ilustrasi hiasan:
a. Biografi Singkat Imam Ali Al-Hadi a.s.
b. Pemberontakan-pemberontakan yang dipelopori oleh keturunan Ali a.s.
c. Sikap Imam Hadi a.s. dalam Menghadapi Kaum Ghulat
IMAM ALI AL-HADI ALAIHIS SALAM
a. Biografi Singkat Imam Ali Al-Hadi a.s.
Imam Ali An-Naqi a.s. yang juga dijuluki dengan Al-Hadi adalah putra Imam Jawad a.s. Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Dzul Hijjah 212 H. Ibunya bernama Samanah yang lebih dikenal dengan sebutan Sayyidah.
Setelah ayahnya syahid, Imam Hadi a.s. hidup dalam suasana yang penuh kekangan yang diwujudkan oleh Mutawakil Al-Abasi. Dengan mengadakan penyerangan dan penghancuran terhadap kuburan Imam Husein a.s., para pengikut Syi'ah hidup lebih terkekang dan merasa ketakutan dari pada masa-masa sebelumnya. Ia dengan tujuan ingin mengasingkan Imam Hadi a.s. dari mereka dan dapat mengontrolnya dengan seksama., memerintahkan untuk memindahkan Imam a.s. ke Samirra`.
Mutawakil pernah memerintahkan Yahya bin Hurtsumah, salah seorang komandan pasukannya untuk menggeledah rumah Imam Hadi a.s. barangkali dapat ditemukan bukti-bukti atas usahanya mengadakan perlawanan terhadap pemerintah yang dapat dijadikan tuduhan untuk menjatuhkan hukum terhadapnya.
"Telah kugeledah rumah Imam Hadi dan aku tidak menemukan di dalamnya kecuali Al Quran, kitab-kitab doa dan ilmu pengetahuan", cerita Yahya bin Hurtsumah.
Dengan situasi yang sangat mengekang tersebut, Imam Hadi a.s. masih sempat untuk memperkuat benteng pertahanan di dalam diri masyarakat sehingga mereka dapat menghadapi situasi dengan tegar dan pantang menyerah. Khumus, zakat dan pajak-pajak yang diserahkan oleh para pengikutnya masih tetap sampai ke tangan Imam a.s., baik secara diam-diam maupun terang-terangan guna disalurkan demi kepentingan pergerakan melawan pemerintah sehingga perlawanan tersebut tetap hidup bernyawa.
Ia syahid pada tahun 254 H. di usianya yang ke-42 tahun. Ia diracun oleh mu'tazz, salah seorang khalifah dinasti Abasiyah yang dilakukan langsung oleh Mu'tamid Al-Abasi.
b. Pemberontakan-pemberontakan yang dipelopori oleh keturunan Ali a.s.
Salah satu kekhawatiran yang menghantui para penguasa dinasti Bani Abasiyah yang lalim saat itu adalah pemberontakan-pemberontakan yang dipelopori oleh keluarga Ali a.s. Mereka menghadapi pemberontakan-pemberontakan tersebut dengan serius dan tegas sehingga ia tidak sempat berkembang dengan pesat. Ketika berhasil menangkap para pemberontak, mereka langsung disiksa dengan siksaan yang sangat amoral dan tidak perikemanusiaan. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa mulai melemah akibat permainan politik yang telah mereka lakukan selama ini. Demi mencegah meluasnya pemberontakan-pemberontakan yang muncul, mereka terpaksa harus menggunakan cara-cara di atas.
c. Sikap Imam Hadi a.s. dalam Menghadapi Kaum Ghulat
Dalam menghadapi kaum Ghulat yang menjadikan para imam a.s. sebagai Tuhan, mereka memiliki satu sikap yang jelas dan tegas. Imam Hadi a.s. pernah berkata: "Kekufuran berdiri di atas empat tonggak penyangga: kefasikan, ghuluw (sikap berlebih-lebihan dalam mencintai Ahlul Bayt a.s.--pen.), keraguan dan selalu menyimpan syubhah (baca : menciptakan kritik-kritik tak logis dengan tujuan untuk mempertanyakan keabsahan agama--pen.)". Mereka selalu berusaha memahamkan kepada umat bahwa diri mereka tidak memiliki hubungan apa pun dengan para pemimpin Ghulat. Mereka adalah pembohong besar. Mereka berani membuat hadis-hadis palsu dan mengatasnamakan para imam a.s.
Membuat hadis-hadis palsu dengan mengatasnamakan para imam a.s. --dari satu sisi-- dapat merekrut pengikut bagi mereka dan --dari sisi lain-- dapat membantu mereka dalam merusak syari'at. Demi mementahkan propaganda mereka ini, para imam a.s. selalu menjelaskan sikap mereka yang tegas berkenaan dengan mereka dan mengenalkan hadis-hadis yang telah mereka rekayasa kepada masyarakat umum.
Sikap Imam Shadiq a.s. yang tegas ini telah berhasil memadamkan pergerakan kaum Ghulat. Akan tetapi, pada masa Imam Hadi a.s. --karena melihat kesempatan yang baik-- mereka mulai muncul kembali untuk mempropagandakan keyakinan-keyakinan mereka.
Di antara pemimpin-pemimpin kaum Ghulat yang pernah dilaknat oleh Imam Hadi a.s. adalah Hasan bin Muhammad yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Baba dan Muhammad bin Nushair bin Hatim Al-Qazwini. Muhammad bin Nushair mempercayai tanaasukh (keyakinan bahwa ruh para imam a.s. --setelah mereka meninggal dunia-- akan berpindah kepada manusia yang masih hidup--pen.) para imam a.s. dan menganggap dirinya sebagai utusan Imam Hadi a.s. Di samping itu, ia juga berani menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh syari'at.
Pada kesempatan ini kami haturkan kepada para pembaca budiman hadis-hadis pilihan yang pernah diucapkan oleh Imam Hadi a.s. selama ia berada di kehidupan dunia ini.
1. Tempat-tempat terkabulnya doa
"Sesungguhnya Allah memiliki tempat-tempat yang Ia sangat suka jika hamba-hamba-Nya berdoa di situ, kemudian Ia akan mengabulkannya. Di antaranya kuburan Imam Husein a.s.".
2. Takut kepada Allah
"Orang yang takut kepada Allah akan disegani (oleh orang lain), orang yang menaati Allah, ia akan ditaati, orang yang menaati Sang Pencipta, ia tidak akan peduli dengan murka makhluk dan orang yang memurkakan Sang Pencipta, ia akan dimurkai oleh makhluk".
3. Taatilah orang yang memikirkan kebaikanmu!
"Taatilah orang yang (rela) memfokuskan kecintaan dan pendapatnya (untuk kepentinganmu)".
4. Yang memiliki peran absolut adalah Allah, bukan masa
"Jangan melampaui batas dan jangan menganggap masa memiliki peran dalam hukum Allah".
5. Akibat tidak memperdulikan makar Allah
"Barang siapa yang merasa aman dari makar Allah dan kepedihan siksaan-Nya, ia akan sombong sehingga maut datang menjemputnya, dan barang siapa yang tegar dalam menyembah Allah, maka seluruh musibah dunia akan ringan dalam pandangannya meskipun ia dipotong-potong dan digergaji".
6. Taqiyah
"Jika engkau berpendapat bahwa orang yang meninggalkan taqiyah seperti orang yang meninggalkan shalat, maka pendapatmu adalah benar".
7. Akibat bersyukur
"Orang yang bersyukur lebih berbahagia disebabkan oleh rasa syukurnya dari pada nikmat yang menyebabkannya bersyukur, karena nikmat itu adalah harta dunia dan rasa bersyukur adalah nikmat dunia dan akhirat".
8. Dunia adalah tempat ujian
"Sesungguhnya Allah menjadikan dunia sebagai tempat ujian dan akhirat tempat kembali. Ia menjadikan ujian dunia sebagai sebab untuk mendapatkan pahala di akhirat dan pahala akhirat sebagai harga bagi ujian di dunia".
9. Orang lalim yang penyabar
"Sesungguhnya orang lalim yang penyabar sangat mungkin untuk dimaafkan karena kesabarannya, dan orang yang benar, akan tetapi tolol, sangat mungkin cahaya kebenarannya terpadamkan karena ketololannya".
10. Orang yang tidak memiliki harga diri
"Orang yang menganggap dirinya hina, janganlah engkau merasa aman dari kejahatannya".
11. Dunia adalah tempat keberuntungan dan kerugian
"Dunia adalah pasar, sebagian orang mendapatkan untung dan sebagian yang lain mengalami kerugian".
12. Dengki dan egoisme
"Rasa dengki adalah pembasmi kebajikan, bohong adalah penimbul permusuhan, kesombongan adalah pencegah (seseorang) untuk mencari ilmu, penyebab kehinaan dan kebodohan, kikir adalah akhlak yang paling tercela dan rakus adalah karakter yang buruk".
13. Menjauhi sifat penjilat
Imam Hadi a.s. berkata kepada seseorang yang telah memujinya dengan berlebihan: "Hentikanlah pekerjaan ini, karena sifat penjilat akan mendatangkan buruk sangka. Jika engkau sudah tidak percaya lagi kepada orang lain, janganlah terlalu memujinya dan tunjukkanlah niat baikmu".
14. Tempat berbaik dan berburuk sangka
"Jika keadilan pada suatu masa lebih dominan dari pada kezaliman, maka diharamkan untuk berburuk sangka terhadap seseorang kecuali jika kita tahu tentang kezalimannya. Dan jika kezaliman pada suatu masa lebih dominan dari pada keadilan, maka tidak berhak bagi kita untuk berbaik sangka terhadap seseorang selama kita tidak mengetahui kebaikan darinya".
15. Lebih baik dari kebajikan dan lebih indah dari keindahan
"Lebih baik dari kebajikan, orang yang mengerjakannya, lebih indah dari keindahan, orang yang mengucapkannya, lebih utama dari ilmu, orang yang memilikinya, lebih buruk dari keburukan, orang yang melakukannya dan lebih menakutkan dari hal-hal yang menakutkan, orang mewujudkannya".
16. Mengharap tidak pada tempatnya
"Jangan mengharapkan keakraban dari orang yang engkau marah terhadapnya, kesetiaan dari orang yang kau khianati, dan nasihat dari orang yang engkau berburuk sangka kepadanya. Sesungguhnya (harapan) hati orang lain (terhadapmu) seperti (harapan) hatimu (terhadapnya)".
17. Mempergunakan nikmat sebaik-baiknya
"Tampakkanlah nikmat (kepada orang lain) dengan mempergunakannya sebaik-baiknya dan mintalah tambahan nikmat dengan cara mensyukurinya. Ketahuilah bahwa jiwa manusia akan lunak di hadapan anugerah yang kau berikan kepadanya dan penasaran jika engkau mencegahnya dari sesuatu yang ingin diketahuinya".
18. Murka terhadap bawahan
"Kemurkaan terhadap bawahan adalah sebuah kehinaan".
19. Pendurhaka terhadap orang tua
"Durhaka terhadap orang tua adalah musibah bagi orang yang belum pernah melihat musibah".
20. Pengaruh silaturahmi
"Kadang-kadang umur seseorang sudah tinggal tiga puluh tahun lagi kemudian ia melakukan silaturahmi. Maka Allah akan menambahnya sehingga menjadi tiga puluh tiga tahun. Dan kadang-kadang umurnya tinggal tiga puluh tiga tahun kemudian ia memutus tali silaturahminya. Maka Ia akan menguranginya menjadi tiga tahun".
21. Akibat durhaka terhadap orang tua
"Durhaka terhadap orang tua akan mempersedikit rezeki dan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kehinaan".
22. Tidak sanggup menanggung musibah
"Musibah bagi orang yang sabar adalah satu dan bagi orang tidak sabar adalah dua".
1. Yang selalu bersama manusia di dunia dan akhirat
"Manusia di dunia akan bersama dengan hartanya dan di akhirat akan bersama amalnya".
2. Bergurau yang melampaui batas
"Bergurau adalah hiburan orang-orang tolol dan pekerjaan orang-orang bodoh".
3. Waktu menghembuskan nafas terakhir
"Ingatkanlah kepada keluargamu ketika engkau hendak menghembuskan nafas terakhir yang tidak ada satu dokter pun mampu menghalangi (kepergianmu) dan tidak satu pun kekasih yang dapat menolongmu".
4. Hasil berdebat
"Berdebat dapat menguraikan tali persahabatan yang sudah kuat. Minimalnya, di dalam berdebat terdapat rasa ingin menang, dan rasa ingin menang adalah faktor utama perpisahan".
5. Kalbu yang rusak
"Hikmah tidak akan dapat berpengaruh terhadap kalbu-kalbu yang rusak".
6. Merasakan lebih nikmat
"Bangun malam akan menambah kenyenyakan tidur dan rasa lapar akan menambah kelezatan aroma makanan".
7. Para tawanan lidahnya
"Orang yang menaiki kuda liar (syahwat), ia akan menjadi tawanan hawa nafsunya dan orang yang bodoh akan menjadi tawanan lidahnya".
8. Mengambil keputusan
"Gantilah penyesalanmu karena teledor dalam mengerjakan sebuah pekerjaan (tepat pada waktunya) dengan cara mengambil keputusan yang pasti".
9. Mencela dan kedengkian
"Mencela adalah kunci segala musibah yang berat, dan (bagaimana pun) mencela masih lebih baik dari pada sifat iri dengki".
10. Takdir Ilahi
"Takdir Ilahi akan menampakkan kepadamu segala yang tidak pernah kau pikirkan".
11. Rela dengan keadaan
"Orang yang selalu menjunjung dirinya, akan banyak orang yang membencinya".
12. Kefakiran
"Kefakiran adalah faktor ketamakan jiwa dan penyebab keputusasaan".
13. Jalan menjadi hamba Allah
"Jika orang-orang berjalan di jalan-jalan yang beraneka ragam, aku akan berjalan di sebuah jalan yang dilalui oleh orang yang menyembah Allah dengan penuh ikhlas".
14. Pengaruh makan daging
"Barang siapa yang tidak pernah memakan daging selama empat puluh hari, maka akhlaknya akan menjadi jelek, dan barang siapa yang memakan daging selama empat puluh hari, maka akhlaknya juga akan menjadi jelek".
15. Keesaan Allah
"Allah akan selalu Esa tidak ada sesuatu pun yang akan bersamanya. Kemudian Ia menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan memilih nama-nama terbaik bagi diri-Nya".
16. Rendah hati
"Rendah hati adalah hendaknya engkau memberikan kepada orang lain sesuatu yang engkau suka untuk menerimanya".
Hari Lahir
Imam Ali Al-Hadi as dilahirkan pada 15 Dzulhijjah 212 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah. Beliau adalah Imam kesepuluh dari silsilah imam Ahlulbait as.
Ayah beliau ialah Imam Muhammad Al-Jawad as, dan ibu beliau berasal dari Maroko bernama Samanah; seorang wanita yang mulia dan bertakwa.
Ketika sang ayah syahid akibat diracun, Imam Al-Hadi as baru berusia 8 tahun. Pada usia yang masih sangat dini itu pula beliau memegang amanat Imamah (kepemimpinan Ilahi atas umat manusia).
Orang-orang memanggil Imam as dengan berbagai julukan, antara lain Al-Murtadha, Al-Hadi, An-Naqi, Al-’Alim, Al-Faqih, Al-Mu’taman, At-Thayyib. Yang paling masyhur di antara semua julukan itu adalah Al-Hadi dan An-Naqi.
Akhlak Luhur Imam
Imam Ali Al-Hadi as senantiasa menjalani kehidupannya dengan zuhud dan ibadah kepada Allah SWT. Di dalam sebuah kamar yang hanya dihiasai oleh selembar tikar kecil, beliau menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an dan merenungkan maknanya.
Beliau menyambut orang-orang begitu ramah, berbelas kasih kepada orang-orang fakir, dan membantu orang-orang yang membutuhkannya.
Suatu hari, Khalifah Al-Mutawakkil mengirimkan uang sebesar 1.000 Dinar kepada beliau. Beliau membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin.
Pada kesempatan lain, Al-Mutawakil jatuh sakit sehingga para dokter pribadi khalifah kebingungan bagaimana mengobatinya. Lalu, ibu Al-mutawakil mengutus menterinya ,Al-Fath bin Khaqan untuk menemui Imam Ali as. Beliau segera memberinya obat yang reaksinya sangat cepat sekali, sehingga para dokter khalifah itu tercengang melihatnya.
Atas kesembuhan putranya, ibu khalifah mengirimkan uang sebesar 1.000 Dinar sebagai hadiah kepada Imam as, dan beliau pun membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang yang membutuhkannya.
Kisah Batu Cincin
Yunus An-Naqasi masuk datang ke rumah Imam Ali Al-Hadi as. Dalam keadaan gemetar ketakutan, ia berkata kepada beliau, “Wahai tuanku, seseorang dari istana telah datang kepadaku dengan membawa sepotong batu Firuz yang sangat berharga sekali. Ia memintaku untuk mengukirnya. Namun, ketika aku sedang melakukannya, batu tersebut terbelah jadi dua, padahal besok siang aku harus mengembalikannya. Bila dia tahu akan hal itu, pasti dia akan marah padaku.”
Imam as menenangkannya dan berkata, “Jangan kuatir! Tidak akan ada keburukan yang akan menimpamu. Bahkan, dengan izin Allah SWT engkau akan mendapatkan kebaikan darinya.”
Pada hari berikutnya, ajudan Khalifah datang dan berkata, “Sungguh aku telah mengubah pandanganku. Kalau sekiranya kamu bisa memotongnya menjadi dua, aku akan menambah upahmu!”
Pengukir tersebut berpura-pura berpikir padahal hatinya sangat bergembira. Kemudian berkata, “Baiklah, akan aku coba pesananmu itu!”
Akhirnya, pengawal Khalifah berterima kasih pada pengukir tersebut. Dari sana, pengukir itu bergegas menemui Imam Ali as untuk menumpahkan rasa terima kasih kepadanya. Dalam keadaan itu, Imam as berkata kepadanya, “Sungguh aku telah berdoa kepada Allah, semoga Dia memperlihatkan kebaikan khalifah kepadamu dan melindungimu dari kejahatannya.”
Al-Mutawakkil
Setelah Khalifah Al-Mu’tashim meninggal, kedudukannya digantikan oleh khalifah Al-Watsiq yang masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun 6 bulan. Setelah itu, pemerintahan jatuh ke tangan Al-Mutawakkil.
Pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil, kerusakan dan kezaliman telah mewabah di mana-mana. Pengaruh orang-orang Turki dalam kekhalifahan sangat kuat dan luas sekali, sehingga mereka menjadi pengendali jalannya roda pemerintahan dan khalifah Al-Mutawakkil pun menjadi alat permainan mereka.
Saat itu, kebencian Al-Mutawakkil terhadap Ahlulbait Nabi as dan Syi’ahnya begitu besar. Ia memerintahkan agar membuat sungai di atas makam Imam Husain as dan melarang kaum muslimin untuk menziarahi makamnya. Bahkan, ia telah membunuh banyak peziarah, sampai digambarkan dalam sebuah syair:
Demi Allah, bila Bani Umayyah telah melakukan pembunuhan
terhadap putra dan putri Nabinya secara teraniaya,
kini keluarga saudara ayahnya (Bani Abbas) melakukan hal yang sama.
Maka esok lusa demi Allah ia akan menghancurkan kuburnya.
Mereka menyesal bila seandainya saja tidak ikut serta membunuhnya.
Tak segan lagi, Al-Mutawakkil melakukan pengawasan yang ketat terhadap Imam Ali Al-Hadi as di Madinah. Mata-mata khalifah senantiasa mengintai setiap langkah Imam as, lalu melaporkan padanya setiap gerak dan pembicaraanya.
Al-Mutawakkil merasa kuatir sekali setelah tahu kepribadian dan kedudukan Imam as di tengah-tengah masyarakat. Mereka begitu menghormati dan mencintainya, karena beliau berbuat baik kepada mereka dan menghabiskan sebagian besar waktunya di masjid.
Al-Mutawakkil mengirim Yahya bin Harsamah sebagai utusan khusus untuk menghadirkan Imam Ali as. Segera ia memasuki kota Madinah. Sementara itu, berita tentang rencana jahat Al-Mutawakkil telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, hingga orang-orang berkumpul di seputar tempat tinggal utusan khusus itu, sebagai bentuk kepedulian dan kekuatiran mereka atas apa yang akan terjadi pada diri Imam as.
Dalam pengkuannya, Yahya bin Harsamah mengatakan, “Aku sudah berupaya menenangkan mereka, dan bersumpah di hadapan mereka bahwa aku tidak diperintah untuk menyakitinya.”
Al-Mutawakkil senantiasa berpikir bagaimana cara menurunkan kedudukan tinggi Imam as di tengah masyarakat. Maka, sebagian penasehatnya mengusulkan untuk menebarkan berita-berita bohong yang dapat menjatuhkan kehormatan beliau, melalui saudaranya, Musa yang terkenal dengan perilakunya yang buruk.
Usulan tersebut disambut senang oleh Al-Mutawakkil. Segera ia memanggil Musa. Imam Ali as sendiri pernah memperingatkan saudaranya itu dengan ucapan, “Sesungguhnya khalifah menghadirkanmu untuk menghancurkan nama baikmu dan menyodorkan uang yang dapat menguasaimu. Maka, takutlah kepada Allah, wahai saudaraku dan jannganlah melakukan hal-hal yang diharamkan-Nya!”
Musa tidak mau menghiraukan nasehat Imam as. Ia bertekad bulat untuk melakukannya, dan ternyata Al-mutawakkil justru merendahkannya. Sejak saat itu pula Khalifah itu tidak menyambut Musa lagi.
Kalimat Hak di Hadapan Orang Zalim
Ibnu Sikkit adalah salah seorang ulama besar. Abul Abbas Al-Mubarrad pernah memberikan kesaksian, “Aku tidak pernah melihat buku karya tulis orang-orang Baghdad yang lebih baik dari buku Ibnu Sikkit tentang Logika.”
Al-Mutawakkil meminta kepada Ibnu Sikkit untuk mengajar kedua anaknya; Al-Mu’taz dan Al-Mu’ayyad.
Suatu hari, Al-Mutawakkil bertanya kepada Ibnu Sikkit, “Mana yang paling kau cintai, kedua anakku ini ataukah Hasan dan Husain?”
Ibnu Sikkit menjawab dengan penuh kebencian, “Demi Allah, sesungguhnya pembantu Imam Ali bin Abi Thalib lebih baik dari pada kamu dan kedua anakmu itu!”
Mendengar jawaban Ibnu Sikkit tersebut, Al-Mutawakkil terperanjat dan begitu berang. Segera ia memerintahkan algojo Turki untuk mencabut lidahnya sampai mati. Demikianlah, Ibnu Sikkit pun pergi ke hadapan Allah SWT dan menemui kesyahidan.
Rasulullah saw telah bersabda, “Penghulu para syahid adalah Hamzah dan seorang yang mengatakan kalimat hak di depan penguasa yang zalim.”
Politik Al-Mutawakkil
Al-Mutawakkil telah menghambur-hamburkan kekayaan umat Islam. Hidupnya dipenuhi dengan foya-foya, serbamewah, dan sombong. Umurnya ia habiskan untuk bermabuk-mabukan dan berpesta pora dengan menghamburkan milyaran uang.
Sementara itu, betapa banyak orang yang hidup dalam kesusahan dan kefakiran, apalagi golongan Alawi (keluarga dan pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as) yang senantiasa menjalani hidup mereka dalam kefakiran yang mencekam. Belum lagi hak-hak mereka dirampas, sampai hal-hal yang sangat tidak bernilai dalam kehidupan mereka.
Imam Ali Al-Hadi as bersama putranya dipanggil ke kota Samara. Kemudian mereka diturunkan di sebuah kemah yang di sana sudah berbaris pasukan Al-Mutawakkil. Itu dilakukan supaya beliau berada di bawah pengawalan tentara-tentara yang sangat bengis dan dungu terhadap kedudukan Ahlulbait as.
Rupanya, tentara Al-Mutawakkil itu terdiri atas orang-orang Turki yang telah berbuat kejam, dengan membentuk kondisi dan menciptakan pribadi-pribadi yang tidak lagi mengerti kecuali ketaatan kepada raja-raja dan penguasa.
Beberapa Kisah Menarik
• Seseorang di antara tentara itu mempunyai anak yang tertimpa penyakit batu ginjal, kemudian seorang dokter menasehati agar anaknya menjalani operasi.
Pada saat operasi sedang berjalan, tiba-tiba anak tersebut mati. Lalu orang-orang mencelanya, “Kau telah membunuh anakmu sendiri, maka engkau pun harus bertanggung jawab atas kematiannya.”
Kemudian ia mengadu kepada Imam Al-Hadi as. Beliau mengatakan, “Bagi kamu tidak ada tanggung jawab apapun atas apa yang kamu perbuat. Ia meninggal hanya karena pengaruh obat, dan ajal anak tersebut memang sampai di situ.”
• Suatu hari, seorang anak menyodorkan bunga kepada Imam Ali Al-Hadi as. Lalu Imam as mengambil bnunga itu seraya menciumnya dan meletakkan di atas kedua pelupuk matanya. Kemudian beliau memberikan kepada salah seorang sahabatnya sembari berkata, “Barang siapa mengambil bunga mawar atau selasih kemudian mencium dan meletakkannya di atas kedua pelupuk matanya, lalu membaca shalawat atas Muhammad dan keluarga sucinya, maka Allah akan menulis untuknya kebaikan sejumlah kerikil-kerikil di padang sahara, dan akan menghapuskan kejelekan-kejelekannya sebanyak itu pula.”
Yahya bin Hartsamah yang menyertai perjalanan Imam Ali as dari Madinah ke Samara mengatakan, “Kami berjalan sedang langit dalam keadaan cerah. Tiba-tiba Imam as meminta sahabat-sahabatnya untuk mempersiapkan sesuatu yang bisa melindungi mereka dari hujan.
Sebagian dari kami merasa heran. Malah sebagian yang lain tertawa meledek. selang beberapa saat, tiba-tiba langit mendung dan hujan pun turun begitu derasnya. Imam as menoleh kepadaku dan berkata, “Sungguh engkau telah mengingkari hal itu, lalu kau kira bahwa aku mengetahui alam gaib dan hal itu terjadi bukanlah sebagaimana yang kau kira. Akan tetapi, aku hidup di daerah pedalaman. Aku mengetahui angin yang mengiringi hujan dan angin telah berhembus. Aku mencium bau hujan itu, maka aku pun bersiap-siap.”
• Suatu hari, Al-Mutawakkil menderita sakit. Ia bernazar untuk menyedekahkan uang yang banyak tanpa menentukan berapa jumlahnya. Dan ketika ia hendak menunaikan nazarnya, para fuqaha (ahli hukum) berselisih pendapat tentang berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan oleh Al-Mutawakkil. Mereka pun tidak mendapatkan suatu kesepakatan.
Sebagian mereka mengusulkan untuk menanyakan masalah kepada Imam as. Tatkala ditanya tentang berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan, Imam as menjawab, “Banyak itu adalah delapan puluh.”
Meresa belum puas. Mereka meminta dalil dari Imam as. Beliau mengatakan, “Allah berfirman, ‘Allah telah menolong kalian dalam berbagai kesempatan. Maka, Kami hitung medan-medan peperangan dalam Islam’. Dan jumlahnya medan peperangan itu adalah delapan puluh.”
Penggeledahan Rumah
Meskipun Imam Ali Al-Hadi as dalam tahanan rumah yang ketat, beliau tidak luput dari berbagai fitnah dan tuduhan kosong. Salah seorang di antara mereka melaporkan kepada Al-Mutawakkil, bahwa Imam as mengumpulkan senjata dan uang untuk mengadakan pemberontakan. Maka, Al-Mutawakkil memerintahkan Sa’id, penjaganya untuk memeriksa rumah beliau pada waktu malam, dan mengecek tentang kebenaran berita tersebut.
Tatkala ia memeriksa rumah Imam, ia dapati Imam as dalam sebuah kamar dan tidak ada sesuatu apapun di dalamnya kecuali sehelai tikar. Di dalamnya beliau sedang melakukan shalat dengan khusyuk.
Ia telah memeriksa rumah Imam as dengan awas dan jeli. Akan tetapi, ia tidak menemukan suatu apa pun. Kemudian ia berkata pada Imam, “Maafkan aku tuanku. Aku hanya diperintahkan.”
Imam as menjawab dengan sedih, “Sesungguhnya orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui akibat perbuatan mereka sendiri.”
Kandang Binatang Buas
Seorang perempuan mengaku, bahwa dirinya adalah Zainab putri Ali bin Abi Thalib as. Ia berkata, bahwa masa mudanya terus berganti setiap 50 tahun.
Segera Al-Mutawakkil mengirimkan utusan dan bertanya kepada Bani Thalib. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Zainab as telah meninggal pada tanggal sekian dan telah dikuburkan. Akan tetapi, perempuan ini tetap saja bersikukuh pada pengakuannya.
Menteri Al-Mutawakkil yang bernama Al-Fath bin Khaqan jengkel melihat itu. Ia berkata, “Tidak ada yang bisa mengetahui tentang hal ini kecuali putra Imam Ridha as.”
Maka, Al-Mutawakkil mengutus utusan kepada Imam Ali Al-Hadi as dan menanyakan perihal perempuan tersebut padanya. Kemudian Imam as. menjawab, “Sesungguhnya terdapat tanda pada keturunan Ali as. Tanda itu adalah binatang buas tidak akan mengganggu dan menyakitinya. Maka, cobalah kumpulkan perempuan itu bersama binatang buas, dan bila dia tidak diterkam, maka dia benar.”
Tak tahan lagi, Al-Mutawakkil ingin sekali menguji kebenaran ucapan Imam as di atas. Beliau pun masuk ke dalam sangkar binatang buas dengan penuh keyakinan. Tiba-tiba binatang buas di dalamnya mengikuti beliau sambil mengebas-kebaskan ekor di telapak kaki beliau.
Saat itu Al-Mutawakkil memerintahkan untuk melemparkan wanita tersebut ke dalam sangkar itu. Tatkala binatang buas itu muncul, ia pun menjerit dan segera menarik balik pengakuannya.
Di Majelis Al-Mutawakkil
Di saat sedang mabuk, Al-Mutawakkil memerintahkan para pengawalnnya agar segera mendatangkan Imam Ali Al-Hadi as. Dengan cepat mereka bergegas menuju kediaman beliau. Sesampainya di sana, mereka memasuki rumah Imam as dengan keras dan menyeret beliau sampai di istana khilafah.
Ketika Imam as berdiri di hadapan Al-Mutawakkil, khalifah yang zalim itu mengambil kendi khamer dan meminumnya sampai mabuk, lalu ia mendekati Imam as dan menyodorkan segelas minuman haram tersebut kepada beliau.
Imam as menolak dan berkata, “Demi Allah, darah dagingku tidak bercampur sedikit pun dengan minuman ini.”
Hari Kesyahidan
Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan pada Allah SWT, Imam Ali Al-Hadi as menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Cobaan demi cobaan telah beliau lewati dengan segenap ketabahan. Hingga akhirnya, pada tahun 254 Hijrih beliau menjumpai Tuhannya dalam keadaan syahid akibat racun yang merusak tubuhnya.
Ketika itu usia Imam as menginjak usia 42 tahun. Beliau dimakamkan di kota Samara yang kini ramai dikunjungi kaum msulimin dari berbagai belahan dunia.
Murid-Murid Imam Ali
Meskipun Imam as senantiasa hidup di bawah pengawasan yang begitu ketat, namun beliau memiliki murid-murid yang tetap setia kepadanya. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berjumpa dan bertatap muka dengan Imam as. Salah seorang dari mereka adalah Abdul ‘Azhim Al-Hasani.
Abdul ‘Azhim termasuk ulama besar dan seorang yang amat bertakwa. Dalam berbagai kesempatan, Imam Ali as seringkali memujinya. Ia senantiasa menunjukkan penentangannya terhadap penguasa. Kemudian ia bersembunyi di kota Rey dan meninggal di sana. Hingga sekarang ini, makam beliau masih selalu dipadati oleh para peziarah.
Murid beliau yang lain adalah Hasan bin Sa’id Al-Ahwazi. Ia juga termasuk sahabat Imam Ali Ar-Ridha as dan Imam Muhammad Al-Jawad as. Ia hidup di Kufah dan Ahwaz, kemudian pindah ke Qom dan meninggal dunia di sana. Hasan menyusun tiga puluh karya tulis di bidang Fiqih dan Akhlak. Di antara jajaran perawi, ia termasuk orang yang tsiqah (terdipercaya) dalam meriwatkan hadis-hadis.
Selain Abdul ‘Azhim dan Hasan, sahabat setia Imam Ali Al-Hadi as ialah Fadhl bin Syadzan An-Naisyaburi. Ia terkenal sebagai seorang ahli Fiqih besar dan ahli ilmu Kalam terkemuka.
Fadhl banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ali as. Bahkan, anaknya pun ikut menjadi salah seorang sahabat Imam Hasan Askari as. Imam Ali as sering memujinya. Ia menasehati orang-orang Khurasan untuk merujuk kepada Fadhl dalam berbagai masalah yang mereka hadapi.[]
Mutiara Hadis Imam Ali Al-Hadi
• “Barang siapa taat kepada Allah, maka ia tidak akan kuatir terhadap kekecewaan makhluk.”
• “Barang siapa tunduk pada hawa nafsunya, maka ia tidak akan selamat dari kejelekannya.”
• “Barang siapa rela tunduk terhadap hawa nafsunya, maka akan banyak orang-orang yang tidak suka padanya.”
• “Kemarahan itu terdapat pada orang-orang yang memiliki kehinaan.”
• “Pelaku kebaikan itu lebih baik daripada kebaikan itu sendiri. Sedang pelaku keburukan itu lebih buruk daripada keburukan itu sendiri.”
• “Cercaan itu lebih baik dari pada kedengkian.”
• Beliau berkata kepada Al-Mutawakkil, “Janganlah engkau menuntut janji kepada orang yang telah engkau khianati.” (sumber al-shia.org)
Riwayat Singkat Imam Ali Al-Hadi
Nama : Ali.
Gelar : Al-Hadi.
Panggilan : Abul Hasan.
Ayah : Imam Muhammad Al-Jawad.
Ibu : Samanah.
Kelahiran : Madinah, 212 H.
Kesyahidan : 254 H.
Usia : 22 tahun.
Makam : Samara, Irak.
Pada masa di mana batas antara kebenaran dan kebatilan telah samar, dan kebatilan tampil dengan busana kebenaran; pengetahuan maarif murni Islam dari dua sumber yang sangat berharga itu, akan membuat setiap Muslim lebih bersikap bijak dalam menghadapi gerakan pemikiran distorsif dan syubhah. Oleh karena itu, Imam Hadi as dalam doa ziarah “Jami’ah Kabiroh” menilai para imam sebagai tambang rahmat, para pemilik khazanah ilmu pengetahuan, pemimpin dalam hidayah dan lentera terang dalam kegelapan.
Imam Hadi as lahir pada tahun 212 Hijriah di Madinah, dan setelah syahidnya sang ayah, Imam Jawad as, beliau memegang tanggung jawab kepemimpinan umat Islam. Pada era kepemimpinan Imam Hadi as yang berlangsung sekitar 24 tahun, beliau hidup di era kekuasaan enam khalifah dinasti Abbasiah. Dari keseluruhan masa kepemimpinannya, Imam Hadi as tinggal selama 13 tahun di Madinah. Selama itu, beliau memanfaatkan kekacauan kekuasaan dalam rezim Abbasiah untuk memperluas dan menjelaskan ajaran Islam.
Para pencari ilmu dari berbagai tempat berdatangan menghadap beliau dan menimba ilmu dari khazanah hikmah dan ilmu Ahlul Bait Nabi ini. Para pecinta Ahlul Bait dari berbagai wilayah termasuk Iran, Irak dan Mesir mengemukakan masalah dan pertanyaan kepada beliau baik secara langsung maupun korespondensi. Ketika itu Imam Hadi as mengutus wakil-wakil beliau ke berbagai tempat dan mereka menjadi jembatan hubungan dengan sang Imam dalam masalah-masalah syariat, ekonomi dan sosial.
Di kota Madinah, Imam Hadi as menjalin hubungan erat dengan orang-orang yang tertindas dan papa. Mereka yang kesulitan dalam mencari nafkah atau yang tidak memiliki tempat berteduh, mendatangi Imam Hadi as dan mereka pun mendapat bimbingan solusi atau dibantu beliau. Imam Hadi as mengeluarkan dana khumus, sedekah, zakat dan berbagai dana yang terkumpul dari berbagai wilayah, untuk membantu fakir miskin.
Terkadang beliau memberi modal kepada orang-orang fakir untuk berdagang sehingga tidak lagi tergantung serta dapat menjaga kehormatan dan nama baiknya. Para musafir yang sedang kesulitan juga dibantu Imam Hadi as dan beliau tidak membiarkan seorang Muslim di Madinah kelaparan atau seorang anak yatim yang menangis karena keterlantarannya.
Posisi dan popularitas Imam Hadi as di Madinah sedemikian kuat sehingga walikota Madinah bahkan tidak dapat mengambil tindakan keras dan pemaksaan terhadap cucu Rasulullah Saw itu. Pengaruh spiritual dan sosial Imam Hadi as, membuat seseorang bernama Buraihah yang ditunjuk oleh para penguasa Bani Abbasiah, sebagai pengawas kota Mekkah dan Madinah; dalam suratnya kepada Mutawakil, penguasa Bani Abbasiah menulis, “Jika kau menginginkan Haramain Syarifain (Mekkah dan Madinah) maka usirlah Ali bin Muhammad (Imam Hadi as) dari dua tempat ini; karena dia menarik masyarakat ke arahnya.”
Akhirnya pada tahun 233 Hijriah, Imam Hadi as bersama putra beliau yang masih kecil, Imam Hassan Askari as, dan para anggota keluarga beliau, terpaksa meninggalkan Madinah menuju Samara, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Dinasti Abbasiah.
Seseorang bernama Yahya bin Hartsamah, ditugaskan mengawal kepergian Imam Hadi as dari Madinah menuju Samara. Dia tiba di Madinah bersama 300 pasukan perang. Dia mengatakan, “Aku pergi ke Madinah dan masuk ke kota itu. Masyarakat sedemikian sedih dan galau. Secara perlahan kesedihan itu berubah menjadi teriakan dan keributan. Mereka mengkhawatirkan nyawa Imam Hadi as. Beliau demikian baik kepada masyarakat dan mereka menilai kehadiran Imam Hadi as di antara mereka mendatangkan rahmat dan berkah. Aku meminta masyarakat untuk tenang dan aku bersumpah bahwa tidak ada perilaku kasar yang terjadi untuk Imam.” Dalam riwayat disebutkan, selama perjalanan Yahya bin Hartsamah mulai dekat dengan Imam dan memiliki kecenderungan kepada beliau.
Sejarah menunjukkan bahwa para penguasa Bani Umayah dan Abbasiah akan menggunakan segala cara untuk menggoyahkan posisi para imam Ahlul Bait as dalam masyarakat. Akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apapun menggoyahkan keunggulan para imam Ahlul Bait as dari segi ilmu, akhlak dan spiritualitas. Pengkhianatan terbesar para penguasa Bani Umayah dan Abbasiah terhadap umat manusia khususnya umat Islam adalah pencegahan penyebaran dan perluasan ilmu-ilmu Ahlul Bait as dalam masyarakat. Pembatasan dan kebijakan represif mereka terhadap Imam Hadi as dan putra beliau Imam Hassan Askari as, lebih keras dibanding para imam sebelumnya. Meski demikian, Imam Hadi as menggunakan setiap kesempatan untuk menyebarkan maarif murni Islam kepada masyarakat dan menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka.
Imam Hadi as tinggal di kota Samara selama 20 tahun dan sembilan bulan. Kota itu terletak di 130 kilometer utara Baghdad. Mengingat tujuan Mutawakil memaksa Imam Hadi as pindah ke Samara adalah untuk mengawasi dan menjauhkan beliau dari aktivitas sosial, budaya dan juga dari masyarakat, maka telah dipersiapkan rumah untuk beliau dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut.
Rumah beliau berada di dalam sebuah pangkalan militer Bani Abbasiah, dan lokasi tersebut sepenuhnya mirip dengan penjara. Telah ditunjuk mata-mata oleh istana yang akan bekerja sebagai pembantu di rumah Imam Hadi as. Mereka akan mengawasi seluruh aktivitas Imam Hadi as dan melaporkannya kepada penguasa. Meski diawasi ketat serta menghadapi berbagai kesulitan, namun Imam tidak pernah berdamai dengan para penguasa zalim, dan bahkan setiap hari pengaruh spiritual beliau dalam masyarakat semakin meningkat.
Mencari ilmu pengetahuan adalah jalan terbaik untuk mencapai puncak kesempurnaan dan tanpa ilmu, manusia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Imam Hadi as percaya bahwa untuk menggapai tujuan-tujuan tinggi, masing-masing manusia harus menimba ilmu pengetahuan dan makrifat; karena tanpa ilmu pengetahuan, maka dia tidak akan sampai ke tujuan.
Dalam sebuah hadis Imam Hadi as berkata: “Ilmuwan dan penimba ilmu keduanya adalah mitra dalam kemajuan dan hidayah.” Jika ulama dan cendikiawan masyarakat tidak berupaya serta masyarakat tidak mencari ilmu, maka tingkat pemikiran dan budaya masyarakat tidak akan berkembang dan tidak akan tercapai kemajuan.
Menurut Imam Hadi as, salah satu kriteria para wali Allah dan manusia-manusia saleh adalah, mengampuni, merelakan dan menerima permintaan maaf orang lain. Ayub bin Nuh mengatakan, “Imam dalam sebuah surat kepada salah seorang sahabat beliau yang menyakiti hati seseorang, menasehatinya agar pergi meminta maaf dan mengatakan, ‘jika Allah Swt menginginkan kebaikan untuk hamba-Nya, maka Dia akan memberikan kepada hamba itu sebuah kondisi di mana setiap kali dia dimintai maaf, dia akan menerimanya. Kau pun terimalah permintaan maafku.
Imam Ali Al-Hadi as memulai keimamahannya dalam situasi yang sangat berbahaya, yaitu kekuasaan Abbasiah semakin bertambah kejam, sewenang-wenang, dan menyimpang.
Kekhalifahan Al-Mutawakkil tergolong masa yang paling buruk yang dialami oleh Imam Ali Al-Hadi as saat itu.
Ketika itu Daulah Abbasiah berada dalam masa krisis politik disebabkan oleh kebobrokan sistem politik yang dijalankan oleh penguasa Abbasiah dan banyaknya pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Alawiyyin.
Sehingga, penguasa Abbasiah menampakkan sensitivitas yang berlebihan terhadap para imam Ahlul Bait as. Al-Mutawakkil telah mengambil beberapa langkah yang kejam, di antaranya:
Pertama, menghancurkan eksistensi Syi’ah dan Alawiyyin melalui siasat intimidasi dan terror.
Al-Mutawakkil dikenal sebagai orang yang membenci Imam Ali as dan Ahlul Bait as. Bahkan, karena kejahatannya yang luar biasa ini, Al-Mutawakkil telah mengeluarkan perintah untuk menghilangkan kuburan Imam Al-Husain as dari tempatnya, menghancurkan rumah-rumah yang ada di sekitarnya, dan akhimya mengubah area tanah tersebut sebagai lahan pertanian. Hal ini teljadi pada tahun 237 H.
Pada masa itu, Ahlul Bait dan para pengikut mereka hidup dalam kondisi yang sangat buruk dan memprihatinkan. Bahkan, mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Sejarah mencatat bahwa para perempuan dari keluarga Muhammad saw melakukan beberapa kali shalat (dalam beberapa waktu) secara berturut-turut hanya dengan satu kain yang usang.
Kedua, memisahkan Imam Ali Al-Hadi as dari Syi’ahnya dan memanggilnya secara paksa untuk datang ke lrak.
Tujuan Al-Mutawakkil adalah menghancurkan eksistensi Syi’ah.
Al-Mutawakkil merasa sangat terancam oleh keberadaan Imam Ali Al-Hadi as setelah dia menerima berita-berita dari Hijaz yang memperingatkanya, “Jika engkau mempunyai kebutuhan di Makkah dan Al-Madinah, maka bunuhlah Ali bin Muhammad.”
Al-Mutawakkil sangat berhati-hati dalam menerapkan cara pemanggilan Imam Ali Al-Hadi as ke lrak. Dia tidak memanggilnya dalam bentuk penangkapan, tetapi memintanya untuk datang ke Irak berasama siapa saja yang dikehendaki di antara Ahli Bait dan keluarganya.
Sejarah mencatat kegundahan masyarakat ketika datangnya Yahya bin Hurzumah, utusan khusus Al-Mutawakkil, sehingga dia bersumpah di hadapan khalayak ramai bahwa dia tidak datang untuk mencelakakan Imam Ali Al-Hadi as, dan bahwa Imam Ali Al-Hadi as tidak akan mendapatkan sedikit pun sesuatu yang menyakitkan atau membahayakan keselamatannya. Demikianlah Imam Ali Al-Hadi as berangkat ke Samura dengan ditemani putranya, Al-Hasan, dengan pengawasan yang sangat ketat.
Sesungguhnya persetujuan Imam Ali Al-Hadi as atas kepindahannya ke Samura disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
Seandainya Imam Ali Al-Hadi as tetap menolak, maka akan dapat dipastikan peningkatan tekanan yang berbahaya bagi kemaslahatan Islam, khususnya Syi’ah.
Dengan persetujuan ini, Imam Ali Al-Hadi as dapat menggagalkan tujuan orang-orang yang bermaksud jahat yang telah mengirimkan laporan-laporan yang mendiskreditkannya kepada Al-Mutawakkil, yaitu yang hendak mencelakakan dirinya.
Keberadaan Imam Ali Al-Hadi as· di pusat pemerintahan menjadikan pengaruhnya lebih besar.
Bahkan, sebagian pejabat pemeritahan menjadi terpengaruh dengan kehadiran sosok Imam Ali Al-Hadi as sehingga mereka bekerja sama dengannya dalam beberapa urusan dalam batas-batas tertentu.
Reaksi Abbasiah saat itu terhadap Imam Ali Al-Hadi as adalah tantangan di medan ilmiah dan menempatkannya dalam pengawasan yang sangat ketat. Tantangan ini mendapat sambutan dari Imam Ali Al-Hadi as, yang hal ini ternyata justru lebih mengharumkan nama Imam Ali Al-Hadi as karena dia dapat menghilangkan segala syubhat yang coba diketengahkan oleh sebagian kalangan.
Di samping itu, Imam Ali Al- Hadi as senantiasa memberikan pengarahan dan bimbingan bagi kaum Alawiyyin dalam gerakan-gerakan mereka.
Khususnya, perhatian Imam Ali Al-Hadi as yang besar yang dicurahkan kepada murid-muridnya, seperti: Ali bin Ja’far, Ibn As-Sikkit (seorang penyair dan sastrawan terkenal), dan Abdul ‘Azhim Al-Hasani.
Akhirnya, Imam Ali Al-Hadi as terbunuh sebagai syahid karena diracun oleh Al-Mu’tamid Al-Abbasi.
Imam Ali Al-Hadi as lahir pada tanggal 27 Dzulhijjah tahun 212 Hijriah di Madinah. Beliau adalah salah satu dari imam Ahlulbait yang Rasulullah telah mewasiatkan kepada kita untuk mengikutinya. Rasulullah saw dalam hadisnya yang terkenal berkata: “Imam-imam setelahku ada 12 orang. Pertama adalah saudaraku dan washiku Ali bin Abu Thalib dan yang terakhir adalah orang yang namanya sama denganku. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan. Sebagaimana bumi akan dipenuhi dengan kezaliman dan kenistaan.” Dan ketika orang-orang merujuk kepada kitab sejarah, mereka tidak akan menemukan seseorang yang hidup di zaman Imam as, kecuali memujinya serta memuji kakek-kakeknya. Mereka adalah orang-orang yang terkenal dalam hal keilmuan, kezuhudan, ibadah, wara dan kedermawanannya. Orang yang mengatakan hal ini adalah musuh Imam as atau orang yang sangat mencintainya. Perjalanan kehidupannya merupakan suri teladan bagi umat manusia. Mereka tidak mengatakan sesuatu kecuali kemuliaan tentangnya, bahkan para pembesar nasrani yang hidup di zamannya mereka memuliakan dan mensucikannya, karena mereka mengimani sejarah kehidupan, kejujuran, dan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah swt. Mereka memohon pertolongan, bertawasul kepadanya dan membawakan hadiah-hadiah agar Imam as berdoa kepada Allah swt untuk menyelesaikan segala masalah dan mengabulkan hajat-hajat mereka.
Al-Mushili Hibatullah bin Abi Mansur berkata: “Seorang Nasrani yang bernama Yusuf bin Yaqub, dia adalah teman ayahku, suatu hari dia datang sebagai tamu menemui ayahku, kemudian ayah bertanya kepadanya tentang maksud kedatangannya ke Baghdad. Dia menjawab: “Al-Mutawakkil mengundangku dan aku tidak tahu menahu apa yang dia inginkan dariku. Aku mendapatkan uang seratus dirham. Kemudian aku ingin membawanya untuk Ali bin Muhammad Al-Hadi as.” Ayahku memujinya dan kemudian dia pergi meninggalkan Baghdad menuju Samara dan tinggal beberapa hari di sana kemudian kembali ke Baghdad dalam keadaan bahagia. Ayahku bertanya kepadanya seputar perjalanannya. Dia pun bercerita: “Ketika aku pergi ke Samara, yang merupakan kota asing bagiku, aku ingin sekali pergi menemui Ali bin Muhammad Al-Hadi as untuk memberikan kepadanya seratus dirham yang aku miliki sebelum menemui Al-Mutawakkil. Aku bertanya kepada masyarakat mengenai tempat tinggal Imam as. Aku tahu bahwa Al-Mutawakkil akan memaksaku tinggal di rumahnya jika aku bertemu dengannya atau bertanya kepada masyarakat. Maka aku khawatir bertemu Al-Mutawakkil sebelum bertemu dengan Imam as. Akan tetapi anehnya, terbesit dalam benakku, agar aku mengelilingi kota Samara dengan kendaraanku untuk menemukan rumah Imam as tanpa bertanya pada orang lain. Ketika aku berjalan dan sampai pada salah satu gerbang rumah, terbesit dalam benakku bahwa itu adalah pintu rumah Imam as. Maka aku pun menyuruh budakku untuk bertanya pada orang-orang sekitar mengenai pemilik rumah itu. Ternyata rumah itu adalah rumah imam Ali Al-Hadi as. Kemudian budakku mengetuk pintu. Keluarlah seorang sahabat Imam as dan berkata: “Apakah anda yang bernama Yusuf bin Yaqub?” Aku menjawab: “Ya, betul.” Sahabat Imam as menyuruhnya turun dari kendaraannya dan mempersilahkannya masuk dan memintanya untuk menunggu di halaman rumah. Sahabat Imam as memasuki rumah kemudian keluar dan berkata: “Mana uang seratus dirham?” Aku pun memberikan uang itu kepadanya dan dia pun membawanya kepada Imam as. Kemudian dia keluar untuk mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. Ketika itu aku melihat Imam as sedang duduk sendiri dan memandangku dengan penuh kasih sayang dan rahmat.
Ali bin Hamzah meriwayatkan: “Suatu hari di musim panas suhu udara sangat panas sekali. Ia melihat Imam Al-Hadi sedang bekerja di sawah. Keringat pun membanjiri tubuhnya sampai kedua kakinya. Ia lantas bertanya kepada Imam as: “Semoga jiwaku menjadi tebusanmu, kemana mereka laki-laki yang lain?” Beliau menjawab: “Orang sebelumku telah melakukan pekerjaan ini. Dan dia lebih baik dariku dan ayahku.” Ali bin Hamzah lantas bertanya kembali: “Siapakah mereka?” Imam menjawab: “Rasulullah saw, Amirul Mukminin as dan para leluhur mereka semuanya.”
Pada hari Senin tanggal 3 Rajab tahun 254 Hijriah, Imam Muhammad Al-Hadi as meninggal dunia karena sakit yang parah. Beliau sakit oleh racun. Orang yang telah meracuninya adalah penguasa Abbasiyah yang bernama Al-Mu’taz. Imam as meninggal dunia dalam keadaan teraniaya dan terasing. Masyarakat berbondong-bondong dengan kesedihan yang mendalam menghantarkan Imam ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Imam as dimakamkan di tempat tinggalnya yang terletak di kota Samara, Irak.
IMAM HADI ALAIHIS SALAM, TELADAN SEPANJANG MASA
Para imam maksum as adalah pribadi-pribadi sempurna dan manusia pilihan. Ucapan, perbuatan dan sifat-sifat mereka melukiskan kehidupan suci dan luhur insani. Secara pasti menjalin hubungan dengan figur-figur agung ini dan mengikuti ajaran mereka merupakan satu-satunya jalan memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan.
Imam Ali al-Hadi as adalah sosok manusia yang terunggul dalam ilmu, taqwa dan kesempurnaan. Keberadaannya merupakan manifestasi keutamaan dan kemuliaan. Dalam sebuah ucapannya ketika mensifati para imam maksum as, Imam Hadi as berkata: "Mereka adalah tambang rahmat, khazanah ilmu, sendi-sendi kemuliaan, dan pemuka petunjuk dan ketaqwaan."
Kehidupan Imam Hadi as sarat dengan ilmu, taqwa dan kedekatan dengan Allah Swt. Sejarawan Islam, Ibn Shahr Ashub dalam kitab "Manaqib" menulis: "Imam Ali al-Hadi as merupakan manusia paling sempurna pada masanya, setiap kali ia terdiam, wibawa dan kebesarannya akan tampak, dan setiap kali ia berbicara, maka nilai dan kedudukannya akan lebih menonjol. Tanda keluarga Rasul Saw tampak terang di raut wajahnya, sebab ia adalah dari buah pohon kenabian dan manusia pilihan dari keluarga Rasul Saw."
Imam Hadi as lahir pada pertengahan Dzulhijjah 212 H di kota Madinah. Sepeninggal ayahnya Imam Jawad as, kepemimpinan umat Islam berada di pundak Imam Hadi as selama 33 tahun. Beliau as hidup sezaman dengan beberapa khalifah dari Dinasti Abbasiyah, salah satunya adalah Mutawakkil. Pada masa itu politik dan pemikiran berada dalam kondisi yang khas. Dari segi politik, kehidupan masyarakat sangat mencekam dan dihantui rasa ketakutan.
Semakin hari, supremasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah semakin memudar. Hal ini dipicu akibat merebaknya korupsi di tengah masyarakat dan ketidaklayakan para penguasa yang berujung pada ketidakpuasan warga. Di sisi lain, menjamurnya pemikiran-pemikiran baru di bidang teologi dan merebaknya pemikiran yang menyesatkan telah menciptakan kebingungan dalam ranah pemikiran dan akidah masyarakat.
Kondisi ini mengancam serius landasan akidah Islam. Bid'ah dan penyimpangan dalam agama semakin merajalela. Imam Hadi as menghadapi situasi itu dengan strategi khas dan kebijakan yang sangat cerdas. Pada awalnya, Imam Hadi as tinggal di kota Madinah yang ketika itu merupakan pusat penting ilmu pengetahuan di dunia Islam. Di kota tersebut, Imam as berkiprah sebagai guru besar. Pada masa kekuasaan khalifah Mutawakkil, Imam Hadi as dipaksa meninggalkan kota Madinah dan pindah ke kota Samarra, Irak, sebab Mutawakkil takut akan pengaruh Imam as di tengah masyarakat. Dengan tindakan itu, Mutawakkil berniat memisahkan Imam Hadi as dari basis massa.
Imam Hadi as melewatkan sepuluh tahun terakhir masa kepemimpinannya atas umat Islam di kota Samarra, pusat pemerintahan Mutawakkil. Akibat pengawasan ketat agen-agen Dinasti Abbasiyah, akhirnya Imam membentuk sebuah jaringan sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat. Jaringan komunikasi ini merupakan jembatan penghubung antara Imam as dan para pengikutnya di berbagai penjuru dunia Islam.
Para tokoh yang ditunjuk sebagai wakil Imam as berperan menyebarkan pandangan-pandangan teologis dan hukum Islam kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga bertugas menyampaikan informasi tentang kondisi umat kepada Imam as. Namun karena situasi politik yang mencekam, para wakil tersebut tidak mudah menjalin komunikasi dengan Imam as. Sebagian bahkan terpaksa menyamar sebagai pedagang keliling untuk dapat mendekati Imam Hadi as.
Di kota Samarra, Imam Hadi as juga mendapat sambutan baik dari masyarakat setempat. Mutawakkil terus berupaya mengurangi popularitas Imam Hadi as di tengah warga. Suatu hari, Khalifah mengundang Imam Hadi as dalam sebuah perjamuan yang dihadiri oleh para pembesar istana dan orang-orang kaya. Mutawakkil meminta Imam as untuk melantunkan bait-bait syair. Awalnya, Imam Hadi as menolak permintaan itu, namun Mutawakkil tetap bersikeras.
Menyaksikan suasana perjamuan dan para undangan yang hadir, akhirnya Imam Hadi as melantunkan bait-bait syair yang penuh muatan-muatan pelajaran sekaligus peringatan terhadap nasib para penguasa zalim. Dalam syairnya Imam Hadi as berkata: "Puncak-puncak yang tinggi telah mereka pilih sebagai tempat tinggal dan mereka jadikan pasukan bersenjata untuk menjaga tempat itu. Mereka persiapkan segala sarana keamanan, namun semua strategi ini tidak mampu menyelamatkan mereka dari kematian. Betapa panjang masa yang mereka habiskan untuk membangun istana-istana megah demi melindungi mereka dari peristiwa getir. Tapi saat mendengar pekik kematian, mereka akan meninggalkan istana-istana itu. Betapa banyak istana berubah menjadi gundukan tanah setelah berlalunya masa."
Ucapan tegas dan penuh hikmah dari Imam as menembus relung-relung jiwa para hadirin di perjamuan itu. Mutawakkil sendiri terperanjat mendengar bait-bait syair yang keluar dari lisan suci Imam Hadi as. Segera khalifah Abbasiyah ini menginstruksikan para pengawalnya untuk mengantarkan Imam Hadi as pulang ke rumahnya.
Para Imam menilai penting kerja keras dan upaya untuk memperoleh rezeki yang halal. Meski demikian, fenomena duniawi termasuk harta dan kekayaan tidak bernilai di mata mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, para Imam maksum as memanfaatkan sesuatu sesuai kebutuhan dan sisanya diberikan kepada orang-orang yang memerlukan dan kaum fakir. Gaya hidup seperti ini juga terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari Imam Hadi as.
Bantuan finansial Imam Hadi as berperan penting dalam mengurangi angka kemiskinan dan kesengsaraan hidup di tengah masyarakat. Kedermawanan Imam as telah memberi harapan kepada masyarakat. Sejarah menyebutkan bahwa rumah Imam Hadi as menjadi tumpuan harap dan tempat bernaung orang-orang miskin dan papa.
Kesantunan dan kesabaran merupakan ciri penting para kesatria sejati khususnya para kekasih Allah. Imam Hadi as selalu bersikap sabar dalam menghadapi berbagai kesulitan dan problema hidup. Dalam sejarah dikisahkan bahwa sebelum Imam Hadi as diasingkan ke kota Samarra, seorang yang bernama Buraihah gencar mencela dan menghina beliau di depan Khalifah Mutawakkil. Dalam suratnya kepada khalifah, Buraihah menulis: "Jika yang mulia menginginkan kota Mekkah dan Madinah, maka singkirkanlah Ali bin Muhammad Al-Hadi dari kedua kota itu, sebab ia menarik masyarakat ke arahnya dan sebagian besar masyarakat kini menjadi pengikutnya."
Karena termakan omongan dan hasutan Buraihah, akhirnya Mutawakkil mengasingkan Imam Hadi as ke kota Samarra, Irak. Buraihah yang menyertai rombongan Imam Hadi as, di tengah perjalanan, berkata kepada Imam as, "Engkau tahu bahwa aku berperan dominan dalam pengasinganmu, dan jika engkau mengadukanku kepada Mutawakkil, maka aku akan membakar seluruh kekayaanmu di Madinah dan membunuh para pengikutmu."
Seketika itu, Imam Hadi as menatap Buraihah dengan penuh makna dan berkata kepadanya: "Semalam aku telah membawa berkas pengaduanku ke sisi Allah Swt. Ini merupakan jalan termudah untuk mengadukanmu." Buraihah guncang dan gemetar mendengar ucapan ini. Dia menunduk di kaki Imam as dan meminta maaf. Melihat itu, Imam Hadi as dengan segala kebesaran dan kemuliaannya memaafkan kesalahan Buraihah.
Imam Hadi as berkata: "Rasa dengki akan menghancurkan kebaikan dan menciptakan kebohongan dan permusuhan. Sikap egois akan menghalangi pencarian ilmu, dan kekikiran adalah seburuk-buruknya sifat." Imam Hadi as mengajak umat untuk selalu menjaga kebersihan dan keindahan. Beliau as berkata: "Allah Swt menyukai keindahan dan tidak menerima kejelekan bagi seorang mukmin. Allah Swt senang menyaksikan kesan karunia-Nya kepada hamba-Nya." Ketika Imam Hadi as ditanya, bagaimana caranya orang bisa menampakkan kesan kenikmatan Allah?, Imam as menjawab: "Menjaga kebersihan pakaiannya, memakai wewangian dan membangun rumahnya dengan baik."
IMAM ALI AL-HADI, TEGUH DI ATAS KEBENARAN
Hari Lahir
Imam Ali Al-Hadi as dilahirkan pada 15 Dzulhijjah 212 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah. Beliau adalah Imam kesepuluh dari silsilah imam Ahlulbait as.
Ayah beliau ialah Imam Muhammad Al-Jawad as, dan ibu beliau berasal dari Maroko bernama Samanah; seorang wanita yang mulia dan bertakwa.
Ketika sang ayah syahid akibat diracun, Imam Al-Hadi as baru berusia 8 tahun. Pada usia yang masih sangat dini itu pula beliau memegang amanat Imamah (kepemimpinan Ilahi atas umat manusia).
Orang-orang memanggil Imam as dengan berbagai julukan, antara lain Al-Murtadha, Al-Hadi, An-Naqi, Al-’Alim, Al-Faqih, Al-Mu’taman, At-Thayyib. Yang paling masyhur di antara semua julukan itu adalah Al-Hadi dan An-Naqi.
Akhlak Luhur Imam
Imam Ali Al-Hadi as senantiasa menjalani kehidupannya dengan zuhud dan ibadah kepada Allah SWT. Di dalam sebuah kamar yang hanya dihiasai oleh selembar tikar kecil, beliau menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an dan merenungkan maknanya.
Beliau menyambut orang-orang begitu ramah, berbelas kasih kepada orang-orang fakir, dan membantu orang-orang yang membutuhkannya.
Suatu hari, Khalifah Al-Mutawakkil mengirimkan uang sebesar 1.000 Dinar kepada beliau. Beliau membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin.
Pada kesempatan lain, Al-Mutawakil jatuh sakit sehingga para dokter pribadi khalifah kebingungan bagaimana mengobatinya. Lalu, ibu Al-mutawakil mengutus menterinya ,Al-Fath bin Khaqan untuk menemui Imam Ali as. Beliau segera memberinya obat yang reaksinya sangat cepat sekali, sehingga para dokter khalifah itu tercengang melihatnya.
Atas kesembuhan putranya, ibu khalifah mengirimkan uang sebesar 1.000 Dinar sebagai hadiah kepada Imam as, dan beliau pun membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang yang membutuhkannya.
Kisah Batu Cincin
Yunus An-Naqasi masuk datang ke rumah Imam Ali Al-Hadi as. Dalam keadaan gemetar ketakutan, ia berkata kepada beliau, “Wahai tuanku, seseorang dari istana telah datang kepadaku dengan membawa sepotong batu Firuz yang sangat berharga sekali. Ia memintaku untuk mengukirnya. Namun, ketika aku sedang melakukannya, batu tersebut terbelah jadi dua, padahal besok siang aku harus mengembalikannya. Bila dia tahu akan hal itu, pasti dia akan marah padaku.”
Imam as menenangkannya dan berkata, “Jangan kuatir! Tidak akan ada keburukan yang akan menimpamu. Bahkan, dengan izin Allah SWT engkau akan mendapatkan kebaikan darinya.”
Pada hari berikutnya, ajudan Khalifah datang dan berkata, “Sungguh aku telah mengubah pandanganku. Kalau sekiranya kamu bisa memotongnya menjadi dua, aku akan menambah upahmu!”
Pengukir tersebut berpura-pura berpikir padahal hatinya sangat bergembira. Kemudian berkata, “Baiklah, akan aku coba pesananmu itu!”
Akhirnya, pengawal Khalifah berterima kasih pada pengukir tersebut. Dari sana, pengukir itu bergegas menemui Imam Ali as untuk menumpahkan rasa terima kasih kepadanya. Dalam keadaan itu, Imam as berkata kepadanya, “Sungguh aku telah berdoa kepada Allah, semoga Dia memperlihatkan kebaikan khalifah kepadamu dan melindungimu dari kejahatannya.”
Al-Mutawakkil
Setelah Khalifah Al-Mu’tashim meninggal, kedudukannya digantikan oleh khalifah Al-Watsiq yang masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun 6 bulan. Setelah itu, pemerintahan jatuh ke tangan Al-Mutawakkil.
Pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil, kerusakan dan kezaliman telah mewabah di mana-mana. Pengaruh orang-orang Turki dalam kekhalifahan sangat kuat dan luas sekali, sehingga mereka menjadi pengendali jalannya roda pemerintahan dan khalifah Al-Mutawakkil pun menjadi alat permainan mereka.
Saat itu, kebencian Al-Mutawakkil terhadap Ahlulbait Nabi as dan Syi’ahnya begitu besar. Ia memerintahkan agar membuat sungai di atas makam Imam Husain as dan melarang kaum muslimin untuk menziarahi makamnya. Bahkan, ia telah membunuh banyak peziarah, sampai digambarkan dalam sebuah syair:
Demi Allah, bila Bani Umayyah telah melakukan pembunuhan
terhadap putra dan putri Nabinya secara teraniaya,
kini keluarga saudara ayahnya (Bani Abbas) melakukan hal yang sama.
Maka esok lusa demi Allah ia akan menghancurkan kuburnya.
Mereka menyesal bila seandainya saja tidak ikut serta membunuhnya.
Tak segan lagi, Al-Mutawakkil melakukan pengawasan yang ketat terhadap Imam Ali Al-Hadi as di Madinah. Mata-mata khalifah senantiasa mengintai setiap langkah Imam as, lalu melaporkan padanya setiap gerak dan pembicaraanya.
Al-Mutawakkil merasa kuatir sekali setelah tahu kepribadian dan kedudukan Imam as di tengah-tengah masyarakat. Mereka begitu menghormati dan mencintainya, karena beliau berbuat baik kepada mereka dan menghabiskan sebagian besar waktunya di masjid.
Al-Mutawakkil mengirim Yahya bin Harsamah sebagai utusan khusus untuk menghadirkan Imam Ali as. Segera ia memasuki kota Madinah. Sementara itu, berita tentang rencana jahat Al-Mutawakkil telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, hingga orang-orang berkumpul di seputar tempat tinggal utusan khusus itu, sebagai bentuk kepedulian dan kekuatiran mereka atas apa yang akan terjadi pada diri Imam as.
Dalam pengkuannya, Yahya bin Harsamah mengatakan, “Aku sudah berupaya menenangkan mereka, dan bersumpah di hadapan mereka bahwa aku tidak diperintah untuk menyakitinya.”
Al-Mutawakkil senantiasa berpikir bagaimana cara menurunkan kedudukan tinggi Imam as di tengah masyarakat. Maka, sebagian penasehatnya mengusulkan untuk menebarkan berita-berita bohong yang dapat menjatuhkan kehormatan beliau, melalui saudaranya, Musa yang terkenal dengan perilakunya yang buruk.
Usulan tersebut disambut senang oleh Al-Mutawakkil. Segera ia memanggil Musa. Imam Ali as sendiri pernah memperingatkan saudaranya itu dengan ucapan, “Sesungguhnya khalifah menghadirkanmu untuk menghancurkan nama baikmu dan menyodorkan uang yang dapat menguasaimu. Maka, takutlah kepada Allah, wahai saudaraku dan jannganlah melakukan hal-hal yang diharamkan-Nya!”
Musa tidak mau menghiraukan nasehat Imam as. Ia bertekad bulat untuk melakukannya, dan ternyata Al-mutawakkil justru merendahkannya. Sejak saat itu pula Khalifah itu tidak menyambut Musa lagi.
Kalimat Hak di Hadapan Orang Zalim
Ibnu Sikkit adalah salah seorang ulama besar. Abul Abbas Al-Mubarrad pernah memberikan kesaksian, “Aku tidak pernah melihat buku karya tulis orang-orang Baghdad yang lebih baik dari buku Ibnu Sikkit tentang Logika.”
Al-Mutawakkil meminta kepada Ibnu Sikkit untuk mengajar kedua anaknya; Al-Mu’taz dan Al-Mu’ayyad.
Suatu hari, Al-Mutawakkil bertanya kepada Ibnu Sikkit, “Mana yang paling kau cintai, kedua anakku ini ataukah Hasan dan Husain?”
Ibnu Sikkit menjawab dengan penuh kebencian, “Demi Allah, sesungguhnya pembantu Imam Ali bin Abi Thalib lebih baik dari pada kamu dan kedua anakmu itu!”
Mendengar jawaban Ibnu Sikkit tersebut, Al-Mutawakkil terperanjat dan begitu berang. Segera ia memerintahkan algojo Turki untuk mencabut lidahnya sampai mati. Demikianlah, Ibnu Sikkit pun pergi ke hadapan Allah SWT dan menemui kesyahidan.
Rasulullah saw telah bersabda, “Penghulu para syahid adalah Hamzah dan seorang yang mengatakan kalimat hak di depan penguasa yang zalim.”
Politik Al-Mutawakkil
Al-Mutawakkil telah menghambur-hamburkan kekayaan umat Islam. Hidupnya dipenuhi dengan foya-foya, serbamewah, dan sombong. Umurnya ia habiskan untuk bermabuk-mabukan dan berpesta pora dengan menghamburkan milyaran uang.
Sementara itu, betapa banyak orang yang hidup dalam kesusahan dan kefakiran, apalagi golongan Alawi (keluarga dan pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as) yang senantiasa menjalani hidup mereka dalam kefakiran yang mencekam. Belum lagi hak-hak mereka dirampas, sampai hal-hal yang sangat tidak bernilai dalam kehidupan mereka.
Imam Ali Al-Hadi as bersama putranya dipanggil ke kota Samara. Kemudian mereka diturunkan di sebuah kemah yang di sana sudah berbaris pasukan Al-Mutawakkil. Itu dilakukan supaya beliau berada di bawah pengawalan tentara-tentara yang sangat bengis dan dungu terhadap kedudukan Ahlulbait as.
Rupanya, tentara Al-Mutawakkil itu terdiri atas orang-orang Turki yang telah berbuat kejam, dengan membentuk kondisi dan menciptakan pribadi-pribadi yang tidak lagi mengerti kecuali ketaatan kepada raja-raja dan penguasa.
Beberapa Kisah Menarik
• Seseorang di antara tentara itu mempunyai anak yang tertimpa penyakit batu ginjal, kemudian seorang dokter menasehati agar anaknya menjalani operasi.
Pada saat operasi sedang berjalan, tiba-tiba anak tersebut mati. Lalu orang-orang mencelanya, “Kau telah membunuh anakmu sendiri, maka engkau pun harus bertanggung jawab atas kematiannya.”
Kemudian ia mengadu kepada Imam Al-Hadi as. Beliau mengatakan, “Bagi kamu tidak ada tanggung jawab apapun atas apa yang kamu perbuat. Ia meninggal hanya karena pengaruh obat, dan ajal anak tersebut memang sampai di situ.”
• Suatu hari, seorang anak menyodorkan bunga kepada Imam Ali Al-Hadi as. Lalu Imam as mengambil bnunga itu seraya menciumnya dan meletakkan di atas kedua pelupuk matanya. Kemudian beliau memberikan kepada salah seorang sahabatnya sembari berkata, “Barang siapa mengambil bunga mawar atau selasih kemudian mencium dan meletakkannya di atas kedua pelupuk matanya, lalu membaca shalawat atas Muhammad dan keluarga sucinya, maka Allah akan menulis untuknya kebaikan sejumlah kerikil-kerikil di padang sahara, dan akan menghapuskan kejelekan-kejelekannya sebanyak itu pula.”
Yahya bin Hartsamah yang menyertai perjalanan Imam Ali as dari Madinah ke Samara mengatakan, “Kami berjalan sedang langit dalam keadaan cerah. Tiba-tiba Imam as meminta sahabat-sahabatnya untuk mempersiapkan sesuatu yang bisa melindungi mereka dari hujan.
Sebagian dari kami merasa heran. Malah sebagian yang lain tertawa meledek. selang beberapa saat, tiba-tiba langit mendung dan hujan pun turun begitu derasnya. Imam as menoleh kepadaku dan berkata, “Sungguh engkau telah mengingkari hal itu, lalu kau kira bahwa aku mengetahui alam gaib dan hal itu terjadi bukanlah sebagaimana yang kau kira. Akan tetapi, aku hidup di daerah pedalaman. Aku mengetahui angin yang mengiringi hujan dan angin telah berhembus. Aku mencium bau hujan itu, maka aku pun bersiap-siap.”
• Suatu hari, Al-Mutawakkil menderita sakit. Ia bernazar untuk menyedekahkan uang yang banyak tanpa menentukan berapa jumlahnya. Dan ketika ia hendak menunaikan nazarnya, para fuqaha (ahli hukum) berselisih pendapat tentang berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan oleh Al-Mutawakkil. Mereka pun tidak mendapatkan suatu kesepakatan.
Sebagian mereka mengusulkan untuk menanyakan masalah kepada Imam as. Tatkala ditanya tentang berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan, Imam as menjawab, “Banyak itu adalah delapan puluh.”
Meresa belum puas. Mereka meminta dalil dari Imam as. Beliau mengatakan, “Allah berfirman, ‘Allah telah menolong kalian dalam berbagai kesempatan. Maka, Kami hitung medan-medan peperangan dalam Islam’. Dan jumlahnya medan peperangan itu adalah delapan puluh.”
Penggeledahan Rumah
Meskipun Imam Ali Al-Hadi as dalam tahanan rumah yang ketat, beliau tidak luput dari berbagai fitnah dan tuduhan kosong. Salah seorang di antara mereka melaporkan kepada Al-Mutawakkil, bahwa Imam as mengumpulkan senjata dan uang untuk mengadakan pemberontakan. Maka, Al-Mutawakkil memerintahkan Sa’id, penjaganya untuk memeriksa rumah beliau pada waktu malam, dan mengecek tentang kebenaran berita tersebut.
Tatkala ia memeriksa rumah Imam, ia dapati Imam as dalam sebuah kamar dan tidak ada sesuatu apapun di dalamnya kecuali sehelai tikar. Di dalamnya beliau sedang melakukan shalat dengan khusyuk.
Ia telah memeriksa rumah Imam as dengan awas dan jeli. Akan tetapi, ia tidak menemukan suatu apa pun. Kemudian ia berkata pada Imam, “Maafkan aku tuanku. Aku hanya diperintahkan.”
Imam as menjawab dengan sedih, “Sesungguhnya orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui akibat perbuatan mereka sendiri.”
Kandang Binatang Buas
Seorang perempuan mengaku, bahwa dirinya adalah Zainab putri Ali bin Abi Thalib as. Ia berkata, bahwa masa mudanya terus berganti setiap 50 tahun.
Segera Al-Mutawakkil mengirimkan utusan dan bertanya kepada Bani Thalib. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Zainab as telah meninggal pada tanggal sekian dan telah dikuburkan. Akan tetapi, perempuan ini tetap saja bersikukuh pada pengakuannya.
Menteri Al-Mutawakkil yang bernama Al-Fath bin Khaqan jengkel melihat itu. Ia berkata, “Tidak ada yang bisa mengetahui tentang hal ini kecuali putra Imam Ridha as.”
Maka, Al-Mutawakkil mengutus utusan kepada Imam Ali Al-Hadi as dan menanyakan perihal perempuan tersebut padanya. Kemudian Imam as. menjawab, “Sesungguhnya terdapat tanda pada keturunan Ali as. Tanda itu adalah binatang buas tidak akan mengganggu dan menyakitinya. Maka, cobalah kumpulkan perempuan itu bersama binatang buas, dan bila dia tidak diterkam, maka dia benar.”
Tak tahan lagi, Al-Mutawakkil ingin sekali menguji kebenaran ucapan Imam as di atas. Beliau pun masuk ke dalam sangkar binatang buas dengan penuh keyakinan. Tiba-tiba binatang buas di dalamnya mengikuti beliau sambil mengebas-kebaskan ekor di telapak kaki beliau.
Saat itu Al-Mutawakkil memerintahkan untuk melemparkan wanita tersebut ke dalam sangkar itu. Tatkala binatang buas itu muncul, ia pun menjerit dan segera menarik balik pengakuannya.
Di Majelis Al-Mutawakkil
Di saat sedang mabuk, Al-Mutawakkil memerintahkan para pengawalnnya agar segera mendatangkan Imam Ali Al-Hadi as. Dengan cepat mereka bergegas menuju kediaman beliau. Sesampainya di sana, mereka memasuki rumah Imam as dengan keras dan menyeret beliau sampai di istana khilafah.
Ketika Imam as berdiri di hadapan Al-Mutawakkil, khalifah yang zalim itu mengambil kendi khamer dan meminumnya sampai mabuk, lalu ia mendekati Imam as dan menyodorkan segelas minuman haram tersebut kepada beliau.
Imam as menolak dan berkata, “Demi Allah, darah dagingku tidak bercampur sedikit pun dengan minuman ini.”
Hari Kesyahidan
Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan pada Allah SWT, Imam Ali Al-Hadi as menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Cobaan demi cobaan telah beliau lewati dengan segenap ketabahan. Hingga akhirnya, pada tahun 254 Hijrih beliau menjumpai Tuhannya dalam keadaan syahid akibat racun yang merusak tubuhnya.
Ketika itu usia Imam as menginjak usia 42 tahun. Beliau dimakamkan di kota Samara yang kini ramai dikunjungi kaum msulimin dari berbagai belahan dunia.
Murid-Murid Imam Ali
Meskipun Imam as senantiasa hidup di bawah pengawasan yang begitu ketat, namun beliau memiliki murid-murid yang tetap setia kepadanya. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berjumpa dan bertatap muka dengan Imam as. Salah seorang dari mereka adalah Abdul ‘Azhim Al-Hasani.
Abdul ‘Azhim termasuk ulama besar dan seorang yang amat bertakwa. Dalam berbagai kesempatan, Imam Ali as seringkali memujinya. Ia senantiasa menunjukkan penentangannya terhadap penguasa. Kemudian ia bersembunyi di kota Rey dan meninggal di sana. Hingga sekarang ini, makam beliau masih selalu dipadati oleh para peziarah.
Murid beliau yang lain adalah Hasan bin Sa’id Al-Ahwazi. Ia juga termasuk sahabat Imam Ali Ar-Ridha as dan Imam Muhammad Al-Jawad as. Ia hidup di Kufah dan Ahwaz, kemudian pindah ke Qom dan meninggal dunia di sana. Hasan menyusun tiga puluh karya tulis di bidang Fiqih dan Akhlak. Di antara jajaran perawi, ia termasuk orang yang tsiqah (terdipercaya) dalam meriwatkan hadis-hadis.
Selain Abdul ‘Azhim dan Hasan, sahabat setia Imam Ali Al-Hadi as ialah Fadhl bin Syadzan An-Naisyaburi. Ia terkenal sebagai seorang ahli Fiqih besar dan ahli ilmu Kalam terkemuka.
Fadhl banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ali as. Bahkan, anaknya pun ikut menjadi salah seorang sahabat Imam Hasan Askari as. Imam Ali as sering memujinya. Ia menasehati orang-orang Khurasan untuk merujuk kepada Fadhl dalam berbagai masalah yang mereka hadapi.[]
Mutiara Hadis Imam Ali Al-Hadi
• “Barang siapa taat kepada Allah, maka ia tidak akan kuatir terhadap kekecewaan makhluk.”
• “Barang siapa tunduk pada hawa nafsunya, maka ia tidak akan selamat dari kejelekannya.”
• “Barang siapa rela tunduk terhadap hawa nafsunya, maka akan banyak orang-orang yang tidak suka padanya.”
• “Kemarahan itu terdapat pada orang-orang yang memiliki kehinaan.”
• “Pelaku kebaikan itu lebih baik daripada kebaikan itu sendiri. Sedang pelaku keburukan itu lebih buruk daripada keburukan itu sendiri.”
• “Cercaan itu lebih baik dari pada kedengkian.”
• Beliau berkata kepada Al-Mutawakkil, “Janganlah engkau menuntut janji kepada orang yang telah engkau khianati.” (sumber al-shia.org)
Riwayat Singkat Imam Ali Al-Hadi
Nama : Ali.
Gelar : Al-Hadi.
Panggilan : Abul Hasan.
Ayah : Imam Muhammad Al-Jawad.
Ibu : Samanah.
Kelahiran : Madinah, 212 H.
Kesyahidan : 254 H.
Usia : 22 tahun.
Makam : Samara, Irak.
TERBITNYA MENTARI HIDAYAH KESEPULUH
Sumber : irib indonesiaPada masa di mana batas antara kebenaran dan kebatilan telah samar, dan kebatilan tampil dengan busana kebenaran; pengetahuan maarif murni Islam dari dua sumber yang sangat berharga itu, akan membuat setiap Muslim lebih bersikap bijak dalam menghadapi gerakan pemikiran distorsif dan syubhah. Oleh karena itu, Imam Hadi as dalam doa ziarah “Jami’ah Kabiroh” menilai para imam sebagai tambang rahmat, para pemilik khazanah ilmu pengetahuan, pemimpin dalam hidayah dan lentera terang dalam kegelapan.
Imam Hadi as lahir pada tahun 212 Hijriah di Madinah, dan setelah syahidnya sang ayah, Imam Jawad as, beliau memegang tanggung jawab kepemimpinan umat Islam. Pada era kepemimpinan Imam Hadi as yang berlangsung sekitar 24 tahun, beliau hidup di era kekuasaan enam khalifah dinasti Abbasiah. Dari keseluruhan masa kepemimpinannya, Imam Hadi as tinggal selama 13 tahun di Madinah. Selama itu, beliau memanfaatkan kekacauan kekuasaan dalam rezim Abbasiah untuk memperluas dan menjelaskan ajaran Islam.
Para pencari ilmu dari berbagai tempat berdatangan menghadap beliau dan menimba ilmu dari khazanah hikmah dan ilmu Ahlul Bait Nabi ini. Para pecinta Ahlul Bait dari berbagai wilayah termasuk Iran, Irak dan Mesir mengemukakan masalah dan pertanyaan kepada beliau baik secara langsung maupun korespondensi. Ketika itu Imam Hadi as mengutus wakil-wakil beliau ke berbagai tempat dan mereka menjadi jembatan hubungan dengan sang Imam dalam masalah-masalah syariat, ekonomi dan sosial.
Di kota Madinah, Imam Hadi as menjalin hubungan erat dengan orang-orang yang tertindas dan papa. Mereka yang kesulitan dalam mencari nafkah atau yang tidak memiliki tempat berteduh, mendatangi Imam Hadi as dan mereka pun mendapat bimbingan solusi atau dibantu beliau. Imam Hadi as mengeluarkan dana khumus, sedekah, zakat dan berbagai dana yang terkumpul dari berbagai wilayah, untuk membantu fakir miskin.
Terkadang beliau memberi modal kepada orang-orang fakir untuk berdagang sehingga tidak lagi tergantung serta dapat menjaga kehormatan dan nama baiknya. Para musafir yang sedang kesulitan juga dibantu Imam Hadi as dan beliau tidak membiarkan seorang Muslim di Madinah kelaparan atau seorang anak yatim yang menangis karena keterlantarannya.
Posisi dan popularitas Imam Hadi as di Madinah sedemikian kuat sehingga walikota Madinah bahkan tidak dapat mengambil tindakan keras dan pemaksaan terhadap cucu Rasulullah Saw itu. Pengaruh spiritual dan sosial Imam Hadi as, membuat seseorang bernama Buraihah yang ditunjuk oleh para penguasa Bani Abbasiah, sebagai pengawas kota Mekkah dan Madinah; dalam suratnya kepada Mutawakil, penguasa Bani Abbasiah menulis, “Jika kau menginginkan Haramain Syarifain (Mekkah dan Madinah) maka usirlah Ali bin Muhammad (Imam Hadi as) dari dua tempat ini; karena dia menarik masyarakat ke arahnya.”
Akhirnya pada tahun 233 Hijriah, Imam Hadi as bersama putra beliau yang masih kecil, Imam Hassan Askari as, dan para anggota keluarga beliau, terpaksa meninggalkan Madinah menuju Samara, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Dinasti Abbasiah.
Seseorang bernama Yahya bin Hartsamah, ditugaskan mengawal kepergian Imam Hadi as dari Madinah menuju Samara. Dia tiba di Madinah bersama 300 pasukan perang. Dia mengatakan, “Aku pergi ke Madinah dan masuk ke kota itu. Masyarakat sedemikian sedih dan galau. Secara perlahan kesedihan itu berubah menjadi teriakan dan keributan. Mereka mengkhawatirkan nyawa Imam Hadi as. Beliau demikian baik kepada masyarakat dan mereka menilai kehadiran Imam Hadi as di antara mereka mendatangkan rahmat dan berkah. Aku meminta masyarakat untuk tenang dan aku bersumpah bahwa tidak ada perilaku kasar yang terjadi untuk Imam.” Dalam riwayat disebutkan, selama perjalanan Yahya bin Hartsamah mulai dekat dengan Imam dan memiliki kecenderungan kepada beliau.
Sejarah menunjukkan bahwa para penguasa Bani Umayah dan Abbasiah akan menggunakan segala cara untuk menggoyahkan posisi para imam Ahlul Bait as dalam masyarakat. Akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apapun menggoyahkan keunggulan para imam Ahlul Bait as dari segi ilmu, akhlak dan spiritualitas. Pengkhianatan terbesar para penguasa Bani Umayah dan Abbasiah terhadap umat manusia khususnya umat Islam adalah pencegahan penyebaran dan perluasan ilmu-ilmu Ahlul Bait as dalam masyarakat. Pembatasan dan kebijakan represif mereka terhadap Imam Hadi as dan putra beliau Imam Hassan Askari as, lebih keras dibanding para imam sebelumnya. Meski demikian, Imam Hadi as menggunakan setiap kesempatan untuk menyebarkan maarif murni Islam kepada masyarakat dan menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka.
Imam Hadi as tinggal di kota Samara selama 20 tahun dan sembilan bulan. Kota itu terletak di 130 kilometer utara Baghdad. Mengingat tujuan Mutawakil memaksa Imam Hadi as pindah ke Samara adalah untuk mengawasi dan menjauhkan beliau dari aktivitas sosial, budaya dan juga dari masyarakat, maka telah dipersiapkan rumah untuk beliau dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut.
Rumah beliau berada di dalam sebuah pangkalan militer Bani Abbasiah, dan lokasi tersebut sepenuhnya mirip dengan penjara. Telah ditunjuk mata-mata oleh istana yang akan bekerja sebagai pembantu di rumah Imam Hadi as. Mereka akan mengawasi seluruh aktivitas Imam Hadi as dan melaporkannya kepada penguasa. Meski diawasi ketat serta menghadapi berbagai kesulitan, namun Imam tidak pernah berdamai dengan para penguasa zalim, dan bahkan setiap hari pengaruh spiritual beliau dalam masyarakat semakin meningkat.
Mencari ilmu pengetahuan adalah jalan terbaik untuk mencapai puncak kesempurnaan dan tanpa ilmu, manusia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Imam Hadi as percaya bahwa untuk menggapai tujuan-tujuan tinggi, masing-masing manusia harus menimba ilmu pengetahuan dan makrifat; karena tanpa ilmu pengetahuan, maka dia tidak akan sampai ke tujuan.
Dalam sebuah hadis Imam Hadi as berkata: “Ilmuwan dan penimba ilmu keduanya adalah mitra dalam kemajuan dan hidayah.” Jika ulama dan cendikiawan masyarakat tidak berupaya serta masyarakat tidak mencari ilmu, maka tingkat pemikiran dan budaya masyarakat tidak akan berkembang dan tidak akan tercapai kemajuan.
Menurut Imam Hadi as, salah satu kriteria para wali Allah dan manusia-manusia saleh adalah, mengampuni, merelakan dan menerima permintaan maaf orang lain. Ayub bin Nuh mengatakan, “Imam dalam sebuah surat kepada salah seorang sahabat beliau yang menyakiti hati seseorang, menasehatinya agar pergi meminta maaf dan mengatakan, ‘jika Allah Swt menginginkan kebaikan untuk hamba-Nya, maka Dia akan memberikan kepada hamba itu sebuah kondisi di mana setiap kali dia dimintai maaf, dia akan menerimanya. Kau pun terimalah permintaan maafku.
SYI'AH DI BAWAH NAUNGAN IMAM ALI AL-HADI ALAIHIS SALAM
pengarang : Mujtaba Musawi LariSumber : hauzahmayaImam Ali Al-Hadi as memulai keimamahannya dalam situasi yang sangat berbahaya, yaitu kekuasaan Abbasiah semakin bertambah kejam, sewenang-wenang, dan menyimpang.
Kekhalifahan Al-Mutawakkil tergolong masa yang paling buruk yang dialami oleh Imam Ali Al-Hadi as saat itu.
Ketika itu Daulah Abbasiah berada dalam masa krisis politik disebabkan oleh kebobrokan sistem politik yang dijalankan oleh penguasa Abbasiah dan banyaknya pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Alawiyyin.
Sehingga, penguasa Abbasiah menampakkan sensitivitas yang berlebihan terhadap para imam Ahlul Bait as. Al-Mutawakkil telah mengambil beberapa langkah yang kejam, di antaranya:
Pertama, menghancurkan eksistensi Syi’ah dan Alawiyyin melalui siasat intimidasi dan terror.
Al-Mutawakkil dikenal sebagai orang yang membenci Imam Ali as dan Ahlul Bait as. Bahkan, karena kejahatannya yang luar biasa ini, Al-Mutawakkil telah mengeluarkan perintah untuk menghilangkan kuburan Imam Al-Husain as dari tempatnya, menghancurkan rumah-rumah yang ada di sekitarnya, dan akhimya mengubah area tanah tersebut sebagai lahan pertanian. Hal ini teljadi pada tahun 237 H.
Pada masa itu, Ahlul Bait dan para pengikut mereka hidup dalam kondisi yang sangat buruk dan memprihatinkan. Bahkan, mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Sejarah mencatat bahwa para perempuan dari keluarga Muhammad saw melakukan beberapa kali shalat (dalam beberapa waktu) secara berturut-turut hanya dengan satu kain yang usang.
Kedua, memisahkan Imam Ali Al-Hadi as dari Syi’ahnya dan memanggilnya secara paksa untuk datang ke lrak.
Tujuan Al-Mutawakkil adalah menghancurkan eksistensi Syi’ah.
Al-Mutawakkil merasa sangat terancam oleh keberadaan Imam Ali Al-Hadi as setelah dia menerima berita-berita dari Hijaz yang memperingatkanya, “Jika engkau mempunyai kebutuhan di Makkah dan Al-Madinah, maka bunuhlah Ali bin Muhammad.”
Al-Mutawakkil sangat berhati-hati dalam menerapkan cara pemanggilan Imam Ali Al-Hadi as ke lrak. Dia tidak memanggilnya dalam bentuk penangkapan, tetapi memintanya untuk datang ke Irak berasama siapa saja yang dikehendaki di antara Ahli Bait dan keluarganya.
Sejarah mencatat kegundahan masyarakat ketika datangnya Yahya bin Hurzumah, utusan khusus Al-Mutawakkil, sehingga dia bersumpah di hadapan khalayak ramai bahwa dia tidak datang untuk mencelakakan Imam Ali Al-Hadi as, dan bahwa Imam Ali Al-Hadi as tidak akan mendapatkan sedikit pun sesuatu yang menyakitkan atau membahayakan keselamatannya. Demikianlah Imam Ali Al-Hadi as berangkat ke Samura dengan ditemani putranya, Al-Hasan, dengan pengawasan yang sangat ketat.
Sesungguhnya persetujuan Imam Ali Al-Hadi as atas kepindahannya ke Samura disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
Seandainya Imam Ali Al-Hadi as tetap menolak, maka akan dapat dipastikan peningkatan tekanan yang berbahaya bagi kemaslahatan Islam, khususnya Syi’ah.
Dengan persetujuan ini, Imam Ali Al-Hadi as dapat menggagalkan tujuan orang-orang yang bermaksud jahat yang telah mengirimkan laporan-laporan yang mendiskreditkannya kepada Al-Mutawakkil, yaitu yang hendak mencelakakan dirinya.
Keberadaan Imam Ali Al-Hadi as· di pusat pemerintahan menjadikan pengaruhnya lebih besar.
Bahkan, sebagian pejabat pemeritahan menjadi terpengaruh dengan kehadiran sosok Imam Ali Al-Hadi as sehingga mereka bekerja sama dengannya dalam beberapa urusan dalam batas-batas tertentu.
Reaksi Abbasiah saat itu terhadap Imam Ali Al-Hadi as adalah tantangan di medan ilmiah dan menempatkannya dalam pengawasan yang sangat ketat. Tantangan ini mendapat sambutan dari Imam Ali Al-Hadi as, yang hal ini ternyata justru lebih mengharumkan nama Imam Ali Al-Hadi as karena dia dapat menghilangkan segala syubhat yang coba diketengahkan oleh sebagian kalangan.
Di samping itu, Imam Ali Al- Hadi as senantiasa memberikan pengarahan dan bimbingan bagi kaum Alawiyyin dalam gerakan-gerakan mereka.
Khususnya, perhatian Imam Ali Al-Hadi as yang besar yang dicurahkan kepada murid-muridnya, seperti: Ali bin Ja’far, Ibn As-Sikkit (seorang penyair dan sastrawan terkenal), dan Abdul ‘Azhim Al-Hasani.
Akhirnya, Imam Ali Al-Hadi as terbunuh sebagai syahid karena diracun oleh Al-Mu’tamid Al-Abbasi.
SEJARAH SINGKAT IMAM ALI AL-HADI ALAIHIS SALAM
Sumber : hauzahmaya.comImam Ali Al-Hadi as lahir pada tanggal 27 Dzulhijjah tahun 212 Hijriah di Madinah. Beliau adalah salah satu dari imam Ahlulbait yang Rasulullah telah mewasiatkan kepada kita untuk mengikutinya. Rasulullah saw dalam hadisnya yang terkenal berkata: “Imam-imam setelahku ada 12 orang. Pertama adalah saudaraku dan washiku Ali bin Abu Thalib dan yang terakhir adalah orang yang namanya sama denganku. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan. Sebagaimana bumi akan dipenuhi dengan kezaliman dan kenistaan.” Dan ketika orang-orang merujuk kepada kitab sejarah, mereka tidak akan menemukan seseorang yang hidup di zaman Imam as, kecuali memujinya serta memuji kakek-kakeknya. Mereka adalah orang-orang yang terkenal dalam hal keilmuan, kezuhudan, ibadah, wara dan kedermawanannya. Orang yang mengatakan hal ini adalah musuh Imam as atau orang yang sangat mencintainya. Perjalanan kehidupannya merupakan suri teladan bagi umat manusia. Mereka tidak mengatakan sesuatu kecuali kemuliaan tentangnya, bahkan para pembesar nasrani yang hidup di zamannya mereka memuliakan dan mensucikannya, karena mereka mengimani sejarah kehidupan, kejujuran, dan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah swt. Mereka memohon pertolongan, bertawasul kepadanya dan membawakan hadiah-hadiah agar Imam as berdoa kepada Allah swt untuk menyelesaikan segala masalah dan mengabulkan hajat-hajat mereka.
Al-Mushili Hibatullah bin Abi Mansur berkata: “Seorang Nasrani yang bernama Yusuf bin Yaqub, dia adalah teman ayahku, suatu hari dia datang sebagai tamu menemui ayahku, kemudian ayah bertanya kepadanya tentang maksud kedatangannya ke Baghdad. Dia menjawab: “Al-Mutawakkil mengundangku dan aku tidak tahu menahu apa yang dia inginkan dariku. Aku mendapatkan uang seratus dirham. Kemudian aku ingin membawanya untuk Ali bin Muhammad Al-Hadi as.” Ayahku memujinya dan kemudian dia pergi meninggalkan Baghdad menuju Samara dan tinggal beberapa hari di sana kemudian kembali ke Baghdad dalam keadaan bahagia. Ayahku bertanya kepadanya seputar perjalanannya. Dia pun bercerita: “Ketika aku pergi ke Samara, yang merupakan kota asing bagiku, aku ingin sekali pergi menemui Ali bin Muhammad Al-Hadi as untuk memberikan kepadanya seratus dirham yang aku miliki sebelum menemui Al-Mutawakkil. Aku bertanya kepada masyarakat mengenai tempat tinggal Imam as. Aku tahu bahwa Al-Mutawakkil akan memaksaku tinggal di rumahnya jika aku bertemu dengannya atau bertanya kepada masyarakat. Maka aku khawatir bertemu Al-Mutawakkil sebelum bertemu dengan Imam as. Akan tetapi anehnya, terbesit dalam benakku, agar aku mengelilingi kota Samara dengan kendaraanku untuk menemukan rumah Imam as tanpa bertanya pada orang lain. Ketika aku berjalan dan sampai pada salah satu gerbang rumah, terbesit dalam benakku bahwa itu adalah pintu rumah Imam as. Maka aku pun menyuruh budakku untuk bertanya pada orang-orang sekitar mengenai pemilik rumah itu. Ternyata rumah itu adalah rumah imam Ali Al-Hadi as. Kemudian budakku mengetuk pintu. Keluarlah seorang sahabat Imam as dan berkata: “Apakah anda yang bernama Yusuf bin Yaqub?” Aku menjawab: “Ya, betul.” Sahabat Imam as menyuruhnya turun dari kendaraannya dan mempersilahkannya masuk dan memintanya untuk menunggu di halaman rumah. Sahabat Imam as memasuki rumah kemudian keluar dan berkata: “Mana uang seratus dirham?” Aku pun memberikan uang itu kepadanya dan dia pun membawanya kepada Imam as. Kemudian dia keluar untuk mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. Ketika itu aku melihat Imam as sedang duduk sendiri dan memandangku dengan penuh kasih sayang dan rahmat.
Ali bin Hamzah meriwayatkan: “Suatu hari di musim panas suhu udara sangat panas sekali. Ia melihat Imam Al-Hadi sedang bekerja di sawah. Keringat pun membanjiri tubuhnya sampai kedua kakinya. Ia lantas bertanya kepada Imam as: “Semoga jiwaku menjadi tebusanmu, kemana mereka laki-laki yang lain?” Beliau menjawab: “Orang sebelumku telah melakukan pekerjaan ini. Dan dia lebih baik dariku dan ayahku.” Ali bin Hamzah lantas bertanya kembali: “Siapakah mereka?” Imam menjawab: “Rasulullah saw, Amirul Mukminin as dan para leluhur mereka semuanya.”
Pada hari Senin tanggal 3 Rajab tahun 254 Hijriah, Imam Muhammad Al-Hadi as meninggal dunia karena sakit yang parah. Beliau sakit oleh racun. Orang yang telah meracuninya adalah penguasa Abbasiyah yang bernama Al-Mu’taz. Imam as meninggal dunia dalam keadaan teraniaya dan terasing. Masyarakat berbondong-bondong dengan kesedihan yang mendalam menghantarkan Imam ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Imam as dimakamkan di tempat tinggalnya yang terletak di kota Samara, Irak.
IMAM ALI AL-HADI PEMBERI PETUNJUK DI MASA SULIT
Sumber : parstoday.com
Ahlul Bait Nabi Saw merupakan manusia sempurna dan yang dipilih oleh Allah Swt. Perilaku dan ucapan mereka menjadi teladan bagi kehidupan manusia dan manifestasi nilai-nilai ilahi. Mengenal teladan dan mengikuti cara hidup mereka bakal membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kini, kita berada di hari syahadah Imam Ali al-Hadi as, imam kesepuluh Ahlul Bait. Pada 3 Rajab tahun 254 Hijriah di hari seperti ini Imam Hadi as mereguk cawan syahadah. Beliau dibunuh oleh anasir penguasa bani Abbasiah, setelah melihat keberadaan beliau menjadi ancaman bagi kekuasaannya.
Kehidupan sosial dan politik Ahlul Bait menunjukkan betapa sensitifnya tanggung jawab yang mereka pikul dalam melindungi dan menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat. Periode kehidupan mereka penuh dengan peristiwa yang mengancam masyarakat islam, akibat kebodohan masyarakat waktu itu atau oleh para penguasa zalim. Di masa kehidupan Imam Ali al-Hadi as muncul sejumlah pemikiran dan keyakinan di tengah-tengah umat Islam. Pembahasan seperti melihat Tuhan, keyakinan akan Jabr (Determinasi) atau sebaliknya lebih menekankan kebebasan manusia. Sebagian lagi justru cenderung pada tasawwuf yang kemudian berusaha merasuki pikiran masyarakat umum.
Munculnya fenomena seperti ini berasal dari perubahan dalam kebijakan budaya penguasa Bani Abbasiah dan serangan pemikiran filsafat materialistik dari bangsa-bangsa lain ke tengah masyarakat Islam. Para khalifah pasca Ma’mun telah mengalokasikan dana luar biasa untuk menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani. Bahkan disebutkan bahwa para penerjemah mendapat upah emas seberat buku yang diterjemahkan.
Patut diketahui bahwa dana sebesar itu tidak seluruhnya untuk proyek pengembangan ilmu pengetahuan. Para penguasa Bani Abbasiah berusaha menyebarkan ilmu-ilmu non-Islam ke tengah-tengah umat Islam dan menyelenggarakan dialog-dialog ilmiah antara Ahlul Bait dan para pemikir guna merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan sejak awal. Mereka berusaha melemahkan pemikiran Ahlul Bait, tapi setiap kali mereka berusaha, selalu saja menemui jalan buntu.
Banyaknya mazhab pemikiran menyebabkan beragamnya pendapat yang berujung buruk pada pemisahan budaya di antara umat Islam. Para penguasa Bani Abbasiah memanfaatkan kondisi ini untuk melemahkan pemikiran dan keyakinan para pengikut Ahul Bait.
Di sini Imam Ali al-Hadi as dengan kecakapannya mampu membongkar strategi Bani Abbasiyah. Sekalipun Imam Hadi berada di bawah pengawasan ketat para penguasa Bani Abbasiah dan membatasi kesempatan beliau untuk berhubungan dengan para pengikutnya, Imam Hadi as secara cerdas menghadapi penyimpangan pemikiran mereka.
Imam Ali al-Hadi as dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran dan riwayat mampu menghadapi penyimpangan dengan menekankan berpikir logis. Imam Hadi dalam menjelaskan derajat akal mengatakan, “Nikmat Allah paling utama yang diberikan kepada manusia adalah keselamatan akal. Allah menciptakan manusia lebih mulia dari makhluk yang lain dikarenakan kesempurnaan akal yang diberikan kepadanya.” (Tuhaf al-‘Uqul, hal 854)
Penjelasan akan posisi akal yang disampaikan Imam bertujuan manusia semakin mengenal kemampuan luar biasa yang dianugerahkan kepadanya. Akal menjadi salah satu sumber penting bagi pengetahuan manusia. Jelas, akal adalah sumber petunjuk. Artinya, setiap manusia dapat memilih dan memilah kebenaran dari kebatilan dengan menggunakan sumber petunjuk atau akal disertai bimbingan Allah dan para utusan-Nya.
Satu dari pemikiran menyimpang yang terjadi di masa Imam Ali al-Hadi yang menggoyahkan keyakinan masyarakat waktu itu adalah kelompok sufi. Mereka memperkenalkan dirinya sebagai orang yang zuhud, arif, penyembah Allah dan tidak menyukai dunia untuk menyesatkan masyarakat. Predikat yang suci ini lalu dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak benar. Para sufi biasanya berkumpul di tempat-tempat suci seperti masjid Nabawi di Madinah. Mereka mengucapkan zikir secara bersama-sama. Mereka mencitrakan dirinya sebagai penyembah Allah yang murni, sehingga masyarakat mengira mereka manusia paling bertakwa di dunia.
Imam Ali al-Hadi as mereaksi dengan tepat kelompok sufi ini dan membongkar substansi mereka. Sebagai contoh, suatu hari para sufi memasuki masjid Nabawi dan duduk melingkar di sebuah sudut masjid. Mereka kemudian mulai mengucapkan zikir Laa Ilaaha Illallah (tiada tuhan selain Allah).
Ketika Imam Hadi melihat perbuatan mereka, kepada para sahabatnya beliau berkata, “Jangan memperhatikan kelompok penipu itu. Mereka adalah sahabatnya setan dan perusak fondasi agama. Demi meraih tujuan keduniaan, mereka menunjukkan dirinya sebagai hamba yang zuhud. Demi membohongi masyarakat yang polos mereka melakukan salat malam. Mereka berzikir kalimat Tauhid untuk menipu masyarakat. Ketahuilah bahwa para sufi menentang kami Ahlul Bait. Jalan mereka berbeda dengan jalan kami. Mereka berusaha memadamkan cahaya ilahi, tapi Allah berkehendak menyebarkan cahaya-Nya kepada seluruh manusia, sekalipun orang-orang Kafir tidak menerimanya.” (Safinah al-Bihar, jilid 2, hal 58)
Kelompok lainnya di masa Imam Ali al-Hadi as adalah mereka yang membayangkan Allah memiliki jasad. Kelompok ini dalam sejarah Islam dikenal dengan nama kelompok Mujassimah. Mereka punya cara pandang yang sederhana tentang agama dan tidak mampu memahami banyak hal yang keluar dari jasad dan materi. Itulah mengapa mereka mengingkari segala sesuatu yang bukan materi. Berita mengenai tersebarnya pemikiran ini di tengah-tengah umat islam akhirnya sampai juga ke Imam Ali al-Hadi as. Dalam sebuah suratnya, imam hadi menyatakan Allah Maha Suci dari apa yang dipikirkan mereka.
Imam Ali al-Hadi as berkali-kali menjelaskan poin penting bahwa seseorang hanya dapat melihat sesuatu dengan matanya bila sama-sama jasad. kKlaziman dari keyakinan bahwa Allah berjasad jelas-jelas tidak dapat diterima. Karena, pertama Allah bukan jasad, sehingga mata inderawi dapat melihatnya. Kedua, Allah tidak terbatas, sehingga dapat dibatasi oleh mata manusia. Imam Hadi as dalam sebuah kalimat menulis, “Maha Suci Allah yang tidak berbatas. Allah tidak dapat disifati dengan cara seperti ini. Allah tidak memiliki sekutu. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui.” (Tauhid Syeikh Shaduq, hal 97)
Sebagian dari upaya Ahlul Bait di bidang pemikiran dan budaya adalah menjelaskan masalah kepemimpinan dan Imamah di tengah umat Islam. Masalah ini semakin penting di masa Imam Ali al-Hadi. Karena pada waktu itu dapat dikatakan puncak dari serangan terhadap pemikiran Ahlul Bait. Itulah mengapa penjelasan dan sosialisasi masalah kepemimpinan di tengah umat Islam menjadi sangat penting. Sementara di sisi lain, pengawasan ketat para penguasa Bani Abbasiah membuat aktivitas Imam Ali al-Hadi menjadi sangat sempit dan sulit. Tapi Imam Hadi tidak kehilangan inspirasi dan meninggalkan warisan berharga yang dikenal dengan doa Ziarah Jami’ah (ziarah lengkap).
Dalam doa Ziarah Jami’ah ini Ahlul Bait Nabi Saw diperkenalkan sebagai tambang dan sumber ilmu. Ziarah Jami’ah ini patut mendapat pujian karena kefasihannya, sementara kandungannya mencakup ajarah akidah yang tinggi. Warisan tak ternilai ini menjadi metode terbaik yang digunakan Imam Hadi untuk menuntun pemikiran masyarakat Islam dan menjadi lingkaran penyambung umat dan Ahlul Bait.
Kami akan menukil sebagian dari isi Ziarah Jami’ah:
“salam kepada para Imam pemberi hidayah, pelita kegelapan, panji ketakwaan dan pemilik akal.
Salam kepada kalian, tambang rahmat kebenaran dan khazanah ilmu dan makrifat ilahi...
Allah mengingat kalian dengan penuh keagungan, sementara kalian menyebut-Nya Akbar.
Kalian tak pernah lepas dari zikir kepada Allah dan tetap merawat janji-Nya.
Kalian mengajak manusia dengan argumentasi, hikmah dan nasihat serta menyeru mereka ke jalan kebenaran.
Kalian telah menggembirakan Allah dengan berjuang menegakkan agama dan membenarkan setiap hukum yang dibawa oleh para nabi ilahi.”
KISAH IMAM ALI AL-HADI ALAIHIS SALAM DAN WANITA PENDUSTA
pengarang : Allamah Majlisi
Sumber : Biharul Anwar, Juz 5 Hal. 159 Hadis ke 35
Suatu ketika, di masa Imam Kesepuluh kita, Imam Ali al-Hadi an-Naqi, seorang wanita datang kepada Khalifah Mutawakkil. Wanita tersebut mengklaim sebagai Zainab al-Kubra As, putri Hadrat Sayidah Fatimah As, putri Rasullah Saw.
Khalifah Mutawakkil berkata kepadanya bahwa apa yang diklaimnya tersebut tidaklah benar lantaran beberapa puluh tahun telah berlalu semenjak masa Zainab al-Kubra As hidup, dan wanita yang kini hadir di hadapannya terlihat sangat muda.
Wanita itu menjawab bahwa ia sesungguhnya adalah Zainab al-Kubra dan adapun ia terlihat muda karena Nabi Muhammad Saw telah melintaskan tangannya di atas kepala wanita tersebut dan mendoakan baginya untuk tetap muda selamanya.
Mutawakkil tidak tahu apa yang harus dilakukannya, maka dipanggillah seluruh orang-orang pandai dan bijak untuk meminta dari mereka nasihat. Seluruh orang pandai yang dipanggil ini berkata bahwa wanita ini berkata dusta, akan tetapi tidak tahu harus berbuat apa untuk membuktikan hal ini.
Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk memanggil Imam Ali al-Hadi As dan bertanya kepadanya apa yang harus dilakukannya menghadapi klaim wanita ini.
Imam Ali al-Hadi an-Naqi As berkata bahwa dagingnya keturunan Fatimah As haram bagi binatang buas, untuk itu beliau as meminta Mutawakkil untuk meletakkan wanita tersebut dalam sebuah kandang singa dan apabila ia berkata benar, maka singa-singa tersebut tidak akan menerkamnya. Lantaran binatang-binatang buas tidak akan menyakiti putri Hadrat Sayidah Fatimah As.
Wanita cerdik itu berkata bahwa Imam Hadi As ingin membunuhnya dan apabila ia berkata benar maka ialah yang harus pergi pertama kalinya.
Imam Ali al-Hadi an-Naqi sepakat dan ia pergi memasuki kandang singa tersebut. Singa-singa yang ada dalam kandang itu tidak mencederai Imam Hadi As sama sekali dan sebaliknya, mereka mengelus-ngelus Imam Hadi As. Lalu, Imam Hadi As keluar dari kandang tersebut dan meminta wanita itu bahwa kini telah tiba giilirannya untuk masuk ke dalam kandang singa.
Wanita itu mulai menangis dan meminta maaf. Ia berkata bahwa ia tidak bermaksud untuk berkata dusta, klaim yang diajukannya itu tidak lain kecuali sekedar sebuah lelucon.
Khalifah Mutawakkil tetap memerintahkan agar ia tetap masuk ke dalam kandang singa.
IMAM ALI AL-HADI, PELITA PENERANG UMAT
Sumber : parstoday.com
Sejarah Islam menunjukkan kehadiran orang-orang besar dan mulia yang begitu berjasa bagi umat manusia. Mereka adalah para penerus risalah para Nabi dan Rasul yang mengenalkan jalan kebahagiaan sejati dan keselamatan bagi umat manusia. Ahlul Bait Rasulullah Saw menjadi pelita penerang umat dari kegelapan.
Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw mencurahkan hidupnya untuk membimbing manusia dengan ketinggian ilmu dan keutamaan akhlaknya. Salah satu dari Ahlul Bait Rasulullah saw adalah Imam Hadi yang telah menunjukkan keagungannya sejak kecil hingga akhir hayatnya.
Imam Ali al-Hadi lahir tanggal 15 Dzulhijjah 212 HQ di kota Madinah. Ketika ayahnya Imam Jawad syahid, Imam Hadi memegang tanggung jawab kepemimpinan umat Islam. Beliau memberikan petunjuk dan bimbingan kepada masyarakat selama 33 tahun.
Kepemimpinan Imam Hadi semasa dengan enam orang penguasa dari dinasti Abbasiah. Di masa kepemimpinan beliau inilah Ahlul Bait Rasulullah Saw banyak mengalami tekanan dari pihak penguasa lalim. Salah satu dari enam khalifah yang sezaman dengan beliau dan paling membenci Ahlul Bait adalah Mutawakkil.
Keimamahan Imam Ali al-Hadi menjadi ancaman bagi musuh-musuh Ahlul Bait, terutama penguasa lalim. Untuk itulah, mereka berupaya memisahkan Imam dari umat Islam. Bahkan sejak kecil, para imam mendapat tekanan dari penguasa lalim. Tapi tekanan tersebut tidak menghalangi para Imam dalam membimbing masyarakat bahkan sejak usia kecil beliau.
Dengan alasan mengajar, ulama terkemuka Madinah saat itu, Abdullah Junaidi diminta untuk mengajar Imam Hadi yang masih berusia delapan tahun. Keagungan ilmu dan ketinggian akhlak Imam Hadi membuat Abdullah Junaidi terpesona.
Suatu hari seseorang bernama Muhammad bin Said bercerita, "Hari Jumat aku melihat Junaid, lalu aku bertanya tentang sesuatu kepadanya. Bagaimana pendapatmu tentang anak yang sedang engkau ajar. Junaid memandangku, lalu menjawab, "Anak itu adalah sheikh besar dari Bani Hasyim. Demi Tuhan, apakah engkau melihat orang yang lebih berilmu dariku di Madinah ini ?". "Tidak", jawabku singkat.
Junaid kembali berkata, "Demi Tuhan, ketika aku membahas sebuah masalah dengan bersandar pada ilmuku, ia (Imam Hadi) membukakan pintu hakikat mengenai masalah tersebut untukku. Terkadang aku memintanya untuk membaca sebuah ayat al-Quran. Lalu dengan suaranya yang merdu, anak itu membaca al-Quran yang membuatku begitu terpesona. Subhanallah, maha suci Allah swt, dari mana ia mendapatkan pengetahuan itu?
Masyarakat mengiranya akulah yang mengajari anak itu, padahal sebaliknya akulah yang belajar darinya. Demi Tuhan ia adalah manusia terbaik di muka bumi dan ia adalah manusia terbaik yang diciptakan oleh Allah swt." Sejarah juga mencatat berbagai keutamaan Imam Hadi sejak usianya yang masih beliau hingga akhir hayat.
Imam Hadi as memulai perjuangannya melawan para penguasa Abbasiah secara tidak langsung dengan penyadaran sosial, budaya dan pendidikan. Ahlul Bait Rasulullah Saw mengajarkan pondasi pemikiran dan keyakinan yang kokoh dan logis kepada masyarakat yang berada di bawah tekanan politik penguasa lalim.
Tekanan berat dari sisi politik dan menyebarnya kerancuan pemikiran dan keyakinan merupakan dua fenomena yang muncul di zaman Imam Hadi as. Tanpa beliau, dasar keyakinan dan pemikiran Islam bakal terancam.
Sebelum Imam Hadi as dipindahkan ke Samara oleh pasukan Abbasiah, beliau tinggal di Madinah yang menjadi pusat keilmuan dan fikih dunia Islam. Aktifitas Imam Hadi as di Madinah memicu kekhawatiran dari para penguasa zalim. Oleh karena itulah mereka memaksa Imam Hadi as untuk meninggalkan Madinah dan selama 10 tahun beliau hidup dalam tekanan berat di masa kekuasaan Bani Abbasiah.
Tekanan berat politik para penguasa Abbasiah terhadap Imam Hadi as menyulitkan masyarakat untuk bisa menemui beliau. Hal ini dilakukan mereka dengan harapan bahwa ketidakhadiran Imam Hadi as di tengah-tengah masyarakat bakal memunculkan masalah keyakinan.
Situasi dan kondisi demikian secara perlahan-lahan memunculkan aliran-aliran sesat di tubuh umat Islam. Hal ini membuat agama Islam betul-betul berada dalam bahaya. Untuk menghadapi kondisi sulit ini, Imam Hadi as memperkuat "Lembaga Perwakilan" dan menyebarkannya ke daerah-daerah guna menciptakan koordinasi antara sesama pengikut Ahlul Bait yang tersebar di daerah-daerah.
Sebenarnya sebelum Imam Hadi as, telah ada lembaga perwakilan yang dibentuk oleh para Imam sebelumnya. Tapi kelebihan Imam Hadi as adalah menjadikan badan ini resmi perwakilan dirinya, sehingga masyarakat tetap dapat berkomunikasi dengan beliau lewat wakil-wakilnya. Dengan demikian, tuntunan beliau juga dapat sampai ke masyarakat, tanpa kehadirannya. Metode ini mampu melanggengkan sistem Imamah di tengah tekanan kuat penguasa.
Manajemen Imam Hadi di masa itu sangat berpengaruh dan efektif untuk bisa keluar dari krisis-krisis selanjutnya yang lebih sulit. Karena kondisi politik saat itu berkembang sedemikian rupa sehingga Ahlul Bait pasca Imam Hadi as, yakni di masa Imam Hasan Askari as, semakin tertekan.
Badan perwakilan sangat penting pengaruhnya dalam mengkoordinasi dan mengatur keilmuan, sosial dan keamanan para pengikut Ahlul Bait as. Dalam lembaga ini, pesan Imam akan sampai kepada para pengikutnya dengan cepat dan sistematik melalui satu kanal yang terpercaya dan resmi. Sehingga dari sisi keamanan tidak sampai menyulitkan para pengikut Ahlul Bait dan tempatnya tidak sampai diketahui oleh orang lain.
Jaringan penting ini dari sisi keilmuan dan fikih mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dari sumber aslinya dan hasil pertamanya secara nyata adalah menjawab syubhah-syubhah keyakinan dan pemikiran. Mengambil jawaban atas masalah-masalah fikih dan teologi dari kanal yang bisa dipercaya bak payung perlindungan yang besar bagi para pengikut Ahlul Bait yang bisa juga dipakai untuk menghadapi pelbagai serangan budaya. Jaringan perwakilan pada hakikatnya berposisi sebagai sebuah jaringan besar universitas yang menghubungkan para pengikut Ahlul Bait dengan pusat penyebaran pemikiran-pemikiran Ahlul Bait.
Imam Hadi as mengenalkan Bani Abbasiah sebagai penguasa yang tidak sah dan melarang umat Islam untuk bekerjasama dengan mereka kecuali pada masalah-masalah darurat. Dengan usaha ini kedok penguasa lalim itu semakin jelas bagi masyarakat. Imam Hadi as menyadarkan masyarakat bahwa jangan sampai mereka mengorbankan ideologinya hanya karena kelezatan dunia yang sementara.
Akhirnya para penguasa zalim itu berusaha menyingkirkan Imam Hadi as karena mereka tidak tahan melihat pribadi agung ini. Akibatnya pada tanggal 3 Rajab tahun 254 HQ, Imam Hadi as dibunuh. Berita kesyahidan beliau ini membuat masyarakat bersedih. Di hari syahadahnya Imam Hadi as, masyarakat berkumpul di rumah beliau dan semua orang di kota itu tenggelam dalam kesedihan dan tangisan.
Berikut ini, kami kutipkan nasihat bijak dari Imam Ali al-Hadi yang dapat menjadi petunjuk bagi kita mengarungi kehidupan dunia. Beliau pernah berkata, “Perbanyaklah istighfar dan bersyukur kepada Allah Swt, dengan demikian seluruh kebahagian dunia dan akhirat akan engkau raih.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar