Rabu, 17 November 2021

IMAM HUSEIN ALAIHIS SALAM DALAM KITAB-KITAB SEJARAH



Mengenal Keutamaan Imam Husain as


Bulan Muharram telah hadir di pelupuk mata kita. Bulan ini merupakan bulan yang agung karena terdapat berbagai peristiwa penting nan bersejarah di bulan ini. Sebagian kaum muslimin menyambut bulan ini dengan suka cita, karena bulan ini merupakan awal dari bulan Hijriyah sekaligus pembuka awal tahun baru Islam. Sebagian lagi memandang bulan ini sebagai bulan duka, hal itu lantaran di bulan ini pernah terjadi tragedi agung yang berdarah, dimana keluarga Rasul Saw yang saat itu dipimpin oleh Imam Husain dibantai dengan keji oleh orang-orang durjana yang mengaku muslim. Peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa Asyura yang terjadi pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah di Karbala Irak.



Pada seri kali ini dan seri-seri berikutnya kita akan membahas seputar hal-hal atau syubhat-syubhat yang berkaitan dengan Imam Husain, Asyura, pergerakan revolusi beliau di Karbala dan lainnya. Namun sebelum itu, hendaknya kita untuk mengenal terlebih dahulu sosok pribadi agung yang menjadi peran utama dalam peristiwa bersejarah tersebut sekaligus menjadi tokoh inspirasi bagi pejuang-pejuang besar di dunia dalam melawan kezaliman. Dialah Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib as.



Secara Nasab, Imam Husain memiliki jalur Nasab yang begitu mulia. Beliau merupakan cucu dari seorang insan yang paling sempurna, penghulu para nabi yaitu Muhammad Saw, dan juga cucu dari salah satu wanita termulia Sayyidah Khadijah. Ayah beliau adalah penghulu para washi Ali bin Abi Thalib dan ibunya adalah penghulu para wanita di seluruh alam Fathimah Az-Zahra as. Dan dari sulbi beliau terlahir para imam sampai pada imam Mahdi Af sebagaimana yang diyakini dalam Mazhab Syiah.



Selain dari sisi nasab, beliau juga banyak memiliki keutamaan-keutamaan lainnya yang sangat agung. Beliau merupakan salah satu dari Ahlul Bait Nabi yang disucikan Allah Swt seperti yang terdapat di surat Al-Ahzab ayat 33. Beliau merupakan Al-Qurba yang wajib untuk kita cintai sebagai upah Rasulullah Saw seperti yang tercantum dalam ayat Mawaddah di Surat As-Syura ayat 23. Beliau juga merupakan salah satu anggota keluarga Nabi Saw yang diajak bersama Nabi untuk bermubahalah seperti yang termaktub di ayat Mubahalah pada surat Ali Imran ayat 61.



Disamping itu terdapat keutamaan-keutamaan lainnya yang tercatat dalam sebuah riwayat atau terucap dari lisan Suci Rasulullah Saw. Diantaranya yang masyhur ialah bahwa Imam Husain beserta saudaranya Imam Hasan as merupakan penghulu pemuda Ahli Surga. Hadis ini sangat terkenal dan banyak di nukil oleh para ahli hadis, Sehingga ulama tersohor Jalaluddin As-Suyuti mengkategorikan hadis tersebut sebagai hadis yang mutawatir dan mencatatnya di kitabnya Al-Akhbar Al-Mutawatiroh.



“Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua penghulu pemuda Ahli Surga”



Imam Husain as juga menjadi sebuah barometer dan standar kecintaan terhadap Rasulullah Saw. Dikatakan sesiapa yang mencintainya berarti mencintai Rasulullah dan sesiapa yang membencinya berarti membenci Rasulullah. Seperti yang termaktub dalam kitab Al-Mustadrak karya Al-Hakim An-Nisaburi.



“…dari Salman Ra ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw berkata: Al-Hasan dan Al-Husain adalah putraku, sesiapa yang mencintai keduanya berarti mencintaiku, dan sesiapa yang mencintaiku, maka Allah mencintainya, dan sesiapa yang dicintai Allah maka akan dimasukkan kedalam surga. Dan sesiapa yang membenci keduanya, berarti ia membenciku, dan sesiapa yang membenciku, maka Allah membencinya, dan sesiapa yang dibenci Allah, maka ia akan dimasukkan ke neraka.”



Dan masih banyak lagi keutamaan keutamaan lainnya yang dimiliki oleh Imam Husain as yang bisa kita temukan dalam referensi-referensi lainnya.



Dengan begitu jelasnya keutamaan yang dimiliki oleh Imam Husain as, sungguh celaka mereka yang berani berhadapan melawan imam Husain as dan membantai beliau beserta keluarganya secara keji di hari Asyura.



Tidakkah mereka mendengar apa yang disabdakan Nabi Saw tentang Imam Husain as?



Mengenal Keutamaan Imam Husain as (2)



Dengan masuknya bulan Muharram; bulan yang berhubungan dengan tragedi karbala, tulisan-tulisan yang dimuat akan mengkaji sosok agung imam Husain AS dan peristiwa maha dahsyat yang menimpanya.



untuk melihat peristiwa karbala dengan jernih perlu untuk terlebih dahulu mengkaji sosok utama yang melakoni tragedi kemanusian ini. sebab dengan melihat keagungan serta keutamaan sosok ini kita akan dapat menilai dan melihat peristiwa ini secara utuh. sehingga bisa menempatkan sosok agung ini dan para musuhnya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.



secara umum, keutamaan imam Husain AS dapat ditinjau dari dua sisi. Ditinjau dari sisi keutamaan beliau bersamaan dengan keutamaan Ahlulbait lainnya. Di mana dalam tinjauan ini keutamaan imam Husein disebutkan bersamaan dengan keutamaan Ahlulbait Lainnyan. Hal ini dapat dilihat pada tulisan-tulisan sebelumnya. Seperti turunnya ayat Tathhir dan shalawat khusus bagi mereka.



Tinjauan lainnya adalah melihat keutamaan imam Husain AS secara khusus tanpa menyertakan Ahlulbait lainnya. Di mana Tulisan sebelumnya telah mengungkap satu sisi dari keutamaan imam husain As dengan tinjauan ini.



Tulisan kali ini akan mengungkap keutamaan lainnya melalui riwayat yang hanya mengungkap keutamaan imam Husein AS.



Diriwayatkan di dalam kitab al-Mustadrak Ala al-Shahihain bahwa imam husein adalah dari rasulullah SAWW:



“ Dari Ya’la al-Amiri,……….lalu Nabi SAWW bersabda: Husain dariku dan Aku dari Husain. Allah mencintai siapa yang mencintai Husain. Husain seorang sabth dari para sabth.[1]



Disamping mengungkap bahwa imam Husain As adalah dari Rasulullah dan begitu juga sebaliknya, riwayat ini juga mengungkap bahwa kecintaan terhadap imam Husain merupakan kecintaan terhadap Allah SWT.sebagaimana pada seri sebelumnya juga telah disebutkan.



Mengenal Keutamaan Imam Husain as (3)



Di dalam lembaran sejarah Islam, tragedi Karbala yang menimpa Imam Husain dan keluarga nabi tertulis dengan jelas. Kedukaan menimpa mereka, sebab cucu nabi yang tercinta itu dipenggal kepalanya oleh pasukan Yazid bin Mua’wiyah.



Meski tragedi Karbala identik dengan linangan air mata, tak berarti hanya kesedihan yang kita dapatkan manakala kita membaca atau mendengar sejarahnya. Bahkan, ada banyak hal positif yang bisa kita dapatkan dari perjalanan Imam Husain.



Hal positif yang bisa kita dapatkan itu, ialah spirit Imam Husain dalam melawan segala bentuk kezaliman, dan keutamaan yang dimiliki oleh adik dari Imam Hasan itu. Berbicara tentang keutamaannya tentu sangat banyak, salah satunya yang termaktub di dalam kitab-kitab Ahlusunnah.



Imam Husain adalah cucu nabi yang oleh para mufasir/ulama, namanya dikaitkan dengan beberapa ayat al-Quran tentang keutamaan keluarga nabi. Sebut saja Muslim, di dalam kitabnya yang sangat masyhur, Shahih Muslim ia memasukkan nama Imam Husain bersanding dengan nama Rasulullah saw., Imam Ali, Sayyidah Fathimah dan Imam Hasan di dalam sebuah ayat terkait peristiwa Mubahalah.



فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ .



“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali-Imran: 61).



Terkait ayat di atas, Imam Muslim menulis sebagai berikut.



وَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ : فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ سورة آل عمران آية ۶۱ ، دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا ، وَفَاطِمَةَ ، وَحَسَنًا ، وَحُسَيْنًا ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلِي .



Ketika turun ayat ini (ayat Mubahalah), Rasulullah saw. Menyeru Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain, lalu nabi berkata, “Ya Tuhan (bersaksilah) mereka adalah Ahlulbaitku.”[2]



Dari paparan di atas, sudah jelas, bahwa Imam Husain adalah keluarga Nabi saw. Kita tahu, mereka adalah manusia yang dipenuhi keutamaan dan kemuliaan, maka celakalah mereka yang memusuhi Imam Husain dan Ahlulbait Nabi saw.



Yazid dalam Catatan Sejarawan dan Ahli Hadis



Bulan Muharram merupakan awal bulan dalam hitungan penanggalan Hijriyah yang menandakan pergantian tahun dan seharusnya diwarnai dengan kegembiraan, namun dalam catatan sejarah Islam, pada bulan tersebut terjadi tragedi duka yang menimpa cucu kesayangan nabi Muhammad saw, Imam Husein bin Ali yang disertai oleh keluarga dan beberapa sahabatnya.



Peristiwa itu tak lain adalah pembantaian secara sadis dan tidak manusiawi yang dipelopori oleh Yazid bin Muawiyah -penguasa saat itu yang mendapatkan otoritas sepeninggal Muawiyah- terhadap rombongan Imam Husein as yang hendak mendatangi wilayah Kufah. Keputusan Yazid ini berangkat dari penolakan cucu nabi itu untuk memberikan baiat terhadapnya dalam hal menjadi Amir (pemimpin atau penguasa) kaum muslimin pada masa itu.



Salah satu alasan penolakannya ber-baiat yang diutarakan oleh Imam Husein as saat ia berbicara dengan Abdullah bin Zubair ialah bahwa Yazid adalah seorang fasik yang secara terang-terangan menunjukkan kefasikannya, peminum Khamr (arak), seorang yang bermain-main dengan anjing dan macan serta membenci keluarga nabi saw.[3]



Berangkat dari pernyataan di atas, kita akan melihat seperti apakah sosok Yazid bin Muawiyah sebenarnya dalam catatan para penulis sejarah dan hadis, sebagai berikut:
1. At-Thabrani (260 – 360 H)



Mengenai riwayat hidup Yazid bin Muawiyah, ia mencatat:



أنبأنا أبو الفرج غيث بن علي عن أبو بكر الخطيب عن أبو نعيم الحافظ عن سليمان بن أحمد عن محمد بن زكريا الغلابي عن ابن عائشة عن أبيه قال: كَانَ يَزِيدُ فِي حَدَاثَتِهِ صَاحِبَ شَرابٍ يَأْخُذُ مَأْخَذَ الْأَحْدَاثِ، فَأَحَسَّ مُعَاوِيَةُ بِذَلِكَ فَأَحَبَّ أَنْ يَعِظَهُ فِي رِفْقٍ



Dari Ibnu Aisyah dari ayahnya berkata: “Yazid pada masa mudanya sering menghabiskan waktu bersama minuman (Khamr), kemudian Muawiyah menyadari hal itu dan ingin menasehatinya dengan lembut.”[4]
2. Al-Ya’qubi ( wafat 284 H)



Ia mencatat pernyataan Ziyad ketika diminta oleh Muawiyah untuk mengambil baiat untuk Yazid dari masyarakat Bashrah. Ziyad mengirim utusan untuk menyampaikan pesan pada Muawiyah:



فما يقول الناس إذا دعوناهم إلى بيعة يزيد، و هو يلعب بالكلاب و القرود، و يلبس المصبّغات، و يدمن الشراب، و يمشي على الدفوف و بحضرتهم الحسين بن علي، و عبد اللّه بن عباس، و عبد اللّه ابن الزبير، و عبد اللّه بن عمر؟ و لكن تأمره يتخلّق بأخلاق هؤلاء حولا أو حولين فعسانا أن نموّه على الناس



Apa yang akan dikatakan orang-orang jika kami meminta mereka untuk berbaiat pada Yazid, sedangkan ia (Yazid) adalah seorang yang bermain-main dengan anjing dan kera, mengenakan pakaian warna-warni, selalu bersama minuman (mabuk-mabukan) serta menari dengan (iringan) rebana, sementara di tengah masyarakat terdapat sosok Husein bin Ali, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar? Namun (pertama) engkau perintah dulu Yazid untuk berlaku dengan sikap mereka selama setahun atau dua tahun, mudah-mudahan kami dapat menyamarkannya bagi orang-orang.[5]



Begitu pula Ya’qubi mencatat pada halaman yang lain, ketika Muawiyah berusaha untuk mengambil baiat dari penduduk Mekah dan Madinah setelah wafatnya Imam Hasan as, mereka semua memberikan baiat kecuali empat orang; Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdurahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair.



و قال عبد اللّه بن عمر: نبايع من يلعب بالقرود و الكلاب و يشرب الخمر و يظهر الفسوق، ما حجّتنا عند اللّه؟ و قال ابن الزبير: لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق و قد أفسد علينا ديننا



Abdullah bin Umar berkata: “Apakah kami (harus) berbaiat pada orang yang bermain-main dengan kera dan anjing, meminum Khamr dan menampakkan kefasikan? Apa hujjah kami di sisi Allah?” Ibnu Zubair berkata: “Tidak ada ketaatan terhadap makhluk yang bermaksiat pada Khalik dan ia (Yazid) telah merusak agama kami.”[6]



Dari beberapa catatan di atas terlihat jelas seperti apa sebenarnya sosok Yazid bin Muawiyah, dilihat dari bagaimana orang-orang pada masa itu mengomentari sifat dan prilakunya. Dengan karakternya yang seperti itu, mana mungkin ia layak menjadi pemimpin bagi seluruh muslimin, oleh karena itu Imam Husein as yang hingga akhir hayatnya dengan tegas menolak untuk berbaiat padanya.



Yazid dalam Catatan Sejarawan dan Ahli Hadis (2)


Sebelumnya telah kita bahas beberapa keutamaan dari Imam Husain as. Dan dalam hal ini, sebenarnya masih sangat banyak sekali keutamaan-keutamaan lain beliau yang tercatat dalam berbagai referensi lainnya. Namun, kami tidak akan bisa untuk memaparkan secara keseluruhan dari keutamaan beliau disini. Pembaca yang Budiman bisa merujuk atau meneliti pada sumber-sumber lainnya jika ingin mengenal lebih jauh tentang melimpahnya keutamaan yang dimiliki oleh Imam Husain as.



Adapun pada seri ini, seperti seri sebelumnya, kita akan mengupas tentang sosok utama yang menjadi pelopor atas syahidnya Imam Husain dan terbantainya keluarga beliau beserta para sahabatnya di Karbala, dialah Yazid bin Muawiyah.



Berbanding terbalik dengan Imam Husain, Yazid bin Muawiyah tercatat dalam berbagai referensi Islam sebagai figur yang tercela. Dalam kitab Tarikh Al-Islam milik Ad-Dzahabi tercatat bahwasannya Yazid adalah pembunuh Imam Husain beserta saudaranya dan keluarganya. Ia juga suka meminum Khamr dan mengerjakan kemungkaran. Sehingga orang-orang membencinya dan bangkit melawannya.



Aku katakan: karena kejahatan yang dilakukan Yazid terhadap penduduk Madinah, dan membunuh Al-Husain beserta saudara dan keluarganya, meminum Khamr juga mengerjakan segala sesuatu yang mungkar, orang-orang membencinya, dan tidak sedikit orang keluar melawannya, dan Allah tidak memberkahi hidupnya…



Ahmad bin Hanbal, salah satu imam Mazhab Ahlussunnah ketika ditanya mengenai Yazid ia mengatakan bahwa Yazid adalah sosok yang telah membunuh beberapa sahabat Nabi Saw di Madinah, Yazid pula pernah merusak dan menjarah Madinah. Komentar tersebut termaktub dalam kitab As-Sunnah karya Abu Bakr Al-Khallal.



…Muhanna mengatakan: aku bertanya pada Ahmad tentang Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia berkata: Apa yang dia lakukan terhadap Madinah? Aku berkata: Apa yang telah dia lakukan? Ahmad berkata: ia telah membunuh beberapa dari Sahabat Nabi Saw di Madinah, dan ia telah melakukan, aku berkata: apa yang ia lakukan? Ahmad berkata: ia telah merusak dan menjarah Madinah. Aku berkata: adakah sebuah hadis yang disebutkan darinya? Ahmad berkata: tidak ada hadis yang disebutkan darinya, dan tidak pantas bagi siapapun untuk menulis sebuah hadis darinya. Aku berkata pada Ahmad: siapa yang bersamanya ketika melakukan kejahatan di Madinah? Ahmad berkata: penduduk Syam? Aku berkata: dan penduduk Mesir, Ahmad berkata: tidak, penduduk mesir hanya bersama mereka pada perkara Utsman Ra.



Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa juga mencatat betapa bobroknya sifat dan perbuatan Yazid. Disebutkan bahwa Yazid adalah orang yang menikahi ibu-ibu tirinya sekaligus putri-putrinya juga saudari-saudarinya, ia meminum Khamr dan juga meninggalkan shalat.



Dari uraian di atas sudah sangat jelas betapa tercelanya kepribadian dari seorang Yazid bin Muawiyah. Keburukan serta perbuatan tercela yang dilakukan oleh Yazid banyak terekam dalam kitab-kitab sejarah ataupun dalam riwayat-riwayat. Dan Yazid merupakan sosok yang sangat berperan dalam terjadinya musibah besar di hari Asyura.



Putra Yazid Membongkar Kebobrokan Ayah dan Kakeknya



Sebelumnya telah banyak disebutkan keutamaan imam Husain As baik secara khusus maupun secara umum yang berbarengan dengan penjelasan tentang keutamaan Ahlulbait Nabi SAWW.



Pada beberapa tulisan sebelumnya juga telah dijelaskan tentang kebobrokan akhlak dan perilaku Yazid yang merupakan oknum utama dibalik kesyahidan imam Husain AS.



Realita ini akan dapat memberikan kita gambaran yang lebih obyektif terkait peristiwa Karbala. Dengan artian bahwa membandingakan kedua sosok imam Husain AS dan Yazid akan memberikan petunjuk bagi kita dalam menilai kejadian yang maha dahsyat ini.



Melihat sosok imam Husain dengan segala keutamaannya akan menggiring kita kepada kesimpulan bahwa beliau ada di pihak kebenaran dan menyaksikan yazid dengan segudang kebobrokannya akan mendorong kita untuk menempatkannya ke dalam golongan yang salah.



Untuk itu dalam tulisan kali ini kita akan melanjutkan seri sebelumnya yang mengulas tentang sosok Yazid. Yang dimuat pada tulisan ini adalah catatan Ibn Hajar al-haitsami tentang pernyataan Muawiyah bin Yazid yang merupakan anak Yazid sendiri:



“Termasuk diantara kelayakannya secara lahiriah adalah, ketika diangkat menjadi khalifah, ia naik mimbar lalu berkata: sesungguhnya perkara kekhalifahan adalah tali Allah. Dan sungguh kakekku Muawiyah telah merebut urusan itu dari pemiliknya yang berhak. Dan yang lebih berhak darinya atas hal itu adalah Ali bin Abi Thalib. Dan ia bertindak terhadap kalian sebagaimana kalian ketahui sehingga kematian mendatanginya dan di dalam kuburnya ia diliputi oleh dosa-dosanya. Setelah itu ayahku diserahkan urusan itu (kekhalifahan) padahal ia tidak layak mendapatkannya. Kemudian ia berseteru dengan anak putri Rasulullah SAWW. Lalu hidupnya berakhir dan ia terjebak dengan dosa-dosanya. Kemudian ia menangis dan berkata: sungguh hal yang paling besar atas kami adalah pengetahuan kita akan keburukan posisi dan tempat kembali ayahku. Sungguh ia telah membunuh keturunan Rasulullah SAWW, membolehkan minum khamar dan menghancurkan Ka’bah. Dan aku belum merasakan manisnya kekhalifahan oleh karena itu aku tidak akan menanggung kepahitannya. Berikanlah pendapat dalam urusan kalian. Jika dunia itu baik, sungguh kami telah meraih sebagiannya, dan jika hal iu buruk, maka apa yang menimpa keturunan Abu Sofyan sudah cukup.[7] ”



Catatan ini dapat memnjelaskan banyak hal. Disamping mengungkap keburukan Yazid berupa membunuh keturunan Nabi, membolehkan minum khamar dan menghancurkan ka’bah, literatur ini juga mengungkap bahwa khalifah yang berhak adalah Ali AS dan Imam Husain. Adapun Muawiayah dan Yazid telah melakukan perampasan.



Ulama-ulama Sunni yang Membolehkan Melaknat Yazid



Dalam melihat peristiwa Karbala, maka kita dihadapkan pada dua lembar. Pertama, lembaran putih. Kedua, lembaran hitam.



Lembaran putih tentu menunjukkan perjuangan suci Imam Husain as, sementara lembaran hitam menunjukkan kezaliman Yazid bin Muawiyah dan sekutunya pada Ahlulbait Nabi.



Di dalam tulisan ini, penulis hanya akan memfokuskan Yazid bin Muawiyah yang dikenal kejam dan zalim. Lebih dari itu, menurut penuturan para ulama dikenal sebagai ahli maksiat, seperti yang diulas di beberpara tulisan sebelumnya.



Dengan membaca tulisan sebelumnya, sedikit-banyak kita tahu tentang kekejaman Yazid terhadap Imam Husain dan keluarga Nubuwah. Atas dasar itu, tak sedikit para ulama yang membolehkan melaknat ke Yazid.



Meski begitu, ada pula para ulama yang melarang untuk melaknat Yazid bin Muawiyah, seperti Ibn Taimiyah dan yang lainnya. Di bawah ini adalah sebuah pernyataan para ulama tentang kebolehan melaknat Yazid bin Mua’wiyah.



Sesungguhnya Imam Ahmad secara jelas menukil tentang pelaknatan Yazid. Begitu pula dengan Imam Malik dan Abu Hanifah yang secara terang-terangan menukil tentang pelaknatan pada Yazid. Di dalam mazhab Imam Syafi’i juga terdapat sebuah perkataan tentang pelaknatan pada Yazid. Pun dengan Ustaz Bakri.



Ibnu Jauzi berkata, “Para ulama yang wara’ membolehkan pelaknatan pada Yazid.”



Ibnu Jauzi menyusun sebuah kitab tentang pelaknatan pada Yazid.



Ibnu Sa’di menjelaskan, “Saya tidak ragu akan ketidakberislaman dan ketidakberimanan Yazid. Maka laknat Allah untuknya (Yazid) dan para pengikutnya.”



Orang yang menggunakan akalnya dengan baik, ia akan selalu berpikir dengan adil, tak terkecuali adil dalam menilai sikap Yazid yang zalim, apalagi kezaliman itu ia nisbahkan kepada cucu Baginda Nabi Saw. Maka, akal kita menilai bahwa tiada hal yang salah apabila kita melaknat orang-orang setamsil Yazid.



At-Taftazani Melaknat Yazid dan Para Pengikutnya




Pada tulisan-tulisan sebelumnya, telah dikupas betapa bobroknya dan buruknya perilaku Yazid selama ia hidup. Ia dengan terang-terangan meminum khamr, meninggalkan shalat, menyerang Madinah, menghancurkan Ka’bah, dan yang paling buruk dan kejam, ia menjadi aktor utama dalam musibah pembantaian keluarga Nabi Saw pada Hari Asyura, sehingga imam Husain as beserta keluarganya dan para sahabatnya Syahid di tanah Karbala.



Dengan banyaknya kebobrokan dan keburukan yang dilakukan oleh Yazid secara terang-terangan, maka tak heran banyak dari ulama-ulama Islam yang melaknatnya dan membolehkan untuk melaknatnya. Salah satunya adalah ulama tersohor dari kalangan Mazhab Ahlussunnah yaitu At-Taftazani.



Beliau ketika berkomentar tentang Yazid mengatakan bahwa bolehnya melaknat Yazid telah disepakati, karena Yazid ridho akan terbunuhnya imam Husain as dan bergembira atas hal itu, dan Yazid juga telah menghinakan keluarga Rasul Saw. Dan diakhir perkataannya beliau melaknat Yazid beserta para penyokongnya dan rekan-rekannya.



Perkataan At-Taftazani tersebut termaktub dalam kitab Syadzarot Ad-dzahab fi Akhbari man Dzahab milik Syihabuddin Ad-Dimasyiqi.



At-Taftazani berkata dalam kitab Syarhul ‘Aqoid an-Nasfiyah: telah disepakati atas bolehnya melaknat sesiapa yang membunuh Al-Husain atau yang memerintahkan pembunuhan tersebut, atau yang mengizinkan pembunuhan tersebut, atau yang ridho terhadap pembunuhan tersebut. Ia berkata: dan benar bahwa Yazid ridho akan terbunuhnya Al-Husain dan bergembira atas hal tersebut, juga penghinaanya terhadap Ahlul Bait Rasul Saw telah mencapai derajat tawatur meskipun rinciannya dalam khabar-khabar wahid, ia berkata: kami tidak berhenti perihal keadaannya, bahkan kami tidak ragu dalam kekafirannya dan keimanannya, semoga Allah melaknatnya, dan melaknat para penyokongnya, juga rekan-rekannya.



Uraian diatas menjelaskan akan keyakinan At-Taftazani dalam bolehnya melaknat Yazid, bahkan tidak hanya Yazid, tapi siapapun yang membunuh imam Husain as, yang ridho dan bergembira akan hal tersebut, juga melakukan penghinaan terhadap Ahlul Bait Rasul Saw, maka ia boleh dilaknat.



Dan perlu diketahui bahwa pelaknatan terhadap Yazid pernah dilakukan dan terucap dari lisan Suci Rasulullah Saw jauh sebelum adanya peristiwa Asyura. Pembahasan mengenai hal tersebut pernah kita kupas pada tema Caci Maki dan Laknat di seri-seri sebelumnya, dimana saat itu Rasulullah Saw melaknat Abu Sufyan, Muawiyah dan putranya Yazid ketika mereka bersama keledainya melewati Rasul Saw.



Ulama-Ulama Sunni yang Membolehkan Melaknat Yazid (2)




Tragedi Karbala yang terjadi pada bulan Muharram 61 H, merupakan salah satu bentuk kezaliman yang dapat kita temukan dengan jelas dalam sejarah Islam dari pemerintahan Umawi yang saat itu mahkotanya berada di kepala Yazid putra Muawiyah.



Putra Muawiyah tersebut sejak awal dikenal sebagai sosok yang sering bermabuk-mabukan, hura-hura dan melakukan kefasadan lainnya secara terang-terangan. Dengan semua tingkahnya itu, tidak aneh jika ia akan mengunakan kekuasaan yang diwariskan padanya seenak hati dan jauh dari aturan Islam. Hal ini secara gamblang telah diulas pada seri-seri yang lalu; bagaimana ia bersikap terhadap sayyidina Husein dan rombongannya di Karbala, apa yang ia lakukan setelah peristiwa itu dengan menyerang Madinah dan Mekah, serta lain sebagainya.



Atas tindak-tanduknya ini, tentu banyak dari ulama Islam mengecam bahkan melaknat Yazid dan orang-orang yang berada di bawahnya. Perihal ini juga telah kami ulas dalam beberapa seri sebelumnya.



Di antara perbuatan-perbuatan keji putra Muawiyah ini yang diakui oleh imam Ahmad bin Hanbal, adalah peristiwa penyerangan Madinah. Ucapan beliau dimuat dalam kitab As-Sunnah karya Abu Bakr bin Muhammad Al-Khallal. Sebagai berikut (dalam seri ini):



أَخْبَرَنِی مُحَمَّدُ بْنُ عَلِیٍّ، قَالَ: ثَنَا مُهَنَّى، قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ عَنْ یَزِیدَ بْنِ مُعَاوِیَةَ بْنِ أَبِی سُفْیَانَ، قَالَ: هُوَ فَعَلَ بِالْمَدِینَةَ مَا فَعَلَ؟ قُلْتُ: وَمَا فَعَلَ؟ قَالَ: قَتَلَ بِالْمَدِینَةِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِیِّ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ وَفَعَلَ، قُلْتُ: وَمَا فَعَلَ؟ قَالَ: نَهَبَهَا، قُلْتُ: فَیُذْکَرُ عَنْهُ الْحَدِیثُ؟ قَالَ: لَا یُذْکَرُ عَنْهُ الْحَدِیثُ، وَلَا یَنْبَغِی لِأَحَدٍ أَنْ یَکْتُبَ عَنْهُ حَدِیثًا، قُلْتُ لِأَحْمَدَ: وَمَنْ کَانَ مَعَهُ بِالْمَدِینَةِ حِینَ فَعَلَ مَا فَعَلَ؟ قَالَ: أَهْلُ الشَّامِ؟ قُلْتُ لَهُ: وَأَهْلُ مِصْرَ، قَالَ: لَا، إِنَّمَا کَانَ أَهْلُ مِصْرَ مَعَهُمْ فِی أَمْرِ عُثْمَانَ رَحِمَهُ اللَّهُ



Telah mengabarkan padaku Muhammad bin Ali, berkata: Telah berbicara pada kami Muhanna, berkata: Aku bertanya pada Ahmad (bin Hanbal) mengenai Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan, ia berkata: Ia telah mengerjakan sesuatu di Madinah sekehendaknya. Aku berkata: Apa yang telah ia kerjakan? Ia menjawab: Ia telah membunuh beberapa orang dari golongan sahabat nabi saw dan berlaku sesukanya. Aku bertanya: Apa lagi yang talah ia kerjakan? Ia menjawab: Ia merampasnya (menjadikan Madinah seperti rampasan). Aku bertanya: Apakah dinukil hadis darinya? Ia menjawab: Tidak dinukil darinya hadis, dan tidak pantas bagi siapapun untuk menukil hadis darinya (Yazid). Aku berkata: Dan siapa yang bersamanya di Madinah ketika melakukan hal dengan sesukanya tersebut. Ia menjawab: Penduduk Syam. Aku berkata padanya: Dan penduduk Mesir? Ia berkata: Tidak, penduduk Mesir bersama mereka dalam urusan Utsman ra.[8]



Dari ulasan di atas secara jelas kita pahami bahwa perbuatan Yazid bin Muawiyah sangat jauh dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Apalagi kita ketahui bahwa yang ia serang dan jarah ini adalah Madinah yang merupakan kota nabi saw serta yang menjadi korbannya adalah orang-orang muslim bahkan diantaranya adalah para sahabat.



Dalam kaitannya dengan hal ini Syahabuddin Mahmud Al-Alusi, di dalam tafsirnya setelah membahas beberapa hal tentang laknat, ia mencatat pernyataan yang mengutarakan pelaknatan terhadap Yazid atas semua perlakuan bobroknya. Sebagai berikut:



وعلى هذا القول لا توقف فی لعن یزید لکثرة أوصافه الخبیثة وارتکابه الکبائر فی جمیع أیام تکلیفه ویکفی ما فعله أیام استیلائه بأهل المدینة ومکة فقد روى الطبرانی بسند حسن ” اللهم من ظلم أهل المدینة وأخافهم فأخفه وعلیه لعنة الله والملائکة والناس أجمعین لا یقبل منه صرف ولا عدل ” والطامة الکبرى ما فعله بأهل البیت ورضاه بقتل الحسین على جده وعلیه الصلاة والسلام واستبشاره بذلک وإهانته لأهل بیته مما تواتر معناه وإن کانت تفاصیله آحادا، وفی الحدیث ” ستة لعنتهم وفی روایة: لعنهم الله وکل نبی مجاب الدعوة المحرف لکتاب الله- وفی روایة-: الزائد فی کتاب الله والمکذب بقدر الله والمتسلط بالجبروت لیعز من أذل الله ویذل من أعز الله والمستحل من عترتی والتارک لسنتی “.



Dan berdasarkan pernyataan ini, tidak ada penghentian dalam melaknat Yazid disebabkan banyaknya sifat-sifat buruk padanya dan perbuatan-perbuatannya yang tergolong dosa besar dalam seluruh hari-hari (selama) bertugas dan cukup dari apa yang ia telah kerjakan pada masa kekuasaannya terhadap para penduduk Madinah dan Mekah. At-Thabrani telah meriwayatkan dengan sanad hasan: “Ya Allah, siapa saja yang menzalimi penduduk Madinah dan menakuti mereka, maka takutilah ia, serta laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya atas mereka dan tidak diterima taubat darinya.” Dan bencana yang lebih besar adalah apa yang telah ia lakukan terhadap Ahlul Bait, keridhaannya atas pembunuhan Husein -shalawat dan salam untuknya dan kakeknya- kegembiraannya atas hal itu serta penghinaannya terhadap Ahlul Baitnya yang mana telah mutawatir maknanya meskipun detail-detailnya (merupakan hadis) Ahad, dan dalam hadis: Enam kelompok yang dilaknat -dalam riwayat lain, Allah beserta para nabi yang diijabah doanya melaknat mereka- : Pen-tahrif kitab Allah -dalam riwayat lain, yang menambah-nambahi kitab Allah-, yang membohongkan qadar Allah, penguasa yang ingin memuliakan orang yang dihinakan Allah dan menghinakan orang yang dimuliakan Allah, (yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah) yang menghalalkan (darah dan kehormatan) keluargaku dan yang meninggalkan sunnahku.”[9]



Dari semua penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa perbuatan Yazid bin Muawiyah dengan semua dalihnya, sudah jauh melampaui aturan-aturan Islam dan layak mendapatkan laknat. Dan bencana paling besar yang ia kerjakan adalah apa yang ia lakukan terhadap keluarga nabi saw, yaitu cucunya imam Husein bin Ali as.



Penilaian Ulama Ahlussunnah Terhadap Tindakan Yazid




Pembantaian terhadap keluarga Nabi di Karbala oleh bala tentara yang tugaskan oleh Yazid merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri.



Pun begitu, penilaian para ulama dan tokoh Islam terhadap bencana ini berbeda-beda. Ada yang berkeyakinan bahwa perbuatan itu telah menempatkan yazid ke dalam golongan yang layak mendapat laknat dan ada juga yang menilai bahwa hal itu tidak menjadikannya patut untuk dilaknat.



Termasuk yang menganggap bahwa Yazid layak mendapat laknat adalah Taftazani. Sebelumnya telah dimuat pernyataan beliau tentang hal ini. Namun pada tulisan ini akan diajukan pernyataannya yang lain di dalam kitab yang berbeda:



“dan yang benar adalah bahwa keridaan Yazid atas pembunuhan Husain dan kegembiraannya atas hal itu serta penghinaannya terhadap keluarga Nabi merupakan hal yang sudah mutawatir sekalipun perinciannya masih berupa berita ahad. Oleh karena itu kami tidak mengambil sikap diam tentang keadaannya, bahkan tentang keimanannya. Semoga Allah melaknatnya, penolong serta antek-anteknya.[10] ”



Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam pernyataan ini. Yang pertama: Taftazani meyakini keridaan Yazid atas pembunuhan imam Husain, kegembiraannya atas hal itu dan penghinaannya terhadap keluarga Nabi. Lebih dari itu Taftazani bahkan menganggap hal itu sebagai berita yang mutawatir.



Yang kedua: berangkat dari semua ini, Taftazani menganggap bahwa Yazid layak untuk dilaknat, oleh karena itu ia melakukannya sebagaimana tertera di dalam pernyataan di atas.



Pun begitu, penilaian para ulama dan tokoh Islam terhadap bencana ini berbeda-beda. Ada yang berkeyakinan bahwa perbuatan itu telah menempatkan yazid ke dalam golongan yang layak mendapat laknat dan ada juga yang menilai bahwa hal itu tidak menjadikannya patut untuk dilaknat.



Ulama lainnya menilai bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Yazid telah mengantarkannya pada wilayah kekafiran. Hal ini sepaerti yang disebutkan di dalam kitab al-Ithaf:



“seorang yang berakal tidak akan ragu bahwa yazid bin Muawiyahlah yang telah membunuh Husain, sebab dialah yang memerintahkan Abdullah bin Ziyad untuk membunuh al-Husain.”[11]



Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari pernyataan di atas. Yang pertama: pembunuh imam Husain adalah Yazid bin Muawiyah, sebab peristiwa itu terjadi atas perintahnya.



Hal ini sebenarnya dapat membantah anggapan yang menyatakan bahwa pembunuh imam Husain adalah Syiah kufah yang berkhianat.



Yang ke dua: mengingat bahwa Ibn Urfah dan para peneliti yang mengikutinya meyakini kekafiran Yazid, padahal kejahatannya sama atau bahkan lebih kecil dari kejahatan Yazid, maka dapat disimpulkan bahwa Yazid juga layak dilabeli Kafir. Hal ini senada dengan apa yang diyakini Oleh al-Ajhuri.[12]



Ulama-Ulama Sunni yang Membolehkan Melaknat Yazid (3)



Tragedi yang menimpa sayyidina Husein, cucu nabi Muhammad saw pada peristiwa hari Asyura merupakan salah satu kejahatan terbesar yang dilakukan oleh Yazid bin Muawiyah, penguasa saat itu yang diabadikan dalam sejarah Islam.



Tidak diragukan lagi bahwa salah satu alasan yang mendorong putra Muawiyah itu tega melakukan kekejaman terhadap keluarga nabi, disebabkan kebenciannya terhadap sayyidina Ali. Hal ini juga merupakan warisan dari ayahnya yang pada masa hidupnya melakukan peperangan serta menolak pemerintahan imam Ali as.



Dalam hal ini Al-Alusi -setelah menjelaskan riwayat yang menyatakan bahwa tanda munafik adalah benci terhadap Ali- mencatat dalam kitabnya:



وعندی أن بغضه { ای بغض علی بن ابی طالب } رضی الله تعالى من أقوى علامات النفاق فإن آمنت بذلک فیالیت شعری ماذا تقول فی یزید الطرید أکان یحب علیا کرم الله تعالى وجهه أم کان یبغضه ولا أظنک فی مریة من أنه علیه اللعنة کان یبغضه رضی الله تعالى عنه أشد البغض وکذا یبغض ولدیه الحسن والحسین على جدهما وأبویهما وعلیهما الصلاة والسلام کما تدل على ذلک الآثار المتواترة معنى وحینئذ لا مجال لک من القول بأن اللعین کان منافقا



Dan di sisiku bahwa kebencian terhadapnya (kebencian terhadap sayyidina Ali) merupakan tanda kemunafikan yang paling jelas, jika kamu beriman terhadap hal itu, maka andaikan aku tahu apa yang akan kamu katakan terhadap Yazid yang diusir, apakah ia mencintai Ali kwj ataukah membencinya, dan aku tidak berpikir kamu dalam kebingungan bahwasannya ia (Yazid) laknat atasnya, membencinya (Ali) ra sebenci-bencinya, dan demikian pula membenci kedua putranya Hasan dan Husein, shalawat beserta salam untuk kakek, ayah dan mereka berdua. Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh riwayat yang mutawatir secara makna, maka ketika itu tidak ada ruang bagimu dari (menerima) pernyataan bahwa yang terlaknat (Yazid) adalah seorang munafik.[13]



Dari pengakuan Al-Alusi di atas, terlihat jelas bahwa ia melihat Yazid sebagai sosok yang sedari awal sudah membenci sayyidina Ali beserta kedua putranya. Terlebih lagi ketika kekuasaan jatuh ke tangannya, yang mana ketika itu bertepatan dengan masa hidupnya imam Husein as. maka dari itu tak heran apabila Yazid tidak ragu ragu dan tega memperlakukan cucu nabi Muhammad saw itu dengan perlakuan yang kejam dan biadab.



Oleh sebab itu Al-Alusi termasuk ulama yang mengecam keras perlakuan Yazid bin Muawiyah terhadap imam Husein as. Tidak hanya itu, bahkan ia juga dalam beberapa kesempatan menyebut sosok Yazid dengan sebutan yang terlaknat, seperti yang telah kita saksikan pada pernyataan di atas.



Pada pernyataannya yang lain, ia juga mengomentari mereka yang melarang pelaknatan terhadap orang-orang yang ridho dengan pembunuhan sayyidina Husein sebagai sebuah kesesatan yang jauh.



ومن کان یخشى القال والقیل من التصریح بلعن ذلک الضلیل فلیقل: لعن الله عز وجل من رضی بقتل الحسین ومن آذى عترة النبی صلّى الله علیه وسلّم بغیر حق ومن غصبهم حقهم فإنه یکون لاعنا له لدخوله تحت العموم دخولا أولیا فی نفس الأمر، ولا یخالف أحد فی جواز اللعن بهذه الألفاظ ونحوها سوى ابن العربی المار ذکره وموافقیه فإنهم على ظاهر ما نقل عنهم لا یجوزون لعن من رضی بقتل الحسین رضی الله تعالى عنه، وذلک لعمری هو الضلال البعید الذی یکاد یزید على ضلال یزید



Dan barangsiapa yang takut untuk berkata atau dikatakan mengutarakan laknat terhadap orang sesat itu (Yazid), maka hendaknya ia mengatakan: Laknat Allah swt atas sesiapa yang ridho dengan pembunuhan Al-Husein dan sesiapa yang menyakiti keluarga nabi saw tanpa hak serta sesiapa yang merampas hak-hak mereka. Maka ia (orang mengucapkan itu) adalah pelaknat (Yazid) disebabkan masuknya (Yazid) dalam kriteria umum tadi secara prioritas dalam perkara itu. Dan tidak ada seorang pun yang menentang dalam hal kebolehan laknat dengan lafal tadi dan semisalnya kecuali Ibnul Arabi -yang telah dibahas sebelumnya- dan orang-orang yang setuju dengannya, yang mana mereka secara lahiriyah dari apa yang dinukil dari mereka, tidak membolehkan pelaknatan terhadap sesiapa yang ridho dengan pembunuhan Al-Husein ra, dan hal itu -demi umurku- adalah kesesatan yang jauh yang hampir melebihi kesesatan Yazid.[14]



Dalam pernyataan di atas Al-Alusi bahkan memberikan sebuah kaidah umum bagi mereka yang merasa takut untuk secara langsung melaknat Yazid. Kaidah umum ini adalah laknat terhadap siapa pun yang ridho atas pembunuhan Al-Husein dan siapa pun yang menyakiti keluarga nabi. Dengan kaidah ini maka Yazid pun secara prioritas menjadi terlaknat sebab ia adalah dalang dibalik semua peristiwa yang terjadi di Karbala.



Poin lain yang menarik untuk diperhatikan di sini ialah Al-Alusi juga menganggap larangan atas pelaknatan dengan kaidah umum di atas sebagai sebuah kesesatan yang jauh. Artinya hal itu dalam pandangannya telah melenceng dari prinsip dan aturan kebenaran.



Apakah Meratap dan Menangisi Imam Husain as Termasuk Bid’ah?




Seperti yang sebelumnya pernah kita bahas bahwa Bulan Muharram adalah bulan penuh duka, karena di bulan tersebut terjadi musibah yang sangat besar bagi kaum muslimin. Imam Husain as beserta rombongan keluarga kenabian dan para sahabatnya dibunuh dan dibantai secara kejam oleh orang-orang yang mengaku umat Nabi pada 10 Muharram Tahun 61 Hijriyah di Karbala. Peristiwa tersebut kita kenal sebagai peristiwa Asyura.



Atas peristiwa bersejarah tersebut, banyak dari kaum muslimin terutama yang bermazhab Syiah Ahlil Bait, menghidupkan hari-hari Muharram dengan menggelar Majelis Duka. Dalam majelis tersebut mereka berduka, meratap dan menangis atas syahidnya imam Husain as juga berbelasungkawa atas musibah agung yang menimpa keluarga Nabi Saw di hari Asyura.



Namun, ada saja orang yang menganggap hal-hal tersebut seperti meratap dan menangis atas peristiwa Asyura sebagai sebuah kebodohan dan bid’ah. sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah.



Dan dari kebodohan mereka (Syiah) mengadakan acara duka dan ratapan terhadap seseorang yang terbunuh ratusan tahun lalu.



Dan Syetan lewat terbunuhnya Al-Husain Ra telah membuat dua bid’ah untuk orang-orang: bid’ah kesedihan dan ratapan di hari Asyura….begitu juga bid’ah kegembiraan dan kebahagiaan.



Hal pertama yang harus kita ketahui ialah apa yang dimaksud dengan bid’ah, yang tentu saja terlarang dalam agama. Apakah meratap atau menangis termasuk dari perbuatan bid’ah tersebut?



Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menjelaskan maksud daripada bid’ah.



…maksud dari bid’ah ialah membuat hal-hal baru yang tidak ada sumbernya di dalam syariat, itulah bid’ah. Adapun jika hal tersebut memiliki sumber syariat, maka hal tersebut bukanlah bid’ah.



Berdasarkan pernyataan diatas, jelas bahwa sesuatu dikatakan bid’ah jika tidak memiliki sumber syariat dan jika memiliki sumber syariat maka tidak dikatakan bid’ah. Selanjutnya kita akan buktikan bahwa menangis atau meratap ada dalam sumber-sumber syariat Islam.



Alquran yang merupakan sumber syariat utama dalam Islam mencantumkan kata menangis sebagai buah dari perasaan manusia. Dalam Surat Maryam ayat 58 Allah Swt Berfirman:



إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا



“..Apabila dibacakan Ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis”



Dan dalam Surat Al-Isra ayat 109 Allah Swt Berfirman:



وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا



“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan bertambah khusyu’”



Allah Swt juga mengabadikan dalam Alquran kisah Nabi Yaqub dan putranya Yusuf dimana Nabi Yaqub meratap dan bersedih selama puluhan tahun sampai matanya memutih ketika ia berpisah dengan putranya. Dalam Surat Yusuf ayat 84 Allah Swt Berfirman:



وَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا أَسَفَى عَلَى يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ



“Dan Yaqub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: ‘Aduhai duka citaku terhadap Yusuf’, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).”



Selain itu, dalam sebeberapa riwayat juga disebutkan bahwa Nabi Saw juga menangis atas kesyahidan sahabatnya.



Dalam kitab Imta’ul Asma’ milik Taqiyuddin Al-Maqrizi diriwayatkan bahwa ketika Sa’ad bin Rabi’ terbunuh di Uhud, Rasulullah Saw kembali ke Madinah dan masuk ke rumah Sa’ad, lalu Rasul berbelasungkawa dan bercerita tentang Sa’ad, kemudian para wanita menangis dan kedua mata Rasul juga ikut mengucurkan air mata, dan Rasul tidak melarang mereka (para wanita) dari apapun atas tangisan mereka.



Jabir bin Abdullah berkata: Demi Allah tidak ada alas ataupun tikar disana, maka kamipun duduk. Dan Rasulullah Saw berbicara tentang Sa’ad bin Rabi’ dan berdoa memohon rahmat atasnya,….ketika para wanita mendengar itu mereka menangis, lalu mengucur air mata dari kedua mata Rasulullah Saw, dan beliau tidak melarang mereka (para wanita) dari apapun atas tangisan mereka.



Dalam kitab Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain milik Hakim An-Nisaburi juga diriwayatkan dari Aisyah bahwasannya sesungguhnya Nabi Saw mencium jenazah Utsman bin Maz’un dan beliau Saw menangis.



Uraian diatas menunjukkan bahwa meratap dan menangis ada dalam sumber-sumber syariat Islam, maka perbuatan tersebut bukanlah termasuk daripada bid’ah apalagi disebut sebagai sebuah kebodohan seperti yang diucapkan oleh Ibnu Taimiyah. Jika meratap ataupun menangisi seseorang termasuk bid’ah, maka Rasulullah Saw pasti tidak akan melakukannya, dan melarang orang-orang untuk melakukannya. Namun faktanya tidak demikian, Rasulullah Saw menangis bahkan mencium sahabatnya yang gugur syahid, dan membiarkan para wanita untuk menangis.



Wallahu A’lam



Menangisi Kesyahidan Imam Husain AS adalah Sunnah NAbi SAWW




Menangisi kewafatan seseorang, terutama jika ia merupakan sosok yang dicintai atau pribadi yang agung merupakan perbuatan yang memiliki dasar dan dipraktekkan langsung oleh baginda Rasul SAWW.



Hal ini telah disebutkan pada seri sebelumnya; di mana Nabi SAWW menangis karena wafatnya beberapa pribadi yang dicintai oleh beliau.



Mengingat bahwa menangisi kesyahidan imam Husain secara khusus sering menjadi sorotan dan dianggap sebagai amalan bidah oleh sebagian oknum, dan kemudian dijadikan legitimasi untuk pelabelan sesat terhadap mazhab Syiah, maka dalam tulisan ini akan dimuat hadits yang menyatakan keabsahan amalan tersebut. Dengan demikian anggapan yang salah kaprah tersebut dapat terbantahkan.



Di dalam beberapa literatur Ahlussunnah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAWW telah menangisi kesyahidan imam Husain AS jauh sebelum peristiwa itu terjadi



Di dalam kitab al-Mustadrak disebutkan:



“….. Dari Ummul Fadl binti al-Haris bahwa sanya suatu hari ia datang menemui Rasullullah SAWW…….. suatu hari aku masuk menjumpai Rasulullah lalu aku meletakkannya (Husain AS) di pangkuan Nabi. Setelah itu aku menoleh dan meliahat kedua mata beliau berlinang air mata. Ia berkata: aku bertanya: wahai Nabi Allah! Demi ayah dan ibuku apa yang terjadi denganmu? Nabi menjawab: Jibril AS mendatangiku dan memberi kabar bahwa ummatku akan membunuh anakku ini. Aku bertanya: ini? Beliau menjawab: ya. Dan ia membawakanku tanahnya yang berwarna merah.[15] ”



Ahmad bin Hanbal juga memuat hadits senada di dalam musnadnya:



“dari Abdullah bin Nujai, dari ayahnya: ……… aku bertanya: ada apa? Ia (Ali AS) menjawab: suatu hari aku masuk menemui Rasulullah SAWW sedangkan kedua matanya berlinang. Aku bertanya: wahai Nabi Allah? Apakah seseorang membuatmu marah? Mengapa matamu berlinang air mata? Beliau bersabda: baru saja Jibril meninggalkanku dan dia menceritakan bahwa Husain akan terbunuh di pinggir sungai Furat. Ia berkata: Nabi bertanya: maukah engkau ku ciumkan bau tanahnya? Ia berkata: Aku menjawab: ya. Lalu ia mengambi segenggam tanah dan memberikannya kepdaku. Setelah itu aku tidak kuasa menahan tangis.[16] ”



Berangkat dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa menangisi kesyahidan pribadi yang memiliki keutamaan seperti imam Husain AS bukanlah amalan bidah. Sebab Nabi SAWW telah melakukan hal itu, bahkan jauh sebelum kesyahidan imam Husain.



Oleh karena itu, bukan hanya tidak bidah, amalan ini bahkan dapat dimasukkan ke dalam golongan sunnah Nabi, sebab memiliki contoh yang jelas.



Dan kelompok yang menganggap bidah amalan ini harus siap dengan konsekuensi pandangannya. Iaitu menganggap bidah amalan Nabi Muhammad SAWW.



Menangisi Kesyahidan Imam Husain AS adalah Sunnah Nabi SAWW (2)



Bisa kita bayangkan, secara fitrah, manusia akan bersedih atau bahkan menangis saat orang-orang yang ia cintai meninggalkannya untuk selamanya (baca: wafat), tak terkecuali dengan syahidnya cucu nabi, Imam Husain as.



Tak kita mungkiri, pribadi yang tak berseberangan dengan fitrah dan akal sehatnya—kalaupun tak sampai keluar air mata—minimal bersedih saat mendengar kisah pembantaian Imam Husain di padang Karbala.



Dan hal di atas adalah perkara yang wajar belaka. Yang tak wajar ialah ketika perbuatan menangisi Imam Husain dianggap bid’ah dan sesat. Bagi penulis, menangisi Imam Husain bukan soal bid’ah atau sesat.



Kembali ke pembahasan awal, bahwa menangisi Kesyahidan Imam Husain adalah perkara fitrah dan bahkan kesucian hati kita. Lebih dari itu, nabi pun sudah sedari dulu, bahkan, ia menangis dan meratap sebelum kesyahidan cucu tercintanya itu.



Momen nabi bersedih dan menangis itu terekam dengan gamblang di dalam kitab-kitab Sunni yang sebagian sudah dibahas di dalam tulisan sebelumnya. Ibnu Thahman, ulama besar dan ahli hadis Sunni membeberkan kejadian itu di dalam kitabnya: Masyaikhah Ibnu Thamhan.



Di dalam kitab tersebut, ia menulis sebagai berikut.



عَنْ عَبَّادِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ هَاشِمِ بْنِ هَاشِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ بَیْتِیَ فَقَالَ: «لَا یَدْخُلُ عَلَیَّ أَحَدٌ فَسَمِعْتُ صَوْتًا، فَدَخَلْتُ، فَإِذَا عِنْدَهُ حُسَیْنُ بْنُ عَلِیٍّ وَإِذَا هُوَ حَزِینٌ، أَوْ قَالَتْ: یَبْکِی، فَقُلْتُ: مَا لَکَ تَبْکِی یَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أَخْبَرَنِی جِبْرِیلُ أَنَّ أُمَّتِی تَقْتُلُ هَذَا بَعْدِی فَقُلْتُ وَمَنْ یَقْتُلُهُ؟ فَتَنَاوَلَ مَدَرَةً، فَقَالَ:» أَهْلُ هَذِهِ الْمَدَرَةِ تَقْتُلُهُ “.



Dari Abbad bin Ishak, dari Hasyim bin Hasyim dari Abdullah bin Wahab dan dari Ummu Salamah, bahwa ia berkata, “Rasulullah Saw. memasuki rumahku.”



“Tiada seorang pun yang menjumpaiku,” kata Rasulullah saw.



“Dan aku mendengar suara, lalu aku masuk rumah. Di sisi Nabi ada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dan ia (Nabi Saw) terlihat sedih,” kata Ummu Salamah.

“Nabi menangis,” katanya lagi.

“Apa yang membuatmu menangis, Wahai Rasulullah?” Tanya Ummu Salamah.

“Jibril telah mengabarkan kepadaku, bahwa umatku setelahku akan membunuh Husain,” kata nabi.

“Siapa yang akan membunuhnya?” Tanya Ummu Salamah.

“Penghuni bumi ini yang akan membunuhnya,” jawab Rasulullah saw sembari mengambil sebongkah tanah (itu).



Dari riwayat di atas, kita mendapatkan sebuah penegasan, bahwa selain karena fitrah, menangisi Imam Husain telah digariskan dalam Sunnah Nabi Saw. Jadi, tiada lagi sebuah alasan untuk menyanggah, apalagi melarang orang lain untuk menangisi Kesyahidan cucunda nabi Saw.



Siapakah Tokoh Utama Pembunuhan Imam Husein AS?



Peristiwa pembantaian yang terjadi pada cucu nabi Muhammad saw, imam Husein as di padang Karbala menyita perhatian yang besar sepanjang sejarah. Tragedi tersebut senantiasa diperingati dari waktu ke waktu oleh kaum muslimin khususnya oleh madzhab Syiah.



Tentunya dalam hal ini, kronologis dan semua aspek dalam peristiwa itu selalu dikaji dan dibahas. Salah satu topik penting yang perlu diketahui ialah pembahasan mengenai siapakah tokoh utama dibalik teror sadis tak berprikemanusiaan tersebut.



Sudah jelas dan diketahui umum, bahwa kekuasaan pada masa itu baru jatuh ke tangan Yazid bin Muawiyah yang mana latar belakang dan kepribadiannya telah kita bahas dalam seri lalu. Dengan semua syarat yang ada pada dirinya, putra Muawiyah itu tidak memiliki kelayakan sedikit pun dalam hal menjadi pemimpin kaum muslimin.



Oleh sebab itu beberapa tokoh pada waktu itu enggan berbaiat padanya dan memilih untuk tidak menganggap Yazid sebagai pemimpin, termasuk diantaranya adalah imam Husein as. Cucu nabi saw itu melihat bahwa seandainya Islam dipimpin oleh orang yang seperti Yazid, maka tidak akan ada yang tersisa.



Akibatnya, putra Muawiyah ini mengambil tindakan keji dengan mengeluarkan perintah untuk membunuh dan menghalalkan darah mereka yang enggan berbaiat padanya, khususnya imam Husein as. Seperti yang dicatat oleh Adz- Dzahabi sebagai berikut:



خرج الحسين إلي الكوفة، فكتب يزيد إلي واليه بالعراق عبيد الله بن زياد: إن حسينا صائر إلي الكوفة، وقد ابتلي به زمانك من بين الأزمان، وبلدك من بين البلدان، وأنت من بين العمال، وعندها تعتق أو تعود عبدا. فقتله ابن زياد وبعث برأسه إليه



Husein keluar menuju Kufah, kemudian Yazid menulis (surat) kepada gubernurnya di Iraq, Ubaidillah bin Ziyad: Sesungguhnya Husein sedang menuju Kufah, dan jamanmu telah dilanda dengannya (kedatangan Husein) diantara jaman-jaman yang lain, dan (begitu juga) negerimu diantara negeri-negeri yang lain, dan (begitu juga) dirimu diantara para pejabat yang lain, untuk itu (diberi pilihan) apakah kau akan (tetap) menjadi orang yang bebas atau kembali menjadi seorang budak. Kemudian Ibnu Ziyad membunuh Husein dan mengirimkan kepalanya padanya (Yazid).[17]



As-Suyuthi mencatat dalam kitabnya:



فكتب يزيد إلي واليه بالعراق، عبيد الله بن زياد بقتاله



Kemudian Yazid menulis (surat) kepada gubernurnya di Iraq, Ubaidillah bin Ziyad untuk memeranginya (Husein).[18]



Ibnul Atsir mencatat pernyataan Ibnu Ziyad:


أما قتلي الحسين، فإنه أشار علي يزيد بقتله أو قتلي، فاخترت قتله



Adapun aku membunuh Husein, maka hal itu telah dijelaskan oleh Yazid kepadaku untuk membunuhnya (Husein) atau membunuhku, maka aku memilih untuk membunuhnya (Husein).[19]



Sementara itu Al-Yaqubi mencatat surat Yazid kepada Walid bin Utbah di Madinah:



إذا أتاك كتابي، فاحضر الحسين بن علي، وعبد الله بن الزبير، فخذهما بالبيعة، فإن امتنعا فاضرب أعناقهما، وابعث إليّ برأسيهما، وخذ الناس بالبيعة، فمن امتنع فانفذ فيه الحكم وفي الحسين بن علي وعبد الله بن الزبير والسلام



Jika sampai padamu tulisanku, maka hadirkanlah Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair, kemudian ambillah baiat dari keduanya. Jika mereka berdua menolak, maka tebas leher keduanya dan kirimkan padaku kepala mereka berdua kemudian ambillah baiat dari masyarakat, maka barangsiapa menolak berbaiat maka terapkanlah padanya hukum seperti yang berlaku pada Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Wassalam.[20]



Kemudian ia juga mencatat surat Yazid kepada Ubaidillah bin Ziyad ketika imam Husein as bergerak menuju Iraq:



قد بلغني أن أهل الكوفة قد كتبوا إلي الحسين في القدوم عليهم، وأنه قد خرج من مكة متوجهاً نحوهم، وقد بلي به بلدك من بين البلدان، وأيامك من بين الأيام، فإن قتلته، وإلا رجعت إلي نسبك وأبيك عبيد، فاحذر أن يفوت



Telah sampai padaku, bahwa penduduk Kufah telah menulis (surat) kepada Husein untuk datang pada mereka, dan bahwasannya ia telah keluar dari Mekah menuju mereka, dan sungguh telah dilanda dengannya (kedatangan Husein) negerimu diantara negeri-negeri yang lain dan hari-harimu diantara hari-hari yang lain, jika kau membunuhnya (maka tidak apa-apa), jika tidak, maka kau akan kembali pada nasabmu dan ayahmu seorang budak. Maka berhati-hatilah, jangan sampai (kesempatan ini) hilang.[21]



Dari beberapa catatan sejarah di atas, terlihat sekali bahwa Yazid bin Muawiyah adalah sosok yang haus darah dan tega melakukan apa pun bagi mereka yang menolak berbaiat padanya, tanpa kecuali meskipun itu adalah terhadap cucu nabi Muhammad saw yang amat dicintai dan banyak memiliki keutamaan.



Perintah pembunuhan imam Husein as sendiri telah dikeluarkan oleh putra Muawiyah itu jauh hari saat beliau masih berada di Madinah. Artinya jauh sebelum bulan Dzul Hijjah dan Muharram. Oleh sebab itu sedari awal keberangkatan hingga akhirnya sampai di padang Karbala, semuanya terjadi atas upaya Yazid bin Muawiyah yang ingin membunuh imam Husein as, di samping kebenciannya terhadap keluarga imam Ali bin Abi Thalib as.



Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain as di Karbala?



Peristiwa Asyura tercatat dalam sejarah sebagai musibah agung yang menimpa keluarga Rasulullah Saw. Tragedi -yang membuat cucu Rasulullah Saw imam Husain as Syahid- itu, telah menyedot perhatian dunia Islam. Tak ayal peristiwa Asyura bagaikan magnet yang menarik sejumlah ulama-ulama Islam untuk mengkaji sejarah kelam tersebut dalam berbagai sisinya.



Pada pembahasan sebelumnya telah kita kaji satu topik menarik tentang tokoh utama yang membunuh Imam Husain as. Tak bisa kita pungkiri bahwa Yazid beserta sekutunya lah yang telah membunuh Imam Husain as beserta keluarga dan para sahabatnya. Hal tersebut tercatat jelas baik dalam catatan-catatan sejarah maupun dalam riwayat-riwayat.



Namun terdapat isu yang menarik sekaitan dengan pembunuh imam Husain as. Dikatakan bahwa yang membunuh imam Husain as adalah orang-orang Syiah yang pada saat itu berada pada pasukan Umar bin Saad atau Ubaidillah ibnu Ziyad. Alasannya ialah bahwa Iraq atau khusunya kota kufah dikenal sebagai kota orang-orang Syiah karena banyak dari penduduk kufah adalah orang Syiah, dan saat itu yang menjadi pasukan pembantai dan pembunuh Imam Husain as ialah orang-orang kufah yang berarti adalah orang-orang Syiah.



Dalam menjawab isu tersebut, perlu ditekankan bahwa pernyataan yang menyebutkan pembunuh imam Husain as adalah orang-orang Syiah bertolak belakang atau terjadi kontrdiksi dengan definisi atau pengertian Syiah itu sendiri. Dalam kajian Shiaologi pada pembahasan sebelumnya telah kita kupas bahwa yang dimaksud dengan Syiah ialah mereka yang mengikuti, mencintai atau menjadi penolong Imam Ali as beserta keturunannya. Lantas bagaimana mungkin orang-orang yang berani menghadapi imam Husain dan hendak membunuhnya dikatakan sebagai Syiah? Mungkinkah seseorang yang dikatakan sebagai pengikut atau pecinta Imam Husain as berada pada pasukan yang justru ingin membunuh imam Husain as? Tentu tidak mungkin.



Untuk itu Sayyid Muhsin Amin dalam kitabnya A’yan As-Syiah mengatakan bahwa yang membunuh imam Husain bukanlah Syiah, melainkan orang yang tamak, tidak beragama, penjahat dan lain sebagainya.



“Amit-amit bahwa orang-orang yang membunuhnya (imam Husain) adalah syiahnya, sebaliknya, sebagian mereka yang membunuhnya adalah orang-orang serakah, tidak beragama, penjahat kasar, dan pengikut para pemimpin yang cinta dunia. Tidak ada satupun diantara mereka sebagai syiahnya dan pecintanya. Adapun Syiahnya yang ‘Mukhlis’ telah menjadi penolongnya, dan tidak ragu untuk dibunuh dijalannya, dan mereka menolongnya dengan sekuat tenaga sampai saat terakhir hidupnya…”



Selain itu perlu kita ketahui, memang benar bahwa orang-orang yang datang ke Karbala dan hendak membunuh imam Husain as banyaknya adalah orang-orang Kufah. Tapi pada saat itu orang-orang Kufah tidak dikenal sebagai penduduk Syiah, hal itu karena pada saat Muawiyah berkuasa ia menjadikan Ziyad bin Abiih atau Ziyad bin Sumayyah sebagai pemimpin Kufah dan Bashrah, dan ditangan Ziyad lah orang-orang Syiah Kufah dibunuh, dipenjara, diteror, diasingkan, sampai tidak ada lagi orang yang dikenal sebagai Syiah di Kufah.



Ibnu Abi Al-Hadid dalam kitabnya Syarhu Nahjil Balaghah menulis peristiwa kelam yang menimpa orang-orang Syiah di Kufah pada saat Muawiyah berkuasa.



“…Setelah tahun kemarau, Muawiyah menulis surat pada rekannya yang menyatakan bahwa tidak ada pertanggungjawaban bagi orang yang meriwayatkan keutamaan Abu Turab (Imam Ali) dan Ahlul Baitnya. Sehingga para Khatib bangkit di setiap wilayah dan di setiap mimbar, mereka melaknat Ali dan berlepas diri darinya, mereka melakukan terhadapnya juga pada Ahlul Baitnya. Dan orang-orang yang paling menderita saat itu adalah penduduk Kufah, karena banyaknya mereka adalah Syiah Ali as, maka (oleh Muawiyah) dijadikanlah Ziyad bin Sumayyah sebagai pemimpin (Kufah) sekaligus Bashrah, ia (Ziyad) mengejar orang-orang Syiah, dan ia tahu mereka karena ia sebelumnya merupakan bagian dari pendukung Ali as, sehingga ia akan menemukan dan membunuh mereka sekalipun mereka dibawah batu. Ziyad menteror mereka, memotong tangan dan kaki mereka, membutakan mata mereka, menyalib mereka di pohon kurma, mengusir mereka dari Iraq, sehingga tidak ada yang tetap tinggal disana yang ma’ruf dari mereka..”



At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir juga meriwayatkan tetang Ziyad yang mengejar orang-orang Syiah dan membunuh mereka.



“…Dari Hasan ia berkata: Ziyad telah mengejar Syiah Ali Ra dan membunuh mereka. Dan ketika sampai berita itu kepada Hasan bin Ali Ra, maka ia berkata: Ya Allah asingkanlah dengan kematiannya, karena membunuh adalah ‘Kafarah’”



Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Lisanul Mizan juga menegaskan bahwa Ziyad adalah orang yang paling keras terhadap keluarga dan Syiah Ali ketika Muawiyah berkuasa.



“…dan ia (Ziyad) dulu termasuk Syiah Ali yang diberikan kuasa terhadap Al-Quds, lalu ketika kekuasaan digantikan Muawiyah, ia menjadi orang yang paling keras terhadap keluarga Ali dan Syiahnya. Dan ia yang berusaha membunuh Hujr bin Adi dan yang bersamanya..”



Catatan-catatan diatas menunjukkan bahwa tuduhan yang menyatakan pembunuh imam Husain as adalah orang-orang Syiah tidaklah benar. Selain hal itu bertentangan dengan pengertian Syiah sebagai pengikut serta penolong Ali as dan keluarganya, juga diketahui bahwa orang-orang Syiah pada saat Muawiyah berkuasa, banyak yang dibunuh, diteror, diasingkan dan diusir dari Iraq, sampai-sampai tidak ada orang yang dikenal sebagai Syiah di sana khususnya di Kufah. Sehingga mereka yang datang dengan jumlah puluhan bahkan ratusan ribu sebagai pasukan pembunuh imam Husain as di Karbala, dipastikan bukanlah bagian dari Syiah.




Wallahu A’lam



Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain di Karbala (2)



Untuk membersihkan nama Yazid bin Muawiyah dari daftar aktor pembantaian karbala ada saja oknum yang berusaha menutupi realitas sejarah dengan mengemukakan syubhat yang menyatakan bahwa pembantai keluarga Nabi SAWW di karbala adalah orang Syiah sendiri, tepatnya Syiah kufah.



Usaha ini tentu saja tidak akan mampu menutupi fakta yang tercatat di dalam lembaran sejarah, baik literatur Sunni maupun Syiah yang menyebutkan bahwa aktor utama pembantaian ini adalah Yazid bin Muawiyah.



Pada tulisan sebelumnya telah diajukan beberapa dalil dan argumentasi yang mementahkan asumsi di atas. Untuk melengkapi dalil yang telah dipaparkan pada seri ini akan diajukan dalil lainnya.



Dalil yang dimaksud adalah sapaan yang digunakan oleh kedua kubu dan pihak untuk menyeru pihak lainnya.



Pada satu kesempatan sebagaimana disebutkan dalam kitab Maktal al-Husain bahwa imam Husain As menyeru pihak musuh dengan sebutan Syiah Abu Sofyan:



“…. Kemudian ia (imam husain) berteriak ke arah mereka: Celakalah kalian wahai para pengikut keluarga Abu Sofyan! Jika kalian tidak memiliki agama dan tidak takut terhadap hari kiamat maka jadilah manusia merdeka dalam urusan dunia kalian. Dan kembalilah ke jalur keturunan kalian, jika kalian memang bangsa arab sebagaimana kalian sangkakan.[22] ”



Di sisi lain pihak musuh menyematkan panggilan penghuni neraka dan pendusta untuk imam Husain AS sebagaimana tercatat dalam al-Kamil Fi al-Tarikh:



“ lalu seorang laki-laki diantara mereka yang bernama Ibn Hauzah datang dan berkata: siapa di antara kalian yang bernama Husain? Namun tidak seorangpun menjawab. Lantas ia mengulangi perkataannya sebanyak tiga kali. Mereka menjawab: ya. Apa keperluan mu? Ia berkata: wahai Husain! Berbahagialah dengan neraka. Beliau menjawab: engkau telah berbohong, bahkan aku lebih utama bagi tuhan yang penyayang dan pemberi Syafaat yang ditaati.[23] ”



“ dan keluarlah Amr bin Qardzah al-Anshari dan ia berperang di sisi imam husain, lalu ia terbunuh. Sementara saudaranya bersama dengan Umar bin Sa’ad, lantas ia berteriak: wahai Husain Pendusta anak dari pendusta! Engkau telah menyesatkan dan menipunya hingga engkau membunuhnya. Ia (imam Husain) menjawab: Sesungguhnya Allah tidak menyesatkannya, bahkan Ia telah menghidayahinya dan (sebaliknya) menyesatkanmu.[24] ”



Dari beberapa catatan sejarah di atas dapat dipahami bahwa para pembantai keluarga Nabi SAWW di Karbala bukanlah orang-orang Syiah Kufah sebegimana dituduhkan oleh kelompok pembela bani Umayyah.



Hal ini mengingat bahwa: pertama: imam Husain sendiri menyematkan nama pengikut keluarga Abu Sofyan (Syiah Ali Abu Sofyan); Dengan menggunkan istilah “Syiah Ali Abu Sofyan” secara gamblang dan tegas bukan Syiah Ahlulbait atau Syiah Husain maupun Syiah Ali. Ini berarti bahwa imam Husain menolak mereka sebagai Syiahnya.



Hal ini juga menjelaskan bahwa pada peristiwa Karbala ada dua golongan yang saling berhadapan; yang pertama “Syiah Ali Muhammad” dan ke dua “Syiah Ali Abu Sofyan”.



Yang kedua: para musuh imam Husain juga menyematkan nama atau panggilan yang sangat tidak layak untuk beliau, berupa orang yang bergembira dengan neraka dan seorang pendusta.



Lebih dari itu, tidak hanya imam Husain yang dikatakan sebagai pendusta, bahkan imam Ali AS pun diseret dan disebutkan sebgai pendusta sebab imam husain disebut sebagai “pendusta anak dari pendusta.”



Ungkapan ini tentu saja tidak akan keluar dari pengikut imam Husain dan imam Ali AS. Karena, jika mereka memang Syiah Ali tentu saja akan menggunakan kata-kata yang lebih sopan; terkhusus terhadap imam Ali AS.



Oleh karena itu menuduh bahwa pembantai imam Husaian dan keluarganya di Karbala adalah orang-orang Syiah Kufah, merupakan tindakan yang tidak ilmiah dan jauh dari nalar yang lurus.



Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain di Karbala? (3)




Di tulisan sebelumnya, telah kami ulas seputar siapa sesungguhnya pembunuh Imam Husain. Dan kalau Anda sudah membacanya, tentunya sudah jelas bahwa pembunuh Imam Husain bukanlah Syiah-nya sendiri, melainkan Yazid-lah yang menjadi dalang pembantaian cucu tercinta nabi itu.



Tak sedikit para ulama dan ustaz-ustaz yang kontra-Syiah, yang berusaha menutupi keburukan dan kekejaman Yazid bin Muawiyah. Mereka seolah hendak membungkus citra Yazid dengan kain putih, yang melambangkan suci dari keburukan.



Namun, dengan penuh keyakinan, penulis katakan, bahwa usaha mereka untuk menutup-nutupi kebobrokan Yazid, terutama sebagai dalang pembunuhan Imam Husain adalah perbuatan yang sia-sia belaka. Bagaimana tidak, toh semua kekejamannya kepada cucu nabi telah termaktub dengan rapi di dalam beberapa kitab-kitab Sunni, apalagi kitab Syiah.



Syamsyidin Adz-Dzahabi, ulama Ahlusunnah, di dalam kitabnya, Siru A’lami An-Nubala’ ia menulis sesuatu tentang Yazid, di mana tulisan tersebut mengerucutkan sebuah kesimpulan bahwa, dalang di balik pembunuhan Imam Husain tak lain adalah Yazid bin Muawiyah, bukan pengikut Imam Husain itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, ia menulis begini.



قلْتُ: کَانَ قَوِیّاً، شُجَاعاً، ذَا رَأْیٍ، وَحَزْمٍ، وَفِطْنَةٍ، وَفَصَاحَةٍ، وَلَهُ شِعْرٌ جَیِّدٌ، وکَانَ نَاصِبِیّاً ، فَظّاً، غَلِیْظاً، جَلْفاً، یتَنَاوَلُ المُسْکِرَ، وَیَفْعَلُ المُنْکَرَ افْتَتَحَ دَوْلَتَهُ بِمَقْتَلِ الشَّهِیْدِ الحُسَیْنِ، وَاخْتَتَمَهَا بِوَاقِعَةِ الحَرَّةِ .



“Yazid adalah pribadi yang perkasa, pemberani, suka berpendapat, cerdas dan fasih, dan bagus dalam bersyair. (Di sisi lain), ia adalah seorang nasibi, kasar. Ia selalu minum minuman keras dan berbuat kemungkaran. Pemerintahannya dimulai dengan pembunuhan terhadap Husain dan berakhir dengan peristiwa Harrah.”[25]



Dari uraian singkat di atas hendak memberikan pesan kepada kita, bahwa pembunuh Imam Husain bukanlah dari pengikutnya, melainkan Yazid-lah yang menjadi dalangnya.



Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain di Karbala? (4)



Tragedi pembantaian yang menimpa imam Husain as beserta para sahabatnya, terjadi di sebuah padang gersang yang bernama Karbala, wilayah Irak. Ketika itu, cucunda nabi dan rombongannya tersebut sedang dalam perjalanan menuju Kufah.



Alasan mengapa tempat itu menjadi tujuan mereka, disebabkan sebelumnya telah datang kepada imam Husein as surat seruan dan dukungan dari masyarakat Kufah untuknya. Namun setelah imam mengirimkan sepupunya sebagai utusan, Yazid pun mengganti gubernur Kufah serta memberikan kursi kekuasaan wilayah itu kepada Ubaidillah bin Ziyad.



Ibnu Ziyad ketika itu datang dengan propagandanya merubah situasi dan kondisi Kufah. Mereka yang dulunya menyeru dan siap membantu imam Husein, satu persatu mulai meninggalkan pernyataannya sendiri, bahkan utusan cucu nabi yang merupakan keponakannya sendiri pun berakhir tertangkap dan dieksekusi oleh pemerintahan Ibnu Ziyad.



Dari uraian ringkas di atas, sebagian orang menyimpulkan bahwa yang menyebabkan terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap imam Husein as adalah orang syiah sendiri. Sebab mereka berbaiat dan menyeru imam Husein as untuk datang ke Kufah, namun meninggalkannya bahkan bisa saja ikut serta menjadi pasukan yang memerangi imam Husein as.



Dalam hal ini harusnya kita lebih teliti lagi dalam menilai siapakah mereka yang menyurati imam namun meninggalkannya begitu saja. Apakah mereka orang syiah ataukah seperti apa kebenarannya.



Salah satu bukti yang sering diangkat untuk menjelaskan bahwa mereka orang syiah ialah redaksi periwayatan terkait kasus itu sendiri, dimana secara jelas dalam berbagai teks yang ada terdapat lafal “syiah”. Seperti dalam redaksi berikut ini:



Bismillahirrahmanirrahim, untuk Husein bin Ali dari syiah-nya yang mukmin dan muslim, Amma ba’du, bersegeralah (datang), sebab masyarakat (Kufah) telah menantimu, tidak ada pemimpin bagi mereka selainmu, maka bergegaslah bergegas, wassalam.[26]



Yang penting untuk diperhatikan, penggunaan lafal syiah pada masa itu berbeda dengan sekarang dimana lafal tersebut ketika itu, masih sering digunakan dengan makna umum yang memiliki arti; pendukung, pembela, penolong atau pun kelompok. Hal ini juga telah diulas dalam seri sebelumnya, yang mana terdapat istilah syiah Aali Abu Sufyan atau kelompok pendukung keluarga Abu Sufyan, sebagai salah satu contoh bentuk penggunaannya. Sehingga dengan ini, bisa dipahami bahwa yang menulis dan menyebut istilah syiah dalam hal ini tidak serta merta pasti orang syiah, tapi bisa juga mencakup umum seperti; mereka yang hanya memiliki kecintaan pada keluarga nabi atau mereka yang ingin membantu karena kepentingan tertentu, sedangkan mereka tidak memiliki keyakinan syiah. Ditambah kondisi syiah Kufah yang sudah berubah.



Lain halnya dengan masa sekarang, dimana istilah syiah hanya dipahami sebagai sebuah madzhab atau aliran. Sementara syiah sendiri dengan maknanya yang khusus memiliki syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi sehingga dapat disebutkan sebagai syiah.



Adalah konsep Imamah (menyakini kepemimpinan 12 imam setelah nabi Muhammad saw) yang merupakan salah satu asas utama keyakinan atau ushul madzhab sekaligus ciri yang menonjol dari para pengikut atau kelompok syiah. Yang mana dengan konsep ini, para penganutnya meyakini bahwa para imam yang berjumlah 12 merupakan pilihan Allah swt yang diangkat secara bergantian setelah nabi-Nya. Selain itu ditambah dengan tawalli dan tabarri (berwilayah pada kebenaran dan berlepas diri dari kezaliman) yang merupakan salah satu rukun yang harus dikerjakan. Dengan ini semua maka akan terlihat, apakah mereka yang menyurati dan berbaiat kemudian meninggalkan atau bahkan bergabung dibarisan lawan imam masih bisa disebut sebagai syiahnya?




Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain di Karbala? (5)




Pada pembahasan sebelumnya telah banyak kita paparkan berbagai argumentasi penolakan perihal yang membunuh imam Husain as di Karbala adalah orang-orang Syiah sendiri. Meskipun mayoritas ulama mengetahui bahwa pembunuh utama imam Husain as adalah Yazid beserta “konco-konconya”, namun ada saja oknum pembenci Syiah yang mencuatkan perihal Syubhat ini.



Dan pada seri kali ini, kami masih membahas perihal syubhat tersebut dengan argumentasi lainnya yang mementahkan bahwa pembunuh imam Husain as di Karbala adalah orang-orang Syiah.



Argumentasi tersebut ialah ucapan-ucapan atau cemoohan yang dilontarkan oleh para pasukan pembunuh imam Husain as (orang-orang yang dituduhkan sebagai Syiah) kepada imam Husain as.



Dalam kitab Yanabiu’l Mawaddah karya Syeikh Sulaiman Al-Qanduzi al-Hanafi, beliau menuliskan bahwa ketika imam Husain bertanya kepada orang-orang yang memeranginya tentang apa alasan mereka hendak membunuh imam Husain as. Mereka menjawab bahwa ‘kami membunuhmu karena kebencian terhadap ayahmu’.



Dan masih dalam kitab yang sama, salah seorang dari mereka yang bernama al-Hashin bin Numair mengatakan kepada imam Husain: ‘Ya Husain sesungguhnya salatmu tidak akan diterima’.



Catatan diatas menunjukkan bahwa mereka yang berhadapan memerangi dan membunuh imam Husain as bukanlah bagian dari Syiahnya. Karena orang-orang Syiah dikenal sebagai pengikut, pecinta, dan penolong Imam Ali as beserta keturunannya. Lantas bagaimana mungkin mereka disebut Syiah sedangkan mereka mengatakan bahwa mereka membunuh imam Husain karena kebencian pada ayahnya yaitu imam Ali as. Kalaupun kita paksakan dengan menyematkan kata Syiah pada mereka, maka kita sebut mereka dengan Syiah Yazid atau Syiah keluarga Abu Sufyan sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, bukan Syiah yang dikenal sebagai Mazhab yang mengikuti imam Ali as beserta keturunannya.



Syiah itsna ‘Asyariyah yang dikenal sebagai suatu Mazhab menjadikan imam Ali as beserta keturunannya yang terpilih sampai dengan imam Mahdi Af sebagai para imam yang suci. Hal yang tidak mungkin dari mereka (Syiah) mengatakan kepada salah satu imamnya dengan mengatakan salatmu tidak akan diterima, seperti yang diucapkan oleh salah seorang dari pasukan pembunuh imam Husain as.



Jadi, jelas sudah bahwa para pasukan yang memusuhi dan membunuh imam Husain as di Karbala bukanlah bagian dari Syiah yang kita kenal sebagai pengikut dan pecinta Ahlul Bait as.



Wallahu A’lam




Daftar Isi:

Imam Husein as dalam Kitab-kitab Sejarah1


Mengenal Keutamaan Imam Husain as2


Mengenal Keutamaan Imam Husain as (2)5


Mengenal Keutamaan Imam Husain as (3)7


Yazid dalam Catatan Sejarawan dan Ahli Hadis9


1. At-Thabrani (260 – 360 H)10


2. Al-Ya’qubi ( wafat 284 H)10


Yazid dalam Catatan Sejarawan dan Ahli Hadis (2)13


Putra Yazid Membongkar Kebobrokan Ayah dan Kakeknya16


Ulama-ulama Sunni yang Membolehkan Melaknat Yazid18


At-Taftazani Melaknat Yazid dan Para Pengikutnya20


Ulama-Ulama Sunni yang Membolehkan Melaknat Yazid (2)22


Penilaian Ulama Ahlussunnah Terhadap Tindakan Yazid26


Ulama-Ulama Sunni yang Membolehkan Melaknat Yazid (3)29


Apakah Meratap dan Menangisi Imam Husain as Termasuk Bid’ah?33


Menangisi Kesyahidan Imam Husain AS adalah Sunnah NAbi SAWW37


Menangisi Kesyahidan Imam Husain AS adalah Sunnah Nabi SAWW (2)40


Siapakah Tokoh Utama Pembunuhan Imam Husein AS?43


Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain as di Karbala?47


Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain di Karbala (2)51


Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain di Karbala? (3)54


Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain di Karbala? (4)56


Benarkah Orang-orang Syiah yang Telah Membunuh Imam Husain di Karbala? (5)59





[1] Hakim Naisaburi, Abu Abdillah, al-Mustadrak Ala al-shahihain, jil:3, hal; 211, cet: Dar al-Haramain li al-Thibaah wa al-Nasyr wa al-Tauzi wa, Qairo.

[2] Shahih Muslim, Babun Min Fada’ili Ali bin Abi Thalib, Muslim bin Hujjah, Juz 1, hal. 1129, penerbit: Daru Tayyibah.

[3] Al-Futuh, jil: 5, hal: 12, Darul Adhwa.

[4] Al-Bidayah Wan Nihayah, jil: 8, hal: 228.

[5] Tarikh Ya’qubi, jil: 2, hal: 128.

[6] Tarikh Ya’qubi, jil: 2, hal: 138.

[7] Ibn Hajar al-Haitsami, Syihabuddin Ahmad bin Hajar, al-Shawaiq al-Muhriqah, hal: 601-602, cet: Maktabah Fayyadh.

[8] As-Sunnah, jil: 3, hal: 520.

[9] Ruhul Maani, jil: 25, hal: 198, Muassasah Risalah.

[10] Taftazani, Sa’duddin, Syarh al-Aqaid al-Nasafiah, hal: 103, cet:Maktabh al-Kulliyat, al-Azhariah, Qaira.

[11] Al-Syabrawi al-Syafii, Abdullah bin Muhammad, al-Ithaf Bi Hub al-Asyraf, hal: 174, cet: Muassasah Dar al-Kutub al-Islami.

[12] Al-Syabrawi al-Syafii, Abdullah bin Muhammad, al-Ithaf Bi Hub al-Asyraf, hal: 175, cet: Muassasah Dar al-Kutub al-Islami.

[13] Ruhul Ma’ani, jil: 26, hal: 78, Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Beirut.

[14] Ruhul Ma’ani, jil: 25, hal: 201, Muassasah Risalah.

[15] Hakim al-Naisyaburi, Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak Ala al-Shahihain, jil: 3, hal: 194, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, beirut.

[16] Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Musnad Ahmad bin Hanbal, jil: 1, hal: 446, cet: Dar al-Hadits, Qairo

[17] Tarikhul Islam, jil: 5, hal: 10, Darul Kitabul Arabi.

[18] Tarikh Khulafa, hal: 215.

[19] Al-Kamil Fit Tarikh, jil: 4, hal: 140.

[20] Tarikh Al-Yaqubi, jil: 2, hal: 241.

[21] Tarikh Al-Yaqubi, jil:2, hal: 242.

[22] Khawarizm, Abu al-Muayyad al-Muwaffaq bin Ahmad al-Makki, Maqtal al-Husain, jil: 2, hal: 38, cet: Mehr.

[23] Ibn Atsir, ‘Izzuddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad, al-Kamil fi al-Tarikh, jil: 4, hal: 65, cet: Bait al-Afkar al-dauliah.

[24] Ibn Atsir, ‘Izzuddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad, al-Kamil fi al-Tarikh, jil: 4, hal: 65, cet: Bait al-Afkar al-dauliah

[25] Siru A’lam An-Nubala’, Syamsudin Adz-Dzahabi, hal. 37, juz 4, penerbit: Mu’asasah Ar-Risalah.

[26] Tarikh Al-Yaqubi, jil:2, hal: 242.





Imam Husein as dalam Kitab-kitab Sejarah



Bagian 2



Yazid dan “Syiah Keluarga Abu Sofyan” Aktor Tragedi Karbala



Sebelumnya telah dimuat beberapa seri tentang sanggahan atas tuduhan tidak berdasar sekelompok oknum yang menuduh Syiah tepatnya Syiah Kufah sebagai dalang syahidnya imam Husain AS.



Masih melanjutkan pembahasan yang sama, namun dari sisi yang berbeda, pada seri ini akan diajukan bukti lainnya yang dapat mementahkan tuduhan di atas.



Bukti yang akan dipaparkan pada tulisan ini adalah jejak hidup pemimpin tentara Yazid di Karbala. Iaitu Umar bin Saad bin Abi Waqqash.



Melihat kembali sepak terjangnya sebelum peristiwa Karbala akan mengantarkan kita kepada kesimpulan yang benar dalam menilai pihak yang menjadi penyebab syahidnya keluarga Nabi di Karbala. apakah aktornya “Syiah keluarga Nabi SAWW” atau “Syiah keluarga Abu Sofyan”?



Khawarizmi di dalam kitabnya Maqtal al-Husaini merekam satu kejadian berkaitan dengan Umar bin Saad ketika imam Husain AS masih berada di Makkah dan sebelum bertolak ke Karbala:



“kemudian imam Husain pindah ke rumah Abbas atas persetujuan Abdullah bin Abbas. Dan adalah penguasa Makkah dari pihak Yazid saat itu adalah Umar bin Saad bin Abi Waqqash. Lalu imam Husain bangkit dan mengumandangkan azan dengan suara yang keras, kemudian ia melaksanakan shalat bersama masyarakat. Ketika melihat banyaknya orang-orang yang silih berganti datang menemui Husain dari berbagai penjuru, Ibn Saad takut para jamaah haji cenderung terhadapnya, oleh karena itu ia kembali ke Madinah dan menulis surat kepada Yazid tentang hal itu.[1] ”



Di dalam kitab lainnya, Tarikh al-Umam wa al-Muluk juga ada rekam jejak Umar bin Saad bin Abi Waqqas berkaitan dengan peristiwa kedatangan Muslim bin Aqil di Kufah:



“dan Abdullah bin Muslim Keluar, lalu menulis surat kepada Yazid bin Muawiyah. Amma ba’du. Sungguh Muslim bin Aqil telah tiba di Kufah. Para Syiah Husain bin Ali telah berbaiat padanya. Jika engkau masih membutuhkan Kufah maka utuslah seorang yang kuat yang dapat melaksanakan perintahmu dan bertindak seperti tindakanmu terhadap musuhmu. Karena Nu’man bin Basyir adalah seorang yang lemah atau menganggap dirinya lemah. Ia (Abdullah bin Muslim) adalah orang pertama yang menulis surat kepada Yazid. Setelahnya Amarah bin uqbah menulis surat senada dan begitu juga Umar bin Saad menulis seperti itu.[2] ”



Berangkat dari kedua catatan sejarah di atas dapat dipahami bahwa komandan pasukan Yazid, Umar bin Saad merupakan Syiah keluarga Abu Sofyan. Hal ini mengingat bahwa semenjak dari Makkah ia telah menjadi sumber berita Yazid.



Dan di Kufah ia juga telah menjadi salah seorang yang mendorong Yazid untuk mengganti gubernur Nu’man bin Basyir yang dianggap lemah dengan seorang yang kuat dan tegas.



Dan sebagaimana diketahui perubahan gubernur ini merupakan langkah awal yang kemudian menyebabkan Syahidnya Muslim bin Aqil dan selanjutnya terjadinya prahara Karbala.



Oleh karena itu, menuduh bahwa orang Syiah kufah sebagai dalang syahidnya imam Husain dan keluarganya merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Karena pemimpin perang yang membantai keluarga Nabi SAWW tidak pernah dikenal sebagai Syiah keluarga Nabi, tapi sebaliknya tercatat dalam sejarah bahwa dari awal ia merupakan kaki tangan Yazid.



Dari sini dapat disimpulkan bahwa pembunuh imam Husain adalah Yazid bin Muawiyah dan para Syiahnya seperti Umar bin Saad bin Abi Waqqash.



Bani Umayyah dan Kabilah yang Paling Dibenci Nabi Saw


Di dalam tulisan sebelumnya, kita telah membahas isu-isu yang kerap kali dituduhkan ke mazhab Syiah, terlebih dalam memperingati kesyahidan Imam Husain di bulan Muharram.



Satu demi satu tuduhan itu telah kami patahkan, mulai dari berduka Imam Husain hingga siapa pembunuh Imam Husain yang sesungguhnya. Semua itu telah kami ulas dan jawab dari kitab-kitab Sunni.



Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pembunuh sejati Imam Husain adalah Yazid bin Muawiyah. Dengan kata lain, dialah aktor di balik pembunuhan Imam Husain. Artinya, pembunuh Imam Husain bukanlah pengikutnya itu sendiri.



Berbicara tentang Yazid, identik dengan Umayyah. Yazid adalah satu di antara para hakim atau petinggi di dalam dinasti Umayyah. Fakta menarik yang perlu kita tahu tentang Dinasti Umayyah adalah, bahwa mereka masuk dalam deretan kabilah yang dibenci oleh Rasulullah Saw.



Kalau kita membaca sejarah, maka kita tak heran kenapa nabi membenci mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengganggu dan berbuat kejam terhadap keluarga nabi. Puncaknya, mereka secara terang-terangan memenggal kepala cucu nabi di Karbala.



Setidaknya, kebencian Nabi Saw kepada Bani Umayyah itu Terekam jelas di dalam kitab Mustadrak Ala Shahihain karya Hakim Naisyaburi.



عَنْ أَبِی بَرْزَةَ الْأَسْلَمِیِّ، قَالَ: کَانَ أَبْغَضَ الْأَحْیَاءِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ بَنُو أُمَیَّةَ، وَبَنُو حَنِیفَةَ، وَثَقِیفٌ هَذَا حَدِیثٌ صَحِیحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّیْخَیْنِ، وَلَمْ یُخْرِجَاهُ. : على شرط البخاری ومسلم [التعلیق – من تلخیص الذهبی]



Dinukil dari Abi Barzah As-aslami, ia berkata, “Kabilah yang paling dibenci oleh Rasulullah adalah Bani Umayyah, Bani Hanifah dan Kabilah Tsaqif.”



Terkait riwayat di atas, Hakim Naisyaburi menegaskan tentang keashahihan riwayat tersebut yang sesuai dengan syarat-syarat dalam kitab Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, akan tetapi keduanya tidak membawakan di dalam kedua kitab itu.



Di sisi lain, Adz-Dzahabi di dalam talkhis-nya (ringkasan), juga mengatakan bahwa riwayat di atas sesuai dengan syarat-syarat Bhukari-Muslim.



Akhir kata, pantas saja jika Bani Umayyah termasuk kabilah yang paling dibenci oleh Nabi Muhammad Saw., sebab kekejaman mereka terhadap keluarga nabi telah melampaui batas dan tidak masuk akal.



Bagaimana Nasib Rombongan Imam Husein AS Pasca Karbala?



Peristiwa Karbala secara umum telah kita bahas dan sejauh ini telah kita ketahui latar belakang terjadinya, siapa saja tokohnya, seperti apa mereka dan apa motifnya. Peristiwa tersebut juga bermula dari perjalanan imam Husein as yang bertujuan mendatangi Kufah, namun, hal itu tidak terwujud disebabkan pasukan Yazid yang menghalangi serta mengarahkan mereka ke padang tandus Karbala.



Dalam perjalanan itu, imam Husein as tidaklah seorang diri, ia didampingi oleh keluarga beserta para sahabat setianya. Dan ketika tragedi pembantaian terjadi pada hari 10 Muharram 61 H, semuanya berhasil dibunuh dan tidak ada yang tersisa dari rombongan itu melainkan para wanita, anak-anak serta imam Ali Zainal Abidin as yang ketika itu dalam kondisi sakit parah.



Di antara para wanita yang hadir dalam peristiwa itu adalah Zainab bintu Ali bin Abi Thalib atau saudari kandung imam Husein as. terkait hal ini Khairuddin Al-Zirikli menyebutkan:



وحضرت زینب مع أخیها الحسین وقعة کربلاء، وحملت مع السبایا إلى الکوفة، ثم إلى الشام



Dan Zainab hadir bersama saudaranya Husein dalam kejadian Karbala, dan ia dibawa bersama para tawanan menuju Kufah kemudian menuju Syam.[3]



Perihal yang sama juga diceritakan oleh Abu Bakr Al-Dimasyqi:



ولما قتل الحسین بن علی رضی الله عنهما یوم عاشوراء أول سنة إحدى وستین وهو یومئذ إبن أربع خمسین سنة ونصف شهر ووقع ما وقع من السبی وحمل النساء والصبیان فلما مروا بالقتلى صاحت زینب بنت علی رضی الله عنهما مستغیثة بالنبی صلى الله علیه وسلم یا محمداه هذا حسین بالعراء مزمل بالدماء مقطع الأعضاء یا محمداه ،فلما کان سنة ثلاث وأربعمائة أخذ أهل الکوفة جدری عظیم.ثم عمى منهم ألف وخمسمائة کلهم من نسل من حضر قتل الحسین رضی الله عنه



Dan ketika Husein bin Ali ra dibunuh pada hari kesepuluh permulaan tahun 61 H, ketika itu ia berusia 54 tahun 15 hari, dan terjadilah apa yang telah terjadi dari penawanan serta penggiringan para wanita dan anak-anak. Ketika mereka melewati jenazah (imam Husein as), Zainab bintu Ali ra berteriak sambil memohon pertolongan nabi saw: “Oh Muhammad! Inilah Husein di (padang) terbuka, berselimutkan darah, terpotong bagian-bagian tubuhnya, oh Muhammad.” Ketika tahun 403 H, para penduduk Kufah terjangkit penyakit cacar lalu 1500 orang dari mereka mengalami kebutaan, semuanya dari garis keturunan mereka yang hadir dalam pembunuhan Husein ra.[4]



Begitu pula Al-Qurtubi mencatat peristiwa pasca Karbala sebagai berikut:



وساق القوم حرم رسول الله صلى الله علیه وسلم کما تساق الأسرى حتى إذا بلغوا بهم الکوفة خرج الناس فجعلوا ینظرون إلیهم، وفی الأسارى علی بن حسین وکان شدید المرض قد جمعت یداه إلى عنقه، وزینب بنت علی وبنت فاطمة الزهراء، وأختها أم کلثوم، وفاطمة وسکینة بنت الحسین، وساق الظلمة والفسقة معهم رؤوس القتلة



Dan orang-orang itu (pasukan Yazid) membawa keluarga nabi saw seperti halnya membawa para tawanan, hingga sampai mereka membawanya ke Kufah. Orang-orang keluar dan melihat mereka (para tawanan), dan diantara para tawanan terdapat Ali bin Husein yang mana ia dalam kondisi sakit yang parah dan kedua tangannya diikat ke lehernya, juga Zainab putri Ali dan Fatimah serta saudarinya Ummu Kultsum, Fatimah dan Sukainah putri-putri Husein, dan orang-orang zalim dan fasik itu juga membawa bersama mereka kepala orang-orang yang terbunuh.[5]



Begitulah perlakuan yang didapat oleh keturunan nabi dari mereka yang haus akan kekuasaan dan tergila-gila oleh imbalan duniawi yang akan diberikan oleh penguasa mereka ketika itu, hingga tak pandang bulu bahkan keturunan nabi pun tak ada nilainya bagi mereka.



Sibth Ibnul Jauzi dan Majelis Duka Asyura



Kita telah ketahui bahwa Bulan Muharram adalah bulan duka. Dimana pada bulan itu telah terjadi tragedi dan musibah agung yang menimpa keluarga Rasulullah Saw. Tepat di hari Asyura pada tahun 61 H di bulan itu, Imam Husain as beserta keluarga dan para sahabatnya telah meneguk cawan Syahadah, setelah itu mereka yang tersisa dari keluarga kenabian digelandang menjadi tawanan.



Peristiwa Asyura di Karbala telah membuat hati kaum muslimin berduka begitu dalamnya, terutama mereka yang mengikuti dan mencintai keluarga Rasulullah Saw. Setiap bulan Muharram tiba mereka senantiasa mengadakan acara majelis duka untuk mengenang tragedi dan musibah agung tersebut.



Sekarang-sekarang ini, ada anggapan bahwa majelis duka imam Husain as identik diselenggarakan dan di ikuti oleh kaum muslimin yang bermazhab Syiah. Ya, namun tidak dipungkiri bahwa majelis duka imam Husain as juga diselenggarakan dan di ikuti oleh mereka yang bukan bermazhab Syiah. Mungkin sedikit yang tahu bahwa ulama besar Ahlussunnah seperti Sibth Ibnul Jauzi pernah ikut berpartisipasi dalam acara majelis duka Asyura. Hal itu tercatat dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah milik Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi.



Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa pada hari Asyura Sibth Ibnul Jauzi diminta untuk membawakan maqtal Al-Husain untuk orang-orang. Kemudian ia naik mimbar dan duduk dalam waktu yang lama tanpa berbicara. Lalu ia mengusap wajahnya dengan sapu tangan dan menangis keras. Sambil menangis ia mengucapkan:



“Celakalah bagi siapa yang menjadikan pemberi Syafaatnya sebagai musuhnya, dan sangsakala ditiup untuk membangkitkan semua makhluk.



Di hari Kiamat, Fathimah masuk ke padang Mahsyar dengan gamisnya yang berlumuran darah Husain.”



Sibth Ibnul Jauzi menjadi salah satu contoh ulama Ahlussunnah yang ikut dalam acara majelis duka Asyura. Hal itu menunjukkan bahwa majelis duka Asyura melingkupi cakupan yang sangat luas dan tak terbatas dalam lingkup Mazhab Syiah saja.



Peristiwa Asyura memang telah terjadi ribuan tahun lalu, namun semangat perjuangan dalam menghadapi kezaliman yang lahir dari musibah agung tersebut masih tetap hidup hingga saat ini. Dan salah satu buktinya ialah masih hidupnya majelis-majelis duka Asyura yang diselenggarakan dan tersebar di berbagai penjuru dunia.



Perampasan dan Kebiadaban Sikap Musuh Imam Husein AS




Terbunuhnya imam Husein as di padang Karbala merupakan sebuah musibah pahit yang pernah terjadi dalam sepanjang sejarah Islam. Sebab selain ia merupakan cucu nabi Muhammad saw, juga merupakan sosok agung yang memiliki banyak keutamaan, diantara keutamaannya yang paling dikenal ialah ia bersama kakaknya imam Hasan as merupakan Sayyidai Syababi Ahlil Jannah (dua penghulu para pemuda surga).



Kendati demikian, semua itu tidak sedikit pun mempengaruhi musuh-musuhnya dalam memperlakukannya beserta para sahabatnya secara biadab. Mereka semua berakhir dibantai dengan sadis dan dipenggal kepalanya untuk dibawa menuju istana penguasa kala itu.



Tak hanya itu, selain membunuh, mereka juga merampas semua hal dinilainya berharga, sebagai rampasan perang. Perlakuan kasar ini tidak hanya berlaku pada mereka yang maju ke medan perang, bahkan mereka juga menyerbu perkemahan yang hanya diisi oleh para wanita dan anak-anak beserta imam Ali Zainal Abidin as yang dalam kondisi sakit.



Semua ini dicatat dalam sejarah, sebagaimana diceritakan oleh Ibnul Atsir. Sebagai berikut:



Dan semua yang ada pada (dikenakan) Husein dirampas, Bahr bin Ka’ab mengambil pakaian bagian bawahnya, Qais bin Al-Asya’ts mengambil kain beludru dan itu (terbuat) dari sutra sehingga setelah (kejadian) itu ia dipanggil dengan Qais Qathifah (beludru), Al-Aswad Al-Audi mengambil kedua sandalnya, seorang lelaki dari Darim, dan orang-orang mengincar barang, pakaian, unta. Kemudian mereka merampasnya, merampas harta bendanya, serta semua (perhiasan) yang ada pada para wanita bahkan hingga wanita itu, terlepas apa yang dikenakannya (akibat ditarik) dari belakang, mereka juga mengambilnya.[6]



Pada tempat yang lainnya ia juga mencatat:



Kemudian Umar bin Sa’ad menyeru para pasukannya: “Barang siapa yang (ingin) berkontribusi terhadap Husein maka hendaknya menginjak Husein dengan kudanya.” Kemudian 10 orang dari mereka maju. Di antaranya Ishak bin Haywah Al-Hadhrami -ia yang merampas gamis Husein, yang kemudian ia terjangkit penyakit kusta- mereka datang lalu menginjak-injak Husein dengan kuda-kuda mereka hingga punggung dan dadanya remuk.[7]



Ibnul Atsir juga menyebutkan bahwa setelah kepala imam Husein as di bawa ke istana Ibnu Ziyad di Kufah, Ibnu Ziyad memukul-mukul gigi-gigi depan imam Husein.[8]



Sementara itu Ibnu Katsir meriwayat dari Abu Mikhnaf bahwa Sinan dan yang lainnya merampas barang-barang imam Husein as dan membagikannya diantara mereka, tidak hanya itu bahkan apa yang dimiliki oleh para wanita yang hadir dalam peristiwa itu.[9]



Masih dari periwayat yang sama, Ibnu Katsir juga mencatat bahwa Syimr bin Dzil Jausyan ingin membunuh imam Ali Zainal Abidin as, namun hal itu digagalkan oleh rekannya sendiri melihat kondisi putra imam Husein as itu yang berada dalam kondisi sakit parah. Kemudian setelah itu datang Umar bin Sa’ad dan melarang semua pasukan untuk masuk ke wilayah para wanita yang menjadi tawanan serta tidak membunuh imam Ali Zainal Abidin, ia juga menyuruh mereka untuk mengembalikan semua yang barang yang diambil dari sisa rombongan imam Husein itu, namun hal itu pun tidak dihiraukan (apa yang dirampas tidak dikembalikan).[10]



Begitulah sedikitnya gambaran perlakuan para musuh terhadap imam Husein as dan sisa rombongannya. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan seperti itu tidak muncul melainkan dari kebencian dan permusuhan. Semua tindakan itu menunjukkan siapa sebenarnya mereka. Sehingga mustahil jika mereka adalah syiahnya, sementara syiah sendiri secara umum memiliki makna penolong, pendukung atau bahkan secara khususnya yang meyakini cucu nabi Muhammad saw ini sebagai imam.



Mayoritas Penduduk Kufah di Zaman Ali bin Abi Thalib Bukanlah Syiah



Sebelumnya pernah kita bahas perihal siapakah yang membunuh Imam Husain as pada hari Asyura di Karbala. Kita juga telah paparkan berbagai argumentasi yang mementahkan bahwa pembunuh imam Husain as adalah orang-orang Syiah (pecinta Ahlul Bait) Kufah. Dan kalaupun mereka (yang membunuh imam Husain) dikatakan sebagai Syiah, maka kita sebut mereka sebagai Syiah Yazid atau Syiah keluarga Abu Sufyan.



Salah satu dalil bahwa mereka yang membunuh imam Husain as di padang Karbala bukanlah Syiahnya yang tinggal di Kufah ialah karena orang-orang syiah pengikut Ahlul Bait di zaman itu, bahkan di zaman sebelum terjadinya peristiwa Asyura sangatlah sedikit, bahkan dikatakan sampai tidak ada lagi Syiah yang ma’ruf yang tinggal di Kufah. Hal ini lantaran di zaman Muawiyah, mereka dikejar, dibunuh dan diasingkan keluar dari Iraq, sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.



Dan kali ini, kami akan paparkan lagi argumentasi lainnya yang menegaskan bahwa kondisi masyarakat Kufah pada zaman itu bukanlah masyarakat Syiah pengikut Ahlul Bait as, sehingga ribuan orang yang datang dari Kufah ke Karbala dan menjadi pasukan musuh imam Husain as bukanlah bagian dari Syiah.



Jauh sebelum peristiwa Asyura terjadi, tepatnya di zaman ketika Ali bin Abi Thalib berkuasa, mayoritas masyarakat Kufah pada saat itu bukanlah Syiah pengikut Ali dan keluarganya. Hal itu terbukti ketika mereka tidak menaati Ali bin Abi Thalib untuk tidak melaksanakan shalat sunnah Ramadhan secara berjamaah. Seperti yang tercatat dalam kitab Syarhu Nahjil Balaghah milik Ibnu Abil Hadid, dalam kitab tersebut beliau menuliskan:



“Diriwayatkan ketika para jamaah bertemu Amirul mukminin di Kufah, mereka memintanya untuk menyediakan seorang imam untuk memimpin salat sunah Ramadhan bersama mereka. Namun Ali mengingatkan dan memberitahu mereka bahwasannya itu bertentangan dengan sunnah. Kemudian mereka meninggalkannya (Ali) dan membentuk jamaah tersendiri, dan sebagiannya melaksanakannya. Lalu Ali mengutus putranya Al-Hasan as untuk mencegah mereka, lalu Al-Hasan melangkah memasuki masjid dengan cepat, ketika mereka melihatnya, mereka berlari menyerbu pintu-pintu dan berteriak, waa Umaraah, Yaa Umar.”[11]



Catatan diatas menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Kufah di zaman kekuasaan Ali bin Abi Thalib bukanlah masyarakat Syiah, melainkan pendukung Khalifah kedua. Syiah pengikut Ali bin Abi Thalib as pada saat itu sangatlah sedikit. Selain itu, di zaman setelahnya tepatnya di masa kekuasaan Muawiyah, Syiah Ahlul Bait di Kufah dikejar dan dibunuh sampai tak tersisa yang ma’ruf diantara mereka yang tinggal di sana. Sehingga bisa dipastikan mereka yang datang dari Kufah ke Karbala dan menjadi pasukan pembunuh imam Husain as bukanlah bagian dari Syiah pengikut keluarga Rasulullah Saw.



Wallahu A’lam



Ketidak Sopanan Yazid Terhadap Kepala Imam Husain AS



Telah disebutkan sebelumnya beberapa dalil yang membuktikan bahwa Yazid adalah aktor utama di balik kesyahidan imam Husain dan keluarga serta sahabatnya di Karbala.



Namun mengingat bahwa ada oknum-oknum tertentu yang dengan gencarnya menyuarakan ketidak terlibatan Yazid dalam hal ini, maka tidak salah jika pada tulisan ini akan diajukan argumentasi lainnya.



Dalil yang dimaksud adalah sikap Yazid dalam menyambut para tawanan dan memperlakukan kepala Imam Hisain AS.



Khawarizmi mencatat di dalam kitabnya bahwa masyarakat kota Syam menyambut rombongan keluarga Nabi SAWW yang tertawan dan kepala para syuhada dengan menghias kota laksana menyambut hari raya:



“……Dari Zaid, dari ayahnya bahwa Sahl bin Sa’d berkata: aku bepergian menuju Baitul Muqaddas hingga aku sampai di pertengahan kota Syam. Lalu aku mendapati kota yang bersungai dan banyak pohon. Penduduknya menggantungkan berbagai kain penutup sementara mereka dalam kedaan senang dan gembira. Di sana ada juga para wanita yang bermain rebana dan genderang. Aku berkata dalam hati: sepertinya penduduk Syam memiliki hari raya yang aku tidak mengetahuinya. Kemudian aku melihat sekelompok orang sedang berbincang-bincang, lalu aku bertanya. Wahai kalian! Apakah kalian di Syam memiliki hari raya yang tidak kami kenal? Mereka berkata: wahai orang tua! Kami melihat kamu ini orang asing. Aku menjawab: aku Sahl bin Sa’d. sungguh aku telah melihat Rasulullah dan memiliki hadits darinya. Mereka berkata: apakah engkau tidak heran langit tidak menurunkan hujan darah dan bumi tidak menelan penduduknya? Aku bertanya: mengapa itu terjadi? Mereka menjawab: ini kepala al-Husain cucu Rasulullah SAWW dihadiahkan dari Iraq menuju Syam dan akan sampai saat ini.[12] ”



Literatur sejarah ini menunjukkan bahwa kota syam saat itu sedang dihias oleh masyarakatnya untuk menyambut kedatangan tawanan Karbala dan kepala para syuhada. Yang tentu saja penyambutan ini dilakukan dengan penuh kegembiraan dan senang hati.



Dari sini dapat dipahami bahwa pemerintah saat itu, terutama Yazid mempunyai andil secara langsung dalam terselenggaranya penyambutan yang diagendakan untuk menghinakan keluarga Nabi SAWW tersebut.



Jika tidak; dalam artian bahwa Yazid justru sedih dengan hal itu, tentu saja ia akan memerintahkan diadakannya majlis duka atas syahidnya imam Husain AS. Dan menentang kegembiraan yang dipertontonkan oleh masyarakat.



Bahkan lebih jauh, Sibt ibn al-Jauzi ada mencatat dalam kitabnya Tazkiratul Khawash tentang ketidak sopanan Yazid dalam memperlakukan kepala Imam Husain:



“adapun yang masyhur tentang Yazid di semua riwayat bahwa tatkala kepala Husain AS telah berada di hadapannya, ia mengumpulkan penduduk Syam lalu mulai memukulinya dengan tongkat kayu.[13] ”



Khawarizmi juga memuat pernyataan yang sama tentang sikap Yazid dalam menyambut kepala imam Husain:



“kemudian ia meminta tongkat kayu lalu mulai memukul gigi depan imam Husain dengannya.[14] ”



Sekali lagi catatan ini dengan jelas telah mementahkan pembelaan yang dilakukan oleh sebagian oknum yang mengatakan bahwa Yazid tidak bersalah karena tidak ada niatan untuk membunuh imam Husain As.



Sebab dari kedua kasus di atas dapat disimpulkan bahwa Yazid sangat bersuka cita dengan apa yang telah terjadi.



Sahabat Nabi yang Terlibat di Dalam Pembantaian Imam Husain as



Di sepanjang pembahasan tema Muharam ini, kami telah menulis beragam tema, mulai dari keutamaan Imam Husain, pelaku pembunuhan Imam Husain hingga kejadian selepas peristiwa Karbala yang menimpa rombongan Karbala.



Kali ini, di dalam tulisan ini, penulis mencoba mengulik tentang para sahabat nabi yang terlibat di dalam pembunuhan Imam Husain. Mungkin, sebagian pembaca ada yang belum tahu, bahwa ada sebagian sahabat nabi yang terlibat di balik syahidnya cucu nabi saw.



Salah satu sahabat itu adalah Abdullah bin Hasoni Al-Azdi. Abu Hasan Al-Asqalani menyebutkan bahwa ia (Abdullah bin Hason Al-Azdi) termasuk di dalam deretan para sahabat.[15] Lalu, muncul sebuah pertanyaan, apa peran dia dalam kesyahidan Imam Husain?



Di dalam kitab Anshabul Asyraf, karya Imam Ahmad bin Yahya bin Jabir Al-Baldzari dikatakan bahwa ia telah melakukan pengkhianatan terhadap Imam Husain. Salah satu ungkapan yang paling masyhur ialah, ia berkata kepada Imam Husein sebagai berikut.


يا حسين ألا تنظر إلى الماء كأنه كبد السماء، والله لا تذوق منه قطرة حتى تموت عطشاً



“Wahai Husain, tidakkah engkau melihat air, seolah-olah ia laksana hati-nya langit. Demi Allah, engkau tak akan mencicipi air itu barang setetes sampai engkau mati dalam keadaan kehausan.”[16]



Jika kita amati perkataan Abdullah Hason di atas, seolah menerbangkan ingatan kita kepada sekelompok orang yang meyakini bahwa setiap sahabat adalah baik dan adil. Dari ungkapan di atas, sejatinya hal itu merobohkan keyakinan sebagian orang yang menuhankan seluruh para sahabat nabi itu.



Kalau memang ia adalah sahabat sejati nabi, tentu ia tak akan tega melukai hati cucu kesayangannya. Namun, kenyataannya berbanding terbalik dengan keyakinan sebagian orang. Justru, ia yang notabene sahabat nabi, malah mencemooh bahkan terlibat dalam kesyahidan Al-Husain.



Dalam rangka menutupi-nutupi nama baik mereka (para sahabat), ada salah satu tokoh yang mencoba melarang membacakan elegi (maktal) Imam Husain. Sebab, jika elegi itu dibacakan, maka kebobrokan mereka akan terbongkar, dan membuat sebagian orang terperanjat.



Salah satu tokoh yang mencoba menutupi keburukan sahabat itu ialah, Hamid al-Ghazali, ulama kesohor Sunni, bahwa ia melarang orang-orang yang memberi nasihat, membacakan elegi Imam Husain. Singkatnya, ia berkata begini,



الغزالي وغيره ويحرم على الواعظ وغيره رواية مقتل الحسين وحكاياته وما جرى بين الصحابة من التشاجر والتخاصم فإنه يهيج على بغض الصحابة والطعن فيهم .



“Pemberi nasihat dan selainnya tidak dibolehkan membacakan elegi Imam Husain yang terjadi di tengah para sahabat (di tengah masyarakat). Karena, hal itu akan menciptakan kegaduhan di tengah mereka, dan merangsang mereka untuk membenci dan mencemarkan nama baik para sahabat.”[17]



Itulah sedikit ulasan tentang sahabat nabi yang terlibat dalam pembantaian di Karbala. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari ulasan ini.



Hajjar bin Abjar Al-‘Ijli, Sahabat Nabi yang Terlibat dalam Pembantaian Imam Husain



Pembahasan Asyura Imam Husain as takkan pernah usang untuk selalu dibahas. Musibah agung ini senantiasa memberikan pengaruh serta pelajaran besar di berbagai dimensi-dimensinya hingga saat ini. Banyak sekali bahasan-bahasan yang bisa kita kupas terkait peristiwa bersejarah tersebut. Salah satunya terkait aktor-aktor yang terlibat dalam pembantaian keluarga Nabi tersebut. Dan ulasan sebelumnya kita telah bahas mengenai adanya sahabat-sahabat Nabi Saw yang ikut andil dalam pembantaian imam Husain as di Karbala.



Melanjutkan pembahasan tersebut, bahasan kali ini juga masih seputar sahabat-sahabat nabi yang ikut terlibat dalam pembantaian imam Husain as di Karbala. Fakta ini mungkin akan sangat mengejutkan, terutama bagi mereka yang meyakini akan keadilan seluruh sahabat. Sahabat nabi yang harusnya bisa menyenangkan hati Nabi Saw, justru malah menyakiti hati Nabi dengan ikut terlibat dalam membunuh cucu kesayangannya.



Salah satu sahabat Nabi yang terlibat dalam pembantaian imam Husain as itu bernama Hajjar bin Abjar Al-‘Ijli. Dia termasuk dari sahabat nabi sebagaimana yang dituliskan oleh Ulama Ahlussunnah Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Dalam kitabnya Al-Ishobah fi Tamyiz As-Shohabah, ibnu Hajar mengkategorikan Hajjar bin Abjar sebagai salah satu dari sahabat Nabi. Hal ini menjadi bukti bahwa beliau adalah seorang sahabat Nabi Saw.



Adapun perannya dalam peristiwa Asyura di Karbala, seperti yang tercantum dalam kitab Ansab Al-Asyraf milik Ahmad bin Yahya Al-Baladzari, bahwasannya Hajjar bin Abjar merupakan salah satu pembesar masyarakat Kufah yang menulis surat pada imam Husain untuk datang ke Kufah. Dan sebagaimana yang kita ketahui mereka malah berkhianat dan berbalik memusuhi dan membantai imam Husain as.



Selain itu, seperti yang kami sebutkan, Hajjar bin Abjar ikut terlibat langsung dalam pembantaian imam Husain as beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Ia hadir di Karbala dengan memimpin seribu pasukan untuk menghadapi imam Husain as. Hal ini seperti yang terekam dalam kitab yang sama seperti diatas yaitu Ansab Al-Asyraf milik Ahmad bin Yahya Al-Baldzari.



Catatan diatas menjadi tambahan pembahasan sebelumnya terkait fakta menarik bahwa terdapat diantara sahabat-sahabat Nabi yang ikut andil dalam pembantaian imam Husain as di Karbala.



Motif di Balik Kelancangan dan Ketidak Sopanan Yazid Terhadap Imam Husain AS



Sikap tidak sopan dan kelancangan Yazid terhadap imam Husain AS tercatat dalam lembaran sejarah Islam dan sebagiannya telah disinggung pada tulisan sebelumnya.



Melanjutkan catatan yang ada pada seri kali ini akan diutarakan catatan sejarah lainnya yang mengankat sikap buruk Yazid atau tepatnya kelancangan serta kebengisannya terhadap imam Husain As



Di dalam beberapa literatur sejarah disebutkan bahwa setelah kepala imam Husain AS diletakkan di hadapan Yazid, ia membacakan satu Syair yang pernah digubah oleh penyair Arab yang bernama Ibn Ziba’ri saat mengalahkan pasukan kaum muslimin di perang Uhud. Tazkirat al-Khawash memuat:



“adapun yang masyhur tentang Yazid di dalam semua riwayat bahwa tatkala kepala Husain AS telah berada di hadapannya, ia mengumpulkan penduduk Syam lalu mulai memukulinya dengan tongkat kayu seraya mengucapkan syair Ibn Ziba’ri: seandainya para tetua suku saya yang terbunuh di perang Badar hadir dan melihat tangisan Suku Khazraj karena dipukul oleh pedang dan tombak. Kami telah membunuh sekelompok dari pembesar mereka sebagai ganti pembesar kita di Badar maka sudah telah berimbang.[18] ”



Masih di dalam literatur yang sama, bahkan Sya’bi mengatakan bahwa Yazid telah menggubah tambahan Syair di atas yang yang memuat ejekan terhadap bani Hayim; termasuk nabi Muhammad SAWW:



“Bani Hasyim telah bermain-main dengan kekuasaan. Sebenarnya tidak ada berita yang datang dan tidak ada wahyu yang turun. Aku bukanlah termasuk dari suku Khandaf jika tidak menuntut balas dari bani Ahmad atas apa yang ia perbuat.[19] ”



Ibn Askir mencatat bahwa tidak hanya menggubah syair senada, Yazid bahkan menancapkan kepala imam Husain AS di kota Damaskus selama tiga hari lalu menempatkannya di dalam gudang penyimpanan senjata.[20]



Kelancangan-kelancangan ini, bukan hanya membuktikan bahwa Yazid merupakan aktor utama dari tragedi karbala, lebih dari itu catatan ini juga mengungkap salah satu motif dari kekejaman yang dilakukan; berupa balas dendam atas nenek moyangnya yang terbunuh di perang Badar.



Bahkan ucapan Yazid “tidak ada berita yang datang dan wahyu yang turun”, telah berhasil menunjukkkan jati dirinya yang sebenarnya. Iaitu ketidak berimanan Yazid terhadap kenabian Muhammad SAWW.



Sahabat Nabi yang Terlibat di Dalam Pembantaian Imam Husain (Bag. 2)



Sebelumnya, kami sempat menyinggung para sahabat nabi yang telah berperan dalam pembunuhan Imam Husain. Kali ini, penulis mencoba menghadirkan pembahasan yang sama, namun yang membedakan ialah nama sahabat. Kalau sebelumnya, kita telah menyinggung dua sahabat nabi, yang bernama Abdullah bin Hasoni Al-Azdi dan Hajjar bin Abjar Al-‘Ijli, sekarang sahabat nabi yang menjadi sorotan kita adalah Azrah bin Qais Ahamshi.



Menurut Abul Hasan Al-Astqalani, Azrah bin Qais adalah sahabat nabi generasi utama.[21] Sebagai informasi, sahabat nabi yang satu ini, disinyalir juga sebagai salah satu tokoh yang mengirimkan surat kepada Imam Husain, namun pada akhirnya ia mengkhianati cucunda nabi itu. Tak perlu panjang lebar, mari kita ulik, apa peran sahabat nabi ini di balik kesyahidan Imam Husain as.



Menurut penurutan Ahmad bin Yahya bin Jabir bin Dawud bin Al-Baladzuri, penulis kitab Jumalul Ansabil Asrhaf di dalam bab Maktal Husain bin Ali, bahwa Azrah bin Qais memiliki peran mengantarkan kepala-kepala Syuhada Karbala yang telah terpisah dari jasadnya ke Istana Ibnu Ziyad bersama orang-orang yang membunuh Imam Husain.



Di dalam kitab tersbut, ia menulis demikian.



واحتزت رؤوس القتلى فحمل إلى ابن زياد اثنان وسبعون رأساً مع شمر بن ذي الجوشن و قيس بن الأشعث و عمرو بن الحجاح وعزرة بن قيس الأحمسي من بجيلة، فقدموا بالرؤوس على ابن زياد



“Kepala-kepala (dari hasil pembunuhan) itu telah terpotong (dari jasad manusia). Lalu, dibawanya sebanyak tujuh puluh dua kepala itu ke (istana) Ibnu Yizad oleh Syimir bin Dziljausyan, Qais bin Asyast, Umar bin Hujaj-Zaidi dan Azrah bin Qais Ahamshi dari kabilah Bajilah, yang kemudian meraka suguhkan kepala-kepala itu kepad Ibnu Ziyad.”[22]



Lagi-lagi, kita telah diperlihatkan sebuah fakta yang mematahkan, bahwa tak semua sahabat nabi adalah adil dan baik. Azrah bin Qais Ahamshi boleh dibilang sebagai salah satu contoh para sahabat yang menentang dan berkhianat dengan ajaran nabi dan keluarganya, bahkan, ironisnya, ia rela bergabung di kubu Muawiyah yang jelas-jelas memiliki peran yang cukup besar di dalam kesyahidan Imam Husain dan para pengikut setianya.



Sahabat Nabi yang Terlibat di Dalam Pembantaian Imam Husain (Bag. 3)



Peristiwa sepuluh Muharram seolah tak habis untuk dikaji, sebab kejadian tersebut selain penuh dengan kesedihan dan menyakitkan bagi kaum muslimin, di sisi yang lain juga sudah terkubur dalam waktu yang cukup lama sehingga membuat sebagian aspeknya menjadi pudar dan buram.



Diantara aspek tersebut adalah detail siapa saja yang terlibat dalam peristiwa besar itu. Setelah dicermati lebih dalam, ternyata dari berbagai literatur Islam yang ada, dapat ditemukan bahwa sebagian orang yang terlibat dalam tragedi itu adalah dari generasi yang pernah mengalami masa-masa kehidupan nabi Muhammad saw.



Artinya sebagian dari mereka yang tergabung dalam peristiwa Karbala, dulunya pernah melihat nabi secara langsung. Namun seiringan bergulirnya waktu mereka menutup mata atau pun mungkin lupa dengan hal itu sehingga tidak memperdulikan cucunya, imam Husein as yang begitu jelas dizalimi dan dianiaya.



Adalah Amr bin Huraits, seorang yang bisa disebut dari generasi para sahabat. Sebagaimana yang telah dicatat oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya, ia adalah Amr bin Huraits bin Amr bin Utsman bin Abdullah bin Umar bin Makhzum Al-Qurasyi Al-Makhzawi dan memiliki kunyah atau nama panggilan Abu Sa’id.



Ia melihat (mengalami masa) nabi saw. Disebutkan pula bahwa nabi saw pernah mendoakannya dengan keberkahan. Ia kemudian tinggal di Kufah dan pernah berkuasa di tempat itu di bawah payung Bani Umayah.[23]



Hal ini juga diakui dalam literatur Syiah sebagaimana diriwayatkan oleh Sayid Mufid dan Allamah Majlisi, bahwasannya ia diberikan sebuah jabatan tertentu, pemimpin pasukan oleh Ibnu Ziyad, gubernur Kufah saat peristiwa Karbala terjadi.[24]



Tidak hanya itu, bahkan dalam kesempatan yang lain Ibnu ziyad juga pernah menjadikannya sebagai penggantinya sebagai penguasa Kufah. Hal ini dapat kita saksikan dalam kitab Ansabul Asyraf karya imam Ahmad bin Yahya bin Jabir Al-Baladzuri.[25]



Dengan semua ini, secara jelas dapat kita pahami kepada siapa ia berpihak, serta barisan mana yang ia perkuat. Sementara pada waktu itu, imam Husein as adalah musuh terbesar yang menjadi target utama dari teror pemerintahan Bani Umayah yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah.



Sahabat Nabi yang Terlibat di Dalam Pembantaian Imam Husain (Bag. 4)




Dalam beberapa referensi Islam dan catatan sejarah, terdapat aktor-aktor yang terlibat dalam pembantaian imam Husain as di Karbala. Yazid bin Muawiyah menjadi aktor utama dalam pembantaian yang menimpa cucu tersayang Nabi Saw itu beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, hal ini sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya. Lalu ada Umar bin Saad yang merupakan kaki tangan Yazid sekaligus pemimpin utama para pasukan yang berhadapan dengan imam Husain as.



Dan diantara pasukan Umar bin Saad terdapat orang-orang yang disebut sebagai sahabat Nabi Saw. Generasi yang pernah melihat Nabi atau hidup semasa Nabi tak disangka ikut dalam gerombolan yang menghunuskan pedangnya kearah cucu tersayang Nabi Saw itu. Mereka yang dianggap oleh sebagian muslimin sebagai kaum yang adil secara keseluruhan, ternyata, ada diantara mereka yang terlibat langsung dalam terjadinya peristiwa tragis nan kelam yang menimpa keluarga kenabian di Karbala.



Beberapa diantara mereka telah kita singgung sebelumnya, dan kali ini kami akan suguhkan lagi satu sosok sahabat Nabi yang terlibat dalam pembantaian imam Husain as di Karbala. Sosok itu bernama Abdurrahman bin Abi Sabrah Al-Ja’fi. Nama sahabat ini tercatat dalam kitab Al-Isti’ab fi Asmail Ashab karya Ibnu Abdi Al-Barr. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa sebelumnya namanya adalah ‘Aziz lalu Rasulullah Saw menamainya dengan Abdurrahman.



Adurrahman bin Abi Sabrah Al-Ja’fi, dan nama Abi Sabrah Zaid bin Malik, termasuk kedalam orang-orang Kufah, dan sebelumnya bernama ‘Aziz lalu Rasulullah Saw menamainya Adurrahman.[26]



Dan pada peristiwa Asyura di Karbala, Abdurrahman menjadi bagian dari pasukan Umar bin Saad. Umar bin Saad menjadikan Abdurrahman sebagai komando pemimpin pasukan dari kabilah Madzhaj dan Asad. Hal ini seperti yang termaktub dalam kitab Al-Kamil fi At-Tarikh milik Ibnul Atsir. Dalam kitab tersebut tertulis,



…Dan Umar bin Saad menjadikan seperempat pasukan dari penduduk Madinah atas Abdullah bin Zuhair Al-Azdi, dan seperempat dari kabilah Rabiah dan Kindah atas Qais bin Al-Asy’ats bin Qais, dan seperempat dari kabilah Madzhaj dan Asad atas Abdurrahman bin Abi Sabrah Al-Ja’fi, dan seperempat dari kabilah suku Tamim dan Hamdan atas Al-Hurr bin Yazid Ar-Riyahi, dan mereka semua menyaksikan pembunuhan Al-Husain kecuali Al-Hurr bin Yazid karena ia membelot dan bergabung pada imam Husain dan terbunuh bersamanya.[27]



Itulah sedikit ulasan dan catatan tentang sahabat Nabi Abdurrahman bin Abi Sabrah yang ikut terlibat dalam peristiwa Asyura dengan bergabung pada pasukan musuh imam Husain as.



Apakah Benar Yazid Menyesal dan Menangisi Kesyahidan Imam Husain?



Sebagian oknum yang ingin membersihkan nama Yazid; pembunuh imam Husain dan keluarga serta sahabatnya, sering berdalih dengan mengatakan bahwa Yazid sebenarnya tidak ingin membunuh imam Husain.



Mereka berdalih bahwa ketika kepala imam husain dihadirkan di hadapan Yazid, ia menangis dan mengutuk tindakan Ibn Ziyad yang telah melakukan tindakan keji tersebut. Hal ini sebagaimana tercatat dalam kitab tazkirat al-Khawash:



Ia berkata (al-Waqidi): lalu mengalirlah air mata Yazid dan ia berkata: semoga Allah melaknat Ibn Marjanah (nama lain dari Ibn Ziyad) dan semoga Allah merahmati Abu Abdillah (imam Husain) sungguh kami telah rela wahai penduduk Iraq tanpa kalian harus melakukan hal ini. Semoga allah memberikan yang terburuk kepada Ibn Marjanah. Seandainya di antara mereka (imam Husain dan Ibn Marjanah) ada hubungan rahim tentu ia tidak akan melakukan hal itu.[28]



Namun dalih serta alasan ini dapat terbantahkan dengan beberapa alasan berikut ini:



Yang pertama: tindakan yang dilakukan oleh Yazid di atas merupakan sandiwara yang ia lakukan setelah melihat dirinya takberdaya dihadapkan dengan hujatan keluarga Nabi. Demikian Thabari mengisahkan:



“Ia berkata (Abu Mikhnaf) Tatkala Yazid bin Muawiyah duduk, ia memanggil para pembasar Syam dan memerintahkan mereka duduk di sekelilingnya. Kemudia iamemanggil Ali bin Husain, anak-anak dan para wanitanya. Setelah itu mereka dihadirkan dihapannya sementara perhatian orang-orang tertuju kepada mereka. Yazid berkata: ayahmu yang telah memutus hubungan silatur rahim, tidak tahu hakku dan mengganggu kekuasaanku, maka Allah memperlakukannya seperti yang engkau lihat. Ia berkata (Abu mikhnaf): Ali bin Husain menjawab: Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa bumi dan dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfûzh) sebelum Kami menciptakan bumi itu (al-Hadid/ 22). Yazid berkata kepada anaknya Khalid: berikan jawaban atasnya. Ia berkata (Abu Mikhnaf): ia tidak mengetahui apa yang dapat menyahutinya, yazid berkata: katakan padanya: Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu (Assyura/30) kemudian ia diam. Ia berkata (Abu Mikhnaf): kemudian ia memanggil para wanita, anak-anak lalu mereka di perintahkan untuk duduk di hadapannya. lantas Ia menyaksikan keadaan yang buruk. Kemudian Ia berkata: semoga Allah memberikan yang terburuk untuk Ibn Marjanah. Seandainya ia memiliki hubungan rahim atau kekerabatan dengan kalian, pasti ia tidak akan melakukan hal ini terhadap kalian dan tidak akan menggiring kalian seperti ini.“[29]



Catatan sejarah ini memperlihatkan dengan jelas bahwa sikap Yazid dalam mengutuk tindakan Ibn ziyad merupakan reaksi atas ketidak mampuannya menghadapi sanggahan serta ucapan Ali bin husain AS. Bukan suatu sikap yang tulus yang lahir dari hatinya yang paling dalam sebab di awal juga kita melihat bahwa ia berusaha menyudutkan imam Husain AS dengan mengatakan bahwa beliau sebagai pihak yang memutus hubungan silatur rahim, tidak memngetahui hak yazid dan mengganggu kekuasaannya.



Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kutukannya terhadap Ibn ziyad hanya berupa trik untuk membersihkan nama baiknya.



Ke dua: di dalam literatur lainnya dapat kita saksikan bahwa tindakan awal yang dilakukan Yazid adalah memukuli kepala imam Husain dengan tongkat kayu bukan menangisi kesyahidan beliau. dan ini senada dengan literatur sebelumnya yang mengatakan bahwa tindakan awalnya adalah menyudutkan imam Husain:



“adapun yang masyhur tentang Yazid di dalam semua riwayat bahwa tatkala kepala Husain AS telah berada di hadapannya, ia mengumpulkan penduduk Syam lalu mulai memukulinya dengan tongkat kayu seraya mengucapkan syair Ibn Ziba’ri: seandainya para tetua suku saya yang terbunuh di perang Badar hadir dan melihat tangisan Suku Khazraj karena dipukul oleh pedang dan tombak. Kami telah membunuh sekelompok dari pembesar mereka sebagai ganti pembesar kita di Badar maka sudah telah berimbang.[30] ”



Catatan ini mempertegas dan mendukung kesimpulan di atas; di mana tindakan Yazid di atas hanya berupa drama, bukan sikapnya dari awal dan tidak didasari niatan baik.



Yang ke tiga: jika tindakan di atas dilakukan dengan tulus dan bukan drama, seharusnya ia menindak gubernurnya Ibn Ziyad karena telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Namun fakta yang ada ia tidak melakukan hal itu. Bahkan sebaliknya, ia justru memberikan apresiasi tinggi terhadapnya.
Dalam hal ini Muruj al-Zahab mengungkapkan:




Yazid adalah seorang yang suka berpoya-poya, ia memelihara binatang liar seperti anjing, monyet dan macan tutul. Ia juga seorang peminum Khamar. Suatu hari ia sedang duduk minum anggur dan Ibn Ziyad berada di sisi kanannya. Hal ini terjadi setelah pembunuhan Husain. Sambil menghadap penuang minumannya, ia membacakan syair berikut: “berikan aku seteguk agar dahagaku hilang dan berikan juga kepada Ibn Ziyad, karena ia merupakan penjaga rahasia dan kepercayaanku serta penyelesai semua jihad dan rampasanku.” Setelah itu ia memerintahkan para penyanyi untuk menyanyikan syairnya, lalu mereka menyanyikannya.[31]



Apa yang didokumentasikan oleh Mas’udi di dalam kitabnya ini, mengungkap fakta yang sebenarnya dari drama yang dilakukan oleh Yazid. Di mana dapat disaksikan bahwa ia menganggap Ibn Ziyad sebagai orang yang istimewa dan bukan sebagai penjahat maupun pelaku kebiadaban yang layak dikutuk serta dicela.




Melukai Diri menurut Pandangan Syahid Shadr



Saat kita mengetik kata ‘Syiah’ di mesin pencarian raksasa bernama Google, maka di antara yang sering muncul di layar gawai kita adalah gambar-gambar yang memperlihatkan sekelompok orang yang tengah melukai diri dengan pedang. Salah satu anggota badan yang menjadi sasaran mereka ialah kepala. Iya, mereka meluakai kepala hingga mengucurkan darah segar.



Ekspresi itu mereka gambarkan sebagai bentuk duka yang mendalam atas syahidnya cucu nabi, Imam Husain As yang dibantai di padang Karbala. Hal itu kemudian kita kenal sebagai tathbir. Di sisi lain, tathbir menjadi salah satu syubhat atau penyimpangan yang terjadi di tengah mazhab Syiah, yang tentunya dilakukan oleh ‘sebagian kecil’ dari mereka.



Gambar-gambar tersebut seakan mencitrakan bahwa mazhab Syiah seseram itu. Bagi mereka yang tak tahu-menahu soal Syiah, tanpa tedeng aling-aling, mereka akan dengan enteng menjuluki Syiah sebagai mazhab yang ekstrem dan menyimpang. Sebagian lagi, mungkin akan trauma dan tak mau mengenal atau mendalami mazhab Syiah yang sebenarnya.



Berangkat dari gambar yang melukai diri itu pula, tersulut api kebencian di hati sebagian orang kepada mazhab Syiah. Kalau kita teliti, memang terjadi silang pendapat di antara para ulama Syiah terkait boleh-tidaknya tathbir. Ada pro-kontra di antara mereka. Namun, lebih banyak ulama/marja’ (tokoh rujukan fatwa-fatwa syariat Islam, yang memenuhi syarat-syarat tertentu), yang menentang tathbir itu dan bahkan mengharamkannya.



Di sisi lain, kejadian di atas menjadi angin segar bagi para musuh dan menjadikan tathbir tersebut sebagai senjata untuk menyerang mazhab Syiah. Seperti yang telah penulis singgung tentang mayoritas ulama dan marja’ Syiah yang melarang perbuatan tersebut, salah satunya adalah Syahid Bagir Shadr, salah satu ulama kesohor Syiah asal Irak yang hidup di masa Saddam Husain.



Di dalam bukunya yang berjudul Kullul Hulul Inda Aali Rasul, Doktor Tijani Al-Samawi, yang juga dikenal sebagai penulis buku best-seller, Tsumah Tadaitu (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Akhirnya Kutemukan Kebenaran’), menanyakan perihal tathbir kepada Syahid Shadr.



Redaksi di bawah ini adalah jawaban atau tanggapan Syahid Shadr mengenai tathbir.



أن ما تراه من ضرب الأجسام وأسالة الدماء هو من فعل عوام الناس وجهالهم ، ولا يفعل ذلك أي واحد من العلماء ، بل هم دائبون على منعه وتحريمه



“Apa yang kalian lihat tentang memukul tubuh dan menumpahkan darah adalah perbuatan orang-orang biasa dan atas kebodohan mereka, dan tidak ada seorang ulama pun yang melakukan itu, melainkan mereka gigih dalam mencegah dan melarangnya.”[32]



Seperti yang sudah saya singgung, tathbir dijadikan senjata bagi para musuh untuk meenyerang mazhab Syiah. Dan kita tahu, hal itu menjadi salah satu syubhat atau penyelewengan yang selama ini digembar-gemborkan kepada mazhab Syiah. Di tulisan berikutnya, isnya Allah akan dibahas lebih rinci terkait tathbir dan syubhat senada lainnya.




Keterangan Ibnu Hibban atas Penawanan Keluarga Imam Husein AS dan Perlakuan Yazid



Perlakuan yang diterima oleh imam Husein as dan rombongannya dalam peristiwa Karbala menunjukkan wajah asli siapa sebenarnya musuh mereka. Yazid dan komplotannya tak lebih dari segerombolan orang-orang yang menghalalkan segala cara demi sampai pada tujuan duniawinya.



Selain menghalalkan darah cucu nabi itu beserta para sahabat setianya, mereka juga merampas semua barang yang dinilainya berharga dari jenazah-jenazah mereka, bahkan tak cukup dengan itu mereka juga masuk ke perkemahan para wanita dan merampas perhiasan mereka.



Setelah itu sisa rombongan yang ada diperlakukan layaknya tawanan perang, yang kemudian diarak menuju Kufah, istana Ibnu Ziyad kemudian dikirim bersama kepala imam Husein as menuju istana Yazid di Syam.



Hal ini dapat kita temukan dalam banyak catatan sejarah Islam yang ada, salah satunya adalah kitab As-Sirah An-Nabawiyah Wa Akhbarul Khulafa karya Ibnu Hibban (270 – 354 H). Ibnu Hibban sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang ahli dalam berbagai keilmuan terlebih dalam bidang hadis. Terkait peristiwa tersebut ia menuliskan dalam kitabnya:



ثم أنفذ عبید الله بن زیاد رأس الحسین بن علی إلى الشام مع أسارى النساء والصبیان من أهل بیت رسول الله صلى الله علیه وسلم على أقتاب مکشفات الوجوه والشعور



Kemudian Ubaidillah bin Ziyad mengirim kepala Husein bin Ali ke Syam beserta para tawanan wanita dan anak-anak dari keluarga Rasulullah saw di atas pelana-pelana (unta) dalam keadaan wajah dan rambut mereka tersingkap.[33]



Selain itu ia juga menjelaskan bahwa rombongan yang dikirim menuju Syam itu, apabila mereka berhenti di sebuah tempat maka pasukan penggiring akan mengeluarkan kepala imam Husein as dari kotak dan menancapkannya di atas tombak kemudian berpatroli selama waktu tinggal dan kembali memasukan kepala itu saat hendak bergerak kembali.[34]



Dalam kesempatan yang lain ia juga mencatat:



ثم أرکب الأسارى من أهل بیت رسول الله صلى الله علیه وسلم من النساء والصبیان أقتابا یابسة مکشفات الشعور، وأدخلوا دمشق کذلک، فلما وضع الرأس بین یدی یزید بن معاویة جعل ینقر ثنیته بقضیب کان فی یده ویقول: ما أحسن ثنایاه



Kemudian (Ubaidillah bin Ziyad) menaikkan para tawanan dari keluarga Rasulullah saw dari para wanita dan anak-anak di atas pelana-pelana kering (tak bertudung) dengan keadaan rambut tersingkap, dan begitu pula (kondisi mereka) saat memasuki Damaskus, kemudian ketika diletakan kepala itu (imam Husein as) di hadapan Yazid bin Muawiyah, ia mulai memukul-mukul gigi bagian depannya (imam Husein as) dengan tongkat yang ada di tangannya seraya berkata: “Betapa indahnya dua gigi bagian depannya!”[35]



Begitulah sedikit gambaran dari perlakuan yang diterima oleh keturunan nabi saw setelah peristiwa Karbala. Jauh dari kata menghormati, melainkan dengan bangganya Yazid dan komplotannya menghinakan mereka bahkan ia menjadikan kepala imam Husein as layaknya mainan, dipukul-pukuli dengan tongkat. Hal ini menjadi bukti jelas bagi kita bahwa perlakuan Yazid dan komplotannya dalam peristiwa Karbala sangat jauh dan menyimpang dari nilai-nilai Islam bahkan tindak-tanduknya tersebut membuat mereka layak untuk mendapat kecaman serta laknat dari kaum muslimin yang mencintai nabi Muhammad saw dan ahlul baitnya.



Kepala Imam Husain Dibawa dan Dikirim ke Kufah



Setelah syahidnya imam Husain as beserta keluarga dan para sahabatnya di padang Karbala, kekejaman dan kebengisan tantara Yazid masih terus berlanjut. Mereka merampas apa-apa yang dikenakan oleh imam Husain as, menginjak-nginjak tubuhnya dengan kaki-kaki kuda, hingga punggung dan dadanya remuk.



Tak hanya itu, setelah peperangan yang tidak seimbang itu selesai, gerombolan pengikut Yazid itu menyerbu kemah-kemah yang diisi oleh para wanita dan anak-anak. Mereka merampas dengan paksa harta benda bahkan perhiasan yang masih dikenakan. Dan pada akhirnya mereka menjadikan keluarga kenabian yang mulia itu sebagai tawanan.



Selain itu semua, salah satu kebiadaban dari para pengikut Yazid dalam peristiwa Asyura dan tercatat dalam lembaran sejarah Islam ialah dipenggalnya kepala cucu tersayang Nabi itu, lalu kepala tersebut di bawa dan di kirim ke Kufah. Hal ini sebagaimana tercatat dalam kitab Ansab Al-Asyraf karya Ahmad bin Yahya Al-Baladzari. Beliau dalam kitabnya mencatat:



Dan Umar bin Saad mengirim kepala AlHusain di Hari Asyura kepada Ibnu Ziyad oleh Khouli bin Yazid Al-Ashbahi dari kabilah Humair dan Hamid bin Muslim Al-Azdi. Mereka sampai pada malam hari dan mendapati pintu istana tertutup. Lalu Khouli membawa kepala tersebut ke rumahnya dan diletakan di bawah tungku. Dalam rumah tersebut terdapat wanita, dikatakan wanita tersebut bernama An-Nawar binti Malik Al-Hadrami. Wanita tersebut berkata: ada kabar apa? Khouli berkata: aku datang dengan harta sepanjang masa, ini yang ada di rumah yang bersamamu adalah kepala Al-Husain. Wanita itu berkata: celakalah engkau! Orang-orang datang dengan perak dan emas, sedangkan engkau datang dengan kepala putra dari putri Rasulullah. Demi Allah, tidak akan ada sesuatu yang dapat mengumpulkan kepalaku dan kepalamu selamanya.[36]



Dan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa kepala imam Husain as merupakan kepala pertama yang dibawa di dalam sejarah Islam. seperti yang terekam dalam kitab At-Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Saad. Dalam kitab tersebut diriwayatkan:



Ia berkata: telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Umar, ia berkata: telah bercerita kepadaku Isa bin Abdurrahman As-Salmi, dari As-Sya’bi ia berkata: kepala Al-Husain adalah kepala pertama yang dibawa di dalam Islam.[37]



Begitulah kira-kira musibah yang terjadi dan menimpa pada imam Husain as dan keluarga kenabian yang mulia di hari Asyura. Kepala suci cucu kesayangan Nabi yang dulunya sering dicium oleh Rasulullah Saw, di hari yang naas tersebut kepala itu dipisahkan dari jasadnya dan dibawa oleh pasukan terlaknat Yazid ke Kufah.



Melukai Diri menurut Pandangan Sayyid Abul Hasan Ishfahani




Telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu hujatan dan ejekan yang dialamatkan kepada mazhab Syiah adalah serimoni yang dilakukan oleh sebagian kalangan pengikut Syiah yang awam dalam memperingati kesyahidan imam husain AS. Peringatan yang diadakan dalam bentuk menyakiti diri dengan benda tajam dan lain sebagainya.



Telah disebutkan juga bahwa serimoni ini mendpat tanggapan negatif dari ulama Syiah sendiri. Yang pada tulisan sebelumnya telah dimuat komentar syahid Shadr yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan kelakuan orang-orang awam dan bodoh, sementara para ulama tidak seorangpun yang melakukan hal tersebut.



Pada tulisan kali ini akan dimuat pernyataan ulama lainnya. Iaitu pernyataan Sayyid Abul Hasan Ishfahani yang juga melarang serimoni menyakiti diri ini. Beliau adalah seorang marja’ Syiah yang hidup pada tahun (1284-1365 H).



Dalam hal ini kitab al-’yan al-Siah memuat pernyataan tersebut:



“dan semua orang menghadap para ulama untuk mendapatkan fatwa dari mereka tentang melukai (diri) dengan pedang (pisau) sebagai bentuk kesedihan terhadap (peristiwa yang menimpa) imam Husain. Lalu al-Sayyid Abul Hasan Ishfahani berfatwa dengan mengharamkan melukai diri dengan pedang atau pisau. Dan isi fatwa itu sebagai berikut: sesungguhnya penggunaan pedang atau pisau, rantai, gendang, terompet dan hal serupa yang berlaku hari ini di berbagai maukib peringatan duka pada hari Asyura, merupakna hal yang haram dan keluar dari Syariat.[38] ”



Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa serimoni yang selalu dijadikan ejekan untuk kaum Syiah tersebut sebenarnya hanyalah perlakuan sebagian masarakat awam yang amalannya tidak menjadi tolok ukur bagi keyakinan maupun amalan suatu mazhab. Sementara para pembesar dan ulama Syiah sendiri tidak melakukan hal tersebut dan bahkan mengharamkannya.



Melukai Diri menurut Pandangan Sayyid Khu’i



Di dalam tulisan sebelumnya telah kami singgung, bahwa salah satu isu yang dipakai sekelompok orang untuk memojokkan mazhab Syiah bahkan menyesatkannya, ialah perihal tathbir atau melukai diri.



Di dua tulisan sebelumnya, kami juga telah menghadirkan dua pandangan dari ulama Syiah sendiri terkait dengan perihal melukai diri dalam memperingati tragedi Karbala. Tak sedikit para ulama yang melarang itu.



Salah satunya ialah Marja besar di zamannya, Sayyid Abul Qasim Khu’i. Di dalam kitabnya yang berjudul Al-Masail Al-Syariah, yang berisi sehimpun tanya-jawab seputar hukum fikih, saat ditanya perihal tathbir, ia tidak membolehkan melukai diri dalam rangka memperingati tragedi Asyura.



Di bawah ini adalah redaksi Arab plus terjemahannya, yang bisa Anda baca.



السؤال : ضرب السلاسل والتطبير من العلامات التي نراها في محرم الحرام وبما أنَّ هذا العمل يضر النفس ويثير انتقاد الآخرين. أرجو بيان حكم ذلك؟

الجواب : لا يجوز فيما إذا أوجـب ضرراً معتداً به أو استلزم الهتك والتوهين والله العالم



TANYA: memukul dengan rantai dan melakukan tathbir, merupakan tanda-tanda yang kita lihat di bulan Muharram yang suci. Dan tindakan ini dapat membahayakan diri sendiri dan memancing kritik orang lain. Saya mengharapkan penjelasan dari hukum tersebut.



JAWAB: Tidak diperbolehkan (memukul dengan rantai dan tathbir) apabila menyebabkan bahaya yang merugikan atau melazimkan pencemaran nama baik dan merendahkan. Allah yang Mahatahu[39]



Manusia yang waras tentu bisa berpikir baik, bahwa segala bentuk kekerasan yang melukai diri sendiri, tidak berbanding lurus dengan akal sehat kita. Hampir setiap manusia mendambakan diri yang jauh dari marabahaya dan ancaman.



Kalau kita telusuri lebih dalam, orang-orang Syiah yang melakukan tathbir sangatlah sedikit. Itu membuktikan, bahwa kebanyakan mereka mengikuti dan taat atas perintah ulama mereka, yang mayoritas melarang perbuatan ekstrem itu.



Melukai Diri atau Tathbir Menurut Pandangan Sayid Ali Khamenei




Prosesi peringatan kesyahidan imam Husein as di beberapa wilayah kerap sekali diwarnai dengan praktik tathbir atau melukai diri, hal ini meskipun dikerjakan oleh kelompok awam, namun seringkali dijadikan ikon dalam mendeskripsikan ajaran Syiah dalam peringatan Asyura.



Padahal seandainya kita lihat secara seksama pandangan para ulama Syiah terkait hal tersebut, akan kita dapati bahwa kebanyakan dari mereka tidak memperbolehkannya, sebab hal tersebut selain menyebabkan kerusakan terhadap tubuh juga dapat merusak citra madzhab atau Islam secara umum.



Beberapa pandangan ulama terkait masalah ini telah kami ulas dalam seri-seri sebelumnya, diantaranya adalah Syahid Muhammad Baqir Shadr, Sayid Abul Hasan Ishfahani dan Ayatullah Sayid Khu’i.



Kali ini kita juga akan melihat pandangan Ayatullah Sayid Ali Khamenei, salah satu marja besar Syiah sekaligus pemimpin tertinggi di Iran saat ini, terkait persoalan yang sama. Dalam situs resminya khamenei.ir ataupun leader.ir, khususnya pada bagian istiftaat (pertanyaan mengenai fatwa) dicatat secara gamblang bagaimana ia memandang fenomena tatbhir ini.



Pertanyaan: Diadakan acara-acara pada hari Asyura seperti memukul-mukul badan dengan rantai yang dipasangi pisau atau berjalan dengan telanjang kaki di atas bara api, yang mana menyebabkan kerusakan (madharat) terhadap jiwa dan raga, selain kegiatan ini juga dapat menjadi sebuah penyimpangan bagi madzhab Syiah di mata para ulama dan pengikut madzhab-madzhab Islam bahkan dunia, juga penghinaan terhadap madzhab, maka bagaimana pandangan anda terkait hal tersebut?



Jawab: Segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan (madharat) bagi manusia dari hal-hal yang disebutkan atau menyebabkan penghinaan terhadap agama dan madzhab adalah haram, wajib bagi mukminin untuk menjauhinya. Dan jelas dari banyak hal yang tadi disebutkan mencoreng nama baik dan (menyebabkan) penghinaan orang-orang terhadap madzhab Ahlul Bait, dan ini merupakan diantara kerusakan (madharat) dan kerugian terbesar.



Pertanyaan: Apakah tathbir secara sembunyi-sembunyi halal ataukah fatwa anda bersifat umum?



Jawab: Tathbir selain bahwa ia secara urf tidak dianggap sebagai bentuk ungkapan kesedihan, dan tidak ada contohnya pada masa para imam juga di masa-masa setelahnya, dan tidak ada pengesahan secara khusus ataupun secara umum dari maksum terkait itu, pada saat ini (tathbir) terhitung sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap madzhab. Maka dalam kondisi apapun tidak diperbolehkan.



Dari pernyataan tersebut dapat dipahami secara jelas bahwa tathbir menurut pandangan beliau adalah tidak diperbolehkan bahkan meskipun dalam kondisi tersembunyi terlebih apabila itu dikerjakan secara terang-terangan. Maka dalam hal ini seharusnya pandangan mereka, para ulamalah yang layak dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai ajaran suatu madzhab atau pun agama, bukan selainnya (orang awam) sebab tiada lain merekalah yang paling memahami dan akrab dengan literarur-literarur madzhab atau agama.



Melukai Diri Atau Tathbir Dalam Pandangan Ayatullah Fadhil Lankarani



Peringatan duka atas kesyahidan imam Husein as adalah salah satu acara besar yang selalu diselenggarakan setiap tahun, khususnya oleh para penganut madzhab Syiah di mana pun mereka berada. Pada sepuluh hari di awal bulan Muharram begitu pula hari Arbain (hari ke-40) yang berada pada bulan Shafar, biasanya digelar acara-acara dengan nuansa berkabung dan penuh kesedihan.



Tentunya acara-acara peringatan tersebut akan berbeda satu dengan yang lainnya disebabkan oleh perbedaan budaya yang ada. Namun hal itu tidak memudarkan nilai aslinya yakni ungkapan kesedihan dan kedukaan.



Namun lain halnya dengan fenomena tathbir (melukai diri) yang mana hal ini selain menimbulkan bahaya bagi pelakunya juga malah mencoreng citra dari peringatan duka imam Husein as itu sendiri, atau bahkan lebih umumnya terhadap Islam. Dan anehnya hal inilah yang malah digambarkan sebagai wajah Syiah oleh pihak-pihak tertentu.



Oleh sebab itu banyak ulama Syiah yang tidak setuju bahkan mengharamkan pratik tersebut sebab dampaknya bukan hanya bahaya terhadap personal melainkan juga dapat menjatuhkan nama baik madzhab atau agama yang dianut.



Salah satunya adalah Ayatullah Muhammad Fadhil Lankarani, salah seorang marja (ulama rujukan) di Iran, sebagaimana pandangannya terkait masalah ini tercatat dalam kitab Jamiul Masail yang memuat fatwa-fatwa beliau tentang berbagai persoalan agama. Berkenaan dengan tathbir disebutkan:



Pertanyaan ke-2045: Apakah tathbir dibolehkan? Dan apa taklif bagi orang yang bernazar dengan hal tersebut?



Jawab: Dengan melihat perhatian yang terjadi -dalam kaitannya dengan Islam dan tasyayyu (Syiah) setelah kemenangan revolusi Islami di Iran- di seluruh dunia, dan Iran dikenal sebagai Ummul Qura (pusat) di dunia Islam, sehingga sikap dan prilaku bangsa Iran dianggap sebagai model dan contoh bagi Islam. Oleh sebab itu seharusnya pengadaan acara berkabung untuk penghulu syuhada dan ayah dari orang-orang merdeka, imam Husein as dalam bentuk yang dapat menarik lebih banyak orang serta menggiring mereka secara lebih luas disebabkan tujuannya yang suci dan tinggi. Dan sudah jelas dalam kondisi saat ini bahwasannya tathbir tidak hanya tidak menyajikan peristiwa Huseini, bahkan (malah) menyebabkan antipati dari orang-orang begitupun penolakan para penentang terhadap penjelasan apapun untuk hal itu, seperti halnya terdampak oleh pengaruh maklumat yang buruk. Maka dari itu wajib bagi Syiah yang mencintai madrasah imam Husein as menjauhi hal itu (tathbir), dan barang siapa bernazar dengan tathbir maka nazarnya tidak memenuhi syarat sah, yang mana kemudian nazarnya tidak berlaku.[40]



Dalam pernyataan di atas secara jelas ia melihat fenomena tathbir sebagai sebuah praktik yang bermuatan negatif sehingga wajib untuk dijauhi ataupun ditinggalkan. Di sisi yang lain, ia juga menganggap bahwa nazar dengan hal itu (tathbir) adalah tidak sah, dan nazarnya tidak berlaku.



Dari sini, juga postingan-postingan lainnya terkait pandangan para ulama mengenai tathbir, kita dapat belajar bahwa terkadang apa yang dikerjakan oleh sebuah kelompok belum tentu sesuai dengan ajaran mereka atau paling tidak dengan pandangan para ulama mereka, sehingga pekerjaan mereka tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai ajaran tersebut.




Daftar Isi:

Imam Husein as dalam Kitab-kitab Sejarah1


Bagian 21


Yazid dan “Syiah Keluarga Abu Sofyan” Aktor Tragedi Karbala2


Bani Umayyah dan Kabilah yang Paling Dibenci Nabi Saw5


Bagaimana Nasib Rombongan Imam Husein AS Pasca Karbala?7


Sibth Ibnul Jauzi dan Majelis Duka Asyura10


Perampasan dan Kebiadaban Sikap Musuh Imam Husein AS12


Pada tempat yang lainnya ia juga mencatat:13


Mayoritas Penduduk Kufah di Zaman Ali bin Abi Thalib Bukanlah Syiah15


Ketidak Sopanan Yazid Terhadap Kepala Imam Husain AS17


Sahabat Nabi yang Terlibat di Dalam Pembantaian Imam Husain as20


Hajjar bin Abjar Al-‘Ijli, Sahabat Nabi yang Terlibat dalam Pembantaian Imam Husain23


Motif di Balik Kelancangan dan Ketidak Sopanan Yazid Terhadap Imam Husain AS25


Sahabat Nabi yang Terlibat di Dalam Pembantaian Imam Husain (Bag. 2)27


Sahabat Nabi yang Terlibat di Dalam Pembantaian Imam Husain (Bag. 3)29


Sahabat Nabi yang Terlibat di Dalam Pembantaian Imam Husain (Bag. 4)31


Apakah Benar Yazid Menyesal dan Menangisi Kesyahidan Imam Husain?33


Dalam hal ini Muruj al-Zahab mengungkapkan:36


Melukai Diri menurut Pandangan Syahid Shadr37


Kepala Imam Husain Dibawa dan Dikirim ke Kufah43


Melukai Diri menurut Pandangan Sayyid Abul Hasan Ishfahani45


Melukai Diri menurut Pandangan Sayyid Khu’i47


Melukai Diri atau Tathbir Menurut Pandangan Sayid Ali Khamenei49


Melukai Diri Atau Tathbir Dalam Pandangan Ayatullah Fadhil Lankarani52





[1] Khawarizmi, Abu al-Muayyad al-Muaffaq bin Ahmad al-Makki, Maqtal al-Husain, jil:1, hal: 277, cet: Mehr.

[2] Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jil:4, hal: 265, cet: al-Istiqamah, Qairo.

[3] Al-I’lam, jil: 3, hal: 66-67.

[4] Daf’u Syubahi Man Syabbaha wa Tamarrada, hal: 137.

[5] Kitab At-Tadzkirah, jil:3, hal: 1120.

[6] Al-Kamil Fit Tarikh, jil: 3, hal: 432, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.

[7] Al-Kamil Fit Tarikh, jil: 3, hal: 433, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.

[8] Ibid.

[9] Al-Bidayah Wan Nihayah, jil: 8, hal: 188, Maktabah Al-Ma’arif, Beirut.

[10] Al-Bidayah Wan Nihayah, jil: 8, hal: 188-189, Maktabah Al-Ma’arif, Beirut.

[11] Syarhu Nahjil Balaghah Juz 12 Hal. 283

[12] Khawarizmi, Abu al-Muayyad al-Muaffaq bin Ahmad al-Makki, Maqtal al-Husain, jil:2, hal: 67, cet: Mehr.

[13] Sibt ibn Jauzi, Yusuf bin Farghali, Tazkirah al-Khawash, hal: 271, cet: Nainawa al-Haditsah.

[14] Khawarizmi, Abu al-Muayyad al-Muaffaq bin Ahmad al-Makki, Maqtal al-Husain, jil:2, hal: 64, cet: Mehr.

[15] Al-Ishabah fi Tamziizi As-Shahabah, jil. 4, hal. 61, no. 4630. Penerbit: Darul Jail, Beirut-Lebanon.

[16] Anshabul Asyraf, Imam Ahmad bin Yahya bin Jabir Al-Baldzari, jil. 3, hal. 181, penerbit: Mua’asasah al-A’lami Lilmatbuaat.

[17] As-Shwaiqul Muhriqhah, Ibn Hajar Haitsami, jil. 2, hal. 640, penerbit: Mua’sasah Ar-Risalah-Lebanon.

[18] Sibt ibn Jauzi, Yusuf bin Farghali, Tazkirah al-Khawash, hal: 271, cet: Nainawa al-Haditsah.

[19] Sibt ibn Jauzi, Yusuf bin Farghali, Tazkirah al-Khawash, hal: 271, cet: Nainawa al-Haditsah.

[20] Abul Fida, al-Hafiz Ibn Katsir, al-Budayah wa al-Nihayah, jil: 8, hal: 204, cet: Maktabah al-Ma’arif, Beirut.

[21] Al-Ishabah fi Tamziizi As-Shahabah, Abul Hasan Al-Asqalani, jil. 5, hal. 125. Penerbit: Darul Jabal Beirut-Lebanon.

[22] Jumalul Ansabil Asrhaf, Ahmad bin Yahya bin Jabir bin Dawud bin Al-Baladzuri, jil. 3, hal. 412, penerbit: Darul Fikr-Lebanon

[23] Asadul Ghabah, jil: 3, hal: 710, Darul Fikr, Beirut.

[24] Silsilatu Muallifaatis Syaikhul Mufid, hal: 57. Biharul Anwar, jil: 44, hal: 352, Darul Ihya’i Turats Al-Arabi.

[25] Ansabul Asyraf, jil: 3, hal: 387, Darul fikr, Beirut.

[26] Al-Isti’ab fi Asmail Ashab Juz 1 Hal 502 Cet. Darul Fikr

[27] Al-Kamil fi At-Tarikh Juz 3 Hal. 417 Cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah – Beirut

[28] Sibt ibn Jauzi, Yusuf bin Farghali, Tazkirah al-Khawash, hal: 260-261, cet: Nainawa al-Haditsah.

[29] Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Thabari, jil: 3, hal: 339, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut.

[30] Sibt ibn Jauzi, Yusuf bin Farghali, Tazkirah al-Khawash, hal: 271, cet: Nainawa al-Haditsah.

[31] Mas’udi, Ali bin Husain,Muruj al-Zahab, jil: 2, hal: 318, cet: Mansyurat Wizarat al-Tsaqafah, Damaskus.

[32] Kullul Hulul Inda Aali-Rasul, Syekh Tijani Al-Samawi, hal. 150, penerbit: Darul Mujtaba, Beirut-Lebanon.

[33] As-Sirah An-Nabawiyah Wa Akhbarul Khulafa, hal: 330.

[34] Ibid.

[35] As-Sirah An-Nabawiyah Wa Akhbarul Khulafa, hal: 331.

[36] Ansab Al-Asyraf Juz 3 Hal. 411 Cet. Darul Fikr

[37] At-Thabaqat Al-Kubra Juz 1 Hal. 483 Cet. Maktabah As-Shiddiq

[38] Al-Amin, Sayyid Muhsin, al-’Yan al-Syiah, jil: 10, hal: 378, cet: Dar al-Taaruf Li al-Mathbuat, Beirut.

[39] Al-Masa’il Al-Syariah, Sayyid Abul Qasim al-Musawi al-Khu’I, hal 339, juz 1. Penerbit Daru-Zahra, Beirut-Lebanon.

[40] Jamiul Masail, jil: 1, hal: 580-581.






Imam Husein as dalam Kitab-kitab Sejarah



Bagian 3



Apakah Benar Yazid Menyesal dan Menangisi Kesyahidan Imam Husain?



Sebagian oknum yang ingin membersihkan nama Yazid; pembunuh imam Husain dan keluarga serta sahabatnya, sering berdalih dengan mengatakan bahwa Yazid sebenarnya tidak ingin membunuh imam Husain.


Mereka berdalih bahwa ketika kepala imam husain dihadirkan di hadapan Yazid, ia menangis dan mengutuk tindakan Ibn Ziyad yang telah melakukan tindakan keji tersebut. Hal ini sebagaimana tercatat dalam kitab tazkirat al-Khawash:


Ia berkata (al-Waqidi): lalu mengalirlah air mata Yazid dan ia berkata: semoga Allah melaknat Ibn Marjanah (nama lain dari Ibn Ziyad) dan semoga Allah merahmati Abu Abdillah (imam Husain) sungguh kami telah rela wahai penduduk Iraq tanpa kalian harus melakukan hal ini. Semoga allah memberikan yang terburuk kepada Ibn Marjanah. Seandainya di antara mereka (imam Husain dan Ibn Marjanah) ada hubungan rahim tentu ia tidak akan melakukan hal itu.[1]


Namun dalih serta alasan ini dapat terbantahkan dengan beberapa alasan berikut ini:



Yang pertama: tindakan yang dilakukan oleh Yazid di atas merupakan sandiwara yang ia lakukan setelah melihat dirinya takberdaya dihadapkan dengan hujatan keluarga Nabi. Demikian Thabari mengisahkan:



“Ia berkata (Abu Mikhnaf) Tatkala Yazid bin Muawiyah duduk, ia memanggil para pembasar Syam dan memerintahkan mereka duduk di sekelilingnya. Kemudia iamemanggil Ali bin Husain, anak-anak dan para wanitanya. Setelah itu mereka dihadirkan dihapannya sementara perhatian orang-orang tertuju kepada mereka. Yazid berkata: ayahmu yang telah memutus hubungan silatur rahim, tidak tahu hakku dan mengganggu kekuasaanku, maka Allah memperlakukannya seperti yang engkau lihat. Ia berkata (Abu mikhnaf): Ali bin Husain menjawab: Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa bumi dan dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfûzh) sebelum Kami menciptakan bumi itu (al-Hadid/ 22). Yazid berkata kepada anaknya Khalid: berikan jawaban atasnya. Ia berkata (Abu Mikhnaf): ia tidak mengetahui apa yang dapat menyahutinya, yazid berkata: katakan padanya: Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu (Assyura/30) kemudian ia diam. Ia berkata (Abu Mikhnaf): kemudian ia memanggil para wanita, anak-anak lalu mereka di perintahkan untuk duduk di hadapannya. lantas Ia menyaksikan keadaan yang buruk. Kemudian Ia berkata: semoga Allah memberikan yang terburuk untuk Ibn Marjanah. Seandainya ia memiliki hubungan rahim atau kekerabatan dengan kalian, pasti ia tidak akan melakukan hal ini terhadap kalian dan tidak akan menggiring kalian seperti ini.“[2]



Catatan sejarah ini memperlihatkan dengan jelas bahwa sikap Yazid dalam mengutuk tindakan Ibn ziyad merupakan reaksi atas ketidak mampuannya menghadapi sanggahan serta ucapan Ali bin husain AS. Bukan suatu sikap yang tulus yang lahir dari hatinya yang paling dalam sebab di awal juga kita melihat bahwa ia berusaha menyudutkan imam Husain AS dengan mengatakan bahwa beliau sebagai pihak yang memutus hubungan silatur rahim, tidak memngetahui hak yazid dan mengganggu kekuasaannya.



Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kutukannya terhadap Ibn ziyad hanya berupa trik untuk membersihkan nama baiknya.



Ke dua: di dalam literatur lainnya dapat kita saksikan bahwa tindakan awal yang dilakukan Yazid adalah memukuli kepala imam Husain dengan tongkat kayu bukan menangisi kesyahidan beliau. dan ini senada dengan literatur sebelumnya yang mengatakan bahwa tindakan awalnya adalah menyudutkan imam Husain:



“adapun yang masyhur tentang Yazid di dalam semua riwayat bahwa tatkala kepala Husain AS telah berada di hadapannya, ia mengumpulkan penduduk Syam lalu mulai memukulinya dengan tongkat kayu seraya mengucapkan syair Ibn Ziba’ri: seandainya para tetua suku saya yang terbunuh di perang Badar hadir dan melihat tangisan Suku Khazraj karena dipukul oleh pedang dan tombak. Kami telah membunuh sekelompok dari pembesar mereka sebagai ganti pembesar kita di Badar maka sudah telah berimbang.[3] ”



Catatan ini mempertegas dan mendukung kesimpulan di atas; di mana tindakan Yazid di atas hanya berupa drama, bukan sikapnya dari awal dan tidak didasari niatan baik.



Yang ke tiga: jika tindakan di atas dilakukan dengan tulus dan bukan drama, seharusnya ia menindak gubernurnya Ibn Ziyad karena telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Namun fakta yang ada ia tidak melakukan hal itu. Bahkan sebaliknya, ia justru memberikan apresiasi tinggi terhadapnya.
Dalam hal ini Muruj al-Zahab mengungkapkan:


Yazid adalah seorang yang suka berpoya-poya, ia memelihara binatang liar seperti anjing, monyet dan macan tutul. Ia juga seorang peminum Khamar. Suatu hari ia sedang duduk minum anggur dan Ibn Ziyad berada di sisi kanannya. Hal ini terjadi setelah pembunuhan Husain. Sambil menghadap penuang minumannya, ia membacakan syair berikut: “berikan aku seteguk agar dahagaku hilang dan berikan juga kepada Ibn Ziyad, karena ia merupakan penjaga rahasia dan kepercayaanku serta penyelesai semua jihad dan rampasanku.” Setelah itu ia memerintahkan para penyanyi untuk menyanyikan syairnya, lalu mereka menyanyikannya.[4]



Apa yang didokumentasikan oleh Mas’udi di dalam kitabnya ini, mengungkap fakta yang sebenarnya dari drama yang dilakukan oleh Yazid. Di mana dapat disaksikan bahwa ia menganggap Ibn Ziyad sebagai orang yang istimewa dan bukan sebagai penjahat maupun pelaku kebiadaban yang layak dikutuk serta dicela.



Melukai Diri menurut Pandangan Syahid Shadr




Saat kita mengetik kata ‘Syiah’ di mesin pencarian raksasa bernama Google, maka di antara yang sering muncul di layar gawai kita adalah gambar-gambar yang memperlihatkan sekelompok orang yang tengah melukai diri dengan pedang. Salah satu anggota badan yang menjadi sasaran mereka ialah kepala. Iya, mereka meluakai kepala hingga mengucurkan darah segar.




Ekspresi itu mereka gambarkan sebagai bentuk duka yang mendalam atas syahidnya cucu nabi, Imam Husain As yang dibantai di padang Karbala. Hal itu kemudian kita kenal sebagai tathbir. Di sisi lain, tathbir menjadi salah satu syubhat atau penyimpangan yang terjadi di tengah mazhab Syiah, yang tentunya dilakukan oleh ‘sebagian kecil’ dari mereka.



Gambar-gambar tersebut seakan mencitrakan bahwa mazhab Syiah seseram itu. Bagi mereka yang tak tahu-menahu soal Syiah, tanpa tedeng aling-aling, mereka akan dengan enteng menjuluki Syiah sebagai mazhab yang ekstrem dan menyimpang. Sebagian lagi, mungkin akan trauma dan tak mau mengenal atau mendalami mazhab Syiah yang sebenarnya.



Berangkat dari gambar yang melukai diri itu pula, tersulut api kebencian di hati sebagian orang kepada mazhab Syiah. Kalau kita teliti, memang terjadi silang pendapat di antara para ulama Syiah terkait boleh-tidaknya tathbir. Ada pro-kontra di antara mereka. Namun, lebih banyak ulama/marja’ (tokoh rujukan fatwa-fatwa syariat Islam, yang memenuhi syarat-syarat tertentu), yang menentang tathbir itu dan bahkan mengharamkannya.



Di sisi lain, kejadian di atas menjadi angin segar bagi para musuh dan menjadikan tathbir tersebut sebagai senjata untuk menyerang mazhab Syiah. Seperti yang telah penulis singgung tentang mayoritas ulama dan marja’ Syiah yang melarang perbuatan tersebut, salah satunya adalah Syahid Bagir Shadr, salah satu ulama kesohor Syiah asal Irak yang hidup di masa Saddam Husain.



Di dalam bukunya yang berjudul Kullul Hulul Inda Aali Rasul, Doktor Tijani Al-Samawi, yang juga dikenal sebagai penulis buku best-seller, Tsumah Tadaitu (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Akhirnya Kutemukan Kebenaran’), menanyakan perihal tathbir kepada Syahid Shadr.



Redaksi di bawah ini adalah jawaban atau tanggapan Syahid Shadr mengenai tathbir.



أن ما تراه من ضرب الأجسام وأسالة الدماء هو من فعل عوام الناس وجهالهم ، ولا يفعل ذلك أي واحد من العلماء ، بل هم دائبون على منعه وتحريمه



“Apa yang kalian lihat tentang memukul tubuh dan menumpahkan darah adalah perbuatan orang-orang biasa dan atas kebodohan mereka, dan tidak ada seorang ulama pun yang melakukan itu, melainkan mereka gigih dalam mencegah dan melarangnya.”[5]



Seperti yang sudah saya singgung, tathbir dijadikan senjata bagi para musuh untuk meenyerang mazhab Syiah. Dan kita tahu, hal itu menjadi salah satu syubhat atau penyelewengan yang selama ini digembar-gemborkan kepada mazhab Syiah. Di tulisan berikutnya, isnya Allah akan dibahas lebih rinci terkait tathbir dan syubhat senada lainnya.





Keterangan Ibnu Hibban atas Penawanan Keluarga Imam Husein AS dan Perlakuan Yazid




Perlakuan yang diterima oleh imam Husein as dan rombongannya dalam peristiwa Karbala menunjukkan wajah asli siapa sebenarnya musuh mereka. Yazid dan komplotannya tak lebih dari segerombolan orang-orang yang menghalalkan segala cara demi sampai pada tujuan duniawinya.



Selain menghalalkan darah cucu nabi itu beserta para sahabat setianya, mereka juga merampas semua barang yang dinilainya berharga dari jenazah-jenazah mereka, bahkan tak cukup dengan itu mereka juga masuk ke perkemahan para wanita dan merampas perhiasan mereka.



Setelah itu sisa rombongan yang ada diperlakukan layaknya tawanan perang, yang kemudian diarak menuju Kufah, istana Ibnu Ziyad kemudian dikirim bersama kepala imam Husein as menuju istana Yazid di Syam.



Hal ini dapat kita temukan dalam banyak catatan sejarah Islam yang ada, salah satunya adalah kitab As-Sirah An-Nabawiyah Wa Akhbarul Khulafa karya Ibnu Hibban (270 – 354 H). Ibnu Hibban sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang ahli dalam berbagai keilmuan terlebih dalam bidang hadis. Terkait peristiwa tersebut ia menuliskan dalam kitabnya:



ثم أنفذ عبید الله بن زیاد رأس الحسین بن علی إلى الشام مع أسارى النساء والصبیان من أهل بیت رسول الله صلى الله علیه وسلم على أقتاب مکشفات الوجوه والشعور



Kemudian Ubaidillah bin Ziyad mengirim kepala Husein bin Ali ke Syam beserta para tawanan wanita dan anak-anak dari keluarga Rasulullah saw di atas pelana-pelana (unta) dalam keadaan wajah dan rambut mereka tersingkap.[6]



Selain itu ia juga menjelaskan bahwa rombongan yang dikirim menuju Syam itu, apabila mereka berhenti di sebuah tempat maka pasukan penggiring akan mengeluarkan kepala imam Husein as dari kotak dan menancapkannya di atas tombak kemudian berpatroli selama waktu tinggal dan kembali memasukan kepala itu saat hendak bergerak kembali.[7]



Dalam kesempatan yang lain ia juga mencatat:



ثم أرکب الأسارى من أهل بیت رسول الله صلى الله علیه وسلم من النساء والصبیان أقتابا یابسة مکشفات الشعور، وأدخلوا دمشق کذلک، فلما وضع الرأس بین یدی یزید بن معاویة جعل ینقر ثنیته بقضیب کان فی یده ویقول: ما أحسن ثنایاه



Kemudian (Ubaidillah bin Ziyad) menaikkan para tawanan dari keluarga Rasulullah saw dari para wanita dan anak-anak di atas pelana-pelana kering (tak bertudung) dengan keadaan rambut tersingkap, dan begitu pula (kondisi mereka) saat memasuki Damaskus, kemudian ketika diletakan kepala itu (imam Husein as) di hadapan Yazid bin Muawiyah, ia mulai memukul-mukul gigi bagian depannya (imam Husein as) dengan tongkat yang ada di tangannya seraya berkata: “Betapa indahnya dua gigi bagian depannya!”[8]



Begitulah sedikit gambaran dari perlakuan yang diterima oleh keturunan nabi saw setelah peristiwa Karbala. Jauh dari kata menghormati, melainkan dengan bangganya Yazid dan komplotannya menghinakan mereka bahkan ia menjadikan kepala imam Husein as layaknya mainan, dipukul-pukuli dengan tongkat. Hal ini menjadi bukti jelas bagi kita bahwa perlakuan Yazid dan komplotannya dalam peristiwa Karbala sangat jauh dan menyimpang dari nilai-nilai Islam bahkan tindak-tanduknya tersebut membuat mereka layak untuk mendapat kecaman serta laknat dari kaum muslimin yang mencintai nabi Muhammad saw dan ahlul baitnya.





Kepala Imam Husain Dibawa dan Dikirim ke Kufah





Setelah syahidnya imam Husain as beserta keluarga dan para sahabatnya di padang Karbala, kekejaman dan kebengisan tantara Yazid masih terus berlanjut. Mereka merampas apa-apa yang dikenakan oleh imam Husain as, menginjak-nginjak tubuhnya dengan kaki-kaki kuda, hingga punggung dan dadanya remuk.



Tak hanya itu, setelah peperangan yang tidak seimbang itu selesai, gerombolan pengikut Yazid itu menyerbu kemah-kemah yang diisi oleh para wanita dan anak-anak. Mereka merampas dengan paksa harta benda bahkan perhiasan yang masih dikenakan. Dan pada akhirnya mereka menjadikan keluarga kenabian yang mulia itu sebagai tawanan.



Selain itu semua, salah satu kebiadaban dari para pengikut Yazid dalam peristiwa Asyura dan tercatat dalam lembaran sejarah Islam ialah dipenggalnya kepala cucu tersayang Nabi itu, lalu kepala tersebut di bawa dan di kirim ke Kufah. Hal ini sebagaimana tercatat dalam kitab Ansab Al-Asyraf karya Ahmad bin Yahya Al-Baladzari. Beliau dalam kitabnya mencatat:



Dan Umar bin Saad mengirim kepala AlHusain di Hari Asyura kepada Ibnu Ziyad oleh Khouli bin Yazid Al-Ashbahi dari kabilah Humair dan Hamid bin Muslim Al-Azdi. Mereka sampai pada malam hari dan mendapati pintu istana tertutup. Lalu Khouli membawa kepala tersebut ke rumahnya dan diletakan di bawah tungku. Dalam rumah tersebut terdapat wanita, dikatakan wanita tersebut bernama An-Nawar binti Malik Al-Hadrami. Wanita tersebut berkata: ada kabar apa? Khouli berkata: aku datang dengan harta sepanjang masa, ini yang ada di rumah yang bersamamu adalah kepala Al-Husain. Wanita itu berkata: celakalah engkau! Orang-orang datang dengan perak dan emas, sedangkan engkau datang dengan kepala putra dari putri Rasulullah. Demi Allah, tidak akan ada sesuatu yang dapat mengumpulkan kepalaku dan kepalamu selamanya.[9]



Dan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa kepala imam Husain as merupakan kepala pertama yang dibawa di dalam sejarah Islam. seperti yang terekam dalam kitab At-Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Saad. Dalam kitab tersebut diriwayatkan:



Ia berkata: telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Umar, ia berkata: telah bercerita kepadaku Isa bin Abdurrahman As-Salmi, dari As-Sya’bi ia berkata: kepala Al-Husain adalah kepala pertama yang dibawa di dalam Islam.[10]



Begitulah kira-kira musibah yang terjadi dan menimpa pada imam Husain as dan keluarga kenabian yang mulia di hari Asyura. Kepala suci cucu kesayangan Nabi yang dulunya sering dicium oleh Rasulullah Saw, di hari yang naas tersebut kepala itu dipisahkan dari jasadnya dan dibawa oleh pasukan terlaknat Yazid ke Kufah.





Melukai Diri menurut Pandangan Sayyid Abul Hasan Ishfahani




Telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu hujatan dan ejekan yang dialamatkan kepada mazhab Syiah adalah serimoni yang dilakukan oleh sebagian kalangan pengikut Syiah yang awam dalam memperingati kesyahidan imam husain AS. Peringatan yang diadakan dalam bentuk menyakiti diri dengan benda tajam dan lain sebagainya.



Telah disebutkan juga bahwa serimoni ini mendpat tanggapan negatif dari ulama Syiah sendiri. Yang pada tulisan sebelumnya telah dimuat komentar syahid Shadr yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan kelakuan orang-orang awam dan bodoh, sementara para ulama tidak seorangpun yang melakukan hal tersebut.



Pada tulisan kali ini akan dimuat pernyataan ulama lainnya. Iaitu pernyataan Sayyid Abul Hasan Ishfahani yang juga melarang serimoni menyakiti diri ini. Beliau adalah seorang marja’ Syiah yang hidup pada tahun (1284-1365 H).



Dalam hal ini kitab al-’yan al-Siah memuat pernyataan tersebut:



“dan semua orang menghadap para ulama untuk mendapatkan fatwa dari mereka tentang melukai (diri) dengan pedang (pisau) sebagai bentuk kesedihan terhadap (peristiwa yang menimpa) imam Husain. Lalu al-Sayyid Abul Hasan Ishfahani berfatwa dengan mengharamkan melukai diri dengan pedang atau pisau. Dan isi fatwa itu sebagai berikut: sesungguhnya penggunaan pedang atau pisau, rantai, gendang, terompet dan hal serupa yang berlaku hari ini di berbagai maukib peringatan duka pada hari Asyura, merupakna hal yang haram dan keluar dari Syariat.[11] ”



Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa serimoni yang selalu dijadikan ejekan untuk kaum Syiah tersebut sebenarnya hanyalah perlakuan sebagian masarakat awam yang amalannya tidak menjadi tolok ukur bagi keyakinan maupun amalan suatu mazhab. Sementara para pembesar dan ulama Syiah sendiri tidak melakukan hal tersebut dan bahkan mengharamkannya.





Melukai Diri menurut Pandangan Sayyid Khu’i





Di dalam tulisan sebelumnya telah kami singgung, bahwa salah satu isu yang dipakai sekelompok orang untuk memojokkan mazhab Syiah bahkan menyesatkannya, ialah perihal tathbir atau melukai diri.



Di dua tulisan sebelumnya, kami juga telah menghadirkan dua pandangan dari ulama Syiah sendiri terkait dengan perihal melukai diri dalam memperingati tragedi Karbala. Tak sedikit para ulama yang melarang itu.



Salah satunya ialah Marja besar di zamannya, Sayyid Abul Qasim Khu’i. Di dalam kitabnya yang berjudul Al-Masail Al-Syariah, yang berisi sehimpun tanya-jawab seputar hukum fikih, saat ditanya perihal tathbir, ia tidak membolehkan melukai diri dalam rangka memperingati tragedi Asyura.



Di bawah ini adalah redaksi Arab plus terjemahannya, yang bisa Anda baca.



السؤال : ضرب السلاسل والتطبير من العلامات التي نراها في محرم الحرام وبما أنَّ هذا العمل يضر النفس ويثير انتقاد الآخرين. أرجو بيان حكم ذلك؟



الجواب : لا يجوز فيما إذا أوجـب ضرراً معتداً به أو استلزم الهتك والتوهين والله العالم



TANYA: memukul dengan rantai dan melakukan tathbir, merupakan tanda-tanda yang kita lihat di bulan Muharram yang suci. Dan tindakan ini dapat membahayakan diri sendiri dan memancing kritik orang lain. Saya mengharapkan penjelasan dari hukum tersebut.



JAWAB: Tidak diperbolehkan (memukul dengan rantai dan tathbir) apabila menyebabkan bahaya yang merugikan atau melazimkan pencemaran nama baik dan merendahkan. Allah yang Mahatahu[12]



Manusia yang waras tentu bisa berpikir baik, bahwa segala bentuk kekerasan yang melukai diri sendiri, tidak berbanding lurus dengan akal sehat kita. Hampir setiap manusia mendambakan diri yang jauh dari marabahaya dan ancaman.



Kalau kita telusuri lebih dalam, orang-orang Syiah yang melakukan tathbir sangatlah sedikit. Itu membuktikan, bahwa kebanyakan mereka mengikuti dan taat atas perintah ulama mereka, yang mayoritas melarang perbuatan ekstrem itu.





Melukai Diri atau Tathbir Menurut Pandangan Sayid Ali Khamenei





Prosesi peringatan kesyahidan imam Husein as di beberapa wilayah kerap sekali diwarnai dengan praktik tathbir atau melukai diri, hal ini meskipun dikerjakan oleh kelompok awam, namun seringkali dijadikan ikon dalam mendeskripsikan ajaran Syiah dalam peringatan Asyura.



Padahal seandainya kita lihat secara seksama pandangan para ulama Syiah terkait hal tersebut, akan kita dapati bahwa kebanyakan dari mereka tidak memperbolehkannya, sebab hal tersebut selain menyebabkan kerusakan terhadap tubuh juga dapat merusak citra madzhab atau Islam secara umum.



Beberapa pandangan ulama terkait masalah ini telah kami ulas dalam seri-seri sebelumnya, diantaranya adalah Syahid Muhammad Baqir Shadr, Sayid Abul Hasan Ishfahani dan Ayatullah Sayid Khu’i.



Kali ini kita juga akan melihat pandangan Ayatullah Sayid Ali Khamenei, salah satu marja besar Syiah sekaligus pemimpin tertinggi di Iran saat ini, terkait persoalan yang sama. Dalam situs resminya khamenei.ir ataupun leader.ir, khususnya pada bagian istiftaat (pertanyaan mengenai fatwa) dicatat secara gamblang bagaimana ia memandang fenomena tatbhir ini.



Pertanyaan: Diadakan acara-acara pada hari Asyura seperti memukul-mukul badan dengan rantai yang dipasangi pisau atau berjalan dengan telanjang kaki di atas bara api, yang mana menyebabkan kerusakan (madharat) terhadap jiwa dan raga, selain kegiatan ini juga dapat menjadi sebuah penyimpangan bagi madzhab Syiah di mata para ulama dan pengikut madzhab-madzhab Islam bahkan dunia, juga penghinaan terhadap madzhab, maka bagaimana pandangan anda terkait hal tersebut?



Jawab: Segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan (madharat) bagi manusia dari hal-hal yang disebutkan atau menyebabkan penghinaan terhadap agama dan madzhab adalah haram, wajib bagi mukminin untuk menjauhinya. Dan jelas dari banyak hal yang tadi disebutkan mencoreng nama baik dan (menyebabkan) penghinaan orang-orang terhadap madzhab Ahlul Bait, dan ini merupakan diantara kerusakan (madharat) dan kerugian terbesar.



Pertanyaan: Apakah tathbir secara sembunyi-sembunyi halal ataukah fatwa anda bersifat umum?



Jawab: Tathbir selain bahwa ia secara urf tidak dianggap sebagai bentuk ungkapan kesedihan, dan tidak ada contohnya pada masa para imam juga di masa-masa setelahnya, dan tidak ada pengesahan secara khusus ataupun secara umum dari maksum terkait itu, pada saat ini (tathbir) terhitung sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap madzhab. Maka dalam kondisi apapun tidak diperbolehkan.



Dari pernyataan tersebut dapat dipahami secara jelas bahwa tathbir menurut pandangan beliau adalah tidak diperbolehkan bahkan meskipun dalam kondisi tersembunyi terlebih apabila itu dikerjakan secara terang-terangan. Maka dalam hal ini seharusnya pandangan mereka, para ulamalah yang layak dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai ajaran suatu madzhab atau pun agama, bukan selainnya (orang awam) sebab tiada lain merekalah yang paling memahami dan akrab dengan literarur-literarur madzhab atau agama.





Melukai Diri Atau Tathbir Dalam Pandangan Ayatullah Fadhil Lankarani





Peringatan duka atas kesyahidan imam Husein as adalah salah satu acara besar yang selalu diselenggarakan setiap tahun, khususnya oleh para penganut madzhab Syiah di mana pun mereka berada. Pada sepuluh hari di awal bulan Muharram begitu pula hari Arbain (hari ke-40) yang berada pada bulan Shafar, biasanya digelar acara-acara dengan nuansa berkabung dan penuh kesedihan.



Tentunya acara-acara peringatan tersebut akan berbeda satu dengan yang lainnya disebabkan oleh perbedaan budaya yang ada. Namun hal itu tidak memudarkan nilai aslinya yakni ungkapan kesedihan dan kedukaan.



Namun lain halnya dengan fenomena tathbir (melukai diri) yang mana hal ini selain menimbulkan bahaya bagi pelakunya juga malah mencoreng citra dari peringatan duka imam Husein as itu sendiri, atau bahkan lebih umumnya terhadap Islam. Dan anehnya hal inilah yang malah digambarkan sebagai wajah Syiah oleh pihak-pihak tertentu.



Oleh sebab itu banyak ulama Syiah yang tidak setuju bahkan mengharamkan pratik tersebut sebab dampaknya bukan hanya bahaya terhadap personal melainkan juga dapat menjatuhkan nama baik madzhab atau agama yang dianut.



Salah satunya adalah Ayatullah Muhammad Fadhil Lankarani, salah seorang marja (ulama rujukan) di Iran, sebagaimana pandangannya terkait masalah ini tercatat dalam kitab Jamiul Masail yang memuat fatwa-fatwa beliau tentang berbagai persoalan agama. Berkenaan dengan tathbir disebutkan:



Pertanyaan ke-2045: Apakah tathbir dibolehkan? Dan apa taklif bagi orang yang bernazar dengan hal tersebut?



Jawab: Dengan melihat perhatian yang terjadi -dalam kaitannya dengan Islam dan tasyayyu (Syiah) setelah kemenangan revolusi Islami di Iran- di seluruh dunia, dan Iran dikenal sebagai Ummul Qura (pusat) di dunia Islam, sehingga sikap dan prilaku bangsa Iran dianggap sebagai model dan contoh bagi Islam. Oleh sebab itu seharusnya pengadaan acara berkabung untuk penghulu syuhada dan ayah dari orang-orang merdeka, imam Husein as dalam bentuk yang dapat menarik lebih banyak orang serta menggiring mereka secara lebih luas disebabkan tujuannya yang suci dan tinggi. Dan sudah jelas dalam kondisi saat ini bahwasannya tathbir tidak hanya tidak menyajikan peristiwa Huseini, bahkan (malah) menyebabkan antipati dari orang-orang begitupun penolakan para penentang terhadap penjelasan apapun untuk hal itu, seperti halnya terdampak oleh pengaruh maklumat yang buruk. Maka dari itu wajib bagi Syiah yang mencintai madrasah imam Husein as menjauhi hal itu (tathbir), dan barang siapa bernazar dengan tathbir maka nazarnya tidak memenuhi syarat sah, yang mana kemudian nazarnya tidak berlaku.[13]



Dalam pernyataan di atas secara jelas ia melihat fenomena tathbir sebagai sebuah praktik yang bermuatan negatif sehingga wajib untuk dijauhi ataupun ditinggalkan. Di sisi yang lain, ia juga menganggap bahwa nazar dengan hal itu (tathbir) adalah tidak sah, dan nazarnya tidak berlaku.



Dari sini, juga postingan-postingan lainnya terkait pandangan para ulama mengenai tathbir, kita dapat belajar bahwa terkadang apa yang dikerjakan oleh sebuah kelompok belum tentu sesuai dengan ajaran mereka atau paling tidak dengan pandangan para ulama mereka, sehingga pekerjaan mereka tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai ajaran tersebut.



Melukai Diri atau Tathbir Dalam Pandangan Ayatullah Husain Mazahiri





Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya seputar melukai diri atau Tathbir dalam peringatan-peringatan duka, telah kita ketahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diharamkan oleh mayoritas ulama-ulama Syiah. Dan segelintir orang syiah yang melakukan perbuatan tersebut tidak bisa merepresentatifkan dan menisbahkan perbuatan tersebut pada Mazhab Syiah secara keseluruhan.



Telah kita paparkan beberapa pandangan dari ulama-ulama kenamaan Syiah yang melarang melukai diri atau Tathbir dalam acara peringatan-peringatan duka. Dan kali ini kita akan ajukan lagi satu pandangan ulama Syiah lainnya yang mengharamkan atau melarang perbuatan tersebut.



Ulama ini bernama Ayatullah Husain Mazahiri. Dalam website resminya, ketika beliau ditanya seputar melukai diri atau Tathbir beliau menjawab sebagai berikut.



Pertanyaan: Apa hukumnya melukai diri dan mencakar kepala, wajah serta badan dalam peringatan duka imam Husain as?



Jawab: Tidak dibolehkan



Pertanyaan: Apa hukumnya melukai diri dalam pandangan Fikih?



Jawab: Dikarenakan Wali Fakih melarang perbuatan itu, maka semua harus menjauhi perbuatan tersebut, meskipun mereka adalah Muqallid marja lain yang menganggapnya boleh.



Pertanyaan: Apa hukumnya melukai wajah dengan cara yang tidak menyebabkan bahaya seperti infeksi, atau tidak menyebabkan luka dalam, hanya sekedar keluar sedikit darah dalam acara majelis duka Ahlul Bait?



Jawab: Tidak dibolehkan



Itulah pandangan dari Ayatullah Husain Mazahiri terkait melukai diri atau Tathbir dalam acara atau peringatan-peringatan majelis duka. Beliau dengan tegas melarang perbuatan tersebut. Dan hal ini sejalan dengan banyaknya ulama-ulama Syiah lainnya yang menfatwakan dan melarang perbuatan tersebut dalam acara-acara duka seperti yang pernah kita sampaikan sebelumnya.



Melukai Diri atau Tathbir Pandangan Ayatullah Sayyid Muhammad Ali Alawi Gurgani





Mengikis suatu anggapan yang sudah ditanamkan sedemikian lama ditambah dengan propaganda masif tentu saja di samping membutuhkan data akurat diperlukan juga waktu lama dan bukti yang cukup banyak.



Oleh karena itu dalam beberapa seri sebelumnya diutarakan berbagai bukti berupa fatwa para ulama besar Syiah yang melarang serimoni melukai diri, dengan tujuan menghilangkan anggapan yang salah terhadap amalan tersebut.



Anggapan yang mengklaim bahwa Syiah adalah mazhab yang jauh dari kata logis dan lebih mengedepankan emosional. Karena ada praktek melukai diri yang menjadi rutinitas tahunan sebagian kecil pemeluk mazhab ini.



Melanjutkan sanggahan yang sudah ada, pada tulisan kali ini akan diajukan bukti lainnya; dimana ulama serta marja besar lainnya menolak praktek melukai diri tersebut. Sayyid Alawi Gurgani dalam menanggapi beberapa pertanyaan seputar hal tersebut menyampaikan:



Pertanyaan: bagaimana bentuk tathbir dalam peringatan duka imam Husain AS?



Jawab: jika menyebabkan keluarnya darah dan luka maka bertentangan dengan syariat.



Pertanyaan: apa hukum tathbir dan menggaruk tubuh atau memukul badan dengan keras pada acara peringatan duka Ahlulbait AS ?



Jawab: jika tidak menyebabkan keluarnya darah dan luka maka tidak ada masalah.



Pertanyaan: apa pendapat anda tentang meperingati duka imam Husain AS, memukul tubuh dengan rantai, tathbir dan melepaskan pakaian ketika mengadakan acara menepuk dada?



Jawab: mengadakan majlis duka dan mengagungkan imam Husain AS merupakan bagian dari Syiar-syiar Allah. Oleh karena itu syiar-syiar ini harus dibesarkan, dengan syarat tidak merendahkan Islam. Atas dasar ini semua tindakan yang menyakiti tubuh, menimbulkan luka parah dan keluarnya darah mesti dihindari. Begitu juga harus dihindari perbuatan membuka pakaian pada perkumpulan yang dihadiri oleh yang bukan mahram.



Beberapa fatwa di atas menambah bukti akan penolakan mazhab Syiah terhadap tindakan melukai diri dan tindkan tidak logis lainnya sehubungan dengan peringatan duka kesyahidan imam Husain AS.



Adapun pelaku tindakan ini, adalah masyarakat awam yang tidak mengindahkan aturan syariat yang telah disampaikan oleh para ulama. Tentu saja, tindakan mereka tidak mewakili ajaran mazhab Syiah.



Filosofi Menangis untuk Imam Husain





Bagi sebagian orang, menangisi Syahadah Imam Husain adalah sebuah keanehan, dengan ragam alasan. Salah satu alasannya ialah, bahwa syahadah Imam Husain sudah berlangsung sekian ribu tahun yang lalu, apa manfaat menangisi jenazah yang sudah ribuan tahun berada di balik tanah itu?



Di dalam tulisan ini, penulis hendak—untuk mengatakan tidak berlebihan—meluruskan pemahaman sebagian orang yang hingga detik ini masih memandang aneh dan bertanya-tanya, apa filosofi sekaligus manfaat dari menangisi Imam Husain as.



Setidaknya, kadang, orang menangis disebabkan beberapa alasan. Pertama, menangis karena ia sedang berhadapan dengan orang jahat yang hendak menganiaya dirinya. Kedua, menangis karena takut akan nasib masa depannya yang tak kunjung jelas, dan seabrek alasan lainnya.



Baiklah, pertama-tama, menurut penulis, ada beberapa hal yang melatarbelakangi filosofi menangis atas kesyahidan Imam Husain, yang pertama soal fitrah. Iya, setiap manusia memiliki fitrah. Dengan fitrahnya, ia akan sedih dan bahkan menangis saat orang yang ia cintai termasuk sosok yang menjadi ‘role model’-nya meninggalkannya untuk selamanya.



Jika kita melihat kesyahidan Imam Husain, lalu kita bandingkan dengan kematian orang-orang terdekat kita yang notabene adalah manusia biasa, maka semestinya kesedihan kita atas kepergian Imam Husain lebih berlipat ganda.



Bagaimana tidak, ia adalah manusia terhormat, baik di tengah penduduk langit maupun bumi, ia adalah cucu kesayangan nabi yang punya banyak keutamaan. Lebih dari itu, tiada yang menandingi tingkat kekejaman-pembunuhan yang menimpanya. Maka, air mata mana yang tak membelah kedua pipi manusia saat menyimak atau membaca tragedi kesyahidannya.



Ambil contoh, anak mana yang tak bersedih atau menangis jika ibu atau ayah yang ia cintai meninggalkannya untuk selamanya, atau sebaliknya. Orang tua mana yang tak menangis apabila anak kesayangannya meninggal dunia. Nyaris setiap kita pasti akan seperti itu, tidak peduli dari tingkatan sosial mana kita berada.



Kedua, di dalam mazhab Syiah, ada seabrek hadis yang menegaskan tentang keutamaan menangisi Imam Husain, dari para Imam Syiah. Di antara hadis itu datang dari Imam Ja’far As-Shadiq. Dalam hal ini ia berkata,



“Barang siapa yang membacakan Syair Imam Husain, lalu ia menangis dan membuat orang lain juga menangis, maka wajib baginya surga.”



Di dalam hadis lain, Imam Ja’far berkata,



“Langit pun menangisi Imam Husain dengan darah selama empat puluh hari.”[14]



Ketiga, selain hadis dari para Imam Syiah, ada beberapa ayat al-Quran yang menekankan untuk lebih banyak menangis daripada tertawa.



“Maka hendaknya mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. At-Taubah: 82)



“Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. Dan mereka menyungkurkan wajah sekali lagi dan demikian seterusnya sambil menangis karena takut kepada Allah dan mereka bertambah khusyuk memohon kepada Allah setiap kali dibacakan kepada mereka ayat-ayat Al-Qur’an.” (QS. Al-Isra’:109)



Kalau kita lihat dan baca dari ayat di atas, kita mendapati bahwa menangis bukanlah suatu perbuatan negatif. Bahkan ia adalah perbuatan yang positif.



Sebagai penutup, ada banyak pembahasan dari keutamaan dan manfaat menangis. Kali ini, penulis menyorotinya dari sisi fitrah manusia, hadis dan Al-Quran, dan mungkin, untuk tulisan berikutnya, kita bisa telaah dari sudut pandang yang lain.



Perlu penulis tegaskan, bahwa menangis tak melulu identik dengan sifat cengeng dan lemah. Menangisi kesyahidan Imam Husain adalah sebuah penggerak sekaligus penyemangat untuk selalu bangkit melawan kezaliman di muka bumi ini. Wallahu a’lam bi as-shawab.



Mengenang Musibah Imam Husein AS oleh Ibnul Jauzi





Tragedi Karbala terukir kuat dalam berbagai literatur Islam yang ada. Hal ini tentunya merupakan satu bukti akan perhatian khusus dari para ulama maupun sejarawan terkait persoalan memilukan tersebut. Salah satunya adalah Ibnul Jauzi, seorang ulama besar yang bermadzhabkan Hambali.



Ulama kelahiran abad ke-6 Hijriyah ini mencatat banyak hal dalam kitabnya yang dinamai Al-Tabsharah khususnya yang bermuatan Dzikrul Musibah (mengenang musibah) yang menimpa imam Husein as dan berikut keluarga serta sahabat-sahabatnya di Karbala.



Mari kita baca dan renungkan tulisannya sebagai berikut:



Saudara-saudaraku! Demi Allah, siapa yang telah mencela Yusuf maka dengan wajah apa ia akan menemui Yaqub!



Ketika Abbas ditawan pada peperangan Badar, Rasulullah saw mendengar teriakannya sehingga ia tak dapat tidur, maka bagaimana apabila ia mendengar teriakan Husein?



Ketika Wahsyi (pembunuh Hamzah) masuk Islam, ia (Rasulullah saw) berkata padanya: sembunyikanlah wajahmu dariku. Demi Allah, seorang muslim tidak akan diperlakukan dengan apa yang dikerjakannya pada (masa) kekufurannya, maka bagaimana Rasulullah saw mampu melihat orang yang telah membunuh Husein?



Firman Allah swt: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.” (Al-Isra: 33)



Sungguh mereka telah mengerahkan apa yang tak pernah dikerahkan oleh siapa pun demi menzalimi Husein, mereka menghalanginya dari air di saat yang lain mendapatkannya, mencegahnya pergi dari mereka ke tempat lain dan menawan keluarga serta membantai anaknya. Dan ini tidak lain muncul dari kebobrokan akidah mereka.



Mengalir air diantara jari-jari kakeknya namun mereka tak memberikan padanya walau setetes!



Dulu Rasulullah saw, saking cintanya pada Husein, menciumi bibirnya, sering membawanya di pundaknya, dan ketika ia (Husein) masih kecil berjalan di depan mimbar, Rasulullah turun menghampirinya. Maka seandainya ia (Rasulullah) melihatnya berbaring di salah satu sisinya sementara pedang-pedang mengoyaknya, musuh-musuh di sekitarnya, kuda-kuda menginjak dada dan berjalan di atas tangannya serta darah yang mengalir sebagaimana air matanya, maka Rasulullah saw akan berteriak memohon dari hal itu, dan sungguh itu sangat berat baginya.



Karbala engkau berubah menjadi petaka dan bala, di sisimu apa yang ditemui keluarga Al-Musthafa.



Berapa banyak di tanahmu ketika mereka dijatuhkan, dari darah yang mengucur dan air mata yang mengalir.



Wahai Rasulullah, seandainya engkau lihat mereka, dalam keadaan antara terbunuh atau tertawan.



Dari terik panas yang dijauhkan dari tudung, dari rasa haus yang disirami oleh tombak.



Kedua matamu akan melihat pada mereka sebuah pemandangan yang merupakan kepedihan bagi hati dan duri bagi mata.



Bukanlah ini, upah bagi Rasulullah, Wahai umat durhaka dan lalim!



Ia adalah penanam yang tak meminta (upah) atas tanaman untuk mereka, namun mereka memberikan pahitnya pada keluarganya.



Mereka penggal keturunannya layaknya hewan kurban, lalu menggiring keluarganya layaknya budak.



Dengan nafas terenggah dan langkah terjatuh-jatuh mereka rintihkan “Wahai Rasulullah!”



Mereka membunuhnya (Husein) dalam sadar bahwa ia adalah Khamisul Kisa (orang kelima dalam kain Kisa).



Wahai gunung-gunung agung, mulia nan tinggi serta purnama-purnama yang menyinari bumi!



Aku tidak melihat kesedihan kalian terlupakan, dan musibah kalian terabaikan betapa pun berlalunya waktu.



Maha terpuji Ia yang mengangkat kedudukan Al-Husein dengan terbunuhnya dan meruntuhkan sesiapa yang memusuhinya, mereka kembali terhina setelah kehormatannya, serta tak merugikannya (Husein) saat kesyahidannya dengan semua upaya penghinaan dari mereka, (sebab) “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.” Binasalah kaum sesat dan penentang, dan seolah-olah mereka tidak menguasai negeri-negeri dan laknat kembali pada mereka sebagaimana biasanya kembali pada pihak musuh, dimana Yazid dimana Ziyad, seolah-olah mereka berdua tidak pernah ada, “Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.”



Mereka menikmati hari-hari yang pendek, kemudian sayap-sayap kekuasaan mereka kembali patah, dan tersisalah Sirah (cerita) Husain, sebaik-baiknya Sirah. Dan barangsiapa mulia kesudahan (akhir usia) dan Sirahnya maka seolah-olah tidak akan menemui kehinaan, “Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.”[15]



Mereka yang Menangis untuk Imam Husain




Menangisi kesyahidan imam Husain AS merupakan satu masalah yang selalu dijadikan bahan untuk menyesatkan dan menyudutkan mazhab Syiah oleh sekelompok oknum yang abai terhadap literatur dan enggan merujuk catatan sejarah.



Perbuatan yang dianggap cengeng dan bidah ini padahal memiliki filosofi yang jelas sebagaimana dimuat dalam tulisan sebelumnya. Lebih dari itu Rasulullah SAWW juga melakukan hal tersebut bahkan jauh sebelum peristiwa getir Karbala terjadi.



Pada tulisan singkat kali ini akan disebutkan beberapa tokoh lainnya yang juga menangis untuk imam Husain AS. Di dalam kitab Tazkirat al-Khawash disebutkan:



al-Waqidi berkata: tatkala kepala imam Husain dan para tawanan sampi ke kota Madinah, tidak seorangpun yang tersisa dari penduduknya kecuali mereka keluar menjerit seraya menangis. Zainab binti Aqil bin Abi Thalib keluar dalam keadaan membuka wajahnya dan melepaskan rambutnya lalu berteriak: oooh Husain, oooh saudara-saudaranya, oooh keluarganya dan oooh Muhammad.



Masih dalam kitab yang sama disebutkan bahwa Ummu Salamah menangis bahkan sampai tidak sadarkan diri:



Ibn Saad berkata tentang Ummu Salamah yang berkata ketika berita kesyahidan Husain sampai padanya: apakah mereka benar-benar telah melakukannya? Semoga Allah memenuhi rumah dan kubur mereka dengan api. Kemudian ia menangis dan tidak sadarkan diri.



Selanjutnya disebutkan juga bahwa Hasan Bashri juga ikut menangis:




Al-Zuhri berkata: manakala berita kesyahidan imam Husain sampai kepada Hasan Bashri, ia menangis sampai kedua pelipisnya bergetar. Kemudian ia berkata: anak budak wanita paling hina telah membunuh putra dari putri nabinya. Demi Allah kepala Husain akan dikembalikan kepada jasadnya. Lalu kakek dan ayahnya akan menuntut balas dari Ibn Marjanah.



Dan al-Zuhri berkata: manakala berita kesyahidan imam Husain sampai kepada al-Rabi’ bin Khaitsam, ia menangis dan berkata: sungguh mereka telah membunuh para pemuda yang jika Rasulullah SAWW melihat mereka, beliau pasti menyayangi, memberi makan mereka dengan tangannya dan mendudukkan mereka di pangkuannya.[16]



Sunan Tirmizi juga memuat riwayat yang menyatakan bahwa Ummu Salma menangis atas kesyahidan imam Husain AS:



Menceritakan kepada kami Razin, ia berkata: Salma bercerita kepadaku, ia berkata: aku menjumpai Ummu Salma dalam keadaan menangis. Lalu aku berkata: apa yang membuatmu menangis? Ia berkata: aku melihat rasulullah SAWW; maksudku dalam mimpi sementara di atas kepala dan jenggotnya ada tanah. Aku bertanya: apa yang terjadi padamu ya Rasulullah? Beliau bersabda: baru saja aku menyaksikan terbunuhnya Husain.[17]



Dari beberapa catatan yang telah disebutkan dapat dipahami bahwa menangisi imam Husain AS bukanlah sesuatu yang asing, tapi sudah menjadi hal yang lumrah dan telah dilakukan oleh banyak tokoh. Mulai dari Rasulullah SAWW, Ummu salamah, Hasan Bashri, al-Rabi’ sampai Ummu Salma.



Oleh karena itu, sejatinya apa yang dilakukan oleh pengikut mazhab Syiah ini, jika tidak diberi apresiasi setidaknya tidak dihalangi dan dianngap sebagai hal yang manusiawi.





Aisyah dan Tradisi Menepuk Dada





Di setiap majelis duka imam Husain as, terkadang kita sering melihat orang-orang yang mengikuti acara tersebut menepuk dada mereka. Ketika kisah tragedi Karbala dibacakan atau ketika kidung duka dilantunkan, mereka menangis sambil menepuk dada atau sesekali menepuk wajah mereka. Menepuk dada sendiri merupakan bentuk ekspresi kesedihan dan dianggap sebagai sebuah tradisi di kalangan Arab atau Persia.



Namun, terdapat orang-orang yang menganggap perbuatan tersebut sebagai sebuah amalan Bid’ah yang di ada-adakan oleh kaum Syiah, sehingga mereka yang melakukan itu dianggap sebagai kaum yang sesat.



Perlu diketahui bahwa menepuk dada bukanlah amalan ibadah yang bersifat wajib, bukan pula bentuk melukai diri atau Tathbir dimana banyak dari ulama Syiah melarang dan mengharamkannnya, melainkan itu merupakan bentuk ekspresi dari kesedihan.



Dan dalam sebuah riwayat, kita menemukan ternyata Ummul Mukminin Aisyah pernah melakukan perbuatan tersebut, hal itu terjadi ketika Rasulullah Saw wafat. Riwayat tersebut ada dalam kitab Musnad Abi Ya’la milik Ahmad bin Ali At-Tamimi. Dalam riwayat tersebut disebutkan ketika Rasulullah Saw wafat, Aisyah meletakkan kepala Rasulullah Saw diatas bantal, lalu ia bersama para wanita lainnya meratap dengan menepuk dada dan wajah mereka.[18]



Sanad dari riwayat tersebut hasan, dan riwayat tersebut juga dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan sanad lain yang shahih.



Kata (لدم/ألتدم ) sendiri dalam kitab Lisanul Arab karya Ibnu Manzur diartikan sebagai pukulan atau tepukan wanita pada dada atau wajahnya dalam sebuah ratapan.[19]



Riwayat diatas menjelaskan bahwa Aisyah dan para wanita lainnya ketika melihat Rasulullah Saw wafat, mereka mengekspresikan kesedihan mereka dengan menepuk dada dan wajah mereka.



Jadi, jika ada orang yang mengatakan menepuk dada dalam kesedihan sebagai suatu bid’ah dan yang melakukannya sesat, maka siapkah ia menerima konsekwensi dengan melabeli Aisyah sebagai pelaku bid’ah dan sesat?





Imam Suyuthi: Hati Manusia Tak Kuasa Mengingat Kisah Karbala





Tragedi Karbala merupakan salah satu musibah besar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam. Bagaimana tidak, keturunan suci dari nabi Muhammad saw ketika itu seakan tak memiliki kehormatan bahkan diperlakukan sedemikian rupa buruknya hingga hal ini akan selalu membekas dan menjadi kenangan pahit bagi siapa pun yang mencintai nabinya.



Peristiwa itu telah banyak digambarkan oleh para sejarawan maupun para ulama dalam catatan-catatan mereka, dan biasanya kisah Karbala ini dijadikan sebuah topik khusus dalam kitab mereka, sebab kejadiannya yang sangat memilukan serta patut untuk dipelajari, meskipun sayangnya dalam hal ini banyak orang yang menganggap bahwa memperingati peritiwa itu pada masa ini sebagai hal yang berlebihan atau bahkan dianggap memelihara dendam.



Padahal kalau kita rajin membuka literatur Islam yang ada, peringatan terhadap peristiwa itu sudah dikerjakan dan dicontohkan oleh para ulama kita, sebagaimana hal ini telah banyak kita ulas pada tulisan-tulisan sebelumnya.



Menyoroti kejadian Karbala, imam Suyuthi dalam kitabnya Tarikhul Khulafa (sejarah para khalifah) menyebutkan:



وکان قتله بکربلاء، وفی قتله قصة فیها طول لا یحتمل القلب ذکرها، فإنا لله وإنا إلیه راجعون، وقتل معه ستة عشر رجلًا من أهل بیته



ولما قتل الحسین مکثت الدنیا سبعة أیام والشمس على الحیطان کالملاحف المعصفرة، والکواکب یضرب بعضها بعضًا، وکان قتله یوم عاشوراء، وکسفت الشمس ذلک الیوم، واحمرت آفاق السماء ستة أشهر بعد قتله، ثم لازالت الحمرة ترى فیها بعد ذلک الیوم ولم تکن ترى فیها قبلها



Dan pembantaiannya di Karbala, dalam tragedi itu terdapat sebuah kisah panjang yang mana hati tak kuasa mengingatnya, maka Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun (sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita akan kembali). Dan terbunuh bersamanya 16 laki-laki dari keluarganya.



Ketika Husein dibunuh, dunia (serasa) terdiam selama tujuh hari dan matahari di dinding seperti selimut-selimut kuning, serta bintang-bintang bertabrakan satu sama lainnya. Pembunuhannya pada hari Asyura (hari kesepuluh Muharram) ketika itu terjadi gerhana matahari dan ufuk-ufuk langit memerah selama enam bulan setelah pembunuhannya, kemudian kemerah-merahan itu masih terlihat setelah hari itu yang mana belum pernah terlihat sebelumnya.[20]



Dalam uraian di atas secara khusus imam Suyuthi menggambarkan peristiwa itu sebagai peristiwa yang teramat berat yang mana hati manusia tak akan kuat menahannya. Hal ini akan terbukti apabila kita kembali membuka jejak peristiwa tragedi karbala secara rinci dalam kitab-kitab yang ada. Sebagiannya bisa dilihat dalam beberapa tulisan kami sebelumnya.



Menariknya juga imam Suyuthi di sini menyebut beberapa kondisi alam yang aneh pada masa itu yang mana seolah terdampak oleh musibah besar ini, bahkan hal seperti ini juga dapat kita temukan dalam catatan-catatan yang lain.





Filosofi Menangis untuk Imam Husain (Bag. 2)






Di dalam tulisan sebelumnya, penulis telah mengulas seputar filosofi menangis, lebih-lebih menangis untuk kesyahidan Imam Husain as. Apa yang penulis gurat di tulisan sebelumnya masih belumlah sempurna. Karenanya, tulisan ini—untuk mengatakan tidak berlebihan—mudah-mudahan bisa menjadi penyempurna dari tulisan sebelumnya.



Kalau Anda membaca tulisan sebelumnya, Anda pasti ingat, bahwa ada tiga hal yang penulis soroti. Pertama, menangis, terlebih menangis untuk Imam Husain, menurut fitrah manusia. Kedua, menangisi Imam Husain karena penegasan hadis dari para imam maksum. Dan yang terakhir, menangis menurut al-Quran.



Mungkin, di tulisan kali ini, penulis hanya hendak menghadirkan beberapa contoh nyata tentang menangis, yang pernah dilakukan oleh nabi-nabi. Melalui sederet contoh yang penulis bawakan, semoga menjadi penegasan, bahwa menangisi seseorang bukanlah hal negatif. Justru, itu adalah hal yang positif, yang juga pernah dilakukan oleh para nabi.



Jauh sebelum kita sampai pada pembahasan ini, kami telah mengulas sebuah riwayat yang menceritakan tentang Nabi Muhammad, yang telah menangisi Imam Husain. Dari riwayat tersebut, kita tak bisa menampik, bahwa menangisi Imam Husain adalah sebuah sunnah, sebab nabi melakukannya. Untuk membuktikan itu, penulis hadirkan redaksi terjemahannya di bawah ini yang diterjemahkan langsung dari kitab Sunni.



Dari Abbad bin Ishak, dari Hasyim bin Hasyim dari Abdullah bin Wahab dan dari Ummu Salamah, bahwa ia berkata, “Rasulullah Saw. memasuki rumahku.”


“Tiada seorang pun yang menjumpaiku,” kata Rasulullah saw.

“Dan aku mendengar suara, lalu aku masuk rumah. Di sisi Nabi ada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dan ia (Nabi Saw) terlihat sedih,” kata Ummu Salamah.

“Nabi menangis,” katanya lagi.


“Apa yang membuatmu menangis, Wahai Rasulullah?” Tanya Ummu Salamah.


“Jibril telah mengabarkan kepadaku, bahwa umatku setelahku akan membunuh Husain,” kata nabi.


“Siapa yang akan membunuhnya?” Tanya Ummu Salamah.


“Penghuni bumi ini yang akan membunuhnya,” jawab Rasulullah saw sembari mengambil sebongkah tanah (itu).[21]



Iya, menurut penulis, jejak riwayat di atas adalah sebuah bukti yang tak lagi dapat kita tolak. Bahkan, riwayat tersebut seolah menjadi tameng di hadapan orang-orang yang selalu mempermasalahkan pekerjaan menangis untuk Imam Husain. Di sisi lain, dari riwayat itu pulalah yang kemudian lahir asal-usul menangisi Imam Husain as.



Lebih dari itu, ada beberapa ayat al-Quran yang menceritakan tentang beberapa sosok nabi yang bersedih dan menangis. Salah satunya Nabi Ya’kub yang bersedih saat mendengar kabar dari anak-anaknya (saudara nabi Yusuf) tentang hilangnya Nabi Yusuf, lantaran telah mereka ceburkan ke dalam sumur, dan berdalih bahwa Nabi Yusuf hilang diterkam hewan buas. Untuk meyakinkan ayah mereka, hal itu mereka buktikan melalui sobekan baju Nabi Yusuf yang dilumuri oleh darah.



Mendengar kabar hilangnya putra kesayangannya, Nabi Ya’kub pun bersedih bukan kepalang. Kejadian ini direkam oleh al-Quran, Surah Yusuf, ayat 84.



Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).



Di ayat lain dikatakan,



Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Yusuf: 86).



Terkait ayat di atas, Jalaludin Suyuthi di dalam tafsirnya, Addurul Mantsur, mengatakan bahwa Nabi Ya’kub menangisi Nabi Yusuf selamanya delapan puluh tahun, sampai kedua matanya terlihat sedih dan berwarna putih.[22]



Ulasan di atas, baik terkait riwayat Nabi Muhammad tentang menangis untuk Imam Husain, ditambah lagi rekaman al-Quran yang menceritakan kesedihan Nabi Ya’kub saat kehilangan Nabi Yusuf, memberikan pesan kepada kita, bahwa perbuatan menangis bukanlah hal yang negatif. Di sisi lain, jejak sederet nabi yang menangis menandai akan keabsahannya (menangis/bersedih) di dalam syariat-agama. Wallahu a’lam bi as-shawab.





Apakah Pelarangan Menangis Untuk Imam Husain Terinspirasi Dari Ibn Ziyad dan Kelompoknya?





Memandang tangisan untuk imam Husain AS sebagai suatu masalah dan bertentangan dengan ajaran islam merupakan isu dan syubhat yang selalu didengungkan oleh sekelompok oknum yang anti terhadap segala bentuk pengagungan kepada keluarga Nabi AS.



Oknum-oknum ini pada dasarnya tidak hanya anti terhadap tangisan untuk imam Husain AS, tapi juga anti terhadap peringatan maulid, wafat dan berbagai bentuk peringatan lainnya yang berkaitan dengan Nabi SAWW dan keluarganya.



Keadaan ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru sebab kasus serupa dapat kita saksikan semenjak awal sejarah Islam di mana sebagian golongan terutama Syiah ali Abu Sufyan juga sangat anti pati dengan tangisan terhadap imam Husain dan penyebutan kemulian beliau dan keluarga Nabi SAWW.



Di dalam kitab tazkirat al-Khawash disebutkan:



“Sungguh Ibn Abiddunya telah meriwayatkan: sesungguhnya Zaid bin Arqam sedang berda di sisi Ibn Ziyad, lalu ia (Zaid bin Arqam) berkata kepdanya (Ibn Ziyad): angkat tongkatmu! Demi Allah aku sering melihat Rasulullah menciumi yang ada di antara dua bibir ini (mulut) kemudian Zaid bin Arqam mulai menangis. Lalu Ibn Ziyad berkata padanya: semoga Allah membuat kedua matamu menangis. Seandainya engkau bukan merupakan orang tua yang sudah pikun sungguh aku telah memenggal lehermu. Kemudian Zaid bin Arqam bangkit dan berkata: wahai masyarakat sekalian! Semenjak hari ini Kalian telah menjadi budak; kalian membunuh putra Fathimah dan menjadikan Ibn Marjanah (Ibn Ziyad) sebagai pemimpin. Demi Allah ia akan membunuh orang-orang baik di antara kalian dan memperbudak orang-orang jahat dan buruk. Alangkah jauhnya bagi yang rela dengan kehinaan dan kerendahan.[23]



Catatan sejarah ini dengan jelas memperlihatkan kepada pembacanya bahwa dari awal sudah ada sekelompok orang yang anti dengan tangisan untuk imam Husain AS.



Padahal kalau kita perhatikan yang menangisi iamam Husain dalam peristiwa ini adalah seorang sahabat Nabi SAWW, bukan orang sembarangan.



Oleh karena itu jika pada hari ini ada oknum atau golongan yang anti dengan tangisan terhdap keluarga Nabi, hal itu sudah tidak aneh karena mereka hanya “mengkopy paste” apa yang telah dilakukan oleh panutannya.





Tujuan Revolusi Imam Husain as di Karbala





Peristiwa Asyura di Karbala tak lepas dari tokoh utama yang dikenang sebagai pemimpin para Syahid yaitu imam Husain as. Figur dari salah satu Ashabul Kisa ini telah menjadi inspirasi orang-orang di seluruh dunia untuk berjuang melawan kezaliman.



Perjuangan dan revolusi imam Husain as di Karbala bukanlah sesuatu yang sia-sia dan tanpa tujuan. Mungkin sebagian orang yang sinis terhadap peristiwa Asyura menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh imam Husain as sia-sia, hanya mencelakakan diri sendiri beserta keluarganya saja, dan tidak menghasilkan apa-apa. Mereka berdalih karena imam Husain as bersikeras untuk melawan Yazid meskipun ia tahu kebangkitannya tersebut dapat membuat dirinya dan keluarganya terbunuh.



Untuk itu, kali ini penulis ingin menyuguhkan beberapa tujuan imam Husain as dalam revolusinya di Karbala. Tujuan-tujuan ini kami dapati dari catatan-catatan sejarah dan dari riwayat yang ada dalam literatur Islam.





Amar Ma’ruf Nahi Munkar





Salah satu tujuan dari bangkitnya imam Husain di Karbala ialah menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Hal itu terlihat ketika imam Husain as menulis surat wasiat untuk saudaranya Muhammad Hanafiyah. Dalam surat tersebut imam Husain as dengan jelas menuliskan tujuannya tersebut. Catatan mengenai hal itu termaktub dalam kitab Al-Futuh milik Allamah Abi Muhammad Al-Kufi.



“…Sesungguhnya aku keluar (bangkit) bukan untuk kejahatan, keangkuhan, kerusakan dan berbuat zalim, aku hanya mencari keselamatan dan kebaikan untuk umat kakekku Muhammad Saw, aku hendak menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dan berjalan di jalan kakekku Muhammad Saw dan jalan ayahku Ali bin Abi Thalib as…”[24]





Menghidupkan Sunnah dan Melawan Bid’ah





Tujuan berikutnya dari bangkitnya imam Husain as ialah menghidupkan Sunnah Nabi dan melawan Bid’ah. hal tersebut tertuang dalam surat imam Husain as untuk pembesar Basrah yang terekam dalam kitab Tarikh At-Thabari milik Abu Ja’far At-Thabari. Dalam surat tersebut imam Husain as mengajak mereka pada Kitabullah dan Sunnah NabiNya, karena saat itu Sunnah Nabi telah dihilangkan dan Bid’ah telah dihidupkan.



…Aku mengajak kalian pada Kitabullah dan Sunnah NabiNya Saw, karena sesungguhnya Sunnah telah dihilangkan dan Bid’ah telah dihidupkan, dan jika kalian mendengar perkataanku dan menaati perintahku, aku akan membimbing kalian ke jalan yang benar…”[25]





Melawan Kezaliman





Dan tujuan lainnya dari bangkitnya imam Husain as di Karbala ialah untuk melawan kezaliman. Ketika imam Husain as berhadapan dengan pasukan Umar bin Saad, beliau berkata bahwa kematian adalah kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang zalim adalah hal yang menjemukan. Ucapan beliau tersebut tercatat dalam kitab Al-Mu’jamul Kabir milik Abul Qasim At-Thabarani.



“…Dan sesungguhnya tidaklah aku melihat kematian kecuali kebahagiaan, dan tidaklah hidup bersama orang-orang zalim kecuali kejemuan…”[26]



Itulah beberapa tujuan dari bangkitnya imam Husain as di Karbala yang kami ambil dari catatan sejarah ataupun riwayat dalam literatur Islam. Namun tidak sebatas itu, mungkin terdapat tujuan mulia lainnya yang bisa kita gali dari revolusinya beliau di Karbala.



Dengan ini kita mengetahui bahwa gerakan dan revolusi cucu kesayangan Nabi tersebut memiliki tujuan yang jelas dan mulia. Dan salah satu hasil dari tujuan revolusi beliau ialah hidupnya Islam hingga saat ini. Karena jika pada saat itu imam Husain hanya diam saja atau membaiat Yazid sebagai Khalifah, membiarkan matinya Sunnah Nabi, membiarkan hidupnya Bid’ah dan merajalelanya kezaliman, mungkin saat ini Islam hanya tinggal namanya saja.





Keutamaan Menangisi Imam Husain di Dalam Kitab Sunni





Kalau kita berbicara tentang keutamaan menangis untuk Imam Husain menurut kacamata Syiah, tentu sangatlah banyak jumlahnya. Karenanya—berdasarkan riwayat tersebut—tradisi menangisi cucu nabi itu masih lestari hingga kini di tengah mereka. Tentu, hal itu juga karena fitrah manusia, yang cenderung bersedih saat ada hal-hal duka.



Selain itu, tak sedikit orang yang bertanya-tanya, tentang ada atau tidaknya anjuran dan faidah menangis untuk Imam Husain di dalam mazhab Sunni. Tulisan kali ini, penulis hendak memperlihatkan ke pembaca tentang keutamaan menangisi Imam Husain yang termaktub di dalam kitab Sunni.



Imam Ahmad bin Hanbal, ulama kenamaan Sunni, di dalam kitabnya, Fadzail As-Shahabah membeberkan tentang keutamaan menangis untuk Imam Husain. Untuk lebih jelas, berikut adalah redaksi riwayat yang tertulis di dalam kitab tersebut.



حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْرَائِيلَ، قَالَ: رَأَيْتُ فِي كِتَابِ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ بِخَطِّ يَدِهِ، نا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قثنا الرَّبِيعُ بْنُ مُنْذِرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، يَقُولُ: ” مَنْ دَمَعَتَا عَيْنَاهُ فِينَا دَمْعَةً، أَوْ قَطَرَتْ عَيْنَاهُ فِينَا قَطْرَةً، أَثْوَاهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ .



Telah mengabarkan kepada kami, Ahmad bin Israil, bahwa ia berkata, “Aku melihat di dalam kitab Ahmad bin Hanbal (semoga Allah merahmatinya) dengan goresan tangannya sendiri.”



Telah mengabarkan kepada kami, Aswad bin Amir Abdi Rahman, Qasna Rabi’ bin Mundzir, dari ayahnya, ia berkata, “Husain bin Ali pernah berkata, ‘Sesiapa yang matanya menangis untuk (perkara) kami, atau setetes air matanya menetes untuk kami, maka Allah akan menganugerahinya surga.’”[27]



Menurut pengakuan para ulama, bahwa sanad riwayat barusan memiliki keabsahan yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal. Ditambah lagi, Ahmad bin Israil adalah sosok pribadi yang terpercaya. Sehingga, boleh dikata, riwayat di atas dapat dipertanggungjawabkan ke-sahih-annya.

Dengan membaca riwayat di atas, akan lebih memantapkan hati kita untuk menangisi Imam Husain. Di sini lain, riwayat tersebut juga hendak menegaskan, bahwa riwayat yang beredar tentang surga sebagai pahala bagi mereka yang menangisi Imam Husain bukanlah riwayat yang diadakan-adakan di dalam literatur Syiah, melainkan benar adanya, sampai-sampai tertulis di dalam kitab Sunni.





Ibnul Jauzi: Imam Husein Bergerak Demi Hidupkan Kembali Syariat





Karbala merupakan sebuah tempat, namun namanya kini telah identik dengan tragedi besar pembantaian cucu nabi Muhammad saw di tanah tersebut. Ialah imam Husein as, tokoh besar yang menjadi titik pusat dari semua peristiwa yang berkaitan dan terjadi pada 10 Muharram 61 H di sana.



Semenjak jatuhnya kekuasaan di tangan Yazid bin Muawiyah yang sudah terkenal pada masa itu dengan segala keburukan sifat dan kebobrokan moralnya, imam Husein as memilih untuk tidak berbaiat padanya dan melakukan perjalanan menuju Mekah kemudian Kufah dengan membawa keluarga serta para sahabatnya. Namun sayangnya dalam perjalanannya ke Kufah beliau dihadang oleh pasukan Ibnu Ziyad dan terjadilah apa yang saat ini dikenang sebagai peristiwa Asyura.



Semua ini tentunya telah banyak kami ulas dalam postingan-postingan yang lalu, sehingga apabila ingin mengenal lebih jauh terkait hal ini bisa anda baca pada tulisan-tulisan kami sebelumnya.



Dari ulasan di atas terdapat poin penting yang perlu kita ketahui bersama, yaitu perihal alasan yang mendorong sosok seperti imam Husein as memilih untuk bangkit menemui masyarakat dan enggan memberikan baiatnya kepada sosok yazid.



Dalam postingan ini, sebetulnya sudah cukup sebagai jawaban yang mewakili untuk menjabarkan alasan dari ikhtiyar yang diambil oleh imam Husein as, namun tidak ada salahnya apabila kita melihat referensi yang lain, sebagai penguat dalam masalah ini, misalnya adalah catatan Ibnul Jauzi terkait hal tersebut. Sebagai berikut:



إِنَّمَا رَحَلَ الْحُسَیْنُ إِلَى الْقَوْمِ لأَنَّهُ رَأَى الشَّرِیعَةَ قَدْ رُفِضَتْ، فَجَدَّ فِی رَفْعِ قَوَاعِدِ أَصْلِهَا الْجَدُّ [صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ] ، فَلَمَّا حَضَرُوهُ حَصَرُوهُ فَقَالَ: دَعُونِی أَرْجِعُ. فَقَالُوا: لا، انْزِلْ عَلَى حُکْمِ ابْنِ زِیَادٍ. فَاخْتَارَ الْقَتْلَ عَلَى الذُّلِّ، وَهَکَذَا النُّفُوسُ الأَبِیَّةُ



Sesungguhnya Husein berangkat menuju kaum hanyalah disebabkan ia melihat syariat telah ditinggalkan lantas ia berupaya untuk mengangkat kembali pondasi-pondasi syariat kakeknya saw, namun ketika mereka menemuinya, mereka mengepungnya. Lalu ia berkata: “Biarkan aku sehingga aku bisa kembali.” Mereka mejawab: “Tidak, terimalah putusan dari Ibnu Ziyad.” Kemudian ia (Husein) memilih terbunuh daripada kehinaan, dan seperti itulah jiwa-jiwa yang terhormat.[28]



Dari catatan di atas, Ibnul Jauzi menganggap bahwa alasan pergerakan imam Husein as adalah demi menegakkan kembali pondasi-pondasi syariat nabi Muhammad saw yang sudah dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakat Islam pada masa itu. Dan memang seperti itulah kondisi pada saat itu. Apabila kita merujuk pada literatur yang ada, akan kita dapati bagaimana sebetulnya kondisi masyarakat yang ada, serta seperti apakah sosok Yazid bin Muawiyah.



Jika demikian adanya, tentu tujuan imam Husein as ini bukanlah urusan yang enteng melainkan hal utama yang harus dikerjakan. Sebab Islam atau syariat itu sendiri merupakan kebutuhan utama manusia sepanjang masa dalam meraih tujuan penciptaanya, yang mana tanpa itu maka mustahil bagi manusia untuk menggapai tujuannya tersebut.





Tujuan Pergerakan Imam Husain AS dalam Catatan Abu al-Hasan al-Asyari dan Ibn Atsir





Salah satu pembahasan yang perlu dikaji dalam melihat pergerakan yang dilakukan oleh imam Husain AS adalah tujuan dari pergerakan itu sendiri.



Karena tujuan yang ingin digapai akan menentukan nilai dari sebuah tindakan disamping cara yang dijalankan dalam meraih tujuan tersebut. Jika tujuan dan cara yang yang digunakan baik dan benar maka tindakan tersebut benar namun jika sebaliknya maka tindakan tersebut salah.



Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan beberapa pernyataan para ulama yang memuat tentang tujuan dari pergerakan yang dilakukan oleh imam Husain AS. Dan pada tulisan ini akan disebutkan catatan lainnya yang juga menungkap tujuan dan falsafah pergerakan imam Husain AS.



Di dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin karya Abu al-Hasan al-Asyari disebutkan:



Husain bin Ali bin Abi Thalib keluar menentang Yazid atas kezaliman yang dipertontonkannya, lalu ia (Husain) terbunuh di Karbala.[29]



Catatan ini mengungkap bahwa salah satu dari tujuan pergerakan imam Husain adalah memerangi dan menentang kezaliman yang sudah merajalela.



Di dalam kitab al-Kamil Fi al-Tarikh juga disebutkan tujuan yang melatar belakangi pergerakan Imam Husain dimana hal itu diungkap langsung oleh Imam Husain melalui khutbahnya:



Kemudian Husain berkhutbah dihadapan mereka seraya memuji dan memuja Allah: wahai sekalian manusia sesungguhnya Rasulullah SAWW bersabda: barang siapa yang melihat penguasa zalim; menghalalkan yang diharamkan Allah, tidak menepati janji Allah, menyalahi sunnah Rasulullah dan melakukan dosa serta permusuhan terhadap hamba-hamba Allah SWT, lalu ia tidak berusaha melakukan perubahan baik berupa tindakan maupun perkataan maka Allah berhak memasukkkannya ke tempatnya yang pantas baginya (neraka). Ingatlah mereka selalu mematuhi setan dan enggan mematuhi tuhan, melakukan kerusakan, tidak mengamalkan hukum-hukum Allah, mengkhususkan Faik untuk mereka, menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkanNya. Sementara aku lebih berhak dari orang lain atas hal itu (melakukan perubahan).[30]



perubahan atas berbagai sikap Yazid dan antek-anteknya merupakan tujuan pergerakan imam Husai AS yang disebutkan dalam literatur di atas. Dan tindakan ini juga dilandasi oleh perkataan Rasulullah sebagaimana di sebutkan oleh beliau di dalam khutbah tersebut.



Berbagai perilaku salah yang dilakukan oleh Yazid dan Syiah ali Abu Sofyan saat itu perlu diluruskan supaya ajaran Islam kembali kepada alur yang benar.



Karena membiarkan hal itu dapat menggiring masyarakat pada anggapan bahwa ajaran Islam adalah apa yang dilakukan oleh Yazid dan para pengikutnya. Hal ini mengingat bahwa Yazid sedang berbicara dan bertindak sebagai khalifah kaum muslimin. Yang tentu saja oleh sebagian orang tindakannya dapat dianggap sebagai representasi tindakan Islam.




Daftar Isi:

Imam Husein as dalam Kitab-kitab Sejarah1


Bagian 31


Apakah Benar Yazid Menyesal dan Menangisi Kesyahidan Imam Husain?2


Dalam hal ini Muruj al-Zahab mengungkapkan:5


Melukai Diri menurut Pandangan Syahid Shadr6


Kepala Imam Husain Dibawa dan Dikirim ke Kufah12


Melukai Diri menurut Pandangan Sayyid Abul Hasan Ishfahani14


Melukai Diri menurut Pandangan Sayyid Khu’i16


Melukai Diri atau Tathbir Menurut Pandangan Sayid Ali Khamenei18


Melukai Diri Atau Tathbir Dalam Pandangan Ayatullah Fadhil Lankarani21


Melukai Diri atau Tathbir Dalam Pandangan Ayatullah Husain Mazahiri24


Melukai Diri atau Tathbir Pandangan Ayatullah Sayyid Muhammad Ali Alawi Gurgani26


Filosofi Menangis untuk Imam Husain28


Mengenang Musibah Imam Husein AS oleh Ibnul Jauzi31


Mereka yang Menangis untuk Imam Husain35


Aisyah dan Tradisi Menepuk Dada38


Imam Suyuthi: Hati Manusia Tak Kuasa Mengingat Kisah Karbala40


Filosofi Menangis untuk Imam Husain (Bag. 2)43


Apakah Pelarangan Menangis Untuk Imam Husain Terinspirasi Dari Ibn Ziyad dan Kelompoknya?47


Tujuan Revolusi Imam Husain as di Karbala49


Amar Ma’ruf Nahi Munkar50


Menghidupkan Sunnah dan Melawan Bid’ah51


Melawan Kezaliman52


Keutamaan Menangisi Imam Husain di Dalam Kitab Sunni53


Ibnul Jauzi: Imam Husein Bergerak Demi Hidupkan Kembali Syariat55


Tujuan Pergerakan Imam Husain AS dalam Catatan Abu al-Hasan al-Asyari dan Ibn Atsir58



[1] Sibt ibn Jauzi, Yusuf bin Farghali, Tazkirah al-Khawash, hal: 260-261, cet: Nainawa al-Haditsah.

[2] Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Thabari, jil: 3, hal: 339, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut.

[3] Sibt ibn Jauzi, Yusuf bin Farghali, Tazkirah al-Khawash, hal: 271, cet: Nainawa al-Haditsah.

[4] Mas’udi, Ali bin Husain,Muruj al-Zahab, jil: 2, hal: 318, cet: Mansyurat Wizarat al-Tsaqafah, Damaskus.

[5] Kullul Hulul Inda Aali-Rasul, Syekh Tijani Al-Samawi, hal. 150, penerbit: Darul Mujtaba, Beirut-Lebanon.

[6] As-Sirah An-Nabawiyah Wa Akhbarul Khulafa, hal: 330.

[7] Ibid.

[8] As-Sirah An-Nabawiyah Wa Akhbarul Khulafa, hal: 331.

[9] Ansab Al-Asyraf Juz 3 Hal. 411 Cet. Darul Fikr

[10] At-Thabaqat Al-Kubra Juz 1 Hal. 483 Cet. Maktabah As-Shiddiq

[11] Al-Amin, Sayyid Muhsin, al-’Yan al-Syiah, jil: 10, hal: 378, cet: Dar al-Taaruf Li al-Mathbuat, Beirut.

[12] Al-Masa’il Al-Syariah, Sayyid Abul Qasim al-Musawi al-Khu’I, hal 339, juz 1. Penerbit Daru-Zahra, Beirut-Lebanon.

[13] Jamiul Masail, jil: 1, hal: 580-581.

[14] Manaqib Aali bin Abi Thalib, jil. 3, hal. 212

[15] Al-Tabsharah, jil: 2, hal: 16-17, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut.

[16] Sibt Ibn Jauzi, Abdurrahman, Tazkirat al-Khawash, hal: 267-268, cet: Maktabah Nainawa al-Haditsah, Tehran.

[17] Tirmizi, Muhammad bin Isa, al-Jami’ alShahih, jil: 5, hal: 657, cet: Mushtafa, 1978 M.

[18] Musnad Abi Ya’la Al-Maushali Juz 8 Hal. 63 Cet. Darul Ma’mun Litturast – Beirut

[19] Lisanul Arab Juz 12 Hal. 265 Cet. Daru Ihya At-Turast Al Arabi – Beirut

[20] Tarikhul Khulafa, hal: 165-166, Darul Ibnu Hazm.

[21] Masyaikhah Ibnu Thamhan, Ibrahim Thamhan, hal. 55. Cetakan Damaskus. 1983 M/1403 M.

[22] Ad-Durul Mantsur, Imam Suyhuti. jil 4, hal. 31.

[23] Sibt Ibn Jauzi, Abdurrahman, Tazkirat al-Khawash, hal: 257, cet: Maktabah Nainawa al-Haditsah, Tehran.

[24] Kitabul Futuh Juz 5 Hal. 21 Cet. Darul Adhwa

[25] Tarikh At-Thabari Juz 5 Hal. 357 Cet. Rawai’ At-Turats Al-Arabi

[26] Al-Mu’jam Al-Kabir Juz 3 Hal. 115

[27] Fadzail As-Shahabah, Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah As-Syaibani, juz 2, hal. 840-841. Penerbit: Dar Ibn Jauzy, Riyadh, cetakan kedua 1420 H/1999 M.

[28] At-Tabsharah, jil: 2, hal: 13, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.

[29] Al-Asyari, Abu al-Hasan Ali bin Ismail, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilat al-Mushallin, jil: 1, hal: 141, cet: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriah, pertama, 1950 M.

[30] Ibn Atsir, Abu al-Hasan Hasan bin Abu al-Karam, al-Kamil Fi al-Tarikh, jil: 3, hal: 408 , cet: Dar al-Kutub al-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...