IMAM ALI BIN MUSA AR-RIDHA ALAIHIS SALAM
a. Biografi Singkat Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
Imam Ali Ridha a.s. dilahirkan di Madinah pada tanggal 11 Dzul Qa'dah 148 H. Ayahnya adalah Imam Kazhim a.s. dan ibunya adalah Najmah. Nama lainnya adalah Samanah, Tuktam dan Thahirah.
Setelah Imam Kazhim a.s. syahid, ia dalam usia 35 tahun harus memegang tali kendali imamah, menjaga norma-norma Islam dan membimbing para pengikutnya. Masa keimamahan Imam Ridha a.s. adalah dua puluh tahun. Kita dapat membagi masa tersebut dalam tiga fase:
a. Sepuluh tahun pertama masa imamahnya yang bertepatan dengan masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid.
b. Lima tahun setelah masa tersebut yang bertepatan dengan masa pemerintahan Amin, putra Harun.
c. Lima tahun kedua yang bertepatan dengan masa pemerintahan Ma`mun Al-Abasi, saudara Amin.
Dalam setiap fase imamah di atas, Imam Ridha a.s. berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menjaga dan menyebarkan Islam meskipun ia harus berhadapan --dari satu sisi-- dengan politik pemerintahan masa itu yang rumit karena ia menjadikan Islam sebagai polesan pemerintahannya, dan --dari sisi lain--, kepincangan-kepincangan sosial yang menimpa masyarakat waktu itu.
Imam Ridha a.s. pada tiga tahun terakhir hidupnya banyak mengeluarkan tenaga demi menggunakan kesempatan yang ada demi menyadarkan masyarakat luas dan memfokuskan perhatian mereka terhadap permasalahan-permasalahan pokok dan taktik pemerintah dalam melupakan mereka akan problema-problema tersebut dengan metode yang beraneka ragam.
Imam Ridha a.s. syahid pada tahun 203 H. dalam usianya yang ke-55 tahun di sebuah desa yang bernama Senabad Nuqan dan sekarang desa itu menjadi salah satu bagian dari kota Masyhad. Ia syahid karena diracun oleh Ma`mun, Khalifah yang berkuasa pada saat itu.
b. Imam Ridha a.s. Pergi ke Iran
Ma`mun Al-Abasi yang pada masa pemerintahan ayahnya menjadi gubernur Khurasan, setelah berhasil merebut kekuasaan dari saudaranya Amin, ia memindahkan ibu kota pemerintahannya dari Baghdad ke Marv (salah satu kota Khurasan sekarang--pen.). Setelah ia berhasil menguasai pemerintahan sepenuhnya, ada dua faktor utama yang memaksanya untuk mengundang Imam Ridha a.s. dengan cara apa pun ke istana kekuasaannya: pertama, kevakuman pemerintahan dari seseorang yang memiliki karisma spiritual dan ilmu pengetahuan yang hebat, dan kedua, mencegah pengaruh orang-orang yang paham situasi (negara dan opini umum yang ingin memprotes segala bentuk kebijakan pemerintah), khususnya para pencinta keluarga Ali a.s.
Ma`mun menyangka kedatangan Imam Ridha a.s. ke Iran di samping dapat memenuhi kevakuman spiritual dan ilmu pengetahuan yang sedang menimpa pemerintah, hal itu --pada lahiriahnya-- dapat memenuhi keinginan-keinginan yang selama ini diidam-idamkan oleh para pencinta keluarga Ali a.s. dan pengikut Imam Ridha a.s. sehingga dengan demikian ketenteraman dapat diperoleh oleh pemerintah dan lahan untuk dimanfaatkan secara politis tersediakan. Atau paling tidak, mereka ingin mendapatkan legitimasi atas pekerjaan yang telah dikerjakan atau akan dikerjakan.
c. Sikap masyarakat Iran terhadap keluarga Ali a.s
Perlu diketahui bahwa masyarakat Iran memiliki kecintaan yang khusus terhadap keluarga Ali a.s. dan para imam Syi'ah a.s. Atas dasar ini, sudah tersedia lahan yang siap pakai di dalam hati mayarakat Iran untuk keluarga Ali a.s.
Masyarakat Iran tidak pernah memiliki kesan yang menyenangkan dari pemerintahan-pemerintahan yang pernah berkuasa atas mereka. Karena mereka diperlakukan sebagai budak yang harus menaati setiap perintah majikannya tanpa syarat. Hal inilah --setelah mereka mengenal Islam dan mendalami hukum-hukumnya yang sangat sederhana-- yang mendorong mereka untuk memeluk Islam dan menginginkan untuk mendirikan negara Islam.
Dengan melihat perilaku para penguasa yang memegang tampuk pemerintahan setelah Rasulullah SAWW wafat dan secara praktek bertentangan dengan tujuan Islam, masyarakat Iran lebih memfokuskan pandangannya kepada Imam Ali a.s. yang hak khilafahnya pernah dirampas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Metode yang dijalankan Imam Ali a.s. dan para imam Syi'ah dari Imam Hasan a.s. hingga Imam Kazhim a.s. (dalam menyebarkan Islam) meskipun mereka harus mendekam di dalam penjara penguasa zalim saat itu, telah mampu mempersiapkan lahan bagi terbentuknya sebuah pemerintahan Islam idaman yang akan dipimpin oleh mereka paling tidak di sebagian wilayah kekuasaan pemerintah.
Pada saat itu para pengikut setia keluarga Imam Ali a.s. mengharapkan Imam Ridha a.s., seorang figur yang ilmu pengetahuan dan kesucian jiwanya menjadi buah bibir masyarakat untuk merealisasikan harapan mereka tersebut. Akan tetapi, kesempatan tidak berpihak kepada mereka untuk dapat memanfaatkan buah pemikiran dan tujuan Islaminya. Ayahnya harus menjalani kehidupannya dalam penjara bertahun-tahun dan ia sendiri hidup dalam pengawasan pemerintah yang ekstra kekat.
Pada dasarnya, para khalifah tidak mau wajah-wajah suci itu dikenal di masyarakat. Karena mereka merasa takut jika masyarakat mengenali kemuliaan yang dimiliki oleh para imam a.s., dan mengetahui ketidakpantasan mereka untuk memimpin sehingga mereka akan diturunkan dari kursi kekuasaan. Tidak aneh jika kelompok yang hanya menjadikan Islam sebagai polesan luar kekuasaan mereka ini menyingkirkan orang-orang yang layak dari arena pemerintahan sehingga mereka sendiri dapat berkuasa dan menyetir negara dengan leluasa.
Ma`mun Al-Abasi --di samping ingin memanfaatkan ilmu pengetahuan dan kedudukan sosial yang dimiliki oleh Imam Ridha a.s. (untuk kepentingan pribadinya)--, ingin mengontrol segala gerak-gerik Imam a.s. Dan dari satu sisi, dengan mengundang Imam Ridha a.s. ke istana, ia berharap dapat memperoleh kecintaan di hati masyarakat yang nota bene mencitai Imam a.s. Dan mungkin ia masih memiliki tujuan-tujuan lain di balik rencananya itu. Misalnya, memberangus habis pengaruh dan kedudukan yang dimiliki oleh orang-orang penting yang dianggap berbahaya bagi tujuan-tujuan politik mereka sebagaimana hal ini sering dilakukan oleh para politikus demi mencapai terget politik mereka.
Untuk mencapai semua tujuan (poitik) di atas, Ma`mun Al-Abasi mengundang Imam Ridha a.s. untuk berdomisili di pusat khilafah Islam yang telah berpindah dari Arab ke Iran. Dalam hal ini, peranan Fadhl bin Sahl, tangan kanan Ma`mun yang berkebangsaan Iran itu tidak dapat dilupakan.
d. Sikap Imam Ridha a.s. Terhadap Undangan Ma`mun Al-Abasi
Untuk memahamkan kepada Ma`mun dan para anteknya bahwa ia mengetahui tujuan dan rencananya di balik undangan tersebut, Imam Ridha a.s. untuk pertama kalinya tidak menerima undangan tersebut. Akan tetapi, karena paksaan yang bertubi-tubi dari pihak mereka, akhirnya ia harus meninggalkan Madinah dan bergerak menuju ke Marv, pusat khilafah Islam waktu itu.
Imam Ridha a.s. berziarah ke Makkah terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan ke Khurasan melalui Irak. Dari Makkah menuju Bashrah, rombongan dikawal dengan ketat dan penghormatan khusus nan istimewa. Imam a.s. dan para peserta rombongan dinaikkan di atas haudaj-haudaj yang dihias serapi mungkin. Dan ini adalah termasuk rencana yang telah dicanangkan oleh Ma`mun. Para peserta rombongan tersebut adalah gubernur Madinah dan para pembesar khilafah. Imam Ridha a.s. tidak membawa satu orang pun dari keluarganya. Putra satu-satunya pun ditinggalkan di Madinah dan ia berangkat sendiri menuju Iran.
Selama perjalanan dari Hijaz menuju Bashrah, Imam a.s. mengadakan cengkrama dengan masyarakat di mana ia singgah. Dari Bashrah menuju Khorram-shahr rombongan meneruskan perjalanan melalui jalan air. Setelah itu rombongan meneruskan perjalanannya melalui Ahvaz, Arak, Rei dan akhirnya Neishabur. Pada tanggal 10 Syawal 201 H. rombongan sampai di kota Marv.
Selama berada di pusat khilafah Islam, Imam Ridha a.s. sering mengadakan diskusi dengan para ilmuwan dan pembesar agama non Islam. Mereka semua mengakui keagungan dan keluasan ilmu Imam a.s. karena sering kali ia menjawab kritikan-kritikan mereka dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah yang mereka miliki dan berargumentai dari kitab-kitab yang mereka yakini.
Diskusi Imam Ridha a.s. dengan para ilmuwan pengikut agama Zoroaster, kaum materialis, uskup-uskup agama Kahtolik dan ulama` Yahudi termaktub dalam kitab Al-Ihtijaaj karya Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Thalib Ath-Thabarsi, salah seorang ulama abad ke-6 H.
Yang sangat menarik dari semua diskusi tersebut adalah mereka yang pernah mengadakan diskusi dan perdebatan dengan Imam Ridha a.s. tunduk di hadapan kesempurnaan spiritual Imam a.s. dan menerima serta mengakui ketinggian ilmu dan kebenaran ucapannya. Peristiwa ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan Imam Ridha a.s. tenar dan terkenal dalam bidang ilmu dan kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin.
Di antara ucapan suci dan pelajaran berharga yang pernah diucapkan oleh Imam Ridha a.s. telah dikumpulkan dalam bentuk buku oleh para ilmuwan Islam, seperti 'Uyuun Akhbaarir Ridhaa a.s. dan 'Ilalusy Syaraa'i'. Kitab terkahir ini memuat hikmah, faedah dan pengaruh hukum-hukum Islam (terhadap diri manusia). Dua kitab tersebut di atas ditulis oleh Syeikh Shaduq. Kitab-kitab lain seperti Thibbur Ridhaa a.s. adalah salah satu kenang-kenangan berharga darinya yang dapat membuktikan kesempurnaan dan keagungannya.
e. Sebuah Pesan dari Imam Ridha a.s
Ali bin Syu'aib, salah seorang sahabat setia Imam Ridha a.s. bercerita: "Suatu hari aku pergi untuk bertamu ke rumah Imam Ridha a.s. "Wahai Ali, Kehidupan siapakah yang terbaik?", tanyanya kepadaku.
"Wahai Imam, Anda yang lebih tahu", jawabku pendek.
"Orang yang memakmurkan kehidupan orang lain dengan biaya hidupnya sendiri", jawabnya.
"Apakah engkau tahu kehidupan siapakah yang paling jelek?", tanyanya kembali.
"Anda lebih tahu", jawabku.
"Orang yang orang lain tidak dapat mengambil manfaat dari kehidupannya", jawabnya".
Pada kesempatan ini kami persembahkan kepada para pembaca budiman ucapan-ucapan suci pilihan yang pernah diucapkan oleh Imam Ridha a.s.
1. Tiga karakter orang mukmin
"Seseorang tidak akan menjadi mukmin yang sejati kecuali ia memiliki tiga karakter berikut ini: mengikuti sunnah Tuhannya, sunnah Nabi-Nya dan sunnah imamnya. Sunnah (kebiasaan yang dilakukan oleh) Tuhannya adalah menyimpan rahasia, sunnah Nabi-Nya adalah berbuat toleransi terhadap orang lain dan sunnah imamnya adalah sabar menanggung kesengsaraan".
2. Pahala berbuat kebajikan secara diam-diam dan ancaman bagi orang yang melakukan kejelekan secara terang-terangan
"Orang yang berbuat kebaikan secara diam-diam pahalanya sama dengan tujuh puluh kebaikan, orang yang melakukan kejelekan secara terang-terangan, ia akan hina dan orang yang menutupi kejelekan akan diampuni".
3. Kebersihan
"Menjaga kebersihan adalah termasuk akhlak para nabi a.s."
4. Orang yang dapat dipercaya
"Orang yang (pada hakikatnya) dapat dipercaya tidak akan berkhianat kepadamu, dan hanya engkaulah yang menganggap pengkhianat sebagai orang yang dapat dipercaya".
5. Kedudukan saudara tertua
"Kedudukan saudara tertua seperti kedudukan seorang ayah".
6. Sahabat dan musuh setiap orang
"Sahabat setiap orang adalah akalnya dan musuhnya adalah kebodohannya".
7. Menyebutkan nama seseorang dengan penuh penghormatan
"Jika engkau menyebut nama seseorang yang ada di hadapanmu, maka sebutlah julukannya, dan jika ia tidak ada di hadapanmu, maka sebutlah namanya".
8. Kejelekan banyak bicara
"Allah membenci banyak bicara, menghambur-hamburkan harta dan meminta-minta".
9. Sepuluh keistimewaan orang yang berakal
"Akal seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia memiliki sepuluh karakter berikut:
a. Kebaikannya selalu diharapkan orang
b. Orang lain merasa aman dari kejahatannya
c. Menganggap banyak kebaikan orang yang sedikit
d. Menganggap sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya kepada orang lain
e. Tidak pernah menyesal jika orang lain selalu meminta bantuan darinya
f. Tidak merasa bosan mencari ilmu sepanjang umurnya
g. Kefakiran di jalan Allah lebih disukainya dari pada kekayaan
h. Hina di jalan Allah lebih disukainya dari pada mulia di dalam pelukan musuh-Nya
i. Ketidaktenaran lebih disukainya dari pada ketenaran".
Kemudian Imam Ridha a.s. bertanya: "Yang kesepuluh, apakah yang kesepuluh?" "Apakah yang kesepuluh?", tanya seorang sahabat.
"Ia tidak melihat seseorang kecuali berkata (dalam hatinya): 'Ia masih lebih baik dariku dan lebih bertakwa'", jawabnya singkat.
1. Tanda-tanda safilah
Imam Ridha a.s. pernah ditanya tentang siapakah safilah itu. Ia menjawab: "(Safilah) adalah orang yang dilupakan oleh hartanya untuk mengingat Allah".
2. Imam, takwa dan yakin
"Sesungguhnya iman lebih utama dari Islam satu derajat, takwa lebih utama dari iman satu derajat dan bani Adam tidak akan dianugerahi sesuatu yang lebih utama dari yakin".
3. Walimah perkawinan
"Mengadakan walimah perkawinan adalah termasuk sunnah".
4. Silaturahmi dengan sarana apa pun
"Sambunglah tali persudaraanmu walau dengan memberikan seteguk air minum, dan cara yang terbaik untuk itu adalah tidak mengganggu kerabatmu".
5. Senjata para nabi a.s.
"Pergunakanlah senjata para nabi a.s.!"
"Apakah senjata para nabi itu?", tanya sebagian sahabat.
"Doa", jawabnya singkat.
6. Tanda-tanda orang yang "faqih" dalam agama
"Di antara tanda-tanda orang yang 'faqih' dalam agama adalah kesabaran dan ilmu. Diam adalah salah satu pintu dari pintu-pintu hikmah. Sesungguhnya diam dapat mendatangkan kecintaan, dan ia adalah tanda setiap kebaikan".
7. Hakikat tawakal
Imam Ridha a.s. pernah ditanya tentang hakikat tawakal. Ia menjawab: "(Tawakal) adalah engkau tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah".
8. Manusia terjahat
"Manusia terjahat adalah orang yang tidak mau menolong orang lain, makan sendirian dan memukul budaknya (baca : bawahannya)".
9. Para penguasa tidak akan pernah menepati janji
"Orang yang kikir tidak akan pernah tenang, penghasud tidak akan pernah bahagia, para penguasa tidak akan pernah menepati janji dan pembohong tidak akan memiliki harga diri".
10. Mencium tangan, tidak!
"Seseorang tidak boleh mencium tangan sesamanya, karena mencium tangannya sama halnya dengan mengerjakan shalat kepadanya".
11. Berprasangka baik kepada Allah
"Berprasangkalah baik kepada Allah, karena orang yang berprasangka baik kepada Allah, Ia akan seperti yang disangkannya. Barang siapa yang rela dengan rezeki sedikit, maka amalannya yang sedikit akan diterima, tanggungannya menjadi ringan, keluarganya akan dianugerahi nikmat, Allah akan memberitahukan kepadanya penyakit dunia dan obatnya dan Ia akan mengeluarkannya dari dunia ini dengan selamat menuju alam kebahagiaan".
12. Rukun iman
"Iman memiliki empat rukun: tawakal kepada Allah, rela dengan segala ketentuan (qadha`)-Nya, pasrah diri terhadap semua perintah-Nya dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya".
13. Hamba Allah terbaik
Imam Ridha a.s. pernah ditanya tentang hamba Allah yang terbaik. Ia menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang jika berbuat kebajikan marasa bahagia, jika berbuat kejahatan akan meminta ampun, jika dianugerahi oleh orang lain akan berterima kasih, dan jika marah akan memaafkan".
14. Menghina orang fakir
"Barang siapa berjumpa dengan orang fakir dan mengucapkan salam kepadanya dengan cara yang berbeda ketika mengucapkan salam kepada orang kaya, maka ia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat sedangkan Ia murka kepadanya".
15. Kebahagiaan dunia
Imam Ridha a.s. pernah ditanya mengenai kebahgiaan dunia. Ia menjawab: "Luasnya rumah dan banyaknya sahabat".
16. Akibat pemerintahan zalim
"Jika para penguasa sudah berani berbohong, maka hujan tidak akan turun, jika penguasa sudah berani berbuat lalim, maka negara akan hina, dan jika zakat tidak dibayar, maka binatang-binatang ternak akan binasa".
17. Membahagiakan orang mukmin
"Barang siapa menolong orang mukmin menangani kesusahannya, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari hatinya pada hari kiamat".
18. Amalan terbaik setelah hal-hal yang wajib
"Tidak ada amalan yang lebih utama di sisi Allah setelah hal-hal yang wajib dari membahagiakan orang mukmin".
19. Tidak berlebihan dalam berbuat kebaikan
"Janganlah berlebihan ketika engkau kaya atau miskin dan dalam berbuat kebaikan, baik dari barang yang banyak atau sedikit, karena Allah SWT bisa membesarkan pahala sedekah setengah potong kurma pada hari kiamat hingga menjadi seperti gunung Uhud ".
20. Saling berkunjung dan menampakkan rasa kasih sayang
"Saling berkunjunglah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai, dan saling bersalamanlah kalian dan jangan saling bermusuhan"
21. Merahasiakan pekerjaan
"Rahasiakanlah urusan agama dan dunia kalian, karena diriwayatkan bahwa "menyebarkan urusan-urusan tersebut adalah kekufuran", "orang yang suka menyebarkannya dan pembunuh adalah sama" dan "apa yang kau rahasiakan dari musuhmu hendaknya sahabatmu juga jangan sampai mengetahuinya".
22. Melanggar janji dan tipu muslihat
"Seseorang tidak akan dapat membebaskan diri dari lingkaran kesengsaraan dengan melanggar janji, dan tidak akan aman dari ancaman siksa jika melakukan kezaliman dengan cara tipu muslihat".
23. Cara menghadapi empat golongan
"Hadapilah raja dengan penuh waspada, sahabat dengan rendah hati, musuh dengan cara hati-hati dan masyarakat umum dengan wajah yang ceria".
24. Rela dengan rezeki yang sedikit
"Barang siapa yang rela terhadap Allah karena rezeki sedikit (yang telah dianugerahkannya kepadanya), maka Ia akan merelai amalannya yang sedikit".
25. Pahala orang yang mau berusaha
"Barang siapa yang berusaha mencari rezeki dengan tujuan untuk menghidupi keluarganya, pahalanya lebih besar dari orang yang berjihad di jalan Allah".
26. Sifat pemaaf akan selalu menang
"Jika dua kelompok saling bertemu, maka kemenangan akan berpihak kepada kelompok yang paling pemaaf".
27. Amal saleh dan mencintai keluarga Muhammad SAWW
"Janganlah meninggalkan amal saleh dan kesungguhan dalam ibadah karena mengandalkan cinta kepada keluarga Muhammad SAWW dan janganlah meninggalkan kecintaan kepada keluarga Muhammad SAWW karena mengandalkan ibadah (yang kau kerjakan), karena salah satunya tidak akan diterima kecuali jika disertai dengan yang lainnya".
LENTERA SEJARAH KEHIDUPAN IMAM ALI RIDHA ALAIHIS SALAM
Lebih dari seribu tahun yang lalu, Imam Ali Ridha as menginjakkan kaki sucinya di tanah Persia. Kedatangannya membawa berkah dan cahaya bagi rakyat di negeri ini. Di hari yang agung ini, marilah sejenak kita berziarah ke makam suci beliau as yang terletak di kota Mashad, timur laut Iran. Dengan penuh keikhlasan, marilah kita menghanturkan shalawat dan salam kepada manusia suci ini.
Salam sejahtera atasmu, wahai Imam Ridha as
Salam sejahtera atasmu wahai cucu baginda Rasul SAW
Dengan tulus, segenap orang mukmin di dunia ini menghanturkan shalawat kepadamu, duhai sumber pengetahuan dan hikmah.
Pada hari ini, makam suci Imam Ali Ridha as larut dalam cahaya dan pelita yang terang benderang. Setiap peziarah yang datang dari kejauhan ribuan kilometer mendapatkan ketentraman dan kedamaian di samping makam suci imam. Mereka menemukan identitasnya di bawah pancaran cahaya manusia suci ini. Ketika mereka beranjak meninggalkan makam suci Imam Ali Ridha as, kita dapat menyaksikan raut keridhaan dan keceriaan di wajah-wajah mereka. Perlahan-lahan aku melangkahkan kaki masuk ke makam suci ini. Mendadak mataku tertuju pada seorang wanita berdiri tak jauh dariku. Ia sepertinya bukan muslimah dan bermaksud memasuki komplek makam suci Imam Ali Ridha as. Melihat pemandangan ini, aku heran dan dengan sopan, aku bertanya kepadanya: "Ada yang bisa kubantu?" Wanita itu tersenyum dan dengan penuh kesopanan, ia menjawab: "Aku bukan orang Islam, tapi seorang penganut agama Kristen. Aku datang untuk berterimakasih kepada Imam kalian, Imam Ridha as."
Ketika melihat keherananku, wanita itu berkata: "Aku memiliki seorang anak laki-laki yang cacat dan aku telah berupaya maksimal untuk mengobatinya, namun obat dan perawatan medis tidak mengubah keadaannya. Anakku juga seorang siswa yang setiap hari pergi ke sekolah. Teman-temannya yang beragama Islam selalu bertanya kepada anakku, "Kenapa ibumu tidak membawamu ke Mashad dan makam suci Imam Ali Ridha as untuk mendapat kesembuhan?" Sesampai di rumah, anakku berkata kepadaku: "Ibu, engkau berkata telah membawaku ke semua dokter yang ahli untuk menyembuhkanku. Lantas siapakah Imam Ali Ridha as yang katanya menyembuhkan orang-orang sakit?" Dengan rasa kecewa dan acuh, aku menjawab: "Imam Ridha as adalah pemimpin dan imam bagi umat Islam. Tapi kita adalah penganut agama Kristen". Namun anakku bersikeras dan terus menerus memintaku agar menuruti kemauannya.
Suatu malam, aku beranjak tidur dalam keadaan menangis. Tengah malam, aku terbangun mendengar suara jeritan anakku, tak henti-hentinya ia memanggilku dan berkata: "Ibu kemari dan lihatlah!, orang ini telah menyembuhkan kakiku, ia sendiri yang dapat ke rumah kita dan berkata kepadaku: "Katakan kepada ibumu bahwa siapa saja yang datang mengetuk pintu rumah kami, ia tidak akan pulang dengan tangan hampa." Ketika cerita itu sampai di sini, air mata wanita tersebut menetes bercucuran tanpa terbendung lagi.
Imamah adalah poros hidayah dan kemuliaan. Imam adalah pribadi yang telah mendapat petunjuk dan mendapat tugas untuk memberi petunjuk dan menuntun umat manusia ke jalan kesempurnaan. Pada dasarnya, Imam adalah pengawal kemuliaan manusia dan pembela hak-hak mereka. Ahlul Bait as merupakan pembimbing manusia menuju makrifat dan kebahagiaan. Mereka juga petunjuk bagi orang-orang yang tersesat. Gerakan menuju kesempurnaan merupakan jejak peninggalan para imam dan pemimpin yang shaleh bagi masyarakat. Oleh sebab itu, setiap masyarakat yang menjadikan ajaran para imam seperti Imam Ali Ridha as sebagai teladannya, tidak akan terjebak ke lembah kesesatan.
Salah seorang analis Koran The Washington Post dalam laporannya tentang Iran, menulis: "Pada minggu-minggu pertama kepemimpinan Presiden Barack Obama, saya sibuk mempelajari salah satu kendala besar Obama yaitu Iran. Saya bertualang mengelilingi setiap kota di Iran dan mencoba memahami apa saja yang menjadi istimewa dan penting bagi bangsa Iran. Sebagian besar pembicaraan mereka yang aku dengar berkisar tentang Imam Ridha as. Imam Ali Ridha as merupakan salah satu figur termulia dalam dunia Islam dan dikuburkan di Mashad. Selama berabad-abad lalu, umat Islam datang dari berbagai penjuru untuk menziarahi makam suci beliau. Akhirnya aku memahami bahwa kita di Barat memusatkan perhatian pada masalah pengayaan uranium untuk bahan bakar nuklir Iran sebagai simbol kedigdayaan negara itu. Padahal, makam Imam Ali Ridha as merupakan penerang masalah yang lebih besar. Terlepas dari isu nuklir, Iran punya kekuatan spiritual besar. Penerjemah yang menamai perjalanan saya berkata: "Setiap tahunnya, 12 juta peziarah mendatangi makam Imam Ridha as. Keberadaan Imam Ridha as membawa berkah yang sangat besar dan menjadi penyebab kemajuan bangsa Iran." Akhirnya saya paham bahwa kekuatan hakiki Iran secara dominan terletak pada makam Imam Ali Ridha as. Beliau memiliki pengaruh pada pikiran dan hati manusia."
Imam Ali Ridha as dilahirkan di kota Madinah pada tahun 148 H. Kesucian hati, ketajaman pandangan, keluasan ilmu, keimanan yang kuat kepada Allah Swt, dan perhatiannya yang besar kepada nasib masyarakat merupakan sejumlah sifat mulia yang khas pada diri Imam Ridha as. Kurang lebih selama 20 tahun, beliau memikul tanggung jawab sebagai imam dan pemimpin kaum muslimin. Salah satu julukan beliau adalah "Rauf" atau penyayang. Beliau as memiliki hubungan baik dengan orang kaya dan fakir-miskin, cerdik-pandai dan masyarakat awam, serta para pecinta bahkan musuh-musuh beliau.
Salah seorang sahabat Imam as berkata: "Setelah menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, beliau as selalu bersikap ramah dan penuh kasih sayang terhadap anggota keluarga dan orang-orang sekitarnya. Setiap kali menyambut hidangan makan, beliau as selalu memanggil anak kecil, orang dewasa bahkan para pekerja." Ketika para budak tidak memperoleh hak-hak minimalnya, Imam Ridha as memperlakukan mereka dengan baik dan penuh kasih sayang. Mereka mendapat tempat dan dihormati di rumah sang Imam. Mereka banyak belajar etika dan nilai-nilai kemanusiaan dari Sang Imam. Selain memperlakukan mereka dengan kasih sayang, Imam as senantiasa menasehati bahwa jika kalian tidak memperlakukan manusia dengan seperti ini, maka kalian telah menzalimi mereka.
Salah seorang yang menyertai Imam Ridha as berkata: "Dalam perjalanan ke Khurasan, aku menyertai Imam Ridho as. Suatu ketika Imam meminta dihidangkan makanan. Beliau as mengumpulkan seluruh rombongan di dekat jamuan, termasuk para budak dan orang-orang lain. Aku berkata kepada beliau: "Wahai Imam, sebaiknya mereka makan di tempat lain." Beliau berkata: "Tenanglah! Pencipta kita semua adalah satu, ayah kita adalah Nabi Adam as dan ibu kita semua adalah Hawa. Pahala dan siksa bergantung pada perbuatan masing-masing."
Ibrahim bin Abbas ketika berbicara tentang etika dan sifat Imam Ali Ridha as, berkata: "Beliau tidak pernah menyakiti orang lain ketika berbicara. Tak pernah memutuskan pembicaraan orang dan selalu memberi kesempatan kepada orang lain untuk menuntaskan pembicaraannya. Imam as sangat sopan dan aku tidak pernah melihat beliau as menjulurkan kakinya atau bersandar saat bersama orang lain. Imam tidak pernah membentak para pembantunya, tak pernah pula tertawa dengan suara lepas dan lebih sering tersenyum."
Saat ini, ribuan jiwa dari berbagai penjuru merindu ingin hadir di makam pribadi agung ini. Figur yang di masa hidupnya tidak sanggup menatap jeritan orang-orang yang membutuhkan. Salah seorang perawi mengatakan: "Ketika aku berada bersama Imam Ridha as dan orang-orang sibuk menanyakan berbagai masalah kepada beliau as, tiba-tiba seorang warga Khurasan datang menghadap beliau as. Setelah menyampaikan salam, orang ini menceritakan bahwa uang dan barang bawaannya hilang ketika pulang dari menunaikan ibadah haji. Imam as berkata: "Duduklah!." Perlahan-lahan, orang-orang mulai beranjak pergi dan aku bersama beberapa orang tetap bersama Imam as. Beliau as bertanya: "Dimana orang Khurasan tadi?" Orang Khurasan itu bangkit dan berkata: "Aku masih di sini." Imam lalu mengeluarkan 200 dinar dari sakunya tanpa memandang wajah orang itu."
Salah seorang yang hadir bersama Imam as bertanya: "Wahai putra Rasul SAW! Pemberian tadi sangat besar, tapi mengapa engkau as memalingkan wajahmu darinya?" Imam as menjawab: "Aku sama sekali tak ingin melihat derita di wajah orang tadi." Banyak riwayat yang menyebutkan berbagai sisi mulia kepribadian Imam Ridha as. Tanpa ragu lagi bahwa pengenalan terhadap poin penting pendidikan ini dapat membuka jalan bagi umat manusia untuk keluar dari krisis moral yang tengah melilit kita saat ini.
Pakar telaah agama di Universitas Virginia AS, Profesor Abdul Aziz Sachedina, menyinggung peran spiritual Imam Ridha as di tengah warga Syiah. Sachedina, berkata: "Harus dikatakan bahwa komunitas Syiah dunia menganggap Imam Ali Ridha as sebagai imam penjamin, yaitu imam yang akan memberi keamanan saat dirundungi rasa takut. Saat ini, Imam Ridha as hadir di tengah-tengah keluarga pengikutnya baik saat mereka sedih atau gembira. Masyarakat menganggap Imam Ridha as sebagai pemimpin yang membimbing ke pantai keselamatan seperti Imam Husein as. Dengan kata lain, Imam Ridha as adalah sumber ketentraman dan rasa percaya diri bagi mereka yang memerlukan petunjuk dan bantuan Tuhan."
Pada masa itu, kepribadian intelektual dan spiritual Imam Ridha as sangat berpengaruh di dunia Islam. Bahkan musuh-musuh Imam memuji kepribadian agung ini. Mas'udi mengatakan, "Pada tahun 200 H, Ma'mun mengumpulkan seluruh keluarga dekatnya dari Bani Abbas di Marv dan mengatakan kepada mereka, "Saya telah bertualang di tengah para pemuka umat Islam, namun saya tidak menemukan figur yang lebih utama, lebih bertaqwa, dan lebih layak untuk menjadi pemimpin dari Imam Ali Ridha as."
Ilmu dan wawasan Imam Ridha as mengalir laksana air mata yang jernih dan memuaskan orang-orang yang haus akan kebenaran. Meski memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas, Imam Ridha as selalu mengedepankan sikap hormat dalam berbagai diskusi ilmiah dan perdebatan dengan kelompok pemikiran dan aliran. Beliau menjawab pertanyaan dan sanggahan mereka satu demi satu dan sama sekali tidak pernah kalah dalam diskusi. Imam as memahamkan kebenaran kepada orang lain dengan logika dan argumentasi yang kuat. Beliau juga mempertontonkan keunggulan pemikiran dan pandangan tauhid. Kebenaran kembali tampak sepanjang perdebatan itu dan para ilmuan terpaksa tunduk di hadapan logika dan argumentasi beliau.
Kriteria penting Imam as adalah memerangi kezaliman dan ketidakadilan. Beliau as bangkit melawan kebijakan arogan dan tipu daya penguasa Bani Abbas, Ma'mun lewat berbagai cara. Ma'mun sangat mengkhawatirkan pengaruh Imam as di tengah masyarakat dan para pemikir di seluruh pelosok negara Islam. Oleh karena itu, khalifah meminta Imam Ridha as untuk hijrah ke Marv, pusat pemerintahan Ma'mun. Imam as terpaksa menerima desakan itu. Ma'mun berupaya mengurangi pengaruh pemikiran dan budaya Imam as di tengah masyarakat dan menciptakan jarak antara beliau dengan warga. Untuk itu, Ma'mun mengusulkan jabatan putra mahkota kepada Imam as dan memaksa beliau as untuk menerima tawaran ini.
Dengan syarat-syarat tertentu, akhirnya Imam as menerima jabatan putra mahkota. Salah satu syarat yang diajukan Imam as adalah bahwa beliau as tidak akan intervensi dalam urusan pemerintahan dalam kondisi apa pun. Secara keseluruhan, syarat-syarat ini telah menggagalkan Ma'mun dalam mencapai ambisi politiknya.
Salah seorang penulis dari Barat menuturkan: "Apa yang dilakukan Islam dalam menolerir agama lain sangat mengagumkan. Tujuan Islam adalah mengenalkan seluruh generasi umat manusia dari berbagai ras, suku dan bangsa kepada jalan kebahagiaan. Islam berupaya mewujudkan masyarakat yang bermoral dan beragama di bawah bimbingan para pemukanya." Saat ini, para pemikir yang obyektif meyakini bahwa dunia berhutang budi pada ajaran para pemuka agama Islam seperti Imam Ridha as yang telah menunjukkan jalan kebahagiaan dan kesempurnaan kepada manusia dengan ketinggian akhlak dan keagungan spiritualnya.
IMAM ALI AL-RIDHA ALAIHIS SALAM TELADAN AKHLAK SEPANJANG ZAMAN
Tokoh-tokoh agung ilahi adalah teladan lintas zaman yang bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi di sepanjang masa. Sebab nilai-nilai kemanusiaan dan hakikat ilahi tidak hanya terbatas pada ruang dan masa tertentu. Tuntutan keadilan, kebebasan, persaudaraan, dan nilai-nilai moral merupakan isu universal yang selalu dihormati dan dijunjung tinggi oleh seluruh umat manusia. Begitu pula dengan para pejuang nilai-nilai luhur itu, mereka pun memperoleh posisi mulia di mata masyarakat. Karena itu kehadiran para nabi dan manusia-manusia suci yang senantiasa memperjuangkan syiar dan nilai-nilai ilahi merupakan pelita benerang bagi para pencari kebenaran.
Ahlul Bait as selaku manusia-manusia agung penegak kebenaran dan keadilan laksana bintang-gemintang di langit yang kelam. Masing-masing dari mereka menjelaskan hakikat Islam sesuai dengan tuntutan zaman sehingga ajaran Ilahi tetap abadi. Mereka berusaha menampilkan contoh kehidupan ideal lewat ucapan, pemikiran, dan tindakan nyata mereka. Para pemimpin Islam dan Ahlul Bait as adalah para penafsir sejati Al-Quran. Tuturan luhur mereka bagaikan permata cemerlang di ranah ilmu pengetahuan dan makrifat. Bimbingan dan ajaran Ahlul Bait as adalah sumber kehidupan dan pembuka cakrawala kebahagiaan sejati kepada umat manusia dari satu generasi ke generasi lainnya.
HTML clipboard
Hari ini suasana di kota Mashad, Iran, tempat di mana Imam Ali al-Ridha as dimakamkan terasa begitu istimewa dan berbeda dengan hari-hari biasanya. Makam suci Imam Ali al-Ridha as dipenuhi lautan peziarah dan pecinta Ahlul Bait as. Rasulullah saw pernah bersabda: "Belahan jiwaku akan dikebumikan di Khurasan. Siapapun yang mengalami kesulitan dan berziarah kepadanya, niscaya Allah swt akan menghapus kesedihannya dan setiap pendosa yang berziarah kepadanya, Allah swt pun akan mengampuni dosa-dosanya".
Imam Ali Ar-Ridha as lahir pada 11 Dzulqa'dah 148 H. di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kadzim as dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Beliau memegang tampuk kepemimpinan umat pada usia 35 tahun pasca syahidnya ayah beliau, Imam Musa al-Kadzim as. Kesucian hati,
ketajaman pandangan, keluasan ilmu, keimanan yang kuat kepada Allah Swt, dan perhatiannya yang besar kepada nasib masyarakat merupakan sejumlah sifat mulia yang khas pada diri Imam Ridha as. Kurang lebih selama 20 tahun, beliau memikul tanggung jawab sebagai imam dan pemimpin kaum muslimin. Karena itu, salah satu julukan beliau adalah "Rauf" atau penyayang. Beliau as memiliki hubungan baik dengan siapapun, mulai dari kalangan orang-orang kaya dan fakir-miskin, cerdik-pandai dan masyarakat awam, para pecinta beliau maupun musuh-musuhnya.
Kemuliaan ahlak merupakan ciri khas utama karakter Imam Ali al-Ridha as. Dalam suatu riwayat, Ibrahim bin Abbas mengatakan, "Aku tidak pernah mendengar Abul Hasan al-Ridha as mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah pula menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan hidangan dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya."
Dalam suatu nukilan lainnya dikisahkan, suatu hari seorang laki-laki menyertai Imam al-Ridha as dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, "Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?"
"Sesungguhnya Allah SWT adalah satu. Manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu. Mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan", demikian jawab Imam as.
Salah seorang dari mereka berkata, "Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abul Hasan (panggilan Imam al-Ridha)!"
Imam menjawab, "Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!"
Salah seorang bersumpah dan berkata, "Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia."
Imam menjawabnya, "Janganlah engkau bersumpah seperti itu. Sebab orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Dzat yang menorehkan ayat ini, ‘Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa.'"
Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba seorang warga Khurasan masuk dan berkata, "Salam atasmu wahai putra Rasulullah! Aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu. Aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku. Tak satu harta pun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak."
Dengan nada lembut, Imam al-Ridha as berkata kepadanya, "Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!"
Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, "Mana orang Khurasan itu?"
Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, "Ini 200 Dinar. Pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami."
Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.
Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, "Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu, wahai putra Rasulullah?"
Imam berkata, "Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw pernah bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi adalah sama seperti tujuh puluh kali ibadah haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni.'"
Seterus kita simak beberapa wejangan suci Imam Ali al-Ridha as berikut ini:
Imam as berkata, "Akal seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia memiliki sepuluh karakter berikut: (1) Kebaikannya selalu diharapkan orang, (2) Orang lain merasa aman dari kejahatannya, (3) Menganggap banyak kebaikan orang yang sedikit, (4) Menganggap sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya kepada orang lain, (5) Tidak pernah menyesal jika orang lain selalu meminta bantuan darinya, (6) Tidak merasa bosan mencari ilmu sepanjang umurnya, (7) Kefakiran di jalan Allah lebih disukainya dari pada kekayaan, (8) Hina di jalan Allah lebih disukainya dari pada mulia di dalam pelukan musuh-Nya, (9) Ketidaktenaran lebih disukainya dari pada ketenaran".
Kemudian sahabat beliau bertanya: "Yang kesepuluh, apakah yang kesepuluh?",
"Ia tidak melihat seseorang kecuali berkata (dalam hatinya): 'Ia masih lebih baik dariku dan lebih bertakwa'", jawabnya singkat. (indonesian.irib.ir)
IMAM ALI BIN MUSA RIDHA, DIALOG ITRAH
Sumber : TvShia
Ibu beliau as adalah Taktam, seorang wanita mulia, shaleh, taat, ahli ibadah, utama akalnya, dan karena pribadinya beliau digelari Athahirah [wanita suci], selama 35 tahun imam Ridha as hidup dibawah bimbingan ayahnya yakni Imam Musa as Kadzim as, jadi Imam Ridha memang dipersiapkan untuk mengemban amanah keilmuan islam sehingga nantinya bisa menjadi sumber rujukan bagi umat dalam banyak masalah khususnya masalah keagamaan, serpeti itulah seorang Imam, dia adalah manusia yang bertugas untuk menjaga agar ajran Islam teta berada direll yang seharusnya tidak berubah arah atau menyeleweng sedikit pun.
Hidup diera yang cukup maju dimana dunia pencatatan dan penulisan sudah begitu pesat berkembang , pada masa ini hidup juga Imam Syafi’i salah satu ualam yang memiliki nama besar dikalangan ahlu sunnah, ulama yang dibesarkan oleh kondisi politik, dikenal karena poisis politik yang mendukung, selain itu dijaman itu juga hidup Malik bin Annas, At Tsauri, As Syaibani dan ulama-ulama besar pengetahuan islam lainya, kondisi khusus yang menuntut beliau juga berkiprah dalam hal yang sama, karena inilah maka banyak tulisan-tulisan yang dinisbatkan sebagai salah satu karya beliau, tentu bukan tulisan tangan beliau tapi sekumpulan pengetahuan yang diambil dari ucapan-ucapan beliau. untuk sekilas memahami kedalaman ilmu beliau mari kita simak Petikan dialog Imam Ridha as masalah itrah
Imam Ridha AS adalah putera kepada Imam Musa al-Kazim AS bin Ja'far al-Sadiq AS bin Muhammad al-Baqir AS bin Ali Zainal Abidin AS bin Husain AS bin Ali AS bin Abi Talib telah menghadiri satu majlis yang diadakan oleh al-Makmum di Marvi yang dihadiri bersama oleh sekumpulan ulama Iraq dan Khurasan.
Al-Makmum berkata: "Beritahukan kepadaku tentang pengertian ayat....' Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami.....' [Surah al-Fatir:32]
Ulama tersebut menjawab: "Allah Azza Wajalla menghendaki dengan pengertian tersebut ' semua ummah'. Lalu al-Makmun berkata: "Apakah pandangan anda wahai Abul Hasan?"
Maka Imam al-Ridha AS menjawab: "Saya tidak akan berkata sebagaimana mereka itu berkata.
Tetapi saya berkata:
"Allah menghendaki al-Itrah
al-Tahirah [keluarga yang suci]."
Al-Makmun berkata lagi: "Kenapa ianya dimaksudkan dengan al-Itrah bukan al-Ummah?"
Imam Ridha AS menjawab: "Jikalau ianya dimaksudkandengan al-Ummah nescaya semuanya akan berada di syurga karena FirmanAllah Tabaraka wa Ta'ala: ' Lalu di antara mereka ada yang menganiaya dirimereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antaramereka ada pula yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah, yangdemikian itu adalah karunia yang amat besar.' [Surah al-Fatir:32]
Kemudian dia mengumpulkan semua di syurga. Dia berfirman: '[Bagi mereka] Syurga Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka di beri perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera.' [Surah al-Fatir: 33]
Oleh karena itu al-Warithah [warisan] adalah untuk al-Itrah al-Tahirah dan bukannya orang lain."
Al-Makmun bertanya: "Siapakah al-Itrah al-Tahirah?"
Imam Ridha AS menjawab:
" al-Itrah al-Tahirahialah orang yang telah disifatkan oleh Allah Azza wa-Jalla di dalam kitabNya:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai
Ahlul Bayt dan menyucikan kamu dengan sebersih-bersihnya."[Surah al-Ahzab:33]
Mereka itulah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAAW dan keluarganya:
" Aku tinggalkankepadamu: Thaqalain [dua perkara berharga] Kitab Allah dan Ahlul Baytku,sesungguhnya kedudukannya tidak akan berpisah, sampai bersama-sama mengunjungiku di al-Haudh. Dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga kedua-duanyasepeninggalanku itu.' Wahai manusia! Anda tidak dapat mengajar mereka karena mereka lebihalim dari kalian."
Ulama berkata: " Beritahukan kepada kami wahai Abul Hasan tentang al-Itrah, adakah mereka Al [keluarga] atau bukan Al [keluarga]?"
Imam Ridha AS menjawab:" Mereka adalah Al [keluarga]"
Ulama berkata: " Di sana terdapat riwayat dari Rasulullah SAAW bahwa beliau bersabda: " Umatku adalah keluargaku dan mereka itu adalah sahabatku." Riwayat tersebut banyak dan jadi tidak bisa dinafikan lagi, keluarga Muhammad adalah umatnya."
Abul Hasan AS menjawab: "Beritahukan kepadaku, adakah sadaqah itu diharamkan untuk keluarga Rasulullah SAAW?"
Mereke menjawab: " Ya".
Beliau berkata: "Oleh karena itu hal itu diharamkan bagi ummah?"
Mereka menjawab:"Tidak ".
Beliau berkata: " Inilah perbedaan di antara Al dan Ummah." Sayang sekali! Dimanakah kedudukan kalian?Maka apakah kami akan berhenti menurunkan al-Qur'an kepadanya, karena kamu adalah kaum yang melampaui batas?" (al-Zukhruf: 5). Tidakkah kalian megetahui bahwa al-Wirathah [warisan] dan al-Tahirah [kesucian] telah berlaku di atas orang yang terpilih [istafaina] yang mendapat petunjuk dan bukan selain dari mereka?"
Mereka berkata: "Dari manakah anda mengambilnya wahai Abul Hasan?"
Dia menjawab:
"ia dari firman Allah Azzawa-Jalla: " Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dankami menetapkan keturunan keduanya [sebagai jalur] kenabian [al-Nubuwwah] dan [penerima] al-Kitab,maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara merekayang fasiq( al-Hadid: 26). Maka jadilah Wirathah al-Nubuwwah dan al-Kitabbagi al-Muhtadin [orang yang mendapat petunjuk] dan bukan orang-orang yangfasiq. Tidakkah anda mengetahui bahwa apabila Nuh memohon kepada Tuhannya," Beliau berkata: " Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku,dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakimyang seadil-adilnya." (Hud: 45) Allah Azza wa-Jalla telah berjanji kepadanya
supaya beliau sendiri melepaskan dirinya dan keluarganya. Maka Allah berfirman:
"Hai Nuh, dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan),
Sesungguhnya perbuatan-perbuatannya yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepadaKu sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya.
Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orangyang tidak berpengetahuan " (Hud: 46).
Kemudian al-Makmun berkata: "Adakah Allah melebihkan al-Itrah ke atas sekalian manusia?"
Lantas Abul Hasan AS menjawab: "Sesungguhnya Allah Azza wa-Jalla telah melebihkan al-Itrah ke atas sekalian manusia di dalam KitabNya."
Al-Makmun bertanya: "Ayat manakah di dalam Kitab Allah itu?"
Imam al-Ridha AS menjawab:
"Sesungguhnya Allahtelah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segalaummat (di masa mereka masing-masing), (iaitu) satu keturunan yang sebahagiannya(turunan) dari yang lain " (al-Imran: 33-34) Dan Allah Azza wa-Jalla berfirmandi tempat yang lain, ' Ataukah mereka dengki kepada (sebahagian) manusia
(Muhammad dan keluarganya) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada mereka itu? Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya mulkan aziman (al-Nisa: 54) Kemudian Dia berfirman kepada seluruh Mu'minin: " Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri di antara kamu [al-Nisa: 59"]
HADIS LARANGAN PENYERUPAAN DAN PENISBATAN KEPADA ALLAH DARI IMAM RIDHA ALAIHIS SALAM
Sumber : TvShia
من شبه الله بخلقه فهو مشرك و من نسب اليه ما نهى عنه فهو كافر[1]
[Man Syabbahallah bikhalqihi fahuwa musyrikun wa man nasaba ilaihi ma naha ‘anhu fahuwa kafirun]
Barangsiapa menyerupakan Allah dengan ciptaannya maka dia telah menyekutukan sesuatu dengan-Nya, barangsiapa menisbatkan pada Allah apa yang dilarang untuk dinisbatkan pada-Nya maka dia telah kafir.
Sebuah rumus sederhana bagi kita manusia awam dan biasa, agar kita tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah, tidak termasuk orang musyrik maka sekali-kali kita tidak boleh menilai, menganggap apalagi meyakini bahwa Allah itu seperti sesuatu yang pernah kita lihat, sesuatu yang pernah kita bayangkan atau bisa kita bayangkan. Tidak ada yang menyerupaiNya sama sekali dan ini merupakan salah kesempurnaan dari Allah. Allah tidak terbandingi dan tidak tertandingi, tidak terserupai sama sekali. Sebab kesempurnaan Allah adalah kesempurnaan mutlak, jika sampai ada yang menyerupai maka kesempurnaan Allah akan dipertanyakan.Barangsiapa menyerupakan Allah dengan ciptaannya maka dia telah menyekutukan sesuatu dengan-Nya
Selain itu seorang hamba tidak diperkenankan untuk menisbatkan sesuatu pun bagi-Nya, misalnya menisbatkan bahwa Allah punya anak, Allah punya wajah, Allah punya tangan, Allah tertawa dan semacamnya. Jika ada seorang hamba menilai Allah punya anak, atau Allah itu punya ayah bunda. Ini bermakna bahwa keyakinan dan keimanan akan ke-Esa-an dan KeMahatunggalan Allah masih belum ia miliki. Mengimani Allah semestinya termasuk seluruh sifat yang dinistbatkan Allah bagi Diri-Nya sendiri, sifat-sifat yang Allah sifatkan sendiri bagi-Nya. Seperti inilah makna yang kurang lebih dimaksud dari kata-kata imam Ali Ridha as barangsiapa menisbatkan pada Allah apa yang dilarang untuk dinisbatkan pada-Nya maka dia telah kafir. []
[1] Hadis dari Imam Ridha as dinukil dari Wasail Syiah, juz 8, hal 557.
IMAM RIDHA ALAIHIS SALAM DAN JABATAN PUTRA MAHKOTA
pengarang : Irib
Sumber : Islamic-Sources.com
Sumber : Islamic-Sources.com
Salah satu pertanyaan yang kerap muncul seputar Imam Ali Ridha as adalah mengapa beliau menerima jabatan putra mahkota yang ditawarkan oleh seorang penguasa tiran seperti Makmun, Khalifah Dinasti Abbasiyah? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya juga kita tanyakan mengapa Makmun mengusulkan jabatan strategis tersebut kepada Imam Ridha as? Apakah usulan itu atas dasar keseriusan dan ketulusan atau sebuah permainan politik untuk memperkuat pilar-pilar pemerintahan Makmun?
Makmun membunuh saudaranya, Muhammad Amin al-Rashid Abbasi dan ribuan orang lain demi mencapai kekuasaan, lalu bagaimana ia bersedia menerima kehadiran Imam Ridha as yang masih terhitung sebagai rivalnya? Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, kita harus menyimak ucapan-ucapan Makmun sendiri mengenai tujuannya menawarkan jabatan putra mahkota.
Ketika Makmun secara resmi menawarkan jabatan putra mahkota kepada Imam Ridha as, mayoritas pembesar Abbasi mencela langkah itu dan mereka berkata, “Mengapa engkau ingin mengakhiri sebuah kehormatan besar kekhalifahan dari Bani Abbas dan mengembalikannya kepada keluarga Ali? Dengan langkah itu, engkau telah mengangkat kedudukan Ali bin Musa dan merendahkan kedudukanmu sendiri.”
Makmun – sebagai seorang politisi licik – menjawab, “Aku punya banyak alasan untuk itu. Dengan masuknya ia (Imam Ridha as) ke poros pemerintahan, ia terpaksa harus mengakui pemerintahan dan kekhalifahan kita. Dengan begitu, orang-orang yang mencintainya akan berpaling dan mereka percaya bahwa Ali bin Musa adalah sosok yang berbeda dengan klaim-klaimnya. Aku takut jika membiarkan Ali bin Musa begitu saja, ia akan mengganggu pekerjaan kita dan kita tidak akan mampu mencegahnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh lagi meremehkan dia dan kita secara perlahan harus merendahkan kepribadian dan keagungannya. Kita harus mengesankannya sebagai sosok yang tidak layak untuk menjadi pemimpin di mata masyarakat… Dan ketahuilah bahwa setelah ia menjadi putra mahkotaku, aku tidak lagi berpikir ada orang yang harus ditakuti di keluarga Abu Thalib.”
Imam Ridha as memahami dengan baik trik politik Makmun dan mengetahui bahwa usulan jabatan putra mahkota semata-mata untuk memperkuat pondasi pemerintahannya. Makmun membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mensukseskan skenarionya, sampai akhirnya ia mengancam Imam Ridha as dan beliau menerima usulan tersebut atas dasar keterpaksaan. Imam Ridha as juga memiliki misi untuk menggagalkan skenario Makmun dan dalam perjalanannya dari Madinah menuju pusat pemerintahan Makmun di Marv, timur laut Iran, beliau menyadarkan masyarakat melalui nada bicara dan gerak-geriknya. Imam Ridha as ingin menyampaikan pesan bahwa Makmun mengundangnya ke Marv dengan niat jahat dan memaksanya meninggalkan Madinah.
Imam Ridha menunjukkan ekspresi kesedihan dan duka ketika beliau berziarah ke makam Nabi Muhammad Saw dan berpamitan dengan keluarganya dan masyarakat. Beliau ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa perjalanan ini sebenarnya adalah sebuah hijrah menuju kematian yang dihiasi dengan baju kebesaran “putra mahkota.” Dalam setiap kesempatan, Imam Ridha as selalu menyampaikan kepada masyarakat bahwa penerimaan jabatan putra mahkota adalah sebuah keterpaksaan. Beliau selalu berkata bahwa “Aku diancam untuk dibunuh sehingga aku bersedia menjadi putra mahkota.”
Meski demikian, Imam Ridha as berusaha untuk tidak terlibat dalam setiap pekerjaan kotor yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan Makmun. Beliau menetapkan beberapa syarat untuk menerima jabatan putra mahkota antara lain, beliau tidak menerima wewenang yang bisa mengeluarkan perintah dan larangan, beliau juga menolak posisi yang bisa mengangkat atau mencopot seseorang, beliau bahkan menolak jabatan sebagai hakim istana. Pada dasarnya, syarat-syarat tersebut adalah sebagai bentuk protes Imam Ridha as atas jabatan putra mahkota. Jelas bahwa orang yang menolak semua jabatan strategis di pemerintahan, tentu ia tidak bisa menjadi loyalis penguasa.
Makmun juga mencium ketidaksenangan Imam Ridha as dengan jabatan barunya itu dan ia berkali-kali ingin melibatkan beliau dalam urusan pemerintahan. Ini tentu saja bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya. Makmun pernah meminta Imam Ridha as untuk menulis sebuah surat kepada pasukan yang sedang menghadapi kesulitan di medan perang untuk meminta mereka tenang. Beliau berkata, “Aku telah berjanji untuk tidak terlibat dalam urusan pemerintahan dan sejak hari pertama aku menerima jabatan putra mahkota, tidak ada sesuatu yang bertambah bagiku.”
Ada contoh lain yang lebih menarik yaitu ketika pelaksanaan shalat Idul Fitri. Makmun meminta Imam Ridha as untuk menjadi imam shalat dengan alasan agar masyarakat mengetahui kedudukan beliau. Imam Ridha as pada awalnya menolak tawaran itu, tapi karena Makmun memaksa dan akhirnya beliau siap menjadi imam shalat dengan satu syarat yaitu, beliau akan menunaikan shalat sebagaimana Rasul Saw dan Imam Ali as shalat. Mendengar ucapan itu, Makmun berkata, “Engkau bebas melakukan shalat sebagaimana keinginanmu.”
Imam Ridha as sebagaimana Rasulullah Saw, keluar dari rumah dengan memegang tongkat dan dengan kaki telanjang. Ketika para pejabat istana dan pasukan Makmun menyaksikan kerendahan hati Imam Ridha as, mereka semua turun dari tunggangannya dan mengikuti langkah beliau dengan kaki telanjang. Imam Ridha as berhenti di setiap sepuluh langkah dan mengucapkan tiga kali takbir. Pada waktu itu, semua hadirin mengikuti setiap amalan yang dikerjakan oleh beliau. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan. Menyaksikan pemandangan itu, Makmun ketakutan dan melarang Imam Ridha as untuk memimpin shalat. Kejadian ini membuat citra Makmun tercoreng di mata khalayak.
Imam Ridha as memanfaatkan dengan baik posisi putra mahkota untuk menyadarkan masyarakat. Beliau mengambil langkah-langkah bersejarah demi kemaslahatan umat. Sosok mulia ini memiliki kesempatan untuk berbicara di depan para ilmuwan dan masyarakat dan peluang ini jarang sekali dimiliki oleh Ahlul Bait Nabi as yang hidup di bawah bayangan kekejaman rezim penguasa. Makmun membentuk forum-forum diskusi yang menghadirkan para fukaha, teolog, dan pakar hadis untuk berhadapan dengan Imam Ridha as.
Makmun berharap akan muncul pertanyaan-pertanyaan sulit yang tidak dapat dipecahkan oleh Imam Ridha as. Dengan begitu, beliau akan kehilangan wibawa. Namun, forum-forum itu justru berbanding terbalik dengan keinginan Makmun dan semua hadirin akhirnya mengetahui bahwa Imam Ridha as adalah figur yang lebih layak untuk memimpin umat. Ahlul Bait Nabi as yang dicela di mimbar-mimbar selama 70 tahun dan tidak ada orang yang berani berbicara tentang keutamaan mereka, tapi pada masa Imam Ridha as, kemuliaan dan keagungan Ahlul Bait as kembali didengungkan.
Orang-orang yang tadinya tidak mengenal Ahlul Bait as atau bahkan mencela mereka, kini masyarakat mulai memuji mereka sebagai sosok-sosok mulia dan terpuji. Ada banyak puisi dan syair yang didendangkan untuk memuji ketokohan Imam Ridha as. Ini semua adalah bukti dari kecintaan dan pengetahuan.
Pada akhirnya, tak seorang pun mengingkari kelicikan Makmun dalam berpolitik, sebagaimana yang ia lakukan di balik penetapan jabatan putra mahkota untuk Imam Ridha as. Tentu saja, ada motif tertentu yang disembunyikan Makmun, di antaranya, mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada Dinasti Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena haus kekuasaan dan kesenangan serta taktik Makmun untuk mengumpulkan orang-orang yang dekat dengan Imam Ridha as agar lebih mudah diawasi. [Islamic-Sources/IRIB Indonesia]
DIANTARA KAROMAH IMAM ALI BIN MUSA AR-RIDHA ALAIHIS SALAM
pengarang : DarutTaqrib/Farazdaq
Sumber :The Ahl-ul-bayt World Assembly
Sebagai manusia sempurna (insan kamil), imam Ali ar-ridha as memiliki sejumlah karomah yang mampu membuat orang takjub. Ya, dengan izin Allah ‘azza wa jalla beliau as sanggup hadirkan keanehan-keanehan yang menunjukkan bahwa beliau as adalah hujjah Allah atas makhluk-Nya. Mari kita lihat karomah-karomah itu!
1. Mampu Menguasai Seluruh Bahasa
Abu Shilat Harawi menceritakan ‘sesungguhnya Imam Ridha as berbicara dengan orang-orang menurut bahasa mereka. Maka akupun bertanya kepadanya tentang fenomena tersebut. Imam as pun berkata, ‘wahai Abu Shilat, aku adalah hujjah Allah bagi seluruh makhluk-Nya, dan Allah tidak akan mengangkat seorang hujjah satu kaum, namun ia tidak mengetahui bahasa mereka. Apakah tidak sampai padamu sabda Amirul Mukminin ‘sesungguhnya, kami telah diberikan dashlul khitab’ dan itu tidak lain adalah pengetahuan beliau as tentang berbagai bahasa’ (Al-manaqib , jilid 4, hal 362)
2.mengetahui kejadian masa depan
Diriwayatkan dari Hasan bin Basyar, ia berkata ‘Imam Ali Ar-ridha as bersabda ‘sesungguhnya Abdullah Al-makmun akan membunuh Muhammad Al-amin’ akupun berkata padanya as ‘Abdullah bin Harun akan membunuh Muhammad bin Harun’ beliau menjawab ‘iya benar, Abdullah yang berada di Khurasan akan membunuh Muhammad bin Zubaidah yang berada di Baghdad’ beliau pun menggambarkannya dalam bentuk syair ‘sesungguhnya dendam di atas dendam akan merajarela atas jiwamu, dan penyakit yang tersembunyi akan mencuat’ tak berapa lama, Makmun membunuh saudaranya Al-amin. Subhanallah ! (Ibid, jilid 4, hal 363; Jawharatul kalam, hal 136)
Diriwayatkan dari Husain, cucu Imam Musa Kadzim as, beliau berkata ‘ketika itu, para pemuda bani Hasyim berada di keliling Abul Hasan (Imam Ali Ridha as) tiba-tiba lewat di hadapan kami, Ja’far bin Umar Alawi dalam keadaan compang camping. Kami pun saling memandang satu sama lain, dan kamipun menertawakan keadaannya, maka Imam Ali Ar-ridha as berkata ‘sesungguhnya dalam waktu tak lama lagi kalian akan melihatnya sebagai orang yang banyak harta dan pengikut’ tidak kurang dari satu bulan ataupun lebih (sedikit), hingga akhirnya ia menjadi walikota Madinah dan keadaan (ekonomi)nya membaik ’ (Biharul anwar, jilid 12, hal 13)
Diriwayatkan dari Ja’far bin Salih, ia berkata ‘aku menjumpai Imam Ridha as dan berkata, ‘istriku hamil. Tolong berdoa kepada Allah agar Dia menjadikan anakku itu laki-laki’, beliau as berkata ‘dia kembar’. Maka aku menyingkir dan berkata ‘akan kuberi nama Muhammad dan Ali’. Kemudian aku menjumpai beliau as lagi dan beliau as berkata ‘namailah anakmu dengan nama Ali dan Ummu Amr’. Akhirnya ketika aku memasuki kota Kufah, aku menyaksikan istriku telah melahirkan seorang putra dan putri, maka aku beri nama Ali untuk si putra dan Ummu Amr untuk si putri ’ (Jawharatul kalam, hal 146)
Sungguh, karomah-karomah beliau sangat banyak dan akan membutuhkan buku yang tebal untuk mencatat karomah-karomah beliau, Imam Ali bin Musa Ar-ridho as.
HARI KESYAHIDAN IMAM ALI BIN MUSA AR-RIDHA ALAIHIS SALAM
Sumber : al-shia.org
Kulaini menyebutkan hari wafat Imam Ridha pada bulan Shafar tahun 203 H ketika menginjak usia 55 tahun.Sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama dan sejarawan tahun syahidnya Imam Ridha adalah pada tahun 203 H. Thabarsi mengutip bahwa hari wafat Imam Ridha As jatuh pada akhir bulan Shafar. Terkait dengan usia Imam Ridha, mengingat terdapat perbedaan tahun kelahiran dan wafatnya, sehingga disebutkan usianya berjarak antara usia 47 sampai 57 tahun. Sesuai dengan pendapat mayoritas ulama yang disebutkan terkait dengan hari kelahiran dan wafatnya, usia Imam Ridha As adalah 55 tahun.
Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau.
Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.
Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di dalam anggur.
Imam as meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.
Imam Ali Ar-Ridha as syahid pada tahun 203 H. dan dimakamkan di kota Thus (Masyhad, Iran).
Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.
ANALISA MENGAPA MAKMUN MEMBUNUH IMAM RIDHA
Sumber : wikishia.net
Salah satu sebab mengapa Makmun memutuskan untuk membunuh Imam Ridha As disebutkan karena kemenangan Imam Ridha As atas berbagai ulama dalam pelbagai majelis debat.Sebab lainnya disebutkan karena kepergian Imam Ridha As untuk menjadi imam pada salat Id. Karena sambutan hangat kerumunan orang banyak atas kedatangan Imam Ridha pada acara pelaksanaan salat Id sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Makmun merasakan adanya bahaya atas peristiwa ini dan kemudian ia berpikir bahwa keberadaan Imam Ridha As tidak hanya menyembuhkan lukanya bahkan semakin menyudutkan dan menyulitkan Makmun karena dapat memprovokasi masyarakat untuk melawannya. Karena itu ia memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Imam Ridha As jangan sampai menyusun agenda untuk melawan Makmun. Imam Ridha As sama sekali tidak takut kepada Makmun dan acapkali jawaban-jawaban yang diberikan Imam Ridha As membuat Makmun gundah dan sedih. Kondisi ini telah membuat Makmun murka dan semakin besar kusumatnya kepada Imam Ridha meski tidak ditampakkan. Diriwayatkan bahwa Makmun bergembira pada salah satu penaklukan militer, Imam Ridha As berkata kepadanya, “Wahai Amiral Mukminin! Takutlah kepada Allah akan umat Muhamad Saw dan apa yang diamanahkan Allah Swt kepadamu. Engkau telah menyia-nyiakan urusan kaum Muslimin...”
Masalah Kesyahidan
Sebagaimana yang disebutkan dalam Tarikh Ya’qubi, Makmun pada tahun 202 H bertolak ke Irak melalui Moro. Bersamanya ikut wali ahd-nya Imam Ridha As dan perdana menteri Fadhl bin Sahl Dzu al-Riyasatain. Tatkala tiba di Thus, Imam Ridha As wafat di sebuah desa yang bernama Nuqan pada awal tahun 203 H. Penyakit yang dideritanya hanya berlangsung tiga hari akibat dari racun dari buah delima yang diberikan oleh Ali bin Hisyam. Makmun menunjukkan perasaan berduka atas kepergian Imam Ridha As. Ya’qubi melanjutkan, “Diberitakan Abu al-Hasan bin Abi Ibad dan berkata, “Saya melihat Makmun mengenakan jubah putih dan berjalan kaki dan berkata, ‘Wahai Abal Hasan! Setelahmu siapa yang saya harus andalkan?’” Makmun tinggal selama tiga hari berada di samping kuburan Imam Ridha As dan setiap harinya orang-orang membawakan sepotong roti dan sedikit garam untuknya. Makanannya hanyalah itu. Kemudian pada hari keempat ia kembali”. Syaikh Mufid menukil dari Abdullah bin Basyir bahwa Makmun menugaskan dirinya untuk tidak memotong kuku sehingga lebih panjang dari ukuran rata-rata orang kemudian ia diberikan sesuatu serupa asam India sehingga tercampur bak adonan di tangannya. Kemudian Makmun pergi ke hadapan Imam Ridha As dan memanggil Abdullah lalu memintanya untuk mengambilkan air delima dengan tangannya lalu disajikan untuk Imam Ridha As. Dan hal inilah yang menjadi penyebab wafatnya Imam Ridha As setelah dua hari berselang. Shaduq mengutip sebuah riwayat yang kandungannya sama dengan riwayat di atas namun yang disebutkan adalah racun pada anggur dan pada sebagian lainnya disebutkan pada anggur dan juga pada delima. Ja’far Murtadha Husaini menyebutkan enam pendapat terkait dengan penyebab wafatnya Imam Ridha As. Ibnu Hibban salah seorang ahli hadis dan rijal abad keempat Hijriah, di bawah nama Ali bin Musa al-Ridha, menulis, “Ali bin Musa al-Ridha wafat lantaran racun yang diberikan Makmun. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu tahun 203 H. Setelah syahidnya Imam Ridha As, Makmun mengebumikannya di rumah Hamid bin Qahthabah Thai (Buq’ah Haruniyah) di desa Sanabad. Dewasa ini desa itu menjadi Haram Radhawi di Iran dan tepatnya di kota Masyad Muqaddas.
SIRAH PERDEBATAN IMAM ALI BIN MUSA AL-RIDHA ALAIHIS SALAM
Sumber : irib indonesia
Gelombang manusia yang berziarah ke makam Imam Ali al- ridha as, mengingatkan masa-masa ketika beliau bergerak dari Madinah menuju Marv, salah satu wilayah Persia (Iran saat ini). Warga kota Marv telah beberapa hari sebelumnya mempersiapkan diri menyambut kedatangan manusia mulia itu.
Ketika rombongan Imam Ali al-ridha as tiba di Marv, suka cita bercampur dengan air mata kerinduan masyarakat tidak dapat terbendung lagi. Masing-masing orang menyampaikan kerinduan dan kecintaan meeka dengan berbagai cara. Sambutan masyarakat sedemikian rupa sehingga membuat rombongan Imam Ali al-ridha as terpaksa berhenti. Semua orang ingin menatap wajah cucu Rasulullah Saw itu dan mendengarkan suaranya.
Kesempatan itu pun tidak disia-siakan Imam untuk berpidato.
Dalam suasana yang mendadak hening, Imam Ali al-ridha menyampaikan hadis qudsi di mana Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw, dan berkata: “Kalimat tauhid yaitu tiada tuhan selain Allah (Swt) adalah benteng-ku dan barang siapa yang memasuki benteng-Ku, maka akan terjaga dari azab-Ku.”
Setelah mengutip hadis tersebut, Imam Ridho as memperkenalkan diri sebagai syarat untuk masuk dalam benteng itu dan mengatakan, “Namun dengan memperhatikan syarat-syaratnya dan aku termasuk di antara persyaratan itu.” Dengan demikian, Imam Ali al-ridha as telah menjelaskan peran poros Ahlul Bait as dalam kepemimpinan umat Islam.
Imam Ali al-ridha as lahir pada tahun 148 hijriah di kota Madinah. Di bawah binbingan ayah beliau, Imam Musa al-Kadzim as, beliau siap memikul tanggung jawab berat itu. Imam Ali al-ridha as, adalah mata air ilmu dan keutamaan. Amal dan kata-kata beliau penuh dengan keridhoan atas Allah Swt. Oleh karena itu, beliau diberi gelar al-Rhido.
Beliau memikul tanggung jawab imamah selama 20 tahun yang sebagian besarnya dihabiskan di Madinah dan tiga setengah tahun terakhir masa hidupnya di kota Marv, Khurasan (Iran saat ini). Beliau meninggalkan Madinah atas paksaan penguasa Bani Abbasiah kala itu, Ma’mun.
Kala itu Marv merupakan pusat ilmiah di tanah Khurasan. Imam Ali al-ridha as menggunakan keunggulan tersebut untuk meningkatkan gerakan ilmiah. Di lain pihak, Ma’mun berusaha tampil dekat dengan Imam Ali al-ridha demi kepentingan politiknya. Namun pada saat yang sama, dia selalu berusaha mencoreng keutamaan ilmu Imam Ali al-ridha as dengan menggelar berbagai acara debat. Akan tetapi Imam dalam setiap sesi perdebatan, selalu menang dan bahkan mempengaruhi para ilmuwan yang hadir, dengan argumentasinya yang kokoh.
Islam adalah agama yang menyambut berbagai pertanyaan dan tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa para imam Ahlul Bait as tidak menjawab pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka. Imam Ali al-ridha as, berperan penting dalam perluasan budaya Islam. Dalam berbagai acara debat, Imam selalu mempertimbangkan hidayah dan bimbingan untuk lawan dan tidak berusaha untuk selalu menang. Beliau membuktikan kebenaran keyakinan Islam dengan menggunakan argumentasi logis yang kokoh. Imam berkata, “Jika masyarakat memahami keindahan ungkapan kami maka mereka pasti akan mengikuti kami.” Dan terbukti betapa banyak musuh-musuh yang akhirnya menjadi teman di akhir acara perdebatan.
Imam Ali al-ridha as yang menguasai teknik-teknik argumentasi, selalu mempertimbangkan setiap dimensi.
Pertimbangan atas tingkat budaya di masa itu dan penyesuaian istilah-istilah yang digunakan, semuanya harus sesuai dengan kemampuan logika dan pemikiran lawan debat.
Terkadang dalam berdebat dengan para ilmuwan Imam Ali al-ridha as, menekankan pada berbagai sisi dan argumentasi yang juga diterima oleh lawan debat.
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah soal debat antara Imam Ali al-ridha as dan para tokoh Kristen dengan menggunakan argumentasi kitab Injil dan juga dalam pembahasan dengan tokoh Yahudi dan menggunakan argumentasi dari kitab Taurat.
Meski memiliki tingkat keilmuwan tinggi, akan tetapi Imam tidak merendahkan lawan debat beliau. Imam selalu menjaga kehormatan pihak seberang meski sebagiannya tidak beragama. Jika perdebatan sampai pada titik di mana pihak lawan tidak lagi bisa menjawab, beliau membimbingnya atau mengutarakan sebuah pertanyaan sehingga pembahasan mereka menghasilkan. Bahkan terkadang beliau menjawab pertanyaan lawan dengan mengatakan, “Jika kau bertanya seperti ini maka pendapat kamu sendiri akan tertolak.”
Di antara lawan debat Imam Ali al-ridha as, adalah seseorang bernama Amran Sabi, yang tidak meyakini adanya Allah Swt, di mana setelah menyaksikan sikap dan argumentasi Imam, dia beriman kepada Allah Swt dan memeluk agama Islam. Sepanjang perdebatan, Imam memanggil Amran dengan nama kecilnya sehingga dengan demikian terjalin keakraban dan tercipta suasana santai. Selama tanya jawab berlangsung, Imam ketika menjawab pertanyaan Amran Sabi beliau mengatakan, “Wahai Amran, apakah kau paham?” Sikap itu sedemikian rupa sehingga Amran juga memberikan jawaban secara terhormat dan mengatakan, “Iya, tuanku.”
Tujuan dan maksud para pendebat adalah harus sampai pada hakikat yang jelas dan tak tergoyahkan. Itu hanya dapat tercapai ketika perdebatan jauh dari fanatisme dan permusuhan. Imam Ali al-ridha as dengan akhlak yang mulia, tidak menuding lawan beliau telah berbohong dan juga tidak pernah menistakan atau merendahkan mereka. Melainkan beliau selalu mengingatkan titik kekeliruan dan penyimpangan mereka. Beilau tidak pernah mengkritisi individu melainkan mengkritisi masalah pembahasan.
Perdebatan Imam Ali al-ridha as, membawa banyak berkah untuk dunia Islam termasuk di antaranya adalah menunjukkan citra kebebasan dalam Islam. Imam telah mematahkan klaim dan kebohongan banyak pihak bahwa Islam memaksakan kehendak dan menghunuskan pedang kepada para penentangnya. Namun tampilnya Imam Ali al- ridha as, telah jelas bagi semua orang bahwa Islam menyambut perbedaan pendapat bahkan meski dari pihak yang menafikan tauhid dan menentang Islam.
Termasuk di antara berkah dan manfaat perdebatan Imam al-ridha as, adalah membuka lahan yang kondusif bagi penyebaran risalah Islam dan perluasan khazanah ilmu Islam, serta jawaban tegas secara ilmiah kepada para penentang Islam. Metode-metode dakwah Imam Ali al-ridha as dalam berbagai acara perdebatan memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menyingkap penyimpangan anti- Islam dalam masyarakat, sekaligus menjelaskan posisi luhur Ahlul Bait as.
Dalam acara-acara perdebatan itu dan di antara para penentang Islam, Imam Ali al-ridha as menggalang sahabat yang setia, seperti Amran Sabi, yang juga pada akhirnya menjadi pembela agama Allah Swt. Sirah perdebatan Imam Ali al-Ridha as merupakan teladan dalam dialog konstruktif yang merefleksikan nilai-nilai akhlak, rasionalitas dan argumentasi untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih efektif.
IMAM 'ALI RIDHA ALAIHIS SALAM
pengarang : miftah F Rahmat
Imam 'Ali Ridha adalah Imam ke-8 di dalam mazhab pencinta keluarga Nabi Saw. Hari ini, cucu Baginda Nabi Saw tersebut dilahirkan. Imam Ridha dilahirkan di Madinah, 11 Dzulqa'idah 148 H. Setelah ayahnya syahid, Imam Ridha menjadi Imam kaum Muslimin dengan kemuliaan akhlaknya, keutamaan ilmunya, dan kesempurnaan kepribadiannya. Beliau menjadi Imam selama 20 tahun, dan syahid pada usia 55 tahun. Pusara Imam di Mashhad, Iran menjadi satu di antara tempat yang paling banyak diziarahi. Setiap tahunnya, lebih dari seratus juta orang datang. Pada hari-hari seperti kelahiran dan syahadah, jumlah peziarah bisa lebih dari 3-5 juta orang per hari.
Pernyataan para ulama tentang Imam Ridha as.
Al-Waqidi: "Ali bin Musa al-Ridha mendengar hadits dari ayahnya. Ia sangat terpercaya (dalam hadits) dan ia memberi fatwa di Masjid Rasulullah Saw di saat usianya duapuluh tahunan. Ia generasi kedelapan dari para tabi'in penduduk Madinah." (Tadzkirat al-Khawwash, 315)
Syaikh Kamaluddin bin Thalhah: "Ali bin Musa al-Ridha mewarisi kedua kakeknya (Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Husain) dengan keagungan imannya, keluhuran derajatnya, dan ketinggian kedudukannya. Hujjahnya telah tampak, pecintanya banyak, hingga Khalifah al-Ma'mun memberinya tempat yang utama, menjadikannya serikat dalam kekuasaannya, dan menitipkan padanya urusan kekhalifahan. Kemuliaannya cemerlang, perilakunya terpuji, pribadinya Hasyimi yang suci, dan seluruh dirinya adalah cerminan (keturunan) kenabian yang mulia." (Al-Fushul al-Muhimmah, 243).
Imam Ridha as hidup di zaman berkembangnya kebudayaan, peradaban, dan intelektualisme Islam. Pada saat itu, terjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Romawi, dan sebagainya mempengaruhi dunia pemikiran Kaum Muslimin, setelah sebelumnya diramaikan dengan pengaruh Nasrani, Yahudi, dan orang-orang yang menisbatkan sosok makhluk pada Tuhan, al-mujassimah.
Di sinilah Imam as memperlihatkan kebenaran bimbingan dan jalan Rasulullah Saw. Imam berdialog dan berdiskusi dengan penganut mazhab dan agama yang berbeda. Kisah- kisah dialog Imam Ridha as berkenaan dengan dalil-dalil terhadap mazhab dan agama yang banyak itu dapat dibaca pada Al-Ihtijaj (Cara-cara berhujjah) dari Syaikh Thabarsi.
Sebagai contoh, satu di antaranya: Abu Qurrah, seorang ahli hadits, datang menemui Abul Hasan Imam Ridha as dan berkata, "Telah sampai pada kami bahwa Allah Ta'ala membagi (anugerah) melihatNya berbicara denganNya pada dua nabi. Nabi Musa as dapat berbicara denganNya dan Nabi Muhammad Saw dapat melihat Tuhan?"
Imam Ridha as menjawab, "Lalu siapakah yang menyampaikan pada jin dan manusia, bahwa 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (Al-An'aam 103), Ilmu mereka tidak dapat meliputiNya (Tha Haa 110), Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Asy-Syura 11).' Bukankah yang menyampaikan itu Nabi Muhammad Saw?"
"Benar."
"Maka bagaimana mungkin seorang nabi datang pada seluruh makhluk dan mengabarkan pada mereka bahwa ia datang dari sisi Allah Ta'ala yang tak dapat dicapai oleh penglihatan mata, yang ilmu (makhluk) tak dapat meliputiNya, yang tiada sesuatu pun serupa denganNya, kemudian akan berkata, "Aku melihat Tuhan dengan mataku, dan ilmuku meliputiNya, dan Dia dalam perwujudan (rupa) manusia. Tidakkah kamu malu? Para zindiq itu tidak dapat menisbatkan sesuatu tentang Allah dari satu sisi lalu menentangnya dari sisi yang lain."
Abu Qurrah berkata, "Bukankah Dia berfirman, 'Dan sesungguhnya ia telah melihatnya pada waktu yang lain' (Al-Najm 13)?"
Imam Ridha as menjawab, "Sesungguhnya setelah ayat itu ada penjelasan pada apa yang dilihat Nabi Saw. Allah Ta'ala berfirman, 'Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya.' (Al-Najm 11), Tidaklah hati Nabi Saw mendustakan apa yang dilihat kedua matanya, kemudian mengabarkan bahwa 'Sesungguhnya dia telah melihat tanda-tanda kebesaran Tuhannya (Al-Najm 18). Maka tanda kebesaran Tuhan bukanlah Allah. Dan Dia berfirman, "ilmu (mereka) tidak dapat meliputiNya" Kalaulah mata melihat, maka ilmu telah meliputinya, dan jatuhlah makrifat,"
Berkatalah Abu Qurrah, "Engkau dustakan riwayat?" (Red: tentang hadis-hadis melihat Tuhan dalam wujud dsb…)
Imam Ridha as menjawab, "Sekiranya riwayat itu bertentangan dengan Al-Qur'an, aku akan mendustakannya.
Dan yang disepakati oleh kaum Muslimin adalah bahwa ilmu tidak dapat meliputiNya, mata tidak dapat melihatNya, dan tak ada yang menyerupaiNya sesuatu apa pun."
Demikian diriwayatkan dalam Al-Ihtijaj dari Allamah Thabarsi juz 2 halaman 184. Karena ilmu dan keluhuran budi pekertinya, Imam menarik banyak pengikut, perindu dan pecintanya. Begitu rupa hingga Khalifah merasa terancam dengan keberadaannya.
Khalifah membuat reka perdaya. Ia menyatakan hendak mengundurkan diri dan menyerahkan kekhalifahan pada Imam Ridha as. Imam menjawab, "Aku berlindung kepada Allah." Lalu Khalifah membalas dengan mengirimkan surat, "Kalau engkau menolak apa yang aku tawarkan, maka engkau harus menjadi wali 'ahd, pelanjut setelahku. " Imam pun menolaknya. Meski untuk itu, Khalifah mengadakan serangkaian acara, pemaksaan terhadap Imam untuk dikenal publik sebagai pelanjut Khalifah Ma'mun.
Para petinggi tentara dibariskan. Mata uang khusus diedarkan, dan sebagainya. Imam tetap menolaknya. Khalifah bahkan mengancamnya. Diskusi seputar itu, juga tentang bagaimana Khalifah menggunakan perumpamaan pemilihan Syura oleh Khalifah Umar dan satu di antaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib as, kakek Imam Ridha as. Khalifah Umar bahkan mengancam akan memukul tengkuk orang yang tidak bersedia mengikutinya. Jawaban Imam as dapat disimak pada kitab semisal Al-Ihtijaj Allamah Thabarsi dan Al- Irsyad dari Syaikh Mufid.
Imam Ridha as menjalani periode Imamah selama 20 tahun.
Hijrah Imam pada berbagai kota menjadikan ajaran-ajaran Islam sejati menyebar ke seluruh negeri. Kecintaan pada keluarga Nabi tumbuh mengakar di setiap tempat yang dilewatinya. Di Nishabur bahkan ada tempat dengan batu bertelaoak kaki yang diyakini sebagai bekas injakan Imam Ridha as. Waktu itu terjadi kekeringan, kemudian Imam menancapkan tongkatnya, mencabutnya, dan keluarlah air yang segar hingga sekarang. Di mata air itu ada bekas injakan Imam yang diziarahi orang hingga sekarang.
Imam Ridha as syahid karena racun yang dicampur pada makanannya. Imam dikebumikan di Sinabad Thus, Khurasan pada 17 bulan Safar 203 H. Ada juga yang meriwayatkannya pada 23 bulan Dzulqa'idah. Imam digelari dengan banyak nama: Abul Hasan, al-Ridha, al- Murtadha, Gharib al-Ghuraba, Mu'in al-Dhu'afa wal Fuqara, Shah Khurasan, Dhamine Ahu dsb. Ibunya adalah Sayyidah Najma Khatun.
Di antara sebagian hadis Imam Ridha as:
Hadis qudsi silsilah dzahabiyyah: kalimatu laa ilaaha illallah hishni, fa man dakhla hishni aamina min 'adzaabi, walakin ma'a syuruuthiha. Wa ana min syuuruuthiha. "Kalimat laa ilaaha illallah adalah penjagaanKu, dan barang siapa masuk ke dalamnya ia selamat dari azabKu. Tetapi ada syaratnya--kata Imam Ridha as--, ''dan aku adalah di antara syaratnya".
Ra'su tha'atillah, al-Shabru war ridha, "Dasar ketaatan pada Allah adalah kesabaran dan keridhoan" Maa halakam'ru'un 'arafa qadrah, "Tidak akan celaka orang yang mengenal kadar dirinya."
"Orang yang tidak berterima kasih pada ia yang mengantarkan nikmat Tuhan sampai padanya, ia belum bersyukur pada Allah yang agung dan mulia." Uyun Akhbar al-Ridha, 2:24
"Tuhan murka pada orang yang tidak membela rumahnya atau tanah airnya dari penindasan." Ibid, h. 28
"Orang terpercaya tak pernah mengkhianatimu. Tapi orang yang mengkhianatimu adalah ia yang pernah kauanggap terpercaya bagi dirimu." Bihar al-Anwar, 78:335
"Orang yang mengucapkan salam dengan cara yang berbeda pada orang miskin dan orang kaya, kelak akan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan sangat dimurkaiNya." Wasaa'il al-Syiah 8:442.
SYIAH DI BAWAH NAUNGAN IMAM ALI AR-RIDHA ALAIHIS SALAM
pengarang : Mujtaba Musawi Lari
Sumber : hauzahmaya.com
Dalam masa Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as ini madrasah Ahlul Bait mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, bahkan keimamahan Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as sangat kuat sehingga memiliki pengaruh politik yang sangat kuat.
Berlawanan dengan keadaan Imam Musa Al-Kazhim as yang memulai keimamahannya dengan sembunyi-sembunyi, Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as mengumumkan keimamahannya di depan khalayak ramai meskipun situasi sedang mencekam dan iklim politik penuh dengan konspirasi. Bahkan, sebelumnya Imam Musa Al-Kazhim as telah mendapatkan kesyahidannya di penjara yang gelap, yang kemudian diikuti dengan pembunuhan secara besar-besaran terhadap orang-orang Baramikah.
Sebagian orang telah memperingatkan Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as untuk tidak mengumumkan keimamahannya, mereka berkata, “Sesungguhnya pedang Ar-Rasyid masih berlumuran darah.
Akan tetapi, Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as menantang hal itu seraya mengatakan, “Sesungguhnya Ar-Rasyid tidak akan mampu melakukan hal itu terhadapku. Bahkan, lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa jika Ar-Rasyid dapat mencelakakan satu rambut saja darinya, maka dia bukanlah imam.
Keimamahan Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as ini berlangsung sampai dua puluh tahun, yang dapat kita bagi dalam dua bagian:
Pertama, dari awal imamah hingga tahun 183-201 H. Yakni, mulai keimamahan sampai kepergiannya ke Khurasan.
Dalam masa ini, kita saksikan perhatian Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as yang besar akan pusat-pusat Syi’ah dan berhubungan secara langsung dengan mereka, di antaranya gerakangerakan kaum Alawiyyin Misalnya, pemberontakan yang dipimpin oleh Muhammad bin Ibrahim, yang dikenal dengan “Thabathaba” di Kufah.
Pemberontakan ini hampir saja berhasil meruntuhkan pemerintahan Abbasiah; Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as termasuk penyokong utama pemberontakan ini.
Adapun dalam bidang keilmuan, kita dapat menyaksikan perdebatannya dengan tokoh-tokoh aliran dan mazhab, bahkan agama- agama, Dalam perdebatan itu, tampaklah keunggulan keilmuan Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as. Hal ini telah membantu eksistensi Islam, khususnya mazhab Ahlul Bait.
Kedua, dari tahun 201-203 H, yakni tahun kesyahidan Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as.
Al-Ma’mun, yang telah naik takhta menjadi khalifah di atas jasad saudaranya, Al-Amin, (Al-Ma’mun membunuhnya) setelah melalui peperangan yang menghancurkan, (dan) mengetahui bahwa jalan satu- satunya untuk menyelamatkan pemerintahan Abbasiah adalah berpura-pura mengadakan perdamaian dengan kaum Alawiyyin, khususnya Imam Ali ArRidha as yang memperoleh dukungan dari kalangan luas.
Oleh karena itu, Al-Ma’mun memanggil Imam Ali Ar-Ridha as dari Al-Madinah Al-Munawwarah tempat tinggalnya untuk menghadap di Marw, Ibu kota pemerintahan Al- Ma’mun saat itu.
Tujuan-tujuan Al-Ma’mun memanggil Imam Ali Ar-Ridha as adalah sebagai berikut:
Mendapatkan pengesahan atas pemeritahannya. Sebab, pemeritahan Al-Ma’mun tidak mendapat dukungan yang luas, baik dari kalangan Bani Abbas (Abbasiah) sendiri maupun Syi’ah.
Menghentikan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Alawiyyin.
Memberikan citra yang buruk dan pencemaran nama baik terhadap Imam Ali Ar-Ridha as dan Ahli Baitnya.
Meletakkan Imam Ali Ar-Ridha as dalam pengawasan yang ketat. Imam Ali Ar-Ridha as sangat menyadari maksud dan tujuan Al-Ma’mun itu. Pada mulanya, Imam Ali Ar-Ridha as menolak permintaan Al-Ma’mun untuk menjadi putra mahkotanya. Akan tetapi, Al-Ma’mun terns menekan dan mengancamnya sehingga dengan terpaksa akhirnya Imam Ali Ar-Ridha as menerimanya.
Meskipun demikian, Imam Ali Ar-Ridha as telah menggagalkan rencana-rencana Al-Ma’mun itu melalui hal-hal berikut ini:
Pertama, Imam Ali Ar-Ridha as menolak jabatan putra mahkota kecuali setelah diancam akan dibunuh yang menjadikan dirinya dalam keadaan terpaksa menerima jabatan itu, yang diketahui oleh masyarakat luas.
Kedua, Imam Ali Ar-Ridha as menerima jabatan putra mahkota dengan beberapa syarat yang dia ajukan, di antaranya dia tidak akan campur tangan dalam perkara politik pemerintahan apa pun, seperti pengangkatan dan pencopotan para pejabat pemerintahan. Syarat yang diajukan oleh Imam Ali ArRidha as ini telah menjauhkan dirinya dari pencemaran nama baiknya.
Akhirnya, Al-Ma’mun menyadari bahwa rencana tersebut telah mengalami kegagalan. Sebab, Imam Ali Ar-Ridha as tetap menjadi simbol bagi kaum Mukmin dan sumber harapan bagi kaum Muslim. Maka, Al-Ma’mun meracuni Imam Ali ArRidha as ketika sedang dalam perjalanan pulang ke Bagdad.
PAHALA MENZIARAHI IMAM RIDHA ALAIHIS SALAM DALAM UCAPAN RASULULLAH SAW
pengarang : emi nur hayati
Sumber : parstoday.com
Perhatian pada ziarah kubur para Imam Maksum senantiasa terlihat pada gaya hidup keluarga Rasulullah Saw. Masalah ini juga sangat ditekankan bagi para pengikutnya. Di antara masalah yang tampak dalam riwayat-riwayat berikut ini adalah besarnya pahala menziarahi kuburan para Imam Maksum as sehingga mengingatkan para pengikutnya akan pentingnya masalah ini.
Berikut ini hadis tentang pahala menziarahi kuburan Imam Ridha as.
Syeikh Shaduq dalam buku Man La Yahdhurul Fakih menukil riwayat dari Rasulullah Saw dengan kandungan seperti ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ (ص) سَتُدْفَنُ بَضْعَةٌ مِنِّی بِخُرَاسَانَ مَا زَارَهَا مَکْرُوبٌ إِلَّا نَفَّسَ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ کَرْبَهُ وَ لَا مُذْنِبٌ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ
Akan dikuburkan sebagian dari tubuhku di Khorasan. Tidak ada seorangpun yang menziarahinya dalam kondisi bersedih, kecuali Allah menghilangkan kesedihannya dan bila berdosa, Allah pasti akan mengampuni dosanya.
Poin penting yang ada dalam riwayat ini, pertama; Nabi Muhammad Saw sejak masa hidupnya telah menyebutkan, di masa depan, seorang keturunannya; Imam Ridha as akan dikuburkan di Khorasan, dimana hal ini menarik perhatian bagi kita. Kedua, Nabi Muhammad Saw dalam banyak kesempatan telah menyebutkan nama-nama imam sepeninggalnya.
Poin ketiga, penggunaan bagian dari tubuhku atau Badh'atun Minni yang selama ini hanya digunakan bagi Sayidah Fathimah az-Zahra as menunjukkan setiap Imam merupakan bagian dari tubuh Rasulullah Saw dan seluruh apa yang mereka miliki mereka dapatkan dari Rasulullah Saw. Oleh karena itu, untuk memahami keagungan ilmu dan makrifat yang dimiliki oleh Rasulullah, cukup bagi kita untuk menelaah khutbah-khutbah Amirul Mukminin Ali as di dalam buku Nahjul Balaghah, doa-doa ilmiah dan penuh makrifat Imam Sajjad as dalam Shahifah Sajjadiyah dan dialog-dialog ilmiah Imam Ridha as dengan seluruh agama dan kelompok lain di dalam buku-buku hadisnya.
Poin Keempat, pahala bagi peziarah Imam Ridha as. Bila berdosa, maka dosanya akan diampuni dan bila sedih akan dihilangkan kesedihannya. Umat Islam khususnya para pecinta keluarga Rasulullah Saw berkali-kali merasakan bahwa dengan perantara menziarahi Imam Ridha lantas berlanjut pada membersihkan jiwanya dan mendapatkan banyak keberkahan dari Allah Swt. Segala puji bagi Allah yang menetapkan kami di suatu masa berada di negeri yang berada di sisi seorang imam maksum as.
WEJANGAN IMAM RIDHA UNTUK AKHIR BULAN SYA'BAN
pengarang : emi nur hayati
Sumber : ‘Uyun Akhbar ar-Ridha, jilid 2, hal 51
Bulan Sya'ban adalah bulan Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah Saw bersabda, "Sya'ban adalah bulanku. Barang siapa yang berpuasa satu hari di bulanku, maka wajib baginya surga."
Namun saat ini hari-hari bulan Sya'ban telah berlalu dan akan berakhir. Apa yang harus kita lakukan agar tidak ketinggalan oleh nikmat-nikmat yang ada di bulan ini
Imam Ridha as memberikan wejangan kepada kita semua agar banyak-banyak membaca doa berikut ini:
Allaahumma In lam Takun Qad Ghafarta Lanaa Fii Maa Madhaa Min Sya'baana Faghfirlanaa Fiimaa Baqiya Minhu
Imam Ridha as menukil dari Rasulullah Saw:
"Bulan Rajab adalah bulan Allah dimana rahmat ilahi turun di dalamnya. Bulan Sya'ban adalah bulan dimana kebaikan-kebaikan berceceran dan menyebar di dalamnya. Di hari pertama bulan Ramadhan setan-setan berada dalam belenggu dan di setiap malam tujuh puluh ribu orang yang berdosa dari hamba-hamba Allah akan diampuni. (Wasail as-Syiah, jilid 10, hal 315)
Imam Ridha as memberikan wejangan khusus untuk mendapatkan nikmat di akhir bulan Sya'ban kepada Aba Shalt Harawi. Pada hari Jumat terakhir bulan Sya'ban Aba Shalt Harawi menemui beliau. Pada saat itu Imam Ridha as kepadanya berkata:
"Hai Aba Shalt, Bulan Sya'ban sudah lewat dan ini adalah Jumat terakhir dari bulan itu. Untuk itu, bila engkau tidak banyak mengamalkan kebaikan-kebaikan bulan ini sebagaimana seharusnya, maka tebuslah di hari-hari yang tersisa ini. Dan selamat atasmu karena mengamalkan apa yang bermanfaat untukmu dan meninggalkan apa yang tidak berfaedah bagimu dan berbanyaklah doa, istigfar dan bacaan al-Quran dan bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Agar bulan Allah ini menyambutmu dalam keadaan engkau ikhlas karena Allah. Jangan biarkan amanat menjadi bebanmu, tapi tunaikanlah ia. Jangan biarkan ada dendam di hatimu terhadap seorang mukmin pun, tapi engkau telah mengeluarkan dendam itu dari hatimu. Jangan biarkan dosa apapun tetap menghinggapimu, tapi engkau telah melepaskan dan meninggalkannya. Bertakwalah kepada Allah. Bertawakal dan percayalah kepada Allah dalam urusan tersembunyi maupun terang-terangan. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya. Karena Allah sendiri yang akan menyelesaikan urusannya dan menetapkan ukurannya masing-masing. Dan di hari-hari yang tersisa dari bulan ini perbanyaklah zikir ini:
Allaahumma In lam Takun Qad Ghafarta Lanaa Fii Maa Madhaa Min Sya'baana Faghfirlanaa Fiimaa Baqiya Minhu
Ya Allah! Bila sampai saat ini Engkau belum mengampuni kami di hari-hari yang telah lewat dari bulan Sya'ban, maka ampunilah kami di hari-hari yang tersisa darinya! Karena Allah akan membebaskan banyak orang dari api neraka di bulan ini."
IMAM ALI RIDHA ALAIHIS SALAM : MENTARI KHORASAN
Sumber : parstoday.com
Imam Ali al-Ridha as lahir pada tahun 148 hijriah di kota Madinah. Di bawah bimbingan ayah beliau, Imam Musa al-Kadzim as, beliau siap memikul tanggung jawab berat itu. Imam Ali al-Ridha as, adalah mata air ilmu dan keutamaan. Amal dan kata-kata beliau penuh dengan keridhaan atas Allah Swt. Oleh karena itu, beliau diberi gelar al-Ridha.
Beliau memikul tanggung jawab imamah selama 20 tahun yang sebagian besarnya dihabiskan di Madinah dan tiga setengah tahun terakhir masa hidupnya di kota Marv, Khorasan (Iran saat ini). Beliau meninggalkan Madinah atas paksaan penguasa Bani Abbasiah kala itu, Ma’mun.
Kriteria penting Imam as adalah memerangi kezaliman dan ketidakadilan. Beliau as bangkit melawan kebijakan arogan dan tipu daya penguasa Bani Abbas, Ma'mun lewat berbagai cara. Ma'mun sangat mengkhawatirkan pengaruh Imam as di tengah masyarakat dan para pemikir di seluruh pelosok negara Islam. Oleh karena itu, khalifah meminta Imam Ridha as untuk hijrah ke Marv, pusat pemerintahan Ma'mun. Imam as terpaksa menerima desakan itu. Ma'mun berupaya mengurangi pengaruh pemikiran dan budaya Imam as di tengah masyarakat dan menciptakan jarak antara beliau dengan warga. Untuk itu, Ma'mun mengusulkan jabatan putra mahkota kepada Imam as dan memaksa beliau as untuk menerima tawaran ini.
Dengan syarat-syarat tertentu, akhirnya Imam as menerima jabatan putra mahkota. Salah satu syarat yang diajukan Imam as adalah bahwa beliau as tidak akan intervensi dalam urusan pemerintahan dalam kondisi apa pun. Secara keseluruhan, syarat-syarat ini telah menggagalkan Ma'mun dalam mencapai ambisi politiknya.
Imam Ridha as memiliki akhlak mulia dan beliau sangat dihormati baik rakyat biasa maupun ulama. Ibrahim bin Abbas menuturkan, “Sama sekali aku tidak pernah melihat Imam Ridha as berkata keras dengan seseorang atau memotong pembicaraan seseorang atau menolak orang yang membutuhkannya jika mampu memenuhi hajat orang itu. Aku tidak pernah menyaksikan kakinya diulurkan di hadapan orang lain, bersandar pada saat kedatangan orang lain, memaki para hamba sahayanya, atau tertawa terbahak-bahak, bahkan tertawanya pun berupa senyuman..."
Ia menambahkan, tatkala Imam Ridha duduk di hadapan hidangan, ia pun menyuruh duduk semua hamba sahaya, pembantu, dan penjaga rumahnya di hadapan hidangan yang sama. Ia sedikit tidur dan banyak terjaga di malam hari. Kebanyakan malamnya ia lalui dalam keadaan terjaga hingga saat subuh. Ia sangat banyak berpuasa. Ia tidak pernah meninggalkan puasa tiga hari dalam sebulan dan ia berkata, “Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan memiliki pahala puasa dahr (setiap hari hingga akhir hayat, pent). Perbuatan ihsan dan sedekahnya dilakukan secara diam-diam dan pada malam hari. Jika ada orang yang mengira telah melihat lebih baik daripadanya, janganlah kalian percayai!
Salah satu julukan beliau adalah "Rauf" atau penyayang. Beliau as memiliki hubungan baik dengan orang kaya dan fakir-miskin, cerdik-pandai dan masyarakat awam, serta para pecinta bahkan musuh-musuh beliau.
Salah seorang sahabat Imam as berkata, "Setelah menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, beliau as selalu bersikap ramah dan penuh kasih sayang terhadap anggota keluarga dan orang-orang sekitarnya. Setiap kali menyambut hidangan makan, beliau as selalu memanggil anak kecil, orang dewasa bahkan para pekerja." Ketika para budak tidak memperoleh hak-hak minimalnya, Imam Ridha as memperlakukan mereka dengan baik dan penuh kasih sayang. Mereka mendapat tempat dan dihormati di rumah sang Imam. Mereka banyak belajar etika dan nilai-nilai kemanusiaan dari Sang Imam. Selain memperlakukan mereka dengan kasih sayang, Imam as senantiasa menasehati bahwa jika kalian tidak memperlakukan manusia dengan seperti ini, maka kalian telah menzalimi mereka.
Salah seorang yang menyertai Imam Ridha as berkata, "Dalam perjalanan ke Khorasan, aku menyertai Imam Ridha as. Suatu ketika Imam meminta dihidangkan makanan. Beliau as mengumpulkan seluruh rombongan di dekat jamuan, termasuk para budak dan orang-orang lain. Aku berkata kepada beliau: "Wahai Imam, sebaiknya mereka makan di tempat lain." Beliau berkata: "Tenanglah! Pencipta kita semua adalah satu, ayah kita adalah Nabi Adam as dan ibu kita semua adalah Hawa. Pahala dan siksa bergantung pada perbuatan masing-masing."
Julukan lain Imam Ridha adalah Alimu Aali Mohammad (cendikiawan Ahlul Bait Nabi). Julukan ini menunjukkan ketinggian ilmu beliau. Terkait hal ini Imam Ridha sendiri berkata, "Aku duduk di komplek makam Rasulullah Saw. Setiap ulama dan cendikiawan Madinah menghadapi kesulitan dan tidak mampu menyelesaikannya, mereka mendatangiku dan mendapatkan jawabannya."
Kala itu Marv merupakan pusat ilmiah di tanah Khorasan. Imam Ali al-Ridha as menggunakan keunggulan tersebut untuk meningkatkan gerakan ilmiah. Di lain pihak, Ma’mun berusaha tampil dekat dengan Imam Ali al-Ridha demi kepentingan politiknya. Namun pada saat yang sama, dia selalu berusaha mencoreng keutamaan ilmu Imam Ali al-Ridha as dengan menggelar berbagai acara debat. Akan tetapi Imam dalam setiap sesi perdebatan, selalu menang dan bahkan mempengaruhi para ilmuwan yang hadir, dengan argumentasinya yang kokoh.
Islam adalah agama yang menyambut berbagai pertanyaan dan tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa para imam Ahlul Bait as tidak menjawab pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka. Imam Ali al-Ridha as, berperan penting dalam perluasan budaya Islam. Dalam berbagai acara debat, Imam selalu mempertimbangkan hidayah dan bimbingan untuk lawan dan tidak berusaha untuk selalu menang. Beliau membuktikan kebenaran keyakinan Islam dengan menggunakan argumentasi logis yang kokoh. Imam berkata, “Jika masyarakat memahami keindahan ungkapan kami maka mereka pasti akan mengikuti kami.” Dan terbukti betapa banyak musuh-musuh yang akhirnya menjadi teman di akhir acara perdebatan.
Imam Ali al-ridha as yang menguasai teknik-teknik argumentasi, selalu mempertimbangkan setiap dimensi. Pertimbangan atas tingkat budaya di masa itu dan penyesuaian istilah-istilah yang digunakan, semuanya harus sesuai dengan kemampuan logika dan pemikiran lawan debat.
Terkadang dalam berdebat dengan para ilmuwan Imam Ali al-Ridha as, menekankan pada berbagai sisi dan argumentasi yang juga diterima oleh lawan debat. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah soal debat antara Imam Ali al-Ridha as dan para tokoh Kristen dengan menggunakan argumentasi kitab Injil dan juga dalam pembahasan dengan tokoh Yahudi dan menggunakan argumentasi dari kitab Taurat.
Meski memiliki tingkat keilmuwan tinggi, akan tetapi Imam tidak merendahkan lawan debat beliau. Imam selalu menjaga kehormatan pihak seberang meski sebagiannya tidak beragama. Jika perdebatan sampai pada titik di mana pihak lawan tidak lagi bisa menjawab, beliau membimbingnya atau mengutarakan sebuah pertanyaan sehingga pembahasan mereka menghasilkan. Bahkan terkadang beliau menjawab pertanyaan lawan dengan mengatakan, “Jika kau bertanya seperti ini maka pendapat kamu sendiri akan tertolak.”
Di antara lawan debat Imam Ali al-Ridha as, adalah seseorang bernama Amran Sabi, yang tidak meyakini adanya Allah Swt, di mana setelah menyaksikan sikap dan argumentasi Imam, dia beriman kepada Allah Swt dan memeluk agama Islam. Sepanjang perdebatan, Imam memanggil Amran dengan nama kecilnya sehingga dengan demikian terjalin keakraban dan tercipta suasana santai. Selama tanya jawab berlangsung, Imam ketika menjawab pertanyaan Amran Sabi beliau mengatakan, “Wahai Amran, apakah kau paham?” Sikap itu sedemikian rupa sehingga Amran juga memberikan jawaban secara terhormat dan mengatakan, “Iya, tuanku.”
Tujuan dan maksud para pendebat adalah harus sampai pada hakikat yang jelas dan tak tergoyahkan. Itu hanya dapat tercapai ketika perdebatan jauh dari fanatisme dan permusuhan. Imam Ali al-ridha as dengan akhlak yang mulia, tidak menuding lawan beliau telah berbohong dan juga tidak pernah menistakan atau merendahkan mereka. Melainkan beliau selalu mengingatkan titik kekeliruan dan penyimpangan mereka. Beilau tidak pernah mengkritisi individu melainkan mengkritisi masalah pembahasan.
Perdebatan Imam Ali al-Ridha as, membawa banyak berkah untuk dunia Islam termasuk di antaranya adalah menunjukkan citra kebebasan dalam Islam. Imam telah mematahkan klaim dan kebohongan banyak pihak bahwa Islam memaksakan kehendak dan menghunuskan pedang kepada para penentangnya. Namun tampilnya Imam Ali al-ridha as, telah jelas bagi semua orang bahwa Islam menyambut perbedaan pendapat bahkan meski dari pihak yang menafikan tauhid dan menentang Islam.
Termasuk di antara berkah dan manfaat perdebatan Imam al-ridha as, adalah membuka lahan yang kondusif bagi penyebaran risalah Islam dan perluasan khazanah ilmu Islam, serta jawaban tegas secara ilmiah kepada para penentang Islam. Metode-metode dakwah Imam Ali al-Ridha as dalam berbagai acara perdebatan memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menyingkap penyimpangan anti-Islam dalam masyarakat, sekaligus menjelaskan posisi luhur Ahlul Bait as.
BINTANG DZULQA'DAH
Sumber : safinah-online.com
“Tak kenal maka tak sayang”, pribahasa ini sangat populerkan? Memang betul, kita tidak akan menyayangi dan mencintai seseorang jika kita belum mengenalnya.
Nah, di Bulan Dzulqa’dah yang mulia ini ada 2 manusia mulia yang lahir menerangi alam semesta; Yang pertama lahir pada tanggal 1 Dzulqa’dah. Tentunya adik-adik yang sudah membaca rubrik Kids Corner sebelumnya sudah tahu, siapakah beliau? Beliau adalah Sayyidah Fatimah Ma’shumah a.s.
Bagi yang ingin tahu lebih banyak tentang beliau silahkan baca di rubrik sebelumnya.
Adapun manusia mulia ke-2 yang lahir pada bulan mulia ini adalah kakak kandung Sayyidah Fatimah Ma’shumah, yaitu Imam Ali Ridha a.s.
Imam Musa Kadhim, ayah mereka termasuk salah satu imam yang memiliki banyak anak, namun di antara semua putera puteri beliau, Imam Ali Ridha a.s. dan Sayyidah Fatimah Ma’shumah adalah saudara seibu.
Ibunya bernama Najmah Khatun. Setelah melahirkan Imam Ali Ridha a.s. beliau mendapat gelar Thahirah. Suatu hari Najmah Khatun bertutur:
“Saat aku mengandung puteraku (Imam Ridha a.s.), aku tidak merasakan beban berat layaknya ibu hamil. Ketika aku tidur, aku senantiasa mendengar suara tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha Illallah) dari dalam diriku. Aku terbangun dengan rasa khawatir, namun suara tadi lenyap dan tidak terdengar.
Ketika puteraku lahir ke dunia, kedua tangannya diletakkan di atas tanah, kepalanya diangkat ke arah langit, mulutnya digerak-gerakkan, namun aku tidak mengerti apa yang diucapkannya.
Maka aku pergi menemui Imam Musa Kadhim a.s. dan menanyakan hal-hal tersebut.
Beliau a.s. menjawab, “Itu adalah karamah dan berkah yang dianugerahkan oleh Allah swt kepadanya.”
Aku membalut badan putera mungilku dengan kain berwarna putih dan membawanya ke hadapan Imam Musa Kadhim a.s. Kemudian beliau membisikkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Lalu beliau meminta air untuk mengambil langit-langit mulut sang bayi.”
Kota Madinah bercahaya karena kelahiran Imam Ali Ridha a.s.
Adik-adik tentunya ingin lebih mengenal Imam Ridha as. Yuk simak kisah berikut:.
* Persamaan Dan Persaudaraan Sesama Manusia
Seorang lelaki dari penduduk kota Balkh[1] berkata, “Aku menyertai Imam Ridha a.s. dalam perjalanan beliau ke Khurasan.[2]
Suatu hari Imam Ridha a.s. menghamparkan alas hidangan dan mempersilahkan seluruh sahabat, pelayan, dan budak beliau untuk duduk bersama di hadapan hidangan yang tersaji.”
Aku berkata kepada Imam, “Wahai Imam, alangkah baiknya bila hidangan terpisah dihamparkan untuk orang-orang kulit hitam ini.”
Imam Ridha a.s. menjawab, “Jangan berucap seperti itu, Tuhan kita semua adalah sama (Esa), kita berasal dari ayah dan ibu yang sama. Amal seseorang akan dilihat dari perilakunya.”
* Kebaikan Adalah Tabungan Hari Esok
Pada suatu hari Imam Ridha a.s. bertutur kepada para sahabat beliau demikian:
“Selalu berzikirlah kepada Allah (mengingat Allah swt) dan berbuatlah kebaikan selagi mampu. Tawadhu’, menghargai nikmat dan bersyukur pada hari ini adalah bagaikan tabungan yang berharga untuk hari esok. Contohnya seperti kisah berikut ini:
Seorang lelaki dari Bani Israil pada suatu malam bermimpi. Dalam mimpinya ia mendengar suara malaikat berkata, “Pada separuh usiamu akan dipenuhi dengan kelapangan rezeki dan kebahagiaan, dan separuhnya lagi dengan kesusahan. Pilihannya ada di tanganmu, apakah engkau akan memilih kebahagiaan dan kesenangan terlebih dahulu atau kesengsaraan dan kesulitan.
Lelaki itu berkata, “Aku memiliki seorang isteri yang selalu mendampingiku. Aku harus bermusyawarah dengannya terlebih dahulu.”
Keesokan harinya, lelaki itu bercerita tentang mimpinya kepada isterinya, “Aku tidak tahu mana yang harus aku pilih, kesenangan terlebih dahulu atau kesengsaraan?”
“Jatuhkan pilihanmu kepada yang pertama, sisanya serahkan kepadaku karena aku yang akan mengurusnya,” jawab sang isteri.
Suaminya menyahut, “Aku memilih yang pertama karenamu.”
Singkatnya, mereka bergelimang dunia dan menikmati segala jenis kesenangan. Di saat itulah, sang isteri berkata, “Ada tetangga kita yang membutuhkan, bantu dan berbuat baiklah kepadanya.”
Atau dalam kesempatan lain, isterinya berucap, “Sanak saudara kita ada yang miskin, penuhilah kebutuhannya.”
Dan begitulah seterusnya, sang isteri selalu menganjurkan kepada suaminya untuk membantu dan memberikan hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan. Ia juga tidak sombong dan selalu bertawadhu’ di hadapan orang lain sehingga para tetangga, sanak saudara, dan orang-orang di sekelilingnya merasa senang terhadapnya.
Beberapa tahun telah berlalu hingga suatu malam malaikat yang dahulu datang dalam mimpinya, datang kembali dan berkata, “Separuh dari hidupmu yang penuh dengan kenikmatan dan kelapangan telah berakhir. Bagaimana pendapatmu sekarang?”
Lelaki itu berkata, “Mohon berikan aku waktu untuk menyampaikannya kepada isteriku.”
Pagi harinya, ia berkata kepada isterinya, “Tadi malam aku bermimpi kembali dan diberitahukan kepadaku bahwa separuh kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan kebahagiaan telah berakhir.”
Sang isteri menjawab, “Jangan merasa khawatir, Allah swt telah memberikan nikmat kepada kita begitu besar dan banyak. Kenikmatan-kenikmatan tersebut telah kita pergunakan untuk kebaikan semampu kita. Allah Maha Besar dan aku yakin Dia tidak akan menyia-nyiakan amal kebaikan yang kita lakukan dahulu.”
Di malam harinya, malaikat kembali mendatanginya dalam mimpi dan berkata, “Pada separuh waktu pertama yang diberikan tersebut engkau telah memanfaatkannya dengan berbagai macam amal baik. Oleh karena itu, sisa usiamu akan dianugerahi kebahagiaan dan kemudahan hidup.”
Selamat atas kelahiran Imam Ali Ridha a.s., 11 Dzulqa’dah 148 H.
CATATAN :
[1] Balkh adalah salah satu dari tiga puluh empat provinsi di Afganistan. Balkh terletak di bagian utara negara itu dan namanya berasal dari kota kuno Balkh, dekat kota modern. Ibu kotanya adalah Mazar-e Sharif.
[2] Khurasan Raya adalah istilah kini untuk wilayah timur Persia kuno sejak abad ke-3. Khurasan Raya meliputi wilayah yang kini merupakan bagian dari Iran, Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Khorasan Raya meliputi Nishapur, Tus (kini di Iran), Herat, Balkh, Kabul, dan Ghazni (kini di Afganistan), Merv (kini di Turkmenistan), Samarqand, Bukhara, dan Khiva (kini di Usbekistan), Khujand dan Panjakent (kini di Tajikistan).
INGIN BAHAGIA? BAHAGIAKANLAH ORANG LAIN
Sumber : safinah-online.com
Adik-adik yang ingin bahagia dan gembira pasti akan semangat untuk membaca cerita, benarkan? Yuk kita baca bersama:
Sepakatilah Upah Pekerja
Sulaiman Ja’fari, salah seorang sahabat Imam Ridha a.s. berkata, “Suatu hari aku bersama Imam Ali Ridha a.s. Kami memasuki rumah beliau dan saat itu matahari hampir terbenam. Ketika itu para pekerja masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Imam Ridha a.s. melihat seorang lelaki yang tidak beliau kenal berada di antara para pekerja.
Beliau bertanya, “Apa tugas lelaki ini?”
Mereka menjawab, “Kita kekurangan satu orang pekerja, maka kita membawanya ke sini supaya dapat membantu dan setelah selesai akan kita berikan sesuatu kepadanya.”
Imam Ridha a.s. bertanya kembali, “Apakah upahnya telah kalian tentukan?”
“Tidak, orang ini akan menerima apa pun dan berapa pun upah yang akan kita berikan setelah selesai pekerjaan,” jawab mereka.
Imam Ridha a.s. marah dengan jawaban tersebut.
Aku (Sulaiman Ja’fari) berkata, “Tuan, aku menjadi tebusanmu! Jangan Anda marah karena hal kecil ini.”
Imam Ridha a.s. berkata, “Selalu aku katakan berulang kali bahwa ketika kalian memperkerjakan seseorang, tentukan upahnya sejak awal. Karena ketika upahnya tidak ditentukan sebelumnya, meskipun kalian memberikan dua kali lipat dari upah aslinya di akhir pekerjaan kepada pekerja yang telah letih bekerja tersebut, ia akan berpikir bahwa upahnya masih belum cukup dan ia akan kecewa.
Imam Ridha a.s. melanjutkan, “Namun bila sejak awal telah ditentukan, ia akan merasa cukup dengan upah yang disepakati. Bahkan bila diberikan lebih dari kesepakatan, ia akan senang dan berterima kasih. Aku ingin setiap pekerja yang bekerja untukku, pulang dengan gembira.”
Imam Ridha Membantu 200 Dinar
Suatu hari seorang lelaki dari Khurasan mendatangi Imam Ali Ridha a.s. dan berkata, “Aku adalah pencintamu, pencinta ayah dan kakekmu. Aku baru pulang dari haji, bekalku telah habis dan tidak ada yang tersisa lagi bahkan aku tidak punya bekal untuk pulang ke negeriku. Jika anda berkenan membantuku supaya aku bisa pulang ke negeriku dan sesampainya di negeriku aku akan bersedekah dengan namamu.
Imam Ridha a.s. berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah swt merahmatimu.”
Lalu Imam Ridha a.s. masuk ke dalam rumah kemudian membawa bungkusan dari balik pintu dan berkata, “Di manakah orang dari Khurasan tadi?”
Orang tersebut bergegas menuju ke arah Imam a.s.
Imam Ridha a.s. berkata, “Ambil uang 200 dinar ini dan gunakan untuk kebutuhanmu, tapi janganlah engkau bersedekah dengan uang tersebut untukku. Selamat jalan dan berhati-hatilah.”
Maka orang Khurasan tersebut pergi dengan bahagia karena Imam Ridha a.s. telah menolongnya.”
Imam Ridha a.s. Mengetahui Jumlah Hutangku Dan Melunasinya
Suatu hari Ahmad bin Ubaidillah Al-Ghiffari berkata, “Aku memiliki piutang kepada seseorang dari keluarga Abu Rafi. Ia menagih serta mendesakku untuk segera membayar. Karena kondisi demikian sulit, setelah melaksanakan shalat shubuh di Masjid Nabi saw, aku langsung pergi menghadap Imam Ridha a.s.
Ketika aku mendekati rumah Imam, beliau a.s. sedang keluar dari rumahnya dengan mengenakan pakaian resmi dan berhenti ketika melihatku.
Aku mengucapkan salam, namun ketika memandang wajah beliau, aku malu menyampaikan niat kedatanganku.
Sepertinya beliau memahami sesuatu dari raut wajahku, kemudian aku berkata kepada beliau a.s., “Jiwaku sebagai tebusanmu, aku memiliki piutang kepada salah seorang budak Anda. Dia telah membuatku tidak bisa tidur dan terjaga sepanjang malam.”
Imam Ridha a.s. berkata, “Masuklah ke dalam rumah, tunggulah sebentar, aku akan segera kembali.”
Aku pun masuk dan menunggu beliau a.s. di dalam rumah. Ketika itu bulan suci Ramadhan dan waktu maghrib sudah tiba. Sambil menunggu aku melaksankan shalat maghrib. Selesai shalat, aku melihat Imam a.s. belum tiba.
Aku berfikir sebaiknya aku pergi saja. Tiba-tiba Imam Ridha a.s. datang dan telah dikelilingi oleh banyak orang. Beliau a.s. pun bersedekah kepada mereka.
Kemudian mengajakku kembali untuk masuk ke dalam rumah beliau. Lalu beliau a.s. berkata, “Aku kira engkau belum berbuka puasa.”
Aku menjawab, “Belum.”
Maka beliau a.s. pun mengajakku berbuka puasa dan memerintahkan pembantunya untuk makan bersamaku.
Setelah selesai berbuka puasa, Imam a.s. memanggilku dan memintaku mengangkat bantal, lalu mengambil sesuatu yang ada di bawahnya. Aku pun mengangkat bantal tersebut, ternyata di bawahnya ada beberapa dinar. Aku mengambilnya dan meletakkannya di lipatan lengan bajuku.
Lalu Imam Ridha a.s. menyuruh beberapa budaknya untuk mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, aku menyalakan lampu dan menghitung dinar-dinar itu, ternyata jumlahnya 48 dinar dan di dalamnya tertulis pesan, hutangmu 28 dinar, sisanya adalah milikmu.”
Subhanallah, Maha Suci Allah! Tanpa kuberi tahu, Imam Ridha a.s. mengetahui jumlah hutangku, bahkan memberi dinar lebih untukku, aku menangis bahagia.”
Demikianlah kedermawanan dan akhlak mulia Imam Ridha a.s.
Allahumma Shalli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad
GUGURNYA SANG IMAM KEBIJAKSANAAN
Sumber : parstoday.com
Hari-hari ini Makam Suci Imam Ridha as di kota Mashhad diselimuti duka dan berselubung kain hitam mengenang kesyahidan Imam kedelapan Muslim Syiah. Makam suci Imam Ridha as, yang sebagaimana biasanya selalu menjadi sandaran hati para peziarah dan pecinta Ahlul Bait as, sekarang diliputi suasana duka.
Imam Ali bin Musa Al Ridha as menerima tugas keimamahan dan estafet kepemimpinan Muslimin pada tahun 183 Hq di usia 35 tahun, pasca kesyahidan ayah beliau Imam Musa Kadzim as. Masa keimamahan beliau berlangsung hingga tahun 201 Hq.
Di tahun yang sama, dengan kelicikannya, Khalifah Makmun Abbasi meminta Imam Ridha berangkat ke Marv. Atas tekanan dan paksaan Khalifah Makmun, akhirnya Imam Ridha meninggalkan Madinah menuju Marv, pusat kekuasaan Makmun.
Perjalanan Imam Ridha ke Marv adalah salah satu bagian penting dari kehidupan beliau, karena lebih dari sebelumnya, perjalanan itu menunjukkan keagungan nilai spiritualitas dan kedudukan luhur Imam Ridha.
Terbukti, begitu mengenal Imam Ridha, masyarakat Marv dan Khorasan langsung jatuh hati kepada beliau. Mereka berlomba-lomba melihat Imam Ridha dari dekat dan mengikuti ceramah serta diskusi beliau untuk menikmati lezatnya hakikat.
Imam Ridha tinggal di Marv, Khorasan selama sekitar dua tahun, setelah itu di tahun 203 Hq atas perintah Makmun beliau diracun dan akhirnya mereguk cawan syahadah pada hari terakhir bulan Safar.
Imam Ali bin Musa Al Ridha as sebagaimana Rasulullah Saw dan Maksumin yang lain, adalah teladan dan standar akhlak mulia serta penghambaan kepada Allah Swt. Beliau menyeru masyarakat untuk menjauhi keburukan akhlak dan kekotoran jiwa.
Dengan menggunakan ayat-ayat Al Quran dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, Imam Ridha menumbuhkan benih-benih Tauhid dan kecintaan pada Tuhan di tengah masyarakat dan membimbing mereka ke jalan penghambaan Tuhan dan kebahagiaan abadi.
Imam Ridha berkata, ukiran di cincin Nabi Isa as adalah dua kalimat yang diambil dari Injil, yaitu berbahagialah hamba yang mengingatkan akan Tuhan dan celakalah hamba yang melalaikan dari Tuhan.
Imam Ridha menjalankan tugas keimamahan Islam dan memimpin Muslimin selama 20 tahun. Di masa yang merupakan masa keemasan ilmu pengetahuan itu, Imam Ridha membuat para ulama besar agama lain dan para teolog tercengang karena keluasan ilmu dan argumen-argumen ilmiahnya yang kokoh. Mereka juga takjub dengan ilmu dan penguasaan sempurna Imam Ridha atas kitab-kitab suci agama lain.
Para intelektual Islam percaya, perkataan Imam Ridha adalah penjelasan ayat-ayat Al Quran seputar tauhid, kenabian, imamah, maad, keimanan dan kekufuran, dan secara umum merupakan deskripsi ajaran-ajaran akidah Islam menurut Al Quran. Kenyataannya, nasehat, teladan dan akhlak Imam Ridha adalah penjelasan ayat-ayat akhlak Al Quran.
Pada saat yang sama, Al Quran tampak jelas dan menemukan wujudnya dalam pemikiran, perkataan dan perbuatan Imam Ridha. Ibrahim bin Abbas terkait hal ini menuturkan, ceramah, jawaban, penjelasan dan bukti-bukti yang disampaikan Imam Ridha seluruhnya berasal dari Al Quran dan beliau selalu mengkhatamkan Al Quran setiap tiga hari sekali.
Imam Ridha berkata, jika aku ingin mengkhatamkan Al Quran lebih cepat dari tiga hari, pasti aku lakukan, tapi aku tidak pernah melewatkan satu ayatpun tanpa merenungi ayat tersebut dan asbabu nuzulnya.
Salah seorang sahabat Imam Ridha pernah bertanya kepada beliau, bagaimana pendapat anda tentang Al Quran ? Imam Ridha berkata, Al Quran adalah firman Tuhan, jangan melanggar batas-Nya dan jangan mencari hidayah kecuali dari Al Quran, karena engkau akan tersesat.
Dengan penjelasan ini, Imam Ridha menerangkan bahwa hidayah dan jalan kebahagiaan hanya dapat ditemukan pada ajaran Al Quran, sebaliknya mendahului dan tertinggal darinya berarti kesesatan.
Imam Ridha menyebut Al Quran sebagai tali yang kokoh dari langit dan ajaran agung Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya agar mereka mendapatkan surga dan terhindar dari api neraka.
Al Quran tidak pernah lekang dimakan zaman dan meski dibaca berulang-ulang, nilai dan pengaruhnya tidak pernah berkurang, karena Allah Swt tidak menurunkan Al Quran hanya untuk masa tertentu. Al Quran adalah hujjat dan dalil bagi setiap manusia di seluruh fase kehidupannya yang diturunkan Tuhan.
Imam Ridha as dikenal sebagai Aalimu Aali Muhammad. Aba Salat menukil riwayat tentang Imam Musa Kadzim as berbicara kepada putra-putranya, saudara kalian Ali bin Musa adalah mata air pengetahuan Ahlul Bait. Maka sampaikan permintaan dan pertanyaan-pertanyaan agama kalian kepadanya dan ingatlah semua yang telah ia ajarkan kepada kalian.
Makmun kerap mengadakan sejumlah majelis debat untuk Imam Ridha as. Ia bermaksud meruntuhkan keluhuran ilmu dan kebenaran Ahlul Bait as. Dalam setiap majelis itu, Makmun mengundang para cendekiawan dari berbagai agama dan mazhab, dan meminta mereka untuk berdebat dengan Imam Ridha dengan harapan bisa mengalahkan beliau.
Namun berbeda dengan apa yang dibayangkan Makmun, perdebatan-perdebatan yang diikuti Imam Ridha dengan para cendekiawan dari sejumlah agama ternyata tidak menguntungkan Makmun, sebaliknya membawa masalah baginya dan kekhalifahannya.
Makmun menyadari bahaya bahwa perdebatan-perdebatan tersebut justru menarik perhatian dan simpati para ilmuwan dan masyarakat kepada Imam Ridha karena kecerdasan, kesucian dan kemuliaan beliau. Di sisi lain, acara tersebut justru memberikan peluang kepada Imam Ridha untuk menjelaskan tentang kebenaran keimamahan beliau.
Hal itu memaksa Makmun membatasi hubungan Imam Ridha dengan para pemuka agama dan pendukungnya, sehingga ia menghentikan majelis-majelis debat tersebut. Makmun memerintahkan Muhammad bin Amr Thusi untuk menjauhkan masyarakat dari majelis-majelis ilmu dan ceramah Imam Ridha as.
Imam Ridha as juga menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah-masalah spiritual dan ibadah. Beliau adalah manusia yang paling taat beribadah kepada Allah Swt dan paling suci di masanya. Imam Ridha memberikan makna yang sebenarnya kepada kemanusiaan nyata dengan unsur-unsur kesempurnaan dan sifat mulia yang dimilikinya.
Raja bin Abi Zahak berkata, aku bersumpah kepada Tuhan, aku tidak pernah melihat manusia yang lebih bertakwa, paling banyak berzikir dan paling takut kepada Allah Swt, selain Ali bin Musa Al Ridha. Beliau selalu membantu menyelesaikan permasalahan Muslimin dan sangat bekerja keras menyelesaikan permasalahan masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka.
Imam Ridha selalu menjenguk mereka yang sakit dan menjamu tamu dengan segala kerendahan hati, dan keluasan ilmunya membuat para pembesar dan pemikir Dunia Islam mendatangi beliau.
Selama masa kepemimpinannya, Imam Ridha mendidik banyak pemikir Islam yang menghasilkan banyak karya di berbagai bidang seperti tafsir Al Quran, hadis, akhlak, fikih dan pengobatan Islam.
Imam Ridha menjelaskan ajaran-ajaran Islam yang membebaskan bagi masyarakat. Di Madinah, beliau punya banyak murid yang selalu berkumpul untuk menimba ilmu dari beliau. Salah satu murid Imam Ridha adalah Zakaria bin Adam, yang merupakan wakil Imam di kota Qom.
Dalam suratnya untuk Zakaria, Imam Ridha berkata, Allah Swt menjauhkan marabahaya dari kota Qom karena keberadaanmu, sebagaimana Allah Swt menjauhkan bencana dari kota Baghdad karena keberadaan Imam Musa Kadzim as. Murid unggul Imam Ridha yang lain adalah Yunus bin Abdurahman, Shafwan bin Yahya, Hassan bin Mahbub dan Ali bin Maysam.
PESAN IMAM ALI AR-RIDHA PADA JUM'AT AKHIR BULAN SYA'BAN
Sumber : safinah-online.com
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ali ar-Ridha a.s. berpesan kepada Abu Shalt al-Harawi, sahabatnya, pada Jum’at akhir bulan Sya’ban.
Abu Shalt al-Harawi berkata, “Aku datang kepada Imam Ali bin Musa ar-Ridha a.s. pada Jum’at terakhir bulan Sya’ban. Beliau berkata kepadaku:
Wahai Abu Shalt, Sya’ban segera berlalu. Hari ini Jum’at terakhirnya, maka raihlah hal-hal yang kurang selama ini di hari-hari tersisa.
~ Lakukanlah hal-hal yang prioritas bagimu dan tinggalkanlah hal-hal yang tidak penting.
Perbanyaklah doa, istigfar, membaca Alquran, dan bertaubat kepada Allah dari dosa-dosamu. Semoga bulan Allah menerimamu dan engkau tulus kepada Allah.
~ Janganlah lalai dari melaksanakan amanat yang ada di pundakmu. Jangan biarkan ada dengki di hatimu terhadap kaum beriman. Jangan ada dosa yang engkau lakukan.
~ Bertakwalah kepada Allah dan serahkanlah kepada-Nya urusan terbuka dan rahasiamu.
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah menentukan kadar setiap sesuatu. (QS. At-Talaq [65]: 3)
~ Perbanyaklah doa pengujung bulan ini:
اللّهُمَّ إِنْ لَمْ تَكُنْ غَفَرْتَ لَنا فِيما مَضى مِنْ شَعْبانَ فَاغْفِرْ لَنا فِيما بَقِيَ مِنْهُ
“Ya Allah, jika Engkau tidak mengampuni kami di hari-hari Sya’ban yang telah berlalu, maka ampunilah kami di hari-hari yang tersisa ini.”
Karena Allah Swt akan membebaskan punggung-punggung dari neraka di bulan ini karena kemuliaan bulan Ramadan.'[*]
Referensi:
‘Uyun Akhbar ar-Ridha a.s., j. 1, h. 56
Assalamualaika Ya Ali yibnil Musa Ayyuhal Ridha Yabna Rasulillah
YA REZA MADADDI
Assalamualaika Ya Ali yibnil Musa Ayyuhal Ridha Yabna Rasulillah
Salam ke atas seorang musafir yang ucapan selamat tinggal buatnya diiringi dengan tangisan air mata dan rintihan! Salam buat Tuan yang hari-hari peninggalannya dengan Madinah, memilukan orang sekelilingnya!Benar!Keadaan dan perlakuan ini benar-benar telah berlaku dimana musafir ini tidak lagi akan kembali ke watannya.
Perawi berkata : Aku berada bersama Imam (as) di Mekkah dalam tahun dimana Imam Reza (as) menunaikan haji dan kemudiannya bergerak ke Khurasan.Dan puteraNya Imam Jawad (as) (ketika itu berusia 5 tahun) juga hadir ketika itu.Imam kelapan (as) melakukan wida’ (selamat tinggal) dengan Rumahnya Allah, dan ketika telah keluar dari tawaf, Imam (as) menuju ke makam. (InsyaALLAH Tuhan memberi kita peluang satu hari berada di belakang makam Ibrahim(as) dalam keadaan mata memandang ke Kaabah dan untuk kamu diceritakan kisahnya Imam Reza (as) . InsyaALLAH Tuhan memberikan peluang untuk kita masuk ke Hajar Ismail, dan membaca musibah Imam Reza (as) kepada putera kesayangannya Jawadul Aimmah (as) dan dalam masa yang sama menitiskan air mata) dan kemudian Imam Reza (as) menunaikan solat di sisi makam.Imam Jawad (as) pula berada di atas bahunya ((Muwaffaq)) (hambanya Imam) untuk menunaikan tawaf.Ketika mendekati Hajar Ismail, Imam Jawad (as) turun dari bahunya Muwaffaq dan duduk di siu lama. Muwaffaq berkata kepadaNya, diriku korban buatmu, bangunlah!
Imam Jawad (as) dalam keadaan dimana wajahnya kelihatan penuh kedukaan, bersabda : Aku tidak mahu bangun dari tempatku ini kecuali Allah yang berkehendak.
Muwaffaq pergi kepada Imam Reza (as) dan berkata: Diriku korban untukmu. Hadrat Jawad (as) duduk disisi Hajar Ismail dan tidak mahu bangun. Imam Reza (as) pergi kesisi puteranya dan bersabda: Sayangku bangunlah! Hadrat Jawad (as) bersabda : Bagaimana aku boleh bangun apabila melihat Ayah melakukan tawaf wida’ seperti tidak lagi akan lagi datang ke sini.Ayahku sayang! Dari tawafmu ini datang bau yatim dan Rumahnya Allah ini tidak lagi akan Ayah lihat dan langkah mubarakMu tidak lagi akan dijejakkan disini.Ayah, Ayah...
Wahai Ayahku tersayang lihatlah air mata dukaku ini
Jiwaku Kau bawa pergi bersamamu, wahai ayah
Kau sendiri tahu Ayah apa yang akan mereka lakukan pada hari-hariku
Aku yakin ayah, kau tidak akan lagi kembali
Benar! Perkara ini yang berlaku dan Imam Reza (as) gharib di Khurasan dan diracuni.
Wahai syiah-syiahnya Imam Reza (as)! Tahukah kamu Ayah dan anak ini dimanakah kali terakhir pertemuan antara mereka? Waktu itu dimana si Ayah terlantar di pembaringan syahadah dan dengan arahan Ilahi anak di Madinah datang kesisi ayahnya dan hanya Tuhan yang tahu betapa gembiranya Ima Reza (as); dimana Imam dengan cepat bangung dari pembaringannya dan melatakkan tangaNnya di leher puteraNya dan mencium puteraNya itu berkali-kali dan lantas memelukNya. Dan Imam Jawad menjatuhkan diri di atas ayahnya dan mencium Ayah yang dirindui!
Malam syahadah Imam Reza (as)
Malam Kesyahidan Imam Reza (as) adalah malam yang dinanti-nanti dan si Ayah yang bertahun-tahun menunggu anak kesayangannya kini harapannya terkabul. Sekali lagi wajah indahnya Jawad kekasihnnya dipandangnya.
Wahai Imam Reza(As)!Wahai Imam Jawad(as)! di Karbala kisah berbeza.Disana ayah yang berada di kepala anak.Di Khurasan, ketika ayah dan anak bertemu masing-masing bergembira dan segala harapan tercapai tetapi Gharib Karbala ketika berada di atas kepala AkbarNya , Dia melihat kekasihNya dalam keadaan telah dipotong-potong.Beberapa kali dipandang pun wajah anakNya, tidak menemui ketenangan. Ah,Ah!kemudian Imam(as) meletakkan wajahNya diatas wajah puteraNya (cara keadaan itu sehingga) menyebabkan semua berfikir bahawa Imam Husain (as) juga telah syahid.
Ya Imam Reza (as)! Ketika tanganMu diletakkan ke leher putera kesayanganMu dan Kau menciumNya serta lantas memeluknya ke dadaMu, tanganmu tidak dilumuri darah, bibirmu tidak dilumuri darah, badan kekasihmu masih bernyawa. Tetapi DatukMu ketika memeluk kepala Ali AkbarNya dan mencium kepala itu, tanganNya dipenuhi darah, bibirnya dilumuri darah, wajah Datukmu berlumuran dengan darahNya Ali Akbar. Semua serulah : Ya Husain, Ya Husain....
Wahai bunganya Zahra Reza tidak mempunyai sesiapa, sendiri Reza
Gharib dan mazlum Reza Syahid yang diracuni Reza
Raja Khurasan Reza Matahari yang memancar Reza
Duka nestapa Reza Ubat dan penyembuh Reza
Kekasihnya Haidar Reza Keturunan Rasul Reza
Harapan kami semua Reza Penjamin Rusa Reza
Kiblatnya hajat Reza Ayahnya munajat Reza
Pensyafaat di Mahsyar Reza Pemberi minum Kausar Reza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar