ilustrasi nhiasan:
Agama sering menjadi sumber aksi-aksi kekerasan, tapi agama juga bisa menjadi sumber upaya-upaya binadamai. Kita sering terpaku pada yang pertama, kurang sekali melaporkan dan mempelajari yang kedua. Kita sudah tidak adil sejak dalam pikiran: kita mau agama menyebarkan kasih, tapi yang kita perhatikan melulu agama yang membawa perang.
Dua pengaruh agama di atas dialami Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye dari Nigeria. Mereka contoh hidup pemimpin agama yang hijrah dari mendukung aksi-aksi kekerasan menjadi pengecamnya. Kisah mereka didokumentasikan dalam film The Imam and the Pastor (2006), yang banyak dipuji dan sekaligus mempopulerkan mereka sebagai “Imam dan Pastor”.
Buku ini, yang dipersiapkan untuk menyambut kedatangan keduanya di Indonesia, dimaksudkan untuk memperkenalkan dan meramaikan wacana agama dan perdamaian seperti diwakili “Imam dan Pastor”. Beberapa kasus agama dan binadamai dari Tanah Air juga diangkat untuk memperkuat wacana ini lebih jauh.
Indonesia mungkin lebih baik secara umum dari Nigeria. Tapi hidup Imam Ashafa dan Pastor James, yang kebetulan orang Nigeria, mengandung banyak hal yang patut kita pelajari dan teladani.
Buku ini penting dibaca oleh para pengambil kebijakan, pekerja pembangunan dan hak-hak asasi manusia, dan para aktivis pluralisme yang mendambakan hubungan yang harmonis di antara berbagai agama dan kepercayaan di Indonesia.
Agama sering menjadi sumber aksi-aksi kekerasan, tapi agama juga bisa menjadi sumber upaya-upaya binadamai. Kita sering terpaku pada yang pertama, kurang sekali melaporkan dan mempelajari yang kedua. Kita sudah tidak adil sejak dalam pikiran: kita mau agama menyebarkan kasih, tapi yang kita perhatikan melulu agama yang membawa perang.
Dua pengaruh agama di atas dialami Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye dari Nigeria. Mereka contoh hidup pemimpin agama yang hijrah dari mendukung aksi-aksi kekerasan menjadi pengecamnya. Kisah mereka didokumentasikan dalam film The Imam and the Pastor (2006), yang banyak dipuji dan sekaligus mempopulerkan mereka sebagai “Imam dan Pastor”.
Buku ini, yang dipersiapkan untuk menyambut kedatangan keduanya di Indonesia, dimaksudkan untuk memperkenalkan dan meramaikan wacana agama dan perdamaian seperti diwakili “Imam dan Pastor”. Beberapa kasus agama dan binadamai dari Tanah Air juga diangkat untuk memperkuat wacana ini lebih jauh.
Indonesia mungkin lebih baik secara umum dari Nigeria. Tapi hidup Imam Ashafa dan Pastor James, yang kebetulan orang Nigeria, mengandung banyak hal yang patut kita pelajari dan teladani.
Buku ini penting dibaca oleh para pengambil kebijakan, pekerja pembangunan dan hak-hak asasi manusia, dan para aktivis pluralisme yang mendambakan hubungan yang harmonis di antara berbagai agama dan kepercayaan di Indonesia.
Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang, Belajar dari “Imam dan Pastor”
Diah Kusumaningrum • Ihsan Ali-Fauzi • Irsyad Rafsadi . Jacky Manuputty • James Wuye • Muhammad Ashafa • Nurul Agustina . Samsu Rizal Panggabean • Stella Hutagalung • Sumanto Al Qurtuby
Editor : Ihsan Ali-Fauzi
Cetakan I : September 2017
Diterbitkan oleh : Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta
atas dukungan TIFA Foundation
Alamat Penerbit : Bona Indah Plaza Blok A2 No B11 Jl. Karang Tengah Raya, Lebak Bulus, Cilandak Jakarta Selatan 12440
Tel : (021) 765 5253
Foto Sampul : Simon Clark/OSCE/UK, “The Imam and The Pastor” (London, 2006)
ISBN: 978-979-772-057-5
Mengenang Samsu Rizal Panggabean (1961-2017) dosen, pendidik, sahabat
– Innȃ li Allȃh, wa innȃ ilaihi rȃjiûn.
– Rest in peace.
Pengantar Penerbit
Buku ini dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Imam Ashafa dan Pastor James ke Indonesia pada Oktober 2017. Kepeloporan dua agamawan pegiat binadamai dari Nigeria itu, yang sebelumnya bermusuhan, diharapkan dapat memberi inspirasi bagi penguatan toleransi, kerjasama dan upaya-upaya binadamai lintas-iman di Indonesia. Selain memberi kuliah umum di Jakarta dan Yogyakarta, keduanya akan ikut memfasilitasi lokakarya “Pelembagaan Mediasi Antar-Iman”, dengan peserta dari berbagai wilayah di Indonesia.
Rangkaian kegiatan ini dikelola Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), keduanya di Universitas Gadjah Mada, serta Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM). Keempat lembaga itu didukung Yayasan Tifa, Jakarta, dan Tanenbaum Center, New York.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memungkinkan terlaksananya rangkaian kegiatan ini. Kami juga menghaturkan terima kasih banyak kepada para penulis yang sudah menyumbangkan artikel mereka dalam buku ini.
Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang Ketika kami mempersiapkan rangkaian kegiatan ini, Samsu Rizal Panggabean (MPRK UGM), salah satu dari kami, wafat pada Kamis pagi, 7 September 2017, di Yogyakarta. Kami semua merasa sangat kehilangan: jejak almarhum sangat terasa tidak saja dalam sumbangan artikelnya dalam buku ini, atau dalam buku dan rangkaian kegiatan ini secara keseluruhan, tapi juga dalam tiap segi wacana dan praktik binadamai yang sedang kami gerakkan bersama. Ketika dia pergi mendahului kami, makin terasa betapa kami masih amat membutuhkannya.
Buku ini kami dedikasikan untuk mengenangnya. Semoga kami bisa melanjutkan jejaknya. Semoga dia diberi seluruh kelapangan dan kedamaian yang sangat layak dia peroleh – bersama Muhammad bin Abdullah, Mahatma Gandhi, John Lennon, dan kekasih-kekasihnya yang lain.
Jakarta, 20 September 2017
PUSAD Paramadina
Daftar Isi
Pengantar Penerbit
BAGIAN I
PENGANTAR EDITOR 1
1 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang:
Belajar dari “Imam dan Pastor”
Ihsan Ali-Fauzi 3
BAGIAN II
AGAMA, RESOLUSI KONFLIK, BINADAMAI:
PENGALAMAN DUNIA, PELAJARAN BAGI INDONESIA
2 Aksi Binadamai Kaum Agamawan
Irsyad Rafsadi
3 Agama, Kekerasan dan Binadamai di Nigeria:
Pelajaran dari “Imam dan Pastor”
Ihsan Ali-Fauzi & Nurul Agustina
4 Melatih Para Juru Damai:
Agamawan Muda di Nigeria
Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye
BAGIAN III
AGAMA DAN BINADAMAI:
BEBERAPA KASUS DARI INDONESIA 79
5 Agamawan Perempuan dan Rekonsiliasi di Indonesia
Sumanto Al Qurtuby 81
6 Dua Kota Dua Cerita: Mengapa Kekerasan Terjadi
di Ambon tapi Tidak di Manado?
Samsu Rizal Panggabean 117
7 Hubungan Muslim-Kristen di Kupang:
Menegosiasikan Ruang dan Menjaga Perdamaian
Stella Hutagalung 157
8 Belajar dari Rekonsiliasi Sehari-hari di Maluku
Diah Kusumaningrum 189
BAGIAN IV
PENUTUP 211
9 Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama:
Dari Maluku untuk Indonesia dan Dunia
Jacky Manuputty 213
Tentang Penulis 239
BAGIAN I
PENGANTAR EDITOR
Ihsan Ali-Fauzi
Mukadimah
Para “agamawan humanis”, untuk mudahnya sebutlah begitu sementara ini, seringkali dongkol dengan kebiasaan industri informasi dan komunikasi massa (umumnya media massa populer, tetapi kadang juga buku-buku instan, yang ditulis terburu-buru untuk momentum tertentu dan biasanyadangkal) mengungkap hal-hal yang melulu buruk mengenai ekspresi sosial-politik dari agama. Yang biasanya diungkap adalah aksi-aksi kekerasan, seringkali dengan akibat amat memilukan, yang dilakukan atas nama agama. Dalam model pemberitaan seperti ini, orang-orang dengan motivasi keagamaan itu disebut dengan kata-kata seram: zealots, extremists, militants – belakangan, terrorists. Kadang liputan itu dilengkapi dengan ilustrasi foto yang mengerikan, membangunkan bulu kuduk. Model pemberitaan yang sebaliknya, berisi kisah yang enak didengar, misalnya tentang upaya- upaya perdamaian oleh kalangan agamawan, amat jarang ditemukan (lihat misalnya Esposito 1992 atau, yang lebih baru, Cavanaugh 2009).
Para agamawan di atas itu punya sejumlah alasan untuk merasa dikecewakan. Pertama, kekerasan hanyalah salah satu wajah sosial-politik dari agama – dan tidak selamanya merupakan wajahnya yang terpenting. Maka model pemberitaan di atas, sekalipun jika benar didasarkan atas peristiwa yang betul terjadi, dipandang tidak adil terhadap agama.
Apalagi jika diingat bahwa tradisi agama-agama, selain memiliki ajaran (yang memang bisa, dan sering, diselewengkan dan disalahgunakan) yang menyerukan perdamaian (perlu diingat: sebagian pemuka agama bahkan mengklaim bahwa inilah inti ajaran agama), juga memiliki sederet tokoh yang telah terbukti mau dan berani berkorban, bahkan dengan mengorbankan jiwa mereka, untuk memperjuangkan ajaran itu. Dalam sejarah agama-agama abad ke-20, misalnya, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Buddha) – untuk hanya menyebut beberapa nama yang menonjol. Agar adil, pemberitaan mengenai kekerasan berjubah agama seharusnya mengungkap pula akar-akar kultural dan struktural terjadinya kekerasan itu, oleh para aktor agama di sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Tetapi persis alasan inilah yang seringkali absen dari model pemberitaan di atas.
Alasan lain kekecewaan para agamawan di atas terkait dengan semacam strategi kampanye penyebaran nilai-nilai perdamaian dan nirkekerasan. Model peliputan itu dianggap tidak berorientasi kepada penyelesaian konflik dan pengupayaan perdamaian, atau setidak-tidaknya lebih merugikan. Butir ini, mengenai kecenderungan media untuk meliput melulu kekerasan atas namaagama, dengan model penyajian yang dangkal dan tidak lengkap, terang memerlukan pembahasan sendiri, yang bukan di sini tempatnya. Tetapi secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal ini terkait dengan semacam rumus yang amat dipegang di dunia industri komuni- kasi, bahwa berita yang layak dijual adalah berita-berita mengenai korban dan kenestapaan.
Rumus itu dikenal dengan “bad news adalah good news (untuk dijual).” Sebagian orang mengatakan, ini ada kaitannya dengan bawaan intrinsik manusia kepada kekerasan. Akan halnya soal kedangkalan berita, hal ini terkait dengan keinginan media, didorong oleh tingkat kompetisi yang makin tinggi, untuk menyajikan berita secepat – jadi jelas bukan sedalam atau selengkap – mungkin. Istilahnya: hard news atau breaking news, pokoknya berita saja. Sebagian orang mengatakan hal ini terkait dengan hasrat manusia modern yang makin meningkat akan informasi yang instan. daripada menguntungkannya. Model itu kemungkinan besar hanya akan memancing munculnya kekerasan tandingannya – sekarang atau nanti, langsung atau tidak; menjadi unsur yang ikut merakit terbentuknya budaya dan lingkaran kekerasan. Banyak sekali contoh yang memperlihatkan bagaimana seorang atau sekelompok agamawan yang semula berwawasan pluralis, sedikitnya inklusivis, beralih menjadi sebaliknya, berwawasan eksklusif dan bersikap ekstrem, karena deraan informasi yang dangkal dan tidak lengkap mengenai kekerasan yang dilakukan oleh atau terhadap rekan-rekannya seiman oleh kelompok agama lain.
Dalam kasus seperti ini, berlakulah rumus: “fundamentalisms breed another fundamentalisms”, fundamentalisme hanya akan melahirkan fundamentalisme lainnya. Ketika menyebut “agamawan humanis” di atas, saya teringat kepada orang-orang seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im asal Sudan, yang harus mengasingkan diri ke luar negeri karena komitmennya kepada penegakan hak-hak asasi manusia (HAM), berbasis keyakinannya kepada ajaran-ajaran Islam, dilecehkan regim di negerinya sendiri. Atau orang seperti Dalam perkara keragaman agama, biasanya dikenal tiga orientasi besar. “Eksklusiv-isme” adalah orientasi yang ingin membangun kantong yang tertutup (enclave builder), yang menegaskan bahwa hanya ada satu cara untuk memahami realitas dan menafsirkan yang suci. “Inklusivisme”, sebaliknya, menegaskan bahwa meskipun ada berbagai tradisi keagamaan, komunitas keagamaan, dan kebenaran, suatu tradisi agama tertentu adalah puncak dari tradisi-tradisi lainnya, lebih unggul dari yang lain itu, atau cukup lengkap untuk juga menampung yang lain itu dalam posisi lebih rendah. Akhirnya, “pluralisme” adalah orientasi yang menegaskan bahwa kebenaran bukanlah milik eksklusif sebuah tradisi atau komunitas keagamaan tertentu. Dalam wawasan terakhir ini, keragaman komunitas dan tradisi dipandang bukan sebagai hambatan untuk mengatasi, melainkan sebagai peluang untuk, pergumulan yang bersemangat dan dialog dengan yang lain. Dalam wawasan seorang pluralis, seperti ditulis Diana L. Eck, “Tuhan adalah cara kita berbicara mengenai sebuah Realitas yang tidak dapat dicakup seluruhnya oleh sebuah tradisi keagamaan mana pun, termasuk tradisi keagamaan kita sendiri” (lihat Appleby 2000, 13-14).
Saya berjumpa dengan banyak orang, dari kalangan Islam di Indonesia, yang mengalami perubahan sikap seperti ini menyusul tidak tuntas-tuntasnya kasus pertikaian antara kalangan Islam dan Kristen di Ambon dan Maluku Utara. Mereka sebenarnya menyadari akar-akar non-agama pertikaian itu. Tetapi ketika kasus itu tidak juga tuntas, dan tidak ada tanda-tanda penuntasannya, sementara mereka didera dengan informasi mengenai korban yang terus berjatuhan, maka yang kemudian tumbuh dalam dada mereka adalah in-group feeling terhadap saudara-saudara seiman. Dalam penilaian mereka, lepas dari asal-usul sejatinya yang non-agama, yang mereka lihat belakangan ini pada akhirnya adalah sebuah aksi saling tumpas dan saling bunuh oleh orang-orang yang berbeda karena baju agamanya.
Sulak Sivaraksa, seorang tokoh Buddha di Thailand, yang terus melawan arus dan tetap mengabarkan bahwa kekerasan, apa pun alasannya, hanya akan mengkhianati dan mencederai ajaran-ajaran Buddha. Atau trio pendeta Buddha (Maha Ghosanada), aktivis HAM Yahudi (Liz Bernstein), dan pendeta Jesuit (Bob Maat), yang tanpa kenal lelah dan menempuh segala risiko memimpin sejumlah kelompok umat Buddha di Kamboja dalam aksi-aksi tanpa-kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Belakangan, tokoh-tokoh agamawan seperti ini lebih banyak lagi, meskipun skala perjuangan mereka lebih mikro, seperti dituangkan dalam dua volume buku Peacemakers in Actions (lebih jauh lihat Bab II dalam buku ini).
Orang-orang seperti mereka, seraya teguh percaya akan kebenaran yang termuat dalam agama mereka, tetap tidak menutup peluang bagi berlangsungnya dialog dan pertukaran budaya dengan orang-orang dengan latar belakang mana pun – baik yang religius maupun yang sekular. Mereka bukan saja menyepakati pluralisme (yang lebih “berisiko” dari sekadar inklusivisme, apalagi eksklusivisme), tetapi juga menyatakan komitmen mereka untuk menegakkannya, bahkan dengan risiko kehilangan nyawa. Saya menyebut mereka “humanis”, karena mereka percaya bahwa agama, sekalipun didesain oleh dan bersumber dari Yang Mahasuci di atas manusia dan di atas makhluk lain mana pun di alam semesta ini, diturunkan untuk – dan hanya untuk – manusia, semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya.
Didorong oleh religiusitas yang menggempal dalam jiwa mereka, mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia, juga dalam tindak penciptaan manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dan untuk semua itu, mereka tidak bisa berbuat lain kecuali mengusahakan tetap terpeliharanya kesucian semua itu, kesucian penciptaan dan martabat kehidupan, dengan manusia sebagai porosnya. Bagi mereka, menjadi religius adalah menjadi saksi mengenai kesucian dan ketinggian harkat penciptaan ini. Dalam posisi ini, kekerasan atas nama agama, yang mengharuskan jatuhnya korban manusia di atas altar perjuangan demi Yang Mahasuci, bukan saja absurd, tapi juga scandalous!
Dihadapkan kepada model pemberitaan yang melulu menyasar sisi kekerasan dari ekspresi sosial-politik agama seperti disebutkan di atas, para agamawan humanis itu kini seakan sedang berperang melawan dua kubu yang sama “kelas berat”-nya, militansinya, ekstremnya. Mereka terjepit di antara dua itu, yang satu sama lain saling menyalahkan atau bahkan, meminjam Esposito (1992), “saling menyetankan”.
Yang pertama adalah kaum “fundamentalis agama”, yang merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada di tangan mereka (dan hanya di tangan mereka), yang bulat tanpa benjol sedikit pun karena sumbernya Tuhan yang sepenuhnya benar, dan tugas mereka adalah memperjuangkannya, termasuk dengan kekerasan kalau perlu. Orang-orang yang tergabung dalam kubu ini (yang ada di semua agama, tanpa kecuali) dengan sendirinya militan dan ekstremis, karena mereka memandang bahwa mereka adalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan yang mati di jalannya berarti mati syahid.
Sedang kubu yang kedua adalah kaum “fundamentalis sekular”, yang merasa bahwa agama sudah tidak punya hak hidup sekarang ini, dengan berbagai alasan: karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya. Kaum ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan yang sedikit pun tidak punya kebajikan dan harus diluluhlantakkan, di abad ke-18.
Kecuali para petualang politik dan ekonomi (mereka bisa sekular dan bisa juga agamawan) tertentu, atau orang-orang tertentu yang naik-turun karir mereka banyak ditentukan oleh ada atau tidaknya semacam krisis kemanusiaan yang besar (misalnya para pemegang kebijakan di sebuah negara besar, para diplomat atawa wartawan, atau para pekerja keamananbersenjata dengan aneka baju), yang memperoleh banyak manfaat denganberlangsungnya aksi-aksi kekerasan berbaju agama, tidak ada seorang pun yang diuntungkan oleh situasi di atas. Mereka yang berada di kedua kubu fundamentalis pun tidak diuntungkan oleh situasi itu, kecuali jika mereka memang berpandangan bahwa kehidupan dunia yang normal adalah sebuah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya aksi-aksi kekerasan yang berkelanjutan. Hal ini tidak boleh disepelekan, karena beberapa ahli, misalnya yang terkenal adalah Konrad Lorenz (1966), menyatakan bahwa kekerasan adalah bawaan dasar manusia yang harus disalurkan. Di sisi lain, makin banyak studi belakangan yang menunjukkan adanya pihak-pihak yang diuntungkan oleh terjadinya aksi-aksi kekerasan atau perang, yang terbaru misalnya adalah studi Aisha Ahmad (2017), tentang berkembangnya pasar gelap (dari senjata dan candu hingga jilbab dan burka) akibat naiknya Islamisme bersenjata dan kekerasan yang menyertainya di negara-negara seperti Afghanistan, Pakistan dan Somalia.
Ambiguitas Agama
Jika benar demikian duduk perkaranya, pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: bagaimana perilaku saling menyetankan di atas itu bisa diakhiri, sedikitnya diminimalisasi terus-menerus, dan segala upaya ke arah perdamaian ditopang dan digalakkan? Bagaimana maksud baik para agamawan humanis di atas itu, untuk membangun jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara umat manusia, dapat disistematisasikan dan diagendakan, dibangun strategi, ketrampilan dan teknik-tekniknya? Yang pertama-tama perlu segera disadari dan diterima adalah fakta bahwa hubungan antara agama dan kekerasan adalah hubungan yang ditandai oleh ambiguitas, sifat mendua, yang sangat nyata. Kalangan agamawan tertentu boleh saja mengklaim bahwa orientasi kepada perdamaian sudah intrinsik ada dalam tradisi agama-agama.
Namun demikian, di sisi lain, juga dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa agama secara intrinsik juga dapat memancing terjadinya konflik dan kekerasan. Mengenai butir terakhir di atas, tidak terlalu sulit bagi kita untuk memperoleh penjelasannya. Khazanah sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, dan tentunya juga sejarah, memberi kita banyak tilikan untuk soal ini (untuk versi-versi yang lebih ringkas, padat dan saling melengkapi, lihat misalnya Boulding 1986; Carter & Smith 2004; dan Appleby 2015).
Pertama-tama, hal ini terkait dengan kenyataan bahwa agama diakui dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya di tengah alam semesta yang kadang membingungkan dan menimbulkan rasa putus asa ini. Dari sini agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas diri (dan kemudian kelompok). Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan orang-orang tertentu ke dalam kelompok-kelompok tertentu, dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka”, yang akan menguat dan mengeras di tengah situasi dan dinamika konflik apa pun.
Namun demikian, di sisi lain, juga dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa agama secara intrinsik juga dapat memancing terjadinya konflik dan kekerasan. Mengenai butir terakhir di atas, tidak terlalu sulit bagi kita untuk memperoleh penjelasannya. Khazanah sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, dan tentunya juga sejarah, memberi kita banyak tilikan untuk soal ini (untuk versi-versi yang lebih ringkas, padat dan saling melengkapi, lihat misalnya Boulding 1986; Carter & Smith 2004; dan Appleby 2015).
Pertama-tama, hal ini terkait dengan kenyataan bahwa agama diakui dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya di tengah alam semesta yang kadang membingungkan dan menimbulkan rasa putus asa ini. Dari sini agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas diri (dan kemudian kelompok). Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan orang-orang tertentu ke dalam kelompok-kelompok tertentu, dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka”, yang akan menguat dan mengeras di tengah situasi dan dinamika konflik apa pun.
Kedua, identifikasi “kita” dan “mereka” di atas, yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang, dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini akan menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, dan memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri, “kita”, disucikan dan makin disucikan; sedang kelompok lain, “mereka”, dilecehken dan disetankan.
Lalu, ketiga, dalam situasi genting, kedua hal di atas – fungsi agama sebagai pemberi atau penanda identitas seseorang atau kelompok dan narasi yang menopangnya – dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam jihad besar (atau crusade), “perjuangan suci”, melawan kelompok-kelompok lain, kelompok “mereka”. Pemberian legitimasi ini dapat berlangsung dalam berbagai cara, misalnya: (i) seruan formal kepada tradisi keagamaan tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus di mana penggunaan kekerasan (bersenjata) dapat dibenarkan, bahkan diwajibkan; (ii) penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan dan kebengisan kelompok lain, kelompok “mereka”, yang mengancam keselamatan kelompok “kita”; dan (iii) rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan militeristik, setidaknya dalam situasi tertentu, dapat dibenarkan atau bahkan diwajibkan.
Kemudian, bagaimanakah sebuah aksi kekerasan (bersenjata) pada akhirnya dapat dibenarkan oleh agama? Inilah sebab keempat mengapa agama secara intrinsik potensial untuk melahirkan konflik yang berujung pada aksi-aksi kekerasan, yakni: karena komunitas agama tertentu, kelompok “kita”, pada akhirnya memerlukan sebuah ruang dan wilayah di mana “kita” bisa unggul dan mendominasi, jika ini merupakan pilihan yang harus diambil. Logikanya sederhana: Jika Anda mau dan mampu mengungguli kelompok-kelompok lain, mengapa Anda harus berbaik-baik kepada mereka?
Kalau kita lihat sejarah sekilas saja, maka akan tampak jelas bahwa ambiguitas di atas adalah fakta-fakta keras, sebuah hard fact, yang sulit ditolak. Karenanya, hal itu mestinya tidak terlalu mengagetkan siapa pun atau mengecewakan siapa pun. Kenyataan itu juga tidak perlu membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia yang damai, karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan agama dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya. Sementara benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan perdamaian, juga benar dikatakan bahwa, semua agama, baik dalam sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok.
Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu penting pada dirinya sendiri. Yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah kita menyadari dan mengakui fakta itu. Dalam hal ini, ambiguitas di atas harus dijadikan sebagai kesempatan, sebagai peluang baru, justru untuk menunjukkan dan mewujudkan potensi intrinsik agama sebagai sumberdaya perdamaian. Para agamawan yang punya komitmen kepada perdamaian tidak hanya boleh berkeluh-kesah. Tidak cukup bagi mereka untuk hanya mengatakan bahwa agama dapat berperan seperti itu, melainkan juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkret ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya perdamaian oleh agama juga mensyaratkan militansi.
Untuk sampai ke sana, sisi kedua dari agama di atas, yaitu sisinya sebagai salah satu sumber konflik kekerasan, pertama-tama harus diurai dan diperhatikan sungguh-sungguh. Ekspresi kekerasan atas nama agama harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dalam konteksnya yang luas. Ini bukan untuk menekankan terutama sisi buruk agama, melainkan untuk memperoleh potretnya yang lebih utuh, selengkap-lengkapnya, sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja ke arah upaya- upaya perdamaian di masa depan. Dalam hal ini, kabar buruk yang benar, yang akurat, harus dipandang lebih baik ketimbang kabar baik yang palsu, yang bohong.
Militansi Agama: Dari Konflik Menuju Binadamai Jika ancang-ancangnya benar demikian, kita memiliki tiga pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, dalam kondisi apa saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama? Kedua, sebaliknya, dalam kondisi apa pula para aktor agama menolak aksi-aksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai tugas suci atau sebuah privelese keagamaan? Dan ketiga, dalam kondisi apa pula para agamawan yang memiliki komitmen kepada perdamaian dapat mengembangkan diri menjadi para agen pembangun perdamaian (peace builder)?
Dalam studinya yang berpengaruh, The Ambivalence of the Sacred (2000), Scott Appleby mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Secara ringkas, menurutnya, kekerasan keagamaan terjadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain. Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ektremisme dimungkinkan jika para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi nirkekerasan (non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat.
Upaya-upaya perdamaian oleh agama terjadi ketika para pemeluk agama yang militan dan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi sinyal awal, memerantarai dan melakukan unsur-unsur lain ke arah transformasi konflik dan kekerasan. Saya mencatat dua unsur kunci dalam argumen Appleby di atas. Yang pertama adalah militansi, dan yang kedua adalah persepsi mengenai ketidakadilan yang menjadi dasar pijak para aktor agama untuk melakukan kekerasan atas nama agama.
Mengenai yang pertama, saya sudah cukup mendiskusikannya di atas. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya-upaya perdamaian oleh agama juga mensyaratkan militansi. Dengan kata lain, upaya-upaya ini harus ditegaskan dan gencar dilakukan, dengan organisasi yang rapi dan agenda yang jelas, dengan ketrampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan pencapaiannya. Hal ini penting dan harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa sentimen dan komitmen keagamaan bukanlah hak prerogratif mereka yang eksklusif dalam wawasan keagamaannya, yang biasanya mudah menggunakan aksi-aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mereka yang berwawasan eksklusif itu punya hak untuk menafsirkan dan mengekspresikan agama menurut cara pandang mereka, tetapi hal itu bukanlah satu-satunya penafsiran dan ekspresi agama yang sah.
Di atas sudah disebutkan bahwa aksi-aksi kekerasan atas nama agama turut dibangun oleh narasi-narasi yang memperkokoh identitas “kita”, seraya menyetankan “mereka”. Agar kampanye perdamaian atas nama agama dapat berjalan baik, para agamawan yang menolak cara-cara kekerasan harus membangun narasi-narasi tandingannya, yang dapat menopang perdamaian. Narasi-narasi beraura permusuhan harus ditandingi dengan narasi-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia dan cita-cita humanisme. Dasar argumentasi yang sama juga harus disampaikan kepada kaum fundamentalis sekular yang sering mencibir dan melecehkan kemampuan agama sebagai sumberdaya perdamaian.
Cita-cita luhur
Pencerahan, yang menggaungkan kritisisme atau bahkan antipati kepada agama, pada praktiknya juga sama tidak mulusnya dengan cita-cita yang diinspirasikan oleh sumber-sumber lain seperti agama. Abad ke-20 yang baru lalu mencatat bahwa, sekalipun membawa kemakmuran ekonomi dan banyak kemudahan hidup lain pada segmen tertentu umat manusia, proyek modernisme juga memakan banyak korban, langsung atau tidak: perlombaan senjata dan nuklirisme, kerusakan lingkungan, alienasi, kemiskinan massa di belahan dunia yang tertinggal, dan seterusnya. Semua ini hanya menunjukkan pentingnya kaum fundamentalis sekular itu untuk bersikap lebih rendah hati, bersiap diri mendengar suara lain, termasuk suara agamawan.
Mereka harus menyadari bahwa keinginan untuk memperoleh semacam ketenangan batin, rasa aman, dan identitas kelompok, di tengah dunia yang bagi sebagian orang sering tak termaknakan ini, adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan. Kalau mereka menyatakan bahwa adalah manusia itu sendiri yang berdaulat atas dirinya, bukankah agamawan juga adalah manusia yang patut dihargai kedaulatannya, dengan mendengarkan suara dan aspirasinya?
Selain itu, peralatan agama secara fungsional juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan perdamaian. Jika kaum fundamentalis sekular tidak percaya pada “jalan agama”, dialog dengan kalangan agamawan – sebagai sesama manusia – tetap saja diperlukan dalam rangka koeksistensi damai.
Yang lebih fungsional dari itu juga bisa: karena daya rengkuh agama tetap besar, Anda dapat memanfaatkan sumberdayanya yang menopang perdamaian, sekalipun Anda sebenarnya skeptis kepadanya.
Akhirnya, di era yang disebut pascamodern ini, siapa pun tidak bisa mengabaikan peran yang disebut kepemimpinan karismatik seperti yang menjadi ciri banyak pemimpin agama. Jika seorang pemimpin agama yang karismatik dapat memompa aksi-aksi kekerasan, mengapa Anda tidak berusaha untuk mendekatinya dan mengajaknya untuk berperan sebagai peacebuilder? Singkatnya, jika kerja sama dengan agama yang sepenuh, setengah atau bahkan seperempat hati tidak mungkin dilakukan, maka berusahalah untuk tidak menyerang dan melecehkannya. Yang juga sangat jelas adalah unsur kunci kedua dalam argumen Appleby di atas, yaitu persepsi mengenai ketidakadilan yang mendorong aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Kaitan keduanya sangat erat, tapi banyak di antara kita yang lupa atau pura-pura lupa mengenainya.
Dalam pidatonya untuk merayakan Hari Perdamaian, 1 Januari 1972, Paus Paulus VI menyampaikan satu pernyataan yang terkenal terkait soal ini: “If you want peace, work for justice!” Sebenarnya, inti itu pulalah yang disampaikan oleh tak kurang dari proklamator kita, Presiden Sukarno, dalam “Membangun Dunia Kembali” (30 September 1960): “Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian dan kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l’homme par l’homme et de nation par nation.”
Dihadapkan pada fakta yang sangat jelas ini, yang pertama-tama harus dilakukan adalah melihat aksi-aksi kekerasan atas nama agama dalam konteks yang lebih luas, untuk menemukan akar-akar ketidakadilan struktural yang menjadi penyebabnya.
Setelah itu, panggilan perdamaian oleh agama harus didesain dengan menempatkan ketidakadilan struktural ini sebagai musuh yang harus diperangi dengan segala cara dan bersama-sama. Jika tidak demikian, agamawan yang menyuarakan perdamaian 4 Tentang kemungkinan kerjasama di antara para aktor sekular dan agamawan dalam membangun upaya-upaya perdamaian, juga hambatan-hambatannya, lihat dua artikel menarik oleh Gopin (2015) dan Shah (2015).
hanya akan dituduh tidak berbuat apa-apa, kalau bukan malah bersepakat dengan status quo ketidakadilan itu. Di balik itu adalah pekerjaan yang lebih berat, memerlukan keterampilan dan teknik, keberanian dan pengorbanan: bagaimana menumbuhkan keyakinan bahwa penyelesaian dengan cara-cara damai terhadap sebuah ketidakadilan struktural adalah cara yang lebih baik, lebih membekas dalam jangka panjang, lebih sedikit membawa korban, dari penyelesaian dengan cara-cara kekerasan.5
Untuk itu, para agamawan yang anti-kekerasan harus lebih rajin berbagi gagasan dan pengalaman, selain menggalang kerja sama dengan aktor-aktor lain yang sama-sama mendambakan perdamaian. Tidak sederhana, memang, karena perkaranya juga tidak bisa digampang-gampangkan – seluruhnya membutuhkan waktu dan banyak kerepotan yang perlu.
Buku ini: Belajar dari “The Imam and the Pastor” Buku ini, yang dipersiapkan dalam rangka kedatangan Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye, dua agamawan pekerja binadamai dari Nigeria yang sebelumnya bermusuhan, ingin mulai merayakan dan meramaikan wacana agama dan perdamaian di atas secara lebih mendetail di Indonesia, dengan kasus-kasus yang diangkat dari bumi Indonesia juga.
Di dunia, wacana ini berkembang pesat sepanjang dua dekade terakhir dan telah melahirkan bukan saja kesarjanaan, tapi juga berbagai inisiatif di kampus-kampus, kantor-kantor pemerintahan dan organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Kita mungkin agak terlambat, tetapi bukankah lebih baik 5 Belakangan, posisi teoretis ini memperoleh angin segar karena studi-studi baru yang dianggap meyakinkan dalam ilmu-ilmu sosial terkait tema khusus ini, misalnya oleh Kurt Schock (2004 dan 2015) dan duet Erica Chenoweth dan Maria J. Stephan (2011), menun- jukkan bahwa aksi-aksi nirkekerasan atau perlawanan-perlawanan damai lebih berhasil mencapai tujuannya daripada aksi-aksi kekerasan, apalagi kekerasan teroris 6 Para akademisi terkemuka dalam wacana ini telah melahirkan bukan saja buku yang sudah bisa dianggap sebagai babon, yakni The Oxford Handbook of Religion, Conflict, and Peacebuilding (2015), di mana riset-riset mutakhir disintesiskan, tapi juga sudah membangun pusat dan program studi mengenai agama dan perdamaian di kampus besar seperti Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, di mana para akademisi muda dilatih.
Di tingkat pemerintahan, misalnya, The United State Institute of Peace (USIP), lembaga terlambat daripada tidak sama sekali?
Bagian I buku ini berbicara mengenai kecenderungan umum
berkembangnya wacana agama dan perdamaian di atas, antara lain dengan
menyoroti hidup dan karya “the Imam and the Pastor” sebagai contohnya
yang sangat kuat.
Dalam Bab II, “Aksi Binadamai Agamawan”, Irsyad Rafsadi membahas peran agama dalam binadamai dari pengalaman tokoh-tokoh yang dinobatkan sebagai agamawan pegiat perdamaian (religious peacemakers) oleh Tanenbaum Center, satu lembaga non-pemerintah di New York yang sangat peduli pada wacana agama dan perdamaian.
Dalam Bab II, “Aksi Binadamai Agamawan”, Irsyad Rafsadi membahas peran agama dalam binadamai dari pengalaman tokoh-tokoh yang dinobatkan sebagai agamawan pegiat perdamaian (religious peacemakers) oleh Tanenbaum Center, satu lembaga non-pemerintah di New York yang sangat peduli pada wacana agama dan perdamaian.
Sejak 1998, lembaga ini rutin memberikan penghargaan kepada “Peacemakers in Action” di berbagai belahan dunia yang bekerja mempertaruhkan nyawa di tengah konflik untuk membangun perdamaian, didorong oleh keyakinan agamanya. Kesaksian mereka menunjukkan bahwa selain menjadi sumber konflik kekerasan, agama juga bisa menjadi sumber upaya-upaya binadamai, meski keduanya tidak sesederhana yang umumnya dibayangkan, dan tantangannya juga tidak kecil dan sedikit. Tulisan ini ditutup dengan beberapa catatan bagi teori dan praktik binadamai, serta beberapa pelajaran bagi pengelolaan konflik keagamaan di Indonesia.
Seperti sudah disinggung, Imam Ashafa dan Pastor James sendiri adalah contoh par excellence dari apa yang didiskusikan dalam wacana agama dan perdamaian di atas.
Dalam Bab III, “Imam dan Pastor”: Agama, Kekerasan dan Binadamai di Nigeria”, Ihsan Ali-Fauzi dan Nurul Agustina memaparkan kisah hidup dan peran kontemporer mereka secara lebih mendetail. Mereka bukan saja contoh hidup ambiguitas agama (sebagai sumberdaya kekerasan dan sekaligus sumberdaya perdamaian), tapi juga contoh berlangsungnya transformasi personal (hijrah dari kekerasan menuju binadamai) dan peningkatan kapasitas agamawan sebagai peacemakers. Mereka tidak berhenti dengan hanya berdamai di milik pemerintah Amerika Serikat, telah menjadikan wacana ini sebagai salah satu subyek bahasannya yang penting (lihat misalnya Smock 2006 dan Hayward 2012).
Sementara itu, ada lembaga seperti Tanenbaum Center, yang rutin memberi penghargaan kepada para aktor agamawan yang mereka sebut “religious peacemakers”, seperti didiskusikan Irsyad Rafsadi dalam buku ini. antara mereka berdua, sesudah sebelumnya saling dendam dan berperang (dengan, sebagai ongkosnya, Ashafa kehilangan guru dan dua sepupunya, sedang James kehilangan tangannya), tetapi membawa nilai-nilai dan inisiatif binadamai itu ke lingkungan keduanya yang lebih luas: pertama di kota, lalu negeri, lalu benua, lalu dunia. Dalam rangka itu, mereka membangun Pusat Mediasi antar-Iman di Nigeria, dan terus bersedia memperkuat diri dengan memperdalam wawasan dan ketrampilan, serta memperlebar jaringan di seluruh dunia.
Untuk memperkuat dan melengkapi uraian di atas dan pesan-pesan pokok buku ini, dalam Bab IV, kami sengaja memuat satu tulisan bersama Imam Ashafa dan Pastor James, “Melatih Para Juru Damai: Agamawan Muda di Nigeria”, untuk menunjukkan satu contoh kasus bagaimana mereka bekerja dalam rangka binadamai berbasis agama di Nigeria. Ada beberapa butir penting yang harus digarisbawahi di sini.
Pertama, mereka bekerja dalam rangka mencegah pemanfaatan agama sebagai sumberdaya kekerasan. Aspek pencegahan ini penting, mencerminkan makna terpokok peacebuilding (binadamai), bukan peacemaking (cipta-damai, sesudah konflik kekerasan terjadi) atau peacekeeping (jaga-damai, sesudah upaya-upaya cipta-damai dilakukan pasca-konflik kekerasan). Kedua, sasaran mereka adalah para pemuda di akar rumput. Pilihan ini strategis karena anak-anak muda di akar rumput, karena berbagai alasan, selalu menjadi penggerak aksi-aksi kekerasan, meskipun aktor intelektual atau perancang aksi-aksi itu bukan mereka. Selain itu, dibanding orang-orang tua, para pemuda rentang hidupnya lebih panjang, sehingga peran mereka di masa depan lebih strategis. Ketiga, mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup mengenai resolusi konflik dan mediasi, sehingga mereka mampu mengelola forum dan sesi-sesi lokakarya dengan baik, tidak menimbulkan ketegangan yang tidak perlu, bahkan berlangsung dengan menggembirakan.
Akhirnya, keempat, mereka memiliki jaringan yang luas yang dapat mereka manfaatkan untuk menopang rencana dan aksi-aksi binadamai mereka. Hal ini dimungkinkan bukan saja karena legitimasi mereka yang kuat (sebagai mantan korban yang berhenti mendendam tapi bekerja untuk binadamai dan bekerja dalam kerangka kerjasama antar-iman), tapi juga karena kemampuan mereka untuk meyakinkan pihak-pihak luar untuk mendukung mereka, yang pada gilirannya terkait juga dengan trust orang-orang luar itu kepada keduanya, sang imam dan pastor. Selanjutnya, Bagian II buku ini mulai menampilkan beberapa contoh mengenai peran agamawan dalam upaya-upaya binadamai di Tanah Air.
Dalam Bab V, “Agamawan Perempuan dan Rekonsiliasi di Indonesia,” Sumanto Al Qurtuby membahas peran perempuan lintas-iman dalam upaya-upaya binadamai di Maluku, khususnya kota Ambon. Seperti umum diketahui, wilayah ini didera konflik kekerasan komunal antara Muslim dan Kristen selama tiga tahun, dimulai pada 1999, yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban.
Menanggapi meningkatnya aksi-aksi kekerasan ini, sejumlah aktivis agamawan perempuan – dari pihak Muslim dan Kristen – bahu-membahu menjembatani jurang yang menganga, ketegangan yang meningkat, memperkuat saling-percaya, dan mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Terlepas dari adanya ancaman dari kelompok-kelompok agama lain yang militan dan menyerukan berlanjutnya aksi-aksi kekerasan, para agamawan perempuan itu terus menjalankan panggilan mereka, dengan menempuh banyak risiko, termasuk kematian. Menurut Qurtuby, ditandatanganinya kesepakatan damai pada 2002 antara lain berkat upaya-upaya agamawan perempuan ini.
Dalam artikel berikutnya, Bab VI, “Dua Kota, Dua Cerita: Mengapa Kekerasan Terjadi di Ambon tapi Tidak di Manado?,” Rizal Panggabean mengamati dan meneliti satu fenomena penting yang mengiringi transisi demokrasi di Indonesia, yakni bahwa insiden kekerasan etnis (atau etnis-religius) hanya terjadi di wilayah-wilayah tertentu dan terkonsentrasi secara geografis hanya di 15 kota dan kabupaten. Menurutnya, berbagai penjelasan mengenai fenomena tersebut sejauh ini kurang dapat menjelaskan mengapa di tengah-tengah itu, banyak kota dan kabupaten tidak mengalami kekerasan, walaupun ada ketegangan.
Panggabean berusaha menjelaskan variasi insiden kekerasan di atas dengan meneliti kasus kota yang mengalami kekerasan (Ambon) dan yang tidak mengalami kekerasan meski ada ketegangan (Manado). Dua kasus ini juga mewakili pemilahan terpenting di Indonesia, yaitu Islam-Kristen. Dengan menggunakan data survei, wawancara dan media lokal, tulisan ini melakukan process tracing dalam melakukan perbandingan dan kontras pada level kota, dan menyoroti mekanisme yang dianggap menyebabkan hasil yang berbeda di kedua kota. Panggabean menekankan dua argumen. Pertama, peran aktor negara, baik di tingkat kota, provinsi, dan nasional sangat penting di balik kemunculan kekerasan komunal di Ambon dan ketiadaan kekerasan komunal di Manado. Kedua, ciri-ciri tertentu dalam hubungan masyarakat Muslim dengan Kristen di kedua kota memengaruhi insiden kekerasan dan ketiadaan insiden kekerasan.
Bab VII menampilkan tulisan Stella Hutagalung, “Hubungan Muslim- Kristen di Kupang: Menegosiasikan Ruang dan Menjaga Perdamaian,” yang secara etnografis mencoba mendalami dan menguak faktor-faktor yang mendasari hubungan yang harmonis antara kaum Muslim dan Kristen. Kupang, ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, salah satu dari sedikit kota sejenis itu di Indonesia yang sebagian besar penduduknya Muslim. Salah satu fenomena sangat menarik dari kota ini adalah fakta bahwa, sementara beberapa kekerasan antar-agama terjadi di kota-kota di Indonesia, khususnya pada sekitar jatuhnya rezim Suharto pada 1998, hubungan Kristen-Muslim di sini berlangsung harmonis, hingga akhir-akhir ini.
Meskipun beberapa insiden kecil terjadi pada 1998 dan ketegangan sempat meningkat menyusul rencana pembangunan satu masjid baru di Batuplat pada 2011, semuanya tidak berkembang menjadi konflik kekerasan yang lebih besar. Lewat penelitian mendalam di tiga desa di kota ini (Solor, Airmata, dan Oesapa), Hutagalung mendeskripsikan dan membahas berbagai pengalaman kaum Muslim di sini dalam menegosiasikan ruang-ruang bagi praktik keagamaan mereka dan upaya bersama mereka membangun dan memelihara kehidupan yang damai dengan tetangga mereka yang beragama Kristen.
Akhirnya, pada Bab VIII, Diah Kusumaningrum menulis mengenai “Belajar dari Rekonsiliasi Sehari-hari di Maluku.” Dia mulai dari rasa kaget yang besar karena ketika memulai risetnya, dia menemukan bahwa banyak narasumbernya yang menyatakan tidak suka dengan kata “rekonsiliasi”.
Kekagetan itu muncul karena Kusumaningrum membawa di benaknya klaim lama dan kuat tentang rekonsiliasi, yang sering dirayakan oleh pihak- pihak tertentu, bahwa agar suatu masyarakat bisa bergerak “melampaui” aksi-aksi kekerasan yang pernah mereka lakukan di masa lampau, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah pembentukan komisi kebenaran (truth commission) dan pelaksanaannya secara efektif. Daripada menempuh jalan ini, mereka mengambil jalan rekonsiliasi sendiri, yang oleh Kusumaningrum disebut “rekonsiliasi sehari-hari”, dengan beberapa situs dan mekanisme kesalingtergantungan (interdependence) yang bisa diamati dan dicontoh.
Di sini, peran agamawan dalam upaya-upaya bina damai juga bisa dilihat, antara lain dengan cara secara sadar dan strategis menurunkan volume “suara” agama, agar irisan-irisan di antara sesama warga Maluku bisa diperkuat (lagi) karena tersedianya “suara-suara” lain yang lebih memungkinkan untuk itu. Semuanya mencerminkan gerak bersama dari “Aku Korban, Kamu Pelaku” menuju “Kita Penyintas”. Buku ini ditutup oleh artikel Jacky Manuputty, “Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama: Dari Maluku untuk Indonesia dan Dunia.”
Penempatan ini disebabkan oleh dua alasan saling terkait. Pertama, selain akademisi, Manuputty juga adalah seorang pemimpin agama (pastor) dengan minat kepada kesenian yang tinggi (pernah bergabung dengan Teater Populer asuhan Teguh Karya) dan mudah “diakses” oleh anak-anak muda. Dalam posisi ini, dia sangat terlibat dalam upaya-upaya binadamai di Maluku – dan seperti Imam Ashafa dan Pastor James, dia juga dipilih sebagai salah satu religious peacemakers oleh Tanenbaum Foundation. Aspek ini membedakannya dari para penulis lain di Bagian II buku ini, yang terdiri dari para akademisi.
Alasan kedua, artikel ini berisi laporan dan refleksi personal penulisnya atas upaya-upaya binadamai ketika dan pasca-konflik di Maluku pada 1999 yang sangat informatif: tentang upaya-upaya binadamai lintas agama yang meliputi banyak dimensi (dari khotbah hingga album musik); tentang strategisnya anak-anak muda lintas agama; tentang urgensi posisi masyarakat akar rumput vis a vis pemerintah; dan lainnya. Berbagai refleksinya juga saya nilai sangat penting: misalnya tentang kelebihan dan keterbatasan adat (kearifan lokal) dan agama sebagai sumberdaya binadamai, tapi khususnya mengenai perlunya agamawan mengusahakan binadamai dalam lingkupnya yang lebih besar, yang dia sebut – mengutip Johan Galtung – “the positive peace”.
Anak judul artikel Manuputty di atas diambil dari tema besar di balik pembuatan album Hidayah Carita Orang Basudara yang sedang digarap Glenn Fredly, salah satu penyanyi Indonesia papan atas asal Maluku. Album ini, yang berisi kompilasi seni untuk perdamaian yang sedang dirampungkan Glenn dan teman-teman mudanya di Ambon, dibuat berdasarkan kesadaran bahwa narasi-narasi perdamaian dan rekonsiliasi dari Maluku haruslah dikontribusikan untuk Indonesia dan dunia. Saya kira ini sama sekali tidak berlebihan karena, sejalan dengan fakta bahwa Indonesia bisa menjadi laboratorium untuk studi mengenai konflik-konflik kekerasan, Tanah Air kita ini juga bisa menjadi laboratorium untuk studi mengenai binadamai dalam maknanya yang luas, seperti dicontohkan di Ambon atau Maluku secara keseluruhan.
Penutup
Saya ingin mengakhiri pengantar ini dengan dua catatan penutup. Pertama, artikel-artikel yang ditampilkan dalam buku ini masih jauh dari cukup untuk mewakili wacana agama dan perdamaian yang berkembang di dunia atau contoh-contohnya dari ranah Indonesia.
Berbagai perdebatan dan sintesis yang sudah muncul dalam wacana itu tidak bisa ditampilkan di sini, karena keterbatasan halaman dan alasan lainnya. Sementara itu, kasus-kasus Indonesia yang diangkat masih terbatas pada kasus-kasus yang dipelajari dari Indonesia Bagian Timur (Ambon, Manado, Kupang). Dalam beberapa publikasi lain, kami sudah pernah memperkenalkannya (lihat misalnya Abu-Nimer 2010; Satha-Anand 2015; Manuputty et al. 2015; dan Panggabean & Ali-Fauzi 2017), dan kami masih berniat akanterus mencicilnya di kemudian hari. Tapi artikel-artikel ini, apalagi contoh aktual kepeloporan Imam Ashafa dan Pastor James, yang antara lain mendorong diterbitkannya buku ini, seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menginspirasi tumbuhnya inisiatif agamawan di Indonesia dalam arah yang sama.
Kedua, kelangkaan bahan-bahan mengenai agama dan perdamaian sebagiannya juga disebabkan oleh strategi riset yang lebih ingin melihat dan mempelajari ekspresi kekerasan dari agama, sambil mengabaikan yang sebaliknya. Kita sering berlaku tidak adil sejak dalam pikiran: kita ingin agama dan agamawan menjadi sumber perdamaian, tapi yang kita amati dan pelajari, tayangkan dan publikasikan melulu mengenai bagaimana agama menjadi sumber kekerasan.
Terkait citra kekerasan yang sering dihubungkan dengan Islam,misalnya, menarik untuk sebentar di sini membahas pandangan Abu-Nimer (2010). Menurutnya, para periset secara berlebihan meletakkan fokus perhatian pada dan bahkan terobsesi dengan topik jihad yang keras dan ganas, yang dipandang sebagai cara kaum Muslim menyelesaikan masalah internal dan yang timbul dari interaksi dengan umat lain. Selain itu, penafsiran-penafsiran tentang jihad yang bersumber dari penulis- penulis kontemporer dijadikan sebagai rujukan utama dengan anggapan bahwa itulah bukti kecenderungan dominan di masyarakat Muslim. Dengan strategi riset semacam ini, maka praktik, nilai, dan keyakinan Islam di bidang binadamai, demokrasi, dan pembangunan masyarakat luput dari perhatian atau sengaja dikesampingkan. Jika hal ini benar, maka gambaran Islam yang keras lebih merupakan efek strategi riset, bukan cerminan realitas masyarakat dan tradisi Islam yang utuh.
Implikasinya, gantilah strategi riset. Dengan melakukan riset tentang binadamai dan penyelesaian masalah nirkekerasan di dalam sejarah dan praktik masyarakat Muslim kontemporer, maka hasilnya akan lebih selaras dengan realitas. Di bagian penutup bukunya, Abu-Nimer memberikan beberapa usul strategi riset tersebut. Lebih dari itu, ada manfaat lain: menurutnya, riset yang difokuskan pada proses-proses binadamai dan ajaran perdamaian dalam Islam “akan memajukan pemahaman di antara kalangan Barat dan Timur, Muslim dan non-Muslim, yang beriman dan tak beriman” (Abu-Nimer 2010, 242).
Dua butir penutup di atas dan dampak praktisnya bisa dilakukan siapa saja, dengan kapasitas apa pun yang ada padanya. Contoh konkret sederhana, sekali lagi, bisa kita ambil dari pengalaman “Imam dan Pastor”. Satu hal yang sangat menarik perhatian saya dari pengalaman keduanya adalah fakta bahwa rekonsiliasi keduanya, yang mengawali upaya-upaya binadamai mereka selanjutnya, dimulai oleh Imam Ashafa yang mendatangi Pastor James untuk minta maaf dan berdamai. Menurut pengakuan Imam Ashafa, itu karena dia diilhami oleh aksi memaafkan Nabi Muhammad atas masyarakat Taif yang mencederainya.
Cerita episode Nabi Muhammad di Taif di atas sangat dikenal di kalangan Muslim di Indonesia. Saya pernah mendengar cerita di atas di madrasah, pesantren, dan sewaktu kuliah di satu perguruan tinggi Islam di Jakarta – dan saya tahu bahwa hampir semua kawan saya juga pernah mendengarnya. Pertanyaannya, mengapa doktrin memaafkan orang atau kelompok lain kurang menjadi doktrin arus utama dalam pemikiran dan praktik kaum Muslim? Mengapa aksi memaafkan Imam Ashafa, yang mencontoh junjungan terbesarnya Nabi Muhammad, terasa asing dan aneh? Mengapa aspek-aspek agama yang menunjang binadamai seperti ini kurang dipelajari?
Mungkin saja pengamatan saya di atas salah. Terlepas dari itu, sudah saatnya inisiatif binadamai oleh agamawan seperti dicontohkan “Imam dan Pastor” diarusutamakan – bukan saja sisi praktiknya, tapi juga risetnya. Jika pesan ini saja bisa didengar dengan jelas, maka tujuan pokok penerbitan buku ini sudah cukup tercapai.***
Referensi
Abu-Nimer, Mohammed. 2010. Nirkekerasan dan Binadamai dalam Islam: Teori dan Praktik. Diterjemahkan Irsyad Rafsadi dan Khairil Azhar. Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan Wakaf Paramadina. Ahmad, Aisha. 2017. Jihad & Co.: Black Markets and Islamist Power. New York: Oxford University Press.
Appleby, R. Scott. 2000. The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconcilliation. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Appleby, R. Scott. 2015. “Religious Violence: The Strong, the Weak, and the Pathological.” Dalam R. Scott Appleby, Atalia Omer, dan David Little (eds.).
The Oxford Handbook of Religion, Conflict, and Peacebuilding (hlm. 33-59). New York: Oxford University Press.
Appleby, R. Scott, Atalia Omer, and David Little (eds.). 2015. The Oxford Handbook of Religion, Conflict, and Peacebuilding. New York: Oxford University Press.
Boulding, Elise. 1986. “Two Cultures of Religion as Obstacles to Peace.” Zygon 21: 501-518.
Carter, Judy and Gordon S. Smith. 2004. “Religious Peacebuilding: From Potential to Action.” Dalam Harold Coward and Gordon S. Smith (eds.), Religion and Peacebuilding (279-3000). Albany: State University of New York Press.
Cavanaugh, William T. 2009. The Myth of Religious Violence. New York: Oxford University Press.
Chenoweth, Erica & Maria J. Stephan. 2011. Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. New York: Columbia University Press.
Dubensky, Joyce S. (ed.). 2016. Peacemakers in Action. Volume II: Profiles in Religious Peacebuilding. New York: Cambridge University Press.
Esposito, John L. 1992. The Islamic Threat: Myth or Reality?. New York: Oxford University Press.
Gopin, Marc. 2015. “Negotiating Secular and Religious Contributions to Social Change and Peacebuilding.” Dalam R. Scott Appleby, Atalia Omer, dan David Little (eds.). The Oxford Handbook of Religion, Conflict, and Peacebuilding (hlm. 355-378). New York: Oxford University Press.
Hayward, Susan. 2012. “Religion and Peacebuilding.” United States Institute of Peace Special Report 313. Little, David (ed.). 2007. Peacemakers in Action: Profiles of Religion in Conflict
Resolution. New York: Cambridge University Press.
Lorenz, Konrad. 1966. On Aggression. Tanslated by Marjorie Kerr Wilson. New York: Harcourt Brace Javanovich. Manuputty, Jacky, Zairin Salampessy, Ihsan Ali-Fauzi, dan Irsyad Rafsadi (eds.).
2015. Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina.
Panggabean, Samsu Rizal dan Ihsan Ali-Fauzi (eds.). 2017. Pekerja Binadamai dari Tanah Pasundan. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina.
Satha-Anand, Chaiwat. 2015. “Barangsiapa Memelihara Kehidupan...”: Esai-esai tentang Nirkekerasan dan Kewajiban Islam. Diterjemahkan dan disunting oleh Tim PUSAD Paramadina. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina. Schock, Kurt. 2004. Unarmed Insurrections: People Power Movements In Nondemocracies. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Schock, Kurt (ed.). 2015. Civil Resistance: Comparative Perspectives on Nonviolent Struggle. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Shah, Timothy S. 2015. “Secular Militancy as an Obstacle to Peacebuilding.” Dalam R. Scott Appleby, Atalia Omer, dan David Little (eds.). The Oxford Handbook of Religion, Conflict, and Peacebuilding (hlm. 380-405). New York: Oxford University Press.
Smock, David (ed.). 2006. Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not War. Washington, DC: United States Institute of Peace.
BAGIAN II
AGAMA, RESOLUSI KONFLIK, BINADAMAI:
PENGALAMAN DUNIA, PELAJARAN BAGI INDONESIA
Aksi Binadamai Kaum Agamawan
Irsyad Rafsadi
Pendahuluan
Cobalah sekali-kali Anda melakukan pencarian di mesin pencari web menggunakan kata “agama” dan “perdamaian” lalu bandingkan hasilnya dengan pencarian untuk kata “agama” dan “kekerasan.” Hasil pencarian agama dan kekerasan jauh lebih banyak, bisa mencapai jutaan entri, daripada agama dan perdamaian, yang hanya ratusan ribu entri. Banyak dari konten tersebut membicarakan agama sebagai biang kekerasan, dan hanya sedikit yang melihatnya sebagai bagian dari solusi terhadap kekerasan.
Gambaran di atas tak terlalu mengherankan karena hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang maraknya pertikaian dan kekerasan atas nama agama. Seperti sering dikeluhkan orang tentang media, if it bleeds, it leads. Lagipula, tak sulit mencari ajaran agama yang mendukung kekerasan atau contoh-contoh riil penganut agama yang berperang di bawah panji agamanya.
1 Tulisan ini diperbarui dari makalah yang pernah disampaikan pada diskusi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon pada 19 Desember 2011, dengan banyak masukan dan suntingan dari Pak Ihsan Ali-Fauzi. Untuk itu saya berterima kasih kepada beliau.
Meskipun kenyataan tersebut tak bisa diabaikan, kita juga tak bisa mengabaikan fakta lain yang menunjukkan kebalikannya, yakni bahwa ajaran-ajaran agama sering menjadi faktor pendorong dan sumber ilham bagi para pegiat perdamaian untuk mencari solusi damai atas konflik.2 Hanya saja, tak seperti para pelaku kekerasan agama, mereka seringkali dilupakan begitu saja – dan karenanya seperti tidak ada.
Salah satu dari sedikit lembaga di dunia yang dengan sengaja ingin mengangkat para agamawan pegiat perdamaian (religious peacemakers) menjadi perhatian publik adalah Tanenbaum Center for Interreligious Understanding. Setiap dua tahun, sejak 1998, lembaga ini memberikan penghargaan Peacemakers in Action kepada para agamawan di berbagai belahan dunia yang berkiprah di tengah-tengah konflik untuk membangun perdamaian. Lembaga ini juga rutin mengumpulkan para Peacemakers in Action itu melalui berbagai kegiatan sehingga mereka dapat saling berbagi pengalaman dan membangun jaringan.
Kesaksian dan pengalaman mereka telah dipublikasikan dalam dua volume Peacemakers in Action. Volume pertama dengan subjudul Profiles of Religion in Conflict Resolution terbit pada 2007, dan volume kedua terbit hampir satu dekade sesudahnya, pada 2016, dengan subjudul Profiles in Religious Peacebuilding. Volume pertama disunting oleh David Little, guru besar di Harvard Divinity School, sedangkan volume kedua disunting oleh Joyce Dubensky, CEO Tanenbaum Center. Kedua editor ini merangkum dan membingkai penuturan para tokoh dengan kerangka konseptual yang kokoh.
2 Dari sisi ini, kita melihat posisi ambivalen agama terkait kekerasan dan perdamaian.
Lebih jauh lihat Ihsan Ali-Fauzi, “Ambivalensi sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, dan Upaya-upaya Perdamaian,” dalam Sifaul Arifin, Raja Juli Antony, Irfan Nugroho, dan Irfan Amali (eds.), Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 67-84.
3 Dalam kata-kata Julia Bacha, sutradara perempuan asal Brazil yang salah satu filmnya, Budrus, mengisahkan aksi-aksi nirkekerasan warga Palestina menentang pendudukan Israel, “If we don’t pay attention to [nonviolent protests], they are invisible, and it’s as if they never happened.” Simak pidatonya yang menggugah di https://www.ted.com/talks/julia_ bacha?utm_campaign=tedspread--b&utm_medium=referral&utm_source=tedcomshare (diakses pada 10 September 2017).
Peralihan subjudul dari “Conflict Resolution” ke “Religious Peacebuilding” didasari oleh setidaknya dua pertimbangan (Dubensky 2016, 8). Pertama, binadamai dianggap lebih positif dan lebih luas, mencakup di dalamnya resolusi konflik serta upaya-upaya pencegahan, pengelolaan, transformasi, dan mitigasi konflik. Kedua, sasaran binadamai juga dianggap lebih luas dari “sekadar” menyelesaikan konflik, tetapi mencakup banyak persoalan yang saling terkait, dari mencegah kekerasan hingga mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Karenanya ia sering disebut juga sebagai strategic peacebuilding (Schirch 2008; Lederach & Appleby 2010, 19).
Meski menggunakan subjudul berbeda, pesan kedua buku ini kurang lebih tetap sama: Jika kita berkepentingan dengan perdamaian dewasa ini, kita tak bisa mengabaikan agama. Tetapi buku ini berbeda dengan “pembelaan” kaum agamawan yang sering kita dengar, bahwa agama “hanya” atau “juga” mengajarkan perdamaian. Buku ini juga tidak mengelak dengan mengatakan bahwa agama hanya diperalat dan sumber masalah utamanya adalah soal politik atau ekonomi. Seperti yang tercermin dari kiprah para tokoh yang diulasnya, kedua buku ini justru menunjukkan kerumitan jalinan antara agama dengan berbagai faktor tersebut.
Tulisan ini ingin melanjutkan pesan di atas, sambil menggarisbawai beberapa pelajaran untuk Indonesia. Untuk itu, kita terlebih dahulu akan mengulas secara ringkas pengalaman beberapa religious peacemakers di kedua buku ini dalam kaitannya dengan pertanyaan kita terkait kedudukan agama dalam binadamai. Setelah itu, kita akan mendiskusikan apa yang dapat dipelajari dari penuturan mereka bagi teori dan praktik religious peacemaking dan bagi pengelolaan konflik keagamaan di Indonesia.
Kiprah Agamawan Pegiat Perdamaian
Sebelum membahas lebih jauh kiprah religious peacemakers (di sini diterjemahkan agamawan pegiat perdamaian), kita perlu tahu terlebih dahulu siapa mereka dan apa yang membuat mereka dijuluki demikian.
Tanenbaum Center mempunyai lima kriteria dalam menentukan agamawan pegiat perdamaian (Dubensky 2016, 8). Tapi sederhananya, mereka adalah individu-individu yang motivasi dan tindakan mereka dalam menyelesaikan konflik hampir seluruhnya terinspirasi oleh agama. Mereka memenuhi panggilan agamanya dan mempertaruhkan nyawanya di tengah kecamuk konflik bersama-sama masyarakat di akar rumput untuk membangun perdamaian tanpa mendapat banyak sorotan dan relatif belum banyak dikenal luas.
Agamawan di sini tidak mesti pemuka agama yang memegang jabatan formal di lembaga keagamaan, tapi lebih umum dari itu, mencakup juga individu-individu penganut agama. Tapi meski tak semuanya pemuka agama, mereka umumnya dekat atau berasal dari masyarakat tempat mereka bekerja dan menjadi panutan. Dengan identitas keagamaannya, mereka bisa masuk ke berbagai kalangan: mulai dari para milisi, ketua suku, pemuka agama lain, para korban, sampai pejabat pemerintahan. Sebagai panutan, mereka mengajarkan sumber-sumber keagamaan yang mendukung kepada perdamaian, seperti pemaafan dan penghormatan terhadap sisi kemanusiaan pihak lain.
Para agamawan pegiat perdamaian yang diangkat Tanenbaum Center berasal dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang dan kepribadian yang juga beragam. Karier dan kiprah mereka diungkap dengan cukup detail di dua volume Peacemakers in Action yang disebut di atas. Volume pertama mengangkat 16 tokoh, satu di antaranya dari Indonesia, yaitu Pendeta Benny Giay dari Papua Barat.4
Sementara itu, volume kedua hanya memuat delapan tokoh, tapi menyertakan perkembangan kiprah
tokoh-tokoh yang diulas di volume sebelumnya.5 Sayangnya, tidak ada 4 Enam belas tokoh yang diulas di volume pertama selengkapnya adalah: José Inocencio Alas (El Salvador), Romo Alex Reid dan Pendeta Roy Magee (Irlandia Utara), Friar Ivo Markovic (Bosnia & Herzegovina), Romo Sava Janjic (Kosovo), Ephraim Isaac (Ethiopia), Pendeta William O. Lowrey (Sudan), Nozizwe Madlala-Routledge (Afrika Selatan), Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye (Nigeria), Alimamy Koroma (Sierra Leone), Abuna Elias Chacour, Rabbi Menachem Froman dan Yehezkel Landau (Israel/Palestina), Sakena Yacoobi (Afghanistan), dan Pendeta Benny Giay (Papua Barat, Indonesia).
5 Delapan tokoh yang diulas di volume kedua adalah: Hind Kabawat (Suriah), Pendeta Canon Andrew White (Israel/Palestina dan Irak), Osnat Daphna-Aram dan Najeeba Sirhan wakil Indonesia di volume kedua ini, meski sebetulnya ada Pendeta Jacky Manuputty (Ambon) yang dinobatkan sebagai Peacemakers in Action pada 2012. Yang juga disayangkan adalah masih kurangnya tokoh di luar agama-agama dunia seperti agama leluhur dan tokoh perempuan di dalamnya, meski ada peningkatan dari volume pertama (2 perempuan dari 16 tokoh) ke volume kedua (3 perempuan dari 8 tokoh).
Meski masing-masing memiliki keyakinan agama dan kepribadian yang beragam, para agamawan pegiat perdamaian yang diulas di kedua buku itu punya beberapa ciri khas yang sama. Hubungan mereka dengan agama misalnya cenderung lebih personal. Selain itu, mereka rata-rata punya kecerdasan emosional yang tinggi dalam arti mampu merasakan asa dan derita orang lain dengan penuh simpati. Mereka membenci ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, tetapi mereka tidak lari, melainkan menghadapinya, dengan cara-cara yang kreatif dan tanpa kekerasan.
Kecerdasan emosional para pegiat perdamaian yang terinspirasi oleh agamanya itu juga nampak dalam kemampuan refleksi-diri dan mawas-diri yang mendalam. Selain itu, mereka rata-rata punya kemampuan intelektual yang mumpuni sehingga bisa terbuka pada ide-ide kreatif. Komitmen mereka untuk mewujudkan perdamaian begitu kuat, terlihat dari lamanya kiprah mereka di tengah-tengah konflik yang bisa sampai bertahun-tahun. Diakui mereka sendiri, agama-lah yang membuat mereka dapat bertahan untuk tetap tahan banting dan tak pandang bulu dalam menegakkan perdamaian dan keadilan (Little 2007, 7).
Bagaimana mereka mulai berkiprah? Hampir semua tokoh yang diulas di kedua buku itu tidak pernah mendapat pelatihan formal. Ikhtiar religious peacebuilding, atau upaya-upaya mewujudkan perdamaian melalui agama, yang mereka lakukan kebanyakan adalah hasil coba-coba. Ini bukan berarti bahwa mereka hanya bergantung pada kekuatan personal dan keyakinan keagamaan saja. Mereka juga menggunakan metode-metode resolusi konflik yang “sekuler” seperti dialog, fasilitasi, dan sebagainya. Inilah yang (Galilea), Ricardo Esquivia Ballestas (Kolombia), Jamila Afghani (Afghanistan), dan Uskup Ntambo Nkulu Ntanda (Republik Demokratik Kongo), dan Azhar Hussain (Pakistan). membuat mereka unik: yang religius dan yang sekuler berinteraksi dalam upaya-upaya mereka membina perdamaian.
Sebelum tergabung dan saling mengenal di Tanenbaum Center, mereka berjuang di tempatnya masing-masing tanpa mengetahui satu sama lain. Tetapi uniknya, pendekatan mereka memiliki banyak kemiripan. Sebagian dari mereka lebih fokus menghentikan konflik dalam jangka pendek; sementara sebagian lainnya lebih fokus membangun landasan untuk perdamaian yang berkesinambungan; tetapi tak sedikit juga dari mereka yang menggabungkan keduanya. Upaya mereka tidak selamanya mulus atau berhasil. Tapi kegagalan dan keberhasilan mereka memberikan pelajaran yang sama pentingnya.
Di antara teknik yang paling membedakan mereka dari pegiat perdamaian lainnya adalah penggunaan sumber-sumber keagamaan. Sakena Yacoobi dan Jamila Afghani di Afghanistan, misalnya, menggunakan sumber-sumber Al-Qur’an yang mendukung pemberdayaan kaum perempuan (Little 2007, 382; Dubensky 2016, 238). Begitu juga dengan Pendeta Roy Magee di Irlandia Utara dan Ricardo Ballestas di Kolombia yang menggali sumber inspirasi dan mengembangkan konsep-konsep yang mendukung mediasi dari Alkitab (Little 2007, 53; Dubensky 2016, 186).
Tapi mereka tidak hanya memanfaatkan ajaran agama yang dianutnya saja. Beberapa dari mereka juga memanfaatkan ritual dan tradisi lain seperti yang bersumber dari adat atau agama leluhur. Pendeta William Lowrey, misalnya, mempelajari dan memanfaatkan ritual adat dalam mendamaikan suku Nuer dan Dinka di Sudan (Little 2007, 186). Contoh lainnya adalah Ephraim Isaac di Ethiopia yang mengerahkan tetua-tetua adat untuk bekerjasama menghentikan kekerasan dan membantu proses- proses perdamaian (Little 2007, 151).
Mereka juga tidak melulu berbicara soal agama, tapi turut memikirkan soal pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini nampak dalam upaya-upaya Elias Chacour, serta Osnat Aram-Daphna dan Najeeba Sirhan di Israel/Palestina, yang mengembangkan lembaga pendidikan untuk mendidik generasi baru tentang hidup bersama dengan damai(Little 2007, 321; Dubensky 2016, 115). Afghan Institute of Learning yang dipimpin Sakena Yacoobi juga mengajarkan perempuan membaca, sesuatu yang risikonya adalah nyawa di sana. Yang lainnya seperti Hind Kabawat di Suriah, serta Imam Ashafa dan Pastor James Wuye di Nigeria, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas seperti lokakarya dan pelatihan mediasi (Dubensky 2016, 19; Little 2007, 247).
Selain mendidik, mereka juga menggugah publik yang lebih luas lewat kemampuan komunikasi mereka yang mumpuni. Mereka merumuskan dokumen-dokumen penting seperti deklarasi dan perjanjian perdamaian, seperti yang dilakukan Alex Reid di Irlandia Utara serta duo Imam dan Pastor di Nigeria (Little 2007, 53). Mereka juga rajin menulis makalah dan artikel koran, seperti yang dilakukan Romo Ivo Markovic di Bosnia, Azhar Hussain di Pakistan (Little 2007, 97; Dubensky 2016, 320). Belakangan, beberapa dari mereka juga mulai memanfaatkan media sosial, misalnya Pendeta Canon Andrew White di Irak (Dubensky 2016, 71).
Dalam menjalankan aktivismenya, mereka dituntut untuk bekerjasama dengan tokoh dari agama lain, terlebih dari pihak yang dianggap musuh. Mereka mesti memberi teladan kepada para pengikutnya atau orang-orang di sekitarnya untuk memperbaiki hubungan dan bekerjasama. Hal ini nampak dalam kisah Osnat dan Najeeba di Israel/Palestina yang mengalami transformasi-diri lalu bekerjasama menularkan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya. Tapi contoh yang paling dramatis barangkali adalah Imam Ashafa dan Pastor Wuye di Nigeria, yang sempat saling berperang sebelum akhirnya bisa berdamai dan bekerjasama, dua-duanya terinspirasi oleh ajaran agama.
Tak jarang, hubungan dan kerjasama di atas melembaga menjadi jaringan pegiat perdamaian lintas-iman yang lebih luas. Contohnya adalah jaringan tokoh dan lembaga keagamaan yang dibangun Alimamy Koroma untuk menanggulangi peperangan di Sierra Leone dan jaringan perdamaian yang dibangun William Lowrey di Sudan (Little 2007, 278). Jaringan tersebut juga bisa jadi cair dan beragam, tidak hanya melibatkan tokoh agama tapi juga aktivis yang “sekuler.” Contohnya adalah jaringan pertemanan yang dibangun Hind di Suriah.
Dari uraian di atas nampak bahwa religious peacebuilding bukan hanya sekadar upaya-upaya binadamai yang memanfaatkan agama, tetapi lebih dari itu, adalah ikhtiar yang meliputi banyak dimensi. Meski hanya sekilas, kita bisa melihat bagaimana yang religius dan yang sekuler berinteraksi dan saling meliputi dalam kerja-kerja para religious peacebuilders di atas. Kiprah mereka membawa bukti penting ke dalam diskusi mengenai kedudukan agama dalam binadamai.
David Little, penyunting Peacemakers in Action volume pertama, menggambarkan dengan baik tentang pelajaran dari kiprah para pegiat perdamaian di atas bagi hubungan antara agama, kekerasan, dan perdamaian. Bagi Little (2007, 429), kiprah mereka meluruskan dua pandangan simplistis yang sering kita dengar selama ini, yakni: (1) bahwa agama pada dirinya adalah biang kekerasan; dan (2) di kubu lainnya, bahwa agama yang “sejati” niscaya membawa perdamaian dan tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kekerasan.
Pandangan pertama, bahwa agama hanya membawa kekerasan, segera tergoyahkan karena buktinya agama juga dapat menginspirasi para pegiat perdamaian yang kita ulas, meski tidak semuanya dapat teridentifikasi dengan jelas. Tidak dipungkiri bahwa dinamika agama seringkali “mengompori” konflik. Di buku tentang religious peacemakers ini saja kita masih sering menemukan cerita-cerita tentang kekerasan yang dilakukan pendeta Katolik, Ortodoks, dan ulama Muslim. Malah, mereka yang berjuluk Peacemakers in Action sendiri pernah melakukan kekerasan sebelumnya. Pastor James dan Imam Ashafa pernah menjadi anggota milisi yang saling bertikai dalam kerusuhan di Kaduna pada awal 1990-an, sebelum akhirnya berhenti dan mendapat pencerahan untuk berdamai dan bekerjasama.
Keduanya juga menuturkan bahwa Pengalaman rekonsiliasi dan kerjasama mereka sudah didokumentasikan dalam film “The Imam and the Pastor”, yang dapat diakses lewat YouTube pada tautan ini: http://www. sebagian besar orang-orang yang berkonflik di sana adalah orang yang sangat religius. Penuturan-penuturan di atas menunjukkan bahwa agama memang punya kecenderungan kepada kekerasan dalam situasi-situasi tertentu. Tetapi, kisah-kisah di atas juga menunjukkan bahwa hubungan agama dan kekerasan tidak sesederhana yang dibayangkan. Penyebab konflik berdarah di Israel dan Palestina, bekas Yugoslavia, Nigeria dan di banyak tempat lainnya begitu kompleks dan mesti dilihat secara mendalam dan menyeluruh, tentunya tanpa mengabaikan peran agama.
Ini langsung terkait dengan pandangan simplistis yang kedua, bahwa semua agama yang murni niscaya membawa perdamaian dan harmoni, dan mereka yang melakukan kekerasan telah mengkhianati agamanya. Pandangan ini banyak ditemukan di kalangan agamawan yang ingin mengimbangi narasi-narasi agama dan kekerasan, terutama di wilayah konflik. Malah, inilah yang juga diyakini banyak pegiat perdamaian di buku ini.
Tetapi mereka, para agamawan pegiat perdamaian yang kita ulas, juga tak asing dengan kekerasan. Ini karena bagi mereka, perdamaian bukan hidup tenteram lalu menutup mata dan angkat tangan ketika melihat ketidakadilan. Ikhtiar mereka kadang malah menambah ketegangan alih- alih meredamnya, karena sikap lantang mereka menentang ketidakadilan.
Karena itulah mereka kerap menjadi sasaran kebencian dan kekerasan dari sesama kelompok agamanya dan dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh konflik kekerasan. José Alas di El Salvador diancam, disiksa, dianiaya, mendapat percobaan pembunuhan hingga diasingkan dari negaranya. Pendeta Benny Giay juga pernah mendapat siksaan dan ancaman dari aparat keamanan karena dukungannya terhadap kemerdekaan Papua Barat. Di Afrika Selatan, Nozizwe Madlala-Routledge pernah ditahan karena upaya-upayanya dalam menentang apartheid. Sepak terjang mereka kerap memancing youtube.com/watch?v=kFh85K4NFv0. Diakses pada 15 Mei 2013. permusuhan dan kekerasan, meski mereka tentu tak bisa disalahkan (Little 2007, 25, 402, 215).
Beberapa tokoh yang kita ulas teguh memegang prinsip pasifis, tapi beberapa tokoh yang lain percaya bahwa pengerahan “kekuatan” masih diperbolehkan dalam situasi tertentu, terutama untuk mempertahankan diri. Pendeta Roy Magee, misalnya, menentang balas dendam dan menyerukan untuk menghentikan pertumpahan darah. Tetapi dia masih membolehkan angkat senjata sebagai jalan terakhir untuk membela keluarga, tanah air, dan keyakinan.
Semua uraian di atas menunjukkan bahwa di balik kecenderungan agama kepada kekerasan maupun perdamaian, ada banyak faktor yang perlu dipahami dan diperjuangkan. Mengakui bahwa agama dapat membawa perdamaian hanya langkah awal dan masih jauh dari memadai. Langkah berikutnya yang lebih menantang adalah menunjukkan bagaimana agama dapat berkontribusi dalam pencapaian cita-cita perdamaian. Caranya tak lain adalah melalui lebih banyak penelitian lintas-disiplin dan ikhtiar lintas profesi yang pada gilirannya akan memperkuat teori dan praktik binadamai berbasis agama (religious peacebuilding).
Teori mengenai peran agama dalam perdamaian sudah banyak berkembang, terutama sejak terbitnya The Ambivalence of the Sacred karya Scott Appleby pada 1999. Kisah Religious Peacemakers yang kita ulas memberikan sumbangan penting dalam memperkuat teori-teori tersebut, tapi juga menawarkan perangkat-perangkat praktisnya. Hal ini dirangkum dengan baik oleh David Little (2007, 438) di bagian penutup volume pertama. Di sini, kita akan mengulasnya kembali sambil menimbang aspek-aspek apa saja yang masih perlu dikembangkan.
Dari pengalaman Religious Peacemakers, Little menyarikan tiga peran agama dalam binadamai. Yang pertama, agama menyediakan kerangka tafsir yang menjadikan perdamaian dan keadilan sebagai cita-cita luhur dalam beragama, atau yang disebut Little sebagai “hermeneutika perdamaian.” Kedua, agamawan mempunyai modal untuk menjadi penengah yang dapat mengajak semua pihak untuk mengatasi konflik sebagai persoalan bersama. Terakhir, agama menjadi dorongan atau suara yang penting didengarkan dan dijawab dalam penyelesaian konflik selain soal politik, ekonomi, keamanan, dan lainnya.
Peran yang pertama nampak di semua Religious Peacemaker yang diulas di buku ini. Agama begitu kuat melandasi visi, motivasi, dan daya tahan mereka dalam menjalankan tugasnya. Mereka meyakini bahwa memperjuangkan perdamaian dan keadilan tidak hanya sejalan, tapi bahkan dicita-citakan oleh agama. Dengan “hermeneutika perdamaian” ini mereka kemudian mempelajari teks, ajaran dan praktik tertentu dalam agama mereka, dan kadang agama atau tradisi lain, yang mendukung ke arah pencapaian cita-cita tersebut.
Hal ini terutama nampak dalam ikhtiar Pendeta Roy Magee dan Romo Alex Reid yang mengedepankan ajaran pengampunan dalam mengatasi kebencian dan kekerasan. Ini juga nampak dalam kisah Sakena Yacoobi yang dengan pemahaman keislamannya memperjuangkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Sementara itu, Ephraim Isaac di Ethiopia memperoleh dorongan dan kekuatan dari risalah-risalah Yahudi dan mengedepankan cara dan nilai-nilai spiritual para leluhur dalam menyelesaikan konflik antar-suku di sana.
Contoh-contoh di atas sangat penting di tengah gelombang kekerasan keagamaan yang begitu gencar saat ini, ketika perdamaian sering dicibir sebagai ketundukan kepada kezaliman dan pengkhianatan terhadap agama. Mereka berhasil menunjukkan bahwa ikhtiar binadamai dan perlawanan nirkekerasan tidak mesti melunturkan keyakinan agama, tapi justru malah mempertebalnya.
Sayangnya, kita tidak banyak menemukan tokoh di kedua buku ini yang mengkritik ajaran agama yang mendorong kebencian dan kekerasan. Bagaimana, misalnya, kita mesti menyikapi teks keagamaan bias atau bahkan membolehkan pembunuhan terhadap kelompok lain. Ini tantangan yang tidak mudah karena narasi kekerasan cenderung lebih sederhana dan menggugah, lain dengan narasi perdamaian yang umumnya dianggap lebih pelik dan tidak menarik.
Poin terakhir ini berkaitan dengan peran agama yang kedua sebagai penengah dalam konflik. Kita tidak banyak menemukan contoh bagaimana mereka menengahi perseteruan di seputar nilai, keyakinan atau paham keagamaan yang biasanya lebih sulit dikompromikan. Kadang lebih sulit lagi jika perseteruan itu terjadi di dalam satu agama, seperti yang kita saksikan dalam banyak konflik sektarian di Indonesia. Pertarungan tafsir perdamaian dan kekerasan masih menjadi pekerjaan besar bagi para agamawan pegiat perdamaian.
Hal ini sebetulnya sudah digarisbawahi Little sebagai peran ketiga agama, yaitu menjadi dorongan dan suara dalam konflik. Kita tak bisa terus mengabaikan paham keagamaan yang keras karena dia akan terus digunakan oleh yang berkepentingan. Meski bukan berarti kita jadi melupakan aspek lain di tataran personal dan sosial. Ini karena seringkali orang sudah punya pandangan dan kepentingannya sendiri lalu memilih tafsir dan paham keagamaan yang sesuai dengannya.
Ringkasnya, teori-teori binadamai yang berbasis agama mesti dapat menangkap bagaimana suara dan dorongan agama berkelindan dengan jalinan berbagai fenomena individual, kultural, sosial, politik dan ekonomi yang rumit. Begitu juga dengan praktik-praktik religious peacebuilding yang sangat luas, mencakup berbagai macam praktik yang di dalamnya unsur-unsur religius dan sekuler berinteraksi dan saling menunjang.
Ada banyak sekali sarana binadamai yang dilakukan oleh para agamawan pegiat perdamaian di buku ini. Tapi yang penting digarisbawahi setidaknya adalah praktik-praktik yang terkait dengan bina-kapasitas/pelembagaan dan bina-konsensus.
Bina-kapasitas meliputi perancangan dan pembentukan pranata yang dapat memelihara keseimbangan dan keselarasan sosial. Ini meliputi kegiatan-kegiatan penguatan komitmen serta pelatihan toleransi, pencegahan kekerasan, perlindungan HAM, penegakan hukum, pemberdayaan kelompok rentan, perluasan layanan pendidikan dankesehatan, pengentasan kemiskinan, dan lain-lain. Contohnya adalaElias Chacour dengan Lembaga Pendidikan Mar Elias-nya, Pastor Wuyedan Imam Ashafa dengan Interfaith Mediation Centre-nya, atau SakenaYacoobi dengan Afghan Institute of Learning-nya.
Sementara itu, bina-konsensus meliputi serangkaian interaksi berkesinambungan yang dengannya pihak-pihak yang berseteru diajak untuk merumuskan dan menyepakati jalan keluar bersama. Proses ini bisa ditempuh melalui jalur formal (Track One) maupun informal (Track Two) oleh individu dan lembaga masyarakat. Contohnya adalah keberhasilan Pendeta William Lowrey dalam memfasilitasi perdamaian suku Nuer dan Dinka di Sudan Selatan, peran Ephraim Isaac dalam membantu negosiasi pemerintah Ethiopia-Eritrea, serta peran Alimamy Koroma dalam perjanjian damai antara pemerintah dengan para pemberontak di Sierra Leone.
Contoh-contoh di atas adalah pendekatan yang umum dilakukan, tetapi dalam kasus Religious Peacemakers yang kita ulas, semua pendekatan itu sedikit banyak berkaitan dengan identitas dan keyakinan keagamaan mereka. Tugas kita berikutnya adalah mempelajari bagaimana pendekatan itu bisa diterapkan dalam konteks kita secara efektif.
Penutup : Pelajaran bagi Indonesia
Kesaksian Religious Peacemakers di Tanenbaum Center membuyarkan anggapan yang berlebihan terkait hubungan antara agama, konflik kekerasan, dan binadamai. Di satu sisi, kesaksian mereka memperingatkan kita agar tidak terlalu menyederhanakan hubungan antara agama dan kekerasan. Agama memang sering berperan dalam kekerasan, tetapi dia bukan satu-satunya. Di sisi lain, pernyataan bahwa agama tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kekerasan juga disanggah oleh pengalaman religious peacemakers yang akrab dan sedia menanggung risiko kekerasan karena aktivitasnya di wilayah konflik.
Terkait teori dan praktik binadamai, kita menemukan wawasan yang mencerahkan dari kesaksian-kesaksian para tokoh yang kita ulas. Hubungan agama dan perdamaian menjadi lebih jelas, meski tidak selamanya sederhana. Teks, doktrin, dan praktik berbagai tradisi keagamaan menginspirasi dan memberi kekuatan kepada para tokoh yang kita ulas dalam menengahi konflik dan membina perdamaian. Sayangnya, para tokoh yang kita ulas belum banyak membantu kita untuk menyikapi teks dan doktrin yang mendukung kekerasan.
Kita juga memperoleh khazanah aktivitas-aktivitas religious peacemaking yang berharga yang dilakukan oleh berbagai profesi. Mereka bertitel pendidik, politisi, mediator, atau pemuka agama, tapi religious peacemaking seakan sudah menjadi pekerjaan utama mereka. Sumbangan orang-orang di buku ini, khususnya terhadap pelembagaan dan pembinaan kapasitas serta dalam membangun kesepakatan, khususnya lewat jalur informal sangat berharga untuk kita tiru di Indonesia.
Kini, para santri dan pelajar-pelajar yang mengkaji agama, termasuk calon pendeta, calon rabbi, imam, rahib Buddha, dan lainnya, juga adalah calon peacemakers. Sudah selayaknya religious peacemaking/peacebuilding diakui sebagai bidang studi agar para pemuka agama di masa depan lebih siap untuk menghadapi konflik di wilayah masing-masing. Lembaga- lembaga keagamaan juga sebaiknya mengembangkan program untuk mencetak praktisi-praktisi perdamaian dan mengerahkan sumber dayanya untuk mendukung studi dan kegiatan-kegiatan di bidang ini. Satu pelajaran penting yang dipelajari dari religious peacemakers adalah bahwa mereka punya pengaruh terhadap pejabat pemerintah dan diplomat dalam upaya peacemaking. Mereka bergerak di dalam diplomasi Track Two (warga/informal), tapi mereka menunjang keberhasilan diplomasi dan binadamai Track One (negara/formal). Mereka menawarkan perspektif yang berharga dan pijakan kuat di akar rumput. Pandangan mereka terhadap situasi politik, budaya, dan keagamaan, penting untuk memahami bagaimana merawat perdamaian dan keamanan yang langgeng. Meski masih banyak kekurangan di sana-sini, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Indonesia sudah menyediakan wadah untuk itu.
Hanya saja belum ada penelitian yang komprehensif mengenai sejauh mana keberhasilan FKUB dalam menangani konflik-konflik keagamaan. Dari uraian di atas saja kita punya harapan yang lebih besar bahwa di luar sana ada agamawan yang mencita-citakan perdamaian dan keadilan. Mereka adalah aktor-aktor penting yang membantu para pihak yang berkonflik dan menawarkan jalan lain tanpa kekerasan. Sudah saatnya pemerintah, akademisi, diplomat, dan praktisi binadamai lainnya bermitra dengan mereka dan bersama-sama memikirkan tujuan yang lebih jauh untuk membangun masyarakat damai yang berkesinambungan.***
Referensi
Arifin, Sifaul, Raja Juli Antony, Irfan Nugroho, dan Irfan Amali (eds.). 2002.
Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka Pelajar.
Dubensky, Joyce S. (ed.). 2016. Peacemakers in Action Volume II: Profiles in Religious Peacebuilding. New York: Cambridge University Press.
Hayward, Susan. 2012. “Religion and Peacebuilding.” United States Institute of Peace Special Report 313.
Little, David (ed.). 2007. Peacemakers in Action: Profiles of Religion in Conflict Resolution. New York: Cambridge University Press.
Philpott, Daniel dan Gerard Powers. 2010. Strategies of Peace: Transforming Conflict in a Violent World. New York: Oxford University Press.
Schirch, Lisa. 2008. “Strategic Peacebuilding: State of The Field.” South Asian Journal of Peacebuilding 1, No. 1, 3.
Agama, Kekerasan dan Binadamai di
Ihsan Ali-Fauzi & Nurul Agustina
Dari segi agama, penduduk Nigeria terbelah hampir seimbang antara Muslim, yang umumnya tinggal di wilayah utara, dan Kristen, yang umumnya tinggal di selatan. Umumnya angka-angka menyebutkan bahwa jumlah kaum Muslim di negeri ini lebih besar sekitar 10 persen dibanding umat Kristen. Namun beberapa orang, khususnya warga Kristen, menyatakan bahwa selisihnya tidak sebanyak itu. Di luar kedua agama itu, penduduk Nigeria juga menganut agama-agama tradisional Afrika dan agama-agama lainnya.
Nigeria kini dikenal sebagai salah satu negara paling rentan diguncang konflik-konflik kekerasan atas nama agama. Penyebabnya sangat kompleks.
Selain terkait demografi dan pluralisme etnis dan agama di atas, konflik-konflik kekerasan di Nigeria juga terkait dengan warisan sejarah agama dan politik di masa pra-kolonialisme Inggris dan mudahnya agama dijadikan alat mobilisasi politik para elite.
Di masa pasca-kolonial, semua warisan sejarah ini diperkeruh lagi oleh beberapa faktor lain: praktik korupsi yang akut di negara itu; ketergantungannya yang berkelanjutan kepada cadangan minyak dan gas, yang merupakan setengah GDP negara itu dan menjadikannya produsen terbesar di Afrika; dan kegagalan pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup sosial dan ekonomi semua masyarakat.
Di tengah warisan sejarah dan konteks kontemporer inilah Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye – yang juga dikenal sebagai “The Imam and The Pastor”, berkat video dokumenter yang dibuat tentang mereka – lahir dan dididik, tumbuh sebagai pemimpin milisia Muslim dan Kristen yang saling bermusuhan, lalu sama-sama bertransformasi menjadi pekerja binadamai dengan militansi agama yang sama tingginya, hingga sekarang. Terlepas dari berbagai rintangan yang mereka hadapi, kiprah dan kepeloporan keduanya kini makin memperoleh pengakuan dunia.
Tulisan ini ingin memaparkan dan mendiskusikan kisah hidup mereka, khususnya latar belakang agama, budaya dan pendidikan mereka, serta transformasi mereka dari pemimpin agama yang membenarkan aksi-aksi kekerasan atas nama agama menjadi pengecamnya. Kami juga akan memaparkan apa saja yang mereka lakukan sesudah mereka bertransformasi, khususnya lewat Pusat Mediasi Antar-Iman (Interfaith Mediation Center, IMC) yang mereka dirikan pada 1995, pendekatan dan strategi yang mereka gunakan, beserta tanggapan dunia atas langkah-langkah mereka.
