ilustrasi foto : Sungai Jordan (Bahasa Ibrani: נהר הירדן nehar hayarden, Bahasa Arab: نهر الأردن nahr al-urdun) (nahr al-ardan) merupakan sebatang sungai di Asia Barat Daya yang hulunya di utara Israel dekat kibbutz Sede Nehemya dan mengalir ke hilir di Laut Galilea terus ke Laut Mati. Sungai ini merupakan sebahagian sempadan antara Israel dan negara Jordan. Sungai yang mempunyai empat cawang ini sepanjang 251 km.
Sungai ini diceritakan dalam Perjanjian Baru dan lain-lain 2000 tahun lalu. Pada aspek sejarahnya, Sungai ini juga merupakan tempat dimana Nabi Yahya a.s. (Yohannes Pembaptis) {John The Baptist} menjalankan aktviti pembaptisan (mandi wajib) kepada kaum yang beriman pada waktu itu (Nasrani)(Kristian Pra-Sejarah).
Sungai Jordan, juga dikatakan oleh sebagian ulama pernah menjadi tempat pertemuan Al Maseh Putra Maryam dengan Nabi Zakaria a.s
Sungai ini diceritakan dalam Perjanjian Baru dan lain-lain 2000 tahun lalu. Pada aspek sejarahnya, Sungai ini juga merupakan tempat dimana Nabi Yahya a.s. (Yohannes Pembaptis) {John The Baptist} menjalankan aktviti pembaptisan (mandi wajib) kepada kaum yang beriman pada waktu itu (Nasrani)(Kristian Pra-Sejarah).
Sungai Jordan, juga dikatakan oleh sebagian ulama pernah menjadi tempat pertemuan Al Maseh Putra Maryam dengan Nabi Zakaria a.s
ilustrasi foto : Dua sempadan wilayah di akhir zaman yang membuktikan kenapa penerimaan dan penolakan ini akan lengkap apabila didasari oleh pengetahuan dan kesadaran : “sadar akan kedudukan Imamah dan mawas terhadap kesesatan mereka yang menentang wilayah dan Imamah”.
Menentang Penindasan dan Berwilayah Kepada Ahlul Bait Alaihis Salam
Pembicaraan kita selanjutnya akan berkisar tentang elemen-elemen keberwilayahan (berpegang teguh) pada Ahlulbait as. Kita usahakan untuk lebih sering menarik unsur-unsur itu dari teks-teks doa ziarah Ahlulbait as. itu sendiri. Karena teks-teks yang diriwayatkan dari mereka as. ini kaya akan muatan pemikiran dan konsep tentang wilayah atau kepengikutan terhadap Ahlulbait as. dan baro’ah atau penolakan musuh-musuh mereka. Dengan merenungkan teks-teks doa ziarah itu, kita akan dapat menarik sebuah pandangan yang menyempurna dari wilayah dan baro’ah tersebut.
Namun pada bagian ini kita tidak ingin mempelajarinya secara luas. Tulisan ringkas ini tidak cukup ruang untuk mempelajarinya secara detail dan mengajukan konsep yang terperinci tentang dua hal di atas. Kita hanya mengisyaratkan beberapa elemen wilayah atau kepengikutan terhadap Ahlulabait as. yang dimengerti dari teks doa ziarah dan hadis Ahlulbait yang lain.
Kesadaran Berwilayah
Elemen pertama wilayah kepada Ahlulbait as. ialah kesadaran, dan nilai pengikutan seseorang terhadap mereka dihitung sesuai kadar pengetahuan dan kesadarannya akan wilayah itu sendiri. Maka itu, orang yang lebih sadar akan konsep wilayah tentu lebih kokoh dalam berwilayah kepada Ahlulbait as.
Disinyalir dalam doa ziarah Jami’ah: “Aku bersaksi kepada Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.) bahawasanya aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani, aku ingkar terhadap musuh kalian dan terhadap apa yang kalian ingkari, aku sadar akan kedudukan dan urusan kalian, begitu juga mawas akan kesesatan mereka yang menentang kalian, aku beriman pada rahasia dan kejelasan kalian, beriman pada kehadiran dan kegaiban kalian”.
Kami bersaksi pada Allah dan pada Ahlulbait as. atas pengetahuan dan kesadaran ini, karena kami yakin penuh dan beriman akan hal itu, serta sama sekali tidak ada keraguan terhadapnya.
Wilayah dalam penggalan kalimat di atas tersusun dari dua sisi:
Pertama, sisi positif, yaitu: “beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani”.
Kedua, sisi negatif, yaitu: “ingkar terhadap musuh kalian dan terhadap apa yang kalian ingkari”. Ingkar berarti penolakan. Oleh karena itu, maksud dari kalimat di atas adalah aku menolak musuh kalian dan menolak apa yang kalian tolak.
Nilai wilayah terbentuk dari dua sisi positif dan negatif tersebut secara bersamaan; penerimaan sekaligus penolakan. Penerimaan semata -tanpa penolakan- tidak menentukan banyak tugas bagi seseorang selama tidak dibarengi dengan penolakan terhadap lawannya.
Oleh karena itu, penerimaan dan penolakan harus sekaligus serta dilandasi oleh pengetahuan dan kesadaran, bukan sekedar ikut-ikutan seperti sebagian orang yang mengikuti sebagian lainnya, melainkan “sadar akan kedudukan kalian Ahlulbait dan mawas terhadap kesesatan mereka yang menentang kalian”.
Penerimaan di sini adalah penerimaan penuh yang mencakup tiga poin di bawah ini sebagaimana juga termuat dalam penggalan doa ziarah di atas itu:
Pertama, penerimaan mutlak; “iman pada apa yang rahasia dan tersembunyi dari kalian”.
Kedua, penolakan mutlak; “menolak musuh kalian serta apa yang kalian tolak”.
Ketiga, penerimaan dan penolakan ini akan lengkap apabila didasari oleh pengetahuan dan kesadaran; “sadar akan kedudukan kalian dan mawas terhadap kesesatan mereka yang menentang kalian”.
Pengakuan
Wilayah dan kepengikutan pada Ahlulbait as. tidak bisa dipisahkan dari pengakuan. Tidak ada sesuatu yang lebih merusak daripada ragu dan bimbang terhadap wilayah, dan Allah swt. sama sekali tidak meninggalkan kesamaran di dalamnya. Sungguh Allah telah mengaitkan wilayah dengan tauhid, menetapkan wilayah sebagai poros gerakan, baik individu maupun sosial, dan mengarahkan umat manusia kepada wilayah setelah menyeru mereka kepada pengesaan-Nya. Dia berfirman:
﴿ اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ آمَنُوا ... ﴾
“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta mereka yang beriman yang…”[1].
Dia juga berfirman:
﴿ اَطِيعُوا اللهَ وَ اَطِيعُوا الرَّسُولَ وَ اُولِي الأمرِ مِنكُم ﴾
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulul amr (pemimpin) dari kalian”[2].
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bahwa jalan menuju wilayah mesti jelas, sehingga umat manusia berwilayah atas dasar bukti yang kuat. Singkatnya, wilayah tidak terpisahkan dari pengakuan, dan pengakuan tidak terpisahkan dari keyakinan dan keyakinan tidak terpisahkan dari bukti.
Ziarah Jami’ah memperlihatkan kedudukan Ahlulbait as. sebagai berikut: “Beruntunglah orang yang berwilayah pada kalian, binasalah orang yang memusuhi kalian, sengsaralah orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang yang berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung pada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian, dan berpetunjuklah orang yang memegang erat kalian”.
Ikatan Organik
Untuk berbicara tentang elemen-elemen yang membentuk wilayah kepada Ahlulbait as., terlebih dahulu kita harus menerangkan arti harfiah wala’ sebagaimana mestinya dalam literatur kontemporer. Hal itu penting sekali dan tidak mudah. Literatur sosial kontemporer kita sekarang tidak sanggup menjangkau arti kata ini,. Maka dari itu, kita tidak menemukan hubungan erat antar manusia selain wala’ dalam dua dimensi sekaligus, yaitu hubungan secara vertikal dan secara horisontal dalam kepemimpinan politik, hukum, peradaban, ketaatan, pengikutan dan … Hubungan wilayah adalah hubungan khas di tengah umat manusia secara vertikal dan horisontal:
Wilayah secara vertikal adalah hubungan antara umat dengan Allah swt., Rasulullah dan wali amr atau pemimpin Islam. Hubungan ini akan mengejewantah dalam ketaatan, cinta, pembelaan, nasihat, pengikutan dan … Semua itu berarti apabila kita memandang wilayah vertikal ini dari bawah ke atas. Allah berfirman:
“Taatilah Allah dan taatilah Raslulullah dan wali amr kalian”.
Sementara, jika kita mengamati wilayah vertikal ini dari atas ke bawah. yang tampak adalah kekuasaan, pemerintahan dan perlindungan. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan sha-lat dan memberi zakat saat mereka rukuk”[3].
Inilah arti singkat dari wilayah vertikal yang dipandang dari dua arah atas dan bawah. Yang dimaksud dari arah ke atas adalah hubungan umat dengan pemimpin-pemimpinnya. Sedangkan maksud dari arah ke bawah adalah hubungan para pemimpin Islam dengan umatnya. Dengan demikian, hubungan wilayah di satu sisi adalah kepemimpinan, dan di sisi lain adalah kepatuhan.
Adapun wilayah secara horisontal adalah hubungan yang mengikat manusia antara satu sama yang lain dalam kehidupan sosial mereka. Al-Qur’an mengungkapkan hal ini dalam kalimat yang singkat, padat dan teliti:
﴿ اِنَّمَا المُؤمِنُونَ اِخوَةٌ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara”[4].
Imam Hasan Askari as. menerangkan ayat ini kepada penduduk kota Abah dan Qom dalam sebuah kalimat yang juga singkat:
“Seorang mukmin adalah saudara seibu dan seayah orang mukmin yang lain”[5].
“Seorang mukmin adalah saudara seibu dan seayah orang mukmin yang lain”[5].
Ini merupakan jalinan istimewa yang tidak kita dapatkan padanannya di tengah umat, agama dan syariat yang lain.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda:
“Orang-orang mukmin adalah saudara yang berdarah sama. Mereka adalah tangan bagi yang lain, yang di atas berusaha untuk menanggung mereka yang di bawahnya”[6].
“Orang-orang mukmin adalah saudara yang berdarah sama. Mereka adalah tangan bagi yang lain, yang di atas berusaha untuk menanggung mereka yang di bawahnya”[6].
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Mukmin adalah saudara mukmin lainnya. Mereka seperti satu tubuh; apa-bila salah satu anggotanya mengadu, maka dia akan merasakan derita itu pada seluruh anggota tubuhnya yang lain”[7].
“Mukmin adalah saudara mukmin lainnya. Mereka seperti satu tubuh; apa-bila salah satu anggotanya mengadu, maka dia akan merasakan derita itu pada seluruh anggota tubuhnya yang lain”[7].
Beliau mewasiatkan orang-orang beriman seraya berkata:
“Hendaknya kalian saling bersilaturrahmi, saling berbakti dan saling menyayangi, jadilah kalian saudara yang rukun sebagaimana Allah swt. perintahkan pada kalian”[8].
“Hendaknya kalian saling bersilaturrahmi, saling berbakti dan saling menyayangi, jadilah kalian saudara yang rukun sebagaimana Allah swt. perintahkan pada kalian”[8].
Inilah penjelasan tentang wilayah secara horisontal. Dan berulang kali disebutkan bahwa kita tidak menemukan ikatan sosial di tengah kehidupan manusia yang lebih kuat dan kokoh dari pada ikatan wilayah.
Uraian di atas menjelaskan bahwa ikatan wilayah merupakan ikatan organik pada satu bangunan keluarga yang kokoh bertautan seperti benteng yang kuat, sebagaimana disinyalir al-Qur’an dengan ibarat bunyanun marshush. Dan hubungan antara individu-individunya seperti hubungan yang terjalin antar-organ tubuh. Dan tentunya, hubungan ini jauh lebih kuat daripada hubungan antar-anggota keluarga biasa.
Dengan demikian, wilayah adalah struktur yang khas dalam sebuah hubungan umat manusia yang merupakan ikatan organik bagi sesaorang dengan sebuah keluarga atau anggota dengan satu tubuh.
Pilar-pilar wilayah secara horisontal adalah gotong royong, silaturahmi, nasihat, kebajikan, persaudaraan, kemurahan, kasih sayang, bantuan, solidaritas, penyempurnaan dan … Adapun pilar-pilar wilayah secara vertikal adalah ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, cinta, pembelaan, pengikutan, komitmen, peneladanan, keakraban, cinta pada mereka dan pada wali-wali mereka, benci dan perlawanan terhadap musuh-musuh mereka, dan lain sebagainya.
Tersisa satu poin yang penting untuk disampaikan di akhir pembahasan tentang ikatan organik ini, bahwa wilayah atau pengikutan kepada Ahlulbait as. dan baro’ah atau pelepasan diri dan perlawanan terhadap musuh-musuh mereka bukan merupakan kasus sejarah yang sama sekali terputus hubungan dari kehidupan politik dan peradaban kita sekarang. Jelas wilayah yang dilukiskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq as. - begitu besar dalam ucapannya: “Di Hari Kiamat nanti, tidak ada panggilan yang lebih penting daripada panggilan mengenai wilayah”, tidak mungkin sebatas kepercayaan yang sama sekali terputus dari realitas dan gerakan politik yang kita jalani sekarang.
Wilayah adalah ketaatan, cinta, keanggotaan, perlawanan terhadap musuh, damai, perang, dan penentuan sikap sosial politik kontemporer di bawah naungan pemimpin penerus yang sah. Maka selama wilayah dan baro’ah tersebut tidak berbasis pada kepercayaan akan sebuah gerakan, tindakan, sikap politik damai atau perang yang menjadi ketentuan wilayah lanjutan atau pengganti yang sah untuk masa sekarang niscaya wilayah dan baro’ah tersebut tidak memiliki nilai yang besar seperti apa yang kita simak dalam teks-teks riwayat dari Ahlulbait as.
Berikut ini kita akan membicarakan elemen-elemen lain wilayah secara ringkas yang kita tarik dari teks doa ziarah Ahlulbait as., karena sungguh doa-doa yang diriwayatkan dari mereka penuh dengan konsep dan elemen wilayah.
Baro’ah
Wajah lain dari wilayah adalah baro’ah itu sendiri. Wilayah dan baro’ah merupakan dua wajah dari satu permasalahan yaitu keterikatan dan keanggotaan pada Ahlulbait as. Bedanya baro’ah adalah wajah dan dimensi yang lebih berat dalam keanggotaan tersebut. Wilayah tanpa baro’ah adalah wilayah yang kurang dan buta.
Ada seorang lelaki mendatangi Amirul Mukminin Ali as. seraya berkata kepada beliau:
“Sungguh aku mencintaimu juga mencintai musuh-musuhmu”. (Inilah yang kami maksud dari wilayah yang kurang dan buta).
“Sungguh aku mencintaimu juga mencintai musuh-musuhmu”. (Inilah yang kami maksud dari wilayah yang kurang dan buta).
Amirul Mukminin Ali as. menukas:
“Namun sampai ini kamu masih juling dan bermata satu (pandangan orang bermata satu adalah pandangan yang setengah dan kurang). Berikutnya, tidak ada kecuali dua pilihan bagimu yaitu buta (maka di samping kehilangan wilayah dia juga kehilangan baro’ah) atau melihat (yakni berwilayah kepada Ahlulbait as. sekaligus menentang musuh-musuh mereka)”.
“Namun sampai ini kamu masih juling dan bermata satu (pandangan orang bermata satu adalah pandangan yang setengah dan kurang). Berikutnya, tidak ada kecuali dua pilihan bagimu yaitu buta (maka di samping kehilangan wilayah dia juga kehilangan baro’ah) atau melihat (yakni berwilayah kepada Ahlulbait as. sekaligus menentang musuh-musuh mereka)”.
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan:
“Aku bersaksi kepada Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.), sesungguhnya aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani, aku menolak musuh kalian dan apa yang kalian kafirkan. Aku sadar akan perkara dan kedudukan kalian dan mawas akan kesesatan mereka yang menentang kalian. Aku berwilayah dan mendukung kalian serta wali-wali kalian, aku benci dan melawan musuh-musuh kalian”.
“Aku bersaksi kepada Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.), sesungguhnya aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani, aku menolak musuh kalian dan apa yang kalian kafirkan. Aku sadar akan perkara dan kedudukan kalian dan mawas akan kesesatan mereka yang menentang kalian. Aku berwilayah dan mendukung kalian serta wali-wali kalian, aku benci dan melawan musuh-musuh kalian”.
Ziarah Asyura terhitung sebagai ziarah yang paling banyak menyatakan penolakan dan perlawanan terhadap musuh-musuh Allah swt., seperti penggalan berikut ini: “Semoga Allah melaknat umat yang membunuh kalian (Ahlulbait as.), semoga Allah mengutuk orang-orang yang membuka jalan bagi mereka dengan cara pengerahan massa untuk memerangi kalian, aku berlindung dari mereka di bawah naungan Allah dan kalian, sungguh aku berlindung dari mereka, dari pengikut dan wali-wali mereka serta siapa saja yang ikut bersama mereka”.
Teks di atas menyatakan baro’ah bukan hanya terhadap musuh-musuh Allah, melainkan juga penolakan terhadap sekutu dan pengikut musuh-musuh Allah serta siapa saja yang setuju dengan perbuatan mereka. Maka sebagaimana kita mendekatkan diri pada Allah melalui wilayah, pengikutan dan cinta terhadap wali-wali Allah, kita juga mendekatkan diri pada-Nya dan pada wali-Nya melalui perlawanan terhadap musuh-musuh Allah beserta pengikut mereka.
Disebutkan juga dalam ziarah Asyura sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku mendekatkan diri pada Allah dan pada Rasul-Nya … dengan berwilayah pada kalian, juga dengan penolakan terhadap mereka yang memerangi kalian, menabuh genderang pertempuran melawan kalian, dan dengan penolakan terhadap siapa saja yang menyediakan basis perlawanan serta menyusun barisan penentang kalian”.
“Sesungguhnya aku mendekatkan diri pada Allah dan pada Rasul-Nya … dengan berwilayah pada kalian, juga dengan penolakan terhadap mereka yang memerangi kalian, menabuh genderang pertempuran melawan kalian, dan dengan penolakan terhadap siapa saja yang menyediakan basis perlawanan serta menyusun barisan penentang kalian”.
Ikatan Imbal Balik Tauhid dalam Kerangka Wilayah
Pada hakikatnya, wilayah masuk kategori tauhid, sebagaimana berulang kali kita ingatkan sebelum ini. Dan sebetulnya, nilai wilayah dalam Islam mengalir turun dari tauhid dan merupakan perpanjangan dari pengesaan Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, tiada wilayah bagi selain Allah kecuali dengan seijin dan perintah-Nya. Allah berfirman:
﴿ اَللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا ﴾
“Allah adalah wali orang-orang yang beriman”.[9]
Adapun wilayah Rasulullah saw. dan para imam atau wali amr adalah wajib di bawah wilayah Allah dan atas dasar perintah-Nya. Maka, barang siapa yang berwilayah pada Allah dalam artian hanya Dia pemimpin jagat raya, maka dia juga harus menerima wilayah Rasulullah saw. dan para imam as. setelahnya. Tidak bisa dipisahkan antara wilayah Rasulullah saw. dengan wilayah Allah, begitu pula tidak mungkin dipisahkan antara wilayah Ahlulbait as. dan wilayah Rasulullah saw. Allah berfirman:
﴿ إنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَ يُؤتُونَ الزَّكَاةَ وَ هُم رَاكِعُونَ [10]
“Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman yang menegakkan shalat dan memberi zakat ketika rukuk”.
Hadis-hadis yang mengatakan ayat ini turun mengenai Ali bin Abi Thalib as. mencapai tingkat mustafidh.[11] Hadis-hadis itu menegas bahwa yang dimaksud oleh al-Qur’an sebagai orang yang menegakkan shalat dan memberi zakat dalam keadaan rukuk adalah Ali bin Abi Thalib as.
Dalam ayat itu Allah menegaskan wilayah adalah milik Dia dan Rasul-Nya serta orang beriman yang menegakkan shalat dan memberi zakat dalam keadaan rukuk. Mereka adalah wali amr ‘imam segenap Muslimin’.
Hanya saja, wilayah Rasulullah saw. dan Ahlulbaitnya hanyalah sebagai lanjutan dari wilayah Allah swt. dan tidak sejajar, sebagaimana ketaatan kepada Rasulullah dan para wali amr setelahnya merupakan kelanjutan dari ketaatan kepada Allah.
Inilah wilayah dan ketaatan. Hal yang sama juga berlaku dalam cinta. Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda:
“Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada kalian, cintailah aku karena cinta Allah dan cintailah Ahlul-baitku karena cinta padaku”[12].
“Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada kalian, cintailah aku karena cinta Allah dan cintailah Ahlul-baitku karena cinta padaku”[12].
Rasulullah saw. juga bersabda:
“Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada kalian, dan cintailah aku karena kalian mencintai Allah, dan cintailah Ahlulbaitku karena kalian mencintaiku”[13].
“Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada kalian, dan cintailah aku karena kalian mencintai Allah, dan cintailah Ahlulbaitku karena kalian mencintaiku”[13].
Jadi, barang siapa yang berwilayah pada Allah maka dia juga harus berwilayah pada Rasulullah dan keluarganya. Dan barang siapa yang mentaati Allah maka dia juga harus mentaati mereka. Dan barang siapa yang mencintai Allah maka dia juga harus mencintai mereka.
Ini salah satu sisi keseimbangan tauhid. Adapun sisi lainnya menyatakan adalah barang siapa yang berwilayah kepada mereka berarti dia berwilayah kepada Allah, dan barang siapa mentaati mereka maka dia mentaati Allah, dan barang siapa yang mencintai mereka maka dia mencintai Allah Dengan demikian sempurnalah keseimbangan tauhid tersebut dalam jalinan wilayah dari dua belah pihak.
Coba renungkan teks-teks berikut ini yang menunjukkan kedua sisi keseimbangan tauhid tersebut:
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan:
“Barang siapa yang berwilayah kepada kalian maka dia telah berwilayah kepada Allah, dan barang siapa yang memusuhi kalian maka dia telah memusuhi Allah”.
“Barang siapa yang berwilayah kepada kalian maka dia telah berwilayah kepada Allah, dan barang siapa yang memusuhi kalian maka dia telah memusuhi Allah”.
Disebutkan juga di dalamnya:
“Barangsiapa yang mentaati kalian maka dia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang membangkang pada kalian maka dia telah bermaksiat pada Allah”.
“Barangsiapa yang mentaati kalian maka dia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang membangkang pada kalian maka dia telah bermaksiat pada Allah”.
Disebutkan pula di sana:
“Barang siapa yang mencintai kalian maka dia telah mencintai Allah, dan barang siapa membenci kalian maka dia telah membenci Allah”. Dan kita semua seyogyanya mendekatkan diri pada Allah swt. melalui wilayah dan dukungan kita terhadap Rasulullah serta Ahlulbaitnya serta menolak musuh-musuh mereka.
“Barang siapa yang mencintai kalian maka dia telah mencintai Allah, dan barang siapa membenci kalian maka dia telah membenci Allah”. Dan kita semua seyogyanya mendekatkan diri pada Allah swt. melalui wilayah dan dukungan kita terhadap Rasulullah serta Ahlulbaitnya serta menolak musuh-musuh mereka.
Disebutkan dalam ziarah Asyura sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku mendekatkan diri kepada Allah dengan berwilayah kepadamu (wahai Imam Husain as.), begitu pula dengan menentang orang-orang yang membunuhmu dan menyulut api peperangan melawanmu”.
“Sesungguhnya aku mendekatkan diri kepada Allah dengan berwilayah kepadamu (wahai Imam Husain as.), begitu pula dengan menentang orang-orang yang membunuhmu dan menyulut api peperangan melawanmu”.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Barang siapa mentaatiku, dia telah mentaati Allah, dan barang siapa bermaksiat padaku, dia telah bermaksiat pada Allah, dan barang siapa bermaksiat pada Ali dia telah bermaksiat padaku”.[14]
“Barang siapa mentaatiku, dia telah mentaati Allah, dan barang siapa bermaksiat padaku, dia telah bermaksiat pada Allah, dan barang siapa bermaksiat pada Ali dia telah bermaksiat padaku”.[14]
Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah kejadian; ketika itu Rasulullah saw. melihat Ali as. seraya bersabda:
“Wahai Ali, aku adalah tuan di dunia dan di akhirat, kekasihmu adalah kekasihku, dan kekasihku adalah kekasih Allah, musuhmu adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah”.[15]
“Wahai Ali, aku adalah tuan di dunia dan di akhirat, kekasihmu adalah kekasihku, dan kekasihku adalah kekasih Allah, musuhmu adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah”.[15]
Satu poin yang amat penting dari konsep wilayah dan baro’ah dalam Islam terletak pada kecermatan kita akan ikatan tauhid yang berbasis pada wilayah Allah dan wilayah wali amr (Ahlulbait as). Kita harus mengerti keseimbangan tauhid yang membaur-utuh antara dua wilayah ini. Dan wilayah hakiki dalam Islam harus tumbuh sebagai konsekuensi dari wilayah Allah, dan selain itu hanyalah wilayah yang batil. Begitu pula ketaatan dan cinta yang sebenarnya, menurut Islam, harus digenggam sebagai konsekuensi dari ketaatan dan cinta pada Allah. Maka selain itu sama sekali tidak berarti menurut tolok ukur dan timbangan Allah swt.
Atas dasar ini, Ahlulbait as. adalah rambu-rambu petunjuk menuju Allah. Mereka adalah pemimpin sesuai dengan perintah-Nya. Mereka memasrahkan segala urusan kepada Allah dan orang yang memberi hidayah menuju Allah swt.
Ini dari satu sisi. Adapun di sisi lain, orang yang menghendaki Allah, jalan, keridhaan, hukum dan batas-batas-Nya, dia harus menapaki jalan mereka dan menyerap ajaran mereka.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua sisi keseimbangan tauhid ini dalam teks-teks berikut:
Disebutkan dalam ziarah Jami’ah:
“Kepada Allah kalian mengajak, kepada-Nya kalian menunjukkan, kepada-Nya kalian beriman, untuk Dia kamu pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian beramal, kepada jalan-Nya kalian arahkan, dan dengan firman-Nya kalian menghakimi”.
“Kepada Allah kalian mengajak, kepada-Nya kalian menunjukkan, kepada-Nya kalian beriman, untuk Dia kamu pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian beramal, kepada jalan-Nya kalian arahkan, dan dengan firman-Nya kalian menghakimi”.
Berikut ini dua sisi permasalahan dalam satu kalimat singkat yang disinyalir juga oleh ziarah Jami’ah:
“Barang siapa menghendaki Allah, dia harus memulainya dengan kalian, dan barang siapa yang mengesakan-Nya dia harus menerima dari kalian, dan barang siapa yang menuju-Nya maka dia harus memperhatikan kalian”.
“Barang siapa menghendaki Allah, dia harus memulainya dengan kalian, dan barang siapa yang mengesakan-Nya dia harus menerima dari kalian, dan barang siapa yang menuju-Nya maka dia harus memperhatikan kalian”.
Saya tekankan untuk kesekian kalinya bahwa kita tidak akan bisa mengerti wilayah kecuali dari sudut pandang tauhid, dan bahwa wilayah Ahlulbait as. adalah kelanjutan dari wilayah Allah swt.. Bentuk apapun dari pemahaman wilayah, ketaatan dan cinta pada Ahlulbait as. yang tidak bersambung dengan wilayah Allah, maka itu bertentangan dengan ucapan dan ajaran Ahlulbait itu sendiri.
Salam dan Nasihat
Dua aspek berikutnya dari wilayah adalah salam dan nasihat dalam kaitannya dengan wali amr atau para imam. Salam adalah sisi negatif dari hubungan ini, sedangkan nasihat adalah sisi positif jalinan bersama pemimpin Islam. Berikut ini penjelasannya:
Salam
Arti salam kepada wali amr ‘para imam as.’ yaitu hendaknya kita tidak membiarkan mereka sendiri dalam kesulitan dan bahaya, hendaknya kita tidak melawan, tidak berontak atau berdurhaka kepada mereka, tidak mengusir mereka, tidak menentang mereka dalam urusan apa pun, tidak memihak pada yang lain dalam mengambil keputusan, tidak menghinakan mereka, tidak mengharapkan keburukan menimpa mereka, tidak merusak kehormatan mereka baik saat hadir ataupun gaib, tidak berbuat makar dan tipu daya terhadap mereka, tidak berjalan bersama musuh-musuh mereka, tidak memperdaya mereka, tidak merekayasa mereka, tidak melangkahi mereka, tidak menelantarkan mereka, tidak menyerahkan mereka kepada musuh, tidak menzalimi mereka, tidak berkedok di hadapan mereka dan lain sebagainya.
Itu aspek peniadaan dari hubungan dan pergaulan dengan Ahlulbait as. sebagai wali amr dan pemimpin Islam.
Salam kepada wali amr as. memanjang dari salam dalam hubungan kita dengan Allah swt. Dan seperti halnya ele-men lain, salam juga masuk dalam kategori tauhid, karena salam kepada wali-wali amr as. adalah juga salam kepada Allah, dan sungguh Allah telah memerintahkan kita untuk menyikapi-Nya dengan salam dan damai serta hendaknya kita tidak masuk ke lingkungan musuh-Nya atau orang yang memihak kepada selain-Nya. Allah swt. berfirman:
﴿يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادخُلُوا فِي السِّلمِ كَافَّةً وَ لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيطَان﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam kedamaian dan Islam secara utuh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan”.[16]
Selain ‘salam’ yang dianjurkan oleh Allah dalam ayat di atas adalah salam itu sendiri dalam hubungan kita dengan-Nya. Dan lawan dari salam dalam berhubungan dengan Allah adalah memerangi, memihak pada yang lain dan menentang-Nya. Allah berfirman:
﴿ فَإن لَم تَفعَلُوا فَأذَنُوا بِحَربٍ مِنَ اللهِ وَ رَسُولِهِ ﴾
“Apabila kalian tidak melakukannya, maka ijinkan peperangan Allah dan Rasul-Nya”.[17]
﴿ اِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَ رَسُولَهُ وَيَسعَونَ فِي الاَرضِ فَسَادًا أن يُقتَلُوا... ﴾
“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha menebarkan kerusakan di muka bumi ialah dibunuh dan diperangi …”.[18]
﴿ وَ ذلِكَ بِأنَّهُم شَاقُّوا اللهَ وَ رَسُولَهُ وَ مَن يُشَاقِقِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإنَّ اللهَ شَدِيدُ العِقَاب ﴾
“Hal itu karena mereka telah memihak pada selain Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa memihak pada yang lain dan menentang Allah dan Rasul-Nya, maka Allah sungguh keras dalam siksa-Nya”.[19]
﴿ اَلَم تَعلَمُوا أنَّهُ مَن يُحَادِدِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذلِكَ هُوَ الخِزيُ العَظِيمُ ﴾
“Tidakkah kalian tahu bahwa orang yang menentang keras Allah dan Rasul-Nya akan masuk neraka jahanam selama-lamanya dan itu kehinaan yang sangat besar”.[20]
Maksud dari kata muhadadah dalam ayat ini adalah sikap seseorang yang berpihak pada selain garis dan batas yang ditentukan Allah swt.
Demikian arti salam kita kepada Allah swt. Adapun salam antara kita dan pemimpin-pemimpin Islam atau wali amr as. adalah kepanjangan dari salam kita kepada Allah dan bagian dari prinsip tauhid.
Secara umum, semua elemen wilayah kepada Ahlulbait as. sebagai pemimpin Islam berpijak pada asas tauhid; peng-esaan Allah dan menolak wujud sesuatu yang independen dari ijin dan perintah Allah swt.
Salam kepada wali amr atau pemimpin Islam (yaitu Rasulullah dan Ahlulbaitnya), sebagaimana termuat dalam teks-teks ziarah, bukan dari kategori sapa dan pesan, tetapi dari kategori sikap, pergaulan dan hubungan.
Kedalaman arti dari salam kepada mereka yaitu hendak-nya kita tidak mengusik mereka dengan tingkah laku yang buruk, karena sesungguhnya mereka hadir dalam tindakan kita sebagaimana ditegaskan oleh surah al-Qadr dan hadis. Oleh karena itu, perilaku buruk, maksiat dan dosa pengikut Rasulullah saw. dan Ahlulbait as. akan mengganggu mereka sebagaimana mengganggu dua malaikat pencatat amal. Sebaliknya, perbuatan saleh akan menyenangkan mereka.
Kiranya cukup sampai di sini saja perbincangan kita seputar salam kepada wali amr dan tidak perlu diperpanjang lebih dari ini.
Ziarah-ziarah para imam maksum penuh dengan salam dan pengulangan salam kepada mereka, seperti dalam ziarah Jami’ah Kedua yang tidak begitu populer, yaitu ziarah Jami’ah yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq dari Imam Ali Ridha as. dalam kitab Man La Yahdluruhul Faqih, terdapat sekelompok salam kepada mereka. Berikut ini kami akan menyebutkan sebagian salam-salam itu sebagai bukti:
“Salam kepada wali-wali Allah dan pilihan-pilihan-Nya, salam kepada orang-orang terpercaya Allah dan kekasih-kekasih-Nya, salam kepada penolong-penolong Allah dan para khalifah-Nya (khalifah artinya pemimpin yang dilantik Allah untuk mengatur urusan umat manusia, bukan khalifah yang dicatat dalam sejarah pasca wafat Rasul), salam kepada ruang-ruang makrifat Allah, salam kepada rumah-rumah zikir Allah, salam kepada pemenang perintah Allah dan larangan-Nya, salam kepada penuntun-penuntun yang mengajak kepada Allah, salam kepada mereka yang bersemayam dalam keridhaan Allah, salam kepada mereka yang ikhlas dalam ketaatan Allah, salam kepada petunjuk-petunjuk Allah, salam kepada mereka yang barang siapa berwilayah kepada mereka niscaya Allah berwilayah kepadanya dan mencintainya, salam kepada mereka yang barang siapa memusuhi mereka Allah akan memusuhinya, salam kepada mereka yang barang siapa yakin pada mereka niscaya telah yakin pada Allah, salam kepada mereka yang barang siapa bodoh akan mereka ia telah bodoh akan Allah, salam kepada mereka yang barang siapa berpegang teguh pada mereka dia telah berpegang teguh pada Allah, dan salam kepada mereka yang barang siapa menyempal dari mereka dia telah menyempal dari Allah”.
Nasihat
Nasihat adalah aspek positif dari hubungan manusia dengan wali amr ‘pemimpin Islam’ as. Nasihat pada mereka juga masuk kategori tauhid, dan merupakan kepanjangan dari nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya. Nasihat adalah salah satu dari tiga perkara politik yang diumumkan oleh Rasulullah di masjid Khif, di Mina, kepada mayoritas Muslimin yang hadir di tahun Haji Wada’ atau Haji Perpisahan.
Syaikh Shaduq meriwayatkan dalam kitab Khisal dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Rasulullah saw. Berpidato pada Haji Wada’ di Mina tepatnya di masjid Khif. Beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda: ‘Semoga Allah menyegarkan dan peduli pada hamba-Nya yang mendengar sabdaku kemudian menyadarinya, lalu menyampaikan sabdaku ini pada orang yang belum mendengarnya. Dan betapa banyak pembawa ilmu agama atau fiqih yang tidak alim dan faqih, dan betapa banyak pembawa ilmu agama kepada orang yang lebih alim dan faqih daripada dirinya. Ada tiga perkara yang tidak akan menimbulkan dengki pada hati seorang Muslim: pertama, ikhlas dalam beramal hanya demi Allah. Kedua, nasihat terhadap pemimpin-pemimpin Muslimin. Ketiga, komitmen terhadap masyarakat Islam. Sesungguhnya dakwah dan doa mereka mencakup masyarakat Muslim yang lain. Dan orang-orang Muslim adalah saudara yang berdarah sama, orang yang unggul berupaya untuk menanggung orang yang di bawah-nya, dan mereka adalah tangan bagi yang lain’”.[21]
Nasihat untuk wali amr dan pemimpin Muslimin as. yaitu seorang Muslim harus menjadi pembela dan mata bagi mereka mengajukan aspirasi dan konsultasi yang tulus kepada mereka, melindungi mereka, memaparkan problem, kegelisahan dan penderitaan Muslimin pada mereka, dan inilah sisi positif yang dimaksudkan.
Figur Keteladanan
Salah satu elemen wilayah kepada Ahlulbait as. adalah peneladanan pada mereka. Allah swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim as. sampai Rasulullah saw. sebagai teladan yang unggul bagi umat manusia. Mereka harus mengikuti figur-figur teladan tersebut dan mengukur diri dengan keutamaan mereka. Allah berfirman:
﴿ قَد كَانَت لَكُم اُسوَةٌ حَسَنَةٌ فِي اِبرَاهِيمَ وَ الَّذِينَ مَعَه ﴾
“Sungguh terdapat teladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”.[22]
﴿ لَقَد كَانَ لَكُم فِي رَسُولِ اللهِ اُسوَةٌ حَسَنَةٌ ﴾
“Sungguh, sungguh dan sungguh terdapat teladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah”.[23]
Adapun setelah Rasulullah saw., teladan baik yang harus kita panuti dalam hidup ini adalah Ahlulbait sebagai pengganti beliau, baik dalam hubungan kita bersama keluarga maupun hubungan kita dengan diri kita sendiri. Tentunya, awal dari semua hubungan ini adalah hubungan kita dengan Allah swt.
Peneladanan bukan pelajaran. Di samping sebagai guru kita, Ahlulbait as. juga teladan kita. Mereka adalah guru yang kita serap anjuran dan ajaran mereka, teladan yang kita tapaki bekas-bekas langkah mereka, kita jalani jalur mereka, kita ikuti aliran mereka dalam kehidupan, dan kita hidup sebagaimana mereka hidup serta bergaul bersama masyarakat dan keluarga sebagaimana mereka bergaul.
Imam-imam Ahlulbait as. adalah maksum atau suci dari dosa dan kesalahan. Artinya, mereka adalah model yang sempurna bagi kemanusiaan. Allah telah menjadikan mere-ka sebagai tolok ukur dan timbangan yang harus kita gunakan untuk mengukur diri kita dengan mereka. Maka, apa yang sesuai dengan mereka dalam praktek, ucapan, diam, gerak perilak serta sikap kita adalah kebenaran. Dan sebaliknya, segala hal yang bertentangan dengan mereka adalah kesalahan, entah itu karena berlebihan atau keku-rangan. Hakikat ini juga termuat dalam ziarah Jami’ah: “Orang yang tertinggal dari kalian adalah celaka, dan orang yang melampaui kalian adalah binasa, sedangkan orang yang bersama kalian adalah ikut bergabung”.
Marilah kita membaca sejarah dan tradisi Ahlulbait as. untuk menyesuaikan perilaku kita dengan mereka. Amirul Mukminin as. sering berkata: “Sadarlah bahwa kalian tidak akan mampu untuk itu, tapi bantulah aku dengan warak dan kesungguhan”.
Ziarah Jami’ah menyifati Ahlulbait as. dengan matsal a’la atau model tertinggi, yaitu standar yang benar bagi umat manusia untuk mengukur dirinya dengan mereka sebisa mungkin untuk berjalan bersama mereka.
Ahlulbait as. mewarisi hal-hal berharga dari Nabi Ibra-him dan Rasulullah saw., seperti akhlak, penyembahan, ikhlas, ketaatan dan takwa. Dengan demikian, orang yang ingin mendapatkan petunjuk para nabi dan mengikuti jalan mereka, dia bisa mendapatkannya dengan mengikuti petun-juk Ahlulbait as. dan meneladani mereka. Ziarah Jami’ah membawakan sebuah doa yang berbunyi: “Semoga Allah menggolongkanku bersama orang yang mengikuti jejak mereka, menempuh jalur mereka, dan mengambil petunjuk hidayah mereka”.
Sedih dan Gembira
Sedih dan gembira adalah kondisi kejiwaan dalam berwi-layah dan merupakan tanda-tanda cinta. Orang yang men-cintai seseorang secara alami akan sedih karena kesedihan kekasihnya, dan gembira karena kegembiraannya. Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Syi’ah kami adalah dari kami, apa-apa yang menyakitkan kami akan menyakitkan mereka dan apa-apa yang menggembirakan kami juga akan menggembirakan mereka”.[24]
Ada sebuah riwayat sahih dari Rayyan bin Syabib, paman Mu’tasim Abbasi dari ibunya; dia meriwayatkan dari Imam Ali Ar-Ridha as. yang berkata: “Wahai putera Syabib, apabila kamu ingin bersama kami pada derajat-derajat tertinggi di surga maka bersedihlah karena kesedihan kami, dan bergembiralah karena kegembiraan kami, dan hendak-nya kamu berwilayah kepada kami dan mencintai kami, karena sesungguhnya seseorang mencintai batu sekalipun, niscaya Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di Hari Kiamat nanti”.[25]
Masma’ meriwayatkan: “Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata kepadaku: ‘Wahai Masma’ kamu adalah orang Irak, apakah kamu mendatangi kuburan Husain bin Ali?’ Aku menjawab: “Tidak, aku dikenal dari kota Basrah dan di tengah kita ada orang-orang yang menuruti keingi-nan khalifah sekarang, musuh-musuh kita banyak dari berbagai kabilah; mulai dari mereka yang mencaci maki keluarga Nabi sampai yang lain. Aku tidak aman dari mereka yang kapan saja melaporkan keadaanku ini pada putera Sulaiman sehingga mereka pun mengejarku”.
“Maka beliau berkata kepadaku: “Apakah kamu ingat apa yang telah diperbuat terhadap Husain bin Ali?”
“Iya”, jawabku pendek.
Beliau berkata lagi: “Apakah kamu sedih?”
Aku menjawab: “Demi Allah iya, aku menangis karena-nya sehingga keluargaku melihat bekas tangisan itu pada diriku sampai-sampai aku meninggalkan makan sehingga tanpak kelesuan pada wajahku”.
“Imam as. berkata: ‘Semoga Allah merahmati tetesan air matamu! Sungguh kamu dari orang-orang yang gelisah karena kami, gembira karena kami gembira, sedih karena kami sedih, takut karena kami takut, aman karena kami aman. Sungguh kamu akan menyaksikan kehadiran ayah-ayahku untukmu, mereka mewasiatkan pada malaikat maut untukmu, dan apa yang mereka kabarkan baik kepadamu akan menjadi cendra matamu sebelum mati, malaikat maut akan lebih lembut dan sayang padamu daripada seorang ibu yang sayang pada anaknya’”.[26]
Aban bin Taghlib meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as.: “Nafas orang yang sedih karena ketertindasan kami adalah tasbih, kegelisahan karena kami adalah ibadah, dan menjaga rahasia kami adalah jihad fi sabilillah”.[27]
Kita adalah bagian dari keluarga ini; kita beranggota bersama mereka dalam keyakinan, asas-asas agama, cinta, kebencian, wilayah dan baro’ah. Tanda kecintaan dan wila-yah itu adalah kesedihan kita atas kesedihan mereka dan kegembiraan kita atas kegembiraan mereka.
Hanya pertanyaan yang muncul di sini: kenapa kita menampakkan kesedihan dan kegembiraan kita serta me-ngeluarkannya dari kondisi subjektif menjadi slogan dan syiar yang kita tunjukkan di ruang sosial di hadapan kawan dan lawan? Dan kenapa hadis-hadis Ahlulbait menekankan agar kita menampakkan kesedihan dan tangisan itu, khusus-nya dalam menangisi kesyahidan Imam Husain as.?
Bakar bin Muhammad Azdi meriwayatkan: “Berkata Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. kepada Fudlail: “Apakah kalian duduk (membuat majlis) dan membicara-kan?”
Dia menjawab: “Iya, semoga aku menjadi tebusan untukmu!”
Beliau berkata: “Sungguh aku mencintai majlis-majlis itu. Maka hidupkanlah urusan kami, dan semoga Allah merahmati orang yang menghidupkan urusan kami!”[28]
Motif penampakkan dan penyi’aran itu dalam rangka menyatakan identitas iman kita; yaitu keanggotaan kita dalam peradaban, politik dan kultur Ahlulbait as. Penam-pakkan seperti inilah yang telah mampu menjaga kita sepanjang abad, dan melindungi kita dari gelombang pera-daban serta politik zalim musuh-musuh sampai detik ini.
Kebersamaan dan Keikutsertaan
Mungkin kata kebersamaan merupakan ungkapan terindah tentang keanggotaan dalam mazhab Ahlulbait as. Kebersa-maan dalam suka dan duka, kesulitan dan kemudahan, kedamaian dan peperangan. Kata-kata ini juga dimuat oleh ziarah Jami’ah dengan alunan syahdu yang menggairahkan seakan lirik-lirik dari lagu wilayah:
مَعَكُمْ مَعَكُمْ لَا مَعَ عَدُوِّكُم
“Bersama kalian, bersama kalian tidak bersama musuh kalian”.
Di doa ziarah yang lain disebutkan:
لَا مَعَ غَيْرِكُمْ
“Tidaklah bersama selain kalian”.
Kalimat ini lebih luas daripada kalimat pertama itu, yakni “Tidak bersama musuh kalian”.
Kesertaan Kultural
Kesertaan dan pengikutan adalah konsep yang luas dalam berwilayah; mencakup ikut serta dalam perang dan damai, ikut serta dalam cinta dan benci, ikut serta dalam pemikiran, budaya, makrifat dan hukum.
Kita bebas mengambil pengetahuan dari mana saja kita temukan, baik dari timur maupun dari barat. Akan tetapi, tidak dibenarkan kita mengambil peradaban dan makrifat kecuali dari sumber wahyu. Nah, Ahlulbait as. menyerap jernihnya makrifat dan peradaban dari sumber wahyu tersebut. Mereka adalah rumah kenabian, wadah kerasulan, tempat kunjung malaikat, alamat turunnya wahyu dan penyimpan ilmu sebagaimana disebutkan juga dalam ziarah Jami’ah.
Berbeda antara pengetahuan dan peradaban. Pengeta-huan tidak memiliki hasil yang secara langsung berhubu-ngan dengan perilaku manusia, kepercayaan atau akidah, metode berpikir, cara beribadah, relasi, pergaulan, gerakan, aksi sosial, aktivitas politik dan komunikasi serta hal-hal lain yang berkaitan. Adapun peradaban dan budaya memiliki hasil yang secara langsung berhubungan dengan perilaku manusia, intelektualitas, gaya hidup dan per-gaulan, ibadah, dan gambarannya tentang Allah, jagat raya serta manusia … dan seterusnya.
Ilmu pengetahuan banyak sekali seperti kedokteran, bisnis, ekonomi, akuntansi, matematika, teknik arsitektur, elektronika, ilmu atom, bedah, kedokteran, fisiologi, meka-nik, fisika dan lain sebagainya. Manusia bebas mengambil pengetahuan dari sumber ilmu manapun yang dia dapat-kan. Bahkan dari orang kafir sekalipun, dia bebas mem-pelajari ilmu pengetahuan, karena ilmu adalah senjata dan kekuatan. Dan seyogyanya orang mukmin menerima senjata dan kekuatan itu dari musuh mereka juga.
Adapun peradaban adalah seperti etika, irfan, filsafat, akidah, fikih atau hukum, doa, pendidikan, pembersihan, tradisi pergaulan, gaya hidup sosial, perjalanan spiritual, adab dan lain sebagainya.
Peradaban tidak seperti pengatahuan. Seyogyanya kita tidak mengambil peradaban dan makrifat kecuali dari sumber wahyu. Hal itu karena peradaban memiliki penga-ruh yang secara langsung berhubungan dengan perilaku manusia, pemahamannya, jalan hidupnya, pengalaman spiritualnya, hubungannya dengan Allah swt, hubungannya dengan masyarakat, hubunganya dengan diri sendiri dan dengan alam. Peradaban menjaga ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang tidak disertai peradaban dan budaya yang saleh serta terarah akan berubah fungsi menjadi alat dekonstruksi dan perusak. Sedangkan peradaban yang de-wasa dan berhidayah akan menjaga ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai sarana efektif bagi umat manusia.
Al-Qur’an adalah kitab peradaban bagi kehidupan manusia. Allah swt. menurunkannya untuk mengarahkan pikiran manusia dan perilakunya. Al-Qur’an bukan buku ilmu pengetahuan, kendatipun ulama mendapatkan banyak ilmu di sana seperti astronomi, ilmu bintang, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu binatang, kedokteran, fisiologi dan lain sebagainya. Namun, tetap saja al-Qur’an adalah kitab pera-daban dan hidayah. Salah bila kita menerimanya sebagai buku ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh Allah swt. untuk mengajarkan ilmu fisika, kimia dan ilmu tumbuh-tumbuhan pada manusia. Tidak lain, al-Qur’an adalah kitab peradaban dan budaya yang diturunkan oleh Allah untuk membina manusia bagaimana hidup, bagaimana mengenal Tuhan, alam dan manusia, dan bagaimana menilai sesuatu, tradisi dan pemikiran. Allah swt. berfirman:
﴿ شَهرُ رَمَضَانَ الَّذِي اُنزِلَ فِيهِ القُرآنَ هُدًی لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الهُدَی وَ الفُرقَانَ ﴾
“Bulan Ramadhan yang padanya al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan bukti-bukti dari hidayah dan pemisah antara yang baik dan buruk”.[29]
﴿ وَ اذكُرُوا نِعمَةَ اللهِ عَلَيكُم وَ مَا اُنزِلَ عَلَيكُم مِنَ الكِتَابِ وَ الحِكمَةِ يَعِظُكُم بِهِ ﴾
“Dan ingatlah kalian pada nikmat Allah terhadap kalian, dan apa yang telah diturunkan pada kalian berupa kitab dan hikmah yang menasihati kalian denganya”.[30]
﴿ هذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَ هُدًی وَ مَوعِظَةً لِلمُتَّقِينَ ﴾
“Ini adalah keterangan bagi umat manusia dan petunjuk serta nasihat bagi orang-orang yang bertakwa”.[31]
﴿ يَا أيُّهَا النَّاسُ قَد جَاءَكُم بُرهَانٌ مِن رَبِّكُم وَ أنزَلنَا إلَيكُم نُورًا مُبينًا ﴾
“Wahai umat manusia sungguh telah datang pada kalian bukti dari Tuhan kalian, dan telah kami turunkan pada kalian cahaya yang menerangi”.[32]
﴿ وَ لَقَد جِئنَاهُم بِكِتَابٍ فَصَّلنَاهُ عَلَی عِلمٍ هُدًی وَ رَحمَةً لِقَومٍ يُؤمِنُونَ ﴾
“Dan sungguh telah kami datangkan pada mereka kitab yang telah kami perinci atas dasar ilmu sebagai hidayah dan rahmat bagi kaum yang beriman”.[33]
﴿ هذَا بَصَائِرُ مِن رَبِّكُم وَ هُدًی وَ رَحمَةٌ لِقَومٍ يُؤمِنُونَ ﴾
“Ini adalah saksi-saksi dari Tuhan kalian, dan hidayah serta rahmat bagi kaum yang beriman”.[34]
Oleh karena itu, al-Qur’an adalah kitab peradaban, cahaya kehidupan manusia, saksi kebajikan bagi manusia, petunjuk dan nasihat. Kendatipun dibenarkan bagi kita untuk me-ngambil ilmu pengetahuan dari sumber mana saja, dan dari tangan siapa pun walau dari tangan musuh kita sendiri. Akan tetapi tidak dibenarkan bagi kita untuk mengambil peradaban dan budaya kecuali dari media yang suci. Allah menyampaikannya kepada kita dari sumber wahyu, karena sesungguhnya kemungkinan salah dan penyimpangan da-lam peradaban adalah malapetaka yang besar, bukan seperti ilmu pengetahuan.
Rasulullah saw. adalah sumber maksum atau suci yang kepadanya wahyu diturunkan. Beliau menyampaikannya kepada kita, dan wahyu itu terputus setelah wafatnya. Akan tetapi, beliau mengangkat khalifah dari Ahlulbaitnya untuk kita; mereka adalah padanan-padanan al-Qur’an. Mereka telah mengambil peradaban dan makrifat dari Rasulullah saw., mereka telah mewarisi makrifat, budaya, batas-batas ketentuan Allah, halal dan haram, tradisi dan adab, akhlak, pokok agama dan cabangnya dari Rasulullah saw. Beliau melantik mereka sebagai tempat umat merujuk setelah keti-adaannya dalam segala urusan tersebut di atas. Beliau juga mengumumkan mereka sebagai padanan al-Qur’an dari generasi demi generasi sampai akhirnya Allah swt. mewariskan bumi dan seisinya pada mereka. Kandungan ini terdapat dalam hadis yang sahih, baik menurut Ahli Sunnah maupun Syi’ah, yaitu hadis yang dikenal dengan nama hadis Tsaqalain (dua pusaka). Di sana Rasulullah saw. me-merintahkan umat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan Ahlulbaitnya setelah kepergian beliau sampai Hari Kiamat. Beliau menetapkan bahwa berpegang teguh pada dua pusaka itu menjamin manusia keamanan dari kesesatan dan penyimpangan:[35]
إنِّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَينِ كِتَابَ اللهِ وَ عِترَتِي أهلَ بَيتِي وَ انَّهُمَا لَن يَفتَرِقَا حَتَّی يَرِدَا عَلَيَّ الحَوضَ َما إن تَمَسَّكتُم بِهِمَا لَن تَضِلُّوا بَعدِي
“Sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, yaitu kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbaitku, dan sesungguhnya dua pusaka itu tidak akan berpisah sam-pai keduanya menjumpaiku di telaga. Selama berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat setelahku”.
Hadis ini diriwayatkan dengan redaksi-redaksi yang mirip antara satu dengan yang lain dalam referensi-referensi yang ada. Dan dari perbedaan literal hadis ini, kita pahami bahwa Rasulullah saw. telah mengulangnya beberapa kali di berbagai tempat dan kesempatan, salah satunya di Ghadir Khum (lembah Khum) seperti yang disinyalir oleh Shahih Muslim menurut riwayat Zaid bin Arqam.
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَثَلُ أهلِ بَيتِي مَثَلُ سَفِينَةِ نُوحٍ مَن رَكِبَهَا نَجَا وَ مَن تَخَلَّفَ عَنهَا غَرِقَ
“Perumpamaan Ahlulbaitku adalah bahtera Nabi Nuh, barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang siapa tertinggal darinya akan tenggelam”.[36]
Beliau juga bersabda:
أهلُ بَيتِي أمَانٌ لِاُمَّتِي مِنَ الإختِلَافِ
“Keluargaku adalah jaminan bagi umatku dari perse-lisihan”.[37]
Begitu pula hadis-hadis lain yang secara jelas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. senantiasa mewasiatkan umat Islam setelahnya agar kembali pada Ahlulbaitnya dan mengambil ajaran-ajaran agama, makrifat, batas-batas ketentuan Allah, sunnah nabi, halal dan haram dari mereka as. Fairuz Abadi mengumpulkan hadis-hadis ini dalam kitabnya yang berharga Fadlail Khamsah min Shihah Sittah (keutamaan-keutaman lima manusia dari enam kitab Shihah). Karena itu, kita tidak perlu lagi membahasnya panjang lebar.
Dari uraian di atas, jelas sudah bahwa Ahlulbait as. adalah ‘wadah kerasulan, tempat kunjung malaikat, alamat turunnya wahyu, khazanah ilmu Illahi, lentera kegelapan, panji ketakwaan, pemimpin hidayah, pewaris para nabi, bukti-bukti Allah terhadap penghuni dunia”, sebagaimana pula termuat dalam ziarah Jami’ah.
Disebutkan juga di sana bahwa mereka adalah “tempat-tempat makrifat pada Allah, tambang-tambang hikmah Allah, pemikul kitab Allah, mereka adalah bukti, shirat, cahaya dan burhan Allah”.
Maka, orang yang berpisah dari mereka pasti masuk jalur kesesatan, cepat ataupun lambat, karena shirat Allah tidak lebih dari satu dan tidak beragam. Orang yang mena-paki jalan mereka menuju Allah akan memperoleh hidayah, dan orang yang beralih dari mereka dalam suluk tidak akan pernah mencapai apa yang Dia kehendaki. Sungguh Rasulu-llah telah berulang kali mengumumkan hal ini di berbagai tempat dan kesempatan. Yang kita sebutkan di sini hanya satu contoh dari semua itu, yaitu hadis Tsaqalain ‘dua pusaka’; “Yang apabila kalian berpegang teguh pada dua pusaka itu niscaya kalian tidak akan sesat setelahku”.
Tidak seperti yang mereka katakan. Masalah ini tidaklah termasuk dalam medan ijtihad sehingga sebagian orang terarah secara benar dan sebagian yang lain tersesat, kemudian Allah memberi dua pahala pada mereka yang benar dan memberi satu pahala pada yang salah.
Maka dari itu, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk berijtihad di saat ada teks yang jelas, dan sungguh Rasu-lullah saw. telah bersabda secara nash (teks harfiah yang jelas, tegas, tidak ambigu atau berkemungkinan lebih dari satu arti)[38] agar umat manusia merujuk Ahlulbaitnya dalam segala perkara yang mereka perselisihkan setelah beliau.
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan bahwa: “Yang benci kalian adalah pembangkang, yang bersama kalian adalah gabung, orang yang lalai akan hak kalian adalah binasa, dan kebenaran bersama kalian, di dalam kalian, dari kalian, dan untuk kalian. Kalianlah tambang kebenaran dan keputusan akhir ada pada kalian, ayat-ayat Allah di sisi kalian, cahaya dan burhan Allah ber-sama kalian”.
Siapa saja yang hendak menuju Allah dan mengingin-kan jalan, hidayah dan sabil-Nya, ia harus mengambil semua itu dari Ahlulbait as. dan mengikuti jalan mereka, karena Ahlulbait as. tidak mengajak selain kepada Allah, dan tidak menunjukkan kecuali kepada-Nya.
Disebutkan dalam ziarah Jami’ah: “Kepada Allah kalian mengajak, kepada-Nya kalian tunjukkan, untuk-Nya kalian pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian bertindak, ke jalan-Nya kalian arahkan, dan atas dasar firman-Nya kalian menghakimi. Sungguh bahagia orang yang berwilayah pada kalian, dan celakalah orang yang memusuhi kalian, meru-gilah orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang yang berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung pada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian dan terarahlah orang yang memegang erat kalian”.
Ketaatan
Inti sari wilayah adalah ketaatan dan kepasrahan. Ketaatan akan bernilai positif apabila dilakukan pada tempatnya, dan sebaliknya akan bernilai negatif apabila bukan pada tem-patnya. Begitu pula maksiat atau pembangkangan dan penolakan bernilai positif apabila terhadap tiran, dan ber-nilai negatif apabila terhadap Allah, Rasulullah dan Ahlul-baitnya sebagai pemimpin urusan Muslimin.
Ayat ketujuh belas dari surah Az-Zumar mengumpul-kan dua masalah di atas dalam satu firman sebagai berikut:
﴿ وَ الَّذِينَ اجتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أن يَعبُدُوهَا وَ أنَابُوا إلَی اللهِ لَهُمُ البُشرَی﴾
“Orang-orang yang menghindari pengabdian dari pengu-asa zalim dan kembali kepada Allah maka bagi mereka berita gembira”.
Dalam surah an-Nahl disebutkan:
﴿ أنِ اعبُدُوا اللهَ وَ اجتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ﴾
“Dan hendaknya kalian menyembah Allah dan meng-hindari penguasa zalim”.[39]
Taat dan ibadah, penolakan dan penghindaran adalah satu hal, Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada wali amr (imam maksum) setelah Rasul-Nya:
﴿ أطِيعُوا اللهَ وَ أطِيعُوا الرَّسُولَ وَ اُولِي الأمرِ مِنكُم ﴾
“Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasulullah serta ulul amr (pemimpin-pemimpin Islam) dari kalian”.
Dia juga memerintahkan kita agar menolak orang-orang zalim dan melawan mereka.
﴿ يُرِيدُونَ أن يَتَحَاكَمُوا إلَی الطَّاغُوتِ وَ قَد اُمِرُوا أن يكفُرُوا بِه ﴾
“Mereka ingin mempercayakan pemerintahan kepada pemimpin zalim padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya”.[40]
Ahlulbait as. adalah para wali amr tersebut setelah Rasu-lullah saw. yang harus dipatuhi dan pasrah terhadap apa yang mereka tuntut. Mereka adalah “pemimpin-pemimpin hamba Allah dan pilar negara”, dan mereka adalah “bukti-bukti Allah atas penghuni dunia”.
Tauhid dalam Ketaatan
Kita memiliki iman tertentu. Tidak ada iman yang lebih tinggi dari itu, yaitu bahwa ketaatan hanya untuk Allah semata, dan sama sekali tidak ada ketaatan untuk selain Allah kecuali dengan seijin dan perintah Dia, dan sesung-guhnya ketaatan kepada Rasulullah dan keluarganya adalah termasuk ketaatan kepada Allah swt.
مَن أطَاعَكُم فَقَد أطَاعَ اللهَ وَ مَن عَصَاكُم فَقَد عَصَی اللهَ
“Barangsiapa yang taat pada kalian sungguh dia taat pada Allah dan barang siapa membangkang pada kalian sungguh dia membangkang pada Allah”.[41]
Pasrah
Salah satu bukti ketaatan adalah pasrah, yaitu kondisi kepatuhan yang seutuhnya tanpa perlawanan dan penola-kan sedikitpun. Dan salah satu kepasrahan yang paling menonjol adalah kepasrahan hati: “Dalam hal itu aku pasrah pada kalian, kuserahkan hatiku sepenuhnya untuk kalian dan ku-ikutkan pendapatku pada kalian”.[42]
Damai dengan Siapa yang Damai dengan Kalian dan Perang dengan Siapa yang Memerangi Kalian
Damai dan perang juga merupakan dua wajah wilayah dan baro’ah. Wilayah bukan hanya damai dengan para wali amr dan pemimpin Islam, melainkan ada dua kelanjutan yang sulit yaitu damai dengan mereka dan dengan siapa saja yang damai dengan mereka. Bahkan ini tidak cukup hanya dengan mereka saja, tetapi juga perang melawan siapa saja yang memerangi mereka as.
Pengertian yang dalam akan wilayah dan baro’ah ini, “silmun li man salamakum wa harbun li man harabakum”, akan mengatur peta politik masyarakat dalam sistem yang baru menuju kawasan damai dan kawasan perang. Dan bila saja diteliti lebih cermat, kata harb berarti pemisahan diri dari sesuatu, bukan pertempuran, tentu beda antara pemisahan atau penghindaran diri dari sesuatu dengan pertempuran.
Sesungguhnya hubungan sosial kita tidak tersistem sesuai dengan maslahat material dan politik, melainkan atas dasar wilayah dan baro’ah. Maka dari itu, ada kalanya kita memutuskan hubungan dari kerabat atau tetangga sendiri, sementara kita mempererat hubungan kita dengan orang-orang yang jauh secara ruang dan waktu.
Dalam ziarah Asyura disebutkan bahwa:
إنِّي سِلمٌ لِمَن سَالَمَكُم وَ حَربٌ لِمَن حَارَبَكُم وَ وَلِيٌّ لِمَن وَالَاكُم وَ عَدُوٌّ لِمَن عَادَاكُم
“Sesungguhnya aku damai dengan siapa saja yang damai pada kalian, aku putus dari siapa saja yang memutuskan hubungan dengan kalian (perang), aku mendukung dan mencintai siapa yang mendukung kalian, dan aku musuh bagi siapa saja yang memusuhi kalian”.
Ada sebuah hadis musnad[43] dari Ammar yang meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.: “Sesungguhnya dia dariku dan aku darinya … melawan dia berarti melawanku, damai dan pasrah padanya berarti pasrah padaku, dan pasrah padaku berarti pasrah pada Allah”.
Tirmidzi dalam Shahihnya meriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., Siti Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husain sebagai berikut: “Aku lawan mereka yang menentang kalian, dan damai dengan mereka yang damai dengan kalian”.[44]
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan, Rasulullah bersabda: “Aku damai dengan siapa saja yang damai dengan kalian dan lawan bagi siapa saja yang melawan kalian”.[45] Hadis ini diriwayatkan juga oleh Hakim dalam Mustadrak[46]. Begitu pula Ibnu Atsir Jazri dalam Usud ul-Ghabah,[47] Muttaqi dalam Kanzul Ummal,[48] Suyuthi dalam Durul Mantsur ketika menafsirkan ayat Tathhir dari surah al-Ahzab, juga Haitsami dalam Majma’ Zawa’id..[49]
Inilah arti tauhid dalam perlawanan dan damai. Maka perlawanan terhadap Ahlulbait as. dan damai dengan mere-ka berarti perlawanan terhadap Rasulullah saw. dan damai dengan beliau. Dan, perlawanan terhadap beliau dan damai adalah perlawanan terhadap Allah dan pasrah pada-Nya, begitulah seterusnya unsur-unsur wilayah dan baro’ah yang merupakan kategori pengesaan Tuhan.
Pembelaan dan Penuntutan
Masalah wilayah adalah masalah yang berat. Ia adalah sikap damai disertai perlawanan baik dalam kemudahan maupun dalam kesulitan. Andaikan masalah wilayah terbatas hanya pada kedamaian dan kemudahan niscaya ia sebagai perkara yang ringan. Akan tetapi, salah satu tuntutan wilayah yang berat ini adalah pertolongan dan penuntutan hak. Wilayah tidak akan berarti tanpa pembelaan sebagaimana Allah swt. berfirman:
﴿ وَ الَّذُينَ آوَوا وَ نَصَرُوا اُولئِكَ بَعضُهُم أولِيَاءُ بَعضٍ ﴾
“Orang-orang yang kembali dan membela; sebagian adalah wali bagi sebagian yang lain”.[50]
Wilayah yang benar juga tidak terlepas dari penuntutan balas. Wilayah yang tidak menugaskan pemiliknya untuk bertempur, melawan, memutus hubungan, usaha dan meng-hadapi bahaya bukanlah wilayah yang sebenarnya, dan wilayah seperti itu tidak lebih hanya sebuah gambar saja.
Kita berharap dan meminta pada Allah dalam ziarah Asyura agar Dia memberi kesempatan kepada kita akan penuntutan balas darah-darah suci yang tumpah secara terzalimi di padang Karbala:
فَاسألُ اللهَ الّذي أكرَمَ مَقَامَكَ وَ أكرَمَنِي بِكَ أن يَرزُقَنِي طَلَبَ ثَارِكَ مَعَ إمَامٍ مَنصُورٍ مِن أهلِ بَيتِ مُحَمَّدٍ صَلَّی اللهُ عَلَيهِ وَ آلِه
“Maka aku memohon pada Allah Yang telah memuliakan kedudukanmu dan memuliakanku karena dirimu agar Dia memberiku rejeki menuntut balas darahmu bersama imam yang tertolong dari Ahlulbait Rasululullah saw.”
Disebutkan juga di sana yang artinya: “Dan aku memohon Dia agar menyampaikanku pada kedudukan yang termulia (maqom mahmud) bagi kalian di sisi Allah, dan semoga Dia memberiku rejeki menuntut balas darah kalian bersama imam pembawa hidayah yang akan menang dan berbicara secara benar dari Ahlulbait as.”.
Dan di ziarah Jami’ah kita mengikrarkan secara jelas akan kesiapan kita yang seutuhnya dalam membela: “Dan pembelaanku terhadap kalian sudah siap”.
Cinta dan Kasih Sayang
Unsur wilayah terhadap Ahlulbait yang berikutnya adalah cinta dan kasih sayang. Turun satu firman Allah mengenai masalah ini yang dimuat oleh al-Qur’an dan senantiasa dibaca oleh orang, yaitu:
﴿ قُل لَا أسألُكُم عَلَيهِ أجرًا إلَّا المَوَدَّةَ فِي القُربَی ﴾
“Katakanlah—wahai Muhammad—aku tidak meminta kalian upah kecuali cinta kasih terhadap kerabatku”.[51]
Maksud dari kerabat Rasulullah adalah Ahlulbait beliau, dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.
Inilah cinta kasih yang wajib yang diisyaratkan oleh teks ziarah Jami’ah: “Dan bagi kalian cinta kasih yang wajib dan kedudukan-kedudukan yang sangat tinggi”. Taat dan cinta merupakan ruh wilayah itu sendiri. Pernah suatu saat Imam Ja’far Ash-Shadiq as. ditanya tentang cinta; apakah cinta termasuk agama? Beliau menjawab: “Tiada lain agama adalah cinta, dan andaikan seseorang mencintai batu nisca-ya Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di Hari Kiamat nanti”.
Telah disebutkan berulang kali sebelum ini, cinta juga masuk dalam kategori tauhid. Barang siapa mencintai Allah dia harus mencintai Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Demikian juga sebaliknya, orang yang mencintai Rasulullah saw. dan Ahlulbaitnya, maka dia mencintai Allah swt.
Rasulullah saw. bersabda tentang bagian pertama di atas: “Cintailah aku karena cinta Allah, dan cintailah Ahlul-baitku karenca cinta aku”.[52] Dan mengenai bagian kedua cinta beliau menyebutkan: “Barang siapa mencintai kalian sungguh dia telah mencintai Allah, dan barang siapa yang membenci kalian sungguh dia telah membenci Allah”.[53]
Begitu pula, orang yang mencintai Allah tentu mencintai orang-orang mukmin karena cinta mereka pada Allah, dan orang yang mencintai orang-orang beriman pasti mencintai Allah. Sudah barang tentu, seyogyanya kecintaan kepada Allah berada pada tingkat yang tertinggi dan terkuat dalam diri manusia. Dan hendaknya cinta kepada Allah mendomi-nasi kehidupan manusia sehingga dia tidak lagi mencintai yang lain; hanya di jalan Allah.
Tentang bagian pertama di atas Allah berfirman sebagai berikut:
﴿ قُل إن كَانَ آبَاؤُكُم وَ أبنَاؤُكُم... أحَبَّ إلَيكُم مِن اللهِ وَ رَسُولِهِ وَ جِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّی يَأتِيَ اللهُ بِأمرِهِ وَ اللهُ لَا يَهدِي القَومَ الفَاسِقِينَ﴾
“Katakanlah –wahai Muhammad- apabila orang-orang tua dan anak-anak kalian serta… lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya maka nantikanlah sampai Allah mendatangkan perkara-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang fasiq”.[54]
﴿ وَ الَّذِينَ آمَنُوا أشَدُّ حُبًّا لِلّه ﴾
“Dan orang-orang yang beriman, mereka sangat lebih mencintai Allah”.[55]
Dan disebutkan juga dalam do’a sebagai berikut:
اَللّهُمَّ اجعَل حُبَّكَ أحَبَّ الأشيَاءِ إلَيَّ وَ اجعَل خَشيَتَكَ أخوَفَ الأشيَاءِ عِندِي وَاقطَع عَنِّي حَاجَات الدُّنيَا بِالشَّوقِ إلَی لِقَائِكَ
“Ya Allah, jadikanlah cinta padamu sebagai sesuatu yang paling kucintai dalam diriku, jadikanlah takut kepadamu sebagai sesuatu yang paling kutakuti dalam diriku, putuslah dariku segala ketergantungan pada dunia dengan kerinduan untuk bertemu denganmu”.[56]
Adapun mengenai bagian kedua dari cinta tersebut di atas, terdapat banyak sekali hadis Nabi saw. dan Ahlulbait yang menjelaskannya. Termasuk di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari Imam Muhammad Al-Baqir as. dari Rasu-lullah saw. bersabda: “Sungguh orang yang mencintai di jalan Allah, benci di jalan Allah, memberi di jalan Allah dan mencegah karena Allah, dia tergolong sahabat dekat Allah yang beriman di sisi-Nya. Sadarlah bahwa apabila orang-orang mukmin saling mencintai di jalan Allah swt. saling bersahabat di jalan Allah, sungguh mereka seperti satu tubuh; jika salah satunya mengeluhkan bagian tertentu yang sakit, yang lain turut merasakan sakit itu”.[57]
Ada dua macam cinta: cinta sederhana yang dangkal, dan cinta sadar yang mengalir dari cinta kepada Allah swt. Cinta sederhana tidak begitu berharga, baik dalam sejarah maupun dalam kehidupan manusia dan nasibnya. Cinta itu tidak lain adalah hawa nafsu yang menimpa seseorang. Adapun cinta sadar yang berkembang dari cinta pada Allah adalah cinta yang kita perbincangkan tentang cinta kepada Ahlulbait as.. Cinta ini bukanlah cinta biasa yang dangkal sebagaimana dirasakan manusia dalam kehidupan mereka pada umumnya. Cinta sadar kepada Ahlulbait as. adalah cinta yang berawal dari cinta Allah swt.
Cinta sadar ini memiliki beberapa kriteria yang menon-jol sebagai berikut:
Kriteria pertama: cinta sadar tidak terpisah dari baro’ah dan perlawanan. Semua cinta bersisipan dengan permusu-han dan kebencian, rela dengan amarah, wilayah dengan baro’ah dan penentangan. Adapun cinta tanpa permusuhan dan kebencian hanyalah cinta sederhana yang dangkal.
Ada seorang lelaki menemui Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan berkata: “Aku mencintaimu dan mencintai musuh-musuhmu”. Maka beliau berkata padanya: “Adapun sekarang kamu juling dan bermata satu (kamu melihat dengan pandangan yang kurang), kamu antara dua pilihan; buta atau melihat”.
Disebutkan juga dalam ziarah: “Aku berwilayah pada kalian dan pada wali-wali kalian, dan aku benci pada mu-suh kalian serta melawannya”.
Kriteria kedua: cinta sadar memiliki perpanjangan dan perluasan di tengah masyarakat sebagaimana dia adalah kelanjutan dari cinta Allah, karena sesungguhnya cinta pada Allah meluas pada mereka dan juga pada kekasih mereka; “berwilayah pada kalian dan pada wali atau kekasih ka-lian”. Tidak mungkin manusia mencintai seseorang di jalan Allah tapi tidak mencintai orang yang dicintai-Nya.
Kriteria ketiga: cinta sadar akan berevolusi menjadi sikap praktis di medan peperangan dan perdamaian; “aku damai dengan siapa saja yang damai bersama kalian, dan aku melawan siapa saja yang melawan kalian”.
Kriteria keempat: cinta pada Allah dan benci di jalan Allah menggariskan peta politik yang sempurna dalam hubungan sosial, baik konstruktif atau destruktif, damai atau permu-suhan, penyambungan atau pemutusan hubungan di tengah masyarakat yang luas secara terperinci.
Pembenaran dan Pembatilan
Wilayah kepada Ahlulbait as. mengharuskan kita untuk melindungi kehormatan budaya dan khazanah ilmu mereka. Oleh karena itu, kita harus membenarkan apa yang mereka benarkan dan menyalahkan apa yang mereka salahkan.
Area peradaban dan pemikiran dalam sejarah Ahlulbait as. merupakan sasaran utama bagi serangan yang dilan-carkan musuh-musuh mereka. Dan para faqih Ahlulbait as. dan ulama mazhab ini bertanggung jawab menjaga ajaran, budaya, sistem hukum dan khazanah mereka demi Islam.
Pembenaran dan pembatilan dalam kerangka ini akan terealisasi dalam bentuk jihad, perlawanan, damai dan peperangan, sebagaimana dilukiskan juga oleh ziarah Jami’ah: “Aku damai dengan siapa saja yang damai dengan kalian, aku lawan siapa saja yang melawan kalian, aku pembenar apa yang kalian benarkan dan aku penyalah apa yang kalian batilkan”.
Pusaka dan Penantian
Wilayah dan berwilayah senantiasa berlangsung sepanjang sejarah sampai masa depan. Jaman tidak akan pernah mengalami kekosongan dari wilayah sejak awal sejarah manusia, yaitu Nabi Adam dan Nabi Nuh as. sampai penghujung sejarah nanti di saat Imam Mahdi af, putera Nabi, muncul kembali dan memenuhi muka bumi dengan keadilan serta mewarisi bumi dengan mengambilnya dari tangan orang-orang yang zalim. Semua itu adalah realisasi dari janji Allah swt. sebagaimana dimuat dalam Taurat dan Injil.
﴿وَ لَقَد كَتَبنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعدِ الذِّكرِ أنَّ الأرضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ﴾
“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami tetapkan juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh”.[58]
Kata dzikr dalam ayat itu ialah Taurat. Ini janji Allah dalam Taurat, Zabur dan al-Qur’an, bahwa Ahlulbait as. mewarisi para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah. Mereka mewarisi shalat, puasa, zakat, haji dan dakwah kepada Allah. Ziarah Warits kepada Imam Husain as. mengutarakan dengan baik kepewarisan ilmu, peradaban, budaya, jihad dan risalah untuk beliau dari para nabi as. Ziarah ini memaparkan konsep peradaban dan khazanah yang dalam:
“Salam bagimu—Imam Husain—wahai pewaris Adam, pilihan Allah. Salam bagimu wahai pewaris Nuh, nabi Allah. Salam bagimu wahai pewaris Ibrahim, kekasih Allah. Salam bagimu wahai pewaris Musa, kalimullah. Salam bagi-mu wahai pewaris Isa, ruh Allah…!”
Pewarisan ini terus berdenyut di sepanjang nadi sejarah semenjak Nabi Adam dan Nuh as. sampai Rasulullah saw. dan Ali bin Abi Thalib as. Sedangkan Imam Husain as. di padang Karbala, di Hari Asyura, telah mengejewantahkan semua warisan dan pusaka tersebut; warisan khazanah, kultur, peradaban dan jihad yang tegar.
Maka dari itu, seperti yang kita amati di atas, wilayah memiliki gugusan historis yang tertanam sangat dalam di lubuk sejarah. Ahlulbait as. adalah orang yang mewarisi perjalanan panjang dan saleh ini dari para nabi. Sementara kita mewarisi sejarah ini dari Ahlulbait as.
Kita mewarisi shalat, puasa, haji, zakat, amar makruf dan nahi munkar, jihad, dakwah pada Allah, zikir, ikhlas, dan seluruh nilai-nilai tauhid yang lain. Dengan demikian kita tidak menjadi seperti orang yang difirmankan Allah:
﴿ فَخَلَفَ مِن بَعدِهِم خَلفٌ اَضَاعُوا الصَّلَاةَ ﴾
“Maka datang generasi berikutnya setelah mereka yang menghilangkan shalat”.[59]
Melainkan kita senantiasa menjaga dan mendirikan shalat dan mengajak orang lain kepadanya, sebagaimana ulama-ulama dulu kita menjaganya sebelum kita, dan semoga kita tergolong orang yang menerima firman Allah swt. ini:
﴿ وَأمُر أهلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصطَبِر عَلَيهَا ﴾
“Dan perintahkan keluargamu untuk shalat dan sabar-lah untuk itu”.[60]
Maka itu, kita akan senantiasa menjaga warisan Ilahi yang agung ini dan yang telah kita warisi dari salaf kita yang saleh, dari generasi ke generasi, baik di dalam diri kita sendiri maupun di tengah keluarga dan masyarakat. Inilah perjalanan wilayah sepanjang sejarah dan ini adalah warisan kita dari sejarah masa lalu.
Di samping itu, wilayah juga memiliki perjalanan ke masa depan menusuk sampai ke era mendatang, di saat kita menantikan munculnya Imam Mahdi as. dan menunggu kelapangan serta kemenangannya yang besar. Yaitu sebuah revolusi universal sebagaimana diberitakan oleh Allah kepa-da kita dalam al-Qur’an juga dalam Taurat serta Zabur:
﴿وَ لَقَد كَتَبنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعدِ الذِّكرِ أنَّ الأرضَ يَرِثُها عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ﴾
“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami tetap-kan juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh”.
Penantian tidak berarti pasif seperti orang yang menunggu gerhana bulan atau matahari, akan tetapi aktif dan positif sebagaimana yang tampak dari teks-teks yang menjelaskan konsep penantian tersebut; yaitu penyiapan secara politis, kultur dan aktif di bumi ini demi mempersiapkan tanah air dan masyarakat untuk kehadiran Imam Mahdi af. sebagai pemimpin revolusi universal yang besar.
Berdasarkan arti positif, penantian ialah amar makruf dan nahi munkar, menyeru kepada Allah, berjihad melawan orang-orang dzalim, mengangkat kalimat Allah, menegak-kan shalat, nilai-nilai Ilahi di bumi dan hal-hal lain yang berperan dalam persiapan revolusi universal yang besar.
Ziarah Jami’ah juga mengisyaratkan aspek masa depan dari wilayah ini: “Aku menanti pemerintahan dan negara kalian”, “Sampai akhirnya Allah menghidupkan agama-Nya dengan kalian, mengembalikan kalian di hari-hari-Nya, memenangkan kalian demi keadilan-Nya, dan memudah-kan kalian di muka bumi-Nya”. Kalimat terakhir ini mengacu pada bagian pertama surah al-Qashash:
﴿وَ نُرِيدُ أن نَمُنَّ عَلَی الَّذِينَ استُضعِفُوا فِي الأرضِ وَ نَجعَلَهُم أئِمَّةً وَ نَجعَلَهُمُ الوَارِثِينَ ﴾﴿ وَ نُمَكِّنَ لَهُم فِي الأرضِ... ﴾
“Dan kami hendak memberi anugerah pada mereka yang tertindas di bumi dan kami jadikan mereka sebagai pemimpin serta kami jadikan mereka pewaris, dan kami mudahkan bagi mereka di muka bumi…”.[61]
Penantian ini mengkristal secara praktis dalam gerakan, kesungguhan, kesabaran, ketegaran, penghancuran, pemba-ngunan, upaya ke arah penegakan agama Allah di muka bumi, dan persiapan untuk berdirinya daulat Ilahi di atas bumi. Caranya ialah mengajak kepada Allah, memerin-tahkan yang makruf dan mencegah yang munkar, meme-rangi kebatilan dan kemunkaran serta berjuang melawan pemerintahan dan pemimpin yang kafir.
Berikut ini nada syahdu dari ratapan kaum mukmin karena berpisah dari imam dan menanti kedatangannya:
Di manakah baqiyyatullah yang tidak akan pernah kosong dari keluarga pemberi hidayah
Di manakah dia yang dipersiapkan untuk menumpas pangkal kedzaliman?
Di manakah dia yang dinanti untuk meluruskan yang simpang?
Di manakah dia yang diharapkan untuk memusnah-kan kezaliman dan kejahatan?
Di manakah dia yang disimpan untuk menghidupkan kewajiban dan sunnah?
Di manakah dia yang dipilih untuk mengembalikan agama dan syariat?
Di manakah dia yang didambakan untuk menghidup-kan kitab dan batas-batasnya?
Di manakah dia sang penghidup ajaran-ajaran agama dan penganutnya?
Di mana dia penghantam kekuatan manusia-manusia jahat?
Di manakah dia sang penghancur kesyirikan dan kemunafikan?
Di manakah dia sang pemusnah kaum fasik, durjana dan tiran?
Di manakah dia sang pemutus jaring kebohongan dan fitnah?
Di manakah dia sang pemusnah kaum penerjang, sang pencabut akar para perusak, sesat dan kafir?
Di manakah dia yang memuliakan para wali dan menghinakan semua lawan?
Di manakah dia sang penghimpun kata takwa?
Di manakah dia sang gerbang Allah yang harus dimasuki?
Di manakah dia sang pemilik hari kejayaan dan pengibar bendera hidayah?
Di manakah dia sang penyusun damai dan rela?
Di manakah dia sang penuntut balas para nabi dan anak-anak mereka?
Di manakah dia sang penuntut darah Husain yang terbunuh di Karbala?
Di manakah dia yang dibantu melawan para pem-bangkang dan penebar fitnah?
Di manakah orang terdesak yang dikabulkan jika berdoa?
Di manakah dia sang putera Nabi Mustafa, putera Ali Murtadha, putera Khadijah yang mulia, putera Fathimah yang agung?”[62]
Penantian adalah gabungan antara ratapan syahdu dan praktek yang serius dalam amar makruf dan nahi munkar serta jihad melawan orang-orang zalim demi memper-siapkan bumi untuk kemunculan, kelapangan dan kebang-kitan Imam Mahdi af.
Ratapan syahdu dalam hati orang mukmin akan ber-ubah menjadi tindakan, gerakan, usaha keras, revolusi, kebangkitan, kesabaran, keteguhan, perlawanan, ketabahan, perjuangan, dakwah, penghancuran dan pembangunan. Semua itu untuk mempersiapkan bumi untuk kemunculan Imam Mahdi af. dan kebangkitannya dalam rangka mendiri-kan kedaulatan Ilahi yang universal sebagaimana dijanjikan oleh Allah dalam al-Qur’an: “wa laqod katabna fiz zaburi min ba’diz dzikri”.
Sudah barang tentu, kebangkitan Imam Mahdi af. akan berlangsung pasca generasi yang melapangkan bumi untuk kemunculan dan kebangkitan tersebut. Hal ini dipertegas oleh teks-teks Islam yang mutawatir. Generasi itulah yang mempersiapkan bumi sehingga Imam Mahdi af. muncul. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa penantian adalah gerak mempercepat persiapan tersebut dengan cara-cara: amar makruf, nahi munkar, jihad, gerakan dan amal.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, wilayah adalah pusaka sekaligus juga penantian. Pusaka, karena wilayahlah yang menarik kita ke perjalanan para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah silam. Dan penantian, karena wilayahlah mengajak kita menuju harapan cerah yang akan dibuka lebar oleh Allah di hadapan kita di masa yang akan datang. Namun begitu, harapan itu harus selalu dibarengi dengan usaha keras, jihad dan amal sehingga dengan ijin Allah menjadi kenyataan, tidak sekedar menanti dan menunggu tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi af.
Ziarah
Elemen dan pengaruh lain dari wilayah adalah ziarah. Yang dimaksud dengan ziarah di sini adalah kondisi yang sudah jelas saat kita menjalin hubungan dengan Ahlulbait as. Kita komitmen pada mereka, mengajak orang lain agar mengi-kuti mereka. Ziarah dalam ruang lingkup wilayah memuat budaya, tradisi, dan teks-teks yang selalu kita baca dan kaya akan pemikiran serta konsep peradaban tentang wilayah yang mendalam dan luas dalam kehidupan manusia.
Tujuan dari ziarah adalah solidarisasi organik dan ku-ltural melalui pembinaan yang terarah sepanjang sejarah. Dan kita adalah bagian dari perjalanan yang sarat dengan nilai-nilai tauhid ini; penuh ikhlas, takwa, shalat, jihad, zakat, amar makruf, zikir, syukur, sabar, kekuatan dan…
Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan penuh berkah ini, yang berawal dari Ahlulbait as. dan bersambung sampai ke gerakan para nabi; mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain … Ya, inilah bagian dari gugusan panjang, bagian dari pergulatan sejarah antara Islam dan Jahiliyah, antara tauhid dan syirik pada setiap fase perjalanan, dan bagian dari pohon mulia yang akarnya terhujam di lubuk sejarah yang paling dalam.
Kita adalah dahan-dahan pohon itu, dan sepantasnya kita menjaga keanggotaan kita dalam pohon tersebut:
﴿ ألَم تَرَ كَيفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أصلُهَا ثَابِتٌ وَ فَرعُهَا فِي السَّمَاءِ ﴾
“Tidakkah kamu lihat bagaimana Allah membawakan perumpamaan kalimat yang indah dengan pohon mulia yang pokoknya kokoh dan cabangnya di langit”.[63]
Kita harus memperdalam komitmen kita pada keanggotaan pohon tersebut dalam intuisi, hati dan akal kita. Sejauh komitmen organik dengan syajarah thayyibah dan Keluarga penuh berkah ini menguat dan mendalam, sejauh itu pula kita akan bertambah kesabaran dan kesolidan kita melawan tantangan yang bertubi-tubi, dan kita akan bertambah teguh dalam menjalani lintas yang berduri dan melampaui krisis yang kita hadapi sepanjang jalan.
Dan ziarah merupakan bagian dari faktor utama dalam upaya penguatan tersebut. Ziarah menciptakan atmosfir emosional yang kental sehingga keanggotaan kita bersama Keluarga penuh berkah ini dalam peradaban, pergerakan dan perjalanan yang mulia menjadi lebih kuat.
Teks-teks yang datang dari Ahlulbait untuk berziarah kepada Rasulullah saw., Imam Ali bin Abi Thalib as., Fatimah Az-Zahra, Imam Hasan, Imam Husain dan Imam-imam yang lain serta para nabi, wali Allah dan orang-orang mukmin yang saleh, penuh dengan kekayaan peradaban dan budaya yang jelas, memuat konsep-konsep penguatan jalan yang lurus, keanggotaan dalam Keluarga yang penuh berkah, dan penegasan atas perlawanan terhadap musuh-musuh mereka, terhadap siapa saja yang anti mereka serta yang menyulut api permusuhan terhadap mereka.
Sebelumnya, saya telah menulis kajian seputar ziarah di pasal akhir dari buku yang berjudul ad-Du’a ‘Inda Ahlilbait as. (doa menurut Ahlulbait as.), dan saya cukupkan sampai di sini sekilas tentang ziarah. Adapun perinciannya, pem-baca bisa merujuk buku tersebut.[]
Catatan Kaki :
1. QS. Maidah: 55.
1. QS. Al-Nisa': 59.
1. Al-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari dua sanad bahwa ayat ini turun pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as: Jil. 6/186. Fakhruddin Razi dalam Tafsir Kabir: Jil. 12/26. Suyuthi dalam tafsir Durul Mantsur: Jil. 3/104. Wahidi dalam Asbabun Nuzul: hal. 137, dan lain-lain. Penulis buku Fadhoil Khamsah: Jil. 2/13, menghumpun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah ini.
1. QS. Hujurat 10.
2. Biharul Anwar: 50/317.
3. Amali karya Syaikh Mufid: 110.
4. Biharul Anwar: 74/268.
5. Ushul Kafi: 2/175.
1. QS. Al-Ma’idah 55.
2. Ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib as., sebagaimana dica-tat Fakhruddin Razi dalam tafsirnya tepat di bawah ayat ini. Diriwayat-kan pula dalam Nurul Abshar; Syablanji, hal. 170, Al-Kasyyaf; Zamakh-syari, Tafsir Al-Baidhawi, tafsir Abu Sa’ud dari berbagai jalur, Durul Mantsur: As-Suyuthi dari berbagai jalur, Asbabun Nuzul; Al-Wahidi, hal. 148, Kanzul Ummal; Al-Muttaqi, Jil. 6/319 dan 7/305, Majma’; Haitsami, Jil. 7/17, Dakhoirul ‘Uqba; Muhib Ath-Thabari, Jil. 8/102, dan Fadlail al-Khamsah Min Sihah Sittah; Al-Fairuz Abadi: Jil. 2/18-24.
1. Tentang hadis mustafidh, silakan merujuk hal. 24 dari buku ini!
2. Shahih Tirmidzi: Jil. 13/261, Tarikh Baghdad: Jil. 4/160. Syaikh Amini meriwayatkan hadis ini dari keduanya dalam kitabnya yang berharga yaitu Siratuna wa Sunnatuna.
3. Shahih Tirmidzi, kitab al-manaqib, babu manaqib Ahlilbait as. Dalam al-Mustadrak: Jil. 3/149, al-Hakim menegaskan kesahihan hadis ini.
1. Dalam Mustadrak Shahihain: Jil. 3/121-128, hadis ini diriwayatkan oleh al-Hakim sebagai hadis shahih. Juga diriwayatkan oleh Muhib Thabari dalam Riyadlun Nadlirah: Jil. 2/167. Rujuk Fadlail Khamsah; Firuz Abadi: Jil. 2/118.
2. Dalam Mustadrak Shahihain: Jil. 3/127, hadis ini dikuatkan oleh al-Hakim, baik dengan syarat Bukhari maupun dengan syarat Muslim. Juga diriwayatkan oleh Khatib dalam Tarikh Baghdad: Jil. 3/40 dengan lima jalur dari Ibn Abbas. Di dalam riwayatnya termaktub: “Barang siapa mencintaimu maka dia mencintaiku, dan cinta kepadaku adalah cinta kepada Allah”. Ini juga dibawakan oleh Muhib dalam Riyadl Nadlirah: Jil. 2/166. Fairuz Abadi dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/244, menyebutkan beberapa jalur hadis ini.
1. QS. al-Baqarah: 208.
1. QS. al-Baqarah: 279.
2. QS. al-Ma’idah: 33.
3. QS. al-Anfal: 13.
4. QS. at-Taubah: 63.
1. Biharul Anwar: Jil. 27/68.
1. QS. Al-Mumtahanah: 4.
2. QS. Al-Ahzab: 21.
1. Al-Amali: Syaikh Thusi: Jil. 1/305.
2. Al-Amali: Syaikh Shaduq: hal. 79, majlis ke-27.
1. Kamil Ziarat: 101.
2. Amali Syaikh Mufid: 200, Biharul Anwar: 44/278.
1. Biharul Anwar: 44/282.
1. QS. Al-Baqarah: 185.
2. QS. Al-Baqarah: 231.
3. QS. Al-Imran: 138.
4. QS. Al-Nisa': 174.
5. QS. Al-A’raf: 52 .
1. QS. Al-A’raf: 203.
1. Hadis ini diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya pada bab fadlail sahabah, Tirmidzi dalam Shahih: Jil. 2/308, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad pada beberapa tempat, Darami dalam Sunan: Jil. 2/431 dengan berbagai sanad, al-Hakim an-Nisyaburi dalam Mustadrak dengan berbagai sanad dan meyakininya sebagai hadis yang shahih baik menurut syarat Bukhari maupun menurut syarat Muslim: Jil. 3/109, Baihaqi dalam Sunan: Jil. 2/148 dan Jil. 7/30, diriwayatkan pula oleh Ibn Hajar dalam Shawa’iq: hal. 89, dan meyakininya sebagai hadis shahih, Ibn Atsir Jazri dalam Usudul Ghabah: Jil. 2/12, dll. Kita tidak perlu lagi memperpanjang data-data seputar sanad hadis ini ataupun pensha-hihannya, karena masalah ini jauh lebih utama dari itu semua, sudah cukup sebetulnya dengan apa yang dibawakan oleh Muslim dan Tirmidzi dalam Sahih mereka.
1. Hadis ini diriwayatkan al-Hakim sebagai hadis shahih menurut syarat Muslim dalam Mustadrak: Jil. 2/343, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal: Jil. 6/216, Haitsami dalam Majma’: Jil. 9/18, Abu Na’im dalam Hilyatul Awliya’: Jil. 4/306, Khatib dalam Tarikh Baghdad: Jil. 12/19, Shuyuthi da-lam Durul Mantsur tentang ayat dari surah al-Baqarah, “wa idza qulnad khulu hadzihil qoryata fa kulu minha haytsu syi’tum”, ath-Thabari dalam Dzakhair Uqba, al-Manawi dalam Kasyful Haqa’iq: hal. 132, Ibn Hajar dalam Shawa’iq, dan Sayid Fairuz Abadi menyebutkan sanad-sanadnya dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/67-71.
2. Hadis ini diriwayatkan Mustadrak: Jil. 3/149 sebagai hadis shahih, Ibn Hajar dalam Shawa’iq: hal. 111, Haitsami dalam Majma’: Jil. 9/174, al-Manawi dalam Faidlul Qadir: Jil. 6/297, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal: Jil. 7/217 dan referensi-referensi lain. Fairuz Abadi menyebutkan seba-gian jalur-jalur riwayat ini dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/71-73.
1. Nash ialah maksud sebuah teks yang sebegitu jelasnya sehingga tidak memungkinkan maksud yang lain. Dan dzohir yaitu maksud sebuah teks yang tidak sejelas nash dan masih memungkinkan maksud yang lain, walaupun kemungkinan itu kecil.
1. QS. Al-Nahl: 36.
2. QS. Al-Nisa’: 60.
1. Ziarah Jami’ah.
2. Ibid.
1. Musnad ialah hadis yang silsilah sanad dan perawinya di setiap tingka-tan bersambung sampai ke Rasulullah saw.
1. Shahih Tirmidzi, kitabul manaqib, bab ke16, mengenai keutamaan Fati-mah binti Muhammad saw.: Jil. 2/319, cet. 1292 H.
2. Sunan karya Ibn Majah, muaqoddimah, bab 11, hal. 145.
3. Mustadrak Shahihain karya Hakim Nisyaburi: Jil. 13/149, kitab ma’rifatis shaha-bah “mubghilu Ahlilbaiti yadkhulun naro wa law shoma wa sholla” (pembenci Ahlulbait as akan masuk neraka meskipun dia berpuasa dan shalat).
4. Usudul Ghabah: Jil. 5/523.
5. Kanzul Ummal: Jil. 6/216.
6. Majma’ Zawa’id: Jil. 9/169, dinukil dalam kitab Fadlail Khmasah, Firuz Abadi: Jil. 1/396-399.
1. QS. Al-Anfal: 74.
1. Asy-Syura’: 23. Untuk mengetahui sumber-umber yang menerangkan bahwa ayat ini turun mengenai Ahlulbait as., silakan merujuk Dala’il Shaduq: Jil. 2/120-126 cet. Cairo. Ghadir: Jil. 2/306-310 dan Jil. 3/171 cet. Teheran.
1. Shahih Tirmidzi: 13/261.
2. Kalimat ini disebutkan dua kali dalam Ziarah Jami’ah.
3. QS. At-Taubah: 24.
1. QS. Al-Baqarah: 165.
2. Kanzul Ummal: Jil. 8/37.
3. Biharul Anwar: Jil. 74/279-280.
1. QS. Al-Anbiya’: 105.
1. QS. Maryam: 59.
2. QS. Taha: 132.
1. QS. Al-Qashas: 5-6.
1. Petikan dari doa Nudbah.
1. QS. Ibrahim: 24.
MENCINTAI AHLUL BAIT NABI SAW
PENJELASAN DAN TAFSIR
Rasulullah saww bersabda :
"Perbanyaklah Shalawat di bulan Sya'ban. Bulan Sya'ban dinamakan Bulan Syafaat, karena Rasul kalian akan memberi syafaat kepada orang yang bershalawat di bulan ini."
- Biharul Anwar 94/77; Wasail al-Syi'ah 10/511-
Ada apa, maka fakta sejarah mencatatkan keturunan Nabi Muhammad (pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW) mengalami penindasan selama menjalankan dakwah yang dititipkan nabi saw.
(Ada sesiapa yang berusaha disebalik semua kejadian ini?
Apakah niat sebenar mereka untuk menyembunyikan atau memperjuangkan wilayah nabi tersebut?)
Bukan semata-mata untuk mendapat anugerah pahala yang besar dan memilih syahid, juga untuk menunjukkan apa situasi yang sedang berlaku kepada wilayah Nabi saw sendiri.
Berikut adalah list penindasannya:
1. Sayidina Ali Bin Abi Thalib ditusuk pedang beracun oleh Ibnu Muljam ketika tengah melaksanakan Shalat
2. Sayidina Hasan dibunuh dengan cara diracun atas perintah Muawiyah
3. Sayidina Husein dipenggal kepalanya oleh bersama dengan anak-anak, kerabat dan teman-temannya pada tanggal 10 Muharram atas perintah Yazin putra Muawiyah Ibn Abu Sufyan di Irak
4. Sayidina Ali Zayn al-abidin dibunuh dengan cara diracun pada tanggal 25 Muharram atas perintah Hisyam Ibnu Abdul-Malik
5. Sayidina Muhammad Al-Baqir dibunuh dengan cara diracun oleh oleh Ibrahim pada tanggal 7 Dzulhijjah
6. Sayidina Jafar Al-Shiddiq dibunuh dengan cara diracun atas perintah Al-Mansur
7. Sayidina Musa Al-Khadzim dibunuh dengan cara diracun di penjara milik Raja Harun Al-Rasyid pada tanggal 25 Rajab
8. Sayidina Ali Al-Ridha dibunuh dengan cara diracun atas perintah Al-Mu'tasim
9. Sayidina Ali Al-Naqi dibunuh dengan cara dibunuh di Samarra' Irak
10. Sayidina Hasan Al-Askari yang diracun di Irak pada tanggal 8 rabiul awal
11. Sayidina Muhammad Al Jawad dibunuh dengan cara diracun oleh perintah Al Mu'tasim pada tanggal 30 Zulkaida di Baghdad.
Melengkapi 12 imam tersebut adalah Imam Mahdi yang lahir di akhir zaman yang masih merupakan keturunan Nabi Muhammad.
Hadits yang tepat yang menggambarkan hal ini adalah sebagai berikut:
Nabi Muhammad Berkata, "Aku tinggalkan kepada kalian semua, sesuatu yang ada di alam, dan jika kalian berpegang kepadanya maka kalian tidak akan tersesat setelah aku tiada. Yaitu Kitab Allah, tali yang terbentang dari surga ke bumi, dan keluargaku yang masih memiliki hubungan darah denganku. Keduanya (Kitab Allah dan penerus nabi) tidak akan terpisahkan sampai hari kiamat. Jadi, pertimbangkanlah bagaimana kalian akan bersikap terhadap Kitab Allah dan keluargaku setelah kepergianku (Diriwayatkan oleh Tirmidzi)
PONDASI SYIAH DILETAKAN OLEH NABI MUHAMMAD SAW
penulis : Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki | Syiah - Halaman Facebook
ilustrasi video : Ulama Al-Azhar: Nabi Adam (sa) Bertawassul Kepada Ahlul Kisa’ (Ahlul Bait Nabi saw) | Sahara TV Channel
Ulama Al-Azhar: Syeikh al-Nadi al-Badri Menerangkan Hadis bahwa Nabi Adam (sa) Bertawassul Kepada Ahlul Kisa’ (Ahlul Bait Nabi saw)
Pondasi Syiah Diletakkan Oleh Nabi Muhammad SAW
Orang yang pertama memberikan nama Syi’ah kepada para pengikut Amirul Mukminin ‘Ali As adalah Rasulullah Saw dan ia pula sebagai peletak dasar batu fondasinya serta penanam benihnya, sedangkan orang yang mengukuhkannya adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As. Semenjak saat itu, para pengikut ‘Ali dikenal sebagai Syi’ah ‘Ali bin Abi Thalib.
Ibn Khaldun berkata di dalam Muqaddimah-nya, “Ketahuilah! Sesungguhnya Syi’ah secara bahasa artinya adalah sahabat dan pengikut. Dan di dalam istilah para fuqaha dan ahli kalam, dari kalangan salaf dan khalaf, sebutan Syi’ah ditujukan kepada para pengikut ‘Ali dan anak keturunannya.”
[Lihat, Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 130]
Dan di dalam Khuthathu Syâm, karya Muhammad Kurd ‘Ali, cukuplah sebagai hujjah tentang penamaan istilah Syi’ah. Ia secara tegas berkata bahwa Syi’ah adalah sekelompok dari golongan sahabat Rasulullah Saw yang dikenal sebagai Syi’ah ‘Ali. Muhammad Kurd’ Ali berkata, “Adapun sebagian penulis yang berpandangan bahwa mazhab Tasyayyu’ (Syi’ah) adalah ciptaan ‘Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan Ibn As-Sauda’, maka itu merupakan khayalan belaka dan sedikitnya pengetahuan mereka tentang mazhab Syi’ah.”
[Lihat, Khuthathu Syâm, jilid 5, hal. 156]
Inilah kesaksian Muhammad Kurd’ Ali, padahal ia dikenal bukan sebagai seorang Syi’ ah, bahkan termasuk orang yang mendiskreditkan Syi’ah.
Sesungguhnya hadis-hadis Nabi Saw. menguatkan apa yang telah kami sebutkan, baik yang diriwayatkan melalui jalur ulama-ulama kenamaan Ahlus Sunnah apalagi yang diriwayatkan melalui jalur Syi’ah. Hadis-hadis yang ada mencapai batas mutawatir.
Berikut ini kami sampaikan beberapa hadis tersebut yang diriwayatkan melalui jalur riwayat Ahlus Sunnah, sebagai penjelasan dan penyempurnaan di dalam hujjah kami.
Ibn Hajar al-Haitsami meriwayatkan di dalam kitabnya ashShawâ’iqul Muhriqah dari Ibn ‘Abbas sesungguhnya ia berkata, ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk.” (Qs. al-Bayyinah [98]:7)
Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali, “Mereka itu adalah engkau dan Syi ‘ahmu. Engkau dan Syi’ahmu akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan ridha kepada Allah dan Allah pun ridha kepada mereka. Adapun musuhmu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan dimurkai (oleh Allah) dan tertengadah (tangan mereka diangkat ke dagu).”
[Lihat, Ibn Hajar al-Haitsami, ash-Shawâ’iqul Muhriqah, hal. 128.]
‘Ali berkata, ‘Siapakah musuhku?’
Rasulullah Saw. bersabda, “Yaitu orang yang berlepas diri darimu dan melaknatmu.”
Al-Hakim meriwayatkan di dalam kitabnya dengan sanadnya dari ‘Ali bahwa ia berkata; “Rasulullah Saw. bersabda kepadaku, “Wahai ‘Ali, bukankah engkau mendengar firman Allah Swt, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk.” (Qs. al-Bayyinah [98]:7)
Mereka itu adalah Syi’ahmu.
[Lihat, al-Hakim, Syawâhidut Tanzil.]
Al-Hamuyini asy-Syafi’i meriwayatkan dalam “Farâ’idus Simthain” dengan sanadnya dari Jabir, ia berkata, “Kami pemah berkumpul di rumah Nabi Saw, lalu ‘Ali datang, kemudian ia bersabda, “Telah datang kepada kalian saudaraku.” kemudian ia bersabda, “Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya orang ini (‘Ali) dan Syi’ahnya adalah orang-orang yang beruntung kelak pada hari kiamat. Sesungguhnya ia (‘Ali) adalah orang yang pertama kali di antara kalian yang beriman kepadaku, orang yang paling menepati janjinya dengan Allah. orang yang paling lurus dalam melaksanakan perintah Allah, orang yang paling berlaku adil di dalam memperlakukan rakyatnya, orang yang paling adil di dalam pembagian, dan orang yang paling agung di antara kalian di sisi Allah di dalam hal kemuliaan.”
[Lihat, Farii’idus Simthain, jilid 1, bab ke- 31.]
Kemudian Jabir berkata, “Dan ayat ini diturunkan berkenaan dengannya (yakni dengan ‘Ali), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.”
(Qs. al-Bayyinah [98]:7)
Dahulu, kata Jiibir lebih lanjut, para sahabat Muhammad Saw jika ‘Ali datang, maka mereka biasa mengucapkan, “Telah datang sebaik-baik makhluk.”
Hadis semisal ini juga diriwayatkan oleh al-Khawarizimi alHanafi di dalam Manâqib-nya dari Jabir Ra dari Rasulullah Saw.
Al-Khawarizmi juga meriwayatkan dalam Manâqib-nya dari al-Manshur ad-Dawaniqi dalam sebuah hadis yang panjang, di antaranya ia bersabda, “Dan sesungguhnya ‘Ali dan Syi’ahnya kelak pada hari kiamat adalah orang-orang yang beruntung dengan masuk ke dalam surga.
Ia juga meriwayatkan di dalam kitabnya sarna dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Wahai ‘Ali, sesungguhnya Allah telah mengampunimu, keluargamu. Syi’ahmu, dan para pecinta Syi’ahmu.
Ia juga meriwayatkan dalam kitabnya yang sama dari Nabi Saw bahwa ia bersabda tentang keutamaan ‘Ali,
“Sesungguhnya ia (‘Ali) adalah orang yang paling pandai di antara manusia, orang yang paling dahulu masuk Islam. dan sesungguhnya ia dan Syi’ahnya adalah orang-orang yang beruntung besok pada hari kiamat.”
Ia juga meriwayatkan di dalam Manâqib-nya,
[Lihat, Manâqib, hal. 118.]
ia berkata, ‘an-Nashir lil Haqq meriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa ketika ‘Ali maju menghadap Rasulullah Saw untuk menaklukkan benteng Khaibar, Rasulullah Saw bersabda kepadanya, “Sekiranya aku tidak khawatir sekelompok orang dari umatku akan berkata tentang dirimu, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berkata sesuatu tentang al-Masih (‘Isa As), niscaya akan aku katakan tentang dirimu pada hari ini suatu perkataan, yang apabila engkau melewati orang banyak tentu mereka akan mengambi tanah bekas telapak kakimu dan dari bekas air wudhumu untuk mereka jadikan sebagai obat (mengambi/ keberkahan darinya).
Akan tetapi, cukup bagimu bahwa kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi sesudahku. Sesungguhnya engkau membayarkan utangku dan engkau berperang di atas Sunnahku. Sesungguhnya engkau kelak di akhirat adalah orang yang paling dekat denganku, sesungguhnya engkau orang pertama yang menjumpaiku di Haudh dan orang pertama yang diberi pakaian bersamaku serta orang pertama yang masuk surga bersamaku dari kalangan umatku. Sesungguhnya Syi’ahmu berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya. Dan sesungguhnya kebenaran senantiasa berada di lisanmu, hatimu, dan di hadapanmu.
Aku katakan, hadis semacam ini juga diriwayatkan di dalarn kitab Kifâyatuth Thâlib, karya al-Kanji asy-Syafi’i, Târikh Baghdâd, karya al-Khathib al-Baghdadi “Majmâ’uz Zawâ’id, dan kitab-kitab lainnya yang dikarang oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Al-Khawarizimi juga meriwayatkan di dalam Manâqib-nya dalam sebuah hadis yang panjang dengan sanadnya dari Ibn ‘Abbas bahwa Jibril telah mengabarkan kepada Nabi Saw bahwa ‘Ali dan Syi’ahnya akan dibawa ke dalam surga berombongan bersama Muhammad Saw.”
Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan di dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah
[Lihat, Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah bab 56]
dari kitab Mawaddatul Qurbâ, karya al-Hamdani asy-Syafi’i, dari Abu Dzar dari Nabi Saw sesungguhnya ia bersabda:
“Sesungguhnya Allah memandang bumi dari ‘Arsy-Nya, lalu Dia memilihku dan memilih ‘Ali sebagai menantuku dengan menikahkannya dengan Fatimah al-’Adzra al-Batul, dan Dia tidak memberikan hal itu kepada seorang pun dari nabi-nabi-Nya; Dia mengaruniakan kepadanya al-Hasan dan al-Husain dan tidak mengaruniai seorang pun yang seperti mereka berdua,” hingga pada sabdanya, “Dia memasukkan Syi’ahnya ke dalam surga; dan Dia menjadikan aku sebagai saudaranya, dan tidak ada seorang pun yang bersaudarakan sepertiku. “
Kemudian Nabi Saw bersabda, “Ayyuhannas, barang siapa ingin memadamkan kemurkaan Tuhan dan ingin amalnya diterima oleh Allah, maka hendaklah ia mencintai ‘Ali bin Abi Thalib. Sebab, sesungguhnya mencintai ‘Ali bin Abi Thalib itu menambah keimanan, dan sesungguhnya mencintainya dapat meleburkan dosa-dosa sebagaimana api meleburkan timah.”
Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan di dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, dalam bab yang sama dan juga dari kitab yang sama dari Anas dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Jibril telah menceritakan kepadaku, ia berkata. ‘Sesungguhnya Allah mencintai ‘Ali lebih daripada kecintaan-Nya kepada malaikat. Dan. tidak ada satu tasbih pun yang ditujukan kepada Allah kecuali Allah menciptakan darinya seorang malaikat yang memohonkan ampun kepada pecinta ‘Ali dan Syi’ahnya sampai hari kiamat,
Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam kitabnya yang sama, dalam bab yang sama dari kitab al-Firdaus dari Ummu Salamah dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Ali dan Syi’ahnya mereka adalah orang-orang yang beruntung pada hari kiamat.
Ibn al-Maghazali asy-Syafi’i meriwayatkan di dalam Manâqibnya dengan sanadnya dari ‘Ali, dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk ke dalam surga tanpa dihisab,” kemudian ia menoleh kepada ‘Ali seraya bersabda, “Mereka adalah Syi’ahmu dan engkau adalah imam mereka. “
Al-Khawarizimi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Manâqib-nya, tetapi terdapat sedikit perbedaan dalam teks hadis tersebut, “Kemudian ‘Ali As bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, ‘Mereka adalah Syi ‘ahmu dan engkau adalah imam mereka.”
Al-Kanji asy-Syafi’i meriwayatkan dalam kitabnya Kifâyatu ath-Thâlib” dari Jabir bin’ Abdillah, ia berkata, “Kami pemah berkumpul bersama Nabi Saw, tiba-tiba ‘Ali bin Abi Thalib datang, lalu ia bersabda, ‘Telah datang kepada kalian saudaraku,’ kemudian beliau bersabda, ‘Demi jiwaku yang berada di dalam genggaman-Nya,’ sesungguhnya orang ini (‘Ali) dan Syi ‘ahnya adalah orang-orang yang beruntung kelak pada hari kiamat. Sesungguhnya dia (‘Ali) adalah yang’ pertama kali di antara kalian yang beriman kepadaku, orang yang paling menepati janjinya dengan Allah, orang yang paling lurus dalam melaksanakan perintah Allah, orang yang paling berlaku adil di dalam memperlakukan rakyatnya. orang yang paling adif di dalam pembagian, dan orang yang paling agung di an/ara kalian di sisi Allah di dalam hal kemuliaan.
Kemudian Jabir berkata, “Dan ayat ini diturunkan berkenaan dengannya (‘Ali), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Qs. al-Bayyinah [98]:7)
Dahulu, tutur Jabir lebih jauh, “Jika ‘Ali datang pada suatu tempat dan di tempat itu berkumpul para sahabat Muhammad Saw jika ‘Ali datang, maka mereka biasa mengucapkan, “Telah datang sebaik-baik makhluk.”
Al-Kanji asy-Syafi’i berkata, “Demikianlah yang diriwayatkan oleh perawi hadis Syam, lbn ‘Asakir, dalam kitabnya yang dikenal dengan Târikh Ibn ‘Asakir, dengan jalur riwayat yang berbeda-beda.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hamuyini asy-Syafi’i dalam kitabnya Farâ’idus Simthain, jilid pertama, bab ke-31; AlKhawarizimi al-Hanafi dalam Manâqib-nya; dan selain keduanya dari kalangan tokoh-tokoh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ibnus Shabiigh al-Maliki meriwayatkan dalam al-Fushûlul Muhimmah” dan asy-Syablanji asy-Syiifi’i di dalam Nurul Abshar’ dari lbnu ‘Abbas, ia berkata, “Ketika ayat ini turun, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Qs. al-Bayyinah [98]:7) Nabi Saw bersabda kepada ‘Ali, “Engkau dan Syi’ahmu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan ridha kepada Allah dan Allah pun ridha kepada mereka, sedangkan musuh-musuhmu datang dalam keadaan dimurkai dan tertengadah (tangan mereka diangkat ke dagu).”
[Lihat, asy-Syablanji asy-Syiifi’i, Nurul Abshâr’, hal. 102]
Ummu Salamah berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Ali dan Syi ‘ahnya adalah orang-orang yang beruntung pada hari kiamat.”
Hadis ini diriwayatkan oleh dari Kunuzûl Haqâiq, karya al-Manawi, dan dari Tadzkiratul Khawwâsh, karangan Sibth Ibn al-Jauzi, dengan sedikit perbedaan dalam teks hadisnya.
Ibnu al-Maghazali asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Manâqib-nya dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, “Aku pemah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang firman Allah Swt, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Qs. al-Bayyinah [98]:7)
Kemudian, ia bersabda, “Jibril telah berkata kepadaku bahwa mereka itu adalah ‘Ali dan Syi’ahnya. Mereka adalah orang-orang yang paling dahulu memasuki surga, yang didekatkan kepada Allah karena kemuliaannya.”
Al-Khathib juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Târikhnya dan Ibn Mardawaih di dalam al-Manâqib.
Ibn Hajar meriwayatkan dalam Ash-Shawâ’iqul Muhriqah, ia berkata,
“Ahmad meriwayatkan di dalam al-Manâqib, halaman 159, bahwa Nabi Saw bersabda kepada ‘Ali, ‘Wahai ‘Ali, apakah engkau tidak ridha bahwa engkau bersamaku di dalam surga, sedangkan al-Hasan, al-Husain, dan kelurunan kita berada di belakang punggung kita, istri-istri kita berada di belakang keturunan kita, dan Syi’ah kita berada di sebelah kanan dan kiri kita,”
Kemudian ia meriwayatkan hadis yang lain dari ad-Dailami bahwa Nabi Saw bersabda kepada ‘Ali, “Wahai ‘Ali, sesungguhnya Allah telah mengampunimu, keturunanmu, keluargamu, dan Syi’ahmu.”
Ibnu Hajar juga meriwayatkan dalam Shawâ’iq-nya, ia berkata, “Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda kepada ‘Ali, “Orang yang mula-mula masuk surga adalah empat orang, yaitu: Aku, engkau, al-Hasan, dan al-Husain, sedangkan keturunan kita berada di belakang punggung kita, istri-istri kita berada di belakang keturunan kita, dan Syi ‘ah kita berada di sebelah kanan dan kiri kita.
Masih banyak lagi hadis-hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh para ulama terkemuka Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam bukubuku karangan mereka dan musnad-musnad serta kitab-kitab sahih mereka, yang berisikan pujian terhadap Syi’ah ‘Ali dan Ahlulbaitnya yang telah disucikan oleh Allah dari segala dosa dan kesalahan, yang jumlahnya sangat banyak, bahkan tidak dapat dihitung.
Hujjatul Islam wal Muslimin al-’Allamah as-Sayyid al’Abbas al-Kasyani telah menghimpun dalam sebuah naskah (yang masih berbentuk manuskrip) sejumlah hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang berisikan pujian terhadap Syi’ah. Hadis-hadis yang ia himpun dalam naskah tersebut mencapai seratus hadis, yang semuanya diriwayatkan melalui jalur riwayat Ahlus Sunnah wal Jamaah. Aku telah melihat naskah tersebut pada perpustakaannya di Kota Suci Karbala, yaitu pada ketika aku mengunjungi tanah suci tersebut pada tahun 1370 Hijriah. Aku kira naskah tersebut masih dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan) bersama naskah-naskah yang lain yang jumlahnya sangat banyak.
Aku memohon kepada Allah Yang Mahakuasa untuk memberikan taufik kepada Maulana al-Hujjah as-Sayyid al-Kasyani dan seluruh ulama kita yang mulia dan berbakti, semoga mereka dapat mencetak dan menerbitkan kitab-kitab karangan mereka agar dengan kehadirannya dapat memberikan manfaat kepada umat Islam. Sesungguhnya Dia Mahadekat lagi Maha Mengabulkan doa hambahamba-Nya.[]
BETULKAH SYI'AH SEKTE AGAMA MAJUSI (EDISI SPESIAL)
status : Muhammad Bhagas | Facebook
Tahukah anda kitab Nahjul Balaghah? Kitab tersebut sangat fenomenal. Berisi kompilasi khutbah, surat, dan ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Imam 'Ali as, sarat makna dan hikmah. Saking memukaunya, kitab tersebut disyarahkan oleh Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), seorang ulama Ahlussunnah yang pernah menjabat sebagai Mufti Mesir.
Siapa penyusun kitab Nahjul Balaghah? Ulama Syi'ah yang populer dengan sebutan Syarif Radhi (359-406 H). Ia merupakan keturunan Imam Musa Al-Kazhim as. Syarif Radhi dikenal sebagai penyair yang handal pada zamannya. Ia wafat di Baghdad, lalu jasadnya dipindahkan ke Karbala.
Nah, lantas apa kaitan Syarif Radhi sebagai ulama Syi'ah dengan anggapan lucu bahwa Syi'ah sebagai sekte agama Majusi? Di antara para penyair Arab, ada tiga penyair yang menempati urutan teratas dari segi jumlah bait-bait sya'ir yang telah dibuatnya, berikut:
1. Ibn Al-Rumi (w. 383 H/896 M)
2. Khalil Muthran (w. 1368 H/1949 M)
3. Mihyar Al-Dailami (w. 428 H/1037 M)
Mengenai nama terakhir, ada informasi yang menurut saya menarik mengenai perpindahan agamanya. Inilah yang ada kaitannya dengan anggapan lucu bahwa Syi'ah sebagai sekte agama Majusi. Kami menemukan biografi Mihyar Al-Dailami dalam kitab biografi karya sejarawan yang bermazhab Syafi'i, Ibn Khallikan (608-681 H).
Dalam kitab Wafayat Al-A'yan, karya Ibn Khallikan, jilid 5, halaman 359, no. 755 mengenai biografi Mihyar Al-Dailami, berikut:
محيار الديلمي
ابو الحسن محيار بن مرزويه الكاتب الفارسي الديلمي الشاعر المهشور؛ كان مجوسيا فأسلم، ويقال إن إسلامه كان على يد الشريف الرضي... وهو شيخه، و عليه تخرج في نظم الشعر
"Mihyar Al-Dailami
Abu Al-Hasan Mihyar bin Marzawaih, seorang penulis Persia yang berasal dari daerah Al-Dailam, dia penyair yang terkenal. Dulu dia seorang Majusi, kemudian masuk Islam. Disebutkan bahwa dia masuk Islam atas bimbingan SYARIF RADHI... yang merupakan gurunya. Kepada Syarif Radhi lah dia mereguk bait-bait sya'ir."
Apakah keterangan seperti itu disebutkan hanya dalam satu literatur klasik? Tidak, disebutkan juga dalam kitab Al-'Ibar fi Khabar Man Ghabar, karya ahli hadits dan sejarawan Ahlussunnah, Al-Dzahabi (673-748 H), jilid 2, halaman 260, mengenai Mihyar Al-Dailami, berikut:
الكاتب الشاعر المشهور، كان مجوسيا، فأسلم على يد أستاذه في الادب، الشريف الرضي
"Seorang penulis, penyair yang terkenal. Dulu dia seorang Majusi, lalu masuk Islam atas bimbingan gurunya dalam bidang sastra yakni SYARIF RADHI"
Pelajaran Penting
Subhanallah 😍, ternyata ulama Syi'ah yakni Syarif Radhi membimbing seorang Majusi masuk agama Islam. Nah, jika menganggap bahwa Syi'ah adalah sekte agama Majusi, lantas kenapa ulamanya membimbing orang Majusi masuk Islam? Jika memang Majusi, maka tentu Syarif Radhi akan membiarkan Mihyar Al-Dailami tetap menganut agama Majusi.
Oh iya, selain itu, masa sih ulama Ahlussunnah yang belajar di Al-Azhar, Kairo, sekelas Syaikh Muhammad 'Abduh mau mensyarahkan kitab Nahjul Balaghah yang katanya disusun oleh orang Majusi? Kita berlindung kepada Allah Ta'ala dari kecutian nalar 🙂
Referensi:
- Abi Al-'Abbas Syams Al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, Wafayat Al-A'yan wa Anba' Abna' Al-Zaman, tahqiq: Dr. Ihsan 'Abbas, jilid 5 (Beirut: Dar Shadir, 1397 H/1977 M), tarjamah no. 755, hlm. 359.
- Muarrikh Al-Islam Al-Hafizh Al-Dzahabi, Al-'Ibar fi Khabar Man Ghabar, tahqiq: Abu Hajar Muhammad Al-Sa'id bin Basyuni Zaghlul, cet. 1, jilid 2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, 1405 H/1985 M), hlm. 260.
BENARKAH NABI SUCI SAW DAN AHLUL BAIT A.S. DIKHIANATI?
status : Teks Terjemahan Surat Khalifah Umar Kepada Mu'awiyah | Catatan Must AlHusaini | Facebook
ilustrasi pdf : Wahabi Ahlul Sunnah Palsu. doc | https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JZ0JjNkJPOGQ5elU/view
“ Bismi l-Lahi r-Rahmani r-Rahim. Sesungguhnya beliaulah yang telah memaksa kami dengan pedang (nya) supaya melakukan ikrar terhadapnya, maka kamipun melakukan ikrar tersebut. Sedangkan dada (kami) berdebar, jiwa (kami) bergelora.Niat dan bisikan hati (kami) meragui dakwahnya kepada kami (al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 111; Muslim, Sahih, IV, hlm.12,14 ), tetapi kami telah mentaatinya mengenainya, kerana mengilakkan pedangnya ke atas kami (Ata‘naa-hu raf‘an li-suyufi-hi ‘alai-na).
Apatah lagi semakin bertambahnya bilangan kabilah dari Yaman yang akan menentang kami.
Dan sokongan daripada mereka yang telah meninggalkan agama mereka di kalangan Quraisy. Maka aku bersumpah dengan Hubal, semua berhala, al-Laata dan al-‘Uzza bahawa Umar tidak pernah mengingkarinya semenjak beliau menyembahnya! (Fa-bi-Hubalin uqsimu wa l-Asnaam,wa l-Authaan wa l-Laata wa l-‘Uzza ma jahada-ha …. muz ‘abada-ha) , tidak pernah menyembah Ka‘bah sebagai Tuhan, tidak pernah membenarkan perkataan Muhammad dan keluarganya (wa la ‘abada li l-Ka‘bah rabban wa la Saddaqa li-Muhammadin wa Ali-hi qaulan).
Aku tidak memberi salam kepadanya melainkan untuk mengilakkan diri dari kebengisannya.
Sesungguhnya beliau (Muhammad s.a.w) telah mengkemukakan kepada kami sihir yang besar.
Sihirnya telah melebihi sihir Bani Israil bersama Musa dan Harun, Daud dan Sulaiman dan anak lelaki ibunya Isa.
Sesungguhnya beliau telah mengkemukakan kepada kami segala sihir yang telah dikemukakan kepada Bani Israil, bahkan melebihi sihir-sihir mereka.
Sekiranya mereka menyaksikannya, nescaya mereka mengakuinya bahawa beliau adalah ketua tukang-tukang sihir (la-Aqarru la-hu bi-anna-hu sayyidu al-Saharah), maka berpeganglah-Wahai Ibn Abi Sufyan-kepada sunnah kaum anda dan pengikut agama anda serta setia kepada mereka yang terdahulu yang menentang binaan ini (Ka‘bah) di mana mereka berkata bahawa ia mempunyai Tuhan yang memerintahkan mereka supaya melakukan Sa‘yu di sekelilingnya dan Dia menjadikannya Kiblat untuk mereka.
Justeru itu, mereka mengperakui solat dan Haji di mana mereka telah menjadikannya sebagai rukun. Mereka telah menyangka bahawa mereka dijadikan untuk Allah.
Di kalangan mereka yang telah membantu Muhammad adalah lelaki Farsi ini (Salman).
Mereka juga berkata bahawa sesungguhnya diwahyukan kepadanyanya Muhammad): “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangunkan untuk manusia (beribadat) ialah di makkah yang diberi berkat dan petunjuk untuk semesta alam”Surah Ali Imran 3:96.Dan kata-kata mereka “Sesungguhnya kami lihat berulan-ulang muka engkau (ya Muhammad) ke langit. Maka sesungguhnya kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Maka hadaplah muka kamu ke arah masjid haram (ka‘bah) di mana kamu berada, maka hadaplah mukamu ke arahnya” Surah al-Baqarah 2:144.
Mereka telah menjadikan solat mereka ke arah batu (al-Hijarah). Apakah yang membuat beliau mengingkari kami- jika tidak kerana sihirnya- menyembah berhala-berhala; al-Laata wa l-‘Uzza yang terdiri dari batu, kayu, tembaga, dan emas, tidak-al-Laata wa l- ‘Uzza-kami tidak dapati sebab untuk keluar dari apa yang ada di sisi kami sekalipun mereka disihir dan ditipu. Lihatlah dengan mata yang terang dan dengarlah dengan telinga yang jaga.
Perhatikanlah dengan hati dan akal anda tentang kepercayaan mereka. Bersyukurlah kepada al-Laata wa l- ‘Uzza (wa sykuri l-Laata wa l- ‘Uzza) serta perlantikan Atiq bin ‘Abdu l- ‘Azza ke atas umat Muhammad, penguasaannya ke atas harta mereka, darah mereka, syari‘at mereka, diri mereka, halal mereka, haram mereka.
Cukai hak yang mereka sangka bahawa mereka memungutnya untuk Tuhan mereka bagi menguatkan pembantu-pembantu mereka. Justeru itu, beliau (Umar) hidup dengan mematuhinya secara terang-terangan, dan menghadapi kesulitan secara tersembunyi.
Beliau tidak ada jalan lain melainkan bergaul dengan mereka
Sesungguhnya aku telah melakukan tindakkan yang berani ke atas pemuda Bani Hasyim yang masyhur, benderanya yang menang dan pembantunya yang bernama Haidarah; menantu kepada Muhammad ke atas perempuan yang mereka telah menjadikannya Penghulu Wanita Sejagat (al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 111; Muslim, Sahih, IV, hlm.12,14 ) di mana mereka menamakannya: Fatimah sehingga aku telah mendatangi rumah Ali, Fatimah, dua anak lelakinya al-Hasan dan al-Husain, dua anak perempuan mereka berdua; Zainab dan Ummi Kalthum serta hamba perempuannya yang dipanggil al-Fidhdhah.
Bersama-samaku adalah Khalid bin al-Walid, Qunfudh bekas hamba Abu Bakr dan beberapa sahabat kami yang khusus.Maka akupun telah mengetuk pintu mereka dengan kuat. Lantas hamba perempuan tersebut telah menjawabku. Aku berkata kepadanya: Katakan kepada Ali: Tinggalkanlah segala kebatilan dan jangan biarkan diri anda menjadi tamak kepada jawatan khalifah, kerana ianya bukanlah untuk anda, tetapi ia adalah bagi orang yang dipilih oleh Muslimun dan mereka bersetuju kepadanya.
Demi tuhan al-Laata wa l-‘Uzza, jika perkara ini hanya menurut pendapat Abu Bakr, nescaya ia pasti gagal mengganti khilafah Ibn Abi Kabsyah (Rasulullah s.a.w). Tetapi aku telah melakukan sesuatu untuknya; aku telah menumpukan pemerhatianku kepadanya dan aku telah berkata kepada dua kabilah Nazar dan Qahtan selepas aku berkata kepada mereka bahawa khilafah hanya untuk Quraisy. Justeru itu, taatilah mereka selama mereka mentaati Allah (Ibn Qutaibah , al-Imamah wa al-Siasah , I , hlm. 15-16)
Sesungguhnya aku berkata sedemikian adalah kerana ketangkasan Ali bin Abi Talib yang terdahulu dan dan cintanya kepada darah yang ditumpahkannya di dalam peperangan-peperangan Muhammad dan pelaksanaan hutang-hutangnya iaitu sebanyak 80 ribu Dirham (Al-Qunduzi l-Hanafi , Yanabi ‘ al-Mawaddah , hlm.89 )
Melakukan persedian peperangan, pengumpulan al-Qur’an dengan ushanya sendiri. Kata-kata Muhajirin dan Ansar manakala aku berkata bahawaImamah adalah daripada Quraisy- Mereka berkata: Si botak; Amir al-Mukminin Ali bin Abi Talib yang telah diambil baiah untuknya oleh Rasulullah s.a.w bagi semua penganut agamanya.
Dan kami telah menerimanya memimpin Mukminin pada empat tempat.Jika kamu melupainya , maka kami tidak melupai Baiah, Imamahdan khilafah serta wasiat adalah hak yang benar difardhukan, bukanlah dengan sukarela (Tabarru‘an) dan dakwaan falsu (Iddi‘aan), lalu kami telah membohongi mereka (fa-Kadhdhibna-hum). Aku telah mengambil empat puluh orang lelaki menjadi saksi ke atas Muhammad bahawa Imamah adalah dengan pilihan (Ikhtiar).
Ketika itu Ansar berkata: Kami lebih berhak daripada Quraisy, kerana kami telah melindungi, membantu mereka sedangkan orang ramai berhijrah kepada kami. Jika urusan ini diberikan kepadanya, maka urusan ini juga bukan untuk kamu, tanpa kami. Dan dia berkata: Bagi kami seorang Amir dan bagi kamu seorang Amir. Kami berkata kepada mereka: Sesungguhnya 40 orang lelaki telah menyaksikan bahawa para Imam adalah daripada Quraisy (Muslim, Sahih,Cairo,1976, ii, hlm.213 ) Sebahagian mereka telah menerimanya dan sebahagian yang lain telah menolaknya. Lalu mereka bertengkar. Maka akupun berkata: Kenapa tidak memilih orang yang paling tua umurnya dan yang paling lembut di kalangan kita? Mereka berkata: Siapakah anda maksudkan?
Aku berkata: Abu Bakr yang telah dikemukakan oleh Rasulullah s.a.w di dalam solat, dia telah duduk bersamanya di al-‘Arisy di Hari Badr bermesyuarat dengannya dan mengambil pendapatnya.Dia adalah sahabatnya di Gua (al-Ghar), suami anak perempuannya ‘Aisyah yang di namakanya Umm al-Mukminin. Bani Hasyim datang di dalam keadaan marah disokong oleh al-Zubair dengan pedangnya yang masyhur dan berkata: Hanya Ali sahaja yang akan dibaiah atau aku akan memotong kepala dengan pedangku ini. Aku berkata: Wahai Zubair! Laungan anda adalah api kepada Bani Hasyim.Ibu anda adalah Safiyyah binti Abdul Muttalib. Beliau berkata: Demikian itu adalah satu kehormatan.Wahai Ibn Hantamah, wahai Ibn Sahhak! Diam. Beliau telah berkata sesuatu.Kemudian empat puluh orang lelaki daripada mereka yang telah menghadiri Saqifah Bani Sa‘idah telah melompat ke atas al-Zubair.
Demi Tuhan! Kami tidak mampu mengambil pedangnya di tangannya sehingga kami menjatuhkannya ke tanah.Kami tidak dapati pembantunya menentang kami. Maka aku telah melompat ke arah Abu Bakr, lalu aku memegang tangannya dan memberi baiah. Kemudian diikuti oleh Uthman bin Affan dan semua mereka yang hadir selain daripada al-Zubair.
Kami telah berkata kepadanya: Baiahlah, jika tidak, kami akan membunuh anda (Baayi‘ au naqtulu-ka). Kemudian aku telah menghalang orang ramai daripadanya. Aku berkata: Kamu tegahlah beliau, Bani Hasyim memarahi tindakkanku. Aku telah memegang tangan Abu Bakr dan membuatnya berdiri.
Beliau di dalam keadaan gementar. Fikirannya berbelah-bagi, lalu aku telah mendesaknya ke Minbar Muhammad. Beliau berkata kepadaku: Wahai Abu Hafs! Aku takut tindakkan Ali ke atasku.
Aku berkata kepadanya: Sesungguhnya Ali sibuk untuk mengganggu anda. Abu Ubaidah bin al-Jarrah telah membantuku di dalam perkara tersebut. Beliaulah yang telah menghulur tangannya membantu Abu Bakr ke Minbar .
Aku mendesaknya dari belakangnya seperti kambing kepada pisau yang tajam. Beliau telah berdiri di atasnya dengan kebingungan. Aku berkata kepadanya: Berucaplah! Beliau menjadi bingung dan kelu. Aku merapatkan tapak tanganku kerana memarahinya. Aku berkata kepadanya: Katakanlah apa saja. Tetapi beliau tidak memberi apa-apa kebaikan. Aku mahu menurunkannya dari Mimbar dan aku akan mengambil tempatnya (fa-arad-tu an ahutta-hu ‘ani l-minbar wa aquma maqama-hu) .
Tetapi aku benci orang ramai akan membohongiku pula tentang kata-kataku mengenainya. Orang ramai telah bertanyaku: Bagaimana pendapat anda tentang kelebihannya? Apakah yang anda telah mendengar daripada Rasulullah s.a.w tentang Abu Bakr? Aku telah berkata kepada mereka: Aku telah mendengar tentang kelebihannya daripada Rasulullah s.a.w bahawa jika aku menjadi satu bulu di dadanya …dan bagiku ceritanya. Aku berkata: Katakanlah sesuatu, jika tidak, maka turunlah (Qul wa illa fa-anzil). Maka telah terserlah, demi Tuhan, pada mukaku dan beliau telah mengetahui jika beliau turun, nescaya aku akan menaikinya.
Aku telah berkata kepadanya perkataan yang tidak mencerahkan kata-katanya. Beliau telah berkata dengan suara yang lemah: “Aku telah dilantik kepada kamu tetapi aku bukanlah orang yang paling baik daripada kamu sedangkan Ali pada kamu. Ketahuilah kamu bahawa bagiku Syaitan sedang menggodaku (Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siasah, I, hlm.9-10). Beliau tidak maksudkannya selain daripadaku- Apabila aku tergelincir, maka kamu perbetulkan aku. Perlakuan sedemikian tidak menjatuhkan aku di hadapan kamu. Aku pohon istighfar kepada Allah untukku dan kamu”. Kemudian beliau turun dan aku memegang tangannya. Orang ramai sedang memerhatikannya. Akupun memegang tangannya dengan kuat dan aku mendudukkannya. Aku mengkemukakan orang ramai supaya memberi baiah kepadanya. Aku telah mengiringinya untuk memeriahkannya, dan berkatalah orang yang mengingkari baiahnya: Apakah Ali bin Abi Talib telah lakukan?
Maka aku berkata: Beliau telah mencabutnya dari tengkuknya dan kurang penentangan orang ramai di dalam pemilihan mereka. Beliau hanya tinggal di rumah sahaja. Mereka telah memberi baiah kepada Abu Bakr di dalam keadaan benci. Manakala tersibar baiahnya, maka kami dapat tahu bahawa Ali membawa Fatimah, al-Hasan dan al-Husain ke rumah Muhajirin dan Ansar memperingatkan mereka tentang baiahnya ke atas kami pada empat tempat. Beliau telah menggesa mereka, lalu mereka menyediakan bantuan kepadanya di waktu malam dan menjauhinya di waktu siang.Maka aku telah mendatangi rumahnya berbincang bagi mengeluarkannya dari khilafah.
Hambanya bernama Fidhdhah berkata-aku telah berkata kepadanya: Katakan kepada Ali: Supaya beliau keluar memberi baiah kepada Abu Bakr di mana Muslimun telah bersepakat mengenainya. Beliau menjawab: Sesungguhnya Amir al-Mukminin a.s sibuk. Aku berkata kepadanya: Tinggalkan perkara ini dan katakan kepadanya supaya beliau keluar.
Jika tidak kami akan memasukinya dan mengeluarkannya secara paksaan (wa illa dakhal-na ‘alai-hi wa akhrajna-hu karhan). Lantas Fatimah keluar dan berdiri di balik pintu seraya berkata: Wahai orang yang sesat dan pembohong! (Ayyuha dh-Dhaalluun wa l-Mukazzibuun) Apakah yang kamu katakan? Apa yang kamu mahu? Maka aku berkata: Wahai Fatimah! Fatimah berkata: Apakah yang anda mahu wahai Umar? Maka aku berkata: Apakah gerangan sepupu anda di mana anda sendiri perlu menjawabnya dan beliau telah duduk di balik dinding?
Beliau berkata kepadaku: Celaka anda. Beliau telah mengeluarkan aku, lantaran itu, beliau mesti mengukuhkannya dengan hujah.Setiap yang sesat pasti menipu. Aku berkata: Tinggalkanlah segala kebatilan anda dan cerita-cerita dongeng perempuan (seluruh semesta). Katakan kepada Ali supaya beliau keluar. Fatimah berkata; Tidak ada kasih dan kehormatan. Adakah dengan parti Syaitan anda menakut-nakutkan aku wahai Umar?
Parti Syaitan adalah lemah.Maka aku berkata: Jika beliau tidak keluar, aku akan membawa kayu api dan aku akan menyalakan api ke atas keluarga rumah ini dan membakar mereka yang ada di dalamnya (In lam yakhruj ji’tu bi l-hatabi l-jazal wa adhramtu-ha naran ‘ala ahli hadha l-Bait wa ahriqu man fi-hi) atau Ali dibawa untuk melakukan baiah[1].Aku telah mengambil cemeti Qunfudh, maka akupun memukul (nya). Aku berkata kepada Khalid: Anda dan orang-orang kita hendaklah beramai-ramai mengumpulkan kayu api. Aku berkata: Sesungguhnya aku akan menyalakannya (Inni mudhrimu-ha).
Fatimah berkata: Wahai musuh Allah, musuh Rasul-Nya, dan musuh Amir al-Mukminin! Maka aku telah memukul tangan Fatimah dari pintu, kerana beliau telah menegahku dari membukanya. Aku telah menolaknya, kerana ia menyusahkan aku. Lantaran itu aku telah memukul dua tangannya dengan cemeti, lalu ia menyakitkannya. Aku telah mendengar laungan dan tangisan daripadanya. Aku hampir-hampir berlembut dengannya dan berpaling dari pintu, tetapi aku teringat dendam kesumat Ali, keterlibatannya di dalam pembunuhan ketua-ketua Arab, tipu daya Muhammad dan sihirnya ( wa kaida Muhammad wa sihri-hi),maka akupun telah menendang pintu itu. Perutnya telah melekat di pintu. Aku telah mendengar jeritannya dan aku kira ia telah meliputi seluruh Madinah (Ibid ).
Beliau berkata: Wahai bapaku, wahai Rasulullah! Begitukah beliau (Umar) memperlakukan kepada kekasihmu dan anak perempuanmu. Wahai F[i]idhdhah! Peganglah aku, demi Allah, sesungguhnya kandunganku telah dibunuh (Fa-qad wa Llahi, Qutila ma fi-Ihsya‘i min hamlin). Aku telah mendengarnya merintih di dalam keadaan beliau tersandar di dinding. Aku telah menolak pintu dan memasukinya. Maka beliau telah berhadapan denganku dengan muka yang telah menutup penglihatanku.
Fatimah telah menepuk tudung dua pipinya, lalu terputuslah anting-antingnya dan jatuh bertaburan di tanah. Ali pun keluar.Manakala aku dapat merasai kedatangannya, aku pun segera keluar rumah dan aku berkata kepada Khalid dan Qunfudh serta mereka yang bersama mereka berdua: Aku telah terselamat dari perkara yang besar (Najautu min amrin ‘Azim).
Di dalam riwayat yang lain: Aku telah melakukan jenayah yang besar di mana diriku tidak terasa selamat dengannya. Ini Ali telah keluar dari rumah di mana aku dan kamu tidak ada daya melawannya. Maka Ali pun keluar sedangkan dua tangan Fatimah diangkat bagi mendedahkan pukulan terhadapnya; memohon kepada Allah Yang Maha Besar di atas apa yang telah berlaku. Ali meletakkan kain lembut ke atasnya dan berkata kepadanya: Wahai anak perempuan Rasulullah! Sesungguhnya Allah telah mengutus bapa anda sebagai rahmat kepada seluruh alam.
Demi Allah sekiranya anda membuka kepala anda memohon kepada Allah a.j untuk membinasakan makhluk ini, nescaya Dia menyahuti permohonan anda sehingga tidak tinggal lagi manusia di muka bumi ini.Kerana anda dan bapa anda adalah lebih besar di sisi Allah daripada Nuh(a.s) di mana telah tenggelam kerananya semua orang di muka bumi dan di bawah langit selain daripada mereka yang berada di dalam bahteranya.Dan Dia telah membinasakan kaum Hud, kerana mereka telah membohonginya.
Dia telah membinasakan kaum ‘Aad dengan angin yang kencang. Anda dan bapa anda lebih besar kemampuan daripada Hud. Dia telah menyiksa kaum Thamud seramai dua belas ribu orang, kerana mereka telah membunuh unta betina. Justeru itu, Jadilah anda-wahai penghulu wanita -sebagai rahmat ke atas makhluk ini, dan janganlah anda menjadi sebagai azab. Perutnya bertambah sakit, lalu beliau memasuki rumah dan melahirkan janin. Kemudian Ali menamakannya: Muhsin.
Aku telah mengumpulkan orang ramai, bukan kerana membanyakkan bilangan mereka bagi menentang Ali, tetapi bagi menguatkan mereka dan aku telah datang-ketika beliau dikepung- maka aku telah mengeluarkannya dari rumahnya dengan paksaan dan ditawan, kemudian aku telah mengheretkannya supaya memberi baiah.
Sesungguhnya aku mengetahui dengan yakin, tanpa syak padanya bahawa jika aku dan kesemua mereka di muka bumi ini berusaha sekeras-kerasnya bagi memaksanya, nescaya kami tidak mampu memaksanya. Tetapi beliau lebih mengetahui tentang dirinya. Apabila aku tiba di Saqifah Bani Sa‘idah, Abu Bakr berdiri, dan mereka yang hadir bersamanya mempersendakan Ali (Ibn Qutaibah , al-Imamah wa al-Siasah, I, hlm.14-16 )
Lantas Ali berkata: Wahai Umar! Adakah kamu suka aku mempercepatkan bagi kamu apa yang aku telah menangguhkan bagi kamu? Aku berkata: Tidak, wahai Amir al-Mukminin! Khalid bin al-Walid telah mendengarku, demi Tuhan, lalu beliau bersegera pergi kepada Abu Bakr. Abu Bakr telah berkata kepadanya: Apakah kaitanku dengan Umar…sebanyak tiga kali, orang ramai sedang mendengar.
Manakala beliau memasuki al-Saqifah, Abu Bakr telah berlembut kepadanya.Maka aku telah berkata kepadanya: Anda telah memberi baiah wahai Abu l-Hasan! Beliau pun berpaling, dan memberi penyaksian bahawa beliau tidak memberi baiah kepadanya, dan tidak pula menghulurkan tangannya kepadanya. Aku benci menuntutnya supaya melakukan baiah, nanti beliau akan mempercepatkan bagiku apa yang beliau telah menangguhkannya. Abu Bakr mahu jika beliau tidak melihat Ali di tempat itu, kerana takut dan gerun kepadanya. Ali telah kembali dari al-Saqifah dan kami telah bertanya tentangnya. Mereka berkata: Beliau telah pergi ke kubur Muhammad lalu duduk di sampingnya. Aku dan Abu Bakr berdiri di sampingnya. Kami datang berjalan dan Abu Bakr barkata: Celaka anda wahai Umar! Apakah yang anda lakukan kepada Fatimah? Ini, demi Tuhan, adalah kerugian yang jelas. Aku berkata: Sesungguhnya perkara yang paling besar di atas kamu bahawa beliau tidak memberi baiah kepada kita dan aku tidak percaya bahawa orang ramai menolaknya. Beliau berkata: Apakah anda akan lakukan?
Aku berkata: Anda berpura-pura bahawa beliau telah memberi baiah kepada anda di sisi kubur Muhammad.Maka kami telah mendatanginya dan beliau telah menjadikan kubur sebagai kiblat di dalam keadaan menyandarkan tapak tangannya di atas tanahnya. Dan di sampingnya Salmam, Abu Dhar, al-Miqdad, Ammar, dan Huzaifah bin al-Yaman. Maka kami pun duduk di sampingnya. Aku telah mencadangkan kepada Abu Bakr supaya meletakkan tangannya sebagaimana Ali meletakkannya dan mengakui khilafah dari tangannya.
Maka beliau telah melakukannya. Aku telah mengambil tangan Abu Bakr untuk menyapukan tangannya ke atas tangannya (Ali a.s) Dan aku berkata: Sesungguhnya beliau telah memberi baiah. Ali telah memegang tangannya, maka aku dan Abu Bakr berdiri dan aku akan berkata: Allah akan membalas kebaikan kepada Ali, kerana beliau tidak menegah dirinya dari memberi baiah kepada anda. Manakala aku menghadiri kubur Rasulullah s.a.w, tiba-tiba Abu Dhar Jundab bin Junadah al-Ghifari telah melompat dan melaung serta berkata: Demi Tuhan! Wahai musuh Allah! Ali tidak akan memberi baiah kepada Atiq. Begitulah seterusnya setiap kali kami bertemu dengan orang ramai, kami telah memberitahukan mereka tentang baiah Ali kepada Abu Bakr, tetapi Abu Dhar telah membohonginya (Ibn Qutaibah , al-Imamah wa al-Siasah ,I , hlm.14-16 )
Demi Tuhan, beliau tidak pernah memberi baiah kepada kami pada masa pemerintahan Abu Bakr, pada masa pemerintahanku dan pada masa khalifah selepasku. Seramai dua belas orang lelaki tidak pernah memberi baiah kepada Abu Bakr dan kepadaku. Siapakah yang telah melakukan-Wahai Mu‘awiyah-perbuatanku dan siapakah yang telah bermesyuarat dengan musuh-musuhnya selain daripadaku?! Adapun anda, bapa anda Abu Sufyan dan saudara anda Utbah, maka aku mengetahui pembohongan kamu kepada Muhammad (s.a.w), tipu dayanya, kelakuannya dan tuntutannya di gua Hira’ untuk membunuhnya.
Beliaulah yang telah mengumpulkan al-Ahzab bagi memeranginya dan penunggangan unta oleh bapa anda memimpin al-Ahzab serta kata-kata Muhammad: Allah melaknati si penunggang, pemandu dan penarik. Bapa anda adalah penunggang, saudara anda adalah pemandu, dan anda adalah penarik. Aku tidak melupai ibu anda Hindun. Beliau telah berusha dengan seorang lelaki yang kejam sehingga beliau membunuh Hamzah yang mereka telah menamakannya Asadu r-Rahman (Singa Yang Maha Pemurah) di bumi-Nya.
Beliau telah menikamnya dengan lembing. Beliau telah membelah hatinya dan mengambil hatinya serta membawanya kepada ibu anda.Maka Muhammad dengan sihirnya telah menyangka bahawa apabila beliau memasukkannya ke mulutnya untuk memakannya, maka ianya menjadi batu. Lantaran itu, Muhammad dan para sahabatnya menamakannya: Akilatu l-Akbad (Pemakan hati). Kata-katanya di dalam bentuk syair bagi memusuhi Muhammad dan memeranginya:
Kami adalah anak-anak perempuan Tariq
kami berjalan di atas banta
Seperti mutiara di leher
Seperti Miski di tengah kepala
Jika diterima kami peluk
Jika ditolak kami berpisah dengan permusuhan.
Kelihatan perempuannya dengan pakain kemerahan,
muka dan kepala mereka terserlah
bersedia memerangi Muhammad.
Sesungguhnya kamu tidak menyerah dengan suka rela (Tau‘an). Sesungguhnya kamu telah menyerah secara terpaksa (Karhan) di hari Pembukaan Makkah, maka beliau (Muhammad s.a.w) telah menjadikan kamu, saudaraku Zaid, Aqil saudara Ali bin Abi Talib dan al-Abbas bapa saudara mereka Tulaqa’ (Ibn al-Athir , al-Kamil fi al-Tarikh ,iii, hlm.46-8 )
Bapa anda berkata: Demi Tuhan, Wahai Ibn Abi Kabsyah! Aku akan memenuhi kuda-kuda dan bala tentera menentang anda. Muhammad berkata: Diberitahu kepada orang ramai bahawa sesungguhnya beliau telah mengetahui apa yang ada pada dirinya atau Allah mencukupi syirik Abu Sufyan! Beliau memperlihatkan kepada orang ramai bahawa tidak ada seorang pun yang tinggi selain daripadaku, Ali dan orang yang selepasnya daripada Ahlu l-Baitnya. Maka sihirnya terbatal dan sia-sialah ushanya.
Abu Bakr telah mendapatkannya dan aku selepasnya. Aku berharap, wahai Bani Umayyah, supaya kamu menjadikannya sebagai perayaan. Justeru itu, aku telah melantik anda dan aku menyalahi kata-katanya (Muhammad s.a.w). Aku tidak pedulikan karangan syairnya bahawa beliau berkata: Diwahyukan kepadaku wahyu daripada Tuhanku di dalam firmanNya: “ Dan pokok kayu yang dilaknati di dalam al-Qur’an” Maka beliau telah menyangka bahawa “pokok yang dilaknati itu” adalah kamu Bani Umayyah.
Beliau telah menerangkan permusuhannya terhadap kamu sebagaimana Hasyim dan anak-anaknya adalah musuh Bani Abd Syamsin. Aku- berserta peringatanku kepada anda-Wahai Mu‘wiyah!-menesihati anda, kerana kasihan belasku kepada anda, dan keresahan jiwa anda supaya anda mempercepatkan apa yang aku telah wasiatkan kepada anda tentang pelaksanaan syariat Muhammad (s.a.w) dan umatnya supaya anda menjelaskan kepada mereka tuntutannya dengan cacian atau bergembira kerana kematian atau menolak apa yang dibawanya. Atau memperkecilkan apa yang dibawanya, nescaya kamu akan termasuk orang yang binasa.
Anda merendahkan apa yang anda angkat, anda meruntuhkan apa yang anda telah membinanya. Berhati-hatilah anda jika anda memasuki Masjid Muhammad, dan mimbarnya. Benarkan Muhammad apa yang beliau bawa. Terimalah ia pada zahir. Zahirkanlah keperihatinan anda terhadap rakyat anda. Perlakulah dengan baik terhadap mereka. Berikan kepada mereka hadiah. Laksanalah hukum hudud pada mereka dan gandakanlah jenayah mereka di sebabkan Muhammad. Janganlah anda memperlihatkan mereka bahawa anda meninggalkan hukum Allah. Janganlah anda menentang fardhu. Janganlah anda mengubah Sunnah Muhammad, nescaya umat akan merusakkan kita. Bahkan lakukan kepada mereka menurut keadaan masa. Bunuhlah mereka dengan tangan mereka. Perkuatkan mereka dengan pedang-pedang mereka. Berlembutlah terhadap mereka.
Layanilah mereka dengan baik di majlis anda. Mulialah mereka di rumah anda. Bunuhlah mereka melalui ketua mereka. Zahirkan muka manis, malah tahankan kemarahan anda. Maafkan mereka, nescaya mereka akan mengasihi anda dan mentaati anda. Pemberontakan Ali dan kedua anaknya al-Hasan dan al-Husain tidak akan aman ke atas kami dan anda (Lihat, umpamanya, al-Qunduzi l-Hanafi ,Yanabi‘ al-Mawaddah , hlm. 148-9)
Jika anda boleh menyediakan kelengkapan, maka bersegeralah dan janganlah berpuas hati dengan perkara yang kecil.Tumpulah kepada perkara yang besar. Jagalah wasiatku dan janjiku kepada anda. Sembunyikannya dan jangan sekali-kali menzahirkannya (wa khfi-hi wa la tubdi-hi).Contohilah urusanku dan laranganku. Dan bangkitlah dengan ketaatan kepadaku. Jauhilah anda dari perselisihan denganku. Ikutlah jalan orang yang terdahulu anda. Tuntutlah dendam anda. Hapuskanlah kesan-kesan mereka. Sesungguhnya aku telah mengeluarkan kepada anda rahsi hatiku secara terang-terangan dan aku telah mengiringinya dengan kata-kataku:
Mu‘awi sesungguhnya orang ramai telah besar urusan mereka
Dengan dakwah mereka meliputi muka bumi ini
Aku cenderung kepada agama mereka,tetapi ia tidak menyakinkanku
Aku menjauhi agama yang telah memecahkan belakangku
Jika aku terlupa,aku tidak akan terlupa al-Walid,Syaibah
Utbah,dan al-As di Badr
Di bawah kecintaan hati telah menggigit kerana ketiadaan mereka
Oleh Abu l-Hakam; aku maksudkan yang hina dari kemiskinan
Mereka itu,maka tuntutlah-Wahai Mu‘awi-dendam mereka
Dengan menghunuskan pedang Hind
Hubungilah lelaki Syam secara keseluruhan
Mereka adalah singa sementara yang lain senang dimusnahkan
Bertawassullah secara mencapur-adukkan agama
Yang telah mendatangi kita waktu silam mereka namakan sihir
Menuntut dendam yang berlalu kepada anda secara terang-terangan
Kerana agama meliputi Bani Nadhir
Anda tidak dapat membalas dendam melainkan dengan agama mereka
Anda dibunuh dengan pedang mereka adalah yang baik dari Bani Nadhir
Lantaran itu aku melantik kamu menjadi wali Syam dengan harapan
Anda layak kembali kepada Sakhar.
Beliau berkata: Manakala Abdullah bin Umar selesai membaca perjanjian Surat tersebut, beliau berdiri di sisi Yazid, lalu beliau mengucup kepalanya. Dan beliau berkata: Segala puji bagi Allah-wahai Amir al-Mukminin!-kerana anda telah membunuh al-Syari Ibn al-Syari (Husain bin Ali a.s). Demi Allah! Bapaku tidak mengeluarkan (isihatinya) kepadaku sagaimana beliau telah menegeluarkannya kepada bapa anda.
Demi Allah, tidak seorangpun daripada kumpulan Muhammad yang telah melihatku, akan suka dan meredhaiku. Maka Yazid telah memberi hadiah yang berharga kepadanya dan mengiringinya dengan penuh hormat. Maka Abdullah bin Umar telah keluar di sisinya di dalam keadaan riang-gembira. Orang ramai berkata kepadanya: Apakah beliau telah berkata kepada anda? Abdullah bin Umar berkata: Perkataan yang benar (Qaulan sadiqan lau wadad-tu inni kuntu musyarika-hu fi-hi). Aku mahu jika aku telah bersyarikat dengannya (Yazid) mengenainya (Pembunuhan al-Husain bin Ali a.s). Beliau telah berjalan pulang ke Madinah, dan jawapan yang diberikan kepada mereka yang bertemu dengannya adalah sama”.
Kesimpulan
Surat Khalifah Umar bin al-Khattab kepada Mu‘awiyah bin Abu Sufyan mempunyai keistimewaannya yang tersendiri dari berbagai-bagai sudut di mana pembaca dapat menilainya sendiri. Tidak dapat dinafikan bahawa peristiwa Karbala’ telah menjadi penyabab kepada pendedahan Surat tersebut, kerana Yazid bin Mu‘awiyah ingin membenteraskan sokongan Abdullah bin Umar terhadap kesyahidan al-Husain bin Ali a.s yang akan menyumbang kepada kejatuhan kerajaannya dengan mengkemukakan surat rahsia yang ditulis oleh bapanya Khalifah Umar kepada bapa Yazid; Mu‘awiyah.
Nampaknya pendedahan surat tersebut telah berjaya mengubah pendirian Abdullah bin Umar terhadap peristiwa Karbala’. Justeru itu, kandungan surat tersebut hendaklah dilihat dari aspek ketuhanan, kerasulan, kecintaan kepada Ahlu l-Bait a.s dan lain-lain, kerana ia menjadi penilai hakiki kepada seorang Muslim. Allah lebih mengetahui segala-galanya.
BENARKAH REZIM SAUDI BERFAHAMAN WAHABI, MENYEBARKAN EKSTRIMISME, FAHAM TAKFIRI DAN TERORISME DISELURUH DUNIA?
Berita terkait : Gelombang Kemarahan Terhadap Eksekusi Massal Di Saudi Berlanjut | liputanislam.com
ilustrasi pdf : Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ajarannya.pdf | https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JMFpaMENNdEJobHM/view
Berita Arab Saudi :
Gelombang Kemarahan Terhadap Eksekusi Massal Di Saudi Berlanjut
Up date : Jum'at, 26 April 2019 | 12:02 pm
Riyadh, Gelombang kecaman dan kemarahan terhadap kejahatan terbaru Kerajaan Arab Saudi berupa eskekusi terhadap 37 warganya terus berdatangan dari berbagai kalangan.
Berbagai organisasi, partai, dan tokoh memandang eksekusi yang dilakukan otoritas Saudi pada Selasa 23 April 2019 itu sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Mereka juga menilai Amerika Serikat (AS) merupakan sekutu utama Saudi dalam kejahatan ini karena melindungi Riyadh demi menjaga kepentingan AS di bidang minyak dan pengadaan dana.
Abdullah al-Sarih, salah satu korban dari eksekusi massal di Arab Saudi, mengatakan, “Mereka menuduh kami pembuat onar, padahal kami keluar dengan cara damai demi kehidupan yang kami alami, dan jika tidak keluar kami tidak akan mendapat manfaat. Kami keluar (ke jalanan) secara damai, tapi mereka menuduh kami teroris.”
Kasus eksekusi 37 orang oposisi oleh otoritas Saudi memicu reaksi kemarahan di negara ini, sementara Komisaris Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet mengutuk dan menganggapnya berlebihan, apalagi tiga di antara korban eksekusi adalah anak di bawah umur saat menerima vonis hukuman.
Uni Eropa menganggap eksekusi itu pelanggaran serius terhadap HAM serta dapat memicu ketegangan bermotif sektarian.
Amnesty International menegaskan bahwa eksekusi itu mengkonfirmasi tindakan Riyadh menggunakan hukuman mati untuk membasmi oposisi.
Human Rights Watch (HRW) menyebutkan bahwa banyak korban eksekusi itu di hukum hanya berdasarkan pengakuan yang didapat dengan cara paksa. HRW menekankan bahwa hal ini menunjukkan Riyadh tidak serius berupaya memperbaiki rapor HAM-nya yang buruk.
Hizbullah menyatakan AS adalah mitra bagi rezim Saudi dalam tanggung jawabnya atas kejahatan itu, karena melindungi rezim Saudi, antara lain dengan cara mendesak masyarakat internasional agar menutup mata di depan kejahatan rezim Saudi agar AS dapat menjaga kepentingan finansial dan minyaknya.
Kelompok pejuang Asaib Ahl al-Haq di Irak menyerukan kepada PBB dan lembaga-lembaha peduli kemanusiaan untuk segera turun tangan melindungi warga minoritas Arab Saudi di depan rezim yang menerapkan pola-pola teror sebagaimana terlihat dalam eksekusi tersebut.
Jam’iyyah Al-Wefaq di Bahrain menegaskan bahwa penggunaan eksekusi bermotif politik tidaklah menegakkan keadilan dan stabilitas dan tidak pula membangun kebangsaan. Kelompok besar di Bahrain ini mengingatkan bahwa eksekusi berlatar belakang pemikiran dan keyakinan serta tuntutan politik sangat berbahayalah.
Di depan kedutaan Arab Saudi untuk Inggris di London puluhan aktivis serta tokoh politik dan agama menggelar aksi protes terhadap eksekusi massal tersebut sembari meneriakkan slogan-slogan anti rezim Saudi, dan menegaskan bahwa Riyadh menyebarkan ekstrimisme, faham takfiri, dan terorisme di seluruh dunia. (mm/alalam/liputanislam.com)
SUNNI MENDUDUKKAN ALI SETARA DENGAN NABI HARUN
status : Najwa Az Zahra | Facebook
ilustrasi pdf : Imamah dan Wilayah.pdf | https://drive.google.com/…/0B_l0We7EQa4JbmVDQ2hEcFEyTFk/view | pengarang : Sayid Muhammad Radawi
Muslim Sunni dan Syiah Ibarat Madu dan Kepala Madu bagi Orang Orang Beriman. Imam Muslim meriwayatkan bahwa rasul memfatwakan bahwa kedudukan Ali terhadap beliau sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa. Harun dan Musa, keduanya adalah nabi yang hidup dalam satu masa yang sama. Dengan demikian kedudukan Ali disejajarkan dengan kedudukan seorang nabi.(*) Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi, Abu Ja'far Muhammad bin Ash Shabbah, 'Ubaidullah Al Qawariri dan Suraij bin Yunus, seluruhnya dari Yusuf bin Al Majisyun dan lafazh ini milik Ibnu Ash Shabbah;
Telah menceritakan kepada kami Yusuf Abu Salamah Al Majisyun, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Munkadir, dari Sa'id bin Al Musayyab, dari 'Amir bin Sa'ad bin Abu Waqqash, dari Bapaknya, dia berkata : Rasulullah saww bersabda kepada Ali :
"KEDUDUKANMU DI SISIKU SEPERTI KEDUDUKAN HARUN DI SISI MUSA. HANYA TIDAK ADA NABI SETELAHKU.”
Sa'id berkata :
”Aku ingin sekali menceritakan hal ini kepada Sa'ad.”
Saat aku bertemu dengannya, aku ceritakan kapadanya sebagaimana yang telah di ceritakan Amir kepadaku.
Sa’ad menjawab:
“Aku telah mendengarnya.”
Kembali aku bertanya:
'Benarkah kamu telah mendengarnya?”
Dia meletakan kedua jarinya di telinganya seraya menjawab: “Ya, aku telah mendengarnya. Jika tidak, tentu kedua telinga ini akan diam.”
[Shohih Muslim. Kitab Keutamaan Sahabat. Bab Keutamaan Ali. No 4418]
Karena kedudukannnya setara dengan Nabi Harun, imam Bukhori melekatkan gelar Alahis Salam (as) pada Ali.(*) ALI BERGELAR ALAHIS SALAM
Sebagaimana lazimnya, semua rasul dan nabi bergelar “alahis salam.” Karena kedudukan Ali setara dan sejajar dengan nabi, wajib melekatkan gelar alahis salam baginya. Pelekatan gelar ini pada Ali dapat dilihat pada berbagai kitab kutub as sittah, di antaranya dalam Shohih Bukhori berikut:
.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ حُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ كَانَتْ لِي شَارِفٌ مِنْ نَصِيبِي مِنْ الْمَغْنَمِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَانِي شَارِفًا مِنْ الْخُمْسِ فَلَمَّا أَرَدْتُ أَنْ أَبْتَنِيَ بِفَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاعَدْتُ رَجُلًا صَوَّاغًا مِنْ بَنِي قَيْنُقَاعَ أَنْ يَرْتَحِلَ مَعِي فَنَأْتِيَ بِإِذْخِرٍ أَرَدْتُ أَنْ أَبِيعَهُ مِنْ الصَّوَّاغِينَ وَأَسْتَعِينَ بِهِ فِي وَلِيمَةِ عُرُسِي
.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan yang berkata
Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ali bin Husain bahwa Husain bin Ali radiallahuanhuma mengabarkan kepadanya bahwa ALI ALAIHIS SALAM berkata Aku memiliki seekor unta yang kudapat dari ghanimah dan Rasulullah memberikan unta kepadaku dari bagian khumus (seperlima). Ketika aku ingin menikahi Fathimah Alaihas Salam binti Rasulullah saww aku menyuruh seorang laki-laki pembuat perhiasan dari bani Qainuqa’ untuk pergi bersamaku maka kami datang dengan membawa wangi-wangian dari daun idzkhir, aku jual yang hasilnya kugunakan untuk pernikahanku.
[Shohih Bukhori. Kitab Jual Beli. Jilid 3. Hlm 60. No 1947 atau No 2089, tergantung penerbitnya]
[Juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, Sunan Tirmidzi dan Sunan Abu Dawud]
UNGKAPLAH KEBENARAN MESKIPUN IA PAHIT
Berkatalah yang benar walau itu pahit. Kebenaran tetap diterapkan walau ada celaan dan ada yang tidak suka. Inilah prinsip yang diajarkan dalam Islam oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nasehat ini beliau sampaikan pada sahabat mulia Abu Dzarr.
.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِسَبْعٍ أَمَرَنِى بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِى أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِى وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِى وَأَمَرَنِى أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَسْأَلَ أَحَداً شَيْئاً وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَخَافَ فِى اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ وَأَمَرَنِى أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ
.
Dari Abu Dzaar, ia berkata,
“Kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan tujuh hal padaku:
(1) mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka,
(2) beliau memerintah agar melihat pada orang di bawahku (dalam hal harta) dan janganlah lihat pada orang yang berada di atasku,
3) beliau memerintahkan padaku untuk menyambung tali silaturahim (hubungan kerabat) walau kerabat tersebut bersikap kasar,
4) beliau memerintahkan padaku agar tidak meminta-minta pada seorang pun,
(5) beliau memerintahkan untuk mengatakan yang benar walau itu pahit,
(6) beliau memerintahkan padaku agar tidak takut terhadap celaan saat berdakwah di jalan Allah,
(7) beliau memerintahkan agar memperbanyak ucapan “laa hawla wa laa quwwata illa billah” (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), karena kalimat tersebut termasuk simpanan di bawah ‘Arsy.”
(HR. Ahmad 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih, namun sanad hadits ini hasan karena adanya Salaam Abul Mundzir)
Jangan Berbohong,
Seorang hamba tidak akan menemukan hakikat keimanan yang sebenarnya hingga ia meninggalkan kebohongan di waktu serius ataupun di saat bergurau
~Imam Ali bin Abi Thalib as~
KENALI MAZHAB SUNNI
Mereka adalah kumpulan mazhab yang terbesar di dalam masyarakat muslim yang mewakili 3/4 dari jumlah penduduk Islam di dunia. Empat ulama agung mereka iaitu Hanafi, Maliki, Syafi`ie dan Hanbali adalah individu-individu rujukan mereka dalam perundangan agama (Feqah). Manakala dalam soal aqidah pula, mereka menumpukan kepada pendapat dan fikrah pelopor mazhab Sunni itu sendiri iaitu Abul Hasan al-`Asy`ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Seterusnya kumpulan yang bergelar as-Salafiyah berkembang dan ciri-ciri kepercayaan ini diperbaharui oleh Ibnu Taimiyyah (661-728H) yang digelar sebagai "Yang memulihkan Sunnah". Kemudian fahaman ini terus dikembang dan dipopularkan dengan penyertaan ideologi Wahabi yang mana pengasas dan penciptanya bernama Muhammad bin Abdul Wahhab (M.1787H) dan inilah mazhab pemerintah Arab Saudi sekarang.
Di dalam perbahasan ini, saya tidak berminat untuk menghuraikan dengan panjang lebar mengenai sejarah hidup satu persatu dari mereka. Hanya ingin mengajukan beberapa persoalan agar anda terfikir apakah mazhab-mazhab ini benar-benar bersandar kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Pengasas Aqidah Sunni
Pelopor mazhab Sunni dalam bidang aqidah adalah Syeikh Abul Hasan al-`Asy`ari. Dia dilahirkan pada tahun 260 hijrah dan meninggal dunia pada tahun 330 hijrah.
Abul Hasan pada awalnya merupakan seorang penganut mazhab Mu`tazilah yang dipelajarinya dari Abu Ali al-Jiba`i (235-303H). Dia mengambil pengajaran ilmu Kalam (Tauhid) dari gurunya itu dan seterusnya dia diangkat sebagai wakil bagi gurunya kerana bakatnya yang lebih menonjol dari rakan-rakannya yang lain. Abul Hasan terus bertahan dengan pegangan aqidahnya itu hinggalah umurnya mencecah 50 tahun. Setelah berdialog seterusnya kecewa dengan jawapan gurunya, dia mengambil keputusan untuk membebaskan diri dari fahaman Mu`tazilah lalu mengisytiharkan mazhab baru yang dikenali sebagai Ahlus Sunnah di hadapan orang ramai di atas mimbar pada tahun 310 hijrah (abad ke-3H).
Ulasan
Abul Hasan yang lahir pada tahun 260 hijrah telah membuktikan dia tergolong dari kelompok akhir abad ke-2. Dia juga telah membebaskan dirinya dari seluruh fahaman Mu`tazilah lewat umurnya 50 tahun. Setelah itu, pada tahun 310 hijrah iaitu abad ke-3 barulah dia mengakui kesalahan dan kesilapan atau kesesatan pegangan aqidahnya seterusnya mengisytiharkan fahaman baru.
Persoalannya, abad ke-3 adalah sangat jauh dengan zaman Nabi dan para sahabat. Jadi, apakah sumber pengambilan bagi aqidah baru ciptaannya itu? Apakah sumbernya sama dengan rujukannya ketika berfahaman Mu`tazilah dahulu iaitu al-Quran dan as-Sunnah? Jika benar mengapa ketika dia berfahaman Mu`tazilah langsung tidak dapat memahami kedua sumber tersebut sejak awal lagi hingga perlu menunggu sampai umurnya 50 tahun baru dia menyedari fahamannya sebelum ini telah sesat? Apakah tahap pemahamannya kurang ketika itu hinggalah umurnya tua baru dia dapat memahami kedua sumber rujukan Islam tersebut? Jika diteliti, Abul Hasan tetap akan menggunakan akal dan pemahamannya yang sama untuk memahamai al-Quran dan as-Sunnah. Jadi, apakah jaminan bahawa fahaman baru yang diisytiharkannya itu benar-benar shahih dan haq di sisi Allah s.w.t? Jika benar dia seorang yang bagus dalam pemahaman al-Quran dan as-Sunnah, maka sudah tentu sejak awal lagi dia tidak menganut mazhab Mu`tazilah. Sebaliknya, sudah tentu mazhab Sunni ciptaannya sudah lama diperkenalkan di mata dunia?
Seterusnya, 4 orang ulama mujtahid mutlaq feqah yang bernaung di bawah aqidah Abul Hasan adalah lebih awal lahir dan mati sebelumnya. Jadi, kepada siapakah para pengikut Sunni merujuk soal aqidah mereka sebelum kelahiran Abul Hasan? Apakah umat Islam sebelum itu berada dalam kesesatan tanpa memperdulikan soal aqidah dan hanya menumpukan soal feqah hinggalah Abul Hasan lahir memperbetul dan menyusun aqidah mereka? Jika begitu, apakah syariat itu sah tanpa aqidah yang betul? Apakah pula mazhab feqah yang dianuti oleh Abul Hasan?
Pengasas-Pengasas Bidang Feqah Sunni
Sementara dalam soal perundangan Islam pula, golongan Sunni berpegang kepada salah satu dari 4 ulama mereka iaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris dan Ahmad bin Hanbal. Berikut huraian ringkas mengenai mereka:
1- Abu Hanifah - Nama sebenarnya ialah Nu`man bin Tsabit. Dilahirkan pada tahun 80 hijrah iaitu pada zaman pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan meninggal dunia pada tahun 150 hijrah. Abu Hanifah muncul popular di Kufah pada zaman kekuasaan al-Hajjaj. Kepadanyalah mazhab Hanafi disandarkan. Kini sebahagian besar masyarakat Cina menganut mazhabnya.
2- Malik bin Anas bin Malik - Dilahirkan pada tahun 93 hijrah dan meninggal dunia pada tahun 179 hijrah. Dia merupakan pelopor mazhab Maliki yang kini sebahagian besar masyarakat Pakistan dan India menganutinya.
3- Muhammad bin Idris asy-Syafi`ie - Dia adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi`ie. Dilahirkan pada tahun 150 hijrah dan meninggal dunia pada tahun 204 hijrah. Mazhabnya kini diamalkan di Malaysia secara wajib.
4- Ahmad bin Hanbal - Nama sebenarnya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Dilahirkan pada bulan Rabi`ul Awwal tahun 164 hijrah di kota Baghdad dan meninggal dunia pada tahun 241 hijrah.
Menerusi tarikh hidup para mujtahid mutlak Sunni ini, ternyata mereka muncul pada zaman yang jauh dari zaman hidup Nabi s.a.w. Jika pihak Sunni mengatakan bahawa mereka penegak sunnah Rasul yang sebenar, maka mengapa mazhab-mazhab ini yang memiliki pengikut tersendiri hanya muncul setelah sekian lama kewafatan Rasul? Bagaimana pula keempat-empat mereka ini boleh bernaung di bawah satu nama iaitu Ahlus Sunnah Wal Jamaah ciptaan Abul Hasan yang lahir lewat dari mereka? Di manakah Ahlus Sunnah sebelum kemunculan mazhab-mazhab ini? Apakah pula mazhab aqidah yang setiap seorang dari mereka anuti?
Selain itu juga, bagaimana hanya 4 orang individu ini sahaja yang wujud dan kekal disebut-sebut hingga kini, sedangkan kita amat ketahui bahawa sebelum kemunculan mereka berempat terdapat banyak lagi ulama yang sudah sekian lama masyhur. Bahkan ramai lagi individu yang sezaman dengan mereka yang lebih alim dan warak seperti Sufyan ats-Tsauri, Sufyan `Uyainah, al-Awza`i, Laits bin Sa`ad, Ja`afar as-Sodiq a.s, Ibnu Jarir, al-A`amasy, asy-Sya`bi dan ramai lagi. Di manakah menghilangnya mereka semua? Sebaliknya, hanya 4 orang sahaja yang terus diagung-agungkan, bahkan "di-wajibkan-kan" kita berpegang kepada salah satu dari mereka. Jika tidak, kita akan dituduh sesat dan menyimpang.
Inilah beberapa persoalan yang perlu kita fikirkan. Sementara yang lainnya anda harus mengkaji riwayat hidup setiap seorang dari mereka untuk mendapatkan jawapan yang memuaskan hati anda. Di sana nanti anda pasti akan menemukan bahawa seluruh pengasas mazhab tersebut mempunyai kedudukan yang baik di sisi pemerintah samada di awal kemunculan mereka atau di akhir-akhir hayat mereka. Di samping pengikut mereka yang ramai, dengan mudah menyebarkan pendapat dan fatwa ''imam-imam'' mereka. Sementara para ulama yang lain pula, mereka lebih rela melarikan diri dari pihak pemerintah kerana takut agama mereka terfitnah dan tergadai.
Meskipun hanya 4 individu yang tinggal, tetapi perbalahan pendapat tetap hangat dan memeningkan kepala orang awam untuk memilih siapakah diantara fatwa mereka yang tepat dan benar. Sebagai contoh seorang qadhi di Halab (Syria) iaitu Syeikh Muhammad Mar`ie al-Anthoki yang dahulunya seorang bermazhab Syafi`ie berkata:
"Pernah aku berbincang dengan saudaraku syeikh Ahmad mengenai pertentangan pendapat di antara mazhab-mazhab dan kami mendapati bahawa sebahagian mereka menghalalkan dan sebahagian pula mengharamkan. Sebagai contoh, Syafi`ie mengatakan bahawa menyentuh wanita ajnabi membatalkan wudhu` tetapi sebaliknya bagi Hanafi. Sementara Malik pula berpendapat tidak batal wudhu` melainkan menyentuh dengan syahwat atau sengaja menyentuhnya. Syafi`ie berpendapat halal menikahi anak sendiri dari hasil zina tetapi ia bertentangan pula dengan 3 yang lain (Maliki, Hanafi dan Hanbali). Hanafi berpendapat wajib berwudhu` jika darah keluar dari badan walaupun sedikit tetapi sebaliknya bagi 3 imam yang lain. Hanafi juga berkata boleh mengambil wudhu` dengan air tuak (Nabiz) dan susu yang bercampur air sebaliknya ia ditentang oleh 3 yang lain. Malik pula membolehkan memakan daging anjing tetapi sebaliknya bagi 3 yang lain. Syafi`ie berpendapat boleh memakan daging anjing hutan (Dhobu`), anak anjing atau anak binatang buas (Jariy) dan musang sedang Hanafi mengharamkannya. Syafi`ie menghalalkan memakan daging landak sedang yang 3 yang lain mengharamkannya. Dan banyak lagi perbalahan dan pertentangan di dalam feqah dari awal hingga akhirnya"
Inilah mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Mazhab yang memiliki 4 ulama yang saling bertentangan pendapat dalam soal feqah tetapi bernaung di bawah satu bumbung aqidah. Bahkan mereka diberikan kuasa penuh untuk berfatwa oleh pengikut dan penyanjungnya. Seterusnya hanya mereka yang menjadi sumber asas agama Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Di sini saya terfikir:
Sekiranya keempat-empat mereka ini mendakwa mengikut al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber rujukan hukum mereka, maka mengapa terjadi perselisihan pendapat diantara satu sama lain? Bukankah mereka saling berhubungan? Abu Hanifah seperguruan dengan Malik, Manakala Syafi`ie pernah belajar dengan Malik. Ahmad pula - dikatakan - belajar dengan Syafi`ie tetapi perselisihan pendapat tetap berlaku. Bahkan ada pula yang menukar fatwa lama dengan mengeluarkan fatwa baru seperti Syafi`ie yang mana ketika dia berada di Iraq dia telah mengajar dan berfatwa, tetapi setelah tiba di Mesir fatwanya berubah. Disebabkan itulah mazhab Syafi`ie memiliki dua fatwa iaitu fatwa lama (قول قديم) dan fatwa baru (قول جديد). Apakah ilmu pemahaman mereka terhadap kedua sumber Islam tersebut benar-benar mantap, sempurna dan meyakinkan? Ini amat diragui.
Bidasan:
Mungkin ramai yang akan berhujjah dengan mengatakan bahawa perselisihan pendapat diantara mereka hanyalah berkitar pada hukum-hukum feqah sahaja tidak pada aqidah.
Saya menjawab:
Mungkin benar alasan ini. Tetapi perselisihan yang berlaku bukan kerana soal kedunian tapi soal akhirat. Ianya membabitkan soal ibadah kita kepada Allah iaitu syariat Islam. Jika ibadah kita yang tertuju kepada Allah sudah huru-hara, maka bagaimana pula dengan soal lainya? Siapa pula diantara mereka yang benar dalam fatwanya? Semua benar? Mustahil! Jika hukum yang diambil adalah dari al-Quran dan as-Sunnah, maka pasti timbul persoalan iaitu Allah Esa, al-Quran satu, Nabi satu dan hadits juga satu. Jadi bagaimana pula boleh banyak pula hukumnya?
Sebagai contoh tentang sembahyang. Mazhab Syafi`ie berpendapat bahawa meletakkan tapak tangan kanan ke atas tangan kiri adalah sunnah, tetapi bagi pendapat Maliki ia merupakan perlakuan yang makruh. Di sini anda perlu tentukan siapakah diantara keduanya yang benar-benar shahih.
Contoh lain lagi, mazhab Syafi`ie, Hanafi dan Hanbali berpendapat bahawa daging anjing adalah haram dimakan tetapi mazhab Maliki menghalalkannya. Anda mahu memakan daging anjing?
Cubalah anda renung-renungkan permasalahan ini. Semoga anda mendapat rumusan yang lebih baik dari saya.
KALIAN MINTA SYAFAAT NABI SAW, KALIAN MENGUBAH-NGUBAH HADIS NABI SAW MENGIKUT KEHENDAK PENGUASA, KALIAN MENGAKU-NGAKU SEBAGAI AHLUL SUNNAH SEJATI, TAPI KALIAN MELECEHKAN NABI SAW
Shohih Bukhori :
1. Hal 3, Hadis no.4 : Nabi takut dengan Malaikat (Qs. 10:62 dan 2:34)
2. Hal 24, Hadis no.46 : Nabi lupa
3. Hal 59, Hadis no.119 : Sahabat Melihat Nabi sedang buang air besar....
4. Hal 59, Hadis no.120 : Nabi membiarkan istri-istrinya buang air di tempat terbuka dan Umar mengingatkan Nabi saw, tetapi Nabi tidak mau hingga turun ayat Hijab.
5. Hal 75, Hadis no.168 : Nabi kencing berdiri. (61:1-2
لما تقول ما لا تفعلون... ) 6. Hal 84, Hadis no.193 : Nabi menggilir istri-istrinya dalam 1 malam.
7. Hal 85, Hadis no.197 : Nabi Musa telanjang dan dilihat oleh umatnya.
8. Hal 89, Hadis no.208 : Aisyah kumpul dengan Nabi dalam keadaan haid.
9. Hal 191, Hadis no.463 : Manusia akan melihat wujud Allah pada Hari kiamat. (6:103 dan 7:143)
10. Hal 377, Hadis no.960 : Nabi tidak sholat malam bertentangan dengan Qs.17:79 وَ مِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ...
11. Hal 380, Hadis no.971 : Nabi tidak mengetahui tentang puasa pada hari Asyura lalu orang yahudi mengajarkannya.
12. Hal 467, Hadis no.1164 : Nabi mengundi Istri-Istrinya.
13. Hal 558, Hadis no.1356 : Takdir baik dan takdir buruk. (90:8-10....و هديناه نجدين....)
14. Hal 566, Hadis no.1384 : Nabi terkena sihir..
15. Hal 760, Hadis no.1771 : Allah menggenggam seluruh Bumi dan melipat seluruh Langit dengan tangan kanan-Nya.
16. Hal 763, Hadis no.1780 : Allah meletakan kaki-Nya ke dalam Neraka.
Semoga buku ditangan anda bermanfaat dan akan menjelaskan dengan lebih rinci, selamat mengkaji, jangan dilewati begitu saja :
https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JRTlEZGc0dVdIQ2M/viewAl-Syiah Hum Ahlu Sunnah
“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin atau mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan adalagi bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah sesat dalam kesesatan yang senyata-nyatanya". (QS. 33: 36) Rasul bersabda : Barang siapa yang ingin sehidup semati denganku dan mendiami surga 'Adn yang disediakan Tuhanku, hendaknya ia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya sepeninggalku, mendukung penggantinya serta mengikuti jejak Ahlu Baitku setelah aku. Sebab mereka itu adalah 'Itrah (keturunan suci) ku. Dijadikan mereka itu (oleh Allah dari darah dagingku. Dilimpahkan-Nya atas mereka itu paham serta ilmuku. Terkutuklah orang-orang yang mengingkari keutamaan mereka dan menolak hubungan mereka denganku. Orang-orang itu tidak akan mendapat syafaatku.
(Kitab referensi hadits : Ath-Thabrani " Al-Kabir "Musnad Ar-Rafi'i : “Al Kanz menukil dari Musnad Ahmad bin Hambal ; "Al-Hiliyah “ Abu Nu'aim ; “Syarh Nahjul Balaghah " Ibnu Abil Hadid ; "Manaqib" Karya Ahmad bin Hambal)
SYIAH SEBENAR-BENARNYA AHLU SUNAH NABI (SAW)
Studi kritis informatif polemik antara KLAIM dan FAKTA ?
Informasi langsung yang kalau boleh dibilang hampir-hampir tidak ada tentang mazhab Syiah ini padahal dianut oleh hampir sepertiga jumlah populasi persaudaraan Muslimin sedunia; sangat penting untuk kita ketahui. Apakah alasan dasar prinsip-prinsip Islam yang mereka yakini? Selama ini kita selalu menerima gambaran dan informasi sepihak yang agak miring tentang keberadaan mereka. Informasi yang baru dalam buku Prof. Dr. Muhammad Tijani ini layak untuk kita jadikan penelitian sebagai petunjuk jalan dari banyak jalan yang harus kita ketahui agar sampai kepada tujuan kebenaran hakiki. Dalam buku ini anda akan mendapatkan informasi murni asli dari sumbernya.
Ahlu Sunah, Apakah benar mereka Ahlu Sunnah Nabi (saw) yang sebenarnya ? Apakah ini hanya sekedar KLAIM atau FAKTA?
“Orang yang mengetahui banyak jalan akan selamat dan cepat sampai ditujuan." (Sayidina Ali Kw)
Ambillah hikmah walau dari tangan seorang kafir. Karena itulah milik islam yang disia-siakan dan ditelantarkan. (Hadits),
Sebagai seorang pengikut, pencari dan pencinta kebenaran sudah selayaknya kita mengambil informasi dari segala sumber dan tidak merasa telah memiliki kebenaran mutlak.
Prof. Dr. Muhammad Tijani
Mudah-mudahan dalam buku ini anda akan mendapatkan banyak sumber informasi yang baru yang bisa anda jadikan bagian dari tugas dan tanggung jawab penelitian anda untuk sebuah pencarian kebenaran.
MENCINTAI AHLUL BAIT NABI SAW
ITU BERAT?
ilustrasi video : Mencintai Ahlulbait Nabi saww itu berat, harus bisa bersabar dan kuat menanggung risiko-risikonya | Sahara Channel
Ceramah sangat menarik tentang persoalan ini oleh Sayyid Baha' al-Musawi.
"Siapa yang berpegang teguh pada kebenaran (Berwilayah Kepada Kami - Ahlulbait) maka Ia telah menggemgam bara api."
Seluruh penduduk langit dan bumi mencari perantara untuk menuju kepada-Nya. Ahlul bait adalah perantara-Nya di antara makhluk-Nya, mereka adalah orang-orang keistimewaan-Nya dan tempat menyimpan kesucian-Nya, mereka adalah hujjah-Nya berkenaan dengan rahasia ghaib-Nya, dan mereka ahlul bait nabi saw adalah pewaris para nabi-Nya”.
"Akan datang kepada umatku suatu zaman yang ketika itu orang yang berpegang kepada agamanya seperti menggenggam bara api." (HR. At-Tirmidzi)
Nabi shallaAllahu `alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal pada waktu itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seseorang bertanya: “Lima puluh dari mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “lima puluh kali kamu sekalian (yakni para sahabat).” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494)
Wallahu 'alam.
Riwayat terkait :
TAHUKAH KALIAN SIAPA AGAKNYA KAKEK YANG MEMPERMALUKAN MUAWIYAH?
Jabir bin Abdullah Anshari bercerita seperti berikut ini:
Pada suatu hari, saya berkunjung ke Syam (Suriah). Setibanya di Syam, saya berjumpa dengan Muawiyah bersama dua anaknya, Khalid dan Yazid, serta ‘Amr bin ‘Ash. Tiba-tiba seorang tua yang berasal dari Irak muncul. Ia sudah renta dengan memakai ikat pinggang yang terbuat dari pelepah kurma, memakai sandal terbuat dari pelepah kurma, dan mengenakan pakaian yang sudah usang. Pandangannya tertunduk ke bawah.
“Sebaiknya kita bergurau dengan orang tua ini, dan sedikit kita bergembira ria,” ujar Muawiyah..
Muawiyah: Hai Syeikh! Dari mana kamu datang dan hendak ke mana kamu pergi?
Orang tua itu tidak menjawab...
‘Amr bin ‘Ash: Hai Orang tua! Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaan Amirul Mukminin?
Orang tua: Setelah keluar dari masa jahiliah, Allah telah menetapkan salam selain salam yang telah diucapkan oleh Muawiyah itu..
Muawiyah: Hai Syeikh! Betul kamu dan saya salah. Assalamu ‘alaika, hai Syeikh..
Orang tua: Alaikumus salam..
Muawiyah: Dari mana kamu datang dan hendak ke mana kamu pergi?
Orang tua: Saya datang dari Irak dan hendak menuju Baitul Maqdis..
Muawiyah: Bagaimana berita dari Irak?
Orang tua: Penuh kebaikan dan berkah..
Muawiyah: Kamu berkata berasal dari Kufah dan dari tanah Ghurri?
Orang tua: Apa itu Ghurri??
Muawiyah: Tempat Abu Turab berdomisili.
Orang tua: Siapakah Abu Turab?
Muawiyah: Ali bin Abi Thalib.
Orang tua: Hai Muawiyah! Semoga Allah mempermalukanmu dan melaknat orang tuamu! Mengapa kamu tidak menyebutnya sebagai imam yang adil, tempat rakyat berlindung, pemimpin agama, pembasmi musyrikin, pedang Allah yang senantiasa terhunus, anak paman Rasulullah saw, suami Sang Batul, mahkota para fuqaha, harta simpanan orang-orang fakir, penghuni Kisa’ yang kelima, singa yang selalu menang, ayah Hasan dan Husain, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as..!!
Muawiyah: Hai Syeikh? Saya lihat daging dan darahmu telah bercampur dengan daging dan darah Ali. Jika ia mati, jangan sampai engkau menanggung sebuah pekerjaan dan engkau tidak mampu melaksanakannya...
Orang tua: Semoga Allah tidak mencobaku dengan keterhalangan darinya dan semoga Dia mengagungkan kesedihanku. Akan tetapi, ketahuilah bahwa Allah tidak akan memanggil pemimpin dan junjunganku sebelum salah satu dari keturunannya Dia tunjuk sebagai hujah bagi semesta alam..
Muawiyah: Hai Syeikh! Sepertinya engkau salah alamat..
Orang tua: Saya telah menunjukkan jalan yang lurus kepada siapa yang menghendaki..
‘Amr bin ‘Ash: Hai Muawiyah! Sepertinya orang ini tidak mengenalmu sehingga ia berani kurang ajar..
Muawiyah: Hai Syeikh! Apakah kamu mengenalku??
Orang tua: Tidak..
Muawiyah: Saya adalah anak Abu Sufyan, pohon yang suci dengan rerantingan yang menjulang tinggi dan pemuka Bani Umaiyah...
Orang tua: Hai Muawiyah! Sebaliknya. Engkaulah orang yang disebutkan oleh Rasulullah saw dengan nama la’în (orang terlaknat). Maksud syajarah mal’ûnah (pohon terlaknat) dalam Al-Quran adalah dirimu. Akar keturunan yang hina adalah dirimu. Engkaulah yang telah berbuat lalim atas dirimu dan mengingkari Tuhanmu.
Engkaulah maksud sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Kekhalifahan adalah haram bagi anak Abu Sufyan.” Engkaulah pendosa, anak seorang pendosa, dan anak Hindun pemakan hati. Engkaulah orang lalim yang kelalimannya telah menguasai seluruh hamba Allah..
Lantaran amarah, wajah Muawiyah menjadi merah lebam dan seluruh urat lehernya tampak kelihatan jelas. Ia memegang gagang pedang dan menghampiri orang tua itu. Akan tetapi, ia berusaha mengontrol amarahnya seraya berkata, “Seandainya memaafkan bukanlah perbuatan yang terpuji, niscaya saya sudah ambil kepalamu. Hai Syeikh! Bagaimana pendapatmu apabila saya penggal kepalamu?”
Orang tua itu menjawab dengan tenang, “Ketika itu, saya akan sampai ke puncak kebahagiaan dan engkau akan sampai ke puncak kesengsaraan.”
Muawiyah berpendapat bahwa membunuh seorang tua bangka yang hari ini atau besok akan meninggal dunia tidak akan berguna. Oleh karena itu, ia mengalihkan pembicaraan seraya berkata, “Hai Syeikh! Pada hari Ali membunuh Utsman, kamu berada di mana?”
Orang tua: Tidak demi Allah! Ali tidak membunuh Utsman. Jika Ali ingin membunuh Utsman, maka ia tidak akan pernah menggunakan makar dan tipu muslihat. Ia akan membunuh Utsman dengan pedang yang tajam dan lengan yang kuat. Ali kala itu hanya diam demi menjaga wasiat Rasulullah saw..
Muawiyah: Apakah kamu mengikuti Perang Shiffin sehingga menyaksikan Ali menumpahkan darah?
Orang tua: Saya ikut. Betapa banyak anak-anak dari pasukanmu yang telah saya yatimkan. Bak pedang yang sedang marah, kadang-kadang saya berperang dengan menumpahkan anak panah dan kadang-kadang pula dengan tombak. Saya telah melemparkan 73 panah ke arahmu. 2 anak panah mengenai perisaimu, 2 anak panah mengenai dahimu, dan 2 anak panah menembus lenganmu. Jika kamu menanggalkan pakaian, maka bekas anak panah itu akan terlihat..
Muawiyah: Apakah kamu menghadiri Perang Jamal; yaitu ketika Ali memerangi Aisyah, istri mulia Rasulullah saw? Pada perang ini, siapakah yang benar??
Orang tua: Ali adalah pihak yang benar..
Muawiyah: Bukankah Allah telah berfirman, “Seluruh istrinya (Muhammad) adalah ibu mereka?” [1] Seluruh istri Rasulullah adalah ibu umat ini. Lalu, mengapa Ali memerangi Aisyah??
Orang tua: Bukankah Allah telah berfirman kepada Aisyah dan seluruh istri Rasulullah saw yang lain, “Dan hendaklah kalian menetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu?” [2] Akan tetapi, dari sekian istri Rasulullah saw, hanya Aisyah yang enggan menerima perintah Allah itu dan meninggalkan rumah. Lalu, ia keluar mengikuti aturan jahiliah bersama sekelompok banyak nonmuhrim dan keluar untuk memerangi Amirul Mukminin Ali as.
Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda, “Engkau, hai Ali, adalah khalifahku atas seluruh istriku. Perceraian mereka ada di tanganmu.”
Dengan itu semua, Aisyah berkali-kali menyulut api fitnah sehingga darah muslimin ditumpahkan dan harta benda mereka dilindas habis..
Muawiyah: Engkau sudah tidak memberi kesempatan kepadaku untuk berbicara. Maukah kamu saya beri hadiah 20 ekor unta berbulu merah dengan punggung yang penuh muatan madu, minyak goreng, dan gandum berkualitas tinggi??
Orang tua: Saya tidak mau.
Muawiyah: Mengapa??
Orang tua: Rasulullah saw pernah bersabda, “1 Dirham halal adalah lebih baik daripada unggukan Dirham haram.”
Muawiyah: Hai Syaikh! Kapankah masa umat ini menjadi gelap gulita dan cahaya rahmat padam?
Orang tua: Setelah engkau memimpin umat ini dan ‘Amr bin ‘Ash menjadi wazirmu.
Muawiyah: Hai Syaikh! Bergegaslah pergi dari hadapanmu. Jika saya sekali lagi melihatmu berada di Damaskus, maka saya pasti memenggal kepalamu..
Orang tua: Saya tidak akan pernah tinggal di sebuah tempat yang kamu berada di tempat itu, karena Allah berfirman, “Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan.” [3]
Setelah berkata demikian, orang tua beriman yang hatinya penuh dengan kecintaan kepada Imam Ali as itu menoleh sejenak ke arah Mua’wiyah yang tertegun bak orang dungu dan orang-orang di sekitarnya. Lalu, ia melanjutkan perjalanan menuju Baitul Maqdis.[4]
Catatan Kaki :
1. QS. Al-Ahzab : 6.
2. QS. Al-Ahzab : 33.
3. QS. Hud : 113.
4. Nâsikh Al-Tawârîkh, hlm. 124.
Tak seorangpun layak memegang bendera kepemimpinan...
Kecuali orang yang mengerti kepemimpinan, sabar, teguh dan tahu letak-letak kebenaran..
- Amirul Mukminin Imam Ali alaihis salam -
Andai kecintaan itu diperumpamakan sebuah rantai...
maka cintalah yang mengaitkan bagain-bagiannya hingga satu sama lainnya tidak akan terlepas.
Inilah arti sebuah washilah yang mana Allah Swt katakan...
"...carilah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan jalan itu tidak ada yang lebih erat kecuali cinta (Mahabbah)
penulis : http://quran.al-shia.org/
ilustrasi video : Misteri Penolakan Fatimah Zahra Terhadap Baiat Saqifah Bani Saidah | sahara tv Channel
Misteri Penolakan Fatimah Zahra Terhadap Baiat Saqifah Bani Saidah, Menurut Ulama Syiah Sayyid Sami Badri.
CINTA AHLUL BAIT SEBAGAI UPAH RISALAH RASULULLAH SAW ADALAH KECINTAAN YANG DIBARENGI OLEH WILAYAH DAN IMAMAH
قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى وَ مَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فيها حُسْناً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Katakanlah (Wahai Rasulullah):"bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku dan barang siapa berbuat baik Kami akan menambahkan di dalamnya kebaikan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
POROS PEMBAHASAN
Ulama Ahli sunah terperangkap dalam praduga dan tafsir bi ra'y dalam menjelaskan ayat ini. Oleh karena itu, banyak pendapat yang begitu unik yang mereka kemukakan yang insya Allah pada pembahasan mendatang akan kami bahas. Sedangkan para ulama Syi'ah dengan bersandar kepada ajaran dan tuntunan Ahlul bait a.s. telah mengemukakan penafsiran yang jelas dan baik sekali.
SEKILAS TENTANG AYAT-AYAT SEBELUMNYA
Untuk lebih mempermudah dalam memahami ayat Mawaddah ini, perlu dijelaskan secara global tentang ayat sebelumnya dan awal dari ayat ini yang tidak kami sebut di atas.
الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ
Dan mereka yang beriman dan beramal saleh, setelah menjelaskan nasib yang ditimpa oleh kaum durjana dan masa depan suram yang akan mereka jumpai, Allah Swt menggambarkan masa depan penuh gemilang kaum muslim yang telah mengkolaborasikan keimanan dengan amal saleh dan tidak mencukupkan diri dengan dua syahadat, akan tetapi lebih dari itu, mereka melakukan amal saleh dengan segala upaya. Dalam ayat mulia ini, selain pemaparan masa depan seorang mukmin yang beramal saleh juga menyebutkan tiga pahala yang akan mereka terima, di mana pahala kedua lebih baik dari pahala pertama dan pahala ketiga lebih istimewa dari pada pahala kedua.
روضات الجنات Pahala pertama mereka adalah di hari kiamat mereka akan menempati surga. Di manakah روضات الجنات itu? Jawab, jika kita menelaah seluruh Al-Quran maka kalimat ini tidak akan dijumpai kecuali dalam ayat 22 surah Syura ini saja. Orang Arab menyebut taman yang hijau dan rindang, segar dan menyimpan banyak air dengan Raudhah. Terkadang kata ini juga digunakan untuk tempat genangan air. Hanya saja maksud kita dari kata ini dalam kajian kali ini adalah arti yang pertama yaitu taman yang rindang sejuk dan asri.
Soal: mengingat seluruh surga itu hijau dan rindang, lalu apa perlunya menyebut dengan jumlah tadi?
Jawab, ini disebabkan selain surga mereka juga akan memiliki taman dan kebun lain yang khusus dihadiahkan bagi para hamba Allah Swt.
Hasilnya, pahala pertama yang akan dinikmati oleh seorang mukmin yang beramal saleh adalah tinggal di taman-taman surga.
لهم مایشاؤن Orang mukmin yang melakukan amal saleh selain akan menghuni taman-taman surga itu, juga akan diberi imbalan lain berupa terkabulkannya segala hal yang mereka kehendaki. Sungguh ini merupakan nikmat materi yang teramat besar di mana apa yang diinginkan terwujud dan terealisasi.
عند ربهمNikmat-nikmat surgawi gabungan antara nikmat materi dan non materi. Dari sisi materi, sebagaimana telah disebutkan, seorang mukmin yang beramal saleh berada pada posisi yang terbaik, dan dari sisi spiritual mereka juga demikian; karena mereka berada di sisi Allah Swt, itu adalah posisi para syahid yang disebut dalam surah Ali Imran ayat 169. Akan tetapi kita tidak mengetahui maksud dari di sisi tuhan mereka itu, serta berkah-berkahnya. Dia Mahatahu.
ذلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبيرُ Itu merupakan keutamaan yang besar. Mengingat nikmat-nikmat tertinggi baik materi maupun non materi telah disiapkan untuk hamba-hamba mukmin yang beramal saleh, Allah menamakan semua itu dengan keutamaan yang besar. Dan saat Allah Swt yang Maha segala-galanya mengatakan keutamaan yang besar, maka kita sebagai manusia yang terbatas, sebesar apapun yang kita bayangkan akan terasa kecil dan nihil.
Hasilnya, tolok ukur penghambaan terhadap Allah dua hal: Iman dan amal saleh. Oleh karena itu, hal-hal lain seperti ilmu, kekayaan, harta dan kekuatan, posisi di tengah-tengah masyarakat semua akan bernilai dan berharga saat berada di jalan keimanan dan amal saleh.
PENJELASAN DAN TAFSIR
KECINTAAN KEPADA AHLUL BAIT, UPAH RISALAH
Tanpa diragukan lagi, Rasulullah Saw dalam menyampaikan risalah dan mengemban tugasnya telah menerima berbagai kesulitan dan penderitaan; akan tetapi beliau sama sekali tidak meminta balasan kepada siapapun akan usaha mulia yang telah beliau lakukan. Di saat para sahabat datang dan menawarkan diri dengan berkata: Jika anda butuh materi; uang atau yang lain maka berapapun yang Anda minta akan kami berikan, maka turunlah ayat di atas[1] dan menjelaskan bahwa Rasulullah tidak akan meminta upah dari siapapun, selain cinta terhadap kerabat terdekatnya.
Dengan demikian, Rasulullah meminta upah jerih payah beliau mengemban tugas selama 23 tahun untuk Islam dan muslimin dengan kecintaan terhadap Qurba.
SIAPAKAH QURBA ITU?
Seluruh pembahasan ayat mulia ini bermuara pada maksud dari kata Qurba. Memang sebuah pertanyaan penting siapa gerangan Qurba yang menjadi upah jerih payah Rasulullah Saw dalam menyebar luas akan ajaran sucinya.
Sebagian ulama dan mufasir begitu mudah melewatkan kajian ayat mulia ini dan tidak menyibukkan dirinya dalam memahami kandungannya. Hal ini bisa jadi dikarenakan kandungan ayat ini tidak sesuai dengan praduga mereka dan memaksa mereka berbuat demikian. Padahal ayat ini memiliki kandungan yang begitu dalam. Untuk memahami keagungan ayat dan kandungannya ini cukuplah kita menyadur ungkapan para nabi di dalam Al-Quran tentang upah risalah ini.
Jika kita menelaah surah Asy-Syu'ara kita akan mendapati bahwa masalah upah risalah para nabi sebelum Rasulullah; Nabi Nuh, Hud, Saleh, Luth dan Syu'aib juga telah disinggung. Akan tetapi semuanya tidak meminta upah apa-apa bahkan mereka juga tidak meminta kerabat mereka dicintai atau dihormati. Mereka hanya berkata:
وَ ما أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلى رَبِّ الْعالَمينَ
"Dan aku tidak meminta dari kalian upah apapun, upahku hanya tuhan semesta alam".[2]
Bagaimana mungkin para nabi tidak meminta upah sedang Rasulullah Saw melakukannya?
Apakah posisi Rasulullah Saw lebih tinggi dari para nabi yang lain? Tanpa diragukan lagi, baginda Nabi Muhammad Saw sebagai penghulu para nabi lebih utama dari semua nabi dan rasul yang lain. Di dalam al-Quran disebutkan bahwa pada hari kiamat setiap nabi hanya saksi bagi ummatnya sendiri, sedang Rasulullah Saw saksi bagi semua saksi.[3]
فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهيدٍ وَ جِئْنا بِكَ عَلى هؤُلاءِ شَهيداً
Kajian ini semakin sulit jadinya, di mana bagaimana mungkin Rasulullah Saw sebagai nabi yang paling utama meminta upah dari usaha yang dilakukannya sedang para nabi yang lain yang di bawahnya tidak memintanya?!
Soal: Apa tujuan Rasulullah Saw meminta upah semacam itu? Apakah itu untuk kepentingan dirinya sendiri; atau permintaan ini mengandung tujuan suci lain yang tersimpan yang kembali kepada kaum muslimin?
Jawab: untuk lebih memperjelas jawaban soal ini mari kita telaah dua ayat lain selain ayat Mawaddah ini.
Dalam ayat 47 surah Saba' disebutkan:
قُلْ ما سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ وَ هُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهيدٌ
" (Wahai Rasulullah) katakanlah: apa yang aku minta dari upah maka itu untuk kalian, upahku hanya atas Allah Swt dan Dia Saksi atas segala sesuatu."
Ayat mulia ini, pada batas tertentu telah menyingkap sedikit tabir gelap yang menyelimuti ayat Mawaddah, dan menjelaskan bahwa Rasulullah Saw sama seperti para nabi yang lain tidak pernah mengharap imbalan dan upah, bahkan kecintaan terhadap Qurba pada hakikatnya kembali kepada masyarakat.
Di dalam ayat 57 surah Furqan yang sebenarnya penjelas ayat 47 surah Saba' disebutkan faidah kecintaan terhadap Qurba:
قُلْ ما أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلاَّ مَنْ شاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلى رَبِّهِ سَبيلاً
" katakanlah: Aku tidak meminta upah sama sekali kecuali orang yang ingin memilih jalan menuju tuhannya.
Ayat pertama menjelaskan bahwa upah risalah bukan untuk kepentingan Rasulullah Saw akan tetapi kembali kepada umat manusia. Pada ayat ini dijelaskan bahwa adanya upah risalah pada dasarnya demi keberlangsungan risalah dan keuntungannya kembali kepada risalah dan agama itu sendiri.
Dengan demikian, upah risalah sama sekali bukan untuk kepentingan Rasul, akan tetapi beliau sama seperti nabi-nabi yang lain tidak meminta upah, hanya saja upah risalah adalah kecintaan terhadap Qurba yang secara tidak langsung menjadi sebab kelanggengan risalah. Nah, setelah memahami bahwa mawaddah terhadap Qurba memiliki kepentingan yang luar biasa maka logiskah jika kita melewatkan kajian tentangnya?
QURBA MENURUT KACA MATA SYI'AH
Ulama Syiah dengan renungan yang seksama mengenai ayat mulia ini bersepakat bahwa maksud dari Qurba adalah Ahlul bait a.s. Dan tanpa diragukan lagi, wilayah merupakan rahasia keberlangsungan risalah dan sepadan dengannya. Oleh karena itu, upah ini (kecintaan terhadap Qurba) sesuai dengan risalah itu sendiri; di samping itu wilayah pada hakikatnya pembimbing manusia menuju Allah Swt.
Jika ayat Mawaddah ditafsirkan sesuai kajian mufasir Syi'ah maka kandungan ayat ini akan terlihat jelas begitu juga ayat-ayat yang berkaitan dengannya juga akan dipahami serta memberikan keserasian dan relasi logis di antara ayat-ayat itu. Yang menarik dalam doa Nudbah, yang merupakan sekumpulan khazanah keilmuan ilahiyah menyebut tiga ayat di atas dan menyimpulkan sebuah hasil yang baik bahwa para imam adalah jalan-jalan yang berakhir pada rahmat dan ridho ilahi.
PENDAPAT ULAMA AHLI SUNAH TENTANG QURBA
Ulam Ahli sunah memaparkan berbagai pendapat tentang hal ini, di mana semua pendapat tersebut tidak sesuai dengan ayat itu sendiri. Berikut ini beberapa contoh darinya:
Salah satu pendapat itu adalah Qurba adalah kecintaan terhadap Ahlul bait Rasulullah Saw; akan tetapi kecintaan itu tanpa wilayah dan imamah, yang ada hanya hubungan dhahir dengan mereka. Hanya yang perlu ditanyakan, apakah kecintaan sederhana semacam ini dapat disejajarkan dengan risalah ilahiyah? Atau cinta biasa tanpa wilayah dapat dijadikan sebagai upah risalah?
Selain itu, bagaimana mungkin Rasulullah meminta upah seperti itu padahal para nabi yang lebih rendah derajatnya dari beliau tidak melakukannya dan memintanya dari Allah Swt semata? Oleh karena itu tafsir dan pendapat di atas tidak dapat dibenarkan.
Sebagian menafsirkan Qurba dengan pekerjaan-pekerjaan baik yang mendekatkan manusia kepada Allah Swt. Oleh karena itu Mawaddah Qurba berarti cinta terhadap segala kebaikan; cinta shalat, puasa, haji, jihad, silaturahmi, menghormati orang-orang besar dan perbuatan baik yang lain adalah upah risalah!
Sebagian berpendapat فی dalam ayat Mawaddah bermakna lam, dengan demikian arti ayat demikian: upah risalahku adalah cintailah diriku; karena aku termasuk famili kalian. Kemudian dibuatlah silsilah yang begitu panjang dan membeber hubungan Rasulullah Saw dengan semua kabilah Arab.
Akan tetapi isykalan pendapat ini juga jelas:
Pertama, penggunaan kata fi dengan arti lam sangat jarang dipakai dan bukti hal pemakain itu dalam ayat ini tidak ada. Kedua, cinta Rasulullah tidak sepadan dengan risalah sendiri dan tidak mungkin dijadikan sebagai upah penyebaran risalah. Tafsir semacam ini pada hakikatnya merusak keagungan ayat mawaddah ini.
Tafsir lain yang lebih lemah dari sebelumnya adalah cintailah kerabat kalian sendiri karena cinta kerabat kalian adalah upah risalah Rasulullah Saw.
Ketidak benaran tafsir ini begitu gamblang sekali dan tidak butuh pada penguraian, karena bagaimana mungkin cinta keluarga sendiri menjadi upah risalah ilahi? Apakah dengan kecintaan semacam ini risalah ilahi akan tetap langgeng. Iya begitulah jika kita terperangkap pada praduga yang menyimpang pendapat ini pasti akan muncul.
Apakah pendapat dan tafsir ini dan tafsir-tafsir sebelumnya sesuai dengan ayat itu atau jika seseorang sedikit saja mengetahui tata bahasa Arab dia akan mengetahui ketidak serasian tafsiran itu. Oleh karena itu tidak aneh jika para ulama pencetus tafsiran ini mengakui bahwa tafsir itu adalah metafora dan tidak hakiki.
PENGAKUAN YANG TAK DAPAT DIHINDARI
Sebuah hal yang sangat menarik dan menggelikan adalah banyak para mufasir Ahli sunah yang menukil sebuah riwayat panjang dan detail dari Rasulullah Saw berkaitan dengan kecintaan terhadap Ahlul bait a.s.
Berikut ini riwayat tersebut yang dinukil dari Fakhr Razi: penulis kitab Kasyaf menukil dari Nabi Saw, di mana dia menukil 12 kalimat penuh makna dari baginda nabi Saw:
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan syahid.
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan terampuni dosa-dosanya.
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam bertaubat.
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan mukmin dan beriman sempurna.
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam malaikat maut kemudian malaikat Munkar dan Nakir mengabarkan berita gembira dengan surga.
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia seperti seorang pengantin perempuan dibopong ke rumah suaminya.
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dibuka baginya di dalam kubur dua pintu menuju surga.
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka Allah akan menjadikan kuburannya tempat ziarah para malaikat rahmat.
Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan berpegang kepada sunnah dan jama'ah.
Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap keluarga Muhammad Saw maka dia akan datang di hari kiamat dengan cidat ditulisi: orang yang putus asa akan rahmat Allah.
Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap kelauarga Muahmmad Saw maka dia mati dalam keadaan kafir.
Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap kelauarga Muahmmad Saw maka dia tidak akan pernah mencium aroma surga.
Sesuai riwayat ini, arti kalimat di atas adalah, barang siapa membenci keluarga Rasulullah Saw bukan hanya dia tidak akan masuk surga, tapi lebih dari itu dia selama 500 tahun akan terjauhkan dari surga oleh karenanya dia tidak akan mencium aroma surga tersebut. Al-hasil orang semacam ini akan jauh dari surga.
Bagaimana mungkin orang akan percaya ulama sebesar Fakhr razi menukil riwayat yang teramat penting itu dan dengan tanpa perenungan dan kajian yang cukup menafsirkan ayat mawaddah dengan kecintaan biasa terhadap mereka. Lebih aneh dari itu, setelah menukil riwayat di atas, dia mulai menjelaskan maksud dari keluarga Rasulullah Saw, seraya berkata:" Keluarga Muhammad Saw adalah orang-orang yang urusannya kembali kepada beliau, siapa yang hubungannya dengan beliau makin kuat dan erat maka dia disebut dengan Al (keluarga). Dan tanpa ragu lagi, Fatimah, Ali, Hasan dan Husain memiliki hubungan yang terkuat dengan Nabi di banding orang yang lain. Hal ini termasuk hal yang disepakati dan dinukil dari hadis yang mutawatir.[4]
Penukilan riwayat di atas dari ulama fanatik Ahli sunah adala hal yang unik sekali. Ungkapan semacam ini membuat kita yang menelaahi kitab tersebut ragu, apakah penulisnya seorang Sunni atau Syi'i?
Soal, dengan merujuk kepada teks ayat dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ayat mawaddah serta dengan mengkaji riwayat yang detail di atas, apakah dapat dipercaya bahwa kecintaan yang menjadi poros pembahasan ayat dan riwayat itu adalah kecintaan biasa dan minus wilayah?
Apakah secara yakin tidak dapat diklaim bahwa kecintaan di atas adalah wilayah dan imamah sebagai keberlangsungan risalah Rasulullah Saw?
Jika tidak, tafsir apakah yang sesuai riwayat serta ayat-ayat yang disebut di atas?
TAFSIR MAWADDAH DALAM UNGKAPAN IMAM SHADIQ A.S.
Dalam riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq a.s. disebutkan:" orang yang bermaksiat (pada dasarnya) tidak mencintai Allah.[5]
Oleh karena itu, barangsiapa yang menentang jalan Ali a.s. maka berarti dia tidak mencintai Allah, karena tujuan kecintaan hendaknya berada pada ketaatan. Oleh karenanya, cinta tanpa ketaatan bukanlah sebuah cinta.
Berikut ini sebuah kisah yang menarik: Hajib seorang penyair terkenal pernah menggubah sebuah bait-bait syiir berkenaan dengan imam Ali yang kandungannya demikian: Agar cinta terhadap Ali tertanam di dada maka cukuplah itu sebagai keselamatan kendati manusia tenggelam dalam lautan dosa. Ini adalah kecintaan semu dan gombal yang merupakan lampu hijau bagi para pendosa.
Dalam satu malam, Hajib melihat imam Ali a.s. dalam mimpinya di mana beliau bersabda: apa syair yang sedang kau lantunkan itu?! Hajib bertanya lalu apa yang harus aku lantunkan? Jika di hari mahsyar kita bersama Ali maka malulah terhadapnya dan sedikitlah berbuat dosa.
Oleh karena itu kecintaan berarti ketaatan terhadap Allah dan meninggalkan dosa.
TAFSIR AYAT MAWADDAH SESUAI DENGAN RIWAYAT
Dalam menjelaskan dan menafsirkan ayat mulia ini banyak riwayat-riwayat yang beragam dari kalangan syiah maupun ahli sunnah. Berikut ini beberapa contoh darinya:
1. Ahmad salah seorang pemuka ahli sunnah dalam kitabnya Fadhailus-Shahabah menukil riwayat dibawah ini dari Said bin Jubair dari Amir:
“Saat ayat mawaddah turun mereka bertanya: wahai Rasulullah siapakah kerabatmu itu? Siapa gerangan yang kecintaannya wajib bagi kita? Beliau menjawab mereka adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya. Rasul mengatakan ini sebanyak tiga kali.[6]”
Dari riwayat yang indah ini dapat disimpulkan beberapa poin penting:
a. Riwayat di atas menjelaskan bahwa maksud dari pada kerabat nabi a.s. bukanlah beliau, bukan kaum muslimin dan bukan perbuatan baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu kerabat itu tidak mencakup seluruh famili Rasulullah; akan tetapi hanya mencakup orang-orang khusuis yang namanya disebutkan di atas.
b. Kesimpulan yang diambil dari poin pertama itu telah difahami oleh para sahabat saat itu, sehingga mereka tidak meraba-raba dan menerka seperti yang dilakukan ulama ahli sunnah setelah mereka dan para sahabat ini memahami bahwa kecintaan yang dimaksud khusus untuk para famili beliau, sehingga mereka meminta kejelasan dari pada rasul kerabat manakah yang dimaksud oleh ayat itu.
c. Para sahabat nabi telah memahami kewajiban untuk mencintai Qurba dari ayat mawaddah sebagaimana difahami oleh seluruh ulama syiah dan ahlu sunnah terlepas dari maksud dari qurba itu. Akan tetapi kami perlu mengulang soal ini kenapa kecintaan terhadap qurba itu diwajibkan?apakah masalah ini seperti sebagian hukum-hukum yang termasuk masalah taabbudi dimana filsafatnya tidak jelas bagi kita, atau falsafahnya jelas? Dan itu adalah kecintaan merupakan mukaddimah ketaatan dan mengikuti para pemuka agama.
Jika kita menginginkan penafsiran yang benar tentang ayat mawaddah dan beberapa ayat yang berkaitan dengannya berikut riwayat panjang yang dinukil oleh Fahr Razi juga riwayat di atas beserta riwayat-riwayat yang akan datang, maka kita harus mengakui bahwa kecintaan itu merupakan filsafah dari wilayah dan pemerintahan. Wilayah yang sejajar kedudukannya dengan risalah. Sebagaimana risalah pokok dari pada Islam maka wilayah akan keberlangsungannya.
Terlebih lagi jika kita mencermati bahwa kendati rasul memiliki sanak keluarga yang begitu banyak seperti Abbas bin Abdul Muthalib dan anak cucunya putra-putra Abu Thalib yang lain, putra-putra Abdul Muthalib yang lain dan cucu-cucunya, beliau hanya menunjuk fathimah, Ali, Hasan dan Husain saja, ini merupakan bukti yang sangat kuat bahwa yang dimaksud dalam masalah ini adalah wilayah dan imamah. Dan jika yang dimaksud kecintaan biasa maka lazim bagi kita mencintai seluruh famili Rasulullah Saw.
2. Marhum Thabrisi dalam Majmaul Bayan menukil sebuah riwayat dari Hakim Haskani, penulis Syawahidut-Tanzil dari Abu Umamah Bahili. Riwayat yang dinukil dari Rasulullah itu demikian: sesungguhnya Allah Swt menciptakan para nabi dari pokok yang berbeda-beda dan menciptakan aku dan Ali dari pokok yang satu, maka aku adalah aslinya, Ali cabangnya, Fathimah talqihnya, Hasan dan Husain buahnya, para pengikut kita daunnya, maka barang siapa berpegangan dengan rantingnya akan selamat sedang yang menyimpang akan tersesat. Jika seorang hamba menyembah Allah antara Shafa dan Marwah selama seribu tahun dan kemudian seribu tahun dan seribu tahun lagi sehingga dia laksana bejana kuno, kemudian dia tidak mencintai kami, maka (ibadah semacam ini ini tidak akan bermanfaat sama sekali, bahkan) Allah Swt akan mencampakkanya ke neraka. Kemudian beliau membaca ayat Mawaddah ini.[7]
Dari riwayat mulia ini juga dapat dipahami beberapa poin:
a. Riwayat ini secara gamblang menafsirkan kata “mawaddah qurba” dengan kecintaan terhadap Ahlul bait a.s. dan dari ungkapannya yang mencengangkan tadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ini bukan sekedar kecintaan biasa. Akan tetapi sebuah kecintaan yang dibarengi oleh wilayah dan imamah.
b. Riwayat ini pada hakikatnya gambaran dari ayat شجره طیبه [8]
c. Daun sebuah pohon bertugas menjaga buah, jika sebuah pohon tidak memiliki daun maka buahnya akan rusak akibat sinar langsung matahari.
Tugas para Syi’ah sesuai riwayat ini adalah daun dari pohon mulia itu yang bertugas menjaga buahnya , yang tak lain adalah imamah dan wilayah.
d. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa ibadah di antara Shafa dan Marwah begitu utama tidak seperti tempat lain yang ada di Masjidil Haram, akan tetapi ibadah di tempat sesuci itupun tidak akan bernilai jika tidak dilandasi oleh imamah dan wilayah.
e. Lagi-lagi kami ulangi, jika kecintaan yang sedang dibahas oleh hadis ini dan yang lainnya hanya kecintaan biasa, maka hadis ini akan mubham, akan tetapi jika kita artikan kecintaan itu dengan wilayah dan imamah maka hadis ini akan tampak jelas.
3. Suyuthi dalam tafsirnya menukil sebuah riwayat masyhur ang dinukil dari Imam Sajjad a.s.: Saat para tawanan Karbala tiba di kota Syam, akibat propaganda yang begitu gencar yang dilancarkan oleh Mu’awiyah dan penguasa setelahnya, seorang penduduk kota itu berkata kepada Imam Zainal abidin a.s.: Syukur kepada Allah yang telah membogkar kebohongan dan tingkah busukmu! Ungkapan ini begitu keji dan pedas sekali, akan tetapi saat mengetahui bahwa ini adalah imbas dari ulah para penguasa bany Umayyah, beliau menjawab tudingan orang tersebut dengan tanpa kemarahan:
· tidakkah anda membaca al-Quran?
· Dia menjawab: iya.
· Tahukan Anda siapakah aku sebenarnya?
· Siapakah Anda?
· Apakah Anda pernah membaca ayat mulia ini,
قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى?
· Iya, ayat ini berkaitan dengan kewajiban untuk mencintai keluarga Rasulullah Saw, lalu apa hubungannya ayat ini dengan Anda?
· Qurba yang dimaksud oleh ayat itu adalah kami.
Saat orang tua itu mendengar hal ini, dia langsung terpukul dan tertegun dan akhirnya diapun bertaubat serta menyesali apa yang telah dia tuduhkan.[9]
Dari semua konteks dan bukti di atas dapat dipahami bahwa kecintaan dan mawaddah yang ada pada ayat Mawaddah bukanlah kecintaan biasa melainkan kecintaan yang dibarengi dengan wilayah dan imamah.
BEBERAPA POIN PENTING
1. Sesuai beberapa ayat al-Quran kecintaan hendaknya menjadi sebab ketaatan dan penghambaan. Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 31:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوني يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَ اللَّهُ غَفُورٌ رَحيمٌ
Katakanlah:" Jika kamu) benar- benar (mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Oleh karena itu, barang siapa mencintai seseorang maka dia harus mengikutinya, dan saat kita mengaku mencintai Ahlul bait a.s. maka kita harus mengikutinya jika tidak maka kecintaan kita perlu diragukan.
2. Sebagaimana telah disebutkan, tanpa merujuk kepada seluruh riwayat dan ayat yang lain, ayat Mawaddah menjelaskan masalah imamah Amirul mukminin a.s. dan para imam yang lain. Dan dengan menelaah riwayat yang menjelaskan sebab turunnya, indikasi tersebut akan semakin jelas. Dan jika ayat ini disejajarkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah wilayah yang lain, seperti ayat Ikmal, ayat tablig, ayat Shadiqin dan seterusnya maka indikasinya akan semakin gemblang dan jelas.
3. Ada dua isykalan yang dilontarkan oleh Alusi, mufasir terkenal Ahli sunah dalam kitabnya Ruhul ma’ani, di mana jawaban keduanya telah jelas dengan penjelasan di atas, berikut ini dua sanggahan itu:
a. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw meminta dari umat Islam untuk mencintai kerabatnya sebagai upah atas jerih payah beliau menyampaikan risalah, padahal para nabi tidak ada satupaun dari mereka yang melakukannya?
Jawaban soal ini sudah jelas yaitu upah itu kembalinya kepada umat Islam sendiri bukan kepada beliau.
b. Kalaupun kita menerima bahwa maksud dari ayat ini kecintaan terhadap Ahlul bait a.s., akan tetapi apa hubungan antara kecintaan dan masalah imamah sebagaimana diklaim oleh kalangan Syi’ah?
Jawaban soal ini juga telah jelas bahwa upah segala sesuatu harus sesuai dengan kerja yang dilakukan, kecintaan yang sumber dan hasilnya adalah wilayah merupakan kecintaan yang sesuai dengan risalah. Sedang kecintaan biasa minus wilayah tentu tidak akan sekelas dengan risalah. Dan ketika kita meyakini bahwa Allah Swt Maha Bijak dan Dia patsi memberi upah dan balasan yang sesuai. Rasulullah juga manusia yang bijak yang pasti meminta upah yang sesuai pula. Dengan demikian maksud dari kecintaan yang sedang dibahas adalah wilayah dan imamah.
PESAN-PESAN AYAT
Apa hakikat kecintaan yang disebut dalam ayat Mawaddah sebagai upah risalah ilahi itu? Apa arti dari kecintaan terhadap Amirul mukminin Ali a.s. dan para imam?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu disebutkan bahwa cinta itu ada dua macam: cinta asli dan cinta palsu.
Untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan sebab cinta itu apa? Kenapa kita mencintai Ali a.s.? karena hartanya? Karena kesempurnaannya? Karena ilmunya? Karena keberaniannya? Karena kemurahan hatinya? Karena pengorbanannya? Karena jihad dan pembelaannya terhadap Islam dan Rasulullah Saw? Atau karena masalah lain? Jika kita mencintai beliau karena nilai-nilai terpuji yang diyakininya itu, maka apakah serpihan nilai-nilai tersebut ada pada diri kita? Jika sama sekali tidak ada, maka cinta kita itu semu dan palsu sedang jika hal-hal itu ada maka cinta kita itu sejati.
Salah satu nilai yang sangat ditekankan oleh amirul mukminin Ali a.s. adalah lebih mengedepankan hukum dan undang-undang dari pada hubungan dan relasi. Salah satu contohnya adalah kisah yang cukup terkenal berikut ini:
Setelah menanggung berbagai kemadzluman, akhirnya setelah beberapa tahun, Ali a.s. menduduki posisi yang telah dicanangkan oleh Allah dan rasul-Nya yaitu menjadi pemimpin umat Islam. Aqil, saudara beliau yang miskin meninggalkan Madinah menuju pusat pemerintahan Islam, Kufah, dengan tujuan dapat menerima bagian baitul mal yang lebih banyak lagi. Mengingat panasnya kota kufah, imam menggelar makan siang di atas atap rumah, dan dengan hidangan ala kadarnya tidak seperti penguasa-penguasa lain. Oleh karena itu, Aqil tidak mau menyantap hidangan makan malam itu dan berkata:” makanan ini tidak cocok dengan seleraku, kurangilah bebanku supaya aku dapat kembali ke Madinah.” Imam Ali a.s. menjawab:” wahai saudaraku pasar kota Kufah dekat dari sini, di sana terdapat toko-toko yang dipenuhi dengan barang-barang yang mahal, ayo ke sana dan curilah apa yang engkau sukai!
Aqil menyanggah:” Saudaraku, memangnya kita pencuri yang harus melakukan hal seperti itu?” Beliau menjawab:” tidakkah meminta sesuatu yang lebih dari baitul mal merupakan pencurian?
Kemudian Ali a.s. mengusulkan hal lain dan bersabda:” Aku mendengar sebuah rombongan akan datang ke kota Kufah, mari kita bedua menyongsong mereka dan merampok barang-barang yang engkau inginkan!”
Aqil kembali menyanggah:” Saudaraku, memangnya kita ini para penyamun sehingga harus melakukan hal tersebut?”
Ali a.s. menjawab:”memberi bagian lebih dari Baitul mal merupakan salah satu bentuk perampokan, lalu mengapa engkau memintaku untuk melakukannya?[10]
Kemudian Ali mendekatkan sebuah besi panas ke tangan saudaranya. Aqil saat mengetahui sang panglima tidak akan mengabulkan permintaanya yang menyimpang dari keadilan akhirnya bangkit dan pergi.
Sepanjang sejarah manusia adakah orang seorang saudara yang memiliki segalanya, kekayaan negara berada di bawah kakinya, tapi bertindak demikian kepada saudaranya atas nama keadilan.
GRADASI CINTA
Cinta seperti hal lain bergradasi dan bertingkat-tingkat. Cinta terhadap Amirul mukminin Ali a.s. juga demikian. Sebagian cintanya palsu, cinta yang diucapkannya hanya pemanis lidah semata dan tidak pernah mengakar dalam hati. Sebagian cinta tidak palsu dan bersumber dari hati akan tetapi cinta itu tidak mendalam. Dan kelompok ketiga mereka yang mencintai beliau dari lubuk hati yang paling dalam, sehingga seluruh wujudnya menjadi copian dari sang kekasih. Pergaulan, ucapan, akhlak dan semua tindak tanduknya kelompok ini adalah tindak tanduk Ali a.s. Ini merupakan tingkatan tertinggi dari rasa cinta, sebuah tingkatan di mana penyandangnya tidak akan rela cintanya tersebut ditukar dengan hal apapun bahkan lebih dari itu mereka rela mengorbankan jiwanya di jalan ini. Berikut ini sebuah contoh dari cinta yang sejatai:
MAITSAM AT-TAMMAR, PECINTA SEJATI
Ali a.s. berkata kepada salah satu sahabat beliau yang sangat setia mencintai beliau:” Engkau di masa yang akan datang, akan digantung karena membelaku, jalanku dan kecintaanmu kepadaku. Saat itu apa yang engkau bayangkan?
Sang pecinta tidak takut dan gentar. Dia tidak menjauh dari Ali akan tetapi dia merasa bahagia seraya berkata:” wahai tuanku di manakah aku akan digantung?!
Ali a.s. menyebut sebuah pohon kurma yang ada di kota Kufah, di situlah engkau akan digantung.
Sang pecinta tidak merasa ciut hatinya dan juga tidak mau keluar dari kota tersebut, malah rasa cinta semakin berkobar di dadanya.
Setiap hari dia datang ke pohon tersebut, merawatnya, menyiraminya, shalat di sampingnya dan berdialog dengannya:” hai pohon kurma! Engkau diciptakan untukku dan aku diciptakan untukmu! Pada satu hari, karena cinta kepada Ali, aku digantung di sini.”
Catatan Kaki:
[1] TAFSIR NEMUNEH, JILID 20, HALAMAN 402.
[2]SURAH SYU'ARA', AYAT 109, 127, 145, 164 DAN 180. POIN INI JUGA DISAMPAIKAN NABI-NABI YANG LAIN DALAM BEBERAPA AYAT QURAN.
[3]SURAH NISA', AYAT 41.
[4] TAFSIR FAKHR RAZI, JILID 27, HALAMAN 165 DAN 166. ASLI RIWAYAT INI DAPAT DIRUJUK DI TAFSIR QURTHUBI, JILID 8, HALAMAN 5843 DAN TAFSIR TSA'LABI, DALAM TAFSIR AYAT INI.
[5] RAUDLATUL MUTAQIN, JILID 13, HALAMAN 156.
[6] HQAQUL-HAQ, JILID 3, HAL 2. RIWAYAT INI JUGA DISEBUTKAN DALAM KITAB DURUL-MANTSUR, JILID 6, HAL 7.
[7]MAJMA’UL BAYAN, JILID 9, HALAMAN 28.
[8] SURAH IBRAHIM, AYAT 24.
[9] AD-DURUL MANTSUR, JILID 6, HALAMAN 7.
[10] BIHARUL ANWAR, JILID 9, (CETAKAN TABRIZ) HALAMAN 613.(SESUAI PENUKILAN KITAB DASTAN RASTAN, JILID 1, KISAH KE-38).
ilustrasi video : Misteri Penolakan Fatimah Zahra Terhadap Baiat Saqifah Bani Saidah | sahara tv Channel
Misteri Penolakan Fatimah Zahra Terhadap Baiat Saqifah Bani Saidah, Menurut Ulama Syiah Sayyid Sami Badri.
NILAI WILAYAH KEPADA AHLULBAIT ALAIHIS SALAM
Wilayah kepada Ahlulbait dalam Al-Qur’an dan Hadis
Berikut ini akan kami bawakan teks-teks literal Islam yang menjelaskan nilai pendukung dan pengikut Ahlulbait as.:
Syi’ah Ali as. Sebagai Pemenang
Pada kesempatan menafsirkan firman Allah swt.:
﴿ اِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البَرِيَّةِ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal perbuatan-perbuatan yang baik adalah manusia-manusia terbaik” (Al-Bayyinah: 7).
As-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsur membawakan sebuah riwayat dari Ibnu Asakir meriwayatkan dari Jabir bin Ab-dillah Ansari berkata:
“Suatu hari, kami bersama Rasulullah saw., tiba-tiba Ali as. datang, maka beliau bersabda: “Demi Allah Yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sesungguhnya dia (Ali) dan Syi’ahnya adalah pemenang dan orang beruntung di Hari Kiamat”.
Kemudian turunlah ayat di atas.
Maka, sejak itu setiap saat Ali as. datang, sahabat Nabi mengucapkan: “Manusia terbaik telah datang”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Allamah Abdurrauf al-Manawi dalam kitab Kunuzul Haqaiq (hal. 82) dengan redaksi شيعة علي هم الفائزون (Syi’ah Ali adalah para pemenang), kemudian berkata:
“Ad-Dailami juga meriwayatkan hadis ini”.
Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id bab Manaqib ketika sampai pada manaqib Ali bin Abi Thalib as. (9/131) meri-wayatkan sebuah hadis dari Ali bin Abi Thalib as. berkata: “Kekasihku Rasulullah saw. bersabda: ‘Wahai Ali! Sesungguhnya kamu akan menghadap Allah swt. bersama Syi’ah (pengikutmu) dalam keadaan rela dan diridhai, sementara musuhmu akan menghadap-Nya dalam keadaan marah dan dimurkai’”.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Awsath.
Ibnu Hajar al-Haytsami dalam ash-Shawa’iq al-Muhriqoh (hal. 96) meriwayatkan dari ad-Dailami yang berkata:
“Ra-sulullah saw. bersabda:
‘Wahai Ali! Sesungguhnya Allah swt. memberi ampunan padamu, keturunanmu, anak cucumu, keluarga-mu, Syi’ahmu dan pencinta Syi’ahmu, maka bergembiralah!’”[1]
Ayyub as-Sajestani meriwayatkan dari Abu Qulabah berkata: “Ummu Salamah ra. mengatakan: ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Pengikut Ali as. adalah para pemenang di Hari Kiamat’”.[2]
Ali dan Syi’ahnya sebagai Manusia Terbaik
Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari Abul Jarud dari Muhammad bin Ali saat menafsirkan firman Allah swt.:
﴿ اُولئِكَ هُمُ خَيرُ البَرِيَّةِ ﴾
“Sungguh Mereka adalah sebaik-baiknya makhluk.”
Bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Maksud ayat ini adalah kamu, wahai Ali!, dan Syi’ahmu”.[3]
As-Suyuthi dalam Durul Mantsur meriwayatkan hadis dari Jabir bin Abdillah al-Anshari yang menurut dia diriwayatkan juga oleh Ibnu Adiy dan Ibnu Asakir secara marfu’.[4] Hadis itu berbunyi: علي خير البرية , bahwa Ali adalah sebaik-baik manusia.
As-Suyuthi juga berkata:
“Ibnu Adiy meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata: ‘Ketika turun ayat:
﴿ اِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البَرِيَّةِ ﴾
‘Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as.:
“Pada hari Kiamat, kamu dan Syi’ahmu adalah orang-orang yang bahagia dan diridhai’”.[5]
As-Suyuthi juga mengatakan bahwa Ibnu Mardiwaih meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib as. berkata: “Rasulullah saw. bersabda padaku: ‘Tidakkah kau mendengar firman Allah azza wa jalla yang berbunyi:
﴿ اِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البَرِيَّةِ ﴾
‘Maksud dari firman ini adalah kamu dan Syi’ahmu, tempat yang dijanjikan untukku dan untukmu adalah telaga, ketika umat-umat berdatangan untuk hisab, kalian akan dipanggil dan didudukkan secara mulia’”.
Ibnu Hajar dalam as-Shawa’iq al-Muhriqoh berkata seputar ayat kesebelas surah Bayyinah: “Jamaluddin az-Zarandi meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: ‘Tatkala ayat ini tu-run, Rasulullah saw. bersabda pada Ali: “Maksud dari ayat ini adalah kamu, wahai Ali, dan Syi’ahmu yang bahagia dan diridhai di Hari Kiamat nanti, sedangkan musuhmu datang dalam keadaan marah dan dimurkai’”.[6] Hadis ini juga di-catat Syablanji dalam Nurul Abshar[7].
Kedudukan Wilayah Ahlulbait as. dalam Islam
Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan dari Abu Hamzah Tsumali dari Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir as. berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara: shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah, dan -di Hari Pembalasan- sesaorang tidak akan dipanggil karena sesuatu yang lebih penting daripada panggilan karena wilayah”.[8]
Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan dari Ajlan Abu Shaleh berkata: “Aku berkata pada Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Beritahulah aku akan batas-batas iman!’ Maka beliau berkata: “Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah (syahadah), percaya dan mengakui apa yang datang dari Allah (swt.), shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, haji di rumah Tuhan, berpihak pada wali kita dan melawan musuh kita serta masuk bersama orang-orang yang tulus (shodiqin)”.[9]
Al-Kulaini juga mriwayatkan melalui jalur sanad yang sampai ke Zurarah bin A’yun dari Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir as. berkata: “Islam terbangun di atas lima perkara: shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah”.[10]
Siapakah Rafidhah?
Seorang sahabat bercerita pada Imam Ja’far Ash-Shadiq as. tentang Ammar Duhuni yang hadir suatu hari di pengadilan hakim Kufah, Ibnu Abi Laila, untuk memberikan kesaksian. Hakim memintanya agar bangkit: “Pergilah wahai Ammar, karena kita telah mengenal siapa dirimu, kesaksianmu tidak bisa diterima karena kamu seorang Rafidhah”. Ammar pun segera bangkit hendak meninggalkan majelis dalam ke-adaan urat-urat leher dan di sekitar pundaknya bergetar kuat seraya tenggelam dalam isak tangis.
Ibnu Abi Laila berkata padanya: “Kamu orang alim dan ahli hadis, jika kamu kesal karena dituduh sebagai Rafidhah lalu kamu menghindar dari tuduhan itu, tentu kamu ter-masuk saudara-saudara kita”.
Ammar menjawab: “Wahai Ibnu Abi Laila, aku tidak seperti yang kau bayangkan. Aku menangisimu dan me-nangisi diriku. Aku menangisi diriku karena kamu telah menisbatkanku pada kedudukan mulia yang tidak pantas bagiku ketika kamu menganggapku sebagai rafidhi (orang Rafidhah). Celakalah dirimu! Sesungguhnya Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: ‘Sesungguhnya orang pertama yang diberi nama Rafidhah adalah para penyihir yang beriman kepada Nabi Musa as. dan mengikutinya seketika menyak-sikan mukjizatnya, mereka menolak perintah Fir’aun dan pasrah terhadap apa saja yang akan menimpa diri mereka, maka Fir’aun menamakan mereka Rafidhah karena menolak agamanya. Oleh karena itu, rafidhi adalah setiap orang yang menolak segala apa yang dilarang oleh Allah swt. dan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Coba katakan padaku, siapa orang seperti ini sekarang? ‘
“Dan aku menangisi diriku karena aku takut Allah swt. Yang Tahu akan apa yang terlintas di hatiku pada saat aku senang menerima nama yang mulia ini, niscaya Dia akan mencercaku dan berkata: ‘Wahai Ammar! Apakah kamu orang yang menolak kebatilan dan taat sepenuhnya seba-gaimana apa yang dia katakan?’ Maka itu, kalaupun aku masih dipersilahkan untuk menempati derajat tertentu, sebetulnya aku adalah orang yang gagal dan tidak pantas untuk itu. Dan kalau aku tergolong orang yang Dia cela dan dijerumuskan ke dalam siksa, niscaya hal itu menambah dahsyatnya siksa, kecuali apabila para Imam menutupi kekurangan itu dengan syafaat mereka.
“Adapun kenapa aku menangisimu, karena besarnya kebohongan yang kau katakan saat menyebutku dengan se-lain namaku yang sebenarnya, juga karena simpati atau sayangku padamu akan siksa Allah swt. ke atas orang yang menggunakan nama yang termulia bagiku. Dan jika kamu anggap itu sebagai nama yang paling rendah, bagaimana kamu bisa tahan akan siksa Tuhan atas ucapanmu itu?”
Maka Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Andaikan Ammar memiliki dosa yang lebih besar dari semua langit dan bumi, niscaya akan terhapus oleh kata-katanya ini, dan niscaya catatan kebaikannya akan bertambah di sisi Allah swt. sampai setiap kesan baik dari pahala yang dia peroleh lebih besar dari dunia seribu kali lipat”.[11]
Pencinta yang bukan Syi’ah
Seorang berkata pada Imam Musa bin Ja’far as.: “Suatu saat kami berjalan bersama seoranglelaki di pasar yang sedang berserapah: ‘Aku adalah Syi’ah tulus Muhammad dan ke-luarga Muhammad’. Dia berteriak di atas kain jualannya: ‘Siapa yang ingin tambah?’
“Maka Imam Musa as. berkata: ‘Orang yang sadar akan nilai dirinya tidak akan bodoh dan kehilangan diri, tahukah kalian siapakah orang seperti ini? (menunjuk lelaki di atas tadi). Dialah adalah orang yang menyatakan dirinya seperti Salman, Abu Dzar, Miqdad dan Ammar, pada saat yang sama dia mengurangi hak orang lain dalam berjual beli, dia menyembunyikan cacat barang jualannya dari pembeli, dia menjual barang dengan harga tertentu tapi menawarkannya dengan harga yang jauh lebih tinggi kepada pendatang asing, dia meminta dan memaksa pendatang asing itu untuk membayar lebih mahal, dan jika pendatang asing itu telah pergi, dia katakan pada warga setempat bahwa aku tidak menjual pada kalian dengan harga yang aku tawarkan kepada pendatang asing tadi.
“Apakah orang semacam ini sama dengan Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar?! Maha Suci Allah! Tentu dia tidak bisa disamakan dengan para sahabat besar Nabi ini. Namun demikian dia tidak dilarang untuk menyatakan bahwa dirinya adalah pecinta Muhammad saw. dan kelu-arganya serta termasuk pendukung para pengikut mereka dan melawan musuh-musuh mereka’”.[12]
Orang-orang Mukmin sebagai Pelita Penghuni Surga Selaksa Langit yang Terang karena Bintang
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as. berkata: “Sesung-guhnya penduduk surga melihat Syi’ah kami sebagaimana orang-orang melihat bintang di langit”.[13]
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Sesungguhnya ca-haya seorang mukmin bersinar bagi penduduk langit sebagaimana bintang bersinar bagi penduduk bumi”.[14]
Imam Musa bin Ja’far as. bercerita: “Suatu saat, sebagian orang-orang khusus Imam Ja’far Ash-Shadiq as. duduk di hadapan beliau di malam purnama yang terang benderang sehingga membuat orang terjaga, mereka berkata: ‘Wahai putera Rasulullah saw.! Betapa indahnya permukaan langit dan cahaya bintang-bintang itu!’
“Maka Imam Ash-Shadiq as. menanggapi: ‘Kalian ber-kata demikian sementara empat malaikat pengatur alam, yaitu Jibril, Mika’il, Israfil dan malaikat maut mengawasi penduduk bumi, mereka melihat kalian dan saudara-saudara kalian di segala penjuru bumi bersinar dan cahaya kalian sampai ke langit. Bagi mereka, bahkan cahaya kalian lebih indah daripada cahaya bintang, dan sungguh mereka mengatakan seperti yang telah kalian katakan: ‘Alangkah indahnya cahaya orang-orang beriman!’”[15]
Melihat dengan Cahaya Allah swt.
Abu Najran meriwayatkan bahwa saya mendengar Abul Hasan as. berkata: “Barangsiapa memusuhi Syi’ah kami, dia telah memusuhi kami, dan barang siapa mendukung me-reka, dia telah mendukung kami, karena mereka adalah dari kami; mereka diciptakan dari tanah kami. Maka barangsiapa yang mencintai mereka, dia dari kita, dan barangsiapa yang membenci mereka maka dia bukan dari kita. Syi’ah kami melihat dengan cahaya Allah, bergelimang dalam rahmat-Nya dan menjadi pemenang bersama kemuliaan-Nya. Sungguh tak seorang pun dari Syi’ah kami yang bersedih melainkan kami juga berduka cita karena dirinya, dan tidak seorang pun dari Syi’ah kami yang bergembira kecuali kami juga berbahagia karena dirinya”.[16]
Kedudukan Syi’ah di Sisi Ahlulbait as.
Ahlulbait as. Mencintai Syi’ah Mereka
Sebagaimana Syi’ah (pengikut Ahlulbait as.) mencintai Ahlulbait as., begitu juga sebaliknya Ahlulbait as. sangat mencintai Syi’ah dan pendukung mereka. Bahkan mereka as. mencintai aroma dan arwah Syi’ah. Ahlulbait as. senang melihat dan menziarahi mereka, Ahlulbait as. merindukan mereka seperti dua pasang kekasih yang saling merindukan. Hal ini wajar, karena cinta adalah hubungan imbal balik. Cinta yang sejati tidak akan ada pada satu pihak melainkan di pihak lain juga terdapat cinta yang sepadan.
Ishaq bin Ammar meriwayatkan dari Ali bin Abdul Aziz berkata:
“Saya mendengar Abu Abdillah as. berkata: ‘Demi Allah! Aku sungguh mencintai aroma kalian, arwah kalian, penampilan kalian, dan menziarahi kalian. Dan sesungguhnya aku berada di atas agama Allah dan agama malaikat-Nya, maka bantulah dengan hidup warak (karakter menghindari dosa). Di Madinah aku seperti sya’ir, aku berbolak balik sampai aku melihat salah satu dari kalian dan menjadi tenang dengan penglihatan ini”.[17]
“Seperti sya’ir”; maksud dari sya’ir atau sya’roh di sini adalah uban putih yang jarang dan sedikit sekali di tengah lebatnya rambut hitam. Oleh karena itu, ia akan senang dan merasa tenang apabila melihat ada pendukung yang menyerupainya.
Abdullah bin Walid berkata:
“Aku mendengar Abu Ab-dillah (Imam Ja’far) as. berkata saat kita berkumpul: “Demi Allah! Sesungguhnya aku mencintai pemandangan kalian dan merindukan komunikasi bersama kalian”[18].
Nasr bin Muzahim meriwayatkan dari Muhammad bin Imran bin Abdillah dari ayahnya dari Imam Ja’far bin Muhammad as. berkata:
“Suatu saat ayahku masuk masjid, ternyata di sana ada sekelompok orang dari Syi’ah kami. Beliau pun mendekati mereka seraya mengucapkan salam lalu berkata:
“Demi Allah! Aku mencintai bau dan arwah kalian, dan sesungguhnya aku di atas agama Allah swt. Jarak antara kalian dengan detik-detik yang sangat membahagiakan se-hingga membuat orang lain iri pada kalian tidak lebih jauh dari sampainya ruh ke sini (beliau menunjuk dengan ta-ngannya ke arah tenggorokan, artinya saat kematian), maka bantulah aku dengan hidup warak dan usaha keras! Barang-siapa dari kalian mengikuti seorang imam, hendaknya dia beramal bersamanya. Kalian adalah pasukan Allah, kalian adalah pendukung Allah, dan kalianlah pembela Allah”.[19]
Muhammad bin Imran meriwayatkan dari ayahnya dari Abu Abdillah as. berkata:
“Suatu hari aku bersama ayahku keluar menuju masjid, ternyata di sana ada sekelompok dari sahabat ayahku, tepatnya di antara kuburan dan mimbar. Beliau menghampiri mereka, bersalam lalu berkata: “Demi Allah! Aku mencintai aroma dan ruh kalian, maka bantulah aku untuk hal itu dengan hidup warak dan usaha keras!”[20]
Barang kali kalimat di atas ini menimbulkan beberapa pertanyaan di benak seseorang:
Kalimat pertama, “Sesungguhnya aku mencintai aroma dan ruh kalian”.
Kalimat kedua, “Bantulah aku dengan hidup warak dan usaha keras!”
Maksud dari kalimat imam yang pertama adalah ungkapan mengenai puncak tertinggi dari kecintaan dan kerinduan sampai seakan-akan Ahlulbait as. menghirup aroma pintu surga dari Syi’ah mereka”. Justru saya tidak menemukan kalimat yang lebih eksperesif dan lebih fasih dari ini untuk mengungkapkan klimaks cinta dan kerinduan.
Adapun maksud dari kalimat imam yang kedua adalah cara menentukan standar cinta tersebut, karena cinta ini berbeda dengan cinta biasa pada umumnya antarmanusia biasa. Cinta ini merupakan perpanjangan (perluasan) dari cinta Allah, dan cinta demi Allah adalah kualitas terkuat dari makna cinta. Tentunya, cinta ini tunduk pada standar-standar yang berbasis pada dalam ketaatan dan pengabdian, warak dan takwa. Cinta ini terus mengembang sejalan dengan peningkatan tingkat warak dan takwa seseorang. Oleh karena itu, Imam as. meminta Syi’ahnya agar membelanya dalam kecintaan dengan hidup warak, takwa, ketaatan dan pengabdian pada Allah swt.
Sesungguhnya merekalah Syi’ah Ahlulbait as., dan Ahlulbait as. tahu persis seberapa tulus cinta Syi’ah pada mereka. Ahlulbait as. ingin sekali menimpal balik cinta Syi’ah mereka dengan cinta yang sepadan bahkan lebih dalam. Maka itu, Ahlulbait as. meminta Syi’ah mereka untuk mempersiapkan diri sehingga layak menerima cinta Ahlul-bait as. tersebut. Persiapan ini akan terpenuhi dengan warak, takwa, ketaatan dan pengabdian pada Allah swt. Saat itulah cinta Ahlulbait as. pada Syi’ah mereka merupakan kepanjangan dan perluasan dari cinta demi Allah swt.
Perumpamaan Ahlulbait as. dalam cinta tak ubahnya orang tua yang mencintai anaknya, dan seyogyanya si anak menjaga statusnya sebagai orang yang layak mendapatkan cinta orang tua dengan budi pekerti yang mulia, dan dia tidak melakukan perbuatan seperti durhaka yang menyebabkan mereka berdua mencabut cinta itu dari hatinya.
Musuh Syi’ah adalah Musuh Ahlulbait dan Cinta Syi’ah adalah Cinta Ahlulbait
Cinta dan benci adalah dua perkara yang berelasi secara imbal balik. Maka dari itu, tidak ada cinta bagi satu pihak pada pihak yang lain kecuali pihak kedua ini memiliki cinta yang seimbang dengan cinta yang dimiliki pihak pertama itu.
Begitu pula pembelaan dan perlawanan adalah dua per-kara yang juga bersifat imbal balik. Yakni, sebagaimana kita menentang musuh Ahlulbait as. dan membenci mereka serta mendukung pecinta Ahlulbait as. dan mencintai mereka, begitupula Ahlulbait as. menentang orang yang memusuhi Syi’ah mereka dan membela orang yang mencintai Syi’ah mereka.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Najran:
“Aku mendengar Abul Hasan as. selalu berkata: “Barangsiapa memusuhi Syi’ah kami maka telah memusuhi kami, dan barangsiapa mendukung mereka maka dia telah mendukung kami, karena Syi’ah kami adalah dari kami; mereka diciptakan dari tanah kami. Barangsiapa mencintai mereka maka dia juga dari kami, dan barangsiapa membenci mereka maka dia bukanlah dari kami. Syi’ah kami melihat dengan cahaya Allah swt., mereka bergelimang dalam rahmat-Nya dan menjadi pemenang dengan kemuliaan-Nya”.[21]
Diriwayatkan pula[22] bahwa Abul Hasan as. berkata:
“Barang siapa memusuhi Syi’ah kami maka dia telah memusuhi kami, dan barang siapa yang mendukung mereka maka dia telah mendukung kami, karena mereka dari kami, mereka diciptakan dari tanah kami. Barang siapa mencintai mereka berarti dia dari kami, dan barang siapa membenci mereka berarti dia bukan dari kami. Syi’ah kami melihat dengan cahaya Allah swt., mereka bergelimang dalam rahmat Allah dan menjadi pemenang dengan kemuliaan-Nya.
“Tak seorang pun dari Syi’ah kami yang sakit melainkan kami juga sakit karena dia, tak ada seorang pun dari Syi’ah kita yang bersedih melainkan kami juga berduka karena dia, tak ada seorang pun dari Syi’ah kami yang gembira mela-inkan kami pun bergembira karena dia, dan tak ada seorang pun dari Syi’ah kami yang meninggal dunia di manapun dia berada, di timur bumi maupun di barat, dan dia masih berhutang kepada orang lain melainkan hutangnya menjadi tanggungan kami, dan jika dia meninggalkan kekayaan maka kekayaan itu untuk para pewarisnya.
“Syi’ah kami adalah orang-orang yang menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, berpuasa di bulan Ramadhan, membela Ahlulbait as. dan menentang musuh-musuh mereka. Syi’ah kami adalah mereka yang kuat iman, takwa, dan warak.
“Barang siapa menolak mereka berarti menolak Allah swt., dan barang siapa memfitnah mereka dia telah memfitnah Allah swt., karena mereka adalah hamba-hamba Allah yang sebenarnya, mereka adalah wali-wali Allah yang sejujurnya. Demi Allah! Tiap-tiap mereka memberi syafaat kepada sekian penduduk suku Rabi’ah dan Madhar (baca: banyak sekali), maka Allah menerima mereka sebagai pemberi syafaat karena kedudukan mereka yang mulia di sisi-Nya”.
Imbal Balik Hak-hak antara Ahlulbait as. dan Syi’ah
Ahlulbait as. dan Syi’ah tidak hanya berimbal balik untuk membela mereka dan pecinta mereka. Selain dalam keben-cian dan penentangan terhadap musuh, di antara Ahlulbait as. dan Syi’ah juga terdapat imbal balik dalam hak. Yakni, sebagaimana Ahlulbait as. menanggung hak-hak yang harus mereka penuhi untuk Syi’ah seperti memberi petunjuk dan jalan yang benar menuju Allah swt., penhajaran hudud atau undang-undang Allah, ibadah kepada Allah… Begitu pula Syi’ah menanggung hak-hak yang harus mereka penuhi untuk Ahlulbait as.
Abu Qatadah meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far as. berkata:
“Hak-hak Syi’ah kami yang harus kami penuhi lebih wajib dari hak-hak kami yang harus mereka penuhi”.
“Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far as.:
‘Bagaimana demikian itu terjadi, wahai putera Rasulullah saw.?’
Beliau menjawab:
‘Ya, karena mereka menimpa kita sementara kita tidak menimpa mereka’”.[23][]
Catatan Kaki :
1. Fadhoilul Khomsah minas Shihahis Sittah: 2/117-118.
2. Bisyarotul Musthofa: 197.
1. Tafsir Thabari: 30/171, tafsir surah al-Bayyinah.
2. Marfu' ialah hadis yang dinisbatkan kepada manusia suci (Rasulullah dan imam setelahnya) dan bukan yang dinisbatkan pada sahabat atau tabi’in. Istilah kedua dari marfu' adalah hadis yang di tengah atau akhir silsilah sanadnya ada satu perawi atau lebih yang terbuang, dan secara terang-terangan menggunakan kata rafa'ahu.
3. Ad-Durul Mantsur, tafsir surah al-Bayyinah.
1. As-Shawaiq al-Muhriqoh: 96.
2. Nurul Abshar: 7/70, 110. Hadis-hadis ini dinukil dari Fadhoilul Khomsah minas Shihahis Sittah: Fairuz Abadi: 1/327-329, cet. Al-Majma’ Al-‘Alami li Ahlil Bait as.
3. Biharul Anwar: 68/329 dinukil dari Usul Kafi: 2/18.
4. Ibid: 68/329 dinukil dari Usul Kafi: 2/18.
1. Ibid: 2/332 dari Usul Kafi: 2/21.
1. Ibid: 68/156-157.
1. Biharul Anwar: 68/156-157.
2. Ibid: 68/18 diriwayatkan juga dari Khishal, karya Syaikh Shaduq: 167.
1. Ibid: 74/243, diriwayatkan juga dari Ushul Kafi: 2/170.
2. Ibid: 68/243, diriwayatkan juga dari ‘Uyunu Akhbarir Ridha: 2/2.
1. Ibid: 68/167 hadis 25, diriwayatkan juga dari Shifatus Syi’ah: 163.
2. Al-Mahasin: 163, Biharul Anwar: 68/28.
1. Biharul Anwar: 68/29.
2. Ibid: 68/43-44, Bisyarotul Musthofa: 16.
3. Ibid: 68/65 hadis 118.
1. Ibid: 68/168.
1. Ibid: 68/168 dinukil dari Shifatus Syi’ah: hal. 163.
1. Ibid: 68/24, diriwayatkan dari Amali Syaikh Thusi: 1/363.
KHUTBAH IMAM ALI ZAINAL ABIDIN AS-SAJJAD ALAIHIS SALAM DI MAJLIS YAZID BIN MUAWIYAH
status : Nafilah Zahra | Facebook
ilustrasi video : Khutbah Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad (as) Di Majlis Yazid | Alhurr TV Channel
Sermon of Ali ibn Husayn in Damascus
The Sermon of Ali ibn Husayn in Damascus are the statements of Ali ibn Husayn in Yazid presence. After battle of Karbala captured family of Muhammad (saww) , prophet of Islam, and head of the killed persons were moved to the Levant by the forces of Yazid. By order of Yazid, a pulpit was prepared and public speaker gave his lecture with emphasized to balme to Ali and Husayn ibn Ali. Ali ibn Husayn seized the opportunity. He began to speak by Yazid’s permission and introduced himself and his descen
Riwayat terkait :
Setelah syahidnya Imam Husein as, Imam ke-empat adalah Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as dan seluruh wanita di Karbala dibawa ke Damaskus oleh orang-orang kejam Yazid dan menjebloskan mereka ke dalam penjara di Damaskus.
Setelah setahun berlalu, Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as diizinkan untuk meninggalkan Damaskus, dan beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah tempat tinggalnya.
Di Madinah, Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as memiliki bamyak kerabat dan sahabat, termasuk pamannya, Muhammad al-Hanafiyyah.
Suatu hari, tatkala mereka berdua pergi ke Mekkah, pamannya meminta untuk berbicara dengan Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as secara khusus.
Ketika mereka bertemu, Muhammad al-Hanafiyyah berkata bahwa lantaran dia adalah saudara Imam Husein as dan putra Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, seyogyanya dialah yang menjadi Imam setelah Imam Husein as.
Muhammad al-Hanafiyyah juga mengingatkan Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as bahwa dia lebih tua darinya dan sepanjang yang ia ketahui, bahwa Imam Husein as belum mengumumkan siapa yang kelak menjadi Imam setelahnya.
Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as berkata, "Wahai paman, takutlah kepada Allah, percayalah kepadaku bahwa masalah Imamah adalah hakku bukan untukmu."
Namun Muhammad al-Hanafiyyah tetap saja membantah Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as, hingga mereka tiba di Ka'bah.
Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as berkata, "Jika engkau ingin bukti bahwa aku adalah Imam yang sesungguhnya, mengapa kita tidak bertanya kepada Hajar al-Aswad untuk memberitahukannya kepada kita."
Muhammad al-Hanafiyyah setuju dan berdiri di hadapan Hajar al-Aswad dan berulang kali dia bertanya untuk mendapatkan penegasan dari batu hitam tersebut bahwa dialah Imam. Tidak ada respon dari batu hitam tersebut.
Kemudian Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as maju dan berkata, "Wahai Hajar al-Aswad.! Aku bertanya kepadamu, Demi Allah yang telah mengajarkanmu nama-nama para Nabi dan Imam, katakanlah kepada kami dalam bahasa Arab yang jelas, siapakah Imam Zaman sekarang ini..?"
Tiba-tiba Hajar al-Aswad mulai bergetar dan bergoyang, seakan-akan hendak keluar dari Ka'bah. Lalu, dengan izin Allah Swt, Hajar al-Aswad berbicara dengan suara yang lantang dan berkata, "Imam Zaman adalah Ali bin Husein bin Ali."
Muhammad al-Hanafiyyah pun mengakui keimamahan Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as.
(Syaikh Kulaini, al-Kafi, vol 1, hal.34)
اللهم صل على محمد وال محمد
KEUTAMAAN AKHLAK DAN UCAPAN NABI ISA ALAIHIS SALAM DALAM RIWAYAT AHLUL BAIT A.S.
status : Ikmalonline.com | Blog Google
ilustrasi video : Wilayahtul Faqih penerus Wilayah AhlulBait | Muhammadi TV Channel
Wilayahtul Faqih penerus Wilayah AhlulBait
▪ Setiap sesuatu memiliki sumbernya. Apabila kita menyaksikan sebuah realiti kebangkitan Islam di Iran sekitar 40 tahun yang lepas yang merupakan manifestasi kepimpinan Islam maka pasti ia juga memiliki muara dan sumber muassalnya. Prinsip imamah dan wilayah di dalam Islam adalah dasar yang kukuh yang tidak mampu dicapai oleh kekuatan intelektual adalah sumber muara yang mengalir sehingga menghidupkan sebuah kebangkitan umat di Iran demi tertegaknya kepimpinan faqih mu'min adil dan pembela kebenaran dan golongan tertindas. Inilah keindahan sumber muara Islam yang melahirkan nilai-nilai agung dalam kehidupan sebenar di atas muka bumi.
Berkenaan dengan sebagian keutamaan akhlak dan ucapan Nabi Isa a.s. terdapat banyak riwayat yang dinukil melalui jalur Ahlul Bait a.s., di antaranya dapat kita sebutkan sebagai berikut:
1- Zuhud
Zuhud adalah salah satu keutamaan akhlak Nabi Isa a.s. Seperti nabi-nabi lainnya, Nabi Isa a.s. juga menjauhi kemewahan dunia dan kerlap-kerlipnya. Beliau enggan membebankan pekerjaannya kepada orang lain.
Tentang kezuhudan Nabi Isa a.s. ini, Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah berkata, “Isa putra Maryam a.s. menggunakan sebongkah batu untuk bantalnya, memakai pakaian kasar dan memakan makanan kasar, bumbunya adalah lapar, lampunya di malam hari adalah bulan, tempat berteduhnya di musim dingin hanyalah hamparan bumi timur dan barat, buah-buahan dan bunga-bungaannya hanyalah yang tumbuh dari bumi bagi ternak. Ia tidak mempunyai istri untuk menggodanya dan tidak pula putra untuk memberikan kepedihan kepadanya. Tidak ada kekayaan untuk memalingkan (perhatiannya) dan tidak ada keserakahan untuk menghinakannya. Kedua kakinya adalah kendaraannya dan kedua tangannya adalah pelayannya.[1]
2- Seimbang dalam ‘takut dan berharap’
Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin adalah rasa takut terhadap azab Ilahi dan mengharapkan rahmat Allah. Sebagian hamba Allah yang mukhlis senantiasa merasa takut karena keimanan penuh mereka terhadap neraka dan azab Ilahi, namun di antara mereka tedapat orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu orang-orang yang seimbang dalam rasa takut dan harapan.
Berkenaan dengan hal ini, Imam Ridha a.s. berkata tentang Nabi Isa a.s., “Nabi Isa a.s. terlihat menangis dan tertawa, berbeda dengan Nabi Yahya a.s. yang hanya terlihat menangis dan tidak pernah terlihat tertawa. Kondisi yang ditampakkan oleh Nabi Isa a.s. lebih baik dari kondisi yang diperlihatkan oleh Nabi Yahya a.s.[2]
3- Berkhidmat kepada makhluk
Karena Tuhan seluruh makhluk Maha Esa dan semuanya bersumber dari-Nya, maka tidak boleh berpikir bahwa keharusan berbuat baik hanya berlaku untuk sesama manusia atau sesama agama atau mazhab saja, bahkan hukum ini mencakup binatang juga; artinya seorang hamba Allah yang baik bahkan memiliki perhatian terhadap binatang sekalipun.
Dalam hal ini diriwayatkan bahwa dalam suatu perjalanan ketika Nabi Isa a.s. bersama hawariyun sampai di pantai, beliau melemparkan sepotong roti ke laut. Salah seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Wahai Ruhullah! Kenapa Anda berbuat demikian? Roti tersebut adalah makanan Anda.” “Potongan roti itu aku lemparkan ke laut untuk santapan salah satu binatang laut. Pahala perbuatan tersebut sangat besar,” jawab Nabi Isa a.s.[3]
4- Fokus kepada akhirat
Meskipun dunia juga penting bagi manusia, akan tetapi jika dibanding dengan kehidupan akhirat tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu, Nabi Isa a.s. berkata kepada hawariyun, “Ketika agama kalian selamat, jangan bersedih karena kehilangan dunia; sebagaimana orang-orang yang hanya mengejar kehidupan dunia, ketika dunia mereka selamat, tidak akan bersedih karena kehilangan agama mereka.”[4]
5- Mengetahui dampak sifat tercela
Para nabi utusan Allah swt. bertugas memberikan petunjuk kepada umat manusia. Salah satu tugas mereka adalah menjelaskan dampak negatif dari sifat tercela dan perbuatan buruk. Berkenaan dengan hal ini, sebuah riwayat dinukil dari Nabi Isa a.s., “Barangsiapa banyak bersedih, badannya akan sakit, barangsiapa akhlaknya buruk, ia menyiksa diri sendiri, barangsiapa banyak berbicara, kesalahannya akan banyak, barangsiapa banyak berdusta, tidak akan nilai, dan barangsiapa yang suka cekcok, kewibawaannya akan lenyap.”[5]
6- Mengenal hakikat dunia
Kebanyakan manusia hanya melihat lahiriah dunia saja dan melalaikan hakikatnya. Nabi Isa a.s. menjelaskan batin (hakikat) dunia kepada hawariyun tentang dunia, “Dunia adalah jembatan, maka jadikanlah tempat berlalu, bukan tempat tinggal tetap yang harus dimakmurkan.”[6]
7- Mengenal karakter sahabat
Salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap seseorang adalah keberadaan orang-orang yang bergaul dengannya. Ketika hawariyun bertanya kepada beliau, “Dengan siapa kita harus bergaul?” Nabi Isa a.s. menjawab, “Bergaullah dengan orang yang bila kalian melihatnya akan mengingatkan kepada Tuhan, pembicaraannya akan menambah ilmu kalian dan perbuatannya akan mendorong kalian beramal untuk akhirat.”[7]
8- Tentang banyak bicara
Ulama senantiasa memaparkan dampak negatif dari banyak bicara. Dalam hal ini, Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata, “Nabi Isa a.s. selalu berkata, “Jangan berbicara selain untuk mengingat Allah swt. Orang-orang yang banyak berbicara, hati mereka akan mengeras, namun mereka tidak sadar.”[8]
CATATAN KAKI:
[1] Nahj Al-Balaghah, Khutbah 160.
[2] Qishash Al-Anbiya’, Said bin Hibatullah Quthbuddin Rawandi, halaman 273.
[3] Al-Kafi, Muhammad bin Ya’qub Kulaini, jilid 4, halaman 9.
[4] Al-Amali, Muhammad bin Ali Shaduq, halaman 496.
[5] Ibid, halaman 543.
[6] Al-Khishal, Muhammad bin Ali Shaduq, jilid 1, halaman 65.
[7] Al-Kafi, jilid 1, halaman 39.
[8] Ibid, jilid 2, halaman 114.
TENTANG ANGKA 12 : ULAMA SUNNI KEBINGUNGAN DALAM MENENTUKAN KENAPA IMAM HARUS 12?
ilustrasi pdf : Brosur tentang Mengapa Imam harus 12.pdf | https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4Jcll6X1VrZ2N3OTA/view
------------
ilustrasi pdf : Para Pemimpin Teladan .pdf | https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JZzk3NG02ZWNSTFE/view
Untuk mengetahui dalil-dalil tentang imamahnya para Aimmah, jangan dilewati begitu saja dari membaca buku ini.
------------
HASIL MENAKJUBKAN PENELITIAN DOKTOR AL-AZHAR MEMBUKTIKAN KEBENARAN PARA IMAM 12 DALAM MAZHAB SYIAH
MANTAB DAN TIDAK ADA MASALAH APA PUN
KEPADA SAUDARAKU SEISLAM NASHIBI, PEMBENCI KELUARGA NABI SAW, YANG SENGAJA MEMBUAT-BUAT MASALAHNYA, MOHON TOLONG BUKTIKAN APAKAH INI KEBETULAN ATAU DONGENG SIA-SIA
Ya Allah...Kurniakanlah kepada kami syafaat dari mereka manusia-manusia suci dan terpilih...aamiin
(Tonton juga:
Film Nabi Isa Al Masih as Teks Indonesia
https://www.youtube.com/watch?v=rPmxzW-3l-o
Hadis 12 Imam Syiah Ada Dlm Riwayat Hadis-Hadis Ahlussunah?
https://www.youtube.com/watch?v=wAIHVwdIMnM
Lagi Dalil-Dalil Syiah Ikut Saidina Ali dan Keluarga Nabi selepas wafat Rasul (Hadis Sunni)
https://www.youtube.com/watch?v=4xMstZMYxNo
Dalil Saidina Ali Sepatutnya Jadi Khalifah Lepas Wafat Rasul s.a.w.
https://www.youtube.com/watch?v=reFFDSxif1E
SYIAH SESAT- Hadis-Hadis Sunni Tentang Ikut 12 Imam
https://www.youtube.com/watch?v=2WMO5l1OFLs
Nama-Nama 12 Imam Syiah di Mesjid Nabawi
https://www.youtube.com/watch?v=iyY8d9Cib7M
Pengikut Ahlulbait Tidak Boleh Mengkafirkan Sesama Muslim
https://www.facebook.com/maulatv/videos/1699818063652695/
Pemimpin Tertinggi Iran melarang penghinaan terhadap Figur2 Yang Dihormati Ahlus Sunnah
https://www.facebook.com/ImamAliKhameneiMalayVersion/videos/534853159909415/)
Seorang doktor Mesir meneliti tentang kebenaran jumlah para Imam Syiah melalui ayat Al-Quran.
Doktor Magdi Wahibah Al-Syafii, khatib dan dosen Universitas Al-Azhar memulai penelitiannya melalui angka-angka dalam Al-Quran dan mendapatkan hasil yang menakjubkan dalam hal ini.
jumlah dan angka dalam Al-Quran bukan tanpa alasan dan pasti memiliki tujuan khusus seperti penyebutan kata hari (al-yaum) yang dalam Al-Quran diulang sebanyak 365 kali, sesuai dengan jumlah hari dalam satu tahun, atau kata bulan (al-shahr) yang diulang sebanyak12 kali, serta berbagai contoh lainnya.
Berdasarkan pada fakta tersebut, Doktor Magdi memulai penelitiannya untuk membuktikan kebenaran jumlah para imam dalam mazhab Syiah. Hasilnya sebagai berikut:
1. Kata imam dalam Al-Quran diulang 12 kali yang sesuai dengan jumlah para imam Syiah:
Al-Baqarah 124.
Al-taubah 12.
Hud 17.
Al-Isra 70.
Al-Anbiya 72.
Al-Qasas 5.
Al-Hajar 79.
Al-Sajdah 24.
Yaasiin 12.
Al-Qasas 41.
Al-Furqan 74.
Al-Ahqaf 12.
2. Kata Syiah dan mushtaqat-nya (yang memiliki satu akar dengan kata Syiah) diulang 12 kali dalam Al-Quran.
3. Umat Syiah meyakini bahwa para 12 imam serta Sayidah Fatimah sa, adalah manusia-manusia maksum (yang terjauhkan dari dosa). Adapun kemaksuman Rasulullah Saw telah disepakati oleh semua mazhab hanya saja terdapat perbedaan dalam tingkatan dan jenisnya. Kata Ismah atau Maksum itu disebut sebanyak 13 kali dalam Al-Quran;
Al-Nisa 146.
Al-Imran 101.
Al-Nisa 175.
Al-Maidah 67.
Al-Imran 103.
Yusuf 32.
Yunus 27.
Hud 43 (disebutkan dua kali).
Al-Ahzab 17.
Al-Mukmin (Al-Ghafir) 33.
Al-Mumtahanah 10.
Al-Haj 78.
4. Kata Al-Kisa' dengan berbagai jenis bentuknya, yang berdasarkan riwayat dari Ummu Salamah disebutkan dalam kitab Sahihain, Ahlul Kisa' berjumlah lima orang yang mencakup Rasulullah Saw, Imam Ali as, Sayidah Fatimah as, Imam Hasan dan Husein as; diulang lima kali dalam Al-Quran:
Al-Baqarah 233.
Al-Baqarah 259.
Al-Maidah 89.
Al-Mukminum 14.
Al-Nisa' 5.
Bukhari dan Muslim, masing-masing di dalam ‘Sahih’ nya, Imam Tha’labi di dalam ‘Tafsir’ nya, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam ‘Musnad’, Tibrani di dalam ‘Mu’jamu’l-Kabir’, Sulayman Balkhi Hanafi di dalam ‘Yanabiu’l-Mawadda’, Bab 32, pada pengesahan di ‘Tafsir’ dari Ibn Abi Hatim, ‘Manaqib’ dari Hakim, Wasit dan Wahidi, ‘Hilyatu’l-Auliya’ dari Hafiz Abu Nu’aim Isfahani, dan ‘Fara’id’ dari Hamwaini, Ibn Hajar Makki di dalam ‘Sawa’iq Muhriqa’, di bawah ayat 14 pada kenyataan Ahmad, Muhammad bin Talha Shafi’i di dalam ‘Matalibu’s-Su’ul’, ms 8, Tabari di dalam ‘Tafsir’, Wahidi di dalam ‘Asbabu’n-Nuzul’, Ibn Maghazili di dalam ‘Manaqib’, Muhibu’d-Din Tabari di dalam ‘Riyazu’n-Nuzra’, Mu’min Shablanji di dalam ‘Nuru’l-Absar’, Zamakhshari di dalam ‘Tafsir’, Imam Fakhru’d-Din Razi di dalam ‘Tafsir Kabir’, Seyyed Abu Bakr Shahabu’d-Din Alawi di dalam ‘Rishfatu’s-Sadi min Bahr-e-Faza’il-e-Baniu’l-Nabi’i’l-Hadi’, bab 1, ms 22-23 pada kenyataan dari ‘Tafsir of Baghawi’, Tafsir’ dari Tha’labi, ‘Manaqib’ dari Ahmad, Kabir dan Ausat dari Tibrani dan Sadi, Sheikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Amir Shabrawi Shafi’i di dalam ‘Al-‘Ittihaf’, ms 5 pada pengesahan oleh Hakim, Tibrani, and Ahmad, Jalalu’d-Din Suyuti di dalam ‘Ihya’u’l-Mayyit’ pada pengesahan dari ‘Tafsirs’ dari Ibn Mundhir, Ibn Abi Hatim, Ibn Mardawaih, dan ‘Mu’jamu’l-Kabir’ dari Tibrani; dan Ibn Abi Hatim dan Hakim –
Secara ringkas, kebanyakkan dari ulama yang mashor [mengenepikan beberapa pengikut kuat Bani Umayyah dan musuh-musuh ahli bayt] telah menyatakan dari Abdullah bin Abbas dan lainnya bahawa apabila ayat yang berikut dari al-Quran diwahyukan:
‘Katakan: Saya tidak meminta apa-apa ganjaran untuknya tetapi kecintaan untuk keluarga terdekat ku; dan sesiapa yang membuat kebajikan, Kami akan memberikannya tambahan… [42:23]
Sekumpulan sahabat bertanya:
Wahai Nabi Allah, siapakah mereka kerabat mu yang mencintai mereka telah dijadikan wajib ke atas kami oleh Allah?’ Nabi menjawab, ‘Mereka adalah Ali, Fatima, Hasan dan Husein.’Sebahagian hadis mengandungi perkataan ‘dan anak-anak mereka’ bererti Hasan dan Husein.
SHAFII MENGESAHKAN BAHAWA CINTA KEPADA AHLI BAYT ADALAH WAJIB.
Bahkan Ibn Hajar [musuh syiah] di dalam ‘Sawaiq Muhriqa’ nya ms 88, Hafiz Jamalud-Din Zarandi di dalam ‘Mirajul-Rasul’; Sheikh Abdullah Shabrawi di dalam ‘Kitabul-Ittihaf’ ms 29, Muhammad bin Ali Sabban dari Mesir di dalam ‘Asafur-Raghibin’ ms 119; dan lainnya telah menyatakan dari Imam Muhammad bin Idris Shafii, seorang dari Imam yang empat, ketua agama mazhab shafii, bahawa dia telah berkata:
‘Wahai ahli bayt Nabi Allah! Cinta kepada kamu telah dijadikan wajib kepada kami oleh Allah, sebagaimana diwahyukan di dalam al-Quran [merujuk kepada ayat di atas] Telah mencukupi bagi kehormatan kamu jika sesaorang tidak mengucapkan salam kepada kamu di dalam solat, maka solatnya tidak akan diterima.’
Sekarang saya bertanya, bolehkah hadis yang disampaikan dari satu pihak, bertahan terhadap semua hadis sahih yang telah diterima oleh sunni dan syiah?
KISAH PLAT KAPAL KAYU NABI NUH YANG DIHIASI NAMA-NAMA ANGGOTA AHLUL BAYT NABI
Ahlul bait Nabi saw seperti pintu Hiththah Bani Israil
Surat AL-Baqarah: 58
Allah swt berfirman:
وإذ قلنا ادخلوا هذه القرية فكلوا منها حيث شئتم رغداً وادخلوا الباب سجداً وقولوا حطة نغفر لكم خطاياكم
Ingatlah, ketika Kami berfirman:
“Masuklah kalian ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak dan enak sebagaimana yang kalian sukai, dan masuklah kalian ke pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakan: “Bebaskan kami dari dosa-dosa, niscaya Kami akan mengampuni kesalahan-kesalahan kalian.”
Dalam tafsir Ad-Durrul Mantsur, tentang ayat ini Jalaluddin As-Suyuthi berkata:
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib (as) berkata: “Sesungguhnya kami (Ahlul bait) bagi ummat ini seperti bahtera Nuh dan pintu Hiththah (pengampunan dosa).”
Dalam Mustadrak Al-Hakim 2: 343 Al-Hakim mengatakan tentang ayat ini:
Hansy Al-Kinani berkata, aku pernah mendengar Abu Dzar berkata sambil berpegangan pada pintu Ka’bah: Wahai manusia, barangsiapa yang mengenalku, aku adalah orang yang kalian kenal, dan barangsiapa yang mengingkariku, maka aku adalah Abu Dzar, aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam.” Sekanjutnya Al-Hakim mengatakan: Hadis ini shahih menurut persyaratan Muslim.
Dalam Majma’ Az-Zawaid 9:168 disebutkan:
Abu Said Al-Khudri berkata, aku pernah mendengar Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan Ahlul baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam. Dan sesungguhnya perumpamaan Ahlul baitku bagi kalian seperti pintu Hiththah bagi Bani Israil, barangsiapa yang memasukinya ia akan diampuni dosa-dosanya.”
Tentang hadis ini secara lebih detail, Anda baca tentang hadis Safinah (bahtera nabi Nuh as). Dan dengan segala macam redaksinya hadis ini terdapat dalam kitab:
1. Kanzul Ummal, jilid 6 halaman 216.
2. Hilyah Al-Awliya’, Abu Na’im, jilid 4 halaman 306.
3. Tarikh Baghdad, Al-Khathib, jilid 12 halaman 19.
4. Dzakhair Al-‘Uqbâ, Muhibuddin Ath-Thabari, halaman 20.
5. Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, Ibnu Hajar, halaman 75. Hadis ini diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari Ibnu Abbas.
6. Al-Faydh Al-Qadir, Al-Mannawi, jilid 4 halaman 356.
7. Kunuz Al-Haqâiq, Al-Mannawi, halaman 132, hadis ke 6943.
PERUMPAMAAN AHLUL BAYT SEBAGAI BAHTERA NABI NUH
مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ
Sebuah hadits Nabi berbunyi sebagai berikut:
“Perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam.”
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak menyatakan bahwa hadis ini shahih berdasarkan persyaratan Muslim.
Hadis Safinah sangat mutawatir, dan dengan bermacam-macam redaksinya hadis ini terdapat di dalam kitab:
Mustadrak Al-Hakim, jilid 2, halaman 343, jilid 3, halaman 151.
Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 184 dan 234.
Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi, halaman 235.
Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 30 dan 370,cet Al-Haidariyah; halaman 27 dan 308, cet. Islambul.
Muhammadiyah, Mesir; halaman 111 dan 140, cet. Al-Maimaniyah, Mesir.
Tarikh Al-Khulafa’, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i
Is’afur Raghibin, oleh Ash-Shabban Asy-Syafi’I, halaman 109, cet. As-Sa’idiyah; halaman 103, cet. Al-‘Utsamniyah.
Faraid As-Samthin, jilid 2, halaman 246, hadis ke 519.
Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh Ath-Thabrani, jilid 1, halaman 139.
Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi, halaman 235.
Majma’uz Zawaid, jilid 9, halaman 168.
Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 148 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah; halaman 111 dan 140, cet. Al-Maimaniyah, Mesir.
Nurul Abshar, oleh Asy-Syablanji, halaman 104, cet. As-Sa’idiyah.
Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Syafi’I, halaman 132, hadis ke: 174,175,176 dan 177, cet. Pertama, Teheran.
‘Uyunul Akhbar, oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, halaman 211, cet. Darul Kutub Al-Mishriyah, Kairo.
Al-Fathul Kabir, oleh An-Nabhani, jilid 1, halaman 414; jilid 2, halaman 113.
Ihyaul Mayyit, oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf, halaman 113.
Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad Ahmad, jilid 5, halaman 95.
Syarh Nahjul Balghah, oleh Ibnu Abil Hadid, jilid 1, halaman 73, cet. Pertama, Mesir; jilid 1, halaman 218, cet. Mesir, dengan Tahqiq Muhammad Abul Fadhl.
Kunuzul Haqaiq, oleh Al-Mannawi, halaman 119, tanpa menyebutkan cetakan; halaman 141, cet. Bulaq.
Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman: 27,28,181,183,193,261 dan 298, cet. Islambul; halaman 30,31,213,217,228,312 dan 375. cet. Al-Haidariyah.
Ihqaqul Haqq, oleh At-Tustari, jilid 9, halaman 270-293, cet. Teheran.
Muhammad wa li wa banuhu Al-Awshiya’, oleh Al-‘Askari, jilid 1, halaman 239-282, cet. Al-Adab.
Faraid As-Samthin, jilid 2, halaman 244, hadis 517.
PENEMUAN PLAT KAPAL NABI NUH
Pada bulan Juli tahun 1951 sebuah tim berisikan para ahli arkeologi dari Rusia meneliti sebuah tempat yang dicurigai sebagai sebuah situs bersejarah. Tempat itu terletak di lembah Kaaf. Orang-orang yang melihat mereka pada waktu itu pastilah mengira kalau para ahli itu sedang mencari sebuah lokasi pertambangan di sana. Rombongan itu tiba di suatu tempat dan mereka menemukan beberapa potongan kayu yang telah membusuk. Kemudian mereka mulai melakukan penggalian di tempat itu.
Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat ada tumpukan-tumpukan kayu yang tersusun di bawah permukaan bumi. Para ahli arkeologi ini segera menyadari bahwa tumpukan kayu ini bukanlah tumpukan kayu biasa. Kayu-kayu ini mungkin menyimpan rahasia yang sangat besar. Mereka akhirnya menggali lagi lebih dalam dan sekarang dengan semangat tinggi dan penuh antusias.
Di dalam bumi mereka menemukan kayu-kayu lebih banyak lagi beserta barang-barang lainnya. Mereka juga menemukan sebuah potongan plat kayu yang berbentuk persegi panjang. Para ahli arkeologi ini terkejut ketika mereka meneliti plat kayu (yang berukuran 14 x 10 inci itu) tampak kondisinya sangat jauh lebih terawat dibandingkan potongan kayu lainnya yang kondisinya hampir semuanya lapuk. Setelah penyelidikan yang dilakukan pada akhir tahun 1952, para ahli sampai pada suatu kesimpulan bahwa plat kayu tersebut berasal dari perahu Nabi Nuh yang terdampar di puncak bukit (atau gunung) Judy (Mount Calff). Dan plat—yang di permukaannya terdapat beberapa tulisan yang menggunakan bahasa kuno—dulunya terpasang kuat di perahu Nabi Nuh itu.
Setelah terbukti bahwa kayu yang diketemukan dalam ekskavasi itu memang berasal dari perahu Nabi Nuh, maka sekarang timbul keingin-tahuan orang terhadap tulisan-tulisan yang terdapat di plat kapal yang diketemukan masih utuh itu. Sekelompok ahli yang ditunjuk oleh pemerintah Rusia di bawah bagian riset pemerintah untuk menyelidiki bahasa dan tulisan yang terdapat di plat kayu Nabi Nuh itu. Tim penyelidik itu memulai pekerjaannya dari tanggal 27 Februari 1953. Berikut adalah nama-nama peneliti yang tergabung kedalam tim penyelidik itu:
Prof. Solomon (Sula Nouf), Professor of Languages, Moscow University
Prof. Ifahan Kheeno, scholar in ancient languages, Luluhan College, China
Mr. Mishaou Lu Farug. Officer I/c fossils, manager of ancient monuments
Mr. Taumol Goru, Professor of Languages, Cafezud/Kivzo College
Prof. De Pakan, Professor of ancient monuments, Lenin Institute
Mr. M. Ahmad Colad, Manager of general excavations and discoveries, Zitcomen Research Association
Major Cottor/Kolotov, Head of Stalin University
Jadi ketujuh orang ahli ini (sesudah melakukan riset selama 8 bulan lamanya) sampai pada sebuah kesimpulan bahwa plat kapal dari kayu itu berasal dari kayu yang memang digunakan dalam pembuatan kapal Nabi Nuh dan bahwa Nabi Nuh sendirilah yang telah menempatkan plat kapal ini untuk keselamatan kapal yang ditumpanginya dan untuk mengharapkan keridhoan Allah.
Di tengah-tengah plat kapal ini ada sebuah lukisan berbentuk pohon palem dimana di setiap lembar daunnya itu ada tulisan dari bahasa Saamaani. Mr. N. F. Max—seorang ahli bahasa kuno dari Inggris (Manchester)—menerjemahkan kata-kata yang tertulis di plat kapal kayu itu kedalam bahasa Inggris yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut:
"O my Lord, my helper! In your kindness and mercy help me, and for the sake of these holy names, Mohammed, Alia, Fatima, Shabbar (Hassan) , and Shabbir (Hussain) who are all biggest and honorable. The universe exists for their sake. Only YOU can lead us on the straight path.”
“Ya Allah, pelindungku! Berilah aku pertolongan dengan hak orang-orang yang engkau sucikan, Muhammad, Alia, Fatima, Shabbar (Hasan), dan Shabbir (Husein). Mereka adalah semuanya agung dan mulia. Alam semesta ini tercipta untuk mereka. Hanya ENGKAU-lah yang bisa menunjukiku jalan yang lurus”
Tentu saja orang-orang terkejut demi mengetahui tulisan yang ada pada plat kapal itu. Sebelumnya mereka sudah terkejut dengan kondisi dari plat kapal itu yang masih dalam keadaan yang sangat baik walaupun sudah ribuan tahun lamanya terkubur di dalam tanah. Sekarang plat kapal kayu itu masih tersimpan dengan baik di CENTER OF FOSSILS RESEARCH, Moscow, Rusia. Kalau anda memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Rusia, mungkin anda bisa melihat plat kapal itu dan itu akan menambahkan keimanan anda kepada keyakinan terhadap Ahlul Bayt Nabi.
Allahumma Shali ‘Ala Muhammad wa Aali Muhammad.
The translation was documented in the following news Papers:
Weekly - Mirror: U.K., December 28,1953.
Star of Britain: London, Manchester, January 23,1954.
Manchester Sunlight: January 23,1954.
London Weekly Mirror: February 01,1954.
Bathrah Najaf: Iraq, February 02,1954.
AI-Huda: Cairo, March 31,1954.
Ellia - Light, Knowledge, & Truth, Lahore, July 10,1969
TAKWIL AYAT KAAF HAA YAA 'AIN SHOOD
Dari Imam Mahdi ajs, beliau ditanya tentang takwil ayat tersebut, lalu beliau berkata:
"Takwil huruf-huruf ini termasuk kabar-kabar gaib yg Allah beritakan kepada Nabi Zakaria as, kemudian Allah beritakan kepada nabi Muhammad saww.
Pada suatu hari nabi Zakaria as memohon kepada Allah agar memberikan lima nama suci, lalu Allah swt mengutus Jibril untuk mengajari nama Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as, namun nabi Zakaria as jika menyebutkan empat nama yaitu Muhamad, Ali, Fatimah dan Hasan maka beliau as merasa gembira dan hilang semua kegaluan dan kesumpekan hatinya, namun jika menyebut nama Husain as, dadanya merasa sesak dan hatinya sedih, lalu beliau as bertanya kepada Allah, "Ya Allah, mengapa ketika aku menyebut empat nama pertama, hilang semua kegalauan hatiku, namun ketika aku menyebut nama Husain as, aku langsung meneteskan air mata?".
Lalu Allah swt mengabarkan tragedi yang akan menimpa imam Husain as, lalu Allah berfirman," kaaf (Karbala) (tempat terbunuhnya Imam Husain as), haa (halaakul 'itroh) binasanya keluarga nabi saww, yaa (yazid adalah yg membunuh Husain as), 'ain ('atsyul Husain) kehausan imam husain as, shood (shobrul husain as) kesabaran Imam Husain as".
Ketika nabi Zakaria mendengar firman Allah tersebut, beliau tak keluar dari masjid selama tiga hari dan ia melarang orang lain untuk masuk ke tempat peribadatannya tersebut, di dalam masjid beliau menangis tiada henti".
(tafsir as-Shofi juz.3 hal.272)
5. Ayat yang membuktikan kemaksuman para Ahlul Bait as yaitu ayat;
???????? ??????? ??????? ?????????? ??????? ????????? ?????? ????????? ??????????????? ??????????
Ayat ini mengandung 47 huruf yang berarti sama dengan jumlah huruf nama Ahlul Bait as;
????? 5? ??? 3? ??? 3? ???? 4? ??? 3? ???? 4? ???? 4? ???? 4? ??? 3? ???? 4? ??? 3? ??? 3? ???? 4.
Secara keseluruhan jumlah huruf dalam nama 13 manusia maksum itu 47 huruf.
Masih banyak pertanyaan lain berkaitan dengan angka dalam Al-Quran seperti tentang 12 sumber yang digunakan Nabi Musa as untuk melenyapkan dahaga kaumnya, atau jumlah bulan, jumlah 12 huruf dalam kalimat tauhid, dan 12 huruf dalam kata:
???? ???? ????
????? ???????
?????? ??????
????????????
????? ???????
????? ???????
????? ???????
?????? ??????
?????? ??????
?????? ??????
?????? ??????
?????? ??????
?????? ?????
?????? ??????
?????? ??????
????? ???????
?????? ??????
???? ???????
Serta masih banyak sekian rahasia yang belum terungkap.
(IRIB Indonesia/MZ)
12 IMAM SYIAH YANG TERMUAT DALAM KITAB-KITAB STANDAR AHLI SUNNAH
Rasulullah Muhammad saw sangat perhatian dan sayang pada umatnya serta sangat mengharap umatnya selalu berada dalam kebenaran.
Karena itu tidaklah mungkin Rasulullah meninggalkan umat tanpa menjelaskan kepada mereka apa dan siapa yang harus dijadikan rujukan oleh umat berkenaan dengan ajaran yang dibawa oleh beliau.
Jika kita merujuk kepada kitab-kitab hadis, maka kita akan menemukan bahwa Rasulullah saaw telah berwasiat pada segenap umatnya agar kita semua berpegang teguh kepada dua hal: yaitu Alquran dan Ahlul Bait Nabi, yaitu para Imam dari Keluarga Nabi. (Kitab Sahih Muslim, juz 4, halaman 123)
Mengapa?
Karena tentu saja tidak mungkin kita merujuk pada imam yang salah, yang tidak memahami Islam secara sempurna.
Kita juga tentu tak mungkin merujuk pada imam yang kesuciannya diragukan, yang bisa saja berbuat salah.
Itulah sebabnya kita perlu merujuk berbagai persoalan kepada imam yang haq, yang benar, yang terjaga dari perbuatan salah dan dosa. Dan Rasulullah saw telah menyebutkannya bahwa imam yang wajib kita patuhi adalah 12 imam yang telah Beliau saw sebutkan.
Allah SWT sendiri telah menjamin kesucian (kemaksuman) para imam dari keluarga Rasulullah saw tersebut. Ini termaktub dalam Al Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 33: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab : 33).
Karena mereka terjamin kesucian (kemaksuman)nya, maka lewat merekalah ajaran Islam tetap terjaga kemurniannya, dan dengan begitu umat Islam tak ragu dan bimbang lagi dalam mengambil rujukan yang benar dalam berbagai perkara.
Siapa Saja Nama-Nama 12 Imam Tersebut?
Ada banyak sekali hadits Rasulullah saw yang menyatakan keberadaan 12 imam yang wajib ditaati kaum muslimin. Beberapa diantaranya termaktub dalam kitab-kitab hadits sahih rujukan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Riwayat ini bisa ditemukan misalnya dalam Sahih Bukhari melalui 3 jalan. Lalu di dalam Sahih Muslim melalui 9 jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui 3 jalan. Begitu juga di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui 3 jalan.
Di dalam Sahih Bukhari misalnya, termuat hadits yang berasal dari Jabir yang mengatakan, “Rasulullah saw bersabda, ‘Akan muncul sepeninggalku 12 orang amir/imam‘, kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang aku tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakan kepada ayah saya, ‘Apa yang dikatakannya?’ Ayah saya menjawab, ‘Semuanya dari bangsa Qureisy.'” (Sahih Bukhari, jild 9, bab Istikhlaf, halaman 81)
Adapun dalam Sahih Muslim yang berasal dari ‘Amir bin Sa’ad yang berkata, “Saya menulis surat kepada Ibnu Samurah, ‘Beritahukan kepada saya sesuatu yang Anda dengar dari Rasulullah saw’. Lalu Ibnu Samurah menulis kepada saya, ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Jum’at sore pada saat dirajamnya al-Aslami, ‘Agama ini akan tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya 12 orang khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Qureisy.”
Dalam hadits lain, nama-nama para Imam yang akan menjadi pemimpin umat Islam yang wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin tersebut sudah disebutkan secara jelas oleh Rasulullah saw. Salah satunya:
Jabir bin Abdillah berkata: ”ketika ayat 55 dari surat Nisa turun yang menegaskan ”taatilah Allah, dan taatilah rasul, dan para pemimin dari kalian” aku bertanya pada rasul SAWW:
“kami telah mengetahui Tuhan dan RasulNya, namun Ulil Amr yang wajib kita taati tersebut belum kami ketahui, siapakah gerangan mereka itu?
Beliau bersabda: ”merekalah penggantiku, para Imam dan pemimpin sepeninggalku. Yang pertama Ali, kemudian secara berurutan Hasan putra Ali, Husain putra Ali, Ali putra Al Husain, Muhammad putra Ali yang dalam Taurat dikenal dengan Baqirul Ulum, dan kamu pada suatu saat akan berjumpa dengannya, dan kapanpun kau menjumpainya sampaikanlah salamku padanya.
Kemudian setelahnya secara urut Ja’far putra Muhammad, Musa putra Ja’far, Ali putra Musa, Muhammad putra Ali, Ali putra Muhammad, Hasan putra Ali, dan kemudian putranya yang nama dan kunyahnya (panggilan) sama dengan ku. Tuhan akan menjadikannya pemimin bagi dunia, dan ia akan tersembunyi dari pandangan dan penglihatan, dan ia akan gaib lama sekali. Sampai suatu saat di mana hanya ada orang-orang yang memiliki keiman yang kokoh, yang teruji dan mendalam akan keyakinan terhadap kepemimpinannya.
(Muntakhabul Atsar, halaman 101)
Dari hadits di atas jelaslah bahwa 12 imam yang dimaksud oleh Rasulullah saw tersebut adalah:
1. Imam Ali bin Abi Thalib (Amirul Mukminin)
2. Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib (cucu Rasulullah saw)
3. Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib (cucu Rasulullah saw)
4. Imam Ali Zainal Abidin (putra Imam Hussein)
5. Imam Muhammad Al Baqir (putra Imam Ali Zainal Abidin)
6. Imam Ja’far Ash Shadiq (putra Imam Muhammad Al Baqir)
7. Imam Musa Al Kazim (putra Imam Ja’far)
8. Imam Ali Ar Ridha (putra Imam Musa)
9. Imam Muhammad Al Jawad (putra Imam Ar Ridha)
10. Imam Ali Al Hadi (putra Imam Al Jawad)
11. Imam Hasan Al Askari (putra Imam Al Hadi)
12. Imam Muhammad Al-Mahdi (putra Imam Hasan Al-Askari)
Nah, merekalah, para imam yang 12 orang tersebut yang sesungguhnya telah menjadi pemelihara murni dari risalah Islam, ajaran kitab Allah dan sunnah Rasulullah, sebagaimana banyak dituliskan dalam berbagai riwayat dan juga disaksikan oleh sejarah. Oleh sebab itulah kita wajib mencintai 12 imam tersebut dan mengikuti mereka.
PERINTAH MENTAATI ULIL AMRI DAN 12 IMAM
DALAM AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH
Nabi saaw bersabda:
"Setelahku akan ada 12 Khalifah, semuanya dari Bani Hasyim"
(Qunduzi Hanafi, Yanabi' al Mawaddah, jilid III, hlm 104)
Jabir bin Samurah berkata: "Aku mendengar Rasulullah saaw bersabda:
"Islam akan senantiasa kuat di bawah 12 Khalifah". Baginda kemudian mengucapkan kata kata yang tidak aku fahami, lalu aku bertanya bapaku apakah yang dikatakan oleh Rasulullah saaw. Beliau menjawab: "Semuanya dari Quraisy"
(Muslim. Sahih, jilid VI, hlm 3, Bukhari, Sahih, jilid VIII, hlm 105, 128)
FIRMAN Allah SWT:
"Taatilah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu."
(An-Nisa: 49)
Ulil amri adalah para Imam dari Ahlul bait (as)
FIRMANNYA SWT :
يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ
“Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kamu kepada Rasul-Nya dan Ulil amri kamu.”
Yang dimaksud “Ulil-amri” dalam ayat ini adalah Ali bin Abi Thalib (as) dan Ahlul bait Nabi saw.
Dalam Tafsir Al-Burhan tentang ayat ini disebutkan suatu riwayat yang bersumber dari Jabir Al-Anshari (ra), ia berkata:
Ketika Allah menurunkan ayat ini aku bertanya:
Ya Rasulallah, kami telah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, tetapi siapakah yang dimaksud dengan Ulil-amri yang ketaatannya kepada mereka Allah kaitkan dengan ketaatan kepada-Nya dan Rasul-Nya?
Rasulullah saw menjawab:
Wahai Jabir, mereka itu adalah para penggantiku: Pertama, Ali bin Abi Thalib, kemudian Al-Hasan, kemudian Al-Husein, kemudian Ali bin Al-Husein, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Muhammad bin Ali yang dalam Taurat gelarnya masyhur Al-Baqir. Wahai Jabir, kamu akan menjumpai dia, sampaikan salamku kepadanya. Kemudian Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Al-Hasan bin Muhammad, kemudian dua nama Muhammad dan yang punya dua gelar Hujjatullah di bumi-Nya dan Baqiyatullah bagi hamba-hamba-Nya yaitu Ibnul Hasan, dialah yang Allah perkenalkan sebutan namanya di seluruh belahan bumi bagian barat dan timur, dialah yang ghaib dari para pengikutnya dan kekasihnya, yang keghaibannya menggoyahkan keimamahannya kecuali bagi orang-orang yang Allah kokohkan keimanan dalam hatinya.”
Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati "Ulil Amri" secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah saw.
Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?"
Rasulullah saw menjawab, "Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama "Al-Baqir" dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja'far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.
{Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi' al-Mawaddah, hal. 494, 443-Qundusi al hanafi}
Surah An Nisa ayat 59 - Perintah Mentaati Ulil Amri
"Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kamu kepada Rasul-Nya dan Ulil Amri kamu."
Yang dimaksud "Ulil Amri" dalam ayat ini adalah Ali dan para Imam dari keturunannya.
.-Imam Ali bin Abi Tholib AS (40 H)
-Imam Hasan bin Ali al-Mujtaba AS ( 50 H)
-Imam Husein bin Ali asy-Syahid AS (61 H)
-Imam Ali Bin Husein Zainal Abidin as-Sajjad AS (95 H)
-Imam Muhammad bin Ali al-Baqir AS (114 H)
-Imam Ja'far bin Muhammad ash-Shodiq AS (148 H)
-Imam Musa bin Ja'far al-Kadhim AS (183)
-Imam Ali bin Musa ar-Ridho AS (203)
-Imam Muhammad bin Ali al-Jawad AS (220 H)
-Imam Ali bin Muhammad al-Hadi AS (254 H)
-Imam Hasan bin Ali al-Askari AS (260 H)
-Imam Abul Qasim Muhammad bin Hasan al-Mahdi AFS (lahir 15 Sya'ban 255 H dan masih hidup)
LIHAT REFERENSI KITAB SEBAGAI RUJUKAN DARI AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH:
Yanabi'ul Mawaddah, oleh Syaikh Sulaiman Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 134 dan 137, cet,. Al-Haidariyah; halaman 114 dan 117, cet. Islambul. Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, halaman 148, hadis ke 202, 203 dan 204. Tafsir Ar-Razi, jilid 3, halaman 357. Ihqaqul Haqq, oleh At-Tastari, jilid 3, halaman 424, cet. Pertama, Teheran. Faraid As-Samthin, jilid 1, halaman 314, hadis ke 250.
Nabi SAWW bersabda :
"Sesiapa yang ingin hidup dan mati seperti aku, dan masuk surga (setelah mati) yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, yakni surga yang tak pernah habis, haruslah mengakui Ali sebagai pemimpinnya setelahku, dan setelah dia (Ali) harus mengakui anak-anak Ali, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah membiarkanmu keluar dari pintu petunjuk, tidak pula mereka akan memasukkanmu ke pintu kesesatan!
1) Hilyatul Awliya', by Abu Nu'aym, v1, pp 84,86
(2) al-Mustadrak, by al-Hakim, v3, p128
(3) al-Jamiul Kabir, by al-Tabarani
(4) al-Isabah, by Ibn Hajar al-Asqalani
(5) Kanzul Ummal, v6, p155
(6) al-Manaqib, by al-Khawarizmi, p34
(7) Yanabi' al-Mawaddah, by al-Qunduzi al-Hanafi, p149
(8) History of Ibn Asakir, v2, p95
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ ءَامَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَوةَ وَ يُؤْتُونَ الزَّكَوةَ وَ هُمْ رَاكِعُونَ وَ مَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ وَ الَّذِينَ ءَامَنُواْ فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَلِبُون
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan solat dan menunaikan zakat dan mereka tunduk (kepada Allah) dan barangsiapa yang menjadikan Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
NABI SAWW BERSABDA :
"Siapa yang ingin berpegang kepada agamaku dan menaiki bahtera kejayaan selepasku, maka hendaklah dia mengikuti Ali bin Abi Talib, memusuhi lawan2nya dan mewalikan walinya karena dia adalah wasiku, dan khalifahku ke atas ummatku semasa hidupku dan setelah kewafatanku. Dia adalah IMAM setiap muslim dan AMIR setiap mukmin, perkataannya adalah perkataanku, perintahnya adalah perintahku. Larangannya adalah laranganku. Pengikutnya adalah pengikutku. Penolongnya adalah penolongku. Orang yang menjauhinya adalah menjauhiku."
Kemudian Nabi Saww bersabda lagi:
"Siapa yang menjauhi Ali selepasku dia tidak akan 'melihatku.' Dan aku tidak melihatnya di hari kiamat. Dan siapa yang menentang 'Ali, Allah haramkan ke atasnya syurga dan menjadikan tempat tinggalnya di neraka. Siapa yang menjauhi 'Ali, Allah akan menjauhinya di hari kiamat. Di hari itu akan dizahirkan segala-galanya dan sesiapa yang menolong 'Ali, niscaya Allah akan menolongnya."
.
{Al-Hamawaini al-Syafi'i meriwayatkan di dalam Fara'id al-Simtain}
RUJUKAN LAIN TENTANG 12 IMAM DALAM AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH
Musnad Ahmad No. 3593
حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنِ الْمُجَالِدِ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَكُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَهُوَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ هَلْ سَأَلْتُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمْ تَمْلِكُ هَذِهِ الْأُمَّةُ مِنْ خَلِيفَةٍ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ مَا سَأَلَنِي عَنْهَا أَحَدٌ مُنْذُ قَدِمْتُ الْعِرَاقَ قَبْلَكَ ثُمَّ قَالَ نَعَمْ وَلَقَدْ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اثْنَا عَشَرَ كَعِدَّةِ نُقَبَاءِ بَنِي إِسْرَائِي
َTelah menceritakan kepada kami [Hasan bin Musa] telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid] dari [Al Mujalid] dari [Asy Sya'bi] dari [Masruq] ia berkata; Tatkala kami duduk-duduk bersama Abdullah bin Mas'ud, saat itu ia sedang membacakan Al Qur`an kepada kami, lalu seorang laki-laki berkata kepadanya; Wahai Abu Abdurrahman, apakah kalian pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam BERAPAKAH UMAT INI MEMILIKI KHALIFAH? [Abdullah bin Mas'ud] berkata; Tidak ada seorang pun yang menanyakan hal itu kepadaku sejak aku datang ke Iraq sebelum engkau, kemudian ia melanjutkan; Ya, kami pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa aalihi wasallam, lalu beliau menjawab: "Sebanyak DUA BELAS orang seperti jumlah pemimpin bani Israil."
.
Bukhari menukil dari Jabir bin Samarah:”Aku mendengar rasul bersabda:”setelahku 12 orang pemimpin akan datang.” Saat itu beliau melanjutkan ucapannya yang tak terdengar olehku kemudian ayahku berkata bahwa keseluruhan imam tersebut semuanya dari bangsa Quraisy.”
[Sahih Bukhari, jild 9, bab Istikhlaf, halaman 81.]
Kata al-khilafah bermakna al-niyabah ‘an al-ghayr atau pengggantian juga berarti : al-imamah al-‘uzhma atau kekhalifahan atau kepemimpinan yang agung. Lihat Kamus al-Munawwir hlm. 393, Catakan th. 1984. Contoh faktualnya adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang diangkat sebagai khalifah. Dan di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Inilah dia saudaraku, penerima wasiatku (al-washî) dan khalifahku (khalîfatî)…” Rujukan :
LIHAT :
- Târikh al-Thabarî Jil. 2, hlm. 319, dan
- al-Kâmil fî al-Târikh li Ibni al-Atsîr Jil. 2 hlm. 63.
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Saya masuk bersama ayah saya kepada Nabi SAW. maka saya mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan habis sampai melewati dua belas khalifah.’ Jabir berkata, ‘Kemudian beliau berbicara dengan suara pelan. Maka saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apakah yang dikatakannya?’ Ia berkata, ‘Semuanya dari suku Quraisy.’ Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Urusan manusia akan tetap berjalan selama dimpimpin oleh dua belas orang.’ Dalam satu riwayat disebutkan. ‘Agama ini akan senantiasa jaya dan terlindungi sampai dua belas khalifah.
(H.R.Shahih Muslim, kitab “kepemimpinan”, bab”manusia pengikut bagi Quraisy dan khalifah dalam kelompok Quraisy”)
Muslim juga menukil dari Jabir bin samarah:”aku mendengar rasul SAWW bersabda:”Islam akan memiliki pemimpin sampai 12 orang. Kemudian beliau bersabda yang tak bisa kupahami. Aku bertanya pada ayahku tentang apa yang tidak aku pahami itu, ia berkata:”beliau bersabda semuanya dari kaum Quraisy.
[Sahih Muslim, jild 6, kitab Al-Amarah, bab annas taba’un li quraisy, halaman 3.]
Muslim dari Jabir juga menukil, ia (Jabir) berkata:”aku dan ayahku berjalan bersama rasul SAWW saat itu beliau bersabda:”agama ini akan memiliki 12 pemimpin, yang kesemuanya dari bangsa Quraisy.
[Sahih Muslim, jild 6, kitab Al-Amarah, bab annas taba’un li quraisy, halaman 3.]
PERINTAH MENGIKUTI AHLALBAIT NABI SAWW
Hadis Tsaqalain maka kelihatan jelas bahwa 12 Imam adalalah dari Ithrahti Ahlulbait.
Ulama terkenal Al-Dhahabi mengatakan dalam bukunya Tadzkirat al-Huffaz , jilid 4, halaman 298, dan Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam al-Durar al-Kaminah, jilid 1, hal. 67 bahwa Sadruddin Ibrahim bin Muhammad bin al-Hamawayh al-Juwayni al-Shafi’i (disingkat Al-Juwayni) adalah seorang ahli Hadis yang mumpuni. Al-Juwayni menyampaikan dari Abdullah bin Abbas (ra) bahwa Nabi (sawa) mengatakan,
”Saya adalah penghulu para Nabi dan Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin para penerus, dan sesudah saya akan ada dua belas penerus. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah Al-Mahdi.”
Al-Juwayni juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas (r) bahwa Rasulullah (sawa) berkata: ”Sudah pasti bahwa wakil-wakilku dan Bukti Allah bagi makhluk sesudahku ada dua belas. Yang pertama di antara mereka adalah saudaraku dan yang terakhir adalah anak (cucu) ku.” Orang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah saudaramu itu?”. Beliau menjawab: “Ali bin Abi Thalib.” Lalu beliau ditanyai lagi: “ Dan siapakan anak (cucu) mu itu?” Nabi yang suci (sawa) menjawab: ”Al-Mahdi. Dia akan mengisi bumi dengan keadilan dan persamaan ketika ia (bumi) dipenuhi ketidakadilan dan tirani. Dan demi Yang Mengangkatku sebagai pemberi peringatan dan memberiku kabar gembira, meski seandainya masa berputarnya dunia ini tinggal sehari saja, Allah SWT akan memperpanjang hari itu sampai diutusnya (anakku) Mahdi, kemudian ia akan disusul Ruhullah Isa bin Maryam (a.s.) yang turun ke bumi dan berdoa di belakangnya (Mahdi). Dunia akan diterangi oleh sinarnya, dan kekuatannya akan mencapai hingga ke timur dan ke barat.”
Al-Juwayni juga meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) mengatakan: ”Aku dan Ali dan Hasan dan Husain dan sembilan anak cucu Husain adalah yang disucikan (dari dosa) dan dalam kebenaran.” [Al-Juwayni, Fara'id al-Simtayn, Mu'assassat al-Mahmudi li-Taba'ah, Beirut 1978, p. 160.] Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, “Ya Rasulullah, Siapa kah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?” Rasulullah saaw menjawab, “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para Imam kaum Muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama “Al-Baqir” dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali,kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.
(Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 494, 443-Qundusi al hanafi)
Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, “Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, ‘Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?’
Rasul menjawab, ‘Ya, wilayah (kepemimipinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.’
Lalu kedua orang itu berkata lagi, ‘Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?’
Beliau menjawab, ‘Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur’an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur’an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga.”
[Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4]
Rasul Allah SAWW yang menegaskan:
"Aku ini adalah kotanya ilmu atau kotanya hikmah, sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya. Barang siapa ingin memperoleh ilmu hendaknya ia mengambil lewat pintunya."
Mu'adz bin Jabal mengatakan bahwa Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali as.:
"Engkau mengungguli orang lain dalam tujuh perkara. Tak ada seorang Qureisy pun yang dapat menyangkalnya. Yaitu:
-Engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah,
-Engkau orang yang terdekat dengan janji Allah,
-Engkau orang yang termampu menegakkan perintah Allah,
-Engkau orang yang paling adil mengatur pembagian (ghanimah),
-Engkau orang yang paling berlaku adil terhadap rakyat,
-Engkau paling banyak mengetahui semua persoalan,
-dan Engkau orang yang paling tinggi nilai kebaikan sifatnya di sisi Allah.
TAURAT DAN ANGKA 12
Kenapa Kalender- kalender Masehi, Hijriyah, Jawa, Hindu, Budha, China, dan sebagainya dalam setahunnya juga ada 12 bulan
NAMA 12 PUTRA NABI YA’QUB [AS] DALAM TAURAT
Yakub mempunyai 12 anak laki-laki secara berurutan Nama mereka adalah:
1. Ruben
2. Simeon
3. Lewi
4. Yehuda
5. Dan
6. Naftali
7. Gad
8. Asyer
9. Isakhar
10. Zebulon
11. Nabi Yusuf [AS]
12. Benyamin.
(Kejadian 29:31–30)
MENGAPA TAURAT JUGA MENAMPILKAN 12 PEMIMPIN?
NAMA 12 UTUSAN NABI MUSA [AS] PENGINTAI TANAH KANAAN
13:4 Dan inilah nama-nama mereka:
Dari suku Ruben: SYAMUA bin Zakur;
13:5 dari suku Simeon: SAFAT bin Hori;
13:6 dari suku Yehuda: KALEB bin Yefune; m
13:7 dari suku Isakhar: YIGAL bin Yusuf;
13:8 dari suku Efraim: HOSEA bin Nun; n
13:9dari suku Benyamin: PALTI bin Rafu;
13:10 dari suku Zebulon: GADIEL bin Sodi;
13:11 dari suku Yusuf, yakni dari suku Manasye: GADI bin Susi;
13:12 dari suku Dan: AMIEL bin Gemali;
13:13 dari suku Asyer: SETUR bin Mikhael;
13:14 dari suku Naftali: NAHBI bin Wofsi;
13:15 dari suku Gad: GUEL bin Makhi.
13:16 Itulah nama orang-orang yang disuruh Musa untuk mengintai o negeri itu; dan Musa menamai Hosea bin Nun p itu Yosua. q
[Bilangan 13:4-16]
NAMA 12 RAJA KETURUNAN NABI ISMAEL [AS] DALAM TAURAT?
25:12 Inilah keturunan a Ismael, anak Abraham, b yang telah dilahirkan baginya oleh Hagar, c perempuan Mesir, hamba Sara itu.
25:13 Inilah nama anak-anak Ismael, disebutkan menurut urutan lahirnya: NEBAYOT, d anak sulung Ismael, selanjutnya KEDAR, e ADBEEL, MIBSAM,
25:14 MISYMA, DUMA, f MASA,
25:15 HADAD, TEMA, g YETUR, h NAFISH dan KEDMA. 25:16
Itulah anak-anak Ismael, dan itulah nama-nama mereka, menurut kampung mereka dan menurut perkemahan i mereka, DUA BELAS ORANG RAJA, j masing-masing dengan sukunya.
[Kejadian 25:12-16]
TAURAT, INJIL DAN AL-QUR'AN
1
الم
Alif laam miim.
2
اللّهُلا إِلَهَإِلاَّ هُوَالْحَيُّالْقَيُّومُ
Allah--tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri.
3
نَزَّلَعَلَيْكَالْكِتَابَبِالْحَقِّ مُصَدِّقاًلِّمَابَيْنَيَدَيْهِوَأَنزَلَالتَّوْرَاةَوَالإِنجِيلَ
Dia menurunkan Al Kitab (Al quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan TAURAT dan INJIL,
4
مِنقَبْلُهُدًىلِّلنَّاسِوَأَنزَلَالْفُرْقَانَإِنَّالَّذِينَكَفَرُواْبِآيَاتِاللّهِلَهُمْعَذَابٌشَدِيدٌ وَاللّهُعَزِيزٌ ذُوانتِقَامٍ
sebelum (Al quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).
5
إِنَّاللّهَ لاَيَخْفَىَعَلَيْهِشَيْءٌ فِيالأَرْضِوَلاَ فِيالسَّمَاء
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.
(QS. 3:
NAMA-NAMA 12 IMAM DI DALAM ISLAM
Di dalam Kitab Taurat, Joshua atau Yusak bin Nun yang diangkat oleh Nabi Musa AS sebagai penerus beliau adalah imam pertama dari 12 imam yang dipilih oleh Musa AS sebagai para “Pengintai” [istilah Taurat] dan Pengawas Tanah Kanaan.
[Kitab Bilangan 13]
NABI MUHAMMAD SAW MENETAPKAN 12 IMAM
Jundal bin Janadah berjumpa Rasulullah (saww) dan bertanya kepada beliau beberapa masalah. Kemudian dia berkata :
Beritahukan kepadaku wahai Rasulullah tentang para washi anda setelah anda supaya aku berpegang kepada mereka.
Beliau (saww) menjawab : “Washiku dua belas orang.”
Lalu Jundal berkata : “Begitulah kami dapati di dalam Taurat.”
Kemudian dia berkata : “Namakan mereka kepadaku wahai Rasulullah.”
Maka Beliau (saww) menjawab :
“Pertama adalah penghulu dan ayah para washi adalah Ali. Kemudian dua anak lelakinya Hasan dan Husain. Berpeganglah kepada mereka dan janganlah kejahilan orang-orang yang jahil itu memperdayakanmu.
Kemudian Ali bin Husain Zainal Abidin, Allah akan mewafatkan (Ali bin Husain) dan menjadikan air susu sebagai minuman terakhir di dunia ini.”
Jundal berkata :
“Kami telah mendapatinya di dalam Taurat dan di dalam kitab-kitab para Nabi (as) seperti Iliya, Syibra dan Syabir. Maka ini adalah nama Ali, Hasan dan Husain, lalu siapa setelah Husain? siapa nama mereka?”
Berkata (Rasulullah) saww :
Setelah wafatnya Husain, imam setelahnya adalah putranya Ali dipanggil Zainal Abidin setelahnya adalah anak lelakinya Muhammad, dipanggil al-Baqir. Setelahnya anak lelakinya Ja’far dipanggil al-Shadiq. Setelahnya anak lelakinya Musa dipanggil al-Kadzim. Setelahnya anak lelakinya Ali dipanggil al-Ridha. Setelahnya anak lelakinya Muhammad dipanggil al Taqy Az Zaky. Setelahnya anak lelakinya Ali dipanggil al-Naqiy al-Hadi. Setelahnya anak lelakinya Hasan dipanggil al-Askari. Setelahnya anak lelakinya Muhammad dipanggil al-Mahdi al-Qa’im dan al-Hujjah. Beliau ghaib dan akan keluar memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana itu dipenuhi dengan kefasadan dan kezaliman.
Alangkah beruntungnya bagi orang-orang yang bersabar semasa ghaibnya. Dan alangkah beruntungnya bagi orang-orang yang bertaqwa terhadap Hujjah mereka. Dan mereka itulah orang yang disifatkan oleh Allah di dalam firmanNya “Petunjuk bagi mereka yang bertaqwa yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib.”
Kemudian beliau membaca “Maka sesungguhnya partai Allah itulah yang pasti menang.”(2) Beliau bersabda : Mereka adalah dari partai Allah (hizbullah).”
[Hadis Riwayat Sulaiman Qunduzi al-Hanafi]
Hanya orang buta yang tak sanggup melihat tanda-tanda kebenaran Allah melalui pesan-pesan di dalam kitab-kitabNya tentang 12 Imam pilihanNya.
WASIAT NABI [saw] TENTANG 12 IMAM
Shahibu Yanabi’ al-Mawaddah telah meriwayatkan dalam kitabnya, dia berkata,
“Seorang Yahudi disebut al-A’tal datang kepada Nabi Muhammad saww, dan ia berkata, “Hai Muhammad, saya menanyakan kepadamu perkara-perkara yang telah terdetak dalam dadaku semenjak beberapa waktu, jika engkau dapat menjawabnya niscaya saya akan menyatakan masuk Islam di tanganmu.
’Beliau menjawab, ‘Tanyalah! hai Aba Ammarah, maka ia menanyakan beberapa perkara yang dijawab oleh Nabi saww dan ia membenarkan, kemudian ia menanyakan,
‘Beritahukanlah padaku tentang penerimaan wasiatmu, siapakah ia itu? karena tidak seorang Nabi pun kecuali ia mempunyai seorang penerima wasiat, dan sesungguhnya NABI KAMI MUSA BIN IMRAN TELAH BERWASIAT KEPADA YUSA’ BIN NUN.’
Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya penerima wasiatku adalah ‘ALI BIN ABI THALIB dan setelahnya adalah kedua cucuku AL-HASAN dan AL-HUSEIN kemudian beliau menyebutkan SEMBILAN IMAM DARI TULANG SULBI AL-HUSEIN.
‘Lalu ia berkata, ‘Ya Muhammad, sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku!’
Beliau bersabda, “Bila al-Husein telah berlalu maka diganti oleh anaknya “Ali, bila ‘Ali telah berlalu maka diganti anaknya Muhammad, bila Muhammad berlalu maka diganti anaknya Ja’far, Musa, ‘Ali, Muhammad, ‘Ali, Hasan, al Hujjah Muhammad al-Mahdi as, maka itu semuanya adalah dua belas orang Imam.’ Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam dan ia memuji Aallah SWT karena petunjuk-Nya.”
Referensi:
(Riwayat al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 440, dan Faraid as-Samthain oleh al-Humawaini dengan sanad dari Ibnu Abbas.)
SEMUA PENERUS NABI ADALAH KETURUNAN NABI
Risalah ADAM dilanjutkan putranya SYITS
NUH berputra Lamik – Matusalih - IDRIS
NUH berputra Sam – Iram – Aush – Ad – Khulud – Reba – Abdullah – HUD – Haran - LUT
NUH - Sam - Iram – Amur – Tsamut – Jabber – Ubaid yang berputra SALEH
IBRAHIM berputra 3 yang menurunkan para nabi:
ISHAQ – Essau – Anwas – AYUB – DZULKIFLI
YA’QUB berputra YUSUF
Madyan – Nabet – Iya – Shafat – SYU’AIB
YA’QUB berputra 12 pemimpin Bani Israel, diantaranya:
Yahuda yang berputra Baras – Hasrun – Raum – Umainizab – Yaksyan – Salmon – Yu’ar – Ufiz – Isha – DAUD yang berputra SULAIMAN
YA’QUB berputra Benyamin – Abumatta – Matta – YUNUS
SULAIMAN berputra Roboam – Abia – Sahfasat – Salmon – Nukhur – Shadiqa – Moslem – Sulaiman – Daud – Yaksyan – Shaduk – Adam – ZAKARIA – YAHYA
SULAIMAN berputra Roboam – Abia – Yahushafat – Barit – Nausa – Nawas – Amsaya – Izazaya – Au’am – Ahrif – Hizkil – Misyam – Amur – Sahin – Imran – Maryam - ISA
Imran keponakan ZAKARIYAH, Imran berputri Maryam ibunda Isa Al-Masih, dan ZAKARIYAH berputra YAHYA.
ISMAEL – Nabet – Yazhjub – Terah – Nahor – Muqawwam – Udad – Adnan – Mu’ad – Nisar – Mudhar – Ilyas – Mudrika – Khuzaima – Kan’an – Nadir – Malik – Fihr – Ghalib – Lu’ay – Ka’ ab – Murra – Kilab – Qussay – Abdu Manaf - Hasyim – Abdul Mutholib – Abdullah – MUHAMMAD SAW– FATIMAH+ALI – HASAN+HUSEIN – ALI – MUHAMMAD – JA’FAR – MUSA – ALI – MUHAMMAD – ALI – HASAN – MUHAMMAD Al-Mahdi
Sehubungan dengan Keluarga Nabi Muhammad saw sebagai penerus risalah beliau, Allah telah menegakkan aturan baku bahwa hanya keluarga dan keturunan Nabi [AS] yang berhak melanjutkan risalah para nabi kakek-moyangnya. Jika ada penyimpangan dari aturan ini, JANGAN DIIKUT!.
PERISTIWA "GHADIR KHUM" DI DALAM TAURAT
Kepada mazhab-mazhab lain dalam Islam, saudara-saudaraku seislam walaupun menolak hadis Safinah terkait 12 imam, ini tidak menyebabkan terkeluar dari Islam, walaupun para ulama cuba menyusun kedudukan para imam ini supaya turutan 12 nya menjadi mantab, Imam Ali hanya diletakan sebagai khalifah keempat, cuba menyusun para khalifah islam yang bisa disenaraikan, maka ada saja yang tidak kena, soalnya, mengapa tidak meletakkan keutamaan Ahlulbait di batas yang selayaknya, sedangkan dalam Taurat (kitab yang terdahulu) keutamaan mereka telahpun ada?
Menurut banyak kitab referensi sejarah Islam bahkan non-Islam sekalipun, semua nabi dari Nabi Adam (AS) hingga Nabi Muhammad (SAW) mempunyai pendamping khusus yang nantinya menjadi penerus para nabi tersebut.
Misalnya penerus Adam adalah "Hebtallah" dalam bahasa Arab atau "Seth" dalam bahasa Ibrani. Penerus Abraham "Ismail". Penerus Yakub adalah "Yusuf". Musa penerusnya adalah "Joshua" yang bahkan mempunyai pengalaman sulit seperti Ali bin Abi Thalib dimana istri Nabi Musa memberontak melawan Joshua. Juga penerus Yesus adalah "Simon Petrus".
SETH PENERUS RISALAH ADAM [AS]
Sejarawan besar Islam, yaitu Ya'qubi, menceritakan tentang suksesi Adam: "Ketika Adam menjelang wafat, beliau memilih Sheyth sebagai penggantinya." (1) Juga, Tabari, penulis Tarikh al-Rosol wa al -Moluk mencatati: "Hebtallah disebut sebagai Seth dalam bahasa Ibrani. Beliau adalah penerus Adam [AS]. Adam menulis wasiat untuk Seth dan meneruskan risalah ayahnya, Adam" (2) Ibnu Atsir dan Ibnu Katsir mencatat pernyataan yang sama tentang hal ini. "Penafsiran Sheyth adalah Hebtallah yang dipilih oleh Adam sebagai penggantinya " (3)
PETRUS PENERUS ISA AL-MASIH (AS)
Kitab Taurat menyebutkan bahwa Petrus adalah penerus Yesus (AS). Di dalam Taurat Petrus disebut sebagai Simon (Sam'oon), juga dalam Perjanjian Baru, Matius pasal 10 tercatat: "Dan ketika Yesus memanggil Dua Belas murid-nya, ia memberi mereka kekuatan [ melawan] roh jahat ...
Nama kedua belas rasul itu adalah Simon, yang disebut Petrus ....dst. "Selain itu, dalam Yohanes 21:15-18, menyebutkan bahwa Yesus (Isa Al-Masih AS) menobatkan Peter sebagai penggantinya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku", maksudnya “membimbing para pengikutku dan engkau pimpin mereka. Dalam ayat lain disebutkan: "Yesus menunjuk dia (Petrus) untuk memimpin dalam wilayah ibadah."
JOSHUA DIANGKAT MUSA (AS) SEBAGAI PENERUSNYA
Perjanjian Lama, dalam kitab Joshua menceritakan bahwa: "Joshua dan Musa di atas bukit dan mereka tidak menyembah anak sapi ...dst" Selanjutnya, wasiat Musa kepada Joshua dikisahkan dalam Perjanjian Lama Kitab Bilangan, bab 27:15-23:
"Lalu Musa memohon kepada Allah, Tuhan dari roh segala makhluk, agar mengangkat seseorang agar memimpin ummat ini untuk mengurus urusan-urusan mereka dan menjadi pemandu bagi mereka, sehingga hamba-hamba Allah ini tidak seperti domba-domba yang tanpa penggembala.
Dan Tuhan berfirman kepada Musa: Ambillah Joshua bin Nun, seorang yang suci ruhnya, dan bai’atlah dia, dan bawa dia kepada Eleazar dan di depan semua ummat ini, dan berikan perintah-perintahmu di depan mata ummat ini.
Dan berilah kemuliaan kepadanya sehingga seluruh Bani Israel tunduk berada di bawah wilayahnya [kekuasaannya]. Dia akan berada di depan Eleazar, sehingga dia bisa mendapatkan petunjuk dari Tuhan, dengan Urim: sehingga mereka akan mentaatinya dan melakukan semua perintah dan larangannya, dia dan semua Bani Israel.
Maka Musa melaksanakan perintah Tuhannya: Ia memanggil Joshua dan menempatkan di depan imam Eleazar dan di depan kerumunan manusia. Dan Musa meletakkan tangannya pada Joshua [membai’atnya] dan memberinya perintah-perintah, sebagaimana Tuhan berfirman kepada Musa "
NABI MUHAMMAD DAN ALI
Nabi Muhammad (SAW) pasti tidak bisa dipisahkan dari nabi-nabi sebelumnya. Agama Islam adalah agama yang menyempurnakan agama-agama samawi. Islam adalah agama terakhir, Muhammad adalah nabi, rasul ulul azmi terakhir sehingga Allah menyempurnakan Islam sebagai agama sejati.
Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW mendapat tugas selalu menjaga kemurnian agama ini hingga kiamat nanti. Sepeninggal beliau, Rasulullah SAW tidak akan pernah meninggalkan pengikutnya tanpa penerus atau pemimpin yang special mempunyai kualitas yang sering digambarkan dengan jelas oleh beliau pada sosok Ali, putra paman beliau.
Nabi (SAW) bahkan tidak pernah meninggalkan kota Madinah tanpa penjagaan seorang pemimpin setiap kali beliau berada di luar kota. Tidak peduli seberapa singkat perjalanan beliau, sang Nabi yang bijak ini pasti memilih pemimpin dan penerus untuk menggantikan peran beliau di Madinah.
Mustahil para nabi sebelumnya, terutama seorang Nabi Terakhir (SAW) meninggalkan ummat Islam begitu saja tanpa menyiapkan dan menunjuk pemimpin setelahnya, setelah mereka wafat.
Misalnya, seperti kami uraikan di atas, Joshua berada di "Gunung Sinai" 7 dengan Nabi Musa (AS) dan tidak menyembah anak sapi, kemudian Allah (SWT) memerintahkan Musa (AS) untuk mengumumkan Joshua sebagai pengganti dan pemimpin setelah beliau [AS]. Dengan kata lain, mengangkat Joshua sebagai penggembala domba-domba [ummatnya] agar terhindar dari kesesatan.
Imam Ali (AS) sering mengikuti Nabi (SAW) di "Gua Hiraa" dan mereka tidak pernah menyembah berhala. Demikian juga Joshua dan Nabi Musa [AS] berada di "Gunung Sinai" dan tidak menyembah berhala anak sapi, Dengan cara yang sama Musa (AS) diperintahkan Allah untuk mengumumkan penggantinya di depan ummatnya, demikian pula Allah (SWT) memerintahkan Nabi Muhammad (SAW) agar mengumumkan Imam Ali (AS) sebagai penerus dan pemimpin kaum Mukminin, jika tidak, maka samalah artinya Nabi SAW tidak melaksanakan perintah-perintah Allah.
Sekembalinya dari Haji Wida, di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, semua ummat saat itu dikumpulkan dan Ali dinobatkan dan diangkat sebagai pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW. Ini pertanda bahwa Allah Maha Bijak memerintah Nabi yang bijak Nabi Muhammad (SAW) untuk tidak meninggalkan ummatnya begitu saja dan menjaga ummat Islam dengan pemimpin setelah beliau. Bahkan sebelum peristiwa ini Nabi sering mengatakan dan mewasiatkan tentang pemimpin 12 orang hingga hari kiamat.
Seperti Musa memukulkan tongkatnya ke atas batu dan Allah mengisyaratkan akan 12 mata air yang memancar dari batu tersebut dan juga seperti Isa Al-Masih [AS] yang memilih 12 pengikut setianya untuk terus menyebarkan risalah tauhid kepada Bani Israel.
Nabi Muhammad (SAW) menyelesaikan risalah Allah SAW di Ghadir Khum dan menunjuk Imam Ali (AS) sebagai penggantinya. Nabi pernah bersabda tentang kesamaan ummat Islam dengan Bani Israel zaman dahulu. ("Apa yang dialami Bani Israel juga akan terjadi pada umatku ..."). 8
Apa yang sebenarnya terjadi di Ghadir? Bagaimana setiap sekte Islam melihat peristiwa Ghadir? Apakah peristiwa Ghadir milik hanya satu sekte Islam tertentu dan tidak ada artinya bagi orang lain? Sebaiknya kita membaca kembali dan merenungkan peristiwa besar dan maha penting yang terjadi di Ghadir Khum bersama-sama sehingga kita memahami inti ajaran Islam dengan sebenar-benarnya.
Catatan:
1 - Sejarah Ya'qubi, vol. 1, p.111
2 - Sejarah Tabari, vol.1, hal. 153-165 dan 166
3 - Sejarah ibn Atsir, vol 1, hal. 19, 20, 40 dan 48, Sejarah ibn Kathir, vol. 1, p.98
4 - Joshua di dalam Islam disebut Yusya’ bin Nun yang diceritakan dalam Surat Al-Kahfi yang menemani Musa yang kemudian bertemu Nabi Khaidir.
ANGKA 12 DALAM ALKITAB
PETRUS AGUNG - WITH GOD ALL THINGS ARE POSSIBLE
- 12 Suku Israel yang jadi orang pilihan Nya dan disertai selalu dan qta pun jd Israel baru hdp dlm berkat Tuhan Kej 49:28, Mat 19:28
- 12 org dijadikan muridNya, artinya 12 bulan qta hrs belajar mengenal dan melakukan FirmanNya
Matius 10:2-5, Markus 3:14
- 12 tahun wnt pendarahan disembuhkan dan anak Yairus 12 thn yg mau mati dibangkitkan, artinya sepanjang tahun Tuhan Yesus menjaga qta dgn keajaibanNya yg tak prnah pribadi manapun dpt lakukan
Mat 10:8,Luk 8:42-43, wah 22:2
- 12 bakul sisa nya makanan dr mujizat 5 roti 2 ekor ikan , artinya tak kan ada tahun2 yg oleh Nya qta hdp percaya dlm kelaparan dan kekurangan
Mat 14:20
- 12 tahun usia Tuhan Yesus mulai melayani, sepanjang tahun selama 12 bulan jdkan hdp pelayan yg berarti bg sesama dan berkenan bagi Tuhan
Luk 2:42
Roma 12:12
"Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!"
Rabu ada kebaktian 12-12-12 jam 5 pagi, dengan tema Yod Beth. Pengurapan tangan satu-persatu.
12 IMAM AHLUL-BAYT DALAM INJIL PERJANJIAN BARU
Nubuat Tentang 12 Imam Ahlul-Bayt yang suci dan Imam Mahdi AS;
Kegaibannya di Dalam Injil Perjanjian Baru, dan Nubuat Imam Husein Bin Ali as Di dalam Alkitab Tentang Lokasi Karbala
Al-Kitab (Injil) Perjanjian Baru : Wahyu 12: 1-5
.12:1. Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya
12:2 Ia …sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan
12:3 Maka tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota
12:4 Dan ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi. Dan naga itu berdiri di hadapan perempuan yang hendak melahirkan itu, untuk menelan Anaknya, segera sesudah perempuan itu melahirkan-Nya
12:5 Maka ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi; tiba-tiba Anaknya itu dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya.
PENJELASAN :
Pada 12:1
Adalah amsal : Matahari adalah Nabi Muhammad Saw, Bulan adalah Sayyidah Khadijah as, dan perempuan dengan mahkota adalah Sayyidah Fathimah as, 12 bintang di kepalanya adalah 12 Imam yang suci
Pada 12:5
Jelas merupakan amsal atas Imam Mahdi as & masa kegaibannya…
Bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad…Allahumma shallii ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad…Laa hawla wa laa quwwata illa billah…
NUBUAT IMAM HUSEIN BIN ALI AS DI DALAM ALKITAB
TENTANG LOKASI KARBALA
Yeremia 46:10
“Hari itu ialah hari Tuhan ALLAH semesta alam, hari pembalasan untuk melakukan pembalasan kepada para lawan-Nya. Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas minum darah mereka.
Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Efrat.”
TENTANG TRAGEDI KERBALA
Yesaya 53: 1-12
“Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan?
Sebagai taruk ia tumbuh di hadapannya dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.
Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.
Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.
Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.
Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah.
Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya.
Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya.
Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.
Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar