Senin, 17 Desember 2018

Pintar Mendidik Anak



ilustrasi hiasan:


Pengarang : Ayatullah Husein Mazhahiri

Penerjemah : Segaf Abdillah Assegaf & Miqdad Turkan

Penerbit : PT LENTERA BASRITAMA

Tahun Penerbitan : Muharam 1420 H/April 1999 M




Pendahuluan


Buku ini mengkaji pokok persoalan penting yang menyangkut diri kita semua. Apa yang diungkapkannya merupakan nilai luhur yang berkenaan dengan diri kita, suatu permasalahan yang sangat penting, yaitu tentang pendidikan anak ditinjau dari sudut pandang Islam. 

Topik permasalahan ini mencakup pendahuluan-pendahuluan mendasar. Sebagiannya akan kita ketahui sebagiannya pada pendahuluan ini, dan sisanya kita tangguhkan agar lebih mengkristal pada pertengahan kajian nanti. 

Pendahuluan mendasar yang termuat pada pembahasan masalah ini, yang dianggap sebagai pintu langsung menuju pokok persoalan pendidikan, terdiri atas pengetahuan tentang hubungan orang-tua dengan anak, pengarahan-pengarahan orang-tua, serta suasana kekeluargaan yang mereka bentuk yang menyangkut persoalan anak. 

Kajian ayat-ayat Al-Qur’an, riwayat-riwayat, dan hadis-hadis yang datang dari Rasulullah saw dan para imam dan keluarga beliau, serta kajian sejarah dan bukti-bukti penemuan, menunjukkan bahwa ayah dan ibu memiliki pengaruh penting dan dampak langsung terhadap perjalanan nasib dan masa depan anak-anak mereka, baik pengaruh pada masa kanak-kanak, remaja, maupun dewasa. 

Dengan ungkapan yang lebih rinci, orang-tua sangat berpengaruh terhadap masa depan anak dalam berbagai tingkatan umur mereka; dari masa kanak-kanak hingga remaja, sampai beranjak dewasa, baik dalam mewujudkan masa depan mereka yang bahagia dan gemilang maupun masa depan yang sengsara dan menderita. Al-Qur’an dan hadis, diperkuat oleh sejarah dan pengalaman-pengalaman sosial, menegaskan bahwa orang-tua yang memelihara prinsip-pnnsip kehidupan Islami dan menjaga anak-anak mereka dengan perhatian, pendidikan, pengawasan, dan pengarahan, sebenarnya telah membawa anak-anak mereka menuju masa depan yang gemilang dan bahagia, dan memberikan sarana yang luas bagi mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lapang dan tenang. 

Adapun ayah dan ibu yang telah dikuasai oleh penyimpangan terhadap prinsip-prinsip Islam, dan kehidupan mereka diliputi pengabaian terhadapnya, lalu bermalas-malasan dalam membesarkan anak-anak mereka berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan Islam, sesungguhnya telah memberikan pengaruh negatif terhadap nasib anak dan menjadikannya sebagai mangsa kesengsaraan dan penyimpangan serta berada jauh dan jalan kebenaran. 


Asal Mula Kebahagiaan dan Kesengsaraan

Pengaruh orang-tua terhadap nasib dan masa depan anak pada berbagai tingkat kehidupannya yang berbeda-beda setara dengan pengakaran dan pendalaman. Karena itu, Rasulullah saw dalam sebuah hadisnya bersabda, “Orang yang bahagia adalah orang yang telah berbahagia di perut ibunya, dan orang yang sengsara adalah orang telah sengsara di perut ibunya.”[1] 

Secara jelas hadis ini menunjukkan bahwa nasib seorang anak―bahagia atau sengsara―sebenarnya terletak pada awal pertumbuhannya yang dilaluinya di perut ibunya. Hadis ini juga menyingkap peranan orang-tua dalam menyediakan iahan yang menemukan masa depan anak―di pelbagai jenjang kehidupannya. Adakah ia memelihara norma-norma Islam atau berpaling darinya? 

Seputar persoalan ini, Almarhum al-Faidhul Kasyani[2] dalam tafsir ash-Shaft seusai membahas firman Allah SWT yang berbunyi,“Dia (Allah) yang membentuk kalian dalam rahim sebagaimana dikehendaki- Nya,” [3] menyebutkan sebuah riwayat yang penting bagi semua, khususnya bagi orang-tua. Dalam sebuah hadis yang cukup panjang dari Imam Muhammad al-Bagir as dalam kitab al-Kafi diriwayatkan sebagai berikut: 

“Dua malaikat mendatangi janin yang berada di perut ibunya, lalu keduanya meniupkan roh kehidupan dan keabadian, dan dengan izin Allah keduanya membuka pendengaran, penglihatan, dan seluruh anggota badan serta seluruh yang terdapat di perut. Kemudian Allah mewahyukan kepada kedua malaikat itu, ‘Tulislah qadha, takdir, dan pelaksanaan perintah-Ku, dan syaralkanlah bada’ bagiku terhadap yang kalian tulis.’ Kedua malaikat itu bertanya: ‘Wahai Tuhanku, apa yang harus kami tulis?’ Maka Allah Azza Wajalla menyeru keduanya untuk mengangkat kepala mereka di hadapan kepala ibunya, sehingga mereka mengangkatnya. Tiba-tiba terdapat layar (lauh) terpasang di dahi ibunya. Maka kedua malaikat itu pun menyaksikannya dan menemukan pada layar (lauh) tersebut bentuk, hiasan, ajal, dan perjanjiannya, sengsarakah atau bahagia, serta seluruh perkaranya.’”[4] 

Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh orang-tua amat besar bagi masa depan anak, tanpa harus dimaksudkan bahwa pengaruh ini merupakan inah tammah (sebab yang lengkap) terhadap masa depan dan nasib anak menuju kebahagiaan atau kesengsaraan. Nanti Insya Allah kami akan kembali menjelaskan persoalan ini. 

Kita dapat memastikan, bahwa komitmen orang-tua terhadap norma-norma Islam dan hukum-hukumnya pada kehidupan mereka, menyediakan lahan yang sesuai bagi kemaslahatan dan kebahagiaan anak, agar ia dapat tumbuh dengan akhlak yang mulia dan diridai. Perkara itu dapat menjadi sebaliknya, seandainya orang-tua mengabaikan komitmen mereka terhadap hukum-hukum Islam dari ajaran-ajarannya. Seperti misalnya seorang ayah tidak mempersoalkan sumber penghasilannya, hingga sekalipun sumber tersebut berasal dari barang syubhat alau haram. Lalu harta tersebut berubah menjadi makanan yang dimakan oleh anaknya, yang secara langsung berpengaruh membentuk watak yang buruk dan menyimpang pada diri anak. 

Dari riwayat yang kita pahami tadi dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh langsung dari pihak orang-tua terhadap masa depan dan nasib anak pada berbagai jenjang kehidupannya, baik pada periode kanak-kanak, remaja, maupun dewasa. Lantaran itu Islam menganggap tugas pendidikan anak sebagai suatu kewajiban yang harus didahulukan. 

Al-Qur’an al-Karim menyeru kepada kita dengan firman-Nya,“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batuan.” [5] 

Maksudnya, seorang ayah yang memikirkan salat dan puasanya, wajib pula atasnya menganjurkannya kepada putera-puterinya, dan seorang ayah yang memperhatikan pelaksanaan salat jamaah dan salat pada awal waktu, wajib pula atasnya menekankannya kepada putera-puterinya. Demikian pula seorang ibu yang tidak mengabaikan hijabnya agar tampak Islami dan sesuai dengan syarat dan aturan hukum syara’, serta memelihara kehormatan dan kemuliaan pada kehidupannya. Ia pun wajib memperhatikan hal itu pada puteri-puterinya dan tidak boleh mengabaikan pendidikan mereka berdasarkan prinsip-prinsip yang ia jaga. 

Demikianlah, semestinya orang-tua yang menjaga salat, puasa, dan hukum-hukum Islam yang merupakan syarat ketakwaan pada kehidupan mereka, hendaknya bertanggung jawab pula mengarahkan anak-anaknya untuk memiliki komitmen terhadap ajaran-ajaran Islam. Jika tidak, meskipun mereka mempunyai komitmen dan bertakwa, nasibnya akan berakhir di neraka bila mereka mengabaikan anak-anak mereka dan membiarkan mereka menjadi sasaran kehancuran. 

Tugas seorang mukmin―sebagaimana dijelaskan oleh ayat tadi―adalah menjaga diri, isteri, dan anak-anak, serta anggota keluarganya dari api neraka. Maka tidaklah cukup bagi dirinya menjadi seorang yang memiliki komitmen dan bertakwa, bila ia membiarkan anak isterinya berjalan menuju penyimpangan dan kehancuran. Apabila ia tidak menjaga mereka, maka perjalanan nasibnya akan kembali kepada kerugian yang nyata, sebagaimana Allah SWT menggambarkan orang-orang yang merugi dalam firman-Nya,“Sesungguhnya orang-orang yang merugi adalah mereka yang merugikan din mereka dan keluarga mereka pada han kiamat. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” [6] 

Kita temukan dalam riwayat-riwayat bahwa celakalah orang-tua yang hanya memperhatikan persoalan-persoalan materi dan dunia anak-anak mereka, dengan mengabaikan nasib mereka di akhirat dan mengabaikan pendidikan mereka berdasarkan nilai-nilai akhlak dan spiritual yang luhur. 

Bukti (denotasi) dari makna riwayat ini terdapat pada arah pendidikan yang keliru, di mana orang-tua berambisi memperhatikan materi anak-anak mereka, agar memperoleh ijazah-ijazah yang tinggi demi mencapai masa depan yang gemilang dari segi materi, dan meraih kedudukan, posisi, dan pangkat resmi, tanpa diiringi perhatian terhadap pendidikan mereka berdasarkan hukum-hukum dan jiwa etika Islam. 

Bukti dari pendidikan yang salah ini, terdapat pula pada pendidikan yang hanya memperhatikan persiapan keperluan-keperluan materi untuk perkawinan, berupa perabotan-perabotan dan sebagainya, tanpa disertai perhatian terhadap pertumbuhan mereka berdasarkan prinsip-prinsip agama, etika, dan saran santun. Juga tanpa diiringinya perhatian terhadap soal-soal materi, dengan perhatian serupa terhadap sisi etika dan kemanusiaan yang menyangkut kehidupan mereka. Pada kondisi seperti ini terlihat orang-tua―misalnya―tidak pernah menanyai anak-anak mereka, hatta andaikan mereka tetap berada di luar rumah hingga larut malam, dan tidak menyelidiki kawan-kawan mereka dan bentuk persahabatannya.[7] 

Rasulullah saw menyebut orang-tua semacam ini, dalam sebuah riwayat sebagai berikut,“Celakalah orang-orang ini!” 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw bersama sekelompok sahabatnya melewati suatu tempat, lalu beliau menyaksikan sekumpulan anak sedang bermain. Sambil memperhatikan mereka, Rasulullah berkata,“Celakalah anak-anak akhir zaman lantaran ayah-ayah mereka.” Para sahabat bertanya, “Apakah karena ayah-ayah yang musyrik?” Rasulullah menjawab, “Tidak, mereka ayah-ayah yang mukmin, namun sedikit pun tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban kepada mereka. Apabila anak-anak mereka mempelajarinya maka mereka melarangnya, dan mereka senang dengan harta benda dunia yang hanya sedikit.” 


Kemudian Rasulullah menampakkan kebencian dan ketidakrelaannya terhadap ayah-ayah semacam mereka. Maka beliau pun bersabda,“Aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku.” [8] 

Hadis Rasulullah saw tadi, mencakup ayah dan ibu yang hanya memperhatikan soal-soal materi dan duniawi anak-anak mereka, tanpa mempedulikan hal-hal yang menyangkut nasib akhirat mereka, Orang-orang seperti ini tidak mengailkan diri mereka dengan Rasulullah, risalah, dan agamanya. Maka Rasulullah pun berlepas diri dari mereka, walaupun secara lahiriah mereka disebut Muslim. 

Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda,“Allah mengutuk orang-tua yang membuat anak mereka menjadi durhaka kepada mereka.” [9] 

Orang tua yang tidak memberikan pendidikan yang benar kepada anak mereka, dan tidak mendidik mereka dengan saran santun dan akhlak yang baik, tidak akan memetik hasil kecuali seorang anak yang berperilaku berani dan bermusuhan dengan mereka, Sehingga, ia mendurhakai mereka dengan perkataan-perkataan keji dan sikap yang keliru dan menyimpang, yang sampai pada tingkat meremehkan kedudukan orang-tuanya. Hal itu tidak akan terjadi andaikan orang-tua mencurahkan usaha mereka untuk mendidik anak dan menanamkan akhlak yang luhur serta saran santun yang baik pada dirinya. 

Lantaran itu, kita saksikan Rasulullah saw mengutuk orang-tua semacam ini, meskipun orang-tua memiliki posisi yang tinggi dalam syariat Islam. Rasulullah bersabda,“Allah melaknat orang-tua yang membuat anak mereka menjadi durhaka kepada mereka.” 

Orang tua wajib memikul tanggungjawab untuk memberikan pendidikan yang benar kepada anak di rumah dan di dalam lingkungan keluarga, dan memelihara mereka dengan cinta dan kasih sayang menurut etika Islam. Dengan demikian perilaku sosial dan pergaulan mereka dengan orang lain akan bersifat luhur, lembut, dan konsisten. Apalagi perilaku mereka di dalam rumah. 

Sebaliknya, apabila orang-tua melebarkan bagi anak jalan kedurhakaan terhadap mereka, terlebih penyimpangan yang ditiru oleh anak-anak, maka neraka jahanam menjadi tempat akhir bagi anak lantaran kedurhakaannya, dan juga tempat akhir bagi orang-tua lantaran ketidakpedulian mereka terhadap anak.[10] 

Oleh karenanya kita baca dalam riwayat-riwayat, bahwa seorang puteri yang mengabaikan hijabnya, atau tidak menjaga batas-batas kehormatan dan tidak memelihara aturan-aturannya dalam undak- tanduknya akan diseret ke neraka sebagai akibat pengabaiannya. Kemudian dikatakan kepada ibunya,“Andajuga harus masuk ke neraka! Memang benar, Anda telah mengenakan hijab dan menjaga nilai-nilai kehormatan pada perilaku, kehidupan, dan pergaulanmu. Tetapi, tempat berakhirnya puterimu adalah akibat ketidakpedulianmu terhadap pendidikannya, dan nihilnya perhatianmu terhadapnya. Semestinya, Anda memperhatikan hijabnya, kehormatannya, dan moralnya.” 

Pada hari kiamat, anak-anak lelaki yang telah mencapai usia balig, yang meninggalkan salat dan puasa, akan diseret pula ke dalam neraka sebagai balasan terhadap perbuatan mereka me ninggalkan salat dan puasa. Kemudian ayah yang bertakwa dan memiliki komitmen, yang selalu menunaikan ibadah salatnya dengan berjamaah, akan dihadirkan dan dikatakan kepadanya,“Anda juga harus pergi ke neraka, lantaran Anda tidak memperhatikan pendidikan putera anda dan tidak memerintahkannya menunaikan salat, menjalankan puasa, dan berbudi pekerti luhur, serta kewajiban-kewajiban Islam lainnya. Anda hanya memikirkan diri Anda saja dan tidak mempedulikan anak Anda. Anda mempelajari hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan salat dan ibadah Anda, namun mengabaikan pengarahan dan perhatian kepada putera Anda yang mendekati usia balig dan taklif Anda tidak untuk mengajarkan hal-hal yang diwajibkan bempa salat, puasa, dan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Lantaran itu, sudah selayaknya Anda memikul beban tanggung jawab kesalahan dan ketidakpedulian terhadap pendidikan putera Anda, dengan pergi menuju neraka jahanam sebagai balasan atas hal itu. Demikian pula putera Anda menanggung bagian tanggung jawabnya, sehingga nerakalah tempat kembalinya.” 

Kita dapati pula dalam riwayat-riwayat, bahwa pada hari kiamat dan hari perhitungan, sebagian anak akan mengadukan orang-tua mereka di hadapan Allah SWT, untuk menuntut keadilan terhadap perilaku aniaya mereka, di mana mereka mengadu ke pada Allah tentang orang-tua mereka yang memberikan kepada mereka makanan haram dan sesuap nasi yang syubhat atau haram. 

Orang tua seperti ini tidak peduli dari mana mereka menumpuk harta, dan bagaimana mereka mengumpulkannya. Terkadang mereka berstatus sebagai pedagang yang mengumpulkan harta dengan cara menipu, atau sebagai pegawai yang melalaikan pekerjaannya dengan mengabaikan tuntutan-tuntutan tugasnya dalam melakukan hubungan dengan manusia, sehingga gaji yang diterimanya menjadi haram. Selanjutnya, makanan yang diberikan kepada anaknya menjadi haram pula. 

Tidak asing lagi, makanan haram memiliki pengaruh yang menakjubkan terhadap kekerasan hati anak, sebagaimana akan dijelaskan secara rinci pada bab-bab selanjutnya. 

Anak-anak seperti mereka berdiri di hadapan medan keadilan Allah, mengadukan orang-tua mereka yang bertanggung jawab, lantaran memberi mereka makanan haram. Mereka meminta keadilan Allah atas perbuatan aniaya mereka yang disebabkan orang-tua mereka. Tidak diragukan lagi Allah menerima pengaduan mereka. 

Terdapat sekumpulan anak lain yang mengadukan orang-tua mereka pada hari kiamat. Mereka menuntut keadilan atas ketidakpedulian dan kesalahan orang-tua dalam mendidik. Pada hari kiamat seorang putera mengadukan ayahnya yang tidak memperhatikan pendidikan dan perbaikan budi pekertinya, dan hanya sibuk dengan dirinya, pekerjaan, dan perdagangannya. Ia tidak mengajarinya salat, puasa, dan hukum-hukum syariat yang perlu, serta tidak memberinya pengarahan untuk tetap memilikj komitmen terhadap kewajiban-kewajiban Islam dan aturan-aturannya. 

Seorang puteri pun bertindak sama. Ia mengadukan ibunya yang mengabaikan pendidikan dan tidak mengajarkannya mengenakan hijab yang sesuai dengan syariat dan hal-hal yang berhubungan dengan perilakunya, berupa kewajiban-kewajiban dan etika. 

Riwayat-riwayat menegaskan bahwa perjalanan mereka semua akan berakhir di neraka. Nasib Anak akan berakhir di sana sebagai balasan atas perbuatan-perbuatan buruknya yang menyimpang. Sedangkan orang-tua akan berada di sana sebagai imbalan ketidakpedulian dan cara mendidik yang salah. 

Sebaliknya, kita temukan dalam riwayat-riwayat dan hadis-hadis, bahwa anak yang menerima pendidikan dari ayah dan ibu mereka, akan berdiri pada hari kiamat, berterima kasih kepada orang-tua mereka dan mendoakan mereka, sebagai balasan atas perhatian dan pendidikan yang mereka berikan. Seorang putera berkata kepada ayahnya,“Semoga Allah memberi imbalan kebaikan atasmu.” Begitu pula seorang puteri akan berkata demikian pula kepada ibunya. 

Sikap ini membuat Allah menjadi rida, sehingga Allah memperhatikan mereka dan memerintahkan untuk memasukkan mereka ke surga. Persis sebaliknya dari sikap sebelumnya, di mana kita saksikan orang-tua tidak mempedulikan anak-anak mereka dan salah mendidik mereka, sehingga seorang putera mengatakan kepada ayahnya,“Semoga Anan tidak memberikan balasari kebaikan kepadamu.” Demikian pula seorang puteri terhadap ibunya. Pemandangan seperti ini membangkitkan murka Allah, dan Allah menoleh kepada seluruh mereka semua dan memerintahkan agar mereka dimasukkan ke dalam neraka. 

Makna dan bukti riwayat tadi secara jelas terdapat pada firman Allah yang berbunyi,“Sesungguhnya orang-orang yang merugi adalah yang telah merugikan diri mereka dan keluarga mereka pada hari kiamat. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” [11] 


Tanggung Jawab Pendidikan, Antara Hak dan Kedurhakaan

Riwayat-riwayat dan hadis-hadis amat menekankan hak orang-tua terhadap anak, hingga Al-Qur’an pun menerangkan bahwa hak orang-tua terhadap anak seperti hak Allah SWT.[12] 

Kemudian Islam mewasiatkan pentingnya menjaga hak-hak orang-tua dan berbuat baik kepada mereka. Hingga, dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa hak orang-tua sampai pada tingkat disyaratkannya rida mereka bagi diterimanya amal perbuatan anak, meskipun orang-tua tersebut lalai, bahkan, nasib anak akan berakhir di neraka jahanam, apabila mereka tidak memperoleh keridaan orang-tua dan penerimaan mereka. 

Tetapi, meskipun hak orang-tua terhadap anak amat ditekankan, dari sisi lain kita saksikan bahwa tanggung jawab besar berada di pundak orang-tua terhadap anak mereka.[13] 

Kondisi seperti ini dapat diungkapkan pada seorang ayah yang berkata kepada anaknya dengan ucapan,“Hentikan perbuatan burukmu! Bila tidak, saya akan berlaku buruk kepadamu.” Lalu anak itu menjawab, “Saya pun akan mendurhakaimu.” 

Sikap kedurhakaan anak terhadap ayahnya ini akan nyata, pada kondisi dimana kedua orang-tua tidak memperhatikan hak dan kewajiban akhlak mereka, sehingga keduanya bertanggung jawab terhadap akibat-akibatnya. 

Di antara hak-hak anak terhadap orang-tua dan termasuk salah satu syarat pendidikan Islam yang benar, adalah perhatian orang-tua terhadap urusan-urusan dan keinginan-keinginan anak. Ketika seorang puteri menunjukkan keinginannya untuk menikah, maka orang-tua harus segera memenuhi keinginan ini dengan jalan yang benar, dengan memilihkannya seorang suami yang sesuai untuknya. 

Demikian pula halnya bila seorang putera memperlihatkan kecenderungannya untuk menikah. Orang tua pun harus memenuhi keinginannya dengan jalan yang benar, yang terealisasi dalam untuk mencarikannya isteri yang layak baginya. 

Apabila putera atau puteri tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan dan moral, berupa perbuatan dosa dan maksiat, karena orang-tua tidak memenuhi keinginan mereka untuk menikah, maka orang-tua memikul tanggungjawab yang besar terhadap perbuatan tersebut. 

Pernyataan ini tidak berarti seorang putera atau puteri terlepas dari akibat buruk kesalahan, penyimpangan, dan pelanggaran mereka. Tetapi maksudnya adalah, orang-tua juga turut mendapat-kan dosa dan balasan yang menimpa mereka. Sebab, memperhatikan hak-hak anak dalam pernikahan, temasuk di antara hak-hak yang diwajibkan atas orang-tua, sebagaimana kita temukan dalam riwayat-riwayat yang menyebutkan hal itu. 

Ketika seorang putera menunjukkan keinginannya yang kuat untuk menikah, selayaknya orang-tua memperhatikan pernikahannya. Dan di saat seorang puteri menampakkan keinginannya yang sungguh-sungguh untuk menikah, maka wajib baginya untuk tidak tetap tinggal di rumah ayahnya, namun berpindah ke rumah suaminya yang saleh dan sesuai baginya (yaitu segera dinikahkan). Bila tidak, maka orang-tua memikul tanggung jawab terhadap akibat-akibat negatif yang timbul darinya. 

Di antara hak-hak anak terhadap orang-tua yang dapat kita telaah adalah perhatian orang-tua terhadap masa depan anak, berkenaan dengan pemenuhan soal-soal materi, berupa harta benda, perabotan, dan tempat tinggal. Hal itu disesuaikan dengan kemampuan materi, dan kondisi kehidupan mereka serta dengan mengambil sikap pertengahan, yang merupakan slogan yang selalu didengungkan syariat Islam dalam segala perkara. 

Hak ini adalah sesuatu yang berat dan menuntut ketelitian dalam merealisasikannya. Oleh karena itu kita baca dalam sejarah kehidupan Nabi, bahwa beliau mendengar sebuah berita bahwa seorang lelaki Anshar meninggal dunia dan ia mempunyai anak-anak yang masih kecil, sementara mereka tidak memiliki tempat tinggal, dan ditinggalkan dalam keadaan meminta-minta. Sebelumnya ia tidak memiliki sesuatu kecuali hanya enam orang budak yang telah dibebaskan sewaktu mendekati ajalnya. Maka Rasulullah bertanya kepada kaumnya, “Apa yang kalian telah perbuat terhadapnya?” Mereka berkata, “Kami menguburkannya.” Rasulullah saw bersabda,“Andaikan saya mengetahuinya, maka tidak saya biarkan kalian menguburkannya bersama orang-orang Islam. Ia meninggalkan anaknya yang masih kecil meminta-minta kepada manusia.” [14] 

Kejadian ini menjelaskan kepada kita bahwa orang-tua harus berupaya semampu mungkin menyiapkan masa depan materi kehidupan anak-anak mereka, sesuai dengan kemampuan mereka dan pada tingkat pertengahan/tidak berlebihan. 

Apabila perkawinan merupakan hak anak terhadap orang-tua, maka yang lebih penting dari itu adalah mengisi mereka dengan akhlak yang luhur. Orang tua selayaknya membesarkan putera-puteri mereka berdasarkan etika-etika kemanusiaan. Dan hal itu harus dimulai sejak awal, di mana orang-tua―misalnya―memperhatikan puterinya agar tidak menjadi anak pendengki. Apabila tampak tanda-tanda kedengkian antara anak laki-laki dengan saudara perempuannya sewaktu bermain, maka orang-tua selayaknya mengobati kedengkian ini sejak awal. 

Bila kita lihat seorang anak kecil cenderung kepada sifat angkuh, egois, dan sombong, maka kita harus memberi perhatian kepadanya dan mengobatinya dan sifat-sifat tersebut. Apalagi jika orang-tua memiliki sebagian sifat ini. Maka dengan cepat, sifat-sifat ini mendapatkan jalannya secara mudah untuk berpindah kepada anak-anak melalui hukum turunan. 

Dari sini, jelaslah pentingnya perhatian pendidikan sejak periode pertama. Adapun bagaimana realisasinya, dan apa sarana-sarana serta cara-caranya, hal itu kita tangguhkan hingga pembahasan-pembahasan yang akan datang dari buku ini. 


Efisiensi Peran Orang-tua Terhadap Anak

Bila kita telaah sejarah, kita akan temukan orang seperti Shahib bin Ubbad,[15] sebagai teladan yang terkenal dengan kedermawanan dan kemurahannya. Ketika Ibn Ubbad[16] berbicara tentang bagaimana sifat yang mulia ini dapat melekat pada dirinya, ia katakan bahwa sifat itu berasal dari ibunya. Ia juga menyatakan bahwa dirinya mendapatkan petunjuk darinya. khususnya cara pendidikannya terhadapnya. Ibunya setiap hari memberinya sejumlah uang, ketika ia ingin pergi ke sekolah, dan memintanya untuk bersedekah darinya. 

Ibn Ubbad berkata,“Perilaku sehari-hari yang dibiasakan oleh ibuku terhadapku inilah yang menjadikan diriku dermawan, sebab aku terdidik bahwa manusia harus memikirkan orang lain seperti memikirkan dirinya.” 

Sekarang, kita pun dapat menerapkan metode seperti ini dalam mendidik anak kita, dengan memberikan makanan yang akan kita kirimkan untuk seseorang kepada anak kita―misalnya―dan memintanya untuk menyampaikan makanan itu kepadanya. Dan ketika kita hendak memberi puteri kita sebuah hadiah, kita serahkan kepada saudara lelakinya dan memintanya untuk memberikan hadiah tersebut kepada saudara perempuannya. 

Kita harus memberikan kepada anak kita kasih sayang, dan mengajarkan mereka konsep-konsep luhur untuk mengasihi, mencintai, dan menyayangi. 

Hak tertinggi yang terletak di pundak orang-tua terhadap anak mereka adalah hak ketakwaan. Sewaktu seorang anak mencapai usia tujuh tahun, ia wajib mempelajari pelaksanaan salat secara benar. Dan orang-tua wajib memberikan motivasi kepadanya, dengan memberikan hadiah atau penghargaan. Demikian pula halnya dengan ibadah puasa. 

Begitu pula jika seorang anak menampakkan kecenderungan memberikan perhatian pada orang lain. Maka orang-tua harus memotivasinya dan mengembangkan naluri ini padanya. 

Bila seorang anak memberikan pelayanan (bantuan) tertentu kepada tetangganya―atau kerabat dan kawannya―maka wajib bagi kita memberikan semangat atas kecenderungan ini, dengan menyodorkan hadiah yang pantas baginya. 

Bila seorang puteri telah mencapai usia sembi Ian tahun (usia balig dan taklif), dan seorang putera telah mencapai usia balig dan taklif, hendaknya perangai takwa mendalam pada eksistensinya dan hadir dalam perilakunya. 

Sifat ketakwaan ini tidak mungkin berpindah kepada anak, kecuali melalui lingkungan keluarga dan pengaruh langsung orang-tua, yang menanamkan nilai-nilai keagamaan pada jiwa anak dan mendidik mereka mengenal ma’ad (hari kebangkitan ) serta takut kepada Allah. 

Di antara hak-hak anak juga adalah adab (sopan santun). Orang yang tidak menghias dirinya dengan adab yang baik, akan terisolir dari masyarakat dan dikeluarkan dari lingkup hubungan-hubungannya yang wajar. Dan orang yang terisolir dari masyarakat, hidupnya menjadi persemaian kejahatan, karena ia tumbuh pada lingkaran yang menoorongnya menuju kejahatan dan penyelewengan. 

Sungguh, orang-tua mempunyai perdnan mendasar dalam mendidik anak hingga pada persoalan sekecil-sekecilnya. Lantaran itu mereka barns mengajarkan kepada anak cara berbicara, duduk, memandang, makan, dan berhubungan dengan orang lain di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. 

Terkadang kita melihat―dalam realita kehidupan sosial―orang-orang yang telah mencapai usia lanjut atau masuk usia senja, namun belum juga melakukan secara benar cara makan, duduk, dan berhubungan (bergaul) dengan orang lain. 

Aib pada kondisi-kondisi seperti, ini kembali ke masa kanak- kanak, dan terlebih kepada kurangnya pendidikan terhadap mereka di dalam rumah dan di antara kedua orang-tua mereka. 

Perlu diperhatikan bahwa para ayah yang hanya sibuk dengan diri mereka dan ditenggelamkan oleh urusan-urusan dan pekerjaan-pekerjaan khusus mereka, tidak dapat mendidik putera-puteri mereka dengan benar. 

Sebagai contoh, seorang pedagang yang sibuk dengan pekerjaan- pekerjaannya dari subuh hingga larut malam, tidak bisa memberikan perhatian yang cukup kepada anak-anaknya. Sebab, sewaktu dirinya kembali ke rumah, anak-anaknya telah tidur atau akan tidur, dan ia dalam keadaan lelah kehilangan tenaga, sehingga perlu makan, lalu tidur dan istirahat. Ini pun bila ia tidak menyibukkan dirinya di rumah dengan catatan-catatan pekerjaan dan perhitungan-perhitungan perdagangan. Tidak diragukan lagi, ketidakpedulian ini akan menyebabkan pedagang itu dan orang-orang semacamnya menyodorkan pribadi-pribadi yang rusak pendidikannya kepada masyarakat. 

Ketidakpedulian ini memberikan dimensi-dimensi yang membawa kesedihan yang mendalam dalam beberapa contohnya. Se-orang ulama―misalnya―apabila mengabaikan pendidikan putera- pulterinya, maka itu tidak hanya membahayakan dirinya dan keluarganya, tetapi juga akan membahayakan masyarakat dengan bahaya-bahaya yang berat, sebab ia akan menyodorkan pribadi-pribadi jahat―anak-anaknya―kepada masyarakat. Anak ulama tadi akan mengukur sesuatu dengan contoh-contoh jelek yang diperbuat ayahnya, sehingga ia mengira bahwa seluruh ulama sama seperti ayahnya. 

Dari sisi lain, sifat-sifat negatif yang terdapat pada perilaku seorang ayah, akan berpengaruh buruk secara langsung terhadap perilaku anak dan budi pekertinya. Seorang ayah yang menjadi manipulator yang makan barang haram yang memberlakukan kenaikan harga yang melampaui batas dalam penjualan, dan bersikap keras dalam berhubungan dengan orang lain, sifat-sifatnya ini akan membekas pada pikiran dan jiwa anaknya. Sehingga, ia akan menjadi anak yang berhati keras dan memiliki sifat dan akhlak yang buruk, berperilaku menyimpang, tidak konsisten pada jalan yang benar, bahkan menjadi penipu yang sikapnya selalu plin-plan dan tidak memiliki ketetapan dalam cara berhubungan dengan orang lain. 

Sejarah menceritakan kepada kita, bahwa ibu pemakan hati manusia seperti Hindun, isteri Abu Sofyan, menyodorkan kepada masyarakat seorang manusia yang memiliki perangai yang buruk. Di sisi lain, kita temui seorang ibu seperti Khadijah, isteri Rasulullah saw memberikan bibit mulia kepada masyarakat, yaitu Fatimah az-Zahra, yang menjadi ibu dari ayahnya dan ibu dari dua cucu Rasulullah, al-Hasan dan al-Husein. 

Sejarah juga menceritakan kepada kita, bahwa di belakang Hajiaj bin Yusuf ats-Tsaqafi―yang terkenal sebagai penjahat berdarah dingin―terdapat ibunya, yang tidak menghendaki dari kehidupannya kecuali mencari kesenangan dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan. 

Jika orang-tua termasuk dalam golongan orang yang taat beragama, maka ia akan memberikan kepada masyarakat seorang anak yang saleh dan terdidik, yang mengikuti garis ayah dan ibunya. Ia menyaksikan kedua orang-tuanya menunaikan salat pada waktunya dengan khusyuk dan konsisten. Hal itu berbeda dengan kondisi putera atau puteri yang kehilangan perhatian kedua orang-tuanya, atau mereka tidak menemukan pada perilaku kedua orang-tuanya sesuatu yang membangkitkan komitmen dan teladan pada diri mereka. 

Pada ayah dan ibu yang merusak salat dan malas menunaikannya serta tidak mempedulikannya, kita tidak dapat berharap dari anaknya, melainkan ia akan menjadi seperti orang-tuanya, bahkan lebih buruk lagi. Terkadang anaknya tidak mendirikan salat sama sekali, meskipun sekadar hanya seperti salat ayahnya. 

Bila demikian, kita semua wajib memperhatikan poin ini, yang tercermin dalam pengaruh orang-tua terhadap perjalanan nasib anak. Dan hendaknya semua kelompok masyarakat memperhatikan masalah ini dan mencurahkan perhatian besar terhadapnya. Saya tidak mengenyampingkan kenyataan, bila saya mengatakan bahwa tidak ada amanat yang lebih besar daripada amanat anak yang berada di pundak kedua orang-tuanya! 

Itu adalah seruan yang dalam kepada para muda-mudi, walaupun mereka belum memasuki kehidupan suami-isteri. Itu adalah seman yang sampai ke pendengaran para ayah dan ibu, meskipun saat ini mereka belum merasakan nikmat anak (belum memiliki anak). Para pemuda adalah orang-tua di masa depan. Ayah dan ibu yang telah lama menikah, saat ini pun dapat memperbaiki kesalahan mereka dengan memberikan nasihat kepada orang lain, dan memberi pengarahan kepada ayah dan ibu baru untuk memperhatikan tuntutan-tuntutan masalah yang penting. 

Anak-anak sebagai tanaman mulia yang.sedang tumbuh, akan meniru garis kedua orang-tua mereka dalam hal-hal yang besar maupun yang kecil. Orang tua bagaikan bayangan bagi mereka. Perumpamaan mereka adalah bagaikan kamera yang tidak bekerja kecuali mengambil gambar yang kita kehendaki. 

Orang tua memegang kendali perkara-perkara anak mereka, dengan kehendak dan keputusan mereka. Oleh sebab itu ia harus memelihara dan menjaga tanaman ini sebelum bembah menjadi pohon yang berbuah, dan mengambil posisi dalam masyarakat sebagai rumput kering yang memgikan sekelilingnya. Pada saat tanaman ini diabaikan, ia akan mengering dan tahap demi tahap akan musnah, sebagai korban dari penyakit-penyakit yang menghinggapinya. 

Waspadalah, jangan sampai orang-tua tidak peduli terhadap anak mereka, dan membiarkan mereka pada masa perkembangannya menjadi korban hubungan-hubungan bebas yang tidak peduli kepada perhitungan dan pengawasan. Seorang ibu harus benar-benar meneliti jenis kawan-kawan puterinya sewaktu ia mencapai usia remaja dan taklif. Seorang ayah pun tidak boleh lalai untuk mengenal dan meneliti jenis kawan-kawan puteranya yang segera memulai kehidupannya, sewaktu mencapai usia remaja dan taklif. Semua mengetahui bahwa putera Nabi Nuh as meskipun mendapat anugerah pendidikan kenabian di rumahnya, namun―pada akhirnya―ia pun menjadi korban kawan-kawan dan sahabat-sahabat jabal. Mengapa kita pergi jauh, sementara sejarah kita menceritakan kepada kita kisah Ja’far al-Kadzab (pendusta), yang berlaku berani terhadap Imam Mahdi, dengan mengaku sebagai imam setelah wafatnya Imam Hasan al-Asykari. 

Siapakah gerangan Ja’far itu? Ia adalah anak Imam Ali al-Hadi dan saudara Imam Hasan al-Asykari, serta paman Imam Mahdi. Kita dapat memperkirakan kondisi suasana pendidikan yang mengitari Ja’far. Tetapi meskipun demikian, lantaran pengaruh teman-teman jahat, ia sampai berani mengaku sebagai imam secara dusta, dan menggelar pakaian panjangnya untuk salat di hadapan jenazah Imam Hasan al-Asykari, lantaran salat ini sebagai tanda untuk menunjukkan dan memperkenalkan seorang imam yang baru. 

Hal itu tidak akan terjadi dan Ja’far pun tidak akan terkenal sebagai al-kadzab (pembohong), andaikan ia tidak berkawan dengan teman-teman yang jahat. [17] 

Penulis buku ini mengenal beberapa anak perempuan yang sebelumnya tidak berangkat ke sekolah kecuali mengenakan kain cadar, sehingga wajahnya tidak tampak sedikit pun. Hal ini menunjukkan komitmen mereka terhadap hijab lslami yang sempurna bahkan lebih. Tetapi kemudian ternyata mereka berbalik dan berubah menentangnya. 

Sewaktu dicari sebab-sebab dari malapetaka ini, ternyata sebab- sebabnya tidak jauh dari teman-teman yang jahat dan ketidakpedulian orang-tua. Yang lebih berat lagi, sewaktu seorang anak laki-laki atau anak perempuan menyimpang, maka bahayanya tidak terbatas pada lingkup pribadi mereka saja dan tidak hanya menimpa mereka saja, namun pengaruh-pengaruh buruknya juga akan menyerang kehormatan keluarga dan yang berkaitan dengannya. 

Oleh sebab itu, Anda harus menjaga dan memperhatikan anak-anak Anda, sebagai tanaman yang baik, dan melindungi mereka dari rerumputan yang merusak (teman-teman jahat) dan dari segala penyakit dan gangguan. Bila tidak, maka seorang ayah yang dari pagi hingga sore hari larut dengan masalah-masalah dagang dan pekerjaan, dan tidak menyisihkan sebagian waktunya untuk anak-anaknya, pada akhirnya akan mengabaikan mereka dan selanjutnya membiarkan tanaman-tanaman yang subur ini menjadi mangsa kehancuran dan penyimpangan. 

Pada hakikatnya, persoalan ini dianggap sebagai pengkhianatan suatu amanat, yaitu amanat anak yang berada di pundak ayah dan ibu, dan akan mengantar kepada kerugian yang nyata. Allah SWT mengatakan, 

“Sesungguhnya orang-orang yang merugi adalah mereka yang merugikan diri mereka dan keluarga mereka pada hari kiamat. Ingatlah, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” 


Hubungan Tanggung Jawab dan Cakupan-cakupannya

Bila demikian, sadarlah para ayah dan ibu! Waspadalah terhadap perjalanan nasib ini, serta perhatikanlah pengawasan dan pendidikan anak-anakmu. Ketahuilah, Islam tidak berdiri di atas dasar satu dimensi saja. Tetapi, seperti yang difirmankan Allah SWT,“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan yang saling mewasiatkan kebenaran serta saling mewasiatkan kesabaran.” [18] 

Surah yang mulia ini jelas menunjukkan bahwa nasib seluruh manusia akan berakhir kepada kerugian, kecuali satu kelompok. Kelompok ini eksistensinya terbentuk atas dua dasar dimensi yang saling menyempumakan dan menopang dalam mendorong manusia mennju keberhasilan, seperti halnya kedua sayar burung saling menopang untuk terbang.


Dua dimensi ini adalah

1. Iman dan amal menurut tuntutan-tuntutan keimanan. 

2. Dimensi sosial yang tercermin pada saling mewasiatkan kepada kebenaran dan kesabaran-melalui penerapan amar ma’ruf nahi munkar. 

Penera pan tugas ini dimulai dari diri sendiri, yaitu ia harus memperbaiki dirinya dan meluruskannya dengan istiqamah, barn kemudian berpindah kepada lingkungan keluarga. Lantaran itu Allah berfirman kepada Nabinya saw―teladan kita―yang bunyinya,“Berilah peringatan keluarga-keluarga dekatmu!” 

Demikianlah, dua dimensi itu tercermin pada aktivitas seorang mukmin. Sebab, seperti halnya ia memperbaiki dirinya dan mendasarinya dengan iman, takwa, dan amal saleh, dan sebagaimana pula ia bertanggungjawab terhadap pembangunan dirinya, maka semestinya pula ia memiliki tanggung jawab sosial, bergerak menuju masyarakatnya melalui konsep saling mengingatkan dan tugas amar ma’ruf nahi mungkar. Itu dimulai dari lingkungan keluarga, khususnya isteri dan anak, lalu teman dan orang-orang yang ia kenal, dan seterusnya sampai pada akhir lingkup pengaruh sosialnya dan beban syariatnya. 

Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi sebagian keluarga yang mengembalikan hal itu kepada manusianya. Seperti, Anda temui kepala keluarga mendirikan salat tetapi isterinya tidak menunaikannya. Dan ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab,“Jika dia ingin salat, maka salatlah. Bila tidak, maka perkara itu terpulang kepadanya,” dengan alasan bahwa masing-masing bersemayam di kubumya, sebagai kiasan bahwa masing-masing bertanggung jawab terhadap dirinya. 

Perilaku ini merupakan sikap yang keliru dalam memahami Islam. Sebab, Islam menetapkan tanggung jawab sosial kepada kita, khususnya berkaitan dengan tanggungjawabsuami terhadap isteri dan anak-anaknya. Pendidikan anak adalah suatu tanggung jawab besar yang terletak di pundak orang-tua, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan-pembahasan berikutnya, insya Allah. 



Bab I : Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Mendasar Orang-tua

Mukadimah tentang Batas-Batas Pendidikan

Sebelum kita memasuki rincian pembicaraan tentang persoalan pendidikan, maka penting kiranya kami tunjukkan sebuah mukadimah yang perlu diulang di tengah-tengah kajian buku ini. Mukadimah ini berkisar tentang posisi pendidikan dalam menentukan masa depan dan nasib anak, berikut pemahaman tentang batas lingkup upaya pendidikan yang diberikan orang-tua dalam memberikan pengaruh terhadap masa depan anak dan ketentuan nasibnya. 

Kami telah sebutkan dalam pendahuluan buku ini―dan akan kami ulangi dalam pembahasan-pembahasan berikutnya―bahwa melalui upaya pendidikan mereka, orang-tua memiliki pengaruh langsung dalam menggariskan alam masa depan yang dinanti-nantikan oleh anak, baik pengaruh tersebut menuju arah kebahagiaan atau arah kesengsaraan. 

Namun, apakah itu berarti bahwa pendidikan adalah mukadimah yang vital, dan satu-satunya syarat dalam menentukan masa depan anak menuju kebahagiaan atau kesengsaraan? 

Dengan kata lain, apakah pendidikan melalui upaya dan pengaruh orang-tua merupakan inah tammah (sebab yang lengkap) terhadap perilaku dan masa depan anak yang bahagia atau sengsara? Ataukah ada faktor-faktor lain yang memiliki pengaruh pula dalam menentukan masa depan ini? 

Ketika kami menekankan pengaruh penting pendidikan dan upaya orang-tua dalam menentukan masa depan dan nasib anak, kami mengakui bahwa faktor ini tidak merupakan faktor terpenting (inah tammah), atau satu-satunya syarat yang menentukan masa depan anak menuju kebahagiaan atau kesengsaraan. Dan faktor ini tidak pula bertindak sendiri menentukan perilaku anak, apa pun bentuknya. Tetapi kami memandang bahwa upaya orang-tua dalam mendidik anak merupakan muqtadha (tuntutan) bagi dibangunnya lahan yang layak untuk masa depan anak pada berbagai jenjang kehidupannya. Sebab, biasanya perilaku orang-tua yang taat dan ikut campur tangan dalam mendidik anak, membawa hasil yang positif dan baik yang mempengaruhi masa depannya. 

Hal itu menjadi sebaliknya, bagi orang-tua yang tidak taat, yang mengabaikan pendidikan dan perhatian terhadap anaknya. Sebab, biasanya perilaku ini akan membawa hasil negatif terhadap masa depannya. 

Namun―sebagaimana kami isyaratkan sebelumnya―perkara yang kami sebutkan tadi tidak mencerminkan sebuah hukum pasti yang tidak mungkin menyimpang darinya. Selanjutnya, tidak semestinva kita memandang. upaya orang-tua, sebagai suatu inah tammah[19] (sebab yang lengkap) dalam menentukan masa depan anak. Sebab, banyak anak dilahirkan dari ayah yang menyimpang dan tidak taat serta tidak memperhitungkan pendapatan rezekinya, tanpa peduli apakah dari yang halal atau haram. Maksudnya, terdapat lahan negatif yang menanti seorang anak yang dilahirkan, yang semestinya membawanya kepada penyimpangan. Tetapi, kita lihat bahwa ketika anak tersebut tumbuh dewasa dan mendapatkan lingkungan yang sehat di luar rumah, serta hidup dan bergaul di tengah-tengah ulama, maka faktor-faktor perubahan itu berperan di dalam dirinya dan dengan kemauannya mengantarnya menuju kebahagiaan dan kebajikan. 

Namun, kita juga menyaksikan hal yang sebaliknya. Ada anak- anak yang telah tersedia bagi mereka segala persyaratan menuju kebahagiaan dan kebajikan, melalui komitmen orang-tuanya terhadap prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukumnya, dan perhatian mereka terhadapnya serta suasana keluarga yang sehat, namun terdapat faktor-faktor lain yang memainkan peranan dalam kehidupannya. Seperti ia masuk dalam pergaulan-pergaulan yang tidak sehat, atau bergabung dalam hubungan-hubungan yang negatif dengan teman-teman yang jahat, yang mengantarnya ke arah penyimpangan, meskipun orang-tua telah menyediakan lahan yang sehat dan selamat baginya. 

Melalui mukadimah ini kita berupaya untuk mengetahui posisi pendidikan dan pengaruh orang-tua terhadap masa depan anak. Sarna sekali kami tidak bertujuan mengurangi pentingnya peranan ini. Sebab, orang-tua selayaknya menyediakan lahan yang sesuai bagi anak mereka, yang akan mengantarnya menuju masa depan yang bahagia dan gemilang, dan selanjutnya mereka serahkan kepada Allah SWT. 

Kami tegaskan lagi bahwa perhatian orang-tua terhadap anak merupakan kewajiban yang ditekankan kepada mereka. Adapun masa depan dan perjalanan nasib anak selanjutnya, kita serahkan kepada kehendak Allah dan taufik-Nya. 

Dengan kata lain, orang-tua seharusnya memperhatikan tuntutan- tuntutan kewajiban mereka terhadap anak, dan menyebarkan benih yang baik serta memeliharanya hingga mengantarnya sampai matang dan berbuah, tanpa dirundung rasa putus asa menyangkut masa depan anak. 

Seorang anak zina―misalnya―dilahirkan dalam kondisi menghadapi lahan yang mengantarnya menuju kesengsaraan di hadapannya. Tetapi―andaikan ia benar-benar memiliki tekad, kehendak, dan tawakal―ia akan mampu lepas dari lahan kesengsaraan ini, dan bergerak menuju masa depan gemilang yang penuh dengan kebajikan. Itu dapat terjadi bila ia berkumpul di tengah-tengah lingkungan yang bersih, dan bergaul dengan teman-teman yang baik dan para ulama. Bahkan ia pun dapat naik ke tingkat pendekatan Ilahi dan meraih surga. 

Demikian pula hanya anak yang terlahir dalam sebuah keluarga yang terjangkit penyakit kehidupan, yang tidak memperhitungkan sumber pencaharian dan rezekinya dan tidak pula memperhatikan hukum-hukum agama yang lain. Hendaknya orang seperti ini tidak berputus asa untuk mencapai maqam keridaan Ilahi. Sebab, ia memiliki kehendak yang dapat menaikkannya ke kedudukan tertinggi atau menjerumuskannya ke derajat terendah. 

Hakikat ini hendaknya selalu kita perhatikan hingga akhir kajian buku ini.[20] 


Kebahagiaan Adalah Tujuan Seluruh Manusia

Tidak diragukan lagi bahwa seluruh manusia menginginkan kebahagiaan dan mencarinya untuk diri dan anak-anak mereka. Dan menyedihkan mereka, bila anak-anak mereka menjadi korban kesengsaraan dan kesialan. Dalam hal ini, baik pelajar maupun orang yang buta huruf, kafir maupun Muslim, penjahat maupun orang teraniaya, sama saja. Sebab, bila kita diberi kesempatan membaca harapan yang terdapat pada hati mereka dan keinginan yang terbetik pada pikiran mereka, akan kita temukan bahwa mereka semua mencari kebahagiaan untuk diri mereka dan kerabatnya. 

Titik perbedaan pada tujuan yang sama ini adalah pada cara yang ditempuh oleh aliran-aliran pemikiran yang berbeda, berkenaan dengan konsep kebahagiaan dan kesengsaraaan. Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dan apa pula kesengsaraan itu? Siapakah orang yang bahagia dan siapa pula orang yang sengsara? 

Aliran-aliran tersbut berbeda-beda dalam menjawab pertanyaan- pertanyaan ini. Persoalannya amatlah luas dan beragam, di mana kita akan menanti suatu rangkaian yang tiada habis-habisnya dari pandangan pribadi ataupun aliran, yang mengiringi sejarah manusia sejak kelahiran al-Masih hingga sekarang (bahkan sebelumnya pula). Namun di sini kami tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Yang penting bagi kami adalah menetapkan bahwa Islam ialah agama fitrah. Ia datang dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya sesuai dengan fitrah manusia, dengan menjawab kebutuhan dan keinginannya. 



Dua Dimensi yang Membentuk Manusia

Manusia menurut semua pandangan―khususnya Islam―eksistensinya terdiri dari dua dimensi: dimensi malakuti spiritual dan dimensi hewani material. Yang pertama disebut roh, sedangkan yang kedua dinamakan jasad. Dengan demikian, susunan dasarnya manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu roh dan jasad. 

Pada dimensi pertama, manusia sama dengan malaikat. Lantaran itu ia disebut dimensi malakuti. Adapun pada dimensi kedua manusia sama dengan hewan, sehingga dinamakan dimensi hewani. 

Susunan dualisme pada manusia ini meliputi perkara-perkara yang mnakjubkan, Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah dan orang-orang yang mendapat pengetahuan dari Allah Jana wa ‘Ala. 

Jika kita ketahui bahwa menggabungkan antara dua hal yang kontradiktif adalah rnustahil, maka susunan ini tarnpak seolah-olah seperti gabungan antara dua hal yang kontradiktif. Kecenderungan hewani dan jasadi manusia tidak selaras dengan kecenderungan dan tuntutan-tuntutan dimensi malakuti. Demikian pula sebaliknya. 

Dimensi jasad menetapkan bahwa manusia butuh makan dan minum. Hal tersebut sesuai dengan pembawaan hewani manusia. Sedangkan dimensi roh sama sekali bertolak belakang dengannya, sebab ia menuntut manusia untuk menahan diri dari makanan dan keinginan-keinginan jasad yang lain, dan menuntutnya umuk berpuasa. Hal itu selaras dengan pembawaan malakuti-nya yang bersih. 

Bila kita ingin mengukur puasa Ramadan dari sudut kedua dimensi ini, maka kita temukan bahwa ia merupakan kenikmatan menurut kaca mata dimensi roh, namun merupakan rasa sakit dan kepayahan menurut pandangan dimensi jasad. 

Begitu juga dengan ibadah dan tahajud di waktu malam; ia merupakan rasa sakit dan payah bila dikaitkan dengan dimensi jasad, namun merupakan kenikmatan dan kerinduan menurut ukuran dimensi roh. Oleh sebab itu, Allah menggambarkan orang-orang yang bertahajud dengan firrnan-Nya: 

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak tahu apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu [bermacam-macam nikmat] yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.[21] 

Tidak mungkin seseorang dapat merasakan kenikmatan rohani dari salat malam dan merindukan untuk menunaikannya, kecuali orang yang telah mencoba dan membiasakannya. Sebaliknya, tidak ada hal yang lebih menyakitkan bagi jasad dari salat malam ini. 

Antara dua dimensi ini terdapat semacam pergulatan. Jika dimensi roh ditakdirkan dapat mengalahkan dimensi materi dan jasad, dan dijadikan sebagai asas untuk melatih jiwa, maka roh manusia akan naik menuju wilayah yang tinggi yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Bahkan, malaikat pun tidak mampu mencapai kedudukan seperti manusia ini. Kita lihat manusia seperti Rasulullah saw, rohnya mampu mencapai derajat dimana Malaikat Jibril tidak mampu menyertainya, bahkan ia berucap kepadanya,“Bila aku melampauinya, maka diriku akan terbakar.” [22] 

Naiknya manusia menuju wilayah yang tinggi, hanya akan sempurna melalui perantaraan roh yang memiliki kendali atas jasad pada kondisi seperti ini. Dan roh menjadikan jasad semata-mata hanya sebagai perantara dan kendaraan untuk naik dengannya, serta sebagai lintasan untuk melewatinya. 

Adapun jika teejadi sebaliknya, di mana dimensi materi dan jasad mendominasi dimensi roh, maka ia akan menukik ke tempat kehancuran dan sampai pada titik yang disifatkan Allah SWT dalam Al-Qur’an,“Sesungguhnya seburuk-buruk binatang di sisi Allah ialah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak mengerti apa pun (tidak berpikir).” [23] 

Manusia seperti ini, yang terkalahkan oleh jasad dan syahwatnya, akan lebih buruk dari hewan dan penyakit kanker sekalipun. Ia memiliki akal pikiran, tetapi tidak mau menggunakannya. Bahkan, ia biarkan akal pikirannya menjadi tawanan keinginan-keinginannya yang bersifat materi. Semakin lama ia hidup di dunia ini, semakin terperosok ia ke jurang kehancuran. 

Lantaran itu, kita lihat Imam Ali Zainal Abidin berdoa kepada Allah yang bunyinya,“Apabila umurku menjadi persemaian kejahatan bagi setan, maka segeralah Kau ambil nyawaku.” [24] 

Lantaran kehancuran manusia terjadi secara menakutkan, maka kematian akan lebih baik baginya. Sebaliknya, umur seseorang merupakan kesempatan untuk menambah kesempurnaan dan ketinggiannya memuu derajat keridaan Ilahi, hingga sampai pada suatu tingkat yang melampaui tujuan meraih surga saja. Bahkan, sampai pada suatu derajat di mana setelah matinya ia diseru dengan seruan sebagaimana yang disebutkan Allah SWT dalam firman-Nya,“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-Mu.” [25] 


Perhatian Terhadap Dua Dimensi Manusia

Kalau kita ingin mendekatkan pemahaman manusia kepada dua dimensi, yaitu roh dan jasad yang membentuk manusia, dan pentingnya menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan keduanya, maka kita dapat mendekatkannya dengan dua contoh berikut: 

Seorang pengendara mobil harus memperhatikan prinsip-prinsip keamanan pada mobilnya, dan tidak melalaikan keperluan-keperluannya terhadap oli dan bensin serta servis. Selain itu ia harus selalu sadar dan waspada. Bila tidak, andaikan sejenak saja ia lalai alau tertidur, maka ia beserta mobilnya akan mengalami nasib yang sama-sama kita ketahui. 

Demikan pula halnya, andaikan kita mengabaikan prinsip-prinsip keamanan dan pemeliharaan pada mobil, maka ia beserta mobilnya juga akan menjadi korban pengabaian ini. 

Bila demikian, tidak adanya penyeimbangan oleh pengendara mobil antara perhatian terhadap prinsip-prinsip keamanan dan pemeliharaan, dengan kesadaran dan kewaspadaannya dalam posisi menyetir, akan membawanya kepada akhir yang gelap. 

Keseimbangan seperti ini tampak jelas pada penjinakan seekor gajah. Tidak asing lagi, gajah dijinakkan oleh pawangnya dengan cara dipukul kepalanya dengan pemukul khusus setelah dinaiki punggungnya. 

Perlu diketahui, andaikan pawang gajah ini lalai sedikit saja terhadap pengoperasian cara-cara yang telah diatur pada kepala gajah, maka nasibnya dan nasib gajah akan berakhir kepada bencana. Bahkan, ia harus tetap waspada hingga berakhirnya pengoperasian penjinakan ini. 

Tingkat kesadaran dan kewaspadaan yang sama―bahkan lebih―dituntut pula pada perhatian manusia terhadap dua di-mensi, yaitu roh dan materi serta penyeimbangan antara tuntutan- tuntutan keduanya. 

Manusia yang mencari kebahagiaan, harus mengawasi kebutuhan- kebutuhan dimensi materi dan jasad pada eksistensinya. Sebab, Islam tidak percaya terhadap pembunuhan naluri-naluri, dan melarang mematikan keinginan-keinginan dan kecenderungan manusia, seperti perbuatan-perbuatan bengis yang menyiksa jasad yang dipraktikkan oleh para petapa. 

Cara-cara ganjil seperti ini dilarang oleh syara’, dan manusia harus memenuhi seruan naluri-nalurinya dan kebutuhan alamiahnya dalam batas-batas yang diperbolehkan ajaran agama.[26] 

Pada saat yang sama ia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasadnya. Seorang pemuda yang menemukan pada dirinya kecendeningan dan kesiapan untuk menikah, maka orang-tuanya harus segera menikahkannya. Apabila orang-tua meninggalkan tanggung jawab ini, maka kewajiban ini berubah menjadi tugas sosial yang terletak di pundak masyarakat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: 

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian (belum kawin) di antara kalian dan orang-orang yang layak menikah dari hamba sahaya lelaki dan perempuan kalian. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui. [27] 

Bila demikian, terdapat tugas sosial di hadapan para pemuda dan pemudi menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka terhadap perkawinan, andaikan orang-tua tidak mampu atau meninggalkan tanggung jawabnya. 

Manusia yang mengharamkan dirinya untuk menikah, sebenarnya mereka memerangi seruan fitrah dan naluri yang ada padanya. Hal demikian diharamkan menurut pandangan Islam.[28] 

Demikian pula halnya dengan mereka yang bersandar pada metode melaparkan diri secara terus menerus. Islam tidak mengharamkan kenikmatan, tetapi yang diharamkan adalah berlebih-lebihan terhadapnya. Allah SWT berfirman,“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap [memasuki] masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesunguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [29] 

Manusia dituntut oleh masyarakat harus menampakkan penampilan yang layak dan pakaian yang pantas.. Begitu pula terhadap kebutuhan-kebutuhari jasad berupa makan dan minum, Islam tidak membatasinya dari sudut ini kecuali batasan israf dan berlebihan.[30] 

Pada lingkup ini kita bertemu dengan sebuah contoh dari nabi yang indah dalam mendorong Muslimin menuju penyeimbangan antara tuntutan-tuntutan dua dimensi ini. Kita baca dalam sejarah Nabi, bahwa istri Utsman bin Mazh’un―seorang sahabat besar―datang kepada Rasulullah saw, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, Utsman berpuasa pada siang hari dan salat pada malam hari.” Maka Rasulullah keluar dalam keadaan marah membawa kedua sandalnya hingga datang menuju Utsman. Rasulullah mendapatinya sedang melaksanakan salat. Ketika Utsman melihat Rasulullah saw segera ia mendatanginya. Rasulullah berkata kepadanya, “Hai Utsman, Allah tidak mengutusku sebagai pendeta, tetapi mengutusku dengan kelurusan dan toleransi. Aku berpuasa, melaksanakan salat, dan menyentuh istriku. Siapa yang menyukai fitrahku, maka berlakulah dengan sunahku, dan di antara sunahku adalah pernikahan.”[31] 

Demikianlah, manusia diperintahkan untuk menyeimbangkan antara dua dimensi itu. Sebab, manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasadnya, sama seperti ia memuaskan rohani dengan hal-hal yang menopang eksistensinya seperti salat, puasa, ibadah, infak, dan mengembangkan jiwa pemurah dan saling menolong yang ia perlihatkan terhadap yang lain. 

Singkatnya, hendaknya kita memperhatikan kebutuhan rohani dan jasad secara seimbang, supaya rohani kita dapat menanjak ke wilayah yang tinggi. Manusia seperti ini adalah manusia bahagia menurut pandangan Islam. 

Adapun pandangan sebagian orang yang dikenal dengan konsep prinsip kenikmatan[32] dengan menganggapnya sebagai suatu asas kehidupan manusia dan gerakari masyarakat, merupakan hal yang tidak diakui dan tidak diridai Islam. 

Dunia sekarang ini yang mendengungkan kebahagian manusia berdasarkan prinsip kenikmatan, berupa tidur, makan, minum, dan seks, memisahkan susunan dualisme manusia, dan berlebihan dalam hal kenikmatan dan kelezatan hingga melampaui batas-batas alamiah. Metode seperti ini mengubah kehidupan manusia menjadi suatu siksaan yang abadi serta rasa sakit dan kesia-siaan yang berkelanjutan. Dan hal itu merupakan kerugian di dunia dan akhirat. 

Negara-negara Barat―khususnya Amerika saat ini―jatuh ke jurang kerusakan dan kesia-siaan, dan tenggelam dalam lumpur syahwat. Nilai-nilai kemanusiaannya merosot. Di sana manusia menjerit tanpa ada yang menjawab.[33] Semua itu lantaran falsafah mereka bersandar kepada konsep prinsip kenikmatan pada satu dimensi. 

Kenyataan pahit yang sama, kita saksikan pada orang yang memandang kebahagiaan terbatas pada harta dan kekayaan atau umumnya dimensi ekonomi. Pengikut pandangan ini memandang bahwa kebahagiaan manusia dan masyarakat terletak pada kekuatan harta dan kesejahteraan ekonomi saja.[34] Pandangan ini menurut sudut pandang Islam adalah keliru. Islam tidak menolak kesejahteraan harta dan ekonomi, bahkan memandangnya sebagai salah satu faktor kebahagiaan secara umum dalam kehidupan manusia dan masyarakat, melalui tugas yang dilaksanakanya.[35] 

Adapun mereka yang berpendapat dengan ashalah an-nafs (lawan dari prinsip kenikmatan) dan memandang kebahagiaan manusia adalah berasal dari diri (jiwa), juga salah. Sebab, roh tanpa jasad tidak ada artinya bagi kehidupan manusia. Nasib mereka akan berakhir sama dengan nasib contoh yang ganjil dari yang kita dengar atau kita lihat pada para petapa dan orang yang mengekang jasadnya secara berlebihan, yaitu orang yang menyan darkan kehidupan mereka pada penyiksaan jasad dengan dalih menaikkan kondisi roh dan kejiwaan. 

Islam menekankan seruannya pada dualisme pembentukan manusia dari dua dimensi, dan menyatakan kepada kita dengan firman Allah yang berbunyi,“Dan marilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [kebahagiaan} negeri ahhirat, dan janganlah kamu melupahan bahagianmu dari [kenikmatan] duniawi.” [36] 

Manusia yang berjalan dengan kenikmatan-kenikmatan materi, sebenarnya dikaruniakan Allah SWT perantara menuju akhirat. Lantaran itu Imam Hasan, cucu Rasulullah saw menggambarkan kondisi keseimbangan ini dengan perkataannya,“Jadilah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan jadilah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok.” [37] 

Sesungguhnya jalan menuju keberhasilan dan kemenangan terletak pada gabungan antara tuntutan-tuntutan roh dan jasad, dan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi. Namun tujuannya tetap satu, yaitu keridaan Ilahi. 

Sekarang kita kembali kepada hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan kita, untuk melihat bahwa manusia Muslim―sebelum terbentuknya nutfah―terpanggil untuk bertanggungjawab dalam memikirkan anaknya dari sudut kedua dimensi, dan merencanakan masa depan dan nasibnya di atas sinar kehidupan dunia dan akhirat. 


Hasil Pendidikan Bagi Keseimbangan

Dua Dimensi Pendidikan tidak terbatas pada pelaksanaan salat dan komitmen terhadap hukum-hukum agama saja. Pendidikan juga tidak terbatas pada ambisi meraih tingkat pendidikan dan penghargaan- penghargaan tertinggi bagi anak atau penyediaan masa depan ekonomi dan materinya. Tetapi pendidikan adalah gabungan antara kedua cara tadi tanpa melebihkan satu dari lainnya, sehingga ayah atau ibu tidak menjadi perwujudan dari orang-orang yang merugi dunia dan akhiratnya. 

Islam yang menyeru manusia untuk benar-benar meneliti sumber makanan dan minumannya agar tidak bercampur barang syubhat atau haram, menyerunya pula untuk memakan makanan yang bergizi dan bermanfaat sebelum melakukan hubungan intim dan sebelum terbentuknya sperma. Sebab makanan ini mempunyai manfaat dalam membentuk tubuh yang sehat bagi janin di perut ibunya, yang akan mengantarnya menjadi seorang anak yang sehat pula.[38] 

Islam menyerukan kepada ibu hamil untuk menghindari makanan-makanan yang diharamkan―pada saat hamil―yang pengaruhnya akan berpindah secara langsung terhadap janin. Ia juga menyeru meninggalkan gunjingan (ghibah) dan memelihara nilai-nilai kehormatan dan hukum-hukumnya, agar tersedia lahan yang bersih dan baik bagi anak yang sehat, di mana sisi kesehatan rohaninya berkumpul seimbang dengan sisi kesehatan jasmani. Pada saat yang sama Islam menyerukan pula memberikan perhatian tersendiri terhadap makannya dan mengatur makanannya sesuai program khusus yang bertujuan mewujudkan kesehatan jasmani anak. Hadis-hadis menyebutkan, betapa apel, aprikot, dan berbagai jenis makanan lainnya berpengaruh terhadap masa depan jasmani anak.[39] 

Kemudian anjuran-anjuran Islam berlanjut pada dua garis yang sejajar, yaitu dalam memperhatikan syarat-syarat kesehatan rohani dan jasmani anak setelah kelahirannya. Pada saat Islam menekankan pentingnya memberi makanan anak dari air susu ibunya, sebagai suatu syarat kesehatan jasmani dan kejiwaannya, ia menganjurkan pula tala cara khusus dalam memberikannya, seperti berwudu terlebih dahulu sebelum menyusuinya dengan air susu-nya. Jelas, tatacara ini―mengambil wudu dan sebagainya―masuk dalam syarat pembentukan mental anak dan menyediakan lahan yang sesuai bagi masa depan kebahagiaannya. 

Dari sisi lain, Islam menekankan kepada seorang ayah pentingnya memperhatikan syarat-syarat halal dalam mendapatkan mata pencaharian dan sumber rezekinya, supaya ia dapat memberi makan anaknya dari barang yang benar-benar halal. Karena, hal itu berpengaruh terhadap kesehatan jiwa dan spiritual anak. 

Jiwa perhatian ini harus selalu hadir pada berbagai tingkat kehidupan anak yang berbeda dan tidak hilang pada dua garis yang telah disebutkan, yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dimensi roh dan jasad pada eksistensi dan kehidupannya. Di samping sisi penekanan terhadap perharian akan makanan dan pakaiannya, Islam menekankan kepada orang-tua memperhatikan syarat-syarat spiritual pada pembinaan khusus di dalam keluarga (seperti mengajarkan salat dan syahadat) dan pembinaan umum dalam masyarakat dengan memberlakukan tanggung jawab pengawasan pergaulan anak-anak mereka dan jenis teman di sekeliling mereka. Islam juga menekankan orang-tua untuk menyelidiki kebiasaan- kebiasaan dan perilaku anak mereka serta memperhatikan ke- mungkinan adanya hal-hal yang negatif dan buruk, supaya terobati sedini mungkin dan tidak terbawa pada jenjang kehidupannya yang lain menjelang balig dan kedewasaannya. 

Kondisi ini berlanjut pada usia muda, hingga jika anak beranjak ke jenjang balig dan taklif, kewajiban dan tugas orang-tua terhadapnya berlipat ganda. 

Setelah periode ini, tanggung jawab orang-tua berubah ke arah persiapan sebuah keluarga yang layak untuk anak mereka, jika ia menampakkan keinginannya untuk menikah. Dalam hal ini, orang-tua tidak perlu mempedulikan tradisi-tradisi yang memberatkan berapa persoalan-persoalan materi yang melampaui batas sampai pada persyaratan-persyaratan yang tidak masuk akal. 

Dalam soal perkawinan, Islam datang untuk menghanguskan dan menghancurkan mata rantai tradisi masyarakat yang telah usang, dan membangun pemahaman baru 

Kita baca dalam sejarah Nabi, bahwa Jibril turun kepada Nabi saw dan berkata, “Wahai Muhammad, Tuhanmu menyampaikan salam untukmu, dan berfirman, ‘Perawan-perawan wanita bagaikan buah-buah pada pohon. Jika matang, tidak ada obat baginya melainkan memetiknya. Bila tidak, maka akan rusak oleh mata-hari dan tiupan angin. Dan jika para perawan telah mencapai apa yang telah dicapai oleh wanita dewasa, maka tidak ada obat bagi mereka kecuali menikah. Bila tidak, mereka tidak aman dari fitnah.’” 

Maka Rasulullah menaiki mimbar dan berkhotbah di hadapan khalayak, lalu memberitahukan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. Mereka pun bertanya,“Kepada siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Orang-orang yang sepadan (sekufu).” Mereka kembali bertanya, “Siapakah orang-orang yang sepadan?” Rasulullah menjawab, “Orang-orang mukmin sepadan satu sama lain.” [40] Sebagian perawi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mengulang menyebutnya tiga kali.[41] 

Pada kesempatan yang lain Rasulullah saw bersabda,“Jika datang kepada Anda orang yang Anda sukai tingkah laku dan agamanya, maka nikahkanlah. Bila Anda tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” [42] 

Kebiasaan yang tersebar saat ini berupa pemaksaan diri dalam persiapan materi perkawinan, tingginya mahar (mas kawin), tradisi- tradisi masyarakat yang keliru dalam pernikahan, dan berbangga- banggaan dengan perlengkapan rumah tangga, serta persaingan dengan yang lain, semua itu adalah penghambat-penghambat yang mentradisi, yang tidak diridai oleh ajaran Islam yang agung. 

Pemuda yang hidup pada masyarakat dengan tradisi dan kebiasaan demikian, sewaktu berpikir tentang perlengkapan pernikahan saja, sudah menjadi bimbang dan mencegah dirinya untuk menikah. Bagaimana ia memikirkan perkara lainnya yang berhubungan dengan mahar dan rumah serta perlengkapannya sebagaimana pertimbangan-pertimbangan masyarakat kita yang salah? 

Pembicaraan ini sama sekali tidak berarti mengabaikan perlengkapan-perlengkapan materi bagi kehidupan suami istri.[43] Tetapi maksudnya adalah pentingnya memperhatikan kewajaran (kesederhanaan) dan keterikatan terhadap syarat-syarat agama dan dunia secara bersamaan dalam memilih suami maupun istri. 

Apabila seseorang berambisi untuk mengawinkan putrinya dengan orang yang berkedudukan, tanpa diiringi dengan agama dan akhlak, maka ia telah berbuat jahat terhadap putrinya dan menghancurkan kehidupannya. Demikian pula, apabila putrinya dinikahkan dengan orang yang tidak memiliki sifat kecintaan dan kasih sayang, dan ia diberikan kepadanya semata-mata lantaran status kekayaan dan sosialnya, maka nasib buruk dan kehidupan penderitaan dan kesengsaraan akan menantinya. 

Demikian pula halnya dengan orang yang mengawini seorang wanita lantaran hartanya, atau kecantikannya atau status sosial dan ekonominya melalui posisi ayahnya dan kedudukan keluarganya. Ia tidak akan senang dalam sebuah keluarga yang damai bersamanya, dan tidak mendapatkan sesuatu kecuali gangguan dan kesulitan.[44] 

Oleh karena itu, kedua pihak hendaknya tidak salah memilih. Dan orang-tua wajib memikul tanggung jawab membantu mereka memilih secara benar. Selain itu, orang-tua dianggap memutuskan kekerabatan melalui tangannya sendiri, jika menganggap remeh syarat-syarat pemilihan yang benar bagi putra atau putrinya.[45] 


Kesimpulan

Sekarang kita sampai pada akhir bab ini, untuk merangkum kesimpulannya, yaitu Islam adalah agama fitrah. Dan fitrah yang manusia tercipta atasnya menyeru kita memperhatikan dua dimensi yang membentuknya, yaitu dimensi roh dan dimensi jasad. 

Dari sudut pendidikan Islam yang teliti, kita harus selalu mengawasi perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan kedua dimensi ini pada kepribadian anak-anak kita, tanpa ifrath dan tafrith (melebihkan dan mengurangi) perhatian kepada dimensi roh atau jasad saja. Juga tanpa ifrath dan tafrith terhadap dunia dan akhirat. 



Daftar Isi : 

Bab I: Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Mendasar Orang-tua 33
Mukadimah tentang Batas-Batas Pendidikan 33
Kebahagiaan Adalah Tujuan Seluruh Manusia 38
Dua Dimensi yang Membentuk Manusia 39
Perhatian Terhadap Dua Dimensi Manusia 43
Hasil Pendidikan Bagi Keseimbangan 51
Kesimpulan 57




Catatan:



[1] Tafsir Ruh al-Bayan; I. Hal. 104; Kanz al-Ummal. Hal. 490. 

[2] Ia adalah Syekh al-Faqih Muhammad bin Murtadha yang dikenal dengan al-Faidhul Kasyani, salah seorang ilmuwan terkemuka pada abad kesebelas Hijriah. Di samping kefakihannya. ia mengarang kajian-kajian dalam filsafat. dan menyusun bait-bait syair. Al-Faidhul Kasyani lahir pada tahun 1007 H di kota suci Qom, Iran. Kemudian ia berpindah ke Kasyan, lalu ke Syiraz dan di sana ia berguru pada Sayyid Majid al-Bahrani dan filosof Shadruddin asy-Syirazi yang dikenal dengan sebutan Shadrul Mutaanihin. Al-Faidhul Kasyani menikahi puleri filosof ini, kemudianmeninggalkan Syiraz menuju Kasyan, dan menulis banyak kitab dalam berbagai keilmuan: tafsir, hadis, dan akhlak, yang mendekali dua ratus judul kitab. Ia wafat tahun 1091 H pada usia 84 tahun dan dimakamkan di Kasyan. Hingga kini makamnya dikenal dan diziarahi. 

[3] QS. Ali Imran: 6. 

[4] Tafsir as-Shafi, oleh al-Faidhul Kasyani, I, hal. 293. 

[5] QS. at-Tahrim: 6. 

[6] QS. az-Zumar: 15. 

[7] Dalam wasiat Imam Ali bin Abi Thalib as kepada anaknya disebutkan, “Wahai anakku, teman dahulu baru kemudian jalan.” 

[8] Jami’ul Akhbar, hal. 124. 

[9] Ensiklopedia Bihar al-Anwar, oleh al-Alamah al-Majlisi, LXXVII, hal. 58. 

[10] Sebenarnya kita berada di hadapan neraca yang benar, sebab pada saat pendidikan yang benar membuahkan hasil yang benar, maka pendidikan yang salah, yang tidak mempedulikan anak, memastikan orang-tua mendapatkan akibat-akibat kedurhakaan anak. 

[11] QS. az-Zumar: 15. 

[12] Dalam firman Allah SWT kita baca, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra’: 23). Pada ayat ini Allah SWT rnensejajarkan antara syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang- tua. Ia juga berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik. kepada kedua ibu-bapak; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.” (QS. Luqman: 14) 

[13] Untuk merenungkan tanggung jawab penting orang-tua tehadap anak- anak mereka, kita baca sebuah riwayat, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak anakku ini?” Rasulullah menjawab, “Anda beri nama dan mendidik saran santun yang baik padanya, dan Anda letakkan dia pada posisi yang baik.” Tidaklah sulit bagi orang-tua hanya mengantarkan anak mereka menuju tingkatan saran santun saja, tetapi yang sulit adalah meletakkannya pada posisi yang baik dalam segala sikap dan tujuan hidupnya. 

[14] Qurbul Isnad, hal. 31. 

[15] (326-385 H). 

[16] IfiShahib bin Ubbad adalah Abul Qasim Ismail bin Abul Hasan bin Ubbad bin al-Abbas. lahir di sebuah daerdh Persia di Ustukhar atau Taligan. pada tanggal16 Dzulqaidah 326 H. Ia mempelajari ilmu dan adab dari ayahnya. dan terkenal sebagai pengelola urusan-urusan keilmuan, adab, dan periwayatan hadis. Ia pemah berkata, “Siapa yang tidak menulis hadis, maka ia belum menemukan manisnya Islam.” 

Ia terkenal dengan kedermawanan dan kemurahan hatinya, hingga diriwayatkan, bahwa setiap tahun ia mengirim ke Baghdad 5000 dinar yang dibagikan kepada para fukaha dan sastrawan. Seorang pun tidak masuk ke dalam rumahnya pada bulan Ramadan, lalu keluar dari rumahnya melainkan setelah berbuka puasa, dan pada setiap malamnya seribu orang berbuka puasa di tempat tinggalnya. 

Sejarah menyebutkan tentang sikapnya mengenai “rumah tobat”, di mana suatu hari ia keluar dengan pakaian ulama, sementara ia berada di departe men dan berkata, “Kalian telah mengetahui aktivitas saya dalam keilmuan, sementara saya terlibat dalam perkara ini, dan segala yang telah saya infakkan sejak masa kecil saya hingga saat ini berasal dari harta ayah dan kakek saya. Dengan demikian, hal itu tidak lepas dari dosa-dosa. Saya bersaksi kepada Allah dan kepada kalian, bahwa saya bertobat kepada Allah dari segala dosa yang telah saya perbuat.” Dan ia membangun sebuah rumah untuk dirinya, yang ia beri nama “rumah tobat”. 

Ia wafat pada tahun 385 H di kota Ray dan dimakamkan di Isfahan, Iran. Tentang biografinya silakan merujuk dua ensiklopedia al-A’lam oleh az-Zarkuli, dan al-Ghadir oleh al-Amini―penerjemah. 

[17] Pertama kali yang kita perhatikan mengenai kehidupan Ja’far adalah sikap ayahnya, Imam Ali al-Hadi terhadapnya pada awal hari kelahiran, bahkan pada saat kelahirannya, di mana keluarganya berbahagia dengan kelahirannya, kecuali ayahnya. Maka seorang wanita bertanya mengenai hal itu. Imam berkata, “Mudahkanlah dirimu (jangan terlalu gembira), sebab akan banyak orang yang menyimpang karenanya Ja’far).” (Di sini kila teringat kembali kepada hadis, “Orang yang berbahagia adalah orang yang berbahagia di perut ibunya, dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara di perut ibunya,” dan Imam melihat dengan pandangan bashirah nur ke-maksum-annya, sehingga ia dapat menyingkap masa depan bayi ini dan memberitakannya). 

Pada kisahnya terdapat sebuah nasihat, di mana sejarah menyebutkan kepada kita, bahwa sewaktu Ja’far tumbuh dewasa, ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan pengarahan ayahnya, Imam Ali al-Hadi. Ia mengambil jalan kesia-siaan, kelakar, dan minum khamar, serta terpengaruh oleh lingkungan yang menyimpang, yang tersebar pada masanya. Kita saksikan ayahnya, Imam Ali al-Hadi memerintahkan para sahabatnya untuk menjauhinya dan tidak bergaul dengannya, sambil memperingatkan mereka bahwa ia telah keluar dari perintah-perintah dan larangan-larangannya. Alangkah indah perkataan beliau kepada mereka, “Jauhilah anakku Ja’far. Sesungguhnya kedudukan ia di sisiku sebagaimana Namrud di sisi Nuh, yang Allah SWT berfirman tentangnya, Nuh berkaya, bahwa anakku adalah dari keluargaku, Allah SWT berfirman, “Wahai Nuh, dia bukanlah dari keluargamu, dia adalah amal yang tidak saleh.” 

Logika Al-Quran berlaku, bahwa apabila anak mengikuti langkah ayahnya dalam mengikuti kebenaran, maka ia adalah anaknya yang sebenarnya; dan bila tidak mengikuti langkahnya, maka ia bukan termasuk keluarganya, meski ia dilahirkan darinya, karena ia adalah amal yang tidak saleh. 

Walaupun Imam Ali al-Hadi dan saudaranya, Imam Hasan al-Asykari mencurahkan upayanya untuk memperingan tekanan penyimpangannya. namun ia mengklaim dirinya sebagai imam setelah wafat saudaranya, Hasan al-Asykari dan ia mencoba untuk menyalatinya, serta mendekati Khalifah al-Abbasi untuk merusak garis ke-imamah-an Ahlulbait. 

Akhirnya perlu kami tunjukkan tentang pertobatan Ja’far dan kembalinya dirinya menuju kebenaran. Imam Mahdi menegaskan pertobatan ini dalam istifta yang ditulis kepadanya, meskipun tobat ini tidak bertentangan dengan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini. 

Kita dapat saksikan kisah yang lengkap pada kitab Tarikh al-Ghaibah ash-Shughra oleh Sayyid Muhammad Shadr, hal. 299 dan seterusnya―penerjemah. 

[18] QS. al-Ashr: 1-3. 

[19] Untuk menjelaskan perbedaan antara inah tammah dan muqtadha, kami sehutkan bahwa inah (sebab) tidak menjadi tammah (lengkap) kecuali dengan adanya tiga faktor: sebab atau syarat, muqtadha, dan tidak adanya penghalang. Untuk menjelaskan istilah-istilah ini kami berikan sebuah contoh: Jika kita mempunyai sebuah kertas, maka kertas itu tidak akan terbakar melainkan dengan adanya tiga faktor tadi: syarat atau sebabnya, yaitu harus dekat dengan api; muqtadha, yaitu harus memiliki potelisi untuk terbakar; dan tidak adanya penghalang, yaitu tidak boleh basah misalnya atau terbungkus oleh isolator. Dalam keadaan berkumpulnya tiga faktor tersebut, kertas akan terbakar. 

Pendidikan menurut penjelasan ini tidak merupakan inah tammah bagi kebahagiaan dan kesengsaraan anak, tetapi ia merupakan muqtadha, yaitu faktor-faktornya bagi anak memuat potensi untuk berjalan menuju masa depan yang bahagia atau sengsara. Dan kedudukannya sebagai muqtadha mungkin dapat mendominasi faktor-faktornya dan menghilangkan pengaruhnya. 

[20] Perlu kami ingatkan kepada para pembaca bahwa pemikiran-pemikiran pengarang pada bab ini masih berupa pemikiran pendahuluan secara umum, dan penyelesaiannya secara rinci akan terdapat pada pembahasan-pembahasan selanjutnya. 

[21] QS. as-Sajadah: 15-16. 

[22] Bihar al-Anwar, XVIII, hal. 346. 

[23] QS. al-Anfal: 22. 

[24] As-Sahifah as-Sajjadiyah, doa dalam Makarim al-Akhlak. 

[25] QS. al-Fajr: 28. 

[26] Pemikir Islam Syahid Sayyid Muhammad Bagir Shadr menegaskan bahwa Islam tidak menafikan pengaruh naluri-naluri dan kecenderungan fitrah dari manusia, yang di antaranya adalah naluri “cinta diri” yang dianggap hal yang alami pada manusia, Tetapi naluri itu disandarkan pada agama (untuk disesuaikan antara dorongan din dengan norma-norma atau kepentingan-kepentingan sosial, melalui perhatian terhadap pendidikan akhlak secara spesifik, yaitu dengan memuaskan manusia secara spiritual dan menumbuhkan perasaan-perasaan kemanusiaan dan etika pada dirinya). Manusia Modern dan Problema Sosial, hal. 93―pen. 

[27] QS. an-Nur: 32 

[28] Seperti persoalan tematis bagi para pendeta agama Nasrani yang menjauhi panggilan fitrah untuk menikah. Surat kabar-surat kabar Barat sering berbicara tentang perilaku-perilaku nista mereka menyangkut seks dan keganjilannya. Pada tanggal 6-4-1987 majalah Amerika, News Week menampilkan rubrik khusus dengan topik “Imperium Pendeta”, yang di dalamnya mengungkap berita mengenai kebejatan-kebejatan ini secara rinci, khususnya skandal pendeta Backer dengan sekretaris gereja―pen. 

[29] QS. al-A’raf: 31. 

[30] Imam Ja’far bin Muhammad As-Shadiq as berkata, “Tiga-orang wanita mendatangi Rasulullah saw dan salah seorang mereka berkata, ‘Suamiku tidak makan daging,’ yang kedua berkata, ‘Suamiku tidak mencium wewangian,’ dan lainnya berkata, ‘Suamiku tidak mendekati istrinya.’ Maka Rasulullah saw keluar dengan menarik jubahnya, hingga menaiki mimbar, kemudian beliau bertahmid dan memuji Allah, lalu bersabda, ‘Gerangan apa segolongan dari sahabat-sahabatku, tidak memakan daging dan tidak mencium wewangian serta tidak mendekati istri! Padahal saya memakan daging, mencium wewangian, dan mendatangi istri. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk dari (golongan)ku.’” Al-Wasail, XIV, hal. 74. 

Hadis itu datang mengenai ketidaksukaan para pendeta dan kaum “pertapa” terhadap wewangian dan wanita―pen. 

[31] Wasail asy-Syiah, XIV, hal. 74 

[32] Konsep prinsip kenikmatan adalah lawan dari konsep kebencian terhadap rasa sakit, dan keduanya merupakan cabang dari naluri primer yang terkenal dengan sebutan cinta diri (hubbu ad-dzat), yang memantul pada upaya manusia untuk menarik kenikmatan bagi dirinya dan menjauhi rasa sakit dan kepedihan darinya pada segala tingkat kehidupannya. Dua mazhab pemikiran di dunia ini telah keliru dalam merespon konsep prinsip kenikmatan dan kebencian terhadap rasa sakit pada manusia. Sementara Kapitalisme berupaya meletakkan dasar-dasarnya, Komunisme menolak pengakuan atasnya. Sedangkan Islam mengakui konsep ini, namun menanganinya dengan pendidikan moral secara khusus, yaitu dengan memberikan kepuasan spiritual, sehingga lantaran itu muncul serangkaian perasaan yang suci, yang menghasilkan hubungan antara persoalan etika dengan persoalan individu darinya. 

[33] Di Barat muncul suara-suara kritikan terhadap peradaban satu dimensi yang telah menelan korban manusia. 

[34] Dalam kaitannya dengan Barat yang mendengungkan contoh kebahagiaan manusia atas dasar peningkatan pendapatan dan perkembangan teknologi, para pemikirnya mulai mengkritik hasil-hasil peradaban arah pemikiran ini melalui knsis-krisis manusianya, dan yang menimpa masyarakat Barat berupa ledakan-ledakan penyakit yang menimpa zaman modern ini. Menurut Yoseph Kammel Laurie dalam bukunya Krisis Peradaban, serta yang disaksikan di dalamnya. peradaban satu dimensi yang tercermin pada dimensi teknologi ekonomi, adalah yang bertanggung jawab terhadap krisis tersebut. Lantaran itu, ia melihat penyelesaian pada peradaban dunia baru, terletak pada persepsi lerhadap manusia sebagai satu bangunan yang terdiri atas materi dan roh, sebagaimana ucapannya, “Manusia berilmu yang tumbuh dari materi dan roh dengan fenomena eksternalnya, yaitu fenomena keteraturan dan pertentangan. akan mengerti bahwa ia adalah satu eksistensi yang saling berkaitan. Dan ia memahami setiap manusia sebagai unsur-unsur moralitas bebas, yang membentuk dasarnya dan didukung oleh kesamaan kemanusiaan.” Krisis Peradaban, hal. 280―pen. 

[35] Di hadapan kita terdapat banyak nas yang menunjukkan perhatian Islam terhadap peranan haria benda dan kekayaan pada kehidupan manusia Muslim, sebagai suatu jalan menuju akhirat, bukan sebagai tujuan secara esensial. 

Dan Rasulullah saw, “Sebaik-baik penolongan menuju ketakwaan kepada Allah adalah kekayaan.” 

Dari Imam Shadiq as, “Sebaik-baik pertolongan menuju akhirat adalah dunia.” 

Dan Imam Baqir as, “Sebaik-baik penolongan untuk meraih akhirat adalah dunia.” 

Dan Imam Shadiq as, “Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak suka mengumpulkan harta dan yang halal, yang dengannya ia menjaga kehormatan dirinya, dan melunasi hutangnya serta menjalin hubungan kekerabatan dengannya.” Nas-nas itu jelas menerangkan peran faktor ekonomi dalam kehidupan manusia Muslim, melalui sesuatu yang mengantarkannya kepada tugas ukhrawinya. Ekonomi kita (Iqtishaduna), hal. 670―pen. 

[36] QS. al-Qashas: 77. 

[37] Seperti itu pula, sebuah hadis Rasulullah saw yang berbunyi, “Tidak termasuk dan kami orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya, dan meninggalkan akhiratnya untuk dunianya.” Iqtishaduna, 670―pen. 

[38] Terdapat banyak hadis mengenai pengaruh makanan-makanan terhadap janin, seperti hadis mengenai manfaat buah pier. Di antaranya diriwayatkan bahwa Rasulullah saw membelah buah pier dan memberikannya kepada Ja’far bin Abi Thalib, lalu berkata, “Makanlah, karena ia dapat menjernihkan warna kulit dan menjadikan ketampanan pada anak.” Pada suatu peristiwa yang menarik dikatakan bahwa Imam Shadiq melihat seorang budak yang tampan, lalu ia berkata, “Ayah anak ini pasti memakan buah pier” dan ia berkata, “Buah pier memperindah wajah dan menghibur hati.” Al-Wasail, mengenai makanan dan minuman, XVII, hal. 131―pen. 

[39] Hadis-hadis dan riwayat-riwayat sepakat dengan kesimpulan akhir ilmu kesehatan modern tentang pengaruh dan manfaat sebagian buah dan makanan terhadap janin pada saat berada di perut ibunya. Lantaran itu, kami memandangnya sebagai anjuran terhadap ibu untuk memakannya. Misalnya merujuk kepada ensklopedia al-Wasail, XVI dan XVII mengenai makanan dan minuman―pen. 

[40] Ensklopedia Bihar al-Anwar, CIII, hal. 371. 

[41] Safinat al-Bihar, II, hal. 610. 

[42] Bihar al-Anwar, CIII, hal. 373. 

[43] Terdapat hadis mengenai pengertian suami yang kufu dari Imam Shadiq as, “Kufu (sepadan) adalah yang menjaga dirinya (afif) dan memiliki kekayaan.” Yaitu kemampuan harta―pen. 

[44] Terdapat banyak hadis yang melarang hal demikian. Di antaranya hadis yang terdapat dalam kitab al-Wasail, “Siapa yang mengawini seorang wanita karena kecantikannya, maka Allah menjadikan kecantikannya sebagai bencana atas dirinya (lelaki).” Demikian pula hadis yang dalang dari Jabir al-Anshari, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mengawini seorang wanita karena hartanya, niscaya Allah tundukkan dia kepadanya, dan siapa yang mengawininya karena kecantikannya, niscaya ia akan melihat hal-hal yang ia tidak sukai padanya. dan siapa yang mengawininya karena agamanya, maka Allah akan mengumpulkan semua itu baginya.” Al-Wasail, XIV. Hal. 3l-32―pen. 

[45] Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mengawinkan saudara perempuannya dengan lelaki yang fasiq, maka ia telah memutuskan hubungan kekerabatannya.” Makarim al-Akhlak, oleh Thabarsi, hal. 204―pen. 



Bab II: Hukum Keturunan 

Peran Keturunan Menurut Pandangan Pendahuluan

Secara ilmiah telah jelas, betapa hukum keturunan berpengaruh dalam memindahkan sifat-sifat ayah dan ibu kepada anak melalui gen-gen[19] turunan. Manusia―utamanya mereka yang memiliki keahlian khusus dalam men genal petunjuk-petunjuk wajah dan bentuk tubuh secara umum―dapat membedakan petunjuk-petunjuk keserupaan anak dan tingkat keserupaannya dehgan kedua orang-tuanya. 

Bahkan dalam bidang ini, pengetahuan lebih maju selangkah. Melalui analisa darah, seorang anak dapat dikaitkan dengan orang-tuanya. 

Hukum keturunan juga melakukan aktivitas pemindahan sifat-sifat batin internal, yang memiliki pembawaan moral dan spritual, yang selanjutunya pengaruhnya tidak terbatas pada pembentukan ciri-ciri jasmani lahiriah anak saja. 

Seorang ibu yang pendengki memindahkan sifat ini kepada putrinya, dan seorang ayah yang kikir juga memindahkan sifatnya ini kepada putranya. Demikian pula dengan sifat pemurah, berani, kasih sayang, cinta dan lemah lembut. Biasanya sifat-sifat ini berpindah dari ayah dan ibu kepada anaknya.[20] 

Walaupun kehendak manusia itu lemah dalam sisi pertama dari fungsi hukum keturunan, yang memindahkan ciri-ciri tubuh dan bentuk umum kepada seorang anak melalui gen orang-tua dan turunan keluarga, tetapi kehendak manusia itu dapat menundukkan sisi kedua dari hukum ini demi kemaslahatannya, dan menghilangkan fungsinya, yaitu sifat-sifat moral dan spiritual umum yang didapat dari kedua orang-tuanya. 

Manusia yang terlahir dari orang-tua yang kikir dapat memerangi sifat yang terdapat pada dirinya ini melalui kehendak dan tekad yang sungguh-sungguh serta pendidikan yang berkesinambungan. Sehingga, ia dapat menghilangkan pengaruhnya pada kehidupannya, bahkan ia dapat berubah sebaliknya dari keadaan orang-tuanya (menjadi dermawan).[21] 

Yang penting bagi kita di sini adalah, bahwa ilmu pengetahuan dan Islam sama-sama mengakui efektivitas hukum turunan dan pengaruhnya dalam membentuk kepribadian anak dari warisan orang-tuanya, baik itu berupa bentuk dan rupa tubuh maupun sifat-sifat moral dan spiritual. 

Mungkin ayat Al-Quran ini mengisyaratkan kandungan hukum keturunan dalam firman-Nya,“Dan tanah yang baik, tanaman- tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah. Dan tanah yang tidak subur (tidak baik), tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.” [22] 

Ayat ini mendekatkan kandungan rasional dari hukum turunan melalui contoh inderawi yang bergerak dan hidup. Hal itu adalah yang paling dekat dengan nurani dan akal manusia. 

Tanah dikategorikan sebagai benda yang paling dekat dengan manusia. Secara umum ia terbagi menjadi dua bagian: tanah yang subur dan tanah yang tandus. 

Tanah suhur yang kosong dari rerumputan yang merusak, dan disiapkan untuk ditanami dan sebagainya, hasilnya akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, tanah tandus yang kadar garam dan mineralnya tinggi, biasanya tidak layak kecuali bagi rerumputan yang merusak. Dan apabila menumhuhkan buah, niscaya tidak menghasilkan buah kecuali yang jelek dan sedikit. 

Al-Qur’an al-Karim memperingatkan manusia, bahwa hati yang lalai dan tidak bersih bagaikan tanah tandus dan bergaram, yang tidak mungkin menjadi sumber kemuliaan dan kebajikan. Sebaliknya, hati yang bersih dan suci, yang berubah menjadi sumber yang tidak habis diberikan, persis seperti tanah yang subur. 

Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, ayat ini mungkin mengisyaratkan kepada yang kita tuju. Sebab, ia mengajarkan kepada kita, bahwa ibu yang menjaga diri, yang kehidupannya terjaga (dari pandangan bukan muhrim) dan memiliki sifat mulia, serta ayah yang pemberani, murah hati, dan taat beragama, akan membuahkan anak-anak yang memiliki komitmen dan terdidik, yang mengambil keutamaan dan kebajikan dari kehidupan mereka. 

Adapun orang-tua yang menyimpang, tidak mungkin memberikan kepada masyarakat kecuali anak-anak yang menyimpang pula, di mana Anda melihat dengan jelas kejahatan pada diri mereka, tanpa dapat mengharapkan suatu kebajikan dari mereka. 

Lantaran itu Rasulullah saw bersabda,“Lihatlah kepada siapa Anda letakkan nutfah (sperma) Anda, karena sesungguhnya asal (al-‘Irq) itu menurun kepada anaknya.” [23] 

Hadis ini menunjukkan pentingnya tidak tergesa-gesa memilih seorang istri dan pentingnya meneliti syarat-syaratnya dari sisi kehormatan, ketakwaan, dan agamanya. Maksud dari akhlak seorang ibu menurun kepada anaknya adalah, bahwa asal dan dasar seluruh sifat yang membentuk seorang wanita, baik sifat positif maupun negatif akan muncul ke permukaan dan melakukan aktivitasnya pada kehidupan suami-istri. 

Terdapat kesesuaian aturan yang diperbincangkan oleh ilmuwan bahasa arab tentang arti al-‘Irq, dengan yang dibicarakan oleh ilmuwan biologi dan genetika tentang gen-gen yang menurun, yaitu atom-atom yang mempunyai satu sel. 

Dengan kesesuaian ini, maka makna hadis Rasulullah saw yang tadi disebutkan adalah, bahwa manusia harus berhati-hati memilih jodoh. Sebab, gen-gen ini selain memindahkan sifat-sifat dan bentuk fisik secara umum dari orang-tua kepada anak, juga memindahkan sifat-sifat moral dan spiritual. 

Mungkin perenungan sebuah hadis yang berbunyi, “Seorang anak adalah rahasia ayahnya,” menegaskan makna ini. Sebab, telah jelas dari hadis itu bahwa anak adalah buah dari sifat-sifat orang-tuanya secara umum, baik sifat ayahnya ataupun ibunya. 

Tanpa melihat seberapa jauh kesesuaian makna ayat “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah. Dan tanah yang tidak subur (tidak baik), tanaman-tanamannya tumbuh merana” dan kedua hadis yang sebelumnya telah kami sebutkan, dengan hasil-hasil ilmu keturunan, yang penting kita berprinsip dengah pengetahuan ini dalam hal-hal yang diterima secara benar dan tidak dapat ditolak. 

Lantaran semua itu, Islam memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak dari sudut dasar-dasar yang diletakkannya dan prinsip-prinsip yang dijadikan sandaran dalam hukum turunan. 

Bahkan, kita saksikan di sini, Islam telah menggariskan pendidikan dan masa depan anak dari sudut prinsip-prinsip hukum turunan, sebelum terbentuknya nutfah. Hal itu melalui aturan-aturan yang telah ditentukan dalam memilih suami bagi seorang istri dan memilih istri bagi seorang suami. Pada sisi ini, kita memiliki kekayaan yang melimpah, berupa kandungan makna riwayat-riwayat dan aturan-aturan Islam mengenai hal itu. Orang tua yang ingin membekali masyarakat dengan anak lelaki atau anak perempuan yang saleh, terlebih dahulu harus memperhatikan dasar-dasar hukum ini dan prinsip-prinsipnya. 



Perkawinan Dan Syarat-Syarat Memilih

Secara umum kita mengilhami dari Islam sebuah hukum universal dalam memilih jodoh, yang tercermin dalam sabda Rasulullah saw,“Apabila orang yang Anda sukai perilaku, agama, dan amanatnya datang meminang kepada Anda, maka nikahkanlah. Bila tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar.” [24] 

Hadis ini membawa seruan kepada semua pihak, baik pemuda dan pemudi, maupun para ayah dan ibu, dan menyatakan dengan jelas, tanpa ada kesamaran di dalamnya, bahwa dua syarat pertama dalam memilih suami atau istri adalah agama dan akhlak. 

Jika seorang anak perempuan tidak mempunyai moral dan kemanusian serta tidak taat beragama, maka mengawininya akan membawa bahaya besar; tidak hanya pada diri suami, namun juga pada anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan ini. Dan keadaannya akan menjadi seperti yang telah diperingatkan Rasulullah saw dalam hadisnya,“Waspadalah kamu terhadap sampah-sampah yang tampak hijau!” Rasulullah lalu ditanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan sampah-sampah yang tampak hijau?” Rasul saw menjawab: “Wanita berparas cantik yang tumbuh dari tempat yang buruk.” [25] 

Kita dapat simpulkan dari hadis ini pula, bahwa para pemudi juga harus waspada dalam memilih suami yang layak untuknya. Sebab, kita baca dalam riwayat-riwayat dan hadis-hadis bahwa orang yang memberikan putrinya kepada pemuda yang meninggalkan salat dan suka melakukan pelanggaran dan maksiat, atau memberikannya kepada peminum khamar atau kepada pemuda yang kedua orang-tuanya kecanduan minuman kerns serta tidak taat beragama, maka dengan itu ia telah memutuskan kekerabatannya. Sebab, dengan perkawinan seperti ini ia membunuh kuncup bunga kebaikan dan anugerah serta memutuskan tali keturunan putra atau putrinya.[26] 

Hukum keturunan―pada hakekatnya―tidak lebih dari perhatian terhadap syarat-syarat ini dan syarat-syarat lain yang akan datang. 

Hendaknya kita waspada terhadap kriteria-kriteria masyarakat umum yang keliru. Wanita cantik yang tumbuh dari tempat yang, buruk bukan berarti wanita-wanita miskin atau memiliki status sosial yang rendah dari sisi kedudukan ekonomi dan selainnya. 

Dan maksud dari “orang-orang mukmin satu sama lain sepadan” tidak berarti bahwa tidak layak bagi seorang pedagang atau putra dan putrinya kecuali mereka yang sepadan dalam posisi perdagangan dan sosial atau lebih darinya. 

Demikian pula, bila kita baca dalam riwayat-riwayat tentang perkawinan, dalam hal penekanan untuk berdampingan dengan orang- orang yang sepadan, jangan dikira keluarga-keluarga miskin―atau tidak memiliki kedudukan susial yang jelas―tidak sepadan (sekufu). Berapa banyak keluarga miskin yang memiliki persyaratan ketakwaan dan ketaatan beragama. Orang-orang seperti itulah yang layak untuk dinikahi. 

Ketakwaan merupakan tolok ukur, sebagaimana firman Allah SWT,“Sesungguhnya yang paling mulia dari kalian adalah yang paling bertakwa.” [27] Dan standar kepribadian dalam masyarakat Islam adalah ketakwaan pula. 

Oleh karenanya, kata sekufu (sepadan) tidak berarti keserupaan dalam bentuk rupa, status kekayaan, atau status sosial yang jelas. Semua itu adalah kriteria-kriteria tradisi yang salah. 

Sekarang ini, tradisi masyarakat dalam memilih seorang istri berdasarkan pada tradisi-tradisi yang rumit sekali. Kita lihat orang- orang-oang meminang―khususnya para wanita―meneliti paras kecantikan seorang gadis dan juga sejauh mana ia memelihara syarat-syarat kebersihan dan pengaturan rumah. Bahkan, sampai pada hal meneliti perkara-perkara kecil pada paras gadis dan posisinya di rumah, yang memerlukan kepandaian dan kecerdasan, sebagaimana berlaku di masyarakat pada umumnya. 

Penelitian ini memang baik, apabila diiringi dengan penelitian lain yang mencakup pengenalan sifat-sifat moral dan spiritual pada perilaku gadis itu dan kehidupannya. Tetapi sayang, kita saksikan kriteria-kriteria memilih dalam peminangan hanya ditekankan pada paras kecantikan dan kedudukan keluarga secara umum, dan mengabaikan pentingnya masalah sifat-sifat serta syarat-syarat moral dan spiritual. 

Jarang kita lihat―misalnya―seorang peminang meneliti seorang gadis untuk melihat apakah ia seorang pendengki atau tidak. Aku kita lihat seseorang kembali dari melihat seorang gadis lalu berkata,“Ibu gadis itu seorang pendengki. Sifat seperti ini akan menurun pada gadis itu (sebagai istri akan datang) berdasarkan hukum keturunan, dan bahaya sifat ini akan mencegahnya untuk hidup berdarnpingan dengannya.” 

Hal yang sama berlaku pula dalam memilih seorang pemuda. Hendaknya seorang gadis berhati-hati memilih suami masa depan. Ia harus menyelidiki sifat-sifat moral dan spiritualnya dari sisi komitmennya terhadap salat dan pulang perginya ke masjid serta hubungannya dengan teman-teman seiman dan para ulama. Membatasi penelitian hanya pada sifal-sifat jasmani, kemampuan harta, dan kedudukan keluarga serta sosialnya, tidaklah cukup. Masih diperlukan syarat-syarat moral, spiritual, dan adab sopan santun.[28] 

Jika seorang pemuda―sebagai suami masa depan―mempunyai teman-teman yang tidak baik, maka ia tidak dapat menjadi suami teladan, dan tidak dapat mernberi perhatian yang selayaknya kepada istrinya serta tidak dapat dipercaya tingkah lakunya terhadapnya. Bahkan, istri dari orang seperti ini tidak mungkin menantikan sesuatu kecuali penderilaan dan kesengsaraan. Suami semacam ini tidak pulang ke rumah melainkan setelah larut malam atau mendekati subuh. Beruntung jika ia tidak pulang dalam keadaan mabuk. 

Lantaran itu Rasulullah saw berwasiat,“Jika datang kepada Anda orang yang Anda sukai tingkah laku dan agamanya, maka nikahkanlah! Bila tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar.” 

Orang yang tidak meletakkan agama dan akhlak sehagai suatu slandar dalam mernilih, pada kenyataannya ia menanamkan benih-benih fitnah dan kerusakan yang besar. Yang pertama menimpa keluarganya, kemudian keluarga besarnya, lalu masyarakat secara keseluruhan. 

Saya tahu banyak tentang gadis-gadis yang taat beragama, tetapi nasibnya berakhir kepada kehidupan bebas dan menyimpang, lantaran suami-suami mereka tidak taat. Belum setahun menikah, mereka telah meninggalkan salat dan hijab. 

Demikian pula halnya dengan pemuda-pemuda taat dan komit, yang menjadi mangsa istri yang tidak baik dan bebas, Ia cepat hanyut―setelah beberapa bulan menikah―dalam arusnya, dan menjadi orang yang tidak taat dan tidak bermoral, khususnya apabila keluarga istrinya tidak komit pula terhadap agama. 

Islam memberi perhatian besar terhadap hukum turunan, dan memandang bahwa masyarakat yang baik adalah yang berdiri di atas penopang-penopang agama, akhlak, dan ketakwaan. Islam juga menetapkan bahwa menjadikan harta sebagai tolok ukur selain akhlak, tidak akan mengantar kepada suatu hasil dalam kemaslahatan membangun keluarga dan masyarakat yang selamat. 

Adapun upaya terhadap agama, moral, dan ketakwaan, pada hakekatnya menuntut upaya yang seimbang terhadap syarat-syarat dan batas-batas yang masuk akal dari sifat-sifat kecantikan, kemampuan harta, dan status individu.[29] 

Orang yang mementingkan kecantikan dan harta, dan tidak mempedulikan ketakwaan, agama, dan akhlak, ia tidak akan menuai apa-apa selain kerugian dan pupusnya harapan. 

Diriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq berkata yang maksudnya bahwa Allah Ta’ala bersumpah untuk memupuskan harapan orang-orang seperti ini. Pada realita kehidupan sosial yang kita lalui, kita lihat bukti nyata dari hadis ini secara jelas. Berapa banyak orang yang dalam pernikahannya mencari status dan kedudukan, perkawinannya berakhir dengan perceraian dan kehancuran.[30] 

Berapa banyak orang yang mementingkan kecantikan dan ketampanan, tidak menemukan dari perkawinannya selain penyelewengan, kebejatan, dan kehancuran, bahkan menjatuhkan kehormatan dan kemuliaan. Berapa banyak pula orang yang mencari harta, perkawinannya tidak membuahkan sesuatu selain kerugian. kefakiran, dan kemalangan. 

Karena itu, para pemuda dan pemudi jangan mementingkan sifat-sifat lahiriah saja. Sebab, harapan mereka terhadap sifat-sifat ini akan berubah―menurut sumpah Allah―kepada kerugian dan keputusasaan. Pemuda yang mengawini seorang gadis karena kecantikannya saja, tanpa memperhatikan sisi-sisi kehormatan, ketaatan, dan akhlak pada tingkah laku pribadinya dan keluarganya, maka dalam perkawinannya, kecantikan ini akan berubah menjadi bencana,[31] sebagaimana dalam hadis kita baca sebuah nas yang jelas,“Siapa yang mengawini seorang wanita lantaran kecantikannya, maka Allah menjadikan kecantikannya sebagai bencana bagi dirinya.” 

Arti bencana di sini adalah bahwa istrinya dengan kecantikan yang merupakan kekayaan satu-satunya akan merendahkannya dan membangkitkan masalah-masalah dalam rumah. Kemudian tingkah lakunya menjadi angkuh dan sombong serta memberlakukan berbagai macam syarat, sehingga hilanglah rasa kasih sayang dan cinta dari dalam rumah. Jika kasih sayang dan kecintaan telah hilang, maka tidak akan tinggal lagi di dalam rumah kecuali kebencian dan permusuhan. Rumah seperti ini berubah menjadi neraka bagi anak-anak yang dibesarkan di atas aneka ragam keruwetan jiwa dan perilaku. 

Bahkan terkadang kecantikan wanita ini akan menggiring kepada hal-hal yang tidak terpuji kesudahannya dari sisi kehormatan dan kemuliaan. Apabila ia berbuat tidak senonoh lantaran kecantikan ini. maka aibnya tidak hanya menimpa dirinya saja; tetapi akan menjadi pendorong bagi retaknya perkawinan, sehingga suami dan anak-anaknya akan tertunduk malu terhadap apa yang diperbuat olehnya. 

Biasanya, keburukan dan aib wanita ini akan meliputi lingkungan keluarga yang memiliki kaitan dengan dirinya dan suaminya. Dengan sebab aib itu, harga diri dan kehormatan sebuah keluarga besar akan jatuh di masyarakat sekitarnya. 

Hal yang sama berlaku pula pada orang yang mencari kedudukan sosial dan status dalam perkawinannya, meskipun hal tersebut berdasarkan perhitungan syarat-syarat pemeiihardan tingkah laku dan akhlak. Orang ini juga akan menuai penderitaan dan gangguan dalam kehidupan kekeluargaannya, dan ia akan merasakan malapetaka terhadap apa yang telah ia perbuat di dunia ini. Siksaan akhirat dan perhitungan kiamat menantinya hingga ia menuju ke neraka Jahanam dan dilempar ke dalamnya. 

Wajar, bila dalam hal pengarahan-pengarahan dan peringatan- peringatannya terhadap persoalan ini, Islam memiliki titik temu dengan hasil-hasil pengalaman dan eksperimen terhadap suami-istri semacam ini. 


Syarat-syarat Memilih dan Pengaruhnya Terhadap Masa Depan Anak

Sekarang kita kembali kepada persoalan pendidikan untuk melihat bagaimana Islam merencanakan masa depan anak dan keselamatannva secara kejiwaan dan sosial, sebelum ia hidup berdampingan dan menikah. Islam sangat menekankan syarat-syarat memilih istri dan suami, karena syarat-syarat tersebut berhubungan dengan masa depan anak, baik bahagia atau sengsara. Hal itu karena kaitan benih kesengsaraan dan kebahagiaan pertama kali terdapat pada langkah-langkah dan persyaratan dalam pemilihan pasangan. 

Kita telah saksikan bahwa Islam mempunyai dua syarat mendasar, yaitu akhlak dan agama. Lalu datang serangkaian syarat dan kriteria yang tingkat kepentingannya tidak mencapai tingkat dua syarat tadi. Di antara riwayat-riwayat yang terpilih di sini adalah, bahwa seseorang datang kepada Imam Hasan bin Ali untuk bermusyawarah mengenai perkawinan putrinya. Imam berkata,“Nikahkanlah dia dengan lelaki yang bertakwa. Sebab, jika lelaki itu mencintainya, maka ia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya, ia tidak akan melaliminya.” [32] 

Dengan demikian nasib rumah tangga keluarga, dan anak-anak tidak berakhir dingin dan tidak timbul bermacam-macam kesulitan padanya. Seorang suami yang bertakwa jika mencintai istrinya, ia memuliakannya, dan bila tidak mencintainya, ia tidak melaliminya. Adapun jika ia bukan orang bertakwa dan bermoral, maka kuncup kejahatan akan tumbuh sejak hari-hari pertama, sebab tingkah laku yang tidak baik telah menjadi wataknya. Al-Qur’an al-Karim menyatakan,“Katakan, bahwa masing-masing berbuat menurut keadaannya (tabiatnya).” [33] 

Dalam sebuah pepatah (matsal) disebutkan,“Bejana akan basah dengan sesuatu di dalamnya.” [34] 

Seorang pcmuda yang tidak mempunyai akhlak yang baik, terkadang awal perkawinannya―lantaran di dalamnya terdapat kenikmatan seksual dan dalam kehidupannya perkawinan merupakan jalan untuk menikmatinya―mencegahnya untuk menimbulkan persoalan dalam rumah tangga. Tetapi ketenangan yang bersifat lahiriah ini tidak akan bertahan lama. Setelah enam bulan atau setahun dari perkawinannya terbukalah tirai kenyayaan sebenarnya. Sewaktu kenikmatan seksual mulai hilang, maka tampaklah akhlak suami yang sebenarnya. Dan rumah tangga berubah menjadi penjara dan neraka bagi istri dan anak-anak. Hal itu adalah akibat tidak teliti―sewaktu memilih istri atau suami―dalam memperhatikan syarat akhlak dan agama. 


Rasulullah saw dalam Menghadapi Tradisi Jahiliah

Dalam dakwahnya Rasulullah saw ditugaskan untuk menghadapi tradisi dan adat istiadat jahiliah, dan menggantinya dengan norma-norma Islam dan konsep-konsepnya. 

Pada sisi kekeluargaan dan hal-hal yang berkaitan dengan syarat- syarat Islam bagi perkawinan serta dalam menghadapi tradisi-tradisi masyarakat jahiliah dan adat istiadat mereka, sejarah kehidupan Rasulullah saw memberikan kepada kita banyak prinsip yang memiliki akar yang dalam. Ia mencabut tradisi-tradisi dan adat istiadat jahiliah dan menggantinya dengan dasar-dasar baru yang memiliki bukti yang besar pada tingkat sosial, kejiwaan, akhlak, dan kemanusiaan. 

Rasulullah saw telah memberikan suri teladan pada dirinya. Pada perkawinan putrinya Fatimah az-Zahra, beliau memberikan syarat-syarat materi yang paling sederhana, dimana perangkatnya tidak lebih dari tujuh belas kebutuhan sederhana yang dibutuhkan dalam kehidupan suami-istri dalam tingkatan yang paling sederhana. 

Rasulullah saw menikahkan putrinva dengan putera pamannya, Ali, yang pada saat itu amat fakir. Pada malam pengantin, Ali terlihat sedang memikul pasir di atas pundaknva. Sewaktu ditanya mengenai itu, ia menjawab bahwa dirinya memerlukannya untuk meratakan tanah kamarnya. Kemudian beliau membentangkan tikarnya di atasnya agar tidak terasa kasar. 

Ini tentang putri Rasulullah saw, yang nanti insya Allah kita akan kembali menceritakannya. 

Pada lingkungan keluarga, Rasulullah sengaja mengawinkan putri bibinya, Zaenab binti Jahsy dengan Zaid, yang status sosialnya adalah sebagai seorang budak yang baru dibebaskan. Ia masuk Islam dan baik keislamannya, setelah diasuh oleh Rasulullah saw. Sedangkan Zaenab―di samping nasabnya mulia dan kedudukan keluarganya tinggi―memiliki kelebihan dari segi kecantikan, keutamaan, pengetahuan, dan kecerdasan. Ia memiliki kepribadian yang sederhana, tetapi taat terhadap perintah Rasulullah saw. Dari dirinya dan teladannya dalam perkawinan, ia dijadikan sebagai fondamen yang kuat pada permulaan Islam yang agung. Rasulullah membangun kehidupan suami-istri dan mendasari masyarakatnya atas dasar syarat-syarat baru yang kandungannya diilhami oleh Islam, dan menghancurkan tembok tradisi-tradisi dan adat-istiadat jahiliah.[35] 
Kisah Juwaibir dan Zulfa


Adapun peristiwa yang akan kita ikuti hingga akhir bab ini dan kami bawakan dengan rincian yang lengkap adalah kisah perkawinan Juwaibir dengan Zulfa binti Ziyad bin Labid yang dinikahkan oleh Rasulullah saw. Peristiwa ini memiliki kandungan dalam meletakkan dasar pandangan Islam yang baru, sebagai ganti dari syarat-syarat dan tradisi-tradisi jahiliah. Peristiwa ini mempunyai getaran hidup yang layak memberikan motivasi kepada para pemuda dan pemudi menuju kehidupan Islami yang benar, dan dapat menjadi nasihat bagi para orang-tua. 

Juwaibir adalah lelaki yang bertubuh pendek, buruk rupa, miskin, dan hampir tak berpakaian. Ia penduduk Yamamah yang berkulit hitam. Ia datang kepada Rasulullah saw untuk memeluk Islam. Maka ia pun memeluk Islam di tangan Rasul saw dan menjadi pemeluk Islam yang taat. Rasulullah merangkulnya―lantaran keterasingan dan kefakirannya―dengan memberinya satu takaran kurma dan dua potong mantel serta menyuruhnya berada di masjid dan tidur di sana pada malam hari. Ia tinggal di sana sekian lama, hingga banyak orang asing―dan kalangan orang fakir―masuk Islam di Madinah, hingga masjid pun menjadi sempit oleh mereka. Sehingga, Allah SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya saw untuk mensucikan masjid dan mengeluarkan orang-orang yang tidur pada malam hari dari masjid. 

Setelah itu, Rasulullah memerintahkan Muslimin membuat bangsal yang diperuntukkan bagi mereka yang disebut Ahlu Suffah (atap di samping masjid), kemudian menyuruh orang-orang asing dan orang-orang miskin menetap di dalamnya pada siang dan malam hari. Maka mereka pun tinggal dan berkumpul di sana. Rasulullah saw menjamin mereka gandum, kurma, dan kismis menurut kemampuannya, dan Muslimin pun menjamin mereka dan mengasihani mereka karena Rasul mengasihani mereka. 

Pada suatu hari Rasulullah saw memandang Juwaibir, dan berkata kepadanya, “Wahai Juwaibir, andaikan Anda mengawini seorang wanita, maka Anda telah menjaga kemaluan Anda dengannya dan ia membantu dunia dan akhiratmu.” Juwaibir berkata, “Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau, dan ibuku, siapakah yang menyukaiku. Demi Allah, aku tidak mempunyai kemuliaan leluhur, keturunan, harta, dan ketampanan, maka wanita mana yang menyukaiku?” Rasulullah saw berkata, “Wahai Juwaibir, Allah SWT telah merendahkan dengan Islam orang-orang yang pada masa jahiliah sebagai orang mulia, dan memuliakan dengan Islam orang-orang yang rendah pada masa jahiliah. Dan Allah memuliakan orang-orang yang hina pada masa jahiliah dengan Islam, dan Islam telah menghapuskan kebesaran dan kebanggaan jahiliah terhadap keluarga dan wilayah keturunannya. Seluruh manusia saat ini, baik ia berkulit putih atau hitam, baik ia seorang Quraisy, Arab, atau ajam (non arab) adalah keturunan Adam, dan Adam diciptakan Allah, dari thin (tanah). Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat adalah manusia yang paling taat kepada-Nya dan paling bertakwa. Aku tidak mengetahui―wahai Juwaibir―seorang Muslim pun yang lebih utama darimu, kecuali orang yang lebih bertakwa darimu dan lebih taat.” 

Kemudian Rasulullah saw berkata kepadanya, “Pergilah―wahai Juwaibir―menuju Ziyad bin Labid. Ia adalah orang terpandang dari keturunan yang berkulit putih, dan katakan kepadanya, ‘Aku adalah utusan Rasulullah saw kepadamu dan beliau bersabda: nikahkanlah Juwaibir dengan putrimu, Zulfa.” 

Berangkatlah Juwaibir dengan pesan Rasulullah menuju Ziyad bin Labid yang berada di rumahnya sedang berkumpul dengan kaumnya. Maka ia pun meminta izin masuk dan Ziyad mengizinkannya. Ia masuk dan mengucapkan salam kepadanya, lalu berkata, “Wahai Ziyad bin Labid, sebenarnya aku adalah utusan Rasulullah saw kepadamu mengenai keperluanku. Haruskah aku sampaikan secara terbuka atau aku sampaikan secara rahasia kepadamu?” Ziyad berkata kepadanya, “Sampaikanlah, karena itu adalah kemuliaan dan kebanggaan bagiku.” Juwaibir berkata kepadanya, “Rasulullah bersabda kepadamu, ‘Nikahkan Juwaibir dengan putrimu, Zulfa!’ “Ziyad bertanya, “Apakah Rasulullah meng- utusmu dengan ini?” Ia menjawab, “Ya sungguh aku tidak bohong tehadap Rasuluna.” Maka Ziyad berkata kepadanya kami tidak mengawinkan anak-anak gadis kami, melainkan dengan orang-orang yang sepadan dari Anshar.” Kemudian ia berkata lagi kepadanya, “Kembalilah hai Juwaibir, hingga aku bertemu Rasulullah memberitahukan alasanku!” 

Juwaibir kembali sambil berkata, “Demi Allah, tidaklah Al-Qur’an turun dengan ini dan tidak pula kenabian Muhammad saw muncul dengan ini.” Zulfa binti Ziyad mendengar perkataannya dan ia berdoa di tempatnya (khusus bagi wanita). Ia pun mengutus seseorang kepada ayahnya untuk memanggilnya. Ayahnya masuk ke ruangannya, lalu Zulfa berkata kepadanya, “Perkataan apa yang aku dengar dari perbincanganmu dengan Juwaibir?” Ziyad berkata kepadanya, “Ia mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah mengutusnya dan berkata, ‘Nikahkan Juwaibir dengan putrimu, Zulfa.’ Zulfa berkata kepada ayahnva, “Demi Allah, Juwaibir tidak sekali-kali berbohong terhadap Rasulullah dengan kehadirannya. Maka kirimlah utusan untuk menyuruh kembali Juwaibir!” 

Ziyad mengirim utusan bertemu Juwaibir dan mendatangkannya, lalu ia berkata kepadanya, “Wahai Juwaibir, selamat datang! Tenanglah, hingga aku kembali menemuimu.” 

Kemudian Ziyad pergi menuju Rasulullah saw dan berkata kepadanya, “Demi ayahku, engkau, dan ibuku, Juwaibir telah datang kepadaku dengan pesanmu dan berkata, ‘Rasulullah saw mengatakan kepadamu, “Nikahkanlah Juwaibir dengan putrimu Zulfa”’, sehingga aku tidak berkata halus kepadanya dan aku memandang perlu menemuimu. Kami tidak mengawinkan anak-anak gadis kami melainkan dengan orang-orang yang sepadan dari Anshar.” 

Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Wahai Ziyad, Juwaibir adalah seorang mukmin, dan lelaki mukmin sepadan dengan wanita mukmin dan lelaki Muslim sepadan dengan wanita Muslim, maka nikahkanlah ia dan janganlah membencinya!” 

Ziyad pulang ke rumahnya dan masuk menemui putrinya, Lalu ia mengatakan apa yang telah ia dengar dari Rasulullah kepadanya. Putrinya berkata kepadanya, “Jika engkau melanggar Rasulullah, engkau telah kufur, maka nikahkanlah Juwaibir!” 

Kemudian Ziyad keluar dan mengambil tangan Juwaibir, lalu ia mengeluarkannya ke tempat kaumnya dan menikahkannya berdasarkan sunah Allah dan sunah Rasul-Nya serta menjamin mas kawinnya. 

Ziyad menyiapkan perlengkapan putrinya, kemudian beberapa orang diutus kepada Juwaibir dan berkata kepadanya, “Apakah kau mempunyai tempat tinggal?” Juwaibir menjawab, “Demi Allah, aku tidak memilikinya.” 

Lalu mereka menyediakan tempat tinggal bagi Juwaibir, dan melengkapinya dengan tempat tidur dan perabotan serta memberi Juwaibir dua helai pakaian. Lalu Zulfa dimasukkan ke dalam rumah dan Juwaibir pun dimasukkan ke dalamnya. Sewaktu ia melihat Zulfa dan menyaksikan karunia Allah yang dianugerahkan kepadanya, ia bangkit menuju sudut rumah, dan senantiasa membaca Al-Qur’an dan melakukan rukuk dan sujud hingga fajar terbit. Ketika mendengar suara azan, ia bersama istrinya keluar untuk menunaikan salat. Istrinya ditanya, “Apakah ia telah menyentuhmu?” Ia menjawab, “Senantiasa ia membaca Al-Qur’an dan melakukan rukuk dan sujud hingga terdengar azan, lalu keluar.” 

Demikian pula halnya pada malam kedua dan malam ketiga. Pada hari ketiga ayahnya diberitahu tentang beritanya, maka ia segera pergi kepada Rasulullah saw menceritakan perkara Juwaibir kepadanya. 

Rasulullah mengutus seseorang untuk memanggilnya. Ketika Juwaibir datang, Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah kau tidak mendekati istrimu?” 

Juwaibir menjawab, “Apakah aku tidak jantan? Sungguh, aku bergairah terhadap wanita, wahai Rasulullah.” 

Rasulullah saw berkata, “Sebenarnya aku diberitahu te 

ntang hal sebaliknya yang engkau gambarkan tentang dirimu. Padahal, mereka telah menyediakan sebuah rumah, tempat tidur, dan perabotan.” 

Juwaibir menjawab, “Wahai Rasulullah, aku masuk rumah yang luas dan aku melihat tempat tidur dan perabotan serta dimasukkan seorang gadis cantik kepadaku, maka aku teringat keadaanku sebelumnya; keterasinganku, kefakiranku, kerendahanku, dan pakaianku bersama orang-orang yang terasing dan miskin, sehingga aku berpikir untuk menghabiskan malam dengan salat dan siang hari dengan berpuasa. Maka aku lakukan hal tersebut selama tiga hari tiga malam. Namun aku akan membuat rida istriku dan mereka.” 

Rasulullah saw mengutus utusan kepada Ziyad, lalu ia datang, Kemudian Rasulullah memberitahukan apa yang dikatakan Juwaibir.[36] 


Kesimpulan

Rasulullah saw talah mengajarkan kepada kita dengan sabdanya, “Jika datang kepada Anda orang yang Anda sukai tingkah laku, agama, dan amanatnya meminang kepada Anda, maka nikahkanlah dia. Bila tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar.”[37] 

Kita telah melihat bahwa beliau saw memberikan contoh nyata terhadap perhatian yang mulia ini dari perilakunya yang mulia. Dan kita menyaksikannya melakukan hal tersebut sewaktu menikahkan putrinya, Fatimah az-Zahra’ dan putri pamannya, Zaenab dengan Zaid. Dan kita menyaksikan pula pada kisah Juwaibir dan Zulfa’. Semua itu memberikan bukti terhadap sabda beliau, “Seluruh kemuliaan turun-menurun jahiliah di bawah telapak kakiku.” 

Contoh-contoh dari nabi yang mulia mendasari apa yang telah kita bicarakan sebelumnya, mengenai dua syarat yaitu akhlak dan agama dalam memilih istri dan suami, Kedua syarat ini melebihi standar-standar yang berkaitan dengan posisi kedudukan keluarga dan sosial atau kriteria-kriteria yang menyangkut bentuk tubuh, kecantikan, tinggi harlan, dan kemarnpuan materi, serta kondisi sosial dan ekonomi. 

Dengan itu, kita mengakhiri bab ini dan kita telah letakkan dasar baru menurut pandangan pendidikan Islam yang benar terhadap anak, yang kali ini terdiri atas efisiensi hukum keturunan dan pentingnya mernperhatikan tuntutan-tuntutan hukum ini sebelum terbentuknya nuuah dan sebelum hidup berdampingan, yaitu tahap-tahap dan syarat-syarat memilih suami dan istri, yaitu pemilihan yang dimulai dengan kriteria akhlak dan agama. 





Daftar Isi : 

Bab II: Hukum Keturunan 33

Peran Keturunan Menurut Pandangan Pendahuluan 33

Perkawinan Dan Syarat-Syarat Memilih 39

Syarat-syarat Memilih dan Pengaruhnya Terhadap Masa Depan Anak 48

Rasulullah saw dalam Menghadapi Tradisi Jahiliah 50

Kisah Juwaibir dan Zulfa 52

Kesimpulan 58



Catatan:



[1] Tafsir Ruh al-Bayan; I. Hal. 104; Kanz al-Ummal. Hal. 490. 

[2] Ia adalah Syekh al-Faqih Muhammad bin Murtadha yang dikenal dengan al-Faidhul Kasyani, salah seorang ilmuwan terkemuka pada abad kesebelas Hijriah. Di samping kefakihannya. ia mengarang kajian-kajian dalam filsafat. dan menyusun bait-bait syair. Al-Faidhul Kasyani lahir pada tahun 1007 H di kota suci Qom, Iran. Kemudian ia berpindah ke Kasyan, lalu ke Syiraz dan di sana ia berguru pada Sayyid Majid al-Bahrani dan filosof Shadruddin asy-Syirazi yang dikenal dengan sebutan Shadrul Mutaanihin. Al-Faidhul Kasyani menikahi puleri filosof ini, kemudianmeninggalkan Syiraz menuju Kasyan, dan menulis banyak kitab dalam berbagai keilmuan: tafsir, hadis, dan akhlak, yang mendekali dua ratus judul kitab. Ia wafat tahun 1091 H pada usia 84 tahun dan dimakamkan di Kasyan. Hingga kini makamnya dikenal dan diziarahi. 

[3] QS. Ali Imran: 6. 

[4] Tafsir as-Shafi, oleh al-Faidhul Kasyani, I, hal. 293. 

[5] QS. at-Tahrim: 6. 

[6] QS. az-Zumar: 15. 

[7] Dalam wasiat Imam Ali bin Abi Thalib as kepada anaknya disebutkan, “Wahai anakku, teman dahulu baru kemudian jalan.” 

[8] Jami’ul Akhbar, hal. 124. 

[9] Ensiklopedia Bihar al-Anwar, oleh al-Alamah al-Majlisi, LXXVII, hal. 58. 

[10] Sebenarnya kita berada di hadapan neraca yang benar, sebab pada saat pendidikan yang benar membuahkan hasil yang benar, maka pendidikan yang salah, yang tidak mempedulikan anak, memastikan orang-tua mendapatkan akibat-akibat kedurhakaan anak. 

[11] QS. az-Zumar: 15. 

[12] Dalam firman Allah SWT kita baca, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra’: 23). Pada ayat ini Allah SWT rnensejajarkan antara syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang- tua. Ia juga berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik. kepada kedua ibu-bapak; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.” (QS. Luqman: 14) 

[13] Untuk merenungkan tanggung jawab penting orang-tua tehadap anak- anak mereka, kita baca sebuah riwayat, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak anakku ini?” Rasulullah menjawab, “Anda beri nama dan mendidik saran santun yang baik padanya, dan Anda letakkan dia pada posisi yang baik.” Tidaklah sulit bagi orang-tua hanya mengantarkan anak mereka menuju tingkatan saran santun saja, tetapi yang sulit adalah meletakkannya pada posisi yang baik dalam segala sikap dan tujuan hidupnya. 

[14] Qurbul Isnad, hal. 31. 

[15] (326-385 H). 

[16] IfiShahib bin Ubbad adalah Abul Qasim Ismail bin Abul Hasan bin Ubbad bin al-Abbas. lahir di sebuah daerdh Persia di Ustukhar atau Taligan. pada tanggal16 Dzulqaidah 326 H. Ia mempelajari ilmu dan adab dari ayahnya. dan terkenal sebagai pengelola urusan-urusan keilmuan, adab, dan periwayatan hadis. Ia pemah berkata, “Siapa yang tidak menulis hadis, maka ia belum menemukan manisnya Islam.” 

Ia terkenal dengan kedermawanan dan kemurahan hatinya, hingga diriwayatkan, bahwa setiap tahun ia mengirim ke Baghdad 5000 dinar yang dibagikan kepada para fukaha dan sastrawan. Seorang pun tidak masuk ke dalam rumahnya pada bulan Ramadan, lalu keluar dari rumahnya melainkan setelah berbuka puasa, dan pada setiap malamnya seribu orang berbuka puasa di tempat tinggalnya. 

Sejarah menyebutkan tentang sikapnya mengenai “rumah tobat”, di mana suatu hari ia keluar dengan pakaian ulama, sementara ia berada di departe men dan berkata, “Kalian telah mengetahui aktivitas saya dalam keilmuan, sementara saya terlibat dalam perkara ini, dan segala yang telah saya infakkan sejak masa kecil saya hingga saat ini berasal dari harta ayah dan kakek saya. Dengan demikian, hal itu tidak lepas dari dosa-dosa. Saya bersaksi kepada Allah dan kepada kalian, bahwa saya bertobat kepada Allah dari segala dosa yang telah saya perbuat.” Dan ia membangun sebuah rumah untuk dirinya, yang ia beri nama “rumah tobat”. 

Ia wafat pada tahun 385 H di kota Ray dan dimakamkan di Isfahan, Iran. Tentang biografinya silakan merujuk dua ensiklopedia al-A’lam oleh az-Zarkuli, dan al-Ghadir oleh al-Amini―penerjemah. 

[17] Pertama kali yang kita perhatikan mengenai kehidupan Ja’far adalah sikap ayahnya, Imam Ali al-Hadi terhadapnya pada awal hari kelahiran, bahkan pada saat kelahirannya, di mana keluarganya berbahagia dengan kelahirannya, kecuali ayahnya. Maka seorang wanita bertanya mengenai hal itu. Imam berkata, “Mudahkanlah dirimu (jangan terlalu gembira), sebab akan banyak orang yang menyimpang karenanya Ja’far).” (Di sini kila teringat kembali kepada hadis, “Orang yang berbahagia adalah orang yang berbahagia di perut ibunya, dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara di perut ibunya,” dan Imam melihat dengan pandangan bashirah nur ke-maksum-annya, sehingga ia dapat menyingkap masa depan bayi ini dan memberitakannya). 

Pada kisahnya terdapat sebuah nasihat, di mana sejarah menyebutkan kepada kita, bahwa sewaktu Ja’far tumbuh dewasa, ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan pengarahan ayahnya, Imam Ali al-Hadi. Ia mengambil jalan kesia-siaan, kelakar, dan minum khamar, serta terpengaruh oleh lingkungan yang menyimpang, yang tersebar pada masanya. Kita saksikan ayahnya, Imam Ali al-Hadi memerintahkan para sahabatnya untuk menjauhinya dan tidak bergaul dengannya, sambil memperingatkan mereka bahwa ia telah keluar dari perintah-perintah dan larangan-larangannya. Alangkah indah perkataan beliau kepada mereka, “Jauhilah anakku Ja’far. Sesungguhnya kedudukan ia di sisiku sebagaimana Namrud di sisi Nuh, yang Allah SWT berfirman tentangnya, Nuh berkaya, bahwa anakku adalah dari keluargaku, Allah SWT berfirman, “Wahai Nuh, dia bukanlah dari keluargamu, dia adalah amal yang tidak saleh.” 

Logika Al-Quran berlaku, bahwa apabila anak mengikuti langkah ayahnya dalam mengikuti kebenaran, maka ia adalah anaknya yang sebenarnya; dan bila tidak mengikuti langkahnya, maka ia bukan termasuk keluarganya, meski ia dilahirkan darinya, karena ia adalah amal yang tidak saleh. 

Walaupun Imam Ali al-Hadi dan saudaranya, Imam Hasan al-Asykari mencurahkan upayanya untuk memperingan tekanan penyimpangannya. namun ia mengklaim dirinya sebagai imam setelah wafat saudaranya, Hasan al-Asykari dan ia mencoba untuk menyalatinya, serta mendekati Khalifah al-Abbasi untuk merusak garis ke-imamah-an Ahlulbait. 

Akhirnya perlu kami tunjukkan tentang pertobatan Ja’far dan kembalinya dirinya menuju kebenaran. Imam Mahdi menegaskan pertobatan ini dalam istifta yang ditulis kepadanya, meskipun tobat ini tidak bertentangan dengan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini. 

Kita dapat saksikan kisah yang lengkap pada kitab Tarikh al-Ghaibah ash-Shughra oleh Sayyid Muhammad Shadr, hal. 299 dan seterusnya―penerjemah. 

[18] QS. al-Ashr: 1-3. 

[19] Sperma-sperma dan sel-sel telur adalah sel-sel yang khusus memperbanyak keturunan pada pria dan wanita. Di dalam setiap sperma pria dan sel telur wanita terdapat inti atom yang mengandung 24 kromosom, yang masing-masing kromosom memuat satuan-satuan hidup mencapai seratus satuan atau lebih, yang dinamakan “Gen”. Gen merupakan satuan terkecil pada materi yng hidup, yaitu satuan-satuan turunan. Masing-masing gen mempunyai tugas khusus menentukan perkembangan individu, bentuk eksternalnya, dan perilakunya. Terdapat gen-gen yang berpengaruh terhadap warna mata, yang berpengaruh terhadap wama kulit, yang mempengaruhi bentuk badan, besarnya atau kecerdasannya, dan lain sebagainya. Dengan demikian gen keturunan memainkan peran penting dalam kehidupan anak, yaitu turut serta dalam memberikan identitas yang independen pada anak, yang membedakannya dengan yang lain. Merujuk buku Prinsip-Prinsip Ilmu Genetika Manusia, oleh Mahdi Ubaid, Damsyiq/1986―pen. 

[20] Meski terdapat perkembangan ilmu pengetahuan yang luas, ilmu genetika masih berada pada permukaan jalan. Khususnya pada perdebatan ilmiah mengenai besarnya pengaruh turunan (gen) dan pengaruh lingkungan, serta watak gen-gen yang berpengaruh padanya. Maksudnya, walaupun pada bakal kecerdasan terdapat pengaruh turunan pada anak dari kedua orang-tua dan keluarga, namun hingga kini substansi pengaruh ini tidak dikenal. Pengarang akan kembali kepada persoalan ini pada bab-bab berikulnya―pen. 

[21] Ungkapan ini tidak berarti membatalkan hukum turunan (genetika). Ilmu genetika sendiri senantiasa elastis, tidak kaku dalam persoalan-persoalan ciri khas dan sifat-sifat yang didapat melalui gen-gen yang dominan dan gen-gen yang resesif. Mabadi’ Ilmu al-Wiratsah al-Basyariyah, hal. 49. 

[22] QS. al-A’raf: 57. 

[23] Al-Mustathraf, II, hal. 218. 

[24] Bihar al-Anwar, CIII, hal. 372. 

[25] Ibid., hal. 232. 

[26] Terdapat banyak hadis mengenai larangan mengawinkan peminum khamar, orang yang memiliki moral bejat, dan orang fasik. Di antaranya sabda Rasulullah saw, “Siapa yang meminum khamar setelah diharamkan Allah melalui lisanku, maka ia tidak berhak dikawinkan, jika meminang.” 

Dari beliau saw, “Peminum khamar tidak dikawinkan, bila ia meminang.” 

Dari Imam Shadiq as, “Siapa yang mengawinkan saudaranya perempuannya dengan seorang peminum khamar, maka ia telah memutuskan hubungan kekerabatannya.” 

Kriteria yang lengkap di sini adalah sabda Rasulullah saw, “Siapa yang mengawinkan saudara perempuannya dengan seorang fasiq, maka ia telah memutuskan hubungan kekerabatannya.” Al-Wasail, XIV, hal. 53, Makarim al-Akhlak, hal. 204―pen. 

[27] QS al-Hujurat: 13. 

[28] Terdapat penegasan pada hadis-hadis mengenai makruhnya mengawinkan orang yang bermoral bejat. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Bassyar al-Wasithi yang berkata, “Saya menulis surat kepada Abul Hasan ar-Ridha as yang berbunyi, ‘Saya mempunyai kerabat yang meminang kepadaku, dan ia bermoral bejat.’ Imam berkata, ‘Janganlah kau kawinkan dia, bila ia bermoral bejat.’” Wasail asy-Syiah, XIV, hal. 53―pen. 

[29] Dalam kaitannya dengan kecantikan, Rasulullah saw mengaitkan antara memilih istri yang cantik dengan mengarahkan pilihan perbuatan-perbuatannya padanya, dalam sabdanya, “Carilah kebaikan pada wajah-wajah cantik, karena perbuatan mereka lebih pantas menjadi baik.” Terdapat pula hadis mengenai arti kufu dari Imam Shadiq as, “Orang kufu adalah orang yang afif (menjaga diri) dan memiliki kemampuan harta.” AI-Wasail, XIV, hal.37; Makarim al-Akhlak, hal. 304―pen. 

[30] Alangkah indah hadis dari Rasulullah saw dalam memperingatkan kriteria-kriteria semacam ini, yang bunyinya, “Siapa yang mengawini seorang wanita halal dengan harta halal, namun ia menghendaki kebanggaan, riya’, dan harga diri, maka dengan itu Allah membangkitkannya menurut kadar yang ia nikmati darinya pada tepi Jahanam, kemudian ia dijatuhkan di dalamnya tujuh puluh kali.” Al-Wasail, XIV, hal. 32―pen. 

[31] Rasulullah saw telah menjelaskan bahwa siapa yang menikah karena harta dan kecantikan, maka keduanya tidak menguntungkan, sebagaimana sabda beliau, “Siapa yang mengawini seorang wanita yang tidak dikawininya melainkan karena kecantikannya, maka ia tidak melihat hal-hal yang ia sukai padanya, dan siapa yang mengawininya karena hartanya dan tidak mengawininya melainkan karenanya, maka Allah akan menyerahkannya (menundukkannya) kepadanya. Maka kalian harus mengawininya karena agamanya.” Adapun orang yang mengawini seorang gadis karena agamanya, maka ia akan diberi harta dan kecantikan, seperti yang diriwayatkan dari Imam Shadiq dalam sabdanya, “Apabila mengawininya karena agamanya, maka Allah akan memberinya harta dan kecantikan.” 

Di antara gambaran yang melarang melakukan perkawinan karena hartanya saja adalah riwayat yang datang mengenai kisah seorang lelaki yang bermusyawarah dengan Imam Husein as ketika ingin menikahi seorang wanita, maka Imam berkata, “Saya tidak menyukainya.” Padahal ia (wanita) kaya, dan lelaki itu juga kaya, namun Imam Husein tidak menyetujuinya. Lelaki itu mengawininya, hingga tidak lama kemudian ia menjadi miskin. Imam Husein berkata kepadanya, “Bukankah saya telah berikan pendapat saya kepada Anda.” Al-Wasail, XIV, hal. 32―pen. 

[32] Makarim al-Akhlak, hal. 204. Dalam hadis lain yang mengungkap tentang makna-makna lain pada sisi ini, terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah saw yang bersabda, “Pernikahan adalah pengabdian.Apabila salah seorang dari kamu menikahkan anak wanita, maka ia telah mengabdikannya. Lihatlah salah seorang dan kamu, kepada siapa ia mengabdikan saudara perempuannya.” Al-Wasail, XIV, hal. 52―pen. 

[33] QS. al-Isra’: 84. 

[34] Matsal itu adalah bagian dari bait puisi yang terkenal: 

Cukup bagi kalian perbedaan ini di antara kita 

Setiap bejana akan basah dengan sesuatu di dalamnya 

[35] Senantiasa kita temukan bukli-bukti yang matang pada sejarah kehidupan Rasulullah saw dalam menghadapi tradisi-tradisi jahiliah, Di antaranya yang ia lakukan pada pernikahan Dzubai’ah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dengan Miqdad bin al-Aswad, sehingga Bani Hasyim membicarakannya, Rasulullah saw bersabda, “Sebenarnya yang saya inginkan agar para wanita menjadi rendah hati (tawaddu’).” 

Dalam komentarnya terhadap kejadian ini, Imam Shadiq as, salah seorang keturunan Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya Rasulullah menikahkan Miqdad dengannya, agar para wanita menjadi rendah hati, dan agar kalian mengikuti Rasulullah saw dan mengetahui bahwa yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” 

Dari kehidupan Imam Sajjad Zaenal Abidin as, anaknya, Imam Muhammad al-Bagir as meriwayatkan, “Seorang lelaki penduduk Bashrah yang telah beruban rambutnya, bernama Abdul Malik bin Kharmalah melewati Imam Ali bin Husein. Lalu Imam bertanya kepadanya, ‘Apakah Anda mempunyai saudara perempuan?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Imam berkata, ‘Nikahkanlah saya dengannya!’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Kemudian ia berlalu dan diikuti oleh seorang lelaki dari sahabat Imam Ali bin Husein hingga sampai ke tempat tinggalnya. Lalu ia menanyakan tentangnya, maka dikatakan kepadanya,”Fulan bin fulan, pimpinan kaumnya.” Kemudian ia kembali pada Ali bin Husein dan berkata kepadanya, “Wahai Abul Hasan, saya menanyakan yentang iparmu yang berambut uban ini, mereka menganggapnya sebagai pimpinan kaumnya.” Ali bin Husein berkata kepadanya, “Lantaran Anda, ya fulan saya berbuat ini dari yang saya lihat dan yang saya dengar. Tidak tahukah Anda, bahwa Allah mengangkat orang yang rendah dan menyempurnakan orang yang berkekurangan serta memuliakan dari cela dengan Islam? Tidak ada cela bagi seorang Muslim, sesungguhnya cela itu adalah cela jahiliah.” Al-Wasail, XIV, hal. 47―pen. 

[36] Al-Wasail, XIV, hal. 44; dapat Anda lihat secara rinci dalam al-Kafi, V, hal, 340-343―pen. 

[37] Bihar al-Anwar, CIII, hal. 372. 



Bab III: Pembentukan Nutfah dan Keturutsertaan Setan 


Bab III: Pembentukan Nutfah dan Keturutsertaan SetanPada bab ini―dan bab seanjutnya―kami akan membicarakan keadaan-keadaan, dimana setan ikut serta dalam terbentuknya nutfah, baik tercermin dalam khayalan-khayalan yang diharamkan, dalam sesuap makanan haram, dalam pengaruh dosa-dosa dan hal-hal yang diharamkan. 
Mabud Keturutsertaan Setan dan Kondisinya


Termasuk persoalan penting pada topik pembahasan kita adalah tertujunya hati kita kepada Allah SWT, sebab ia memiliki pengaruh terhadap anak. 

Dari riwayat-riwayat kita simpulkan bahwa manusia Muslim harus ber-tawajjuh dan menjadikan hati dan lisannya tertuju kepada Allah pada saat membentuk nutfah dengan ikhlas. Ia harus memulai hubungan intimnya dengan membaca basmalah. Bahkan, dalam sebagian riwayat kita baca bahwa orang yang tidak membaca basmalah pada saat berhubungan intim, maka ia telah menjadikan setan turut serta dalam bersetubuh. 

Beberapa riwayat menegaskan bahwa anak zina dan anak yang terlahir dari hubungan pada saat haid serta anak yang nutfahnya terbentuk dari makanan yang haram, setingkat dengan anak yang terlahir dari keikutsertaan setan dalam pembentukan nutfah. 

Memang benar, bahwa mungkin anak zina dan anak haid dapat menelusuri jalan-jalan keberhasilan dan mendapatkan taufik dalam kehidupannya. Demikian pula dengan anak yang pada saat pem-bentukan nutfah setan ikut di dalamnya namun perkara tersebut diliputi berbagai macam kesulitan yang besar sebagai bukti atas masalah ini kita saksikan pengungkapan sejarah bahwa Hajiaj bin Yusuf ats-Tsaqafi―seorang yang terkenal lalim―adalah seorang yang pada saat pembentukan nutfahnya, setan turut menyertainya. Begitu pula kita simpulkan dari riwayat-riwayat bahwa sebagian dari orang-orang yang celaka adalah anak-anak zina atau anak-anak haid. 

Lantaran itu Islam mengharamkan berhubungan intim dengan wanita pada saat putaran haid bulanan.[19] Bahkan, Islam mewajibkan membayar kafarat bagi orang yang melakukannya dengan kafarat terbanyak, jika hubungan dengan wanita tadi pada seluruh putaran, yaitu pada permulaan haid. 

Kemudian berkurang menjadi setengahnya pada pertengahan putaran haidnya, dan sampai pada seperempatnya di saat akhir putaran haid. 

Makna keturutsertaan setan dengan manusia pada anak-anak dan hartanya bersandar pada penjelasan Al-Qur’an yang menyebutkan: 

Dan hasungkanlah siapa yang kau sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki, dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak, serta berilah janji kepada mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka, melainkan tipuan belaka. [20] 

Ayat yang mulia ini berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang indah tentang bentuk-bentuk penyesatan setan. Suara setan adalah beraneka ragam musik dan hiburan yang diharamkan, di mana manusia tergelincir ke dalamnya untuk digiring setan melalui jalan ini menuju jahanam. Terkadang setan menggiring manusia terjerumus ke neraka jahanam melalui dua jenis pengikut yang diungkapkan oleh ayat tentang golongan pertama dari mereka dengan firman Allah,“... dan kerahkanlah terhadap mereka dengan pasukan berkudamu ....” Dalam kehidupan praktis manusia, itu adalah ungkapan dari persahabatan dengan orang-orang terpelajar yang memiliki pendidikan yang menyimpang dan pengetahuan yang diharamkan, yang mengiringnya menuju api neraka. 

Adapun maksud dari firman Allah“... dan kerahkahlah pasukanmu yang berjalan kaki ...”, adalah sahabat-sahabat manusia yang bodoh dan terbelakang dalam kehidupannya, dimana nasib para pengikutnya berakhir kepada neraka dan kerugian. 

Mengenai kemitraan setan dalam harta, Anda akan temui berbagai macam bentuknya dalam kehidupan nyata, di antaranya hubungan riba, menimbun harta untuk menaikkan harga, mengurangi timbangan, memperdaya manusia dalam barang-barang mereka, dan menentukan harga yang amat mahal, serta menipu dalam hubungan perdagangan dan ekonomi. 

Bentuk-bentuk seperti ini adalah hingga pada mengumpulkan harta haram, dan setan turut serta dengan manusia pada hartanya yang haram. Jika nutfah terbentuk dari makanan haram, maka setan akan menyertai manusia pada anak-anaknya.[21] 

Tetapi riwayat-riwayat tentang keturutsertaan setan pada anak-anak tidak terbatas pada makna ini saja; namun terdapat juga bentuk-bentuk lain, seperti lalainya manusia dari mengingat Allah dan tidak dimulainya praktek seksual dengan basmalah.[22] 

Di antara bentuk keturutsertaan setan pada manusia ialah khayalan seorang pria tentang bayangan wanita lain pada saat melakukan hubungan intim dengan istrinya, yang mengantarkan kepada tercetaknya bayangan khayalan ini pada anak di saat pembentukan nutfah. Pada keadaan ini setan menyertai anak dari suami-istri semacam ini. Anak seperti ini, posisinya sulit berada padajalan kebenaran dan petunjuk, dan ia bagaikan anak zina. 

Riwayat-riwayat menganjurkan kepada kita untuk berzikir kepada Allah dan berlindung dari setan yang terkutuk pada saat hubungan intim, dan juga menganjurkan kita merendahkan diri kepada Allah dan berdoa serta salat di hadapan-Nya. Alasan hal tersebut tercermin pada pembinaan dan penyediaan lahan yang baik untuk anak serta menolak gangguan dan godaan setan.[23] 

Berkaitan dengan ini, terdapat sebuah kejadian yang telah masyhur tentang seorang pria yang mendapatkan anak yang terlahir dari istrinya dengan warna kulit hitam, padahal kedua orang-tuanya berkulit putih. Sehingga, ia meragukannya dan datang ke pada Imam Ali mengadukan perkara tersebut. 

Imam Ali memandang adanya kesan-kesan pemeliharaan kehormatan yang tampak pada istrinya. Setelah berbincang-bincang, Imam Ali berkata kepada pria itu,“Anak itu adalah puteramu, tidak perlu diragukan lagi.” 

Namun, Imam Ali menjelaskan sebab hitamnya kulit anak itu dengan cara berikut: Imam bertanya kepada suami-istri itu, “Apakah terdapat gambar hitam pada tempat dimana nutfah anak ini dibentuk?” 

Keduanya menjawab, “Ya.” 

Imam berkata,“Salah satu kalian memandang dengan seksama, gambar hitam ini pada saat pemhentukan nutfah, yang meninggalkan dampak terhadap anak yang terlahir ini, sehingga ia mendapat warna hitam.” [24] 

Kita harus membayangkan pentingnya sikap kita terhadap kejadian ini. Apabila konsentrasi terhadap gambar hitam saja mempengaruhi bentuk anak, maka bagaimana jika pikiran dan khayalan salah satu pihak dari suami-istri yang berhubungan intim melayang kepada bentuk-bentuk khayalan yang diharamkan pada saat hubungan seksual?[25] 

Riwayat mengatakan bahwa Hajiaj bin Yusuf, seorang tirani yang terkenal adalah seorang yang disertai setan. Apa maksudnya? 

Sejarah mencatat bahwa ibu Hajiaj adalah seorang wanita yang mengejar kenikmatan, dan ia tergila-gila kepada Nasher bin al-Hajiaj yang terkenal dengan ketampanannya. Hingga sejarah men-ceritakan kepada kita bahwa pada suatu hari Khalifah Umar bin Khattab bejalan dan mendengar ibu Hajiaj mendendangkan syair cinta terhadap Nasher bin al-Hajiaj dan menginginkan hubungan dengannya. Maka ia mengirirn utusan kepada Nasher dan menggunduli kepalanya kemudian mengusirnya keluar dari Madinah. 

Ketika terjadi hubungan intim antara ibu Hajiaj dan suaminya Yusuf ats-Tsaqafi, khayalan wanita ini dipenuhi dengan bayangan Nasher, lelaki yang diharamkan mencintainya. Meskipun wanita itu berhubungan badan dengan suaminya (Yusuf), namun jiwa, khayalan, dan pikirannya berhubungan dengan Nasher yang ia cintai. Maka hasilnya yang pahit dan salah adalah seorang anak lelaki sial (al-Hajiaj) yang terkenal berdarah dingin dan lalim, hingga kitab-kitab sejarah terdahulu menegaskan bahwa al-Hajiaj telah menjilat darah seratus dua puluh ribu Muslimin demi menjaga kedudukan Abdul Malik bin Marwan. 

Al-Hajiaj adalah seburuk-buruk contoh orang yang berangkat menuju jahanam dan menjual surganya demi orang lain. Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan haram demi menjaga kursi raja yang diduduki oleh Abdul Malik bin Marwan. Akhir dari perbuatan kejamnya ialah pembunuhan terhadap sorang tabi’in besar, Said bin Jubair. 

Imam Shadiq―dalam perbincangannya dengan perawi terkenal, Zurarah bin A’yan―menjelaskan sebab pembantaian berdarah dan kejahatan-kejahatan Hajiaj. Imam mengatakan bahwa ia disertai setan, karena ibunya mencari kenikmatan dan tergila-gila dengan para lelaki. 

Para ulama Islam telah menyusun kajian-kajian yang bermanfaat seputar persoalan ini. Saya dapat perlihatkan kepada pemuda-pemudi dan para orang-tua, kitab Khilyat al-Muttaqin yang ditulis oleh Allamah Majlisi yang khusus membahas secara luas tata cara Islam dan wasiat-wasiatnya tentang malam perkawinan dan saat pembentukan nutfah. 

Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa syarat untuk memberikan kepada masyarakat dan membahagiakan keluarga dengan anak saleh ialah konsentrasi dan menujukan hati kita kepada Allah saat melakukan hubungan intim, dan menghadirkan tata cara Islam sewaktu melakukannya serta menjauhkan bisikan-bisikan setan dan khayalan-khayalan yang merusak.[26] 


Menghindari Makanan Haram

Makanan haram atau halal memiliki pengaruh yang menakjubkan terhadap masa depan anak sebelum terbentuknya nutfah. Apabila nutfah terbentuk dari makanan haram, maka hal itu merupakan lahan subur bagi penderitaan dan kesengsaraan anak.[27] Sedangkan makanan halal menjadi lahan subur bagi masa depan yang bahagia dan tenang. 

Sebaik-baik yang dibicarakan oleh hadis pada bab ini adalah berita sejarah yang terkenal seputar pembentukan nutfah Fatimah az-Zahra, belahan jiwa Rasulullah saw. 

Telah masyhur bahwa Rasulullah saw diperintah oleh Allah untuk mengasingkan diri dari manusia selama empat puluh hari untuk beribadah di gua Hira. Dan sebagaimana dirinya, Rasulullah pun memerintahkan istrinya, Khadijah untuk mengasingkan diri dari manusia dan tetap berada di rumah untuk beribadah serta tidak seorang pun boleh masuk ke rumahnya. 

Setelah masa pengasingan berakhir, Rasulullah saw mengetuk pintu rumah Khadijah, dan Jibril datang dengan membawa hidangan makanan surga. Jibril menyuruh keduanya memakan sendiri darinya tanpa satu orang pun boleh menyentuhnya, dan keduanya tidak boleh makan sesuatu setelahnya hingga selesai hubungan intim antara mereka dan terbentuknya nutfah. 

Khadijah ibu Fatimah az-Zahra berkata,“Setelah Rasulullah meninggalkan tempat tidurnya, aku rasakan cahaya janin dalam perutku.” Demikianlah nutfah Fatimah az-Zahra terbentuk. 

Peristiwa bersejarah ini menyingkap secara dalam tentang pengaruh yang dalam pada makanan halal dan makanan haram terhadap perjalanan nasib seorang anak. Makanan haram membuka jalan bagi anak menuju kesengsaraan dan penyimpangan, sedangkan makanan halal sebaliknya. 

Adapun makanan yang masih syubhat, mungkin pengaruh negatifnya dapat dikurangi dengan membaca basmalah serta doa dan merendahkan diri kepada Allah. 

Dari sini, tugas para ayah dalam membersihkan sumber makanan dan harta mereka serta pentingnya menghindari penipuan, dalam muamalah, menjadi jelas. Mungkin kita dapat lebih mempertegas dan memusatkan makna ini melalui beberapa conloh dan peristiwa sejarah yang terkenal. 


Kasus Syarik bin Abdillah An-Nakhai’

Syarik bin Abdillah bin Sinan bin Anas an-Nakhai’ adalah salah seorang ulama fiqih abad kedua Hijrah yang terkenal dengan kezuhudan, ibadah, dan keilmuannya. Khalifah Mahdi ak-Abbasi berkehendak menyerahkan kedudukan peradilan kepadanya, tetapi ia menolaknya dan enggan untuk membantu orang lalim. Ia pun menolak untuk memenuhi kehendak Khalifah al-Abbasi menjadi guru bagi anak-anaknya. 

Pada suatu hari Khalifah al-Mahdi mengutus utusan kepada Syarik, dan berkata kepadanya,“Engkau harus menerima salah satu dari tiga: mengurusi peradilan, atau mengajar hadis kedua anakkuu dan menjadi guru bagi keduanya, atau makan bersama kami.” 

Syarik memikirkan tiga pilihan ini, kemudian berkata,“Makan lebih ringan bagiku.” Maka al-Mahdi memerintahkan tukang masaknya menyiapkan aneka ragam masakan yang menggiurkan. Ketika Syarik selesai dari makannya, orang yang bertanggung jawab mengurus dapur berkata kepada Khalifah,“Syekh ini tidak akan selamat selamanya setelah memakan makanan ini.” 

Tidak lama kemudian Syarik menduduki kedudukan sebagai hakim dan menjadi guru bagi anak-anak Khalifah serta mendapat upah tertentu dari baitulmal. Pada suatu hari terjadi pertengkaran antara Syarik dengan bendahara baitulmal soal uang palsu yang ditemukan Syarik pada upah yang diterimanya. Maka ia mengembalikannya kepada bendahara dan menuntutnya untuk menggantinya. Pengelola baitulmal terheran-heran dan berkata kepadanya,“Engkau tidak menjual belas kasihan”, dimaksudkan agar Syarik memaafkannya atas uang palsu, lantaran upah yang telah diterimanya dari baitulmal mencapai seribu dirham. Syarik tidak berbuat sesuatu melainkan menjawab penanggung jawab harta baitulmal tersebut dengan perkataan,“Benar demi Allah, aku telah menjual lebih besar dari belas kasih, aku telah menjual agamaku.” [28] 

Mahabenar Allah Yang mewahyukan kepada RasuJ-Nya dengan firman-Nya,“Apakah engkau tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?” [29] 

Kejadian ini secara singkat menyatakan kepada kita, bahwa Syarik yang tadinya memiliki komitmen, telah menyimpang dan menjadi korban makanan haram. Sebab, dampak pertama dari makanan haram adalah kekerasan hati. Dan celakalah orang yang hatinya keras, sebagaimana firman Allah SWT,“Maka celakalah orang-orang yang hatinya membatu dari megingat Allah.” [30] 

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah saw disebutkan,“Sungguh penolakan seorang mukmin terhadap apa yang diharamkan setara dengan tujuh puluh haji mabrur di sisi Allah.” [31] 

Karena, sesuap makanan yang diharamkan terkadang menjadi sebab pembentukan nutfah seorang anak yang tumbuh berlumuran dengan barang haram, yang menggiringnya menuju nasib yang gelap dan masa depan yang sengsara. 

Jika seorang mukmin dikuasai oleh keadaan dingin dan enggan untuk melakukan salat malam atau membaca Al-Qur’an, maka ia harus segera menengok kepada sumber makanan dan hartanya, untuk melihat apakah bercampur dengan syubhat. Sebab, memakan yang haram termasuk di antara sebab-sebab yang mencegah manusia dari ibadah dan doa, dan yang menjadikan manusia berani berbuat hal-hal maksiat dan dosa-dosa besar. 

Dari peristiwa Karbala, sejarah menceritakan kepada kita bahwa Imam Husein, cucu Rasulullah saw dipukul dahinya hingga berdarah. Ketika kembali ke kemah dalam keadaan seperti ini, saudara perempuannya, Zaenab bertanya kepadanya,“Tidakkah kau beritahu mereka dengan kemuliaan leluhurmu dan keturunanmu?” Imam menjawab, “Ya, tetapi perut-perut yang dipenuhi dengan hal-hal yang haram tidak akan terpengaruh oleh nasihat dan perkataan.” Bahkan, meski perkataan tersebut keluar dari lisan penghulu para syuhada’, Abu Abdillah al-Husein cucu Rasulullah. 

Karena sesuap makanan haram memiliki pengaruh penting terhadap pembentukan nutfah anak dan masa depannya, maka kita saksikan Rasulullah saw dan para imam serta sahabat-sahabat mereka mementingkan secara khusus hak orang lain, agar harta dan makanan Muslimin tidak bercampur dengan syubhat dan haram. 

Pada sejarah kehidupan Rasulullah saw, kita baca bahwa beliau saw pada hari-hari terakhir kehidupannya menyeru, “Sesungguhnya Rabbi Azza wa Jalla menerapkan dan bersumpah, bahwa Dia tidak membolehkan kelaliman orang yang lalim. Aku bersumpah demi Allah, siapa pun dari kalian yang pernah mendapat kelaliman dari Muhammad, maka berdirilah dan ambillah qishas darinya. Qishas di dunia lebih aku sukai daripada qishas di akhirat di hadapan kepala-kepala para malaikat dan para nabi. Kemudian Sawwadah bin Qais berdiri ke arahnya sebagaimana kisahnya yang telah masyhur.[32] 


Kisah Pedagang Bashrah

Al-Ghazali meriwayatkan―dalam kitabnya Ihya Ulumiddin―bahwa seorang pedagang mengirimkan sebuah kapal yang bermuatan biji gandum dari Bashrah kepada wakilnya di Kufah, dan memerintahkannya untuk segera menjualnya sesampainya biji gandum kepadanya, dan melarang menimbunnya agar terjual mahal dengan mengingatkannya bahwa Rasulullah saw melarang menimbun makanan Muslimin. Bahkan, Rasulullah berlepas diri dari mereka dan menyifatinya sebagai manusia terlaknat yang keluar dari sifat seorang Muslim.[33] 

Al-Ghazali melanjutkan kisahnya dan berkata,“Biji gandum sampai di Kufah pada hari Senin, tetapi wakil pedagang itu tidak langsung segera menjualnya. Ia berpikir bahwa jika ia menunda penjualannya hingga hari Jumat, maka harganya akan naik.” 

Wakil itu menanti hingga Jumat, dan ketika ia menjual biji gandum, ia lihat nilai keuntungan naik tujuh ribu dirham dari keadaan hari Senin. Wakil itu gembira atas hal itu, dan mengird bahwa tindakannya ini menggembirakan pedagang itu di Bashrah. Maka ia mengirim berita kepadanya dan menceritakan kisah penundaan penjualan selama tiga hari dan keuntungan yang dipetiknya. 

Ketika surat sampai di Bashrah, pedagang itu marah dan menulis surat kepada wakilnya dengan kata-kata yang keras, mengingatkannya bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan perintahnya, dan itu adalah manipulasi dan pengkhianatan. Ia telah memilih jalan menuju Jahanam dan murka Allah untuk dirinya dan pedagang itu, demi manfaat sementara dari sejumlah uang. 

Kemudian pedagang itu meminta wakilnya membawa tujuh ribu dirham uang itu dan pergi menuju rumah-rumah di Kufah membagikannya kepada orang-orang yang tertindas dan miskin. Semoga Allah mengampuni keduanya dan menerima tobatnya.[34] 


Kisah Pedagang Gula

Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin kita baca pula, bahwa seorang pedagang mendapat surat dari salah satu-wakilnya, memberitahukan bahwa musim tebu tahun ini rusak karena dingin. Ia mengatakan, “Andaikan Anda dapat menimbun semampunya, Anda akan memetik keuntungan besar.” 

Pedagang itu segera pergi ke pasar dan membeli gula yang mampu ia beli, kemudian ia segera mengumpulkannya dan menyimpannya di tempat khusus. 

Sewaktu pedagang itu akan tidur di ranjangnya pada malam hari, ia mulai berpikir sendiri,“Aku telah simpan sejumlah besar gula, sehingga keuntungan besar akan aku peroleh. Tetapi aku telah menipu Muslimin, dan siapa yang menipu Muslimin, ia tidak termasuk seorang Muslim.” 

Pikiran ini tetap menghantui pedagang itu hingga azan subuh. Pagi-pagi sekali sebelum terbit matahari, ia pergi ke rumah-rumah para pedagang yang gula mereka dibeli olehnya, dan meminta maaf kepada mereka serta menjelaskan muamalah sebenarnya yang ia lakukan kepada mereka untuk menaikkan harga gula melalui pembelian ini. Kemudian ia memohon dihalalkan dan meminta pembatalan akad jual beli dengan mereka. 

Pada hari kedua para pedagang mendatanginya, lantaran mereka mengetahui agama, kesalehan, dan istiqamahnya dalam bermuamalah. Mereka kagum terhadap persoalan ini dan berkata,“Kami rela terhadap muamalah itu dan menerima akad jual beli, meski kejadiannya seperti yang kau sebutkan.” 

Namun pikiran menipu Muslimin kembali lagi pada malam hari, sehingga menghilangkan kantuk dari kedua pelupuk matanya dan ia tidak bisa tidur. Pada hari berikutnya ia kembali kepada sahabat-sahabat dagangnya dan meminta mereka membatalkan akad jual beli dan menghentikan muamalah, sebab ia memandang bahwa meski muamalah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat dagangnya, namun hal tersebut masih syubhat dan ia harus menghindari perkara-perkara syubhat pada penghasilan dan kehidupannya. Lantaran itu ia mendesak untuk membatalkan akad, karena khawatir terhadap akibatnya secara syar’i. 


Siapa Menipu Kami, Tidak Termasuk dari Kami

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw melewati seonggok makanan, maka tangannya dimasukkan ke dalamnya hingga jari-jarinya basah, lalu berkata,“Apa ini wahai pemilik makanan?” Ia men-jawab,“Makanan itu terkena hujan wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata,“Mengapa Anda tidak letakkan di atas hingga dilihat orang? Siapa yang menipu kami (Muslimin), ia tidak termasuk dari kami.” [35] 

Oleh sebab itu ketelitian sebagian pedagang dalam kehati-hatian terhadap kebersihan sumber penghasilan dan pencahariannya, sampai pada tingkat dimana sebagian mereka merasa berdosa dan menganggap isykal memberikan sinar-sinar yang berwarna dan gemerlapan pada tempatnya. Mereka khawatir sinar yang gemerlapan tersebut akan mengubah warna kain-kain atau buah-buahan, sehingga hal itu dianggap sejenis penipuan terhadap Muslimin.[36] 

Segala kesungguhan yang tergambar dalam kisah-kisah tersebut menceritakan keyakinan mereka terhadap hari kebangkitan dan kekhawatiran mereka terhadap siksaan dan akibat-akibatnya. Mengapa kita harus jauh-jauh, sedangkan Amirul Mukminin Ali bin Thalib menulis pengumuman resmi kepada pegawainya di daerah-daerah dan di kota-kota dengan mewasiatkan kepada mereka,“Telitilah pena-pena kalian dan bersahajalah di antara tulisan-tulisan kalian serta keluarkanlah kelebihan harta kalian, sesungguhnya harta Muslimin tidak boleh dirugikan.” [37] 

Wasiat Amirul Mukminin ini mengungkapkan besarnya kesungguhannya terhadap harta Muslimin. Dengan pemeliharaan diri dan kesungguhan yang besar ini beliau masih berdiri di hadapan Allah pada larut malam dengan mencucurkan air mata bagaikan hujan, dan berdoa dengan suara khusyuk,“Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari pertanyaan-pertanyaan hisab (hari perhitungan).” Doa Imam Ali ini mengisyaratkan rumitnya perhitungan Allah terhadap hak-hak manusia pada hari kiamat. 

Bila demikian, hendaknya seorang Muslim memiliki komitmen dengan kewaspadaan yang tinggi terhadap persoalan hak-hak manusia, sebab akibatnya sulit dan saat penyesalan akan terlambat. 

Bagaimana perkara itu tidak akan demikian, padahal kita membaca pada sebagian riwayat, bahwa pada hari kiamat seorang mukmin kehilangan empat puluh salatnya yang diterima, akibat satu dirham hak manusia pada tanggungannya. Terkadang perkara ini menyebabkan orang yang berpiutang dapat pergi menuju surga dengan empat puluh salat yang diterima Allah, sedangkan orang yang berhutang dengan satu dirham harus menuju neraka Jahanam. 

Pada hari kiamat terdapat jalan-jalan yang berbeda dari yang kita jumpai di sini dari segi pengawasan dan keamanan serta kekuasaan. Di sana pengawasnya adalah Pencipta alam semesta, Allah SWT. Allah berfirman,“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi (bil mirshad).” [38] 

Diriwayatkan dari Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa mirshad (pada ayat diatas) adalah suatu jalan yang padanya Allah menanyakan tentang wahyu dan hak manusia, dan Allah bersumpah dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya bahwa Dia mungkin mengampuni segala sesuatu selain hak manusia. 


Kisah Salman

Sekarang melalui lembaran-lembaran sejarah kita menengok kisah Salman al-Farisi. Ketika maut menghampirinya, tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu, sehingga ia pun ditanya,“Mengapa kau menangis, padahal kau membawa bintang kebanggaan dari Rasulullah saw dengan sabdanya, ‘Salman dan kami Ahlul bait.’” Salman ra menjawab, “Itu karena riwayat yang aku dengar dan Rasulullah saw yang mengatakan, ‘Selamatlah orang-orang yang meringankan dan celakalah orang-orang yang memberatkan.’” 

Orang-orang keheranan melihat Salman, padahal ia memerintah kota-kota. Mereka melihat barang-barangnya tidak lebih dari selembar kulit domba yang ia gunakan sebagai tempat tidurnya, sebuah wadah yang terbuat dari tanah liat untuk makan dan minumnya, dan kendi dan tanah liat yang ia pakai untuk berwudu dan bersuci, serta sebuah tinta dan pena untuk memudahkan persolan-persoalan manusia dan melayani mereka. Dengan semua itu, ia masih menangis lantaran bebannya yang berat, padahal kita sama-sama tahu mengenai agama, keimanan, dan kedudukannya. 


Kesimpulan

Dari semua yang telah lalu kita simpulkan banwa hak manusia adalah perkara yang tidak mudah, dan lebih sulit lagi adalah anak yang terlahir dari makanan haram dan penghasilan yang haram serta mendapat makanan dari yang haram di perut ibunya. Pada hari kiamat anak seperti ini akan membenci kedua orang-tuanya dan mengadukan kepada Allah bahwa orang-tuanya memberinya makanan haram yang menyiapkan jalan baginya menuju Jahanam. 

Yang dapat disimpulkan dari beberapa riwayat adalah bahwa anak-anak akan menuju ke Jahanam sebagai balasan atas perbuatan- perbuatan jahat mereka. Kemudian si ayah digiring ke neraka sebagai imbalan atas perbuatannya memberi makanan anak-anaknya dari penghasilan haram, yang menjadi lahan bagi penyimpangan dan kesengsaraan mereka. 





Daftar Isi : 

Bab III: Pembentukan Nutfah dan Keturutsertaan Setan 33

Mabud Keturutsertaan Setan dan Kondisinya 33

Menghindari Makanan Haram 42

Kasus Syarik bin Abdillah An-Nakhai’ 44

Kisah Pedagang Bashrah 48

Kisah Pedagang Gula 50

Siapa Menipu Kami, Tidak Termasuk dari Kami 52

Kisah Salman 55

Kesimpulan 56



Catatan:


[1] Tafsir Ruh al-Bayan; I. Hal. 104; Kanz al-Ummal. Hal. 490. 

[2] Ia adalah Syekh al-Faqih Muhammad bin Murtadha yang dikenal dengan al-Faidhul Kasyani, salah seorang ilmuwan terkemuka pada abad kesebelas Hijriah. Di samping kefakihannya. ia mengarang kajian-kajian dalam filsafat. dan menyusun bait-bait syair. Al-Faidhul Kasyani lahir pada tahun 1007 H di kota suci Qom, Iran. Kemudian ia berpindah ke Kasyan, lalu ke Syiraz dan di sana ia berguru pada Sayyid Majid al-Bahrani dan filosof Shadruddin asy-Syirazi yang dikenal dengan sebutan Shadrul Mutaanihin. Al-Faidhul Kasyani menikahi puleri filosof ini, kemudianmeninggalkan Syiraz menuju Kasyan, dan menulis banyak kitab dalam berbagai keilmuan: tafsir, hadis, dan akhlak, yang mendekali dua ratus judul kitab. Ia wafat tahun 1091 H pada usia 84 tahun dan dimakamkan di Kasyan. Hingga kini makamnya dikenal dan diziarahi. 

[3] QS. Ali Imran: 6. 

[4] Tafsir as-Shafi, oleh al-Faidhul Kasyani, I, hal. 293. 

[5] QS. at-Tahrim: 6. 

[6] QS. az-Zumar: 15. 

[7] Dalam wasiat Imam Ali bin Abi Thalib as kepada anaknya disebutkan, “Wahai anakku, teman dahulu baru kemudian jalan.” 

[8] Jami’ul Akhbar, hal. 124. 

[9] Ensiklopedia Bihar al-Anwar, oleh al-Alamah al-Majlisi, LXXVII, hal. 58. 

[10] Sebenarnya kita berada di hadapan neraca yang benar, sebab pada saat pendidikan yang benar membuahkan hasil yang benar, maka pendidikan yang salah, yang tidak mempedulikan anak, memastikan orang-tua mendapatkan akibat-akibat kedurhakaan anak. 

[11] QS. az-Zumar: 15. 

[12] Dalam firman Allah SWT kita baca, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra’: 23). Pada ayat ini Allah SWT rnensejajarkan antara syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang- tua. Ia juga berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik. kepada kedua ibu-bapak; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.” (QS. Luqman: 14) 

[13] Untuk merenungkan tanggung jawab penting orang-tua tehadap anak- anak mereka, kita baca sebuah riwayat, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak anakku ini?” Rasulullah menjawab, “Anda beri nama dan mendidik saran santun yang baik padanya, dan Anda letakkan dia pada posisi yang baik.” Tidaklah sulit bagi orang-tua hanya mengantarkan anak mereka menuju tingkatan saran santun saja, tetapi yang sulit adalah meletakkannya pada posisi yang baik dalam segala sikap dan tujuan hidupnya. 

[14] Qurbul Isnad, hal. 31. 

[15] (326-385 H). 

[16] IfiShahib bin Ubbad adalah Abul Qasim Ismail bin Abul Hasan bin Ubbad bin al-Abbas. lahir di sebuah daerdh Persia di Ustukhar atau Taligan. pada tanggal16 Dzulqaidah 326 H. Ia mempelajari ilmu dan adab dari ayahnya. dan terkenal sebagai pengelola urusan-urusan keilmuan, adab, dan periwayatan hadis. Ia pemah berkata, “Siapa yang tidak menulis hadis, maka ia belum menemukan manisnya Islam.” 

Ia terkenal dengan kedermawanan dan kemurahan hatinya, hingga diriwayatkan, bahwa setiap tahun ia mengirim ke Baghdad 5000 dinar yang dibagikan kepada para fukaha dan sastrawan. Seorang pun tidak masuk ke dalam rumahnya pada bulan Ramadan, lalu keluar dari rumahnya melainkan setelah berbuka puasa, dan pada setiap malamnya seribu orang berbuka puasa di tempat tinggalnya. 

Sejarah menyebutkan tentang sikapnya mengenai “rumah tobat”, di mana suatu hari ia keluar dengan pakaian ulama, sementara ia berada di departe men dan berkata, “Kalian telah mengetahui aktivitas saya dalam keilmuan, sementara saya terlibat dalam perkara ini, dan segala yang telah saya infakkan sejak masa kecil saya hingga saat ini berasal dari harta ayah dan kakek saya. Dengan demikian, hal itu tidak lepas dari dosa-dosa. Saya bersaksi kepada Allah dan kepada kalian, bahwa saya bertobat kepada Allah dari segala dosa yang telah saya perbuat.” Dan ia membangun sebuah rumah untuk dirinya, yang ia beri nama “rumah tobat”. 

Ia wafat pada tahun 385 H di kota Ray dan dimakamkan di Isfahan, Iran. Tentang biografinya silakan merujuk dua ensiklopedia al-A’lam oleh az-Zarkuli, dan al-Ghadir oleh al-Amini―penerjemah. 

[17] Pertama kali yang kita perhatikan mengenai kehidupan Ja’far adalah sikap ayahnya, Imam Ali al-Hadi terhadapnya pada awal hari kelahiran, bahkan pada saat kelahirannya, di mana keluarganya berbahagia dengan kelahirannya, kecuali ayahnya. Maka seorang wanita bertanya mengenai hal itu. Imam berkata, “Mudahkanlah dirimu (jangan terlalu gembira), sebab akan banyak orang yang menyimpang karenanya Ja’far).” (Di sini kila teringat kembali kepada hadis, “Orang yang berbahagia adalah orang yang berbahagia di perut ibunya, dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara di perut ibunya,” dan Imam melihat dengan pandangan bashirah nur ke-maksum-annya, sehingga ia dapat menyingkap masa depan bayi ini dan memberitakannya). 

Pada kisahnya terdapat sebuah nasihat, di mana sejarah menyebutkan kepada kita, bahwa sewaktu Ja’far tumbuh dewasa, ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan pengarahan ayahnya, Imam Ali al-Hadi. Ia mengambil jalan kesia-siaan, kelakar, dan minum khamar, serta terpengaruh oleh lingkungan yang menyimpang, yang tersebar pada masanya. Kita saksikan ayahnya, Imam Ali al-Hadi memerintahkan para sahabatnya untuk menjauhinya dan tidak bergaul dengannya, sambil memperingatkan mereka bahwa ia telah keluar dari perintah-perintah dan larangan-larangannya. Alangkah indah perkataan beliau kepada mereka, “Jauhilah anakku Ja’far. Sesungguhnya kedudukan ia di sisiku sebagaimana Namrud di sisi Nuh, yang Allah SWT berfirman tentangnya, Nuh berkaya, bahwa anakku adalah dari keluargaku, Allah SWT berfirman, “Wahai Nuh, dia bukanlah dari keluargamu, dia adalah amal yang tidak saleh.” 

Logika Al-Quran berlaku, bahwa apabila anak mengikuti langkah ayahnya dalam mengikuti kebenaran, maka ia adalah anaknya yang sebenarnya; dan bila tidak mengikuti langkahnya, maka ia bukan termasuk keluarganya, meski ia dilahirkan darinya, karena ia adalah amal yang tidak saleh. 

Walaupun Imam Ali al-Hadi dan saudaranya, Imam Hasan al-Asykari mencurahkan upayanya untuk memperingan tekanan penyimpangannya. namun ia mengklaim dirinya sebagai imam setelah wafat saudaranya, Hasan al-Asykari dan ia mencoba untuk menyalatinya, serta mendekati Khalifah al-Abbasi untuk merusak garis ke-imamah-an Ahlulbait. 

Akhirnya perlu kami tunjukkan tentang pertobatan Ja’far dan kembalinya dirinya menuju kebenaran. Imam Mahdi menegaskan pertobatan ini dalam istifta yang ditulis kepadanya, meskipun tobat ini tidak bertentangan dengan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini. 

Kita dapat saksikan kisah yang lengkap pada kitab Tarikh al-Ghaibah ash-Shughra oleh Sayyid Muhammad Shadr, hal. 299 dan seterusnya―penerjemah. 

[18] QS. al-Ashr: 1-3. 

[19] Ayat yang melarang mendekati istri dalam keadaan haid adalah firman Allah SWT: 

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka gaulilah mereka itu pada tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang mensucikan diri. (QS. al-Baqarah: 222)―pen. 

[20] QS. al-Isra’: 64. 

[21] Hadis yang paling jelas dalam mengungkap makna ini adalah yang datang dari Imam Shadiq as pada ucapan beliau, “Perolehan barang haram akan tampak pengaruhnya. pada keturunan.” Al-Wasail, XII, hal, 53―pen. 

[22] Di antara hadis yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang datang dari Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as, ‘Jika salah seorang kalian bersenggama, maka ucapkanlah 

بِسمِ اللهِ وَ بِاللهِ جَنِّبنِي الشَّيطَانَ وَ جَنِّبِ الشَّيطَانَ مَا رَزَقتَنِي . 

Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, Ya Allah, jauhkanlah setan dariku dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Kau berikan kepadaku. 

Lalu Imam berkata, ‘Bila Allah menghendaki seorang anak di antara keduanya, maka setan tidak akan membahayakannya sedikit pun selamanya.’ 

Demikian pula ucapan Imam Shadiq as, sewaktu mewasiatkan, “Jika salah seorang kalian mendatangi istrinya dan tidak menyebut Allah sewaktu melakukan jimak (bersenggama), lalu mendapatkan anak darinya, maka setan menyertainya, dan hal itu bisa diketahui dari kecintaan kepada kami (Ahlul bait) atau kebencian kepada kami.” Al-Wasail, XIV, hal. 96-97―pen. 

[23] Terdapat sebuah hadis dari Imam Ja’far ash-Shadiq as. Meski relatif panjang, namun demikian berfaedah dalam mengungkap makna-makna tersebut. Dari Abi Bashir, ia berkata, “Abu Abdillah (Ja’far As-Shadiq) berkata, ‘Apabila salah seorang kalian menikah, apa yang diperbuat?’” 

Abu Bashir berkata, “Saya berkata kepadanya, ‘Saya tidak tahu.’” 

Abu Abdillah berkata, ‘Apabila ia memiliki kehendak untuk itu (menikah), maka lakukanlah salat dua rakaat dan memuji Allah sambil mengucapkan: 

اَللّهُمَّ إِنِّي أُرِيدُ أَن أَتَزَوَّجَ اللهُمَّ فَاقدُر لِي مِنَ النِّسَاءِ أَعَفَّهُنَّ فَرَجًا وَ أَحفَظَهُنَّ لِي فِي نَفسِهَا وَ فِي مَالِي وَ أَوسَعَهُنَّ رِزقًا وَ أَعظَمَهُنَّ بَرَکَةً وَ اقدُر لِي مِنهَا وَلَدًا طَيِّبًا تَجعَلُهُ خَلَفًا صَالِحًا فِي حَيَاتِي وَ بَعدَ مَمَاتِي . 

Ya Allah, saya ingin menikah. Ya Allah, takdirkanlah untukku wanita yang paling memelihara kemaluannya (kehormatan) dan paling menjaga dirinya dan hartaku untukku, dan paling luas rezekinya serta paling besar berkahnya. Takdirkanlah bagiku seorang anak yang baik darinya, yang Kau jadikan sebagai pengganti yang saleh dalam hidupku dan matiku. 

Jika wanita itu telah dimasukkan ke tempatnya, maka letakkan tangannya di atas ubun-ubun kepalanya (istrinya) dan ucapkan: 

اللهُمَّ عَلَی کِتَابِکَ تَزَوَّجتُهَا وَ فِي أَمَانَتِکَ أَخَذتُهَا وَ بِکَلِمَاتِکَ اِستَحلَلتُ فَرجَهَا فَإِن قَضَيتَ فِي رَحِمِهَا شَيئًا فَاجعَلهُ مُسلِمًا سَوِيًّا وَ لاَ تَجعَلهُ شِرکَ الشَّيطَانِ . 

Ya Allah, saya menikahinya berdasarkan kitab-Mu, dan saya mengambilnya atas amanat-Mu dan dengan kalimat-kalimat-Mu aku halalkan kemaluannya. Maka bila Engkau menentukan sesuatu pada rahimnya, jadikanlah dia seorang Muslim yang lurus, dan janganlah Kau jadikan dia yang disertai setan! 

“Saya berkata, ‘Bagaimana ia disertai setan?’ 

Imam menjawab, ‘Apabila seorang laki-laki mendekati istrinya dan duduk pada tempatnya, maka setan menghampirinya. Dan apabila ia menyebut asma Allah, setan akan menyingkir darinya. Jika ia melakukan hubungan intim dan tidak menyebut-Nya, maka ia telah memasukkan setan ke dalam kemaluannya dan perbuatan semuanya dari keduanya dalam satu nutfah.” Al-Wasail, XIV, hal. 79―pen. 

[24] Disadur dari kitab Qadha (Keputusan) Imam Ali as. 

[25] Di antara wasiat Rasulullah saw kepada Imam Ali bin Abi Thalib ialah sabda beliau, “Ya Ali, janganlah kau gauli istrimu dengan syahwat wanita lain, sebab saya khawatir, apabila ditetapkan seorang anak di antara kalian berdua, ia akan menjadi khuntsa (seorang yang memiliki dua kelamin), lelaki yang menyerupai wanita, atau gila.” Makarim al-Akhlak, hal. 209―pen. 

[26] Diriwayatkan dari Imam Shadiq as, bahwa apabila seorang lelaki mendatangi istrinya dan khawatir setan turut menyertainya, hendaknya ia membaca bisminah dan berlindung kepada Allah dari setan. 

Abdurrahman bin Katsir berkata, “Saya berada di tempat Abu Abdillah (ash-Shadiq) sambil duduk-duduk berbincang-bincang tentang keturutsertaan setan. Beliau membesarkannya hingga menakutkanku, maka saya pun berkata, “Wahai yang saya dijadikan berkorban untukmu, apa jalan keluar darinya?” 

Imam menjawab, “Apabila Anda ingin melakukan hubungan intim (jima’), maka ucapkanlah, “Bismillahir Rahmanir Rahim, alladzî lâilâha illallah, badîu’s samâwâti wal ardh. Allâhumma, in qadhaita minni fi hadzihil lailah khalîfatan, falâ taj-a’l lissyaithooni fîhi syirkan walâ nashîban walâ hazhzhan, waj-a’lhu mukminan mukhlishan mushaffan minas syaithan warijzihi, jalla tsanâuka.” Al-Wasail, XIV, hal. 96-97. Terdapat tatacara yang lain yang telah lewat pada halaman-halaman kitab sebelumnya―pen. 

[27] Imam Shadiq as berkata, “Perolehan barang haram akan tampak (pengaruhnya) pada anak keturunan.” Al-Wasail, XII, hal. 53―pen. 

[28] Muruj adz-Dzahab, oleh al-Mas’udi, hal. 347. 

[29] Al-Furqan, hal. 43. 

[30] QS. az-Zumar: 22. 

[31] Mustadrak al-Wasail, II, hal. 302. 

[32] Amat indah pelajaran yang diamhil dari kisah ini yang akan kami nukil secara singkat: Sejarah mengungkap kepada kita, bahwa Sawwadah bin Qais bangkit menuju Rasulullah saw dan berkata yang di antaranya, “Ketika Anda datang ke Thaif, saya menyambutmu, sementara Anda berada di atas unta Anda yang terbelah telinganya, dan di tangan Anda terdapat sebuah tongkat yang ramping. Lalu Anda mengangkat tongkat itu ingin melakukan perjalanan, hingga terkena perutku. Aku tidak tahu, sengakah atau karena kesalahan.” 

Rasulullah saw berkata, “Saya berlindung kepada Allah, untuk berbuat sengaja.” 

Kemudian Rasulullah mengutus Bilal umuk menarik tongkat yang ramping tersebut dan berkata kepada Sawwadah, “Kemarilah, qishas-lah dariku hingga Anda rela!” Sawwadah berkata, “Singkaplah perutmu wahai Rasulullah!” Maka Rasulullah menyingkap perutnya. Sawwadah berkata, “Demi ayahku dan ibu ku, wahai Rasulullah, apakah Anda mengizinkan saya meletakkan mulut saya pada perutmu?” Rasulullah saw mengizinkannya, dan Sawwadah berkata, “Aku berlindung pada tempat qishas dari perut Rasulullah, dan api neraka pada hari api neraka.” 

Rasulullah saw berkata, “Wahai Sawwadah bin Qais, apakah Anda memaafkan atau meng-qishas?” 

Sawwadah berkata, “Saya memaafkan, wahai Rasulullah.” 

Rasulullah saw bersabda, “Allaahumma, maafkanlah Sawwadah bin Qais seperti ia memaafkan nabi-Mu Muhammad!”―pen. 

[33] Di antara hadis ini ialah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bunyinya, “Orang yang mendatangkan barang diberi rezeki, dan orang yang menimbunnya terlaknat.” 

Di antaranya pula wasiat Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as terhadap Mesir dalam amanatnya yang terkenal kepada Malik al-Asytar, “Laranglah menimbun barang, karena sesungguhnya Rasulullah saw melarangnya, dan hendaklah berjual beli dengan jual beli yang toleran dengan neraca keadilan yang luas, tidak berpihak kepada kelompok penjual dan pembeli! Siapa yang mendekati penimbunan barang (agar terjual dengan harga tinggi) setelah Anda melarangnya, maka hukumlah dengan hukuman yang tidak berlebih-lebihan.” Al-Wasail, I, hal. 313-315―pen. 

[34] Sebenarnya pedagang itu mengatakan, “Semoga Allah mengampuni dosa keduanya!”, karena ia mengetahui hukum dari persoalan itu, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa pun yang membeli makanan, lalu ia timbun (simpan) selama empat puluh hari dengan kehendak untuk menaikkan harga Muslimin, kemudian menjualnya, dan bersedekah menurut harganya, maka hal itu belum menjadi kafarat (denda) terhadap apa yang diperbuatnya.” Pembatasan selama empat puluh hari ini, karena tidak adanya kepentingan (dharurah) kurang dari waktu tersebut. Adapun apabila tetjadi kurang dari empat puluh hari, maka ia termasuk penimbunan barang, seperti yang dikatakan oleh al-Hur al-A’mili dalam al-Wasail, XII, hal. 313―pen. 

[35] At-Targhib, II, hal. 571. Kejadian itu kami nukil secara bebas. 

[36] Di antara hadis yang menerangi persoalan ini dan dipertegas oleh sikap Islam terhadapnya, adalah hadis yang menyatakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw melewati sebuah makanan di pasar Madinah. Rasulullah berkata kepada pemiliknya, “Saya tidak melihat makananmu melainkan makanan yang baik.” Rasulullah menanyakan harganya, dan Allah SWT mewahyukan kepadanya untuk memasukkan tangannya dalam makanan, sehingga Rasulullah melakukannya dan mengeluarkan makanan yang jelek. Rasulullah saw berkata kepada pemiliknya, “Saya tidak melihatmu, melainkan telah menggabungkan pengkhianatan dan penipuan kepada Muslimin.” Sebuah hadis dari Rasulullah saw mengatakan, “Tidak tennasuk golongan kami, orang yang menipu seorang Muslim atau merugikannya atau berbuat makar kepadanya.” 

Di antara dampak-dampak penipuan pada keluarga adalah perkataan Imam Shadiq as kepada seorang lelaki yang ia datangi sedang menjual tepung, “Hati- hatilah Anda dengan penipuan, karena siapa yang menipu, ia tertipu pada hartanya. Apabila tidak mempunyai harta, maka ia tertipu pada keluarganya.” 

Di antara hadis yang memerintahkan waspada terhadap penipuan adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin al-Hakam dari Imam Musa bin Ja’far as yang berkata, “Saya menjual kain tembus cahaya di bawah naungan, dan Abul Hasan Musa bin Ja’far melewatiku dengan menaiki tunggangan. Beliau berkata kepada saya, “Wahai Hisyam, menjual di bawah naungan adalah penipuan, dan penipuan itu tidak halal.” Al-Wasail, XII, hal. 208-210―pen. 

[37] Bihar al-Anwar, LXXIII, hal. 49. 

[38] QS. al-Fajr: 14. 




Bab IV : Dampak Maksiat dan Dosa dalam Pembentukan Nutfah



Sebenarnya bab ini, bila dilihat dan temanya, merupakan pelengkap bagi bab sebelumnya. Jika perbincangan yang lalu terfokus pada pengaruh penghasilan dan makanan haram terhadap anak pada saat pembentukan nutfah, maka pembicaraan di sini―melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis serta realita kehidupan, menyentuh pengaruh-pengaruh dosa dan kemaksiatan terhadap anak pada saat pembentukan nutfah. 

Dari sisi metode, tertibnya pembicaraan kita ini menuntut kita menyusun: 

1) Pembahasan tentang pengaruh-pengaruh dosa secara umum, khususnya menyangkut pengaruh-pengaruh kejiwaan, pikiran, dan tingkah laku yang tampak pada kehidupan praktis. 

2) Setelah itu pembahasan tentang pengaruh-pengaruh maksiat dan dosa-dosa pada malam perkawinan dan saat penbentukan nutfah serta pengaruhnya pada anak. 

Jelas kita temui adanya saling keterkaitan dan kesamaan pada bagian-bagian pembicaraan dan perbendaharaan di antara kedua pembahasan ini, sebab keduannya berlolak dari latar belakang yang sama. 


Pengaruh-Pengaruh Dosa Secara Umum

Hendaknya lelaki dan wanita menjauhi dosa-dosa dan maksiat pada malam senggama dan saat hubungan intim. Bahkan, mereka harus berhati-hati terhadap hal itu sebelum berhubungan intim dan setelahnya. Apabila terjadi hubungan dan nutfah terbentuk, sedangkan suami istri dalam keadaan maksiat dan dosa, maka hal ini akan menghasilkan pengaruh negatif pada diri anak, dan perkara ini akan membawa pengaruh terhadap kondisi perilaku dan kejiwaan anak. Bukan karena dosanya, melainkan lantaran perbuatan maksiat dan dosa yang diperbuat kedua orang-tuanya secara langsung sebelum dan sesudah hubungan intim. 

Pengantar―yang melaluinya kita membahas rincian pembicaraan tentang persoalan pengaruh-pengaruh dosa dan pantulan-pantulannya― tentang hal ini tercermin dalam makna “sial” yang mengikuti dosa. Terlebih, dosa itu sendiri adalah “kesialan” dan dihasilkan oleh “kesialan” pula. 

Terdapat banyak perbincangan seputar apakah di dunia ini terdapat hal-hal yang “bahagia” dan yang “sial” atau tidak? Apakah terdapat hari sial dan bulan sial serta hari bahaga dan bulan berkah? 

Sebagian orang menjawabnya dengan mengatakan bahwa bulan Ramadan adalah bulan berkah, namun bulan Saraf adalah bulan sial. Mereka mempunyai argumen-argumen dari Al-Qur’an dan hadis-hadis dalam perkataan mereka. Adapun dari Al-Qur’an, mereka berargumen dengan firman Allah,“Kami kirimkan atas mereka angin yang berhembus kencang pada hari-hari sial,” [19] 

Dan firman Allah dalam menggambarkan Lailatul Qadr,“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam yang diberkahi.” [20] 

Sebagian lainnya yang berpendapat bahwa hari-hari dan bulan- bulan satu sama lain adalah sama, memiliki argumen pula, yaitu mentakwil ayat-ayat yang disebutkan tadi, bahwa hari-hari adalah tempat bagi peristiwa-peristiwa bahagia dan berkah atau peristiwa sial, Lailatul Qadr menjadi hari bahagia dan berkah bukan karena esensinya, tetapi lantaran pada malam itu diturunkan Al-Qur’an. Demikian pula kaitannya dengan hari-hari kehancuran bagi kaum ‘Aad yang merupakan hari sial, bukan karena esensinya, namun lantaran musnahnya kaum tersebut oleh angin yang amat kencang. 

Menurut pendapat ini kesialan dan kebahagiaan adalah sifat-sifat aksidental, bukan esensial bagi hari dan bulan. 

Kajian tentang persoalan ini dan pendapat-pendapat yang di- bawakannya merupakan persoalan menarik. Tetapi yang penting bagi kita dan yang dapat kita simpulkan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat adalah bahwa pada iklim dunia ini terdapat pengaruh-pengaruh yang menakjubkan, yang terkadang kita tidak mampu mengetahuinya atau mengerti hakekatnya. Dan terdapat hari-hari dan bulan-bulan sial serta hari-hari dan bulan-bulan berkah dan bahagia, tanpa memandang apakah kesialan dan kebahagiaan merupakan sifat esensial yang mengakar atau sifat aksidental yang datang kemudian. 

Persoalan di sini tidak dapat dibiarkan tanpa penyelesaian. Merupakan hal yang lumrah bahwa seorang Muslim dapat berhubungan dengan hari-hari sial dan menolak kesialannya melalui tawakal kepada Allah dan merendahkan diri terhadap-Nya dengan doa, membaca Al-Qur’an, dan mengeluarkan sedekah. 

Jika―misalnya―seseorang bepergian pada hari Senin, dan pada hari itu makruh untuk bepergian, maka ia dapat menolak kesialannya dengan sedekah. Dan jika ia ingin berhubungan dengan istrinya agar supaya nutfah terbentuk, pada rasi kalajengking,[21] maka ia dapat menolak kesialan dan makruhnya dengan bertawakal kepada Allah, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan memberi sedekah, serta dengan memberikan jamuan dalam kaitannya dengan malam-malam perkawinan. Yang dimaksud dengan jamuan adalah acara yang sesuai dengan syarat-syarat dan tatacara Islam, bukan seperti uang dikenal sekarang yang bercampur dengan hal-hal yang makruh dan haram menurut syariat. 

Bila demikian, memungkinkan untuk menolak kesialan dengan sesuatu yang telah diajarkan oleh riwayat-riwayat kepada kita, dengan membaca ayat Kursi atau membaca empat surah yang dimulai dengan kata qul (katakan), seperti firman Allah Qul yaa ayyulzal kaafirun, Qul huwallaahu ahad, Qul auu ‘dzu birabbil falaq, dan Qul auu ‘dzu birabbin naas. 

Perlu diperhatikan bahwa kesialan atau kebahagiaan dan berkah, pengaruh-pengaruhnya tidak terbatas pada diri orang itu saja, namun juga mengenai orang-orang di sekelilingnya, seperti istri, anak, dan turunan yang ditinggalkannya. Allah berfirman: 

Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik lelaki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [22] 

Orang yang berhubungan erat dengan Allah, tekun mendirikan salatnya pada awal waktu, mengeluarkan sedekah, mengeluarkan khumus, dan menyampaikan hak-hak Allah, serta melaksanakan salat malam, maka sungguh kehormatannya akan menjadi baik dan berkah (Sungguh akan Kami berikan kepada mereka kehidupan yang baik), dan pengaruh-pengaruh keberkahan tampak pula pada orang-orang di sekelilingnya dari keluarga dan anak-anaknya. 



Kisah Musa dan Khidir

Pada kesempatan ini, kami akan menceritakan peristiwa yang terjadi antara Nabi Musa (as) dan Khidir (as), sewaktu sampai di sebuah desa, lalu keduanya meminta makanan kepada penduduknya dan mereka enggan memberikannya. Meskipun begitu, Khidir (as) bergegas menuju ke sebuah dinding, lalu ia merobohkannya dan membangunnya kembali. Ketika kelakuan Khidir ini membuat Musa (as) terheran-heran, Khidir menjelaskan alasannya kepada Musa, sebagaimana diceritakan Al-Qur’an dengan firman-Nya: 

Adapun dinding rumah itu, adalah milik dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayah keduanya seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah takwil dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. [23] 

Perhatikan firman Allah SWT“Sedangkan ayah keduanya adalah orang saleh.” Ternyata kebajikan dan berkah yang dikaruniakan Allah kepada kedua anak yatim tersebut dan yang didatangkan kepada mereka dari perkara Musa dan Khidir, adalah disebabkan kesalehan ayah mereka. Hal ini persis seperti maksud yang ingin kita buktikan melalui pembalasan kita bahwa pengaruh kebajikan dan kesalehan orang-tua tidak terbatas pada diri mereka saja, tetapi meluas pada anak-anaknya. 

Pengalaman sosial menguatkan pernyataan itu, di mana biasanya anak-anak yang saleh berasal dari orang-tua yang saleh; sebaliknya anak-anak yang menyimpang, dan sesat berasal dari orang-tua yang menyimpang pula. 

Orang yang keluar dari jalan istiqamah (konsisten), kehidupannya akan berubah kepada penderitaan dan kesulitan, sehingga ia ditimpa berbagai probema, dan kesulitan-kesulitan datang di rumahnya serta beraneka ragam kekalutan jiwa dan kelelahan saraf muncul dalam kehidupannya. Orang seperti ini bagaikan jatuh dari langit sebagaimana yang digambarkan oleh sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi: 

Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya.Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh .[24] 

Pada surah Al-Qur’an yang lain, Allah SWT menjelaskan tentang apa yang terjadi pada orang yang menyimpang dari kebenaran dan berbuat maksiat dan dosa-dosa serta problema-problema yang berturut-turut dan musibah-musibah yang silih berganti yang menimpanya dengan firman-Nya: 

Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengannya gunung-gunung dapat diguncangkan atau bumi menjadi terbelah, atau lantarannya orang-orang yang telah mati dapat berbicara [tentu Al-Qur’an itulah dia]. Sebenarnya segala urusan itu adalah milik Allah. Maka tidakkah orang-orang yang beriman mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semua. Dan orang-orang kafir yang senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.[25] 

Pantulan-pantulan negatif dari maksiat-maksiat dan dosa-dosa tidak terbatas pada pribadi-pribadi yang melakukannya, dan tidak pula terbatas pada sekelilingnya atau yang dekat dengan tempat kediamannya. Melainkan malampaui mereka hingga pada orang-orang sekelilingnya dan keluarga, anak-anak, dan para kerabat, bahkan terkadang meluas hingga keturunan dan cucu-cucunya. Allah SWT berfirman dalam menggambarkan makna ini,“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar].” [26] 

Kemudian tidak ada ayat yang lebih jelas tentang persoalan ini daripada firman Allah yang berbunyi,“Dan peliharalah dirimu dari siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kamu. Dan ketatahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” [27] 

Ayat (112) dan surah an-Nahl juga mengungkapkan pengaruh dosa-dosa secara sosial dan umum serta fitnahnya yang menimpa seruanya. Allah SWT berfirman: 

Dan Allah membuat suatu perumpamaan [dengan] sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi [penduduk]nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Lantaran itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. [28] 

Banyak ayat yang serupa dengan ayat-ayat ini dalam mengungkapkan tentang pengaruh umum maksiat dan dosa-dosa, yang secara sosial berbalik menjadi fenomena-fenomena ketakutan dan kelaparan. 

Masyarakat Islam harus waspada terhadap persoalan ini, agar mereka tidak tertimpa pakaian ketakutan dan kelaparan, sebab tidak satu pun yang mampu mengetahui akibat-akibat bala seperti ini. 

Di hadapan kita―dalam sejarah kontemporer―terjadi―misalnya― pada negara Uni Soviet, kondisi-kondisi yang mengkhawatirkan seperti kelaparan dan ketakutan serta tidak adanya keamanan. Hal itu merupakan hasil kemenangan revolusi Oktober komunisme pada tahun 1917. Belum berlalu tiga tahun kemenangan komunis, kelaparan telah melanda negara itu, hingga terpaksa para penduduk memakan kucing dan anjing. 

Lalu apakah ada gambaran tentang hilangnya keamanan dan ketenangan yang lebih buruk daripada seseorang yang pergi ke tempat tidurnya dengan segala kegelisahan yang meliputinya dari segala sisi, takut terhadap serangan, pencurian, dan penganiayaan, bahkan pembunuhan?! 


Faktor-faktor Kerisauan Pada Dunia Modern

Masyarakat Barat atau yang sering disebut dengan dunia modern, saat ini dikuasai oleh kerisauan dan kecemasan sosial. Yang mengherankan, tingkat kerisauan dan kecemasan sosial ini semakin bertambah pada masyarakal-masyarakatnya, dan meningkat sejalan dengan perkemhangan pendapatan perkapita serta kemajuan teknologi dan industri. 

Pada saat ini Barat hidup dalam kondisi yang parah menyangkut pelampiasan syahwat, yang berperan dalam mengantarkan kepada kenihilan keamanan sosial bagi anak lelaki dan perempuan, sebagai hasil dari bentuk-bentuk hubungan intim dan pelecehan seksual.[29] 

Seorang anak di Amerika saat ini, meninggalkan rumah menuju sekolah tanpa adanya kepercayaan keluarganya bahwa ia akan kembali ke rumah lagi. 

Kebebasan moral telah sampai pada tingkat kemerosotan yang mengkhawatirkan.[30] Penghitungan dan sensus memberikan ke-pada kita kenyataan yang membingungkan tentang kondisi masyarakat dan kekeluargaan di Amerika dan Barat.[31] 

Dan melalui peranannya, kebebasan telah memberikan fenomena-fenomena yang mencengangkan, berupa praktek-praktek pembunuhan dan pelecehan yang mulai menguasai kehidupan remaja, yang dikenal dengan geng-geng anak-anak. 

Pada tahun empat puluhan dan lima puluhan, Einstein telah menggambarkan masyarakat Amerika sebagai masyarakat yang dikuasai ambisi dan kecemasan.[32] Pada hari ini, ia boleh bangkit dari kuburnya untuk melihat apa yang terjadi dengan Amerika, yang untuknya ia curahkan hasil kehidupannya dan ia berikan rahasia peledakan bom atom. Menurut perkataan salah seorang Amerika sendiri, kondisinya sampai pada suatu keadaan dimana 95% dari mereka terjangkit salah satu jenis stres dan penyakit saraf. 

Lebih buruk dari itu semua adalah bahwa pengaruh-pengaruh kejiwaan dan sosial lantaran gelombang modernisasi dan kemajuan teknologi serta perkembangan pendapatan perkapita, mulai melebar ke penjuru dunia. Jarang kita temukan sebuah masyrakat dari komunitas manusia yang selamat dari bentuk stres serta penyakit saraf dan jiwa. 

Takhayul, sihir, sulap, dan adu nasib memiliki lahan yang cocok untuk berkembang dan tersebar pada lingkungan-lingkungan dan masyarakat-masyarakat yang lemah di bawah pijakan yang tidak bertujuan, kerisauan, dan penyakit-penyakit jiwa. Dengan surutnya agama dan norma-norma, maka manusia semakin berlindung kepada sihir dan sulap (tipuan). 

Gelombang sihir dan takhayul saat ini menguasai masyarakat Barat. Di Inggris―misalnya―jumlah orang-orang yang duduk di jalan-jalan untuk membaca tanda baik dan buruk, melihat telapak tangan, dan mengadu nasib, serta lain sebagainya lebih banyak daripada orang-orang yang hilir-mudik ke kantor-kantor. 

Di Amerika, Anda tidak akan temukan nomor 13 di hadapan Anda, tidak pada bangunan-banguan tinggi dan tidak pula pada kebiasaan hidup, sebab mereka pesimis terhadap nomor ini dan meramalkan keburukannya. Oleh karena itu sewaktu mereka mencari bangunan bertingkat lima puluh Anda akan saksikan, bahwa tangga berjalan dari tingkat dua belas menuju tingkat empat belas tanpa terdapat bekas apa pun pada tingkat tiga belas. 

Jika terpaksa salah seorang Amerka terpaksa harus menggunakan nomor 13, maka ia tidak akan menyebutnya 13, tetapi mengatakan 12+1. 

Semua penyakit dan gejala-gejala perilaku dan gejala-gejala sosial yang sakit dan ganjil ini, disebabkan oleh jauhnya manusia dan masyarakat dari Allah dan norma-norma agama samawi yang benar, dan keterikatan mereka dengan dunia, serta ambisi terhadap dunia dan kenikmatan-kenikmatan materinya. 

Bila tidak, mengapa Amerika dan Uni Soviet―sebagai dua kekuatan besar dalam sistem kenegaraan―saat ini melakukan dominasi dan penundukan bangsa-bangsa serta pemberlakuan hegemoni di seluruh penjuru dunia?” 

Semua itu terjadi lantaran ambisi terhadap kepentingan-kepentingan materi dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ma-syarakat Barat, yang menghabiskan harta kekayaan dan hak-hak bangsa lain dalam rangka pemuasan keinginan-keinginannya. [33] 

Di sini kami berbicara tentang pengaruh-pengaruh sosial, perilaku, dan kejiiwaan yang disebabkan oleh keterkaitan manusia atau masyarakat yang erat dengan ambisi dan kebutuhan-kebutuhan materi, tanpa diimbangi dengan ketakwaan kepada Allah atan norma-nonna agama yang benar. 

Oleh sebab itu, contoh-contoh dan fakta-fakta dari kondisi ini kita temui realisasinya pada setiap periode dan waktu, baik di masa sekarang maupun di saat-saat yang lalu. Tidak perlu jauh-jauh, di hadapan kita terdapat sejarah khalifah-khalifah Bani Abbas, di mana sejarah menukil bahwa salah satu di antara mereka mengumpulkan seratus wanita di istananya, padahal belum tentu setahun sekali ia menyentuh mereka. Namun, meskipun begitu kita saksikan dirinya masih berpikir menambah wanita-wanitanya atau memikirkan istri fulan dan anak fulan yang merupakan kelambu dan kehormatan manusia. 

Jika kendali syahwat dan keinginan yang terdapat pada manusia dan masyarakat dilepas, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah dan menghentikannya pada batas tertentu. Masyarakat saat ini― meskipun dengan segala kelesuan, kekacauan, dan keruwetan―meminta lebih, dan tidak berhenti pada suatu batas. Sebab, perut lapar dan kebutuhan ekonomi dapat terobati dengan pemenuhan tuntutan-tuntutan makanan dan harta; sedangkan syahwat dan ambisi yang lapar tidak ada habis-habisnya. [34] 

Sebuah ayat mengisyaratkan kepada makna ini: 

Dan Allah membuat suatu perumpamaan [dengan] sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat. Tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.[35] 

Tidak hanya lapar terhadap materi saja, namun juga tidak terkendalinya syahwat dan ambisi, kesenangan yang melewati batas, serta hilangnya keamanan dan ketenangan. 

Bila tidak, apakah ada gambaran tentang hilangnya keamanan yang lebih jelas lagi dibandingkan ketidakpercayaan dan ketidaktenangan masyarakat terhadap anak-anak muda dan teman-teman mereka? 

Dan apakah ada musibah yang lebih besar daripada kita mengirimkan seorang remaja atau gadis ke sekolah atau universitas, lalu mereka kemnali kepada kita tanpa norma-norma dan agama? 

Masyarakat hampir tidak mendapat kerugian yang lebih besar daripada kerugiannya pada kaum muda dan mudinya. Karena, apabila mereka baik, mereka adalah tonggak kebaikan dan ketenangan masyarakat. Mereka adalah tiang umat manusia dalam perkembangan dan kemajuan. 

Kesimpulannya, perbuatan dosa melahirkan kesulitan-kesulitan dan fitnah, sehingga manusia berpindah-pindah dari satu kegelapan kepada kegelapan yang lain. 

Alangkah manisnya gambaran Al-Qur’an yang menggambarkan makna ini dalam firman-Nya: 

Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang di atasnya ombak [pula], di atasnya lagi awan, gelap gulita yang tindih-menindih, apabila ia mengeluarkan tangannya, tidaklah ia dapat melihatnya. [Dan] barangsiapa tidak diberi cahaya oieh Allah, maka tidaklah ia mempunyai cahaya sedikit pun. [36] 

Ini adalah kenyataan dari kehidupan tanpa Allah dan tanpa Islam. Wajar, semuanya mengakui bahwa pengaruh-pengaruh negatif dari penyimpangan―sebagaimana kami tegaskan berulang kali―tidak terbatas pada pribadi orang itu sendiri, tetapi melebar kepada keluarga dan anak-anaknya. 

Oleh sebab itu, Allah SWT mewasiatkan kepada kita dengan firman-Nya: 

Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan benar. [37] 

Manusia yang sangat memperhatikan masa depan anak-anaknya dan menghendaki hidayah dan taufik bagi mereka, harus memelihara batas-batas ketakwaan pada perkataan, pergaulan, dan perilakunya. Ia tidak boleh ikut serta dalam menyebarkan isu-isu dan tidak membiasakan gunjingan dan tuduhan, agar pengaruh-pengaruh dari komitmen dan ketakwaannya menjadi positif bagi anak-anaknya. 


Pengaruh Dosa yang Diperbuat

Pada Malam Perkawinan Terhadap Anak


Pada bagian pertama bab ini, perbincangan berkisar pengetahuan tentang pengaruh dosa secara umum pada kehidupan manusia. Pengaruh-pengaruh ini memberikan sifatnya secara langsung dan pengaruh negatifnya melekat pada anak, bila dosa-dosa itu diperbuat pada malam-malam perkawinan atau sebelum pembentukan nutfah. Satu dosa pada kondisi seperti ini terkadang membawa manusia menuju masa depan yang sengsara. Sebaliknya, satu kebaikan, seperti mengadakan walimah (pesta perkawinan) menurut syarat-syarat Islam akan membawa tangan si anak menuju masa depan yang bahagia.[38] 


Perkawinan Fatimah Az-Zahra

Sebaik-baik perbincangan di sini, adalah teladan yang kita dapat ambil dari kehidupan Fatimah az-Zahra, belahan jiwa Rasulullah saw. Sebab, telah masyhur bahwa Rasulullah saw telah menikahkannya dengan Ali bin Abu Thalib dengan mahar (mas kawin) sederhana yang terdiri dari tujuh belas barang kebutuhan. Sewaktu barang-barang lamaran didatangkan, Rasulullah saw melihatnya dan menangis dengan tangisan kasih sayang serta memohon kepada Allah SWT untuk memberkahi barang-barang itu yang kebanyakan bahannya terbuat dari tembikar dan tanah liat, di mana terdapat bejana, gelas, kendi, dan sebagainya yang terbuat dari tanah liat. Pada malam perkawinan yang diberkahi, Rasulullah saw menyuruh menyiapkan walimah dengan mengundang orang-orang lemah, fakir miskin, dan orang-orang yang berhak. Sewaktu tiba iring-iringan Fatimah menuju tempat tinggal Ali, Rasulullah memerintahkan para wanita untuk menghindari dosa apa pun dan berhati-hati terhadap perbuatan maksiat. Apabila para pria, dan wanita berbaur menjadi satu, maka itu adalah perbuatan dosa besar yang berpengaruh terhadap suasana perkawinan. Dan kesialan dari dosa ini akan berpindah kepada kedua suami-istri dan tentunya kepada anak mereka pada saat pembentukan nutfah. 

Lantaran itu Rasulullah saw mewasiatkan, agar tidak terdengar suara-suara wanita dari sisi lelaki yang bukan muhrim, dan hendaknya belahan jiwanya diiringi ke tempat tinggalnya dengan takbir dan tahlil. 

Az-Zahra diiringi ke tempat tinggal perkawinan dalam keadaan seperti ini, dan dalam perjalanannya menuju ke rumah Amirul mukminin Ali, Fatimah az-Zahra menyedekahkan sebuah pakaian perkawinannya di jalan Allah SWT. 

Rasulullah saw mendatangi rumah Ali dan meminta kedua suami-isni tersebut mendirikan salat dua rakaat. Ali berwudu dan Fatimah pun berwudu, lalu Rasulullah mengambil air wudu keduanya dan memercikkannya ke sudut-sudut tempat itu. 

Ketika keduanya telah menyelesaikan salatnya, Rasulullah saw mendoakan keduanya agar mendapatkan anak-anak yang saleh dan keturunan yang diberkahi. Demikianlah kejadiannya. Tidak ada yang lebih jelas tentang itu daripada firman Allah yang berbunyi, “Sesungguhnya Aku (Allah) telah memberimu al-Kautsar,” dan itu untuk Fatimah az-Zahra. Arti al-Kautsar adalah banyak anak atau banyak kebaikan. Berdasarkan kedua makna tersebut, maka perkawinan az-Zahra, belahan jiwa Rasulullah, adalah sebuah perkawinan yang diberkahi dan membuahkan banyak kebaikan serta keturunan yang baik, yang senantiasa beranak cucu hingga hari ini dan akan tetap memiliki keturunan hingga hari manusia dibangkitkan. Perkawinan az-Zahra mewariskan kepada kita para imam Muslimin dari Ahlulbait dan mereka adalah “rahasia yang dititipkan” pada Fatimah az-Zahra. 

Jika kita luaskan pandangan kita ke segala penjuru, kita saksikan para sayyid (keturunan Rasulullah) menyebarkan kebaikan, kedermawanan, dan berkah dengan perbuatan-perbuatan dan kesalehan mereka, dan akan ada dari keturunan Fatimah, al-Mahdi bagi umat ini dan penyelamat umat manusia dari cengkeraman-cengkeraman para tiran dan orang-orang lalim dengan membawa bendera Islam dan keadilan bagi seluruh umat manusia. 

Ini adalah sebuah contoh teladan dari suatu perkawinan yang diberkahi dan jauh dari syubhat-syubhat kemaksiatan dan dosa. Tidak heran, itu adalah perkawinan antara suami-istri termulia dalam pemeliharaan Allah dan di bawah pengawasan Rasulullah saw. 


Kisah Perkawinan Ibn Yahya Al-Barmakiy

Para pembaca yang budiman, marilah kita beralih kepada suatu kisah perkawinan lain yang di dalamnya terlihat berbagai warna kerusakan dan dosa, dan berakhir dengan kehancuran dan kerugian. Yang kami maksud di sini ialah kisah perkawinan Ibn Yahya al-Barmakiy, yang benar-benar berlawanan dengan perkawinan az-Zahra. 

Marilah kita biarkan sejarah berbicara kepada kita melalui perkataan salah seorang mereka yang bercerita sebagai berikut: 

“Saya adalah seorang pedagang di Kufah, dan saya mengalami kerugian dalam perdagangan saya, sehingga tidak dapat tinggal di kota itu. Maka dengan susah payah saya pergi ke Baghdad dengan membawa serta istri dan anak-anak saya. Saya letakkan mereka di sebuah reruntuhan bangunan, sedangkan saya berkeliling di jalan-jalan kota Baghdad, mencari makanan untuk mereka. Saya lihat Baghdad tidak seperti biasanya dengan adanya gerakan, kegiatan, dan hiasan-hiasan. Saya pun bertanya-tanya: gerangan apa yang terjadi? 

Dikatakan kepada saya, bahwa itu adalah hari perkawinan anak Yahya al-Barmakiy. Saya lihat manusia berbondong-bondong menuju tempat tinggal Yahya. Maka saya pun bergabung bersama mereka. Sewaktu saya sampai di sana, tidak saya temukan seorang pun, baik penerima tamu maupun penjaga pintu. Saya masuk ke dalam seperti yang lainnya dan duduk. Pemandangan pesta perkawinan saat itu terlihat mewah. Di sana terdapat tarian, lagu, dan suara tabuhan gendang. Para remaja pria berbaur dengan gadis-gadis dan lelaki bercampur dengan wanita. Seluruh pemandangan dan hiasan menunjukkan pemakaian harta yang melimpah dan terbuang sia-sia dari baitulmal Muslimin. 

Kemudian seseorang mengumumkan bahwa terdapat hadiah-hadiah yang akan dibagikan kepada para hadirin seusai akad nikah. Saya duduk menanti bersama hadirin yang lain. Bagian saya waktu itu adalah sebuah sertifikat kepemilikan kebun yang luas di Syam. 

Saya tidak gembira terhadap surat kepemilikan ini, karena saya mengira bahwa surat itu akan diambil dari saya, ketika saya keluar dari rumah Yahya al-Barmakiy. Tetapi sangat mengejutkan, sewaktu saya keluar dari rumah itu, tidak seorang pun mencegat dan meminta saya mengembalikan surat kepemilikan kebun di Syam. 

Saya bawa istri dan anak-anak saya, dan segera meninggalkan Baghdad menuju Syam. Saya pun menjadi pemilik kebun yang luas dan setelah itu keadaan materi saya mulai membaik dan berkembang. 

Pada suatu hari saya pergi ke kamar mandi umum, untuk membersihkan badan saya dengan sempurna. Saya meminta pemiliknya menyediakan seseorang yang dapat mencuci badan saya dengan baik. 

Saya duduk, kemudian pemilik kamar mandi umum itu mengirimkan seorang pemuda kepada saya. Sara perhatikan tanda-tanda kecerdasan dan kemuliaan tampak pada dirinya. Saya pun menjadi heran, bagaimana pemuda seperti ini menjadi hanya seorang penggosok badan di kamar mandi umum. 

Saya duduk dan ia pun memulai pekerjaannya. Pada saat pemuda itu mencuci badan saya, saya teringat kisah kerugian dan kefakiran yang menimpa saya di Kufah, kemudian kepergian saya ke Baghdad dan kisah perkawinan anak Yahya al-Barmakiy serta perubahan nasib saya di kebun Syam. Saya teringat pula ketika tinggal di Syam, saya telah menulis beberapa bait syair kepada Yahya, yang di dalamnya berisi pujian terhadap perkawinan anaknya. Bait-bait tersebut terlintas pada ingatan saya ketika saya duduk dengan pemuda yang mencuci badan saya itu. Maka saya mengulanginya dengan suara yang terdengar oleh diri saya. 

Sewaktu saya mengulang-ulang bait-bait syair tersebut, saya lihat kedua tangan pemuda itu menjadi lemas dalam mencuci badan saya. Kemudian ia jatuh pingsan ke tanah. Orang-orang memercikkan air di wajahnya, hingga ia sadar kembali. Saya berkata kepada pemilik kamar mandi umum itu, “Aku meminta kepadamu seorang lelaki kuat untuk mencuci badanku, lalu mengapa kau datangkan untukku seorang pemuda yang lemah?” 

Pemilik kamar mandi itu memberitahukanku bahwa pemuda itu adalah orang terbaik yang bekerja di tempatnya, dan sebelumnya ia tidak pernah pingsan. 

Sewaktu pemuda itu sadar dan kembali pada keadaannya semula, aku mulai mengajaknya bicara untuk mengetahui apa yang menimpanya, karena aku tahu bahwa pingsannya adalah lantaran mendengar bait-bait syair yang kualunkan. Aku mendesaknya, agar dapat mengetahui kaitan pingsannya dengan bacaan bait-bait syairku, namun ia menolak mengatakannya. Aku pun semakin mendesaknya, sehingga ia bertanya kepadaku, “Bait-bait itu kau tuju-kan kepada siapa?” Aku menjawab, “Untuk anak Yahya al-Barmakiy dalam rangka perkawinannya.” 

Pemuda itu berkata, “Ketahuilah, bahwa saya adalah anak Yahya al-Barmakiy yang Anda tujukan bait-bait ini kepadanya. Nasib saya telah berubah seperti yang Anda lihat.” 

Yang penting bagi kita dari kisah ini adalah bahwa harta kekayaan haram yang dihambur-hamburkan pada perkawinan Ibn Yahya al-Barmakiy berubah menjadi bencana hagi suami-istri, lalu meluas pada seluruh keluarga al-Barmakiy. 

Apabila kita ingin mengetahui kedalaman musibah yang menimpa keluarga al-Barmakiy, maka cukup bagi kita membuka lembaran-lembaran kitab sejarah yang memberitakan kepada kita bahwa setelah terbunuhnya Ja’far al-Barmakiy, Harun ar-Rasyid memerintahkan untuk mengeluarkah harta keluarga al-Barmakiy dan menahan lelaki mereka, lalu membunuhnya, serta mempersempit ruang gerak wanita-wanita mereka. 

Hari-hari tidak berlalu, melainkan segala sesuatunya berubah menjadi keadaan yang berlawanan dengan sebelumnya. Bila sebelumnya keluarga al-Barmakiy menjadi menteri-menteri negara, kini nasib mereka berakhir kepada kehancuran. Orang yang selamat dari mereka, pergi mengembara ke kota-kota meminta-minta kepada manusia untuk menyambung hidup. 

Tidak ada sesuatu yang lebih menunjukkan penderitaan nasib ini daripada yang terjadi pada ibu Ja’far yang terbunuh, di mana sebelumnya ia melahirkan perdana menteri di istana negara. Perdana Menteri adalah menteri yang memerintah sebuah negara yang batas-batasnya sejauh separuh dunia atau lebih. Ibu Ja’far menjadi orang yang tidak memiliki sebuah tempat tidur pun untuk duduk atau tidur di atasnya. 

Muhammad bin Abdurrahman al-Hasyimi meriwayatkan,“Aku masuk ke rumah ibuku pada hari Qurban, dan aku temukan dia di sana bersama seorang perempuan yang sedang berbicara dengan pakaian usang. Ibuku bertanya kepadaku, “Tahukah kau siapa dia?” Aku jawab, “Tidak.” Ibuku berkata, “Dia adalah Ubadah, ibu Ja’far bin Yahya.” Maka aku menghadapkan wajahku kepadanya, mengajaknya bicara, dan menghormatinya, lalu aku berkata kepadanya, “Wahai ibu, alangkah mengherankan yang aku lihat!” 

Ia menjawab,“Wahai anakku, telah datang kepadaku hari raya seperti ini dan di sekitarku terdapat empat ratus dayang-dayang, dan aku sungguh menganggap anakku durhaka kepadaku. Aku tidak mengangankan selain dua helai kulit dumba yang salah satunya aku bcntangkan dan lainnya aku jadikan selimut.” 

Al-Hasyimi kemudian berkata,“Maka aku memberinya lima ratus dirham dan ia hampir mati kegirangan. Dia senantiasa mendatangi kami hingga kematian memisahkan kami.” [39] 

Bukanlah tujuan kami menceritakan kisah ini untuk membandingkannya dengan kisah sebelumnya dari perkawinan Fatimah az-Zahra. Sebenarnya maksud kami adalah supaya kita merenungkan nasib perkawinan yang diiringi kemaksiatan dan dosa-dosa serta pcnggunaan harta haram, sehingga keluarganya terputus dan keturunan mereka terhapus serta tidak tersisa atsar dari mereka. Yang tersisa dari mereka hanyalah kematian setelah merasakan berbabgai penghinaan, minta-minta, serta pekerjaan-pekerjaan berat dan sulit. Sedangkan perkawinan az-Zahra membuahkan para imam Ahlulbait kepada umat manusia umumnya dan Muslimin khususnya dan keturunan-keturunan saleh yang senantiasa kebaikan dan pemberiannya menyebar hingga hari kebangkitan. Cukup bagi Zahra suatu kebanggaan dengan firman Allah tentangnya yang ditujukan kepada ayahnya, Rasulullah saw,“Sesungguhnya Aku telah berikan engkau (Muhammad) al-kautsar (kebaikan yang banyak).” 

Bila kita mengkaji akar kejadian-kejadian ini dari sudut tafsir Al-Qur’an yang didukung dengan hadis-hadis, kita lihat bahwa ia kembali kepada satu hakekat, yaitu hubungan dengan Allah dan kuatnya keterkaitan dengan-Nya serta mengamalkan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. 

Fatimah az-Zahra yang memiliki hubungan erat dengan Allah dan kehidupannya berdiri atas asas ketakwaan serta perkawinannya dibangun atas dasar ketaatan, komitmen, jauh dari kemaksiatan, dan terjaga dari syubhat dan dosa-dosa, kemudian menyedekahkan sebuah pakaian pengantinnya pada malam pengiringan pengantin yang menyenangkan hati setiap manusia, perkawinannya telah membuahkan segala kebaikan dan kemurahan kepadanya, suaminya, dan keturunannya yang diberkahi Allah. 

Hal itu menjadi sebaliknya, andaikan upacara perkawinan itu diadakan atas dasar kemaksiatan, yang tercermin dengan fenomena- fenomena berbaurnya laki-laki dan perempuan, atau yang dilakukan wanita-wanita dengan bersolek dan memperlihatkan perhiasan mereka serta hal-hal yang diharamkan kepada mereka di hadapan pengantin. Atau yang dilakukan pada sebagian perkawinan dengan memperkenalkan pengantin kepada para tamu dan teman-teman yang diundang, tanpa memperhatikan syarat-syarat kesopanan menurut syariat. 

Demikian pula halnya pemandangan pesta perkawinan dengan wanita-wanita yang mondar-mandir di antara laki-laki ketika membagikan berbagai jenis minuman, makanan, dan buah-buahan. Kemudian pesta perkawinan menurut batas-batas syariat jadi berubah menjadi ajang bangga-banggaan, dan keuangan untuk semua itu berasal dari riba, perbuatan haram, dan berbagai bentuk penipuan dalam hubungan bisnis. Maka semua perkara ini akan membawa kesengsaraan dan penderitaan pada perkawinan dan terkadang menyebabkan terputusnya tali keturunan. 

Sekiranya perkara itu hanya sebatas terputusnya keturunan, mungkin tidak terlalu berat. Namun tragisnya sewaktu perkawinan ini membuahkan buahnya yang pahit dan melahirkan anak-anak yang tidak baik pada masyarakat, maka keberadaan mereka berubah menjadi faktor-faktor penghancur bangunan masyarakat. Terlebih lagi hal itu diikuti dengan penyimpangan gadis-gadis dari jalan kebenaran yang merupakan bencana dan kerugian terhadap harga diri dan kehormatan keluarga dan lingkungan kerabat mereka. 


Kesimpulan


Kesimpulan yang mengakhiri pembahasan bab ini adalah bahwa dosa-dosa memiliki pengaruh yang berakibat buruk pada kehidupan manusia secara umum. Kemudian pengaruh-pengaruh ini lebih terpusat pada malam perkawinan dan saat pembentukan nutfah. Sebab, ia menimbulkan pengaruh negatif dan buruk terhadap nasib suami-istri, dan anak-anak mereka bagaikan kuman-kuman bakteri. 

Oleh sebab itu hendaknya kita menjauhi maksiat dan dosa-dosa, khususnya pada malam perkawinan dan saat pembentukan nutfah, dan hendaknya tempat tinggal perkawinan merupakan benteng ketaatan dan ibadah agar pengaruh-pengaruh positifnya tampak pada masa depan anak-anak khususnya dan masyarakat umumnya. 





Daftar Isi : 

Bab IV: Dampak Maksiat dan Dosa dalam Pembentukan Nutfah 32

Pengaruh-Pengaruh Dosa Secara Umum 33

Kisah Musa dan Khidir 37

Faktor-faktor Kerisauan Pada Dunia Modern 42

Pengaruh Dosa yang Diperbuat 50

Pada Malam Perkawinan Terhadap Anak 50

Perkawinan Fatimah Az-Zahra 51

Kisah Perkawinan Ibn Yahya Al-Barmakiy 54

Kesimpulan 61






[1] Tafsir Ruh al-Bayan; I. Hal. 104; Kanz al-Ummal. Hal. 490. 

[2] Ia adalah Syekh al-Faqih Muhammad bin Murtadha yang dikenal dengan al-Faidhul Kasyani, salah seorang ilmuwan terkemuka pada abad kesebelas Hijriah. Di samping kefakihannya. ia mengarang kajian-kajian dalam filsafat. dan menyusun bait-bait syair. Al-Faidhul Kasyani lahir pada tahun 1007 H di kota suci Qom, Iran. Kemudian ia berpindah ke Kasyan, lalu ke Syiraz dan di sana ia berguru pada Sayyid Majid al-Bahrani dan filosof Shadruddin asy-Syirazi yang dikenal dengan sebutan Shadrul Mutaanihin. Al-Faidhul Kasyani menikahi puleri filosof ini, kemudianmeninggalkan Syiraz menuju Kasyan, dan menulis banyak kitab dalam berbagai keilmuan: tafsir, hadis, dan akhlak, yang mendekali dua ratus judul kitab. Ia wafat tahun 1091 H pada usia 84 tahun dan dimakamkan di Kasyan. Hingga kini makamnya dikenal dan diziarahi. 

[3] QS. Ali Imran: 6. 

[4] Tafsir as-Shafi, oleh al-Faidhul Kasyani, I, hal. 293. 

[5] QS. at-Tahrim: 6. 

[6] QS. az-Zumar: 15. 

[7] Dalam wasiat Imam Ali bin Abi Thalib as kepada anaknya disebutkan, “Wahai anakku, teman dahulu baru kemudian jalan.” 

[8] Jami’ul Akhbar, hal. 124. 

[9] Ensiklopedia Bihar al-Anwar, oleh al-Alamah al-Majlisi, LXXVII, hal. 58. 

[10] Sebenarnya kita berada di hadapan neraca yang benar, sebab pada saat pendidikan yang benar membuahkan hasil yang benar, maka pendidikan yang salah, yang tidak mempedulikan anak, memastikan orang-tua mendapatkan akibat-akibat kedurhakaan anak. 

[11] QS. az-Zumar: 15. 

[12] Dalam firman Allah SWT kita baca, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra’: 23). Pada ayat ini Allah SWT rnensejajarkan antara syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang- tua. Ia juga berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik. kepada kedua ibu-bapak; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.” (QS. Luqman: 14) 

[13] Untuk merenungkan tanggung jawab penting orang-tua tehadap anak- anak mereka, kita baca sebuah riwayat, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak anakku ini?” Rasulullah menjawab, “Anda beri nama dan mendidik saran santun yang baik padanya, dan Anda letakkan dia pada posisi yang baik.” Tidaklah sulit bagi orang-tua hanya mengantarkan anak mereka menuju tingkatan saran santun saja, tetapi yang sulit adalah meletakkannya pada posisi yang baik dalam segala sikap dan tujuan hidupnya. 

[14] Qurbul Isnad, hal. 31. 

[15] (326-385 H). 

[16] IfiShahib bin Ubbad adalah Abul Qasim Ismail bin Abul Hasan bin Ubbad bin al-Abbas. lahir di sebuah daerdh Persia di Ustukhar atau Taligan. pada tanggal16 Dzulqaidah 326 H. Ia mempelajari ilmu dan adab dari ayahnya. dan terkenal sebagai pengelola urusan-urusan keilmuan, adab, dan periwayatan hadis. Ia pemah berkata, “Siapa yang tidak menulis hadis, maka ia belum menemukan manisnya Islam.” 

Ia terkenal dengan kedermawanan dan kemurahan hatinya, hingga diriwayatkan, bahwa setiap tahun ia mengirim ke Baghdad 5000 dinar yang dibagikan kepada para fukaha dan sastrawan. Seorang pun tidak masuk ke dalam rumahnya pada bulan Ramadan, lalu keluar dari rumahnya melainkan setelah berbuka puasa, dan pada setiap malamnya seribu orang berbuka puasa di tempat tinggalnya. 

Sejarah menyebutkan tentang sikapnya mengenai “rumah tobat”, di mana suatu hari ia keluar dengan pakaian ulama, sementara ia berada di departe men dan berkata, “Kalian telah mengetahui aktivitas saya dalam keilmuan, sementara saya terlibat dalam perkara ini, dan segala yang telah saya infakkan sejak masa kecil saya hingga saat ini berasal dari harta ayah dan kakek saya. Dengan demikian, hal itu tidak lepas dari dosa-dosa. Saya bersaksi kepada Allah dan kepada kalian, bahwa saya bertobat kepada Allah dari segala dosa yang telah saya perbuat.” Dan ia membangun sebuah rumah untuk dirinya, yang ia beri nama “rumah tobat”. 

Ia wafat pada tahun 385 H di kota Ray dan dimakamkan di Isfahan, Iran. Tentang biografinya silakan merujuk dua ensiklopedia al-A’lam oleh az-Zarkuli, dan al-Ghadir oleh al-Amini―penerjemah. 

[17] Pertama kali yang kita perhatikan mengenai kehidupan Ja’far adalah sikap ayahnya, Imam Ali al-Hadi terhadapnya pada awal hari kelahiran, bahkan pada saat kelahirannya, di mana keluarganya berbahagia dengan kelahirannya, kecuali ayahnya. Maka seorang wanita bertanya mengenai hal itu. Imam berkata, “Mudahkanlah dirimu (jangan terlalu gembira), sebab akan banyak orang yang menyimpang karenanya Ja’far).” (Di sini kila teringat kembali kepada hadis, “Orang yang berbahagia adalah orang yang berbahagia di perut ibunya, dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara di perut ibunya,” dan Imam melihat dengan pandangan bashirah nur ke-maksum-annya, sehingga ia dapat menyingkap masa depan bayi ini dan memberitakannya). 

Pada kisahnya terdapat sebuah nasihat, di mana sejarah menyebutkan kepada kita, bahwa sewaktu Ja’far tumbuh dewasa, ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan pengarahan ayahnya, Imam Ali al-Hadi. Ia mengambil jalan kesia-siaan, kelakar, dan minum khamar, serta terpengaruh oleh lingkungan yang menyimpang, yang tersebar pada masanya. Kita saksikan ayahnya, Imam Ali al-Hadi memerintahkan para sahabatnya untuk menjauhinya dan tidak bergaul dengannya, sambil memperingatkan mereka bahwa ia telah keluar dari perintah-perintah dan larangan-larangannya. Alangkah indah perkataan beliau kepada mereka, “Jauhilah anakku Ja’far. Sesungguhnya kedudukan ia di sisiku sebagaimana Namrud di sisi Nuh, yang Allah SWT berfirman tentangnya, Nuh berkaya, bahwa anakku adalah dari keluargaku, Allah SWT berfirman, “Wahai Nuh, dia bukanlah dari keluargamu, dia adalah amal yang tidak saleh.” 

Logika Al-Quran berlaku, bahwa apabila anak mengikuti langkah ayahnya dalam mengikuti kebenaran, maka ia adalah anaknya yang sebenarnya; dan bila tidak mengikuti langkahnya, maka ia bukan termasuk keluarganya, meski ia dilahirkan darinya, karena ia adalah amal yang tidak saleh. 

Walaupun Imam Ali al-Hadi dan saudaranya, Imam Hasan al-Asykari mencurahkan upayanya untuk memperingan tekanan penyimpangannya. namun ia mengklaim dirinya sebagai imam setelah wafat saudaranya, Hasan al-Asykari dan ia mencoba untuk menyalatinya, serta mendekati Khalifah al-Abbasi untuk merusak garis ke-imamah-an Ahlulbait. 

Akhirnya perlu kami tunjukkan tentang pertobatan Ja’far dan kembalinya dirinya menuju kebenaran. Imam Mahdi menegaskan pertobatan ini dalam istifta yang ditulis kepadanya, meskipun tobat ini tidak bertentangan dengan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini. 

Kita dapat saksikan kisah yang lengkap pada kitab Tarikh al-Ghaibah ash-Shughra oleh Sayyid Muhammad Shadr, hal. 299 dan seterusnya―penerjemah. 

[18] QS. al-Ashr: 1-3. 

[19] QS. Fushshilat: 16. 

[20] QS. ad-Dukhan: 3. 

[21] Hadis-hadis itu menunjukkan makruhnya bersetubuh ketika bulan berada pada rasi kalajengking. Di anraranya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far as yang bunyinya, “Siapa yang melakukan persetubuhan sedangkan bulan pada rasi kalajengking, maka ia tidak mendapat kebaikan.” Al-Wasail, XIV, hal. 80―pen. 

[22] QS. an-Nahl: 97. 

[23] QS. al-Kahfi: 82. 

[24] QS. al-Hajj: 31. 

[25] QS. ar-Ra’d: 31. 

[26] QS. ar-Rum: 41. 

[27] QS. Al-Anfal: 25. 

[28] QS. an-Nahl: 112. 

[29] Surat kabar Kuwait ar-Ra’yu al-A’am pada nomor 6186 yang terbit pada tanggal 30-1-1981 menerbitkan sebuah analisa dengan judul Profesor Amerika Mendengungkan Lonceng Bahaya: Jalan-jalan di bawah belas kasih para pencuri dan penjahat. Analisa itu merupakan kajian lapangan yang dilakukan oleh seorang profesor Amerika, Taka Chian bersama sekelompok pcmbantunya. Ia menyelidiki dominasi kejahatan pada masyarakat Amerika yang dianggap sebagai puncak peradaban Barat. Profesor Taka Chian mengakhiri analisanya dengan mengatakan, “Jalan-jalan di kota-kota Amerika dikuasai oleh para penjahat dan geng-geng. Setiap kali pandangan Anda tertuju pada sebuah kejadian pencurian atau perampokan dan Anda hendak turut campur, maka Anda akan temukan orang yang menarik Anda ke belakang untuk menasihati Anda agar tidak turut campur. Jalan adalah milik orang yang membawa senjata. Merupakan hal yang sangat biasa bagi penduduk Amerika, melihat sebuah kejadian atau kejahatan di hadapan berpuluh-puluh atau beratus-ratus manusia, tanpa satu pun bergerak untuk mencegah kejadiannya atau menghentikan penjahat dari kejahatannya”―pen. 

[30] Akhir-akhir ini muncul pada masyarakat-masyarakat Barat seruan peringatan yang diberi sebutan “Kejahatan Modern”, yaitu tragedi yang terdiri dari tiga penyelewengan yang berbahaya: kecanduan obat-obatan terlarang, tersebarnya penyimpangan seksual dan tersebarnya fenomena pelecehan seksual terhadap anak-anak, dan terakhir beredarnya penyakit hilangnya kekebalan tubuh (Aids). 

Untuk memberikan gambaran perhitungan singkat, kami sajikan analisa dr. Arnold dan dr. Stone―pakar obat-obat terlarang―yang menyatakan dalam sebuah kajian yang terbit pada akhir tahun 1989, bahwa Amerika Serikat menghabiskan 60% dari produksi alamnya untuk obat-obatan terlarang. Dan 60 juta jiwa penduduk Amerika Serikat melakukan pelanggaran-pelanggaran seksual sebelum mencapai usia delapan belas tahun―pen. 

[31] Di antara sensus-sensus ini adalah pengumuman dari Departemen Kehakiman Amerika pada tahun 1984, bahwa 456 ribu tindakan kekerasan terjadi setiap tahunnya pada lingkungan keluarga Amerika. 

Dalam analisa departemen ini disebutkan bahwa angka tersebut mencerminkan 7,2 % dari keseluruhan kekerasan yang terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat. 

Analisa ini mengisyaratkan bahea 75% dari kejadian-kejadian kekerasan keluarga terjadi antara suami-istri, dan kebanyakan dilakukan oleh lelaki terhadap wanita. 

Analisa Departemen Kehakiman Amerika menyebutkan pula bahwa 88% dari kondisi ini terdiri atas tindakan-tindakan pemukulan. 

Analisa resmi Amerika menyatakan: Usia para korban tindakan-tindakan ini kebanyakan berkisar antara 24 hingga 30 tahun dan tumbuh dengan sifat khusus dalam keluarga-keluarga yang income pertahunnya kurang dari lima ribu dolar. Surat kabar Tasyrin Suriah, 25-4-1984―pen. 

[32] Di antara fenomena kecemasan dalam masyarakat Amerika dan hal-hal yang menyebabkannya adalah analisa yang disajikan oleh surat kabar Kuwait ar-Ra’yu al-A’am dengan topik “Kecemasan dan Fenomena Pemilikan Senjata Pada Masyarakat Amerika” yang di antaranya, “Fenomena yang mulai berkembang di seluruh kawasan Amerika Serikat adalah fenomena pemilikan senjata pada tingkat indiyidu, dan terkadang pada tingkat masyarakat-masyarakat kecil. Orang-orang Amerika mulai mempersenjatai dirinya dan mulai terbiasa dengan cara penggunaan senjata. Artinya, mereka mempelajari bagaimana membunuh, sebab mereka merasakan bahwa sistem sosial di Amerika Serikat mulai rapuh dan berjalan menuju kehancuran. 

Munculnya pandangan (fenomena) ini di antara masyarakat disebabkan oleh faktor ketakutan dan kecemasan yang lahir dari tersebarnya kejahatan pada masyarakat Amerika. Ketakutan ini mencemaskan orang Amerika. yang hidup di rumah dengannya, keluar dengannya, dan tinggal dengannya di mana saja ia berada. Orang Amerika berada pada suatu kondisi yang merasa bahwa dirinya tidak akan kembali, sebab kematian menantinya. Dan jika ia kembali, maka ia hidup dengan kecemasan dan ketakutan yang lebih berat dari kematian, bila bukan merupakan kematian perlahan-lahan dan jalan menuju kehancuran yang tuntas.” Surat kabar Kuwait ar-Ra’yu al-A’am, 9-4-1981―pen. 

[33] Sebagaimana sebuah sumber yang penting untukdiperhatikan: Eksploitasi Imperalis Terhadap Dunia Islam, Hakekat dan Angka Perhitungan, oleh Sayyid Dhiya’ Musa, 1404 H―pen. 

[34] Dalam persoalan syahwat dan umumnya persoalan seks, Anda dapat memperhatikan kajian yang sangat berharga oleh al-Allamah Murtadha Mutahhari dalam kajian perbandingannya, Aturan-Aturan Moralitas Terhadap Perilaku Seks Menurut Pandangan Islam dan Barat. Penerbit Muassasah al-Bi’tsah, 1405 H―pen. 

[35] QS. an-Nahl: 112. 

[36] QS. an-Nur: 40 

[37] QS. an-Nisa’: 9. 

[38] Dalam kaitannya dengan disunahkannya walimah perkawinan, kita baca, “Ketika Najasyi melamar Aminah binti Abu Sofyan kepada Rasulullah saw, beliau menikahkannya dan mengundang makan, kemudian bersabda, “Di antara sunah-sunah para rasul adalah menjamu makan pada perkawinan.” Al-Wasail, XIV, hal, 65―pen. 

[39] Muruj adz-Dzahab, III, hal. 383. 



Bab IV : Dampak Maksiat dan Dosa dalam Pembentukan Nutfah

Sebenarnya bab ini, bila dilihat dan temanya, merupakan pelengkap bagi bab sebelumnya. Jika perbincangan yang lalu terfokus pada pengaruh penghasilan dan makanan haram terhadap anak pada saat pembentukan nutfah, maka pembicaraan di sini―melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis serta realita kehidupan, menyentuh pengaruh-pengaruh dosa dan kemaksiatan terhadap anak pada saat pembentukan nutfah. 

Dari sisi metode, tertibnya pembicaraan kita ini menuntut kita menyusun: 

1) Pembahasan tentang pengaruh-pengaruh dosa secara umum, khususnya menyangkut pengaruh-pengaruh kejiwaan, pikiran, dan tingkah laku yang tampak pada kehidupan praktis. 

2) Setelah itu pembahasan tentang pengaruh-pengaruh maksiat dan dosa-dosa pada malam perkawinan dan saat penbentukan nutfah serta pengaruhnya pada anak. 

Jelas kita temui adanya saling keterkaitan dan kesamaan pada bagian-bagian pembicaraan dan perbendaharaan di antara kedua pembahasan ini, sebab keduannya berlolak dari latar belakang yang sama. 


Bab V : Pemeliharaan Anak Pada Masa Kehamilan

Masa kehamilan memiliki peran penting terhadap masa depan anak. Masa itu merupakan masa jerih payah seorang ibu. Dalam dua ayat Al-Qur’an disebutkan tentang masa kehamilan dan hal-hal yang berkaitan dengan jerih payah seorang ibu. 

Allah berfirman: 

Dan Kami perintahkan kepada manusia [berbuat baik] kepada kedua orang-tuanya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang-tuamu, hanya kepada-Kulah kamu kembali . (QS. Luqman: 14) 

Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang-tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah [pula]. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa,“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan [memberi kebaikan] kepada keturunanku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. al-Ahqaf: 15) 

Dalam riwayat-riwayat dan hadis-hadis kita baca bahwa seorang wanita selama sebilan bulan kehamilannya, mendapatkan pahala seorang yang berjihad di jalan Allah dan membela Islam pada garis depan medan pertempuran. 

Di tempat lain kita temukan nadis-hadis dari Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya, bahwa apabila seorang wanila melahirkan, maka ia keluar dari dosa-dosanya dan dosa-dosanya terampuni seperti hari ia dilahirkan ibunya.[19] 

Mengenai keutamaan menyusui dan pahalanya, kita baca bahwa seorang ibu yang bangun dari tidurnya pada malam hari untuk menyusui bayinya, ia mendapatkan keutamaan sebagaimana orang yang bangun malam dan melaksanakan salat malam. 

Kita simpulkan dari riwayat-riwayat lain bahwa ibu yang menyusui memiliki keutamaan dan pahala seperti orang yang membebaskan seorang budak untuk mencari rida Allah. [20] 
Empat Wasiat Bagi Wanita Hamil


Dari petunjuk-petunjuk singkat ini jelas bagi kita pentingnya masa kehamilan. Tetapi hendaknya semuanya―khususnya ibu-ibu hamil―mengarahkan perhatiannya terhadap serangkaian persoalan penting pada masa ini, yang kami sajikan dalam beberapa poin dan wasiat berikut ini: 
Pertama: Ibu dan Janinnya, Hubungan dan Keterkaitan Nasib


Seorang ibu harus tahu, bahwa masa kehamilan adalah masa yang sensitif dan menentukan nasib masa depan anaknya. Segala persoalan moral dan spiritual yang dilaluinya semasa kehamilannya akan beralih kepada janin yang berada dalam perutnya. 

Pada pendahuluan buku ini telah kita lalui sebuah hadis dari Imam Ja’far ash-Shadiq yang diriwayatkan oleh al-Allamah al-Faidhul Kasyani dalam tafsirnya ash-Shafi di tengah perbincangan tentang tafsir dari firman Allah yang berbunyi,“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakinya. Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [21] 



Dalam hadis itu diceritakan bahwa dua malaikat mendatangi janin yang berada di perut ibunya, lalu keduanya meniupkan roh kehidupan dan keabadian, dan dengan izin Allah keduanya membuka pendengaran, penglihatan, dan seluruh anggota badan, serta seluruh yang terdapat di perut. Kemudian Allah mewahyukan kepada kedua malaikat itu,“Tulislah qadha, takdir, dan pelaksanaan perintahku, dan syaratkanlah bada’ bagiku terhadap yang kalian tulis. Kedua malaikat itu berkata, ‘Wahai Tuhanku, apa yang harus kami tulis?’” Maka Allah Azza wa Jalla menyeru keduanya untuk mengangkat kepala keduanya di hadapan kepala ibunya, sehingga mereka mengangkatnya. Tiba-tiba terdapat layar (lauh) terpasang di dahi ibunya, maka kedua malaikat itu menyaksikannya dan menemukan pada layar tersebut bentuk, hiasan, ajal, dan perjanjiannya sengsarakah atau bahagia serta seluruh perkaranya.[22] 

Kandungan riwayat ini sesuai dengan riwayat yang kita baca dari Rasulullah yang berbunyi,“Orang yang bahagia adalah yang berbahagia di perut ibunya dan orang yang sengsara adalah yang sengsara di perut ibunya.” [23] Maksudnya adalah bahwa seorang anak mendapatkan dasar-dasar kesengsaraan dan kebahagiaan pada pertumbuhan pertama di dalam perut ibunya. Hukum keturunan di samping memindahkan sifat-sifat bentuk tubuh dan fisik dari ayah dan ibu pada anak, juga sifat-sifat moral dan spiritual dari ibu berpindah ke janin sewaktu berada di perut ibunya. 

Lantaran itu seorang. ibu harus selalu waspada pada saat hamil, dan ia harus menjauhi sifat-sifat buruk dan hina seperti dengki, takabur, dan sombong, karena anak menyerap kandungan sifat-sifat ini dan menjadi besar atasnya sedangkan ia berada di perut ibunya. 

Demikian pula sifat-sifat baik berpindah melalui ibu kepada janinnya yang tumbuh besar atasnya, seperti kasih sayang, murah hati, rendan hati, cinta, dan rahmat. 

Dari sini, pentingnya isyarat kami mengenai perlunya ketelitian dalam memilih suami bagi seorang istri dan memilih istri bagi seorang suami menjadi lebih kuat. Anjuran kami yang pertama bagi seorang ibu adalah hendaknya menjauhi sifat-sifat buruk yang tercela pada masa kehamilan. Karena, dengan sifat-sifat ini ia meletakkan lahan dan dasar yang terbuka bagi penderitaan dan kesengsaraan anaknya yang mewarisi sifat dengki, sombong, dan takabur, serta sifat-sifat buruk lainnya. 

Hadis Rasulullah saw“orang yang bahagia adalah yang berbahagia di perut ibunya dan orang yang sengsara adalah yang sengsara di perut ibunya” mencakup makna ini secara esensial. 



Kedua: Menjauhi Maksiat dan Dosa

Seorang ibu hendaknya memperhatikan syarat-syarat komitmen terhadap syariat dan menjauhi maksiat dan dosa, lantaran hal tersebut mempunyai dampak yang besar dan langsung terhadap janin yang dikandungnya. 

Dosa-dosa berperan aktif dalam tercemarnya jiwa, hati, dan roh. Dan dampaknya meningkat secara bertahap hingga menjadi manusia, sebagaimana yang disifatkan oleh Allah dalam firman-Nya,“Kemndian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah [azab] yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya.” [24] 

Kemudian, dosa-dosa berperan aktif dalam memberikan pengaruh negatif pada manusia dengan memisahkan diri dari agamanya, sebelum berakhir pada pengingkaran mabda’ dan ma’ad. Berkaitan dengan dampaknya terhadap hati manusia dan hubungannya dengan iman, Allah swr berfirman: 

Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk [menerima] agama Islam, lalu ia mmdapat cahaya dari Tuhannya [sama dengan orang yang membatu hatinya]? Maka celakalah bagi orang-orang yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah, Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. [25] 

Wanita hamil yang menyingkap bagian tubuhnya yang diharamkan dan bergaul dengan laki-laki asing, serta hal-hal yang mengiringi pergaulan berupa tertawa dan sebagainya, harus tahu bahwa dampak dari maksiat-maksiat ini akan beralih secara langsung pada janinnya, dan ia membunuh kekhususan moralnya dan melumpuhkan kemampuan-kemampuan spiritual dan moralnya.[26] 

Kemudian pengaruh-pengaruh negatif dari maksiat seorang wanita hamil akan bertambah, ketika dosanya berkaitan dengan hak-hak manusia. 

Sebagaimana dosa-dosa berpengaruh terhadap anggota tubuh manusia, ia juga berpengaruh terhadap kejiwaan janin dan pembentukan spiritualnya. 

Perhatikan―misalnya―sewaktu naluri seksual dilampiaskan kepada siapa pun dan dimulai dengn orgasme sehingga ejakulasi; maka pengaruhnya akan tampak pada wajah, tangan, dan badan manusia; demikian pula pengaruhnya akan berpindah pada janin dalam rahim ibu. 

Hal yang sama berlaku pula terhadap pengaruh dosa-dosa pada janin, baik dosa besar maupun dosa kecil. Oleh sebab itu, wanita yang memiliki hubungan yang erat dengan Allah SWT, sungguh-sungguh akan memberikan komitmen yang besar terhadap sifat-sifat Islami yang baik pada masa kehamilannya, yang merupakan lahan dan dasar bagi masa depan janin. Mereka tidak pergi menuju tempat tidurnya tanpa wudu, dan benar-benar memperhatikan kesucian secara umum, di mana hal ini mengantarkan pengaruh positif bagi janin disebabkan pengaruh komitmen dan peralihan sifat mereka. 


Ketiga: Menjauhi Makanan Haram

Poin ini lebih penting daripada dua poin sebelumnya. Di antara penderitaan janin adalah pada saat daging, badan, dan tulangnya terbentuk dari makanan haram. 

Persoalan ini―pengaruh makanan haram pada janin―memiliki dalil-dalil dari hadis-hadis dan riwayat-riwayat, ditambah pula dengan bukti-bukti dari pengalaman nyata. 

Untuk lebih memberikan gambaran, dan memberikan fakta dari kandungan poin ini, marilah kita ikuti serangkaian kisah dan kejadian berikut ini, yang dimulai dari kisah al-Allamah al-Majlisi bersama anaknya. 


Kisah Al-Allamah Al-Majlisi

Semua tahu tentang ketinggian maqam (kedudukan) al-Allamah al-Majlisi[27] dan anaknya[28] serta besarnya peninggalan keilmuan mereka dalam berkhidmat kepada Islam dan ilmu-ilmu Ahlulbait. 

Kisah itu menceritakan: Usia al-Allamah al-Majlisi ats-Tsani (anak) kurang dari tujuh tahun, sewaktu sehari-hari ia pergi ke masjid bersama ayahnya, al-Allamah al-Majlisi al-Awwal. Pada suatu hari anak itu tidak masuk ke dalam masjid bersama ayahnya, tetapi ia hanya bermain di halamannya. Di halaman masjid terdapat sebuah girbah (tempat air yang terbuat dari kulit) milik seorang laki-laki yang bekerja memberikan minum dan menyegarkan dahaga manusia. Ia meninggalkannya di halaman masjid hingga selesai dari salatnya di belakang al-Allamah al-Majlisi (ayah). Anak al-Allamah al-Majlisi (yaitu al-Majlisi ats-Tsani, penyusun ensklopedia Bihar al- Anwar) mendapatkan sebuah jarum dan menusukkannya di girbah itu. Ia mulai senang melihat air yang memancar dari lubangnya dan tumpah keluar hingga air di girbah tersebut habis dan tumpah di tanah. 

Lelaki pembagi minum itu datang dan melihat girbah-nya berlubang dan airnya tumpah. Maka ia menanyakan pelakunya. Sesaat kemudian ia baru mengetahui bahwa pelakunya adalah anak al-Allamah al-Majlisi. Beritanya pun tersebar di masjid dan perlahan sampai pada pendengaran al-Allamah al-Majlisi (ayah), sehingga ia sangat risau dan sedih terhadap persoalan itu. 

Ketika pulang ke rumahnya, ia memanggil istrinya dan mengatakan kepadanya,“Aku telah memelihara ajaran-ajaran Islam sebelum pembentukan nutfah dan di saat pembentukannya. Aku telah menjaga diri dari makanan haram dan memelihara tata cara syariat. Apa yang diperbuat anak itu di masjid hari ini adalah karena dosa yang kau telah perbuat atau kesalahan yang kau lakukan.” 

Kemudian ia berkata kepada istrinya,“Pikirkan benar-benar dan ingatlah apa yang telah kau lakukan.” 

Segera terlintas pada ingatan istrinya yang mulia kenangan sebuah kejadian. Maka ia menoleh kepada suaminya, al-Allamah al- Majlisi dan berkata,“Ya, itu adalah kesalahanku.” 

Kemudian ia menceritakannya secara rinci,“Ketika saya mengandung anak kita, saya pergi untuk suatu pekerjaan ke rumah tetangga-tetangga. Sewaktu saya pulang dan melewati rumah mereka, terdapat sebuah pohon anggur, maka saya berhasrat untuk memetik salah satu anggur yang saya kira masam. Wanita hamil seperti saya berhasrat sekali terhadap yang masam-masam. Lantaran itu saya lubangi anggur itu yang masih tetap berada di pohonnya dengan sebuah jarum yang saya miliki, lalu saya hisap sedikit. Saya perhatikan ternyata rasanya manis, maka saya tinggalkan anggur itu dan pulang ke rumah. Saya tidak memberitahu tetangga saya pemilik rumah itu dan tidak meminta izin kepadanya atas perlakuan saya.” 

Kisah ini memberikan pelajaran besar dan menakutkan. Sebab, kita saksikan bagaimana satu hisapan dari sebuah anggur yang berada pada rumah tetangga―tanpa meminta izin mereka―berpengaruh terhadap janin yang dikandung dalam perut ibu al-Allamah al-Majlisi, dan bagaimana pengaruh maksiat ini secara praktis berpindah pada perilaku anaknya (al-Allamah al-Majlisi ats-Tsani) dan bergegas melakukan sesuatu yang mirip, dengan melubangi girbah milik lelaki pembagi minum. 

Terkadang sebagian orang masih mempertanyakan tentang kebenaran kisah tersebut. Hal itu tidak penting bagi kami, tetapi tujuan kami adalah mencari petunjuk penting mengenai pengaruh makanan haram terhadap masa depan janin. 

Beberapa saat sebelumnya telah kami tunjukkan, bahwa tolok ukur persoalan ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an, hadis-hadis Nabi, dan pcngalaman praktek nyata di masyarakat. 

Pada sisi Al-Qur’an, cukup bagi kita firman Allah sebagai dasar terhadap persoalan ini,“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim dengan lalim, maka sebenarnya mereka memakan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke neraka Sai’r.” [29] 

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw berkata, “Tidak masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari barang haram, neraka lebih layak baginya.” 

Filosof dan irfan, Shadr al-Mutaallihin asy-Syirazi (Mulla Shadra) menulis dalam salah satu kitabnya dengan mengatakan, “Aku melihat dua orang sedang menggunjing (ghibah), pada waktu yang sama aku saksikan jilatan api berkobar dari mulut mereka.” 

Orang yang memiliki cahaya pandangan seperti ini tidak melihat makanan haram melainkan sebuah api dan tidak melihatnya melainkan sebagai kotoran yang bercampur dengan darah. 


Jamuan Makanan Raja

Dikisahkan bahwa salah seorang ulama hidup di suatu kota yang diperintah oleh seorang penguasa lalim. Ulama itu menolak mengunjungi penguasa lalim tersebut, hingga pada suatu malam datang seorang wanita yang kehilangan anak lelakinya, lalu ia mengatakan kepada si alim,“Aku menginginkan anakku darimu.” 

Si alim terpaksa pergi menuju penguasa lalim itu. Ketika ia sampai padanya, jamuan makanan sudah disajikan. Maka ia menceritakan tentang persoalan anak lelaki yang hilang, dan memohon kepadanya agar berusaha mencarinya dan mengembalikannya kepada ibunya yang menantinya dengan rasa cemas. 

Penguasa itu mengatakan kepada si alim,“Duduklah dahulu dan makanlah bersama kami!” Si alim menolak, sehingga penguasa yang lalim tersebut mendesak dan mengancamnya. 

Si alim duduk di antara jamuan makanan penguasa lalim itu, kemudian ia mengambil sesuap makanan dan meremas dengan tangannya, hingga darah mulai menetes dari sela-sela jari-jarinya dan bercucuran dari sesuap makanan itu. Lalu si alim menoleh ke arah penguasa lalim dan berkata kepadanya,“Apa yang harus kumakan? Makanan atau darah?” 

Ketika harta manusia yang didapat dengan cara ghasab (merampas) menjadi sumber makanan, maka makanan ini meskipun lahiriahnya tampak seperti makanan biasa, tetapi bagi orang-orang yang memiliki penglihatan (bashirah) terhadap hakekatnya, tampak sebagai bangkai dan kotoran yang bercampur darah dan bau busuk. 

Makanan haram memiliki pengaruh yang dalam terhadap janin. Pada saat seorang wanita hamil menggunjing manusia, maka ia seperti orang yang memberi makan janinnya dengan bangkai daging yang busuk. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: 

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati?, maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. [30] 

Orang yang melemparkan gunjingan dan tuduhan (yang tidak benar) dan menyebarkan fitnah di antara manusia, maka seolah-olah ia memakan daging mereka. Barangsiapa yang ingin menghindari daging saudaranya yang telah mati, maka ia pun harus menjauhi gunjingan (ghibah). 

Lantaran itu kita lihat Rasulullah saw pada kisah yang masyhur dalam sumber-sumber Muslimin, bersikap keras terhadap istrinya, Aisyah, sewaktu ia mencela madunya, Ummu Salamah. Diriwayatkan bahwa Aisyah menunjuk dengan jarinya kepadanya―mengisyaratkan kepada tubuh Ummu Salamah yang pendek―maka Rasulullah menjadi marah dan berubah raut wajahnya. Lalu beliau mengisyaratkan kepada Aisyah untuk memuntahkan isi perutnya. Melalui pengaruh pandangan malakut-nya saw, Aisyah pun muntah dan potongan daging busuk keluar dari dalam perutnya. Aisyah terheran-heran terhadap masalah ini, dan ia memberitahu Rasulullah saw, sebab ia tidak merasa memakan daging tadi malam. Rasulullah berkata kepadanya,“Bukankah Al-Qur’an telah menyatakan. ‘Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati, tentu kamu menjadi jijik atasnya.’” [31] 


Lelaki yang Berpuasa dan Kedua Puterinya


Pada kejadian yang lain kita baca bahwa Rasulullah saw memberikan perintah kepada Muslimin untuk berpuasa dan tidak berbuka sebelum meminta izin kepadanya. 

Setelah sehari berlalu, seorang lelaki tua datang kepada Rasulullah saw meminta izin berbuka bagi dirinya dan kedua putrinya yang tidak bisa datang kepada Rasulullah untuk meminta izin. 

Rasulullah memberikan izin berbuka kepada orang-tua itu dan berkata,“Kedua putrimu tidak berpuasa. Oleh sebab itu keduanya tidak memerlukan izin berbuka.” 

Ayah itu terkejut dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tinggalkan keduanya dalam keadaan berpuasa.” Maka Rasulullah menyuruhnya kembali ke rumahnya dan meminta keduanya untuk memuntahkan makanan dalam perutnya. 

Orang tua itu kembali ke rumahnya dan meminta kedua putrinya memuntahkan makanan dalam perutnya. Sewaktu keduanya muntah, dua potong daging jatuh bersama muntahnya. Ayah mereka terheran-heran dan kembali kepada Rasulullah untuk memberitahukan masalah itu dan berkata kepadanya,“Kedua putriku tidak makan daging tadi malam.” 

Rasulullah saw memberitahunya bahwa keduanya biasa menggunjing. Meskipun keduanya berpuasa―secara lahiriah―namun puasanya rusak. Dengan menggunjing, mereka telah memakan bangkai daging manusia. 

Dengan gambaran-gambaran yang menggetarkan hati ini dan membekas di dalamnya, wanita hamil diperintahkan untuk menghindari makan daging bangkai yang busuk. Daging apa? Itu ada-lah daging manusia. Lebih jelas lagi, daging orang-orang mukmin dan Muslim. Dan hendaknya ia menjauhi gunjingan, saling menceritakan isyu-isyu, serta menghiasi tuduhan-tuduhan dan menceritakannya, karena menceritakan tuduhan (yang tidak benar) atau menyebarkan perbuatan keji itu sendiri adalah keji pula. 

Pada saat wanita hamil melakukan dosa-dosa seperti ini, hati dan perutnya tercemar dan polusi rohani dan jasmaninya berpindah ke janin yang dikandungnya. Persis seperti halnya pengaruh positif makanan sehat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan terhadap perkembangan janin dan kesehatannya, maka pada makanan haram juga terdapat pengaruh yang berbahaya bagi janin. 

Berkaitan dengan tuduhan palsu―misalnya―kita baca dalam riwayat-riwayat dan hadis-hadis, bahwa orang yang melemparkan tuduhan palsu kepada orang lain akan dikumpulkan pada hari kiamat di tempat yang tinggi dari kotoran-kotoran dan darah hingga hak orang yang dituduhnya diberikan. 

Dari riwayat-riwayat ini dapat kita simpulkan bahwa manusia yang menuduh orang lain dan melemparkannya kepada mereka tanpa kenyataan, sebenarnya ia memakan darah dan kotoran, meskipun ia tidak menyadarinya. Walaupun ia mengira apa yang diperbuatnya itu merupakan suatu keluwesan dan kepandaian dari sisi sosial, yang dengannya ia berbangga-banggaan di hadapan orang lain, tetapi kenyataannya tersirat pada kesimpulan dari riwayat-riwayat yang telah diceritakan. 

Oleh sebab itu wanita hamil harus menjauhi dosa-dosa berupa pergunjingan (ghibah), fitnah, isyu-isyu, dan tuduhan palsu terhadap orang lain, sehingga anaknya terhindar dari polusi dan gangguan. 

Ia harus melakukannya dan bersungguh-sungguh, sebagaimana ia bersungguh-sungguh menghindari makanan yang tercemar racun, khususnya yang memuat dampak-dampak terhadap polusi moral dan spiritual. Sebab, orang yang roh dan jiwanya tercemar menjadi lebih buruk dari temak dan binatang,“Sesungguhnya seburuk-buruk binatang (tunggangan) di sisi Allah adalah orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa pun (berpikir).” [32] 

Demikian pula, hendaknya wanita hamil menghindari makanan haram, Adapun apabila terdapat syubhat pada makanan, maka hendaknya ia berlindung kepada Allah dengan tawassul, doa, merendahkan diri, dan membaca basmalah agar terhindar dari pengaruh yang merugikan dan kemungkinan bahaya. 

Anjuranku kepada para ayah dalam persoalan ini adalah, agar menghindari makanan haram yang didapat dari mata pencaharian mereka. Anjuran ini lebih ditekankan pada masa kehamilan, sebab mereka harus menghindari memasukkan makanan haram dan syubhat ke dalam rumah mereka, lantaran mempunyai pengaruh penting terhadap masa depan janin. 

Persoalannya―Tuan-tuan―amatlah penting, di mana dinukil dari salah seorang ulama bahwa suatu kemalasan menimpanya dan menahannya untuk mendirikan salat pada waktunya, bangun malam, tahajud, berdoa, dan kenikmatan berhubungan dengan Allah. 

Ia merasa heran terhadap perkara itu, namun ia tidak mengetahuinya. Maka ia ber-tawassul kepada Allah, hingga pada suatu hari ia tertidur dan bermimpi melihat seorang berteriak dan berkata,“Orang yang memakan kurma haram, tentu saja malas berdoa, salat, dan beribadah, serta tidak merasakan rasa dan kenikmatannya.” 

Ia berkata,“Aku terjaga dan bangun dari tidurku, dan aku memikirkan persoalan itu, hingga teringat bahwa diriku membeli kurma dari pemilik suatu tempat. Sewaktu ia menimbangkan kurma untukku hingga selesai, aku ulurkan tanganku pada sebuah kurma yang belum matang dan aku memungutnya dari kurma-kurma yang telah ditimbang untukku dan aku lemparkan pada tempat kutma, kemudian aku tukar dengan kurma yang lain yang sudah matang tanpa meminta izin dari pemilik tempat itu. 

Satu kurma ini mempunyai dampak yang besar dan penting terhadap kondisi spiritual dan mental serta ibadah ulama besar ini. Selelah itu kita mesti mengerti pentingnya persoalan yang kita sedang bahas ini. 

Riwayat-riwayat dan hadis-hadis menegaskan pula bahwa di antara syarat dikabulkannya doa adalah bersihnya perut seorang mukmin dari makanan haram dan syubhat. 


Keempat: Menghindari Emosi

Perbincangan kali ini mencakup tentang pentingnya seorang wanita hamil menghindari emosi, fanatisme yang berlebihan, dan kesedihan yang berlarut-larut, sebab semua kondisi kejiwaan ini akan melekat pada janin yang berada di perut ibunya dan meninggalkan pengaruhnya yang penting padanya. 

Anjuran ini lebih ditekankan kepada rumah dan keluarga yang hidup dengan berbagai problema rumah tangga atau problema-problema yang timbul karena tinggal bersama keluarga istri atau keluarga suami. 

Kemarahan ibu hamil atau emosi jiwanya terkadang―menurut hukum genetika―menyebabkan pengaruh fisik dan memburukkan bentuk janin atau menyebabkan kelumpuhan. Terlebih lagi pengaruh kejiwaan yang mencetak bentuk kejiwaannya. 

Masa kehamilan amatlah sensitif, di mana emosional wanita hamil meninggalkan pengaruhnya secara langsung terhadap pembentukan tubuh dan jiwa janin secara buruk. Terkadang persoalannya lebih daripada sekadar pengaruh-pengaruh sederhana yaitu lebih berbahaya dan lebih mendalam, seperti anak yang menderita ketulian dan sebagainya. 

Jika seorang anak dapat melewati pengaruh-pengaruh negatif pada tubuhnya, maka emosional dan kondisi-kondisi goncangan jiwa seorang ibu meninggalkan pengaruhnya yang dalam terhadap pembentukan jiwanya, sehingga potensi-potensi kejiwaan yang lurus terampas darinya dan menjadikannya seorang yang mati jiwanya. 

Salah seorang psikolog berkata,“Jika kami boleh menjelmakan semangat dan kesungguhan pada sesuatu, maka kami tidak menghitung wanita, yang dianggap sebagai sebaik-baik comoh yang mencerminkan gerak dan semangat.” 

Tetapi apabila wanita itu merupakan tempat persemaian kesedihan, emosi jiwa dan sarafnya―khususnya yang timbul dari hal-hal remeh dan sederhana, yang tercermin dari problema-problema kehidupan keseharian dan kebiasaan serta situasi rumah tangga―maka kehidupannya akan berakhir kepada stagnasi dan menjadi statis yang pada gilirannya berpengaruh pada aktivitas janin yang berada di dalam perutnya. 

Lebih buruk dari semua pengaruh tersebut adalah, bahwa kesedihan, emosional, dan terus-menerus berduka tidak mengantarkan kepada penyelesaian problema apa pun yang terjadi pada praktek kehidupan ini. Andaikan manusia terus-menerus bersedih semenjak pagi hingga sore hari, maka masalahnya tidak terselesaikan. Ditambah lagi tetapnya pengaruh-pengaruh negatif yang merugikan dari kondisi-kondisi jiwanya ini serta berlanjut dengan dampak-dampak yang bertumpuk-tumpuk dan berlipat ganda. 

Imam Shadiq berkata,“Barangsiapa memasuki pagi dan sore, sedangkan dunia menjadi tujuan terbesarnya, maka Allah SWT menjadikan kefakiran berada di depannya dan memecah belah perkaranya, serta ia tidak meraih dari dunia kecuali yang telah menjadi bagiannya. Dan barangsiapa memasuki pagi, sedangkan akhirat menjadi tujuan terbesarnya, maka Allah SWT menjadikan kekayaan pada hatinya, dan menyatukan perkaranya.” [33] 

Terdapat metode lain untuk menghadapi problem dan kesulitan. Manusia tidak boleh tenggelam dalam kesedihan dan hal-hal yang menyakitkan jiwa. Ia mesti melangkah melalui jalan doa, merendahkan diri, dan tawassul kepada Allah, serta bersedekah. Perkara-perkara ini dan kebajikan-kebajikan lainnya berpengaruh pada nasib manusia. Seorang wanita Muslimah―tidak boleh menjadi tawanan tekanan-tekanan jiwa dan sarafnya. Sebaliknya ia mesti menguatkan hubungannya dengan Allah, khususnya setelah kita lihat Islam memuliakannya, dengan menggambarkan bahwa ia bagaikan orang yang tetap berada di garis depan dari medan perang di jalan Allah. 

Wanita Muslimah dalam keadaan hamil, bila melalui jalan doa, tawassul dan tawakal dalam menghadapi berbagai problem, maka―di samping ia tidak terobsesi oleh rasa sakit dan kesedihan jiwanya―ia pun bergerak tanpa memberikan pengaruh negatif pada janin yang berada dalam perutnya pada kondisi semacam ini. 

Terdapat kondisi jiwa lainnya yang dampak buruknya menimpa janin juga dan menentukan nasib anak. Kali ini kondisi ini berasal dari sifat-sifat rendah dan tercela, seperti kedengkian yang menyala-nyala pada seseorang, yang tampak pada perilakunya, kemudian kedengkian ini meninggalkan dampaknya yang berbahaya bagi kesehatan janin. 

Terdapat sekelompok wanita yang memiliki sifat angkuh dan sombong. Lantaran itu mereka mudah sekali tersinggung oleh sebab-sebab sepele dan sangat remeh, yang hal itu dapat membahayakan keselamatan janin. 

Seorang wanita hamil, hendaknya mencegah sebab-sebab emosional, dan menghiasi dirinya dengan aktivitas dan semangat, serta harus mengetahui bahwa faktor penyebab kemalasan dan kelemahan yang paling jelas adalah perbuatan maksiat. 

Perbuatan dosa mengantar pemiliknya menuju kelemahan, kemalasan, dan kehancuran tanpa ia sadari, sebagaimana Al-Qur’an, riwayat-riwayat, dan hadis-hadis menguatkan persoalan itu. 

Pokoknya, kita harus menghindari hal-hal yang mengantar kepada kemalasan dan kelesuan, baik dengan menjauhi maksiat dan dosa atau menghindari kesedihan dan emosi berlebihan yang dapat mematikan kondisi-kondisi semangat pada roh dan jiwa, sehingga menyebabkan kelumpuhan mental dan jasad. 

Perbincangan tentang dampak penting dari kesedihan dan emosi jiwa yang berlebihan kini menjadai realita pembuktian kedokteran. Kedokteran modern menegaskan bahwa kebanyakan penyakit timbul dari kondisi-kondisi seperti ini, mulai dari penyakit rematik, sakit kaki, sakit kepala berkepanjangan, radang perut dan usus dua belas jari, sakit gigi dan gigi tanggal, serta sampai pada lemah saraf dan penyakit-penyakit saraf dan jiwa yang menjadikan orang yang mengalaminya merugi dunia dan akhirat. 

Lebih bahaya daripada semua itu adalah, bahwa kejahatan yang dibuat wanita hamil tidak terbatas pada dirinya dan kesehatannya saja, namun kejahatannya beralih kepada janin yang dikandungnya. Sehingga, mengakibatkan berbagai jenis penyakit saraf dan jiwa, ditambah adanya kemungkinan-kemungkinan penderitaan fisik seperti kelumpuhan, tuli, dan sebagainya. 

Setelah segalanya, kesedihan dan emosi yang berlebihan-meskipun lama-praktis tidak dapat mengantar kepada penyelesaian problem-problem kehidupan yang sebenarnya. 

Bila kita mengetahui sebab-sebab emosional yang berlebihan dan penyakit-penyakit jiwa yang merusak, maka kita tidak akan temui pada kehidupan umumnya dan kehidupan wanita khususnya lebih daripada sebab-sebab yang sederhana dan remeh. Seorang wanita yang penuh dengan rasa sakit, sewaktu matanya tertuju pada hal-hal yang diperbuat teman wanitanya, ia ingin mengenakan pakaian yang dipakainya. Bila keinginan tak terlaksana, maka hati dan jiwanya dipenuhi rasa sakit dan kepahitan. 

Keadaannya semakin berbahaya pada sekelompok wanita yang tidak memikul kesedihan hidup selain kedukaan terhadap pakaian dan perkara-perkara perlengkapan kecantikan, yang seluruhnya dapat disatukan dalam satu kata singkat yaitu kedukaan duniawi. 


Kesimpulan

Bila demikian, seorang wanita tidak boleh menahan rasa sakit yang besar terhadap alasan-alasan keduniaan yang remeh, dan hendaknya tidak mengubah iklim keluarga menjadi iklim yang padam dan dingin, dimana getaran hidup tidak ada padanya. 

Dalam kaitannya dengan wanita-wanita hamil, maka di pundak mereka terdapat amanat yang berat; sebuah amanat yang dapat mempersembahkan anak saleh yang sehat jasmani dan rohani bagi masyarakat. 





Daftar Isi : 

Bab IV: Dampak Maksiat dan Dosa dalam Pembentukan Nutfah 32

Bab V: Pemeliharaan Anak Pada Masa Kehamilan 33

Empat Wasiat Bagi Wanita Hamil 35

Pertama: Ibu dan Janinnya, Hubungan dan Keterkaitan Nasib 35

Kedua: Menjauhi Maksiat dan Dosa 38

Ketiga: Menjauhi Makanan Haram 41

Kisah Al-Allamah Al-Majlisi 42

Jamuan Makanan Raja 46

Lelaki yang Berpuasa dan Kedua Puterinya 49

Keempat: Menghindari Emosi 53

Kesimpulan 58




Catatan:


[1] Tafsir Ruh al-Bayan; I. Hal. 104; Kanz al-Ummal. Hal. 490. 

[2] Ia adalah Syekh al-Faqih Muhammad bin Murtadha yang dikenal dengan al-Faidhul Kasyani, salah seorang ilmuwan terkemuka pada abad kesebelas Hijriah. Di samping kefakihannya. ia mengarang kajian-kajian dalam filsafat. dan menyusun bait-bait syair. Al-Faidhul Kasyani lahir pada tahun 1007 H di kota suci Qom, Iran. Kemudian ia berpindah ke Kasyan, lalu ke Syiraz dan di sana ia berguru pada Sayyid Majid al-Bahrani dan filosof Shadruddin asy-Syirazi yang dikenal dengan sebutan Shadrul Mutaanihin. Al-Faidhul Kasyani menikahi puleri filosof ini, kemudianmeninggalkan Syiraz menuju Kasyan, dan menulis banyak kitab dalam berbagai keilmuan: tafsir, hadis, dan akhlak, yang mendekali dua ratus judul kitab. Ia wafat tahun 1091 H pada usia 84 tahun dan dimakamkan di Kasyan. Hingga kini makamnya dikenal dan diziarahi. 

[3] QS. Ali Imran: 6. 

[4] Tafsir as-Shafi, oleh al-Faidhul Kasyani, I, hal. 293. 

[5] QS. at-Tahrim: 6. 

[6] QS. az-Zumar: 15. 

[7] Dalam wasiat Imam Ali bin Abi Thalib as kepada anaknya disebutkan, “Wahai anakku, teman dahulu baru kemudian jalan.” 

[8] Jami’ul Akhbar, hal. 124. 

[9] Ensiklopedia Bihar al-Anwar, oleh al-Alamah al-Majlisi, LXXVII, hal. 58. 

[10] Sebenarnya kita berada di hadapan neraca yang benar, sebab pada saat pendidikan yang benar membuahkan hasil yang benar, maka pendidikan yang salah, yang tidak mempedulikan anak, memastikan orang-tua mendapatkan akibat-akibat kedurhakaan anak. 

[11] QS. az-Zumar: 15. 

[12] Dalam firman Allah SWT kita baca, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra’: 23). Pada ayat ini Allah SWT rnensejajarkan antara syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang- tua. Ia juga berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik. kepada kedua ibu-bapak; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.” (QS. Luqman: 14) 

[13] Untuk merenungkan tanggung jawab penting orang-tua tehadap anak- anak mereka, kita baca sebuah riwayat, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak anakku ini?” Rasulullah menjawab, “Anda beri nama dan mendidik saran santun yang baik padanya, dan Anda letakkan dia pada posisi yang baik.” Tidaklah sulit bagi orang-tua hanya mengantarkan anak mereka menuju tingkatan saran santun saja, tetapi yang sulit adalah meletakkannya pada posisi yang baik dalam segala sikap dan tujuan hidupnya. 

[14] Qurbul Isnad, hal. 31. 

[15] (326-385 H). 

[16] IfiShahib bin Ubbad adalah Abul Qasim Ismail bin Abul Hasan bin Ubbad bin al-Abbas. lahir di sebuah daerdh Persia di Ustukhar atau Taligan. pada tanggal16 Dzulqaidah 326 H. Ia mempelajari ilmu dan adab dari ayahnya. dan terkenal sebagai pengelola urusan-urusan keilmuan, adab, dan periwayatan hadis. Ia pemah berkata, “Siapa yang tidak menulis hadis, maka ia belum menemukan manisnya Islam.” 

Ia terkenal dengan kedermawanan dan kemurahan hatinya, hingga diriwayatkan, bahwa setiap tahun ia mengirim ke Baghdad 5000 dinar yang dibagikan kepada para fukaha dan sastrawan. Seorang pun tidak masuk ke dalam rumahnya pada bulan Ramadan, lalu keluar dari rumahnya melainkan setelah berbuka puasa, dan pada setiap malamnya seribu orang berbuka puasa di tempat tinggalnya. 

Sejarah menyebutkan tentang sikapnya mengenai “rumah tobat”, di mana suatu hari ia keluar dengan pakaian ulama, sementara ia berada di departe men dan berkata, “Kalian telah mengetahui aktivitas saya dalam keilmuan, sementara saya terlibat dalam perkara ini, dan segala yang telah saya infakkan sejak masa kecil saya hingga saat ini berasal dari harta ayah dan kakek saya. Dengan demikian, hal itu tidak lepas dari dosa-dosa. Saya bersaksi kepada Allah dan kepada kalian, bahwa saya bertobat kepada Allah dari segala dosa yang telah saya perbuat.” Dan ia membangun sebuah rumah untuk dirinya, yang ia beri nama “rumah tobat”. 

Ia wafat pada tahun 385 H di kota Ray dan dimakamkan di Isfahan, Iran. Tentang biografinya silakan merujuk dua ensiklopedia al-A’lam oleh az-Zarkuli, dan al-Ghadir oleh al-Amini―penerjemah. 

[17] Pertama kali yang kita perhatikan mengenai kehidupan Ja’far adalah sikap ayahnya, Imam Ali al-Hadi terhadapnya pada awal hari kelahiran, bahkan pada saat kelahirannya, di mana keluarganya berbahagia dengan kelahirannya, kecuali ayahnya. Maka seorang wanita bertanya mengenai hal itu. Imam berkata, “Mudahkanlah dirimu (jangan terlalu gembira), sebab akan banyak orang yang menyimpang karenanya Ja’far).” (Di sini kila teringat kembali kepada hadis, “Orang yang berbahagia adalah orang yang berbahagia di perut ibunya, dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara di perut ibunya,” dan Imam melihat dengan pandangan bashirah nur ke-maksum-annya, sehingga ia dapat menyingkap masa depan bayi ini dan memberitakannya). 

Pada kisahnya terdapat sebuah nasihat, di mana sejarah menyebutkan kepada kita, bahwa sewaktu Ja’far tumbuh dewasa, ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan pengarahan ayahnya, Imam Ali al-Hadi. Ia mengambil jalan kesia-siaan, kelakar, dan minum khamar, serta terpengaruh oleh lingkungan yang menyimpang, yang tersebar pada masanya. Kita saksikan ayahnya, Imam Ali al-Hadi memerintahkan para sahabatnya untuk menjauhinya dan tidak bergaul dengannya, sambil memperingatkan mereka bahwa ia telah keluar dari perintah-perintah dan larangan-larangannya. Alangkah indah perkataan beliau kepada mereka, “Jauhilah anakku Ja’far. Sesungguhnya kedudukan ia di sisiku sebagaimana Namrud di sisi Nuh, yang Allah SWT berfirman tentangnya, Nuh berkaya, bahwa anakku adalah dari keluargaku, Allah SWT berfirman, “Wahai Nuh, dia bukanlah dari keluargamu, dia adalah amal yang tidak saleh.” 

Logika Al-Quran berlaku, bahwa apabila anak mengikuti langkah ayahnya dalam mengikuti kebenaran, maka ia adalah anaknya yang sebenarnya; dan bila tidak mengikuti langkahnya, maka ia bukan termasuk keluarganya, meski ia dilahirkan darinya, karena ia adalah amal yang tidak saleh. 

Walaupun Imam Ali al-Hadi dan saudaranya, Imam Hasan al-Asykari mencurahkan upayanya untuk memperingan tekanan penyimpangannya. namun ia mengklaim dirinya sebagai imam setelah wafat saudaranya, Hasan al-Asykari dan ia mencoba untuk menyalatinya, serta mendekati Khalifah al-Abbasi untuk merusak garis ke-imamah-an Ahlulbait. 

Akhirnya perlu kami tunjukkan tentang pertobatan Ja’far dan kembalinya dirinya menuju kebenaran. Imam Mahdi menegaskan pertobatan ini dalam istifta yang ditulis kepadanya, meskipun tobat ini tidak bertentangan dengan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini. 

Kita dapat saksikan kisah yang lengkap pada kitab Tarikh al-Ghaibah ash-Shughra oleh Sayyid Muhammad Shadr, hal. 299 dan seterusnya―penerjemah. 

[18] QS. al-Ashr: 1-3. 

[19] Di antara riwayat-riwayat pilihan di sini adalah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita yang mengangkat sesuatu dari rumah suaminya, dari satu tempat ke tempat lain, karena menghendaki kebajikan dengannya, maka Allah Azza wa Jalla memandangnya, dan siapa yang dipandang Allah, maka Allah tidak menyiksanya.” 

Ummu Salamah berkata, “Para lelaki pergi dengan mendapatkan segala kebaikan, lalu apa yang didapatkan oleh para wanita yang miskin?” 

Rasulullah saw bersabda, “Ya, apabila wanita hamil, maka ia setingkat dengan orang yang berpuasa, melakukan salat, dan berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah. Apabila ia melahirkan, maka baginya pahala yang tidak ia ketahui besarnya; bila ia menyusui, baginya pada setiap hisapan sebanding dengan membebaskan budak dari anak Ismail; dan jika selesai dari menyusui, malaikat menepuk pundaknya dan berkata, ‘Mulailah bekerja, sesungguhnya Allah telah mengampunimu.’” Ensklopedia Bihar al-Anwar, CIV, hal. 106-107―pen. 

[20] Rasulullah saw menyebutkan jihad, lalu seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, wanita memiliki bagian apa dari ini?” Rasulullah menjawab, “Ya, antara kehamilannya dan penyapihannya, wanita mendapatkan pahala seperti orang yang tetap berada pada perbatasan musuh di jalan Allah, dan apabila ia meninggal dunia di antara keduanya. niscaya baginya seperti kedudukan seorang syahid.” Ensklopedia Bihar al-Anwar, CIV, hal. 97―pen. 

[21] QS. Ali ‘Imran : 6. 

[22] Dengan sedikit perubahan dari Tafsir ash-Shafi, oleh al-Fadhul Kasyani, I, hal. 293. Beirut/1979. 

Dalam riwayat lain dari Imam Shadiq as, beliau berkata, “Jika telah sempurna empat bulan (dari umur janin), Allah SWT mengutus dua malaikat pencipta memberikan bentuk padanya dan menuliskan rezeki, ajal, sengsara, atau bahagianya.” Ensiklopedia Bihar al-Anwar, CIV, hal. 78―pen. 

[23] Kanz al-Ummal, al-Khabar, hal. 490. 

[24] QS. ar-Rum: 10. 

[25] QS. az-Zumar: 22. 

[26] Terdapat banyak hadis tentang larangan bersenda gurau, berkelakar, dan berjabat tangan dengan wanita. Di antaranya sabda Rasulullah saw, “Siapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan terbelenggu, kemudian dimasukkan ke dalam api neraka, dan siapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita yang tidak ia miliki, maka Allah akan menahannya dengan semua kalimat yang ia katakan di dunia selama seribu tahun.” Al-Wasail, XIV, hal. 143―pen. 

[27] Ia adalah Maula Muhammad Taqi Isfahani yang terkenal dengan sebutan al-Majlisi al-Awwal, lahir pada tahun 1003 H dan wafat pada tahun 1070 H di Isfahan, dan dimakamkan di pintu Qobaliy, yang merupakan salah satu dari sembilan pintu Jami’ al-A’zham. Dari pihak ayah nasabnya sampai kepada al-Hafizh Abu Nua’im al-Isfahani (penulis kitab Hilyatul Auliya). Ia adalah seorang alim terkemuka, analis yang dalam ilmunya, zahid, abid (ahli ibadah), tsiqah (dapat dipercaya), teolog, faqih, dan muhaddis (ahli hadis). Imam Jumat diserahkan kepadanya di mesjid Jumat dan Jami’ di Isfahan. Ia memiliki karya- karya dalam dua bahasa: Arab dan Persia, dan memiliki anak-anak yang terkemuka, laki-laki dan perempuan, dan yang paling terkenal adalah Maula Muhammad Bagir al-Majlisi. A’yan asy-Syiah, hal. 192. 

[28] Ia adalah Maula Muhammad Bagir bin Muhammad Taqi al-Majlisi yang dikenal dengan sebutan Allamah al-Majlisi atau al-Majlisi ats-Tsani, lahir di Isfahan pada tahun 1027 H dan wafat di sana pada tahun 1110 H. Dikatakan tentang dirinya, bahwa tidak ada seorang pun dalam Islam yang sukses sebagaimana kesuksesan tokoh besar ini. Ia adalah tokoh Islam di Isfahan sebelum penguasa Safawiyah. Ia mengurus sendiri seluruh dakwaan dan pembelaan, sebagaimana ia mengurus imam jamaah dan Jumat di sana. Banyak ulama yang berguru kepadanya. Sebagian muridnya menghitung jumlah mereka mencapai seribu orang. Ia memiliki perpustakaan terbesar di Iran, yang menarik perhatian orang-orang, karena memiliki kitab-kitab yang ditulis dari seluruh penjuru negara Islam. Ia banyak memiliki karya-karya dalam dua bahasa: Arab dan Persia. Yang paling terkenal dan paling besar adalah Ensiklopedia yang dikenal dengan sebutan Bihar al-Anwar yang memiliki 110 jilid kitab. Ia telah menyajikan lingkup ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Ahlulbait as pada isi kitab tersebut, yang menunjukkan sebagian besar atsar, berita-berita, dan ilmu-ilmu Ahlulbait as. A’yan asy-Syiah, IX, hal. 182. 

[29] 

[30] QS. al-Hujurat: 12. 

[31] Dalam Tafsir Majma’ al-Bayan disebutkan bahwa Aisyah mencela Ummu Salamah yang memiliki tubuh pendek dan mengisyaratkan dengan tangannya bahwa ia bertubuh pendek. Di dalam tafsir itu disebutkan pula, bahwa Shafiyah binti Huyay bin Akhtab datang kepada Nabi saw sambil menangis. Nabi bertanya kepadanya, “Ada apa dengan dirimu?” Ia menjawab, “Aisyah telah mencelaku dan berkata, ‘Wanita Yahudi, anak dari orang-orang Yahudi.’” Nabi saw berkata kepadanya, “Mengapa tidak kau katakan kepadanya bahwa ayahku Harun dan pamanku Musa serta suamiku Muhammad!”―seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas―”Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk setelah keimanan.” Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, V, hal. 203-204―pen. 

[32] QS. al-Anfal: 22. 

[33] Bihar al-Anwar, LXXII, hal.17. 




Bab VI : Menyusui dan Air Susu Ibu



Air susu ibu dianggap sebagai makanan yang lengkap bagi anak, yang memenuhi syarat-syarat keselamatan dan kesehatan. Lantaran itu seorang ibu hendaknya menyusui anaknya dari air susunya. Andaikan kita bandingkan antara dua anak―salah satunya mendapatkan makanan dari air susu ibu dan lainnya tidak―maka kita temukan bahwa anak pertama lebih baik daripada anak kedua pada sifat-sifat potensialnya dan syarat-syarat kemampuan, aktivitas, dan tubuhnya. 

Persoalan ini penting sehingga sampai dianjurkan dalam Al-Qur’an dengan firman Allah yang berbunyi: 

Ibu-ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pmyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya.Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan .[19] 

Air susu ibu memiliki dampak secara langsung dan mendalam terhadap kesehatan jasmani dan rohani anak.[20] Di samping memberikan kepada anak syarat-syarat potensi, kemampuan, dan tubuh yang sehat, ia juga memiliki dampak yang dalam terhadap pembentukan spiritual rohani anak dan potensi-potensi kejiwaannya.[21] 

Namun seorang ibu perlu tahu, bahwa hasil dari penyusuan ini tidak akan tampak atau sempurna kecuali dengan empat syarat yang telah kita bicarakan pada bab kesehatan jasmani dan rohani seorang anak pada masa kehamilan (bab sebelumnya). 

Maksud pernyataan ini adalah bahwa kelaziman dari hasil yang tampak pada jasmani dan rohani anak melalui penyusuan, terletak pula pada syarat-syarat yang telah kita bicarakan pada bab sebelum-nya. Hal ini jelas akan berbeda, apabila syarat-syarat penyusuannya hilang, sebagaimana akan kita saksikan sebentar lagi. 



Syarat-syarat Menyusui yang Sehat

Syarat Pertama: Takwa dan Menghindari Maksiat


Syarat takwa dan menghindari maksiat serta dosa, merupakan sebuah pendahuluan yang diperlukan bagi penyusuan yang sehat. Syarat ini ditekankan pada masa menyusui, sehingga seorang ibu hendaknya berhati-hati terhadap perilakunya pada masa ini, dan menjauhi dosa-dosa dan maksiat serta menguatkan hubungannya dengan Allah SWT 

Pada bab sebelumnya telah kami sebutkan―kali ini kami ulang kembali―perkataan, bahwa jika seorang ibu hamil makan sepotong daging busuk, maka ia akan keracunan. Demikian pula nasib anak dalam perutnya. 

Begitu pula halnya dengan makanan yang tercemar dan berbau busuk, yang mesti dihindari oleh ibu hamil, dan sebagai gantinya, ia harus memberikan perhatian pada makanan sehat dan baik. 

Apabila pada sisi makanan saja persoalannya seperti ini, maka sisi spiritual dan rohani harus lebih tunduk lagi pada tolok ukur ini. Seorang wanita yang tidak menjaga kehormatannya, maka pengaruh dari tidak menjaga komitmen terhadapnya dan tidak mengindahkannya, tidak hanya terbatas pada pencemaran kepribadian dan kerusakan hatinya saja. Melainkan akibat-akibatnya juga berpindah kepada jiwa dan hati anak yang dikandung dalam perutnya. Pengaruh yang sama―bahkan lebih―terlihat pula pada persoalan menyusui dan air susu ibu. 

Seorang ibu yang menyusui anaknya, yang tidak memelihara syarat-syarat takwa, sehingga ia memakan daging bangkai karena menggunjing seseorang, sebenarnya ia telah mencemarkan air susunya dengan hal-hal yang diharamkan, dan air susu yang tercemar ini meningggalkan dampaknya pada hati manusia, jiwa, dan aktivitasnya, khususnya menyangkut hubungan dengan Allah. 

Seorang ibu pendosa, pada saat menyusui bayinya, sebenarnya ia memberinya makanan dari air susu yang tercemar oleh kuman-kuman spiritual. Jika air susu yang tercemar oleh kuman-kuman material menyebabkan keracunan pada anak, maka air susu yang tercemar oleh kuman-kuman spiritual juga menyebabkan keracunan pada anak secara spiritual. 


Kisah Syekh Anshari

Pada iklim pembicaraan ini, kisah Syekh Anshari terlintas pada ingatan. Syekh Anshari adalah seorang tokoh ulama Islam. Perilakunya memiliki ciri ketakwaan dan ilmunya dikenal dengan penyampaiannya sehingga ia terkenal dengan peninggalan-peninggalannya yang amat berharga. 

Pada suatu saat dikatakan kepada ibunya,“Semoga Allah memberkatimu dan memuliakanmu dengan anak ini yang Allah telah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan Muslimin.” Ibunya menjawab, “Aku mengharapkan dari anakku lebih dari yang ia miliki dan yang kalian lihat. Hal demikian itu karena aku menyusuinya selama dua tahun, dan selama masa tersebut aku tidak memberinya air susu, sekali saja tanpa berwudu sebelumnya.” Kemudian ia menambahkan, “Pada tengah malam aku terbangun oleh suara tangisannya meminta susu, maka aku tidak menyusuinya hingga berwudu terlebih dahulu.” 

Terdapat perbedaan yang jelas antara seorang ibu yang bangun pada tengah malam untuk mendirikan salat malam, dan menyusui anaknya di antara waktu salat malamnya, dengan seorang ibu yang sama sekali tidak menunaikan salat fardunya. Ibu yang pertama ini memberi makanan anaknya dengan apik. 

Seorang ibu yang menyusui anaknya, yang menguatkan hubungannya dengan setan, sehingga ia terbiasa menggunjing, menuduh dengan tuduhan palsu, dan meyebarkan fitnah, sebenarnya ia telah meracuni anaknya dengan air susunya. 

Seruanku kepada para ibu yang menyusui, hendaknya mereka menguatkan hubungan dengan Allah pada saat menyusui, dan mengucapkan basmalah sebelum menyusui anak. Mereka harus mengusir gangguan dan bisikan setan serta khayalan-khayalan yang tidak sehat, dan berwudu bila memungkinkan. 

Para ibu yang menyusui hendaknya pula beristigfar kepada Allah dan mengakui dosa dan kesalahannya sebelum menyusui. Rasulullah saw dengan kedudukannya yang tinggi dan ke-maksum-annya masih menganggap dirinya lalai dan beristigfar kepada Allah tujuh puluh kali atau seratus kali sehari. Beliau saw bersabda,“Aku beristigfar kepada Allah seratus kali sehari.” [22] 

Istigfar Rasulullah saw adalah karena kekeruhan yang melekat di hatinya pada perilaku kehidupannya sehari-hari pada saat makan, minum, dan tidur. Hati Rasulullah saw lebih lembut dari bunga-bunga dan lebih jernih dari sinar cahaya, tetapi beliau masih beristigfar dari kekeruhan yang menimpa hatinya pada hal-hal mubah. 

Lantaran itu, kita semua harus beristigfar dan bertobat kepada Allah. Tidak hanya dengan perkataan lisan. Namun juga dengan hati, dan hendaknya kembali kepada-Nya. Ditekankan kepada ibu yang menyusui untuk bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya sambil mengakui kelalaiannya, kemudian mengucapkan basmalah dan mulai menyusui anak. 



Syarat kedua: Keharusan Tenang dan Menghindari Emosi Jiwa yang Berlebihan


Persoalan menyusui anak berkaitan dengan goncangan jiwa dan kondisi saraf yang berlebihan. Bila seorang ibu menyusui anaknya dari air susunya, sedangkan ia dalam kondisi jiwa dan saraf seperti ini, maka hal itu akan berdampak penting terhadap keselamatan anak dari sisi jasmani, yang terkadang menderita tuli atau lumpuh. Seandainya pun jasmaninya tetap sehat, kondisi goncangan jiwa dan sarafnya meninggalkan dampak kejiwaan yang berbahaya bagi anak yang disusui dan berpengaruh terhadap potensi-potensi spiritual dan pembentukan jiwa serta kehidupan anak secara umum. 

Ibu-ibu yang mewarisi kelemahan jiwa dari keluarga mereka, dan mewarisi sikap dingin dan pesimis dari air susu ibu mereka, tidak boleh memindahkan sifat-sifat ini kepada anak-anak mereka melalui air susu mereka. 

Seorang ibu yang lemah, memiliki jiwa malas, dan hati yang mati, tidak boleh menyodorkan pada masyarakat anak-anak semacam dirinya. Namun ia harus menjaga dan waspada terhadap syarat-syarat air susu yang ia berikan kepada anaknya. Bila tidak, ibu semacam ini akan mewariskan seorang anak wanita yang tidak memiliki kelayakan sebagai istri yang berhasil, dan seorang anak lelaki yang tidak peduli dan lemah, yang tidak memiliki syarat-syarat sebagai suami yang berhasil pula. Dari pain ini dengan sendirinya akan timbul banyak perceraian dan kehancuran keluarga.[23] 


Kisah Seorang Pelajar di Eropa

Kini saya akan menceritakan sebuah kisah penting kepada Anda semua, tetapi kepentingannya lebih ditekankan kepada para ibu yang menyusui. 

Salah seorang penulis bercerita,“Saya belajar di Eropa. Pada suatu pagi saya bangun dari tidur saya dalam keadaan malas dan lelah, sarafku letih. Saya berkata, ‘Celaka saya, di hadapan saya terdapat hari lain yang harus saya lewati!’” 

Kemudian ia menambahkan,“Dalam keadaan letih saya ulurkan tangan saya ke tempat koran di atas kepala saya. Saya mulai membaca dan pandangan saya terhenti pada sebuah persoalan menarik. Saya baca bahwa salah seorang penderita infeksi perut dengan sengaja―setelah putus asa untuk sembuh―merobek perutnya dengan sebilah pisau tajam, sambil mengulang-ulang perkataannya, ‘Saya ingin hidup tanpa rasa sakit pada perut, meski hanya sesaat.’ Ia berkata demikian, kemudian meninggal dunia.” 

Penulis itu menambahkan,“Pada sisi lain dari koran itu saya baca keadaan seorang wanita yang menggambarkan kondisinya dengan berkata, ‘Pada saat bangun tidur pagi hari, saya memulai hari saya dengan berkata, “Segala puji bagi Allah Yang telah memberi saya hari baru.” Saya harus mencurahkan upaya saya pada hari ini, untuk tetap konsisten dan tabah memikul kesulitan-kesulitan; saya memuji Allah Yang telah memberi saya kehidupan pada hari yang lain. Saya memuji-Nya atas kesehatan, keselamatan, dan kekuatan yang telah diberikan kepada saya.’” 

Penulis itu berkata, “Saya mulai merenungkan asal dari ketiga kondisi ini: kondisi saya, kondisi wanita itu, dan kondisi lelaki yang membunuh dirinya agar bebas dari penyakit perutnya. 

“Setelah merenung sejenak, saya perhatikan bahwa sebabnya kembali pada kekuatan saraf masing-masing kami. Lemahnya saraf pada diri sayra menjadikan saya jenuh terhadap kehidupan, dan kuatnya saraf pada wanita tersebut, menjadikannya ingin menghadapi kehidupan dengan kehendak yang kuat. Adapun orang yang membunuh dirinya, lemahnya saraf dan tubuh yang sakit mengiringi keadaannya, sehingga melahirkan kehendak bunuh diri padanya.” 

Hal itu merupakan perkataan yang indah, sebab tidak ada tempat untuk mengatakan bahwa suatu hari adalah bahagia dan hari yang lain adalah sial, dan tidak ada ruang untuk membagi dunia menjadi baik dan buruk. 

Perdebatan yang timbul di antara para ulama mengenai dunia, tidak membawa kesimpulan yang benar, di mana sebagian mereka dengan argumen ayat-ayat dan hadis-hadis zuhud, melemparkan keburukan pada dunia, sedangkan sebagian yang lain berargumen dengan ayat-ayat yang berbicara tentang dunia dengan sifatnya yang baik. Namun sebenarnya hukum yang benar adalah bahwa dunia secara esensial tidak baik dan tidak pula buruk. 

Lalu bagaimana? 

Apabila manusia bergantung kepada dunia, sehingga dunia merupakan hal paling penting bagi dirinya, melalaikannya dari urusan akhiratnya, dan mengantarnya menuju neraka, maka dunia buruk sekali. Tetapi apabila hati manusia tidak terkait dengan dunia, dan dunia dijadikan sebagai perantara untuk menolong manusia, serta apabila ia memetik amal-amal saleh untuk dirinya melalui perantaraan dunia, maka dunia seperti ini adalah dunia yang baik.[24] 

Lantaran itu, secara esensial, dunia tidak baik dan tidak buruk. Hukum terhadapnya tergantung pada sikap dan perilaku manusia terhadap dunia. Dengan demikian dunia menyerupai alat gergaji bagi tukang kayu. 

Sebenarnya, amal perbuatan kitalah yang menjadikan hari-hari baik atau buruk, dan kekuatan saraf kitalah yang menjadikan umur kita berlalu dengan kebaikan dan kebahagiaan atau dengan keburukan dan kesengsaraan. 

Kami telah sebutkan pada bab sebelumnya, bahwa kerisauan dan kesempitan hati, meski besar ukurannya, tidak berpengaruh atau tidak mengubah sedikit pun nasib manusia. Al-Qur’an al-Karim menyatakan: 

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan [tidak pula] pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis pada kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demi-kian itu adalah mudah bagi Allah. [Kami jelaskan yang demikian itu] supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong, lagi membanggakan diri .[25] 

Kami telah katakan sebelumnya―dan kini kami ulang kembali―bahwa yang berpengaruh terhadap nasib dan masa depan manusia adalah perbuatan dan aktivitasnya, doa dan istiqamahnya, merendahkan diri di hadapan Allah, tawassul, dan salatnya, serta kesendiriannya untuk beribadah di tengah malam. 

Seorang wanita yang menyusui, dengan emosi dan goncangan jiwanya tidak memberikan sesuatu melainkan pengaruh-pengaruh negatif pada dirinya dan anaknya. [26] 

Goncangan saraf dan jiwa pada manusia akan menghentikan aktivitas dan menjadikannya terpojok di sudut keterbelakangan dari sudut-sudut kehidupan. Terkadang kondisi itu sampai pada tingkat dimana seseorang berharap agar kematian menjadi hal yang paling dekat dengan dirinya, bagaikan dekatnya anak perempuan misalnya. 

Andaikan seseorang menahan rasa sakit dan kesedihan setahun penuh, hal itu tidak akan mengubah kenyataan sedikit pun. Sedangkan apabila ia bangun di tengah malam karena Allah dan menunaikan salat dua rakaat serta ber-tawassul kepada Allah agar ia menunaikan hajatnya dan menghilangkan kesedihan dan kesulitannya, maka hal itu akan lebih baik. 

Ketika kesedihan dan keruwetan hilang dari kehidupan manusia, kehidupannya akan menjadi lapang dan lurus, dan tidak akan mengeruhkan kejernihannya kecuali satu hal yang terangkum dalam firman Allah Ta’ala,“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan [ayat-ayat Kami] itu, maka Kani siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [27] 

Jika manusia berambisi untuk hidup layak tanpa ada kesulitan- kesulitan, maka ia harus menjawab panggilan Allah. 

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diajarkan dengannya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya dan [Dia] memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka. [28] 

Ia harus bertawakal kepada Allah semata: 

Dan [Dia] memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan]nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. [29] 

Dengan ini jelaslan jalan penyelesaian kesulitan-kesulitan itu dan sandaran menuju nasib yang membangun. Qadha dan takdir tidak melampaui maksud ini. 

Sebuah riwayat telah kita lewati, yang di dalamnya Allah SWT memerintahkan malaikat untuk menulis nasib seorang anak sewaktu berada di perut ibunya, dengan syarat memberikan bada’ bagi Allah Ta’ala. Arti bada’ pada kedudukan ini adalah bahwa seorang anak memiliki nasib tertentu yang dapat dipengaruhi dan diubah dengan amal-amal perbuatan dan dengan menguatkan hubungan dengan Allah SWT.[30] 

Lantaran itu, kita semua―khususnya para ibu―hendaknya memelihara iklim kekeluargaan agar tetap hangat dan bergerak hidup, serta menghindari hal-hal yang tidak demikian.[31] 

Seorang psikolog berkata,“Pada saat seorang laki-laki masuk ke rumah, hendaknya ia mengesampingkan kesedihan, kesusahan, dan kejemuan di luarnya, dan seorang wanita hendaknya siap menyambut suaminya sebelum kedatangannya dengan bersiap diri dan berhias. Apabila ia tidak melakukan itu, berarti ia lalai terhadap hak suaminya, dan jika itu terjadi, lalu suami berbuat maksiat tertentu karena ia mengabaikan berhias dan mempercantik diri, maka dosanya menjadi besar, dan nasibnya akan berakhir menuju jahanam akibat kelalaiannya, sebagaimana pula nasib suami akan berakhir di neraka akibat dosa dan pelanggarannya.” [32] 

Psikolog itu menambahkan, “Seorang wanita hendaknya membuang kesedihan, dan kesusahannya sebelum kedatangan suaminya dan mengesampingkannya seperti membuang sampah, dan hendaknya berhias diri untuk menyambut suaminya sebaik yang dikehendakinya.” 

Adapun seorang ibu yang menyusui, hendaknya siap menyusui anaknya; tidak hanya dengan berwudu, bersemangat dan rasa hangat, tetapi juga tersenyum di wajah anak pada saat menyusuinya, karena senyuman dan usapan terhadap kepala anak serta belaian terhadap rambutnya dengan kedua tangannya akan mencurahkan kecintaan dan kasih sayang padanya, dan berpengaruh besar terhadap pemuasan jiwanya akan kecintaan. 

Sebagaimana senyuman-senyuman ibu pada saat menyusui anak memiliki dampak yang dalam terhadap roh dan kejiwaan anak, perilaku yang menyimpang juga akan memiliki dampak yang menyimpang. Seorang ibu yang memberikan air susunya kepada bayinya sambil menangis lantaran suaminya atau berkeluh kesah dengan perkataan yang buruk dan bosan terhadap kehidupannya, atau seorang ibu yang naik pitam pada tengah malam dan menyusui anaknya sambil berteriak-teriak, berarti telah mematikan potensi-potensi kebaikan pada kejiwaan anaknya dan menyiapkannya menjadi anak yang lalim, keras, dan fanatik dalam perilaku dan tindakan-tindakannya.[33] 

Bila kita membaca dalam hadis-hadis bahwa surga terletak di bawah kaki para ibu, hal tersebut tidak diberikan kepada mereka dengan percuma (gratis). Imbalan ini diberikan pada ibu, karena ia bangun di tengah malam dan meredakan tangisan anaknya, kemudian menyusuinya dengan air susunya. Pada saat-saat tertentu ia mengajaknya bicara dengan lemah lembut dan meminta maaf karena ia terlambat bangun untuk menyusuinya. 

Inilah penyusuan yang digambarkan oleh hadis-hadis bahwa imbalannya sama dengan membebaskan seorang budak di jalan Allah.[34] 

Sebaliknya yang dilakukan oleh sebagian ibu, yang pada saat bangun pada tengah malam lantaran tangisan anaknya, berbicara dengan kata-kata yang buruk, khususnya yang tidak dapat menguasai lisan mereka dan tidak memperhatikan kecilnya usia anak serta kebutuhannya terhadap kasih sayang. Ibu seperti ini tidak mendapat pahala dari penyusuannya, bahkan menyebabkan dirinya dan anaknya merugi secara lahir maupun batin. 

Oleh karenanya syarat kedua dari syarat-syarat penyusuan yang sehat, adalah keharusan seorang ibu menghindari emosi saraf dan jiwa yang berlebihan, dan hendaknya tidak menahan kesedihan dan kesusahan. Dan hendaknya suami memperhatikan ketenangan istrinya pada saat menyusui anak, dan jangan membuatnya marah atau menyusahkan pikirannya. Seorang ibu juga harus menguasai dirinya dan bersikap tenang dan hangat. 


Syarat Ketiga: Makanan Halal


Syarat ini lebih penting dari dua syarat sebelumnya, yaitu makanan halal. Benar-benar celaka, air susu yang asalnya dari makanan haram. 

Perhatian Islam dan ulama-ulamanya terhadap persoalan penting ini, disebabkan kaitannya yang erat dengan kehidupan manusia. Air susu yang berasal dari makanan haram dan yang diberikan kepada anak, pada hakekatnya adalah api yang menyala. Jika seorang anak hidup dan tubuhnya berkembang dari susu seperti ini, maka dengan itu ibunya membawanya menuju kesengsaraan dan akhir yang hitam. 

Lantaran itu, para suami dan orang-tua harus waspada terhadap pendapatan dan asal-muasal harta mereka, khususnya pada masa-masa kehamilan dan menyusui. Mereka harus berhati-hati lcrhadap hak-hak manusia dan menjaga tempat-tempat syubhat, serta menghindari segala hal yang mengarah pada syubhat atau haram pada makanan yang dimasukkan ke rumah-rumah mereka. 


Kisah Abdurrahman bin Sayyabah

Abdurrahman bin Sayyabah adalah seorang pemuda yang hampir mencapai usia balig sewaktu ayahnya wafat. Dari satu sisi, kematian ayahnya menyedihkannya. Dan dari sisi lain, kemiskinan dan keadaan menganggur menyakitkannya. 

Pada suatu hari seorang lelaki mengetuk pintu rumahnya, dan ia adalah salah seorang teman ayahnya. Ia mengucapkan bela sungkawa dan menghiburnya, kemudian bertanya kepadanya, “Apakah ayahmu meninggalkan sesuatu?” Ia menjawab, “Tidak.” 

Lelaki itu memberikan sebuah kantong berisi uang seribu dirham dan berkata kepadanya, “Jagalah uang itu dan makanlah kelebihannya!" Kemudian lelaki itu pun kembali ke tempatnya. 

Abdurrahman masuk ke rumah dengan gembira dan memberitahukan hal itu kepada ibunya. Pada saat isya, ia pergi ke salah satu teman ayahnya dan memintanya membelikan barang-barang untuknya. Esok harinya ia telah duduk di sebuah kedai melakukan jual beli. 

Hari-hari berlalu hingga Allah memberinya rezeki yang berlimpah, dan perdagangannya menghasilkan keuntungan yang besar. Ketika musim haji tiba, ia memutuskan untuk berangkat menunaikan kewajiban haji. Ia memberitahu kehendaknya kepada ibunya. Lalu ibunya berkata,“Kembalikan dahulu uang fulan kepadanya, baru kemudian engkau menyiapkan dirimu untuk berangkat haji!” 

Abdurrahman pergi menuju lelaki itu dan membayar uangnya kepadanya. Lelaki itu mengira bahwa uang yang telah diberikannya sedikit, sehingga ia berkata kepadanya,“Mungkin engkau merasa kurang, maka saya akan tambah.” Abdurraman menjawabnya, “Tidak, aku hendak menunaikan ibadah haji, dan aku ingin uangmu berada di tanganmu.” 

Setelah berangkat menuju Mekkah dan melaksanakan ibadah haji, ia pergi ke Madinah dan masuk ke rumah Abu Abdillah ash-Shadiq as bersama yang lainnya, lalu duduk di belakang mereka. Orang-orang mulai bertanya kepada Imam dan beliau menjawab mereka. Ketika orang-orang mulai berkurang, Imam menunjuk kepada Abdurrahman agar lebih dekat kepadanya. Sewaktu ia mendekat kepadanya, Imam menanyainya,“Apakah kau mempunyai keperluan?” Ia menjawab, “Aku adalah Abdurrahman bin Sayyabah.” “Apa yang dikerjakan ayahmu?” “Ia telah wafat,” ujarnya. Ketika Imam mendengar hal itu, ia merasa iba dan kasihan padanya, lalu beliau bertanya kepadanya, “Apakah ia meninggalkan sesuatu?” “Tidak.” 

“Lalu dari mana engkau menunaikan ibadah haji?” 

Maka Abdurrahman menceritakan kisah lelaki tersebut kepada Imam. Belum selcsai ceritanya Imam menanyainya, “Apa yang kau perbuat dengan uang lelaki itu?” Ia berkata, “Aku telah kembalikan kepadanya.” 

Imam berkata, “Engkau telah berbuat baik.” LaJu beliau menambahkan, “Maukah kau kuberi wasiat?” 

Abdurrahman menjawab, “Ya.” 

Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Wajib bagimu berkata jujur dan menunaikan amanat, wajib bagimu berkata jujur dan menunaikan amanat, wajib bagimu berkata jujur dan menunaikan amanat.”[35] 

Perhatikan benar-benar wasiat Imam Shadiq kepada Abdurrahman bin Sayyabah. Bagaimana semestinya kita mempraktekkannya dalam tingkah laku dan amal perbuatan kita. Kita semua harus menjauhi penipuan dalam berhubungan dengan sesama. Mereka yang menunda-nunda pembayaran hutang yang menjadi tanggungannya, tidak dapat berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan kewajiban haji, jika tidak membayar tanggungannya. Bahkan para fukaha berkata,“Apabila orang yang berhutang diminta oleh pemilik hutang untuk mengembalikan hutangnya, maka ia tidak boleh menunaikan salat pada awal waktunya. Melainkan ia harus terlebih dahulu melepaskan tanggungan hutangnya, baru kemudian menunaikan salat.” 

Perkara ini menyingkap pentingnya kewaspadaan dan ketelitian terhadap hak-hak manusia dan harta benda mereka. 

Allah SWT berfirman,“Orang-orang yang memakan harta anak- anak yatim dengan aniaya, maka sebenarnya mereka memakan api di dalam perut mereka, dan mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Sa’ir.” [36] 

Bila demikian seorang ibu harus menghindari menyusui anaknya atau memberinya makanan dari air susu atau makanan haram, karena dengan demikian sebenarnva ia memberinya api Sa’ir. 

Seorang ayah seharusnya pula menghindari harta haram, dan melepaskan tanggungannya dari harta manusia dan hak-hak mereka. Dengan ibarat yang jelas Al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa orang yang memakan harta manusia lain, tidak memakan sesuatu dalam perutnya melainkan api tanpa ia sadari. 

Lantaran itu para ayah hendaknya meneliti makanan yang diberikan kepada anak-anak dan keluarga mereka, agar mereka selamat terhadap pertanyaan pada hari kiamat dan perhitungannya. Karena, anak-anak dan istri akan membencinya di hari kiamat dan mengadukannya kepada Allah, bila ia memberi makan mereka dari barang-barang haram. Tempat kembali mereka akan berakhir di surga, sedangkan tempat kembali dirinya adalah neraka. 


Syarat Keempat: Memelihara Watak Mental dan Rohani


Syarat ini lebih penting dari tiga syarat sebelumnya, yaitu pantulan kondisi rohani seorang ibu terhadap anaknya saat ia menyusuinya, dan pengaruhnya terhadap mental anak.[37] 
Kisah Syekh Fadhlullah An-Nuri


Saya tidak menul1jukkan topik ini dengan menukil persoalan baru yang akan membangkitkan rasa kagum. Seluruh harapan saya hanyalah agar hal itu menjadi pelajaran bagi para ibu yang menyusui. 

Telah masyhur bahwa Allamah Syekh Fadhlullah an-Nuri dihukum mati secara lalim semasa revolusi undang-undang di Iran.[38] 

Tidak perlu disebutkan di sini bahwa mujtahid yang adil, alim, dari warak ini termasuk salah satu elemen revolusi undang-undang di Iran dan termasuk penggeraknya. Tetapi ketika ia melihat bahwa revolusi itu tidak merealisasikan tujuan-tujuannya, maka ia bangkit menentangnya. Hal itu membuat pemerintah yang berkuasa di Iran―ketika itu―menghasut massa, sehingga ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara, kemudian dihukum mati.[39] 

Syekh Fadhlullah an-Nuri mempunyai seorang putra yang menunjukkan perilaku yang mengherankan pada waktu ayahnya dipenjarakan dan dihukum mati. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain mendengungkan perlunya ayahnya dihukum mati. 

Salah seorang tokoh ulama berkata,“Sewaktu aku perhatikan kondisi yang mengherankan dari putra Syekh an-Nuri ini, aku pergi ke penjara untuk mengunjungi Syekh tersebut. Di sana aku katakan kepadanya, ‘Hukum keturunan mestinya menjadikan sebuah kedudukan yang luhur dan martabat yang tinggi bagi putramu. Apa yang terjadi sehingga ia berupaya menentangmu dan mengajak orang untuk menghukum mati dirimu?’” 

Syekh an-Nuri menjawab, bahwa ia telah mengkhawatirkan nasib dan masa depan atas putranya ini. Rahasia hal itu adalah bahwa ia lahir di Najaf al-Asyraf (salah satu kola di Irak) pada saat ayahnya berada di sana untuk belajar. Pada saat itu ibunya sakit hingga tidak dapat menyusuinya dengan air susunya. Lantaran itu kami mencarikan baginya seorang ibu untuk menyusuinya. Kami lalai meneliti kepribadian, komitmen, dan identitasnya. Setelah beberapa waktu berlalu kami perhatikan wanita yang menyusui tersebut ternyata memiliki noda, dan lebih berbahaya dari itu ia ternyata seorang yang memusuhi Amirul Mukminin Ali dan Ahlul-bait. 

Syekh an-Nuri menambahkan,“Sejak saat itu lonceng bahaya berdengung dan rasa khawatir dan takut menguasai diriku terhadap nasib anak ini, dan hari ini apa yang aku khawatirkan terjadi.” 

Adakah gerangan malapetaka yang lebih berbahaya daripada perilaku anak ini, yang berdiri sambil bertepuk tangan, di saat tali tiang gantungan melilit pada leher ayahnya seorang ulama, mujtahid, dan pejuang revolusioner? 

Dan herannya, ia adalah seorang manusia! Pada peristiwa ini persoalannya tidak berhenti sampai batas ini, namun kisah ini memiliki kelanjutan. Anak yang bertepuk tangan dengan penuh kegembiraan dan wajah berseri-seri ini, padahal tali tiang gantungan melilit leher ayahnya dengan aniaya dan sewenang-wenang, telah meninggalkan keturunan yang buruk kepada masyarakat, yaitu Nuruddin Kiyanuri, pimpinan partai komunis “Tudeh”.[40] 

Kini, apa yang dikatakan oleh persoalan ini, dan pelajaran apa yang dapat diambil darinya? 

Pelajaran pertama: Kondisi-kondisi kejiwaan berpengaruh terhadap hukum keturunan. Lebih berbahaya dari itu, kondisi-kondisi ini pengaruhnya beralih dari air susu yang diberikan sorang ibu kepada anaknya. Seorang ibu yang iri dan dengki akan melahirkan bagi masyarakat seorang anak pendengki pula. Adapun ibu yang pengasih dan penyayang, akan melahirkan seorang anak yang pengasih dan lemah lembut.[41] 

Dari sudut lain kisah ini, kita memperhatikan kejadian lain yang menyingkap pengaruh kebersihan dan kesucian pada air susu ibu terhadap anak dan peralihan dampak-dampaknya terhadap masa depan dan nasibnya. Dari Syekh Mufid―salah seorang ulama besar Islam di abad keempat Hijriyah―diriwayatkan, bahwa ia mengimpikan Falimah az-Zahra dan ia memegang al-Hasan dan al-Husain, lalu beliau (Fatimah) mengatakan kepadanya, “Wahai Syekh, ajarkanlah fiqih kepada keduanya!” 

Kelika Syekh Mufid bangun dari tidurnya, ia merasa heran terhadap mimpi ini, dan mulai memikirkan maknanya. Sewaktu ia duduk mengajar murid-muridnya, datang seorang wanita dengan tanda kemuliaan tampak pada wajahnya, dan dua anak lelaki berada di antara kedua tangannya, lalu ia berkata, “Wahai Syekh, ajarkanlah fiqih kepada keduanya!” 

Kedua anak itu tidak lain adalah Syarif Murtadha dan saudaranya, Syarif Radhi. Syeh Mufid memberikan perhatian yang besar kepada mereka dan memperhatikan pengajaran serta pendidikan mereka hingga mereka termasuk orang-orang yang paling alim dari ulama Islam. Tidak hanya pada masanya saja, namun pada seluruh periode sejarah Islam hingga saat ini. 

Cukup bagi Syarif Radhi suatu kebanggaan dan keabadian dengan tindakannya mengumpulkan pilihan-pilihan kalam Arnirul Mukminin dengan nama Nahj al-Balaghah. Rahasia kebesaran kedua ulama besar ini terletak pada kesucian dan kebersihan air susu ibu yang diberikan kepada mereka, dan pada ketakwaannya serta kondisi-kondisi kejiwaan dan spiritualnya yang terdapat pada dirinya. 


Kesimpulan



Demikianlah―pada akhir bab ini―sekali lagi kita kembali pada hadis yang kita jadikan sebagai awal dan kitab ini, yaitu:“Orang yang berbahagia adalah orang berbahagia di perut ibunya, dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara di perut ibunya.” 

Dengan upaya orang-tua untuk melahirkan seorang anak saleh bagi masyarakat, berarti sejak permulaan ia melukiskan lahan ke-bahagiaan dan kebajikan. Sama halnya dengan upaya orang-tua yang melahirkan pada masyarakat seorang anak yang jahat, sejak permulaan ia membuat lahan kesengsaraan dan kejahatan baginya.[42] 





Daftar Isi : 

Bab VI: Menyusui dan Air Susu Ibu 33

Syarat-syarat Menyusui yang Sehat 36

Syarat Pertama: Takwa dan Menghindari Maksiat 36

Kisah Syekh Anshari 38

Syarat kedua: Keharusan Tenang dan Menghindari Emosi Jiwa yang Berlebihan 40

Kisah Seorang Pelajar di Eropa 42

Syarat Ketiga: Makanan Halal 52

Kisah Abdurrahman bin Sayyabah 53

Syarat Keempat: Memelihara Watak Mental dan Rohani 57

Kisah Syekh Fadhlullah An-Nuri 57

Kesimpulan 62


Catatan:


[1] Tafsir Ruh al-Bayan; I. Hal. 104; Kanz al-Ummal. Hal. 490. 

[2] Ia adalah Syekh al-Faqih Muhammad bin Murtadha yang dikenal dengan al-Faidhul Kasyani, salah seorang ilmuwan terkemuka pada abad kesebelas Hijriah. Di samping kefakihannya. ia mengarang kajian-kajian dalam filsafat. dan menyusun bait-bait syair. Al-Faidhul Kasyani lahir pada tahun 1007 H di kota suci Qom, Iran. Kemudian ia berpindah ke Kasyan, lalu ke Syiraz dan di sana ia berguru pada Sayyid Majid al-Bahrani dan filosof Shadruddin asy-Syirazi yang dikenal dengan sebutan Shadrul Mutaanihin. Al-Faidhul Kasyani menikahi puleri filosof ini, kemudianmeninggalkan Syiraz menuju Kasyan, dan menulis banyak kitab dalam berbagai keilmuan: tafsir, hadis, dan akhlak, yang mendekali dua ratus judul kitab. Ia wafat tahun 1091 H pada usia 84 tahun dan dimakamkan di Kasyan. Hingga kini makamnya dikenal dan diziarahi. 

[3] QS. Ali Imran: 6. 

[4] Tafsir as-Shafi, oleh al-Faidhul Kasyani, I, hal. 293. 

[5] QS. at-Tahrim: 6. 

[6] QS. az-Zumar: 15. 

[7] Dalam wasiat Imam Ali bin Abi Thalib as kepada anaknya disebutkan, “Wahai anakku, teman dahulu baru kemudian jalan.” 

[8] Jami’ul Akhbar, hal. 124. 

[9] Ensiklopedia Bihar al-Anwar, oleh al-Alamah al-Majlisi, LXXVII, hal. 58. 

[10] Sebenarnya kita berada di hadapan neraca yang benar, sebab pada saat pendidikan yang benar membuahkan hasil yang benar, maka pendidikan yang salah, yang tidak mempedulikan anak, memastikan orang-tua mendapatkan akibat-akibat kedurhakaan anak. 

[11] QS. az-Zumar: 15. 

[12] Dalam firman Allah SWT kita baca, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra’: 23). Pada ayat ini Allah SWT rnensejajarkan antara syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang- tua. Ia juga berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik. kepada kedua ibu-bapak; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.” (QS. Luqman: 14) 

[13] Untuk merenungkan tanggung jawab penting orang-tua tehadap anak- anak mereka, kita baca sebuah riwayat, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak anakku ini?” Rasulullah menjawab, “Anda beri nama dan mendidik saran santun yang baik padanya, dan Anda letakkan dia pada posisi yang baik.” Tidaklah sulit bagi orang-tua hanya mengantarkan anak mereka menuju tingkatan saran santun saja, tetapi yang sulit adalah meletakkannya pada posisi yang baik dalam segala sikap dan tujuan hidupnya. 

[14] Qurbul Isnad, hal. 31. 

[15] (326-385 H). 

[16] IfiShahib bin Ubbad adalah Abul Qasim Ismail bin Abul Hasan bin Ubbad bin al-Abbas. lahir di sebuah daerdh Persia di Ustukhar atau Taligan. pada tanggal16 Dzulqaidah 326 H. Ia mempelajari ilmu dan adab dari ayahnya. dan terkenal sebagai pengelola urusan-urusan keilmuan, adab, dan periwayatan hadis. Ia pemah berkata, “Siapa yang tidak menulis hadis, maka ia belum menemukan manisnya Islam.” 

Ia terkenal dengan kedermawanan dan kemurahan hatinya, hingga diriwayatkan, bahwa setiap tahun ia mengirim ke Baghdad 5000 dinar yang dibagikan kepada para fukaha dan sastrawan. Seorang pun tidak masuk ke dalam rumahnya pada bulan Ramadan, lalu keluar dari rumahnya melainkan setelah berbuka puasa, dan pada setiap malamnya seribu orang berbuka puasa di tempat tinggalnya. 

Sejarah menyebutkan tentang sikapnya mengenai “rumah tobat”, di mana suatu hari ia keluar dengan pakaian ulama, sementara ia berada di departe men dan berkata, “Kalian telah mengetahui aktivitas saya dalam keilmuan, sementara saya terlibat dalam perkara ini, dan segala yang telah saya infakkan sejak masa kecil saya hingga saat ini berasal dari harta ayah dan kakek saya. Dengan demikian, hal itu tidak lepas dari dosa-dosa. Saya bersaksi kepada Allah dan kepada kalian, bahwa saya bertobat kepada Allah dari segala dosa yang telah saya perbuat.” Dan ia membangun sebuah rumah untuk dirinya, yang ia beri nama “rumah tobat”. 

Ia wafat pada tahun 385 H di kota Ray dan dimakamkan di Isfahan, Iran. Tentang biografinya silakan merujuk dua ensiklopedia al-A’lam oleh az-Zarkuli, dan al-Ghadir oleh al-Amini―penerjemah. 

[17] Pertama kali yang kita perhatikan mengenai kehidupan Ja’far adalah sikap ayahnya, Imam Ali al-Hadi terhadapnya pada awal hari kelahiran, bahkan pada saat kelahirannya, di mana keluarganya berbahagia dengan kelahirannya, kecuali ayahnya. Maka seorang wanita bertanya mengenai hal itu. Imam berkata, “Mudahkanlah dirimu (jangan terlalu gembira), sebab akan banyak orang yang menyimpang karenanya Ja’far).” (Di sini kila teringat kembali kepada hadis, “Orang yang berbahagia adalah orang yang berbahagia di perut ibunya, dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara di perut ibunya,” dan Imam melihat dengan pandangan bashirah nur ke-maksum-annya, sehingga ia dapat menyingkap masa depan bayi ini dan memberitakannya). 

Pada kisahnya terdapat sebuah nasihat, di mana sejarah menyebutkan kepada kita, bahwa sewaktu Ja’far tumbuh dewasa, ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan pengarahan ayahnya, Imam Ali al-Hadi. Ia mengambil jalan kesia-siaan, kelakar, dan minum khamar, serta terpengaruh oleh lingkungan yang menyimpang, yang tersebar pada masanya. Kita saksikan ayahnya, Imam Ali al-Hadi memerintahkan para sahabatnya untuk menjauhinya dan tidak bergaul dengannya, sambil memperingatkan mereka bahwa ia telah keluar dari perintah-perintah dan larangan-larangannya. Alangkah indah perkataan beliau kepada mereka, “Jauhilah anakku Ja’far. Sesungguhnya kedudukan ia di sisiku sebagaimana Namrud di sisi Nuh, yang Allah SWT berfirman tentangnya, Nuh berkaya, bahwa anakku adalah dari keluargaku, Allah SWT berfirman, “Wahai Nuh, dia bukanlah dari keluargamu, dia adalah amal yang tidak saleh.” 

Logika Al-Quran berlaku, bahwa apabila anak mengikuti langkah ayahnya dalam mengikuti kebenaran, maka ia adalah anaknya yang sebenarnya; dan bila tidak mengikuti langkahnya, maka ia bukan termasuk keluarganya, meski ia dilahirkan darinya, karena ia adalah amal yang tidak saleh. 

Walaupun Imam Ali al-Hadi dan saudaranya, Imam Hasan al-Asykari mencurahkan upayanya untuk memperingan tekanan penyimpangannya. namun ia mengklaim dirinya sebagai imam setelah wafat saudaranya, Hasan al-Asykari dan ia mencoba untuk menyalatinya, serta mendekati Khalifah al-Abbasi untuk merusak garis ke-imamah-an Ahlulbait. 

Akhirnya perlu kami tunjukkan tentang pertobatan Ja’far dan kembalinya dirinya menuju kebenaran. Imam Mahdi menegaskan pertobatan ini dalam istifta yang ditulis kepadanya, meskipun tobat ini tidak bertentangan dengan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini. 

Kita dapat saksikan kisah yang lengkap pada kitab Tarikh al-Ghaibah ash-Shughra oleh Sayyid Muhammad Shadr, hal. 299 dan seterusnya―penerjemah. 

[18] QS. al-Ashr: 1-3. 

[19] QS. al-Baqarah: 233. 

[20] Masyarakat Barat kembali menekankan peran menyusui dari payudara ibu setelah masa penyusuan Pada lingkup ini kajian barat terakhir mengenai anak, menegaskan bukti-bukti manfaat ini dan hasil-hasilnya. 

Dalam buku Ibu dan Anak: Dua Belas Bulan Dari Perjalanan Hidup yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Anak di Universitas Barringstone, Amerika Serikat, terdapat petunjuk-petunjuk secara rinci dan luas mengenai hasil menyusui anak dari air susu ibu, yang kita akan ketahui di sela-sela bab ini. 

Sebagai petunjuk terhadap salah satu manfaat-manfaat ini, buku itu mencatat: Di antara manfaat-manfaat menyusui melalui payudara dari sisi psikologis ialah bahwa ia menjaga anak yang disusui dari kesulitan-kesulitan makan dan problemanya, dan menghindarkannya dari kondisi-kondisi imsak (menahan lapar) serta melepaskannya dari aktivitas-aktivitas yang dapat menimbulkan rasa mual pada dirinya, sebagaimana ia menciptakan antibiotik yang melindunginya secard partikular dari derita-derita penyakit. Ibu dan Anak, terjemahan dari bahasa Perancis oleh Muhammad ad-Dunya, hal, 91. Damsyiq. 1987. 

Sebenarnya kami ingin menunjukkan apa yang sampai pada Barat saat ini, yang telah ditegaskan oleh Islam empat belas abad yang lalu, kepada sebagian ibu yang menolak untuk menyusui anak-anak mereka dengan alasan-alasan yang lemah―pen. . 

[21] Buku Ibu dan Anak mencatat hasil-hasil eksperimen yang dilakukan terhadap anak-anak yang menyusu dari air susu ibu-ibu mereka dan anak-anak yang menyusu dari air susu buatan dengan menyebutkan: Eksperimen-eksperimen ilmiah dilakukan untuk kepentingan membandingkan hasil-hasil yang berlaku pada penyusuan melalui payudara dengan penyusuan melalui penyusuan buatan. Sebagian faktor-faktor seperti kecenderungan kepada anak dan kehangatan yang diperlihatkan ibu sewaktu menyusui adalah penting. Di antara manfaat menyusui dari payudara ibu ialah menguatkan hubungan yang lebih erat antara ibu dan anaknya, dan ibu memberikan manfaat-manfaat yang besar, yang tercermin pada bentuk kerelaan batin yang ia rasakan pada saat menyusui anaknya dan sesudahnya. Berangkat dari ini, para ibu terkenang bahwa mereka telah memberikan bagian dari dirinya dan eksistensinya sewaktu mereka menyusui anak-anak mereka dari payudara mereka. Ibu dan Anak, diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Anak di Universitas Barringstone, Amerika Serikat, cetakan bahasa Arab, Damsyiq/1987, hal. 90―pen. 

[22] Majma’ al-Bayan, IX, hal. 102. 

[23] Ibu yang telah memutuskan untuk menyusui anaknya dari air susunya, hendaknya mengetahui, bahwa berdasarkan eksperimen-eksperimen lapangan terbukti bahwa ketegangan dan kelelahan yang timbul karena beberapa sebab, mungkin dapat mengakibatkan kurangnya air susu. Lantaran itu, hendaknya ibu yang menyusui mengambil bagian yang cukup untuk beristirahat dan menenteramkan diri, dan hendaknya pula melepaskan perasaan sedih dan gundah dari dirinya, sebab kondisi kehangatan perasaan yang diperlihatkan ibu pada saat ia menyusui akan berpengaruh terhadap diri anak. (Ibu dan Anak, hal. 90-91)―pen. 

Demikian pula ulasan: Anak Eksistensi Yang Mengagumkan, oleh Dhiyauddin Abul-Hubbi. bab “Menyusui”, hal. 82 dan seterusnya. Baghdad/1979. 

[24] Di antara hadis-hadis yang indah seputar dunia ialah ucapan Imam Shadiq as, “Pangkal segala kesalahan adalah cinta dunia.” Dan perkataan beliau as, “Siapa yang menggantungkan hatinya kepada dunia, maka ia telah menggantungkan hatinya pada tiga hal: kesedihan yang tidak hilang, angan-angan yang tak tercapai, dan hardpan yang tidak ia raih.” Al-Kafi, II, hal. 310 dan 320―pen. 

[25] QS. al-Hadid: 22-23. 

[26] Pendidik Amerika yang terkenal (Lee Salk) menegaskan bahwa perasaan tegang pada ibu yang menyusui dapat mernpengaruhi kelayakan penyusuan dari payudaranya. Hal itu berdasarkan pertimbangan bahwa ketegangan ini mencegah air susu mengalir dengan leluasa dari payudara ibu menuju mulut anak. Dampak ketegangan dan kerisauan hati tidak hanya mempengaruhi kuantitas air susu, namun juga merusak hubungan yang hangat―seperti telah dibuktikan oleh eksperimen―yang mesti terjalin antara anak dan ibunya. Itu merupakan hubungan yang mernancar sewaktu anak disusui melalui payudara ibunya. 

Kesimpulan akhir yang dilontarkan oleh analis Amerika itu adalah bahwa terdapat interaksi yang turut serta dalam hubungan yang terbina pada saat menyusui dari payudara. Persiapan Orang Tua (at-Tahayyu’ lil Walidiyyah), oleh Lee Salk, cetakan bahasa Arab, Damsyiq/1987; hal. 72-73―pen. 

[27] QS. al-A’raf: 96. 

[28] QS. ath-Thalaq: 2. 

[29] QS. ath-Thalaq: 3. 

[30] Bada’ pada manusia ialah munculnya pendapat mengenai sesuatu pada dirinya, yang pendapat tersebut tidak ada sebelumnya, dengan mengubah keinginan (azam)nya terhadap suatu perbuatan yang sebelumnya ia ingin lakukan. Tiba-tiba terjadi pada dirinya hal-hal yang mengubah pendapatnya dan pengetahuan atasnya, sehingga timbul pada dirinya keinginan untuk meninggalkannya, setelah sebelumnya berkehendak melakukannya. Demikian itu karena kebodohan (jahl) terhadap maslahat-maslahat dan penyesalan terhadap yang telah berlalu. 

Bada’ dengan arti ini mustahil bagi Allah SWT, sebab ia berasal dari kebodohan dan kekurangan, sehingga hal itu mustahil bagi Allah. Imam Shadiq as berkata, “Siapa yang mengira bahwa Allah mengubah sesuatu (bada’) yang sebelumnya tidak Dia ketahui, maka saya berlepas diri darinya.” 

Keyakinan tentang bada’ yang benar adalah kita berkata sebagaimana firman Allah SWT, “Allah menghapuskan yang Dia kehendaki dan menetapkan(nya), dan pada-Nya Ummul Kitab.” Artinya, Allah SWT menyatakan sesuatu melalui lisan nabi-Nya atau wali-Nya atau kondisi lahiriah, untuk maslahat yang menghendaki pernyataan tersebut. Kemudian menghapuskannya, sehingga menjadi lain dengan kenyataan sebelumnya, dengan mengetahui sebelumnya terhadap persoalan itu. (Akidah-Akidah Imamiyah, oleh Syekh Muhammad Ridha Muzhaffar, cetakan kedua, Kairo /1381 H, hal. 25.)―pen. 

[31] Dalam beberdpa hadis terdapat sifat-sifat yang indah bagi istri yang memenuhi suasana rumah tangga dengan kasih sayang dan kehangatan, dan membantu suaminya terhadap hal-hal yang menimpanya. Di antaranya hadis yang datang dari Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib yang berkata, “Sebaik-baik wanita adalah yang memiliki lima perkara (al-khummas).” Beliau ditanya, “Apa lima perkara itu (al-khummas)?” Amirul mukminin berkata, “Tenang (mudah), lembut, memudahkan, yang apabila suaminya marah, ia tidak tampak acuh hingga ia (suami) menjadi rela, dan jika suaminya tidak bersamanya, ia menjaganya dalam ketidakhadirannya. Istri (seperti itu) adalah pekerja dari pekerja- pekerja Allah, dan pekerja Allah tidak.akan kecewa.” AlWasail, XIV, hal. 15―pen. 

[32] Lantaran semua sebab ini, Islam menegaskan pentingnya bagi istri untuk tidak meninggalkan berhias diri untuk suaminya. Di antaranya riwayat dari Rasulullah saw sewaktu seorang wanita mendatanginya dan berkata, “Wahai Rasulullah. apa hak suami terhadap istri?” Rasulullah menjawab, “Lebih dari itu.” Wanita itu berkata, “Beritahukan kepadaku sedikit darinya!” Rasulullah bersabda, “Ia (istri) tidak boleh berpuasa (puasa sunah) melainkan dengan izinnya, tidak boleh keluar dari rumah tanpa seizinnya, ia harus memakai wewangian seharum mungkin, mengenakan pakaian yang paling baik, bernias seindah mungkin, dan menyerahkan dirinya kepadanya siang dan malam, serta masih banyak lagi hak-haknya terhadapnya.” 

Dalam kaitannya dengan persiapan istri terhadap suaminya dan penyerahan apa yang ia miliki. Islam berangkat kepada tingkatan terjauh yang membentengi suami dari kesalahan dan memelihara keutuhan rumah tangga Muslim. Di antaranya ucapan Imam Shadiq as, “Sebaik-baik wanita (istri) kalian adalah yang apabila berada berduaan dengan suaminya. ia lepaskan pakaian malu, dan apabila mengenakannya, ia kenakan pakaian malu bersamanya (suami).” Al-Wasail, XIV, hal. 10 dan 10―pen. . 

[33] Falsafah perpindahan ketegangan jiwa dari ibu kepada anak melalui penyusuan, berdiri atas dasar penemuan ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan modern menetapkan bahwa hisapan anak yang menyusu adalah suatu kekuatan respon yang bersifat natural, dan hisapan itu menenangkan anak dan meringankan sakit mulas pada perut besarnya serta mengurangi ketegangan ototnya. Semakin tinggi kehangatan hisapan dan penyusuan, hal itu semakin menjadi sumber ketenangan terbesar terhadap dirinya. Lantaran itu, bila anak yang menyusu kepada ibunya ditimpa suatu ketakutan, ia mengungkapkannya dengan tangisan setiap kali ia kehilangan sumber ketenangannya (penyusuan). Suara-suara dan kegaduhan yang berlebihan, baik datang dari ibu atau orang lain, akan mempengaruhi ketenangan anak di saat ia menyusu kepada ibunya. Ibu dan Anak, hal. 123-124―pen. 

[34] Dalam bab “Ibu Menyusui”, sebuah hadis dari Rasulullah saw telah kila lalui mengenai jihad, sewaklu seorang wanita bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah. apa bagian wanita darinya?” Rasulullah menjawab, “Ya, anlara kehamilannya hingga penyapihannya, wanita mendapatkan pahala seperti orang yang tetap berada pada perbatasan musuh di jalan Allah, dan apabila ia meninggal dunia antara keduanya ini,, maka tingkatannya seperti tingkatan orang yang mati syahid.” Bihar al-Anwar, CIX, hal. 97―pen. 

[35] Safinat al-Bihar, hal. 2, kosa katla (Abdun) 

[36] QS. an-Nisa’: 10. 

[37] Lazim adanya penegasan Islam terhadap pain ini dengan menekankan syarat-syarat menyusui, sebagaimana penekanannya terhadap syarat-syarat memilih istri, Dari Amirul mukminin Ali as, beliau berkata, “Pilihlah wanita untuk menyusui seperti Anda memilih wanita untuk menikah dengannya, sebab penyusuan akan mengubah tabiat (watak).” 

Dalam hadis lain Amirul mukminin as berkata, “Takutlah atas anak-anak kalian terhadap air susu wanita pelacur dan wanita gila, karena sesungguhnya air susu itu memberikan pengaruh.” Bihar al-Anwar, CIII, hal. 323―pen, 

[38] Syekh Fadhlunah an-Nuri dianggap sebagai tokoh terkemuka dalam kepemimpinan revolusi undang-undang di Iran, Bersama Sayyid Abdullah Bahbahani dan Sayyid Muhammad Thabathabai, ia membentuk kepemimpinan ulama untuk revolusi yang berakhir dengan memaksa Shah Qajari menetapkan undang-undang negara dan majlis pemilihan, dan menyepakati hak ulama atas pengawasan terhadap keislaman dan kesesuaian undang-undang dengan syariat. Tetapi ketika terjadi perubahan pada tujuan-tujuan revolusi undang-undang (1905), Syekh Fadhlullah berbalik menjadi penentang revolusi yang paling getol. Sejarah Polilik Modern Iran, I, hal. 56―pen. 

[39] Revolusi undang-undang termasuk intifadah rakyat.yang terkenal dalam sejarah Iran modern. Puncak revolusi ini terjadi di Haziran (1905), sehingga memaksa Shah Qajari menyepakati tumutan-tuntutan mendasar dalam mengumumkan undang-undang yang memberikan kebebasan dan keadilan kepada rakyat, dan memberikan hak pengawasan terhadap kesesuaian undang-undang dengan syariat dan Islam kepada tokoh-tokoh agama. Undang-undang baru tersebut dicanangkan pada bulan April 1906 dan dibentuk pula majlis pemilihan pada bulan Oktober 1906, Tetapi Shah Qajari tidak memiliki komitmen terhadap undang-undang, bahkan ia tidak memberlakukannya dan memanfaatkan sengketa antara Rusia dan Inggris mengenai Iran dalam menghancurkan bangunan parlemen dan membunuh sebagian anggota-anggotanya hingga luruh pada bulan Juli 1909. Iran 1900-1980, oleh sekelompok penulis. Beirut / 1979―pen. 

[40] Ia memasuki Partai Komunis Iran yang dikenal dengan Tudeh pada tahun 1942 dan menjadi anggota pengurus pusat sejak tahun 1945. Tahun 1979 ia menjadi sekretaris pertama partai Tudeh, dan terkena serangan para tahanan terhadap kelembagaan Partai Komunis Iran yang terjadi pada Azar (bulan Iran) / 1983―pen. 

[41] Islam menegaskan bahwa air susu ibu yang menyusui akan menularkan dan memindahkan watak ibu tersebut kepada anak. Oleh sebab itu. beberapa hadis mendengungkan kewaspadaan dalam memilih ibu yang menyusui. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian meminta wanita-wanita pandir (ahmaq) dan tamak menyusui, sesungguhnya air susu itu berpengaruh.” 

Rasulullah saw juga bersabda, “Waspadalah kalian dari meminta wanita pandir untuk menyusui, karena sesungguhnya air susunya itu dapat tumbuh pada anak yang disusuinya.” 

Amirul mukminin as berkata, “Janganlah kalian meminta wanita pandir menyusui, karena sesungguhnya air susu menguasai tabiat (watak).” 

Hadis-hadis juga melarang meminta menyusukan pada wanita Yahudi, Nasrani, orang-orang yang membenci dan memusuhi Ahlul bait as, wanita gila, dan pelacur, serta beberapa wanita lain. Bihar al-Anwar, Bab “Menyusui dan Hukum-Hukumnya”, CIII, hal. 321-325―pen. 

[42] Kita tutup bab ini dengan sebuah hadis Rasulullah saw, “Tidak ada air susu untuk anak yang lebih baik daripada air susu ibunya.” Bihar al-Anwar, CIII, hal. 323―pen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...