MASIH TENTANG TIDAK IJMANYA ATAS KEPEMIMPINAN ABUBAKAR
Yaitu, mengenai pengakuan mengenai ijma adalah kekeliruan karena menyalahi Bani Hasyim seluruhnya. Dan Umar bin Khattab telah mengakui kekeliruan ini. Lihat kembali syarh Nahj al-Balaghah Ibnu Abi al-Hadid, juz II, hlm. 22 dan seterusnya, cetakan Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Beirut.
Begitu juga menyalahi orang-orang yang berkumpul di rumah Sayyidah Fatimah. Karena itu, Saad bin Ubadah menentang kekhalifahan Abubakar dan tidak membaiatnya sampai akhir usianya yang diikuti oleh mayoritas masyarakatnya. Saad bin Ubadah adalah sahabat Ahlu al-hal wa al-aqd diantara mereka. Karenanya mereka tunduk dan mengikutinya. Dimana letak kekeliruan (kekhilafahan) dari ijma?
Jika melihat kejadian-kejadian dan fakta-fakta yang ada di belakang kasus Saqifah serta pertentangan yang mencuat dari kalangan Muhajirin dan Anshar terhadap kekhilafahan Abubakar, sehingga kita tahu bahwa ijma tidak sempurna selamanya. Akan tetapi yang terjadi adalah sebagian membaiat dan sebagiannya menentang. Kemudian mereka tunduk lantaran takut dibunuh.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah, juz I, hlm. 219 cet. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Beirut. Al-Barra bin Azib berkata:
"... ketika saya bertemu dengan Abubakar dan di sisinya ada Umar bin Khattab, Abu Ubaidah, dan mayoritas dari orang-orang yang berada di Saqifah. Mereka ditahan dengan kekuatan yang dibentuk (para sahabat) saat itu, dimana seorang pun tidak melewatinya kecuali mereka memukulnya, lalu menghadapkan dan memegang tangannya agar menyalami Abubakar untuk membaiatnya, baik itu dengan kehendak sendiri atau menolak, maka saya mengingkari...."
"Ia berkata: dan aku melihat pada malam harinya, al-Miqdad, Salman, Abu Dzar, Ubadah bin Shamit, Abu Haitsam bin al-Taihan, Hudzaifah dan Ammar. Mereka ingin mengulangi musyawarah di antara kaum Muhajirin."
Dan Ibnu Abi al-Hadid menukil dalam syarhnya juz VI, hlm. 19 dari al-Zubaer bin Bakr, bahwa ia berkata:
"Ketika Abubakar dibaiat, masyarakat yang menerimanya masuk ke masjid Rasulullah Saw., dan tatkala tiba waktu sore mereka berpencar ke rumah masing-masing. Kemudian masyarakat Anshar dan Muhajirin berkumpul dan masing-masing saling menyalahkan. Maka Abdurahman bin Auf berkata, " Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya meski kalian merasa lebih utama karena merupakan penolong Rasulullah ketika hijrah , akan tetapi di antara kalian tidak ada yang sehebat Abubakar, Umar, Ali dan Abu Ubadah. Maka Zaid bin Arqam berkata; 'Kami tidak menyangkal keutamaan orang yang anda sebutkan, wahai Abdurahman! Akan tetapi, kami juga memiliki pemimpin kaum Anshar yaitu Saad bin Ubadah, dan orang yang diperintah Allah melalui Rasul-Nya untuk membacakan atasnya keselamatan dan mengambil al-Quran darinya, yaitu Ubay bin Ka'ab, dan orang yang akan didatangkan pada hari qiyamah dihadapan para ulama yaitu Muaz bin Jabal, serta orang yang kesaksiannya dianggap Rasulullah Saw dengan kesaksian dua orang laki-laki yaitu Huzaimah bin Tsabit. Dan tentunya, kita tahu orang yang Anda klaim dari golongan Quraisy yang jika ia diminta untuk memegang kekhilafahan ini tidak akan ada seorang pun yang menentangnya, yaitu Ali bin Abi Thalib."
Ibnu Abi al-Hadid menukil pada halaman 21, bahwa Zubaer bin Bakkar telah meriwayatkan, ia berkata : "Muhammad bin Ishak telah meriwayatkan bahwa Abubakar as-Shiddiq ketika dibaiat, tiba-tiba Taim bin Murrah menentangnya dan berkata; 'Mayoritas kaum Muhajirin dan Anshar tidak menyangkal bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pemegang kekhilafahan yang sah setelah Rasulullah Saw."
Adapun orang-orang yang menentang kekhilafahan Abubakar dan tidak berbaiat, di antaranya Saad bin Ubadah, pemimpin suku Khazraj.
Ibnu Abi al-Hadid menulis dalam syarahnya, juz VI, hlm. 10, bahwa Saad bin Ubadah tidak melaksanakan shalat bersama mereka, tidak berkumpul bersama mereka, tidak melaksanakan hasil keputusan mereka, dan jika ada yang memaksa tentu ia akan memukul mereka, dan ini ia lakukan sampai meninggalnya Abubakar. Saad juga tidak tinggal di Madinah setelah peristiwa Saqifah itu kecuali hanya beberapa waktu saja sampai ia pergi ke Syam hingga ia meninggal di Hawaran serta tidak berbaiat kepada Umar dan tidak juga berbaiat kepada selain keduanya. Di antara mereka pula, Khalid bin Said al-Ash sebagaimana dalam syarh Nahj al-Balaghah, juz VI, hlm. 41. Ibn Abi al-Hadid menukil dari Abubakar al-Jauhari dan sanadnya Mahkul, ia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Saw memperkerjakan Khalid bin Said pada suatu pekerjaan, lalu ia pergi sepeninggal Rasulullah Saw sedangkan masyarakat saat itu tengah berbaiat kepada Abubakar. Lalu, Abubakar mengajaknya agar berbaiat kepadanya, tetapi Khalid bin Said menolak. Maka, Umar bin Khattab berkata; 'Biarkan aku menghadapinya', tetapi Abubakar melarangnya sehingga ia dibiarkan sampai satu tahun.
Ibn Abi al-Hadid mengatakan dalam syarahnya, juz I, hlm. 218 cet. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Beirut dalam tema 'perbedaan pendapat mengenai kekhilafahan setelah wafat Rasulullah'. Ketika Rasulullah Saw wafat dan Ali bin Abi Thalib sibuk memandikan dan mengubur jenazah Rasulullah, sedangkan Abubakar tengah dibaiat oleh para sahabat, kecuali Zubaer, Abu Sufyan, sebagian kaum Muhajirin, Abbas dan Ali yang tidak membaiatnya lantaran perbedaan pendapat,.. dan seterusnya.
Pada judul ini pula dikemukakan sebagian perbedaan-perbedaan yang mencuat dibalik pembaiatan Abubakar, sehingga Ibn Abi al-Hadid mengatakan bahwa Abubakar, Umar, Ubaidah dan al-Mughirah datang kepada Abbas (paman Rasulullah) pada malam kedua dari wafatnya Rasulullah Saw lalu,
Abubakar mulai bicara pada Abbas :
"Kami datang kepadamu, kami menginginkan agar Anda terlibat dalam masalah ini serta orang setelah Anda dari kalangan Bani Hasyim, sebab Anda adalah paman Rasulullah Saw walaupun kaum Muslimin telah melihat kedudukan dan keluarga Anda dari Rasulullah. Saya berharap agar mereka dapat berbuat adil pada masalah ini dengan kehadiran Anda serta utusan Bani Hasyim. Karena Rasulullah berasal dari kami dan dari Anda."
Tiba-tiba Umar bin Khattab memotong pembicaraan Abubakar dan kembali pada karakter pembicaraannya yang tinggi disertai ancaman dengan mendudukkan permasalahan (kekhilafahan) pada situasi dan kondisi yang sangat rumit, lalu berkata :
"Demi Allah, kami mendatangi Anda karena semata-mata butuh kepada bantuan Anda, karena kami benci dengan segala macam celaan yang disampaikan kaum Muslimin dari pihak Anda, sehingga pembicaraan dengan mereka semakin memanas."
Maka Abbas berkata :
"Segala puji bagi Allah dan aku memuji kebesaran-Nya, sesungguhnya Allah mengutus Muhammad sebagai Nabi sebagaimana Anda menganggapnya sebagai pemimpin orang-orang beriman ...
Lalu Abbas berkata pada Abubakar :
"Jika Anda menuntut khilafah kepada Rasulullah, maka itu hak kamu untuk mengambilnya. Jika Anda membela keperluan Muslimin, maka kami adalah bagian dari mereka. Namun tidak akan menyerahkan kekhilafahan kepadamu secara gegabah dan kami tidak menghalalkan secara serampangan."
"Jika kekhilafahan ini menjadi kewajiban atas Anda untuk memimpin orang-orang beriman, maka (sebetulnya) tidaklah wajib lantaran kami juga membenci. Betapa jauh perkataan Anda, bahwa mereka mencela perkataan Anda, sebab yang sebenarnya terjadi adalah ketidak simpatikan mereka kepada Anda! Dan Anda tidak merasa malu datang kepada kami. Dan jika kekhilafahan itu merupakan hak Anda, Anda tetap harus memberikannya kepada kami dan setelah itu saya akan menyerahkannya kepada Anda. Tetapi, jika kekhilafahan itu hak orang-orang yang beriman, maka Anda tidak berhak menjustifikasinya. Begitu juga, jika kekhilafahan itu menjadi hak kami, maka kami tidak rela memberikan kepada Anda sebagiannya."
"Dan saya tidak bermaksud mengatakan ini agar Anda melepaskan dari apa-apa yang telah Anda masuki, akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan bagi argumen sebagiannya. Dan adapun perkataan Anda tadi, bahwa Rasulullah Saw dari kita dan dari Anda, maka ketahuilah sesungguhnya Rasulullah Saw adalah ibarat sebuah pohon dan kami dahannya, sedangkan Anda hanya tetangganya. Sedangkan mengenai kekhawatiran Anda, wahai Umar, bahwa Anda takut kepada orang- orang beriman atas kami, maka inilah sebetulnya yang saya kemukakan kepada mereka dan kepada Allah Swt tempat memohon pertolongan."
Ibn Abi al-Hadid meriwayatkan pula dalam syarahnya, juz VI, hlm. 2 cet. Dar Ihya al-Turats al-Arabi, bahwa 'Umar ibn Khattab beserta kelompoknya pergi ke rumah Fatimah, dimana di antara mereka terdapat Usyad bin Khudlair dan Salamah bin Aslam.
Lalu Umar berkata kepada mereka; pergilah dan berbaitlah kepada Abubakar.!
Mereka menolak seruan itu.
Bahkan az-Zubeir keluar dengan menghunuskan pedang. Maka Ibn Khattab berkata dengan penuh kemarahan, 'bagi kalian ....!'
Sedangkan Salamah bin Aslam langsung menerjang Zubeir dan mengambil pedang dari tangannya, lalu memukulkannya pada dinding.
Setelah itu, Umar dan rombongannya menghampiri Zubeir dan Ali yang pada keduanya berkumpul Bani Hasyim.
Maka Ali berkata :
"Saya adalah hamba Allah dan kerabat Rasulullah Saw."
Lalu sampailah Ali ke hadapan Abubakar, dan dikatakan kepadanya,
"Berbaiatlah, wahai Ali!
Maka Ali menjawab :
"Saya yang lebih berhak atas kekhilafahan ini daripada Anda, dan tidak akan berbaiat kepada Anda, bahkan sebaliknya Anda yang harus berbaiat kepada saya. Anda mengambil kekhilafahan ini dari orang-orang Anshar dan Anda berdalih kepada mereka dengan alasan kedekatan Anda kepada Rasulullah. Sehingga mereka memberi Anda kekuasaan serta mereka menyerahkan kekhilafahan kepada Anda. Dan saya berdalih kepada Anda seperti apa yang dikatakan Anda kepada orang-orang Anshar. Maka, bergabunglah Anda bersama barisan kami jika Anda takut kepada Allah, dan akuilah bahwa kami sebenarnya yang berhak atas kekhilafahan ini seperti yang diakui kaum Anshar kepada Anda. Dan kalau tidak, berarti Anda berada dalam kezaliman sementara Anda mengetahuinya."
Umar bin Khattab berkata :
"Sesungguhnya Anda tidak disingkirkan sampai Anda berbaiat!
Ali menjawab :
"Wahai Umar, perahlah susu (sapi) niscaya Anda akan dapat bagian, dan perkuatlah khalifah hari ini, niscaya besok akan diberikan kepada Anda! Tapi ingatlah, demi Allah saya tidak menerima perkataan Anda dan tidak akan membaiat kepada Abubakar."
Maka Abubakar berkata:
"Jika Anda tidak berbaiat kepadaku, aku tidak akan membencimu."
Lalu Ali berkata:
"Wahai segenap Muhajirin! Ingatlah kepada Allah, janganlah kalian mengeluarkan khalifah Muhammad dari tempat tinggal dan rumahnya ke tempat tinggal dan rumah kalian. Dan janganlah kalian menolak keluarganya dan kedudukan dan haknya di hadapan masyarakat. Demi Allah, wahai segenap Muhajirin! Kami adalah Ahlul Bait yang lebih berhak atas kekhilafahan ini, selama kami membaca kitab Allah, memahami agama Allah, mengetahui sunnah Nabi, dan mampu dalam urusan kepemimpinan! Demi Allah! sesungguhnya itu adalah hak kami. Janganlah kalian mengikuti hawa nafsu sehingga semakin jauh kebenaran dari kalian."
Wamaa taufiiqii illa billah 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib.
------------------------------
IMAM ALI BIN ABI THALIB: MENGUTAMAKAN SABAR, ISTIKAMAH MENEGAKKAN KEBENARAN, DAN MEMBANTU KAUM LEMAH (6)
Posisiku dalam kekhilafahan laksana posisi lokus pada roda kincir air, mengalir darinya kemuliaan dan tidak ada seekor burung pun yang mampu menjangkauku
Ungkapan ini meluncur dari lisan Imam Ali bin Abi Thalib dalam sebuah khutbah yang dikenal dengan khutbah al-syiqsyiqiyyah. Khutbah ini banyak dikutip dan diperbincangkan sepanjang sejarah, karena berisi sesuatu yang sangat penting, perihal kekhilafan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Imam Ali bin Abi Thalib menyebut dirinya sebagai lokus, inna mahalli minha mahall al-quthbi min al-raha. Dalam banyak riwayat, Nabi Muhammad SAW menegaskan tentang keutamaan Imam Ali dan peristiwa bersejarah di Ghadir Khum yang meneguhkan pentingnya loyalitas kepada sepupu dan menantunya itu, karena ia mempunyai kualifikasi yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin: ilmu dan akhlak.
Namun, perhelatan yang digelar di Bani Tsaqifah telah mengubah peta kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Abu Bakar al-Shiddiq memakai baju kekhilafahan, meski Imam Ali bin Abi Thalib telah dititahkan Nabi sebagai lokomotif yang akan menggerakkan roda kekhilafahan. Iman Ali mencermati kekhilafahan berada di pundak Abu Bakar al-Shiddiq.
Imam Ali bin Abi Thalib memilih bersikap asketis terhadap kekhalifahan. Bahkan di saat terbesit dalam dirinya untuk memilih antara melakukan perlawanan dan bersabar atas realitas yang terjadi, ia memilih untuk bersabar. Ada kekecewaan, karena dampak dari peristiwa tersebut akan menimbulkan kegelisahan dan kesengsaraan yang berlangsung lama dalam diri umat Islam. Namun, jalan sabar merupakan pilihan Imam Ali untuk menjaga ikatan persaudaraan dan persatuan umat Islam.
Ini akhlak yang sangat mulia, yang diamalkan Imam Ali bin Abi Thalib di tengah perebutan kekhilafahan pada saat itu. Imam Ali memilih jalan kemaslahatan, jalan yang senantiasa disampaikan dan dicontohkan Nabi sepanjang hidupnya. Jalan sabar adalah jalan kemaslahatan, yang sangat ditekankan al-Quran, Hendaklah kalian memohon pertolongan melalui kesabaran dan shalat (QS. Al-Baqarah [2]: 45). Ada yang berpandangan, bahwa sabar disebutkan lebih awal dari pada shalat, karena betapa pentingnya sabar dalam menjalani kehidupan, lebih-lebih di tengah situasi genting yang terkait masa depan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakar al-Shiddiq meninggal dunia, lalu suksesi kekhilafahan diberikan kepada Umar bin Khattab. Konon, Abu Bakar al-Shiddiq yang menunjuk Umar agar menjadi penerusnya. Imam Ali bin Abi Thalib menggambarkan sosok Umar bin Khattab sebagai sosok yang keras, tegas, dan kerap melakukan kesalahan, meski ia juga suka meminta maaf. Imam Ali pun terus bersabar dalam masa-masa sulit ini.
Imam Ali bin Abi Thalib mengedepankan keberlangsungan ajaran Nabi Muhammad SAW. Bahkan disebutkan, ia kerap membantu dan memberikan masukan kepada Umar bin Khattab, sehingga dikenal sebuah ungkapan, “Jika tidak ada Imam Ali bin Abi Thalib, niscaya Umar bin Khattab akan ambyar.” Jasa Imam Ali dalam melanggengkan ajaran Nabi Muhammad SAW tak terbalaskan.
Umar bin Khattab wafat setelah ditikam oleh Abu Lu’luah. Sebelum wafat, Umar bin Khattab melalui putranya, Abdullah, mengajukan enam orang sebagai kandidat suksesornya: Imam Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Sa’ad, dan Abdurrahman bin ‘Awf. Imam Ali menggambarkan suasana musyawarah saat itu, yang mana tim formatur menampakkan keraguan terhadap dirinya, sehingga ia pun tidak menentang sikap mereka. Usman bin ‘Affah terpilih sebagai khalifah.
Imam Ali bin Thalib juga menjelaskan kekhilafahan pada saat itu, yang mana kekuasaan digunakan untuk memuaskan keluarganya. Akhirnya, Utsman bin Affan juga terbunuh, sebagaimana pendahulunya.
Lalu, Imam Abi bin Abi Thalib dipilih sebagai khalifah dan amirul mukminin. Tidak seperti para pendahulunya, ia menggambarkan suasana gegap-gempita menyeruak dan banyak umat yang berbaiat kepada dirinya, hingga dikisahkan kedua puteranya, Imam Hasan dan Imam Husein terinjak dan luput dari perhatian dari saking banyaknya umat yang mengharu-biru, menyambut penobatan Imam Ali sebagai amirul mukminin.
Namun, dalam perjalanannya terdapat kelompok yang berkhianat terhadap Imam Ali bin Abi Thalib. Mereka dikenal dengan al-nakitsun, al-mariqun, dan al-qasithun. Yang disebut al-nakitsun, yaitu mereka yang berkhianat setelah berbaiat kepada Imam Ali, seperti Thalhah dan Zubair. Bahkan, mereka memerangi Imam Ali dalam sebuah perang, yang dikenal dengan “Perang Unta” (harb al-jamal). Thalhah dan Zubair terbunuh dalam perang tersebut.
Sedangkan al-mariqun, yaitu mereka yang keluar dari jalan ajaran Rasulullah SAW. Mereka dikenal dengan al-khawarij, yang sudah diramal oleh Nabi dalam beberapa hadis sebagai kaum yang hafal al-Quran, tapi salah dalam memahaminya karena mereka mempunyai nafsu kuasa yang tinggi. Mereka membaca al-Quran hanya sampai kerongkongan, dan tidak menjadikannya sebagai hiasan hati untuk menebarkan kebajikan. Mereka menghalalkan kekerasan dengan mengatasnamakan Tuhan. Imam Ali bin Abi Thalib terlibat peperangan dengan kaum Khawarij, dan berhasil mengalahkan mereka. Konon, hanya tersisa 40 orang dari mereka.
Yang terakhir, al-qasithun. Yaitu mereka yang berbuat zalim dan menyimpang dari garis kemufakatan. Mereka adalah Mu’awiyah dan pengikutnya, termasuk ‘Amr bin ‘Ash. Imam Ali bin Abi Thalib juga terlibat dalam perang dengan mereka di Shiffin, perbatasan antara Suriah dan Irak. Perang tersebut kemudian dikenal dengan “Perang Shiffin”.
Di dalam kitab Nahjul Balaghah, Imam Ali bin Abi Thalib mempertahankan kekhilafahan semata-mata karena Allah SWT untuk menentang kezaliman dan membela mereka yang tertindas. Bahkan, ia sebenarnya ingin memilih untuk tidak peduli pada hal duniawi, termasuk kekhilafahan politis, sebagaimana ditunjukkan saat penobatan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah yang pertama. Jika bisa memilih, dalam menghadapi pihak-pihak yang berkhianat di masa kekhilafahannya, Imam Ali akan memilih jalan asketis, karena sesungguhnya mereka lebih hina dari cairan yang keluar dari hidung kambing!
Khutbah Imam Ali bin Abi Thalib ini banyak dijadikan sebagai rujukan penting dalam menggambarkan suasana kebatinan perihal kondisi obyektif umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kata syiqsyiqah yang digunakan oleh Imam Ali sebagai bentuk ungkapan yang paling serius dan membatin dalam menyikapi kekhalifahan sejak masa Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, hingga bagi dirinya sendiri.
Harapannya, kita semua dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga. Imam Ali bin Abi Thalib, pada mulanya memilih bersabar untuk tidak menumpahkan darah sesama Muslim agar ajaran Rasulullah SAW bisa terus berlangsung, al-Quran dikodifikasi, dan kita dapat mengikuti akhlak Rasulullah SAW. Namun, pada akhirnya, Imam Ali tidak mempunyai pilihan lain, karena mereka yang berkhianat hendak memerangi dirinya. Perang Jamal, Perang Nahrawan, dan Perang Shiffin menjadi pelajaran berharga, bahwa kita harus menegakkan kebenaran dan menentang kezaliman.
Meskipun demikian, Imam Ali bin Abi Thalib, senantiasa mengingatkan kita semua agar senantiasa berjalan di atas jalan Allah, jalan Nabi Muhammad SAW, dan keluarganya. Apa yang kita perjuangkan sejatinya tidak menyimpang dari haluan berislam. Kita harus istikamah dalam jalan kehanifan Islam.
IMAM ALI BIN ABI THALIB: MENGUTAMAKAN SABAR, ISTIKAMAH MENEGAKKAN KEBENARAN, DAN MEMBANTU KAUM LEMAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar