بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Bagian awal Alquran berkenaan dengan pemahaman bahwa satu-satunya jalan menuju kesuksesan adalah melalui pengagungan, doa dan puji, sedangkan bagian terakhir Alquran berkenaan dengan permintaan perlindungan kepada Sumber dari segala manifestasi.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
1. Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,
Nas berarti 'orang, manusia'. Kata akamya adalah anisa, yang berarti 'dikenal, peramah, akrab', jadi menunjukkan sifat dasar manusia yang suka berteman. Tentu saja kita semua akan mencari persahabatan.
Sifat manusia mencakup dan merefleksikan suatu spektrum luas dari watak dan perilaku yang potensial. Jika ia ingin sekali mengenal Allah, maka penlakunya akan mencerminkan kemuliaan. Jika ia mengabaikan naluri untuk mencari Penciptanya, atau Sumber, maka ia jatuh serendah rendahnya (sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Tin). Yang pasti, perilakunya akan merefleksikan sifat-sifat yang lebih dasar, seperti ketamakan atau keegoisan, yang dapat membawa kepada pengkhianatan. Meskipun kapasitasnya untuk melakukan pengkhianatan sama tak terbatasnya dengan nafsunya, Tuhan semua manusia selalu mengetahui keadaan dan niat-niat kita. Apa pun yang kita lakukan, kita tetap berada di bawah Ketuhanan Aliah. Tempat berlindung atau perlindungan terakhir dari orang lain ada'ah Allah, Yang lebih dekat kepada kita dibanding urat leher kita, sebagaimana dikemukakan-Nya kepada kita dalam sebuah hadis kudsi. Akar dari kata a’udzu (aku minta perlindungan) merefleksikan kedekatan ini, karena ia berasal dari 'adza yang asalnya berarti 'berada dekat tulang atau daging'.
مَلِكِ النَّاسِ
2. Rajanya manusia,
إِلَهِ النَّاسِ
3. Tuhannya manusia,
Kita berlindung kepada Tuhan, kepada Sang Pencipta entitas yang disebut 'manusia', yang mengandung di dalam dirinya sifat tinggi maupun rendah. Kita berlindung kepada Allah dari sifat rendah, dari sifat yang menyebabkan kita rugi.
مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاس ِ
4. Dari kejahatan bisikan setan yang sukar dipahami,
Terdapat banyak sekali tulisan tentang kata waswas, yakni bisikan halus pada hati kita yang paling dalam yang menghasut kita untuk berbuat jahat. Dalam satu keterangan, ada sepuluh makna diberikan untuk al-waswasah, yang menunjukkan sepuluh sifat berbeda dari si pembisik. Jika kita mengalahkan mereka kita akan memahami syirk-nya (menyekutukan Tuhan) waswas, sehingga kita akan benar-benar dapat berlindung dari itu.
Waswas adalah bentuk kata yang meniru sesuatu bunyi seperti suara bisikan. Berbisik adalah salah satu perbuatan yang, menurut din serta adab kita, sangat ditolak karena sesuatu yang baik untuk dikatakan hendaklah disebarkan dengan mengatakannya secara keras.
Khannas adalah julukan setan, dan berarti 'menyelinap keluar', terutama ketika nama Allah disebut.
Ada beberapa sumber atau sungai yang menyuburkan waswas. Sebagaimana surga memiliki sungai-sungai di bawah tanah yang menyuburkannya, begitu pula waswas. Salah satu sungai ini adalah hirsh (ketamakan atau keiri-hatian). Arus sungai itu bisa dilawan, diblokir, dan dibendung dengan tawakkul wa qana’ah (percaya dengan sepenuh hati [kepada Allah] dan merasa puas).
Sungai lainnya adalah amal, yang berarti 'pengharapan'. Sungai ini, pun, dapat dibendung dengan zikir yang terus-menerus. Harapan kita untuk mendapatkan berbagai hal dari dunia ini dapat dihentikan dengan ingat (zikir) bahwa setiap hembusan napas mungkin saja merupakan napas terakhir kita. Keingatan ini akan memotong aliran sungai, yang menyuburkan si pembisik yang menuangkan berbagai sugesti yang merusak ke dalam telinga kita.
Sungai ketiga adalah syabawat al-dunya, atau 'nafsu duniawi'. Nafsu-nafsu ini dapat dibunuh dengan ingat bahwa segala nikmat akhirnya akan meninggalkan kita, dan bahwa akan diadakan hisab (perhitungan). Kita akan harus bertanggung jawab terhadap cara kita menghabiskan nikmat dan kebaikan yang diberikan kepada kita. Perhitungan-nya akan panjang—kita diberitahu 50.000 tahun—di mana setiap hal kecil akan ditinjau ulang dan diperiksa, dan, sekecil apa pun, dapat menjadi saksi yang menguntungkan atau merugikan kita.
Sungai keempat, atau sumber, dari waswas adalah tahshil, yang berarti 'pendapatan'. Arus sungai ini dapat dihentikan dengan mengusahakan keadilan dari keadaan setiap orang. Apa yang didapat seseorang muncul dari keadilan keadaannya sendiri. Kita tidak dapat mengubahnya.
Sungai kelima adalah bala', 'kesusahan'. Arus sungai ini dapat di alirkan dengan tidak melihat kesusahan dalam suatu keadaan, tapi malah dengan melihat kebaikan di dalamnya.
Sungai keenam adalah kibr atau 'rasa bangga', yang dapat dilawan dengan kerendahan hati. Bilamana kibr timbul pada kita, kita harus segera mendatangi kerendahan hati yang terdapat di dalam diri kita, sehingga kita mematahkan pengaruh kibr pada kita.
Sungai ketujuh adalah tahqir, yang membujuk kita untuk meremehkan posisi terhormat kaum beriman, dan juga apa saja yang dimiliki orang beriman, apa saja yang ada dalam kekuasaannya, dan yang halal baginya dan haram bagi orang lain. Arus sungai ini dapat dihentikan dengan menganggap kehormatan mereka sebagai kemuliaan dan dengan menghormatinya.
Sumber kedelapan dari waswas adalah cinta dunia, termasuk hasrat untuk diakui dan dipuji oleh orang lain. Cinta dan hasrat ini dapat dilucuti dengan membawa diri seseorang ke dalam kerendahan diri.
Sumber kesembilan dari waswas yang mendorong setan adalah pemisahan dan kekikiran (bukhl). Ini dapat diperangi dengan kedermawanan. Sakha’ berarti 'memberi sesuai dengan tuntutan kejadian'; jud berarti 'memberi tanpa diminta'; dan karam adalah 'memberi apa saja yang diminta'. Ini adalah tiga Sifat Allah. Jenis keempat adalah itsar, 'memberikan apa yang ia sendiri butuhkan', dan ini adalah sifat yang hanya dapat dimiliki manusia. Sifat ini tidak bisa dianggap berasal dari Allah, karena Allah tidak membutuhkan apa pun. Maka kita dapat menyandang sifat terakhir ini, yakni suatu pertolongan besar bagi gerak naik batin kita menuju kemuliaan yang pas untuk kita sebagai khalifah Allah.
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاس ِ
5. Yang membisikkan dalam hati manusia,
Shadr (jamak: shudur) adalah 'dada', bagian dari kita yang berhadapan dengan apa yang ada di hadapan kita. Itulah tempat berlangsungnya pertempuran dan drama. Harus diingat bahwa setiap drama tercipta sendiri. Setiap peran yang berganti-ganti dalam dada manusia: sebagai raja, raja lalim, orang menderita, pencemburu, orang kuat, peragu, dan pengeluh. Kita harus berlindung dari semua ini, berlindung kepada Allah Yang kerahimannya membawa kita ke pengakuan bahwa segala sesuatu yang terjadi, nampak dan tidak nampak, terjadi sesuai dengan sistem yang adil, sesuai dengan hukum yang sempurna yang mengatur perjalanan ini, perjalanan melalui penciptaan. Hukum dalam eksistensi ini berjalan sendiri, tidak perlu pengawas.
مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
6. Dari jin dan manusia.
Jinnah adalah sinonim dengan jinn (jin), artinya 'kekuatan tersembunyi dan tak terlihat'. Jannah (taman) berasal dari akar yang sama dan menunjuk kepada tempat yang paling diidamkan, taman, yang dalam budaya bangsa Arab gurun pasir di mana temperatur rata-ratanya 100 derajat Fahrenheit, adalah sebuah tempat istirahat dan melepas lelah dari kerasnya kehidupan gurun pasir. Sebaliknya, lebat dan teduhnya taman begitu subur sehingga tanahnya tidak terlihat karena tertutup daun-daun pepohonan yang tebal. Serupa dengan tanah yang 'ditutupi' oleh tetumbuhan yang lebat, sehingga menunjuk kepada suatu keadaan tersembunyi, jin juga tertutupi, terbatas keadaannya sebagaimana manusia.
Oleh karena itu, kita meminta perlindungan, perlindungan dari setiap energi yang alamnya tidak kita mengerti, dan yang penciptaannya tidak nampak atau tidak terlihat oleh kita.
SURAH AL-FAlAQ
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Susunan surah-surah dalam Alquran adalah suatu susunan sempurna yang ditetapkan oleh Manusia Sempuma, Nabi Muhammad. Fakta bahwa beliau yang menyusunnya menjadi bukti akan kesatuan dan kelengkapan Alquran. Wahyu membawakan kepada umat manusia berbagai aspek dari Kitab Realitas, pada hari-hari yang berbeda, di bulan-bulan yang berbeda, dan dalam kondisi-kondisi yang berbeda. Namun aspek-aspek yang bermacarn-macam ini semuanya merefleksikan Cahaya tunggal, dan hanya Nabi yang mengetahui bagaimana surah-surah itu harus disusun. Maka dua langkah terakhir dari wahyu Allah mendorong manusia untuk mencari perlindungan kepada Allah, Tuhan dan Pemelihara semua ciptaan-Nya.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
1. Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa fajar,
Falaqa berarti 'memisahkan, menyobek sampai luluh, menghalau bayang-bayang malam'. A'udzu berarti 'Aku berlindung'. Kita berlindung dari kesombongan kita, dari gelapnya nafs kita, dan dari segala keraguan kita. Kita berlindung dari berbagai ketidakpastian dan ketidakamanan kepada Tuhan Yang senantiasa menjamin pengetahuan, cahaya dan penerangan. Kita berlindung kepada Dia Yang mendatangkan fajar setelah gelapnya malam.
مِن شَرِّ مَا خَلَقَ
2. Dari kejahatan apa yang telah Dia ciptakan,
Di sini kita bermohon kepada Allah, al-Rahim (Yang Maha Pengasih), karena kita harus membuat penilaian yang subyektif. Kita mengakui bahwa di alam dualitas ini ada aspek yang menyenangkan dan menenangkan kita, dan aspek lain yang tidak menyenangkan kita dan mendatangkan penderitaan. Ada aspek-aspek yang menurut kita kondusif bagi kesejahteraan kita dan aspek-aspek yang menurut kita merusak kita, karena itu kita berlindung kepada Tuhan semua ciptaan dari sebagian ciptaan-Nya yang menurut kita membahayakan.
وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ
3. Dan dari kejahatan gelap gulita tatkala ia datang,
Kita berlindung dari malam, dari kesuraman dan kegelapan, dari hal yang tidak kita ketahui. Kita juga berlindung dari keraguan diri. Maksudnya di sini adalah terhadap hal yang dikenal maupun tidak dikenal, terhadap hal yang ada hubungannya dengan kita maupun yang tidak.
وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
4. Dan dari kejahatan orang-orang yang menhip pada buhul-buhul,
Kita berlindung dari segala kekuatan yang tidak kita mengerti fungsinya. Kita beriindung dari tukang-tukang sihir, dari perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul, biasanya semacam guna-guna, dan yang memanggil kekuatan-kekuatan dalam eksistensi ini yang sama sekali tidak kita mengerti dan yang tidak terlihat oleh kita, seperti jin.
Kita berlindung kepada Allah, Dia Yang membukakan pada kita cahaya fajar pembebasan dan pengetahuan, dari hal-hal yang menimpa kita dalam kehidupan ini. Kita tahu bahwa kekuatan gaib benar-benar ada dan bahwa ilmu hitam dan bentuk ilmu sihir lainnya dipraktikkan di banyak tempat. Ada banyak kekuatan yang dapat dipanggil dan digunakan, tapi orang yang ingin menuju Sumber segala Kekuatan berlindung pada Tuhan Waktu Fajar.
Dua surah, Ikhlas dan Falaq mengingatkan kita agar berusaha keras untuk mencapai keadaan batin yang beriman, untuk berjalan lurus ke depan menuju tujuan kita, menuju wabid al-ahad (Yang Mahatunggal dan Unik), untuk hanya melantunkan nyanyian Yang Mahaesa.
Andaikan kita mengamalkan itu, kita tidak akan tertarik untuk iseng ikut-ikutan dalam fenomena lain ini, karena fenomena yang kasar tidak akan dipandang oleh kita sebagai hal yang memiliki realitas hakiki. Harus diingat bahwa, betapa pun hebatnya seorang tukang sihir, selalu akan ada tukang sihir lain yang dapat mengalahkannya. Dalam kasus Musa, semua orang tahu bahwa dia, sebagai orang yang bertauhid, mengalahkan semua tukang sihir Firaun dengan kekuatan lain yang tidak ada hubungannya dengan permainan sihir.
وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
5. Dan dari kejahatan orang yang dengki tatkala ia mendengki.
Hasad berarti 'dengki', yang dianggap sebagai salah satu penyakit nafs yang paling buruk dan salah satu kesulitan paling buruk bagi manusia akibat perbuatannya sendiri, karena sifat ini bisa merajalela. Api dengki akan terus mengisi bahan bakamya sendiri dan takkan pernah bisa dipadamkan, karena akan selalu ada seseorang lain yang memiliki sesuatu yang tidak bisa kita miliki.
Ali ibn Abi Thalib, ditanya tentang hasud, orang yang sifat dengkinya menyebabkan kerusakan. 'Apa yang harus kita lakukan padanya?' tanya mereka. 'Ia harus dihukum.' Ali menjawab, Ma fihi yakfihi (apa yang ada padanya adalah cukup [menjadi hukuman] baginya).
Hasid (pendengki) tidak akan pernah menang juga tidak akan pernah beruntung. Selamatkanlah kami, Ya Tuhan, dari kejahatan perilaku ini yang benihnya ada di setiap hati! Seandainya sekarang tidak ada dalam hati kita, kita tidak akan dapat memahaminya. Kita semua sudah merasakan percikannya dalam kehidupan kita, tapi seandainya kita beruntung, ia tetap menjadi percikan yang dapat ditahan dan ditutupi dengan kedermawanan dan sifat-sifat positif lainnya. Kalau kita tidak senantiasa memerangi sifat dengki, maka ia kan terus meradang dan menguasai kita sepenuhnya.
SURAH AL-IKHLASH
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Ali ibn Abi Thalib mengatakan bahwa tidak ada penafsiran untuk surah ini karena maknanya jelas dan tidak terselubung. Imam Hasan dan Imam Husein diminta untuk mengomentari surah ini, dan masing-masing memberikan penafsiran yang berbeda terhadap beberapa kata. Sedikit sekali yang bisa kita katakan tentang surah ini, meskipun sudah banyak komentar dan tulisan tentangnya.
Pada salah satu pertempuran banyak sekali rintangan yang dihadapi Ali ibn Abi Thalib, namun begitu segala sesuatu berjalan lancar untuk kemenangannya. Ketika orang-orang yang pemah bertempur dekat beliau ditanya tentang apa yang telah terjadi, mereka menjawab bahwa yang dilakukan beliau hanyalah membaca Qul huwa-Allah ahad (Katakanlah: Dia, Allah, adalah Esa).
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
1. Katakanlah: Dia, Allah, adalah Esa.
Ini merupakan suatu perintah atas kita untuk mengatakannya, apakah kita tahu kebenarannya atau tidak. Bagaimana pun tingkat pengetahuan yang kita miliki, Dia, Allah, adalah Esa.
اللَّهُ الصَّمَدُ
2. Allah, Tempat Perlindungan Yang Abadi untuk semua.
Nama Tuhan al-Shamad berarti 'abadi, selamanya', meskipun maknanya lebih dari itu. Shamada artinya 'tinggi, atau diangkat'. Nama al-shamad juga berarti 'berdiri sendiri, memelihara sendiri, mencukupi sendiri'.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
3. Dia tidak beranak, dan juga tidak diperanakkan.
Makna ayat ini sangat jelas. Allah bebas dari keterlibatan. Dia tidak berasal dari sesuatu ataupun sesuatu berasal dari Dia, dan tidak ada yang dapat disekutukan dengan Dia. Dia jauh dari semua yang dapat kita lihat yang memiliki sifat. Dia adalah Sebab yang paling dekat dan menopang yang kita lihat, karena itu Dia tidak termasuk ciptaan dalam arti sebagai 'makhluk'.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
4. Dan tidak ada satu pun yang menyerupai Dia.
Kufuwan, berarti 'sama, seperti', berasal dari kafa, 'cukup, memenuhi'. Allah cukup untuk Dirinya Sendiri. Tidak ada mitsal (persamaan) Allah. Allah adalah nama yang ditunjukkan oleh semua Sifat dan Nama.
Tak ada lagi yang bisa dikatakan tentang surah ini. Kita harus membaca dan membacanya lagi, dan semakin kita membacanya semakin dalamlah pemahaman kita.
SURAH AL-LAHAB
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
1. Semoga kedua tangan Abu Lahab binasa, dan semoga dia pun binasa!
Tabba berarti 'hilang, rugi', dan 'binasa, atau rusak'. Abu Lahab adalah paman Nabi. Ia orang yang energik, berapi-api, ganteng dan berbahaya, laksana seekor singa. Ia menjunjung tinggi tradisi-tradisi lama, dan membelanya dengan cara yang dogmatis dan fanatis. Tapi apa pun yang diusahan 'tangannya', bagaimana pun perbuatannya, ia tetap merugi.
مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
2. Harta dan apa yang ia peroleh tak akan ada gunanya!
Apa pun yang ia peroleh, apa pun kekuasaan yang ia miliki, tidak ada manfaatnya.
سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
3. Ia akan dijebloskan ke dalam api yang menyala,
Ia ditakdirkan untuk api abadi, sebagaimana dalam kehidupan ini ia membakar dirinya dengan agitasinya, kebenciannya yang berkobar-kobar dan segala ketidak-puasan serta rasa frustrasinya.
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
4. Dan istrinya, si pembawa kayu bakar.
Istri Abu Lahab adalah adiknya Abu Sufyan. Hathab berarti 'kayu bakar', pengertiannya adalah, menurut ungkapan 'pembawa kayu bakar', bahwa ia mengadu domba orang-orang satu sama lain dengan kesana-kemari ngerumpi menceritakan kebohongan dan menghembuskan gosip serta menghasut. Ia selalu melernparkan semak-semak berduri kecil sepanjang jalan yang biasa dilewati Nabi untuk sampai ke Ka'bah, agar dalam kegelapan waktu subuh beliau menginjaknya. Kejadian ini menunjukkan bahwa ketidaksenangan batinnya memperlihatkan diri dalam apa saja yang dilakukannya secara lahiriah, dan duri-duri batinnya dibawa secara lahiriah di atas punggungnya.
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
5. Di lehernya ada jerat tali dari sabut pohon palem yang dipintal dengan kuat!
Jid menggambarkan bagian leher tempat kalung biasa bertengger. Masad biasanya berarti daun palem yang dipintal. Ini berarti bahwa apa yang diseretnya—yang melingkari lehernya—adalah rantai yang dipintal kuat buatannya sendiri.
Meskipun surah ini secara historis berkenaan dengan seorang paman Nabi dan mitranya dalam penyiksaan, yakni istrinya, tapi dimana pun dan kapan pun kebenaran muncul, penolakan dan perlawanan dari seorang Abu Lahab selalu dekat menyertai.
SURAH AL-NASHR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Barangkali inilah surah lengkap terakhir yang diturunkan dua bulan sebelum wafat Nabi, ketika kaum muslim memasuki Mekah pada waktu yang dikenal sebagai 'Haji Perpisahan'. Pada tahap akhir ibadah haji ini, para pemimpin Quraisy yang telah berperang melawan Islam sampai akhir itu juga, mencari perlindungan ke dalam Ka'bah, dan Nabi, bersama dengan pengikutnya, mengepung mereka. Namun akhirnya orang Quraisy ditangguhkan hukumannya, dan para pemimpin mereka keluar dari Ka'bah seakan mereka baru dibangkitkan dari kubur mereka, maka kematian mereka sudah dekat.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
1. Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan!
Nashr, dari kata nashara, berarti 'kemenangan, bantuan, pertolongan'. Berbagai peristiwa penting melingkupi pewahyuan surah ini. Peristiwa-peristiwa tersebut memberikan banyak kemungkinan untuk terjadinya konfrontasi hebat, yang selalu dimenangkan oleh kaum muslim. Umat bertanya-tanya kepada Nabi, terutama pada saat-saat lemah dan sulit, dengan bertanya, 'Kapan pertolongan Allah datang? Bilamana berbagai kemenangan lahir tercapai dan cocok dengan apa yang kita ketahui dalam batin, maka kemenangan batin juga tercapai.
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
2. Dan engkau lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
Semua anggota dari berbagai suku memeluk Islam tak lama setelah ini, dan bergabung dengan kaum muslim.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
3. Maka agungkanlah pujian kepada Tuhanmu dan mohonlah ampunannya. Sesungguhnya Ia Maha Penerima tobat [dengan belas kasih].
Tidak perduli apa pun bentuk kemenangan ini, apakah batiniah atau lahiriah, manusia harus memohon ampunan, perlindungan, keselamatan dan ketenangan melalui tobat; dan ia harus menerima bahwa Allah adalah Dia Yang berpaling berulang-kali dengan kasih sayang kepada manusia, sehingga manusia bisa kembali kepada sumber ilahiahnya. Bilamana ada pembukaan batin, kita dapat memahami makna surah ini, dan bilamana ada pencerahan batin bagi kita, berapa pun skala, besar atau jenisnya, pembukaan tersebut menunjukkan suatu kemenangan bagi kita atas nafs, atas berbagai kendala yang telah kita bayangkan untuk diri kita sendiri. Kewajiban kita adalah mengatasi diri kita sendiri, menang atas diri kita dengan mengingat Allah (zikrullah) dan dengan pengetahuan yang benar akan sifat nafs.
Ini adalah surah yang sangat penting, terutama bagi mereka yang berada di garis depan pertempuran batin. Sebagai manusia, kita semua menginginkan pembukaan dan tanda-tanda yang memberi kita keberanian dalam perjuangan. Semoga Allah memperbesar pembukaan kita! Semoga Allah hanya memberi kita pembukaan atas pembukaan semata, agar kita mengetahui bahwa pada kenyataannya tidak ada pintu dan tidak ada gerbang yang merintangi jalan kita menuju Wajah Allah!
SURAH AL-KAFIRUN
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah ini mengenai sebuah peristiwa ketika beberapa orang kafir berusaha mengadakan dialog dengan Nabi dalam rangka menjatuhkan beliau agar kaum muslim kembali ke kebiasaan lamanya menyembah berhala. Mereka mengusulkan untuk menyembah Allah selama satu tahun, mengikuti ajaran Nabi, dan tahun berikutnya mereka semua, termasuk Nabi dan kaum muslim, menyembah berhala-berhala tradisional mereka. Dengan demikian mereka akan berganti-ganti praktik ibadat sampai salah satu cara terbukti benar pada salah satu pihak. Maka, menurut jalan pikiran kaum kafir, jika ajaran Nabi benar, mereka akan memperoleh keuntungan dari mengikuti ajaran Nabi; tapi, jika praktik kaum kafir benar, maka mereka dan kaum muslim akan mendapat keuntungan dari menyembah berhala-berhala. Surah ini mempakan jawaban dari mereka yang percaya dan beriman kepada mereka yang tidak beriman.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
1. Katakanlah: Wahai orang-orang yang menyangkal kebenaran (kafir)!
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
2. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah,
Ini adalah ungkapan penegasan dari orang beriman, yang percaya bahwa ia akan menerima dan merasakan rahmat dari Pencipta Yang Mahaesa. Oleh karena itu ia memberitahu orang kafir, 'Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.' Orang yang beriman, malahan, menyembah langsung sumber makanan batinnya, yang menjaga agar selamat dari kegelapan yang melingkupi orang lain dan yang memberinya cahaya dan pencerahan. Sumber tersebut menambah keimanannya melalui ' ubudiyah (ibadah)nya dan melindunginya dari segala bahaya. Ibadah menjadikan perjalanannya mu'abbad (mudah, lancar, tidak ada perlawanan). Dengan kerendahan hatinya ia diangkat semakin lama semakin dekat kepada sumber mata air.
وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
3. Dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah.
Dengan kata lain: Engkau tidak punya jalan menuju sumber yang aku sembah, karena engkau tidak menyembah energi halus yang memancarkan semua Sifat.
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
4. Dan aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,
Tidak pernah akan, dan tidak pernah bisa, setelah tercerahkan, setelah dibukakan, setelah mengetahui Allah, menghormati atau memuja apa yang engkau sembah.
وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
5. Dan kamu pun tidak akan menyembah apa yang akn sembah.
Di masa akan datang, engkau pun tidak akan pernah menyembah kebenaran yang aku sembah. Ini merupakan ramalan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang dalam kekufuran akan tetap dalam kekufuran. Ada orang yang telah diciptakan sebagai bahan bakar neraka, sebagaimana berulang kali dikatakan dalam Alquran, dan fakta ini tidak dapat diubah. Mereka akan tetap begitu meskipun kita meminta agar mereka tidak melakukan itu, meskipun segala upaya dilakukan untuk menarik mereka ke dalam cahaya din.
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
6. Untukmu agamamu dan untukku agamaku!
Orang yang beriman berada dalam ketenangan hati yang sempuma dan orang yang tahu bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah menyimpulkan, 'Engkau mempunyai jalan sendiri, jalan yang kau pilih untuk melengkapi lagi dirimu dan berinteraksi dengan orang lain, dengan wujud apa pun yang kau anggap mutlak, dan aku punya jalan sendiri!' Kemudian orang-orang yang beriman dan berkeyakinan teguh bergandengan tangan mengikuti metoda yang telah disempumakan dari model Muhammad. Mereka tidak diterangi dari luar; penerangan mereka ber-asal dari dalam. Mereka berjalan sepanjang pantai lautan cahaya, dan pantai ini ada batas-batasnya. Inilah jalan orang mukmin, j'alan keyakinan yang sempurna.
SURAH AL-KAWTSAR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
1. Sesunggubnya Kami telah memberikan engkau mata air surga yang berlimpah.
Kawtsar berasal dari akar katsara, yang berarti 'melebihi dalam jumlah, banyak', dan juga 'bertambah, berlipat atau berkembang'. Secara tradisional dijelaskan bahwa al-Kawtsar adalah sebuah mata air di surga, mata air yang dialiri oleh sungai-sungai cinta antara Allah dan cahaya Muhammad, mata air yang dapat kita minum kalau kita melangkah ke sana.
Ibaratnya, al-Kawtsar adalah keadaan di mana tidak bisa lagi ditambah lebih dari itu. Pada keadaan itu kita akan merasakan nikmat yang tak terpisahkan dari mengetahui Wujud Yang Mahatunggal. Kita akan benar-benar terliputi oleh pengetahuan itu dan tak ada yang lebih mulia dari itu di alam eksistensi ini. Al-Kawtsar juga mengandung arti samudera rahmat yang tak bertepi, dan tentu saja tidak ada yang melampaui hal yang tak terukur. Kemuliaan yang terakhir ini adalah al-Kawtsar.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
2. Maka salatlah untuk Tuhan dan Pemeliharamu, dan berkorbanlah.
Wa anhar (dan berkorbanlah) tidak bisa dipahami pada nilai permukaan saja. Definisi yang biasanya diberikan untuk anhar—penyembelihan atau pengorbanan— berasal dari kata nahara, yang berarti 'memotong tenggorokan, menyembelih'.
Yawm al-Nahr adalah Hari Korban (10 Zulhijah), dan pada hari itu kita melakukan pengorbanan dengan memotong tenggorokan hewan korban pada urat merih, melepaskan rohnya sebagai penghargaan kepada Tuhan Pemilik Roh dan Tuhan Alam Roh. Kalau kita melihatnya sekaitan dengan perbuatan ini, nahr bisa juga berarti mengorbankan cinta kita untuk memperoleh nama baik atau mengorbankan keinginan untuk mendapat penghargaan, pendek kata, mengorbankan apa pun yang sangat berharga bagi kita tapi berhubungan dengan nafs.
Nahr juga lebih berkaitan dengan aspek lahir dan batin dari doa dalam salat, dan sifat halus dari salat yang berasal dari pengorbanan ini, ketimbang pengorbanan nyata itu sendiri.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
3. Sesungguhnya musuhmu adalah orang yang akan terputus dari keturunan.
Ayat ini berkenaan dengan individu yang, menurut tradisi kita, diketahui telah memfitnah Nabi saw. dengan mengatakan bahwa beliau tidak mempunyai ahli waris atau anak laki-laki. Dikemukakan kepada Nabi bahwa anak laki-laki yang diakui musuh ini sebagai anak beliau, sebenarnya tidak dibapaki oleh beliau.
Maksudnya di sini adalah bahwa barangsiapa meninggalkan Cahaya Ilahiah berarti memutuskan diri dari cahaya itu. Orang yang menyangkal kebenaran bahwa tidak ada cara untuk hidup dan bertahan selain melalui ketundukkan kepada Sang Maha Pemelihara Yang Tunggal maka ia terputus dari sungai itu, dari mata air yang menopang kehi-dupan. Untuk alasan itulah maka kita berdoa, 'Semoga Allah mengumpulkan kita di telaga al-Kawtsar'. Telaga al-Kawtsar dapat dirasakan di sini dan saat ini, karena ia sebenamya adalah keadaan yang didnggikan dan suci yang hidup di dalam hati. Telaga itu diterangi oleh cahaya dari manusia yang paling diberkahi, Sayidina Muhammad, melalui kecintaan yang kuat kepadanya dan melalui upaya keras dan tulus untuk meniru sunahnya.[]
SURAH AL-MA'UN
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah ini dan sebagian besar surah berikutnya dianggap sebagai surah Makkiyah, tapi sebagian di antaranya seperti Surah al-Nashr, yang tempat asalnya jelas sekali, konon diturunkan di Madinah.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
1. Apakah engkau melihat orang yang mendustakan catatan kehidupan [agama]?
فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
Allah bertanya, 'Tidakkah kau lihat, tidakkah kau saksikan orang yang menyangkal din yang benar, jalan hidup yang benar, cara ibadah yang benar, cara perilaku yang benar? Secara historis, banyak orang yang secara khusus teridentifikasi sekaitan dengan turunnya surah ini, termasuk Abu Sufyan. Mereka adalah orang-orang yang telah dimintai tolong oleh orang yang tersingkir dari masyarakat, atau anak yatim. Mereka adalah orang-orang kaya, yang sanggup memberikan pertolongan. Ayat ini berlaku bagi kita semua sekarang apabila kita menyangkal pengetahuan yang bersifat pribadi dan langsung, pengetahuan bahwa yang ada hanyalah Realitas Tunggal. Dalam hal ini kita semua bisa mengalami ketersingkiran juga.
Anak yatim tidak mempunyai penjaga manusia yang memiliki hubungan biologis dan emosional dengannya. Barangsiapa sudi menerima peran penjagaan tersebut berarti ia sedang menjalankan kerahman-rahiman sang Pencipta. Dengan demikian ia melaksanakan perbuatan yang paling mulia. Barangsiapa mengabaikan anak yatim berarti sedang meniadakan kasih sayang dan cinta sang Pencipta bagi dirinya sendiri. Karena, meskipun kita bukan anak yatim dalam arti garis keturunan manusia yang terputus, kita masing-masing teryatimkan dari akar kita, dari Pencipta sejati kita.
وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
3. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
Orang-orang ini tidak menolong, juga tidak mendorong orang lain untuk melakukan pertolongan. Miskin menggambarkan seseorang yang telah menyerah karena fakir (melarat), orang yang faqr-nya, kemelaratannya, telah menyebabkannya tidak bisa istirahat dan senang. Ia telah hidup dalam kemelaratan sampai benar-benar pasrah dan tidak ada lagi cita-cita.
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
4. Maka celakalah orang-orang yang salat!
Ini adalah keadaan sesungguhnya dari kita semua. Jika kita menganggap keadaan nyata kita sebagai kemiskinan spiritual, jika kita melihat pada ketakberdayaan kita dalam segala hal, dan jika kita benar-benar tunduk secara batinah, maka kita harus mengakui bahwa kita semua adalah miskin. Dengan mengakui kenyataan ini, kita harus menolong orang-orang yang terbenam dalam kemelaratan total.
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
5. Mereka yang lalai dalam salat mereka.
الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُون
6. Mereka yang ingin dilihat,
Saha berarti 'melupakan, melalaikan, tidak memperdulikan'. Sahin berarti 'pelupa atau tidak hati-hati'. Sajdah al-sahw (sujud sahwi) adalah praktik kaum muslim apabila terluput satu rakaat salat; mereka harus menyempumakannya dengan melakukan sujud tambahan.
Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang tidak sadar akan realitas di ba!ik salat dan yang kehilangan makna salat. Secara lahiriah, maksudnya adalah orang yang melaksanakan salat secara munafik, untuk dilihat orang lain, dan sekadar melaksanakan gerakan-gerakan lahir untuk menyenangkan penonton. Ihsan (kebaikan) yang paling tinggi adalah 'ubudiyah (ibadah, pengabdian) yang nyata, dan 'ubudiyah seperti itu terwujud dalam penegakkan secara lahiriah lima salat yang tulus. Namun, orang-orang yang dimaksud di sini adalah mereka yang telah kehilangan makna salat; mereka kehilangan lautan cahaya yang memancar dari perbuatan yang berulang-ulang itu.
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
7. Dan tidak mau memberikan kebutuhan sehari-hari [kepada sesamanya].
Paling tidak, yang dapat dilakukan seseorang secara lahiriah adalah bersedekah dari kekayaannya, meiTiberikan sebagian harta bendanya kepada orang lain untuk membantu mereka. Pada waktu itu ayat ini merupakan perintah kepada setiap orang untuk berbagi. Ma'un dalam penggunaan bahasa Arab sehari-hari berarti 'piring untuk menyajikan makanan', dan dengan perluasan makna menjadi berarti setiap barang yang berguna.
Makna surah ini adalah bahwa kita harus menggunakan segala alat yang ada untuk membantu orang lain mengurangi beban penderitaan lahiriah mereka sampai mereka mengakui kebenaran din yang merupakan kewajiban mereka.[]
SURAH QURAISY
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah Quraisy ini dihubungkan dengan surah sebelumnya, dan itulah sebabnya menurut kebiasaan kedua surah ini dibaca bersama-sama sebagai satu.
Surah ini berkenaan dengan keadaan kaum Quraisy seakan-akan proteksi yang diberikan kepada mereka disebabkan oleh penyatuan dan kebersamaan hati mereka, dengan tujuan agar kaum Quraisy merasa puas dan terjadi rekonsiliasi di antara mereka.
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ
1. Untuk perlindungan kaum Quraisy.
Ilaf adalah kata benda verbal yang berarti 'menjaga, melindungi'. Alifa, akar kata kerja, berarti 'kenal dengan, mengetahui tentang, membiasakan diri dengan', dan juga 'gemar akan'. Ia mempunyai konotasi tambahan 'menyatukan'. Allafa bayna qulubihim, berarti 'ia menyatukan hati mereka', karena keakraban, kepuasan satu sama lain, dan persahabatan itu muncul dari pengetahuan.
إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاء وَالصَّيْفِ
2. Perlindungan mereka selama perjalanan dagang mereka pada musim dingin dan musim panas.
Ayat ini berkenaan dengan kenyataan bahwa kaum Quraisy akan berkumpul setiap musim dingin dan musim panas untuk memperlengkapi kafilah-kafilah musiman mereka. Secara lahiriah mereka melakukan gerakan tiada henti, mengadakan perjalanan seiama musim dingin dan musim panas. Pada musim dingin mereka menuju selatan ke negeri Yaman, dan di musim panas mereka menuju utara ke Syria. Musim dingin dan panas menunjukkan dua aspek kehidupan. Pada tingkat harian, siang dan malam diciptakan bagi kita agar kita bisa tidur dengan tenang pada malam hari dan bekerja selama siang hari; maka sebagai manusia kita dapat berfungsi, berfluktuasi secara terus-menerus di antara dua tingkat, di antara dua ha3 yang berlawanan.
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan rumah ini,
Peristiwa gajah menyebabkan hancurnya balatentara Abrahah dan memungkinkan orang Quraisy yang beriman, yang merupakan pemelihara Ka'bah—dikenal sebagai ka-um Banu Hasyim—terus menyembah Tuhan Rumah ini, Tuhan Ka'bah.
الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ
4. Yang memberi makan kepada mereka melawan kelaparan dan memberi mereka keamanan dari rasa takut.
Ini berkenaan dengan orang-orang yang sudah terpenuhi kebutuhan lahirnya yang nyata, sehingga kelaparan fisik mereka dan juga kelaparan mereka akan pengetahuan dan Sumber kepastian dapat terpuaskan. Dengan demikian rasa takut mereka pun diangkat. Mereka dibawa ke dalam kedamaian iman, ke dalam keyakinan terhadap kesempurnaan dari semua yang menimpa mereka, sehingga mereka dapat terus membuka pintu ibadah demi kepentingan anggota masyarakat mereka lainnya. Terdapat banyak hadis yang mengatakan bahwa selama ada orang-orang yang ibadahnya benar, maka kaum mereka akan selamat, dan perlindungan Allah terhadap mereka akan sesuai dengan luasnya tawakkul (ketergantungan pada Allah) mereka.[]
SURAH AL-FIL
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah ini berkenaan dengan peristiwa yang terjadi, sejauh pengetahuan kita, pada tahun kelahiran Nabi. Walaupun kisah ini terkenal dan banyak disebut-sebut pada waktu itu, namun sedikit sekali penjelasan aktual yang ada tentang peristiwa tersebut. Kita tahu bahwa orang lain sangat iri kepada penduduk Mekah dan kaum Quraisy, yang, sebagai penjaga Rumah Tuhan, memegang posisi sangat terhormat di kalangan bangsa Arab. Salah satu rival mereka adalah Kaisar Habasyah (sekarang Ethiopia). Melalui raja muda mereka Abrahah di Yaman, ia membangun apa yang diyakininya sebagai Ka'bah lain, kali ini di San'a, untuk menyaingi Ka'bah di Mekah. Ka'bah kedua ini tidak menarik para peziarah dalam jumlah seperti yang diharapkan sang Kaisar, maka ia mengirim pasukan besar, yang didahului oleh gajah-gajah, untuk menghancurkan Ka'bah di Mekah. Ia yakin bahwa San'a akan menjadi pusat ziarah yang paling penting di belahan dunia itu.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
1. Apakah engkau tidak melihat bagaimana Tuhanmu berurusan dengan para pemilik gajah?
Relevansinya di sini adalah konfrontasi antara kekuatan dan kekuasaan yang sangat besar, dan pertentangannya yang langsung. Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa kekuatan nyata tidak dapat diukur dengan cara biasa. Penghancuran bala tentara yang telah dikirim untuk menghancurkan Ka'bah bukanlah suatu kekuatan gaib tapi, ma-lah, merupakan fenomena alamiah yang mengumandangkan kelahiran Nabi—menunjukkan pancaran Sinar yang agung di tengah kegelapan.
Untuk memahami makna gajah ini kita harus menyadari bahwa apa pun senjata yang dimiliki manusia pada waktu itu adalah lemah dan jarang. Pada sebuah negeri di mana para pejuangnya memiliki paling banyak hanya beberapa buah tombak dan pedang tumpul saja, maka dengan memiliki seekor gajah menunjukkan bahwa pemiliknya nyaris dianggap sebagai seorang kaisar.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
2. Bukankah Ia menyebabkan strategi mereka berakhir dengan kacan-balau?
Kayd berarti 'komplotan yang licik', atau 'rencana yang licik'. Bukankah Allah membuat komplotan mereka yang sudah direncanakan dengan baik berjalan serba salah?
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
3. Dan mengirimkan sekawanan makhluk terbang untuk melawan mereka,
Ababil berarti 'kawanan'. la tidak mesti hanya menunjuk kepada kawanan burung, tapi juga kepada jumlah besar yang membanjiri.
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
4. Melempari mereka dengan bebatuan dari tanah liat yang dibakar.
Sijjil berarti 'batu seperti bongkahan tanah liat kering'. Kata ini dikaitkan dengan kata keija sajala yang berarti 'mencatat, menuliskan' atau 'mendokurnentasikan'. Terdapat banyak penafsiran mengenai ayat ini. Kita tidak tahu fenomena macam apa ini, apakah itu benar-benar badai yang membawa sekawanan makhluk yang berukuran kecil sekali, seperti burung-burung, yang menimpuki pasukan besar ini dengan batu (sijjil) yang dapat menembus daging mereka, ataukah itu suatu penyakit yang tiba-tiba menjalari mereka (banyak penyakit seperti campak dan cacar tidak teridentifikasi pada masa itu), yang mungkin dibawa oleh burung-burung atau serangga. Meskipun terdapat fakta bahwa kejadian ini diketahui dan dibicarakan di mana-mana, kita masih tidak tahu sifat sebenarnya dari serangan tersebut karena pada masa itu pemahaman manusia mengenai fenomena alam tidak seterang pemahaman kita zaman sekarang. Kita hanya tahu bahwa pasukan besar ini tiba-tiba hancur sama sekali begitu ia mendekati Ka'bah.
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ
5. Maka Ia menjadikan mereka seperti jerami yang dilahap.
Akibat serangan itu adalah bahwa bala tentara yang jumlahnya banyak sekali ini menjadi bagaikan tunggul jerami padi atau rerumputan yang tersisa setelah dipangkas. Pada sebagian penjelasan dikatakan bahwa setelah penghancuran ini, tanah terlihat bagaikan alas datar yang terbuat dari ribuan tentara musuh dan gajah-gajah mereka tergeletak di atasnya.[]
SURAH AL-HUMAZAH
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
Beberapa ayat tertentu dalam surah ini khusus ditujukan kepada orang-orang yang secara aktif menentang Nabi, dan sebagian di antara mereka narnanya telah disebutkan. Mereka semua sangat kaya, dan menurut dugaan memiliki kekuatan besar serta tak henti-hentinya menyombongkan kekuatan dan kekayaannya seraya menghina kaum muslim.
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
1. Celakalah bagi setiap pengumpat dan pemfitnab!
Wayl berarti 'kemalangan atau kesukaran yang besar', dan diterjemahkan sebagai seruan 'Celakalah!' Wayl menyebabkan timbulnya salah satu sungai di neraka. Dalam sifat manusia ada tuntutan untuk mengusahakan dukungan dari orang lain, sehingga kita hanya mencari sahabat yang dapat memperkuat keabsahan segala perbuatan kita.
Humazah adalah 'pengumpat' atau 'pemfitnah'. Dalam bahasa Arab, huruf hamzah adalah penghentian suara dalam celah suara, dan hamazat al-syayathin adalah bisikan jahat setan, bisikan halus yang kita dengar dalam diri kita.
Lumazah berarti 'pencari kesalahan', dan berasal dari kata kerja lamaza, yang berarti 'mengedipkan mata pada seseorang, menjelekkan seseorang, mengkritik, mencela, memfitnah, mencemarkan nama baik'. Barangsiapa memfitnah orang lain berarti mengungkapkan kelemahannya sendiri dan memberitahukan kegelisahannya, sebagaimana keangkuhan menunjukkan ketidakpastian yang besar tentang diri seseorang. Jika seseorang benar-benar yakin bahwa ia berada di jalan yang benar, jika ia mengakui ketergantungannya pada Allah dan menyadari bahwa setiap orang akan mengetahui kebenaran secara utuh dan mutlak, maka ia tidak akan menyerah kepada ajakan untuk mengumpat orang lain. Sebenarnya, umpatan dan kesombongannya itu hanya mengungkapkan penyakit dan keadaan sakitnya, sehingga datang peringatan bahwa kecelakaan akan menimpanya, dan ia akan hancur.
الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ
2. Yang menumpuk-numpuk harta dan menghitungnya [sebagai persediaan],
Ayat ini berkenaan dengan orang yang mengumpulkan harta dan mencari perlindungan serta penguatan dengan menghitungnya terus-menerus. Penumpukan terus-menerus dan memeriksa apa yang dimiliki seseorang adalah bentuk lain dari mencari keamanan. Orang-orang saleh berkata, 'Orang yang mencintai harta adalah seorang munafik, dan orang yang menimbun harta adalah orang jahil.' Bukti kemunafikan (nifaq) dan kejahilan terdapat pada pengumpulan dan penimbunan harta (mal).
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
3. Ia mengira bahwa hartanya akan mengekalkan dia.
Hasaba berarti 'menghitung, menggabungkan'. Ia mengira bahwa ia bergerak mendekati khuld (keabadian) dengan menghitung dan melindungi apa yang secara keliru dikiranya akan memberinya umur panjang dan kekekalan. Ibadahnya sesat. Kekal adalah sifat Allah lainnya: al-Khalid. Kita semua ingin mengetahui yang Mahakekal karena hanya dengan begitu kita akan selamat, kita mengetahui bahwa yang ada hanyalah keabadian. Tapi barangsiapa percaya bahwa apa yang telah ditimbunnya akan memberi dia keamanan maka ia benar-benar telah tergelincir dari jalan yang benar.
كَلَّا لَيُنبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ
4. Tidak! Dia pasti akan dilemparkan ke dalam neraka yang mengbancurkan.
Nabadza berarti 'melemparkan, membuang, mengafkir, mengusir, melepaskan'. Dengan membuang hal yang tak berguna atau berbahaya berarti kita diproteksi dari kejahatan di dalamnya.
Huthamah, sebutan untuk neraka, artinya 'bencana yang menghancurkan', dan berasal dari hathama, 'memecahkan, menghancurkan, merusak'. Sangat pasti, barangsiapa mencari perlindungan pada hartanya, atau pada apa saja dari dunia nyata, berarti tidak percaya bahwa tangan Yang Mahagaib berada di balik yang nyata. Dia akan dilempar ke tempat yang hanya akan menyebabkannya hancur.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ
5. Dan apa yang membuat engkau tahu apakah neraka yang menghancurkan itu?
Lagi-lagi kita ditanya, seakan menekankan pentingnya huthamah: 'Dan apa yang engkau tahu tentang itu? Makna lain dari huthamah berasal dari kata kerja bentuk keduanya—yang artinya 'memecahkan'—yang menunjukkan bahwa agar pecah atau rusak, maka obyek yang dilibatkan harus cukup solid untuk mulai menghancurkan. Penekanan ganda pada huthamah ini dimaksudkan untuk memberitahukan, dengan cara yang senyata mungkin, tentang konsekuensi-konsekuensi yang menyakitkan akibat dari melihat kepada selain Allah.
نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ
6. Api yang dinyalakan oleh Allah,
Bencana yang menghancurkan adalah Api Allah yang menyala selamanya.
الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ
7. Yang menjilat-jilat ke hati.
إِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ
8. Sesungguhnya itu akan tertutup rapat mengelilingi mereka.
Api Allah ini terkunci di dalam hati manusia. Itulah api yang menyebabkan manusia berada dalam kerugian, dan berusaha mencari perlindungan dalam keamanan materi, harta dan kekuasaan. Kita menyaksikan hal ini dalam kultur kita sekarang, karena kita telah benar-benar mencari perlindungan dengan mengikuti berbagai perkiraan dan kalkulasi kita. Kita mengira bahwa yang memiliki kepentingan paling besar adalah yang dapat dilihat atau nyata, tapi yang nyata itu bukanlah keseluruhan dari apa yang ada dalam dunia ini; itu hanyalah satu aspek daripada yang ada di dunia ini, satu manifestasi dari realitas. Tegasnya, ada daya atau kekuatan lain di belakang layar.
فِي عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ
9. Pada tiang-tiang yang terulur.
Api akan rapat mengelilingi hati pada tiang-tiang yang memanjang, dan membentuk dinding yang panas yang diciptakan oleh hati itu sendiri karena kejahilannya. Beberapa orang saleh berbicara tentang dua macam api: api kejahilan yang hanya menyebabkan kehancuran, dan cahaya ilmu. Namun, surah ini biasanya ditafsirkan sebagai ditujukan kepada orang-orang yang merugi. Hati mereka terkunci dalam api pengetahuan terakhir yang dinampakkan.
Karena surah ini berbicara tentang orang-orang yang berlindung dalam dunia materi yang bersifat nyata serta yakin bahwa tidak ada apa-apa di luar dunia materi, maka surah berikutnya menjelaskan melalui contoh tentang sesatnya keyakinan mereka.[]
SURAH AL-ASHR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَالْعَصْرِ
1. Demi waktu,
'Ashr berarti 'waktu, zaman', atau 'sore, mundurnya hari'. Ini merupakan pertanda dari awal kemunduran yang dimulai setelah segala sesuatu mencapai zenitnya dan telah sampai pada pencahayaan penuhnya.
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
2. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.
Berdasarkan kenyataan bahwa kita menjalani waktu, ternyata manusia selalu dalam keadaan rugi. Dan berdasarkan kenyataan hidupnya, ternyata sifat rendah manusia itu merugikan. Khusr berarti 'kerugian, pengurangan'. Manusia memiliki sifat bingung, ia berayun dari satu situasi ke situasi lainnya, dari satu ketidakpuasan ke ketidakpuasan lainnya, dari satu ilusi ke ilusi lainnya. Kehidupannya tidak memuaskan karena ia tidak bisa beristirahat, atau memperoleh kedamaian dan ketenangan di dalamnya. Itulah keadaan normal dari kehidupan dunia ini, dengan fluktuasi-fluktuasinya yang meletihkan manusia. Baru saja satu situasi terkendali, situasi kacau baru yang tidak memberi harapan terjadi.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.
Orang-orang ini dikecualikan karena mereka akan berusaha melebihi keadaan alamiahnya. Secara inheren, tidak ada yang salah apabila terjadi kemunduran pada kondisi manusia, sebagaimana digambarkan tadi. Karena, kemunduran itu mengikuti busur alamiah dari penciptaan. Kita harus ingat bahwa Allah mengatakan dalam sebuah hadis kudsi, 'Apa yang salah pada hamba-hamba-Ku? Mereka berdoa kepada-Ku, meminta kemudahan dan kesenangan di dunia ini, dan Aku tidak menciptakannya untuk itu!'
Begitu kita menyadari keadaan rugi ini maka kita dapat membebaskan diri dari situasi tersebut melalui ketaatan, tidak melalui serangan langsung terhadap kehidupan atau mencoba mengendalikan kehidupan. Hanya melalui ketaatan—bukan berarti melarikan diri dari masalah melainkan keyakinan bahwa yang ada di balik penciptaan benar-benar aman—akan diperoleh keuntungan yang mutlak. Jalan menuju kepercayaan itu adalah melalui keyakinan yang didasarkan pada ilmu (iman), dan amal saleh.
Termasuk dalam panggilan salat adalah ungkapan hayya 'ala al-falah (mari menuju keberhasilan). Panggilan ini mengajak kita untuk meraih keberhasilan yang timbul dari ketundukkan kepada dilema keadaan manusia yang merugi. Dari keadaan bingung dan rugi yang biasa, keberhasilan bisa terwujud pertama-tama melalui keyakinan batin bahwa kita bisa berhasil—bahwa kita dapat mengatasi keadaan—tidak melalui materi atau dengan menguasai, tapi dengan mengubah sikap kita. Kita tidak dapat mengubah sifat dunia, sebesar apa pun upaya kita. Kekuatan semata tidaklah dapat mengatasi keadaan kecuali dengan mengubah arah batin, yaitu mewujudkan iman ke dalam amal saleh.
Washa berarti 'memperingatkan, melarang, memerintahkan, menasihati'. Kata benda turunan, washiyah berarti 'kemauan', yakni perintah yang terakhir dan terpenting yang ditinggalkan seseorang. Kata kerja di sini diungkapkan dalam bentuk jamak karena berkenaan dengan manusia. Implikasinya adalah bahwa guna mengatasi keadaan normal keduniawian maka kita harus melibatkan orang lain; masalah keduniawian tidak dapat diselesaikan melalui pengasingan diri. Juga berarti bahwa di antara orang lain dalam kesatuan sosial ada ukuran yang dapat kita jadikan sebagai patokan untuk mengukur diri. Jika kita hidup bersama sekelompok orang yang berorientasi pada kebenaran dan saling memikirkan, maka kedustaan dan kemunafikan kita akan terungkap.
Fondasi dari semua ini adalah shabr, 'kesabaran', karena Allah adalah Yang Mahasabar, al-Shabur. Allah berada di luar waktu. Kesabaran berarti menyusutkan waktu. Umpamanya, jika kita ingin memakan buah mentah sebelum waktunya dan kita tahu harus menunggu tujuh hari sebelunn buah itu siap dimakan, maka kita siap untuk menunggu. Yang harus kita lakukan adalah membekukan waktu seminggu menjadi 'waktu nol'. (Kita menunggu sampai waktu yang seminggu itu habis dijalani—peny.).
Surah ini dimulai dengan 'ashr dan diakhiri dengan shabr dan menunjukkan kepada kita bahwa waktu berasal dari Allah, dari Yang Tak Berwaktu. Surah ini mulai dengan apa yang kita alami, berbagai peristiwa yang berubah-ubah dan bersifat siklis, dan berakhir dengan fondasi, yang tak tergoyahkan dan tak berubah: shabr (kesabaran). Ketika Sembilan Puluh Sembilan Nama dituliskan atau dibacakan, maka Nama al-Shabur selalu yang terakhir, karena Sifat itu merupakan fondasi untuk penciptaan.[]
SURAH AL-TAKATSUR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
Manusia selalu berharap mendapatkan karunia atau pertambahan—dan segala sesuatu di dunia ini senantiasa bertambah—sehingga, karena memang sifatnya, ia mencari tambahan dalam setiap aspek kehidupan meskipun mungkin saja hal itu berarti pengurangan dalam aspek lain. Umpamanya, pertambahan dalam kesombongan atau pengharapan seseorang pada hakikatnya merupakan pengurangan sifat luhurnya.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
1. Penimbunan melalaikan kamu,
حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
2. Sampai kamu mendatangi kubur,
Penjelasan khusus mengenai ayat ini berkenaan dengan suatu peristiwa ketika jumlah pengikut Nabi sedang dihitung oleh musuh-musuhnya di Mekah, yakni kaum Quraisy. Mereka bangga dan menyanjung diri mereka sendiri karena jumlah mereka melampaui kaum muslim. Tapi, dalam penghitungannya temyata jumlah yang mereka peroleh itu termasuk mayat-mayat dari anggota mereka yang mati. Setiap keluarga ingin kelihatan lebih kuat dibanding yang lain, dan untuk itu para anggota keluarga mereka pergi ke pemakaman lalu menghitung mayat mereka agar dapat mengklaim bahwa mereka lebih kuat.
Cara lain mengkaji ayat-ayat ini adalah dengan memahami bahwa kuburan mewakili tubuh. Jika kita melihat pada tubuh kita sebagai sumber kekuatan, berarti kita tidak sedang melihat ke arah yang benar.
Penjelasan mengenai dua ayat ini adalah, 'Harta, keluarga, dan sukumu serta jumlah mereka membuat kamu bangga, dan itu kebalikan dari takut, padahal tujuan dari kehidupan kita adalah berada dalam kesadaran yang terus-menerus, dalam keadaan ingat akan Allah (zikir). Dalam keadaan demikian kita tahu bahwa apa pun yang memalingkan kita akan membawa kita pada kelalaian'. Namun, sebenarnya apa pun selain Allah adalah tidak ada. Jika kita mencoba melihat pada apa saja selain yang sudah dan akan terjadi, berarti kita sedang memperturutkan pemikiran yang keliru.
Pertambahan secara duniawi merupakan salah satu bentuk kesulitan kita yang pertama karena ia akan membawa dampaknya sendiri. Jika kita memiliki harta, maka orang lain berusaha mengambilnya; jika kita mempunyai keluarga, maka kita harus menjamin nafkahnya terus-menerus, dan sebagainya. Keberlimpahan akan mendatangkan kelalaian kalau kita tidak sungguh-sungguh di jalan yang benar. Jika fi sabilillah (di jalan Allah), maka pertambahan tersebut akan menjadi urusan Allah.
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
3. Tidak! Engkau akan segera mengetahui.
ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
4. Sekali lagi tidak! Engkau akan segera mengetahui.
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
5. Tidak! Sekiranya engkau mengetahui dengan ilmu yang pasti,
Kita akan mengetahui hanya jika kita mencari ilmu yang pasti (ilm al-yaqin). Dengan secara cermat mengamati berbagai peristiwa kita akan mengetahui konsekuensinya masing-masing, sehingga paling tidak kita akan mempunyai kepastian tentang kapan semua peristiwa itu akan berakhir. Namun, dalam kehidupan ini ada perintah kepada semua orang baik laki-laki maupun perempuan untuk mencari ilmu. Nabi berkata, 'Carilah ilmu, sekalipun ke negeri Cina,' dan dari sejak lahir kita pun selalu ingin mengetahui ilmu. Ilmu di sini berarti ilmu batin, dan ilmu batin yang sejati adalah kepastian.
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ
6. Engkau pasti akan melihat api neraka;
Jika manusia mencari ilmu, ia akan melihat api neraka di sini dan saat ini. Meskipun api besar akan datang kelak, namun akarnya sudah ada di sini dan akan seutuhnya menjelma di kehidupan mendatang. Kita akan dapat memahami makna api di sini dan saat ini jika kita melihat ke dalam hati yang paling dalam, jika kita ingin memiliki ilmu batin itu.
ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ
7. Lalu engkau pasti akan melihatnya dengan penglihatan yang pasti;
Pertama-tama neraka dikenal melalui 'ilm al-yaqin (ilmu yakin/pasti). Kemudian, jika ada hal yang luput dari kita setelah melalui ilmu yakin, maka kita akan melihatnya melalui 'ayn al-yaqin (penglihatan yang pasti). Kemudian setelah itu kita akan sampai pada proses mengetahui kebenaran melalui haqq al-yaqin (kebenaran yang pasti). Jika tidak ada yang luput dari kita setelah itu, dan kita sudah menjadi kesadaran yang sejati, maka kita menjadi baqq al-haqq (kebenaran dari kebenaran). Keadaan neraka sudah jelas dan merupakan bentuk keadilan yang besar di mana ketidakjelasan atau ambiguitas akan berakhir.
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
8. Lalu pada bari itu engkau akan ditanya tentang keuntungan dan kenikmatan.
Lalu pada hari akhir itu, pada Hari Pengadilan, dalam kemutlakkan, kita akan ditanya tentang nikmat dan kesenangan hidup yang diberikan kepada kita. Tiba-tiba kita akan melihat apa yang telah kita hambur-hamburkan, dan bagaimana kita menyalahgunakan dan mengingkari nikmat Allah dan potensi yang diberikan kepada kita untuk mencari dan memperoleh ilmu. Apa yang halal bagi kita akan diperhitungkan dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas cara kita menghabiskan waktu kita, apakah digunakan untuk tidur, atau menunggu makanan berikutnya, dan sebagainya. Lalu kita akan bertanya kepada diri kita sendiri mengapa kita tidak menyadari terhadap kepastian hari ini, dan kita akan mengetahui bahwa kita tidak sadar karena kita terlena oleh penimbunan dan penambahan harta kita dalam segala bentuknya.[]
SURAH AL-QARI’AH
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
الْقَارِعَةُ
1. Malapetaka yang tiba-tiba!
مَا الْقَارِعَةُ
2. Apakah malalpetaka yang tiba-tiba itu?
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ
3. Dan apa yang akan membuat engkau mengerti apa malapetaka yang tiba-tiba itu?
Qara'a berarti 'mengetuk, memukul, mencaci-maki, mengomeli, menguasai seseorang, berkelahi atau bertengkar'. Al-qari’ah adalah sebutan untuk panggilan kedua yang akan mengumandangkan awal Kebangkitan. Panggilan pertama dan kedua akan berbunyi dengan tujuan membangkitkan rasa terpesona dan pengagungan. Panggilan terakhir—'Dan apa yang akan membuat engkau mengerti apa malapetaka yang tiba-tiba itu?'—akan membentangkan imajinasi dan rasa terpesona kita, yang memungkinkan kita untuk menggemakan dalam diri kita pemahaman tentang finalitas itu.
يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ
4. Pada hari di mana manusia akan seperti ngengat yang penuh bertebaran,
Peristiwa kehancuran ini disampaikan dengan cara yang mudah kita pahami. Farasy berarti 'ngengat atau kupu-kupu'; akar dari farasya yang berani 'menebarkan'. Kata mabtsuts berasal dari batstsa, yang berarti 'membuka gulungan, membuka yang sifatnya membubarkan'. Dalam bahasa Arab modem kata tersebut juga berarti 'menyampaikan melalui radio', yang berarti penyebaran atau penyaluran riak gelombang energi yang tidak hanya secara fisik. Manusia akan seperti ngengat yang bertebaran, tapi tentu saja tidak dalam keadaan kacau-balau atau kalang-kabut. Mereka bisa saja kelihatan kacau-balau, tapi keadaan mereka yang bertebaran itu akan menyerupai transmisi gelombang radio yang mempunyai arah.
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ
5. Dan gunung-gunung akan (berterbangan) seperti bulu domba yang disisir.
Napasya berarti 'membengkak' dan 'mengembang atau menggelepai-gelepai'. Gunung-gunung, yang sekarang begitu kokoh dan keras, akan kembali ke wujud asal mereka dan menjadi seperti bulu domba yang tidak dipintal karena mereka tidak dibuat dari apa pun selain perintah: 'Jadilah!', (kun).
فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ
6. Adapun orang yang timbangan amal baiknya berat,
فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ
7. Ia akan menjalani kehidupan yang menyenangkan.
Orang yang perbuatan, niat, kesadaran dan keingatannya terhadap Tuhan (zikir) dalam kehidupan ini berat dalam arti substansial—maksudnya konstan, teratur dan tetap—adalah orang yang akan berada dalam kesenangan yang sempurna.
وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ
8. Adapun orang yang timbangan amal baiknya ringan,
فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
9. Tempat tinggalnya adalah jurang yang paling dalam.
Orang yang timbangannya ringan, orang yang perbuatannya dalam kehidupan ini tidak berarti, maka kerugiannya di kehidupan nanti akan sebanyak di kehidupan sekarang. Umm berarti 'sumber, asal, fondasi, esensi atau ibu', dari kata kerja amma, yang berarti 'berusaha, berkeinginan untuk memimpin'. Bagi orang yang perbuatan salahnya lebih berat daripada perbuatan baiknya, maka tempat tujuannya adalah lubang yang tak berujung, hawiyah, dari kata hawa, yang berarti 'jatuh, ambruk'. Ini menggambarkan kejatuhan terakhir yang tidak akan ada ujungnya di wilayah yang tak berbatas waktu.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ
10. Dan apa yang membuat engkau tahu apa itu?
نَارٌ حَامِيَةٌ
11. (Itu adalah) api panas yang berkobar.
Apa yang kita tahu tentang itu? Kita hanya dapat mencicipi rasanya saja di sini: merasakan panasnya api kecil. Hamiyah berasal dari hama, yang berarti 'menjadi sangat panas, panas hati, berpijar, dan menjadi sangat marah'. Ini adalah gambaran tentang keadaan yang sangat berapi-api. Jika kita mengetahui tentang pergolakan yang terjadi akibat dari perbuatan yang salah, berarti kita telah mendapat rasa pendahuluan dari api neraka.[]
SURAH AL-‘ADIYAT
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allab, MaHa Pengasih, Maha Penyayang.
Kultur masyarakat tempat Alquran diturunkan adalah kultur gumn pasir di mana peran unta dan kuda sangat menonjol. Oleh karena itu, banyak penjelasan diberikan dalam Alquran mengenai ibil (unta) dan khayl (kuda). Kata untuk kuda adalah kata benda kolektif dan juga dihubungkan oleh kata akarnya dengan khala, yang berarti 'mengkhayal, berpikir, mengira', dan khayl, yang berarti 'khayalan, fantasi, bayangan', atau kemampuan batin untuk membentuk kesan atau konsep dari berbagai obyek yang tidak ada atau tidak hadir. Kemampuan batin ini merupakan salah satu fenomena eksistensi yang paling, yang sebenarnya menjadi dasar bagi pengalaman eksistensi. Lima ayat pertama ini adalah tentang kuda dalam arti harfiah.
وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا
1. Demi [kuda] yang berlari kencang dengan terengah-engah,
Al-'Adiyat berasal dari kata kerja 'ada yang berarti 'berlari, berderap, lari cepat-cepat atau berlomba cepat'. Dhabhan berarti 'dengusan, suara terengah-engah atau megap-megap karena berlari terlalu cepat'. Kuda-kuda berlari kencang seolah-olah menyerbu musuh. Hal ini bisa juga berkenaan dengan serbuan kekuatan musuh terhadap kaum muslim atau, kalau tidak, serbuan kekuatan iman. Sebagian orang saleh menganggap ayat ini berkenaan dengan serangan nafs pada saat berada di alam zikir yang tinggi.
فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا
2. Dan yang memercikkan bunga api,
Ini gambaran lain tentang serbuan. Sambaran percikan api bisa jadi merupakan rabuk nafs yang mengering ketika percikan 'irfan (pengetahuan langsung) menyalakannya. Lagi-lagi hal itu menunjukkan daya, kekuatan dan petunjuk. Kita dapat merasakan dalam ayat ini suatu situasi perjuangan dan pertempuran, bentrokan antara dua kekuatan yang berlawanan, konfrontasi antara iman (kepercayaan, keyakinan) dan kufur (penyangkalan realitas).
فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا
3. Dan yang menyerang tiba-tiba di waktu pagi,
Kata shubh, yang berarti 'fajar, pagi', di sini berarti membuka wilayah musuh, membuka kegelapan dengan cahaya pagi, membuka kegelapan batin kita dengan cahaya Allah.
فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا
4. Lalu menerbangkan debu,
Para penyerang—yang menimbulkan percikan-percikan—mengaduk-aduk debu yang sudah ada, karena debu adalah adim (lapisan kerak bumi) yang pertama, yang paling rendah, dan asal penciptaan Adam. Penyucian jiwa mirip dengan peluruhan debu dari tubuh, yakni, transendensi tubuh di dunia ini dan di dunia akan datang.
فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا
5. Lalu kuda-kuda itu menyerbu ke tengah kerumunan musuh:
Tiba-tiba para penyerang ini mendapati dirinya di tengah-tengah musuh, di tengah kerumunan. Seseorang bisa tiba-tiba berada di tengah wahm (ilusi)-nya sendiri, bisikan hati dan nafs-nya. Ia bisa tiba-tiba mendapati dirinya berada di tengah kerumunan orang-orang yang dianggapnya kufur. Tiba-tiba dunia subyektifnya runtuh tanpa ada peringatan lebih dahulu.
Dinamisme dari apa yang digambarkan dalam ayat-ayat pertama ini merupakan sesuatu yang dapat kita semua saksikan. Gambaran tersebut melukiskan serangan bersemangat yang memiliki suatu tujuan, suatu misi, di mana unsur-unsur pokok muncul, yakni percikan api dan debu, kemudian pergerakan ke tengah-tengah, dan pelepasan napas yang penghabisan, karena terengah-engah dan sesak napas, yang diakibatkan oleh semangat. Tiba-tiba kita diberikan suatu pandangan kaleidoskopis (yang berubah-ubah dengan cepat) tentang apa yang dapat kita saksikan dari berbagai peristiwa luar di dalam hati kita. Panorama dari berbagai peristiwa dan perbuatan di dunia lahir merupakan cermin dari apa yang berlangsung dalam batin..
Lalu tiba-tiba kita sampai pada alam manusia, sifat dasamya yang dapat dilihat dan tidak dapat dilihat yang dapat kita selidiki, perhatikan, dan renungkan agar kita dapat melampaui apa yang terdekat kepada kita, yakni, di luar kecenderungan-kecenderungan kita yang alamiah dan rendah.
إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
6. Sesungguhnya manusia tidak bersyukur kepada Tuhannya!
Kecenderungan yang paling lazim pada manusia adalah kunud, yang berarti 'tidak ada rasa syukur'. Manusia mengingkari rahmat, kasih sayang, dan nikmat Allah. Itu memang sifatnya karena dalam dirinya ada benih ketidak-bergantungan yang menggemakan sifat Allah, Yang Sama Sekali Tidak Bergantung. Dalam kesombongannya manusia menganggap dirinya independen, suatu pemikiran yang sesat mengenai aspek Ilahiah.
وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ
7. Dan sesungguhnya ia menjadi saksi langsung atas hal itu.
Namun, pada manusia ada sesuatu yang lebih dalam dari rasa tak bersyukur, yakni kesadaran akan kesadaran, dan hal ini menjadikan dia sebagai saksi atas dirinya sendiri dalam situasi tersebut. Manusia sendiri adalah saksi untuk dirinya sendiri ketika dalam keadaan tidak bersyukur. Penyaksian ini tidak bisa terjadi kalau tidak ada sesuatu yang sudah ada dalam dirinya yang bahkan lebih tinggi dari nafs, atau dengan kata lain, kalau nafs yang tinggi tidak menerangi nafs yang rendah. Nafs yang rendah menyangkal, meragukan, bermuka dua, dan berubah warna sesuai dengan keadaan, sedangkan kesadaran yang tinggi menerangi kesadaran yang rendah. Cahaya ilmu pengetahuan sudah ada dalam diri manusia, tapi ia harus membiarkannya memantul dalam mata batinnya, agar ia dapat melihat dengan jelas. Yang dilihat manusia tergantung pada mata yang digunakannya untuk melihat, apakah menggunakan mata nafs yang rendah atau menggunakan mata batinnya yang tinggi.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
8. Dan sesungguhnya ia sangat teguh dalam kecintaannya terhadap harta.
Sifat manusia memang ingin 'terikat' pada hal yang baik—syadid (kokoh, kuat) berasal dari syadda, yang berarti 'mengetatkan, mengikat'. Ia mencintai hal yang dianggapnya baik, walaupun yang kelihatan baik bagi dia saat ini mungkin tidak baik bagi dia di saat Sain.
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
9. Apakah ia tidak mengetahui, tatkala apa yang ada dalam kubur dibangkitkan,
Manusia selalu mencari perlindungan dan kesenangan, dan juga ingin dibiarkan sendiri dengan nilai-nilainya. Ayat ini bertanya kepada kita, 'Apakah manusia tidak menyadari bahwa apa yang tersembunyi dalam hati, apa yang tersembunyi dalam kubur, akhirnya akan keluar?' Akhirnya kita semua akan dikeluarkan dari kubur-kubur kita, dan yang sekarang tersembunyi dalam hati akan diungkapkan dalam kehidupan mendatang. Apa pun yang dikubur atau disembunyikan akhirnya akan terungkap.
وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
10. Dan apa yang ada dalam dada akan ditampakkan,
Hashala berarti 'disamping, jelas'. Apa yang tersembunyi dalam dada akan ditampakkan dan menjadi jelas. Penampakkan ini dapat terjadi sekarang jika kita sungguh-sungguh ingin mengetahui apa yang ada dalam hati kita. Tujuan eksistensi ini adalah mencapai kesatuan, menyatukan yang ada dalam hati kita dengan perbuatan kita, melalui kejelasan dan kesadaran.
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
11. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itn akan benar-benar mengetahui mereka.
Hari ketika penyatuan atau pembukaan itu terjadi akan menjadi hari kebijakan Tuhan kita. Ketuhanan adalah hal yang menggiring kila kepada tauhid, kepada keesaan. Untuk mendapatkan hikmah dari pengalaman kita dalam kehidupan ini kita harus yakin bahwa apa pun yang ditakdirkan juga akan terungkap dan terang dalam pengetahuan sempurna Tuhan kita.[]
SURAH AL-ZILZAL
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah ini melukiskan aspek permulaan dari akhir zaman. Alquran memberikan gambaran tentang bagaimana penciptaan dimulai, bagaimana ia akan berakhir, dan bagaimana penciptaan berikutnya akan terjadi. Di sini kita diberi sebuah model tentang kapan penciptaan mencapai kesempumaannya dan berhenti, yang menandai permulaan dari siklus berikutnya di mana alam semesta akan runtuh. Model ini dapat kita pahami melalui bahasa yang menarik bagi kejasmaniahan dan humanitas dasar kita.
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا
1. Tatkala bumi berguncang dengan guncangan yang dahsyat,
Di sini kita diberikan suatu gambaran yang gamblang tentang guncangan bumi, tentang gonjang-ganjingnya. Ini akan menjadi akhir dari kerasnya bumi dan kekokohannya yang nyata, seperti kembali ke saat ketika bumi berupa zat cair, sebelum gunung-gunung muncul di atas logam cair dari inti bumi. Proses awal akan membalik.
'Tatkala bumi berguncang' menunjukkan bahwa peristiwa ini akan terjadi. Jika dulu kita dapat membayangkan Lembaran yang memuat keseluruhan rentang waktu penciptaan dalam diri kita, kita akan melihat peristiwa yang termuat di dalamnya dan akan dapat menghentikan jalannya waktu di dalam diri kita. Inilah yang terjadi pada Nabi pada Laylat al-Qadr tatkala Alquran ditumnkan kepadanya dan seluruh pengetahuan dibukakan kepadanya. Beliau ingin sekali membawakan seluruh pesan sekaligus, tapi turun ayat yang mengatakan, 'Jangan tergesa-gesa, semuanya akan terbentang.' Beliau ingin menanamkan pengetahuan bahwa yang kita anggap padat dan kokoh, yakni, semua eksistensi material, adalah bersifat terbatas.
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
2. Dan bumi mengeluarkan bebannya,
Atsqal (jamak dari tsiql) berarti 'beban, berat'. Kita menganggap bumi itu padat dan berat, tapi ayat ini memberitahu kita bahwa akan terjadi peristiwa di mana bumi akan mulai pecah berantakan. Kata atsqalaha dapat juga berlaku pada orang yang memikul beban berat. Secara khusus, ayat ini berkenaan dengan akhir penciptaan fisik dan pecahnya dunia. Tubuh manusia juga merupakan sebuah kiasan dunia: beban berat batin kita juga akan dibongkar dan dikeluarkan setelah kematian.
وَقَالَ الْإِنسَانُ مَا لَهَا
3. Dan manusia berkata: 'Apa yang telah terjadi padanya (dunia')?
Dan kemudian manusia, insan, yang karena sifatnya selalu ingin mencari tahu, bertanya-tanya sendiri. Tiba-tiba keadaan terhenti itu diaktifkan dan dibangkitkan kembali, yang menyebabkannya bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
4. Pada hari itu bumi akan menyampaikan beritanya,
Segala sesuatu akan diungkapkan sebagaimana adanya. Tidak akan ada lagi persembunyian, tidak ada lagi rahasia dan perbuatan yang tersembunyi dalam diri kita. Wilayah amal akan dihilangkan dan tidak akan ada lagi kemungkinan apa pun untuk kita berpegang teguh pada lapisan-lapisan nafs kita yang sebelumnya dapat menyembunyikan banyak sekali rahasia.
بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا
5. Karena Tuhanmu akan mewahyukan kepadanya.
'Tuhanmu mewahyukan kepada bumi' berarti bahwa kemacetan kosmis ini sudah ditentukan dan bahwa hal itu akan terjadi pada saat yang tepat. Gempa bumi terakhir akan datang atas perintah sang Pemelihara, sang Pencipta. Hal tersebut telah ditentukan sebelumnya, karena segala sesuatu dalam realitas ini memiliki takdirnya sendiri dan semua takdir saling berhubungan, dan mereka dihubungkan oleh Kekuatan Halus yang tak kentara.
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِّيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ
6. Pada hari itu manusia akan keluar dalam kelompok-kelompok untuk diperlihatkan segala amal perbuatannya.
Yashduru, dari shadara, yang berarti 'keluar, kedepan, berasal', dan 'membawa kembali'. Shadr berarti 'depan, dada', dan masbdar berarti 'sumber'.
'Amal berarti 'perbuatan', yang menunjukkan penjelmaan lahiriah dari niat-niat seseorang. Namun, saat yang dimaksud dalam ayat ini akan terjadi dalam wilayah amal. Menurut Alquran, dalam alam eksistensi ini di mana persoalan lahir (syariat) mempengaruhi persoalan batin (hakikat), pertama-tama kita memahami padatnya segala hal dan kemudian menyelidiki kehalusan realitas gaib mereka. Oleh karena itu, dalam alam ini yang padat meliputi yang halus.
Dalam pengalaman berikutnya akan terjadi kebalikannya: hal pertama yang akan kita lihat adalah unsur-unsur halus. Kita akan melihat segala niat kita dengan jelas dan siapa kita sesungguhnya. Ini tidak berarti bahwa seorang pematung secara tiba-tiba akan melihat semua patungnya berdiri di hadapan dia. Kita tidak akan melihat pekerjaan kita menurut pengertian itu, tapi yang kita lihat adalah hakikatnya. Nabi berkata, 'Amal hanya sesuai dengan niatnya.' Niat kita akan menjelma di dunia akan datang; kita akan melihat hati kita, yang pada saat sekarang kita takut sekali untuk memeriksanya. Kita akan melihat apa yang telah kita lakukan, apa niat paling dalam kita, dan motivasi sejati untuk semua perbuatan kita. Pada saat itu kita akan berhadap-hadapan dengan kebenaran mengenai apakah kita beramal dalam rangka mengenal Allah, atau sekadar untuk memenuhi tuntutan realitas dan menyenangkan orang lain.
وَمَن يَعمَل مِثقَالَ ذَرَّةِ خَيْرّاً يَرَهُ
7. Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atom, ia akan melihatnya,
Barangsiapa melakukan kebaikan sekalipun seberat atom dan berbuat dengan niat yang murni—fi sabil illah (di jalan Allah), karena Allah—akan melihat semua perbuatan baiknya di hadapan dia.
وَمَن يَعمَل مِثقَالَ ذَرَّةِ شَرّاً يَرَهُ
8. Dan orang yang mengerjakan kebumkan seberat atom, ia akan melihatnya.
Segala sesuatu akan dibentangkan seutuhnya. Dalam Alquran kita diberitahu bahwa yawm al-Qiyamah (Hari Pengadilan) setara dengan 50.000 tahun kita. Pada hari itu kita akan melihat segala sesuatu seakan-akan dalam gerak lambat. Bayangkan bahwa dalam keadaan marah seseorang memukul seorang anak kecil, dan seseorang lain secara diam-diam merekam kejadian itu. Bayangkan penderitaan yang akan dirasakan orang itu ketika melihat dan mendengar rekamannya ditayangkan lagi. Ini contoh tentang apa yang akan terjadi di kehidupan mendatang.[]
SURAH AL-BAYYINAH
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
1. Orang-orang yang menyangkal [kebenaran] dari golongan Ahli Kitab, dan para penyembah berhala, tidak bisa terlepas [dari orang-orang beriman] sampai bukti yang terang datang kepada mereka:
Bila ada petunjuk historis mengenai berbagai peristiwa khusus dalam Alquran, kita selalu bisa menerimanya sebagai berlaku juga bagi kita di zaman modern ini. Di antara orang-orang yang menganggap dirinya sebagai 'ahli kitab', tapi mengingkari dan menutupi kebenaran, akan terus dalam kesangsian dan penyangkalan sampai bukti yang terang datang kepada mereka. Namun ketika bukti itu benar-benar datang pun, mereka akan tetap dalam pengingkarannya. Orang-orang yang ingin ingkar akan terus berbuat begitu, demikian juga mereka yang ingin menyangsikan.
رَسُولٌ مِّنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُّطَهَّرَةً
2. Seorang rasul Allah yang membacakan halaman-halaman yang suci,
Pengertiannya di sini adalah bahwa sebagian dari kitab-kitab tercatat yang telah diturunkan sebelum Nabi Muhammad sudah tidak utuh lagi, sudah berubah atau, kalau tidak, bentuknya menjadi tidak lengkap lagi. Ini adalah salah satu dari makna muthahharah (suci). Nabi Muhammad menegaskan semua nabi sebelum beliau; ia tidak membawa hal-hal baru selain syariat yang disempumakan. Alquran berulang kali menceritakan kejadian yang menimpa para nabi sebelumnya seperti Musa, Isa, dan lain-lainnya. Beberapa kejadian yang sama senantiasa terulang kembali, dengan beberapa perbedaan hanya pada lingkungan dan warna masyarakatnya. Pada pokoknya, sifat rendah dan tinggi manusia adalah sama sepanjang masa.
فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
3. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang jelas dan benar.
وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُالْبَيِّنَةُ
4. Dan orang-orang yang diberi Kitab tidak terpecah-belah hingga setelah datang kepada mereka bukti yang terang.
Al-bayyinah (dari bana, jelas, terang) adalah bukti dari Nabi yang terakhir, yakni kitabnya. Tafarraqa, dari faraqa, berarti 'menjadi terpisah, terpencar-pencar, terbelah dan dibeda-bedakan'. Dalam hal ini berkenaan dengan kaum yang terpecah ketika menerima pesan Nabi Muhammad. Ketika datang bukti kepada mereka, yang mempertegas apa yang ada di tangan mereka dan menyucikannya dari interpretasi yang salah, sebagian menerimanya dan sebagian menolaknya.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
5. Dan mereka tidak disuruh [melakukan] apa pun selain menghamba kepada Allah, ikhlas mematuhi-Nya, jujur, tulus, dan mendirikan salat, [menyucikan diri dengan] membayar zakat, dan itulah agama yang benar.
Perintah Allah, perintah Realitas, tak lain hanyalah ikhlas dalam menyembah Allah, Sang Pencipta. Hunafa’ adalah orang yang mendirikan salat secara lengkap, menegakkan din, dan melaksanakan penyucian serta berderma. Perintah sang Pencipta hanyalah menyembah dan beribadat kepada-Nya.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِجَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
6. Sesungguhnya orang-orang yang menutup (kafir) dari golongan Ahli Kitab dan penyembah berhala, akan berada dalam api neraka, menetap di sana; mereka adalah makhluk yang paling buruk.
Jika kita mengingkari satu-satunya pesan yang berulangkali disampaikan yang memberitahu kita bagaimana agar selamat, bagaimana berperilaku dan bagaimana mencapai potensi kita yang paling maksimal dalam eksistensi ini melalui salat dan zakat (untuk membersihkan diri), maka kita akan mengalami kemgian dan melakukan perbuatan syirk (menyekutukan Allah). Orang-orang yang mengingkari pesan dan kemurnian turunnya, yang muncul dalam bentuk nyata, yakni kitab-kitab wahyu, maka mereka sudah berada dalam suasana neraka, dalam suasana jahanam yang bergolak. Ini adalah lubang tak berujung yang di dalamnya tidak ada stabilitas maupun kedamaian, tak ada kehidupan maupun kematian. Sebaliknya, yang ada adalah pergolakan dan kekacauan yang tiada henti. Manusia senantiasa mencari kestabilan, karena memang itulah sifatnya. Salat ritual harus dilaksanakan di atas dasar yang kokoh karena dalam salat-salat tersebut kita mencari pengetahuan tentang Allah, Yang Kekal dan Tak Berakhir, Yang tidak stabil bukanlah kebenaran, karena kebenaran hanya sekadar informasi.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
7. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan kebaikan, merekalah makhluk yang paling baik.
جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُخَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْخَشِيَ رَبَّهُ
8. Ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka adalah taman keabadian, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, tinggal di sana selama-lamanya; Allah ridha pada mereka, dan mereka ridha pada-Nya. Itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Di lain pihak, mereka yang percaya pada Realitas (amanu, dari amana, mempercayai, menerima), yang ada kedamaian dan keamanan dalam dirinya, yang percaya bahwa mereka akan mengetahui, yang telah percaya bahwa yang terkandung dalam kitab-kitab wahyu adalah kebenaran mutlak yang memancar dari Wujud Mutlak, dan yang mewujudkan kepercayaan itu ke dalam berbagai perbuatan yang benar, mereka adalah sebaik-baiknya ciptaan. Keadaan batin yang percaya pada rahmat Allah yang meliputi segala hal harus diwujudkan ke dalam tindakan, kalau tidak maka akan tetap menjadi hal yang abstrak.
Jaza'uhum berarti 'ganjaran mereka', dan ganjaran dari sang Pemberi ini muncul dalam bentuk taman-taman yang diairi oleh mata air-mata air dan sungai-sungai yang airnya mengalir dari bawah. Ini menunjukkan bahwa mereka disuburkan oleh energi-energi yang tidak nampak. Sungai-sungai atau energi-energi ini berupa sifat manusia yang luhur, seperti suka memaafkan, dermawan dan bermarta-bat. Kaum beriman selamanya dalam keadaan itu, karena, begitu seseorang mengalami keadaan tersebut, atau sekalipun melihatnya sekilas saja, ia akan semakin membelok ke arah tersebut.
Alquran berulang kali mengingatkan kita bahwa dasar dari Jalan ini adalah kesabaran. Kesabaran adalah akal sekat. Ini adalah keadaan seseorang yang percaya bahwa akalnya akan lebih tajam. Ia akan sampai pada pengetahuan dengan cara yang akan membuat kehidupan, perilaku dan lingkungannya lebih baik. Ini adalah iman positif yang diwujudkan ke dalam tindakan. Orang-orang yang mencapai kepercayaan sempurna lalu mempraktikkannya di dunia ini dengan segala kendala dan batasannya, mereka dijanjikan taman-taman abadi. Mereka akan berada dalam keadaan yang menurut anggapan orang lain sudah memiliki unsur-unsur surga. Namun, mereka tidak akan dikucilkan dari yang lain, tidak juga pura-pura dilindungi. Tidak ada perlindungan dan juga pemisahan.
'Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya'. Mereka dalam keadaan ridha (puas), keadaan yang muncul dari pengetahuan dan bukan optimisme pura-pura atau sekadar berpikir positif. Kepuasan yang datang melalui pengetahuan merupakan aspek kesempurnaan. Apa pun yang terjadi selalu sempuma, dan jika kita tidak memberikan penilaian tentang berbagai peristiwa maka kita akan melihat kesempurnaan di dalamnya. Namun, jika kita sudah berprasangka terhadap suatu keadaan dan sudah sepenuhnya berseberangan, maka kita akan melihatnya hanya dari perspektif dangkal kita.
Umpamanya, ambil saja contoh komedi. Penonton menyaksikan apa yang terjadi pada si pelawak dan tertawa, tapi si pelawak tidak tahu bahwa ember yang ditelungkupkannya penuh dengan cat. Dari sudut pandang si pelawak ini adalah sebuah tragedi. Tapi jika kita mengambil sudut pandang syahid (yang menyaksikan), maka kita akhirnya akan mencapai keadaan yang positif yakni rasa puas terhadap pengetahuan. Bila kita melihat sebuah gelas yang separuh kosong, tentu saja kita tidak memperhatikan separuh penuh dan berkata, 'Bagus sekali! Separuhnya adalah penuh!' Manusia sudah sifatnya tidak menyukai hal yang setengah-setengah; kita menginginkan semuanya penuh. Bagaimana pun, separuh geias adalah kosong karena separuh isinya telah diminum. Oleh karena itu, kita harus menerima keadaan dalam kesempurnaannya. Bagaimana pun keadaan itu menampakkan diri pada kita, kita harus menerimanya dengan ilmu pengetahuan, dengan hati dan kepala. Bila pemerimaan itu terjadi, 'Allah puas pada mereka dan mereka puas pada-Nya.' Realitas puas pada kita, dan kita puas pada Realitas; dengan demikian, segala sesuatu dalam eksistensi akan puas pada kita karena kita benar-benar seirama.
'Yakni bagi orang yang takut kepada Tuhannya'; pintu menuju ridha, pintu menuju kepuasan adalah khasyyah, yang berarti 'perasaan takut yang positif. Perasaan takut tersebut adalah rasa takut melanggar, takut mengemban tugas yang secara lahiriah kita tidak dapat melangkah dengan benar, apalagi secara batiniah, suatu tugas yang ketika mengembannya kita tidak mempunyai tujuan yang jelas. Sebelum kita melangkah lagi, hendaknya kita bertanya mengapa. Ketika kita mengatakan Bismtllah, maka kita melaksanakan perbuatan kita dengan Nama Allah, dan dengan cara demikian kita memohon rahmat-Nya. Mereka akan berhasil atau gagal dan apa pun hasilnya kita mengatakan, al-hamdu lillah, 'Puji bagi Allah'. Kita beramal karena Allah, dan jika kita tidak berhasil maka itu karena Allah tidak menghendakinya, meskipun kita sudah berusaha sebaik-baiknya.
Khasyyah adalah tahap pertama sebelum takwa. Orang yang memiliki rasa takut akan memperhitungkan akibat yang mungkin dari mengikuti jalan tertentu yang bersifat merusak dan karena itu ia tidak mau menempuhnya. Khasyyah berarti waspada jangan sampai melanggar, takut pelanggaran itu akan menimpa kita. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan astaghfirullah, dan dengan ungkapan ini kita memohon ghufran Allah, tidak hanya berarti 'ampunan'. Tidak bisa begitu saja. Hanya ada satu Realitas tunggal, maka siapa dapat memaafkan siapa? Ghufran berarti terlindung baik dari segala perbuatan yang diakibatkan oleh kita tanpa niat yang benar atau pengetahuan yang benar, dan dari apa yang pemah kita lakukan di waktu lampau yang tidak dilakukan atas nama Allah, yang efeknya akan kembali pada kita. Inilah pengampunan yang dimaksud itu. Pengampunan bukanlah dialog antara dua orang, karena hal itu adalah syirk, yakni dualitas. Yang kita kehendaki adalah realisasi penuh dari ketauhidan kita; kita menghendaki kemanunggalan, tanpa pemisahan.[]
SURAH AL-QADR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Kekuasaan yang menciptakan semua sistem penciptaan telah membuat sistem-sistem itu sesuai dengan ukurannya, yakni, qadr yang membawa semua manifestasi penciptaan kepada qadha'-nya, dan keputusan akhir. Dalam surah ini kita diperlihatkan sekilas pada aspek makna qadha' wa qadr (kada dan kadar).
Qada' berarti 'nasib, takdir, keputusan, keadilan, ketetapan', dan 'yang telah disahkan'. Meskipun qadar berarti 'ukuran, ketetapan', namun ia juga berarti 'takdir' karena berbagai hal membentang dan berkembang sesuai dengan ukurannya. Keputusan atau ketetapan akhir dari setiap hal yang diciptakan mengikuti ukuran (qadr) yang diberikan padanya, karena kalau tidak maka akan kacau-balau. Ukuran-ukuran ini bisa berfluktuasi dan berjalinan di dalam batas-batas tertentu, tapi mesti ada suatu ukuran agar manusia dapat mengenal batas-batas dan mendapatkan pengetahuan tentang dunia.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
1. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada Malam Lailatul Qadr.
Laylat al-Qadr adalah Malam Kekuasaan, atau Malam Ketetapan. Pengetahuan tentang apa yang tertulis diturunkan pada Malam Kekuasaan dan diberitahukan kepada Nabi Muhammad. Dengan demikian malam itu adalah malam ketika Nabi diberi pengetahuan, malam ketika lembaran tersembunyi dibukakan kepadanya.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
2. Dan apakah yang membuat engkau tahu apa itu malam Lailatul Qadr?
Bila pertanyaan seperti ini muncul dalam Alquran, maka tujuannya adalah mengagungkan apa yang sedang dijelaskan. Dalam hal ini, pertanyaan tersebut mengangungkan malam saat terjadinya peristiwa Laylat al-Qadr. Setiap orang berpeluang untuk menjumpai Laylat al-Qadr. Kesadaran terhadap potensi kita yang paling utuh terjadi pada malam qadr kita. Terjadi pada saat kita melihat Kekuasaan di balik kekuasaan dalam penciptaan, atau kekuasaan dari Yang Kuasa, yakni Allah, dan kita mengalami kekuasaan pengetahuan batin. Malam Qadr terjadi sesuai dengan kapasitas masing-masing orang.
'Malam Ketetapan' adalah malam penyingkapan pada saat hati terbuka, pada saat lembaran di dalam hati manusia dibukakan, pada saat pengakuan langsung bahwa yang ada hanyalah Allah, dan bahwa segala sesuatu menerima penciptaan ini dari kekuasaan tunggal tersebut, semuanya dialami. Lembaran ini tidak memuat informasi yang lengkap-sempurna: ia berisi pengetahuan langsung.
Alkisah, Imam Ghazali mengadakan perjalanan jauh dengan membawa semua kitabnya. Tiba-tiba seorang perampok menghadangnya, lalu sang Imam menyuruh si perampok untuk mengambil apa yang disukainya tapi memohon agar tidak mengambil bagal yang memuat kitab-kitabnya. Namun dengan amat-sangat menyesal si perampok berkata, "Tapi itulah sesungguhnya yang aku inginkan', lalu ia mencuri semua kitabnya. Sembilan atau sepuiuh tahun kemudian, Imam Ghazali bertemu lagi dengan orang itu dan bertanya kepada Imam, 'Anda ingat saya?' Imam menggeleng tidak ingat. Lalu orang itu berkata, 'Aku adalah orang yang menolong Anda dengan mengambil semua kitabmu. Akulah yang menyebabkan Anda mendapat pengetahuan sejati. Ketika semua informasi yang sedang Anda bawa diambil dari Anda, Anda mencapai pengetahuan!'
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
3. Malam Ketetapan itu lebih baik dari seribu bulan.
Orang Arab sering menggunakan angka tujuh, tujuh puluh atau seribu, atau kelipatan dari angka-angka itu, untuk menunjukkan suatu jumlah yang besar. Di sini alf (seribu) berarti 'suatu jumlah yang sangat banyak'. Jika kita tiba-tiba memahami sesuatu, kita menyadari bahwa satu hari pada saat mana kita tersadarkan adalah lebih baik dari beberapa tahun kebodohan. Dalam tenggang waktu sepuluh tahun kita bisa mengingat dua atau tiga hari yang sifatnya genting, yang mengandung saat-saat yang mengubah keseluruhan jalan hidup kita dan cara kita melihat berbagai hal. Hari-hari itu lebih berarti bagi kita dibanding seribu bulan.
Hadis menceritakan bahwa Nabi pernah melihat sebuah bayangan, sosok menyerupai kera yang berkhotbah dari mimbar beliau di Madinah, dan konon melalui tanda ini beliau meramalkan bahwa tak lebih dari satu generasi sepeninggalnya, selama seribu bulan, para pemimpin yang tak layak akan menyesatkan ummah (komunitas muslim).
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
4. Para malaikat dan roh turun di dalamnya atas izin Tuhan mereka, untuk menjalankan semua perintah.
Ruhh artinya 'roh, jiwa'. la berhubungan dengan rih, yang berarti 'angin'. Rahab, yang berarti 'kesenangan, kesentosaan atau kemudahan' juga berasal dari akar yang sama, sebagaimana kata ra’ihah, yang berarti 'parfum' dan mirwahah, yang berarti 'kipas'. Pengertiannya di sini adalah bahwa roh itu seperti angin, sehalus angin sepoi-sepoi. Roh ditiupkan ke dalam tubuh dan kemudian didup keluar tubuh. Laksana angin, kehalusannya diimbangi oleh kekuatannya. Dikatakan dalam Alquran, "Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: 'roh adalah salah satu dari perintah Tuhanku'" (Q.S. 17:85).
Pada Malam Kekuasaan itu, Yang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahakuat menebarkan rahmat ilmu pengetahuan-Nya dan membukakan pintu-pintu langit, dan daya serta kekuatan malaikat memenuhi kewajiban mereka untuk dengan murah hati membawakan pesan dan pengetahuan tauhid serta perintah dan pengawasan Tuhan.
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
5. Damai! Sampai terbitnya fajar.
Dari pengetahuan bahwa semua penciptaan terjadi sesuai dengan ukurannya dan sedang bergerak ke arah takdir sesuai dengan ukuran itu, muncullah kepastian damai. Kepastian batin ini, yang menerangi semua kemungkinan manifestasi lahiriah, mendatangkan keseimbangan dan kesesuaian yang memberikan kesadaran yang penuh harmoni dan kesatuan. Makna damai tersebut, yakni buah dari pengetahuan, karena sudah menjadi sifatnya maka bersemayam dalam setiap hati. Untuk menggali benih maka hati harus disucikan dan dibuka. Pencari pengetahuan tentang Allah menghabiskan hari-hari gelap malamnya dengan berjaga menantikan datangnya pembukaan, dan bila hal itu terjadi maka bagaikan pecahnya fajar.
Fajr berarti 'subuh, cahaya pertama pagi hari'. Fajara, akar dari fajr, berarti 'merobek, membuka, meletus'. Keadaan hati orang yang berpengetahuan tersembunyi dalam gelapnya malam tapi secara batiniah bersinar. Secara lahiriah berada dalam kegelapan tapi diterangi oleh cahaya batin, secara lahiriah diam tapi secara batiniah aktif dan dinamis di lautan pengetahuan. Sebagian besar kerja rohani dilakukan dari larut malam hingga fajar, saat paling minimal dalam aktivitas fisik atau lahir dan karena itu kemungkinan untuk aktivitas batinnya maksimum. Akar dari segala sesuatu terletak dalam kebalikannya. Akar dari bunga bakung yang paling indah, lembut, putih, dan sangat menarik terletak di dalam lumpur, begitu pula akar dari aktivitas batin yang maksimal terletak pada keberdiaman batin.[]
SURAH AL-'ALAQ
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Lima ayat pertama surah ini umumnya dianggap sebagai ayat yang pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Surah ini berkenaan dengan upaya pembangkitan kecerdasan dan pengetahuan yang sudah ada dalam diri si pembaca, dan menyangkut pengetahuan diri serta pembacaan catatan batin.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
1. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan.
Iqra' (dari qara'a, membaca) berarti 'Bacalah!' Ini adalah perintah yang datang kepada Nabi, yang disebut sebagai ummi (tidak belajar secara formal). Tapi penerjemahan kata ummi sebagai 'buta aksara' atau 'tidak berpendidikan' adalah bentuk penyalahartian yang umum. Kalau sekadar tidak berpendidikan maka tidaklah ada artinya, dan jika Nabi buta aksara maka akan ada sesuatu yang keliru. Nabi sendiri mendorong agar kaumnya melek aksara dan selalu terus didampingi oleh para ahli baca-tulis. Namun beliau tidak mendapat pendidikan atau pengajaran formal, karena pengetahuannya berasal dari sumber 'batin'.
Ummi juga berarti 'keibuan atau seperti ibu'. Umm berarti 'ibu' atau 'sumber'. Pengetahuan beliau adalah dari Satu Sumber. Kalau kita mengatakan ummi maksudnya adalah bahwa diri beliau sendiri sudah merupakan catatan, dan berarti beliau membaca catatan dirinya sendiri.
Rabb (Tuhan) adalah entitas yang membesarkan kita, sebagai energi atau atribut Allah yang fungsinya adalah mendidik dan membesarkan setiap orang hingga mencapai potensi penuhnya. Itulah tujuan dari Penciptaan. Isi perintah adalah membaca dengan izin untuk mengenal tujuan penciptaan, memahami penciptaan secara keseluruhan, dan memahami realitas tunggal yang menjelma sebagai Rabb. Meskipun Rabb diterjemahkan sebagai 'Tuhan', na-mun memiliki makna yang banyak sekali. la berarti 'Pemelihara', dengan kerahman-rahiman-Nya manusia diberikan kesadaran dan ditopang dengan suplai udara.
Pada saat ayat-ayat ini diwahyukan kepadanya, Nabi sudah biasa menghabiskan berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan bermeditasi dalam sebuah gua untuk menembus selubung eksistensi, dengan cara demikian beliau mengikuti jalan orang-orang sebelumnya yang mengikuti diktum, 'Orang yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya'. Jalan menuju pengetahuan tentang ketuhanan, tentang kepemeliharaan, adalah dengan cara mengenal apa yang paling dekat kepada kita, yakni semua aspek yang berbeda dari diri kita.
Sebagaimana para pencari dari masa sebelum dan sesudah beliau, beliau pergi ke tempat-tempat terpencil menjalani masa-masa perenungannya. Bagi pencari sejati, ini bukanlah pelarian diri, melainkan suatu upaya langsung dan positif untuk mengungkapkan jatidirinya. Hal ini dilakukan dengan merenungkan dirinya. Akhirnya, beliau bisa mencapai suatu titik netralitas di mana hampir tidak ada lagi dari diri itu yang tertinggal karena ia sudah dikenal dalam segala aspeknya oleh si pencari. Ia akan melihat setiap sudut dari apa yang disebut persona (topeng, dalam bahasa Latin).
Bila ini sudah dipahami, si pencari dengan tulus-ikhlas terus berjalan menuju peniadaan, dilambangkan dengan Batu Hitam Ka'bah. Ia bergerak menuju keadaan tanpa sifat. Kalau kata kaum sufi, 'mencapai kedekatan pada pancaran cahaya hakikat, pergi dari bintang-bintang sifat'. Pertama-tama, ia menenangkan tindakan-tindakannya, selanjutnya, ia memasuki alam sifat yang lebih halus, kemudian ia melintasi perbatasan hakikat. Setelah itu, kemudian ia menjelajahi alain lain. Proses penjelajahan ini tidak dapat dilihat atau digambarkan secara langsung, dan di alam ini berlaku perangkat aturan lain. Itulah negeri tak berpenghuni di mana tak ada yang dapat menolong orang lain, selain membicarakan batas-batas lahiriahnya. Masing-masing orang menafsirkan pengalaman ini secara berbeda. Ia bagaikan sebuah peristiwa yang menyebabkan goncangan dahsyat dan yang berusaha digambarkan oleh setiap orang dengan bahasa yang berbeda. Ia adalah citarasa, citarasa yang lebih tinggi; ia adalah pembukaan yang hebat. Ia merupakan pengecambahan hati yang meledak.
Pembukaan ini, tentu saja, menghancurkan, sebagaimana kita saksikan pada kejadian yang menimpa Musa. Kejadian tersebut merupakan pengalaman yang menghancurkan; ia bukan sekadar pengalaman lain dari kehidupan ini, tapi malah merupakan pengalaman lain dari alam lain. Kita hanya dapat berjalan sejauh memahami pengetahuan dan informasi mengenai alam kesadaran kita, dan ini sebenarnya merupakan aspek kesadaran yang lebih tinggi. Bagaikan kisah seseorang yang hidup di bawah air. Ia sangat mengetahui apa yang ada di bawah air dan ia mengerti apa yang terjadi di sana. Ia mungkin juga sudah sering melihat sepintas apa yang ada di atas air. Tapi berada di atas air memang sebuah pengalaman yang berbeda. Tidak peduli berapa banyak ia dipersiapkan untuk berada di atas air, tetap saja berada di atas air merupakan goncangan. Nabi berada dalam keadaan terguncang sehingga sebagian orang bahkan mengatakan beliau menjadi gila.
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
2. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Pembacaan itu—melalui 'ilm al-laduni (intuisi, pengetahuan batin)—mengungkapkan kepada Nabi tentang mengapa dan bagaimana terjadinya realitas penciptaan. Dengan kata ‘alaq yang berarti 'gumpalan darah', kita diberitahu keseluruhan kisah tentang manusia di alam ini. Kata ‘alaq juga berarti 'lintah', dari kata 'aliqa yang berarti 'menggantungkan, menempel, dilekatkan, menjadi hamil'. Kata ini menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung, dari benda kecil sekali yang mengancing—sperma menyatu dengan ovum—dan kemudian stabil menjadi 'alaq. Perkembangan hanya bisa terjadi jika 'alaq itu menempel pada rahim. Jadi penciptaan dihasilkan hanya oleh sesuatu yang menggantung, bahkan seperti bumi yang tergantung pada orbitnya di dalam bintik alam semesta.
Secara biologis, penciptaan seperti yang kita pahami sekarang digambarkan secara sempurna dalam Alquran. Kita hanya perlu keberanian untuk memperhatikan kata-kata ini secara cermat dan memahami makna batinnya, tanpa menyembunyikannya.
Kita harus membaca, melihat, dan memahami situasi manusia secara intuitif, melalui alam batin kita sendiri. Kita tidak terpisah dari alam ini. Manusia dan semua yang terjadi di dalam dan di luar alam ini berasal dari satu Realitas. Kita harus membaca berdasarkan sifat murah hati yang diberikan oleh Pemelihara dan Tuhan yang paling murah hati.
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
3. Bacalah karena Tuhanmu adalah yang paling murah hati,
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
4. Yang mengajarkan dengan [menggunakan] pena,
Qalama berarti 'memotong', dan qalam berarti 'pena atau pensil'. Itu adalah alat yang digunakan orang untuk meninggalkan tanda; ia menuliskan sesuatu dan tercatat selamanya.
Qalam juga adalah pena yang telah mencatat tentang bagaimana penciptaan ini akan dipertahankan, dipelihara dan dikembalikan. Hukum yang berlaku di dalam penciptaan bekerja melalui energi halus yang ada di dalamnya dan yang mempedomaninya, yakni malaikat sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Meskipun disebut malaikat, yang pada kebanyakan orang menimbulkan imajinasi tentang makhluk bersayap, namun lebih tepat kalau mereka disebut sebagai kekuatan, tenaga, atau bentuk-bentuk energi. Mereka yakin bahwa apa yang telah tertulis, yakni, hukum yang mengatur segala aspek, nyata maupun tidak nyata, di alam semesta ini, adalah terintegrasi, termuat dan terpelihara, dan berada di jalannya.
Dikatakan dalam Alquran bahwa jika semua pohon di dunia dijadikan pena dan semua lautan dijadikan tinta, maka semua ini pun tidak akan cukup untuk mencatat ciptaan, perintah atau kekuasaan Allah. Maknanya adalah bahwa setiap kemungkinan, setiap permutasi dan kombinasi dari berbagai kemungkinan ini selalu ada, baik dalam makna ataupun bentuk. Jumlah kemungkinannya tidak terhingga. Begitulah makna pena. Penalah yang menulisi lembaran penciptaan, qadha wa qadar, ketentuan dan takdir. Ia memiliki tujuan, arah, akhir dan hasil, semuanya berada dalam satu komando penciptaan. Maka, inilah pena yang menulis.
Ketika hal ini terjadi pada Nabi, seakan-akan beliau dengan serta merta menyaksikan tulisan pena itu secara keseluruhan. Beliau mengalami kebenaran yang berlimpah dan ketika itu beliau melihat pencantuman kode sub-genetiknya. Apa pun yang dapat kita pahami dari kebenaran tersebut, semuanya sudah tertulis dalam diri kita.
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
5. Mengajarkan kepada manusia apa yang ia tidak tahu.
Dia mengajari manusia apa yang ia tidak tahu, karena manusia tidak menyadari akan potensi pengetahuannya. Dia mengajari manusia, yang hanya melihat apa yang ada di hadapannya, bahwa sebenarnya ia tidak mengetahui apa yang ada sebelumnya dan di belakangnya. Dia mengajari manusia keesaan (tauhid), Dia mengajarinya keterkaitan dengan masa lampau dan masa akan datang, karena tidak ada masa lampau maupun masa akan datang, Keduanya hanya ada dalam dimensi waktu kita yang menyesatkan, dan dari sudut pandang realitas, dimensi non-duniawi, masa lampau dan masa datang hanyalah aspek atau produk dari dimensi waktu. Ayat ini berkaitan dengan pengetahuan yang tidak bisa ditularkan dari satu orang ke orang lain, tapi hanya antara manusia dan sang Pencipta, di mana tidak ada pemisahan. Ketika manusia sepenuhnya menjadi sebuah non-entitas, maka sang Entitas Tunggal melakukan kehendaknya. Ini adalah 'ilm al-laduni.
كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَى
6. Tidak! Sesungguhnya manusia itu adalah pelanggar (melampaui batas),
Upaya untuk mendapatkan pengetahuan diri dimulai dengan melihat pada apa yang terdekat kepada kita, yakni sifat rendah manusia: rasa takut, nafsu syahwat, amarah, keputus-asaan dan kekurang percayaannya. Sifat rendah dan kesombongan manusia sedemikian rupa sehingga selalu menyebabkannya melampaui batas, yathgha. Ia menyandang salah satu Sifat Allah, sehingga ia menjadi arogan. Namun arogansi memang sifatnya karena secara otomatis dan spontan ia bergerak menuju Allah.
Hanya ada satu realitas dalam penciptaan, dan karenanya kita harus menerima Alquran secara keseluruhan. Dalam Alquran dikatakan bahwa sebagian ahli kitab—dari kitab-kitab wahyu lainnya, yang merupakan versi-versi dari Kitab yang satu—hanya menerima beberapa bagian Kitab saja. Mereka hanya mengambil bagian yang ingin mereka gunakan untuk kepentingan kekuasaan atau untuk tujuan lain, tapi hal ini tidak bisa dilakukan.
Dengan demikian, kita akan selalu menemukan permulaan pada apa yang terdekat kepada manusia sendiri, dan itulah yang berada di jalan kemudahan (yusr). Mengambil jalan mudah adalah mengikuti diri (nafs) kita. Maka, yang paling dekat kepada manusia adalah sifat rendahnya yang muncul dan menimpanya, yakni, kecemasan, rasa takut, amarah dan seterusnya yang muncul terutama karena arogansinya. Arogansi manusia mencuat dari pikiran yang keliru bahwa karena ia berada di sini di bumi ini maka ia harus menempatkannya dengan benar.
Tujuan sebenarnya dari keberadaan kita di sini adalah agar kita sepenuhnya mengetahui mengapa kita di sini. Begitu kita mengetahuinya, maka segala sesuatu lainnya akan mengikuti. Namun kita telah melupakan prioritas kita sehingga tidak ingin membicarakan persoalan sulit seperti itu. Persis seperti dongeng Mulla Nasruddin yang mencari cincinnya yang hilang di bawah lampu jalan. Saat sedang mencari, datanglah orang lain untuk membantunya. Akhirnya, karena tak kunjung ketemu, orang itu bertanya kepada Mulla Nasruddin apakah ia yakin telah menjatuhkannya di tempat itu. Ia menjawab bahwa hilangnya di tempat lain. Dengan ragu orang itu bertanya lagi, 'Lantas mengapa engkau mencarinya di sini?' 'Karena di tempat saya kehilangan cincin keadaannya gelap, sedangkan di sini terang.'
Kecenderungan kita adalah ingin memusatkan perhatian hanya pada persoalan-persoalan sederhana yang sudah lazim. Kita tidak ingin bertanya kepada diri kita sendiri mengapa kita ada di sini. Itu adalah pertanyaan sulit yang memerlukan waktu, upaya dan perenungan untuk menjawabnya. Sifat manusia juga cenderung arogan dalam lebih dari satu pengertian, tidak hanya dalam pengertian membesar-besarkan diri saja. Arogansi itu akan dengan mudah dipelihara karena usia tua. Kita sedang membicarakan arogansi dalam pengertian sikap manusia yang tidak mempertanyakan keadaan, posisi dan tujuannya, tidak mempertanyakan ketidak ada apa-apaannya atau kenyataan bahwa paling banter ia hanya tergantung pada udara. Ketika dalam keadaan sangat sehat, manusia laksana sebuah balon yang mengembang dan mengempis sendiri, tidak mempertanyakan dirinya, lupa akan kenyataan bahwa napas adalah satu-satunya modal dia dan segala sesuatu lainnya hanya sepintas lalu saja. Tidak mempertanyakan: inilah tbughyan (pelanggaran), thughyan batin. Pada suatu saat ia bisa jatuh mati. Akankah ia pergi dengan tenang? Akankah ia meninggalkan stasiun kereta api dengan hati yang terbuka untuk melakukan perjalanannya?
أَن رَّآهُ اسْتَغْنَى
7. Karena ia melihat dirinya sudah bebas dari keinginan (serba cukup).
Salah satu penyebab arogansi kita adalah karena kita merasa sanggup mencukupi keperluan diri kita sendiri. Istaghna di sini berarti menganggap diri tidak bergantung, kaya, mandiri. Keyakinan yang keliru bahwa kita bebas ciari tuntutan kebutuhan akan membuat kita terputus, keluar dari tauhid dan lepas.
إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى
8. Sesungguhnya kepada Tuhanmulah [kamu] kembali.
Kepada Tuhanmu, kepada Pemeliharamu, kepada Realitas itulah kamu akan kembali. Segala sesuatu dipelihara oleh sang Maha Pemelihara.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى
9. Apakah engkau melihat orang yang melarang
عَبْدًا إِذَا صَلَّى
10. Seorang hamba [Allah] dari melakukan salat?
Contoh yang diberikan di sini merujuk kepada situasi historis yang nyata, tapi berlaku sepanjang masa. Kita menyaksikan bagaimana orang yang melarang orang lain yang ingin beribadat dan mengerjakan salat—seperti terjadi pada Nabi, yang senantiasa menjadi target upaya Abu Jahal untuk melarangnya melakukan salat dekat Ka'bah—benar-benar menderita rugi.
أَرَأَيْتَ إِن كَانَ عَلَى الْهُدَى
11. Sudahkah kau perhatikan kalau-kalau ia di jalan yang benar,
أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى
12. Atau menyuruh supaya bertakwa [kepada Allah]?
Ini berarti mereka benar-benar dalam keadaan berlawanan; mereka tidak berada di jalan yang benar dan tidak juga bertakwa. Karena tidak memiliki pengetahuan yang dalam maka mereka menyangkal dan berdusta. Berdusta adalah menutupi kebenaran. Kebenaran ada pada mereka tapi mereka tidak ingin terbuka kepada kebenaran itu karena bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.
أَرَأَيْتَ إِن كَذَّبَ وَتَوَلَّى
13. Apakah engkau memperhatikan kalau mereka mendustakan kebenaran dan berpaling?
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
14. Apakah ia tidak tahu bahwa Allah melihat?
Di sinilah jawabannya. Dia mengetahui kebenaran dalam hati, tapi tidak bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Dia tidak menyadari bahwa apa pun yang dilakukannya, apa pun yang diniatkannya, di mana pun dan bagaimana pun ia bergerak, maka Realitas, yang menyerap dan menahan serta mengendalikan semua, mengetahuinya. Realitas adalah yang mengetahui segalanya. Hanya orang yang menderita rugi yang tidak mengetahui hal ini.
كَلَّا لَئِن لَّمْ يَنتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ
15. Tidak! Jika ia tidak berhenti, Kami akan merenggutnya di ubun-ubunnya.
نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ
16. Ubun-ubun yang berdusta, yang berdosa.
Nashiyah adalah ubun-ubun. Dicengkeram dan diseret di bagian jambul berarti benar-benar dipermalukan. Siapa pun yang merugi, siapa pun yang mengingkari kebenaran di dalam dirinya, akan berakhir dalam keadaan dicengkeram seperti itu. Bagaikan gilingan azab kehidupan, merugi di sini dan saat ini, dan juga di hari akhirat.
فَلْيَدْعُ نَادِيَه
17. Lalu biarlah ia memanggil kawan-kawan segolongannya;
Biarlah dia memanggil orang yang telah menjadi gantungan dan andalannya. Maka ia akan mengetahui bahwa tidak ada bantuan selain dari Allah, dan dengan penyaksian itu ia akan menyadari bahwa ia telah bersandar pada kedustaan.
سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ
18. Kami akan memanggil mereka yang memasukkan [ke dalam neraka].
Ini berkenaan dengan kekuatan dan kekuasaan yang bermain dalam eksistensi ini. Zabaniyah di sini adalah kekuatan malaikat dan kelaziman mereka sebagai tenaga yang sepenuhnya dan secara langsung memberlakukan diktum takdir. Yakni, menerapkan, dalam pengertian yang disebutkan sebelumnya, apa yang telah ditulis oleh pena.
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
19. Tidak! Janganlah engkau taat kepadanya, tetapi bersujudlah dan mendekatlah [kepada Allah].
Jalan keluarnya adalah mendekat kepada Allah. Kedekatan kepada Allah adalah melalui sajdah (sujud), yakni bukti lahiriah dari keberserahan batin. Gerak sujud lahir adalah manifestasi dari keadaan batin, kalau tidak maka gerakan itu akan menjadi sekadar ritus hampa belaka. Sajada, akar dari sajdah, juga berarti 'menaati', maksudnya menaati tujuan eksistensi. Tujuan eksistensi adalah mengetahui sumber dari seluruh penciptaan, Allah Yang Mahakuasa.
Makna lain dari sajada adalah 'tunduk' dan melalui ketundukkan itu muncullah kebebasan. Kebebasan satu-satunya adalah pengakuan akan tiadanya kebebasan. Kebebasan satu-satunya adalah pengakuan batin langsung bahwa benar-benar tidak ada kemungkinan untuk kebebasan. Dari pengakuan tersebut muncullah kebebasan dan kelepasan yang pokok, yakni kebebasan yang nyata dan tak terbatas, kebebasan yang melampaui penciptaan kita dan setelah kematian kita. Tujuan kita adalah berada dalam kemabukan batin dan ketidakmabukan lahir, keterbebasan batin dan kesopanan serta kebaikan lahir. Dalam keadaan ini kita tidak menjadi sadar terhadap sesuatu, tapi menjadi kesadaran itu sendiri. Maka inilah manifestasi lahir dari sajdah, dari sujud, yang bersifat spontan. Itulah satu-satunya posisi manusia dan merupakan posisi yang terakhir dan juga yang pertama.
Setelah itu barulah kita dapat berbicara tentang pertanggungjawaban, karena dengan demikian kita memulai dari fondasi yang selalu tersedia. Dengan kata lain, jika kita ingin mengetahui apa yang benar atau salah, kita harus selalu sadar bahwa kita mati. Jika kita tidak berada dalam keterlepasan total, maka yang akan kita lakukan tak lebih dari membuat berbagai pertimbangan nilai dan membawa masa lalu kita ke masa sekarang.
Keterlepasan adalah kebebasan, dan dari kebebasan itu muncullah aksi yang bersih, yang jauh lebih dari sekadar reaksi. Namun pencarian kebebasan biasanya merupakan reaksi terhadap belenggu yang dipasang pada diri sendiri. Marilah terlebih dahulu kita berusaha membebaskan diri kita dari belenggu-belenggu individu ini sebelum mulai mencari kebebasan yang sejati.[]
SURAH AL-TIN
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ
1. Demi pohon ara dan zaitun,
Menurut tradisi, pohon ara melambangkan pohon Nabi Adam dan pohon zaitun melambangkan pohon Nabi Ibrahim. Juga, pohon ara menunjuk kepada masjid Nabi Ilyas di Palestina, sementara ohon zaitun menunjuk kepada masjid Nabi Musa. Thur Sinin juga masjid Musa dan al-balad al-amin pada ayat berikutnya adalah masjid Ka’bah, masjid kaum Muslim. Maka ‘negeri yang dijadikan aman’ dari ayat ketiga juga masjid Nabi Ibrahim.
Pohon zaitun pada dasarnya merupakan buah atau produk dari taman (surga), dan dalam pengertian inilah pohon-pohon tersebut dibicarakan. Karena berasal dari Taman Agung yang turun ke raman dunia, pohon-pohon tersebut melambangkan tempat-tempat di mana berbagai ramalan besar terjadi, itulah mengapa kita mengatakan bahwa mereka berasal dari surga. Namun tidak berarti bahwa pohon-pohon tersebut secara ajaib muncul dari surga. Yang benar adalah bahwa wilayah tempat munculnya para nabi ini dan kultur kaumnya berlandaskan pada pohon-pohon ini. Apabila kita meneliti fungsi buahnya, termasuk buah kurma, maka kita menemukan ternyata pohon-pohon tersebut merupakan suatu rangkaian yang menghubungkan berbagai kultur di sepanjang zaman. Mes-kipun berbagai peradaban datang dan pergi, namun pohon-pohon ini terus bertahan. Daya tahan mereka memungkinkannya untuk hidup selama ratusan tahun dan secara terus-menerus menghasilkan buah, meskipun mereka mungkin mengkerut dan tua. Mereka bagaikan gaung kebenaran yang menghubungkan dari zaman ke zaman. Bala tentara boleh saling membunuh dalam pertempuran, namun sang pohon tetap tegak bertahan.
وَطُورِ سِينِينَ
2. Dan demi Gunung Sinai,
Di tempat inilah Musa berkenalan dengan Allah dan berhadap-hadapan dengan Realitas. Di sinilah tempat hatinya terbuka, tempat ia melihat kebenaran. Juga tempat ia kemudian mengajak empat puluh pengikut terdekatnya untuk merasakan sendiri kebenaran.
وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ
3. Dan demi negeri ini yang dijadikan aman,
Di antara mereka yang berada di jalan kebenaran itu berkata bahwa inilah jantung dari 'arif billah (mengenal Allah). Dalam bahasa jalan tersebut, mereka menyebut jantung yang seperti itu sebagai 'kota damai'. Secara lahiriah maka yang dimaksud kota damai adalah kota Mekah.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
4. Sesungguhnya Kami menciptakan mannsia dalam bentuk yang paling baik.
Menurut keterangan ini, manusia telah diciptakan dengan sangat pas, dalam bentuk yang paling serasi dan simetris, dan paling potensial. Inilah yang dikehendaki Sang Pencipta pada manusia.
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
5. Lalu Kami merendahkannya serendah-rendahnya.
Secara lahiriah, setiap yang berwarna hijau dan berair akhirnya akan menguning dan kering, tandus dan buram. Segala sesuatu yang diciptakan akan hancur. Begitu pula manusia, kita melihatnya tumbuh dalam bentuk yang terbaik, dalam simetri yang paling tegak dan sempurna—muda, kuat, aktif dan sehat—namun kemudian kita akan melihatnya bungkuk dan posturnya kembali meliuk, seakan-akan ia sedang kembali ke masa kanak-kanaknya. Bisa berarti juga bahwa secara batiniah jika manusia menuju ke ujung ekstrem dari spektrurn nafs-nya maka ia akan menjadi lebih buruk dari binatang.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُمَمْنُونٍ
6. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka mereka akan mendapat ganjaran yang tak ada putus-putusnya.
Sifat manusia yang luhur adalah sifat ilahiah, tapi kadang manusia membiarkan dirinya condong ke bawah. Bagi mereka yang percaya dan beriman, manusia diciptakan di sini agar dadanya berkembang, agar mengenal apa yang sudah ada di dekatnya. Memang tidak cukup dengan hanya mempercayai hal yang abstrak, tapi kita pun hams beramal menurut kepercayaan itu dan dengan demikian kita mengaktualisasikannya. Jika tidak kita lakukan, berarti kita dibiarkan hanyut dalam pengetahuan teoretis belaka atau, kalau tidak, dengan ritus keagamaan yang hampa. Ritus tanpa filosofi hanyalah dongengan bodoh, dan filosofi tanpa ritus hanyalah latihan inteleklual semata; salah satunya saja tidaklah ada artinya. Keduanya harus dikombinasikan melalui manusia sebab manusia adalah satu, dan ia adalah pemersatu.
Pahala bagi orang beriman mengalir tiada henti karena pahala mereka adalah keadaan mereka yang sesungguhnya, dan keadaan jiwa yang terbebas pun tiada henti dan tanpa batas.
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ
7. Maka siapa yang dapat mendustakan kamu sesudah ini tentang Keputusan?
Setelah bukti-bukti nyata ini, taman-taman, pepohonan, pohon pengetahuan lahir dan batin yang disampaikan melalui pesan kenabian yang berulang-ulang—setelah semua ini—bagaimana kita dapat mengingkari beban utang kita? Bagaimana kita dapat mengingkari bahwa eksistensi kita di sini hanyalah untuk membebaskan diri dari beban utang kepada sang Pencipta, untuk melunasi utang janji kita kepada Allah sepenuh-penuhnya? Bagaimana kita bisa mengingkari kebenaran ini?
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
8. Bukankah Allah Hakim yang paling adil?
Apakah sang Pencipta bukan Hakim yang paling adil, yang paling tegas dalam keputusan?
Tidakkah keseluruhan penciptaan ini mewujudkan keadilan yang sesungguhnya? Jika kita tidak bertindak sesuai dengan keadilan itu dan tidak mengenal tanda-tandanya, maka kita akan terus menggelepar-gelepar tanpa petunjuk, yang menyebabkan kerugian dan kerusakan besar pada diri kita.[]
SURAH AL-INSYIRAH
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah ini berkaitan erat dengan surah sebelumnya, dan sebagian mufasir menganggapnya sebagai sambungan langsung dari Surah al-Dhuha. Bagaimana pun juga, surah ini ditujukan kepada Nabi dan diperluas kepada semua orang yang mengikuti jejak langkah Nabi.
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
1. Bukankah Kami telah melapangkan dadamu untukmu?
Syaraha berarti 'membukakan, menyingkapkan, menjelaskan, menerangkan atau menampakkan,' dan 'melapangkan'. Syaraha juga berarti 'memotong'. Dalam dunia bedah, kata tasyrih berarti pemotongan.
Shadara berarti 'kembali dari pengairan, melanjutkan, memancar, keluar', dan shadr adalah 'dada, payudara atau peti'. Jika seseorang mengatakan ia ingin 'mengambil sesuatu dari dadanya', maka sesuatu ini, tentu saja, bukan obyek fisik. Melainkan, sesuatu yang sudah ia kenakan sendiri pada dirinya, sehingga ia merasa terhimpit atau terbebani, seolah-olah ia tidak bisa lagi bernapas dengan bebas. Dengan melepaskan diri dari beban ini, dengan 'melapangkan' diri, maka yang jauh menjadi dekat dan yang sulit menjadi mudah.
Syarh (uraian terperinci, penjelasan) yang utama adalah berupa pengetahuan, penyaksian langsung bahwa yang ada hanyalah Allah. Itulah syarh yang terakhir; tidak ada apa-apa di luar itu. Tidak ada kelegaan di luar penyaksian langsung.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada Nabi, namun ia berlaku kepada semua orang. Beban kebodohan digantikan dengan beban kenabian, tapi beban tersebut menjadi ringan karena berbagai rahasia alam semesta telah diungkapkan kepadanya.
وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ
2. Dan mengangkat bebanmu dari (pundak)mu,
Wazara, akar dari wizr (beban, muatan berat), adalah 'memikul atau menanggung (suatu beban)'. Dari kata tersebut muncul kata wazir artinya 'menteri, wakil, konselor', yakni, seseorang yang membantu penguasa atau raja untuk memikul beban negara. Maksud ayat ini adalah bahwa kita dibebaskan dari tanggung jawab apa pun selain daripada sebagai hamba Pencipta kita. Jika kita sungguh-sungguh memahami penghambaan, maka kita tidak lagi terbebani seperti sebelumnya tapi kita malah hanya melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban kepada Allah, tanpa menambah beban lagi kepada diri kita.
الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ
3. Yang telah memberatkan unggungmu?
Lagi-lagi ini merupakan penjelasan metaforis. Ada di antara kita yang nampaknya memikul beban berat, meskipun, sebenarnya, tidak ada beban yang bersifat permanen. Jika kita selalu ingat akan Allah (zikrullah), sadar bahwa pada suatu saat napas kita bisa berhenti, dan bahwa kita akan segera kembali menjadi debu, maka kita pun akan sadar bahwa yang dapat kita lakukan saat ini hanyalah menghamba dan berusaha berbuat sebaik-baiknya. Tidak ada yang harus kita lakukan selain dari itu. Secara tidak sengaja mungkin kita telah mengundang kesulitan di dunia ini, namun kesulitan dunia ini tetap akan datang dan menemukan kita. Jika kita tidak memperdulikan orang fi sabilillah (di jalan Allah), jika kita tidak membantu orang, melayani dan membimbing mereka, maka berbagai kesulitan akan menimpa kita.
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
4. Dan meninggikan untukmu sebutan kamu?
Ini berkenaan dengan zikir lahiriah Nabi. Kita tidak bisa melakukan zikir lahiriah yang lebih tinggi dari Nama Allah. Zikir batiniah Nabi merupakan kesadaran beliau yang tak henti-henti, berkesinambungan, dan tidak terputus terhadap Penciptanya. Zikir Nabi terhadap Penciptanya memiliki kedudukan paling tinggi karena di antara ciptaan Allah beliaulah yang paling dekat kepada-Nya.
Ketika Nabi berzikir, zikimya diangkat lebih tinggi sehingga zikir Nabi berada di urutan paling tinggi; kehidupannya sendiri merupakan zikrullah.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
5. Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
6. Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan.
Dua ayat ini memberikan penjelasan khusus mengenai 'sang' kesulitan, yakni 'bersama kesulitan ada kemudahan', yang menunjukkan bahwa hanya ada satu kesulitan. Ini berarti bahwa pada setiap kesulitan ada dua kemudahan atau solusi. Solusi pertama adalah bahwa kesulitan akan berlalu: ia tidak bisa berlalu dengan sendirinya, tapi akhirnya ia akan berlalu karena lambat laun kita pergi darinya melalui kematian. Solusi kedua adalah bagi pencari sejati; solusinya terletak dalam pengetahuan tentang proses awal terjadinya kesulitan kemudian melihat kesempumaan di dalamnya.
Umpamanya, seseorang bisa saja melakukan kesalahan dengan memasuki areal proyek pembangunan yang berbahaya sehingga kepalanya tertimpa sesuatu. Ia mungkin saja tidak menyadari berbagai faktor yang terkait dengan kecelakaannya, apakah orang lain bermaksud mencelakakannya atau tidak, tapi yang jelas ia akan mengalami musibah itu. Begitu ia mengetahui bagaimana musibah itu terjadi, betapa sempurna kejadiannya! Kepalanya akan terluka, tapi itu pun akan sembuh: itu adalah kemudahan lain. Bersamaan dengan sulitnya merasakan pemisahan muncul pertolongan untuk mengetahui bahwa kita berhubungan.
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
7. Maka jika engkau sudah bebas, tetaplah tabah bekerja keras!
Makna syari’ (lahiriah) dari ayat ini adalah bahwa begitu kita selesai berurusan dengan dunia dan dengan segala tanggung jawab kita di dalamnya, hendaknya kita bersiap-siap untuk mencari pengetahuan langsung tentang Realitas Ilahi. Menurut penafsiran golongan ahl al-Bayt tentang ayat ini, bila kita selesai menunaikan salat-salat formal kita, maka hendaknya kita melanjutkan ke tahap berikutnya, yakni begadang sepanjang malam melaksanakan salat lagi, zikir dan belajar. Bila kita sudah menyelesaikan segala kewajiban kita terhadap penciptaan dan terhadap Pencipta kita, maka hendaknya kita berbuat lebih, dan mencurahkan diri kita sepenuhnya. Perjuangan dan upaya batin ini adalah makna harfiah dari kata jihad, yang hanya dalam peristiwa tertentu saja menjadi 'perang suci'.
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
8. Dan jadikanlah Tuhanmu sebagai tujuan [kerinduan] engkau semata!
Ketika kita mempraktikkan hasrat keingintahuan kita, bila kita menginginkan pengetahuan, maka kita akan menjadi pengetahuan, persis sebagaimana kita mempraktikkan kemarahan, maka kita pun akan menjadi kemarahan. Begitu kita meletakkan dasar-dasar yang perlu untuk menunaikan segala kewajiban kita, maka kita pun sah untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan kita. Bagaimana pun, menunaikan kewajiban kita terlebih dahulu adalah penting, karena, kalau tidak kita akan melaksanakan keinginan untuk melarikan diri.[]
SURAH AL-DHUHA
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Salah satu tafsir tradisional yang sering dikutip menjelaskan bahwa surah Makkiyah awal ini merupakan surah yang memecahkan masa bungkam. Selama masa bungkam tersebut tidak ada wahyu bam yang turun kepada Nabi. Adapun konteks historis dan gambaran rinci tentang suasana yang melatarbelakangi turunnya surah-surah Alquran, sebagian besar sudah kita ketahui. Rincian-rincian historisnya bisa dibaca dalam berbagai kitab tafsir lain. Yang menarik perhatian kita di sini adalah bagaimana agar kita, sebagai bagian dari debu-debu langkah kaki Nabi, dapat segera menerapkannya pada diri kita sendiri.
وَالضُّحَى
1. Demi terangnya waktu pagi,
Dhuha adalah saat-saat yang menyusuli matahari terbit ketika kita bermandikan sinar terang mentari pagi. Dalam ayat ini Allah sedang berkata: "Demi penyaksian langsung di mana pengetahuan datang kepadamu; demi penyaksian terhadap Kebenaran, terhadap Realitas; demi waktu tatkala segala sesuatu yang gelap diterangi oleh cahaya yang cemerlang!"
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
2. Dan demi malam tatkala sunyi-senyap,
Allah juga bersumpah demi lawannya waktu pagi, yakni saat kegelapan malam dan kebodohan mengambil alih. Baik cahaya pengetahuan maupun kegelapan tanpa pengetahuan dua-duanya adalah ciptaan Allah. Inilah keseimbangan dari seluruh eksistensi yang diperintah oleh Allah sebagai sang Maharaja.
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
3. Tuhanmu tidak meninggalkanmu, dan tidak juga membencimu.
Penduduk Mekah mengolok-olok Nabi dengan mengatakan bahwa Tuhan telah meninggalkan beliau, terbukti dari kenyataan bahwa beliau tidak lagi menerima wahyu Alquran secara teratur dan langsung. Kita dapat mengambil manfaat dari peristiwa ini. Setiap orang pernah mengalami masa-masa di mana sama sekali tidak mendapatkan ilham. Kejadian ini normal-normal saja dan mungkin disebabkan oleh sejumlah faktor. Ada juga masa-masa di mana kita benar-benar dipenuhi ilham, seakan-akan kita telah dibukakan untuk itu. Ada hari-hari tertentu di mana kita lebih baik membajak dan mengolah tanah, melakukan hal yang sederhana; di hari lainnya kita lebih baik duduk berkontemplasi dan begadang semalam suntuk melakukan salat, namun demikian di hari lainnya lagi lebih baik terlibat dalam aktivitas, melihat dunia, mengunjungi orang, dan sebagainya. Pada suatu hari tertentu, masing-masing orang akan mengalami orientasi yang agak berbeda.
Pada saat kita merasa tidak berada lagi dalam keadaan musyahadah (penyaksian), dan tidak lagi menyaksikan tangan Allah bekerja di balik segala sesuatu, tidaklah berarti kita jauh dari Allah atau bahwa kita terpisah dari-Nya. Bisa saja itu merupakan pertanda ada sesuatu yang salah pada kita. Jika seseorang terluka tangannya dan merasakan sakit yang sangat, maka bagaimana ia dapat senantiasa menyadari nilai-nilai luhur yang ada di dalam dirinya? Pada saat itu perhatiannya terserap oleh tuntutan fisik: tangan, luka, sakit. Hal ini normal dan orang tersebut hendaklah merawat lukanya sampai sembuh.
Dengan kejadian tadi tidak berarti bahwa Allah telah meninggalkannya. Tangannya mungkin patah, sehingga yang terbaik baginya adalah istirahat dan berusaha melihat hikmah di balik kejadian tersebut. Mungkin juga hal itu terjadi bukan hanya untuk kepentingannya, tapi bisa jadi agar seseorang lain yang biasanya hatinya sekeras batu menjadi bersimpati kepadanya. Implikasinya di sini adalah bahwa segala sesuatu mesti melibatkan hal-hal yang ber-lawanan (siang dan malam, laki-laki dan perempuan, hidup dan mati). Ini adalah contoh dari mizan (timbangan). Allah, Tuhan kita, senantiasa ada, dan tiada kemarahan, yang ada hanyalah cinta. Perasaan bahwa ada kemarahan muncul hanya karena tidak adanya keyakinan dan keimanan pada kita.
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى
4. Dan sesungguhnya yang akan datang itu lebih baik bagimu daripada yang telah berlalu sebelumnya.
Inilah janji yang diberikan kepada Nabi tentang kemenangan terakhir. Ayat ini juga berbicara tentang apa yang akan terjadi di saat akhir. Alam akhirat, 'hari 'akhir', juga berarti 'alam baka', alam yang lebih baik karena ia berada di wiiayah tak berbatas waktu, abadi. Di sini, di dunia ini, kita tidak bisa menguasai apa pun. Apa pun yang kita tegakkan, pasti ada hal lain yang akan meruntuhkannya; begitulah sifat dari waktu dan gerak dinamis kehidupan. Siapa yang memiliki tingkat kecerdasan tertentu akan segera menarik kesimpulan bahwa dunia ini bersifat sementara. Dunia akan cepat sekali ditinggalkan sehingga kita tidak dapat memprediksi perjalanannya dengan pasti. Yang dapat kita yakini hanyalah bahwa tatkala satu siklus waktu berhenti maka fase berikutnya akan mulai.
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى
5. Dan Tuhanmu segera akan memberikan kepadamu sehingga kamu merasa senang.
Rabb (Tuhan)—Dialah Yang menumbuhkan kita hingga mencapai potensi penuh, mencapai totalitas kita—akan memperlihatkan tanda-tanda-Nya kepada orang-orang yang memiliki iman. Kesadaran orang beriman tidak hanya akan membuat mereka mampu memahami tanda-tanda-Nya, tapi juga mampu bersabar menghadapi tanda-tanda tersebut.
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى
6. Bukankah Ia menemukanmu seorang anak yatim dan kemudian memberi perlindungan kepadamu?
Bukankah Ia menemukanmu sebagai anak yatim yang kesepian, terpisah, dan terputus? Nabi Muhammad sudah yatim sejak lahir. Bapaknya meninggal sebelum beliau lahir, dan ibunya meninggal, menurut sebagian sumber, saat beliau berusia dua tahun, dan menurut sumber lainnya, saat beliau berusia enam tahun. Ayat ini mengatakan, 'Tidak bisakah kau saksikan bahwa orang yang tidak memiliki bapak atau pelindung pun keadaannya terus berkembang?' Pertama-tama Nabi dirawat oleh kakeknya, kemudian pamannya. Sama halnya dengan yang terjadi pada kita masing-masing: andaikan kita menengok kesendirian kita di masa lampau, kita bisa melihat bahwa ketika waktu berlalu dengan intensitasnya yang berkurang, atau bahwa meskipun teman baik kita pergi meninggalkan kita, kita tetap saja mendapat teman baru lagi.
Nabi pernah berkata tentang anak yatim, 'Aku dan orang yang merawat anak yatim bagaikan ini (sambil merapatkan dua jarinya) di surga, seandainya ia bertakwa kepada Allah.' Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa yang ada hanyalah keterhubungan, hanya Satu. Tapi meskipun kita menyukai kesatuan, namun sayang kita telah salah menafsirkannya dengan hanya melindungi orang yang sudah mempunyai hubungan, hanya melindungi orang, umpamanya, yang dicintai oleh bapaknya dan, oleh karenanya, yang sudah mempunyai hubungan. Kita lupa bahwa anak yatim di sini adalah untuk menunjukkan kepada kita akan pentingnya keterhubungan dan takutnya terhadap keterpisahan dan kesendirian. Menjauhi anak yatim merupakan suatu bentuk kebalikan dari pemujaan terhadap tauhid. Sebagai penyembah Keesaan Allah selamanya, maka kita merasa secara duniawi harus menghubungkan dengan orang-orang yang sudah berhubungan, dan menolak mereka yang terpisah.
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
7. Dan Ia menemukan engkau tersesat, lalu Ia memberikan petunjuk kepadamu?
وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى
8. Dan Ia menemukan engkau sedang membutuhkan, lalu Ia mencukupinya?
Nabi juga seorang yatim dalam arti keharusannya untuk mengalami pengetahuan langsung tentang Allah. Maka Allah berkata, 'Apakah Dia tidak menunjukimu ke jalan yang benar?' Allah meinbimbing Rasul sampai kemana pun ia memandang, ia melihat tangan Allah.
Allah berkali-kali menjumpai Nabi dalam keadaan miskin, lalu Dia memberinya bekal. Kita semua membutuhkan bekal. ‘A’il (miskin) juga berarti 'tergantung', dan dari kata itu kemudian muncullah kata 'a’ilah, yang berarti 'keluarga'. Kita semua tergantung pada sesuatu, membutuhkan keamanan baik jasmani maupun rohani.
Nabi terkenal sebagai amin (terpercaya). Beliau orang yang paling jujur dan terbuka, dan percaya terhadap Sang Pencipta. Tidak lama kemudian seorang wanita terkaya dari suku Quraisy, Khadijah namanya, wanita lajang yang paling diidam-idamkan dari golongan mereka, menikahinya dan memberikan segala yang dimilikinya kepada beliau. Hubungan mereka membuat banyak orang yang tidak suka berusaha menciptakan berbagai kesulitan di antara keduanya. Mereka berkata kepada Khadijah, 'Lihatlah bagaimana seluruh kekayaanmu sedang dihambur-hamburkan oleh Nabi Muhammad!' Namun bukannya cemas, Khadijah malah bangga karena Nabi memanfaatkan hartanya, puas bahwa harta yang disediakannya untuk Nabi digunakan di jalan Allah.
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
9. Oleh karena itu, terhadap anak yatim, janganlah menindasnya.
Kita masing-masing pernah merasakan kesendirian di dunia ini, mengalami kerugian, khawatir akan perbekalan kita dan dipenuhi dengan perasaan tidak aman. Namun dengan melongok ke belakang kita pun tahu bahwa kita berada dalam keadaan lebih baik sekarang, karena sekarang kita memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak. Akibatnya, kita sekarang bisa benar-benar bersyukur kepada Tuhan, dan cara kita bersyukur kepada Allah digambarkan dalam ayat ini dan dua ayat berikutnya. Kita tidak boleh menekan, menindas, membiarkan, atau menggunakan kekerasan kepacla anak yatim, atau lebih luas lagi, kepada setiap orang yang merasa terpisah dan tersisihkan di dunia ini.
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
10. Dan terhaclap orang yang bertanya, janganlah mengusirnya,
Ini menyangkut orang miskin, apa pun kebutuhannya, baik kebutuhan terhadap harta maupun pengetahuan. Mungkin saja si miskin itu suka mementingkan dirinya sendiri, tapi ia menganggap dirinya miskin sehingga datang kepada kita. Karena mungkin memang benar ia sedang membutuhkan maka kita tidak boleh mengusirnya. Kita harus saling membantu dalam kehidupan ini, dan saling meringankan penderitaan sesama.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
11. Dan tentang nikmat dari Tuhanmn, maka siarkanlah!
Allah sedang mengatakan, 'Yang ada hanyalah nikmat Tuhanmu, maka bersyukurlah kepada-Nya dengan membicarakannya, dengan menerangkannya, dengan menyediakannya, dengan menyatakannya.' Jika yang kita anggap sebagai nikmat itu adalah sebuah rumah, maka hendaklah kita menggunakannya, bukalah pintunya agar dapat dimanfaatkan dan dipenuhi oleh tetamu. Begitulah caranya kita dapat berbicara tentang nikmat dan rahmat Allah. Namun zaman sekarang kebanyakan orang takut. Umpamanya, zaman sekarang kalau kita bertanya kepada seorang penjaga toko di pasar apakah usahanya beruntung, jawaban yang diberikannya mungkin bernada sumbang karena takut kalau jawabannya 'ya' ujung-ujungnya akan dimintai uang. Apa gunanya suatu nikmat kalau tidak di-hidupkan, tidak dikenal dan dirasakan bersama? Banyak orang yang akhirnya menumpuk uang yang disembunyikannya sehingga tetap tidak digunakan sampai saat kematiannya. Apa manfaatnya harta itu bagi dia?
Allah mendorong kita untuk membicarakan apa saja kebaikan yang datang kepada kita. Bila hal ini menjadi kebiasaan, maka kebersamaan tersebut akan mendatangkan kebaikan pada kita, dan kita akan menjadi optimistis, itulah sifat kita sesungguhnya, karena manusia terapung di samudera rahmat Allah. Pada hakikatnya yang ada hanyalah 'masa depan yang cemerlang', karena babak penghabisan tak lain adalah kecemerlangan nur (cahaya) Allah. Kita semua akhirnya akan mencapai cahaya itu, lantas mengapa kita harus membuat diri kita dan orang lain menderita sepanjang jalan? Bagaimana pun, segala kesulitan kita hanyalah akibat dari keterlibatan kita sebagai pengelola dalam persiapan untuk menjalani realitas akhir itu.[]
SURAH AL-LAYL
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
1. Demi malam tatkala menutupi,
Sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah lautan tanpa-penciptaan yang tak terduga kedalaman dan luasnya. Sebelum sang bayi meninggalkan rahim maka yang ada hanyalah kegelapan. Kebodohan adalah kegelapan yang menjadi selubung keterpisahan dan keputusasaan. Andaikan kita berjalan dari awal penciptaan, kita akan menemukan bahwa untuk setiap malam ada siang, dan siang hari akan bersinar terang. Bagi pencari pengetahuan, temaram keterjagaannya akhirnya akan menjadi hari yang bersinar terang.
وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى
2. Dan demi siang tatkala membuka diri,
Andaikan kita mulai dengan mengenali kegelapan, kebodohan clan kesengsaraan kita secara umum, andaikan kita menghadapinya dan memahami realitasnya, dan andaikan kita berada di Jalan yang benar, maka kita harus mengetahui bagaimana kebodohan itu terjadi. Dengan mengetahuinya kita akan terbebas dari belenggu malam; siang hari akan menjadi terang, dan akhirnya akan membuahkan pengetahuan yang pasti.
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَى
3. Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,
Hal-hal yang berlawanan—laki-laki dan perempuan, siang dan malam, hidup dan mati—diciptakan dalam bentuk yang saling bersesuaian, dan ini semata-mata agar kita tahu bahwa ternyata akar seseorang terletak pada lawannya dan bahwa seseorang tidak bisa ada tanpa ada seorang lainnya. Laki-laki tidak bisa ada tanpa perempuan, juga perempuan tidak bisa ada tanpa laki-laki. Mereka adalah dua lawan dari sebuah realitas tunggal.
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى
4. Sesungguhnya, usaha kamu adalah [untuk] berbagai [tujuan].
Sa'i berarti 'berusaha, berjuang, berupaya keras'. Kita semua sedang berusaha, setiap orang berusaha sesuai dengan niat, orientasi, dan dzawq (selera)-nya. Salah seorang wali Allah pernah berkata, 'Upaya (atau perjuangan dalam arti pencarian) ‘aql adalah mencari keajaiban.' Akal berupaya melihat atau menyaksikan berbagai keajaiban, dan keajaiban bisa diartikan sebagai keberlimpahan Allah dalam penciptaan yang tidak secara jelas atau secara benar ditafsirkan oleh kita pada saat keajaiban tersebut nampak. Hal ini berkenaan dengan berbagai peristiwa atau fenomena yang apabila dilihat dengan kacamata intelek akan nampak alamiah; tapi bagi orang yang inteleknya tidak sepenuhnya tersadarkan maka mungkin semua itu nampak luar biasa.
Wali tersebut kemudian berkata lagi, 'Upaya hati adalah mengusahakan penyaksian langsung, dan bagi roh (jiwa) maka penyaksian tersebut berarti mengalami kedekatan,' (artinya menyaksikan segala sesuatu dengan pandangan hakikat); dan upaya yang berkenaan dengan rahasia-rahasia yang paling dalam merupakan upaya untuk lenyap dalam cahaya Hakikat sehingga mereka berada dalam cahaya Sifat-sifat Allah'.
Upaya atau perjuangan yang dilakukan oleh manusia adalah sedemikian rupa sehingga aspirasi setiap orang berbeda; ada yang melakukannya melalui mahabbah (cinta [timbal-balik]), ada yang melalui iradah (keinginan, hasrat), ada lainnya yang melalui syawq (kerinduan). Bentuknya berbeda-beda sesuai dengan orientasi individu.
Sa’i juga berarti 'bersegera dengan maksud tertentu, berlari', dan seperti disebutkan sebelumnya, adalah nama yang diberikan kepada kegiatan berlari antara Safa dan Marwah di Mekah yang dilakukan sebagai bagian dari prosesi haji. Manusia berangkat dari satu ujung ke ujung lainnya seolah-olah sedang bersegera menuju suatu tujuan yang pasti, di mana sebagaimana dikatakan dalam Alquran: "Setiap orang akan melihat Wajah Tuhannya."
فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى
5. Adapun orang yang memberi dan bertakwa,
Ayat ini menunjuk kepada orang yang menyerahkan dirinya (a’tha, menawarkan, menyajikan), yang telah memberikan sesuatu yang menurut anggapannya merupakan miliknya yang terbaik. la adalah orang yang secara total berserah diri disertai pengakuan bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa, tidak menguasai apa-apa, dan bahwa tujuan dia dalam eksistensi ini semata-mata untuk mengenal kerahiman Penciptanya. Jika ia melepaskan jiwa rendahnya, maka ia menghindari pelanggaran dan, dengan cara demikian, ia menghindari penyiksaan diri.
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
6. Dan meyakini yang baik,
Shaddaqa berarti 'mempercayai, meyakini', dan dari kata ini muncul makna 'memberikan derma'. Keyakinan kita menegaskan bahwa Allah adalah Sang Maha Pemberi. BenUik pertama kata shaddaqa adalah shadaqa (tulus hati, jujur), dan merupakan akar dari shidq, yang berarti 'kejujuran' dan 'ketulusan hati'. Imam Ja'far disebut al-Shadiq karena ia terkenal akan kejujurannya. Dengan memiliki sifat shidq berarti seseorang bersikap jujur terhadap Penciptanya, yakni mengakui bahwa semua yang ada ini hanyalah pemberian semata-mata. Dia adalah satu-satunya Pemberi, sementara kita sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan mengakui bahwa kita tidak memiliki apa-apa dalam harta ataupun kekuasaan, maka kita menegaskan hal yang benar. Seandainya kita percaya terhadap hal yang baik, terhadap keunggulan, maka kita mempertegas kebenaran tertinggi, yakni, bahwa Allah tidak menginginkan apa pun dari ciptaan-Nya selain husn (kebaikan) dan rahmat untuk setiap orang. Kita menegaskan kebenaran mutlak tersebut secara batiniah, lalu kita menegaskannya dari sudut pandang syariat, yakni dengan cara mendermakan apa yang telah diberikan kepada kita dari husn yang nampak, berkah dan nikmat Allah. Dengan menunjukkan pemberian Allah kepada kita secara lahiriah, maka secara badniah kita menegaskan bahwa kita berasal dari Allah, oleh Allah, dan ke hadirat Allah kita kembali.
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
7. Kami akan memudahkan jalannya menuju kemudahan.
Barangsiapa meyakini janji Allah ini dan mengikuti jalan ini maka ia akan dipimpin menuju jalan kemudahan dan pada saat akhir nanti dia akan dimudahkan. Allahlah yang akan memudahkan perjalanan dan kedatangannya.
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
8. Adapun bagi orang yang kikir dan berpikir dirinya tidak tergantung dalam harta,
Bukhl berarti 'sifat hemat, kekikiran', dari bakhila, 'bersikap kikir'. Sikap kikir akan menghentikan aliran kedermawanan Allah yang masuk melalui hati dan keluar melalui tangan. Orang bakhil adalah orang yang mencoba menghentikan kehendak Allah, dan hal ini nampak dari perbuatannya yang berusaha menghentikan tujuan penciptaan. Istaghna berasal dari ghaniya, yang berarti 'bebas dari keinginan, kaya, tidak ada kebutuhan'. Tegasnya di sini berarti 'Orang yang mengira dirinya sanggup mencukupi keperiuannya sendiri atau tidak bergantung'. Karena itu ia terputus; ia mengira bahwa dirinya kaya berkat karya dan hartanya yang cukup sehingga menganggap dirinya sebagai makhluk superior.
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى
9. Dan ia mendustakan apa yang baik,
Barangsiapa menganggap dirinya tidak bergantung pada kerahmanan Allah maka ia telah mengingkari realitas bahwa seluruh tujuan penciptaan, yang nampak maupun yang tidak nampak, bergantung pada kepercayaan terhadap hal yang baik. Jika seseorang tidak mampu melakukan apa saja yang basan (baik), maka setidaknya hendaklah ia memelihara sikap dan hubungan yang menyenangkan. Seandainya perbuatan dia tidak memberikan manfaat, maka paling tidak biarlah dalam hatinya saja sehingga ia tidak merugikan yang lain.
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
10. Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.
Jalan akan menjadi sulit bagi orang yang menolak hal yang baik. 'Usr adalah lawan dari kemudahan, artinya 'kesulitan, penderitaan, kemalangan, kesukaran'. Maka orang yang menolak kebaikan tidak akan mendapatkan apa pun selain kesempitan di sepanjang jalannya.
وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى
11. Dan hartanya tidak akan menolong dia tatkala ia binasa.
Apa gunanya harta lahir atau batin yang telah ia kumpulkan jika ia kembali kepada Allah dalam keadaan kacau? Aradda berarti 'menyebabkan jatuhnya, menghancurkan, merusak, atau membunuh'. Jika orang seperti itu sudah sedang terbakar dalam apinya sendiri, dalam kebodohan malamnya, maka apa gunanya segala harta yang telah dia tumpuk apabila ujung-ujungnya masuk neraka (jahanam)?
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى
12. Sesungguhnya tanggung jawab Kamilah untuk memberikan petunjuk,
Allah berfirman, "Kami bertanggung jawab untuk menunjukkan jalan", menunjukkan makna dari hidayah (petunjuk). Ini berarti bahwa jalan hakikat, tujuan eksistensi, akan menunjukkan kepada kita jalan keluar dari kegelapan yang nyata. Terserah kepada realitas untuk menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak terpisah, dan bahwa kita merupakan bagian penting dari penciptaan dan kesaling-berhubungannya.
وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَى
13. Dan sesungguhnya akhirat dan [kehidupan] yang pertama itu adalah kepunyaan Kami!
Segala kebaikan dan keberkahan dari kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya, semua berkah penciptaan dalam segala bentuknya, semua yang datang kemudian dan semua yang ada sekarang, dicakup, dimiliki dan dikuasai oleh Raja Tunggal Sejati. Tujuan dari semua keberkahan ini adalah untuk mempedomani kita dalam menempuh jalan hidayah yang sempit, hidayah yang datang berkat ketakwaan, yakni kesadaran yang tidak pemah putus bahwa kita dikelilingi oleh bahaya.
فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى
14. Maka Aku memperingatkan kamu tentang api yang menyala,
لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى
15. Tidak ada yang akan masuk ke sana kecuali orang yang paling celaka,
Orang yang syaqi (sengsara, tidak bahagia, celaka) adalah orang yang mengingkari pesan dan tujuan eksistensi. Kalau dia melakukan pengingkaran secara lahiriah maka ia akan mencapai kesudahan yang digambarkan dalam ayat ini, yakni, al-Nar al-Kubra (api yang besar). Orang ini sudah berada dalam api kecil, dan ini merupakan persiapan untuk memasuki api besar. Bahkan akibat seperti ini pun merupakan contoh dari belas kasih Allah: Dia mempersiapkan mereka untuk menjalani kekacauan yang lebih besar melalui pengalaman mereka merasakan api yang lebih kecil di dunia ini.
الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى
16. Yang mendustakan dan berpaling.
Ini berkenaan dengan orang-orang yang ingkar, yang merasa memiliki jalan sendiri, dan berimajinasi bahwa mereka tidak bergantung pada Allah.
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى
17. Tapi akan dijauhkan dari itu (neraka) orang yang menjaga diri dengan bertakwa.
Barangsiapa bertakwa, maksudnya barangsiapa menjaga diri dari perbuatan salah dengan memelihara ketakwaan, dan senantiasa ingat akan tujuan lahiriah dari eksistensinya dan ingat terhadap utang kepada Penciptanya karena ketidakterpisahan batinnya, dan berusaha keras menyucikan niatnya serta berbuat sebaik-baiknya, orang ini akan ditarik mendekati Kebenaran, mendekati Allah, dan dijauhkan dari neraka.
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
18. Yang memberikan hartanya sehingga ia bisa tumbuh dalam kesucian.
Apa pun harta yang dimilikinya—tidak hanya dalam pengertian material tapi juga ilmu pengetahuan—lantas ia berikan dengan sukarela. Mal berarti 'harta milik, properti, kekayaan, barang', dari mawwala, yang berarti 'memperkaya, mendanai, menjadi kaya'. la menunjukkan pendakian menuju sesuatu. Jika kita menginginkan sesuatu, maka kita mendaki ke arahnya. Ayat ini mengenai orang yang menambah kekayaannya dengan cara membagi-bagikannya karena jika ia menahannya, maka hartanya tidak akan mengalir. Hal yang sama berlaku pada ilmu pengetahuan. Jika kita menyembunyikan ilmu pengetahuan, maka kita tidak akan mengizinkan pengetahuan baru mengalir ke-pada kita dari satu-satunya gudang pengetahuan, dari Allah. Semakin banyak kita memberi semakin banyak persediaan kita terisi lagi, dan semakin banyak gudang kita dipenuhi lagi.
وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَى
19. Dan tak seorang pun yang bersamanya mendapat kenikmatan sebagai ganjaran,
Jaza’ (imbalan, ganjaran) disebabkan oleh, dan merupakan hasil dari, perbuatan seseorang. Apa pun nfmah (nikmat, kesenangan, kenyamanan, kebahagiaan) yang kita miliki bukanlah dari kita. Kita tidak memiliki apa pun. Kita di sini hanya untuk melakukan penyaksian, syahadah (penyaksian keimanan), sehingga dari sini dan seterusnya kita akan selalu menyaksikan Allah, Yang Senantiasa Terang.
إِلَّا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى
20. Kecuali orang yang mencari Wajah Tuhannya, Yang Mahaluhur.
وَلَسَوْفَ يَرْضَى
21. Dan ia akan segera mendapat ridha-Nya.
Artinya, tujuan dan kepentingan kita—keseluruhan tujuan hidup kita di sini—adalah untuk melihat Wajah Tuhan. Jika kita melihat penampakkan lahiriah dari ciptaan Tuhan, dan menyaksikan bagaimana Ketuhanan mewujudkan diri dan berkuasa—sehingga untuk semua penciptaan Allah telah menyediakan makanan dan perlindungan, menciptakan awal dan akhimya, dan memberinya keseimbangan yang sempurna—maka pasti kita dilanda kerinduan, dan sebagai pencari kemudian kita rindu melihat Wajah Allah, rindu akan penampakkan lahiriah dari sang Realitas. Dikatakan di lain tempat dalam Alquran: 'Kemana pun kamu menghadap, di sana Wajah Allah.'
Jika ini merupakan arah yang sedang kita tuju, maka dengan mencapai cahaya pandangan dan kebangunan batin kita akan mendapat kesenangan, dan kesenangan akan dialami di sini dan juga di dunia akan datang. Kita tidak akan mendapat apa-apa selain ganjaran atas segala perbuatan kita semata-mata yang berasal dari niat kita yang bersih. Kita pun akan keluar dari gelapnya kehampaan dan akhirnya akan mencapai cahaya pengetahuan, dengan menghadapkan wajah kita kepada Wajah Allah, Yang Mahamulia, Dia Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.[]
SURAH AL-SYAMS
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا
1. Demi matahari dan panasnya,
وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا
2. Dan bulan tatkala memantulkan cahaya matahari,
Surah ini mulai dengan bersumpah demi matahari yang bersinar cemerlang. Matahari selalu melambangkan Kebenaran, sumber energi utama, sementara bulan menunjukkan refleksi dari energi itu. Matahari pengetahuan kita adalah Nabi Muhammad, dan mereka yang mengikuti jejak langkah beliau adalah laksana bulannya karena, paling banter, mereka merefleksikan sebagian cahaya kenabian dari permukaan taman mereka. Bayangan senantiasa mengikuti cahaya siang dan gema mengikuti suara. Begitu pulalah hubungan antara Allah, sang Pencipta, dan manusia. Allah ingin mencipta dan oleh sebab itu Dia menciptakan manusia, entitas yang meliputi makna seluruh ciptaan-Nya.
وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا
3. Dan siang tatkala ia dengan jelas menampakkannya,
Jala berarti 'menjadi jelas atau wujud, menjadi besar atau termasyhur.' Jadi ayat ini dapat diartikan, 'Tatkala siang bersinar cemerlang dan jelas, maka wujudnya nampak.' Bisa juga hal itu menunjuk kepada saat di mana pengetahuan batin—siang harinya batin—bersinar dalam hati dan membuat hati terbuka, sehingga yang terlihat tak lain hanyalah Kebenaran.
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا
4. Dan malam tatkala menutupinya dengan selubung,
Dalam eksistensi ini gelap malam datang menutupi cahaya siang, persis seperti datangnya kematian menutupi rahasia manusia yang berpengetahuan, sedangkan kegelapan yang disebabkan oleh kebodohan akan menutupi orang-orang yang berpotensi untuk mendapat pengetahuan.
وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا
5. Dan langit dan Dia yang membangunnya,
وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا
6. Dan bumi dan Dia yang menghamparkannya,
Kata bana berarti 'membangun, menyusun', dan dari situ muncul kata untuk anak laki-laki (ibn) dan anak perempuan (ibnah). Kita sedang ditanya, Tidakkah engkau lihat, demi siang yang terang dan demi malam yang terang, demi malam yang menutupi siang dan demi susunan lelangit yang berada dalam keseimbangan, dan demi bumi dan permukaan serta fungsinya? Tidakkah engkau menyaksikan semua keanekaragaman ini?' Perhatian kita ditujukan pada kesempumaan sistem-sistem ini sehingga membuat kita merenungkan Sang Pencipta kesempurnaan ini.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
7. Dan jiwa dan Dia Yang membuatnya seimbang.
Sawiya berarti 'membuat sama, rata, proporsional, sempurna dan sama tinggi'. Allah bertanya, 'Tidakkah engkau melihat kerumitan jiwa (nafs) yang benar-benar sangat menakjubkan, keseimbangannya yang ruwet, dan kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas?'
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
8. Maka Ia memberinya ilham untuk memahami apa yang jahat untuknya dan agar memiliki kesadaran, yang disertai rasa takut, akan apa yang baik untuknya.
Realitas-realitas yang ada dalam nafs diilhamkan oleh Allah, dan semuanya sudah ada di dalam nafs sejak sebelum lahir. Realitas tidak masuk ke dalam nafs belakangan setelah lahir. Alhama artinya 'mengilhamkan', dan iltahama, dari kata yang sama, berarti 'menelan, melahap'. Maka kecenderungan baik dan buruk sudah diperkenalkan kepada nafs, bersama dengan semua aspek lainnya yang bermacam-macam. Jiwa telah ditunjukkan pada dua jalan yang disebutkan dalam Surat al-Balad, ayat 10. Di kedua jalan itu ada pelanggaran nafs dan ada juga ketakwaannya, ada kesadarannya yang disertai rasa takut dan ada perjalanannya di sepanjang jalan rububiyyah (Ketuhanan). Kita diminta untuk melihat pada kesempurnaan keadilan yang telah diberikan kepada nafs, dalam rangka menyeimbangkan berbagai kecenderungan yang berlawanan.
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
9. Sungguh akan beruntung orang yang menumbuhkan jiwanya dalam kesucian,
Orang yang menempuh jalan penyucian nafs menyucikannya dengan mengenali apa penyebab ketidaksuciannya. Ini berkenaan dengan orang yang memperbesar nafs yang tinggi dengan mengurangi energi dan kepuasan nafs yang rendah. Dengan mengurangi pelanggaran, berarti kita meningkatkan kesadaran yang disertai rasa takut, dan dengan meningkatkan kesadaran tersebut berarti kita mengurangi pelanggaran. Dengan meningkatkan penyucian (tazkiyah), kita menjadikan nafs berhasil memenuhi tujuan penciptaannya. Semua ini terjadi melalui dualitas, melalui penciptaan langit dan bumi. Allah memberitahu kita, 'Kebenaranlah yang akan engkau menangkan, engkau akan menjadi apa yang Aku harapkan darimu, engkau akan mendekati makna eksistensi ini dan engkau akan ditelan oleh makna tauhid, jika engkau menyucikan diri.'
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
10. Dan sungguh akan merugi orang yang merusaknya.
Dassa berarti 'merencanakan atau bersekongkol, menguburkan, menyembunyikan'. Dasisah berarti 'persekongkolan rahasia'. Dussa lahu berarti 'ia diracun secara diam-diam'. Kecintaan kepada dunia ini diberikan kepada kita secara rahasia, secara tersembunyi dan secara terbuka, dalam gemerlap barang yang disodorkan secara menggiurkan di hadapan kita dalam dunia ini. Dengan mendapat jalan untuk memahami motivasi batin, maka siapa pun yang berkonspirasi untuk menutupi kesadaran terhadap pelanggarannya akan berakhir dalam keadaan putus asa dan hilang harapan. Khaba berarti 'kecewa atau frustrasi'. Kita hanya dapat merasakan kecewa jika kita telah gagal. Kegagalan untuk memenuhi harapan eksistensi yang lebih tinggi disebabkan karena kita menyimpang atau tidak mengikuti dorongan batin terhadap petunjuk yang telah ditempatkan oleh Sang Pencipta di dalam nafs.
كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا
11. Kaum Tsamud mendustakan [kebenaran] dalam pelanggaran mereka yang berlebihan,
Orang-orang yang berbuat salah dan menyesal tapi tidak berusaha mengatasi nafs rendahnya akan merugi. Cara untuk mengatasi kebiasaan ini adalah dengan melepaskan jiwa rendah dan memusatkan pada jiwa tinggi yang selalu bersama kita. Jiwa rendah adalah ciptaan kita sendiri, hasil dari 'konstruksi' pandangan dunia kita. Setiap orang memiliki apa yang disebut 'diri'-nya sendiri. Kita berkata, 'Diriku', atau 'ia menghinaku'. Ini merupakan akibat dari sang 'aku', akibat bangkitnya ego dan arogansi.
Sekali lagi kita diberikan bukti historis yang menunjukkan apa saja akibat dari pelanggaran. Dari satu nafs muncul dua, dan dari dua ini muncul komunitas secara keseluruhan. Bentukan nafs kita merupakan hasil dari situasi dan keadaan sekitar, dari keluarga, komunitas, dan budaya atau peradaban di mana Allah telah menempatkan kita. Jika kita menambah kecenderungan rendah kita, jika kita terus-menerus memperbesar dan menyuburkannya, bukannya menghentikan, maka akan menimbulkan kehancuran kita yang menyeluruh. Dalam hal ini kita diberikan bukti melalui contoh kaum Tsamud yang dihancurkan karena kesombongannya.
إِذِ انبَعَثَ أَشْقَاهَا
12. Tatkala orang yang paling keji di antara mereka bangkit dengan kejahatan.
فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ نَاقَةَ اللَّهِ وَسُقْيَاهَا
13. Maka utusan Allah berkata kepada mereka: Itu unta betina Allah, berilah dia minum!
Kaum Tsamud binasa karena pelanggaran, arogansi dan sikap suka membangkang mereka yang kian menjadi-jadi. Nabi Saleh diutus oleh Allah untuk mencoba mengekang mereka melalui pesan-Nya, dan beliau memohon agar mereka tidak menyiksa unta betina yang, bagaimana pun, merupakan ayat (tanda) Allah. Beliau mengatakan kepada mereka bahwa unta betina itu suci dan milik Allah, dan karena segala sesuatu adalah milik Allah maka apa pun adalah suci.
Jika kita tidak mulai menganggap suci segala hal yang nampak dan bersifat lahiriah, dan jika kita tidak mengenal kesucian Rumah Allah, maka kita tidak akan dapat mengetahui kesucian setiap 'rumah' lain. Jika kita memandang segala sesuatu dengan pandangan ilahiah yang ada dalam diri kita, jika kita melihat melalui mata sang Pencipta yang ada pada kita, maka kita menemukan bahwa segala sesuatu adalah sempurna. Jika kita tidak berbuat demikian, maka segala sesuatu nampak tidak adil. Jika kita melihat berbagai hal dengan pandangan hidup yang rendah dan dasar maka kita mesti menemukan bahwa segala sesuatu adalah tidak sempurna. Tapi kita diberi banyak sekali kesempatan untuk melayani berbagai tujuan yang paling luhur dan memperbaiki diri kita. Bila kita melihat melalui pandangan syariat, segala sesuatu mungkin nampak menakutkan. Oleh karena itu, kesempatan diberikan kepada kita sesuai dengan kemampuan kita untuk melayani, berbuat baik, menolong, bekerja, memajukan orang lain, dan menegakkan nilai-nilai Islam yang sejati. Jika kita melihat melalui kacamata hakikat, maka segala sesuatu nampak sempurna. Ada pelanggaran, ada kegagalan—dan berbagai hal mungkin kelihatannya menyedihkan—tapi walaupun demikian segala sesuatu berada dalam kesempumaan. Kita berada di ruang antara atau titik pertemuan (barzakh) dari dua kemungkinan.
فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنبِهِمْ فَسَوَّاهَا
14. Tetapi mereka menyebutnya seorang pendusta, dan menyembelih unta betina itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka karena perbuatan dosa mereka, dan membinasakan mereka semua.
Kaum Tsamud menolak apa yang diinformasikan oleh nabi mereka—dan informasi (wahyu) tersebut merupakan ujian bagi mereka. Damdama adalah 'melumuri sesuatu dengan kekuatan besar'. Dam berati 'darah', dan damim berarti 'melumuri dengan darah'. Azab mereka sudah dekat; penderitaan mereka datang secara tiba-tiba menimpa mereka melalui perlengkapan fisik yang disediakan oleh Allah. Kita tidak tahu apakah mereka rnengalami gempa bumi atau semacam bencana alam lainnya, tapi apa pun bentuk kehancurannya, mereka tetap akan dimusnahkan.
وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا
15. Dan Dia tidak takut akan akibatnya.
Dalam sebuah hadis kudsi yang disampaikan melalui lisan Nabi, Allah mengatakan, 'Aku telah menciptakan manusia untuk menghuni surga dan Aku tidak perduli, dan Aku telah menciptakan manusia untuk menghuni neraka dan Aku tidak perduli.' Penciptaan mesti memiliki dua ekstrem, kalau tidak menjadi hamba Allah pasti menjadi hamba setan. Dunia ini merupakan panggung operasi Allah di mana kita bisa bangkit menuju Yang Satu, menuju Allah, Yang Mahaagung, menuju Kekuatan Tunggal di balik ribuan manifestasi.
Dari sudut pandang Pencipta, keseluruhan langit dan bumi tidaklah berarti. Bahkan menurut ukuran-Nya, tidak menyamai berat sebutir debu dunia sekalipun. Allah menciptakan hukum dan memberi kita kesadaran untuk memilih antara benar dan salah, untuk berbuat baik dengan kesadaran yang disertai rasa takut atau mengabaikan sama sekali hukum-Nya dan dikendalikan oleh nafs rendah kita dengan segala tingkah dan hasratnya, atau dikendalikan oleh jiwa luhur yang dibimbing oleh semangat dan kecintaannya terhadap Allah dan Nabi-Nya. Kita akan merasa takut untuk melanggar dan menjaga diri kita dengan hati-hati, dan melalui kewaspadaan ini kebangunan batin akan terjadi, atau, kalau tidak, kita akan berjalan kesana-kemari, berkelakuan dengan cara yang lebih buruk dari binatang.[]
SURAH AL-BALAD
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ
1. Tidak! Aku bersumpah demi kota ini.
وَأَنتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ
2. Dan engkau tinggal di kota ini.
وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ
3. Dan demi yang beranak dan yang diperanakkan.
Ayat pembuka dari surah ini bersumpah demi kota Mekah, yakni, titik sentral arah setiap orang bersujud dalam salat; dan demi kenyataan bahwa Nabi Muhammad, penutup para nabi, datang untuk memadukan realitas (hakikat) batin dan hukum lahir (syariat); demi kehidupan yang sangat mungkin di bumi ini, dan demi orang yang lahir di kota ini dengan mebawa pesan bahwa manusia hendaknya mengagungkan Penciptanya!
Hill dikaitkan dengan halal (boleh, sah), dalam konteks ini berarti 'penduduk sah kota ini.' Ayat kedua bisa juga berbunyi, 'Wahai Nabi Aliah! Apa pun yang ada di kota ini adalah untukmu, ia terbuka untukmu.' Walaupun ucapan tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad, namun ia berlaku kapan saja bagi siapa saja. Allah, Wujud Ilahiah, sedang bersumpah demi kemunculan Islam di Mekah pada waktu itu, dan juga demi kemunculannya sekarang di seluruh dunia. Ayat ini juga mengumandangkan kemunculan Nabi, dan pada beliaulah munculnya kembali kenabian. Allah sedang berkata kepada Nabi, 'Ini adalah ajaran yang sama dengan yang datang sebelum engkau; ini adalah pengulangan ajaran yang sama.' Ajaran ini merupakan kelanjutan dari jalur Adam; Adam dan anak lelakinya yang saleh, serta Adam dan anak lelakinya yang membangkang; anak yang terbunuh, dan anak yang melanggar batas. Kekuatan yang membunuh Qabil adalah ketamakan dan keirihatian, yang pertama merupakan sebab dan yang kedua adalah akibat. Dari sebab timbul akibat, dan dari akibat timbul sebab lain. Sebagai manusia, kita semua adalah anak Adam, dan masing-masing kita adalah yatim, begitu juga Adam, begitu juga Nabi Muhammad. Kita semua terputus dari sumber kita.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ
4. Sesungguhnya, Kami menciptakan manusia untuk mengatasi kesukaran.
Inilah makna dari keadaan manusia; ia berada dalam kabad, 'kesukaran, penderitaan, kerja keras dan cobaan'. Kabad juga berarti 'hati (liver)', dan tugas hati adalah terus-menerus menderita untuk membersihkan darah. Kewajibannya adalah bekerja keras tanpa henti.
Keadaan manusia adalah keadaan yang kacau serta bingung, dan dalam keadaan tersebut ia terus-menerus berjuang; tidak ada kedamaian atau jalan untuk melarikan diri dari keadaan itu. Kehidupan merupakan dinamisme yang konstan. Sebutir atom tidak bisa dilihat kalau tidak berada dalam keadaan bergerak secara tidak beraturan, maka bagaimana makhluk yang paling menakjubkan dan kompleks ini bisa benar-benar berada dalam kedamaian? Berada dalam kedamaian mutlak itu tak ubahnya laksana sebuah batu, mati.
أَيَحْسَبُ أَن لَّن يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ
5. Apakah dia mengira bahwa tidak ada yang memiliki kekuasaan melebihi dia?
Pada saat menyandang Atribut Penciptanya—seperti keagungan, kemuliaan, atau salah satu lainnya yang bisa disandang manusia—pernahkah manusia membayangkan sekalipun sedetik bahwa tak ada orang yang dapat melebihinya? Apakah ia mengira bahwa dirinya adalah entitas yang tidak bergantung secara total?
يَقُولُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا
6. Ia berkata: "Aku telah menghambur-hamburkan banyak harta”.
Ini khusus mengenai orang yang menggunakan hartanya sebagai topangan utama dalam eksistensi ini. Orang yang memiliki banyak sekali harta dan kekuasaan duniawi cenderung beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal dan perlindungan terakhirnya.
أَيَحْسَبُ أَن لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ
7. Apakah ia mengira bahwa tidak ada yang melihatnya?
Apakah manusia mengira bahwa ia tidak diawasi? Apakah dia mengira bahwa bisa saja dalam eksistensi ini ada yang melarikan diri tak kelihatan? Tidak bisakah ia melihat keesaan di dalam dan di luar eksistensi ini? Sejauh mana dia terputus, sehingga tidak bisa melihat kenyataan bahwa ada satu benang yang merentang ke seluruh penciptaan?
أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ
8. Bukankah telah Kami buatkan baginya dua mata,
Bagaimana mungkin ada dua tanpa satu? Bagaimana kita dapat melihat ke-dua-an kalau di dalam diri kita tidak ada satu bidang yang menyatukan? Bagaimana bisa ada dua mata lahir dengan mana kita melihat dunia nyata, kalau di dalam diri kita tidak ada satu mata batin, mata roh kita, mata qalb (hati) kita, mata rahasia di dalam diri kita yang bermanifestasi melalui hati kita ('ayn al-qalb, mata hati). Apakah kita tidak memiliki dua pandangan, apakah kita tidak memiliki dua kehidupan, atau dua kesadaran, yakni bangun dan tidur?
وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
9. Dan lidah dan dua bibir?
Dari satu lidah melalui dua bibir, menjelmalah sebuah kalimat. Melalui daya pandang batin, dengan menggunakan dua mata, terbentuklah daya lihat. Dari Satu Sumber, melalui dua hal berlawanan, mewujudlah Realitas. Selalu ada satu di belakang dua. Tanpa dua, tidak akan terwujud Realitas.
Perhatikan contoh yang kami berikan! Seseorang membutuhkan dua bibir untuk berbicara, sekalipun hanya ada satu lidah di belakangnya. Ia tidak bisa mengatakan bahwa salah satu lidahnya mengatakan sesuatu, tapi ia bisa mengatakan bahwa mata batinnya melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata lahirnya, atau sebaliknya. Ia tidak bisa mengklaim bahwa lidahnya tidak mengatakan sesuatu yang telah diucapkannya. Dari sudut pandang syariat ia mesti mengatakan bahwa lidahnya mengatakan itu. Namun, lidah tidak bisa berfungsi kalau tidak melalui penggunaan dua bibir. Masih banyak kemungkinan penafsiran lainnya.
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
10. Dan menunjukkan kepadanya dua jalan?
Najd berarti 'jalan raya, tanah tinggi atau dataran tinggi'. Najdayn dan thariqayn sama-sama berarti 'dua jalan', yaitu jalan hidup yang benar, kemerdekaan jiwa, ketundukan, kesiapan untuk mati dan pergi, dan jalan di mana seseorang menuntut dan berusaha untuk memiliki, menguasai, dan bergantung pada dunia ini seakan-akan dunia ini adalah satu-satunya tempat tinggal. Kedua jalan tersebut juga menunjukkan cara memandang eksistensi yang sepenuhnya bersifat lahiriah atau permukaan dan, lainnya, cara yang lebih batiniah dalam keinginan untuk mencapai makna halus dari berbagai hal. Keduanya merupakan jalan yang memiliki bentuk dan makna, thariq al-shalah (jalan kebenaran) dan tbariq al-kharab (jalan kehancuran).
Dalam surah ini pertama-tama kita melihat keadaan manusia, kerusuhannya, kesulitannya, dan penderitaannya (kabad). Keadaan-keadaan ini teijadi guna meringankan kesulitan barinnya dan juga membersihkan darahnya. Selanjutnya kita. ditunjukkan pada dua pilihan yang diberikan pada manusia, dan dalam ayat berikutnya kita sampai pada persoalan kunci.
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ
11.Tetapi ia tidak benisaha nntuk mendaki jalan naik yang curam.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ
12. Dan apakah yang membuat engkau tahu apa jalan naik yang curam itu?
'Aqabah, yang berarti 'pendakian yang curam atau rintangan', berhubungan dengan 'aqb, yang berarti 'punggung, belakang, konsekuensi atau hasil'. Maka, ‘aqabah adalah rintangan yang, meskipun ada di hadapan kita, tidak serta merta kelihatan.
Mengenai makna batin, 'aqabah di sini menunjuk kepada nafs manusia. Yaitu, rintangan yang menyebabkan kurangnya daya lihat manusia, kurangnya kesadaran manusia, dan kurangnya kepercayaan dan ketergantungan pada Allah. Apakah ia tidak ingin mengatasi rintangan ini? Lantas mengapa ia tidak melakukannya? Apa yang sesungguhnya kita ketahui tentang makna dari rintangan ini?
فَكُّ رَقَبَةٍ
13. [Yaitu] membebaskan budak,
Ini berkenaan dengan rintangan manusia yang tidak ber-‘ubudiyah (ibadah, penghambaan). Ibadah dan ketundukan yang sebenarnya, yang mengatasi lapisan pertama jiwa (nafs), dilakukan dengan menerima la ilaha illallah, Muhammad rasulullah. Ini merupakan pembebasan leher seseorang. Jika kita tidak bisa membebaskan leher kita sendiri, setidaknya yang dapat kita lakukan adalah membebaskan seorang budak, makna yang kadang-kadang diterjemahkan dan ditafsirkan dari ayat ini. Fakka berarti 'membuka, membongkar, melepaskan'. Maka, fakk raqabah dapat diartikan membebaskan orang yang telah diperbudak secara lahiriah, membebaskan orang yang secara lahiriah sedang diperbudak oleh kebutuhannya, atau orang yang lehernya telah dijerat oleh hal yang tidak cocok untuk manusia.
أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ
14. Atau memberi makan pada hari kelaparan
يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ
15. Kepada anak yatim yang ada pertalian keluarga,
Ayat ini berkenaan dengan pemberian makanan atau pemberian pada masa-masa sulit dan ketika nyaris tidak cukup tersedia makanan untuk kelanjutan hidup seseorang. Pada masa senang, setiap orang bermurah hati, tapi ketika kita mengalami paceklik kehidupan dunia ini, ketika kita dicekik oleh genggamannya, kita harus menjaga diri agar jangan sampai mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, jika setiap orang memanjakan kita, jika setiap orang bersikap baik, di manakah 'aqabah untuk kita? Dengan kata lain, kita harus mengawasi diri kita pada saat kita sedang tidak seimbang, karena memang mudah untuk mencapai keseimbangan di tempat yang terlindung di mana tidak ada masalah yang menguji kita.
أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
16. Atau orang miskin yang berbaring dalam debu.
Matrabah, 'berbaring dalam debu, kemelaratan, kemiskinan', dari kata tariba (menjadi berdebu). Orang miskin (melarat, orang yang benar-benar kehilangan) dianggap sebagai debu; ia tidak memiliki apa-apa, tidak juga sekadar harapan.
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْابِالْمَرْحَمَةِ
17. Lalu ia adalah golongan orang yang beriman dan saling menasihati untuk bersabar, dan saling menasihati untuk menunjukkan rasa belaskasih.
Makna dari mendaki 'aqabah adalah mengatasi berbagai kecenderungan negatif yang rendah dari nafs kita. Kemudian, bila kita sudah mengatasi segala rintangan diri kita, dan bila kita menyadarinya, maka kita harus 'saling menasihati untuk bersabar, dan saling menasihati untuk menunjukkan rasa belaskasih'.
Dengan demikian apabila manusia menerima petunjuk dari Sang Pencipta dan tahu bahwa alam ciptaan-Nya berada dalam qabdh (penyempitan), apabila ia mengetahui sifat dualitas dan keesaan yang meliputinya, dan mengetahui makna dari rintangan utama, yakni nafs, dan mengetahui bahwa dalam segala tindakan lahiriahnya ia harus memberi dan bersikap belaskasih pada masa-masa sulit, maka ia akan tergolong kaum beriman, golongan orang-orang yang saling menasihati dalam kesabaran, kesetiaan, dan menunjukkan kasih sayang.
أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ
18. Mereka adalah golongan tangan kanan.
Golongan tangan kanan adalah orang-orang yang beramal saleh sehingga akan diberi kitab amal mereka di ta ngan kanan pada hari pengadilan, yang menandakan bahwa mereka ditetapkan masuk surga. Mereka adalah orang-orang yang bertindak positif untuk menyelematkan diri mereka.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ
19. Tetapi orang-orang yang mengingkari wahyu kami, mereka adalah golongan tangan kiri.
Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang menyangkal ayat-ayat, yang menyangkal Kitab realitas, dan yang pada akhirnya menyangkal Realitas, Allah Swt.
Syu'm, yang berhubungan dengan kata masy'amah (tangan kiri), berarti 'pertanda buruk atau malapetaka'. Mereka adalah golongan kiri, kaum yang merugi, yang terperangkap dalam api yang mereka nyalakan sendiri.
عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ
20. Api akan menjadi tenda yang mengurung mereka!
Mereka akan terkunci dalam neraka, karena mengingkari kebenaran yang ada pada mereka, padahal kebenaran itu nampak jelas di sekitar mereka. Mereka akan terperangkap dalam nerakanya sendiri dan akhirnya akan dilahap oleh neraka itu.[]
SURAH AL-FAJR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَالْفَجْرِ
1. Demi waktu fajar,
Fajar artinya 'dinihari, subuh', dan menunjukkan suatu permulaan. Secara tiba-tiba realitas menyinari kita bagaikan pembukaan hari, dan awal bersinarnya cahaya atau pengetahuan adalah bagaikan awal bangunnya fisik.
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
2. Dan demi sepuluh malam,
Menurut tradisi, sepuluh malam ini dianggap sebagai sepuluh hari pertama Dzuihijjah (bulan suci ziarah haji). Hari kesembilan adalah saat para peziarah berdiam di Arafah dari mulai tengah hari hingga matahari terbit, diam menunggu, menantikan pengetahuan yang sudah ada di dalam maupun di luar diri mereka. Penyebutan malam bukannya siang adalah mirip dengan penyebutan empat puluh malam yang ditetapkan oleh Allah untuk nabi Musa (Q.S.2:51). Mungkin hal ini berkenaan dengan keuntungan besar dari salat, tafakur dan berdoa kepada Allah selama malam-malam ini ketika semua aktivitas lahir sangat menurun, ketika konsentrasi kita sedang tajam-tajamnya dan, dengan demikian, ada kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai mobilitas dan pembukaan batin. Juga, setiap malam ada siangnya, dan perjalanan manusia yang dimulai dari kegelapan dan kebodohan diharapkan akan berakhir dengan persepsi yang jelas tentang pengetahuan.
وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ
3. Dan demi genap dan ganjil,
Syaf’a (angka genap) adalah dari syafa’a yang berarti 'menggandakan, menggenapkan yang ganjil, membubuhkan, menengahi'. Terjemahan umum dari syafa’ah (dari syafa’a) adalah 'perantaraan', tapi yang dimaksud sesungguhnya adalah kehadiran orang lain yang memiliki kekuatan dan pengetahuan lebih tinggi, dan dengan demikian mampu memberikan bantuan, bimbingan atau keberhasilan. Implikasinya adalah ada keterlibatan dua orang. Jika syafa’a diterapkan pada seekor unta betina atau biri-biri betina, berarti dengan melahirkan maka unta tersebut jumlahnya menjadi dua. Segala hal yang dapat diamati—semua pengalaman penciptaan—bergantung pada dualitas, meskipun dalam realitasnya ada keesaan di balik itu. Hanya ada satu realitas, namun semua aspek realitas tersebut muncul dua-dua: siang dan malam, pengetahuan dan kebodohan, syariat dan hakikat, taat dan membangkang, roh dan nafsu, dan sebagainya.
Salat malam dimulai dengan beberapa pasang siklus dan diakhiri dengan salat khusus yang terdiri dari satu rakaat, yakni salat witir (salat ganjil). Dengan demikian, dualitas pun akhirnya menjadi satu dalam salat witir.
وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
4. Dan demi malam tatkala berlalu.
Sara berarti 'berangkat, menyuruh pergi, bepergian, pergi, berlalu'. Sayr berani 'perjalanan, gerakan, prosesi'. Kemudian muncullah kata sirah, yang berarti 'keadaan, kondisi, atau tingkah laku', khususnya menunjuk kepada perilaku Nabi Muhammad. Semua penciptaan bergerak secara konstan karena segala sesuatu bergerak dan berubah. Demikian pula malam dan siang, keduanya dalam keadaan bergerak. Dan dengan berlalunya kegelapan malam di akhir perjalanan hidup ini, maka kebodohan pun akan berlalu dan akhimya kita sadar akan Realitas.
هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِّذِي حِجْرٍ
5. Tidak adakah dalam semua ini sumpah bagi orang yang memiliki pemahaman?
Hijr, dalam konteks ini, berarti sama dengan 'aql, yakni pemahaman dan nalar. Ayat ini menegur kita dengan mengatakan, "Apakah semua fenomena ini tidak cukup menjadi tanda bagi orang-orang yang berpikir?"
Setelah memberitahu kita bahwa di ujung kebodohan akan ada pengetahuan, bahwa di akhir kerugian ada keuntungan, bahwa di ujung malam akan ada siang, bahwa di akhir tidur ada kesadaran, dan bahwa sifat penciptaan selalu berada dalam gerakan konstan dari satu ujung ke ujung lainnya yang berlawanan, suatu gerakan ke arah kesadaran dan, dengan demikian, menuju kepastian—setelah semua hal tersebut disampaikan kepada kita melalui kata-kata kiasan, kemudian Allah memberi kita bukti-bukti historis.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ
6. Tidakkah kau perhatikan bagaimana Tuhanmu memperlakukan (kaum) 'Ad,
إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ
7. [Bangsa] Iram yang mempunyai pilar-pilar [tinggi],
الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ
8. Yang semacamnya tak pernah diciptakan di negeri [lain].
Kaum 'Ad adalah suku yang sangat kuat. Kota-kota, tempat tinggal dan kekuatan mereka dibangun di atas pilar-pilar yang kelihatannya sangat kuat. Meskipun sikap inereka unik, berpengaruh dan arogan namun semua bekas peninggalan mereka telah lenyap. Lihatlah kebudayaan-kebudayaan yang 'kokoh' ini yang tidak tahan terhadap ujian waktu. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa hendaknya kita tidak tertipu oleh kekuatan struktur lahiriah.
وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ
9. Dan kaum Tsamud, yang memahat batu di lembah,
Suku Tsamud terkenal dengan gedung-gedungnya yang terbuat dari marmer dan batu, yang diperkirakan sangat tahan lama dan tak dapat dihancurkan. Sebagian memang masih ada dan dipahat di atas batu pegunungan yang berkualitas tinggi, dan kelihatannya masih sangat aman. Namun penduduknya lenyap secara misterius, tidak meninggalkan jejak selain tempat tinggal mereka.
وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ
10. Dan Fir 'aun, raja pancang-pancang.
Ada beberapa tafsiran yang berbeda untuk kata awtad, jamak dari watad, artinya 'pancang atau pasak tenda'. Di beberapa kebudayaan kuno, kekayaan seseorang diukur dengan jumlah pasak yang dimiliki dalam tendanya; semakin besar tenda (semakin banyak jumlah pasaknya— peny.), semakin besar pengaruh pemiliknya. Tapi pasak juga digunakan untuk menyiksa orang. Konon Fir'aun menyiksa istrinya sampai mati dengan cara mengikatnya pada pasak yang menancap di tanah.
الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ
11. Yang melampaui batas-batas di kota-kota,
فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ
12. Dan mereka membuat banyak kerusakan di sana,
Di antara ciri-ciri yang lazim pada kaum perusak adalah pelanggaran (perbuatan melampaui batas), korupsi dan dekadensi moral. Mereka menyelewengkan jalan spiritual dan menyesatkan orang lain dari tujuan eksistensinya.
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
13. Maka Tuhanmu menuangkan sebagian azab pada mereka.
Azab tidak terjadi dengan cara yang sembarangan. Ia merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri yang mendaiangkan malapetaka. Kesulitannya ada pada si mutrafun sendiri, sebagaimana dengan jelas dinyatakan di tempat lain dalam Alquran (Q.S.56:45). Mutrafin adalah mereka yang hidup dalam keglamoran, dikelilingi oleh kemewahan dan berbagai obyek materi yang tidak perlu. Mereka seakan-akan terlindung dari kehidupan, dan akibatnya tidak hidup dalam kesadaran. Mereka dalam keadaan terpisah, tidak menghubungkan kehidupan dengan kematian, atau pangkal dengan ujungnya. Hidup dengan berlindungkan bantalan palsu ini tentu saja merusak masyarakat. Bilamana terjadi dekadensi, alam akan secara otomatis mengadakan pembaharuan dan regenerasi. Oleh karena itu masyarakat terperosok ke dalam kebusukan disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukannya sendiri. Segala sesuatu mengandung bibit kerusakan di dalam dirinya; jika kita memupuki bibit itu, maka kebusukan akan menyebar dan mengambil-alih.
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
14. Sesungguhnya, Tuhanmu mengawasi.
Mirshad berasal dari rasbada, berarti 'mengawasi sesuatu, diam menunggu, mengamati'. Ayat ini memberitahu kita bahwa Tuhan kita Yang pekerjaannya menumbuhkan apa yang berada di bawah kekuasaan-Nya hingga mencapai potensi penuhnya, akan mencengkam bangsa-bangsa yang telah melampaui batas.
Pertama-tama kita ditunjukkan pada seluruh penciptaan dalam totalitas kosmiknya, lalu kita disodori dengan beberapa contoh historis tentang nasib kaum yang melampaui batas. Setelah rangkaian ayat-ayat ini bercerita tentang beberapa peristiwa dalam sejarah, kita akhirnya sampai pada manusia masa kini.
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُفَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
15. Adapun manusia, ketika Tuhannya mengujinya, lalu memberi kehormatan kepadanya dan memberinya kehidupan yang menyenangkan, ia berkata: "Tuhanku menghormati aku".
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
16. Dan ketika Dia mengujinya, lalu menyempitkan rezekinya, ia berkata: "Tuhanku menghinakan aku".
Ibtala (dari bala), berarti 'mencoba, memberikan ujian, menimpakan penderitaan'. Tujuan eksistensi manusia adalah untuk menjalani balwa (penderitaan, cobaan) agar beradab dan baik perilakunya sehingga ia berada dalam islam yang sebenarnya: ketundukkan, kepasrahan diri dan kemerdekaan yang sesungguhnya, sebagai hamba sejati dari kemerdekaannya dan dalam kemerdekaan dari penghambaan sejati. Kehidupan dunia ini tak lain hanyalah penderitaan (balwa). Jika seseorang mempunyai harta, maka sulitlah baginya untuk mempertahankan dan memeliharanya, dan, jika ia benar-benar dalam islam, maka ia akan membelanjakannya dengan bijak, karena tahu bahwa penggunaan yang salah akan dimintai pertanggungjawabannya. Jika seseorang tidak mempunyai harta, ia mengalami penderitaan karena ketiadaannya, kuatir akan tidak mampu menghidupi dirinya dan orang lain, dan seterusnya. Jadi setiap orang mengalami ketidakamanan, baik si kaya maupun si miskin.
Barang material memang penting. Manusia tidak bisa berfungsi tanpa adanya barang-barang yang pokok. Jika seseorang tidak diberi makan dan tidak ada atap untuk berlindung, maka akan sulit baginya untuk mempelajari makna batin dari eksistensi ini. Di lain pihak, ingatan seseorang tidak pemah berhenti pada satu tingkat kepuasan: sifatnya menginginkan lebih dan lebih lagi.
Ketika manusia diberikan kesenangan lahiriah, ia duduk-duduk saja sambil berkata, "Tuhanku sayang dan bermurah hati kepadaku." Di lain pihak, jika perbekalannya terbatas, maka hal itu menguji kesabaran, keuletan dan kesanggupannya untuk tidak terlampau cemas. Manusia mengira bahwa kemiskinan dimaksudkan hanya untuk merendahkannya.
Ada beberapa kata bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai 'kemurahan hati', meskipun masing-masing sedikit berbeda secara tajam. Karuma berarti 'memberi apa pun yang diminta'. Sakha berarti 'memberi apa yang dibutuhkan dan perlu', dan jada berarti 'memberi tanpa diminta'. Makna dari kata-kata ini merupakan sifat dari Sang Pencipta. Itsar adalah 'memberikan kepada orang lain apa yang dia sendiri butuhkan'. Ini adalah perbuatan yang sangat mulia dari sifat sepi ing pamrih. Hanya manusia yang melakukannya, karena Allah tidak membutuhkan apa pun.
كَلَّا بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
17. Tidak, tetapi kamu tidak memuliakan anak yatim,
Baik dalam keadaan kaya atau miskin, manusia tidak bersyukur dan tidak mengetahui makna dan pengertian dari hikmah di balik kondisinya. Di sini dilambangkan dengan sikapnya yang tidak bermurah hati kepada anak yatim. Karuma berani 'bermurah hati', dan dalam konteks anak yatim, berarti akrama (memuliakan), maksudnya 'memberikan perhatian yang baik dan kasih sayang yang layak'. Anak yatim adalah orang yang membutuhkan dorongan dan perlindungan, karena ia tidak memiliki pelindung yang nyata. Bapak pertama kita, Adam, adalah seorang yatim. Nabi kita Muhammad, baginda semua orang, adalah yatim. Dengan mengetahui makna dari yatim yang tidak berdaya, maka kita mengikuti tradisi yang tak berbatas waktu yakni tidak tergantung pada orangtua melainkan kepada Allah.
وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
18. Dan kamu tidak saling mendorong untuk memberi makan orang miskin,
Akar dari miskin adalah sakana, yang berarti 'mendiami'. Sukun berarti 'diam, sunyi, damai'. Orang miskin tidak memiliki apa pun dan sama sekali pasrah terhadap keadaan yang sangat tak berdaya. Ini kebalikan dari fakir, yakni orang yang membutuhkan tapi masih bisa aktif: ia bisa mengemis, ia masih bisa mengharapkan seseorang akan memberinya sesuatu, dan menadahkan tangannya. Ayat ini menunjukkan bahwa mayoritas umat manusia berada dalam kemgian, dan tidak mengikuti arus kedermawanan yang bergerak ke depan.
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا
19. Dan kamu makan harta warisan orang lain dengan amat serakah,
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
20. Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.
Kita semua mencintai harta dari mana pun sumbernya. Manusia biasa akan berteriak memintanya dan sangat mengharapkannya, dan dia mengusahakan keamanan materi yang biasanya justru menimbulkan perasaan ddak aman karena takut kehilangannya. Dengan demikian harta malah menambah kecemasan seeorang. Manusia umumnya ingin menambah kekayaan baik dengan cara yang benar ataupun tidak benar. Manusia bersifat suka mementingkan diri sendiri (egois). Dalam hal ini ia menunjukkan kebalikan dari Penciptanya, Yang Maha Pengasih, sampai ia menyadari bahwa setiap desah napas adalah pemberian yang sangat dibutuhkan dan penting.
Kita telah mengetahui sebutan yang sebanding untuk manusia—kepicikan, pengkhianatan dan ketamakannya. Alquran mendorong kita agar menggunakan kehidupan ini untuk membuka apa yang ada dalam diri kita agar mengetahui siapa kita, dengan menerima realitas hewaniah dan ilahiah dalam diri kita.
كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا
21. Tidak! Tatkala bumi hancur sehancur-hancurnya.
Maka kini tibalah peringatan. Dakka berarti memukul hingga hancur. Kita biasanya tidak memperhatikan kenyataan bahwa pada akhirnya bumi akan kembali ke ketiadaan.
وَجَاء رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
22. Dan Tuhanmu datang bersama malaikat bershaf-shaf,
Bila ayat ini disampaikan dengan ungkapan lain: 'Dan tatkala semua kekuatan yang tak terlihat oleh kita datang dengan formasi yang sempurna'. Para malaikat dan kekuatan-kekuatan alam semesta berada dalam tatanan alamiahnya, mereka berbaris-baris. Tidak ada lagi kemungkinan bagi manusia untuk turut campur dan bertindak.
وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّى لَهُالذِّكْرَى
23. Dan pada hari itu neraka ditampakkan. Pada hari itu manusia akan ingat, tetapi apa gunanya igatan itu baginya?
Pada waktu itu neraka (jahanam), api abadi, akan mendekat, jelas dan gamblang. Pada waktu itu manusia akan ingat, tapi apa gunanya ingatan dia pada saat itu? Wilayah amal, kemungkinan untuk berperilaku benar dan menyucikan diri di dunia ini, akan berakhir. Ia akan menangis, 'Andaikan aku beramal saleh selama hidupku', yang berarti bahwa pada saat itu ia akan mengakui hakikat kehidupan, yang ternyata tidak seperti perkiraannya dulu, tapi sudah terlambat untuk mengubahnya.
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
24. Dia akan berkata: Oh seandainya dulu aku melakukan [amal salehj untuk kehidupanku [mendatang].'
فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ
25. Tapi pada hari itu tak seorang pun akan mengazab seperti azab-Nya,
وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ
26. Dan tak seorang pun akan mengikat seperti ikatan-Nya.
Tidak seorang pun akan bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Perbuatan seseorang akan menentukan seperti apa kondisi dan keadaan dia di kehidupan mendatang. Tidak ada orang lain yang akan dapat menggantikannya. Setiap orang bertanggung jawab dan akan diberi ganjaran sesuai dengan perbuatannya. Keadaan tersebut memang khas. Pada hari itu—dalam kesadaran baru—kondisi azab dan penghambaan seseorang akan diukur sesuai dengan perbuatan dia sebelumnya. Kondisinya tidak akan sama dengan kondisi orang lain. Genggaman Allah atasnya akan bersifat khas dan khusus untuk dirinya saja.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
27. Wahai jiwa yang tenang!
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
28. Kembalilah kepada Tuhanmu, dengan perasaan senang, dan menyenangkan [bagi-Nya].
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
29. Maka masuklah di antara hamba-hamba-Ku,
وَادْخُلِي جَنَّتِي
30. Dan masuklah ke surga-Ku.
Tuhan memanggil jiwa (nafs) yang berada dalam kesentosaan dan kedamaian, al-nafs al-muthmainnah. Panggilan ini menandai awal kebangunan rohani. Jika kita tidak mendapatkan kedamaian, bagaimana kita bisa mengingat hal yang jauh di dalam samudera hati kita yang paling dalam? Jika kita gelisah secara lahiriah, terus-menerus dalam kekacauan, bagaimana kita bisa mendengar gaung pengetahuan yang tak berbatas waktu yang tertanam dalam hati kita? Itulah sebabnya maka panggilan dimulai pada nafs yang senang dan tenang.
Tahap berikutnya dari nafs adalah kepuasan hati: radhiyah berarti 'puas', puas terhadap pemahaman dan terhadap pengetahuan bahwa kondisi yang sedang dijalani ini merupakan suatu kesempumaan dan bukan sebaliknya. Kita mungkin saja tidak menyukai situasi yang sedang kita jalani, tapi kondisi tersebut tidaklah relevan di sini. Pada tahap berikutnya, mardbiyyah (senang), kita akan mengetahui bahwa segala sesuatu yang lain pun puas dengan kita. Secara batiniah kita berada dalam kedamaian yang sejati sedangkan secara lahiriah kita masih sebagai manusia yang suka berbuat karena kita tidak bisa menghindar. Tidak ada jalan untuk menghindar, kita harus berjuang. Dunia ini adalah wilayah percobaan (balwa) baik dalam aspek baik maupun buruk, baik lahir maupun batin. Allah berfirman dalam sebuah hadis kudsi: "Apa yang salah dengan hamba-hamba-Ku? Mereka terus-menerus berdoa kepada-Ku meminta kesenangan di dunia ini, tapi Aku tidak menciptakan dunia ini untuk kesenangan."
Imam Husein telah menyebutkan tahap-tahap nafs: 'Nafs yang tenang adalah nafs yang berada dalam tauhid.' Kita mencapai ketenangan jika kita berada dalam tauhid. 'Nafs yang bersyukur, adalah nafs yang telah diberkahi rahmat.' Pada tahap ini kita mengakui bahwa yang ada hanyalah rahmat Allah. Beliau juga mengatakan, 'nafs yang terpilih adalah nafs yang memiliki hikmah,' yaitu, nafs yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Realitas. Beliau mengartikan nafs yang berakal dan jiwa yang memahami, sebagai al-nafs al-radhiyah, dan nafs yang menyuruh orang berbuat jahat sebagai al-nafs al-jahilah, nafs yang bodoh.
Klasifikasi nafs secara tradisional berkisar dari keadaan terendah, al-nafs al-ammarah bi-su', sampai keadaan tertinggi, al-nafs al-kamilah, yakni meningkat ke atas melalui tujuh maqam (stasiun). Tahap kedua adalah jiwa yang merasa bersalah, al-nafs al-lawwamah, yang kadang-kadang menyadari kecenderungannya terhadap kejahatan. Ini adalah tahap permulaan kesadaran. Lalu berikutnya al-nafs al-mulhamah, jiwa yang diberi ilham, tidak terikat, tanpa bimbingan, diikuti oleh al-nafs al-muthmainnah. Setelah ketenangan muncullah kepuasan disertai pengetahuan, ridba': al-nafs al-radhiyah memiliki pengetahuan tentang kesempurnaan sang Maharaja. Bila kita puas dengan penciptaan, maka penciptaan pun akan puas dan selaras dengan kita, dan itulah al-nafs al-mardhiyyah, tahap keenam. Dari keadaan tersebut muncullah kesempurnaan dan kesatuan, al-kamilah.
Pada tahap kesempurnaan ini Allah mengatakan, 'Sekarang masuklah ke dalam arena-Ku, dan bersembunyilah dalam satu-satunya taman tauhid, di dalamnya ada kebahagiaan dan kemeriahan yang luar biasa dan keberlimpahan yang bebas dinikmati!'.[]
SURAH AL-GHASYIYAH
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah ini dibagi ke dalam dua bagian. Pertama tentang Hari Kebangkitan, dunia berikutnya, surga dan neraka. Kedua, tentang pesan tauhid yang dalam dan meliputi semua yang diberikan kepada kita agar kita merenungkan apa yang terdekat kepada kita dalam penciptaan sehingga kita bisa melihat kesempurnaan dan keesaannya.
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
1. Belum datangkah kepadamu kabar tentang peristiwa yang melingkupi?
Hadits (hadis), yang berasal dari akar kata hadatsa (menjadi baru, terjadi, muncul) adalah suatu peristiwa. Haddatsa, bentuk akar kata kerja kedua, juga berarti 'menceritakan, memberitahukan'. Dengan demikian, hadis juga merupakan narasi tentang suatu peristiwa atau tradisi.
Ghâsyiyah berasal dari ghasyiya (menutup, seperti dengan kulit atau seperai, melingkupi). Hari Kebangkitan juga disebut al-ghasyiyah karena ia menutupi segala sesuatu di bawah kekuasaannya. Pada hari itu segala sesuatu dalam penciptaan akan disentakkan dan diguncangkan, dan manusia akan jatuh pingsan karena dahsyatnya bencana alam. Sebenarnya, dalam bahasa Arab kata untuk 'jatuh pingsan' adalah ghusyiya 'alayhi yakni bentuk pasif dari kata kerja yang sama. Ghasyiya bitashah berarti 'ia memukul dengan tongkat', yang berarti bahwa ketika seseorang dipukul maka ia dikuasai oleh rasa sakit. Sama halnya, permulaan Hari Kebangkitan dan kesadaran baru yang menyeitai keadaan itu akan menutupi dan menguasai keadaan lainnya.
Di sini kita ditanya, seakan-akan dengan cara mengingatkan, apakah kita telah menerima kabar tentang peristiwa yang melingkupi semua, menutupi semua yang meliputi, dan mengenai segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya. Ketika ghasyiyah itu terjadi, hal-hal yang kita ketahui sebagai kehidupan semuanya akan berakhir.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ
2. Pada hari itu wajah-wajah akan menunduk.
Kata 'wajah-wajah' di sini menunjuk kepada wajah mereka yang tidak siap menghadapi peristiwa. Khasyyah berarti 'sedih, bersahaja, rendah', menunjuk kepada wajah-wajah mereka yang perbuatan dan niatnya tidak sejalan.
Wajah merupakan titik persentuhan dan kontak pertama antara kita dengan dunia lahiriah. la mengandung organ pendengaran, penglihatan dan perasa, dan aspek lahiriahnya merupakan refleksi dari keadaan batin. Sehingga, permukaan luar, kulit, akan mengungkapkan dan memperlihatkan hal yang terkandung di sebelah dalamnya. Kita telah melihat manusia muncul di tengah para pecinta Allah dengan wajah-wajah yang muram, tapi setelah sejenak dalam rombongan yang diterangi cahaya itu, wajah mereka berubah menjadi gembira, yang merefleksikan gejala lahir dari keadaan batin mereka. Mereka menemukan bahwa apa yang menggema dalam hati mereka tentang Realitas adalah nyata; mereka tak lagi merasa terisolir dan mereka mendapat konfirmasi. Oleh karena itu, mereka santai dan wajah mereka menunjukkan hal itu.
عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ
3. Bekerja keras, membanting tulang,
'Amilah berarti 'berkeja keras, membanting tulang, mengerjakan'. Nâshibah berasal dari akar kata nashaba, yang berarti 'menempatkan, menetapkan, menegakkan, menimpai'. Ia juga berarti 'menyulitkan, menjemukan, meletihkan'. Nâshibah digunakan di sini karena pada Hari itu orang-orang yang digelandang ke neraka oleh segala perbuatan masa lalunya akan sia-sialah usaha mereka membersihkan diri, karena mereka tidak akan lagi berada di tempat untuk beramal. Nushb, dari akar yang sama, adalah 'berhala'. Penyembahan berhala itu meletihkan karena tidak membawa kepada kepuasan. Nashshab berarti 'penipuan, orang yang membohongi, orang yang menyimpang dari kebenaran' karena penyembahan berhala merupakan penipuan tentang Tuhan. Orang-orang yang rugi pada Yawm al-Qiyamah (Hari Pengadilan) akan berada dalam kekacauan dan pergolakan karena mereka mulai merasakan ganjaran terakhir atas pelanggaran mereka.
تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
4. Masuk ke dalam neraka yang panas.
Mereka akan disiksa, dibakar (shala, memanggang, membakar) dalam kekacauan dan pergolakan yang tiada henti. Gambaran tentang neraka merupakan analogi atau kiasan untuk manusia, yang hanya dapat memahami neraka menurut imajinasi dunia fisik. Gambaran-gambaran ini berasal dari kesadaran yang berada di luar pengalaman sehari-hari kita, tapi pengungkapannya menggunakan bahasa kita sehari-hari agar kita dapat memahaminya. Bagaimana kita dapat menggambarkan dunia luar kepada orang yang selama hidupnya tinggal di dalam gua? Kita berada dalam gua, mendengarkan gambaran tentang eksistensi lain, kesadaran lain, yang paling banter hanya merupakan bayangan dari realitas.
تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ
5. Diberi minum dari sumber air yang mendidih.
Sekali lagi kita harus membayangkan kultur bangsa Arab gurun pasir dan kelangkaan air yang terus-menerus. Sepanjang beberapa ratus mil mungkin hanya ada satu oasis kecil, satu sumber air. Makanan jarang tersedia, dan sumber utamanya adalah mata air.
Minuman yang mendidih tidak dapat memuaskan rasa haus seseorang dan hanya menambah pergolakan. Dalam setiap hal manusia adalah pencari ketenangan, makanan dan stabilitas, tapi pada hari itu sebagian orang akan disingkirkan dari semua kesenangan ini.
لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِن ضَرِيعٍ
6. Mereka tidak akan mendapat makanan selain duri,
Dhar’ (tanaman berduri) berasal dari akar kata dhara'a, yang berarti 'bersikap rendah hati, berkhidmat, terhina, rendah diri'. Dhar’ juga merupakan nama tanaman yang tumbuh di neraka. Ketika Nabi saw. ditanya, 'Apa itu dhari’?, beliau menjawab, 'Ia adalah tanaman berduri yang rasanya paling pahit, bau tengik dan tak berguna.' Saking berdurinya sebagian tanaman gurun pasir sampai unta-unta pun tidak memakannya. Dhari mendatangkan kekacauan dan kesulitan yang tidak perlu, dan tidak bisa dimakan. Inilah makna dari pergolakan; tanaman tersebut tidak cocok untuk negeri akhirat karena tidak lolos uji loyalitas kepada Sang Pencipta, yang menjadi tujuan diciptakannya manusia dalam kehidupan ini.
لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِي مِن جُوعٍ
7. Yang tak akan menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.
Tumbuhan seperti itu bagaimana pun tidak dapat mengenyangkan atau memberi seseorang makanan yang dibutuhkan. Maka seseorang tetap berada dalam pergolakan yang membakar. Orang yang merugi dalam kehidupan ini telah menghabiskan modalnya tanpa mengisinya lagi. Karena ia tidak melakukan investasi yang nyata dalam kehidupan ini, ia akan berada dalam neraka yang bergolak di kehidupan mendatang. Orang kafir tiba pada hari itu tanpa memiliki sumberdaya karena ia tidak menghabiskan waktunya untuk mencari pengetahuan Allah. Ia telah menghambur-hamburkan semua yang dimilikinya, dan dalam kehidupan selanjutnya ia akan mengalami kebangkrutan yang disebabkannya sendiri dalam kehidupan ini.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ
8. Pada bari itu wajah-wajah (lain) akan berseri-seri,
Sekarang digambarkan wajah-wajah mereka yang telah menyatukan aspek lahir dan aspek batinnya di jalan keselamatan. Na'imah berasal dari akar nctima, yang berarti 'menikmati kesenangan dan kenyamanan hidup, bersenang-senang', dan menunjukkan kemudahan dan ketenteraman. Wajah-wajah mereka mencerminkan tiadanya kerisauan.
لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ
9. Merasa puas karena perjuangan mereka,
Mereka akan kembali kepada Tuhan mereka dengan senang dan puas. Semasa hidup di dunia mereka berkeyakinan bahwa kehidupan mendatang benar-benar ada dan bahwa untuk setiap perbuatan ada ganjaran yang setimpal. Ketika mati mereka akan menjalaninya dengan ikhlas berkat upaya dan kerja keras mereka di dunia ini. Keikhlasan mereka, keridhaan mereka, akan terungkap sendiri pada wajah-wajah mereka.
فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ
10. Dalam sebuah taman yang tinggi.
'Aliyah berasal dari kata 'ala, yang berarti 'menjadi tinggi, naik, mulia atau agung'. Keadaan surga dilukiskan dalam Alquran memiliki ketinggian yang berbeda-beda, sebagaimana neraka yang memiliki derajat berbeda-beda.
Kita ambil contoh orang yang bertakwa, yang selalu hidup dengan benar menurut syariat, yang bekerja sebaik-baiknya dalam kehidupan ini, namun mati dengan berbagai keinginan yang tak terpenuhi. Itu memang keinginan-keinginan yang sah, dan dapat diterima secara syariat, namun walau demikian, ia mati dalam keadaan tidak puas. Bagaimana ia akan mencapai kesucian? Yang dilakukan Tuhan adalah menciptakan suatu tahapan surga yang dapat memuaskan dan menetralisir segala keinginannya yang tidak terpenuhi sehingga ia bisa bergerak melampaui ke-adaannya. Dalam alam kesadaran mendatang segala ke-inginannya akan tercapai, dan ia akan terus bergerak menuju ketiadaan keinginan, menuju keadaan mutlak, 'surga yang tinggi', keadaan yang melampaui keinginan.
لَّا تَسْمَعُ فِيهَا لَاغِيَةً
11. Di sana engkau tidak akan mendengar pembicaraan yang sia-sia.
Laghiyah, diterjemahkan di sini sebagai 'pembicaraan yang sia-sia', berasal dari kata lagha, yang berarti 'berbicara tanpa isi, bercakap omong kosong'. Laghw dari lagha berarti 'omong kosong'. Jika kita menyadari ketidak-berperasaan kita, berarti kita mengetahui perasaan kita. Lughah berarti 'bahasa', yang tentu saja merupakan alat untuk mengkomunikasikan maksud dan perasaan. Akhirnya, tidak ada yang akan dikatakan. Jika pun ada maka itulah kalimat "La ilaha illallah, Muhammad rasul Allah" (Tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad adalah Rasul Allah). Algha syay’a berarti 'meniadakan atau membatalkan sesuatu'. Segala hasrat dapat dibatalkan. Jika seseorang menginginkan sesuatu yang diberikan kepadanya, kemudian hasrat itu dibatalkan oleh pemenuhannya dan hasrat baru muncul. Hasrat baru ini biasanya selalu dipegang lebih kuat sampai sifat dari hasrat dan nafs-nya dipahami.
Taman yang tinggi menunjukkan pemenuhan yang permanen. Dalam Taman itu tidak ada sesuatu yang tidak dapat kita percaya; hasrat tidak dapal kita percaya karena selalu berubah sepanjang waktu. Dengan demikian di dalam taman-taman yang paling tinggi itu tidak akan ada hasrat karena semuanya telah dinetralisir.
فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ
12. Di dalamnya terdapat mata air yang memancar.
Di surga yang tinggi itu ada mata air yang memancar, yang menunjukkan bahwa ia berada dekat Sumber mata air yang memancarkan pengetahuan.
فِيهَا سُرُرٌ مَّرْفُوعَةٌ
13. Di dalamnya ada singgasana yang ditinggikan,
وَأَكْوَابٌ مَّوْضُوعَةٌ
14. Dan gelas minuman yang siap di tempat,
Setiap kesenangan dan perlengkapan tersedia, dan setiap hasrat terpenuhi. Semua kebutuhan lahiriah telah diurus, kerinduan terhadap kesadaran lahiriah dan apa pun hasrat yang kita miliki telah terpuaskan—cangkir kepuasan telah mengenyangkan kita. Dalam kesenangan mutlak ini tidak ada hasrat yang muncul.
وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ
15. Dan bantal-batal yang berderet,
Mashfufah berasal dari kata shaffa (mengatur, menyusun secara berderet). Di sini ia menunjukkan keteraturan; segala sesuatu mengikuti urutannya yang berimbang.
وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ
16. Dan permadani dibentangkan.
Mabtsutsah berasal dari kata batstsa, artinya 'mengedarkan, menggelar, membentangkan'. Beraneka ragam karpet dan permadani digelar di sekeliling taman di mana kelompok-kelompok orang dalam berbagai kesentosaan dan kesenangan yang indah dapat berbaring.
Ayat-ayat sebelumnya menggambarkan apa yang terjadi pada orang-orang yang rugi dan para muqarrabun (orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Bagian kedua dari surah ini merupakan pesan kepada orang-orang Quraisy gurun pasir, kaum Nabi Muhammad saw. Pesan ini dimaksudkan untuk mempertajam kapasitas perenungan mereka. Tafakur mereka tentang wahyu dan tanda-tanda di sekeliling mereka yang diciptakan oleh Tuhan akan membawa mereka kepada pengetahuan tentang Pencipta yang Mahaagung.
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
17. Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana mereka diciptakan?
Pesan ini akan jelas dipahami oleh mereka yang memperhatikan penciptaan dan merenungkannya. Pesan tersebut diberikan kepada orang-orang yang jalur hidupnya, eksistensinya, bergantung pada unta. Ibil (unta-unta) adalah kata benda kolektif. Kehidupan pada saat itu berkutat di sekitar unta, dan kenyataannya banyak kata dalam bahasa Arab, khususnya bahasa yang lazim pada saat itu, diasosiasikan dengan kehidupan dan kebiasaan unta.
Umpamanya, salah satu arti faqib (orang yang ahli dalam ilmu syariat), yang berasal dari kata faqiha (memahami, menguasai), adalah orang yang menguasai benar tentang unta. Faqih dapat mengamati seekor unta betina dan menaksir berapa lama lagi usia kandungannya, dengan melihat apa yang tidak terlihat orang lain di bagian dalamnya, lalu menghubungkannya dengan bagian luar. Faqih dibayar sebagai konsultan sebelum unta dibeli. Zaman sekarang faqih adalah orang yang menerjemahkan persoalan batin menjadi lahir, ahli syariat yang memberitahu orang lain tentang bagaimana berperilaku benar.
'Aql adalah contoh lain dari kata yang mencerminkan pengaruh unta pada bahasa Arab. Akar kata kerja ‘aqala berarti 'mengurung, menahan, mengikat kaki unta' dengan liqal, yakni tali yang digunakan untiik mengunci kaki unta agar tidak bisa melarikan diri tapi akan tetap jinak. Zaman sekarang tiqal digunakan untuk mengikat kufiyyah (kain penutup kepala orang Arab). ‘Aqala tidak hanya berarti 'mengurung' tapi juga 'rasional, cerdas, memiliki kemampuan untuk membedakan'. Melalui penahanan diri, akal kita dapat berfungsi lebih baik.
Ayat ini menyuruh kita untuk merenungkan hewan yang menakjubkan ini di mana kehidupan gurun pasir tergantung padanya, untuk mengamati kemampuan beradaptasinya, untuk mengetahui bagaimana ia mengagungkan Penciptanya dan benar-benar berinteraksi dengan lingkungannya, bagaimana ia menyimpan air, bagaimana ia berjalan berminggu-minggu tanpa makan dan minum, untuk melihat kesabarannya, adaptasi kakinya dengan perjalanan gumn pasir, dan untuk melihat bagaimana ia memikul ponoknya tinggi-tinggi tempat ia menyimpan persediaan tenaganya. Setiap aspek dari unta adalah berguna dan selaras dengan lingkungannya; Sesungguhnya ia berada dalam keadaan beribadah dan menerima alamnya.
Jika kita tidak merenungkan hal yang terdekat kepada kita dan melihatnya sebagai bagian dari kesempurnaan total alam semesta, lantas bagaimana kita dapat berbicara tentang kesempurnaan secara teoritis?
وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
Tidakkah mereka melihat langit dan menyaksikan kemanunggalan langit dan bumi dalam keterpisahannya? Tidakkah mereka melihat langit bagian dalam dan mengerti bahwa batin manusia tetap merindukan kemuliaan, merindukan nilai-nilai luhur, merindukan kehidupan yang lebih baik? Tidakkah mereka melihat bagaimana segala sesuatu membelok ke arah Yang Mahatinggi, Yang Senantiasa Agung?
وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ
19. Dan gunung-gunung, bagaimana mereka ditegakkan?
Tidakkah mereka menyaksikan bagaimana gunung-gunung berlabuh di atas bumi? Tidakkah mereka melihat pada hati mereka sendiri? Hati adalah gunungnya orang yang bertakwa kepada Allah, dan tentu berpengetahuan; ia tak tergoyahkan, tak terbelokkan arahnya.
وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
20. Dan bumi, bagaimana ia dibentangkan?
Suthihat dari kata sathaha, yang berarti 'membentangkan, membuka gulungan, menjadikan rata'. Tidakkah mereka melihat bagaimana bumi dimudahkan dan disediakan bagi mereka? Tidakkah mereka berpikir? Berpikir dan merenung adalah langkah awal menuju pengetahuan tentang bumi. Manusia zaman dulu mulai dengan memikirkan tentang hubungan kausal. la melihat dedaunan yang bergemerisik dan disusul dengan turunnya hujan; ia mengira gemerisiknya suara dedaunan menyebabkan turunnya hujan. Lalu ia menemukan ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Alasan para ilmuwan saat ini mencari perlindungan dalam ilmunya adalah karena mereka sedang mencari sebagian kecil dari tauhid atau kesalingterkaitan ini. Maka kita mulai dengan apa yang terdekat dengan kita dalam penciptaan, dan kita melihat keseimbangannya yang indah sekali, bersifat ekologis, dan tak dapat dijelaskan. Segala sesuatu yang diciptakan telah dibuat untuk memenuhi tujuannya. Daratan cenderung datar, gunung-gunung cenderung tidak datar, dan awan menjadi bagian dari siklus air. Setiap aspek penciptaan itu sendiri memang sempurna dan sekalipun begitu potongan-potongan yang banyak sekali jumlahnya tersebut cocok satu sama lain dalam alam semesta yang menyeluruh.
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ
21. Maka, berilah peringatan, karena engkau hanyalah pemberi peringatan.
Berilah peringatan! Kembalikan ingatannya! Dzakkir berasal dari kata dzakkara, artinya 'mengingatkan, menegur'. Ingatkan mereka bahwa mereka berasal dari Allah. Ingatkan mereka dari mana mereka sebelumnya. Mereka disembunyikan oleh Allah di alam gaib. Sekarang kita masing-masing berada di alam nyata, tapi akan dikembalikan ke alam gaib, dan pada saat itu kita akan melihat.
Mengingatkan berarti meminta perhatian terhadap apa yang telah kita ketahui. Pengetahuan sudah ada dalam fitrah (sifat bawaan), dalam hati. Nabi saw. hanyalah pemberi peringatan, beliau di sini hanya untuk merefleksikan dan menggemakan kebenaran setiap orang.
لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ
22. Engkau bukanlah penjaga atas mereka.
Nabi tidak berkuasa atas siapa pun. Beliau tidak dapat menanamkan iman (keyakinan, kepercayaan) ke dalam hati mereka. Bahkan nabi Luth mempunyai seorang istri yang tidak bisa ditolongnya. Kita akan mengetahui—kita yang mempunyai orangtua, teman dan istri—bahwa ternyata kita tidak bisa berbuat apa-apa bagi mereka. Nabi tidak bertanggung jawab atas hasilnya. Beliau adalah seorang pemberi peringatan tentang kebenaran yang ada pada diri manusia.
إِلَّا مَن تَوَلَّى وَكَفَرَ
23. Tetapi barangsiapa berpaling dan kafir
Bagaimana dengan orang yang berpaling? Luth berkata, "Aku memperingatkan mereka pada malam hari, aku memperingatkan mereka sepanjang siang hari, aku memperingatkan mereka secara diam-diam, aku memperingatkan mereka secara terbuka, tapi semuanya sia-sia." Luth memikirkan setiap keadaan dan situasi yang mungkin; ia mencoba memberikan setiap tanda bahasa yang mungkin, dan ternyata tidak berhasil. Maka akhirnya ia berkata, "Tidak apalah; orang yang telah mengambil keimanan sebagai jalannya maka ia selamat, dan keselamatannya sesuai dengan kedalaman imannya, dan itu sesuai dengan kepastiannya. Adapun yang lain, mereka mondar-mandir dalam kerugian."
فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ
24. Allah akan menghukum mereka dengan azab yang terbesar.
Orang yang berpaling dan mengingkari kebenaran maka ia sudah berada dalam penderitaan dan siksaan yang pedih, dalam azab yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri, dan akhirnya ia akan mencapai 'adzab al-akbar (azab yang terbesar).
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ
25. Sesungguhnya, kepada Kami kembalinya mereka.
Tempat istirahat terakhir adalah bersama dengan Tuhan mereka dan mereka akan kembali ke sana.
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
26. Lalu tentu saja pada Kamilah perhitungan mereka.
Perhitungan terakhir akan terdiri dari apa yang telah terakumulasi di sini dalam kehidupan ini. Mereka tidak ingin melihat neraca rugi-laba sekarang, sehingga mereka akan menikmati akibatnya di kehidupan mendatang.
Dalam surah ini ada deskripsi tentang permulaan jalan kesadaran ini. Ketika kita melihat pada apa yang terdekat dengan kita maka kita menemukan bahwa dalam segala sesuatu ada sebuah tanda (âyah), ada suatu komunikasi. Kita dapat memahami hal yang paling penting bagi kita sebagai sebuah tanda, apakah itu kesulitan kita, kekacauan kita, atau kesenangan kita. Kita harus mulai dengan yang terdekat kepada kita, mempertanyakannya, dan merenungkannya.
Setelah kita melihat apa yang terdekat kepada kita, maka hendaknya kita melihat pada yang agak lebih jauh—angkasa, langit—dan kemudian melihat apa yang di luar angkasa dan langit bagian dalam. Kemudian hendaknya kita melihat pada gunung-gunung, pada apa yang memegang teguh mereka, pada apa mengokohkan kokoh, dan kemudian kembali ke bumi. Maka sanggupkah kita mengingat kembali bahwa kita berasal dari Tuhan, bahwa kita tidak berkuasa atas apa pun? Keadaan tertinggi yang dapat kita capai pada permulaan kesadaran adalah syahadah (penyaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Mu-hammad adalah Rasul-Nya). Syahadah tidak bisa datang kalau kita tidak berpikir, dan kemudian kita akan tahu bahwa ada hisab (perhitungan), ada hasil, dan kita masing-masing mempunyai catatan sendiri.[]
SURAH AL-A’LA
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
1. Sucikanlah Nama Tuhanmu, Yang Mahatinggi,
Sabbaha adalah 'memuji atau menyucikan' Tuhan. Kata tersebut berkaitan dengan sabaha, yang berarti 'berenang, mengalir dengan, mengapung'. Ketundukkan adalah keadaan muslim, yakni keadaan berserah diri kepada Tuhan yang meliputi segala sesuatu. Semakin dia tunduk, semakin dia bergetar dengan energi-energi yang harmonis. Ayat ini berkenaan dengan 'Nama Tuhan', yang menunjukkan hakikat Tuhan kita yang tinggi, Entitas yang telah menciptakan kita. Segala sesuatu yang ada berpartisipasi dalam pengagungan yang mengalir bebas dan menggemakan esensi-Nya. Segala sesuatu berasal dari Sang Hakikat, dan menggemakan Realitas Tunggal.
Kata Rabb (Tuhan) menunjukkan Atribut Allah, Atribut Rububiyyah (Ketuhanan). Ini adalah suatu realitas yang permanen. Setiap orang berada dalam tasbih (pengagungan/penyucian) kepada Allah, karena hanya ada cinta, dan kecintaan yang utama adalah bertasbih kepada Allah. Itulah keterhubungan yang sangat sempuma. Penciptaan primordial ini termaktub dalam Kitab, Kitab paling awal dari mana semua penciptaan berasal—yakni dari naskah Ibra-him dan Musa.
الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى
2. Yang menciptakan, lalu menyempumakan.
Allah telah menciptakan dan membekali ciptaannya dengan semua kebutuhan untuk mencapai takdir yang diharapkan, yakni memuliakan dan tunduk kepada Sang Pencipta. Manusia memulai pengagungan Tuhannya dengan mengamati disertai perasaan kagum terhadap berbagai hal yang secara serta-merta mengelilinginya. Ia memulai pengagungan dengan membenamkan diri dalam keagungan jalal (kemuliaan) dan jamal (keindahan) yang terakhir, dengan melihat pada keagungan yang mengelilinginya sampai taraf dimana dandanan individualnya dan lingkungan kulturnya memungkinkan dia untuk memahami.
وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
3. Dan Yang membuat [semua yang ada] sesuai dengan ukuran, lalu menunjuki [mereka pada tujuan mereka].
Segala sesuatu ada sesuai dengan ukuran dan keseimbangannya. Pengetahuan tentang ukuran itu merupakan awal dari hidayah (petunjuk). Ketika kita mengamati ciptaan fisik di sekeliling kita, kita melihat bahwa ia berada dalam suatu keseimbangan yang njlimet, bahwa keesaan (tauhid) menyatukannya, dan bahwa segala sesuatu saling berhubungan, hidup dengan, tumbuh karena dan memberi kepada, segala sesuatu yang lain. Ada tempat untuk semua orang. Itulah mengapa kita mengatakan, jangan khawatir akan perbekalanmu, juga anak-anakmu. Ada tempat untuk semua orang dalam penciptaan ini.
Hidayah datang melalui pengetahuan tentang qadr (takdir ilahi). Jika kita memiliki pengetahuan tentang takdir itu, maka kita memiliki pengetahuan tentang hukum yang mengatur penciptaan. Kita telah dibimbing ke dalam pengetahuan itu oleh esensi kita, dari sejak permulaan dan sebelum penciptaan.
وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى
4. Yang menumbuhkan rerumputan.
فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى
5. Lalu menjadikannya kering kehitam-hitaman.
Mar'a berarti 'padang rumput'. Bahkan perhiasan bumi pun bertasbih, dan itulah sebabnya mengapa padang rumput tumbuh dalam siklus musiman. Dari satu musim ke musim berikutnya, rerumputan berubah dari padang rumput yang hijau dan hidup menjadi jerami yang kering dan berdebu, namun pada setiap fase siklusnya didasarkan pada tasbih.
سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنسَى
6. Kami akan membacakan kepada engkau agar engkau tidak akan lupa.
Pengetahuan tentang realitas merupakan maqam yang tinggi; maqam ini tidak mengakui dominasi dari setiap kesadaran yang rendah. Pengetahuan tentang Wujud bersifat abadi karena Wujud itu tak pernah berakhir. Begitu kita tahu, kita tidak akan lupa.
Ketika kita berjalan terus, mengalami pembukaan-pembukaan batin, adakalanya kita merasa cemas dan takut. Ketika wahyu menyeru Nabi, wahyu itu juga menyeru semua orang yang mengikuti beliau. Kita diyakinkan di sini bahwa tidak ada kelalaian. Kelalaian muncul bila ada ghaflah (ketidakperdulian), dan ghaflah muncul bila tidak ada khasyyah (perasaan takut melanggar). Hal yang terpenting adalah ingat, yakni, ingat terhadap apa yang sudah ada di sini untuk diingat. Bagaimana mungkin kita bisa lalai atau tidak perduli terhadap apa yang sudah ada di sini? Jika ada kelalaian, maka itu hanya sekadar di permukaan saja dan bukan hakikatnya. Akhirnya, kita harus mencamkan apa yang berguna dan perlu. Pengetahuan sudah ada di sini, dan pada saatnya, dengan cara yang tepat di tempat yang tepat, akan diungkapkan.
إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى
7. Kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui apa yang nampak dan apa yang tersembunyi.
Nampaknya yang terlupakan adalah kehendak Allah, dan bagaimana sampai bisa melalaikan kehendak Allah? Yang ada hanyalah Allah, jadi kelalaian adalah ketidaksadaran. Allah mengetahui semua manifestasi, yang nampak dan yang tersembunyi, apa yang nampak sebagai pengetahuan, dan apa yang tidak.
وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى
8. Dan kami akan melancarkan jalanmu ke arah kemudahan.
Kami akan menempatkan manusia pada jalan kemudahan. Yusra yang berarti 'kemakmuran', berasal dari yasara yang berarti 'menjadi mudah'. Ini adalah huda (petunjuk). Jalan kemudahan adalah jalan tanpa hambatan, jalan ketundukkan, dan di atasnya manusia akan menemukan kemudahan pengetahuan. Kesalahan manusia sendirilah jika ia menempatkan dirinya dalam kerugian.
فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ الذِّكْرَى
9. Maka berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu berguna.
Dengan cara sama yang dilakukan Rabb (Tuhan) pada seluruh ciptaan-Nya, padang rumput termasuk hal yang ingin manusia ketahui. Itulah tanah penggembalaan kita. Ayat ini mengatakan, "Beri mereka peringatan, karena peringatan itu akan berguna atau menguntungkan mereka." Orang yang memperingatkan mereka juga ingin melihat hasilnya. Dia menginginkan konfirmasi lahiriah karena memang sifat manusia untuk ingin melihat niatnya tercermin dalam tindakan lahiriah. Dia ingin melihat bahwa keimanan ada hasilnya, bahwa orang-orang bertindak berdasarkan keyakinan mereka dan menghidupkan keimanannya secara total.
Adakalanya, memang manusiawi, para nabi muncul seakan-akan mereka dalam kesangsian dan keraguan. Ini karena mereka tidak hidup dalam teori. Para nabi telah datang demi kita untuk berhubungan dengan kita, dan kita semua dapat berhubungan dengan kelemahan moril manusia. Oleh karena itu, adakalanya diberikan peneguhan hati lagi.
سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَى
10. Orang yang takut akan penuh perhatian.
Orang yang khasyyah (takut melanggar) dan takut membesarkan api yang menghanguskannya, adalah orang yang akan ingat.
وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى
11. Dan orang yang paling celaka akan menghindari itu.
Orang Asyqa (orang yang penuh kesukaran, yang nasibnya sial, hancur, dalam kesengsaraan dan penderitaan) tidak akan mengacuhkan peringatan dan tidak juga akan ingat, sehingga akan dibuat lebih menderita lagi.
الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى
12. Ia akan dilemparkan ke dalam api yang besar.
Maksudnya, karena kebodohan dan ketidakperduliannya pada saat sekarang maka ia membesarkan api yang kecil. Jika ada 'api besar', maka api kecil mesti juga ada, dan orang yang sedang mengalami siksaan batin berada di dalam api kecil itu. Dinamakan api besar karena ia tidak berakhir, tidak terukur, abadi, dan bergejolak secara permanen. Maka maksud ayat ini adalah bahwa orang yang sekarang tidak takut melanggar (khasyyah), yang tidak bertasbih dan tidak sedang menempuh jalan hidayah, berarti ia sedang menciptakan, memperbesar, dan menyiapkan api besar.
ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى
13. Lalu ia di sana tidak akan mati juga tidak akan hidup.
Artinya, hidup dan mati tak pemah pasti dalam neraka. Ia merupakan dimensi tingkat menengah yang samar-samar, padahal bagaimana pun juga manusia menginginkan kepastian dan kejelasan.
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى
14. Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya.
Orang yang sudah mengetahui, yang secara lahiriah sudah membayar zakatnya dengan teratur sehingga tumbuh dalam kesucian, akan menjadi orang yang menang, dan akan menuai panen yang baik yang sebelumnya telah rajin ditanami oleh kesuciannya. Orang yang telah menempuh jalan keluasan dan peningkatan yang terus-menerus adalah orang yang telah menanam hal yang tepat pada saat yang tepat. Falah (keberhasilan) berbicara tentang orang yang mengolah bumi, membajak dan memanennya. Fallah dari akar kata yang sama, berarti 'petani'. Jika ia tidak mengerjakan ini, maka tidak akan ada yang muncul dari bumi. Ia harus membelah dan mengerjakannya. Orang yang telah menyucikan batinnya yang paling dalam adalah orang yang telah menang. Ia berada di jalan petunjuk.
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
15. Dan ingat akan Nama Tuhannya, lalu salat.
Nama adalah suatu indikasi. la mengingat Nama itu, yakni rambu-rambu dari dalam batin yang menunjukinya perbedaan sehingga dapat melihat dengan jelas kemana ia akan masuk lebih jauh ke dalam kerugian, kemana ia akan lebih terikat, lebih tersambung, lebih takut, lebih gelisah. Dengan mengingat Nama Tuhannya—berzikir—ia dapat menghindari penyebab kerugiannya. Dengan demikian ia telah menemukan arah. Dengan mengetahui hal yang tidak benar, ia dapat berjalan ke arah yang benar.
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
16. Tetapi tidak! Engkau lebih suka pada kehidupan dunia ini!
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
17. Meskipun kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.
Sebagai manusia yang selalu memerlukan tubuh, kita semua menginginkan keselamatan di dunia ini, maka kita lebih suka pada kehidupan ini ketimbang kehidupan mendatang. Kehidupan ini adalah kehidupan yang mudah, jalan pintas. Namun, kemudahan di sini berarti kesulitan dalam jangka panjang.
إِنَّ هَذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُولَى
18. Sesungguhnya ini sudah tersebut dalam kitab suci yang terdahulu.
صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى
19. Kitab sucinya Ibrahim dan Musa.
Pengetahuan ini, kitab yang kita baca sebagai hasil pengagungan Tuhan, sebagai akibat dari menempatkan diri kita dalam satu-satunya aliran dan mengetahui aliran ini, adalah pengetahuan lama yang diungkapkan oleh para nabi terdahulu.[]
SURAH Ath-THARIQ
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Ada lima bagian dalam surah ini. Bagian pertama mencakup segala hal dan alam semesta, berkenaan dengan kosmos bagian luar dan bagian dalam. Surah ini dimulai dengan bersumpah demi fakta-fakta langit luar dan langit dalam. Kemudian bagian kedua dimulai dengan memfokuskan secara khusus pada unsur manusia yang terisolasi, insan, dan menggambarkan bagaimana kejadiannya. Lalu bergerak ke kehidupan berikutnya, yang merupakan bagian ketiga. Pada bagian keempat kita lagi-lagi diingatkan tentang kesalingberhubungan antara lahir dengan batin, langit dan bumi. Bagian kelima berbicara tentang alur realitas dan pengawasan Allah atas ciptaan-Nya, yang menggambarkan bagaimana segala sesuatu dibentuk menjadi suatu kesatuan yang harmonis seluruhnya.
وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ
1. Demi langit dan yang datang di waktu malam,
Demi luasnya langit, dan bagian tertentu langit yang dapat dilihat! Demi keagungan langit yang tiada batas dan bintang yang bersinar cemerlang, yang menunjukkan diri dengan terang. Demi langit batinmu dan pancaran cahaya yang tiba-tiba bersinar dalam dirimu! Demi Keluasan yang tak terukur hingga engkau menjumpai sesuatu yang membimbingmu! Semua ini adalah cara untuk menjelaskan ayat pertama dengan gaya ayat itu sendiri.
Tharaqa, akar kata dari mana thariq berasal, artinya 'mengetuk (pintu), menemukan, mencapai' dan 'datang menjelang malam'. la juga bermakna orang yang bepergian di malam hari. Biasanya pintu-pintu sebuah rumah terbuka pada siang hari, dan hanya pada malam harilah syariat (hukum lahir) menyuruh agar segala sesuatu ditutup. Maka orang yang bepergian di malam hari harus mengetuk pintu untuk memberitahukan kedatangannya. Luasnya langit dan kemudian spesifikasi yang lebih sempit tentang pendatang di malam hari, pertama menunjukkan ketakterukuran dan kemudian menunjukkan sesuatu yang bisa diukur dan kita dapat berhubungan dengannya.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ
2. Dan apa yang membuat engkau tahu siapa yang datang di waktu malam itu?
Apa yang kita ketahui tentang ketukan itu? Apa yang kita tahu tentang yang datang menjelang malam? Malam ketidaktahuan hanya dapat dipecahkan dengan thariq, dengan ketukan pengetahuan. Pengetahuan kita tentang thariq ini datang tiba-tiba dari keluasan tak terbatas yang sebelumnya tak terukur, tidak nyata dan tidak dapat ditakar.
النَّجْمُ الثَّاقِبُ
3. Bintang yang sinarnya menembus!
Bintang yang sinarnya menembus mempunyai kejelasan dan arah yang menjadikan kemunculannya sebagai sebuah peristiwa. Ia menembus apa yang nampaknya tak dapat ditembus. Sebagian orang mengartikan ini sebagai sinar laser. Sinar laser adalah percikan yang mampu menembus bahan paling tebal sekalipun tanpa berubah, seperti benang yang menjahit kain, dan menyatukan satu sisi dengan sisi lainnya.
إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ
4. Tidak ada satu pun jiwa yang tanpa penjaga.
Seakan-akan ayat ini memberitahu kita bahwa di dalam setiap jiwa ada bintang yang menembus, sebuah mercusuar yang terus-menerus menyorotkan cahaya yang akan menembus setiap selubung yang berusaha kita kenakan atas diri kita. Makna batinnya adalah menunjukkan bahwa setiap orang ada penjaga pribadinya, seorang hafizh (penjaga, pengawas, pemelihara). Ada malaikat penjaga yang menyimpan catatan tentang setiap perbuatan seseorang dan yang bemiat akan dilakukannya, yang kemudian akan dikembalikan kepadanya di akhir zaman. Semua perbuatan dan niatnya dicatat dalam satu-satunya catatan, yakni dirinya. Dari catatan ini tidak ada peluang untuk mengelak.
فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ
5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan.
Jika manusia mengira ia terpisah dari semua ini, jika ia mengira bahwa persoalan tentang langit dan bintang, lahir dan batin, dan segala sesuatu yang diciptakan merupakan suatu hal yang luar biasa, maka hendaklah ia memperhatikan komposisi fisiknya sendiri. Ia harus kembali ke realitas ini dan memulai dari tempat asalnya, dari lapisan lahiriah tubuhnya. Ia akan melihat di dalamnya bagaimana keseluruhan penciptaan terjadi. Penelitian seperti itu akan menyalakan obor penerang sehingga ia dapat menembus seluruh kondisi penciptaan. Tapi untuk menembusnya ia harus melihat dahulu dari apa ia diciptakan, secara lahiriah dan secara harfiah.
خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ
6. Ia diciptakan dari air yang memancar.
Secara fisik, unsur utama tubuh manusia adalah air. Dafiq artinya 'memancar, menuang, meluap'. Eksistensi tidak dapat dilihat kalau tidak menjelma kedalam bentuk yang berwujud. Tidak ada wujud padat pada eksistensi, karena wujud didasarkan pada fluiditas (ketidakstabilan), pada air. Karena itulah maka, sama halnya, penciptaan manusia pun didasarkan pada fluiditas: tidak ada yang tetap. Segala sesuatu dalam keadaan meluap: pikirannya, kehidupan sehari-harinya, kesusahan dan kecemasannya; semuanya dalam keadaan yang tems berubah secara dinamis. Tapi karena manusia mencari keamanan maka ia mewujudkan kebutuhannya yang inheren ini menjadi sesuatu yang solid, dan itulah keruntuhannya. Ia mengira bahwa keamanan terletak pada soliditas, pada tembok dan gedung-gedung, pada pemilikan, karena pada dasarnya ia sedang mencari satu-satunya basis yang aman dan kokoh yang menjadi sumber kelemahannya yang nampak. Tapi keamanan seperti itu tidaklah mungkin, karena segala sesuatu mengikuti sunah atau polanya yang tertentu.
يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
7. Yang keluar dari antara pinggang dan iga.
Ini berkenaan dengan dua hal yang berlawanan. Makna harfiah dari shulb adalah 'keras, kaku, sulit', dan juga berarti 'pinggang' dan 'punggung'. Kata tara'ib berarti 'tulang dada, iga', dan berasal dari kata kerja tariba yang berarti 'berdebu, tertutup debu'. Dari kata tersebut juga muncul tarib (sezaman, setara, sesuai, sebanding). Manusia lahir dari pertemuan antara dua hal berlawanan, yang satu padat dan yang lain cair.
إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ
8. Sesungguhnya Ia berkuasa untuk mengembalikan (menghidupkan)nya.
Pada ayat-ayat sebelumnya kita diberitahukan, 'Lihatlah dirimu! Dari lelangit kosong yang luas, tiba-tiba muncul bintang. Dari kebodohan muncullah keterangan. Dari kebingungan hati muncullah percikan pengetahuan di dalamnya. Wahai manusia, engkau yang berada dalam perubahan terus-menerus dan dinamis, engkau telah dijadikan dari zat cair yang keluar dari antara tengah-tengah seorang laki-laki dan perempuan.'
Kemudian Allah berkata, " Sesungguhnya Ia berkuasa untuk mengembalikannya"', maksudnya bahwa apa pun yang diciptakan di sini dalarn kehidupan ini, Allah dapat dengan mudah menciptakan dalam bentuk lain. Oleh karena itu, sebagaimana malam yang sunyi dapat terganggu oleh pejalan malam yang 'mengetuk pintu, apa yang hidup dalam suatu bentuk dapat kembali ke keadaannya sebelum dibentuk. Ayat ini menggiring kita pada kesimpulan yang sesuai dengan topik: untuk setiap ciptaan ada lawannya, dan, dengan kata lain, mesti ada ciptaan lainnya. Ciptaan ini temoda oleh apa yang memproteksinya, yakni gagasan diri atau ego. Ciptaan berikutnya harus merupakan bayangan terbalik dari ciptaan ini.
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ
9. Pada hari tatkala segala rahasia ditampakkan.
Bala berarti 'menguji, mencoba, meniinpai'. Bali berarti 'usang, tua, jompo, busuk, bobrok'. Dan bala' berarti 'kemalangan, kesukaran, siksaan'. Kemalangan dari sebuah rahasia adalah bila ia diketahui umum. Surr, berasal dari akar kata yang sama dengan sara’ir (rahasia), artinya 'tali pusar', dan masarrah berarti 'kenikmatan, kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan'. Ia menunjukkan bahwa anak yang baru lahir mengumandangkan kegembiraannya karena tidak tergantung pada ibunya, dan hanya tergantung pada Allah semata, meskipun dalam kenyataannya ia selalu tergantung hanya pada Allah.
Kita akan ditimpai kesusahan untuk menguji apakah kita benar-benar yakin kepada Allah, dan itu akan menjadi ujian yang mutlak berat. Pada hari itu, dalam situasi itu, rahasia yang kita sembunyikan sekarang akan sungguh-sungguh diungkapkan: itulah makna dari diuji. Maksud dari ujian bukan untuk mengetahui apakah kita akan mencapai suatu tanda tertentu, tapi untuk menunjukkan realitas kita, tingkat kesucian, ketulusan hati dan ketauhidan kita, derajat kemunafikan atau ketidakmunafikan kita. Kita tidak mengetahui hal ini sekarang mungkin karena kita telah mengelabui diri kita sendiri, tapi pada waktu itu kita akan mengetahui seberapa besar ketergantungan kita pada Allah dan seberapa besar kepada selain Allah.
فَمَا لَهُ مِن قُوَّةٍ وَلَا نَاصِرٍ
10. Ia tidak akan punyai kekuatan maupun penolong.
Kita dipaksa untuk kembali ke situasi kita dan memulai dari tempat di mana kita berada, dengan mengenali segala kelemahan dan kemunafikan kita, mengenali dualitas dari mana kita berasal, dan mengenali bahwa tujuan kedatangan kita adalah untuk mengetahui makna Allah, Sumber Pokok kekuatan, Yang Maha Penolong.
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الرَّجْعِ
11. Demi langit yang memberi hujan.
Kita harus merenungkan penciptaan langit dan bumi, dan cara turunnya hujan yang berulang-ulang mengikuti musim. Dari satu sudut pandang, bisa diartikan bahwa lelangit akan kembali ke hakikatnya, ke ketiadaannya semula.
وَالْأَرْضِ ذَاتِ الصَّدْعِ
12. Dan demi bumi yang terbelah [menumbuhkan tanaman].
Bumi juga akan retak dan hancur kembali ke ketiadaannya semula. Makna dari shad’ adalah 'belahan, atau retakan', dan di sini menunjuk kepada bumi yang terbelah karena timbulnya semaian-semaian tanaman.
Kita juga dapat menganggap dua ayat ini (11 dan 12) sebagai simbolisasi langit batin kita dan bumi batin kita. Maka bumi berarti dada dan hati yang ada di dalam dada, dan langit menunjuk kepada pengetahuan yang senantiasa kembali kepada kita pada tahap-tahap pembukaan yang berbeda.
Tidak ada di langit rnaupun di bumi yang tidak mengingat, atau mengagungkan Allah. Ini adalah zikir langit dan bumi. Dari sudut pandang manusia, zikir yang berulang-ulang adalah laksana hujan yang menghanyutkan polusi lahir dan batin kita, dan bumi, sang hati, meresponnya.
إِنَّهُ لَقَوْلٌ فَصْلٌ
13. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang pasti.
Perkataan—dekrit Tuhan—yang ditunjukkan kepada kita dalam ayat ini adalah pemisah antara kebodohan dengan pengetahuan dan antara dunia sekarang dengan dunia akan datang. Selanjutnya, perkataan tersebut juga membedakan antara mereka yang telah hidup di jalan tauhid dalam kehidupan ini dan mereka yang tidak. Ada garis yang jelas dan pasti yang membedakan dengan tepat, itulah Alquran. Sebagaimana pada awal surah, ketika langit yang luas tampak bersih dan kosong, dan tiba-tiba muncul bersitan cahaya bintang, manusia juga terlahir dengan sifat suka membeda-bedakan. Kekuatan diskriminasi, perbedaan yang tajam antara kebenaran dan kesalahan, berasal dari satu-satunya Tuhan Yang Mahakuat Yang menciptakan dan menghancurkan segala sesuatu bil haqq (dengan kebenaran).
وَمَا هُوَ بِالْهَزْلِ
14. Dan itu bukanlah senda gurau.
Hazala berarti 'menjadi kurus, tipis', dan hazila adalah 'berkelakar, bersendagurau'. Hazl adalah 'kelakar, hiburan'. Kita tidak boleh memperolok-olokkan karena penciptaan ini sangatlah serius.
Biasanya kita menertawakan atau memperolokkan sesuatu karena kita tidak memahaminya. Kita ingin membenarkan sesuatu yang tidak nyata sehingga menerima sikap yang sinis. Sinisme menunjukkan tiadanya energi dan merupakan salah satu watak paling buruk yang dapat dimiliki seseorang. Kita mencari periindungan pada pemahaman atau sistem tertentu, dan ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang menentangnya dan yang tidak dapat kita pertanggungjawabkan, kita menjadi sinis. Itulah mekanisme pelarian diri; sinisme adalah sebuah saluran. Nifaq (munafik, pura-pura) dikaitkan pada nafaq (saluran, jalan terusan bawah tanah). Jadi kemunafikan merupakan jalan keluar, pelarian diri, sebagaimana memperolok-olok. Pilihannya adalah: kita berhubungan dengan hal yang bertentangan dengan kita lalu menerimanya, atau, kalau tidak, kita menjadi sinis. Dengan cara demikian kita membebaskan diri dari setiap pencampur-bauran yang serius.
إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا
15. Sesungguhnya mereka merencanakan sebuah rencana,
Pesan ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad dan kepada kaum beriman, kepada mereka yang menegakkan kebenaran dan para pembawa pesan. Kayd (komplotan, tipu-daya, rencana) berarti merencanakan dengan diam-diam, baik secara patut atau tidak patut. Karena itu ayat ini bisa diartikan bahwa seseorang berkomplot melawan dirinya sendiri melalui kebodohannya, atau seseorang berkomplot menentang Nabi. Orang-orang yang menyangkal realitas karena kebodohannya akan berkomplot secara sembarangan, tidak berarti bahwa mereka akan secara sengaja sembunyi-sembunyi laksana maling yang bersekongkol untuk merampok sebuah bank. Yang benar adalah, mereka melakukan persekongkolan batin karena hati mereka akan bersekongkol melawan kebenaran.
وَأَكِيدُ كَيْدًا
16. Dan Aku pun merencanakan sebuah rencana.
فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا
17. Maka berikanlah tangguh kepada orang-orang kafir; biarkanlah mereka sejenak.
Tapi Allah juga punya rencana. Dia adalah pembuat rencana yang terbaik; rencana-Nya akan selalu berlaku. Dia meliputi semua, Dia adalah Pencipta semua. Sementara, manusia hanyalah perencana tangan kedua, maka rencana-Nya akan selalu berlaku. Akhirnya mereka membuktikan keimanan mereka kepada-Nya melalui kematian mereka; melalui kematian fisik merekalah maka mereka membuktikan loyalitasnya kepada Allah, karena saat itu mereka kembali kepada-Nya, suka atau tidak suka.
Mahhala berarti memberikan tangguh. Mahala, bentuk akar, adalah mengerjakan suatu hal secara diam-diam dan dengan lemah-lembut, sementara amhala, dari akar kata yang sama, artinya bertindak dengan lemah-lembut terhadap seseorang atau sesuatu. Kita semua diberi peluang untuk menemukan keberanian sejati kita. Kerahiman yang dituliskan kepada ciptaan Allah sedemikian rupa sehingga selalu ada pilihan untuk bangun (sadar) dan tetap bangun, yang merupakan tujuan dari penciptaan kita.
Pilihan satu-satunya yang dihadapi manusia adalah mengetahui bahwa ia berada di jalan yang benar. Setiap orang berada dalam Islam; setiap orang tunduk pada hukum yang mengatur eksistensi, suka atau tidak suka. Setiap orang adalah muslim baik itu pilihan dia atau bukan, baik ia mengucapkan sahadat atau tidak, baik ia ruku dan sujud atau tidak. Setiap orang tunduk pada hukum yang mengatur keberadaannya. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa sebagian orang telah memilih untuk mengakui hukum ini, mempersatukan kehendak dan niat mereka dengan kehendak Allah.[]
SURAH AL-BURUJ
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ
1. Demi langit yang penuh bintang,
Surah ini mulai dengan menyebut fenomena yang secara langsung melibatkan kita dalam kehidupan ini. Ketika bersumpah dengan konstelasi bintang, kita diseru untuk memberikan kesaksian. Burj adalah apa saja yang nampak, menonjol atau tinggi. Ia juga berarti 'menara, kastil' dan 'tanda zodiak'. Lelangit dapat dibagi ke dalam zona-zona yang berbeda, dan yang terdekat kepada kita adalah dua belas rumah zodiak, atau konstelasi bintang.
Penggunaan kata samâ' (langit, cakrawala) di sini bisa berarti hati. Salah satu makna batin dari ayat ini berkenaan dengan tahap-tahap yang berbeda melalui mana hati berkembang ke arah realisasi tauhid.
وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ
2. Dan demi hari yang dijanjikan,
Mau’ud (dijanjikan, ditentukan) berasal dari kata kerja wa’ada, 'menjanjikan, meramalkan, mengancam'. Pada Hari Perhitungan segala sesuatu akan terbuka dan gamblang. Kita telah diperingatkan tentang hari ini di seluruh wahyu.
وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ
3. Dan demi saksi dan yang disaksikan.
Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa Allah adalah saksi dan yang dipersaksikan, karena yang ada hanyalah Allah—la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah).
Nabi Muhammad telah mengatakan bahwa syahid adalah Yawm al-Jum’ah dan masyhud (yang disaksikan) adalah Yawm al-'Arafat (Hari Arafah dalam ibadah Haji). Kita masing-masing adalah saksi, secara terus-menerus, berulang kali, setiap menit dari setiap hari, setiap minggu, setiap Jum'at. Ini juga bermakna menjadi saksi dalam arti kolektif, karena hari berkumpul (Jum'at) adalah latihan untuk menghadapi saat ketika semua jiwa akan dikumpulkan setelah Kebangkitan.
Masyhud adalah Hari Kepastian, atau pengenalan akan kebenaran yang satu, karena seluruh ciptaan menyaksikan kebenaran tersebut. Itulah hari keesaan (tauhid): kita menyaksikan itu sekali sepanjang hidup. Hari Jum'at menyaksikan kita, dan kita menyaksikan Arafah. Mengenal sekali saja sudah cukup, dan kemudian si penyaksi (syahid) bisa juga menjadi si tersaksi (masyhud).
قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ
4. Kehancuran menimpa para penghuni parit,
Ini adalah penjelasan historis tentang suatu peristiwa yang terjadi di negeri Yaman. Peristiwanya mengenai seorang nabi dari Ethiopia yang memiliki sekelompok pengikut. Ini adalah cerita yang dituturkan oleh Amir al-Mu'minin Ali ibn Abi Thalib. Kaum pagan memenjarakan sang nabi dan pengikutnya, menggali sebuah lubang di tanah lalu menyalakan api besar di dalamnya. Kemudian kaum pagan mengumpulkan mereka dan berkata: "Barangsiapa di antara kalian yang percaya kepada nabi orang Ethiopia ini, ia harus loncat ke dalam api dan membakar diri, karena jika kalian beriman kepada Allah, maka Allah akan menyelamatkan kalian! Dan mereka yang tidak percaya kepada orang ini hendaklah menjauhkan diri." Diceritakan bahwa semua orang yang bersamanya loncat ke dalam api, dan mereka diselamatkan oleh Allah, dengan cara Allah. Di antara mereka ada seorang wanita yang punya anak kecil, dan ketika dia dan anaknya masuk ke dalam api yang ada hanyalah kesegaran dan kedamaian, persis seperti Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api oleh orang-orang Mesopotamia penyembah patung. Mereka yang loncat ke dalam api berada dalam keadaan yang benar-benar yakin. Pada saat berserah diri itu ada sistem lain yang mengambilalih. Kita biasanya terhalang dari sistem lain tersebut.
النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ
5. Api yang diberi bahan bakar,
إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ
6. Tatkala mereka duduk di situ,
Barangsiapa tidak bergabung dan mengikuti jalan mereka maka ia dimasukkan ke dalam jurang api yang besar, sementara kaum kafirin duduk di dekat api itu menyaksikan pertunjukkan besar.
وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ
7. Dan mereka adalah saksi terhadap apa yang mereka lakukan terhadap kaum beriman.
Mereka sendiri menjadi saksi atas apa yang sedang mereka lakukan terhadap kaum mukrnin yang sedang menantikan kehidupan berikutnya, yang berbuat sebaik-baiknya dalam kehidupan ini. Kaum tiran ini menyengsarakan kaum beriman karena mereka ingin kaum beriman menjadi seperti mereka, karena kita semua ingin kebersatuan. Mereka yang mendustakan Tuhan (kafir) ingin menyatukan setiap orang dalam sistem kufur mereka, dan seperti dikatakan Nabi Muhammad, 'Kufr (menolak Tuhan) adalah sebuah sistem.' Hal itu seumpama seorang ayah dan seorang ibu yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya dengan menabung uang, tapi ujung-ujungnya sang anak tidak menginginkan apa yang semestinya mereka berikan kepada si anak. Ini adalah hal terburuk yang bisa terjadi pada orang tua yang borjuis. Ayah dan ibu ingin menularkan sistem mereka kepada anak mereka dan jika si anak memberontak, mereka pun kecewa karena harapan yang tidak terpenuhi. Begitulah mereka menghancurkan si anak secara psikologis.
Contoh lain adalah terjadinya kehancuran masal di negeri Yaman. Golongan status quo, yang ingin melanggengkan sistem kehidupan mereka yang sempit, menyiksa golongan lainnya. Mereka rnembangun api persis di tengah-tengah para pengikut nabi karena benar-benar ingin melenyapkan para pengikut nabi, agar mereka tidak akan terganggu dan agar tidak ada unsur pemecah belah yang dapat mengancam kesinambungan sistem mereka.
وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَن يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
8. Dan mereka membalas dendam orang-orang itu hanya karena mereka beriman kepada Allah, Yang Mahaperkasa, Yang Maha Terpuji.
Niqmah (balas dendam) adalah kebalikan dari ni’mah, yang berarti 'kebaikan, berkah, manfaat'. Niqmah adalah penderitaan yang kelihatan dan destruktif. Kaum kafir dari negeri Yaman melakukan balas dendam dan berusaha menghancurkan orang-orang ini hanya karena mereka ingin mempercayai Allah dan beriman. Mereka menginginkan pengetahuan tentang Allah karena hal itulah komoditas yang paling jarang dan paling berharga dalam penciptaan, dan itulah pengetahuan yang paling agung yang bisa diperoleh manusia.
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍشَهِيدٌ
9. Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, dan Allah adalab Saksi atas segala sesuatu.
Ayat ini menunjuk kepada ayat sebelumnya: wa syahid wa masyhud (dan demi saksi dan yang disaksikan).
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
10. Sesungguhnya, mereka yang menganiaya kaum mukmin laki-laki dan kaum mukmin perempuan, kemudian tidak bertobat, mereka mendapat siksa neraka (jahanam), dan bagi mereka siksaan yang menghanguskan!
Fatana (menyerah pada godaan atau cobaan, siksaan dan kesengsaraan, terpikat), di sini secara khusus bermakna 'menimpakan penderitaan' atau 'menganiaya' dalam arti menguasai, menghancurkan, dan menyebabkan kerusakan. Mereka yang telah melanggar kaum mukmin, sekalipun tanpa menyadari apa yang sedang mereka perbuat, dan juga mereka yang berbuat tidak pada jalan tauhid yang lurus dan kemudian tidak bertobat, maka mereka akan ditimpa 'adzab (azab). 'Adzdzab berarti 'menyebabkan kerusakan atau kesakitan, hukuman, siksaan'. Pada saat yang sama, 'adzuba, dari akar kata yang sama, berarti 'bersikap manis, menyenangkan, ramah'. Inilah contoh gamblang tentang bagaimana makna yang berlawanan terkandung dalam kata yang sama. Maka siksaan neraka (jahanam) merupakan suatu aspek penyucian dan keadilan.
Haraqa berarti 'membakar'. Adegan yang digambarkan dalam ayat-ayat sebelumnya dibalikkan. Sementara mereka yang dibakar dalam lubang adalah pemenang, mereka yang membakarnya akan berakhir sebagai orang-orang yang akan dibakar secara hakiki. Mereka akan menerima hukuman atas apa yang mereka sebabkan sendiri sehingga mereka sebenamya mendatangkan hukuman atas diri mereka sendiri.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنتَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ
11. Sesungguhnya, mereka yang beriman dan berbuat kebaikan, mereka akan rnendapat surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai—itulah kemenangan yang besar!
Dan mereka yang, seperti penghuni lubang api, memiliki iman dan mewujudkannya ke dalam perbuatan yang patut disertai niat yang benar, akan mendapatkan surga yang dialiri dengan sungai-sungai gaib. Kesuburannya bahkan tercermin sekarang dalam kecemerlangan wajah-wajah mereka. Itulah kemenangan yang besar dan terakhir. Fawz, yang berarti 'kemenangan', mengandung arti kemenangan mencapai keselamatan, dan itulah tujuan terakhir dari si calon pemenang.
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ
12. Sesunggnhnya, cengkaman Tuhanmu sangatlah kuat.
Bathasya berarti 'mencengkam dengan keras', Ini berkenaan dengan saat-saat ketika sesuatu menimpa kita secara dahsyat, dengan tak diduga-duga. Jika kita mengatakan bathasya bihi, maksudnya adalah 'dia menyerangnya', apakah dalam kemarahan atau karena balas dendam. Syadid berarti 'kuat, dahsyat, keras, hebat, kasar'. Serangan ini mungkin datang secara tiba-tiba dan tak terduga pada saat kematian di kehidupan ini, atau di kehidupan mendatang pada saat pengadilan.
إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ
13. Dialah Yang mengawali dan mengulang penciptaan.
Tuhan adalah asal segala sesuatu dan segala sesuatu akan kembali kepada-Nya. Ayat ini berkenaan dengan awal kehidupan seseorang, kesadaran individunya dan pengembalian terakhir kesadaran individunya kepada kesadaran total terhadap Allah, atau ke awal kehidupan jasmaniah itu sendiri dan kembalinya kehidupan ke sumbernya. Semua ini hanyalah sebagian dari makna yang mungkin dari ayat ini.
وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ
14. Dan Dia adalah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang,
Kata yang digunakan di sini untuk mengungkapkan sifat dari Yang Maha Pengampun (al-Ghafur) berasal dari kata kerja ghafara, yang asalnya berarti 'menutupi'. Pengampunan tidak bisa diartikan mengabaikan atau membatalkan apa yang telah terjadi dan dicatat. Karena untuk setiap aksi ada reaksi, sifat sesungguhnya dari pemaafan adalah bahwa dengan mengakui dan berpaling dari suatu pelanggaran, maka kita menyeru sumber kasih sayang dan ampunan untuk melindungi dan mencegah kita dari berbagai pengaruh negatif. Ketika menyeru, Sifat al-Ghafur akan menangkis dan mengubah gema dari segala perbuatan salah kita.
Wadud (Yang Maha Pengasih) berasal dari salah satu kata Arab yang bermakna 'mencintai'. Kata yang lebih umum digunakan untuk cinta, hubb, adalah cahaya wudd sejati, atau widd (cinta, kasih sayang). Dua-duanya bermakna cinta, tapi jika widd-nya murni dan memancar secara terbuka, maka ia menjadi hubb. Seluruh penciptaan bergantung kepada cinta.
ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ
15. Tuhannya Singgasana, Yang Mahaagung.
'Arsy berarti 'singgasana' dari kata 'arasya yang berarti 'menegakkan, membangun atau menyusun'. Keseluruhan penciptaan berada di atas fondasi ini, yakni struktur halus dari materi yang di atasnya Allah telah 'menentukan' penciptaan dan meresap pada Kekuasaan Ilahiah-Nya yang mutlak. Dia 'duduk' di atasnya, laksana seorang raja duduk di atas sebuah singgasana.
فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ
16. Yang mengerjakan apa yang Dia kehendaki.
Kehendak Allah akan dilaksanakan. Perbuatan-Nya akan dinampakkan. Perbuatan Allah mengikuti hukum penciptaan, dan hukum penciptaan dibangun di atas 'arsy (singgasana). Dalam kisah penciptaan sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, kita menemukan bahwa pada mulanya singgasana Allah tergantung di atas air, yang berarti bahwa penciptaan lebih bergantung pada kecairan daripada kepadatan.
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ
17. Sudah sampaikah kepadamu cerita tentang balatentara,
فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ
18. Tentang Fir’aun dan Tsamud?
Ini adalah contoh lain tentang suatu bangsa atau kaum yang memberontak terhadap pesan kebenaran dan akibatnya dibinasakan. Hal yang sama terjadi pada kaum Khudud di Yaman. Dalam contoh ini kaum tersebut sepenuhnya dalam kekuasaan Fir'aun. Junud (tentara, gerombolan, pasukan) menunjuk kepada para malaikat yang tidak punya jalan untuk menginterpretasikan apa pun, atau bergerak ke arah mana pun kecuali melalui garis yang benar-benar lurus. Rujukan kepada kaum Fir'aun dan Tsamud memberi kita contoh lain tentang bagaimana berbagai peradaban dan kultur 'besar' dihancurkan, meskipun mereka memiliki akses menuju bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih tinggi.
بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ
19. Tidak! Bahkan orang-orang tidak beriman gigih mendustakan kebenaran.
Para penyangkal kebenaran itu berdusta. Artinya mereka sedang berdusta kepada diri mereka sendiri. Mereka menutupi dan melindungi diri dari berhubungan dengan kebenaran di luar maupun di dalam diri mereka.
وَاللَّهُ مِن وَرَائِهِم مُّحِيطٌ
20. Dan Allah melingkupi mereka di segala sudut.
Allah adalah al-Muhith (Maha Melingkupi). Muhith dari sebuah lingkaran adalah kelilingnya. Melingkari sesuatu berarti menahannya, dan dengan demikian menguasainya. Ayat ini bermakna bahwa Allah berada pada suatu tempat yang tak terlihat oleh mereka, suatu tempat yang tidak mereka ketahui, yang tidak terjangkau oleh pandangan mereka. Nabi Muhammad biasa mengatakan, "Aku bisa melihatmu dari punggungku", artinya bahwa beliau mengetahui apa yang sedang dilakukan orang-orang di belakang beliau karena beliau berada dalam keadaan mengetahui total. Ini bukanlah daya tanggap di luar pancaindera melainkan suatu kepekaan tingkat tinggi yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain. Orang-orang yang demikian kasar sehingga mengakibatkan ketidakadilan kepada orang lain tidak bisa mengetahui keadilan sejati yang bersifat halus, yang akhirnya berlaku baik di sini dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan akan datang. Hukum Allah ber-laku bagi mereka saat ini juga. Meskipun mereka mungkin menolaknya, namun mereka sudah berada di halaman pengadilan-Nya.
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ
21. Ya, memang! Itu adalah Quran yang mulia!
Itulah realitas menurut sebuah Kitab yang tidak berubah. Ia ditulis hingga tuntas; ia tidak sembarangan. Apa yang ditulis dan apa yang telah diuraikannya merupakan suatu gambaran umum mengenai penciptaan yang hams berupaya kita baca. Namun, upaya itu harus mengikuti jalan tertentu yang sudah ditetapkan, yakni upaya yang beijalan tidak menurut tingkah kita tapi mengikuti batas-batas, karena segala sesuatu ada batas-batasnya.
فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ
22. Dalam lembaran (loh) yang terjaga.
'Dalam lembaran yang terjaga' terpelihara selamanya. la tidak hancur, sekalipun oleh Musa yang membanting lembaran-lembaran batu hingga hancur, karena salinannya dipelihara selamanya. Setiap orang adalah salinan dari lembaran yang terjaga. Masing-masing kita membawa salinan kesadaran yang sama. Salinan Alquran berada dalam hati, tapi kita harus berupaya membacanya. Membacanya berarti menghidupkannya, dan menghidupkannya berarti menyatukan lahir dengan batin. Jika kita tidak melakukannya, maka kita menjadikan Alquran hanya sebagai lembaran-lembaran kertas cetak belaka. Seakan-akan kita mempunyai sekotak vitamin yang tak pernah kita gunakan, sekalipun saat kita sakit dan membutuhkannya. Karena lembaran yang terjaga itu dipelihara selamanya, maka sifat abadinya inilah yang memberinya rahmat. Ia tetap selamanya. Bahkan hukum-hukum yang mengatur hal yang nampaknya sementara pun sudah pasti dan tidak berubah. Kaki langit yang kokoh, sistem di mana hukum berlaku, berubah. Tapi, hukum untuk dunia yang nampak ataupun tidak nampak sendiri tidak berubah sepanjang eksistensi ini terus berjalan.[]
SURAH AL-INSYIQAQ
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
إِذَا السَّمَاءُ انشَقَّتْ
1. Tatkala langit terbelah.
Surah ini mulai dengan gambaran tentang akhir alam semesta. Insyaqqa, akar dari insyiqâq berarti 'terbelah, terpecah', dan menunjukkan keretakan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Kekuatan yang menyebabkan sistem tersebut berantakan sangatlah besar sehingga nampak sekali tidak adanya pola kehancuran terakhir yang sudah ditentukan sebelumnya. Keserampangan nyata dari babak akhir ini, secara linguistik menurut Alquran, berbeda dengan awal penciptaan yang telah ditentukan secara cermat (Q.S. 21:30). Kata kerja yang digunakan adalah fataqa (membelah pada lipatan). Fataqa dilakukan tidak secara serampangan, karena lipatan sepanjang mana penciptaan berlangsung sudah ditentukan sebelumnya, sebagaimana tersirat dalam makna kata kerja tersebut.
وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ
2. Dan menaati Tuhannya dan melaksanakannya.
Ketaatan serta kebenaran di sini menunjuk kepada lelangit yang mengikuti takdimya, yang menunjukkan sifat-sifat ini melalui tindakan-tindakannya. Udzun berarti 'telinga', dari adzina, yang berarti 'mendengarkan, menyimak, mengizinkan'. Itu artinya langit telah mendengarkan, dan dengan demikian telah berhubungan dengan sumber pesan. 'Beri saya idzn artinya 'Beri saya izin', yakni aspek lain dari bersatu dengan takdir.
وَإِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ
3. Dan tatkala bumi dibentangkan.
Madda berarti 'mengulurkan, membentangkan, mengembangkan'. Ketika seseorang berlomba dengan orang yang lebih kuat dari dirinya dan ia meminta madad (dari akar kata yang sama), maksudnya adalah 'mendahului pada permulaan'. Nuansa penghancuran bumi diungkapkan dengan jelas dalam konteks dua ayat yang sebelumnya dan berikutnya.
وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ
4. Dan [bumi] mengeluarkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.
Bumi telah mengembangkan diri, menghampar secara sempuma, dan telah menyemburkan semua yang ada di dalamnya. Keseimbangannya terganggu dan terhenti. Gaya gravitasi dan semua antarhubungan yang cocok dengan itu tidak lagi mendominasi.
وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ
5. Dan menaati Tuhannya dan melaksanakannya.
Lagi-lagi dengan ketaatannya langit menunjukkan takdirnya. Kewajibannya adalah mendatangkan stabilitas tertentu dan kemudian lenyap. Gambaran ini menjadi sangat jelas sekaitan dengan apa yang akan terjadi pada beberapa aspek bumi lainnya, seperti pegunungan.
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
6. Wahai manusia! Sesungguhnya engkau selalu berjuang menuju Tuhanmu dengan perjuangan yang keras sampai engkau bertemu dengan-Nya.
Setelah diberikan gambaran tentang babak akhir di mana penciptaan akan hancur, kita melihat bahwa kehancuran dan keterpecahan akan terefleksi dalam kesadaran manusia. Kâdih adalah orang yang bekerja atau berjuang untuk mencapai sesuatu. Berjuang, berusaha keras, atau bekerja juga berarti mencari makanan dalam arti duniawi. Salah seorang hamba Allah yang mulia di Afrika Utara biasa merajut satu topi sehari. Ia mengerjakannya di pagi hari lalu membawanya ke pasar. Semua pedagang mengenalnya dan ingin menjual hasil karyanya. Orang pertama yang menjumpai dia akan mendapat topi dan menjualnya. Hamba Allah yang mulia ini kemudian berkata, "Sekarang aku telah menggoncangkan pohon palem!"
Pasti ada goncangan pohon palem, sebagaimana dilakukan oleh Maryam, ibunda Sayidina Isa (Yesus), sebelum ia melahirkannya, dan korma-korma berjatuhan ke atasnya untuk memuaskan rasa laparnya. Perjuangan mesti ada, karena kita berusaha keras mendapatkan pengetahuan tentang Rububiyyah (Ketuhanan). Kita harus berjalan terus, kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Meskipun kita tidak mengembangkan hati dan kecerdasan kita, namun secara fisik kita sedang berkembang dan menjadi keras karena pengapuran dan tua secara biologis. Itulah bagian dari capaian potensi penuh manusia yang, dari satu sudut pandang, hanyalah proses penuaan. Meskipun kita tidak bisa menyamakan pertumbuhan ini dengan aspek-aspek sebanding dari perilaku yang benar, namun satu aspek dari diri kita sendiri akan bergerak menuju Rububiyyah, dan itulah aspek fisik yang loyal terhadap Penciptanya melalui kematian (wafah). Wafa' (dari akar kata yang sama) adalah pemenuhan suatu kewajiban, pembayaran utang, loyalitas dan penyelesaian. Tawaffa berarti 'ia menunjukkan loyalitasnya (pada ketetapan) melalui kematian'. Kita akan menjumpai dan mengetahui babak akhir itu, dan kita akan mengetahui bahwa yang ada hanyalah Rabb (Tuhan).
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ
7. Adapun bagi orang yang diberikan buku catatannya di tangan kanannya.
Ayat ini membawa kita ke ujung waktu. Tangan kanan, seperti disebutkan sebelumnya, secara tradisional melambangkan kehormatan dan tindakan serta catatan positip. Tangan kiri selalu berarti negatip. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan bahwa di ujung waktu, manusia yang perbuatannya benar akan ditunjukkan pada kebersihan atau kemumian dari semua tindakan masa lalunya.
فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
8. Ia akan diperhitungkan dengan perhitungan yang mudah.
Perhitungannya akan dimudahkan. Perjalanannya dari fase kesadaran dalam dunia ini ke dunia berikutnya akan dilancarkan, dan perpindahannya akan dimudahkan. Ia akan laksana bangun dari tidur yang sangat lelap.
Namun ini tidak berarti bahwa orang tersebut akan harus menghadapi dewan pemeriksa. Perpindahannya akan mudah karena ia sudah bangun sepenuhnya dan siap untuk menjalani pemeriksaan. Perjuangan dan kerja kerasnya berada pada jalur yang benar, di jalan Allah (fi sabilillah).
وَيَنقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا
9. Dan ia akan kembali kepada kaumnya dengan gembira.
Ia akan kembali kepada apa yang patut diterimanya. Masrur (gembira) berasal dari kata kerja sarra yang berarti 'senang, gembira' dan, dalam bentuk lain, 'menyimpan rahasia, menyembunyikan, mempercayakan'. Ini berarti bahwa kebahagiaan sejati adalah suatu rahasia, suatu keadaan batin. Sarir adalah 'tempat tidur atau mimbar', sesuatu yang di atasnya seseorang berbaring dan dibuat menyenangkan. Sarirah, berarti 'rahasia' atau 'paling dalam', menunjukkan hati. Maka orang yang diberi buku catatannya pada tangan kanannya akan kembali kepada lingkungannya yang sudah akrab dan, dengan demikian, menyenangkan baginya, dan bagi orang-orang yang dia rindukan, pada tempat yang menjadi haknya.
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ
10. Adapun bagi orang yang diberi buku catatannya dari belakang punggungnya,
Ini menggambarkan seseorang yang tidak mau menghadapkan mukanya. Sepanjang hidupnya ia tidak ingin memeriksa catatannya, melihat apa dan siapa dia, atau bagaimana dia jadinya. Oleh karena itu dia tidak ingin melihat buku catatannya, maka dipaksakanlah kepadanya dari belakang punggungnya, yang menunjukkan bahwa dia tidak sadar. Hal ini juga berarti bahwa perkara yang lebih suka ia sembunyikan itu adalah sesuatu yang memalukan.
فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا
11. Ia akan meminta dibinasakan.
Tsabara adalah 'mundur, hilang, hancur, lari, binasa'. Tsubur adalah penghancuran, ibaratnya seseorang yang benar-benar terkepung sehingga tidak bisa lagi berpikir atau bertindak; pikirannya beku sehingga tidak bisa lagi berfungsi. Tiba-tiba ia menyadari bahwa dari sejak itu seterusnya di alam tersebut ia tidak punya investasi, tak ada yang dikerjakan. Pada saat itu ia berteriak minta dibinasakan, karena ia tahu bahwa hanya kehancuran yang menunggunya.
وَيَصْلَى سَعِيرًا
12. Dan masuk ke dalam api yang menghanguskan.
Dia tahu bahwa dirinya berada dalam api neraka (jahanam). Orang ini sudah pemah merasakan sebagian sa’ir (api yang menghanguskan) dalam kehidupan dia sebelumnya melalui berbagai perlengkapan yang mengepung dirinya sendiri untuk memperkuat sistemnya yang merugikan.
إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا
13. Sesungguhnya ia dahulu bersukaria di tengah kaumnya,
Ia berusaha berada di tengah keluarganya, di tengah golongannya. Ia berusaha memperkuat apa yang diimaninya, yang sebenarnya ketidakimanan, dengan berada bersama mereka.
إِنَّهُ ظَنَّ أَن لَّن يَحُورَ
14. Sesungguhnya ia mengira bahwa ia tidak akan pernah kembali [kepada Tuhannya].
Kita semua senang dengan apa yang kita miliki, dengan tanah kapling kita. Kesadaran penting terhadap kebertanggungjawaban (akuntabilitas) total sudah tidak ada. Garis pedoman untuk kembali kepada Allah tidak menjadi garis pedoman utamanya.
بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيرًا
15. Ya! Sesungguhnya Tuhannya selalu melihat kepadanya.
Tentu saja Tuhan meliputi segala sesuatu, karena segala sesuatu dalam jangkauan pandangan-Nya. Tak ada yang luput dari-Nya.
فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ
16. Tetapi tidak! Aku bersumpah demi merahnya senjakala,
Sambil berbicara tentang akhir dunia, ayat ini menggunakan ketakterelakkan dari kejadian sehari-hari untuk menekankan poin berikutnya, yakni, akhir zaman dan, dengan demikian, akhir waktu untuk kita dapat beramal.
Syafaq adalah wama merahnya langit dari sejak matahari terbit sampai senjakala. Kata ini awalnya dari kata kerja yang berarti 'takut'. Mempunyai syafaqah, atau rasa sayang, berarti merasa kasihan, tapi makna hakikinya terjalin dengan rasa takut dalam arti mengkhawatirkan seseorang. Ketika hari menjelang malam, manusia tidak bergerak dengan bebas; mereka menjadi lebih waspada. Maka seruan di sini adalah untuk menyaksikan akhir siang hari dan awal malam hari, permulaan dari yang tak dikenal, kehidupan selanjutnya, permulaan dari kesadaran berikutnya.
وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ
17. Demi malam dan apa yang diburunya,
'Malam' bisa berarti benar-benar malam hari dan bisa juga suatu wilayah yang tidak kita kenal, atau suatu situasi atau perbatasan yang sama sekali tidak kita ketahui. Hukum-hukum lain berlaku pada malam hari ketika berbagai hal tidak lagi sejelas dalam cahaya siang yang terang.
وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ
18. Dan demi bulan tatkala purnama,
Sinar bulan sampai pada kita melalui pantulan, tidak langsung seperti sinar matahari. Cahayanya bersinar paling terang ketika bulan sedang penuh (purnama), ketika ia berfungsi dalam kapasitas maksimalnya sebagai pemantul.
لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَن طَبَقٍ
19. Engkau pasti akan memasuki satu keadaan setelah keadaan lainnya.
Allah sedang berkata bahwa begitu kita mengalami dan menyaksikan semua tahap dan fase ini, kehidupan manusia akan sampai pada akhimya. Masa ini akan sampai pada akhimya dan fase berikutnya akan mulai. Ini berarti bahwa waktu hanya berakhir selama satu hari saja, inilah mengapa menurut Alquran orang-orang di kehidupan selanjutnya mengatakan bahwa kehidupan dunia ini terasa bagaikan hanya sehari saja.
Ayat ini berkenaan dengan berbagai fase dan sistem berbeda yang beijalan dalam kehidupan ini, dan menunjukkan bahwa satu sistem berhubungan dengan sistem lainnya. Sebagian orang menafsirkan ayat ini sebagai gambaran tentang perjalanan manusia ke angkasa luar.
Namun makna utamanya adalah bahwa satu sistem didasarkan pada sistem lainnya, bahwa sistem malam didasarkan pada sistem siang, dan satu sistem mengikuti sistem lainnya secara berurutan. Hal ini terjadi pada dunia nampak dan dunia tidak nampak. Harapannya di sini adalah bahwa kita akan melintasi lapisan-lapisan ini, kita akan melakukan perjalanan melalui beberapa bagian dan tahapan, satu persatu, satu hari setelah hari lainnya, satu tingkat kesadaran setelah tingkat kesadaran lainnya, satu kehidupan setelah kehidupan lainnya, karena kehidupan ini hanyalah suatu tahap dalam takdir manusia.
فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
20. Tetapi ada apa dengan mereka sehingga mereka tidak beriman?
Manusia akan mengalami semua ini, sesudah ia secara langsung menyaksikan siang dan malam, dan diberitahu tentang akhir kehidupan ini dan kehidupan berikutnya, lantas mengapa ia sampai tidak percaya? Mengapa ia sampai tidak mencari perlindungan dengan pengetahuan itu untuk mendatangkan kedamaian bagi dirinya?
وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ
21. Dan apabila Alquran dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud?
Ketika realitas, kitab kolektif yang dihimpun dan memuat semua pengetahuan yang telah ditunjukkan kepada kita, dimasukkan ke dalam ingatan langsung dan dibacakan secara lahiriah, lantas dialami secara batiniah, mengapa manusia tidak bersujud dan berserah diri? Jika pengetahuan batin, bahwa sebenarnya ia bukan apa-apa, sampai kepadanya, maka, secara batiniah, ia harus mengakui ketiadaapa-apaannya, kesangatmiskinannya yang total.
بَلِ الَّذِينَ كَفَرُواْ يُكَذِّبُونَ
22. Ya, tentu saja! Orang-orang kafir mengingkari kebenaran.
Jawabannya adalah bahwa mereka yang terputus (dengan kebenaran—peny.) menyangkal fakta bahwa mereka berada di bawah Yang Maharahman, yang senantiasa memberi dan menyinari. Namun itulah kerugian mereka.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُوعُونَ
23. Dan Allah tahu benar apa yang mereka sembunyikan.
Wa’a berarti 'mengumpulkan, menahan dalam ingatan', sementara wa' i, dari akar kata yang sama, berarti 'kesadaran, keinsafan, kepenuhperhatianan'. Kata yu'un di sini menunjuk kepada apa yang mereka sembunyikan di dalam dada mereka, apa yang mereka simpan dan rahasiakan. Allah tahu yang disembunyikan dan yang dinampakkan. Yang disembunyikan adalah hukum abadi, tapi yang mereka munculkan adalah ketidakimanan mereka.
فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
24. Maka beritahukanlah kepada mereka tentang siksaan yang pedih.
Di sini konteks yang lazim dari basysyirhum dibalik: selain diberitahu kabar baik, mereka juga diberitahu tentang hukuman yang menyakitkan. Mereka yang ingkar pasti sudah memiliki benih kesadaran akan pengetahuan tentang keesaan Allah (tauhid). Tapi mereka mengingkarinya secara batiniah, oleh karena itu pengingkaran mereka juga akan menjelma secara lahiriah.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
25. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan—mereka akan mendapat ganjaran yang tiada putus-putusnya.
Surah ini diakhiri dengan nada positif. Ia mengatakan bahwa beginilah hukum: dunia akan berakhir, suka atau tidak manusia harus bekerja keras, dan mereka akan maju dari satu fase ke fase lainnya. Ketika kita melihat semua fase ini, yang merupakan tanda-tanda perubahan penciptaan, kita mengetahui bahwa semua perubahan ini terjadi di dalam sesuatu yang tidak berubah. Orang yang mempercayai keesaan yang meliputi semua, lalu menerjemahkan kepercayaan itu ke dalam perbuatan yang benar, ia akan mendapat ganjaran yang ghayr mamnun (tidak pernah berhenti atau berkurang). Mann, dari akar kata yang sama dengan mamnun, berarti 'nikmat' atau berkah. Di sini nikmat tersebut tidaklah terbatas karena ia menyangkut ketakberbatasan waktu. Dunia ini terbatas, sedangkan dunia akan datang tidak terbatas karena ia melampaui ruang dan waktu.[]
SURAH AL-MUTHAFFIFIN
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ
1. Celakalah bagi orang-orang yang mengurangi takaran!
Akar kata muthaffifin adalah tbaffafa, yang berarti 'membuat kurang, memberikan takaran kurang, bakhil'. Artinya, sengaja melakukan ketidakadilan dalam suatu transaksi. Tathfif berarti 'kekikiran, hemat', dan thafif berarti 'kurang, sedikit, kecil, tidak berarti'.
Ini adalah gambaran tentang kecenderungan alamiah manusia dalam jual-beli dan perdagangan untuk mencoba memanipulasi timbangan demi keuntungannya sendiri, sering kali tidak jujur. Para pedagang Mekah dan Madinah tidak berbeda dengan pebisnis lain di sepanjang sejarah.
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
2. Yang jika mereka menakar [untuk dirinya] dari orang lain, mereka menakar dengan penuh.
Bentuk akar kata yastawfun adalah istawfa yang berarti 'menerima sepenuhnya, lengkap, sampai nilai penuhnya, memenuhi'. Akar kata asalnya adalah wafa berarti 'sempurna, memenuhi, ketaatan, kesetiaan'. Dalam kisah Nabi Ibrahim yang kadang-kadang disebut Ibrahim wafa' (wafd di sini artinya iman dia), dikatakan bahwa ketika dimasukkan ke dalam api beliau berteriak, 'Hasbi Allah' (cukup Allah bagiku) dan ia tetap tidak teriuka oleh api. Itulah arti wafa’.
وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
3. Tetapi ketika mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka menguranginya.
Kala artinya 'menakar'. Yukhsirun berasal dari kata kerja khasira, 'membuat rugi, kehilangan, tidak sampai, binasa'. Ketika muthaffifin (orang yang mengurangi takaran) berada dalam keadaan mampu memberi dan menerima secara adil, yang mereka lakukan dalam transaksi malah merugikan pihak lain dan menguntungkan diri mereka sendiri.
Tiga ayat ini bermakna sama: muthaffifin, yastawfun, dan yukhsirun, saling menguatkan satu sama lain dalam hal kecenderungan manusia untuk ingin selalu menang. Ayat-ayat tersebut menggambarkan bagaimana kita berusaha untuk cerdik dalam transaksi. Itulah sifat dasar kita yang ingin menang dan untung dalam segala situasi. Sementara, sifat mukmin, atau muslim, adalah selalu ingin mengetahui kecenderungan ini dan berusaha memperbaikinya ketika dirinya bertransaksi dengan orang lain yang memiliki potensi sama dengan dirinya. Inflasi terjadi bila kita berusaha mengambil lebih banyak dan memberi lebih sedikit. Ini berlaku bagi situasi sekarang, persis seperti terjadi di Madinah selama periode turunnya Alquran. Jika kita berhubungan dengan suatu komunitas atau masyarakat, maka kita memperhatikan kecenderungan manusia untuk mengambil lebih banyak dan memberi lebih sedikit, dan jika seseorang menyadarinya selagi dia mengerjakannya, maka peluang dia untuk tidak terlalu rakus lebih besar, dan ia akan ingat untuk lebih berlaku adil dalam transaksinya. Kesadaran terhadap ketidakseimbangan kemungkinan besar akan menghasilkan keadilan. Jika kita sadar akan ketidakadilan, maka mungkin kita akan menyadari sifat bawaan manusia yang rendah dalam diri kita.
Ayat pertama mengatakan: Wayl, artinya, 'Celakalah' bagi orang-orang yang menipu. Suatu tindakan yang tidak seimbang adalah penipuan. Imam Ghazali mengatakan bahwa kita harus mengakui bahwa jual-beli tidak bisa terjadi kecuali kalau ada ketidakseimbangan, yakni, selalu ada unsur laba. Oleh karena itu, jika kita ingin menjadi pedagang yang jujur, kita harus selalu mengetahui kecenderungan bawaan ini dan memahami bahwa salah satu pihak akan memiliki tangan di atas. Keadaan yang paling baik terjadi bila kedua belah pihak merasa telah mengambil kesepakatan yang memuaskan dan perasaan tersebut tidak berubah begitu salah satu pihak meninggalkan tempat jual-beli. Jual-beli yang jujur harus bertahan terhadap ujian waktu. Jual-beli itu harus mencapai keseimbangan yang paling adil, agar terjadi inflasi yang paling kecil.
Untuk menjelaskan hal ini, mari kita tengok seorang tabiin (generasi muslim kedua, murid para sahabat Nabi) yang mempunyai toko emas. Satu hari ia meninggalkan tokonya untuk pergi salat ke mesjid, dan mempercayakan kepada kemenakan laki-lakinya untuk menjaga toko sampai ia kembali. Ketika si penjaga toko kembali usai salat, ia berpapasan dengan seorang laki-laki, seorang pedagang yang jelas kaya, yang membawa beberapa gelang emas, dan ia tahu gelang tersebut berasal dari tokonya. Ia menghampiri laki-laki tersebut dan bertanya, "Apakah Anda senang dengan yang Anda beli?" Orang itu menjawab, "Ya, saya sangat-sangat senang". Lalu si penjaga toko bertanya dengan harga berapa ia membelinya. Si laki-laki menjawab, "Saya membayar 200 dirham untuk yang ini, dan 400 dirham untuk yang itu. Saya dapat menjualnya di tempat saya seharga dua kali lipatnya, karena itu saya sangat gembira." Tapi si penjaga toko berkata, "Tidak. Saya tidak senang karena bajingan kemenakan ini telah menipu Anda. Saya sudah memberitahu dia tentang harga barang-barang ini. Tolong, saya mohon kepada Anda, kembalilah ke toko bersama saya." Maka si penjaga toko menarik kembali laki-laki itu, memberinya sebagian uang selisihnya, dan mengusir kemenakannya. Si penjaga toko telah memasang harga untuk barang-barangnya dan puas dengan harga itu. Nabi berkata, "Jual, dan ambillah keuntungan, sekalipun keuntungannya sedikit saja." Dengan cara ini ada dinamisme dan perputaran, dan orang tidak terikat pada apa yang dimilikinya.
Muthaffifin menunjuk kepada kita semua, karena potensi untuk melakukan penipuan ada pada kita semua. Jika potensi untuk menjadi penjahat tidak ada pada diri kita, maka kita tidak akan mampu memahami kriminalitas. Jika potensi kekasaran, atau potensi rasa takut, tidak ada dalam diri kita, maka kita tidak akan memahami maknanya. Jika ketuhanan tidak ada dalam diri kita, bagaimana kita dapat berbicara tentang Samudera Ilahi? Semua itu ada dalam diri kita, dan karena itu kita tidak akan mengatakan bahwa kemenakan si tukang emas suka mementingkan diri sendiri. Jika kisah ini bersifat historis belaka dan ditujukan hanya kepada penduduk Madinah, maka kita tidak perlu mengindahkannya. Namun, yang benar adalah bahwa kita selalu memiliki potensi ini, karena memang begitulah kisah umat manusia.
أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ
4. Tidakkah mereka mengira bahwa mereka akan dibangkitkan?
Ayat ini menunjukkan jalan keluar dari penjara dan rantai kecenderungan kita pada kesukaan untuk mementingkan diri sendiri dan ketamakan.
Ba’atsa berarti 'bangkit, bangun, mengirimkan, menyebabkan'. Di sini maksudnya bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban kepada siapa? Kita semua akan dimintai pertanggungjawaban kita sendiri. Ini tentu saja menunjuk kepada alam akhirat, dan tentunya juga berkenaan dengan kehidupan ini. Dengan jalan apa pun, perhitungan ini akan terjadi baik kita suka atau tidak. Jika kita membuka sebuah keran, apa pun yang ada dalam pipa akan memancar; dan semakin lebar kita membukanya, semakin banyak mengalir. Jadi, kita hanya akan membangun lebih banyak ketamakan, kebencian, atau apa pun yang ada dalam diri kita, karena sistem penciptaan terletak dalam pertambahan. Itulah sebabnya mengapa Allah mengatakan, "Kasih-sayangku meliputi segala sesuatu" (Q.S.7:156).
لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
5. Pada Hari yang Besar.
Secara eksplisit, ayat ini merupakan penjelasan tentang hari ketika yang tertinggal adalah roh kita, di mana niat dan amal kita telah distempel. Hari Besar ini bisa juga merupakan hari di mana kita siap untuk memperhitungkan diri kita secara utuh, hari kepasrahan total kita, hari islam kita (ketundukkan kepada Realitas). Jika kita ingin terbebas dari rantai-rantai yang membelenggu diri kita, kita harus mampu menyelesaikan semua perhitungan kapan saja. Bahkan, sebenarnya kita harus siap menyelesaikan perhitungan kita sebelum kita membuat perhitungan. Kita dapat melakukan hal ini dengan mempertanyakan niat. Dengan mengetahui niat kita sebelum melaksanakan suatu perbuatan, perhitungan kita akan selalu tetap bersih.
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
6. Pada hari tatkala manusia berdiri di hadapan Tuhan sementa alam.
Yawm yaqumu adalah Hari di mana kita akan berdiri di hadapan Tuhan semesta alam dan menghadapi catatan-catatan amal kita. Jika kita sungguh-sungguh dalam Islam sepanjang waktu, maka kita selalu menghadapi Rabb al-Alamin (Tuhan semesta alam). Qama berarti, di antaranya, 'berdiri, bangkit dari kematian', dan menunjukkan bahwa si pelaku dipersiapkan untuk berinteraksi dengan apa yang menjadi tujuan dibangkitkannya dia.
Ayat ini berkenaan dengan akhir zaman untuk menyentak kita dari kelesuan kita saat ini. Ia mengingatkan kita bahwa ada suatu akhir, dan bahwa pada akhimya kita akan dibiarkan tanpa dibekali apa pun selain buah dari niat-niat kita.
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ
7. Tidak! Sesungguhnya buku (catatan) orang-orang jahat itu berada dalam Sijjin.
Buku catatan kaum fujjar (orang-orang yang jahat, berakhlak rendah, sesat jalan) berada dalam sijjin. Fujjar berasal dari fajara, yang berarti 'membelah, mengakhiri, bertindak secara tak bermoral, turut dalam penyimpangan moral'. Subuh disebut fajr, karena ia mengakhiri malam. Seseorang disebut fajir jika ia sesat jalan. Ini berarti bahwa ia menyeleweng, merosot, keluar jalur. Kita semua adalah mutiara dalam untaian yang sama, dan sebutir mutiara hanya akan berarti jika ia dirangkai dalam sebuah untaian.
Akar kata sijjin, daftar setiap perbuatan yang tidak bermoral, adalah sajana, yang berarti 'memenjarakan'. Sijjin adalah suatu pemenjaraan yang berlebih-lebihan, lebih permanen dan kekal. Dalam beberapa tafsir Alquran, kata ini dijelaskan sebagai nama lain dari jahannam (neraka). 'Kitab' adalah apa yang sedang ditulis oleh orang yang telah melakukan kejahatan tentang kehidupannya. Ia adalah penulis biografinya sendiri, tentang segala perbuatannya, yang dihasut oleh niat-niatnya. Si pesakitan sendirilah yang menentukan berapa banyak lagi rantai dan belenggu yang akan dimilikinya.
Kitab adalah apa yang ditulis, dan tulisan itu diwujudkan oleh setiap orang di antara kita melalui amal-amalnya. Jika biografl kita penuh dengan ketamakan dan kekikiran, sebagaimana disebutkan dalam ayat kedua dan ketiga, dan kita beramal tapi demi keuntungan pribadi dan untuk menguasai orang lain, maka kita akan dipenjarakan oleh amal-amal kita. Seseorang bisa saja berkeinginan untuk memimpin selumh kerajaan, karena mengira itu akan mem-bawakan kebahagiaan. Tapi, begitu keinginannya terpenuhi dia pun ingin merangsak kerajaan tetangganya juga. Apakah keinginan ini bukan belenggu? Karena terbelenggu maka kita tidak mau berurusan dengan objek itu sendiri, melainkan dengan perasaan kita terhadap objek tersebut. Sijjin, hukuman penjara, menunjuk kepada keadaan mental kita dan berkenaan dengan kebahagiaan kita, kebebasan batin kita, dan pemenuhan kita, yang merupakan hasil sampingan dari keluasan dan ketulusan islam (penyerahan) dan keterbebasan kita.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ
8. Dan apakah yang membuat engkau tahu apakah sijjin itu?
Kata kerja adraka berarti 'mencapai, mendekati, merenggut, merasakan, menyadari, matang'. Ia menunjukkan suatu pengetahuan yang lebih dalam dan lebih halus dibanding ketajaman buatan. Melalui perenungan yang dalam, maka realisasi dan pemahaman akan datang. Kita semua tahu apa itu belenggu, dan tahu akan seperti apa berada di bawah beratnya pengharapan dan kekecewaan. Kita harus bertanya kepada hati kita sendiri. Bagairnana sijjin, atau penjara kita, muncul, dan mengapa penjara seseorang berbeda dengan penjara orang lainnya? Itu karena kita menentukan situasi-situasi tertentu untuk kita sendiri.
كِتَابٌ مَّرْقُومٌ
9. Sebuah kitab yang ditulis.
Akar kata marqum (tertulis) adalah raqama, yang berarti 'menulisi, menandai dengan hal-hal yang bersifat pengenal, membubuhi cap, menomori'. Ia juga bermakna ditetapkan dan dituliskan. Raqam berarti 'nomor'. Maka kitab, atau apa yang dibicarakan, dapat diukur, ditulis dengan persis, dan tidak hanya dapat diukur.
وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِينَ
10. Celakalah pada hari itu orang-orang yang menyangkal!
Pengertiannya di sini adalah bahwa jika seseorang menyangkal realitas eksistensi dan penciptaan, maka ia adalah seorang mukadzdzib (pendusta). Mukadzdzib berarti perbuatan seseorang yang bertentangan dengan ucapannya, ada pemisahan antara ucapan dan perbuatan. Kidzb adalah dusta, penipuan, kebohongan atau ketidakjujuran. Kecelakaan akan menimpanya pada hari ketika ia tak bisa lagi mengubah did dan menyaksikan realitas terakhir, yak-ni hari kematiannya. Barangsiapa menyangkal haqq (kebenaran), yang menjelma sebagai keadilan, berarti telah menyangkal bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan haqq, dengan keadilan dan keseimbangan. Jika seseorang berbuat tidak seimbang, maka ia sedang berbohong. Seseorang yang mengaku bahwa dirinya tidak menyangkal kebenaran tapi menegakkannya namun berbuat dengan cara yang berlawanan, maka ia berada dalam keadaan kufr (menutup, menyangkal realitas). Pengakuannya sebagai orang yang mengesakan Tuhan (muwahhid) ternyata palsu karena ia berbuat sebagai penipu (muthaffif) dan tidak memperhatikan keadilan dari perbuatannya sendiri.
الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ
11. Orang-orang yang menyangkal Hari Pengadilan.
Hari Pengadilan, hari din, adalah hari ketika kita membayar penuh utang-utang kita. Itulah Hari Perhitungan, hari ketika bentuk kita yang sesungguhnya, yakni roh, membentang terbuka. Bentuk ini tidak dapat dilihat sekarang, karena ia merupakan energi halus yang mempertahankan kita hidup. Pemahaman kita tentang roh hanya bisa sejauh ini saja dan tak lebih, karena kemampuan untuk memahaminya muncul dari apa yang disebut 'Aku', yang akan terputus sudah sampai di situ.
وَمَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ
12. Dan tidak ada yang menyangkalnya kecuali orang yang melanggar (melampaui batas) dan berdosa.
I’tadâ, akar dari mu’tadîn artinya 'menyeberang, melebihi, bertindak sangat keterlaluan'. Sekaitan dengan kata ini adalah kata 'aduw, yang berarti 'musuh, lawan', dan 'ada, yang berarti 'permusuhan, kebencian, antagonisme, agresi'. Pelanggaran terjadi karena kita tidak merasakan adanya tauhid di dalam diri kita.
Kata 'aduw (musuh) tentu saja tidak berarti permusuhan di antara dua pihak tapi mengindikasikan bahwa mereka asing atau berbeda satu sama lain: tidak ada kesatuan di antara mereka. Itu tidak berarti bahwa mereka saling membenci, tetapi yang pasti mereka tidak saling mengenal. Maka kebodohan (ketidaktahuan) adalah juga musuh; kita menentang apa yang tidak kita ketahui. Dari kata i’tada, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pelanggaran dan penyangkalan kita adalah akibat kebodohan kita, maka kita bisa melihat betapa kita bisa menjadi musuh diri kita sendiri. Ketika kita telah melanggar (melampaui batas) jatidiri kita sendiri, maka kita atsim (berdosa). Atsima berarti 'melakukan dosa atau kejahatan', dan ini dilakukan karena kebodohan dan kebencian kita yang menyebabkan kita terputus dan berdusta. Atsima termasuk melakukan apa yang tidak boleh kita lakukan. Itsm artinya 'berjudi'; perjudian dianggap pelanggaran karena dengan terlibat di dalamnya kita melakukan ketidakadilan. Kita menyebutkan suatu sistem selain dari apa yang ditetapkan oleh realitas—yakni kasih sayang dan keadilan—dan, karena itu, kita melakukan kejahatan. Dengan kembali ke sistem yang tidak adil maka kita menjadikan diri kita bagian dari itu.
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
13. Tatkala ayat-ayat kami dibacakan kepadanya, ia berkata: "Dongengan orang-orang kuno".
Ini berkenaan dengan situasi yang berulangkali terjadi bahkan hingga sekarang, dimana orang mengatakan bahwa karena Alquran diturunkan beberapa ratus tahun lampau maka ia tidak bisa berlaku pada kondisi sekarang; ia hanyalah dongengan masa lampau.
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
14. Tidak! Apa yang mereka usahakan menjadi karat pada hati mereka.
Rana berarti 'mengambil hati', dan juga 'menangkap, mengatasi, merendahkan diri, berlaku'. Yang mereka usahakan akan dimudahkan bagi hati mereka. Seperti dikatakan sebelumnya, jalan mana pun yang kita pilih akan dijadikan mudah bagi kita. Jika kita seorang penjahat, jalan ini akan dimudahkan bagi kita karena bagaimana pun juga kita akan selalu berusaha membenarkan perbuatan kita. Apa pun amal-amal seseorang, semuanya akan dibuat kelihatan nampak-wajar baginya. Dia akan terus membenarkannya kalau dia tidak senantiasa mengembalikan kepada standar perilaku kenabian. Maka dari itu dikatakan bahwa kalau kita terus bersama orang-orang tertentu selama empat puluh hari, kita akan menjadi seperti mereka. Bagi orang yang mudah dipengaruhi mungkin hanya perlu dua jam saja untuk menjadi seperti orang-orang yang mereka gauli.
كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوبُونَ
15. Tidak! Sesungguhnya pada bari itu mereka tertutup dari Tuhan mereka!
Ayat ini memberitahukan kepada kita bahwa dalam kehidupan mendatang para pelanggar tertutup oleh suatu hijab dari pengenalan terhadap ketuhanan secara total dan final. Ini berarti bahwa mereka belum memperoleh cukup pengetahuan untuk mempersiapkan diri sebagaimana mestinya di kehidupan ini guna menjalani proses pengungkapan dan penyucian tambahan lainnya yang akan berlangsung di kehidupan selanjutnya. Mereka belum mempersiapkan jalan bagi dirinya untuk berpindah ke alam kehidupan selanjutnya. Alquran mengatakan bahwa kehidupan kita selanjutnya akan sesuai dengan ilmu dan amal kita dalam kehidupan ini. Maka orang-orang yang telah mengingkari, yang terus-menerus berbuat tidak adil dan tidak seimbang di sini, mereka akan berada dalam keadaan terpisah di kehidupan selanjutnya karena mereka sudah berada dalam keadaan seperti itu di sini. Pengingkaran yang mereka jalani dan mereka hidupkan di sini akan mencegah mereka untuk lebur kembali ke dalam sumbernya (tauhid).
ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيمِ
16. Lalu sesunggubnya mereka akan memasuki api (neraka) yang menghanguskan.
Shala berarti 'memanggang, membakar' atau 'dihadapkan pada lautan api'. Akar kata jahim adalah jahama, yang berarti 'menyalakan api' dan ia digunakan karena api yang akan mereka masuki adalah api yang telah mereka nyalakan dalam kehidupan ini. Jahim di sini rnenunjuk kepada neraka yang diancamkan kepada kita pada hari kiamat, dan juga neraka yang kita pahami sebagai manusia biasa. Ketika hati kita berkecamuk, ketika darah kita mendidih oleh kemarahan atau kegusaran, atau ketika kita terbakar oleh hasrat, maka kita mengalami berbagai aspek neraka dunia. Tapi maksudnya di sini adalah bahwa orang-orang tersebut pasti akan mencapai api abadi karena perbuatannya sendiri.
ثُمَّ يُقَالُ هَذَا الَّذِي كُنتُم بِهِ تُكَذِّبُونَ
17. Lalu akan dikatakan: Inilah yang dulu kau dustakan.
Kemudian mereka akan menyadari bahwa inilah kebenaran yang mereka dustakan, karena jika kebenaran tidak disadari pada saat sekarang, maka ia akan disadari pada saat kematian. Ini berarti bahwa kebenaran itu sudah ada tapi didustakan. Api agitasi, kemarahan, kebencian sudah ada di sini, tapi mereka menyangkalnya. Kebenaran hidup sepanjang masa, ia tidak tunduk pada waktu. Yang berubah karena waktu hanyalah ketamakan, rasa lapar, atau hasrat-hasrat pribadi dan individu. Umpamanya, yang kita inginkan di masa kanak-kanak dulu bukanlah yang kita inginkan sekarang. Semua hasrat duniawi bersifat rela-tif, berlalu sepintas, mengikuti peredaran dan tidak menentu. Yang benar dari hasrat adalah ketidakmenentuannya itu, sifatnya yang sementara. Yang benar dari manusia adalah bahwa dalam hati manusia senantiasa hidup potensi untuk ragu. Turunnya Surah al-'Ashr (‘Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi’ Q.S.103:1-2) tidak untuk merendahkan manusia. Memang begitulah faktanya. Kita harus menyadari kebenaran tersebut agar dapat memasuki Kebenaran Tunggal yang mencakup kebenaran tersebut.
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عِلِّيِّينَ
18. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya buku (catatan) orang-orang yang benar ada di 'Illiyyin.
Kalla berarti 'Pasti!' Dalam setiap kasus di mana kata ini muncul, kata ini menyelang di antara dua gagasan yang biasanya berlawanan. Meskipun kalla diterjemahkan di sini sebagai 'sekali-kali tidak', ia tidak sama dengan la yang berarti 'tidak'.
Abrar berarti 'benar, adil, baik' dan berasal dari akar kata yang sama dengan barr, yang berarti 'gurun pasir, permukaan tanah yang luas'. Dengan demikian abrar menunjuk kepada 'orang-orang yang berada dalam keadaan luas, orang-orang yang benar'. Ia juga menunjukkan loyalitas. Tidak setiap barr adalah gurun pasir, tapi setiap gurun pasir adalah barr, suatu tanah datar. Barr bisa berupa suatu permukaan terbuka yang tidak diolah, tempat di mana tidak ada halangan dan tak ada yang tersembunyi.
'Illiyyin berasal dari kata kerja 'ala, di antaranya berarti 'meninggikan, menaikkan, menjulangtinggikan, mengangkat, mengatasi'. Ini berarti bahwa hal yang benar itu begitu terang dan diangkat dari kerendahan nilai sehingga di-naikkan ke tempat yang mulia. Allah adalah al-'Ali (Yang Mahatinggi); itulah salah satu Nama Ketuhanan-Nya. Barri adalah orang yang selalu berkata jujur tentang warisannya, dan karena warisannya adalah Allah, maka ia bersama Allah. Apa yang telah ditulis untuknya, atau apa yang telah ditulisnya untuk dirinya sendiri, adalah mulia.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّونَ
19. Dan apakah yang membuat engkau tahu apakah 'Illiyun itu?
Ayat ini menyuruh kita untuk berpikir dan merenungkannya. Kita harus menyadari sumber yang sangat halus dari mana kita berasal dan jangan membicarakan soal roh secara membabi-buta. Apakah itu hakikat halus yang berkata: Kun fa-yakun (Jadi! maka jadilah)?
'Illiyun adalah orang-orang yang telah menyaksikan kesatuan di balik dualitas eksistensi, dan kesatuan di balik berbagai atribut. Selubung jarak antara Pencipta dengan yang dicipta telah disingkapkan bagi mereka: mereka berada dalam stasiun penghampiran.
كِتَابٌ مَّرْقُومٌ
20. Sebuah kitab yang ditulis.
Lagi-lagi ini berkenaan dengan suatu catatan tertulis, yakni, suatu Realitas yang dikenal, jelas dan gamblang.
يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُونَ
21. Orang-orang yang didekatkan [kepada Allah] akan menyaksikan itu.
Ini berkenaan dengan orang-orang yang dekat kepada Realitas. Realitas, atau Allah, tidak terdapat di satu tempat tertentu tapi kita harus pergi untuk mendekat. Firman Allah dalam Al-Qur'an: "Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu" (Q.S.50:16). Yang menghalangi kita dari mengenal Allah adalah tabir diri. Kita merasa jauh dari Allah karena diri atau ego, sang 'Aku', terus-menerus menonjolkan sifat rendahnya. Kita harus 'membunuh' diri kita seraya tetap hidup, melalui penyerahan diri, dengan kesiapan untuk pasrah total dari hati kita, sekalipun sesaat. Semua praktik hamba Allah merupakan tehnik yang memungkinkan kita untuk mencapai keadaan itu, untuk tems duduk tanpa berpikir dan menjadi energi murni.
Kita menjauhkan diri dari Pencipta sebab kita telah menempatkan berbagai hal di antara diri kita dan sang Pencipta. Kondisi ini sangat sederhana dan mudah dimengerti. Ia berhubungan dengan amal yang bersih, dan merupakan lompatan yang harus kita lakukan. Sebab itulah maka ketika pertama kali orang masuk Islam, mereka dengan cepat menjadi sangat dekat kepada Nabi. Islam harus dihidupkan, bukan dipelajari. Sebab itulah maka Islam tak akan pemah dipahami kecuali oleh mereka yang secara total dan utuh berada di dalamnya.
Ketika sahabat, Salman al-Farisi, pertama kali mendengar tentang Nabi, ia merasa apa yang sedang dicarinya akan tercapai melalui ajaran Nabi. Namun, dalam perjalanan untuk menemui Nabi ia ditangkap, dijadikan budak lalu dibeli oleh Abu Bakar. Ia menjadi seorang muslim dan nyaris tak lama kemudian Nabi konon berkata tentang dia, "Salman adalah bagian dari keluargaku." Ada banyak lainnya yang memiliki pengalaman serupa yang muncul sebagai akibat dari kondisi hati. Jika hati berada dalam kondisi di mana ia siap menyerahkan apa yang bukan miliknya, hadiah yang paling dicari dan paling berharga, kehidupan itu sendiri, maka hati berada dalam keadaannya yang paling bersih. Ucapan Nabi itu, dari sudut pandang para wali Allah, menunjukkan suatu maqam (stasiun), bukan keadaan jiwa. Maqam berarti benar-benar mapan dalam suatu keadaan tertentu. Keadaan jiwa adalah suatu fase yang melintas, sesuatu yang kadang-kadang kita rasakan. Jika hati diserahkan dalam ketundukkan, maka hati dapat melihat Kitab, karena Kitab itu tertulis di atasnya.
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
22. Sesungguhnya, orang-orang yang tulus ada di dalam kenikmatan.
Berada dalam kebenaran berarti berada dalam na'im (kebahagiaan, kesenangan, kenyamanan, kedamaian). Ni’mah (kenikmatan, kebaikan hati) yang dihubungkan dengan na'im, memiliki makna yang sangat halus. Kita semua mengatakan na'am, yang berarti 'ya' terhadap ni’mah. Itulah sebabnya Nabi berkata, "Jika aku sudah mengetahui apa yang baik untukku, maka aku akan memilih hanya situasi yang menguntungkan bagiku," dengan demikian mengungkapkan dua atribut utamanya, yakni beliau adalah manusia yang memiliki sifat kemanusiaan dan kesucian tuhan. Dua aspek ini menjadikan kita barzakh (ruangan antara yang nyata dan yang gaib).
عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ
23. Di atas sofa yang empuk mereka memandang.
Keadaan berbaring di atas sofa berarti berada dalam situasi yang netral, yang menyiratkan tidak adanya gangguan maupun rasa ketidaknyamanan lahiriah.
Yanzburun berarti 'mereka melihat' atau 'mereka menyaksikan'. Dalam Alquran hal pertama yang dikatakan adalah tentang misi kemanusiaan yang paling tinggi, yakni tentu saja misi semua nabi: " Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi' (Q.S. 33:45). Bunyi ayat itu selanjutnya: "dan sebagai pembawa berita baik dan sebagai pemberi peringatan". Dalam hal ini ayat tersebut mencakup tiga misi pokok seorang nabi.
Saksi bersifat netral. Dengan melihat, menyaksikan, berarti ia memiliki pengetahuan. Dalam ayat ini tersirat bahwa mereka memiliki pengetahuan, karena mereka dekat. Mereka menjadi mata yang menjadi saksi sendiri. Mereka melihat dengan pengetahuan yang dalam atau tanpa gangguan dari manisfestasi fisik. Ketika Amir al-Mu'minin (Pemimpin Orang Beriman) Ali ditanya, "Pernahkah Anda melihat Allah?" ia menjawab, "Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak aku lihat? Maksudnya adalah beliau telah melihat-Nya dengan hatinya, dengan haqq al-yaqin (kebenaran yang pasti), tidak dengan mata lahiriahnya.
تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ
24. Engkau melibat dalam wajah mereka ada sinar kenikmatan.
Kita akan melihat kegembiraan yang memancar dari wajah mereka. Mereka akan bersinar dengan kenikmatan tauhid karena mereka telah dihubungkan selamanya.
يُسْقَوْنَ مِن رَّحِيقٍ مَّخْتُومٍ
25. Mereka diberi minum dari minuman sangat lezat yang disegel (ditutup).
Saqa adalah 'mengairi, memberi minum'. Rahib berarti 'minuman sangat lezat'. Minuman sangat lezat yang diminum oleh mereka yang telah mencapai tujuan adalah sudah lengkap komposisinya. Artinya, tidak ada lagi yang dapat ditambahkan atau dikurangi. Memang itu sudah usai dan lengkap.
Makhtum berarti 'disegel (ditutup)'. Kita hanya dapat menyegel sesuatu yang lengkap. Nabi Muhammad adalah 'Segel (penutup) para nabi', artinya bahwa dengan kelahirannya segala sesuatu yang telah datang sebelumnya telah dilengkapi dan disegel.
خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
26. Segelnya adalah kesturi, dan untuk itu hendaknya bercita-citalah mereka yang mau bercita-cita.
Misk artinya 'kesturi', dan kesturi, selain sebagai parfum yang harum, berfungsi sebagai pembangkit perasaan yang dalam. Kesturi berasal dari kelenjar kijang kesturi. Kita belum mengetahui secara pasti bagaimana kesturi bereaksi menentukan wewangian, tapi tanpa kesturi bau parfum akan benar-benar hilang. Ketika ayat ini mengatakan bahwa minuman sangat lezat itu disegel dengan kesturi, ini menunjukkan bahwa kelezatan tersebut tetap. Karena itu kesturi menimbulkan suatu keadaan ni’mah yang permanen.
Begitu seseorang mengalami penyingkapan batin yang penuh kebahagiaan, maka keadaan itu akan terus-menerus mendorongnya, laksana bau kesturi. Saking harumnya bau kesturi, sampai-sampai kijang kesturi memforsir dirinya berlari mengejar ke arah bau itu, padahal sebenarnya bau kesturi itu berasal dari dirinya. Kita dapat memenangkan perlombaan di dunia ini hanya dengan memforsir nafs (jiwa rendah) kita. Ketika kita mencapai tingkat pengetahuan yang paling tinggi, maka kita mencapai Allah, Yang Awal. Kita dilihat oleh diri kita sendiri sebagai entitas biologis aktif yang lambat laun habis dan teroksidasi. Namun, semakin kita mengalahkan nafs kita dan berserah diri, maka kita semakin mengetahui bahwa ternyata penyerahan diri ini membawa kita kepada ketakterbatasan yang nyata dan ketiadaapa-apaan, yang muncul pada saat penciptaan. Kosong dan ketakterbatasan, tiada apa-apa dan terbatas: kita hanya dapat berjalan selangkah demi selangkah menuju suatu titik tertentu yang lebih dari itu tidak bisa kita gapai. Karena, pada titik itu ketakterbatasan tidak bisa lagi didekati dengan langkah atau tahapan. Pada mulanya kita mendekati Allah selangkah demi selangkah melalui upaya dan kesadaran kita sendiri, tapi kita mencapai suatu titik di mana kita memerlukan suatu loncatan kuantum.
وَمِزَاجُهُ مِن تَسْنِيمٍ
27. Dan campurannya adalah dari air yang datang dari atas.
Tasnim diterjemahkan sebagai 'air yang datang dari atas' karena ia merupakan nama dari sebuah sungai yang berasal dari bagian surga yang paling tinggi. Akar kata tasnim adalah sanima, 'menjadi tinggi (dari seekor unta), naik, gunung'. Sanam, dari akar kata yang sama, adalah ponok unta—bagian paling tinggi dari tubuh seekor unta.
Taman (surga) sering kali digambarkan sebagai memiliki sungai-sungai yang dialiri dari bawah tanah. Yang di maksud di sini adalah sungai lainnya, atau aliran energi, yang berasal dari atas, dari tempat yang tinggi. Maka, ketika menjelaskan lebih jauh mengenai kualitas minuman yang ditinggikan ini, ayat ini mendorong si pencari sejati untuk berusaha keras mencapai kedekatan yang ditinggikan kepada Allah.
عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ
28. Mata air yang diminum oleh orang-orang yang dekat (kepada Allah).
Minuman yang keluar dari mata air ini tidak memancar hanya sekali-sekali, tapi terus-menems. Karena itu mata air menunjukkan suatu sumber yang permanen. Ketika seseorang dekat kepada sumber dari mana segala sesuatu berasal, maka ia dekat kepada Allah, kepada sumber pengetahuan, dan kepada Hakikat yang merupakan asal dari segala Atribut ini.
'Ayn (mata air, sumber) juga berarti 'mata, pengintai, orang penting, pemimpin, harta, modal'. Bila hujan lebih dari lima hari, orang Arab menyebut tenggang waktu ini sebagai 'ayn, karena ia bagaikan mata air yang memancar dari langit. 'Ayn juga digunakan sehubungan dengan sumber daya seseorang, dana atau kekayaan. Ketika Ali ibn Abi Thalib sedang menasihati gubernurnya di Mesir, beliau berkata, "Engkau harus mengangkat 'uyun (jamak dari 'ayn)', maksudnya, "Engkau harus yakin bahwa orang yang telah engkau angkat, yang seharusnya menjamin keadilan, ada yang memeriksa dan mengawasinya." Ini tidak berarti memata-matai, karena memata-matai dilakukan secara diam-diam, sedangkan pernyataan ini menganjurkan pengawasan. Ketika seseorang tahu bahwa pengawas akan meninjaunya, ia akan berkelakuan baik dan berhenti melakukan perbuatan salah. Nasihat Ali ibn Abi Thalib kepada gubernurnya agar menunjuk 'uyun adalah untuk memperluas bidang pandangannya.
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُواْ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ
29. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa biasa menertawakan orang-orang yang beriman.
Ajramu berasal dari kata kerja ajrama, 'melakukan kejahatan, menyakiti'. Bangkitnya ego adalah kejahatan. Penegasan bahwa kita terpisah adalah kejahatan. Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang telah melakukan kejahatan tertutama terhadap dirinya sendiri. Mereka yang melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri lebih dari mampu melakukan kejahatan terhadap orang lain.
Orang kafir (yang menutupi kebenaran, baik lahir maupun batin), menertawakan orang yang beriman. Mereka yang memiliki kepercayaan tahu bahwa kehidupan tidaklah tanpa makna, bahwa ada keadilan dan kebenaran. Gelak-tawa adalah bentuk ucapan selamat kepada diri sendiri. Ketika kita tertawa maka kita dalam keadaan damai dengan diri kita sendiri. Berarti, kesalahan yang menyebabkan sakit hati, yakni dengan menertawakan orang beriman, adalah dalam rangka menenteramkan hatinya sendiri dan tenggelam kembali ke dalam kepuasan diri di bawah bayang-bayang ejekan mereka sendiri.
وَإِذَا مَرُّواْ بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ
30. Dan bila mereka melewati mereka (orang beriman), mereka saling mengerlingkan mata.
Lagi-lagi, mereka berbuat demikian untuk saling menenteramkan hati. Manusia terus-menerus mencari ketenteraman diri. Ketika orang-orang mengedipkan mata berarti mereka berkomunikasi satu sama lain dengan bersekongkol: mereka tahu sesuatu tentang seseorang lain yang mereka anggap menggelikan, dan dengan demikian saling menunjukkan superioritas mereka. Dalam kasus ini kedipan mata itu berkenaan dengan seseorang yang telah menjadi seorang muslim. Mengedipkan mata merupakan penenteraman diri yang lebih halus dibanding tertawa, karena gelak-tawa dapat dihadapi dengan lebih mudah.
وَإِذَا انقَلَبُواْ إِلَى أَهْلِهِمُ انقَلَبُواْ فَكِهِينَ
31. Dan jika mereka kembali kepada golongan mereka, mereka kembali dengan gembira ria.
Ahl (keluarga, kaum, pengikut) melambangkan keamanan dan kesenangan sebagai buah keakraban, sebagaimana pada contoh sebelumnya ketika Nabi berkata bahwa Salman al-Farisi adalah bagian dari keluarganya. Salman tidak ada hubungan darah dengan keluarga Nabi, tapi, seperti kita tahu, dalam kehidupan kita pun sebagian di antara kita lebih dekat kepada teman kita dibanding kepada saudara kita sendiri. Bila orang Arab menyambut seseorang, mereka berkata, Ahlan wa sahlan, 'Selamat datang, Anda telah datang kepada keluarga Anda', atau, dengan kata lain, 'Bersenang-senanglah, santai saja, jadilah bagian dari kami!'
Jika secara eksistensial kita tidak bisa menjadi bagian, maka bagaimana kita bisa secara total dan abstrak menjadi bagian dari Tuhan kita? Jika kita merasa senang berada di mesjid, maka kita akan merasa senang ketika lebih dekat kepada Allah.
Fakihin berarti 'bersendagurau, bersukaria, bergembira'. Lagi-lagi ini mempakan implikasi bahwa di sepanjang waktu dan dalam segala keadaan kita mencari ketenteraman hati. Kita adalah makhluk ekologis. Kita semua ingin berada di lingkungan yang benar. Jika kita semua pembohong, seperti digambarkan dalam ayat ini, kita akan kembali ke golongan kita untuk mencari ketenteraman dan keamanan hati.
وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ
32. Dan jika mereka melihat mereka (orang beriman), mereka berkata: Sesungguhnya mereka dalam kesesatan.
Karena penenteraman hati yang sifatnya berlindung dengan berada di tengah golongannya sendiri, orang-orang yang bersalah ini terang-terangan mencela orang yang benar sebagai orang yang salah karena orang yang benar, sudah barang tentu, tidak menegakkan sistem yang sama dengan yang ditegakkan si pendosa itu. Kita sedang bergerak ke arah pemfosilan ego-ego kita, atau, kalau tidak, kita sedang membebaskan diri dari mereka. Kita tidak bisa bersikap netral dan statis karena dalam kenyataannya tidak ada netralitas. Kita kalau tidak maju tentu mundur. Dari sejak lahir, kita sedang terus mundur karena pada setiap saat secara biologis kita semakin dekat ke kuburan. Secara batiniah, secara spiritual, memang terserah kita apakah mau maju atau mundur. Kemajuan dibuat tidak hanya melalui perjuangan tapi akhimya melalui pembebasan diri yang sebenarnya. Oleh karena itu, perjuangan adalah melawan sifat rendah. Namun esensi dari realitas sudah ada dalam diri kita.
وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ
33. Dan mereka tidak disuruh sebagai penjaga atas mereka (orang beriman).
Siapakah orang-orang yang dalam keadaan menyangkal ini? Ayat ini secara khusus merujuk kepada orang-orang yang tersesat, yang menyangkal kebenaran—muthaffifin. Mereka hanya memperhatikan situasi eksistensial yang segera, dengan mengingkari akhirat (dunia akan datang), pengadilan dan keadilan. Namun mereka tidak bisa terus menyembunyikan kebenaran. Meskipun mereka dalam kegelapan, namun tidak berarti bahwa mereka dapat menguasai kebenaran atau orang-orang yang beriman.
فَالْيَوْمَ الَّذِينَ آمَنُواْ مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ
34. Maka pada hari ini orang-orang yang beriman akan menertawakan orang-orang yang kafir.
Ini berkenaan dengan Hari Pengadilan, ketika segala sesuatu akan terbuka dan tersingkap. Pada hari ini kaum beriman akan bergembira, mereka akan melihat keesaan (tauhid) dan akan bersatu kembali dengan yang mereka kenal sebelumnya. Sekarang giliran mereka menertawakan kaum kufur. Pada saat kita mengetahui iman kita seutuhnya maka saat itu akan menjadi hari kebangkitan kecil bagi kita. Kita akan tertawa sedemikian rupa sampai-sampai tawa itu pun tidak nampak pada wajah. Gelak-tawa kita akan begitu dalam sehingga akan lebih dari sekadar gelak-tawa. Peristiwa ini mengekspresikan saat ketika kita berhubungan kembali secara sekilas pandang dengan keesaan nyata (tauhid) yang kita alami saat di dunia ini.
عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ
35. Di atas sofa yang empuk, mereka memandang.
Ketika tidak ada lagi gangguan luar, ketika tidak ada yang dapat menghalangi pandangan yang dalam dan menyeluruh, mereka akan melihat kebenaran yang mereka imani. Penglihatan ini akan memperkuat keyakinan mereka dan mendatangkan kesantaian yang sebenarnya, yakni keadaan batin yang tertawa-tawa. Tertawa mendatangkan kepuasan hati dan pada gilirannya ungkapan kepuasan hati ini timbul karena pengenalan terhadap Tuhan.
هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
36. Sesungguhnya orang-orang kafir akan diberi ganjaran atas apa yang mereka lakukan.
Tsawwaba adalah 'memberi ganjaran'. Bentuk akar dari tsawwaba adalah tsaba (kembali) yang, bagi telinga pembicara bahasa Arab, kedengarannya sangat mirip dengan taba (menyesali, meninggalkan, berbalik dari) dan juga mengandung arti kembali dari kebodohan dan jalan sesat ke jalan yang baik dan pengetahuan yang luas. Tsawab adalah 'ganjaran' atas ketaatan dan untuk memperolehnya adalah dengan tawwab (bertobat).
Ayat ini meminta kita untuk benar-benar merenungkan segala niat kita, meneliti mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, sehingga mendapati kita diganjar seratus persen sesuai dengan niat-niat kita. Jika niat kita bersih, maka ganjarannya tidak akan menyakitkan kita. 'Apakah ganjaran kebaikan mesti selain kebaikan? (Q.S. 55:60). Lantas bagaimana kita dapat menyembunyikan niat kita? Segala sesuatu dalam kehidupan adalah sempurna karena kesempurnaan ada pada diri kita.[]
SURAH AL-INFITHAR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
Tema dan pola surah ini mirip dengan surah al-Takwir, tetapi maknanya berbeda. Surah ini memperingatkan kita bahwa manifestasi penciptaan akan berakhir dan mendeskripsikan bagaimana kejadian tersebut berlangsung dengan cara yang secara nalar dapat kita pahami. Nalar kita memahami kenyataan bahwa segala sesuatu yang diciptakan berasal dari zat padat yang memuai, kemudian rusak dan selanjutnya terjadi pembaharuan. Setiap pembahan tersebut tidak ada yang menjelma ke dalam bentuk atau pola yang tidak berakhir. 'Akhir' ini senantiasa berada di sepanjang bentangan waktu, dan objek kajian kita adalah pengetahuan mutlak yang tidak bembah dengan berjalannya waktu, yakni pengetahuan yang sah dan benar selamanya.
Surah ini dimulai dengan deskripsi tentang alam semesta dan lelangit, kemudian berlanjut ke tingkat duniawi—kuburan—yang merupakan tujuan akhir dari wujud sadar. Bahkan realitas yang menurut perkiraan kita sebagai wujud akhir pun akan hancur.
إِذَا السَّمَاءُ انفَطَرَتْ
1. Tatkala langit terbelah
Ayat ini berbicara tentang akhir waktu dan awal kehidupan berikutnya. Infatharat berasal dari kata kerja yang artinya 'retak, koyak atau pecah berantakan'. Fithrah, dari akar kata yang sama, berarti 'sifat bawaan lahir, naluri'. Kata fitrah secara inheren mengingatkan pada gagasan tentang 'asal-mula', dan, sebagaimana nampak dari bentuk-bentuk katanya yang sekaitan, menunjukkan bahwa asal-mula sesuatu bersumber dari retakan. Alquran mengatakan bahwa bumi berbentuk telur, dan ketika air muncul maka bumi pun retak sehingga memudahkan terjadinya pertumbuhan sesuatu dari dalam bumi. Berdasarkan apa yang nampak dan secara simbolis, segala sesuatu berasal dari satu sumber awal yang mendadak masuk ke dalam arus penciptaan yang bersaluran banyak.
Lelangit dipersatukan oleh kekuatan-kekuatan berbeda yang menjaga agar bintang-bintang dan planet-planet tetap berada dalam orbitnya yang teratur. Jika sistem tersebut retak, maka tatanan ini akan rusak. Implikasinya di sini adalah bahwa bila sistem eksistensi di alam ini—baik untuk kita maupun untuk makhluk lain, seperti jin—sudah mencapai suatu titik yang merupakan akhir perkembangan, maka sistem tersebut akan mulai runtuh. Setiap sistem yang ada bersifat terbatas kecuali yang hakiki, yakni Allah yang meliputi semua sistem. Ia Tidak Berbatas dan karena alasan inilah maka muncul batas-batas yang penuh makna. Setiap batasan berasal dari Yang Tak Berbatas, dan karena berasal dari Yang Tak Berbatas, maka ia mesti terbatas. Waktu dapat dipahami hanya karena ada ketidakberwaktuan, yang maknanya sudah terkandung dalam diri manusia.
وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انتَثَرَتْ
2. Dan tatkala bintang-bintang bertebaran.
Beginilah yang terjadi sebagai akibat dari ayat pertama. Intatsarat artinya 'bertaburan secara serampangan'. Kawâkib adalah 'planet-planet'. Menurut pendapat kita, ketika lelangit retak, planet-planet yang terdekat kepada kita akan bertaburan. Kekuatan yang dengan kuat menjaganya agar tetap dalam orbit akan hancur dengan sendirinya.
Kawkaba, akar kata yang merupakan asal kata kawâkib, artinya 'bersinar cemerlang', terutama digunakan untuk menggambarkan kilau besi yang mengkilat. Jika suatu 'hari' digambarkan sebagai kawkabi, berarti hari tersebut memiliki arti penting atau kesulitan tertentu. Dalam hal ini, menurut pendapat kita, kata tersebut menunjuk kepada berbagai unsur di alam raya yang keberadaannya menonjol dalam sistem tata surya, dan mereka bersinar dengan kecemerlangan yang lebih besar dibanding sinar benda langit lainnya.
Intatsara yang berarti 'bertaburan atau berhamburan, bertebaran', menunjukkan bahwa pertaburan ini terjadi secara serampangan meskipun mengikuti pola tertentu. Gerakannya acak, namun tidak tanpa makna, dan bersifat abstrak. Kata intatsarat menimbulkan kesan menaburkan benih di atas tanah. Dari sudut pandang si penabur, si pelaku, maka penaburan ini mengikuti pola tertentu, yakni pola yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti ukuran tangan dan gerakan serta iramanya yang normal, meskipun dari sudut pandang pengamat atau peneliti penaburan tersebut nampak serampangan. Tindakan menebar itu sendiri adalah menaburkan, namun ia mengikuti pola tertentu yang sudah ditetapkan.
وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ
3. Dan tatkala lautan naik meluap-luap.
Bila kekuatan atau sistem yang menjaga keutuhan alam semesta lenyap, maka terjadilah ledakan. Fujjirat berasal dari fajjara, yang berarti 'menyebabkan mengalir, membelah, meledak'. Sistem yang ada akan meluap melampaui batas asalnya dan hancur dengan cepat.
Kata kerja fajara mempakan sumber kata yang kaya makna, yang makna-maknanya semua bertalian secara logis, sehingga perlu mendapat perhatian lebih jauh. Fajr (subuh) dihubungkan dengan fajara. Malam, yakni kegelapan yang menyelubungi, dirobek oleh sorotan pertama cahaya pagi, karena itu kata tersebut diartikan 'fajar sidik'. Infijar adalah 'ledakan, letusan, atau letupan'. Dalam Al-quran, fujur (kejahatan, imoralitas, kejangakan) biasanya menunjukkan pelanggaran, tindakan kelewat batas, melampaui batas jalan. Bila seseorang dikatakan sebagai seorang fajir maka artinya orang tersebut merosot akhlaknya dan bermoral bejat tak punya malu.
Salah satu makna fajjara yang paling penting dalam Alquran terdapat dalam ayat berikut: "Sebuah mata air dari mana hamba-hamba Allah minum, mereka memancarkannya dengan berlimpah" (Q.S.76:6). Pengertiannya di sini adalah bahwa mata air itu ada dalam diri kita sendiri. Mata air tersebut, yakni tempat fitrah (sifat yang orisinil), berada di dalam hati manusia, tapi ia harus diletuskan dan dipancarkan. Untuk itu kita harus dapat mencapai mata air itu. Untuk membuka deposit box di sebuah bank saja kita harus berjalan melalui beberapa lorong guna mencapainya. Demikian juga hati: untuk mencapainya, kita harus berjalan melewati semua mangruang menakutkan yang telah kita buat dan kita bangun dalam perjalanan hidup ini.
Hasan al-Bashri, salah seorang murid Ali ibn Abi Thalib, mengatakan bahwa maksud dari ayat ini berkenaan dengan 'air yang mengering' karena air tersebut mengalir kembali ke sumber asalnya. Planet-planet yang menahan kita dalam orbit, yang berhubung dengan kita dan paling berpengaruh terhadap kehidupan kita, akan bertebaran. Demikian pula, lautan akan kosong, yang padat akan kembali mencair, dan uap akan kembali hampa. Kita akan melihat segala sesuatu terbalik dan kita pasti akan mengalaminya.
وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ
4. Dan tatkala kuburan-kuburan dibuka.
Kini keruntuhan dunia semakin dekat. Tempat istirahat terakhir adalah kuburan, yang mempakan tempat kedamaian. Ba'tsara, akar dari bu'tsirat, berarti 'tersebar di sana-sini, terbalik, menjebloskan ke dalam kekacauan'. Ayat ini menggambarkan akibat lain dari terjadinya gangguan, antara lain, dalam daya gravitasi dan sentrifugal yang mempersatukan dunia. Pemakaman akan menyembul dan kuburan-kuburan akan terbuka. Apa pun yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh setiap jiwa akan tersingkap melalui pembukaan ini.
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ
5. Setiap jiwa akan mengetahui apa yang ditempatkan di depan dan apa yang dibiarkan di belakang.
Nafs di sini berarti 'roh', atau 'jiwa'. Akar katanya dihubungkan dengan tanaffasa, yang merupakan kata kerja 'bernafas'. Nafs adalah entitas kompleks yang meliputi sebab sejati eksistensinya, yakni roh. Kata ruh dalam bahasa Arab berkaitan dengan 'angin', karena sifatnya yang bebas mengalir. Nafs juga memiliki semua ciri buatan yang dicangkokkan kepada roh sebagai akibat dari perwujudannya. Kata nafs dan ruh kadang dapat dipertukarkan. Hu-bungan mereka bagaikan matahari kepada bumi: diri disadarkan oleh roh.
Bila semua tiang lahiriah telah roboh, seperti pada Hari Kebangkitan, setiap diri akan menjalani realitasnya, dan realitas ini dibentuk oleh amal-amalnya dan oleh apa yang telah dipeliharanya sebelum dunia wujud lahiriah runtuh.
Qaddamat, di sini diterjemahkan sebagai '[ia] menempatkan di depan', kata kerja yang akarnya adalah qadam, artinya 'kaki', yakni, apa yang kita letakkan di hadapan kita untuk bergerak ke depan menuju sesuatu yang baru. Kita hanya mengupayakan apa yang sesuai dengan tujuan kita. Kalau tujuan kita adalah menyampaikan dan memperoleh pengetahuan tentang realitas, maka semua kekuatan di sekitar kita akan membantu.
Ayat ini mengatakan bahwa bila semua peristiwa tersebut tadi terjadi, maka niat seseorang akan terlihat jelas oleh dirinya sendiri, meskipun sebelumnya mungkin ia nyaris tidak memikirkan alasan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa lebih baik sama sekali tidak berbuat sebelum niat kita jelas, karena perbuatan hanya sesuai dengan niat yang mendahuluinya, dan kehidupan kita akan diuji. Jika kita memulai dengan hal nyata, maka kita akan membuat kemajuan. Umpamanya, menafkahi keluarga adalah suatu perbuatan yang patut dipuji. Karena bertindak dengan niat yang baik maka seseorang akan mencapai suatu titik di mana ia mulai haus akan pengetahuan, dan hal ini membawa dia kepada pengingatan akan Allah (zikir), yang pada gilirannya menggiring kepada kesunyian batin. Jika kita berbuat dengan ketulusan hati, rnaka keadaan zikir akan dicapai bagaimana pun juga, karena, seperti dikata-kan dalam Alquran, "Sesungguhnya la Maha Pengampun lagi Maha Penyayang!'
Akhkhara artinya 'menunda, menangguhkan, menghalangi, mengembalikan', secara tidak langsung menunjuk kepada apa yang telah disembunyikan. Kita adalah hasil dari apa yang telah kita tinggalkan, masa lalu kita. Sebagai individu, sebagai manusia, kita adalah jumlah dari perbuatan dan pemikiran masa lalu kita, yang disembunyikan, ditangguhkan, atau yang diungkapkan. Yang berpotensi terjadi di masa mendatang adalah tujuan kita dan yang sebenarnya akan terjadi adalah perwujudan tujuan itu. Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungan luar, dan hasil dari interaksi-interaksi ini adalah masa akan datang. Jika manusia mengetahui apa yang ada di belakang dan di depan dirinya, maka ia sudah menguasai seluruh cakrawala dan berhubungan dengan cakrawala tersebut.
Makna ayat ini adalah bahwa pada hari itu setiap nafs akan benar-benar menampakkan diri, warna, nada, dan iramanya. Roh berawal sebagai kekuatan sejati, dan substansinya terbuat dari suatu unsur yang dengan itu setiap roh lain dapat berhubungan. Oleh karena itu setiap roh akan melihat roh lainnya dengan jelas, tidak seperti sekarang di mana kita dapat menyembunyikan bagian-bagian dari diri kita yang tidak ingin diketahui orang lain. Oleh karena itu, semakin terbuka kita di sini dan saat ini, dan semakin siap kita hidup di sini dan saat ini, maka kita pun semakin siap untuk menghadapi yang akan terjadi kelak. Kita harus memperhatikan cara hidup kita, sepenuhnya dan secara total. Jika seseorang sungguh-sungguh ingin menerapkan hal ini, ia akan mencapai kesimpulan bahwa cara mewujudkannya adalah dengan membersihkan setiap niat dan merangkaikannya dengan perbuatan yang benar dan dengan sungguh-sungguh bersikap terbuka, tidak menutup-nutupi, dan siap ditanya.
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
6. Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan engkau dari Tuhanmu Yang Maha Pemurah?
Setelah mengungkapkan bahwa dunia ini bersifat terbatas dan begitu kompleks serta fantantis, dan bahwa yang akan tertinggal dari masing-masing orang adalah jiwa, surah ini kemudian memusatkan perhatiannya langsung pada manusia. Insan (manusia) pada dasarnya memiliki sifat suka bergaul, peramah dan bersahabat. Makna yang lebih dalam dari ayat ini adalah: 'Wahai engkau yang sudah menjadi penyembah ketauhidan, dengan nama apa pun engkau menyebutnya, apa yang menyebabkan engkau sombong sehingga mengira bahwa engkau terpisah dari Tuhanmu Yang Senantiasa Pemurah?' Ketika kulit luar dunia hancur, apa alasan perbuatan manusia melepaskan diri dari Realitas Tunggal? Esensi manusia itu murah hati dan menyenangkan, lantas apa yang menyebabkannya begitu congkak?
Yang menjadi perhatian di sini adalah sifat manusia yang sesungguhnya, yakni yang akan tetap bertahan pada saat semua hiasan duniawi berangsur sima. Apa yang memalingkan dia sehingga tidak mengenal Rububiyyah (Ketuhanan)? Jawabannya adalah kecintaannya terhadap dunia ini, kesukaannya berada dalam kebingungan. Namun jawaban yang benar adalah 'tidak ada alasan'. Ketika terjadi pertentangan dengan Tuhan, mengapa manusia tidak melaksanakan apa yang menjadi tujuannya dilahirkan, yakni mencari kebenaran? Untuk ini pun tidak ada jawaban yang sahih.
Selain Allah, semuanya adalah palsu dan kita tidak bisa ditipu oleh 'ketiadaapa-apaan', oleh suatu keniskalaan. Apa pun yang memalingkan manusia dari garis kebenaran maka itulah dunia, yang bersifat sementara dan menyebabkan kita berada dalam ghaflah (kelalaian, ketakperdulian). Kita menjadi terpancang pada dunia ini karena berbagai ilusi yang dibebankan pada diri kita sendiri, walaupun kita sebenarnya mencari keamanan. Sebenarnya, Yang Senantiasa Memberi Keamanan itu sudah ada di dalam hati dan berpengaruh terhadap situasi lahiriah, dan dalam situasi tersebut kita mendapati ternyata kita mengikuti hal-hal yang bersifat sementara. Kita harus berupaya untuk merasakan keamanan tersebut, dan begitu unsur yang menyebabkan kecintaan kita itu tidak lagi berkuasa, maka kita pun bebas dari kelalaian dan dapat mengenal Tuhan kita.
Perekat cinta yang paling hebat adalah tampilnya 'Aku', sang ego. Saat penciptaan berlangsung, unsur setaniah berkata, "Aku lebih baik daripada dia" (Q.S.7:12), dan dengan masuknya unsur ini maka mulailah kecintaan terhadap sesuatu yang asalnya tidak ada. Ketika dunia yang nampak ini tiba pada saat akhimya, maka segala sesuatu yang menjadi sandaran pun akan lenyap. Setan tidak akan muncul di alam kesatuan absolut, karena mustahil kekuatan yang menyebabkan keterpisahan itu akan berfungsi di sana.
الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ
7. Yang menciptakan engkau, lalu menyempumakan engkau, lalu membuat engkau seimbang (proporsional).
Seandainya manusia tidak diciptakan maka ia tidak akan memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, juga tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan eksistensi batin, juga tidak akan melihat ratusan bunga yang nampak sama namun berbeda dalam warna dan bau.
Sawwa memiliki banyak makna, termasuk 'meratakan, mendatarkan, meluruskan, mengatur, merapikan, menyamakan'. Lantas, mengapa manusia berlaku sombong padahal ia melihat betapa dirinya diberi potensi untuk tampil harmonis dan sempurna?
'Adl artinya 'lurus', dan ini merupakan prinsip yang paling efisien (jalan tercepat untuk menghubungkan dua titik, bagaimana pun, adalah garis lurus). Ia juga berarti 'keadilan, kewajaran dan ketulusan'. Segala sesuatu secara menakjubkan diciptakan dengan seimbang, wajar dan ekologis, baik di alam lahir maupun batin—dua alam ini sebenarnya adalah satu, dan, karenanya, seimbang. Kita memahami Pencipta kita melalui penelitian dan perenungan terhadap ciptaan-Nya.
فِي أَيِّ صُورَةٍ مَّا شَاءَ رَكَّبَكَ
8. Dalam bentuk apa pun Ia kehendaki, Ia membentuk kamu.
Shurah adalah 'gambaran, bentuk, rupa, kesamaan atau tiruan, dari kata kerja shawwara, 'membentuk, menciptakan, menggambarkan, membuat'. Rakkaba adalah 'mengikatkan, membangun, menyatukan'. Akar katanya adalah rakiba (menaiki). Bila kita melihat penciptaan secara keseluruhan, maka kita akan mengetahui bahwa temyata apa pun dapat terjadi, dan memang terjadi. Adalah di luar pemahaman intelektual kita untuk mengerti mengapa suatu sel atau makhluk tertentu bergerak dengan cara tertentu, dan kemudian kita menyebutnya sebagai gerakan yang abstrak atau serampangan. Sebenarnya tidak ada yang serampangan dalam gerakan tersebut, tapi yang terjadi adalah bahwa kita tidak dapat memahami gerakan tersebut. Sebenarnya, pola pencarian intelektual kita bisa melalui proses pemahaman atau, kalau tidak, melalui kebingungan. Dari segi realitas batin (hakikat) segala sesuatu sangat masuk akal dan tidak ada yang nampak janggal, tapi jika kita melanggar norma-norma akal dan pikiran, maka kita memasuki alam kebingungan.
كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ
9. Sekali-kali tidak Engkau menolak Hari Pengadilan.
Kalla (sekali-kali tidak) maksudnya menegaskan kembali. Dengan kata lain maksud ayat ini adalah 'Memang demikianlah halnya'. Penolakan bagi manusia sangatlah wajar: "Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi” (Q.S.103:2); dan, sangat bisa dimaklumi kalau kita melanggar, lupa dan tidak ingat. Itulah sebabnya mengapa Allah Maha Pengampun, Maharahman, dan mengapa kita bertobat kepada Allah. Hal ini Normal. Dalam konteks ayat ini, yang sedang kita ingkari adalah transaksi yang benar dan perilaku yang benar, yakni satu-satunya jalan untuk hidup, untuk bersiap-siap, untuk berada dalam keadaan bebas dari hawa nafsu di mana kita dapat menyadari dan mengalami keberlimpahan.
Ayat ini berbicara kepada kita pada tataran batin yang dalam. Din, dalam konteks lain, biasanya diterjemahkan sebagai 'agama'. Namun kata tersebut menunjukkan suatu transaksi, yakni transaksi untuk membayar utang-utang kita kepada sang Pencipta. Akar kata din adalah dâna, yakni 'berhutang, menjadi sasaran, menyerah'. Sifat dasar manusia memang mengingkari Islam. Persis bagaikan ikan salmon yang berusaha berenang ke hulu dan hanya sedikit sekali yang mencapai sumbemya. Ayat ini ditujukan untuk orang-orang Mekah kepada siapa ayat ini khususnya diturunkan, dan juga untuk semua orang di sepanjang masa. Sifat sejati manusia adalah ingin mencari sumbernya, sementara sifat rendahnya adalah menolak perjanjian yang mengaridung kerahmanan dan hanya dapat diketahui melalui pembayaran utang—dengan menghidupkan din— yang memang utangnya. Kemudian jalan kecil menuju Kerahmanan yang meliputi semua makhluk dilicinkan, ta'abbada (diratakan, dibuka, dilicinkan), melalui nyanyian ibadah.
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ
10. Dan sesungguhnya ada penjaga untuk kamu.
Kekuatan dan energi yang luhur, malaikat atau lainnya, menggiring kita ke arah pola dan takdir penciptaan. Kekuatan ini ditujukan kepada hâfizhin (penjaga, pelindung) karena tugas mereka adalah merefleksikan salah satu sifat Allah, al-Hafizh. Nama 'Pelindung, Penjaga, Pemelihara' menunjuk kepada Allah, satu-satunya Pelindung yang sejati.
Bagaimana mengejawantahkan al-Hafizh? Nama ini berasal dari akar kata kerja yang berarti 'memelihara, melindungi, menjaga, menopang, mengingat'. Hafizh, dalam bahasa Arab sehari-hari, berarti seseorang yang hafal Al-quran. Sang Pencipta tidak akan menciptakan hukum kehidupan kalau Dia tidak akan mempertahankannya. Dengan demikian kita yakin bahwa hukum itu tidak berubah dan tidak akan berubah bagi siapa pun, baik ia seorang nabi, rasul, atau orang biasa. Hukum penciptaan berlaku sama kepada semua. Banyak di antara hukum-hukum ini yang kita anggap pasti benar karena kita tunduk padanya sepanjang waktu, seperti hukum gravitasi. Setiap diri ingin sekali mempertahankan, memelihara dan melanjutkan hidup. Ini adalah manifestasi kekuatan hâfizhin melalui diri.
كِرَامًا كَاتِبِينَ
11. Juru catat yang mulia.
Segala perbuatan manusia langsung dicatat. Ganjarannya seketika itu juga, dan akan ditulis dalam buku catatan amal dan kemudian dicatat dalam dirinya sendiri. Baik penyakit serius maupun ringan yang menyebabkan kita menderita adalah akibat langsung dari perbuatan kita. Ganjaran kita identik dengan perbuatan kita, dan makna dari perbuatan kita adalah niatnya. Kita mewujudkan niat: pada saat ini kita adalah jumlah total dari semua niat masa lampau kita. Jika mereka bebas—fi sabilillah (di jalan Allah)—maka kita bebas. Kita sama kotornya atau sama bersihnya dengan niat kita, dan itulah yang menentukan keadaan dan kondisi hati kita.
Jika niat manusia bersih sebersih-bersihnya, namun ia bertindak secara bodoh karena ia tidak memiliki cukup pengetahuan dunia lahiriah, maka mungkin ada yang menganggapnya tolol atau bahkan jahat jika orang lain menderita akibat tindakannya. Meskipun demikian Allah, Yang Mahabijaksana, memaafkan dia. Tapi di dunia ini, hukum lahiriah (syariat) meliputi kebenaran abadi (hakikat). Segala sesuatu mengikuti hukum Allah, dan hanya Allah yang berkuasa. Jika, meskipun niatnya bersih, ternyata manusia dijebloskan ke dalam penjara karena secara lahiriah menyebabkan keluhan kepada orang lain dan perbuatannya ini dapat dikenai hukuman, maka hal ini dibenarkan menurut syariat. Seorang hamba Allah yang benar-benar bebas (secara batiniah—peny.), namun berada dalam penjara (secara lahiriah—peny.), akan benar-benar puas dengan ketetapan Allah atas dirinya.
Kirâm kâtibîn (pencatat yang mulia) artinya bahwa amal baik yang paling luhur adalah mengetahui jalan yang sesuai dengan penciptaan manusia. Para malaikat, atau kekuatan, yang menjaga agar kehidupan berjalan terus dengan lancar di dunia ini, adalah kirâm kâtibîn. Mereka adalah energi dan kekuatan dalam diri manusia yang mencatat kisah manusia dari dalam. Setiap satu sel dalam tubuhnya menggemakan seluruh kemakhlukkannya, yang mengandung sejarah tentang semua yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi.
Kâtibîn berasal dari kata kerja kataba, yang berarti 'menuliskan, menggoreskan, menentukan, menakdirkan'. Ada pengertian 'mengumpulkan' di dunia ini. Karena itu, kitab tidak hanya berarti 'buku', tapi juga 'apa yang diperbuat'. Jika seseorang dalam keadaan sadar, ia dapat 'membaca' apa yang diperbuat. Itulah yang dimaksud Alquran. Para malaikat, atau kekuatan, adalah mulia karena mereka berada pada batas-batas kemampuannya yang telah ditentukan. Dituliskan bahwa mereka harus menulis, dan mereka melakukannya.
يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
12. Mereka mengetahui apa yang engkau lakukan.
Entitas atau kekuatan—kemana kita dihubungkan dan diikatkan oleh Realitas Tunggal—mengetahui apa yang kita lakukan meskipun intensitas pengetahuannya berbeda. Segala sesuatu yang kita lakukan akan mempengaruhi segala sesuatu yang lain dalam keseimbangan ekologis yang mutlak ini. Setiap perbuatan kita akan meninggalkan kesan pada kekuatan sensitif yang menguasai serat kosmik yang halus. Itulah mengapa kita mengatakan, "Allah sangat mengetahui", dan "Allah memiliki pengetahuan atas segala sesuatu."
Allah adalah al-'Alim (Yang Maha Mengetahui [semua]). Jika kita bertambah dalam 'ilm (pengetahuan, kearifan), maka kita akan mendekati al-'Alim, sehingga kebodohan akan berkurang. Ibaratnya, saat cangkir menjadi penuh maka apa yang berada dalam cangkir dan cangkimya sendiri sudah dapat dipahami sebagai membentuk satu sistem, karena agar ada isi maka harus ada wadah. Inilah makna dari tema di mana seorang guru agung berkata: "Satukan minuman dengan cangkir dan lenyaplah olehnya (minuman-cangkir sudah menjadi 'satu' sistem—peny.)."
Meskipun kedua sistem itu nampak berbeda, yang satu cair dan satunya lagi padat, manusia adalah penghubung, ruang antara (barzakh), maka ia harus menghubungkan batin dengan lahir. Dari sudut pandang 'arifbi'llah (orang yang mengenal Allah), tidak ada yang namanya batin ataupun lahir. Yang ada hanyalah Allah, Realitas Tunggal, yang memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk penciptaan.
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
13. Sesungguhnya orang-orang yang tulus ada dalam kenikmatan.
Surah ini dimulai dengan mendeskripsikan dampak besar di hari kiamat (akhir dunia), yang deskripsinya meliputi akhir kita sendiri, dan kemudian memberi kita kabar baik tentang kenikmatan. Akar kata abrar (bebas, adil, baik hati) adalah barra (bersikap adil). Barr adalah 'permukaan tanah yang luas', tapi maknanya lebih dari sekadar gurun pasir. Kata ini menunjukkan ruang, keterbukaan dan pandangan yang jelas. Barr adalah lawan dari bahr (laut). Di atas barr segala sesuatu nampak jelas, tapi dalam bahr segala sesuatu tersembunyi di bawah permukaan.
Na'im (kebahagiaan, damai, sentosa) barasal dari na'ama (hidup senang dan tenteram, berbahagia, lembut). Na'am artinya 'ya'. Ni'mah Allah adalah nikmat Tuhan. Di antara sifat dasar manusia adalah membenarkan karunia Allah. Keadaan abrar yang sesungguhnya akan merefleksi ke tempat tinggal di masa akan datang, dan di sana yang akan mereka dapati tak lain hanyalah kenikmatan atau kesenangan semata.
وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
14. Dan sesungguhnya orang-orang yang jahat ada dalam api yang membakar.
Siapa pun yang hidup bertentangan dengan sifat dan hakikat dirinya, maka ia telah melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri. Seorang fajir adalah orang yang menjemmuskan dirinya ke dalam pelanggaran, orang yang telah melampaui batas-batas agama, melampaui batas-batas sifat luhumya. Dari sudut pandang ini, mereka yang melanggar batas (fujjar) berada dalam neraka. Kehidupan neraka sama dengan kerusuhan, pergolakan yang tiada henti dan matinya stabilitas. Itulah keadaan yang dapat dirasakan tidak hanya setelah kematian tapi juga dalam kehidupan ini.
يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّينِ
15. Mereka akan masuk ke sana pada Hari Pengadilan.
Yawm (hari) tidak hanya berarti suatu jangka waktu dua puluh empat jam, tapi juga keadaan pikiran. Dari sisi manusia yawm kita adalah dua puluh empat jam, tapi yawm Allah berbeda, bisa sepanjang 50.000 tahun, seperti yang dikatakan Alquran.
Orang-orang yang melanggar (fujjar) akan menyentuh api pada Hari Pengadilan, hari dimana utang-utang harus dibayar. Setiap detik adalah saat di mana kita bisa membayar utang-utang kita, sehingga kalau kita mau membayar utang setiap saat maka kita akan berada dalam keseimbangan. Jika kita mencoba menyembunyikan utang-utang kita, maka Yawm al-din (Hari Pengadilan atau Perhitungan) menjadi hari kematian kita dari kehidupan ini. Ini adalah Hari Pengadilan yang lebih kecil. Hari Pengadilan yang lebih besar akan tiba bila sudah tidak ada lagi yang dibiarkan tersembunyi.
وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِينَ
16. Dan mereka tak akan lolos dari itu!
Gha'ib artinya 'mangkir atau tersembunyi'. Pada hari kebenaran tidak akan ada yang bisa memangkirkan diri. Pada hari kebenaran, apakah sekarang ataupun nanti, segala sesuatu akan diperhitungkan, dan tidak akan ada tempat pelarian. Kita akan menyaksikan ternyata apa pun niat baik yang kita tanam akan langsung menghasilkan buah. Kita masing-masing akan menjadi saksi yang sesungguhnya, dan inilah makna sebenarnya dari syahadah (penyaksian langsung). Jika kita tidak secara terus-menerus mengelola niat-niat kita di sini dan saat ini, maka kita akan berurusan dengan semua niat kita kelak sekaligus dalam waktu bersamaan. Cara untuk memahami hal ini adalah dengan mengetahui apa niat-niat kita dan sudah seperti apa mereka.
Kunci menuju kesuksesan adalah Allah. Jika seseorang mencintai Allah maka tidak ada pilihan baginya selain sukses dalam dunia ini. Ia akan memperhitungkan setiap detik yang berlalu dan tidak menunda-nundanya. Hanya orang-orang bodoh yang tidak mau memeriksa catatannya karena mengira mereka telah mengacaukannya. Tapi jika mereka sadar bahwa keseimbangan itu demi kepentingan mereka, maka mereka akan selalu ingin melihatnya. Jika kita memperhitungkan (menghisab) diri kita setiap saat, maka kita akan bersih.
Imam Hasan, yang mengutip dari Nabi Muhammad, datuknya, berkata: "Orang yang takut kepada Allah tidak akan pemah takut kepada hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang takut kepada hamba-hamba Allah tidak takut kepada Allah'. Ini karena hamba Allah, maksudnya semua manusia, adalah bayangan dari dirinya sendiri. Dan jika seseorang takut kepada Allah, maka sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Hasan: "Orang yang ingin menyenangkan Allah akan menemukan bahwa dunia senang kepadanya, dan orang yang ingin menyenangkan dunia akan menemukan bahwa Allah tidak senang kepadanya."
Jika pada setiap saat kita siap mempertanggungjawabkan segala sesuatu kepada Allah seakan-akan kita baru saja dibangkitkan dari kubur, seakan-akan niat-niat kita disingkapkan dari dada kita, maka kita akan bebas dari segala belitan dan akan menemukan diri kita lebih berdayaguna. Akal kita akan menjadi lebih tajam karena ia merupakan kemampuan yang harus dikembangkan, dan kita akan berlaku seolah-olah kita selalu siap menyerahkan seluruh kehidupan kita kepada-Nya untuk diperiksa.
Kita menunda-nunda untuk mengintrospeksi diri kebanyakan karena kita tidak ingin mengganggu khayalan-khayalan kita yang sudah lazim. Tapi setiap aksi ada reaksinya yang sebanding dan berlawanan. Segala sesuatu dalam kehidupan sesuai dengan adabnya, dan semakin kita mengetahui adab tersebut, semakin kita berdayaguna dalam setiap situasi. Pengetahuan ini, sebenamya, terdapat dalam hati kita. Adab berhubungan dengan seberapa siap kita menghadapi neraca rugi-laba kita.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
17. Dan apakah yang akan membuat engkau mengerti apa itu Hari Pengadilan?
Apa yang kita ketahui tentang Hari Perhitungan? Mengapa tidak terjadi sekarang saja? Karena alasan inilah maka bila seorang muslim tidak berhasil, kita pun tahu bahwa ia tidak berada dalam Islam. Jika seseorang tidak berhasil, berarti ada yang salah. Ini bukan pengadilan atas dirinya, karena hal itu adalah urusan antara dia dengan Allah, tapi itulah jalan ilmu pengetahuan yang sejati. Hamba Allah yang sejati tidak membuang-buang waktu. Jika ia tidak berhasil, berarti ia telah bertindak salah; barangkali ia tidak melakukan pemilah-milahan yang tepat, tidak memutuskan dengan benar, atau tidak berembuk dengan benar; barangkali ia terikat pada sesuatu.
Jika kita siap menghadapi segala sesuatu dalam diri kita setiap saat, kita menemukan bahwa ketika kita melihat dan mengenal semua ular dan kalajengking yang telah kita sembunyikan, kita akan mengetahui bagaimana mengatasi mereka agar tidak menyengat atau menggigit kita. Dengan demikian kita memasuki kesadaran. Itulah sebabnya kita mengatakan bahwa orang-orang yang telah sampai pada lingkaran batin para kekasih Allah akan senantiasa berubah. Dengan kesadaran setengah detik saja, mereka mengetahui sifat mereka sebenamya, realitas mereka yang sebenarnya. Apabila seseorang sungguh-sungguh mengetahui keadaan hatinya, apabila dia benar-benar, secara total dan dengan tulus sadar, maka ia telah mencapai tujuannya.
Hari Pengadilan (yawm al-din) hanyalah sehari, sejenak, sepenggal detik, namun ia juga suatu kondisi. Apakah sekarang kita sedang menghisab diri kita? Adalah menyimpang dari pokok pembicaraan kalau kita mengajukan pertanyaan tentang saat akhir. Kita tidak dapat melihat 'saat' itu sebab kita bergairah dengan hari esok. Antisipasi ini diakibatkan oleh keinginan untuk melarikan diri dari kedalaman 'saat' itu yang menakjubkan dan tiada berujung yang sedang kita habiskan dengan sia-sia. Kita harus belajar melihat keindahan dari kejahatan yang nampak, kedalaman dari saat ini serta maknanya, dan juga melihat bagaimana terjadinya serta jalan apa yang ditempuh sehingga terjadi dengan cara seperti ini. Kita harus belajar melihat kesempurnaan dan melihat tanpa menilai.
ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
18. Sekali lagi, apa yang akan membuat engkau mengetahui apa itu Hari Pengadilan?
Ayat 17 diulangi di sini dalam rangka mencamkan persoalan. Tanda-tanda apa lagi yang kita butuhkan? Jalannya adalah ilmu yang mutlak; itulah jalan shafa (kesucian, kebersihan).
يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
19. Hari ketika tiada jiwa menguasai sesuatu untuk kepentingan jiwa yang lain, dan perintah pada hari itu adalah kepunyaan Allah.
Jika seseorang sadar tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan atas apa pun atau siapa pun dan melepaskan kekuasaan dan kepemilikan sekarang juga, maka Yawm al-din adalah Yawm amr Allah (Hari perintah atau komando Allah kepadanya). Pada saat itu kita berada' dalam syirk (yakni kita menyekutukan Allah) kalau kita berkata: "Ini antara Allah dengan aku". Yawm ini, hari ini, dibagi antara Allah dan kita, karena kita bingung mengenai mana ketetapan Allah dan mana yang semata-mata tingkah kita sendiri. Kita tidak dapat membedakan antara wahm (khayalan) dan hawa (keinginan), atau apa yang telah Allah tuliskan. Allah telah menuliskan hal-hal yang harus diikuti menurut hukum yang pasti. Jika kita melanggarnya, kita akan hancur, lahir maupun batin.
Yawm al-din diartikan sebagai 'Hari di mana tidak ada jiwa yang memiliki kekuasaan [untuk melakukan] apa pun demi kepentingan jiwa lainnya'. Dengan kata lain, setiap orang benar-benar dan sama sekali bertanggung jawab atas dirinya sendiri sekarang juga, tanpa ada alasan bertanggung jawab atas orang lain sebelum bertanggung jawab atas dirinya sendiri, karena akhirnya hanya ada satu jiwa. Masing-masing orang bertanggung jawab atas segala sesuatu; tidak ada yang terpisah, tapi pertama-tama kita harus tahu siapa kita. Jika kita telah melakukannya, maka kita dapat menyambut Hari Perhitungan dengan hati bersinar.[]
SURAH AL-TAKWIR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah ini dimulai dengan membicarakan dimensi alam semesta, lalu bergerak ke dimensi manusia, kemudian memfokuskan pada kehidupan batin. la mulai dengan alam semesta, kembali kepada manusia, dan kemudian membicarakan manifestasi terbuka dari semua hal tersembunyi dalam rangka menampakkan kita secara lahir dan batin agar kita menemukan kesatuan dalam diri kita.
إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
1. Tatkala matahari digulung,
Kawwara artinya 'menjadikan bulat, memadatkan, melipat sesuatu, menggulung'. Kurah adalah bola. Takwir adalah gerakan sesuatu yang melipat dirinya sendiri menjadi bulat.
Pengetahuan bahwa matahari bersifat eksplosif dan ekspansif jelas-jelas sudah ada pada saat diturunkannya ayat ini. Ayat ini merupakan keterangan mengenai proses berbaliknya ekspansi penciptaan. Adapun matahari, ia terus-menerus meledak. Proses serupa terjadi pada bom hidrogen, yakni, melebur atau meledak sendiri secara terus-menerus. Kalau penciptaan yang meledak sendiri itu sampai pada akhirnya, maka matahari benar-benar akan melipat dirinya sendiri.
وَإِذَا النُّجُومُ انكَدَرَتْ
2. Dan tatkala bintang-bintang menjadi gelap,
Inkadarat berasal dari akar kata kerja kadura, yang berarti 'berlumpur, berawan, keruh, kehitam-hitaman'. Menurut beberapa sumber, inkadara artinya 'menembak jatuh atau menukik ke bawah'. Manusia bersifat ekspansif: ia merefleksikan keekspansifan seluruh alam semesta. Sebagai buku pedoman kehidupan, Alquran memperhatikan peran dan keadaan manusia dalam penciptaan. Realitas batin Nabi Muhammad menggetar dalam kata-kata sebagai wahyu untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, jika Alquran tidak digunakan sebagai buku pedoman hidup, sebagai sesuatu yang dapat kita pahami dalam keadaan kita sekarang atau dalam keadaan lainnya di mana kita mungkin berada, berarti kita belum menggali dan menjadikannya berguna bagi kita. Kita harus menggemakan realitas Qurani dalam kehidupan sehari-hari kita dan kita harus mengambil manfaat darinya sebanyak mungkin. Pada se-tiap tahap kehidupan, Alquran mampu menghilangkan noda yang telah menutupi sumber pengetahuan dalam diri kita. Sumber pengetahuan itu berada dalam diri kita, dan kegunaan Alquran adalah untuk membawa kita ke dalam penyadaran.
Secara naluriah manusia tidak menyukai kegagalan sebab ia merefleksikan ekspansi alam semesta. Kita mencintai Sifat-sifat Allah, dan Sifat Allah dalam penciptaan adalah ekspansif. Tak seorang pun di antara kita ingin rugi; kita hanya ingin berhasil, dan makna keberhasilan zaman sekarang adalah ekspansi. Namun, kadang-kadang keberhasilan terletak pada penyusutan. Ketika bentuk lahiriah manusia menyusut, aspek batinnya kemungkinan meluas. Kehidupan dan realitas manusia berlanjut sehingga ia tidak memperhatikan kematian pribadinya sendiri. Karena yang hakiki hidup selamanya, maka, mengapa ia harus takut? Yang ia butuhkan hanyalah sikap yang lurus.
Ayat ini berkenaan dengan jatuhnya bintang-bintang. Bintang-bintang disatukan oleh kekuatan sentrifugal, elektromagnetis, dan gravitasi, dan mereka membentuk satu entitas sempurna yang berada dalam keadaan ekspansif. Bila kekuatan ekspansif ini diintervensi—disebabkan oleh munculnya suatu fase tertentu dalam proses jalannya penciptaan secara keseluruhan—maka mereka akan jatuh. Setiap yang diciptakan mesti berakhir pada waktunya, apa pun itu. Surah ini memberikan suatu gambaran tentang bagaimana babak akhir ini akan terjadi pada skala kosmik, mulai dengan yang paling ekspansif dan menyeluruh kemudian menyusut ke skala individu.
Kita juga dapat melihat makna dari dua ayat ini dari sudut pandang mikrokosmik. Sejauh mengenai individu, maka matahari adalah rohnya, dan najm (bintang) adalah nafs (diri)-nya. Ketika matahari, atau roh, berhenti memberikan makanan kepada nafs, yakni bintang, maka bintang kemudian menyusut atau melipat dirinya. Nafs akan menyerah karena pada saat itu ia akan dipadamkan, ditutupi dan dilenyapkan.
وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ
3. Dan tatkala gunung-gunung digerakkan,
Suyyirat adalah kata kerja pasif sayyara, yang berarti 'menggerakkan, menghidupkan, mengedarkan'. Sayyarah artinya 'kendaraan'. Ketika gunung-gunung mulai bergerak, mereka tidak akan bergerak dengan satu sentakan, tapi bergerak dalam gerakan yang terus-menerus. Bagaimana mungkin gunung bergerak dengan cara ini, kalau proses pembentukkan dan peluncuran bumi tidak berhenti? Karena kita sedang mengitari angkasa dengan kecepatan ribuan mil per jam, ketika saat akhirnya tiba dan bumi tercengkam lalu berhenti mendadak, gunung-gunung pun, niscaya, akan tercerabut dari tempatnya dan hancur. Untuk merasakan proses ini coba saja kita berhenti mendadak dalam kendaraan yang sedang bergerak. Pencabutan ini merupakan satu aspek dari babak akhir drama keci! kita di atas planet yang mungil ini.
وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ
4. Dan tatkala unta-unta hamil ditinggalkan,
Gunung-gunung yang terlepas dan binatang-binatang yang dibiarkan tidak terpelihara adalah kejadian yang luar biasa. Semua kesan ini melukiskan suatu keadaan berlawanan yang menyatu seketika itu juga. 'Isyâr adalah seekor unta yang hamil sepuluh bulan. Bagi bangsa Arab gurun pasir pada waktu itu, unta melambangkan harta yang paling diinginkan. Jika unta-unta tak dipelihara, itu berarti bahwa irama yang nonnal dari berbagai peristiwa yang biasanya menyatukan kehidupan padang pasir tidak lagi berjalan. Akar kata 'uththilat artinya 'mengabaikan, meninggalkan tanpa peduli, memutuskan, menghentikan'. 'Uthlah berarti 'liburan atau tidak bekerja', yakni, istirahat dari rutinitas normai seseorang. Ketika proses-proses penciptaan yang alamiah terganggu, maka akan teqadi kemacetan total dalam proses kehidupan. Ketika dunia sam-pai pada akhirnya, maka tidak ada orang waras yang akan merawat unta!
وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ
5. Dan tatkala binatang-binatang buas dikumpulkan,
Semua margasatwa akan berkerumun saling mendekat. Hasyara artinya 'berkerumun, berhimpun, berkumpul'. Lagi-lagi ini mencerminkan sifat dasar penciptaan. Segala sesuatu pada dasamya bersifat ekspansif. Meskipun semua margasatwa cenderung bergerak bersama-sama dalam beberapa kawanan atau kelompok, namun binatang-binatang tidak berkumpul terlalu rapat; mereka mempertahankan individualitasnya, mempertahankan jaraknya masing-masing . Pada hari ketika semua sistem kehidupan sampai pada ujungnya, mereka akan bergerak dengan cara yang berlawanan dengan sifat dasarnya. Rasa takut menyebabkan mereka tidak berpencar tapi berkumpul bersama, karena tidak akan ada tempat bagi mereka untuk melarikan diri mencari keselamatan.
وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ
6. Dan tatkala lautan dipanaskan,
Sajjara, akar dari sujjirat, berarti 'bergelombang, meluap', dan bentuk pertamanya, sajara, berarti 'menyalakan, membakar, mendidihkan'. Seringkali bila sesuatu berakhir, secara sepintas kita melihat seperti apa permulaannya. Dengan kata lain, ayat ini mungkin berarti bahwa api akan benar-benar keluar dari tanah pada akhir penciptaan persis seperti ketika bumi pertama kali diciptakan. Ketika itu bumi mulai sebagai sebuah bola api yang kemudian mendingin begitu proses penciptaan dibentangkan.
Kiasan 'lautan memanas' mungkin menunjuk kepada gunung-gunung berapi yang meletus dari lautan, atau bahkan kepada neraka yang membara di lautan akibat tumpahan minyak yang terbakar besar-besaran. Apa pun makna persisnya, perujukkan kepada lautan yang bernyala menunjukkan bahwa hal yang biasa digantikan oleh hal yang luar biasa.
Air melambangkan kesejukan dan ketenangan, tapi di sini kita diberitahukan bahwa akan tiba suatu saat di mana bagian bumi yang berair akan mendidih. Hal-hal yang kita anggap semestinya berbeda dan terpisah dihubungkan dengan kebalikan-kebalikannya. Semua kejadian ini merupakan peristiwa yang berlangsung pada saat proses kehidupan yang terus berkembang berhenti.
وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ
7. Dan tatkala roh-roh dipertemukan,
Nafs di sini artinya roh. Zuwwijat (bersatu) berasal dari akar kata zawwaja, yang artinya 'berpasangan, bergandengan, bersatu'. Ayat ini bisa berarti bahwa roh akan dipersatukan dengan roh pasangan atau kawannya ketika di dunia atau dengan roh yang dikenalnya, atau bahwa roh itu akan dipasangkan dengan masa lalu duniawinya. Di alam kosmos, perpasangan terjadi secara konstan di mana hal-hal yang berlawanan bertemu. Manusia terdiri dari dua aspek: aspek jasmaniah yang merupakan bagian dari apa yang dinamakan 'aku' dan aspek yang tak dapat dilihat yang disebut rohaniah. Kita bisa membayangkan eksistensi roh dengan bertanya, 'Di mana aku berada saat tertidur lelap? Di mana aku berada ketika mimpi?' Kita mengatakan, 'Aku bermimpi mendaki lereng gunung yang curam,' tapi kenyataannya tubuh kita tidak bergerak. Dengan kata lain, roh adalah aspek lain dari manusia yang memiliki pengalamannya sendiri. Memahami penyatuan dari dua hal yang berlawanan ini—jasmani dan rohani—adalah satu cara untuk memahami makna ayat ini.
Cara lain untuk memahaminya adalah bahwa kita tidak berada dalam keadaan penyatuan karena bermacam-macam keadaan yang muncul dari nafs kita. Berbagai harapan, keinginan dan kebutuhan kita harus dipenuhi jika kita ingin ternetralisir dan mengalami penyatuan. Itulah sebabnya kebanyakan kita dapat direhabilitasi melalui penyatuan 'perkawinan'. Perkawinan merupakan sarana pemenuhan, terutama bila kedua belah pihak saling respek, dan menyadari bahwa manusia datang ke dunia ini sendirian dan akan pergi dari dunia sendirian pula. Jika mereka saling membantu untuk mencapai pemenuhan diri selama persinggahan di dunia ini, mereka akan mencapai sesuatu.
Dengan demikian, ada dua cara yang mungkin untuk memahami ayat ini. Ketika nafs seseorang hancur, ia menyatu dengan lawannya. Segala sesuatu dalam kehidupan berada pada tingkat dualitas; ada baik dan ada juga buruk. Segala sesuatu yang dapat dibayangkan, disentuh, dirasakan atau sedikit banyaknya diamati, muncul dengan salah satu dari dualitas itu. Namun kita semua sedang mencari Yang Satu, karena kita takkan pemah dapat terpuaskan oleh dualitas.
Implikasi dari ayat ini adalah bahwa dualitas akan berakhir. Dalam kehidupan ini, dualitas akan berakhir bila manusia mencapai kebebasan diri yang sempurna, dan bila sudah tidak ada yang dapat memenuhinya karena ia sudah terpenuhi. Hal ini juga akan terjadi ketika manusia memahami sifat realitas yang sejati pada saat mati. Dalam realitasnya yang ada hanyalah Tuhan, yang ada sebelumnya hanyalah Tuhan, dan yang akan ada hanyalah Tuhan. Pengetahuan ini datang melalui batin—realisasi pengalaman—dan tidak perlu dipelajari.
Jika seseorang ingin mencapai esensi Alquran, maka yang dapat ia lakukan hanyalah persiapan untuk menanggalkan segala sesuatu—dan itu berarti mati. Ia harus berada dalam keadaan fana. Ia harus mendekatinya dengan hati yang bersih, tanpa ada asumsi atau prasangka apa pun. Jika tidak, ia tetap terperangkap dalam penderitaan dualitas dan dunia kearifan yang, paling banter, hanya bersifat lahiriah dan eksistensial belaka. Sebaliknya, ia hanya akan berinteraksi dengan kulitnya—ajaran lahiriah— ketimbang berubah dengan mendengarkan kebenaran. Pencari yang tulus akan mendengar Alquran seakan langsung dari bibir Nabi. Pencari yang tersadarkan mendengar Alquran seakan digemakan dari luar waktu oleh Allah.
Ketika seseorang memahami Alquran, berarti ia menemukan keluasannya. Namun, esensi manusia itu sendiri adalah luas. Pemahaman tergantung pada seberapa kuat dan lurusnya hati seseorang. Alquran mengatakan, "Bacalah apa yang mudah dari Alquran" (Q.S.73:20). Membaca apa? Apa maksudnya? Kita membaca apa yang sudah ditulis, apa yang ditulis pada kita. Pernyataan ini dibuat untuk mempertajam pandangan kita, untuk membuka apa yang sudah ada dalam diri kita.
Dalam ayat ini kita membaca, 'Dan tatkala roh-roh dipertemukan', artinya pada saat kita dipertemukan Dengan lawan kita atau pada saat kita dinetralisir. Sekarang ini hasrat kita tidak pernah terpuaskan. Kita selalu mengidamkan sesuatu, terus beralih dari satu aspek dualitas ke aspek dualitas lainnya dengan mengubah keadaan luar kita. Namun, kecenderungan ini akhirnya tidak akan berguna sebab yang mesti berubah adalah diri kita sendiri.
Kita hidup dalam dualitas, karena itu kita berusaha menetralisir. Bagaimana kita menetralisir? Kita menetralisir nafs kita dalam keheningan, secara sungguh-sungguh dan positif. Dalam keheningan itu kita memiliki pengetahuan langsung tentang makna Hajar Aswad (Batu Hitam) yang terpasang di sudut Ka'bah di Mekkah.
Tidak banyak kaum muslim yang mengetahui makna Hajar Aswad, meskipun mereka melakukan tbawaf (lari-lari kecil mengitari Ka'bah) dan menciumnya pada waktu ibadah haji setiap tahun. Hitam mengandung semua warna—ia melambangkan kematian, dari mana muncul kehidupan. Kehidupan tidak dapat dipahami kecuali jika kita siap mati. Makna jihad (secara harfiah, upaya keras, dan perang membela diri melawan kaum kafir) tidak hanya tentang darah dan kematian fisik; ia adalah kesiapan untuk mempertahankan kehidupan tanpa kenal takut, kehidupan rohani. Nabi tidak menginginkan perang dan kematian yang diakibatkannya. Beliau menggunakan nalar untuk menghindarinya. Ia tak gentar untuk bersikap rasional, karena ia menggunakan akalnya dan telah menyimpang dari warisan politeisme sukunya.
Hasan ibn Ali menggunakan nalar ketika ia melepaskan khilafah. Imam Hasan memiliki ribuan prajurit tapi ia tahu bahwa mereka tak mungkin mampu bertahan dan gigih. Oleh karena itu ia beranggapan tidaklah bijaksana menggidng mereka ke dalam peperangan sementara mereka tidak akan mampu bertahan, karena mereka tidak memiliki keyakinain yang dalam.
Kejahilan terjadi bila kita tidak mensyukuri penciptaan. Kejahilan ada dalam substansi manusia, karena segala sesuatu mengandung kebalikannya. Bagian dari manusia yang ingin hidup juga mengandung kehancurannya yang terakhir. Kita semua akan mati dan akan melihat indahnya kesempurnaan dalam kenyataan ini. Meskipun kita mungkin masih menggemakan rasa cinta terhadap al-Baqi (Yang Abadi), namun kesempurnaan kehidupan dan kematian manusia terletak dalam pengetahuan bahwa hidup dan mati hanyalah suatu siklus yang melahirkan kesadaran.
Kita akan mengetahui siapa kita sebenarnya kala kita sampai pada keadaan penyatuan yang sejati. Kita memahami mengapa kita semua—dalam realitasnya—mencari tauhid. Pengalaman pertama kita adalah pengalaman keterpisahan, dengan jalan mana kita dapat mengatakan bahwa esensi adalah satu. Yang ada hanyalah Keesaan, hanya Allah, tapi untuk mencapai realisasi ini kita harus berjalan melalui beberapa tahap. Tahap pertama kita meyakini keesaan. Tahap selanjutnya kita mampu mengatakan 'Aku mulai mengerti!' Namun, sepanjang ada 'Aku' kita berada dalam syirik (menyekutukan Allah dengan selain Allah). Ketika si 'Aku' tumbang, maka yang kita lihat hanyalah Aliah, hanyalah Sifat-sifat-Nya, dan itulah kedamaian terakhir yang melahirkan perbuatan. Kedamaian ini bersifat dinamis, tidak statis atau mati, juga tidak ada sandiwara dan penderitaan di dalamnya. Orang luar bisa saja melihat penderitaan, tapi sang muwahhid (pemersatu) tidak melihat penderitaan; yang dilihatnya tak lain hanyalah cinta. Pada saat itu segala sesuatu akan dapat dimengerti dan dilihat sebagai kesempurnaan. Gambaran eksistensi duniawi mungkin tidak diinginkan bila manusia sudah memahaminya, tapi itulah kesempurnaan. Mungkin saja kita tidak ingin minum obat yang pahit rasanya, tapi kesempurnaannya terletak dalam kemanjuran obat tersebut dalam mengembalikan kita ke keadaan sehat. Namun, tahap ini sangat halus dan hanya akan diungkapkan kepada teman yang paling intim.
Dengan demikian, makna dari ayat ini adalah bahwa esensi manusia adalah satu, dan hanya ada satu esensi. la mulai dengan syirik, dengan mengatakan, 'Esensiku adalah satu', dan kemudian 'Yang ada hanya esensi, tak ada yang lain di samping Allah.'
وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ
8. Dan tatkala gadis kecil yang dikubur hidup-hidup ditanya,
بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ
9. Karena dosa apakah ia dibunuh.
Orang Arab pada zaman Nabi begitu arogan dan bangga akan kegagahan lahiriahnya sehingga lahimya seorang anak perempuan selalu tidak disukai. Mereka lupa bahwa laki-laki sendiri berasal dari perempuan! Mereka kuatir kaum perempuan akan mencemarkan mereka karena dosanya. Ketika menoleh ke belakang pada kebudayaan itu, kita melihat bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang hal terburuk yang kita derita: ketakutan akan hal yang tak dikenal. Segala sesuatu yang menguras energi kita adalah ketakutan terhadap hal yang tak dikenal. Segala kecemas-an kita tertumpu pada hal yang satu itu. Jika kita bisa sungguh-sungguh mengatakan tawakkaltu 'ala Allah (Aku bertawakal kepada Allah), dan kemudian menerima kondisi kita sebagai hamba Tuhan, maka segala kecemasan kita akan lenyap.
Maw'ûdah adalah gadis muda atau bayi perempuan yang telah dikubur hidup-hidup. Wa'ada artinya 'mengubur gadis kecil hidup-hidup'. Dalam bahasa Arab kuno wa'ada juga berarti 'memancarkan suara dinding yang ambruk'. Suara dinding yang runtuh menunjukkan bahwa pembunuhan seorang bayi merupakan kejahatan yang sangat sadis. Ini menunjukkan bahwa dunia sedang menjelang akhir: kehidupan diakhiri tanpa dibolehkan untuk memenuhi hak takdirnya. Dengan kata lain, di akhir zaman, sifat sebenarnya dari segala sesuatu akan diungkapkan. Roh tidak lagi menggunakan hak duniawinya untuk memancarkan cahaya spiritual. Roh, yang memancarkan cahaya batin, dipadamkan oleh kejahatan manusia, oleh ketakutannya, pengingkarannya terhadap Tuhan (kufr), tidak percaya kepada Allah dan kemurahan-Nya. Kini roh sedang ditanya, dan bertanya kepada dirinya sendiri, ten-tang kejahatan apa yang telah dilakukannya. Dengan melakukan demikian, roh mengumumkan bahwa ia tidak melakukan kejahatan, bahwa tidak ada alasan untuk memadamkan dirinya. Kekufuran manusialah yang menyebabkan kehidupannya terputus. Gadis kecil yang dikubur yang mempertanyakan alasan atas kematiannya adalah sebuah mitsal (kiasan) tentang tidak ada kemungkinan dalam kehidupan ini atau yang akan datang untuk menindas sesuatu dan melupakannya selamanya. Kita tidak dapat mendiamkan sesuatu hanya karena ia tidak bisa bereaksi dalam dunia ini. Segala sesuatu segera akan terbuka sepenuhnya, dan roh akan dijadikan sebagai saksi.
Dari sudut pandang syariat, orang Arab tidak berhak membunuhi keturunan mereka. Menurut tradisi, dalam kultur kesukuan gurun pasir, seorang bayi perempuan dianggap sebagai suatu kekurangan karena ia tidak bisa menjadi pejuang dan hanya merupakan mulut lain yang harus diberi makan. Laki-laki bertanggung jawab atas segala tindakannya; ia tidak dapat melepaskan diri. Jika ia membunuh seseorang secara salah, maka tamatlah, tak peduli apa pun tujuan perbuatannya itu, karena ia telah membunuh simbol penciptaan secara keseluruhan.
Secara lahiriah, kita bertangguh jawab kepada syariat, dan di alam kehidupan ini, hukum lahir (syariat) berpengaruh terhadap realitas (hakikat) batin. Yang dilihat oleh sejumlah orang atau yang merupakan konsensus masyarakat—asalkan mereka tidak secara bersama-sama berhalusinasi—adalah yang dianggap sebagai benar.
Jika setiap orang menyepakati identitas si pembunuh, maka keputusan itu dianggap sah. Adapun menurut syariat, keputusan (hukum) itu menentukan perbuatan, dan perbuatan tersebut harus dianggap pembunuhan. Selanjutnya adalah urusan antara si pembunuh dengan Allah. Jika ia membunuh seseorang seperseratus persen di jalan Allah (fi sabilillah), maka sekalipun orang-orang akan menghukum dengan membunuhnya, ia akan senang. Ia akan mengatakan, "Semakin cepat aku membebaskan diri dari kaum ini dan bertemu dengan Tuhanku, semakin baik!"
Pada kehidupan yang akan datang, hakikat batin akan mempengaruhi hukum lahir (syariat); yang halus akan mempengaruhi yang kasar. Dalam kehidupan ini, seperti kita lihat, yang kasar mempengaruhi yang halus, dan kita mulai dengan yang kasar dalam rangka mencapai yang halus. Kita memulai dengan benar, dengan menerapkan hukum lahir, dengan memberi makan dan merawat diri kita secara baik. Jika kita tidak melakukannya, maka kita gila. Jika kita mengatakan bahwa kita tidak peduli dengan dunia, itu hanyalah upaya kita untuk lari dari tanggung jawab. Pada awal perjalanan kita sungguh-sungguh peduli. Kita ingin memiliki pakaian yang pantas dan makanan yang layak. Ini adalah sikap yang positif. Jika dari sejak awal kita tidak peduli dengan kebutuhan fisik, kita menunjukkan bahwa kita tidak dapat memenuhinya, bahwa kita tidak memahaminya, atau bahwa kita tidak melihat kegunaannya. Dengan bersikap seperti ini, kita sedang menolak ciptaan Allah. Oleh karena itu, bagaimana kita dapat memahami makna penolakan Realitas batin, atau menutupi Realitas (kufur) jika kita berada dalam keadaan kufur lahiriah dari sejak awal?
وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ
10. Dan tatkala catatan-catatan dibuka,
Shuhuf adalah jamak dari shahifah, yang berarti 'gulungan catatan, halaman', sesuatu yang dapat dibuat rata dan di atasnya dituliskan sesuatu. Juga berarti 'surat kabar', karena keadaannya rata. Mushaf artinya salinan Alquran. Halaman-halarnan ini menunjuk kepada halaman kabar atau pada halaman hati manusia yang di dalamnya tertulis segala niat manusia.
Tidak ada tempat untuk menyembunyikan niat-niat kita. Semakin kita menyembunyikan, akhirnya kita semakin dituntut untuk menghilangkannya agar dapat mernbebaskan diri kita. Itulah sebabnya mengapa ada yang lari ke hal-hal seperti minuman keras, obat-obat terlarang, dan berbagai obat perangsang lainnya untuk melegakan diri. Alam manusia berkenaan dengan kelegaan; karena itu, kehidupan tak lain adalah mencari kebebasan dari berbagai belenggu beban diri.
Atribut pokok manusia adalah kebebasan batin. Kebebasan batin dapat dicapai melalui disiplin lahir, tapi disiplin lahir ini harus secara ikhlas dihidupkan. Ia tidak dapat dipaksa. Karena alasan itulah maka kaum muslim harus berada di lingkungan orang yang berorientasi benar, berkawan secara patut. Orang-orang tersebut ingin mengetahui kebenaran. Jika seseorang berkawan dengan para pencuri selama empat puluh hari, meskipun dia sendiri baik dan jujur, maka akhirnya dia akan terpengaruh mereka karena dia tidak ingin tersingkir dari mereka. Insan, kata untuk 'orang, manusia', berasal dari kata kerja anisa, 'peramah, bersahabat, suka bergaul, bersosialisasi'. Uns, dari akar kata yang sama artinya 'kekariban, keakraban'. Manusia ingin berhubungan; ia adalah muwahhid (pemersatu), dan mencari kesatuan (tauhid) baik ia menyadarinya atau tidak.
Dalam realitasnya tidak ada lahir maupun batin, hanya Allah yang memanifestasikan Diri-Nya sebagai lahir maupun batin. Pada waktu itu, kita bingung karena kita hidup dalam dualitas dan melihat berbagai hal hanya dari perspektif tersebut. Ali ibn Abi Thalib berkata, "Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan." Sebaik-baiknya tempat adalah yang di pertengahan. Kebanyakan orang tidak sanggup bertahan di ujung-ujung. Kaum muslim harus, menggabungkan hukum lahiriah (syariat) dengan hakikat batin, karena kita tidak bisa memiliki salah satu tanpa salah satunya lagi. Sebagian besar umat muslim di dunia ini tidak mengerti dari meronta karena tidak menggabungkan antara aspek lahir dan aspek batin dalam kehidupan sehari-hari. Kita berbicara tentang Islam, tapi kita tidak menghidupkannya, dan karena alasan inilah para pemuda kita tidak mengerti dan menolak nilai-nilai tradisional. Kita harus berada di pertengahan karena dari tempat yang strategis ini kita dapat melihat kedua ujung cakrawala. Hukum lahiriah (syariat) yang sangat banyak tanpa realitas (hakikat) batin bagaikan sebuah kapal raksasa yang bermuatan barang berat sekali tapi tanpa layar untuk menahan angin; ia berayun dan menggelepar di lautan. Syariat hadir untuk membuat perbedaan, untuk memisahkan. Urusan syariat adalah membedakan berbagai hal dan membuat kita dapat memilih dengan benar di antara berbagai alternatif yang kita hadapi dalam kehidupan. Syariat memungkinkan kita untuk membedakan antara hal yang benar dan salah. Perbedaan itu harus jelas. Syariat bersifat membeda-bedakan karena ia berbicara tentang hukum, yang berarti keadilan dan kebijakan. Keadilan berarti bahwa satu bentuk tindakan adalah benar sedangkan bentuk tindakan lainnya salah.
Dengan cara yang sama, hakikat batin tanpa hukum lahiriah (syariat) bagaikan sebuah kapal dengan layar yang tinggi tapi tanpa ada barang di dalamnya. la akan terbalik. Jika seorang muslim berkata, "aku hanya tertarik dengan urusan batin", ia berbohong. Muslim sejati adalah orang yang pertengahan, yang berada di ruang antara (barzakh), mata rantai perantara yang secara simultan menghubungkan urusan lahir dan batin.
وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ
11. Dan tatkala langit dibuka tutupnya
Kasyatha artinya 'menghilangkan, membuka' tutup. Pengertiannya adalah bahwa segala sesuatu yang wujud hanyalah merupakan tutup lahiriah saja. Dari sudut pandang kita, seluruh penciptaan ini diciptakan untuk kita; jika tidak, maka tidak akan ada artinya. Yang memiliki arti penting adalah manusia. Namun, eksistensi manusia hanya berarti jika ia memenuhi tujuannya, yakni untuk mengenal penyebab keberadaannya. Seluruh penciptaan berasal dari Allah, dan melalui penciptaan ini diharapkan agar manusia mengenal Allah. Lelangit yang nampak jelas dan terus-menerus meledak dan mengembang, menurut pandangan Sang Pencipta, hanyalah merupakan fantasi: dalam perhitungan-Nya, milyaran bimasakti semuanya tidak setara dengan sebutir pasir sekalipun. Ketika tutup langit dibukakan, maka kita akan melihat ketidakberartiannya. Lelangit hanyalah kulit, permukaan, penampakkan, yang akhirnya akan terkelupas.
وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ
12. Dan tatkala api neraka dinyalakan,
Segala sesuatu yang ada asalnya diciptakan dari satu massa padat lalu memuai karena panas. Dari massa padat yang memuai itu kemudian muncullah semua bintang dan planet dan seluruh penciptaan dalam jangka waktu milyaran tahun. Permulaan yang padat itu sama dengan kekuatan absolut (qudrah). Massa tersebut tidak bisa benar-benar disebut padat karena ia melampaui kepadatan dan karena orang bisa membayangkan bahwa Allah Sendiri adalah padat; semoga Allah melindungi kita dari pandangan seperti itu. Hal itu adalah masalah kekuasaan yang bersifat total dan mutlak, tidak bersangkutan dengan hal lain.
Ayat ini mendeskripsikan suatu situasi baru yang tidak dapat dicapai oleh pemahaman sadar kita karena pemahaman sadar tidak dapat memahami Kekuatan Absolut. Kekuatan besar dapat dipahami, tapi Kekuatan Absolut tidak dapat dipahami. Ada hubungan intermediasi, suatu ruang antara (barzakh), antara kekuatan absolut dan kekuatan yang sangat tinggi. Suhu nol absolut tidak dapat dimasuki karena kalau bisa maka semua hukum termodinamika akan terganggu. Yang dapat kita lakukan hanyalah mendekatinya, dan, mulai dari titik terbatas itu seterusnya, kita bisa mendapatkan pemahaman atau pengalaman yang subyektif tentang suhu nol absolut.
Sama halnya, kita hanya dapat mendekati pengetahuan tentang Realitas, di luar itu maka pengetahuan tentang realitas yang kita peroleh ‘bukanlah hasil ketekunan dan upaya keras kita, tapi merupakan suatu pemberian dari Yang Maha Pemurah, Pemberi Yang Maha Pengasih kepada hamba-hambanya'. Upaya keras diperlukan sampai suatu titik yang bila dilewati maka akan menjadi kontra-produktif.
Pengetahuan ini pun dipancarkan kembali oleh orang-orang yang mengikuti langkah seorang manusia sempuma dan rnereka meneladaninya semampu mereka secara lahiriah. Kedekatan ini dapat juga dicapai oleh mereka yang memikul tanggung jawab sebagai shalihun (orang-orang yang mengatur segala sesuatu dengan benar melalui perbuatannya), yang menempatkan diri mereka dalam sepatu kaum shalihun, dan yang melakukan ishlah (penegakkan kedamaian, kebahagiaan dan ketertiban). Mereka mengamalkannya semampu mereka dan hidup seolah-olah Nabi senantiasa hadir beserta mereka. Mereka berada dalam stasiun kemuliaan (maqam al-ihsan). Mereka hidup Dengan kesadaran bahwa mereka terus-menerus diawasi: mereka tidak melihat Allah, tapi mereka mengetahui bahwa Allah melihat mereka.
Stasiun kemuliaan sebagian besar dapat dicapai seseorang melalui upayanya sendiri. Keadaan di luar stasiun ini adalah 'pemberian dari Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih' dan kalau tidak tercapai dalam kehidupan ini tentu akan datang pada saat kematian. Kita dapat dan mesti berbuat yang terbaik. Setelah itu kita akan menjadi seperti saluran yang terbuka, dan kita akan selaras dengan makna Islam yang sebenarnya, yakni makna batin dari ketundukkan. Kita akan benar-benar memerankan takdir kita, dan tidak akan ada lagi pertentangan antara diri kita dengan ketetapan Allah. Sepanjang memungkinkan secara manusiawi, kita harus berada dalam ketundukkan yang sempurna karena keadaan tersebut adalah satu-satunya keadaan di mana kita dapat mengalami Keadaan Yang Sempurna. Jika kita tidak berada dalam kepasrahan batin yang sempurna, maka hal lain apa pun yang kita bicarakan akan menjadi religiusitas semata.
وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ
13. Dan tatkala taman surga didekatkan,
Orang yang mencintai Allah telah mempunyai kunci untuk menuju surga (jannah) dalam hati mereka. Mereka mencintai kehidupan akhirat karena di sana hanya ada kebenaran yang akan mereka terima. Sebenamya, taman tersebut sekarang pun ada bagi kita. Alquran jelas mengenai hal ini; Alquran tidak mengatakan bahwa surga hanya akan ada nanti, setelah kematian, karena ia mendeskripsikan penghuni surga sebagai mereka yang berkata, "Kami ingat semua ini! Ini mirip dengan yang pemah kami alami!". Dengan demikian, kita punya akses ke kondisi itu di sini dan saat ini dengan cara menghindari apa-apa yang membawa kita ke keadaan sebaliknya. Ini merupakan cara satu-satunya, tidak ada cara lain.
Warisan kita, yang sedang kita semua cari, adalah surga. Kita semua mendambakan surga, suasana yang diberikan surga kepada kita, kesentosaan, keberlirnpahan, perlindungan, keamanan dan kenikmatan dari semua hal baik dalam kehidupan. Surga yang teriihat secara fisik di atas bumi ini membantu kita memasuki suasana hati yang tenang, pemurah dan suka menolong. Taman Kebahagiaan adalah warisan kita yang nyata dan alami, dan akan ditemukan dengan cara mengikuti hati kita. Kita harus jujur tentang hati kita dan mengetahui isinya. Tak ada yang lebih dekat kepada kita selain kebenaran, dan esensi kita adalah kebenaran. Esensi kita bukanlah kehidupan ataupun kematian, melainkan sumber keduanya, yakni Sang Pencipta.
Ayat ini berkenaan dengan awal penyerahan diri. Sebenarnya, yang ada hanyalah surga dan Alquran mengatakan bahwa luasnya surga adalah seluas langit dan bumi. Lantas, mengapa kita menderita di sini? Tak pelak lagi, kita sengsara di dunia ini karena kita tidak mau menerima stasiun penyerahan diri. Kita hanya dapat menerima apa yang mau kita teriina. Bila kita kemudian mau menerima Keabadian Hidup, maka takkan ada hal lain yang akan kita terima, dan kita akan benar-benar hidup dari waktu ke waktu. Ketika akhir zaman mendekat, sudah pasti kita akan merasa lebih mudah untuk menjalani penyerahan diri seutuhnya.
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ
14. Tiap-tiap jiwa akan tahu apa yang telah ia bawa.
Kita mungkin tidak bisa menyaksikan akhir zaman dalam kita hidup, tapi sepanjang menyangkut kita, ketika saat akhir kita tiba, maka saat akhir kita adalah akhir dari kosmos. Kita tidak peduli dengan banyak atau sedikitnya bintang di atas sana. Manusia yang berakal mengerti bahwa ia memahami penciptaan menurut interpretasinya sendiri: ia adalah pusat penciptaan. Dari sudut pandang yang rasional, ia juga mengetahui bahwa akhir ini tidak berarti akhir dari kosmos secara keseluruhan. Tapi itu tetap merupakan akhir dari kosmosnya, akhir dari apa yang ia jalani.
Bila kita ingat bahwa akhir zaman bisa datang setiap saat dan bahwa kita tergantung di udara (satu kata yang sekaitan dengan nafs [diri] adalah nafas [napas]) maka kita akan menjadi lebih manusiawi. Nabi berkata, "Manusia sedang dalam keadaan tidur; ketika mereka mati maka barulah bangun." Pencari sejati mencari kematian dikala sedang bangun—kesunyian batin total. Semua praktik para wali Allah dari zaman dahulu menggiring manusia, si pencari, ke kematian batin selagi masih hidup. Jika, selagi masih sadar, paham dan gemerlap dengan kehidupan, kita dapat memasuki keadaan penyerahan diri, maka kita akan mengerti apa itu kematian batin. Jika kita tidak dapat mencapai keadaan ini, maka kita akan tetap berada dalam kebingungan sa'i, yakni, lari kesana-kemari, seperti disimbolkan dengan lari antara Safa dan Marwah, suatu ritus haji yang dilaksanakan di Mekah. Pada hakikatnya tidak ada yang salah dengan gerakan kesana-kemari ini karena kita dibuat seperti itu; manusia dilahirkan dalam kabad (kesukaran, penderitaan). Jika ia menyadari realitas ini, maka kabad tersebut akan menjadi seperti sebuah permainan, dan akan sangat bermanfaat. Kata kabd, dari akar kata yang sama, artinya 'hati', yakni organ manusia paling penting yang merupakan pembersih darah. Hati memeriksa setiap potensi kesukaran yang bisa dialami oleh tubuh akibat penambahan toksin.
Ketika seseorang tertimpa suatu bencana, hendaklah ia mengucapkan al-hamdu lillah (segala puji bagi Allah). Orang semacam itu sudah berada dalam taman: ia sedang tertawa sebagaimana orang yang berpengetahuan. Manusia hanya memenuhi syarat untuk tertawa setelah ia menangis; ia hanya memenuhi syarat untuk hidup setelah ia mati. Sebelum ia dilahirkan, ia mati, dan yang dinamakan 'aku' tidak memiliki kehidupan. Manusia berasal dari kematian; maka, agar supaya mengetahui esensi dirinya, ia harus mati pancaindera dan mengungkapkan makna dari seluruh pengalaman penciptaan yang memancar dari kesunyian (kematian) tersebut.
Belakangan ini, berbagai kajian dilakukan mengenai orang-orang mati yang kemudian bangkit lagi. Konon, saat menjelang mati, mereka dapat melihat seluruh kehidupan mereka secara cepat. Segala sesuatu yang pemah mereka lakukan dengan serta-merta muncul di hadapan mereka. Ketika memasuki gerbang kematian, kita membawa serta apa yang telah diperoleh dalam kehidupan ini oleh entitas yang disebut nafs (diri). Segala sesuatu selalu sesuai Dengan keadaan akhirnya, itulah sebabnya mengapa Alquran selalu membicarakan alam akhirat. Karena alasan itu pulalah maka kita ingin mendidik para pemuda kita untuk melakukan hal-hal yang memberikan dampak postitif di alam akhirat. Dari segi material, kita ingin mereka berinvestasi dalam sesuatu yang menguntungkan. Dari segi hubungan, kita menasihatkan mereka agar menjaga persahabatan dengan orang-orang yang bersikap baik kepada mereka, dan sebaliknya. Dengan kata lain, mereka hendaknya berinvestasi pada sesuatu yang berguna.
Kita semua merindukan hari akhir karena kita menginginkan kehidupan yang lebih baik pada hari akhir, dan demi kehidupan yang lebih baik ini kita siap untuk bersabar menghadapi segala ketidaksenangan. Alquran mengatakan bahwa setiap diri tahu apa yang dibawanya dalam kematian karena kita sendiri tahu apa yang kita bawa yang ada di dalam hati dan jiwa kita. Bahkan sekarang pun kita sedang mempersiapkan diri untuk menyongsong hari akhir.
Hanya bila kematian menimpa nafs-lah maka 'setiap diri akan tahu apa yang telah dibawanya'. Jika matahari, sang 'aku', dipadamkan, dan kita dibinasakan (fano), maka kita akan benar-benar tahu ketiadaapa-apaan kita sekarang. Kita akan tahu bahwa apa pun yang kita perbuat adalah berasal dari kebodohan kita, dan bahwa, yang paling baik adalah, kita telah berperilaku sebagai manusia yang sopan dan berhati-hati. Begitu kita melepaskan kekuasaan untuk bertindak barulah kita memenuhi syarat untuk melakukan tindakan itu.
فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ
15. Tapi tidak! Aku bersumpah demi bintang.
الْجَوَارِ الْكُنَّسِ
16. Yang beredar dan terbenam.
Surah ini sekarang memasuki fase lain. Uqsimu artinya 'Aku bersumpah demi (sesuatu)'. La di sini sebenarnya artikel negatif yang menekankan dan, secara positif, menegaskan kata yang mengikutinya. Yang ditegaskan di sini adalah bukti tentang khunnas (bintang secara umum). Para pakar Alquran juga mengartikan khunnas sebagai lima planet yang paling dekat ke bumi. Jawar adalah jamak dari jariyah, artinya 'kapal, bahtera', dan dahulu diartikan 'berjalan, mengalir', akar kata kerjanya adalah jara, yang berarti 'mengalir, lari, terjadi', dan di sini berarti bintang-bintang yang mengitari orbitnya.
Kunnas adalah nama yang diberikan kepada bintang-bintang, khususnya kepada planet-planet yang kadang-kadang menyembunyikan diri dalam sinar matahari, karena mereka begitu dekat ke matahari. Akar kata kerja kunnas adalah kanasa (bersembunyi menunggu). Hubungan antara khunnas dan kunnas terjadi karena semua planet bergerak mundur dan langsung. Maksudnya di sini adalah bahwa bintang-bintang atau planet-planet ini tersembunyi dalam kegelapan. Planet yang paling dekat kepada kita kebanyakan tidak terlihat tapi mereka ada di sana (di tempatnya). Ayat ini secara tidak langsung menyuruh kita untuk berpandangan terbuka dan sedikit lebih imajinatif; karena kita dapat melihat planet-planet ini sewaktu-waktu, maka berarti kita tahu bahwa mereka ada di tempatnya pada saat kita tidak dapat melihatnya. Dengan demikian mereka dalam keadaan gaib (tidak terlihat).
وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ
17. Dan malam tatkala ia mengelam.
وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ
18. Dan pagi tatkala ia bersinar.
Kemudian ketika malam tiba, dengan kegelapan dan kesunyiannya yang sangat, kita tidak dapat melihat apa pun. Malam menunjukkan kesunyian dan pengeraman, kegelapan dan hibernasi (tidur panjang). Kemudian dikatakan, 'Dan tatkala pagi bersinar’, karena setelah hibernasi kita mulai 'memasukkan' (kehidupan—peny.) dengan cara menarik napas. Yang dimaksud di sini adalah siklus yang dimulai dari keheningan yang sepi ke kehidupan dan aktivitas. Penjajaran dua ayat ini menunjukkan dualitas eksistensi: kelembaman (inersia) dan gerakan.
Untuk mencapai makna batin dari ayat ini kita juga bisa membandingkan dengan keterangan terdahulu mengenai matahari dan bintang yang menyatakan, "Tapi tidak! Aku bersumpah demi bintang'. Keterangan ini berkenaan dengan beberapa aspek dalam diri kita, yakni gemintang dalam diri kita, yang tiba-tiba muncul setelah tersembunyi. Kilauan dalam diri kita, kemurahan hati, belas kasih, dan sifat sepi ing pamrih yang tidak terlihat sebelumnya, tiba-tiba muncul, bagaikan gemintang yang menyala terbakar panas matahari, yakni roh. Malam bagaikan kegelapan yang menyelimuti kita, dan siang bagaikan melepas selimut itu, sehingga kita pun dalam keadaan terang dan gembira. Alam makrokosmos, yang diterangkan dalam Alquran, terefleksi dalam alam mikrokosmos, yakni diri kita sendiri.
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
19. Sesungguhnya itu adalah sabda seorang utusan yang mulia.
ذِي قُوَّةٍ عِندَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ
20. Yang mempunyai kekuatan, yang tegak di sisi Tuhan Yang mempunyai Singgasana.
مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ
21. Seorang [yang harus] ditaati, dan dipercaya.
Yang dimaksud ayat ini adalah ucapan Rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan besar, dan kekuatan tersebut berasal dari Pemilik Kekuatan, Dia Yang dalam Kemahakuasaan-Nya kokoh berdiam di atas 'arsy (singgasana, fondasi, sanggaan). Namun kemudian Nabi tidak ditaati, dan kita bisa bertanya apakah sekarang pun beliau ditaati. Maksud ayat ini adalah bahwa apa yang diucapkan Nabi adalah kebenaran mutlak. Ia ditaati karena kebenaran, karena hakikat kebenaran itu sendiri. Ia disatukan dengan takdir, dengan ketetapan mutlak. la ditaati oleh orkestra dari seluruh eksistensi. Jika kita tidak selaras dengan orkestra ini dan hanya mendengarkan suara hiruk-pikuk batin kita sendiri, maka berarti kita tidak taat.
Pada saat surah-surah ini diturunkan, Nabi hanya mempunyai beberapa gelintir pengikut. Alquran menyatakan hal ini: 'Sejumlah besar dari golongan permulaan dan sejumlah kecil dari golongan kemudian' (Q.S.56:13-14). Alquran selalu berbicara tentang yang sejumlah kecil itu. Ia berbicara tentang kualitas bukan kuantitas. Ini adalah hukum alam. Dari sudut syar'i (hukum lahiriah), dari sudut penciptaan, inilah kebenaran.
وَمَا صَاحِبُكُم بِمَجْنُونٍ
22. Dan kawan kamu tidaklah gila.
Ma bi-majnun artinya, 'Ia tidak kesurupan. Pikirannya tidak tertutupi'. Allah berfirman, "Itu tiada lain hanyalah peringatan dan bacaan yang terang' (Q.S.36:69). Tidak ada aspek intelek Nabi yang tersembunyi. Majnun (dari janna, menutupi, menyelubungi, menyembunyikan) dalam bahasa Arab berarti 'orang gila', tapi alasan diartikan 'orang gila' adalah karena berkenaan dengan seseorang yang inteleknya disembunyikan, dimana kualitas yang membedakannya tidak dikembangkan tapi ditutupi dan diselubungi dan tidak mengungkapkan diri secara lahiriah dalam bentuk laql (rasionalitas, intelek). Majnun juga berarti orang yang dirasuki, karena korban yang kerasukan (kesurupan) menunjukkan gejala-gejala yang sama dengan orang gila (etimologi dari jinn, entitas yang tidak dapat dilihat, roh); jadi majnun adalah seseorang yang dirasuki oleh jin.
Ayat ini meyakinkan kita bahwa Nabi tidaklah gila. Kita butuh penegasan kembali karena kita telah menanamkan hal ini dalam sistem pemahaman kita, dan bila ada orang mengatakan kepada kita bahwa kita tidak memiliki apa pun, bahwa kita tidak ada apa-apanya, bahwa kita tidak berasal dari mana pun dan akan kembali entah ke mana, dan bahwa kita harus melepaskan segala sesuatu, maka tentu saja kita akan menyatakan orang ini tidak waras.
وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ
23. Dan sesungguhnya, ia melihat dirinya ada di cakrawala yang terang.
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
24. Dan ia tidak kikir terhadap yang gaib.
Makna lahir dari ayat 23 adalah berkenaan dengan Nabi melihat malaikat Jibril di Gunung Hira. Nabi melihat kebenaran, melihat pesan yang datang kepadanya, bagaikan cakrawala yang mendatangi manusia dari kejauhan, dari sisi lain hatinya, sebagaimana dilukiskan dalam surah Ya Sin: "Dan dari bagian kota yang jauh, datanglah seorang pria (yakni, nabi) sambil berlari" (Q.S.36:20). Ini karena jika kebenaran telah dekat, maka kebenaran itu juga akan jelas sejak permulaan. Implikasinya adalah bahwa ketika pesan datang, maka ia pasti datang dari jauh sekali. Kerahiman Tuhan menunjukkan Jibril kepada Nabi dalam bentuk yang dapat dilihat sehingga ia tidak akan dibingungkan dengan 'suara batin' dan 'penglihatan batin', yang dapat membawa kepada berbagai ekses dan keniskalaan. Nabi selalu mendapat tanda-tanda lahir yang langsung—dalam bentuk seorang laki-laki, Jibril—yang muncul kepadanya, karena ia berada dalam keadaan kesatuan (tauhid).
وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ
25. Dan itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk.
فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ
26. Lalu kemanakah kamu akan pergi?
Kata syaithan (setan) berasal dari kata kerja syathana, yang berarti 'keras kepala, suka menentang, berbelok jalan, menjauh'. Rajim artinya 'dilempari batu, dihujani batu, diusir dengan lemparan batu', dan 'celaka, terkutuk'. Kemudian ayat ini menanyakan, 'Kemanakah kamu akan pergi?' Karena berasal dari kandungan dan berangkat menuju kuburan, maka kita tercegat dalam interval waktu antara kandungan dan kuburan ini. Kita hanyalah seutas benang yang bergetar di antara awal dan akhir tersebut; tiada tempat untuk dituju selain mengakui adanya Allah di balik semua wujud.
Inilah makna penyerahan—makna Islam—yakni berserah diri kepada realitas yang ada dalam hati kita. Kita hanya bisa berusaha semampu kita, sedia setiap saat, setiap detik, dan siap menaburi wajah kita dengan debu tanah yang merupakan asal kita dan ke situ pula kita akan kembali.
Andaikan kita mencapai keadaan berserah diri, maka kita akan semakin merasakan nikmatnya nyanyian Alquran, dan semuanya akan lebih jelas kepada kita. Namun, kita dapat menyentuh [kedalaman] Alquran hanya jika kita bersih, maksudnya bersih hati, tidak punya pamrih (pengharapan). Penderitaan dan kesengsaraan kita adalah akibat dari pamrih-pamrih kita. Kita percaya bahwa hal-hal tertentu akan terjadi, dan bila tidak, kita pun menderita lalu menyalahkan orang lain. Tak ada yang harus disalahkan selain diri kita sendiri karena kita telah menomorsatukan pamrih-pamrih itu. Jika kita datang tanpa pamrih, maka seluruh drama kehidupan akan menjadi sepenggal sandiwara yang indah. Kita menikmatinya, berbuat semampu kita, dan memainkan peran kita. Kita tidak dapat mengalami keindahan seperti itu kecuali dalam keadaan bersih, karena itu kita harus mulai membersihkan diri secara lahir maupun batin, dan lahiriah merupakan tempat yang lebih mudah untuk kita memulai.
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ
27. Itu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam.
Tujuan penciptaan adalah untuk menemukan Sang Pencipta. Pada tahap awal penyingkapan rohani kita mulai melihat makna di balik berbagai peristiwa. Latihan ingatan kita bergerak dari yang kasar ke yang halus. Bila ingatan sudah terlampaui, Realitas yang sangat agung dari kekuatan dan kehadiran Sang Pencipta akan menggeser seluruh ingatan terhadap urusan duniawi. Inilah transformasi yang dapat dihasilkan oleh ketundukkan dan peringatan Alquran bagi orang-orang yang benar, tulus, dan lurus (mustaqim, lihat ayat selanjutnya). Bersikap mustaqim menunjukkan keikhlasan dan kejujuran dan memerlukan kesabaran sena keteguhan hati.
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
28. Bagi siapa di antara kamu yang hendak berjalan di jalan yang lurus.
Mustaqim berarti 'benar, tulus, lurus', dari istaqama (bertindak jujur). Akar dari bentuk kata kerjanya adalah qâma yang berarti 'berdiri teguh atau kokoh'. Beberapa kata penting berasal dari akar kata ini seperti al-qiyâmah, yang berarti 'Kebangkitan'. Qum, juga dari akar kata yang sama, berarti 'berdiri, bersiap-siap', dan merupakan nama yang sekarang dikenal sebagai kota ulama di Iran. Kata yang sekaitan dengan qama berarti stabilitas; jika kita stabil, maka kita akan siap-siaga. Kesiap-siagaan tidak akan datang bila kepala kita berat, tumpul dan kosong, tapi lebih baik kalau kita berdiri lurus dengan kepala tegak, memiliki loyalitas, kesabaran dan kepastian. Karena alasan itulah maka ketika kita berzikir punggung kita harus lurus dan kepala kita harus tetap dalam posisi paling tegak.
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
29. Dan kamu tidak menerima apa yang Allah kehendaki, Tuhan semesta alam.
Manusia tidak dapat mengharapkan sesuatu selain dari apa yang telah dikehendaki oleh Sang Pencipta. Hukum Sang Pencipta menyatakan bahwa manusia mempunyai suatu pilihan: " Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan kepadanya; ia boleh berterimakasih atau tidak berterimakasih" (Q.S.76:3). Jika manusia dalam keadaan bersyukur maka ia puas dan bahagia, dan jika bahagia maka ia berdayaguna dan penuh energi, siap, mabuk dengan kesenangan batin. Inilah ibadat manusia bebas yang bebas karena menjadi hamba yang sejati. Kita tidak bisa memiliki satu hal tanpa hal lainnya. Akar kebebasan terletak pada penghambaan.
Tapi barangsiapa dalam keadaan kufur (menutup hati, ingkar, tidak bersyukur) maka sadar dan bertobatlah karena tidak beramal sekarang. Ia tidak menyadari bahwa setiap detik itu bertuah dan setiap tarikan napas adalah berkah. Jika kita menganggap setiap tarikan napas sebagai tarikan terakhir, maka semua utang akan dilunasi, kita akan berkelakuan dengan benar, kita tidak akan sangsi, dan kita akan bermurah hati. Kita senantiasa akan menyenangkan orang lain. Jika kita tidak punya pamrih, kita tidak akan berbicara kepada orang yang tidak ingin mendengarkan. Kita akan seperti burung yang hanya bemyanyi untuk lagunya. Burung yang bebas tidak punya pamrih; ia bemyanyi baik kita beri makan ataupun tidak karena begitulah sifatnya, misinya, realitasnya.
Rabb adalah entitas yang mengangkat setiap sistem sampai mencapai potensi penuhnya. Rabb adalah 'Tuhan'. Dia memberi kepada mahluk haknya agar tumbuh dan berkembang penuh. Ketika kita sembahyang, maka kita berserah diri kepada entitas itu, kepada daya atau kekuatan yang membesarkan siapa pun hingga potensi penuhnya, dan potensi penuh itu adalah jiwar al-Rabb (kedekatan dengan Tuhan).
Allah berfirman dalam Alquran, "Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya" (Q.S.50:l6). Lantas di mana kita? Apakah kita dalam jiwar (kedekatan, kekariban), atau apakah kita telah memisahkan diri dari-Nya? Allah ada dimana-mana; tidak ada sesuatu selain Allah. Karena hal ini adalah benar, mengapa kita tidak diliputi dan diambil-alih oleh Realitas itu? Jawabnya adalah karena kita telah mengidentifikasi diri dengan apa yang disebut 'Aku'. Alquran hadir hanya untuk mengingatkan kita bah-wa yang disebut 'Aku' hanya datang untuk mati dan bahwa kita harus menyerahkannya dengan sengaja dan masuk ke dalam kenikmatan Ketuhanan. Melalui pengagungan Tuhan (tasbih), manusia masuk ke dalam kebenaran yang meliputi semua, dan tanzih (beribadat tanpa menyekutukan dengan makhluk atau benda antropomorfis) adalah sesuatu yang murni di luar imajinasi, sama sekali tak bernoda. Manusia harus membawa dirinya ke keadaan itu dan bertahan di dalamnya, dan itulah makna dari kedekatan. Dengan menjalani kehidupan duniawi sepenuhnya menurut kaidah perilaku (syariat), jujur dengan perkataannya, maka ia akan mencapai realitas (hakikat) batin.[]
SURAH 'ABASA
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
Setiap surah diturunkan pada kesempatan tertentu dan mempunyai relevansi langsung baik dengan kejadian saat itu maupun dengan kejadian mendatang, karena firman Tuhan tidak dibatasi oleh waktu. Surah ini berkenaan dengan kejadian berikut: suatu hari ketika Nabi sedang duduk bersama para petinggi Quraisy yang menentang Islam dan tidak mau masuk Islam, beliau diganggu oleh seorang laki-laki buta. Orang buta ini, 'Abd Allah ibn Umm Maktum, berakhlak baik sekali. Setiap kali berjumpa dengan Nabi, ia selalu bertanya, "Beritahu aku apa yang telah Tuhan sampaikan kepadamu." Maka Nabi akan berusaha menerangi hatinya dan memberinya kabar baik. Namun kali ini Nabi bermuka masam dalam menanggapi gangguan tersebut, karena mungkin saat itu beliau nyaris mencapai kesepakatan dengan para pemimpin Quraisy, dan peristiwa ini akan memperkuat posisi Islam di tengah mereka dan menambah jumlah umat Islam. Surah ini turun kepada beliau saat kembali ke majelisnya setelah mengatasi gangguan (kedatangan Umm Maktum) tersebut.
عَبَسَ وَتَوَلَّى
1. Dia bermuka masam dan berpaling,
أَن جَاءَهُ الْأَعْمَى
2. Karena orang buta datang kepadanya.
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى
3. Dan apa yang kau ketahui, bahwa mungkin ia hendak menyucikan dirinya?
Ayat ketiga berkenaan dengan para pemimpin Quraisy dan orang buta. Yazzakka berasal dari kata kerja 'membersihkan (menyucikan) diri’; pembersihan harus dilakukan untuk mengerjakan salat, yang merupakan salah satu pilar Islam. Salat tidak hanya berarti sembahyang tapi juga berarti mengisi ulang dan berhubungan, dan dikerjakan lima kali sehari sampai kita terhubungkan secara permanen. Sekaitan dengan yazzakka adalah tazkiyah yang berarti pembersihan (penyucian), dan bermakna menambah atau meningkatkan kualitas sesuatu. Misalnya, kualitas air ditingkatkan dengan cara membersihkannya; kita membersihkan diri dengan cara membayar zakat.
Seluruh subjek kehidupan adalah pembersihan, dan jika ada kebersihan maka ada kedamaian. Manusia selalu berusaha semampunya untuk membersihkan pikiran dan perbuatannya. Pembersihan perbuatan sebagian orang bisa saja dilakukan dengan cara melakukan amal-amal yang paling baik, sesudah itu akan terjadi keseimbangan dan mendapat pelajaran. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan kaum Quraisy, sementara sebagian lainnya mengatakan bahwa ia berkenaan dengan orang buta karena yang dibicarakan bukan kuantitas melainkan kualitas (penyucian).
أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَى
4. Atau menjadi ingat sehingga peringatan itu berguna bagi dia?
Praktik-praktik yang dilakukan orang bertakwa merupakan upaya untuk senantiasa berada dalam keadaan ingat dan sadar. Kita mungkin bertanya, ingat akan apa? Ingat akan apa saja yang menyebabkan pemenuhan dan yang menyebabkan tiadanya pemenuhan. Kita semua menderita karena tiadanya pemenuhan yang kita sebabkan sendiri. Setiap orang, sebagai individu, menetapkan bahwa pemenuhan akan terjadi hanya jika beberapa peristiwa tertentu terjadi. Jika peristiwa-peristiwa itu tidak terjadi, maka ia akan sengsara. Karena itu setiap individu adalah penulis dari pemenuhannya sendiri, dan tak ada orang lain yang dapat menolongnya dari sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat. Maka zikir, dari kata kerja dzakara, yang berarti 'mengingat', adalah awal dari perenungan, bukan sekadar meditasi. Zikir sulit dilakukan dalam dunia modern sebab kita selalu berada dalam keadaan tergesa-gesa sehingga kita tidak dapat meluangkan waktu yang tenang untuk melihat bayangan kita dalam cermin.
Keempat ayat ini berkenaan dengan zikir yang positif. Jika zikir hanya merupakan pikiran romantis, lantas apa gunanya? Itulah sebabnya maka kita tidak perlu memikirkan hari kemarin ataupun apa yang akan terjadi esok, tapi bekerjalah hari ini sebaik-baiknya. Hari ini, saat ini, adalah milik kita. Jika energi kita dipelihara, maka setiap hari akan menjadi hari yang terbaik, karena kita akan selalu siap dan waspada. Sayangnya, kebanyakan kita tidak mampu melakukannya.
أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى
5. Adapun orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan apa-apa,
Istaghna berasal dari ghaniya, yang berarti 'kaya, bebas dari kekurangan'. Tidak ada ketidakbergantungan, tapi yang ada hanyalah Yang Tidak Bergantung. Dalam realitasnya tidak ada keterputusan total, di mana setiap orang mempengaruhi orang lainnya. Seekor lalat mempengaruhi keseluruhan kosmos, meskipun pengaruhnya hanya sejenak. Namun, di antara kita ada yang mengira bahwa kita baru saja menemukan ekologi. Hanya setelah menyebabkan punahnya puluhan spesies barulah kita menemukan ketidakseimbangan dalam ekologi alam. Jadi, tidak ada yang terbebas dari kekurangan dan kebutuhan, dan kita tidak memiliki apa pun, karena segala daya dan kehi-dupan memancar dari Allah (Yang terbebas dari segala kekurangan maupun kebutuhan—peny.).
فَأَنتَ لَهُ تَصَدَّى
6. Maka engkau memberikan perhatian kepadanya.
Meskipun di sini diterjemahkan sebagai 'memberikan perhatian', tashadda berasal dari kata kerja 'menyibukkan diri dengan seseorang, beralih kepada seseorang, menentang, melawan'. Adapun orang yang kelihatannya sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri, mereka akan menjumpai berbagai kendala dalam usahanya. Mereka akan terhambat.
وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى
7. Dan bukanlah kesalahanmu jika ia tidak menyucikan diri.
Tugas seorang rasul sejati adalah menyampaikan pesan kepada yang lain. Ia hanya dapat berusaha mencontohkan isi pesan tersebut. Keinginan untuk memberikan segala aspek yang kita sendiri menyukainya merupakan unsur penting kondisi manusia. Namun rasul tidak dapat menyucikan orang lain, dan beban dosa akibat penyangkalan orang lain pun tidak jatuh padanya. la hanya dapat memberikan jalan dan contoh.
Seperti telah kita ketahui dalam ayat tiga, kata kerja untuk 'disucikan' mempunyai dua makna pokok: 'menumbuhkan' dan 'menyucikan'. Zakat, yang berasal dari akar kata yang sama dengan yazzakka, adalah sebutan untuk 2,5% pajak yang dikenakan atas beberapa jenis harta yang didistribusikan kepada kaum miskin. Secara lahiriah zakat menyangkut pemberian. Secara batiniah zakat adalah membuang kotoran dan membersihkan diri, karena zakat menyiratkan pengakuan bahwa apa pun yang dimiliki seseorang akan mengikatnya erat-erat. Karena manusia sudah terikat oleh jasadnya dan terpaksa memilikinya, maka ia hams memberikan zakat. Zakat adalah kewajiban menurut syariat (hukum ilahi). Ia juga merupakan kewajiban secara batiniah, karena jika praktik lahir tidak sejalan dengan makna batin, maka tidak ada gunanya.
وَأَمَّا مَن جَاءَكَ يَسْعَى
8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan usaha keras,
Ayat ini berkenaan dengan orang buta yang datang kepada Nabi meminta pengetahuan. Sa'i (berlari tujuh balik antara bukit Safa dan Marwah, sebagai ritus haji) berasal dari akar kata kerja yang sama dengan yaSa dan berarti 'bergerak dengan cepat, berusaha keras'. Sa'i adalah prosesi yang kita laksanakan pada saat Haji, dan merupakan simbol dari apa yang kita—sebagai manusia berakal— kerjakan setiap hari dalam kehidupan kita. Kita sedang berjuang dengan segala upaya.
وَهُوَ يَخْشَى
9. Dan ia takut,
Siapa pun yang mendatanginya dengan tekad kuat untuk mendapat pengetahuan seperti orang buta itu maka ia akan takut terhadap hal-hal yang menyebabkan harapannya tidak terkabul. Bukan hanya tidak lepas dari rasa takut, tapi juga dari ketakutan—yang bersifat waspada— terhadap hal-hal yang merintangi kemajuan atau pengayaan ilmu pengetahuannya.
فَأَنتَ عَنْهُ تَلَهَّى
10. Dan engkau tidak memperhatikannya.
Bentuk akar kata kerja talahha adalah laha, yang di sini berarti 'tidak memperdulikan, berpaling, atau terlupakan'. Makna lain termasuk: 'menghibur diri, membuang-buang, menghabiskan waktu, menikmati, mengecap, berusaha melupakan'. Zaman sekarang malha dikenal sebagai klub malam. Namun makna awalnya adalah setiap hal yang mengalihkan perhatian. Hal yang mengalihkan seseorang dari mengejar tujuannya adalah lahw (hiburan, pengalih perhatian), bukan pembebasan batin, dan pembebasan lahir hanya berguna jika dibimbing oleh batin.
كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ
11. Tidak! Sesungguhnya itu adalah peringatan.
Bila kata kalla (sesungguhnya tidak) muncul dalam Alquran, maka ia digunakan untuk mempertegas persoalan. Peringatan seperti ini jangkauannya luas melampaui waktu. Dengan kilas-balik ke masa lampau, dapatkah kita mengingat kembali suatu kejadian di mana kita mempunyai niat yang jelas dan bergerak melaksanakan niat tersebut? Andaikata tidak bisa, dapatkah kita mengakui bahwa kita dulu hidup tenang? Sebaiknya anggaplah tahun-tahun itu bertentangan dengan kita, karena mereka hanyalah tahun-tahun di waktu lampau, bukan tahun-tahun dalam kehidupan nyata. Ayat ini merupakan peringatan bagi kita agar bersikap peka, waspada dan aktif.
Setiap tindakan tanpa niat yang jelas menghendaki tindakan yang benar. Teguran ayat ini mengingatkan kita terhadap berbagai kecenderungan normal yang ada pada kita, yakni lebih menyukai perbuatan tertentu daripada terus memfokuskan beribadah kepada Allah sebagai tujuan utama kita. Kecenderungan untuk mengikuti asumsi-asumsi tertentu atau pola-pola perilaku pilihan merupakan cagar alam dari jiwa yang rendah. Sifat ini ada pada semua makhluk. Namun pada diri Nabi Muhammad yang sempurna, kecenderungan ini tidak termanifestasi secara lahiriah karena bimbingan Ilahi mutlak senantiasa mengontrol. Bunyi ayat ini tidak ditujukan kepada tindakan nyata Nabi, karena Nabi adalah sempurna. Oleh karena itu, meskipun ayat ini kedengarannya seperti teguran, ia hanya mendengungkan suatu peringatan terhadap kecenderungan ini yang ada pada semua hamba Allah. Jadi seakan-akan Allah mengatakan, "Jika engkau dibiarkan tanpa petunjuk, engkau akan lebih menyukai para pembesar Quraisy, yakni musuh-musuh-Ku."
فَمَن شَاء ذَكَرَهُ
12. Maka barangsiapa ingin, hendaklah memperhatikan itu.
Pilihan ada di tangan kita. Realitas telah mewujudkan dirinya dengan cara ini, tidak dengan cara lain. Yang berjalan dalam sistem ini tak lain hanyalah kerahiman, dan karena saking luasnya jangkauan kerahiman tersebut serta meliputi segala sesuatu, sampai-sampai segala perbuatan salah kita pun bisa jadi nampak baik pada kita. Ayat ini mengatakan barangsiapa ingin ingat maka ia akan ingat. Pilihan terserah pada masing-masing individu, karena setiap orang, sebagai makhluk manusia, adalah makhluk tertinggi dalam penciptaan. Kita berada di puncak realitas penciptaan yang telah memberikan kita peluang untuk mencoba hidup dengan melanggar hukum Allah meskipun, realitasnya, kita tidak terpisah dari Pencipta kita. Tidak ada pemisahan, tidak ada dua. Alquran menyatakan: "Jalan telah ditunjukkan kepadanya, apakah ia bersyukur atau ingkar” (Q.S.76:3). Maka, kalau tidak dalam keadaan bersyukur, puas, dan mabuk batin, ia tentu dalam keadaan tertutup, menyesal, dan menjadi kaku. Manusia harus memilih! Begitu diciptakan, ia segera dihadapkan pada dualitas, pada beberapa alternatif. Kalau kita sadar, pengalaman langsung kita akan mengingatkan kita untuk menghindari apa pun yang tidak baik demi kebahagiaan kita. Kita akan menjadi takut menyebabkan kerugian pada diri kita sendiri dengan cara hanya mengingat apa yang sudah ada pada kita.
فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ
13. Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan,
Shuhuf adalah jamak dari shahifah, yang berarti 'halaman buku'. Shahifah dalam bahasa Arab modern berarti 'surat kabar'. Fungsi surat kabar adalah menyebarkan berita, menunjukkan situasi. Shuhuf mukarramah artinya 'lembaran-lembaran yang dimuliakan', yang dibubuhi dengan cap realitas penciptaan. Ini berkenaan dengan tulisan mulia yang terukir dalam gen kita dari sejak awal waktu penciptaan, bukan berkenaan dengan sesuatu yang ditulis oleh seorang bijak bernama Ibrahim.
Yang tertulis adalah hal-hal yang inheren dalam penciptaan. Buku Catatan Ilahi ini memuat petunjuk dan takdir penciptaan. Di dalamnya terdapat semua hukum yang membawakan semua kehidupan dan yang menghubungkan alam nyata dengan alam gaib. Kita semua sudah dikondisikan karena masing-masing diberi karakter jasmani, karakter emosionil, dan, pada tingkat yang lebih dalam, karakter spiritual tertentu. Bagaimana pun bentuk yang diberikan, keselumhan karakter kita tercakup dalam karakter yang jauh lebih luas dan setiap saat kita berinteraksi dengannya. Ketetapan Allah itu dibuat sedemikian rupa sehingga ada takdir-takdir tertentu yang tidak dapat diubah dan ada takdir lainnya yang dapat diubah dengan cara mernperbaiki niat dan perbuatan kita. Takdir seorang individu seluruhnya merupakan hasil dari tindakan, pemikiran dan niatnya yang berinteraksi dengan dunia luas.
مَّرْفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ
14. Yang ditinggikan, yang disucikan,
Kitab, realitas, atau penulisan kode genetika itu bersifat luhur dan suci. Tapi apa yang dimaksud dengan kesucian mutlak? Tingkat kesucian yang disebutkan di sini tidaklah terhingga; ia tidak dapat dimengerti ataupun diukur. Tidak ada kebenaran, misalnya, pada sesuatu yang kita katakan sebagai gambar arus listrik murni, karena tidak ada kemurnian di dalamnya. Listrik sebenarnya memancar sendiri karena ia mengalir secara berlawanan. Sepanjang sesuatu dapat diukur maka ia tidak suci, dan sepanjang manusia hidup maka ia pun tidak suci. Ayat ini menyinggung penulisan kode abstrak yang tercantum dalam Buku Catatan.
'Buku yang terhormat' itu bersifat agung dan tinggi karena hal-hal kotor semuanya ada di bawah, tunduk pada hukum gravitasi. Apa pun yang berat akan jatuh, dan apa pun yang ringan akan bergerak naik. Itulah sebabnya ketika menyeru Tuhan kita tanpa pikir-pikir lagi langsung melihat ke atas dan bukan ke bawah.
بِأَيْدِي سَفَرَةٍ
15. Di tangan para penulis,
Safarah adalah jamak dari safir, artinya 'ahli menulis'. Safar, dari akar kata kerja yang sama, adalah 'perjalanan', sedangkan safir adalah 'dutabesar, utusan, atau mediator'. Tangan merupakan instrumen tindakan. Suara Tuhan mengatakan bahwa penyandian ini, yang sama sekali abstrak dan murni, dilakukan atau diciptakan melalui medium atau tangan-tangan utusan. Seorang dutabesar penuh sepenuhnya mewakili kedutaannya. Begitu pula kehendak Ilahi, diimplementasikan melalui para wakil dan utusan yang benar-benar loyal.
كِرَامٍ بَرَرَةٍ
16. Yang mulia, berbudi baik.
Kata-kata ini menggambarkan kekuatan pelaksanaan yang menghasilkan realitas penciptaan ini. Kita mesti ingat bahwa Alquran menyatukan gaung keabadian dengan kemanusiaan. Nabi adalah entitas yang bergetar dan berdenyut yang menyampaikan Alquran dengan kata-kata yang dapat kita selami sedalam-dalamnya dalam rangka merenungkannya. Kita tidak bisa hanya memeriksa permukaannya saja. Oleh karena itu, kiram bararah tidak hanya berarti 'mulia dan baik budi'. Karam berarti 'kemurahan hati yang mutlak dan menyeluruh'. Jika seseorang benar-benar murah hati, maka ia menjadi saluran tempat lewatnya berbagai hal, baik dalam bentuk harta, ilmu pengetahuan, atau wujud kemurahan hati lainnya. Jika ia adalah karim (murah hati), ia hanya akan menjadi sebuah instrumen, sementara dirinya sendiri mangkir. Inilah kemurahan hati dalam bentuk terakhir.
Akar kata bararah adalah barra, yang berarti 'saleh, adil'. Birr, dari akar kata yang sama, dalam kamus-kamus bahasa Arab didefinisikan sebagai 'kebajikan, penghormatan, atau ketaatan', tapi hanya sebagian saja yang benar. Kata tersebut juga diartikan sebagai loyal, setia dan konsisten.
Kiram bararah adalah kekuatan-kekuatan yang melaksanakan realitas penciptaan tanpa ada intervensi. Hanya makhluk manusia, sebagai puncak penciptaan, yang diberi kebebasan untuk secara cukup bodoh mengira bahwa dirinya adalah makhluk yang istimewa, atau, dengan cukup bijak membebaskan batinnya [dari persangkaan seperti itu—peny.].
قُتِلَ الْإِنسَانُ مَا أَكْفَرَهُ
17. Celakalah manusia itu! Alangkah tidak berterimakasihnya dia!
Qutila adalah bentuk pasif dad kata kerja 'membunuh', dan, dengan demikian, sedikit mengubah maknanya menjadi 'dikutuk' dengan konotasi kuat 'dihukum'.
Alquran baru saja membawa kita kepada persoalan yang sangat halus, lalu tiba-tiba membawa kita kembali kepada kekasaran manusiawi kita. Kufr—kata benda dari akar kata kerja yang sama dengan akfara (tidak berterima-kasih atau tidak setia)—adalah menutupi kebenaran dalam upaya membenarkan keirasionalan ego kita. Segala sesuatu dalam eksistensi ini menunjukkan kesempurnaan—kita mendapatkan apa yang patut kita dapatkan, bukan apa yang kita inginkan. Karena kita mempunyai berbagai pengharapan maka biasanya kita dilanda frustasi. Dunia secara keseluruhan bergerak ke satu arah, tapi segala pengharapan kita malah berbelok ke arah lain.
Pembunuhan menyiratkan berakhirnya kemungkinan. Sebenarnya kehidupan memancar dari satu sumber ilahiah, dan karena itu eksistensi individual dari masing-masing orang dibangun oleh kerahiman sumber tersebut. Dengan demikian warisan kita yang sebenarnya adalah ketuhanan. Tapi apakah hal itu diakui oleh kita? Bukannya berada dalam kesatuan, kebanyakan kita justru hidup dalam keter-pisahan yang sangat menyedihkan dengan sumber kehidupan.
مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
18. Dari benda apakah Ia menciptakannya?
مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ
19. Dari benih kehidupan yang kecil, Ia menciptakannya, lalu Ia membentuknya sesuai dengan ukurannya.
Dari apa manusia diciptakan? la diciptakan dari sperma. 'Lalu la membentuk dia'. Qaddara, berarti 'menyiapkan, merencanakan atau menentukan sesuatu sesuai dengan ukurannya'. Qadr, yang dihubungkan dengan qaddara berarti 'takdir, ketetapan Ilahi'. Suatu ketetapan bisa diukur.
Ayat ini menunjukkan bahwa pengkodean manusia yang lengkap terdapat dalam sperma. Selanjutnya manusia akan muncul dalam wujud kasar, berinteraksi dengan eksistensi lainnya, dan menemukan jalan kembali ke sumbernya. Alquran membawa kita ke dalam kemutlakan dan kemudian mengembalikan lagi kepada realitas duniawi ini untuk menyadarkan kita agar bisa lebur ke dalam realitas.
ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ
20. Lalu Ia menjadikan jalan itu mudah baginya.
Lagi-lagi, ini berkenaan dengan hal positif. Sabil berarti 'jalan atau garis edar'. Mengapa kita semua mencari jalan dalam kehidupan? Sabil dicari untuk menghindari lubang perangkap di jalan yang tidak dipasangi rambu-rambu yang jelas. 'Jalan' ini mungkin saja berupa kesepakatan, perkawinan, bisnis, liburan, dan sebagainya. Kita mencari jalan yang jelas karena kita telah menyimpang akibat pilihan-pilihan buruk yang kita buat dalam kejahilan dan kegelapan kita.
Perhatikanlah kata Arab untuk ketidakjelasan atau kegelapan, zhulam atau zhulumat. Kegelapan dideskripsikan dalam Alquran sebagai selubung yang harus disingkirkan karena hakikat dari segala sesuatu adalah cahaya. Cahaya adalah ilmu pengetahuan, sehingga kita mendapat gambaran: "Allah adalah cahaya langit dan bumi' (Q.S.24:35). Zhulam, bila menutupi cahaya itu, kadang menjadi hikmah. Segala sesuatu ada hikmahnya, tapi kita tidak selalu memahaminya demikian. Jika, umpamanya, seseorang tahu bahwa kesehatan yang buruk akan menimpanya dalam waktu dekat, mak'a ia akan sakit karena cemas dari sekarang sampai nanti (saat keburukan menimpa). Oleh karena itu, kegelapan yang menutupi pengetahuannya tentang apa yang akan terjadi merupakan suatu hikmah.
Yassara berarti 'melancarkan, meratakan, melicinkan, memudahkan'. Yusr dari akar kata yang sama, berarti 'kemudahan, kemakmuran, kelimpahan'. Yasar berarti 'kesenangan, kemewahan', dan juga 'tangan kiri'. Di semua kebudayaan, selama periode spiritualitas besar, tangan kanan melambangkan tindakan positif dan tangan kiri negatif. Manusia mengambil, memberi dan makan dengan tangan kanan. Ia membuang dan menghambur-hamburkan dengan tangan kiri. Ia mengetahui hal positif dengan meniadakan hal negatif.
Awalnya manusia tidak tahu hal yang positif. Umpamanya, mungkin ia tidak tahu bahwa menjauhi stopkontak adalah tindakan yang positif: ia hanya meniadakan yang negatif. Hikmahnya sudah ada tapi ia harus membukanya, dan pembukaan adalah penyingkapan. Itulah sebabnya kaum muslim menutup diri pada saat salat, agar tidak nampak, yakni menutup apa yang disebut 'aku'. Saat merendahkan diri mereka berusaha tetap berada dalam profil yang paling hina. Barangsiapa tidak mampu memahami sedikit pun makna-makna ini berarti belum benar-benar melaksanakan praktik lahiriah. Setiap tindakan setimpal dengan niatnya. Karena itu, jika seseorang melakukan praktik-praktik ini dengan keyakinan yang benar, meskipun dalam kejahilan, ia akan mendapat keuntungan dari praktik tersebut.
Jalan telah dimudahkan, sangat-sangat dipermudah. Allah berfirman dalam Alquran bahwa jalan menuju penyadaran, menuju pengetahuan batin, adalah mudah. Mengapa mudah? Penjelasannya adalah, kita harus menghindari apa yang pernah kita alami sebagai hal yang tidak kondusif untuk kesejahteraan kita. Nabi bersabda, "Mukmin (orang yang beriman, yang percaya bahwa ia akan mencapai realitasnya secara total) tidak akan terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama”.
ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
21. Lalu Ia mematikan dia, dan menguburkannya.
Biografi manusia seutuhnya dibeberkan dalam tiga ayat ini, secara berurutan. Dari sperma kita diciptakan, lalu dibentuk dan dimudahkan jalan bagi kita, asal kita mau sadar dan senantiasa mengingat Allah (zikir); kemudian kita mati dan dikubur! Jika kita memikirkan keseluruhan proses ini pada saat kita sedang marah, sungguh riuh amarah kita kelihatannya, sungguh menggelikan keseluruhan adegan kita jadinya. 'Dengan zikir hatimu akan menjadi tenang, kata Alquran, karena manusia tidak mengerti bahwa kehidupan ini adalah sebuah cerita yang utuh. Satu-satunya hal yang dapat dimengerti oleh setiap orang, pada setiap waktu, dalam setiap keadaan, adalah bahwa kita ini sedang sekarat. Pada saat lahir, andaikan seorang bayi dapat berbicara, tentu ia akan berkata, 'Setiap saat aku semakin dekat ke kuburan.' Hanya inilah pernyataan rasional yang dapat dikemukakan siapa pun, tidak perduli apakah dia sendiri orang rasional atau bukan.
Pemyataan benar kedua yang hanya dikemukakan oleh orang rasional adalah: "Aku tidak ingin mati." Saat kita gusar menghadapi selumh problematika dunia, sebagian di antara kita mungkin mengharapkan mati saja. Tapi ingat, keinginan yang serampangan ini tidak muncul dari sikap jiwa yang seimbang. Oleh karena itu, pernyataan kedua hanya bisa dibuat pada saat pikiran dalam keadaan rasional.
Sekarang timbul konflik. Tapi bagaimana bisa ada konflik? Allah adalah Maharahman, dan tidak ada rahmat dalam konflik. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah bahwa entitas ini menganggap hidup dan mati hanya sebagai penyimpangan, gaung dari sesuatu yang bersifat abadi, dan dengan demikian sedang mencari keabadian. Setiap orang mencari keabadian dalam segala aspek hidup, dalam kekayaan, hubungan, atau dalam objek-objek yang kita minati. Kita memuja kehidupan; oleh karena itu kita memuja Sang Pencipta kehidupan. Masing-masing kita adalah pemuja, dan yang terpenting dalam upaya mewujudkan pemujaan yang benar adalah melepaskan diri kita dari pemutarbalikan pemujaan itu—yakni memandang kepada apa yang bersifat sementara—tapi hiduplah dalam keabadian mutlak Sang Pencipta.
ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنشَرَهُ
22. Lalu jika Ia menghendaki, Ia membangkitkannya lagi.
Kebenaran akan tersingkap dan diketahui—maksudnya di dunia sini dan saat ini juga. Ansyara (bangkit dari kematian), berasal dari nasyara, berarti 'membuka, menggelar, mempublikasikan apa pun yang dilakukan dan yang menyenangkannya', dengan lebih suka menyembunyikan perbuatan yang tidak menyenangkannya. Kita semua terlibat dalam kemunafikan ini. Umpamanya, sebagian besar kejahatan dilakukan dalam keremangan malam, seakan-akan si penjahat sedang berusaha menyembunyikan perbuatan salahnya. Mereka suka kegelapan karena kegelapan dapat menyembunyikan berbagai hal yang menurut lubuk hati mereka pun sesungguhnya memalukan.
كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ
23. Tidak! Tetapi dia tidak menjalankan apa yang Ia perintahkan kepadanya.
Maksudnya, apa yang telah dijalankan manusia ternyata berlawanan dengan perintah penciptaan. Namun, segala sesuatu akan tersingkap sebagaimana telah ditetapkan.
فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَى طَعَامِهِ
24. Maka hendaklah manusia melihat pada makanannya!
Tha'âm tidak hanya berarti 'makanan'; maknanya yang lebih luas mencakup segala sesuatu yang menjadi sumber makanan kita. Kata ini berkenaan dengan apa yang dapat kita terima menurut selera kehidupan kita.
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا
25. Bagaimana Kami menuangkan air yang berlimpah-limpah.
ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا
26. Lalu Kami membelah bumi, membelah(nya) sampai cerai-berai.
فَأَنبَتْنَا فِيهَا حَبًّا
27. Lalu Kami tumbuhkan di sana biji-bijian,
Habb maksudnya setiap jenis 'biji-bijian, sereal, berry atau vanili'. Ia dihubungkan dengan kata hubb, yang berarti 'cinta'. Hubb adalah hubungan unik antara seorang ibu dengan anaknya. Hubb adalah saluran. Seorang manusia hanya dapat mengatakan cinta jika saluran itu benar-benar terbuka. Cinta didasarkan pada komitmen dan kesinambungan. Seluruh penciptaan dibangun di atasnya, karena setiap orang kalau bukan pecinta tentu yang dicinta. Kita mencintai kehidupan seraya kita dicintai kematian.
وَعِنَبًا وَقَضْبًا
28. Anggur dan sayur-mayur,
Qadhb artinya 'sayur-mayur', yakni, setiap tetumbuhan yang dapat dimakan, dan 'inab maksudnya anggur yang diikat secara menarik, sehingga mengundang manusia untuk memetiknya.
وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا
29. Dan pohon zaitun dan pohon kurma,
Mengapa Allah menyebutkan dua pohon ini secara khusus? Pohon kurma dan zaitun senantiasa menjadi mata-rantai di antara zaman-zaman yang berbeda. Keduanya bersifat simbolis dan praktis. Mereka ditanam untuk generasi-generasi mendatang sehingga beberapa generasi hidup dari pohon yang sama. Setiap bagian dari pohon zaitun dan kurma ada kegunaannya dan dapat disimpan. Batangnya untuk rumah dan atap, daunnya untuk tali dan tikar, dan buahnya untuk makanan, minyak dan bahkan obat. Bangsa Arab, dan juga umat Kristen awal, tak mempunyai apa-apa selain pohon-pohon ini yang banyak manfaatnya bagi mereka.
وَحَدَائِقَ غُلْبًا
30. Dan taman-taman yang rimbun,
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
31. Dan buah-buahan serta rerumputan,
مَّتَاعًا لَّكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ
32. Perbekalan makanan bagimu dan ternakmu.
Ayat-ayat ini mengajak kita memasuki dunia lain, dan mereka berbicara tentang taman-taman yang berlimpah dan subur. Mata’ artinya 'kesenangan, perbekalan'. Perbekalan adalah hal yang membantu Anda untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari kandungan ke liang lahat.
فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ
33. Tetapi tatkala datang teriakan yang memekakkan,
Shâkhkhah (teriakan yang memekakkan) berkenaan dengan siklus gerakan kedua atau proses penciptaan terbalik. Alquran menyebutkan teriakan dan pekikan (sangkakala), maksudnya adalah teriakan atau pekikan yang memproklamirkan proses pembalikkan arah gerakan dan perkembangan bumi, dan awal dari bangkitnya kekuatan-kekuatan energi, yakni arwah.
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ
34. Pada hari tatkala orang lari dari saudaranya,
Bila hari itu tiba, bukan saja akan menjadi akhir dari siklus ini, tapi juga merupakan awal dari sebuah siklus baru. Pada saat itu, manusia akan lari sekalipun dari saudaranya. Yawm dalam Alquran tidak hanya berarti 'hari', tapi juga 'saat' atau 'jenak'. Kata 'saudara' maksudnya semua orang yang memiliki hubungan persaudaraan yang dekat.
وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ
35. Dan ibunya serta bapaknya,
Manusia juga akan lari dari ibu-bapaknya sendiri. Artinya, seseorang akan meninggalkan orang-orang yang sangat dicintainya, yakni ibu-bapaknya; sebaliknya, lari dari mereka tidaklah ada artinya dalam konteks ini.
وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ
36. Dan istrinya serta anak-anaknya,
Istri dan anak-anaknya juga adalah orang-orang yang dicintainya, bersama mereka ia menjalani dan menikmati kehidupan di dunia.
لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
37. Pada hari itu setiap orang di antara mereka akan mempunyai urusan yang menyibukkannya.
Setiap orang di antara mereka pada hari itu akan berkutat dengan urusan yang menyibukkan dan menyita perhatiannya, dan sama sekali tidak ada kesempatan untuk urusan lain. Ketika seluruh eksistensi dihancurkan dan bergoncang, ketika hal-hal yang hakiki menjadi nyata, maka yang akan tersisa hanyalah individu. Peristiwa ini berlangsung di luar batas-batas waktu, dan manusia tidak akan diberi kesempatan lagi untuk menjadi orang dermawan atau berbuat baik.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ
38. Pada hari itu wajah-wajah akan bersinar laksana fajar menyingsing.
Musfirah berasal dari safara, yang berarti 'membuka selubung, bepergian'. Pada saat bergerak kita tidak terlindung. Sufur artinya 'membuka selubung wajah', yakni, tidak menyisakan apa pun untuk sembunyi. 'Wajah-wajah yang bersinar, cemerlang' menunjukkan bahwa mereka tidak dalam keadaan kufur (tertutup), tapi, malah, mereka terbuka dan merasa senang, berada dalam kemerdekaan jiwa yang sempurna. Jika kita bebas sekarang, maka kita bebas selamanya; jika kita terpenuhi sekarang, maka kita terpenuhi selamanya. Dikatakan dalam Alquran, "Suatu taman yang luasnya seluas langit dan bumi” (Q.S. 3:133). Taman ini berada dalam hati, dan kunci gerbangnya adalah pembebasan diri (dari belenggu nafsu—peny.).
ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ
39. Tertawa, girang mendengar kabar baik.
Semua rasul ditugaskan membawa kabar gembira (busyra), yakni bahwa manusia berasal dari suatu sumber abadi yang berjalan dari Allah menuju Allah dan kewajibannya adalah bangun dari keadaan tidur menuju keadaan terjaga. Mustabsyirah berasal dari istabsyara, 'girang, sangat gembira (mendengar kabar baik)'. Artinya, manusia akan diberi kabar baik lagi. Pada saat itu benar-benar ditegaskan bahwa kabar baik tersebut mengenai keseluruhan penciptaan, dan bahwa manusia adalah wakil dari Sang Pencipta. Dengan demikian di dalam gen manusia terkandung karakteristik dari seluruh penciptaan, sehingga cerita lengkap tentang alam semesta ada dalam mikrokosma manusia.
وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ
40. Dan pada hari itu wajah-wajah mereka penuh debu,
Ghabarah (debu) berasal dari akar kata kerja ghabara (berlalu, lewat, hal yang sudah-sudah), dan dalam bentuk yang lebih berhubungan erat, ghabbara, artinya 'mengotori, atau menutup dengan debu'. Debu adalah sesuatu yang turun dan menempel pada suatu permukaan, dan debu itu bukan bagian dari permukaan tersebut. Ayat ini mengatakan bahwa wajah-wajah mereka akan tertutup debu, maksudnya bahwa mereka akan membiarkan realitas yang abadi dan sejati tertutupi dengan sesuatu yang asing.
تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ
41. Kegelapan akan menutupi mereka.
Rahiqa (datang atau mendekati seseorang), adalah akar dari tarbaqu. Murhiq, yang berasal dari akar yang sama, berarti 'menyesakkan napas'. Maksud ayat ini adalah bahwa manusia akan tertekan oleh kegelapan. Ini merupakan gambaran tentang kontradiksi antara kebahagiaan orang yang terbebaskan dan penderitaan orang yang tidak terbebaskan. Di sini kondisi tersebut terbagi dua secara kontras menjadi hitam dan putih sehingga dapat dilihat dengan jelas.
أُوْلَئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ
42. Mereka adalah orang-orang yang kafir, yang jahat.
Mereka yang dilanda kelelahan dalam mendung dan kegelapan ini adalah orang-orang yang sangat ingkar atau kufur. Ini merupakan gambaran tentang suatu perbuatan, yakni perbuatan menutupi, yang tidak berlangsung dalam gelanggang amaliah fisik yang normal; sebaliknya, perbuatan tersebut berlangsung di tingkat psikis murni, atau roh. Itulah sebabnya mengapa bahasa manusia yang paling canggih sekalipun hanya dapat sebatas menyinggungnya. Pengetahuan tentang alam psikis bisa datang hanya bila kita mengenal ioh, yang sebenarnya merupakan diri manusia yang sejati. Itulah sebabnya maka dikatakan bahwa jika seseorang sungguh-sungguh mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.
Demikianlah keseluruhan tujuan dan maksud dari jalan spiritual, maksud dari perenungan. Jika perenungan tidak membawa kepada pengenalan, maka setidaknya akan memberikan pengalaman yang luar biasa. Jika perenungan tidak membawa kepada pencapaian ini, maka paling tidak bisa menjadikan kita seorang muslim atau seorang Kristen yang lebih baik. Tapi pesan dari semua nabi, tennasuk Nabi Muhanunad, adalah 'tauhid', Keesaan Allah yang tidak bergantung, dan, dengan demikian, keesaan wujud manusia.[]
SURAHAL-NAZI’AT
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
Surah Makkiyah ini berkenaan dengan kehidupan sekarang dan mendatang, dan juga memberikan deskripsi tentang berbagai peristiwa yang akan terjadi pada Hari Pengadilan.
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا
1. Demi mereka yang merobek-robek dengan kekerasan,
Surah ini dimulai dengan mendeskripsikan kekuatan yang diketahui oleh semua orang dan umumnya ditafsirkan sebagai kekuatan malaikat, kekuatan luar biasa yang melaksanakan berbagai fungsi dalam seluruh penciptaan.
An-Nâzi’ât berasal dari kata naza’a, artinya 'membawa, mencabut, bertengkar', menunjukkan dua kekuatan yang saling berlawanan. Ghariqa, akar kata kerja gharq, artinya 'terbenam, karam, basah kuyup.' Ada ketidakjelasan makna di sini, dan penjelasannya sudah pasti hanya Allah yang tahu. Bisa jadi ayat ini berkenaan dengan saat kematian, ketika malaikat maut dengan kekerasan mencabut nyawa orang yang tidak ingin berpisah dengan kehidupan ini dan yang tidak siap untuk menjalani kehidupan yang akan datang. Jiwa mereka harus dicabut paksa dari tubuhnya agar mereka melanjutkan jalannya takdir. Ayat ini mungkin juga berkenaan dengan alam semesta, di mana lima ayat pertama menunjuk kepada berbagai jenis planet dan bintang karena semuanya adalah pusat energi yang menjaga agar alam semesta tetap dalam keadaan terus-menerus bergerak.
وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا
2. Dan demi mereka yang menarik dengan lembut,
Yang diterjemahkan di sini sebagai 'dengan lembut' (nasyth) bisa juga diterjemahkan sebagai 'dengan mudah, dengan penuh semangat atau dengan enerjik'. Ini mungkin berkenaan dengan jiwa-jiwa yang nasyth, bersemangat dan aktif, sehat dan dinamis. Ali Zainul Abidin pernah berkata, 'Bagi orang yang mempercayai Realitas (Wujud Hakiki), kematian adalah bagaikan melepas pakaian kotor yang baunya busuk'. Jiwa seperti itu menanti-nanti kehidupan berikutnya sebab ia mengetahui bahwa di kehidupan berikutnya tidak ada kekacauan dan kesengsaraan dunia ini. Pasti, tidak akan terjadi gangguan di sana. Kita tidak bisa mengintervensi atau menyela—karena kita akan tidak berdaya—dalam kedamaian.
Ayat ini mungkin juga menunjuk kepada bintang-bintang jauh yang cahayanya mencapai kita setelah ratusan bahkan ribuan tahun cahaya dan ekspansi kosmiknya senantiasa melampaui batas kecepatan.
وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا
3. Dan demi mereka yang melayang di angkasa,
Al-sâbihât, 'mereka yang melayang', berasal dari akar kata kerja sabaha yang berarti 'berenang, mengapung, melayang'. Jiwa mengalir mengikuti takdir dan berjalan sekehendaknya tanpa hambatan. 'Mereka yang melayang' bisa juga menunjuk kepada entitas-entitas yang substansinya menyerupai riak gelombang energi—para malaikat—yang memudahkan jiwa-jiwa yang mau menyerah. Sekali lagi ayat ini bisa saja berlaku untuk planet-planet yang beredar dalam orbitnya.
فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا
4. Lalu mereka yang mendahului ke muka,
Ayat-ayat ini dapat juga dipahami seluruhnya pada tingkat mulk (kekuasaan di bumi, berhubungan dengan hal-hal keduniawian). Sabaqa artinya 'mendahului, meninggalkan'. Sibâq, dari akar kata yang sama, berkenaan dengan pacuan, khususnya pacuan kuda. Sebagian tafsir mengatakan bahwa ayat ini berarti 'melihat yang berketurunan murni, melihat kuda yang unggul'. Kuda yang benar pemeliharaannya adalah kuda yang unggul. Jika kita memahami ayat ini dipandang dari sudut ekspansi kosmik, maka ayat ini juga mungkin berkenaan dengan planet-planet yang bergerak lebih cepat dibanding bintang-bintang atau galaksi-galaksi lain yang bergerak lebih jauh dibandingkan benda langit lainnya dalam orbit mereka.
فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا
5. Dan mereka yang mengatur urusan,
Ayat ini berkenaan dengan daya, kekuatan, planet-planet dan energi yang tujuannya adalah tadbîr (pengaturan), dari dabbara, artinya, 'mengadakan penataan, mengorganisir, mengatur', yakni, melakukan berbagai aksi yang saling menghubungkan berbagai kejadian di dunia ini, aksi-aksi yang akhirnya menjadi gerakan angin, awan, gunung berapi, atau umat manusia; dengan kata lain, gerakan dari berbagai unsur luar yang menyatukan semua unsur. Apa pun yang temasuk di antara mudabbirât adalah berkenaan dengan tadbîr atau pengaturan urusan.
Surah ini menggiring kita untuk mulai merenungkan segala daya dan kekuatan yang mempengaruhi kita secara lahir maupun batin, dan kita tidak bisa lepas dari daya dan kekuatan tersebut, seperti roh di dalam tubuh kita dan lingkungan sekitamya. Beberapa ayat pertama ini merupakan pendahuluan untuk penjelasan mengenai apa yang akan terjadi bila penciptaan ini, yang berkembang dari ledakan pertama, sampai pada ujungnya, yakni pada satu titik asalnya.
يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ
6. Hari ketika goncangan pertama akan menggoncangkan,
Ini merupakan kejadian pertama yang mendengungkan akhir dari ekspansi kosmik. Bila ekspansi berhenti, maka kekacauan besar di seluruh sistem kosmik akan terjadi. Adapun mengenai bumi, maka di bumi akan tejadi suatu goncangan dan getaran yang hebat (rajifah).
Bila sebuah sistem berjalan secara alamiah, ia akan bergerak dengan lancar. Begitu jalannya bembah dan berganti arah, maka pembahan ini menunjukkan perlawanan yang, dalam hal ini, berbentuk getaran. Kejadian pertama ini berulangkali disebutkan dalam Alquran yang menjelaskan secara rinci bagaimana dunia ini akan berakhir. Ayat ini menjelaskan bagaimana sistem pertama berhenti. Sistem-sistem senantiasa saling berinteraksi satu sama lain; jadi, bila satu sistem berhenti maka sistem yang lain mulai. Faktor penyatu dari berbagai sistem yang saling tumpang-tindih ini berada di luar jangkauan pernahaman intelektual kita.
تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ
7. Yang datang sesudahnya akan menyusul.
Di susul kemudian goncangan berikutnya, yakni suara sangkakala yang mengumandangkan jalan baru di 'alam al-arwah. Itulah alam energi halus sebagai kebalikan dari alam energi kasar. Radifah berasal dari radifa, artinya 'mengikuti, datang kemudian', dan radif artinya 'yang berikutnya, yang menyusul'. Goncangan pertama, atau suara tiupan pertama, merupakan peristiwa pecahnya sistem yang ada hingga terkoyak-koyak, dan goncangan kedua akan menjadi permulaan dari sistem berikutnya.
قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ
8. Ketika itu hati-hati akan berdebar-debar,
Informasi ini menjelaskan bahwa yang akan utuh pada diri kita di saat itu hanyalah apa yang tertanam dalam hati kita, yakni yang telah dibentuk oleh segala niat dan perbuatan kita dalam kehidupan ini. Mereka yang telah mengingkari peristiwa ini, yang mengingkari kebenaran dari pesan yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah Wujud (Realitas) Tunggal dan Pencipta Tunggal dan bahwa kita tidak pernah terputus dari takdir yang sudah ditetapkan, hatinya akan benar-benar berkecamuk. Pada saat Kebangkitan dimulai maka yang akan mereka rasakan adalah keterpisahan yang amat-sangat. Mereka merasa ddak mengalir dengan lancar mengikuti arus tapi malah melawan arus.
أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ
9. Mata mereka menunduk.
Pandangan manusia, kemampuan penglihatannya, tidak akan berfungsi lagi seperti sebelumnya. Visi dan harapan yang ada dalam hatinya menjadi rendah, lemah, terputus dari segala peristiwa, sehingga tercampakkan.
يَقُولُونَ أَئِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِي الْحَافِرَةِ
10. Mereka berkata: "Benarkah kami akan dikembalikan kepada keadaan [kami] semula?
Suasana hati mereka mengumandangkan sebuah pemberontakan yang didasarkan pada keraguan mereka, dan bertanya 'apakah kita akan kembali? Apakah memang ada peristiwa kembali itu? Akankah kita memulainya lagi seluruhnya? Ataukah ada kesinambungan, ada siklus kehidupan lain?
أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً
11. Apakah [akan dibangkitkan juga]! ketika kami sudah menjadi tulang-belulang yang hancur?
Pertanyaan berlanjut dengan seruan kuat yang bernada sangsi, seakan berkata 'Bagaimana ini bisa terjadi? Kami tidak pernah menduganya!' Pertanyaan seperti ini muncul karena dalam menilai peristiwa itu mereka hanya terpaku pada sudut pandang fisik. Jadi mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin tulang-belulang busuk ini dapat disusun kembali padahal, sebagai unsur tubuh yang paling keras, mereka sudah hancur. Mereka hams mengerti bahwa pertanyaan ini tidak berkenaan dengan daging dan tulang melainkan dengan roh dan segala perbuatannya selama berkelana di dunia ini.
قَالُوا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ
12. Mereka berkata, kalau demikian ini akan menjadi suatu pengembalian yang merugikan.
Begitu menyadari bahwa mau tidak mau mereka harus memasuki suatu tempat baru, mereka pun berkesimpulan bahwa mereka kembali ke keadaan yang merugi, karena roh mereka tidak siap untuk menjalani alam eksistensi berikutnya. Mereka sudah menyadari bahwa dalam kehidupan berikutnya mereka akan benar-benar rugi.
فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ
13. Tapi itu hanyalah satu teriakan saja
Zajara, akar kata kerja dari zajrah (teriak), artinya 'memaksa kembali, mengusir, mencegah, mengomeli'. Bagi orang-orang sesat—yakni mereka yang telah mengingkari kebenaran berita bahwa akan terjadi peristiwa pengembalian, ada alam akhirat—hanya ada satu teriakan, satu peringatan utama. Dalam seketika roh-roh akan menyadari bahwa mereka dalam keadaan merugi. Mereka akan mengakuinya dan menyatakannya secara terbuka, karena keadaan merugi itu melekat dalam roh.
فَإِذَا هُم بِالسَّاهِرَةِ
14. Perhatikanlah! Mereka akan dibangkitkan!
Makna umum dari sahirah adalah 'permukaan bumi'. Makna batinnya diambil dari akar kata sahira, yang berarti 'menjadi tidak dapat tidur, tetap bangun (dalam suatu aktivitas)'. Sahar artinya 'insomnia'. Ini menunjukkan bahwa permukaan bumi senantiasa hidup. Berarti, sekali roh-roh ini dibangunkan, selamanya mereka akan menyadari Realitas. Sebelumnya mereka tidak sadar akan kebenaran, tapi tiba-tiba mereka akan terbangun (sadar). Makna lahir dari ayat ini adalah bahwa mayat-mayat yang sebelumnya terpendam dalam kubur akan terdampar di permukaan bumi begitu menyembul keluar dan bergetar. Makna batinnya adalah bahwa roh-roh ini akan tiba-tiba sadar sepenuhnya. Tidak akan terjadi lagi tidur dalam kesadaran seperti yang kita alami dalam kehidupan ini.
هَلْ أتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
15. Sudahkah kisah Musa sampai kepadamu?
Sekarang kita disodori kisah Nabi Musa sebagai contoh di dunia ini, di mana Tuhan Pemeliharanya memerintahkan dia untuk beramal, untuk melangkah mengikuti jalan realitas dalam kehidupan ini.
إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
16. Ketika Tuhannya memanggilnya di lembah suci Thuwa
Musa as. dibawa ke lembah suci Thuwa. Hatinya dikuasi oleh al-ruh al-qudus (roh kudus). Hatinya ditarik oleh Rububiyyah (Ketuhanan) Tuhannya. Ia tidak punya pilihan selain melayani Tuhannya, dan ia diperintah oleh-Nya untuk menggempur puncak piramida kecurangan.
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
17. Pergilah kepada Fir'aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas!
Ketika seseorang menjadi budak dari Yang Paling Tinggi, maka tugas yang harus dilaksanakannya memiliki tingkat kesulitan paling tinggi, tanggungjawabnya paling berat, dan ganjarannya pun paling besar. Musa ditugaskan untuk menyampaikan pesan tauhid kepada Fir'aun karena Fir'aun telah melakukan pelanggaran yang mengakibatkan seluruh bangsa tersesat.
فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَى أَن تَزَكَّى
18. Kemudian katakanlah: 'Apakah kamu akan membersihkan diri?
Allah memerintahkan Musa untuk menyampaikan pesan kepada Fir'aun dan menanyakan apa sebabnya dia belum menyucikan diri. 'Mengapa kamu belum menyerahkan dirimu dalam ketundukkan? Mengapa kamu tidak berjalan dalam kepasrahan diri? Mengapa kamu tidak melepaskan pakaian yang telah kamu kenakan, pakaian tempat kamu bersembunyi dan berperan sebagai Tuhan?
وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى
19. Dan aku akan membimbingmu ke jalan Tuhanmu supaya kamu takut [kepada-Nya].
Pengertiannya di sini adalah bahwa Fir'aun tidak takut apa pun dan tidak menghargai apa pun; ia tidak punya pengetahuan tentang batas-batas perilaku. Petunjuk (hidayah, dari hada) di sini berarti rasa takut (khasyyah; dari khasyiya, kuatir atau takut kepada sesuatu). Pintu kepada petunjuk adalah rasa takut terhadap pelanggaran, takut akan membuat kesalahan dan takut mendatangkan murka Allah karena melanggar hukum-hukum-Nya yang mengatur kehidupan ini dan kehidupan akan datang. Ini adalah pesan Musa kepada Fir'aun. Dia berkata, "Jika engkau mau, jika engkau ingin menyucikan diri, jika engkau ingin menjalani kehidupan yang sejati dengan persiapan yang benar untuk dunia mendatang, akan aku tunjukkan jalan dan batas-batasnya, agar engkau merasa takut untuk melanggarnya. Kemudian engkau akan diberi petunjuk menuju satu-satunya Kebenaran. Jika engkau tidak punya rasa takut, maka engkau tidak akan mendapat petunjuk."
فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَى
20. Maka Musa menunjukkan kepadanya tanda yang besar.
Musa mempertunjukkan berbagai mukjizat kepada Fir'aun, beberapa di antaranya adalah memperlihatkan tongkatnya yang berubah menjadi seekor ular; tangannya yang berwarna putih dan bersinar, dan banyak lagi. Semua ini adalah mukjizat yang biasa. Persoalannya di sini adalah tentang al-ayat al-kubra (tanda besar), yakni ilmu Allah. Musa berkata, "Jika engkau mempunyai rasa takut, engkau akan mendapat petunjuk, dan dari petunjuk itu akan muncul pengetahuan tentang Realitas tunggal. Engkau tidak terpisah dari-Nya.
Pesan Musa kepada Fir'aun bukanlah pesan yang biasa, karena Fir'aun bukan seorang raja biasa. Ia menguasai berbagai pengetahuan dan sains yang sangat canggih (di zamannya). Ia memiliki banyak sekali kemampuan tapi tidak digunakan sesuai dengan sunah Allah. Misalnya, Fir'aun dan kaumnya menggunakan kekuatan supernatural, seperti mengerahkan kekuatan jin, atau kekuatan gaib. Bagi seorang nabi, kekuatan seperti itu tidak ada artinya— itu hanyalah kemampuan yang tidak berarti. Yang tertinggi dari seluruh mukjizat adalah pengetahuan tentang Allah, sedangkan yang paling rendah adalah mukjizat lahir, yang disebut keajaiban. Yang ada hanyalah Allah, dan kita telah menerima dunia ini untuk diuji dengan berbagai kesusahan agar pasrah dan tunduk kepada-Nya. Caranya adalah melalui rasa takut (khasyyah) untuk melakukan pelanggaran.
فَكَذَّبَ وَعَصَى
21. Tetapi ia (Fir'aun) mendustakan dan menolak.
Setelah mencurahkan seluruh hidupnya dalam sistem yang menonjolkan kekuatan dan kekuasaan, Fir'aun tidak mau menerima pesan yang mengajaknya untuk takut terhadap kekufuran. Arogansi kekuasaannya menyebabkan dia tidak mau menerima pesan tersebut. Reaksinya terhadap petunjuk yang terang bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa dirinya tidak berarti apa-apa, adalah mengingkari cetusan kebenaran yang ada dalam hatinya.
'Asha artinya 'tidak patuh, melawan, menentang, menolak'. Setelah menolak, ia berusaha mengkonfirmasikan kembali kedudukannya. Kita semua menginginkan penegasan dalam kehidupan ini, karena kita semua mencari keselamatan. Kita mencari konfirmasi bahwa apa yang sedang kita lakukan adalah benar. Bagaimana pun juga, kita adalah pecinta Realitas Tunggal. Oleh karena itu, jika pemikiran kita sesat kita akan dihubungkan dengan orang-orang yang juga sesat pemikirannya.
Kita selalu beribadah dan mencintai Sifat-sifat Tuhan. Segala sesuatu dalam penciptaan berada dalam keadaan sempurna, dan kita hanya menjacli saksinya. Tak ada yang dapat kita tambahkan pada penciptaan. Hanya orang-orang yang telah dipilih untuk misi yang lebih tinggi yang hams menyatakan diri dan bertindak, mengajar, dan mengikuti langkah para nabi, seperti Musa. Sangat wajar dan dapat dimengerti kalau Fir'aun tidak memahami pesan ini dan belok ke arah yang sesat.
ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى
22. Kemudian ia pergi membelakangi dengan tergesa-gesa,
Fir'aun pergi dengan sangat tergesa-gesa untuk menenangkan diri dan menjalankan sistem kekufurannya, dan mengkonsolidasikan kekuatan dirinya.
فَحَشَرَ فَنَادَى
23. Lalu ia mengumpulkan dan memproklamirkan,
Fir'aun mengumpulkan para pendukungnya karena ia merasa rentan terhadap serangan. Karena terpojok oleh sorotan pesan Musa yang gamblang, maka ia menghimpun semua pendukungnya untuk menenangkan dirinya.
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
24. Kemudian ia berkata: "Akulah tuhan yang paling tinggir”,
Kemudian Fir'aun kembali ke kebiasaan lamanya, berlindung dan bertahan di bawah tahta kepemimpinan dan ketuhanan yang telah dinobatkannya sendiri untuk dirinya sendiri. Ia bermain sebagai tuhan, beaisaha menempatkan dirinya pada posisi yang sangat kuat dan mustahil. Ini sangat berbahaya bagi seluruh umat manusia. Semakin tinggi kita naik, semakin besar bahaya ini mengancam. Orang-orang yang memiliki wawasan dan kekuatan batin khususnya harus tetap berada di dalam batas-batas norma perilaku yang diwahyukan, yakni syariat—parameter hukum lahiriah—karena bahaya penyesatan ada dalam diri kita semua. Kita telah menyaksikannya dalam kehidupan ini, baik di kalangan ahli lahir (zhahir) maupun ahli batin. Selalu ada kecenderungan untuk menjadi sasaran bahaya ini kalau kita tidak senantiasa mengikuti jalan syariat, dengan melakukan salat dan do'a secara teratur dan berkesinambungan.
Fir'aun berkata, "Akulah tuhan yang paling tinggi," kepada kaumnya. Tapi tidak ada manusia yang bisa hidup dalam keterasingan karena seandainya ia tidak berhubungan dengan Realitas tunggal dan menjadi hambanya semata, tentu ia berhubungan dengan versi kebenaran yang sesat dan menyimpang, sebagaimana dalam kasus Fir'aun.
فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَالْأُولَى
25. Maka Allah mencengkamnya dengan hukuman di akhirat dan hukuman di dunia ini.
Fir'aun mengangkat dirinya sendiri sebagai tuhan. Reaksi Tuhan atas perbuatan nekad ini adalah jatuhnya hukuman. Nakâl artinya hukuman. Fir'aun mendapat bantahan dari Tuhan atas perbuatannya di waktu lampau dan akan datang, baik yang telah dilakukannya sebelum Musa datang padanya maupun yang dilakukan sesudahnya. Ayat ini berkenaan dengan penderitaan yang dirundung Fir'aun dalam kehidupan sekarang dan nanti. Sebagaimana kita ketahui, Fir'aun dan kaumnya mati tenggelam saat menyeberangi Laut Merah. Tapi 'terakhir' dan 'pertama' bisa juga berarti 'lahir' dan 'batin'; secara lahir ia ditegur, dan secara batin ia disiksa. Secara lahiriah ia tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi berbagai aksi Musa, secara batiniah juga ia tidak tahu bagaimana memberikan reaksi terhadap pesan Tuhan. Pembinasaan fisik Fir'aun pada akhimya menjadi catatan tambahan bahwa memang lazim kalau kebenaran selalu menang atas khayalan.
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِّمَن يَخْشَى
26. Sesungguhnya pada yang demikian ini ada pelajaran bagi orang yang takut.
'Ibrah artinya 'peringatan, contoh, pelajaran'. Akar katanya adalah 'abara, yang berarti 'menyeberangi, melintasi, menafsirkan (suatu mimpi), atau mencucurkan air mata'. Ini berarti bahwa pelajaran nyata yang diperoleh menyebabkan kita menyeberang dari kesalahan ke kebenaran. Kata untuk 'Hebrew [Ibrani]' (‘ibri) berasal dari akar kata yang sama (dari 'abara), karena mereka menyeberang menuju keselamatan di tepi laut lain. Kata ini juga berarti menyeberangi pantai pengetahuan karena orang yang ingin sekali mendapat ilmu akan berusaha agar tidak tetap dalam kebodohan. Orang seperti itu menginginkan keselamatan yang dijamin oleh perilaku yang benar.
Dalam ayat-ayat ini kita diberi contoh mengenai orang yang bertauhid, orang yang beriman kepada Allah, dalam hal ini Nabi Musa, dan lawannya yang berseberangan, yang merugi, yang asyik sendiri dengan kekuasaannya. Alquran mengatakan bahwa kedua sistem tersebut tidak bisa bertemu 'Bagimu agamamu dan bagiku agamaku' (Q.S. 109:6). Sistem kekafiran akan dihancurkan, dan sistem Kebenaran akan menang.
أَأَنتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءَ بَنَاهَا
27. Apakah kamu yang lebih sulit diciptakan ataukah langit? Allah telah membangunnya.
Dengan memperhatikan kekuasaan Fir'aun dan apa yang terjadi padanya serta kaumnya, kini kita dihadapkan pada pertanyaan di atas, yang memaksa kita untuk merenungkan kekuasaan yang menciptakan alam semesta ini. Sama' (langit, cakrawala) menunjukkan hal yang menyatukan alam semesta. Akar kata kerja sama' berarti 'tinggi', tidak hanya dalam arti vertikal, tapi juga dalam arti kiasan, dinaikkan atau luhur. Dengan demikian, ia juga berarti 'berjalan di luar pemahaman (seseorang)'. Rajul samin artinya 'orang yang bernilai tinggi, berwatak moral tinggi'.
Ayat ini menunjuk kepada langit yang lebih dekat dalam sistem planet dan juga langit yang lebih jauh di luar sistem itu. Alquran mengatakan bahwa Allah telah men-ciptakan tujuh langit (Q.S. 41:12). Langit yang dapat kita lihat, yang kelihatannya tidak dapat diduga, sebenarnya adalah langit paling rendah. Di atasnya ada enam langit lagi. Sebagaimana ada tujuh lapis langit, begitu juga ada tujuh lapis bumi, dan lapisan paling dalam berupa logam cair. Tujuh lapis 'langit' pun ada pada tingkat energi elektron yang mengelilingi inti atom.
Namun, dalam bahasa Arab jumlah tujuh atau tujuh puluh (atau bahkan kelipatan tujuh) menunjukkan jumlah yang sangat banyak. Dalam ceramah biasa, jika kita mengatakan bahwa seseorang memberitahu kita sesuatu tujuh kali, tentu saja itu tidak berarti benar-benar tujuh kali tapi mungkin maksudnya beberapa kali. Sama halnya juga pada jumlah tujuh puluh. Pada beberapa hadis Nabi, kita menemukan jumlah-jumlah ini disebutkan, 'Tiada hari berlalu tanpa aku meminta ampunan kepada Allah sebanyak tujuh puluh kali.' Tentu saja ini tidak berarti bahwa beliau menghitung tujuh puluh biji tasbih atau bahwa beliau duduk dengan setumpuk biji kurma, sebagaimana lazimnya pada waktu itu, untuk menghitung jumlah kali yang telah dia ucapkan, ' Astaghfirullah'. Lebih tepatnya, jumlah itu berarti bahwa beliau mengucapkan kalimat ini berulangkali dalam jumlah yang banyak, barangkali paling sedikit tujuh puluh kali.
رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا
28. Dia menambah ketinggian [atap langit]-nya, lalu menyempurnakannya.
Samk artinya 'atap' atau 'langit-langit', sumk artinya 'ketebalan', sedangkan samik artinya 'tipis'. Rafa'a samkaha, 'ia menambah ketinggiannya', artinya lebar langit ditambah sampai suatu tingkat yang menurut persepsi kita ukurannya tak dapat diduga. Dalam ayat ini kata tersebut menyiratkan bahwa langit meletus. Bisa saja menafsirkan ayat ini dengan makna Ledakan Besar (Big Bang).
Fa-sawwaha (lalu menyempurnakannya) merupakan salah satu petunjuk paling awal pada kata sawa, artinya 'sepadan, rata, datar, meratakan, menyamakan, mengatur, menertibkan'. Sawa dan beberapa derivatnya memiliki makna yang saling mencakup dengan kata 'adala, yang berarti 'bertindak adil, sesuai, menyamakan, menyusun rapi'. Dari sawa muncul kata musawah, yang artinya 'persamaan di depan hukum', dan taswiyah, yang berarti 'penyusunan, penyamaan'. Jadi setelah terjadi ledakan besar, ketertiban pun ditegakkan.
وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَاهَا
29. Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan paginya terang benderang.
Ini berkenaan dengan dualitas eksistensi. Malam hari dijadikan gelap, sementara siang hari, awal pagi, dikeluarkan dan dijadikan lebih terang. Akhraja artinya 'mengeluarkan, atau memunculkan'. Kharaja akar dari akhraja berarti 'keluar, terbit'. Kharaj adalah apa yang harus dibayar oleh kita dari kekayaan kita sebagai zakat.
وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
30. Dan bumi, Dia menghamparkannya sesudah itu.
Bumi adalah bagian dari keseimbangan penciptaan secara keseluruhan. Di sini bumi dibentangkan dengan datar dan dijadikan dapat digunakan. Daha artinya 'menggelar, meratakan, mendatarkan, membuka gulungan', dan dahyah artinya 'telur'. Ini menunjuk pada kenyataan bahwa bumi diciptakan terhampar pada beberapa kutub (ujung-ujung hamparan bumi bertemu di dua kutub—peny.), suatu fakta yang baru beberapa dekade saja diketahui oleh manusia modern.
أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
31. Dia mengeluarkan darinya mata airnya dan padang rumputnya
Pada tahap-tahap awal penciptaan, bumi memadat dari material berbentuk cair atau gas. Kemudian dari bumi keluar katalis cair yang dibutuhkan untuk mengubah zat padat menjadi lebih dapat digunakan, zat untuk menopang kehidupan, dan kemudian menjadi tetumbuhan, binatang dan manusia.
Mar'a berarti 'padang rumput' atau 'tempat untuk menggembala'. Ra’a artinya 'menggembalakan', dan juga berarti 'memelihara sekawan binatang', atau lebih umum lagi 'mengurus seseorang atau sesuatu'. Rctai adalah pelindung, sedangkan ra'ini artinya 'lindungi saya'. Dengan demikian dari bumi muncul suatu zat cair yang membuat kehidupan menjadi mungkin dan memberi kita kemungkinan untuk menggembala di atasnya.
وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا
32. Dan gunung-gunung, Dia menjadikannya teguh.
Lagi-lagi di sini kita diberi contoh bagaimana bumi terjadi, yang berubah menjadi bentuk padat. Arsaha artinya bahwa 'Dia telah mengikatkan mereka pada suatu medium cair, Dia menambatkan mereka', dan kata itu berasal dari rasa, yang berarti 'meneguhkan', dan 'menambatkan'. Diteguhkannya bumi ini agar kita bisa menetap dan mencari perbekalan, dan juga memberi kita kestabilan yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan. Jadi, Al-quran sudah bercerita kepada kita lebih dari 1400 tahun lampau tentang awal proses pembentukkan bumi, dan fenomena ini baru sekarang dapat dijelaskan oleh para ahli geologi modern.
مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ
33. Perbekalan untukmu dan untuk binatang ternakmu.
Karena bumi menetap dan berkembang, maka disediakanlah perbekalan untuk umat manusia dan binatang, yang memberikan sekadar kesenangan tertentu dalam perjalanan kita di muka bumi ini.
فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى
34. Namun ketika malapetaka besar datang.
Kematian adalah malapetaka besar bagi mereka yang menganggap kehidupan dunia ini sebagai tujuan utama eksistensinya, padahal itu hanyalah pendahuluan menuju kehidupan berikutnya.
يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ مَا سَعَى
35. Hari di mana manusia akan mengingat kembali apa yang telah ia usahakan.
Pada hari itulah manusia akan mengingat semua yang telah terjadi sebelumnya, dan semua yang ia usahakan ketika hidup akan terbentang di hadapannya, yang mengungkapkan segala niat, perbuatan, dan, dengan demikian, realitas dia. Engkau adalah siapa engkau pada hari itu, tanpa kepura-puraan ataupun ditutup-tutupi.
وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِمَن يَرَى
36. Dan neraka akan diperlihatkan dengan jelas bagi siapa yang melihat.
Pada hari itu penglihatan kita akan menjadi lebih tajam dibanding sebelumnya dan jahim—nama lain untuk neraka—akan nampak segamblang-gamblangnya. Mereka yang telah memimpin kehidupannya dalam bimbingan agitasi batin akan melihatnya dengan jelas.
فَأَمَّا مَن طَغَى
37. Adapun orang yang telah melampaui batas.
وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
38. Dan lebih menyukai kehidupan dunia ini.
فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى
39. Maka tentu saja nerakalah tempat tinggalnya!
Dunya, maksudnya 'dunia ini' sebagai lawan dari dunia berikutnya, berasal dari kata dana, yang berarti 'rendah, dekat, berhampiran', dan juga 'sebagai atau menjadi alas, hina, atau tercela'. Dengan lebih mencintai kehidupan dunia ini seseorang secara otomatis bergerak ke arah materialisme yang lebih kotor dan bersifat rendah.
Keadaan yang bergejolak selamanya adalah tempat istirahat terakhir yang pantas bagi mereka yang melampaui batas di dunia ini, yang lebih menyukai kehidupan dunia ini daripada kehidupan selanjutnya, yakni, bagi mereka yang telah kufur dan terperangkap dalam kekufurannya.
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
40. Dan adapun orang yang takut berdiri di hadapan Tuhannya, dan menahan diri dari segala hasrat (hawa nafsu) rendahnya.
Adapun orang yang takut terhadap kekuasaan dan kedudukan Tuhannya Yang Mahabesar, yang selalu berdiri seakan dalam genggaman Tuhannya, dan yang selalu berbuat seakan perpanjangan Ketuhanan itu, maka itulah orang yang menjaga jiwanya dari mengikuti hasrat rendah, yang tiada hentinya mengingat Allah dan tidak melampaui batas.
Barangsiapa senantiasa menyadari kerusakan akibat tingkah hawa nafsunya akan senantiasa berada di jalan yang lempang dan, konsekwensinya, paling selamat.
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
41. Maka tentu saja surgalah tempat tinggalnya!
Bagi siapa saja yang memelihara rasa takut di hadapan Allah, maka jannah (taman surga) adalah tempat tinggal terakhirnya yang pantas. Ia telah mempersiapkan diri untuk itu di sini dan saat ini juga, dan telah mempelajari kondisi serta situasi taman tersebut. Ia telah memasuki suasana taman surga di dunia ini dalam persiapan untuk keadaannya yang terakhir dan abadi di dunia akan datang.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا
42. Mereka bertanya kepadamu tentang saat (kiamat) kapan ia akan terjadi.
Inilah petunjuk tentang Saat Perhitungan (Hari Pengadilan), saat penyingkapan total dan sempurna, saat di mana aksi dan reaksi bertemu dan dipertemukan, di mana segala niat, perbuatan dan roh manusia akan dihubungkan dan dipersatukan. Saat itulah manusia akan melihat dirinya sendiri sebagai hasil perbuatannya yang, dalam kenyataan, merupakan perwujudan dari segala niatnya. Yang akan dilihatnya tak lain adalah sifat tersembunyi yang merupa-kan sifat aslinya, dan penampilannya akan jelas dalam dua pilihan: cemerlang karena selalu digosok, atau suram tertutup oleh sifat rendahnya.
فِيمَ أَنتَ مِن ذِكْرَاهَا
43. Tentang apakah engkau mengingatkan?
Orang yang bertanya tentang hari itu tidaklah sungguh-sungguh kuatir, karena jika mengimaninya maka ia akan selalu bersiap-siap menghadapi kematian dan pertanggung-jawabannya. Jika kesadaran dia seperti demikian, maka tidak ada alasan untuk terobsesi dengan kiamat besar dunia ini. Perhatian terhadap saat (kematian)nya sendiri mengalahkan perhatiannya terhadap akhir alam semesta atau Saat Pasti.
إِلَى رَبِّكَ مُنتَهَاهَا
44. Kepada Tuhanmulah tujuannya.
Bagaimana engkau dapat mengingatkan mereka kepada ujung atau tujuan akhirnya? Seluruh waktu berhenti pada Tuhan, karena Tuhan berada di luar waktu. Saat tersebut, perhentian waktu itu—tempat berhenti atau ter-akhir itu—adalah pada Tuhan.
إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرُ مَن يَخْشَاهَا
45. Engkau hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut terhadapnya (kiamat).
Yang dapat kita lakukan di dunia ini, yang tunduk pada waktu, hanyalah mengingatkan orang lain, menyadarkan mereka bahwa akan terjadi situasi di mana waktu akan berhenti. Pada saat itu yang akan kita miliki sebagai modal hanyalah apa yang telah kita peroleh dari hasil perbuatan kita dan pengetahuan yang terbit dari sumber pengetahuan dalam diri kita, dan dari kesadaran pencegahan kita bahwa kehidupan ini akan sampai pada akhirnya.
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا
46. Pada hari tatkala mereka melihat itu, seakan-akan mereka tidak tinggal kecuali selama bagian akhir hari (sore) atau bagian awal hari (pagi).
Saat akhir dapat dirasakan di sini, tapi pada saat akhir yang mutlak, waktu akan berhenti. Ketika kita menjalaninya, tahun-tahun panjang kehidupan ini akan terasa bagaikan satu hari saja, atau bagian dari sehari dan semalam semata. Kehidupan terasa singkat dan tidak berarti. Bila waktu sampai pada ujungnya dan kita melihatnya dengan kesadaran seperti itu, maka seluruh perjalanan kita di dunia ini akan nampak menyimpang sama sekali. Kita akan meninggalkan waktu kernudian memasuki ketakberwaktuan, yang melatarbelakangi waktu; dan Allah adalah Yang Tak Berwaktu.[]
SURAH AN-NABA'
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Ini adalah ungkapan pertama dalam Alquran yang senantiasa muncul pada setiap awal surah kecuali satu (surah Al-Taubah). Konon seluruh esensi Quran terkandung dalam ungkapan ini. Kata 'dengan nama' mengindikasikan sesuatu yang mustahil untuk disebutkan atau dideskripsikan, yakni Allah, dan penciptaan ini seluruhnya 'dengan nama Allah'.
Sebutan 'Maha Pengasih' dan 'Maha Penyayang' berasal dari akar kata bahasa Arab yang sama. 'Maha Pengasih' mengindikasikan kemurahan hati dan belas kasih yang berlaku umum untuk semua makhluk tanpa ada diskriminasi, sedangkan 'Maha Penyayang' mengindikasikan kemurahan hati yang khusus diberikan kepada mereka yang menyerahkan diri kepada Wujud Tunggal Yang Mahatinggi.
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ
1. Tentang apakah mereka saling bertanya?
عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ
2. Tentang berita yang besar.
الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ
3. Yang dalam hal itu mereka berselisih.
Ini adalah surah Makkiyah yang awal. Pertanyaan dalam ayat pertama ditujukan kepada mereka yang mengingkari kebenaran, yakni kaum kafirin (orang-orang yang menutupi [kebenaran], yang tidak bersyukur). Kaum kafirin adalah mereka yang tidak sanggup mengemban perintah suci atau memahami kedalamannya, mereka yang tidak mau mengakui kebenaran makna tauhid, dan menganggap kehidupan dunia ini adalah satu-satunya kehidupan. Mereka percaya bahwa tidak akan ada lagi kehidupan setelah itu, sehingga tentu saja mereka akan mengingkari 'peristiwa besar', peristiwa menentukan yang paling akhir; Mereka menyangkal dan meragukan kejadiannya.
Apa yang mendorong mereka untuk bertanya? 'Amma adalah singkatan dari 'an mâdzâ, yang artinya 'tentang apa?' Kemampuan mereka bertanya ini merupakan fakta adanya tanda kehidupan pada mereka, dan dimana ada kehidupan mesti juga ada kematian, sebab dalam eksistensi ini segala sesuatu ada lawannya. Dengan menafakuri kenyataan ini, kita akan mengetahui bahwa karena kehidupan dan kematian ada pada tingkat kesadaran ini, maka mungkin saja ada kehidupan dalam bentuk lain pada tingkat kesadaran lain, atau kehidupan setelah mati, yang akan dibuka oleh Hari Kebangkitan. Oleh karena itu, sungguh berani mereka meragukan kenyataan ini! Kenyataan absolut yang tak terbantahkan bahwa apa pun yang berawal pasti akan berakhir. Kalau kita renungkan lagi, maka jelaslah bahwa Dia Yang menciptakan makhluk ini juga dapat dengan mudah menciptakan bayangannya.
Dalam gambaran total eksistensi, segala aspek halus kehidupan ini akan menjadi aspek nyata di kehidupan mendatang, dan segala aspek kasar kehidupan ini akan nampak hanya sebagai tambahan semata atau wujud yang tidak berarti. Misalnya bentuk tubuh, yang penting sekali artinya dalam kehidupan sekarang, hanya akan menjadi tambahan semata dalam kehidupan mendatang. Kesangsian orang kafir ini terhadap adanya kehidupan akhirat merupakan bukti nyata dari ketidakpastian dan kebingungan mereka. Di lain pihak, orang beriman yakin sepenuhnya tentang tempat kediamannya kelak.
Naba' artinya 'berita, kabar, informasi, maklumat', yakni berita tentang akhir penciptaan. Mereka yang menyangkal pesan realitas ini, sebagaimana dijelaskan secara gamblang dalam Alquran, bertanya-tanya tentang hari akhir dan berasumsi bahwa akhir dari peijalanan hidup ini akan menjadi akhir dari segala perjalanan hidup. Mereka mempersoalkannya dan terjadi perselisihan di antara mereka sendiri karena mereka sama sekali tidak tahu apa-apa tentang ciri-cirinya. Mereka mengira akan dapat melepaskan diri dari kesengsaraan dan kekacauan hari kiamat dengan cara bagaimana pun, dan tidak percaya bahwa pada hari itu keadilan Allah pasti dan mutlak akan ditegakkan, sementara mereka akan membawa buah dari perbuatannya.
Manusia mengira dapat mengatasi hukum yang mengatur eksistensi kehidupan ini, dan dapat lari dari kenyataan bahwa ganjaran terakhir akan diberikan sesuai dengan perbuatannya yang, sebaliknya, bergantung pada niatnya. Kehidupan dia di tingkat kesadaran berikutnya didasarkan pada perbuatan dan niatnya di tingkat kesadaran ini; ia akan diciptakan ulang sesuai dengan komposisi perbuatan dan niatnya secara keseluruhan pada saat meninggalkan kehidupan ini.
كَلَّا سَيَعْلَمُونَ
4. Tidak, mereka akan segera mengetabui.
ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ
5. Sekali-kali tidak, mereka akan segera mengetahui!
Kallâ(sekali-kali tidak) adalah omelan, suatu teguran positif kepada orang-orang yang bertikai. Setiap orang akan mengalami akhir penciptaan melalui kematiannya, dan kemudian juga akan mengalami akhir seluruh penciptaan (kiamat) dan mengalami kebangkitan. Kematian seseorang adalah kematian mikrokosmos. Pada saat mati tidak ada lagi sedikit pun keraguan pada kaum yang ingkar tentang kebenaran berita tersebut, yakni berita tentang peristiwa mahadahsyat yang merupakan akhir dari eksistensi ini.
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا
6. Bukankah Kami jadikan bumi suatu hamparan yang luas.
وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا
7. Dan gunung-gunung sebagai pasak?
Ayat 6 sampai 16 memiliki makna yang sama. Allah sedang menunjukkan bukti dari kesempurnaan penciptaan dan sifat siklis dari penciptaan tersebut. Bukankah bumi menjadi hamparan luas yang meringankan gerak kita sehingga kita dapat mencari penghidupan, dan bukankah gunung-gunung itu pasaknya? Secara geologis, gunung-gunung bagaikan pilar-pilar terpendam yang merekatkan lapisan kerak bumi yang renggang sehingga aman dan stabil.
وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا
8. Dan Kami telah menciptakan kamu berpasang-pasangan.
Ayat ini mengungkapkan keberpasangan dari setiap jenis makhluk hidup, laki-laki dan perempuan, dan kebertentangan setiap aspek penciptaan lainnya, seperti baik dan buruk, sehat dan sakit, nafs (diri) yang rendah dan nafs yang tinggi.
وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا
9. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat,
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا
10. Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian penutup,
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
11. Dan Kami jadikan siang untuk mencari pengbidupan,
Akar kata kerja 'istirahat' dalam bahasa Arab adalah subât yang artinya tidur di musim dingin, beristirahat, menghentikan kegiatan (sabata). Kata benda yang bertalian adalah sabbat yang artinya Sabtu. Pada hari ini kaum Yahudi tidak boleh mengerjakan urusan duniawi apa pun. Semua aktivitas lahiriah dilarang agar manusia bisa mengisi ulang dirinya secara batiniah. Tidur—suatu bentuk hibernasi atau kegelapan yang singkat—sebenarnya dapat membangkitkan vitalitas karena dengan tidur kesegaran fisik kita akan pulih kembali dan mencapai keseimbangkan diri setelah menjalani berbagai kesulitan di siang hari. Saat malam tiba, maka malam pun menyelubungi kita bagaikan sebuah jubah. Kata yang digunakan di sini untuk 'penutup' adalah libâs, dari kata kerja labisa, yang artinya 'mengenakan penutup atas sesuatu, menyelubungi, membajui atau memasangkan pakaian'.
Penghidupan (ma'âsy) berasal dari kata 'âsya, yang artinya 'hidup'. Ma’âsy juga berarti 'jalan hidup atau gaya hidup'. Siang hari adalah waktu untuk melakukan aktivitas jasmaniah karena ada cahaya, dan sebaliknya, bila tidak ada cahaya (yakni, malam hari), maka itulah saatnya untuk melakukan aktivitas batiniah. Begitulah menurut hukum kebalikan.
وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا
12. Dan Kami membangun di atas kamu tujuh buah yang kokoh,
'Tujuh buah yang kokoh' di sini adalah tujuh langit. Syidâd adalah jamak dari syadîd (kuat), dari akar kata syadda (kokoh, kuat, teguh, mantap,' dan 'membebani'). Ini berarti bahwa langit-langit itu saling bertalian dan terjalin secara kuat, disatukan oleh kekuatan-kekuatan tak kentara yang berada di luar jangkauan penglihatan kita. Dari tujuh lapis realitas fisik (langit) yang tinggi, kita hanya dapat melihat lapisan langit yang berisi bintang-bintang.
Banâ artinya 'membangun, mendirikan, menegakkan, menyusun'. Langit-langit disatukan dan dibangun oleh kekuatan dan kekuasaan yang tidak nampak. Bagian fisik dari langit-langit itu tidaklah ada artinya dibanding banyak sekali kekuatan gaib yang menjaga agar mereka tetap seimbang selama berjalannya ekspansi.
وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا
13. Dan Kami jadikan lampu yang menyala terik,
Ini adalah deskripsi tentang matahari yang seringkali diilustrasikan sebagai sirâj wahhâj (lampu yang menyala terik). Wahhâj artinya 'menyala terik, pijar, panas membara, berkobar-kobar, cemerlang'. Sifat matahari adalah memancarkan cahaya, sedangkan sifat bulan adalah memantulkan cahaya.
وَأَنزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا
14. Dan Kami turunkan dari awan air yang melimpah,
Kata yang digunakan di sini untuk awan (mu'shirât) berasal dari 'ashara, yang artinya 'memeras, menekan ke luar'. 'Ashîr artinya 'air' (jus). Mu'shirât adalah awan yang mengeluarkan air hujan yang turun melimpah (tsajjâja).
لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا
15. Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu bijian-bijian dan tumbuh-tumbuhan,
وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا
16. Dan kebun-kebun yang lebat.
Turunnya hujan dan denyutan bumi menyebabkan terjadinya proses pengadukkan, yang selanjutnya menyebabkan biji-bijian dan tanam-tanaman baru bertumbuhan sehingga kebun-kebun pun tertutup dengan lebatnya tanaman.
إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيقَاتًا
17. Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan.
Kemudian terjadilah perubahan yang tiba-tiba. Hari Keputusan (atau Hari Pembalasan) adalah hari pemilahan dan pemisahan, hari kejelasan. Saat itu segala sesuatu jelas-jelas dipisahkan secara adil lalu dimasukkan ke tempatnya masing-masing, yang baik dengan yang baik dan yang buruk dengan yang buruk. Pada hari ini tidak akan ada lagi ketidakpastian. Kata yang diterjemahkan di sini sebagai 'keputusan' (fashl), berasal dari akar kata kerja fashala yang artinya 'memisahkan, memencilkan, membuat suatu keputusan tanpa ada keraguan sedikit pun'—tidak ada bidang yang samar-samar (tidak jelas). Fashala juga berarti 'menyapih', karena tindakan menyapih itu memisahkan seorang bayi dari sumber makanan pertamanya, yakni ibunya. Kata Arab untuk 'patokan yang tegas' (fayshal) berasal dari kata kerja yang sama (yakni fashala), dan juga berarti 'hakim' atau 'pedang pemisah'.
Ayat ini menyiratkan bahwa sekarang ini bukanlah hari kejelasan, tapi lebih merupakan hari kebingungan dimana kita tidak tahu apakah sesuatu itu benar atau salah, atau apakah kita sudah berada dalam keimanan yang benar atau belum. Paling banter, ada semacam kearifan pada hari ini, dan setidaknya ada upaya untuk membedakan dengan mengingat Allah. Tapi pada hari itu, setelah kematian, tidak akan ada kebingungan lagi. Penghuni neraka akan berada di dalam neraka, penghuni surga akan berada di dalam surga, dan segala sesuatu akan nampak jelas dalam pandangan Pencipta Yang Adil.
Waktu yang ditetapkan untuk peristiwa ini sudah pasti. Mîqât berasal dari waqt yang artinya 'waktu yang sudah ditentukan dan pasti, suatu batas waktu' atau 'saat pertemuan'. Kita semua akan bertemu pada hari itu yang disebut Hari Pertemuan, saat setiap orang akan dikumpulkan untuk menjalani perhitungan terakhir (dihisab).
يَوْمَ يُنفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا
18. Hari ketika sangkakala ditiup kamu akan datang berkelompok-kelompok.
Ini berkenaan dengan Hari ketika malaikat Israfil meniup terompet cahaya untuk mematikan semua cahaya kecuali satu-satunya Cahaya. Pada hari itu tidak ada cara untuk melihat segala sesuatu kecuali melalui Cahaya Allah yang sejati. Ketika suara sangkakala yang kedua diperdengarkan, itulah pertanda Kebangkitan. Yang ada hanyalah Cahaya Sang Pencipta, dan tidak ada yang mengintervensi. Bangsa-bangsa akan muncul dipenuhi dengan suku-suku, keluarga-keluarga dan rumahtangga-rumahtangga. Mereka akan datang secara bergelombang mengikuti irama, dan di dalam kelompok-kelompok ini akan ada jiwa-jiwa yang memimpin mereka, yakni para rasul dan nabi. Alquran mengatakan bahwa satu Hari itu menurut perhitungan Allah sama dengan 50.000 tahun menurut perhitungan manusia. Semakin dekat kepada Allah—Yang Tak Berbatas Waktu—semakin jelas relativitas waktunya. Waktu yang sesaat bagi Allah akan terasa tiada akhir bagi kita.
وَفُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا
19. Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu,
Kekuatan yang sekarang menyatukan langit-langit tidak akan ada lagi, seolah-olah pintu keluar-masuk ke zona-zona lain telah diciptakan. Ketika penataan ulang ini berlangsung, seluruh energi penciptaan akan lepas melalui pintu-pintu tersebut. Lelangit tidak akan lagi menyatu sebagai sebuah struktur tunggal, tapi akan mengikuti kecenderungan baru, yang merupakan penghancurannya, dan akan kembali ke keadaannya semula, yakni lenyap dalam kekuasaan Sang Pencipta. Selain tujuh lapis langit yang kuat, akan ada beberapa saluran yang melalui saluran tersebut bisa terlihat bahwa secara pelan-pelan segala sesuatu sedang bergerak mundur.
وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا
20. Dan gunung-gunung akan dijalankan sehingga bagaikan fatamorgana.
Gunung-gunung yang sekarang nampak laksana sosok-sosok yang kokoh, akan lenyap sehingga nampak bagaikan fatamorgana. Terjemahan umum untuk sarâb adalah 'fatamorgana'. Akar katanya adalah sariba yang berarti 'lambat laun habis, lenyap di depan mata tanpa ketahuan'. Semakin dekat kita bergerak ke arah fatamorgana, semakin jauh kelihatannya, dan selamanya takkan pernah bisa ditangkap. Ini menunjukkan adanya tingkat kesadaran lain di mana zat dan energi akan saling bertukar dan saling memberi. Gunung-gunung tidak akan menjadi fatamorgana, tapi mereka akan berubah bentuk dengan cara yang tidak bisa dipahami (rahasia), yakni mereka akan lebur kembali menjadi wujud yang tak kentara, kembali menjadi bentuk energi yang semakin halus, kembali ke ketiadaan yang merupakan asalnya.
Runtuhnya penciptaan merupakan pembalikan transformatif dari proses penciptaan. Berawal dari ketiadaan kemudian muncullah bentuk-bentuk zat yang paling halus (berupa gas), yang kemudian memadat dan menjadi cair. Setelah mendingin dan mengeras, siklus air pun mulai. Kemudian muncullah tanam-tanaman dan terjadi siklus penciptaan yang konstan, yang dapat kita saksikan selama tempo hidup kita yang singkat ini. Namun kemudian proses tersebut akan berbalik di mana setahap demi setahap penciptaan kembali ke asalnya.
إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا
21. Sesungguhnya neraka jahanam bersembunyi mengintai.
Jahannam (neraka) adalah salah satu nama yang digunakan dalam Alquran sebagai lawan dari jannah (surga). Kata ini dihubungkan dengan akar kata jabuma (bermuka masam) dan jahm (suram, muram, merengut, murung). Kata benda yang sekaitan adalah jahnîm, artinya 'lubang yang tak berujung (berdasar)' dan di tempat seperti itu tidak ada kestabilan maupun kedamaian. Sifat dasar manusia adalah mencari keamanan dan juga kepastian. Sementara, ketidakpastian terburuk yang dapat dialami semua orang adalah dijebloskan ke dalam lubang yang tak berujung itu dan menggelepar-gelepar di sana tanpa daya selamanya.
Maksud dari sesuatu yang 'bersembunyi mengintai' itu menunjukkan adanya proses penyergapan (mirshâd). Mirshâd berasal dari rashada, artinya 'mengawasi sesuatu dengan sungguh-sungguh', laksana seekor kucing yang sedang mengawasi seekor tikus di lubang tikus. Dalam bahasa Arab modern, mirshâd berarti 'teleskop'. Dengan menggunakan sebuah teleskop kita dapat mengamati bintang dalam jangkauan ruang penglihatan kita. Jadi lubang tak berujung ini, yang menimbulkan kesulitan tiada akhir kepada kita, sebenarnya sedang mengintai kita, mengamati lansekap untuk menangkap orang-orang yang termasuk dalam 'ruang penglihatan'-nya.
لِلْطَّاغِينَ مَآبًا
22. Tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.
Setiap sistem mempunyai batas, dan kalau kita berjalan melampaui batas-batas tersebut berarti kita melanggar. Itulah yang dimaksud dengan thaghâ. Jika di dalam sistem tersebut kita melampaui batas-batasnya maka kita akan hancur sehancur-hancurnya. Jahanam—ketakbertepian yang abadi dan terakhir—adalah tempat kembali bagi orang-orang yang melanggar (al-tâghîn). Berarti, mereka yang melampaui batas dalam kehidupan ini sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal terakhir itu. Dengan melakukan segala perbuatan dan niat yang salah mereka sudah sedang bergerak ke dalam medan api (penderitaan) dan kekacauan.
Alquran mengartikan api terakhir sebagai nâr al-kubrâ (api besar, api abadi). Kalau api besar itu adalah api terakhir, maka berarti nâr al-shughrâ (api kecil) sudah dapat dirasakan di sini dan saat ini juga. Api kecil adalah sesuatu yang kita rasakan dalam kehidupan ini yang disebabkan oleh kejahilan dan kezaliman kita. Banyak ayat lain dalam Alquran yang menyatakan bahwa barangsiapa melampaui batas maka ia sudah berada dalam jahanam kecil di alam kehidupan ini. Mungkin saja ia tidak menyadarinya, tapi yang jelas ia mengisi jahanam kecil itu dengan bahan bakar berupa kemarahan, ketidakteguhan dan kebenciannya. Andaikan ia mau secara serius merenungkan keadaannya, maka ia akan mengetahui apakah dirinya sedang bergerak memasuki taman ataukah api. Ayat ini menyebutkan 'tempat kembali', seakan-akan para pelanggar berlindung di dalamnya (di tempat kembali itu). Hal yang sama terjadi pada penghuni taman (surga). Alquran memberitahukan bahwa ketika mereka mendapati dirinya berada di dalam taman pada kehidupan mendatang, mereka akan berkata, 'kami selalu ingat tempat ini!' Ini berarti mereka pernah mengalami berbagai aspek suasana taman dalam kehidupan ini.
Kita mempersiapkan suasana atau kondisi yang akan meliputi kita di alam kesadaran mendatang. Pada saat mati, kita akan memasuki dan menjalani keadaan terakhir yang tak dapat diubah, dan keadaan tersebut diciptakan oleh segala niat dan perbuatan kita sewaktu hidup. Karena itu, kehidupan mendatang merupakan hasil yang kita peroleh, dan merupakan rangkaian kesatuan dari keadaan terakhir kita dalam kehidupan ini.
لَابِثِينَ فِيهَا أَحْقَابًا
23. Tinggal di dalamnya selama-lamanya.
لَّا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا
24. Mereka tidak merasakan kesejukan dan minuman di dalamnya,
إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا
25. Selain air yang mendidih dan dingin yang melumpuhkan,
Orang-orang yang niat dan perbuatannya tidak padu, dan menjalani kehidupannya dengan keterputusan dan amburadul, akhirnya akan memasuki pergolakan yang sangat dahsyat, yakni suatu kondisi yang tidak mendatangkan kedamaian maupun keterpusatan. Mereka akan tetap berada dalam jahanam selama berabad-abad, karena alam kesadaran berikutnya berada dalam zona abadi yang berlangsung selama-lamanya.
Di dalam neraka terjadi pergolakan yang mahadahsyat, di sana tidak ada kehidupan maupun kematian. Neraka adalah lawan dari cinta dan keterjalinan, kesatuan dan kepastian, yang tertanam dalam jiwa manusia. Jika roh menjalani kehidupan yang kacau, maka wajar kalau ia akan menuju tempat tinggal yang keadaan di dalamnya benar-benar mengerikan. Begitu pula, roh yang hidup dalam keharmonisan maka wajar kalau ia memasuki taman surga. Kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang tidaklah terputus, tapi membentuk suatu rangkaian kesatuan. Yang membedakan hanyalah tingkat kesadaran dan kejelasan serta kesejatian pengalaman. Hal ini dapat diilustrasikan dengan rasa takut orang yang terjaga dari mimpi buruk yang mengerikan, atau, rasa senang dan puas orang yang terjaga dari mimpi indah.
جَزَاءً وِفَاقًا
26. Pembalasan yang setimpal.
Ayat ini menyatakan hasil atau ganjaran yang pantas untuk kehidupan yang tertutup dan ingkar. Jazâ artinya 'ganjaran atau balasan'. Hasil akhir ini benar-benar sesuai dengan semua yang terjadi sebelumnya. Penciptaan dan perintah Allah benar-benar selaras.
إِنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرْجُونَ حِسَابًا
27. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada perhitungan,
Mereka, secara individu atau kolektif sebagai bangsa-bangsa, tidak mengharapkan adanya perhitungan (hisâb) terakhir ataupun reaksi terhadap segala perbuatan mereka. Mereka pun tidak menyangka bahwa akhimya akan menjumpai bayangan dari apa yang telah mereka sendiri ciptakan melalui perbuatan dan pemikiran mereka.
وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا كِذَّابًا
28. Dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan pengingkaran yang keras.
Kadzaba artinya 'berbohong, menipu, atau memperdayakan'. Ini berarti mereka telah mengingkari kebenaran yang temkir dalam diri mereka, kebenaran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, bahwa tujuan dari penciptaan adalah tauhid (keesaan), dan bahwa para nabi dan rasul yang membawa kebenaran ini menunjukkan jalan menuju kehidupan yang selaras dengan pola penciptaan yang teradu. Dengan mengingkari ini, berarti mereka telah menipu diri mereka sendiri.
وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ كِتَابًا
29. Dan Kami telah mencatat segala sesuatu dalam sebuah Kitab.
Segala sesuatu dalam kehidupan ini dihimpun di dalam sebuah Kitab tunggal. Segala sesuatu adalah Kitab, dan Kitab itu mengandung segala sesuatu. Segala sesuatu yang ada adalah saling berhubungan dan pada akhirnya berakhir pada satu tempat, tidak ada yang terpisah. Yang mengingkari kebenaran ini berarti telah melanggar dirinya sendiri, dan pelanggaran ini pun tertulis dalam Kitab tersebut. Segala sesuatu telah diperhitungkan dan tercakup dalam Kitab tentang kesejatian ini, Kitab tentang manifestasi, Kitab yang komprehensif tentang qadhâ wa qadar (takdir keputusan Tuhan). Alquran adalah manifestasi yang jelas dari Kitab tersebut.
فَذُوقُوا فَلَن نَّزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا
30. Maka rasakanlah! Karena Kami tidak akan menambah apa pun kepadamu selain azab.
'Maka rasakanlah!' artinya 'Sambungkanlah!' dalam arti pengalaman yang utuh. Kita akan merasakan dan mengetahui sepenuhnya tentang niat kita. Maka, barangsiapa menolak ia akan tertolak. Jika ia menyangkal bahwa hanya ada satu keesaan, bahwa ia menjadi ada karena kerahiman dari keesaan itu, bahwa melalui keesaan ia dipelihara, maka ia akan kembali kepada keesaan tersebut dalam keadaan terpisah dan terserak. Jika ia mengingkari fakta adanya para nabi dan rasul yang mempertegas kebenaran [keesaan] ini dan meninggalkan pesan dalam bentuk Kitab, maka ia telah terpedaya. Akibatnya, yang akan dialaminya di kehidupan akhirat kelak hanyalah keadaan yang penuh pertentangan dan kekacauan. Sekarang ia buta dan tidak mau menyadari kebutaannya, dan di alam kesadaran mendatang ia akan tetap dalam kebutaan semata.
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا
31. Sesungguhnya, orang-orang yang bertakwa akan memperoleh keberhasilan,
Kaum muttaqîn senantiasa menjaga diri, dan sepenuhnya mengetahui batas-batas yang ditetapkan. Mereka menjalani kehidupan ini seolah-olah sedang berjalan lurus sepanjang tepi jurang yang terjal. Kehati-hatian dan kesadarannya yang tinggi (taqwa) mencegah mereka dari melampaui batas sehingga tidak mencelakakan diri mereka sendiri. Kualitas kehati-hatian ini didorong oleh keyakinan yang didasarkan pada pengetahuan, iman.
حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا
32. Disertai taman-taman dan kebun anggur,
وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا
33. Dan teman yang muda-muda dan sebaya umurnya,
Surah ini turun sesuai dengan tingkat pemahaman, tuntutan manusiawi, dan berbagai pengharapan kita di dunia ini. Segala keinginan kita disimbolkan dengan suasana yang sangat menyenangkan dari sebuah taman subur yang penuh dengan bebuahan bergizi dan teman yang saling mengisi, yang usianya sebaya dan menyenangkan. Kawâ'iba atrâbâ artinya 'gadis-gadis muda' atau 'teman sebaya', yang memiliki pemahaman yang cocok.
وَكَأْسًا دِهَاقًا
34. Dan gelas yang penuh.
Penuh dan tidak pernah berkurang sedikit pun. Gelas-gelas mereka selalu penuh, sehingga tidak ada tuntutan dan keinginan. Segala hasrat dan harapan telah dinetralisir sepenuhnya.
لَّا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا
35. Di sana mereka tidak akan mendengar percakapan yang sia-sia dan dusta,
Laghw artinya 'percakapan yang sia-sia, omong kosong', atau 'tidak berguna'. Akar kata kerjanya adalah laghâ yang berarti 'berbicara omong kosong', dan dari kata itu muncul lughah yang artinya 'bahasa'. Bicara akan menepis kesunyian. Dengan kemencolokannya, energi komunikasi bahasa (berbicara) mampu menyisihkan keadaan sebelumnya, yakni, damainya suasana sunyi. Kondisi yang digambarkan di sini adalah suasana taman yang sangat luhur, kesadaran terhadap kedamaian yang paling agung dan sentosa yang tidak akan terganggu ataupun berakhir.
جَزَاءً مِّن رَّبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا
36. Ganjaran dari Tuhanmu dan badiah yang sesuai dengan perhitungan.
Inilah ganjaran dan hasil yang setimpal. Rabb artinya 'Tuhan', Asma Allah yang menyebabkan pengetahuan kita berkembang mencapai potensi penuhnya dan menyadarkan kita bahwa dalam kehidupan ini kita akan diganjar sesuai dengan perbuatan dan niat kita, dan dalam kehidupan mendatang kita juga akan diciptakan kembali sesuai dengan perbuatan dan niat kita. Proses aksi dan reaksi ini berlangsung dalam keseimbangan yang sempurna, dan terjadi dengan ukuran yang tepat. Keseimbangan ini begitu njlimet sehingga mencakup makna maupun bentuk. Misalnya, perbuatan lahiriah di dunia ini bisa mendatangkan ganjaran pada tingkat mental dan intelektual, atau niat yang baik bisa mendatangkan ganjaran yang bersifat lahiriah.
رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرحْمَنِ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا
37. Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Pemurah, mereka tak mampu berbicara dengan Dia.
Di sini Allah menyatakan Diri-Nya sebagai Tuhan langit dan bumi. Pemelihara lelangit tentu mengetahui semua yang ada di langit dan di bumi, dan ruang di antara keduanya. Ayat ini menegaskan ruang di antara dua sistem yang berbeda dan menggarisbawahi kenyataan bahwa berbagai subsistem fisik dan energi, yang tunduk pada hukum ukuran dan keterprediksian, dipersatukan oleh aspek realitas lain yang tidak dapat langsung dimengerti oleh kita. Yang memerintah alam duniawi seringkali dapat dilihat dan dapat diukur. Yang memerintah entitas langit juga layak dapat diukur oleh umat manusia karena dua sistem ini tidak terpisah. Negeri yang tak berpenghuni manusia—ruang angkasa—yang sifatnya bisa melepaskan kita ketika kita mengalihkan perhatian dari fisika Newton ke mekanika kuantum, misalnya, berada dalam Ketuhanan yang sama. Setelah mengkaji berbagai sistem, ternyata menurut ilmu fisika, hukum dari satu sistem tidak dapat diterapkan pada semua sistem. Di antara sistem-sistem ini ada ruang antara melalui mana mereka saling berhadapan dan ruang antara tersebut tidak kita mengerti. Setiap modul dapat dimengerti, tapi kesalingberhubungan di antara mereka tidak dapat dimengerti. Fisika Newton dapat dimengerti, tapi hanya sampai batas tertentu. Mekanika kuantum berlaku pada suatu zona di mana fisika Newton tidak dapat dimengerti. Fisika subatomik berbeda dengan fisika Newton maupun mekanika kuantum. Masing-masing ilmu memiliki hukum-hukumnya sendiri. Dalam ruang antara, di antara lelangit dan bumi, ada juga zona-zona yang tidak dapat dikenal, dan semuanya dipelihara oleh Tuhan.
Kata untuk 'berbicara' atau 'berkata' yang digunakan di sini adalah khithâb yang berasal dari kbathaba, artinya 'menyampaikan khutbah umum'. Ia juga berarti 'meminta uluran tangan seorang wanita dalam pemikahan'. Khuthubah artinya 'pinangan, lamaran'. Semua kata turunan ini menunjukkan komunikasi dan, dengan demikian, hubungan serta penyatuan. Karena itu, pelanggar adalah mereka yang memutuskan hubungan dirinya dengan penguasa realitas fisik dalam kehidupan ini; maka yang dapat Mereka rasakan di kehidupan mendatang hanyalah keterputusan hubungan yang lebih besar lagi.
يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَّا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْأَذِنَ لَهُ الرحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا
38. Hari ketika roh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf tidak ada yang berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Maha Pemurah, dan yang mengucapkan kata-kata yang benar.
Hari Pembalasan—saat segala amal tidak lagi berlaku—merupakan hari diberlakukannya seperangkat hukum baru yang sudah ada sejak awal. Tubuh kita merupakan sebuah sistem kompleks yang di dalamnya terjadi interaksi yang halus di antara berbagai subsistem yang melibatkan energi kimiawi, listrik, magnetis, mekanis dan fisika, juga kekuatan-kekuatan yang lebih halus lagi, dan masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri. Hukum yang berlaku di dunia akan datang—setelah berakhirnya kehidupan ini—memiliki sifat lain. Sekarang ini kita menjalani segala sesuatu dengan mengikuti arah waktu tertentu; sedangkan, hancurnya penciptaan akan terjadi seakan-akan arah waktu proses penciptaan diputar balik. Tapi yang dapat kita lakukan saat ini hanyalah menganalisis secara cerdas dan teoritis tentang kehancuran itu, karena pemahaman kita tentang itu sangat-sangat terbatas.
Dalam situasi demikian, kita diberitahu bahwa—sebagai individu-individu—kita tidak akan lagi memiliki kemampuan untuk beramal—kita akan bemar-benar sepenuhnya berada di bawah kendali dan kekuasaan dominion baru. Babak akhir dari drama ini akan ditutup, dan tibalah waktunya untuk mengevaluasi penampilan setiap pemain.
Kata yang diterjemahkan di sini sebagai roh, ruh, berasal dari akar kata yang sama dengan râhah. Kata ini juga berkaitan dengan rîh, yang berarti 'angin', mirwahah berarti 'kipas', dan istirwâh yang berarti 'pernapasan'.
Roh adalah unsur halus yang ditiupkan ke dalam diri kita dalam bentuk nyawa, begitu kita menyebutnya. Roh keluar atas perintah Sang Pemelihara dan merupakan wujud halus yang menutupi dirinya dengan tubuh, yang memberinya kesadaran dan kesanggupan untuk bertentangan dan melakukan bermacam-macam kemungkinan. Ketika roh lepas, maka mulailah proses kematian di bumi, dengan meninggalkan tubuhnya.
Pada umumnya kita menerima kemampuan kita untuk beramal dan berbicara sebagaimana adanya, tapi pada Hari Kebangkitan tidak akan terjadi campur tangan amal atau pun lisan. Hanya Sang Maha Pengasih dan Mahasempurna yang akan meliputi segala hal. Tidak akan ada lagi peluang bagi siapa pun untuk melakukan perbuatan jahat. Pelanggaran hanya teijadi dalam kehidupan dunia ini, dalam dimensi ini, dan di sepanjang arah waktu. Satu-satunya pilihan kita di sini adalah mengakui kenyataan bahwa kita tidak punya pilihan. Sama sekali tidak ada pilihan. Mengakui tidak ada pilihan adalah suatu kearifan. Seandainya kita mengetahui apa tindakan terbaik yang harus dilakukan dalam setiap situasi baru, maka pertanyaan tentang pilihan tidak akan muncul, karena akan jelas apa yang mesti dilakukan.
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا
39. Itulah Hari yang pasti terjadi—maka siapa yang menghendaki, hendaklah mencari perlindungan kepada Tuhannya.
Pada hari itu, dalam suasana serba baru, keadilan berjalan sempurna: kepastian bahwa kebenaran (haqq) akan berlaku adalah mutlak. Keadilan sejati juga meliputi eksistensi ini, tapi sebagai makhluk yang terbatas kita sering tidak mengetahuinya karena kita tidak dapat memahami semua hubungan timbal-balik di antara berbagai sistem penciptaan yang sangat banyak sekali. Dari sudut pandang Wujud Mutlak tidak pemah ada sedikit pun ketidakadilan. Allah berkata, 'Aku menciptakan mereka untuk api neraka dan Aku tidak perduli.' Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan adil, bil-haqq. Hanya manusialah yang, karena kebodohannya, merusak keseimbangan itu sehingga menciptakan ketidakadilan yang nyata.
Ungkapan 'Maka siapa yang menghendaki, hendaklah mencari perlindungan kepada Tuhannya' menunjukkan bahwa Allah sedang berbicara kepada orang-orang yang tidak menyadari kenyataan bahwa mereka dipelihara dan disantuni oleh Tuhan. Oleh karena itu ungkapan tersebut merupakan peringatan yang disampaikan kepada mereka yang sekarang berkeinginan untuk menemukan jalan kembali ke Wujud Tunggal yang telah memberi mereka kebebasan untuk menentang. Allah adalah 'tempat kembali yang berulang-ulang'. Dia berulang-kali menerima kita kembali, laksana seorang ayah yang penuh kasih dan menyadari bahwa anaknya suka melawan sehingga akan pergi dan pergi lagi. Bilamana sang anak kembali pulang, si ayah menyambutnya, dengan tetap sepenuhnya menyadari bahwa kelak anaknya akan pergi lagi.
Sifat rendah manusia penuh dengan kecemasan yang tidak menyenangkan. Tapi bagi orang yang percaya akan belas kasih Allah yang mutlak dan berserah diri kepada-Nya, maka takkan ada kecemasan lagi karena ia menerirna apa yang terjadi padanya sebagai hal terbaik baginya. Dari penerimaan yang tulus ini muncullah kepastian.
Pada Hari Pengadilan, Hari Keputusan, semua keragu-an yang mengandung pertanyaan akan lenyap. Siapa pun yang ingin kembali ke dalam keesaan, yakni warisan sejati yang terkandung dalam hakikatnya, maka ia harus menemukan jalan. Untuk menemukannya kita harus mengetahui semua hal yang bukan jalan itu. Jalan menuju pengenalan Tuhan adalah melalui pengenalan nafs, yakni, dengan mengetahui nafs yang rendah, nafs binatang, nafs yang kuat, nafs yang ragu, nafs yang bertingkah atau bersemangat, dan mengetahui gangguan yang disebabkan oleh semua aspek diri yang rendah ini. Kalau sudah mengetahui semua ciri ini maka orang yang berakal akan mampu menghindarinya dalam situasi yang akan datang, dan segala aspek diri yang lebih tinggi akan secara spontan menjadi terpelihara dan mulai berkuasa.
Diri yang aman dan senang, nafs tinggi yang disucikan, yang tenteram dan damai dalam genggaman Tuhannya, dengan gembira memperkenankan Tuhan untuk berbuat sekehendak-Nya terhadap sang diri dengari mengikuti rancangan yang sempurna. Karena itu, jalan menuju Tuhan terietak pada pengenalan dan penghindaran semua hal yang akan menyebabkan kita rugi dan kacau. Dengan menghindari perkara yang jelas-jelas salah kita akan secara otomatis bergerak ke arah yang benar.
إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْيَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا
40. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu tentang azab yang dekat: Hari ketika manusia akan melihat apa yang telah dilakukannya, dan orang kafir akan berkata: 'Oh, andaikan dahulu aku adalah debu!
Nabi Muhammad, semoga Allah melimpahkan kedamaian dan rahmat kepada beliau, keluarga dan para sahabatnya yang benar (sudah biasa, apabila disebut nama Nabi Muhammad kita memohonkan kedamaian dan rahmat Allah untuk beliau, keluarga dan para sahabatnya yang saleh), memperingatkan umat manusia akan batas-batas tempat berakhirnya ketenangan dan berawalnya kerugian. Beliau mewanti-wanti pelanggaran terhadap ketetapan yang sudah disepakati dan menegaskan bahwa ketetapan itu adil; mengingkari dan menolak ketetapan ini berarti membuka diri terhadap penderitaan yang entah apa akibatnya.
Makna yang paling dalam dari ayat ini adalah bahwa kita menimpakan penderitaan atas diri kita sendiri di sini dan saat ini juga, namun kita tidak menyadarinya karena kita senantiasa memberikan pembenaran terhadap diri kita dengan segala macam alasan. Karena manusia memiliki nafs yang meliputi semua hal yang mengandung dan mencerminkan makna Rahmân (Maha Pengasih), dan juga makna syaithdn (setan), maka ia dapat membenarkan setiap tindakan, mulia atau hina, baik atau buruk. Pembenaran, sesungguhnya, mempakan cara untuk menghubungkan satu hal dengan hal lain. la mencerminkan hasrat sejati kita terhadap tauhid yang memang sudah ada menetap dalam diri kita, tapi sebenarnya merupakan aspek pembenaran yang menyimpang. Siapa pun yang menyatukan niat dan perbuatan, maka ia akan berada dalam keadaan beribadah. la bisa berada pada altar Yang Mahatinggi, yang menghasilkan pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha-kuasa, atau pada altar yang rendah, yang menghasilkan khayalan dan keputusasaan.
Sebagian dari kondisi atau suasana Hari Kebangkitan—ketika segala sesuatu disingkapkan—bisa dirasakan sekarang oleh kita jika kita mau dan sanggup menghentikan pikiran dan perbuatan kita dan mengadakan introspeksi yang menyeluruh terhadap diri kita. Jika kita punya keberanian untuk menghadapi segala niat kita dan secara jujur mengakui tingkat kesucian kita, kita akan melihat sekilas apa arti hari pembalasan ini dan kita akan memahami makna dari keseimbangan.
Pada Hari Pengadilan kita akan direkonstruksi ulang sesuai dengan niat dan perbuatan kita di dunia ini. Jika kita ingin mengetahui kondisi hati kita di kehidupan mendatang, maka yang perlu kita lakukan adalah memeriksa kondisi hati kita di kehidupan ini. Jika kondisi hatinya bersih, maka mmah kita di kehidupan mendatang akan dekat dengan Sumber penciptaan yang bersih. Jika tidak, maka tempatnya akan berada pada suatu tempat di sepan-jang spektrum, di ujung yang satu adalah api abadi dan di ujung satunya lagi adalah taman-taman yang paling tinggi. Jika kita secara total menjalani kehidupan sekarang ini, dengan senantiasa menyadari dan memperhatikan diri kita, maka berarti kita sedang menjalani Hari Kebangkitan itu sekarang.
'Dan orang-orang kafir akan berkata: Oh, andaikan dahulu aku adalah debu!' Barangsiapa menyangkal masa lalu, terputus hubungannya dengan masa lalu, dan secara tiba-tiba sadar telah menyia-nyiakan waktu dan kehidupannya yang berharga, maka ia akan berharap seandainya dahulu hanya menjadi debu saja, dan terlupakan. Sayangnya untuk manusia semacam itu tidak ada yang terlupakan. Setiap orang, setiap roh, akan benar-benar dihidupkan kembali dan menyadari sepenuhnya akan arti penting dirinya. Dia tidak akan dapat bersembunyi laksana debu yang sirna di padang pasir. Allah mengatakan bahwa bila seseorang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, maka kebaikan itu akan muncul di hadapannya. Tidak akan ada lagi ceruk untuk nafs menyelinap masuk; semua gang akan dibuka. Itulah sebabnya jika seseorang sungguh-sungguh menghadapi dirinya sendiri dalam kehidupan sekarang, maka tindakannya ini menjadi Hari Pengadilan pribadinya. Inilah salah satu makna dari ucapan Nabi, 'Jika engkau mengenal dirimu, engkau mengenal Tuhanmu', karena urusan Ketuhanan adalah mengungkapkan segala sesuatu secara terbuka dengan segala cara.
Kita semua mencari keabadian pada segala sesuatu dalam kehidupan ini, dalam hubungan dan pengetahuan, dan itulah sebabnya kita membedakan antara pengetahuan yang benar dengan sekadar informasi. Informasi bisa berubah, seperti ketika obat-obat baru dikembangkan untuk mengobati penyakit tertentu. Namun pengetahuan yang benar tidak berubah. Ia bersifat mutlak, dan karena alasan inilah maka kita semua mencarinya. Pengetahuan yang mutlak adalah berita ini, al-naba`. Apa yang mereka tanyakan? Berita apa yang mereka inginkan? Informasi atau berita lebih tinggi apa lagi yang mereka harapkan selain dari berita kebenaran yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah Allah, dan dengan inayah-Nya kita telah diciptakan. Bila kita berserah diri kepada Allah dan mengikuti para rasul Allah, kita akan memasuki alam pengetahuan mutlak yang dicari ini.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar