, anakku’. Dan tatkala Hasan meninggal, maka ia memberikan uang tersebut dan tidak mengawinkannya dengan Yazid. Ia berkata: ‘Aku takut kau akan lakukan terhadap anakku seperti yang engkau lakukan terhadap anak Rasul Allah saw’.[26] Hushain bin Mundzir ar­Raqasyi berkata: ‘Demi Allah Mu’awiyah tidak memenuhi sama sekali janjinya, ia membunuh Hujur dan teman­temannya, membaiat anaknya Yazid dan meracuni Hasan.’[27] 

Abu Umar berkata dalam al­Isti’ab: ‘Qatadah dan Anu Bakar bin Hafshah berkata: Mu’awiyah meracuni Hasan bin Ali, melalui istri Hasan, yaitu putri Asy’ats bin Qais al­Kindi’. Sebagian orang berkata: Mu’awiyah memaksanya, dan tidak memberinya apa­apa, hanya Allah yang tahu!’. Kemudian ia menyebut sumbernya, yaitu Mas’udi.’[28] 

Ibnu al­Jauzi mengatakan dalam ‘at­Tadzkirah Khawashsh’l­Ummah’: ‘Para ahli sejarah di antaranya ‘Abdul Barr meriwayatkan bahwa ia diracuni istrinya Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al­ Kindi. 

As­Sudi berkata: Yang memerintahkannya adalah Yazid bin Mu’awiyah agar meracuni Hasan dan bahwa ia berjanji akan mengawininya. Dan tatkala Hasan meninggal, Ja’dah mengirim surat kepada Yazid menagih janjinya. Dan Yazid berkata: ‘Hasan saja kamu bunuh, apalagi aku, demi Allah, aku tidak rela’. Asy­Sya’bi mengatakan: ‘Sesungguhnya yang melakukan tipu muslihat adalah Mu’awiyah. Ia berkata kepada istri Hasan: ‘Racunilah Hasan, maka akan aku kawinkan engkau dengan Yazid dan memberimu 100.000 dirham. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menuntut janjinya. Mu’awiyah lalu mengiriminya uang tersebut dan menambahkan: ‘Sesungguhnya aku mencintai Yazid, dan mengharapkan agar ia tetap hidup, kalau tidak demikian tentu aku akan kawinkan engkau dengannya’. 

Sya’bi berkata lagi: ‘Dan ini benar dengan berdasarkan saksi yang dapat dipercaya: ‘Sesungguhnya Hasan berkata tatkala akan mati dan telah sampai kepadanya apa yang dilakukan Mu’awiyah: ‘Aku telah tahu minumannya dan kebohongannya, demi Allah ia tidak memenuhi janjinya, dia tidak jujur dalam perkataannya’. Kemudian Sya’bi mengutip ath­Thabaqat dari Ibnu Sa’d: “Mu’awiyah meracuninya berulang ulang”.[29] 

Ibnu’Asakir berkata: ‘Ia diberi minum racun, berulang­ulang, banyak, mula­mula ia bisa pulih, lalu diberi minum lagi dan ia tidak bisa pulih dan dikatakan: Sesungguhnya Mu’awiyah telah memperlakukan dengan ramah seorang pembantunya agar meracuninya dan ia lalu melakukannya dan berpengaruh sedikit demi sedikit, sampai ia memakai alat untuk bisa duduk dan ia bertahan sampai 40 kali. Muhammad bin at­Mirzuban meriwayatkan: ‘Ja’dah binti Asy’ats bin Qais adalah istri Hasan dan Yazid melakukan tipu muslihat agar ia mau meracuni Hasan. ‘Dan saya akan mengawininya, dan Ja’dah melakukannya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menanyakan janji Yazid dan Yazid berkata: ‘Sesungguhnya, demi Allah, kalau Hasan saja kamu bunuh, apalagi kami’.[30] 

Hasan bin Ali sakit yang berakhir dengan kematiannya. Ia diracun istrinya, atas suruhan Mu’awiyah dengan bayaran 100.000 dinar. Ia lalu memerintahkan Marwan bin Hakam yang diangkatnya jadi gubernur Madinah untuk terus mengamati Hasan dan menyuratinya. Tatkala datang berita bahwa Hasan telah meninggal seluruh penduduk Syam bertakbir. Seorang wanita, Fakhitab binti Quraidhah bertanya kepada Mu’awiyah: ‘Apakah kamu bertakbir bagi matinya putri Fathimah?. ‘Ya aku bertakbir karena hatiku gembira’[31] Ia sangat gembira dan bahagia dan bersujud, dan semua yang hadir ikut bersujud.[32] 

Ia juga terkenal karena membunuh sahabat Rasul Allah saw Hujur bin ‘Adi dan kawan­kawannya pada tahun 51 H/671 M karena tidak mau melaknat Ali. 


Membunuh Muhammad bin Abu Bakar, Mempermainkan Jenazah

Mu’awiyah membunuh Muhammad bin Abu Bakar, anak khalifah Abu Bakar. Mula­mula ia disiksa, tidak diberi minum, kemudian dimasukkan ke dalam perut keledai dan dibakar. 


Untuk pertama kali dalam sejarah Islam, penguasa mempermainkan jenazah yang mereka bunuh. Dan jenazah ini adalah jenazah kaum Muslimin. 


Penguasa memenggal kepala mereka setelah diikat kedua tangan ke belakang, menyayat­nyayat mayat, mengarak kepala­kepala mereka berkeliling kota, membawanya dari kota ke kota dan akhirnya dikirim ke ‘khalifah’ di Damaskus dengan menempuh jarak beratus­ratus kilometer. 


Cukup dengan sedikit curiga bahwa seorang itu Syi’ah, maka mereka akan memotong tangan, kaki atau lidah mereka. Bila ada yang menyebut mencintai anak cucu Rasul saja maka ia akan dipenjarakan atau hartanya dirampas, rumah dimusnahkan. Bencana makin bertambah dan makin menyayat hati. Sampai gubernur Ubaidillah bin Ziyad membunuh Husain kemudian gubernur Hajjaj bin Yusuf yang membunuh mereka seperti membunuh semut. Ia lebih senang mendengar seorang mengaku dirinya zindiq atau kafir dari mendengar orang mengaku dirinya Syi’ah Ali. 


Abu al­Husain Ali bin Muhammad bin Abi Saif al­Madani dalam kitabnya al­Ahdats, berkata: Mu’awiyah menulis sebuah surat kepada semua gubernurnya setelah tahun perjanjian dengan Hasan agar mereka mengucilkan orang yang memuliakan Ali dan keluarganya. Pidatokan dan khotbahkan di tiap desa dan di tiap mimbar pelaknatan Ali dan kucilkan dia dan keluarganya. Dan alangkah besar bencana yang menimpa Syi’ah Ali di Kufah. Diangkatlah Ziyad bin Sumayyah menjadi gubernur Kufah. Ia lalu memburu kaum Syi’ah. Ia sangat mengenal kaum Syi’ah karena ia pernah jadi pengikut Ali. Dan ia lalu memburu dan membunuh mereka di mana pun mereka berada, tahta kulli hajar wa madar membuat mereka ketakutan, memotong tangan dan kaki mereka, menyungkil bola mata mereka; samala al ‘uyun, dan menyalib mereka di batang­batang pohon korma. Ia memburu dan mengusir mereka ke luar dari ‘Irak dan tiada seorang pun yang mereka kenal, luput dari perburuan ini.[33] 


Di samping itu istri dan putri­putri Syi’ah dijadikan budak dan untuk pertama kali dilakukan Mu’awiyah dengan Busr bin Arthat pada akhir tahun 39 H/660 M. Mereka memaksa kaum Syi’ah membaiat khalifah yang sebenarnya adalah raja yang lalim. Setelah membaiat, biasanya mereka belum merasa puas, sehingga mereka merasa perlu membumi hanguskan desa mereka seperti diriwayatkan Bukhari dalam tarikhnya. 


Mu’awiyah melalui jenderalnya Busr bin Arthat tersebut membakar rumah­rumah Zararah bin Khairun, Rifaqah bin Rafi, Abdullah bin Sa’d dari Banu ‘Abdul Asyhal, semua adalah para sahabat kaum Anshar. Celakanya Ziyad bin Abih, yang mula­mula berpihak kepada Ali bin Abi Thalib, menyeberang ke Mu’awiyah, karena pengakuan Abu Sufyan bahwa Ziyad yang lahir dari seorang budak perempuan asal Iran adalah anaknya. Mu’awiyah yang melihat Ziyad sebagai seorang yang berbakat, mengakuinya sebagai saudaranya. Ummu Habibah, istri Rasul Allah, saudara Mu’awiyah tidak pernah mau mengakui Ziyad sebagai saudaranya. 


Karena pernah bersama Ali maka Ziyad mengenal semua pengikut Ali dalam Perang Shiffin dan dengan mudah memburu dan membunuhi mereka. 


Orang pertama yang dipenggal kepalanya oleh Mu’awiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syi’ah Ali yang turut mengepung rumah Utsman dan dituduh membunuh Utsman dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke Mada’in bersama Rifa’ah bin Syaddad dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan gubernur Mosul Abdurrahman bin Abdullah bin Utsman mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’awiyah. Mu’awiyah menjawab seenaknya: “Ia membunuh Utsman dengan tusukan dengan goloknya (masyaqish) dan kita tidak akan bertindak lebih, tusuklah dia dengan sembilan tusukan”. Setelah ditusuk ­baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati­ kepalanya dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu’awiyah dan Mu’awiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Aminah binti al­Syarid yang sedang berada di penjara Mu’awiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium bibirnya berkata: 


Mereka hilangkan dia dariku amat lama, 

Mereka bunuh dan sisakan untukku kepalanya, 

Selamat datang, wahai hadiah, 

Selamat datang, wahai wajah tanpa roma.[34] 


Siapa yang Menikam Utsman?

Muawiyah mengatakan bahwa ‘Amr bin Hamaq membunuh Utsman? Tetapi penulis sejarah mengatakan bahwa orang yang membunuh Utsman tidaklah jelas. Walid bin ‘Uqbah, keluarga dan pejabat Utsman misalnya mengatakan bahwa yang menikam Utsman adalah Kinanah bin Basyir al­Tajibi: 

Bukankah orang terbaik setelah tiga, 

Dibunuh al­Tajibi yang datang dari Mesir? 

Al­Hakim mengatakan[35] yang berasal dari Kinanah al­’Adwi yang berkata: ‘Saya adalah salah seorang yang mengepung rumah Utsman. Aku bertanya: ‘Apakah Muhammad bin Abu Bakar yang membunuh Utsman?’. Ia menjawab: ‘Tidak, yang membunuhnya adalah Jabalah bin al­Aiham seorang lelaki Mesir’. Dan ada juga yang bilang pembunuhnya adalah Kabirah al­Sukuni. Ada juga yang mengatakan pembunuhnya adalah Kinanah bin Basyir al­Tajibi, atau mereka berserikat membunuhnya. Mudah­mudahan Allah melaknat mereka. Walid bin ‘Uqbah berkata: 

Wahai, manusia terbaik sesudah Nabi, 

Dibunuh al­Tajibi yang datang dari Mesir. 

Dalam Isti’ab[36] : ‘Orang pertama yang masuk ke rumah Utsman adalah Muhammad bin Abu Bakar dan ia memegang jenggot Utsman dan Utsman berkata: ‘Lepaslah wahai anak saudaraku, demi Allah ayahmu menghormatinya, Muhammad lalu pergi, kemudian masuk Ruman bin Sarhan yang membawa pisau yang mendatanginya dan berkata: ‘Agama apa yang Anda anuti wahai Natsal? Utsman menjawab: ‘Aku bukan Nat’sal telapi Utsman bin ‘Affan, dan aku menganut agama Ibrahim, hafif, Muslim dan bukan musyrik’, Ruman: ‘Bohong!’. Dan ia tikam ke pelipis kirinya, dan meninggallah Utsman. 

‘Dan diceritakan orang berselisih pendapat. Ada yang mengatakan Basyir yang membunuhnya seorang diri. Ada yang mengatakan Muhammad bin Abu Bakar membunuhnya dengan golok[37] , dan ada yang mengatakan Muhammad bin Abu Bakar membuka jalan dan orang lain yang membantunya. Ada yang mengatakan Sudan bin Hamran. Ada yang mengatakan Ruman al­ Yamami. Ada yang mengatakan Ruman dari Banu Asad bin Khuzaimah. Ada lagi yang bilang Muhammad bin Abu Bakar memegang jenggotnya sambil menggoyang­goyangkannya dan berkata: Mu’awiyah tidak akan menolong engkau, tidak Abi Sarh dan tidak juga Amr’. Utsman berkata: ‘Ya, anak saudaraku. Tolong lepas, Anda memegang janggutku yang dihormati ayahmu, dan ayahmu tidak akan suka sikapmu padaku sekarang ini’. Dikatakan pada waktu itu Muhammad bin Abu Bakar meninggalkannya dan pergi. Dan ada yang mengatakan ia memberi isyarat kepada teman yang ada bersamanya dan seorang di antaranya membacoknya dan Utsman meninggal. Hanya. Allah yang Mahatahu. 

Dan dalam Mustadrak yang diceritakan oleh Muhammad bin Thalhah: ‘Aku bertanya kepada seorang dari Banu Kinanah: ‘Apakah Muhammad bin Abu Bakar bertanggungjawab terhadap darah Utsman?’. Ia menjawab: ‘Aku berlindung kepada Allah. Ia masuk dan Utsman berkata: ‘Ya anak saudaraku, engkau bukan temanku’. Dan ia bicara dengan lemah lembut. Dan Muhammad bin Abu Bakar keluar dan ia tidak bertanggungjawab akan darah Utsman!’. Kemudian Muhammad bin Thalhah melanjutkan: ‘Aku bertanya. kepada orang dari Banu Kinanah itu: ‘Siapa yang membunuhnya?’ Ia menjawab: ‘Yang membunuhnya adalah orang Mesir yang dipanggil dengan nama Jablah bin al­Aiham. Kemudian ia berkeliling Madinah selama tiga hari dan berkata: ‘Akulah yang membunuh Na’tsal’. 

Muhibbudin Thabari melaporkan[38] dengan mengutip al­Istiab. Muhammad bin Abu Bakar keluar dari rumah dan masuk Ruman bin Sarhan yang lalu membunuh Utsman. Dikatakan bahwa pembunuhnya adalah Jablah bin al­Aiham. Ada yang mengatakan al­Aswad at­Tajibi. Ada lagi yang mengatakan: Yasar bin Ghalyadh’. 

Ibnu ‘Asakir menyebut peritiwa yang diceritakan Ibnu Katsir’[39] Seorang Kindah datang dari Mesir yang dipanggil Hamar, dengan kunyah[40] Abu Ruman. Qatadah menyebut namanya Ruman. Yang lain Azraq Asyqar. Yang lain menyebutnya Sudan bin Ruman al­Muradi. Ibnu Umar mengatakan nama pembunuh Utsman Aswad bin Hamran. Ia menikamnya dengan anak panah dan ia juga memegang pisau. 

Ibnu Katsir menceritakan[41] : ‘Apa yang disebut sebagian orang bahwa sebagian sahabat dapat menerima dan senang dengan terbunuhnya Utsman adalah tidak benar. Tiada seorang sahabat pun yang suka terbunuhnya Utsman ra, meskipun semuanya juga membenci sebab­sebab terjadinya pembunuhan, termasuk ‘Ammar bin Yasir, Muhammad bin Abu Bakar dan ‘Amr bin Hamaq dan lain­lain. 



Membunuh Husain ­ Cucu Rasul, Membunuh Muhajirin dan Anshar, Memperkosa Seribu Wanita, Gubernur Pembunuh 120.000 Orang

Di masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah, tahun 61 H/681 M pasukan yang dipimpin oleh Umar Sa’d bin Abi Waqqash yang berjumlah 4.000 orang telah membunuh Husain bin Ali bin Abi Thalib dan keluarga serta sahabat­sahabatnya yang berjumlah 72 orang. Mereka digiring ke daerah tandus Karbala dan dicegah mengambil air dari sungai Efrat untuk diminum. Sebelum dibunuh tenda mereka yang sedang kehausan itu dibakar. Mereka menginjak­injak tubuh Husain dengan kaki kuda sampai hancur. Semua kepala mereka di pancung dan diarak di kota Kufah. Wanita­wanita diarak sebagai tawanan, milik mereka termasuk pakaian dirampas. 

Yang mengherankan mereka membunuh keluarga Rasul Allah saw ini dengan bangga sambil bersenandung. 

Mas’udi melukiskan: Mereka membunuh dan membunuh sampai Husain terbunuh dan seorang lelaki dari suku Madzhaj memenggal kepalanya hingga lepas dari tubuh sambil berteriak gembira: 

Akulah pembunuh sang raja terselubung, 

Putera terbaik telah luluh, 

Turunan termulia telah kubunuh. 

Setelah diarak sekeliling kota, Ziyad, gubernur Kufah mengirim kepala Husain ke Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Bersama Yazid ada Abu Burdah al­Islami. Yazid meletakkan kepala itu di depannya dan memukul­mukul mulut kepala itu dengan tongkat sambil bersenandung: 

Pecah sudah bagian penting seorang tercinta, 

Bagi kami mereka adalah lalim dan pemecah, 

Abu Burdah lalu berkata: “Angkat tongkatmu. Demi Allah saya melihat Rasul Allah saw menciumi bibir itu!”[42] Ada orang mengatakan bahwa Yazid menyesali perbuatannya, tetapi ia tidak pernah menghukum, memecat bahkan tidak pernah mengecam Ibnu Ziyad, gubernur Kufah sebagai penanggungjawab pembunuhan terhadap cucu, buah mata Rasul Allah saw. 

Contoh lain, betapa ‘sifatjahiliah’ hampir melampaui keyakinan agama adalah apa yang dilakukan ‘Amr bin Said bin ‘Ash. 

‘Amr bin Said bin ‘Ash menjabat gubernur Madinah tatkala Husain dibunuh. Ziyad mengirim ‘Abdul Malik bin Abi Harits al­Sulami ke Madinah untuk mengabarkan berita kematian itu kepada ‘Amr bin Said. Salmi masuk dan ‘Amr bertanya: ‘Ada berita apa?’. Salmi: ‘Alangkah bahagianya wahai Pemimpin, Husain bin Ali bin Abu Thalib telah dibunuh’. ‘Amr: ‘Sebarkan berita kematiannya!’. Dan aku menyebarkan berita kematiannya dan demi Allah aku belum pernah mendengar tangisan memilukan seperti tangisan kaum wanita Banu Hasyim mendengar kematian Husain. Dan ‘Amr berkata sambil tertawa: 

Bersoraklah hai Wanita Banu Ziyad, 

Bak sorakan wanita kami setelah perang Arnab. 

Tangisan ini seperti tangisan untuk Utsman. Ia lalu naik mimbar dan memberi tahu jemaah akan kematian Husain. Kemudian ia menunjuk ke kubur Nabi dan berkata: “Ya Muhammad. Sebuah pembalasan untuk Perang Badr”. Dan orang­orang Anshar mengingkarinya. 

Ia juga memanggil Abu Rafi’, maula Rasul Allah: ‘Maula siapa engkau?’ Abu Rafi’: ‘Saya maula Rasul Allah saw!’. Dan ia lalu memecutnya seratus kali. ‘Amr pergi. Setelah itu ia panggif lagi Abu Rafi: ‘Maula siapa engkau?’ 

Abu Rafi’: ‘Mauld Rasul Allah!’ Ia lalu dipecut seratus kali, dan pergi. Ia mengulanginya lagi sampai 500 kali cambukan. Akhirnya karena takut mati Abu Rafi’ berkata: ‘Aku maula paduka!”[43] 

Hal serupa juga terjadi sebelum ini, yaitu pada Perang Shiffin, dua orang yang membawa kepala ‘Ammar bin Yasir kepada Mu’awiyah, bertengkar, masing­masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala ‘Ammar yang oleh Rasul dikatakan bahwa pembunuh ‘Ammar adalah komplotan pemberontak. 

Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al­Ma’arif bahwa yang mengaku membunuh ‘Ammar yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abu al­Ghadiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh ‘Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala ‘Ammar dan memenggal kepalanya. Kepala ‘Ammar telah berubah rupa”.[44] 

Abu Umar menceriterakan ‘Ammar dibunuh oleh Abu al­Ghadiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz as­Saksaki.[45] 

Yang lain lagi terjadi tahun 63 H/683 M, pasukan Yazid yang dipimpin Muslim bin ‘Uqbah menyerbu kota Madinah dengan 12.000 anggota pasukan, yang terkenal dengan perang Harrah. Yazid menyerbu dari arah Timur Madinah, yang disebut Harrah Syarqiyah, agar orang Madinah silau oleh sinar matahari. Ia lalu membunuh 7.000 tokoh dan 10.000 rakyat jelata, di antaranya 80 sahabat pengikut Perang Badr, 1.000 orang Anshar dan 800 kaum Quraisy. Ia membolehkan pasukannya menjarah dan merampok kota Madinah selama 3 hari dan menurut Ibnu Katsir ada seribu gadis yang hamil akibat perkosaan pada masa itu. 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah berhati mulia, yang memerintah dua setengah tahun dari 92 tahun pemerintahan dinasti Umayyah, mengatakan: ‘Bila ada pertandingan kekejaman pemimpin, maka kita kaum Muslimin pasti akan jadi juara bila kita kirim Hajjaj bin Yusuf ‘. 

Seperti dicatat oleh Tirmidzi, Ibnu ‘Asakir, dalam 20 tahun sebagai gubernur ‘khalifah’ Abdul Malik bin Marwan di Iraq ia telah membunuh 120.000 Muslim dengan berdarah dingin; shabran[46] , dan ditemukan dalam penjaranya 80.000 orang dan di antaranya 30.000 wanita yang dihukum tanpa diadili dan banyak yang sudah membusuk. Ia menembaki ka’bah dengan katapel (alat pelempar batu, manjaniq) pada musim haji dalam memerangi Ibnu Zubair. Ia melakukan tindakan kejam yang sukar dilukiskan, terutama terhadap pengikut­pengikut Imam Ali dan memerlukan buku tersendiri untuk menulis riwayat Hajjaj bin Yusuf. Ketika ‘Abdul Malik akan meninggal ia berpesan agar berlaku baik terhadap Hajjaj bin Yusuf, ‘karena dia telah mengalahkan musuh­ musuhmu’.[47] 

Ia tidak segan menghina sahabat yang sudah meninggal sekalipun: ‘A’masy menceritakan: ‘Demi Allah, aku mendengar Hajaj bin Yusuf berkata: ‘Mengherankan Abu Hudzail (maksudnya Abdullah bin Mas’ud). Ia mengatakan ia membaca Al­Qur’an, demi Allah ia hanya kotoran dari kotoran­ kotoran orang Badwi. Demi Allah bila aku bisa menemuinya, akan aku tebas lehernya’.[48] Di bagian lain, ia berkhotbah: ‘Demi Allah, bertakwalah kepada Allah sesanggupmu, tidak ada itu hari Pembalasan. Dengar dan patuhlah kepada Amiru’l­mu’minin ‘Abdul Malik karena ia dapat membalas. Demi Allah bila aku suruh kamu keluar melalui pintu itu dan kamu keluar dari pintu lain, aku akan ambil darah dan hartamu.[49] 

Hafizh Ibnu ‘Asakir berkata: ‘Hajjaj berkhotbah di Kufah dan setelah menyebut orang­orang yang berziarah ke kubur Nabi saw di Madinah, ia berkata: ‘mengapa mereka tidak mengunjungi dan bertawaf di istana Amiru’l mu’minin’ ‘Abdul Malik, apakah mereka tidak tahu bahwa khalifah ‘Abdul Malik adalah orang yang lebih baik dari Rasulnya”.[50] 

Al­Hafizh Ibnu ‘Asakir mengatakan: ‘Suatu ketika ada dua orang berbeda pendapat tentang Hajjaj. Seorang mengatakan Hajjaj kafir, dan yang lain mengatakan ia mu’min yang tersesat. Mereka lalu menanyakan pada asy­Syu’bah yang berkata kepada keduanya: ‘Sesungguhnya ia Mu’min di jubahnya tetapi ia sebenarnya adalah thaghut dan kafir sekafir­kafirnya’. Tatkala Washil bin ‘Abdul A’la bertanya kepadanya tentang Hajjaj bin Yusuf ia menjawab: ‘Anda menanyaiku tentang si kafir itu?’ 

Di zaman itu, memenggal kepala seorang muslim oleh penguasa dianggap sebaga permainan anak­anak. Menyayat dan menginjak­injak jenazah Muslim adalah perbuatan sehari­hari. Rata­ rata Hajjaj bin Yusuf selama 20 tahun jadi gubernur Iraq membunuh 7 orang sehari secara berdarah dingin. 

Di zaman itu, lebih baik orang mengaku zindiq atau kafir daripada mengaku Syi’ah. Dan orang­ orang Syi’ah yang terancam nyawanya melakukan taqiyah. 

Di zaman Banu Abbas kekejaman terhadap Syi’ah lebih parah. Orang­orang Syi’ah ingin kembali di zaman Bani ‘Umayyah. 
Melaknat Ali Dalam Khotbah


Mu’awiyah memanfaatkan masjid untuk membentuk opini masyarakat. Dalam khotbah Jum’atnya ia selalu berdoa: ‘Allahumma, ya Allah. Sesungguhnya Abu Turab (Ali bin Abi Thalib) menghalang­ halangi perkembangan agama­Mu, menyimpang dari jalan­Mu, maka laknati dia dengan laknat yang sebesar­besarnya dan siksalah dia dengan siksa yang seberat­beratnya!”[51] . Tatkala ia melaknat Ali dalam khotbahnya di masjid Madinah, ummu’l­mu’minin Ummu Salamah menyurati Mu’awiyah: ‘Sesungguhnya kamu telah melaknat Allah dan Rasul­Nya di atas mimbar­mimbarmu dan kamu melaknat Ali bin Abi Thalib dan yang mencintainya. Aku bersaksi bahwa Allah dan Rasul­Nya mencintainya’. Tetapi Mu’awiyah tidak peduli dengan kata­kata istri Rasul Ummu Salamah tersebut.[52] 

Az­Zamakhsyari dalam Rabi’al­Abrar dan Suyuthi menceritakan: ‘Di zaman Banu ‘Umayyah lebih dari 70.000 mimbar digunakan melaknat Ali bin Abi Tholib’. Mimbar­mimbar ini menyebar di seluruh wilayah dari ufuk Timur ke ufuk Barat. Al­Hamawi berkata: ‘Ali bin Abi Thalib dilaknat di atas mimbar­mimbar masjid dari Timur sampai ke Barat kecuali masjid jami’ di Sijistan”[53] . Di masjid ini hanya sekali terjadi khatib melaknat Ali. Tetapi pelaknatan di mimbar haramain, Makkah dan Madinah, berjalan terus’.[54] 

Mu’awiyah juga memerintahkan untuk memakzulkan Ali (bara’ah) dan menuduhnya sebagai pembunuh Utsman. Ia melanggar perjanjian dengan Hasan bin Ali tahun 41 H/661 M untuk tidak membunuh Syi’ah Ali dan tidak melaknat Ali di masjid. 

Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abi Saif al­Madani dalam kitabnya al­Ahdats menggambarkannya untuk kita: Mu’awiyah menulis dan mengirim satu naskah kepada gubernur­ gubernurnya, sesudah ‘Tahun Persatuan’ (Am al­Jama’ah), agar memakzulkan siapa saja yang meriwayatkan Hadis yang mengutamakan Ali dan keluarganya (ahlu’l­bait). Dirikanlah khotbah­ khotbah di seluruh desa dan di atas setiap mimbar yang melaknat Ali dan memakzulkannya ‘(yabra’fin minhu)’ kecilkan dia dan keluarganya. Dan bila kamu telah menerima surat ini maka ajaklah manusia untuk mendengar riwayat keutamaan sahabat, dan khalifah­khalifah awal, yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman serta kabarkan kepadaku segera bila ada seorang saja yang meriwayatkan Abu Turab (Ali, pen.) yang berarti menentang sahabat. Hal ini akan menyenangkan hati saya dan menyejukkan mata saya. Dan lumpuhkan hujjah, argumen, Abu Turab dan Syi’ahnya, dan kuatkan puji­pujian keutamaan Utsman’.[55] 

Waktu orang mengingatkan Mu’awiyah agar memperlunak pelaknatan ‘terhadap lelaki itu’, Mu’awiyah menjawab: ‘Tidak demi Allah, kita teruskan sampai anak­anak menjadi tua dan orang tua menjadi renta. Jangan memberikan keutamaan kepadanya’. 

Khalifah Walid bin’Abdul Malik mengajarkan khotbah berikut untuk melaknat Ali: ‘Mudah­ mudahan Allah melaknatinya, dengan jerat, pencuri anak pencuri’ (lish ibnu lish). Orang­orang heran, seorang khalifah bisa mengeluarkan kata­kata dalam bahasa Arab yang buruk seperti itu terhadap Ali. 

Bunyi pelaknatan sering berubah­ubah. Khalid bin Abdullah al­Qasri, yang diangkat sebagai gubernur Makkah dalam khotbahnya menyebut: ‘Allahumma ya Allah, laknatilah Ali bin Abi Thalib bin Hasyim, menantu Rasul Allah saw, ayah Hasan dan Husain’. 


Mughirah bin Syu’bah Melaknat Ali

Mughirah bin Syu’bah yang jadi gubernur di Kufah menyuruh jemaah masjid mengutuk Ali dengan kata­kata: ‘Wahai manusia, pemimpinmu menyuruh kepadaku untuk melaknat Ali, maka kamu laknatilah dia’. jemaah berteriak ‘Mudah­mudahan Allah melaknati dia!’. Tetapi dalam hati, yang mereka maksudkan dengan ‘dia’ adalah Mughirah. Pelaknatan Mughirah terhadap Imam Ali dilakukan terus menerus. Sekali ia mengatakan dalam khotbahnya: ‘Sesungguhnya Rasul Allah saw tidak menikahkan putrinya dengan Ali karena Rasul menyukai Ali, tetapi untuk memperbaiki hubungannya dengan keluarga Abu Thalib’. Pada suatu ketika ia ditegur sahabat Zaid bin Arqam: ‘Hai Mughirah, apakah engkau tidak tahu bahwa Rasul saw melarang mencerca orang yang sudah mati? Tidakkah engkau melaknat Ali dan ia sudah meninggal?[56]



Umar Selamatkan Mughirah, Mughirah Berzina, Empat Sahabat Jadi Saksi


Mughirah bin Syu’bah ini pun turut bersama Abu Bakar dan Umar dalam peristiwa Saqifah dan oleh Umar ia diangkat sebagai gubernur. Ia punya riwayat yang menarik dan ditulis serta dibahas oleh para ahli fiqih karena terbebasnya ia dari peristiwa rajam karena perzinaan pada masa kekhalifahan Umar. Empat orang yang menyaksikan perbuatannya dan semuanya adalah sahabat Rasul Allah saw. Riwayat masuk Islamnya diceritakannya sendiri sebagaimana dimuat oleh Abu’l­ Faraj Ali ibnu Husain al­Ishfahani dalam kitabnya al­Aghani[57] Ia berkata: ‘Aku pergi bersama kaum Banu Malik ­dan kami berada dalam agama ‘jahiliah’­­ ke al­Maququs, raja Mesir. Kami masuk ke Iskandariah dan kami memberikan hadiah kepada raja tersebut dengan barang yang kami bawa. Dan milikku yang sangat sedikit itu aku titipkan pada mereka. Sang raja menerima hadiah mereka dan menyuruh mereka mengambil hadiahnya secara bergantian. Mereka hanya memberiku sedikit. Kami keluar dan Banu Malik membeli hadiah­hadiah untuk keluarga mereka. Mereka sangat gembira dan mereka tidak menunjukkan kepada saya kemurahan hati mereka. Dan tatkala pergi mereka membawa khamr, minuman keras, dan kami minum bersama­sama. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk membunuh mereka. Mereka menuangkan minuman dan mengajakku terus minum. Aku berkata: ‘Aku pening’. Dan aku mulai menuangkan minuman untuk mereka sehingga mereka tidak sadarkan diri. Aku lalu meloncat ke arah mereka, membunuh mereka semua dan mengambil semua yang mereka bawa. Aku datang ke Madinah dan menemui Nabi saw. Nabi sedang duduk bersama Abu Bakar yang telah mengenalku. Dan tatkala melihatku, Abu Bakar bertanya: ‘Anak saudaraku ‘Urwah ‘ Aku menjawab: ‘Ya, aku datang untuk mengucapkan ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruhNya’. Dan Rasul Allah saw mengatakan: ‘Alhamdulillah’. Abu Bakar berkata: ‘Apakah engkau datang dari Mesir?’ Aku menjawab: ‘Ya’. Dan Abu Bakar melanjutkan: ‘Dan apa yang dilakukan oleh kaum Banu Malik yang berjalan bersamamu?’. Aku menjawab: ‘Antara aku dan mereka tidak akan terjadi antara orang Arab, kami berada dalam agama syirk, aku telah membunuh mereka dan aku mengambil barang muatan mereka dan aku membawanya kepada Rasul Allah saw agar Rasul mengambil khumus, seperlimanya, yaitu barang rampasan dari kaum musyrikin. Rasul Allah saw lalu bersabda: ‘Tentang engkau masuk Islam, aku terima, dan kami tidak akan mengambil dari barangmu sedikit pun jua apalagi seperlimanya, karena barangmu itu adalah hasil pengkhianatan dan pengkhianatan tiada sedikit pun mengandung kebaikan. Aku berkata: ‘Ya Rasul Allah, aku membunuh mereka sedang aku berada dalam agama kaumku!’ Kemudian aku telah menjadi Muslim sesaat setelah menemuimu’. Demikian Mughirah. Ia ternyata telah membunuh 13 orang. 

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abi Bakrah: Abu Bakrah, Ziyad, Nafi’ dan Syabl bin Ma’bad berada di sebuah kamar tingkat dua dan Mughirah berada di kamar bawah yang berseberangan. Angin bertiup, pintu terbuka dan tirai terangkat. Dan mereka menyaksikan Mughirah berada di antara kedua paha seorang perempuan. Dan mereka berkata satu dengan yang lain: Kami telah diberi percobaan oleh Mughirah. Abdurrahman melanjutkan: Kemudian Abu Bakrah ra, Nafi’ ra dan Syabl ra memberi kesaksian, tetapi Nafi’ tidak mengungkapkan dengan pasti bahwa Mughirah telah menzinai perempuan itu. Dan Umar mencambuk mereka bertiga kecuali Ziyad. Tetapi Abu Bakrah ra tidak puas. Ia berkata: ‘Bukankah kamu telah mencambukku? Umar menjawab: ‘Benar’. Abu Bakrah melanjutkan: ‘Dan aku bersaksi dengan nama Allah, bahwa Mughirah telah melakukannya’. Umar mau mencambuknya sekali lagi. Namun Ali berkata: ‘Bila penyaksian Abu Bakrah dijadikan penyaksian dua orang, maka rajamlah juga sahabatmu’. 

Dan dalam lafal lain: “Umar hendak mengulangi hukuman dan Ali ra menyelanya dengan berkata: ‘Bila engkau mencambuknya, maka rajamlah sahabatmu’. Maka pergilah Umar tanpa mencambuknya. Dan dalam lafal lain lagi: “Umar berniat memukulnya tetapi Ali berkata: ‘Bila engkau memukul yang ini, maka rajamlah yang itu!’ 

Anas bin Malik menceritakan: ‘Mughirah bin Syu’bah keluar dari kantor gubernur pada tengah hari, dan bertemu dengan Abu Bakrah dan Nafi’ ats­Tsaqafi. Abu Bakrah menegur: ‘Hendak ke mana wahai gubernur?’ Mughirah: ‘Ada keperluan!’ Abu Bakrah: ‘Ada keperluan apa? Mughirah: ‘Pemimpin itu dikunjungi orang, bukan mengunjungi orang!’ Anas melanjutkan: ‘Dan perempuan yang bernama Jamil binti al­Afqam yang dikunjungi Mughirah, adalah tetangga bersebelahan dengan Abu Bakrah. Abu Bakrah berada di kamarnya bersama sahabat­sahabat dan dua orang saudaranya, Nafi’ dan Ziyad serta seorang lagi yang dipanggil orang Syabl bin Ma’bad; kamar perempuan itu berhadapan dengan kamar Abu Bakrah. Angin meniup, pintu kamar perempuan itu terbuka dan mereka melihat Mughirah sedang berhubungan seks dengannya. Abu Bakrah berkata: ‘Ini percobaan’. Mereka melihat sampai mereka yakin dan Abu Bakrah keluar rumah. Mughirah keluar dari rumah perempuan itu dan ia pergi untuk mengimami shalat dzuhur dan Abu Bakrah menahannya dan berkata: ‘Demi Allah, jangan menjadi imam kami setelah apa yang engkau lakukan!’. Jemaah berkata: ‘Panggil dia untuk mengimami shalat, karena dia adalah pemimpin’. Maka dengan kejadian ini mereka membuat surat yang dikirim kepada khalifah Umar. Dan Umar memerintahkan untuk menghadirkan Mughirah dan para saksi. 

Mush’ab bin Sa’d menceritakan: ‘ Umar bin Khaththab ra sedang duduk dan ia memanggil Mughirah dan para saksi. Abu Bakrah maju ke depan dan Umar bertanya: ‘Apakah engkau melihat dia berada di antara kedua paha perempuan itu?’. Abu Bakrah: ‘Ya, demi Allah, aku melihat dari celah dinding ia berada diantara kedua pahanya!’ Mughirah: ‘Dia telah salah lihat!’. Abu Bakrah: ‘Apakah engkau tidak merasa aib bila dihina Allah? Umar: ‘Tidak, demi Allah, sampai engkau menyaksikan bahwa engkau telah melihat seperti masuknya tangkai celak ke dalam botolnya’. Abu Bakrah: Benar, aku menyaksikan demikian itu!’, Umar: ‘Berangkat seperempat dirimu, hai Mughirah!’. Kemudian Nafi’ dipanggil dan Umar berkata: ‘Engkau menyaksikan apa? Nafi’: ‘Seperti yang disaksikan Abu Bakrah!’ Umar: ‘Engkau tidak melihat seperti masuknya tangkai celak ke dalam botol!’ Nafi’: ‘Aku melihat pas seperti itu!’. Umar: ‘Berangkat, hai Mughirah setengah dirimu!’ Kemudian dipanggil saksi ketiga dan Umar berkata: ‘Apa yang engkau saksikan?’ Dia berkata: ‘Seperti yang disaksikan kedua teman saya!’. Umar: ‘Berangkat tiga perempat nyawamu, Mughirah!’. Kemudian Umar menulis surat kepada Ziyad dan Ziyad masuk untuk menghadap. Ia melihat Umar sedang duduk di masjid dikerumuni tokoh­tokoh kaum Muhajirin dan Anshar. Mughirah lalu berkata kepadanya: ‘Berikan kepadaku kata­kata yang engkau pernah ucapkan untuk mengasihani suatu kaum!’. Tiba­tiba Umar datang. Ia berkata: ‘Aku melihat lidah lelaki yang tidak akan pernah dipermalukan Allah bila berbicara di hadapan kaum Muhajirin’. Ziyad: ‘Ya, Amiru’l­mu’minin, suatu kaum memiliki haq dan aku tidak memilikinya. Aku melihat majlis yang buruk dan aku mendengar suara yang makin cepat dan meninggi dan aku melihat ia menutupinya dengan tubuhnya!’. Maka Umar berkata: ‘Apakah engkau melihatnya masuk seperti tangkai celak ke dalam botol?’ Ia berkata: ‘Tidak!’. 

Dan dalam lafal lain, ia berkata: ‘Aku melihat ia di atas, di antara kedua kaki perempuan itu dan aku melihat kedua buah zakarnya maju mundur di antara kedua pahanya dan aku melihat gerakan cepat serta aku mendengar suara napas yang meninggi’. Dalam lafal Thabari, ia berkata: ‘Aku melihat dia duduk di antara kedua kaki perempuan itu dan melihat kedua buah zakarnya maju dan bergoyang dan bokongnya telanjang dan aku dengar suara gesekan’. Dan Umar berkata: ‘Apakah engkau melihat ia memasukkannya seperti tangkai masuk kedalam botol celak?’. Ia berkata: ‘Tidak!. Maka berkatalah Umar: ‘Allahu akbar, datangi mereka dan pukul mereka (bertiga). Maka ia pun mendatangi Abu Bakrah dan mencambuknya 80 kali dan begitu pula dua yang lain. Mereka heran akan perkataan Ziyad untuk menyelamatkan Mughirah dari hukum rajam. Selesai dicambuk, Abu Bakrah berkata: ‘Aku benar­benar bersaksi bahwa Mughirah melakukannya!’. Umar hendak mencambuknya, tapi Ali menyela: Bila engkau mencambuknya maka sahabatmu harus dirajam!’. Dan Umar tidak jadi mencambuknya.[58] 

Orang heran akan perkataan Umar seperti ditulis dalam al­Aghani: ‘Aku melihat seorang lelaki yang tidak akan dipermalukan Allah lidahnya di hadapan kaum Muhajirin’ atau ‘Aku melihat wajah seorang lelaki yang mengharap tidak akan merajam seorang sahabat Rasul Allah, dan tidak mempermalukannya dengan penyaksiannya’ seperti yang tertulis dalam Futuh al­Buldan, atau kata­katanya ‘Aku melihat seorang letaki cerdik yang tidak akan berkata kecuali benar dan tidak akan menyembunyikan apa pun di hadapanku’ seperti dimuat dalam Sunan al­Baihaqi, atau kata­ kata Umar: ‘Aku melihat seorang lelaki cerdik, tidak akan bersaksi, insya Allah, kecuali yang benar, seperti tertulis dalam Kanzu’l­’Ummal. Orang berpendapat bahwa Umar telah menyelamatkan Mughirah dari hukum rajam. 

Abu’I­Faraj al­Ishfahani menceritakan dalam al­Aghani bahwa Raqtha’, wanita yang berhubungan dengan Mughirah di Bashrah tersebut, sering mengunjungi Mughirah tatkala Mughirah pindah jadi gubernur di Kufah. Umar dalam perjalanan haji, setelah peristiwa tersebut, melihat Raqtha’ dan Mughirah di Makkah. Umar bertanya pada Mughirah apakah dia mengenal wanita itu. Mughirah mengatakan bahwa dia adalah Ummu Kaltsum binti Ali. Umar yang mengenal Ummu Kaltsum menjawab: ‘Jahanam kau, engkau membohongiku. Demi Allah, saya yakin Abu Bakrah benar dalam kesaksiannya. Saya khawatir bila saya melihatmu, batu akan jatuh ke kepalaku dari langit!’ Ya’qubi menceritakan bahwa mulai saat itu, bila Umar bertemu dengan Mughirah ia mengatakan: ‘Hai Mughirah, tiap kali aku melihatmu aku takut Allah akan merajam aku dengan batu’. 

Hassan bin Tsabit membuat syair untuk Mughirah seperti dimuat dalam al­Aghani: 

Andaikata ketercelaan bernasab insan, 

Maka dialah si pecak bermuka buruk, 

Kau tinggalkan agama, kau lepaskan Islam, 

Menyusup di bawah selendang wanita, 

Kau kira telah kembali muda remaja, 

Bermain cinta dengan para budak atas nama istana.[59] 

Mughirah ini juga yang mengusulkan agar Mu’awiyah menunjuk anaknya Yazid jadi khalifah: 

‘Serahkan penduduk Kufah kepadaku dan serahkan urusan Bashrah kepada Ziyad dan setelah kedua daerah itu tak seorang pun akan menentang’ katanya pada Mu’awiyah. Ia memberi 30.000 dirham untuk sepuluh tokoh Kufah dan dengan dipimpin oleh Musa bin Mughirah bin Syu’bali mereka menghadap ke Mu’awiyah dan menyatakan janji mereka. Waktu meninggal, ia meninggalkan 300 dan ada yang mengatakan 600 budak. 


Sa’d Berdebat Dengan Mu’awiyah


Pembangkangan untuk melaknat Ali berarti fatal seperti yang dialami sahabat Rasul Allah saw. Hujur bin ‘Adi al­Kindi dan sahabat­sahabatnya yang dibunuh secara berdarah dingin; shabran. Pembunuhan ini terjadi tahun 51 H/671 M. 

Pelaknatan terhadap Imam Ali di atas mimbar di masjid Madinah oleh Marwan bin Hakam, gubernur Mu’awiyah di Madinah, disaksikan oleh keluarga. dan kerabat Rasul Allah saw. Tidak banyak sahabat yang berani menegur Mu’awiyah. Yang menarik adalah, Sa’d bin Malik atau lebih terkenal dengan nama Sa’d bin Abi Waqqash. Meskipun Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar bin Khaththab, tidak mau membaiat Ali, tetapi mereka berdua, tidak dapat berdiam diri dan menegur Mu’awiyah. Bila ada Sa’d, satu dari enam anggota Suyura, ia tidak berani melaknat Ali. Tatkala ia akan berkhotbah di masjid Nabi dan akan melaknat Ali, Sa’d berkata: ‘Bila engkau melaknat Ali aku pasti keluar dari masjid’.[60] Sa’d bin Abi Waqqash, setelah meninggalnya Utsman, hidup menyendiri. Pertemuannya dengan Mu’awiyah hampir selalu terjadi di masjid. Ia memanggil Mu’awiyah sebagai raja dan bukan khalifah. Setelah Ali meninggal, hanya ia seorang diri lagi yang anggota syura dan selalu mengatakan kesalahannya tidak membaiat Ali. ‘Saya telah mengambil keputusan yang salah.[61] Dan tatkala orang menyalahkannya karena tidak mau mendukungnya memerangi Ali ia berkata: ‘Saya menyesal tidak memerangi al­fi’ah al­bighiah, kelompok pemberontak (yaitu Mu’awiyah)[62] Sayang anaknya Umar Sa’d bin Abi Waqqash telah memimpin pasukan Yazid membunuh Husain di Karbala. 

Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan melalui jalur Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash yang berkata: Mu’awiyah berkata kepada Sa’d: ‘Apa yang menghalangimu melaknat Abu Turab?’. Sa’d menjawab: ‘Ada tiga hal yang diucapkan Rasul Allah saw sehingga aku tidak akan pernah mencacinya, karena bila saja aku mendapat satu dari tiga keutamaan itu aku lebih suka dari pada memiliki harta apa saja yang paling berharga. Kemudian ia menyebut hadis al­Manzilah’[63] , ar­Rayah (bendera)[64] dan al­Mubahalah[65] ‘: 

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu, Maka Katakanlah: “Marilah kita memanggil anak­anak Kami dan anak­anak kamu, isteri­isteri Kami dan isteri­isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang­orang yang dusta.” (Ali­Imran: 61) 

Al­Hakim menambahkan: ‘Demi Allah Mu’awiyah tidak bicara sepatah kata pun sampai ia meninggalkan Madinah.[66] 

Dalam lafal Thabari: ‘Tatkala Mu’awiyah naik haji, ia berthawaf bersama Sa’d dan setelah selesai, Mu’awiyah pergi ke Dar an­Nadwah dan mengajak Sa’d duduk bersama di ranjangnya (sarir) dan Mu’awiyah mulai memaki Ali, Sa’d bangkit dan berkata: ‘Engkau mengajak aku duduk bersama di ranjangmu kemudian engkau memaki Ali, demi Allah bila aku dapat satu saja yang didapat Ali aku lebih suka dari apa yang dapat didatangkan matahari’; sampai ia selesai mengemukakan hadis dan Sa’d bicara: ‘Demi Allah aku tidak akan memasuki rumahmu!’ 

Mas’udi menceritakan setelah membawakan riwayat Thabari: ‘Dan aku juga menemukan riwayat dari Kitab Ali bin Muhammad bin Sulaiman an­Naufali dalam ‘al­Akhbar’ yang berasal dari lbnu Aisyah dan lain­lain: ‘Bahwa Sa’d setelah menyampaikan kata­kata tersebut kepada Mu’awiyah, ia lalu bangkit untuk pergi dan Mu’awiyah berkata: ‘Duduk, sampai engkau dengar jawabanku, lalu mengapa tidak kau tolong Ali dan mengapa engkau tidak membaiatnya? Dan aku sendiri, bila aku telah mendengar dari Nabi saw seperti yang kudengar tentangnya, maka aku akan menjadi pelayan Ali selama hidupku!. Sa’d menjawab: ‘Demi Allah aku lebih berhak terhadap kedudukanmu dari dirimu’. Mu’awiyah menjawab: ‘Banu ‘Adzrah menolakmu.[67] 

Ibnu Katsir[68] meriwayatkan: ‘Sa’d bin Abi Waqqash datang kepada Mu’awiyah dan ia berkata: ‘Raja (Malik), mengapa engkau memerangi Ali? Mu’awiyah menjawab: ‘Aku bertemu angin gelap... Tidak ada dalam Kitab Allah, tetapi Allah SWT berfirman: 

‘Dan jika dua golongan orang beriman bertengkar, damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua golongan berlaku aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang aniaya sampai kembali kepada perintah Allah.[69] 

Demi Allah Aku bukanlah durjana terhadap keadilan dan bukanlah adil terhadap orang durhaka. Maka Sa’d berkata: ‘Aku tidak akan memerangi seseorang, kepada siapa Rasul Allah saw berkata: ‘Kedudukanmu di sisiku seperti Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi sesudahku!’. Mu’awiyah berkata: ‘Siapa yang dengar bersama engkau?’. Dan Sa’d menyebut nama­nama, di antaranya Ummu Salamah.[70] 

Mu’awiyah berkata: ‘Andai kata aku dengar dari Nabi, aku tidak akan perangi Ali’. 

Dan dalam riwayat lain: ‘Bahwa pembicaraan ini terjadi antara keduanya di Madinah tatkala Mu’awiyah naik haji. Maka mereka berdua mendatangi Ummu Salamah dan mereka berdua menanyainya dan Ummu Salamah menyampaikan hadis seperti yang disampaikan Sa’d, maka berkatalah Mu’awiyah: ‘Andaikata aku mendengarnya sebelum ini, maka aku akan jadi pelayannya sampai Ali meninggal atau sampai saya meninggal’. 

Setelah Sa’d meninggal, Mu’awiyah tidak pernah meninggalkan pelaknatan terhadap Ali dalam khotbahnya. Menurut sebagian penulis, ia dibunuh Mu’awiyah melalui pasukan madunya (istilah pembunuhan dengan racun oleh Mu’awiyah). 

Demikian pula dengan Abdullah bin Umar pada akhirnya berkata: ‘Saya tidak pernah menyesal hidup di dunia, kecuali tidak berperang bersama Ali bin Abu Thalib melawan kelompok pemberontak sebagaimana diperintahkan Allah’[71] Pelaknatan terhadap Ali dilanjutkan sampai berakhirnya pemerintahan Banu ‘Umayyah selama 92 tahun dan hanya diselingi dua setengah tahun pemerintahan Umar bin ‘Abdul Aziz. 

Pada masa itu hampir tidak ada orang tua yang menamakan anaknya Ali. Seorang suami mengadu kepada Hajjaj, karena istrinya memakinya sebagai Ali dan meskipun ia miskin, tapi ia merasa terhina disebut sebagai Ali, ‘si pembunuh khalifah Utsman’. 


Membunuh Hujur dan Kawan-­kawan, Membunuh Shaifi bin Fasil


Memerlukan beberapa buku untuk melukiskan pelaknatan, pembuatan hadis palsu dan kekejaman­kekejaman yang saling berkaitan yang terjadi di zaman para sahabat dan tabi’in ini. 

Tapi perlu rasanya kemukakan disini peristiwa pembunuhan terhadap Shaifi bin Fasil yang disuruh Ziyad bin Abih untuk melaknat Ali yang sudah lama meninggal. 

“Ziyad memburu sahabat Hujur dan mereka melarikan diri. Qais bin ‘Ubad datang melapor pada Ziyad: 

‘Ada seorang bernama Shaifi bin Fasil. Ia adalah sahabat Hujur’. Ziyad menyuruh orang membawanya kepada Ziyad: ‘Hai, musuh Allah, apa pendapat Anda tentang Abu Turab’ Shaifi: ‘Aku tidak mengenal Abu Turab’. Ziyad: ‘Engkau tidak mengenalnya? Apakah engkau kenal Ali bin Abi Thalib? Shaifi: ‘Ya’. Ziyad: ‘Dialah Abu Turab!’ Shaifi: ‘Bukan, beliau adalah ayah dari Hasan dan Husain!’ Qais menyela: ‘Bukanlah al­Amir telah mengatakan ia Abu Turab dan engkau berani mengatakan tidak? Shaifi: ‘Apakah bila al­Amir berdusta, engkau mau aku berdusta juga? Dan aku bersaksi batil seperti dia? Ziyad: ‘Ambil alat pemukul!’ dan seorang menyerahkannya. Ziyad melanjutkan: ‘Apa yang akan engkau katakan tentang Ali? Shaifi: ‘Perkataan terbaik yang aku akan ucapkan bagi hamba dari hamba­hamba Allah. Aku memanggilnya Amiru’l­mu’minin. Ziyad: ‘Kamu semua, pukullah dia di bahunya dengan tongkat ini sampai dia jatuh lengket ke bumi’. Dan mereka memukulnya sampai ia ambruk dan Ziyad berkata: ‘Apa katamu tentang Ali? Shaifi: ‘Demi Allah, andaikata kau bilang apa pun, aku hanya akan mengatakan yang aku tahu tentangnya’. Ziyad: ‘Engkau laknati dia atau kupenggal lehermu!’ Shaifi: ‘Demi Allah bila kau lakukan lebih awal aku lebih senang dan engkau lebih susah!’ Ziyad: ‘Tingkatkan pukulannya kemudian masukkan ke dalam penjara!’ Sesudah itu ia dikirim ke Damaskus dan dibunuh bersama­sama dengan Hujur dan teman­temannya’. 

Sebenarnya Ziyad dan Abu Burdah, anak Abu Musa al­’Asy’ari, membuat pernyataan dengan mengumpul 70 tandatangan ‘tokoh­tokoh’ Kufah dengan penyaksian palsu, di antaranya anak­ anak Thalhah, Sa’d bin Abi Waqqash dan Zubair bin ‘Awwam. Hujur bin ‘Adi, sahabat Rasul saw yang terkenal sangat salih, dan 12 sahabatnya dikirim kepada Mu’awiyah di Damaskus. Mereka lansung dibawa ke penjara Murj ‘Adzra’ dekat Damaskus. 

Contoh dialog dengan Mu’awiyah: 

‘Tatkala Al­Khats’imi dibawa masuk menghadap Mu’awiyah ia berkata: ‘Allah, Allah wahai Mu’awiyah, Engkau akan meninggalkan rumah yang fana ini menuju rumah yang baka dan akan ditanyai apa yang engkau inginkan sebenarnya dengan membunuh kami dan mengucurkan darah kami? Mu’awiyah: ‘Apa yang akan kau katakan tentang Ali? Al­Khats’imi: ‘Apakah aku harus mengikuti perkataanmu, apakah engkau membebaskan diri dari ‘agama Ali’ yang sebenarnya adalah agama yang ditetapkan Allah?. Mu’awiyah tidak menjawab. Ia dimakzulkan, dan tidak boleh masuk Kufah dan meninggal di Mesir, sebulan sebelum Mu’awiyah. 

Kemudian maju Abdurrahman bin Hassan. Mu’awiyah: ‘Apa yang akan engkau katakan tentang Ali? Abdurrahman: ‘Bunuh saja saya dan jangan menanyai saya, karena Ali lebih baik dari engkau’. Mu’awiyah: ‘Demi Allah, aku tidak akan membunuhmu sampai kau mengabarkan kepadaku tentangnya’. 

Abdurrahman: ‘Aku bersaksi bahwa ia adalah dari orang­orang yang banyak berzikir kepada Allah dan yang mengajak kepada kebajikan dan menjauhi kejahatan,[72] serta pemaaf’. Mu’awiyah: ‘Dan apa pendapatmu tentang Utsman?’ Abdurrahman: ‘Ia adalah orang pertama yang membuka pintu kelaliman dan menutup pintu­pintu ‘haq’. Mu’awiyah: ‘Engkau membunuh dirimu sendiri! Abdurrahman al­’Anzi: ‘Tidak, engkaulah yang membunuh orang yang bicara benar’. Dan Mu’awiyah mengirimnya kepada Ziyad dengan surat: ‘Amma ba’du. Aku kirim al­’Anzi ini kepadamu agar kau hukurn dia dengan hukuman yang pantas baginya. Bunuhlah dia, dengan cara yang seburuk­buruknya’. Tatkala tiba di Kufah Ziyad mengirimnya, ke al­Nathif[73] kemudian ia dikubur hidup­hidup. 

Sahabat­sahabat Hujur yang dibunuh adalah Syarik bin Syaddad al­Hadhrami, Shaifi bin Fasil asy­Syaibani, Qabishah bin Dhabi’ah al­Abbasi, Mahrz bin Syahhab al­Munqari, Kadam bin Hayyan al­’Anzi dan Abdurrahman bin Hassan al­’Anzi.[74] 

Gubernur­-gubernur biasanya mengumpulkan anggota masyarakat di masjid dan lapangan. Mereka lalu dibimbing untuk melaknat Ali. Bila, menolak, mereka lalu dipancung. 

Ziyad, gubernur Kufah mengerahkan rakyat di depan pintu istananya dan memerintahkan mereka melaknat Ali. Al­Baihaqi menceritakan: ‘Mereka diperintahkan untuk memakzulkan Ali Karramallahu wajhahu, dan mereka lalu memenuhi masjid dan lapangan, dan yang menolak dipenggal kepalanya. Dan Ibnu al­Jauzi menceritakan: ‘Tatkala penduduk Kufah melemparnya dengan batu kerikil ia sedang khotbah, ia memotong tangan 80 orang dari mereka. Dengan ancaman akan merobohkan rumah­rumah dan menebang pohon­pohon kurma mereka, ia mengumpulkan mereka sehingga masjid dan lapangan penuh dan menyuruh mereka memakzulkan Ali serta memberi tahu bahwa bila mereka membangkang maka ia akan membasmi mereka, dan menghancurkan kampung mereka. Di antara mereka terdapat kaum Anshar.[75] 


Khalifah Abdul Aziz: ‘Melaknat Ali Demi Kekuasaan’


Umar bin Abdul Aziz yang kemudian menjadi satu­satunya khalifah ‘Umayyah yang melarang pelaknatan terhadap Ali menceritakan pengalamannya, waktu ia masih seorang ‘pangeran’; masih anak­anak: ‘Saya masih anak­anak dan saya belajar mengaji pada salah seorang anak ‘Uqbah bin Mas’ud. Suatu ketika ia berpapasan dengan saya yang sedang bermain dengan kawan­kawan dan sedang melaknat Ali. Ia masuk ke masjid dan anak­anak teman saya itu pulang. Saya masuk ke masjid untuk belajar daripadanya. Saya melihat ia shalat dan ia memperpanjang shalatnya seperti ingin menunjukkan bahwa ia tidak senang. Aku mengerti. Tatkala selesai ia shalat, wajahnya kelihatan merengut. Aku bertanya: ‘Bagaimana guru?. Ia menjawab: ‘Wahai anakku, engkau melaknat Ali sepanjang hari ini!’ Aku menjawab: ‘Benar!’ Ia melanjutkan: ‘Dan sejak kapan engkau tahu Allah SWT membenci pengikut perang Badr setelah Ia rida akan mereka? Aku berkata: ‘Wahai guru, apakah Ali itu pengikut perang Badr? Guru saya menjawab: ‘Astaghfirullah, apa yang akan terjadi dengan Perang Badr seluruhnya tanpa dia! ‘Aku berkata: ‘Aku tidak akan mengulangi!’ Ia berkata: ‘Allah menyaksikan bahwa engkau tidak akan ulangi!’. Aku menjawab: ‘Benar!’. Dan sejak itu aku tidak pernah melaknat Ali. Sampai suatu ketika aku hadir di bawah mimbar masjid Madinah dan ayahku jadi khotib Jum’at. Pada waktu itu ayahku adalah gubernur di Makkah. Aku mendengar ayahku bicara lancar sampai pada saat ia melaknat Ali dan suaranya jadi tidak jelas, terbata­bata dan menyesakkan, hanya Allah yang tahu. Dan aku terheran­heran melihat yang demikian itu. Maka suatu hari aku bertanya kepadanya: ‘Wahai ayah, engkau berkhotbah begitu fasih dan lancar, belum pernah aku lihat engkau berkhotbah begitu baik, tetapi setelah engkau sampai pada melaknat lelaki itu engkau lalu tergagap­gagap tidak karuan. ‘Ayahku menjawab: ‘Wahai anakku, andaikata orang Syam atau siapa saja yang berada di bawah mimbar mengetahui keutamaan lelaki ini seperti yang diketahui ayahmu ini, maka tiada seorang pun akan mengikuti kita”. Demikian Umar bin Abdul Aziz.[76] Suatu ketika Imam Zainal ‘Abidin bin Husain bin Ali bertanya kepada Marwan tatkala menyaksikan Marwan melaknat kakeknya yang sudah meninggal: ‘Mengapa engkau mencaci Ali? Marwan menjawab: ‘Karena pemerintahan kami tidak akan tegak selain berbuat demikian!’ 


Membuat Hadis Palsu, Mu’awiyah Mengorganisir Hadis Palsu


Di masa pernerintahan Banu ‘Umayyah selama 92 tahun,[77] telah dibuat banyak sekali hadis palsu yang direncanakan untuk mengucilkan Ali dan membesarkan ketiga khalifah Rasyidun yang lain, atas perintah Mu’awiyah, raja pertama dalam sejarah Islam. 

Para gubernur diwajibkan untuk mengkhotbahkan hadis­hadis tersebut di seluruh masjid­masjid dari ‘ufuk Timur ke ufuk Barat’. 

Dengan demikian biarpun hadis ini jelas shahih, karena rangkaian isnadnya lengkap dan nama­ nama penyalur dapat dipercaya, ‘penyakit’ masih ada, yaitu yang bersumber dari kalangan sahabat sendiri atau tabi’in sendiri. 

Khotbah­khotbah itu, begitu besar pengaruhnya sehingga pernah terjadi seorang bapak mengadu kepada penguasa karena istrinya telah menghinanya dengan menamakannya Ali.[78] 

Hadis­hadis ini dapat disebut ‘Hadis Penguasa’ karena diorganisir oleh pelaksana pemerintahan demi mempertahankan kedudukannya dan bersumber dari para sahabat dan tabi’in. 

Untuk memahami timbulnya hadis­hadis palsu jenis ini, perlu kita memahami sifat­sifat jahiliah yang masih tersisa di zaman sahabat. Sifat­sifat jahiliah ini tidak hanya mengakibatkan pembunuhan, pemerkosaan, pelecehan terhadap jenazah dengan mengarak kepala­kepala jenazah dijalan­jalan, perampokan, perbudakan terhadap wanita­wanita, pendongkelan mata yang dilakukan terhadap Syi’ah Ali serta pelanggaran hak­hak azasi yang begitu dilindungi oleh Islam, tetapi juga pembuatan hadis palsu yang terencana. 

Abu Ja’far Al­Iskafi menceritakan: Mu’awiyah memerintahkan para sahabat dan tabi’in untuk membuat riwayat yang memburuk­burukkan Ali bin Abi Thalib, menyerangnya dan memakzulkannya, di antaranya Abu Hurairah, ‘Amr bin ‘Ash, Mughirah bin Syu’bah dan di antara tabi’in, Urwah bin Zubair.’[79] 



Daftar Isi : 

sejarah islam 1

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah 1

by: O. Hashem 1

Jakarta 1

2004 1



BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM 2

Prakata Penulis 3

Mengapa Aisyah Benci Fathimah dan Ali? 6

Terror Terhadap Kaum Syi’i 16

Membunuh, Sembelih Bayi, Perbudak Muslimah 17

Meracuni Hasan, Cucu Nabi Berkali­kali 20

Membunuh Muhammad bin Abu Bakar, Mempermainkan Jenazah 26

Siapa yang Menikam Utsman? 30

Membunuh Husain ­ Cucu Rasul, Membunuh Muhajirin dan Anshar, Memperkosa Seribu Wanita, Gubernur Pembunuh 120.000 Orang 34

Melaknat Ali Dalam Khotbah 40

Mughirah bin Syu’bah Melaknat Ali 43

Umar Selamatkan Mughirah, Mughirah Berzina, Empat Sahabat Jadi Saksi 44

Sa’d Berdebat Dengan Mu’awiyah 51

Membunuh Hujur dan Kawan­kawan, Membunuh Shaifi bin Fasil 56

Khalifah Abdul Aziz: ‘Melaknat Ali Demi Kekuasaan’ 60

Membuat Hadis Palsu, Mu’awiyah Mengorganisir Hadis Palsu 62




Catatan:


[1] Al­Bukhari, jilid 2, hlm. 277 dalam Bab Kecemburuan Wanita, Kitab Nikah.. 

[2] Al­Bukhari, jilid 2, hlm. 210, pada Bab Manaqib Khadijah. 

[3] Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 150, 154. 

[4] Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 117; Sunan Tirmidzi, jilid 1, hlm. 247;.Shahih Bukhari, jilid 2, hlm. 177, jilid 4, hlm. 36, 195; Musnad Ahmad jilid 6, hlm. 58, 102, 202, 279; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 3, hlm. 128; al­Kanzu’l­ ’Ummal, jilid 6, hlm. 224. 

[5] Musnad Ahmad, jilid 4, hlm. 275. 

[6] Al­Qur’an, an­Najm (53), 3. 

[7] Maksud Ibn Abin Hadid adalah Khotbah 155 dalam Nahjul Balaghah tatkala ‘Ali berkata tentang Aisyah: ‘Kebencian mendidih dalam dadanya, sepanas tungku pandai besi. Bila ia diajak melakukan kepada orang lain seperti yang ia lakukan kepadaku, ia akan menolak. Tetapi hormatku kepadanya, setelah kejadian ini pun, tetap seperti semula. 

[8] Tirmidzi, al­Jami’ash­Shahih, jilid 5, hlm. 656, 661; Ahmad bin Hanbal, al­Musnad, jilid 3, hlm. 62, 64, 82, jilid 5, hlm. 391, 392; Ibnu Majah, as­Sunan, jilid 1, hlm. 56; Al Hakim An­Nisaburi, A­Mustadrak ash­ Shahihain, jilid 3, hlm. 167; Majma’ az­Zawa’id, jilid 9, hlm. 183; al­Muttaqi, Kanz al­Ummal, jilid 13, hlm. 127,128; al­Isti’ab, jilid 4, hlm. 1495; Usdu’l­Ghabah, jilid 5, hlm. 574; Tarikh Baghdad, jilid 1, hlm. 140, jilid 6, hlm. 372 jilid 10, hlm. 230; Ibnu ‘Asakir, at­Tarikh, jilid 7, hlm. 362. 

[9] Shahih Bukhari, jilid 8, hlm. 79; Shahih Muslim, jilid 7, hlm. 142­144; Ibnu Majah, as­Sunan, jilid 1, hlm. 518; Ahmad bin Hanbal, al­Musnad, jilid 6, hlm. 282; al­Hakim an­Nisaburi, al­Mustadrak ‘ala ash­Shahihain, jilid 3, hlm. 136. 

[10] Lihat juga Kanzu’l­’Ummal, jilid 6, hlm. 219. 

[11] Lihat juga al­Mustadrak, jilid 3, hlm. 153, 156; Kanzu’l­’Ummal, jilid 6, hlm. 218. 

[12] Lihat juga al­Mustadrak, jilid 3, hlm. 153, 156; Kanzu’l­’Ummal, jilid 6, hlm. 218. 

[13] Lihat catatan kaki di atas. 

[14] Lihat Kanzu’l­’Ummal, jilid 6, hlm. 220. 

[15] Al­Qur’an 33:33; Lihat hadis Kisa’ yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, dalam Bab ‘Nash Bagi Ali. 

[16] Al­Qur’an, Ali Imran (III): 61. 

[17] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 2, hlm. 192­197. 

[18] Hit adalah kota di tepi sungai Efrat, dekat Baghdad, utara Anbar. 

[19] Nu’man bin Basyir al­Anshari al­Khazraji, tatkala Rasul wafat berumur delapan tahun tujuh bulan. Ia adalah anak Basyir bin Sa’d, teman Abu Bakar; lihat Bab 8, Pembaiatan Abu Bakar. Ia yang membawa baju gamis ‘Utsman yang penuh darah serta potongan jari istri ‘Utsman, Nai’lah, ke Damaskus untuk dipamerkan dan membangkitkan emosi untuk memerangi Ali. Ia kemudian akhirnya dibunuh di zaman Marwan, dipenggal lehernya oleh Banu Umayyah yang dibelanya dan kepalanya dilemparkan kepangkuan istrinya. 

[20] ‘Ain at­Tamr sebuah kota dekat at­Anbar, sebelah Barat Kufah. 

[21] Ibnu Hajar, Shawa’iq, hlm. 81 

[22] Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 8, hlm. 43. 

[23] Mas’udi, Muruj adz­Dzahab, jilid 2, hlm. 50. 

[24] Sa’d adalah satu­satunya anggota Syura yang dibentuk ‘Umar yang masih hidup, pen. 

[25] AI­Ishfahani, Maqatil ath­Thalibiyin, hlm. 29; Diriwayatkan Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 4, hlm. 11, 17. 

[26] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’1­Balaghah, jilid 4, hlm. 4. 

[27] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’1­Balaghah, jilid 4, hlm. 7. 

[28] Ibnu ‘Abd al­Barr, Kitab al­Isti’ab, jilid 1, hlm. 141 

[29] Ibnu al­Jauzi, ‘al­Tadzkirah’, hlm. 121. 

[30] Ibnu ‘Asa­kir, Tarikh, jilid 4, hlm. 229. 

[31] Ad­Damiri, Hayat a1­Hayawan jilid 1, hlm. 58; Diyar Bakri, Tarikh Yaum al­Khamis, jilid 2, hlm. 294. 

[32] Ibnu Qutaibah, al­Imamah was Siyasah, jilid 1, hlm. 144; Ibnu ‘Abdu Rabbih, al­Iqd al­Farid, jilid 2, hlm. 298; ar­Ragbib al­Ishfahani, Al­Muhadharat, jilid 2, hlm. 224 dll. 

[33] Lihat Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 1, hlm. 43, 44. 

[34] ‘Amr bin Hamaq adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang kepalanya dipenggal dan diarak dari kota ke kota, lihat Ibn Qutaibah, Al­Ma’arif, hlm. 127; Al­Isti’ab, Jilid 2, hlm. 404; Al­Ishabah, jilid 2, hlm. 533; Ibn Katsir, Tarikh, jilid 8, hlm. 48. 

[35] Al­Hakim, Mustadrak, jilid 3, hlm. 106. 

[36] Ibnu Abd al­Barr, Kitab al­Isti’ab, jilid 2, hlm. 477­478. 

[37] Misyqash, semacam anak panah bermata lebar. 

[38] Muhibuddin Thabari, Riyadhah an­Nadhirah, jilid 2, hlm. 130. 

[39] Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 7, hlm. 175. 

[40] Nama panggilan dengan awal Abu, ayah dari seseorang, seperti Abu Thalib, ayah dari Thalib atau Ummu, ibu dari seseorang, seperti Ummu Salamah. 

[41] Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 7, hlm. 198. 

[42] Mas’udi, Muruj adz­Dzahab, jilid 2, hlm. 90­91. Dengan sedikit berbeda, lihat juga Thabari, Tarikh, jilid 12, hlm. 371; Dinawari, Kitab at­Akhbar at­Tiwal, hlm. 259; Ibnu Katsir, al­Bidayah wan­Nihayah, jilid 7, hlm. 190. 

[43] Al­Ishabah, jilid 4, hlm.68. 

[44] Ibn Qutaibah, Al­Ma’arif, hlm. 112. 

[45] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 10, hlm. 105. 

[46] Shahih Tirmidzi, jilid 9, hlm. 64; Ibnu ‘Asakir, Tarikh, jilid 4, hlm. 80; Tafsir al­Wushul, jilid 4, hlm. 36. 

[47] Ibnu Atsir, Tarikh, jilid 3, hlm. 103, Ibnu Khaldun, Tarikh, jilid 3, hlm. 58. 

[48] Al­Hakim, Mustadrak, jilid 2, hlm. 556; Ibnu ‘Asakir, Tarikh, jilid 4, hlm. 69 

[49] Ibnu Asakir, Tarikh, jilid 4, hlm. 69. 

[50] Ibnu Aqil, an­Nashayih, hlm. 81. 

[51] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 4, hlm. 56, 57. 

[52] Ibnu ‘Abd Rabbih, a1­’Iqda1­Farid, jilid 2, hlm. 301, jilid 4, hlm. 127. 

[53] Sijistan adalah wilayah di perbatasan Iran dan Afghanistan sekarang. 

[54] Al­Hamawi, Mu’jam al­Buldan, jilid 5, hlm. 38. 

[55] Lihat Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 11, hlm. 44, 45. 

[56] Musnad Imam Ahmad, jilid 1, hlm. 188; Abu’l­Faraj al­Ishfahani, al­Aghani, jilid 12, hlm. 2; al­Mustadrak, jilid 1, hlm. 385. 

[57] Abu’I­Faraj al­Ishfahani, al­Aghani, jilid 16, hlm. 80­82. 

[58] Ibnu Faraj al­Ishfahani, al­Aghani, jilid 14, hlm. 146; Thabari, Tarikh, jilid 4, hlm. 207; al­Baldazuri, Futuh al­Buldan, hlm. 302; Ibnu Atsir, Tarikh al­Kamil, jilid 2, hlm. 228; Ibnu Khalikan, Tarikh, jilid 2, hlm. 455; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 7, hlm. 81; Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 12, hlm. 237­246; ‘Umdatu’l Qari, jilid 6, hlm. 34. 

[59] Pecak, a’war, julukan Mughirah bin Syu’bah karena ia memang bermata satu. 

[60] Ibnu ‘Abd Rabbih, al­’Iqd al­Farid, jilid 2, hlm. 301, jilid 3, hlm. 127. 

[61] Al­Hakim, Mustadrak, jilid 3, hlm. 116. 

[62] Al­Jassas al­Hanafi, Ahkam Al­Qur’an, jilid 2, hlm. 224­224. 

[63] Hadis Kedudukan, lihat Bab ‘Nash Bagi ‘Ali. 

[64] Hadis ar­Rayyah, atau Hadis Bendera adalah hadis yang diucapkan Rasul Allah saw pada Perang Khaibar dengan kata­kata: ‘Aku akan memberikan bendera besok pagi kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasul­Nya, dan Allah serta Rasul­Nya mencintainya’. 

[65] Mubahalah: saling memohon kepada Allah supaya menjatuhkan laknat kepada pihak yang bersalah; Lihat Al­Qur’an, Ali ‘Imran (III), ayat 59­61. Setelah turun ayat ini untuk bermubahalah dengan orang Kristen Najran, Rasul memanggil Ali, Fhatimah, Hassan dan Husein seraya berkata: ‘Tuhan, inilah 

[66] Shahih Muslim, jilid 7, hlm. 120; Shahih Tirmidzi, jilid 13, hlm. 171; al­Hakim, Musnad. 

[67] Muruj adz­Dzahab, jilid 1, hlm. 61. Lihat juga Ibnu al­Jauzi dalam Tadzkirah hlm. 12. 

[68] Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 8, hlm. 77. 

[69] Al­Qur’an, al­Hujurat (XLIX), ayat 9. 

[70] Ummu Salamah, istri Rasul, waktu itu masih hidup. 

[71] AI­Mustadrak, jilid 3, hlm. 115, 116; al­Baihaqi, Sunan al­Kubra, jilid 8, hlm. 172; Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 4, hlm. 136, 137; aI­Istiab, jilid 3, hlm. 932; Usdul Ghabah, jilid 3, hlm. 229; Nuruddin al­Haitsami, Majma’ az­ Zawa’id, jilid 3, hlm. 182, jilid 7, hlm. 242; al­Furu’, jilid 3, hlm. 543; al­Alusi, Ruh al­Ma’ani, jilid 26, hlm. 151. 

[72] Dalam al­Aghani’ mengajak kepada yang ‘haq’ dan menegakkan keadilan, qisthu’. 

[73] Suatu tempat dekat Kufah, di tepi Timur sungai Efrat. 

[74] Bacalah Abul­Faraj al­Ishfahani, al­Aghani, jilid 16, hlm. 2­11; Ibnu Qutaibah, ‘Uyun al­Akhbar, jilid 1, hlm. 147; Thabari, Tarikh, jilid 6, hlm. 141­156; Ibnu Atsir, al­Kamil, jilid 3, hlm. 202­208; al­Hakim, Mustadrak, jilid 12, hlm. 468; Ibnu ‘Asakir, Tarikh, jilid 4, hlm. 84, jilid 6, hlm. 459; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 8, hlm. 49­55. 

[75] Mas’udi, Muruj adz­Dzahab, jilid 2, hlm. 69; Baihaqi, Kitab al­Mahasin wa al­Musawi, jilid 1, hlm. 39. 

[76] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 4, hlm. 58­59. 

[77] Kecuali di zaman pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang 2 setengah tahun. 

[78] Dengan demikian dapatlah dibayangkan bahwa hukum fiqih yang berkembang di lembaga­lembaga pemerintahan dan masyarakat didominir oleh keputusan­keputusan hukum ‘Umar, Abu Bakar dan ‘Utsman. Dan sama sekali tidak memberi tempat kepada pikiran­pikiran ‘Ali. Buah pikiran ‘Ali hanya berkembang dan diikuti oleh keluarga dan pengikut­pengikutnya. Sebagai ilustrasi dapat diikuti dialog antara gubernur Hajjaj bin Yusuf dan kadinya. Hajjaj bertanya kepada Sya’bi tentang warisan seorang (yang tidak punya anak) kepada ibu, saudara perempuan dan kakeknya. Hajjaj: ‘Bagaimana pendapat Amiru’l­mu’minin ‘Utsman? Sya’bi: ‘Tiap orang 1/3 bagian!’. Hajjaj: ‘Bagaimana pendapat ‘Ali? Sya’bi: ‘Saudara perempuan 3/6, 2/6 untuk ibu dan 1/6 bagian untuk kakek!’ Hajjaj memegang­megang hidungnya, ‘Yang pasti, kita tidak boleh mengikuti putusan ‘Ali’. Ia lalu menyuruh hakim memutuskan sesuai dengan pendapat ‘Utsman. Untuk mengetahui perbedaan­perbedaan ini, bacalah al­Imam ‘Abdul Husain Syarafuddin al­Musawi, Nash wa’1­Ijtihad. 

[79] Ibn Abil­ Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 4, hlm. 63. 


‘Urwah bin Zubair Buat Hadis Palsu: Ali Masuk Neraka 

Marilah kita lihat beberapa contoh: Az­Zuhri meriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair yang menyampaikan kepadanya: Aisyah menyampaikan kepadaku dengan kata­kata: ‘Aku bersama Rasul Allah tatkala muncul Abbas dan Ali bin Abi Thalib, dan Rasul bersabda: ‘Ya Aisyah, sesungguhnya kedua orang itu akan mati di luar millatku atau di luar agamaku’. 

Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazaq dari Ma’mar yang berkata: ‘Zuhri mempunyai dua hadis yang berasal dari ‘Urwah dari Aisyah tentang Ali; dan pada suatu hari aku bertanya kepadanya tentang mereka berdua dan ia berkata: ‘Apa yang engkau akan lakukan dengan mereka berdua dan kedua hadis tentang mereka berdua! Allah mengetahui keduanya. Aku sendiri mendahulukan. mereka berdua di antara Banu Hasyim’. Selanjutnya ia berkata: ‘Tentang hadis pertama, telah kami beritahukan. Dan hadis kedua berasal dari ‘Urwah yang menyatakan bahwa hadis itu didengarnya dari Aisyah. Aisyah berkata: ‘Aku. bersama Nabi saw tatkala muncul Abbas dan Ali kemudian Rasul bersabda: ‘Ya Aisyah, bila menyenangkan hatimu, untuk melihat kepada dua orang lelaki ahli neraka, maka lihatlah kepada kedua orang yang akan muncul’ dan aku melihat, tiba­tiba muncul Abbas dan Ali bin Abi Thalib’. 


‘Amr bin ‘Ash Buat Hadis: Ali Dengan Fathimah merupakanPerkawinan Politik

Sedang ‘Amr bin ‘Ash yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka yang berasal dari ‘Amr bin ‘Ash yang berkata: ‘Aku mendengar Rasul Allah saw bersabda: ‘Sesungguhnya keluarga Abi Thalib, bukan wali­waliku. Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang­orang mu’minin yang shalih.’ 


Abu Hurairah Buat Hadis: Agama Diamanatkan Pada Mu’awiyah, Ali Buat Bid’ah

Contoh lain adalah Abu Hurairah. Sesudah Utsman meninggal, Abu Hurairah membaiat Mu’awiyah. Kepribadiannya yang piknikus itu dapat dilukiskan dengan kata­katanya sendiri: ‘Sesungguhnya semarak makan di meja Mu’awiyah, dan sungguh sempurna shalat di belakang Ali bin Abi Thalib’. Dan ia pun memilih makan di meja Mu’awiyah. Ia membaiat Mu’awiyah sebagai khalifahnya. Lalu hadis­hadis pun mulai bermunculan. Yang pertama berbunyi: ‘Aku mendengar Rasul Allah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mengamanatkan wahyu­Nya kepada tiga oknum, yaitu saya, Jibril serta Mu’awiyah.’[1] 

Karena senangnya akan makanan kesukaan Mu’awiyah maka orang menamakannya Syaikh al­ Mudhirah. Seluruh hadisnya disampaikan di zaman Mu’awiyah. 

Mudhirah berasal dari makanan yang disukai Mu’awiyah yang terbuat dari daging dimasak dengan susu. Syaikh Muhammad ‘Abduh telah membuat sindiran tatkala ia menulis tentang Mudhirah: ‘Dan Mu’awiyah mengangkat dirinya menjadi khalifah setelah pembaiatan Ali bin Abi Thalib dan tiada yang mengakuinya selama Ali masih hidup kecuali pemburu kelezatan dan syahwat. Menikmati makanan Mu’awiyah akan menyeretnya mengakui Mu’awiyah sebagai khalifah, sedang Ali masih hidup dan telah dibaiat menurut syariat.[2] 

Abu Hurairah sekali menyaksikan Aisyah binti Thalhah yang terkenal cantlk luar biasa (al­jamal al­fa’iq), maka ia berkata: “Mahasuci Allah! Alangkah cantiknya. Demi Allah aku tidak (pernah) menyaksikan wajah secantik wajahmu, kecuali wajah Mu’awiyah (tatkala berada) di atas mimbar Rasul Allah!. [3] 

Tatkala Mu’awiyah mendengar berita meninggalnya Ali bin Abi Thalib, ia demikian gembira, sehingga ia shalat dhuha enam raka’at. Kemudian Banu ‘Umayyah memerintahkan mengeluarkan hadis tentang kemuliaan shalat dhuha enam raka’at meskipun shalat demikian tidak pernah dilakukan oleh Nabi, tidak oleh Abu Bakar, tidak oleh Umar dan tidak juga oleh Ibnu Umar. Abu Hurairah lalu membuat hadis yang berbunyi: ‘Sahabatku mewasiatkan kepadaku agar tidak kutinggalkan tiga hal sampai aku mati. Puasa tiga hari tiap bulan, dan shalat dhuha dan tidur sesudah shalat witir.’[4] 

Dan A’masy meriwayatkan: ‘Tatkala Abu Hurairah sampai ke Iraq bersama Mu’awiyah pada ‘Tahun Persatuan’ (am jamaah, tahun 41 H/661 M), ia telah pergi ke Masjid al­Kufah. Dan tatkala ia melihat banyak orang menyambutnya ia lalu duduk bersila, menepuk berkali­kali kepalanya yang botak, kemudian berkata: ‘Hai penduduk Irak! Apakah kamu menganggap aku (berbohong) terhadap Rasul Allah? Biarlah aku dibakar di neraka (bila demikian)! Demi Allah aku telah mendengar Rasul Allah bersabda: ‘Sesungguhnya setiap Nabi mempunyai tempat suci. Dan sesungguhnya tempatku yang Suci (Haram) adalah Madinah yaitu antara bukit ‘Air dan Tsaur. Dan barang siapa melakukan bid’ah di dalamnya maka terlaknatlah dia oleh Allah dan para malaikat serta seluruh manusia. Dan aku bersaksi bahwa Ali telah melakukan bid’ah di dalamnya!’ Dan tatkala sampai berita ini kepada Mu’awiyah, ia lalu membenarkan Abu Hurairah, menyambutnya dengan hormat dan mengangkatnya menjadi gubernur Madinah’.[5] 

Begitu gembira ia menjadi gubernur Madinah sehingga diriwayatkan dalam khotbah pertamanya sebagai gubernur ia telah berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan agama ini tegak teguh dan menjadikan Abu Hurairah sebagai imam’.[6] 

Sufyan ats­Tsauri meriwayatkan dari Abdurrahman bin al­Qasim dari Umar bin ‘Abdul­Ghafffar, bahwa suatu ketika Abu Hurairah datangke Kufah bersama rombongan Mu’awiyah. Ia duduk dikerumuni oleh jemaah. Lalu datang seorang pemuda Kufah yang langsung duduk di dekatnya dan berkata: ‘Ya Abu Hurairah, apakah Anda mendengar Rasul Allah saw bersabda mengenai Ali bin Abi Thalib: ‘Allahumma, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya? Maka Abu Hurairah menjawab: ‘Allahumma, benar!’. Dan pemuda itu melanjutkan: ‘Maka aku bersaksi dengan nama Allah, Anda telah mencintai musuh­Nya dan telah memusuhi wali­Nya’. Kemudian ia bangkit dan pergi. 


Samurah bin Jundab ­ Jual Hadis Pada Muawiyah

Contoh lain adalah hadis oleh Samurah bin Jundab. Diriwayatkan di bagian lain bahwa Mu’awiyah mengadakan tawar menawar dengan Samurah bin Jundab. Mu’awiyah menawar 100.000 dirham bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib, yaitu ayat: 

‘Dan di antara manusia ada orang yang menakjubkan kau. Karena perkataannya tentang kehidupan di dunia ini. Dan yang bersaksi kepada Allah atas kandungan hatinya. Padahal ialah pembangkang yang paling keras. Dan bila ia berbalik, ia berusaha menebarkan kerusakan dimuka bumi. Dan membinasakan tanam­tanaman dan ternak. Sedang Allah tiada suka kerusakan’.[7] 

Dan ayat kedua berkenaan Ibnu Muljan’[8] : 

‘Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan jiwanya untuk mencari keridaan Allah. Allah Maha Penyantun terhadap hamba­hamba­Nya. [9] 

Dan Samurah bin Jundab tidak menerima. Mu’awiyah menaikkan 200.000 dirham. Ia belum mau. Dan Mu’awiyah menaikkan 300.000 dirham dan ia masih menolak. Mu’awiyah naikkan 400.000 dirham baru diterima Samurah.[10] Samurah bin Jundab pernah sebentar jadi gubernur di Bashrah dan ia membunuh Syi’ah Ali sebanyak 8.000 orang atas petunjuk Mu’awiyah. Thabari menceritakan dari jalur Muhammad bin Salim yang berkata: ‘Aku bertanya kepada Anas bin Sirin: ‘Apakah Samurah pernah membunuh seseorang?’. Anas menjawab: ‘Apakah kau tahu berapajumlah orang yang dibunuh Samurah bin Jundab?’ Ia mengganti Ziyad di Bashrah, kemudian Kufah dan ia telah membunuh 8.000 orang’. Suatu ketika Ziyad bertanya kepadanya: ‘Tidakkah engkau takut telah membunuh orang secara sewenang­wenang?’ Samurah menjawab: ‘Tidak, andaikata yang kubunuh seperti mereka, aku tidak takut!’ Abu Siwar al­’Adwi berkata: ‘Samurah telah membunuh dari kaumku dalam satu pagi hari 47 pemuka agama’. 

Contoh lain lagi adalah Abdullah bin Umar. 


Ibnu Umar: Ali Tidak Masuk Khalifah Rasyidun

Abdullah bin Umar, yang sering disebut Ibnu Umar, anak khalifah Umar bin Khaththab, tidak mau membaiat Ali, tapi ia membaiat Mu’awiyah setelah ‘Tahun Persatuan’, Yazid dan ‘Abdul Malik. Ia juga shalat di belakang Hajjaj bin Yusuf, gubernur ‘Abdul Malik. Diceritakan tatkala ia mengulurkan tangan untuk membaiat Hajaj, Hajjaj bin Yusuf memberikan kakinya. 

Ibnu Umar adalah pembuat hadis terbanyak sesudah Abu Hurairah. Ummu’l mu’minin Aisyah nomor empat.[11] Ibnu Umar juga dituduh menghidupkan ijtihad ayahnya. Beberapa hadisnya mengenai kuutamaan (fadha’il) akan dikemukakan disini: 

Ibnu Umar berkata: ‘Kami tidak memilih­milih antara sesame kami dizaman Rasul saw dan kami memilih Abu Bakar, kemudian Unar bin Khaththab kemudian Utsman bin ‘Affan ra’.[12] Dan di bagian lain[13] : ‘Kami di zaman Nabi saw tidak mendahulukan Abu Bakar dengan siapapun, kemudian Umar kemudian Utsman, kemudian kami meninggalkan sahabat Nabi yang lain, kami tidak saling mengutamakan di antara mereka’ dan lain­lain. 

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Thabrani dari Ibnu Umar: ‘Kami berbicara pada saat Rasul Allah saw masih hidup: ‘Yang paling utama di antara manusia adalah Nabi saw, setelah beliau Abu Bakar, kemudian Umar dan kemudian Utsman. Rasul Allah mendengarnya dan beliau tidak mengingkarinya.[14] 

Sunni menolak hadis ini, karena Sunni juga mengakui Ali sebagai khalifah lurus yang keempat. Orang hanya mengatakan bahwa Ibnu Umar tidak menyebut Ali karena ia tidak membaiat Ali. 

Ibnu Umar baru berumur 15 tahun waktu pecah perang Khandaq. Oleh karena itu Ali bin al­Ja’d misalnya mengatakan: Lihat anak itu, mengurus istri saja tidak bisa, lalu dia berani mengatakan ‘Kami mengutamakan..![15] 

Maka bila ada hadis yang berpasangan, misalnya, yang satu untuk Ali dan yang satu lagi untuk ‘Abu Bakar atau Umar atau Utsman maka telitilah. Lihatlah konteks keluarnya hadis itu. 

Misalnya ada hadis ‘Rasul menutup semua pintu kecuali pintu (bab) untuk Ali. Tapi ada pula hadis serupa ‘Rasul menutup semua pintu kecuali pintu (Khaukhah) untuk Abu Bakar. 

Atau hadis yang diucapkan Rasul pada saat akan wafat: ‘Bawalah kemari tinta dan kertas agar kutuliskan bagimu surat agar kamu tidak akan pernah tersesat sepeninggalku’[16] Hadis di atas ada pasangannya yang dimuat dalam shahih Bukhari, Muslim dan shahih­shahih lain yang diriwayatkan Aisyah bahwa Rasul saw pada saat sakit berkata kepadanya: ‘Panggil ayahmu, aku akan menulis untuk Abu Bakar sebuah surat, karena aku takut seseorang akan mempertanyakan atau menginginkan (kekhalifahan), karena Allah dan kaum mu’minin menolakinya, kecuali Abu Bakar’.[17] 

Atau untuk menerangkan keterlambatan penguburan Rasul timbul sebuah hadis yang berasal dari Aisyah bahwa orang berselisih paham mengenai tempat penguburan Rasul dan untung Abu Bakar ingat sabda Rasul bahwa tiap Nabi dikuburkan di tempat ia wafat. Dan padanannya adalah hadis yang berbunyi: “Antara kamarku dan mimbarku adalah taman dari taman­taman di surga’. Dan penguburan dilakukan oleh keluarga Rasul saw dan tidak dihadiri Abu Bakar yang diakui oleh Aisyah. 


Hadis Sepuluh Masuk Surga

Hadis ini menyangkut sepuluh orang yang telah dinyatakan akan masuk surga (sepuluh yang mendapat kabar gembira masuk surga), yang dilaporkan oleh Sa’id bin Zaid, ipar Umar bin Khaththab, di zaman Mu’awiyah. Baiklah kita ikuti riwayat munculnya hadis ini di zaman ‘pengucilan’ Ali bin Abi Thalib ini. 

Said meninggal dunia tahun 51 H/671 M. Di tahun itu juga Mu’awiyah membunuh Hujur bin ‘Adi bersama dua belas kawan­kawannya. Ibnu Atsir meriwayatkan bahwa pemulanya ialah Mughirah bin Syu’bah, gubernur yang diangkat Mu’awiyah di Kufah, melaknat Ali dan Hujur membantahnya. Pada tahun 40 H/660 M, Mughirah bin Syubah digantikan oleh Ziyad bin Abih yang mengejar dan menganiaya siapa saja yang tidak mau mencerca Ali bin Abi Thalib. 

Hadis ini timbul pada masa itu, dengan lafal: ‘Pada suatu ketika, di masjid (Kufah), seseorang telah menyebut (melaknat pen.) Ali bin Abi Thalib. Maka berdirilah Said bin Zaid seraya berkata: ‘Aku bersaksi dengan nama Rasul Allah saw bahwa sesungguhnya aku mendengar beliau bersabda, ‘Sepuluh orang masuk surga: Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin ‘Auf’. Kemudian orang bertanya, ‘Siapa yang kesepuluh?’ Setelah ditanyakan berkali­kali, ‘Sa’id bin Zaid’ menjawab, ‘Aku’. Dalam lafal yang lain, nama Abu Ubaidah bin al ‘Jarrah disebut, sedang Nabi tidak dimasukkan.[18] 

Dalam kemelut seperti itu, Said bin Zaid’ telah bertindak sangat berani. Orang­orang yang disebut oleh ‘Sa’id bin Zaid’ sudah tepat. Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah pernah bergesekan dengan Ali, mengepung dan hendak membakar rumah ‘penghulu wanita mu’minin’ Fathimah, ‘meskipun Fathimah ada di dalam’, sebagaimana nanti akan terbaca dalam peristiwa Saqifah. Utsman adalah dari marga Umayyah, marganya Mu’awiyah. Thalhah dan Zubair memerangi Ali dalam perang Jamal. Ali menyebut mereka sebagai kelompok Nakitsun, yaitu kelompok yang membatalkan baiat, karena mereka berdua merupakan orang­orang pertama yang membaiat Ali, tetapi kemudian berbalik memeranginya. Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Ali setelah Utsman meninggal dunia. Abdurrahman bin ‘Auf ­meskipun kemudian menyesal­ pernah mengancam akan membunuh Ali dengan pedang, bila Ali tidak membaiat Utsman dalam Syura yang dibentuk oleh Umar. Dengan cerdiknya, ‘Sa’id’ memasukkan nama Ali untuk mencegah para penguasa mengutuk Ali di mimbar­mimbar seluruh desa dan kota dan secara tidak langsung berusaha menyelamatkan kaum Syi’ah agar tidak dibantai seperti Hujur. Dan untuk menyelamatkan dirinya, ‘ia’ memasukkan namanya pula. Hadis ini, ditinjau dari segi sejarah, tidak dapat ditafsirkan lain dari itu. Hadis yang merupakan ‘pemberontakan’ terhadap penguasa yang zalim seperti ini, tidak dapat dikatakan salah, tetapi tidak juga dapat dikatakan benar. Riwayat di atas kemungkinan besar dibuat orang dengan mengatas namakan Sai’id bin Zaid. 

Imam Malik, misalnya, meriwayatkan: Rasul Allah saw bersabda kepada para Syuhada’ Perang Uhud: ‘Aku menjadi saksi mereka (bahwa mereka telah mengorbankan nyawa mereka) di jalan Allah’. Dan berkatalah Abu Bakar ash­Shiddiq: ‘Wahai Rasul Allah, bukankah kami saudara­ saudara mereka? Kami memeluk Islam seperti mereka, dan kami berjihad seperti mereka berjihad!’. Dan Rasul Allah menjawab: ‘Ya, tetapi aku tidak tahu apa yang akan kamu lakukan sesudahku’. Dan menangislah Abu Bakar sambil berkata: ‘Apakah kami akan masih hidup sesudahmu?[19] 

Perawi ‘sepuluh orang masuk surga’ tidak menceritakan kepada kita dalam hubungan apa Rasul Allah saw menyampaikan hadis ini, dan siapa saja yang ikut mendengarkan. 

Dan mengapa Sa’id, misalnya, tidak berdiri di depan massa yang sedang mengepung rumah Utsman yang berakhir dengan pembunuhan khalifah ketiga itu dan mengatakan kepada mereka hadis yang penting ini? 

Mengapa Sa’id bin Zaid, misalnya, tidak menasihati Abdullah bin Umar agar membaiat Ali tatkala terjadi pembaiatan terhadap Ali sesudah Utsman terbunuh, karena bagaimanapun juga Ali termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Rasul Allah? Malah membaiat Mu’awiyah, Yazid dan ‘Abdul Malik serta Hajjaj bin Yusuf? 

Mengapa tidak menasihati ummu’l­mu’minin Aisyah dan menyampaikan hadis itu agar ia tidak memerangi Ali dan agar menetap di rumahnya sebagaimana diperintahkan Al­Qur’an? 

Mengapa pula Thalhah dan Zubair dimasukkan ke dalam sepuluh masuk surga dan bukan, misalnya, Abu Dzarr al­Ghifari dan Hamzah paman Rasul? Mengapa pula Sad bin Abi Waqqash dimasukkan ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan misalnya Miqdad atau Abu Ayyub at­ Anshari? 

Begitu pula Abu Ubaidah bin al­Jarrah, seorang penggali kubur di Madinah dimasukkan pula ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan, misalnya Salman al­Firisi? 

Meskipun menyesal di kemudian hari Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Imam Ali sedang Rasul mengatakan bahwa ‘barangsiapa tidak mengenal imam pada zamannya, ia mati dalam keadaan jahiliah’. Dan hadis ini diakui sebagai hadis shahih di semua mazhab? 

Apakah surga ini hanya diperuntukkan bagi para khalifah dan mereka. yang ikut dalam pergolakan kekuasaan dan bukan orang­orang seperti ‘Ammar bin Yasir, Miqdad, Abu Dzarr al­ Ghifari atau Salman al­Farisi? 

Lagi pula dalam Al­Qur’an, Allah SWT telah berfirman[20] : 

“Dan barangsiapa melalukan amal kebajikan, laki­laki maupun perempuan, sedang ia orang beriman, mereka itu masuk surga”. (An­Nisa’: 124) 

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga­surga yang mengalir sungai­sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah­buahan dalam surga­surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu.” mereka diberi buah­buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri­isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya di syurga itu adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani.” (Al­Baqarah: 25) 

“Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal.” (At­Taubah: 21) 

“Sesungguhnya orang­orang yang beriman dan mengerjakan amal­amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni­penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya.” (Hud: 23) 

“Sesungguhnya Allah memasukkan orang­orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga­surga yang di bawahnya mengalir sungai­sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al­Hajj: 14) 

“Adapun orang­orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan.” (As­Sajdah: 19) 

“Supaya Dia memasukkan orang­orang mukmin laki­laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai­sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan­kesalahan mereka. dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al­Fat’h: 5) 

“Seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat­ayat Allah yang menerangkan supaya Dia mengeluarkan orang­orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga­surga yang mengalir di bawahnya sungai­sungai; mereka kekal di dalamnya selama­lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (Ath­ Thalaq: 11) 

“Allah menjanjikan kepada orang­orang mukmin, lelaki dan perempuan, surga yang dibawahnya mengalir sungai­sungai, kekal mereka di dalamnya, dan tempat­tempat yang bagus di surga ‘Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (At­Taubah: 72) 

Rasul Allah juga telah bersabda: Jibril datang kepadaku dan berkata: ‘Sampaikanlah kabar gembira kepada umatmu, bahwa barang siapa meninggal dunia tanpa menyerikatkan sesuatu kepada Allah SWT, maka ia akan masuk surga’. Aku bertanya: ‘Hai, Jibril, meskipun ia pernah mencuri dan berzina? 

Jibril menjawab, ‘Betul’ (sampai tiga kali). Akhirnya Jibril menjawab, ‘Betul, meskipun ia peminum minuman keras.[21] 

Nabi juga bersabda: Sampaikanlah kabar gembira, bahwa barangsiapa mengaku bahwa tiada Tuhan selain Allah secara tulus, maka ia akan masuk surga.[22] Nabi iuga bersabda: “Sesungguhnva Allah SWT telah menjanjikan kepadaku bahwa Ia akan memasukkan ke dalam surga 70.000 (ada yang mengatakan 700.000) orang dari umat­Ku tanpa hisab.”[23] 

Rasul Allah juga berkata: “Ali dan Syi’ahnya masuk surga”.[24] 

Hadis seperti ini banyak diriwayatkan.[25] Juga hadis shahih lainnya, seperti Shuhaib, Shahabat Rasul yang orang Roma, masuk surga, Bilal Sahabat dari Habasyah, masuk surga, Salman yang dari Persia masuk surga, Hasan dan Husain masuk surga, ‘Amr bin Tsabit masuk surga, Tsabit bin Qais dan berpuluh­puluh lainnya yang tidak mungkin disebut disini. Yang masuk surga tidak dapat dibatasi pada mereka yang berhasil menduduki kekhalifahan atau yang ikut dalam pergolakan politik dan tidak dapat dibatasi pada sepuluh orang. Alangkah banyaknya umat Muhammad yang akan masuk surga. 

Law, dapatkah orang­orang yang akan masuk surga ini, termasuk para Sanabat, berbuat salah? Tidak ada satu ayat pun yang mengatakan sebaliknya. Tiada sebuah hadis pun yang mengatakan bahwa para Sahabat atau Ibu­ibu Kaum Mu’minin (ummahat al­muminin) tidak dapat berbuat salah. Kemudian, apakah penghormatan kita kepada para Sahabat atau para Ibu Kaum Mu’minin akan berkurang dengan menulis sejarah sebagaimana adanya? Tidak, kita akan tetap menghormati para Sahabat dan para Ibu Kaum Mu’minin sebagaimana mestinya. Ibu kita adalah tetap ibu yang kita hormati, andaikata pun dia berbuat salah kepada anaknya sendiri. Ali bin Abi Thalib mengatakan demikian terhadap ummu’l­mu’minin Aisyah. Hisab dan pengampunan ada pada Allah. 


Hadis­-Hadis Keutamaan

Hampir pada semua pengantar buku tentang Saqifah, para penulis sejarah tradisional memulai dengan hadis tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar. Misalnya, tulisan Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (M. 270 H/883 M.) dalam kitab tarikhnya al­Imamah wa’s­ Siyasah yang terkenal dengan Tarikh Khulafa’ur Rasyidin wa Daulah Banii Umayyah jilid pertama. Dalam kata pengantarnya yang berjudul “Keutamaan Abu Bakar dan Umar”, ia mengemukakan empat hadis tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar, dengan rangkaian isnad yang lengkap. Hadis yang pertama dilaporkan oleh Ali bin Abi Thalib, kedua oleh Abdullah bin Abbas, ketiga oleh Ali lagi, sedang yang keempat oleh Qasim bin Abdurrahman. 

Sebagai contoh, baiklah kita ikuti hadis pertama secara lengkap, sekaligus sebagai contoh bagaimana pencatat sejarah zaman dulu merangkaikan isnad atau jalur pelapor[26] : “Telah disampaikan kepada kami oleh Abi Mariam yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Asad bin Musa yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Waqi’ dari Yunus bin Abi Ishaq, dari Asy­Sya’bi, dari Ali bin Abi Thalib, karramallahu wajhahu; “Aku sedang duduk bersama Rasul Allah saw ketika datang Abu Bakar dan Umar maka bersabdalah Rasul Allah saw kepadaku: ‘Mereka berdua itulah penghulu orang dewasa di surga, sejak orang terdahulu sampai pada orang terakhir, kecuali para Nabi dan para Rasul as; dan janganlah engkau sampaikan berita ini kepada mereka berdua, wahai Ali.’ Lafal ketiga hadis lainnya sejenis itu pula. 

Hadis seperti ini sangat banyak. Para penulis itu ingin menunjukkan bahwa pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pertama berlangsung secara lancar dan wajar, karena yang berhak menjadi khalifah ­sekurang­kurangnya menurut penulis itu­ adalah Sahabat paling utama; dan yang paling utama di antara seluruh umat manusia, selain para Nabi dan Rasul, adalah Abu Bakar dan Umar. Karena itu maka merekalah yang paling pantas menjadi khalifah; dan Ali sendiri konon mendengar hal ini langsung dari Rasul. 

Tetapi, dalam bab ‘Bagaimana Baiat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu’, Ibnu Qutaibah memulai dengan kalimat­kalimat berikut: “Sesungguhnya Abu Bakar merasa kehilangan suatu kaum yang enggan membaiatnya, yang sedang berkumpul di rumah Ali. Mereka tidak mau keluar untuk membaiat Abu Bakar. Umar lalu mengumpul kayu bakar, seraya berkata: ‘Demi Allah, Pemilik jiwa Umar, kalau kalian tdak segera keluar, aku akan bakar rumah ini dengan seluruh isinya’. Orang lalu berkata kepada Umar: ‘Wahai, Ayah Hafshah (Umar), Fathimah (puteri Rasul Allah) ada di dalam!’ Dan Umar menjawab: Sekalipun!”[27] 

Hadis­hadis keutamaan seperti itu sungguh sangat tidak adil, bertentangan dengan fakta sejarah. Sekiranya benar Ali bin Abi Thalib pernah mendengar Rasul Allah bersabda demikian, jalannya sejarah tidak akan seperti itu. Dalam kumpulan khotbah, ucapan dan tulisan Ali yang dikumpulkan dalam Nahju’l Balaghah, tidak ditemukan hadis semacam itu. Bila kita hendak berlaku jujur, hadis seperti ini haruslah dianggap sebagai “hadis­hadis politik” yang muncul untuk membenarkan kekuasaan de facto. Ini merupakan preseden timbulnya kebiasaan mendukung pemerintahan de facto oleh kebanyakan ulama Sunni, seperti yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman.[28] 


Riwayat dan Hadis Abu Hurairah

Ada beberapa riwayat yang disampaikan Abu Hurairah sebagai saksi pelapor dalam peristiwa Saqifah. Abu Hurairah pun telah menyampaikan keutamaan­keutamaan Abu Bakar dan Umar yang melebihi keutamaan para Sahabat lain. Tetapi sehubungan dengan peristiwa Saqifah, riwayat dan hadis yang disampaikan Abu Hurairah, harus dipandang dengan kritis. 


Asal­usul Abu Hurairah, Hanya 1 Tahun 9 Bulan di Shuffah

Abu Hurairah datang kepada Rasul Allah pada bulan Safar tahun 7 Hijriah, Juni 628 M, setelah Perang Khaibar. Kaum dari klan ad­Daus, klan Abu Hurairah, dan kaum al­’Asy’ari mendatangi Rasul Allah tatkala Rasul berada di Khaibar. Kaum ‘Asy’ari terlambat mengunjungi Rasul, seperti diceriterakan Abu Musa al­’Asy’ari, karena sedang berperang dengan kaum kafir. Tentang Abu Hurairah biarlah ia sendiri yang menceriterakan: 

Aku mendatangi Rasul Allah yang pada waktu itu berada di Khaibar, setelah Khaibar ditaklukkan, dan aku berkata: “Ya Rasul Allah adakah bagian untukku? Tolong bicarakan dengan kaum Muslimin itu untuk membagikan bagian mereka dengan kami.”[29] 

Ia kemudian tinggal di emperan Masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Dzulqaidah tahun 8 Hijriah/Maret 630 M, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani al­’Ala’ al­ Hadhrami sebagai mu’azin. Sedang peristiwa Saqifah terjadi pada tahun 11 H/8 Jum 632 M. Dengan demikian ia tinggal di Shuffah selama 1 tahun 9 bulan. Ia meninggal tahun 59 Hijriah. Dan umat Islam kehilangan sahabat yang paling banyak menyampaikan hadis. Abu Muhammad bin Hazm meriwayatkan dari Abu Abdurrahman Baqi Ibnu Mukhallad al­Andalusi yang mencatat dalam “Musnadnya” bahwa Abu Hurairah meriwayatkan 5374 hadis, di antaranya Bukhari meriwayatkan 446 hadis. 

Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama yang sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya di zaman jahiliah maupun di zaman Islam. Begitu pula asal usulnya. Abu Hurairah adalah nama julukan yang berarti Ayah Anak Kucing. Menurut ceritanya ia pernah bekerja sebagai buruh pengembala dan sering membawa anak kucing bersamanya. Dari situlah ia diberi gelar Abu Hurairah.[30] 

Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayat atau karena kecintaannya kepada Nabi saw seperti yang lain, tetapi untuk mendapatkan makanan. 

Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: ‘Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku’. Dan dalam riwayat lain: ‘untuk memenuhi perutku yang lapar’. Dalam riwayat Muslim: ‘Aku melayani Rasul Allah untuk mengisi perutku’, atau ‘Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku’. 

Ia mendatangi para sahabat seperti Umar dan Abu Bakar dengan berpura­pura meminta dibacakan sebuah ayat al­Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawarkan makanan, tetapi tiada seorang sahabat pun menawarkan makanan kepadanya kecuali Ja’far bin Abi Thalib yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya. 

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: ‘Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar aku menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu dengan Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat Kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat Kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.’[31] 

Bukhari: ‘Aku, bila bertanya mengenai sebuah ayat (al­Qur’an) kepada Jafar (bin Abi Thalib) maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku ke rumahnya’. Di bagian lain: ‘Aku meminta kepada Jafar bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al­Qur’an), yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin; Jafar bin Abi Thalib. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya’.[32] 

Tirmidzi meriwayatkan: ‘Dan bila aku bertanya kepada Jafar mengenai ayat, ia tidak menjawab (pertanyaanku) sampai ia tiba di rumahnya’. Menurut Abu Hurairah, Ja’far­lah yang terbaik di kalangan sahabat. Hadis mengenai ‘laparnya’ Abu Hurairah ini, banyak jumlahnya. Lalu di mana ‘pundi­pundinya’? (Lihat hadis ‘mizwad’ atau pundi­pundi). 


Kepribadian Abu Hurairah


Kepribadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khaththab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. Umar menuduhnya sebagai pencuri, dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum Muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab Allah atau musuh Islam.[33] 

Abu Hurairah pada masa itu menjadi gubernur ketiga di Bahrain sesudah al ‘Ala’ al­Hadrami dan Qudamah bin Mazh’un. 

Jarud al­’Aqdi datang kepada Umar dari Bahrain dan melaporkan bahwa Qudamah bin Mazh’un minum minuman keras dan mabuk. Umar bertanya: ‘Siapa yang menyaksikan bersama Anda?’ Jarud: ‘Abu Hurairah!’. Umar memanggil Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata: ‘Aku tidak melihatnya minum, tetapi aku melibatnya mabuk dan muntah­muntah’. Umar berkata: ‘Engkau telah mengubah kesaksian!’ Dan Umar menyuruh panggil isteri Qudamah yang bernama Hindun binti al­Walid, dan Hindun memberikan kesaksian yang benar dan memberatkan suaminya... ‘Qudamah adalah pengikut Perang Badr satu­satunya yang dihukum Umar karena minum minuman keras’.[34] 

Ia juga punya hobi makan. Karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka ia sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadis lesung’.[35] 

Karena seringnya ia meriwayatkan hadis, ummu’l­mu’minin Aisyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai ‘berbicara tak karuan’ (mazzah), ‘berbohong’ (kadzdzab) dan lain­lain. 

Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadis. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadis pun di zaman Umar. Ummu’l­mu’minin Aisyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. Ali menamakannya pembohong umat. Demikian pula tokoh­tokoh yang terdahulu. Sayid Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa andaikata Abu Hurairah meninggal sebelum Umar maka umat Islam tidak akan mewarisi hadis­hadis yang penuh khurafat, isykalat, dan isra ‘iliyat. 


Banyaknya Hadis Abu Hurairah

Hadis­hadis yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5.374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadis yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur­ Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadis (yang dimasukkan dalam Bukhari 22), Umar 537 hadis (yang dianggap shahih 50), Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadis, Muslim 5), dan Ali 586 hadis (yang dianggap shahih 50); semuanya hanya 1.411 hadis, dan itu berarti cuma 2l% dari jumlah hadis yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat­ayat al­Qur’an. Sebagai perbandingan, maka seluruh hadis yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, Umar dalam 63,1 hari, Utsman dalam 17,1 hari, Ali dalam 68,9 hari, Thalhah bin Ubaidillah dalam 4,4 hari, Salman at­Farisi dalam 7 hari, Zubair bin ‘Awwam dalam 1,1 hari, Abdurrahman bin ‘Auf dalam 1 hari. 

Penghuni shuffah yang lain seperti Hajjah bin Amr al­Mazini a I­Anshari Hajjah bin Amr al­Mazini at­Anshari, Hazib bin Armalah, Tinkhafah bin al­Qais alGhifari, Zaid bin Khaththab al­Adawi, Abdullah bin Qaridzah al­Tumali dan Furat bin Hayyan bin al­Ali masing­masing hanya meriwayatkan 1 (satu) hadis. Safinah, sahaya Rasul Allah saw meriwayatkan 14 hadis, satu hadis diriwayatkan oleh Muslim. Syarqan, juga sahaya Rasul Allah saw hanya meriwayatkan 1 (satu) hadis dan diriwayatkan oleh Tirmidzi. 

Dan seluruh hadis­hadisnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah saw wafat sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya, dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral hadisnya. 


Tidak Hadir, Bilang Hadir

Abu Hurairah sering menjadi saksi pelapor dari suatu kejadian padahal dia tidak hadir di tempat tersebut. Sebagaimana dikatakan di atas ia hanya tinggal selama satu tahun sembilan bulan di shuffah Masjid Nabi di Madinah, yaitu antara bulan Safar tahun 7 Hijriah, sampai bulan Zulqaidah tahun 8. Setelah itu ia berada jauh di Bahrain. Tetapi, ia telah menyampaikan laporan­ laporan sebagai saksi mata tentang hal­hal yang terjadi pada masa­masa sebelum dan sesudahnya. Bukhari menulis bahwa Abu Hurairah telah berkata: ‘Kami membuka (menaklukkan) Khaibar dan kami tidak mendapat rampasan perang berupa emas atau perak. Yang kami dapat adalah lembu, unta dan alat­alat rumah tangga (mata’)’. Hadis serupa disampaikan juga oleh Muslim. Sedang Abu Hurairah masuk Islam sesudah Perang Khaibar tersebut. 

Begitu pula Abu Hurairah mengatakan bahwa dia berada dalam perjalanan haji Abu Bakar sebagaimana diceritakan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Baihaqi dari Abu Hurairah: ‘Abu Bakar ra mengutusku pada musim haji tersebut­ untuk menyampaikan kepada penyeru­penyeru yang dikirimkannya pada hari an­Nahr di Mina agar mengumumkan bahwa kaum musyrikin tidak boleh naik haji sesudah tahun itu, dan tidak boleh melakukan thawwaf di Bait Allah dalam keadaan telanjang. Kemudian Nabi saw menyusulkan Ali bin Abi Thalib ra dan menyuruhnya untuk mengumumkan Surat al­Bara’ah[36] dan Ali bersama kami mengumumkan Surat al­Baraah kepada orang­orang yang berkumpul di Mina pada hari An­Nahr dan agar kaum Musyrikin tidak naik haji sesudah tahun itu dan tidak boleh berthawwaf di Bait Allah dalam keadaan telanjang’. 

Ibnu Ishaq dalam Sirah menulis: Rasul Allah mengutus Abu Bakar sebagai pemimpin (Amir) haji tahun 9 Hijriah. Dan tatkala Abu Bakar keluar dari Madinah, turunlah Surat al­Baraah dan orang bertanya kepada Rasul Allah. ‘Bagaimana kiranya kalau Anda mengirimnya bersama Abu Bakar?[37] Maka Rasul Allah menjawab: ‘Tidak boleh orang lain menyampaikannya atas namaku kecuali seorang dari ahli bait­ku’. Kemudian Rasul Allah memanggil Ali dan bersabda kepadanya: ‘Pergilah kamu dengan membawa Surat Bara’ah dan umumkan kepada orang­orang di hari an­ nahr pada waktu mereka berkumpul di Mina... Maka berangkatlah Ali menyusul Abu Bakar dan bertemu dengannya di perjalanan dan setelah Abu Bakar melihat Ali ia berkata: ‘Amir atau makmur?’[38] Ali menjawab: ‘Makmur’. Sampai tiba Hari An­Nahr Ali ra berdiri dan mengumumkan kepada orang­orang apa yang diperintahkan oleh Rasul Allah. Dan yang diumumkan Ali adalah: ‘Bahwa orang kafir tidak akan masuk surga, dan orang musyrik tidak boleh naik haji sesudah musim haji tahun itu, dan tidak boleh ber­thawwaf sekeliling Bait Allah dengan telanjang dan barang siapa ada perjanjian dengan Rasul Allah maka dia mendapat tenggang waktu’. Hadis ini diperkuat oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Ali dan Abu Bakar. 

Di bagian lain ia berkata: ‘Aku masuk (ke rumah) Ruqayah anak Nabi Allah, isteri Utsman yang sedang memegang sisir: Rasul Allah keluar lebih dulu dari aku. Rambutnya terurai. Rasul Allah bertanya kepada Ruqayah: ‘Bagaimana keadaan Abu Abdullah (Utsman, pen) Ruqayah menjawab: ‘Baik!’ Rasul Allah berkata: “Hormatilah dia karena dia adalah sahabat yang diciptakan paling menyerupaiku!”[39] 

Al­Hakim berkata: ‘hadis ini isnadnya shahih tapi matannya lemah. Karena Abu Hurairah memeluk Islam sesudah Perang Khaibar tahun 7 Hijriah (setelah Ruqayah meninggal). Tetapi dasarnya Abu Hurairah!’ 

Di bagian lain Abu Hurairah berkata: ‘Rasul Allah jadi imam kami dalam shalat Dzuhur atau Ashar dan ia mengucapkan salam (baru) shalat dua raka’at. Dan berkata Dzul Yadain: ‘Anda mempersingkat shalat atau Anda lupa?. Sedang Dzul Yadain syahid pada Perang Badr jauh sebelum Abu Hurairah masuk Islam. Di bagian lain Abu Hurairah berkata ‘shalat bersama kami pada suatu shalat isi, Dzuhur atau Asar’. Di bagian lain lagi ia berkata: ‘Ia jadi Imam kami shalat Asar’ dan di bagian lain lagi: ‘Sedang aku shalat bersama Rasul Allah shalat Dzuhur!’ Dan semua riwayat ini dimuat dalam Bukhari dan Muslim. 

Di bagian lain lagi. ‘Rasul Allah bersabda kepada pamannya Abu Thalib: ‘Katakanlah ‘La ilaha ilallah’ dan dengan ini aku akan menjadi saksi di hari kiamat’. Abu Thalib menjawab: ‘Andaikata saja kaum Quraisy tidak mengejekku dan mengatakan: ‘Dia dipaksa melakukannya!’ maka aku akan mengucapkan perintahmu’. Maka Allah SWT menurunkan ayat: ‘Engkau tidak dapat memberi hidayat kepada siapa yang engkau sukai, tapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa Ia berkenan’.[40] 

Dan di bagian lain: ‘Rasul Allah bersabda kepada pamannya tatkala ia sedang sekarat: ‘Ucapkan ‘La ilaha ilallah’, aku akan menjadikannya saksi bagimu di hari kiamat’, dan Abu Thalib menolak. Dan Allah SWT menurunkan ayat dst’ Diriwayatkan oleh Muslim. 

Abu Thalib meninggal di Makkah 3 tahun sebelum Hijrah dan Abu Hurairah masuk Islam 7 tahun sesudah Hijrah, yaitu sesudah Perang Khaibar. Dengan kata lain ia baru datang dari Yaman sepuluh tahun setelah Abu Thalib meninggal. Dan ia menyampaikan hadis ini sebagai saksi mata. 


Abu Thalib, Mu’min atau Kafir?

Anak cucu Ali dan Fathimah serta keluarga Rasul Allah saw tidak pernah meragukan keimanan Abu Thalib. Selain Mazhab Imamiah, juga kebanyakan penganut Mazhab Zaidiyah dan Mazhab Mu’tazilah menganggap Abu Thalib sebagai seorang Mu’min. Di dalam Mazhab Ahli Sunnah dapat dibilang satu­satunya hadis shahih yang meriwayatkan ‘kekafiran’ Abu Thalib adalah Abu Hurairah. Tetapi bagaimana ia dapat menyaksikan peristiwa meninggalnya Abu Thalib sedang ia pada waktu itu berada di desa Daus, Yaman, dan baru muncul di Madinah dan masuk Islam sepuluh tahun kemudian? Lagi pula para Sahabat besar menganggap Abu Hurairah sebagai pembohong (lihat pembicaraan di bagian lain mengenai Abu Hurairah), maka Abu Hurairah haruslah dicurigai seperti dikatakan oleh Imam Ibnu Qutaibah. Hal ini disebabkan kaum Muslimin lebih percaya kepada para Sahabat seperti Umar, Utsman, Ali serta Aisyah ketimbang Abu Hurairah. Abu Hurairah bukan Sahabat besar, bukan dari kaum Muhajirin, bukan ‘Anshar, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal­usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinya pun tidak diketahui orang. Dan secara moral, orang akan mempertimbangkan keyakinan keluarganya yang tentunya lebih mengetahui Abu Thalib ketimbang orang luar seperti Abu Hurairah yang sama sekali tidak mengenal, melihat apalagi menyelami pribadinya. Lagi pula orang mengetahui bahwa Mu’awiyah ingin melenyapkan keutamaan Ali bin Abi Thalib untuk memelihara kekuasaannya, dan Abu Hurairah adalah salah seorang yang menyediakan perangkat lunak­nya. Ia tidak membuang kesempatan membuat hadis mengenai Abu Thalib, ayah Ali, paman Rasul Allah, yang dikatakannya sebagai kafir yang tentunya sangat menggemaskan keluarga ahlu’l­bait. Haruslah diakui betapa susahnya anggota keluarga seperti keluarga Nabi ini membuktikan keislaman Abu Thalib setelah hadis Abu Hurairah muncul lebih dari empat puluh tahun sesudah wafatnya Abu Thalib, yang didukung oleh penguasa yang menganggap hadis­hadis seperti kekafiran Abu Thalib sangat penting untuk mereka. Betul, pada masa tertentu, Abu Hurairah merasa dongkol kepada Mu’awiyah, yaitu tatkala Mu’awiyah memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Madinah ­Mu’awiyah juga yang mengangkatnya menjadi gubernur, lihat pembicaraan di bagian lain mengenai Abu Hurairah­ dan menggantikannya dengan Marwan bin Hakam, tetapi untuk itu tentu saja ia tidak menarik lagi riwayat dan hadis­hadisnya terdahulu, tetapi membuat riwayat­riwayat dan hadis baru. 

Ada hadis yang diriwayatkan oleh murid dan menantu Abu Hurairah yang bernama Said bin Musayyib yang dikatakan didengarnya dari ayahnya yang mengatakan bahwa Abu Thalib tidak mau membaca syahadat pada saat sekarat. Tetapi orang mengetahui Said bin Musayyib adalah seorang yang sangat memusuhi Ali bin Abi Thalib sebagaimana dapat diikuti dalam kisah percekcokan antara Sa’id bin Musayyib dan salah seorang anak Ali.[41] 

Lama kemudian, tatkala ia ditegur karena tidak mau menshalati jenazah Ali bin Husain bin Ali, cucu Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan ‘Saya lebih suka shalat dua raka’at dari pada menshalati jenazahnya’ seperti dicatat oleh Waqidi. 

Dari segi matan, hadis ini pun jelas dikarang secara tergesa­gesa. Diceritakan bahwa tatkala Abu Thalib tidak mau mengucapkan La ilaha ilallah, Rasul Allah hendak memohon agar Allah SWT mengampuni Abu Thalib lalu turunlah ayat Surat Taubah: 

“Tiadalah pantas hagi Nabi dan orang­orang yang beriman bahwa mereka meminta ampun bagi orang yang musyrik, sekalipun mereka kaum kerabat setelah nyata padanya bahwa mereka penghuni neraka”.[42] 

Sesudah itu baru turun ayat Surat Qashash: 

“Kau tiada dapat memberi hidayah siapa (saja) yang engkau cintai. Tapi Allahlah yang memberi Hidayah siapa yang Ia berkenan. Dan Allah lebih mengetahui orang yang menerima petunjuk”.[43] 

Sedang Surat at­Taubah termasuk surat­surat Madaniah terakhir[44] sekitar sepuluh tahun sesudah Abu Thalib meninggal. 

Di samping itu ada hadis yang dikatakan diriwayatkan juga oleh Ibnu Abbas, yang tentu saja diragukan. Hadis ini disampaikan oleh Ibnu Mardawaih dan lain­lain melalui jalur Abu as­Suri bin Sahl dari ‘Abdul Quddus dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Di dalam rangkaian isnadnya terdapat orang­orang seperti Abu Sahl As­Suri yang dikenal sebagai pembohong, pencipta hadis palsu dan pencuri hadis,’[45] dan ‘Abdul Quddus Abu Sa’id ad­Damasyqi yang merupakan mata rantai yang lain, juga dituduh sebagai pembohong.[46] 

Lalu mengapa pula memanfaatkan para pembohong seperti Abu Sahl As­Suri meriwayatkan juga dari pembohong ‘Abdul Quddus di atas dari Nafi dari Ibnu Umar mengenai hadis yang di dalamnya menceritakan turunnya Surat At­Taubah sekitar sepuluh tahun sesudah Abu Thalib meninggal untuk menopang Hadis Sa’id bin Musayyib yang jelas tidak historis itu atau hadis Abu Hurairah yang merupakan hadis yang memperdayakan orang dan mengorbankan tokoh seperti Abu Thalib yang peranannya dalam membela Rasul tidak terlukiskan dengan kata­kata? 

Hadis lain dikatakan berasal dari Qatddah yang dimuat dalam tafsir Thabari, juga hadis yang dikatakan berasal dari Ibnu Abbas melalui jalur ‘Athiyyah al’Aufi dari Ibnu Abbas. Hadis­hadis ini ditolak karena juga memuat Surah At­Taubah yang secara jumhur diakui sebagai Surat yang turun pada akhir kurun Madinah. Bukhari, misalnya meriwayatkan bahwa ayat ini turun sesudah pembukaan Makkah sedang sebagian lagi sesudah Perang Tabuk.[47] 

Abu Thalib merupakan pasukan satu orang yang melindungi Rasul Allah saw selama sepuluh tahun kenabiannya di Makkah, sama seperti yang dilakukan dalam kurun waktu yang sama oleh kaum ‘Anshar dan Muhajirin di Madinah. Seperti isterinya Fathimah binti Asad yang sejak awal telah memeluk Islam, ia memerintahkan anak­anaknya untuk mengikuti Muhammad saw. Ia dengan tulusnya melindungi Rasul. 

Marilah kita ikuti hadis yang lain. Ibn Abil­Hadid meriwayatkan dari banyak jalur, dari Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dan sebagian lagi dari Abu Bakar bin Abi Quhafah: 

‘Sesungguhnya, Abu Thalib sebelum meninggal berkata: ‘La ilaha ilallah, Muhammad Rasul Allah’. 

Dan yang termasyhur adalah bahwa Abu Thalib tatkala sedang sekarat kelihatan berbicara pelan. Dan melihat bibir yang bergerak, Abbas, saudaranya, mendekatkan kupingnya dan mendengar Abu Thalib membaca syahadat.[48] 

‘Sesungguhnya, tatkala penyakit Abu Thalib bertambah parah, Rasul Allah bersabda kepadanya: ‘Wahai paman! Ucapkanlah syahadat agar melapangkan aku memohon syafa’at untukmu pada hari kiamat’. Dan Abu Thalib menjawab: ‘Wahai anak paman! Andaikata aku tidak takut orang Quraisy mencelaku karena mengira aku takut akan mati, maka aku akan melakukannya’. Dan tatkala maut makin mendekat, bibirnya bergerak­gerak, Abbas lalu mendekatkan kupingnya dan Abbas berkata kepada Rasul Allah: ‘Demi Allah, wahai anak saudaraku, ia telah mengucapkan kalimat yang engkau perintahkan kepadanya untuk diucapkan!’. Dan Rasul Allah saw bersabda: ‘Segala syukur bagi Dia yang memberi hidayat kepadamu, wahai paman!.[49] 

Ahmad Zaini Dahlan berkata dalam tafsirnya:[50] 

Asy­Syaikh As­Suhaimi dalam bukunya ‘Syarh Jauharah serta lain­lain berkata bahwa hadis Abbas memperkuat keyakinan sebagian peneliti (ahlul kasyf) bahwa ia (Abu Thalib) adalah seorang Muslim’. 

Umumnya orang berpendapat, seperti dikatakan oleh Ibn Abil­Hadid[51] bahwa syair­syair Abu Thalibjelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang Mu’min. Dan memang, tidak ada sumber yang lebih jelas untuk menilai seseorang seperti Abu Thalib dari karyanya sendiri, yaitu syairnya yang sangat banyak, dan tercatat dengan baik dalam buku­buku sejarah. 

Beberapa pidatonya yang terkenal di dunia Islam: 

Syair yang ditujukan kepada Muhammad saw[52] : 

Demi Allah, Anda tak akan pernah mereka jamah, Sampai aku terkubur di dalam tanah, Teruskanlah misimu, Anda sungguh tiada bercacat, Sebarkanlah ajaranmu, dan bahagia akan mencuat, Aku Anda ajak, dan andalah penasihatku, Anda mengajakku dan Anda adalah al­amin, Dan aku tahu agama Muhammad yang terbaik’ 

Ibnu Hajar meriwayatkan[53] dari jalur Ishaq bin ‘Isa al­Hasyimi dari Abi Rafiq: 

‘Aku mendengar Abu Thalib berkata: ‘Aku dengar anak saudaraku, Muhammad bin Abdullah, berkata bahwa Tuhannya mengutusnya untuk memperkuat silaturahmi dan agar menyembah hanya kepada Allah yang Maha Esa, dan jangan menyembah kepada yang lain selain Dia, dan Muhammad adalah orang terpercaya dan memegang amanat (ash­shaduq al­amin)’. 

Dan nasihat­nasihatnya kepada keluarga Banu Hasyim menjelang wafatnya, seperti: ‘Aku mewasiatkan kepadamu agar memperlakukan Muhammad secara baik­baik, karena dia adalah al­amin bagi kaum Quraisy dan ash­shiddiq dalam masyarakat Arab’.[54] 

Kepada saudara-­saudaranya ia berkata: 

‘Hai keluarga Banu Hasyim! Patuhlah kepada Muhammad dan terimalah kebenaran yang dibawanya (shaddiquhu) niscaya kamu jaya (tuflihu) dan mengikuti jalan yang lurus (tarsyadu).[55] 

Haruslah diakui bahwa catatan sejarah dalam kurun Makkah sangat sedikit dibandingkan dengan kurun Madinah. Tetapi tatkala timbul surat­menyurat antara Ali dan Mu’awiyah di kemudian hari, Ali telah menyebut­nyebut Mu’awiyah dan ayahnya sebagai orang­orang baru dalam Islam, baru masuk Islam setelah pembukaan Makkah, karena terpaksa (yang disebut thulaqa’, yang dibebaskan). Bila Abu Thalib adalah seorang musyrik, maka pasti Mu’awiyah akan menyebutnya dalam suratnya. Sebab bagaimanapun juga, Abu Sufyan, ayah Mu’awiyah adalah Muslim, meskipun tidak dengan sepenuh hati, karena banyak catatan yang menyebut bahwa ia sesudah menjadi Muslim pun masih sering mengejek agama Islam dan Nabi Muhammad. Dalam al­Isti’ab diriwayatkan: ‘Sekali Abu Sufyan memasuki rumah Utsman bin ‘Affan tatkala ia menjadi khalifah. Khalifah telah beralih kepadamu sesudah Banu Taim dan Banu ‘Adi maka gulirkan dia seperti bola dalam lingkungan Banu ‘Umayyah. Sesungguhnya Muhammad itu adalah raja, dan saya tidak percaya akan adanya surga maupun neraka.’[56] 

Abu Thalib adalah seorang pemberani yang bertindak sesuai dengan ucapannya. Ia membela Muhammad dengan kata­kata dan perbuatan, dan untuk itu dia pertaruhkan jiwa raganya. Tapi ia juga bijak. Ia mengetahui bagaimana menempatkan dirinya ditengah masyarakat Jahiliah yang mengepung kemanakannya yang diyakininya sebagai orang jujur, dapat dipercaya, yang harus diikuti oleh seluruh keluarganya, malah seluruh bangsa Arab. Ia bisa menjaga kewibawaannya ditengah masyarakat yang menghormati kejantanan dan kegagahan yang terkenal dengan istilah muruah. Ia tegak seperti batu karang melindungi Muhammad, bukan sebagai pelindung kemanakan, tetapi sebagai pembela kebenaran. 

Kita tidak mempunyai catatan apakah 120.000 Sahabat Rasul membaca syahadat pada waktu sekarat. Kita juga mengetahui bahwa pengakuan pada saat sekarat tidak menentukan seseorang beriman atau tidak.[57] Melihat ayat­ayat ini Rasul Allah saw tidak akan mengukur keimanan orang dengan syahadat akhir. 

Kalau keislaman seseorang diukur dengan membaca syahadat, marilah kita ikuti syairnya yang lain: 

Serbuan terhadap kami, tanpa hasil, 

Pukulan dan tikaman yang disatukan, 

Mendesak kami membunuh Muhammad, 

Janganlah mewarnai hari cerah dengan darah, 

Kamu berdusta dan demi Bait Allah kamu ‘kan terpecah, 

Pikiran kacau, akal tak bersemi, 

Silaturahmi diputus, isteri lupakan suami, 

Dan yang haram datang berganti­ganti, 

Kebencian, ingkar, dosa kamu semai, 

Watak masa lalu, muncul lagi, 

Kamu berlaku kejam kepada Nabi, 

Pembawa tuntunan pengemban amanah, 

Pemikul tugas dari Dia, Penguasa ‘Arsy[58] 

Dan syairnya yang berisi pesan untuk Negus, menggugahnya agar memelihara hubungan bertetangga baik dan agar Negus melindungi kaum Muslimin yang berhijrah ke Habasyah, Ethiopia: 

‘Agar ia tahu, insan terbaik, adalah Muhammad, 

Wakil Musa dan Isa, pembawa amanat, 

Seperti mereka, ialah pandu yang cermat, 

Tuntunan dan lindungan ia lakukan dengan tepat, 

Atas perintah dan kuasa Allah Maha kuat. 

Kamu temukan dia dalam Kitab Sucimu, jelas amat, 

Riwayatnya tertulis dengan lengkap’.[59] 

Dan syairnya yang lain, yang memuji Muhammad saw: 

Allah telah memuliakan An­Nabi Muhammad, 

Dan makhluk paling mulia ialah Ahmad, 

Dia membagi nama­Nya untuk memuliakannya, 

Pemilik ‘Arsy Maha Terpuji, 

Dan yang ini adalah yang dipuji.[60] 

Sedikit petikan dari demikian banyak syair­syairnya yang selamat dari perusakan, menunjukkan keimanannya kepada Allah SWT dan pengakuannya akan kenabian Muhammad saw. 


Hadis Isra’ilyiat dan Khurafat Abu Hurairah

Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis­hadis isra’iliyat, seperti Adam yang diciptakan seperti bentuk Allah, setan lari sambil kentut mendengar suara azan, Nabi Sulaiman yang mengancam akan membelah bayi yang diperebutkan dua orang ibu, Allah menaruh kakinya ke neraka, Nabi Sulaiman yang meniduri 70 wanita dalam semalam tapi hanya melahirkan seorang bayi separuh manusia, Nabi yang membakar sarang semut karena digigit seekor semut. Nabi Isa akan turun membunuh babi (apa salahnya babi?), awan yang bicara, sapi dan serigala berbicara bahasa Arab, Allah yang marah sekali dan tidak akan pernah lebih marah lagi seperti itu, yang diucapkan Adam karena dia melanggar perintah Allah. Sedikit di antaranya yang merupakan cuplikan dari buku Mahmad Abu Rayyah, Syaikh al­Mudhirah, Abu Hurairah, dan beberapa buku lain perlu dikemukakan disini. 


Bentuk Adam Seperti Allah

Bukhari dan Muslim dalam Shahih­nya meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Allah menciptakan Adam seperti bentuk (shurah) Allah, dengan panjang badan enam puluh hasta (27 meter).” Dan jalur Said bin Musayyib, lebar badan Adam tujuh hasta (dzira), yakni 3,15 meter.”[61] 

Melalui jalur lain, dengan lafal yang lain, “Bila dua orang berkelahi, maka hindarilah memukul wajahnya, karena Allah membentuk Adam menurut bentukNya.” 

Melalui jalur lain lagi, ada yang berbunyi: “Bila memukul orang, hindarilah menampar wajahnya, dan janganlah berkata, ‘Mudah­ mudahan Allah memburukkan wajahmu!’ sebab wajah Allah adalah sama dengan wajahmu, sebab sesungguhnya Allah membentuk Adam menurut bentuk­Nya”.[62] 


Musa as Menampar Malaikat

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih­nya dari Abu Hurairah: “Rasul bersabda: Malaikat Maut datang kepada Musa dan bersabda: ‘Penuhilah kehendak Tuhanmu!’ Maka Nabi Musa pun menampar mata Malaikat Maut, sehingga biji mata Malaikat Maut keluar dari rongganya. Maka Malaikat Maut kembali kepada Allah dan berkata: ‘Sesungguhnya Engkau mengutusku kepada hamba­ Mu yang tiada menghendaki kematian, dan ia mencopot mataku’. Maka Allah mengembalikan biji mata Malaikat Maut ke dalam tempatnya semula, dan berfirman: ‘Kembalilah, dan katakanlah. kepadanya agar ia meletakkan tangannya di atas punggung seekor sapi, maka umurnya akan bertambah satu tahun untuk setiap bulu sapi yang melekat di tangannya’. Nabi Musa lalu bertanya kepada Allah: ‘Sesudah itu bagaimana? Allah menjawab: 

‘Sesudah itu mati’. Maka Musa berkata: ‘Jika demikian, maka lebih baik aku mati sekarang saja’. Ia lalu memohon kepada Allah, agar ia didekatkan ke tanah suci, sejauh lemparan batu”.[63] 


Nabi Musa as Telanjang Mengejar Batu yang Lari

Bukhari dan Muslim menulis dalam Shahih­nya yang berasal dari Abu Hurairah: “Rasul bersabda: Banu Isra’il, suatu ketika, sedang mandi telanjang, dan saling melihat aurat mereka. Dan Nabi Musa as sedang mandi sendirian. Dan mereka berkata: ‘Demi Allah Musa tidak akan mandi bersama kami, karena kemaluannya besar; ia menderita burut’. Suatu ketika Musa pergi mandi dan meletakkan bajunya di atas batu, maka batu itu pun lari membawa bajunya. Dan setelah Musa menjamah bekas tempat batu itu, baru ia sadar dan melihat batu yang lari. Ia pun keluar dari tempat permandiannya dengan telanjang bulat mengejar batu itu, sambil berteriak: ‘Wahai batu, bajuku! Wahai batu, bajuku!’ Maka orang Isra’il pun melihat ke arah kemaluan Musa dan berkata: ‘Demi Allah, Musa tidak menderita penyakit’. Maka batu itu pun muncul kembali dari persembunyiannya, sehingga terlihat oleh Musa, dan Musa lalu mengambil pakaiannya. Ia kemudian menampar batu itu, sehingga meninggalkan bekas, pada enam atau tujuh tempat”.[64] 


Allah Mencipta Adam Hari Jum’at Sesudah Ashar

Muslim meriwayatkan dalam Shahih­nya dari Abu Hurairah: “Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, dan menciptakan gunung pada hari Minggu, menciptakan pohon pada hari Senin, menciptakan yang jelek­jelek pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarkan hewan­hewan pada hari Kamis, dan menciptakan Adam as pada hari Jumat, sesudah waktu asar, sebagai ciptaan terakhir dan pada hari terakhir, serta saat yang terakhir, yaitu di antara waktu asar dan malam”.[65] 


Keutamaan Sahabat, Neraka Berdebat Dengan Surga, Abu Bakar Penghias Surga,Tulisan di Langit: ‘Muhammad Rasul Allah, Abu Bakar Shiddiq’


Abu’l­Faraj Ibnu Jauzi meriwayatkan dari Abu Hurairah: ‘Rasul Allah menceritakan kepada saya: Surga dan neraka saling membanggakan diri. Neraka berkata kepada surga: ‘Kedudukanku lebih agung dari kedudukanmu. Di tempatku berdiam. Fir’aun, raja­raja dan penguasa yang jahat serta keluarga mereka’. Lalu Allah mewahyukan kepada surga, agar mengatakan kepada neraka: ‘Tetapi keagungan itu ada padaku, karena Allah telah menghiasi aku dengan Abu Bakar”. 

Abul Abbas al­Walid bin Ahmad al­Jauzini menyampaikan dari Abu Hurairah: ‘Saya mendengar Rasul Allah bersabda bahwa Abu Bakar memiliki sebuah kubah dari permata putih, berpintu empat. Melalui pintu­pintu itu, berhembus angin rahmat. Di luar kubah terdapat pengampunan Allah, dan di dalam kubah terdapat keridaan Allah. Setiap kali Abu Bakar merindukan Allah, maka pintu akan terbuka, dan dia dapat melihat Allah’. 

Ibnu Habban meriwayatkan dari Abu Hurairah: ‘Aku mendengar Rasul Allah bersabda: ‘Tatkala aku mikraj ke langit, aku tiada menemui sesuatu di langit, kecuali aku bertemu dengan tulisan: ‘Muhammad Rasul Allah, Abu Bakar Shiddiq’. 


Sapi dan Serigala Berbahasa Arab

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah: ‘Setelah shalat subuh, Rasul Allah menghadap orang banyak lalu bersabda: ‘Tatkala seorang sedang menggembalakan sapinya, ia telah menunggangi dan memukulnya dan tiba­tiba sapi itu berkata: ‘Kami tidak diciptakan untuk diperlakukan seperti ini. Kami diciptakan untuk membajak’. Maka orang­orang berkata: ‘Subhanallah! Sapi bicara (bahasa Arab)’. Maka Rasul saw bersabda: ‘Sesungguhnya aku percaya akan hal ini, juga Abu Bakar dan Umar’. Padahal (lanjut Abu Hurairah) Abu Bakar dan Umar tidak hadir di antara kami. Lalu Rasul Allah saw bersabda (lagi): ‘Dan tatkala seseorang sedang menggembalakan kambingnya, ia bertemu dengan seekor serigala yang melarikan seekor kambingnya. Ia lalu mengejar dan hampir dapat merebutnya dari serigala, tapi tiba­tiba serigala itu berkata; ‘Ini, engkau hendak merebutnya dari aku? Bukankah hari ini hari binatang buas (sabu), hari yang tiada orang boleh menggembala, kecuali diriku?’ Maka orang­orang pun berkata: 

‘Mahasuci Allah. Serigala bicara’. Maka Rasul bersabda: ‘Sesungguhnya aku percaya akan cerita ini; aku, Abu Bakar dan Umar’. Padahal mereka berdua, Abu Bakar dan Umar, (kata Abu Hurairah), tidak hadir di antara kami’.[66] 


Hadis Syair Atau Sajak Abu Hurairah

Abu Hurairah berkata: ‘Rasul Allah bersabda: ‘Adalah lebih baik mengisi perut seorang dengan nanah daripada mengisinya dengan syair’. (Bukhari dan Muslim). Hadis ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Rasul menyukai syair. Ubay bin Ka’b menyampaikan bahwa Rasul Allah bersabda: ‘Dalam syair terdapat hikmah’. Dan riwayat dari Abi Dawud: ‘..ada hikmah dalam syair’. Dan dalam riwayat lain: ‘Sesungguhnya dalam syair itu terdapat hikmah’. Dan Rasul meminta diperdengarkan syair Umayyah bin Abi ash­Shalt, seperti diceritakan oleh ‘Amr bin Syarid dari ayahnya yang berkata: ‘Suatu ketika aku mengikuti Rasul Allah dan ia bersabda: ‘Apakah Anda menyimpan syair Umayyah Ibnu Abi Ash­Shallt?” Dan aku menjawab: ‘Ya’. Dan Rasul Allah bersabda: ‘Coba!’ Dan aku memperdengarkan kepada beliau seratus bait (syair)”. Dan diriwayatkan oleh Muslim, tatkala Rasul Allah mendengar bagian syair yang terkenal: 

Derita di padang pasir akan datang karena kau bebal Berita ‘kan datang padamu dari kelana tak berbekal 

Beliau bersabda bahwa dalam syair di atas terkandung kalimah nubuat. Dan diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi bersabda: ‘Benar dalam kata­kata penyair ini terdapat hikmah: 

Bukankah segala, selain Dia, lenyap selalu Dan segala nikmat sekejap pasti ‘kan berlalu’. 

Dan Rasul Allah mengizinkan penyair Hassan bin Tsabit untuk berhujah dengan kaum musyrikin dengan kata­kata: ‘Sesungguhnya Roh Suci selalu akan memberi inspirasi kepadamu selama engkau membela (keagungan) Allah dan Rasulnya’ (Muslim). Dan diriwayatkan oleh Bukhari: ‘Berhujahlah dengan mereka dan Jibril bersamamu’. Dan puluhan ayat Al­Qur’an menyerupai syair­syair yang indah, seperti ayat­ayat berikut: 

Fa man tazakka fa innama 

yatazakki li nafsihi 

Barang siapa bersuci diri 

Ia hanya bersuci dirinya sendiri[67] 

Wa jifanin kal jawabi 

wa qudurin rasiyitin 

Dan piring­piring sebesar anak tambak 

serta periuk­periuk yang tidak beranjak[68] 



Daftar Isi : 

‘Urwah bin Zubair Buat Hadis Palsu: Ali Masuk Neraka 6

‘Amr bin ‘Ash Buat Hadis: Ali Dengan Fathimah merupakanPerkawinan Politik 7

Abu Hurairah Buat Hadis: Agama Diamanatkan Pada Mu’awiyah, Ali Buat Bid’ah 8

Samurah bin Jundab ­ Jual Hadis Pada Muawiyah 12

Ibnu Umar: Ali Tidak Masuk Khalifah Rasyidun 14

Hadis Sepuluh Masuk Surga 17

Hadis­Hadis Keutamaan 25

Riwayat dan Hadis Abu Hurairah 28

Asal­usul Abu Hurairah, Hanya 1 Tahun 9 Bulan di Shuffah 29

Kepribadian Abu Hurairah 32

Banyaknya Hadis Abu Hurairah 34

Tidak Hadir, Bilang Hadir 36

Abu Thalib, Mu’min atau Kafir? 40

Hadis Isra’ilyiat dan Khurafat Abu Hurairah 51

Bentuk Adam Seperti Allah 52

Musa as Menampar Malaikat 53

Nabi Musa as Telanjang Mengejar Batu yang Lari 54

Allah Mencipta Adam Hari Jum’at Sesudah Ashar 55

Keutamaan Sahabat, Neraka Berdebat Dengan Surga, Abu Bakar Penghias Surga,Tulisan di Langit: ‘Muhammad Rasul Allah, Abu Bakar Shiddiq’ 56

Sapi dan Serigala Berbahasa Arab 57

Hadis Syair Atau Sajak Abu Hurairah 58



Catatan: 


[1] Hadis Abu Hurairah ini sangat kuat; diriwayatkan oleh lbnu Katsir melalui dua jalur, Ibnu ‘Adi melalui dua jalur; Muhammad bin ‘Aid melalui lima jalur, Muhammad bin ‘Abdu as­Samarqandi melalui enam jalur, Muhammad bin Mubarrak ash­Shuri metalui tujuh jalur, Khatib Baghdadi melalui sembilan jalur, semuanya berasal dari Abu Hurairah. Lihat pula Abu Hurairah, oleh Syarafuddin al­Mosawi, Beirut, 1977, hlm. 38. 

[2] Mahmud Abu Rayyah, Syaikh al­Mudhirah, Abu Hurairah, Darul Ma’arif, Mesir, hlm. 57. 

[3] Ibnu ‘Abd Rabbih, Iqdal­Farid, jilid 6, hlm. 101. 

[4] Bukhari, Muslim; lihat juga Mahmud Abu Rayyah, Syaikh al­Mudhirah, hlm. 236 

[5] Ibn Abil­Hadid, Syarh­Nahju’l­Balaghah, jilid 4, hlm. 67 

[6] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 4, hlm. 69. 

[7] Al­Qur’an, al­Baqarah (II), 204­205. 

[8] Pembunuh Imam Ali. 

[9] Al­Qur’an, al­Baqarah (11), 207. 

[10] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 4, hlm. 73. 

[11] Abu Hurairah menyampaikan 5374 hadis, Ibnu ‘Umar 2630, Anas bin Malik 2286 dan ‘A’isyah 2210. 

[12] Shahih Bukhari dalam Kitab al­Manaqib, bab Keutamaan Abu Bakar sesudah Nabi, dari jalur ‘Abdullah bin ‘Umar, jilid 5, hlm. 243. 

[13] Shahih Bukhari dalam Kitab al­Manaqib, bab Keutamaan ‘Utsman, dari jalur ‘Abdullah bin ‘Umar jilid 5, hlm. 262. 

[14] Fat’hal­Bari, jilid 7, hlm. 13. 

[15] Khatib, Tarikh, jilid 11, hlm. 363. 

[16] Akan dibicarakan di bagian lain. 

[17] Lihat juga Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 6, hlm. 13 

[18] Tirmidzi, dalam Jami’­nya, hlm. 13, 183, 186, dan lain­lain. Hadis ini melalui ‘Abdurrahman al­Akhnas, yang didengamya sendiri di masjid Kufah. Jalur lain melalui ‘Abdurrahman bin Hamid yang didengarnya dari ayahnya; ayahnya mendengar dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Hadis yang disebut ini dianggap batil, karena ayah ‘Abdurrahman bin Hamid, yang bernama az­Zuhri, adalah seorang tabi’i (generasi kedua), bukan Sahabat. Ia lahir 32 H., 653 M. dan meninggal 105 H, 723 M. dalam usia 73 tahun, sedang ‘Abdurrahman bin ‘Auf meninggal 31, 652 M.atau 32 H., 653 M. Dengan kata lain, Zuri lahir pada saat ‘Abdurrahman bin ‘Auf meninggal atau setahun sesudahnya. Dengan demikian maka satu­satunya jalur adalah yang melalui Said bin Zaid. 

[19] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 15, hlm. 37, al­Waqidi, Maghazi, jilid 1, hlm. 3 10; berasal dari Thalhah bin ‘Ubaidilllah, Ibnu ‘Abbas dan Jabir bin ‘Abdullah. 

[20] Al­Qur’an, s. an­Nisa’ (IV), 124; lihat juga, s. al­Baqarah (11), 25; at­Taubah (IX), 21; Hud (XI), 23; al­Hajj (XXII), 14; as­Sajdah (III), 19; al­Fat’h (XLVIII), 5; ath­Thalaq (LXV), 11; at­Taubah (IX), 72 

[21] Hadis ini sangat terkenal, diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi, Nasa’i Ibnu Habban, yang berasal dari Abu Dzarr al­Ghifari. 

[22] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani, melalui jalur Abu Musa al­Asy’ari 

[23] Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka 

[24] Rasul bersabda: “Aku adalah gudang ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya.” Orang menganggap ‘Ali sebagai tempat bertanya sesudah Rasul. Teman­teman ‘Ali ini disebut Syi’ah ‘Ali. Dalam menafsirkan ayat, “Sungguh orang­orang yang beriman dan melakukan amal kebaikan, merekalah makhluk yang sebaik­baiknya.” (Al­ Qur’an, 97:7) Suyuthi meriwayatkan dari Ibnu Mardawaih dari ‘Ali bin Abi Thalib yang berkata: ‘Rasul Allah saw bersabda kepadaku: “Apakah engkau tidak mengetahui firman Allah SWT: ‘Sungguh orang­orang yang beriman dan melakukan amal kebaikan, merekalah makhluk yang sebaik­baiknya? (Mereka itu adalah) engkau dan Syi’ahmu. Aku dan kamu telah dijanjikan tempat di Haudh’. Juga Suyuthi dari Ibnu ‘Asakir yang berasal dari Jabir dari Ibnu ‘Abbas : “Kami berada bersama An­Nabi dan muncullah ‘Ali dan Nabi bersabda: ‘Demi Dia yang jiwaku berada di tanganNya. (Yang datang) ini, beserta Syi’ahnya, merekalah yang menang pada hari kiamat’. Dan turunlah ayat: Sesungguhnya orang­orang yang beriman dan melakukan amal kebajikan, merekalah makhluk yang sebaik­baiknya. Demikianlah para Sahabat Nabi bila (melihat) ‘Ali muncul, mereka berkata: “Telah datang khairul Bariyyah”. 

[25] Lihat Khwarizmi dalam Manaqib, hlm. 66; Suyuthi dalam ad­Durru’l­Mantsur, jilid 6, hlm. 379; 392; Syablanji dalam Nuru’l Abshar, hlm. 78 dan 112; Ibnu Hajar dalam Shawa’iq dan lain­lain. 

[26] Ibnu Qutaibah, Tarikh al­Khulafa’ur Rasyidin, Mesir, tanpa tahun, hlm. 1­2. 

[27] Ibnu Qutaibah, Tarikh, ibid, hlm. 12. 

[28] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terjemahan Anas Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1984. Pada hlm. 137, ia menulis, “Orang­orang Sunni hampir selalu menjadi pendukung setiap pemimpin Negara” 

[29] Fat’hul­Bari, jilid 6, hlm. 31 jilid 7, hlm. 393. 

[30] “Ada sektar 30 nama Abu Hurairah dan ayahnya”, kata an­Nawawi. Al­Halabi mengatakan sekitar 40 nama. Demikian pula al­Hakim dan Ibnu Hajar, al­Isha­bah, jilid 7, hlm. 199. Ibnu ‘Abdi’l­Barr mengatakan dalam al­ Istiab bahwa demikian banyak perselisihan tentang namanya maka ia harus dipanggil dengan kunya ‘Ayah Anak Kucing’ saja. Demikian pula yang tertera dalam Usdul Ghabah dan kitab­kitab lain. 

[31] Fat’h al­Bari, jilid 11, hlm. 236, 237. 

[32] Fat’h al­Bari, jilid 7, hlm. 61, 62. 

[33] Ibnu Sa’d dalam Thabaqat, jilid 4, hlm.59­60; juga oleh Baladzuri dan lain­lain. 

[34] Ibnu ‘Abd al­Barr, Kitab al­Isti’ab, jilid 2, hlm. 548; Fathal­Bari, jilid 7, hlm. 255. 

[35] lesung = al­mihras = alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihatlah ‘Hadis Lalat’ dan ‘Hadis Pundi­pundi’. 

[36] Juga disebut Surat At­Taubah (IX), sebagaimana diketahui Surat Bara’ah merupakan pemutusan hubungan kaum Muslimin dari keterikatan dengan kaum musyrikin, pen. 

[37] Surat untuk dibacakan kepada kaum musyrikin di Mina pada hari an­Nahr, pen. 

[38] ‘Pemimpin atau dipimpin?’. 

[39] Al­Hakim dalam al­Mustadrak 

[40] Al­Qur’an, al­Qashash (XXVIII), 56. 

[41] Lihat Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 3, hlm. 370. 

[42] Al­Qur’an, At­Taubah (IX), 113. 

[43] Al­Quran, al­Qashash (XXVIII), 56. 

[44] Shahih Bukhari, jilid 7, hlm. 67; Tafsir Qurthubi, jilid 8, hlm. 273; Tafsir Syaukani, jilid 3, hlm. 316; Muslim, Irsyad as Sariy fi Syarh al­Bukhari, jilid 7, hlm. 101; juga Thabari, al­Hakim, Ibnu Abi Hatim, dan Baihaqi yang menyampaikan hadis yang berasal dari Ibnu Mas’ud dan Buraidah; Thabrani dan Ibnu Mardawaih melalui jalur ‘Ikramah yang berasal dari Ibnu ‘Abbas; lihat Tafsir ath­Thabari, jilid 2, hlm. 31; Irsyad as Sariy, jilid 7, hlm. 270; ad­Durru’l­Mantsur, jilid 3, hlm. 273. Dan Zamakhsyari dalam tafsirnya al­Kasyf, jilid 2, hlm. 49 menceritakan bahwa hadis di atas turun berkenaan dengan Abu Thalib, kemudian menambahkan: “Benar, karena Abu Thalib meninggal sebelum Hijrah, sedang ayat ini turun pada akhir kurun Madinah”. 

[45] Al­Bidayah wa’n­Nihayah, jilid 5, hlm. 354; Mizan al­Itidal, jilid 1, hlm. 370; al­La’Ali u1 Mashnu’ah, jilid 2, hlm. 80. 

[46] Lisan a1­Mizan, jilid 4, hlm. 46; Tarikh Baghdad, jilid 2, hlm. 127; Mizan al­I’tidal, jilid 2, hlm. 143; al­La ali’ul Mashnu’ah, jilid 1, hlm. 207. 

[47] Thabari, al­Hakim, Ibnu Abi Hatim, Baihaqi dan Ibnu Mardawaih. 

[48] Sirah Ibnu Hisyam, jilid 2 hlm. 27; Tharikh Ibnu Katsir, jilid 2, hlm. 123; Ibnu Sayyid An­Nas, Uuyn al­Atsar, jilid 1, hlm. 131; al­Ishabah, jilid 4, hlm. 116; al­Mawahib Diniyyah, jilid 1, hlm. 71; As­Sirah al­Halabiyah, jilid 1, hlm. 372; As­Sirah ad­Dahlaniyyah Hamisy al­Halabiyah, jilid 1, hlm. 89; Asna a1­Muthalib, hlm. 20. 

[49] Tarikh Abu’I­Fida’ , jilid 1, hlm. 120; Sy’rani, Kasyf al­Ghummah, jilid 2, hlm. 144. 

[50] Al­Halabiyah, jilid 1, hlm. 194. 

[51] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 14, hlm. 71. 

[52] Tsalabi dalam tafsirnya mengatakan bahwa syair ini telah disepakati berasal dari Abu Thalib. Lihat juga Baghdadi, Khazanah al­Adab, jilid 1 hlm. 26 1; Ibnu Katsir, Tarikh, Jilid 3, hlm. 42; Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Baalaghah, jilid 3, hlm. 306; Abu’l­Fida’, Tarikh, jilid 1, hlm. 120; Fat’h al­Bari, jilid 5, hlm. 153, 155; Sirah al­Halabiyah, jilid 1, hlm. 305; Diwan Abi Thalib, hlm. 12. 

[53] Ishabah, jilid 4, hlm. 116. 

[54] Ar­Raudh al­Anf, jilid 1 hlm. 259; al­Mawahib, jilid 1, hlm. 72; Tarikh Khamis, jilid 1, hlm. 339; Tsamarat al­ Auraq Hamisy al­Halabiyah, jilid 1, hlm. 93; Asna al­Muthalib, hlm. 5. 

[55] Lihat Khasha ‘ish al­Kubra, jilid 1, hlm. 87; As­Sirah al­Halabiyah, jilid 1, hlm. 372, 370; Sirah Zaini Dahlan Hamisy, al­Halabiyah, jilid 1, hlm. 92, 293; Asna al­Muthalib, hlm. 10 

[56] Ibnu ‘Abd al­Barr, Kitab al­Isti’ab, jilid 2, hlm. 690; Lihat juga Thabari, Tarikh, jilid 11, hlm. 357; Mas’udi, Muruj adz­Dzahab, jilid 1, hlm. 440 

[57] Bacalah Al­Qur’an, Surah Yunus (X), ayat 90, 91, 92; Surat An­Nisa’ (IV), ayat 18, 159. 

[58] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 14, hlm. 71. 

[59] Al­Hakim, al­Mustadrak, jilid 2, hlm. 623, berasal dari rangkaian yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq. 

[60] Bukhari dalam At­Tarikh Ash­Shaghir dari jalur ‘Ali bin Yazid; Abu Nu’aim, Dala’il An­Nubuwwah, jilid 1 hlm. 6; Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh­nya, jilid 1, hlm. 275; Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 3, hlm. 315; Ibnu Katsir dalam Tarikhnya, jilid 1, hlm. 266; Ibnu Hajar, ‘Ishabah, jilid 4, hlm. 115; al­Qasthalani, al­ Mawahib ad­Diniyyah, jilid 1, hlm. 518 yang dipetik dari Tarikh Bukhari; Diyar Bakri, Tarikh al­Khamis, jilid 1, hlm. 254. 

[61] Bukhari, Shahih, kitab “I’tizam, jilid 4, hlm. 57; Muslim, Shahih, bab “Masuk Surga”, jilid 2, hlm. 481. 

[62] Bandingkan, misalnya, dengan ayat Al­Qur’an, Tiada sesuatu serupa Ia (Al­Qur’an, 42:11); Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata (Al­Qur’an, 6:103); Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. ( Al­Qur’an, 37:159) 

[63] Muslim dalam Shahih, melalui banyak jalur, yang berasal dari Abu Hurairah, dalam bab “Keutamaan Musa.” dari Kitab “Fadha’il”, jilid 2, hlm. 309; Bukhari dalam Shahih­nya, bab “Wafatnya Musa”, dalam kitab “Penciptaan”, jilid 2, hlm. 163. 

[64] Muslim dalam Shahih­nya, yang berasal dari Abu Hurairah, dengan banyak jalur, bab Fadha’il Musa, jilid 2, hlm. 308; Bukhari, dalam Shahih­nya, jilid 2, hlm. 163. 

[65] Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i diriwayatkan yang berasal dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Allah SWT menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antaranya dalam enam hari. Kemudian Allah beristirahat di atas ‘Arsy pada hari ketujuh. Padahal dalam Al­Qur’an, yaum (hari) di sini bermakna kurun waktu; ada yang bermakna seribu tahun (Al­Qur’an, 22:47; 32:5), ada yang menunjukkan lima puluh ribu tahun (Al­Qur’an, 70:4). 

[66] Bukhari, dalam Shahih­nya, jilid 3, hlm. 316. 

[67] Al­Qur’an, Fathir (XXXV), 18. 

[68] Al­Qur’an, Saba’ (XXXIV), 13. 



Allah SWT Turun ke Langit Dunia (?) 


Abu Hurairah: Rasul Allah saw bersabda: ‘Allah ta’ala tiap malam turun ke langit dunia pada sepertiga akhir malam dan berseru: ‘Barangsiapa yang berdoa kepada­Ku niscaya akan Ku­ kabulkan, dan barangsiapa yang meminta akan Kuberikan, dan barangsiapa yang memohon pengampunan akan Ku­ampuni.” (Bukhari dan Muslim). Karena tiap detik dimuka bumi ini separuh bola bumi melewati malam hari, maka Tuhan selalu berada, di ‘langit dunia’ (as­Sama’ ad­dunya) dan selalu berfirman seperti dikatakan oleh Abu Hurairah. 


Sungai Nil Dan Efrat Adalah Sungai Dari Surga


Diriwayatkan oleh Muslim dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasul Allah saw bersabda: ‘Sungai Nil dan Sihan dan Jihan dan Furat adalah sungai­sungai di Surga’ dan riwayat ini disampaikan juga oleh Ka’b al­Ahbar yang berbunyi: ‘Ada empat sungai di Surga yang diletakkan di dunia oleh Allah yang Maha Perkasa dan Maha Tinggi, yaitu Nil; Sungai Madu di Surga, dan Furat; Sungai Minuman Keras, dan Sihan; Sungai Air, serta Jihan; Sungai Susu di dunia![1] 


Hadis ‘Tiada Penyakit Menular’ dari Abu Hurairah


Abu Hurairah berkata: Rasul Allah saw bersabda: ‘Tidak ada tular menular, tidak ada shafar (penyakit kuning) dan tidak juga ada hama. Maka bertanyalah seorang Arab: ‘Ya Rasul Allah, mengapa untaku yang berada di lapangan (yang sehat dan gesit) seperti kijang, tiba­tiba menderita penyakit, setelah unta yang berpenyakit masuk di tengah unta­untaku?’. Nabi saw bertanya: ‘Lalu siapakah yang menulari unta yang pertama (tadi)?’ (Bukhari dan Muslim). 

Sedang di pihak lain para ulama mengenal hadis termasyhur dari Usamah bin Zaid, bahwa Rasul Allah telah bersabda: ‘Bila kamu mendengar adanya wabah penyakit pes (tha’un) di suatu daerah, maka jangan masuki daerah itu; dan bila telah terjadi (wabah) dan kamu berada di dalamnya maka janganlah kamu keluar (dari daerah tersebut)!’ Hadis di atas telah disampaikan juga oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Dan karena kedua hadis tersebut, Umar bin Khaththab, tatkala suatu ketika pergi ke Syam dan mengetahui bahwa negeri tersebut terserang wabah, ia segera kembali bersama rombongannya. 


Hadis Abu Hurairah Tentang Lalat, Perang Lalat


Diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda: ‘Bila lalat jatuh ke dalam bejana maka benamkanlah seluruhnya karena sayapnya yang sebuah mengandung penyakit (da’) dan yang satu lagi mengandung obat (syifa’)’. Di tempat lain: ‘yang sebelah mengandung racun (samm) dan yang satu lagi obat (syifa), dan ia mendahulukan (sayap yang mengandung) racun dan mengakhirkan (sayap yang mengandung) obat’. Dan di bagian lain ‘di bawah sayap kanan lalat terdapat obat dan di bawah sayap kiri terdapat racun, dan bila jatuh ke dalam bejana (ina’) atau ke dalam minuman (syarab) atau ke dalam kuah (maraq) maka benamkanlah karena dengan demikian ia akan mengangkat sayap yang di bawahnya mengandung obat dan melindungi sayap yang di bawahnya mengandung racun’. 

Hadis ini telah menyusahkan para da’i yang membaca hadis Bukhari, karena tidak ada orang yang mengerti ilmu kesehatan yang akan menerima hadis ini tanpa menimbulkan pertentangan dalam dirinya. 

Penolakan terhadap hadis ini telah menimbulkan perdebatan sengit dalam majalah ‘Liwa’ al­Islam’ di Mesir pada masa lalu. Perdebatan tentang ‘Hadis Lalat’ ini terkenal dengan nama ‘Perang Lalat’ (Ma’rikah az­Dzubab). Yang membela hadis ini memperkuat dalilnya dengan mengatakan bahwa hadis ini shahih karena dimuat dalam Bukhari, dan yang lain beralasan bahwa hadis mengenai ‘kerakusan’ seperti itu yang bertentangan dengan ilmu dan karena lalat yang menjadi sumber penularan banyak penyakit. 


Hadis Pundi­pundi Abu Hurairah


Abu Hurairah berkata: ‘Aku tertimpa tiga musibah dalam Islam. Tiada peristiwa yang menimpaku seperti itu. Wafatnya Rasul Allah dan aku adalah sahabatnya, dibunuhnya Utsman dan al­ mizwad’. Orang­orang bertanya: ‘Dan apa itu ‘al­mizwad’ ya Abu Hurairah?’ Abu Hurairah menjawab: ‘Kami bersama Rasul Allah dalam perjalanan dan Rasul Allah bersabda: ‘Ya Abu Hurairah! Adakah sesuatu padamu?’. Aku berkata: ‘Ada kurma dalam pundi­pundi (mizwad)!’. ‘Bawa kemari!’ sabda Rasul Allah. Dan tatkala aku mengeluarkan kurma dari dalam pundi­pundi, ia mengusap dan berdoa ke dalamnya kemudian bersabda: ‘Panggilkan sepuluh orang!’ Dan orang­orang makan sampai kenyang dan demikianlah seterusnya sehingga seluruh pasukan (kenyang dengan kurma). Dan masih ada kurmaku dalam pundi­pundi. Dan Rasul Allah bersabda: ‘Bila engkau ingin mengambil sesuatu dari dalamnya, masukkanlah tanganmu dan jangan engkau membocorkannya’. Abu Hurairah berkata: ‘Dan aku makan dari pundi­pundi tersebut selama Rasul Allah hidup dan aku makan dari dalamnya selama seluruh hidup Abu Bakar dan aku makan dari isinya selama seluruh hidup Umar, dan aku makan dari dalamnya selama seluruh hidup Utsman dan tatkala Utsman dibunuh hilanglah milikku dan hilanglah juga pundit­pundi itu’. Tahukah kamu berapa banyak aku makan dari dalamnya? Aku telah makan dari dalamnya berlipat ganda dari enam puluh gantang’. 

Dalam hadis ini Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasul Allah makan dari pundi­pundinya setelah mengusapnya dan memberi makan seluruh anggota pasukannya. Dalam riwayatnya yang lain yang dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal yang dimiliki Abu Hurairah bukanlah pundi­ pundi atau kantong makanan (mizwad), tetapi miktal (keranjang). ‘Rasul Allah memberikan sedikit kurma kepadaku dan aku memasukkannya ke dalam keranjang dan kami menggantungnya di loteng rumah dan kami terus makan dari dalamnya sampai berakhir tatkala keranjang itu dibinasakan oleh penduduk Syam yang menyerbu Madinah, yaitu pasukan Busr bin Arthat yang dikirim Mu’awiyah menakut­nakuti penduduk Madinah dan Makkah dan selama pasukan Mu’awiyah menyerang pundit­pundi ini Mu’awiyah harus menggantinya dan telah terlaksana. Dan Mu’awiyah mengganti dengan sesuatu yang banyak’. 

Bila dalam riwayat Ahmad bin Hanbal Abu Hurairah menceritakan tentang pundi­pundi atau keranjang yang digantung di loteng rumah, maka riwayat Abu Hurairah yang dicatat oleh Dzahabi dalam Sair al­A’lam pundi­pundi itu tergantung di pinggangnya: ‘Abu Hurairah berkata: Aku mendatangi Rasul Allah dengan membawa beberapa butir kurma dan aku berkata: ‘Berkatilah kurma ini, ya Rasul Allah!’. Maka dia bersabda: ‘Ambillah kurma­kurma itu dan masukkanlah ke dalam pundi­pundi, dan andaikata engkau ingin mengambilnya masukkanlah tanganmu ke dalamnya dan jangan sekali­kali membuatnya berserakan!. Abu Hurairah berkata: ‘Dan aku mengambil dari kurma tersebut sejumlah wasaq (wasaq = yang mampu diangkut seekor unta = enam puluh gantang) untuk keperluan agama (fi sabilillah). Dan dari situlah kami makan dan menikmatinya dan pundi­pundi itu tergantung di pinggangku dan tidak terpisah dari pinggangku sampai Utsman terbunuh’. 

Lalu tatkala Abu Hurairah kelaparan di Shuffah sebagaimana diceritakannya sendiri dan diceritakan ummu’l­muminin Aisyah tatkala ia mendatangi para sahabat dari rumah ke rumah untuk minta makan, di manakah pundi­pundi Abu Hurairah itu? 


Hadis Membentangkan Baju


Abu Hurairah mengeluarkan. hadis ini untuk membela diri tatkala orang mempertanyakan banyaknya. hadis yang disampaikannya. Bukhari dan lain­lain meriwayatkan dari Abu Hurairah: ‘Kamu menyatakan bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis Rasul Allah. Dan mereka berkata: ‘Kaum Muhajirin dan ‘Anshar tidak menyampaikan hadis sebanyak yang disampaikan Abu Hurairah. Sebenarnya ikhwanku kaum Muhajirin sibuk jual beli di pasar. Dan aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku maka aku hadir tatkala mereka tidak hadir dan aku menghapal tatkala mereka lupa. Dan ikhwanku kaum ‘Anshar mengurus hartanya, dan aku seorang miskin dari orang­orang miskin yang tinggal di Shuffah. Aku menghapal tatkala mereka tidur. Dan Rasul Allah saw (sekali) telah bersabda: ‘Siapa yang mengbentangkan bajunya setelah aku selesai bicara, kemudian melipatnya maka ia tidak akan lupa apa yang aku katakan, maka aku bentangkan serban yang aku pakai dan aku lipat ke dadaku, maka aku tidak lupa sedikit pun apa yang disabdakan Rasul Allah saw.’[2] Abu Hurairah di bagian lain dilaporkan mengatakan bahwa bukan ia yang menghamparkan serbannya. Dzahabi melaporkan bahwa Rasul Allah sendiri yang melepaskan serbannya dari punggung Abu Hurairah dan membentangkannya antara Nabi dan Abu Hurairah. 

Dari hadis Sa’d bin Abi Hindun dari Abu Hurairah bahwa Rasul Allah saw bersabda: ‘Bukankah engkau meminta bagian dari rampasan perang yang diminta (juga) oleh sahabat­sahabatmu? Aku berkata: ‘Aku mohon Anda mengajarkan aku ilmu yang diajarkan Allah kepadamu. Dan ia menanggalkan serban yang berada di punggungku dan ia membentangkannya antara diriku dan dirinya sehingga seakan­akan aku melihat kutu merayap di atas serban dan ia menyampaikan dan menerangkan hadisnya kepadaku. Dia berkata: ‘Lipatlah!’ dan sejak itu aku tidak melupakan satu kata pun dari apa yang beliau sabdakan’.[3] 

Dan dari al­Maqribi dari Abu Hurairah yang berkata: ‘Aku berkata kepada Rasul Allah: ‘Aku mendengar hadis banyak darimu dan aku lupa (akan hadis­hadis itu)’. Dan Rasul Allah bersabda: ‘Bentangkanlah serbanmu dan aku membentangkannya, dan beliau menciduk ke dalamnya dengan kedua belah tangannya, kemudian bersabda: ‘Lipatlah!’ dan aku melipatnya dan sejak itu aku tidak melupakan sebuah hadis pun”.[4] 

Abu Hurairah mengatakan bahwa kaum Muhajirin jauh dari Rasul Allah karena sibuk dengan berdagang di pasar dan kaum Anshar sibuk dengan urusan mereka. Dengan kata lain setiap orang dari kaum Muhajirin yang awal dan terdahulu serta setiap orang dari kaum Anshar sedang sibuk berdagang atau mengurus harta mereka. Lalu bagaimana dengan peringatan Allah kepada manusia dengan firmanNya yang berbunyi: 

‘Orang­orang laki­laki yang tiada menjadi lalai mengingat Allah oleh perniagaan atau bertukar barang dagangan’.[5] 


Tuduhan Para Shahabat


Ibnu Qutaibah berkata dalam Ta’wil Mukhtalaf al­Hadits: 

‘Tatkala Abu Hurairah meriwayatkan hadis Rasul Allah, tidak ada shahabat besar yang terdahulu (sabiqun) ataupun yang awal (awwalun) yang menyampaikan riwayat seperti dia. Mereka menyampaikan, dakwaan dan mengingkarinya serta bertanya: ‘Bagaimana (mungkin) engkau mendengar hadis itu sendirian? Siapa yang mendengar bersamamu?’ Aisyah ra paling getol di antara mereka yang mengingkarinya, karena Aisyah paling lama hidup di zaman Abu Hurairah mengeluarkan hadis­hadisnya”.[6] 

Selanjutnya Ibnu Qutaibah menulis: ‘Dan mengherankan sikap mereka (para ahli hadis); mereka menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong tetapi mereka tidak menulis mengenai Abu Hurairah sesuai dengan kesepakatan para ahli hadis. Yahya bin Mu’in dan Ali Ibnu al­Madini dan orang­ orang seperti mereka menolak Hadis Abu Hurairah, tapi anehnya orang tetap saja berhujah dengan hadis Abu Hurairah yang tidak akur dan serasi dengan seorang pun dari para shahabat dan telah dianggap sebagai pembohong oleh Umar, Utsman dan Aisyah’.[7] 

Ibnu Qutaibah menyebut Abu Hurairah sebagai ‘Perawi pertama dalam Islam yang harus dituduh’. 


Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah


Tatkala Ali bin Abi Thalib mendengar Abu Hurairah berkata tentang Rasul Allah: ‘Telah bersabda sahabatku’, ‘Telah menyampaikan kepadaku sahabatku’, ‘Aku melihat sahabatku’, Ali berkata: ‘Sejak kapan (Rasul Allah saw menjadi sahabatmu) ya Abu Hurairah?[8] 

Ali bin Abi Thalib menyebut Abu Hurairah ad­Dausi ini sebagai pembohong yang paling berat dari umat ini (akdzabu an­nas). Pada kesempatan lain Ali berkata: ‘Di antara orang hidup yang paling membohongi Rasul Allah adalah Abu Hurairah ad­Dausi. Ali juga menamakan Ka’b al­Ahbar sebagai pembohong.[9] 


Aisyah dan Abu Hurairah


Ibnu Qutaibah melukiskan hubungan Aisyah dengan Abu Hurairah: ‘Engkau menyampaikan hadis yang tidak kudengar dari Nabi saw’. Demikianlah kata­kata Aisyah yang ditujukan kepada Abu Hurairah. Abu Hurairah menjawab dengan jawaban yang tidak beradab dan tanpa hormat, seperti diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Sa’d, Ibnu Katsir dan lain­lain: ‘Engkau (terlalu) sibuk dengan cermin dan tempat celak!’. Dan di bagian lain ia berkata kepada Aisyah: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tempat celak serta pewarna, tetapi aku melihat Anda demikian’. Dan diriwayatkan oleh Dzahabi bahwa Aisyah berkata kepada Abu Hurairah: ‘Keterlaluan Abu Hurairah, berlebihan yang engkau sampaikan tentang Rasul Allah!’. Dan Abu Hurairah menjawab: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tidak oleh tempat celak dan tidak juga dengan alat pemoles (yang menjauhkan aku dari Rasul Allah)!’ 

Dan Aisyah menjawab: ‘Engkaulah yang sibuk mengurus perutmu, dan kerakusanmu membuat engkau terbirit­birit pergi dari Rasul Allah dan bergegas (bersembunyi) di belakang orang­orang, mengetuk rumah meminta­minta makanan untuk memenuhi perutmu yang lapar sehingga mereka lari dan menjauhimu. Kemudian engkau jatuh pingsan di depan kamarku dan orang mengira engkau gila dan mereka menginjak­injak lehermu.[10] 

Ummu­l­mu’minin Aisyah sering bertengkar dengan Abu Hurairah bila yang terakhir ini menyampaikan hadis. Sekali ia menyampaikan hadis yang berbunyi: ‘Barangsiapa bangun pagi dalam keadaan junub, maka tidak ada puasa baginya’. Aisyah mengingkari hadis ini dan mengatakan bahwa Rasul Allah suatu ketika sampai fajar berada dalam keadaan junub yang bukan disebabkan mimpi dan beliau mandi dan berpuasa dan Aisyah menyampaikan pesan kepada Abu Hurairah untuk tidak menyampaikan hadis tersebut. Kemudian Abu Hurairah mengakui bahwa dia tidak mendengar dari Rasul Allah saw tetapi dari Fadhl bin Abbas yang telah meninggal. Dan Ibnu Qutaibah berkata tentang masalab ini: ‘Ia menjadikan mayat sebagai saksi dan mengelabui orang bahwa ia mendengar dari Rasul Allah sedang dia tidak mendengar dari Rasul![11] 

Aisyah juga menuduhnya sebagai pembohong tatkala Abu Hurairah menyampaikan hadis dari Rasul Allah bahwa, pada perempuan, rumah dan binatang melata terdapat pertanda sial (thirah, evil omen).[12] 

Dan tatkala Aisyah mendengar hadis Abu Hurairah: ‘Tidak akan masuk surga anak haram’, Aisyah menjawab: ‘Dia tidak memikul dosa ayahnya’ lalu Aisyah menyampaikan ayat al­Qur’an: 

“Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan­Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan” .[13] 
Ibnu Umar dan Abu Hurairah


Abdullah bin Umar bin Khaththab menuduh Abu Hurairah sebagai pembohong. Misalnya, tatkala Abu Hurairah menyampaikan hadis tentang shalat witir.[14] 

Atau tatkala Abu Hurairah menyampaikan hadis tentang anjing. Ibnu Umar menuduhnya membuat hadis untuk kepentingan Abu Hurairah sendiri dan dikatakannya didengarnya dari Rasul Allah.[15] 


Zubair bin ‘Awwam dan Abu Hurairah ­ Tatkala mendengar hadis Abu Hurairah, Zubair berkata ‘Bohong’.[16] , Umar bin Khaththab dan Abu Hurairah


Umar adalah orang pertama yang melihat bahaya hadis­hadis Abu Hurairah yang dikatakan didengarnya dari Rasul Allah. Umar menghalangi Abu Hurairah menyampaikan hadis tatkala ia pulang dari Bahrain. Umar mengancam akan mencambuknya andaikata ia menyampaikan hadisnya sebelum ‘penyakit menyebar dan kuman menjadi kebal’. Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Sa’ib binYazid yang mendengar Umar berkata kepada Abu Hurairah: ‘Engkau harus berhenti menyampaikan hadis Rasul Allah atau engkau akan aku asingkan ke daerah Daus’.[17] 

Dan kepada Ka’b al­Ahbar Umar berkata: ‘Engkau harus meninggalkan penyampaian hadis atau engkau akan diasingkan ke daerah al­Qurdah’. Di bagian lain, Umar berkata kepada Abu Hurairah: ‘Terlalu banyak ya Abu Hurairah dan aku akan memukulmu bila engkau berbicara bohong tentang Rasul Allah’.[18] 

Meskipun Utsman tidak sekeras Umar tetapi kemarahan serupa telah disampaikan juga oleh Utsman kepada Abu Hurairah dan Ka’b al­Ahbar’.[19] 

Di samping itu Umar memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Bahrain karena menuduhnya sebagai pencuri. Ibnu ‘Abd Rabbih menulis pada bagian awal jilid pertama bukunya ‘Iqd al­Farid. “Umar kemudian memanggil Abu Hurairah dan berkata kepadanya: ‘Aku tahu tatkala aku mengangkatmu jadi gubernur di Bahrain, sandal pun engkau tidak punya. Kemudian sampai berita kepadaku bahwa engkau membeli kuda­kuda seharga seribu enam ratus dinar’. Abu Hurairah: ‘Kami memiliki kuda kemudian beranak pinak dan aku mendapat hadiah beruntun’. Umar: ‘Aku telah perhitungkan penghasilanmu dan rizkimu dan kelebihan ini harus kau kembalikan!’. Abu Hurairah: ‘Kamu tidak berhak untuk mengambilnya!’. Umar: ‘Ya, demi Allah aku harus ambil! Dan aku akan pukul punggungmu!’ Kemudian ia mengambil pecut dan memukulnya sampai berdarah! “Kemudian Umar berkata: ‘Bawa kemari uang itu!’ Abu Hurairah: ‘Aku menganggap harta yang engkau ambil itu dijalan Allah!” Umar: ‘Ya, kalau engkau mengambil itu dari yang halal dan engkau laksanakan dijalan yang benar! Apakah engkau datang dari Bahrain mengambil pajak untuk dirimu dan bukan karena Allah dan bukan untuk kaum Muslimin? Kau tidak punya keahlian apa­apa kecuali mengangon unta!’ Di bagian lain Abu Hurairah meriwayatkan dalam buku yang sama: ‘Abu Hurairah menerangkan: ‘Ketika aku diberhentikan oleh Umar dari Bahrain, Umar berkata kepadaku: ‘Ya musuh Allah dan musuh Kitab­Nya, engkau mencuri harta Allah? Aku menjawab: ‘Aku bukan musuh Allah dan musuh KitabNya! Tapi aku adalah musuh yang memusuhimu! Dan aku tidak mencuri harta Allah!’’ Umar: ‘Dari mana engkau kumpulkan uang yang sepuluh ribu?’ Abu Hurairah: ‘Kuda beranak pinak dan aku telah mendapat hadiah beruntun dan keuntungan susul menyusul, Umar menyitanya dariku! Dan setelah shalat subuh aku mintakan pengampunan untuk Amiru’l­muminin!’. 


Tabi’in Menolak Hadis Abu Hurairah, Ibrahim Nakha’i dan Kawan­kawan


Sebagai contoh dapat dikemukakan disini Ibrahim Nakha’i. Ia lahir tahun 50 H/ 670 M dan pernah melihat ummu’l­muminin Aisyah. Aisyah meninggal satu tahun sebelum Abu Hurairah meninggal, maka dia mungkin juga pernah melihat Abu Hurairah. Sahabat­sahabatnya meriwayatkan dari Mughirah yang didengarnya dari Ibrahim: ‘Sahabat­sahabat kami menolak hadis Abu Hurairah’. Juga diriwayatkan oleh A’masy dari Ibrahim: ‘Mereka tidak mengambil semua hadis Abu Hurairah’. Dan diriwayatkan oleh ats­Tsauri dari Manshur dari Ibrahim: ‘Mereka melihat ‘sesuatu’ pada hadis Abu Hurairah, dan mereka tidak mengambil seluruh hadis Abu Hurairah kecuali mengenai sifat surga dan neraka, atau ajakan kepada amal salih atau menolak kemungkaran seperti tersebut dalam al­Qur’an’. Atau diriwayatkan oleh Abu Usamah yang didengarnya dari A’masy: ‘Ibrahim, adalah seorang ahli hadis. Dan aku sendiri bila aku mendengar sebuah hadis aku segera mendatanginya dan menyampaikan hadis tersebut. Maka pada suatu hari aku menyampaikan, hadis­hadis Abi Shalih yang berasal dari Abu Hurairah dan dia berkata: ‘Jauhkan aku dari Abu Hurairah! Sungguh mereka meninggalkan banyak sekali hadis­hadisnya’.[20] 


Sikap Imam Abu Hanifah dan Kawan­-kawan


Sikap Imam Abu Hanifah dan sahabat­sahabatnya para ahli fiqih yang terkenal dalam dunia Islam adalah bahwa mereka dan para penganut madzhabnya tidak menghargakan hadis­hadis Abu Hurairah dan berbeda dengan Ibrahim Nakha’i dan sahabat­sahabatnya yang masih menerima hadis Abu Hurairah tentang surga dan neraka, mereka menolak semua hadis Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh Muhammad bin al­Hasan, seorang sahabat Abu Hanifah yang mendengar Abu Hanifah berkata: ‘Aku mengikuti pendapat para Sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta ketiga Abdullah dan aku tidak melihat perbedaan di antara mereka. Kecuali tiga orang’. Dan dalam riwayat lain: ‘Aku mengikuti semua Sahabat dan aku tidak melihat perbedaan di antara mereka kecuali tiga orang (Anas bin Malik, Abu Hurairah dan Samurah). Tentang Anas, ia mulai pikun pada akhir umurnya dan ia mengeluarkan fatwa menurut akalnya dan aku tidak bertaklid pada akalnya. Dan tentang Abu Hurairah, ia telah meriwayatkan semua yang didengarnya tanpa memikirkan artinya dan tidak membedakan naskh dari mansukh”.[21] 

Dan Abu Yusuf meriwayatkan: ‘Aku berkata kepada Abu Hanifah: ‘Apabila kabar yang sampai kepadaku dari Rasul Allah berbeda dengan pandangan kita, maka apa yang akan kita lakukan?’. Ia menjawab: ‘Bila datang berita yang meyakinkan maka tinggalkan pandanganku’. Dan aku berkata: ‘Apa pendapat Anda tentang riwayat yang disampaikan Abu Bakar dan Umar?’ Ia menjawab: ‘Aku menerima keduanya!’. Dan aku bertanya: ‘Dan Ali serta Utsman?’. Ia menjawab: ‘Demikian pula!’. Kemudian ia menyebut sejumlah Sahabat. Ia berkata: ‘Semua Sahabat dapat dipercaya, adil, kecuali dua orang. Yang seorang adalah Abu Hurairah dan orang meragukannya karena (hadisnya) yang banyak’.[22] 

Dan dalam al­Ahkam al­Hamidi: ‘Para Sahabat mengingkari Abu Hurairah karena hadis yang diriwayatkan olehnya terlalu banyak, sehingga Aisyah ra berkata: ‘Mudah­mudahan Allah SWT mengasihi Abu Hurairah. Ia adalah seorang pengoceh[23] tentang hadis lesung’. 

Pada suatu ketika dalam majelis Harun al­Rasyid orang­orang sedang berdebat dan nada suara mereka makin meninggi. Sebagian orang berargumentasi dengan hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah dan yang lain menolak hadis tersebut dengan kata­kata: ‘Riwayat Aba Hurairah harus dicurigai (muttaham)![24] 


Kaum Mu’tazilah dan Abu Hurairah


Kaum Mu’tazilah tidak memercayai hadis­hadis Abu Hurairah dan tidak berpegang pada hadis­ hadisnya. Abu Ja’far al­Iskafi berkata: ‘Dan Abu Hurairah dianggap cacat (madkhul) oleh tokoh kami (yakni tokoh­tokoh Mu’tazilah) dan riwayatnya tidak terpakai. Umar memukulnya dan berkata: ‘Engkau terlalu banyak membawa riwayat, dan aku akan memukulmu kalau engkau terus membohongi Rasul Allah’.[25] 


Abu Hurairah ‘Pemerdaya’


Seseorang dikatakan telah memperdaya, bila ia bertemu dengan seseorang pada suatu kesempatan dan tidak mendengar perkataan orang tersebut tapi mengatakan bahwa ia telah mendengarnya. Atau menyampaikan berita tentang seseorang yang hidup sezaman dengannya, yang tidak ia temui, tetapi ia mengatakan telah mendengar pembicaraan orang tersebut. 

Abu Hurairah meriwayatkan semua yang didengarnya sebagai sabda Rasul Allah, tidak peduli apakah ia mendengarnya langsung dari Rasul Allah atau dari para Sahabat atau dari generasi sesudah sahabat yaitu para tabi’in dan dia tidak mengatakan sumbernya dan memberi kesan kepada orang bahwa dia lansung mendengar dari Nabi. Di kalangan para ahli hadis digunakan istilah tadlis. 

Ibnu Qutaibah menulis dalam Ta’wil Mukhtalaf al­Hadits: ‘Abu Hurairah berkata: ‘Rasul Allah bersabda demikian! padahal ia sebenarnya mendengar dari ‘orang yang dipercayainya’ dan kemudian meriwayatkannya.[26] 

Ibnu Qutaibah sengaja menyebut bahwa Abu Hurairah menggunakan istilah ‘orang yang dipercayainya’ dan tidak orang yang dapat dipercaya, karena Abu Hurairah tidak menyebut nama orang yang meriwayatkan kepadanya. 

Dzahabi meriwayatkan dalam ‘Sair al­A’lam an­Nubala’: ‘Telah berkata Yazid bin Ibrahim: ‘Aku mendengar Syu’bah berkata: ‘Abu Hurairah memperdayakan orang’. Dan 

Dzahabi menghubungkan berita ini dengan kata­katanya: ‘Ia memperdayakan tentang Sahabat dan tidak merasa aib’. Dan Yazid bin Harun berkata dalam ‘al­Bidayah wan­Nihayah’: ‘Aku mendengar Syu’bah berkata: ‘Abu Hurairah memperdayakan orang, yakni ia meriwayatkan apa yang didengarnya dari Ka’b al­Ahbar dan tidak didengarnya dari Rasul Allah, dan dia tidak memisahkan yang satu dari yang lain! Ibnu ‘Asakir berkata: ‘Dan Syu’bah menghubungkan ini dengan hadis Abu Hurairah ‘Barang siapa bangun pagi dalam keadaan junub maka tidak ada puasa baginya’ dan tatkala didesak ia mengatakan ‘seorang telah menyampaikannya kepadaku dan aku tidak mendengar dari Rasul Allah’ ‘.(hadis yang dibantah oleh ummu’l­mu’minin Aisyah dan setelah didesak Abu Hurairah mengatakan ia mendengarnya dari Fadhl bin Abbas yang telah meninggal dan tidak dapat dijadikan mitra bicara, lihat di atas, pen.) 

Al­Hakim[27] berkata: ‘hadis bagi kami terbagi dalam enam jenis’. Kemudian ia berbicara tentang jenis yang kedua: Adalah mereka yang mengeluarkan hadis dengan memperdayakan orang. Dan mereka berkata: ‘Si pulan berkata (kepadaku)!’ dan bila dibantah orang dan merasa terdesak serta gagal mempertahankan kesaksian pendengaran mereka, mereka lalu mengubah sumber mereka’. Mahmud Abu Rayyah memasukkan Abu Hurairah dalam kategori ini. Nawawi berkata dalam At­ Taqrib: ‘Dikatakan memperdayakan karena perawi meriwayatkan tentang orang sezamannya, tapi tidak mendengar lansung darinya. Ia berkata: ‘Si pulan berkata’ atau “Berasal si pulan”. Dan ini cocok sekali dengan Abu Hurairah, karena ia dalam kebanyakan hadisnya berkata: ‘Rasul Allah bersabda’ (qala Rasul Allah), atau ‘Dari Rasul Allah’ (‘an Rasul Allah) dan dia tidak mendengar dari Rasul Allah. 

‘At­tadlis’ hukumnya adalah penolakan (madzmum) seluruhnya secara mutlak sebagaimana dikemukakan oleh Syu’bah bin al­Hajjaj, Imam ahli cacat atau tidaknya suatu hadis (Ahlu al­Jarh wa at­Ta’dil) dengan kata­katanya: ‘Berzina lebih aku sukai dari memperdayakan’ dan: ‘Memperdayakan orang adalah saudara dari bohong’.[28] 


Abu Hurairah Berbeda Dengan Sahabat lain, Kedudukannya Khusus


Kedudukan Abu Hurairah adalah khusus karena dia dicerca dan dikritik oleh Para Sahabat Besar secara susul menyusul yang tidak pernah terjadi pada para Sahabat lain. Ia dituduh sebagai ‘pembohong’ dan ‘pengoceh’ oleh para Sahabat Besar. Dan anehnya orang suka kepada hadisnya tentang Tuhan yang turun ke ‘langit dunia’, Tuhan yang menciptakan Adam seperti wajah Tuhan dengan tinggi enam putuh hasta, Tuhan yang menaruh kaki di neraka, Nabi Musa yang mengejar batu dengan telanjang bulat, Nabi yang menghancurkan seluruh sarang semut karena digigit oleh seekor semut, sapi dan serigala yang berbicara bahasa Arab, pundi­pundi ajaib yang diikat di pinggangnya dan mengeluarkan kurma selama dua puluh tahun, hadis membenamkan lalat ke dalam minuman, hadis tidak ada penyakit menular dan ratusan hadis lain yang tidak mungkin dimasukkan ke dalam buku kecil ini. 

Ahli sejarah tidak mudah menerima hadis Abu Hurairah. Mereka berkata: ‘Mudah orang berbohong tetapi sukar mempertahankan kebohongan sesudah dituturkan’. Abu Hurairah mestinya menceritakan kepada kita, di mana berada pundi­pundinya tatkala ia kelaparan di Shuffah. Dalam perang yang mana Rasul Allah menanyakan pundit­pundinya, mengusap dan memberi makan seluruh pasukan. Bagaimana rasa kurma mukjizat tersebut dan berapa banyak yang dimakan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dan mengapa dari puluhan ribu Sahabat tidak ada satu pun menceritakan pundi­pundi Abu Hurairah yang merupakan suatu mukjizat besar. 

Mengapa Ali mengatakannya sebagai anggota umat yang paling pembohong? Mengapa ummul­ muminin menamakan Abu Hurairah sebagai ‘pengoceh tidak karuan’. Mengapa ia mengatakan bahwa Ali dilaknat Allah dan para malaikat serta seluruh ummat manusia di Masjid Kufah? 

Bid’ah apa yang dilakukan oleh Ali? Mengapa ia mengatakan bahwa Aisyah hanya sibuk dengan cermin dan tempat celak dan pemoles? Lalu mengapa orang membiarkan ‘Abu Hurairah’ memasuki rumah orang dan mengatakan bahwa seorang anggota keluarganya ‘mati dalam keadaan kafir’ sedang seluruh keluarganya tidak sedikit pun meragukan keislamannya, seperti kisah Abu Hurairah tentang Abu Thalib? 

Tatkala ia dikritik karena membawa begitu banyak hadis, ia menceritakan bahwa Rasul Allah membentangkan bajunya dan Abu Hurairah tidak lupa akan hadis­hadis Rasul Allah. Kalau demikian ia mestinya menceritakan mengapa Rasul mengirimnya ke Bahrain dan tidak menahannya di Madinah untuk mendengarkan hadis­hadis Rasul Allah yang lain, karena sesudah itu Rasul Allah masih hidup selama dua tahun lagi? Dan mengapa Umar tidak mendudukkannya dalam majelisnya sebagai guru? Mengapa Umar mengatakan ‘Kalau tiada Ali, maka celakalah Umar? Dan bukan ‘Kalau tiada Abu Hurairah maka celakalah ummat Islam?’ 

Abu Hurairah mengatakan bahwa kaum Muhajirin jauh dari Rasul Allah karena sibuk dengan perdagangan mereka di pasar dan kaum Anshar sibuk dengan urusan mereka. Dengan kata lain setiap orang dari kaum Muhajirin yang awal dan terdahulu serta setiap orang dari kaum Anshar sedang sibuk berdagang atau mengurus harta mereka. Orang meragukan hadis Abu Hurairah ini karena Allah telah memberi peringatan kepada umat manusia dengan firman­Nya yang berbunyi: ‘Orang­orang laki­laki yang tiada menjadi lalai mengingat Allah oleh perniagaan atau bertukar barang dagangan’. Dan orang yakin bahwa para Sahabat tidak akan lalai terhadap firman Allah SWT tersebut. Abu Hurairah seharusnya menceritakan di mana Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Salman al­Farisi, ‘Ammar bin Yasir, Miqdad, Abu Dzarr dan lain­lain? Apakah mereka juga sedang sibuk berdagang? Bukankah hari pasar adalah hari Kamis dan hanya sedikit yang berdagang? Dan bukankah paling sedikit Abu Dzarr, Miqdad dan ‘Ammar bin Yasir hampir selalu berada di masjid? Dan bukankah Abu Hurairah sendiri mengatakan bahwa di Shuffah saja sudah berdiam tujuh puluh orang, lalu sedang di mana mereka itu? Dan seperti dikatakannya sendiri bahwa mereka, termasuk Abu Hurairah, ‘tidak ada yang mengenakan jubah (rida’, baju luar yang lepas), tapi hanya mengenakan izar (semacam selendang) atau kisa’ (baju) yang dilingkarkan ke leher mereka’, lalu mengapa yang lain­lain tidak membentangkan baju­baju mereka? 

Dan catatan yang kuat menunjukkan bahwa tidak semua Sahabat sibuk dengan harta milik mereka. Misalnya Salman al­Farisi yang oleh Rasul Allah disebut sebagai anggota ahlu’l­bait (ia tinggal bersama keluarga Rasul dan masuk keluar rumah bebas seperti rumahnya sendiri, pen). Dan Rasul pernah berkata mengenai Salman: ‘Andaikata ad­din berada di bintang kejora (tsurayya) akan dapat dicapai oleh Salman dan kaumnya’. Dan Aisyah berkata tentang Salman: ‘Salman selalu duduk bersama Rasul Allah, sendirian ia menemani Rasul Allah sampai malam dan hampir saja ia mengalahkan kami’. Dan berkata Ali: ‘Sesungguhnya Salman al­Farisi seperti Luqman al­Hakim, ia mengetahui ilmu dari awal sampai akhir. Lautan ilmu yang tidak mengering’. 

Bila ada perintah Rasul Allah agar jemaah membentangkan bajunya maka semua orang yang hadir di masjid, paling sedikit para penghuni Shuffah akan berebut membentangkan baju mereka untuk mendapatkan kemuliaan dari Rasul Allah saw. Ia mengatakan bahwa ia miskin dan hanya memiliki sepasang baju, tentu banyak orang lain yang mempunyai lebih banyak baju akan mendahuluinya. 

Abu Hurairah seharusnya menceritakan kepada kita bagaimana dengan hadis Rasul Allah yang didengarnya sebelum peristiwa tersebut, yang menurut Abu Hurairah tidak dapat diingatnya karena dia pelupa. Lalu bagaimana ia mengetahui hadis dan peristiwa yang terjadi dari tahun 8 H/629 M sampai wafatnya Rasul Allah dan peristiwa yang terjadi selama dua puluh tahun sebelum ia bertemu dengan Rasul? 

Abu Hurairah seharusnya menceritakan kepada kita mengapa Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali tidak mendudukkan Abu Hurairah di dalam majelis mereka sebagai tempat bertanya tentang hadis? Malah mencercanya dan Umar mengancam akan memukulnya bila ia meriwayatkan hadis? 

Ia seharusnya menceritakan juga apakah ingatannya khusus diberikan Allah untuk mengingat hadis dan tidak untuk mengingat ayat Al­Qur’an. Kalau daya ingat bersifat umum, dan memang seharusnya demikian, mengapa Utsman tidak memasukkannya sebagai salah seorang penghimpun lembaran­lembaran catatan Al­Qur’an? Hal­hal seperti ini seharusnya diterangkan oleh Abu Hurairah. 

Lalu mengapa orang mempertahankan hadis Abu Hurairah? Hal ini merupakan misteri dan terjadi juga pada agama lain. Sukar juga dipahami sebagaimana, manusia itu sendiri adalah makhluk yang sukar dipahami. 



Abu Hurairah dan Ka’b al­Ahbar


Ibnu Katsir berkata dalam al­Bidayah wan­Nihayah: ‘Muslim bin al­Hajjaj mendengar dari Busr bin Sa’id yang berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah dan lindungi hadis Nabi, demi Allah kami telah melihat tatkala kami duduk bersama Abu Hurairah dan ia telah menyampaikan hadis tentang Rasul Allah sedangkan sebenarnya ia sedang menyampaikan riwayat yang berasal dari Ka’b al­ Ahbar, kemudian seorang di antara kami berdiri dan mengatakan bahwa apa yang didengar Abu Hurairah dari Ka’b al­Ahbar dijadikannya hadis Rasul Allah’. Dan dalam riwayat lain: ‘Ia menjadikan apa yang dikatakan Ka’b al­Ahbar sebagai hadis Rasul Allah dan apa yang dikatakan Rasul Allah dikatakan dari Ka’b. Maka bertakwalah kepada Allah dan peliharalah hadis­hadis’. Yazid bin Harun berkata: ‘Aku mendengar Syu’bah berkata: ‘Abu Hurairah memperdayakan orang (yudallisu) yaitu dengan mengacaukan apa yang didengarnya dari Ka’b dengan apa yang didengarnya dari Rasul dan ia tidak memisahkan yang satu dengan yang lain’.[29] 

Abu Hurairah segera pergi ke Madinah dari Bahrain setelah ia mendapat kabar tentang Ka’b al­ Ahbar sang Yahudi yang kemudian mengajari Abu Hurairah ajaran­ajaran Yahudi, isra’iliyat, dan ia memperdaya kaum Muslimin dengan khurafat­nya, dan kaum Muslimin yang tidak mengerti mengambil dari Abu Hurairah. Seperti yang dikatakannya kepada Qais bin Ibnu Kharsyah: ‘Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tidak tertulis dalam Taurat yang diturunkan kepada Musa’. 

Ibnu Sa’d meriwayatkan dalam bukunya Ath­Thabaqat al­Kubra dari Abdullah bin Syaqiq bahwa Abu Hurairah. mencari dan mendatangi Ka’b al­Ahbar. Ka’b waktu itu berada di tengah sekelompok orang. Ka’b bertanya: ‘Apa yang kau kehendaki dari Ka’b?’ Abu Hurairah menjawab: ‘Aku sesungguhnya tidak mengetahui seorang pun dari Sahabat Rasul Allah yang lebih menghapal hadis Rasul Allah dari diriku! ‘Maka Ka’b menjawab: ‘Engkau sama sekali tidak hendak menjadi murid dengan hanya mengisi perutmu tiap hari dari Ka’b dan tidak belajar; dengan kata lain engkau tidak boleh hanya mengejar dunia’. Dan Abu Hurairah bertanya: ‘Engkaukah Ka’b?’. Ka’b menjawab ‘Ya’. Abu Hurairah berkata: ‘Untuk inilah aku datang kepadamu!’[30] Al­Hakim berkata bahwa riwayat ini shahih menurut syarat Bukhari­Muslim.[31] 

Ahmad Amin dalam mengulas Thabaqat dari Ibnu Sa’d ini menceritakan dalam Fajar al­Islam bahwa Ka’b pada masa itu menyampaikan pelajarannya di dalam masjid. Tentang seorang laki­ laki tatkala memasuki masjid telah melihat Amir bin Abdullah bin ‘Abdul Qais sedang duduk di samping buku­buku dan di antaranya terdapat Kitab Taurat, dan Ka’b sedang membacanya.[32] 

Para ahli hadis tahu bahwa Abu Hurairah mengambil pelajaran dari Ka’b al­Ahbar.[33] 

Ahmad Syakir berkata: “Dan dari jenis ini terdapat riwayat para Sahabat yang mereka dengar dari para tabi’in seperti riwayat Abdullah bin Abbas, Abdullah­Abdullah yang lain, Abu Hurairah, Anas (bin Malik) dan lain­lainnya yang mendengar dari Ka’b al­Ahbar”. 

Dan jelas Abu Hurairah merupakan Sahabat yang paling banyak tertipu oleh dan percaya kepada, serta membuat riwayat dari Ka’b dengan memperdaya orang. Abu Hurairah adalah yang terbanyak meriwayatkan hadis Rasul Allah, padahal riwayatnya terbukti berasal dari apa yang dibacakan kepadanya oleh Ka’b al­Ahbar. 

Dzahabi berkata dalam Thabaqat al­Huffazh dan dalam Sair A’lam an­Nubala’ dalam membicarakan Abu Hurairah bahwa Ka’b al­Ahbar telah berkata: ‘Bukan main Abu Hurairah! Aku belum pernah melihat seseorang yang tidak membaca Taurat lebih mengetahui isinya dari Abu Hurairah’.[34] 

Dzahabi berkata di bagian lain: ‘Abu Hurairah mengambil dari Ka’b al­Ahbar’.[35] 

Dan Baihaqi dalam al­Madkhal dari jalur Bakar bin Abdullah dari Abi Rafi’ dari Abu Hurairah yang berkata: ‘Bila Abu Hurairah bertemu dengan Ka’b maka ia akan meminta Ka’b menyampaikan riwayat. Dan Ka’b kemudian berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang tidak membaca Taurat lebih mengetahui isi Taurat dari Abu Hurairah”.[36] Abu Hurairah adalah seorang buta huruf, bukan hanya tidak membaca bahasa Ibrani, malah ia tidak bisa mengeja huruf Arab. “Ia berkata: ‘Tidak ada seorang sahabat Nabi saw pun yang demikian banyak membawakan hadis Nabi kecuali Ibnu Umar. Hanya saja ia (bisa baca) tulis, sedang saya tidak”.[37] Dan pada masa itu tidak ada Muslim yang mengerti Taurat. Ka’b al­Ahbar adalah orang Yahudi dari Yaman yang baru masuk Islam di zaman para Sahabat dan belum pernah bertemu dengan Rasul Allah, oleh karena itu dia termasuk generasi tabi’in. 

Thaha Husain berkata: ‘Ka’b al­Ahbar adalah seorang eksentrik (gharib al­athwar), mengetahui bagaimana menipu banyak orang Islam dan di antaranya Umar bin Khaththab, dialah Ka’b al­ Ahbar, seorang Yahudi dari Yaman. Ia menyatakan bahwa ia bertanya kepada Ali, mudah­ mudahan Allah memberi rahmat kepadanya, yaitu tatkala Ali diutus Rasul Allah ke Yaman dan tatkala Ali mengabarkan kepadanya sifat Nabi, ia mengatakan ia telah mengetahui sifat Nabi yang diceritakan Ali dari dalam Taurat. Dan ia tidak datang ke Madinah pada masa Nabi masih hidup. Dia tetap dalam agama Yahudinya di Yaman. Tapi ia mengatakan bahwa pada masa itu ia telah masuk Islam dan berdakwah di Yaman. Ia datang ke Madinah pada masa Umar menjadi khalifah. 

Ia menjadi maula (di bawah perlindungan, pen.) Abbas bin ‘Abdul Muththalib, mudah­mudahan Allah memberi rahmat kepadanya, dan Ka’b dengan ahlinya membohongi kaum Muslimin dengan mengatakan bahwa ia menemukan sifat­sifat mereka dalam Kitab Taurat. Dan kaum Muslimin mengagumi hal demikian itu dan dengan demikian mengagumi dirinya juga. Dan ia tidak segan­ segan membohongi Umar bin Khaththab sendiri dengan mengatakan bahwa ia mendapatkan sifat Umar dalam Taurat dan Umar terheran­heran. Umar bertanya: ‘Engkau menemukan namaku dalam Thurat?’. Ka’b menjawab: ‘Aku tidak mendapatkan namamu dalam Taurat, tetapi aku mendapatkan sifatmu!’. 

Al­Ustadz Sa’id al­Afghani menulis dalam majalah Risalah al­Mishriyah: ‘Bahwa Wahb bin Munabbih adalah Zionis pertama telah saya koreksi dalam artikel yang dimuat dalam edisi nomor 656 majalah ini, dengan bukti yang kuat bahwa Ka’b al­Ahbar­lah sebenarnya Zionis yang pertama..’. 

Para penulis Muslim di zaman dahulu telah melihat kelemahan­kelemahan hadis Abu Hurairah. Para peneliti sudah tahu pasti bahwa Abu Hurairah mendapatkan kisah­kisah Perjanjian Lama dari Ka’b al­Ahbar, sebelum ia menyampaikan hadis­hadisnya di zaman Mu’awiyah. 

Para peneliti juga mengetahui bahwa Mu’awiyah, politikus yang ulung itu, telah memerintahkan untuk mengumpul ‘para Sahabat’, agar menyampaikan hadis­hadis yang mengutamakan para Sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman untuk mengimbangi keutamaan Abu Turab (Ali bin Abi Thalib). Untuk itu, Mu’awiyah memberikan imbalan berupa uang dan kedudukan kepada mereka. Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abi Saif al­Mada’ini, dalam bukunya, al­Ahdats, mengutip sepucuk surat Mu’awiyah kepada bawahannya: ‘Segera setelah menerima surat ini, kamu harus memanggil orang­orang, agar menyediakan hadis­hadis tentang para Sahabat dan khalifah; perhatikanlah, apabila seseorang Muslim menyampaikan hadis tentang Abu Turab (Ali), maka kamu pun harus menyediakan hadis yang sama tentang Sahabat lain untuk mengimbanginya. Hal ini sangat menyenangkan saya, dan mendinginkan hati saya dan akan melemahkan kedudukan Abu Turab dan Syi’ah­nya’. Ia juga memerintahkan untuk mengkhotbahkannya di semua desa dan mimbar (fi kulli kuratin wa’ala kulli minbarin). 

Keutamaan para Sahabat ini menjadi topik terpenting di kalangan para Sahabat, beberapa jam setelah Rasul wafat, sebelum lagi beliau dimakamkan. Keutamaan ini juga menjadi alat untuk menuntut kekuasaan dan setelah peristiwa Saqifah topik ini masih terus berkelanjutan. Para penguasa dan para pendukungnya membawa hadis­hadis tentang keutamaan penguasa untuk ‘membungkam’ kaum oposisi, dan demikian pula sebaliknya. 

Dalam menulis buku sejarah, seperti tentang peristiwa Saqifah, yang hanya berlangsung beberapa jam setelah wafatnya Rasul Allah saw, harus pula diadakan penelitian terhadap para pelapor, prasangka­prasangkanya, keterlibatannya dalam kemelut politik, derajat intelektualitas, latar belakang kebudayaannya, sifat­sifat pribadinya, dengan melihat bahan­bahan sejarah tradisional yang telah dicatat para penulis Muslim sebelum dan setelah peristiwa itu terjadi. Tulisan sejarah menjadi tidak bermutu apabila penulisnya terseret pada satu pihak, dan memilih laporan­laporan tertentu untuk membenarkan keyakinannya. Sebagai contoh, hadis­hadis dan laporan lainnya dari Abu Hurairah. Laporannya sangat berharga untuk memahami kemelut politik pada zaman itu, bagaimana sikap masa bodoh penguasa terhadap agama setelah Khulafa’ur­Rasyidin dan pengaruhnya terhadap perkembangan keagamaan. Tetapi mutu laporannya sendiri terhadap suatu peristiwa ‘politik’, haruslah diragukan.



Hadis-­Hadis Ramalan Politik

Masalah lain yang harus dipertimbangkan dalam menulis peristiwa Saqifah, adalah riwayat atau hadis berupa nubuat susunan khalifah sesudah Rasul”. Riwayat dan hadis­hadis ini menceritakan “ramalan” dengan menyebut nama para Sababat yang menggantikan Rasul setelah wafatnya. Misalnya, sebuah riwayat Shahih Muslim yang berasal dari Ibnu Abi Mulaikah: “Orang bertanya kepada Aisyah: ‘Siapa yang akan ditunjuk Rasul Allah untuk menjadi khalifahnya andaikata Rasul Allah akan menunjuk penggantinya?’ Aisyah menjawab, ‘Abu Bakar’. Dan ditanyakan lagi kepadanya, ‘Siapa sesudah Abu Bakar?’ Aisyah menjawab, Umar’. Kemudian ditanyakan lagi, ‘Siapa sesudah Umar?’ Aisyah menjawab, ‘Abu ‘Ubaidah bin al­Jarrah,’ Ia tidak meneruskan”.[38] 

Sebuah hadis diriwayatkan juga oleh Aisyah: ‘Rasul membawa batu pertama untuk membangun masjid, kemudian Abu Bakar, lalu Umar; Utsman membawa batu terakhir. Dan aku bertanya ‘Ya, Rasul Allah, apakah Anda melihat bagaimana mereka membantu?’ Dan Rasul berkata: ‘Wahai Aisyah, demikianlah (urutan) khalifah sesudahku”.[39] 

Hadis dan riwayat seperti ini puluhan jumlahnya. Contoh di atas menunjukkan bahwa Rasul Allah mengucapkan kata­kata tersebut kepada Aisyah sendiri, dan tidak diumumkan kepada jemaah atau di depan para Sahabat. 

Hadis yang pertama, dalam kenyataannya, tidak terjadi; Abu ‘Ubaidah tidak menjadi khalifah. Hadis yang kedua sangat meragukan, karena tatkala Masjid Madinah mulai dibangun, Rasul Allah belum kumpul dengan Aisyah yang waktu itu baru berusia delapan tahun. Tidak ada pula catatan bahwa Aisyah berada di sana tatkala Masjid Nabi dibangun. Lagi pula pada waktu itu Utsman yang hijrah ke Habasyah belum pulang ke Madinah. Dari segi sejarah, hanyalah dapat dikatakan bahwa hadis yang pertama diucapkan di zaman Umar, sedang hadis yang kedua diucapkan di zaman Utsman atau di zaman Ali. 

Lagi pula, tidaklah adil membawa hadis­hadis Aisyah dalam hubungan dengan ‘kemelut politik’ setelah wafatnya Rasul, karena orang mengetahui ‘kebencian’ Aisyah kepada Ali.[40] Beberapa contoh, misalnya, terasa perlu dikemukakan di sini. Tatkala sakit Rasul Allah bertambah berat, beliau dibawa ke masjid, dipapah oleh dua orang, yaitu Fadhl bin Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dan seorang lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, dari Aisyah. Ubaidillah kemudian berkata: ‘Apa yang dikatakan oleh Aisyah kepadaku, kusampaikan kepada Abdullah bin Abbas, yang mengembalikan pertanyaan kepadaku: “Tahukah engkau siapa gerangan orang yang tidak disebutkan namanya oleh Aisyah?’ ‘Tidak’, jawabku. Dan kemudian menambahkan: ‘Sungguh, Aisyah tidak pernah merasa senang dengan segala berita baik mengenai Ali’.[41] 

Imam Ahmad, dalam Musnad­nya, mengatakan bahwa tatkala orang datang kepada Aisyah dengan mencaci Ali bin Abi Thalib dan ‘Ammar bin Yasir, Aisyah berkata: ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun mengenai Ali, sedang mengenai ‘Ammar aku telah mendengar Rasul Allah saw bersabda: ‘Ia tidak akan memilih akan dua urusan kecuali ia akan memilih yang lurus’ 

Aisyah mengatakan Rasul wafat sambil bersandar ke dada Aisyah, dan tidak menyampaikan wasiat apa­apa. Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Imam Ali bahwa tatkala Rasul wafat kepala beliau berada di pangkuan Ali: 

Ali berkata: ‘Rasul Allah saw bersabda tatkala beliau sedang sakit: Panggilkan untukku saudaraku!’. Dan mereka memanggil Ali. Dan beliau bersabda: ‘Dekatlah kepadaku!’. Dan aku mendekatinya. Dan beliau terus bersandar dan berkata­kata kepadaku…sampai penyakitnya menjadi berat di pangkuanku!’ 

Abu Ghatfan berkata: 

‘Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, apakah engkau melihat bahwa Rasul Allah saw wafat dan kepalanya berada dipangkuan seseorang?’ Ibnu Abbas menjawab: ‘Rasul Allah wafat sambil bersandar pada Ali; dan aku bertanya: “Urwah menceritakan kepadaku yang didengarnya dari Aisyah yang berkata: ‘Rasul Allah saw wafat sedang kepalanya berada antara dada dan leherku (baina sahri wa nahri)! Ibnu Abbas menjawab: ‘Apakah engkau berakal? Demi Allah, sungguh Rasul Allah saw wafat sambil bersandar ke dada Ali dan Ali memandikan beliau..!’ 

Dan Jabir bin Abdullah al­Anshari berkata: ‘Di zaman Umar, suatu ketika Ka’b al­Ahbar berdiri dan kami sedang duduk. Ia bertanya kepada Umar, kata­kata apa yang disabdakan Rasul Allah saw pada akhir hidupnya?’ Umar menjawab: ‘Tanyakan kepada Ali!’ Ka’b: ‘Di mana dia?’ Umar: ‘Dia berada disini!’ Maka Ka’b bertanya kepadanya dan Ali menjawab: ‘Ia bersandar ke dadaku dan kepalanya berada di pundakku sambil berkata: ‘(Jangan tinggalkan) shalat, shalat!’ Kemudian Ka’b berkata: ‘Demikianlah akhir kehidupan para Nabi dan demikianlah mereka diperintahkan dan di utus!’ Dan ia melanjutkan: ‘Dan siapa yang memandikan wahai Amiru’l­mu’minin?’ Umar menjawab: ‘Tanyakan pada Ali!’ Dan Ka’b lalu bertanya kepada Ali. Ali menjawab: ‘Akulah yang memandikannya, dan Abbas pada waktu itu sedang duduk tatkala Usamah serta Syuqran bergantian menyiramkan air!’ 

Tatkala sedang berlangsung Perang Jamal, seorang prajurit terheran­heran melihat betapa para Sahabat yang pada waktu lalu telah berjuang tanpa pamrih untuk Islam, sekarang saling membunuh. Ia kemudian mendatangi Ali bin Abi Thalib lalu bertanya, Apakah mungkin Thalhah dan Zubair serta Aisyah berkumpul bersama­sama untuk memperjuangkan kepalsuan? Apakah hal itu mungkin terjadi? Ali menjawab: Anda tertipu. Kebenaran dan kepalsuan tidak akan diketahui dari ukuran kekuatan dari pribadi orang. Tidaklah benar bila Anda menetapkan kebenaran berdasarkan tindakan pribadi tersebut. Ini benar, karena sesuai dengan tindakannya, dan itu salah, karena tidak sesuai dengan tindakannya. Tidak, manusia tidak boleh menjadi ukuran kebenaran dan kepalsuan. Kebenaranlah yang harus menjadi tolok ukur bagi orang dan pribadi.” Dengan demikian, hadis­hadis politik seperti itu ditinjau dari berbagai segi, haruslah diragukan. Dan mengemukakan data sejarah tidaklah akan mengurangi penghormatan kita kepada ummu’l­mu’minin dan para Sahabat. 

Buku ini ditulis setelah mempertimbangkan hal­hal di atas. Sumber­sumber utama buku ini, dimuat dalam satu bab tersendiri. Kecuali seorang dua, yang penulis sebutkan latar belakang mazhab yang dianutnya, semua sumber yang dipetik dalam buku ini adalah para sejarahwan Sunni. 

Dalam buku ini juga penulis memuat peta wilayah kota Madinah dan denah Masjid Nabi. Denah Masjid Nabi ini penulis buat berdasarkan beberapa buku yang terpenting di antaranya ialah Fushul min Tarikh al­Madinah al­Munawwarah oleh Ali Hafizh, Madinah, Saudi Arabia. Keterangan peta dan denah itu, dalam hubungan dengan peristiwa Saqifah, penulis muat dalam bab ‘Madinah al­Munawwarah pada saat wafatnya Rasul’. Ukuran panjang untuk mengukur masjid dan kamar Rasul, penulis buat berdasarkan pengukuran dengan hasta oleh Sayyid Samhudi. Penulis mengubah dari hasta (dzira’) ke meter dengan mengalikan 0.45; sebagai contoh, 1 hasta tambah 1/3 hasta (kebiasaan orang dahulu mengukur jarak) adalah (1 + 1/3) x 0.45 = 0.825 meter, dibulatkan jadi 0,83 meter.






Daftar isi : 

Allah SWT Turun ke Langit Dunia (?) 6

Sungai Nil Dan Efrat Adalah Sungai Dari Surga 7

Hadis ‘Tiada Penyakit Menular’ dari Abu Hurairah 8

Hadis Abu Hurairah Tentang Lalat, Perang Lalat 9

Hadis Pundi­pundi Abu Hurairah 11

Hadis Membentangkan Baju 14

Tuduhan Para Shahabat 16

Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah 17

Aisyah dan Abu Hurairah 18

Ibnu Umar dan Abu Hurairah 20

Zubair bin ‘Awwam dan Abu Hurairah ­ Tatkala mendengar hadis Abu Hurairah, Zubair berkata ‘Bohong’. , Umar bin Khaththab dan Abu Hurairah 21

Tabi’in Menolak Hadis Abu Hurairah, Ibrahim Nakha’i dan Kawan­kawan 24

Sikap Imam Abu Hanifah dan Kawan­kawan 25

Kaum Mu’tazilah dan Abu Hurairah 27

Abu Hurairah ‘Pemerdaya’ 28

Abu Hurairah Berbeda Dengan Sahabat lain, Kedudukannya Khusus 31

Abu Hurairah dan Ka’b al­Ahbar 36

Hadis­Hadis Ramalan Politik 42


Catatan: 


[1] Lihat “An­Nujum az­Zahirah, jilid 1, hlm. 34, Mahmud Abu Rayyah, Syaikh al­Mudhirah, Abu Hurairah, hlm. 94, lihat juga Perjanjian Lama, Kejadian (Genesis), ayat 10. 

[2] Fat’ha1­Bari, jilid 4, hlm.231. 

[3] Sair A’lam an­Nubala’, jilid 2, hlm.429. 

[4] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 4, hlm. 56. 

[5] Al­Qur’an, an­Nur (XXIV), 37. 

[6] Ibnu Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al­Hadits, hlm. 48. 

[7] Ibnu Qutaibah, Tawil Mukhtalaf al­Hadits, hlm. 10, 11. 

[8] Ibnu Qutaibah, Tawil Mukhtalaf al­Hadits, hlm. 51. 

[9] Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 4, hlm. 68. 

[10] Dzahabi: Sair al­A’lam, jilid 2, hlm.435. 

[11] Ibnu Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al­Hadits, hlm. 28. 

[12] Ibnu Qutaibah, al­Imamah was Siyasah, hlm. 126, 127. 

[13] Al­Qur’an, al­An’am (VI): 164. 

[14] Ibnu ‘Abdil Barr, Jami’ bayan al­ilm wa fadhluhu, jilid 2, hlm. 154, 

[15] Lihat Mahmud Abu Rayyah, Syaikh al­Mudhirah Abu Hurairah, hlm. 142, 143. 

[16] Ibnu Katsir, al­Bidayah wan­Nihayah, hlm. 109. 

[17] Dzahabi: A’lam an­Nubala, jilid 2, hlm. 433; al­Bidayah wan­Nihayah, jilid 8, hlm. 106. 

[18] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 4, hlm. 67, 68. 

[19] Mahmud Abu Rayyah, ibid, hlm. 104. 

[20] Lihat Sair A’lam an­Nubala’, jilid 2, hlm. 348; al­Bidayah wa’n­Nihayah oleh Ibnu Katsir, jilid 8, hlm. 109 dll. 

[21] Mahmud Abu Rayyah, Syaikh al­Mudhirah, Abu Hurairah, hlm. 146. 

[22] Mahmud Abu Rayyah, Ibid, hlm. 147. 

[23] mihdzar, berbicara tidak karuan. 

[24] Mahmud Abu Rayyah, ibid, hlm. 147, 148. 

[25] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 4, hlm. 68. 

[26] Ibnu Qutaibah, Ibid, hlm. 50. 

[27] Bab 6 bukunya Ma’rifah U’lum al­Hadits. 

[28] Mahmud Abu Rayyah, ibid, hlm. 115. 

[29] Ibnu Katsir: al­Bidayah wa’n­Nihayah, jilid 8, hlm. 109. 

[30] Ibnu Sa’d, at­Thabaqat al­Kubra, jilid 4, hlm. 58. 

[31] Al­Hakim, al­Mustadrak, jilid 1, hlm. 92. 

[32] Lihat juga Thabaqat, jilid 7, hlm. 79. 

[33] Suuythi, Alfiat, bab “Riwayat Orang­orang Besar dari Orang­orang Kecil, atau “Riwayat Sahabat yang berasal dari Tabi’in”, hlm. 237, 238. 

[34] Sair A’lam an­Nubala’, jilid 2, hlm. 432. 

[35] Dzahabi, ibid, jilid 2, hlm. 417. 

[36] Al­Ishabah, jilid 5, hlm. 205. 

[37] Shahih Bukhari, jilid 1, hlm. 23. 

[38] Muslim dalam Shahih­nya, jilid 7, hlm. 110; Ibnu Sa’d dalam Thabaqat al­Kubra, jilid 2, bab 2, hlm. 128; Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad., Hakim dalam Mustadrak, jilid 3, hlm. 78; Muttaqi al­Hindi dalam Kanzu’l ‘Ummal, jilid 6, hlm. 428. Dalam Mustadrak tidak disebutkan nama Abu Ubaidah. 

[39] Diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak, jilid 5, hlm. 97. 

[40] Mengenai gambaran ‘Ali tentang kebencian ‘Aisyah kepadanya, lihat Khotbah 155 Nahjul Balaghah. Lihat juga catatan kaki sebelumnya. 

[41] Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad­nya, jilid VI, hlm. 23 dan 238, Ibnu Sa’d dalam Thabaqat, jilid 2, bab 2, hlm. 29; Thabari, dalam Tarikh­nya, (edisi Leiden) jilid 2, hlm. 1800­1801; Baladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 1, hlm. 544­545; Baihaqi, Sunan, jilid 2. hlm. 396 dll. 



Bab 3 . Madinah al­Munawwarah 

Akhir Hayat Rasul

Sekitar lohor, hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriah, bertepatan dengan 8 Juni 632 M, wafatlah Muhammad Rasul Allah saw, Nabi terakhir. Beliau menarik napas akhir di pangkuan atau di dada Aisyah, istri beliau, tanpa memberi wasiat apa­apa. Ini menurut ummu’l­ mu’minin Aisyah. Menurut Ummu Salamah yang juga ummu’l­mu’minin, Nabi saw wafat sementara bersandar ke dada Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu beliau. Ali pun mengatakan demikian, begitu pula Umar bin Khaththab. Nabi telah memberi wasiat, sekurang­kurangnya dalam hal menentukan orang yang akan memandikan jenazah dan membayarkan hutang­hutang beliau, yang kemudian dipenuhi oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam kamar petak, hujrah, tempat tinggal Aisyah di sisi sebelah Timur Masjid Nabi ini, berakhirlah hidup Rasul dalam usia 63 tahun, 10 tahun di Madinah dan 53 tahun di Makkah. 


Madinah al­Munawwarah


Batas Utara Madinah adalah Bukit atau Jabal Tsaur dan Lembah atau Wadi Qanat, Perbukitan Tsaur, tepat di Utara Uhud, terletak sekitar 8 (delapan) km Utara Masjid Madinah. 

Batas Selatan Jabal ‘Air dan Wadi Aqiq. Jarak antara Jabal ‘Air dan Masjid Madinah sekitar 8 (delapan) km. 

Di Barat laut terletak Jabal Sala’. Yang melintas di tengah Wadi Bathhan (Abu Jaidah). 

Uhud terkenal dengan Perang Uhud (Ma’rikah Uhud) yang terjadi tahun 3 H/624 M dan menyebabkan gugurnya 70 sahabat, 64 kaum Anshar dan 7 kaum Muhajirin. 

Batas Barat adalah Labah (al­Harrah al­Gharbiyah atau Lahar Barat) berupa bukit batu lahar berwarna hitam. Sebelah Timur terdapat Labah (al­Harrah al­Syarqiyah, Lahar Timur). Kedua Labah ini masing­masing berjarak 4 km dari Madinah. 

Karena Labah ini sulit dilalui maka musuh, kaum Jahiliah, menyerbu Madinah dari Utara. Khandaq dibuat di sebelah Utara sebagai perintang untuk menghambat musuh. 

Al­Harrah Syarqiyah sangat terkenal di zaman para sahabat dan tabi’in di kemudian hari, karena pada tahun 63 H/683 M pasukan Yazid bin Mu’awiyah menyerbu Madinah melalui Lahar Timur ini, ‘agar orang­orang Madinah menghadap matahari dan silau oleh sinar matahari’. Sepuluh ribu tujuh ratus delapan puluh (10780) orang dibunuh, diantaranya para sahabat Muhajirin dan Anshar masing­masing sebanyak tujuh ratus orang serta anak­anak mereka serta serta seribu gadis hamil akibat perkosaan.[1] 

Khandaq adalah suatu terusan yang digali Rasul dan para Sahabat atas usul Salman al­Farisi antara Bukit ‘Ubaid dan suatu tempat yang bernama Syaikhan. Terletak sekitar 1 km dari Madinah dan terkenal dengan Perang Khandaq atau Perang Ahzab (Marikah al­Khandaq atau Marikah al­Ahzab) yang berlansung tahun 5 H/626 M. 

Batas Selatan adalah Jabal ‘Air dan Wadi ‘Aqiq yang terletak sekitar 8 km dari ‘kota’ Madinah.[2] 

Arah ke Timur, jarak Madinah ke Laut Merah, sekitar 375 km. Makkah berada di Selatan dan berjarak sekitar 497 km. Damaskus, ibu kota Syam, yang sekarang jadi ibu kota Syria, di Utara berjarak sekitar 1303 km. 


Masjid Nabi


Masjid ini terletak di bagian yang disebut sebagai ‘Kota Madinah’, kurang lebih di tengah pemukiman berupa kampung­kampung yang terpancar luas di sekelilingnya. Sejak dulu diketahui adanya klan besar ‘Aus dan Khazraj dengan puluhan anak sukunya, serta beberapa suku Yahudi. Di masa­masa terakhir, banyak pendatang memasuki kota ini, antara lain kaum Muhajirin dan sejumlah pemeluk baru agama Islam. Walaupun jumlah penduduknya mungkin hanya belasan ribu jiwa, namun menjadi pusat pemerintahan Islam yang meliputi seluruh jazirah Arab. Karena Rasul tinggal di sisi masjid ini, dan pusat kegiatan serta pusat pertemuan beliau dengan para tokoh Sahabat yang terpenting terjadi di Masjid ini, maka patut juga masjid ini disebut sebagai pusat pemerintahan Islam. 

Masjid ini sendiri ­setelah perluasan dari bentuknya yang asli sepuluh tahun yang lalu­ berukuran 45 meter[3] setiap sisinya, dan hanya memiliki dua pintu untuk umum, sebuah di sisi Utara dan sebuah di sisi Barat. Ketika kiblat masih mengarah ke Baitul Muqaddis, dinding sisi Utara tidak berpintu. Ketika kiblat berpindah mengarah Ka’bah di kota Makkah, dibuatlah sebuah pintu di sisi Utara bersamaan dengan ditutupnya pintu di sisi Selatan. 

Sepanjang sisi Barat terdapat serambi Masjid (shuffah), tempat tinggal beberapa Sahabat Nabi. Pada sisi Timur masjid ini, berurut dari Utara ke Selatan, terdapat empat buah kamar petak dengan sekat yang terbuat dari pelepah dan daun kurma yang ditambal dengan tanah liat. Dinding sisi Baratnya menyatu dengan dinding masjid. Pintu­pintunya menghadap ke halaman masjid. Selanjutnya terdapat lima buah kamar atau rumah kecil. 

Tatkala pertama kali dibuat, kamar sebelah Timur Masjid ini hanya dua buah. Satu kamar Rasul dan sebuah lagi kamar Fathimah. Tatkala kumpul dengan Aisyah, kamar Rasul ini sering juga dinamakan kamar Aisyah. Kamar­kamar lain dibuat kemudian. 


Kamar Rasul yang Disucikan[4] 


Sayid Samhudi[5] mengukur kamar Rasul saw. 

Panjang dinding Selatan kamar Rasul dari Timur ke Barat 4,8 meter[6] Dinding Utara 4,68 meter.[7] 

Dinding Timur dan Barat, dari Utara ke Selatan, 3,44 meter[8] 

Kamar Rasul ini di sebelah Timur berhubungan dengan sebuah kamar tempat Rasul menyembahyangi jenazah[9] Tinggi rumah dan kamar­kamar ini tujuh hasta atau 3,15 meter, sama dengan tinggi Masjid. Kecuali dinding Timur, tebal dinding 68 cm[10] Tebal dinding Timur 61 cm[11] . 

Kelihatannya dinding ini sangat tebal untuk ukuran sekarang, tetapi demikianlah yang dicatat Samhudi dalam Wafa’ al­Wafa’ yang dikutip A. Hafizh. 

Pintu kamar Barat yang membuka ke Masjid, ditutup tirai, sehingga menurut ummu’l­mu’minin Aisyah, ia pernah menyisir rambut Rasul dari dalam kamar dan Rasul berada dalam Masjid. 

Rasul tinggal dan menutup usia di kamar ini, yang sering juga disebut kamar Aisyah (18 tahun).[12] 

Di sebelah Utara kamar Aisyah terletak kamar Ali bin Abi Thalib (34 tahun) dan Fathimah (18 atau 26 tahun) serta kedua putranya, Hasan (7 tahun) dan Husain (6 tahun). 

Di antara kedua kamar itu terdapat sebuah lobang berupa jendela kecil; kuwah, yang telah ditutup Rasul beberapa waktu lalu atas permintaan Fathimah. Sebelum ditutup, Rasul sering menjenguk Fathimah melalui jendela ini untuk menanyakan keadaannya. 

Fathimah meminta untuk menutup jendela itu, setelah bertukar kata dengan Aisyah pada suatu malam, karena Aisyah memasuki rumah Fathimah melalui jendela ini.[13] 

Di hadapan jendela kamar Fathimah terdapat sebuah tiang dari batang kurma, yang sekarang dinamakan tiang maqam Jibril[14] Tiap hari Rasul mendatangi kamar Fathimah, dan di dekat tiang ini Rasul Allah mengangkat tangan sambil mengucap: ‘Assalamu’alaikum, ahlu’l­baitku, Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, ahlu’l­bait (Rasul Allah) dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya’.[15] 

Di sebelah Selatan kamar Aisyah terletak sebuah hujrah lagi, yaitu hujrah Hafshah putri Umar bin Khaththab, istri Rasul, yang dipisahkan oleh sebuah lorong yang memanjang dari Timur ke Barat, dan berakhir di Masjid dengan lebar 0,68 meter. Sebelah Timur lorong ini berakhir di halaman Masjid dengan lebar 1,37 meter. Luas kamar­kamar ini sama. 

Lantai Masjid terbuat dari batu, dindingnya tersusun dari batu bata atau balok­balok tanah liat yang dikeringkan dengan sinar matahari (labin). Tiang Masjid dibuat dari batang kurma (juzu), atapnya dari pelepah (jarid) dan daun kurma (khush) berbentuk bangsal yang ditambal dengan tanah liat dan tidak terlalu padat; apabila hujan, lantai masjid akan basah karena tiris. 

Di sebelah Utara kamar Fathimah ada sebuah lorong yang memanjang dari Timur ke Barat dan berakhir ke sebuah pintu masuk ke Masjid. Pintu ini hanya digunakan oleh Rasul saja, dan diberi nama ‘pintu Jibril’.[16] 

Di samping pintu untuk Rasul, ada sebuah pintu lagi dari kamar Ali dan keluarganya. Pintu­pintu lain di sisi Timur masjid ini, beberapa waktu yang lalu, telah diperintahkan Rasul untuk ditutup, kecuali pintu masuk untuk Ali. ‘Semua pintu ditutup,’ sabda Rasul, ‘kecuali pintu masuk untuk Ali.[17] 

Di antara rumah atau kamar­kamar istri Rasul, ada gang­gang yang menuju ke Masjid. Sebelumnya paman­paman Rasul dan para Sahabat seperti Abu Bakar, menggunakan gang­gang yang berakhir ke pintu Masjid ini untuk sholat. Agaknya pintu­pintu ini disuruh tutup oleh Rasul, karena mengganggu kehidupan keluarga beliau. Dibukanya pintu untuk keluarga Ali berhubungan dengan turunnya ayat Al­Qur’an: ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, wahai ahlul bait, dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya’. (Al­ Qur’an, 33:33). Tatkala ayat ini turun, Rasul membentangkan baju beliau dan mengerudungkannya di atas diri Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Dengan demikian maka Ali dan keluarganya dapat memasuki Masjid dalam keadaan junub sekalipun. Hadis yang antara lain berbunyi, ‘Tutuplah semua pintu (di sisi Timur Masjid), kecuali pintu untuk Ali’ adalah hadis mutawatir, diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam.[18] 

Juga Abdullah bin Umar bin Khaththab, yang berkata: “Ali bin Abi Thalib mendapat tiga keistimewaan; bila satu saja yang aku dapat, maka aku akan lebih senang daripada mendapatkan sekawan unta; ia mengawini putri Rasul dan mendapatkan anak­anak; semua pintu ke Masjid ditutup, kecuali pintu untuknya dan ia memegang bendera pada waktu perang Khaibar”.[19] 

Di riwayatkan oleh Ibnu Abbas, Jarir bin Abdullah, Sa’d bin Abi Waqqash, Buraidah al­Islami, Ali bin Abi Thalib dan lain­lain. Sa’d bin Abi Waqqash berkata: ‘Sesungguhnya Rasul Allah saw menutup semua pintu Masjid dan membuka pintu untuk Ali; dan orang­orang menghebohkannya. Maka bersabdalah Rasul, ‘Bukan saya yang membukanya, melainkan Allah yang membukakan untuknya’.[20] 

Buraidah al­Islami berkata: ‘Rasul Allah memerintahkan menutup semua pintu; maka ributlah para Sahabat, dan sampailah kepada Rasul Allah saw, Rasul mengajak sholat berjamaah, dan setelah orang berkumpul, Rasul naik ke atas mimbar dan berkhotbah. Setelah membaca tahmid dan ta’zhim sebagaimana layaknya, Rasul lalu bersabda, ‘Bukan saya yang menutupnya, dan bukanlah saya yang membukanya, tetapi Allah yang menutup dan membukanya. Kemudian Rasul membaca ayat: 

‘Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu tiadalah sesat dan tiada kesasar. Dan dia tiada berkata menurut keinginannya sendiri. (Perkataannya) tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)’ .[21] 

Dengan demikian maka Ali dapat masuk keluar Masjid dalam keadaan junub, sebagaimana dicatat oleh Abu Nu’aim dalam Fadha’il ash­Shahabah. Kemudian, ada pula sebuah hadis yang berbunyi: ‘Tutuplah semua lobang (khaukhah) ke Masjid, kecuali khaukhah untuk Abu Bakar’, namun hadis ini jelas dimasukkan di kemudian hari. 

Di sebelah Timur lorong ini, di halaman Masjid, terdapat rumah Abu Bakar, yang berhadapan dengan rumah Utsman yang kecil. Berdempetan dengan rumah Utsman yang lain, yang di sebut rumah Utsman yang besar. Di sebelah Selatan rumah Utsman, arah ke Selatan, terletak rumah Abu Ayyub al­Anshari yang bertingkat. Rasul pernah menginap di rumah ini pada saat permulaan Hijrah, sebelum Masjid dibangun. 

Di sebelah Selatan, berdempetan dengan rumah Abu Ayyub, terdapat rumah Fathimah yang lain. Rumah ini dihadiahkan oleh seorang Anshar, Haritsah bin Nu’man, kepada Fathimah, sebagai hadiah perkawinannya. Ali bin Abi Thalib membangun sebuah rumah di luar halaman Masjid, tetapi Fathimah menghendaki tinggal dekat dengan ayahnya, maka dengan gembira Haritsah memberikan rumah tersebut kepada Fathimah. 

Agaknya, setelah Rasul wafat, keluarga Ali bin Abi Thalib dapat dikatakan menetap di rumah pemberian Haritsah bin Nu’man, yang lebih luas ini. Setelah memandikan jenazah Rasul, keluarga Ali dan para sahabatnya berkumpul di rumah ini. Agaknya, rumah inilah yang dikepung dan diancam akan dibakar oleh Umar, sekembalinya ia dalam rombongan Abu Bakar dari Saqifah Bani Sa’idah di sore hari itu, untuk mendapatkan baiat Ali. 


Jurf

Tempat ini terletak sekitar tujuh kilometer sebelah Barat laut kota Madinah, dan sebelah Barat bukit Uhud. Di sana terdapat delapan mata air. Padang datar dan sumber air ini menjadikan Jurf tempat perkemahan kafilah yang datang ke atau yang akan berangkat dari Madinah. Pada hari Senin sesudah dzhuhur ini, tatkala Rasul wafat, terlihat suatu pasukan kaum Muhajirin dan Anshar yang sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke Mu’tah; suatu daerah di Palestina, untuk berperang melawan orang Romawi. Semua tokoh kaum Muhajirin pertama, seperti Abu Bakar dan Umar, serta tokoh kaum Anshar seperti Sa’d bin ‘Ubadah, diperintahkan Rasul ikut dalam ekspedisi ini. Komandan pasukannya ialah Usamah bin Zaid bin Haritsah yang berusia tujuh belas tahun. Ia sedang berada di atas punggung kudanya tatkala datang utusan Ummu Aiman, ibunya, yang memberitahukan bahwa Rasul sedang menghadapi saat­saat terakhir beliau. Pasukan ini pun kembali ke Madinah. 


Sunh

Sunh terletak di tepi Barat laut Bukit Sala’ dekat sebuah masjid yang bernama masjid al­Fatah, berjarak 1,6 kilometer dari Masjid Nabi. Ketika wafatnya Rasul, Abu Bakar berada di rumahnya yang berada di perkampungan Harits bin Khazraj di Sunh. Hampir semua catatan mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar ikut dalam pasukan Usamah, karena diperintahkan Rasul, dan beliau mengutuk siapa saja yang meninggalkan pasukan ini. Dengan alasan bahwa Usamah berusia muda, kaum Muhajirin pertama membangkang terhadap perintah Nabi. Catatan sejarah yang sukar dibantah mengatakan demikian. Mengapa Abu Bakar bisa berada di Sunh, ada dua versi. Yang pertama mengatakan bahwa Abu Bakar telah berada di Jurf, dan setelah mendengar Rasul sedang menghadapi saat­saat terakhir beliau, ia mampir ke Sunh sesudah memimpin sholat subuh di Masjid Nabi. Riwayat yang terakhir ini agaknya dimasukkan kemudian untuk memperkuat ‘Nas bagi Abu Bakar’, karena hadis ini mengandung pertentangan yang sukar didamaikan. 


Saqifah Bani Sa’idah

Saqifah atau balairung ini terletak di suatu tempat sekitar lima ratus meter sebelah Barat Masjid Nabi. Di sini terdapat sebuah sumber air yang bernama Bi’r Budha’ah dan sebuah masjid. Marga Sa’idah yang mendiami ‘desa’ ini memiliki sebuah balairung (Saqifah) tempat bermusyawarah, yang terkenal dengan nama Saqifah Bani Sa’idah. Di sinilah kaum Anshar berkumpul pada saat Rasul wafat, untuk mengangkat Sa’d bin Ubadah, pemimpin kaum Anshar, menjadi pemimpin umat. Seorang Anshar membocorkan pertemuan ini kepada Umar bin Khalhthab, dan bersama empat orang Mekkah lainnya, Umar dan Abu Bakar datang ke Saqifah. Terjadilah perdebatan hangat, dan kalau bukan karena anak Sa’d bin ‘Ubadah yang bernama Qais, mungkin Sa’d bin ‘Ubadah telah dibunuh Umar pada saat itu. Abu Bakar dibaiat di Saqifah. Kecuali beberapa orang yang tetap tidak mau membaiat Abu Bakar, seperti tokoh Anshar Sa’d bin ‘Ubadah, mayoritas yang hadir telah membaiatnya. Lembaga baiat yang di zaman Nabi merupakan lembaga pengukuhan, telah dijadikan lembaga pemilihan. Bagaimana dengan pihak yang tidak setuju? Timbul paksaan. Kekerasan datang susul menyusul. Rombongan Saqifah kembali ke Masjid Nabi. 


Rumah Fathimah

Setelah sampai ke Masjid Nabi, Umar lalu memimpin serombongan orang untuk mengepung dan mengancam akan membakar rumah Fathimah putri Rasul, ‘biarpun Fathimah ada di dalam rumah’. Pengepungan ini dimaksudkan untuk mendapatkan baiat dari Ali yang tidak mau membaiat Abu Bakar. Usaha ini gagal, karena Fathimah putri Rasul keluar dan mengusir mereka. Sejak itu, Fathimah tidak berbicara baik­baik lagi dengan Umar maupun Abu Bakar, sampai wafatnya. Wanita utama ini berpesan untuk dikuburkan secara diam­diam pada malam hari, dan tidak membolehkan Abu Bakar, Umar maupun Aisyah menghadiri pemakamannya. 


Kamar Rasul

Rasul wafat di kamar beliau, setelah berulang­ulang berpesan umuk dimakamkan di kamar ini, lama sebelum beliau wafat, dan bersabda bahwa yang terletak diantara ‘kamarku’ atau ‘kuburku’ atau ‘rumah Aisyah’ di satu sisi, dan ‘mimbarku’, disisi lain, adalah taman dari taman­taman surga. Beliau bersabda: 

1. Antara rumah dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman­taman disurga. Ma baina baiti wa minbari raudhatun min riyadhi’l jannah[22] 

2. Antara kuburku dan mimbarku adalah taman dari taman­taman di surga. Ma baina qabri wa minbari raudhatun min riyadhi’l jannah.[23] 

3. Antara kamarku dan mimbarku adalah taman dari taman­taman di surga. Ma baina hujrati wa minbari raudhatun min riyad­hi’l jannah.[24] 

4. Antara mimbar dan rumah Aisyah adalah taman dari taman­taman di surga. Ma bainal minbari wa bait Aisyah raudhatun min riyadhi’l jannah.[25] 

5. Barangsiapa ingin bergembira sholat dalam taman dari taman­taman di surga, maka sholatlah di antara kubur dan mimbarku. Man sarrahu an yushalli fi raudhatin min riyadhi’l jannah fal yushalli baina qabri wa minbari.[26] 

Ibn Abil­Hadid mengatakan: “Bagaimana mungkin orang berbeda pendapat mengenai tempat penguburannya, sedang beliau telah mengatakan kepada mereka: “Kamu letakkan saya di atas ranjangku di rumahku ini, ditepi kuburku”, (fa dha’ uni ‘ala sariri fi baiti hadaz ‘ala syafiri qabri) dan hal ini menjelaskan agar ia dikuburkan di rumah dimana mereka sedang berkumpul, yaitu rumah Aisyah.[27] 

Hadis­hadis ini termasuk hadis yang sangat kuat


Bacalah uraian al­Amini dalam al­Ghadir, jilid 7, hlm. 187­189. Dengan demikian maka semua Sahabat dan keluarga Rasul telah mengetahui di mana Rasul akan dimakamkan. Bahkan Aisyah sendiri mengatakan bahwa keluarga Rasul, di antaranya Ali bin Abi Thalib menginginkan Rasul dimakamkan di situ. 

Rasul wafat di kamar ini. Umar dan Mughirah bin Syu’bah melayat ke kamar Rasul. Sekeluarnya dari kamar Rasul, Umar, seperti dalam keadaan panik, lalu mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan bahwa Rasul sudah wafat. Setelah Abu Bakar dipanggil dari Sunh dan memberi nasihat kepadanya, Umar baru diam. 

Atas informasi rahasia dari dua orang Anshar tentang adanya pertemuan kaum Anshar di Saqifah, yang disampaikan kepada Umar, Umar lalu meneruskan informasi itu kepada Abu Bakar, lalu bersama­sama keduanya ke Saqifah. Setelah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah, rombongan dari Saqifah kembali ke Masjid Nabi, lalu mengepung dan mengancam hendak membakar rumah Ali bin Abi Thalib untuk mendapatkan baiatnya. 

Setelah pemakaman Rasul pada hari ketiga sesudah wafat beliau, pergilah Ali bersama Fathimah mendatangi kaum Anshar untuk mencari pendukung. Tetapi, hanya tinggal empat atau lima orang saja yang belum membaiat Abu Bakar. 

Melihat bahwa hampir seluruh kaum Anshar telah membaiat Abu Bakar maka mestinya selama tiga hari sejak Rasul wafat, rombongan Umar telah berpencar mendatangi perkampungan kaum Anshar, seperti Banu Ubaid, Banu Syaikhan, Banu ‘Abdul Asyhal, Banu ‘Auf untuk mengambil baiat mereka. Malah rombongan­rombongan kabilah yang datang berbelanja ke pasar Madinah ­ yang sejak sepuluh tahun lalu telah dirubah Nabi dari hari Jumat ke hari Kamis­ seperti Bani Aslam, telah dihadang Umar dan dibawa ke Masjid untuk membaiat Abu Bakar sebagaimana dilaporkan Syekh Mufid dalam al­Jamal. 

Hari Senin itu juga ­hari wafatnya Rasul­ keluarga Banu Hasyim memandikan jenazah Rasul dan mengafani serta menyelimuti beliau.[28] 

Ajakan Abbas, paman Nabi, untuk membaiat Ali, ditolak oleh Ali, Pada hari ketiga setelah beliau wafat, Ali serta keluarga Banu Hasyim terpaksa memakamkan jenazah Rasul.[29] 

Pemakaman ini terjadi pada pagi hari Rabu tengah malam atau tengah malam menjelang Rabu.[30] 

Yang melakukan penguburan hanyalah keluarga Rasul, yaitu orang­orang yang memandikannya seperti Abbas, Ali, Fadhl dan Shalih (maula Rasul Allah) tiada orang lain.[31] 

Aisyah sendiri, yang agaknya menginap di rumah atau kamar Hafshah, mendengar bunyi­bunyi gemerisik dan gesekan orang menggali kubur, pada tengah malam menjelang Rabu. Aisyah berkata: ‘Kami tidak mengetahui penguburan Rasul sampai kami mendengar suara­suara gesekan di tengah malam Rabu’.[32] ‘Dan tiada yang mengurus (penguburan Rasul) kecuali keluarga dekatnya dan Banu Ghanm yang berada di rumah mereka telah mendengar suara keriat­keriut’.[33] 

Seorang tua kaum Anshar dari Banu Ghanm berkata: ‘Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesek pada akhir malam’.[34] 

‘Yang masuk ke liang kubur adalah Ali, Fadhl bin Abbas dan Qutsam bin Abbas serta Syuqran, (maula Qutsam). Dan ada yang menyebutkan juga Usamah bin Zaid. Merekalah yang membalikkan jenazah Rasul Allah saw, memandikan dan mengafaninya serta mengurus segala sesuatunya. Abu Bakar dan Umar tidak menghadirinya’.[35] 

Ada sebuah hadis yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar, dan dikatakan sebagai berasal dari Aisyah ­ sebuah hadis mursal­yaitu tatkala orang­orang bertanya di mana Rasul hendak dimakamkan. Tak seorang pun yang dapat menjawab, maka Abu Bakar berkata: ‘Saya mendengar Rasul bersabda, ‘Setiap Nabi dimakamkan di bawah tempat (madhja) wafatnya’. ‘Hadis ini jelas dimasukkan kemudian, karena catatan­catatan yang lebih kuat menunjukkan bahwa Rasul telah menetapkan sebelumnya tempat pemakaman beliau. Kalau hadis yang disampaikan Abu Bakar tentang warisan Nabi, yang dikatakan sebagai didengarnya dari Rasul bahwa ‘para Nabi tidak mewariskan dan yang ditinggalkannya adalah sedekah’ oleh Fathimah dianggap bertentangan dengan ayat Al­ Qur’an ­sebagaimana nanti akan dibicarakan pada bagian lain dari buku ini­ maka hadis ini bertentangan dengan keyakinan kaum Muslimin yang hidup pada abad­abad permulaan. Thabrani mengatakan, misalnya, bahwa Adam wafat di Makkah dan dimakamkan di sebuah gunung di India, atau sebagian orang mengatakan, dimakamkan di bukit Abi Qibais di Makkah. Nabi Ya’qub wafat di Mesir, dan Yusuf meminta izin Raja Mesir untuk meninggalkan Mesir bersama ayahnya (Ya’qub A.S), membawanya kepada keluarganya dan memakamkannya di Hebron.[36] 

Demikian pula Ibrahim dan anaknya Ishaq.[37] 


Aus dan Khazraj


‘Aus dan Khazraj adalah nama dua orang putra Harits bin ‘Amr Muziqiyyah bin Amir Ma’a as­ Sama’ bin Haritsah bin Imra al­Qais bin Tsa’labah bin Mazim bin Azd. Mereka berasal dari Yaman. Setelah bobolnya bendungan Arim, menjadi tanduslah Yaman di Arabia Selatan ini. Azd, kakek dari kedua pemuda ini lalu pindah dan menetap di Yaman bagian Utara. Di kemudian hari, keluarga ‘Aus dan Khazraj pindah ke Yatsrib, yang pada masa itu didiami antara lain oleh suku Badui dan sejumlah orang Yahudi, dan harus membayar upeti. Penindasan terhadap ‘Aus dan Khazraj berakhir tatkala kedua keluarga ini memberontak, dan menang melawan orang Yahudi hampir dua abad sebelumnya. Sebagian tanah milikYahudi dibagi­bagi di antara mereka. Kedua keluarga ini berkembang biak dan menjadi klan besar dan kuat. Klan Khazraj tumbuh dan membentuk keluarga (marga) kecil­kecil seperti Banu Najjar, Banu Haritsah, Banu Hubla al­ Kawakilah, Banu Saidah, Banu Salimah, Banu Zuraiq dan Banu Bayada. Klan ‘Aus berkembang menjadi Banu ‘Abdul Asyhal, Banu Haritsah, Banu Zhafar, Banu Amr bin ‘Auf, Banu Wakif dan Banu Khatma (Banu ‘Aus Manat). 

Klan­klan kecil ini sering berselisih dan berperang di antara sesama mereka. Sudah pasti, sengketa ini akan menyeret marga­marga lain menjadi peperangan antara keluarga besar ‘Aus dan Khazraj. Dengki dan hasad, kekufuran dan kemunafikan sangat merajalela, sehingga Allah SWT menurunkan firman­Nya dalam Al­Qur’an.[38] 

“Orang­orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum­hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul­Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 

Ada empat peperangan besar antara klan Khazraj dan klan ‘Aus yang terjadi sebelum Islam: 

(1) Perang Sumir, ‘Aus menang atas Khazraj. 

(2) Perang Ka’b, Khazraj menang atas ‘Aus. 

(3) Perang Hathib, Khazraj menang atas ‘Aus. 

(4) Perang Bu’ats, ‘Aus menang atas Khazraj. 

Dalam perang Bu’ats ini keluarga ‘Aus bersekutu dengan dua marga Yahudi, Bau Quraizhah dan Banu Nadzir. Mulanya klan Khazraj menang, tetapi setelah pemimpinnya, ‘Amr bin Nu’man terbunuh, kaum Khazraj pun kalah habis­habisan. Kebun dan rumah­rumah mereka dibakar. Hampir saja klan Khazraj ini punah. Sejak itu, kedua suku bersaudara ini hidup berdampingan secara tegang, penuh perselisihan dan kecurigaan serta dendam kesumat, sementara masing­ masing menunggu lawannya lengah, untuk diterkam, sampai datangnya Rasul, lima tahun setelah perang Bu’ats. 

Rasul menamakan klan ‘Aus dan Khazraj ini ‘kaum Anshar’, atau penolong. Para pengikut beliau dari Makkah yang hijrah ke Madinah, beliau namakan ‘kaum Muhajirin’, atau orang yang berhijrah. 

Ketika Rasul wafat, kaum Anshar mengadakan pertemuan di balairung Banu Saidah, anggota suku Khazraj. Sa’d bin ‘Ubadah akan mereka angkat menjadi pemimpin kaum Muslimin. Tetapi, tatkala Abu Bakar dicalonkan, orang pertama yang membaiat Abu Bakar adalah Usaid bin Hudhair[39] , ketua suku ‘Aus, karena takut kalau­kalau pemimpin Khazraj ini akan membalas dendam terhadap mereka, suku ‘Aus, apabila suku Khazraj berkuasa. 

Thabari menulis: ‘Beberapa orang dari suku ‘Aus, termasuk Usaid bin Hudhair, berbicara di antara sesama mereka, ‘Demi Allah, sekali Khazraj menjadi penguasamu, mereka akan mempertahankan kekuasaan, dan tidak akan pernah membagikan kekuasaan itu kepadamu; maka berdirilah, dan baiatlah Abu Bakar!’[40] 

Karena suku Khazraj juga sadar bahwa mereka tidak dapat melawan suku ‘Aus dan Muhajirin sekaligus, maka mereka pun membaiat Abu Bakar. 





Daftar Isi : 

Bab 3. Madinah al­Munawwarah 6

Akhir Hayat Rasul 6

Madinah al­Munawwarah 7

Masjid Nabi 9

Kamar Rasul yang Disucikan 11

Jurf 18

Sunh 19

Saqifah Bani Sa’idah 20

Rumah Fathimah 21

Kamar Rasul 22

Aus dan Khazraj 29



Catatan:


[1] Lihat bab ‘Pengantar’, sub bab “Membunuh Muhajirin dan Anshar” 

[2] Lihat Peta Madinah 

[3] 100 hasta. 

[4] Al­bait al­muthah­har, hujrah al­muthahhar 

[5] Lihat Bab 2: Sumber, sub bab, Samhudi. 

[6] 10 + 2/3 hasta. 

[7] 10 + 1/4 + 1/6 hasta. 

[8] 7 + 1/2 +1/8 hasta. 

[9] Denah Masjid no. 3. 

[10] 1 + 1/2 hasta + 2 inci. 

[11] I + 1/4 + 1/8 hasta. A. Hafizh, Fushul min Tarikh al­Madinah al­Munawwarah, Jiddah, hlm. 103­105. 

[12] Denah Masjid Nabi, no. 3. 

[13] A. Hafizh, Fushul min Tarikh al­Madinah al­Munawwarah, Jiddah, hlm. 103­105. 

[14] Denah Masjid no. 2. 

[15] Al­Qur’an, 33:33. A. Hafizh, Fushul min Tarikh al­Madinah al­Munawwarah, Jiddah, hlm. 59; dikutip dari Muslim pada bab Bait as­Sayyidah Fathimah. Ibnu ‘Abbas berkata: ‘Aku menyaksikan Rasul Allah saw selama 6 bulan mendatangi pintu rumah ‘Ali bin Abi Thalib, tiap waktu salat, dan mengatakan: ‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh ahlu’l­bait, Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, ahlu’l­bait (Rasul Allah) dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya, ash­shalatu rahimakumullah!’ Tiap hari Rasul Allah saw melakukannya sebanyak lima kali’. Lihat juga Ad­Durru’l­Mantsur, tatkala menafsirkan ayat tersebut di atas, Al­Qur’an 33:33, dan bab ‘Perintahkan Keluargamu’. Yang lain berasal dari Abi al­Hamra’, maula Rasul Allah saw: ‘Rasul Allah saw selama delapan bulan di Madinah, belum pernah keluar untuk salat kecuali beliau mendatangi pintu ‘Ali, meletakkan tangan beliau disamping pintu dan bersabda; ‘Ash­shalah, ‘Sesungguhnya..dst’ (al­Isti’ab, jilid 2, hlm. 598, Usdul Ghabah, jilid 5, hlm. 174, Nuruddin al­Haitsami, Majma’ Az­Zawa’id, jilid 9, hlm. 168). Yang lain lagi dari Abu Barzah yang berkata bahwa ia salat bersama Rasul Allah selama enam bulan, dan Rasul, bila keluar dari rumahnya, mendatangi pintu Fathimah... dst. (Majma’ az­Zawa’id, jilid 9, hlm. 169) Yang lain lagi dari Anas bin Malik yang melaporkan bahwa Rasul Allah saw melakukan hal tersebut selama enam bulan juga. (Musnad Ahmad, jilid 3, hlm. 259, 275; al­Mustadrak, jilid 3, hlm. 159; Usdul­Ghabah, jilid 5, hlm. 531). 

[16] Denah Masjid no. 5. 

[17] Denah Masjid Nabi no. 4. 

[18] Musnad Imam Ahmad, jilid 4, hlm. 369; dan lain­lain. 

[19] Musnad Imam Ahmad, jilid 2, hlm. 26; Ibnu Hajar, dalam Fat’h al­Bari, jilid 5, hlm. 12; dan banyak yang lainnya. 

[20] Ibnu Katsir, dalam Tarikh­nya, jilid 5, hlm. 342, dan lain­lain. 

[21] Al­Qur’an, an­Najm (LIII), ayat 1­4. 

[22] “Antara rumahku dan minbarku”, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Imam Ahmad, Ad­ Daraquthni, Abu Ya’la, al­Bazzar, Nasa’i, ‘Abdurrazaq, Thabrani, Ibnu an­Najjar­melalui jalur Jabir dan ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah al­Mazani dan Abu Bakar. Lihatlah Shahih Bukhari kitab “Ash­Shalah” bab “Kemuliaan antara Kubur dan Mimbar” dan kitab “Haji”; Shahih Muslim, kitab “Haji”, bab “Kemuliaan antara Kubur dan Mimbar Rasul”; Taisir Al­Wushul, jilid 3, hlm. 323; Tamyiz ath­Thib, hlm. 139 dan ditambahkan bahwa hadits ini telah disepakati shahih­nya; Kanzu’l Daqa’iq, hlm. 129; Kanzu’l­’Ummal, jilid 6, hlm. 254; Al­ Jami’ ash­Shaghir, dan mensahihkan hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini mutawatir seperti tertera dalam al­Faidh al­Qadir, jilid 5 hlm. 433; Tuhfatul Bari dalam Dzail Al­Irsyad, jilid 4, hlm. 412; Wafa’ a1­Wafa’, jilid 1, hlm. 302­303 dan disahihkan melalui jalur Ahmad dan Al­Bazzar. 

[23] “Antara kuburku dan mimbarku”, diriwayatkan oleh Bukhari, Imam Ahmad bin Hanbal, ‘Abdurrazaq, Said bin Manshur, Baihaqi, al­Khathib, al­Bazzar, Thabrani, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir melalui jalur Jabir, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Abdullah bin ‘Umar dan Sa’id al­Khudri, Lihatlah Tarikh al­Khatib, jilid 9, hlm. 228 dan 290, Irsyad as­Sari oleh Qasthalani, jilid 4, hlm. 413; Kanzu’l­’Ummal oleh Muttaqi al­Hindi, jilid 6, hlm. 254; Wafa’ al­Wafa’ oleh Samhudi, jilid 1, hlm. 303; mereka mengutip dari Bukhari dan Muslim dari jalur al­Bazzar. 

[24] “Antara kamarku dan minbarku” diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Said bin Manshur dan Khathib Baghdadi dari jalur Jabir dan ‘Abdullah Al­Mazini, seperti tertulis dalam Tarikh Al­Khathib, jilid 3, hlm. 360; Kanzu’l­ ’Ummal, jilid 6, hlm. 254; Syarh Nawawi Li Muslim, Hamish Al­Irsyad, jilid 6, hlm. 103. 

[25] “Antara minbar dan rumah ‘A’isyah”, diriwayatkan oleh Thabrani, al­Awshad, dari jalur Abu Sa’d Al­Khudri, seperti tertulis dalam Irsyad as­Sari, jilid 4, hlm. 413; Wafa’ al­ Wafa’, jilid 1, hlm. 303. 

[26] Diriwayatkan oleh Dailami dari jalur ‘Ubaidillah bin Labid, seperti tertera dalam Kanzu’1­’Ummal, jilid 6, hlm. 254. 

[27] Lihat Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 13, hlm. 39. Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d, Al­Hakim, Baihaqi dan Thabrani dalam al­Awsath dari jalur Ibnu Mas’ud. Lihat Suuythi, Al­Khasha’ish al­Kubra, jilid 2, hlm. 276 dan lain­lain. 

[28] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, hlm. 76. 

[29] Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 3, hlm. 271, Abu’l­Fida’, Tarikh, jilid 1, hlm. 152. 

[30] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, hlm. 58; Ibnu Hisyam, as­Sirah an­Nabawiyah, jilid 4, hlm. 342­344; Musnad Imam Ahmad, jilid 6, hlm. 284; Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hlm. 499; Abu’l­Fida’, Tarikh, jilid 1, hlm. 152; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 171 dan lain­lain. 

[31] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, hlm. 78. 

[32] Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hlm. 344; Thabari, Tarikh, jilid 2, hlm. 452, 455 (terbitan Leiden, jilid 1, hlm. 1833, 1837); Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 270; Ibnu Atsir, Usdu’l­Ghabah, jilid 1, hlm. 34, dalam membicarakan Ar­Rasul disebut juga riwayat lain, bahwa terdengarnya suara gesekan dan bunyi keriak keriuk adalah pada malam Selasa, seperti dalam Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, Bab 2, hlm. 78 dan Tarikh Khamis, jilid 1, hlm. 191; sedang Dzahabi dalam Tarikh­nya, jilid 1, hlm. 327 menguatkan bahwa penguburan dilakukan pada akhir malam Rabu juga Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 62 dan pada hlm. 242 dan 274: “Kami tidak mengetahui di mana ia dikuburkan sampai kami mendengar..” 

[33] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, Bab 2, hlm. 78. 

[34] Ibnu Sa’d, ibid, hlm. 78. 

[35] Alauddin Muttaqi al­Hindi, Kanzu’l­Ummal, jilid 3, hlm. 14. 

[36] Thabari, Tarikh, jilid 1, hlm.80­81; Ibnu Atsir, al­Kamil, jilid 1, hlm. 22; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 1, hlm. 97; Sya’labi, al­Ara’is, hlm. 29. 

[37] Lihat al­Amini, al­Ghadir, jilid 7, hlm. 189­190. 

[38] Al­Qur’an, at­Taubah (IX), 97. 

[39] Ibnu ‘Abd al­Barr, al­Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, jilid 1, hlm. 32. Ada yang mengatakan bahwa yang mendahului ‘Umar adalah Basyir bin Sa’d. 

[40] Thabari, Tarikh, jilid 3, hlm. 200. 


Bab 4 . Peristiwa Saqifah 

Sirah Nabi karya Ibnu Ishaq yang asli tidak pernah ditemukan lagi. Yang sampai kepada kita adalah ulasan Ibnu Hisyam, seorang Sunni yang fanatik terhadap buku Ibnu Ishaq tersebut, dengan judul ‘Amr Saqifah Bani Sa’idah’ (Peristiwa Saqifah Bani Sa’idah), yang tercatat pada akhir bukunya.[1] 

Ibnu Hisyam menulis: 

Ibnu Ishaq berkata: ‘Tatkala Rasul Allah saw wafat, kaum Anshar berkumpul mengelilingi Sa’d bin ‘Ubadah di Saqifah Bani Sa’idah. Ali bin Abi Thalib, Zubair bin ‘Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah memisahkan diri di rumah Fathimah. Kaum Muhajirin yang lain berkumpul di sekeliling Abu Bakar dan Umar bersama Usaid bin Hudhair dari Banu ‘Abdul Asyhal. Kemudian seseorang datang kepada Abu Bakar dan Umar, mengatakan bahwa kaum Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Saidah, mengelilingi Sa’d bin ‘Ubadah. ‘Dan bila kamu berkehendak memerintah manusia, maka rebutlah sebelum mereka bertindak lebih jauh’. 

Dan Rasul Allah saw masih berada di rumahnya. Persiapan penguburan belum selesai, dan keluarga Rasul Allah saw telah mengunci rumahnya. 

Sesudah pembukaan ini, Ibnu Hisyam mengutip tulisan Ibnu Ishaq tentang kesaksian Abdullah bin Abbas, dua belas tahun setelah peristiwa Saqifah. Abdullah bin Abbas mendengar langsung pidato Umar di Masjid Nabi di Madinah. Ibnu Hisyam melanjutkan: 

Ibnu Ishaq menceritakan tentang peristiwa berkumpulnya kaum Anshar di Saqifah: Abdullah bin Abu Bakar menceritakan kepada saya (Ibnu Ishaq), yang didengarnya dari Ibnu Syihab az­Zuhri, dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud, dari Abdullah bin Abbas yang berkata: 

‘Saya (Ibnu Abbas) mendapat kabar dari Abdurrahman bin ‘Auf. Waktu itu saya berada di tempat menginapnya di Mina. Abdurrahman bin ‘Auf menyertai Umar dalam perjalanaan haji Umar yang terakhir. Saya (biasa) mengajar mengaji kepadanya, dan sedang menunggunya. Tatkala Abdurrahman bin ‘Auf pulang, ia berkata kepada saya: ‘Saya ingin kiranya Anda melihat (ketika) seorang pria datang kepada Amiru’l­mu’minin dan berkata: ‘Wahai, Amiru’l mu’minin! Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang berkata: ‘Demi Allah, apabila Umar bin Khaththab meninggal, saya akan membaiat si Anu. Bukankah baiat yang diberikan kepada Abu Bakar adalah suatu kekeliruan karena tergesa­gesa, namun dianggap telah selesai?’ 

Di sini kita lihat bahwa ada orang yang hendak membaiat seseorang apabila Umar telah meninggal dunia. Laporan ini dicatat oleh hampir semua penulis, tanpa menyebut nama kedua orang itu, kecuali Baladzuri. Ia menyebut Zubair sebagai orang yang berbicara, sedang yang hendak dibaiat adalah Ali bin Abi Thalib[2] Catatan Baladzuri ini diperkuat Ibn Abil­Hadid.[3] 

Ada pula yang menyebutkan ‘Ammar bin Yasir sebagai orang yang hendak membaiat, tetapi hanya Ali saja yang disebut sebagai orang yang hendak dibaiat. Masih mengikuti laporan Ibnu Abbas 

Abdurrahman bin ‘Auf berkata selanjutnya: Umar lalu marah­marah seraya berkata: ‘Insya Allah, malam, ini saya akan berdiri di hadapan rakyat dan mengingatkan mereka akan orang­orang yang hendak merebut kekuasaan’. Abdurrahman melanjutkan: Saya berkata: ‘Wahai Amiru’l­mu’minin, jangan melakukan yang demikian itu. Ini musim haji dan di sini selalu ada rakyat jelata dan kaum jembel, yang merupakan mayoritas. Saya khawatir, apabila Anda berdiri dan berbicara kepada mereka, niscaya mereka akan mengulangi kata­kata Anda tanpa memahaminya, dan mereka tidak dapat menafsirkannya dengan tepat. Tunggulah sampai kita tiba di Madinah, karena kota itu adalah kota Sunnah, dan (di sana) Anda dapat berunding dengan para ahli dan pemuka­pemuka masyarakat. Maka katakanlah apa yang hendak Anda sampaikan. Para ahli itu akan paham dan akan menafsirkannya sesuai dengan apa yang akan Anda sampaikan’. Umar lalu menjawab: ‘Demi Allah, akan saya laksanakan segera setelah saya sampai di Madinah’. 

Setelah menyampaikan apa yang didengarnya dari Abdurrahman bin ‘Auf di Makkah itu, Ibnu Abbas melanjutkan laporannya secara langsung sebagai saksi mata atas khotbah Umar di Madinah. 

Ibnu Abbas menceritakan: ‘Kami tiba di Madinah pada Akhir bulan Zulhijah. Pada hari Jumat, tatkala matahari mulai condong, saya bergegas ke Masjid. Saya duduk dekat Sa’id bin Zaid bin Amr yang duduk di dekat mimbar, sehingga lututku bersentuhan dengan lututnya dan Umar belum juga kelihatan. Dan tatkala saya melihat Umar bin Khaththab datang, saya berkata pada Said bin Zaid: ‘Siang ini ia akan mengucapkan sesuatu di atas mimbar ini, suatu ucapan yang tidak pernah diucapkannya sejak ia menjadi khalifah’. Sa’id bin Zaid mengingkari apa yang saya katakan dan ia berkata: ‘Apa gerangan yang akan dikatakannya yang belum pernah diucapkannya?’ 

Setelah Umar duduk di atas mimbar, dan muazin sudah diam, Umar memuji Allah sebagaimana layaknya, lalu berkata: “Amma ba’du. Hari ini saya hendak mengatakan kepada Anda sekalian, sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada saya untuk menyampaikannya. Dan saya tidak tahu apakah ini merupakan perkataan saya yang terakhir. Barangsiapa yang memahaminya dan memperhatikannya, dapatlah ia menyimpan dan membawanya ke mana ia pergi; dan barangsiapa yang merasa takut tidak dapat memahaminya, tidak dapat ia menyangkat bahwa saya telah mengucapkannya... 

‘Saya mendengar bahwa seseorang (Zubair, menurut Baladzuri) telah berkata, ‘Bila Umar meninggal dunia, maka saya akan membaiat si Anu (Ali, menurut Baladzuri). Jangan kalian membiarkan seseorang menipu dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa pembaiatan kepada Abu Bakar adalah suatu kekeliruan karena dilakukan tergesa­gesa, (faltah), namun telah selesai. Sebenarnya memang demikian, tetapi Allah telah melindunginya dari malapetaka. Tiada seorang pun di antara kalian yang lebih dicintai rakyat daripada Abu Bakar. Dan barangsiapa membaiat seseorang tanpa bermusyawarah dengan kaum Muslimin, maka baiat itu tidak sah, dan keduanya harus dibunuh. Kalimat, “Jangan membiarkan seseorang menipu dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa pembaiatan terhadap Abu Bakar adalah faltah”, yang diucapkan Umar ini menunjukkan bahwa kata­kata tersebut pernah diucapkan sebelumnya. Memang, Umar sendiri ­ menurut Ibnu Abbas dan Abdurrahman bin ‘Auf sebelumnya pernah mengatakan: “Sesungguhnya pembaiatan terhadap Abu Bakar adalah faltah, tetapi Allah telah menghindarkan malapetaka daripadanya. 

Dan barangsiapa melakukan hal yang serupa, maka bunuhlah dia”. Abu Bakar sendiri mengakui hal yang sama, dengan kata­kata, “Sesungguhnya baiat terhadapku adalah faltah, tetapi Allah telah menghindarkan malapetaka yang diakibatkannya”. 


Tiga Kelompok

Dari peryataan Umar bin Khaththab ini jelas bahwa pencalonan Abu Bakar mendapat perlawanan hebat dari kaum Anshar maupun Ali bin Abi Thalib serta pengikutnya. 

Sesuai dengan peryataan Umar itu, ada tiga kelompok yang muncul ke permukaan, tepat setelah wafatnya Rasul Allah saw: 

1. Kelompok pertama terdiri dari Ali bin Abi Thalib[4] , keluarga Banu Hasyim dan kawan­ kawannya termasuk orang­orang yang sedang berkumpul di rumah Fathimah, yakni: Salman al­ Farisi, Abu Dzarr al­Ghifari, Miqdad bin Amr, ‘Ammar bin Yasir, Zubair bin Awwam, Khuzaimah bin Tsabit, ‘Ubay bin Ka’b, Farwah bin ‘Amr, Abu Ayyub al­Anshari, Utsman bin Hunaif, Sahl bin Hunaif, Khalid bin Said bin ‘Ash al­Amawi serta Abu Sufyan, pemimpin Banu ‘Umayyah. Meskipun Abu Sufyan tidak berada di Madinah tatkala Abu Bakar dibaiat di Saqifah, namun setelah tiba di Madinah beberapa hari kemudian, ia menyatakan dukungannya pada Ali. Calon dari kelompok ini ialah Ali bin Abi Thalib. 

Kedudukan Ali di sisi Rasul Allah saw sangat khusus, berbeda dengan seluruh Sahabat yang lain. Pujian Rasul Allah saw terhadap Ali barangkali melebihi pujian terhadap seluruh Sahabat lainnya sekaligus. Sejak turunnya ayat Wa andzir asyirataka’l aqrabin[5] , Rasul Allah saw telah mengangkat Ali sebagai wazir beliau. Sejak masa kecilnya, Ali dibesarkan dalam asuhan dan pendidikan langsung dari Rasul Allah saw. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Rasul Allah saw bersabda, ‘Saya gudang ilmu, dan Ali adalah pintunya’. Rasul Allah saw memandang Ali sebagai saudara penggantinya; kedudukan Ali di sisi Rasul Allah saw seperti kedudukan Haran di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi sesudah Muhammad saw. Dalam khotbah Rasul Allah saw di Ghadir Khum, Rasul Allah saw menyebut Ali sebagai Wali kaum mu’minin.[6] 

Ali juga dikawinkan Rasul Allah saw dengan putri beliau, penghulu kaum wanita sedunia; sayyidatun­nisa’ al­alamin, Fathimah. 

2. Kelompok kedua ialah kelompok kaum Anshar, yang melakukan pertemuan tersendiri di Saqifah. ‘Calon’ dari kelompok ini ialah Sa’d bin Ubadah[7] Kelompok ini menjadi lemah tatkala sedang berlangsung perdebatan di Saqifah, karena ‘pembangkangan’ Usaid bin Hudhair, ketua Banu Aws, suku yang menjadi musuh bebuyutan sukunya, suku Khazraj. Seorang ‘pembangkang’ lainnya lagi ialah Basyir bin Sa’d, saudara misan Sa’d bin ‘Ubadah sendiri. Kedua ‘pembangkang’ ini, akan kita lihat. nanti, memegang peranan terpenting dalam memenangkan Abu Bakar. Kedudukan Sa’d bin ‘Ubadah, calon dari kaum Anshar untuk jabatan khalifah itu, menonjol. Ia memegang peranan sebagai tokoh utama kaum Anshar dalam membantu Rasul Allah saw dan melindungi Rasul Allah saw dari musuh­musuh beliau kaum Quraisy jahiliah Makkah dan kaum munafik, selama sepuluh tahun. Ia turut dalam bai’atul Aqabah sebelum Rasul Allah saw hijrah ke Madinah. Dalam pembukaan Makkah, Sa’d diberi kehormatan oleh Rasul Allah saw sebagai salah satu dari empat orang pembawa panji. Karena sikapnya yang keras terhadap kaum jahiliah Quraisy, Rasul Allah saw memerintahkannya untuk menyerahkan panji itu kepada putranya, Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah. Kehormatan yang diberikan Rasul Allah saw kepada Sa’d bin ‘Ubadah ini cukup melukiskan betapa besar penghargaan Rasul Allah saw kepada tokoh kaum Anshar ini. 

3. Kelompok ketiga ialah kelompok Umar bin Khaththab[8] , Abu Bakar[9] dan Abu ‘Ubaidah bin al­ Jarrah[10] Dapat dimasukkan pula ke dalam kelompok ini Mughirah bin Syu’bah[11] dan Abdurrahman bin ‘Auf[12] ‘Calon’ dari kelompok ini ialah Abu Bakar. 

Kedudukan Abu Bakar dan Umar hampir tidak perlu disebut lagi. Abu Bakar termasuk di antara orang­orang yang awal menganut Islam. Bantuan Abu Bakar dan Umar kepada Rasul Allah saw dalam memperjuangkan Islam sangat besar. Rasul Allah saw kawin dengan Aisyah putri Abu Bakar, dan Hafshah putri Umar. 

Sebenarnya masih ada kelompok lain, seperti kelompok Utsman bin ‘Affan beserta anggota­ anggota Banu ‘Umayyah, kelompok Banu Zuhrah dengan tokoh­tokohnya Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin ‘Auf, namun kita batasi saja pembicaraan pada ketiga kelompok yang disebutkan Umar dalam khotbahnya yang telah dikutipkan di atas. 

Untuk memahami pernyataan Umar bahwa ‘kaum Anshar menentang kami dan melakukan pertemuan dengan tokoh­tokohnya di Saqifah Bani Saidah, Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin ‘Awwam serta kawan­kawan mereka memisahkan diri dari kami, sedang kaum Muhajirin berkumpul pada Abu Bakar’, diperlukan lagi penjelasan dari sumber­sumber sejarah kita. 

Bagaimana, misalnya, sampai kaum Anshar yang terbesar di wilayah Madinah yang seluas 128 kilometer persegi, dari Bukit Uhud yang sejauh delapan kilometer di sebelah Utara Saqifah, dari Bukit ‘Air yang berjarak delapan kilometer di sebelah Selatan, dari al­Harrah asy­Syarqiyyah di sebelah Timur, serta al­Harrah al­Gharbiyyah di sebelah Barat, yang masing­masingnya berjarak empat kilometer, dapat berkumpul di Saqifah tepat sesaat setelah wafatnya Rasul Allah saw? Bagaimana Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah mendapatkan berita tentang pertemuan kaum Anshar di Saqifah itu? Sedang berada di mana mereka pada waktu itu? Apa sebabnya ‘keluarga Rasul Allah saw mengunci rumahnya’ dan kawan­kawan Ali, seperti Zubair, berkumpul di rumah Ali? Mengapa maka Ali dan kawan­kawannya tidak ikut ke Saqifah bersama rombongan Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah? 

Sebelum kita meneruskan pidato Umar, marilah kita ikuti peristiwa munculnya kelompok­ kelompok ini untuk merebut ‘kekuasaan’ yang lowong dengan wafatnya Rasul Allah saw. 


Usaha Rasul Hadapi Ketiga Kelompok Ini

1. Rasul Allah saw Mengirim Sa’d bin Ubadah, Abu Bakar Serta Umar ke Mu’tah. Ali Dan Pengikutnya Dipertahankan di Madinah



Sejak pulangnya dari Hajjatu’l Wada’, delapan puluh hari menjelang wafatnya, Rasul Allah saw telah bersiap­siap mengirim pasukan untuk memerangi kaum Romawi di Mu’tah di wilayah Suriah, di mana telah terbunuh sepupu Nabi Ja’far bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. 

Pada hari Senin, 4 hari sebelum bulan Safar berakhir pada tahun 11 Hijriah, Rasul Allah saw memerintahkan mempersiapkan pasukan untuk memerangi orang Romawi di Mu’tah. Keesokan harinya Rasul Allah memanggil Usamah bin Zaid bin Haritsah dan berkata: ‘Pergilah ke tempat terbunuhnya ayahmu dan perangilah mereka dan aku mengangkat engkau sebagai pemimpin pasukan..’. Dan pada hari Rabu Rasul Allah saw demam dan sakit kepala. Besok, pada pagi hari, Rasul Allah saw menyerahkan panji­panji kepada Usamah, dengan tangannya sendiri. Dengan membawa panji­panji, pasukan berangkat dan berkemah di Jurf. Dan tidak ada lagi kaum Muhajirin yang awal dan kaum Anshar di Madinah. Semua ikut dengan pasukan Usamah. Di dalamnya, terdapat Abu Bakar Ash­Shiddiq, Umar bin Khaththab, Abu ‘Ubaidah bin al­Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid dan lain­lain. Dan orang mulai berkata: ‘Beliau menjadikan orang muda ini sebagai pemimpin kaum Muhajirin yang awal!’ Dan Rasul Allah saw marah sekali dan beliau lalu keluar dengan melilitkan serban di kepalanya dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Beliau naik ke atas mimbar dan bersabda: ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa sebagian di antaramu telah mencela pengangkatan Usamah sebagai pemimpin (pasukan)! Kamu juga dahulu mencela tatkala aku mengangkat ayahnya menjadi pemimpin sebelum ini! Demi Allah, ia pantas memegang pimpinan sebagaimana ayahnya, yang juga pantas memegang pimpinan’. Kemudian beliau turun dari mimbar dan kaum Muslimin yang ikut dalam pasukan Usamah pergi, berlalu meninggalkan Madinah ke perkemahan pasukan di Jurf. Dan penyakit Rasul Allah saw makin memberat dan beliau bersabda: ‘Percepat pasukan Usamah!’ Dan pada hari minggu sakit Rasul Allah saw bertambah parah. Usamah kembali dari kemahnya dan menemui Nabi. Beliau pingsan. Usamah membungkuk dan menciumnya. Rasul Allah saw tidak berbicara. Usamah lalu kembali ke perkemahan pasukannya. Tatkala hari Senin tiba, Usamah telah berada di Madinah dan Rasul Allah saw telah sadar kembali. Beliau bersabda: ‘Pergilah dengan berkat Allah!’ Usamah lalu berangkat ke perkemahan, dan memerintahkan pasukannya untuk berangkat. Tatkala ia baru saja akan menunggangi kudanya, tibalah seorang utusan yang dikirim oleh ibunya yang bernama Ummu Aiman. Utusan itu berkata: ‘Rasul Allah sedang menghadapi ajalnya’. Dan Usamah kembali lagi ke Madinah bersama Umar bin Khaththab dan Abu ‘Ubaidah dan berhenti di depan rumah Rasul Allah. Rasul Allah telah wafat tatkala matahari mulai condong, yaitu pada hari Senin tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal.[13] 

Rasul Allah saw berulang­ulang memerintahkan mereka untuk mempercepat keberangkatan pasukan itu, dan mengutuk mereka yang meninggalkan pasukan.[14] 

Bahwa Abu Bakar termasuk dalam pasukan Usamah dicatat oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqat al­ Kubra, jilid 2, hlm. 41; Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Tahdzib asy­Syam, jilid 2, him. 391; Muttaqi al­ Hindi, Kanzu’l­Ummal, jilid 5, hlm. 312; Ibnu Atsir, Tarikh al­Kamil, jilid 2, hlm. 120. Semuanya menyatakan bahwa Abu Bakar dan Umar termasuk dalam pasukan Usamah. Karena Rasul Allah begitu marah karena memperlambat pasukan Usamah, dapatlah dipahami adanya usaha “mengeluarkan” Abu Bakar dari keikut sertaannnya dalam pasukan Usamah dengan riwayat bahwa Abu Bakar menjadi imam tatkala Rasul Allah sedang sakit yang akan dibicarakan di bagian lain buku ini. 

Tetapi Usamah sedikitnya tiga kali kembali ke Madinah, karena tidak mendapatkan dukungan dari kaum Muhajirin. Umar bin Khaththab agaknya hampir tidak meniggalkan kota Madinah, terus mengikuti perkembangan Rasul Allah saw. Paling sedikit, pada hari Kamis tanggal 8 Rabiul Awwal dan hari wafatnya Rasul Allah saw (12 Rabiul Awwal), Umar berada di Masjid Nabi dan bertemu dengan Rasul Allah saw Abu Bakar, agaknya kembali dari Jurf dan menginap pada sebuah rumahnya yang terletak di Sunh, sekitar satu setengah kilometer ke arah Barat Masjid. Paling tidak, Abu Bakar berada di Sunh pada waktu wafatnya Rasul Allah saw. 

Kaum Anshar, yang takut akan dominasi kaum Quraisy dari Makkah yang mereka perangi selama sepuluh tahun terakhir, setelah mengetahui bahwa Rasul Allah saw telah wafat, segera mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah, yang terletak lima ratus meter di sebelah Barat Masjid Madinah. 

Ada hal­hal yang menarik dari tindakan Rasul Allah saw ini: 

a. Ekspedisi yang dikirim Rasul Allah saw dipimpin oleh seorang remaja yang berusia tujuh belas tahun, dan ekspedisi itu akan memakan waktu lebih dari sebulan. 

b. Dalam ekspedisi ini Rasul Allah saw mengirim tokoh­tokoh terkemuka dari kaum Anshar dan Muhajirin, termasuk ‘calon’ dari kaum Anshar, Sa’d bin ‘Ubadah, dan ‘calon’ lain, yaitu Abu Bakar. 

c. Rasul Allah saw mempertahankan di Madinah Ali bin Abi Thalib, ‘calon’ yang termuda. Pada waktu itu Ali berusia tidak lebih dari 34 tahun. 

Tatkala Rasul Allah saw mengirim pasukan ini, beliau berkhotbah: 

‘Saudara­saudara, percepatlah keberangkatan pasukan Usamah ini. Demi hidupku, kalau kamu telah berbicara tentang kepemimpinannya, tentang kepemimpinan ayahnya dahulu pun kamu telah berbicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan’. Setelah berhenti sebentar, beliau melanjutkan: ‘Seorang hamba Allah telah disuruh­Nya memilih antara hidup di dunia ini atau di sisi­Nya, maka ia memilih kembali ke sisi­Nya’. 

Pada waktu itu Abu Bakar menangis, karena ia mengetahui bahwa yang dimaksud Rasul Allah saw itu ialah diri beliau sendiri. 

Banyak ulama berpendapat bahwa tindakan Rasul Allah saw mengirim pasukan ini ke Suriah ialah untuk memudahkan Rasul Allah saw mengangkat Ali bin Abi Thalib menjadi pengganti beliau. 


2. Rasul Allah saw Hendak Membuat Surat Wasiat, Tetapi Dihalangi Umar Bin Khaththab. Hari Kamis Kelabu



Demam Rasul Allah saw timbul secara berkala. Pada hari Kamis tanggal 8 Rabiul Awwal, Rasul Allah saw diserang demam. Beliau memerintahkan agar mengambil kertas dan tinta, untuk membuat surat wasiat, agar umat beliau tidak akan tersesat untuk selama­lamanya. Umar yang hadir pada waktu itu, menghalangi maksud beliau dan mengatakan bahwa Rasul Allah saw sedang mengigau. Terjadilah pertengkaran antara keluarga Rasul Allah saw yang berada di belakang tirai, yang menghendaki agar Umar memenuhi perintah Rasul Allah saw. Hadis Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas yang berkata “Hari Kamis aduh hari Kamis!” Kemudian air matanya mengalir di kedua pipinya seperti untaian mutiara. Ibnu Abbas melanjutkan: ‘Rasul Allah bersabda: ‘Bawakan kepadaku tulang belikat (katf, kiff, katif, waktu itu dipakai sebagai kertas) dan tinta, aku akan menuliskan bagimu surat agar kamu tidak akan pernah tersesat sesudahku untuk selama­lamanya!” Dan mereka menjawab: “Rasul Allah sedang mengigau!”[15] 

Bukhari mencatat dalam Bab Jawa’iz al­Wafd dari Jubair dari Ibnu Abbas: ‘Hari Kamis, aduh hari Kamis!’ Kemudian ia menangis sehingga air matanya menetes ke kerikil. Ia lalu berkata: ‘Sakit Rasul Allah makin memberat pada hari Kamis, dan beliau berseru: ‘Ambilkan kertas akan kutulis bagi kamu surat, agar kamu tidak akan tersesat sesudahnya untuk selama­lamanya!’ Dan mereka bertengkar (tana­za’u) dan tidaklah pantas bertengkar di depan Nabi. Mereka berkata: ‘Rasul Allah sedang mengigau! (hajara, yahjuru). 

Dan beliau mewasiatkan menjelang wafatnya: “Keluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab dan beri hadiah kepada utusan sebagaimana aku lakukan!’. Dan aku lupa yang ketiga”.[16] Bukhari dan Muslim yang berasal dari Ibnu Abbas: “Menjelang wafatnya Nabi, di rumahnya berada beberapa orang di antaranya Umar bin Khaththab. Beliau bersabda: ‘Biarkan (halumma) kutuliskan untuk kamu surat, agar kamu tidak pernah akan tersesat sesudahnya!’ Umar menjawab: ‘Nabi telah dikuasai sakit dan ada padamu al­Qur’an maka cukuplah Kitab Allah!’. Dan keluarga Rasul berselisih pendapat (dengan Umar) dari mereka bertengkar. Dan di antaranya ada yang berkata: ‘Kamu bawakanlah! Biar beliau menuliskan untukmu surat yang tidak akan pernah membuat kamu tersesat sesudahnya!’ Dan di antara mereka ada yang berkata seperti dikatakan Umar. Dan tatkala ucapan­ucapan dan perselisihan makin menjadi­jadi, beliau bersabda: “Pergilah kamu dari sini!”[17] Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir: ‘Bahwa Nabi meminta lembaran (shahifah) menjelang ajalnya, agar beliau dapat menuliskan surat supaya orang­orang tidak pernah akan tersesat sesudahnya, dan Umar menentangnya, (khalafa), bahkan menolaknya’.[18] 

Riwayat Ibn Abil­Hadid yang berasal dari Jauhari: “Dan tatkala pertentangan dan suara, makin bertambah tak menentu, Rasul Allah marah dan berseru: ‘Pergilah dari sini! Tidaklah pantas bertengkar demikian di depan Nabi! Maka keluarlah!”[19] 

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Tatkala menjelang ajalnya, Rasul Allah saw bersabda: ‘Ambilkan tulang belikat akan kutuliskan kepadamu tulisan sehingga tidak akan berselisih dua orang sesudahnya. Maka orang­orang mulai ribut. Dan seorang wanita berkata: ‘Celaka kamu!’[20] 

Muttaqi al­Hindi berkata dalam Kanzu’l­Ummal dari Ibnu Sa’d dengan sanad yang berasal dari Umar yang berkata: “Kami berada dirumah Nabi dan di antara kami dan kaum wanita terdapat hijab: Maka Rasul Allah bersabda: ‘Basuhi diriku dengan tujuh kantong air (qirab, kantong yang terbuat dari kulit, pen.) dan ambilkan lembaran dan tinta agar aku menuliskan untuk kamu surat supaya kamu tidak akan pernah tersesat sesudahnya untuk selama­lamanya!’ Dan berkatalah kaum wanita: ‘Penuhi keinginan Rasul Allah!’ Dan aku berkata: ‘Diam kamu! Bila ia sakit kamu menangis! Tapi bila ia sehat kamu pegang tengkuknya! ‘Maka Rasul Allah saw bersabda: ‘Mereka lebih baik dari kamu!’[21] 

Akhirnya permintaan Rasul Allah saw tidak terpenuhi. Umar kemudian mengakui bahwa Rasul Allah saw ingin membuat wasiat untuk Ali sebagai penggantinya, tetapi ia menghalanginya. 



Bab 5 . Pertemuan Kaum Anshar di Saqifah

Dalam khotbah Jum’at Umar bin Khaththab yang terkenal itu, Umar tidak menceritakan perdebatan yang terjadi di Saqifah sebelum kedatangannya bersama Abu Bakar. Agar lebih mudah memahami perdebatan yang terjadi kemudian, marilah kita ikuti peristiwa ini sebagimana dituturkan oleh al­Jauhari dalam bukunya Saqifah, dari isnad yang lengkap sampai kepada Sa’id bin Katsir bin ‘Afir al­Anshari, yang berkata [22] : Ketika Nabi saw wafat, berkumpullah kaum Anshar di Saqifah Bani Sa’idah. Dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya Rasul Allah saw telah wafat’. Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah kepada anaknya yang bernama Qais, atau kepada salah seorang anaknya: ‘Saya tidak sanggup memperdengarkan suara saya kepada semua orang, karena saya sedang sakit; tetapi engkau dapat mendengar suara saya; maka ulangilah suara saya agar mereka dapat mendengar’. Sa’d lalu berbicara, dan didengarkan oleh anaknya, yang mengulanginya. dengan suara yang keras. Sebagian dari pidatonya, sesudah mengucapkan puji­pujian kepada Allah SWT, ialah: ‘Sesungguhnya kamu adalah di antara orang­orang yang terdahulu dan mempunyai kemuliaan dalam Islam; tiada orang Arab yang lebih mulia dari kamu. Rasul Allah saw telah tinggal di tengah kaumnya (orang Quraisy) di Makkah lebih dari sepuluh tahun, mengajak mereka menyembah Allah Yang Maha Penyayang dan meninggalkan penyembahan berhala. Tetapi tiada yang mengakui beliau, kecuali beberapa orang. Demi Allah, mereka tidak bisa melindungi Rasul Allah dan tidak dapat memuliakan agamanya; mereka tidak dapat membela Rasul dari musuh beliau, sampai Allah menghendaki kalian mendapatkan kemuliaan yang sebaik­ baiknya, memberikan kehormatan kepada kalian dan mengkhususkan kalian dalam agamanya, dan kepada kalian diberikan keimanan dan Rasul­Nya, memperkuat agama beliau dan berjihad melawan musuh­musuh beliau. Kamulah orang yang paling keras melawan para penyeleweng agama, dan kamulah yang memuliakan Islam dalam melawan musuh­musuhnya dibandingkan dengan yang lain, sehingga mereka mengikuti perintah Allah, sebagian karena kepatuhan dan sebagian lagi karena terpaksa. Dan kepadamu diberikan­Nya kemampuan, sehingga orang­orang yang jauh tunduk kepada kepemimpinanmu, sampai Allah SWT memenuhi janji­Nya kepada Nabi­ Nya. Maka tunduklah seluruh bangsa Arab karena pedangmu. Dan Allah SWT mengambil Nabi­ Nya. Beliau rela dan puas akan kalian, lahir maupun batin. Maka genggamlah kuat­kuat kekuasaan ini’. 

Maka menjawablah kaum Anshar bersama­sama: ‘Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda; kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan, akan kami angkat Anda sebagai pemimpin. Kami puas akan Anda. Dan kaum mu’minin yang saleh akan menyenangi. 

Kemudian mereka saling bertukar kata. Dan sebagian di antara mereka berkata: ‘Bagaimana apabila kaum Muhajirin menolak dan berkata, ‘Kami adalah kaum Muhajirin dan Sahabat­ sahabat Rasul saw yang pertama, kami adalah keluarganya (asyiratuhu) dan wali­walinya (auliya’uhu), maka mengapa kamu hendak bertengkar dengan kami mengenai kepemimpinan sesudah Rasul?’ Maka sebagian di antara mereka berkata: ‘Kalau demikian, maka kita akan menjawab: ‘Seorang pemimpin dari kami, dan seorang pemimpin dari kamu,’ (minna Amir wa minkum Amir). Selain begini, kita sama sekali tidak akan rela. Kita adalah pemberi perumahan dan pelindung (iwa) dan penolong (nushrah), dan mereka melakukan hijrah. Kita berpegang kepada Al­ Qur’an sebagaimana mereka. Apa pun alasan yang mereka ajukan, kita akan mengajukan dalil yang sama. Kita tidak hendak memonopoli kekuasaan terhadap mereka, maka bagi kita harus ada seorang pemimpin dan bagi mereka seorang pemimpin’. Maka berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah: ‘Inilah awal kelemahan!’ Demikianlah kesaksian Sa’id bin Katsir bin ‘Afir al­Anshari, yang dicatat oleh al­ Jauhari dalam bukunya Saqifah. 

Al­Jauhari selanjutnya mengatakan: ‘Maka kabar ini sampai kepada Umar, yang kemudian pergi ke rumah Rasul Allah saw. Ia mendapatkan Abu Bakar di dalam rumah (Rasul), sementara Ali sedang mengurus jenazah Rasul Allah. Yang menyampaikan berita itu kepada Umar adalah Ma’n bin ‘Adi (seorang Anshar, pen) yang memegang tangan Umar lalu berkata: ‘Ayolah!’ (Qum! = Mari kita pergi!). Umar berkata, ‘Saya sedang sibuk’. Ma’n berkata lagi, ‘Tidak bisa tidak, Anda harus pergi bersama saya’. Maka Umar pun pergi bersama Ma’n, lalu Ma’n berkata: ‘Sesungguhnya kaum Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Saidah, bersama mereka terdapat Sa’d bin Ubadah; mereka mengelilinginya dan berkata: ‘Anda, hai Sa’d, Anda adalah harapan kami. Di antaranya terdapat para pemuka mereka, dan saya khawatir akan timbulnya fitnah. Lihatlah, wahai Umar, bagaimana pendapat Anda? Beritahukan kepada saudara­saudara Anda kaum Muhajirin, pilihlah seorang pemimpin di antara anda sekalian. Saya sendiri melihat pintu fitnah sudah terbuka pada saat ini, kecuali apabila Allah hendak menutupnya’. Maka Umar sangatlah terkejut mendengar hal ini, sehingga ia datang kepada Abu Bakar, dan berkata, ‘Marilah kita pergi!’ Abu Bakar menjawab, ‘Hendak ke mana? Tidak, saya tidak akan pergi sebelum menguburkan Rasul Allah. Saya sedang sibuk’. Umar lalu berkata lagi: ‘Tidak bisa tidak, Anda harus ikut saya. Nanti kita kembali, insya Allah’. Maka Abu Bakar pun pergi bersama Umar’. 

Dari pertemuan kaum Anshar di Saqifah ini, terlihat dengan jelas bahwa kaum Anshar hendak membaiat Sa’d bin ‘Ubadah menjadi pemimpin kaum mu’minin; terlihat juga kekhawatiran mereka akan dominasi kaum Quraisy Makkah yang telah mereka perangi selama sepuluh tahun terakhir. Kedudukan mereka yang mayoritas, sebagai pelindung dan penolong Rasul dan kaum Muhajirin, prestasi mereka dalam mengembangkan Islam yang maju pesat di tangan mereka, dan kegagalan kaum Quraisy di Makkah, menjadi pendorong bagi mereka untuk melanjutkan peranan sebagai mesin untuk mengembangkan Islam. 

Mengenai kepemimpinan umat, terdapat perbedaan pendapat. Sa’d bin ‘Ubadah berpendapat bahwa pemimpin haruslah dari kaum Anshar. Sebagian lagi berpendapat, andai kata kaum Quraisy menolak dengan alasan bahwa mereka adalah sahabat dan keluarga dekat Rasul, maka mereka akan membiarkan kaum Muhajirin mengangkat seorang pemimpin mereka sendiri. Sa’d tidak setuju dengan pendapat ini, dan menganggapnya sebagai awal kelemahan. Meskipun Sa’d bin ‘Ubadah, sebagai seorang pemimpin Anshar menyadari bahwa membiarkan kaum Muhajirin mengangkat seorang pemimpin di antara mereka sendiri tidak rasional, merupakan kemunduran dan awal kelemahan, namun selanjutnya ia tidak bersikeras dengan pendapatnya. Sikap ini menunjukkan kesediaan hadirin bermujadalah dengan kaum Muhajirin dan membuka kemungkinan pembentukan pemerintahan koalisi. 



Bab 6 . Pertemuan Kelompok Umar

Semua penulis sependapat bahwa Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah ditunjuk Rasul sebagai prajurit dalam pasukan Usamah, dua minggu sebelum wafatnya Rasul, dan mereka memperlambat keberangkatan pasukan, meskipun Rasul dengan keras memerintahkan agar pasukan segera berangkat, dan melaknat mereka yang meninggalkan pasukan. Pada hari Kamis tanggal 8 Rabi’ul Awwal, Umar juga telah menghalangi Rasul membuat wasiat, sehingga Rasul mengusirnya dari kamar, dengan kata­kata: ‘Keluar, tisak boleh rebut­ribut di hadapanku!’[23] 

Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah telah menjalin persahabatan yang kukuh, sejak mula pertama memeluk Islam dalam menghadapi kaum aristokrat jahiliah. Persahabatan ini makin erat bersamaan dengan makin kuatnya kebangkitan Islam. Tatkala Rasul wafat, ketiga tokoh ini, tanpa memberitahu kelompok Ali, pergi ke Saqifah Bani Saidah. Bersama mereka ikut Mughirah bin Syu’bah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Salim maula Abu Hudzaifah. Mereka juga berhasil menarik tokoh yang membawahi kaum Aus, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa’d, ‘Uwaim bin Sa’idah[24] dan Ma’n bin ‘Adi.[25] Sebuah makalah telah ditulis oleh Henri Lammens, yang berjudul ‘Kelompok Politik tiga orang (triumvirat) Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah’, yang menceritakan keakraban ketiga tokoh ini sejak zaman Rasul, kerja sama mereka sebelum pergi ke Saqifah, dan perdebatan mereka dengan kaum Anshar di sana. Demikian pula setelah Abu Bakar dan Umar memegang tampuk pemerintahan.[26] 

Abu Bakar menghibahkan jabatan khalifah kepada Umar bin Khaththab. Tatkala Umar akan menghadapi ajalnya, ia mengatakan hendak menghibahkan kekhalifahan kepada Abu ‘Ubaidah bin al­Jarrah atau Salim maula Abu Hudzaifah. Sayang keduanya telah meninggal. 

Para ahli sering merasa ‘bingung’, karena Salim adalah bekas budak, dan bukan orang Quraisy, dan ini bertentangan dengan hadis Nabi yang dipakai oleh Abu Bakar dalam perdebatan di Saqifah, bahwa pemimpin haruslah orang Quraisy, al­a ‘immah min Quraisy.[27] 

Umar lalu menyebut Usaid bin Hudbair sebagai saudaranya. Tatkala ‘Uwaim bin Sa’idah meninggal dunia, Umar duduk di pinggir kuburannya seraya berkata: ‘Tiada seorang pun di dunia ini yang lebib baik dari lelaki yang berada di dalam kubur ini’. Abu ‘Ubaidah ditunjuk Umar sebagai panglima pasukan untuk berperang dengan orang Romawi. Abdurrahman bin ‘Auf ditunjuk sebagai anggota Syura untuk memilih khalifah. 

Bagaimana sikap dan tindakan Umar tatkala ia mengetahui adanya pertemuan di Saqifah? Setelah mengikuti catatan yang dibuat oleh Jauhad di atas, marilah kita lanjutkan pidato Umar: 

Maka saya (Umar) berkata kepada Abu Bakar, bahwa kami harus pergi kepada saudara­saudara kita kaum Anshar. Kami lalu pergi menemui mereka, dan kami bertemu dengan dua orang yang saleh (‘Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin ‘Adi; dua orang Anshar)[28] yang menceritakan kepada kami tentang kesimpulan yang diambil kaum Anshar. Mereka bertanya: ‘Hendak ke mana kamu, kaum Muhajirin?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang menuju kepada saudara­saudara kami kaum Anshar’. Mereka berkata: ‘Tidak ada gunanya kalian mendatangi mereka, wahai kaum Muhajirin; ambillah keputusan tentang urusan kamu sendiri’. Kami pun pergi dan mendapatkan mereka di Saqifah Bani Saidah. Di tengah mereka terdapat seorang yang berselimut, lalu saya bertanya: ‘Mengapa dia?’ Mereka menjawab, ‘Ia sakit’. Dan setelah kami duduk, seorang pembicara mengucapkan syahadat dan memuji Allah sebagaimana layaknya, kemudian melanjutkan.. Dalam pidato Umar yang diucapkan dua belas tahun kemudian itu, sesudah mengatakan bahwa ‘Kaum Muhajirin berkumpul pada Abu Bakar’, ia mengatakan: ‘Maka saya berkata kepada Abu Bakar bahwa kami harus pergi kepada saudara­saudara kita kaum Anshar’. Di tengah jalan mereka bertemu dengan dua orang Anshar, ‘Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin ‘Adi, yang menyampaikan laporan. Versi ini tidak seluruhnya benar, karena bertentangan dengan kenyataan yang disepakati semua penulis, bahwa Abu ‘Ubaidah bin al­Jarrah ikut pergi bersama rombongan ini. Umar juga tidak menceritakan bagaimana ia dan Abu Bakar yang berada di Masjid Madinah dan dalam rumah Rasul, mendapat kabar tentang pertemuan di Saqifah. 

Siapa Ma’n bin ‘Adi dan ‘Uwaim bin Sa’idah? Zubair bin Bakkar dalam bukunya Muwaffaqiat menceriterakan: 

“Abu Bakar dan Umar mendapat dukungan dua orang Anshar pengikut perang Badr, untuk menjatuhkan Sa’d, yaitu ‘Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin ‘Adi. Ibn Abil­Hadid melengkapinya. “Keduanya sangat menyintai Abu Bakar semasa Rasul masih hidup dan pada saat yang sama keduanya sangat membenci (bughdh wa syahna’) Sa’d bin ‘Ubadah. Ibn Abil­Hadid mengutip dari buku Al­Qaba’il tulisan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al­Mutsanna. 

Madd’ini dan Waqidi menceriterakan bahwa Ma’n bin ‘Adi dan ‘Uwaim bin Sa’idah sepakat mendorong Abu Bakar dan Umar untuk mengambil kekuasaan dengan meninggalkan pertemuan kaum Anshar. Kedua penulis ini mengatakan bahwa Ma’n bin ‘Adi ‘menyusup’ ke Saqifah, mengikuti pembicaraan dan segera meninggalkan pertemuan sebelum kaum Anshar mengambil keputusan.[29] 

Zubair bin Bakkar, Mada’ini dan Waqidi menerangkan kepada kita logika peristiwa Ma’n dan ‘Uwaim, dua orang Anshar, yang mendatangi Umar dengan berita jalannya pertemuan kaum Anshar di Saqifah. 

Jauhari, dalam bukunya Saqifah, menceritakan bahwa Ma’n bin ‘Adi yang memberi kabar kepada Umar yang berada di rumah Rasul. Lalu bersama­sama mereka ke Saqifah. 

Tetapi di mana mereka bertemu dengan Abu ‘Ubaidah yang datang ke sana, lalu duduk berdekatan dengan Abu Bakar dan Umar di Saqifah? Karena Jauhari tidak menyebut­nyebut Abu Ubaidah bin al­Jarrah, yang jelas datang bersama Umar dan Abu Bakar, maka versi ini pun belum dapat dianggap tepat. 

Untuk memahami situasi pada masa itu, marilah kita ikuti suasana di rumah Rasul tatkala Rasul wafat, serta datangnya Umar dan Abu Bakar ke rumah Nabi. 

Dengan demikian kita juga dapat mengetahui mengapa Ali tidak ikut ke Saqifah, dan mengapa ‘keluarga Rasul mengunci pintu rumahnya’, seperti dilaporkan oleh Ibnu Ishaq. 


Wafatnya Rasul Dan Amukan Umar

Rasul wafat pada lepas dzuhur hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Umar bin Khaththab dan Mughirah bin Syu’bah diperkenankan masuk ke kamar untuk melihat jenazah Nabi. Kedua orang ini termasuk prajurit dalam pasukan Usamah, yang baru tiba dari Jurf bersama Usamah. Umar membuka tutup wajah Rasul dan mengatakan, ‘Rasul hanya pingsan’. 

Tatkala meninggalkan kamar itu, Mughirah berkata kepada Umar: “Tetapi Anda mengetahui bahwa Rasul Allah telah wafat”. 

Umar menjawab: “Anda bohong, Nabi tidak akan wafat sebelum beliau memusnahkan semua orang munafik” 

Umar lalu mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan bahwa Rasul telah wafat. Ia berkata lagi: “Beberapa orang munafik mengatakan bahwa Rasul telah wafat, sedangkan Rasul tidak wafat. Rasul hanya kembali kepada Allah, seperti Nabi Musa menghadap Allah selama empat puluh hari. Orang mengira Musa telah wafat, tetapi ia kembali lagi; demikian pula, Rasul akan kembali. 

“Nabi akan memotong tangan dan kaki siapa saja yang mengatakan bahwa beliau sudah wafat’. Umar berkata pula: ‘Saya akan memenggal kepala siapa saja yang mengatakan bahwa Rasul Allah sudah wafat. Rasul Allah hanya naik ke langit”.[30] Melihat keadaan Umar, Ibnu Umm Maktum lalu membaca ayat Al­Qur’an: 

“Muhammad hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya telah berlalu Rasul­Rasul. Apabila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tetapi barangsiapa berbalik murtad, sedikit pun tiada ia merugikan Allah: Allah memberi pahala kepada orang­orang yang bersyukur”.[31] 

Abbas, paman Rasul, berkata kepada Umar: ‘Rasul jelas telah wafat. Saya telah melihat wajah beliau, seperti wajah jenazah anak­anak ‘Abdul Muththalib’. Abbas lalu bertanya kepada hadirin: ‘Apakah Rasul Allah ada mengatakan sesuatu mengenai wafat beliau? Bila ada, beritahukan kepada kami!’ Hadirin menjawab, ‘Tidak’. (maksudnya, Nabi tidak berpesan bahwa beliau ‘hanya menghadap Allah sementara saja’ ,pen.). Kemudian Abbas bertanya kepada Umar: ‘Apakah Anda mengetahui sesuatu? “Umar menjawab, ‘Tidak’. Abbas kemudian berpidato kepada hadirin: ‘Saksikanlah, tiada seorang pun mengetahui bahwa Rasul Allah mengatakan sesuatu tentang wafat beliau. Saya bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Esa dan tiada lain selain Dia, bahwa Rasul Allah telah wafat’. 

Umar masih juga marah­marah sambil mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan Rasul telah wafat. Tetapi Abbas terus berbicara: ‘Rasul Allah, sebagaimana manusia lainnya, dapat meninggal dan menderita sakit, dan beliau telah wafat. Kuburkanlah beliau tanpa menunggu­nunggu. Apakah Allah SWT mematikan kita satu kali dan mematikan Rasul dua kali? Bila apa yang Anda kata­kan benar, Allah dapat membangunkan beliau dari kubur. Rasul Allah telah menunjukkan kepada manusia jalan yang benar menuju kebahagiaan dan keselamatan selama hidup beliau’. 

Umar tetap saja mengamuk. Salim bin ‘Ubaid lalu pergi kepada Abu Bakar yang tinggal di Sunh, sekitar satu kilometer ke arah barat Masjid Nabi. Ia menceritakan apa yang terjadi. 

Tatkala Abu Bakar tiba, Umar masih juga kelihatan mengancam orang­orang dengan mengatakan: ‘Rasul Allah masih hidup, beliau tidak wafat. Beliau akan keluar dari kamar dan memotong tangan mereka yang menyebarkan kebohongan tentang beliau; beliau akan memenggal kepala mereka. Beliau akan menggantung mereka’. Setelah itu, Umar diam dan menunggu Abu Bakar keluar dari kamar Rasul. Abu Bakar lalu berkata: ‘Barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup; tetapi barangsiapa menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat’. Kemudian Abu Bakar membaca ayat al­Qur’an yang tadi telah dibacakan Ibnu Ummu Maktum kepada Umar: 

‘Muhammad hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya telah berlalu Rasul­Rasul. Apabila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tetapi barangsiapa berbalik murtad, sedikit pun ia tidak merugikan Allah. Allah memberi pahala kepada orang­orang yang bersyukur’.[32] 

Umar lalu bertanya, ‘Apakah itu ayat Al­Qur’an?’ Abu Bakar menjawab, ‘Ya’. 

Kemudian, Abu Bakar telah berada di kamar Rasul, bersama beberapa anggota keluarga Banu Hasyim, termasuk Ali,’ Abbas dan putranya, Qutham dan Fadhl. Umar sedang di Masjid, atau di halaman Masjid. Pada saat itu, menurut Jauhari, datanglah dua orang pembawa informasi, Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin ‘Adi. Ma’n menyampaikan berita kepada Umar tentang adanya pertemuan kaum Anshar di Saqifah, lalu Umar masuk ke kamar Nabi. Karena kamar itu sempit (4,68 meter x 3,44 meter), bagaimana mungkin Ali dan orang­orang lain yang berada di kamar itu tidak mendengar kata­kata Umar memanggil Abu Bakar sehingga Ali dan kawan­kawannya tidak mengetahui adanya pertemuan di Saqifah itu? Hal ini disebabkan karena Umar memanggil Abu Bakar di dalam kamar Rasul itu tanpa menyebut­nyebut adanya pertemuan kaum Anshar di Saqifah, sebagaimana diceritakan oleh Jauhari. 

Yang menjadi teka­teki: bagaimana maka Abu ‘Ubaidah dapat bersama­sama Umar dan Abu Bakar? Bagaimana pula dengan Mughirah bin Syu’bah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Salim maula Abu Hudzaifah? Agaknya, Umar dan Abu Bakar kemudian mampir ke rumah Abu ‘Ubaidah dan merundingkan cara untuk menghadapi kaum Anshar. Versi ini yang paling masuk akal, karena, sebagaimana akan kita ikuti, dalam perdebatan di Saqifah, kesamaan ‘jalan pikiran’ mereka nampak jelas. 

Kembali kepada perangai Umar yang ganjil, yang memperagakan keraguannya tentang wafatnya Rasul. Ada dua penafsiran tentang tingkah laku Umar itu. Penafsiran yang pertama didasarkan kepada anggapan tentang kecintaan Umar yang besar kepada Rasul. Kecintaannya yang besar yang membuat ia tidak dapat menerima kenyataan itu. Tetapi, kebanyakan ulama meragukan keanehan Umar yang berlangsung demikian lama, dan baru menjadi tenang dengan datangnya Abu Bakar. Umar adalah seorang Mu’min yang membaca Al­Qur’an, dan telah dua puluh tahun hidup bersama Rasul, sedang susunan bahasa ayat Al­Qur’an adalah khas dan mudah dikenal. Aneh pula bahwa keterangan Mughirah, pembacaan ayat Qur’an oleh Ibnu Umm Maktum serta penjelasan Abbas, tidak dapat menyadarkan Umar. Di dalam al­Qur’an terdapat pula ayat: 

‘Sesungguhnya engkau akan mati. Dan sungguh, mereka pun akan mati’ ,[33] yang tentu diketahui Umar. 

Penafsiran yang kedua ­meminjam kata­kata Ibn Abil­Hadid ­­­ : ‘Tatkala Umar mendengar wafatnya Rasul, ia menjadi cemas tentang masalah yang menyangkut pengganti Rasul. Ia takut dan cemas apabila orang Anshar dan yang lain mengambil kekuasaan; maka ia menciptakan keraguan dan memperagakan sikap enggan menerima kenyataan bahwa Rasul telah wafat, untuk melindungi agama, sambil menunggu kedatangan Abu Bakar’’.[34] 

Yang di maksud oleh Ibn Abil­Hadid dengan ‘yang lain’, ialah kelompok yang berada di rumah Nabi sendiri, yang terletak di sisi timur Masjid Nabi, di mana Umar pada waktu itu berada, yaitu Ali bin Abi Thalib. Ibn Abil­Hadid mengemukakan juga pendapat beberapa ulama yang mengatakan bahwa Umar berbohong untuk kepentingan umat, menghindari ‘anarki’, dan oleh karena itu maka ia tidak berdosa. 


Ibn Abil­Hadid: Amukan Umar Hanya Peragaan?

Pendapat para ulama bahwa Umar sengaja memperagakan keengganan menerima kenyataan bahwa Rasul telah wafat, untuk melindungi agama sambil menunggu Abu Bakar yang direncanakan akan dibaiatnya, dan untuk mencegah kaum Anshar dan Banu Hasyim ‘merebut kekuasaan’, didasarkan pada hal­hal sebagai berikut: 

1. Pada akhir Haji Perpisahan, delapan puluh hari sebelum wafatnya Rasul, Allah SWT telah menurunkan ayat Al­Qur’an yang terakhir: ‘Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu, dan telah Kupilih Islam bagimu sebagai agama..’.[35] Rasul telah menyampaikan apa yang harus disampaikan, dan kaum Muslimin telah mengetahui bahwa hari terakhir Rasul sudah dekat. 

2. Pada hari Kamis, empat hari sebelum wafatnya, Rasul telah meminta kertas dan tinta untuk mendiktekan wasiatnya, yang dihalangi Umar. Ini menunjukkan bahwa Rasul sudah akan kembali kepada Allah SWT. 

3. Sebelum menyampaikan ayat yang terakhir pada Haji Perpisahan, Rasul telah menunjuk Ali sebagai wali kaum Muslimin, di hadapan sekitar 120.000 kaum Muslimin, dan Umar telah memberi selamat kepada Ali. Hadis ini adalah mutawatir menurut batasan Bukhari dan Muslim, karena dilaporkan oleh seratus sepuluh orang Sahabat. 

4. Rasul telah berwasiat kepada seluruh kaum Muslimin, di Masjid Nabi, yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar serta keluarga Nabi. Anas bin Malik berkata: ‘Abu Bakar dan Abbas memasuki majelis kaum Anshar, tatkala Rasul Allah saw sedang sakit, dan mereka. sedang menangis. Keduanya datang bertanya, ‘Mengapa kalian menangis? Kaum Anshar menjawab, ‘Kami mengingat­ingat kebaikan Rasul Allah saw’. Maka keduanya dating kepada Nabi saw dan mengabarkan hal tersebut. Rasul Allah saw lalu keluar, membungkus kepala beliau dengan serban, dan menaiki mimbar. Dan Rasul tidak pernah lagi naik mimbar sesudah itu. Rasul mengucapkan puji­pujian kepada Allah SWT sebagaimana lazimnya, kemudian beliau bersabda: ‘Aku mewasiatkan kaum Anshar kepadamu, karena mereka adalah kesayanganku, kedudukan mereka adalah khusus, dan mereka adalah penyimpan rahasiaku (karisyi wa ‘aibati). Hendaklah kamu membalas jasa mereka, mendahulukan kemaslahatan mereka, dan memaafkan kesalahan mereka.”[36] 

5. Rasul telah pergi ke pekuburan kaum Muslimin, Baqi’ al­Gharqat, beberapa puluh meter di sebelah Timur kota Madinah, di malam hari, sementara beliau dalam keadaan sakit. Sampai di sana, beliau bersabda: ‘Assalamu ‘alaikum, wahai para penghuni kubur Semoga kamu selamat dari hal seperti yang akan terjadi atas diri orang lain. Fitnah telah datang seperti malam gelap gulita, yang akhir lebih jahat dari yang awal’. Peristiwa ini membuat orang­orang cemas, dan mereka merasa bahwa tidak lama lagi Rasul akan meninggalkan mereka. 

6. Rasul pernah mendatangi Fathimah dan berbisik kepadanya, bahwa beliau akan segera wafat, dan Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi dengan kata­kata: ‘Engkau adalah anggota ahlu’l­bait pertama yang akan menemuiku,’ lalu Fathimah tertawa. 

7. Di hadapan pasukan Usamah yang diperintahkan Rasul segera berangkat memerangi orang Romawi di Mu’tah, Syam (Suriah), yang terdiri dari pemuka­pemuka Quraisy dan Anshar, termasuk Umar dan Abu Bakar, Rasul pada waktu itu bersabda: ‘Seorang hamba Allah telah disuruh olehNya untuk memilih hidup di dunia atau di sisi­Nya, maka ia memilih yang di sisi Tuhan’. Abu Bakar menangis mendengar kbotbah tersebut. 

8. Rasul Allah telah sakit selama tiga belas hari, dan pada masa itu kaum Muslimin telah siap menghadapi perpisahan itu. 

Di hadapan kenyataan yang menunjukkan bahwa Rasul Allah telah memberi tanda akan kepergian beliau ke hadirat Allah SWT, Umar telah dianggap membuat sebuah drama yang tidak rasional. 

a) Umar mengatakan bahwa kaum munafik menyebut Rasul telah wafat, dan mengancam akan membunuh mereka. Umar tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh penduduk Madinah yang paling mengetahui kehidupan Rasul adalah kaum munafik. Demikian pula keluarga Banu Hasyim yang telah menutupi wajah Rasul kecintaan ummah dengan selimut, dan sedang meratapinya. 

b) Umar tidak bersungguh­sungguh membandingkan Rasul dengan Musa yang pergi ke gunung hendak menemui Tuhannya selama empat puluh hari.[37] Dalam ayat­ayat Al­ Qur’an Allah SWT menceritakan tentang janji Allah kepada Musa untuk datang ke gunung selama empat puluh hari dan meminta kepada Harun untuk menggantikannya memimpin Banu Isra’il. Allah SWT berfirman dalam Al­Qur’an: ‘Dan kami janjikan Musa tiga puluh malam. Dan Kami tambahkan sepuluh malam. Maka sempurnalah waktu empat puluh malam yang ditentukan. Dan berkata Musa kepada saudaranya Harun: ‘Gantilah aku memimpin kaumku. Dan jangan ikut jalan orang yang akan menimbulkan kerusakan.’ Dan Rasul, dalam masa hidupnya, telah berulang­ulang menyebut kedudukan Ali di samping Rasul Allah sebagai kedudukan Harun terhadap Musa. Rasul selalu membuktikannya dalam tindakan beliau. Kalau berkeyakinan demikian, mengapa Umar tidak bertanya kepada Ali mengenai pesan Rasul? Lagi pula, Musa datang ke gunung selama empat puluh hari dengan jiwa dan jasadnya, sementara Rasul sedang terbaring di tempat tidur, dan seluruh tubuh sampai ke kepala telah ditutup dengan selimut oleh keluarganya. 

c) Sekiranya. Umar yakin bahwa Rasul belum wafat sebelum membunuh semua orang munafik, mengapa Umar tidak mendesak supaya pasukan Usamah segera berangkat, dan tidak usah gelisah dengan keadaan Rasul? 

d) Apabila Umar demikian sedihnya melihat Rasul wafat, mengapa ia tidak mengurus jenazah Rasul, tetapi malah pergi ke Saqifah? Atau, setelah sampai ke pertemuan orang Anshar di Saqifah, mengapa Umar tidak mengajak mereka untuk kembali ke Masjid Nabi dan mengurusi pemakaman Rasul dahulu? 

Mengapa Umar baru menjadi tenang setelah Abu Bakar datang, sedang (menurut penelitian ‘Abdul Fatah ‘Abdul Maqshud, dalam bukunya As­Saqifah wal Khilafah perjalanan dari Sunh ke Masjid Nabi memakan waktu antara satu sampai dua jam, karena jalannya buruk dan berkerikil tajam bekas lahar gunung berapi? Sehingga, paling tidak, Umar telah mengamuk selama dua jam, untuk menunggu Abu Bakar yang sedang disusul. 

Maka banyak orang berpendapat bahwa Umar memperagakan keraguannya terhadap wafatnya Rasul untuk menunggu Abu Bakar yang hendak diajaknya berunding. Orang juga mengatakan, bahwa sebagai seorang yang mempunyai naluri negarawan yang besar, Umar juga menyadari bencana yang akan timbul, sekurang­kurangnya menurut pertimbangannya, bila Ali memegang kekuasaan pemerintahan. Karena tokoh dari Banu Hasyim ini akan mendapat perlawanan dari Banu ‘Umayyah yang saling bersaing di antara sesamanya. Pendapat Umar ini agaknya tidak semuanya benar. 

Malah, barangkali, karena dorongan rasa keadilan dan ‘ashabiyah pula tokoh Banu ‘Umayyah seperti Abu Sufyan malah menawarkan bantuan kepada Ali untuk mengadakan perlawanan. Mungkin Umar juga takut kekuasaan jatuh ke tangan orang Anshar, kerana akan timbul pula pertikaian antara Banu Khazraj dan banu Aws. Dan Umar mengatasinya dengan cara sendiri. 



Daftar Isi : 

Bab 4. Peristiwa Saqifah 6

Tiga Kelompok 11

Usaha Rasul Hadapi Ketiga Kelompok Ini 17

1. Rasul Allah saw Mengirim Sa’d bin Ubadah, Abu Bakar Serta Umar ke Mu’tah. Ali Dan Pengikutnya Dipertahankan di Madinah 17

2. Rasul Allah saw Hendak Membuat Surat Wasiat, Tetapi Dihalangi Umar Bin Khaththab. Hari Kamis Kelabu 22

Bab 5. Pertemuan Kaum Anshar di Saqifah 25

Bab 6. Pertemuan Kelompok Umar 30

Wafatnya Rasul Dan Amukan Umar 35

Ibn Abil­Hadid: Amukan Umar Hanya Peragaan? 40



Catatan:


[1] Ibnu Hisyam, as­Sirah an­Nabawiyah, jilid 2, hlm. 427: Thabari, Tarikh al­Muluk wa a1­Umam, jilid 2, hlm. 199­201; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 2, hlm. 22­29; Ibnu Katsir, al­Bidayah wan Nihayah, jilid 5, hlm. 245­247. Pidato ‘Umar tentang Saqifah ini, sebagian dicatat pula oleh Shahih Bukhari dalam bab “Hukum Rajam pada orang Hamil Karena Perzinaan”, jilid 10, hlm. 44; Musnad Ahmad, jilid 1, hlm. 56. 

[2] Baladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 1, hlm. 581. 

[3] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 2, hlm. 25. 

[4] ‘Ali bin Abi Thalib bin ‘Abdul Muththalib bin Hasyim dari klan Quraisy, lahir di tengah Ka’bah (lihat Al­ Hakim, Mustadrak, jilid 3 hlm. 483, Al­Maliki, Al­Fushul al­Muhimmah, Al­Maghazili asy­Syafi’i dalam Manaqib­ nya, Syablanji dalam Nuru’l Abshar, hlm. 69.) pada tanggal 13 Rajah tahun 30 Tahun Gajah. Ia dibesarkan oleh Nabi di rumahnya, memeluk Islam setelah Khadijah pada umur lima belas tahun dan merupakan lelaki pertama yang memeluk Islam. Bermalam di tempat tidur Nabi pada malam Nabi berhijrah ke Madinah, merelakan diri dan mengambil risiko jadi korban demi keselamatan Rasul. Kemudian Hijrah ke Madinah. Dipersaudarakan oleh Rasul dengan diri beliau sendiri. Ikut dalam Perang Badr dan perang­perang sesudahnya. Ia dibaiat pada bulan Dzul Hijjah tahun 35 H., juni 656 M. setelah ‘Utsman terbunuh. Setelah Perang Jamal pindah ke Kufah, yang dijadikan ibu kota kekhalifahannya. Dibacok ‘Abdur­rahman bin Muljam Al­Muradi pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H., 26 Januari 661 M. di mihrab Masjid Kufah dan meninggal tanggal 21 pada umur 63 tahun. Dikuburkan dipinggir Selatan Kuffah, Najaf, sekarang termasuk wilayah Irak. Menjadi khalifah selama 4 tahun 9 bulan dan 6 hari. 

[5] Al­Qur’an, asy­Syu’ara’ (XXVI), 214. 

[6] Lihat bab “Nas Bagi ‘Ali”. 

[7] Sa’d bin ‘Ubadah bin Dulaim bin Haritsah bin Abi Khuzai­mah bin Tsa’labah bin Tharif bin Khazraj bin Sa’idah bin Ka’b bin al­Khazraj orang Anshar. Ia ikut dalam Bai’ah al­’Aqabah dan perang­perang bersama Rasul kecuali Perang Badr. Masih jadi perdebatan apakah ia turut dalam perang tersebut atau tidak. Ia terkenal sebagai seorang pemurah dan dermawan. Lihat bab 8: “Pembaiatan Abu Bakar”, Bab 9: “Nasib Sa’d bin Ubadah.” 

[8] Aba Hafsha ‘Umar bin Khaththab bin Nufail bin ‘Abdul ‘Uzza bin Rabah bin ‘Abdullah bin Qarth bin Razah bin ‘Adi dari Bani Quraisy dan ibunya Hantamah binti Hisyam atau Hasyim bin Al­Mughirah bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzum. Menjadi muslim setelah jumlah muslim sudah sekitar 50 orang dan berhijrah ke Madinah. Ikut Perang Badr dan perang­perang sesudah itu. Ia menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah dan Islam menyebar di zamannya. Ia ditusuk Abu Lu’lu’ah, seorang budak yang dikirim oleh Mughuirah bin Syu’bah, pada 4 hari sebelum Dzul Hijah berakhir, tahun 23 H., 3 November 644 M.. Umurnya 55 tahun atau 63 tahun dan meninggal dan dikuburkan bulan awal Muharram tahun 24 H. di sisi kuburan Abu Bakar di kamar Rasul dan masa kekhalifahannya 10 tahun dan 6 bulan dan 5 hari. 

[9] Abu Bakar ‘Abdullah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah at­ Taimi, dari Bani Quraisy. Ibunya Ummu al­Khair Salma atau Laila binti Shahr bin’ Amir bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah. Lahir 2 atau 3 tahun sesudah Tahun Gajah, dan termasuk pemeluk Islam awal, kawan Rasul dalam hijrah ke Madinah, pengikut Perang Badr, dan perang­perang sesudahnya, dan dibaiat sebagai khalifah di Saqifah Bani Sa’idah setelah Rasul wafat, sebelum dikuburkan dan meninggal 8 hari sebelum Jumadil Akhir berakhir, tahun 13 H., 23 Agustus 634 M. dan dikuburkan di kamar Rasul dalam umur 63 tahun; masa kekhalifahannya adalah 2 tahun 3 bulan dan 10 hari. 

[10] ‘Abu ‘Ubaidah’ Amir bin ‘Abdullah bin Al­Jarrah bin Hilal al­Fihri dari Bani Quraisy dan ibunya Umaimah bin Ghanm bin Jabir bin ‘Abdul ‘Uzza bin ‘Amir bin ‘Umairah. Penganut Islam Awal dan berhijrah dua kali, ke Habasyah kemudian ke Madinah, meninggal karena penyakit Pes di ‘Amwas, Syria, tahun 18 H., 639 M. dan dikuburkan di Yordan. Bersama Abu Bakar dan ‘Umar merupakan tiga tokoh Quraisy terpenting dalam perdebatan dengan kaum Anshar di Saqifah Bani Sa’idah di samping ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Mughirah bin Syu’bah. Lihat Bab 6: “Pertemuan Kelompok ‘Umar”. Bab 8: “Pembaiatan Abu Bakar”. 

[11] Nama lengkapnya adalah Al­Mughirah bin Syu’bah bin Abi Amir bin Mas’ud atsTsaqafi. Ibunya wanita dari Bani Nashr bin Mu’awiyah. Menganut Islam pada tahun timbulnya Perang Khandaq, tahun 8 H., 629 M., enam bulan sebelum penaklukan Makkah. Ia hijrah ke Madinah dan ikut Perang Hudaibiah. Rasul mengirimnya ke kaisar Najasyi di Habasya untuk mengubah opini kaisar tentang Ja’far bin Abi Thalib dan kawan­kawan Muhajirin dan agar mereka bisa kembali ke Makkah. Dan kaisar meluluskannya. Ikut menaklukkan Mesir di zaman ‘Umar dan diangkat jadi gubernurnya sampai tahun keempat kekhalifahan ‘Utsman yang memecatnya. Ia lalu menentang ‘Utsman sampai ‘Utsman terbunuh. Setelah itu ia bergabung dengan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin memerangi ‘Ali. 

[12] Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Auf bin ‘Abd bin Al­Harits bin Zamrah az­Zuhri dari Bani Quraisy dan ibunya Syifa’ binti ‘Auf bin ‘Abd bin Al­Harits bin Zuhrah. Dilahirkan 10 tahun sesudah Tahun Gajah dan namanya di zaman jahiliah adalah ‘Abd ‘Umar atau ‘Abd Ka’bah dan dinamakan Rasul ‘Abdurrahman. Berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah dan ikut Perang Badar dan Perang­Perang sesudahnya. ‘Umar menunjuknya sebagai salah seorang anggota Suyra. Meninggal di Madinah tahun 31 atau 32 H., 652 atau 653 M. dan dikuburkan di Baqi al­Gharqad, Lihat Bab 14: “Pembaiatan Khalifah ‘Umar dan ‘Utsman.” 

[13] Ibnu Sa’d, Thabaqat al­Kubra, jilid 2, hlm. 192, dalam membicarakan ekspedisi Zaid, menyebut bahwa Abu Bakar dan ‘Umar termasuk dalam pasukan Usamah; juga Kanzu’l­’Ummal, jilid 5, hlm. 312; dan lain­lain. Lihat catatan kaki berikut. 

[14] Syahrastani, al­Milal wan Nihal, edisi Mushtafa at­Babiy al­Halbi, dengan penyunting Muhammad Sayyid Kilani, jilid 1, hlm. 23. Syahrastani berkata: “Pertentangan kedua, tatkala beliau sakit, beliau telah bersabda: “Persiapkan pasukan Usamah, mudah­mudahan Allah melaknati mereka yang meninggalkannya!”. 

[15] Shahih Muslim, pada akhir Kitab al­Washiyah; Musnad Ahmad, jilid 1, hlm. 355. 

[16] Shahih Bukhari, jilid 2, hlm. 111, ‘Kitab al­Jihad’. 

[17] Qumu ‘anni. Shahih Bukhari, Bab Karahiyah al­Khilaf min Kitab al­I’tisham bi’l­Kitab was­Sunnah; Shahih Muslim pada akhir Kitab al­Washiyah. 

[18] Musnad Ahmad, jilid 3, hlm. 346. 

[19] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 2, hlm. 20. 

[20] Musnad Ahmad, jilid 1, hlm. 293. 

[21] Kanzu’l­’Ummal, jilid 4, hlm. 52. Lihat “Bab 15” Sub Bab “Umar Berani Tolak Permintaan Rasul saw”. 

[22] Tulisan Abu Bakar Jauhad, dalam bukunya Saqifah, dikutip oleh Ibn Abil­Hadid dalam Syarh Nahjul­ Balaghah, jilid 6, hlm. 27­28. Bandingkan pula dengan Tarikh Thabari, jilid 5, hlm. 207 dan seterusnya yang berasal dari Abu Mikhnaf Luth al­’Azdi, yang mendengar dari ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al­Anshari sebagai saksi mata. 

[23] Qumu ‘anni, la yanbaghi ‘indi attanazu’!. 

[24] ‘Uwaim bin Sa’idah bin A’isy bin Qays bin Nu’man bin Zaid bin ‘Umayyah bin Malik bin ‘Auf bin ‘Amr bin ‘Auf bin Malik bin ‘Aws dari klan ‘Aws dan al­Anshari, ikut Baiat ‘Aqabah dan Perang Badr dan perang­perang sesudahnya. Meninggal tatkala ‘Umar jadi khalifah. ‘Umar mengangkatnya sebagai saudara. ‘Umar berkata di atas kubur ‘Uwaim: “Tiada seorang pun penduduk bumi sanggup mengatakan bahwa ia lebih baik dari penghuni kubur ini.” 

[25] Ma’n bin ‘Adi atau ‘Ashim bin ‘Adi bin Jadd bin ‘Ajlan bin Haristah bin Dhubai’ah bin Haram al­Balawi bin ‘Ajlan, pemimpin klan ‘Ajlan. Ikut perang Uhud dan perang­perang sesudahnya, meninggal tahun 45 H.­665 M. 

[26] Henri Lammens, Le’triumvirat’ Abu Bakar ‘Omar. et Abou ‘Obaida, Melanges de la Faculte Orientale de I’ Universite St Yosef de Beyrouth, (1910), 4, hlm. 113­144. 

[27] Bacalah H. Munawar Chatil, Kepala Negara dan Permusyawaralan Rakyat menurut’ Ajaran Islam, hlm. 23­ 24 dan 31. 

[28] Bahwa kedua orang tersebut bernama ‘Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin ‘Adi, bacalah tulisan Ibnu ‘Abdil Barr, al­Isti’ab fi Ma ‘rifatil Ashhab, jilid 3, hlm. 1248, dan jilid 4, hlm. 1441. 

[29] Ibn Abil­Hadid, ibid, jilid 6, hlm. 19 

[30] Thabari, Tarikh al­Muluk wal Umam, jilid 3, hlm. 198; Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l Balaghah, jilid 1, hlm. 128; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 242, dan lain­lain. 

[31] Al­Qur’an, Ali Imran (III), 144. 

[32] Al­Qur’an, 3: 144. 

[33] Al­Qur­’an, s. az­Zumar (XXXIX), 30. 

[34] Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid 2, hlm. 42­43. 

[35] Al­Qur’an, al­Ma’idah (V), 3. 

[36] Lihat, Shahih Bukhari, jilid 2, hlm. 213; Shahih Muslim, jilid 1, hlm. 949. 

[37] Lihat, Al­Qur’an, Qs.al­Baqarah (II), 51; Qs.al­Araf (VII), 142; Qs.al­Qashash (XXVIII); 33­35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...