Ihsan Ali-Fauzi ingin mengucapkan terima kasih kepada Irma Hidayana, Juria Runi dan Ayu Mellisa atas bantuan mereka menyiapkan bahan-bahan untuk tulisan ini. Sumber utama tulisan ini adalah dua bab mengenai Imam Ashafa dan Pastor James dalam dua volume Peacemakers in Actions, yang ditulis Staff Members of Tanenbaum Center for Inter- religious Understanding (2006 dan 2016), dan video dokumenter The Imam and the Pastor (2006). Kecuali menyangkut hal-hal khusus, rujukan kepada ketiga sumber ini tidak akan diberikan dalam pembahasan bab ini lebih jauh. Tapi sumber-sumber lain yang dirujuk akan tetap disebutkan.
Tujuan kami adalah menunjukkan tiga klaim pokok: (1) bahwa agama bisa jadi sumber baik kekerasan maupun perdamaian; (2) bahwa upaya-upaya binadamai atas nama agama memerlukan wawasan dan ketrampilan yang bisa dipelajari; dan (3) bahwa, agar cita-cita binadamai dapat berjalan dengan baik, upaya-upaya agamawan seperti Imam Ashafa dan Pastor James harus didukung oleh siapa saja, termasuk kalangan sekular. Bagi kami, Imam Ashafa dan Pastor James adalah contoh hidup dari kuatnya klaim-klaim di atas. Sebelum butir-butir ini disajikan pada bagian tengah dan akhir tulisan ini, di bawah ini kami sajikan konteks umum Nigeria terlebih dahulu, agar paparan dan diskusi mengenai Ashafa dan James lebih mudah dipahami.
Sebelum Nigeria modern lahir, agama yang dominan di Afrika Barat adalah animisme. Pada abad ke-10, ketika Islam menarik perhatian para elite di kerajaan Borno, sekarang terletak di Nigeria Utara, penduduk pada umumnya menganut agama-agama asli Afrika. Pada abad ke-14 dan ke-15, ketika para pedagang Muslim dari klan Fulani berhasil menarik perhatian para elite di Kerajaan Hausa (yang juga klan), beberapa di antara yang terakhir mulai masuk Islam dan menyertakan unsur-unsur Islam ke dalam budaya dan administrasi pemerintahan. Tapi pengaruh Islam masih terbatas saat itu, sehingga yang muncul adalah sinkretisme antara Islam dan praktik-praktik agama tradisional Afrika.
Belakangan, pengaruh Hausa justru merosot, ditandingi tumbuhnya gerakan elite Muslim baru yang justru menggugat sinkretisme Islam yang ada. Gerakan ini memuncak pada aktivisme jihad dipimpin Usman dan Fodio pada 1804, dengan tujuan mendirikan pemerintahan Islam yang lebih murni. Perang saudara sesama Muslim ini sering juga ditafsirkan sebagai perang antara klan Fulani dan Hausa, karena pemberontakan yang mengawalinya dipimpin seorang Fulani yang tinggal di Kerajaan (klan) Hausa. Gerakan ini berhasil mencapai sasarannya, antara lain dengan mendirikan kekhalifahan Islam di Sokoto, dan pada 1830 kerajaan Muslim (dari klan) Fulani memerintah sebagian besar wilayah Nigeria Utara sekarang dan sekitarnya. Di bawah pemerintahan ini, meskipun Islam merupakan agama dominan, tidak semua penduduknya Muslim. Fase baru dan sangat menentukan dalam sejarah Nigeria dimulai dengan masuknya kolonialisme Inggris pada 1860, dimulai dari Nigeria Selatan.
Pada 1900, 40 tahun kemudian, baik Nigeria Utara maupun Selatan sudah dinyatakan sebagai wilayah protektorat Inggris. Meskipun Sokoto di Nigeria Utara berhasil ditundukkan, kekhalifahannya sendiri tidak dibubarkan, tapi dijadikan contoh kebijakan kolonial Inggris secara tidak langsung (Indirect Rule): mereka menjadi kaki-tangan Inggris yang mengelola wilayah jajahan, dengan sistem pemerintahan mereka sendiri, tapi bertanggungjawab kepada pemerintahan kolonial. Kebijakan ini terbukti efektif: Selain berhasil mengkooptasi elite dan struktur pemerintahan setempat, meskipun Islam, ongkos yang dikeluarkan pemerintahan kolonial juga tidak banyak karena kehadiran mereka secara fisik (militer) minimal saja. Namun demikian, salah satu dampak kebijakan di atas adalah pengistimewaan pemerintah kolonial atas elite politik dari klan Hausa-Fulani yang Muslim di atas kelompok minoritas etnis dan agama lainnya di Nigeria Utara.
Pemerintah kolonial bahkan menyatakan bahwa seluruh tanah jajahan akan diperintah oleh para pemimpin Hausa-Fulani, yang akan menerapkan hukum Islam (Syari`ah), sedang Kristenisasi di wilayah ini diharamkan karena dapat menimbulkan kekacauan. Kebijakan ini dirasakan sangat mendiskreditkan kelompok-kelompok non-Muslim.
Sementara itu, pemerintahan kolonial menerapkan strategi berbeda di Nigeria Selatan, karena mereka tidak menemukan sesuatu seperti elite Hausa-Fulani dan struktur pemerintahannya di wilayah ini ketika mereka mulai mendudukinya. Akibatnya, mereka harus memerintah secara langsung, dengan kehadiran militer dan administratif yang lebih besar dan lebih ajek. Pada saat yang sama, mereka mengizinkan, bahkan mendorong, aktivitas-aktivitas misionaris di Nigeria Selatan ini. Selain melakukan Kristenisasi, para misionaris bahkan menyimbolkan kehadiran pemerintahan kolonial, menyediakan sumberdaya manusia untuk tugas-tugas administratif, dan memperkenalkan pendidikan model Barat.
Dampak kebijakan kolonial di atas masih terasa hingga sekarang:
Nigeria Selatan umumnya didominasi oleh agama dan budaya Kristen dan oleh relatif tersebarnya sistem pendidikan model Barat, sementara Nigeria Utara luas didominasi agama dan budaya Islam, di mana kelompok- kelompok minoritas agama dan etnis berada di bawah pemerintahan Islam. Pada 1914, kedua wilayah utama ini dikonsolidasikan ke dalam satu unit administratif yang sama – dan unit ini terus bertahan ketika Nigeria memperoleh kemerdekaannya pada 1960.
Sejak merdeka hingga sekarang, sejarah Nigeria, yang umumnya berada di bawah pemerintahan diktator-militer, ditandai oleh maraknya konflik-konflik kekerasan yang ikut ditopang oleh pembilahan sosial dari segi agama dan etnis warisan kolonial di atas. Dan sejak partai-partai politik didirikan menyusul kemerdekaan negara itu, pembilahan sosial ini makin sering dijadikan alat mobilisasi massa oleh para politisi untuk mendulang dukungan politik.
Hal ini ikut ditunjang oleh fakta bahwa identitas etnis dan agama penduduk Nigeria sering beririsan dan fakta bahwa mereka terhitung orang-orang paling religius di dunia. Menurut Pew Forum on Religion and Public Life (2015), 92 persen penduduk Nigeria mengaku menjalankan ibadah (berdoa) setiap hari. Karenanya, tak mengherankan jika 58 persen dari mereka mengakui bahwa konflik-konflik keagamaan merupakan “masalah sangat besar” di negeri mereka, satu angka yang sangat tinggi dibanding di negara-negara Afrika lainnya. Realitas terkait konflik kekerasan berwajah agama jelas lebih kompleks dari itu (lihat bab Ihsan Ali-Fauzi dalam Pengantar Editor; atau, khusus tentang Nigeria, Ojo & Lateju, 2010).
Orang-orang yang taat beragama tidak serta merta mau dan mampu melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama mereka. Perang-perang saudara di Nigeria memang sering Sayangnya, orang-orang Nigeria juga sedikit sekali mengenal agama di luar agama mereka sendiri. Pew melaporkan, 54 persen umat Kristen menyatakan “hanya tahu sedikit atau sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai Islam” dan 63 persen umat Islam menyatakan “hanya tahu sedikit atau sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai Kristen.” Angka-angka diperoleh dari Staff Members of Tanenbaum Center for Interreligious Understanding (2016: 428). terjadi antara kelompok-kelompok Muslim dan Kristen, khususnya di dua negara bagian, Kaduna dan Plateau, di Nigeria Utara.
Tapi jelas tidak akurat untuk menisbatkan aksi-aksi kekerasan itu hanya kepada agama, tanpa mempertimbangkan faktor pembilahan sosial secara etnis, cekcok antara penduduk lokal dan pendatang, sengketa terkait tanah, kecemburuan dan konflik kelas, dan lainnya, yang dipertajam oleh sistem sosial warisan kolonialisme seperti ditunjukkan di atas. Ringkasnya, seperti disimpulkan Katherine Marshall, sarjana dan pekerja pembangunan yang sudah lama menggeluti masalah ini, dalam percakapannya dengan Imam Ashafa dan Pastor James: “[D]alam lapis demi lapis penyebab berbagai konflik di dunia, agama merupakan satu bagian dari narasi, tapi hal itu terkait dengan banyak faktor lainnya” (2011). Di Nigeria juga demikian.
Terlepas dari kompleksnya masalah di atas, yang berada di luar pembahasan tulisan ini, itulah konteks di mana Imam Ashafa dan Pastor James lahir dan dibesarkan. Sebagai pemuda, keduanya terperangkap dalam konflik-konflik kekerasan akut di negara itu, yang sering berlangsung di bawah bendera Islam dan Kristen. Keduanya berkembang menjadi pemimpin aktif organisasi-organisasi pemuda milisia yang mewakili kedua komunitas agama ini. Dan pada awal 1990-an, ketika konflik kekerasan Muslim-Kristen meledak di Kaduna, kota di mana mereka tinggal, mereka menjadi bagian penting darinya.
Terlahir dari keluarga tentara, James Wuye dibesarkan dalam tradisi “anak kolong” yang menempatkan militansi sebagai norma penting untuk bertahan hidup. Meskipun dilahirkan sebagai seorang Kristen, James muda tidak terlalu religius. Dia memang sering pergi ke gereja, “tapi hanya untuk melirik gadis-gadis yang bernyanyi di kelompok paduan suara gereja, lalu pergi bersama kawan-kawan mencari bir.” Ketika kini mengingat fase ini dalam hidupnya, Pastor James tersenyum geli dan menyatakan bahwa kawan-kawannya suka menyebutnya “coach” (pelatih) karena dia peminum alkohol yang hebat.
Tapi, suatu hari ketika di gereja, James muda mendengar khotbah pendeta dalam cara yang agak aneh – seakan khotbah itu disampaikan khusus untuknya. Tergerak oleh khotbah ini, dia memutuskan untuk menempuh jalan Yesus. Semua ini tidak membuatnya menolak cara-cara kekerasan, tapi bahkan mendorongnya menjadi Kristen militan. Dia lalu menempuh pendidikan formal hingga mendapatkan gelar master di bidang teologi di Kaduna, sebelum menjadi pendeta Pantekosta di Gereja Sidang Jemaat Allah (Assemblies of God Church) dan Wakil Presiden pada Asosiasi Pemuda Kristen Nigeria (Christian Youth Association Nigeria). Pada akhir 1970-an, dia menjadi aktivis Kristen sebelum pada 1992 bergabung dengan kelompok milisi muda Kristen.
Mengenang bagaimana dia memandang dunia pada periode itu, termasuk sikap bermusuhannya kepada kaum Muslim, James menyatakan:
Kami tidak mau berurusan sama sekali dengan kaum Muslim. Jika satu di antara mereka duduk di samping saya, saya akan pindah. Ini dibenarkan oleh kitab suci kami – “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan?” (2 Korintus 6:14).
Berbanding terbalik dengan James Wuye, Muhammad Ashafa berasal dari keluarga yang amat religius dan dengan pendidikan agama yang kuat. Ayahnya seorang pemimpin spiritual dan mufti, dan keluarganya amat bangga dengan tradisi Islam yang mereka pelihara dan sebarkan. Ashafa sejak kecil sudah mampu berbahasa Arab, bahasa Nabi Muhammad junjungannya, dan sejak muda dia sudah trampil mengajar membaca al-Qur’an kepada anak-anak. Dia memang diharapkan tumbuh sebagai seorang imam di kemudian hari.
Keluarga Ashafa mengharamkan pendidikan sekular yang umumnya dikelola orang-orang Kristen, karena mereka sangat mencurigai Kristenisasi melalui pendidikan sekular. Bagi mereka, pendidikan sekular adalah warisan kolonial yang ingin menghancurkan tradisi Islam yang mereka bela dan kembangkan. Namun Ashafa kecil pernah mencicipi sekolah dasar di Kaduna, yang interaksi antara Muslim dan Kristennya ditandai oleh sikap bermusuhan.
Pada akhir 1970-an, generasi Ashafa mengamati dengan waswas kemelut di Iran yang berujung pada revolusi. Ketika itu, Islam model Arab Saudi yang berkembang kuat di Nigeria sangat fokus pada upaya pemurnian masyarakat. Pada saat yang sama, gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir berpengaruh kuat pada anak-anak muda Muslim di Nigeria.
Berbeda dari generasi ayahnya yang lebih sufistik, generasi Ashafa lebih cenderung kepada gerakan Salafi dan sangat peduli pada unsur agama dalam praktik-praktik sosial dan politik. Kata Ashafa: “Kami mendorong agar Syariah dijadikan hukum negara. Tujuan kami adalah Islamisasi, suatu bentuk evangelisasi. Saya menjadi kordinator pemuda dari satu organisasi yang berdedikasi untuk mencegah orang-orang Kristen dari menguasai [Nigeria] Utara” (lihat Marshall 2011). Mengenang masa-masa mudanya di tengah keluarga dan lingkungan yang demikian dan kecurigaannya kepada kaum Kristen, Ashafa menyatakan:
Saya seorang aktivis Muslim ... Tujuan kami adalah mengislamkan negara ini, membawa kembali Islam seperti pada masa Usman dan Fodio dulu. Saya merasa bahwa tradisi kami sudah dicampuraduk dengan tradisi Barat, bahwa nilai-nilai pokok kami sudah dipinggirkan. Dan saya tidak dan tidak dapat memisahkan budaya Barat dari budaya Kristen.
Ringkasnya, baik James yang Kristen maupun Ashafa yang Muslim sama-sama membenci kelompok agama lain dan mereka siap menyalurkan kebencian itu ke dalam praktik. Karenanya, tak mengherankan jika keduanya kemudian menggabungkan diri ke dalam organisasi pemuda milisia berbasis Kristen dan Islam dan segera memainkan peran kepemimpinan di dalamnya. Ashafa pertama-tama bergabung dengan Jama’atu Nasril Islam (JNI), sebelum akhirnya terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Organisasi-organisasi Pemuda Muslim (National Council of Muslim Youth Organizations, NACOMYO), posisi tertinggi kedua dalam organisasi, hanya di bawah ketuanya di negara bagian Kaduna. James belakangan menduduki posisi sejenis dalam organisasi Sayap Pemuda Asosiasisi Kristen Nigeria (Youth Wing of the Christian Association of Nigeria, Youth CAN), organisasi ekumenis besar yang menggabungkan seluruh umat Katolik dan Protestan dari berbagai denominasi di Nigeria.
Dia juga aktif melatih para pemuda dalam kelompok vigilante Kristen. Mengingat latar belakang di atas, mungkin tinggal menunggu waktu saja untuk keduanya terlibat dalam medan pertempuran yang sama. Kesempatan itu tiba ketika kerusuhan di pasar Zangon Kataf pada 1992 membawa dampak dan menyebar juga ke wilayah tetangganya, Kaduna, di mana Ashafa dan James tinggal.
Tentang peristiwa 1992 ini, Ashafa mengenang: “Saya terlibat di beberapa rumah sakit, sehingga saya dapat menyaksikan orang-orang yang dibawa masuk [yakni: korban-korban Muslim yang terbunuh di Zangon Kataf]. Dan [ketika kaum Muslim Kaduna ikut berperang] saya merasa gembira bahwa kami sudah berhasil membalas dendam kami.” Di pihak seberang, James menceritakan demikian:
Pada 1992, kerusuhan di Zangon menyebar ke Kaduna. Pada mulanya mereka [kaum Muslim] bersikap selektif, [karena] mereka hanya menargetkan orang-orang Kataf. Saya sendiri [orang] Gwari. Tapi kemudian saya pergi untuk melihat apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan orang-orang [Kristen] ini – saya pergi bersama penjaga keamanan saya (bodyguards), yang saya peroleh karena posisi saya di CAN.
Peristiwa di atas memakan korban baik dari pihak James maupun Ashafa. Mereka berdua bahkan merasakannya sendiri. “Baru belakangan saya menyadari kehilangan saya: dua saudara [sepupu] dan guru saya, Sheikh Ahmad Tijani. Dia tinggal di bagian kota yang sebagian besar penduduknya Kristen. Dia guru saya, dan dia mati dibunuh,” kenang Ashafa. Sementara itu, James kehilangan satu tangannya: “[Dalam peristiwa itulah, ketika kami berperang] saya kehilangan tangan saya ketika mempertahankan gereja, dan seorang pemuda yang bekerja dengan saya meninggal dalam operasi ini.”
Selain turut menjadi korban, baik Ashafa maupun James merasakan bahwa keterlibatan mereka dalam peristiwa di atas adalah pengalaman yang sangat menentukan dan mengubah hidup mereka. Tapi proses yang terakhir ini tidak berlangsung cepat dan mudah. Berikut bagaimana Ashafa mengenang perasaannya begitu tahu bahwa James masih hidup:
Baru belakangan saja muncul kesadaran pada diri saya bahwa hal ini [terlibat dalam aksi-aksi kekerasan] tidak bisa terus berlanjut, bahwa ongkos dendam itu terlalu mahal. [Itu baru] sesudah pengalaman traumatik ini ... tapi itu hanya terjadi pada 1995. Sebelum itu, saya tahu bahwa James Wuye adalah anggota kelompok militan Kristen [Youth CAN]. Saya berharap mendengar sedikitnya bahwa James juga “lewat” [meninggal]. ... Tapi hanya tangannya saja yang hilang – mereka [kelompok Kristen] menyebutnya Tangan Emas. Saya kehilangan dua saudara dan guru saya – mengapa dia masih hidup? Jadi saya terus membawa dendam dalam hati saya. Saya merasa bahwa dendam itu penting.
Di lain pihak, James juga punya reaksi yang sama. Dia sangat marah karena kehilangan tangannya dan terus mendendam. Mengenang perasaannya kala itu, dia bercerita:
“Saya berkata pada diri saya: Jika saya menemukan anak-anak [Muslim] itu [yang memerangi kami dalam peristiwa kerusuhan itu], saya harus membunuh mereka. Latihan anak-anak [dalam kelompok bela-diri Kristen] menjadi lebih agresif – kami ingin membalas dendam kami.” Di tempat lain dia menyatakan: “Kebencian saya kepada kaum Muslim ketika itu seolah tak ada batasnya.” Hijrah dari Kekerasan ke Binadamai Tidak ada titik balik dramatis yang mengubah jalan hidup baik Imam Ashafa maupun Pastor James. Selama bertahun-tahun keduanya selalu mencari cara untuk membalaskan dendam masing-masing tanpa pernah bertatap muka langsung.
Kesempatan itu baru datang pada 1995, dalam sebuah pertemuan yang diadakan UNICEF di kediaman gubernur untuk membahas sebuah masalah kesehatan masyarakat. Pemerintah negara bagian Kaduna kala itu meminta para pemuka agama, termasuk Ashafa dan James, untuk turun tangan menghadapi isu yang tidak benar bahwa suntikan imunisasi pada masa anak-anak dapat menyebabkan kemandulan. Tentang pertemuan mereka pertama kali ini, berikut kisah Ashafa:
James dan saya hadir dalam pertemuan itu, sebagai wakil dari komunitas agama kami. Maka, jadilah kami bertemu di rumah kediaman gubernur. Tapi kami tidak bisa berkelahi di sana. Ketika tiba waktu istirahat, kami sama-sama mengambil teh. Dan pada waktu istirahat ini, seorang teman yang sama-sama kami kenal, seorang insinyur yang bekerja pada stasiun radio setempat, mengambil kedua tangan kami dan berkata: “Kalian berdua bisa menyatukan bangsa ini atau kalian bisa menghancurkannya. Berbuatlah sesuatu.” Dia meninggalkan saya di meja itu dengan musuh yang paling saya benci [James]. Kami berjabat tangan. Dan kami lalu [memutuskan] untuk mengadakan satu debat – masing-masing pihak akan menelanjangi kesalahan lawannya.
Kami sepakat untuk bertemu, tetapi di mana? Idris Musa, yang juga kawan kami berdua, menawarkan kantornya sebagai tempat untuk pertemuan pertama....
Pada titik ini, baik Imam Ashafa maupun Pastor James masih bersikeras dengan jalan kekerasan yang dibenarkan Islam dan Kristen, meskipun pertemuan di atas dan pertemuan-pertemuan berikutnya secara tak disengaja telah memberi kesempatan bagi keduanya untuk mulai menjalin hubungan, jika bukan trust, sikap saling percaya satu sama lain. Kenang Ashafa:
“Diperlukan waktu setahun untuk menyiapkan [pertemuan] itu, karena [pertama-tama] kami tidak punya trust atau keyakinan kepada satu sama lain, dan tidak ada fokus atau arah yang jelas. Tapi dalam pertemuan-pertemuan kami, kami mulai membangun rasa saling percaya di antara kami, dan persepsi kami berubah dari kemarahan kami ke kenyataan yang kami hadapi.”
Terlepas dari itu, keduanya menekankan bahwa terobosan paling penting dalam hubungan mereka terjadi karena mereka mengalami pengalaman keagamaan yang bisa disebut pengalaman pencerahan. Imam Ashafa mengalaminya lebih dulu, tidak lama sesudah dia pertama kali bertemu dengan Pastor James. Dia mengisahkan:
Saya pergi salat [Jumat], dan Imam yang ada di sana ... itu seperti dia sedang diutus hanya untuk berjumpa dengan saya. Khotbahnya mengenai aksi memaafkan, dan kebutuhan untuk memaafkan musuh-musuh kita. Dia mengutip [ayat] dari al-Qur’an, tentang bagaimana Muhammad memaafkan kaum pagan di Mekkah. Dan saya berpikir: Bagaimana saya memaafkan musuh-musuh ini? Mereka telah membunuh banyak orang – saya tidak dapat memaafkan [mereka]. Tapi jauh di lubuk hati saya, ada pemikiran yang seperti bangkit kembali bahwa Islam menyatakan saya harus memaafkan musuh-musuh saya, jika mereka tidak lagi mengancam saya. Salat berakhir, tapi di dalam hati saya masih menangis. Saya [putuskan untuk] membangun trust saya kepada James, dan mengajarkannya bahwa Islam tidak pernah mengajarkan seorang Muslim pun untuk menjadi teroris.
Saya pergi ke kantornya, di CAN. Saya Muslim pertama yang datang ke sana, dan mereka semua kaget [dengan kehadiran saya]. Tapi dia menyambut baik saya. Dan sesudah beberapa kali pertemuan, James juga datang ke kantor saya. [Beberapa orang] berkata kepada saya:
Mengapa kamu membiarkannya datang ke sini. Tapi kami terus mengadakan pertemuan-pertemuan. Beginilah caranya kami mulai membangun saling percaya di antara kami. Lalu saya datang ke rumahnya untuk pertama kali:
Ibunya [James] sakit, jadi saya datang ke sana untuk menjenguknya. Lalu, ibunya wafat. Saya merasa bahwa dia masih tidak percaya pada saya, maka saya datang dengan beberapa orang lain untuk menyampaikan duka cita. Ini membuka jalan lebih lebar. Sesudah itu, dia mulai datang ke rumah saya juga. Bagi Pastor James, perubahan sikap Imam Ashafa ini merupakan tantangan berat. Dia tersentuh oleh kebaikan yang tulus dan terus ditunjukkan oleh pesaing Muslimnya itu, tapi dia masih ragu untuk menyambutnya secara positif. Dia baru berubah total sesudah dia, seperti Imam Ashafa, juga mengalami semacam pencerahan spiritual. James menuturkan:
Pada saat dia (Imam Ashafa) dan beberapa orang Muslim lain datang mengunjungi saya ketika ibu saya ... wafat, [perasaan] saya hancur lebur. Apakah Muslim yang benar-benar jujur itu memang ada? Pendekatannya dan kekuatan hatinya, dan cinta yang dia tunjukkan ... saya tidak tahu bahwa dia mengalami pencerahan spiritual. Saya bekerja bersamanya hingga 1997, ketika saya harus pergi ke Abuja untuk satu pertemuan 700 Club [organisasi Kristen] mengenai evangelisasi Hausa-Fulani di [Nigeria] Utara dan kaum Muslim Kanuri.
Dan mereka berkata kepada saya: Bagaimana kamu menyampaikan khotbah kepada seseorang yang tidak bisa kamu cintai? Kita semua telah berdosa. Saya harus melihat seorang Muslim seperti Tuhan ingin melihat seorang Muslim, bukan seperti saya mau melihat seorang Muslim. Tuhan telah memperpanjang hidup saya – dan hilangnya kemampuan [putusnya tangan] ini bukanlah sebuah kutukan: Jika saya bisa memberi tangan saya agar perdamaian bisa diperoleh, maka saya sudah memberikannya.
Rene Garfinkel menyebut apa yang dialami Imam Ashafa dan Pastor James di atas sebagai salah satu contoh “transformasi personal” (2007: 4-5) yang turut menyiapkan keduanya untuk membangun sikap saling percaya. Hari-hari ketika mereka masih mendambakan bisa menghabisi nyawa lawannya, satu sama lain, kini telah lewat, meskipun berlangsung perlahan. Pastor James sendiri mengakui, dia memerlukan waktu tiga tahun untuk akhirnya bisa memendam habis rasa dendamnya pada Imam Ashafa dan berkomitmen sepenuhnya kepada perdamaian.
Pada tahun-tahun sebelumnya, saya belum berkomitmen sepenuhnya [pada perdamaian]. Sekarang, saya percaya sepenuhnya pada Ashafa. Dia bisa membuat keputusan atas nama saya, dan saya akan menerimanya. Dulu, ada banyak godaan: kami bekerja bersama, dan ada banyak kesempatan untuk membunuhnya – di satu proyek, jauh dari Kaduna, saya bisa mencekiknya hingga tewas ketika dia sedang tidur. Tapi ada kekuatan [kasih] itu di dalam diri saya yang mencegah saya.
Meskipun pada akhirnya berkawan dan menjalin kerjasama, bukan berarti hubungan Pastor Wuye dan Imam Ashafa berjalan mulus. Tantangan pertama datang dari masing-masing komunitas sendiri. Bagaimana pun, keduanya adalah pemimpin yang memiliki banyak umat, dengan pandangan yang beragam, mulai dari yang sekadar mempertanyakan motivasi mereka sampai yang menghujat keputusan keduanya untuk bekerjasama atau bahkan hendak membunuh mereka.
Tantangan berikutnya adalah menjaga kekompakan di antara mereka sendiri. Kadang ada juga kerikil dalam hubungan pribadi mereka berdua, yang harus mereka atasi secara hati-hati. Pastor James mengibaratkan hubungan keduanya kini seperti hubungan sepasang suami-istri, dengan para pengikut mereka sebagai anak-anak. Perpecahan di antara mereka harus disembunyikan dari “anak-anak”, karena risikonya adalah hancurnya bahtera rumah tangga.
Tantangan ini menjadi lebih berat karena keduanya bersepakat untuk tetap menghargai keyakinan agama masing-masing, karena itulah cermin nilai cinta kasih dan perdamaian sesungguhnya. “Saya berpegang teguh kepada keimanan saya. Dia [Ashafa] pun demikian. Tapi kita tetap hidup berdampingan. Muslim dan Kristen bisa terus hidup berdampingan dan tetap meraih surga yang kita dambakan,” kata Pastor James. Senada dengan itu, Imam Ashafa juga menegaskan bahwa sebagai pemimpin ribuan kaum Muslim di Nigeria, dia tidak akan mengkompromikan prinsip-prinsip Islam. Meskipun demikian, katanya, “saya akan mempertaruhkan hidup Salah satu momen menegangkan adalah ketika keduanya diancam akan dibunuh ketika mereka mengunjungi Kadarko, satu wilayah yang didominasi Kristen di negara bagian Plateau, pada 2004. Kenang Pastor James, beberapa orang dari anggota milisia Kristen bisa saja membunuh mereka jika mereka tidak dilindungi oleh seorang tentara yang memang bertugas melindungi mereka. saya untuk membela kehormatan dan harga dirinya [Pastor James], karena demikianlah yang diajarkan Islam kepada saya, dan saya akan hidup dengan memegang teguh prinsip ini.”
Imam Ashafa dan Pastor James tidak berhenti pada diri mereka sendiri, tapi sangat aktif menyebarkan pesan-pesan damai berbasis agama ke komunitas yang lebih besar: pertama di Kaduna, lalu Nigeria, lalu Afrika, untuk kemudian dunia, hingga sekarang. Sementara pengalaman personal keduanya menjadi kekuatan utama mereka, yang menjadi sumber utama legitimasi mereka, mereka juga tidak segan mempelajari hal-hal baru yang mereka perlukan untuk mengembangkan pesan-pesan mereka. Mereka juga sadar mengenai perlunya jaringan yang dapat membantu perluasan pesan-pesan mereka.
Pada Mei 1995, Imam Ashafa dan Pastor James mendirikan Forum Dialog Pemuda Muslim-Kristen (Muslim-Christian Youth Dialogue Forum, MCYDF) di Kaduna, dengan tujuan memperkuat komitmen mereka kepada rekonsiliasi dan perdamaian, meskipun keduanya tidak memiliki latihan khusus atau latar belakang akademis dalam bidang pengelolaan konflik. Dari pengalaman, mereka menyadari bahwa anak-anak muda adalah kelompok paling rentan menjadi sasaran kampanye agama yang dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik.
Kata James: Biasanya, orang-orang tua membuat kebijakan, dan anak-anak muda yang menjalankannya. Jika ada peperangan, anak-anak muda-lah yang terlibat di dalamnya. Dengan membangun rekonsiliasi di kalangan anak-anak muda, kami ingin memastikan bahwa tidak ada orang yang nantinya pergi berperang. Itulah yang terjadi pada diri kami sendiri. Tapi sekarang kami sudah disembuhkan dari virus agresi.
Untuk memperoleh gambaran lebih lengkap mengenai mengapa dan bagaimana Imam Ashafa dan Pastor James menyelenggarakan lokakarya binadamai kepada anak-anak muda, lihat artikel mereka berdua (Ashafa & Wuye 2006: 21-24), yang juga diterbitkan dalam buku ini. Untuk ulasan menarik mengenai aspek khusus lokakarya anak-anak muda ini, lihat Piereder (2004).
... Sekarang kami bisa katakan: “Tidak lagi.” Kami mem-program ulang anak-anak muda, [tapi] masih dengan memanfaatkan agama. Dengan menjadikan anak-anak muda sebagai target utama, Imam Ashafa dan Pastor James ingin membangun “agen-agen perdamaian”.
Kini mereka sedikitnya memiliki dua pemimpin muda di tiap 36 negara bagian di Nigeria yang sudah dilatih tentang agama dan binadamai dan pengelolaan konflik. Keduanya juga sudah melatih sekitar 10.000 orang pemimpin lintas-agama mengenai mediasi antar-iman dan pengelolaan konflik. Di samping itu, pandangan keduanya mengenai binadamai menurut Islam dan Kristen sudah diterbitkan dalam buku berjudul The Pastor and the Imam – Responding to Conflict (1999).
Binadamai berbasis agama atau iman (yang lebih luas) adalah kata kunci lain dari Imam Ashafa dan Pastor James. Kembali berkaca pada pengalaman pribadi mereka, keduanya meyakini bahwa agama bisa dan harus memberi sumbangan positif bagi perdamaian dan rekonsiliasi dalam masyarakat. Mereka seringkali merujuk kepada doktrin-doktrin dan contoh-contoh dari sejarah agama, khususnya terkait cinta kasih dan pemaafan, dalam kerja mereka. “Ada banyak kesalahpahaman di antara orang-orang dari kelas yang berbeda dan di antara kelompok-kelompok etnis yang beragam, yang akarnya sangat mendalam. Hanya agama yang dapat menyatukan mereka, karena agama mengubah psyche anak-anak muda, yang biasanya dimanfaatkan sebagai tentara pembuat kerusakan,” kata Ashafa.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan keduanya akan pengetahuan dan ketrampilan pengelolaan konflik, dan atas dukungan British Council, Ashafa dan James menghadiri lokakarya khusus tentang itu pada 1996, yang diselenggarakan oleh Academic Associate Peace Work (AAPW) dan Strategic Empowerment and Mediation Agency (SEMA), satu LSM yang bergerak dalam bidang ini di Kaduna. Ashafa mulanya enggan ikut dalam acara ini, yang banyak dikelola oleh orang-orang Kristen. “Saya percaya pada James, tapi tidak orang-orang Kristen lain. Saya pertanya pada diri sendiri, ‘Siapa yang mengelola konferensi ini? Apa maksudnya?’ Saya tidak punya bayangan apa-apa tentang apa itu pengelolaan konflik atau resolusi konflik kala itu,” kenang Ashafa. Tapi akhirnya dia ikut juga, antara lain berkat dorongan Pastor James.
Kerjasama di atas berkelanjutan dan belakangan terbukti sangat penting dalam membuka jalan-jalan baru bagi James dan Ashafa. SEMA ikut membantu memperkuat MCYDF yang baru berdiri. Lebih dari itu, pada 1996 dan berkat bantuan SEMA, Ashafa dan James dapat ikut serta dalam kursus tiga bulan dengan tema “Responding to Conflict” di Federation of Selly Oak Colleges, Birmingham, Inggris. Berkat partisipasi dalam kursus-kursus ini dan rekrutmen orang-orang yang tepat yang dilakukan keduanya, MCYDF mulai berkembang kapasitasnya sebagai organisasi non-pemerintah, yang bergerak di tingkat akar rumput, dan yang mengupayakan binadamai dan resolusi konflik yang bersifat lintas-agama.
Dengan penekanan pada sumbangan perdamaian agama dan target khusus anak-anak muda, Imam Ashafa dan Pastor James memulai upaya-upaya binadamai mereka di wilayah yang mereka ketahui paling baik, Zangon Kataf. Di sini, status mereka sebagai pemimpin agama juga memudahkan jalan. Kata James: “Dengan [status] itulah kami memperoleh perhatian – karena kami pertama-tama dan yang paling utama adalah orang-orang [dari kelompok] agama. Dengan status kami sebagai pemimpin agama, kami bisa pergi ke mana saja dan mengetuk pintu siapa saja. Rekan-rekan kami yang bukan pemimpin agama tidak bisa pergi ke sana [seleluasa itu].”
Di luar itu, satu hal penting lain yang membuat Imam Ashafa dan Pastor James diterima kalangan mana saja adalah sifat kemitraan mereka yang bersifat lintas-agama. Seperti dikatakan James:
Masalah rivalitas tidak muncul [pada kami].... Saya seorang Kristen. Rekan-rekan Kristen saya tidak akan melemparkan batu kepada saya. Ashafa seorang Muslim, dan saudara-saudara Muslimnya tidak akan melemparinya dengan batu. Jadi [kemitraan] kami ini unik. Jika ada sengketa terkait tanah, kami bisa memediasinya untuk menghentikan agar situasi [yang sudah buruk] berkembang menjadi konflik kekerasan. Tidak ada LSM yang punya kemampuan untuk berbicara kepada kedua komunitas [Muslim dan Kristen], sepengetahuan saya, di Nigeria.
Sesudah langkah-langkah awal mereka di Kaduna dianggap bermanfaat, Imam Ashafa dan Pastor James mulai memperlebar aktivisme mereka ke wilayah-wilayah lain di Nigeria, terutama di Nigeria Utara. Di negara bagian Kano, misalnya, mereka menyelenggarakan pertemuan reguler antara anak-anak muda dan para pemuka agama. Mereka juga sering diundang oleh pemerintahan lokal untuk mengases risiko konflik atau menyelesaikan konflik-konflik kekerasan akibat peristiwa tertentu seperti pemilihan umum.
Sejalan dengan perkembangan-perkembangan di atas, pada 1999, kata “Pemuda” dalam nama organisasi awal mereka dihilangkan:
“Kami mengubahnya menjadi Forum Dialog Muslim-Kristen (Muslim-Christian Dialogue Forum, MCDF), dengan departemen khusus yang mengurusi anak-anak muda ... ketika kami berdua memasuki usia 40 tahun ... dan karenanya kami sendiri sudah bukan pemuda lagi,” kata Ashafa menjelaskan. Belakangan, pada 2004, nama ini pun mulai ditinggalkan dan diganti dengan Pusat Mediasi Antar-Iman (Interfaith Mediation Center, IMC), sejalan dengan titik-tekan yang kini mereka berikan kepada mediasi, yang lebih dari sekadar dialog. Sekarang, Imam Ashafa dan Pastor James lekat diasosiasikan dengan nama organisasi ini.
Selain itu dan dalam rangka memperlancar upaya bersama mereka, James dan Ashafa terus menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan konflik dan perdamaian di Nigeria: pemerintah dalam berbagai tingkatan, media massa, dan terutama pemimpin agama. Salah satu contoh capaian penting Imam Ashafa dan Pastor James terjadi pada 22 Agustus 2002, ketika mereka berhasil meyakinkan 20 pemimpin agama senior di Kaduna, masing-masing 10 dari Islam dan Kristen, untuk menandatangani Deklarasi Perdamaian Kaduna (Kaduna Peace Declaration). Gubernur Kaduna juga ikut menandatangani deklarasi itu, sambil dengan sengaja menjadikannya publik agar bisa dilihat semua pihak. Deklarasi itu menyerukan agar masing-masing pihak menahan diri dari mencaci-maki, membenci dan menghasut, apalagi melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok lain. Peristiwa ini ikut didokumentasikan pada bagian-bagian akhir film dokumenter The Imam and the Pastor.
Keduanya juga menjalin kerjasama dengan badan-badan internasional, misalnya United Institute for Peace (USIP) dan Tanenbaum Foundation di Amerika Serikat, atau British Council dari Inggris, untuk memperoleh dukungan dalam rangka penguatan kapasitas internal dan penyelenggaraan berbagai kegiatan.
Membangun kemitraan seperti di atas tidak mudah, penuh tantangan, dan memerlukan perhatian dan ketrampilan khusus. Salah satu contohnya yang menarik adalah upaya James dan Ashafa untuk memediasi konflik antara Christian Association of Nigeria (CAN) dan Jama’atu Nasril Islam (JNI), dua organisasi yang turut mereka besarkan ketika mereka masih muda, yang hingga kini masih terus berlangsung. Ashafa menjelaskan: “Ada sikap saling tidak percaya yang kuat di antara satu dan lainnya – selalu ada fobia yang menggempal di sana terhadap satu atau lain agama: Islamofobia atau fobia terhadap budaya Barat dan karenanya fobia terhadap Kristen.” Namun demikian, mengenang pengalamannya bersama Pastor James, Imam Ashafa merasa selalu ada harapan di masa depan, karena para pemimpin kedua organisasi sudah mulai bersedia mencoba hal-hal baru:
“Mereka berpikir: Kami sudah gagal, [dan] mungkin Anda bisa melakukan sesuatu yang lebih baik. Hubungan-hubungan personal di antara para pemimpin itu makin baik, meskipun sikap saling tidak percaya berbasis-komunitas masih tetap ada. Tapi sesuatu sedang berlangsung dalam arah yang positif – ada kesediaan untuk mulai memahami [orang lain],” jelas Ashafa.
Dari Nigeria untuk Dunia Apresiasi atas wawasan dan pendekatan binadamai lintas-iman Ashafa dan James tidak saja datang dari rekan-rekan mereka sesama warganegara Nigeria, tapi juga dari berbagai belahan dunia. Penekanan mereka kepada anak-anak muda dan model lokakarya yang mereka jalankan kini dicontoh di Kenya, Chad, Mesir, Sudan Utara dan Sudan Selatan, Burundi, Ghana, Sierra Leone, Lebanon, dan lainnya (Marshall 2011). Sebagai mediator lintas-iman, mereka juga diminta untuk mengadakan lokakarya binadamai misalnya di Kenya, menyusul konflik terkait pemilihan umum pada 2007, yang memakan korban lebih dari 1.000 orang dan menyebabkan ratusan orang terpaksa meninggalkan rumah. Pengakuan atas mereka juga tampak dari dipilihnya IMC sebagai tuan rumah konferensi internasional keempat dari Forum for Cities in Transition (2013), berkat inisiatif binadamai IMC di Kaduna, kota terpenting di Nigeria.
Didorong oleh apresiasi di atas dan atas saran banyak pihak, Imam Ashafa dan Pastor James mulai memanfaatkan media-media populer untuk lebih menyebarkan pesan mereka. Pada 2006, film dokumenter mengenai mereka, The Imam and the Pastor, diproduksi oleh Initiatives for Change International, yang memperoleh beberapa penghargaan internasional. Lanjutan film ini, An African Answer, diproduksi pada 2010, menggambarkan kerja-kerja Ashafa dan James di Kenya. Untuk melengkapi keduanya, David Steele sudah menulis manual bagi fasilitator mengenai kedua film ini, sehingga siapa saja dapat menonton dan mendiskusikannya sendiri (Steele 2011, bisa diunduh gratis).
Beberapa akademisi konflik kekerasan dan perdamaian menyambut baik model binadamai lintas-iman yang dikembangkan James dan Ashafa. Mereka memandangnya sebagai sumbangan penting dalam bidang binadamai berbasis agama dan memperkuat legitimasinya. Demikian, karena agama dan atmosfernya sangat kondusif khususnya bagi pernyataan apologi dan pemaafan, yang tidak selamanya mudah diperoleh di luar wacana agama (lihat Smock 2006: 38).
Selain itu, karena agama masih sangat berpengaruh, apalagi di negara seperti Nigeria, maka upaya-upaya binadamai sebaiknya melibatkan agamawan. Sementara memang tidak ada jaminan bahwa binadamai berbasis agama bisa menyelesaikan semua atau bahkan satu masalah, seperti dikatakan Garfinkel, “[a]pa yang dijamin adalah bahwa tanpanya, upaya-upaya diplomatik tidak akan bisa jalan. Agama akan terus ada di sini; mengabaikannya tidak akan membuatnya hilang” (2004: 2).
Pastor James dan Imam Ashafa pasti akan sepakat dengan pernyataan terakhir di atas. Menurut keduanya, seseorang tidak perlu menjadi religius untuk menyerukan transformasi seperti yang mereka alami. “Kita pertama-tama dan yang utama adalah manusia. Kita harus berlomba-lomba dalam [menghidupkan] nilai-nilai kejujuran, kesucian, kebersamaan, dan cinta kasih,” kata Ashafa.
Sementara banyak kritik dialamatkan kepada dialog antar-agama, yang biasanya elitis, model binadamai berbasis akar rumput yang dikembangkan Ashafa dan James dianggap terobosan sangat penting. Dengan menyasar masalah-masalah hidup anak-anak muda sehari-hari dan dengan mengajarkan resolusi konflik kepada mereka, model yang dikembangkan keduanya dapat memperkuat wawasan dan ketrampilan dasar yang berguna bagi kehidupan anak-anak muda itu di kemudian hari (Garfinkel 2004: 4-5). Dengan begitu, maka anak-anak muda ini, yang masih akan menjadi bagian dari anggota masyarakat untuk jangka waktu lama ke depan, akan dipandang oleh lingkungan mereka sebagai calon pemimpin yang memiliki otoritas moral yang lebih besar dan dengan tujuan-tujuan yang tidak sektarian dibanding yang lain (Hayward 2012: 5).
Berkat kiprah mereka di atas, Imam Ashafa dan Pastor James sudah memperoleh penghargaan dari berbagai pihak di seluruh dunia, antara lain Heroes of Peace Award (Tanenbaum Foundation, New York, 2000), Fondation Chirac Prize (Paris, 2009), Bremen Peace Award (Threshold Foundation, Bremen, 2011), Hessian Peace Price (Peace Research Institute, Frankfurt, 2013), dan lainnya. Kiprah keduanya juga sudah diakui oleh banyak lembaga yang bergerak dalam bidang riset dan advokasi binadamai di seluruh dunia, seperti Ashoka, Initiative of Change, dan Berkley Center pada Georgetown University. Keduanya juga bermitra dengan semua lembaga ini untuk mengembangkan impian mereka lebih jauh.
Karena alasan-alasan di atas juga, belakangan Imam Ashafa dan Pastor James sering diundang ke berbagai tempat untuk memberi kuliah dan diskusi mengenai agama dan binadamai. Ini kesempatan berharga bagi keduanya – dan tidak bisa diwakilkan. Mereka sadar bahwa kunci keberhasilan kerja-kerja mereka selama ini adalah contoh inspiratif kemitraan dan kebersamaan mereka dan bagaimana hal ini tumbuh dari awal yang hitam, kelam dan mematikan di Kaduna, Nigeria. Ketika ditanya bagaimana mereka mendefinisikan keberhasilan, Imam Ashafa menjawab: “Kami tahu bahwa ketika kami dulu saling berperang, 5.000 orang yang akan meninggal. Sekarang, 600 yang akan meninggal, bukan 5.000. Itu keberhasilan.”
Dari uraian di atas, kami ingin menarik empat kesimpulan dan pelajaran. Keempat butir ini berguna dan dapat dipraktikkan oleh siapa saja di Indonesia.
Pertama, kisah hidup Imam Ashafa dan Pastor James adalah bukti nyata dan hidup klaim bahwa agama bisa menjadi baik sumberdaya kekerasan maupun perdamaian, terlepas dari apakah penyebab konflik kekerasan itu sendiri ada dalam wilayah agama atau bukan. Agama ikut memompa kebencian keduanya, tapi agama pulalah yang mendorong keduanya untuk saling memaafkan dan kemudian bekerja bersama dalam kerangka binadamai. Pengalaman Imam dan Pastor ini melibatkan proses transformasi personal, berupa hijrah dari kekerasan menuju binadamai, yang dapat dipelajari untuk mendorong berlangsungnya proses yang sama pada orang atau kelompok lain di mana saja. Dalam proses ini, kita menemukan misalnya adanya peran ajaran agama yang mendorong langkah memaafkan pihak lain, yang disampaikan oleh juru dakwah dalam khotbah Jumat di masjid atau khotbah Minggu di gereja.
Kedua, sesudah mengalami transformasi personal, Imam Ashafa dan Pastor James tidak berhenti pada diri mereka sendiri, pada perdamaian di tingkat individu masing-masing, tetapi menyebarkan apa yang kini mereka yakini ke segala tempat yang dapat mereka jangkau. Keduanya juga melembagakan pengalaman dan panggilan baru ini dalam Pusat Mediasi antar-Iman, dengan fokus perhatian pada anak-anak muda sebagai “agen-agen perdamaian”, yang menunjukkan pertimbangan yang strategis. Ini satu pilihan, dan pilihan ini bukan tanpa hambatan berarti, bahkan risiko ancaman dibunuh – sesuatu yang juga bisa dipelajari. Pilihan itu diambil karena James dan Ashafa menyadari bahwa pesan-pesan mereka tertanam dalam diri dan pengalaman mereka sendiri. Kredibilitas mereka terletak pada pengalaman mereka untuk hijrah dari kekerasan ke binadamai, yang karenanya wajib dibagi untuk menebarkan inspirasi.
Ketiga, agar mampu menjalankan dengan baik apa yang menjadi kepedulian utama mereka, sementara bekal pengetahuan dan ketrampilan mereka sangat kurang untuk itu, Pastor James dan Imam Ashafa tidak ragu, malu atau malas untuk memperkuat diri dengan terus belajar dari siapa saja – dalam usia mereka yang tidak muda lagi, dalam dalam posisi mereka sebagai pemimpin agama. Dalam rangka ini, bahkan Imam Ashafa bersedia untuk mengikuti kursus tentang pengelolaan konflik dan teknik-teknik mediasi dari orang-orang yang dulunya dia sangat benci dan curigai (dan di Inggris pula, yang kafir dan mantan penjajah). Belakangan terbukti bahwa semua pengetahuan dan ketrampilan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan mereka berdua.
Keempat, meskipun agamawan dan bekerja menyebarkan pesan-pesan agama dan perdamaian, Imam Ashafa dan Pastor James tidak mencurigai, bahkan bekerjasama, dengan kelompok-kelompok di luar agama, bahkan sekular, yang bekerja dalam bidang yang sama, dari mana saja. Inisiatif Ashafa dan James bahkan didukung dan difasilitasi oleh lembaga- lembaga seperti USIP dan British Council, atau Tanenbaum Foundation, yang merasa punya kepentingan yang sama. Belakangan terbukti bahwa kerjasama ini, dalam aspek penguatan internal sumberdaya manusia, dukungan dana bagi kegiatan tertentu, atau pengembangan jaringan, memainkan peran kunci dalam keberhasilan mereka berdua. Hikmahnya, tidak ada alasan bagi kelompok agamawan dan kelompok sekular untuk bekerjasama, sejauh yang diperjuangkan adalah kepentingan bersama.
Akhirnya, Indonesia mungkin lebih baik secara umum dari Nigeria. Karena itu, sebagian kita mungkin akan tersinggung jika disarankan agar kita belajar dari Nigeria. Tapi hidup dan kiprah Muhammad Ashafa dan James Wuye, yang kebetulan warganegara Nigeria, mengandung banyak hal yang patut dan harus dicontoh kita, warganegara Indonesia.***
Ashafa, Imam Muhammad and Pastor James Movel Wuye. 2006. “Training Peacemakers: Religious Youth Leaders in Nigeria.” Dalam David Smock (ed.), Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not War (hlm. 21-24). Washington, DC.: United States Institute of Peace.
Dubensky, Joyce S. (ed.). 2016. Peacemakers in Action: Volume II: Profiles in Religious Peacebuilding. Cambridge: Cambridge University Press.
Garfinkel, Renee. 2004. What Works? Evaluating Interfaith Dialogue Programs.” Special Report . Washington, DC.: United States Institute of Peace. Garfinkel, Renee. 2006. Personal Transformations: Moving from Violence to Peace. Special Report. Washington, DC.: United States Institute of Peace.
Hayward, Susan. 2012. Religion and Peacebuilding: Reflections on Current Challenges and Future Prospects. Special Report. Washington, DC.: United States Institute of Peace. Little, David Little (eds.). 2006. Peacemakers in Action: Profiles of Religion in Conflict Resolution. Cambridge: Cambridge University Press.
Marshall, Katherine. 2011. “A Discussion with Pastor James Wuye and Imam Muhammad Ashafa.” Berkley Center for Religion, Peace & World Affairs at Georgetown University (31 October).
Ojo, Matthews A. dan Folaranmi T. Lateju. 2010. “Christian-Muslim Conflicts and Interfaith Bridge-Building in Nigeria.” The Review of Faith & International Affairs 8: 31-38.
Smock, David R. 2006. “Conclusion.” Dalam David R. Smock (ed.), Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not War (hlm. 35-39). Washington, DC.: United States Institute of Peace.
Smock, David R. (ed.). 2006. Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not War. Washington, DC.: United States Institute of Peace. Staff Members of Tanenbaum Center for Interreligious Understanding. 2006.
“Warriors and Brothers: Imam Muhammad Ashafa and Pastor James Wuye, Nigeria.” Dalam David Little (eds.), Peacemakers in Action: Profiles of Religion in Conflict Resolution (hlm. 247-277). Cambridge: Cambridge University Press.
“Imam dan Pastor” 69
Staff Members of Tanenbaum Center for Interreligious Understanding. 2016. “Pastor James Wuye and Imam Muhammad Ashafa, Nigeria.” Dalam Joyce
S. Dubensky (ed.), Peacemakers in Action: Volume II: Profiles in Religious Peacebuilding (hlm. 427-436). Cambridge: Cambridge University Press.
Steele, David. 2011. “A Manual to Facilitate Conversations on Religious Peacebuilding.” Washington, DC.: United States Institute of Peace.
The Imam and the Pastor. Disutradarai Alan Channer. 2006. London: For the Love of Tomorrow (FLT) Films. DVD.
Imam Muhammad Ashafa & Pastor James Wuye
Selama dua dekade terakhir Nigeria dilanda krisis etno-religius dan sosial-politik yang menelan ribuan nyawa dan jutaan dolar harta benda. Kemarahan dan kebencian merebak. Ia umumnya dihembuskan oleh para elit, yang memanipulasi kelompok paling rentan di masyarakat Nigeria, yaitu kaum muda, agar melakukan tindakan-tindakan destruktif. Kesulitan ekonomi dan kepemimpinan yang korup juga turut mendorong kekerasan. Kelompok-kelompok milisi yang menggunakan slogan etnis atau agama begitu mudah memobilisasi kaum muda pengangguran.
Mewaspadai gelagat krisis yang berpotensi pecah pada pemilihan umum 2003, Pusat Mediasi Antar-Iman melakukan sejumlah kegiatan pencegahan. Dengan sokongan United States Institute of Peace (USIP), lembaga ini menyusun strategi proaktif untuk membantu para agamawan muda dalam menyoal dan memperbaiki stereotip, fobia, miskonsepsi, dan prasangka. Dengan demikian, perspektif tersebut dapat digantikan dengan aksi nirkekerasan, interdependensi, dan kolaborasi.
Kaduna dipilih dengan pertimbangan saksama dan strategis karena merupakan jantung kota di daerah Utara, tempat para politisi menjajal strategi politiknya. Ada istilah jika Kaduna “bersin”, maka seantero negeri pun terserang “demam.”
[ 1. Tulisan ini diterjemahkan oleh Fini Rubianti dan Irsyad Rafsadi dari artikel Imam Ashafa
dan Pastor James Wuye pada 2006, “Training Peacemakers: Religious Youth Leaders in
Nigeria”. Dalam Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not
War, ed. David R. Smock, 25–28. Washington, DC: United States Institute of Peace.]
Peserta dipilih dengan cermat dari enam zona geopolitik Nigeria. Mereka berpengaruh di lingkungannya dan dapat berperan dalam eskalasi atau deeskalasi krisis di antara para pengikutnya. Mereka adalah komandan kelompok agama. Selain itu, politisi maupun pemuka agama pun hormat terhadap mereka. Kami harus menyelenggarakan program ini sebelum pemilihan umum untuk mencapai tujuan berikut:
• Mentransformasi agamawan muda yang sebelumnya merupakan pelopor kekerasan menjadi aktor perdamaian dengan memperkenalkan mereka keterampilan resolusi konflik;
• Meningkatkan pemahaman dan memperbaiki hubungan antara pemuda Kristen dan Muslim di level nasional;
• Membangun jaringan advokat perdamaian di kalangan agamawan muda dan memperluas dialog keagamaan ke akar rumput; serta
• Membangun struktur pemantauan dan deeskalasi konflik di enam zona geopolitik.
Orang Nigeria dikenal punya semangat keagamaan yang kuat, yang kadang sampai membuat mereka bersedia membunuh atas nama Tuhan. Namun, setelah mencermati ayat-ayat dari Alkitab maupun Al-Qur’an terkait perintah agama untuk mewujudkan perdamaian, para peserta kompak mengecam pembunuhan atas nama agama.
Format lokakarya terdiri dari dua hari dialog intra-agama, di mana umat Kristen dan umat Islam dipertemukan secara terpisah. Topik-topik yang dibahas selama sesi intra-agama meliputi: konsep tetangga, hak orang-orang kafir di kelompok agama monolitik, penghormatan terhadap minoritas agama beserta kepercayaan dan praktik ibadahnya.
Peserta juga diimbau untuk tidak mencari kesalahan pihak Muslim, mendengarkan dengan saksama dan empati, berdialog, serta meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan pihak Kristen. Mereka juga didorong untuk mengungkapkan kebenaran dalam kasih. Pada sesi tersebut, peserta yang Kristen juga mengungkapkan keprihatinan akan umat Kristen di Nigeria. Di antaranya adalah intoleransi, masa bodoh, kurangnya cinta kasih, perselisihan antar-denominasi, keingkaran, seksionalisme, ketamakan, dominasi kelas menengah, bangga diri, kemunafikan, kefasikan, pengaruh budaya terhadap praktik keagamaan, dan kurangnya persatuan di antara umat Kristen.
Demikian halnya, para peserta dalam sesi intra-iman Muslim pun mengungkapkan kekhawatiran mereka jika pihak Kristen akan mendistorsi fakta-fakta. Mereka khawatir akan ada banyak perdebatan, kebingungan, dan kesalahpahaman yang dapat menggagalkan tujuan lokakarya.
Imam Muhammad Nurayn Ashafa dan Imam Muhammad Sani Isah meyakinkan para peserta Muslim, dan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan sebagai dalilnya. Mereka menjelaskan pentingnya dialog antar-iman dengan mengutip ayat Al-Qur’an. Selama sesi ini, para peserta Muslim mengungkapkan sejumlah persoalan yang melanda Muslim Nigeria, termasuk ketidaktahuan tentang Islam di kalangan Muslim maupun Kristen, persaingan kepemimpinan di masyarakat Muslim, putusan-putusan yang dikeluarkan di pengadilan Muslim tanpa memahami hukum syariah secara utuh, perselisihan dan permusuhan antara sesama Muslim, pengabaian terhadap ajaran Nabi, buta huruf serta kemiskinan.
Untuk menginisiasi sesi antar-agama, keempat fasilitator—dua Kristen dan dua Muslim— melakukan beberapa ice-breaking, menetapkan ground-rules diskusi, dan menyepakati sejumlah hal lain; seperti meluangkan waktu untuk salat, yang tidak selalu dapat tercapai dengan mulus dalam dialog Kristen-Muslim. Untuk membantu membangun komunitas, peserta Kristen dan Muslim dipindahkan dari hotel yang terpisah ke hotel bersama dengan kamar yang berdampingan. Beberapa peserta sempat takut jika kelompok lain menyerang mereka di malam hari.
Peserta memiliki harapan yang beragam akan sesi ini—mulai dari yang sangat simplistis bahwa semua perbedaan mereka akan terselesaikan, hingga pesimisme bahwa kegiatan ini tidak akan membuahkan apa-apa. Pemuka agama senior dan pejabat pemerintah diundang untuk menghadiri sejumlah kesempatan sebagai strategi untuk mengonsolidasikan kemajuan dan mencanangkan kegiatan bersama di antara para peserta.
Teknik yang digunakan fasilitator antara lain adalah mengemukakan sentimen positif dan negatif mengenai kelompok agama lainnya, membahas miskonsepsi dan stereotip, serta mengidentifikasi langkah-langkah membangun dialog yang produktif dan berkelanjutan. Peserta Kristen menilai umat Muslim menghormati budayanya sendiri, memiliki rasa persatuan, rajin beribadat, berpandangan ke depan, dan murah hati. Sisi negatifnya, peserta Kristen menilai umat Muslim suka memaksakan kehendak pribadi, sangat agresif, malas, dan penjilat. Peserta Muslim menilai umat Kristen saling bekerjasama dengan efektif, berpandangan jauh ke depan, terorganisir dengan baik, tekun dan maju dalam hal ekonomi. Pandangan negatifnya, mereka menganggap umat Kristen sangat benci terhadap umat Muslim dan sengaja memeras mereka. Mereka juga merasa bahwa umat Kristen ‘pasti’ akan mengambil pandangan berbeda dengan umat Muslim dalam soal apa pun, dan mereka tak kenal kompromi.
Fasilitator kemudian membahas miskonsepsi dan stereotip terhadap satu sama lain. Kedua kelompok terkejut dan senang mendengar pihak lain mengatakan hal positif tentang mereka, berikut hal negatifnya. Sesi ini menghasilkan interaksi intens antara kedua kelompok, menyiapkan mereka menuju dialog yang akrab dan terbuka. Dalam dialog berikutnya, peserta mengidentifikasi beberapa prasyarat dialog yang berhasil, baik dalam pelatihan ini maupun di Nigeria pada umumnya.
• Kedua pihak harus berusaha untuk saling mempelajari ajaran dasar masing-masing.
• Mereka harus peka terhadap satu sama lain, menyasar isu sensitif dengan hati-hati, dan menghormati nilai agama masing-masing.
• Lembaga antar-iman nasional harus secara rutin mengamati isu- isu yang dapat memecah umat beragama dan memantau konflik- konflik baru.
1. Kami mengidentifikasi penyebab konflik agama di Nigeria adalah:
Kurangnya toleransi dan rasa hormat terhadap iman dan praktik ibadah masing-masing, ketidaktahuan, ketidakmampuan untuk memaafkan, kurangnya pemahaman, kurangnya dialog, rumor, keingkaran kepada Tuhan, kurangnya kesabaran dan pengendalian diri.
2. Menyatakan bahwa dalam menangani konflik, pihak Kristen maupun Muslim perlu saling mendoakan, melatih kesabaran dan pengendalian diri, saling menghargai keyakinan dan kitab suci masing-masing, bersedia memaafkan dan mengupayakan perdamaian, jujur, tulus dan saling transparan.
3. Menyarankan agar dibentuk lembaga antar-agama pusat dengan cabang di wilayah pemerintah daerah guna memantau serta mengevaluasi dialog antar-agama di Nigeria.
4. Menyatakan akan peduli dan mencintai satu sama lain sebagai saudara dan menunjukkan niat baik setiap saat.
5. Menyatakan akan mendidik dan mencerahkan pengikut masing- masing, terutama di akar rumput, mengenai ajaran sejati umat lain.
6. Menganjurkan agar umat Muslim dan Kristen terus menyampaikan dan menyebarkan agamanya masing-masing sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi Nigeria.
7. Menganjurkan agar kita menghindari kefanatikan agama dalam politik.
8. Menyatakan untuk menumbuhkan budaya non-agresi setiap saat.
9. Memutuskan untuk mempromosikan kesetaraan, kepatutan dan keadilan meski harus mengorbankan kepentingan umat masing-masing.
10. Menyerukan media untuk menghindari jurnalisme yang bias dan provokatif dan agar bersikap objektif dan jujur dalam pemberitaannya, terutama menyangkut masalah agama.
11. Menyarankan agar dibentuk unit pemantauan media antaragama.
12. Merekomendasikan untuk menerbitkan dan menyebarluaskan pedoman dialog antaragama.
13. Memutuskan untuk menghindari penggunaan bahasa yang agresif dan kasar yang terkesan mencari-cari kesalahan dan konfrontatif.
14. Mendorong pemenuhan hak asasi manusia dan penebusan kesalahan melalui kompensasi.
15. Memutuskan untuk memastikan transisi antar masyarakat sipil yang damai dan sukses pada bulan April 2003, demi kelangsungan demokrasi yang baru di Nigeria.
16. Pemuda Muslim dan Kristen menyatakan akan bekerjasama dengan pemerintah untuk menjerat dan mengungkap pelaku kekerasan atas nama agama agar diproses sesuai hukum yang berlaku.
17. Menyayangkan gagalnya petugas keamanan untuk bertindak cepat tanggap terhadap tanda peringatan dini pecahnya konflik kekerasan agama.
Beberapa peserta percaya bahwa dialog antara kaum muda Nigeria memiliki andil besar dalam mengurangi kekerasan selama dan setelah pemilu April 2003. Jumlah orang yang terkena dampak lokakarya ini jauh melampaui mereka yang berpartisipasi secara langsung. Salah seorang peserta, misalnya, masih terus membangun jaringan yang terdiri dari ribuan pengikut. Lokakarya ini akan berdampak juga pada mereka yang menjadi pengikut sang pemimpin pemuda ini. Seusai lokakarya ini, beberapa peserta mendirikan lembaga lintas-agama di kotanya, dan upaya- upaya lain telah dilakukan untuk mendorong perdamaian antaragama.
Kehadiran pers dan publisitas yang dihasilkannya di media elektronik maupun cetak juga mampu memperluas dampak tersebut. Berkurangnya tingkat permusuhan di banyak daerah rawan konflik pasca-lokakarya juga menunjukkan bahwa secara umum program ini berhasil. Selain itu, hasil positif lainnya adalah keterlibatan dan dukungan baru dari pemerintah terhadap berbagai inisiatif lintas-agama di beberapa negara bagian di Nigeria.***
Terima kasih juga kepada National Science Foundation dan Graduate Research Abroad Fellowship di Universitas Boston, yang menyediakan dana untuk penelitian saya sebelumnya dan studi lapangan di Maluku, juga kepada Institut Kroc untuk Studi Perdamaian Internasional di Universitas Notre Dame, yang menyediakan beasiswa penelitian yang sangat mencukupi sehingga memungkinkan saya untuk menyelesaikan artikel ini. Kelemahan yang ada di dalam artikel ini tentu saja sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya. dalam lembaga, jaringan, dan kelompok-kelompok keagamaan. Artikel ini fokus pada perempuan Muslim, Protestan, dan Katolik pekerja perdamaian serta praktisi resolusi konflik di Ambon dan daerah lain di Provinsi Maluku, yang mengalami konflik kekerasan kolektif antara Kristen dan Muslim dari 1999 hingga 2004.
Faktanya keterlibatan perempuan dalam membangun perdamaian di seluruh dunia, termasuk di Maluku, kerap mengambil inspirasi dan menyandarkan diri beberapa ilmuwan sosial dan politik telah melakukan penelitian penting dan menghasilkan banyak karya mengenai kondisi dan dinamika konflik Maluku (lihat misalnya van Klinken 2001, 2007; Sidel 2006; Adam 2009; Bertrand 2002, 2004; Schulze 2002; Spyer 2002; Coppell, ed. 2006; Noorhaidi 2005; Azca 2011), tidak satu pun dari mereka yang meneliti dan menganalisis binadamai yang dilakukan oleh perempuan lintas-iman. Kontribusi mereka terhadap studi mengenai masa sebelum dan sesudah kesepakatan integrasi dan masa tenang di wilayah ini juga masih kurang substantif (bandingkan Brauchler, ed. 2009; Pariela 2008; Lange 2000). Para peneliti konflik Maluku terdahulu memberi penekanan pada peran aktor laki-laki, peran buruk ataupun baik, dan lebih tertarik pada pertanyaan “mengapa dan bagaimana konflik dimulai” dan bukan pada pertanyaan “mengapa dan bagaimana kekerasan tersebut berakhir.”
Lebih jauh, kerja-kerja perempuan dari komunitas keagamaan dalam mempromosikan dan membangun perdamaian juga kerap diabaikan dalam analisis, kebijakan, dan praktik. Meski peran positif para pemimpin agama dan pembangun perdamaian dalam konsiliasi (upaya memperhatikan keinginan pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai tujuan perdamaian – pent.) dan urusan publik telah mendapat perhatian lebih besar dari ilmuwan berbagai disiplin ilmu sejak dasawarsa terakhir (lihat misalnya Appleby 2000; Smock, ed. 2002; Landau 2003; Sandal 2011; Philpott 2012; Gopin 2000) sebagaimana peran perempuan dalam mempromosikan perdamaian dan rekonstruksi pascaperang (lihat misalnya Abu-Saba 1999; Bazili 2006; Hendricks dan Chivasa 2008), belum banyak perhatian yang diberikan kepada aktor perempuan agama dan dimensi agama dalam kerja-kerja perempuan untuk perdamaian. Katherine Marshall dan Susan Hayward (2011) berpendapat bahwa tidak terlihatnya keterlibatan perempuan dalam agama dan binadamai sebagian besar disebabkan oleh dominasi laki-laki dalam kepe- mimpinan dalam tradisi agama formal. Otoritas agama – dan sumber kekuasaan lainnya – masih dikendalikan oleh laki-laki. Karena itulah penelitian dan analisis terhadap agama dalam konteks konflik cenderung menekankan peran dan perspektif aktor agama laki-laki, sementara perempuan lebih sering diremehkan oleh para ilmuwan dan pembuat kebijakan.
Beberapa pengamat dan analis (misalnya Bertrand 2004, van Klinken 2001) mengklaim bahwa dari semua konflik komunal yang meledak di Indonesia pasca-Soeharto, kerusuhan Maluku adalah yang paling memporakporandakan provinsi ini. Kekerasan massal mengakibatkan puluhan ribu orang mati dan luka-luka. Sekitar sepertiga dari 2,1 juta orang di Maluku saat itu terpaksa mengungsi. Banyak kantor pemerintahan di tingkat provinsi harus berjuang untuk tetap berfungsi mengingat kekerasan komunal menyebar dari Ambon ke pulau-pulau Maluku lainnya seperti Halmahera, Tobelo, Ternate, Tidore, Buru, Seram, Haruku, Saparua, Tual, Banda, dan Kei. Tak terhitung jumlah bangunan yang terbakar. Bahkan sampai saat ini, banyak bangunan yang rusak (seperti rumah, toko, kantor, tempat ibadah, dan sarana publik) yang belum dibangun kembali, “saksi bisu” dari kekerasan komunal yang pernah terjadi. Beberapa pengungsi juga belum kembali ke rumah mereka karena trauma akan tragedi tersebut atau karena tidak punya cukup uang untuk membangun kembali rumah mereka (lihat Hedman, ed. 2008).
Akibatnya, umat Islam dan Kristen di Ambon dan Maluku pada umumnya merasa takut kehilangan posisi dan akses terhadap sumber daya ekonomi politik. Orang-orang Muslim khawatir orang-orang Kristen akan menegaskan kembali dominasi mereka, sementara orang-orang Kristen takut status mereka tergerus di negara yang lebih cenderung mendukung mayoritas Muslim (Bertrand 2004, 114-34; 2002, 62).
Kelemahan pendekatan kelembagaan-historis ini, kata van Klinken, adalah karena pendekatan itu tidak cukup memadai untuk memahami apa yang menyebabkan “titik kritis” dan apa yang terjadi bila lembaga-lembaga tersebut gagal. Tidak seperti Bertrand yang berfokus pada analisis terhadap ciri kesejarahan dari pola dan kebijakan Orde Baru yang berperan sangat penting dalam menciptakan konflik penuh kekerasan, van Klinken (2001, 2007) lebih memberikan perhatian pada “dinamika lokal” sebagai faktor utama terjadinya kekerasan komunal dengan menekankan peran aktor-aktor elit lokal, baik di tingkat provinsi atau regional,3 yang bersaing memperebutkan sumberdaya yang langka. Bagi van Klinken, para aktor lokal ini, terdorong oleh “titik-titik kritis” transisi politik, menjadi kekuatan pendorong bagi konflik Maluku.4
Seorang perempuan Kristen Waai berkata, “Bagi kami [orang Kristen], berperang melawan Muslim pada saat itu (selama konflik komunal 1999-2004) adalah bagian dari misi keagamaan. Ketika kami diserang atau dilibatkan dalam perang, kami, bersama dengan perempuan Kristen lainnya, menyanyikan lagu “Onward, Child Soldiers” sambil menabuh pengki untuk membangkitkan semangat bertempur. Dengan menyanyikan lagu ini, kami merasa bahwa kami mendapatkan “semangat baru” dan keberanian dalam menghadapi musuh [jihadis Muslim]” (lihat Patty 2006, 33). Oleh militan Kristen Ambon, selama kekacauan, “Onward, Christian Soldiers” dianggap sebagai mars perang, dan untuk membangkitkan semangat bertarung.5
Di hari-hari berikutnya, saya melihat orang-orang Muslim dibunuh dan ditembak oleh “orang-orang Kristen Yahudi.” Rumah-rumah Muslim dibakar oleh orang-orang Kristen. Keluarga saya juga ditembak oleh pasukan Kristen di Jalan A.Y. Patty. Sejak saat itu saya terlibat dalam pertempuran. Saya memakai celana panjang dan ikat kepala putih. Teriakan “Allahu Akbar” ada di mana-mana. Saya sedih dan menangis. Saya bergerak maju dan tidak bisa mengingat apapun. Saya siap mati demi Islam dan membela agama Allah. Selama tiga tahun saya bergabung dengan Laskar Jihad dari Jawa. Saya menggunakan pisau dan senjata. Kapan pun kerusuhan terjadi saya ada di sana. Sepanjang pertempuran di Maluku, saya membunuh beberapa orang Kristen - pria dan wanita.”6
Suatu hari, dia menyaksikan peristiwa mengerikan yang sepenuhnya mengalihkan pandangannya dari militansi kekerasan menjadi damai, yaitu penangkapan seorang pria oleh massa musuh. Pria itu secara brutal dipukuli sampai mati oleh massa yang marah.
Pada bulan November 2012, sebagai buah dari kontribusinya dalam membangun perdamaian, dia dianugerahi Penghargaan Saparinah Sadli, sebuah penghargaan bergengsi di Indonesia yang diberikan kepada perempuan yang aktif mempromosikan isu perdamaian dan hak asasi manusia.8
Didirikan pada tahun 2000, Gerakan Baku Bae melakukan inisiatif lintas-komunitas yang bertujuan membangun kepercayaan, mengurangi potensi konflik, membangun kerangka kerja untuk kegiatan di Maluku, dan memperkuat struktur sosial, karena negara tidak efektif memberikan perlindungan dan bantuan (cf. Cunliffe, et al. 2009). Namun, tidak seperti GPP yang memusatkan aktivitasnya di Ambon dan daerah lain di Maluku, Gerakan Baku Bae sebagian besar menyelenggarakan pertemuan untuk menentang kelompok lintasagama di luar Maluku.
Dipengaruhi oleh gerakan ini, Sr. Francesco, didampingi oleh Sr. Getruda Yamlean, mengunjungi Wakil Gubernur Paula Renyaan, seorang Katolik dari Kepulauan Kei di Maluku Tenggara, untuk mendiskusikan kemungkinan pembentukan kelompok perdamaian perempuan antaragama. Wakil Gubernur setuju dengan gagasan Sr. Francesco, dan bersedia mengadakan pertemuan untuk membahas lebih lanjut gagasan ini. Pada tanggal 6 Agustus 1999, sepuluh suster Katolik dan pendeta perempuan Protestan bertemu untuk pertama kalinya di gedung Rinamakana milik kelompok Katolik. Dalam pertemuan awal ini mereka sepakat bahwa perempuan Muslim harus dilibatkan dalam kelompok ini.
Pada bulan Agustus 1999, sebuah pertemuan diadakan di rumah gubernur di Mangga Dua, kota Ambon, dihadiri oleh secara terbatas oleh perempuan Protestan, Katolik, dan Muslim. Sebagian besar mereka berasal dari kalangan profesional kelas menengah-atas seperti akademisi, pemimpin agama, birokrat, dan praktisi resolusi konflik.9
“Sr. Brigitta Renyaan (Sr. Brigitta), seorang biarawati Katolik danpendiri gerakan ini, juga melukiskan pertemuan pertama bersejarah antara perempuan Kristen dan Muslim ini sebagai pertemuan yang “emosional, penuh tekanan, namun tetap berarti dan mendatangkan manfaat.”11
Setelah memobilisasi sejumlah besar warga untuk memakai ikat kepala “hentikan kekerasan”, GPP memprakarsai sebuah konsep petisi berjudul Suara Hati Perempuan (“Hati Nurani Perempuan”). Rancangan ini pertama kali dibuat oleh Pendeta Etha Hendriks, dan kemudian diedit oleh Senda Titaley, istri Pendeta Sammy Titaley, ketua muktamar gereja GPM saat itu. Rancangan tersebut menyerukan pemerintah yang berwenang untuk menghentikan kekerasan. Draf itu juga meminta orang-orang Kristen dan Muslim untuk berdamai dan mulai membangun kembali persaudaraan yang hancur karena konflik. “Dalam budaya orang Maluku,” Etha
[12 Wawancara dengan Sr. Brigitta Renyaan, Ambon, 19 Februari, 2011.]
Pembacaan petisi dilakukan secara terpisah, bertujuan untuk menghindari efek negatif yang dilancarkan oleh aliansi Kristen atau Muslim yang menentang upaya tersebut.13 Pemerintah Maluku kemudian menindaklanjuti poin-poin tersebut, termasuk seruan kepada pemerintah dan pihak berwenang untuk menghentikan kekerasan dan membangun kembali persaudaraan, yang kelak menjadi embrio kesepakatan damai yang disponsori pemerintah di Malino, Sulawesi. Tidak hanya kepada gubernur dan Komandan Militer Teritorial, anggota GPP juga membagikan dan membaca poin “Hati Nurani Perempuan” kepada walikota kota Ambon, anggota parlemen (provinsi dan kota), serta tokoh agama dan masyarakat. Mereka juga mensosialisasikan butir-butir petisi tersebut melalui radio, surat kabar, dan televisi, baik lokal maupun nasional, untuk menjangkau khalayak yang lebih luas dan meningkatkan kesadaran
Pada akhir pertunjukan, mereka saling berpelukan dan menangis, menyesali tindakan kekerasan mereka sebelumnya. “Selama pertunjukan, beberapa komandan perang mengunjungi kami dan mengungkapkan kemarahan mereka,” kata Etha Hendriks.
Dia melanjutkan ceritanya, “Beberapa dari mereka berkata, ‘Mengapa Anda mengumpulkan anak-anak saya di sini untuk melakukan hal bodoh seperti ini?” Etha Hendriks kemudian menjawab, “Maaf, Pak. Mungkin beberapa dari mereka bergabung dengan Anda [sebagai milisi anak]. Tapi saya sudah meminta izin dari orang tua mereka untuk mengumpulkan mereka di sini, dan mereka memberi izin. Mereka adalah anak-anak yang memiliki masa depan dan perlu belajar. Kami
Selain milisi anak-anak, GPP juga memberikan bantuan untuk anak-anak dari kedua kelompok yang sudah terlepas dari konflik namun belum lepas dari trauma akibat kekerasan. Aktivis GPP juga menyediakan dana untuk membeli peralatan sekolah terutama bagi anak-anak keluarga miskin. Upaya ini membuat para anggota GPP harus mempertaruhkannya hidupnya menghadapi berbagai ancaman dari mereka yang menolak gagasan rekonsiliasi Kristen-Muslim. Teror yang menimpa mereka bermacam-macam, mulai dari ancaman pembunuhan hingga pembakaran rumah. Faktanya memang beberapa rumah anggota GPP dibakar dan diserang oleh kelompok militan.
Namun, tanpa lelah kami melanjutkan misi kami untuk mendamaikan orang Kristen dan Muslim,” tegas Sr Brigitta (ibid: 102). Pada kesempatan lain di bulan Desember 1999, Sr. Brigitta mengadakan pertemuan antaragama untuk merayakan Natal dan buka puasa bersama orang Muslim. Dia juga mengundang anak yatim, baik Muslim maupun Kristen. Pada saat itu ketegangan agama di Ambon sedang memuncak. Gereja Silo dan Masjid An-Nur di pusat kota Ambon habis terbakar. Dia ingat, “Malam itu beberapa anak yatim yang mengenakan kerudung sudah siap di asrama milisi 733. Tapi orang-orang mengepung daerah itu dari berbagai penjuru, jadi mereka harus dijemput oleh kendaraan yang dipersenjatai dan diturunkan di pintu depan biara.
“ Pertemuan tersebut membuat marah anggota komunitas Kristen yang tinggal di sekitar biara. Sembari mengepung biara mereka meminta agar acara dibatalkan. Di tengah situasi yang memanas Sr. Brigitta menghadapi kerumunan dan berkata, “Silakan, jika Anda ingin mengebom kami! Biarkan kita semua mati!” Keberaniannya membuat jeri massa, dan para provokator kembali ke rumah-rumah mereka.18
Dengan tujuan menjangkau perempuan dari agama Kristen dan Islam di kepulauan Maluku, para aktivis GPP mendirikan Jaringan Perempuan Maluku (Jaringan Tabaos Mahina Maluku). Melalui jaringan ini, mereka dapat melakukan berbagai kegiatan binadamai dan kampanye nirkekerasan. Anggota GPP juga merekrut relawan perempuan dari berbagai latar belakang dan profesi untuk menjadi “duta perdamaian” yang bertugas menyebarkan pesan tentang konsiliasi dan toleransi. Metode ini disambut dengan antusias oleh perempuan Ambon, ratusan ibu-ibu dan remaja putri Kristen dan Muslim bergabung dalam kampanye ini.
Pada awalnya, anggota inti GPP terdiri dari perempuan Ambon atau Maluku dari berbagai profesi (seperti biarawati, pendeta, pegawai negeri, pejabat pemerintah, akademisi, dan pedagang), dan berlatar belakang pendidikan yang utamanya adalah perempuan pemimpin agama dan aktivis.
Pada saat itu mereka belum melibatkan para perempuan pendatang atau istri imam Muslim dan kelompok garis keras. Setelah GPP meluncurkan sebuah program yang disebut “Mengakhiri Jarak,” kelompok-kelompok ini direkrut dan terlibat dalam proses reintegrasi, resolusi konflik dan binadamai yang disponsori oleh GPP. “Mengakhiri Jarak”, menurut Sr. Brigitta, adalah sebuah program partisipatif yang bertujuan untuk menyelesaikan prasangka dengan harapan dapat memulihkan hubungan Kristen-Muslim yang rusak. Metode program bersifat partisipatif dan sukarela dengan menggunakan permainan dan menemukan makna di balik permainan.
Untuk menjalani dan merasakan kebersamaan seperti di “dunia nyata,” program ini menuntut para peserta untuk “hidup bersama” – gabungan antara perempuan Kristen dan Muslim – selama beberapa hari tinggal di tempat-tempat atau rumah yang ditentukan selama lokakarya binadamai maupun penyembuhan trauma berlangsung.
Lebih jauh dan lebih penting lagi, didorong oleh keberhasilan GPP dalam memfasilitasi kerja sama antarkelompok, pemerintah menggunakan model yang diterapkan kelompok tersebut untuk mensponsori upaya binadamai antaragama yang melibatkan kelompok milisi Kristen dan Muslim terpilih serta beberapa pemimpin agama. Gubernur Saleh Latuconsina lalu mengundang anggota inti GPP untuk mempresentasikan metode dan strategi mereka dalam membawa pihak-pihak yang bertikai ke dalam rangkaian lokakarya dan pertemuan di depan sepuluh laki-laki pemimpin agama yang peduli dengan resolusi konflik. Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid juga mempercayakan para aktivis GPP untuk mengurus “isu perempuan” di Maluku. Mungkin karena melihat upaya terobosan GPP dalam menyatukan kelompok-kelompok yang berperang, pemerintah menunjuk dua anggota kunci GPP, Pendeta Etha Hendriks dan Sr. Brigitta, untuk menjadi delegasi dalam perjanjian damai Malino II yang disponsori pemerintah pada tahun 2002. Anggota elit GPP juga termasuk di antara mereka yang menyusun persyaratan kesepakatan.
Setelah perjanjian damai, perempuan anggota kelompok agama melanjutkan kegiatan binadamai dan mensponsori ratusan lokakarya pekerja perdamaian di seluruh kepulauan Maluku, utusan perdamaian setempat yang memainkan peran kunci dalam mencegah eskalasi kekerasan komunal di wilayah tersebut. Tidak diragukan lagi, GPP memiliki dampak yang luar biasa dalam mengakhiri kekerasan di Ambon dan merupakan salah satu kisah sukses kolaborasi lintasagama di Maluku. Pengaruhnya masih bisa disaksikan di Maluku dewasa ini.
Sebagai warga asli Mindanao, Filipina Selatan, Balazo selama lebih dari dua puluh tahun dikenal sebagai pemimpin dan suara perdamaian di kawasan Asia dan Pasifik yang telah berpengalaman membantu kelompok-kelompok yang berkonflik untuk menemukan solusi yang produktif. Dengan dukungan dari Uniting Church di Australia dan Uniting World, Balazo juga menginisiasi perdamaian Young Ambassadors for Peace dengan anak muda sebagai agen perubahan di seluruh Asia dan Pasifik, termasuk di Maluku. Balazo bertindak sebagai pemimpin mereka dan bekerja dengan masyarakat setempat membangun perdamaian pasca perang dan menciptakan stabilitas.20
YAP di Maluku memiliki visi mentransformasi masyarakat lokal melalui kerja-kerja binadamai, pada awalnya terdiri dari perempuan muda dari kelompok Kristen dan Islam namun kemudian melibatkan pemuda dari kedua belah pihak, termasuk mantan anggota kelompok milisi anak, yang bersedia bekerja untuk meredakan dan membangun kerukunan antarkelompok di Maluku. Salah satu motto YAP adalah “Menciptakan perdamaian melalui jalinan pertemanan.” Pendiri YAP, Helena Rijoly-Matakupan (2011) mengungkapkan bahwa binadamai hanya dapat dicapai jika ada “dasar persahabatan, kepercayaan dan perubahan sejati dalam pikiran dan hati individu. Ini adalah fondasi yang YAP ikut menyusun batunya satu demi satu.”21 Dalam blog YAP, ia menyatakan, “Ketika kaum muda merangkul
Kami berdoa semoga bunga perdamaian damai akan merekah indah dan lilin itu akan terus menyala untuk memandu jalan menuju perdamaian.” Lokakarya MAP memang merupakan bagian penting dari upaya binadamai di Maluku yang turut berkontribusi dalam membangun lingkungan yang lebih damai saat ini.24 Mantan koordinator YAP Maluku dan seorang aktivis lintas agama, Rijoly-Matakupan (2011), selanjutnya mengatakan bahwa membangun perdamaian tidaklah cepat dan tidak mudah. Dia menyatakan, “Ada banyak upaya untuk perdamaian dan rekonsiliasi di Ambon.
Ada banyak pelatihan, seminar dan konferensi tentang perdamaian dan rekonsiliasi dengan orang Ambon. Tapi yang penting untuk membangun perdamaian sejati, adalah perjumpaan dan ikatan antara orang-orang di tingkat akar rumput dan di ruang publik. Di sinilah YAP memainkan peran penting dalam masyarakat. Anggota YAP adalah bagian dari masyarakat dan pekerjaan mereka sebagai ujung tombak perdamaian itu penting. Saat mereka berpikir, berbicara dan menghidupkan perdamaian dalam keseharian mereka, itu artinya mereka memastikan bahwa perdamaian dan rekonsiliasi terus berlanjut.” Perempuan aktivis Rijoly-Matakupan (2011) yang pernah mengecap pendidikan di Hartford Seminary memahami perdamaian sebagai proses belajar yang panjang dan berkesinambungan.
Binadamai, baginya, adalah “jalan panjang di mana rekonsiliasi, membangun kepercayaan, penyembuhan trauma, pemberdayaan masyarakat dan pengampunan, diuji berulang kali oleh provokasi, luka-luka masa lalu, kepahitan dan kesulitan hidup. Kita belajar dari setiap perjumpaan karena tidak pernah 24 http://www.unitingworld.org.au/programs/peacebuilding/ambon (diakses pada 26 Maret, 2013). ada cetak biru untuk perdamaian. Gerakan seperti YAP memberi ruang bagi perjumpaan seperti ini. Ia membantu proses pembelajaran dan membangunnya. Dengan bentrokan sektarian yang terjadi baru-baru ini [kekerasan yang pecah di Ambon pada 9 November 2011] kita ingat lagi betapa pentingnya menjaga ruang ini. Untuk melakukannya, kita perlu terus memberdayakan, mendorong dan menguatkan orang-orang yang terlibat dalam binadamai dan upaya pencegahan konflik ini.”
Kemampuan papalele, yang menjual kebutuhan sehari-hari seperti buah-buahan, sayuran, sagu, dan ikan dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain atau menggelar dagangan di tempat umum, menjangkau orang-orang dari agama Kristen dan Islam karena semua orang membutuhkan makanan sementara pasar tradisional hancur. Selama konflik komunal, papalele sering menjadi “agen perdamaian alternatif ” untuk menjembatani batas-batas dan ketegangan. Orang yang datang ke papalele tidak hanya membeli makanan tapi juga berbagi cerita dan masalah bersama, termasuk kesulitan mendapatkan makanan atau akses ke sekolah untuk anak-anak mereka selama konflik, dan bagaimana kemungkinan untuk mengakhiri kekerasan (Soegijono 2011).
Agama, Kekerasan dan Binadamai di
Nigeria: Pelajaran dari “Imam dan Pastor”
Ihsan Ali-Fauzi & Nurul Agustina
Pendahuluan
Nigeria dewasa ini adalah negara dengan penduduk terpadat di Afrika, menampung sekitar satu per enam dari seluruh penduduk benua itu. Terletak di Afrika Barat dan dengan luas kurang dari setengah Indonesia, Nigeria berpenduduk lebih dari 180 juta orang pada 2015 (lebih padat dari Indonesia). Mereka juga multietnis: ada 350 kelompok etnis (besar dan kecil) di sana, yang berbicara dalam 250 bahasa berbeda.Dari segi agama, penduduk Nigeria terbelah hampir seimbang antara Muslim, yang umumnya tinggal di wilayah utara, dan Kristen, yang umumnya tinggal di selatan. Umumnya angka-angka menyebutkan bahwa jumlah kaum Muslim di negeri ini lebih besar sekitar 10 persen dibanding umat Kristen. Namun beberapa orang, khususnya warga Kristen, menyatakan bahwa selisihnya tidak sebanyak itu. Di luar kedua agama itu, penduduk Nigeria juga menganut agama-agama tradisional Afrika dan agama-agama lainnya.
Nigeria kini dikenal sebagai salah satu negara paling rentan diguncang konflik-konflik kekerasan atas nama agama. Penyebabnya sangat kompleks.
Selain terkait demografi dan pluralisme etnis dan agama di atas, konflik-konflik kekerasan di Nigeria juga terkait dengan warisan sejarah agama dan politik di masa pra-kolonialisme Inggris dan mudahnya agama dijadikan alat mobilisasi politik para elite.
Di masa pasca-kolonial, semua warisan sejarah ini diperkeruh lagi oleh beberapa faktor lain: praktik korupsi yang akut di negara itu; ketergantungannya yang berkelanjutan kepada cadangan minyak dan gas, yang merupakan setengah GDP negara itu dan menjadikannya produsen terbesar di Afrika; dan kegagalan pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup sosial dan ekonomi semua masyarakat.
Di tengah warisan sejarah dan konteks kontemporer inilah Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye – yang juga dikenal sebagai “The Imam and The Pastor”, berkat video dokumenter yang dibuat tentang mereka – lahir dan dididik, tumbuh sebagai pemimpin milisia Muslim dan Kristen yang saling bermusuhan, lalu sama-sama bertransformasi menjadi pekerja binadamai dengan militansi agama yang sama tingginya, hingga sekarang. Terlepas dari berbagai rintangan yang mereka hadapi, kiprah dan kepeloporan keduanya kini makin memperoleh pengakuan dunia.
Tulisan ini ingin memaparkan dan mendiskusikan kisah hidup mereka, khususnya latar belakang agama, budaya dan pendidikan mereka, serta transformasi mereka dari pemimpin agama yang membenarkan aksi-aksi kekerasan atas nama agama menjadi pengecamnya. Kami juga akan memaparkan apa saja yang mereka lakukan sesudah mereka bertransformasi, khususnya lewat Pusat Mediasi Antar-Iman (Interfaith Mediation Center, IMC) yang mereka dirikan pada 1995, pendekatan dan strategi yang mereka gunakan, beserta tanggapan dunia atas langkah-langkah mereka.
Ihsan Ali-Fauzi ingin mengucapkan terima kasih kepada Irma Hidayana, Juria Runi dan Ayu Mellisa atas bantuan mereka menyiapkan bahan-bahan untuk tulisan ini. Sumber utama tulisan ini adalah dua bab mengenai Imam Ashafa dan Pastor James dalam dua volume Peacemakers in Actions, yang ditulis Staff Members of Tanenbaum Center for Inter- religious Understanding (2006 dan 2016), dan video dokumenter The Imam and the Pastor (2006). Kecuali menyangkut hal-hal khusus, rujukan kepada ketiga sumber ini tidak akan diberikan dalam pembahasan bab ini lebih jauh. Tapi sumber-sumber lain yang dirujuk akan tetap disebutkan.
Tujuan kami adalah menunjukkan tiga klaim pokok: (1) bahwa agama bisa jadi sumber baik kekerasan maupun perdamaian; (2) bahwa upaya-upaya binadamai atas nama agama memerlukan wawasan dan ketrampilan yang bisa dipelajari; dan (3) bahwa, agar cita-cita binadamai dapat berjalan dengan baik, upaya-upaya agamawan seperti Imam Ashafa dan Pastor James harus didukung oleh siapa saja, termasuk kalangan sekular. Bagi kami, Imam Ashafa dan Pastor James adalah contoh hidup dari kuatnya klaim-klaim di atas. Sebelum butir-butir ini disajikan pada bagian tengah dan akhir tulisan ini, di bawah ini kami sajikan konteks umum Nigeria terlebih dahulu, agar paparan dan diskusi mengenai Ashafa dan James lebih mudah dipahami.
Konteks : Kekerasan Agama di Nigeria
Sebelum Nigeria modern lahir, agama yang dominan di Afrika Barat adalah animisme. Pada abad ke-10, ketika Islam menarik perhatian para elite di kerajaan Borno, sekarang terletak di Nigeria Utara, penduduk pada umumnya menganut agama-agama asli Afrika. Pada abad ke-14 dan ke-15, ketika para pedagang Muslim dari klan Fulani berhasil menarik perhatian para elite di Kerajaan Hausa (yang juga klan), beberapa di antara yang terakhir mulai masuk Islam dan menyertakan unsur-unsur Islam ke dalam budaya dan administrasi pemerintahan. Tapi pengaruh Islam masih terbatas saat itu, sehingga yang muncul adalah sinkretisme antara Islam dan praktik-praktik agama tradisional Afrika.
Belakangan, pengaruh Hausa justru merosot, ditandingi tumbuhnya gerakan elite Muslim baru yang justru menggugat sinkretisme Islam yang ada. Gerakan ini memuncak pada aktivisme jihad dipimpin Usman dan Fodio pada 1804, dengan tujuan mendirikan pemerintahan Islam yang lebih murni. Perang saudara sesama Muslim ini sering juga ditafsirkan sebagai perang antara klan Fulani dan Hausa, karena pemberontakan yang mengawalinya dipimpin seorang Fulani yang tinggal di Kerajaan (klan) Hausa. Gerakan ini berhasil mencapai sasarannya, antara lain dengan mendirikan kekhalifahan Islam di Sokoto, dan pada 1830 kerajaan Muslim (dari klan) Fulani memerintah sebagian besar wilayah Nigeria Utara sekarang dan sekitarnya. Di bawah pemerintahan ini, meskipun Islam merupakan agama dominan, tidak semua penduduknya Muslim. Fase baru dan sangat menentukan dalam sejarah Nigeria dimulai dengan masuknya kolonialisme Inggris pada 1860, dimulai dari Nigeria Selatan.
Pada 1900, 40 tahun kemudian, baik Nigeria Utara maupun Selatan sudah dinyatakan sebagai wilayah protektorat Inggris. Meskipun Sokoto di Nigeria Utara berhasil ditundukkan, kekhalifahannya sendiri tidak dibubarkan, tapi dijadikan contoh kebijakan kolonial Inggris secara tidak langsung (Indirect Rule): mereka menjadi kaki-tangan Inggris yang mengelola wilayah jajahan, dengan sistem pemerintahan mereka sendiri, tapi bertanggungjawab kepada pemerintahan kolonial. Kebijakan ini terbukti efektif: Selain berhasil mengkooptasi elite dan struktur pemerintahan setempat, meskipun Islam, ongkos yang dikeluarkan pemerintahan kolonial juga tidak banyak karena kehadiran mereka secara fisik (militer) minimal saja. Namun demikian, salah satu dampak kebijakan di atas adalah pengistimewaan pemerintah kolonial atas elite politik dari klan Hausa-Fulani yang Muslim di atas kelompok minoritas etnis dan agama lainnya di Nigeria Utara.
Pemerintah kolonial bahkan menyatakan bahwa seluruh tanah jajahan akan diperintah oleh para pemimpin Hausa-Fulani, yang akan menerapkan hukum Islam (Syari`ah), sedang Kristenisasi di wilayah ini diharamkan karena dapat menimbulkan kekacauan. Kebijakan ini dirasakan sangat mendiskreditkan kelompok-kelompok non-Muslim.
Sementara itu, pemerintahan kolonial menerapkan strategi berbeda di Nigeria Selatan, karena mereka tidak menemukan sesuatu seperti elite Hausa-Fulani dan struktur pemerintahannya di wilayah ini ketika mereka mulai mendudukinya. Akibatnya, mereka harus memerintah secara langsung, dengan kehadiran militer dan administratif yang lebih besar dan lebih ajek. Pada saat yang sama, mereka mengizinkan, bahkan mendorong, aktivitas-aktivitas misionaris di Nigeria Selatan ini. Selain melakukan Kristenisasi, para misionaris bahkan menyimbolkan kehadiran pemerintahan kolonial, menyediakan sumberdaya manusia untuk tugas-tugas administratif, dan memperkenalkan pendidikan model Barat.
Dampak kebijakan kolonial di atas masih terasa hingga sekarang:
Nigeria Selatan umumnya didominasi oleh agama dan budaya Kristen dan oleh relatif tersebarnya sistem pendidikan model Barat, sementara Nigeria Utara luas didominasi agama dan budaya Islam, di mana kelompok- kelompok minoritas agama dan etnis berada di bawah pemerintahan Islam. Pada 1914, kedua wilayah utama ini dikonsolidasikan ke dalam satu unit administratif yang sama – dan unit ini terus bertahan ketika Nigeria memperoleh kemerdekaannya pada 1960.
Sejak merdeka hingga sekarang, sejarah Nigeria, yang umumnya berada di bawah pemerintahan diktator-militer, ditandai oleh maraknya konflik-konflik kekerasan yang ikut ditopang oleh pembilahan sosial dari segi agama dan etnis warisan kolonial di atas. Dan sejak partai-partai politik didirikan menyusul kemerdekaan negara itu, pembilahan sosial ini makin sering dijadikan alat mobilisasi massa oleh para politisi untuk mendulang dukungan politik.
Hal ini ikut ditunjang oleh fakta bahwa identitas etnis dan agama penduduk Nigeria sering beririsan dan fakta bahwa mereka terhitung orang-orang paling religius di dunia. Menurut Pew Forum on Religion and Public Life (2015), 92 persen penduduk Nigeria mengaku menjalankan ibadah (berdoa) setiap hari. Karenanya, tak mengherankan jika 58 persen dari mereka mengakui bahwa konflik-konflik keagamaan merupakan “masalah sangat besar” di negeri mereka, satu angka yang sangat tinggi dibanding di negara-negara Afrika lainnya. Realitas terkait konflik kekerasan berwajah agama jelas lebih kompleks dari itu (lihat bab Ihsan Ali-Fauzi dalam Pengantar Editor; atau, khusus tentang Nigeria, Ojo & Lateju, 2010).
Orang-orang yang taat beragama tidak serta merta mau dan mampu melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama mereka. Perang-perang saudara di Nigeria memang sering Sayangnya, orang-orang Nigeria juga sedikit sekali mengenal agama di luar agama mereka sendiri. Pew melaporkan, 54 persen umat Kristen menyatakan “hanya tahu sedikit atau sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai Islam” dan 63 persen umat Islam menyatakan “hanya tahu sedikit atau sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai Kristen.” Angka-angka diperoleh dari Staff Members of Tanenbaum Center for Interreligious Understanding (2016: 428). terjadi antara kelompok-kelompok Muslim dan Kristen, khususnya di dua negara bagian, Kaduna dan Plateau, di Nigeria Utara.
Tapi jelas tidak akurat untuk menisbatkan aksi-aksi kekerasan itu hanya kepada agama, tanpa mempertimbangkan faktor pembilahan sosial secara etnis, cekcok antara penduduk lokal dan pendatang, sengketa terkait tanah, kecemburuan dan konflik kelas, dan lainnya, yang dipertajam oleh sistem sosial warisan kolonialisme seperti ditunjukkan di atas. Ringkasnya, seperti disimpulkan Katherine Marshall, sarjana dan pekerja pembangunan yang sudah lama menggeluti masalah ini, dalam percakapannya dengan Imam Ashafa dan Pastor James: “[D]alam lapis demi lapis penyebab berbagai konflik di dunia, agama merupakan satu bagian dari narasi, tapi hal itu terkait dengan banyak faktor lainnya” (2011). Di Nigeria juga demikian.
Terlepas dari kompleksnya masalah di atas, yang berada di luar pembahasan tulisan ini, itulah konteks di mana Imam Ashafa dan Pastor James lahir dan dibesarkan. Sebagai pemuda, keduanya terperangkap dalam konflik-konflik kekerasan akut di negara itu, yang sering berlangsung di bawah bendera Islam dan Kristen. Keduanya berkembang menjadi pemimpin aktif organisasi-organisasi pemuda milisia yang mewakili kedua komunitas agama ini. Dan pada awal 1990-an, ketika konflik kekerasan Muslim-Kristen meledak di Kaduna, kota di mana mereka tinggal, mereka menjadi bagian penting darinya.
Menjadi Pemimpin Agama, Menjadi Militan
Terlahir dari keluarga tentara, James Wuye dibesarkan dalam tradisi “anak kolong” yang menempatkan militansi sebagai norma penting untuk bertahan hidup. Meskipun dilahirkan sebagai seorang Kristen, James muda tidak terlalu religius. Dia memang sering pergi ke gereja, “tapi hanya untuk melirik gadis-gadis yang bernyanyi di kelompok paduan suara gereja, lalu pergi bersama kawan-kawan mencari bir.” Ketika kini mengingat fase ini dalam hidupnya, Pastor James tersenyum geli dan menyatakan bahwa kawan-kawannya suka menyebutnya “coach” (pelatih) karena dia peminum alkohol yang hebat.
Tapi, suatu hari ketika di gereja, James muda mendengar khotbah pendeta dalam cara yang agak aneh – seakan khotbah itu disampaikan khusus untuknya. Tergerak oleh khotbah ini, dia memutuskan untuk menempuh jalan Yesus. Semua ini tidak membuatnya menolak cara-cara kekerasan, tapi bahkan mendorongnya menjadi Kristen militan. Dia lalu menempuh pendidikan formal hingga mendapatkan gelar master di bidang teologi di Kaduna, sebelum menjadi pendeta Pantekosta di Gereja Sidang Jemaat Allah (Assemblies of God Church) dan Wakil Presiden pada Asosiasi Pemuda Kristen Nigeria (Christian Youth Association Nigeria). Pada akhir 1970-an, dia menjadi aktivis Kristen sebelum pada 1992 bergabung dengan kelompok milisi muda Kristen.
Mengenang bagaimana dia memandang dunia pada periode itu, termasuk sikap bermusuhannya kepada kaum Muslim, James menyatakan:
Kami tidak mau berurusan sama sekali dengan kaum Muslim. Jika satu di antara mereka duduk di samping saya, saya akan pindah. Ini dibenarkan oleh kitab suci kami – “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan?” (2 Korintus 6:14).
Berbanding terbalik dengan James Wuye, Muhammad Ashafa berasal dari keluarga yang amat religius dan dengan pendidikan agama yang kuat. Ayahnya seorang pemimpin spiritual dan mufti, dan keluarganya amat bangga dengan tradisi Islam yang mereka pelihara dan sebarkan. Ashafa sejak kecil sudah mampu berbahasa Arab, bahasa Nabi Muhammad junjungannya, dan sejak muda dia sudah trampil mengajar membaca al-Qur’an kepada anak-anak. Dia memang diharapkan tumbuh sebagai seorang imam di kemudian hari.
Keluarga Ashafa mengharamkan pendidikan sekular yang umumnya dikelola orang-orang Kristen, karena mereka sangat mencurigai Kristenisasi melalui pendidikan sekular. Bagi mereka, pendidikan sekular adalah warisan kolonial yang ingin menghancurkan tradisi Islam yang mereka bela dan kembangkan. Namun Ashafa kecil pernah mencicipi sekolah dasar di Kaduna, yang interaksi antara Muslim dan Kristennya ditandai oleh sikap bermusuhan.
Pada akhir 1970-an, generasi Ashafa mengamati dengan waswas kemelut di Iran yang berujung pada revolusi. Ketika itu, Islam model Arab Saudi yang berkembang kuat di Nigeria sangat fokus pada upaya pemurnian masyarakat. Pada saat yang sama, gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir berpengaruh kuat pada anak-anak muda Muslim di Nigeria.
Berbeda dari generasi ayahnya yang lebih sufistik, generasi Ashafa lebih cenderung kepada gerakan Salafi dan sangat peduli pada unsur agama dalam praktik-praktik sosial dan politik. Kata Ashafa: “Kami mendorong agar Syariah dijadikan hukum negara. Tujuan kami adalah Islamisasi, suatu bentuk evangelisasi. Saya menjadi kordinator pemuda dari satu organisasi yang berdedikasi untuk mencegah orang-orang Kristen dari menguasai [Nigeria] Utara” (lihat Marshall 2011). Mengenang masa-masa mudanya di tengah keluarga dan lingkungan yang demikian dan kecurigaannya kepada kaum Kristen, Ashafa menyatakan:
Saya seorang aktivis Muslim ... Tujuan kami adalah mengislamkan negara ini, membawa kembali Islam seperti pada masa Usman dan Fodio dulu. Saya merasa bahwa tradisi kami sudah dicampuraduk dengan tradisi Barat, bahwa nilai-nilai pokok kami sudah dipinggirkan. Dan saya tidak dan tidak dapat memisahkan budaya Barat dari budaya Kristen.
Ringkasnya, baik James yang Kristen maupun Ashafa yang Muslim sama-sama membenci kelompok agama lain dan mereka siap menyalurkan kebencian itu ke dalam praktik. Karenanya, tak mengherankan jika keduanya kemudian menggabungkan diri ke dalam organisasi pemuda milisia berbasis Kristen dan Islam dan segera memainkan peran kepemimpinan di dalamnya. Ashafa pertama-tama bergabung dengan Jama’atu Nasril Islam (JNI), sebelum akhirnya terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Organisasi-organisasi Pemuda Muslim (National Council of Muslim Youth Organizations, NACOMYO), posisi tertinggi kedua dalam organisasi, hanya di bawah ketuanya di negara bagian Kaduna. James belakangan menduduki posisi sejenis dalam organisasi Sayap Pemuda Asosiasisi Kristen Nigeria (Youth Wing of the Christian Association of Nigeria, Youth CAN), organisasi ekumenis besar yang menggabungkan seluruh umat Katolik dan Protestan dari berbagai denominasi di Nigeria.
Dia juga aktif melatih para pemuda dalam kelompok vigilante Kristen. Mengingat latar belakang di atas, mungkin tinggal menunggu waktu saja untuk keduanya terlibat dalam medan pertempuran yang sama. Kesempatan itu tiba ketika kerusuhan di pasar Zangon Kataf pada 1992 membawa dampak dan menyebar juga ke wilayah tetangganya, Kaduna, di mana Ashafa dan James tinggal.
Tentang peristiwa 1992 ini, Ashafa mengenang: “Saya terlibat di beberapa rumah sakit, sehingga saya dapat menyaksikan orang-orang yang dibawa masuk [yakni: korban-korban Muslim yang terbunuh di Zangon Kataf]. Dan [ketika kaum Muslim Kaduna ikut berperang] saya merasa gembira bahwa kami sudah berhasil membalas dendam kami.” Di pihak seberang, James menceritakan demikian:
Pada 1992, kerusuhan di Zangon menyebar ke Kaduna. Pada mulanya mereka [kaum Muslim] bersikap selektif, [karena] mereka hanya menargetkan orang-orang Kataf. Saya sendiri [orang] Gwari. Tapi kemudian saya pergi untuk melihat apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan orang-orang [Kristen] ini – saya pergi bersama penjaga keamanan saya (bodyguards), yang saya peroleh karena posisi saya di CAN.
Peristiwa di atas memakan korban baik dari pihak James maupun Ashafa. Mereka berdua bahkan merasakannya sendiri. “Baru belakangan saya menyadari kehilangan saya: dua saudara [sepupu] dan guru saya, Sheikh Ahmad Tijani. Dia tinggal di bagian kota yang sebagian besar penduduknya Kristen. Dia guru saya, dan dia mati dibunuh,” kenang Ashafa. Sementara itu, James kehilangan satu tangannya: “[Dalam peristiwa itulah, ketika kami berperang] saya kehilangan tangan saya ketika mempertahankan gereja, dan seorang pemuda yang bekerja dengan saya meninggal dalam operasi ini.”
Selain turut menjadi korban, baik Ashafa maupun James merasakan bahwa keterlibatan mereka dalam peristiwa di atas adalah pengalaman yang sangat menentukan dan mengubah hidup mereka. Tapi proses yang terakhir ini tidak berlangsung cepat dan mudah. Berikut bagaimana Ashafa mengenang perasaannya begitu tahu bahwa James masih hidup:
Baru belakangan saja muncul kesadaran pada diri saya bahwa hal ini [terlibat dalam aksi-aksi kekerasan] tidak bisa terus berlanjut, bahwa ongkos dendam itu terlalu mahal. [Itu baru] sesudah pengalaman traumatik ini ... tapi itu hanya terjadi pada 1995. Sebelum itu, saya tahu bahwa James Wuye adalah anggota kelompok militan Kristen [Youth CAN]. Saya berharap mendengar sedikitnya bahwa James juga “lewat” [meninggal]. ... Tapi hanya tangannya saja yang hilang – mereka [kelompok Kristen] menyebutnya Tangan Emas. Saya kehilangan dua saudara dan guru saya – mengapa dia masih hidup? Jadi saya terus membawa dendam dalam hati saya. Saya merasa bahwa dendam itu penting.
Di lain pihak, James juga punya reaksi yang sama. Dia sangat marah karena kehilangan tangannya dan terus mendendam. Mengenang perasaannya kala itu, dia bercerita:
“Saya berkata pada diri saya: Jika saya menemukan anak-anak [Muslim] itu [yang memerangi kami dalam peristiwa kerusuhan itu], saya harus membunuh mereka. Latihan anak-anak [dalam kelompok bela-diri Kristen] menjadi lebih agresif – kami ingin membalas dendam kami.” Di tempat lain dia menyatakan: “Kebencian saya kepada kaum Muslim ketika itu seolah tak ada batasnya.” Hijrah dari Kekerasan ke Binadamai Tidak ada titik balik dramatis yang mengubah jalan hidup baik Imam Ashafa maupun Pastor James. Selama bertahun-tahun keduanya selalu mencari cara untuk membalaskan dendam masing-masing tanpa pernah bertatap muka langsung.
Kesempatan itu baru datang pada 1995, dalam sebuah pertemuan yang diadakan UNICEF di kediaman gubernur untuk membahas sebuah masalah kesehatan masyarakat. Pemerintah negara bagian Kaduna kala itu meminta para pemuka agama, termasuk Ashafa dan James, untuk turun tangan menghadapi isu yang tidak benar bahwa suntikan imunisasi pada masa anak-anak dapat menyebabkan kemandulan. Tentang pertemuan mereka pertama kali ini, berikut kisah Ashafa:
James dan saya hadir dalam pertemuan itu, sebagai wakil dari komunitas agama kami. Maka, jadilah kami bertemu di rumah kediaman gubernur. Tapi kami tidak bisa berkelahi di sana. Ketika tiba waktu istirahat, kami sama-sama mengambil teh. Dan pada waktu istirahat ini, seorang teman yang sama-sama kami kenal, seorang insinyur yang bekerja pada stasiun radio setempat, mengambil kedua tangan kami dan berkata: “Kalian berdua bisa menyatukan bangsa ini atau kalian bisa menghancurkannya. Berbuatlah sesuatu.” Dia meninggalkan saya di meja itu dengan musuh yang paling saya benci [James]. Kami berjabat tangan. Dan kami lalu [memutuskan] untuk mengadakan satu debat – masing-masing pihak akan menelanjangi kesalahan lawannya.
Kami sepakat untuk bertemu, tetapi di mana? Idris Musa, yang juga kawan kami berdua, menawarkan kantornya sebagai tempat untuk pertemuan pertama....
Pada titik ini, baik Imam Ashafa maupun Pastor James masih bersikeras dengan jalan kekerasan yang dibenarkan Islam dan Kristen, meskipun pertemuan di atas dan pertemuan-pertemuan berikutnya secara tak disengaja telah memberi kesempatan bagi keduanya untuk mulai menjalin hubungan, jika bukan trust, sikap saling percaya satu sama lain. Kenang Ashafa:
“Diperlukan waktu setahun untuk menyiapkan [pertemuan] itu, karena [pertama-tama] kami tidak punya trust atau keyakinan kepada satu sama lain, dan tidak ada fokus atau arah yang jelas. Tapi dalam pertemuan-pertemuan kami, kami mulai membangun rasa saling percaya di antara kami, dan persepsi kami berubah dari kemarahan kami ke kenyataan yang kami hadapi.”
Terlepas dari itu, keduanya menekankan bahwa terobosan paling penting dalam hubungan mereka terjadi karena mereka mengalami pengalaman keagamaan yang bisa disebut pengalaman pencerahan. Imam Ashafa mengalaminya lebih dulu, tidak lama sesudah dia pertama kali bertemu dengan Pastor James. Dia mengisahkan:
Saya pergi salat [Jumat], dan Imam yang ada di sana ... itu seperti dia sedang diutus hanya untuk berjumpa dengan saya. Khotbahnya mengenai aksi memaafkan, dan kebutuhan untuk memaafkan musuh-musuh kita. Dia mengutip [ayat] dari al-Qur’an, tentang bagaimana Muhammad memaafkan kaum pagan di Mekkah. Dan saya berpikir: Bagaimana saya memaafkan musuh-musuh ini? Mereka telah membunuh banyak orang – saya tidak dapat memaafkan [mereka]. Tapi jauh di lubuk hati saya, ada pemikiran yang seperti bangkit kembali bahwa Islam menyatakan saya harus memaafkan musuh-musuh saya, jika mereka tidak lagi mengancam saya. Salat berakhir, tapi di dalam hati saya masih menangis. Saya [putuskan untuk] membangun trust saya kepada James, dan mengajarkannya bahwa Islam tidak pernah mengajarkan seorang Muslim pun untuk menjadi teroris.
Saya pergi ke kantornya, di CAN. Saya Muslim pertama yang datang ke sana, dan mereka semua kaget [dengan kehadiran saya]. Tapi dia menyambut baik saya. Dan sesudah beberapa kali pertemuan, James juga datang ke kantor saya. [Beberapa orang] berkata kepada saya:
Mengapa kamu membiarkannya datang ke sini. Tapi kami terus mengadakan pertemuan-pertemuan. Beginilah caranya kami mulai membangun saling percaya di antara kami. Lalu saya datang ke rumahnya untuk pertama kali:
Ibunya [James] sakit, jadi saya datang ke sana untuk menjenguknya. Lalu, ibunya wafat. Saya merasa bahwa dia masih tidak percaya pada saya, maka saya datang dengan beberapa orang lain untuk menyampaikan duka cita. Ini membuka jalan lebih lebar. Sesudah itu, dia mulai datang ke rumah saya juga. Bagi Pastor James, perubahan sikap Imam Ashafa ini merupakan tantangan berat. Dia tersentuh oleh kebaikan yang tulus dan terus ditunjukkan oleh pesaing Muslimnya itu, tapi dia masih ragu untuk menyambutnya secara positif. Dia baru berubah total sesudah dia, seperti Imam Ashafa, juga mengalami semacam pencerahan spiritual. James menuturkan:
Pada saat dia (Imam Ashafa) dan beberapa orang Muslim lain datang mengunjungi saya ketika ibu saya ... wafat, [perasaan] saya hancur lebur. Apakah Muslim yang benar-benar jujur itu memang ada? Pendekatannya dan kekuatan hatinya, dan cinta yang dia tunjukkan ... saya tidak tahu bahwa dia mengalami pencerahan spiritual. Saya bekerja bersamanya hingga 1997, ketika saya harus pergi ke Abuja untuk satu pertemuan 700 Club [organisasi Kristen] mengenai evangelisasi Hausa-Fulani di [Nigeria] Utara dan kaum Muslim Kanuri.
Dan mereka berkata kepada saya: Bagaimana kamu menyampaikan khotbah kepada seseorang yang tidak bisa kamu cintai? Kita semua telah berdosa. Saya harus melihat seorang Muslim seperti Tuhan ingin melihat seorang Muslim, bukan seperti saya mau melihat seorang Muslim. Tuhan telah memperpanjang hidup saya – dan hilangnya kemampuan [putusnya tangan] ini bukanlah sebuah kutukan: Jika saya bisa memberi tangan saya agar perdamaian bisa diperoleh, maka saya sudah memberikannya.
Rene Garfinkel menyebut apa yang dialami Imam Ashafa dan Pastor James di atas sebagai salah satu contoh “transformasi personal” (2007: 4-5) yang turut menyiapkan keduanya untuk membangun sikap saling percaya. Hari-hari ketika mereka masih mendambakan bisa menghabisi nyawa lawannya, satu sama lain, kini telah lewat, meskipun berlangsung perlahan. Pastor James sendiri mengakui, dia memerlukan waktu tiga tahun untuk akhirnya bisa memendam habis rasa dendamnya pada Imam Ashafa dan berkomitmen sepenuhnya kepada perdamaian.
Pada tahun-tahun sebelumnya, saya belum berkomitmen sepenuhnya [pada perdamaian]. Sekarang, saya percaya sepenuhnya pada Ashafa. Dia bisa membuat keputusan atas nama saya, dan saya akan menerimanya. Dulu, ada banyak godaan: kami bekerja bersama, dan ada banyak kesempatan untuk membunuhnya – di satu proyek, jauh dari Kaduna, saya bisa mencekiknya hingga tewas ketika dia sedang tidur. Tapi ada kekuatan [kasih] itu di dalam diri saya yang mencegah saya.
Meskipun pada akhirnya berkawan dan menjalin kerjasama, bukan berarti hubungan Pastor Wuye dan Imam Ashafa berjalan mulus. Tantangan pertama datang dari masing-masing komunitas sendiri. Bagaimana pun, keduanya adalah pemimpin yang memiliki banyak umat, dengan pandangan yang beragam, mulai dari yang sekadar mempertanyakan motivasi mereka sampai yang menghujat keputusan keduanya untuk bekerjasama atau bahkan hendak membunuh mereka.
Tantangan berikutnya adalah menjaga kekompakan di antara mereka sendiri. Kadang ada juga kerikil dalam hubungan pribadi mereka berdua, yang harus mereka atasi secara hati-hati. Pastor James mengibaratkan hubungan keduanya kini seperti hubungan sepasang suami-istri, dengan para pengikut mereka sebagai anak-anak. Perpecahan di antara mereka harus disembunyikan dari “anak-anak”, karena risikonya adalah hancurnya bahtera rumah tangga.
Tantangan ini menjadi lebih berat karena keduanya bersepakat untuk tetap menghargai keyakinan agama masing-masing, karena itulah cermin nilai cinta kasih dan perdamaian sesungguhnya. “Saya berpegang teguh kepada keimanan saya. Dia [Ashafa] pun demikian. Tapi kita tetap hidup berdampingan. Muslim dan Kristen bisa terus hidup berdampingan dan tetap meraih surga yang kita dambakan,” kata Pastor James. Senada dengan itu, Imam Ashafa juga menegaskan bahwa sebagai pemimpin ribuan kaum Muslim di Nigeria, dia tidak akan mengkompromikan prinsip-prinsip Islam. Meskipun demikian, katanya, “saya akan mempertaruhkan hidup Salah satu momen menegangkan adalah ketika keduanya diancam akan dibunuh ketika mereka mengunjungi Kadarko, satu wilayah yang didominasi Kristen di negara bagian Plateau, pada 2004. Kenang Pastor James, beberapa orang dari anggota milisia Kristen bisa saja membunuh mereka jika mereka tidak dilindungi oleh seorang tentara yang memang bertugas melindungi mereka. saya untuk membela kehormatan dan harga dirinya [Pastor James], karena demikianlah yang diajarkan Islam kepada saya, dan saya akan hidup dengan memegang teguh prinsip ini.”
Forum Dialog dan Pusat Mediasi antar-Iman
Imam Ashafa dan Pastor James tidak berhenti pada diri mereka sendiri, tapi sangat aktif menyebarkan pesan-pesan damai berbasis agama ke komunitas yang lebih besar: pertama di Kaduna, lalu Nigeria, lalu Afrika, untuk kemudian dunia, hingga sekarang. Sementara pengalaman personal keduanya menjadi kekuatan utama mereka, yang menjadi sumber utama legitimasi mereka, mereka juga tidak segan mempelajari hal-hal baru yang mereka perlukan untuk mengembangkan pesan-pesan mereka. Mereka juga sadar mengenai perlunya jaringan yang dapat membantu perluasan pesan-pesan mereka.
Pada Mei 1995, Imam Ashafa dan Pastor James mendirikan Forum Dialog Pemuda Muslim-Kristen (Muslim-Christian Youth Dialogue Forum, MCYDF) di Kaduna, dengan tujuan memperkuat komitmen mereka kepada rekonsiliasi dan perdamaian, meskipun keduanya tidak memiliki latihan khusus atau latar belakang akademis dalam bidang pengelolaan konflik. Dari pengalaman, mereka menyadari bahwa anak-anak muda adalah kelompok paling rentan menjadi sasaran kampanye agama yang dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik.
Kata James: Biasanya, orang-orang tua membuat kebijakan, dan anak-anak muda yang menjalankannya. Jika ada peperangan, anak-anak muda-lah yang terlibat di dalamnya. Dengan membangun rekonsiliasi di kalangan anak-anak muda, kami ingin memastikan bahwa tidak ada orang yang nantinya pergi berperang. Itulah yang terjadi pada diri kami sendiri. Tapi sekarang kami sudah disembuhkan dari virus agresi.
Untuk memperoleh gambaran lebih lengkap mengenai mengapa dan bagaimana Imam Ashafa dan Pastor James menyelenggarakan lokakarya binadamai kepada anak-anak muda, lihat artikel mereka berdua (Ashafa & Wuye 2006: 21-24), yang juga diterbitkan dalam buku ini. Untuk ulasan menarik mengenai aspek khusus lokakarya anak-anak muda ini, lihat Piereder (2004).
... Sekarang kami bisa katakan: “Tidak lagi.” Kami mem-program ulang anak-anak muda, [tapi] masih dengan memanfaatkan agama. Dengan menjadikan anak-anak muda sebagai target utama, Imam Ashafa dan Pastor James ingin membangun “agen-agen perdamaian”.
Kini mereka sedikitnya memiliki dua pemimpin muda di tiap 36 negara bagian di Nigeria yang sudah dilatih tentang agama dan binadamai dan pengelolaan konflik. Keduanya juga sudah melatih sekitar 10.000 orang pemimpin lintas-agama mengenai mediasi antar-iman dan pengelolaan konflik. Di samping itu, pandangan keduanya mengenai binadamai menurut Islam dan Kristen sudah diterbitkan dalam buku berjudul The Pastor and the Imam – Responding to Conflict (1999).
Binadamai berbasis agama atau iman (yang lebih luas) adalah kata kunci lain dari Imam Ashafa dan Pastor James. Kembali berkaca pada pengalaman pribadi mereka, keduanya meyakini bahwa agama bisa dan harus memberi sumbangan positif bagi perdamaian dan rekonsiliasi dalam masyarakat. Mereka seringkali merujuk kepada doktrin-doktrin dan contoh-contoh dari sejarah agama, khususnya terkait cinta kasih dan pemaafan, dalam kerja mereka. “Ada banyak kesalahpahaman di antara orang-orang dari kelas yang berbeda dan di antara kelompok-kelompok etnis yang beragam, yang akarnya sangat mendalam. Hanya agama yang dapat menyatukan mereka, karena agama mengubah psyche anak-anak muda, yang biasanya dimanfaatkan sebagai tentara pembuat kerusakan,” kata Ashafa.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan keduanya akan pengetahuan dan ketrampilan pengelolaan konflik, dan atas dukungan British Council, Ashafa dan James menghadiri lokakarya khusus tentang itu pada 1996, yang diselenggarakan oleh Academic Associate Peace Work (AAPW) dan Strategic Empowerment and Mediation Agency (SEMA), satu LSM yang bergerak dalam bidang ini di Kaduna. Ashafa mulanya enggan ikut dalam acara ini, yang banyak dikelola oleh orang-orang Kristen. “Saya percaya pada James, tapi tidak orang-orang Kristen lain. Saya pertanya pada diri sendiri, ‘Siapa yang mengelola konferensi ini? Apa maksudnya?’ Saya tidak punya bayangan apa-apa tentang apa itu pengelolaan konflik atau resolusi konflik kala itu,” kenang Ashafa. Tapi akhirnya dia ikut juga, antara lain berkat dorongan Pastor James.
Kerjasama di atas berkelanjutan dan belakangan terbukti sangat penting dalam membuka jalan-jalan baru bagi James dan Ashafa. SEMA ikut membantu memperkuat MCYDF yang baru berdiri. Lebih dari itu, pada 1996 dan berkat bantuan SEMA, Ashafa dan James dapat ikut serta dalam kursus tiga bulan dengan tema “Responding to Conflict” di Federation of Selly Oak Colleges, Birmingham, Inggris. Berkat partisipasi dalam kursus-kursus ini dan rekrutmen orang-orang yang tepat yang dilakukan keduanya, MCYDF mulai berkembang kapasitasnya sebagai organisasi non-pemerintah, yang bergerak di tingkat akar rumput, dan yang mengupayakan binadamai dan resolusi konflik yang bersifat lintas-agama.
Dengan penekanan pada sumbangan perdamaian agama dan target khusus anak-anak muda, Imam Ashafa dan Pastor James memulai upaya-upaya binadamai mereka di wilayah yang mereka ketahui paling baik, Zangon Kataf. Di sini, status mereka sebagai pemimpin agama juga memudahkan jalan. Kata James: “Dengan [status] itulah kami memperoleh perhatian – karena kami pertama-tama dan yang paling utama adalah orang-orang [dari kelompok] agama. Dengan status kami sebagai pemimpin agama, kami bisa pergi ke mana saja dan mengetuk pintu siapa saja. Rekan-rekan kami yang bukan pemimpin agama tidak bisa pergi ke sana [seleluasa itu].”
Di luar itu, satu hal penting lain yang membuat Imam Ashafa dan Pastor James diterima kalangan mana saja adalah sifat kemitraan mereka yang bersifat lintas-agama. Seperti dikatakan James:
Masalah rivalitas tidak muncul [pada kami].... Saya seorang Kristen. Rekan-rekan Kristen saya tidak akan melemparkan batu kepada saya. Ashafa seorang Muslim, dan saudara-saudara Muslimnya tidak akan melemparinya dengan batu. Jadi [kemitraan] kami ini unik. Jika ada sengketa terkait tanah, kami bisa memediasinya untuk menghentikan agar situasi [yang sudah buruk] berkembang menjadi konflik kekerasan. Tidak ada LSM yang punya kemampuan untuk berbicara kepada kedua komunitas [Muslim dan Kristen], sepengetahuan saya, di Nigeria.
Sesudah langkah-langkah awal mereka di Kaduna dianggap bermanfaat, Imam Ashafa dan Pastor James mulai memperlebar aktivisme mereka ke wilayah-wilayah lain di Nigeria, terutama di Nigeria Utara. Di negara bagian Kano, misalnya, mereka menyelenggarakan pertemuan reguler antara anak-anak muda dan para pemuka agama. Mereka juga sering diundang oleh pemerintahan lokal untuk mengases risiko konflik atau menyelesaikan konflik-konflik kekerasan akibat peristiwa tertentu seperti pemilihan umum.
Sejalan dengan perkembangan-perkembangan di atas, pada 1999, kata “Pemuda” dalam nama organisasi awal mereka dihilangkan:
“Kami mengubahnya menjadi Forum Dialog Muslim-Kristen (Muslim-Christian Dialogue Forum, MCDF), dengan departemen khusus yang mengurusi anak-anak muda ... ketika kami berdua memasuki usia 40 tahun ... dan karenanya kami sendiri sudah bukan pemuda lagi,” kata Ashafa menjelaskan. Belakangan, pada 2004, nama ini pun mulai ditinggalkan dan diganti dengan Pusat Mediasi Antar-Iman (Interfaith Mediation Center, IMC), sejalan dengan titik-tekan yang kini mereka berikan kepada mediasi, yang lebih dari sekadar dialog. Sekarang, Imam Ashafa dan Pastor James lekat diasosiasikan dengan nama organisasi ini.
Selain itu dan dalam rangka memperlancar upaya bersama mereka, James dan Ashafa terus menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan konflik dan perdamaian di Nigeria: pemerintah dalam berbagai tingkatan, media massa, dan terutama pemimpin agama. Salah satu contoh capaian penting Imam Ashafa dan Pastor James terjadi pada 22 Agustus 2002, ketika mereka berhasil meyakinkan 20 pemimpin agama senior di Kaduna, masing-masing 10 dari Islam dan Kristen, untuk menandatangani Deklarasi Perdamaian Kaduna (Kaduna Peace Declaration). Gubernur Kaduna juga ikut menandatangani deklarasi itu, sambil dengan sengaja menjadikannya publik agar bisa dilihat semua pihak. Deklarasi itu menyerukan agar masing-masing pihak menahan diri dari mencaci-maki, membenci dan menghasut, apalagi melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok lain. Peristiwa ini ikut didokumentasikan pada bagian-bagian akhir film dokumenter The Imam and the Pastor.
Keduanya juga menjalin kerjasama dengan badan-badan internasional, misalnya United Institute for Peace (USIP) dan Tanenbaum Foundation di Amerika Serikat, atau British Council dari Inggris, untuk memperoleh dukungan dalam rangka penguatan kapasitas internal dan penyelenggaraan berbagai kegiatan.
Membangun kemitraan seperti di atas tidak mudah, penuh tantangan, dan memerlukan perhatian dan ketrampilan khusus. Salah satu contohnya yang menarik adalah upaya James dan Ashafa untuk memediasi konflik antara Christian Association of Nigeria (CAN) dan Jama’atu Nasril Islam (JNI), dua organisasi yang turut mereka besarkan ketika mereka masih muda, yang hingga kini masih terus berlangsung. Ashafa menjelaskan: “Ada sikap saling tidak percaya yang kuat di antara satu dan lainnya – selalu ada fobia yang menggempal di sana terhadap satu atau lain agama: Islamofobia atau fobia terhadap budaya Barat dan karenanya fobia terhadap Kristen.” Namun demikian, mengenang pengalamannya bersama Pastor James, Imam Ashafa merasa selalu ada harapan di masa depan, karena para pemimpin kedua organisasi sudah mulai bersedia mencoba hal-hal baru:
“Mereka berpikir: Kami sudah gagal, [dan] mungkin Anda bisa melakukan sesuatu yang lebih baik. Hubungan-hubungan personal di antara para pemimpin itu makin baik, meskipun sikap saling tidak percaya berbasis-komunitas masih tetap ada. Tapi sesuatu sedang berlangsung dalam arah yang positif – ada kesediaan untuk mulai memahami [orang lain],” jelas Ashafa.
Dari Nigeria untuk Dunia Apresiasi atas wawasan dan pendekatan binadamai lintas-iman Ashafa dan James tidak saja datang dari rekan-rekan mereka sesama warganegara Nigeria, tapi juga dari berbagai belahan dunia. Penekanan mereka kepada anak-anak muda dan model lokakarya yang mereka jalankan kini dicontoh di Kenya, Chad, Mesir, Sudan Utara dan Sudan Selatan, Burundi, Ghana, Sierra Leone, Lebanon, dan lainnya (Marshall 2011). Sebagai mediator lintas-iman, mereka juga diminta untuk mengadakan lokakarya binadamai misalnya di Kenya, menyusul konflik terkait pemilihan umum pada 2007, yang memakan korban lebih dari 1.000 orang dan menyebabkan ratusan orang terpaksa meninggalkan rumah. Pengakuan atas mereka juga tampak dari dipilihnya IMC sebagai tuan rumah konferensi internasional keempat dari Forum for Cities in Transition (2013), berkat inisiatif binadamai IMC di Kaduna, kota terpenting di Nigeria.
Didorong oleh apresiasi di atas dan atas saran banyak pihak, Imam Ashafa dan Pastor James mulai memanfaatkan media-media populer untuk lebih menyebarkan pesan mereka. Pada 2006, film dokumenter mengenai mereka, The Imam and the Pastor, diproduksi oleh Initiatives for Change International, yang memperoleh beberapa penghargaan internasional. Lanjutan film ini, An African Answer, diproduksi pada 2010, menggambarkan kerja-kerja Ashafa dan James di Kenya. Untuk melengkapi keduanya, David Steele sudah menulis manual bagi fasilitator mengenai kedua film ini, sehingga siapa saja dapat menonton dan mendiskusikannya sendiri (Steele 2011, bisa diunduh gratis).
Beberapa akademisi konflik kekerasan dan perdamaian menyambut baik model binadamai lintas-iman yang dikembangkan James dan Ashafa. Mereka memandangnya sebagai sumbangan penting dalam bidang binadamai berbasis agama dan memperkuat legitimasinya. Demikian, karena agama dan atmosfernya sangat kondusif khususnya bagi pernyataan apologi dan pemaafan, yang tidak selamanya mudah diperoleh di luar wacana agama (lihat Smock 2006: 38).
Selain itu, karena agama masih sangat berpengaruh, apalagi di negara seperti Nigeria, maka upaya-upaya binadamai sebaiknya melibatkan agamawan. Sementara memang tidak ada jaminan bahwa binadamai berbasis agama bisa menyelesaikan semua atau bahkan satu masalah, seperti dikatakan Garfinkel, “[a]pa yang dijamin adalah bahwa tanpanya, upaya-upaya diplomatik tidak akan bisa jalan. Agama akan terus ada di sini; mengabaikannya tidak akan membuatnya hilang” (2004: 2).
Pastor James dan Imam Ashafa pasti akan sepakat dengan pernyataan terakhir di atas. Menurut keduanya, seseorang tidak perlu menjadi religius untuk menyerukan transformasi seperti yang mereka alami. “Kita pertama-tama dan yang utama adalah manusia. Kita harus berlomba-lomba dalam [menghidupkan] nilai-nilai kejujuran, kesucian, kebersamaan, dan cinta kasih,” kata Ashafa.
Sementara banyak kritik dialamatkan kepada dialog antar-agama, yang biasanya elitis, model binadamai berbasis akar rumput yang dikembangkan Ashafa dan James dianggap terobosan sangat penting. Dengan menyasar masalah-masalah hidup anak-anak muda sehari-hari dan dengan mengajarkan resolusi konflik kepada mereka, model yang dikembangkan keduanya dapat memperkuat wawasan dan ketrampilan dasar yang berguna bagi kehidupan anak-anak muda itu di kemudian hari (Garfinkel 2004: 4-5). Dengan begitu, maka anak-anak muda ini, yang masih akan menjadi bagian dari anggota masyarakat untuk jangka waktu lama ke depan, akan dipandang oleh lingkungan mereka sebagai calon pemimpin yang memiliki otoritas moral yang lebih besar dan dengan tujuan-tujuan yang tidak sektarian dibanding yang lain (Hayward 2012: 5).
Berkat kiprah mereka di atas, Imam Ashafa dan Pastor James sudah memperoleh penghargaan dari berbagai pihak di seluruh dunia, antara lain Heroes of Peace Award (Tanenbaum Foundation, New York, 2000), Fondation Chirac Prize (Paris, 2009), Bremen Peace Award (Threshold Foundation, Bremen, 2011), Hessian Peace Price (Peace Research Institute, Frankfurt, 2013), dan lainnya. Kiprah keduanya juga sudah diakui oleh banyak lembaga yang bergerak dalam bidang riset dan advokasi binadamai di seluruh dunia, seperti Ashoka, Initiative of Change, dan Berkley Center pada Georgetown University. Keduanya juga bermitra dengan semua lembaga ini untuk mengembangkan impian mereka lebih jauh.
Karena alasan-alasan di atas juga, belakangan Imam Ashafa dan Pastor James sering diundang ke berbagai tempat untuk memberi kuliah dan diskusi mengenai agama dan binadamai. Ini kesempatan berharga bagi keduanya – dan tidak bisa diwakilkan. Mereka sadar bahwa kunci keberhasilan kerja-kerja mereka selama ini adalah contoh inspiratif kemitraan dan kebersamaan mereka dan bagaimana hal ini tumbuh dari awal yang hitam, kelam dan mematikan di Kaduna, Nigeria. Ketika ditanya bagaimana mereka mendefinisikan keberhasilan, Imam Ashafa menjawab: “Kami tahu bahwa ketika kami dulu saling berperang, 5.000 orang yang akan meninggal. Sekarang, 600 yang akan meninggal, bukan 5.000. Itu keberhasilan.”
Penutup
Dari uraian di atas, kami ingin menarik empat kesimpulan dan pelajaran. Keempat butir ini berguna dan dapat dipraktikkan oleh siapa saja di Indonesia.
Pertama, kisah hidup Imam Ashafa dan Pastor James adalah bukti nyata dan hidup klaim bahwa agama bisa menjadi baik sumberdaya kekerasan maupun perdamaian, terlepas dari apakah penyebab konflik kekerasan itu sendiri ada dalam wilayah agama atau bukan. Agama ikut memompa kebencian keduanya, tapi agama pulalah yang mendorong keduanya untuk saling memaafkan dan kemudian bekerja bersama dalam kerangka binadamai. Pengalaman Imam dan Pastor ini melibatkan proses transformasi personal, berupa hijrah dari kekerasan menuju binadamai, yang dapat dipelajari untuk mendorong berlangsungnya proses yang sama pada orang atau kelompok lain di mana saja. Dalam proses ini, kita menemukan misalnya adanya peran ajaran agama yang mendorong langkah memaafkan pihak lain, yang disampaikan oleh juru dakwah dalam khotbah Jumat di masjid atau khotbah Minggu di gereja.
Kedua, sesudah mengalami transformasi personal, Imam Ashafa dan Pastor James tidak berhenti pada diri mereka sendiri, pada perdamaian di tingkat individu masing-masing, tetapi menyebarkan apa yang kini mereka yakini ke segala tempat yang dapat mereka jangkau. Keduanya juga melembagakan pengalaman dan panggilan baru ini dalam Pusat Mediasi antar-Iman, dengan fokus perhatian pada anak-anak muda sebagai “agen-agen perdamaian”, yang menunjukkan pertimbangan yang strategis. Ini satu pilihan, dan pilihan ini bukan tanpa hambatan berarti, bahkan risiko ancaman dibunuh – sesuatu yang juga bisa dipelajari. Pilihan itu diambil karena James dan Ashafa menyadari bahwa pesan-pesan mereka tertanam dalam diri dan pengalaman mereka sendiri. Kredibilitas mereka terletak pada pengalaman mereka untuk hijrah dari kekerasan ke binadamai, yang karenanya wajib dibagi untuk menebarkan inspirasi.
Ketiga, agar mampu menjalankan dengan baik apa yang menjadi kepedulian utama mereka, sementara bekal pengetahuan dan ketrampilan mereka sangat kurang untuk itu, Pastor James dan Imam Ashafa tidak ragu, malu atau malas untuk memperkuat diri dengan terus belajar dari siapa saja – dalam usia mereka yang tidak muda lagi, dalam dalam posisi mereka sebagai pemimpin agama. Dalam rangka ini, bahkan Imam Ashafa bersedia untuk mengikuti kursus tentang pengelolaan konflik dan teknik-teknik mediasi dari orang-orang yang dulunya dia sangat benci dan curigai (dan di Inggris pula, yang kafir dan mantan penjajah). Belakangan terbukti bahwa semua pengetahuan dan ketrampilan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan mereka berdua.
Keempat, meskipun agamawan dan bekerja menyebarkan pesan-pesan agama dan perdamaian, Imam Ashafa dan Pastor James tidak mencurigai, bahkan bekerjasama, dengan kelompok-kelompok di luar agama, bahkan sekular, yang bekerja dalam bidang yang sama, dari mana saja. Inisiatif Ashafa dan James bahkan didukung dan difasilitasi oleh lembaga- lembaga seperti USIP dan British Council, atau Tanenbaum Foundation, yang merasa punya kepentingan yang sama. Belakangan terbukti bahwa kerjasama ini, dalam aspek penguatan internal sumberdaya manusia, dukungan dana bagi kegiatan tertentu, atau pengembangan jaringan, memainkan peran kunci dalam keberhasilan mereka berdua. Hikmahnya, tidak ada alasan bagi kelompok agamawan dan kelompok sekular untuk bekerjasama, sejauh yang diperjuangkan adalah kepentingan bersama.
Akhirnya, Indonesia mungkin lebih baik secara umum dari Nigeria. Karena itu, sebagian kita mungkin akan tersinggung jika disarankan agar kita belajar dari Nigeria. Tapi hidup dan kiprah Muhammad Ashafa dan James Wuye, yang kebetulan warganegara Nigeria, mengandung banyak hal yang patut dan harus dicontoh kita, warganegara Indonesia.***
Referensi
An African Answer. Disutradarai Alan Channer. 2010. London: For the Love of Tomorrow (FLT) Films. DVD.Ashafa, Imam Muhammad and Pastor James Movel Wuye. 2006. “Training Peacemakers: Religious Youth Leaders in Nigeria.” Dalam David Smock (ed.), Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not War (hlm. 21-24). Washington, DC.: United States Institute of Peace.
Dubensky, Joyce S. (ed.). 2016. Peacemakers in Action: Volume II: Profiles in Religious Peacebuilding. Cambridge: Cambridge University Press.
Garfinkel, Renee. 2004. What Works? Evaluating Interfaith Dialogue Programs.” Special Report . Washington, DC.: United States Institute of Peace. Garfinkel, Renee. 2006. Personal Transformations: Moving from Violence to Peace. Special Report. Washington, DC.: United States Institute of Peace.
Hayward, Susan. 2012. Religion and Peacebuilding: Reflections on Current Challenges and Future Prospects. Special Report. Washington, DC.: United States Institute of Peace. Little, David Little (eds.). 2006. Peacemakers in Action: Profiles of Religion in Conflict Resolution. Cambridge: Cambridge University Press.
Marshall, Katherine. 2011. “A Discussion with Pastor James Wuye and Imam Muhammad Ashafa.” Berkley Center for Religion, Peace & World Affairs at Georgetown University (31 October).
Ojo, Matthews A. dan Folaranmi T. Lateju. 2010. “Christian-Muslim Conflicts and Interfaith Bridge-Building in Nigeria.” The Review of Faith & International Affairs 8: 31-38.
Smock, David R. 2006. “Conclusion.” Dalam David R. Smock (ed.), Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not War (hlm. 35-39). Washington, DC.: United States Institute of Peace.
Smock, David R. (ed.). 2006. Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not War. Washington, DC.: United States Institute of Peace. Staff Members of Tanenbaum Center for Interreligious Understanding. 2006.
“Warriors and Brothers: Imam Muhammad Ashafa and Pastor James Wuye, Nigeria.” Dalam David Little (eds.), Peacemakers in Action: Profiles of Religion in Conflict Resolution (hlm. 247-277). Cambridge: Cambridge University Press.
“Imam dan Pastor” 69
Staff Members of Tanenbaum Center for Interreligious Understanding. 2016. “Pastor James Wuye and Imam Muhammad Ashafa, Nigeria.” Dalam Joyce
S. Dubensky (ed.), Peacemakers in Action: Volume II: Profiles in Religious Peacebuilding (hlm. 427-436). Cambridge: Cambridge University Press.
Steele, David. 2011. “A Manual to Facilitate Conversations on Religious Peacebuilding.” Washington, DC.: United States Institute of Peace.
The Imam and the Pastor. Disutradarai Alan Channer. 2006. London: For the Love of Tomorrow (FLT) Films. DVD.
Melatih Para Juru Damai:
Agamawan Muda di Nigeria
Imam Muhammad Ashafa & Pastor James Wuye
Selama dua dekade terakhir Nigeria dilanda krisis etno-religius dan sosial-politik yang menelan ribuan nyawa dan jutaan dolar harta benda. Kemarahan dan kebencian merebak. Ia umumnya dihembuskan oleh para elit, yang memanipulasi kelompok paling rentan di masyarakat Nigeria, yaitu kaum muda, agar melakukan tindakan-tindakan destruktif. Kesulitan ekonomi dan kepemimpinan yang korup juga turut mendorong kekerasan. Kelompok-kelompok milisi yang menggunakan slogan etnis atau agama begitu mudah memobilisasi kaum muda pengangguran.
Mewaspadai gelagat krisis yang berpotensi pecah pada pemilihan umum 2003, Pusat Mediasi Antar-Iman melakukan sejumlah kegiatan pencegahan. Dengan sokongan United States Institute of Peace (USIP), lembaga ini menyusun strategi proaktif untuk membantu para agamawan muda dalam menyoal dan memperbaiki stereotip, fobia, miskonsepsi, dan prasangka. Dengan demikian, perspektif tersebut dapat digantikan dengan aksi nirkekerasan, interdependensi, dan kolaborasi.
Kaduna dipilih dengan pertimbangan saksama dan strategis karena merupakan jantung kota di daerah Utara, tempat para politisi menjajal strategi politiknya. Ada istilah jika Kaduna “bersin”, maka seantero negeri pun terserang “demam.”
[ 1. Tulisan ini diterjemahkan oleh Fini Rubianti dan Irsyad Rafsadi dari artikel Imam Ashafa
dan Pastor James Wuye pada 2006, “Training Peacemakers: Religious Youth Leaders in
Nigeria”. Dalam Religious Contributions to Peacemaking: When Religion Brings Peace, Not
War, ed. David R. Smock, 25–28. Washington, DC: United States Institute of Peace.]
Peserta dipilih dengan cermat dari enam zona geopolitik Nigeria. Mereka berpengaruh di lingkungannya dan dapat berperan dalam eskalasi atau deeskalasi krisis di antara para pengikutnya. Mereka adalah komandan kelompok agama. Selain itu, politisi maupun pemuka agama pun hormat terhadap mereka. Kami harus menyelenggarakan program ini sebelum pemilihan umum untuk mencapai tujuan berikut:
• Mentransformasi agamawan muda yang sebelumnya merupakan pelopor kekerasan menjadi aktor perdamaian dengan memperkenalkan mereka keterampilan resolusi konflik;
• Meningkatkan pemahaman dan memperbaiki hubungan antara pemuda Kristen dan Muslim di level nasional;
• Membangun jaringan advokat perdamaian di kalangan agamawan muda dan memperluas dialog keagamaan ke akar rumput; serta
• Membangun struktur pemantauan dan deeskalasi konflik di enam zona geopolitik.
Orang Nigeria dikenal punya semangat keagamaan yang kuat, yang kadang sampai membuat mereka bersedia membunuh atas nama Tuhan. Namun, setelah mencermati ayat-ayat dari Alkitab maupun Al-Qur’an terkait perintah agama untuk mewujudkan perdamaian, para peserta kompak mengecam pembunuhan atas nama agama.
Format lokakarya terdiri dari dua hari dialog intra-agama, di mana umat Kristen dan umat Islam dipertemukan secara terpisah. Topik-topik yang dibahas selama sesi intra-agama meliputi: konsep tetangga, hak orang-orang kafir di kelompok agama monolitik, penghormatan terhadap minoritas agama beserta kepercayaan dan praktik ibadahnya.
Reorientasi Intra-agama
Kristen maupun Muslim berpartisipasi dalam diskusi terpisah. Pastor James Movel Wuye dan Pendeta Bitrus Dangiwa memfasilitasi sesi intra-iman untuk peserta Kristen. Sesi intra-iman ini memungkinkan peserta untuk mendiskusikan masalah dengan leluasa, mengungkapkan kekhawatiran maupun harapan mereka ketika bertemu peserta Muslim. Mereka khawatir umat Islam tidak tulus, dan akan terjadi cekcok kekerasan antara yang Kristen dan yang Muslim. Fasilitator berhasil meredakan kekhawatiran tersebut. Peserta didorong untuk mengikuti tuntunan iman mereka dengan berdasarkan buah roh kudus (pengampunan, cinta kasih, kesabaran, kedamaian, dan penghormatan).Peserta juga diimbau untuk tidak mencari kesalahan pihak Muslim, mendengarkan dengan saksama dan empati, berdialog, serta meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan pihak Kristen. Mereka juga didorong untuk mengungkapkan kebenaran dalam kasih. Pada sesi tersebut, peserta yang Kristen juga mengungkapkan keprihatinan akan umat Kristen di Nigeria. Di antaranya adalah intoleransi, masa bodoh, kurangnya cinta kasih, perselisihan antar-denominasi, keingkaran, seksionalisme, ketamakan, dominasi kelas menengah, bangga diri, kemunafikan, kefasikan, pengaruh budaya terhadap praktik keagamaan, dan kurangnya persatuan di antara umat Kristen.
Demikian halnya, para peserta dalam sesi intra-iman Muslim pun mengungkapkan kekhawatiran mereka jika pihak Kristen akan mendistorsi fakta-fakta. Mereka khawatir akan ada banyak perdebatan, kebingungan, dan kesalahpahaman yang dapat menggagalkan tujuan lokakarya.
Imam Muhammad Nurayn Ashafa dan Imam Muhammad Sani Isah meyakinkan para peserta Muslim, dan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan sebagai dalilnya. Mereka menjelaskan pentingnya dialog antar-iman dengan mengutip ayat Al-Qur’an. Selama sesi ini, para peserta Muslim mengungkapkan sejumlah persoalan yang melanda Muslim Nigeria, termasuk ketidaktahuan tentang Islam di kalangan Muslim maupun Kristen, persaingan kepemimpinan di masyarakat Muslim, putusan-putusan yang dikeluarkan di pengadilan Muslim tanpa memahami hukum syariah secara utuh, perselisihan dan permusuhan antara sesama Muslim, pengabaian terhadap ajaran Nabi, buta huruf serta kemiskinan.
Sesi Antar-agama
Untuk menginisiasi sesi antar-agama, keempat fasilitator—dua Kristen dan dua Muslim— melakukan beberapa ice-breaking, menetapkan ground-rules diskusi, dan menyepakati sejumlah hal lain; seperti meluangkan waktu untuk salat, yang tidak selalu dapat tercapai dengan mulus dalam dialog Kristen-Muslim. Untuk membantu membangun komunitas, peserta Kristen dan Muslim dipindahkan dari hotel yang terpisah ke hotel bersama dengan kamar yang berdampingan. Beberapa peserta sempat takut jika kelompok lain menyerang mereka di malam hari.
Peserta memiliki harapan yang beragam akan sesi ini—mulai dari yang sangat simplistis bahwa semua perbedaan mereka akan terselesaikan, hingga pesimisme bahwa kegiatan ini tidak akan membuahkan apa-apa. Pemuka agama senior dan pejabat pemerintah diundang untuk menghadiri sejumlah kesempatan sebagai strategi untuk mengonsolidasikan kemajuan dan mencanangkan kegiatan bersama di antara para peserta.
Teknik yang digunakan fasilitator antara lain adalah mengemukakan sentimen positif dan negatif mengenai kelompok agama lainnya, membahas miskonsepsi dan stereotip, serta mengidentifikasi langkah-langkah membangun dialog yang produktif dan berkelanjutan. Peserta Kristen menilai umat Muslim menghormati budayanya sendiri, memiliki rasa persatuan, rajin beribadat, berpandangan ke depan, dan murah hati. Sisi negatifnya, peserta Kristen menilai umat Muslim suka memaksakan kehendak pribadi, sangat agresif, malas, dan penjilat. Peserta Muslim menilai umat Kristen saling bekerjasama dengan efektif, berpandangan jauh ke depan, terorganisir dengan baik, tekun dan maju dalam hal ekonomi. Pandangan negatifnya, mereka menganggap umat Kristen sangat benci terhadap umat Muslim dan sengaja memeras mereka. Mereka juga merasa bahwa umat Kristen ‘pasti’ akan mengambil pandangan berbeda dengan umat Muslim dalam soal apa pun, dan mereka tak kenal kompromi.
Fasilitator kemudian membahas miskonsepsi dan stereotip terhadap satu sama lain. Kedua kelompok terkejut dan senang mendengar pihak lain mengatakan hal positif tentang mereka, berikut hal negatifnya. Sesi ini menghasilkan interaksi intens antara kedua kelompok, menyiapkan mereka menuju dialog yang akrab dan terbuka. Dalam dialog berikutnya, peserta mengidentifikasi beberapa prasyarat dialog yang berhasil, baik dalam pelatihan ini maupun di Nigeria pada umumnya.
• Kedua pihak harus berusaha untuk saling mempelajari ajaran dasar masing-masing.
• Mereka harus peka terhadap satu sama lain, menyasar isu sensitif dengan hati-hati, dan menghormati nilai agama masing-masing.
• Lembaga antar-iman nasional harus secara rutin mengamati isu- isu yang dapat memecah umat beragama dan memantau konflik- konflik baru.
Komunike Bersama Muslim-Kristen
Di pengujung lokakarya lintas-agama yang berlangsung selama lima hari ini, para peserta mengeluarkan komunike bersama berikut:1. Kami mengidentifikasi penyebab konflik agama di Nigeria adalah:
Kurangnya toleransi dan rasa hormat terhadap iman dan praktik ibadah masing-masing, ketidaktahuan, ketidakmampuan untuk memaafkan, kurangnya pemahaman, kurangnya dialog, rumor, keingkaran kepada Tuhan, kurangnya kesabaran dan pengendalian diri.
2. Menyatakan bahwa dalam menangani konflik, pihak Kristen maupun Muslim perlu saling mendoakan, melatih kesabaran dan pengendalian diri, saling menghargai keyakinan dan kitab suci masing-masing, bersedia memaafkan dan mengupayakan perdamaian, jujur, tulus dan saling transparan.
3. Menyarankan agar dibentuk lembaga antar-agama pusat dengan cabang di wilayah pemerintah daerah guna memantau serta mengevaluasi dialog antar-agama di Nigeria.
4. Menyatakan akan peduli dan mencintai satu sama lain sebagai saudara dan menunjukkan niat baik setiap saat.
5. Menyatakan akan mendidik dan mencerahkan pengikut masing- masing, terutama di akar rumput, mengenai ajaran sejati umat lain.
6. Menganjurkan agar umat Muslim dan Kristen terus menyampaikan dan menyebarkan agamanya masing-masing sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi Nigeria.
7. Menganjurkan agar kita menghindari kefanatikan agama dalam politik.
8. Menyatakan untuk menumbuhkan budaya non-agresi setiap saat.
9. Memutuskan untuk mempromosikan kesetaraan, kepatutan dan keadilan meski harus mengorbankan kepentingan umat masing-masing.
10. Menyerukan media untuk menghindari jurnalisme yang bias dan provokatif dan agar bersikap objektif dan jujur dalam pemberitaannya, terutama menyangkut masalah agama.
11. Menyarankan agar dibentuk unit pemantauan media antaragama.
12. Merekomendasikan untuk menerbitkan dan menyebarluaskan pedoman dialog antaragama.
13. Memutuskan untuk menghindari penggunaan bahasa yang agresif dan kasar yang terkesan mencari-cari kesalahan dan konfrontatif.
14. Mendorong pemenuhan hak asasi manusia dan penebusan kesalahan melalui kompensasi.
15. Memutuskan untuk memastikan transisi antar masyarakat sipil yang damai dan sukses pada bulan April 2003, demi kelangsungan demokrasi yang baru di Nigeria.
16. Pemuda Muslim dan Kristen menyatakan akan bekerjasama dengan pemerintah untuk menjerat dan mengungkap pelaku kekerasan atas nama agama agar diproses sesuai hukum yang berlaku.
17. Menyayangkan gagalnya petugas keamanan untuk bertindak cepat tanggap terhadap tanda peringatan dini pecahnya konflik kekerasan agama.
Beberapa peserta percaya bahwa dialog antara kaum muda Nigeria memiliki andil besar dalam mengurangi kekerasan selama dan setelah pemilu April 2003. Jumlah orang yang terkena dampak lokakarya ini jauh melampaui mereka yang berpartisipasi secara langsung. Salah seorang peserta, misalnya, masih terus membangun jaringan yang terdiri dari ribuan pengikut. Lokakarya ini akan berdampak juga pada mereka yang menjadi pengikut sang pemimpin pemuda ini. Seusai lokakarya ini, beberapa peserta mendirikan lembaga lintas-agama di kotanya, dan upaya- upaya lain telah dilakukan untuk mendorong perdamaian antaragama.
Kehadiran pers dan publisitas yang dihasilkannya di media elektronik maupun cetak juga mampu memperluas dampak tersebut. Berkurangnya tingkat permusuhan di banyak daerah rawan konflik pasca-lokakarya juga menunjukkan bahwa secara umum program ini berhasil. Selain itu, hasil positif lainnya adalah keterlibatan dan dukungan baru dari pemerintah terhadap berbagai inisiatif lintas-agama di beberapa negara bagian di Nigeria.***
BAGIAN III
AGAMA DAN BINADAMAI:
BEBERAPA KASUS DARI INDONESIA
Agamawan Perempuan untuk Binadamaidan Rekonsiliasi di Indonesia
Sumanto Al Qurtuby
Pengantar
Artikel ini membahas “agamawan perempuan” dan sumbangan mereka dalam rekonsiliasi serta binadamai di wilayah konflik di Maluku, Indonesia bagian Timur. Istilah “agamawan perempuan” merujuk kepada (1) sekelompok perempuan yang visi dan misi mereka diilhami oleh pengetahuan, wacana, dan tradisi agama; dan (2) perempuan yang aktif 1 Artikel ini pertamakali terbit sebagai “Religious Women for Peace and Reconciliation in Contemporary Indonesia,” International Journal on World Peace, Vol. 31 No. 1 (Maret 2014), hlm. 27-58. Sesudah diterjemahkan Fini Rubianti dan Fatimah Zahrah, versi terjemahan artikel ini sudah dibaca dan disunting oleh saya, Sumanto Al Qurtuby. Dalam kesempatan ini juga saya ingin menyampaikan terima kasih kepada para reviewer atas komentar mereka yang berharga terhadap naskah-naskah saya sebelumnya, dan kepada para mentor serta teman-teman: Robert Hefner, Scott Appleby, Richard Norton Augustus, Houchang Chehabi, Lisa Schirch, John Paul Lederach , David Cortright, Robert Weller, Nancy Smith-Hefner, Lawrence Yoder, John Titaley, Jacky Manuputty, dan Elifas Maspaitella.
Terima kasih juga kepada National Science Foundation dan Graduate Research Abroad Fellowship di Universitas Boston, yang menyediakan dana untuk penelitian saya sebelumnya dan studi lapangan di Maluku, juga kepada Institut Kroc untuk Studi Perdamaian Internasional di Universitas Notre Dame, yang menyediakan beasiswa penelitian yang sangat mencukupi sehingga memungkinkan saya untuk menyelesaikan artikel ini. Kelemahan yang ada di dalam artikel ini tentu saja sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya. dalam lembaga, jaringan, dan kelompok-kelompok keagamaan. Artikel ini fokus pada perempuan Muslim, Protestan, dan Katolik pekerja perdamaian serta praktisi resolusi konflik di Ambon dan daerah lain di Provinsi Maluku, yang mengalami konflik kekerasan kolektif antara Kristen dan Muslim dari 1999 hingga 2004.
Secara khusus, artikel ini akan fokus pada riset dan analisis tentang dua kelompok perempuan binadamai lintas-iman, yaitu Gerakan Perempuan Peduli (GPP) dan Young Ambassador for Peace (YAP), yang masing-masingnya memiliki ciri khas dilihat dari segi keanggotaan, filosofi, pendekatan, dan lingkup kegiatan. GPP umumnya terdiri dari ibu-ibu dan tokoh agama, ilmuwan, dan praktisi senior perempuan, sedangkan YAP terdiri dari para aktivis muda. Anggota kedua kelompok adalah perempuan Protestan, Muslim, dan Katolik. Kelompok yang pertama mewakili kisah-kisah inspiratif perempuan pencipta perdamaian antaragama pada masa konflik, sedang yang kedua mewakili usaha-usaha yang lebih mutakhir dari kelompok perempuan agama dalam rekonsiliasi, penyembuhan trauma, dan perdamaian pasca-konflik. Kedua kelompok lintas-iman ini terus berusaha menjembatani pihak-pihak yang bertikai dan terluka demi mengakhiri perselisihan lama serta menemukan jalan keluar yang produktif dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Istilah binadamai di sini bermakna serangkaian kegiatan yang bertujuan mengubah kekerasan dan ketidakadilan masif menjadi perdamaian yang adil, termasuk upaya-upaya jangka pendek untuk mengakhiri kekerasan kolektif seperti mediasi dan negosiasi (lihat Philpott dan Powers 2010). John Paul Lederach (1996), pelopor binadamai internasional, mendefinisikan binadamai sebagai upaya menyeluruh untuk mewujudukan perdamaian positif dan berkelanjutan dalam masyarakat, yang membedakannya dari “resolusi konflik” atau “pencegahan damai” (lihat Schirch 2005).
Istilah binadamai tidak hanya menggarisbawahi beragam dimensi kerja-kerja perdamaian tetapi juga sifatnya yang berkesinambungan dan jangka panjang (lihat Appleby 2000). Marshall dan Hayward (2011, 5-6) mencatat bahwa “upaya damai yang diartikan secara sempit sebagai mengajak kelompok bersenjata ke dalam proses nirkekerasan, akan gagal mengakomodasi unsur-unsur lain yang membentuk masyarakat damai.”
Dengan kata lain, definisi yang lebih luas dari perdamaian, yang seringkali diistilahkan “perdamaian positif ” (positive peace), mempertimbangkan berbagai bidang dan kegiatan – mulai dari pembangunan hingga advokasi politik – di mana perempuan berkontribusi untuk menciptakan kondisi masyarakat yang stabil dan adil. Berdasarkan definisi tersebut, perempuan-perempuan yang memberikan layanan sosial atau pendampingan terhadap mereka yang membutuhkan, yang terlibat dalam penyembuhan trauma dan rekonsiliasi, dan membantu membangun kembali “masyarakat yang rapuh” akibat kekerasan, semuanya bisa dikategorikan sebagai “pembina perdamaian” (Marshall dan Hayward 2011).
Ketika meneliti konflik Maluku, saya kaget menyadari pengabaian terhadap kontribusi kelompok perempuan dalam binadamai dan rekonsiliasi, baik oleh akademisi maupun analis kebijakan, padahal perempuan jelas memiliki peran besar dalam upaya merekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai dan mencegah terjadinya kekerasan baru, baik di Maluku atau daerah konflik lainnya di Indonesia. Dari 70 delegasi yang ikut dalam kesepakatan damai di antara orang-orang Kristen dan Muslim di Maluku, dalam Perjanjian Malino II yang didukung pemerintah, misalnya, hanya ada tiga perempuan yang terlibat dalam negosiasi formal.
Anehnya lagi, para sarjana yang fokus pada konflik Maluku juga cenderung mengesampingkan diskursus tentang aktor perempuan dan peran mereka dalam proses perdamaian. Sampai saat ini, sepengetahuan saya, dalam publikasi akademis Barat pun hampir tidak ada tulisan mengenai peran perempuan, apalagi “perempuan agamawan”, dalam binadamai dan rekonsiliasi pasca-kesepakatan di Maluku, juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia di mana kekerasan komunal antarkelompok muncul, seperti Maluku Utara, Kalimantan, Sulawesi, dan Aceh.2
Sementara2 Kurangnya penelitian tentang kontribusi perempuan agamawan dalam binadamai bukan hanya masalah yang terjadi di Maluku atau Indonesia, tapi juga merupakan masalah di ber bagai belahan dunia lain.
Faktanya keterlibatan perempuan dalam membangun perdamaian di seluruh dunia, termasuk di Maluku, kerap mengambil inspirasi dan menyandarkan diri beberapa ilmuwan sosial dan politik telah melakukan penelitian penting dan menghasilkan banyak karya mengenai kondisi dan dinamika konflik Maluku (lihat misalnya van Klinken 2001, 2007; Sidel 2006; Adam 2009; Bertrand 2002, 2004; Schulze 2002; Spyer 2002; Coppell, ed. 2006; Noorhaidi 2005; Azca 2011), tidak satu pun dari mereka yang meneliti dan menganalisis binadamai yang dilakukan oleh perempuan lintas-iman. Kontribusi mereka terhadap studi mengenai masa sebelum dan sesudah kesepakatan integrasi dan masa tenang di wilayah ini juga masih kurang substantif (bandingkan Brauchler, ed. 2009; Pariela 2008; Lange 2000). Para peneliti konflik Maluku terdahulu memberi penekanan pada peran aktor laki-laki, peran buruk ataupun baik, dan lebih tertarik pada pertanyaan “mengapa dan bagaimana konflik dimulai” dan bukan pada pertanyaan “mengapa dan bagaimana kekerasan tersebut berakhir.”
Meski demikian, terlepas dari kekosongan dalam studi akademis dan kebijakan ini, terdapat banyak contoh kelompok dan koalisi antaragama – termasuk yang didukung oleh perempuan agamawan untuk binadamai di wilayah Ambon dan kepulauan Maluku lainnya – yang mempromosikan dialog antara orang-orang dari desa-desa yang berdekatan, yang warga Kristen ataupun Muslimnya mengungsi selama pecahnya kekerasan di Maluku. pada pengetahuan, tradisi, sumber, dan jaringan keagamaan.
Lebih jauh, kerja-kerja perempuan dari komunitas keagamaan dalam mempromosikan dan membangun perdamaian juga kerap diabaikan dalam analisis, kebijakan, dan praktik. Meski peran positif para pemimpin agama dan pembangun perdamaian dalam konsiliasi (upaya memperhatikan keinginan pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai tujuan perdamaian – pent.) dan urusan publik telah mendapat perhatian lebih besar dari ilmuwan berbagai disiplin ilmu sejak dasawarsa terakhir (lihat misalnya Appleby 2000; Smock, ed. 2002; Landau 2003; Sandal 2011; Philpott 2012; Gopin 2000) sebagaimana peran perempuan dalam mempromosikan perdamaian dan rekonstruksi pascaperang (lihat misalnya Abu-Saba 1999; Bazili 2006; Hendricks dan Chivasa 2008), belum banyak perhatian yang diberikan kepada aktor perempuan agama dan dimensi agama dalam kerja-kerja perempuan untuk perdamaian. Katherine Marshall dan Susan Hayward (2011) berpendapat bahwa tidak terlihatnya keterlibatan perempuan dalam agama dan binadamai sebagian besar disebabkan oleh dominasi laki-laki dalam kepe- mimpinan dalam tradisi agama formal. Otoritas agama – dan sumber kekuasaan lainnya – masih dikendalikan oleh laki-laki. Karena itulah penelitian dan analisis terhadap agama dalam konteks konflik cenderung menekankan peran dan perspektif aktor agama laki-laki, sementara perempuan lebih sering diremehkan oleh para ilmuwan dan pembuat kebijakan.
Konflik Maluku dan Penyebabnya
Maluku yang wilayahnya membentang dari utara – kemudian menjadi provinsi Maluku Utara pada akhir tahun 1999 – dan pulau Ambon, hingga Maluku Tengah serta wilayah tenggara yang mencakup Kei, Tual, dan Tanimbar, merupakan wilayah utama konflik antaragama antara pemeluk Kristen, terutama Protestan, dan Muslim dari berbagai kelompok etnis, dari tahun 1999 sampai 2004 (lihat misalnya Pieris 2004; Wilson 2008). Pertikaian dimulai pada tanggal 19 Januari 1999, ketika umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri setelah berpuasa di bulan Ramadan. Tragedi ini dimulai di Batumerah, kawasan Muslim, salah satu wilayah padat di Ambon.
Beberapa pengamat dan analis (misalnya Bertrand 2004, van Klinken 2001) mengklaim bahwa dari semua konflik komunal yang meledak di Indonesia pasca-Soeharto, kerusuhan Maluku adalah yang paling memporakporandakan provinsi ini. Kekerasan massal mengakibatkan puluhan ribu orang mati dan luka-luka. Sekitar sepertiga dari 2,1 juta orang di Maluku saat itu terpaksa mengungsi. Banyak kantor pemerintahan di tingkat provinsi harus berjuang untuk tetap berfungsi mengingat kekerasan komunal menyebar dari Ambon ke pulau-pulau Maluku lainnya seperti Halmahera, Tobelo, Ternate, Tidore, Buru, Seram, Haruku, Saparua, Tual, Banda, dan Kei. Tak terhitung jumlah bangunan yang terbakar. Bahkan sampai saat ini, banyak bangunan yang rusak (seperti rumah, toko, kantor, tempat ibadah, dan sarana publik) yang belum dibangun kembali, “saksi bisu” dari kekerasan komunal yang pernah terjadi. Beberapa pengungsi juga belum kembali ke rumah mereka karena trauma akan tragedi tersebut atau karena tidak punya cukup uang untuk membangun kembali rumah mereka (lihat Hedman, ed. 2008).
Sebagian besar kekerasan awal yang dilakukan oleh kelompok milisi Muslim maupun Kristen, merupakan serangan berdarah terhadap daerah pemeluk agama lainnya. Konflik Maluku melibatkan aktor-aktor yang jauh dari homogen dan ditandai oleh beberapa fase yang berbeda (lihat misalnya, van Klinken 2007). Baik pelaku dan korban berasal dari orang lokal Maluku yang Muslim, Kristen, kelompok agama minoritas, pendatang dari pulau-pulau lain di Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan (Makassar dan Bugis) dan Sulawesi Tenggara (Buton dan Kendari), serta kelompok agama di luar Maluku, terutama dari Jawa.
Pada pertengahan tahun 2000, setelah ribuan milisi yang berbasis di Jawa datang ke Maluku, ditambah keterlibatan tentara dan polisi yang sebelumnya terabaikan, kekerasan berubah menjadi perang yang mengerikan dan berskala luas. Komandan kelompok jihad Muslim, terutama Laskar Jihad, menggambarkan perselisihan Maluku sebagai perang suci melawan “usaha jahat” dari “konspirasi Zionis- dengan-Kristen yang dipimpin oleh Amerika Serikat.” Selain itu, beberapa elite kelompok radikal Kristen Maluku menggambarkan kekerasan tersebut dengan cara yang sama hitam-putihnya, menyalahkan kebijakan negara yang berpihak pada kelompok Muslim di wilayah tersebut yang menyebabkan hilangnya kendali orang-orang Kristen terhadap sumber daya budaya, politik, dan ekonomi lokal (lihat misalnya ICG 2000, 2.2002; Kastor 2000; Noorhaidi 2005).
Pada pertengahan tahun 2000, setelah ribuan milisi yang berbasis di Jawa datang ke Maluku, ditambah keterlibatan tentara dan polisi yang sebelumnya terabaikan, kekerasan berubah menjadi perang yang mengerikan dan berskala luas. Komandan kelompok jihad Muslim, terutama Laskar Jihad, menggambarkan perselisihan Maluku sebagai perang suci melawan “usaha jahat” dari “konspirasi Zionis- dengan-Kristen yang dipimpin oleh Amerika Serikat.” Selain itu, beberapa elite kelompok radikal Kristen Maluku menggambarkan kekerasan tersebut dengan cara yang sama hitam-putihnya, menyalahkan kebijakan negara yang berpihak pada kelompok Muslim di wilayah tersebut yang menyebabkan hilangnya kendali orang-orang Kristen terhadap sumber daya budaya, politik, dan ekonomi lokal (lihat misalnya ICG 2000, 2.2002; Kastor 2000; Noorhaidi 2005).
Para sarjana berbeda pendapat mengenai akar permasalahan konflik Maluku, dan bagaimana pertempuran kecil di wilayah Batumerah Ambon berubah menjadi perang berskala besar di seluruh kepulauan Maluku. Ilmuwan politik Kanada Jacques Bertrand menganalisis kondisi yang meningkatkan potensi kekerasan dengan menyoroti tiga faktor utama yang menyebabkan konflik agama berubah menjadi perang agama, yaitu (1) Ketidakpastian mengenai definisi sekuler bangsa yang masih membuka peluang bagi desakan untuk menegakkan negara Islam, (2) ciri patrimonial rezim otoritarian, dan (3) transisi demokrasi yang berjalan cepat menyusul tumbangnya Suharto pada bulan Mei 1998, setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa secara otoriter. Bertrand juga berpendapat bahwa “titik kritis” perubahan politik Indonesia yang terjadi secara cepat ini memicu kerawanan hubungan antaretnis ketika bertemu dengan dua faktor sebelumnya.
Akibatnya, umat Islam dan Kristen di Ambon dan Maluku pada umumnya merasa takut kehilangan posisi dan akses terhadap sumber daya ekonomi politik. Orang-orang Muslim khawatir orang-orang Kristen akan menegaskan kembali dominasi mereka, sementara orang-orang Kristen takut status mereka tergerus di negara yang lebih cenderung mendukung mayoritas Muslim (Bertrand 2004, 114-34; 2002, 62).
Meskipun Bertrand cukup bagus dalam memahami dan menganalisa konteks kelembagaan dan periode ketika konflik etnis hampir meletus, pendekatan makro-struktural dan historis yang digunakannya menghalanginya untuk menjelaskan beberapa pertanyaan kunci seperti mengapa jenis kekerasan tertentu terjadi dan bagaimana caranya skalanya meningkat. Seakan mengisi beberapa kelemahan teori Bertrand, sarjana Belanda dalam bidang politik dan masyarakat Indonesia Gerry van Klinken (2007) melakukan studi perbandingan terhadap konflik komunal pasca-Suharto untuk membantu menjelaskan mengapa dan bagaimana kekerasan massal pecah selama transisi politik Indonesia. Van Klinken (2007) secara khusus mengkritik pendekatan kelembagaan-historis Bertrand yang menurutnya, agak berlebihan mempercayai kemampuan institusi politik dalam menentukan perilaku manusia.
Kelemahan pendekatan kelembagaan-historis ini, kata van Klinken, adalah karena pendekatan itu tidak cukup memadai untuk memahami apa yang menyebabkan “titik kritis” dan apa yang terjadi bila lembaga-lembaga tersebut gagal. Tidak seperti Bertrand yang berfokus pada analisis terhadap ciri kesejarahan dari pola dan kebijakan Orde Baru yang berperan sangat penting dalam menciptakan konflik penuh kekerasan, van Klinken (2001, 2007) lebih memberikan perhatian pada “dinamika lokal” sebagai faktor utama terjadinya kekerasan komunal dengan menekankan peran aktor-aktor elit lokal, baik di tingkat provinsi atau regional,3 yang bersaing memperebutkan sumberdaya yang langka. Bagi van Klinken, para aktor lokal ini, terdorong oleh “titik-titik kritis” transisi politik, menjadi kekuatan pendorong bagi konflik Maluku.4
3 Kesimpulan Van Klinken bahwa konflik Maluku hanyalah “fenomena lokal” hanya benar sebagian karena kerusuhan agama ini jelas merupakan fenomena trans-lokal yang melibatkan sejumlah besar aktor dari berbagai profesi. 4 Sarjana lain yang juga mencoba menjelaskan konflik Maluku adalah sosiolog George Aditjondro yang menggarisbawahi peran khusus preman, provokator, dan pasukan keamanan sebagai pelaku utama kekerasan (dalam Colombijn dan Lindblad, eds. 2002, 4-5), dan Kathleen Turner (2006) yang menekankan isu-isu nasionalisme dan identitas etnis
Secara umum, literatur tentang pembantaian di Maluku cenderung memberi bobot lebih pada ekonomi politik dan peran elit (sipil dan militer, nasional dan lokal) dan pemerintah pusat dalam mendorong kekerasan tersebut. Sementara itu isu seputar masyarakat lokal biasa, agama, identitas, dan “aspek-aspek akhirat” tidak diberi bobot yang cukup (lihat Adam 2009). Seperti yang telah saya jelaskan pada artikel lain (Sumanto 2012), dalam upaya mempelajari konflik manusia penting untuk membahas secara komprehensif (1) faktor kepemimpinan elit dan level massa dalam menyebabkan konflik dan (2) kepentingan dan motif mereka yang terlibat dalam kekerasan – apakah termotivasi dengan perhitungan instrumental dan rasional, pengaruh emosional/psikologis, atau faktor identitas. Apapun alasan dan penyebab konflik Maluku, satu hal yang jelas adalah bahwa tragedi ini adalah pertama kalinya kekerasan antaragama meletus dalam sejarah Indonesia modern dan meninggalkan luka yang masih menganga di antara umat Kristen dan Muslim Maluku. Mereka masih membutuhkan bantuan lebih lanjut untuk menyembuhkan trauma, mendamaikan kelompok yang saling bertikai, dan akhirnya membangun kepercayaan dan perdamaian.
Respon Ambigu Perempuan terhadap Konflik
Harus dicatat bahwa respon perempuan di Maluku terhadap konflik tersebut bervariasi. Beberapa perempuan - baik Kristen maupun Muslim - dengan penuh semangat mempromosikan perdamaian dan mencoba mencegah milisi-milisi agama melakukan balas dendam, sementara beberapa yang lain terlibat dalam pertempuran dan mendukung kekerasan bersama dengan laki-laki yang seagama. Kedua kelompok tersebut saling berkompetisi dalam hal diskursus dan teks keagamaan untuk mencari landasan teologis atau legitimasi agama atas tindakan mereka. Kasus Maluku menunjukkan bahwa perempuan bukan sekadar korban pasif sebagai faktor pemicu konflik di Maluku. Sementara Kristen Schultz (2002) menekankan kontribusi penting identitas keagamaan dan legitimasi yang dikibarkan oleh Laskar Jihad dalam meningkatkan konflik, Patricia Spyer (2002) menggarisbawahi peran imajinasi, media, dan agensi dalam eskalasi konflik Maluku.
dari konflik seperti yang dikatakan kebanyakan penelitian, namun juga agen aktif baik dalam kekerasan maupun perdamaian. Klaim bahwa perempuan secara alamiah lebih pro perdamaian daripada pria dan lebih rentan dalam kondisi peperangan daripada pihak lain terkadang tidak berlaku. Di beberapa masyarakat seperti pulau Bougainville, pihak paling rentan dalam situasi perang adalah orang tua dan anak-anak, yang sangat menderita akibat blokade yang dilakukan Papua Nugini hingga menutup akses terhadap obat dan makanan (lihat misalnya Charlesworth 2008; Saovana-Spriggs 2007). Perempuan tentu bisa – dan sudah – terlibat dalam perdamaian, namun mereka juga dapat menciptakan kondisi yang menciptakan konflik. Tapi ini sama sekali bukan berarti bahwa perempuan di Maluku tidak pernah menjadi sasaran kekerasan.
Keikutsertaan perempuan, baik Kristen maupun Muslim, pemuka agama maupun “kawanan umat” biasa di medan konflik Maluku tampak jelas. Di wilayah Waai pulau Ambon, misalnya, informan mengatakan kepada penulis bahwa beberapa perempuan Kristen, diorganisir oleh gereja, terlibat dalam pertempuran melawan penyerang Muslim dari desa-desa tetangga.
Seorang perempuan Kristen Waai berkata, “Bagi kami [orang Kristen], berperang melawan Muslim pada saat itu (selama konflik komunal 1999-2004) adalah bagian dari misi keagamaan. Ketika kami diserang atau dilibatkan dalam perang, kami, bersama dengan perempuan Kristen lainnya, menyanyikan lagu “Onward, Child Soldiers” sambil menabuh pengki untuk membangkitkan semangat bertempur. Dengan menyanyikan lagu ini, kami merasa bahwa kami mendapatkan “semangat baru” dan keberanian dalam menghadapi musuh [jihadis Muslim]” (lihat Patty 2006, 33). Oleh militan Kristen Ambon, selama kekacauan, “Onward, Christian Soldiers” dianggap sebagai mars perang, dan untuk membangkitkan semangat bertarung.5
Lagu yang diambil dari buku Kidung Dua Sahabat Lama atau Kidung Jemaat No. 339, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, berjudul “Maju Laskar Kristus”. Elit Kristen mendukung 5 Selain lagu Onward, Christian Soldiers, slogan seperti “I Love Yesus” (Beta Cinta Yesus) atau “Jesus is Victorious” (Yesus Berjaya) juga digunakan oleh pejuang Kristen sebagai dukungan psikologis dalam perang. pertempuran dengan para jihadis Muslim dengan menyebarkan lirik lagu tersebut di seluruh pulau Maluku melalui jaringan gereja. Informan di Ambon mengatakan kepada penulis bahwa pejuang Kristen, laki-laki atau perempuan, bergerak maju sementara koor gereja dengan penuh takzim menyanyikan “Maju Laskar Kristus” diiringi terompet.
Pagi-pagi sekali (sekitar pukul 4.30) di bulan Desember 2000, sekitar empat puluh pejuang Kristen dari Batumeja Dalam berjalan menyusuri Jalan Pattimura di kota Ambon. Mereka mengacungkan parang dan tombak dan, sekali lagi, menyanyikan versi Indonesia “Onward, Christian Soldiers.” Di depan mereka berjalan seorang perempuan muda calon pendeta Protestan dengan pakaian serba hitam membawa apa yang dia sebut “tongkat Musa” yang “dia temukan di hutan”. Informan mengatakan bahwa perempuan itu mengalami mimpi yang kemudian mendorongnya untuk memimpin kelompok tersebut. Mereka menuju ke Jalan A. J. Patty, ke dalam kawasan Muslim. Mereka menyusuri jalan pusat bisnis Ambon menuju Masjid Al-Fatah. Militer mulai beraksi, dan akhirnya tidak punya pilihan selain menembak (Bohm 2005, 113).
Tidak hanya dari pihak Kristen, beberapa perempuan Muslim juga terlibat dalam pertempuran. Hayati, seorang anggota milisi Muslim Ambon dari daerah Muslim Batumerah kota Ambon, percaya bahwa konflik Maluku adalah perang suci untuk membela agama Islam dan umat Islam dari serangan para pejuang Kristen. Ia mengatakan kepada saya bahwa dia bersama dengan pejuang Muslim perempuan dan pria lain, terlibat dalam berbagai serangan terhadap orang Kristen. Dia melakukan perjuangan jihad dan terlibat dalam medan pertempuran, katanya, demi tujuan-tujuan akhirat, didorong oleh semangat agama, bukan untuk tujuan material (duniawi). Hayati menyatakan, Ketika insiden “19 Januari” (1999) terjadi, saya sedang salat di sebuah masjid di Batumerah. Tiba-tiba ada honge [istilah di Ambon untuk situasi yang penuh keramaian dan kacau]. Orang-orang berteriak:
“Orang-orang Kristen menyerang orang-orang Muslim di Mardika.” Saya pergi meninggalkan khotbah untuk melihat kondisi suami dan anak-anak saya.
Di hari-hari berikutnya, saya melihat orang-orang Muslim dibunuh dan ditembak oleh “orang-orang Kristen Yahudi.” Rumah-rumah Muslim dibakar oleh orang-orang Kristen. Keluarga saya juga ditembak oleh pasukan Kristen di Jalan A.Y. Patty. Sejak saat itu saya terlibat dalam pertempuran. Saya memakai celana panjang dan ikat kepala putih. Teriakan “Allahu Akbar” ada di mana-mana. Saya sedih dan menangis. Saya bergerak maju dan tidak bisa mengingat apapun. Saya siap mati demi Islam dan membela agama Allah. Selama tiga tahun saya bergabung dengan Laskar Jihad dari Jawa. Saya menggunakan pisau dan senjata. Kapan pun kerusuhan terjadi saya ada di sana. Sepanjang pertempuran di Maluku, saya membunuh beberapa orang Kristen - pria dan wanita.”6
Banyak mantan kombatan perempuan dari kedua belah pihak, misalnya Baihajar Tualeka yang terkenal, yang kemudian menjadi utusan perdamaian. Beberapa di antaranya bergabung dengan kelompok perdamaian perempuan “Genuine Ambassador for Peace” (GAP), Duta Perdamaian Sejati, yang mempromosikan kerukunan antaragama dan berjuang melawan kelompok militan konservatif.7
Selama kekerasan tersebut, Tualeka membantu para jihadis Muslim membuat bom molotov dan katapel. Dia juga pergi ke medan tempur untuk berperang melawan pejuang Kristen yang pada saat itu dia anggap sebagai musuh Muslim dan simbol kejahatan. Pada awal pecahnya kekerasan komunal, Tualeka, seperti rekan sesama Muslimnya di Maluku, percaya bahwa konflik tersebut adalah perang suci untuk membela agama Allah (Islam) dan komunitas Muslim dari serangan-serangan Kristen. Dia juga percaya bahwa jika dia meninggal di medan perang, dia pasti langsung masuk surga.
Suatu hari, dia menyaksikan peristiwa mengerikan yang sepenuhnya mengalihkan pandangannya dari militansi kekerasan menjadi damai, yaitu penangkapan seorang pria oleh massa musuh. Pria itu secara brutal dipukuli sampai mati oleh massa yang marah.
Kejadian mengerikan ini membuatnya berpikir kembali tentang sifat
[6 Wawancara dengan Hayati, Ambon, 28 Desember 2010.
7 Chat online dengan Pendeta Jacky Manuputty, 6 Maret 2013.]
kekerasan agama dan motivasi agamanya ketika terlibat dalam pertikaian. Dia bertanya-tanya, jika agama yang suci menjadi inspirasi utama bagi mereka untuk terlibat dalam konflik, mengapa gerombolan orang tersebut membunuh orang tidak bersalah dengan kejam? Pemikiran kontemplatif itulah yang mendorongnya untuk mengalihkan pandangan dan tindakan brutal kepada perdamaian, dari tindakan kekerasan menjadi nirkekerasan.
Pada tahun 2002, didorong oleh keinginan dan komitmennya untuk mengakhiri pertempuran, Tualeka mendirikan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Lappan) yang bertujuan untuk melakukan upaya pemulihan pascaperang di wilayah tersebut dengan menekankan pada pendidikan dan penyuluhan bagi perempuan dan anak-anak, terutama mereka yang tinggal di kamp pengungsian. Sejak itu Tualeka dikenal luas serta dianggap sebagai salah satu aktivis kampanye perdamaian dan rekonsiliasi yang paling aktif di Maluku.
Pada bulan November 2012, sebagai buah dari kontribusinya dalam membangun perdamaian, dia dianugerahi Penghargaan Saparinah Sadli, sebuah penghargaan bergengsi di Indonesia yang diberikan kepada perempuan yang aktif mempromosikan isu perdamaian dan hak asasi manusia.8
Perempuan Antaragama untuk Binadamai
Beberapa perempuan pekerja perdamaian adalah mereka yang pernah ikut dalam pertempuran, tapi ada beberapa perempuan lain yang telah bekerja untuk perdamaian sejak konflik bermula pada 1999, dan mereka tidak pernah terlibat dalam kekerasan. Para pekerja perdamaian yang terinspirasi secara religius ini mampu berinteraksi dengan mereka yang berbeda baik secara agama maupun kultur, demi menemukan kesamaan dan cara-cara efektif dalam binadamai dan rekonsiliasi. Sebagai tanggapan atas kekerasan komunal berdarah yang terjadi di Maluku pada awal 1999, beberapa pemimpin dan aktivis perempuan Katolik, Protestan, dan Muslim mendirikan aliansi antaragama bernama Gerakan Perempuan
[8 Lihat http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/14/baihajartualeka-ex-bomb-maker-
who-campaigns-peace.html (diakses pada 21 Maret 2013).]
Peduli (GPP). GPP didirikan pada bulan Agustus 1999, setahun sebelum berdirinya Gerakan Baku Bae, kelompok binadamai yang terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat dari kedua belah pihak yang anggotanya sebagian besar didominasi oleh laki-laki.
Didirikan pada tahun 2000, Gerakan Baku Bae melakukan inisiatif lintas-komunitas yang bertujuan membangun kepercayaan, mengurangi potensi konflik, membangun kerangka kerja untuk kegiatan di Maluku, dan memperkuat struktur sosial, karena negara tidak efektif memberikan perlindungan dan bantuan (cf. Cunliffe, et al. 2009). Namun, tidak seperti GPP yang memusatkan aktivitasnya di Ambon dan daerah lain di Maluku, Gerakan Baku Bae sebagian besar menyelenggarakan pertemuan untuk menentang kelompok lintasagama di luar Maluku.
Terletak di Ambon, ibu kota provinsi Maluku sekaligus lokasi kekerasan paling parah antara Kristen dan Muslim, GPP adalah salah satu gerakan masyarakat sipil antaragama yang paling awal memulai pertemuan dan kegiatan lintas agama untuk meredakan kekerasan dan mengampanyekan perdamaian di zona konflik. Ketika kekerasan berkecamuk dalam empat tahun terakhir, GPP terlibat dalam berbagai metode upaya binadamai dan aksi nirkekerasan, mulai dari turun ke jalan, mobilisasi massa, pendidikan kewarganegaraan, pelatihan antikekerasan, dan khotbah-khotbah perdamaian, pertunjukan seni, membaca cerita, dan kumpul-kumpul antaragama. Mereka juga menunjukkan keberhasilan dalam mengimbau suami dan anak laki-laki mereka agar tidak terlibat dalam pertempuran. Tidak hanya itu, mereka juga bekerja sama dalam mengolah kampanye publikasi, konseling trauma, dan lokakarya pelatihan untuk ibu dan anak muda, dengan harapan mampu menjangkau pihak-pihak yang rentan terprovokasi.
Diinisiasi oleh kelompok perempuan Katolik dan Protestan, anggota elit GPP kemudian merekrut pemimpin dan aktivis perempuan Muslim, pada awalnya secara diam-diam, untuk bergabung dalam kelompok tersebut. Gagasan membentuk GPP datang pertama dari Sr. Francesco Moens PBHK, seorang biarawati Katolik Belanda sekaligus misionaris yang sudah bekerja di Ambon selama lebih dari lima puluh tahun, sesaat kembali dari pertemuan di Houten, Belanda, pada bulan Juni 1999. Di Belanda Sr. Francesco bergabung dengan kelompok perempuan Kristen dan Muslim Maluku yang memobilisasi massa untuk menghentikan kekerasan komunal di Maluku.
Dipengaruhi oleh gerakan ini, Sr. Francesco, didampingi oleh Sr. Getruda Yamlean, mengunjungi Wakil Gubernur Paula Renyaan, seorang Katolik dari Kepulauan Kei di Maluku Tenggara, untuk mendiskusikan kemungkinan pembentukan kelompok perdamaian perempuan antaragama. Wakil Gubernur setuju dengan gagasan Sr. Francesco, dan bersedia mengadakan pertemuan untuk membahas lebih lanjut gagasan ini. Pada tanggal 6 Agustus 1999, sepuluh suster Katolik dan pendeta perempuan Protestan bertemu untuk pertama kalinya di gedung Rinamakana milik kelompok Katolik. Dalam pertemuan awal ini mereka sepakat bahwa perempuan Muslim harus dilibatkan dalam kelompok ini.
Akhirnya, wakil gubernur menghubungi Ica Latuconsina, istri Gubernur Saleh Latuconsina, seorang Muslim dari Pelauw di Maluku Tengah, untuk mengundang perempuan Muslim bergabung dalam gerakan tersebut.
Pada bulan Agustus 1999, sebuah pertemuan diadakan di rumah gubernur di Mangga Dua, kota Ambon, dihadiri oleh secara terbatas oleh perempuan Protestan, Katolik, dan Muslim. Sebagian besar mereka berasal dari kalangan profesional kelas menengah-atas seperti akademisi, pemimpin agama, birokrat, dan praktisi resolusi konflik.9
Margaretha Hendriks-Ririmasse (dikenal dengan Etha Hendriks), seorang pendeta Protestan dan dosen Universitas Kristen Indonesia Maluku, universitas Protestan di Ambon, menggambarkan pertemuan ini sebagai berikut:
“Dalam pertemuan tersebut para peserta pada awalnya penuh ketegangan, kemarahan, dan kecurigaan. Mereka tidak mau banyak bicara satu sama lain. Mereka tampaknya percaya bahwa kelompok agama lain adalah penyebab konflik yang menyebabkan terbunuhnya sanak saudara serta terbakarnya
[9 Mereka antara lain Etha Hendriks, Ece Pattinama, Boya Rehawarin, Senda Titaley, Beth Gaspers, Ruth Rumthe (Protestan), Sr. Francesco, Sr. Brigitta, Olivia Lasol (Katolik), dan dari kalangan Muslim: Ica Latuconsina, Juul Pelu , Thum Tayib, Ena Tatuhey, Anisa Latu- consina, Rita Hayat, dan Laila (lihat Profil 1).]
rumah ibadah mereka. Pada saat itu baik komunitas Kristen maupun Muslim saling menuduh pihak lain sebagai penyebab konflik Maluku. Namun meskipun saling curiga, mereka sepakat untuk melanjutkan dan menindaklanjuti pertemuan tersebut demi rekonsiliasi umat Kristen-Muslim.10
“Sr. Brigitta Renyaan (Sr. Brigitta), seorang biarawati Katolik danpendiri gerakan ini, juga melukiskan pertemuan pertama bersejarah antara perempuan Kristen dan Muslim ini sebagai pertemuan yang “emosional, penuh tekanan, namun tetap berarti dan mendatangkan manfaat.”11
Dalam pertemuan tersebut mereka merumuskan tujuan kelompok untuk (1) berhenti berperang dan bertikai, (2) memulai dan mengembangkan serangkaian upaya binadamai, (3) meningkatkan upaya rekonsiliasi antar kelompok, dan (4) memperjuangkan hak perempuan dan anak. Untuk menindaklanjuti pertemuan pertama, kelompok perempuan agamawan ini mengadakan pertemuan kedua antara perempuan Kristen-Muslim di sebuah biara Katolik kota Ambon untuk membahas lebih lanjut tentang cara-cara mencegah konflik komunal, binadamai dan rekonsiliasi.
Selain itu, mereka memilih koordinator untuk setiap kelompok agama agar gerakan tersebut lebih efektif. Pendeta Etha Hendriks terpilih sebagai koordinator Protestan untuk GPP, sementara Sr. Brigitta untuk Katolik. Retty Assagaf, istri Muhammad Assagaf, seorang keturunan Arab asal Banda yang kemudian menjadi wakil gubernur Maluku, dipilih sebagai koordinator Muslim untuk GPP. Dalam pertemuan kedua ini, kelompok tersebut mulai berbicara tentang bagaimana membangun kampanye damai dan gerakan nirkekerasan. “Kami juga membahas bagaimana cara menyampaikan ‘suara ibu-ibu’ kepada pemerintah, pasukan keamanan, parlemen, dan mereka yang bertanggung jawab untuk diamankan di Maluku,” kata Etha Hendriks.
Selama konflik, para aktivis GPP yang mewakili orang-orang Kristen dan Muslim dari berbagai latar belakang dan profesi, mengenakan ikat kepala hijau dengan tulisan “hentikan kekerasan.” Mereka membuat
[10 Wawancara dengan Pdt. Etha Hendriks, Ambon, 30 Juli, 2010.
11 Wawancara dengan Sr. Brigitta Renyaan, Ambon, 19 Februari, 2011.]
banyak ikat kepala dari kain yang diberikan oleh istri Gubernur Saleh Latuconsina, dan membagikannya kepada orang-orang yang mereka jumpai di tempat-tempat umum (jalanan, pasar, atau perkantoran), juga di pusat penduduk Kristen dan Muslim kota Ambon seperti Mardika dan Batumerah. “Untuk mendistribusikan ikat kepala hijau ini,” Etha Hendriks menjelaskan, “kami menggunakan metode bola salju.” Dia mengatakan bahwa mereka yang memakai ikat kepala ini tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Meskipun anggota GPP diejek oleh umat Kristen dan Islam yang pro-peperangan, mereka terus berjalan. “Ada ratusan orang dan relawan memakai ikat kepala semacam ini,” kata Hendriks.
Penggunaan ikat kepala hijau, menurut Etha Hendriks dan Sr. Brigitta Renyaan, didasari oleh beberapa alasan. Pertama, filosofi hijau melambangkan “ketenangan, kesejukan, kedamaian pikiran, dan kehidupan baru,” dan kedua adalah untuk membedakan antara anggota GPP (dan aktivis pro-perdamaian lainnya) dengan pejuang Kristen dan jihadis Muslim. Selama kekerasan, pejuang Kristen mengenakan ikat kepala merah, sementara jihadis Muslim menggunakan ikat kepala putih. Dengan demikian ikat kepala warna hijau itu, Sr. Brigitta menegaskan, adalah semacam “budaya tandingan” kepada mereka yang memakai ikat kepala merah dan putih. Brigitta mengatakan, “Siapa pun yang menggunakan ikat kepala hijau, mereka adalah simbol kehidupan yang bertanggung jawab untuk menjaga kebersamaan dan mencegah kematian.”12
Setelah memobilisasi sejumlah besar warga untuk memakai ikat kepala “hentikan kekerasan”, GPP memprakarsai sebuah konsep petisi berjudul Suara Hati Perempuan (“Hati Nurani Perempuan”). Rancangan ini pertama kali dibuat oleh Pendeta Etha Hendriks, dan kemudian diedit oleh Senda Titaley, istri Pendeta Sammy Titaley, ketua muktamar gereja GPM saat itu. Rancangan tersebut menyerukan pemerintah yang berwenang untuk menghentikan kekerasan. Draf itu juga meminta orang-orang Kristen dan Muslim untuk berdamai dan mulai membangun kembali persaudaraan yang hancur karena konflik. “Dalam budaya orang Maluku,” Etha
[12 Wawancara dengan Sr. Brigitta Renyaan, Ambon, 19 Februari, 2011.]
Hendriks menyatakan, “orang Kristen dan Islam seperti saudara laki-laki dan perempuan, atau dalam istilah Ambon, sagu salempeng dipata dua yang berarti kita saling berbagi [sebagai keluarga]”. Draf tersebut juga mengingatkan berkurangnya persediaan makanan sebagai akibat dari konflik, dan menggarisbawahi bahwa kekerasan mengancam masa depan anak-anak mereka dengan rusaknya fasilitas sekolah.
Petisi tersebut disetujui dan ditandatangani oleh berbagai anggota GPP, mulai dari pedagang kecil hingga pemuka agama dan elit birokrat. Setelah penandatanganan seruan tersebut, para aktivis perdamaian perempuan itu beriringan ke kantor pemerintah provinsi untuk membaca dan menyampaikan “Nurani Perempuan” ke gubernur Maluku. Seorang perwakilan Kristen, Sarah Tapilatu, didampingi sekitar 250 perempuan, dipilih untuk membacakan tuntutan di depan gubernur (Saleh Latuconsina) dan Pangdam Pattimura (Komandan Militer Teritorial untuk Provinsi Maluku, Brigadir Jenderal Mostopo). Keesokan harinya, seorang perwakilan Muslim, Laila, pedagang kecil dari daerah Batumerah, didampingi oleh sekitar 100 perempuan Muslim, membaca “Suara Perempuan” ini di depan Gubernur Saleh.
Pembacaan petisi dilakukan secara terpisah, bertujuan untuk menghindari efek negatif yang dilancarkan oleh aliansi Kristen atau Muslim yang menentang upaya tersebut.13 Pemerintah Maluku kemudian menindaklanjuti poin-poin tersebut, termasuk seruan kepada pemerintah dan pihak berwenang untuk menghentikan kekerasan dan membangun kembali persaudaraan, yang kelak menjadi embrio kesepakatan damai yang disponsori pemerintah di Malino, Sulawesi. Tidak hanya kepada gubernur dan Komandan Militer Teritorial, anggota GPP juga membagikan dan membaca poin “Hati Nurani Perempuan” kepada walikota kota Ambon, anggota parlemen (provinsi dan kota), serta tokoh agama dan masyarakat. Mereka juga mensosialisasikan butir-butir petisi tersebut melalui radio, surat kabar, dan televisi, baik lokal maupun nasional, untuk menjangkau khalayak yang lebih luas dan meningkatkan kesadaran
[13 Memang setelah kejadian ini, perempuan Kristen dihina oleh orang Kristen pro-perang, sementara rumah Laila diancam akan dibakar oleh jihadis Muslim (lih. Amatiuddin 2004,101-09).]
masyarakat. Menyadari bahwa media memberikan dampak signifikan dalam menciptakan opini publik, GPP kemudian menerbitkan buletin Ina Tabaos14 yang mendapat sambutan hangat dari perempuan dan laki-laki Maluku.
Upaya nirkekerasan lainnya yang dilakukan oleh GPP adalah melalui kegiatan membacakan cerita dalam berbagai lokakarya dan pertemuan informal di mana orang-orang Kristen dan Muslim berbagi kisah tentang penderitaan, kelangsungan hidup, dan kesulitan hidup di masa perang. “Di Maluku,” kata Oliva Lasol, “mendongeng menjadi metode penyembuhan yang ampuh.” GPP, kemudian, membentuk sebuah pertemuan rahasia untuk anggota kelompok milisi anak-anak dari agama Kristen dan Muslim (bernama Agas untuk Kristen dan Linggis untuk Muslim15) yang terlibat kekerasan (lihat Talakua 2006), dan meminta agar berpartisipasi dalam pertunjukan seni, terutama musik dan tarian. Setiap kelompok harus mampu menyajikan lagu atau tarian khusus mereka. Pertunjukan ini berakhir dengan sebuah lagu tentang perdamaian dan persaudaraan di mana kedua kelompok bernyanyi bersama.
Pada akhir pertunjukan, mereka saling berpelukan dan menangis, menyesali tindakan kekerasan mereka sebelumnya. “Selama pertunjukan, beberapa komandan perang mengunjungi kami dan mengungkapkan kemarahan mereka,” kata Etha Hendriks.
Dia melanjutkan ceritanya, “Beberapa dari mereka berkata, ‘Mengapa Anda mengumpulkan anak-anak saya di sini untuk melakukan hal bodoh seperti ini?” Etha Hendriks kemudian menjawab, “Maaf, Pak. Mungkin beberapa dari mereka bergabung dengan Anda [sebagai milisi anak]. Tapi saya sudah meminta izin dari orang tua mereka untuk mengumpulkan mereka di sini, dan mereka memberi izin. Mereka adalah anak-anak yang memiliki masa depan dan perlu belajar. Kami
[14 Istilah Ambon, Ina Tabaos secara harfiah berarti “wanita berbicara.” Kata “ina” di Maluku
adalah panggilan yang dihormati kepada seorang perempuan.
15 Pada diskusi kelompok milisi anak melihat Talakua 2006. Peran “tentara anak” berperan
penting selama konflik Maluku. Mereka sering berada di garis depan selama serangan, dan
dimainkan sebagai pelaksana pembakaran bangunan.]
mengumpulkan mereka bukan untuk kejahatan tapi untuk kebaikan.”16 Setelah mendengar penjelasan itu, mereka pergi.
Anggota GPP terus mengadakan pertemuan bawah tanah dengan tentara anak-anak kelompok milisi. Mereka terus-menerus mendekati anak-anak untuk membujuk mereka agar berhenti bertikai. Beberapa anggota milisi akhirnya menanggapi dan kemudian menjadi “duta perdamaian,” mereka aktif melobi rekan-rekan lain untuk terlibat dalam upaya perdamaian. GPP juga melakukan berbagai lokakarya binadamai berjudul “Kebersamaan dalam Perdamaian,” dan menyediakan penyembuhan trauma untuk milisi anak-anak, mengubah kemarahan dan kebencian menjadi ketenangan dan cinta.
Selain milisi anak-anak, GPP juga memberikan bantuan untuk anak-anak dari kedua kelompok yang sudah terlepas dari konflik namun belum lepas dari trauma akibat kekerasan. Aktivis GPP juga menyediakan dana untuk membeli peralatan sekolah terutama bagi anak-anak keluarga miskin. Upaya ini membuat para anggota GPP harus mempertaruhkannya hidupnya menghadapi berbagai ancaman dari mereka yang menolak gagasan rekonsiliasi Kristen-Muslim. Teror yang menimpa mereka bermacam-macam, mulai dari ancaman pembunuhan hingga pembakaran rumah. Faktanya memang beberapa rumah anggota GPP dibakar dan diserang oleh kelompok militan.
Seorang biarawati dan guru yang berani dari sebuah sekolah Katolik, Sr. Brigitta berkata, “Suatu hari seorang komandan perang Kristen menggenggam tangan saya dan berteriak keras, “Suster,
[17 kenapa Anda berbicara tentang perdamaian, kami di sini ingin berperang?” (dikutip dalam Amiruddin 2004, 105 ). Ketersediaan personel juga merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan. Suatu hari, dia diancam ketika anak-anak akan dibawa berperang. “Mereka harus pergi berperang, mengapa Anda membawanya?” kelompok milisi tertinggi itu menantangnya. Brigitta dengan berani mengabaikan ancaman ini dan terus membimbing
16 Wawancara dengan Pdt. Etha Hendriks, Ambon, 30 Juli, 2010.
17 Suster, bukan sister (saudara perempuan dalam Bahasa Inggris), merupakan panggilan umum di Ambon untuk biarawati Katolik dan juga perawat.]
anak-anak ke tempat penampungan untuk konseling. Dalam sebuah serangan di desa Soya pada tahun 2002, Sr. Brigitta juga berdiri melawan Coker, sebuah kelompok milisi Kristen yang berbasis di Kudamati, dan pemimpinnya Berty Loupatty, yang menurut Sr Brigitta adalah dalang di balik serangan tersebut. Pada saat itu, Sr. Brigitta mengatakan, suara perempuan di kota Ambon dianggap tidak signifikan. “Orang-orang menganggap perempuan lemah sehingga apa pun yang mereka lakukan tidak berarti.
Namun, tanpa lelah kami melanjutkan misi kami untuk mendamaikan orang Kristen dan Muslim,” tegas Sr Brigitta (ibid: 102). Pada kesempatan lain di bulan Desember 1999, Sr. Brigitta mengadakan pertemuan antaragama untuk merayakan Natal dan buka puasa bersama orang Muslim. Dia juga mengundang anak yatim, baik Muslim maupun Kristen. Pada saat itu ketegangan agama di Ambon sedang memuncak. Gereja Silo dan Masjid An-Nur di pusat kota Ambon habis terbakar. Dia ingat, “Malam itu beberapa anak yatim yang mengenakan kerudung sudah siap di asrama milisi 733. Tapi orang-orang mengepung daerah itu dari berbagai penjuru, jadi mereka harus dijemput oleh kendaraan yang dipersenjatai dan diturunkan di pintu depan biara.
“ Pertemuan tersebut membuat marah anggota komunitas Kristen yang tinggal di sekitar biara. Sembari mengepung biara mereka meminta agar acara dibatalkan. Di tengah situasi yang memanas Sr. Brigitta menghadapi kerumunan dan berkata, “Silakan, jika Anda ingin mengebom kami! Biarkan kita semua mati!” Keberaniannya membuat jeri massa, dan para provokator kembali ke rumah-rumah mereka.18
Jauh sebelum pecahnya konflik Maluku pada tahun 1999, Sr. Brigitta yang lahir di Maluku Tenggara pada tahun 1953, sudah memiliki reputasi hebat sebagai Guru Katolik yang tidak melakukan diskriminasi terhadap siswa berdasarkan identitas etnoreligius mereka. Sebagai guru di Sekolah Katolik Xaverius di Ambon yang siswanya termasuk Protestan dan Muslim, Sr. Brigitta mengawasi dan mengajar siswa-siswa baik Kristen maupun
[18 http://www.1000peacewomen.org/eng/friedensfrauen_biographien_gefunden. php?WomenID=1268 (diakses pada 22 Maret, 2013).]
Muslim dalam semangat kebersamaan dan toleransi selama lebih dari satu dekade. “Ini adalah sesuatu yang saya banggakan. Bahkan sebelum kerusuhan di Maluku, saya selalu dekat dengan anak-anak Muslim dan Kristen. Saya selalu mendukung perkembangan dan kreativitas anak- anak berdasarkan nilai religius masing-masing,” kata Sr. Brigitta. Dengan demikian ketika konflik Maluku meletus, Sr. Brigitta tidak berpikir dua kali untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak dari kedua agama tersebut. “Saya akan membela anak-anak dan perempuan, dalam perang ataupun damai,” katanya.
Untuk memperluas misi damai GPP ke khalayak yang lebih besar, kelompok tersebut berkoordinasi dan bekerjasama dengan pemimpin dan organisasi sekular perempuan Maluku, termasuk asosiasi istri birokrat (Dharma Wanita) dan istri personil militer/polisi (misalnya Bhayangkari). GPP juga berkolaborasi dengan pemerintah daerah, parlemen, dan asosiasi masyarakat, terutama mengenai isu-isu pembangunan dan rekonstruksi pasca-perjanjian damai.
Dengan tujuan menjangkau perempuan dari agama Kristen dan Islam di kepulauan Maluku, para aktivis GPP mendirikan Jaringan Perempuan Maluku (Jaringan Tabaos Mahina Maluku). Melalui jaringan ini, mereka dapat melakukan berbagai kegiatan binadamai dan kampanye nirkekerasan. Anggota GPP juga merekrut relawan perempuan dari berbagai latar belakang dan profesi untuk menjadi “duta perdamaian” yang bertugas menyebarkan pesan tentang konsiliasi dan toleransi. Metode ini disambut dengan antusias oleh perempuan Ambon, ratusan ibu-ibu dan remaja putri Kristen dan Muslim bergabung dalam kampanye ini.
Pada awalnya, anggota inti GPP terdiri dari perempuan Ambon atau Maluku dari berbagai profesi (seperti biarawati, pendeta, pegawai negeri, pejabat pemerintah, akademisi, dan pedagang), dan berlatar belakang pendidikan yang utamanya adalah perempuan pemimpin agama dan aktivis.
Pada saat itu mereka belum melibatkan para perempuan pendatang atau istri imam Muslim dan kelompok garis keras. Setelah GPP meluncurkan sebuah program yang disebut “Mengakhiri Jarak,” kelompok-kelompok ini direkrut dan terlibat dalam proses reintegrasi, resolusi konflik dan binadamai yang disponsori oleh GPP. “Mengakhiri Jarak”, menurut Sr. Brigitta, adalah sebuah program partisipatif yang bertujuan untuk menyelesaikan prasangka dengan harapan dapat memulihkan hubungan Kristen-Muslim yang rusak. Metode program bersifat partisipatif dan sukarela dengan menggunakan permainan dan menemukan makna di balik permainan.
Untuk menjalani dan merasakan kebersamaan seperti di “dunia nyata,” program ini menuntut para peserta untuk “hidup bersama” – gabungan antara perempuan Kristen dan Muslim – selama beberapa hari tinggal di tempat-tempat atau rumah yang ditentukan selama lokakarya binadamai maupun penyembuhan trauma berlangsung.
Setelah mendengar kegiatan GPP, Majelis Nasional Gereja Bersatu di Australia, yang berpengalaman dalam menangani konflik di Kepulauan Solomon dan daerah-daerah yang dilanda perang lainnya, tertarik untuk memfasilitasi pihak-pihak yang bertikai untuk bertemu dan menyelesaikan konflik, serta mulai berbicara tentang solusi damai. GPP, dengan dukungan dari Gereja Bersatu, mengadakan lokakarya pelatihan lima hari untuk anggota kelompok garis keras, baik Kristen maupun Muslim. Masing- masing kelompok terdiri dari sepuluh perempuan. Berlokasi di desa
Wayame yang bebas dari perang di pantai Teluk Ambon, lokakarya awal ini ditujukan untuk “tinggal, bekerja, dan bermain bersama” di antara kelompok yang bertikai. “Awalnya, mereka menolak tidur bersama karena takut diserang atau dibunuh. Tetapi kemudian mereka mulai berbicara satu sama lain,” jelas anggota GPP Oliva Lasol.19 Setelah pelatihan ini, GPP mengadakan pertemuan kedua dengan para korban di Karang Panjang di atas bukit kota Ambon. Pada pertemuan ketiga, GPP melibatkan laki-laki dan perempuan dari komunitas Kristen dan Muslim. Mereka juga meminta pemimpin agama moderat untuk memfasilitasi pertemuan tersebut.
Dengan berbagai lokakarya dan kegiatan, alumni program GPP mencapai ratusan keanggotaan, yang masing-masing menjadi “utusan perdamaian” di desa mereka sendiri. Alumni dari pelatihan GPP kemudian menjangkau lebih banyak anggota yang menjadi “utusan perdamaian” di desanya
[19 Wawancara dengan Oliva Lasol, Ambon, 12 Agustus, 2010.]
masing-masing. Para alumni pelatihan GPP ini selanjutnya membangun jaringan sosial untuk saling membantu dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian, menenangkan para milisi, serta meredam konflik lokal agar tidak meluas ke wilayah lain.
Dengan menjembatani jarak antara penganut Kristen dan Muslim serta melibatkan anggota milisi dalam serangkaian pertemuan informal, GPP mempengaruhi pemimpin laki-laki di Maluku untuk membawa pejuang lokal ke dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang mendukung kesepakatan damai dan rekonsiliasi.
Lebih jauh dan lebih penting lagi, didorong oleh keberhasilan GPP dalam memfasilitasi kerja sama antarkelompok, pemerintah menggunakan model yang diterapkan kelompok tersebut untuk mensponsori upaya binadamai antaragama yang melibatkan kelompok milisi Kristen dan Muslim terpilih serta beberapa pemimpin agama. Gubernur Saleh Latuconsina lalu mengundang anggota inti GPP untuk mempresentasikan metode dan strategi mereka dalam membawa pihak-pihak yang bertikai ke dalam rangkaian lokakarya dan pertemuan di depan sepuluh laki-laki pemimpin agama yang peduli dengan resolusi konflik. Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid juga mempercayakan para aktivis GPP untuk mengurus “isu perempuan” di Maluku. Mungkin karena melihat upaya terobosan GPP dalam menyatukan kelompok-kelompok yang berperang, pemerintah menunjuk dua anggota kunci GPP, Pendeta Etha Hendriks dan Sr. Brigitta, untuk menjadi delegasi dalam perjanjian damai Malino II yang disponsori pemerintah pada tahun 2002. Anggota elit GPP juga termasuk di antara mereka yang menyusun persyaratan kesepakatan.
Setelah perjanjian damai, perempuan anggota kelompok agama melanjutkan kegiatan binadamai dan mensponsori ratusan lokakarya pekerja perdamaian di seluruh kepulauan Maluku, utusan perdamaian setempat yang memainkan peran kunci dalam mencegah eskalasi kekerasan komunal di wilayah tersebut. Tidak diragukan lagi, GPP memiliki dampak yang luar biasa dalam mengakhiri kekerasan di Ambon dan merupakan salah satu kisah sukses kolaborasi lintasagama di Maluku. Pengaruhnya masih bisa disaksikan di Maluku dewasa ini.
Meskipun GPP sudah tidak lagi eksis, kegiatan untuk mempromosikan perdamaian dan kerukunan antaragama di Ambon pasca perang terus berlanjut, terutama diprakarsai oleh, antara lain, kelompok antaragama Young Ambassadors for Peace (YAP). Di bawah pengawasan anggota GPP, YAP yang anggota intinya termasuk Syakiah Samal, Onya Ely, Erni Belu, dan Helena Rijoly-Matakupan, melanjutkan usaha GPP dalam mempromosikan reunifikasi antaragama dan pencegahan konflik. Pembentukan YAP adalah buah dari kerjasama antara GPP, Uniting Church di Australia, dan praktisi resolusi konflik Joy Balazo.
Sebagai warga asli Mindanao, Filipina Selatan, Balazo selama lebih dari dua puluh tahun dikenal sebagai pemimpin dan suara perdamaian di kawasan Asia dan Pasifik yang telah berpengalaman membantu kelompok-kelompok yang berkonflik untuk menemukan solusi yang produktif. Dengan dukungan dari Uniting Church di Australia dan Uniting World, Balazo juga menginisiasi perdamaian Young Ambassadors for Peace dengan anak muda sebagai agen perubahan di seluruh Asia dan Pasifik, termasuk di Maluku. Balazo bertindak sebagai pemimpin mereka dan bekerja dengan masyarakat setempat membangun perdamaian pasca perang dan menciptakan stabilitas.20
YAP di Maluku memiliki visi mentransformasi masyarakat lokal melalui kerja-kerja binadamai, pada awalnya terdiri dari perempuan muda dari kelompok Kristen dan Islam namun kemudian melibatkan pemuda dari kedua belah pihak, termasuk mantan anggota kelompok milisi anak, yang bersedia bekerja untuk meredakan dan membangun kerukunan antarkelompok di Maluku. Salah satu motto YAP adalah “Menciptakan perdamaian melalui jalinan pertemanan.” Pendiri YAP, Helena Rijoly-Matakupan (2011) mengungkapkan bahwa binadamai hanya dapat dicapai jika ada “dasar persahabatan, kepercayaan dan perubahan sejati dalam pikiran dan hati individu. Ini adalah fondasi yang YAP ikut menyusun batunya satu demi satu.”21 Dalam blog YAP, ia menyatakan, “Ketika kaum muda merangkul
[20 Informasi mengenai Joy Balazo dapat dilihat melalui http://firstfridayletter.world- methodistcouncil.org/2012/09/joy-balazo-to-recieve-world-methodist-peace-award (diak- ses pada 25 Maret, 2013).
21 http://unitingworld.org.au/blogs/the-long-journey-of-peace-in-ambon (diakses padaorang lain sebagai teman dan saudara, kedamaian akan terus menguat di daerah ini. Kami ingin menyebarkan perdamaian lebih lanjut.”22]
Pendeta Etha Hendriks mengatakan bahwa YAP adalah “keturunan GPP yang terus melanjutkan kegiatan perdamaian pasca perang hingga saat ini.”
“Kami percaya,” kata Hendriks, “bahwa kegiatan kami mampu membangun kesadaran masyarakat akan penting dan indahnya perdamaian dan kebersamaan.”23 Pada tanggal 10-15 April 2010, saya menghadiri sebuah lokakarya berjudul Workshop Binadamai bagi Raja-Raja Se-Pulau Ambon di Negeri Rumahtiga di Ambon. Dihadiri oleh perwakilan raja (kepala desa) Kristen dan Muslim (kepala desa) dan lurah di seluruh Pulau Ambon, lokakarya ini didukung oleh Majelis Nasional Uniting Church di Australia bekerja sama dengan YAP. Difasilitasi oleh Joy Balazo dan anggota GPP, lokakarya ini terbukti sangat bermanfaat dilihat dari keluaran maupun interaksi sosial yang dihasilkan. Para peserta – orang Kristen dan Muslim – tinggal bersama di asrama lima hari selama pelatihan binadamai intensif. Menjelang akhir pelatihan, mereka berjanji untuk melanjutkan usaha rekonsiliasi dan menjaga stabilitas di tingkat desa.
“Kami percaya,” kata Hendriks, “bahwa kegiatan kami mampu membangun kesadaran masyarakat akan penting dan indahnya perdamaian dan kebersamaan.”23 Pada tanggal 10-15 April 2010, saya menghadiri sebuah lokakarya berjudul Workshop Binadamai bagi Raja-Raja Se-Pulau Ambon di Negeri Rumahtiga di Ambon. Dihadiri oleh perwakilan raja (kepala desa) Kristen dan Muslim (kepala desa) dan lurah di seluruh Pulau Ambon, lokakarya ini didukung oleh Majelis Nasional Uniting Church di Australia bekerja sama dengan YAP. Difasilitasi oleh Joy Balazo dan anggota GPP, lokakarya ini terbukti sangat bermanfaat dilihat dari keluaran maupun interaksi sosial yang dihasilkan. Para peserta – orang Kristen dan Muslim – tinggal bersama di asrama lima hari selama pelatihan binadamai intensif. Menjelang akhir pelatihan, mereka berjanji untuk melanjutkan usaha rekonsiliasi dan menjaga stabilitas di tingkat desa.
Agar semakin banyak “utusan perdamaian” yang menjangkau masyarakat secara lebih luas, tidak hanya terbatas pada perempuan, YAP menggagas Duta Perdamaian Maluku (MAP), yang diselenggarakan di enam wilayah provinsi Maluku, yang masing-masing memiliki Koordinator Lapangan dan tiga anggota komite. Berbasis di kota Ambon, MAP bekerja melalui kelompok relawan Kristen dan Muslim yang memiliki komitmen kuat. Selama sepuluh tahun terakhir, YAP dan MAP telah menyelenggarakan lebih dari 23 lokakarya penyembuhan dan pemulihan trauma di Maluku.
Pada awalnya, peserta lokakarya terdiri dari perempuan dan remaja kedua komunitas agama, namun sekarang mereka termasuk laki-laki dari berbagai latar belakang dan profesi. Selain belajar tentang perdamaian dan terlibat dalam berbagai kegiatan, para peserta jelas terdampak oleh lokakarya
[25 Maret, 2013).
22 http://yapmaluku.blogspot.com/2006_02_01_archive.html (diakses: 25 Maret, 2013).
23 Wawancara dengan Pdt. Etha Hendriks, Ambon, 30 Juli, 2010.]
tersebut. Helena Rijoly-Matakupan (2011), seorang aktivis YAP dan seorang anggota gereja Pantekosta, mengatakan, “Pada akhir setiap lokakarya, kami mengadakan ‘malam komitmen’ di mana kami membuat janji untuk berkomitmen pada kampanye damai menggunakan lambang batu, kayu, bunga, dan lilin. Hampir sepanjang acara kami berdoa sambil menangis agar kami dikuatkan seperti batu dan mampu mengorbankan diri kita demi perdamaian seperti kayu yang terbakar di api.
Kami berdoa semoga bunga perdamaian damai akan merekah indah dan lilin itu akan terus menyala untuk memandu jalan menuju perdamaian.” Lokakarya MAP memang merupakan bagian penting dari upaya binadamai di Maluku yang turut berkontribusi dalam membangun lingkungan yang lebih damai saat ini.24 Mantan koordinator YAP Maluku dan seorang aktivis lintas agama, Rijoly-Matakupan (2011), selanjutnya mengatakan bahwa membangun perdamaian tidaklah cepat dan tidak mudah. Dia menyatakan, “Ada banyak upaya untuk perdamaian dan rekonsiliasi di Ambon.
Ada banyak pelatihan, seminar dan konferensi tentang perdamaian dan rekonsiliasi dengan orang Ambon. Tapi yang penting untuk membangun perdamaian sejati, adalah perjumpaan dan ikatan antara orang-orang di tingkat akar rumput dan di ruang publik. Di sinilah YAP memainkan peran penting dalam masyarakat. Anggota YAP adalah bagian dari masyarakat dan pekerjaan mereka sebagai ujung tombak perdamaian itu penting. Saat mereka berpikir, berbicara dan menghidupkan perdamaian dalam keseharian mereka, itu artinya mereka memastikan bahwa perdamaian dan rekonsiliasi terus berlanjut.” Perempuan aktivis Rijoly-Matakupan (2011) yang pernah mengecap pendidikan di Hartford Seminary memahami perdamaian sebagai proses belajar yang panjang dan berkesinambungan.
Binadamai, baginya, adalah “jalan panjang di mana rekonsiliasi, membangun kepercayaan, penyembuhan trauma, pemberdayaan masyarakat dan pengampunan, diuji berulang kali oleh provokasi, luka-luka masa lalu, kepahitan dan kesulitan hidup. Kita belajar dari setiap perjumpaan karena tidak pernah 24 http://www.unitingworld.org.au/programs/peacebuilding/ambon (diakses pada 26 Maret, 2013). ada cetak biru untuk perdamaian. Gerakan seperti YAP memberi ruang bagi perjumpaan seperti ini. Ia membantu proses pembelajaran dan membangunnya. Dengan bentrokan sektarian yang terjadi baru-baru ini [kekerasan yang pecah di Ambon pada 9 November 2011] kita ingat lagi betapa pentingnya menjaga ruang ini. Untuk melakukannya, kita perlu terus memberdayakan, mendorong dan menguatkan orang-orang yang terlibat dalam binadamai dan upaya pencegahan konflik ini.”
Meskipun peran yang dimainkan oleh GPP dan YAP dalam binadamai dan rekonsiliasi sangat penting, kedua kelompok lintas agama ini bukan satu-satunya agen perdamaian perempuan Maluku. Di kota Ambon, kontribusi “pedagang kecil” perempuan yang disebut papalele dalam menjembatani perpecahan agama dan etnis juga patut mendapat perhatian khusus.
Kemampuan papalele, yang menjual kebutuhan sehari-hari seperti buah-buahan, sayuran, sagu, dan ikan dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain atau menggelar dagangan di tempat umum, menjangkau orang-orang dari agama Kristen dan Islam karena semua orang membutuhkan makanan sementara pasar tradisional hancur. Selama konflik komunal, papalele sering menjadi “agen perdamaian alternatif ” untuk menjembatani batas-batas dan ketegangan. Orang yang datang ke papalele tidak hanya membeli makanan tapi juga berbagi cerita dan masalah bersama, termasuk kesulitan mendapatkan makanan atau akses ke sekolah untuk anak-anak mereka selama konflik, dan bagaimana kemungkinan untuk mengakhiri kekerasan (Soegijono 2011).
Di Maluku Tenggara, peran perempuan dalam menyelesaikan perselisihan komunal sangat penting, dan perempuan di wilayah ini memang merupakan salah satu pilar utama untuk membangun perdamaian dan resolusi konflik, sebagian karena adat istiadat dan kepercayaan lokal memang menempatkan perempuan di posisi tinggi. Di pulau ini, perempuan dilambangkan sebagai tanah dan perahu, dua sumber utama dan kendaraan kehidupan bagi masyarakat di daerah tersebut.
Bagi masyarakat setempat, oleh karena itu, dianggap tabu jika ada yang menghina, apalagi menyerang, dan tidak menghormati suara perempuan. Perlu dicatat bahwa dalam budaya Maluku pada umumnya, tidak hanya di Maluku Tenggara, perempuan memiliki tempat istimewa dalam lagu dan mitos tradisional setempat. Di pulau Seram Maluku Tengah, misalnya, masyarakat setempat percaya pada mitologi yang disebut “Hainuwele,” seorang putri raja setempat yang mengorbankan tubuhnya untuk kesuburan tanah Seram. Seram disebut juga “Nusa Ina” yang berarti “tanah perempuan.”25 Karena itulah masyarakat Seram umumnya menghormati perempuan.
Selain itu, di Pulau Saparua, Maluku Tengah, khususnya di wilayah Sirisori Salam dan Sirisori Sarane, perempuan Kristen dan Muslim menginisiasi pertemuan rahasia, seringkali di hutan belakang desa (negeri) mereka, dari kedua pihak yang bentrok melalui jaringan keluarga dan etnis.
Agamawan perempuan yang berada di bawah bendera Yayasan Walang Perempuan (YWP) juga memainkan peran sentral dalam menjaga perdamaian di berbagai desa di Saparua. YWP berusaha mengurangi ketegangan dan melawan kekerasan di pulau tersebut dengan menciptakan ikatan dukungan antara perempuan [dari berbagai latar belakang etnis dan agama] serta mempromosikan peran perempuan dalam membangun perdamaian dan rekonsiliasi, terutama melalui pembangunan kapasitas perempuan desa melalui pendekatan kelompok. Seperti banyak pulau lain di Maluku, Saparua sudah bergerak melampaui konflik kolektif yang melanda daerah tersebut dari tahun 1999 sampai 2004.
Berkat upaya perdamaian yang berkelanjutan dari tetangga, keluarga, tokoh masyarakat, kelompok masyarakat sipil, dan pemerintah daerah, kelompok etnis dan agama – setidaknya yang tampak di permukaan – sekarang hidup berdampingan. Sayangnya, ketimpangan struktural masih ada, beberapa di antaranya diakibatkan oleh kembalinya sistem hukum tradisional (saniri) di Maluku (Lee 1997) yang tidak menguntungkan hak perempuan asli, non-elite, dan orang-orang di luar kelompok etnis yang berkuasa di desa tersebut. Struktur sosial yang tidak seimbang terkadang memicu bentrokan komunal di pulau ini. Kontribusi YWP terutama dalam pemberdayaan 25 Wawancara daring dengan sarjana Ambon dan tokoh agama, Jacky Manuputty, 12 Maret, 2013. perempuan lokal dengan memfasilitasi pembentukan kelompok dan diskusi perempuan di desa-desa di mana laki-laki biasa menikmati posisi tradisional yang menguntungkan.26
Kesimpulan Penutup : Agama, Perempuan, dan Perdamaian
Tidak diragukan bahwa ada banyak alasan mengapa ada kelompok perempuan berlatar belakang agama yang terlibat dalam upaya perdamaian. Selain didorong oleh keputusasaan menyaksikan kekerasan komunal, dorongan agama juga termasuk faktor signifikan yang mendorong mereka untuk mewujudkan perdamaian. Kekerasan tersebut memang mengubah ekonomi Maluku menjadi mimpi buruk. Akibatnya, kehidupan menjadi sulit bagi masyarakat lokal, terutama perempuan yang harus memastikan mereka dapat memberi makan keluarga mereka sementara suami mereka berperang.
Di kamp pengungsian, pengungsi domestik termasuk orang tua, perempuan, dan anak-anak harus hidup dengan sanitasi dan kesehatan yang buruk, serta kurangnya pendidikan dan makanan bergizi. Semua kondisi buruk ini tidak diragukan lagi mendorong pendirian GPP. Tapi, ini bukan satu-satunya alasan bagi anggota GPP untuk melibatkan diri dalam upaya binadamai. Peran agama, baik teologis maupun budaya yang bersifat sosial,27 juga berperan. Selain itu, beberapa lembaga keagamaan, yang terkait dengan Kristen dan Islam, juga mendukung binadamai di Maluku (lihat Sumanto 2012).
Perempuan Kristen yang memegang posisi kepemimpinan di lembaga keagamaan seperti Pendeta Etha Hendriks, salah satu ketua Sinode Gereja
[26 http://indonesia.usaid.gov/en/USAID/Article/480/Empowering_Women_to_Foster_Peace(diakses pada 22 Maret, 2013).
27 Kata “agama” yang digunakan dalam artikel ini tidak hanya mengacu pada doktrin, ajaran, dan simbol agama, tapi juga agen-agen (aktor, penganut, masyarakat, dan organisasi) yang memproduksi dan mereproduksi pengetahuan serta budaya religius. Ini menunjukkan bahwa agama bukan hanya tentang kepercayaan, doktrin, norma, atau bahkan ideologi.]
Hal ini juga terkait dengan modal sosial, yaitu jaringan sosial yang diciptakan oleh aktor agama. Meskipun ajaran dasar agama mungkin bersifat homogen, penerapannya bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Penganut agama pun heterogen karena dipengaruhi oleh politik lokal, tradisi, budaya, sejarah, dan pengetahuan. Agama dengan demikian bersifat tidak tetap tetapi cenderung berubah-ubah tergantung pada situasi dan aktornya.
Protestan Maluku (sekarang sudah pensiun), juga menggunakannya untuk mendukung upaya binadamai. Dalam sebuah wawancara dengan penulis, pendeta Etha Hendriks mengatakan bahwa pembentukan GPP diilhami, antara lain, oleh teks-teks Alkitab seperti 2 Korintus 5:18 dan Yesaya 2: 4.
Hendriks mempertimbangkan ayat tersebut dalam 2 Korintus 5:18, yang menyatakan “Semua ini berasal dari Allah, yang melalui Kristus mendamaikan kita dengan dirinya sendiri dan memberi kita pelayanan,” sebagai amanah Tuhan atau “panggilan teologis” bagi semua orang Kristen untuk membangun perdamaian dan hidup selaras satu sama lain di bumi.
Hendriks juga mendapat inspirasi dari ayat Yesaya 2: 4, yang menyatakan, “Dia akan menghakimi bangsa-bangsa, dan akan memutuskan perselisihan bagi banyak orang; Dan mereka akan memukul pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak mereka menjadi pisau pemangkas; suatu bangsa tidak seharusnya mengangkat pedang melawan bangsa lain, mereka juga tidak akan belajar perang lagi.” Dia menganggap ayat ini sebagai “visi masa depan dunia yang terbebas dari perang dan kekerasan.”28
Lebih lanjut, aktivis perdamaian perempuan Muslim Maluku juga sering mengutip ajaran dasar Islam dan Alquran, “rahmatan lil‘alamin”, sebagai sumber cinta dan kasih sayang untuk semua umat manusia.29 Selain itu, digambarkan pula ajaran-ajaran Alquran tentang rekonsiliasi dan perdamaian yang dinyatakan, misalnya, dalam Surah al-Hujurat (49): 9-10 sebagai berikut:
“Dan jika dua golongan di antara orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah keduanya. Tetapi jika salah satu dari mereka menindas yang lain, maka lawanlah yang menindas sampai kembali kepada perintah Allah. Dan jika mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. 49: 9). “Orang-orang beriman semua bersaudara, jadi selesaikan sengketa antara saudara-saudaramu. Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. 49:10).
[28 Wawancara dengan Pdt. Etha Hendriks, Ambon, 30 Juli, 2010.
29 Ini merujuk pada Surat al-‘Anbiya (21): 107 yang menyatakan “Dan Kami [Tuhan] tidak mengutusmu [Muhammad], kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.”]
Selain ayat-ayat ini, para aktivis perempuan Muslim yang mendukung rekonsiliasi dan dialog damai dengan orang-orang Kristen merujuk pada banyak praktik toleran dan damai Nabi Muhammad SAW, yang berteman dan membangun kontak dengan banyak orang Kristen, termasuk Raja Negus di Abyssinia (sekarang Ethiopia) (lihat Lings 2006).
Deskripsi di atas menunjukkan kemampuan perempuan lintasagama di Maluku yang dilingkupi kondisi kekerasan yang sangat gawat ternyata mampu menciptakan ruang pertemuan rahasia, menyuarakan protes nirkekerasan, menenangkan kelompok militan, dan memobilisasi masyarakat lokal, serta menerapkan aspek teologis peran gender dalam perdamaian, berkomitmen untuk mengubah wacana dan prasangka tentang bagaimana agamawan perempuan, baik individu maupun kelompok, dapat terlibat dalam binadamai dan resolusi konflik.
Lebih lanjut, strategi tengah GPP memungkinkan anggota kelompok ini melakukan serangkaian kegiatan pembangunan yang inovatif dan strategis dari mulai pekerjaan psikososial bagi perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma akibat peperangan hingga pertemuan dengan tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, pembuat kebijakan, dan militer. Seperti yang dinyatakan oleh Lange (2000, 149), “aktivitas mereka tidak hanya melampaui berbagai konteks sosial, tapi juga di saat yang tepat mampu menyelesaikan permusuhan melalui rekonsiliasi” hingga tahap akhir kekerasan dan pascaperang – pendekatan jangka panjang yang sangat penting dalam mengatasi perselisihan agama.
Perempuan di Maluku, khususnya agamawan perempuan, sekali lagi menunjukkan bahwa mereka bekerja efektif dalam upaya transformasi perdamaian dan bahwa mereka layak mendapat dukungan. Perlu dicatat bahwa peran efektif agamawan perempuan dalam binadamai ini tidak hanya di Maluku tapi juga di wilayah lain negeri ini seperti Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa, antara lain (lihat misalnya Lampong 2008; Gayatri 2011).
Dan kenyataannya fenomena keterlibatan agamawan perempuan dalam membangun perdamaian juga tidak hanya dijumpai Indonesia tapi juga di belahan dunia lain, terutama negara-negara yang pernah mengalami konflik kekerasan (lihat Hamilton 2000; Bazilli 2006; Buchanan, ed.; 2011 de la Rey dan McKay 2006). Perempuan Kristen di Liberia, misalnya, berhasil menjembatani perpecahan etnis dan agama untuk mendorong negara mereka menuju situasi tenang. Gerakan perdamaian yang diusung agamawan perempuan juga terjadi di daerah rawan lainnya di benua Afrika seperti Nigeria, Rwanda, Sierra Leone, Ghana, dan Afrika Selatan, antara lain (bandingkan Marshall dan Hayward 2011; McKay dan de la Rey 2001).
Di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Afganistan, Bangladesh, Lebanon, Irak, dan Palestina, kontribusi dan upaya perempuan Muslim dalam membangun kepercayaan dan perdamaian di antara faksi-faksi yang berperang juga luar biasa, terlepas dari ancaman yang mereka terima dari kelompok militan [laki-laki]. Kelompok perempuan dari daerah ini telah membentuk kemitraan strategis dan jaringan perempuan untuk memastikan implementasi platform perdamaian mereka. Kemampuan mereka dalam menciptakan aliansi lintas komunitas, mampu menemukan penyebab umum terlepas dari konflik, mengatasi budaya dan kebangsaan yang berbeda adalah beberapa alasan utama keberhasilan mereka (lihat juga Moghadam 2005).
Sebagai kesimpulan, mengingat begitu sentralnya peran perempuan, baik yang berlatar agama maupun sekular dalam upaya binadamai, sudah saatnya bagi mereka yang peduli dengan perdamaian, termasuk pemerintah, pembuat kebijakan, donor, dan organisasi internasional, untuk menciptakan dan mendukung jaringan binadamai perempuan lintas agama dan budaya. Membangun jembatan di antara organisasi dan jaringan perempuan, (sekali lagi) entah itu terinspirasi dari pemahaman sekuler maupun agama, menawarkan hasil yang sangat menjanjikan. Upaya semacam itu akan memperkuat aktivitas yang ada dan memperbaiki pemahaman kita tentang apa yang dapat dilakukan dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di Maluku dan “daerah rawan” lainnya di seluruh dunia.***
Referensi
Abu-Saba, Mary Bentley. 1999. “Human Needs and Women Peacebuilding in Lebanon.” Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology 5 (1): 37-51.
Adam, Jeroen. 2009. “Communal Violence, Forced Migration and Social Change on the Island of Ambon.” (Disertasi doktoral). Ghent University.
Amiruddin, Mariana. 2004. “Suster Brigitta: Perempuan adalah Pelopor Perdamaian.” Jurnal Perempuan 33: 101-109.
Anderlini, Sanam Naraghi. 2007. Women Building Peace: What They Do, Why It Matters. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers.
Appleby, R. Scott. 2000. The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Azca, M. Najib. 2011. “After Jihad: A Biographical Approach to Passionate Politics in Indonesia.” (Disertasi doktoral). University of Amsterdam.
Bazili, Susan. 2006. Review of Global Women’s Peacebuilding Programs. Canada: International Women’s Rights Projects.
Bertrand, Jacques. 2002. “Legacies of the Authoritarian Past: Religious Violence in Indonesia’s Moluccan Islands.” Pacific Affairs 75, no. 1: 57–85.
Bertrand, Jacques. 2004. “Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia.” Cambridge: Cambridge University Press.
Bohm, C. J. 2005. Brief Chronicles of the Unrest in the Moluccas, 1999–2005. Ambon: Crisis Centre Diocese of Amboina.
Brauchler, Birgit, ed. 2009. Reconciling Indonesia: Grassroots Agency for Peace. London: Routledge.
Buchanan, Cate, ed. 2011. Peacemaking in Asia and the Pacific: Women’s Participations, Perspectives, and Priorities. Geneva, Switzerland: Center for Humanitarian Dialogue.
Charlesworth, Hillary. 2008. “Are Women Peaceful? Reflections on the Role of Women in Peace-Building.” Feminist Legal Studies 16:347-361.
Colombijn, F., dan Lindblad, J.T. eds. 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Leiden: KITLV Press.
Coppel, C.A., ed. (2006). Violent Conflict in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution. London: Routledge.
Cunliffe, Scott, et. al. 2009. Negotiating Peace in Indonesia: Prospects for Building Peace and Upholding Justice in Maluku and Aceh. Brussels: The Initiative for Peacebuilding.
De la Rey, C. dan McKay, S. 2006. “Peacebuilding as a Gendered Process.” Journal of Social Issues 64 (1): 141-153.
Gayatri, I. Hiraswari. 2011. “The Role of Women in Peacebuilding in Indonesia.” Jakarta: LIPI. Dapat diakses di: http://www.politik.lipi.go.id/index. php/in/kolom/jender-and-politik/417-the-role-of-women-in-peacebuilding-in-indonesia (diakses pada 16 Februari, 2013).
Gopin, Marc. 2000. Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence, and Peacemaking. New York: Oxford University Press.
Hendricks, C. dan Chivasa, M. 2008. Women and Peacebuilding in Africa. Tshawane, South Africa: Institute for Security Studies.
ICG. 2000. “Indonesia’s Maluku Crisis.” Asia Briefing, 2, July 19.
ICG. 2002. “Indonesia: The Search for Peace in Maluku.” Asia Report 31.
Kastor, Rustam. 2000. Fakta, Data, dan Analisa Konspirasi Politik RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku. Yogyakarta: Wihdah Press.
Lampong, S.R.D. 2008. “Peran Perempuan dalam Resolusi Konflik: Studi tentang Konflik di Maluku.” (Tesis M.A.), Universitas Gadjah Mada.
Landau, Yehezkel. 2003. Healing the Holy Land: Interreligious Peacebuilding in Israel/Palestine. Washington, DC: USIP.
Lange, Kirk M. 2000. “Prospects for Conflict Transformation in Maluku: Mapping Assets, Spaces, and Moments for Peacebuilding.” Cakalele 11: 135157.
Lederach, John Paul. 1996. Preparing for Peace: Conflict Transformation across Cultures. Syracuse, NY: Syracuse University Press.
Lee, Juliet Patricia. 1997. “The Changing Face of the Village in Ambon.” Cakalele: Maluku Research Journal 8: 59-77.
Lings, Martin. (2006). Muhammad: His Life based on the Earlier Sources. Rochester, VT: Inner Traditions.
Marshall, K. dan Hayward, S. eds. 2011. “Women in Religious Peacebuilding.” Peaceworks 71: 1-30.
McKay, S. dan Rey, C. de la. 2001. “Women’s Meanings of Peacebuilding in Post-Apartheid South Africa.” Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology 7 (3): 227-242.
Moghadam, V.M. 2005. “Peacebuilding and Reconstruction with Women : Reflections on Afghanistan, Iraq and Palestine.” Development 48 (3): 63-72.
Noorhaidi. 2005. “Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest of Identity in Post- New Order Indonesia.” (Disertasi doktoral). Utrecht University.
Otto, Dianne. 2006. “A Sign of ‘Weakness’? Disrupting Gender Uncertainties in the Implementation of Security Council Resolution 1325.” Michigan Journal of International Law 13: 113-175.
Pariela, Tonny D. 2008. “Damai Di Tengah Konflik Maluku: Preserved Social Capital sebagai Basis Survival Strategy.” (Disertasi doktoral). Universitas Kristen Satya Wacana.
Patty, Febby N. 2006. “Membaca Kitab Suci dari Perspektif Rekonsiliasi: Proses Hermeneutik yang Mengacu dari Pengalaman Pembaca yakni Konflik dan Penderitaan di Maluku.” (Tesis MA), Universitas Kristen Duta Wacana.
Philpott, Daniel. 2012. Just and Unjust Peace: An Ethic of Political Reconciliation. New York: Oxford University Press. Philpott, D., dan Powers, G.F., eds. 2010. Strategies of Peace: Transforming Conflict in a Violent World, New York: Oxford University Press.
Pieris, John. 2004. Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta: Yayasan Obor. Rijoly-Matakupan, H. 2011. “The Long Journey of Peace in Ambon. Peace Matters.” Dapat diakses di: http://unitingworld.org.au/blogs/the-longjourney-of-peace- in-ambon (diakses pada 26 Maret, 2013).
Sandal, Nukhet A. 2011. “Religious Actors as Epistemic Communities in Conflict Transformation: The Cases of South Africa and Northern Ireland.” Review of International Studies 37: 929–949.
Saovana-Spriggs, Ruth. 2007. “Gender and Peace: Bougainvillean Women, Matriliny, and the Peace Process.” (Disertasi doktoral), Australian National University.
Schirch, Lisa. 2005. Strategic Peacebuilding. Intercourse, PA: Good Books.
Schulze, Kristen E. 2002. “Laskar Jihad and the Conflict in Ambon.” The Brown Journal of World Affairs 9, no. 1: 57–69.
Sidel, John T. 2006. Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Smock, David, ed. 2002. Interfaith Dialogue and Peacebuilding. Washington, DC: USIP.
Soegijono, Simon P. 2011. Papalele: Potret Aktivitas Pedagang Kecil di Ambon. (Disertasi doktoral), Universitas Kristen Satya Wacana.
Spyer, Patricia. 2002. “Fire without Smoke and Other Phantoms of Ambon’s Violence: Media Effects, Agency, and the Work of Imagination.” Indonesia 74: 21–36.
Sumanto. 2012. “Interreligious Violence, Civic Peace, and Citizenship: Christians and Muslims in Maluku, Eastern Indonesia.” (Disertasi doktoral). Boston University.
Talakua, Rizard J. 2008. “Fenomena Keterlibatan Anak-Anak sebagai ‘Pasukan Cilik’ dalam Konflik Kekerasan di Ambon.” (Tesis M.A.), Universitas Gajah Mada.
Turner, Kathleen T. 2006. Competing Myths of Nationalist Identity: Ideological Perceptions of Conflict in Ambon, Indonesia. (Disertasi doktoral), the Division of Arts, Murdoch University.
Van Klinken, Gerry. 2001. “The Maluku Wars: Bringing Society Back In.” Indonesia 71: 1–26
Van Klinken, Gerry. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia. London: Routledge.
Wilson, Chris. 2008. Ethno-Religious Violence in Indonesia: From Soil to God. London: Routledge.
Dua Kota Dua Cerita :
Mengapa Kekerasan Terjadi di Ambon tapi tidak di Manado?
Samsu Rizal Panggabean
Pendahuluan
Ketika Indonesia mengalami transisi dari otoriterisme ke demokrasi bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Suharto pada Mei 1998, kekerasan kolektif terjadi di beberapa kota dan kabupaten di Indonesia. Kekerasan tersebut mengagetkan banyak pihak, terutama karena kekerasan tersebut adalah hal baru dalam sejarah kota dan kabupaten yang mengalaminya. Kekerasan terhadap properti etnis Tionghoa di Surakarta (Solo) pada Mei 1998 adalah kekerasan terbesar dalam sejarah kota tersebut. Umat berbeda agama di Ambon hidup basudara berabad-abad sebelum kekerasan terjadi pada Januari 1999. Kekerasan komunal melibatkan Kristen dan Islam 1 Penulis berterima kasih kepada Samson Atapary (Ambon), Jean Maengkom (Manado),Karyanto Martham (Manado), dan Memet Nahumarury (Ambon) yang membantu melak-sanakan riset sebagai asisten peneliti. Penulis juga berterima kasih kepada Rudy Harisyah Alam (Jakarta) dan Titik Firawati (Yogyakarta) yang membantu penulis mengolah data. Penulis berterima kasih kepada Ford Foundation di Jakarta yang menyediakan dana sehingga penelitian ini dapat berlangsung. adalah fenomena baru di Indonesia; kekerasan anti-Tionghoa pernah terjadi sebelumnya tetapi dengan skala yang jauh lebih kecil. Kebaruan dan skala kekerasan ini menimbulkan kejutan dan keheranan yang meluas. Beberapa kajian mengenai kekerasan komunal muncul mengikuti insiden kekerasan tersebut. Kemunculan kajian dan terbitan mengenai kekerasan komunal adalah hal yang baru juga.
Pada masa Orde Baru, penelitian mengenai konflik dan benturan di masyarakat sangat sulit dilakukan karena ada kebijakan yang membatasi riset, peliputan, dan diskusi publik mengenai SARA (singkatan suku, agama, ras, dan antargolongan). Akibatnya, sulit sekali mendapatkan data dan informasi mengenai indikator konflik dan ketidakselarasan antarkelompok masyarakat – lebih mudah mencari jumlah pohon pisang atau pengguna kondom di satu desa.
Berakhirnya era Orde Baru, dengan demikian, mengawali riset dan diskusi yang lebih leluasa dan bebas mengenai berbagai jenis konflik di Indonesia. Selain itu, lebih banyak pihak dan lembaga berpartisipasi dalam riset dan diskusi tersebut.
Kendati demikian, situasi baru di atas mencerminkan beberapa keterbatasan. Selain menggunakan informasi dan database yang masih terbatas, sebagian besar terbitan mengenai kekerasan komunal tidak mencakup pengembangan teori atau kerangka konseptual yang memadai. Beberapa bahkan tidak merumuskan pertanyaan khusus yang akan dikaji dalam studi kasus mengenai kekerasan komunal. Walaupun banyak di antara terbitan tersebut yang memuat data dan informasi berguna mengenai kasus kekerasan yang diteliti, rancangan penelitian yang digunakan memiliki keterbatasan teoretis. Hal ini khususnya menjadi ciri publikasi yang ditulis pengamat Indonesia (Panggabean 2013). Karenanya, masih banyak pertanyaan yang belum jelas jawabannya, walaupun insiden kekerasan tersebut telah lama berlalu.
Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan sejumlah sebab yang menjelaskan mengapa kekerasan kolektif terjadi di Indonesia pada masa transisi. Termasuk di antaranya adalah krisis ekonomi dan finansial di Indonesia, ketidakpastian politik yang terjadi seiring dengan jatuhnya kekuasaan Orde Baru, ketimpangan ekonomi di kalangan berbagai kelompok etnis, dan desentralisasi atau otonomi daerah. Ini semua adalah faktor-faktor struktural yang cukup menonjol di Indonesia pada masa transisi.
Akan tetapi, beberapa pertanyaan timbul di sini. Seluruh negeri mengalami krisis ekonomi dan finansial. Tetapi, mengapa kekerasan kolektif terjadi di sebagian kota tetapi tidak terjadi di kota lain? Ketidakpastian yang menandai runtuhnya Orde Baru menimbulkan akibat berbeda dari satu kota ke kota lain, dari satu kabupaten ke kabupaten lain. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia tidak menimbulkan kekerasan anti-Tionghoa di seluruh negeri.
Begitu pula, agama diperalat mencapai sasaran politik dan ekonomi, tetapi tidak selalu mengarah kepada kekerasan komunal, walaupun bisa menimbulkan ketegangan. Dengan kata lain, berbagai penjelasan yang disebutkan sebelumnya tak dapat menjelaskan mengapa begitu banyak kota dan kabupaten di Indonesia tetap damai dan aman ketika beberapa kota dan kabupaten lain mengalami kekerasan kolektif (Panggabean 2013).
Berdasarkan database kekerasan kolektif di Indonesia yang diterbitkan pada 2004, kekerasan kolektif yang melibatkan kelompok-kelompok yang berasal dari latar belakang etnis dan agama berbeda sangat bervariasi pada level lokal. Sebagian besar insiden kekerasan kolektif yang menimbulkan kematian hanya terjadi di 15 kota dan kabupaten di Indonesia. Jumlah penduduk kota dan kabupaten ini hanya 6,5 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 2000.
Tetapi, sebanyak 85,5 persen dari total kematian yang disebabkan kekerasan kolektif terjadi di kota dan kabupaten ini. Dengan kata lain, sebagian besar penduduk Indonesia hidup di kota dan kabupaten yang tidak mengalami kekerasan kolektif yang menimbulkan korban jiwa, atau hanya menyebabkan sedikit korban jiwa (Varshney, Panggabean, dan Tadjoeddin 2004). Kekerasan kolektif di Indonesia, dengan demikian, terkonsentrasi secara geografis, dan ini selaras dengan kecenderungan di negara-negara lain (Fearon dan Laitin 1996; Varshney 2002).
Menjelaskan Variasi Bagaimana memahami dan menjelaskan variasi spasial insiden kekerasan kolektif? Lebih khusus lagi, mengapa kekerasan komunal terjadi di Ambon tetapi tidak terjadi di Manado? Usaha menjelaskan variasi masih jarang dilakukan di Indonesia, baik yang dilakukan peneliti Indonesia maupun peneliti internasional. Ladang empiris kajian perbandingan yang menjelaskan variasi adalah India. Di negeri ini, kekerasan komunal Hindu- Muslim juga sangat terkonsentrasi secara geografis. Ashutosh Varshney (2002) meneliti variasi pada tingkat kota, Steven Wilkinson (2004) meneliti pada level negara bagian, dan Ward Berenschot (2011) meneliti pada level pemukiman atau neighborhood di dalam suatu kota. Temuan ketiga karya di atas akan disinggung secara singkat di bawah ini.
Varshney membedakan dua jenis hubungan antaretnis, yaitu hubungan sehari-hari (quotidian) dan hubungan yang melembaga ke dalam organisasi dan asosiasi warga (civic association).
Dari dua jenis hubungan ini, jaringan asosiasi warga yang beranggotakan Hindu dan Muslim memainkan peran yang lebih besar dari hubungan sehari-hari dalam mencegah kekerasan terbuka (Varshney, 2002). Kota-kota di India yang memiliki jaringan asosiasi kewargaan dapat mencegah rumor dan eskalasi konflik; tidak demikian halnya kota-kota yang jaringan asosiasi kewargaannya lemah atau tidak ada. Tanpa jaringan asosiasi warga, rumor dan pemicu dapat mengubah ketegangan menjadi kekerasan terbuka dan menimbulkan korban jiwa. Kunci bagi kedamaian di kota, berdasarkan argumen Varshney, adalah masyarakat sipil.
Bagi Wilkinson, kuncinya terletak pada pemilihan umum. Kalau elite lokal menggunakan etnisitas sebagai alat memobilisasi pemilih dalam pemilihan umum, maka konflik etnis/agama akan terjadi. Sebaliknya, kalau etnisitas bukan kartu utama dalam kontestasi politik lokal, maka konflik tidak timbul (Wilkinson 2004). Bahkan, di kota tertentu di India ada “sistem kerusuhan yang melembaga” yang berfungsi ketika pemilu. Dalam kajian-kajian kerusuhan Hindu-Muslim di India, arti penting kompetisi politik telah beberapa kali dikedepankan Paul Brass, yang menciptakan istilah institutionalized riot system di wilayah yang dia kaji, khususnya di negara bagian Uttar Pradesh (Brass 2001). Tetapi, Wilkinson mengkaji lebih banyak kasus untuk menjelaskan variasi mengapa kota tertentu dilanda kekerasan Hindu-Muslim tetapi kota-kota lain tidak.
Berenschot menjelaskan variasi pada tingkat pemukiman, yaitu Isanpur (yang mengalami kekerasan) dan Raamrahimnagar (yang damai) di kota Ahamedabad, Gujarat. Menurutnya, “kapasitas aktor politik menciptakan kekerasan berhubungan dengan kapasitas para politisi ini membantu warga negara berhubungan dengan lembaga-lembaga pemerintah” (Berenschot 2011, 222). Kekerasan lebih mungkin terjadi di pemukiman yang penghuninya tergantung kepada saluran-saluran patronase yang akan mendapat keuntungan dari kekerasan komunal. Sebelum kekerasan terjadi, para pekerja politik lokal mengadakan pertemuan di pemukiman tersebut.
Dalam pertemuan, beberapa tokoh menyampaikan pidato yang menghasut dan memanas-manasi situasi, dan menjelek-jelekkan Muslim sebagai musuh. Pertemuan semacam ini memobilisasi anak muda supaya bersedia melakukan kekerasan. Aktivis organisasi-organisasi nasionalis Hindu mengumpulkan dan memberikan uang, rokok, minuman keras, dan senjata kepada pemuda miskin. Politisi dan preman bekerja sama dengan rapi – yang satu menyediakan pengaruh dan dana, yang lain menyediakan tenaga pelaku aktual kerusuhan. Polisi membiarkan, mendukung, dan bahkan ikut menyerang (Berenschot 2011, 224).
Seberapa relevankah beberapa argumen di atas ketika kita ingin memahami kekerasan komunal di Indonesia, khususnya dalam kasus Ambon dan Manado yang menjadi fokus tulisan ini?
Berbeda dari India, Indonesia pada tahun 1998-1999 tidak dapat disebut negara demokrasi dengan pemilihan umum yang langsung dan demokratis. Karenanya, argumen Wilkinson tidak dikembangkan dalam tulisan ini. Tulisan ini akan melihat dan memerhatikan arti penting hubungan sehari-hari yang melibatkan warga yang berbeda agama, baik dalam bentuk hubungan sehari-hari maupun hubungan asosiasional, sebagaimana dikedepankan Varshney.
Selain itu, tulisan ini juga akan memerhatikan peran aktor-aktor negara, yang kurang diperhatikan Varshney, tetapi diperhatikan Berenschot, khususnya yang menyangkut peran polisi dan pemerintah lokal dalam menimbulkan atau mencegah kekerasan komunal. Panggabean dan Smith (2011) juga menekankan arti penting aktor-aktor negara sebagai penyebab kekerasan (di Medan dan Surakarta) maupun ketiadaan kekerasan (Yogyakarta dan Surabaya), khususnya kekerasan anti-Tionghoa.
Usaha memahami variasi spasial kekerasan komunal dalam tulisan ini mengikuti skema riset yang digunakan Varshney, Berenschot, dan Panggabean & Smith di atas, yaitu perbandingan berpasangan atau paired comparison (Wilkinson tidak menggunakan perbandingan berpasangan dalam risetnya). Kasus kota atau kabupaten yang mengalami kekerasan dikaji bersamaan dengan kasus kota atau kabupaten yang tidak mengalami kekerasan. Cara ini dapat menghindari kecenderungan yang dominan tapi tidak tepat, yaitu hanya meneliti kasus-kasus kekerasan, dengan mengabaikan kasus-kasus damai dan nirkekerasan.
Padahal, seperti diterakan di atas, kota dan kabupaten yang tidak mengalami kekerasan jauh lebih banyak kasusnya daripada yang mengalami kekerasan. Varshney menjelaskan secara gamblang arti penting menggandengkan kasus damai dan kasus kekerasan dalam satu skema riset (Varshney 2001,371). Sebagai contoh, kita dapat mengajukan hipotesis bahwa penyebab kekerasan di suatu kota atau kabupaten (X) di Indonesia adalah (a) persaingan politik elit lokal, (b) perbedaan sosial budaya dua kelompok suku atau agama yang mendiami kota tersebut, dan (c) kompetisi ekonomi antar etnis. Akan tetapi, bagaimana jika di kota atau kabupaten lain (Y) ada (a), (b), dan (c), tetapi Y tidak mengalami kekerasan etnis dan agama?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengatakan, misalnya, (a), (b), dan (c), di kota X lebih gawat sehingga menyebabkan konflik; atau ada latarbelakang tertentu yang menyebabkan (a), (b), dan (c), di X menimbulkan kekerasan. Atau, yang lebih penting lagi, ada penjelasan lain (d) yang menjelaskan mengapa Y tidak mengalami kekerasan. Namun, penjelasan (d) tak dapat ditemukan jika kota atau kabupaten yang damai tidak dikaji bersamaan dengan kota atau kabupaten yang mengalami kekerasan.
Dengan kata lain, kekerasan kolektif antar-komunal tak dapat sepenuhnya dijelaskan tanpa mengkaji perdamaian kolektif antar-komunal. Selaras dengan kesimpulan ini, tulisan ini memasangkan, membandingkan, dan mengkontraskan Ambon sebagai kasus yang mengalami ketegangan dan kekerasan, dengan Manado sebagai kasus yang mengalami ketegangan tapi tidak kekerasan. Tulisan ini ingin menekankan beberapa argumen.
Pertama, peran aktor negara, baik di tingkat kota, provinsi, dan nasional sangat penting di balik kemunculan kekerasan komunal di Ambon dan ketiadaan kekerasan komunal di Manado.
Kedua, ciri-ciri tertentu dalam hubungan masyarakat Muslim dengan Kristen di kedua kota memengaruhi insiden kekerasan dan ketiadaan insiden kekerasan.
Tulisan ini menggunakan bukti-bukti berupa hasil survei dan wawancara yang dilakukan di kota Ambon dan Manado. Survei tersebut terdiri dari 240 responden di setiap kota, separuh di antaranya dari warga Muslim dan separuh lagi Kristen. Selain menanyakan informasi mengenai biografi responden, survei juga menanyakan aspek-aspek lain, yaitu agama dan budaya, hubungan antarwarga, dan peran pemerintah. Survei tersebut dilakukan pada tahun 2004 sampai 2006 dan didanai Ford Foundation.
Selain itu, tulisan ini menggunakan sumber berita koran lokal, yaitu Suara Maluku dan Manado Post, sebagai sumber data dalam memonitor dan mengikuti perkembangan di kedua kota, khususnya pada tahun 1998 dan 1999. Bank Dunia di Jakarta melakukan pemotretan koran-koran daerah di beberapa provinsi Indonesia dan sekarang arsipnya dapat diakses peneliti.
Ambon
Ambon adalah ibukota provinsi Maluku yang dihuni penduduk yang berasal dari kelompok etnis dan agama berbeda. Kelompok etnis terbesar di Ambon pada tahun 2000 adalah Ambon (39,04%), disusul Saparua (12,99%), Buton (7,08%), Seram (4,03%), Kei (3,38%), Jawa (3,06 %), dan suku “Lain-lain” (sekitar 30%).
Suku Saparua, Seram, dan Kei berasal dari pulau-pulau tetangga, sementara Jawa dari pulau Jawa dan Buton dari Sulawesi Tenggara. Kelompok etnis penting lainnya adalah Bugis Makassar dari Sulawesi Selatan, yang kemungkinan besar dimasukkan ke dalam kategori “Lain-lain” dalam sensus pertama di Indonesia yang memasukkan komposisi populasi etnis. Pada 1998, sebelum kekerasan terjadi, populasi kota Ambon adalah 314.417, yang terdiri dari 53,56% Protestan, 5,25% Katolik, dan 40,99% Islam. Pada tahun 2000, karena eksodus yang disebabkan kekerasan komunal, populasi kota Ambon merosot menjadi 186.911. Komposisi penduduk berdasarkan agama juga berubah sehingga Protestan menjadi 70,59%, Katolik 3,09% dan Islam 26,21%.
Komunitas Islam dan Kristen di Ambon
Ciri multietnis kota Ambon di atas membuka kesempatan bagi warga yang berasal dari berbagai latar belakang etnis dan agama untuk bertemu dan mengadakan kontak dalam kehidupan sehari-hari di tempat tinggal mereka. Apakah kesempatan tersebut dimanfaatkan warga Ambon, dan apa saja bentuk kontak dan pergaulan antarwarga yang memiliki latar belakang keagamaan berbeda?
Kepada responden di Ambon, baik yang beragama Islam maupun Kristen, ditanyakan apakah mereka bertetangga dengan warga yang berasal dari agama berbeda. Kemudian, ditanyakan apa saja bentuk hubungan sosial dengan tetangga beda agama. Bentuk-bentuk hubungan sosial tersebut adalah: (1) saling mengunjungi antarkeluarga, (2) datang ke acara pernikahan, (3) bertemu saat festival, (4) datang ke acara pemakaman, (5) datang ke acara syukuran/selamatan keluarga, (6) pergi makan bersama dengan warga beragama lain, (7) waktu kecil, bermain dengan anak dari kelompok agama lain, (8) anak responden, bagi yang sudah mempunyai anak, bermain dengan anak dari keluarga beda agama.
Hasilnya menunjukkan bahwa, pada umumnya, kesempatan kontak, interaksi, dan pergaulan tersebut digunakan secara luas, baik oleh warga Muslim maupun Kristen di Ambon.
Di sana, lingkungan pemukiman memungkinkan terbentuknya geografi bakubae dan basudara yang melibatkan warga dari agama berbeda, khususnya Islam, Protestan, dan Katolik. Dalam konteks perjumpaan dan pergaulan sehari-hari di pemukiman, tampak adanya kesetaraan moral di antara sesama warga.
Beberapa kutipan di bawah ini menunjukkan penghargaan terhadap geografi bakubae dan basudara tersebut:
Hubungannya sangat baik. Hubungan bertetangga antara Islam dan Kristen sangat baik, tidak pernah terjadi permusuhan atau perkelahian. Kita biasanya selalu tolong-menolong, misalnya membangun rumah, ... kalau ada hajatan keluarga, dan lain-lain. Pada saat menarik jaring di laut atau ke hutan mengambil sagu, kita biasanya selalu saling mengajak untuk pergi secara bersama-sama untuk saling bantu-membantu (Warga Kristen, umur 60-an).
Hubungan [warga Muslim dan Kristen] baik sekali. Kita biasanya selalu mengunjungi, saling tegur sapa satu dengan yang lain.... Pada saat hari besar keagamaan, kita selalu saling mengantar kue. Pada saat Natal, kita mengantar ke tetangga atau kenalan yang Islam. Begitu sebaliknya, pada saat lebaran, tetangga atau kenalan yang Islam biasanya mengantar kue ke kita yang Kristen (Warga Kristen Batumerah Dalam, umur 60-an).
Hubungan kami sangat baik, terutama dengan tetangga di sekitar rumah kami, yang telah kami anggap seperti saudara kandung sendiri. Kami sering makan bersama; anak-anak bermain bersama; dan semuanya berjalan harmonis. Pada saat pembangunan masjid di lingkungan kami, masyarakat Kristen juga membantu (Warga Muslim, suku Buton).
Hubungan kami sangat baik dan harmonis karena kita bisa saling menerima antara satu dengan yang lain, dengan tidak pernah berpikir dan melihat tentang agama. Dan saya lihat pada saat itu tidak ada sifat fanatisme dari masing-masing agama. Agama masih sangat terbuka, sehingga di antara kita walaupun berbeda agama tetapi tingkat toleransinya sangat tinggi.... Pada saat membangun gedung gereja dan mesjid, antara kita yang Kristen dengan Islam selalu bergotong royong secara bersama-sama (Warga Kristen, Batumerah Dalam, suku Ambon).
Soal apakah geografi bakubae dan basudara ini berkembang ke wilayah yang lebih luas, sehingga melampaui pemukiman dan desa, adalah persoalan lain yang perlu dikaji lebih lanjut, seperti akan diuraikan di bawah nanti.
Responden di Ambon juga diminta memberikan respon terhadap beberapa pertanyaan mengenai hubungan sosial dengan siswa atau mahasiswa yang berasal dari agama berbeda di lingkungan sekolah dan universitas. Kepada responden ditanyakan apakah di sekolah mereka (untuk yang belum menikah atau punya anak) atau di sekolah anak mereka ada murid yang berasal dari agama berbeda. Selain itu, ditanyakan apakah mereka atau anak mereka merasa ada diskriminasi karena agama mereka, dan apakah mereka dan anak mereka merasa sejarah dan kebudayaan mereka terwakili dengan adil dalam buku teks sekolah.
Hasilnya menunjukkan bahwa hubungan antar-warga beda agama di sekolah dan di kampus universitas juga cukup tinggi, walaupun ada perbedaan antara komunitas Muslim dan Kristen. Yang menarik adalah perasaan diskriminasi berdasarkan agama sangat rendah di kedua komunitas. Hanya 2,50 persen responden Kristen dan 1,67 persen responden Muslim yang merasa ada diskriminasi di sekolah mereka.
Warga dari berbagai latar belakang agama juga bergaul di tempat kerja mereka. Hal ini tampak dalam jawaban responden terhadap pertanyaan- pertanyaan seperti: (1) di tempat kerja Anda, apakah ada orang dari kelompok etnis lain? (2) makan bersama dengan kelompok etnis lain? (3) social gathering? (4) olahraga (bermain/menonton) bersama? (5) menonton film? dan (6) di tempat kerja, apakah anda merasa terdiskriminasi karena etnis anda?
Ciri majemuk Ambon juga memungkinkan munculnya organisasi dan asosiasi campuran, yang anggotanya berasal dari Kristen dan Islam.
Kepada responden ditanyakan apakah mereka anggota organisasi, perkumpulan, atau kelab; apakah ada orang dari kelompok agama lain di kelab tersebut, dan seberapa sering berinteraksi dengan mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa 87,39 persen responden Kristen menjadi anggota organisasi, perkumpulan, atau kelab. Sebanyak 19,42 persen dari mereka mengatakan ada kelompok agama lain di perkumpulan tersebut, dan 57,14 persen dari mereka mengaku sering berinteraksi dengan orang dari agama lain di organisasi tersebut. Sebanyak 62,50 persen responden Muslim menjadi anggota organisasi, perkumpulan, atau kelab.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 36,49 persen mengatakan ada orang dari kelompok agama lain di perkumpulan tersebut. Sebanyak 76,92 persen dari mereka mengaku sering berinteraksi dengan anggota organisasi, perkumpulan atau kelab yang berbeda agama. Tidak ada yang merasakan diskriminasi di organisasi tersebut.
Kekerasan Komunal 1999
Akan tetapi, beberapa perubahan jangka panjang terjadi dan menjadi tantangan bagi harmoni komunal di kota Ambon. Sebagian besar tantangan yang dihadapi komunitas Kristen dan Muslim di Ambon berada di luar level desa, tempat segregasi terjadi dan sedang mengalami perubahan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, komunitas Kristen memiliki posisi istimewa karena memiliki lebih banyak kesempatan di bidang pendidikan dan pekerjaan dalam pemerintahan kolonial, termasuk militer.
Sebagai hasilnya, ketika Indonesia merdeka, komunitas Kristen lebih siap berpartisipasi dalam okupasi modern dan memasuki pekerjaan profesional. Karena akses mereka terbatas, warga komunitas Islam pada masa kolonial dan awal kemerdekaan mendominasi pasar. Setelah kemerdekaan, ketika anak-anak dari keluarga Islam dan Kristen memiliki akses setara di bidang pendidikan, situasi mulai berubah. Perlahan-lahan warga dari komunitas Muslim mulai bersaing dengan warga Kristen dalam meraih berbagai posisi di masyarakat Ambon (Panggabean 2000a; 2000b; 2000c).
Bagi komunitas Muslim, meningkatkan keterwakilan di pemerintahan dan birokrasi menjadi sasaran penting. Mereka menganggap mereka kurang terwakili di birokrasi sipil, khususnya di kota Ambon. Mereka juga mengeluh karena mahasiswa dan dosen beragama Islam mengalami diskriminasi di Universitas Pattimura yang didominasi Kristen.
Warga Kristen, di lain pihak, merasa gelisah karena warga Muslim semakin lama semakin banyak menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan baik di level kota Ambon maupun provinsi Maluku. Persoalan bertambah rumit ketika warga migran bukan Ambon yang beragama Islam meramaikan persaingan merebut jabatan-jabatan di sektor pemerintah. Warga Kristen di Ambon kuatir akan kehilangan peran dominan yang secara tradisional mereka miliki di sektor pemerintahan. Pada tahun 1990-an, kompetisi di bidang ini menjadikan perbedaan berbasis agama semakin mencolok di kalangan Muslim dan Kristen di Ambon (Panggabean 2000a; 2000b).
Walikota Ambon Chris Tanasale mengatakan bahwa pengangguran atau pencari kerja di daerahnya pada tahun 1998 meningkat menjadi 19.776, jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya yang berjumlah 9.106. Kelesuan ekonomi di Ambon disebabkan beberapa faktor seperti berhentinya kegiatan pembangunan karena investasi kurang, kenaikan harga barang karena krisis moneter, dan banyaknya insiden pemutusan hubungan kerja dan penutupan usaha. Karenanya, dia meminta Kantor Departemen Tenaga Kerja mengutamakan tenaga kerja (naker) lokal setiap ada penerimaan tenaga kerja. “Jangan cepat mendatangkan naker dari daerah lain dengan alasan keterampilan dan ketidakcocokan lapangan usaha. Bila mereka kurang terampil, ya, bina dan latih,” tandasnya.2
Gubernur Maluku Saleh Latuconsina tidak menutupi ketidakpuasannya terhadap kinerja pemerintah, ketika tuntutan masyarakat meninggi dan krisis berlangsung di era reformasi. Kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) masih berlangsung, begitu juga penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi proyek pembangunan.3
“Saya sedih. Kinerja aparat pemda begitu-begitu saja. Padahal masyarakat menuntut secepatnya menyikapi apa yang mereka tuntut,” keluh Gubernur pada pelantikan pejabat eselon II dan III di lingkungan pemda. Kendati demikian, Gubernur menilai bahwa wilayah Maluku cukup aman dibanding beberapa daerah lain di Indonesia yang sedang bergolak. “Tapi bukan berarti aparat pemda harus tidur. Bila satu unit kerja tidur, semua unit kerja akan terganggu. Ini harus diingat,
[2 “Jangan Datangkan Naker Daerah Lain,” Suara Maluku, 23 September 1998, hlm. 3.
3 “Saya Tidak Main-main, Penyakit Moral Segera Dibasmi,” Suara Maluku, 1 Juni 1998, hlm. 3.]
Dua Kota Dua Cerita 129 dipahami, dan direnungkan.”4 Sementara itu, salah satu kabupaten, yaitu
Maluku Utara, ingin menjadi provinsi sendiri, lepas dari Maluku.5
Perlu dicatat bahwa kedua komunitas menangani masalah-masalah yang dipertentangkan ini sebagian besar dengan cara-cara nirkekerasan. Laporan media sepanjang tahun 1998 menunjukkan kecenderungan ini. Sebagai contoh, Wali Kota Ambon meminta sektor swasta dan dinas pemerintahan menomorsatukan para pencari kerja setempat, bukan yang berasal dari luar daerah, ketika mereka melakukan rekrutmen (Suara Maluku 1998a,3). Tuntutan dan tuntutan tandingan menyangkut rekrutmen guru dan jabatan tinggi di Kantor Wilayah Pendidikan di Maluku disampaikan lewat demonstrasi dan protes yang berlangsung dengan damai, atau disampaikan dalam bentuk petisi ke media lokal (Suara Maluku 1998b, 3; Suara Maluku 1998c, 3). Protes dan demonstrasi ini, walaupun menimbulkan ketegangan, tidak mengganggu kehidupan normal di kota Ambon.
Ada beberapa demonstrasi anti-militer yang berujung dengan bentrokan keras, termasuk yang terjadi pada 16 November 1988. Tetapi, yang paling besar adalah yang disebut “Tragedi 18 November”. Pada hari ini, ribuan mahasiswa dari Universitas Pattimura dan universitas lain mengadakan demonstrasi menuntut penghapusan dwifungsi ABRI, dan menuntut Panglima ABRI mengundurkan diri. Mahasiswa juga menuntut supaya bertemu dengan komandan militer setempat.
Ketika akhirnya komandan tersebut bersedia bertemu dengan empat wakil mahasiswa, aksi lempar batu mulai terjadi dari kedua pihak yang berhadap-hadapan, kerumunan mahasiswa dan tentara. Bentrokan kemudian terjadi antara mahasiswa dan militer. Polisi berusaha melakukan intervensi tetapi militer meminta mereka mundur dan bentrokan terus berlangsung. Akibatnya, puluhan mahasiswa, anggota tentara, dan warga masuk rumah sakit. Beberapa mobil dan fasilitas militer dibakar. Beberapa toko, bank, dan kantor di sekitar lokasi juga rusak. Respon keras dari militer memancing kritik dari berbagai
[4 “Saya Sedih, Kinerja Aparat Statis,” Suara Maluku, 16 Oktober 1998, hlm. 2.
5 “Masyarakat Malut Ingin Lepas dari Maluku,” Suara Maluku, 19 November 1998; “Tuntutan Malut Jadi Provinsi Kian Kencang,” Suara Maluku, 23 November 1998.]
pihak, termasuk yang menuntut komandan militer dan polisi setempat mengundurkan diri. Seorang rektor menyebut militer “tentara bayaran” dan bertindak “barbar” (Suara Maluku 1998d, 3; Suara Maluku 1998e).
Insiden Batu Gajah
Insiden ini terjadi pada 18 November 1998. Pada hari itu, ribuan mahasiswa dari Universitas Pattimura mengadakan demonstrasi menuntut penghapusan dwifungsi ABRI dan menuntut Panglima ABRI mengundurkan diri. Mahasiswa juga meminta bertemu dengan komandan militer setempat. Ketika akhirnya komandan bersedia bertemu dengan empat wakil mahasiswa, ada lemparan batu dari kerumunan mahasiswa ke arah Korem. Ini memicu bentrokan mahasiswa Unpatti dengan militer.
Dalam bentrokan ini, puluhan mahasiswa, anggota tentara, dan warga masuk rumah sakit. Rumor beredar mengatakan ada mahasiswa yang tewas tertembak; tetapi hanya rumor. Demonstran membakar beberapa mobil dan fasilitas militer. Beberapa toko, bank, dan kantor di sekitar lokasi juga rusak karena lemparan. Respon keras militer memancing kritik dari berbagai pihak, dan komandan militer dan polisi setempat dituntut mengundurkan diri.
Setelah insiden yang banyak diliput media lokal tersebut, Universitas Pattimura membentuk Tim Pencari Fakta yang bertugas mengidentifikasi dan mendata korban, mendata kerusakan dan kerugian, dan menyusun kronologi insiden Batu Gajah.6
Korem 174/Pattimura juga membentuk Tim Pencari Fakta sendiri, dipimpin perwira dari Polisi Militer (PM).7
Begitu pula, Gubernur membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang menurutnya terdiri dari Pemerintah Daerah, Universitas Pattimura, dan Korem 174 Pattimura.8 Insiden ini mencerminkan kekacauan dalam koordinasi di pemerintah Maluku saat itu.
Sebagai akibat dari insiden ini, hubungan mahasiswa, khususnya
[6 “Pagi Ini, TPF Unpatti Cross Check Data,” Suara Maluku, 23 November 1998, hlm. 8.
7 “PM Belum Menemukan Kesalahan Tentara,” Suara Maluku, 27 November 1998, hlm.
8 “Danrem 174: Ada Pihak Yang Menyusup,” Suara Maluku, 23 November 1998, hlm. 8.]
mahasiswa Unpatti dan Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), dan karenanya juga masyarakat Kristen, dengan apparat jadi memburuk, ditandai dengan ketidakpercayaan kalau bukan kebencian. Militer dinilai sebagai sumber ancaman terhadap keselamatan dan keamanan. Keresahan juga mulai dirasakan mahasiswa Kristen dan komunitasnya terhadap kalangan Muslim karena Komanda Korem Pattimura ketika itu, Kolonel (Inf) Hidayat, adalah seorang Muslim. Suasana saling curiga dan polarisasi keagamaan di kalangan mahasiswa memengaruhi strategi mereka dan strategi aktor negara – dalam hal ini militer setempat.
Insiden Hative Besar: Dusun Wailete dan Kamiri
Insiden ini terjadi pada 13 Desember 1998 hari Minggu dinihari. Insiden dipicu pemukulan seorang tentara terhadap pemuda dalam pesta joget bersama. Pemuda yang dipukul tidak menerima perlakuan itu dan keributan terjadi antara pemuda dan beberapa tentara. Seorang aparat tentara kena tikam. Setelah lewat tengah malam, warga Hative Besar menyerang warga Dusun Wailete. Aparat kemanan yang datang melakukan tembakan peringatan tetapi tidak digubris, perusakan dan pembakaran di Wailete pun berlangsung sampai pagi.9
Biasanya, kerusuhan antarwarga di Ambon hanya menimbulkan kerusakan kecil seperti kaca jendala dan pintu pecah, dan itu pun biasanya karena batu nyasar, bukan karena benar-benar menjadi target pelemparan.
Pembakaran rumah, perusakan puluhan rumah, pembakaran puluhan perahu dan jaring nelayan tidak pernah terjadi sebelumnya di tahun 1960-an dan 1970-an. Begitu juga pengungsian ratusan warga. Perkelahian antar-warga dan antar-kampung memang sering terjadi di Ambon. Dengan demikian, peristiwa Wailete bukan hanya gejala baru di Ambon, tetapi merupakan insiden paling keras di Ambon sejak tahun 1950-an, ketika “pemberontakan RMS terjadi.”10
Selain itu, ada dimensi kesukuan dan keagamaan dalam penyerangan
[9 “Hative Besar Rusuh, Empat Rumah Dibakar,” Suara Maluku, 14 Desember, hlm. 1.
10 “Trauma Hative,” Suara Maluku, 15 Desember 1998, hlm. 8.]
ini. Dusun Wailete yang diserang umumnya dihuni warga asal Buton dan Bugis, dan berprofesi sebagai nelayan dan pedagang. Sempat beredar isu bahwa masjid dibakar dalam kerusuhan tersebut, tetapi pemerintah membantahnya. Setelah kerusuhan, Sekda Kotamadya Ambon mengimbau tokoh agama supaya memainkan perannya mencegah kerusuhan supaya tidak terulang lagi.11
Kerusakan yang ditimbulkan adalah empat rumah dibakar, 44 rumah dan toko rusak berat dan ringan, dan sejumlah harta benda dijarah. Selain itu, ratusan warga mengungsi ke desa-desa tetangga dan anak-anak tidak bisa ke sekolah karena mengungsi, 20 perahu sampan dan dua perahu jaring dirusak atau dibakar.
Hubungan antara warga Dusun Wailete dengan warga Hative Besar sering tidak akur. Beberapa pemuda dari Hative Besar hampir setiap malam datang ke Dusun Wailete dalam keadaan mabuk “hanya mencari-cari masalah,” kata seorang warga. Perkelahian pemuda beberapa kali terjadi karenanya.12
Aparat tidak melakukan tindakan tegas dalam insiden ini. “Aparat saat itu tak ada yang mendekat di tempat kejadian, mereka hanya melakukan tembakan peringatan di tempat yang jauh. Bahkan ada anggota POM Ambon yang saat itu sempat lari karena terkena lemparan batu,” ujar seorang warga kepada media.13 Setelah kerusuhan, Polisi menugaskan Brimob bersiaga di Desa Hative.
Suasana sehari-hari rusak pada Januari 1999. Pada hari Selasa 19 Januari sore, yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, terjadi perkelahian supir angkot dengan preman yang meminta uang dari sopir tersebut di terminal bus Batumerah, Ambon. Sang sopir adalah seorang Kristen Ambon sedangkan sang preman adalah seorang Muslim Bugis. Perkelahian kecil
[11 “Trauma Hative,” Suara Maluku, 15 Desember 1998, hlm. 8.
12 “Korban Kerusuhan Hative Besar Belum Kembali,” Suara Maluku, 15 Desember 1998, hlm. 1.
13 “Isu Serangan Balasan Merebak. Brimob Tutunkan Pasukan ke Hative Besar,” Suara Maluku, 16 Desember 1998, hlm. 1.]
ini kemudian memicu beberapa insiden kekerasan di sore hari itu dan berlangsung hingga tengah malam. Sebagian dari kekerasan ini adalah insiden biasa, seperti perkelahian supir dengan preman di pasar, saling lempar batu antara warga Batumerah, yang mayoritas warganya Muslim, dan Mardika, yang mayoritas Kristen (Suara Maluku 1999, 3).
Warga kota Ambon benar-benar heran mengapa kerusuhan yang meluas terjadi pada sore hari 19 Januari 1999 dan hari-hari sesudahnya. Banyak yang mengaku tidak dapat menjelaskan mengapa kejahatan kecil seperti pemalakan di terminal memicu kekerasan kolektif melibatkan warga Islam dan Kristen di Kota Ambon. Mereka juga heran mengapa begitu banyak jenis kekerasan terjadi di sore hari Idul Fitri tersebut, mulai dari pemalakan, perkelahian antar desa, pembakaran gereja, dan pemuda yang membawa-bawa parang di jalan. Banyak penduduk kota terperangkap di tempat yang salah – warga Kristen yang terperangkap di pemukiman Islam dan warga Islam yang terperangkap di pemukiman Kristen. Banyak yang tidak dapat kembali ke rumah mereka karena kuatir tidak bisa bergerak bebas dan dengan selamat.
Akan tetapi, di antara rangkaian insiden kekerasan di Ambon pada 19 Januari 1999, yang terpenting bukan insiden di Pasar Mardika, melainkan rumor (pembakaran Masjid Al-Fatah) dan fakta (pembakaran Gereja Silale) tentang pembakaran tempat ibadat, yang terjadi di hari besar keagamaan. Ini dapat dipandang sebagai titik balik terpenting di hari itu, yang mendasari perubahan paradigmatik dalam kehidupan komunitas Muslim dan Kristen di Ambon.
Sebagai isu maupun fakta, pembakaran tempat ibadat tidak memiliki preseden, dan karenanya ada unsur kejutan dan guncangan dalam budaya Islam-Kristen di Ambon dan Maluku yang menghormati tempat ibadat agama lain dan bekerja sama membangunnya. Seperti tampak dalam uraian tentang geografi perjumpaan Islam-Kristen di pemukiman, tempat ibadat dan hari raya keagamaan menempati posisi penting dalam geografi perjumpaan warga Islam dan Kristen, dan lama sekali sudah dianggap sebagai bukti kerjasama dan interaksi antar-iman yang dibanggakan.
Berbeda dari insiden kekerasan lain sebelum 19 Januari 1999, rumor dan fakta pembakaran tempat ibadat menjadi tahapan penting yang melatari dan mengawali eskalasi yang cepat di hari dan minggu sesudahnya. Kehidupan sehari-hari sudah rusak, dan pengerasan identitas kelompok menguat bersamaan dengan apa yang dapat disebut sebagai breakdown of the quotidian. Ini terjadi karena, dan diperkuat, strategi aktor negara yang tidak memberikan deterrence memadai pada jam dan hari pertama kekerasan. Bahkan, strategi tersebut cenderung mempertebal rusaknya kehidupan sehari-hari tersebut.
Memang, menjelang akhir 1998, ada beberapa insiden besar dan kecil yang terjadi dan cenderung menekankan identitas keagamaan dan kesukuan di Ambon. Sebagian insiden terjadi di kota Ambon dan di luar kota Ambon. Tetapi ada insiden lain yang terjadi di luar provinsi Maluku tetapi yang berdampak kepada situasi di Maluku. Pada 14 November 1998, belasan rumah terbakar karena bentrokan antara warga desa Hative Besar (yang dihuni warga suku Ambon dan beragama Kristen) dan Wailete dan Kamiri (dihuni mayoritas beragama Islam asal Buton, Bugis, dan Makassar). Pada Januari 14, di Dobo, kepulauan Aru, delapan orang meninggal dalam bentrokan antara warga Kristen dan Islam (van Klinken 2007). Bala bantuan polisi dikirim ke Dobo supaya keadaan tenang, dan mengurangi jumlah polisi di Ambon ketika kekerasan terjadi pada 19 Januari 1999.
Negara tidak mengambil tindakan tegas supaya kekerasan dapat dibendung pada 19 Januari 1999. Sebagian anggota polisi sedang libur lebaran. Sebagian di Dobo. Pemerintah Pusat kemudian mengirim tentara dari Sulawesi Selatan dan mulai tiba di kota Ambon pada keesokan harinya. Tetapi, strategi ini menimbulkan beberapa komplikasi di lapangan. Tentara tidak dapat mengendalikan kota dan wilayah sekitarnya, dan tidak dapat mencegah mobilisasi militan di masyarakat.
Selain itu, tentara juga membentuk barikade dan pemisah di berbagai sudut kota, dan dengan demikian mempertegas breakdown kehidupan sehari-hari di kota Ambon beserta segregasi komunitas yang terjadi. Sebagian besar tentara yang datang dari Sulawesi Selatan beragama Islam sehingga menimbulkan kecurigaan di kalangan warga Kristen terhadap netralitas mereka. Kapasitas koersif negara, dengan kata lain, bukan kekuatan penopang perdamaian, dan tidak pernah dipersepsikan demikian oleh masyarakat di Kota Ambon (Azca 2003).
Suasa takut mulai mencekam kota dan penduduknya. Biasanya, ketika Idul Fitri terjadi, warga Kristen akan mengunjungi teman dan famili mereka yang beragama Islam, dengan mengenakan pakaian mereka yang paling bagus. Mereka akan makan dan minum dan bercakap-cakap dalam suasana bahagia. Anak-anak Kristen dan Islam bermain bersama memakai baju baru dan ada banyak makanan dan minuman tersedia untuk mereka. Suasana takut dan kekerasan yang terjadi juga mengganggu festival antarkomunal di hari Raya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ada banyak masalah dan konflik di masyarakat yang terkait dengan pemilahan etnis. Akan tetapi, konflik karena pemilahan etnis tersebut belum tentu mengarah kepada, atau menyebabkan, kekerasan. Sebagian besar konflik berlangsung dengan cara nirkekerasan (Chenoweth and Lawrence 2010).
Demikian halnya, kekerasan pada Januari 1999 juga harus dilihat sebagai sesuatu yang berbeda, bukan kelanjutan dari konflik kepentingan komunitas dengan identitas keagamaan berbeda. Faktor yang paling menentukan di balik kekerasan tersebut adalah (1) kegagalan aktor negara mencegah dan menangkal kekerasan, dan (2) pilihan strategi aktor masyarakat yang menggunakan kekerasan.
Manado
Manado adalah kota yang juga majemuk dilihat dari sudut suku dan agama. Di ibu kota Sulawesi Utara ini kelompok suku terbesar pada 2000 adalah Minahasa (40,16%), Sangir (19,75%), Gorontalo (17,31%), Jawa (4,91%), Bolaang Mongondow (1,76%), Tenteboan, Talaud, Tonsawang dan kelompok etnis lainnya (16%). Pada tahun 2000, penduduk kota adalah 372.887 jiwa. Sebanyak 60,72% beragama Protestan, 6% Katolik, dan 31,41% Islam.
Dilihat dari sudut kemajemukan etnis dan agama, Manado dapat dibandingkan dengan Ambon. Manado, serupa Ambon sebelum 1999, tidak mengalami kekerasan dalam hubungan komunitas Islam dan Kristen. Tetapi, berbeda dari Ambon, Manado tidak mengalami kekerasan komunal sebelum dan sesudah 1999.
Komunitas Kristen dan Muslim di Manado
Ciri multietnis Kota Manado di atas membuka kesempatan bertemu dan melakukan kontak bagi warga yang berasal dari berbagai latar belakang dalam kehidupan sehari-hari di tempat tinggal mereka. Apakah kesempatan tersebut dimanfaatkan warga Manado, dan apa saja bentuk kontak dan pergaulan antarwarga yang memiliki latar belakang keagamaan berbeda? Kepada responden di Manado, baik yang beragama Islam maupun Kristen, ditanyakan apakah mereka bertetangga dengan warga yang berasal dari agama berbeda. Kemudian, ditanyakan apa saja bentuk hubungan sosial dengan tetangga beda agama.
Bentuk-bentuk hubungan sosial tersebut adalah, (1) saling mengunjungi antarkeluarga (2) datang ke acara pernikahan, (3) bertemu saat festival (4) datang ke acara pemakaman, (5) datang ke acara syukuran/selamatan keluarga, (6) pergi makan bersama dengan warga beragama lain, (7) waktu kecil, bermain dengan anak dari kelompok agama lain, (8) anak responden, bagi yang sudah mempunyai anak, bermain dengan anak dari keluarga beda agama.
Hasilnya menunjukkan bahwa, pada umumnya, kesempatan kontak, interaksi, dan pergaulan tersebut digunakan secara luas, baik warga Muslim maupun Kristen di Manado. Pemukiman di Kota Manado menjadi unsur terpenting geografi perjumpaan warga Muslim dan Kristen, dari dulu sampai sekarang. Di pemukiman tersebut warga hidup dengan perbedaan dalam arti memanfaatkan perbedaan, dalam hal ini, perbedaan agama, sebagai pijakan perjumpaan di pemukiman atau desa mereka.
Kutipan-kutipan di bawah ini memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan sebagai basis perjumpaan tersebut.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an:
[Kami] saling mengunjungi jika ada perayaan keagamaan.... Kalau ada perayaan keagamaan, suasananya sangat terasa. Masyarakat, baik Kristen maupun Islam, saling mengunjungi sanak keluarga meski harus jalan kaki.... Kita saling mengundang tetangga makan di rumah kita. (Warga suku Manado, Kristen, usia 60-an tahun).
Di kampung saya hanya ada dua agama yaitu Islam dan Protestan. Orangtua saya adalah wakil lurah atau kepala desa saat itu, mewakili umat Islam di Amurang. Hubungan kami sangat baik. (Warga suku Manado, Muslim, usia 60-an tahun).
Pada tahun 1970an dan 1980an:
Pada saat itu hubungannya sangat baik sekali. Bahkan pembangunan masjid di Paal 2 ini tidak lepas dari dukungan orang-orang Kristen yang ada di sini. Di antara mereka ada yang masuk menjadi panitia [pembangunan masjid] (Suku Manado, Muslim).
Dulu, bahkan sampai sekarang, ... masing-masing saling menjaga [kerukunan]....Di sini sering kerja bakti, bersama-sama memperbaiki fasilitas umum dan rumah-rumah ibadat baik masjid maupun gereja. Semua bergotong royong baik yang Islam maupun yang Kristen (Suku Minahasa, Muslim).
[Warga Kristen dan Muslim] berhubungan baik dengan penuh rasa hormat dan kekeluargaan. ... Setiap kali panen buah kami selalu membagi-bagikan kepada kenalan di pesisir yang mayoritas Islam. Begitu juga sebaliknya. Karena mayoritas mereka nelayan, setiap panen mereka selalu menyisihkan ikan untuk keluarga kami. Hubungan ini sudah lama berjalan sejak kakek dan nenek saya hingga sekarang (Manado, Kristen).
Bergaul akrab satu dengan yang lain, kumpul-kumpul sesama anak muda sambil menyanyi dengan gitar, masak-masak bersama, menghadiri ulang tahun teman, dan kegiatan lainnya di sekitar lingkungan (Manado, Kristen).
Responden Manado pada umumnya memiliki teman beda agama di sekolah. Yang menarik adalah, sebanyak 7,56 persen responden Kristen merasakan ada diskriminasi berdasarkan agama di sekolahnya, dan 9,09 persen responden Muslim merasa ada perlakuan diskriminasi di sekolah karena agama yang dianutnya. Kendati demikian, sekolah selalu diingat sebagai arena perjumpaan yang penting dalam rangka menghadapi perbedaan. Seperti tampak dalam kutipan di bawah ini:
Kalau bertanya tentang hubungan antara Muslim dan Kristen, pasti baik. Meskipun kita hanya bertemu pada saat di sekolah, tetapi kita bermain bersama dan belajar bersama dan ... berbagai kegiatan sekolah kita selalu lakukan bersama. Orangtua juga tidak pernah melarang bergaul dengan agama lain (Warga suku Minahasa, Kristen).
Hubungan kami sangat baik, saling bantu. Saya rasa bagus sekali, seperti tidak ada perbedaan agama satu sama lain.... Kehidupan di kampus tidak pernah membeda-bedakan antara Islam atau Kristen.... (Manado, Muslim).
Mengapa Kekerasan dapat Dihindari?
Ketika ditanyakan mengapa kota mereka aman dan damai, warga Manado memberikan jawaban yang berbeda-beda, dengan merujuk kepada apa yang menurut mereka merupakan ciri masyarakat Manado. Termasuk di antaranya adalah tradisi saling menghormati, kerjasama atau gotong royong (disebut mapalus), keterbukaan terhadap pendatang, tingkat pendidikan yang relatif tinggi, dan tradisi hidup berdampingan secara damai di kalangan warga beda agama dan suku.
Tentu saja, ciri-ciri ini adalah bagian dari pertanyaan yang diajukan – mengapa komunitas beda agama dan suku di Manado hidup damai. Mereka juga menyebutkan bagaimana masyarakat merayakan perbedaan melalui festival dan monumen, termasuk Bukit Kasih. Di Bukit ini dibangun berbagai tempat ibadat yang mewakili agama-agama besar di wilayah Manado dan Sulawesi Utara. Akan tetapi, Bukit Kasih yang dibangun pemerintah provinsi pada 2002 adalah simbol toleransi dan rekonsiliasi, bukan bagian dari penyebab toleransi dan rekonsiliasi.
Di bawah ini akan ditunjukkan bahwa jawaban terhadap pertanyaan di atas ada di tempat lain, yaitu pada peran negara lokal di tingkat kota dan provinsi. Negara lokal dan aparatnya meyakinkan masyarakat mengenai arti penting “kerukunan”, serta memberikan jaminan keamanan dan kepastian – bukan sumber ancaman terhadap warga.
Selain itu, negara lokal dengan aktor-aktornya seperti pemerintah daerah dalam berbagai level, polisi, dan militer bekerjasama dengan aktor-aktor non-negara, khususnya tokoh dan organisasi keagamaan, dalam meredam dan menangkal ketegangan di masyarakat. Pada masa-masa tegang dalam kehidupan masyarakat di akhir 1998 dan awal 1999, Manado tidak terlepas dari berbagai ketegangan baik karena efek insiden di luar Manado maupun insiden di kota Manado. Tetapi, strategi yang diambil aktor negara dan non-negara di Manado menimbulkan hasil yang berbeda: Manado selamat dari kekerasan komunal yang membakar beberapa daerah di sekelilingnya.
Di awal tahun 1998, istilah “kerukunan” belum populer dalam statemen para pemimpin dan pemberitaan media setempat. Tokoh agama Kristen meminta masyarakat supaya optimis di tengah gejolak perekonomian yang terjadi. Bahkan, di bulan Oktober, soal kerukunan belum mencolok. Dalam acara silaturahmi pimpinan ABRI (termasuk Polri) dengan tokoh masyarakat, yang ditekankan adalah dambaan masyarakat “Bumi Nyiur Melambai”, maksudnya Manado dan Sulawesi Utara, supaya masyarakat aman, damai dan tenteram. Untuk itu, ABRI dan tokoh masyarakat harus bekerjasama.14 Di akhir tahun 1998, penekanan kepada arti penting kerukunan meningkat menjadi obsesi pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama, dan masyarakat luas.
Insiden perusakan tempat ibadat di Ketapang, Jakarta dan kerusuhan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada November 1998 adalah dua insiden yang sangat memengaruhi ketenangan di Manado akhir 1998, seperti halnya di Ambon. Tetapi, insiden-insiden lokal juga memengaruhi. Dalam konteks ini, kegiatan keagamaan seperti bulan Natal, bulan puasa, dan perayaan terbesar Hari Natal dan Idul Fitri menjadi patok insiatif pencegahan konflik.
14 “Mari Torang Ciptakan Keamanan Bersama,” Manado Post, 22 Oktober 1998, hlm. 7.
Peran Pemerintah dan Aparat Keamanan
Sebagai respons terhadap insiden Ketapang 22 November 1998, Gubernur Sulawesi Utara, E.E. Mangindaan mengadakan pertemuan dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa. Pertemuan juga dihadiri Wakil Gubernur, Kapolda Sulawesi Utara, Komandan Korem Manado, dan Walikota Manado. Gubernur mengatakan “Pengalaman selama ini warga kita semua mampu menahan diri dan mengelola segala perbedaan dengan baik. Dalam soal ini Sulut merupakan yang terbaik di Indonesia. Karena itu marilah kita jaga terus citra dan jati diri kita ini.”15 Polisi melakukan tindakan proaktif dalam mencegah ketegangan yang terjadi setelah insiden Ketapang dan Kupang (30 November 1998).
Polisi, dalam kelompok-kelompok kecil, mengadakan kunjungan “silaturahmi” rutin ke masyarakat, ke masjid di hari Jumat dan ke gereja di hari Minggu. Dalam salah satu kunjungan ke komunitas Muslim, Kapolda Sulawesi Utara Stevanus Marsoni mengatakan, “Mari sama-sama pertahankan kemajemukan warga Sulut ini yang terkenal rukun sesama umat beragama.” Dia juga meminta masyarakat supaya jangan sungkan-sungkan mengunjungi kantor polisi menyampaikan apa yang ingin disampaikan.16
Hal senada disampaikan perwira polisi dalam kunjungan ke komunitas Protestan dan Katolik di Manado.17
Pemerintah Daerah Manado tetap berperan sebagai kekuatan pengontrol dan pengendali keadaan dalam saat-saat genting di akhir tahun 1990an dan awal 2000an. Pemerintah menyadari bahwa kemajemukan masyarakat sangat rentan terhadap konflik dan kekerasan komunal. Mereka selalu mengkhawatirkan keamanan masyarakat dan bekerjasama dalam memobilisasi unsur-unsur pemerintah dalam mengurangi ketegangan dan menghindari kekerasan. Ketika kerusuhan pecah di Poso, Sulawesi Tengah, pada saat Natal 1998, dan kerusuhan lain pecah di Maluku pada
[15 “Mangindaan: Jangan Terpancing Isu SARA”, Manado Post, 24 November 1998, hlm. 1-2.
16 “Warga Sulut Tak Mungkin Terpancing Isu SARA” Manado Post, 5 Desember 1998, hlm. 7.
17 “Pejabat Polda Silaturrahmi dengan Umat Kristiani,” Manado Post, 7 Desember 1998, hlm. 7.]
saat Idul Fitri Januari 1999, ketegangan juga meningkat di Manado.
Pejabat pemerintah menyadari bahaya serius yang mengancam dan melalui serangkaian pertemuan meminta aparat pemerintah dari berbagai level, mulai dari provinsi sampai desa, supaya mengurangi ketegangan dan menasihati masyarakat supaya mencegah provokasi. Pemerintah juga mengingatkan masyarakat mengenai betapa berharganya toleransi dan hidup berdampingan secara damai, yang disimbolkan dengan semboyan yang dipopulerkan Gubernur Sulawesi Utara sejak 1995, yaitu Torang Samua Basudara. Semboyan ini dipasang mencolok di berbagai sudut kota, seperti di baliho besar, di bandar udara, jalan protokol, stiker, dan pidato pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat (Henley, Schouten, dan Ulaen 2007, 316-17).
Gubernur mengadakan “Doa Kerukunan” yang dihadiri 400 warga dari berbagai agama dan diadakan di Gedung Mapalus Kantor Gubernur. Dia kembali meminta umat beragama supaya bersyukur kepada Tuhan karena kerukunan yang sudah berjalan di Sulawesi Utara, dan meminta mereka supaya tidak terpancing isu SARA. Menurut Gubernur, “Kerukunan adalah kekuatan kita dalam pembangunan. Karena itu sangat penting sekali arti penghayatan terhadap agama dalam mewujudkan kerukunan dan menangkal segala isu yang dapat merusak kerukunan yang telah terbina ini.”18
Dua hal yang paling sering ditekankan Gubernur Sulut ketika itu, E.E. Mangindaan, adalah, pertama, supaya pemuka agama selalu menyerukan kepada umatnya mengenai arti penting kerukunan, karena “hanya petuah dari tokoh agama dan masyarakat itulah yang mampu menghadapi provokator dari luar.” Kedua, supaya tokoh dan organisasi keagamaan terus berdialog mengenai kerukunan, dengan menekankan titik temu, bukan mencari-cari perbedaan.19
Selain mengunjungi masyarakat dalam tim-tim kecil yang dipimpin perwira, Polisi bekerjasama dengan tokoh agama dengan mengadakan
[18 “Dihadiri 400 Warga, Sulut Jadi Model Kerukunan,” Manado Post, 9 Desember 1998, hlm. 6-7.
19 “Kerukunan Ibarat Telur di Ujung Tanduk,” Manado Post, 31 Desember 1998, hlm. 4.]
pertemuan dialog antaragama. Dalam salah satu kesempatan, Kapolda Sulawesi Utara mengadakan acara “dialog dari hati ke hati antarumat beragama” yang dihadiri ratusan peserta di ruang rapat utama Polda Sulut.
Pertemuan dihadiri wakil-wakil dari Gereja Masehi Injili di Minahasa, Seminari Pineleng, GAMKI, GMKI, PMII, PMKRI, HMI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Pemuda Katolik dan Pemuda Hindu. Kapolda meminta supaya situasi aman dan tenteram di Bumi Nyiur Melambai dipelihara. Di lain pihak, para peserta sepakat meningkatkan dialog tidak hanya di level elit tetap juga di masyarakat, meningkatkan ajakan kasih dan keadilan di masyarakat, dan menjadikan perbedaan sebagai acuan hidup berdampingan di kalangan umat yang berbeda agama. Para peserta juga meminta Badan Kerjasama Antarumat Beragama (BKSAUA) supaya meningkatkan perannya di masyarakat.20
Kapolda Kolonel Polisi Drs. St Marsono mengimbau masyarakat supaya tidak mudah terpengaruh hasutan yang dapat mengarah kepada konflik SARA. Dia mengapresiasi inisiatif dialog yang muncul dari masyarakat. “Sesuatu yang muncul dari bawah sangat positif. Ini akan lebih memperkuat kerukunan, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.”21
Menurut Kapolda, mencegah lebih baik dari mengobati. Masyarakat yang pernah mengalami konflik yang menimbulkan perusakan tempat ibadat ternyata menyesali insiden tersebut, pelakunya juga menyesali diri, dan kerugian yang timbul juga hanya bisa diratapi dan disesali. “Ini bagaikan nasi sudah jadi bubur. Makanya sebelum jadi bubur di Sulut, kita saling menyadari dan menekan untuk tidak terpengaruh dengan hal-hal yang dapat mengganggu ketertiban umum.”22
Pembicaraan tentang Manado sebagai kota tempat warga hidup berdampingan walaupun berasal dari agama berbeda tidak hanya di
[20 “Polda Prakarsai Dialog ‘Dari Hati Ke Hati Antarumat Beragama,’” Manado Post, 9
Desember 1998, hlm. 12.
21 “Dialog, Benteng Pertahanan dari Hasutan Menyesatkan,” Manado Post, 10 Desember
1998, hlm. 12.
22 “Dialog, Benteng Pertahanan dari Hasutan Menyesatkan,” Manado Post, 10 Desember
1998, hlm. 12.]
kalangan pemerintah dan tokoh agama, tetapi juga anak-anak.
Istri Walikota Manado, Henny Korah-Langi, sebagai Ketua Darma Wanita Manado menyampaikan kepada 150 anak-anak difabel berusia dari 5-15 tahun, “Torang samua basudara, tak memandang seagama atau bukan seagama. Kita semua bersaudara.” Tema pertemuan dengan anak-anak difabel ini memang “Kerukunan Umat Beragama” dan anak-anak yang diundang ke rumah dinas walikota ada yang menganut Protestan, Islam, Katolik, Budha dan Hindu. Dalam kesempatan yang sama, Walikota Manado Lucky Harry Korah (menjabat 1995-2000) mengatakan kerukunan harus dibina sejak anak-anak, dan menekankan arti penting kerukunan sebagai “modal utama dalam membangun Kota Manado.”23 Supir angkutan umum di Manado tidak luput dari perhatian Walikota, Kapolres Manado, dan tokoh agama khususnya BKSAUA yang mengadakan Natal Kerukunan Supir Karombasan, salah satu pasar utama di Manado.
Dalam perayaan natal yang dihadiri 50 sopir dan keluarganya, Wali Kota Manado Lucky Harry Korah meminta para supir supaya “tampil sebagai saksi kebenaran.” Karena belakangan ini ada banyak rumor beredar di Manado, “Sekali-sekali sopir boleh masuk ke pembicaraan penumpang untuk meluruskan pandangan yang sengaja disesatkan itu,” kata Wali Kota kepada mereka, dan “Kalian boleh mengatasnamakan Wali Kota untuk menyampaikan pandangan itu.”24 Inisiatif aktor-aktor negara dan masyarakat dalam melibatkan para supir semacam ini, tentu saja, menjadi lebih bermakna mengingat insiden yang melibatkan supir angkutan kota di Ambon lebih dari sebulan sesudah acara Natal Kerukunan Supir Karombasan.
Pemerintah juga memberikan perhatian khusus kepada para pengungsi dari tempat-tempat yang dilanda kerusuhan. Pada tahun 1999 dan 2000, para pengungsi internal tinggal di kamp-kamp pengungsian di Manado dan tempat lain seperti Bitung. Sebagian besar pengungsi ini datang
[23 “Ratusan anak cacat kumpul di rudis [rumah dinas] Walikota. Biar nyanda satu agama, torang samua basudara.”[Walau tidak seagama, kita semua bersaudara] Manado Post, 24 November 1998, hlm. 6.
24 “Kita Perlu Introspeksi Diri,” Manado Post, 14 Desember 1998, hlm. 3.]
dari Maluku Utara, terutama pengungsi Kristen dari Ternate, Tidore, Halmahera, dan Morotai. Pengungsi beragama Kristen juga datang ke Manado dari Maluku dan Poso. Sebagian besar pengungsi tinggal di luar kamp-kamp pengungsi, jauh lebih banyak dari yang ditampung di tempat pengungsian. Sebagian dari mereka juga membawa kendaraan mereka seperti mobil dan truk sehingga memenuhi jalan-jalan di Manado.
Kendati demikian, tidak ada insiden kekerasan signifikan yang melibatkan pengungsi dan penduduk asli Manado. Para pengungsi ini membawa dan menceritakan kejadian-kejadian mengerikan yang mereka alami di tempat asal mereka. Selain itu, beberapa pendeta dan tokoh agama juga menyampaikan kotbah-kotbah yang memecah belah dari mimbar gereja. Walikota Manado dan Gubernur Sulawesi Utara mengunjungi tempat pengungsian dan meyakinkan para pengungsi bahwa mereka akan ditampung dan dilindungi. Ada ketegangan, dan walikota juga mengeluh karena beban pemerintah daerah bertambah berat karena datanya 35.000 pengungsi di kota Manado. Namun, Manado dapat mengatasi keadaan (Duncan 2004; Mercusuar 2000, 8).
Pada Hari Raya 19 Januari 1999, kerusuhan pecah di Ambon. Usaha mempertahankan keamanan di Manado tentu saja semakin berat ketika kekerasan komunal terjadi di Ambon. Pada 22 Januari 1999 pagi hari, Gubernur, Walikota Manado, dan juga Bupati-bupati di Sulawesi Utara beserta seluruh muspida melakukan rapat koordinasi dengan unsur yang lebih luas, seperti militer, polisi, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda, kalangan perguruan tinggi, sosiolog, psikolog, dan jajaran pers.” Pemerintah menyampaikan ada banyak provokasi terjadi di Manado dan Sulawesi Utara umumnya, dan berbagai rumor yang mengganggu kedamaian masyarakat beredar di berbagai kota dan kabupaten.25 Gubernur meminta masyarakat, “Kalau ada kecurigaan segera lapor kepada aparat terdekat atau pemerintah di daerah itu. Nanti aparat berwenang yang akan menangani. Jangan main hakim sendiri.”26
[25 “Waspada, Provokator Mulai ‘Garap’ Sulut,” Manado Post, 23 Januari 1999, hlm. 1.
26 “Danrem Janji Tangkap Basah Provokator,” Manado Post, 23 Januari 1999, hlm. 12.]
Walikota Manado bersama seluruh unsur pemerintah kota mengadakan pertemuan mendadak dengan 230 pengurus dan anggota BKSAUA se- Manado pada sore 22 Januari 1999. Pertemuan ini mendadak dan di luar jadual – Walikota bersama aparatnya biasanya melakukan koordinasi bulanan dengan BKSAUA setiap tanggal 26.
Karena ada kekerasan komunal di Ambon, “maka saya rasa perlu pertemuan mendadak ini,” katanya di hadapan pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, pendeta, imam masjid, wakil mahasiswa, dan perempuan termasuk Ny. Henny Korah Langi. Dia menyinggung isu 300 provokator telah menyusup ke daerah Sulawesi Utara, dan menambahkan, Memang itu baru isu, dan kebenarannya masih diragukan. Tapi tak berarti kita biasa-biasa saja menyambutnya, melainkan waspada. Sebab, selama ini kita yakini dan tahu bahwa kalau daerah kita tidak mempan dengan isu SARA. Sebab kita di sini kompak. Namun begitu, kita khawatirkan jangan karena kita mempan di bidang itu, tahu-tahu provokator berusaha memecahkan kerukunan kita melalui masalah kamtibmas, berupa isu perkelahian antarkampung yang belakangan sempat terjadi di beberapa daerah di Sulut.27
Walikota meminta seluruh camat, kepala desa, dan lurah supaya stand by 24 jam. “Artinya, mereka wajib memantau dalam bentuk memberikan laporan mendetail tentang situasi lingkungannya selama 24 jam penuh.”
Dengan demikian, warga bisa melapor kepada pemerintah jika ada kejadian yang dirasa aneh di lingkungan mereka. “Apa pun bentuk laporan itu harus diterima dan diwaspadai,” tambahnya. Selain itu, Walikota meminta supaya para tamu yang datang di suatu lingkungan atau kelurahan diminta supaya melapor. “Aparat ataupun warga yang melihat warga baru di lingkungannya perlu mendatanya. Ini tidak dimaksudkan kita over curiga terhadap setiap orang asing, melainkan mewaspadainya.”28
Dalam kesempatan yang sama polisi dan militer mengimbau masyarakat
[27 “300 Provokator Masuk Sulut. Walikota Manado Gelar Pertemuan Mendadak dengan Tokoh-tokoh Agama,” Manado Post, 23 Januari 1999, hal 12.
28 “Wajib Lapor di Kelurahan Diintensifkan,” Manado Post, 23 Januari 1999, hlm. 12.]
supaya menjaga kedamaian dan kerukunan di Manado. Kapolresta Manado Jorry Jantje Worang membantah rumor yang mengatakan akan terjadi kerusuhan di Manado pada 26 Januari 1999, seminggu setelah Hari Raya yang disebut dengan Hari Ketupat. Kepala Polisi mengatakan itu hanya isu yang disebar supaya keresahan tersulut di masyarakat. Tetapi, dia meminta masyarakat waspada tetapi terus melakukan kegiatan tanpa terpengaruh rumor.29 Komandan Korem meyakinkan publik, “Daerah kita, khususnya di Manado saat ini paling rukun. Usaha menghantam itu melalui isu SARA selama ini tak mempan.
Nah, kita perlu jaga kemungkinan provokator menghantam kerukunan kita melalui isu kamtibmas melalui perkelahian antarkampung.”30 Komandan Korem 131 Santiago, Kol. Inf. Richard Simorangkir menyampaikan kepada publik bahwa aparat keamanan sudah bekerja ekstra keras dan menugaskan “intel-intel terbaik dari Korem” dalam mengidentifikasi gangguan keamanan termasuk menangkap provokator jika mengacau. Danrem menyiapkan satu batalion tentara menjaga Manado, sambil menekankan bahwa “Keamanan ini juga tentunya harus didukung oleh masyarakat dan pemerintah daerah.”31 Dia tidak percaya ada 300 provokator yang telah masuk wilayah Sulawesi Utara. “Tidak mungkin sampai 300. Meski begitu kami akan berusaha keras menyingkapnya,” kata Komandan Korem.
Peran Lembaga dan Tokoh Keagamaan
Di atas telah terlihat bagaimana lembaga dan tokoh keagamaan hadir mengikuti kegiatan aktor negara. Di kalangan Protestan, Sinode terbesar di Manado, dan di Sulawesi Utara umumnya, adalah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). GMIM memainkan peran penting dalam menenangkan para pengikut mereka, dengan mengirim surat kepada para pendeta supaya mereka melarang umat Kristen terlibat dalam kekerasan. GMIM adalah organisasi keagamaan yang disiplin, dalam arti “instruksi
[29 “Wajib Lapor di Kelurahan Diintensifkan,” Manado Post, 23 Januari 1999, hlm. 12.
30 “300 Provokator Masuk Sulut. Walikota Manado Gelar Pertemuan Mendadak dengan Tokoh-tokoh Agama,” Manado Post, 23 Januari 1999, hal 12.
31 “Danrem Janji Tangkap Basah Provokator,” Manado Post, 23 Januari 1999, hlm. 12.]
yang di keluarga Sinode dengan cepat dan setia diikuti para pendetanya” (Henley, Schouten, dan Ulaen 2007, 311). GMIM menganggap polisi sebagai lembaga negara terpenting dalam memelihara stabilitas dan perdamaian. Selaras dengan ini, GMIM memberikan panduan rohani khusus kepada anggota polisi, “supaya mereka berani dan tegas termasuk dengan menggunakan senjata bila perlu untuk memelihara perdamaian di masyarakat” (Henley, Schouten, dan Ulaen 2007, 314 & 316).
Sebagai unsur dominan di Badan Kerjasama Antarumat Beragama (BKSAUA), para pemimpin GMIM bertemu dan bekerjasama dengan tokoh-tokoh Muslim dalam rangka menghindari bahaya dan provokasi dalam bulan- bulan menegangkan ketika kerusuhan dan kekerasan komunal terjadi di beberapa tempat.
Pihak Gereja Katolik, melalui Keuskupan di Manado, juga menenangkan dan meredam umatnya. Setelah insiden Ketapang, Kupang, dan Ujung Pandang (ketika warga Sulawesi Selatan yang mengungsi dari Kupang merusak gereja Katolik di kota ini), Uskup MGR Josef Suwatan meminta umatnya supaya tidak terpancing dan menggunakan kekerasan dan tindakan saling membalas.
Menurut Uskup, hal itu tidak dapat dibenarkan dan tidak akan menyelesaikan persoalan. Uskup menganggap tidak ada permusuhan di kalangan umat beragama di Manado, tetapi, katanya, “Kita harus waspada dan berjaga-jaga akan adanya pihak ketiga yang mau mengambil keuntungan dari terjadinya kerusuhan, kekerasan dan perselisihan antar umat beragama.” Dia juga meminta umatnya supaya meningkatkan kerjasama dengan umat agama lain di Manado dan Sulawesi Utara.32 Pemolisian internal atau internal policing yang dilakukan gereja Katolik dan GMIM adalah strategi yang lembaga dan tokoh keagamaan di Manado dalam rangka menghindari bencana kekerasan komunal.
Lembaga penting yang mewakili harmoni antar-agama di Manado adalah BKSAUA. Lembaga ini didirikan Gubernur Sulawesi Utara pada 1969 dan terdiri dari wakil-wakil komunitas agama seperti Protestan, Islam, Katolik, Budha, Hindu dan Kong Hu Cu. Mereka bertemu secara
[32 “Mgr Suwatan: Umat Katolik Jangan Terpancing,” Manado Post, 7 Desember 1998, hlm. 7.]
reguler, mengunjungi masyarakat yang dilanda ketegangan, membantah dan mencegah rumor, dan melakukan intervensi ke dalam konflik yang melibatkan warga dari suku dan agama berbeda. BKSAUA dikenal mampu memberikan reaksi cepat ketika ada gejala ketegangan di masyarakat. BKSAUA juga melaksaakan perayaan agama bersama, merayakan kemajemukan di kota “Nyiur Melambai” yang menjadi julukan yang diberikan warga kepada kota Manado.
Menurut pemimpin BKSAUA ketika itu, I Ketut Gennah dari Hindu, para pemimpin agama di Manado sepakat melindungi tiga jenis rekonsiliasi: Rekonsiliasi di kalangan pengikut satu agama, rekonsiliasi antara pengikut agama yang berbeda-beda, dan rekonsiliasi antara komunitas agama-agama dengan pemerintah.33 Ketika pembakaran dan pengrusakan tempat ibadat terjadi di daerah lain, warga Manado memberikan reaksi berbeda dan melawan: para pemuda bekerja sama membersihkan gereja dan masjid.
Pada 10 Desember 1998, seratus pemuda GMIM dan Remaja Masjid Manado membersihkan gereja dan masjid di Titiwungen, Manado. “Kami hanya ingin perlihatkan bahwa kehidupan beragama di daerah ini sudah terbina dengan baik. Tak ada keinginan bagi kami untuk merusak sarana peribadatan. Justru sebagai generasi muda kami ingin tunjukkan bahwa kami hidup rukun dan tidak mau diadu-domba,” kata pendeta dan tokoh remaja masjid setempat. Kegiatan tersebut dijadualkan secara rutin, karena “Kami berharap dengan semakin banyak kegiatan seperti ini, akan menimbulkan rasa saling menghormati antara sesama pemeluk agama di daerah ini,” kata pendeta Billy Johanes salah seorang yang memimpin kegiatan.
Kegiatan selanjutnya mereka rencanakan akan melibatkan pemuda Katolik, Budha dan Hindu.34 Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat, pemerintah, dan aparat keamanan di Manado di awal tahun 1999 adalah kegiatan Pawai Takbir akan diadakan pada 18 Januari 1999, malam hari raya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Dewan Masjid Majelis Dakwah Indonesia
[33 “Kerukunan Ibarat Telur di Ujung Tanduk,” Manado Post, 31 Desember 1998, hlm. 4.
34 “Rame-rame Bersihkan Gereja dan Mesjid,” Manado Post, 12 Desember 1998, hlm. 6;
“Rame-rame Bersih Gereja dan Mesjid,” Manado Post, 31 Desember 1998, hlm. 4.]
(MDI) secara mendadak mengeluarkan edaran yang meminta umat Islam memusatkan pelaksanaan takbiran di dalam masjid, menghindari kemungkinan terburuk menyambut hari raya. Pada siang hari Senin 18 Januari, Panitia Hari Besar Islam (PHBI), pemerintah daerah, tokoh agama, remaja masjid, pemuda GMIM, dan Kapolda Sulut, mengadakan rapat koordinasi di Polda. Gubernur mengatakan, dia percaya warganya dapat menjaga ketertiban dan keamanan, dan setuju pawai tetap dilaksanakan walau ada edaran dari Jakarta. Dia sendiri secara resmi melepas pawai, sambil mengingatkan seluruh peserta bahwa kelancaran Rally Takbir bukan hanya tanggungjawab panitia dan pihak keamanan, “Tetapi itu merupakan tanggungjawab kita semua, baik peserta, umat muslim dan nonmuslim serta seluruh unsur masyarakat.” Warga Manado, muslim maupun nonmuslim menyaksikan pawai yang diikuti kendaraan hias yang menarik perhatian, dan dilombakan memperebutkan Trofi Kapolda Sulut. Pemuda gereja ikut mengamankan jalannya rally.
Di akhir rally, di garis finish di depan Masjid Miftahul Jannah Boulevaard, Walikota Manado menyambut peserta rally, “Terima kasih, terima kasih. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal Aidzin Wal faidzin” ujarnya berulang-ulang.35 Salah satu perkelahian antar-kampung yang sempat membuat waswas adalah perkelahian pemuda dari Kelurahan Tumumpa (yang mayoritas warganya beragama Kristen) dengan Kelurahan Maasing (mayoritas beragama Islam), keduanya di Kecamatan Tuminting, Manado. Insiden pada tanggal 22 Januari 1999 ini dapat dikelola tanpa mengarah ke tindak kekerasan lebih lanjut karena keterlibatan berbagai pihak.
Menurut beberapa warga Maasing, perselisihan tersebut hampir mengarah kepada perselisihan antaragama. “Untung para orang tua dari kedua kampung langsung masuk campur untuk meluruskan persoalan.”36 Selain orang tua, ada banyak pihak mengambil langkah cepat setelah perkelahian. Tokoh agama, pemuda dari kedua kelurahan, bertemu di Aula Kantor Camat. 35 “Rally Takbir ’99 Berjalan Tertib dan Sukses,” Manado Post, 25 Januari 1999, hlm. 3; “PHBI Berterimakasih kepada Pemuda Gereja,” Manado Post, 25 Januari 1999, hlm. 3. 36 Wawancara dengan penduduk Maasing (MM25), di Maasing, 6 Juni 2004.
Juga ada unsur Muspika hadir menyelesaikan permasalahan. Kapolresta Manado, Letkol Pol J.J. Worang hadir memantau pertemuan. Ketua Badan Komunikasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia (BKPRMI) Sulawesi Utara Dr Taufiq Pasiak, Ketua MKPRMI Manado Mahmud Lihawa, dan Pemuda GMIM Pendeta Billy Johanes juga hadir.
Semua pihak melihat masalah sebagai kenakalan yang mengarah kepada tindakan kriminal, dan pemuda dari dua kelurahan sepakat mencari jalan damai demi terciptanya rasa aman dan damai. Kapolres Manado J.J. Worang mengharap pemuda dua kelurahan mematuhi kesepakatan, “Sebab itu merupakan kesepakatan yang berasal dari hati nurani dan harus kita laksanakan dengan rasa saling cinta.” Ketua BKPRMI Dr. Taufiq Pasiak bersedia memberikan pengobatan gratis kepada salah satu korban yang masih memerlukan perawatan.37
Dengan cara seperti inilah pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat mencegah supaya kekerasan tidak terjadi di Manado.
Menjelaskan Variasi
Kekerasan komunal di Ambon terjadi karena kegagalan negara menangkal kekerasan pada tanggal 19 Januari 1999 dan hari-hari sesudahnya. Berbagai jenis kekerasan terjadi pada Hari Raya Idul Fitri itu. Sebagian di antaranya adalah kekerasan yang biasa terjadi, seperti pemalakan dan perkelahian di pasar. Tetapi, ada jenis kekerasan yang luar biasa yang tidak terjadi sebelumnya dalam sejarah kota Ambon – kekerasan luar biasa dan tanpa repertoire, yaitu rumor dan fakta pembakaran tempat ibadat.
Kegagalan mencegah kekerasan inilah yang kemudian mengakibatkan rusaknya kehidupan sehari-hari di Kota Ambon. Ketika masyarakat Muslim dan Kristen tidak percaya terhadap kredibilitas dan ketegasan negara, mobilisasi yang militan berlangsung dan mengalami eskalasi. Karenanya, keadaan status quo sebelum 19 Januari 1999, yang ditandai dengan kehidupan yang normal, semakin lama menjadi semakin menarik di tengah kekerasan dan meluasnya rasa takut.
[37 “Perkelahian Antarkelompok Bisa Picu Perpecahan,” Manado Post, 23 Januari 1999, hlm. 12.]
Di Manado, pemerintah daerah, aparat keamanan, dan tokoh masyarakat dapat mempertahankan komitmen yang kredibel terhadap stabilitas dan kedamaian, yang ditunjukkan setiap kali ada gangguan keamanan dan ketertiban seperti rumor dan perkelahian yang melibatkan warga yang berbeda agama. Pemerintah, aparat keamanan, dan tokoh agama meyakinkan masyarakat bahwa mereka bisa mengatasi ketegangan dan mempertahankan kerukunan. Jika ada gangguan, aparat keamanan, pemerintah daerah, dan tokoh masyarakat menunjukkan kapasitas menangkal yang efektif dan terkoordinasi. Karenanya, masyarakat Manado tetap membela status quo yang damai walaupun ada rumor, ketegangan dan provokasi sebagai efek kekerasan komunal di wilayah-wilayah tetangganya.
Varshney mengatakan bahwa hubungan sehari-hari yang kuat, lebih-lebih hubungan antar-agama yang melembaga dalam asosiasi, akan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan komunal (Varshney 2002, 11-12). Ambon dan Manado memiliki ikatan yang cukup kuat yang menghubungkan warga dari agama berbeda, seperti tampak dalam respon warga terhadap survei dan wawancara yang dilakukan di kedua kota. Di ruang publik, baik Muslim maupun Kristen di Ambon dan Manado sama-sama menyuarakan tuntutan dan aspirasi dengan saluran-saluran yang tersedia ketika itu dan dengan cara-cara yang pada umumnya nirkekerasn. Akan tetapi, setelah era hubungan damai yang lama dan metode menyuarakan tuntutan di ruang publik yang normal, kekerasan timbul di Ambon dan tidak di Manado walaupun ada hubungan antaragama sehari-hari dan di dalam organisasi.
Karenanya, ketika menjelaskan variasi yang dramatis antara Ambon dan Manado, tulisan ini berusaha mencari penjelasan lain selain hubungan antar-warga beda agama dalam kehidupan sehari-hari maupun organisasi. Sebab, kuncinya ada pada peran aktor negara dan strategi mereka dalam menangani ketegangan dan kekerasan; dan kunci ini lebih penting dari karakteristik keagamaan Kristen maupun Islam. Di Manado, keberhasilan menggalang dukungan dan kerjasama dengan masyarakat, tokoh dan lembaga keagamaan, adalah bagian dari strategi negara lokal tersebut.
Selain memerhatikan strategi aktor negara, tulisan ini juga ingin membingkai-ulang diskusi mengenai perdamaian dan kekerasan di Indonesia dengan menggunakan kerangka baru yang memiliki dua ciri utama. Pertama, supaya perdamaian dan kekerasan dapat dipahami, penelitian sebaiknya meninggalkan level analisis nasional dan turun ke kota atau kabupaten.
Pada level inilah kemungkinan-kemungkinan bagi perdamaian dan kekerasan dapat dikaji dengan lebih baik. Ini juga selaras dengan database kekerasan di Indonesia, yang – setelah didisagregasi –menunjukkan variasi spasial yang tinggi dari satu kota/kabupaten ke kota/kabupaten lain. Kedua, memperhatikan kasus-kasus kota dan kabupaten yang damai dan yang mengalami kekerasan komunal pada saat yang sama, dalam satu rancangan riset. Ini cara paling tepat menghindari kecenderungan riset di Indonesia dan tempat lain yang secara berlebihan memusatkan perhatian pada kasus-kasus kekerasan komunal (di Sanggau Ledo, Ambon, Poso, Maluku Utara, Sampit, dan lain-lain) dan mengabaikan kasus-kasus kedamaian komunal antara masyarakat beda agama dan suku. Lebih banyak praxis damai dan rekonsiliasi; tetapi lebih banyak riset kekerasan dan ketidakselarasan.
Menuju Perdamaian Berkelanjutan Kontak yang bermakna antar-warga di tingkat komunitas, di pemukiman atau negeri perlu terus dibina. Segregasi tidak harus membatasi kontak, berdasarkan pengalaman Ambon dan Manado, karena dapat menjadi tradisi warga karena berlangsung berulangkali antargenerasi. Masyarakat Ambon dan Manado selalu mengenang hubungan antarwarga (baik antaragama maupun antarsuku) di pemukiman dan desa dengan penuh kebanggaan dan kenangan manis, dan juga nostalgia pada masa pasca-kekerasan di Ambon. Ini menunjukkan arti penting hubungan sehari-hari sebagai jalan rekonsiliasi, yang dapat dipertahankan dan dipulihkan. Gangguan terhadap jalan rekonsiliasi, misalnya dalam konteks pasca-kekerasan komunal, ini perlu diatasi bersama.
Situs sosial lain yang perlu dikembangkan adalah organisasi, asosiasi, dan kelab. Di situs-situs sosial ini warga meluangkan cukup banyak waktu, khususnya di kota, sehingga kontak dan interaksi antarwarga beda agama, suku, dan kelas dapat dikembangkan di arena ini juga. Seperti interaksi sehari-hari, interaksi dalam organisasi adalah jalan rekonsiliasi, perjumpaan, dan kerjasama sosial.
Tetapi, ada kawasan solidaritas dan belonging lain yang perlu diperhatikan, yaitu ruang atau kawasan publik. Mengembangkan ruang publik yang demokratis, tempat warga negara berpartisipasi dan mengusahakan tujuan dan kepentingan masing-masing dengan cara-cara nirkekerasan adalah bagian penting usaha membina perdamaian berkelanjutan. Pengalaman Ambon, khususnya menjelang kekerasan 1999, menunjukkan kawasan publik yang menjadi lebih tegang karena politik identitas – agama dan suku. Seiring dengan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, ruang publik yang demokratis, tempat berbagai kelompok identitas berbeda pendapat dan berebut kepentingan tetapi dengan cara-cara nirkekerasan dan demokratis, akan lebih mudah dicapai.
Akhirnya, peran negara sebagai penyedia keamanan yang merupakan fungsi pokoknya perlu terus ditingkatkan. Aktor-aktor negara dapat memberikan jaminan proteksi dan keamanan kepada masyarakat tanpa pandang bulu, dan mendorong kerukunan dan kerjasama sosial baik dalam kehidupan sehari-hari maupun asosiasi. Pada saat yang sama, aktor-aktor negara dapat menunjukkan kapasitas menangkal kekerasan (deterrence) yang kredibel, khususnya kekerasan aktor negara. Tetapi, aktor negara juga harus menghindari penyalahgunaan wewenang dan penggunaan kekerasan yang dapat menimbulkan ketidakamanan di masyarakat dan merusak hubungan antarwarga.***
Referensi
Badan Pusat Statistik. 2001. Penduduk Maluku: Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 Seri L2.2.28. Jakarta Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2001. Penduduk Sulawesi Utara: Hasil Sensus Penduduk tahun 2000 Seri L2.2.23. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bartels, Dieter. 2000. “Your God Is No Longer Mine.” Diakses pada 10/04/2010, dari: www.nunusaku.com.
Berenschot, Ward. 2011. “The Spatial Distribution of Riots: Patronage and the Instigation of Communal Violence in Gujarat, India.” World Development 39: 221-230.
Bertrand, Jacques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. New York: Cambridge University Press.
Biro Pusat Statistik Indonesia. 2001. Sensus Penduduk 2000. Jakarta: Biro Pusat Statistik Indonesia.
Brass, Paul. 2003. The Production of Hindu–Muslim Violence in Contemporary India. Seattle: University of Washington Press.
Crouch, Harold. 2010. Political Reform in Indonesia after Soeharto. Singapore: ISEAS.
Duncan, Christopher R. 2004. “Tamu tak Diundang: Hubungan Antara Pengungsi Maluku Utara dan Penduduk Lokal di Sulawesi Utara.” Antropologi Indonesia 74: 48-58.
Fearon, J. dan D. Laitin. 1996. “Explaining Interethnic Cooperation,” American Political Science Review 90/4, December: 715-735.
Gooszen, Hans. 2000. A Demographic History of the Indonesian Archipelago, 1880-1942. Singapore, ISEAS.
Henley, D., M.J.C. Schouten, dan A.J. Ulaen. 2007. “Preserving the Peace in post-New Order Minahasa” in H.S. Nordholt and G. Van Klinken (eds)
Renegotiating Boundaries. Local Politics in post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press, hlm. 307-326.
Mas’oed, M., M. Maksum, M. Soehadha. 2000. Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu. Yogyakakarta, P3PK UGM. Dua Kota Dua Cerita 155
Mercusuar. 2000. “Manado ‘Diserbu’ Pengungsi Kerusuhan” Mercusuar, Juni 20: 8.
Nurhadiantomo. 2004. Hukum Reintegrasi Sosial: Konflik-konflik Sosial Pri-nonpri dan Hukum Keadilan Sosial. Pabelan: Muhammadiyah University Press.
Panggabean, Samsu Rizal. 2000a. Wawancara penulis dengan Tony Pariela di Tabanan, Bali, 29 Maret.
_____. 2000b. Wawancara penulis dengan Haji Ali Fauzi, Tabanan, Bali, 30 Maret.
_____. 2000c. Wawancara penulis dengan John Ruhulesin di Tabanan, Bali, 31 Maret.
_____. 2004. “Maluku: The Challenge of Peace,” in Searching for Peace in Asia Pacific. An Overview of Conflict Prevention and Peacebuilding Activities. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers: 416-462.
Panggabean, Samsu Rizal dan Benjamin Smith. 2011. ”Explaining Anti-Chinese Riots in Late 20th Century Indonesia” World Development v. 39, n. 2: 231–242.
Panggabean, Samsu Rizal 2013 “Conflict Studies in Indonesia: A preliminary survey of Indonesian publications”. Tidak diterbitkan.
Panggabean, Samsu Rizal. 2014. “Penghindaran Positif, Segregasi, dan Kerjasama Komnal di Maluku” dalam Manuputty , J., Salampessy, Z., Ali-Fauzi, I., dan Rafsadi, I., (eds) Carita Orang Basudara. Kisah-kisah perdamaian dari Maluku. Jakarta: Lembaga Antar Iman Maluku dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi: 289-394.
Purdey, Jemma. 2006. Anti-Chinese Violence in Indonesia: 1996-1999. Singapura: ISEAS
Suara Maluku. 1998a. “Ratusan Mahasiswa Demo Tiga Kantor,” Suara Maluku, 23 September: 3.
Suara Maluku. 1998b. “Demo Mahasiswa FKIP itu Murni,” Suara Maluku, 28 September: 3.
Suara Maluku. 1998c. “Pelajar dan Mahasiswa MKR Unjuk Rasa,” Suara Maluku, 3 November: 3.
Suara Maluku. 1998d. “Aparat-Mahasiswa Bentrok, Ambon Berdarah,” Suara Maluku, 19 November: 3.
Suara Maluku. 1998e. “Biadab dan Mirip Tentara Bayaran,” Suara Maluku, 20 November.
Suara Maluku. 1999. “Louhery Diganjar 6 Bulan Potong Masa Tahanan,” Suara Maluku, 7 Mei: 3.
Van Klinken, Gerry. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia: Smal Town Wars. New York: Routledge.
Varshney, A. 2002. Ethnic Conflict and Civic Life. New Haven, CT: Yale University Press.
Varshney, A. 2010. “Analyzing Collective Violence in Indonesia: An Overview” dalam Varshney, Ashutosh (ed.). 2010. Collective Violence in Indonesia. Boulder: Lyn Rienner Publishers: 1-18.
Varshney, A., R. Panggabean, dan M.Z. Tadjoeddin. 2004. “Patterns of Collective
Violence in Indonesia (1990-2003)”. Jakarta: USFIR.
Wilkinson, Steven I. 2004. Votes and Violence: Electoral Competition and Ethnic Riots in India. New York: Cambridge University Press.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang:
Menegosiasikan Ruang dan Menjaga Perdamaian
Stella Aleida Hutagalung
Pendahuluan
1
Pada tahun 2011, untuk pertama kalinya di Kupang, sekelompok warga
Kristen secara terang-terangan menolak pembangunan masjid di
Kelurahan Batuplat. Mereka bersikukuh bahwa surat dukungan masyarakat
setempat—salah satu syarat mendapatkan izin membangun gereja—
telah dipalsukan. Walikota Kupang Daniel Adoe merespon tuntutan
tersebut dengan memerintahkan agar pembangunan masjid dihentikan
pada 9 Agustus 2011. Ironisnya, di bulan April 2011, Menteri Agama
mengunjungi Kupang untuk menyaksikan pemberian sumbangan dari para
pejabat setempat, termasuk gubernur dan walikota, untuk melanjutkan
1 Tulisan ini adalah terjemahan dari artikel berjudul “Muslim-Christian
Relations in Kupang: Negotiating Space and Maintaining Peace” yang terbit
di The Asia Pacific Journal of Anthropology [TAPJA] pada 20 Oktober 2016 dengan
tautan: http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14442213.2016.1226943
Naskah asli tulisan ini dapat terwujud atas hasil diskusi dan review dari Kathryn Robinson,
James Fox, Andrew McWilliam, Lene Pedersen, dan Alan Thorold. Jika ada kesalahan dalam
artikel ini adalah tanggungjawab saya.
158 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
pembangunan Masjid Raya Kupang yang terhenti karena kesulitan dana.
Menteri memuji prakarsa tersebut sebagai wujud toleransi antarumat
beragama di Kupang.
2
Kedua kejadian di atas merupakan gambaran bahwa
hubungan Muslim dan Kristen di Kupang sangat kompleks dan dinamis,
melibatkan negosiasi dan ketegangan terkait isu-isu sehari-hari mengenai
halal dan haram, termasuk isu yang sensitif seperti pembangunan tempat
ibadah, penyebaran agama, dan perpindahan agama.
Setelah Orde Baru runtuh pada 1998, Kupang mengalami dua
perkembangan penting berkaitan dengan hubungan Muslim-Kristen.
Pertama adalah insiden kekerasan Muslim-Kristen pada bulan November
1998 dan insiden kedua adalah ketegangan yang dipicu oleh pembangunan
Masjid Batuplat pada tahun 2011. Artikel ini akan mengulas kedua
insiden tersebut dan menganalisis mengapa kedua peristiwa tersebut tidak
bereskalasi menjadi konflik kekerasan dalam skala besar.3
Sejumlah studi menyimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang
berkontribusi pada keharmonisan antaragama di kawasan timur
Indonesia. Faktor pertama adalah adanya mekanisme adat yang kuat dalam
masyarakat (Bartel 1977; Fuad 1985; Tule 2004; Gomang 2006; Rodemeier
2010; Carnagie 2010; Remon 2014). Studi mereka menggarisbawahi
peran penting mekanisme sosial dan politik melalui lembaga adat dalam
menjaga relasi sosial yang baik. Dalam beberapa kasus, mekanisme adat
bekerja secara efektif dalam menyelesaikan ketegangan antaragama, tanpa
intervensi substantif dari aparat negara. Mekanisme sosial politik melalui
lembaga adat umumnya sudah eksis sejak lama, bahkan sejak era pra-
2 “Menag Suryadharma Ali Memuji Kerukunan Hidup Beragama di NTT” (Indonesian
Minister of Religious Affairs Suryadharma Ali Praised the Peaceful Interfaith Relations in
NTT) http://indonesia.ucanews.com/2011/04/11/umat-kristiani-bantu-bangun-masjid-
di-kupang/
3 Sebagai kota multietnis, Kupang juga mengalami konflik identitas. Misalnya, tawuran
antarpemuda Sumba dan Alor sering kali terjadi. Selama lima tahun terakhir, setidaknya
lima insiden dilaporkan oleh media. Dalam sebuah tawuran pada 15 November 2009 di
Kampung Oesapa, seorang pelajar Alor tewas. Namun, penanganan ketegangan antaragama
mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah. (Timor Express 15 November 2009; Pos
Kupang 15 Maret 2014; Timor Express 18 September 2012).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 159
kolonial, dan sebelum adanya perbedaan keyakinan dalam masyarakat.
Faktor kedua adalah perkawinan campur (intermarriage) (Babcock
1981, 1989; Carnagie 2010; Remon 2014). Di wilayah di mana banyak
berlangsung perkawinan campur, hubungan antarkeluarga yang berbeda
agama cenderung lebih erat. Babcock (1981, 1989) misalnya berpendapat
perkawinan campur mempererat hubungan antara mereka yang beragama
Muslim di Kampung Jawa Tondano dengan keluarga mereka yang Kristen
di wilayah lain di Sulawesi Utara.
Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Bagaimana dinamika hubungan Muslim-Kristen di tingkat nasional
mempengaruhi hubungan Muslim-Kristen di Kupang? Faktor apa yang
mempengaruhi terhadap ketegangan dan keharmonisan hubungan
antaragama di Kupang? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
saya mengacu pada studi Varshney (2002) tentang konflik komunal Hindu-
Muslim di India. Varshney berpendapat bahwa dalam komunitas yang
plural, kokohnya inter-communal networks (hubungan inter-komunal)
dalam kehidupan sipil akan mendorong perdamaian. Sebaliknya, jika inter-
communal network tidak ada atau lemah, masyarakat akan menjadi rentan
terhadap konflik. Varshney (2002, 3) berpendapat ada dua tipe hubungan
inter-komunal, yakni: ‘associational forms of civic engagement’ (interaksi
masyarakat dalam entitas formal) dan ‘everyday forms of civic engagement’
(interaksi masyarakat sehari-hari). Associational forms of civic engagement
adalah entitas formal seperti serikat pekerja dan kelompok bisnis yang
anggotanya berasal dari masyarakat berbeda-beda agama. Everyday forms of
civic engagement mencakup interaksi sehari-hari yang rutin, seperti saling
kunjung, kerjasama, partisipasi dalam kegiatan sosial, maupun interaksi
di tingkat komunitas di antara warga, termasuk pemuda, perempuan, dan
anak-anak. Varshney berpendapat interaksi warga dalam entitas formal
cenderung lebih kuat dalam menangkal konflik.4
4 Jenis-jenis interaksi warga dalam entitas formal termasuk “asosiasi pengusaha, organisasi
profesi, serikat pekerja, komunitas hobi seperti film, olahraga, buku, festival hingga partai
politik yang berbasis kader” (Varshney 2002, 3).
160 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Karena keberadaan interaksi masyarakat dalam entitas formal di
Indonesia cenderung lemah (Hadiz 1997 dan MacIntyre 1991 dalam
Hedman 2005), fokus saya adalah mengamati variasi bentuk dan peran
interaksi masyarakat sehari-hari di Kupang dalam meredakan ketegangan
antaragama. Penelitian saya menemukan bahwa ketika ketegangan muncul,
atau ketika rumor menyebar di masyarakat, kehadiran interaksi warga
sehari-hari berperan memberikan klarifikasi kepada kedua pihak sehingga
ketegangan tidak merembet. Saya berpendapat bahwa masyarakat plural di
Kupang lebih mampu meredam kekerasan antaragama karena kehadiran
interaksi masyarakat sehari-hari yang kuat di tingkat warga. Di Kupang,
interaksi warga sehari-hari efektif karena dua alasan. Pertama, interaksi
masyarakat sehari-hari diperkuat oleh organisasi keagamaan yang bersifat
moderat dan kepemimpinan politik lokal yang solid. Kedua, interaksi
masyarakat sehari-hari bukan muncul sebagai respons atas konflik,
namun sudah hadir lebih dulu dalam keseharian warga, sehingga dapat
diekspresikan secara lebih solid.
Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian di tiga kelurahan, yaitu
Kampung Solor, Airmata dan Oesapa. Kampung Solor dan Airmata
adalah pemukiman Muslim yang didirikan sejak abad 17, dengan populasi
mayoritas keturunan Solor. Di kedua perkampungan ini, sekitar 80%
populasi beragama Islam.5 Lokasi ketiga yakni Kelurahan Oesapa didirikan
pada akhir tahun 1970 oleh pendatang suku Bugis dari Sulawesi Selatan.
Di Oesapa, Muslim adalah kelompok minoritas (15 persen) dan mereka
tinggal di permukiman yang dikelilingi oleh rumah-rumah, sekolah, dan
gereja Kristen. Kelurahan Oesapa adalah lokasi utama kasus kekerasan
5 Kampung Solor, didirikan pada tahun 1600an, merupakan permukiman yang disiapkan
oleh Belanda sebagai hadiah bagi pendatang dari Pulau Solor yang membantu Belanda
memerangi musuh-musuhnya di Timor. Sekitar 80% dari total 2,703 penduduknya
beragama Islam (BPS 2010). Warga non-Muslim tinggal di rumah-rumah yang menyebar
di banyak rukun tetangga sehingga membentuk permukiman campuran. Kampung Airmata
didirikan pada tahun 1800an. Penghuninya berasal dari Kampung Menanga di Pulau Solor
yang bukan pendukung Belanda, mereka umumnya bekerja sebagai pedagang dan penyebar
agama Islam. Di Kampung Airmata, 80% penduduk dari 1,614 beragama Islam (BPS 2011).
Warga non-Muslim tinggal di satu rukun tetangga (RT) saja.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 161
antaragama di Kupang pada tahun 1998.
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif, terutama
menggunakan observasi partisipan dalam kehidupan sehari-hari di
kampung-kampung tersebut, wawancara mendalam dan analisis artikel
yang relevan di surat kabar lokal dan nasional.6
Saya menghadiri ritual-
ritual siklus kehidupan dan perayaan hari-hari besar Islam, antara lain
untuk mengamati bagaimana umat Islam sebagai kelompok minoritas
mempraktekkan ritual tersebut di sebuah kota yang didominasi penduduk
Kristen. Saya juga mengamati kegiatan Majelis Taklim perempuan,
termasuk majelis taklim khusus untuk mualaf. Saya mewawancarai imam-
imam masjid untuk mengetahui sejarah masjid dan pandangan mereka
tentang hubungan antaragama. Saya juga mewawancarai Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ketua
MUI Kota Kupang, ustad, perwakilan Dinas Agama, dan warga. Saya
juga menghadiri sholat Jumat di beberapa masjid untuk mendengarkan
kotbah yang disampaikan. Selain itu, meski penelitian ini berfokus pada
perspektif Muslim, saya juga mewawancarai sejumlah pemuka agama dan
masyarakat Kristen.
Dinamika Hubungan Muslim-Kristen di Indonesia
Dinamika hubungan Muslim-Kristen di Indonesia sudah dikaji oleh
sejumlah peneliti. Secara umum hubungan Muslim-Kristen di Indonesia
berjalan damai namun rapuh, ditandai oleh sejumlah episode ketegangan
dan konflik kekerasan. Ketegangan terutama terkait dengan kecurigaan
terhadap kegiatan aktivitas misi penyebaran agama, baik Kristen
maupun Islam. Kontestasi keduanya tercermin dalam perdebatan yang
melatarbelakangi penyusunan undang-undang atau regulasi dan diskursus
publik mengenai larangan menghadiri perayaan keagamaan dan larangan
pembangunan gereja. Secara episodik ketegangan juga termanifestasikan
dalam kekerasan verbal maupun fisik (Ropi 2000, 2013). Penyebab
utama perselisihan-perselisihan di atas adalah kecurigaan kedua belah
6 Pos Kupang, Timor Express, Kompas, dan The Jakarta Post.
162 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
pihak terhadap misi keagamaan, yang dikenal sebagai ‘Islamisasi’ dan
‘Kristenisasi’7
(Mujiburrahman 2006; Arifianto 2009).
Pada masa pra-kemerdekaan, ketegangan antarkelompok beragama
antara lain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial. Secara formal
pemerintah Belanda menganut asas netralitas dalam hal kehidupan
beragama warga, namun dalam praktiknya condong ke kelompok pribumi
Kristen, melalui pemberian bantuan keuangan untuk gereja dan misionaris
serta memberikan keistimewaan bagi pribumi Kristen untuk terlibat dalam
birokrasi dan militer kolonial. Muslim pada umumnya memiliki persepsi
negatif terhadap penguasa kolonial Belanda dengan alasan bahwa kebijakan
mereka membatasi ruang gerak umat Islam dan mendukung penyebaran
agama Kristen. Persepsi negatif tersebut bukan hanya ditujukan terhadap
Belanda tapi juga meluas hingga ke warga Kristen pribumi (Arifianto 2009).
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia (1942-1945), mereka mengadopsi
kebijakan pro-Muslim untuk memobilisasi dukungan. Jepang
menghidupkan kembali fasilitas-fasilitas pendidikan Islam, membentuk
partai Islam Masyumi, mendirikan kantor untuk urusan agama, dan yang
terpenting mengakomodasi para pemimpin Muslim dalam mempersiapkan
kemerdekaan. Pada masa mempersiapkan kemerdekaan, ketegangan
antara Muslim-Kristen terwujud dalam perdebatan mengenai ideologi
negara. Kelompok Muslim meminta Islam dijadikan landasan ideologi
negara, sedangkan kelompok Kristen dan kelompok nasionalis setuju
bahwa agama dijadikan landasan negara tapi tidak spesifik pada agama
tertentu saja. Ketika aspirasi untuk mengadopsi Islam sebagai ideologi
negara ditolak oleh pemerintah Sukarno, ketegangan semakin intensif dan
memicu beberapa pemberontakan yang bertujuan membentuk Indonesia
sebagai negara Islam (Van Bruinessen 2002).
Ketika Sukarno jatuh pada tahun 1966, muncul kekhawatiran umat
Islam terhadap pertumbuhan jumlah orang Kristen yang pesat, terutama
7 Kegiatan misionaris Kristen kerap disebut Kristenisasi yang mengandung makna negatif
seperti “ekspansi agama Kristen”, “intervensi kepentingan asing” dan “Perang Salib modern”
(Mujiburrahman 2006, 54).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 163
setelah peristiwa anti-Partai Komunis Indonesia (PKI).8 Perkembangan
ini berlanjut di tahun-tahun awal rezim Suharto (sejak 1967), di mana
fokus pada stabilitas politik untuk tujuan pertumbuhan ekonomi lebih
menguntungkan kelompok Kristen dan Muslim nominal. Suharto
menekan kekuatan politik Islam yang terus menyuarakan aspirasi Islam
sebagai ideologi negara, melalui kebijakan SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan), yang membatasi kebebasan politik termasuk dengan cara-
cara represif (Husein 2005; Mujiburrahman 2006; Seo 2012).
Perubahan terjadi pada akhir periode Orde Baru dan selama periode
Reformasi (dari tahun 1998), di mana posisi politik kelompok Muslim
semakin menguat. Sejak pertengahan 1980an Suharto merangkul kelompok
Islam dengan tujuan mendapatkan dukungan dalam pertarungan politik
melawan Angkatan Darat. Perubahan ini menciptakan keseimbangan
politik baru antara Muslim dan Kristen. Pada tahun-tahun terakhir
pemerintahan Suharto, perimbangan kekuatan berdampak pada
ketegangan yang semakin akut dan meledak dalam kekerasan antaragama.
Di Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah, konflik terjadi dalam skala
besar, berlangsung beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun, dengan
korban jiwa dalam jumlah yang besar9
(Van Klinken 2007; Arifianto 2009).
Di Kupang, benturan Muslim dengan Kristen juga terjadi pada November
1998 meski dalam skala yang lebih kecil (Sihbudi & Nurhasim 2001).
Kekerasan komunal antaragama adalah salah satu impuls politik di
balik penataan sistem politik setelah jatuhnya rezim Suharto. Program
desentralisasi dijalankan di tingkat kabupaten sebagai bagian dari agenda
8 Husein (2005, 120) mengutip Laporan New Catholic Encyclopedia (2002-2003, 430)
yang menyatakan sekitar dua juta orang di Jawa berpindah menjadi pemeluk agama Kristen
(baik Katolik maupun Protestan) setelah peristiwa anti-komunis di Indonesia. Salah satu
alasan perpindahan massal ini adalah agama Kristen dianggap lebih bersedia menerima
“bekas komunis”. Perpindahan agama massal dan sikap toleran rezim Suharto terhadap
kegiatan misionaris Kristen menyebabkan “kemarahan umat Muslim dan memperburuk
hubungan Muslim-Kristen” (Husein 2005, 120-122).
9 Konflik Muslim-Kristen di Maluku (Januari 1999–2004) menyebabkan 5,000an orang
tewas dan 570,000 mengungsi. Di Maluku Utara, konflik menewaskan 4,000an orang dan
250,000 mengungsi. Di Poso (Sulawesi Tengah) sekitar 700 orang terbunuh dan 70,000
mengungsi pada 1999 hingga 2000 (UNSFIR 2003; Van Klinken 2007; Wilson 2008).
demokratisasi, namun juga dengan harapan memberikan jalan yang sah
untuk mengekspresikan sentimen lokal tanpa mengorbankan kesatuan
bangsa (Aspinall & Fealy 2003). Di beberapa daerah yang berpenduduk
mayoritas Muslim, Islam politik berkembang melalui penerapan peraturan
daerah (PERDA) berbasis syariah. Dakwah Islam dan kelompok-kelompok
yang menyebarkan dakwah berkembang pesat dengan implikasi luas dalam
kehidupan politik, ekonomi, maupun gaya hidup sehari-hari. Pada saat
bersamaan, kegiatan misionaris agama Kristen juga dilakukan dengan
cara yang lebih masif. Konflik antaragama berskala besar telah berakhir
pada awal 2000an, namun ketegangan antaragama terus berlanjut terutama
terkait dengan kecurigaan penyebarluasan agama, termasuk pembangunan
tempat ibadah Kristen di daerah-daerah mayoritas Muslim (Ali-Fauzi et
al., 2014).
Muslim sebagai Minoritas di Kota Kristen Kupang
Muslim merupakan kelompok minoritas di Kupang sejak kota tersebut
didirikan oleh Belanda pada abad ketujuh belas. Pada tahun 2013, populasi
Kupang berjumlah 365,358 jiwa, didominasi oleh Protestan (55 persen)
dan Katolik (26 persen). Jumlah Muslim berkisar 16 persen, sisanya adalah
umat Hindu dan Buddha.10
Pola pemisahan area permukiman di Kupang saat ini yang berdasarkan
kelompok etnis dan agama telah terbentuk sejak era kolonialisme.
Belanda mulai menguasai area Kupang sejak tahun 1653 dan menjalankan
pemerintahan kolonial hingga awal 1900an. Pemerintah kolonial Belanda
menerapkan dua kebijakan yang dampaknya terlihat pada Kupang modern.
Pertama, mendorong migrasi beberapa kelompok etnis di kepulauan sekitar
ke kota Kupang untuk alasan ekonomi dan keamanan. Migran awal-awal
adalah dari Pulau Rote, Sabu, dan Solor yang didatangkan sebagai tentara
10 Ditinjau dari komposisi etnis (BPS 2009), suku Atonimeto—penduduk asli Timor—
adalah yang terbesar (29,43%) diikuti Rote (17,72%) dan Flores (13,6%). Jawa dan Bugis,
yang mulai banyak bermigrasi setelah era kemerdekaan berjumlah masing-masing 6%
dan 2%. Selain itu ada pula warga keturunan Hadrami (migran Arab dari negara Yaman)
dalam jumlah yang kecil.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 165
atau pekerja. Mereka bersekutu dengan Belanda dalam perang melawan
Portugis, keturunan Portugis (mestizo) dan penduduk Timor yang anti-
Belanda11 (Fox 1977).
Kebijakan kedua adalah mendukung penyebaran agama Kristen
Protestan, terutama di tahun-tahun terakhir pemerintahan kolonial. Pada
tahun-tahun awal Belanda memisahkan isu agama dan pemerintahan
dan tidak mendorong misionaris Protestan secara aktif. Setelah VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie/ Perusahaan Hindia Timur Belanda)
bangkrut pada akhir 1800-an, kegiatan misionaris dikoordinasi oleh
organisasi misionaris swasta dan kemudian oleh gereja Protestan milik
negara. Para periode ini, misi Protestan berjalan baik dan Kupang berperan
sebagai pusat kegiatan misionaris dan pemerintahan. Pada periode 1905-
1920an, Belanda mulai kebijakan “pasifikasi” untuk menguasai pedalaman
Timor setelah selama ratusan tahun hanya bercokol di Kupang. Belanda
memperluas kekuasaan teritori ke pedalaman melalui aliansi dengan
penguasa setempat. Jalan-jalan dibangun, wabah penyakit dihilangkan,
perbudakan dilarang dan dilakukan peningkatan keamanan. Situasi ini
dimanfaatkan oleh misionaris Kristen Protestan untuk menjalankan
misi keagamaan secara lebih intensif. Setelah kebijakan ‘pasifikasi” ini,
penyebaran agama Protestan mencapai puncaknya di ke pedalaman Timor
bagian barat dan pada tahun 1947 Belanda membantu mendirikan GMIT
(Gereja Masehi Injili di Timor) yang kini merupakan denominasi terbesar
di Timor12 (Aritonang & Steenbrink 2008; Farram 2010; Van Klinken
2014, 143-144).
Kebijakan Belanda terkait migran dan penyebaran agama Kristen
memiliki dua dampak penting. Pertama, Kupang berkembang menjadi
kota multi-etnis. Kedua, Kupang menjadi kota dengan penduduk mayoritas
11 Penduduk lainnya adalah suku asli Kupang (Helong) dan suku-suku dari Pulau Timor
seperti Atoni dan Ndao, yang semuanya berhubungan baik dengan Belanda (Fox 1977, 67).
12 Sebelumnya, Gereja Protestan Pemerintah Belanda (IK) sudah memfasilitasi
pembentukan gereja berbasis suku di Minahasa (GMIM) pada tahun 1934 dan di Maluku
(GPM) pada tahun 1935. Pada tahun 1947 GMIM, GPM dan GMIT bersatu membentuk
Gereja Protestan Indonesia (GPI) di tingkat nasional (Aritonang & Steenbrick 2008).
166 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Kristen. Hampir seluruh migran yang bermukim di Kupang menjadi
Kristen, kecuali migran dari Pulau Solor dan keturunan Hadhrami, yang
datang pada pertengahan 1800-an. Orang-orang pribumi yang memeluk
Kristen, terutama dari Pulau Rote dan Sabu, tetap menjadi kelompok
dominan di pemerintahan dan birokrasi sampai saat ini, sementara Muslim
lebih banyak berkiprah di sektor swasta (Fox 1977; Van Klinken 2014).
Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, jumlah penduduk
Muslim di Kupang meningkat terutama karena migrasi internal. Van
Klinken (2014) mencatat, migrasi ke Kupang di era pasca-kolonial pernah
memicu insiden kekerasan anti-Jawa pada April-Mei 1957 ketika Kupang
masih merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil. Dalam insiden yang
dikenal dengan nama 'Red Cap' (Destar Merah) tersebut warga pribumi
menuntut penggusuran guru, polisi, dan pejabat pemerintah yang
beragama Islam dan berasal dari Jawa. Untuk merespon hal ini, pada
tahun 1959 pemerintah membentuk provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
dengan Kupang sebagai ibu kota provinsi (Van Klinken 2014, 192).
Pada tahun-tahun berikutnya, gelombang migrasi dari luar Kupang
terus meningkat selama era Orde Baru dan tidak tercatat adanya penolakan
yang berujung insiden seperti pada tahun 1957.13 Di antara migran yang
menetap di Kupang di masa kemerdekaan adalah suku Bugis dari Sulawesi.
Mereka mendiami berbagai kampung seperti Camplong, Airmata, dan
Bonipoi (Widyatmika 2004). Pemberontakan Kahar Muzakar (DI TII)
di Sulawesi (1951-1965) merupakan salah satu pemicu migrasi Bugis ke
berbagai pulau di Indonesia, termasuk Kupang. (Lineton 1975; Juhannis
2006).14
Sejak Orde Baru, komposisi penduduk Kupang berdasarkan agama
13 Perburuan menyasar orang-orang komunis di Kupang dan sekitarnya (1965-1967)
menyebabkan korban tewas antara “5.000-6.000 hingga 13.600” (Van Klinken 2014, 250).
14 Migrasi Muslim Bugis ke Kupang dan Timor bukan fenomena baru. Migrasi tersebut
marak setelah Kerajaan Makassar—musuh utama Bugis—dikalahkan Belanda pada tahun
1669. Dampaknya, orang-orang Bugis yang tadinya dilarang memasuki perairan Timor kini
bebas berlayar dan menjangkau kawasan Timor hingga ke Australia bagian utara untuk
mencari trepang. Sebagian dari mereka menetap di Kupang (Kecamatan Alak) dan wilayah
sekitarnya (Widyatmika 2004).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 167
dan etnis perlahan berubah. Jumlah umat Muslim dan Katolik terus
meningkat, sementara Protestan mengalami stagnasi atau bahkan sedikit
menurun. Peningkatan jumlah penduduk Muslim yang signifikan terjadi
selama periode 2009-2010 (tercatat bertambah 6,806 jiwa) dan antara
2010-2012 (tercatat bertambah 11,085). Permukiman Muslim semakin
banyak muncul di desa/kelurahan yang sebelumnya didominasi penduduk
Kristen. Akibatnya, makin banyak desa/kelurahan-kelurahan di Kupang
menjadi plural, terutama di daerah yang disebut Kupang Baru—bagian kota
yang berkembang sejak era pembangunan Orde Baru (Widiyatmika 1983).
Pendatang beragama Islam berasal dari berbagai wilayah di Indonesia,
umumnya berpendidikan lebih tinggi daripada penduduk lokal dan makin
banyak yang memasuki sektor pemerintah (Tidey 2010).
Kedatangan para migran Muslim yang berasal dari berbagai wilayah
sejak era kemerdekaan, membawa serta beragam tradisi Islam, telah
membentuk keragaman praktik Islam di Kupang. Di Kupang Lama,
setiap komunitas Muslim bermukim di kampung yang berbasis etnis dan
mengelola masjid di kampung. Masjid di tiga kampung Muslim lokasi
penelitian ini mempertahankan tradisi Islam masing-masing yang berasal
dari tempat asal etnis dominan di sana. Karena umat Islam di Kampung
Solor dan Airmata sebagian besar berasal dari Solor, kehidupan religius
mereka berpusat pada tradisi Solor. Praktik yang dibawa dari Solor misalnya
imam masjid ditetapkan secara turun-temurun, dan adanya pembagian
peran antara domain masjid (Kampung Imam) dan adat (Kampung Raja)
dalam ritual siklus kehidupan. Di Kelurahan Oesapa, di mana sebagian
besar penduduk Muslimnya beretnis Bugis, praktik keagamaan mereka
mewakili budaya orang Bugis.
Masjid-masjid di permukiman-permukiman baru memiliki karakter
yang berbeda dengan yang ada di permukiman Kupang Lama. Masjid-
masjid di Kupang Baru memiliki manajemen yang lebih modern, di mana
yayasan masjid yang berbadan hukum memainkan peran lebih penting
daripada imam15, dan praktik keagamaan tidak dipengaruhi oleh tradisi
15 Peraturan Pemerintah No.63/2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang
168 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
etnis tertentu. Perubahan lain yang terjadi pada awal tahun 2000an adalah
munculnya Jamaah Tabligh (JT) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Keduanya menjalankan dakwah yang lebih kosmopolit, berorientasi pada
jaringan dan isu-isu global dan tidak memiliki kaitan dengan masjid-masjid
yang berbasis etnis di Kupang Lama. Konflik dan negosiasi antara umat
Kristen dan Muslim di Kupang harus dipahami dalam konteks ini.
Insiden November 1998
Setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, sebuah insiden kekerasan
terjadi di Kupang dalam skala yang lebih kecil dibanding konflik antaragama
di Maluku dan Maluku Utara. Pada tanggal 30 November 1998 beberapa
organisasi mahasiswa Kristen mengadakan parade berkabung untuk
mengungkapkan keprihatinan atas kerusuhan anti-Kristen yang terjadi di
Ketapang (Jakarta) pada minggu sebelumnya.16 Insiden November 1998
berlangsung dua hari. Pada hari pertama, setelah parade berlangsung tiba-
tiba terjadi penyerangan dan pembakaran beberapa masjid, gedung sekolah,
rumah, kios dan toko milik warga Muslim. Serangan berlanjut keesokan
harinya, saat kerumunan massa menuju Kelurahan Oesapa— sekitar 10
kilometer di pinggir kota—melempar batu dan membakar sebuah masjid
dan beberapa rumah. Dalam insiden ini dilaporkan dua orang tewas, lima
belas masjid, sejumlah kios dan rumah rusak atau dibakar. Massa membawa
serta bom molotov dan senjata tajam seperti tombak dan pisau. Menjelang
malam hari kedua pasukan keamanan setempat berhasil memadamkan
kekerasan. Situasinya baru dapat dikendalikan pada hari ketiga (Sihbudi
& Nurhasim 2001).
Yayasan mewajibkan setiap masjid memiliki status hukum berbentuk yayasan agar dapat
menerima hibah pemerintah.
16 Insiden Ketapang di Jakarta dipicu penganiayaan terhadap seorang remaja Muslim oleh
sejumlah tenaga keamanan beretnis Ambon (beragama Kristen) yang bekerja di tempat
hiburan/judi. Orang tua dan keluarga korban membalas menyerang sehingga dengan
cepat bereskalasi menjadi kerusuhan Muslim-Kristen yang menewaskan belasan orang
dan melukai hingga 81 orang. Sebanyak 16 gereja, sebuah masjid, beberapa sekolah, dan
gedung pemerintah, beberapa rumah dan kendaraan dibakar atau dirusak (Sihbudi &
Nurhasim 2001).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 169
Meskipun pihak berwenang berhasil menghentikan kekerasan dalam
Insiden November 1998 dalam waktu relatif singkat, banyak informan
berpendapat bahwa masyarakat masih kebingungan karena pemerintah
tidak pernah melakukan penyelidikan resmi. Kebingungan pertama adalah
terkait jumlah korban jiwa yang diduga lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Kebingungan kedua adalah terkait identitas para pelaku kerusuhan yang
tidak dibeberkan. Informan Muslim cenderung percaya bahwa pelaku dan
dalang dari Insiden November 1998 bukanlah orang lokal; beberapa orang
meyakini bahwa para pelaku kerusuhan adalah preman-preman diorganisir
didatangkan dari Dili (Timor Leste).
Mereka datang dengan truk dan tiba-tiba muncul di antara
kerumunan massa. Setelah parade berkabung terkait insiden Ketapang
selesai pada pukul 10.00 pagi, para preman muncul dan bergabung
dengan massa sambil berteriak, "Bakar masjid, bakar masjid!"
(Wawancara, 17 Juni 2011)
Saksi lain, Haji Mokhsen Thalib, imam Masjid Oebobo dan seorang
guru SMA, membenarkan bahwa beberapa penyerang adalah siswa SMA
di Kupang. Dia mengatakan, 'Di antara para penyerang adalah siswa
sekolah menengah dan remaja. Mereka hendak membakar rumah saya,
tapi beberapa di antaranya—yang adalah murid saya—mengenali saya
sehingga mereka mundur '.17
Sebagian besar informan Muslim menganggap serangan tersebut
dimotivasi oleh balas dendam atas insiden Ketapang di Jakarta. Beberapa
informan berpendapat bahwa Insiden November 1998 telah dirancang oleh
kelompok tertentu sebagai bagian dari dinamika politik tingkat nasional
di era transisi setelah reformasi. Imam Masjid Airmata menyatakan para
pelaku dan dalang terkait dengan para pelaku kekacauan di wilayah konflik
lainnya. ‘Mereka dibawa ke sini untuk memicu kerusuhan di Kupang,’ kata
imam Masjid Airmata (Wawancara, 10 Maret 2011).
Bentrokan yang terjadi pada tahun 1998 mengubah sejarah kota
17 Wawancara 21 November 2011.
170 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Kupang. Insiden tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi sebagian
warga Muslim, baik yang menjadi korban maupun saksi. Tiga belas
tahun kemudian, pada saat saya melakukan penelitian ini, banyak
informan Muslim masih mengacu pada Insiden November 1998 dengan
marah dan rasa trauma jika terjadi ketegangan antar kelompok agama
di tempat mereka tinggal. Mereka merasa marah karena menyaksikan
apa yang mereka anggap tindakan menghina yang dilakukan terhadap
tempat ibadah. Misalnya, seorang saksi menyebutkan bahwa beberapa
penyerang masuk ke masjid dan membuang air kecil. Seorang informan
Muslim mengaku masih menyimpan rekaman video yang menunjukkan
penyerang sedang membakar masjid. Idrus Lamaya, seorang dosen di
Universitas Muhammadiyah dan imam Masjid Al Fatah di Kampung Solor,
mengatakan sangat terperanjat menyaksikan kerumunan massa melempari
batu ke rumahnya dan membakar masjid milik Muhammadiyah. Dia
menyimpulkan bahwa insiden tersebut meninggalkan perasaan marah di
kalangan umat Islam.18
Insiden November 1998 berlangsung hanya tiga hari dan tidak
bereskalasi menjadi kerusuhan yang berskala besar. Setelah menikmati
periode tenang yang cukup lama, saya menyaksikan sebuah episode
ketegangan baru yang dipicu oleh rumor provokatif pada 18 Februari
2011. Rumor ini juga merupakan respon langsung terhadap serangan
anti-Kristen yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa saat
sebelumnya. 19 Rumor serangan terhadap masjid menyebar dengan cepat
di Kupang. Dalam sebuah upacara Maulid untuk merayakan hari lahir
Nabi Muhammad, beberapa informan mengatakan bahwa mereka telah
18 Haji Idrus Lamaya menjelaskan bahwa semasa kecil keluarganya berhubungan baik
dengan keluarganya dan tetangganya yang beragama Kristen, misalnya orang tuanya
mengajaknya berkunjung ke rumah kerabat Kristen dari pihak neneknya yang orang Rote
pada saat Natal. Menurutnya, hubungan kekerabatan yang terjalin melalui pernikahan
campur berkontribusi positif pada hubungan baik kedua belah pihak yang berbeda agama.
19 Di Temanggung (Jawa Tengah) serangan sekelompok massa terjadi setelah seorang
terdakwa Kristen divonis bersalah dalam kasus penodaan agama Islam melalui tulisannya
dan dihukum lima tahun penjara. Kelompok penyerang berpendapat hukuman tersebut
terlalu ringan. Insiden tersebut menyebabkan tiga gereja dan bangunan pengadilan rusak
(“Violence at Blasphemy Trial in Central Java.” The Jakarta Post, 8 Februari 2011).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 171
mendengar desas-desus bahwa masjid akan dibakar saat ibadah sholat
Jumat. Banyak orang Muslim panik dan ada yang terbang ke Makassar
atau Surabaya untuk keamanan.20 Namun, sejauh yang saya amati, rumor
ini tidak menimbulkan kekerasan.
Perselisihan Seputar Pendirian Masjid Batuplat
Beberapa studi menunjukkan bahwa secara historis pembangunan tempat
ibadah merupakah salah satu sumber perselisihan antarpemeluk agama,
terutama di daerah-daerah Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim
(Mujiburrahman 2006; Ropi 2013; Ali-Fauzi et al. 2014). Isu tersebut
mencuat di Kupang pada tahun 2011 ketika sekelompok warga Kristen
mendeklarasikan penolakan pembangunan masjid di Kelurahan Batuplat.
Perkembangan ini agak mengejutkan karena secara historis pembangunan
tempat ibadah di Kupang belum pernah menjadi sumber perselisihan.
Protes warga Kristen terhadap pembangunan Masjid Batuplat harus
dipahami dalam konteks yang lebih luas yakni dinamika Muslim-Kristen di
tingkat nasional.21 Protes pembangunan Masjid Batuplat merupakan reaksi
terhadap protes kelompok Muslim terhadap pembangunan Gereja Yasmin
di Bogor (Jawa Barat). Warga Kristen Kupang menggunakan logika yang
sama dengan kaum Muslim yang menolak pembangunan Gereja Yasmin.
Dalam kasus Bogor, jemaat Gereja Yasmin tidak dapat melakukan ibadah
20 Wawancara dengan Haji Abdul Fatah Ahmad, Ketua MUI Kupang (21 Januari 2012).
21 Izin membangun tempat ibadah diatur dalam sejumlah peraturan yang semuanya
memerlukan persetujuan masyarakat. Peraturan tersebut termasuk Surat Keputusan Bersama
(SKB) Menteri Tahun 1969 yang diterbitkan kembali sebagai Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Dalam Negeri No. 8/1996. Tahun 2006, Pemerintah mengeluarkan
SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Tempat Ibadah (Nomor 8 dan 9
Tahun 2006). SKB tersebut mewajibkan penyerahan daftar nama dan salinan kartu identitas
minimal 90 warga dari wilayah tersebut dan 60 warga yang beragama lain yang menyetujui
pendirian tempat ibadah. Pendirian rumah ibadah juga harus mendapatkan rekomendasi
dari Dinas Agama kabupaten dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Dalam
praktiknya, ketentuan ini berlaku untuk pendirian gereja sehingga menyulitkan warga
Kristen. Banyak gereja akhirnya didirikan di gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan
gedung niaga, serta banyak kegiatan ibadah dilaksanakan di hotel, rumah pribadi, atau
gedung pertemuan. Hambatan pendirian gereja umumnya berupa kesulitan memperoleh
surat dukungan warga dan izin mendirikan bangunan (Ropi 2013; Ali Fauzi et. al 2014).
172 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
sejak 2010 setelah pemerintah kota mencabut izin mendirikan bangunan
akibat munclnya keberatan dari penduduk sekitar gereja.22 Penyebab utama
perselisihan tersebut adalah kecurigaan pada kedua belah pihak terhadap
misionaris religius, yang disebut sebagai 'Islamisasi' dan ‘Kristenisasi’
(ICG 2010; Ali Fauzi et.al 2014). Beberapa informan Muslim di Kupang
menyadari sepenuhnya hubungan kedua kasus ini. Salah satu dari mereka
berkata: ‘Jika orang-orang Kristen di sini keberatan dengan pembangunan
sebuah masjid, dengan alasan bahwa rekan-rekan seagama mereka di Jawa
mendapat perlakuan yang sama oleh umat Islam, kita harus menerimanya
dan tidak menuntut pembangunan masjid diteruskan.’23
Meskipun muncul protes terhadap pembangunan masjid dari kelompok
Kristen tertentu, tidak ada laporan mengenai kekerasan atau serangan
fisik terhadap warga Muslim. Ketua MUI NTT, Abdul Kadir Makarim,
mengklaim bahwa perselisihan tersebut terjadi karena orang-orang yang
tidak bertanggung jawab ingin menghancurkan kerukunan antaragama
yang dimotivasi oleh proses politik pemilihan walikota dan anggota
legislatif setempat.
Lima tahun setelah demonstrasi menolak pembangunan Masjid
Batuplat terjadi, sebuah solusi damai akhirnya ditemukan. Pada Februari
2016, Walikota Kupang Jonas Salean yang baru terpilih (seorang Kristen)
mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk masjid tersebut.
Walikota secara resmi memimpin ground breaking pembangunan masjid
di atas tanah seluas 288 m2 di atas tanah seluas 1,000 m2. Walikota
menekankan bahwa pemerintah kota sangat mendukung pembangunan
rumah ibadah karena negara menjamin keamanan semua orang untuk
beribadah. Rony Nalle, penduduk Batuplat, menyatakan bahwa warga
Kristen di sekitar masjid membantu melengkapi dokumen administratif
yang diperlukan untuk penerbitan izin tersebut dan memberikan tanda
22 Pihak gereja membawa kasus ini ke Mahkamah Agung dan memenangkan kasus
tersebut. Namun, pemerintah setempat tidak mengindahkan keputusan tersebut dan
bersikeras merelokasi gereja. Hingga tulisan ini dibuat, jemaat GKI Yasmin masih belum
memperoleh haknya beribadah di gereja tersebut.
23 Wawancara dengan Haji Abdul Fatah Ahmad, 21 Januari 2012.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 173
tangan dukungan mereka. Diberikan nama Nur Musafir, Masjid Batuplat
adalah masjid kelima puluh di Kupang.24
Tindakan untuk Mengatasi Konflik dan Ketegangan
Di bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa Insiden November 1998
tidak bereskalasi menjadi konflik besar dan desas-desus pembakaran
masjid yang merebak pada Februari 2011 juga tidak memicu tindakan
kekerasan. Demikian pula, protes terhadap pembangunan Masjid Batuplat
berlangsung dengan damai. Sekarang saya akan mengulas berbagai tipe
hubungan inter-komunal dan faktor-faktor lain yang berkontribusi
terhadap perdamaian antaragama di Kupang.
Menurut Varshney (2002, 46-47) di dalam masyarakat yang plural
interaksi masyarakat (civic engagement) dapat mencegah eskalasi konflik
melalui dua mekanisme. Pertama, interaksi masyarakat memungkinkan
komunikasi antaranggota komunitas yang berbeda agama. Varshney
menjelaskan bahwa, ‘adanya kontak antarwarga dari berbagai komunitas
dalam kehidupan sehari-sehari memungkinkan komunikasi tetap dapat
terjalin untuk meredam ketegangan dan memecah konflik yang dipicu
ketegangan eksternal (exogenous shock). 25 Kedua, interaksi masyarakat
memungkinkan adanya warga membentuk organisasi atau komite yang
anggotanya berasal dari kedua belah pihak dan menjaga perdamaian
antartetangga. Seperti disampaikan Varshney (2002, 46) ‘interaksi yang
rutin memampukan warga membentuk organisasi temporer di saat ada
ketegangan, yang walaupun bersifat sementara namun sangat penting.’ Di
saat ada ketegangan, interaksi masyarakat (civic engagement) membuat
Komite Warga yang muncul ‘dari bawah’ yaitu dari masyarakat yang
24 Amnifu, Djemi. 2016. “Christians Reverse Opposition, Support Mosque Construction.”
The Jakarta Post, 12 April.
25 ‘Exogenous shock’ adalah insiden berskala besar yang dipicu peristiwa yang terjadi
di luar daerah tersebut, termasuk yang terjadi di tingkat nasional misalnya perang sipil,
pemisahan negara, penyerangan tempat ibadah (seperti dalam kasus peluluhlantakan
Masjid Baburi Desember 1992 oleh militan Hindu (Varhsney 2002, 9). Dalam kasus Kupang,
exogenous shock termasuk kerusuhan di Ambon, Poso, dan Ternate, serta Insiden Ketapang,
penyerangan Gereja Yasmin dan pengadilan penodaan agama di Temanggung.
174 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
mampu mengkampanyekan perdamaian di tingkat lingkungan dengan
cara menetralisir rumor dan memberikan klarifikasi kepada seluruh warga.
Kepemimpinan Politik yang Kuat dalam Memberikan Kepastian
Terkait Insiden November 1998, pada umumnya informan mengungkapkan
terdapat keyakinan yang kuat di kalangan masyarakat Kupang bahwa
pemimpin politik setempat mampu menangani isu antaragama secara
efektif. Pemerintah menunjukkan kemampuan dalam berkoordinasi
secara efektif dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat. Tingginya
kepercayaan umat Muslim terhadap Gubernur NTT yang beragama
Kristen (Piet Tallo, 1998-2008) merupakan faktor penting dalam mencegah
eskalasi konflik. Piet Tallo sendiri merupakan gubernur beragama Kristen
yang memiliki kekerabatan dengan keluarga Muslim melalui pernikahan
putrinya. Sebagai gubernur, Piet Tallo dianggap mampu mengayomi
kedua pihak pada masa krisis karena tindakan-tindakannya yang non-
diskriminatif sehingga memberikan jaminan rasa aman bagi kelompok
minoritas.
Setelah terjadinya Insiden November 1998, gubernur dan jajarannya
mengunjungi masjid-masjid yang rusak dan secara terbuka mengutuk
kekerasan serta meminta maaf kepada pada korban. Mereka memberikan
ganti rugi atas kerusakan bangunan dan memberikan bantuan untuk
merenovasi masjid dan rumah. Gubernur dan jajarannya juga berinisiatif
menggalang sumbangan masyarakat untuk membantu perbaikan masjid
(Sihbudi & Nurhasim 2001, 45-54; Pos Kupang; Kompas 1 Desember 1998).
Demikian pula, ketika rumor tentang pembakaran masjid menyebar
pada tanggal 18 Februari 2011, pihak berwenang bertemu dengan para
pemuka agama Protestan, Katolik dan Muslim untuk membahas langkah-
langkah untuk menangkal desas-desus tersebut. Mereka mengadakan
konferensi pers di hari yang sama untuk membantah rumor dan meminta
agar warga Kupang tidak terprovokasi.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 175
Komunikasi untuk Mencegah Kekerasan
Pada hari pertama Insiden November 1998 banyak beredar pesan pendek
(short message service, SMS) provokasi yang mengabarkan bahwa ada
pembakaran Gereja Katedral dan beberapa masjid yang tujuannya untuk
mengadu domba kedua pihak. Seorang informan dari Kampung Solor
mengklaim meski SMS provokasi beredar cukup luas, masyarakat Muslim
di Kampung Solor tidak terprovokasi untuk membalas. Jaringan tokoh-
tokoh masyarakat dengan cepat melawan SMS provokasi tersebut untuk
mencegah mobilisasi kerumunan massa. Dalam waktu singkat, warga
Muslim Kampung Solor berhasil memblokir akses utama ke desa untuk
mencegah massa perusuh mendekati Masjid Al-Fatah di Kampung Solor.26
Hal ini menjelaskan mengapa hampir semua properti yang rusak berada
di sepanjang jalan utama kota, sementara masjid dan bangunan lainnya
yang tertelak di hunian warga aman dari serangan.
Bubandt (2008) berpendapat bahwa dalam situasi tegang rumor yang
tidak terverifikasi dapat memicu eskalasi konflik. Dalam studinya tentang
Maluku, dia menyimpulkan bahwa kemampuan masyarakat untuk segera
melawan rumor menentukan berhasil tidaknya de-eskalasi kekerasan dan
penghentian hal-hal yang berpotensi memicu kekerasan. Di Kupang,
perlawanan terhadap rumor provokatif dilakukan melalui berbagai
saluran seperti jaringan komunikasi di tingkat permukiman, jaringan
komunikasi anggota Majelis Taklim dan jaringan komunikasi guru ngaji
(ustad). Klarifikasi yang lebih solid diberikan dalam forum-forum publik,
seperti pertemuan Majelis Taklim dan himbauan di media massa. Ketika
ketegangan pada Februari 2011 terjadi, dalam dua minggu berturut-turut
harian Timor Express menurunkan artikel yang ditulis oleh pemuka agama
yang meminta pembaca untuk menghindari kekerasan.
Seorang ustad bernama Hudayanur, yang sehari-hari bekerja di Dinas
Agama, mengkonfirmasi hal tersebut. Pada bulan Februari 2011 setelah
mendengar desas-desus tentang pembakaran masjid, Hudayanur mengirim
pesan SMS ke semua khatib yang berada di bawah koordinasinya meminta
26 Wawancara 17 Juni 2011.
176 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
mereka untuk selama bulan Februari mengisi kutbah Jumat di masjid-
masjid dengan tema pentingnya menjaga perdamaian dan toleransi.
Kelompok Perdamaian atau Kelompok Dialog untuk Memberikan Solidaritas
Rekonsiliasi simbolis yang dilakukan pemimpin politik dan pemuka
agama melalui kunjungan dan bantuan untuk masjid yang rusak mampu
menggerakkan warga untuk memulai prakarsa perdamaian di tingkat
lingkungan. Organisasi agama Islam dan Kristen melakukan aksi simbolis
serupa dengan menjaga tempat-tempat ibadah. Inisiatif ini berhasil, karena
kedua kelompok masyarakat menyambutnya secara positif dan bersedia
berpartisipasi. Perwakilan dari dua kelompok tersebut, yang sebagian besar
adalah anggota pemuda masjid dan gereja ikut ambil bagian (Robinson
2002, 148).
Dalam kasus Masjid Batuplat, meski ada keberatan terbuka dari
beberapa kelompok orang Kristen, namun kelompok-kelompok moderat
tetap menyatakan dukungan terhadap diteruskannya pembangunan masjid.
Pada bulan Juli 2013, sebuah kelompok pemuda yang mengklaim mewakili
organisasi Islam, Hindu (Persada Hindu Dharma) dan organisasi Kristen
(Pemuda GMIT dan Pemuda Katolik), melakukan sejumlah kegiatan
simbolis untuk mengungkapkan solidaritas mereka, seperti berbuka
puasa di lokasi pembangunan masjid, mengeluarkan siaran pers meminta
pemerintah mengupayakan solusi damai, serta mengajak semua pemeluk
agama di Kupang untuk ikut serta mengupayakan solusi damai. 27
Everyday Forms of Civic Engagement(Interaksi Masyarakat Sehari-hari)
Kepemimpinan politik di Kupang tidak hanya efektif dalam menengahi
hubungan kelompok saat insiden November 1998 dan April 2011. Mereka
juga berhasil memfasilitasi inisiatif perdamaian di tingkat lingkungan.
Masyarakat menyambut baik ajakan elit karena interaksi masyarakat
sebagai basis interaksi sehari-hari di tingkat lingkungan sudah terjalin
27 “Pemuda NTT Gelar Buka Bersama Lintas Agama” https://m.tempo.co/read/
news/2013/07/25/151499541/pemuda-lintas-agama-ntt-gelar-buka-bersama
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 177
sejak lama. Di Kupang, interaksi masyarakat sudah eksis lebih dulu,
jauh sebelum hubungan antaragama mengalami episode konflik. Bentuk
interaksi masyarakat yang paling jelas adalah warga berbeda agama
berpartisipasi dalam perayaan keagamaan dan ritual siklus kehidupan
di tingkat komunitas. Kedua pihak juga memiliki narasi lokal yang khas
tentang sejarah pendirian masjid-masjid. Selain itu, banyak keluarga-
keluarga di Kupang memiliki hubungan kekerabatan karena perkawinan
antarpemeluk agama.
Narasi Lokal Bersama
Di sejumlah perkampungan Muslim di Kupang, komunitas Muslim dan
Kristen memiliki narasi yang sama tentang sejarah masjid-masjid tua di
Kupang. Di Kampung Airmata dan Kampung Oesapa, kerjasama dan
partisipasi umat Kristen dan Muslim dalam pembangunan sebuah masjid
berkontribusi pada terpeliharanya hubungan antarpemeluk agama yang
harmonis. Narasi pendirian masjid tertua di Kupang—Masjid Al-Baitul
Qadim di Kampung Airmata, menyatakan bahwa masjid yang didirikan
pada tahun 1806 itu berdiri di atas tanah hibah Raja Am Abi yang beragama
Kristen.
Narasi serupa ditemui terkait pendirian masjid di Kampung Oesapa.
Masjid Al-Fitrah di Kampung Oesapa hanya berjarak 200 meter dari Gereja
Protestan GMIT dan sekolah Kristen, dan dikelilingi oleh permukiman
warga Kristen. Selama melakukan penelitian di Kupang, saya mengamati
hubungan Muslim-Kristen berjalan harmonis dan banyak informan
merujuk pada sejarah pembangunan Masjid Al-Fitrah sebagai bukti
harmonisnya hubungan antaragama di Kampung Oesapa. Masjid Al-Fitrah
dibangun setelah migran Bugis mulai menetap di sana pada tahun 1979.
Pada tahun 1980, para migran Muslim ini membeli lahan seluas 233 meter2
dan memperoleh izin membangun masjid melalui bantuan dari pegawai
Dinas Agama, seorang Katolik bernama Nanggeang. Panitia pembangunan
masjid juga terdiri atas seorang Kristen (Benyamin Thobias) sebagai ketua
dan dua orang Muslim sebagai anggota. Haji Badar Daeng Pawero, mantan
178 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
anggota panitia pembangunan masjid yang adalah imam Masjid Al-Fitrah
menjelaskan bahwa sejumlah tetangga Kristen di kampung tersebut ikut
membantu pembangunan Masjid Al-Fitrah.
Meskipun Kampung Oesapa merupakan sasaran kerusuhan pada
November 1998, Haji Badar Daeng Pawero berargumen bahwa kerusuhan
tersebut dapat diredakan dengan cepat terutama berkat hubungan yang
harmonis sudah ada dan terjaga melalui komunikasi dan interaksi warga
sehari-hari oleh pihak Kristen (baik Katolik maupun Protestan) dan Muslim
di kampung tersebut. Ajakan pemuka agama agar warga tidak ikut dalam
tindak pembakaran dan perusakan tempat ibadah disambut positif. Haji
Pawero berpendapat, kerukunan umat pada saat terjadi Insiden November
1998 teruji mampu mencegah konflik berlarut-larut. Hal itu dimungkinkan
karena dalam pergaulan sehari-hari kedua komunitas berinteraksi di
berbagai level. Misalnya Masjid Al-Fitrah biasa mengundang pastor
Katolik dan pendeta Protestan untuk menghadiri perayaan hari besar
Islam. Selama saya melakukan penelitian lapangan, saya mengamati bahwa
Lurah Oesapa yang terpilih, seorang Kristen, juga menghadiri perayaan
hari besar Islam. Di tingkat masyarakat ada banyak bentuk kerja sama
antaragama. Anggota Remaja Masjid membantu menjaga perayaan Natal
atau pertandingan olahraga di gereja. Sebaliknya, dalam perayaan Idul
Adha pemuda Kristen di Kampung Oesapa membantu dalam memotong
dan membagikan daging kurban.
Cerita tentang warga Kristen membantu pembangunan masjid
terus diingat sebagai narasi yang positif dalam hubungan antaragama
di kampung-kampung di Kupang. Informan saya di Kampung Airmata
dan Oesapa sering merujuk pada cerita-cerita ini dalam wawancara.
Pemerintah daerah juga menyadari pentingnya narasi kerjasama antarumat
dalam pembangunan tempat ibadah dan berupaya mempertahankan
praktik tersebut. Masjid Batuplat, misalnya, dibangun di atas lahan
yang pengadaannya dibantu oleh pemerintah daerah. Pada saat yang
bersamaan, pemerintah daerah juga memberikan bantuan keuangan untuk
pembangunan Masjid Raya Kupang yang mengalami kesulitan dana.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 179
Kerjasama dan Partisipasi
Di Kupang, anggota masyarakat terlibat dalam berbagai bentuk kerjasama
dalam acara penting terkait siklus kehidupan dan festival keagamaan.
Sebagai contoh di Kampung Solor, saat mendengar pengumuman
kematian serta merta sanak saudara, pejabat masjid dan tetangga, baik
Muslim maupun Kristen, akan berkumpul di rumah almarhum untuk
menyampaikan bela sungkawa. Para wanita langsung pergi ke dapur di
rumah almarhum untuk membantu menyiapkan makanan bagi para
pelayat. Sementara shalat jenazah dilakukan di masjid dan hanya dihadiri
oleh umat Islam, persiapan penguburan melibatkan seluruh lingkungan dan
semua tetangga, terlepas dari agama mereka. Partisipasi tetangga Kristen
bahkan meluas yaitu ikut menggali kuburan.
Partisipasi dalam perayaan keagamaan juga merupakan jenis interaksi
antarumat beragama yang penting di Kupang. Dalam perayaan Idul Adha
di Kampung Solor, warga Kristen di kampung tersebut termasuk dalam
daftar penerima daging kurban. Perayaan Maulid, festival Islam terpenting
dan terakbar, biasanya dihadiri oleh perwakilan pemerintah, banyak di
antaranya pejabat beragama Kristen. Pada tahun 2011, saya menyaksikan
Walikota Kupang, yang beragama Kristen, memberikan sambutan
dalam perayaan Maulid di Kampung Airmata. Ritual Maulid yang inti
berlangsung pada tengah malam, tapi sebelumnya dilakukan prosesi
pawai dengan membawa arak-arakan Siripuang (parsel buah-buahan yang
dihias dengan berbagai ornamen sebagai simbol rasa syukur) di tempat
terbuka, menempuh jarak dari rumah imam ke masjid. Pemuda Kristen
dari Kampung Airmata berpartisipasi membantu pengamanan acara ini.
Setiap tahun selama bulan Ramadan, gubernur mengundang umat Islam
untuk menghadiri acara buka puasa di kediamannya. Saya menghadiri
acara tersebut bersama anggota Majelis Taklim perempuan. Di sela-sela
acara buka puasa para tamu Muslim melakukan shalat Magrib di kediaman
gubernur. Pada akhir bulan puasa, komunitas Muslim menyelenggarakan
takbiran parade kendaraan bermotor berkeliling kota. Sebelum takbiran
dimulai, Gubernur menyampaikan pidato memberi selamat kepada umat
180 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Islam yang telah menuntaskan ibadah puasa. Di Kampung Airmata, Majelis
Taklim perempuan menyelenggarakan acara amal di bulan Ramadan
untuk anak-anak yatim piatu yang Muslim dan non-Muslim. Kerjasama
antarwarga juga diperluas di bidang non-agama, misalnya melalui kegiatan
PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), program kesehatan ibu dan
anak, serta program lain yang menyasar penerima manfaat Muslim dan
non-Muslim di tingkat rukun tetangga.
Sikap Religius yang Moderat
Mayoritas umat Islam di Kupang adalah Muslim tradisionalis yang
mengikuti tradisi Islam Aswaja (Ahlu Sunnah Wal Jamaah) atau Suni
Islam. Mereka berpandangan bahwa keberagaman dan toleransi adalah
nilai inti hidup bermasyarakat, khususnya karena sebagian dari mereka
memiliki ikatan kekerabatan dengan keluarga Protestan dan Katolik. Sikap
moderat tersebut dapat diamati dalam perayaan Natal. Di beberapa daerah
di Indonesia, terdapat kontroversi apakah seorang Muslim diperbolehkan
mengucapkan Selamat Natal atau menghadiri perayaan Natal. Pada tahun
1981, MUI mengeluarkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa haram,
atau dilarang, bagi umat Islam untuk berpartisipasi dalam acara Natal. 28
Ketua MUI Kupang, Haji Abdul Fatah, menyinggung masalah ini
dalam sebuah kotbah Jumat. Menekankan pentingnya menyeimbangkan
tindakan toleransi dan rasa hormat terhadap akidah (prinsip agama), dia
menyimpulkan bahwa umat Islam diizinkan menghadiri perayaan Natal
namun tidak boleh berpartisipasi dalam aspek ritual Natal seperti ikut
dalam ibadah dan menyalakan lilin Natal. Saya mengamati bahwa sudah
28 Fatwa ini awalnya dibuat bertujuan untuk mencegah anak-anak Muslim yang belajar
di sekolah Kristen ikut merayakan Natal. Sebelum fatwa dikeluarkan pada tahun 1981,
keikutsertaan dalam perayaan Natal di kantor atau sekolah merupakan hal yang umum.
Pemerintah meminta MUI mencabut fatwa yang dianggap potensial mengganggu
keharmonisan hubungan antaragama tersebut. MUI tidak mencabut fatwa tersebut tapi
memutuskan menghentikan penyebarluasannya di masyarakat (Mujiburrahman 2006; Seo
2012). Achmed Munjid (2013) menilai bahwa fatwa tersebut digunakan oleh kelompok
radikal sebagai dasar melarang Muslim ikut serta dalam perayaan Natal (“The Controversy
over ‘Merry Christmas’: Where’s the Fatwa?” The Jakarta Post, 23 Desember 2013).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 181
menjadi praktik umum di lingkungan perkampungan bahwa umat Muslim
dan keluarga Kristen saling berkunjung pada Idul Fitri dan Natal. Natal juga
dirayakan di kantor dan sekolah yang dihadiri oleh karyawan dan siswa
Muslim. Praktik-praktik ini mendorong interaksi antarpemeluk agama
yang bersifat rutin dan berkelanjutan. Di tahun 2011 saya menyaksikan
contoh kerekatan hubungan antaragama lainnya yaitu ketika Ketua
MUI NTT memasang spanduk berukuran besar di tempat publik yang
bertuliskan: ‘Selamat Natal dan Tahun Baru untuk Seluruh Umat Kristen di
Kupang’ dan di bawah ucapan selamat tersebut ia mencantumkan tulisan:
‘Haji Abdul Makarim, Ketua MUI provinsi atas nama seluruh umat Muslim
di NTT’. Dalam salah satu wawancara saya dengan beliau, Haji Abdul
Makarim menjelaskan bahwa mengucapkan Selamat Natal adalah hal
paling sederhana dalam menunjukkan sikap hormat kepada umat Kristen
Perkawinan Campur dan Hubungan Keluarga
Hubungan kekerabatan memainkan peran penting dalam relasi Muslim
dan Kristen di Kupang melalui dua cara. Pertama, hubungan kekerabatan
ditopang oleh jaringan kelompok etnis tertentu atau migran di Kupang.
Gomang (2006) memberi contoh migran Alor di kota Kupang. Di pulau
asal mereka, orang Alor yang beragama Islam dan Kristen memiliki
hubungan kekerabatan yang disebut bela baja, yang mewajibkan satu sama
lain memberikan perlindungan saat bepergian atau berpartisipasi dalam
ritual adat.29 Menurut Gomang, bela baja diterapkan di komunitas Alor
yang bermigrasi ke Kupang, sehingga dapat meredakan ketegangan yang
dipicu isu agama atau mewadahi kerjasama antaragama. Misalnya, ketika
komunitas Muslim membangun langgar, panitianya biasanya berasal dari
warga Alor Muslim dan Kristen. 30
Kedua, hubungan kekerabatan juga merupakan hasil dari praktik
29 Konsep bela baja dan bela bayan menyerupai konsep pela gandong di Maluku, menjadi
dasar bagi aliansi sesama suku yang berbeda agama atau wilayah (pesisir dan pegunungan).
Anggota aliansi memberi dan menerima perlindungan saat bepergian atau mengunjungi
daerah tersebut. Praktik serupa ditemukan di Pulau Belagar dan Pantar (Gomang 2006).
30 Timor Express, 18 Agustus 2012.
182 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
perkawinan campur atau perkawinan antaragama. Di Kampung Oesapa
tidak jarang perempuan Kristen setempat menikahi pria Bugis Muslim.
Wanita-wanita ini, yang bersuku Rote, Sabu, atau penduduk asli Timor
mengikuti agama suami menjadi mualaf.31 Perpindahan agama karena
pernikahan bukan merupakan hal yang tidak lazim di Kampung Oesapa.
Dampaknya, banyak keluarga Muslim menjadi berkerabat dengan keluarga
Kristen melalui pernikahan. Para mualaf umumnya memelihara tradisi
mengunjungi keluarga/orangtuanya yang Kristen pada hari Natal.32
Seorang informan mualaf menjelaskan, ketika berkunjung di hari Natal,
orangtuanya menunjukkan rasa hormat dengan tidak memasak daging
babi padahal menu yang mengandung daging babi biasanya adalah menu
utama saat perayaan Natal. Di kesempatan lain, masakan berbahan daging
babi disajikan di meja terpisah. Di pesta pernikahan yang diselenggarakan
oleh keluarga Kristen umumnya menyediakan makanan halal di meja
terpisah untuk para tamu Muslim. Melalui praktik ini, warga berbeda
agama di Kupang mengungkapkan rasa hormat terhadap aturan halal
dan haram dalam Islam. Dalam konteks konflik antaragama, relasi yang
ditopang hubungan kekerabatan memungkinkan terjadinya dialog di
tingkat komunitas ketika rumor melanda atau situasi rusuh.
Dikatakan bahwa kasus pembangunan Masjid Batuplat bisa
membuahkan solusi damai karena ada cukup banyak warga Kristen
di Kelurahan Batuplat yang memiliki keluarga Muslim karena adanya
perkawinan campur dalam keluarga inti atau keluarga luas mereka. Saat
situasi sudah mulai tenang, pertemuan-pertemuan antar warga dilakukan
dan kemudian memunculkan kesepakatan bersama bahwa pembangunan
masjid bisa dilanjutkan.33
31 Majelis Taklim untuk mualaf didirikan di Masjid Al-Fitrah Kampung Oesapa pada
tahun 2010 beranggotaan sekitar 20an perempuan mualaf.
32 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 melarang pernikahan beda agama. Undang-
undang tersebut mengikuti penafsiran dominan dalam Islam bahwa perempuan Muslim
tidak diijinkan menikah dengan pria non-Muslim. Pernikahan yang dicatat di Kantor
Urusan Agama (KUA) bias terjadi jika yang non-Muslim berpindah agama ke Islam.
33 Amnifu, Djemi. 2016. “Christians Reverse Opposition, Support Mosque Construction.”
The Jakarta Post, 12 April.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 183
Kesimpulan
Di Kupang hubungan Muslim dan Kristen ditandai oleh insiden antaragama,
terutama di periode seputar masa jatuhnya Orde Baru. Namun, seperti
telah ditunjukkan dalam artikel ini, hubungan yang rekat antarkomunitas
telah berkontribusi terhadap kemampuan masyarakat secara keseluruhan
dalam meredam konflik. Diperkuat oleh sikap moderat mayoritas pemuka
agama dan efektifnya kepemimpinan politik dan koordinasi antarelit,
interaksi masyarakat (everyday engagement) secara bersamaan dapat
berperan khususnya dalam mengklarifikasi dan melawan desas-desus,
serta memberikan jaminan kepada kedua belah pihak.
Di tingkat komunitas, interaksi masyarakat dipraktikkan dalam
bentuk kunjungan timbal balik dan kerjasama dalam kegiatan sehari-
hari, hadir dalam perayaan keagamaan dan berpartisipasi dalam ritual
siklus kehidupan. Sikap moderat yang ditunjukkan oleh mayoritas
organisasi Muslim dan Kristen di Kupang juga memungkinkan kerukunan
antaragama terjadi melalui kerjasama dalam perayaan hari keagamaan.
Hubungan kekerabatan yang kuat di antara banyak keluarga Muslim dan
Kristen yang terjadi karena adanya perkawinan campur, merupakan faktor
penting yang menciptakan perdamaian. Muslim dan Kristen juga terlibat
dalam narasi tentang pendirian masjid, misalnya di Kampung Airmata dan
Oesapa, yang menekankan keharmonisan dan kerjasama.
Salah satu kesimpulan penting yang dapat diambil adalah hubungan
yang rekat antar warga membantu meredakan ketegangan karena mampu
memberikan landasan yang kuat untuk menetralisir rumor dan mencegah
provokasi. Respons terhadap potensi konflik yang dilandasi hubungan
yang rekat antar warga telah membuat Kupang lebih kokoh melawan
isu atau merespon insiden kekerasan antaragama yang terjadi di tempat
lain di Indonesia. Hal ini didukung oleh sikap pemimpin pemerintahan
dan pemimpin agama yang juga menyokong hubungan yang erat dalam
masyarakat. Tantangannya adalah mempertahankan dan memperkuat
hubungan baik ini dalam situasi yang berubah dengan cepat, khususnya
karena pertambahan jumlah umat Muslim di desa-desa yang sebelumnya
184 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
sudah ratusan tahun berpenduduk mayoritas Kristen, dan ketegangan
Muslim-Kristen yang terus terjadi di belahan lain di Indonesia. ***
Pendahuluan
1
Pada tahun 2011, untuk pertama kalinya di Kupang, sekelompok warga
Kristen secara terang-terangan menolak pembangunan masjid di
Kelurahan Batuplat. Mereka bersikukuh bahwa surat dukungan masyarakat
setempat—salah satu syarat mendapatkan izin membangun gereja—
telah dipalsukan. Walikota Kupang Daniel Adoe merespon tuntutan
tersebut dengan memerintahkan agar pembangunan masjid dihentikan
pada 9 Agustus 2011. Ironisnya, di bulan April 2011, Menteri Agama
mengunjungi Kupang untuk menyaksikan pemberian sumbangan dari para
pejabat setempat, termasuk gubernur dan walikota, untuk melanjutkan
1 Tulisan ini adalah terjemahan dari artikel berjudul “Muslim-Christian
Relations in Kupang: Negotiating Space and Maintaining Peace” yang terbit
di The Asia Pacific Journal of Anthropology [TAPJA] pada 20 Oktober 2016 dengan
tautan: http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14442213.2016.1226943
Naskah asli tulisan ini dapat terwujud atas hasil diskusi dan review dari Kathryn Robinson,
James Fox, Andrew McWilliam, Lene Pedersen, dan Alan Thorold. Jika ada kesalahan dalam
artikel ini adalah tanggungjawab saya.
158 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
pembangunan Masjid Raya Kupang yang terhenti karena kesulitan dana.
Menteri memuji prakarsa tersebut sebagai wujud toleransi antarumat
beragama di Kupang.
2
Kedua kejadian di atas merupakan gambaran bahwa
hubungan Muslim dan Kristen di Kupang sangat kompleks dan dinamis,
melibatkan negosiasi dan ketegangan terkait isu-isu sehari-hari mengenai
halal dan haram, termasuk isu yang sensitif seperti pembangunan tempat
ibadah, penyebaran agama, dan perpindahan agama.
Setelah Orde Baru runtuh pada 1998, Kupang mengalami dua
perkembangan penting berkaitan dengan hubungan Muslim-Kristen.
Pertama adalah insiden kekerasan Muslim-Kristen pada bulan November
1998 dan insiden kedua adalah ketegangan yang dipicu oleh pembangunan
Masjid Batuplat pada tahun 2011. Artikel ini akan mengulas kedua
insiden tersebut dan menganalisis mengapa kedua peristiwa tersebut tidak
bereskalasi menjadi konflik kekerasan dalam skala besar.3
Sejumlah studi menyimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang
berkontribusi pada keharmonisan antaragama di kawasan timur
Indonesia. Faktor pertama adalah adanya mekanisme adat yang kuat dalam
masyarakat (Bartel 1977; Fuad 1985; Tule 2004; Gomang 2006; Rodemeier
2010; Carnagie 2010; Remon 2014). Studi mereka menggarisbawahi
peran penting mekanisme sosial dan politik melalui lembaga adat dalam
menjaga relasi sosial yang baik. Dalam beberapa kasus, mekanisme adat
bekerja secara efektif dalam menyelesaikan ketegangan antaragama, tanpa
intervensi substantif dari aparat negara. Mekanisme sosial politik melalui
lembaga adat umumnya sudah eksis sejak lama, bahkan sejak era pra-
2 “Menag Suryadharma Ali Memuji Kerukunan Hidup Beragama di NTT” (Indonesian
Minister of Religious Affairs Suryadharma Ali Praised the Peaceful Interfaith Relations in
NTT) http://indonesia.ucanews.com/2011/04/11/umat-kristiani-bantu-bangun-masjid-
di-kupang/
3 Sebagai kota multietnis, Kupang juga mengalami konflik identitas. Misalnya, tawuran
antarpemuda Sumba dan Alor sering kali terjadi. Selama lima tahun terakhir, setidaknya
lima insiden dilaporkan oleh media. Dalam sebuah tawuran pada 15 November 2009 di
Kampung Oesapa, seorang pelajar Alor tewas. Namun, penanganan ketegangan antaragama
mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah. (Timor Express 15 November 2009; Pos
Kupang 15 Maret 2014; Timor Express 18 September 2012).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 159
kolonial, dan sebelum adanya perbedaan keyakinan dalam masyarakat.
Faktor kedua adalah perkawinan campur (intermarriage) (Babcock
1981, 1989; Carnagie 2010; Remon 2014). Di wilayah di mana banyak
berlangsung perkawinan campur, hubungan antarkeluarga yang berbeda
agama cenderung lebih erat. Babcock (1981, 1989) misalnya berpendapat
perkawinan campur mempererat hubungan antara mereka yang beragama
Muslim di Kampung Jawa Tondano dengan keluarga mereka yang Kristen
di wilayah lain di Sulawesi Utara.
Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Bagaimana dinamika hubungan Muslim-Kristen di tingkat nasional
mempengaruhi hubungan Muslim-Kristen di Kupang? Faktor apa yang
mempengaruhi terhadap ketegangan dan keharmonisan hubungan
antaragama di Kupang? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
saya mengacu pada studi Varshney (2002) tentang konflik komunal Hindu-
Muslim di India. Varshney berpendapat bahwa dalam komunitas yang
plural, kokohnya inter-communal networks (hubungan inter-komunal)
dalam kehidupan sipil akan mendorong perdamaian. Sebaliknya, jika inter-
communal network tidak ada atau lemah, masyarakat akan menjadi rentan
terhadap konflik. Varshney (2002, 3) berpendapat ada dua tipe hubungan
inter-komunal, yakni: ‘associational forms of civic engagement’ (interaksi
masyarakat dalam entitas formal) dan ‘everyday forms of civic engagement’
(interaksi masyarakat sehari-hari). Associational forms of civic engagement
adalah entitas formal seperti serikat pekerja dan kelompok bisnis yang
anggotanya berasal dari masyarakat berbeda-beda agama. Everyday forms of
civic engagement mencakup interaksi sehari-hari yang rutin, seperti saling
kunjung, kerjasama, partisipasi dalam kegiatan sosial, maupun interaksi
di tingkat komunitas di antara warga, termasuk pemuda, perempuan, dan
anak-anak. Varshney berpendapat interaksi warga dalam entitas formal
cenderung lebih kuat dalam menangkal konflik.4
4 Jenis-jenis interaksi warga dalam entitas formal termasuk “asosiasi pengusaha, organisasi
profesi, serikat pekerja, komunitas hobi seperti film, olahraga, buku, festival hingga partai
politik yang berbasis kader” (Varshney 2002, 3).
160 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Karena keberadaan interaksi masyarakat dalam entitas formal di
Indonesia cenderung lemah (Hadiz 1997 dan MacIntyre 1991 dalam
Hedman 2005), fokus saya adalah mengamati variasi bentuk dan peran
interaksi masyarakat sehari-hari di Kupang dalam meredakan ketegangan
antaragama. Penelitian saya menemukan bahwa ketika ketegangan muncul,
atau ketika rumor menyebar di masyarakat, kehadiran interaksi warga
sehari-hari berperan memberikan klarifikasi kepada kedua pihak sehingga
ketegangan tidak merembet. Saya berpendapat bahwa masyarakat plural di
Kupang lebih mampu meredam kekerasan antaragama karena kehadiran
interaksi masyarakat sehari-hari yang kuat di tingkat warga. Di Kupang,
interaksi warga sehari-hari efektif karena dua alasan. Pertama, interaksi
masyarakat sehari-hari diperkuat oleh organisasi keagamaan yang bersifat
moderat dan kepemimpinan politik lokal yang solid. Kedua, interaksi
masyarakat sehari-hari bukan muncul sebagai respons atas konflik,
namun sudah hadir lebih dulu dalam keseharian warga, sehingga dapat
diekspresikan secara lebih solid.
Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian di tiga kelurahan, yaitu
Kampung Solor, Airmata dan Oesapa. Kampung Solor dan Airmata
adalah pemukiman Muslim yang didirikan sejak abad 17, dengan populasi
mayoritas keturunan Solor. Di kedua perkampungan ini, sekitar 80%
populasi beragama Islam.5 Lokasi ketiga yakni Kelurahan Oesapa didirikan
pada akhir tahun 1970 oleh pendatang suku Bugis dari Sulawesi Selatan.
Di Oesapa, Muslim adalah kelompok minoritas (15 persen) dan mereka
tinggal di permukiman yang dikelilingi oleh rumah-rumah, sekolah, dan
gereja Kristen. Kelurahan Oesapa adalah lokasi utama kasus kekerasan
5 Kampung Solor, didirikan pada tahun 1600an, merupakan permukiman yang disiapkan
oleh Belanda sebagai hadiah bagi pendatang dari Pulau Solor yang membantu Belanda
memerangi musuh-musuhnya di Timor. Sekitar 80% dari total 2,703 penduduknya
beragama Islam (BPS 2010). Warga non-Muslim tinggal di rumah-rumah yang menyebar
di banyak rukun tetangga sehingga membentuk permukiman campuran. Kampung Airmata
didirikan pada tahun 1800an. Penghuninya berasal dari Kampung Menanga di Pulau Solor
yang bukan pendukung Belanda, mereka umumnya bekerja sebagai pedagang dan penyebar
agama Islam. Di Kampung Airmata, 80% penduduk dari 1,614 beragama Islam (BPS 2011).
Warga non-Muslim tinggal di satu rukun tetangga (RT) saja.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 161
antaragama di Kupang pada tahun 1998.
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif, terutama
menggunakan observasi partisipan dalam kehidupan sehari-hari di
kampung-kampung tersebut, wawancara mendalam dan analisis artikel
yang relevan di surat kabar lokal dan nasional.6
Saya menghadiri ritual-
ritual siklus kehidupan dan perayaan hari-hari besar Islam, antara lain
untuk mengamati bagaimana umat Islam sebagai kelompok minoritas
mempraktekkan ritual tersebut di sebuah kota yang didominasi penduduk
Kristen. Saya juga mengamati kegiatan Majelis Taklim perempuan,
termasuk majelis taklim khusus untuk mualaf. Saya mewawancarai imam-
imam masjid untuk mengetahui sejarah masjid dan pandangan mereka
tentang hubungan antaragama. Saya juga mewawancarai Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ketua
MUI Kota Kupang, ustad, perwakilan Dinas Agama, dan warga. Saya
juga menghadiri sholat Jumat di beberapa masjid untuk mendengarkan
kotbah yang disampaikan. Selain itu, meski penelitian ini berfokus pada
perspektif Muslim, saya juga mewawancarai sejumlah pemuka agama dan
masyarakat Kristen.
Dinamika Hubungan Muslim-Kristen di Indonesia
Dinamika hubungan Muslim-Kristen di Indonesia sudah dikaji oleh
sejumlah peneliti. Secara umum hubungan Muslim-Kristen di Indonesia
berjalan damai namun rapuh, ditandai oleh sejumlah episode ketegangan
dan konflik kekerasan. Ketegangan terutama terkait dengan kecurigaan
terhadap kegiatan aktivitas misi penyebaran agama, baik Kristen
maupun Islam. Kontestasi keduanya tercermin dalam perdebatan yang
melatarbelakangi penyusunan undang-undang atau regulasi dan diskursus
publik mengenai larangan menghadiri perayaan keagamaan dan larangan
pembangunan gereja. Secara episodik ketegangan juga termanifestasikan
dalam kekerasan verbal maupun fisik (Ropi 2000, 2013). Penyebab
utama perselisihan-perselisihan di atas adalah kecurigaan kedua belah
6 Pos Kupang, Timor Express, Kompas, dan The Jakarta Post.
162 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
pihak terhadap misi keagamaan, yang dikenal sebagai ‘Islamisasi’ dan
‘Kristenisasi’7
(Mujiburrahman 2006; Arifianto 2009).
Pada masa pra-kemerdekaan, ketegangan antarkelompok beragama
antara lain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial. Secara formal
pemerintah Belanda menganut asas netralitas dalam hal kehidupan
beragama warga, namun dalam praktiknya condong ke kelompok pribumi
Kristen, melalui pemberian bantuan keuangan untuk gereja dan misionaris
serta memberikan keistimewaan bagi pribumi Kristen untuk terlibat dalam
birokrasi dan militer kolonial. Muslim pada umumnya memiliki persepsi
negatif terhadap penguasa kolonial Belanda dengan alasan bahwa kebijakan
mereka membatasi ruang gerak umat Islam dan mendukung penyebaran
agama Kristen. Persepsi negatif tersebut bukan hanya ditujukan terhadap
Belanda tapi juga meluas hingga ke warga Kristen pribumi (Arifianto 2009).
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia (1942-1945), mereka mengadopsi
kebijakan pro-Muslim untuk memobilisasi dukungan. Jepang
menghidupkan kembali fasilitas-fasilitas pendidikan Islam, membentuk
partai Islam Masyumi, mendirikan kantor untuk urusan agama, dan yang
terpenting mengakomodasi para pemimpin Muslim dalam mempersiapkan
kemerdekaan. Pada masa mempersiapkan kemerdekaan, ketegangan
antara Muslim-Kristen terwujud dalam perdebatan mengenai ideologi
negara. Kelompok Muslim meminta Islam dijadikan landasan ideologi
negara, sedangkan kelompok Kristen dan kelompok nasionalis setuju
bahwa agama dijadikan landasan negara tapi tidak spesifik pada agama
tertentu saja. Ketika aspirasi untuk mengadopsi Islam sebagai ideologi
negara ditolak oleh pemerintah Sukarno, ketegangan semakin intensif dan
memicu beberapa pemberontakan yang bertujuan membentuk Indonesia
sebagai negara Islam (Van Bruinessen 2002).
Ketika Sukarno jatuh pada tahun 1966, muncul kekhawatiran umat
Islam terhadap pertumbuhan jumlah orang Kristen yang pesat, terutama
7 Kegiatan misionaris Kristen kerap disebut Kristenisasi yang mengandung makna negatif
seperti “ekspansi agama Kristen”, “intervensi kepentingan asing” dan “Perang Salib modern”
(Mujiburrahman 2006, 54).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 163
setelah peristiwa anti-Partai Komunis Indonesia (PKI).8 Perkembangan
ini berlanjut di tahun-tahun awal rezim Suharto (sejak 1967), di mana
fokus pada stabilitas politik untuk tujuan pertumbuhan ekonomi lebih
menguntungkan kelompok Kristen dan Muslim nominal. Suharto
menekan kekuatan politik Islam yang terus menyuarakan aspirasi Islam
sebagai ideologi negara, melalui kebijakan SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan), yang membatasi kebebasan politik termasuk dengan cara-
cara represif (Husein 2005; Mujiburrahman 2006; Seo 2012).
Perubahan terjadi pada akhir periode Orde Baru dan selama periode
Reformasi (dari tahun 1998), di mana posisi politik kelompok Muslim
semakin menguat. Sejak pertengahan 1980an Suharto merangkul kelompok
Islam dengan tujuan mendapatkan dukungan dalam pertarungan politik
melawan Angkatan Darat. Perubahan ini menciptakan keseimbangan
politik baru antara Muslim dan Kristen. Pada tahun-tahun terakhir
pemerintahan Suharto, perimbangan kekuatan berdampak pada
ketegangan yang semakin akut dan meledak dalam kekerasan antaragama.
Di Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah, konflik terjadi dalam skala
besar, berlangsung beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun, dengan
korban jiwa dalam jumlah yang besar9
(Van Klinken 2007; Arifianto 2009).
Di Kupang, benturan Muslim dengan Kristen juga terjadi pada November
1998 meski dalam skala yang lebih kecil (Sihbudi & Nurhasim 2001).
Kekerasan komunal antaragama adalah salah satu impuls politik di
balik penataan sistem politik setelah jatuhnya rezim Suharto. Program
desentralisasi dijalankan di tingkat kabupaten sebagai bagian dari agenda
8 Husein (2005, 120) mengutip Laporan New Catholic Encyclopedia (2002-2003, 430)
yang menyatakan sekitar dua juta orang di Jawa berpindah menjadi pemeluk agama Kristen
(baik Katolik maupun Protestan) setelah peristiwa anti-komunis di Indonesia. Salah satu
alasan perpindahan massal ini adalah agama Kristen dianggap lebih bersedia menerima
“bekas komunis”. Perpindahan agama massal dan sikap toleran rezim Suharto terhadap
kegiatan misionaris Kristen menyebabkan “kemarahan umat Muslim dan memperburuk
hubungan Muslim-Kristen” (Husein 2005, 120-122).
9 Konflik Muslim-Kristen di Maluku (Januari 1999–2004) menyebabkan 5,000an orang
tewas dan 570,000 mengungsi. Di Maluku Utara, konflik menewaskan 4,000an orang dan
250,000 mengungsi. Di Poso (Sulawesi Tengah) sekitar 700 orang terbunuh dan 70,000
mengungsi pada 1999 hingga 2000 (UNSFIR 2003; Van Klinken 2007; Wilson 2008).
demokratisasi, namun juga dengan harapan memberikan jalan yang sah
untuk mengekspresikan sentimen lokal tanpa mengorbankan kesatuan
bangsa (Aspinall & Fealy 2003). Di beberapa daerah yang berpenduduk
mayoritas Muslim, Islam politik berkembang melalui penerapan peraturan
daerah (PERDA) berbasis syariah. Dakwah Islam dan kelompok-kelompok
yang menyebarkan dakwah berkembang pesat dengan implikasi luas dalam
kehidupan politik, ekonomi, maupun gaya hidup sehari-hari. Pada saat
bersamaan, kegiatan misionaris agama Kristen juga dilakukan dengan
cara yang lebih masif. Konflik antaragama berskala besar telah berakhir
pada awal 2000an, namun ketegangan antaragama terus berlanjut terutama
terkait dengan kecurigaan penyebarluasan agama, termasuk pembangunan
tempat ibadah Kristen di daerah-daerah mayoritas Muslim (Ali-Fauzi et
al., 2014).
Muslim sebagai Minoritas di Kota Kristen Kupang
Muslim merupakan kelompok minoritas di Kupang sejak kota tersebut
didirikan oleh Belanda pada abad ketujuh belas. Pada tahun 2013, populasi
Kupang berjumlah 365,358 jiwa, didominasi oleh Protestan (55 persen)
dan Katolik (26 persen). Jumlah Muslim berkisar 16 persen, sisanya adalah
umat Hindu dan Buddha.10
Pola pemisahan area permukiman di Kupang saat ini yang berdasarkan
kelompok etnis dan agama telah terbentuk sejak era kolonialisme.
Belanda mulai menguasai area Kupang sejak tahun 1653 dan menjalankan
pemerintahan kolonial hingga awal 1900an. Pemerintah kolonial Belanda
menerapkan dua kebijakan yang dampaknya terlihat pada Kupang modern.
Pertama, mendorong migrasi beberapa kelompok etnis di kepulauan sekitar
ke kota Kupang untuk alasan ekonomi dan keamanan. Migran awal-awal
adalah dari Pulau Rote, Sabu, dan Solor yang didatangkan sebagai tentara
10 Ditinjau dari komposisi etnis (BPS 2009), suku Atonimeto—penduduk asli Timor—
adalah yang terbesar (29,43%) diikuti Rote (17,72%) dan Flores (13,6%). Jawa dan Bugis,
yang mulai banyak bermigrasi setelah era kemerdekaan berjumlah masing-masing 6%
dan 2%. Selain itu ada pula warga keturunan Hadrami (migran Arab dari negara Yaman)
dalam jumlah yang kecil.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 165
atau pekerja. Mereka bersekutu dengan Belanda dalam perang melawan
Portugis, keturunan Portugis (mestizo) dan penduduk Timor yang anti-
Belanda11 (Fox 1977).
Kebijakan kedua adalah mendukung penyebaran agama Kristen
Protestan, terutama di tahun-tahun terakhir pemerintahan kolonial. Pada
tahun-tahun awal Belanda memisahkan isu agama dan pemerintahan
dan tidak mendorong misionaris Protestan secara aktif. Setelah VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie/ Perusahaan Hindia Timur Belanda)
bangkrut pada akhir 1800-an, kegiatan misionaris dikoordinasi oleh
organisasi misionaris swasta dan kemudian oleh gereja Protestan milik
negara. Para periode ini, misi Protestan berjalan baik dan Kupang berperan
sebagai pusat kegiatan misionaris dan pemerintahan. Pada periode 1905-
1920an, Belanda mulai kebijakan “pasifikasi” untuk menguasai pedalaman
Timor setelah selama ratusan tahun hanya bercokol di Kupang. Belanda
memperluas kekuasaan teritori ke pedalaman melalui aliansi dengan
penguasa setempat. Jalan-jalan dibangun, wabah penyakit dihilangkan,
perbudakan dilarang dan dilakukan peningkatan keamanan. Situasi ini
dimanfaatkan oleh misionaris Kristen Protestan untuk menjalankan
misi keagamaan secara lebih intensif. Setelah kebijakan ‘pasifikasi” ini,
penyebaran agama Protestan mencapai puncaknya di ke pedalaman Timor
bagian barat dan pada tahun 1947 Belanda membantu mendirikan GMIT
(Gereja Masehi Injili di Timor) yang kini merupakan denominasi terbesar
di Timor12 (Aritonang & Steenbrink 2008; Farram 2010; Van Klinken
2014, 143-144).
Kebijakan Belanda terkait migran dan penyebaran agama Kristen
memiliki dua dampak penting. Pertama, Kupang berkembang menjadi
kota multi-etnis. Kedua, Kupang menjadi kota dengan penduduk mayoritas
11 Penduduk lainnya adalah suku asli Kupang (Helong) dan suku-suku dari Pulau Timor
seperti Atoni dan Ndao, yang semuanya berhubungan baik dengan Belanda (Fox 1977, 67).
12 Sebelumnya, Gereja Protestan Pemerintah Belanda (IK) sudah memfasilitasi
pembentukan gereja berbasis suku di Minahasa (GMIM) pada tahun 1934 dan di Maluku
(GPM) pada tahun 1935. Pada tahun 1947 GMIM, GPM dan GMIT bersatu membentuk
Gereja Protestan Indonesia (GPI) di tingkat nasional (Aritonang & Steenbrick 2008).
166 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Kristen. Hampir seluruh migran yang bermukim di Kupang menjadi
Kristen, kecuali migran dari Pulau Solor dan keturunan Hadhrami, yang
datang pada pertengahan 1800-an. Orang-orang pribumi yang memeluk
Kristen, terutama dari Pulau Rote dan Sabu, tetap menjadi kelompok
dominan di pemerintahan dan birokrasi sampai saat ini, sementara Muslim
lebih banyak berkiprah di sektor swasta (Fox 1977; Van Klinken 2014).
Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, jumlah penduduk
Muslim di Kupang meningkat terutama karena migrasi internal. Van
Klinken (2014) mencatat, migrasi ke Kupang di era pasca-kolonial pernah
memicu insiden kekerasan anti-Jawa pada April-Mei 1957 ketika Kupang
masih merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil. Dalam insiden yang
dikenal dengan nama 'Red Cap' (Destar Merah) tersebut warga pribumi
menuntut penggusuran guru, polisi, dan pejabat pemerintah yang
beragama Islam dan berasal dari Jawa. Untuk merespon hal ini, pada
tahun 1959 pemerintah membentuk provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
dengan Kupang sebagai ibu kota provinsi (Van Klinken 2014, 192).
Pada tahun-tahun berikutnya, gelombang migrasi dari luar Kupang
terus meningkat selama era Orde Baru dan tidak tercatat adanya penolakan
yang berujung insiden seperti pada tahun 1957.13 Di antara migran yang
menetap di Kupang di masa kemerdekaan adalah suku Bugis dari Sulawesi.
Mereka mendiami berbagai kampung seperti Camplong, Airmata, dan
Bonipoi (Widyatmika 2004). Pemberontakan Kahar Muzakar (DI TII)
di Sulawesi (1951-1965) merupakan salah satu pemicu migrasi Bugis ke
berbagai pulau di Indonesia, termasuk Kupang. (Lineton 1975; Juhannis
2006).14
Sejak Orde Baru, komposisi penduduk Kupang berdasarkan agama
13 Perburuan menyasar orang-orang komunis di Kupang dan sekitarnya (1965-1967)
menyebabkan korban tewas antara “5.000-6.000 hingga 13.600” (Van Klinken 2014, 250).
14 Migrasi Muslim Bugis ke Kupang dan Timor bukan fenomena baru. Migrasi tersebut
marak setelah Kerajaan Makassar—musuh utama Bugis—dikalahkan Belanda pada tahun
1669. Dampaknya, orang-orang Bugis yang tadinya dilarang memasuki perairan Timor kini
bebas berlayar dan menjangkau kawasan Timor hingga ke Australia bagian utara untuk
mencari trepang. Sebagian dari mereka menetap di Kupang (Kecamatan Alak) dan wilayah
sekitarnya (Widyatmika 2004).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 167
dan etnis perlahan berubah. Jumlah umat Muslim dan Katolik terus
meningkat, sementara Protestan mengalami stagnasi atau bahkan sedikit
menurun. Peningkatan jumlah penduduk Muslim yang signifikan terjadi
selama periode 2009-2010 (tercatat bertambah 6,806 jiwa) dan antara
2010-2012 (tercatat bertambah 11,085). Permukiman Muslim semakin
banyak muncul di desa/kelurahan yang sebelumnya didominasi penduduk
Kristen. Akibatnya, makin banyak desa/kelurahan-kelurahan di Kupang
menjadi plural, terutama di daerah yang disebut Kupang Baru—bagian kota
yang berkembang sejak era pembangunan Orde Baru (Widiyatmika 1983).
Pendatang beragama Islam berasal dari berbagai wilayah di Indonesia,
umumnya berpendidikan lebih tinggi daripada penduduk lokal dan makin
banyak yang memasuki sektor pemerintah (Tidey 2010).
Kedatangan para migran Muslim yang berasal dari berbagai wilayah
sejak era kemerdekaan, membawa serta beragam tradisi Islam, telah
membentuk keragaman praktik Islam di Kupang. Di Kupang Lama,
setiap komunitas Muslim bermukim di kampung yang berbasis etnis dan
mengelola masjid di kampung. Masjid di tiga kampung Muslim lokasi
penelitian ini mempertahankan tradisi Islam masing-masing yang berasal
dari tempat asal etnis dominan di sana. Karena umat Islam di Kampung
Solor dan Airmata sebagian besar berasal dari Solor, kehidupan religius
mereka berpusat pada tradisi Solor. Praktik yang dibawa dari Solor misalnya
imam masjid ditetapkan secara turun-temurun, dan adanya pembagian
peran antara domain masjid (Kampung Imam) dan adat (Kampung Raja)
dalam ritual siklus kehidupan. Di Kelurahan Oesapa, di mana sebagian
besar penduduk Muslimnya beretnis Bugis, praktik keagamaan mereka
mewakili budaya orang Bugis.
Masjid-masjid di permukiman-permukiman baru memiliki karakter
yang berbeda dengan yang ada di permukiman Kupang Lama. Masjid-
masjid di Kupang Baru memiliki manajemen yang lebih modern, di mana
yayasan masjid yang berbadan hukum memainkan peran lebih penting
daripada imam15, dan praktik keagamaan tidak dipengaruhi oleh tradisi
15 Peraturan Pemerintah No.63/2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang
168 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
etnis tertentu. Perubahan lain yang terjadi pada awal tahun 2000an adalah
munculnya Jamaah Tabligh (JT) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Keduanya menjalankan dakwah yang lebih kosmopolit, berorientasi pada
jaringan dan isu-isu global dan tidak memiliki kaitan dengan masjid-masjid
yang berbasis etnis di Kupang Lama. Konflik dan negosiasi antara umat
Kristen dan Muslim di Kupang harus dipahami dalam konteks ini.
Insiden November 1998
Setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, sebuah insiden kekerasan
terjadi di Kupang dalam skala yang lebih kecil dibanding konflik antaragama
di Maluku dan Maluku Utara. Pada tanggal 30 November 1998 beberapa
organisasi mahasiswa Kristen mengadakan parade berkabung untuk
mengungkapkan keprihatinan atas kerusuhan anti-Kristen yang terjadi di
Ketapang (Jakarta) pada minggu sebelumnya.16 Insiden November 1998
berlangsung dua hari. Pada hari pertama, setelah parade berlangsung tiba-
tiba terjadi penyerangan dan pembakaran beberapa masjid, gedung sekolah,
rumah, kios dan toko milik warga Muslim. Serangan berlanjut keesokan
harinya, saat kerumunan massa menuju Kelurahan Oesapa— sekitar 10
kilometer di pinggir kota—melempar batu dan membakar sebuah masjid
dan beberapa rumah. Dalam insiden ini dilaporkan dua orang tewas, lima
belas masjid, sejumlah kios dan rumah rusak atau dibakar. Massa membawa
serta bom molotov dan senjata tajam seperti tombak dan pisau. Menjelang
malam hari kedua pasukan keamanan setempat berhasil memadamkan
kekerasan. Situasinya baru dapat dikendalikan pada hari ketiga (Sihbudi
& Nurhasim 2001).
Yayasan mewajibkan setiap masjid memiliki status hukum berbentuk yayasan agar dapat
menerima hibah pemerintah.
16 Insiden Ketapang di Jakarta dipicu penganiayaan terhadap seorang remaja Muslim oleh
sejumlah tenaga keamanan beretnis Ambon (beragama Kristen) yang bekerja di tempat
hiburan/judi. Orang tua dan keluarga korban membalas menyerang sehingga dengan
cepat bereskalasi menjadi kerusuhan Muslim-Kristen yang menewaskan belasan orang
dan melukai hingga 81 orang. Sebanyak 16 gereja, sebuah masjid, beberapa sekolah, dan
gedung pemerintah, beberapa rumah dan kendaraan dibakar atau dirusak (Sihbudi &
Nurhasim 2001).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 169
Meskipun pihak berwenang berhasil menghentikan kekerasan dalam
Insiden November 1998 dalam waktu relatif singkat, banyak informan
berpendapat bahwa masyarakat masih kebingungan karena pemerintah
tidak pernah melakukan penyelidikan resmi. Kebingungan pertama adalah
terkait jumlah korban jiwa yang diduga lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Kebingungan kedua adalah terkait identitas para pelaku kerusuhan yang
tidak dibeberkan. Informan Muslim cenderung percaya bahwa pelaku dan
dalang dari Insiden November 1998 bukanlah orang lokal; beberapa orang
meyakini bahwa para pelaku kerusuhan adalah preman-preman diorganisir
didatangkan dari Dili (Timor Leste).
Mereka datang dengan truk dan tiba-tiba muncul di antara
kerumunan massa. Setelah parade berkabung terkait insiden Ketapang
selesai pada pukul 10.00 pagi, para preman muncul dan bergabung
dengan massa sambil berteriak, "Bakar masjid, bakar masjid!"
(Wawancara, 17 Juni 2011)
Saksi lain, Haji Mokhsen Thalib, imam Masjid Oebobo dan seorang
guru SMA, membenarkan bahwa beberapa penyerang adalah siswa SMA
di Kupang. Dia mengatakan, 'Di antara para penyerang adalah siswa
sekolah menengah dan remaja. Mereka hendak membakar rumah saya,
tapi beberapa di antaranya—yang adalah murid saya—mengenali saya
sehingga mereka mundur '.17
Sebagian besar informan Muslim menganggap serangan tersebut
dimotivasi oleh balas dendam atas insiden Ketapang di Jakarta. Beberapa
informan berpendapat bahwa Insiden November 1998 telah dirancang oleh
kelompok tertentu sebagai bagian dari dinamika politik tingkat nasional
di era transisi setelah reformasi. Imam Masjid Airmata menyatakan para
pelaku dan dalang terkait dengan para pelaku kekacauan di wilayah konflik
lainnya. ‘Mereka dibawa ke sini untuk memicu kerusuhan di Kupang,’ kata
imam Masjid Airmata (Wawancara, 10 Maret 2011).
Bentrokan yang terjadi pada tahun 1998 mengubah sejarah kota
17 Wawancara 21 November 2011.
170 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Kupang. Insiden tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi sebagian
warga Muslim, baik yang menjadi korban maupun saksi. Tiga belas
tahun kemudian, pada saat saya melakukan penelitian ini, banyak
informan Muslim masih mengacu pada Insiden November 1998 dengan
marah dan rasa trauma jika terjadi ketegangan antar kelompok agama
di tempat mereka tinggal. Mereka merasa marah karena menyaksikan
apa yang mereka anggap tindakan menghina yang dilakukan terhadap
tempat ibadah. Misalnya, seorang saksi menyebutkan bahwa beberapa
penyerang masuk ke masjid dan membuang air kecil. Seorang informan
Muslim mengaku masih menyimpan rekaman video yang menunjukkan
penyerang sedang membakar masjid. Idrus Lamaya, seorang dosen di
Universitas Muhammadiyah dan imam Masjid Al Fatah di Kampung Solor,
mengatakan sangat terperanjat menyaksikan kerumunan massa melempari
batu ke rumahnya dan membakar masjid milik Muhammadiyah. Dia
menyimpulkan bahwa insiden tersebut meninggalkan perasaan marah di
kalangan umat Islam.18
Insiden November 1998 berlangsung hanya tiga hari dan tidak
bereskalasi menjadi kerusuhan yang berskala besar. Setelah menikmati
periode tenang yang cukup lama, saya menyaksikan sebuah episode
ketegangan baru yang dipicu oleh rumor provokatif pada 18 Februari
2011. Rumor ini juga merupakan respon langsung terhadap serangan
anti-Kristen yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa saat
sebelumnya. 19 Rumor serangan terhadap masjid menyebar dengan cepat
di Kupang. Dalam sebuah upacara Maulid untuk merayakan hari lahir
Nabi Muhammad, beberapa informan mengatakan bahwa mereka telah
18 Haji Idrus Lamaya menjelaskan bahwa semasa kecil keluarganya berhubungan baik
dengan keluarganya dan tetangganya yang beragama Kristen, misalnya orang tuanya
mengajaknya berkunjung ke rumah kerabat Kristen dari pihak neneknya yang orang Rote
pada saat Natal. Menurutnya, hubungan kekerabatan yang terjalin melalui pernikahan
campur berkontribusi positif pada hubungan baik kedua belah pihak yang berbeda agama.
19 Di Temanggung (Jawa Tengah) serangan sekelompok massa terjadi setelah seorang
terdakwa Kristen divonis bersalah dalam kasus penodaan agama Islam melalui tulisannya
dan dihukum lima tahun penjara. Kelompok penyerang berpendapat hukuman tersebut
terlalu ringan. Insiden tersebut menyebabkan tiga gereja dan bangunan pengadilan rusak
(“Violence at Blasphemy Trial in Central Java.” The Jakarta Post, 8 Februari 2011).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 171
mendengar desas-desus bahwa masjid akan dibakar saat ibadah sholat
Jumat. Banyak orang Muslim panik dan ada yang terbang ke Makassar
atau Surabaya untuk keamanan.20 Namun, sejauh yang saya amati, rumor
ini tidak menimbulkan kekerasan.
Perselisihan Seputar Pendirian Masjid Batuplat
Beberapa studi menunjukkan bahwa secara historis pembangunan tempat
ibadah merupakah salah satu sumber perselisihan antarpemeluk agama,
terutama di daerah-daerah Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim
(Mujiburrahman 2006; Ropi 2013; Ali-Fauzi et al. 2014). Isu tersebut
mencuat di Kupang pada tahun 2011 ketika sekelompok warga Kristen
mendeklarasikan penolakan pembangunan masjid di Kelurahan Batuplat.
Perkembangan ini agak mengejutkan karena secara historis pembangunan
tempat ibadah di Kupang belum pernah menjadi sumber perselisihan.
Protes warga Kristen terhadap pembangunan Masjid Batuplat harus
dipahami dalam konteks yang lebih luas yakni dinamika Muslim-Kristen di
tingkat nasional.21 Protes pembangunan Masjid Batuplat merupakan reaksi
terhadap protes kelompok Muslim terhadap pembangunan Gereja Yasmin
di Bogor (Jawa Barat). Warga Kristen Kupang menggunakan logika yang
sama dengan kaum Muslim yang menolak pembangunan Gereja Yasmin.
Dalam kasus Bogor, jemaat Gereja Yasmin tidak dapat melakukan ibadah
20 Wawancara dengan Haji Abdul Fatah Ahmad, Ketua MUI Kupang (21 Januari 2012).
21 Izin membangun tempat ibadah diatur dalam sejumlah peraturan yang semuanya
memerlukan persetujuan masyarakat. Peraturan tersebut termasuk Surat Keputusan Bersama
(SKB) Menteri Tahun 1969 yang diterbitkan kembali sebagai Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Dalam Negeri No. 8/1996. Tahun 2006, Pemerintah mengeluarkan
SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Tempat Ibadah (Nomor 8 dan 9
Tahun 2006). SKB tersebut mewajibkan penyerahan daftar nama dan salinan kartu identitas
minimal 90 warga dari wilayah tersebut dan 60 warga yang beragama lain yang menyetujui
pendirian tempat ibadah. Pendirian rumah ibadah juga harus mendapatkan rekomendasi
dari Dinas Agama kabupaten dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Dalam
praktiknya, ketentuan ini berlaku untuk pendirian gereja sehingga menyulitkan warga
Kristen. Banyak gereja akhirnya didirikan di gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan
gedung niaga, serta banyak kegiatan ibadah dilaksanakan di hotel, rumah pribadi, atau
gedung pertemuan. Hambatan pendirian gereja umumnya berupa kesulitan memperoleh
surat dukungan warga dan izin mendirikan bangunan (Ropi 2013; Ali Fauzi et. al 2014).
172 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
sejak 2010 setelah pemerintah kota mencabut izin mendirikan bangunan
akibat munclnya keberatan dari penduduk sekitar gereja.22 Penyebab utama
perselisihan tersebut adalah kecurigaan pada kedua belah pihak terhadap
misionaris religius, yang disebut sebagai 'Islamisasi' dan ‘Kristenisasi’
(ICG 2010; Ali Fauzi et.al 2014). Beberapa informan Muslim di Kupang
menyadari sepenuhnya hubungan kedua kasus ini. Salah satu dari mereka
berkata: ‘Jika orang-orang Kristen di sini keberatan dengan pembangunan
sebuah masjid, dengan alasan bahwa rekan-rekan seagama mereka di Jawa
mendapat perlakuan yang sama oleh umat Islam, kita harus menerimanya
dan tidak menuntut pembangunan masjid diteruskan.’23
Meskipun muncul protes terhadap pembangunan masjid dari kelompok
Kristen tertentu, tidak ada laporan mengenai kekerasan atau serangan
fisik terhadap warga Muslim. Ketua MUI NTT, Abdul Kadir Makarim,
mengklaim bahwa perselisihan tersebut terjadi karena orang-orang yang
tidak bertanggung jawab ingin menghancurkan kerukunan antaragama
yang dimotivasi oleh proses politik pemilihan walikota dan anggota
legislatif setempat.
Lima tahun setelah demonstrasi menolak pembangunan Masjid
Batuplat terjadi, sebuah solusi damai akhirnya ditemukan. Pada Februari
2016, Walikota Kupang Jonas Salean yang baru terpilih (seorang Kristen)
mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk masjid tersebut.
Walikota secara resmi memimpin ground breaking pembangunan masjid
di atas tanah seluas 288 m2 di atas tanah seluas 1,000 m2. Walikota
menekankan bahwa pemerintah kota sangat mendukung pembangunan
rumah ibadah karena negara menjamin keamanan semua orang untuk
beribadah. Rony Nalle, penduduk Batuplat, menyatakan bahwa warga
Kristen di sekitar masjid membantu melengkapi dokumen administratif
yang diperlukan untuk penerbitan izin tersebut dan memberikan tanda
22 Pihak gereja membawa kasus ini ke Mahkamah Agung dan memenangkan kasus
tersebut. Namun, pemerintah setempat tidak mengindahkan keputusan tersebut dan
bersikeras merelokasi gereja. Hingga tulisan ini dibuat, jemaat GKI Yasmin masih belum
memperoleh haknya beribadah di gereja tersebut.
23 Wawancara dengan Haji Abdul Fatah Ahmad, 21 Januari 2012.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 173
tangan dukungan mereka. Diberikan nama Nur Musafir, Masjid Batuplat
adalah masjid kelima puluh di Kupang.24
Tindakan untuk Mengatasi Konflik dan Ketegangan
Di bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa Insiden November 1998
tidak bereskalasi menjadi konflik besar dan desas-desus pembakaran
masjid yang merebak pada Februari 2011 juga tidak memicu tindakan
kekerasan. Demikian pula, protes terhadap pembangunan Masjid Batuplat
berlangsung dengan damai. Sekarang saya akan mengulas berbagai tipe
hubungan inter-komunal dan faktor-faktor lain yang berkontribusi
terhadap perdamaian antaragama di Kupang.
Menurut Varshney (2002, 46-47) di dalam masyarakat yang plural
interaksi masyarakat (civic engagement) dapat mencegah eskalasi konflik
melalui dua mekanisme. Pertama, interaksi masyarakat memungkinkan
komunikasi antaranggota komunitas yang berbeda agama. Varshney
menjelaskan bahwa, ‘adanya kontak antarwarga dari berbagai komunitas
dalam kehidupan sehari-sehari memungkinkan komunikasi tetap dapat
terjalin untuk meredam ketegangan dan memecah konflik yang dipicu
ketegangan eksternal (exogenous shock). 25 Kedua, interaksi masyarakat
memungkinkan adanya warga membentuk organisasi atau komite yang
anggotanya berasal dari kedua belah pihak dan menjaga perdamaian
antartetangga. Seperti disampaikan Varshney (2002, 46) ‘interaksi yang
rutin memampukan warga membentuk organisasi temporer di saat ada
ketegangan, yang walaupun bersifat sementara namun sangat penting.’ Di
saat ada ketegangan, interaksi masyarakat (civic engagement) membuat
Komite Warga yang muncul ‘dari bawah’ yaitu dari masyarakat yang
24 Amnifu, Djemi. 2016. “Christians Reverse Opposition, Support Mosque Construction.”
The Jakarta Post, 12 April.
25 ‘Exogenous shock’ adalah insiden berskala besar yang dipicu peristiwa yang terjadi
di luar daerah tersebut, termasuk yang terjadi di tingkat nasional misalnya perang sipil,
pemisahan negara, penyerangan tempat ibadah (seperti dalam kasus peluluhlantakan
Masjid Baburi Desember 1992 oleh militan Hindu (Varhsney 2002, 9). Dalam kasus Kupang,
exogenous shock termasuk kerusuhan di Ambon, Poso, dan Ternate, serta Insiden Ketapang,
penyerangan Gereja Yasmin dan pengadilan penodaan agama di Temanggung.
174 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
mampu mengkampanyekan perdamaian di tingkat lingkungan dengan
cara menetralisir rumor dan memberikan klarifikasi kepada seluruh warga.
Kepemimpinan Politik yang Kuat dalam Memberikan Kepastian
Terkait Insiden November 1998, pada umumnya informan mengungkapkan
terdapat keyakinan yang kuat di kalangan masyarakat Kupang bahwa
pemimpin politik setempat mampu menangani isu antaragama secara
efektif. Pemerintah menunjukkan kemampuan dalam berkoordinasi
secara efektif dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat. Tingginya
kepercayaan umat Muslim terhadap Gubernur NTT yang beragama
Kristen (Piet Tallo, 1998-2008) merupakan faktor penting dalam mencegah
eskalasi konflik. Piet Tallo sendiri merupakan gubernur beragama Kristen
yang memiliki kekerabatan dengan keluarga Muslim melalui pernikahan
putrinya. Sebagai gubernur, Piet Tallo dianggap mampu mengayomi
kedua pihak pada masa krisis karena tindakan-tindakannya yang non-
diskriminatif sehingga memberikan jaminan rasa aman bagi kelompok
minoritas.
Setelah terjadinya Insiden November 1998, gubernur dan jajarannya
mengunjungi masjid-masjid yang rusak dan secara terbuka mengutuk
kekerasan serta meminta maaf kepada pada korban. Mereka memberikan
ganti rugi atas kerusakan bangunan dan memberikan bantuan untuk
merenovasi masjid dan rumah. Gubernur dan jajarannya juga berinisiatif
menggalang sumbangan masyarakat untuk membantu perbaikan masjid
(Sihbudi & Nurhasim 2001, 45-54; Pos Kupang; Kompas 1 Desember 1998).
Demikian pula, ketika rumor tentang pembakaran masjid menyebar
pada tanggal 18 Februari 2011, pihak berwenang bertemu dengan para
pemuka agama Protestan, Katolik dan Muslim untuk membahas langkah-
langkah untuk menangkal desas-desus tersebut. Mereka mengadakan
konferensi pers di hari yang sama untuk membantah rumor dan meminta
agar warga Kupang tidak terprovokasi.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 175
Komunikasi untuk Mencegah Kekerasan
Pada hari pertama Insiden November 1998 banyak beredar pesan pendek
(short message service, SMS) provokasi yang mengabarkan bahwa ada
pembakaran Gereja Katedral dan beberapa masjid yang tujuannya untuk
mengadu domba kedua pihak. Seorang informan dari Kampung Solor
mengklaim meski SMS provokasi beredar cukup luas, masyarakat Muslim
di Kampung Solor tidak terprovokasi untuk membalas. Jaringan tokoh-
tokoh masyarakat dengan cepat melawan SMS provokasi tersebut untuk
mencegah mobilisasi kerumunan massa. Dalam waktu singkat, warga
Muslim Kampung Solor berhasil memblokir akses utama ke desa untuk
mencegah massa perusuh mendekati Masjid Al-Fatah di Kampung Solor.26
Hal ini menjelaskan mengapa hampir semua properti yang rusak berada
di sepanjang jalan utama kota, sementara masjid dan bangunan lainnya
yang tertelak di hunian warga aman dari serangan.
Bubandt (2008) berpendapat bahwa dalam situasi tegang rumor yang
tidak terverifikasi dapat memicu eskalasi konflik. Dalam studinya tentang
Maluku, dia menyimpulkan bahwa kemampuan masyarakat untuk segera
melawan rumor menentukan berhasil tidaknya de-eskalasi kekerasan dan
penghentian hal-hal yang berpotensi memicu kekerasan. Di Kupang,
perlawanan terhadap rumor provokatif dilakukan melalui berbagai
saluran seperti jaringan komunikasi di tingkat permukiman, jaringan
komunikasi anggota Majelis Taklim dan jaringan komunikasi guru ngaji
(ustad). Klarifikasi yang lebih solid diberikan dalam forum-forum publik,
seperti pertemuan Majelis Taklim dan himbauan di media massa. Ketika
ketegangan pada Februari 2011 terjadi, dalam dua minggu berturut-turut
harian Timor Express menurunkan artikel yang ditulis oleh pemuka agama
yang meminta pembaca untuk menghindari kekerasan.
Seorang ustad bernama Hudayanur, yang sehari-hari bekerja di Dinas
Agama, mengkonfirmasi hal tersebut. Pada bulan Februari 2011 setelah
mendengar desas-desus tentang pembakaran masjid, Hudayanur mengirim
pesan SMS ke semua khatib yang berada di bawah koordinasinya meminta
26 Wawancara 17 Juni 2011.
176 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
mereka untuk selama bulan Februari mengisi kutbah Jumat di masjid-
masjid dengan tema pentingnya menjaga perdamaian dan toleransi.
Kelompok Perdamaian atau Kelompok Dialog untuk Memberikan Solidaritas
Rekonsiliasi simbolis yang dilakukan pemimpin politik dan pemuka
agama melalui kunjungan dan bantuan untuk masjid yang rusak mampu
menggerakkan warga untuk memulai prakarsa perdamaian di tingkat
lingkungan. Organisasi agama Islam dan Kristen melakukan aksi simbolis
serupa dengan menjaga tempat-tempat ibadah. Inisiatif ini berhasil, karena
kedua kelompok masyarakat menyambutnya secara positif dan bersedia
berpartisipasi. Perwakilan dari dua kelompok tersebut, yang sebagian besar
adalah anggota pemuda masjid dan gereja ikut ambil bagian (Robinson
2002, 148).
Dalam kasus Masjid Batuplat, meski ada keberatan terbuka dari
beberapa kelompok orang Kristen, namun kelompok-kelompok moderat
tetap menyatakan dukungan terhadap diteruskannya pembangunan masjid.
Pada bulan Juli 2013, sebuah kelompok pemuda yang mengklaim mewakili
organisasi Islam, Hindu (Persada Hindu Dharma) dan organisasi Kristen
(Pemuda GMIT dan Pemuda Katolik), melakukan sejumlah kegiatan
simbolis untuk mengungkapkan solidaritas mereka, seperti berbuka
puasa di lokasi pembangunan masjid, mengeluarkan siaran pers meminta
pemerintah mengupayakan solusi damai, serta mengajak semua pemeluk
agama di Kupang untuk ikut serta mengupayakan solusi damai. 27
Everyday Forms of Civic Engagement(Interaksi Masyarakat Sehari-hari)
Kepemimpinan politik di Kupang tidak hanya efektif dalam menengahi
hubungan kelompok saat insiden November 1998 dan April 2011. Mereka
juga berhasil memfasilitasi inisiatif perdamaian di tingkat lingkungan.
Masyarakat menyambut baik ajakan elit karena interaksi masyarakat
sebagai basis interaksi sehari-hari di tingkat lingkungan sudah terjalin
27 “Pemuda NTT Gelar Buka Bersama Lintas Agama” https://m.tempo.co/read/
news/2013/07/25/151499541/pemuda-lintas-agama-ntt-gelar-buka-bersama
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 177
sejak lama. Di Kupang, interaksi masyarakat sudah eksis lebih dulu,
jauh sebelum hubungan antaragama mengalami episode konflik. Bentuk
interaksi masyarakat yang paling jelas adalah warga berbeda agama
berpartisipasi dalam perayaan keagamaan dan ritual siklus kehidupan
di tingkat komunitas. Kedua pihak juga memiliki narasi lokal yang khas
tentang sejarah pendirian masjid-masjid. Selain itu, banyak keluarga-
keluarga di Kupang memiliki hubungan kekerabatan karena perkawinan
antarpemeluk agama.
Narasi Lokal Bersama
Di sejumlah perkampungan Muslim di Kupang, komunitas Muslim dan
Kristen memiliki narasi yang sama tentang sejarah masjid-masjid tua di
Kupang. Di Kampung Airmata dan Kampung Oesapa, kerjasama dan
partisipasi umat Kristen dan Muslim dalam pembangunan sebuah masjid
berkontribusi pada terpeliharanya hubungan antarpemeluk agama yang
harmonis. Narasi pendirian masjid tertua di Kupang—Masjid Al-Baitul
Qadim di Kampung Airmata, menyatakan bahwa masjid yang didirikan
pada tahun 1806 itu berdiri di atas tanah hibah Raja Am Abi yang beragama
Kristen.
Narasi serupa ditemui terkait pendirian masjid di Kampung Oesapa.
Masjid Al-Fitrah di Kampung Oesapa hanya berjarak 200 meter dari Gereja
Protestan GMIT dan sekolah Kristen, dan dikelilingi oleh permukiman
warga Kristen. Selama melakukan penelitian di Kupang, saya mengamati
hubungan Muslim-Kristen berjalan harmonis dan banyak informan
merujuk pada sejarah pembangunan Masjid Al-Fitrah sebagai bukti
harmonisnya hubungan antaragama di Kampung Oesapa. Masjid Al-Fitrah
dibangun setelah migran Bugis mulai menetap di sana pada tahun 1979.
Pada tahun 1980, para migran Muslim ini membeli lahan seluas 233 meter2
dan memperoleh izin membangun masjid melalui bantuan dari pegawai
Dinas Agama, seorang Katolik bernama Nanggeang. Panitia pembangunan
masjid juga terdiri atas seorang Kristen (Benyamin Thobias) sebagai ketua
dan dua orang Muslim sebagai anggota. Haji Badar Daeng Pawero, mantan
178 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
anggota panitia pembangunan masjid yang adalah imam Masjid Al-Fitrah
menjelaskan bahwa sejumlah tetangga Kristen di kampung tersebut ikut
membantu pembangunan Masjid Al-Fitrah.
Meskipun Kampung Oesapa merupakan sasaran kerusuhan pada
November 1998, Haji Badar Daeng Pawero berargumen bahwa kerusuhan
tersebut dapat diredakan dengan cepat terutama berkat hubungan yang
harmonis sudah ada dan terjaga melalui komunikasi dan interaksi warga
sehari-hari oleh pihak Kristen (baik Katolik maupun Protestan) dan Muslim
di kampung tersebut. Ajakan pemuka agama agar warga tidak ikut dalam
tindak pembakaran dan perusakan tempat ibadah disambut positif. Haji
Pawero berpendapat, kerukunan umat pada saat terjadi Insiden November
1998 teruji mampu mencegah konflik berlarut-larut. Hal itu dimungkinkan
karena dalam pergaulan sehari-hari kedua komunitas berinteraksi di
berbagai level. Misalnya Masjid Al-Fitrah biasa mengundang pastor
Katolik dan pendeta Protestan untuk menghadiri perayaan hari besar
Islam. Selama saya melakukan penelitian lapangan, saya mengamati bahwa
Lurah Oesapa yang terpilih, seorang Kristen, juga menghadiri perayaan
hari besar Islam. Di tingkat masyarakat ada banyak bentuk kerja sama
antaragama. Anggota Remaja Masjid membantu menjaga perayaan Natal
atau pertandingan olahraga di gereja. Sebaliknya, dalam perayaan Idul
Adha pemuda Kristen di Kampung Oesapa membantu dalam memotong
dan membagikan daging kurban.
Cerita tentang warga Kristen membantu pembangunan masjid
terus diingat sebagai narasi yang positif dalam hubungan antaragama
di kampung-kampung di Kupang. Informan saya di Kampung Airmata
dan Oesapa sering merujuk pada cerita-cerita ini dalam wawancara.
Pemerintah daerah juga menyadari pentingnya narasi kerjasama antarumat
dalam pembangunan tempat ibadah dan berupaya mempertahankan
praktik tersebut. Masjid Batuplat, misalnya, dibangun di atas lahan
yang pengadaannya dibantu oleh pemerintah daerah. Pada saat yang
bersamaan, pemerintah daerah juga memberikan bantuan keuangan untuk
pembangunan Masjid Raya Kupang yang mengalami kesulitan dana.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 179
Kerjasama dan Partisipasi
Di Kupang, anggota masyarakat terlibat dalam berbagai bentuk kerjasama
dalam acara penting terkait siklus kehidupan dan festival keagamaan.
Sebagai contoh di Kampung Solor, saat mendengar pengumuman
kematian serta merta sanak saudara, pejabat masjid dan tetangga, baik
Muslim maupun Kristen, akan berkumpul di rumah almarhum untuk
menyampaikan bela sungkawa. Para wanita langsung pergi ke dapur di
rumah almarhum untuk membantu menyiapkan makanan bagi para
pelayat. Sementara shalat jenazah dilakukan di masjid dan hanya dihadiri
oleh umat Islam, persiapan penguburan melibatkan seluruh lingkungan dan
semua tetangga, terlepas dari agama mereka. Partisipasi tetangga Kristen
bahkan meluas yaitu ikut menggali kuburan.
Partisipasi dalam perayaan keagamaan juga merupakan jenis interaksi
antarumat beragama yang penting di Kupang. Dalam perayaan Idul Adha
di Kampung Solor, warga Kristen di kampung tersebut termasuk dalam
daftar penerima daging kurban. Perayaan Maulid, festival Islam terpenting
dan terakbar, biasanya dihadiri oleh perwakilan pemerintah, banyak di
antaranya pejabat beragama Kristen. Pada tahun 2011, saya menyaksikan
Walikota Kupang, yang beragama Kristen, memberikan sambutan
dalam perayaan Maulid di Kampung Airmata. Ritual Maulid yang inti
berlangsung pada tengah malam, tapi sebelumnya dilakukan prosesi
pawai dengan membawa arak-arakan Siripuang (parsel buah-buahan yang
dihias dengan berbagai ornamen sebagai simbol rasa syukur) di tempat
terbuka, menempuh jarak dari rumah imam ke masjid. Pemuda Kristen
dari Kampung Airmata berpartisipasi membantu pengamanan acara ini.
Setiap tahun selama bulan Ramadan, gubernur mengundang umat Islam
untuk menghadiri acara buka puasa di kediamannya. Saya menghadiri
acara tersebut bersama anggota Majelis Taklim perempuan. Di sela-sela
acara buka puasa para tamu Muslim melakukan shalat Magrib di kediaman
gubernur. Pada akhir bulan puasa, komunitas Muslim menyelenggarakan
takbiran parade kendaraan bermotor berkeliling kota. Sebelum takbiran
dimulai, Gubernur menyampaikan pidato memberi selamat kepada umat
180 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Islam yang telah menuntaskan ibadah puasa. Di Kampung Airmata, Majelis
Taklim perempuan menyelenggarakan acara amal di bulan Ramadan
untuk anak-anak yatim piatu yang Muslim dan non-Muslim. Kerjasama
antarwarga juga diperluas di bidang non-agama, misalnya melalui kegiatan
PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), program kesehatan ibu dan
anak, serta program lain yang menyasar penerima manfaat Muslim dan
non-Muslim di tingkat rukun tetangga.
Sikap Religius yang Moderat
Mayoritas umat Islam di Kupang adalah Muslim tradisionalis yang
mengikuti tradisi Islam Aswaja (Ahlu Sunnah Wal Jamaah) atau Suni
Islam. Mereka berpandangan bahwa keberagaman dan toleransi adalah
nilai inti hidup bermasyarakat, khususnya karena sebagian dari mereka
memiliki ikatan kekerabatan dengan keluarga Protestan dan Katolik. Sikap
moderat tersebut dapat diamati dalam perayaan Natal. Di beberapa daerah
di Indonesia, terdapat kontroversi apakah seorang Muslim diperbolehkan
mengucapkan Selamat Natal atau menghadiri perayaan Natal. Pada tahun
1981, MUI mengeluarkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa haram,
atau dilarang, bagi umat Islam untuk berpartisipasi dalam acara Natal. 28
Ketua MUI Kupang, Haji Abdul Fatah, menyinggung masalah ini
dalam sebuah kotbah Jumat. Menekankan pentingnya menyeimbangkan
tindakan toleransi dan rasa hormat terhadap akidah (prinsip agama), dia
menyimpulkan bahwa umat Islam diizinkan menghadiri perayaan Natal
namun tidak boleh berpartisipasi dalam aspek ritual Natal seperti ikut
dalam ibadah dan menyalakan lilin Natal. Saya mengamati bahwa sudah
28 Fatwa ini awalnya dibuat bertujuan untuk mencegah anak-anak Muslim yang belajar
di sekolah Kristen ikut merayakan Natal. Sebelum fatwa dikeluarkan pada tahun 1981,
keikutsertaan dalam perayaan Natal di kantor atau sekolah merupakan hal yang umum.
Pemerintah meminta MUI mencabut fatwa yang dianggap potensial mengganggu
keharmonisan hubungan antaragama tersebut. MUI tidak mencabut fatwa tersebut tapi
memutuskan menghentikan penyebarluasannya di masyarakat (Mujiburrahman 2006; Seo
2012). Achmed Munjid (2013) menilai bahwa fatwa tersebut digunakan oleh kelompok
radikal sebagai dasar melarang Muslim ikut serta dalam perayaan Natal (“The Controversy
over ‘Merry Christmas’: Where’s the Fatwa?” The Jakarta Post, 23 Desember 2013).
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 181
menjadi praktik umum di lingkungan perkampungan bahwa umat Muslim
dan keluarga Kristen saling berkunjung pada Idul Fitri dan Natal. Natal juga
dirayakan di kantor dan sekolah yang dihadiri oleh karyawan dan siswa
Muslim. Praktik-praktik ini mendorong interaksi antarpemeluk agama
yang bersifat rutin dan berkelanjutan. Di tahun 2011 saya menyaksikan
contoh kerekatan hubungan antaragama lainnya yaitu ketika Ketua
MUI NTT memasang spanduk berukuran besar di tempat publik yang
bertuliskan: ‘Selamat Natal dan Tahun Baru untuk Seluruh Umat Kristen di
Kupang’ dan di bawah ucapan selamat tersebut ia mencantumkan tulisan:
‘Haji Abdul Makarim, Ketua MUI provinsi atas nama seluruh umat Muslim
di NTT’. Dalam salah satu wawancara saya dengan beliau, Haji Abdul
Makarim menjelaskan bahwa mengucapkan Selamat Natal adalah hal
paling sederhana dalam menunjukkan sikap hormat kepada umat Kristen
Perkawinan Campur dan Hubungan Keluarga
Hubungan kekerabatan memainkan peran penting dalam relasi Muslim
dan Kristen di Kupang melalui dua cara. Pertama, hubungan kekerabatan
ditopang oleh jaringan kelompok etnis tertentu atau migran di Kupang.
Gomang (2006) memberi contoh migran Alor di kota Kupang. Di pulau
asal mereka, orang Alor yang beragama Islam dan Kristen memiliki
hubungan kekerabatan yang disebut bela baja, yang mewajibkan satu sama
lain memberikan perlindungan saat bepergian atau berpartisipasi dalam
ritual adat.29 Menurut Gomang, bela baja diterapkan di komunitas Alor
yang bermigrasi ke Kupang, sehingga dapat meredakan ketegangan yang
dipicu isu agama atau mewadahi kerjasama antaragama. Misalnya, ketika
komunitas Muslim membangun langgar, panitianya biasanya berasal dari
warga Alor Muslim dan Kristen. 30
Kedua, hubungan kekerabatan juga merupakan hasil dari praktik
29 Konsep bela baja dan bela bayan menyerupai konsep pela gandong di Maluku, menjadi
dasar bagi aliansi sesama suku yang berbeda agama atau wilayah (pesisir dan pegunungan).
Anggota aliansi memberi dan menerima perlindungan saat bepergian atau mengunjungi
daerah tersebut. Praktik serupa ditemukan di Pulau Belagar dan Pantar (Gomang 2006).
30 Timor Express, 18 Agustus 2012.
182 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
perkawinan campur atau perkawinan antaragama. Di Kampung Oesapa
tidak jarang perempuan Kristen setempat menikahi pria Bugis Muslim.
Wanita-wanita ini, yang bersuku Rote, Sabu, atau penduduk asli Timor
mengikuti agama suami menjadi mualaf.31 Perpindahan agama karena
pernikahan bukan merupakan hal yang tidak lazim di Kampung Oesapa.
Dampaknya, banyak keluarga Muslim menjadi berkerabat dengan keluarga
Kristen melalui pernikahan. Para mualaf umumnya memelihara tradisi
mengunjungi keluarga/orangtuanya yang Kristen pada hari Natal.32
Seorang informan mualaf menjelaskan, ketika berkunjung di hari Natal,
orangtuanya menunjukkan rasa hormat dengan tidak memasak daging
babi padahal menu yang mengandung daging babi biasanya adalah menu
utama saat perayaan Natal. Di kesempatan lain, masakan berbahan daging
babi disajikan di meja terpisah. Di pesta pernikahan yang diselenggarakan
oleh keluarga Kristen umumnya menyediakan makanan halal di meja
terpisah untuk para tamu Muslim. Melalui praktik ini, warga berbeda
agama di Kupang mengungkapkan rasa hormat terhadap aturan halal
dan haram dalam Islam. Dalam konteks konflik antaragama, relasi yang
ditopang hubungan kekerabatan memungkinkan terjadinya dialog di
tingkat komunitas ketika rumor melanda atau situasi rusuh.
Dikatakan bahwa kasus pembangunan Masjid Batuplat bisa
membuahkan solusi damai karena ada cukup banyak warga Kristen
di Kelurahan Batuplat yang memiliki keluarga Muslim karena adanya
perkawinan campur dalam keluarga inti atau keluarga luas mereka. Saat
situasi sudah mulai tenang, pertemuan-pertemuan antar warga dilakukan
dan kemudian memunculkan kesepakatan bersama bahwa pembangunan
masjid bisa dilanjutkan.33
31 Majelis Taklim untuk mualaf didirikan di Masjid Al-Fitrah Kampung Oesapa pada
tahun 2010 beranggotaan sekitar 20an perempuan mualaf.
32 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 melarang pernikahan beda agama. Undang-
undang tersebut mengikuti penafsiran dominan dalam Islam bahwa perempuan Muslim
tidak diijinkan menikah dengan pria non-Muslim. Pernikahan yang dicatat di Kantor
Urusan Agama (KUA) bias terjadi jika yang non-Muslim berpindah agama ke Islam.
33 Amnifu, Djemi. 2016. “Christians Reverse Opposition, Support Mosque Construction.”
The Jakarta Post, 12 April.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 183
Kesimpulan
Di Kupang hubungan Muslim dan Kristen ditandai oleh insiden antaragama,
terutama di periode seputar masa jatuhnya Orde Baru. Namun, seperti
telah ditunjukkan dalam artikel ini, hubungan yang rekat antarkomunitas
telah berkontribusi terhadap kemampuan masyarakat secara keseluruhan
dalam meredam konflik. Diperkuat oleh sikap moderat mayoritas pemuka
agama dan efektifnya kepemimpinan politik dan koordinasi antarelit,
interaksi masyarakat (everyday engagement) secara bersamaan dapat
berperan khususnya dalam mengklarifikasi dan melawan desas-desus,
serta memberikan jaminan kepada kedua belah pihak.
Di tingkat komunitas, interaksi masyarakat dipraktikkan dalam
bentuk kunjungan timbal balik dan kerjasama dalam kegiatan sehari-
hari, hadir dalam perayaan keagamaan dan berpartisipasi dalam ritual
siklus kehidupan. Sikap moderat yang ditunjukkan oleh mayoritas
organisasi Muslim dan Kristen di Kupang juga memungkinkan kerukunan
antaragama terjadi melalui kerjasama dalam perayaan hari keagamaan.
Hubungan kekerabatan yang kuat di antara banyak keluarga Muslim dan
Kristen yang terjadi karena adanya perkawinan campur, merupakan faktor
penting yang menciptakan perdamaian. Muslim dan Kristen juga terlibat
dalam narasi tentang pendirian masjid, misalnya di Kampung Airmata dan
Oesapa, yang menekankan keharmonisan dan kerjasama.
Salah satu kesimpulan penting yang dapat diambil adalah hubungan
yang rekat antar warga membantu meredakan ketegangan karena mampu
memberikan landasan yang kuat untuk menetralisir rumor dan mencegah
provokasi. Respons terhadap potensi konflik yang dilandasi hubungan
yang rekat antar warga telah membuat Kupang lebih kokoh melawan
isu atau merespon insiden kekerasan antaragama yang terjadi di tempat
lain di Indonesia. Hal ini didukung oleh sikap pemimpin pemerintahan
dan pemimpin agama yang juga menyokong hubungan yang erat dalam
masyarakat. Tantangannya adalah mempertahankan dan memperkuat
hubungan baik ini dalam situasi yang berubah dengan cepat, khususnya
karena pertambahan jumlah umat Muslim di desa-desa yang sebelumnya
184 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
sudah ratusan tahun berpenduduk mayoritas Kristen, dan ketegangan
Muslim-Kristen yang terus terjadi di belahan lain di Indonesia. ***
Referensi
Ali-Fauzi, Ihsan, Samsu Rizal Panggabean, Nathanael Gratias Sumaktoyo, Anick
H.T., Husni Mubarak, Testriono, and Siti Nurhayati. 2014. Disputed Churches
in Indonesia. Diterjemahkan oleh Rebecca Lunnon dan disunting oleh Tim
Lindsey dan Melissa Crouch. Jakarta: PUSAD Paramadina, MPRK UGM,
The Asia Foundation.
Arifianto, Alexander R. 2009. “Explaining the Cause of Muslim-Christian Conflicts
in Indonesia: Tracing the Origins of Kristenisasi and Islamisasi”. Islam and
Christian-Muslim Relations 20(1): 73-89.
Aritonang, Jan Sihar, and Karel Steenbrink (eds.) 2008. A History of Christianity
in Indonesia. Leiden: Brill.
Aspinall, Edward, and Greg Fealy (eds.) 2003. Local Power and Politics in Indonesia:
Decentralisation and Democratisation. ISEAS, RSPAS, CSIS, CSAS.
Babcock, Tim G. 1981. “Muslim Minahasa with Roots in Java: The People of
Kampung Jawa Tondano.” Indonesia 32:74-92.
Babcock, Tim G. 1989. Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang. 2006. Kota Kupang dalam Angka 2006
Kupang: BPS Kota Kupang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang. 2007. Kota Kupang dalam Angka 2007
Kupang: BPS Kota Kupang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang. 2008. Kota Kupang dalam Angka 2008
Kupang: BPS Kota Kupang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang. 2009. Kota Kupang dalam Angka 2009
Kupang: BPS Kota Kupang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang. 2010. Kota Kupang dalam Angka 2010
Kupang: BPS Kota Kupang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang. 2011. Kota Kupang dalam Angka 2011
Kupang: BPS Kota Kupang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang. 2012. Kota Kupang dalam Angka 2012
Kupang: BPS Kota Kupang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang. 2013. Kota Kupang dalam Angka 2013
Kupang: BPS Kota Kupang.
Bartel, Dieter. 1977. Guarding the Invisible Mountain: Inter-village Alliance,
186 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Religious Syncretism and Ethnic Identity among Ambonese Christians and
Moslems in the Moluccas. Disertasi PhD., Cornel University, Ithaca New York.
Bubandt, Nils. 2008. “Rumors, Pamphlets, and the Politics of Paranoia in
Indonesia.” The Journal of Asian Studies Volume 67(3): 789-817.
Carnegie, Michelle. 2010. “Living with Difference in Rural Indonesia: What Can Be
Learned for National and Regional Political Agendas?” Journal of Southeast
Asian Studies Volume 41(3): 449-481.
Farram, Steven. 2010. A Political History Of West Timor 1901-1967, Saarbrücken,
Germany: Lambert Academic Publishing.
Fox, James J. 1977. Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia,
Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Fuad, Moch. 1985. Islam di Tana Toraja: Posisi Sosial Religius dari Persekutuan
Kultural Masyarakat Muslim Madandan Tana Toraja. Ujung Pandang: Pusat
Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin.
Gomang, Syarifuddin R. 2006. “Muslim and Christian Alliances: ‘Familial
Relationships’ between Inland and Coastal peoples of the Belagar Community
in Eastern Indonesia.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 162(4):
468-489.
Hedman, Eva-Lotta E. 2005. “Elections, Community, and Representation in
Indonesia: Notes on Theory and Method from Another Shore,” dalam Dewi
Fortuna Anwar, Hlne Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (eds.), Violent Internal
Conflicts in Asia Pacific: Histories, Political Economies and Policies. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV-Jakarta.
Husein, Fatimah. 2005. Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia:
The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspectives. Bandung: Mizan.
ICG (International Crisis Group) Report. 2010. “Indonesia: ‘Christianisation’ and
Intolerance”, Asia Briefing No. 114, 24 November, Brussels.
Juhannis, Hamdan. 2006. The Struggle for Formalist Islam in South Sulawesi: From
Darul Islam (DI) to Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI). Tesis
PhD, tidak diterbitkan. The Australian National University.
Lineton, Jacqueline. 1975. ‘“Pasompe’ Ugi”: Bugis Migrants and Wanderers’. Archipel
Volume 10: 173-201.
Mujiburrahman. 2006. Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in
Indonesia’s New Order. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Hubungan Muslim-Kristen di Kupang 187
Nisa, Eva F. 2014. “Insights into the Lives of Indonesian Female Tablighi Jama’at.”
Modern Asian Studies Volume 48(2): 468-491.
Remon, Nao-Cosme. “Interfaith Social Practices and Conversions among the
Riung of Flores, Eastern Indonesia.” Paper presented at the Australian National
University (ANU), 12 Februari 2014.
Robinson, Kathryn. 2002. “Inter-ethnic Violence: The Bugis and the Problem of
Explanation”, dalam Minako Sakai (ed.), Beyond Jakarta: Regional Autonomy
and Local Society in Indonesia. Adelaide: Crawford House Publishing.
Rodemeier, Susanne. 2010. “Islam in the Protestant Environment of the Alor and
Pantar Islands.: Indonesia and the Malay World 38(110): 27-42.
Ropi, Ismatu. 2000. Fragile Relations Muslims and Christians in Modern Indonesia.
Jakarta: Logos.
Ropi, Ismatu. 2013. The Politics of Regulating Religion: State, Civil Society and
the Quest for Religious Freedom in Modern Indonesia. Disertasi PhD., The
Australian National University.
Seo, Myengkyo. 2012. “Defining ‘Religious’ in Indonesia: Toward Neither an Islamic
nor a Secular State.” Citizenship Studies 16(8): 1045-1058.
Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim (eds.). 2001. Kerusuhan Sosial Di Indonesia:
Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas. Jakarta: Grasindo, Kantor Menteri
Negara Riset dan Teknologi RI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Tanthowi, Pramono U. 2008. Muslims and Tolerance: Non-Muslim Minorities Under
Shariah in Indonesia. Bangkok: Asian Muslim Action Network.
Tidey, Sylvia. 2010. “A Divided Provincial Town: The Development from Ethnic to
Class Segmentation in Kupang, West Timor.” City & Society 24(3): 302-320.
Tule, Philipus. 2011. Ikhtiar Mencari Identitas Muslim: Pengalaman Muslim
Pribumi di Flores (NTT, Indonesia). Maumere, Flores: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Van Bruinessen, Martin. 2002. “Geneaologies of Islamic Radicalism in Post-Suharto
Indonesia.” Southeast Asia Research 10(2):117-154.
Van Klinken, Gerry. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia.
London: Routledge.
Van Klinken, Gerry. 2014. The Making of Middle Indonesia: Middle Classes in
Kupang Town, 1930s-1980s. Leiden: Koninklijke Brill NV.
Varshney, Ashutosh. 2002. Ethnic Conflict and Civil Life: Hindus and Muslims in
188 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
India. New Haven: Yale University Press.
Varshney, Ashutosh. 2004. Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003).
UNSFIR Working Paper 04/03. Jakarta: UNSFIR.
Widyatmika, Munandjar. 1983. Sejarah Sosial Kota Kupang 1653-1980. Kupang:
Pusat Penelitian Nusa Cendana.
Widyatmika, Munandjar. 2004. Sejarah Islam Di Nusa Tenggara Timur. Kupang:
Pusat Pengembangan Madrasah dan Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Wilson, Chris. 2008. Ethnoreligious Violence in Indonesia: From Soil to God.
London: Routledge.
Belajar dari Rekonsiliasi Sehari-hari di Maluku
Oleh : Diah Kusumaningrum
Pendahuluan
Rekonsiliasi seringkali dibayangkan terjadi di tingkat elite, didorong landasan moral etis, serta diwarnai prosedur formal seputar pengungkapan kebenaran dan keadilan. Dalam konteks kekerasan komunal antar-pemeluk agama, orang membayangkannya sebagai proses di mana para pemimpin agama mengedepankan ajaran-ajaran kasih, kebenaran, dan keadilan dalam kitab suci masing-masing guna mendorong sikap dan perilaku prodamai antar-umat.
Citra tersebut tentu saja tidak keliru. Hanya saja, di tengah kecenderungan studi rekonsiliasi yang memfokuskan diri pada proses- proses yang memenuhi konseptualisasi di atas, kita perlu memberiperhatian pada proses-proses rekonsiliasi yang lain, yang terjadi di tingkat masyarakat, lebih didorong alasan pragmatis, serta tidak tergantung pada prosedur kebenaran dan keadilan formal – yang selanjutnya kita sebut sebagai “rekonsiliasi sehari-hari”.
Tulisan ini1 mengambil beberapa pelajaran dari rekonsiliasi sehari-hari di Maluku,2 di mana warga Kristen dan Muslim bisa bergerak bersama melampaui trauma kekerasan komunal tanpa difasilitasi komisi kebenaran dan/atau pengadilan luar biasa – yang menurut literatur merupakan syarat terwujudnya rekonsiliasi. Diawali dengan pengantar singkat mengenai kekerasan komunal di Maluku serta pandangan masyarakat mengenai apa itu rekonsiliasi, tulisan ini menyediakan ilustrasi mengenai bagaimana para ibu, pemuda, pedagang, wartawan, dan warga biasa – seperti saya dan Anda – saling menjangkau, berjumpa, dan bekerjasama guna memulihkan kehidupan sehari-hari. Kuncinya terletak pada kesadaran akan “interdependensi” antar-komunitas agama, di mana semua pihak paham betul bahwa hidup yang “kembali normal” tidak dapat diwujudkan tanpa kolaborasi dengan komunitas agama yang lain.
Sekilas tentang Kekerasan Komunal Maluku
Banyak studi dan narasumber sepakat bahwa kekerasan di Maluku bukanlah konflik agama. Mereka menekankan bahwa konflik Maluku adalah konflik politik dan ekonomi yang dijalankan dengan memobilisasi identitas keagamaan dan berujung pada kekerasan komunal antara warga Kristen dan warga Muslim. Mereka menawarkan beberapa penjelasan mengenai sebab konflik, dari konspirasi politik di tingkat nasional (Aditjondro, 2001), persaingan elite daerah (van Klinken, 2001; 2007), lemahnya negara (Panggabean, 2014a), hingga pelemahan institusi lokal (Bartels, 2003).
Sebagian besar narasumber mengatakan bahwa insiden pertama dalam kekerasan komunal di Maluku terjadi pada 19 Januari 1999 di perbatasan Desa Batu Merah dan Desa Mardika.3 Antara Januari 1999 hingga Februari
-----------------------------
1 Beberapa bagian dari tulisan ini diambil dari disertasi penulis mengenai rekonsiliasi di Maluku. Penulis berhutang budi kepada warga Maluku yang dengan tangan terbuka membantunya memahami kehidupan sehari-hari di Maluku.
2 Sebagian besar yang diceritakan dalam tulisan ini adalah proses-proses yang terjadi di Ambon.
3 Beberapa studi mencatat bahwa beberapa hari sebelumnya telah terjadi kekerasan di Dobo, Kepulauan Aru.
2002, saat ditandatanganinya Perjanjian Malino antara perwakilan kelompok Kristen dan Muslim Maluku, terdapat lebih dari 6.000 korban jiwa, 7.000 korban luka, dan 29.000 gedung rusak (data ViCIS, sebagaimana dikutip dalam Barron, Azca & Susdinarjanti, 2012). Selain kerugian jiwa dan material, dampak yang sangat mencolok dari kekerasan komunal di Maluku adalah segregasi wilayah menurut garis agama, di mana desa-desa secara eksklusif dihuni warga Kristen saja atau warga Muslim saja. Jumlah penduduk Kristen yang mengungsi keluar dari desa Muslim dan penduduk Muslim yang mengungsi keluar dari desa Kristen mencapai setengah juta orang (ICG, 2000). Segregasi ini diperparah oleh minimnya kebebasan bergerak – di mana warga Kristen hampir tidak bisa melintas batas wilayah Muslim dan sebaliknya.
Kekerasan komunal, segregasi wilayah, dan hambatan melintas batas tentu mendistorsi aneka segi kehidupan. Banyak anak tidak bisa pergi sekolah, banyak perkuliahan tidak dapat diselenggarakan, banyak orang tidak bisa berdagang ataupun berbelanja di pasar, banyak wartawan tidak dapat mengakses secara imbang sumber berita Kristen dan Muslim, banyak remaja tidak bisa menikmati hobinya (musik, olah raga, seni peran, fotografi, dan lain-lain), banyak pengemudi angkutan umum terputus trayeknya, dan seterusnya. Dalam konteks inilah warga Kristen dan Muslim Maluku mendambakan “hidup yang kembali normal.” Hal ini – dan bukan semata landasan moral etis seputar kehidupan harmonis antar-kelompok – yang menjadi motor utama rekonsiliasi dan binadamai di Maluku.
Rekonsiliasi Sehari-hari
Apa itu rekonsiliasi? Sebagai bahan kajian dari berbagai bidang ilmu – studi perdamaian, ilmu politik, hukum, sosiologi, psikologi, antropologi, teologi, dan sebagainya – rekonsiliasi memiliki banyak definisi. Namun, secara umum, ada dua komponen yang selalu ada dalam konseptualisasi mengenai rekonsiliasi: “hubungan” dan “hijrah dari kekerasan masa lalu.”
Para ilmuwan boleh membuat definisinya masing-masing. Namun, barangkali yang lebih relevan adalah pemahaman para warga sendiri akan rekonsiliasi. Antara tahun 1999 dan 2002, warga Maluku cenderung memandang rekonsiliasi sebagai sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Sebagaimana dikatakan seorang narasumber, “Apa? Rekonsiliasi? Itu sama saja dengan berkhianat. Mereka sudah bunuh keluarga kami. Tidak mungkin kami dan mereka bisa seperti dulu lagi.” Bahkan, warga memberikan label “Judas,” “halal darahnya,” “murtad,” dan sebagainya kepada mereka yang pro-rekonsiliasi.
Seiring perjalanan waktu, narasi warga akan rekonsiliasi berubah. Beberapa menggarisbawahi rekonsiliasi sebagai sesuatu yang mungkin, tetapi hanya jika ada syarat yang dipenuhi. Misalnya, “Kita tidak mungkin rekonsiliasi kalau mereka tidak mengakui dulu kesalahan mereka dan meminta maaf.” Beberapa menekankan pada indikator rekonsiliasi. Misalnya, “Yang namanya rekonsiliasi itu ya kalau orang-orang yang kemarin mengungsi sudah bisa kembali ke desanya.” Atau, “Tanda bahwa kita ini sudah rekonsiliasi adalah kalau kita sudah kembali hidup basudara.” Ada pula yang menonjolkan strategi rekonsiliasi. Pendeta Jacky Manuputty, misalnya, mengatakan, ”Kerja-kerja rekonsiliasi itu seperti menganyam tikar pandan. Warna-warna yang berbeda itu harus disilang-silangkan menjadi satu dan kuat” (wawancara, Januari 2014).
Meski hampir tidak ada responden4 yang mendefinisikan rekonsiliasi secara gamblang, penuturan mereka seputar penolakan, syarat, indikator, atau strategi rekonsiliasi memberikan kita gambaran yang dalam seputar dinamika pemaknaan konsep ini. Peneliti yang datang ke Maluku dengan berpegangan pada definisi akademis seputar rekonsiliasi mungkin akan pulang melaporkan bahwa “tidak ada rekonsiliasi di Maluku” atau “warga Maluku menolak rekonsiliasi.” Tetapi, mereka yang menggunakan pendekatan emic, yang mencoba memahami fenomena dari sudut pandang
--------------------------------------------------------
4 Para responden termasuk warga Maluku yang berbagi informasi secara langsung dengan penulis melalui wawancara mendalam, wawancara surel, dan focus group discussion tahun 2002, 2014, 2015, serta 200 warga Ambon yang diwawancarai oleh Muhammad Nahu-marury dan Samson Atapary dalam skema Ambon Database Pilot Study dan Ambon Database yang dipimpin Ashutosh Varshney dan Samsu Rizal Panggabean dan dibiayai Ford Foundation tahun 2004-2005.
subyek penelitian, akan belajar cara pandang unik mengenai rekonsiliasi,yaitu rekonsiliasi sebagaimana dijalankan warga dalam kehidupan sehari-hari.
Yang menarik, meski secara eksplisit menyatakan menolak rekonsiliasi, dalam praktiknya, sejak awal konflik, warga Kristen dan Muslim Maluku melakukan kerja-kerja mempererat hubungan antar-mereka serta upaya-upaya hijrah dari kekerasan masa lalu. Dengan kata lain, kerja-kerja rekonsiliasi di Maluku dilakukan juga – dan bahkan dimotori – oleh mereka yang secara lisan menentang rekonsiliasi. Berikut beberapa ilustrasi rekonsiliasi sehari-hari di Maluku.
Infrastruktur dan Layanan Masyarakat
Sudah barang tentu, kehidupan sehari-hari tidak dapat kembali normal tanpa upaya memulihkan sektor perdagangan, perhubungan, dan kesehatan, yang terganggu atau bahkan terhenti akibat kekerasan komunal. Kita perlu mencatat bahwa sebagian besar kerja menghadirkan kembali infrastruktur dan layanan masyarakat ini dipelopori dan dijalankan oleh masyarakat, melalui jalur-jalur informal, bukan oleh pemerintah dengan aneka mekanisme formalnya.
Di sektor perdagangan, salah satu distorsi utama akibat konflik adalah “terkuncinya” komoditas-komoditas penting di wilayah Kristen atau wilayah Muslim. “Barang pasar” semacam ikan dan sayur-mayur hanya bisa didapatkan di desa-desa Muslim, sementara “barang toko” semacam minyak goreng, tepung, gula, dan susu hanya bisa didapatkan di desa-desa Kristen – kalaupun ada di wilayah lain, harganya bisa mencapai empat hingga enam kali lipat. Sektor perbankan dihadapkan pada situasi yang mirip, mengingat bank dan anjungan tunai mandiri (ATM) ada di wilayah Kristen. Warga Muslim berlimpah ikan dan sayur namun tidak punya uang tunai guna memberi aneka kebutuhan lain, sementara warga Kristen memiliki uang tunai namun tidak bisa membeli ikan dan sayur. Yang merugi akibat situasi ini bukan hanya konsumen. Pedagang tentu rugi karena pembeli mereka “hilang separuh.” Produsen – termasuk para nelayan – juga rugi besar karena komoditas mereka tidak terbeli, bahkan, beberapa di antaranya, seperti ikan dan sayur, harus terbuang sia-sia.
Guna keluar dari situasi ini, pedagang Kristen dan Muslim mulai bertemu secara rahasia di daerah-daerah perbatasan guna bertukar komoditas. Tidak jarang, mereka berkoordinasi terlebih dahulu melalui telpon mengenai barang apa yang perlu mereka bawa. Tentu saja, di awal masa konflik, para pedagang sangat merahasiakan pertemuan-pertemuan ini – mereka tidak mau dianggap pengkhianat dan/atau mata-mata oleh saudara-saudara seagama mereka.
Memang harus diam-diam bertemunya. Kalau tidak nanti bahaya.
Waktu itu, ada juga yang datang ke saya, menyuruh saya tidak usah
ketemu-ketemu [berdagang/barter barang dengan] mereka. Tapi
keluarga saya perlu makan, jadi saya terus saja [datang ke “pasar
gelap”]. Lagipula, saya jadi bisa tanya-tanya kalau ada [kabar] yang
baru atau tidak jelas]. (Wawancara, Agustus 2014)
Seiring berjalannya waktu, “pasar gelap” ini meluas cakupan dan fungsinya. Makin banyak pedagang saling bertemu, di antaranya di seputar Rumah Sakit Tentara, SMP 2, Hotel Amans, Lampu Lima di Passo, dan bahkan di laut, dengan perahu masing-masing. Bahkan, warga biasa pun ikut datang. Mereka datang dengan aneka alasan – dari berbelanja, bertukar barang, hingga “membantu” kenalan. Beberapa pegawai Kristen, misalnya, mengantarkan gaji kolega-koleganya yang Muslim, mengingat sulit bagi warga Muslim datang ke bank yang ada di wilayah Kristen.
Selain bertukar komoditas, aneka perjumpaan ini memungkinkan mereka bertukar informasi dan cerita. Mereka saling memberi kabar, misalnya mengenai situasi keamanan terbaru, kondisi terkini keluarga atau kenalan yang mengungsi ke tempat lain, berita penyerangan terhadap desa tertentu, dan lain-lain. Mereka juga saling berbagi cerita, termasuk seputar nestapa sehari-hari, misalnya mengenai kehidupan di pengungsian, duka kehilangan seseorang yang disayang, dan sebagainya. Aneka informasi dan cerita ini memungkinkan warga kedua komunitas saling memverifikasi rumor, menumbuhkan empati, serta mendekonstruksi stereotipe.
Inisiatif lain mengatasi “terkuncinya” komoditi dilakukan oleh para pengemudi truk. Mereka bekerja berpasangan – Kristen dan Muslim – guna mendistribusikan barang, termasuk barang-barang dari pelabuhan. Ketika truk melintas desa Kristen, yang Kristen-lah yang mengemudi, dan ketika melintas desa Muslim, yang Muslim-lah yang mengemudi. Tentu, sistem distribusi semacam ini membuat biaya operasional meningkat drastis.
Saya ada [membawahi] 60-an Kristen dan 100-an Muslim. Mereka
kerja bongkar kapal dan bawa truk untuk distribusi barang. Kalau
kita tidak operasi, keluarga mereka tidak bisa makan. Masyarakat juga
jadi susah makan, karena barangnya tidak ada. Makanya kita harus
jalan terus. Memang tidak aman dan ongkosnya mahal, tetapi ya harus
jalan terus bawa barang ke masyarakat, termasuk yang nanti sampai
ke pasar-pasar gelap itu. (Fery Watimory, wawancara, Agustus 2014)
Serupa proses di atas, UNICEF memfasilitasi beroperasinya empat truk pengangkut sampah dan dua truk pembersih septic tank dengan merekrut pasangan-pasangan pengemudi Kristen-Muslim. Skema ini penting mengingat hanya ada satu tempat pembuangan akhir (TPA) di Ambon. TPA ini ada di wilayah Muslim, sehingga tidak mungkin dijangkau komunitas Kristen tanpa pengaturan khusus.
Para petugas kesehatan – dokter, bidan, perawat, paramedis, dan pegawai Dinas Kesehatan – juga merumuskan beberapa pengaturan khusus. Dalam rangkaian lokakarya “Health as a Bridge for Peace” (HBP),5 mereka mengidentifikasi banyak distorsi di bidang kesehatan, termasuk putusnya akses layanan medis dan kuatnya prasangka terhadap “agama lain.” Akibat segregasi wilayah, warga seringkali tidak bisa datang ke rumah sakit, puskesmas, atau praktik dokter terdekat, dan harus menempuh jarak yang berlipat kali jauhnya. Juga, tidak sedikit pasien menolak pelayanan dokter dan transfusi darah dari agama lain.
---------------------------
5 Lokakarya ini terselenggara pada 2000 sampai 2003 difasilitasi oleh World Health
Organization (WHO) dan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah
Mada (PSKP UGM).
Dulu, kalau anak saya [Muslim] sakit panas, saya tinggal bawa ke
dokter dekat sini [desa Kristen]. Tapi, waktu segregasi, saya tidak bisa
masuk ke desa itu. Jadinya saya harus mutar jauh sekali bawa anak saya
ke tempat lain [di desa Muslim lain]. Dan waktu itu banyak orang yang
lebih memilih tidak berobat daripada diobati dokter yang agamanya
lain. Jadi, penting itu program [HBP]. (Wawancara, Januari 2014)
Menurut catatan lokakarya HBP, para petugas kesehatan menyepakati beberapa kerja sama. Pertama, mereka setuju bekerja berpasangan Kristen-Muslim, sehingga proses pelayanan kesehatan bisa ikut mendekonstruksi prasangka dan stereotip, baik di kalangan pasien maupun petugas kesehatan, dan karenanya berkontribusi dalam proses binadamai. Kedua, mereka setuju membuat layanan bergerak (mobile) yang melintas batas segregasi Kristen-Muslim. Ketiga, mereka setuju membuat pusat-pusat layanan kesehatan di perbatasan-perbatasan Kristen-Muslim. Selain mendekatkan akses kesehatan ke masyarakat, pusat-pusat layanan kesehatan ini memungkinkan perjumpaan warga Kristen-Muslim.
Media dan Informasi Publik
Konflik dan kekerasan sudah barang tentu mendistorsi sektor media dan informasi publik. Dalam konteks kekerasan komunal di Maluku, distorsi tersebut mengambil bentuk yang khas.6 Segregasi wilayah memutus akses wartawan meliput berita di daerah “agama lain.” Bahkan, mengingat media-media utama di Maluku – harian Suara Maluku, TVRI, dan RRI – berkantor di daerah Kristen, segregasi wilayah memutus akses wartawan Muslim datang ke kantor. Seiring berjalannya waktu, segregasi wilayahmelahirkan “segregasi informasi,” di mana komunitas Kristen dan Muslim masing-masing mendapatkan informasi dari “media Kristen” atau “media Muslim” saja, termasuk dari aneka media baru yang lahir pascasegregasi.
Merespon hal ini, para jurnalis menyelenggarakan lokakarya “jurnalisme damai.” Mereka menyepakati beberapa prinsip dan mekanisme
----------------------------
6 Eriyanto (2003) menyajikan ilustrasi dan analisis rinci mengenai distorsi bidang media
dan informasi publik.
guna menghasilkan berita yang berimbang, bertanggung jawab, dan prodamai. Mereka juga mendirikan Maluku Media Center, tempat mereka bisa bertemu, bertukar informasi, berkoordinasi, dan berdiskusi.
Ada masanya ketika satu kejadian yang sama diberitakan secara
berbeda di [media] Kristen dan Muslim. Ada masanya ketika kami
mengalami tekanan luar biasa soal apa yang kami tulis. Kalau pakai
suara yang netral, kami ditekan oleh yang garis keras – mereka
maunya kami tulis kejelekan dan kesalahan agama lain. Padahal kami
tahu betul kalau kami tidak boleh menulis berita secara provokatif.
Makanya, kami koordinasi dan diskusi terus, supaya kami bisa saling
kasih tahu apa yang sebenarnya terjadi di wilayah masing-masing dan
kami bisa saling mendukung. (Rudi Fofid, wawancara, Januari 2014).
Para jurnalis sadar betul bahwa mereka tidak hanya memasok berita untuk masyarakat Maluku, melainkan juga untuk media-media nasional dan internasional. Karena itu, pilihan-pilihan personal mengenai apa yang diliput, apa yang ditulis, apa yang disimpan sendiri, dan seterusnya, menjadi sangat penting. Dalam konteks inilah, mereka yang bergabung dalam Maluku Photo Club (MPC) memutuskan tidak mengambil lagi foto-foto kekerasan, namun hanya fokus ke yang menampilkan kerja sama Kristen- Muslim. Dengan keanggotaannya yang bersifat lintasagama, lintasgenerasi, dan lintas profesi, MPC melakukan aneka kegiatan mendobrak segregasi.
Kami tidak hanya ambil foto-foto yang menunjukkan perdamaian.
Kami juga pakai prinsip perdamaian untuk bikin foto-foto. Misalnya,
kami pakai fotomodel Kristen waktu pemotretan di Masjid Al Fatah
dan pakai fotomodel Muslim waktu bikin foto di Gereja Maranatha...
Terus, waktu ada ketegangan, kami sengaja bikin hunting foto bareng
Kristen-Muslim, yang melintas batas desa Kristen-Muslim. Kami mau
tunjukkan bahwa aman-aman saja kok buat yang Kristen masuk desa
Muslim, dan yang Muslim masuk desa Kristen.” (Embong Salampessy,
wawancara, Januari 2014)
Semangat yang sama dimiliki oleh komunitas blogger di Maluku. Mereka prihatin karena setiap mengetik kata “Maluku” atau “Ambon” di Google, yang muncul adalah frase-frase “kerusuhan Ambon,” “tragedi Maluku,” dan sebagainya. Mereka pun beramai-ramai mengunggah hal-hal positif mengenai Maluku – seperti aspek pariwisata, kuliner, budaya, dan sebagainya. Guna mendukung hal ini, mereka menyelenggarakan pelatihan dan pendampingan untuk blogger-blogger baru.
Di awal pelatihan, beberapa peserta tidak nyaman ada peserta dari
agama lain. Mereka duduk terpisah. Lama-lama suasana bisa cair...
Di [dunia] online juga begitu. Awalnya ada yang saling protes isi
blog orang lain karena dianggap tidak sesuai realita. Tapi lama-lama,
dan dengan proses diskusi, orang bisa saling belajar [cerita] versi
masing-masing. Lama-lama semua jadi teman dan punya semangat
yang sama, [yaitu] Maluku tidak terus-terusan diasosiasikan dengan
sesuatu yang negatif. (Almascatie, wawancara, Januari 2014)
Perempuan dan Pemuda
Tentu, para perempuan dan para pemuda terlibat dalam aneka inisiatif di atas. Meski demikian, tetap penting mendiskusikan peran mereka secara khusus.
Banyak responden menggarisbawahi kekhasan peran perempuan dalam perdamaian. Ada yang mengatakan bahwa pengalaman mengandung dan melahirkan anak menjadikan perempuan lebih “militan” dalam menjaga kehidupan. Ada yang mengatakan bahwa tugas perempuan mengelola rumah tangga menjadikan mereka lebih kreatif mengupayakan aneka cara supaya anak bisa kembali sekolah, menu makanan sehari-hari mengandung sayur dan protein cukup, dan sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa informasi dan bantuan yang disampaikan kepada perempuan akan tersalurkan juga kepada anak dan suami, sementara yang disampaikan kepada laki-laki tidak selalu tersalurkan ke anggota keluarga yang lain.
... bapaknya santai saja. Tapi, sebagai seorang ibu [Kristen], saya tidak
bisa kasih anak saya makan Indomie setiap hari. Saya harus cari cara
supaya bisa dapat ikan dan sayur. Makanya saya telpon anak muda-
muda [Muslim] di kampung saya dulu. Saya tanya, mereka mau
tidak ketemu saya di perbatasan, lalu antarkan saya belanja di pasar
Belajar dari Rekonsiliasi Sehari-hari di Maluku 199
[Muslim]. Karena memang kenal baik dan percaya, mereka mau. Jadi
saya yang Kristen ini bisa pergi masuk wilayah Muslim. Lama-lama,
saya ajak juga ibu-ibu Kristen yang lain. Awal-awal, semua takut.
Belakang-belakang semua senang. Yang jualan juga senang karena
yang beli bertambah... Nanti waktu semua sudah jalan, saya gantian
ajak ibu-ibu Muslim main ke tempat mengungsi orang Kristen,
supaya tahu kita yang Kristen juga menderita. Saya pasang badan,
supaya orang-orang Kristen di tempat saya tidak mengganggu ibu-
ibu Muslim ini. Saya bilang: kalau kalian mau bunuh mereka, bunuh
saya dulu. (Othe Patty, wawancara, Agustus 2014)
Ibu-ibu Kristen dan Muslim yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Peduli (GPP) turun bersama ke jalan membagi-bagikan “pita perdamaian.” Mereka juga bersama-sama mendatangi kelompok-kelompok milisi guna “menjemput” anak-anak yang sebelumnya direkrut sebagai kombatan. Lebih jauh, mereka mengumpulkan dana guna dijadikan beasiswa untuk mantan kombatan dan anak-anak di pengungsian serta menyelenggarakan aneka kegiatan anak-anak yang bersifat lintasagama dan berorientasi trauma healing: “Keinginan kami tidak muluk-muluk. Yang penting anak-anak bisa kembali jadi anak-anak: sekolah, bermain, tumbuh tanpa trauma. Itu sudah” (Etha Ririmasse, wawancara, Januari 2014).
Ibu-ibu lain, misalnya yang difasilitasi oleh Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN), bekerja bersama memajukan isu hak anak, mendiskusikan cara-cara merespon kekerasan rumah tangga, mengumpulkan modal usaha, dan sebagainya.
Pertemuannya kami atur supaya ibu-ibu Kristen bisa datang
berkunjung ke desa Muslim, dan ibu-ibu Muslim bisa masuk ke desa
Kristen. Ada juga yang takut dan gemetar karena baru pertama masuk
ke tempat agama lain. Tapi sebentar saja semua langsung berbaur dan
seperti saudara. Semua paham kalau semua punya tujuan yang sama,
[yaitu] bagaimana supaya semua kembali [normal] lagi – yang sekolah
bisa sekolah, yang mau bikin usaha bisa bikin usaha, yang trauma bisa
pulih.” (Wawancara, Othe Patty, wawancara, Agustus 2014)
Sementara itu, para pemuda juga punya peran penting mendorong kembalinya kehidupan normal.7 Akibat segregasi wilayah, banyak dari mereka yang sepanjang SD, SMP, SMA, dan kuliah hanya bertemu dengan rekan seagama. Kekerasan komunal memaksa mereka hidup dalam beberapa keterbatasan, misalnya dalam hal sarana dan prasarana olah raga, kesenian, dan hiburan.
Rasanya bosan. Meski tumbuh di daerah konflik, kami ini sama saja
dengan remaja di daerah lain – penasaran, ingin punya kegiatan
macam-macam, ingin ada konser ini-itu, dan sebagainya. Tapi semua
serba sulit. Mau main basket, lapangan cuma ada satu. Mau balapan,
nggak ada track-nya. Mau dengerin konser, nggak ada yang buat
karena ada jam malam. Mau nggak mau, ya harus bikin [kegiatan dan
prasarana] sendiri. (Irfan Ramli, wawancara, Agustus 2014)
Muda-mudi Kristen dan Muslim pun mulai saling menjangkau. Beberapa merintis “TrotoArt,” pertunjukan seni berkala, yang dilangsungkan di ruang terbuka, di malam hari, di trotoar salah satu jalan utama kota Ambon. Yang mendaku fans Juventus mengelar nonton bareng rutin pertandingan klub favorit mereka. Yang suka balap motor membuat sendiri lintasannya. Yang peduli pariwisata Maluku bergabung dalam Maluku Baronda dan bersama-sama merancang kampanye melalui Twitter serta menyelenggarakan kegiatan off-line seperti bersih pantai dan wisata sejarah. Yang ingin serius mendalami hip-hop, reggae, band, sastra, teater, melukis, dan sebagainya, membentuk komunitas berbasis hobi seperti Maluku Hip-Hop Community, Molukka Reggae Community, Ambon Band Community, Bengkel Sastra Maluku, Bengkel Seni Embun, Kanvas Alifuru, dan sebagainya. Komunitas-komunitas ini bersinergi dalam #AmbonBergerak.
Lama-lama [pertemanannya] jadi seperti candu. Mau bikin kegiatan
apa saja, mereka pasti ajak yang [beragama] lain. Waktu tidak ada
-----------------------------------
7 Ilustrasi lebih rinci mengenai peran pemuda dalam bina damai dapat dipelajari melalui tesis S2 Eric Meinema (2012) dan film dokumenter Hiti-Hiti Hala-Hala (2012) karya Victor Latupeirisa.
Belajar dari Rekonsiliasi Sehari-hari di Maluku 201
kegiatan juga mereka saling cari. Mungkin sekedar nongkrong saja
atau ngopi-ngopi, tapi mereka sudah susah [hidup] tanpa yang
[beragama] lain. (Marisa Afifudin, wawancara, Agustus 2014)
Selain memfasilitasi pemenuhan hobi dan minat khusus, jaringan-jaringan pertemanan muda-mudi lintasagama ini mengambil peran dalam mencegah eskalasi konflik. Di tahun 2011 misalnya, ketika muncul lagi ketegangan antarkelompok, mereka menggabungkan diri dalam Kopi Badati. Beberapa dari mereka secara khusus bertugas memeriksa kebenaran rumor dan mewartakan realita sebenarnya. Misalnya, ketika ada rumor bahwa salah satu gereja terbakar, anak-anak muda ini datang ke lokasi, mengambil foto gereja, lalu menyebarkan berita dan gambar melalui media sosial bahwa tidak ada penyerangan apapun terhadap gereja itu. Beberapa yang lain bertugas mendatangi pos-pos keamanan yang didirikan warga guna mengantisipasi serangan dari luar. Mereka membawa kopi dan kue kecil, ngobrol dengan masyarakat, menyanggah rumor, dan meredakan ketegangan.
Waktu kami [pemuda Kristen dan Muslim] antar kopi dari satutempat ke tempat lain, kami jadi ngobrol dan lebih kenal dengansatu sama lain dan dengan masyarakat. Kami yang datang dan dudukbersama-sama ini jadi bukti bahwa tidak ada masalah antara Kristendan Muslim. Semua ketakutan dan kecurigaan itu ada di kepala saja.Begitu ngobrol dan minum kopi bareng, semua [rasa takut dan curiga]hilang. (Elsye Latuheru Syauta, wawancara, Agustus 2014)
Dari “Aku Korban, Kamu Pelaku” Menuju “Kita Penyintas”
Jika ada yang bertanya apa saja konsep kunci rekonsiliasi Maluku, maka jawabannya adalah: “keinginan kembali hidup normal,” dan “interdependensi.” Sebagaimana terlihat di atas, para pedagang, pengemudi, petugas kesehatan, wartawan, ibu, dan pemuda tidak meminta yang muluk-muluk – mereka “sekadar” menginginkan bisa kembali ke kehidupan normal. Pada titik ini, komunitas Kristen dan komunitas Muslim sadar bahwa kehidupan normal tidak bisa diperjuangkan sendiri-sendiri. Hampir semua aspek kehidupan mereka – pendidikan, kesehatan, perdagangan, infrastruktur, dan lainnya – terintegrasi, sehingga proses pemulihan tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan komunitas lain. Pasar tidak dapat kembali normal tanpa kerja sama pedagang Kristen dan Muslim, layanan transportasi tidak dapat kembali normal tanpa kolaborasi pengemudi Kristen dan Muslim, pemberitaan koran tidak dapat kembali normal tanpa bahu-membahu antara wartawan Kristen dan Muslim, dan seterusnya. Yang paling penting, tidak ada yang bisa kembali normal tanpa kebebasan bergerak melintas batas desa Kristen dan desa Muslim – dan ini hanya bisa diwujudkan dengan kesepakatan bersama warga kedua komunitas.
Interdependensi ini “memaksa” anggota kedua komunitas saling menjangkau. Mau tidak mau, warga Kristen harus mengatur perjumpaan dengan warga Muslim guna membahas strategi pemulihan kehidupan sehari-hari mereka, begitu pula sebaliknya. Proses perjumpaan ini memungkinkan mereka berbagi aneka informasi dan cerita – misalnya informasi keamanan terkini mengenai desa yang dulu mereka tinggalkan dan cerita mengenai kesulitan hidup di pengungsian. Seiring berjalannya waktu, tumbuh empati antara mereka, juga kesadaran baru bahwa warga Kristen dan Muslim sama-sama merugi dan menderita akibat konflik. Pelan-pelan, warga melepaskan diri dari cara berpikir “kelompok saya adalah korban, kelompok mereka adalah pelaku” dan menerima bahwa “kelompok mereka juga korban, sama seperti kelompok kita.”
Proses-proses di atas mengilustrasikan beberapa konsep penting dalam literatur Studi Psikologi Perdamaian: superordinate goal (Sherif, 1958), realistic empathy (White, 1954), dan identity-change (Kelman, 2004). Tujuan besar “kembali ke kehidupan normal” memungkinkan warga Kristen dan Muslim menahan diri dari sikap dan perilaku bermusuhan – dan bahkan melampauinya. Lambat laun, tumbuh empati yang berdasar dan tidak mengada-ada antara mereka. Ini memungkinkan mereka bergerak dari “identitas yang saling menegasikan” menuju “identitas yang bisa diterima bersama,” yaitu dari “korban-pelaku” menjadi “penyintas,” dan/atau dari “Kristen-Muslim” menjadi “warga Maluku” atau “basudara.”
Rekonsiliasi sehari-hari memungkinkan warga sejenak mengedepankan identitas mereka sebagai ibu, pemuda, pedagang, wartawan, fotografer, blogger, dan sebagainya, dibandingkan identitas mereka sebagai umat Kristen atau Muslim. Ketika bertransaksi di pasar, mereka melihat satu sama lain sebagai pedagang dan pembeli; ketika main teater bersama, mereka melihat satu sama lain sebagai seniman; ketika menjemput anak-anak dari para milisi, mereka melihat satu sama lain sebagai sesama ibu; dan seterusnya – identitas paling mencolok yang mereka lihat dari pihak lain bukanlah agamanya, melainkan peran sosialnya.
Apakah ini berarti kita harus “melonggarkan” identitas agama sembari “menonjolkan” identitas lain?8 Bagaimana dengan mereka yang identitas agama dan peran sosialnya berimpit, misalnya para rohaniwan? Beberapa riset mengenai religious peacebuilding di Maluku (Sandyarani, 2014; Al-Qurtuby, 2013) menunjukkan bahwa, terkadang, sentimen agama yang makin kuat, baik di kalangan rohaniwan maupun umatnya, justru menjadi dorongan moral spiritual bergerak menuju perdamaian. Dalam beberapa wawancara (Januari 2014 dan Agustus 2014), rohaniwan di Maluku mengatakan bahwa pembacaan yang benar terhadap ajaran agama akan menuntun pada interpretasi prodamai yang kemudian menggerakkan para rohaniwan dan pengikutnya merawat kehidupan, memfasilitasi perjumpaan lintasagama, memberikan jaminan keamanan terhadap pemeluk agama lain, mengembalikan fungsi gereja dan masjid dari pusat mobilisasi perang ke rumah ibadah, melarang penggunaan isi kotak sumbangan gereja dan masjid sebagai ongkos beli senjata, dan sebagainya.
Perlu digarisbawahi bahwa masalah tidak terletak pada identitas agama, melainkan pada “identitas yang saling menegasikan.” Masalahnya tidak terletak pada “menjadi Kristen” dan “menjadi Muslim,” melainkan pada praktik melekatkan identitas yang saling menegasikan pada kedua kategori tersebut, misalnya “Kristen korban konflik”-“Muslim pelaku konflik” dan “Kristen pelaku konflik”-“Muslim korban konflik. Asumsinya,
------------------------
8 Terima kasih kepada Ihsan Ali-Fauzi atas diskusi yang seru seputar perlu tidaknya menyembunyikan dan menukar satu identitas dengan identitas yang lain.
pelaku konflik tidak mungkin menjadi korban dalam konflik, sementara korban konflik tentu bukanlah pelaku dari konflik. Ketika aspek saling menegasikan ini terlekat sangat kuat dengan identitas agama, upaya menjangkau, berjumpa, dan bekerja sama dengan “yang lain” menjadi identik dengan pengkhianatan, kemurtadan, dan sebagainya (ingat catatan di atas mengenai bagaimana warga memaknai “rekonsiliasi” tahun 1999-2002). Pada titik inilah, identitas non-agama menyediakan jembatan interaksi bagi warga kedua komunitas – sebagai sesama ibu, guru, dan sebagainya. Seiring pertukaran antarwarga, identitas agama perlahan pulih, tidak lagi saling menegasikan: Kristen dan Muslim sama-sama terlibat dalam konflik, baik sebagai pelaku maupun korban.
Penting diingat bahwa “rekonsiliasi sehari-hari” hanyalah satu dari empat ranah rekonsiliasi (Kusumaningrum, 2015). Tiga yang lain meliputi (1) ranah formal-seremonial, termasuk di dalamnya proses Baku Bae dan Malino II, (2) ranah kampung/tetangga, termasuk yang berbasis pela gandong, dan (3) ranah narasi, termasuk yang terekam melalui film, novel, dan lagu. Rekonsiliasi sehari-hari (ranah quotidian) sering luput dari perhatian peneliti karena tidak tampak sebagai prosedur ad hoc yang secara khusus dan sengaja dirancang guna merespon kekerasan kolektif. Segalanya nampak sebagai kegiatan sehari-hari: berdagang, menulis blog, hunting foto, dan sebagainya. Bahkan, beberapa peneliti melihat berjalannya business as usual ini sebagai upaya “melupakan masa lalu,” “pengabaian kebenaran dan keadilan,” dan/atau “kegagalan membuat komisi kebenaran atau pengadilan HAM.”
Observasi dan diskusi mendalam dengan warga mengenai kehidupan pascakonflik di Maluku menunjukkan bahwa mereka tidak abai terhadap kebenaran dan keadilan. Mereka punya cara pandang tersendiri mengenai apa yang benar dan apa yang adil. “Kebenaran” yang mereka pegang adalah bahwa komunitas Kristen dan Muslim sama-sama korban konflik, bahwa ada pihak ketiga (provokator) yang mendalangi kekerasan komunal, dan bahwa pada akhirnya, semua orang di Maluku telah berkontribusi ke dalam konflik – baik dengan secara aktif menjadi kombatan, maupun dengan cara-cara lain seperti menyumbang uang, menyediakan makanan, meneruskan rumor yang belum terverifikasi, dan seterusnya. Karenanya, “keadilan” yang mereka pegang pun tidak berorientasi membuka dan merinci keterlibatan masing-masing individu, lalu memberikan hukuman yang sesuai, melainkan berorientasi masa depan – yaitu dengan melibatkan diri dalam upaya-upaya rekonstruksi pascakonflik serta pencegahan konflik.
Kita semua sudah tahu kalau kita semua terlibat. Dari yang tua-tua
sampai yang anak-anak. Laki-laki dan perempuan. Jadi, kalau mau
[meng-] hukum, ya [harus meng-] hukum semua orang. [Hal ini]
tidak mungkin dilakukan to? Yang mungkin itu, kita semua sekarang
sama-sama jaga kehidupan, sama-sama rawat Maluku. (Wawancara,
Agustus 2014)
Penutup: Menyemai Memori Perdamaian
Memahami rekonsiliasi dari kaca mata emic memungkinkan kita melihat proses sehari-hari sebagai langkah-langkah rekonsiliasi – bukan pengabaian terhadap kebenaran dan keadilan ataupun kegagalan menghadirkan keduanya. Rekonsiliasi sehari-hari ini tidak kalah penting dan jitu dibandingkan rekonsiliasi berbasis komisi kebenaran atau pengadilan HAM.
Pertanyaannya, apakah rekonsiliasi sehari-hari dapat muncul di semua masyarakat pascakonflik? Sebagaimana dilihat dalam kasus Maluku, kunci dari rekonsiliasi sehari-hari adalah keinginan kembali ke kehidupan normal dan interdependensi. Pada titik ini, modal penting yang dimiliki masyarakat Maluku adalah memori yang kuat mengenai perdamaian antarkomunitas, mengenai kehidupan basudara. Kondisi di Maluku berbeda dengan, misalnya, kondisi di Irlandia Utara dan di Sri Lanka, di mana kekerasan telah berlangsung selama beberapa generasi. Semua orang yang ada di kedua tempat tersebut menghabiskan seumur hidupnya dalam situasi konflik sehingga tidak memiliki memori perdamaian. Mereka tidak punya referensi mengenai “kehidupan normal” – kekerasan telah menjadi the new normal bagi mereka. Aspek-aspek kehidupan mereka pun tidak saling tergantung dengan anggota komunitas lain. Dalam skenario semacam ini, rekonsiliasi sehari-hari menjadi sesuatu yang (nyaris) tidak mungkin.
Barangkali, pelajaran paling penting dari Maluku adalah pentingnya menciptakan, mengembangkan, dan merawat memori perdamaian. Sebagaimana terkonfirmasi melalui aneka wawancara dan dalam Ambon Database, hampir semua orang Maluku memiliki kesadaran bahwa kekerasan komunal yang lalu hanyalah episode yang sangat singkat jika dibandingkan berabad-abad kehidupan basudara Kristen-Muslim. Kalaupun memori perdamaian ini gagal mencegah munculnya kekerasan komunal, ia terbukti dapat menjadi modal kunci dalam rekonsiliasi dan binadamai. Kenangan hidup basudara ini menjadi referensi apa “kehidupan yang normal” itu serta pengingat interdependensi antara warga Kristen dan Muslim.
Sehubungan dengan itu, jika kita berbicara mengenai peran agama dalam binadamai, kita tidak boleh membatasi diri pada aspek-aspek normatif dalam agama: kasih, kebenaran, keadilan, dan seterusnya. Kita perlu pula menggarisbawahi aspek-aspek pragmatis: bagaimana institusi dan kegiatan agama mendorong interaksi antarumat agama (dan karenanya menambah memori perdamaian warga), memfasilitasi (pemulihan) identitas agama yang tidak saling menegasikan, dan memberi jawaban atas nestapa sehari-hari warga (kesenjangan ekonomi, degradasi lingkungan, dan sebagainya).***
Ackermann, A. 1994. “Reconciliation as a peace-building process in postwar Europe: The Franco-German case.” Peace & Change, 19(3), 229-250.
Aditjondro, G.J. 2001. “Guns, pamphlets, and handie-talkies: How the military exploited local ethnoreligious tensions in Maluku to preserve their political and economic privileges.” Dalam: I. Wessel & G. Wimhofer (Eds.). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera Verlag Markus Voss.
Ali-Fauzi, I. 2013. “Ambon leads the way.” Tempo, 13 November 4237, 58.
Allport, G.W. 1954. The nature of prejudice. Reading, MA: Addison-Wesley.
Al Qurtuby, S. 2013. “Peacebuilding in Indonesia: Christian-Muslim Alliances in Ambon Island.” Islam and Christian-Muslim Relations, 24(3), 349-367. Barron, P., Azka, M.N., & Susdinarjanti, T. 2012. After The Communal War: Understanding and Addressing Post-Conflict Violence in Eastern Indonesia. Yogyakarta: CSPS Books.
Bartels, D. 2003. “Your God is no longer mine: Moslem-Christian fratricide in the Central Moluccas (Indonesia) after a half-millennium of tolerant co- existence and ethnic unity.” Dalam: S. Pannell (Ed.). A State of Emergency:
Violence, Society, and The State in Eastern Indonesia (hlm. 128-153). Darwin: Northern Territory Press.
Bertrand, J. (2002). “Legacies of the authoritarian past: Religious violence in Indonesia’s Moluccan Islands.” Pacific Review, 75(1), 57-85.
Braithwaite, J., Braithwaite, V., Cookson, M., & Dunn, L. (Eds.). 2010. Anomie and violence: Non-truth and reconciliation in Indonesian peacebuilding. Canberra: ANU E Press.
Braeuchler, B. (Ed.). 2009. Reconciling Indonesia: Grassroots agency for peace. Oxon: Routledge.
Brown, G., Wilson, C., & Hadi, S. 2005. Overcoming Violent Conflict: Volume 4 Peace and Development Analysis in Maluku and North Maluku. Jakarta: CPRU-UNDP, LIPI, dan BAPPENAS.
Das, V. 2006. Life and Words: Violence and The Descent into The Ordinary. California: University of California Press.
Eriyanto. 2003. Media dan Konflik Ambon. Jakarta: Kantor Berita 68H.
Ernas, S. 2006. Pelaksanaan Perjanjian Malino dan Penyelesaian Konflik Maluku (Tesis MA). Universitas Indonesia, Jakarta.
Farid, H. & Simarmatra, R. 2004. “The struggle for truth and justice: A survey of transitional justice initiatives throughout Indonesia.” Dalam International Center for Transitional Justice Occasional Paper Series. International Center for Transitional Justice. Foundations of Qualitatuve Research in Education. Emic and Etic Approaches. http://isites.harvard.edu/icb/icb.do?keyword=qualitative&pageid=icb. page340911
Galtung, J. 2005. “Twelve creative ways to foster reconciliation after violence.” Intervention, 3(3), 222-234.
Gardner Feldman, L. 1999. “The principle and practice of ‘reconciliation’ in German foreign policy: relations with France, Israel, Poland and the Czech Republic.” International Affairs, 75(2), 333-356.
Hadar, I.A. (Ed.). Ambon Damai Lebe Bae. Jakarta: IDe & The British Council Jakarta.
Hinton, A.L. (Ed.). 2010. Transitional Justice: Global Mechanisms and Local Realities after Genocide and Mass Violence. Piscataway, NJ: Rutgers University Press.
International Crisis Group. 2000. Indonesia: Overcoming murder and chaos in Maluku (ICG Asia Report No. 10, 19 Desember, 2000). Jakarta/Brussels: ICG.
Kelman, H.C. 2004. “Reconciliation as identity change: A social-psychological perspective.” Dalam: Y. Bar-Siman-Tov (Ed.). From conflict resolution to reconciliation (hlm. 111-124). New York: Oxford University Press.
Kusumaningrum, D. 2015. Interdependence versus truth and justice: Competing modes of reconciliation. The case of Maluku, Indonesia (disertasi doktoral, Rutgers the State University of New Jersey).
Laksono, P.M. & Topatimasang, R. (Eds.). 2003. Ken sa faak: Benih-benih Perdamaian dari Kepulauan Kei. Yogyakarta: Nen Mas Il & INSIST Press.
Leatemia, R. (Ed.). 2003. Mematahkan Kekerasan dengan Semangat Bakubae. Jakarta: YAPPIKA dan Gerakan Bakubae Maluku.
Lederach, J. P. 1997. Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies.
Washington, DC: U.S. Institute of Peace Press.
Licklider, R. & Bloom, M. (Eds.). 2007. Living Together after the Ethnic Killing: Exploring the Chaim Kaufmann Argument. UK: Routledge.
Manuputty, J.F. 2011. Community based interreligious dialogue management: Christian and Muslim dialogue in Maluku province, Indonesia (Tesis MA). Hartford Seminary, Hartford.
Manuputty, J., Salampessy, Z., Ali-Fauzi, I. & Rafsadi, I. (Eds.). 2014. Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku. Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku & PUSAD Paramadina.
Meinema, E.H. 2012. Provoking Peace: Grassroots Peacebuilding by Ambonese Youth (Tesis MA). University of Groningen, Groningen.
Minow, M. 1998. Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after Genocide and Mass Violence. Boston, MA: Beacon Press.
Panggabean, R. 2014a. Mengapa kekerasan terjadi di Ambon tetapi tidak di Manado? Beberapa pelajaran menuju perdamaian berkelanjutan (Paper disampaikan dalam Konferensi Kebudayaan Maluku I, November 4-5, 2014).
Panggabean, R. 2014b. “Penghindaran positif, segregasi, dan kerjasama komunal di Maluku.” Dalam: J. Manuputty, Z. Salampessy, I. Ali-Fauzi, & I. Rafsadi, (Eds.). Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku (hlm. 389-394). Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku & PUSAD Paramadina.
Pariela, T.D. 2008. Damai di tengah Konflik Maluku (disertasi). Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Pieris, J. 2004. Tragedi Maluku: Sebuah krisis peradaban. Jakarta: Obor. R.S., Z. 2014. Jalan lain ke Tulehu. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Sandyarani, U. 2014. The effectiveness and prospect of religious peacebuilding: A study case analysis of Maluku (Skripsi). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sherif, M. 1958. “Superordinate goals in the reduction of intergroup conflict.” The American Journal of Sociology, 63(4), 349-356.
Skaar, E., Gloppen, S. & Suhrke, A. (Eds.). 2005. Roads to Reconciliation. Lanham, MD: Lexington Books.
Sluzki, C.E. 2010. “The pathway between conflict and reconciliation: Coexistence as an evolutionary process.” Transcultural Psychiatry, 47(55), 55-69.
Soselisa, S.E. 2007. Transformasi perilaku perempuan sebagai korban menjadi agen pembangun perdamaian: Studi kasus Ambon (Tesis MA). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Spyer, P.E. 2002. “Fire without smoke and other phantoms of Ambon’s violence: Media effects, agency, and the work of imagination.” Indonesia, 74, 1-16.
Van Klinken, G. 2001. “The Maluku wars: Bringing society back in.” Indonesia, 71, 1-26.
Van Klinken, G. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars. New York: Routledge.
Varshney, A., Panggabean, R., & Tadjoeddin, M.Z. 2004. Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003). Jakarta: UNSFIR.
White, R. K. 1984. Fearful Warriors: A Psychological Profile of U.S.-Soviet Relations. New York: Free Press.
Zurbuchen, M. S. (Ed.). 2005. Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present. Washington: University of Washington Press.
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat
Referensi
Abu-Nimer, M. (Ed.). 2001. Reconciliation, justice, and coexistence: Theory and practice. Lanham, MD: Lexington Books.Ackermann, A. 1994. “Reconciliation as a peace-building process in postwar Europe: The Franco-German case.” Peace & Change, 19(3), 229-250.
Aditjondro, G.J. 2001. “Guns, pamphlets, and handie-talkies: How the military exploited local ethnoreligious tensions in Maluku to preserve their political and economic privileges.” Dalam: I. Wessel & G. Wimhofer (Eds.). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera Verlag Markus Voss.
Ali-Fauzi, I. 2013. “Ambon leads the way.” Tempo, 13 November 4237, 58.
Allport, G.W. 1954. The nature of prejudice. Reading, MA: Addison-Wesley.
Al Qurtuby, S. 2013. “Peacebuilding in Indonesia: Christian-Muslim Alliances in Ambon Island.” Islam and Christian-Muslim Relations, 24(3), 349-367. Barron, P., Azka, M.N., & Susdinarjanti, T. 2012. After The Communal War: Understanding and Addressing Post-Conflict Violence in Eastern Indonesia. Yogyakarta: CSPS Books.
Bartels, D. 2003. “Your God is no longer mine: Moslem-Christian fratricide in the Central Moluccas (Indonesia) after a half-millennium of tolerant co- existence and ethnic unity.” Dalam: S. Pannell (Ed.). A State of Emergency:
Violence, Society, and The State in Eastern Indonesia (hlm. 128-153). Darwin: Northern Territory Press.
Bertrand, J. (2002). “Legacies of the authoritarian past: Religious violence in Indonesia’s Moluccan Islands.” Pacific Review, 75(1), 57-85.
Braithwaite, J., Braithwaite, V., Cookson, M., & Dunn, L. (Eds.). 2010. Anomie and violence: Non-truth and reconciliation in Indonesian peacebuilding. Canberra: ANU E Press.
Braeuchler, B. (Ed.). 2009. Reconciling Indonesia: Grassroots agency for peace. Oxon: Routledge.
Brown, G., Wilson, C., & Hadi, S. 2005. Overcoming Violent Conflict: Volume 4 Peace and Development Analysis in Maluku and North Maluku. Jakarta: CPRU-UNDP, LIPI, dan BAPPENAS.
Das, V. 2006. Life and Words: Violence and The Descent into The Ordinary. California: University of California Press.
Eriyanto. 2003. Media dan Konflik Ambon. Jakarta: Kantor Berita 68H.
Ernas, S. 2006. Pelaksanaan Perjanjian Malino dan Penyelesaian Konflik Maluku (Tesis MA). Universitas Indonesia, Jakarta.
Farid, H. & Simarmatra, R. 2004. “The struggle for truth and justice: A survey of transitional justice initiatives throughout Indonesia.” Dalam International Center for Transitional Justice Occasional Paper Series. International Center for Transitional Justice. Foundations of Qualitatuve Research in Education. Emic and Etic Approaches. http://isites.harvard.edu/icb/icb.do?keyword=qualitative&pageid=icb. page340911
Galtung, J. 2005. “Twelve creative ways to foster reconciliation after violence.” Intervention, 3(3), 222-234.
Gardner Feldman, L. 1999. “The principle and practice of ‘reconciliation’ in German foreign policy: relations with France, Israel, Poland and the Czech Republic.” International Affairs, 75(2), 333-356.
Hadar, I.A. (Ed.). Ambon Damai Lebe Bae. Jakarta: IDe & The British Council Jakarta.
Hinton, A.L. (Ed.). 2010. Transitional Justice: Global Mechanisms and Local Realities after Genocide and Mass Violence. Piscataway, NJ: Rutgers University Press.
International Crisis Group. 2000. Indonesia: Overcoming murder and chaos in Maluku (ICG Asia Report No. 10, 19 Desember, 2000). Jakarta/Brussels: ICG.
Kelman, H.C. 2004. “Reconciliation as identity change: A social-psychological perspective.” Dalam: Y. Bar-Siman-Tov (Ed.). From conflict resolution to reconciliation (hlm. 111-124). New York: Oxford University Press.
Kusumaningrum, D. 2015. Interdependence versus truth and justice: Competing modes of reconciliation. The case of Maluku, Indonesia (disertasi doktoral, Rutgers the State University of New Jersey).
Laksono, P.M. & Topatimasang, R. (Eds.). 2003. Ken sa faak: Benih-benih Perdamaian dari Kepulauan Kei. Yogyakarta: Nen Mas Il & INSIST Press.
Leatemia, R. (Ed.). 2003. Mematahkan Kekerasan dengan Semangat Bakubae. Jakarta: YAPPIKA dan Gerakan Bakubae Maluku.
Lederach, J. P. 1997. Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies.
Washington, DC: U.S. Institute of Peace Press.
Licklider, R. & Bloom, M. (Eds.). 2007. Living Together after the Ethnic Killing: Exploring the Chaim Kaufmann Argument. UK: Routledge.
Manuputty, J.F. 2011. Community based interreligious dialogue management: Christian and Muslim dialogue in Maluku province, Indonesia (Tesis MA). Hartford Seminary, Hartford.
Manuputty, J., Salampessy, Z., Ali-Fauzi, I. & Rafsadi, I. (Eds.). 2014. Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku. Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku & PUSAD Paramadina.
Meinema, E.H. 2012. Provoking Peace: Grassroots Peacebuilding by Ambonese Youth (Tesis MA). University of Groningen, Groningen.
Minow, M. 1998. Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after Genocide and Mass Violence. Boston, MA: Beacon Press.
Panggabean, R. 2014a. Mengapa kekerasan terjadi di Ambon tetapi tidak di Manado? Beberapa pelajaran menuju perdamaian berkelanjutan (Paper disampaikan dalam Konferensi Kebudayaan Maluku I, November 4-5, 2014).
Panggabean, R. 2014b. “Penghindaran positif, segregasi, dan kerjasama komunal di Maluku.” Dalam: J. Manuputty, Z. Salampessy, I. Ali-Fauzi, & I. Rafsadi, (Eds.). Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku (hlm. 389-394). Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku & PUSAD Paramadina.
Pariela, T.D. 2008. Damai di tengah Konflik Maluku (disertasi). Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Pieris, J. 2004. Tragedi Maluku: Sebuah krisis peradaban. Jakarta: Obor. R.S., Z. 2014. Jalan lain ke Tulehu. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Sandyarani, U. 2014. The effectiveness and prospect of religious peacebuilding: A study case analysis of Maluku (Skripsi). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sherif, M. 1958. “Superordinate goals in the reduction of intergroup conflict.” The American Journal of Sociology, 63(4), 349-356.
Skaar, E., Gloppen, S. & Suhrke, A. (Eds.). 2005. Roads to Reconciliation. Lanham, MD: Lexington Books.
Sluzki, C.E. 2010. “The pathway between conflict and reconciliation: Coexistence as an evolutionary process.” Transcultural Psychiatry, 47(55), 55-69.
Soselisa, S.E. 2007. Transformasi perilaku perempuan sebagai korban menjadi agen pembangun perdamaian: Studi kasus Ambon (Tesis MA). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Spyer, P.E. 2002. “Fire without smoke and other phantoms of Ambon’s violence: Media effects, agency, and the work of imagination.” Indonesia, 74, 1-16.
Van Klinken, G. 2001. “The Maluku wars: Bringing society back in.” Indonesia, 71, 1-26.
Van Klinken, G. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars. New York: Routledge.
Varshney, A., Panggabean, R., & Tadjoeddin, M.Z. 2004. Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003). Jakarta: UNSFIR.
White, R. K. 1984. Fearful Warriors: A Psychological Profile of U.S.-Soviet Relations. New York: Free Press.
Zurbuchen, M. S. (Ed.). 2005. Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present. Washington: University of Washington Press.
BAGIAN IV
PENUTUP
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat
dan Agama : Dari Maluku untuk Indonesia dan Dunia
Oleh : Jacky Manuputty
Pendahuluan
Bermula pada 19 Januari 1999 dan berlanjut selama lebih kurang empat tahun, konflik bernuansa agama antara Salam dan Sarane (Muslim dan Kristen) menghajar Kota Ambon, Ibukota Provinsi Maluku dan menyebar ke berbagai pulau lainnya. Hanya dalam beberapa hari, insiden kecil antara pengemudi angkutan kota lokal yang beragama Kristen dan dua orang imigran Muslim berkembang masif sebagai “konflik berbasis agama” dan membumihanguskan semua wilayah di Provinsi Maluku. Kekerasan berkembang cepat dan menggerakkan warga kedua komunitas, baik untuk mengungsi ke tempat aman atau pun untuk mengangkat senjata membela komunitasnya.
Tak diragukan bahwa elemen utama untuk memperbesar api konflik adalah “agama”. Meskipun banyak orang kemudian mendebat bahwa konflik ini tak secara sederhana dapat dikategorikan sebagai konflik agama, namun tak dapat disangkal bahwa agama-agama memiliki kontribusi besar untuk memperbesar konflik ini. Elemen-elemen keberagamaan menumpukan energi konflik dan menjustifikasi keberlangsungan kekerasan, berdasarkan penafsiran terhadap nilai-nilai agama serta otoritas lembaga agama dan para pemukanya. Peran signifikan agama-agama menjadi sangat jelas ketika konflik memperoleh label “perang suci”. Hasilnya, gelombang kekerasan menggulung mengakibatkan ribuan orang terluka dan meninggal. Korban meninggal mencapai lebih kurang 9000 orang dari semua pihak yang berkonflik, dan pengungsi lokal mencapai jumlah ratusan ribu orang, hampir lebih dari setengah jumlah penduduk Provinsi Maluku.
Konflik tak meninggalkan keuntungan apa pun, selain kehancuran. Setelah empat tahun, masyarakat Maluku mengalami kehancuran tragis dalam skala masif. Konflik tidak hanya menghancurkan bangunan, fasilitas publik dan pemukiman warga, tetapi juga struktur-struktur sosial, nilai-nilai moral dan hubungan-hubungan kekerabatan dalam masyarakat. Komunitas terbelah berdasarkan agama, tidak saja secara geografis tetapi juga secara mental. Lebih jauh, komunitas mengalami trauma panjang. Hubungan antara komunitas lintas agama diwarnai oleh kecurigaan dan hilangnya rasa percaya. Struktur relasi kekerabatan berbasis kearifan lokal seperti Pela dan Gandong, atau juga Salam-Sarane, yang secara kultural telah memberikan sumbangsih bagi relasi koeksisten yang damai selama ini mengalami degradasi akut selama konflik.
Terkait konflik ini, terdapat sangat banyak studi yang mendalami kondisi-kondisi sebelum maupun sesudah konflik. Sayangnya hanya sedikit ditemukan kajian serius terkait proses dan mekanisme perdamaian, serta relasi lintas agama yang dibangun dalam rangka mengelola, menyelesaikan dan mentransformasi konflik berbasis ketersediaan modal sosial di Maluku. Lebih banyak studi memfokuskan diri pada akar-akar sosio-historis dari konflik serta mendalami “bagaimana” dan “mengapa” konstruksi perdamaian dalam masyarakat Maluku menjadi hancur dalam lingkaran kekerasan konflik yang sungguh tak beradab.
Beberapa peneliti seperti Kirsten Schultz dan Patricia Spyer ataupun Gerry van Klinken secara tepat mengangkat kontribusi agama-agama dalam melanggengkan konflik. Sayangnya, mereka tidak mengembangkannya ke peran signifikan agama-agama dalam membangun rasa percaya serta menggerakkan upaya-upaya perdamaian melalui berbagai cara dan metode yang dipakai. Dapat dikatakan, para peneliti seperti disebutkan di atas tak memberikan perhatian serius terhadap komunitas agama, relasi-relasi di antara mereka, serta kontribusi nilai-nilai perdamaian yang dilakukan mereka, sebagai pilar utama dari kajian-kajian mereka.
Dalam kenyataannya, di balik fenomena kekerasan, upaya-upaya membangun perdamaian dan rekonsiliasi berbasis masyarakat bisa ditemukan sangat banyak. Hal itu berlangsung saat berlangsungnya konflik maupun sesudahnya. Selama waktu itu, penulis terlibat secara mendalam dalam berbagai proses penguatan, untuk membangun rasa percaya di antara komunitas serta mendorong berlangsungnya dialog dan kerjasama membangun perdamaian antara kelompok-kelompok agama yang bertikai.
Tulisan ini dibuat untuk memperkaya beberapa studi perdamaian yang telah dilakukan sebelumnya terkait dengan konflik Maluku. Tidak semua fakta dan kerja binadamai di Maluku bisa dikonstruksikan secara metodologis dalam tulisan pendek ini. Apa yang disajikan disini lebih berupa tuturan naratif mengenai kerja-kerja binadamai yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok masyarakat berbeda agama di Maluku, dalam upaya bersama untuk menangani beberapa dampak utama yang tertinggal akibat konflik.
Konflik Muslim-Kristen di Maluku tidak saja menghancurkan bangunan-bangunan fisik, fasilitas publik dan pemukiman, tetapi juga merobek struktur-struktur sosial, nilai-nilai moral dan relasi sosial kemasyarakatan. Akibatnya, masyarakat mengalami trauma berkepanjangan dan hidup dalam segregasi. Ironisnya, segregasi Muslim-Kristen yang terjadi tidak saja secara geografis, tetapi juga secara mental.
Sesungguhnya kondisi segregasi ini bukanlah sebuah fenomena baru dalam tatanan sosial di Maluku. Segregasi telah menjadi warisan kolonial, yang dilakukan oleh kaum penjajah untuk mempermudah kontrol mereka atas wilayah-wilayah jajahan. Konflik hanya menegaskan fakta pembelahan sosial ini secara lebih masif dan dalam.
Dalam situasi di atas, masyarakat di Maluku cenderung berhubungan satu dengan lainnya dalam pola “kelompok kami” versus “kelompok mereka”. Lebih jauh lagi, kecenderungan ini mendorong pemeluk agama untuk membangun sikap triumfalis agama dengan mengklaim agama yang dipeluknya sebagai agama yang benar, sedang yang lain disalahkan.
Adapun upaya untuk membangun integrasi bukanlah pula baru yang terlihat pasca-konflik. Jauh sebelumnya, warisan segregasi sejak kolonial telah diupayakan untuk dijembatani melalui berbagai rekayasa sosial budaya yang kemudian berkembang sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal di Maluku. Frasa “Siwalima”, misalnya, adalah frasa integratif yang di baliknya terekam sebuah upaya penyelesaian konflik pada masa lalu dalam perang antarkelompok klan Patasiwa melawan klan Patalima di wilayah Maluku Tengah. Pada periode selanjutnya, Siwalima dimaknai sebagai bentuk kearifan lokal yang menabalkan sistem nilai persekutuan dan persatuan sebagai konsep etis yang harus dikelola dan dikembangkan. Aspek kearifan sosial ini tidaklah hancur saat berkecamuknya konflik sosial di Maluku. Sebaliknya, ia kembali digaungkan sebagai modal sosial untuk merekonstruksi kondisi keterbelahan masyarakat pasca-konflik.
Sekalipun ikatan-ikatan relasi kultural semisal Pela dan Gandong mengalami ketegangan akibat tingginya eskalasi konflik, namun di berbagai wilayah bisa ditemukan titik-titik perjumpaan antara kelompok berbeda agama yang terikat secara kultural. Warga Desa Ouw yang beragama Kristen di Pulau Saparua, misalnya, secara diam-diam terlibat untuk membangun rumah adat di Desa Seith yang beragama Muslim di Pulau Ambon. Keduanya secara kultural terikat dalam hubungan gandong, dimana desa Ouw merupakan adik dari Desa Seith. Di Pulau Buano yang mayoritas beragama Muslim, warganya menyelesaikan pembuatan perahu pesanan warga Pulau Nusalaut yang beragama Kristen karena keduanya terikat dalam relasi gandong. Masih banyak contoh yang bisa dikemukakan untuk mengatakan bahwa kearifan-kearifan lokal Maluku sebagai modal reintegrasi sosial tidaklah hancur saat berlangsungnya konflik. Sistem itu tetap hidup, sekalipun tak berfungsi sebagaimana mestinya akibat dinamika konflik yang cukup tinggi.
Pasca-konflik, seluruh modal sosial budaya dalam pola integrasi komunitas seakan memperoleh ruang aktualisasi dirinya. Masyarakat lokal berupaya menghidupkan kembali kekuatan-kekuatan relasional berbasis adat dan budaya lokal untuk menebus fakta segregasi yang diakibatkan oleh konflik. Di berbagai tempat bisa ditemukan dinamika integrasi yang melampaui batas-batas perbedaan agama dan yang dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat adat. Contoh-contoh pembangunan gereja, masjid, rumah adat, serta berbagai peristiwa kemasyarakatan dalam bingkai adat istiadat belakangan ini secara spontan melibatkan komunitas dari latar belakang agama yang berbeda.
Peristiwa pentahbisan gedung gereja Jemaat GPM (Gereja Protestan Maluku) Kariuw di Pulau Haruku, yang melibatkan saudara “gandong”-nya1dari Negeri Hualoi yang beragama Islam di Pulau Seram, dapat dikemukakan sebagai contoh menarik mengenai penguatan relasi berbasis kearifan lokal setempat. Ketika prosesi para pendeta dan umat hendak memasuki pelataran gereja, mereka disambut dengan balutan “kain gandong” (lembaran kain putih panjang yang melambangkan “kandungan/rahim” yang menjadi asal-usul mereka) yang dipegang oleh sejumlah perempuan berkerudung dari negeri Hualoi, yang kemudian mengiringi mereka masuk ke gedung gereja secara bersama.
Demikian pula, pada saat masyarakat Negeri Batumerah, yang beragama Islam di Kota Ambon, melakukan prosesi pemasangan kubah masjid, di tangga menuju kubah terlihat saudara-saudara “pela”-nya2 dari
----------------------------------
1 “Gandong” berarti “kandungan”, menyimbolkan ikatan persaudaraan pada masa lalu berbasis hubungan darah.
2 “Pela”, pakta persaudaraan lintas-negeri adat yang dibuat berdasarkan peristiwa tertentu di masa lalu.
Negeri Passo yang beragama Kristen berdiri berderet untuk menyambut
dan membantu memasangkan kubah masjid dimaksud. Hal serupa
terjadi ketika Jemaat GPM Galala-Hative Kecil sedang merenovasi
gedung gerejanya di Kota Ambon. Sekelompok warga Negeri Hitu yang
beragama Islam nampak memainkan rebana mengiringi pembongkaran
gedung gereja lama. Di atap gereja sebagian dari mereka bekerja bersama
saudara-saudara “pela”-nya untuk merenovasi gedung gereja itu. Nampak
jelas bahwa konflik yang berdarah-darah membangkitkan kembali sebuah
kesadaran kultural terhadap identitas bersama yang harus diperjuangkan
secara konkret dan berkelanjutan.
Meskipun modal sosial berbasis kearifan lokal setempat telah cukup
tersedia, namun dalam kenyataannya hal itu tak mencukupi untuk merajut
semua aspek kemajemukan masyarakat yang berkembang pesat di Maluku.
Kelompok-kelompok migran baru yang tak terikat pada kearifan lokal
Maluku merupakan segmen yang harus dikelola secara serius dalam
pengembangan Maluku sebagai wilayah multikultur. Untuk menyikapi
realitas ini, banyak kelompok lalu mengembangkan model-model integrasi
sosial lintas-kelompok berbasis kebutuhan-kebutuhan dasar bersama,
kegemaran-kegemaran bersama, atau pun tantangan bersama.
Adalah menarik untuk melihat geliat kelompok muda di Ambon yang
mengupayakan integrasi sosial berbasis seni dan kegemaran bersama.
Komunitas Ambon Bergerak misalnya merupakan simpul dari sejumlah
kelompok muda penggiat seni, pariwisata, maupun aksi-aksi sosial di
Ambon yang percaya bahwa intensitas perjumpaan dalam aksi-aksi
bersama akan menumbuhkan rasa percaya lintas-pribadi dan kelompok
yang menjadi modal bersama untuk membangun persahabatan. Mereka
percaya bahwa persahabatan antar manusia merupakan jangkar bagi dialog
lintas agama, lintas etnis, maupun lintas kelas sosial. Sekalipun pola interaksi
mereka tidak mengalami institusionalisasi, namun intensitas perjumpaan
dan dinamika mereka sangat tinggi. Mobilitas lintas wilayah-wilayah
geografis yang tersegregasi mereka lakukan secara kontinu. Apa yang
dikerjakan kelompok muda ini melalui medium-medium sastra, musik,
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 219
film, fotografi, tarian, dan lainnya secara tidak langsung menyumbangkan
energi positif bagi upaya-upaya perekatan sosial di ruang publik maupun
ruang-ruang domestik yang tersegregasi selama ini.
Upaya-upaya lainnya untuk mendorong reintegrasi masyarakat
dilakukan secara lebih terstruktur oleh lembaga-lembaga agama maupun
lembaga-lembaga sosial lainnya. Program “live-in” yang diinisiasi Gereja
Protestan Maluku pada tahun 2005 misalnya, telah berkembang menjadi
sebuah metode yang direplikasi oleh banyak komunitas. Kegiatan ini
didasari pada pengakuan bahwa ruang publik tidak cukup menjamin
tumbuhnya rasa percaya lintas kelompok secara alamiah. Dalam wilayah
yang tersegregasi secara geografis, ruang domestik memainkan peran
signifikan bagi pembentukan karakter individu maupun komunitas.
Fakta segregasi geografis dan segala dampaknya menjadi pertimbangan
untuk menginisiasi program “live-in” guna menyediakan kesempatan
perjumpaan lintas komunitas beda agama pada ruang-ruang domestik
mereka. Dengan tinggal dan berinteraksi bersama pada rumah dan
lingkungan berbeda agama, seseorang mengalami proses transformasi
secara bertahap dari sikap penuh prasangka menjadi sikap saling percaya.
Untuk maksud yang sama, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon
mengirim secara periodik para mahasiswanya untuk bekerja paruh
waktu selama sebulan di Kantor Sinode Gereja Protestan Maluku. Di sana
mereka mempelajari seluruh aspek dan arah pengembangan pelayanan
Gereja Protestan Maluku sebagai denominasi Kristen Protestan terbesar
di Maluku. Program “live-in” di kemudian hari tidak saja dilakukan oleh
kalangan pendeta, tetapi juga dikelola berulang kali oleh kelompok-
kelompok muda maupun guru, sebagai model sederhana yang dipercaya
efektif melawan prasangka dan pelabelan-pelabelan keliru antar-kelompok.
Segregasi geografis pasca-konflik memang sudah sulit untuk dibongkar
lagi. Proses “tukar guling” pada wilayah-wilayah yang teraneksasi selama
konflik telah berlangsung lama. Dalam situasi ini segregasi geografis
tidak lagi harus dilihat sebagai ancaman. Upaya-upaya bersama untuk
membangun integrasi pada wilayah-wilayah yang tersegregasi mestinya
220 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
dilihat sebagai peluang untuk menyumbangkan model integrasi bagi
segmentasi penduduk berdasarkan agama, etnisitas, maupun alasan-alasan
lainnya.
Dalam kondisi geografis yang telah tersegregasi, ruang publik dianggap
tak lagi cukup untuk merajut kekerabatan dan membangun rasa percaya.
Di lain pihak, ruang domestik yang tersegregasi menjadi lahan subur
bagi pelanggengan narasi-narasi kalah-menang. Menyadari tantangan
itu, intervensi lintas kelompok ke ruang-ruang domestik kemudian
dikembangkan secara strategis. Tradisi saling mengunjungi pada hari-
hari besar keagamaan kembali berkembang secara marak ketika semangat
perdamaian semakin berkembang.
Dalam perayaan Idul Adha belakangan ini, komunitas Kristen di banyak
wilayah terlihat mengantarkan sumbangan hewan ke komunitas Muslim
tetangganya dalam prosesi-prosesi persaudaraan yang mengharukan.
Sebaliknya, pada banyak acara gerejawi yang diselenggarakan oleh umat
Kristen di wilayah-wilayah perbatasan, komunitas Muslim tetangganya
terlibat penuh dalam membantu penyelenggaraan acara dimaksud.
Disadari sungguh bahwa sekalipun secara geografis telah terbentang batas-
batas yang tegas antara komunitas Muslim dan Kristen Maluku, segregasi
secara mental haruslah bisa dijembatani.
Narasi Konflik Melawan Narasi Damai
Meskipun kerap dikatakan bahwa agama dan kekerasan merupakan dua
hal yang bertentangan, namun ledakan konflik Maluku pada tahun 1999
yang tersulut pada sumbu “agama” membenarkan sejumlah tesis yang
diungkapkan oleh Charles Kimball dalam buku kecilnya, When Religion
Becomes Evil. Agama bisa berwajah bengis dan menjadi bencana bagi
kemanusiaan.
Tak dapat disangkali bahwa kekerasan dan konflik melekat erat pada
agama, bahkan sejak semula ketika pembentukan narasi-narasi penciptaan
dan kehidupan dikemas dalam tradisi agama-agama. Agama menjadi
pendulum yang selalu mengayun di dalam ketegangan dialektis antara
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 221
konflik dan perdamaian. Pada satu sisi agama mewajahkan kekerasan
dan konflik. Di sisi lainnya agama tampil dengan wajah penuh damai dan
cinta. Fakta ini berkontribusi langsung pada karakter narasi-narasi yang
diproduksi oleh agama, bisa jadi sangat protagonis tetapi juga antagonis.
Sejak konflik Maluku pecah, aksi-aksi kekerasan atas nama agama
diperkokoh oleh narasi-narasi dikotomis dan segregatif yang membenarkan
“kita” dan mempersetankan “mereka”. Eskalasi konflik yang tinggi dengan
sebaran kekerasan dan korban dalam skala yang masif telah mematikan
produksi dan gaung narasi-narasi perdamaian yang dikemas oleh berbagai
kalangan pada saat itu.
Saya mengingat persis sebuah upaya menarik yang dilakukan oleh
almarhum penyanyi Franky Syahilatua. Pada tahun-tahun pertama
konflik, Franky mencoba memproduksi sebuah iklan perdamaian yang
menampilkan dua sosok anak bernama Acang dan Obet di tengah puing-
puing bangunan yang terbakar. Mereka mewakili komunitas Muslim
dan Kristen Maluku yang sesungguhnya merindukan damai dan hidup
persaudaraan di tengah panasnya bara konflik ketika itu. Ironisnya, nama
Acang (dari Hasan) dan Obet (dari Robert) kemudian malah dipakai
sebagai pembeda komunitas yang bertikai dan tetap terlanggengkan
sampai saat ini.
Sesungguhnya narasi-narasi disintegrasi dan kekerasan adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari sejarah pembentukan masyarakat di Maluku.
Model narasi ini bahkan telah berkembang sejak perjumpaan awal agama-
agama samawi di Maluku yang terjadi bersamaan dengan ekspansi global
perdagangan rempah-rempah ketika itu. Saat agama Katolik tiba di Maluku,
banyak wilayah yang sebelumnya telah menjadi Islam dikonversi menjadi
Katolik. Di kemudian hari konversi kembali terjadi saat Protestantisme
menginjakkan kakinya di Maluku. Proses konversi ini terekam sebagai
memori kolektif yang pahit dalam kelompok-kelompok masyarakat
tertentu. Selain konversi, pengalaman pahit juga dialami melalui proses
segregasi wilayah berdasarkan agama yang dilakukan penguasa kolonial
untuk mempermudah kontrol atas wilayah jajahannya di Maluku. Tidak
222 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
dapat disangkali bahwa suburnya narasi-narasi kalah-menang, narasi
penundukan, serta narasi penyingkiran, terakumulasi sebagai persoalan
“pasca-kolonial” yang membentuk memori kolektif di kemudian hari.
Sangat disayangkan bahwa sejarah polarisasi agama dan adat sebagai
warisan pahit kolonial jarang dibicarakan sebagai diskursus kolektif di
tengah masyarakat. Pengalaman-pengalaman pahit ini lebih banyak
mengendap sebagai kisah-kisah sedih, kemudian dilanggengkan melalui
lagu-lagu rakyat, “kapata” (pantun), ritual dan pertunjukan rakyat, tari-
tarian, serta berbagai medium ekspresi lainnya.
Ketika Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) menyelenggarakan
kegiatan studi agama-agama dan kebudayaan pada tahun 2005,
beberapa narasumber Muslim dengan gamblang menjelaskan bagaimana
pengalaman-pengalaman pahit dalam sejarah mengkondisikan
karakteristik Muslim di Maluku untuk cenderung menarik diri dan
menghadirkan penampilan yang berbeda dari komunitas Kristen Maluku.
Proses pengkutuban kelompok diperkuat melalui reproduksi narasi-narasi
segregatif warisan masa lalu yang dihidupi dalam tradisi tutur di banyak
komunitas Muslim Maluku. Saat terjadi konflik kemanusiaan bernuansa
agama, memori kolektif yang pahit itu direproduksi melalui pembentukan
narasi-narasi keras dengan tujuan untuk memperkuat solidaritas kelompok,
sekaligus menyemangati pertarungan berdarah di antara berbagai pihak
yang bertikai.
Selain warisan masa kolonial Eropa, periode pendudukan Jepang
dan pergolakan Republik Maluku Selatan tercatat berkontribusi bagi
penumpukan narasi-narasi dikotomis antara Islam dan Kristen di Maluku.
Di kemudian hari, akumulasi narasi-narasi segregatif ini tidak bisa dilepas-
pisahkan juga dari perkembangan dinamika sosial-politik nasional maupun
internasional.
Beberapa momentum internasional maupun nasional turut
mempengaruhi pengentalan narasi-narasi identitas yang segregatif.
Bangkitnya gerakan-gerakan purifikasi Islam pada dekade tahun 1970-an,
dan berkelindan dengan semangat triumfalis Kristen pada masa itu, pada
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 223
gilirannya menyumbangkan sejumlah narasi segregasi dan prasangka yang
menjauhkan jarak relasi antara kelompok-kelompok Islam dan Kristen di
Maluku, terutama pada zona sosio-politik.
Kondisi ini mempertegas segmentasi Kristen dan Islam Maluku dan
berimbas pada pengerasan narasi-narasi segregatif berdasarkan agama
dalam kehidupan masyarakat. Masih kental dalam ingatan saya bahwa pada
periode awal 1980-an berkembang kuat polarisasi agama di antara siswa/i
dan mahasiswa di Maluku. Ibadah-ibadah Kristen lintas sekolah dilakukan
setiap bulan. Demikian pula, pengajian-pengajian untuk kalangan siswa/i
di kalangan Islam berkembang pesat. Narasi dominan dalam event-event
ibadah dimaksud adalah polarisasi dan pertarungan siswa/i Islam dan
Kristen dalam mengakses perkembangan dan kepemimpinan di sekolah-
sekolah dan kampus. Tidak saja sekolah dan kampus, pada kantor-
kantor pemerintahan marak berkembang ibadah-ibadah karyawan/wati
berdasarkan garis agama.
Secuil latar historis pembentukan narasi segregatif berdasarkan identitas
agama ini memperjelas betapa panasnya titik didih dalam benturan
komunitas Islam dan Kristen di Maluku ketika konflik tahun 1999 meledak.
Maraknya intoleransi dengan ekspresi agama dan etnis yang menguat di
ruang publik saat merebaknya konflik menunjukkan bahwa narasi-narasi
kekerasan telah menumpuk dalam bentangan sejarah agama-agama di
Maluku. Akumulasi narasi-narasi ini membentuk konstruksi ideologi
kekerasan yang dihidupi sebagai pilihan ekspresi diri dan kelompok ketika
elemen-elemen budaya lokal sebagai katup pengamannya dilemahkan.
Ide-ide tentang perang suci, atau perang ilahi, dengan gampang diuraikan
ke dalam kehidupan sehari-hari.
Mengacu pada realitas di atas maka upaya membangun perdamaian
mengisyaratkan diproduksinya narasi-narasi integratif untuk melawan
narasi-narasi segregatif. Narasi-narasi perdamaian harus diproduksi untuk
melawan narasi-narasi konflik. Narasi-narasi persahabatan harus dikreasi
untuk menandingi narasi-narasi permusuhan. Narasi-narasi cinta harus
dikemas untuk melawan narasi-narasi kebencian.
224 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Upaya untuk mengelola narasi-narasi perdamaian sejak awal dicoba
untuk dilakukan ketika konflik kekerasan pecah pada 1999. Selain
pendekatan keamanan, upaya untuk menghentikan kekerasan dilakukan
dengan cara mereproduksi berbagai narasi damai di ruang publik. Hampir
di semua sudut kota Ambon bertebaran spanduk dengan slogan-slogan
perdamaian yang diambil dari konsep-konsep kearifan lokal, semisal “Pela
dan Gandong”, “Hidup Orang Basudara”, “Sagu Salempeng Patah Dua”, dan
berbagai slogan integratif lainnya. Sayangnya, narasi-narasi perdamaian
yang dikelola saat itu terjebak untuk hanya menjadi perangsang dan
pengingat terhadap keluhuran kearifan lokal hidup persaudaraan. Kekuatan
narasi-narasi itu segera tenggelam dalam eskalasi konflik yang menggila
dan berdarah-darah.
Pembesaran peran dan pengaruh narasi-narasi perdamaian saat konflik
dikelola secara sangat hati-hati di antara kelompok-kelompok yang lebih
terbatas. Komunitas Relawan Tirus (Tim Relawan Untuk Kemanusiaan)
yang bekerja lintas agama sejak awal konflik misalnya mengkorelasikan
narasi-narasi perdamaian dengan tanggung-jawab bersama untuk
mengelola bantuan kemanusiaan. Gerakan Perempuan Peduli (GPP) adalah
contoh lain yang juga bergerak lintas agama sejak awal konflik dengan
mengusung dan memasyarakatkan narasi-narasi keberpihakan terhadap
perempuan dan anak korban konflik. Kedua kelompok ini menunjukkan
contoh bagaimana narasi-narasi perdamaian dikemas dalam kaitan dengan
akumulasi korban konflik yang harus ditangani bersama.
Salah satu contoh gerakan perdamaian yang cukup tersistematisasi
adalah Gerakan Baku Bae. Kelompok yang diinisiasi sejak tahun 2000 ini
mengkonsolidasi sejumlah pertemuan bersama di luar Maluku dengan
melibatkan berbagai perwakilan komunitas yang bertikai di Maluku. Seri
pertemuan diwarnai dengan proses pembentukan narasi-narasi integrasi
yang dipilih secara sadar oleh kedua kelompok yang bertikai untuk
kemudian dikampanyekan secara luas di Maluku. Selain narasi-narasi
integratif dalam kaitan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial dasar bersama,
kelompok ini menggumuli juga berbagai narasi integratif yang digali dari
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 225
khazanah kearifan lokal Maluku. Nama “Baku Bae” kemudian dipilih
sebagai narasi utama untuk diinternalisasi dalam perjalanan gerakan ini
di kemudian hari.
Dalam perkembangan kemudian, ketika proses perdamaian telah
semakin meluas, pembentukan narasi-narasi perdamaian dan integratif
memperoleh ruang dan peluang yang besar. Kelompok-kelompok muda
adalah segmen masyarakat yang sangat antusias untuk mengembangkan
jenis narasi ini, yang tampak antara lain pada kemasan lagu-lagu yang
mereka buat. Tema dan lirik-lirik lagu yang diproduksi komunitas muda
di Maluku pasca-konflik sarat dengan narasi-narasi perlawanan atas
kekerasan dan konflik. Sambil mengusung narasi-narasi kearifan lokal dari
masa lalu ke dalam lirik-lirik lagu mereka, pergulatan terhadap identitas
bersama juga mewarnai tema-tema lagu mereka. Judul-judul lagu seperti
“Puritan”, “Beta Maluku”, “Kapala Batu”, “Satu Darah” dan berbagai judul
sejenis mewakili protes keras kelompok muda terhadap kehancuran yang
terjadi selama konflik, sekaligus merupakan penegasan tuntutan mereka
terhadap reintegrasi sosial pasca-konflik.
Dinamika pembentukan narasi damai sebagai bentuk perlawanan
terhadap narasi-narasi kekerasan digawangi banyak kelompok muda
berbasis hobby yang berkembang kemudian. Komunitas sastra merupakan
salah satu model komunitas integrasi lintas agama berbasis kegemaran
yang cukup menonjol. Sebelum terjadinya konflik, gerakan literasi sastra
di kalangan muda Maluku tak banyak terdengar. Pasca-konflik dinamika
komunitas penyuka sastra di Kota Ambon berkembang sangat pesat.
Produksi syair yang mereka lakukan didominasi oleh narasi-narasi
perdamaian dan integrasi sosial, sejalan dengan pengelolaan mobilisasi
integrasi sosial di ruang publik maupun ruang domestik yang cukup masif.
Paduan kebangkitan dinamika sastra dan musik yang bernuansa
perdamaian bahkan memantik perhatian beberapa artis nasional untuk
terlibat secara intens dalam gerakan mereka. Glenn Fredly, salah satu
penyanyi Indonesia papan atas, bahkan secara rutin berada di Ambon
dan terlibat membina komunitas “Rumah Beta” yang bergerak di bidang
226 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
seni untuk perdamaian. “Hidayah Carita Orang Basudara” adalah album
kompilasi seni untuk perdamaian yang sedang dirampungkannya bersama
teman-teman muda Maluku di Ambon. Tema besar di balik album ini
adalah “Narasi Baru Untuk Indonesia Dari Maluku.” Album ini dibuat
berdasarkan kesadaran bahwa narasi-narasi perdamaian dan rekonsiliasi
dari Maluku haruslah dikontribusikan untuk Indonesia dan dunia.
Dinamika lain dari pembentukan narasi-narasi perdamaian di Maluku
bisa dideteksi pula pada perkembangan pengelolaan sosial media yang
mengusung muatan-muatan perdamaian dan integrasi sosial. Saat ini
berkembang kesadaran bahwa dinamika integrasi sosial dan perdamaian
harus terus-menerus dikelola baik melalui media-media “off-line” maupun
“online.”
Gerakan “Provokator Damai”, yang terbentuk di kalangan muda
Ambon untuk menyikapi ledakan konflik baru pada tahun 2011, dikenal
luas melalui penggunaan sosial media untuk mempublikasi dinamika
perdamaian dan integrasi sosial. Melalui sosial media, terutama Facebook
dan Twitter, narasi-narasi perdamaian diprovokasikan dari Maluku.
Komunitas ini didinamisasi oleh kelompok “fotografi untuk perdamaian”
yang juga mengelola publikasi narasi-narasi damai melalui aktifitas
fotografi yang telah mewabah di kalangan komunitas muda lintas iman
di Ambon pasca-konflik.
Berkembangnya kesadaran penggunaan sosial media untuk
menyampaikan pesan-pesan perdamaian dibarengi pula oleh terbangunnya
kontrol sosial untuk melawan publikasi narasi-narasi provokasi konflik
yang kerap muncul di Maluku. Contoh menarik menyangkut hal ini dapat
dilihat saat memanasnya situasi nasional terkait pemilihan gubernur DKI
pada awal tahun 2017 ini. Ketika itu beberapa kalangan muda terprovokasi
untuk mempublikasi narasi-narasi kebencian lintas agama di Maluku.
Tindakan ini segera disikapi bersama oleh komunitas penggiat media
sosial lintas agama. Mereka bekerjasama dan mendorong penyelidikan dan
penangkapan terhadap beberapa aktivis media sosial yang memprovokasi
kebencian. Masyarakat luas mendukung proses hukum terhadap pelaku
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 227
provokasi dengan mempertimbangkan konflik antar komunitas yang
pernah terjadi beberapa tahun lalu.
Maluku pasca-konflik tidak saja menyediakan narasi-narasi perih,
kemarahan dan kebencian, tetapi juga menjadi lahan subur untuk menggali
narasi-narasi cinta, persaudaraan dan perdamaian. Upaya pembentukan
narasi-narasi damai haruslah terus menerus dikerjakan dan dirayakan
bersama untuk mempertebal energi perlawanan terhadap narasi-narasi
konflik dan disintegrasi. Kumpulan narasi damai dari Maluku, Carita
Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku, yang dibukukan
dan dipublikasi LAIM dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD,
Yayasan Paramadina); film layar lebar Cahaya dari Timur: Beta Maluku,
yang terpilih sebagai film terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2014;
atau film pendek Provokator Damai, yang dikerjakan oleh mahasiswa IAIN
Ambon dan memenangkan Eagle Award 2013 – semuanya adalah contoh-
contoh menarik tentang bagaimana narasi-narasi damai dirayakan untuk
menginspirasi kerja-kerja perdamaian yang lebih luas di berbagai tempat.
Dulunya Saling Menantang, Kini Mengelola Tantangan Bersama
Upaya-upaya untuk membangun perdamaian di Maluku di kemudian
hari, oleh banyak kalangan, dilembagakan dalam bentuk kerja bersama
lintas iman dan etnis untuk mengelola situasi-situasi ketidakadilan sosial
maupun ekologis. LAIM, yang digawangi oleh MUI Maluku, Sinode Gereja
Protestan Maluku dan Keuskupan Amboina misalnya, selama lebih dari
satu tahun pada 2005, mengelola program “khotbah damai”. Kegiatan ini
menghadirkan ulama dari Muslim, Protestan dan Katolik dalam forum
diskusi rutin yang digelar di wilayah-wilayah yang tersegregasi secara
kontinu.
Dalam setiap pertemuan, sebuah isu sosial yang menjadi persoalan
bersama didiskusikan secara mendalam untuk menemukan perspektif
serta tanggung jawab bersama dalam pengelolaannya. Pada akhir setiap
pertemuan, dibangun kesepakatan untuk menggunakan isu bersama
yang didiskusikan sebagai tema sentral dalam khotbah di masing-masing
komunitas agama. Koleksi khotbah damai lintas agama kemudian
didokumentasikan dan didistribusikan ke komunitas agama sebagai materi
pembelajaran publik.
Pertemuan khotbah damai menjadi menarik bukan saja karena para
tokoh agama bisa membangun kesepakatan terhadap tanggung jawab
sosial bersama, tetapi juga karena proses ini memperkuat kedekatan
individu antar mereka maupun kedekatan mereka dengan komunitas basis
yang berbeda agama. Setiap pertemuan didorong menjadi aksi bersama
pada level komunitas basis. Sebagai contoh, ketika para tokoh agama
membicarakan maraknya fenomena korupsi, komunitas muda lintas agama
turun ke jalan dan melakukan kampanye anti korupsi di berbagai sudut kota
melalui pemasangan poster, stiker, dan berbagai bentuk alat peraga lainnya.
Dalam perkembangan kemudian, pasca-konflik kecil yang meledak
di Kota Ambon pada tahun 2011, komunitas muda lintas agama semakin
bergiat untuk menggalang kepedulian sosial di antara mereka melalui
aksi-aksi bersama di ruang publik. Gerakan kampanye #SaveAru,
untuk menyelamatkan kepulauan Aru dari ancaman deforestasi demi
pengembangan perkebunan tebu berskala besar, diinisiasi oleh komunitas
muda lintas iman yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman
sebagai pegiat lingkungan. Komunitas ini terbentuk melalui simpul-
simpul aktifitas berkesenian, seperti komunitas hip-hop, sastra, blogger,
fotografi, dan lainnya. Seluruh kecakapan mereka dipadukan untuk
mengkampanyekan #SaveAru sehingga bergaung secara nasional maupun
internasional. Memenangkan kasus Aru menjadi modal kolektif bagi
mereka untuk kemudian menggerakkan aktifitas #SaveEma, #SaveRomang
#SaveTelukAmbon, ataupun gerakan-gerakan peduli lingkungan lainnya.
Kuatnya kedekatan dalam jaringan persahabatan yang telah terbentuk menjadi modal utama bagi kelompok-kelompok muda ini untuk mengkonsolidasi jejaring relawan bagi kemanusiaan. Aksi-aksi penggalangan dukungan bagi penderita-penderita kanker dari keluarga miskin untuk memperoleh perawatan di luar Maluku adalah contoh menarik untuk dikemukakan. Kasus #SaveNahla yang menjadi viral di sosial media adalah salah satu contoh perjuangan gerakan kaum muda lintas iman dan etnis di Maluku untuk menyelamatkan Nahla, gadis kecil di Pulau Seram yang mengidap kanker tulang.
Tidak semua kasus dimenangkan melalui gerakan advokasi yang dibangun komunitas muda ini. Begitu pula, Nahla akhirnya tak terselamatkan, ketika telah dirujuk pengobatan lanjutannya ke Jakarta. Sekalipun demikian, komunitas muda lintas iman ini telah memenangkan sebuah upaya bersama untuk merajut dan mentransformasi gerakan-gerakan perdamaian yang mereka rajut, menjadi gerakan bersama untuk mengelola dan menangani persoalan lain yang menjadi tantangan bersama di sekitar mereka.
Satu hal menarik untuk dicatat dalam dinamika yang berkembang adalah bahwa kelompok-kelompok muda lintas iman di Maluku dalam aktifitas sosialnya cenderung menghindari penggunaan kata “perdamaian” ataupun “rekonsiliasi”. Alasan mereka sederhana. Konflik di masa lalu sudah selesai dan mereka tak ingin terus-menerus terikat pada berbagai pelabelan yang mengingatkan mereka pada kondisi traumatis itu. Perdamaian bagi mereka haruslah diwujudkan secara konkret, karenanya interaksi langsung dalam kerja-kerja bersama untuk kemanusiaan dan lingkungan perlu digalang terus menerus.
Sebenarnya di balik alasan-alasan komunitas muda untuk menggunakan diksi-diksi perdamaian maupun rekonsiliasi, kita bisa menangkap sinyal yang kuat bahwa kondisi traumatis pasca-konflik masih tebal mengendap di bawah lapisan tikar sosial yang dibangun bersama. Penolakan mereka bisa dimengerti sebagai strategi penghindaran terhadap memori-memori pahit yang diwariskan konflik. Sekalipun demikian, kompensasi penghindaran yang mereka lakukan dengan menggalang kerjasama-kerjasama sosial merupakan tawaran model menarik untuk mengelola proses pemulihan trauma berbasis interaksi langsung lintas komunitas. Pemulihan trauma terjadi melalui interaksi-interaksi langsung yang melibatkan masyarakat secara luas. Ketika rasa percaya secara bertahap menguat di dalam interaksi dan kerjasama lintas komunitas, rasa trauma dengan sendirinya berkurang juga secara bertahap. Meminjam bahasa Johan Galtung, dapatlah dikatakan bahwa perasaan-perasaan traumatis di masa lalu terbantu penyelesaiannya ketika komunitas muda ini berhasil melakukan sebuah proses transformasi dari negative peace (penghentian kekerasan) kepada positive peace (mengupayakan pemenuhan rasa keadilan) dalam kerja-kerja mereka membangun perdamaian.
Kerja sama komunitas lintas iman untuk menangani persoalan-persoalan sosial dan lingkungan berkontribusi secara langsung pada penguatan jaringan masyarakat. Pendekatan ini juga memperkokoh perspektif bersama tentang tanggung jawab agama-agama terhadap pemulihan dan transformasi sosial pasca-konflik. Berhadapan dengan berbagai masalah sosial yang dimaknai sebagai masalah bersama, komunitas lintas agama dirangsang untuk mentransformasikan energi permusuhan di antara mereka menjadi energi bersama untuk berhadapan dengan musuh yang sama. Pada beberapa seri kegiatan lintas tokoh agama dalam program khotbah damai misalnya, data-data persoalan sosial dipaparkan dengan sangat transparan. Penyebab dan luasan dampak ditampilkan secara grafik, untuk secara psikologis merangsang keprihatinan mereka terhadap problem bersama. Paparan data telanjang yang diikuti diskusi serius di antara mereka berhasil mendorong mereka untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan kerja sama bagi penanggulangan masalah ini.
Dapatlah dikatakan bahwa landasan bersama bagi penguatan jejaring sosial lintas agama berakar pada pengembangan konsep pluralisme yang terkait erat dengan pengalaman hidup sehari-hari. Dalam kaitan ini, dinamisator bagi penguatan relasi dimaksud bertumpu pada tanggung jawab pembebasan dan transformasi masalah-masalah sosial dan lingkungan. Selain tentunya berafiliasi kuat dengan modal sosial yang telah tersedia, atau pun yang kemudian dikembangkan secara sadar bagi penguatan proses perdamaian. Melalui sejumlah pertemuan dan kerja sama untuk penanganan masalah-masalah sosial dan lingkungan pasca-konflik, terbangun kesepakatan dan penegasan bersama bahwa peran integratif agama-agama untuk membangun perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan merupakan imperatif yang tak henti. Kesepakatan-kesepakatan yang dicapai itu menjadi sangat penting untuk menggerakkan komunitas agama dalam kerja-kerja kemanusiaan bersama.
Dalam wilayah konflik bernuansa agama seperti Maluku, strategi mengelola peran agama untuk membangun perdamaian bukanlah perkara yang mudah. Konflik terlanjur memberikan label bagi agama sebagai generator atau penggerak konflik. “Otoritas tafsir” ayat-ayat suci pada tokoh-tokoh agama banyak digunakan untuk memberikan legitimasi terhadap keberlangsungan konflik sebagai “perang suci”. Oleh komunitas agamanya, tokoh-tokoh agama dianggap sebagai pahlawan ketika mereka menggelorakan perang. Sebaliknya, mereka dilabeli sebagai penghianat ketika menginisiasi perdamaian.
Kecurigaan lintas komunitas terhadap tokoh-tokoh agama jauh lebih besar dibanding kecurigaan di antara sesama anggota masyarakat berbeda agama. Selain kecurigaan lintas agama, tantangan yang dihadapi tokoh-tokoh agama justru diperoleh dari komunitas agamanya ketika mereka berupaya untuk membangun perdamaian. Beberapa tokoh agama bahkan terancam secara fisik ketika terlibat dalam proses-proses awal untuk menginisiasi perdamaian. Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan untuk mengelola elemen-elemen agama dalam dinamika sosial pasca-konflik.
Adapun inisiatif untuk mempertemukan tokoh-tokoh agama saat berlangsungnya konflik lebih banyak dilakukan oleh pihak pemerintah, maupun pihak kepolisian dan militer. Pertemuan-pertemuan formal ini tak banyak membantu untuk menghentikan kekerasan yang terus bergolak. Eskalasi konflik terus meningkat dan konflik semakin meluas ke berbagai pelosok Maluku. Kenyataan ini menimbulkan resistensi terhadap peran tokoh agama untuk menghentikan kekerasan. Meskipun demikian, setiap perjumpaan menjadi kesempatan bagi tokoh lintas agama untuk membangun kedekatan personal yang dikemudian hari menyumbang banyak pada upaya-upaya perdamaian.
Selain pemerintah, beberapa perjumpaan awal yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga non-pemerintah melibatkan tokoh-tokoh lintas agama secara tersembunyi. Sejumlah perjumpaan bahkan diselenggarakan di luar Maluku untuk menghindari kecurigaan komunitas masing-masing. Sekalipun begitu, kesepakatan untuk menghentikan kekerasan dan membangun perdamaian yang diinisiasi melalui pertemuan-pertemuan itu tak serta merta dapat disosialisasikan pada komunitas masing-masing. Mengkampanyekan pesan-pesan agama bagi perdamaian bukanlah sesuatu yang popular saat berlangsungnya konflik maupun ketika konflik baru selesai.
Gerakan Baku Bae adalah salah satu contoh bagaimana strategi mempertemukan tokoh dan aktor agama dilakukan secara strategis. Perjumpaan-perjumpaan awal yang digagas melalui gerakan ini hanya melibatkan sejumlah kecil tokoh agama, sehingga memungkinkan terbangunnya rasa percaya di antara mereka. Rasa percaya yang mulai bertumbuh, dipupuk melalui rangkaian pertemuan dan perbincangan selanjutnya. Dalam proses itu, isu-isu perekat yang dipilih lebih banyak berkisar pada dampak konflik bagi kemanusiaan dan lingkungan. Memilih isu-isu keagamaan pada pertemuan-pertemuan awal dianggap tidak strategis untuk membangun rasa percaya dan kedekatan personal.
Pilihan isu perekat bisa dianalogikan dengan proses memakan bubur panas yang biasanya dimulai dari pinggiran piring. Isu-isu seperti hak-hak pengungsi yang dikebiri, kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat yang terpuruk, kehancuran pranata-pranata adat dan budaya terkait identitas bersama, politisasi konflik yang mengorbankan Maluku, adalah sejumlah isu perekat yang diusung dalam percakapan-percakapan awal lintas tokoh agama yang diinisiasi secara partisipatoris.
Ketika dirasakan bahwa rasa percaya yang terbangun telah cukup membesar, diputuskan untuk secara bertahap setiap tokoh agama merekomendasikan penambahan anggota kelompok dari orang-orang yang bisa dipercaya dan mempercayai mereka. Strategi pembesaran kelompok secara bertahap dimulai dari perjumpaan antar individu menjadi perjumpaan lintas kelompok. Lingkaran kelompok yang diperbesar dari waktu ke waktu berkembang menjadi lingkaran persahabatan lintas tokoh agama, maupun para pengikut mereka yang terlibat dalam setiap perjumpaan.
Jaringan persahabatan dan kedekatan yang terbangun di antara tokoh lintas agama dikemudian hari mengalami institusionalisasi dalam bentuk lembaga maupun program. LAIM adalah contoh dari pelembagaan relasi lintas tokoh agama yang dilakukan melalui tahapan perjumpaan yang cukup panjang. Perjumpaan-perjumpaan lintas tokoh agama untuk membentuk LAIM bahkan dilakukan secara tersembunyi dan berpindah-pindah lokasi di tengah konflik yang masih bergolak.
Institusionalisasi kedekatan relasi dan rasa percaya lintas tokoh agama juga dilakukan melalui banyak kegiatan-kegiatan lintas agama yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga agama. Kegiatan Khotbah Damai, yang telah dijelaskan sebelumnya, dikelola penyelenggaraannya oleh Majelis Ulama Indonesia Maluku dengan melibatkan pihak Protestan maupun Katolik. Sebaliknya kegiatan “trauma healing” digawangi oleh Gereja Protestan Maluku dengan melibatkan pihak Muslim dan Katolik.
Dalam perkembangan kemudian, kesediaan untuk membuka diri dan merangkul komunitas lain yang berbeda agama semakin marak berkembang melalui banyak program yang diusung oleh lembaga-lembaga berbasis agama. Isu lintas agama menjadi salah satu isu sentral dalam pengembangan program lembaga-lembaga agama di ruang publik. Oleh Gereja Protestan Maluku (GPM) isu ini dikemas sebagai salah satu isustrategis dalam perencanaan strategis GPM sampai tahun 2025. Di pihak lainnya, lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama seperti IAIN Ambon menetapkan multikulturalisme sebagai pilar utama pengembangan rencana strategis mereka. Untuk merealisasikan rencana itu, pakta perjanjian persaudaraan berbasis budaya seperti “Gandong” telah dibuat antara IAIN dengan Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Maluku (STAKPN), maupun ikatan “Pela” yang dibuat antara IAIN Ambon dengan Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM).
Dalam seluruh dinamika yang digambarkan di atas, penguatan kapasitas tokoh dan aktor agama untuk mengelola perdamaian berbasis partisipasi komunitas adalah tantangan tersendiri yang harus dikelola secara berkelanjutan. Tuntutan pengembangan dialog dan aktifitas lintas agama untuk membangun perdamaian dan perekatan sosial pada wilayah pasca-konflik bernuansa agama memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Dialog dan kerja sama lintas iman di Maluku berhimpitan dengan tanggung jawab pemulihan sosial pasca-konflik yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat secara luas. Kondisi ini mensyaratkan kehadiran tokoh-tokoh agama maupun aktor-aktor agama yang memiliki sejumlah kapasitas teknis dalam aspek pengelolaan masyarakat, terutama ketika masyarakat yang dikelola memiliki tingkat pluralitas yang sangat tinggi seperti Maluku.
Menjadi fasilitator, negosiator, ataupun mediator adalah kompetensi khusus yang harus dilatih kepada tokoh-tokoh dan aktor agama untuk mengembangkan teknis-teknis partisipatoris dalam pengelolaan relasi-relasi lintas personal maupun kelompok dalam wilayah konflik dan pasca-konflik seperti Maluku. Menyikapi tantangan ini, GPM selama dua tahun terakhir ini telah menyelenggarakan seri pelatihan pendeta-pendeta untuk mengelola relasi lintas agama dan lintas denominasi di seluruh wilayah pelayanan GPM yang membentang di Provinsi Maluku maupun Provinsi Maluku Utara. Tim fasilitator bagi pelatihan ini berisikan tokoh dan aktor lintas agama yang telah terlibat dalam proses-proses membangun perdamaian sebelumnya. Lembaga lainnya menyelenggarakan seri pelatihan mediasi bagi tokoh-tokoh lintas agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Maluku. Melalui sejumlah pelatihan bagi penguatan kapasitas tokoh dan aktor agama, proses-proses binadamai di Maluku mengalami perkembangan yang signifikan, sekaligus memperkuat karakter agama-agama di Maluku sebagai agen perdamaian.
Banyak kalangan memprediksi bahwa konflik bernuansa agama di Maluku membutuhkan waktu yang panjang bagi penyelesaiannya. Setidaknya menurut mereka, pada paska penghentian kekerasan proses-proses perekatan sosial akan sangat sulit dilakukan, apalagi dalam kondisi geografis yang hampir total tersegregasi berdasarkan garis agama. Beberapa peneliti juga sempat menegaskan bahwa kearifan-kearifan lokal Maluku sebagai modal sosial bagi penyelesaian konflik telah turut hancur selama berlangsungnya konflik.
Dalam kenyataannya, proses penghentian kekerasan komunal tidak membutuhkan waktu yang panjang. Satu hal yang sering luput dari pengamatan para peneliti konflik di Maluku, bahwa sejak konflik meledak pada Januari 1999 proses binadamai juga bergerak pada ruang-ruang tersembunyi yang tak kasat mata. Ini menjadi modal sosial yang sangat kuat untuk mengakhiri episode kekerasan komunal saat atmosfir perdamaian mulai merebak. Elemen-elemen perekat bagi proses-proses tersembunyi itu banyak bertumpu pada relasi-relasi berbasis kearifan lokal yang tetap dipertahankan, sekalipun tidak secara maksimal bisa dikelola untuk menghentikan kekerasan.
Orang Maluku menghidupi banyak memori kolektif tentang perang dan damai dari masa lalu. Memori-memori itu dilanggengkan dalam banyak narasi konflik maupun persaudaraan. Keduanya selalu berkelindan dalam relasi dialektis yang memungkinkan konflik bisa tersulut dengan cepat, namun perdamaian bisa juga terjadi dengan singkat. Memelihara dan mengkapitalisasi memori dan narasi-narasi persaudaraan bagi proses binadamai di Maluku adalah kerja yang menggairahkan dan efektif untuk mereduksi potensi-potensi konflik yang mengendap di bawah tikar sosial sehari-hari. Dengan kata lain, mengedepankan pendekatan kebudayaan dalam proses-proses binadamai di Maluku akan jauh lebih efektif dibanding pendekatan politik dan keamanan.
Satu hal yang patut diingat sebagai pembelajaran dari Maluku adalah tentang peran masyarakat dalam proses rekonsiliasi dan perdamaian. Beberapa contoh upaya binadamai yang dikemukakan dalam tulisan ini secara langsung ingin menegaskan bahwa kelompok-kelompok masyarakat sipil adalah aktor utama dari proses binadamai di Maluku. Masyarakat memiliki modal sosial yang kuat untuk mengelola proses-proses perdamaian dan integrasi sosial, hal mana nampak pada proses kapitalisasi lapisan-lapisan kearifan lokal untuk merajut proses integrasi sosial di tengah konflik. Kalaupun kearifan lokal yang tersedia tak mencukupi, kelompok-kelompok masyarakat selalu punya daya kreatif yang tinggi untuk menciptakan berbagai modal sosial baru yang secara efektif berhasil memperkokoh proses integrasi di antara mereka.
Di tengah seluruh upaya membangun perdamaian di Maluku, peran agama-agama menjadi sangat signifikan ketika agama-agama berhasil mengintegrasikan diri dan misinya ke dalam konstruksi kearifan-kearifan lokal Maluku yang menjadi jangkar integrasi sosial lintas komunitas beda agama selama ini. Efektifitas dan daya guna peran agama-agama bagi proses binadamai di Maluku juga semakin besar manfaatnya, ketika pilihan jalan masuk bagi perjumpaan agama-agama selama, dan pasca-konflik di Maluku, dimulai dari kepedulian dan kerja sama untuk memulihkan dan mentransformasikan degradasi kemanusiaan dan lingkungan yang diakibatkan oleh konflik, atau pun sebab-sebab lainnya.
Keterlibatan agama-agama dalam proses binadamai di Maluku menegaskan kembali peran integratif agama-agama untuk membangun perdamaian, keadilan, dan keutuhan ciptaan sebagai imperatif yang tak henti. Agama-agama harus membuktikan bahwa gugatan para filsuf yang mengkritik agama – seperti Feuerbach, yang menyatakan “God does not create human, but human creates God,” atau Karl Marx, yang mengumandangkan slogan “Religion is opium for the mass” – adalah keliru. Menurut mereka, agama menciptakan manusia-manusia pasif yang mendelegasikan imaji kekuatan yang tak dimilikinya kepada konsep Tuhan. Kritik ini harus dijawab melalui dedikasi total agama-agama untuk mengupayakan kesejahteraan bersama. Pada posisi ini sikap kritis agama-agama perlu terus digelorakan. Apa yang dibutuhkan dari agama-agama bukan sekadar suara profetis, tapi juga nyali profetis. Agama harus bernyali untuk melakukan advokasi kemanusiaan yang berorientasi pada terciptanya perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan.
Belajar dari Maluku, patutlah dikatakan bahwa pengelolaan kemajemukan, dan potensi-potensi konflik yang mengendap di bawahnya, tidaklah terbatas hanya pada sikap menghargai perbedaan itu, atau menerima bahwa setiap entitas memiliki kebenaran dalam dirinya masing-masing. Dalam bahasa Jurgen Habermas, pluralitas mengisyaratkan kemampuan untuk menghubungkan secara normatif individu-individu beserta kepentingannya ke dalam suatu kelompok yang lebih besar. Hal ini mengandaikan tersedianya kapasitas untuk mengelola partisipasi publik seluas-luasnya.***
Diah Kusumaningrum adalah staf pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bidang kajiannya meliputi rekonsiliasi, aksi nirkekerasan, binadamai, dan studi Afrika. Saat ini dia dan kolega-koleganya tengah melengkapi “Damai Pangkal Damai”, database aksi nirkekerasan di Indonesia pada era reformasi. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana dalam ilmu hubungan internasional di UGM (2000), program master dalam studi-studi perdamaian di University of Bradford (2005), dan program doktor dalam ilmu politik di State University of New Jersey, Rutgers (2015).
Ihsan Ali-Fauzi adalah pendiri dan direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Sesudah lulus dari Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, dia mempelajari sejarah Asia Tenggara dan ilmu politik pada Ohio University, Athens, dan Ohio State University, Colombus, keduanya di Amerika Serikat. Minat risetnya sekarang termasuk aspek-aspek sosial dan politik dari Islam di Indonesia, kebebasan beragama dan demokrasi di Indonesia, dan konflik dan binadamai terkait agama di Indonesia. Dia sesekali menulis artikel dan tinjauan buku di majalah dan koran-koran di Indonesia. Di antara karya-karyanya adalah Disputed Churches in Indonesia (2013), Policing Religious Conflicts in Indonesia (2015), Basudara Stories of Peace from Maluku (2017), dan beberapa artikel di jurnal Studia Islamika dan Asian Survey.
Irsyad Rafsadi adalah peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Paramadina, Jakarta. Selepas lulus dari Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta, dia mengikuti kursus hak-hak asasi manusia dan pembangunan yang diselenggarakan The Kosmopolis Institute of the University of Humanistic Studies. Minat risetnya adalah di seputar kebebasan beragama dan konflik, agama dan perdamaian, serta mediasi lintas-iman. Selain terlibat dalam beberapa penelitian seperti Policing Religious Conflict (2015) dia juga menyunting Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (2015) dan Basudara Stories of Peace from Maluku (2017) serta menerjemahkan karya Abu Nimer, Nonviolence and Peacebuilding in Islam: Theory and Practice (2010), dan Islam karya Fazlur Rahman (2017).
Jacky Manuputty, sehari-harinya adalah pendeta Gereja Protestan Maluku. Ia juga menjabat Direktur Badan Penelitian dan Pengem-bangan (Balitbang) Gereja Protestan Maluku (GPM). Pendiri dan Direktur Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) ini adalah alumnus STT Jakarta (1989), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (2003), dan MA graduate program on Pluralism & Interreligious Dialogue pada Hartford Seminary, Hartford, CT-USA, (2010). Lelaki kelahiran Desa Haruku, Kabupaten Maluku Tengah pada Juli 1965 ini, pernah memperoleh Ma’arif Award 2005 untuk kategori Pekerja Perdamaian dan Tanenbaum Award, New York City, USA, pada 2012 untuk kategori Peacemakers in Action. Dia sering diundang sebagai pembicara pada sejumlah seminar dan diskusi bertema perdamaian dan hubungan lintas-agama, di dalam maupun luar negeri.
Nurul Agustina adalah konsultan bidang pengembangan organisasi pada Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina. Dia menyelesaikan program master dalam bidang antropologi medis pada Universiteit van Amsterdam, Belanda (2001). Selain menjadi anggota tim Ombudsman harian Kompas, dia juga aktif menjadi koordinator monitoring dan evaluasi pada Rutgers World Population Foundation Indonesia, berkantor di Jakarta.
Samsu Rizal Panggabean (almarhum, 1961-2017) adalah staf pengajar pada Jurusan Hubungan Internasional dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan peneliti senior pada Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina. Dia sempat menempuh pendidikan master pada Institute for Conflict Analysis and Resolution (ICAR), George Mason University, Amerika Serikat. Hasil-hasil risetnya diterbitkan antara lain jurnal World Development, Asian Survey, dan Journal of East Asian Studies. Bersama Tim PUSAD Paramadina, dia menerbitkan buku Pemolisian Konflik Agama di Indonesia (2014).
Stella Hutagalung kini bekerja sebagai peneliti senior pada SMERU Research Institute, Jakarta. Dia memperoleh gelar doktor dalam bidang antropologi dari Australian National University, Canberra, Australia. Disertasinya fokus pada masuknya Islam ke Kupang, Nusa Tenggara Barat, dan ekspresi Islam kontemporer di wilayah yang sama. Di antara hasil penelitiannya bersama SMERU adalah “Review of MDGs Achievement and Preparedness for SDGs” (2016) dan “Diagnostic Study of Child Labour in Rural Area, with Special Emphasis on Tobacco Farming” (2017).
Sumanto Al Qurtuby pernah menjadi peneliti tamu di Institut Kroc, University Notre Dame, sekaligus menggarap buku dan penelitiannya yang berikut dengan tema “Contending Modernities: Catholic, Muslim, Secular.” Dia memperoleh gelar Ph.D. dalam antropologi budaya dari Universitas Boston. Dia merupakan salah satu pendiri cabang Nahdlatul Ulama di Amerika Utara. Sumanto telah menulis dan mengedit banyak buku dan artikel, dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, antara lain Di antara orang-orang yang beriman: Kisah Hidup seorang Muslim yang Hidup dengan Mennonit Amerika, Islam Postliberal: Agama, Kebebasan, dan Kemanusiaan, Aliran Muslim China ke Jawa di Abad ke-15 dan ke-16, dan Era Baru Hukum Islam di Indonesia.
Beberapa peneliti seperti Kirsten Schultz dan Patricia Spyer ataupun Gerry van Klinken secara tepat mengangkat kontribusi agama-agama dalam melanggengkan konflik. Sayangnya, mereka tidak mengembangkannya ke peran signifikan agama-agama dalam membangun rasa percaya serta menggerakkan upaya-upaya perdamaian melalui berbagai cara dan metode yang dipakai. Dapat dikatakan, para peneliti seperti disebutkan di atas tak memberikan perhatian serius terhadap komunitas agama, relasi-relasi di antara mereka, serta kontribusi nilai-nilai perdamaian yang dilakukan mereka, sebagai pilar utama dari kajian-kajian mereka.
Dalam kenyataannya, di balik fenomena kekerasan, upaya-upaya membangun perdamaian dan rekonsiliasi berbasis masyarakat bisa ditemukan sangat banyak. Hal itu berlangsung saat berlangsungnya konflik maupun sesudahnya. Selama waktu itu, penulis terlibat secara mendalam dalam berbagai proses penguatan, untuk membangun rasa percaya di antara komunitas serta mendorong berlangsungnya dialog dan kerjasama membangun perdamaian antara kelompok-kelompok agama yang bertikai.
Tulisan ini dibuat untuk memperkaya beberapa studi perdamaian yang telah dilakukan sebelumnya terkait dengan konflik Maluku. Tidak semua fakta dan kerja binadamai di Maluku bisa dikonstruksikan secara metodologis dalam tulisan pendek ini. Apa yang disajikan disini lebih berupa tuturan naratif mengenai kerja-kerja binadamai yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok masyarakat berbeda agama di Maluku, dalam upaya bersama untuk menangani beberapa dampak utama yang tertinggal akibat konflik.
Segregasi Sosial dan Upaya-upaya Membangun Integrasi
Konflik Muslim-Kristen di Maluku tidak saja menghancurkan bangunan-bangunan fisik, fasilitas publik dan pemukiman, tetapi juga merobek struktur-struktur sosial, nilai-nilai moral dan relasi sosial kemasyarakatan. Akibatnya, masyarakat mengalami trauma berkepanjangan dan hidup dalam segregasi. Ironisnya, segregasi Muslim-Kristen yang terjadi tidak saja secara geografis, tetapi juga secara mental.
Sesungguhnya kondisi segregasi ini bukanlah sebuah fenomena baru dalam tatanan sosial di Maluku. Segregasi telah menjadi warisan kolonial, yang dilakukan oleh kaum penjajah untuk mempermudah kontrol mereka atas wilayah-wilayah jajahan. Konflik hanya menegaskan fakta pembelahan sosial ini secara lebih masif dan dalam.
Dalam situasi di atas, masyarakat di Maluku cenderung berhubungan satu dengan lainnya dalam pola “kelompok kami” versus “kelompok mereka”. Lebih jauh lagi, kecenderungan ini mendorong pemeluk agama untuk membangun sikap triumfalis agama dengan mengklaim agama yang dipeluknya sebagai agama yang benar, sedang yang lain disalahkan.
Adapun upaya untuk membangun integrasi bukanlah pula baru yang terlihat pasca-konflik. Jauh sebelumnya, warisan segregasi sejak kolonial telah diupayakan untuk dijembatani melalui berbagai rekayasa sosial budaya yang kemudian berkembang sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal di Maluku. Frasa “Siwalima”, misalnya, adalah frasa integratif yang di baliknya terekam sebuah upaya penyelesaian konflik pada masa lalu dalam perang antarkelompok klan Patasiwa melawan klan Patalima di wilayah Maluku Tengah. Pada periode selanjutnya, Siwalima dimaknai sebagai bentuk kearifan lokal yang menabalkan sistem nilai persekutuan dan persatuan sebagai konsep etis yang harus dikelola dan dikembangkan. Aspek kearifan sosial ini tidaklah hancur saat berkecamuknya konflik sosial di Maluku. Sebaliknya, ia kembali digaungkan sebagai modal sosial untuk merekonstruksi kondisi keterbelahan masyarakat pasca-konflik.
Sekalipun ikatan-ikatan relasi kultural semisal Pela dan Gandong mengalami ketegangan akibat tingginya eskalasi konflik, namun di berbagai wilayah bisa ditemukan titik-titik perjumpaan antara kelompok berbeda agama yang terikat secara kultural. Warga Desa Ouw yang beragama Kristen di Pulau Saparua, misalnya, secara diam-diam terlibat untuk membangun rumah adat di Desa Seith yang beragama Muslim di Pulau Ambon. Keduanya secara kultural terikat dalam hubungan gandong, dimana desa Ouw merupakan adik dari Desa Seith. Di Pulau Buano yang mayoritas beragama Muslim, warganya menyelesaikan pembuatan perahu pesanan warga Pulau Nusalaut yang beragama Kristen karena keduanya terikat dalam relasi gandong. Masih banyak contoh yang bisa dikemukakan untuk mengatakan bahwa kearifan-kearifan lokal Maluku sebagai modal reintegrasi sosial tidaklah hancur saat berlangsungnya konflik. Sistem itu tetap hidup, sekalipun tak berfungsi sebagaimana mestinya akibat dinamika konflik yang cukup tinggi.
Pasca-konflik, seluruh modal sosial budaya dalam pola integrasi komunitas seakan memperoleh ruang aktualisasi dirinya. Masyarakat lokal berupaya menghidupkan kembali kekuatan-kekuatan relasional berbasis adat dan budaya lokal untuk menebus fakta segregasi yang diakibatkan oleh konflik. Di berbagai tempat bisa ditemukan dinamika integrasi yang melampaui batas-batas perbedaan agama dan yang dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat adat. Contoh-contoh pembangunan gereja, masjid, rumah adat, serta berbagai peristiwa kemasyarakatan dalam bingkai adat istiadat belakangan ini secara spontan melibatkan komunitas dari latar belakang agama yang berbeda.
Peristiwa pentahbisan gedung gereja Jemaat GPM (Gereja Protestan Maluku) Kariuw di Pulau Haruku, yang melibatkan saudara “gandong”-nya1dari Negeri Hualoi yang beragama Islam di Pulau Seram, dapat dikemukakan sebagai contoh menarik mengenai penguatan relasi berbasis kearifan lokal setempat. Ketika prosesi para pendeta dan umat hendak memasuki pelataran gereja, mereka disambut dengan balutan “kain gandong” (lembaran kain putih panjang yang melambangkan “kandungan/rahim” yang menjadi asal-usul mereka) yang dipegang oleh sejumlah perempuan berkerudung dari negeri Hualoi, yang kemudian mengiringi mereka masuk ke gedung gereja secara bersama.
Demikian pula, pada saat masyarakat Negeri Batumerah, yang beragama Islam di Kota Ambon, melakukan prosesi pemasangan kubah masjid, di tangga menuju kubah terlihat saudara-saudara “pela”-nya2 dari
----------------------------------
1 “Gandong” berarti “kandungan”, menyimbolkan ikatan persaudaraan pada masa lalu berbasis hubungan darah.
2 “Pela”, pakta persaudaraan lintas-negeri adat yang dibuat berdasarkan peristiwa tertentu di masa lalu.
Negeri Passo yang beragama Kristen berdiri berderet untuk menyambut
dan membantu memasangkan kubah masjid dimaksud. Hal serupa
terjadi ketika Jemaat GPM Galala-Hative Kecil sedang merenovasi
gedung gerejanya di Kota Ambon. Sekelompok warga Negeri Hitu yang
beragama Islam nampak memainkan rebana mengiringi pembongkaran
gedung gereja lama. Di atap gereja sebagian dari mereka bekerja bersama
saudara-saudara “pela”-nya untuk merenovasi gedung gereja itu. Nampak
jelas bahwa konflik yang berdarah-darah membangkitkan kembali sebuah
kesadaran kultural terhadap identitas bersama yang harus diperjuangkan
secara konkret dan berkelanjutan.
Meskipun modal sosial berbasis kearifan lokal setempat telah cukup
tersedia, namun dalam kenyataannya hal itu tak mencukupi untuk merajut
semua aspek kemajemukan masyarakat yang berkembang pesat di Maluku.
Kelompok-kelompok migran baru yang tak terikat pada kearifan lokal
Maluku merupakan segmen yang harus dikelola secara serius dalam
pengembangan Maluku sebagai wilayah multikultur. Untuk menyikapi
realitas ini, banyak kelompok lalu mengembangkan model-model integrasi
sosial lintas-kelompok berbasis kebutuhan-kebutuhan dasar bersama,
kegemaran-kegemaran bersama, atau pun tantangan bersama.
Adalah menarik untuk melihat geliat kelompok muda di Ambon yang
mengupayakan integrasi sosial berbasis seni dan kegemaran bersama.
Komunitas Ambon Bergerak misalnya merupakan simpul dari sejumlah
kelompok muda penggiat seni, pariwisata, maupun aksi-aksi sosial di
Ambon yang percaya bahwa intensitas perjumpaan dalam aksi-aksi
bersama akan menumbuhkan rasa percaya lintas-pribadi dan kelompok
yang menjadi modal bersama untuk membangun persahabatan. Mereka
percaya bahwa persahabatan antar manusia merupakan jangkar bagi dialog
lintas agama, lintas etnis, maupun lintas kelas sosial. Sekalipun pola interaksi
mereka tidak mengalami institusionalisasi, namun intensitas perjumpaan
dan dinamika mereka sangat tinggi. Mobilitas lintas wilayah-wilayah
geografis yang tersegregasi mereka lakukan secara kontinu. Apa yang
dikerjakan kelompok muda ini melalui medium-medium sastra, musik,
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 219
film, fotografi, tarian, dan lainnya secara tidak langsung menyumbangkan
energi positif bagi upaya-upaya perekatan sosial di ruang publik maupun
ruang-ruang domestik yang tersegregasi selama ini.
Upaya-upaya lainnya untuk mendorong reintegrasi masyarakat
dilakukan secara lebih terstruktur oleh lembaga-lembaga agama maupun
lembaga-lembaga sosial lainnya. Program “live-in” yang diinisiasi Gereja
Protestan Maluku pada tahun 2005 misalnya, telah berkembang menjadi
sebuah metode yang direplikasi oleh banyak komunitas. Kegiatan ini
didasari pada pengakuan bahwa ruang publik tidak cukup menjamin
tumbuhnya rasa percaya lintas kelompok secara alamiah. Dalam wilayah
yang tersegregasi secara geografis, ruang domestik memainkan peran
signifikan bagi pembentukan karakter individu maupun komunitas.
Fakta segregasi geografis dan segala dampaknya menjadi pertimbangan
untuk menginisiasi program “live-in” guna menyediakan kesempatan
perjumpaan lintas komunitas beda agama pada ruang-ruang domestik
mereka. Dengan tinggal dan berinteraksi bersama pada rumah dan
lingkungan berbeda agama, seseorang mengalami proses transformasi
secara bertahap dari sikap penuh prasangka menjadi sikap saling percaya.
Untuk maksud yang sama, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon
mengirim secara periodik para mahasiswanya untuk bekerja paruh
waktu selama sebulan di Kantor Sinode Gereja Protestan Maluku. Di sana
mereka mempelajari seluruh aspek dan arah pengembangan pelayanan
Gereja Protestan Maluku sebagai denominasi Kristen Protestan terbesar
di Maluku. Program “live-in” di kemudian hari tidak saja dilakukan oleh
kalangan pendeta, tetapi juga dikelola berulang kali oleh kelompok-
kelompok muda maupun guru, sebagai model sederhana yang dipercaya
efektif melawan prasangka dan pelabelan-pelabelan keliru antar-kelompok.
Segregasi geografis pasca-konflik memang sudah sulit untuk dibongkar
lagi. Proses “tukar guling” pada wilayah-wilayah yang teraneksasi selama
konflik telah berlangsung lama. Dalam situasi ini segregasi geografis
tidak lagi harus dilihat sebagai ancaman. Upaya-upaya bersama untuk
membangun integrasi pada wilayah-wilayah yang tersegregasi mestinya
220 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
dilihat sebagai peluang untuk menyumbangkan model integrasi bagi
segmentasi penduduk berdasarkan agama, etnisitas, maupun alasan-alasan
lainnya.
Dalam kondisi geografis yang telah tersegregasi, ruang publik dianggap
tak lagi cukup untuk merajut kekerabatan dan membangun rasa percaya.
Di lain pihak, ruang domestik yang tersegregasi menjadi lahan subur
bagi pelanggengan narasi-narasi kalah-menang. Menyadari tantangan
itu, intervensi lintas kelompok ke ruang-ruang domestik kemudian
dikembangkan secara strategis. Tradisi saling mengunjungi pada hari-
hari besar keagamaan kembali berkembang secara marak ketika semangat
perdamaian semakin berkembang.
Dalam perayaan Idul Adha belakangan ini, komunitas Kristen di banyak
wilayah terlihat mengantarkan sumbangan hewan ke komunitas Muslim
tetangganya dalam prosesi-prosesi persaudaraan yang mengharukan.
Sebaliknya, pada banyak acara gerejawi yang diselenggarakan oleh umat
Kristen di wilayah-wilayah perbatasan, komunitas Muslim tetangganya
terlibat penuh dalam membantu penyelenggaraan acara dimaksud.
Disadari sungguh bahwa sekalipun secara geografis telah terbentang batas-
batas yang tegas antara komunitas Muslim dan Kristen Maluku, segregasi
secara mental haruslah bisa dijembatani.
Narasi Konflik Melawan Narasi Damai
Meskipun kerap dikatakan bahwa agama dan kekerasan merupakan dua
hal yang bertentangan, namun ledakan konflik Maluku pada tahun 1999
yang tersulut pada sumbu “agama” membenarkan sejumlah tesis yang
diungkapkan oleh Charles Kimball dalam buku kecilnya, When Religion
Becomes Evil. Agama bisa berwajah bengis dan menjadi bencana bagi
kemanusiaan.
Tak dapat disangkali bahwa kekerasan dan konflik melekat erat pada
agama, bahkan sejak semula ketika pembentukan narasi-narasi penciptaan
dan kehidupan dikemas dalam tradisi agama-agama. Agama menjadi
pendulum yang selalu mengayun di dalam ketegangan dialektis antara
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 221
konflik dan perdamaian. Pada satu sisi agama mewajahkan kekerasan
dan konflik. Di sisi lainnya agama tampil dengan wajah penuh damai dan
cinta. Fakta ini berkontribusi langsung pada karakter narasi-narasi yang
diproduksi oleh agama, bisa jadi sangat protagonis tetapi juga antagonis.
Sejak konflik Maluku pecah, aksi-aksi kekerasan atas nama agama
diperkokoh oleh narasi-narasi dikotomis dan segregatif yang membenarkan
“kita” dan mempersetankan “mereka”. Eskalasi konflik yang tinggi dengan
sebaran kekerasan dan korban dalam skala yang masif telah mematikan
produksi dan gaung narasi-narasi perdamaian yang dikemas oleh berbagai
kalangan pada saat itu.
Saya mengingat persis sebuah upaya menarik yang dilakukan oleh
almarhum penyanyi Franky Syahilatua. Pada tahun-tahun pertama
konflik, Franky mencoba memproduksi sebuah iklan perdamaian yang
menampilkan dua sosok anak bernama Acang dan Obet di tengah puing-
puing bangunan yang terbakar. Mereka mewakili komunitas Muslim
dan Kristen Maluku yang sesungguhnya merindukan damai dan hidup
persaudaraan di tengah panasnya bara konflik ketika itu. Ironisnya, nama
Acang (dari Hasan) dan Obet (dari Robert) kemudian malah dipakai
sebagai pembeda komunitas yang bertikai dan tetap terlanggengkan
sampai saat ini.
Sesungguhnya narasi-narasi disintegrasi dan kekerasan adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari sejarah pembentukan masyarakat di Maluku.
Model narasi ini bahkan telah berkembang sejak perjumpaan awal agama-
agama samawi di Maluku yang terjadi bersamaan dengan ekspansi global
perdagangan rempah-rempah ketika itu. Saat agama Katolik tiba di Maluku,
banyak wilayah yang sebelumnya telah menjadi Islam dikonversi menjadi
Katolik. Di kemudian hari konversi kembali terjadi saat Protestantisme
menginjakkan kakinya di Maluku. Proses konversi ini terekam sebagai
memori kolektif yang pahit dalam kelompok-kelompok masyarakat
tertentu. Selain konversi, pengalaman pahit juga dialami melalui proses
segregasi wilayah berdasarkan agama yang dilakukan penguasa kolonial
untuk mempermudah kontrol atas wilayah jajahannya di Maluku. Tidak
222 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
dapat disangkali bahwa suburnya narasi-narasi kalah-menang, narasi
penundukan, serta narasi penyingkiran, terakumulasi sebagai persoalan
“pasca-kolonial” yang membentuk memori kolektif di kemudian hari.
Sangat disayangkan bahwa sejarah polarisasi agama dan adat sebagai
warisan pahit kolonial jarang dibicarakan sebagai diskursus kolektif di
tengah masyarakat. Pengalaman-pengalaman pahit ini lebih banyak
mengendap sebagai kisah-kisah sedih, kemudian dilanggengkan melalui
lagu-lagu rakyat, “kapata” (pantun), ritual dan pertunjukan rakyat, tari-
tarian, serta berbagai medium ekspresi lainnya.
Ketika Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) menyelenggarakan
kegiatan studi agama-agama dan kebudayaan pada tahun 2005,
beberapa narasumber Muslim dengan gamblang menjelaskan bagaimana
pengalaman-pengalaman pahit dalam sejarah mengkondisikan
karakteristik Muslim di Maluku untuk cenderung menarik diri dan
menghadirkan penampilan yang berbeda dari komunitas Kristen Maluku.
Proses pengkutuban kelompok diperkuat melalui reproduksi narasi-narasi
segregatif warisan masa lalu yang dihidupi dalam tradisi tutur di banyak
komunitas Muslim Maluku. Saat terjadi konflik kemanusiaan bernuansa
agama, memori kolektif yang pahit itu direproduksi melalui pembentukan
narasi-narasi keras dengan tujuan untuk memperkuat solidaritas kelompok,
sekaligus menyemangati pertarungan berdarah di antara berbagai pihak
yang bertikai.
Selain warisan masa kolonial Eropa, periode pendudukan Jepang
dan pergolakan Republik Maluku Selatan tercatat berkontribusi bagi
penumpukan narasi-narasi dikotomis antara Islam dan Kristen di Maluku.
Di kemudian hari, akumulasi narasi-narasi segregatif ini tidak bisa dilepas-
pisahkan juga dari perkembangan dinamika sosial-politik nasional maupun
internasional.
Beberapa momentum internasional maupun nasional turut
mempengaruhi pengentalan narasi-narasi identitas yang segregatif.
Bangkitnya gerakan-gerakan purifikasi Islam pada dekade tahun 1970-an,
dan berkelindan dengan semangat triumfalis Kristen pada masa itu, pada
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 223
gilirannya menyumbangkan sejumlah narasi segregasi dan prasangka yang
menjauhkan jarak relasi antara kelompok-kelompok Islam dan Kristen di
Maluku, terutama pada zona sosio-politik.
Kondisi ini mempertegas segmentasi Kristen dan Islam Maluku dan
berimbas pada pengerasan narasi-narasi segregatif berdasarkan agama
dalam kehidupan masyarakat. Masih kental dalam ingatan saya bahwa pada
periode awal 1980-an berkembang kuat polarisasi agama di antara siswa/i
dan mahasiswa di Maluku. Ibadah-ibadah Kristen lintas sekolah dilakukan
setiap bulan. Demikian pula, pengajian-pengajian untuk kalangan siswa/i
di kalangan Islam berkembang pesat. Narasi dominan dalam event-event
ibadah dimaksud adalah polarisasi dan pertarungan siswa/i Islam dan
Kristen dalam mengakses perkembangan dan kepemimpinan di sekolah-
sekolah dan kampus. Tidak saja sekolah dan kampus, pada kantor-
kantor pemerintahan marak berkembang ibadah-ibadah karyawan/wati
berdasarkan garis agama.
Secuil latar historis pembentukan narasi segregatif berdasarkan identitas
agama ini memperjelas betapa panasnya titik didih dalam benturan
komunitas Islam dan Kristen di Maluku ketika konflik tahun 1999 meledak.
Maraknya intoleransi dengan ekspresi agama dan etnis yang menguat di
ruang publik saat merebaknya konflik menunjukkan bahwa narasi-narasi
kekerasan telah menumpuk dalam bentangan sejarah agama-agama di
Maluku. Akumulasi narasi-narasi ini membentuk konstruksi ideologi
kekerasan yang dihidupi sebagai pilihan ekspresi diri dan kelompok ketika
elemen-elemen budaya lokal sebagai katup pengamannya dilemahkan.
Ide-ide tentang perang suci, atau perang ilahi, dengan gampang diuraikan
ke dalam kehidupan sehari-hari.
Mengacu pada realitas di atas maka upaya membangun perdamaian
mengisyaratkan diproduksinya narasi-narasi integratif untuk melawan
narasi-narasi segregatif. Narasi-narasi perdamaian harus diproduksi untuk
melawan narasi-narasi konflik. Narasi-narasi persahabatan harus dikreasi
untuk menandingi narasi-narasi permusuhan. Narasi-narasi cinta harus
dikemas untuk melawan narasi-narasi kebencian.
224 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
Upaya untuk mengelola narasi-narasi perdamaian sejak awal dicoba
untuk dilakukan ketika konflik kekerasan pecah pada 1999. Selain
pendekatan keamanan, upaya untuk menghentikan kekerasan dilakukan
dengan cara mereproduksi berbagai narasi damai di ruang publik. Hampir
di semua sudut kota Ambon bertebaran spanduk dengan slogan-slogan
perdamaian yang diambil dari konsep-konsep kearifan lokal, semisal “Pela
dan Gandong”, “Hidup Orang Basudara”, “Sagu Salempeng Patah Dua”, dan
berbagai slogan integratif lainnya. Sayangnya, narasi-narasi perdamaian
yang dikelola saat itu terjebak untuk hanya menjadi perangsang dan
pengingat terhadap keluhuran kearifan lokal hidup persaudaraan. Kekuatan
narasi-narasi itu segera tenggelam dalam eskalasi konflik yang menggila
dan berdarah-darah.
Pembesaran peran dan pengaruh narasi-narasi perdamaian saat konflik
dikelola secara sangat hati-hati di antara kelompok-kelompok yang lebih
terbatas. Komunitas Relawan Tirus (Tim Relawan Untuk Kemanusiaan)
yang bekerja lintas agama sejak awal konflik misalnya mengkorelasikan
narasi-narasi perdamaian dengan tanggung-jawab bersama untuk
mengelola bantuan kemanusiaan. Gerakan Perempuan Peduli (GPP) adalah
contoh lain yang juga bergerak lintas agama sejak awal konflik dengan
mengusung dan memasyarakatkan narasi-narasi keberpihakan terhadap
perempuan dan anak korban konflik. Kedua kelompok ini menunjukkan
contoh bagaimana narasi-narasi perdamaian dikemas dalam kaitan dengan
akumulasi korban konflik yang harus ditangani bersama.
Salah satu contoh gerakan perdamaian yang cukup tersistematisasi
adalah Gerakan Baku Bae. Kelompok yang diinisiasi sejak tahun 2000 ini
mengkonsolidasi sejumlah pertemuan bersama di luar Maluku dengan
melibatkan berbagai perwakilan komunitas yang bertikai di Maluku. Seri
pertemuan diwarnai dengan proses pembentukan narasi-narasi integrasi
yang dipilih secara sadar oleh kedua kelompok yang bertikai untuk
kemudian dikampanyekan secara luas di Maluku. Selain narasi-narasi
integratif dalam kaitan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial dasar bersama,
kelompok ini menggumuli juga berbagai narasi integratif yang digali dari
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 225
khazanah kearifan lokal Maluku. Nama “Baku Bae” kemudian dipilih
sebagai narasi utama untuk diinternalisasi dalam perjalanan gerakan ini
di kemudian hari.
Dalam perkembangan kemudian, ketika proses perdamaian telah
semakin meluas, pembentukan narasi-narasi perdamaian dan integratif
memperoleh ruang dan peluang yang besar. Kelompok-kelompok muda
adalah segmen masyarakat yang sangat antusias untuk mengembangkan
jenis narasi ini, yang tampak antara lain pada kemasan lagu-lagu yang
mereka buat. Tema dan lirik-lirik lagu yang diproduksi komunitas muda
di Maluku pasca-konflik sarat dengan narasi-narasi perlawanan atas
kekerasan dan konflik. Sambil mengusung narasi-narasi kearifan lokal dari
masa lalu ke dalam lirik-lirik lagu mereka, pergulatan terhadap identitas
bersama juga mewarnai tema-tema lagu mereka. Judul-judul lagu seperti
“Puritan”, “Beta Maluku”, “Kapala Batu”, “Satu Darah” dan berbagai judul
sejenis mewakili protes keras kelompok muda terhadap kehancuran yang
terjadi selama konflik, sekaligus merupakan penegasan tuntutan mereka
terhadap reintegrasi sosial pasca-konflik.
Dinamika pembentukan narasi damai sebagai bentuk perlawanan
terhadap narasi-narasi kekerasan digawangi banyak kelompok muda
berbasis hobby yang berkembang kemudian. Komunitas sastra merupakan
salah satu model komunitas integrasi lintas agama berbasis kegemaran
yang cukup menonjol. Sebelum terjadinya konflik, gerakan literasi sastra
di kalangan muda Maluku tak banyak terdengar. Pasca-konflik dinamika
komunitas penyuka sastra di Kota Ambon berkembang sangat pesat.
Produksi syair yang mereka lakukan didominasi oleh narasi-narasi
perdamaian dan integrasi sosial, sejalan dengan pengelolaan mobilisasi
integrasi sosial di ruang publik maupun ruang domestik yang cukup masif.
Paduan kebangkitan dinamika sastra dan musik yang bernuansa
perdamaian bahkan memantik perhatian beberapa artis nasional untuk
terlibat secara intens dalam gerakan mereka. Glenn Fredly, salah satu
penyanyi Indonesia papan atas, bahkan secara rutin berada di Ambon
dan terlibat membina komunitas “Rumah Beta” yang bergerak di bidang
226 Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang
seni untuk perdamaian. “Hidayah Carita Orang Basudara” adalah album
kompilasi seni untuk perdamaian yang sedang dirampungkannya bersama
teman-teman muda Maluku di Ambon. Tema besar di balik album ini
adalah “Narasi Baru Untuk Indonesia Dari Maluku.” Album ini dibuat
berdasarkan kesadaran bahwa narasi-narasi perdamaian dan rekonsiliasi
dari Maluku haruslah dikontribusikan untuk Indonesia dan dunia.
Dinamika lain dari pembentukan narasi-narasi perdamaian di Maluku
bisa dideteksi pula pada perkembangan pengelolaan sosial media yang
mengusung muatan-muatan perdamaian dan integrasi sosial. Saat ini
berkembang kesadaran bahwa dinamika integrasi sosial dan perdamaian
harus terus-menerus dikelola baik melalui media-media “off-line” maupun
“online.”
Gerakan “Provokator Damai”, yang terbentuk di kalangan muda
Ambon untuk menyikapi ledakan konflik baru pada tahun 2011, dikenal
luas melalui penggunaan sosial media untuk mempublikasi dinamika
perdamaian dan integrasi sosial. Melalui sosial media, terutama Facebook
dan Twitter, narasi-narasi perdamaian diprovokasikan dari Maluku.
Komunitas ini didinamisasi oleh kelompok “fotografi untuk perdamaian”
yang juga mengelola publikasi narasi-narasi damai melalui aktifitas
fotografi yang telah mewabah di kalangan komunitas muda lintas iman
di Ambon pasca-konflik.
Berkembangnya kesadaran penggunaan sosial media untuk
menyampaikan pesan-pesan perdamaian dibarengi pula oleh terbangunnya
kontrol sosial untuk melawan publikasi narasi-narasi provokasi konflik
yang kerap muncul di Maluku. Contoh menarik menyangkut hal ini dapat
dilihat saat memanasnya situasi nasional terkait pemilihan gubernur DKI
pada awal tahun 2017 ini. Ketika itu beberapa kalangan muda terprovokasi
untuk mempublikasi narasi-narasi kebencian lintas agama di Maluku.
Tindakan ini segera disikapi bersama oleh komunitas penggiat media
sosial lintas agama. Mereka bekerjasama dan mendorong penyelidikan dan
penangkapan terhadap beberapa aktivis media sosial yang memprovokasi
kebencian. Masyarakat luas mendukung proses hukum terhadap pelaku
Meretas Jalan Damai Berbasis Masyarakat dan Agama 227
provokasi dengan mempertimbangkan konflik antar komunitas yang
pernah terjadi beberapa tahun lalu.
Maluku pasca-konflik tidak saja menyediakan narasi-narasi perih,
kemarahan dan kebencian, tetapi juga menjadi lahan subur untuk menggali
narasi-narasi cinta, persaudaraan dan perdamaian. Upaya pembentukan
narasi-narasi damai haruslah terus menerus dikerjakan dan dirayakan
bersama untuk mempertebal energi perlawanan terhadap narasi-narasi
konflik dan disintegrasi. Kumpulan narasi damai dari Maluku, Carita
Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku, yang dibukukan
dan dipublikasi LAIM dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD,
Yayasan Paramadina); film layar lebar Cahaya dari Timur: Beta Maluku,
yang terpilih sebagai film terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2014;
atau film pendek Provokator Damai, yang dikerjakan oleh mahasiswa IAIN
Ambon dan memenangkan Eagle Award 2013 – semuanya adalah contoh-
contoh menarik tentang bagaimana narasi-narasi damai dirayakan untuk
menginspirasi kerja-kerja perdamaian yang lebih luas di berbagai tempat.
Dulunya Saling Menantang, Kini Mengelola Tantangan Bersama
Upaya-upaya untuk membangun perdamaian di Maluku di kemudian
hari, oleh banyak kalangan, dilembagakan dalam bentuk kerja bersama
lintas iman dan etnis untuk mengelola situasi-situasi ketidakadilan sosial
maupun ekologis. LAIM, yang digawangi oleh MUI Maluku, Sinode Gereja
Protestan Maluku dan Keuskupan Amboina misalnya, selama lebih dari
satu tahun pada 2005, mengelola program “khotbah damai”. Kegiatan ini
menghadirkan ulama dari Muslim, Protestan dan Katolik dalam forum
diskusi rutin yang digelar di wilayah-wilayah yang tersegregasi secara
kontinu.
Dalam setiap pertemuan, sebuah isu sosial yang menjadi persoalan
bersama didiskusikan secara mendalam untuk menemukan perspektif
serta tanggung jawab bersama dalam pengelolaannya. Pada akhir setiap
pertemuan, dibangun kesepakatan untuk menggunakan isu bersama
yang didiskusikan sebagai tema sentral dalam khotbah di masing-masing
komunitas agama. Koleksi khotbah damai lintas agama kemudian
didokumentasikan dan didistribusikan ke komunitas agama sebagai materi
pembelajaran publik.
Pertemuan khotbah damai menjadi menarik bukan saja karena para
tokoh agama bisa membangun kesepakatan terhadap tanggung jawab
sosial bersama, tetapi juga karena proses ini memperkuat kedekatan
individu antar mereka maupun kedekatan mereka dengan komunitas basis
yang berbeda agama. Setiap pertemuan didorong menjadi aksi bersama
pada level komunitas basis. Sebagai contoh, ketika para tokoh agama
membicarakan maraknya fenomena korupsi, komunitas muda lintas agama
turun ke jalan dan melakukan kampanye anti korupsi di berbagai sudut kota
melalui pemasangan poster, stiker, dan berbagai bentuk alat peraga lainnya.
Dalam perkembangan kemudian, pasca-konflik kecil yang meledak
di Kota Ambon pada tahun 2011, komunitas muda lintas agama semakin
bergiat untuk menggalang kepedulian sosial di antara mereka melalui
aksi-aksi bersama di ruang publik. Gerakan kampanye #SaveAru,
untuk menyelamatkan kepulauan Aru dari ancaman deforestasi demi
pengembangan perkebunan tebu berskala besar, diinisiasi oleh komunitas
muda lintas iman yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman
sebagai pegiat lingkungan. Komunitas ini terbentuk melalui simpul-
simpul aktifitas berkesenian, seperti komunitas hip-hop, sastra, blogger,
fotografi, dan lainnya. Seluruh kecakapan mereka dipadukan untuk
mengkampanyekan #SaveAru sehingga bergaung secara nasional maupun
internasional. Memenangkan kasus Aru menjadi modal kolektif bagi
mereka untuk kemudian menggerakkan aktifitas #SaveEma, #SaveRomang
#SaveTelukAmbon, ataupun gerakan-gerakan peduli lingkungan lainnya.
Kuatnya kedekatan dalam jaringan persahabatan yang telah terbentuk menjadi modal utama bagi kelompok-kelompok muda ini untuk mengkonsolidasi jejaring relawan bagi kemanusiaan. Aksi-aksi penggalangan dukungan bagi penderita-penderita kanker dari keluarga miskin untuk memperoleh perawatan di luar Maluku adalah contoh menarik untuk dikemukakan. Kasus #SaveNahla yang menjadi viral di sosial media adalah salah satu contoh perjuangan gerakan kaum muda lintas iman dan etnis di Maluku untuk menyelamatkan Nahla, gadis kecil di Pulau Seram yang mengidap kanker tulang.
Tidak semua kasus dimenangkan melalui gerakan advokasi yang dibangun komunitas muda ini. Begitu pula, Nahla akhirnya tak terselamatkan, ketika telah dirujuk pengobatan lanjutannya ke Jakarta. Sekalipun demikian, komunitas muda lintas iman ini telah memenangkan sebuah upaya bersama untuk merajut dan mentransformasi gerakan-gerakan perdamaian yang mereka rajut, menjadi gerakan bersama untuk mengelola dan menangani persoalan lain yang menjadi tantangan bersama di sekitar mereka.
Satu hal menarik untuk dicatat dalam dinamika yang berkembang adalah bahwa kelompok-kelompok muda lintas iman di Maluku dalam aktifitas sosialnya cenderung menghindari penggunaan kata “perdamaian” ataupun “rekonsiliasi”. Alasan mereka sederhana. Konflik di masa lalu sudah selesai dan mereka tak ingin terus-menerus terikat pada berbagai pelabelan yang mengingatkan mereka pada kondisi traumatis itu. Perdamaian bagi mereka haruslah diwujudkan secara konkret, karenanya interaksi langsung dalam kerja-kerja bersama untuk kemanusiaan dan lingkungan perlu digalang terus menerus.
Sebenarnya di balik alasan-alasan komunitas muda untuk menggunakan diksi-diksi perdamaian maupun rekonsiliasi, kita bisa menangkap sinyal yang kuat bahwa kondisi traumatis pasca-konflik masih tebal mengendap di bawah lapisan tikar sosial yang dibangun bersama. Penolakan mereka bisa dimengerti sebagai strategi penghindaran terhadap memori-memori pahit yang diwariskan konflik. Sekalipun demikian, kompensasi penghindaran yang mereka lakukan dengan menggalang kerjasama-kerjasama sosial merupakan tawaran model menarik untuk mengelola proses pemulihan trauma berbasis interaksi langsung lintas komunitas. Pemulihan trauma terjadi melalui interaksi-interaksi langsung yang melibatkan masyarakat secara luas. Ketika rasa percaya secara bertahap menguat di dalam interaksi dan kerjasama lintas komunitas, rasa trauma dengan sendirinya berkurang juga secara bertahap. Meminjam bahasa Johan Galtung, dapatlah dikatakan bahwa perasaan-perasaan traumatis di masa lalu terbantu penyelesaiannya ketika komunitas muda ini berhasil melakukan sebuah proses transformasi dari negative peace (penghentian kekerasan) kepada positive peace (mengupayakan pemenuhan rasa keadilan) dalam kerja-kerja mereka membangun perdamaian.
Kerja sama komunitas lintas iman untuk menangani persoalan-persoalan sosial dan lingkungan berkontribusi secara langsung pada penguatan jaringan masyarakat. Pendekatan ini juga memperkokoh perspektif bersama tentang tanggung jawab agama-agama terhadap pemulihan dan transformasi sosial pasca-konflik. Berhadapan dengan berbagai masalah sosial yang dimaknai sebagai masalah bersama, komunitas lintas agama dirangsang untuk mentransformasikan energi permusuhan di antara mereka menjadi energi bersama untuk berhadapan dengan musuh yang sama. Pada beberapa seri kegiatan lintas tokoh agama dalam program khotbah damai misalnya, data-data persoalan sosial dipaparkan dengan sangat transparan. Penyebab dan luasan dampak ditampilkan secara grafik, untuk secara psikologis merangsang keprihatinan mereka terhadap problem bersama. Paparan data telanjang yang diikuti diskusi serius di antara mereka berhasil mendorong mereka untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan kerja sama bagi penanggulangan masalah ini.
Dapatlah dikatakan bahwa landasan bersama bagi penguatan jejaring sosial lintas agama berakar pada pengembangan konsep pluralisme yang terkait erat dengan pengalaman hidup sehari-hari. Dalam kaitan ini, dinamisator bagi penguatan relasi dimaksud bertumpu pada tanggung jawab pembebasan dan transformasi masalah-masalah sosial dan lingkungan. Selain tentunya berafiliasi kuat dengan modal sosial yang telah tersedia, atau pun yang kemudian dikembangkan secara sadar bagi penguatan proses perdamaian. Melalui sejumlah pertemuan dan kerja sama untuk penanganan masalah-masalah sosial dan lingkungan pasca-konflik, terbangun kesepakatan dan penegasan bersama bahwa peran integratif agama-agama untuk membangun perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan merupakan imperatif yang tak henti. Kesepakatan-kesepakatan yang dicapai itu menjadi sangat penting untuk menggerakkan komunitas agama dalam kerja-kerja kemanusiaan bersama.
Peran Strategis Agama-agama
Dalam wilayah konflik bernuansa agama seperti Maluku, strategi mengelola peran agama untuk membangun perdamaian bukanlah perkara yang mudah. Konflik terlanjur memberikan label bagi agama sebagai generator atau penggerak konflik. “Otoritas tafsir” ayat-ayat suci pada tokoh-tokoh agama banyak digunakan untuk memberikan legitimasi terhadap keberlangsungan konflik sebagai “perang suci”. Oleh komunitas agamanya, tokoh-tokoh agama dianggap sebagai pahlawan ketika mereka menggelorakan perang. Sebaliknya, mereka dilabeli sebagai penghianat ketika menginisiasi perdamaian.
Kecurigaan lintas komunitas terhadap tokoh-tokoh agama jauh lebih besar dibanding kecurigaan di antara sesama anggota masyarakat berbeda agama. Selain kecurigaan lintas agama, tantangan yang dihadapi tokoh-tokoh agama justru diperoleh dari komunitas agamanya ketika mereka berupaya untuk membangun perdamaian. Beberapa tokoh agama bahkan terancam secara fisik ketika terlibat dalam proses-proses awal untuk menginisiasi perdamaian. Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan untuk mengelola elemen-elemen agama dalam dinamika sosial pasca-konflik.
Adapun inisiatif untuk mempertemukan tokoh-tokoh agama saat berlangsungnya konflik lebih banyak dilakukan oleh pihak pemerintah, maupun pihak kepolisian dan militer. Pertemuan-pertemuan formal ini tak banyak membantu untuk menghentikan kekerasan yang terus bergolak. Eskalasi konflik terus meningkat dan konflik semakin meluas ke berbagai pelosok Maluku. Kenyataan ini menimbulkan resistensi terhadap peran tokoh agama untuk menghentikan kekerasan. Meskipun demikian, setiap perjumpaan menjadi kesempatan bagi tokoh lintas agama untuk membangun kedekatan personal yang dikemudian hari menyumbang banyak pada upaya-upaya perdamaian.
Selain pemerintah, beberapa perjumpaan awal yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga non-pemerintah melibatkan tokoh-tokoh lintas agama secara tersembunyi. Sejumlah perjumpaan bahkan diselenggarakan di luar Maluku untuk menghindari kecurigaan komunitas masing-masing. Sekalipun begitu, kesepakatan untuk menghentikan kekerasan dan membangun perdamaian yang diinisiasi melalui pertemuan-pertemuan itu tak serta merta dapat disosialisasikan pada komunitas masing-masing. Mengkampanyekan pesan-pesan agama bagi perdamaian bukanlah sesuatu yang popular saat berlangsungnya konflik maupun ketika konflik baru selesai.
Gerakan Baku Bae adalah salah satu contoh bagaimana strategi mempertemukan tokoh dan aktor agama dilakukan secara strategis. Perjumpaan-perjumpaan awal yang digagas melalui gerakan ini hanya melibatkan sejumlah kecil tokoh agama, sehingga memungkinkan terbangunnya rasa percaya di antara mereka. Rasa percaya yang mulai bertumbuh, dipupuk melalui rangkaian pertemuan dan perbincangan selanjutnya. Dalam proses itu, isu-isu perekat yang dipilih lebih banyak berkisar pada dampak konflik bagi kemanusiaan dan lingkungan. Memilih isu-isu keagamaan pada pertemuan-pertemuan awal dianggap tidak strategis untuk membangun rasa percaya dan kedekatan personal.
Pilihan isu perekat bisa dianalogikan dengan proses memakan bubur panas yang biasanya dimulai dari pinggiran piring. Isu-isu seperti hak-hak pengungsi yang dikebiri, kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat yang terpuruk, kehancuran pranata-pranata adat dan budaya terkait identitas bersama, politisasi konflik yang mengorbankan Maluku, adalah sejumlah isu perekat yang diusung dalam percakapan-percakapan awal lintas tokoh agama yang diinisiasi secara partisipatoris.
Ketika dirasakan bahwa rasa percaya yang terbangun telah cukup membesar, diputuskan untuk secara bertahap setiap tokoh agama merekomendasikan penambahan anggota kelompok dari orang-orang yang bisa dipercaya dan mempercayai mereka. Strategi pembesaran kelompok secara bertahap dimulai dari perjumpaan antar individu menjadi perjumpaan lintas kelompok. Lingkaran kelompok yang diperbesar dari waktu ke waktu berkembang menjadi lingkaran persahabatan lintas tokoh agama, maupun para pengikut mereka yang terlibat dalam setiap perjumpaan.
Jaringan persahabatan dan kedekatan yang terbangun di antara tokoh lintas agama dikemudian hari mengalami institusionalisasi dalam bentuk lembaga maupun program. LAIM adalah contoh dari pelembagaan relasi lintas tokoh agama yang dilakukan melalui tahapan perjumpaan yang cukup panjang. Perjumpaan-perjumpaan lintas tokoh agama untuk membentuk LAIM bahkan dilakukan secara tersembunyi dan berpindah-pindah lokasi di tengah konflik yang masih bergolak.
Institusionalisasi kedekatan relasi dan rasa percaya lintas tokoh agama juga dilakukan melalui banyak kegiatan-kegiatan lintas agama yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga agama. Kegiatan Khotbah Damai, yang telah dijelaskan sebelumnya, dikelola penyelenggaraannya oleh Majelis Ulama Indonesia Maluku dengan melibatkan pihak Protestan maupun Katolik. Sebaliknya kegiatan “trauma healing” digawangi oleh Gereja Protestan Maluku dengan melibatkan pihak Muslim dan Katolik.
Dalam perkembangan kemudian, kesediaan untuk membuka diri dan merangkul komunitas lain yang berbeda agama semakin marak berkembang melalui banyak program yang diusung oleh lembaga-lembaga berbasis agama. Isu lintas agama menjadi salah satu isu sentral dalam pengembangan program lembaga-lembaga agama di ruang publik. Oleh Gereja Protestan Maluku (GPM) isu ini dikemas sebagai salah satu isustrategis dalam perencanaan strategis GPM sampai tahun 2025. Di pihak lainnya, lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama seperti IAIN Ambon menetapkan multikulturalisme sebagai pilar utama pengembangan rencana strategis mereka. Untuk merealisasikan rencana itu, pakta perjanjian persaudaraan berbasis budaya seperti “Gandong” telah dibuat antara IAIN dengan Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Maluku (STAKPN), maupun ikatan “Pela” yang dibuat antara IAIN Ambon dengan Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM).
Dalam seluruh dinamika yang digambarkan di atas, penguatan kapasitas tokoh dan aktor agama untuk mengelola perdamaian berbasis partisipasi komunitas adalah tantangan tersendiri yang harus dikelola secara berkelanjutan. Tuntutan pengembangan dialog dan aktifitas lintas agama untuk membangun perdamaian dan perekatan sosial pada wilayah pasca-konflik bernuansa agama memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Dialog dan kerja sama lintas iman di Maluku berhimpitan dengan tanggung jawab pemulihan sosial pasca-konflik yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat secara luas. Kondisi ini mensyaratkan kehadiran tokoh-tokoh agama maupun aktor-aktor agama yang memiliki sejumlah kapasitas teknis dalam aspek pengelolaan masyarakat, terutama ketika masyarakat yang dikelola memiliki tingkat pluralitas yang sangat tinggi seperti Maluku.
Menjadi fasilitator, negosiator, ataupun mediator adalah kompetensi khusus yang harus dilatih kepada tokoh-tokoh dan aktor agama untuk mengembangkan teknis-teknis partisipatoris dalam pengelolaan relasi-relasi lintas personal maupun kelompok dalam wilayah konflik dan pasca-konflik seperti Maluku. Menyikapi tantangan ini, GPM selama dua tahun terakhir ini telah menyelenggarakan seri pelatihan pendeta-pendeta untuk mengelola relasi lintas agama dan lintas denominasi di seluruh wilayah pelayanan GPM yang membentang di Provinsi Maluku maupun Provinsi Maluku Utara. Tim fasilitator bagi pelatihan ini berisikan tokoh dan aktor lintas agama yang telah terlibat dalam proses-proses membangun perdamaian sebelumnya. Lembaga lainnya menyelenggarakan seri pelatihan mediasi bagi tokoh-tokoh lintas agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Maluku. Melalui sejumlah pelatihan bagi penguatan kapasitas tokoh dan aktor agama, proses-proses binadamai di Maluku mengalami perkembangan yang signifikan, sekaligus memperkuat karakter agama-agama di Maluku sebagai agen perdamaian.
Penutup
Banyak kalangan memprediksi bahwa konflik bernuansa agama di Maluku membutuhkan waktu yang panjang bagi penyelesaiannya. Setidaknya menurut mereka, pada paska penghentian kekerasan proses-proses perekatan sosial akan sangat sulit dilakukan, apalagi dalam kondisi geografis yang hampir total tersegregasi berdasarkan garis agama. Beberapa peneliti juga sempat menegaskan bahwa kearifan-kearifan lokal Maluku sebagai modal sosial bagi penyelesaian konflik telah turut hancur selama berlangsungnya konflik.
Dalam kenyataannya, proses penghentian kekerasan komunal tidak membutuhkan waktu yang panjang. Satu hal yang sering luput dari pengamatan para peneliti konflik di Maluku, bahwa sejak konflik meledak pada Januari 1999 proses binadamai juga bergerak pada ruang-ruang tersembunyi yang tak kasat mata. Ini menjadi modal sosial yang sangat kuat untuk mengakhiri episode kekerasan komunal saat atmosfir perdamaian mulai merebak. Elemen-elemen perekat bagi proses-proses tersembunyi itu banyak bertumpu pada relasi-relasi berbasis kearifan lokal yang tetap dipertahankan, sekalipun tidak secara maksimal bisa dikelola untuk menghentikan kekerasan.
Orang Maluku menghidupi banyak memori kolektif tentang perang dan damai dari masa lalu. Memori-memori itu dilanggengkan dalam banyak narasi konflik maupun persaudaraan. Keduanya selalu berkelindan dalam relasi dialektis yang memungkinkan konflik bisa tersulut dengan cepat, namun perdamaian bisa juga terjadi dengan singkat. Memelihara dan mengkapitalisasi memori dan narasi-narasi persaudaraan bagi proses binadamai di Maluku adalah kerja yang menggairahkan dan efektif untuk mereduksi potensi-potensi konflik yang mengendap di bawah tikar sosial sehari-hari. Dengan kata lain, mengedepankan pendekatan kebudayaan dalam proses-proses binadamai di Maluku akan jauh lebih efektif dibanding pendekatan politik dan keamanan.
Satu hal yang patut diingat sebagai pembelajaran dari Maluku adalah tentang peran masyarakat dalam proses rekonsiliasi dan perdamaian. Beberapa contoh upaya binadamai yang dikemukakan dalam tulisan ini secara langsung ingin menegaskan bahwa kelompok-kelompok masyarakat sipil adalah aktor utama dari proses binadamai di Maluku. Masyarakat memiliki modal sosial yang kuat untuk mengelola proses-proses perdamaian dan integrasi sosial, hal mana nampak pada proses kapitalisasi lapisan-lapisan kearifan lokal untuk merajut proses integrasi sosial di tengah konflik. Kalaupun kearifan lokal yang tersedia tak mencukupi, kelompok-kelompok masyarakat selalu punya daya kreatif yang tinggi untuk menciptakan berbagai modal sosial baru yang secara efektif berhasil memperkokoh proses integrasi di antara mereka.
Di tengah seluruh upaya membangun perdamaian di Maluku, peran agama-agama menjadi sangat signifikan ketika agama-agama berhasil mengintegrasikan diri dan misinya ke dalam konstruksi kearifan-kearifan lokal Maluku yang menjadi jangkar integrasi sosial lintas komunitas beda agama selama ini. Efektifitas dan daya guna peran agama-agama bagi proses binadamai di Maluku juga semakin besar manfaatnya, ketika pilihan jalan masuk bagi perjumpaan agama-agama selama, dan pasca-konflik di Maluku, dimulai dari kepedulian dan kerja sama untuk memulihkan dan mentransformasikan degradasi kemanusiaan dan lingkungan yang diakibatkan oleh konflik, atau pun sebab-sebab lainnya.
Keterlibatan agama-agama dalam proses binadamai di Maluku menegaskan kembali peran integratif agama-agama untuk membangun perdamaian, keadilan, dan keutuhan ciptaan sebagai imperatif yang tak henti. Agama-agama harus membuktikan bahwa gugatan para filsuf yang mengkritik agama – seperti Feuerbach, yang menyatakan “God does not create human, but human creates God,” atau Karl Marx, yang mengumandangkan slogan “Religion is opium for the mass” – adalah keliru. Menurut mereka, agama menciptakan manusia-manusia pasif yang mendelegasikan imaji kekuatan yang tak dimilikinya kepada konsep Tuhan. Kritik ini harus dijawab melalui dedikasi total agama-agama untuk mengupayakan kesejahteraan bersama. Pada posisi ini sikap kritis agama-agama perlu terus digelorakan. Apa yang dibutuhkan dari agama-agama bukan sekadar suara profetis, tapi juga nyali profetis. Agama harus bernyali untuk melakukan advokasi kemanusiaan yang berorientasi pada terciptanya perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan.
Belajar dari Maluku, patutlah dikatakan bahwa pengelolaan kemajemukan, dan potensi-potensi konflik yang mengendap di bawahnya, tidaklah terbatas hanya pada sikap menghargai perbedaan itu, atau menerima bahwa setiap entitas memiliki kebenaran dalam dirinya masing-masing. Dalam bahasa Jurgen Habermas, pluralitas mengisyaratkan kemampuan untuk menghubungkan secara normatif individu-individu beserta kepentingannya ke dalam suatu kelompok yang lebih besar. Hal ini mengandaikan tersedianya kapasitas untuk mengelola partisipasi publik seluas-luasnya.***
Tentang Penulis
Diah Kusumaningrum adalah staf pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bidang kajiannya meliputi rekonsiliasi, aksi nirkekerasan, binadamai, dan studi Afrika. Saat ini dia dan kolega-koleganya tengah melengkapi “Damai Pangkal Damai”, database aksi nirkekerasan di Indonesia pada era reformasi. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana dalam ilmu hubungan internasional di UGM (2000), program master dalam studi-studi perdamaian di University of Bradford (2005), dan program doktor dalam ilmu politik di State University of New Jersey, Rutgers (2015).
Ihsan Ali-Fauzi adalah pendiri dan direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Sesudah lulus dari Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, dia mempelajari sejarah Asia Tenggara dan ilmu politik pada Ohio University, Athens, dan Ohio State University, Colombus, keduanya di Amerika Serikat. Minat risetnya sekarang termasuk aspek-aspek sosial dan politik dari Islam di Indonesia, kebebasan beragama dan demokrasi di Indonesia, dan konflik dan binadamai terkait agama di Indonesia. Dia sesekali menulis artikel dan tinjauan buku di majalah dan koran-koran di Indonesia. Di antara karya-karyanya adalah Disputed Churches in Indonesia (2013), Policing Religious Conflicts in Indonesia (2015), Basudara Stories of Peace from Maluku (2017), dan beberapa artikel di jurnal Studia Islamika dan Asian Survey.
Irsyad Rafsadi adalah peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Paramadina, Jakarta. Selepas lulus dari Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta, dia mengikuti kursus hak-hak asasi manusia dan pembangunan yang diselenggarakan The Kosmopolis Institute of the University of Humanistic Studies. Minat risetnya adalah di seputar kebebasan beragama dan konflik, agama dan perdamaian, serta mediasi lintas-iman. Selain terlibat dalam beberapa penelitian seperti Policing Religious Conflict (2015) dia juga menyunting Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (2015) dan Basudara Stories of Peace from Maluku (2017) serta menerjemahkan karya Abu Nimer, Nonviolence and Peacebuilding in Islam: Theory and Practice (2010), dan Islam karya Fazlur Rahman (2017).
Jacky Manuputty, sehari-harinya adalah pendeta Gereja Protestan Maluku. Ia juga menjabat Direktur Badan Penelitian dan Pengem-bangan (Balitbang) Gereja Protestan Maluku (GPM). Pendiri dan Direktur Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) ini adalah alumnus STT Jakarta (1989), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (2003), dan MA graduate program on Pluralism & Interreligious Dialogue pada Hartford Seminary, Hartford, CT-USA, (2010). Lelaki kelahiran Desa Haruku, Kabupaten Maluku Tengah pada Juli 1965 ini, pernah memperoleh Ma’arif Award 2005 untuk kategori Pekerja Perdamaian dan Tanenbaum Award, New York City, USA, pada 2012 untuk kategori Peacemakers in Action. Dia sering diundang sebagai pembicara pada sejumlah seminar dan diskusi bertema perdamaian dan hubungan lintas-agama, di dalam maupun luar negeri.
Nurul Agustina adalah konsultan bidang pengembangan organisasi pada Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina. Dia menyelesaikan program master dalam bidang antropologi medis pada Universiteit van Amsterdam, Belanda (2001). Selain menjadi anggota tim Ombudsman harian Kompas, dia juga aktif menjadi koordinator monitoring dan evaluasi pada Rutgers World Population Foundation Indonesia, berkantor di Jakarta.
Samsu Rizal Panggabean (almarhum, 1961-2017) adalah staf pengajar pada Jurusan Hubungan Internasional dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan peneliti senior pada Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina. Dia sempat menempuh pendidikan master pada Institute for Conflict Analysis and Resolution (ICAR), George Mason University, Amerika Serikat. Hasil-hasil risetnya diterbitkan antara lain jurnal World Development, Asian Survey, dan Journal of East Asian Studies. Bersama Tim PUSAD Paramadina, dia menerbitkan buku Pemolisian Konflik Agama di Indonesia (2014).
Stella Hutagalung kini bekerja sebagai peneliti senior pada SMERU Research Institute, Jakarta. Dia memperoleh gelar doktor dalam bidang antropologi dari Australian National University, Canberra, Australia. Disertasinya fokus pada masuknya Islam ke Kupang, Nusa Tenggara Barat, dan ekspresi Islam kontemporer di wilayah yang sama. Di antara hasil penelitiannya bersama SMERU adalah “Review of MDGs Achievement and Preparedness for SDGs” (2016) dan “Diagnostic Study of Child Labour in Rural Area, with Special Emphasis on Tobacco Farming” (2017).
Sumanto Al Qurtuby pernah menjadi peneliti tamu di Institut Kroc, University Notre Dame, sekaligus menggarap buku dan penelitiannya yang berikut dengan tema “Contending Modernities: Catholic, Muslim, Secular.” Dia memperoleh gelar Ph.D. dalam antropologi budaya dari Universitas Boston. Dia merupakan salah satu pendiri cabang Nahdlatul Ulama di Amerika Utara. Sumanto telah menulis dan mengedit banyak buku dan artikel, dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, antara lain Di antara orang-orang yang beriman: Kisah Hidup seorang Muslim yang Hidup dengan Mennonit Amerika, Islam Postliberal: Agama, Kebebasan, dan Kemanusiaan, Aliran Muslim China ke Jawa di Abad ke-15 dan ke-16, dan Era Baru Hukum Islam di Indonesia.
Terima kasih kepada pengarang dan semua yang terlibat dalam penerbitan buku ini, di atas sumber-sumber yang diambil untuk dikongsi dalam wadah ini, selamat membaca selengkapnya ditautan berikut : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JTjFhXzRWcl83MkU/view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar