ilustrasi hiasan:
PADAMNYA PELITA TERMUDA AHLUL BAIT ALAIHIS SALAM
Sumber : parstoday.com
Suatu hari Makmun, khalifah Abbasiah melewati sebuah gang dan anak-anak yang tengah bermain lari ketakutan ketika melihat mahkota di kepala Makmun. Hanya ada satu anak yang tinggal dan tidak menunjukkan rasa takut. Makmun kemudian mendatangi anak tersebut dan bertanya kepadanya, mengapa kamu tidak seperti anak yang lainnya lari ketakutan? Dan tidak pula minggir dari jalanku?
Anak tersebut dengan berani menjawab, "Aku tidak melakukan sebuah kesalahan, sehingga aku harus takut akan hukuman! Jalan ini pun bagi khalifah tidak sempit untuk melewatinya sehingga aku harus minggir. Kamu bisa lewat di mana saja yang kamu inginkan! Makmun yang heran dengan ucapan rasional dan terang-terangan anak kecil tersebut bertanya, Kamu siapa sebenarnya? Anak kecil itu menjawab, "Aku Muhamad bin Ali bin Musa bin Jakfar bin Muhamad bin Ali bin Husein bin Abi Thalib as."
“Ilmu pengetahuan apa yang telah kau warisi?” tanya Makmun. Imam menjawab, “engkau dapat menanyakan berita langit dan bumi kepadaku!” Makmun pergi meninggalkan Imam Jawad as dan melanjutkan perjalanannya. Seekor elang putih berada di atas tangan khalifah digunakan untuk berburu. Lalu Makmun melepaskan elang itu untuk mencari buruan. Untuk sekian saat, elang itu hilang dari pandangan dan tak lama kemudian, elang tersebut kembali dengan membawa ular hidup. Makmun menyimpan ular itu di suatu tempat. Lalu dia berkata pada para pengawalnya, “kini kebinasaan anak itu akan jatuh di tanganku!”
Kemudian makmun kembali melalui jalan yang tadi dilewatinya. Di tempat itu ia melihat Imam Jawad as sedang berada di antara anak-anak. Imam dipanggil dan ditanya, “engkau katanya tahu berita langit dan bumi?” Imam berkata: “Aku mendengar dari ayahku dan kakek-kakekku mendengar dari Rasul, dan Rasul dari Jibril, dan dari Tuhan, bersabda, antara langit dan bumi terdapat laut berombak besar yang di dalam laut itu terdapat banyak ikan. Raja memburu ikan itu dengan elang putih mereka. Elang tersebut kemudian membawa tangkapannya kepada raja. Sang raja pun mengambilnya untuk menguji keturunan nabi dan pengganti Rasulullah Saw.” Mendengar jawaban itu, Makmun berkata, “engkau dan ayah-ayah serta kakekmu dan Tuhanmu semua benar.”
Imam Jawad as juga dikenal sebagai Imam termuda Syiah. Beliau menerima tampuk imamah saat masih anak-anak. Meski banyak pengikut Ahlul baik yang hatinya lemah mempertanyakan keimamahan Imam Jawad yang masih kecil, tapi kondisi beliau mengingatkan kondisi Nabi Isa as yang diangkat sebagai nabi saat masih bayi dan kenaiban Nabi Sulaiman as setelah Nabi Dawud as.
Imam Jawad as dilahirkan pada tahun 195 Hijriah di kota Madinah. Imam Jawad as sejak kecil hingga menginjak usia remaja telah dikenal akan keilmuan, kefasihan, kesabaran dan ketakwaan. Beliau memiliki kecerdasan dan cara penyampaian yang lugas. Meskipun usianya masih muda belia, tapi dari sisi keilmuan dan keutamaan beliau telah disejajarkan dengan tokoh-tokoh masa itu.
Dalam sejarah disebutkan, saat musim haji sekitar 80 orang ahli fiqih dari Baghdad dan kota-kota lain menuju Madinah untuk bertemu dengan Imam Jawad as. Mereka mencecar Imam dengan pelbagai pertanyaan ilmiah, namun Imam Jawad as dengan tenang dan mantap menjawab semua yang ditanyakan. Kejadian ini memupuskan segala keraguan yang selama ini menggelayut benak mereka.
Saat ini mazhab Ahul Bait tercatat sebagai mazhab paling kaya metode dan aliran keilmuan terpenting di bidang pengetahuan. Saham Imam Jawad as selama 17 tahun keimamahan beliau dalam memupuk dan menjaga warisan ini sangan besar. Imam Jawad as hidup di periode ketika dunia Islam menyaksikan maraknya mazhab Islami dan non Islam serta berbagai ilmu dan teknologi seluruh bangsa mengalami kemajuan, serta berbagai buku asing diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Di era seperti ini, Imam Jawad meski terhitung muda tidak tinggal diam dan aktif di dialog ilmiah. Sama seperti ayah dan para kakeknya, Imam Jawad aktif menerangkan ajaran Islam dan menyampaikannya kepada masyarakat. Beliau memerankan seorang guru sekaligus pembimbing umat ke arah jalan yang benar. Beliau juga kerap menyelesaikan permasalahan rumit Islam dan memberantas syubhat yang mengotori ajaran murni Islam.
Imam Jawad memang berumur belia saat meninggalkan dunia yang fana. Namun usia 25 tahun yang beliau lewati telah meninggalkan warisan ilmu dan khazanah hikmah yang tak terbatas. Sejarah menyebutkan nama 150 orang yang pernah berguru kepada Imam Jawad as dan mendapat bimbingan beliau. Diantara mereka, nampak nama-nama para tokoh yang dikenal figur besar di bidang keilmuan dan fiqh.
Imam Jawad as punya kepedulian yang besar kepada masalah ilmu dan pendidikan. Beliau pernah berkata, "Tuntutlah ilmu sebab mencari ilmu adalah kewajiban bagi semua orang. Ilmu mempererat jalinan antara saudara seagama dan simbol kemuliaan. Ilmu adalah buah yang paling sesuai untuk hidangan sebuah pertemuan. Ilmu adalah kawan dalam perjalanan dan penghibur dalam keterasingan dan kesendirian."
Orang yang haus kebenaran dan cinta ilmu berbondong-bondong berguru kepada Imam Jawad. Sesuai dengan kapasitasnya, mereka menimba ilmu dari manusia suci ini. Banyak ulama terkenal lahir dari bimbingan Imam Jawad as.
Manusia adalah makhluk sosial dan tanpa interaksi dengan anggota masyarakat, manusia tidak akan pernah mampu mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Dalam hal ini, kesuksesan manusia tergantung pada persahabatannya dengan orang lain. Kunci kesuksesan para pemuka agama kita, khususnya Rasulullah Saw juga terletak pada hubungan sosial beliau yang kuat dengan masyarakat. Imam Jawad as bersabda, "Bertemu dengan sahabat dan saudara akan mencerahkan hati dan membuatnya bersinar serta mengembangkan akal dan kebijaksanaan manusia, meski pertemuan ini dilakukan sekejap."
Dalam perspektif Imam Jawad as melayani masyarakat adalah karena turunnya rahmat Ilahi kepada manusia, dan jika seseorang lalai dalam hal ini, bisa jadi ia akan kehilangan nikmat Ilahi. Terkait hal ini beliau bersabda, "Nikmat Allah tidak akan banyak diturunkan kepada seseorang kecuali kebutuhan masyarakat kepada orang tersebut sangat banyak. Siapa saja yang tidak berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan ini dan enggan menanggung kesulitannya, maka ia telah kehilangan banyak nikmat Allah Swt."
Imam Jawad as hidup sezaman dengan dua khalifah Bani Abbasiah, Makmun dan Mu`tashim al-Abbasi. Sementara itu, pemerintahan Bani Abbasiah terkenal menyimpang dari ajaran Islam. Mereka hanya menampilkan keislaman secara zahir. Di saat yang sama pemerintahan Bani Abbasiah juga memiliki program terencana untuk mengubah ajaran suci Islam. Sementara itu, sikap anti dan penentangan yang ditunjukkan Imam Jawad terhadap pemerintah berkuasa mendapat reaksi luas. Sikap Imam ini juga menjadi sebab kehidupan beliau senantiasa menghadapi rongrongan dari penguasa.
Imam Jawad seperti para Imam Ahlul Bait lainnya tidak tinggal diam menyaksikan kezaliman dan penyimpangan yang dilakukan penguasa Abbasyiah. Kebenaran terus disampaikan Imam meski kepada masyarakat dalam kondisi yang sesulit apapun. Keberanian, ketegasan dan perlawanan beliau terhadap kezaliman penguasa membuat Bani Abbasyiah tak mampu membiarkan beliau untuk bebas bergerak dan membiarkannya terus hidup. Oleh karena itu, penguasa Bani Abbasiah meneror Imam Jawad di usia yang relatif muda, 25 tahun.
Khalifah Makmun seperti khalifah Bani Abbasiah lainnya takut akan pengaruh spiritual para imam maksum di tengah masyarakat berusaha untuk mengontrol secara ketat Imam Jawad. Salah satu makar yang diterapkan Makmun adalah menikahkan putrinya "Ummul Fadl" dengan Imam Jawad sehingga khalifah bisa memantau seluruh aktivitas Imam baik itu di laur maupun di dalam rumah.
Alasan lain Makmun adalah menarik Imam Jawad ke kubunya, karena ia beranggapan dengan hubungan ini Imam akan silau dengan kekuasaan sehingga kesuciannya akan rusak dan kemudian pengikutnya akan berantakan serta Makmun pada akhirnya akan semakin kuat. Melalui pernikahan ini, Makmun ingin mengakhiri protes warga terhadap dirinya dan menunjukkan dirinya sangat mencintai rakyatnya.
Imam Jawad dengan baik memahami konspirasi Makmun dan rela menikahi putri penguasa Bani Abbasiah ini. Sejatinya salah satu alasan beliau menerima pernikahan ini adlah untuk menjaga pengikut Syiah dari brutalitas Makmun. Bukti sejarah menunjukkan fakta ini bahwa Makmun gagal mensukseskan konspirasinya tersebut. Imam berada di Madinah hingga akhir pemerintahan Makmun dan setelah kematian Makmun atas instruksi Muktasim Abbasi, bersama istrinya, Imam Jawab pada tahun 220 H pindah ke Baghdad. Imam Jawad diracun pada bulan Dzulqadah tahun 220 H serta dikebumikan di samping kakeknya, Imam Musa Kadhim as.
a. Biografi Singkat Imam Muhammad Al-Jawad a.s.
Diterjemahkan dari : Asynâ bâ Ma'sumin Hadrat Imam Muhammad Taqî Al-Jawâd Imame Nuhum
Karya : Sayyid Mahdî Ayatullâhî
Terbitan : Intisyârât Jahân arâ Islâmic Republic of Iran
Penerjemah : A. Kamil
Penyunting : Abu 'Ali
Diperbanyak oleh : Yayasan Putra Ka'bah Qum Al-Muqaddas Jumadi Tsani 1424
Daftar Isi
IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD ALAIHIS SALAM
a. Biografi Singkat Imam Muhammad Al-Jawad a.s.
Berkenaan dengan tanggal kelahiran Imam Jawad a.s. terdapat perbedaan pendapat yang tajam di antara para ahli sejarah. Menurut pendapat yang masyhur, ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 10 Rajab 195 H. Julukannya adalah Abu Ja'far, ayahnya adalah Imam Ali Ridha a.s. dan ibunya adalah Subaikah yang dikenal dengan julukan Khizran.
Imam Jawad a.s. hidup sezaman dengan Ma`mun dan Mu`tashim Al-Abasi. Mu'tashim berhasil meracun Imam Jawad melalui perantara istrinya sendiri, Ummul Fadhl yang juga putri Ma`mun. Peristiwa itu terjadi ketika Imam a.s. berusia 25 tahun.
Ma`mun yang ketika itu berusaha untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang muncul atas nama Syi'ah, ia bersikeras untuk mendekatkan Imam Jawad a.s. ke keluarga istana. Tujuan utamanya adalah ia ingin mengasingkan Imam a.s. dari kekuatan masyarakat pendukungnya. Akan tetapi, ia harus menjalankan niatnya tersebut dengan cara supaya para pendukung Imam a.s. tidak murka. Dengan demikian, Ma`mun ingin mengawinkan putrinya, Ummul Fadhl dengannya sebagai taktik lama politiknya yang selama ini sudah beberapa kali diuji keampuhannya. Dengan taktik ini, Ma`mun --secara lahiriah-- di samping mendapat rekomendasi dari Imam Jawad a.s. atas segala perilaku yang pernah dilakukannya, ia juga dapat menyeret Imam a.s. untuk hidup di dalam istana yang penuh dengan segala kemewahan.
Akan tetapi, Imam Jawad a.s. bersikeras untuk pulang ke Madinah supaya segala rencana yang telah diatur oleh Ma`mun tersebut berantakan dan keabsahan pemerintahannya dipertanyakan.
Imam Jawad a.s. meneruskan program ayahnya dalam berdakwah dengan menyadarkan masyarakat secara ideologi. Ia mengundang fuqaha` dari berbagai penjuru negeri Islam untuk berdiskusi dengan tujuan supaya mereka dapat mengambil pelajaran dari petunjuk-petunjuknya.
Syeikh Mufid berkata: "Ma`mun sangat menyukai Imam Jawad a.s. Karena ia --dengan usia yang begitu muda-- sudah berhasil menjadi orang, baik dalam bidang keilmuan maupun dalam etika. Dalam bidang hikmah dan kesempurnaan akal, ia telah berhasil sampai kepada suatu tingkat yang para ulama kaliber pada masanya tidak mampu menyamainya".
Belianya usia Imam Jawad a.s. adalah sebuah mukjizat yang (dengan keluasan pengetahuan yang dimilikinya) sangat mempengaruhi para penguasa saat itu. Ketika ayahnya syahid, ia hanya berusia kurang dari 8 tahun. Pada usia itu juga, ia harus memegang tampuk keimamahan.
Imam Jawad a.s. selalu mengadakan hubungan erat dengan kekuatan masyarakat yang siap mendukungnya. Mu'tashim merasa khawatir dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Imam a.s. Oleh karena itu, ia memerintahkannya untuk kembali ke Baghdad. Begitu Imam Jawad a.s. memasuki kota Baghdad, Mu'tashim dan Ja'far, putra Ma`mun selalu membuat rencana untuk membunuhnya. Akhirnya pada akhir bulan Dzul Qa'dah 220 H. mereka berhasil melaksanakan niatnya tersebut.
Imam Jawad a.s. menjalani mayoritas kehidupannya pada masa Ma`mun. Oleh karena itu, ia tidak begitu banyak mendapat tekanan pada masa ini. Melihat kesempatan yang ada, ia menggunakannya dengan sebaik-baiknya untuk menyebarkan missi Islam.
Pada kesempatan ini kami haturkan kepada para pembaca budiman hadis-hadis pilihan yang pernah diucapkan oleh Imam Jawad a.s. selama ia hidup.
1.Mukmin perlu kepada tiga hal
"Seorang mukmin perlu kepada taufik dari Allah, penasihat dari dalam dirinya dan menerima nasihat orang yang menasihatinya".
2.Kokohkan terlebih dahulu kemudian tampakkan!
"Mengeksposkan sesuatu sebelum diperkokoh tidak lain adalah kerusakan belaka".
3.Terputusnya nikmat akibat tidak bersyukur
"Tambahan nikmat dari Allah tidak terputus selama rasa bersyukur seorang hamba tidak terhenti".
4.Mengakhirkan taubat
"Mengakhirkan taubat adalah semacam menipu diri sendiri, selalu berjanji yang tidak pernah ditepati adalah semacam kebingungan (batin), mencari-cari alasan di hadapan Allah adalah kehancuran dan melakukan maksiat secara kontinyu adalah merasa aman dari makar-Nya. "Maka tidak akan merasa aman dari makar Allah kecuali kaum yang fasik".
5.Surat Imam Jawad a.s. kepada salah seorang sahabatnya
"Kami semua di dunia ini berada di bawah pimpinan orang lain. Akan tetapi, barang siapa yang sesuai dengan kehendak imamnya dan mengikuti agamanya, maka ia akan selalu bersamanya di mana pun ia berada. Dan akhirat adalah dunia keabadian".
6.Tanggung jawab mendengarkan
"Barang siapa yang mendengarkan kepada seorang pembicara (dan seraya mengikuti semua ucapannya) sesungguhnya ia telah menyembahnya. Jika pembicara tersebut berasal dari Allah, maka ia telah menyembah Allah, dan jika pembicara tersebut berbicara atas nama Iblis, maka ia telah menyembah Iblis tersebut".
7.Merelai sama dengan menerima
"Barang siapa yang menyaksikan sebuah perkara kemudian ia mengingkarinya, maka ia seperti orang yang tidak pernah melihatnya. Dan barang siapa tidak menyaksikan sebuah peristiwa lalu merelainya, maka ia seperti orang yang menyaksikannya".
8.Wasiat Imam Jawad a.s.
"Jiwa dan seluruh harta kita adalah anugerah Allah yang sangat berharga dan pinjaman dari-Nya yang telah dititipkan (kepada kita). Segala yang dianugerahkan kepada kita adalah pembawa kebahagiaan dan kesenangan, dan segala yang diambilnya (dari kita), pahalanya akan tersimpan. Barang siapa yang kemarahannya mengalahkan kesabarannya, maka pahalanya telah sirna. Dan kami berlindung kepada Allah dari hal itu".
9.Bersahabat dengan sahabat Allah
"Allah pernah mewahyukan kepada sebagian para nabi a.s.bahwa sikap zuhudmu terhadap dunia akan membahagiakanmu dan penghambaanmu terhadap diri-Ku karena Aku akan memuliakanmu. Akan tetapi, apakah engkau telah memusuhi musuh-Ku dan bersahabat dengan sahabat-Ku?'".
10.Sebuah nasihat
"Bertemanlah dengan kesabaran, peluklah kefakiran, tolaklah nafsu dan tentanglah segala keinginanmu. Dan ketahuilah bahwa engkau tidak akan lepas dari pandangan Allah. Oleh karena itu, periksalah keadaan dirimu".
11.Ulama yang terasingkan
"Ulama akan terasingkan karena banyaknya orang-orang bodoh (yang tidak mau memahami nilai mereka)".
12.Sumber ilmu Imam Ali a.s.
"Rasulullah SAWW mengajarkan seribu kalimat kepada Ali a.s. Dari setiap kalimat bercabang seribu kalimat (yang lain)".
13.Pesan Rasulullah SAWW kepada Fathimah a.s.
"Sesungguhnya Rasulullah SAWW pernah berpesan kepada Fathimah a.s. seraya bersabda: "Jika aku meninggal dunia, janganlah engkau mencakar-cakar wajahmu, janganlah engkau uraikan rambutmu, janganlah berkata 'celakalah aku' dan janganlah mengumpulkan para wanita untuk menjerit-jerit menangisiku. Ini adalah kebajikan (ma'ruf) yang Allah firmankan dalam ayat-Nya: "Dan mereka tidak menentangmu dalam kebajikan". (Al-Mumtahanah : 12)
14.Imam Mahdi a.s.
"Al-qa`im dari keluarga kami adalah Mahdi yang wajib untuk ditunggu ketika ia menjalani ghaibah dan ditaati ketika ia muncul. Ia adalah anakku yang ketiga (Imam Mahdi bin Imam Hasan Al-Askari bin Imam Ali Al-Hadi dan a.s.--pen.)".
15.Bertemu sahabat
"Bertemu dengan para sahabat dapat memperluas dan mematangkan akal meskipun hal itu berlangsung sebentar".
16.Hawa Nafsu
"Barang siapa yang menaati hawa nafsunya, maka ia telah memberikan harapan kepada musuhnya".
17.Penyembah hawa nafsu
"Penyembah hawa nafsu tidak akan aman dari ketergelinciran".
18.Orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah
"Bagaimana mungkin binasa orang yang Allah adalah penanggungnya, dan bagaimana mungkin dapat menyelamatkan diri (baca : lari dari keadilan Ilahi) orang yang Allah adalah pencarinya. Barang siapa yang bertawakal kepada selain Allah, maka Ia akan menyerahkannya kepada orang tersebut".
19.Mengenal awal dan akhir kehidupan
"Barang siapa yang tidak mengetahui jalan masuk, maka ia tidak akan dapat menemukan tempat keluar".
20.Hasil usaha
"Berusahalah sekuat tenaga hingga kau mencapai tujuan. Jika tidak, engkau akan hidup dalam kesusahan".
21.Mensyukuri nikmat
"Nikmat yang tidak disyukuri bagaikan dosa yang tidak akan diampuni".
22.Toleransi terhadap masyarakat
"Orang yang enggan bertoleransi dengan masyarakat, kesedihan akan selalu menghantuinya".
23.Akibat tidak memiliki pengetahuan
"Orang yang mengerjakan sesuatu tanpa didasari oleh pengetahuan, kerusakan yang ditimbulkannya lebih banyak dari pada perbaikan yang diinginkannya".
24.Qadha` yang pasti
"Jika qadha` yang pasti tiba, maka kehidupan menjadi sempit".
25.Masa akan bercerita segalanya
"Masa akan menyingkap rahasia-rahasia yang (selama ini) tersembunyi darimu".
26.Mawas diri
"Mawas diri bergantung kepada kadar rasa takut (yang dimiliki oleh seseorang)".
27.Janganlah menjadi demikian!
"Jangan engkau (berpura-pura) menjadi wali Allah di hadapan khalayak dan menjadi musuhnya di belakang mereka".
28.Empat faktor penggerak
"Empat hal dapat membantu seseorang untuk beraktivitas: kesehatan, kekayaan, ilmu dan taufik".
29.Sama seperti orang zalim
"Orang yang melihat kezaliman (sedang berlangsung), orang yang menolongnya dan orang yang merestuinya adalah sama (dengan orang yang melaksanakan kezaliman tersebut".
30.Dosa-dosa penyebab kematian
"Kematian manusia yang disebabkan oleh dosa lebih banyak dibandingkan dengan kematiannya karena ajal, dan ia hidup karena kebajikan yang dilakukannya lebih banyak dibandingkan dengan hidupnya karena umur panjang".
31.Faktor-faktor penarik kasih sayang
"Tiga hal dapat menimbulkan kasih sayang: memahami orang lain, saling menolong ketika masa kesulitan dan menjalani kehidupan dengan hati yang bersih".
32.Percaya kepada Allah adalah tangga kesempurnaan
"Percaya kepada Allah adalah harga untuk harta yang mahal dan tangga menuju kesempurnaan".
33.Cepat menuju Allah
"Menuju Allah dengan hati lebih jitu dan tepat dari pada menuju kepada-Nya dengan perantara amalan".
34.Menghindari orang jahat
"Janganlah bersahabat dengan orang jahat, karena ia bagaikan pedang yang telah dikeluarkan dari sarungnya; enak dipandang, buruk akibatnya".
35.Faktor-faktor ridha Allah dan manusia
"Tiga hal dapat mengantarkan manusia kepada ridha Allah: banyaknya istighfar, keramah-tamahan dan banyak bersedekah. Tiga hal jika dimiliki oleh seseorang, ia tidak akan menyesal: tidak terburu-buru, bermusyawarah dan bertawakal kepada Allah ketika ia sudah mengambil keputusan".
IMAM JAWAD CAHAYA KEDERMAWANAN
Di akhir bulan Dzul Qa'dah kita memperingati hari syahadah Imam Muhammad Jawad, anak Imam Ridha as. Di hari ini tahun 220 Hijrah Imam Jawad as berpulang ke haribaan Allah swt dan dunia Islam meratapi dalam-dalam kepergian pemimpin besarnya. Ahlul Bait Nabi Muhammad saw bertindak sebagai pengasas perubahan pemikiran, budaya dan sosial umat Islam dalam menyukseskan risalah besar dan ilahi. Bila kita membahas sejarah kehidupan Ahlul Bait, dengan mudah peran besar dan bernilai mereka dalam melindungi prinsip-prinsip agama dapat kita pahami.
Ahlul Bait Nabi Muhammad saw dalam kehidupan mereka terkenal tegar menghadapi kezaliman. Dengan usaha keras dan jihad yang dilakukan mereka mampu melindungi substansi Islam agar agama besar ini tetap hidup untuk selamanya. Imam Jawad as termasuk Ahlul Bait Nabi Muhammad saw yang selama 17 tahun mengemban tanggung jawab sebagai imam dan penuntun umat Islam. Selama itu pula beliau senantiasa berusaha menyebarkan Islam dan memperkaya khazanah pemikiran Islam. Kini kita tepat berada di hari syahadah beliau dan sudah tepat bila kita mengkaji sekilas kehidupan Imam Jawad as.
Imam Jawad as dalam salah satu ucapannya mengatakan, "Bila manusia memiliki tiga ciri khas ini, ia bakal mencapai makam kerelaan Allah; pertama banyak meminta ampunan kepada Allah, kedua bersikap lemah lembut dengan masyarakat dan ketiga banyak memberikan sedekah." Imam Jawad as menilai melayani dan membantu masyarakat akan menurunkan rahmat ilahi. Bila seseorang menyepelekan masalah ini, kemungkinan ia akan kehilangan nikmat ilahi. Sekaitan dengan hal ini beliau berkata, "Saat nikmat ilahi banyak diturunkan kepada seseorang, itu berarti semakin banyak masyarakat yang membutuhkannya. Bila orang tersebut tidak berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, niscaya nikmat ilahi berada dalam kondisi bahaya dan bakal musnah."
Imam Jawad as adalah anak Imam Ridha sa. Beliau lahir di kota Madinah tahun 195 Hijrah. Umur Imam Jawad as terhitung pendek dan syahid pada usia 25 tahun. Namun dalam masa yang singkat ini beliau sangat berperan dalam meningkatkan pemikiran masyarakat waktu itu. Imam Jawad as pada usia 8 tahun diangkat sebagai imam umat. Dengan alasan usianya yang masih muda ini membuat sebagian orang meragukannya, sementara sebagian lainnya malah semakin takjub.
Alasan keraguan sebagian orang ini kembali pada cara berpikir materialis dalam mengamati fenomena alam. Padahal Allah Yang Maha Bijaksana punya kemampuan untuk mengembangkan akal seseorang sekalipun masih dalam usia yang muda. Hal ini sesuai dengan apa yang dinukilkan Al-Quran mengenai umat-umat terdahulu. Kenabian Nabi Yahya as terjadi saat beliau masih kecil dan Nabi Isa as yang berbicara saat masih bayi merupakan contoh dari mukjizat ilahi.
Imam Jawad as sejak kecil hingga menginjak usia remaja telah dikenal akan keilmuan, kefasihan, kesabaran dan ketakwaan. Beliau memiliki kecerdasan dan cara penyampaian yang lugas. Meskipun usianya masih muda belia, tapi dari sisi keilmuan dan keutamaan beliau telah disejajarkan dengan tokoh-tokoh masa itu. Dalam sejarah disebutkan, saat musim haji sekitar 80 orang ahli fikih dari Baghdad dan kota-kota lain menuju Madinah untuk bertemu dengan Imam Jawad as. Mereka mencecar Imam dengan pelbagai pertanyaan ilmiah, namun Imam Jawad as dengan tenang dan mantap menjawab semua yang ditanyakan. Kejadian ini memupuskan segala keraguan yang selama ini menggelayut benak mereka.
Imam Jawad as juga terkadang hadir dalam dialog dengan para ilmuan yang terkadang sangat menantang. Dialog-dialog itu semakin membuktikan kemampuan ilmu dan keutamaannya. Argumentasi kokoh Imam Jawad as dalam pembahasan-pembahasan itu mampu menyingkap pelbagai rahasia masalah-masalah yang rumit. Oleh karenanya para ilmuan, bahkan mereka yang menentang beliau tidak mampu mengingkari derajat keilmuan dan ketakwaannya.
Suatu hari Makmun, Khalifah Bani Abbasiah mengadakan satu pertemuan dengan tujuan menguji keilmuan Imam Jawad as dalam satu dialog ilmiah yang dihadiri para ilmuan. Dalam pertemuan itu hadir Yahya bin Aktsam, ilmuan terkenal masa itu. Saat diberi kesempatan ia bertanya, "Ada seorang yang berihram untuk melakukan manasik haji. Apa hukumnya bila ia berburu seekor hewan?" Imam Jawad as tidak langsung menjawab tapi berbalik menanyainya guna memperjelas pertanyaannya dan ternyata dari satu pertanyaan asli itu beliau berhasil membaginya menjadi 22 pertanyaan cabang yang punya hubungan dengan pertanyaan asli. Jawaban untuk setiap pertanyaan ini pun berbeda-beda. Cara menjawab atas pertanyaan ini membuktikan penguasaan yang luar biasa Imam Jawad as atas ilmu agama. Akhirnya para ilmuan-ilmuan yang hadir dalam pertemuan tersebut mengakui kehebatan ilmu Imam Jawad as.
Selama 17 tahun menjadi Imam, dari tahun 203 hingga 220 Hijrah Imam Jawad as menyaksikan kekuasaan dua khalifah Abbasiah; Makmun dan Muktasim. Kedua penguasa Bani Abbasiah ini tidak konsekwen mengamalkan perintah-perintah ilahi dan hanya menunjukkan tampak lahiriah yang islami. Terkadang kedua khalifah ini malah menafsirkan hukum-hukum Islam demi kepentingan mereka. Menyaksikan perilaku mereka ini Imam Jawad as tidak berdiam diri. Aksi penentangan Imam Jawad as direaksi luas oleh masyarakat. Menyaksikan sikap Imam Jawad as, kedua khalifah ini mulai memperluas gangguannya kepada beliau dan menerapkan batasan lebih ketat.
Imam Jawad as dipaksa Makmun meninggalkan kota Madinah dan dipaksa tinggal di pusat kekusaan kekhalifahan Abbasiah di Baghdad. Sekalipun dalam kondisi sulit yang dihadapinya, beliau tetap mampu mempertahankan hubungannya dengan masyarakat. Beliau memilih untuk tetap melanjutkan perlawanan dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Imam Jawad as mengutus para pejabat ke seluruh daerah yang dikuasai pemerintahan Islam.
Para pejabat Imam Jawab as tersebar di banyak tempat seperti Basrah, Sistan, Ahvaz, Hamedan, Kufah, Qom dan Rey. Sementara sebagian lain dari para pembantu dan sahabat Imam Jawad as bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan Bani Abbasiah, bahkan ada yang memiliki jabatan tinggi. Ali Bin Mahziyar Ahwazi termasuk sahabat setia Imam Jawad as yang bekerja di pemerintahan Bani Abbasiah. Ia banyak memberikan bantuan dan pelayanan demi membantu para pengikut Ahlul Bait yang disiksa dan ditekan oleh pemerintah.
Imam Jawad as tidak kenal lelah dalam menuntun pemikiran masyarakat. Beliau begitu merasa bertanggung jawab atas masa depan masyarakat dan apa yang bakal terjadi pada mereka. Ayah beliau Imam Ridha as menjelaskan kepadanya bagaimana berhubungan dengan masyarakat. Dijelaskan, "Laluilah jalan yang banyak dilalui orang agar dapat bertemu dengan mereka. Usahakan ada sejumlah uang di saku agar dapat segera membantu orang yang membutuhkan." Perilaku Imam Jawad as dengan masyarakat selalu disertai dengan sikap rendah hati dan lemah lembut. Beliau dikenal dengan sebutan Al-Jawad berkat kedermawanannya.
Dalam sejarah disebutkan, ada beberapa orang dari daerah lain yang ingin mendatangi Imam Jawad as, sembari membawa bermacam hadiah yang mahal. Namun di pertengahan jalan mereka dicegat oleh gerombolan perampok yang menjarah semua barang bawaan mereka. Orang yang bertanggung jawab membawa hadiah-hadiah tersebut kepada Imam Jawad as menuliskan surat kepada beliau dan menceritakan apa yang terjadi.
Setelah membaca surat itu dan mengetahui apa yang terjadi, Imam membalas suratnya. Dalam suratnya Imam menulis, "Sesungguhnya jiwa dan harta kita adalah pemberian dan amanat Allah. Bila kita dapat memanfaatkannya bakal menjadi modal kegembiraan. Apa yang mereka ambil itu harus membuat kita bersabar. Karena sikap ini bakal mendatangkan pahala. Setiap orang yang gelisah menghadapi masalahnya dan tidak sabar, pahalanya bakal hilang."
Dua tahun menjelang akhir kehidupan Imam Jawad as boleh dikata tahun-tahun paling berat bagi beliau. Ketika Muktasim, Khalifah Abbasiah berkuasa, ia begitu khawatir akan pengaruh spiritual dan kekuatan pemikiran Imam Jawad as. Oleh karena itu, ia berusaha keras menghalang-halangi aktivitas Imam Jawad as, sekaligus menugaskan bawahannya untuk selalu mengawasi beliau. Meskipun Khalifah Makmun dan Muktasim begitu ketat mengawasi Imam Jawad as, namun mereka tetap tidak mampu mengurangi cinta masyarakat kepada beliau. Saat Imam Jawad as berjalan di kota, walau hanya dalam waktu singkat, masyarakat begitu menampakkan cintanya dan langsung mengerumuni beliau. Lebih dari itu, mereka bahkan rela memanjat atap rumah hanya untuk melihat cucu Rasulullah saw ini.
Secara umum, gerakan pencerahan Imam Jawad as dan pengaruh ucapan beliau membuat rakyat tersadar dan kenyataan ini membuat kedengkian Muktasim semakin bertambah. Tidak ada jalan lain bagi Muktasim untuk menghalangi pengaruh Imam, kecuali dengan jalan menghabisinya. Imam Jawad as dalam usia muda, 25 tahun dibunuh oleh Muktasim. Di akhir acara ini patut kiranya merenungkan ucapan Imam Jawad as, "Mengenal agama adalah tangga menuju kemajuan demi meraih derajat yang tinggi."
MUHAMMAD AL-JAWAD ALAIHIS SALAM : INSAN KAMIL
Diterjemahkan dari : Asynâ bâ Ma'sumin Hadrat Imam Muhammad Taqî Al-Jawâd Imame Nuhum
Karya : Sayyid Mahdî Ayatullâhî
Terbitan : Intisyârât Jahân arâ Islâmic Republic of Iran
Penerjemah : A. Kamil
Penyunting : Abu 'Ali
Diperbanyak oleh : Yayasan Putra Ka'bah Qum Al-Muqaddas Jumadi Tsani 1424
Imam Muhammad Taqî Al-Jawâd
Adik-adik dan remaja tercinta
Adik-adik, dalam kehidupan dunia ini, kita memerlukan teladan dari yang berakhlak agung dan mulia, sehingga dengan keteladanan dari mereka, kita dapat meniru akhlak luhur mereka. Para pemimpin agama dan para Imam Ahlul Bait As adalah contoh dan teladan bagi kita semua. Oleh karena itu, kami telah membuat penelitian perihal kehidupan mereka, dengan maksud untuk memperkenalkan kepada adik-adik akan kehidupan mereka. Dan semaksimal mungkin kami telah menyusun buku-buku ihwal kehidupan mereka dengan bahasa sederhana sehingga dapat dipahami dengan mudah.
Kumpulan kisah manusia-manusia suci ini disusun seringkas mungkin dengan tidak melupakan keabsahan kisah-kisah teladan Imam Ahlul Bait itu.
Para ahli sejarah Islâm telah mengkajinya secara serius dan mereka mendukung adanya penyusunan buku ini.
Kami berharap, adik-adik sekalian sudi mengkajinya secara serius pula. Hasil dari pelajaran ini, kami meminta kepada adik-adik untuk dapat menyampaikan kesan dan pandangannya.
Kami sangat berterima kasih atas perhatian adik-adik. Dan semoga adik-adik mau bersabar menantikan edisi-edisi selanjutnya.
Wiladah
Memasuki usia lebih empat puluh tahun Imam ke delapan Syiah, Imam Ridâ As belum dikaruniai anak putra seorang pun. Para pengikut beliau menunjukkan kerisauan dan kecemasan mereka dan berdoa kepada Allah Swt agar menganugerahi putra kepada Imam Ridâ As, seorang putra yang dinanti-nantikan. Syi'ah Imam Ridâ mendengar dari para Imam sebelumnya bahwa Imam mereka yang ke sembilan adalah anak dari Imam ke delapan. Bahkan setiap kali mereka mengunjungi Imam Ridâ, mereka senantiasa menanyakan pada beliau tentang siapa pengganti beliau kelak. Imam menjawab, "Allah Swt akan menganugerahiku seorang putra yang akan menjadi pewarisku dan menjadi Imam setelah aku."
Akhirnya, pada hari ke sepuluh bulan Rajab tahun 195 Hijriah penantian mereka berakhir. Imam lahir dari ibunya yang bernama "Khaizran." Ibunda Imam Jawâd ini berasal dari keluarga Mâria Qibtia istri Rasulullâh Saw yang terkenal dan masyhur dikalangan Arab itu, karena kesucian, kesederhanaan dan ketinggian budi pekertinya.
Imam memiliki banyak gelar dan gelar yang paling masyhur adalah Taqî dan Jawâd. Hakima, saudari Imam Ridâ As, berkata: "Pada malam hari kelahiran Imam Jawâd, Imam Ridâ memerintahkan kepadaku untuk berada di sisi istri beliau, melayani istri Imam Ridâ As. Putra Imam lahir ke dunia dengan selamat dan ketika lahir, putra Imam itu menatap ke atas langit dan menyatakan, menegaskan ke-Esaan Allah Swt dan kerasulan Muhammad Saw." Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata: "Wahai ukhti, Jangan engkau terganggu dengan peristiwa ini, engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi."
Kelahiran ini merupakan rahmat, berita gembira bagi kaum Syi'ah. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan dan kecemasan mereka.
Naûf'Ali menceritakan: "Ketika Imam Ridâ As melakukan perjalanan ke Khurasan aku berkata kepada beliau: "Apakah anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan." Beliau berkata: "Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi."
Imam berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, "Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku, ajukan pertanyaanmu dan bertanyalah kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi Imam setelahku." Tatkala beberapa orang sahabat menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat?" Beliau berkata: "Allah Swt telah mengangkat Nabi 'Isâ sebagai nabi ketika beliau masih lebih muda lagi dari Abû Ja'far. Usia dan ketuaan seseorang tidak ikut campur dalam urusan Nubuwwah dan Imamah."
Imam ke sembilan umat ini, Imam Jawâd As menerima tanggung jawab Imamah pada usia sembilan tahun. Salah seorang sahabat beliau berkata: " 'Ali bin Ja'far paman Imam Jawâd di Madinah adalah seorang yang memiliki pengaruh yang besar. Orang-orang Madinah menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid, orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang masalah-masalah yang mereka hadapi. Suatu hari Imam Jawâd memasuki masjid tersebut, 'Ali bin Ja'far yang merupakan orang tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya dan mencium tangan Imam lalu berdiri di sisi beliau. Imam berkata: "Paman duduklah." Sang paman berkata padanya: "Bagaimana mungkin aku dapat duduk selagi Anda masih berdiri?"
Ketika 'Ali bin Ja'far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka menegurnya dan berkata: "Anda adalah orang tua dan paman dari anak ini. Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya? Ali Ja'far menjawab : "Diamlah, kedudukan Imamah merupakan sebuah kedudukan dan maqam yang telah digariskan oleh Allah Swt. Allah Swt tidak memandang orang tua ini (Abû Ja'far, penj.) mampu dan cakap untuk mengemban kepemimpinan (Imamah) atas umat. Namun Dia memandang anak ini cakap untuk kedudukan itu. Dan kalian harus mentaati perintahnya."
Keunggulan Akhlâk Imam Jawâd As
Imam As masih belia ketika ayahandanya wafat. Namun sedikit pun ia tidak pernah berlaku sebagaimana anak-anak seusianya. Bahkan pernah suatu hari salah seorang sahabatnya membeli alat mainan untuk Imam dan membawanya ke rumah beliau. Kisah ini terjadi sewaktu ayah Imam masih hidup. Imam sangat terganggu dengan kelakuan anak tersebut. Kepadanya Imam berkata: "Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini? Kami adalah keluarga yang cinta akan ilmu dan kebaikan."
Satu tahun berselang setelah syahadah Imam Ridâ As, Ma'mun yang pada saat itu pergi berburu binatang bersama dengan pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu. Dan seorang anak berdiri di tepi jalan dan mengamati mereka yang sedang bermain. Ketika mereka melihat Ma'mun dan pasukannya hendak melewati jalan tersebut, mereka semuanya berlarian menjauh dari tempat itu. Namun anak yang berusia sebelas tahun itu tetap tidak bergeming dari tempatnya dan tetap berdiri di situ. Ma'mun mendekati anak itu dan bertanya, "Wahai bocah kecil, mengapa engkau tidak kabur sebagaimana anak-anak lainnya?"
Anak itu menjawab, "Jalan tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun sehingga aku tidak perlu takut. Aku pikir anda tidak akan mengganggu seseorang tanpa alasan. Dengan demikian, bagiku kabur adalah suatu langkah yang tidak beralasan." Ma'mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya: "Siapakah namamu?"
Anak itu menjawab: " Muhammad."
Ma'mun bertanya lagi: "Putra siapakah engkau?"
Anak itu menjawab: "Putra 'Ali."
Ma'mun berkata: "Apakah engkau ini adalah putra Ridâ?"
Anak itu menjawab: "Iya."
Ma'mun memuji dan menepuk kedua tangannya tanda kagum terhadap anak itu. Setelah itu ia beranjak dari tempat itu diikuti oleh pasukannya.
Surat Imam Ridâ As untuk putranya
Bazantî berkata, "Suatu hari Imam Ridhâ As menulis surat kepada putranya di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:
Wahai putraku! Aku mendengar bahwa para pelayan khâlifah tidak memperkenankan orang-orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu.
Ketahuilah mereka (para pelayan khâlifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini aku perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka. Bilamana engkau pergi bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan membutuhkan pertolonganmu.
Pikirkanlah orang orang yang mendapat kesulitan hidup, rawat dan bantu mereka dengan baik. Jangan engkau lupakan untuk senantiasa bersikap pemurah dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan.
Hubungan Imam As dengan alam gaib
Setelah syahadah Imam Ridâ, delapan puluh orang ahli ilmu dan hikmah mengadakan safar ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Dalam perjalanan mereka menuju Mekah mereka singgah di Madinah dan menyempatkan diri untuk mengunjungi Imam Jawâd As. Imam yang ketika itu masih sangat muda, masuk ke tempat di mana mereka berkumpul untuk menantikan Imam. Ketika Imam datang, mereka semuanya berdiri untuk memuliakan dan memberikan penghormatan kepada beliau.
Lalu mereka bertanya kepada Imam tentang masalah-masalah yang mereka hadapi. Mereka mendengarkan Imam memberikan jawaban dan sangat gembira atas jawaban Imam itu. Salah seorang dari mereka yang bernama "Ishâq" berkata: "Aku menulis beberapa masalah untuk aku tanyakan kepada Imam dan meminta beliau untuk mendoakan aku sehingga Allah Swt berkenan menganugerahi seorang putra kepadaku. Karena hari itu orang-orang ramai berdatangan, aku berdiri pergi dari tempat itu dan berhajat untuk datang lagi pada hari berikutnya. Imam As melihatku dan berkata: "Wahai Ishâq! Allah Swt telah mengabulkan permohonanmu dan akan segera menganugerhakan padamu seorang putra. Berikan nama pada anak itu dengan nama "Ahmad."
Kemudian, Imam As memberikan jawaban atas seluruh masalah-masalah yang aku hadapi. Aku belum sempat bertanya, Imam telah menjawabnya. Aku terkejut dengan jawaban yang beliau berikan, meskipun aku belum sempat mengutarakannya.
Begitu agung nikmat yang dianugerahkan Allah Swt kepada kita. Anugerah Imam yang menjadi hujjah bagi Allah Swt di muka bumi ini. Hingga ketika aku kembali ke kotaku dalam waktu yang tidak terlalu lama, Allah Swt memberikan aku seorang putra persis dengan apa yang telah disabdakan Imam kepadaku. Aku beri nama putraku itu dengan nama: "Ahmad."
Asharî Qumî berkata: "Aku mendapat kehormatan mengunjungi Imam As. Aku dengan rendah berkata: "Salah seorang wanita, yang merupakan salah seorang sahabat Anda juga, telah mengajurkan aku untuk membawa pulang salah satu dari pakaian Anda untuk ia gunakan sebagai kain kafan.
Imam berkata: "Dia tidak memerlukannya lagi." Aku tidak begitu paham apa yang disabdakan oleh Imam hingga aku meminta diri dari hadapan beliau. Setelah itu aku mengerti bahwa beberapa hari sebelum berkunjung ke hadirat Imam As, wanita itu telah meninggal dunia. Imam telah mengetahui perihal kematian wanita itu sebelumnya. Beliau ingin memberitahukan perihal wanita itu kepadaku melalui isyarat.
Ummiya berkata: "Selama masa Imam Ridâ di Khurasan, aku selalu mengunjungi rumah beliau. Suatu hari beliau berkata kepada kerabatnya "Bersiap-siaplah untuk melaksanakan acara duka esok pagi. Aku berkata: "Untuk siapa?" Acara duka untuk sebaik-baik manusia, ayahku Hadrat Imam Ridâ As."
Abâ Salât yang merupakan salah seorang sahabat Imam berkata: "Setelah syahadah Imam Ridâ, aku ditangkap atas perintah Ma'mun. Aku menjadi tawanan selama satu tahun dan sangat bersedih dan berduka. Suatu hari, aku terjaga dan sibuk beribadah, berdoa dan bertawassul kepada Imam As untuk menolongku. Aku belum lagi selesai mengerjakan shalât aku melihat Imam Jawâd putra Imam Ridâ As datang mendekat padaku. Beliau menyapaku: "Wahai Abâ Salât, nampaknya engkau begitu sedih dan berduka?" Aku berkata: "Benar, wahai Imam. Imam mendekatiku dan menghantam rantai itu dengan tangannya. Dengan seketika rantai itu terputus dan jatuh ke bumi. Lalu beliau berkata: "Berdirilah." Beliau mengambil tanganku dan menuntunku keluar dari penjara. Beliau berkata: "Kaburlah dari sini, sehingga Ma'mun tidak melihatmu dan tidak menyiksamu lagi. Setelah kabur dari tahanan Ma'mun, ia tidak lagi dapat menyiksaku. Dan demikian adanya apa yang dikatakan oleh Imam terjadi.
Pernikahan Imam Jawâd As
Ma'mun, setelah berhasil meracun Imam Ridâ, ia berjuang dan berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kematian Imam Ridâ adalah sebuah kematian yang wajar dan alami. Namun, berangsur-angsur kelicikan dan kebusukannya tercium oleh orang-orang 'Alawiyûn dan orang-orang Syi'ah. Mereka mengetahui bahwa Ma'mun telah melakukan sebuah tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridâ As. Oleh karena itu, sorak-sorak, kritikan, gejolak dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota. Ma'mun berupaya memadamkan api pemberontakan dan gejolak itu. Ia membawa putra Imam Ridâ itu, Imam Taqî al-Jawâd As dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya Ummul Fadal.
Orang-orang 'Abbâsiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma'mun itu, namun Ma'mun tidak menyetujuinya. Ia berkata kepada sanak keluarganya: "Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealim-alim manusia untuk aku jadikan menantuku." Kalian dapat mengujinya. Jika dia menjawab pertanyaanmu dan mengalahkanmu, jangan berkata apa-apa lagi, dan tarik kembali tuntutanmu itu. Jika dia tidak dapat menjawab pertanyaanmu, aku akan mengalah pada permintaanmu dan tidak memberikan putriku kepadanya.
Orang-orang 'Abbâsiyah mendekati Yahyâ bin Aktsam dan memintanya untuk menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam Jawâd di hadapan majelis resmi Ma'mun. Yahyâ mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma'mun dan mengumandangkan kesediaan Yahyâ. Ma'mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut. Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbâsiyah bersama dengan Yahyâ bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Majelis itu dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan dan para punggawa kerajaan. Kemudian, datanglah Imam Jawâd ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan Imam Jawâd As. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma'mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Ia berkata kepada Imam: "Yahyâ bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Imam menjawab: "Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan."
Yahyâ mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam: "Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihrâm dan berziarah ke Ka'bah sementara pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?"
Imam bersabda : " Wahai Yahyâ, masalah ini memiliki dimensi yang sangat luas (global, penj.). Mana yang ingin kau tanyakan? Apakah orang itu berada di luar Haram atau di dalam? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah ia pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang yang dimaksud adalah binatang buruan itu seekor burung atau sebaliknya? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?
Yahyâ kebingungan dan juga kagum tatkala Imam menjelaskan dan menggambarkan permasalahan itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbersit tanda kekalahan dan kegagalan. Lisannya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan pujian kepada Imam Jawâd As. Kemudian Imam mendatangi Yahyâ dan berkata : " Aku juga ada pertanyaan untukmu? Yahyâ berkata : " Silahkan, bertanyalah. Jika aku tahu, aku akan berikan jawabannya, namun jika tidak aku akan mengambil manfaat dari anda.
Kemudian Imam melontarkan pertanyaan kepadanya tentang sebuah masalah yang membuat seluruh hadirin di tempat itu bungkam, terdiam dan menanti-nanti jawaban dari Yahyâ. Orang-orang Abbâsiyah dan para pelayan Ma'mun termasuk pemujanya menjadi tidak tenang dan mereka berkata pada diri mereka sendiri : " Jika Aktsam tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan itu, maka kita semua akan menjadi malu dan terhina. Kehormatan dan kemuliaan Imam semakin melambung tinggi dengan adanya peristiwa itu.
Pada saat yang sama, ulama yang hadir di tempat itu menundukkan kepala mereka dengan malu dan berkata : " Aku tidak memiliki jawaban atas permasalahan ini. Andalah yang dapat menjelaskan masalah ini sehingga kami pun dapat mengambil manfaat darinya." Kemudian Imam memberikan jawaban dengan deskripsi yang indah dan memuaskan sahabat-sahabat beliau dan sekaligus menjatuhkan musuh-musuhnya.
Pada waktu itu, Ma'mun menyampaikan ucapannya kepada orang-orang Abbâsiyun, ia berkata : " Apakah kalian dapat menemukan orang-orang diantara kalian yang mampu memberikan jawaban dengan cara seperti ini?"
Mereka menjawab : " Demi Allah. Kami tidak akan mampu".
Lalu akhirnya, Ma'mun menikahkah putrinya dengan Imam Jawâd di majelis itu juga.
Apa yang diinginkan oleh Ma'mun dengan pernikahan ini?
1. Ma'mun memiliki tujuan politik dan dengan pernikahan ini, yakni mengirim putrinya ke kediaman Imam Jawâd As untuk memantau dan memata-matai kegiatan Imam. Sebagaimana terbukti dalam sejarah, putrinya melakukan tugas itu dengan baik.
2. Ma'mun menginginkan dengan pernikahan ini ia dapat mengenal Imam lebih jauh, berkumpul bersama menikmati hidup yang mewah, berpesta dan ingin menyibukkan Imam dengan gelimang kemewahan hidup. Hasilnya ia, pada malam pernikahan itu, mengirim seorang budaknya yang cantik jelita mendendangkan lagu-lagu diiringi dengan musisi yang dipersembahkan untuk Imam. Imam mengecam kedatangan mereka dan mengusir mereka dari hadirat beliau. Salah seorang sahabat Imam berkata : " Aku hadir di hadirat Imam di Baghdad dan berpikir tentang bagaimana Imam meninggalkan kehidupan yang mewah pemerintahan Kh'Alifah Ma'mun dan memilih pergi ke Madinah. Imam bersabda : " Wahai sahabatku, ketahuilah bahwa memakan roti dan garam (makanan sederhana) dan mengenakan pakaian kasar dan tinggal di Madinah di sisi marqad (makam) Rasulullah Saw adalah lebih baik bagiku dari pada tinggal di sini. Untuk alasan yang sama, tekad Ma'mun agar Imam tetap tinggal di Baghdad, juga tetap ditepiskan oleh beliau. Beliau tidak tinggal di Baghdad dan tiba di Madinah bersama istrinya Ummul Fadal dan tinggal di sana hingga tahun ke 220 Hijriah.
3. Ma'mun mendambakan bahwa bila seorang putra akan lahir dari putrinya dan kelak ditunjuk sebagai Imam. Dan dengan begitu ia akan mendapatkan kehormatan dan kebanggan tersendiri. Khususnya ketika ia mendengar dari Imam sebelumnya bahwa Imam yang ke dua belas akan menjadi pendiri pemerintahan alam semesta ini. Imam ini adalah keturunan dari Imam yang sekarang menjadi anak menantunya. Namun putrinya tidak melahirkan seorang anak pun adapun anak-anak Imam, Imam Hâdî, Musâ Mubarraq adalah anak-anak yang lahir dari istri Imam yang lain. Seorang istri yang berbudi baik, seorang kaniza yang sederhana dan memiliki keunggulan akhlak yang tinggi. Harapan Ma'mun ini tetap tersimpan dalam sanubarinya hingga meninggal dunia tanpa pernah dapat terwujud.
Ketinggian dan kedudukan Ilmu Imam
Pada kisah sebelumnya telah kita ketahui bagaimana Imam mengalahkan dan membuat ulama istana tidak mampu menjawab pertanyaan Imam pada pertemuan di majelis Mu'tasimin tersebut. Dengan peristiwa ini, Imam telah menjadi pusat perhatian para ulama kala itu. Pada bagian ini perlu di jelaskan peristiwa yang terjadi dalam pertemuan istana " Mu'tasimin " yang merupakan Kh'Alifah Dinasti 'Abbâsiyah dan saudara Ma'mun.
Sebuah kejadian yang memicu kemarahan para ulama istana sehingga mereka menghasut " Mu'tasimin " untuk membunuh Imam As. Kejadiannya berlaku ketika seorang pencuri telah diseret ke hadapan sidang Mu'tasimin sehingga ia dapat dieksekusi atas perintah Khalifah. Sebagai pendahuluan, ia meminta pendapat para ulama yang hadir dalam majelis tersebut. Dalam hubungannya dengan pimpinan ulama itu - yang merupakan seorang yang terkenal dan masyhur - berkata sesuatu yang tidak mendapat persetujuan dari Mu'tasimin.
Ia lalu mengirim pertanyaan itu kepada Imam untuk mencarikan jalan keluar dari masalah yang tengah dihadapinya. Imam tiba dan seluruh ulama dalam sidang itu berdiri untuk menunjukkan penghormatan dan pemuliaan mereka terhadap Imam Jawâd As.
Imam duduk di antara mereka dan memutuskan hukuman terhadap si pencuri berdasarkan al-Qur'ân dan hadits. Mu'tasimin menerima jawaban Imam itu dan meminta untuk mengeksekusi jawaban tersebut.
Setelah Imam meninggalkan majelis itu, kemarahan para ulama itu ditumpahkan kepada Mu'tasimin. Mereka berkata : " Anda telah mengalahkan kami dan menghinakan kami sehingga dengan perbuatan anda itu, Syi'ah menjadi bernilai dan melambung namanya di tengah-tengah masyarakat. Kini terbukti bahwa orang-orang yang anda dan kami telah sesatkan itu berada di jalan yang sesat dan Imam serta orang-orang yang setia mengikuti beliau berada di jalan yang haq.
Mu'tasimin sangat gusar dan murka dengan perkataan ini. Ia membuat keputusan untuk memperbaiki semua yang telah terjadi, menebus semua kesalahannya dan mensyahadakan Imam. Keputusan ini pun menjadi kenyataan.
Akhir dari perbuatan Ma'mun
Ma'mun Abdûs memberontak melawan pemerintahan Ma'mun di Mesir. Kh'Alifah Ma'mun mengambil tindakan untuk memadamkan api pemberontakan itu. Setelah ia berhasil memerangi Ma'mun Abdûs, ia bertolak ke Roma dan merebut kota itu dan menawan banyak orang. Sekembalinya dari Roma, secara kebetulan ia melewati sebuah sumur yang dikenal dengan nama " Qushaerah ". Ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di tempat itu, karena tempat itu memiliki iklim yang sejuk dan tenang.
Ma'mun jatuh sakit di tempat itu. Ketika ia tahu bahwa arti dari " Raqqa " dan " Qushaerah " ia artikan sebagai sebuah pertanda buruk dan ia sangat gusar dan kesal, karena ia mendengar ia akan mati di sebuah dataran yang bernama " Raqqa ". Badannya bergetar dan berkuduk sesaat dan ia tahu bahwa ia akan segera akan berlalu dari kehidupan ini.
Akhirnya, Ma'mun meninggal dunia setelah beberapa hari menderita sakit. Ia dikuburkan di tempat itu juga. Setelah kematiannya, Mu'tasimin sebagai saudaranya yang merupakan orang yang keji, jahat dan berperangai buruk naik takhta menggantikannya. Ia memanggil Imam dari Madinah untuk pergi ke Baghdad sehingga ia dapat mengawasi Imam dari dekat.
Sahabat-sahabat Imam As
Karena selama periode Imamah Imam Jawâd As tekanan dan pengawasan musuh-musuh sangat berat dan ketat (dari masa-masa sebelumnya) murid-murid yang dapat digembleng juga sangat sedikit. Beberapa orang yang menjadi murid-murid Imam Jawâd As adalah sebagai berikut :
1. 'Ali bin Mahazyar
'Ali bin Mahazyar merupakan sahabat khusus Imam As. Ia termasuk salah seorang zuhud dan yang bermukim di Ahwaz. Ia menulis tiga puluh buah kitab tentang Ahlul Bait. Ia telah mencapai kedudukan yang disebutkan oleh Imam sebagai : " Dengan Nama Allah, Wahai 'Ali, semoga Allah Swt memberkatimu dengan sebaik-baiknya ganjaran dan kedudukan di surga kelak. Dan semoga Dia menganugerahimu kemuliaan dan keutamaan di dunia dan di akhirat. Aku tidak menemukan seorang pun selainmu yang sibuk dalam pelayanan dan pengorbanan untuk kami."
2. Abû Nazar Bazantî
Abû Nazar Bazantî adalah salah seorang sahabat Imam yang bermukim di Kufah. Seluruh Ulama Syi'ah sepakat dan mengakui kedudukannya dalam bidang Fiqih dan ilmu pengetahuan. Ia adalah orang yang sama yang mengunjungi Imam Ridâ As dan memberikan penghormatan khusus untuk Imam Ridâ As.
3. Zakaria Adam
Zakaria bin Adam merupakan salah seorang sahabat utama Imam yang bermukim di Qum dan. Kuburannya berada di Qum. Ia adalah salah seorang sahabat yang didoakan oleh Imam dan diperkenalkan sebagai seorang sahabat yang setia. Ketika salah seorang sahabat beliau bertanya : " Aku tinggal jauh sehingga aku tidak dapat berhubungan dengan anda untuk menanyakan hukum-hukum agama. Hadrat Imam berkata : " Bertanyalah kepada Zakaria bin Adam. Ia adalah salah seorang sahabatku yang dapat dipercaya dalam urusan dunia dan urusan akhirat.
Syahadahnya Imam
Kisah syahadah Imam telah dinukil dalam hadits yang berbeda-beda. Ibn Zâher Ashâb, seorang sejarawan kawakan juga menulis : Karena kegusaran dan kemurkaan Mustasim yang bersemayam di hatinya terhadap Imam, ia menghasut dan meyakinkan Ummul Fadal untuk membunuh Imam As. Perasaan kewanitaanya yang menjadikan ia menerima perintah pembunuhan itu, ia meracuni Imam dan memberikan syahadah terhadap beliau. Syahadah Imam terjadi pada hari selasa tanggal 6 Dzulhijjah tahun 220 H, pada usia 25 tahun. Jasad dan raga beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pekuburan Quraisy di samping marqad (kuburan muqaddas) datuknya Imam Mûsâ Kâzim As. Pusara kedua Imam ini kemudian dikenal dengan nama Kâzimaîn dan merupakan salah satu tempat ziarah orang-orang Syi'ah.[]
Mutiara Hadits Imam Muhammad Jawâd As
Seseorang datang ke hadirat Imam dan berkata : " Berikan padaku nasihat". Beliau bersabda : " Jangan engkau taati keinginan nafsumu, karena engkau senantiasa dibawah pengawasan Rabbmu".
Pendosa yang tidak menghentikan perbuatan dosa dan bangga atas perbuatan itu, maka dia telah berlaku sombong dan orang yang sombong kepada Allah Swt akan binasa.
Sebaik-baik Iman adalah orang yang akhlaknya
Kesempurnaan insan terletak pada akalnya
Siapa saja yang bersandar pada Allah Swt, Allah Swt akan menjaganya dari segala bentuk kejahatan.
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat:
1. Hubungan macam apa yang dimiliki oleh Imam dengan alam gaib?
2. Mengapa Ma'mun ingin menikahkan putrinya dengan Imam As?
3. Mengapa Imam ketika bertemu dengan Ma'mun tidak kabur seperti dengan anak-anak yang lain?
4. Surat apa yang ditulis oleh Imam Ridhâ untuk putranya?
5. Pada zaman kekh'Alifahan siapa Imam syahid dan sebutkan alasannya?
Riwayat Hidup Imam Muhammad Jawâd As
Nama : Muhammad
Gelar : Taqî dan Jawâd
Panggilan : Abu Ja'far
Nama Ayah : Imam Ridâ As
Wiladah : Tahun 195 Hijriah
Masa Imamah : 17 Tahun
Syahadah :Tahun 220 H, diracun oleh istrinya atas perintah Mu'tasimin
Marqad : Kâzimaîn ( sebuah kota di Irak )
Seri Pemuka Manusia Suci
Muhammad bin 'Abdullâh
'Ali bin Abî Tâlîb
Fâtimah binti Muhammad
Hasan bin 'Ali bin Abî Tâlîb
Huseîn bin 'Ali bin Abî Tâlîb
'Ali bin Huseîn Zainal Abidin
Muhammad bin 'Ali al-Bâqir
Ja'far bin Muhammad Bâqir
Mûsâ bin Ja'far al-Kâzim
'Ali bin Mûsâ ar-Ridâ
Muhammad bin 'Ali al-Jawâd
'Ali bin Muhammad al-Hâdî
Hasan bin 'Ali al-'Askarî
Muhammad bin Hasan al-Mahdî
[MOMENTUM] IMAM DAN PENERAPAN SYARIAH
Dalam silsilah 12 Imam, Mazhab Syiah Itsna 'Asy'ariyah, Imam Muhammad bin 'Ali Taqi al-Jawad telah memangku jabatan agung sebagai imam umat pada usia yang masih belia, kira-kira delapan atau sembilan tahun. Syaikh Mufid dalam Al-Irsyad menukil dari Ma'la bin Muhammad berkata: "Pasca syahadah Imam Ridha As, aku melihat Imam Jawad As dengan segala kesiapannya hingga aku dapat bercerita kepada umat Syiah, pada saat itu Imam Jawad As sedang duduk dan berkata: "Wahai Ma'la! Allah Swt dalam urusan imamah sebagaimana dalam urusan nubuwwah berekspostulasi (ihtijâj) dan berfirman: "Wa 'Atahinahu al-Hukma Shabiyya, "Kami anugerahkan kenabian kepada Yahya selagi ia berusia belia."
Di masa hidupnya yang kendati tidak terlalu lama, Imam Jawad mampu memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada umat, secara keseluruhan. Sebagaimana imam-imam sebelumnya, keberadaan Imam Jawad di masanya penuh dengan berkah dan cahaya. Dan tidak jarang, merupakan keselamatan bagi orang lain tatkala didera sebuah permasalahan syar'i. Contoh kasus berikut ini secara tegas peran seorang imam sebagai sosok yang sangat memahami agama dan syariat.
Dinukil dari Razqan yang merupakan salah seorang karib Ibnu Abi Daud, salah seorang hakim pada masa Mu'tashim Abbasiyah, ia berkata: "Suatu hari Ibnu Abi Daud kembali dari pertemuan dengan Mu'tashim sementara kondisinya murung. Aku bertanya kepadanya, katanya: "Hari ini aku berharap sekiranya aku meninggal dua puluh tahun sebelumnya!"
"Kok bisa begitu." Tanyaku penasaran
"Lantaran apa yang telah disampaikan Abu Ja'far (Imam Jawad) kepadaku di majelis Mu'tashim." Katanya bersedih.
Aku berkata: "Bagaimana bisa terjadi?"
Katanya: "Seseorang datang kepada khalifah mengaku telah mencuri, ia meminta pidana Ilahi (had) dikenakan padanya untuk menebus dan mensucikan dosanya. Khalifah mengundang seluruh juris demikan juga Muhammad bin 'Ali (Imam Jawad), dan bertanya kepada kami: "Tangan pencuri ini yang mana harus dipotong?"
Aku berkata: "Dari pergelangan tangan (carpus)!"
Ia bertanya: "Apa dalilnya?"
Aku berkata: "Lantaran yang dimaksud dengan tangan pada ayat tayammum adalah, "Famsahuh biwujuhikum wa aidayakum, "..Usaplah muka dan tanganmu.." (Qs. Al-Maidah [5]:6) yang dimaksud dengan yad di sini adalah hingga pergelangan tangan.
Sebagian kelompok juris setuju dengan pendapatku dan berkata bahwa tangannya harus dipotong hingga pergelangan tangan. Namun kelompok juris lainnya berkata bahwa tangan yang dimaksud di sini adalah hingga siku. Mendengar ikhtilaf ini, Mu'tashim menanyakan dalil kelompok juris ini.
Mereka menjawab: "Maksud tangan di sini adalah tangan pada ayat wudhu, "Faghsilu wujuhakum wa aidiyakum ilal marafiq" (maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku., (Qs. Al-Maidah [5]:6) yaitu hingga sikunya.
Kemudian Mu'tashim berpaling ke arah Muhammad bin 'Ali (Imam Jawad) dan bertanya: "Bagaimana pandangan Anda terhadap masalah ini?"
"Mereka telah mengeluarkan pendapatnya, maafkan Aku!" Sahut Imam Jawad As.
Mu'tashim bersikeras dan bersumpah bahwa Imam Jawad harus menyampaikan pandangannya.
Muhammad bin 'Ali berkata: "Lantaran engkau telah bersumpah bahwa saya harus menyampaikan pendapatku, sesungguhnya pendapat mereka ini keliru. Lantaran anak-anak jarilah yang harus dipotong (yaitu keempat anak jari dan ibu jari tidak boleh dipotong).
Mu'tashim berkata: "Atas alasan apa Anda berkata demikian?"
Imam Jawad As berkata: "Lantaran Rasulullah Saw bersabda: "Sujud hanya dapat ditunaikan dengan tujuh anggota sujud, kening, dua telapak tangan, dua lutut, dua ujung kaki (dua ibu jari kaki). Oleh karena itu apabila tangan pencuri dipotong hingga pergelangan tangan atau hingga sikunya maka tidak ada lagi tangan yang tersisa baginya untuk ia gunakan sujud dan juga Allah Swt berfirman: "Wa anna al-Masajida liLLah falaa tad'u ma'alLah ahadan." Dan bahwa masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." Tujuh anggota badan yang digunakan untuk bersujud itu adalah kepunyaan Allah "Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." Dan apa yang dilakukan untuk Allah Swt tidak boleh dipotong."
Ibnu Abi Daud berkata: "Mut'ashim menerima jawaban Muhammad bin 'Ali dan menitahkan bahwa keempat jari pencuri itu harus dipotong dan kami di tengah-tengah hadirin merasa sangat malu dan karena merasa malu dan bersedih sehingga saya berharap sekiranya saya mati saja." (Tafsir Ayyâsyi, jil 5, hal. 319)
Dengan menukil kisah ini segera terlintas dalam benak saya kisah Khalifah Kedua yang juga nyaris menghukum bukan atas apa yang diturunkan oleh Allah dan dititahkan oleh Rasul-Nya. Persis seperti apa yang nyaris dilakukan oleh para hakim kerajaan Abbasiyah. Meski tulisan ini diturunkan untuk berziarah ke hadirat suci Imam Jawad As, bertepatan dengan hari wiladah (kelahiran) beliau, namun menurut penulis ada baiknya penggalan kisah di atas kita urai lebih luas untuk menandaskan perlunya seorang imam yang menjelaskan seluruh permasalahan agama, baik dari sisi akidah atau pun sisi hukum praktisnya.
Acapkali kita mendengar dalam sejarah hidupnya Umar bin Khattab, baik dalam bidang akidah ataupun bidang ahkam, berkata, "Sekiranya tiada Ali maka celakalah Umar." (lihat misalnya Faraidh as-Simthain, jil. 1, hal. 349 dan 350, atau Syarah Nahjul Balagah Ibnu Abil Hadid, jil 1 hal. 18 dan dari kedua belah pihak, Syiah dan Sunni banyak menukil hadis ini)
Sebagai contoh kasus dalam masalah ahkam yang harus diterapkan. Ahmad bin Hanbal berkata: Seorang wanita melakukan zina dibawa ke hadapan Umar; Umar menitahkan supaya wanita pezina itu dirajam. Tatkala wanita pezina itu mereka bawa untuk dirajam, 'Ali bin Abi Thalib berpapasan dengan mereka dan bersabda: "Apa kesalahan wanita ini?"
Mereka memberitahu masalah yang dihadapi wanita tersebut kepada Baginda Ali dan kemudian menghalangi mereka untuk merajam wanita itu. Wanita itu di bawah ke hadapan Khalifah Umar.
'Umar bertanya: "Mengapa Anda menghalangi diterapkannya hukum syariah?"
Imam 'Ali berkata: "Wanita ini adalah wanita yang kurang akalnya. Ia berasal dari suku fulan; Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Rufi'al-Qalam an Tsalatsin: 'An Naim hatta Yastaiqizh, was Shabi hatta yahtalim, wa anil Majnun hatta Yufiqa; Qalam (taklif) tidak berlaku bagi tiga kelompok orang: 1. Orang yang tidur hingga ia bangun; 2. Bocah hingga ia mimpi basah (muhtalim, baca: dewasa); 3. Orang gila hingga ia sembuh dari penyakit gilanya."
Mendengar penjelasan ahkam ini, Umar berkata: "Laula 'Aliyyun Lahalak 'Umar (sekiranya tiada 'Ali maka binasalah Umar). (Al-Imam 'Ali bin Abi Thalib, jil. 3, hal. 43, Sunan Abi Daud hadits 3823)
Saya lalu terusik untuk membandingkan dengan apa yang coba diusung oleh sebagian kelompok Muslim di tanah air terkait penerapan syariah Islam yang kini menjadi euphoria umat. Kalau ditinjau dari sisi semangat, masya Allah, semangat ini boleh jadi memancing kita untuk berkata Islam is reviving. Tapi semangat saja tidak memadai untuk dapat menggelontorkan program syariah dalam pentas kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dibayangkan sekiranya model hakim atau khalifah yang berkuasa dan menerapkan syariah mirip-mirip masalah ahkam di atas. Hanya dengan bersandar pada lahir ayat Ilahi tanpa menyertakan hadis nabawi untuk menafsirkan ayat yang bersangkutan, menurut saya bukan hanya hakim atau 'Umar yang akan celaka, namun umat yang akan menanggung kecelakaan ini secara kolektif.
Khalifah 'Umar sepertinya tahu akan celaka namun ia tetap tidak menggubris peran sunnah Rasulullah Saw dalam masalah agama. Misalnya ucapan terkenal Khalifah Kedua tatkala detik-detik terakhir wafatnya Rasulullah Saw dimana beliau meminta diambilkan tinta dan dawat untuk wasiat terakhir untuk umat, namun Khalifah Kedua mencegah hal itu dan berkata: "Inna Nabi ghalaba 'alaihi al-waj'e!! Wa Indakum al-Qur'an..Hasbuna Kitaballah.." (Sesungguhnya Nabi telah dikuasai sakit!! Dan pada kalian ada al-Qur'an…Cukup bagi kami al-Qur'an.) (Shahih Bukhari, Kitab al-Mardha, bab 17 (bab qaul al-Maridh qumu anni).
Kalau kita melihat contoh kasus di atas betapa orang yang belum terlalu jauh dari masa kenabian dapat salah dalam mengambil sebuah inferensi hukum dari ayat-ayat Qur'an, dalam penerapan hudud (hukum pidana) atas sebuah pelanggaran seperti mencuri, berzina, minum khamar dan lain sebagainya hanya bersandar pada lahir ayat bahwa mencuri itu harus dipotong tangannya, berzina itu harus dirajam atau dicemeti tanpa memperhatikan sisi-sisi lain ghalibya digunakan dalam proses istinbath hukum seperti, yang bersifat mujmal, mutlaq, muqayyad, am, khas, naskh, mansukh sebagaimana dalam kasus Yahya bin Aktsam. Dan di atas semua itu perlunya bersandar kepada seorang Qur'an Natiq (the walking qur'an) di samping Qur'an Shamit (the silence Qur'an) yang dapat menjelaskan kesemua hal ini.
Kalau di masa kenabian, Rasulullah Saw sendiri yang menjadi penjelas dan penerang segala syariat, pasca Nabi Saw, adalah para imam suci yang hadir dan bahkan harus ada di setiap zaman dan masa. Demikianlah Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar, di Hari Kiamat kelak". (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533)
Kaum Muslimin tidak dapat melepaskan keduanya atau berpegang kepada salah satu di antara keduanya saja. Hanya berpegang kepada al-Qur'an akan tersesat selama-lamanya, demikian juga semata-mata bersandar kepada Ahlulbait. Dalam redaksi hadis di atas ditegaskan sebagai tsaqalain. Dua pusaka berat yang harus kita pegang keduanya untuk tidak tersesat apatah lagi binasa selama-lamanya. Tentu pada penerapan syariah dalam kehidupan sehari-hari tidak terkecuali dari sabda Rasulullah Saw ini. Berikut ini saya mengajak Anda untuk berziarah, melintasi ruang dan lorong waktu untuk menyampaikan salam kepada Imam Jawad As dengan membaca:
السَّلامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا جَعْفَرٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ الْبَرَّ التَّقِيَّ الْإِمَامَ الْوَفِيَّ
السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا الرَّضِيُّ الزَّكِيُّ
السَّلامُ عَلَيْكَ يَا وَلِيَّ
اللَّهِ السَّلامُ عَلَيْكَ يَا نَجِيَّ
اللَّهِ السَّلامُ عَلَيْكَ يَا سَفِيْرَ اللَّهِ
السَّلامُ عَلَيْكَ يَا سِرَّ اللَّهِ [سِتْرَ اللَّهِ]
السَّلامُ عَلَيْكَ يَا ضِيَاءَ اللَّهِ
Salam kepadamu wahai Abu Ja`far Muhammad bin Ali, Imam yang baik, takwa dan menepati janji
Salam kepadamu wahai yang diridhai (oleh Allah) dan suci
Salam kepadamu wahai wali Allah
Salam kepadamu wahai yang ditolong Allah
Salam kepadamu wahai duta Allah
Salam kepadamu wahai rahasia Allah (tirai Allah)
Salam kepadamu wahai cahaya Allah
(Penggalan doa ziarah Imam Muhammad Taqi al-Jawad As)
KRITERIA PEMINANG YANG IDEAL MENURUT IMAM MUHAMMAD JAWAD ALAIHIS SALAM
Sumber : shabestan
Mari kita tengok kriteria peminang yang ideal menurut Imam Muhammad Jawad as.
Husain bin Basyar pernah menulis surat kepada Imam Jawad as guna menanyakan tentang pernikahan.
Dalam menjawab surat ini, Imam Jawad as menulis, “Jika seorang peminang datang kepada Anda sedangkan Anda meridai agama dan amanatnya, maka berikanlah wanita kepadanya. Jika kalian tidak melakukan, maka akan tersulut fitnah dan kerusakan besar.” (Al-Tadzhib, jld. 7, hlm. 369)
IMAM JAWAD, TELADAN KEAGUNGAN
pengarang : Purkon Hidayat
Sumber : IRIB Indonesia
Sebagian orang mempertanyakan, mungkinkah di usia semuda itu menjadi pemimpin umat sebagai Imam kaum muslimin? Memang, akal dan fisik manusia harus menempuh tahapan-tahapan tertentu untuk mencapai kesempurnaan. Tapi, jika Allah swt berkehendak maka fase yang sangat panjang itu bisa dilalui dalam waktu yang sangat singkat oleh orang-orang tertentu. Sepanjang sejarah muncul orang-orang khusus yang diberi anugerah oleh Allah swt dengan keistimewaannya di usia kanak-anak.
Dalam kenabian dan imamah, faktor umur bukan suatu persyaratan. Allah Yang Maha Kuasa mampu memberikan ilmu dan kemaksuman serta segala sesuatu yang menjadi kekhususan bagi seorang Nabi dan Imam kepada seorang anak kecil atau bayi yang baru dilahirkan. Demikian pula dengan Imam Jawad as, dalam keadaan masih anak-anak telah menjadi imam setelah kesyahidan ayah beliau yang mulia. Al-Quran menjelaskan orang-orang tertentu yang dipilih Tuhan menjadi pemimpin umat di usia sangat muda bahkan bayi. Nabi Yahya misalnya, menjadi pemimpin umat di usia kanak-kanak. Al-Quran surat Maryam ayat 12 menjelaskan, "... Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak".
Selain Nabi Yahya, al-Quran juga memberikan contoh tentang orang-orang yang diberi anugerah khusus seperti Nabi Isa. Beliau bisa berbicara ketika masih bayi membela ibunya yang dituding dengan perkataan keji dari sebagian masyarakat. al-Quran surat Maryam ayat 29 hingga 30 menjelaskan, "Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?" Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi".
Meskipun berusia belia, Imam Jawad di masanya banyak berdialog di forum ilmiah besar dengan para pemuka mazhab dan tokoh agama terkemuka. Dalam dialog tersebut, para pemuka mazhab berdecak kagum akan ketinggian ilmu beliau. Bagaimana mungkin, ulama-ulama besar dari berbagai mazhab pemikiran dan fiqh yang ada mengaku bertekuk lutut dalam dialog dengan beliau yang masih berusia kanak-kanak.
Warisan ilmu beliau yang banyak dan luas tidak hanya diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah, namun juga dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Misalnya Khatib Baghdadi tidak sedikit menukilkan hadits dari Nabi Muhammad saw, yang sanadnya berasal dari Imam Jawad. Demikian juga Abu Ishak Tsalabi ulama besar Ahlus Sunnah dalam kitab tarikh dan tafsirnya menuliskan riwayat-riwayat yang bersumber dari Imam Jawad.
Imam Jawad mewarisi keluhuran akhlak dari para pendahulunya, dari ayah, kakek dan bersambung hingga Rasulullah Saw. Ahlul Bait, sumber ilmu dan teladan bagi umat Islam, terutama dalam masalah akhlak. Imam Jawad senantiasa menunjukkan penghormatan dan adab yang indah ketika berhadapan dengan siapapun. Hal tersebut yang membuat beliau dicintai pengikutnya dan disegani oleh musuhnya. Siapapun yang beliau hadapi ketika berbicara penuh dengan keramahan, bahasa yang sopan dan lemah lembut, meskipun tetap tegas berkenaan dengan pelanggaran syariat.
Imam Jawad juga dikenal dengan ketakwaan dan kesalehannya. Beliau adalah teladan dalam ketakwaan dan kesalehan. Ibadah beliau adalah keteladanan yang sempurna bagi para pengikut dan pecintanya. Imam Jawad juga dikenal dengan keberanian dan sikap beliau yang tidak mau tunduk pada keinginan penguasa. Meskipun dalam kondisi ditekan penguasa zalim, beliau tetap menjalankan perannya sebagai pemimpin umat.
Imam Jawad sebagaimana ayahnya Imam Ridha memainkan peran penting dalam menjaga dan menyebarkan nilai-nilai agama Islam di tengah masyarakat. Beliau menyebarkan ilmu al-Quran, akidah, fiqh, hadis, dan ilmu keislaman lainnya. Salah satunya mengenai tafsir al-Quran. Imam Jawab menjawab pertanyaan mengenai makna dan tafsir sejumlah ayat al-Quran.
Seorang sahabat Imam bernama Abu Hashim Jafari bertanya, "Apa makna kalimat ‘Ahad' dalam ayat ‘Qul Huwallahu Ahad'." Imam menjawab, "Ahad adalah keyakinan terhadap keesaan Allah yang Maha Besar. Apakah kamu tidak mendengar ayat yang artinya berbunyi, "Jika ditanya kepada orang kafir siapa yang menciptakan langit dan bumi ini ? Mereka pasti menjawab, ‘Allah'. Meskipun orang-orang kafir itu sesuai fitrah dan akalnya mengakui Tuhan, tapi mereka menyekutukannya."
Imam Jawad juga memiliki sahabat dan murid-murid yang berjasa dalam penyebaran keilmuan Islam. Di antaranya adalah Muhammad Bin Khalid Barqi yang menulis sejumlah karya di bidang tafsir al-Quran, sejarah, sastra, ilmu hadis dan lainnya. Mengenai pentingnya Ilmu pengetahuan, Imam Jawad berkata, "Beruntunglah orang yang menuntut ilmu. Sebab mempelajarinya diwajibkan bagimu. Membahas dan mengkajinya merupakan perbuatan baik dan terpuji. Ilmu mendekatkan saudara seiman, hadiah terbaik dalam setiap pertemuan, mengiringi manusia dalam setiap perjalanan, dan menemani manusia dalam keterasingan dan kesendirian."
Imam Jawad senantiasa menyerukan untuk menuntut ilmu dan menyebutnya sebagai penolong terbaik. Beliau menasehati sahabatnya supaya menghadiri majelis ilmu dan menghormati orang-orang yang berilmu. Tentang pembagian ilmu, Imam Jawad berkata, "Ilmu terbagi dua, yaitu ilmu yang berakar dari dalam diri manusia, dan ilmu yang diraih dari orang lain. Jika ilmu yang diraih tidak seirama dengan ilmu fitri, maka tidak ada gunanya sama sekali. Barang siapa yang tidak mengetahui kenikmatan hikmah dan tidak merasakan manisnya, maka ia tidak akan mempelajarinya. Keindahan sejati terdapat dalam lisan dan laku baik. Sedangkan kesempurnaan yang benar berada dalam akal."
Imam Jawad menyebut ilmu sebagai faktor pembawa kemenangan dan sarana mencapai kesempurnaan. Beliau menyarankan kepada para pencari hakikat dan orang-orang yang mencari kesempurnaan dalam kehidupannya untuk menuntut ilmu. Sebab ilmu akan membantu mencapai tujuan tinggi baik dunia maupun akhirat.
Pada hari terakhir bulan Dzulqaidah 220 H, Imam Jawad syahid akibat racun yang disuguhkan oleh isterinya, Ummu Al-Fadhl atas perintah khalifah Abbasiyah. Makam suci beliau di samping kuburan suci kakeknya yang mulia, Imam Musa Ibn Ja`far as, di kota Kadzimain yang menjadi tempat ziarah para pecinta Ahlul Bait as.
SYIAH DI BAWAH NAUNGAN IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD ALAIHIS SALAM
pengarang : Mujtaba Musawi Lari
Sumber : hauzah maya
Telah kita katakan sebelumnya bahwa sesungguhnya Syi’ah di masa Imam Ali Ar-Ridha as telah mencapai kekuasaan politik yang besar, yang hal ini mendorong Al-Ma’mun untuk mengundang Imam Ali Ar-Ridha dan memaksanya untuk menerima jabatan resmi dalam kekhalifahan.
Meskipun Imam Ali Ar-Ridha as akhirnya menyetujui pengangkatannya itu, tetapi persetujuan ini dibarengi dengan syarat untuk sama sekali tidak mencampuri urusan politik resmi, bahkan yang berkaitan dengan mengimami orang-orang dalam shalat Id. Dengan syarat ini, Imam Ali Ar-Ridha as telah menggagalkan rencana-rencana dan tujuan-tujuan jahat Al-Ma’mun. Sehingga, Imam Ali Ar-Ridha as tetap menjadi simbol dan harapan bagi umat.
Imam Muhammad Al-Jawwad as tetap meneruskan jalan yang ditempuh oleh ayahnya ini, sebagaimana Al-Ma’mun juga berupaya menjalankan rencana yang sama terhadapnya.
Di antaranya, Al-Ma’mun menikahkan putrinya, Ummul Fadhl, dengan Imam Muhammad Al-Jawwad as guna memisahkan hubungannya dengan umat. Dengan pernikahan ini, Al-Ma’mun telah menanamkan mata-mata keluarga dalam rumah Imam Muhammad Al-Jawwad as yang mengawasi segala gerak geriknya.
Sebelumnya Al-Ma’mun telah berupaya menjatuhkan martabat Imam Ali Ar-Ridha as dan mempermalukannya di hadapan tokoh-tokoh agama, aliran, dan filsafat. Akan tetapi, dalam perdebatan itu, temyata Imam Ali Ar-Ridha as berhasil mengungguli mereka semua dengan sangat mengagumkan sehingga namanya, dan Ahlul Bait pada umumnya, justru tambah terkenal dan terangkat.
Kemudian Al-Ma’mun kembali berupaya menjatuhkan Ahlul Bait dengan mempermalukan Imam Muhammad Al-Jawwad as karena umumya masih tergolong anak-anak, yang saat itu masih berusia sembilan tahun. Al-Ma’mun mengumpulkan antara Imam Muhammad Al-Jawwad as dengan ulama-ulama terkemuka pada zamannya, yang paling terdepan di antara mereka adalah Yahya bin Uktsum, Qodhil Qudhot (Hakim Agung),
Dalam perdebatan ini, Imam Muhammad Al-Jawwad as telah mengalahkan Yahya bin Uktsum dengan kekalahan yang telak sehingga hal itu telah mencemaskan Al-Ma’mun.
Kemudian kita mendapatkan bahwa delapan puluh faqih (ahli fiqih) dari Bagdad dan kota-kota yang lain berangkat pada musim haji ke Al-Madinah Al-Muwarah untuk sengaja menemui Imam Muhammad Al-Jawwad as.
Di antara sahabat dan murid Imam Muhammad Al-Jawwad as adalah: Ibn Abi ‘Umair Al-Baghdadi, Abu Ja’far bin Sinan Az-Zahidi, Ahmad bin Abi Nushair Al-Bizanthi Al-Kufi, Abu Tamam Habib bin Aus Ath-Tha’i, Abul Hasan Ali bin Mahziyar Al-Ahwazi, dan Al-Fadhl bin Syadzan An-Naisaburi. Mereka semua ini merasa tertekan dan menderita karena diawasi dan terus-menerus dikejar-kejar oleh penguasa.
Imam Muhammad Al-Jawwad as di samping memiliki karakter keilmuan yang kuat, dia juga melakukan perlawanan terhadap pemerintahan saat itu secara politis. Hal ini mendorong Al-Ma’mun untuk menawarkan kepada Imam Muhammad Al-Jawwad as sebuah rumah di Bagdad (agar lebih mudah mengawasinya). Akan tetapi, Imam Muhammad Al-Jawwad as telah menggagalkan rencana Al-Ma’mun ini dengan menolak penawaran yang diajukan oleh Al-Ma’mun itu. Imam Muhammad Al-Jawwad as lebih memilih untuk tetap tinggal di Madinah Al-Munawwarah dan melakukan konsolidasi dengan Syi’ahnya.
Kemudian ketika Al-Mu’tashim naik takhta, dia memanggil Imam Muhammad Al-Jawwad as ke Bagdad dan memaksanya untuk tinggal di sana. Akhimya, dia berhasil melaksanakan rencananya untuk membunuhnya dengan cara meracuninya.
AKHLAK DALAM SIRAH KEHIDUPAN IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD ALAIHIS SALAM
Sumber : irib indonesia
Dengan meneliti dan merunut sirah dan kehidupan para anbiya dan auliya, manusia pencari kebenaran akan menjadikan mereka sebagai teladan dalam amal dan ibadah. Salah satu di antara teladan tersebut adalah Imam Muhammad al-Jawad as, di mana sirah kehidupan beliau penuh dengan spiritualitas, kesejukan, kepedulian dan kasih sayang. Beliau adalah manifestasi manusia sempurna dari sisi kecintaan, kasih sayang, keluruhan akhlak, kejujuran, kebenaran dalam ucapan, keilmuan, pengorbanan, kesatriaan dan lain-lain.
Imam Jawad gugur syahid pada akhir bulan Dzulqa’dah tahun 220 Hijriah. Dalam sejarah hidup beliau yang singkat itu, beliau memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan bobot maarif islami. Kehidupan Imam Jawad as adalah teladan sempurna dan komprehensif untuk seluruh umat manusia khususnya para pemuda. Tidak diragukan lagi bahwa di dunia moderen yang di dalamnya berbagai masalah mental dan perilaku yang terus meroket ini, pengakraban dan peneladanan akhlak dan perilaku manusia kekasih Allah Swt ini, akan menjadi pengurai simpul semua masalah kehidupan.
Imam Jawad as menilai amal yang tidak didukung dengan ilmu, tidak bernilai. Menurut beliau, setiap amal harus dilakukan dengan kesadaran, pengetahuan dan kewaspadaan. Jika seseorang terjun dalam sebuah aktivitas yang tidak diketahuinya atau masuk ke sebuah ruangan selain melalui jalurnya, maka dia akan merugi dan gagal. Oleh karena itu, Imam Jawad dalam hal ini mengatakan, “Orang yang tidak mengenal jalan masuk sebuah pekerjaan, maka [pencarian] jalan keluarnya akan membuatnya putus asa.” (Bihar al-Anwar jilid 57).
Beliau juga mengatakan, “Pengaturan dan perencanaan setiap amal sebelum melaksanakannya, akan menjaga manusia dari kekecewaan,” (Mutaha al-Amaal jilid 2).
Dengan demikian, orang yang melakukan pekerjaannya dengan kesadaran, pengetahuan dan perencanaan, dia akan berhasil dan meski terjadi gangguan, dia akan mampu mempertimbangkan semua aspek untuk menyelesaikan masalahnya. Orang seperti ini tidak akan kecewa dengan apa yang telah dilakukannya karena sejak awal segala langkahnya telah melalui prosesnya yang benar.
Kerendahan hati menurut Islam termasuk di antara keutamaan dan nilai-nilai luhur dalam akhlak serta menunjukkan kesempurnaan akal seseorang. Sebaliknya, takabbur dan kesombongan adalah sifat tercela, karena akan menghalangi manusia menerima kebenaran dan hidayah. Semakin sifat takabbur dan kesombongan bertambah dalam diri manusia, maka semakin meningkat pula penekanannya pada kesesatan dan kegelapan.
Imam Jawad as memaparkan berbagai pengaruh positif dan berkah dalam kerendahan hati dan mengatakan bahwa tawadhu’ atau kerendahan hati akan membuka pintu untuk keridhoan Allah Swt. Beliau adalah orang yang paling bertawadhu’ di masanya dan beliau menilai kerendahan hati itu sebagai kebanggaan beliau. Dan dalam rangka mendorong masyarakat untuk memperhatikan sifat luhur ini, beliau mengatakan, “Kerendahan hati adalah perhiasan dan kemuliaan hasab dan nasab,” (Bihar al-Anwar jilid 77)
Sama seperti para imam Ahlul Bait as, Imam Jawad selalu memprioritaskan kesabaran dan toleransi dengan masyarakat. Beliau tidak bersikap keras kepada orang lain dan jika ada yang berbuat kekeliruan, dengan mudah beliau merelakan dan menutupinya. Imam Jawad as dikenal sangat penyabar di hadapan sikap-sikap kasar sebagian kelompok. Namun berkat ketabahan dan kesabaran luar biasa itu, banyak manusia yang tersesat yang terpesona akan akhlak mulia Imam dan akhirnya menerima hidayah.
Hal ini telah ditekankan Allah Swt kepada Rasulullah Saw dalam ayat 159 surat Aali Imran, yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Imam Jawad as menilai toleransi dan kasih sayang sebagai salah satu prinsip dalam interaksi sosial.
Beliau mengatakan, “Salah satu tanda toleransi seseorang terhadap saudaranya adalah tidak memarahinya di depan orang lain.” Oleh karena itu, menyoal orang lain meski ada alasan logis, bukan sikap yang tepat.
Setiap manusia harus bersikap lembut dan penuh kasih sayang dengan orang lain. Karena ini adalah ketentuan Allah Swt sebagaimana dijelaskan oleh Imam Jawad as:
“Barang siapa meninggalkan toleransi dan perdamaian, maka kesulitan akan menghadangnya.”
Kejujuran dan kebenaran dalam ucapan merupakan salah satu amal terpuji dan termasuk di antara keutamaan akhlak. Fitrah suci manusia menuntutnya untuk selamat, stabil serta agar hati dan lidahnya seirama. Apa yang dikatakannya, itu pula yang diyakininya. Itu adalah makna kejujuran dan kejujuran di hadapan Allah Swt juga harus menjadi prioritas. Ketika dalam shalat kita membaca ayat kelima surat al-Fatihah: “hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan,” maka seharusnya kita jujur dalam hal ini. Akan tetapi sayangnya, manusia kerap menghindari dosa di hadapan orang lain, namun tidak demikian ketika sendirian.
Pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu cara paling efektif untuk menarik hati manusia. Fitrah manusia akan condong dan terikat kepada orang yang berbuat baik kepadanya atau menyelesaikan masalahnya.
Salah satu teladan akhlak Imam Jawad as adalah perhatian beliau terhadap tuntutan masyarakat dan upaya untuk menyelesaikan masalah mereka. Oleh karena itu, pada puncak pengabdian dan pengorbanan demi masyarakat, beliau memanfaatkan seluruh sarana dan kemampuan yang dimiliki untuk membantu menyelesaikan masalah masyarakat dan memenuhi tuntutan mereka.
Sedemikian dermawan Imam Jawad as kepada masyarakat sehingga beliau mendapat gelar panggilan “Jawad” yang artinya adalah dermawan. Beliau mengatakan bahwa kunci diturunkannya nikmat-nikmat Allah Swt yang melimpah kepada seseorang adalah upayanya untuk menyelesaikan masalah masyarakat, dan dalam amal ini hanya keridhoan Allah Swt yang diharapkan. Menurut Imam Jawad as, terkadang dengan pekerjaan-pekerjaan mudah, manusia dapat lebih dekat dengan Allah Swt. Beliau mengatakan,
“Bersikap lemah-lembut dan banyak bersedekah, akan menyampaikan hamba pada keridhoan Allah Swt.”
Beliau menilai berbuat baik dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan termasuk di antara amal yang paling dicintai Allah Swt. Dalam hal ini, Imam Jawad as berkata, “Nikmat tidak akan ditambah untuk seseorang, kecuali dia kebutuhan masyarakat darinya juga meningkat, maka jika seseorang tidak dapat memikul beban berat ini, maka nikmat tersebut juga akan memudar.”
Ahmad bin Hadid meriwayatkan, “Bersama sekelompok orang kami berangkat untuk haji. Di tengah perjalanan kami dihadang para perampok dan mereka merampas semua yang kami miliki. Ketika sampai di Madinah, aku melihat Imam Jawad as. Bersamanya aku pergi ke rumahnya dan aku ceritakan masalahku. Imam (as) memerintahkan agar aku diberi baju bersama uang seraya berkata kepadaku: bagikan uang ini dengan teman-temanmu sebanyak jumlah uang mereka yang terampas. Ketika aku selesai membagikan uang itu, jumlahnya sama persis dengan uang kami yang dirampas para perampok.”
Beberapa keutamaan Imam Jawad
Akhlak yang Baik
Ilmu yang luas
Ketakwaan dan keshalihan
Adab yang indah dalam berhadapan dengan kawan maupun lawan
Keberanian dan kemerdekaan
Beberapa Karamah yang dimiliki Imam Jawad as
Keimamahan di usia anak-anak
Dialoh Ilmiah Imam Jawad as
Kesyahidan
IMAM JAWAD DIRACUNI ISTERINYA
Sumber : irib indonesia
Selama menetap di Baghdad, Imam Jawad as benci dengan perilaku Makmun dan akhirnya beliau meminta izin kepada Makmun guna menunaikan ibadah haji dan dari sana beliau pergi ke Madinah dan berhenti di sana hingga Makmun meninggal dunia.
Pasca kekhalifahan Makmun, saudaranya Mu'tasim menjadi khalifah. Ia tidak dapat menahan kebenciannya setiap kali mendengarkan kesempurnaan dan keutamaan akhlak Imam Jawad as. Akhirnya ia memanggil Imam Jawad as agar tinggal di Baghdad. Ketika hendak berangkat, beliau harus berpisah dengan anak tercintanya Ali an-Naqi dan kuburan kakeknya Rasulullah Saw. Imam Jawad as tiba di Baghdad pada 28 Muharram 220 Hq.
Mu'tasim mengetahui bahwa Ummul Fadhl tidak begitu suka kepada Imam Jawad as. Karena beliau lebih memperhatikan ibu Imam ali an-Naqi as. Oleh karenanya, Ummul Fadhl senantiasa mengadukan beliau kepada Mu'tasim. Bahkan hal ini telah dilakukan berkali-kali di masa hidupnya Ma'mun, tapi tidak didengarkan olehnya. Ma'mun tahu benar mengganggu Imam Jawad as tidak maslahat bagi kekhalifahannya.
Pada akhirnya, Mu'tasim berhasil meyakinkan Ummul Fadhl untuk membunuh Imam Jawad as. Untuk itu ia mengirimkan racun kepada Ummul Fadhl agar dicampurkan ke dalam minuman beliau. Akhirnya Imam Jawad as syahid pada 29 Dzuqadah 220 Hq akibat racun yang diberikan istrinya.
LAHIRNYA IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD ALAIHIS SALAM
Sumber : hauzahmaya.com
Salam sejahtera semoga selalu tercurahkan kepada Imam Muhammad Jawad as dan para leluhurnya yang mulia serta anak keturunannya. Imam Jawad as adalah Imam ke-9 dari para imam Ahlulbait as. Rasulullah saw sendiri telah mewasiatkan kepada umatnya untuk mengikuti mereka.
Ayahanda Imam Muhammad Jawad adalah Imam Ridha as. Imam Jawad as dilahirkan pada tanggal 10 Rajab tahun 195 Hijriah di kota Madinah al-Munawwarah. Beliau menjadi imam sepeninggal ayahnya yang ketika itu beliau masih berumur 8 tahun. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa umur 8 tahun adalah umur kanak-kanak. Bagaimana beliau bisa menjadi Imam pada usia yang masih sangat muda?
Jawaban dari pertanyaan itu adalah Allah Mahamampu dalam segala sesuatu tanpa melemahkanya. Allah swt menjadikan Isa bin Maryam as berbicara ketika beliau masih dalam buaian. Begitu pun Allah telah menjadikan Imam Muhammad Jawad sebagai imam pada usia yang masih belia.
Imam Jawad membuat orang-orang merasa takjub dengan keilmuannya. Suatu ketika Al-Makmun mengadakan sebuah majelis dengannya. Para penguasa bani Abbasiyah ingin menjebak dan memfitnah beliau di hadapan para ulama istana Abbasiyah. Di antara para ulama itu adalah Yahya bin Aktsam dan lain-lain. Imam Jawad as akhirnya mengalahkan mereka. Sehingga mereka akhirnya mengakui keunggulan dan kedalaman ilmu Imam as.
Diriwayatkan bahwa ayahnya, Imam Ali Ar-Ridha as telah menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya yang bertanya: “Bagaimana akan muncul seorang imam setelahmu padahal engkau tidak memiliki putra?” (Ketika itu Imam jawad belum lahir). Imam Al-Ridha as menjawab: “Apa alasanmu sehingga engkau berani menyatakan jika aku tidak memiliki putra? Demi Allah sesungguhnya tidak akan berakhir siang dan malam sehingga aku dikaruniai seorang putra yang akan membedakan antara kebenaran dan kebatilan.” Kemudian salah seorang dari sahabat Imam as bertanya: “Siapakah imam setelahmu?” Imam as menjawab: “Imam setelahku adalah putraku.” Kemudian beliau berkata: “Apakah ada orang yang berani mengatakan aku tidak mempunyai putra?” (Imam Jawad as tidak akan lahir di kemudian hari).
Hari-hari tidak berlalu sebelum lahirnya Imam Jawad as. ketika Imam Jawad as lahir kedunia, Imam Ridha as berkata kepada para sahabatnya: “Tidak ada kelahiran yang lebih agung dari kelahiran ini bagi Syiah. Kelahirannya membawa banyak keberkahan.” Kelahiran ini juga mirip dengan kelahiran Musa bin Imran as dan Isa bin Maryam as. Kelahiran Imam Jawad merupakan kelahiran yang membawa berbagai keistimewaan, kemuliaan dan keberkahan. Hal itu semua menunjukkan bahwa beliau adalah imam yang sudah ditentukan setelah ayahnya, Imam Ridha as.
MENGENANG KELAHIRAN IMAM JAWAD ALAIHIS SALAM
Sumber : abna
Imam kesembilan umat Islam-Syiah bernama Muhammad, kunyah beliau Abu Ja'far dan laqab beliau yang terkenal adalah Taqi dan Jawad. Imam Suci kaum muslimin ini lahir pada bulan Rajab tahun 195 HQ di kota suci Madinah. Ayah beliau adalah imam kedelapan Syiah, Imam Ali bin Musa ar Ridha as. Nama ibu beliau, Subaikah dari rumpun keluarga Maryam Qutaib salah seorang istri Rasulullah Saw. Beliau dikenal sebagai sebaik-baik perempuan dimasanya, sebagaimana yang diperkenalkan Imam Ridha as mengenainya, bahwa beliau perempuan terhormat, dari keturunan yang terjaga dan memiliki banyak keutamaan, kelurusan aqidah dan akhlak yang baik.
Ada dua alasan yang bisa disebutkan mengapa sosok Imam Jawad as kurang begitu populer dibanding imam-imam lainnya. Pertama, usia beliau yang singkat. Sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tarikh, Imam Jawad menemukan kesyahidannya diusia muda, yaitu 25 tahun. Usia beliau yang singkat dibanding keberadaan imam lainnya, membuat beliau tidak begitu banyak berinteraksi dengan umat Islam dimasanya. Namun meskipun usia beliau singkat namun padat dengan aktivitas pencerahan dan bimbingan kepada umat, sehingga beliau banyak meninggalkan warisan ilmu yang begitu berharga. Jika para peneliti sejarah mengkaji dan menulis mengenai kehidupan dan warisan ilmu beliau, maka bisa dikatakan apa yang beliau wariskan dalam ilmu dan kebudayaan tidak kalah banyak dari para Imam lainnya. Hanya saja sayangnya, tulisan mengenai Imam Jawad memang masih kalah banyak dari para Aimmah as lainnya, sehingga pengenalan mengenai kehidupan dan warisan keilmuan beliau yang tersebar di masyarakatpun sangat terbatas.
Kedua, tekanan dari rezim Abbasiyah. Karena adanya tekanan dan teror yang ditebar rezim Abbasiyah kepada siapapun yang menjalin interaksi dan kontak dengan Imam Jawad as, membuat beliau tidak banyak berhubungan dengan masyarakat muslim. Imam Jawad as hidup di masa pemerintahan Ma'mun dan Mu'tasham Abbasi dalam kondisi tertekan dan diberi batasan-batasan untuk menyebarkan ilmunya.
Beberapa keutamaan Imam Jawad
Akhlak yang Baik
Imam Jawad mewarisi keindahan akhlak yang luar biasa dari pendahulu-pendahulunya, dari ayah, kakek dan bersambung dari Rasulullah Saw. Akhlak Ahlul Bait adalah juga sebagaimana akhlak Rasulullah Saw. Karena itulah dalam beberapa sabda Rasulullah, al-Qur'an dan Ahlul Bait tidak bisa dipisahkan, keduanya adalah sumber ilmu dan teladan bagi umat terutama dalam masalah akhlak.
Ilmu yang luas
Diantara keistimewaan lainnya yang dimiliki imam Jawad as adalah ilmu yang luas dan dalam. Dengan luasnya ilmu yang beliau miliki membuat beliau banyak melakukan dialog dan perdebatan dengan pemuka-pemuka agama samawi dan para ulama dari berbagai mazhab yang berbeda. Syiah meyakini, ilmu yang beliau miliki sebagai imam ummat adalah juga sebagaimana ilmu yang dimiliki imam-imam sebelum beliau. Atas kehendak Allah SWT para Aimmah as mewarisi ilmu Rasulullah Saw utamanya untuk menjalankan peran mereka sebagai penjaga dan pembimbing umat pasca sepeninggal Rasulullah Saw.
Ketakwaan dan keshalihan
Sebagaimana Imam lainnya, Imam Jawad as juga dikenal dengan ketakwaan dan keshalihannya. Beliau adalah contoh sempurna dalam ketakwaan dan keshalihan. Ibadah-ibadah beliau, sujud beliau yang lama, munajat-munajat beliau dan penghambaan yang beliau ikhlaskan semata hanya kepada Allah SWT adalah keteladanan yang sempurna bagi para pengikut dan pecintanya.
Imam Jawad as senantiasa menunjukkan penghormatan dan adab yang indah ketika berhadapan dengan siapapun. Hal tersebut yang membuat beliau dicintai pengikut-pengikutnya dan disegani oleh musuh-musuhnya. Siapapun yang beliau hadapi ketika berbicara penuh dengan keramahan, bahasa yang sopan dan lemah lembut meskipun tetap tegas untuk hal yang berkenaan dengan pelanggaran syariat.
Imam Jawad as juga dikenal dengan keberanian dan sikap beliau yang tidak mau tunduk pada keinginan penguasa. Meskipun dalam kondisi yang tertekan beliau tetap menjalankan perannya sebagai pemimpin ummat.
Beberapa Karamah yang dimiliki Imam Jawad as
Kelahiran Imam Jawad as dimasa-masa akhir kehidupan ayahnya Imam Ridha as adalah sebuah karamah Ilahi. Imam Ridha as menyebut kelahiran putranya tersebut sebagai keberkahan Ilahi. Diriwayatkan keimamahan Imam Ridha as sempat diingkari oleh banyak umat Syiah dimasanya. Mereka berdalih, bagaimana mungkin yang menjadi Imam Syiah adalah Imam Ridha as sementara beliau tidak memiliki seorang putra padahal sudah berusia lebih dari 47 tahun? Imam Ridha as ketika menjawab syubhat tersebut mengatakan, "Dari mana kalian mengetahui dan menetapkan bahwa kelak saya tidak memiliki seorang putra. Demi Allah, Allah tidak akan membuat saya meninggalkan dunia dalam keadaan tidak memiliki seorang putra yang akan memisahkan antara yang hak dengan yang batil."
Keimamahan di usia anak-anak
Atas kehendak Allah, imam Jawad as menjadi imam dan memanggul amanah berat dipundaknya sejak usia 8 tahun. Pengangkatan beliau sebagai imam diusia yang masih belum baligh adalah satu bentuk karamah Ilahi yang besar. Sebagaimana kenabian yang diperoleh Nabi Isa as disaat masih bayi.
Dialoh Ilmiah Imam Jawad as
Imam Jawad as dimasanya banyak melakukan dialog dan perdebatan ilmiah dengan pemuka-pemuka mazhab. Dalam dialog-dialog tersebut, para pemuka-pemuka mazhab berdecak kagum akan ketinggian ilmu beliau. Bagaimana mungkin, ulama-ulama besar dari berbagai mazhab pemikiran dan fiqh yang ada mengaku bertekuk lutut ketika berhadapan dengan beliau yang masih berusia belia dalam berdialog dan berdebat. Ini menunjukkan karamah Ilahi yang besar yang dimiliki Imam Jawad as.
Warisan ilmu beliau yang banyak dan luas tidak hanya diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah namun juga dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Misalnya Khatib Baghdadi tidak sedikit menukilkan hadits dari Nabi yang sanadnya berasal dari Imam Jawad as. Demikian juga Abu Ishak Tsalabi ulama besar Ahlus Sunnah dalam kitab tarikh dan tafsirnya menuliskan riwayat-riwayat yang bersumber dari Imam Jawad as.
Kesyahidan
Pada hari terakhir bulan Dzulqaidah 220 H, Imam Jawad syahid akibat racun yang disuguhkan oleh isterinya, Ummu Al-Fadhl atas perintah khalifah Bani Abbas. Makam suci beliau di samping kuburan suci kakeknya yang mulia, Imam Musa Ibn Ja`far as, di kota Kadzimain yang menjadi tempat ziarah para pecinta Ahlul Bait as.
IMAM AL-JAWAD DAN ANTI-HIPOKRITAS
Sumber : parstoday.com
Terkait keagungan figur Imam Muhammad al-Jawad, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, mengatakan, "Imam al-Jawad sama seperti imam-imam lainnya yang menjadi tauladan bagi kita. Kehidupan singkat beliau dihabiskan untuk melawan kezaliman. Di masa muda, beliau memikul tanggung jawab kepemimpinan umat Islam (imamah). Pada tahun-tahun itu, Imam melakukan jihad dengan gigih dalam rangka melawan musuh-musuh Allah. Karena perlawanan Imam Muhammad al-Jawad, keberadaannya yang saat itu masih berumur 25 tahun, tidak dapat diterima oleh musuh dan penguasa di masanya. Pada akhirnya, Imam al-Jawad diracuni atas perintah penguasa saat itu dan gugur syahid."
Lebih lanjut Rahbar menjelaskan, "Imam al-Jawad semasa hidupnya menjalankan poin penting yang mencerminkan jihad dalam semua aspek Islam, dan memberikan pembelajaran yang besar bagi kita." Menurut Rahbar, pembelajaran besar dari kehidupan Imam al-Jawad adalah mempunyai tekad dan menyerukan kewaspadaan masyarakat terhadap kekuatan hipokrit dan sombong. Saat Makmoun Abbasi, penguasa saat itu, mengesankan dirinya sebagai sosok suci dan pendukung Islam, maka tugas Imam saat itu sangat pelik untuk mengungkap kedok di balik wajah penguasa hipokrit."
Di tengah kepemimpinan hipokrit yang diterapkan penguasa Abbasi saat itu, Imam Muhammad al-Jawad yang berumur pendek dapat menjaga pondasi Islam dengan baik dan memberikan pencerahan kepada umat. Masa kepemimpinan umat Islam dipinggul Imam al-Jawad selama 17 tahun yang mengalami dua penguasa Abbasi, Makmun dan Muktasim. Di masa hidupnya, Imam al-Jawad mendapat tekanan luar biasa dari para penguasa saat itu. Meski demikian, Imam Al-Jawad tetap menyampaikan pemikiran-pemikiran yang tercerahkan kepada umat di tengah berbagai pembatasan ruang gerak.
Mengenai pentingnya ilmu, Imam al-Jawad mengatakan, "Kalian harus menuntut ilmu karena menuntut ilmu itu wajib bagi semua pihak. Segala kesulitan dari ilmu merupakan hal yang dicari. Ilmu menyatukan saudara-saudara seagama."
Salah satu usaha penting Imam di bidang budaya adalah meriwayatkan hadis sahih dari Rasulullah dan para Imam Ahlul Bait serta menjelaskannya kepada umat Islam. Kita pun kini menyaksikan warisan tak ternilai dari Imam Jawad berupa hadis dan petuah-petuah suci beliau. Selain meriwayatkan hadis, Imam Jawad juga aktif di tengah-tengah masyarakat menyebarkan budaya dan ajaran Islam. Imam juga tak kenal lelah memberikan petunjuk soal ekonomi dan kebutuhan pemikiran umat.
Di antara metode yang diterapkan Imam Jawad untuk melaksanakan perintah Allah adalah mendekatkan al-Qur'an dengan pemikiran manusia. Menurut beliau, ayat-ayat suci al-Qur'an harus membumi di tengah masyarakat dan umat Islam dalam setiap ucapan dan perilakunya. Imam menandaskan bahwa mencari kerelaan Allah merupakan kunci kebahagiaan manusia. Dengan mengutip ayat al-Qur'an, Imam menekankan kerelaan dan keridhaan Allah di atas segala sesuatu. Di ayat ke 72 surat Taubah, Allah Swt menjelaskan bahwa kerelaan-Nya bagi seorang mukmin lebih utama dari segala sesuatu termasuk surga.
Imam al-Jawad as meminta masyarakat untuk senantiasa memikirkan kerelaan Allah Swt. Dalam hal ini, Imam al-Jawad as memberikan wejangan kepada umat Islam. Beliau bersabda, "Tiga hal yang dapat mengantarkan manusia kepada kerelaan Allah Swt; banyaknya istighfar, ramah-tamah dan bersedekah."
Imam Jawad as dilahirkan pada tahun 195 Hijriah di kota Madinah. Imam Jawad as sejak kecil hingga menginjak usia remaja telah dikenal akan keilmuan, kefasihan, kesabaran dan ketakwaan. Imam Ridha, ayah Imam al-Jawad, saat kelahiran putra tercintanya, berkata,"Saya telah memiliki seorang putra seperti Nabi Musa sang pemecah lautan keilmuan dan Isa yang memiliki ibu yang suci."
Imam al-Jawad memiliki kecerdasan dan cara penyampaian yang lugas. Meskipun usianya masih muda belia, tapi dari sisi keilmuan dan keutamaan beliau telah disejajarkan dengan tokoh-tokoh masa itu. Dalam sejarah disebutkan, saat musim haji sekitar 80 orang ahli fikih dari Baghdad dan kota-kota lain menuju Madinah untuk bertemu dengan Imam Jawad as. Mereka mencecar Imam dengan pelbagai pertanyaan ilmiah, namun Imam Jawad as dengan tenang dan mantap menjawab semua yang ditanyakan. Kejadian ini memupuskan segala keraguan yang selama ini menggelayut benak mereka.
Kamaluddin Syafii, salah satu ulama Sunni terkait Imam Jawad mengatakan, Imam Jawad as memiliki kedudukan yang tinggi. Namanya sering diperbincangkan orang-orang. Sikap lapang dada dan pandangan luas serta retorika manis beliau menarik simpati semua orang. Setiap orang yang bertemu dengannya tanpa disadari pasti memuji beliau. Mereka pun akan mendapat berkah dari keluasan ilmu beliau.
Mohammad bin Masud Ayashi, mufassir dan ulama mengatakan," Suatu hari di era pemerintahan Muktasim, khalifah bani Abbas, pasukan Abbasi berhasil menangkap pencuri dan perampok. Penjahat ini menganggu perjalanan para musafir dan rombongan haji. Pejabat Muktasim bertanya kepada khalifah, apakah hukuman yang akan dijatuhkan kepada para penjahat. Muktasim langsung menggelar pertemuan untuk membahas hal ini dengan mengundang para ulama. Khalifah juga meminta Imam Jawad hadir dalam pertemuan ini. Namun Muktasim mengundang Imam Jawad dengan niat busuk. Muktasim mengira Imam Al Jawad akan menjadi bahan tertawaan para ulama mengingat usia beliau yang masih muda.
Imam Jawad dalam pertemuan tersebut lebih banyak diam, namun ketika menyaksikan kesalahan para ulama dalam memberikan keputusan beliau langsung berkata," Kalian salah dalam berargumentasi. Semua dimensi harus kalian perhatikan." Saat itulah, Imam Jawad menjelaskan ayat tersebut secara ilmiah dan dengan sederhana. Selanjutnya Imam membahas berbagai bentuk kejahatan dan hukuman bagi setiap kejahatan dijelaskan secara detail. Pembicaraan Imam yang rasional ini diterima oleh seluruh hadirin. Muktasim setelah menyaksikan hadirin menerima pendapat Imam, terpaksa menerima ucapan beliau. Di sinilah ketinggian ilmu Ahlul Bait menjadi jelas bagi setiap orang.
Dua tahun terakhir dari usia Imam al-Jawad merupakan saat-saat yang paling sulit. Apalagi strategi Muktasim tidak seperti Makmun. Muktasim secara terang-terangan memusuhi Ahlul Bait. Keagungan dan popularitas Imam Jawad di tengah rakyat membuat Muktasim gusar. Terlebih rakyat kian mencintai Imam Jawad yang tentunya akan menjadi batu sandungan dalam rezimnya.
Rencana busuk Muktasim ini akhirnya dilaksanakan juga pada tahun 220 hijriah. Dengan demikian, Imam Jawad mereguk cawan syahadah di usia 25 tahun, usia yang masih sangat muda.
IMAM JAWAD DAN KERIDHAAN ALLAH SWT
Sumber : parstoday.com
Setiap Imam dari Ahlul Bait as di setiap zamannya merupakan sosok termulia dan terpandai. Mereka memiliki metode berbeda untuk menyampaikan ajaran suci Rasulullah. Kepatuhan kepada Allah Swt merupakan landasan hidup para Imam Ahlul Bait. Oleh karena itu, mereka sangat peka terhadap masalah seperti keadilan, menyelamatkan manusia dari penyembahan selain Allah dan meluruskan hubungan pribadi serta sosial.
Meski para Imam dalam sejumlah masalah kecil tidak berhasil mendirikan pemerintahan, namun dalam pandangan mereka kekuasaan dan pangkat hanya sarana untuk menegakkan keadilan, hak, menghancurkan kebatilan dan menegakkan agama Tuhan. Namun mengingat para Imam di setiap prilakunya merupakan manifestasi nilai-nilai luhur kemanusiaan dan moral maka secara tidak langsung kharisma mereka menempati setiap lubuk hati manusia.
Imam Jawad as dilahirkan pada tahun 195 Hijriah di kota Madinah. Imam Jawad as sejak kecil hingga menginjak usia remaja telah dikenal akan keilmuan, kefasihan, kesabaran dan ketakwaan. Beliau memiliki kecerdasan dan cara penyampaian yang lugas. Meskipun usianya masih muda belia, tapi dari sisi keilmuan dan keutamaan beliau telah disejajarkan dengan tokoh-tokoh masa itu.
Dalam sejarah disebutkan, saat musim haji sekitar 80 orang ahli fiqih dari Baghdad dan kota-kota lain menuju Madinah untuk bertemu dengan Imam Jawad as. Mereka mencecar Imam dengan pelbagai pertanyaan ilmiah, namun Imam Jawad as dengan tenang dan mantap menjawab semua yang ditanyakan. Kejadian ini memupuskan segala keraguan yang selama ini menggelayut benak mereka.
Imam Jawad as hidup sezaman dengan dua khalifah Bani Abbasiah, Makmun dan Mu`tashim al-Abbasi. Sementara itu, pemerintahan Bani Abbasiah terkenal menyimpang dari ajaran Islam. Mereka hanya menampilkan keislaman secara zahir. Di saat yang sama pemerintahan Bani Abbasiah juga memiliki program terencana untuk mengubah ajaran suci Islam. Sementara itu, sikap anti dan penentangan yang ditunjukkan Imam Jawad terhadap pemerintah berkuasa mendapat reaksi luas. Sikap Imam ini juga menjadi sebab kehidupan beliau senantiasa menghadapi rongrongan dari penguasa.
Imam Jawad seperti para Imam Ahlul Bait lainnya tidak tinggal diam menyaksikan kezaliman dan penyimpangan yang dilakukan penguasa Abbasyiah. Kebenaran terus disampaikan Imam meski kepada masyarakat dalam kondisi yang sesulit apapun. Keberanian, ketegasan dan perlawanan beliau terhadap kezaliman penguasa membuat Bani Abbasyiah tak mampu membiarkan beliau untuk bebas bergerak dan membiarkannya terus hidup. Oleh karena itu, penguasa Bani Abbasiah meneror Imam Jawad di usia yang relatif muda, 25 tahun.
Salah satu usaha penting Imam di bidang budaya adalah meriwayatkan hadis sahih dari Rasulullah dan para Imam Ahlul Bait serta menjelaskannya kepada umat Islam. Kita pun kini menyaksikan warisan tak ternilai dari Imam Jawad berupa hadis dan petuah-petuah suci beliau. Selain meriwayatkan hadis, Imam Jawad juga aktif di tengah-tengah masyarakat menyebarkan budaya dan ajaran Islam. Imam juga tak kenal lelah memberikan petunjuk soal ekonomi dan kebutuhan pemikiran umat.
Di antara metode yang ditempuh Imam Jawad untuk melaksanakan perintah Allah adalah menciptakan relasi kuat antara manusia dan al-Quran. Menurut beliau ayat-ayat suci al-Quran harus merata di tengah masyarakat dan umat Islam di setiap ucapan serta prilakunya mencontoh ajaran al-Quran.
Imam menandaskan bahwa mencari kerelaan Allah merupakan kunci kebahagiaan manusia. Dengan bersandar pada ajaran al-Quran, Imam menekankan kerelaan dan keridhaan Allah di atas segala sesuatu. Di ayat ke 72 Surat Taubah, Allah Swt menjelaskan bahwa kerelaan-Nya bagi seorang mukmin lebih utama dari segala sesuatu termasuk surga.
Imam Jawad as meminta masyarakat untuk senantiasa memikirkan kerelaan Allah Swt. Dalam hal ini beliau memberikan wejangan kepada umat Islam. Beliau bersabda, "Tiga hal dapat mengantarkan manusia kepada ridha Allah; banyaknya istighfar, keramah-tamahan dan banyak bersedekah. Tiga hal jika dimiliki oleh seseorang, ia tidak akan menyesal; tidak terburu-buru, bermusyawarah dan bertawakal kepada Allah ketika ia sudah mengambil keputusan".
Salah satu nikmat Ilahi bagi manusia adalah beristighfar dan bertaubat. Taubat dan istighfar merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Ilahi bagi hambaNya. Dengan bertaubat, dosa-dosa yang ada tersapu bersih dan manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri serta memperbaiki kesalahannya dengan melakukan perbuatan bajik. Oleh karena itu, dalam bertaubat manusia dilarang bermain-main. Taubat harus dilakukan dengan serius, karena penyesalan membawa beban di pundak manusia.
Istighfar berarti meminta pengampunan. Artinya manusia meminta Allah mengampuni kesalahannya dan mengharap dirinya masuk dalam rahmat Ilahi. Imam Ali as terkait hal ini berkata," Di alam ini terdapat dua sarana untuk menyelamatkan manusia dari siksaan Allah. Pertama adalah keberadaan Rasulullah yang terputus dengan wafatnya beliau. Namun sarana kedua kekal hingga hari Kiamat. Sarana itu adalah istighfar. Oleh karena itu, berpegang teguhlah dengan istighfar dan jangan sekali-kali kalian lepas.
Istighfar dapat menjadi perantara untuk menyingkirkan azab dunia dan akhirat yang ditimbulkan oleh perbuatan jelek manusia. Salah satu dampak dari istighfar menurut al-Quran adalah mencegah azab Ilahi, pengampunan dosa serta menambah rizki, kesejahteraan dan usia. Sikap ramah, menurut Imam Jawad dapat menuntun manusia mencapai keridhaan Allah. Di metode pertama (istighfar) Imam menjelaskan hubungan antara seorang hamba dan Tuhan. Metode kedua dan ketiga mengajarkan manusia bagaimana berinteraksi dengan sesamanya. Artinya keridhaan Allah dapat dicapai seseorang dengan melayani dan mengabdi kepada sesamanya.
Pastinya sifat ramah tamah membuat seseorang menjadi tawadhu (rendah hati) dan tidak congkak, karena kesombongan membuat seseorang tak segan-segan berlaku zalim kepada sesamanya. Metode ketiga menurut Imam Jawad untuk mencapai keridhaan Tuhan adalah bersedekah. Imam Jawad sendiri terkenal karena kedermawanannya sehingga dijuluki al-Jawad. Dengan demikian beliau sendiri telah memberi contoh kepada umatnya dan tidak sekedar menganjurkan.
Infak dan sedekah banyak disinggung dalam al-Quran. Ibarat ini disebut al-Quran setelah shalat yang merupakan ibadah paling urgen bagi manusia. Dengan demikian menurut Imam Jawad penghambaan memiliki dua sayap. Sayap pertama, interaksi dengan Allah dan sayap kedua interaksi dengan sesama manusia dengan penuh tawadhu. Sifat tawadhu pada diri manusia dapat dipupuk dengan membiasakan diri memberi sedekah dan berinfak.
Setiap manusia berhak mengeluarkan hartanya dengan berinfak di jalan Allah. Namun demikian jangan sampai manusia memaksakan diri sehingga dirinya malah mendapat kesulitan. Infak dan berbuat baik dengan segala bentuknya khususnya bersedekah merupakan salah satu jalan bagi manusia untuk mencapai keridhaan Allah Swt. Karena manusia dengan kerelaannya mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Orang seperti ini telah melepas keterikatan dirnya dengan materi demi keridhaan Allah.
IMAM JAWAD, TELADAN KEDERMAWANAN SEJATI
Sumber : parstoday.com
Hari-hari bulan Rajab, satu per satu terlewati. Bulan Rajab yang penuh berkah merupakan bulan mulia yang dianugrahkan Allah kepada hambanya. Bulan ini merupakan salah satu moment terbaik untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Bulan Rajab juga dihiasi dengan pelbagai peristiwa bersejarah penting yang erat kaitannya dengan Ahlul Bait Nabi as.
Dengan mempelajari kembali sejarah Islam, peran konstruktif Ahlul Bait as dalam memperkaya pemikiran Islam tampak begitu jelas. Ahlul Bait merupakan khazanah ilmu dan makrifat ilahi. Mereka adalah pasangan tak terpisahkan al-Quran. Merekalah penafsir hakiki al-Quran yang menjaga al-Quran dan Sunnah Nabi dari berbagai penyimpangan dan bidah.
Tiap kali kesucian agama terancam, Ahlul Bait as merupakan pihak pertama yang senantiasa bangkit mematahkan ancaman yang ada. Tanggal 10 Rajab, merupakan hari kelahiran salah seorang tokoh utama Ahlul Bait as. Pada tanggal ini tahun 195 H, Imam Muhammad Taqi al-Jawad lahir di kota Madinah.
Imam Jawad as hidup dalam suasana politik yang sangat sulit. Dalam keadaan itu, beliau gigih mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam yang murni di tengah masyarakat Muslim. Kesulitan yang dibuat oleh penguasa Bani Abbas tidak membuat beliau mundur dari misi ini. Beliau dengan keberanian yang tak terlukiskan mengungkapkan hakikat kebenaran dalam kondisi sesulit apapun. Imam Jawad benar-benar laksana mentari yang bersinar terang di tengah umat. Kebijakan ketat yang diterapkan penguasa tidak menghalangi sampainya sinar ilmu dari sosok suci pemimpin agung ini ke tengah masyarakat.
Imam Jawad memang berumur belia saat meninggalkan dunia yang fana. Namun usia 25 tahun yang beliau lewati telah meninggalkan warisan ilmu dan khazanah hikmah yang tak terbatas. Sejarah menyebutkan nama 150 orang yang pernah berguru kepada Imam Jawad as dan mendapat bimbingan beliau. Diantara mereka, nampak nama-nama para tokoh yang dikenal figur besar di bidang keilmuan dan fiqh.
Imam Jawad as punya kepedulian yang besar kepada masalah ilmu dan pendidikan. Beliau pernah berkata, "Tuntutlah ilmu sebab mencari ilmu adalah kewajiban bagi semua orang. Ilmu mempererat jalinan antara saudara seagama dan simbol kemuliaan. Ilmu adalah buah yang paling sesuai untuk hidangan sebuah pertemuan. Ilmu adalah kawan dalam perjalanan dan penghibur dalam keterasingan dan kesendirian."
Beliau dalam sebuah riwayat mengatakan, "Empat hal yang menjadi faktor keberhasilan orang dalam melakukan perbuatan baik dan amal salih adalah kesehatan, kekuatan, ilmu dan taufik dari Allah Swt."
Tak syak bahwa sebagian besar masa hidup manusia berhubungan dengan urusan duniawi. Dunia adalah tempat yang penting untuk mengaktualkan potensi manusia. Jatidiri manusia yang baik maupun yang buruk terbentuk dalam kehidupan dunia. Karena itu, kehidupan dunia adalah kehidupan yang sangat penting. Dari sinilah, orang bisa melayang tinggi ke alam kesempurnaan atau terjun bebas ke lembah kehancuran dan kesengsaraan.
Sayangnya, banyak orang yang lalai sehingga tidak memandang dunia sebagai peluang bagi menyempurnakan insaniah dan spiritualitasnya. Akibatnya mereka tidak memanfaatkan kehidupan ini dengan benar dan merugi kelak di hari akhir. Imam Jawad berkata, "Dunia ibarat pasar tempat orang bertransaksi, ada yang untung dan ada yang merugi."
Imam Jawad as sama sekali tidak mempedulikan penampilan luar. Meski beliau dipandang sebagai insan pemimpin dan punya pengaruh yang sangat besar di tengah umat, namun beliau tidak menaruh minat sama sekali kepada dunia. Beliau sangat dermawan dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Diriwayatkan bahwa setiap tahunnya beliau membagi-bagikan ribuan dinar di antara kaum fakir kota Madinah. Tak salah bila masyarakat menyebut beliau dengan sebutan al-Jawad yang berarti dermawan. Gelar ini abadi dan beliau dikenal dengan gelaran itu.
Imam Jawad berkata, "Allah Swt menganugerahkan nikmat-Nya yang berlimpah kepada sekelompok orang untuk disalurkan lewat derma kepada orang lain. Jika menolak berinfak, maka Allah akan menarik rezeki-Nya dari mereka."
Menurut beliau, harta adalah amanat yang diberikan Allah kepada sebagian hamba-Nya sebagai perantara atau untuk menjadi ujian bagi mereka. Karena itu, siapa saja yang mendapatkan harta dari Allah hendaknya memandang harta itu sebagai titipan Allah untuk mengabdi dan membantu orang lain. Dalam hadis yang lain, beliau berkata, "Anugerah pemberian Allah kepada hamba-Nya tidak akan bertambah banyak kecuali ketika kebutuhan orang lain kepadanya meningkat. Karena itu orang yang tidak sanggup menerima amanat ini dan tidak bersedia membantu orang lain, maka Allah akan menarik rezeki dari tangannya."
Sebagaimana yang telah diketahui, para penguasa Bani Abbasiah sangat membenci keluarga Nabi dan para Imam Ahlul Bait as. Salah satu yang mereka lakukan untuk mengawasi gerak-gerik dan membatasi aktivitas Ahlul Bait adalah dengan mengasingkan para Imam dari Madinah ke dekat pusat pemerintahan. Bahkan diantara Imam yang dijebloskan ke dalam penjara, yaitu Imam Kazhim as. Dengan cara itu, khalifah bermaksud menjauhkan Imam dari masyarakat. Hal itu juga dilakukan khalifah terhadap Imam Muhammad Jawad as.
Khalifah Makmun memaksa Imam Jawad untuk meninggalkan kota Madinah menuju ke ibukota pemerintahan Bani Abbasiah. Kondisi itu memudahkan khalifah untuk mengawasi dan mengontrol gerak gerik dalam langkah Imam. Masyarakat menjadi sulit untuk menjalin kontak dengan pemimpin agung dari Ahlul Bait ini.
Namun kondisi itu tidak membuat Imam putus hubungan dengan umat. Beliau terus menjalin kontak dengan masyarakat lewat wakil-wakilnya yang tersebar di berbagai pelosok. Karena itu, sejarah menyebutkan bahwa hubungan antara Imam Jawad dan masyarakat umumnya terjalin dalam bentuk surat. Imampun setelah menerima surat-surat itu menjawab apa yang diperlukan umat lewat surat. Saat ini sejarah masih menyimpan 157 surat yang dinisbatkan kepada Imam Muhammad Jawad as.
Di zaman ketika pemikiran sesat dan bidah tersebar di mana-mana, dan orang mulai menjauh dari ajaran murni Nabi Muhammad Saw, Imam Jawad as menyebarkan dan mengajarkan pemikiran dan ajaran suci Rasulullah Saw. Jelas, penguasa Bani Abbasiah geram mendengar keterangan Imam tentang ajaran Nabi Saw yang sesungguhnya, karena bertentangan dengan kebijakan para penguasa yang zalim. Akibatnya, Imam dan para pengikut setianya semakin ditekan dan disiksa oleh Bani Abbas. Imam juga selalu menasehati khalifah dan para pejabat pemerintahannya untuk tidak menghambur-hamburkan harta baitul mal.
Ibnu Sabbagh, ulama besar mazhab Maliki mengenai Imam Jawad berkata, "Apa yang hendak saya katakan tentang orang yang usianya lebih muda dibanding yang lain tapi kemuliaannya melebihi yang lain. Dengan usianya yang belia, ia telah menunjukkan kebesaran dan karamah sementara ia juga berpengaruh besar karena ilmunya. Dia adalah orang yang membungkam musuh-musuhnya dengan kata-kata logis, benar, dan lembut. Semua sastrawan dan ulama nampak kerdil di hadapannya."
Imam Jawad as berkata, "Pengetahuan agama adalah barang yang sangat berharga dan anak tangga menuju ke puncak yang tinggi."
Beliau juga mengatakan, "Sedikit bicara akan menutupi kekurangan dan mencegah orang dari kesalahan. Manusia tersembunyi di balik lisannya."
Dalam riwayat lain beliau berkata, "Siapa saja yang bersandar kepada Allah, maka ia telah mendapat kekayaan hakiki. Siapa saja yang menjaga ketakwaan maka orang akan mencintainya secara mendalam."
IMAM MUHAMAD AL-JAWWAD ALAIHIS SALAM
Samudra Ilmu dan Takwa
pengarang : S. Mahdi Ayatullahi
KATA SAMBUTAN
Adik-adik dan remaja tercinta!
Dalam kehidupan dunia ini, kita selalu memerlukan manusia-manusia teladan yang berakhlak agung dan mulia, sehingga dengan keteladanan mereka, kita dapat meniru akhlak luhur mereka.
Para pemimpin agama dan para Imam Ahlul Bait as. merupakan manusia-manusia teladan bagi kita semua.
Untuk itu, kami telah melakukan penelaahan perihal kehidupan mereka, dengan maksud untuk memperkenalkannya kepada adik-adik.
Kami pun telah berusaha semaksimal mungkin guna menyusun bukubuku ihwal kehidupan mereka dengan bahasa yang sederhana, sehingga dapat dipahami dengan mudah.
Kumpulan kisah manusia-manusia suci ini disusun seringkas mungkin dengan tidak melupakan keshahihan kisah-kisah teladan Imam Ahlul Bait itu.
Para ahli sejarah Islam telah mengkajinya secara serius dan mereka mendukung usaha penyusunan buku ini. Kami berharap, adik-adik sekalian sudi mempelajarinya secara serius pula.
Di samping hasil pelajaran ini, kami meminta kepada adik-adik untuk dapat menyampaikan kesan dan pandangannya.
Di akhir sambutan ini, kami sangat berterima kasih atas perhatian adik-adik.
Dan semoga adik-adik mau bersabar menantikan seri-seri selanjutnya.
Selamat membaca!
Hari Lahir
Pada hari kesepuluh bulan Rajab tahun 195 H, Imam Muhammad Al-Jawwad as. dilahirkan. Ayah beliau adalah Imam Ali Ar-Ridha as.
Dan ibu beliau bernama Khaizran, berasal dari bangsa Maria Qibtiah, istri Rasulullah saw.
Imam Muhammad as. memiliki banyak gelar. Gelar yang paling masyhur adalah At-Taqi dan Al-Jawwad.
Saudari Imam Ridha as., Hakimah mengisahkan, "Pada malam kelahiran Imam Al-Jawwad, saudaraku (Imam Ridha) memintaku untuk berada di sisi istrinya.
Ia melahirkan seorang bayi dengan selamat. Ketika lahir, bayi itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad.
Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini.
Saudaraku berkata, "Wahai ukhti, Jangan engkau terganggu dengan peristiwa ini, engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi".
Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi pengikut Ahlul Bait as. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka.
Nauf Ali menceritakan, "Ketika Imam Ali Ar-Ridha as. melakukan perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, 'Apakah Anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan?'. Beliau berkata, 'Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi".
Imam Ridha as. berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, "Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku, ajukan pertanyaanmu kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi Imam setelahku".
Tatkala beberapa orang sahabat Imam Ar-Ridha menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat, beliau mengatakan, "Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja'far (Imam Jawad).
Usia seseorang tidak terlibat dalam urusan Nubuwwah dan Imamah".
Imam kesembilan umat ini, Muhammad Al-Jawwad as. menerima tanggung jawab Imamah pada usia sembilan tahun.
Salah seorang sahabat beliau berkata, "Ali bin Ja'far, paman Imam Jawad di Madinah, adalah seorang yang memiliki pengaruh yang besar.
Warga kota di sana menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid, orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang masalah-masalah yang mereka hadapi.
Suatu hari, Imam Muhammad Al-Jawwad as. memasuki masjid tersebut. Ali bin Ja'far yang sudah tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya dan mencium tangan Imam as. lalu berdiri di sisi beliau.
Imam berkata, "Paman, duduklah!" Sang paman berkata padanya, "Bagaimana mungkin aku dapat duduk selagi kau masih berdiri?"
Ketika Ali bin Ja'far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka menegurnya dan berkata, "Anda adalah orang tua dan paman anak ini. Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya?"
Ali bin Ja'far menjawab, "Diamlah, kedudukan Imamah (kepemimpinan Ilahi) merupakan sebuah kedudukan yang telah digariskan oleh Allah.
Allah tidak memandang orang tua ini (Abu Ja'far, penj.) akan mampu mengemban Imamah atas umat. Namun, Dia Maha tahu bahwa anak ini layak dengan kedudukan itu.
Maka itu, kalian harus mentaati perintahnya".
Akhlak Imam Al-Jawwad as.
Ketika ayahandanya wafat, Imam Muhammad Al- Jawwad as. masih belia. Namun begitu, beliau sungguh memiliki kepribadian yang matang dan sempurna, yang mendesak setiap orang untuk menumpahkan rasa hormat di hadapannya.
Selang beberapa hari setelah wafatnya Imam Ali Ar-Ridha, Khalifah Ma'mun pergi berburu bersama pasukan pengawal pribadinya.
Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu.
Melihat Ma'mun datang, mereka segera bubar dan lari menjauh, hanya seorang anak yang tidak beranjak dari tempat mainnya.
Ma’mun dan pasukannya berhenti lalu memandangi anak tersebut. Ia bertanya terheran-heran, "Hai bocah, mengapa kau tidak lari seperti anak-anak itu?"
Anak itu menjawab, "Jalan ini tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun sehingga aku harus takut padamu. Aku pikir Anda tidak akan mengganggu seseorang.
Dan Anda tidak akan mengejar orang yang tak bersalah. Maka itu, aku tidak lari darimu".
Ma’mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya, "Siapakah namamu?"
"Muhammad bin Ali Ar-Ridha", jawab anak itu.
Ma’mun segera mengungkapkan duka citanya atas wafatnya ayah anak itu.
Setelah itu, ia melanjutkan pemburuan bersama para pengawalnya.
Surat Sang Ayah
Imam Ali Ar-Ridha as. senantiasa memperlakukan putranya dengan penuh hormat dan selalu memperhatikan pendidikannya.
Bizanti berkata, "Suatu hari, Imam Ridha as. menulis surat kepada putranya, Muhammad Al-Jawwad, di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:
"Wahai putraku! Aku mendengar bahwa para pelayan khalifah tidak memperkenankan orang-orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu.
"Ketahuilah, mereka (para pelayan khalifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia.
Kini, aku perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka.
Bilamana engkau pergi, bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan dan membutuhkan pertolonganmu.
"Pikirkanlah orang-orang yang mendapat kesulitan hidup, bantulah mereka dengan baik. Janganlah lupa untuk senantiasa bersikap murah dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan".
Keluasan Ilmu Imam Al-Jawwad as.
Setelah berhasil meracun Imam Ali Ar-Ridha as., Ma’mun berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kematian beliau adalah sebuah kejadian yang wajar dan alami.
Namun, berangsur-angsur keculasan dan kebusukannya tercium oleh orang-orang 'Alawiyun (keturunan Imam Ali as.) dan kaum Syi’ah.
Mereka mengetahui bahwa Ma’mun telah melakukan sebuah tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridha.
Oleh karena itu, beragam protes, kecaman, kerusuhan dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota.
Ma’mun berupaya memadamkan api pemberontakan itu. Ia membawa putra Imam Ar-Ridha itu, Imam Muhammad Al-Jawwad as.
Dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya sendiri, Ummul Fadhl.
Orang-orang Abbasiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma’mun itu, namun Ma’mun tetap bersikeras pada keputusannya.
Mereka mendebatnya, "Dia (Imam Al-Jawwad as.) itu masih kecil, belum mengerti agama, bersabarlah supaya belajar agama terlebih dahulu".
Ma'mun tangkas menjawab, "Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealimalim manusia untuk aku jadikan menantuku. Kalian dapat mengujinya jika kalian mau".
Orang-orang Abbasiyah mendekati Yahya bin Aktsam, sang hakim agung, dan memintanya agar menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam Muhammad Al-Jawwad as. di hadapan majelis resmi Ma’mun.
Yahya mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma’mun dan menyampaikan kesediaan Yahya.
Ma’mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut. Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbasiyah bersama Yahya bin Aktsam memasuki majelis akbar itu.
Majelis itu dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan dan para pejabat pemerintahan.
Kemudian, datanglah Imam Muhammad Al-Jawwad as. ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan beliau.
Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma’mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini, karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Ma'mun berkata kepada Imam as., "Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. "
"Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan", jawab Imam as.
Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, "Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka'bah, pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?"
Imam Al-Jawwad as. bersabda, "Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah masalah yang masih begitu global.
Mana yang sebenarnya ingin kau tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?
Pernikahan
Yahya kebingungan sekaligus kagum tatkala Imam as. mengurai masalah itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbesit tanda kekalahan dan kegagalan.
Mulutnya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan kekaguman kepada Imam Al-Jawwad as. setelah menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmu beliau.
Akhirnya, Ma’mun mengumumkan acara akad pernikahan putrinya dengan Imam Al-Jawwad di majelis itu juga.
Imam as. bangkit lalu menyampaikan khutbah nikah. Mas kawin yang beliau berikan senilai mas kawin Siti Fatimah Az-Zahra as. dan pesta pernikahan pun berlangsung sebegitu meriahnya.
Maksud di Balik Pernikahan
Sesungguhnya Ma'mun menyimpan maksud-maksud tertentu di balik keputusannya menikahkan putrinya dengan Imam Al-Jawwad as. Di antaranya:
1. Menepis kecaman dan tuduhan orang-orang sekaitan pembunuhannya terhadap Imam Ali Ar-Ridha as. dan merebut kembali hati masyarakat.
2. Agar putrinya dapat mengawasi dan memantau Imam Al-Jawwad as. sedekat mungkin.
3. Membujuk Imam as. agar menetap di kota Baghdad yang kehidupannya dipenuhi oleh kemewahan dan kesenangan duniawi.
Kembali ke Madinah
Imam Muhammad Al-Jawwad as. telah mengambil keputusan bulat untuk segera kembali ke Madinah.
Maksud tersebut beliau lakukan dengan cara berangkat ke Makkah dan menunaikan Haji di sana.
Masyarakat pun ramai mengantarkan Imam sampai di jalan yang mengarah ke kota Kufah. Di sana, Imam as. singgah di sebuah masjid. ketika waktu shalat telah tiba, Imam as. berwudhu di halaman masjid di bawah pohon Nabk.
Sungguh Allah swt. telah memberkahi pohon itu sehingga berbuah dengan buah-buah yang manis. Warga Baghdad senantiasa mengenang keberkahan Imam as. pada pohon itu.
Beberapa Surat dan Masalah
Ada seorang lelaki dari Bani Hanifah yang menyertai Imam Al-Jawwad as. dalam perjalanan hajinya.
Saat duduk bersama di depan hidangan, ia berkata kepada Imam as., "Jiwaku adalah tebusanmu, sesungguhnya wali kotaku adalah pecintamu Ahlul Bait, ia amat percaya padamu.
Dan sekarang ini aku harus membayar pajak kepadanya.
Bisakah kau menuliskan surat untuknya agar ia berbelas kasih kepadaku?"
Imam berkata, "Tapi, aku tak mengenalnya". Lelaki itu membalas, "Dia sungguh pecintamu, dan suratmu akan dapat berguna bagiku".
Lalu Imam as. mengambil secarik kertas dan menulis, "Bismillahirrahmaninrrahim, pembawa suratku ini adalah seorang lelaki yang telah mengenalkanmu sebagai manusia mulia.
Dan tidak ada perbuatan yang berguna bagimu kecuali kebaikan yang terdapat di dalamnya, maka berbuatbaiklah kepada saudara-saudaramu!".
Lelaki itu menyerahkan surat tersebut kepada wali kota Neisyabur. Ia menyambutnya, bahkan menciumnya dan melekatkannya di kedua matanya.
Lalu berkata kepada lelaki, "Apa keperluanmu?" "Ada pajakmu yang aku tanggung", begitu keluhnya.
Mendengar itu, wali kota memerintahkan agar kewajiban pajaknya dihapuskan, dan mengatakan, "Kau tidak usah membayar pajak selagi kau hidup".
Datang sepucuk surat kepada Imam Al-Jawwad as. dari seorang lelaki yang hendak bermusyawarah dengan beliau berkenaan dengan pernikahan anak-anak perempuannya.
Imam as. menulis balasan untuknya, "Aku telah mengerti apa-apa yang kau paparkan mengenai anakanak perempuanmu, dan bahwasanya kau tidak menemukan lelaki yang mirip denganmu, namun janganlah terlalu menantikan demikian itu, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya, karena Rasulullah saw. telah bersabda, 'Jika datang kepadamu seseorang yang kamu sukai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu), bila kamu tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar".
Nasib Ma’mun
Warga Mesir bangkit melakukan pemberontakan. Segera Khalifah Ma’mun mempimpin pasukan besar dan memadamkan api pemberontakan itu.
Dari sana, ia bertolak ke kawasan Romawi. Maka, terjadilah peperangan yang dahsyat yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin.
Dalam perjalanannya kembali dari peperangan, Ma'mun melewati "Riqqoh".
Tempat itu terasa sejuk dan tenang dengan mata air yang mengalir. Maka, ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di sana.
Di Riqqoh, Ma’mun jatuh sakit. Tak lama kemudian, ia mati dan dikuburkan di tempat itu juga.
Kesyahidan Imam Al-Jawwad as.
Setelah kematian Ma'mun, saudaranya yang bernama Mu'tasim menduduki kekhalifahan. Dia di kenal sebagai orang yang kejam, jahat dan berperangai buruk.
Pertama yang dilakukan Mu'tasim ialah memanggil Imam Al-Jawwad as. dari Madinah untuk kembali ke Baghdad. Setelah itu, mulailah dia merencanakan persengkongkolan dengan Ja'far, anak Ma'mun.
Dia mendesak Ja'far agar membujuk saudara perempuannya Ummu Fadhl supaya meracun suaminya sendiri, Imam Al-Jawwad as.
Ummu Fadhl pun menyanggupi. Maka, ia bubuhkan racun ganas di dalam anggur, seakan-akan ia telah belajar dari ayahnya sendiri yang telah membunuh Imam Ali Ar-Ridha as. dengan cara yang sama.
Demikian kesyahidan Imam Muhammad Al-Jawwad as, pada hari selasa 6 Dzulhijjah 220 H, pada usianya yang masih muda, 25 tahun.
Jasad beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pemakaman Quraisy (kota Kadzimein sekarang) di samping makam datuknya Imam Musa Al-Kadzim as.
Pusara kedua Imam merupakan salah satu tempat ziarah kaum muslimin yang dating dari penjuru dunia. []
Mutiara Hadis Imam Al-Jawwad as.
"Kehormatan seorang mukmin ialah ketakbergantungannya pada orang lain".
"Seorang mukmin senantiasa membutuhkan tiga perkara: taufiq dari Allah, penasehat dari dalam dirinya, dan menyambut setiap orang yang menasehatinya".
"Hari Keadilan itu lebih mengerikan bagi orang zalim daripada hari perlakuan zalim terhadap orang teraniaya".
"Neraca kesempurnaan harga diri seseorang ialah meninggalkan apa saja yang tidak membuat dirinya indah".
"Kematian manusia karena dosa-dosanya itu lebih banyak ketimbang kematiannya karena ajalnya, dan hidupnya seseorang karena kebajikannya itu lebih banyak daripada hidupnya dengan (takdir) umurnya".
Riwayat Singkat Imam Al-Jawwad as.
Nama : Muhammad
Gelar : Taqi dan Jawwad
Panggilan : Abu Ja'far
Ayah : Imam Ali Ar-Ridha as.
Ibu : Khaizran
Kelahiran : Tahun 195 Hijriah
Masa Imamah : 17 Tahun
Kesyahidan :Tahun 220 H
Makam : Kota Kadzimain, Irak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar