Selasa, 03 Agustus 2021

MENGENAL ULAMA BESAR SYIAH





Mengenal Para Ulama Besar Syiah


Setelah Imam Mahdi as memasuki periode keghaiban panjang, muncul ribuan faqih dan ulama besar di kalangan Syiah untuk memberikan pencerahan dan membimbing masyarakat ke jalan Allah Swt.


Sejarah kehidupan dan perjuangan ilmiah mereka cukup menarik untuk disimak. Pada seri acara ini, kita akan menelusuri sejarah para ulama besar, kegiatan ilmiah mereka, karya-karyanya, dan kiprah mereka dalam menyebarkan ajaran agama. Selain itu, kita juga akan mempelajari tentang kepribadian dan kehidupan irfani mereka.


Dalam budaya Islam, para ilmuwan dan ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia. Rasulullah Saw – utusan terakhir dan penghulu para nabi – menyebut ulama sebagai pelita bumi dan pewaris para nabi.


Islam adalah agama langit yang terakhir dan setelah Muhammad Saw, tidak ada lagi nabi baru yang diutus oleh Allah Swt, karena manusia telah mencapai sebuah fase dari perkembangan dan kesempurnaan. Mereka menerima ajaran agama untuk kebahagiaan abadi dari Rasulullah Saw dan menjaganya sebagai sebuah warisan yang berharga.


Rasulullah Saw – sebagai hamba Allah Swt – telah menjalani kehidupan untuk beberapa saat di dunia ini dan kemudian dipanggil menghadap Sang Kuasa, tapi ajaran Islam harus tetap hidup sampai hari terakhir kehidupan umat manusia di bumi ini.


Keberadaan para imam maksum dari keturunan Rasulullah Saw – lebih dari dua abad setelah kemunculan Islam – telah menyebabkan pertumbuhan dan penyebaran ajaran Islam. Mereka menjaga Islam dari berbagai terjangan badai fitnah, nifak, dan penyimpangan. Para imam maksum mempersembahkan jiwa dan raganya untuk menjaga agama terakhir Ilahi ini.


Atas kehendak Allah, imam keduabelas (Imam Mahdi as) disembunyikan dari orang-orang sehingga tidak hanya manusia, tetapi alam penciptaan juga bisa tetap eksis dan jiwanya terselamatkan dari kejahatan para durjana.


Menurut sejumlah riwayat, alasan keghaiban Imam Mahdi as adalah bagian dari rahasia Allah yang akan diketahui setelah kemunculannya. Namun, ada beberapa alasan rasional yang disebutkan oleh riwayat seperti, untuk menguji masyarakat, memperlihatkan ketidakmampuan pemerintahan tiran dalam membahagiakan manusia, mendidik manusia, menjaga Imam sebagai perantaraan rahmat Ilahi, dan mempersiapkan dunia untuk mendirikan sebuah pemerintahan Ilahi yang adil.


Selama Imam Mahdi as menjalani fase keghaiban, para ulama yang bertakwa bertugas untuk menyebarluaskan Islam, menjelaskan persoalan agama, dan membimbing masyarakat. Berdasarkan banyak riwayat, kedudukan ulama di sisi Allah lebih tinggi daripada para nabi Bani Israil.


Ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah. Tuhan memperkenalkan orang-orang yang berilmu – setelah Dirinya dan para malaikat – sebagai pemberi kesaksian atas keesaan-Nya.


"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali-Imran, ayat 18)


Di ayat tersebut, para pemilik ilmu yang bertauhid dan hatinya diterangi dengan cahaya iman, berada di urutan berikutnya setelah Tuhan dan para malaikat. Para imam maksum juga mengisyaratkan mengenai peran penting ulama di masa kegaiban panjang.


Imam Ali al-Hadi as berkata, "Andaikan tidak terdapat seorang ulama setelah kegaiban pemimpin kalian yang menyeru kepada-Nya, membimbing ke arah-Nya, dan lebur pada agamanya dengan hujjah-hujjah Allah serta membela orang-orang yang lemah di antara manusia dari cengkraman iblis dan tipu dayanya, maka tidak tersisa seorang pun kecuali murtad dari agama Allah."


Ada banyak ayat dan riwayat yang menyeru manusia untuk mengenali dan mengikuti ulama. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as berkata, "Allah Swt berfirman kepada Nabi Daniyal bahwa hamba-Ku yang paling dibenci di sisi-Ku adalah orang bodoh yang meremehkan hak orang alim dan tidak mengikutinya, dan hamba-Ku yang paling dicintai di sisi-Ku adalah orang bertakwa yang mengejar banyak pahala, bersama orang-orang alim, mengikuti orang-orang yang sabar, dan menerima orang-orang yang bijak."


Posisi istimewa yang diberikan Islam kepada ulama, bukan tanpa alasan. Berdasarkan kehendak Allah, Islam adalah agama terakhir yang membawa aturan yang paling sempurna untuk kebahagiaan manusia. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, agama ini melalui masa-masanya tanpa kehadiran seorang nabi pun dan untuk itu, ia membutuhkan kehadiran para ulama yang bisa menjawab tantangan dan tuntutan baru umat manusia.


Allah Swt melalui al-Quran, telah menjelaskan panduan umum dan kaidah yang tetap untuk kebahagiaan abadi manusia. Dengan merujuk ke sumber-sumber hukum agama, manusia diharapkan dapat menemukan landasan hukum untuk masalah-masalah parsial yang dihadapinya di berbagai bidang.


Upaya menyingkap landasan hukum ini disebut ijtihad yaitu usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ulama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syar'i mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-Quran dan hadis.


Para ulama perlu menguasai sumber-sumber agama secara penuh untuk dapat melakukan ijtihad dan mengeluarkan sebuah hukum fikih. Mereka berjuang siang-malam untuk menjaga agama dan memberikan pencerahan kepada manusia.


Anda bisa mengikuti sejarah kehidupan para ulama besar Syiah dan kontribusi mereka di masyarakat di seri-seri berikutnya.



Abu Jakfar Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, lebih dikenal dengan Tsiqat al-Islam al-Kulaini adalah penulis kitab hadis yang paling populer, al-Kafi dan termasuk salah satu ahli hadits paling kesohor di kalangan Syiah.


Syeikh Kulaini memiliki keahlian khusus dalam mengidentifikasi hadits dan riwayat sehingga ia dianggap sebagai referensi di kalangan Syiah dan Sunni. Oleh sebab itu, ia dijuluki sebagai Tsiqat al-Islam yaitu orang kepercayaan Islam. Syeikh Kulaini adalah penulis kitab al-Kafi, karyanya yang paling penting dan menjadi salah satu dari empat kitab hadits rujukan Syiah.


Syeikh Kulaini adalah seorang ulama besar, faqih, dan ahli hadits yang paling terkenal di kalangan Syiah pada abad ketiga Hijriyah. Menurut catatan sejarah, ia lahir bersamaan dengan masa kepemimpinan Imam Hasan al-Askari pada tahun 258 H di sebuah keluarga religi di desa Kulain yang berjarak sekitar 38 kilometer dari kota Rey, salah satu kota kuno yang paling masyhur di Iran. Ayah dan pamannya termasuk ulama dan ahli hadits yang terkenal di masanya.


Setelah memberikan kontribusi besar untuk kemajuan dunia Islam, muhaddis besar ini meninggal dunia pada tahun 329 H, bertepatan dengan periode kegaiban besar Imam Mahdi as.


Penelitian dan kegiatan ilmiah Syeikh Kulaini berlangsung pada periode keghaiban shugra Imam Mahdi as. Dengan kata lain, ia hidup sezaman dengan empat orang wakil khusus Imam yang menjadi perantara antara dirinya dan masyarakat dan tentu saja tidak ada halangan bagi Syeikh Kulaini untuk membangun hubungan dengan Imam Mahdi as, paling tidak lewat para wakil khusus tersebut.


Syeikh al-Kulaini menempuh jenjang pendidikan dasar agama di bawah asuhan sang ayah dan pamannya sendiri. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di kota Rey. Pada masa itu, kebanyakan masyarakat Rey bermadzhab Syafi'i dan Hanafi, tetapi desa-desa di kota itu menjadi pusat konsentrasi penduduk Syiah dan pecinta Ahlul Bait Nabi as.

Mayoritas warga Sunni tingga di kota Rey pada masa itu, tapi masyarakat Syiah dihormati di sana karena akhlaknya. Oleh karena itu, Rey kemudian terkenal sebagai kota penduduk Syiah.

Pengikut mazhab Isma’iliyah juga memilih kota Rey sebagai pusat kegiatan mereka. Dengan demikian, kota Rey menjadi pusat pertukaran pemikiran antara pengikut mazhab Isma'iliyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syiah Imamiyah.

Di kota ini, Syeikh Kulaini mempelajari ilmu hadits dari Abul Hasan Muhammad bin Asadi al-Kufi. Pada masa itu pula, kaum Qarmatian – yang memadukan ajaran Zoroaster, Manichean, dan Islam – melakukan serangan terhadap akidah dan kesucian kaum Muslim. Syeikh Kulaini meladeni kaum Qarmatian dengan menulis buku, “Al-Rad ‘ala Al-Qaramithah.” Buku ini bertujuan untuk menjaga kaum Muslim dari penyimpangan akidah dan penyesatan.

Syeikh al-Kulaini kemudian hijrah ke Qum untuk memperdalam ilmu agamanya. Di sana, ia bertemu dengan banyak ahli hadits yang menukil hadits langsung dari lisan Imam Hasan al-Askari atau Imam Ali al-Hadi as serta berguru kepada para ulama besar.

Setelah dari Qum, ilmuwan besar ini bertolak ke kota Kufah untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya. Kufah di masa itu merupakan salah satu pusat besar ilmu pengetahuan, di mana para ulama besar datang ke kota itu untuk mengajar dan menuntut ilmu.

Tsiqat al-Islam kemudian berangkat ke Baghdad dan di sana, ia memperoleh popularitas yang besar di mana masyarakat Syiah dan Sunni merujuk kepadanya untuk memecahkan persoalan agama. Syeikh Kulaini kemudian menjadi kepercayaan kelompok Syiah dan Sunni dalam urusan agama.

Pada periode keghaiban sughra, masyarakat tidak bisa lagi membangun hubungan langsung dengan Imam Mahdi as. Sebagian pihak memanfaatkan kevakuman ini untuk memproduksi hadits palsu atau mendistorsi hadits-hadits yang sudah ada.

Dalam situasi seperti itu, para ulama dari semua mazhab melakukan upaya serius untuk melindungi riwayat dan hadits dari penyimpangan sehingga era itu juga dikenal dengan "Periode Hadits."

Perlu dicatat bahwa Kutubus Sittah (enam buah kitab induk hadits di kalangan Ahlu Sunnah) ditulis pada periode itu, tapi mazhab Sunni tidak membedakan antara Ahlul Bait dengan sahabat lain dan para muhaddits dalam menukil haditsnya. Ketika mereka melakukan pengumpulan hadits pada abad ketiga Hijriyah, mereka memiliki jarak 300 tahun dari sumber hadits.

Namun, mazhab Syiah memiliki para imam maksum dari Ahlul Bait yang merupakan khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul wafat, pengikut Syiah menukil hadits dan riwayat dari para imam maksum serta mempelajari agama dari mereka.

Ketika Syeikh Kulaini melakukan pengumpulan hadits pada periode keghaiban sughra, para ulama masih bisa membangun kontak dengan Imam Mahdi as melalui wakil-wakil khususunya. Di samping itu, ada juga para ahli hadits yang menukil langsung hadits dari Imam Ali al-Hadi dan Imam Hasan al-Askari as.

Syeikh Kulaini memahami dengan baik apa yang dibutuhkan umat pada periode genting itu. Ia mulai mengumpulkan hadits dan makrifat Ahlul Bait untuk menyelamatkan masyarakat dari penyimpangan. Ulama besar ini kemudian melakukan perjalanan ke berbagai kota Islam untuk mengumpulkan hadits dari para perawi sehingga masyarakat bisa memanfaatkan peninggalan Rasulullah Saw dan Ahlul Bait sebagai petunjuk.

Kerja keras dan perjuangan Syeikh Kulaini dituangkan dalam sebuah kitab dengan judul, al-Kafi untuk dimanfaatkan oleh para ulama dan kaum Muslim. Para ulama dari berbagai mazhab sampai sekarang masih menjadikan kitab ini sebagai salah satu rujukan mereka. Kumpulan hadits Rasulullah Saw dan para imam maksum yang dilakukan Syeikh al-Kulaini menjadi sangat berharga.

Menurut Najashi, Syeikh Kulaini adalah pemimpin ulama Syiah dan sosok cemerlang di zamannya yang paling dapat diandalkan dalam hadits. Ia menjadi salah satu figur besar ulama yang mendermakan hidupnya demi Islam dan kepentingan kaum Muslim. Dengan menerbitkan banyak buku, Syeikh Kulaini menunjukkan kontribusi besarnya untuk Islam.

Di zamannya, para ulama Syiah dan Sunni memberikan penghormatan yang tinggi terhadap keilmuan dan kiprah besarnya, terutama di bidang hadits. Beliau digaliri sebagai Tsiqah al-Islam karena tingginya kepercayaannya masyarakat dan ulama terhadap keilmuan dan keluhuran akhlaknya.




Abu Jakfar Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, lebih dikenal dengan Syeikh Kulaini, meninggalkan banyak karya berharga dan salah satu yang paling fenomenal adalah kitab al-Kafi yang ditulisnya selama 20 tahun.

Kitab al-Kafi adalah kitab pertama dari empat kitab hadis rujukan Syiah (Kutub Arba'ah). Ia tidak hanya tercatat sebagai mahakarya Syeikh Kulaini, tapi di tengah masyarakat Islam, tidak ada kitab yang lebih terpercaya dari al-Kafi di bidang hadis.

Syeikh Kulaini adalah ulama besar Syiah pada abad ketiga hijriyah dan ia mendapat kepercayaan dari kalangan Syiah dan Sunni. Ia tercatat sebagai ilmuwan Muslim pertama yang mendapat gelar Tsiqah al-Islam (kepercayaan Islam).

Cendekiawan Muslim ini lahir pada periode kepemimpinan Imam Hasan al-Askari as dan hidup sezaman dengan empat orang wakil khusus Imam Mahdi as. Namun karena gerak-gerik mereka dibatasi dan dipantau oleh penguasa, Syeikh Kulaini memikul tanggung jawab budaya dan ilmiah kaum Syiah dan secara leluasa dapat menyebarkan ajaran Syiah Imamiyah dan pengetahuan Ahlul Bait.

Setelah menempuh jenjang pendidikan dasar di bawah asuhan sang ayah dan pamannya sendiri, Syeikh Kulaini melanjutkan studinya di kota Rey, Qum, Kufah, dan kemudian hijrah ke kota Baghdad untuk memperdalam ilmunya di bidang agama.

Pada masa itu, ia menyaksikan banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai sekte untuk mendistorsi ajaran Islam. Ulama besar ini membulatkan tekadnya untuk menjaga ajaran Ahlul Bait dari penyimpangan dan menghabiskan hidupnya untuk menyampaikan kebenaran kepada umat.

Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini selain al-Kāfi, juga memiliki karya lain yang juga mendapat banyak perhatian dari kalangan ulama dan ilmuan. Di antara karya-karyanya adalah kitab al-Rijal, ar-Radd 'ala al-Qaramithah, Rasa'il al-Aimmah as, Ta'bir al-Ru'ya, dan kumpulan syair tentang keutamaan Ahlul Bait as.

Namun, kitab al-Kafi merupakan mahakarya al-Kulaini di mana sampai sekarang masih menjadi referensi para ulama hadis, faqih, dan mujtahid besar Syiah dalam menyimpulkan hukum-hukum agama.

Syeikh al-Kulaini dalam kitab al-Kafi telah mengumpulkan 16.000 hadis dari Rasulullah Saw dan Ahlul Bait. Kitab ini terdiri atas tiga bagian yaitu, Ushul al-Kafi, Furu', dan Raudhah.

Ushul al-Kafi memuat riwayat mengenai persoalan akidah dan akhlak yang terdiri dari delapan kitab. Syeikh al-Kulaini dengan sangat teliti dan rasional, menukil berbagai riwayat yang berbicara tentang pentingnya akal dalam mengenal makrifat.

Ia kemudian menukil riwayat yang berbicara tentang keutamaan menuntut ilmu dan akhlak dalam mencari ilmu serta pentingnya ilmu untuk memperkuat basis akidah. Syeikh Kulaini selanjutnya menjabarkan prinpsip-prinsip utama akidah yaitu tauhid dan makrifatullah.

Di kitab al-Hujjah, Syeikh Kulaini mengumpulkan hadis-hadis yang berbicara tentang kenabian dan imamah. Bagian lain dari Ushul al-Kafi membahas masalah akhlak dan pendidikan seperti tawadhu', kesabaran, qana'ah, perkara ghibah, keutamaan doa, keutamaan al-Quran, adab berinteraksi, dan lain-lain. Bab ini memuat pelajaran yang sangat menarik dan bisa dimanfaatkan untuk umum.

Furu' al-Kafi memuat riwayat-riwayat mengenai masalah fikih seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Mempelajari kitab Furu' al-Kafi membutuhkan keahlian khusus dan ia biasanya menjadi rujukan para ulama fiqih.

Bagian ketiga al-Kafi disebut Raudhah, yang memuat 597 hadis mengenai beragam tema seperti khutbah dan surat para imam maksum, nasihat, cerita-cerita, dan materi sejarah. Karena keragaman temanya, ia disebut Raudhah atau taman.

Syeikh Kulaini yang pernah merasakan era kepemimpinan Imam Hasan Askari dan empat wakil khusus Imam Mahdi as, memiliki kesempatan menukil riwayat dengan perantaraan yang lebih singkat. Sebagian dari riwayat al-Kafi bahkan dinukilnya melalui tiga perantara dan ini menjadi salah satu keistimewaan kitab tersebut.

Al-Kafi memilih kata yang singkat dan jelas dalam penulisan tema hadis sehingga kandungannya mudah ditangkap oleh pembaca. Penukilan hadis dan riwayat dilakukan tanpa intervensi penulis, adapun keterangan penulis tentang hadis benar-benar ditulis terpisah.

Syeikh Kulaini dalam kitabnya meletakkan urutan riwayat dari yang mudah dipahami dan jelas sampai kategori yang sulit dan rumit. Salah satu keistimewaan al-Kafi adalah al-Kulaini menukil silsilah perawi dari setiap hadis sampai kepada imam maksum as.

Syeikh al-Kulaini mengumpulkan riwayat al-Kafi berdasarkan kaidah tidak adanya pertentangan hadis dengan kandungan al-Quran. Kehati-hatian dan perhatiannya yang besar dalam menerima nukilan hadis membuat sebagian orang berpendapat akan kesahihan semua riwayat yang terdapat dalam kitab ini.

Sekelompok ulama Syiah meyakini keshahihan seluruh riwayat yang dimuat kitab al-Kafi, sekelompok lain percaya bahwa sebagian riwayat dalam kitab itu tergolong lemah.

Syeikh al-Kulaini dalam mukaddimah kitab al-Kafi menulis bahwa sebuah riwayat dikategorikan shahih dan benar ketika ia sejalan dengan al-Quran. Mengenai kitab al-Kafi, Syeikh Mufid berkata, "Kitab ini adalah kitab terbaik Syiah yang memiliki fadhilah yang sangat besar. Para ulama kita memanfaatkan kitab ini melebihi kitab-kitab lain." Muhammad Taqi Majlisi menulis, "Kitab al-Kafi dari semua kitab Ushul adalah yang terlengkap dan terbaik yang disusun oleh mazhab Syiah Imamiyah."

Syeikh al-Kulaini meninggal dunia pada bulan Sya'ban tahun 328 H, bertepatan dengan awal dimulainya masa ghaibah panjang Imam Mahdi as di kota Baghdad pada usia 70 tahun. Ia dimakamkan di Bab al-Kufah, Irak yang terletak di bagian timur Sungai Tigris dan makamnya masih diramaikan oleh peziarah sampai hari ini.

Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, "Luqman berpesan kepada putranya, 'Wahai anakku! Duduklah selalu di majelis para ulama dan dengarkalah kata-kata ahli hikmah dengan penuh perhatian. Dengan cahaya hikmah itu, Allah Swt akan menghidupkan hati yang mati sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati (kering) dengan hujan lebat.'"



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (4)


Imam Ali as menganggap bergaul dengan orang-orang alim akan mendatangkan keberkahan. Ia berkata, "Bergaullah dengan ulama sehingga ilmu kamu bertambah, akhlak kamu mulia, dan jiwamu bersih."

Mengkaji sejarah kehidupan dan kiprah para ulama serta meneladani mereka, merupakan salah satu bentuk bergaul dengan ulama. Dengan mengenal mereka, kita juga akan memperoleh berkah dan ilmu.

Sekarang kami mengajak Anda mengenal salah satu ulama dan muhaddis terkemuka Syiah setelah Syeikh al-Kulaini yaitu Syeikh Shaduq.

Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Qommi, yang terkenal dengan Syeikh Shaduq, adalah salah satu ulama besar Syiah pada abad ke-4 Hijriah. Ia ibarat bintang di ilmu hadis dan fiqih yang terbit di kota Qom.

Tahun kelahiran Syeikh Shaduq tidak diketahui secara pasti. Namun, ia tercatat lahir bersamaan dengan dimulainya tugas Husein bin Ruh al-Nubakhti sebagai wakil ketiga dari empat wakil Imam Mahdi as. Ia dilahirkan di tengah keluarga Babawaih Qommi, yang telah melahirkan banyak ilmuwan dan ulama besar selama lebih dari 300 tahun di Iran.

Syeikh Shaduq tercatat sebagai tokoh yang paling populer di keluarga Babawaih. Ayahnya merupakan seorang ulama besar Qom dan penulis produktif yang telah melahirkan lebih dari 200 karya pada masa keghaiban pertama Imam Mahdi as.

Ali bin Husein (ayah Syeikh Shaduq) belum memiliki anak di usia 50 tahun. Ia kemudian menulis sepucuk surat kepada Husein bin Ruh al-Nubakhti (wakil ketiga) supaya meminta Imam Mahdi as mendoakannya agar diberi keturunan oleh Allah Swt. Tiga hari kemudian, Imam Mahdi as memberikan kabar gembira kepada Ali bin Husein bahwa ia akan memiliki dua orang putra yang membawa kebaikan dan berkah.

Salah satu dari anak itu adalah Syeikh Shaduq yang memiliki kecerdasan dan sangat antusias dalam menuntut ilmu, sehingga ia menjadi salah satu guru besar di masanya. Salah satu karyanya, Man La Yahdhuruhu al-Faqih merupakan salah satu dari Kutub Arba'ah di kalangan Syiah Imamiyah.

Syeikh Shaduq belajar ilmu dasar agama dari ayahnya di kota Qom dan kemudian menimba ilmu dari para ulama dan muhaddis besar di kota tersebut. Ia sangat tekun dalam belajar dan terus berusaha meningkatkan ilmu dan makrifatnya. Dalam waktu singkat, ia menjadi figur terkenal di lingkungan akademis Qom karena kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa dalam menuntut ilmu.

Syeikh Shaduq kemudian memulai perjalanan ilmiah untuk memperdalam ilmunya ke madrasah para ulama dan muhadis besar di masa itu. Ia meninggalkan kota kelahirannya demi mengumpulkan hadis dari Rasulullah Saw dan para imam maksum as.

Syeikh Shaduq mendatangi setiap ulama besar hadis dan terpercaya di masa itu dan dapat dikatakan bahwa ia telah berkelana ke timur dan barat untuk mendatangi setiap ulama hadis untuk belajar dan mengumpulkan hadis dari mereka. Dia telah melakukan studi tur ke kota Bukhara, Naisabur, Tus, Isfahan, Sarakhs, Marv, Balkh, Samarkand, Farghaneh, Kufah, Baghdad, Makkah, dan Madinah.

Perjalanan ilmiah dan pertemuannya dengan para ulama besar telah menjadi salah satu faktor di balik kesuksesan Syeikh Shaduq. Gurunya berjumlah sangat banyak, di beberapa kitab disebutkan bahwa Syeikh Shaduq telah belajar dari 252 ulama.

Di sepanjang perjalanannya, Syeikh Shaduq juga membuka kelas-kelas kuliah dan menularkan ilmunya kepada orang lain. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat seputar agama dan memberikan pencerahan kepada mereka.

Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan Syeik Shaduq adalah berkuasanya Dinasti Buwaihi/Buwaih (Buyid Dynasty) dari keturunan Iran dan bermazhab Syiah selama periode 322 – 448 H di sebagian besar wilayah Iran, Irak, Jazirah Arab, dan perbatasan utara Syam.

Pemerintahan Dinasti Buwaihi memainkan peran besar dalam menyebarkan mazhab fiqih dan politik di masa keghaiban Imam Mahdi as. Sebagai pemerintahan pertama Syiah di masa ghaibah, Dinasti Buwaihi sangat menghormati ulama dan melaksanakan pandangan dan fatwa-fatwa mereka.

Syeikh Shaduq atas undangan perdana menteri Dinasti Buwaihi, melakukan hijrah ke kota Rey dan membuka kuliah fiqih dan hadis di kota itu sampai akhir hayatnya.

Penguasa Dinasti Buwaihi, Rukn al-Dawlah selalu membawa Syeikh Shaduq ke setiap acara untuk meminta pendapatnya dalam berbagai masalah. Ilmu pengetahuan dan budaya berkembang pesar di era kekuasaan Dinasti Buwaihi. Perpustakaan dan sekolah-sekolah didirikan di kota Rey dan kota ini mencapai puncak kejayaannya di bidang politik, sosial, budaya, dan intelektual di masa kekuasaan mereka. Puncak kejayaan ini ditandai dengan kehadiran para ulama besar seperti Ibnu Sina, Zakariya Razi, dan Syeikh Shaduq.

Muhammad bin Ali bin Husain dikenal dengan Shaduq karena kejujuran dan amanahnya dalam menukil hadis. Kumpulan karya-karyanya mencapai 300 kitab di berbagai bidang. Jumlah ini menandakan upaya luar biasa dan ketekunannya di bidang ilmiah. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk ushul fiqh, fiqih, tafsir, ilmu rijal al-hadis, dan ilmu hadis.

Salah satu kontribusi penting Syeikh Shaduq di bidang hadis adalah menyusun dan mengurutkan hadis berdasarkan tema-temanya. Metode seperti ini belum pernah dilakukan sebelum Syeikh Shaduq dan bahkan mustahil bisa dilakukan oleh satu orang di masa sekarang, tapi ia barhasil melakukan itu berkat kecerdasan dan kecintaannya kepada makrifat Ahlul Bait as.

Syeikh Shaduq meninggalkan mutiara berharga untuk kaum Muslim di era panjang keghaiban Imam Mahdi as. Di antara karya besarnya antara lain: Man La Yahdhuruhu al-Faqih, kitab 'Ilāl al-Syarayi' (tentang filosofi hukum syariat), Kamal al-Din wa Tamam al-Ni'mah, kitab al-Tauhid, Al-Khishal, Al-Amali, 'Uyun Akhbar al-Ridha, kitab Itsbat al-Washiyyah li Imam Ali as, dan buku-buku lain.

Di edisi berikutnya, kita akan mengenal lebih jauh tentang kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (5)


Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Qommi adalah seorang ulama besar Syiah dan ia dikenal dengan Syeikh Shaduq, karena sangat amanah dan jujur dalam menukil hadis.

Kerja keras Syeikh Shaduq dalam mengumpulkan hadis dari timur ke barat Dunia Islam telah memungkinkan kaum Muslim memanfaatkan mutiara makrifat Ahlul Bait Nabi as dalam bentuk yang sahih dan dapat dipercaya. Perjuangan ulama besar ini membuat mutiara Ahlul Bait terjaga dari distorsi dan hilang ditelan masa.

Syeikh Shaduq telah menulis lebih dari 300 buku di berbagai tema seperti ushul fiqh, fiqih, tafsir, ilmu rijal, dan hadis. Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih sangat populer di antara karya-karyanya yang lain dan merupakan salah satu dari Kutub Arba'ah di kalangan Syiah Imamiyah.

Setelah al-Quran, hadis-hadis Nabi Saw dan Ahlul Bait adalah sumber penting hukum dan akidah dalam mazhab Syiah. Prestasi ini dicapai Syeikh Shaduq berkat kecerdasan, ketekunan, dan ketertarikanhya untuk melestarikan makrifat Ahlul Bait as.

Dalam literatur Islam, ucapan yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para imam maksum dari Ahlul Bait Nabi disebut hadis. Setelah al-Quran, hadis selalu memainkan peran sentral bagi kaum Muslim untuk memahami agama, ia berperan sebagai penafsir al-Quran dan penjelas agama.

Al-Quran dalam banyak ayatnya berbicara secara garis besar, dan tugas menerangkan dan menafsirkan diserahkan kepada Rasulullah Saw dan para khalifah setelahnya. Di ayat 44 surat an-Nahl disebutkan, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

Rasulullah dan para imam maksum mendorong kaum Muslim untuk mempelajari, menuliskan, dan menyebarkan hadis, dan yang lebih penting dari itu adalah menyemangati mereka untuk memahami dan mendalami maknanya. Dari sini menjadi semakin jelas tentang kedudukan hadis-hadis sahih.

Imam Jakfar Shadiq as menukil dari ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir as yang berkata, “Wahai putraku! Kenalilah derajat orang Syiah kami dengan timbangan periwayatan mereka atas hadis-hadis Ahlul Bait dan makrifat mereka atas hadis-hadis tersebut. Dan makrifat adalah pengetahuan atas riwayat dan dirayah hadis. Dengan diriyah dan pemahaman riwayah inilah seorang mukmin mencapai derajat iman paling tinggi.”

Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah karya Syeikh Shaduq yang paling populer dan paling besar setelah kitab Madinah al-Ilm. Kitab Madinah al-Ilm merupakan sebuah karya yang sangat penting dan lengkap, tapi sayangnya ia telah lenyap beberapa abad yang lalu. Deskripsi tentang kitab ini ditemukan dalam beberapa buku lain dan para ulama salaf menjadikan kitab tersebut sebagai rujukannya.

Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih menyandang status sebagai salah satu dari empat kitab hadis Syiah selama 12 abad. Kitab ini memuat 6.000 hadis yang disusun berdasarkan tema-tema dalam fiqih.

Mengenai kitab tersebut, Syeikh Shaduq menulis, “Kitab ini adalah sebuah kitab mengenai persoalan fiqih, masalah halal dan haram, dan hukum-hukum syariat di mana ia memuat berbagai tema fiqih – dari perkara bersuci sampai hukum diyah – yang sejauh ini pernah saya tulis dan saya menamainya dengan Man La Yahdhuruhu al-Faqih yaitu kitab (bagi) orang yang tidak menemukan seorang faqih, sehingga ketika dibutuhkan ia dapat menjadi rujukan yang bisa dipercaya dan meyakinkan bagi orang yang tidak menemukan seorang faqih… Tujuan saya adalah membawakan sekumpulan dari riwayat yang dengannya saya mengeluarkan fatwa dan menghukumi keabsahannya.”

Sejauh ini 23 syarah (penjelasan) telah ditulis untuk kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih, yang selalu mendapat perhatian dari para ulama Syiah. Sayangnya, kebanyakan dari syarah itu sudah hilang atau hanya naskah tulisan yang tersisa dan tidak dipublikasikan secara luas.

Raudhah al-Muttaqin karya Majlisi Awal, tercatat sebagai syarah yang paling terkenal untuk kitab kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Sebagaimana diketahui bahwa Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah salah satu dari empat kitab hadis Syiah di samping kitab al-Kafi karya Syeikh Abu Ja'far Kulaini, Tahdzib al-Ahkam ditulis oleh Syeikh al-Thaifah Abu Ja'far bin Hasan Thusi, dan kitab Al-Istibshar juga ditulis oleh Syeikh Thusi. Masing-masing dari kitab induk ini memiliki keistimewaan sendiri.

Perbandingan antara kitab al-Kafi dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih menunjukkan bahwa karya Syeikh Shaduq ditulis dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum praktis dan persoalan fiqih, sedangkan al-Kafi selain selain masalah hukum dan fiqih, juga memuat hadis-hadis tentang akidah dan akhlak.

Syeikh Shaduq tidak menyebutkan sanad riwayat secara sempurna dalam Man La Yahdhuruhu al-Faqih sehingga volume kitabnya tidak terlalu banyak dan menyulitkan pembaca. Namun, sanad hadis secara lengkap dikumpulkan dalam sebuah kitab berjudul Masyikhah untuk para peneliti.

Sebagian pembahasan dalam Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah masalah air, thaharah (bersuci) dan najis, kewajiban-kewajiban shalat dan pendahuluannya seperti wudhu, mandi, dan tayammum, persoalan mengurusi mayit, hukum-hukum shalat, hukum-hukum peradilan, hukum-hukum seputar jual-beli, bab pernikahan, hukum warisan, dan masalah-masalah lain.

Metode penulisan kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih mengikuti medote yang umum dipakai pada abad-abad pertama Islam, di mana para fuqaha Syiah hanya menukil riwayat dari Rasulullah Saw dan para imam maksum.

Sejak masa Syeikh Mufid, – murid Syeikh Shaduq yang paling hebat – metode tersebut mulai berubah secara perlahan, karena beradaptasi dengan tuntutan zaman dan kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh orang-orang di luar Islam dan musuh.

Seiring masuknya filsafat Yunani ke Dunia Islam dan munculnya masalah-masalah baru di ilmu kalam, para ulama dituntut untuk menjawab persoalan yang belum pernah ditanyakan ini. Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha Syiah menggunakan metode baru untuk memenuhi tuntutan tersebut.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (6)


Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Qommi adalah seorang ulama besar Syiah abad keempat Hijriyah. Para fuqaha dan ulama mengenalnya sebagai Syeikh Shaduq dan Rais al-Muhadditsin, karena ia sangat menguasai hadis dan sanadnya serta melakukan upaya maksimal untuk mengumpulkan dan membukukan hadis.

Syeikh Shaduq bukan hanya seorang muhaddits, tapi juga menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti fiqih, ilmu kalam, dan tafsir. Meski namanya selalu melekat dengan karya besarnya Man La Yahdhuruhu al-Faqih, namun ia juga telah melahirkan lebih dari 300 buku di berbagai tema seperti ushul fiqh, fiqih, tafsir, ilmu rijal, hadis, dan kalam.

Ulama besar ini telah meninggalkan karya besar lainnya seperti al-‘Itiqadat dan Ibthal al-Ghulu wa al-Taqshir yang membahas persoalan teologi, membuktikan kebenaran akidah Syiah, dan menolak akidah batil. Diskusi dan perdebatan ilmiah Syeikh Shaduq dengan para tokoh mazhab lain telah memperlihatkan kehebatannya dalam ilmu kalam.

Banyak ulama memandang Syeikh Shaduq sebagai teolog besar yang juga menukil untuk memenuhi tuntutan zaman dan kebutuhan umat. Ia bahkan berusaha menjawab pertanyaan seputar konsep Mahdiisme lewat hadis-hadis seperti yang termaktub dalam kitab Kamal al-Din wa Tamam al-Ni'mah.

Dalam pembukaan kitab Kamal al-Din wa Tamam al-Ni'mah, Syeikh Shaduq menulis, “Saya menyaksikan menjamurnya syubhat (kesamaran/ketidakjelasan) tentang Imam Mahdi as dan saya ingin menjawab syubhat-syubhat ini.”

Syeikh Shaduq menjawab syubhat ini lewat berbagai hadis. Jadi dalam buku-buku yang terlihat hanya untuk menukil dan mengumpulkan hadis, ia menyelipkan kajian teologi yaitu memberikan argumentasi akal dan tekstual untuk membuktikan kebenaran, menjawab syubhat, dan menjelaskan pandangan-pandangannya.

Metode seperti ini juga digunakan Syeikh Shaduq dalam kajian fiqih. Dengan memperhatikan metode-metode fiqih, ia mengumpulkan hadis yang sahih dari segi sanad dan kandungan dalam kitab-kitabnya. Ketika memberikan fatwa, Syeikh Shaduq lebih memilih menggunakan bahasa yang dipakai oleh teks hadis ketimbang memakai istilahnya sendiri.

Metode seperti ini cukup populer di kalangan para ulama masa itu. Namun metode ini tidak berarti bahwa Syeikh Shaduq hanya seorang muhaddist, tentu ia juga seorang ulama yang menjelaskan pandangan-pandangan ijtihadnya dengan baik. Oleh karena itu, kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih yang menjadi salah satu dari Kutub Arba'ah di kalangan Syiah Imamiyah juga memuat fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh tokoh besar ini.

Maktab fikih Syeikh Shaduq dikenal sebagai maktab ahli hadis. Namun ada banyak perbedaan antara maktab ahli hadis di kalangan Sunni dan Syiah dan keduanya benar-benar berbeda. Karena ahli hadis Syiah – berbeda dengan ahli hadis Sunni – memandang ijtihad dalam persoalan fiqih sebagai sebuah keharusan.

Dalam pandangan ahli hadis Syiah, ijtihad berarti mengeluarkan hukum yang lebih spesifik dari kaidah-kaidah umum yang diterangkan oleh hadis atau mengutamakan sebuah hadis atas hadis lain jika terjadi pertentangan antara teks-teks hadis yang ada. Model ijtihad seperti ini memberikan kelenturan dan keseimbangan dalam maktab fiqih ahli hadis Syiah. Namun ahli hadis Sunni hanya memegang tekstual hadis dan menolak segala bentuk ijtihad.

Sepeninggal Syeikh Shaduq, muridnya Syeikh Mufid meletakkan sebuah metode baru dalam ijtihad yang telah memberikan kelenturan khusus dan dinamika kepada fiqih Syiah.

Salah satu ciri khas Syeikh Shaduq adalah upayanya yang tulus untuk mendekatkan mazhab-mazbah dalam Islam dan menghilangkan kesalahpahaman satu sama lain.

Meskipun ia melakukan upaya tak kenal lelah untuk membela keyakinan Syiah, melakukan banyak perdebatan ilmiah, dan menulis banyak buku, namun tetap ia melakukan semua tugas ini dengan bijaksana, jauh dari kontroversial, dan tidak mengkafirkan pihak lain yang dapat memicu kemarahan mereka.

Syeikh Shaduq selain berguru kepada para ulama Syiah, ia juga menimba ilmu dari para ulama Sunni, dan muridnya terdiri dari pengikut berbagai mazhab dalam Islam. Sebagai contoh, Syeikh Shaduq mengenai alasannya menulis kitab al-Tauhid menerangkan, ”Kaum Mu’tazilah menuduh kami sebagai kelompok Jabariyah. Saya kemudian menulis kitab ini untuk menjelaskan bahwa kita tidak memiliki perbedaan, kita sama-sama mengakui masalah ikhtiar, kebebasan, dan tauhid.”

Syeikh Shaduq sangat menghormati pengikut mazhab-mazhab lain di samping memberikan kritikan ilmiah dan rasional terhadap sebagian akidah mereka. Sikap ini membuatnya sangat dihormati di kalangan para ulama dari semua mazhab. Sikap mulia ini dapat menjadi pelajaran dan keteladanan bagi kita semua.

Setelah melakukan upaya tak kenal lelah untuk menjaga dan menjelaskan pengetahuan Islam, ulama besar Syiah ini akhirnya meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah dan dimakamkan di kota Rey, Iran.

Sejarah mencatat sebuah peristiwa yang penuh ibrah setelah 800 tahun dari wafatnya Syeikh Shaduq. Pada masa kekuasaan Fath-Ali Shah Qajar di Iran, hujan lebat dan banjir membuat makam Syeikh Shaduq di kota Rey rusak dan liang lahatnya terbuka. Ketika masyarakat melakukan perbaikan, mereka menyaksikan jasad Syeikh Shaduq masih utuh dan seakan baru saja dimakamkan.

Peristiwa langkah ini turut disaksikan oleh 20 ulama pada masa itu termasuk Mirza Abul Hasan Jilwah, Ayatullah Mulla Muhammad Rastamabadi, dan Hajj Sayid Mahmoud Mar’asyi (Ayah dari Ayatullah Mar’asyi Najafi).

Ketika peristiwa ini sampai ke telinga Fath-Ali Shah Qajar, ia segera menuju ke kota Rey dan langsung memerintahkan pemugaran makam Syeikh Shaduq yang dilengkapi dengan kubah.

Makam Syeikh Shaduq sampai sekarang selalu dipenuhi oleh para peziarah yang datang untuk memberikan penghormatan kepada ulama besar ini.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (7)


Muhammad bin Muhammad bin Nu'man atau lebih dikenal dengan Syeikh Mufid adalah seorang ulama besar Syiah, yang paling populer pada pertengahan abad ke-4 dan permulaan abad ke-5 Hijriyah.

Syeikh Mufid – karena kontribusinya yang luar biasa dalam pengembangan fiqih dan ilmu kalam Syiah – dianggap sebagai pelopor di bidang pemikiran Syiah. Lebih tepatnya, ia adalah peletak dasar-dasar ilmu kalam Syiah dan pembentuk model baru fiqih Syiah.

Setelah 10 abad berlalu, pemikiran-pemikiran konstruktif Syeikh Mufid masih menjadi perhatian para cendekiawan dan pemikir Islam. Ini adalah indikasi dari kedudukannya yang istimewa di ranah pemikiran Islam.

Syeikh Mufid lahir pada 11 Dzulkaidah pada tahun 336 H di daerah al-Akbari, sebuah kota di tepi timur Sungai Tigris di Baghdad, Irak. Ayahnya adalah seorang guru dan karenanya, anaknya juga terkenal dengan "Ibnu Mu'allim." Al-akbari dan al-Baghdadi adalah dua gelar lain Syeikh Mufid yang diambil dari tempat kelahirannya.

Sejak masa kecil, Syeikh Mufid bersama ayahnya pergi ke kota Baghdad untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam dari para ulama besar ilmu kalam seperti, Syeikh Shaduq, Ibnu Junaid Askafi Baghdadi, Hussain Bin Ali Basri, Ali Bin Isa Ramani, Jakfar bin Muhammad bin Qulawaih, Muhammad bin Imran Marzbani, Ibnu Hamzah Thabari, dan Ibu Dawud Qummi.

Iman yang kuat, kecerdasan, dan ketekunan membuat Syeikh Mufid menguasai semua cabang ilmu yang berkembang pada masa itu. Ia sangat manguasai ilmu kalam dan seni perdebatan ilmiah. Di masa Syeikh Mufid, Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Berbagai aliran pemikiran berkembang di Baghdad dan masing-masing berusaha untuk membuktikan kebenaran akidahnya.

Dalam situasi seperti itu, Syeikh Mufid mampu membuktikan kebenaran akidah Syiah atas mazhab-mazhab lain dan ia diberi tempat khusus sebagai guru besar oleh penguasa Sunni kala itu.

Di masa mudanya, Syeikh Mufid memiliki kedudukan terhormat di kalangan ulama, bukan hanya ulama Syiah, tetapi para ulama dari mazhab-mazhab lain juga menghormati dan memuliakannya. Bukan hanya ulama dan masyarakat umum, para panguasa Dinasti Dailami juga berkunjung ke kediaman Syeikh Mufid untuk memberikan penghormatan, pada saat itu ia hanya berusia 34 tahun.

Syeik Mufid meninggal dunia pada tanggal 2 atau 3 Ramadhan tahun 413 di Baghdad. Sekitar 80 ribu orang ikut mengantarkan jenazahnya dan mayoritas mereka berasal dari para ulama mazhab-mazhab lain.

Ia memiliki pengaruh besar dalam pengembangan metode ijtihad Syiah. Ulama besar ini melakukan kerja keras untuk membersihkan ajaran Syiah dari pemikiran-pemikiran yang keliru. Sama seperti upayanya dalam membela akidah Islam dan makrifat Syiah dari serangan faham-faham pemikiran lain.

Syeikh Mufid bahkan memerangi pemikiran ekstrem dan tidak rasional yang berkembang di tengah pengikut Syiah dan ia mencatat banyak keberhasilan di bidang ini. Salah satu keyakinan keliru yang dipraktekkan di kalangan Syiah dan khususnya di kalangan Sunni pada masa itu adalah mengesampingkan akal dalam memahami agama.

Di masa keghaiban panjang Imam Mahdi as, para ulama bekerja keras untuk mengumpulkan hadis serta memilahnya antara hadis shahih dan cacat. Syeikh Shaduq juga menghabiskan usianya untuk menjaga khazanah ilmu pengetahuan ini. Sebagian besar ulama menaruh perhatiannya di bidang ini, namun setelah periode hadis berakhir, Syeikh Mufid berusaha memperkuat pondasi ijtihad Syiah dengan memanfaatkan akal secara proporsional.

Pada masa itu, para ulama menentang keras segala bentuk campur tangan akal untuk memahami agama. Metode ini menyebabkan tumpulnya pandangan dan munculnya pendekatan ekstrem dalam keyakinan masyarakat. Salah satu kontribusi penting Syeikh Mufid adalah memerangi pemikiran-pemikiran batil ini.

Ia memperkenalkan akal sebagai salah satu instrumen yang efektif untuk mengenal al-Quran dan hadis. Ia kemudian menyusun sebuah metode tentang prinsip-prinsip tepat penggunaan akal untuk memahami agama.

Oleh karena itu, Syeikh Mufid memainkan peran mendasar dalam merumuskan prinsip-prinsip fiqih Syiah secara baku. Metode ijtihad ini adalah jalan tengah antara metode hadis Syeikh Shaduq dan metode induktif Ibnu Junaid di bidang fikih. Pedoman-pedoman istinbath (inferensi) hukum dituangkan dalam sebuah kitab berjudul al-Tadzkirah bi Ushul Fiqh. Kitab ini dikenal sebagai buku pertama yurisprudensi dalam sejarah disiplin ilmu ini.

Kita cukup menela’ah kitab Jawabat Ahl-il Musil fil ‘Adad war Ru'yah untuk memahami peran Syeikh Mufid dalam menawarkan sebuah metode yang komprehensif di bidang ijtihad dan inferensi hukum. Metode yang dipakai para ulama sekarang dalam menyimpulkan hukum dari ayat dan riwayat, benar-benar sama persis dengan metode Syeikh Mufid dalam kitabnya tersebut.

Metode istinbath Syeikh Mufid bisa ditemukan di buku-buku fiqih yang ditulis oleh para ulama kontemporer. Ini membuktikan kekuatan landasan usuh fiqh Syeikh Mufid dalam ijtihad Syiah sehingga diterima oleh semua pihak.

Jika kita ingin mengenal sepenuhnya tentang kiprah Syeikh Mufid dalam pengembangan pemikiran Syiah, maka dibutuhkan sebuah tim riset yang menguasai ilmu-ilmu Islam dan sejarah untuk menyingkap semua sisi intelektual ulama besar ini.

Kiprah lain Syeikh Mufid di bidang ilmu dan pemikiran akan kami hadirkan dalam edisi berikutnya.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (8)


Muhammad bin Muhammad bin Nu'man (Syeikh Mufid) adalah salah seorang ulama dan pemikir Syiah yang paling berpengaruh. Di masa itu, masyarakat Syiah menikmati situasi yang lebih bersahabat dan Syeikh Mufid juga bisa leluasa melakukan kegiatan ilmiah.

Syeikh Mufid menawarkan sebuah metode komprehensif untuk ijtihad dan istinbath atau mengeluarkan hukum fiqih dari sumber-sumbernya. Metode ini masih dipakai oleh para fuqaha dan ilmuwan sampai sekarang.

Syeikh Mufid memiliki pengaruh besar di ranah ilmu kalam dan fiqih Syiah sehingga ia dianggap sebagai peletak ilmu kalam Syiah dan masternya ilmu fiqih. Ia juga bergelar pemimpin dari para pemimpin Syiah.

Salah satu perhatian utama Syeikh Mufid pada masa itu adalah menjawab syubhat (sebuah keadaan kerancuan berpikir dalam memahami sesuatu) akidah dan mazhab.

Ahlu Bait memperkenalkan para ulama hakiki sebagai penjaga dan pelindung Islam. Dapat dipastikan Syeikh Mufid adalah salah satu dari penjaga Islam ini.

Meski ia sebagai seorang ulama besar Syiah, namun tetap tampil sebagai seorang guru yang berusaha menjawab syubhat akidah dan fiqih yang disampaikan pihak lain melalui lisan dan penanya.

Syeikh Mufid lewat beberapa karyanya termasuk, Fushul al-Asyrah fi al-Ghaibah, menjawab syubhat akidah dan fiqih serta sanggahan seputar filosofi keghaiban Imam Mahdi as. Karya lain ulama besar ini, Awail al-Maqalat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat, juga menjelaskan mengenai pemikiran khusus Syiah Imamiyah dalam permasalahan ilmu kalam.

Selain menulis artikel dan buku untuk menjawab syubhat, Syeikh Mufid menggelar diskusi dan melakukan debat ilmiah dengan ulama dari berbagai mazhab. Dengan penguasaannya terhadap mazhab-mazhab Islam, ia mampu membela akidah Islam dengan argumentasi yang rasional dan kuat.

Salah satu karakteristik Syeikh Mufid adalah menaruh perhatian khusus pada kebutuhan intelektual masyarakat. Ia secara rutin membangun hubungan dengan mereka dan mengikuti forum-forum diskusi ilmiah.

Karena posisinya sebagai pemimpin Syiah pada masa itu, ia selalu menerima surat-surat dan pertanyaan masyarakat yang dikirim dari berbagai pelosok negara Islam kepadanya. Dengan demikian, Syeikh Mufid mengambil inisiatif untuk menjawab kebutuhan mereka dengan menulis buku dan risalah. Banyak dari karyanya ditulis untuk menjawab pertanyaan masyarakat dari sebuah daerah tertentu.

Selain masyarakat awam yang meminta bimbingan Syeikh Mufid seputar kewajiban syar'inya, para ulama besar di masa itu juga memperdalam ilmu agama dari Syeikh Mufid. Karya terpenting Syeikh Mufid di bidang kalam, fiqih, dan sejarah seperti, Awail al-Maqalat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat, Al-Muqni'ah, dan al-Jamal wa al-Nushrah lisayyid al-Itrah fi Harb al-Bashrah, ditulis atas permintaan para ulama besar seperti, Syeikh Murtadha, Syeikh Radhi, dan ulama lain.

Sebagian besar dari karya Syeikh Mufid berdurasi singkat dan berupa artikel. Hal ini telah menjadi ciri khas dari karya-karya beliau.

Syeikh Mufid adalah seorang peneliti profesional dan ia menghindari penggunaan kata atau kalimat yang diulang-ulang. Ia mampu menjelaskan materi rumit dalam sebuah kalimat singkat, kecuali untuk materi yang sangat rumit dan membutuhkan penjelasan yang panjang.

Imam Ali as berkata, "Janganlah berbicara dan berkata panjang sehingga membuat pendengar jenuh, dan jangan pula terlalu singkat sehingga mereka merasa terhina (karena tidak memahami isi pembicaraan)."

Oleh sebab itu, kebanyakan dari karya Syeikh Mufid berupa risalah singkat dan padat, yang ditulis untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Ciri khas lain karya Syeikh Mufid adalah penggunaan bahasa yang sederhana. Kalimat yang rumit dan istilah yang spesifik jarang ditemukan dalam karya-karyanya.

Dalam kajian kalam, fiqih, sejarah, dan bahkan persoalan ilmiah, Syeikh Mufid menjelaskannya dengan bahasa yang mudah sehingga bisa dimengerti oleh semua orang. Meskipun Syeikh Mufid seorang ulama besar dan punya kemampuan luar biasa dalam menulis kitab-kitab besar, namun ia lebih memilih menyusun risalah singkat dan efektif dengan bahasa yang mudah, dengan tujuan menjawab persoalan pemikiran kaum Muslim.

Salah satu kegiatan Syeikh Mufid adalah mengajar. Ia membentuk banyak kelas untuk mengajar ulama di bidang fiqih dan kalam, dan ia berhasil mencetak murid-murid yang sangat luar biasa.

Di antara murid Syeikh Mufid yang kemudian menjadi ulama besar setelahnya adalah Sayid Murtadha, Sayid Radhi, Syeikh Thusi, Ahmad bin Ali al-Najasyi, Sallar al-Daylami, Abul Fatah Karajuki, dan Abu Ya'la Muhammad bin Hasan Ja'fari.

Syeikh Mufid tidak melupakan masalah spiritualitas dan penyucian jiwa meskipun sangat sibuk mengabdi di bidang akademis dan sosial. Para murid dan orang-orang dekatnya bersaksi bahwa cahaya spiritualitas dan keluhuran moralnya terus memancar dari waktu ke waktu.

Syeikh Mufid melakukan banyak shalat dan puasa serta selalu memberikan sedekah. Masyarakat sangat mencintainya karena kesederhanaan dan sifat tawadhu yang dimilikinya. Dia menjalani kehidupan sederhana seperti masyarakat biasa.

Syeikh Mufid tidak tergoda dengan jabatan dan harta, dan hal ini membuatnya lebih mudah dalam proses penyucian jiwa dan perjalanan menapaki puncak kesempurnaan.

Menantunya, Sharif Abu Ali menuturkan, "Syeikh Mufid hanya tidur sebentar di malam hari dan kemudian ia bangun untuk mendirikan shalat. Kesibukannya tidak lepas dari membaca buku, atau mengajar, dan atau membaca al-Quran."

Itulah ringkasan dari kehidupan seorang ulama, yang masih dikenal dan dihormati sampai sekarang meskipun ia telah wafat seribu tahun lalu.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (9)


Artikel ini akan mengkaji pengaruh Muhammad bin Muhammad bin Nu'man (Syeikh Mufid) mengenai kedudukan akal dalam pemikiran fikih dan ilmu kalam Syiah.

Syeikh Mufid tercatat sebagai pendiri dan pelopor gerakan intelektual Syiah. Di tengah situasi yang serba sulit pada masa itu, ia berhasil mengawal pemikiran fikih dan kalam Syiah dari penyimpangan serta ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (melalaikan). Oleh karena itu, ia dikenal sebagai pengawal teritorial mazhab Syiah.

Selama hidupnya, Syeikh Mufid telah mendidik banyak murid, mencetak banyak guru, menulis banyak buku, menjawab sanggahan orang-orang, serta memenuhi kebutuhan pemikiran dan intelektual umat Islam.

Syeikh Mufid memiliki pendekatan rasionalis dalam masalah fikih dan kalam. Tokoh besar ini mencoba menjelaskan dan membela ajaran agama di bidang fikih, usul fikh, kalam, sejarah, dan tafsir dari segi akal.

Di era periode keghaiban dan sebelum Syeikh Mufid, pemikiran ahlul hadits mendominasi iklim keilmuan Islam. Ahlul hadits adalah orang-orang yang menolak pelibatan akal dalam masalah kalam dan fikih, semua upaya mereka fokus menukil dan mengklasifikasi hadits.

Sejak periode ghaibah pertama Imam Mahdi as, para ulama bekerja keras untuk mengumpulkan dan melestarikan hadits-hadits Rasulullah Saw dan Ahlul Bait sebagai khazanah ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian, periode itu disebut sebagai era hadits.

Sebagian gerakan ifrath juga secara tegas menolak campur tangan akal dalam memahami hadits dan pengetahuan Islam. Gerakan anti-akal ini menyebabkan munculnya penyimpangan dan pandangan dangkal dalam memahami agama.

Syeikh Mufid – sebagai ulama besar dan mujtahid kritis – tanpa kenal lelah melawan pemikiran-pemikiran menyimpang. Ia menekankan pentingnya penggunaan argumen dan dalil akal dalam masalah fikih dan kalam. Ia menyusun dasar-dasar aplikatif untuk memperjelas batasan penggunaan akal dalam dua disiplin ilmu itu sehingga berhasil menyita perhatian para ulama tentang kerugian akibat mengabaikan akal.

Tokoh besar ini percaya bahwa hadits-hadits yang sampai ke tangan kita harus ditimbang dengan akal dari dua segi: pertama para perawi hadits mungkin saja melakukan kesalahan dan kealpaan dalam menukil hadits, khususnya ahlul hadits yang menerima semua riwayat sebagai hadits tanpa memperhatikan aspek shahih dan cacatnya. Mereka kemudian menjadikan riwayat-riwayat itu sebagai pedoman perbuatannya.

Syeikh Mufid mencatat bahwa selama keterkaitan sebuah hadits dengan para maksumin belum bisa dibuktikan melalui metode akal, maka ia tidak dapat diterima sebagai hadits.

Kedua, akal perlu dilibatkan untuk memahami hadits dengan benar. Bagi Syeikh Mufid, memahami riwayat dengan benar adalah sebuah langkah yang sangat penting dan ia percaya bahwa memahami hadist perlu dibarengi dengan pendekatan berbasis penelitian dan pelibatan akal sehingga menjadi jelas antara kebenaran dan kebatilan. Ia membela habis-habisan tentang peran positif akal dalam proses penukilan dan pemahaman hadist.

Sebagian penting dari karya-karya marja’ besar Syiah ini berhubungan dengan masalah fikih. Fikih adalah sebuah ilmu yang menyimpulkan aturan praktis Islam dari sumber-sumber agama dengan argumentasi yang kuat. Ulama besar ini menilai penting penggunaan akal dalam fikih. Sebagian ulama bahkan menganggap dia sebagai fakih pertama yang berbicara tentang peran akal dalam fikih.

Berbagai hadist dan riwayat menunjukkan bahwa Ahlul Bait Nabi selalu mendorong pengikut Syiah untuk menggunakan akal, dan sesuai dengan tuntutan kondisi, para imam maksum mengajarkan mereka tentang metode menyimpulkan hukum dari al-Quran dan hadits.

Dari periode keghaiban Imam Mahdi as hingga akhir abad keempat Hijriyah, karena dominasi pemikiran ahlul hadits, metode aqli tidak pernah digunakan dalam proses ijtihad dan penyimpulan hukum agama. Tentu saja sebelum Syeikh Mufid, beberapa ulama termasuk Ibnu Abi ‘Aqil dan Ibnu Junaid Asqafi menunjukkan kecendrungan ke metode aqli dalam berijtihad, namun Syeikh Mufid membuat terobosan yang tidak hanya sekedar kecendrungan.

Menurutnya, jika sudah dilakukan kajian yang teliti dalam al-Quran dan hadits untuk menjawab sebuah persoalan dan tidak ditemukan jawabannya, maka kita harus merujuk kepada akal sebagai salah satu sumber pengenalan hukum-hukum agama.

Syeikh Mufid menulis, “Jika sebuah persoalan atau perdebatan muncul di tengah Syiah selama era keghaiban, sementara tidak ditemukan perintah yang jelas (tegas) di dalam al-Quran dan hadits, maka apa tugas kita?”

Dia menjawab, “Orang yang menghadapi persoalan itu dan ingin mengetahui hukum syariat tentangnya, maka ia harus merujuk kepada para ulama Syiah Imamiyah sehingga mereka melakukan penelitian dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan arahan para imam maksum. Jika tidak ada petunjuk tentangnya dan tidak ditemukan ayat yang dapat memecahkan persoalan tersebut, maka akal harus menjadi wasit dalam masalah ini.”

Dengan menulis buku dan melakukan perdebatan yang luar biasa, Syeikh Mufid mampu meletakkan metode akal dalam masalah kalam dan fikih. Oleh sebab itu, banyak dari para ulama besar Syiah termasuk Allamah Hilli, mengenang Syeikh Mufid sebagai guru para ulama kalam dan fikih.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (10)


Artikel ini akan mengkaji peran Muhammad bin Muhammad bin Nu'man (Syeikh Mufid) dalam memperkuat identitas mazhab Ahlul Bait Nabi as.

Setelah memasuki periode keghaiban Imam Mahdi as, khususnya keghaiban panjang, salah satu bahaya yang mengancam mazhab Ahlul Bait adalah kesalahan dan penyimpangan yang disengaja atau tidak disengaja yang dilakukan oleh sebagian individu.

Fenomena ini menyebabkan munculnya bid'ah dan berkurangnya sesuatu yang menjadi ajaran asli Syiah, sehingga batas teritorial mazhab Ahlul Bait menjadi kabur.

Di masa kehidupan para imam maksum as, mereka menjadi rujukan untuk menyelesaikan bahaya-bahaya yang muncul, sebab mereka adalah pusat rujukan yang sahih untuk menemukan kebenaran. Dengan begitu kesalahan dan penyimpangan dapat segera diatasi.

Namun, situasinya benar-benar berbeda ketika imam maksum tidak berada di tengah umat. Dari satu sisi kebutuhan baru selalu muncul di tengah masyarakat yang harus dijawab oleh agama. Di sisi lain karena umat tidak memiliki akses lagi ke imam maksum, perbedaan pendapat berpotensi muncul di antara para ulama yang dianggap sebagai hal yang lumrah.

Dalam situasi seperti itu, beragam pandangan dan interpretasi tentang prinsip-prinsip dan cabang agama akan bermunculan. Situasi ini berpotensi mengubah arah sebuah mazhab secara total dalam jangka panjang. Di sini, para ulama perlu memainkan salah satu tugas pentingnya dan menentapkan tapal batas bagi mazhab Syiah sebagai sebuah sistem pemikiran dan amaliyah. Mereka perlu membuat kerangka dari segi keyakinan dan amaliyah.

Penentuan tapal batas ini tentu dengan memanfaatkan petunjuk yang diwariskan oleh para imam maksum. Tapal batas ini akan memungkinkan para ulama dan pemikir Syiah untuk membedakan antara penyimpangan fundamental yang telah keluar dari landasan mazhab dan perbedaan pandangan di tingkat internal mazhab, yang merupakan sesuatu yang alamiah dan tidak dapat dihindari. Dengan cara ini, mereka harus mencegah penyimpangan fundamental. Pekerjaan seperti ini belum pernah dilakukan sebelum zaman Syeikh Mufid.

Sebelum Syeikh Mufid, belum terbentuknya batas teritorial untuk mazhab Syiah telah membawa banyak kerugian. Misalnya, mazbah Syiah belum memanfaatkan landasan akal dari satu sisi dan terjebak dalam praktik qiyas (perbandingan atau persamaan) di sisi lain, ini merupakan dua penyimpangan yang tidak disengaja dalam mazhab Syiah.

Qiyas dalam fikih adalah penetapan suatu hukum dan perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya, dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Qiyas tidak bisa menjadi pegangan dan tidak punya nilai ilmiah.

Dalam ilmu kalam yang mengkaji prinsip akidah dan pandangan dunia religius atas dasar argumentasi akal dan nash, juga terjadi percampuran antara sebagian pemikiran Muktazilah dan ideologi Syiah. Oleh sebab itu sebagian mengira kedua mazbah ini sebagai sama, padahal tidak demikian. Muktazilah tidak menerima prinsip dasar mazhab Syiah yaitu konsep imamah (kepemimpinan).

Jadi, pekerjaan Syeikh Mufid sebagai seorang yang menetapkan tapal batas mazhab Ahlul Bait, sangat penting. Ulama besar ini terjun ke arena sulit ini dengan memperhatikan kebutuhan zaman dan dengan mengandalkan kekuatan intelektualnya. Terbukti ia mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dan sensitif ini.

Berkat upaya tak kenal lelahnya, mazhab Ahlul Bait dalam fikih dan kalam dengan tanda-tanda dan karakteristik khususnya, dapat dikenali dan dipahami oleh para ulama, tanpa salah menilai ajaran mazhab lain sebagai ajaran Syiah.

Demi mencapai tujuan besar ini, Syeikh Mufid melakukan serangkaian kegiatan ilmiah dan di sini akan disinggung beberapa kegiatan yang paling penting. Di bidang fikih, ulama besar ini menulis buku al-Muqni'ah. Kitab ini memuat hampir semua persoalan fikih dan menjabarkan metode sahih dalam menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya.

Syeikh Mufid menulis buku al-Tadzkirah fi Ushul Fiqh, di mana untuk pertama kalinya mengumpulkan kaidah-kaidah istinbath hukum fikih sehingga dapat mengeluarkan fatwa berdasarkan kaidah tersebut.

Dalam ilmu kalam, Syeikh Mufid mengundang semua ulama kalam dari mazhab-mazhab lain di masanya untuk berdiskusi. Di antara berbagai mazhab kalam, diskusi dengan Muktazilah berlangsung panjang, karena ia memiliki kemiripan dengan Syiah di sebagian pokok-pokok mazhab.

Kemiripan ini menyebabkan sebagian orang secara keliru menganggap kedua aliran ini adalah satu atau bahwa Muktazilah adalah sumber dari banyak akidah Syiah.

Syeikh Mufid menolak kesamaan keduanya dan mengkritik ajaran mazhab Muktazilah. Ia menulis buku Awail al-Maqalat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat untuk menjelaskan perbedaan antara Syiah dan Muktazilah.

Dapat disimpulkan bahwa Syeikh Mufid adalah ulama Syiah pertama yang menentukan tapal batas mazhab Syiah dalam masalah fikih dan kalam sehingga orang tidak keliru dalam mengenalnya.

Syeikh Mufid meninggal dunia pada tahun 413 Hijriyah setelah melakukan perjuangan yang tulus di bidang agama. Puluhan ribu orang ikut menyalati jenazahnya. Ia telah menerangi sebagian besar dari dunia Islam dengan ilmu dan makrifatnya selama 50 tahun.

Berbagai peristiwa pahit dan berdarah di ibukota pemerintahan Abbasiyah serta fanatisme buta, tidak mampu memadamkan pelita ilmu Ahlul Bait ini. Jenazah Syeikh Mufid awalnya dimakamkan di rumahnya di Baghdad dan kemudian makamnya dipindahkan ke Kompleks Makam Imam Jawad as di Kazhimain, Irak.

Syeikh Thusi berkata, "Baik kawan maupun lawan turut serta dalam menyalati dan menangisi kepergiannya. Tangisan atasnya sangat kelihatan di mana aku tidak pernah melihat tangisan yang lebih nyata dari pada meninggalnya Syeikh al-Mufid."

Syeikh al-Mufid dan perjuangannya akan selalu dikenang sepanjang masa. Ia telah memainkan peran besar dalam pengembangan fikih dan kalam serta mazhab Ahlul Bait.




Daftar Isi:

Mengenal Para Ulama Besar Syiah1


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (1)2


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (2)6


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (3)11


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (4)16


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (5)21


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (6)26


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (7)30


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (8)34


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (9)38


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (10)42





















Mengenal Para Ulama Besar Syiah




Mengenal Para Ulama Besar Syiah (11)


Di beberapa seri sebelumnya kita telah berbicara tentang Muhammad bin Muhammad bin Nu'man atau Syeikh Mufid. Edisi sekarang akan mengupas biografi salah satu murid besar Syeikh Mufid yaitu Sayid Radhi.

Sayid Radhi adalah seorang ulama besar pada masanya dan ia menimba ilmu dari para guru besar dan ilmuwan zaman itu. Ia adalah seorang faqih yang luas ilmunya, ahli kalam yang mahir, sastrawan yang ulung, dan seorang ulama tafsir dan hadis. Ia adalah adik dari Sayid Murtadha, salah satu tokoh besar Syiah pada masa itu.

Abu al-Hasan Muhammad bin Husein al-Musawi yang bergelar Syarif Radhi dan terkenal dengan sebutan Sayid Radhi, dilahirkan di kota Baghdad, Irak pada tahun 359 Hijriyah. Nasab ayahnya sampai kepada Imam Musa al-Kazim as dan ibundanya merupakan cucu dari Imam Ali Zainal Abidin as.

Ayahnya, Abu Ahmad Husein adalah seorang tokoh besar, tetua para sayid, amirul haj, dan sosok yang bertanggung jawab untuk memproses pengaduan masyarakat. Ibunya, Fatimah putri Abu Muhammad adalah seorang wanita yang berilmu dan bertakwa. Sayid Radhi menulis buku Ahkam al-Nisa’ atas permintaan ibundanya.

Syeikh Mufid mengisahkan bahwa suatu malam aku melihat Sayidah Fatimah Zahra as dalam mimpiku dengan membawa kedua putranya yang masih kecil, Hasan dan Husein as. Ia menyampaikan salam kepadaku dan berkata, "Wahai syeikh, ajarkan fikih kepada kedua anak ini." Aku kaget dan langsung bangun. Di pagi hari itu juga, ibunda dari Sayid Radhi dan Sayid Murtadha datang kepadaku sambil membawa kedua putranya itu. Ia berkata, “Syeikh, keduanya adalah anak-anakku, mereka aku bawa ke hadapanmu supaya engkau ajarkan fikih.”

Syeikh Mufid menangis dan menceritakan mimpinya kepada ibunda Sayid Radhi. Kemudian Syeikh Mufid pun mengajarkan fikih kepada mereka. Allah Swt membukakan rahmat-Nya bagi mereka dan meluaskan ilmu dan kemuliaan mereka sehingga terkenal di seluruh dunia.

Sejak awal mengenyam pendidikan, Sayid Radhi sudah membuat rekan-rekan dan para gurunya takjub. Semakin tinggi jenjang yang ia tempuh, pujian para ilmuwan mengalir untuknya begitu pula dengan kedengkian musuh-musuh. Di usia sembilan tahun, orang-orang dibuat terpana dengan kejeniusannya ketika menjawab dengan teliti dan tepat mengenai soal-soal dari guru besar ilmu nahwu.

Selain Syeikh Mufid, Sayid Radhi juga berguru kepada para ulama besar dan ilmuwan pada masa itu. Ia belajar kepada para ilmuwan yang tinggal di Baghdad di berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti, saraf, nahwu, balaghah, tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqh, dan ilmu kalam.

Ia memperoleh banyak pengetahuan dari mereka dan menyempurnakan keahliannya di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sayid Radhi dikenal sangat tekun dalam menimba ilmu dan selain kepada para ulama Syiah, ia juga berguru kepada ulama Sunni sehingga menguasai sumber-sumber hadis dan fiqih mazhab lain.

Oleh karena itu, Sayid Radhi sangat kompeten dalam berdebat dan membuktikan sesuatu dengan bersandar pada sumber-sumber dan argumen yang kuat. Sebelum mencapai usia baligh, Sayid Radhi telah mempelajari berbagai cabang ilmu dan ketika menginjak usia 20 tahun, ia menguasai semua ilmu yang berkembang pada masa itu dengan sempurna.

Sayid Radhi mulai menulis buku pada usia 17 tahun dan buku-bukunya tercatat sebagai karya ilmiah Syiah yang paling bernilai. Nama Sayid Radhi di kalangan ulama dan ilmuwan tidak bisa dipisahkan dari kitab Nahjul Balaghah. Ia mengumpulkan khutbah, surat, dan ucapan-ucapan Imam Ali as dari berbagai sumber dan mengumpulkannya dengan rapi dalam sebuah kitab bernama Nahjul Balaghah.

Pada dasarnya, Sayid Radhi mampu mempersembahkan sebuah kitab yang sempurna kepada dunia, yang bersumber dari ucapan manusia suci dan sosok pengganti Rasulullah Saw yaitu Imam Ali as. Lewat karya ini, ia tidak hanya menyumbangkan sebuah kontribusi besar kepada dunia Syiah, tetapi juga kepada seluruh umat manusia.

Karya lain Sayid Radhi adalah kitab Khashaish al-Aimmah dan tafsir al-Mutasyabih fi al-Quran, di mana dari kandungannya dapat diketahui kemampuan ilmiah dan keluasan pengetahuan penulisnya.

Sayid Radhi dikenal sebagai guru besar di bidang sastra Arab dan tidak ada tandingannya dalam ilmu sastra dan puisi. Ia mulai melantunkan puisi sejak usia 10 tahun dan qasidah pertamanya membuat para sastrawan terkagum-kagum. Syair-syair Sayid Radhi dihafali dan dilantunkan oleh masyarakat. Diwan syair Sayid Radhi mencakup 6.300 bait dan termasuk karya sastra Arab yang paling bernilai.

Seorang sastrawan besar, Shahib bin 'Ibad diliputi rasa kagum ketika pertama kali menyaksikan penggalan syair Sayid Radhi. Ia kemudian mengutus salah seorang ke Baghdad untuk menyalin buku diwan syair Sayid Radhi dan membawa salinan itu kepadanya. Peristiwa ini terjadi ketika Sayid Radhi masih berusia 26 tahun.

Selain menguasai ilmu dan sastra, Sayid Radhi memiliki keutamaan akhlak dan kesempurnaan jiwa. Ia dikenal dengan jiwa yang bersih, setia, dan dermawan, memegang teguh ajaran agama, serta menjaga perkara halal dan haram.

Meski sangat mahir dalam melantunkan syair dan pujian terhadap para tokoh agama dan politik, tetapi ia tidak pernah menerima imbalan dan tidak menjadikan syairnya sebagai sarana untuk menjilat orang lain, ia hanya berbicara fakta dan kebenaran dalam format syair. Ia sudah berkali-kali menolak hadiah yang diberikan oleh Baha al-Dawla Daylami, salah satu penguasa Dinasti Buyid.

Sayid Radhi terkenal sangat dermawan dan bermurah hati. Di tengah kesibukannya, ia membangun sebuah madrasah dan kemudian mendidik para santri, serta menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan, sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya pada masa itu. Madrasah ini diberi nama Dar al-‘Ilm dan ia sudah berdiri puluhan tahun sebelum dibangun Madrasah Nizhamiyah Baghdad.

Madrasah Nizhamiyah dibangun dengan anggaran pemerintah, tetapi Sayid Radhi mengeluarkan seluruh biaya operasional Dar al-‘Ilm dan santri dari uangnya sendiri. Sejumlah santri bahkan diberikan kunci gudang sehingga bisa mengakses apa yang dibutuhkan.

Sayid Radhi juga memikul tanggung jawab sosial yang besar dan selalu hadir untuk memberikan pelayanan kepada kaum Muslim. Sejak al-Mu'tadhid Billah (Khalifah Bani Abbasiyah) berkuasa pada tahun 279 H, keturunan alawi mulai dihormati dan diangkat satu tokoh dari keturunan sayid untuk menangani urusan-urusan mereka.

Di setiap kota, diangkat satu tokoh atau ulama alawi untuk mengurusi wilayahnya, tetapi Sayid Radhi ditunjuk sebagai pemimpin alawi di seluruh dunia Islam dan ini hanya terjadi di zamannya. Ia bertanggung jawab untuk mengurusi komunitas sayid termasuk urusan pengadilan, menengahi konflik, menangani urusan anak yatim, dan melaksanakan hukum-hukum syar’i tentang keturunan alawi.

Sayid Radhi secara tiba-tiba dan penuh misteri meninggal dunia pada usia 47 tahun. Kabar duka ini membuat para menteri, ulama, dan hakim Syiah dan Sunni berbondong-bondong datang ke rumahnya. Dihadiri oleh ribuan pelayat, jenazah Sayid Radhi dimakamkan di rumahnya di Karakh dan kemudian dipindahkan ke Karbala.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (12)


Ulama dalam budaya Islam memiliki posisi yang sangat tinggi dan dianggap sebagai pewaris para nabi di tengah umat. Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Bait as memperkenalkan ulama sebagai penjaga agama, penerang bumi, dan pewaris para nabi.

Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Ketika hari kiamat tiba, Allah Swt akan membangkitkan ulama dan ‘abid. Ketika mereka berdua berdiri di hadapan Allah Swt, datang perintah kepada ‘abid, ‘Masuklah ke surga’ dan dikatakan kepada ulama, ‘Tetaplah di sini dan berikan syafaat karena kalian telah mendidik orang-orang dengan baik.’”

Edisi sekarang akan mengkaji lebih jauh tentang posisi tinggi cendekiawan Muslim dengan memperkenalkan kepribadian dan kiprah para ulama besar Syiah.

Ali bin Husein bin Musa – masyhur dengan Sayid Murtadha Alamul Huda – adalah seorang fakih besar, teolog, dan tokoh masyarakat Syiah yang sangat berpengaruh pada abad keempat dan kelima Hijriyah.

Dari segi intelektual, Sayid Murtadha Alamul Huda memiliki posisi yang sangat tinggi sehingga hanya sedikit orang yang mencapai posisi ini pada masa itu. Dia sangat menonjol dalam banyak disiplin ilmu pada masanya seperti teologi, fiqih, yurisprudensi, tafsir, filsafat, astronomi, dan sastra, dan bahkan dianggap sebagai murid istimewa Syeikh Mufid.

Sepeninggal Syeikh Mufid, ia dianggap sebagai ulama besar fiqih, teolog, dan marja’ utama Syiah pada masanya. Sayid Murtadha juga dikenal sebagai penyebar agama pada awal abad kelima Hijriyah.

Sayid Murtadha – sepeninggal ayah dan saudaranya Sayid Radhi – selama 30 tahun menjadi pembesar kelompok Alawi (keturunan Nabi Saw), pemimpin haji, dan ketua dewan pemberantas kezaliman. Dewan ini menangani pengaduan masyarakat terhadap para penguasa dan gubernur.

Menurut Sayid Murtadha, bekerjasama dengan penguasa lalim adalah boleh dan benar bila memiliki fungsi-fungsi rasional dan syar'i, yakni seseorang dalam tanggung jawabnya mampu mengangkat kezaliman dan menegakkan keadilan atau menjalankan hukum-hukum Ilahi.

Sayid Murtadha adalah seorang pemikir rasionalis. Dia percaya bahwa untuk membuktikan Tuhan, diperlukan pencarian rasional dan penalaran, dan tidak dapat merujuk kepada teks-teks agama untuk membuktikan keberadaan Tuhan, sebab teks-teks agama sendiri akan dianggap valid ketika Tuhan sudah dibuktikan melalui akal dan beberapa sifat-Nya juga sudah diketahui.

Pandangan Sayid Murtadha ini berakar pada ajaran al-Quran bahwa prinsip-prinsip agama termasuk keyakinan pada Allah, kenabian, konsep imamah, hari kebangkitan, dan keadilan – sebagai rukun Islam – tidak dapat diterima hanya mengandalkan taklid dan ucapan orang lain, tetapi prinsip-prinsip ini harus dibuktikan dengan menggunakan akal, baru setelah itu seseorang dapat memanfaatkan teks agama dalam menerima rukun-rukun agama lainnya.

Ulama besar ini memandang akal sebagai hujjah dalam berakidah dan kajian teologis, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan akal dianggap batil. Oleh karena itu, ketika ada riwayat yang bertentangan dengan akal, maka ia memilih pandangan akal dan percaya bahwa tidak semua riwayat yang sampai kepada kita adalah sahih.

Pada masa itu, kelompok Mu'tazilah juga aktif melakukan kegiatan ilmiah di Baghdad dan mereka merupakan kelompok yang berpegang pada rasionalitas. Oleh sebab itu, beberapa pihak menganggap Sayid Murtadha sebagai penganut mazhab Mu'tazilah, padahal tidak demikian.

Sebagai seorang pemikir Syiah, ia menentang pemikiran Mu'tazilah mengenai beberapa prinsip penting termasuk konsep imamah, kemaksuman, iradah Ilahi dan kehendak manusia.

Sayid Murtadha memiliki pendekatan rasionalitas di bidang fiqih dan meyakini bahwa jika tidak ditemukan dalil-dalil naqli untuk membuktikan hukum syariah pada suatu subjek, maka akal dengan sendirinya dapat menyingkap hukum syariah. Dia adalah salah satu pelopor metode ijtihad dalam fiqih Syiah yang dalam pengistimbatan hukum menggunakan dalil-dalil rasional.

Sayid Murtadha meninggalkan banyak karya yang berharga untuk mazhab Syiah. Almarhum Allamah Amini dalam kitab al-Ghadir menyebutkan 86 nama buku ulama besar tersebut, salah satunya adalah buku koleksi puisi dengan 20.000 bait. Di antara buku fiqih Sayid Murtadha adalah al-Intishar.

Buku ini termasuk salah satu contoh kitab fiqih pertama yang mengkaji persoalan-persoalan yang diperdebatkan antara Syiah dan Sunni, dan memuat hukum-hukum yang berhubungan dengan fiqih Syiah.

Karya penting lainnya di bidang fiqih adalah kitab al-Nasiriyat yang ditulis untuk menafsirkan pandangan fiqih kakeknya, Nasir Kabir. Sayid Murtadha menulis sebuah buku yang lengkap dan komprehensif di bidang yurisprudensi Syiah yaitu al-Zari'ah ila Usul al-Syari'ah dan memberikan penilaian tentang pandangan mazhab Sunni.

Kitab tersebut dianggap sebagai awal terbentuknya ilmu ushul fiqh di kalangan Syiah dan membuatnya terpisah dari ilmu ushul fiqh Sunni. Karya-karya lain Sayid Murtadha adalah kitab Amali tentang persoalan fiqih, kemudian buku-buku di bidang tafsir, hadis, syair, sastra, dan kitab al-Syafi yang membahas konsep imamah.

Sayid Murtadha sangat terkenal selama masa hidupnya dan disebutkan bahwa kuliahnya selalu dipadati oleh mahasiswa dan sebagian ulama, dan bahkan gurunya Syeikh Mufid kadang-kadang juga menghadiri kuliahnya. Dia memiliki rumah besar yang dijadikan sebagai madrasah dan mengajar berbagai mata kuliah seperti fiqih, yurisprudensi, teologi, tafsir, bahasa, syair, astronomi, dan matematika.

Pada waktu itu, para mahasiswa datang ke kota Baghdad dari penjuru terjauh untuk menimba ilmu dari guru-guru besar seperti Sayid Murtadha, namun kebanyakan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikannya selama di rantau. Sayid Murtadha mendedikasikan sebagian rumahnya untuk para mahasiswa. Dia adalah orang pertama yang mengubah rumahnya menjadi madrasah dan tempat diskusi serta menyediakan sebuah perpustakaan besar untuk mahasiswa.

Ketika buku-buku masih ditulis dengan tangan dan belum ada industri percetakan, perpustakaan Sayid Murtadha mengoleksi hampir 80.000 buku. Di madrasahnya, mahasiswa dari berbagai agama sangat terkesan dengan perilaku dan akhlak Sayid Murtadha. Kontribusi penting lain yang dilakukan Sayid Murtadha adalah mendedikasikan salah satu desa miliknya untuk memenuhi kertas yang dibutuhkan oleh para ilmuwan dan fuqaha.

Sayid Murtadha meninggal dunia pada usia sekitar 80 tahun pada tanggal 25 Rabiul Awal 436 H di kota Baghdad. Jenazahnya dimandikan oleh Abu al-Hussein Najashi dan murid-muridnya yang lain. Kemudian putranya Sayid Muhammad memimpin shalat jenazah dan Sayid Murtadha dimakamkan di rumahnya di daerah Karkh, Baghdad. Jasad Sayid Murtadha kemudian dipindahkan ke Karbala dan dimakamkan di samping makam suci Imam Husein as.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (13)


Abu Jakfar Muhammad bin Hasan bin Ali bin Hasan al-Thusi atau lebih dikenal dengan Syeikh Thusi atau juga sering disebut dengan nama Syeikh al-Thaifah (pembesar kaum/pemuka Syiah), adalah seorang faqih, ahli hadis, dan teolog besar Syiah yang hidup pada abad kelima Hijriyah.

Syeikh Thusi lahir pada bulan Ramadhan tahun 385 H/995 di Tus (Khurasan, Iran). Dia adalah salah satu tokoh besar dunia Islam dan Syiah yang memiliki banyak karya dan memberikan kontribusi luar biasa di berbagai bidang agama seperti fiqih, yurisprudensi, hadis, tafsir, teologi, dan ilmu rijal (pengenalan para perawi dan sifat-sifat mereka).

Syeikh Thusi adalah murid istimewa dari Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha. Ia menjadi pemimpin mazhab Syiah dan guru besar teologi di dunia Islam sepeninggal guru-gurunya tersebut. Syeikh Thusi adalah penulis dua kitab dari empat kitab rujukan hadis Syiah yaitu kitab al-Istibshar dan at-Tahdzib, dan pendiri Hauzah Ilmiah Najaf.

Sejarah kehidupan Syeikh Thusi tidak banyak diketahui hingga beranjak usia 23 tahun, tetapi kemungkinan besar ia menghabiskan masa-masa itu untuk mempelajari ilmu agama di kota asalnya, Tus. Di masa itu, Tus adalah salah satu dari empat kota yang terkenal di Khurasan yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah selama periode kehidupan Syeikh Mufid. Masyarakat Syiah di sana berada di bawah penindasan dan tidak bisa bernafas lega.

Kota Tus adalah salah satu kota yang paling terkenal dari segi budaya. Penyair dan ilmuwan besar lahir di kota tersebut seperti Ferdowsi, Khajeh Nasir al-Din Tusi dan Muhammad al-Ghazali al-Thusi. Keluarga Syeikh Tusi telah melahirkan para fuqaha dan ulama selama beberapa generasi. Putra Syeikh Tusi merupakan seorang faqih besar dan dikenal sebagai "Mufid Thani" karena kedudukan sosial dan pengaruhnya di bidang agama.

Putri-putri Syeikh Tusi juga tercatat sebagai ahli fiqih dan ilmuwan, dan cucunya bahkan menduduki posisi sebagai marja' (faqih dan ulama rujukan) dan pemimpin hauzah ilmiah. Karena ilmu dan takwa, keluarga Syeikh Tusi tercatat sebagai tokoh, ilmuwan, dan marja' yang berpengaruh di masanya.

Pada usia 23 tahun, Syeikh Tusi berhijrah ke Baghdad pada tahun 408 untuk melanjutkan pendidikannya dan menimba ilmu dari para ulama besar, dan ia menetap di Irak hingga akhir hayatnya. Dia belajar kepada Syeikh Mufid selama lima tahun dan setelah gurunya wafat, ia berguru kepada Sayid Murtadha selama bertahun-tahun.

Syeikh Tusi tetap tinggal di Baghdad selama 12 tahun setelah wafat gurunya, Sayid Murtadha. Ia memimpin komunitas Syiah dan kediamannya di daerah Karkh, Baghdad menjadi tempat rujukan dan tumpuan umat Islam. Banyak ulama dan ilmuwan dari berbagai penjuru negeri Islam melakukan perjalanan ke Baghdad untuk berguru kepada Syeikh Tusi.

Jumlah murid Syeikh Tusi dari para faqih dan mujtahid Syiah mencapai lebih dari 300 orang, dan pada saat yang sama beberapa ratus ulama Sunni juga menimba ilmu darinya.

Syeikh Tusi menetap di Baghdad selama hampir 40 tahun untuk belajar dan mengajar. Di masa kekuasaan Tughril Bey dari Dinasti Seljuk, orang-orang fanatik anti-Syiah menyerang pemukiman Syiah di Baghdad dan membunuh serta menjarah properti mereka. Kediaman Syeikh Tusi tidak luput dari aksi penjarahan ini. Orang-orang jahil ini menyerang rumahnya dengan tujuan membunuh Syeikh Tusi. Ketika ia tidak ditemukan di rumahnya, mereka membakar buku-buku dan isi rumah.

Peristiwa ini menunjukkan kondisi sulit yang dihadapi para ulama Syiah pada masa itu. Pasca insiden tersebut, Syeikh Tusi memutuskan hijrah dari Baghdad ke Najaf. Najaf pada waktu itu hanya sebuah desa kecil di mana sejumlah kecil warga Syiah tinggal di dekat kompleks makam Imam Ali as.

Setelah situasi mulai kondusif, Syeikh Tusi mendirikan Hauzah Ilmiah Najaf yang kemudian berubah menjadi pusat pendidikan terbesar di kalangan Syiah. Tidak lama kota ini berubah menjadi pusat keilmuan dan pemikiran Syiah. Tentunya sebagian orang yakin bahwa sebelum kedatangan Syeikh Tusi di Najaf juga sudah berdiri halaqah-halaqah ilmiah, namun peran ia telah mengokohkan dan mengatur Hauzah Ilmiah Najaf menjadi lebih rapi. Hauzah Ilmiah Najaf sudah berusia lebih dari 10 abad dan melahirkan ribuan faqih dan mujtahid di sepanjang periode itu.

Konsep pemikiran Syeikh Tusi merupakan penyempurna konsep pemikiran Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha. Pandangannya bertumpu pada argumentasi rasional dan naratif. Sebelumnya kami katakan bahwa mengabaikan kemampuan nalar dan hanya berpaku pada lahiriyah ayat dan hadis, telah memperlambat gerakan dan perkembangan ilmu fiqih dan yurisprudensi. Kondisi ini menyebabkan munculnya penyimpangan dalam akidah masyarakat.

Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha dengan perhatian khususnya pada kemampuan nalar dalam memahami al-Quran dan hadis, membuka jalan yang terang bagi kaum Syiah. Syeikh Tusi juga menekuni bidang ijtihad dan dengan memberikan perhatian khusus pada kemampuan nalar dalam memahami agama, ia berjuang melawan kesalahpahaman beberapa pihak dan kedangkalan pemikiran mereka.

Diskusi ilmiah, seminar, dan penulisan buku-buku teologis berkembang dengan pesat pada abad keempat dan kelima Hijriyah. Syeikh Tusi karena posisi ilmiahnya yang tinggi, ditunjuk oleh khalifah untuk memimpin kemajuan ilmu kalam.

Kalam adalah ilmu yang membahas prinsip-prinsip akidah dan pandangan dunia religius yang berdasarkan pada argumentasi akal dan teks untuk menjawab kerguan-keraguan di bidang akidah. Syeikh Tusi meninggalkan lebih dari 15 karya teologis dan yang paling penting adalah kitab Talkhis al-Shafi, yang akan kami perkenalkan pada seri berikutnya.

Ayatullah Syahid Murtadha Mutahhari, seorang pemikir dan cendekiawan Muslim dari Iran mengatakan, “Syeikh Tusi adalah contoh sempurna dari manifestasi Islam dalam tubuh orang Iran. Dari kehidupan orang-orang seperti Syeikh Tusi, dapat dipahami bagaimana spiritualitas Islam telah menembus jauh ke dalam jiwa orang-orang di wilayah ini, sehingga orang-orang seperti Syeikh Tusi telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani agama ini tanpa pernah istirahat.”

Syeikh Tusi tinggal di Najaf selama 12 tahun. Ia wafat pada malam Senin, 22 Muharram tahun 460 H/1068. Jenazahnya dimandikan oleh murid-muridnya dan dikuburkan di rumahnya. Sesuai wasiat dari almarhum, rumah yang ditinggalinya dibangun menjadi masjid. Masjid Syeikh Thusi sampai saat ini menjadi masjid yang paling terkenal di kota Najaf.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (14)


Abu Jakfar Muhammad bin Hasan bin Ali bin Hasan al-Thusi atau lebih dikenal dengan Syeikh Thusi atau juga sering disebut dengan nama Syeikh al-Thaifah (pembesar kaum/pemuka Syiah) adalah salah satu ulama besar dunia Islam dan Syiah yang hidup pada abad kelima Hijriyah.

Ia adalah murid kebanggaan dari Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha, dan pasca gurunya wafat, ia menjadi guru besar ilmu kalam di dunia Islam. Syeikh Thusi adalah penulis dua kitab dari empat kitab induk hadis Syiah (Kutub al-Arba'ah) dan pendiri Hauzah Ilmiah Najaf.

Syeikh Thusi memiliki banyak karya di berbagai bidang ilmu keislaman dan mewariskan sekitar 50 buku. Saat ini karya-karya Syeikh Thusi sudah diterbitkan dalam bentuk ensiklopedia.

Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar, dua kitab dari Kutub al-Arba’ah ditulis oleh Syeikh Thusi dan setiap faqih atau mujtahid yang ingin mengeluarkan fatwa hukum, tidak punya jalan lain kecuali merujuk kepada kitab tersebut.

Kutub al-Arba’ah merupakan sebuah istilah yang mengacu pada empat kitab induk hadis yang digunakan ulama Syiah sebagai referensi. Tahdzib al-Ahkam merupakan karya pertama Syeikh Thusi dan salah satu kitab kumpulan hadis Syiah yang paling mu’tabar dan buku ketiga dari empat kitab yang diterima oleh seluruh ulama dan fuqaha Syiah.

Tahdzib al-Ahkam terdiri dari 393 bab dan 13.590 hadis dengan tema permasalahan fiqih dan hukum syariat yang bersumber dari riwayat Ahlul Bait Nabi as.

Kitab al-Istibshar juga ditulis oleh Syeikh Thusi. Kitab ini memuat 5.511 buah riwayat dan mengkaji hadis-hadis yang secara lahir bertentangan satu sama lain. Di antara hadis yang sampai dari Rasulullah Saw dan para imam maksum as, sebagian kecil darinya terlihat bertentangan satu sama lain.

Sekelompok ulama dan murid Syeikh Thusi memintanya untuk menulis sebuah buku yang mengumpulkan dan mengkaji berbagai riwayat yang saling bertentangan. Dalam buku ini, Syeikh Thusi mengumpulkan semua hadis sahih untuk berbagai persoalan fiqih, kemudian mengutip riwayat yang berlawanan dan mencari titik temu di antara keduanya.

Ia meneliti riwayat-riwayat yang secara lahir berbeda itu dan dengan penguasaannya atas sumber-sumber agama, ia memperjelas maksud asli dari hadis tersebut. Al-Istibshar terbilang unik dibandingkan kitab kumpulan hadis lain dan merupakan buku pertama yang ditulis untuk mencari titik temu di antara riwayat yang terlihat bertentangan.

Karya lain Syeikh Thusi adalah At-Tibyan fi Tafsir al-Quran yang lebih populer dengan sebutan tafsir at-Tibyan. Buku ini adalah kitab tafsir pertama Syiah yang menafsirkan seluruh ayat al-Quran dan merupakan sumber referensi kuno di bidang tafsir bagi para para mufassir Syiah.

Dalam karyanya ini, Syeikh Thusi menggabungkan dua metode yaitu naqli dengan mengutip riwayat dari Rasulullah dan Ahlul Bait, serta aqli dan dengan memperhatikan berbagai disiplin ilmu dan pendapat para mufassir zaman dulu dan kontemporer.

Kitab-kitab tafsir yang ditulis sebelum Syeikh Thusi – baik milik Ahlu Sunnah maupun Syiah – tidak menafsirkan seluruh ayat al-Quran, tidak terlalu dalam, dan hanya mengkaji serta menafsirkan lafal-lafal yang sulit dipahami.

Namun, at-Tibyan adalah sebuah tafsir yang mengupas semua ayat al-Quran dan ayat-ayatnya dikaji dari perspektif berbagai ilmu al-Quran seperti, qiraah, ma'ani bayan, tata bahasa, dan ilmu nahwu. Juga karena Syeikh Thusi sangat menguasai ilmu kalam, tafsir ini sekaligus menjawab keraguan dan sanggahan dari kelompok ateis dan penganut ajaran batil seperti, kelompok Jabariyyah dan Tashbih.

Metode yang dipakai Syeikh Thusi dalam bukunya ini tergolong baru dibandingkan dengan kitab tafsir ulama Syiah sebelumnya dan merupakan buku tafsir pertama Syiah yang tidak hanya mengumpulkan dan menukil hadis, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan ijtihad.

Sebelum ini, kitab-kitab tafsir Syiah hanya menukil hadis untuk menjelaskan maksud dari ayat al-Quran, sementara penulis tidak memberikan analisa dan evaluasi. Kibat at-Tibyan dianggap penting karena kandungannya dan metode baru yang diperkenalkan oleh Syeikh Thusi. Kitab ini menjadi rujukan untuk para ulama tafsir setelahnya.

Hadis dan riwayat memainkan peran yang sangat penting untuk memahami agama. Untuk itu, para penukil hadis dituntut untuk memegang amanah dan bersikap jujur. Banyak dari adab dan hukum bersumber dari ucapan Rasulullah Saw. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kajian yang teliti untuk menyingkap mana hadis yang benar-benar datang dari Rasulullah dan para imam maksum, dan mana hadis palsu atau hadis yang sudah terdistorsi karena kesalahan para perawinya.

Untuk keperluan itu, dibutuhkan ilmu rijal untuk memperkenalkan para perawi hadis, mengkaji reputasi mereka, dan mengukur tingkat kejujuran perawi. Pada awal abad keempat dan seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan pemalsuan hadis mulai marak terjadi.

Syeikh Thusi memahami bahaya ini dan agar lebih mudah bagi generasi mendatang untuk melacak perawi yang jujur, ia kemudian menulis sebuah buku berjudul al-Abwab atau Rijal Thusi. Ulama besar ini juga mengarang buku lain dengan judul al-Fehrest untuk bidang yang sama. Buku-buku ini sekarang menjadi salah satu rujukan utama yang diandalkan oleh para ulama kontemporer.

Sejak awal kehadiran fiqih Syi'ah, kitab-kitab fiqih terdiri dari kumpulan riwayat dan hadis dari Ahlul Bait yang berbicara tentang persoalan halal-haram, hukum jual-beli, dan lainnya seperti tema akhlak, pengetahuan umum, dan akidah.

Setelah tiga abad berlalu, muncul sebuah metode baru di mana para fuqaha selain mengutip hadis, juga memaparkan kesimpulannya dari hadis tersebut di setiap persoalan yang kemudian dikenal dengan fatwa. Selain metode ini, para ulama juga memperkenalkan sebuah metode baru yang dikenal dengan al-Fiqh al-Istidlali.

Untuk mengetahui status hukum tentang sebagian permasalahan kontemporer yang belum pernah dibahas pada masa Rasulullah dan imam maksum, serta tidak disinggung secara langsung oleh ayat dan riwayat, maka dibutuhkan sebuah metode baru dalam fiqih untuk menjawab persoalan ini. Metode ini melibatkan akal untuk mengeluarkan kaidah umum dari teks-teks ayat dan riwayat. Dengan kaidah umum ini, para fuqaha mengeluarkan fatwa terhadap permasalahan kontemporer yang dihadapi umat Islam.

Di masa hidupnya, Syeikh Thusi merasakan perlunya sebuah reformasi di bidang fiqih dan ijtihad, dan perubahan ini tidak akan terwujud jika tanpa sebuah gerakan yang melawan tradisi pada masa itu. Di sini, dibutuhkan keberanian, ilmu yang cukup, dan akhlak yang mulia untuk melawan tradisi tersebut.

Syeikh Thusi dengan keberanian, ilmu, dan akhlak yang dimilikinya, membuat sebuah terobosan dengan menulis buku al-Mabsuth fi Fiqh al-Imamiyah dan mengantarkan fiqih dan ijtihad dalam Syiah ke sebuah fase baru.

Seorang cendekiawan Muslim asal Iran, Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Seluruh wujud Syeikh Thusi dipenuhi dengan iman, semangat Islamis, dan haus akan pengabdian kepada Islam. Dia adalah sosok yang sangat bergairah, tetapi semangat, iman, dan gairah ini tidak pernah menyeretnya ke arah jumud (kaku) dan berpandangan dangkal. Ia bangkit melawan kelompok jumud dan orang yang berpikiran dangkal. Dia mengenal Islam sebagaimana mestinya dan karena itu menghormati kebenaran akal.”



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (15)


Abu Ali Fadhl ibn Hassan Tabresi atau Syeikh Tabarsi (468-548 Hijriah Qamariah) adalah salah satu ulama besar Syiah, dan mufasir Al Quran abad ke-5 dan ke-6 Hq. Syeikh Tabarsi menulis sejumlah kitab tafsir Al Quran, dan yang paling terkenal adalah Majma Al Bayan.

Syeikh Tabarsi lahir pada tahun 468 Hq, dan ayah beliau memberinya nama Fadhl. Allamah Majlesi meyakini kata Tabresi merupakan pelafalan kata bahasa Farsi, Tafresh dalam bahasa Arab, oleh karena itu Syeikh Tabarsi berasal dari Tafresh, salah satu daerah yang masih bagian dari kota Qom.



Keluarga Syeikh Tabarsi merupakan keluarga terkenal di kalangan Syiah. Ayah beliau Hassan bin Fadhl adalah ulama di masanya, dan putra beliau Radhi Ad Din Tabarsi bersinar seperti mentari di langit ilmu pengetahuan, kezuhudan, dan ketakwaan. Radhi Ad Din adalah murid ayahnya, dan penulis banyak kitab salah satunya Makarim Al Akhlaq.



Syeikh Tabarsi atau Fadhl bin Hassan menghabiskan masa kanak-kanak, dan pelajaran dasarnya di lingkungan Makam Suci Imam Ridha as, setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia melanjutkan belajar ilmu-ilmu Islam, dan mengikuti kelas para ulama besar.



Syeikh Tabarsi dikenal luar biasa dalam sastra Arab, qiraat, tafsir Al Quran, hadis, fikih dan ushul, juga kalam, ia bahkan sampai ke derajat ahli di masing-masing bidang ilmu tersebut. Meski di masa itu di sekolah-sekolah tidak lazim diajarkan ilmu berhitung, matematika, dan yang lainnya, namun Syeikh Tabarsi mempelajarinya dan menjadi pakar matematika.



Ulama-ulama besar dan para penulis riwayat hidup menyebut Syeikh Tabarsi sebagai seorang mujtahid dan fakih besar. Dengan bantuan lebih dari 500 ayat Al Quran tentang hukum ibadah, dan muamalah, Syeikh Tabarsi membahas tema-tema fikih di kitab-kitab tafsirnya. Dia pertama menjelaskan pendapat berbagai mazhab Islam, kemudian menyampaikan pendapatnya sebagai fatwa dari sudut pandang Syiah. Kebanyakan ahli fikih atau fakih besar Syiah memuji pandangan-pandangannya.



Syeikh Tabarsi tinggal selama sekitar 54 tahun di kota suci Mashhad, kemudian pindah ke Sabzevar pada tahun 523 Hq atas undangan tokoh-tokoh besar kota itu. Pasalnya di Sabzevar fasilitas untuk mengajar, menulis dan menyebarkan luaskan agama, tersedia lengkap baginya.



Hal yang pertama dilakukan Syeikh Tabarsi di Sabzevar adalah menerima tanggung jawab mengurus Madrasah Darvazeh Iraq, yang kelak berubah menjadi sebuah Hauzah Ilmiah besar dan penting, di bawah kepemimpinannya. Kekayaan budaya, dan ilmu pengetahuan tempat ini menarik banyak pelajar dari tempat-tempat jauh di Iran. Para pelajar agama atau Talabeh muda dengan kecintaannya untuk mencapai kesempurnaan, dan melayani agama, menuntut ilmu di madrasah itu, seperti ilmu fikih dan tafsir dari Syeikh Tabarsi.

25 tahun di Sabzevar adalah masa terbaik Syeikh Tabarsi dalam mendidik para pelajar agama, menulis buku dan meneliti. Ia mencetak murid-murid cemerlang di Sabzevar, salah satunya adalah putranya sendiri Radhi Ad Din Tabarsi penulis kitab Makarim Al Akhlaq, Ibn Shahr Ashoub Mazandarani penulis kitab Maalim Al Ulama, Syeikh Muntajab Al Din penulis kitab Fehrest, Qutb Al Din Ravandi, dan Sadzan bin Jibril Qomi.



Karya Syeikh Tabarsi yang paling terkenal adalah tafsir Majma Al Bayan. Allamah Amini dalam kitab Syuhada Al Fadhilah, terkait kedudukan keilmuan Syeikh Tabarsi menulis, Amin Al Islam atau yang dikenal dengan Syeikh Tabarsi adalah pemegang panji ilmu dan ayat hidayah. Dia adalah pemuka agama dan pemimpin mazhab Syiah paling terkemuka. Tafsir Majma Al Bayan cukup untuk menggambarkan lautan keutamaan dan kedalaman ilmu Syeikh Tabarsi. Kitab tafsir yang memancarkan cahaya hakikat, dan sinar ilmu serta wahyu Ilahi, sebuah kitab yang memenuhi kebutuhan ilmu semua orang.



“Saya menyingsingkan lengan baju dengan tekad kuat, saya bangkit dan berpikir, sangat dalam berpikir dan di hadapan saya ada sejumlah tafsir yang berbeda, dan saya memohon bantuan kepada Tuhan, lalu mulai menulis sebuah kitab yang hasilnya padat, rapih dan tersusun dengan tertib, kitab ini memuat berbagai bidang ilmu tafsir, dan mutiara-mutiara, baik itu ilmu qiraat, sastra Arab, dan lughat, kerumitan serta kebenaran akidah termasuk ushul dan furu, ilmu akal dan naql, dibuat seimbang, ringkas, lebih tinggi dari singkat, lebih rendah dari rinci, pasalnya pemikiran-pemikiran kontemporer sangat berat, dan tidak mampu bertanding di lomba-lomba besar, karena ulama hanya tinggal nama, dan ilmu hanya tinggal sisa-sisanya.”



Syeikh Tabarsi menulis kitab tafsirnya Majma Al Bayan dalam waktu tujuh tahun, dengan mengutip kitab tafsir Al Tibyan milik Syeikh Thusi, dan menjelaskan masing-masing teknik Al Quran secara terpisah dalam susunan yang tertib dan rapih. Keteraturan unik ini menyebabkan para ilmuwan Syiah dan Sunni, menganggap kitab tafsir Syeikh Tabarsi lebih unggul dari kitab-kitab tafsir lain dan memujinya.



Majma Al Bayan ditulis dalam 10 jilid kitab, dan dicetak dalam lima jilid. Kitab ini dimulai dengan mukadimah penting, dan menjelaskan tujuh teknik terkait jumlah ayat Al Quran, dan manfaat mengenalnya, mencatumkan nama-nama qari terkenal, dan pendapat mereka, definisi tafsir, tawil dan maani, nama-nama Al Quran dan artinya, pembahasan tentang Ulumul Quran dan masalah-masalah terkait, dan kitab-kitab yang ditulis seputar itu, hadis-hadis terkenal terkait keutamaan Al Quran dan pemilliknya, penjelasan yang penting bagi para qari (seperti membaca Al Quran dengan indah).



Di salah satu bagian kitabnya, Syeikh Tabarsi berusaha menjelaskan makna ayat, dan memberikan penjelasan lebih dalam, pada sebuah pembahasan yang dinamai Fasl. Tema-tema semacam takwa, hidayah, tobat, dan syaratnya, ikhlas, nama Nabi Muhammad Saw, dan akhirnya ringkasan dari nasihat dan hikmah Lukman Hakim, contoh dari Fasl ini. Begitu juga hadis dan riwayat dalam jumlah yang banyak ditulis dalam kitab ini yang jumlahnya lebih dari 1.300 hadis.



Imam Al Mufasirin, Amin Al Islam Tabarsi meninggal dunia setelah hidup kurang lebih 80 tahun pada 9 Dzulhijjah 548 Hq. di malam Idul Adha di kota Sabzevar. Beberapa penulis Islam, menyebut Syeikh Tabarsi sebagai syahid, dan mereka mengatakan ia meninggal karena diracun. Di sisi lain ada yang menganggap Syeikh Tabarsi meninggal dibunuh sekelompok penyerang. Jenazah beliau dibawa dari Sabzevar ke Mashhad, dan dikebumikan di dekat Makam Suci Imam Ridha as.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (16)


Abad keenam Hijriyah adalah masa pemerintahan dua dinasti besar Persia yaitu Dinasti Seljuk dan Dinasti Khwarazmian.

Di era itu terutama pada periode Dinasti Seljuk, pemikiran tradisionalisme mengalahkan pemikiran rasionalisme dan banyak buku ilmu-ilmu 'aqli dan filsafat dibakar. Para penguasa Seljuk khususnya menteri terkenal mereka, Khwaja Nizam al-Molk memimpin gerakan untuk melawan kaum rasionalis.

Pecahnya Perang Salib dan invasi Eropa ke Dunia Islam memiliki banyak konsekuensi seperti penjarahan perpustakaan kaum Muslim, tetapi terlepas dari peristiwa-peristiwa di atas, abad keenam patut disebut sebagai abad kebangkitan ilmu pengetahuan. Banyak ilmuwan lahir pada masa itu dan mereka menyumbangkan kontribusi besar kepada Islam melalui kegiatan ilmiah yang tiada henti.

Di antara para ilmuwan pekerja keras itu adalah seorang ulama besar dan pakar hadis, Sa'id Hibat Allah al-Rawandi yang dikenal sebagai Qutbuddin al-Rawandi. Sa'id Hibat Allah Rawandi al-Kashani adalah seorang ahli hadis, mufassir, teolog, faqih, filsuf, dan sejarawan besar Syiah yang hidup di abad keenam Hijriyah.

Cendekiawan besar ini merupakan salah satu murid istimewa dari Syeikh Tabarsi, penulis buku tafsir Majma' al-Bayan. Para ulama menganggap Allamah Qutbuddin al-Rawandi sebagai salah satu perawi hadis Syiah yang terbesar dan memiliki kejeniusan dalam ilmu-ilmu agama, tetapi hanya sedikit yang menyadari kedudukan tingginya.

Allamah Qutbuddin al-Rawandi dilahirkan di desa Rawand di pinggiran kota bersejarah Kashan, Iran. Sayangnya tidak banyak literatur yang menuturkan tentang kehidupan masa kecilnya. Tahun kelahirannya juga tidak diketahui dengan pasti, tetapi ia wafat pada 14 Syawal tahun 573 H, dan hari itu kemudian ditetapkan sebagai "Hari Peringatan Allamah Qutbuddin al-Rawandi."

Tentang kehidupan masa kecil dan keluarganya, diketahui bahwa ayah dan kakeknya adalah seorang ulama besar pada masanya, dan Sa'id Hibat Allah menerima pendidikan dasar dari ayahnya. Setelah itu, ia belajar kepada guru-guru besar seperti Abu Ali Tabarsi, Emad al-Din Tabari, dan Sayid Murtadha Razi.

Sa'id Hibat Allah kemudian hijrah ke kota Qom – pusat keilmuan Syiah – untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Ia berhasil menjadi salah satu tokoh Syiah terkemuka dalam waktu singkat.

Dari segi intelektual, Qutbuddin al-Rawandi berada dalam barisan ulama yang pemikirannya telah mengharumkan Dunia Islam selama berabad-abad. Ia membawa pemikiran para tokoh besar seperti Syeikh Saduq, Sayid Murtadha, Sayid Razi, dan Syeikh Tusi.

Allamah Tabarsi, penulis buku tafsir Majma' al-Bayan merupakan salah seorang guru Qutbuddin al-Rawandi dan nama dari kedua ulama besar ini tidak bisa dipisahkan.

Qutbuddin al-Rawandi telah menukil dan mengumpulkan hadis dari para ulama besar di kota Isfahan, Khorasan, dan Hamedan. Dari sini dapat diketahui bahwa ia telah melakukan tur ilmiah ke berbagai kota.

Meski minimnya fasilitas di masa itu, para ulama tetap harus melakukan tur ilmiah untuk belajar kepada guru-guru besar dan juga mendapatkan akses sumber-sumber ilmu pengetahuan. Jumlah tur ilmiah setiap ulama terkait langsung dengan tingkat keluasan ilmu mereka.

Salah satu perbedaan mencolok Qutbuddin al-Rawandi dengan ulama lainnya adalah kritik konstruktifnya terhadap pendapat ulama dan aliran pemikiran lain. Pemikiran kritisnya tidak hanya berkontribusi pada perkembangan ilmiah dunia ini, tetapi dengan mengajukan kritikannya itu, ia telah menyingkap kelemahan pemikiran pihak lain sehingga menjadi perhatian para ilmuwan. Upaya ini telah mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh, Qutbuddin al-Rawandi dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah membahas beberapa ambiguitas dan kontradiksi yang ditemukan dalam pandangan para filsuf. Hal ini mendorong para filsuf untuk memberikan jawaban dan menghilangkan ambiguitas tersebut. Sejatinya, kemajuan manusia di bidang sains tidak lepas dari kritik dan catatan yang diberikan oleh ilmuwan lain.

Karya lain Qutbuddin al-Rawandi adalah Tafsir al-Quran dan Ta'wil al-Ayyat… Dalam buku ini, ia mengkaji sebab-sebab turunnya ayat al-Quran seperti Ayat Tathir (ayat 33 surat al-Ahzab) yang berbicara tentang kedudukan Ahlul Bait. Ia menulis buku, Ayyat al-Ahkam yang secara khusus mengkaji ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum Islam.

Namun, karya terpenting Allamah Qutbuddin al-Rawandi adalah kitab al-Kharaij Wa al-Jaraij yang berisi tentang persoalan teologis dan fiqih. Bagian penting dari buku ini berbicara tentang mukjizat Nabi Muhammad Saw dan para imam maksum. Setelah mengisahkan setiap mukjizat, penulis kemudian menyajikan riwayat-riwayat sahih yang berhubungan dengan peristiwa luar biasa itu.

Allamah Qutbuddin al-Rawandi tidak hanya mengajarkan ilmunya di masjid, rumah, dan madrasah, tetapi juga memberikan pencerahan kepada umat dalam berbagai perjalanannya. Ia mendidik banyak murid untuk mengabdi kepada Dunia Islam dan ia menggunakan setiap kesempatan untuk mentransfer ilmunya kepada para pencari kebenaran.

Kerja keras Allamah Qutbuddin al-Rawandi telah melahirkan para tokoh dan ulama terkemuka. Di antara sekian banyak murid yang telah belajar darinya, terdapat nama-nama anaknya seperti Husein ibn Sa'id Hibat Allah al-Rawandi yang kemudian menjadi ulama besar.

Ibn Shahr Ashub Mazandarani, seorang faqih dan mufassir besar Syiah pada abad keenam, tercatat sebagai murid yang paling berprestasi dari Allamah Qutbuddin al-Rawandi.

Setelah bekerja tanpa henti dalam menyebarkan ajaran Ahlul Bait, Allamah Qutbuddin al-Rawandi menyambut panggilan Ilahi pada 14 Syawal tahun 573 H. Pada hari itu, para ulama, pemikir, dan pecinta Ahlul Bait berkumpul di rumah Qutbuddin al-Rawandi untuk melepas kepergian seorang tokoh besar yang berilmu dan saleh.

Kepergiannya menyisakan rasa duka yang mendalam bagi Dunia Islam. Setelah dilakukan acara tasyi', jasad Allamah Qutbuddin al-Rawandi dimakamkan di samping Makam Sayidah Maksumah as di kota Qom.

Setelah delapan abad berlaku, para insinyur yang sedang melakukan renovasi Kompleks Makam Sayidah Maksumah, secara tidak sengaja membongkar sebagian sisi makam Allamah Qutbuddin al-Rawandi, namun mereka benar-benar terkejut ketika menyaksikan jasad ulama ini masih utuh setelah 800 tahun dikuburkan. Jasadnya tetap utuh seperti buku dan karya-karya yang ditinggalinya.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (17)


Ibnu Syahr Asyub adalah seorang ilmuwan besar yang menduduki derajat tinggi di berbagai disiplin ilmu keislaman dan fokus mendidik murid-muridnya, melakukan penelitian, dan menulis buku sampai akhir hayatnya.

Kehidupan Ibnu Syahr Asyub sarat dengan spiritualitas dan antusiasme, dan para tokoh menganggapnya teladan dalam takwa dan jihad. Muhammad bin Ali bin Syahr Asyub Sarawi Mazandarani yang lebih dikenal dengan Ibnu Syahr Asyub dilahirkan pada bulan Jumadil Akhir tahun 488 H. Keluarganya berasal dari kota Sari di Provinsi Mazandaran, Iran, atau tepatnya di pantai selatan Laut Kaspia, tetapi ayah dan kakeknya tinggal di Baghdad.

Apakah Ibnu Syahr Asyub lahir di Sari atau Baghdad, ini masih menjadi perdebatan di antara sejarawan. Sebagian orang memandang dia berasal dari Sarawi dan lahir di Mazandaran, tapi sebagian yang lain meyebutkan kelahirannya di Bagdad.

Ayahnya bernama Syekh Ali yang merupakan salah satu ahli hukum, pakar hadis, dan ulama besar di dunia Syiah, dan dia bekerja keras dalam mendidik putranya itu.

Di bawah asuhan ayah yang alim dan berakhlak mulia, Muhammad menorehkan banyak prestasi. Pada usia 8 tahun, dia telah menghafal seluruh al-Quran, dan karena akhlaknya yang baik dan kata-katanya yang sopan membuatnya sangat disayangi oleh orang-orang di sekitarnya. Semangat belajar dan melakukan penelitian adalah warisan yang ditularkan ayahnya kepada Muhammad.

Rezeki halal yang diperoleh ayahnya telah membantu hati dan pikiran sang anak dalam menerima kebenaran dan berjalan di jalur kesempurnaan. Ayahnya sangat perhatian dengan masalah ini dan ia menjauhkan makanan yang haram dari raga dan jiwa anak-anaknya. Islam sangat menekankan masalah pengaruh makanan halal terhadap kesuksesan manusia dalam mencapai kesempurnaan.

Setelah mempelajari al-Quran dan mata kuliah pengantar, Ibnu Syahr Asyub menekuni ilmu-ilmu agama seperti, fiqih dan ushul fiqih, hadis, teologi, ilmu rijal, dan tafsir. Ulama besar seperti Syeikh Tabarsi dan Allamah Qutbuddin al-Rawandi termasuk di antara guru-gurunya. Juga kakeknya yaitu Syahr Asyub Sarawi (penduduk kota Sari) termasuk di antara guru yang sangat berjasa padanya.

Ibnu Syahr Asyub menimba ilmu di berbagai hauzah Iran dan belajar kepada para ulama besar selama perjalanan ilmiahnya ke berbagai kota di Iran seperti, Mashad, Qom, Rey, Kashan, Naishabur, Isfahan dan Hamedan. Ia kemudian hijrah ke kota Baghdad. Di masa itu, Baghdad adalah pusat ibukota Dinasti Abbasiyah dan pusat ilmu Islam yang paling terkenal. Para ilmuwan hebat dari berbagai penjuru datang ke kota itu untuk kegiatan-kegiatan ilmiah.

Tidak lama kemudian, Ibnu Syahr Asyub pindah ke kota Hillah (Irak Tengah) yang bersejarah dan terkenal di dunia, dan setelah bertahun-tahun di sana, ia meninggalkan Hillah menuju ke kota Mosul. Setelah lama tinggal di Mosul, dia pergi ke kota Aleppo (Halab), Suriah dan menetap di sana sampai akhir hayatnya. Pada waktu itu, Aleppo menjadi tempat kediaman para ulama besar dan masyarakat di kota itu memperlakukan orang Syiah dengan baik dan menghormati ulama Syiah.

Banyak ulama dan ilmuwan yang sangat dihormati yang hidup sezaman dengan Ibnu Syahr Asyub, tetapi Ibnu Syahr Asyub memiliki keunggulan dan derajat ilmunya diakui lebih tinggi. Dia selalu bersanding dengan para ulama besar di setiap kota di wilayah negara Islam yang ia singgahi, kegiatan kuliah dan ceramahnya selalu lebih ramai daripada yang lain. Lautan pengetahuan dan kemampuannya yang luar biasa membuat banyak orang belajar kepadanya.

Ibnu Syahr Asyub sangat tekun dalam beribadah dan selalu berwudhu. Dia adalah sosok yang baik budi, jujur, rendah hati, dan lembut tutur kata. Di samping kegiatan ilmiahnya seperti mengajar dan menulis, ia tidak melupakan tugas lain yaitu menyampaikan ceramah dan nasihat kepada masyarakat. Dengan cara ini, Ibnu Syahr Asyub menularkan ilmunya kepada masyarakat awam dan ulama.

Salah satu ciri khas yang membuat Ibnu Syahr Asyub lebih menonjol dari ulama lain pada masanya adalah memiliki pandangan ilmiah yang moderat dan unggul. Pandangan ilmiahnya memiliki landasan dan argumen yang kuat, dan meskipun seorang ulama Syiah, ia sangat menguasai sumber-sumber teologi dan sejarah Sunni melebihi para ulama Sunni yang hidup sezaman dengannya. Karakteristik ini membuat sebagian ulama pencari kebenaran dari Sunni – di samping ulama Syiah – memuji dan mengagumi ulama besar ini.

Ibnu Syahr Asyub juga terkenal di bidang penulisan. Ia meninggalkan buku-buku yang inovatif di sebagian besar ilmu Islam termasuk, fiqih, yurisprudensi, teologi, hadis, sejarah, tafsir, dan ilmu rijal, yang selalu menjadi rujukan bagi para ulama dan ilmuwan.

Buku berharga, Manaqib Al Abi Thalib adalah karya Ibnu Syahr Asyub yang paling terkenal yang telah dicetak berulang kali sampai sekarang. Kitab yang memuat sejarah kehidupan dan keutamaan 14 imam maksum ini, dengan jelas menunjukkan tingkat keterampilan dan penguasaan penulis terhadap sejarah dan hadis. Kitab Manaqib Al Abi Thalib diawali dengan uraian tentang kabar gembira pengutusan Rasulullah Saw, sejarah hidupnya, mukjizat, nama dan gelar, dan mikraj nabi. Setelah itu, ia membahas tentang konsep imamah dan ayat-ayat serta riwayat yang terkait dengannya, kemudian menjelaskan biografi para imam maksum serta Sayidah Fatimah Zahra as dan keutamaan-keutamaan mereka satu per satu.

Buku kecil tapi berharga, Ma'alim al-Ulama merupakan karya lain dari Ibnu Syahr Asyub yang memuat nama dan biografi dari 1.021 ulama Syiah. Buku ini lebih lengkap daripada kitab al-Fihrest karya Syeikh Tusi yang membahas topik yang sama, dan penulis memperkenalkannya sebagai penyempurna al-Fihrest.

Ibnu Syahr Asyub juga menulis sebuah buku tentang tafsir al-Quran yang berjudul, Mutasyabih al-Quran wa Mukhtalafuhu yang mendapat perhatian khusus dari para ulama dan dapat dianggap sebagai kitab pertama di bidangnya. Dalam buku ini, Ibnu Syahr Asyub mengkaji ayat-ayat mutasyabih dalam al-Quran.

Ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang sifatnya kompleks dan memiliki banyak arti, dan maknanya baru dapat diketahui dengan benar dengan merujuk pada ayat-ayat yang tegas dan jelas.

Ibnu Syahr Asyub, ulama fiqih yang bijaksana dari mazhab Ahlul Bait, meninggal dunia pada Jumat malam, 22 Sya'ban tahun 588 H di kota Aleppo, Suriah setelah menjalani hidup hampir 100 tahun.

Jenazah suci ulama besar ini dimakamkan di Mashhad al-Siqth atau Jabal Jawshan di pinggiran kota Aleppo. Menurut masyarakat Syiah Halab, tempat ini adalah lokasi dimakamkannya Muhsin al-Siqth, putra Imam Husein as. Oleh karenanya ia dikenal dengan nama Mashhad al-Siqth.

Meski ia telah tiada, semilir ajaran Ahlul Bait yang dibawakan olehnya tetap menjadi penghapus dahaga bagi para para pencari kebenaran. Imam Ali as berkata, “Orang alim tetap hidup meskipun ia telah meninggal, dan orang bodoh telah mati meskipun ia masih hidup.”



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (18)


Sayid Radhiyuddin Ali bin Musa bin Jakfar bin Thawus, yang masyhur dengan Sayid Ibnu Thawus adalah seorang ulama besar Syiah, faqih, serta guru akhlak dan irfan. Ia adalah penulis buku al-Luhuf tentang perjuangan Imam Husein as di Karbala.

Ibnu Thawus adalah pemimpin masyarakat Syiah pada masa pemerintahan Mongol di Baghdad. Ia dikenal sebagai Jamal al-‘Arifin karena kesalehan, ketakwaan, dan derajat irfaninya. Para tokoh Syiah memuji Ibnu Thawus dengan sifat-sifat seperti, yang mulia, saleh, ahli zuhud, pemimpin kaum ‘arif, pemilik karamah, dan Thawus (burung merak).

Ibnu Thawus lahir pada pertengahan bulan Muharram tahun 589 H/1193 di kota Hillah, Irak. Garis keturunannya sampai kepada Imam Hasan al-Mujtaba dan Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as. Ia dikenal dengan Ibnu Thawus karena salah satu dari kakeknya yakni Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad memiliki wajah yang tampan dan termasuk salah satu pembesar Alawi di Madinah.

Ayahnya, Musa bin Jakfar juga termasuk salah seorang perawi hadis besar, sementara ibunya adalah putri dari Warram bin Abi Farras, salah seorang pemuka ulama Syiah Imamiah.

Sayid Ibnu Thawus sangat dihormati di kalangan ulama dan masyarakat pada masanya. Meski ia sangat dikenal sebagai ahli takwa dan mistisisme, serta sebagian besar tulisannya juga seputar buku-buku doa dan ziarah, namun Ibnu Thawus juga seorang faqih besar, pakar sastra Arab, dan penyair yang cakap.

Hillah, tempat kelahiran Ibnu Thawus, merupakan salah satu kota di Irak dan Ibukota Provinsi Babel. Kota ini terletak di sebelah Shatt al-Hillah (salah satu anak Sungai Efrat), 90 km selatan Baghdad, dan di persimpangan jalan dari Baghdad menuju Najaf.

Pada abad kelima dan keenam Hijriyah, Hillah tercatat sebagai salah satu kota terindah di Irak yang didatangi oleh banyak pedagang, ulama, dan penyair. Hillah adalah pusat ilmu pengetahuan dan tempat lahirnya Hauzah Ilmiah Syiah dari awal abad keenam hingga kesepuluh Hijriyah, dan kemudian Hauzah Ilmiah Syiah pindah ke Karbala dan sekarang berpusat di kota Najaf.

Hampir 500 mujtahid pernah tinggal di kota Hillah dalam satu abad, dan ini menjadi bukti atas perkembangan ilmu pengetahuan dan hauzah ilmiah di suatu daerah.

Sayid Ibnu Thawus memulai pendidikannya di kota Hillah, di mana ia belajar ilmu-ilmu dasar dari ayah dan kakeknya. Kemudian dia memutuskan untuk berkelana demi menimba ilmu dari ulama-ulama lain. Kazimain adalah kota pertama yang ditujunya dan setelah beberapa lama, dia menikah dan kemudian menetap di Baghdad. Selama 15 tahun di Baghdad, Ibnu Thawus mendidik siswa dan mengajar berbagai bidang ilmu. Ia juga pernah tinggal di kota Mashad, Iran selama tiga tahun.

Ibnu Thawus kemudian hijrah ke Najaf dan Karbala, dan menetap di masing-masing kota tersebut selama sekitar 3 tahun. Selama periode itu, Ibnu Thawus selain mendidik siswa dan mengajar, juga fokus menjalani sair suluk (perjalanan menuju alam rohani) dan berjuang memperoleh derajat spiritual.

Meskipun Ibnu Thawus adalah seorang faqih (ahli ilmu fikih), tetapi ia tidak memilih menjadi marja’ taqlid, dan hanya ada sebuah buku tentang hukum-hukum shalat dari karyanya yang sampai ke tangan kita. Ia lebih tertarik pada subjek lain seperti masalah akhlak dan spiritual, dan sebagian besar karyanya juga fokus pada masalah tersebut seperti, Muhasabatu al-Nafs, Iqbal al-A’mal, Misbah al-Mutahajjid, dan Kasyf al-Mahjah.

Karya Ibnu Thawus yang paling terkenal adalah kitab, al-Luhuf 'ala Qatla al-Thufuf yang terkenal dengan sebutan al-Luhuf. Buku ini berkisah tentang peristiwa sejarah, berbeda dengan karya-karya lain Ibnu Thawus yang berbicara tentang doa dan ziarah. Ia ingin menyusun sebuah buku yang ringkas dan mudah yang akan menemani para peziarah Imam Husein as di Hari Asyura dan selama berziarah, dan tanpa perlu lagi mempelajari berbagai sumber sejarah tentang peristiwa Asyura.

Dengan tujuan menjelaskan Peristiwa Karbala secara ringkas, penulis menyusun hadis-hadis yang ada sehingga membentuk sebuah kisah yang teratur. Dalam kitab ini penulis tidak memuat hadis-hadis yang sama dan hadis-hadis yang tidak saling berkaitan. Sehingga para pembaca senantiasa digiring untuk selalu berada pada alur sejarah, bukan terpaku pada penukilan hadis.

Kitab ini berisi tentang kehidupan dan kesyahidan Imam Husein as. Kitab al-Luhuf termasuk kitab maktal yang sangat terkenal di kalangan Syiah. Karena tujuannya untuk dibaca para musafir dan peziarah Imam Husein as, maka kitab ini disusun secara ringkas. Silsilah sanad riwayatnya pun tidak disebutkan, kecuali perawi terakhir atau sumbernya saja. Mengingat urgensi kitab dan kedudukan penulisnya, kitab ini telah dicetak berkali-kali ke dalam berbagai bahasa.

Kajian terhadap situasi politik, agama, dan budaya Dunia Islam pada abad ke-7 H menunjukkan bahwa periode ini berbarengan dengan peristiwa-peristiwa yang menentukan nasib Islam. Serangan pasukan Mongol ke wilayah Islam dan jatuhnya Dinasty Abbasiyah adalah salah satu peristiwa terpenting pada periode itu, yang menciptakan krisis intelektual, budaya, dan moral di tengah masyarakat Muslim.

Dalam situasi seperti ini, para ulama Syiah – yang ditekan oleh penguasa Abbasiyah selama bertahun-tahun – melipatgandakan upaya mereka untuk merawat batas-batas geografi budaya dan ideologi Islam, serta mengubah ancaman yang ditimbulkan oleh invasi Mongol ke Dunia Islam sebagai kesempatan untuk membangun kembali fondasi peradaban Islam.

Syiah mencapai pertumbuhan budaya dan sosial yang luar biasa pada abad ke-7 H, terutama di kota Baghdad. Tidak diragukan lagi, Sayid Ibnu Thawus juga berkontribusi pada perubahan dan perkembangan ini.

Ulama besar ini memainkan peran penting dalam perkembangan budaya dan sosial Syiah. Ia telah menyusun dan menerbitkan buku-buku tentang berbagai topik, mempromosikan kitab-kitab maktal tentang Ahlul Bait as, mengadakan debat ilmiah dengan pengikut sekte Islam lainnya, menyebarkan pemikiran Mahdisme dan kemunculan Juru Selamat, serta menyusun buku-buku doa.

Salah satu pengabdian besar Sayid Ibnu Thawus adalah mempopulerkan budaya doa kepada masyarakat Syiah. Di antara berbagai mazhab Islam, Syiah menaruh perhatian yang besar pada masalah doa, bahkan ia dianggap sebagai salah satu komponen yang tak terpisahkan dari mazhab ini.

Doa selalu ada bersama manusia di sepanjang sejarah, tetapi perbedaannya adalah bahwa doa yang ditekankan oleh Syiah berasal dari lisan manusia sempurna seperti Rasulullah Saw dan Ahlul Bait, yang memuat berbagai makrifat dan pengetahuan untuk menuju kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Akhirnya setelah menjalani hidup penuh berkah, Sayid Ali ibn Thawus wafat pada tahun 664 H dalam usia 75 tahun di kota Baghdad. Jenazahnya dipindahkan ke kota Najaf dan dimakamkan di Kompleks Makam Suci Imam Ali as.

Semua ulama Syiah memuji Sayid Ibnu Thawus, karena ketakwaan dan kezuhudannya dan mereka menaruh hormat atas derajat keilmuannya yang tinggi. Kini berabad-abad telah berlalu sejak wafatnya orang besar ini, Sayid Ibnu Thawus selalu dikenang dan dihormati di kalangan ilmuwan, dan kitab al-Luhuf masih menjadi tali pengikat hati para pecinta Ahlul Bait dengan Imam Husein as.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (19)


Sejak dimulainya periode keghaiban besar Imam Mahdi as yang dikenal sebagai “era kebingungan” Syiah, para fuqaha yang adil mulai memikul tugas atas nama Imam Mahdi as untuk mempertahankan hukum agama, cita-cita Islam, dan ajaran Syiah.

Sejak saat itu, para ulama berjuang membela agama dengan penuh pasang surut dan menjalankan tugasnya dengan berbagai cara. Kapan pun diperlukan, mereka menyebarkan ajaran Islam dengan senjata pena, ucapan, tulisan, dan majlis taklim. Para ulama ini juga tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan nyawa, harta, dan kehormatannya jika situasi menuntut.

Di antara mereka, terdapat para ulama besar yang memainkan peran luar biasa yang menyandingkan ilmu dengan amal serta agama dengan politik. Mereka mampu menahkodai bahtera budaya dan peradaban Islam Syiah melewati badai dahsyat dan menjaga ajaran-ajarannya.

Salah satu dari tokoh besar ini adalah Khajeh Nashiruddin Thusi yang merupakan salah satu ulama Syiah terbesar pada abad ketujuh Hijriyah. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pakar di berbagai bidang.

Muhammad bin Muhamad bin Hasan Thusi terkenal dengan nama Khajeh Nashiruddin Thusi adalah seorang filosof, teolog, matematikawan, dan astronom besar Iran abad ke-7 H. Khajeh Thusi adalah pendiri Observatorium Maragheh Observatory, dan tokoh-tokoh besar seperti, Allamah Hilli dan Qutbuddin Shirazi belajar kepadanya.

Khajeh Nashiruddin Thusi lahir pada 11 Jumadil Awal tahun 597 H di Thus dan dibesarkan di sana. Ayahnya Muhammad bin Hasan adalah salah satu fuqaha Syiah dan perawi hadis di daerah Thus. Khajeh Thusi mengenyam pendidikan dasar dari ayah, ibu, dan pamannya. Setelah itu dia belajar kepada para ilmuwan dan ulama Thus. Ia sangat antusias dalam belajar, kejeniusan dan ketekunannya membuat para ulama Thus takjub.

Atas saran para tokoh Thus, Khajeh Thusi hijrah ke kota Neishabur untuk memperdalam ilmu. Dari kota inilah petualangan ilmiahnya dimulai. Kemudian ia melakukan perjalanan ke kota Rey, Qum, Isfahan, dan Irak.

Khajeh Thusi kembali ke kampung halamannya di Khorasan setelah memperdalam ilmu di madrasah-madrasah terpenting dunia Islam dan mencapai gelar tertinggi di semua cabang ilmu pada masanya mulai dari fiqih, filsafat, teologi, matematika, dan astronomi. Pada masa itu, ia dikenal sebagai seorang ilmuwan besar dan kompeten.

Khajeh Nashiruddin Thusi tidak bisa dengan tenang melakukan kegiatan ilmiahnya di Khorasan, karena masa itu bertepatan dengan invasi Mongol ke Iran. Tentara Mongol secara brutal membantai banyak orang di Iran dan menyebabkan kehancuran besar-besaran.

Bagi tentara Mongol yang barbar dan tanpa budaya, maka karya dan peradaban umat manusia juga tidak ada nilainya, dan apapun yang ditemuinya akan dihancurkan dan dibakar. Banyak ulama dibunuh, perpustakaan dibakar, dan infrastruktur negara, seperti saluran air dan irigasi dihancurkan. Dalam situasi seperti itu, Khajeh Thusi pindah ke benteng Ismailiyah yang merupakan tempat yang aman saat itu. Dia tinggal di benteng Ismailiyah selama 26 tahun.

Selama kurun waktu itu, ia tidak menyerah sedikit pun dalam kegiatan ilmiah dan berhasil menulis beberapa buku seperti, Syarah Isyarat Ibn Sina, Taḥrir Usul Uqlidis, Tawalli wa Tabarri, dan Akhlak Nashiri, serta beberapa buku dan risalah lainnya. Meskipun waktu itu tidak terlalu bebas dan tidak diizinkan untuk keluar dari benteng.

Khajeh Thusi pada bab penutup Syarah Isyarat Ibn Sina menulis, “Saya menulis sebagian besar karya dalam situasi yang begitu sulit dan tidak ada yang lebih sulit lagi dari itu. Saya menulis sebagian besar di tengah kekacauan di mana setiap bagian darinya adalah kepingan dari kesedihan, siksaan yang menyakitkan, dan penyesalan yang besar. Tidak ada hari-hari yang saya lewati tanpa meneteskan air mata dan hati saya tidak gelisah, serta tidak ada saat yang membuat rasa sakit saya tidak bertambah dan kesedihan saya tidak berlipat ganda.”

Ilmuwan hebat ini mengungguli para ilmuwan lain di berbagai bidang sains pada masa itu, khususnya matematika dan astronomi. Karya-karyanya diterjemahkan dan diajarkan di universitas-universitas Eropa selama berabad-abad setelahnya. Dia juga seorang ulama di bidang ilmu agama dan sastra.

Abad ketujuh Hijriyah bisa dianggap sebagai periode aktual penulisan karya-karya teologis Syiah, di mana Khajeh Thusi memimpin kebangkitan ini dengan sejumlah karyanya di bidang teologi Syiah. Dia membuktikan kebenaran Syiah dengan menulis buku-buku seperti, Tajrid al-I'tiqad, Fushul al-‘Aqaid, dan Qawaid al-‘Aqaid. Selain itu, dia juga menulis sebuah risalah imamah untuk memperkuat akidah Syiah Imamiyah.

Di bidang filsafat, Khajeh Nashiruddin Thusi memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap filsafat Islam. Dia memberikan penjelasan atas buku Ibnu Sina, al-Isyarah dan Tanbihat, yang menunjukkan penguasaan tema-tema filsafat oleh Khajeh. Ilmuwan hebat ini juga pakar di bidang irfan dan mengungkapkan pandangan mistiknya dalam bentuk uraian tentang keadaan irfani dari para sufi terkenal seperti Bayazid dan Hallaj.

Di bidang etika, reputasi Khajeh Thusi juga sangat dikenal dan diketahui banyak orang. Pandangannya tentang akhlak dan pendidikan bisa ditemukan dalam buku-bukunya, Akhlak Nashiri dan Adab al-Muta’allimin. Beberapa orang menganggap Akhlak Nashiri sebagai buku Persia terlengkap di bidang akhlak dan mahakarya dalam prosa Persia.

Khajeh Nashiruddin Thusi memandang ilmu akhlak dan ajarannya sebagai ilmu yang tertinggi dan percaya bahwa dengan mengamalkan ajaran moral, makhluk yang paling rendah bisa berubah menjadi makhluk yang paling mulia dan dia sendiri membuktikan kebenaran ucapan ini dalam praktiknya.

Di antara kontribusi lain Khajeh Thusi yang tidak akan pernah dilupakan sejarah, adalah pembangunan Observatorium Maragheh, yang dibangun olehnya dengan bantuan sejumlah cendekiawan dan ilmuwan. Atas perintah peneliti besar ini, arsitek terkenal saat itu, Fakhruddin Abu al-Saadat Ahmad ibn Uthman Maraghi, membangun sebuah bangunan observatorium yang besar dan megah sesuai dengan rancangan Khajeh Thusi.

Lokasi yang dipilih untuk observatorium ini adalah sebuah bukit yang terletak di barat laut kota Maragheh dan sekarang dikenal sebagai Observatorium Maragheh. Di dekat observatorium, sebuah perpustakaan besar dibangun yang dilengkapi dengan 400 ribu jilid buku-buku penting untuk digunakan para ilmuwan dan peneliti. Buku-buku ini dikumpulkan oleh Khajeh Nashiruddin Thusi dari Baghdad, Syam, Beirut, dan Aljazair.

Observatorium Maragheh menandai babak baru kegiatan ilmiah di dunia Islam, sekaligus berperan penting dalam pengembangan astronomi sistem pra-Copernicus non-Ptolemaic yang canggih, untuk menjelaskan gerakan planet. Observatorium Maragheh juga menjadi model untuk beberapa observatorium yang dibangun di wilayah Iran, Transoxiana, dan Asia Kecil hingga abad ke-17.

Observatorium ini sebenarnya sebuah lembaga ilmiah, dengan bangunan utama untuk peralatan pengamatan, beberapa bangunan tambahan, dan tempat akomodasi. Sebuah tim astronom, sebagian besar diundang dari berbagai belahan dunia Islam, bertanggung jawab untuk desain dan konstruksi dari instrumen astronomi, serta untuk melakukan pengamatan dan perhitungan.

Di bawah arahan Khajeh Nashiruddin Thusi, Observatorium Maragheh menjadi pemantik kebangkitan ilmu pengetahuan di dunia Islam, terutama di bidang astronomi, matematika, fisika, filsafat, dan teologi. Ia juga mengundang seluruh ilmuwan dari berbagai wilayah ke Maragheh, dan menjadikan tempat itu sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia di zamannya.

Khajeh Nashiruddin Thusi meninggal dunia pada 18 Dzulhijjah tahun 672 H dan berdasarkan surat wasiat yang ditulisnya, ia dimakamkan di dekat Kompleks Makam Kazhimain.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (20)


Sebelum ini, kami telah memperkenalkan Khajeh Nashiruddin Thusi, salah satu ulama besar abad ketujuh Hijriyah. Sosok jenius ini adalah salah satu tokoh yang paling bersinar di dunia Islam di berbagai bidang seperti, teologi Syiah, filsafat, irfan, matematika dan astronomi.

Prestasi dan karya ilmiah Khajeh Thusi diajarkan di lembaga akademisi Barat dan Timur selama berabad-abad setelah kepergiannya. Ia dilahirkan di kota Thus, wilayah Khorasan Iran dan selama hidupnya telah melakukan banyak perjalanan ilmiah ke kota Rey, Qum, dan Irak, serta menduduki posisi yang tinggi di pusat-pusat akademis terpenting di dunia Islam.

Di antara mahakaryanya adalah kitab Syarah Isyarat Ibn Sina, Akhlak Nashiri, dan Tajrid al-‘Itikad, yang masing-masing ditulis di bidang filsafat, etika, dan teologi Syiah. Karya-karya ini masih menjadi rujukan para ulama dan peneliti sampai sekarang.

Terlepas dari peran besar Khajeh Nashiruddin Thusi di dunia sains dan pemikiran pada abad ketujuh Hijriyah, ulama besar Syiah ini juga memiliki kontribusi di ranah politik dalam melestarikan kehidupan umat Islam selama pendudukan Mongol.

Sejak pasukan Mongol menginvasi Iran yang dimulai dari Khorasan kemudian dalam tempo 40 tahun bergerak ke Baghdad dan pusat Kekhalifahan Abbasiyah, mereka telah melakukan pembantaian dan penghancuran setiap daerah yang dilewatinya. Tidak ada kekuatan yang berani menghalangi mereka, Dinasti Khwarazmian dan bahkan pemerintahan Ismailiyah mampu ditaklukkan di benteng-benteng kokoh yang telah membendung serangan Dinasti Seljuk selama lebih dari 200 tahun.

Dalam situasi seperti itu, semua warisan peradaban Islam akan dimusnahkan dan tidak ada lagi nama Islam atau Syiah yang tersisa di Iran dan Irak. Namun kehadiran ulama besar Syiah, Khajeh Nashiruddin Thusi telah menjadi mercusuar harapan bagi umat Islam.

Dengan meneladani kepemimpinan para imam maksum Syiah, Khajeh Thusi – dengan ilmu dan kepemimpinannya – telah melindungi kaum Muslim dan warisan peradaban Islam. Saat di puncak keputusasaan, dia menghembuskan kehidupan baru ke dalam tubuh umat Islam yang sedang sekarat, terutama Syiah.

Taktik Khajeh Thusi ini tidak hanya dipakai di awal invasi Mongol, tetapi ia terus menggunakan pengaruhnya di hadapan para penguasa Mongol untuk melindungi kaum Muslim dan warisan dunia Islam. Berkat kepiawaiannya, ia berkali-kali menyelamatkan nyawa banyak orang dan ulama dari bahaya kematian, serta membebaskan banyak ulama dan masyarakat dari penjara.

Setelah dua kali invasi Mongol ke Iran yang diikuti dengan penghancuran kota-kota dan pembantaian massal, Khajeh Thusi berlindung ke benteng Ismailiyah untuk menyelamatkan nyawanya. Benteng ini lebih aman daripada tempat lain karena kekuatannya.

Ketika serangan Mongol menargetkan benteng Ismailiyah, Khajeh Thusi – yang pernah menyaksikan kekejaman mereka di Neishabour dan Khorasan – menyadari bahwa mustahil bisa menghadapi pasukan haus darah seperti itu. Dia melihat satu-satunya jalan untuk selamat adalah menyerah dan mengikuti kemauan pasukan agresor. Ia membujuk orang-orang dan para raja untuk menyerah demi mengurangi jumlah korban dan kehancuran.

Khajeh Thusi ingin menyelamatkan nyawa kaum Muslim dan menciptakan peluang untuk mengubah situasi yang memilukan ini. Tentara Khwarazmian dan Dinasti Abbasiyah tidak mampu menahan serangan Mongol, tetapi pemikir besar ini – dengan kecerdasan, kecakapan, dan kesalehannya – mampu menyelamatkan nyawa banyak orang Muslim serta melestarikan budaya dan ilmu-ilmu keislaman dari kehancuran.

Setelah pemerintahan Khwarazmian ditaklukkan, Khajeh Thusi tidak berhenti berjuang dan ia memanfaatkan seluruh kemampuannya untuk mempengaruhi para penguasa Mongol dan mengubah pendirian mereka. Dia mampu menyelamatkan nyawa para ilmuwan berkali-kali, membebaskan banyak tahanan, dan mencegah penjarahan properti Muslim.

Peran yang dimainkan Khajeh Thusi ini mengundang pujian dari masyarakat dan ulama sehingga kedudukannya semakin dihormati dan jumlah pengagumnya bertambah. Di sisi lain, Hulagu Khan – Khan pertama dari dinasti Khan yang menguasai wilayah Persia – sangat menghormati Khajeh Thusi ketika menyadari kepiawaiannya dalam urusan masyarakat. Hulagu Khan sampai-sampai tidak mengambil tindakan apapun sebelum bermusyawarah dengan pemikir besar ini.

Keahlian politik dan kecerdikan Khajeh Thusi telah menginfiltrasi jantung pemerintahan Mongol. Para raja Mongol sangat tertarik dengan para peramal dan astronom. Khajeh Thusi memanfaatkan keahliannya di bidang astronomi dengan sebaik mungkin dan dengan cara ini, ia telah menaklukkan hati Hulagu Khan sehingga sang raja tidak bepergian tanpa meminta petunjuknya dan tidak mengeluarkan hartanya sebelum meminta masukan dari Khajeh.

Khajeh Thusi kemudian memimpin kementerian dan lembaga penasihat para penguasa Mongol. Dia juga mengurusi urusan wakaf negara-negara Islam dan memanfaatkan posisinya untuk menyebarkan ajaran Syiah dan memperkuat ilmu-ilmu keislaman.

Khajeh Nashiruddin Thusi tidak hanya dihormati di kalangan para pemikir Syiah, tetapi para ulama Sunni juga memuji ulama yang bijak ini. Para tokoh Sunni menganggap Khajeh Thusi sebagai sosok yang berbudi luhur, penjaga ilmu, rendah hati, sopan dan santun, seorang politikus, memiliki kedudukan tinggi, dan menguasai masalah Islam. Mereka menghormati ketokohan dan kedudukan Khajeh Thusi.

Ibnu al-Fuwati, pustakawan di Observatorium Maragheh dan sejarawan abad ketujuh dan delapan Hijriyah mengatakan, “Khajeh Thusi adalah orang yang mulia dan berbudi luhur, memiliki karakter yang baik, dan kerendahan hati, dermawan, dan tidak menolak permintaan orang yang membutuhkan, dan dia bersikap baik kepada semua orang.”

Ibnu Shakir dari sejarawan Ahlu Sunnah, menulis bahwa Khajeh Thusi adalah orang yang sangat ramah, murah hati, toleran, mudah bergaul, dan cerdas, dan ia merupakan salah satu politisi pada masa itu.

Khajeh Nashiruddin Thusi meninggal dunia di Baghdad pada 18 Dzulhijjah tahun 672 H, setelah berjuang seumur hidup tanpa kenal lelah. Dia menghabiskan hidupnya untuk mengabdi kepada kaum Muslim, dan meninggal dunia saat berada di Baghdad untuk mengatur masalah wakaf dan para pemikir. Sebelum meninggal, Khajeh Thusi berwasiat agar jasadnya dimakamkan di Kompleks Makam Kazhimain dan tidak dikuburkan di tempat lain.

Dia juga mewasiatkan agar di atas makamnya, tidak dituliskan kalimat apapun tentang keahlian-keahliannya di bidang ilmiah atau kalimat untuk menyanjung kedudukannya. Para muridnya bersikeras untuk menuliskan sebuah ayat al-Quran atau satu bait dari puisi-puisi karyanya di atas nisan sehingga generasi mendatang mengenali pemilik kubur ini.

Namun, Khajeh Thusi berkata, “Hanya tuliskan nama saya saja di batu nisan, karena ketika kuburan saya bersebelahan dengan kedua imam maksum ini (Imam Musa al-Kazhim dan Imam Muhammad al-Jawad as di kota Kazimain, Irak), maka tidak pantas menulis kalimat penghormatan kepada saya. Jika kalian tetap ingin menulis sesuatu, maka tulislah ayat ini (ayat 18 surat al-Kahf).”

Mengenai wasiat ini, Allamah Hasanzadeh-Amoli, seorang ‘arif dan ulama besar kontemporer Iran menuturkan, “Pemilik buku-buku di bidang hikmah, filsafat, irfan, matematika, fikih, yurisprudensi, ilmu eksak, arsitektur, teknik, dan pendiri Observatorium Maragheh, serta pemilik buku Tabel Ilkhanik yaitu Khajeh Nashiruddin Thusi yang dijuluki sebagai ‘Guru Manusia,’ mewasiatkan agar di atas nisannya dituliskan ayat ini “…sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua” (Al-Kahf, ayat 18) memiliki makna bahwa saya menjulur seperti anjing Ashabul Kahfi di samping makam para imam di kota Kazimain. Dalam hikayat ini, tersembunyi kekayaan makrifat yang besar.”



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (21)


Syeikh Jamaluddin Hasan bin Yusuf bin Mutahhar al-Hili, yang dikenal dengan Allamah Hilli adalah seorang ahli hukum (faqih) dan teolog Syiah pada abad kedelapan Hijriyah. Ia telah menulis lebih dari 120 buku di berbagai bidang ilmu agama dan beberapa karyanya menjadi buku diktat hauzah ilmiah.

Allamah Hilli termasuk salah satu orang jenius pada masanya dan selalu berusaha menjelaskan akidah Syiah berdasarkan prinsip-prinsip rasional. Dia memainkan peran penting dalam menyebarkan mazhab Syiah dan mempromosikan ajaran Ahlul Bait as. Dia dianggap sebagai pelestari mazhab Syiah.

Dia telah mendidik 500 mujtahid dan ilmuwan, melakukan sejumlah debat ilmiah dengan para ulama Sunni, menulis banyak buku untuk menjelaskan prinsip-prinsip akidah Syiah, dan menjawab sanggahan orang-orang di luar Syiah dengan argumentasi yang logis.

Allamah Hilli lahir pada malam 29 Ramadhan tahun 648 H di tengah keluarga yang agamis. Ibunya berasal dari keluarga terpelajar dan terpandang serta saudara perempuan dari Muhaqqiq al-Hilli, sementara ayahnya adalah seorang ilmuwan dan faqih di kota al-Hillah, Irak. Allamah Hilli menghabiskan masa kecilnya di bawah asuhan kedua orang tuanya dan di bawah pengawasan ulama yang juga pamannya, Muhaqqiq al-Hilli.

Dalam tempo singkat, ia mulai belajar dari para guru besar berkat kecerdasan dan ketekunannya. Dia mempelajari berbagai ilmu yang berkembang pada masa itu dari para guru besar dan telah menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan di masa mudanya.

Masa kecil Jamaluddin Hasan jatuh bersamaan dengan invasi brutal Mongol ke wilayah Islam. Iran dilanda api perang Mongol, sementara masyarakat Irak terpaksa meninggalkan kota-kota dan melarikan diri ke padang pasir karena takut serangan Mongol. Masyarakat Syiah Irak, Najaf, dan Kazimain berlindung di kompleks makam suci para imam maksum.

Akibat serangan ini, kota Baghdad yang merupakan pusat kebudayaan Islam dan keilmuan Syiah telah hancur. Tentu saja para ulama tidak tinggal diam dalam menghadapi bahaya yang dihadapi oleh kaum Muslim. Kalangan ulama bekerja keras untuk menghentikan pertumpahan darah dan bernegosiasi dengan para komandan dan penguasa Mongol.

Berkat upaya dan kearifan para fuqaha Syiah, termasuk ayah dari Allamah Hilli yaitu Syeikh Yusuf bin Mutahhar, keamanan kembali pulih di kota-kota dan secara perlahan kota al-Hillah berubah menjadi tempat berlindung bagi para ulama dan ilmuwan.

Masa kecil Allamah Hilli diwarnai dengan peristiwa sulit seperti itu, tetapi kondisi ini tidak menghalanginya untuk menimba ilmu. Dia mulai belajar mengaji dan mempelajari ilmu-ilmu dasar dari ayah serta pamannya, Muhaqqiq al-Hilli. Dia kemudian diterima oleh para guru besar terutama Khajeh Nashiruddin Thusi, untuk mempelajari ilmu fikih, teologi, logika, dan filsafat.

Allamah Hilli mencapai derajat ijtihad sebelum menginjak usia baligh. Ini semua karena kecerdasan dan ketekunannya dalam mempelajari ilmu dan memperdalam spiritualitas. Ia juga mendapatkan banyak keutamaan sehingga orang-orang di lingkungannya memanggilnya "Jamaluddin" yang berarti keindahan agama.

Pada usia 28 tahun, Allamah Hilli dipercaya untuk menjadi pemimpin mazhab Syiah Imamiyah, padahal waktu itu 400 mujtahid tinggal di kota al-Hillah. Hal ini menunjukkan betapa tinggi posisi dan kedudukan intelektual Allamah Hilli. Secara perlahan, kepintaran dan keutamaan Allamah Hilli mulai dikenal di dunia Islam. Sultan Mohammad Khodabandeh dari penguasa Dinasti Ilkhanat, yang dikenal baik dan sangat menghormati ulama, mengundang Allamah Hilli untuk datang ke Iran.

Sultan Mohammad memiliki ibu Kristen dan ia sendiri memeluk agama Budha, tetapi akhirnya masuk Islam selama pergaulannya dengan Muslim dan memilih mazhab Syafi'i. Pasca kedatangan Allamah Hilli di Iran, Sultan Mohammad sangat tertarik pada ilmu dan seni. Dia menyelenggarakan beberapa sesi debat untuk bertukar pandangan dan kritik di antara para ulama.

Di salah satu sesi debat ini, Allamah Hilli tampil di hadapan ulama dari mazhab-mazhab lain dan membuktikan kebenaran imamah Imam Ali as dan mazhab Syiah, di mana para ulama lain tidak mampu menyanggahnya. Perdebatan ini menyebabkan Sultan Mohammad Khodabandeh pindah ke mazhab Syiah.

Keputusan Sultan merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Syiah, karena pada masa pemerintahannya, Syiah menjadi mazhab resmi di seluruh Iran untuk pertama kalinya, dan dia adalah Sultan pertama yang menyebarkan Syiah Imamiyah secara besar-besaran. Selama periode ini, para ulama Syiah menemukan kesempatan emas untuk menyebarkan ajaran Ahlul Bait as.

Allamah Hilli melakukan banyak upaya untuk mendekatkan mazhab-mazhab Islam. Kebesaran jiwanya menyebabkan diskusi tentang perbedaan mazhab selalu berlangsung dalam suasana damai dan hangat. Di madrasah-madrasah yang didirikannya, para ulama dari berbagai mazhab mengajar secara berdampingan meskipun ada perbedaan pandangan dari segi akidah.

Meskipun Allamah Hilli secara tegas dan terbuka membela akidah Syiah, ia tetap memperoleh pujian dari para ulama mazhab lain. Misalnya, Ibnu Hajar al-'Asqalani, salah satu ulama Syafi'i dan hadits, menyebut Allamah Hilli sebagai tanda kebenaran dalam kecerdasan dan memuji sikap baiknya terhadap Ibnu Taimiyah, salah satu ulama garis keras Sunni.

Ibnu Taimiyah adalah seorang yang memiliki pemikiran ekstrem dan takfiri. Banyak ulama Islam baik Syiah maupun Sunni, menganggap akidahnya sesat dan ia sendiri telah keluar dari agama. Allamah Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah untuk membuktikan kepemimpinan Ahlul Bait as, dan Ibnu Taimiyah juga menulis buku sanggahannya atas dasar sikap keras kepala.

Ketika Allamah Hilli melihat buku Ibnu Taimiyah, yang penuh dengan sikap tidak sopan dan cacian, ia melantunkan sebuah puisi dan mengirimkannya kepada Ibnu Taimiyah. Allamah Hilli berkata, "Jika engkau tahu apa yang diketahui oleh orang lain, engkau akan bersahabat dengan ilmuwan, tetapi engkau menjadikan kebodohan sebagai gayamu dan engkau berkata, 'Siapa pun yang bergerak melawan hawa nafsuku, ia bukanlah ilmuwan!'"

Perlu diketahui bahwa pemikiran ekstrem dan eklektik Ibnu Taimiyah yang diprotes oleh ulama Sunni dan Syiah, kemudian disebarkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, pendiri sekte Wahabi. Saat ini pemikiran takfiri dari beberapa kelompok teroris seperti Daesh, bersumber dari sekte Wahabi.

Allamah Hilli, terlepas dari semua kerja kerasnya di bidang budaya, mengajar dan menulis buku-buku berharga, tidak lupa mendekatkan diri kepada Allah Swt dan meningkatkan derajat spiritualnya. Dia dianggap sebagai orang yang paling zuhud dan bertakwa, dia memerintahkan semua shalat dan puasanya dilakukan ulang setelah wafatnya meskipun ia tidak pernah meninggalkan shalat dan puasa. Meskipun telah menunaikan haji, dia mewasiatkan seseorang untuk menunaikan haji atas namanya.

Ulama besar Syiah ini dengan meneladani Imam Ali as, telah membuka banyak kebun, membuat saluran air dengan tangannya, dan kemudian mewakafkan itu semua kepada masyarakat. Tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaannya kepada Rasulullah Saw dan Ahlul Bait. Ia selalu mewasiatkan orang lain untuk mencintai Ahlul Bait dan menerima kepemimpinan mereka.

Allamah Hilli berkata, "Bukti terbesar kecintaan kepada Ahlul Bait adalah menaati dan menerima kekhalifahan dan kepemimpinan mereka serta bangkit dengan cara yang telah ditetapkan oleh mereka… Saya mewasiatkan kecintaan dan kasih sayang kepada putra-putri Fatimah az-Zahra as, karena mereka adalah pemberi syafaat kita pada hari ketika harta dan anak-anak tidak akan bermanfaat bagi kita… Ya Allah! Bangkitkanlah kami atas kecintaan kepada Ahlul Bait dan jadikan kami termasuk orang-orang yang telah menunaikan hak kakek mereka, Rasulullah dan keturunannya."

Sepeninggal Sultan Mohammad Khodabandeh, Allamah Hilli kembali ke kampung halamannya di Hillah. Di sana, ia melanjutkan studi, mengajar, dan menulis buku-buku hingga akhir hayatnya. Ulama besar ini meninggal dunia pada bulan Muharram tahun 726 H di kota Hillah. Ia dimakamkan di kota Najaf di dekat makam Imam Ali as.




Daftar isi:

Mengenal Para Ulama Besar Syiah1


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (11)2


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (12)7


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (13)12


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (14)17


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (15)22


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (16)27


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (17)32


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (18)37


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (19)42


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (20)48


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (21)

54









Mengenal Para Ulama Besar Syiah

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (22)


Kali ini, kita akan berkenalan dengan salah satu ulama besar di bidang fikih dan hadis teologi Syiah. Dia adalah tokoh besar dari wilayah Jabal ‘Amil, Lebanon, yang menjadi tempat rujukan dan pengibar panji-panji syariat.

Muhammad ibn Makki yang dijuluki Syamsuddin, adalah salah satu ulama abad kedelapan Hijriyah. Ia dikenal sebagai Syahid Awwal atau Syeikh Syahid karena gugur dibunuh oleh para pendendam. Muhammad ibn Makki lahir pada tahun 734 H di Jabal ‘Amil. Ini adalah daerah pegunungan yang indah di Lebanon, dan meski ukurannya kecil, ia menjadi tanah kelahiran bagi banyak ulama.

Konon, lebih dari 70 mujtahid pernah hadir dalam sebuah acara di Jabal ‘Amil dalam waktu bersamaan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ulama Syiah yang bermukim di Jabal ‘Amil waktu itu.

Muhammad ibn Makki lahir di bumi para ulama dan di tengah keluarga, di mana para anggotanya merupakan ulama dan pecinta ilmu. Dia menetap di tanah kelahirannya sampai usia 16 tahun. Ia belajar pendidikan dasar dan lanjutan dari ayahnya serta para ulama Jabal ‘Amil. Dia kemudian hijrah ke kota al-Hillah, Irak untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar, dan hanya satu tahun setelah tinggal di Hillah, Muhammad ibn Makki berhasil memperoleh gelar ijtihad pada usia 17 tahun.

Dia menetap di Hillah selama 5 tahun. Selama di sana, ketekunan dan kecerdasannya dipuji oleh para guru besar kota tersebut, seperti Fakhrul Muhaqiqin Hilli, putra Allamah Hilli. Sampai-sampai Fakhrul Muhaqiqin menyebut Syahid Awwal yang masih berusia 17 tahun, sebagai imam (pemimpin), allamah besar, ilmuwan dunia yang paling mulia.

Syahid Awwal kembali ke kampung halamannya di Jazzin, Jabal ‘Amil pada usia 21 tahun dan dalam tempo singkat, ia mendirikan hauzah ilmiah besar dan berhasil mendidik banyak pelajar. Selain mengajar dan menulis banyak buku, ia juga menjawab persoalan seputar agama, akidah, dan masalah sosial masyarakat.

Selain ulama andalan mazhab Syiah, Muhammad ibn Makki juga menguasai literatur-literatur mazhab Sunni sedemikian rupa sehingga orang-orang Sunni juga merujuk kepadanya dalam urusan ibadah dan persoalan agama mereka. Ulama besar ini mengeluarkan fatwa sesuai dengan mazhab mereka dan memecahkan persoalan mereka.

Sebagian orang menganggap Syahid Awwal sebagai ulama Syafi’i, karena ia sangat menguasai literatur mazhab Sunni dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama sesuai dengan mazhab Sunni.

Syahid Awwal melakukan perjalanan ke banyak daerah, termasuk Damaskus, Mesir, Palestina, Mekah, dan Madinah, untuk bertemu para ulama besar dan memperoleh ilmu dari mereka. Kota-kota inilah yang menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan Dunia Islam saat itu.

Tokoh hebat ini juga menulis banyak karya yang berpengaruh besar. Buku “Dzikra al-Syiah fi Ahkam al-Syari 'ah” merupakan salah satu karyanya tentang hukum bersuci dan shalat yang diterbitkan di Iran pada tahun 1271 H. Karya lain dari ulama besar ini adalah “al-Durus al-Syar'iyah fi Fiqh al-Imamiyah” yang memuat banyak tema-tema yurisprudensi. Sayangnya, ia gugur syahid sebelum menyelesaikan penulisan buku penting ini.

Syahid Awwal memiliki banyak buku lain tentang tema haji, puasa, shalat, serta tentang masalah teologis dan prinsip-prinsip akidah. Para ulama lain telah menuliskan syarah untuk buku-buku tersebut karena tema-temanya yang penting. Dia juga menulis risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.

Karya yang paling terkenal dari Syahid Awwal adalah kitab “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah” yang memuat pelajaran fikih seputar hukum-hukum praktis Islam. Mengenai alasan penulisan buku ini, ia berkata, “Saya menulis buku ini untuk memenuhi permintaan seseorang yang taat beragama.”

Pada tahun 766 H, Sultan Ali bin Mu'ayyid memimpin pemerintahan Sarbadar di Khurasan. Dia adalah penguasa Syiah, dan menaruh ketertarikan besar pada Syahid Awwal dan berulang kali mengundangnya ke Khurasan untuk membimbing masyarakat. Karena beberapa alasan, Syahid Awwal tidak dapat memenuhi undangan itu. Sebagai gantinya, ia menulis dan mengirimkan kepadanya sebuah buku, “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah.”

Syahid Awwal juga memainkan peran efektif dalam membimbing umat Islam dan menjadi pelindung mazhab Syiah. Ia tidak diam menghadapi bid'ah dan penyimpangan serta berusaha menjaga kebenaran agama hingga akhir hayatnya.

Sebagai contoh, di masa hidup Syahid Awwal, seseorang bernama Mohammad Yalushi – awalnya salah satu murid dari ulama besar ini – terjebak dalam godaan hawa nafsu dan mengaku dirinya sebagai nabi. Ia mulai menyesatkan masyarakat dari agama dan ketika fitnahnya semakin menjadi-jadi, Syahid Awwal mengeluarkan fatwa eksekusi terhadap Yaloushi dan mendorong pemerintah Damaskus untuk melawan Yalushi.

Akhirnya pecah perang, Yalushi dan sekelompok pengikutnya terbunuh. Akar fitnah dan penyimpangan telah punah, tetapi para pendendam dari sekte Yalushi menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Dengan memfitnah dan mencela Syahid Awwal, mereka memaksa 70 anggota sebuah suku yang membencinya, untuk bersaksi di hadapan hakim bahwa akidah Syahid Awwal telah menyimpang.

Fitnah ini menyebabkan Syahid Awwal dijebloskan ke penjara selama setahun di Benteng Damaskus. Dia menolak tuduhan tersebut, tetapi para pendendam dan penghasut terus berusaha untuk menyingkirkan ulama besar ini. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat yang tidak mengenalnya, untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Syahid Awwal. Mereka pun bersaksi di hadapan hakim.

Di sisi lain, para pendukung Syahid Awwal sangat khawatir dan memprotes penahanan mujahid besar ini. Hakim Damaskus pun ingin mengakhiri perkara ini secepat mungkin. Dia menggelar sidang dan menjatuhkan vonis eksekusi terhadap Syahid Awwal, meskipun ia menolak semua tuduhan dan fitnah. Dengan demikian, Muhammad ibn Makki dipenggal dengan pedang pada 9 Jumadil Awal tahun 786 H pada usia 52 tahun di Benteng Damaskus.

Namun, para penghasut tetap tidak puas dan melempari batu jasad ulama ini setelah dieksekusi, kemudian mereka membakarnya. Tindakan tidak manusiawi ini dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Muslim. Dengan fitnah dan hasutan, mereka menuduh ulama terbesar pada masa itu telah keluar dari agama Rasulullah Saw.

Syahid Awwal bukanlah ulama Syiah pertama yang menjadi martir. Alasan penamaannya sebagai Syahid Awwal lantaran ia merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka dan belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya, di mana seorang ulama dibunuh dengan cara yang paling tragis.

Syahid Awwal meninggalkan empat orang anak, semuanya adalah tokoh dan ulama serta penerus jalan ayahnya. Ketiga putranya merupakan ulama hadis dan faqih terkenal pada masanya. Istri dan putri satu-satunya adalah wanita salehah dan alim, yang menjadi tempat rujukan wanita Muslim untuk belajar agama. Syahid Awwal juga telah mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (23)


Allamah Sayid Haidar Amoli Amuli adalah seorang arif besar Syiah, mufasir al-Quran, pakar hadis, dan faqih terkenal yang hidup pada abad kedelapan Hijriyah. Dia adalah salah satu faqih dan teolog pertama yang membangun ikatan yang dalam antara Syiah dan Sufisme.

Ulama dan arif besar ini, terlepas dari semua kapasitas dan pengaruhnya di bidang irfan Syiah, tetapi ia tidak begitu dikenal oleh masyarakat umum dan bahkan oleh para pemikir. Namun, Henry Corbin, seorang filsuf Muslim Prancis, dan Profesor Osman Yahya – keduanya merupakan dosen di Universitas Sorbonne Prancis – telah menerbitkan sejumlah karya milik Allamah Sayid Haidar Amoli selama beberapa dekade terakhir. Langkah ini membuat komunitas ilmiah dan akademis dunia mengenal pemikiran dan kepribadian Sayid Haidar Amoli.

Allamah Sayid Haidar Amoli lahir pada tahun 720 H di kota Amol, Provinsi Mazandaran, Iran. Selama masa mudanya, Sayid Haidar Amoli mempelajari ilmu-ilmu formal pada masanya dengan baik, dan karena ketertarikannya pada ilmu irfan Syiah Imamiyah, dia mulai serius mempelajari dasar-dasar ilmu irfan di samping pendidikan formalnya.

Sayid Haidar Amoli kemudian hijrah ke kota Khurasan dan Isfahan – pusat penting ilmu pengetahuan pada masa itu – untuk menyempurnakan jenjang pendidikannya. Lima tahun kemudian, pada usia 25 tahun ia kembali ke kampung halamannya sebagai seorang alim yang terkenal. Kemasyhuran Sayid Haidar Amoli di bidang ilmu dan akhlak terdengar sampai ke istana penguasa Thabaristan. Raja mengundang ilmuwan muda ini ke istana dan mengangkatnya sebagai menteri.

Masa itu, Sayid Haidar Amoli telah mencapai derajat yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan akhlak, di samping status sosialnya yang sangat dihormati dan memiliki kehidupan yang sejahtera. Saat sedang di puncak kemapanan dan kesejahteraan, ia menyadari bahwa kehidupan yang seperti itu tidaklah berguna dan sebuah guncangan batin muncul dalam dirinya.

Sayid Haidar Amoli meninggalkan semua yang dimilikinya, termasuk tanah air, jabatan, kekayaan, dan keluarga. Dia hanya membawa bekal seperlunya dan kemudian pergi menziarahi Baitullah, makam suci para imam Ahlul Bait as, dan tempat-tempat suci lainnya di Irak, Palestina, Mekkah, dan Madinah. Inilah awal dari petualangan spiritual dan kehidupan baru Sayid Haidar Amoli.

Sayid Haidar Amoli kembali ke Irak pada usia 30 tahun setelah mengunjungi Baitullah, makam Nabi Saw, dan makam-makam para imam Ahlul Bait as. Di Irak, dia kembali belajar kepada para ulama besar seperti, Fakhr al-Muhaqiqin – putra Allamah Hilli – dan Maulana Nasir al-Din Kashani Hilli, dan mendapat perhatian khusus darinya.

Dia telah menguasai dasar-dasar irfan Islam sejak remaja dan sekarang mulai mempraktikkan dalam kehidupannya dan menjalani tahapan sairus suluk menuju kepada Allah Swt. Pintu ilmu hakikat terbuka baginya satu demi satu karena keikhlasan dan niat yang suci untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, di samping tekad yang kuat untuk meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya melupakan Tuhan.

Sayid Haidar Amoli selain menguasai ilmu fiqih, tafsir, dan pengetahuan Ahlul Bait, juga merupakan seorang pesuluk dan arif. Ulama besar ini yakin bahwa sufisme murni – yang terlepas dari distorsi dan dua kutub ekstrem; ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) – masih satu paham dengan Syiah murni yaitu sunnah dan sirah Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as. Syiah murni adalah sufi, dan sufi yang sejati adalah Syiah, meskipun secara lahiriyah tidak demikian.

Sayid Haidar Amoli menulis sejumlah buku dengan tujuan mengawinkan sufisme dan Syiah. Dia telah melakukan kajian dan penelitian yang luas tentang kedua topik ini. Ketika keyakinannya tentang kedekatan tasawuf dan Syiah tersebar luas, para tokoh Syiah di Irak sangat menentangnya, tetapi Sayid Haidar Amoli berkata kepada mereka, “Saya mengetahui sesuatu yang tidak kalian ketahui dan masih ada yang lebih alim di atas setiap orang alim.”

Irfan adalah salah satu cabang ilmu keislaman yang berbasis pada ajaran al-Quran dan Ahlul Bait. Secara istilah, irfan mengacu pada sebuah pengetahuan khusus yang diperoleh melalui syuhud (penyaksian) meta-indra dan meta-akal. Karena syuhud semacam ini biasanya membutuhkan latihan khusus, maka kegiatan mempraktikkan sairus suluk juga disebut ilmu irfan. Jadi, seorang arif sejati adalah orang yang menjalankan latihan khusus dan memperoleh pengetahuan intuitif dan syuhud tentang Tuhan, sifat-sifat, dan perilaku-Nya.

Sayid Haidar Amoli menentang keras sikap ifrath dan tafrith yang diperlihatkan oleh sebagian sufi, dan ia menjelaskan prinsip-prinsip irfan Islam yang otentik dengan memanfaatkan ajaran Ahlul Bait.

Dia menghubungkan prinsip ilmu irfan dengan wilayah (kepemimpinan), di mana irfan yang menolak kepemimpinan Ahlul Bait Rasulullah berarti bukan irfan dan tasawuf sejati. Sayid Haidar Amoli menganggap jalan hidayah masyarakat akan terjamin dengan berpegang pada syariat dan kepemimpinan Ahlul Bait. Dia secara eksplisit menjelaskan bahwa wilayah adalah inti dari kenabian dan kepemimpinan Ahlul Bait diperlukan untuk mempertahankan eksistensi dan tali penghubung semua makhluk di alam semesta dengan Tuhan.

Sayid Haidar Amoli menulis beberapa buku untuk mencapai tujuan besarnya. Kitab Jami’ al-Asrar merupakan referensi terpenting untuk mengetahui pemikiran Sayid Haidar Amoli tentang ikatan kaum sufi dengan mazhab Syiah Imamiyah. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan pendapatnya tentang topik yang sangat penting yaitu “Khatm al-Wilayah” dan mengkritik pemikiran Ibnu Arabi, sufi besar Dunia Islam.

Kajian tentang konsep Khatm al-Wilayah memiliki tempat khusus dalam ilmu irfan Islam. Artinya, dengan berakhirnya periode kenabian, wilayah yang merupakan inti sari dari nubuwah tidak berakhir, tetapi di setiap zaman dan waktu, seorang imam maksum – sebagai khalifah Rasulullah – harus selalu hadir di tengah umat sebagai perantara rahmat Ilahi.

Dengan kata lain, meskipun pintu kenabian dan risalah telah berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw – sebagai nabi terakhir, – namun pintu wilayah dan kepemimpinan Ahlul Bait as masih terbuka.

Sayid Haidar Amoli dalam karya-karyanya menjelaskan bahwa setelah berakhirnya periode kenabian, era kepemimpinan melalui 12 imam maksum dari Ahlul Bait Nabi as telah dimulai. Imam ke-12 yaitu Imam Mahdi as adalah penutup para wali dan tidak ada pintu hidayah, kesempurnaan, dan kebahagiaan kecuali melalui perantaraan Khatam al-Auliya. Inilah salah satu topik penting yang membedakan antara tasawuf dan irfan Syiah dari tasawuf di kalangan Sunni.

Sebagian peneliti meyakini bahwa Ibnu Arabi juga sependapat dengan Sayid Haidar Amoli mengenai masalah tersebut, namun ia menyembunyikan akidahnya karena kondisi sosial dan politik waktu itu, dan tidak mengutarakan pendapatnya secara eksplisit.

Upaya Sayid Haidar Amoli untuk merumuskan prinsip-prinsip ilmu irfan Syiah telah membuahkan hasil, dan pemikiran serta tulisannya terutama buku Jami’ al-Asrar dan Manba’ al-Anwar telah menjadi rujukan yang kredibel bagi mereka yang tertarik dengan irfan Islam dari zaman dulu dan bahkan sampai sekarang.

Dia mampu menjelaskan secara terbuka apa yang tidak disampaikan oleh Ibnu Arabi karena tuntutan kondisi, dan berhasil merangkul banyak ulama Syiah untuk mendukung pandangannya tentang konsep irfan Syiah.

Tidak ada catatan pasti tentang tahun-tahun terakhir dari kehidupan Sayid Haidar Amoli dan waktu wafatnya. Dikatakan bahwa di akhir hayatnya, Sayid Haidar Amoli memilih mensucikan jiwanya dan menjalani hidup terasing. Sepertinya ia meninggal dunia setelah tahun 792 H dan tempat pemakamannya tidak diketahui pasti. Sebagian percaya bahwa ia dimakamkan di Hillah, Irak, dan sebagian yang lain berkata kuburannya berada di kampung halamannya kota Amol, Iran.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (24)


Ali bin Hassan Karaki yang lebih dikenal dengan Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, termasuk ulama Jabal Amil, Lebanon yang datang ke Iran atas undangan Shah Ismail Safavi, dan berperan besar dalam penyebaran Syiah di negara ini.

Ia mendidik sejumlah murid yang kelak menjadi ulama besar, dan banyak fakih serta cendekiawan abad ke-10 Hijriah Qamariyah yang merupakan muridnya.



Muhaqiq Karaki dikenal sebagai ulama besar dan fakih abad ke-10 Hq. Ia dilahirkan pada tahun 865 Hq di desa Karak, Jabal Amil, Lebanon. Ayahnya merupakan tokoh Syiah di Lebanon, dan ia memberikan nama Ali kepada anaknya untuk mengambil berkah dari Imam Ali bin Abi Thalib as.



Jabal Amil termasuk wilayah yang dianggap sakral, salah satunya karena di sana terdapat banyak makam para nabi, waliullah, dan tokoh agama seperti Yusha bin Nun, wasi Nabi Musa as, dan Nabi Yehezkiel, serta tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi Isa as.



Penyebaran Syiah di Jabal Amil, kembali ke pertengahan awal abad pertama Hijriah Qamariyah, yaitu saat tokoh-tokoh besar Islam semacam Salman Farsi, Ammar Yasir, dan Abu Dzar Ghiffari menyebarkan Islam hakiki di wilayah itu.



Diperkirakan kehadiran Abu Dzar di Jabal Amil di masa pengasingannya, lebih dari sahabat Imam Ali as lainnya, menjadi faktor determinan penyebaran Syiah di wilayah tersebut.



Di antara pengikut Syiah asal Jabal Amil terdapat sejumlah banyak ulama saleh yang menerangi Dunia Syiah dengan cahayanya. Syeikh Hurr Amili dalam kitab “Amal Al Amil fi Ulama Jabal Amil”mencatat 100 nama cendekiawan Syiah asal Jabal Amil dan menambahkan puluhan lainnya.



Hauzah Ilmiah Jabal Amil termasuk di antara hauzah yang paling berpengaruh dalam menghidupkan ajaran Ahlul Bait as. Era paling aktif dalam sejarah Hauzah Ilmiah Jabal Amil adalah pada abad 8-11 Hq.



Di masa ini, cendekiawan dan fakih besar semacam Syahid Awal, Syahid Tasni, dan Muhaqiq Karaki lahir dari Hauzah Jabal Amil. Sejumlah ulama besar Jabal Amil datang ke Iran dan berperan aktif menyebarkan Syiah di negara ini. Muhaqiq Karaki salah satunya.

Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, di masa kecilnya tumbuh di tengah keluarga ulama. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia masuk Hauzah Ilmiah Karak, dan belajar kepada ulama besar desa tersebut.



Karak meski sebuah desa, tapi memiliki sebuah hauzah ilmiah kaya yang didatangi para pelajar agama dari berbagai wilayah Lebanon lainnya. Muhaqiq Karaki setelah menimba ilmua di Jabal Amil, berangkat ke Damaskus, Suriah, Baitul Maqdis, Palestina, Mesir dan Irak.



Muhaqiq Karaki di masa remaja melakukan penelitian secara serius seputar masalah fikih dan hadis, sehingga dijuluki Muhaqiq Tsani.



Ia dianggap sebagai peneliti fikih Ahlul Bait as paling unggul setelah Muhaqiq Hilli. Muhaqiq Karaki menulis 71 buku, yang paling terkenal dan paling berharga adalah buku berjudul “Syarh Kitab Qawaid Allamah Hilli” yang lebih dikenal dengan “Jami Al Maqashid fi Syarh Al Qawaid”.



Muhaqiq Tsani juga dijuluki “Shahib Jami Al Maqashid” karena buku ini. Dari sisi tata bahasa, makna, teknik penulisan dan kandungannya, buku tersebut termasuk buku fikih Syiah paling baik.



Di antara ulama Syiah terdapat sebuah keyakinan jika seorang Mujtahid telah memahami tiga kitab yaitu Jami Al Maqashid, Wasail Al Syiah, dan Jawahir, maka untuk mengeluarkan dalil, menetapkan hukum dan menulis kitab fikih, ia tidak memerlukan kitab lain.



Ulama besar Jabal Amil ini setelah berhasil memahami dengan baik pemikiran fikih Ahlu Sunnah dengan baik di Mesir selama beberapa tahun, lalu meninggalkan negara itu.



Di masa itu kemasyhuran Muhaqiq Karaki tersebar di wilayah Muslim lain. Di Najaf, Muhaqiq Karaki aktif mengajar sampai seorang utusan keluarga kerajaan Iran mendatanginya dan membawa pesan Shah Ismail Safavi yang memintanya menyebarkan Syiah di Iran.

Ketika penguasa Kekhalifahan Utsmaniyah mempersempit ruang gerak pengikut Syiah di Irak dan Syam, Muhaqiq Karaki menganggap kondisi ini sebagai kesempatan yang dapat membawa para pengikut Syiah ke puncak kejayaan dan mengenalkan budaya Syiah kepada masyarakat.



Keputusan sangat penting dan sensitif ini dinilai dapat mengubah jalan hidup Muhaqiq Karaki dan para pengikut Syiah, oleh karena itu ia menerima permintaan Shah Iran tersebut, dan pada tahun 916 Hq dalam Perang Herat, ia memenuhi undangan Shah Ismail Safavi.



Saat itu usianya sekitar 50 tahun, namun berjuang sekuat tenaga menyebarkan Syiah di tengah kondisi yang sangat sensitif di Dinasti Safawiyah. Safawiyah adalah dinasti kerajaan Iran yang berkuasa dari tahun 907 hingga 1135 Hq. Mereka mengumumkan Syiah sebagai mazhab resmi kerajaan Iran, dan bertahan hingga lebih dari dua abad.



Mempelajari kehidupan para ulama besar Syiah di era Safawiyah menunjukkan adanya kerja sama ulama dengan kerajaan. Ulama bahkan menerima beberapa pos penting di kerajaan seperti posisi Syeikh Al Islam, dengan satu alasan yaitu menyebarkan dan memperkuat agama serta hukum Islam.



Muhaqiq Karaki datang ke Iran tidak lama setelah Syiah ditetapkan sebagai mazhab resmi negara ini. Di sisi lain karena selama bertahun-tahun hidup di bawah aturan ketat yang membatasi mereka, pengikut Syiah Iran tidak terlalu memahami hukum agama, maka kelangkaan fakih Syiah dan kitab-kitab hukum praktis Islam sangat dirasakan saat itu.



Muhaqiq Karaki pada tahun 916 Hq dapat dikatakan telah meletakkan fondasi mazhab Syiah di Iran. Akan tetapi karena kesibukan Shah Ismail, dan ketidakpeduliannya pada masalah kebudayaan, Muhaqiq Karaki melepaskan jabatan yang diberikan kepadanya pada tahun 929 Hq. Ia meninggalkan Iran dan kembali memulai aktivitas mengajar di Hauzah Ilmiah Najaf.



Muhaqiq Tsani sibuk mengajar di Najaf selama enam tahun, dan mendidik para pelajar agama serta orang-orang yang dahaga akan ilmu Ahlul Bait as. Setelah meninggalnya Shah Ismail, Shah Tahmaseb Safavi kembali mengundang Muhaqiq Karaki untuk datang ke Iran.



Pada tahun 935 Hq, Muhaqiq Tsani untuk kedua kalinya datang ke Iran, dan mendapat lebih banyak fasilitas di banding sebelumnya. Shah Tahmaseb sangat menghormati kepribadian dan keluhuran ilmu Muhaqiq Karaki. Ia mengatakan, Anda lebih layak mengurus pemerintahan daripada saya, karena Anda wakil Imam Mahdi as, sementara saya adalah salah satu dari penguasa Anda.

Shah Tahmaseb memberikan posisi Syeikh Al Islam, yang merupakan posisi tertinggi di bidang agama kepada Muhaqiq Tsani dan memberi kesempatan kepadanya untuk mengurus masyarakat.



Muhaqiq Karaki memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk meluruskan sejumlah penyimpangan di kerajaan dan menyebarkan Syiah serta memperkokoh fondasinya di lingkungan kerajaan Dinasti Safawiyah. Pengaruh Muhaqiq Tsani terhadap Shah Tahmaseb sedemikian besar sampai Raja Iran itu bertobat dan memilih gaya hidup baru.



Di antara langkah yang dilakukan Muhaqiq Karaki di Iran adalah memperkuat hauzah ilmiah dan memenuhi kebutuhan materi serta maknawinya.



Ia juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang marak di bidang tasawuf. Atas fatwa Muhaqiq Karaki, pemerintah Safavi menutup tempat-tempat yang dianggap melanggar syariat Islam. Ia juga menghidupkan Shalat Jumat dan shalat jamaah di Iran.



Muhaqiq Karaki memerintahkan agar ruhani (ulama) dikirim ke seluruh kota dan desa Iran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama masyarakat.



Untuk menghidupkan sisi lahiriah Syiah dan ajaran Ahlul Bait as di masyarakat, ia sangat bekerja keras, termasuk mengembalikan kalimat “Asyhadu anna Aliyan Waliullah” dan “Hayya Alaa Khoiril Amal” pada azan dan iqamah shalat selama 56 tahun sampai akhirnya ditinggalkan kembali pada era Toghrul-Beg Seljuk.



Satu lagi poin unggul dampak kehadiran Muhaqiq Karaki di Iran adalah terjunnya ulama besar Syiah ini ke arena politik dan sosial. Ia percaya pengelolaan negara dan urusan masyarakat harus berlandaskan aturan agama dan dipimpin seorang fakih Jamiu Syara’it.



Pandangan ini tidak lain adalah konsep Wilayatul Fakih yang diyakini oleh banyak ulama Syiah. Pada pembahasan berikutnya akan diulas pandangan Muhaqiq Karaki tentang konsep Islam progresif.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (25)


Salah satu isu yang diangkat dalam pemikiran Mohaghegh Karaki mengenai masuknya dunia religius yang agung di ranah politik dan sosial.

Ia percaya bahwa penyelenggaraan negara dan urusan rakyat harus berdasarkan agama dan berada di bawah kepemimpinan ulama otoritatif dan kredibel. Pandangannya tentang masalah ini mengusung teori Wilayah Fakih yang juga diyakini oleh banyak sarjana Syiah.

Di masa kehidupannya, Mohagheh Karaki menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk penguasa saat itu. Shah Tahmasb Safavi begitu terpesona oleh kepribadian dan posisi intelektualismenya, sehingga dia pernah berkata, "Anda berhak lebih dari saya untuk mengatur dan mengelola urusan negara. Sebab Anda adalah wakil Imam dan saya salah seorang pejabat Anda,".

Shah Tahmasb memberinya posisi Sheikh al-Islam, yang dianggap sebagai posisi religius tertinggi dalam urusan negara,". Mohaghegh Karki memanfaatkan sepenuhnya kesempatan ini untuk mereformasi urusan umat Islam dan menjalankan tugas dengan kemampuan terbaiknya.





Mohaghegh Karaki yang juga dikenal sebagao Mohaghegh Thani memulai pembahasan tentang Wilayah Fakih dengan masalah Imamah. Ia menganggap imamah sama pentingnya dengan Nubuwah dan menganggapnya sebagai salah satu prinsip agama.

Mohaghegh Thani berkata, "Dalil yang sama mengenai kebutuhan orang terhadap Nabi juga berlaku mengenai Imam. Orang selalu membutuhkan kepemimpinan dan bimbingan yang kuat di setiap zaman, karena selalu ada dorongan untuk menciptakan kejahatan."

Mengenai penolakan terhadap pemisahan politik dari agama, ia menjelaskan, “Tidak bisa dikatakan bahwa rakyat membutuhkan pemerintahan, penguasa dan pemimpin hanya dalam urusan dunia, atau pemerintahan hanyalah berhubungan dengan urusan duniawi saja. Sebab, urusan agama juga termasuk dalam sistem kehidupan dan dunia umat. Misalnya, meski pemberhentian dan pelantikan hakim adalah urusan agama, tapi juga bagian dari urusan duniawi rakyat,".

Karki menganggap tujuan kebangkitan para Nabi untuk menjadi pedoman umat di akhirat dan di dunia ini. Ia meyakini ibadah berkaitan dengan akhirat dan juga dunia. Oleh karena itu, hanya mereka yang diberi wewenang oleh Nabi Muhammad Saw untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan aturan agama, dan siapa pun selain mereka yang memegang posisi ini adalah seorang tiran.

Selain masalah Nubuwah dan Imamah, Mohaghegh Karaki juga menjelaskan urgensi pemerintahan yang ketiga terkait dengan ketidakhadiran Imam al-Zaman. Dalam risalah shalat Jum'atnya, ia membahas tentang teori Wilayah Faqih dan mengungkapkannya dengan hadits dan argumentasi logis.

Ulama terkemuka Syiah ini mengungkapkan, "Para sahabat kami setuju bahwa ahli hukum Syiah yang adil dengan kondisi yang komprehensif (dengan syarat) dari fatwa - dan yang disebut mujtahid - pada saat tidak ada Imam, maka secara umum memiliki izin menjadi wakil para Imam. Oleh karena itu, kewajiban bagi masyarakat untuk menaati putusan yang dikeluarkan olehnya,".

Mohaghegh Karaki mengutip sebuah hadits yang dikenal di kalangan ulama sebagai "penerimaan Umar ibn Hanzalah", yang memandang ulama dengan persyaratan khusus yang ditetapkan oleh para Imam Maksum sebagai penerus Imam dengan wewenang yang sama.



Beberapa ulama percaya bahwa faqih harus diperkenalkan secara khusus dan oleh Imam Mahdi. Selama periode keghaiban kecilnya, Imam Zaman menunjuk empat orang sebagai wakil khususnya. Tetapi sebagian ulama terkemuka lainnya yang bertumpu pada riwayat yang dipandang kuat percaya selama Imam Zaman tidak ada, faqih dianggap sebagai wakil Imam, meskipun secara khusus nama orang tersebut tidak diumumkan oleh Imam.

Oleh karena itu, setiap faqih yang memiliki persyaratan khusus seperti keadilan dan ijtihad serta beberapa kemampuan manajerial dan kepribadiannya dianggap sebagai wakil Imam dan memiliki otoritas pemerintahan yang sama dengan Imam, dan umat Islam wajib mematuhinya.

Karaki meyakini bahwa seorang ahli hukum yang memiliki kewenangan untuk mewakili Imam Zaman pada saat ghaib harus memiliki ciri dan syarat khusus. Menurutnya, iman adalah salah satu syarat seorang faqih.

Keadilan adalah syarat lain dari Faqih. Kondisi lainnya adalah pengetahuan tentang Al-Quran dan Sunnah sampai dia bisa memahami aturan dengan mengacu pada keduanya. Berbagai syarat lain telah disebutkan dalam hal ilmu pengetahuan hingga tingkatan ijtihad.

Mohaghegh Karaki mengatakan bahwa faqih secara hukum diizinkan untuk menegakkan ketentuan ajaran Islam dan memberikan fatwa kepada umat. Menurut Karaki, dalam urusan keuangan pemerintahan Islam, zakat dan khumus serta kharaj merupakan ketentuan syariah yang harus dibayarkan kepada Faqih oleh muqalid. Ia juga menyatakan dalam Risalah Kharajiah bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kharaj (pajak) telah dipercayakan kepada faqih selama masa keghaiban Imam Zaman.

Dalam masalah khumus yang merupakan kewajiban finansial bagi umat Islam, Mohaghegh Karaki mengungkapkan bahwa di masa keghaiban Imam, faqih dapat bertanggung jawab untuk mendistribusikan khumus di antara orang-orang yang berhak sebagai wakil Imam. Menurutnya, menyelesaikan masalah agama masyarakat dan menjawab pertanyaan mereka berdasarkan sumber agama juga merupakan salah satu tugas utama faqih.





Dalam pembahasan sholat Jum'at, Karaki juga memandang kehadiran Imam atau wakilnya sebagai syarat untuk melaksanakannya. Ia menentang argumen pihak yang menentang shalat Jumat di masa keghaiban Imam Zaman, seperti Sayyid Murtadhaa dan Ibn Idris Hali.

Para penentang berpendapat bahwa salah satu syarat shalat Jum'at adalah kehadiran Imam atau seseorang yang secara pribadi ditunjuk oleh Imam untuk melaksanakan sholat Jum'at. Oleh karena itu, menunaikan shalat Jumat pada saat keghaiban Imam Zaman dikecualikan. Oleh karena itu, ketika salat Jumat dilaksanakan tanpa kehadiran Imam Zman, maka shalat dhuhur tetap harus ditunaikan umat Islam.

Jika Imam Zaman hadir dan shalat Jum'at ditunaikan, maka shalat Dhuhur akan dilepaskan dari kewajiban umat di hari Jumat. Karaki menentang pendapat kelompok Faqih ini. Ia meyakini bahwa sejak Faqih diangkat oleh Imam Zaman pada umumnya, maka ia bisa menunaikan shalat Jumat.

Oleh karena itu, menurut Mohaghegh Karaki, faqih tidak hanya hadir untuk memberikan fatwa di kalangan masyarakat, tetapi juga melaksanakan shalat Jum'at adalah dalam kewenangannya. Sebab mereka memiliki memenang yang telah diberikan Imam Zaman sebagai wali pada umumnya.

Beliau sepenuhnya mendukung penyelenggaraan shalat Jumat di massa keghaiban Imam Mahdi dan meminta pertanggungjawaban ahli hukum untuk melaksanakannya. Masalah ini yang kurang diperhatikan oleh banyak ahli hukum sebelum dan sesudahnya, dan Karki secara eksplisit dan dengan bukti kuat mendukungnya.

Akhirnya, Mohaghegh Thani kembali ke Najaf Ashraf pada usia ke-70 tahun dengan meninggalkan pengaruh besar di dunia Syiah. Tetapi setelah beberapa hari kehadirannya di Irak, muncul berita menyakitkan tentang kesyahidannya.

Beliau gugur diracun oleh para penentangnya. Jenazah ulama terkemuka ini dimakamkan dengan rasa hormat yang khusus di kompleks makam Imam Ali di Najaf.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (26)


Salah satu ulama besar lain Syiah yang lahir di Jabal Amil, Lebanon adalah Zainuddin bin Nuruddin bin Ahmad 'Amili Juba'i atau yang terkenal dengan Syahid Tsani.

Syahid Tsani adalah seorang faqih dan ilmuwan besar Islam dan Syiah. Ia lahir pada 13 Syawal tahun 911 Hijriyah di tengah keluarga ulama di daerah berpenduduk Syiah, Jabal Amil, Lebanon. Banyak dari leluhur dan keluarga Syahid Tsani tercatat sebagai ilmuwan dan ulama besar, itulah sebabnya keluarga Sahid Tsani dikenal sebagai “Silsilah al-Dzahab” yang berarti mata rantai emas.

Abu Mansur Jamaluddin Hassan, putra Syahid Tsani adalah salah satu ulama besar dan penulis buku terkenal “Ma’alim al-Ushul.” Buku ini menjadi salah satu kitab rujukan hauzah ilmiah pada masa itu. Oleh karena itu, Abu Mansur dikenal sebagai Shahib Ma'alim. Cucu Syahid Tsani juga merupakan seorang faqih yang terkenal bernama, Sayid Muhammad bin Ali Amili atau Shahib al-Madarik, salah satu kitab fiqih yang diakui.

Dua orang cucu Syahid Tsani yang berasal dari putra Shahib Ma'alim, juga termasuk di antara ulama besar yang lahir dari mata rantai emas ini. Demikian juga dengan keluarga Sadr seperti, Imam Musa Sadr, Syahid Mohammad Baqir Sadr dan saudarinya, Bintul Huda Sadr juga berasal dari keturunan Syahid Tsani.

Syahid Tsani dan Syahid Awal, sama-sama berasal dari daerah Jabal Amil yang terletak di Lebanon Selatan. Keduanya adalah tokoh besar, pakar hukum agama, dan mujtahid besar Syiah, dan keduanya dibunuh dan gugur syahid atas tudingan Syiah.

Ulama Syiah yang gugur syahid di tangan musuh-musuh Ahlul Bait dan Islam jumlahnya sangat banyak, tetapi Syahid Awal dan Syahid Tsani dikenal dengan sebutan ini karena mereka merupakan tokoh besar dan pilar fiqih mazhab Syiah dan keduanya juga dibunuh dengan cara yang kejam.

Syahid Tsani – yang hidup pada abad ke-10 Hijriyah – dengan upaya yang tak kenal lelah menyebarkan ajaran fiqih Ahlul Bait Nabi as ke berbagai belahan dunia. Ulama besar ini meninggalkan hampir 80 karya tulis dan risalah di berbagai bidang, di mana masing-masing menjadi kitab pedoman bagi para faqih setelahnya. Bukunya yang terkenal “al-Raudhaha al-Bahiyah” masih menjadi kitab rujukan sampai sekarang.

Buku tersebut ditulis untuk menjabarkan kandungan kitab “al-Luma'ah al-Dimasyqiyah” yang ditulis oleh Syahid Awal dan merupakan buku fiqih Syiah yang paling terkenal dan diajarkan di hauzah-hauzah ilmiah. Karya besar lain yang diwariskan oleh Syahid Tsani adalah kitab “Masalik al-Afham” yang ditulis untuk menjelaskan isi kitab “Syarai' al-Islam” karya Muhaqqiq Hilli.

Syahid Tsani, seperti kebanyakan ulama dan ilmuwan besar dunia Islam, mulai menimba ilmu pengetahuan sejak usia dini dengan mempelajari al-Quran. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri dan setelahnya, ia belajar dengan para kerabat dekat.

Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar di kampung halamannya, Syahid Tsani berkelana ke kota-kota dan desa-desa sekitar untuk belajar kepada guru-guru lain. Jabal Amil adalah sebuah kota santri yang memiliki banyak hauzah ilmiah yang bagus dan banyak ulama besar mengajar di sana.

Syahid Tsani kemudian pergi ke daerah Karak, tempat kelahiran Muhaqqiq Karaki dan menimba ilmu dari ulama yang luar biasa ini. Waktu itu Muhaqqiq Karaki belum melakukan hijrah ke Iran.

Rasa dahaga akan ilmu dan kesempurnaan terus mendorong Syahid Tsani untuk berkelana ke daerah lain dan menanggung berbagai kesulitan di tengah fasilitas seadanya pada zaman itu. Perjalanan ini bukan untuk kegiatan bisnis atau wisata, tetapi karena rasa haus untuk mengabdi kepada Islam yang lurus dan Ahlul Bait Nabi as.

Situasi politik dan sosial saat itu serta kekuasaan Dinasti Utsmaniyah di Dunia Arab telah menciptakan kondisi yang sulit bagi masyarakat Syiah terutama para ulama mereka. Namun, kecintaan kepada Ahlul Bait telah menghadirkan tekad baja dalam diri mereka untuk mengalahkan segala rintangan.

Syahid Tsani pergi ke Damaskus dan kemudian ke Mesir, untuk mempelajari ilmu fiqih, geometri, logika, tafsir, dan ilmu-ilmu lain dengan para guru besar. Dia melanjutkan perjalanannya ke Baitul Maqdis dan Romawi Timur. Syahid Tsani bertemu dan berdiskusi dengan para cendekiawan di daerah tersebut serta mengajar di sekolah-sekolah agama di sana.

Syahid Tsani kemudian menetap sementara di Baalbek, salah satu kota penting dan bersejarah di Lebanon, dan memikul tanggung jawab sebagai pemimpin hauzah ilmiah di kota tersebut. Dia mulai diterima sebagai marja’ besar sehingga para cendekiawan dari berbagai pelosok datang ke Baalbek untuk menimba ilmu pengetahuan darinya.

Syahid Tsani telah menimba ilmu dari ulama dari berbagai mazhab di sejumlah negara Islam sehingga ia sepenuhnya menguasai khazanah keilmuan dari lima mazhab yaitu, Syiah Imamiyah, Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hanbali. Oleh karena itu, Syahid Tsani mengajar semua ajaran lima mazhab selama menetap di Baalbek. Dia mengeluarkan fatwa untuk pengikut setiap mazhab berdasarkan akidah dan kitab-kitab mereka sendiri serta menjawab pertanyaan umat.

Shayid Tsani menduduki posisi ilmiah yang tinggi dan meskipun memiliki aktivitas yang padat di bidang mengajar, menulis, mengelola hauzah, dan mendidik ulama, namun ia tetap bersifat rendah hati dan pekerja keras.

Di tengah kesibukannya, Syahid Tsani tetap memberikan perhatian penuh kepada keluarganya dan di sore hari, dia biasanya pergi dengan keledainya ke luar kota untuk mengumpulkan kayu bakar untuk kebutuhan keluarganya. Rumahnya selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang untuk bertanya persoalan ilmiah atau sekedar bertamu. Syahid Tsani sendiri menjamu mereka dan tidak pernah menunjukkan rasa lelah.

Sebagian ulama besar di abad-abad berikutnya dan para ulama kontemporer menganggap kepribadian spiritual Syahid Tsani memiliki kemiripan dengan kepribadian para imam maksum as dari segi ketakwaan dan akhlak.

Syeikh Husain bin Abdulsamad Harisi, ayah dari Syeikh Bahai, berkata, “Suatu hari aku bertemu Syahid Tsani dan melihatnya larut dalam pikiran. Dia tenggelam dalam pikirannya. Aku kemudian bertanya tentang penyebabnya. Dia berkata kepadaku, “Saudaraku! Aku pikir aku akan menjadi syahid kedua (setelah syahid pertama), karena di alam mimpi aku melihat Sayid Murtadha Allamul Huda (ulama terkenal pada abad ketiga dan keempat H) menggelar acara perjamuan yang dihadiri oleh para ilmuwan dan ulama Syiah. Ketika aku tiba di acara tersebut, Sayid Murtadha bangkit dari duduknya dan mengucapkan selamat kepadaku dan memintaku untuk duduk di samping Syahid Awal.” Oleh karena itu, aku berasumsi bahwa aku akan menjadi Syahid Tsani.”

Syahid Tsani, seperti banyak syuhada lainnya, menjadi korban kebodohan dari sebagian individu. Mengenai sebab terbunuhnya Syahid Tsani dikisahkan bahwa dua orang dari warga Jaba’ datang kepadanya untuk meminta sebuah putusan hukum atas perkara mereka. Dia pun memutuskan perkara itu sesuai dengan aturan dan norma agama.

Namun, orang yang divonis bersalah tidak terima dan mendatangi hakim Shida dan menuduh Syahid Tsani sebagai kafir dan perusak akidah karena ia adalah seorang Syiah. Hakim melaporkan kasus ini kepada Sultan Salim, penguasa Romawi (Utsmaniyah), dan atas perintahnya dikirim seseorang untuk menangkap Syahid Tsani, tetapi tidak menemukannya.

Syahid Tsani telah berangkat ke Mekkah untuk menghindari bahaya, tetapi para utusan Sultan menangkapnya di tengah jalan dan membunuhnya tanpa perintah dari Sultan, lalu memenggalnya. Menurut sebuah riwayat, jasad Syahid Tsani dibiarkan tergeletak selama tiga hari dan kemudian dibuang ke laut. Riwayat lain menyebutkan bahwa masyarakat menemukan jasad ulama tersebut tanpa kepala dan menguburkannya tanpa mengenalnya.

Mendengar kabar pembunuhan Syahid Tsani, Sultan murka terhadap para utusannya, karena melakukan sebuah eksekusi besar tanpa seizinnya. Sultan kemudian mengeksekusi pembunuh Syahid Tsani. Dikatakan bahwa Syahid Tsani gugur pada 5 Rabiul Awal tahun 966 H.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (27)


Ahmad ibn Muhammad Ardabili dikenal sebagai Muqadas Ardabili dan Muhaqiq Ardabili adalah salah satu ulama besar Syiah di abad kesepuluh Hijriah memiliki pengaruh besar pada dinamika yurisprudensi Syiah dan kebangkitan konstituensi Najaf.

Setelah mengenyam pendidikan dasar di tanah kelahirannya, ia berpindah ke Najaf Ashraf untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Hauzah Ilmiah Najaf dari murid-murid Shahid Thani. Muqaddas Ardabili tinggal di kota ini sampai akhir hayatnya untuk memanfaatkan suasana ilmiah dan spiritual Najaf dan mendapat manfaat dari berkah makam suci Imam Ali.

Sheikh Ahmad Ardabili dikenal di kalangan masyarakat sebagai Muqadas Ardabili. Allamah Majlisi menulis tentang kedudukan Muhaqiq Ardabili dalam karyanya dengan menuturkan,"Mohaghegh Ardabili mencapai posisi tertinggi dalam kesucian jiwa, kesalehan, dan kezuhudannya. Beliau termasuk jajaran para sarjana terkemuka dan saya tidak mengenal sosok besar seperti dia Karyanya memiliki tingkat akurasi tertinggi."

Moqaddas Ardabili hidup di era pemerintahan Safawi. Meskipun Raja Safawi memerintah di Iran, tapi menghormati dan berkonsultasi dengan ulama Syiah dari luar negeri, termasuk Najaf, karena berbagai pertimbangan agama dan politik, maupun pemerintah.

Selama periode ini, beberapa ulama Syiah terkenal seperti Muhaqiq Karaki berpindah ke Iran dari Irak, Lebanon dan daerah lain atas permintaan raja Safawi. Para ulama dan pejabat seperti Mohaghegh Thani, Syekh Baha'i, dan Allamah Majlisi memberikan pelayanan bagi perkembangan Islam dengan mengarahkan kebijakan istana Safawi menuju dakawah.

Shah Abbas Safavid juga mengundang Muqaddas Ardabili yang saat itu menjadi ulama besar untuk kembali ke Iran beberapa kali, tetapi ulama mulia ini setiap kali menolaknya. Ia menganggap kehadirannya di Najaf lebih penting.

Meski Muqaddas Ardabili menolak ajakan Syah Abbas untuk kembali ke Iran. Ia selalu memberikan peringatan kepada pemerintahan Safawi dalam masalah keagamaan. Peringatan ini diterima dengan sangat hormat oleh Shah Abbas. Suatu hari, salah seorang pegawai pemerintahan Safawi menimbulkan kemarahan Shah Abbas dan mengungsi ke kota suci Ardabil untuk meminta bantuan dari Muqadas Ardabili. Lalu ulama mulia ini menulis surat kepada Shah, " Pendiri kerajaan pinjaman, Abbas! Ketahuilah, meskipun orang ini awalnya berbuat lalim tapi sekarang dizalimi. Mungkin juga ini dampak dari perbuatanmu sendiri. Hamba raja Ali, Ahmad Ardabili,".

Literatur surat ini sangat menarik dan jitu. Bertentangan dengan kebiasaan umum saat itu, otoritas besar Syiah memulai surat tanpa pujian dan memanggil raja dengan nama kecil, dan pada akhirnya dia menggambarkan dirinya sebagai murid dan atau budak Imam Ali dan bukan hamba raja! Shah Abbas menjalankan perintah Sheikh Ardabili tanpa penundaan dan menulis dalam balasannya, "Kepada Yang Mulia kami sampaikan bahwa Abad telah menjalankan perintah ini dengan suka cita, sehingga Anda tidak melupakan doa baik untuk kami,".





Signifikansi peristiwa semacam dilakukan seorang raja dengan kekuasaannya terhadap seorang ulama Syiah, yang tidak memiliki tentara maupun properti. Hal ini terjadi pada saat para ulama besar Syiah bahkan tidak memiliki keamanan hidup, dan beberapa, seperti Shahid Thani, menjadi syahid dengan kekejaman yang luar biasa.

Ketika Moqadas Ardabili memasuki bidang kegiatan keilmuan dan dakwah, seminari Najaf tidak lagi diibaratkan jaman Syekh Tusi dan hanya sedikit ulama yang menimba ilmu di dalamnya. Dalam situasi yang demikian, Moqaddas Ardabili menghidupkan hauzah Najaf dengan sabar serta dan kemauan yang kuat.

Ayatullah Seyyed Hassan Sadr, salah seorang otoritas besar Syiah di abad ketiga belas dan keempat belas, menulis tentang ini, "Selama masa Muqadas Ardabil, migrasi ilmiah ke Najaf dimulai lagi, seminari diperkuat dan orang-orang dari kota dan kota lain datang ke sana dan kota itu menjadi pusat keilmuan terbesar."

Oleh karena itu, penolakan Muqadas Ardabili untuk kembali ke Iran menyebabkan Hauzah Najaf dihidupkan kembali, seperti halnya penolakan Shahid Thani dan putranya Sheikh Hassan Sahib Moallem dan cucunya Seyyed Mohammad Sahib untuk beremigrasi dari Jabal Amol ke Iran dan tetap berada di wilayah Syam dan Jabal Amol terus berlanjut dan tidak punah.

Salah satu jasa berharga yang dilakukan Muhaqiq Ardabili bagi dunia Syiah adalah mendidik santri yang berilmu dan berpengaruh, yang masing-masing menjadi tokoh dalam bidang keilmuan dan ijtihad serta menjadi sumber karya berharga bagi dunia Islam. Setelah lulus, dia mengajar di Hauzah Najaf dan dengan sabar mengajar mata pelajaran Hauzah kepada murid-muridnya.

Ulama tersebut telah mengulas dengan cermat buku-buku resmi daerah pemilihan Najaf dan tidak mengajarkan beberapa materi yang dianggapnya tidak berguna, sehingga ada lebih banyak kesempatan untuk membahas materi yang utama dan penting. Di antara murid-muridnya yang paling penting adalah Sheikh Hassan, putra Shahid Thani, penulis kitab terkenal Mualim al-Ushul", dan Seyyed Mohammad, cucu Shahid Thani, penulis buku penting "Madarak al -Ahkam ".

Ketulusan dan dedikasi dalam mengajar menjadi salah satu ciri yang menonjol dari Muhaqiq Ardabili. Ulama besar inilah berperan besar dalam kemajuan hauzah Najaf, sangat rendah hati di depan para ulama lain, termasuk di depan murid-muridnya.

Banyak kisah yang diceritakan tentang karakter Muqadas Ardabil, termasuk pada suatu hari Mullah Abdullah Shoushtari, salah seorang murid Muqadas Ardabil, mengajukan pertanyaan kepada gurunya di ruang pelajaran. Muqaddas menjawab pertanyaannya, namun siswa tersebut tidak puas dengan jawaban tersebut dan diskusi berlanjut. Tiba-tiba Muqaddas terdiam dan setelah beberapa saat berkata, "Jika diskusi ini tetap ada, saya harus merujuk ke buku nanti! Setelah meninggalkan majelis itu, Muhaqiq Ardabili memanggil siswa itu untuk dirinya sendiri dan memberikan jawaban yang sangat tepat, sehingga siswa itu yakin dan tidak ada keraguan lagi untuknya.

Lalu dia bertanya, "Tuan, mengapa Anda mengetahui jawaban atas pertanyaan ini dan tidak mengungkapkannya di ruang yang sama? Beliau menjawab, “Karena kita berada di ruang dan di hadapan banyak orang, tidak menutup kemungkinan niat kita adalah untuk berdebat dan menunjukkan kebanggaan serta menunjukkan kebaikan satu sama lain. Padahal Tuhan Yang Maha Esa sedang menyaksikan diskusi kita, ",

Selain itu, ketika salah seorang siswa memintanya untuk berdakwah dan member nasehat, Muqaddas Ardabili menulis catatan yang berisi beberapa hadits dan di akhir dia menulis: "Itu akan mengajarinya." Sikap teladan ulama Syiah sangat berpengaruh terhadap para siswa untuk tekun belajar dan membina moralnya.

Peran sebagian ulama dalam sejarah Syiah begitu menonjol dan berpengaruh sehingga tidak semua aspeknya dapat dijelaskan dalam satu acara. Muqadas Ardabili adalah salah satu bintang cemerlang ulama Syiah di zamannya, bahkan hingga kini.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (28)


Ahmad ibn Muhammad Ardabili dikenal sebagai Muqaddas Ardabili dan Muhaqiq Ardabili adalah salah satu ulama besar Syiah di abad kesepuluh Hijriah dan berasal dari kota Ardabil, Iran.

Muqaddas Ardabili hijrah ke kota Najaf untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan ia mencapai derajat keilmuan yang tinggi sehingga didapuk menjadi marja’ dan pemimpin Syiah di Najaf setelah Syahid Tsani.

Faqih besar ini telah menulis banyak buku di bidang teologi (ilmu kalam), fikih, yurisprudensi, dan sejarah kehidupan Ahlul Bait, dan sayangnya, beberapa di antara karyanya tidak diketahui nasibnya. Karyanya yang paling penting adalah sebuah buku berjudul “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan.”

Kitab tersebut adalah sebuah ensiklopedia fikih argumentatif yang paling terkenal dan menjadi salah satu sumber utama fikih Jakfari yang selalu mendapat perhatian dari para mujtahid. Meskipun kitab ini ditulis sebagai penjelas atas kitab al-Irsyad, karya Allamah Hilli, namun ia sangat detail dan mendalam yang menganalisa dan mempelajari kajian-kajian fikih dengan cermat dan argumentatif.

Salah satu kontribusi penting yang disumbangkan Muqaddas Ardabili di bidang fikih adalah memperkuat bangunan fikih dan ijtihad atas pondasi riwayat. Dalam bukunya, “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan” ia menjelaskan secara lengkap tentang riwayat yang berkaitan dengan cabang-cabang agama, di sela-sela pembahasan fikih dan yurisprudensi.

Sebelum periode Muqaddas Ardabili, para fukaha (ahli fikih) tetap menaruh perhatian pada riwayat dan mengeluarkan fatwa atas dasar riwayat, tetapi metode khusus Muqaddas Ardabili yang memperkuat landasan fikih atas riwayat dan memberikan porsi besar riwayat dalam perkara ijtihad, benar-benar sebuah hal baru dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Setelah adanya buku “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan,” metode fikih (Fiqih al-Riwa'i) yang diperkenalkan oleh Muqaddas Ardabili mulai dikenal luas dan para fukaha lainnya juga mengikuti dia. Inovasi ini sangat penting dan berpengaruh dalam fikih sehingga para ulama menganggap Muqaddas Ardabili sebagai peletak metode baru di bidang fikih.

Muqaddas Ardabili memandang fikih sebagai ilmu bagi kehidupan. Dalam fatwa dan penjelasan hukum fikih, ia mengadopsi sikap yang seimbang dan ‘urf (adat kebiasaan) yang sesuai dengan kebutuhan saat itu dan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.

Ulama besar ini memberikan perhatian khusus pada prinsip mempermudah pelaksanaan perintah-perintah agama. Ia percaya bahwa dalam menjalankan hukum syar’i mulai dari ibadah, jual-beli, hingga persoalan fikih lainnya, orang tidak boleh mendapatkan masalah dan kesulitan tanpa sebab.

Dalam surat al-Baqarah ayat 185 disebutkan, “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” Demikian juga dalam surat al-Hajj ayat 78, “…Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”

Ada banyak ayat dan riwayat lain dengan kandungan yang sama yang menunjukkan bahwa hukum dan perintah agama itu mudah dan tidak sulit untuk dijalankan. Tentu saja, kita membutuhkan petunjuk ulama yang menguasai ayat dan riwayat untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut dan menentukan batas-batas penyederhanaan ini (prinsip kemudahan ini).

Tidak diragukan lagi, Muqaddas Ardabili adalah salah satu ulama yang paling ahli dalam menentukan batasan-batasan ini. Dengan penguasaannya pada al-Quran dan hadis, ia menjelaskan hukum-hukum agama kepada masyarakat sesuai dengan prinsip kemudahan.

Salah satu sifat dominan Muqaddas Ardabili adalah menghormati orang-orang yang menentangnya. Dalam banyak kasus, ia menolak pendapat umum yang berlaku di antara para ulama dan memberikan pendapat dan fatwa baru yang berbeda dengan pandangan orang lain, tentunya berdasarkan penelitian dan kajian yang cermat.

Namun, Muqaddas Ardabili tidak pernah bersikap kasar dengan para ulama senior lain yang tidak sependapat dengannya. Ia mengutarakan pendapatnya dengan cara yang tidak menimbulkan kontroversi dan emosi pihak lain. Misalnya, setelah menolak pandangan umum di kalangan ulama dengan argumentasi ilmiah dan membuktikan pendapatnya, ia menulis, “Apa yang dikatakan oleh para ulama senior (pandangan yang kemudian dikenal sebagai pendapat jumhur ulama), mungkin saya tidak mengerti bahwa (pendapat) itu sesuai dengan pemahaman dan ijtihad saya.”

Atau menulis demikian, “Mungkin para jumhur ulama punya argumen atau memahami sesuatu dari argumen yang ada yang belum saya pahami.” Model pendekatan Muqaddas Ardabili ini telah memelihara iklim sejuk di kancah intelektual dan mencegah masuknya perdebatan yang tidak perlu dan sikap yang tidak rasional dalam masalah fikih.

Ia juga mengadopsi sikap yang rasional dan terpuji dalam bergaul dengan para ulama Sunni. Perbedaan akidah tidak membuatnya meninggalkan sikap adil dan ia tidak pernah membuka lisannya untuk mengucapkan kata-kata kasar. Pada masanya, segelintir orang percaya bahwa menyimpan kitab-kitab Sunni itu pun perbuatan yang salah, tetapi Muqaddas Ardabili yakin bahwa hal yang benar dan salah terdapat dalam kitab-kitab Sunni dan tidak semuanya dapat dianggap sebagai kitab yang menyesatkan.

Sebaliknya, kandungannya yang benar harus dimanfaatkan dan hadis-hadis palsu harus dibuang. Ia percaya bahwa hal yang sahih dapat dipisahkan dari yang batil dengan menunjukkan dalil-dalil.

Dengan pandangan yang terbuka ini, Muqaddas Ardabili mempelajari banyak kitab-kitab Sunni dan dalam beberapa topik, ia menelaah dan mengkritik pandangan para ulama mereka. Ulama Syiah ini juga menekankan perlunya hubungan sosial dengan Sunni, sementara riwayat yang mencela berhubungan dengan para penentang, hanya ditujukan kepada mereka yang membenci dan memusuhi Ahlul Bait, bukan semua penentang.

Semua ini menunjukkan kebijaksanaan dan keterbukaan Muqaddas Ardabili. Meskipun waktu itu sebagian berpikiran ekstrem, ia telah menunjukkan jalan yang benar kapada para siswa di hauzah ilmiah dan mendorong mereka untuk bersikap toleran dan memegang prinsip moral dalam menghadapi lawan serta menutup jalan bagi para oportunis.

Meskipun Muqaddas Ardabili menunjukkan rasa hormat dan ketertarikan yang besar kepada para ulama senior pada masanya, namun ketertarikan ini tidak membuatnya menerima pendapat mereka tanpa argumen yang kuat. Prinsipnya adalah mendalami kembali dan meninjau ulang semua persoalan fikih yang kecil dan besar, bahkan perkara yang sudah diterima dan disepakati. Sehingga ada yang berkata bahwa dia tetap mengkaji perkara yang sudah jelas dan tidak menerimanya tanpa argumentasi.

Sebelum masanya, perdebatan dalam masalah fikih tidak begitu umum. Tetapi karena pemikiran dinamis dan kritis serta pemahaman luas yang dimiliki Muqaddas Ardabili, membuatnya tidak mudah menerima persoalan ilmiah begitu saja dan tidak puas dengan pendapat orang lain. Ia akan membuka penelitian yang serius dan dengan berani mengumumkan pendapatnya kepada publik meskipun bertentangan dengan pandangan jumhur ulama.

Keberanian ulama besar ini dalam mengkritisi pandangan para pendahulunya telah membuka jalan baru dalam fikih serta melahirkan inovasi dan kemajuan di fikih Syiah. Karena itulah, Muqaddas Ardabili – sebagai fakih yang berpikiran terbuka – telah membuka jalan bagi diskusi ilmiah dan adu argumen di bidang fikih.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (29)


Pada dua bagian sebelumnya dibahas tentang ulama besar Abad ke-10 Ahmad bin Mohammad Ardabili yang lebih dikenal dengan Moghaddas Ardabili, dan pelayanan luar biasa yang diberikannya dalam menghidupkan Hauzah Ilmiah Najaf, dan memperkuat ajaran Syiah di Iran.

Selain itu juga sudah dibahas tentang metode fikih khusus Mujtahid Besar Syiah ini, serta jalan yang dirintisnya untuk semakin mengukuhkan fikih Syiah. Sementara pada bagian ini akan dibahas tentang karakteristik kepribadian Mohaghegh Ardabili sehingga sampai dikenal sebagai Moghaddas yang artinya “Orang Suci”.



Mohaghegh Ardabili dengan mengukuhkan fikih pada sandaran riwayat dan interaksi serta penelahaan ulang seluruh pintu fikih, secara berani mengemukakan pendapat barunya, dan karena sikap adil dan rendah hatinya, ia berhasil meyakinkan para penentang.



Mohaghegh Ardabili dengan bersandar pada prinsip kemudahan dalam Islam, percaya bahwa sebagian aturan ketat tanpa argumen yang mempersulit seseorang tidak memiliki landasan agama. Dengan demikian menurut pandangan Ardabili, fikih adalah pengetahuan untuk kehidupan dan kebahagiaan masyarakat. Pada bagian ini akan diulas kepribadian Moghaddas Ardabili yang bisa menjadi teladan praktis bagi kita dalam akhlak dan kesucian jiwa.



Dikarenakan ketakwaannya yang tinggi dan memiliki segudang kemuliaan yang disaksikan masyarakat, ulama besar Syiah ini dikenal sebagai Moghaddas atau orang suci. Diceritakan bahwa selama 40 tahun Ardabili bukan hanya tidak melakukan dosa, bahkan tidak melakukan hal-hal yang makruh dan mubah. Artinya, ia hanyak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mustahab dan wajib saja.



Suatu hari seorang pria bersikeras bertanya kepada Moghaddas Ardabili, apakah Anda benar-benar tidak melakukan dosa ? Ardabili menjawab, “Memangnya Anda makan sesuatu yang najis atau bahkan bersedia untuk sekadar melihatnya ? Pandangan kita terhadap dosa juga seperti ini.”



Benar berdasarkan kesaksian para ulama dan pemuka agama, Ardabili dalam zuhud, takwa dan ibadah telah sampai pada derajat terakhir, dan tidak ada ulama lain yang menyamainya. Selama hidupnya, ia adalah ulama yang paling menjaga diri, paling taat beribadah, dan paling bertakwa, sampai masyarakat biasa pun mengumpamakan dirinya sebagai perwujudan takwa dan kesucian.

Moghaddas Ardabili selain merupakan penjelmaan dari kesucian, bagi masyarakat kebanyakaan bahkan bagi ulama, adalah teladan dalam akhlak yang baik dan pemberani. Banyak kisah yang menceritakan tentang sifat rendah hati, kesabaran, kedermawanan, keberanian, dan kedekatan dengan masyarakat yang dimiliki Ardabili. Mendengar kisah-kisah tersebut dapat membantu manusia mengenal tangga-tangga kemanusiaan.



Di antara kisah itu, ulama besar Syiah ini diceritakan selalu menerima hadiah-hadiah yang diberikan kepadanya mulai dari yang tidak terlalu berharga sampai yang sangat berharga. Terkadang ia menerima hadiah kain yang sangat bernilai setara emas, dan biasanya Syeikh Ardabili akan mengenakan kain semacam itu sebagai serban, lalu pergi keluar rumah dengannya, di perjalanan ia akan memberikan sepotong kain berharga itu kepada setiap fakir miskin yang ditemuinya sehingga ketika tiba di rumah tidak ada lagi yang tersisa selembar pun di kepalanya.



Kedermawanan dan keberanian Moghaddas Ardabili sedemikian tingginya sampai sebagian orang membandingkannya dengan cincin emas. Di masa paceklik, Ardabili membagikan semua yang ada di rumahnya kepada fakir miskin, dan menyisakan untuk keluarganya setara dengan jatah untuk seorang fakir. Suatu kali istri Mohaghegh Ardabili protes, dan mengkhawatirkan anak-anaknya yang kelaparan. Ardabili langsung keluar rumah tanpa menjawab protes istrinya untuk beritikaf di Masjid Kufah.



Dua hari berlalu, seorang pria tak dikenal membawa sejumlah banyak gandum dan tepung ke rumah Ardabili. Pria tersebut mengaku membawakan semua itu atas perintah Ardabili yang sedang beritikaf di masjid. Sekembalinya Ardabili ke rumah, istri beliau mengaku senang dengan kualitas gandum yang dikirimnya, sementara Ardabili sendiri bingung karena merasa tidak pernah menyuruh orang untuk mengirim gandum tersebut, kemudian ia sadar itu merupakan hadiah dari Ilahi dan langsung bersyukur kepada Allah Swt.



Ketawadhuan dan rendah hati merupakan sifat menonjol lain yang dimiliki Moghaddas Ardabili. Diceritakan suatu hari sebuah rombongan melewati kota Najaf, dan bermaksud untuk beristirahat sejenak di sana. Salah satu anggota rombongan yang tampak lelah, dan mukanya penuh debu melihat Moghaddas Ardabili tapi tidak mengenalnya. Ia pun meminta Ardabili untuk mencucikan bajunya yang kotor dan berjanji akan membayarnya.



Moghaddas Ardabili menerima tawaran orang itu dan mencucikan bajunya. Orang-orang yang mengenal Moghaddas Ardabili mencaci pemilik baju sampai ia malu dan meminta maaf, tapi Moghaddas Ardabili dengan tenang berkata, “Hak seorang Mukmin dari saudaranya lebih dari sekadar mencucikan baju, lalu mengapa harus meminta maaf.”



Seluruh usia dan kemampuan Moghaddas Ardabili digunakan untuk berkhidmat kepada ajaran Ahlul Bait as, sehingga ia diberi kesempatan bertemu dengan Imam Mahdi af.

Salah seorang murid Ardabili bernama Mir Feizollah Tafreshi menceritakan, “Suatu malam selepas belajar, saya duduk di kamar saya yang berhadapan dengan Makam Imam Ali as. Saya melihat seseorang melangkah ke Makam Imam Ali as di tengah malam. Saya berpikir mungkin ia seorang pencuri, maka saya pun mengikutinya. Setelah melihatnya dari dekat saya baru menyadari bahwa orang itu adalah Moghaddas Ardabili. Ketika sampai ke dekat Pusara Suci Imam Ali as, pintu-pintu Makam tiba-tiba terbuka. Perasaan ingin tahu saya muncul dan saya terus mengikutinya. Syeikh Ardabili berdiri di depan Pusara Suci Imam Ali dan saya mendengar ia berbicara dengan seseorang. Kemudian ia keluar dan melangkah ke Masjid Kufah. Di dalam masjid dekat mihrab ia berbicara lama dengan seseorang, lalu ia pun pulang.”



Tafreshi menambahkan, “Saat melangkah pulang, akhirnya Moghaddas Ardabili menyadari dirinya sedang diikuti. Saya pun berusaha menjelaskan kepadanya. Setelah meminta saya berjanji untuk tidak menceritakan apa yang terjadi selama beliau masih hidup, Syeikh berkata, ‘Saya menemukan permasalahan dalam pembahasan agama. Saya mendatangi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as, dan saya bertanya kepada beliau. Imam Ali as berkata, hari ini Imam Mahdi af akan datang ke Masjid Kufah, pergilah ke sana dan bertanyalah kepadanya. Lalu saya pun pergi ke Masjid Kufah dekat mihrab, dan menanyakan masalah tersebut kepada Imam Zaman af, dan saya menerima jawabannya.' Berarti orang yang saya lihat di Masjid Kufah itu adalah Imam Mahdi af.”



Ya, di dunia yang bagi kebanyakan orang dipenuhi oleh kegelapan ini, ada sejumlah pembesar yang karena ketakwaan dan kesucian membawa dirinya sampai ke sumber cahaya dan meraih kebahagiaan.



Fakih dan ulama besar Moghaddas Ardabili akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab 993 Hijriah Qamariyah. Cahaya fikih yang menerangi Dunia Syiah dari Kota Ardabil itu redup setelah menjalani seluruh hidupnya dengan kerja keras tak kenal lelah di jalan agama dan syariat abadi Islam.



Ia meninggal dunia di kota suci Najaf, Irak. Syeikh Ardabili meninggalkan banyak karya berharga layaknya cahaya yang menyinari Islam dan Syiah. Tubuh mulia beliau dikebumikan di kompleks Makam Suci Imam Ali as, dengan harapan sebagaimana di dunia ia mencintai Ahlul Bait as, di akhirat pun bisa bersama mereka.



Mengenal Para Ulama Besar Syiah (30)


Salah satu ulama besar dunia Syiah di abad ke-16 adalah Qazi Noorullah Shoushtari yang juga dikelola sebagai Syahid Tsalis.

Budaya dan peradaban manusia berhutang kepada pengorbanan para ulama yang menjaga cahaya kesadaran dan kesalehan masyarakat. Membaca kembali sejarah ulama Syiah menunjukkan dengan baik bagaimana iman yang tulus dan tekad baja mereka, bahkan dalam keadaan yang paling putus asa sekalipun, mampu mengusung panji kebangkitan dan menyerahkannya kepada generasi selanjutnya.

Qazi Noorullah Shoushtari lahir di Shushtar pada tahun 956 H dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan dan keyakinannya. Ayahnya disebut Sayyid Syarif, seorang ulama terkenal, sedangkan kakek, dan saudara-saudaranya merupakan para sarjana dalam ilmu-ilmu intelektual dan sastra. Lima putra Qazi adalah penulis dan ulama terkemuka di masanya.

Setelah mempelajari pendidikan dasar di Shushtar, Qazi Noorullah melakukan perjalanan ke Mashhad untuk berguru kepada para ulama terkemuka seperti Mawla Abdul Wahed Shoushtari dan Mawla Abdul Rashid Shoushtari.

Kemudian Qazi Noorullah Shushtari bermigrasi ke India pada tahun 993 H dan menetap di kota Agra. Saat itu, Akbar Shah memerintah India. Akbar Shah telah menaklukkan kerajaan besar dengan menaklukkan tanah yang berdekatan. Meskipun dia tertarik pada ilmuwan, tapi dia tidak memiliki keyakinan yang kuat pada agama tertentu. Oleh karena ini ateisme meningkat di India, dan agama-agama ilahi berada dalam kelemahan dan kepunahan. Ketika Qazi Noorullah datang ke India, ia diberi perhatian khusus oleh Akbarshah karena ilmu dan kemampuannya yang luar biasa, dan pada usia 35 tahun ia diangkat sebagai hakim.







Shoushtari memberikan syarakat Akbar Shah bahwa dia akan menerima jabatan sebagai hakim hanya jika dia memilih dan bertindak sesuai dengan ijtihadnya dalam pekerjaan, dan tidak meninggalkan lingkaran empat agama Hanafi, Hanbali, Syafi'i dan Maliki. Akbar Shah menerima persyaratan tersebut.

Penguasaan Hakim Noorullah terhadap masalah yurisprudensi Islam yang luas dan matang, sedemikian rupa sehingga fatwa dan penilaiannya diterima oleh ulama Sunni dan membangkitkan kekaguman mereka.

Qazi Noorullah sangat adil dan sangat menentang para penyuap dan penasehat dalam pekerjaannya mengadili, dan dia menghakimi hanya atas dasar keadilan. Beberapa percaya bahwa Qazi Noorullah pertama-tama menyembunyikan keyakinan mazhab yang dianutnya karena Taqiyah. Tapi kelompok sejarawan lain percaya bahwa menurut beberapa bukti sejarah seperti perdebatan, tulisan dan komentar para ulama pada waktu itu, menunjukkan tentang keyakinannya sebagai penganut Syi'ahnya yang dikenal oleh orang-orang sezamannya. Bahkan beliau dikenal sebagai salah satu ulama yang menjelaskan dan mempromosikan Syiah dan cinta Ahl al-Bayt di India.

Qazi Noorullah Shoushtari adalah seorang penulis yang cakap, produktif dan penyair berbakat yang melakukan yang terbaik untuk menyebarkan agama Syiah. Karya terpenting ulama syahid ini adalah buku-buku terkenal "Ahqaq al-Haqq wa Azhaq al-Batil" dan "Majalis al-Mu'minin".

Ketika itu, salah seorang ulama Syafi'i dari Iran telah menulis sebuah buku berjudul "Ibtal Nahj al-Batil" yang menolak kepercayaan Syi'ah yang isinya telah menyebabkan penganiayaan terhadap Syi'ah.

Qazi Noorullah menulis kitab "Ahqaq al-Haqq wa Azhaq al-Batil" yang abadi dalam sejarah. Beberapa orang percaya bahwa penulisan buku inilah yang menyebabkan kesyahidan Qazi Noorullah.





Buku Majalis al-Mu'minin adalah karya abadi lain Qazi Noorullah Shoushtari, yang merupakan buku terkenal yang ditulis dalam bahasa Persia. Qazi Noorullah juga menulis buku ini untuk membela Syiah. Ketika itu ada pihak yang menyebut kemunculan Syi'ah bukan awal dari Islam tetapi era Safavi di Iran abad ke-14.

Dalam buku ini, penulis memperkenalkan sejarah Syiah dan para tokohnya. Buku ini, yang dianggap semacam ensiklopedia, ditulis empat ratus tahun yang lalu dalam situasi di mana tidak ada alat penelitian modern dan tidak ada kondisi politik dan sosial untuk penelitian bebas para sarjana Syiah. Namun iman yang kuat dan kemauan yang tinggi, menyebabkan Qazi Noorullah Shoushtari menyelesaikan penulisan buku ini. Meskipun dia tidak mengharapkan penghargaan, dan ketenaran, tetapi demi kecintaannya pada ajaran Islam Syiah.

Qazi Noorullah Shoushtari selama hidupnya aktif membimbing masyarakat dan menjalankan tugasnya sebagai hakim yang berusaha adil dan mengajar di India sampai kematian Akbar Shah wafat. Kemudian, pada masa pemerintahan putra Akbar Shah, Jahangir Shah, kebencian terhadap Qazi Noorullah meningkat dan musuh-musuhnya berusaha keras untuk mengubah pandangan Jahangir Shah tentang beliau.

Setelah Qazi Noorullah menulis buku Majalis al-Mu'minin, musuh-musuhnya memutuskan untuk melenyapkannya, dan akhirnya, dengan fitnah yang ditujukan kepadanya, mereka membujuk raja untuk menjatuhkan hukuman kepada Qazi Noorullah dan mencambuknya berulang kali hingga beliau gugur.

Ketika itu Qazi Noorullah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan alasan ini, ia disebut martir ketiga. Jenazah Qazi Noorullah Shushtari yang berdarah dimakamkan di Akbarabad, India. Makam ulama alim ini kini menjadi tempat ziarah para pecinta mazhab Ahl al-Bayt. Qazi Noorullah mengakhiri hidupnya sebagaimana uacapan mulia Imam Ali bin Abi Thalib, “Allah telah menetapkan kematian bagi satu golongan dan kematian bagi golongan yang lain, dan masing-masing akan mencapai waktu yang telah ditentukan sebagaimana ketetapan-Nya. Maka berbahagialah para mujahidin karena terbunuh di jalan ketaatan kepada Allah,”.




Daftar Isi:

Mengenal Para Ulama Besar Syiah1


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (22)2


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (23)7


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (24)13


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (25)19


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (26)25


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (27)31


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (28)36


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (29)41


Mengenal Para Ulama Besar Syiah (30)

46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...