Rabu, 06 Februari 2019

Kisah-Kisah dan Artikel dari "Sad Pand va Hekayat"



ilustrasi






PENDETA YANG MASUK ISLAM

Imam Musa bin Jakfar as masuk ke sebuah goa di salah satu desa di Syam secara tidak dikenal dan di sana ada seorang pendeta yang setiap tahun memberi wejangan kepada masyarakat. Pendeta itu merasa ketakutan saat melihat Imam yang penuh dengan keagungan dan kewibawaan.
Kemudian dia bertanya kepada Imam, “Anda orang asing?”
Imam menjawab, “Iya.”
Dia berkata, “Anda bagian dari kami ataukah musuh kami?”
Imam menjawab, “Saya bukan bagian dari Anda.”
Dia berkata, “Anda termasuk umat yang mendapatkan rahmat?”
Imam menjawab, “Iya.”
Dia berkata, “Anda termasuk ulamanya ataukah orang bodohnya?”
Imam menjawab, “Saya bukan dari orang-orang bodohnya.”
Dia berkata, “Bagaimana mungkin menurut keyakinan kami, pohon tuba akarnya ada di rumah Isa as dan menurut Anda di rumah Muhammad, sementara cabangnya ada di semua rumah-rumah surga?”
Imam menjawab, “Sebagaimana matahari, cahayanya sampai ke semua tempat, dan menerangi setiap tempat, padahal aslinya ada di langit.”
Pendeta itu berkata, “Bagaimana mungkin makanan surga tidak bisa habis dan dimakan seberapa banyakpun tidak akan berkurang.”
Imam menjawab, “Sebagaimana lampu di dunia, seberapa banyakpun dia memberikan cahaya, tidak akan berkurang darinya.”
Pendeta berkata, “Di surga, naungannya memanjang, yang manakah contohnya di dunia?
Imam menjawab, “Sebelum terbitnya matahari naungan memanjang.”
Pendeta berkata, “Bagaimana mungkin di surga ada makan dan minum tapi tidak ada kencing dan buang air besar?”
Imam menjawab, “Sebagaimana janin yang ada di dalam rahim ibunya, dia makan dan minum tapi tidak kencing dan tidak buang air besar.”
Pendeta berkata, “Bagaimana mungkin penghuni surga memiliki pembantu yang mengambilkan segala yang diinginkan tanpa harus diperintahkan?”
Imam menjawab, “Sebagaimana setiap kali manusia memerlukan sesuatu, anggota badannya memahaminya dan mengerjakan apa yang diinginkannya tanpa perintahnya.”
Pendeta berkata, “Kunci surga dari emas ataukah perak?”
Imam menjawab, “Kunci surga adalah lisan hamba yang mengatakan “La Ilaha Illallah”
Pendeta berkata, “Anda benar.” Akhirnya dia menerima Islam bersama orang-orang yang bersamanya.






BEBERAPA KISAH IMAM MUSA BIN JAKFAR AS

pengarang : Emi Nur Hayati
Sumber : Sad Pand va Hekayat | Imam Musa Kazdim as. 


Nahkoda Kapal

Faidh bin Mukhtar mengatakan, “Saya waktu itu ada bersama Imam Shadiq as. Di sana saya memeluk dan mencium Sayidina Musa bin Jakfar yang masih kecil.

Imam Shadiq berkata, “Engkau adalah kapal dan anak ini adalah nahkoda kapal itu. Sebagaimana nahkoda kapal menyelamatkan dan mengarahkan kapal dari kesesatan dan ombak lautan yang keras menuju jalan yang lurus dan pantai, anak ini juga memiliki peran seperti ini di antara kalian.”

Tahun berikutnya saya pergi haji dan membawa uang dua ribu dinar. Yang seribu saya berikan kepada Imam Shadiq as dan yang seribunya lagi saya berikan kepada Sayid Kazhim as [Musa bin Jakfar].

Kemudian ketika saya datang menemui Imam Shadiq as, beliau berkata kepada saya, “Engkau menyamakan Musa dengan aku?”

Saya katakan, “Demi Allah! Mengenalkan Musa sebagai imam setelahku adalah perintah dari Allah dan Allah menjadikannya sebagai imam dan nahkoda kapal setelahku.”


Ampunan dan Kedermawanan

Imam Musa Kazhim as juga bertani seperti masyarakat lainnya. Beliau memiliki kebun kurma yang ditanamnya sendiri. Setahun berlalu, pada musim gugur, kurma sudah masak dan harus dipanen, kemudian membawanya ke pasar dan menjualnya.

Imam mengambil dua pekerja untuk membantunya memetik kurma. Bertiga pergi ke kebuh dan bekerja. Satu dari pekerja itu memanjat kurma dan memotong batang-batang yang penuh dengan kurma, kemudian meletakkannya di sebuah sudut. Pekerja yang kedua memisahkan kurma-kurma dari batangnya dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong.

Ketiganya sedang sibuk bekerja. Seketika itu juga pekerja yang sedang berada di atas pohon matanya tertuju ke pekerja kedua. Pekerja kedua sedang mengambil beberapa batang penuh dengan kurma dan membawanya ke arah dinding kebun tanpa sepengetahuan imam. Ketika mendekati dinding dia meletakkan batang-batang itu secara pelan-pelan di balik dinding dan kembali lagi ke tempat semula. Pekerja yang ada di atas pohon, turun. Dia menuju ke arah pekerja kedua dan berkata kepadanya, apa yang telah engkau lakukan? Mengapa engkau meletakkan batang-batang yang penuh kurma di belakang dinding? Tahukah engkau apa maknanya hal ini?

Pekerja kedua sadar akan kesalahannya. Wajahnya memucat dan ketakutan. Pekerja pertama menggandeng tangannya dan membawanya kepada imam dan berkata, “Lelaki ini mengambil beberapa batang yang penuh kurma dan meletakkannya di balik dinding itu dan nanti akan mengambilnya.

Imam sejenak diam. Kemudian menghadap ke arah pekerja kedua dan bertanya, “Apakah engkau lapar dan engkau mengambil kurma untuk engkau makan sendiri?”

Pekerja itu menjawab, “Tidak.”

Imam bertanya, “Apakah engkau membutuhkan uang? Engkau mau menjualnya?”
Pekerja itu berkata, “Tidak.”

Imam dengan ketenangannya bertanya, “Lalu mengapa engkau melakukan hal ini?”

Pekerja itu menjawab, “Setan telah menipuku. Tiba-tiba saja saya ingin melakukan hal ini tapi saya sadar bahwa ini adalah salah dan saya meminta maaf.”

Imam memegang tangannya dan dengan penuh kasih sayang berkata, “Alangkah baiknya bila engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau membutuhkan kurma.

Sekarang, beberapa batang itu sebagai milikmu dan jangan engkau lakukan kembali hal ini.

Kemudian beliau berkata kepada pekerja yang pertama, “Jangan engkau sampaikan masalah ini kepada siapapun. Jangan sampai engkau menghancurkan harga dirinya!”


Dermawan dan Berakhlak Bagus

Imam Musa bin Jakfar berkata, “Orang yang dermawan berakhlak bagus mendapatkan perhatian dari Allah dan Allah senantiasa melindunginya sampai dia dimasukkan ke dalam surga.

Allah tidak mengutus seorang nabi pun kecuali harus dermawan. Ayahku juga sampai saat mendekati kewafatannya, mewasiatkan kepadaku agar dermawan dan berakhlak yang bagus.






TANDA-TANDA WAFATNYA IMAM MUSA JAKFAR AS

pengarang : Emi Nur Hayati
Sumber : Sad Pand va Hekayat | Imam Musa Kazdim as


Pembantu rumahnya Imam Kazhim as mengatakan, “Ketika Imam Kazhim as dibawa dari Madinah menuju ke Bagdad atas perintah Harus Rasyid, beliau berkata kepada putranya; Imam Ridha as, “Tidurlah di rumahku sampai ketika datang kabar wafatku.”


Setiap malam kami menghamparkan tempat tidur di lorong rumah dan Imam Ridha datang setiap malam setelah isya dan tidur di sana dan paginya kembali ke rumahnya. Kondisi ini berlanjut sampai empat tahun. Sebagaimana biasanya, tempat tidur Imam Ridha dihamparkan, tapi beliau tidak datang sampai pagi. Para penghuni rumah khawatir dan ketakutan. Kami juga merasa kepikiran karena beliau tidak datang. Besok malamnya beliau datang dan berkata kepada Ummu Ahmad [pembantu pilihan dan terhormat Imam Kazhim as], “Berikan kepadaku apa yang dititipkan ayahku kepadamu.”
Ummu Ahmad paham bahwa Imam Kazhim as telah meninggal dunia. Dia menjerit dan memukuli wajahnya dan berkata, “Ya Allah! Maulaku telah meninggal dunia!”


Dia diminta untuk tenang dan Imam Ridha berkata kepadanya, “Jangan tampakkan ucapanmu. Jangan sampaikan kepada siapa-siapa sampai kabar ini sampai kepada penguasa Madinah.”

Kemudian Ummu Ahmad membawa tas keranjang yang berisi dua ribu atau empat ribu dinar dan menyerahkannya kepada Imam Ridha as.


Ummu Ahmad menceritakan tentang kejadian tas keranjang dan uang itu demikian, “Suatu hari Imam Kazhim as menitipkan uang itu kepada saya dan berkata, “Jagalah amanat ini dan jangan kasih tahu kepada siapapun sampai ketika aku meninggal dunia. Ketika aku sudah meninggal dunia, dan siapa saja dari anak-anakku yang memintanya kepadamu maka berikanlah kepadanya. Inilah tanda bahwa aku telah meninggal dunia.” Demi Allah! Tanda itu sekarang telah jelas.”


Imam Ridha as telah mengambil amanat itu, dan memerintahkan kepada semua anggota keluarga dan pembantunya untuk menyembunyikan masalah wafatnya Imam Kazhim as dan jangan katakan kepada siapapun sampai ketika kabar dari Bagdad sampai ke Madinah.


Kemudian Imam Ridha as kembali ke rumahnya dan malam berikutnya tidak lagi datang ke rumah Imam Kazhim as. Setelah beberapa hari datang sebuah surat yang mengabarkan akan wafatnya Imam Kazhim as. Kami menghitung hari-hari dan ketahuan bahwa Imam Kazhim as telah meninggal dunia sejak Imam Ridha tidak datang lagi untuk tidur.





IMAM MUSA KAZHIM AS, KABAR TENTANG MASA DEPAN

Abu Khalid mengatakan, “Mahdi Abbasi [Khalifah Abbasiyah yang ketiga] memerintahkan untuk menangkap Imam Kazhim as. Para petugasnya membawa beliau dari Madinah menuju Bagdad menemui Mahdi Abbasi. Di jalan saya berbicara dengan beliau. Beliau berkata kepada saya, “Mengapa engkau bersedih?”


Saya berkata, “Mengapa saya tidak harus bersedih? Sementara Anda akan dibawa ke Tahgut ini [Mahdi Abbas] dan saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada Anda?”


Imam Kazhim as berkata, “Dalam safar ini tidak akan ada bahaya yang mengenaiku. Ketika bulan tertentu tiba, di hari tertentu dan di tempat tertentu, datang temuilah aku!”


Saya senantiasa menghitung detik-detik yang ada sampai tibalah hari itu. Pada hari itu juga saya menuju ke tempat itu. Matahari hampir terbenam. Saya masih belum tahu tentang kabar Imam Kazhim as. Setan membuat saya waswas dan saya meragukan kata-kata Imam yang menyebutkan tentang waktu tertentu, di tempat tertentu temuilah aku.


Tiba-tiba mata saya tertuju pada sesuatu yang hitam datang dari arah Irak. Saya maju dan saya melihat Imam Kazhim as berada di bagian depan karavan menunggangi kendaraan dan menyapa saya, “Hai Abu Khalid!”


Saya menjawab, “Iya wahai putra Rasulullah!”


Imam Kazhim as berkata, “Tentunya jangan ragu, karena setan senang bila engkau ragu.”
Saya katakan, “Puji syukur kepada Allah yang telah menjaga Anda dari bahaya taghut.”
Kemudian beliau berkata, “Aku akan dibawa lagi kepada mereka dan kali ini aku tidak akan dibebaskan (dengan ucapan ini beliau mengisyaratkan tentang penangkapannya atas perintah Harun dan beliau akan mencapai syahadah di penjaranya).

Ishaq bin Ammar mengatakan, “Saya berada bersama Imam Kazhim as. Beliau memberitahukan tentang kematian seseorang kepada orangnya sendiri.


Saya berkata kepada diri saya sendiri, “Memangnya Imam Kazhim tahu masing-masing dari pengikutnya kapan akan mati?”


Seketika itu juga Imam Kazhim memandang saya dengan wajah marah dan berkata, “Hai Ishaq, Rusyid salah seorang sahabat dekat Imam Ali as tahu tentang ilmu manaya dan balaya [kematian dan musibah]. Imam lebih layak untuk memiliki ilmu tersebut.”


Kemudian beliau berkata, “Wahai Ishaq! Lakukan apa saja yang kau inginkan dan lakukan pekerjaan-pekerjaanmu. Karena usiamu telah berakhir dan tidak sampai dua tahun engkau akan mati dan keluargamu beberapa hari setelah kematianmu akan berselisih satu sama lainnya dan saling mengkhianati yang lainnya sedemikian rupa sehingga para musuhpun akan mencela mereka. Lalu sekarang engkau berkhayal dalam hatimu, bagaimana kami memberikan kabar tentang masa depan?”
Ishaq berkata, “Apa yang terjadi dalam hatiku adalah saya meminta ampunan kepada Allah.”


Setelah kejadian ini berlalu, Ishaq meninggal dunia. Sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Imam Kazhim, keluarga Ishaq saling berselisih dan mereka mengambil harta kekayaan orang lain dan perbuatan mereka membuat mereka sengsara.






MENGETAHUI BATIN HISYAM DAN KARAMAH IMAM MUSA KAZDIM AS

Mengetahui Batin Hisyam

Ibnu Syahr Asyub menukil dari Hisyam bin Salim:
Setelah syahadahnya Imam Shadiq as, aku dan Abu Jakfar Muhammad bin Nu’man berada di Madinah. Masyarakat berkumpul menyatakan bahwa Abdullah bin Jakfar adalah seorang imam. Aku dan Abu Jakfar juga masuk dalam perkumpulan itu dan bertanya kepadanya [Abdullah bin Jakfar], “Berapakah yang wajib dizakati dari harta?”
Dia menjawab, “Lima dirham dari setiap dua ratus dirham.”
Aku berkata, “Berapakah dalam setiap seratus dirham?”
Dia berkata, “Dua dirham setengah.”
Aku berkata, “Demi Allah! Marhabah [nama sebuah golongan] juga tidak mengatakan sebagaimana yang engkau katakan.”
Allah mengangkat tangannya ke arah langit dan berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dikatakan oleh marhabah.”
Kemudian kami pergi keluar dan bingung sambil menangis dan mengatakan, “Kita pergi menuju ke Marhabah atau ke Qadiriyah atau ke Mu’tazilah ataukah ke Khawarij?”
Pada saat itu aku melihat seorang lelaki tua yang tak kukenal. Dia mengisyaratkan dengan tangannya, ke sinilah.
Kami juga ketakutan, jangan-jangan seorang mata-mata dari Manshur. Karena dia memilih sejumlah mata-mata dan memenggal kepada setiap pecinta Ahlul Bait yang sepakat untuk seseorang. Aku berkata kepada Muhammad bin Nu’man berpisahlah dariku menjauhlah. Karena aku mengkhawatirkan jiwaku dan jiwamu dan aku akan pergi, apa yang akan terjadi. Aku pergi bersama lelaki tua itu dan tak terpikirkan sama sekali kalau aku selamat darinya. Lelaki itu membawaku ke rumahnya Imam Musa bin Jakfar kemudian dia pergi. Begitu saya masuk rumah, di sana ada Imam Musa as. Pertama beliau berkata kepadaku, “Tidak ke Marhabah, tidak ke Qadariyah, tidak ke Mu’tazilah juga tidak ke Khawarij, ke saya...ke saya...ke saya.
Aku berkata, “Saya menjadi tebusan Anda. Ayah Anda telah meninggal dunia.”
Beliau berkata, “Iya.”
Aku berkata, “Saya menjadi tebusan Anda! Siapa imam kita setelah beliau?”
Imam Musa as berkata, “Bila Allah menghendaki. Maka engkau akan diberi petunjuk.”
Aku berkata, “Aku menjadi tebusanmu. Abdullah menganggap dirinya [sebagai imam] setelah ayah Anda.”
Imam Musa as berkata, “Abdullah ingin Allah tidak disembah.”
Aku bertanya kembali, “Siapakah imam setelah ayah Anda?”
Beliau menjawab dengan jawaban yang sama.
Aku memahani berbagai kewibawaan dan keagungan dari Imam Musa dan hanya Allah yang tahu. Lebih banyak dari yang aku dapatkan dari ayahnya. Aku menjadi tebusan Anda. Saya akan bertanya kepada Anda sebagaimana yang pernah saya tanyakan kepada ayah Anda. Beliau berkata, tanyakanlah dan dapatkan jawabannya, tapi jangan diungkapkan karena bila engkau ungkapkan maka khawatir engkau dibunuh. Kemudian aku bertanya dan mendapatkan beliau bak lautan yang luas.
Hisyam berkata, “Aku menjadi tebusan Anda, para pengikut ayah Anda dalam kesesatan dan kebingungan, apakah saya harus menyampaikan masalah Anda kepada mereka? Dan saya beritahu tentang kepemimpinan Anda?”
Beliau berkata, “Bila engkau melihat ada perkembangan dan kebaikan, maka beritahukanlah dan mintalah kepada mereka untuk  berjanji menyembunyikannya. Bila mengungkapkannya, maka kematian bagi mereka adalah sebuah kepastian. Lalu Hisyam keluar dan mengabarkan kepada semua pengikut Ahlul Bait dan mereka datang menemui Imam Musa as dan meyakini kepemimpinannya. Dari sejak saat itu masyarakat tidak lagi pergi ke Abdullah bin Jakfar kecuali hanya segelintir orang. Ketika Abdullah bertanya tentang sebabnya, dijawab; Hisyamlah yang menjauhkan masyarakat dari anda.
Hisyam mengatakan, “Hisyam mengutus sekelompok orang untuk memukul saya, kapan mereka melihat saya.”


Karamah

Imam Musa as sedang melewati Mina. Beliau melihat seorang ibu bersama beberapa anaknya sedang menangis. Imam Musa mendekati perempuan itu dan menanyakan sebab tangisannya.
Perempuan itu menjawab, “Saya punya beberapa anak yatim dan satu sapi. Saya memenuhi kehidupan mereka dengan susu sapi itu. Tapi sekarang sapi itu mati.”
Imam Musa as berkata, “Maukah engkau, aku hidupkan sapi itu?”
Perempuan itu berkata, “Iya. Wahai hamba Allah!”
Imam Musa as pergi menepi dan mengerjakan salat dua rakaat. Kemudian berdoa. Setelah selesai berdoa, beliau mendekati jasad sapi itu. Beliau menyentuh sapi itu dengan kayu, lalu sapi itu bangun. Ketika perempuan itu melihat sapinya hidup kembali, dia  menjerit dan berteriak, “Demi Tuhannya Ka’bah! Ini adalah Isa bin Marya as.”
Masyarakat datang berkumpul dan ketika kondisinya sudah ramai, Imam Musa as pergi meninggalkan mereka tanpa mereka tahu.






KISAH IMAM MUSA AL KHADZIM

Mengetahui Pikiran Yang Tersembunyi

Seseorang bernama Abdullah bin Khalil. Dia tertarik pada aliran Fathhi yakni dia mengatakan bahwa Abdullah Afthah putra Imam Shadiq adalah imam ke tujuh bukan Imam Kazhim as. Suatu hari dia pergi Samarra dan dia meninggalkan keyakinan yang salah itu dan menjadi pengikut dua belas imam maksum as.

Ahmad bin Muhammad berkata, “Saya melihatnya dan saya katakan kepadanya, “Mengapa engkau meninggalkan aliran Fathhi? Apa rahasianya?”
Dia menjawab, “Saya berencana menemui Imam Kazhim as dan ingin menanyakan hakikat kepada beliau. Kebetulan saya melewati gang yang sempit. Saya melihat beliau belok menuju ke arah saya. Ketika mendekati saya, beliau melemparkan sesuatu dari mulutnya dan jatuh di dada saya. Saya mengambilnya dan benda itu adalah secarik kertas yang tertulis di dalamnya, “Dia [Abdullah] bukan dalam posisi itu. Tapi dia mengklaim sebagai imam. Dia juga tidak memiliki kelayakan sebagai imam. Pengetahuan beliau akan pikiran saya yang tersembunyi inilah sehingga membuat saya keluar dari aliran Fathhiyah.”


Jangan Pernah Meremehkan Seseorang

Ali bin Yaqthin merupakan salah satu pemuka sahabat dan mendapatkan perhatian dari Imam Musa bin Jakfar. Dia juga sebagai menterinya Harun Rasyid.
Suatu hari Ibrahim Jamal [seorang penuntun onta] ingin menemuinya. Ali bin Yaqthin tidak mengizinkannya. Pada tahun itu juga Ali bin Yaqthin pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah haji dan ingin menemui Imam Musa bin Jakfar di Madinah.
Pada hari pertama Imam tidak mengizinkannya untuk bertemu. Pada hari kedua dia menemui Imam dan berkata, “Ya Imam apa kesalahan saya sehingga Anda tidak mengizinkan saya untuk menemui Anda?”
Imam berkata, “Aku tidak mengizinkan engkau untuk bertemu karena engkau tidak mengizinkan saudaramu Ibrahim Jamal ke rumahmu karena dia sebagai tukang penuntun onta, sementara sengkau sebagai menteri.
Allah tidak akan mengabulkan hajimu kecuali bila engkau meminta keridhaan pada Ibrahim.
Ali bin Yaqthin berkata, “Wahai Maulaku! Bagamaina saya bisa menemui Ibrahim, sementara saya ada di Madinah dan dia ada di Kufah?”
Imam berkata, “Ketika malam tiba, pergilah ke kuburan Baqi sendirian tanpa diketahui oleh para pembantu dan orang sekitar. Di sana engkau akan melihat seekor onta yang sudah disiapkan. Naiklah dan engkau akan dibawa ke Kufah.”
Ali bin Yaqthin pergi ke kuburan Baqi. Dia naik onta dan tidak lama kemudian dia sudah sampai di depan rumah Ibrahim. Dia mengetuk pintu dan berkata, “Aku adalah Ali bin Yaqthin.”
Ibrahim dari balik pintu berkata, “Ada apa Ali bin Yaqthin menterinya Harun Rasyid di rumahku?”
Ali berkata, “Aku punya masalah penting.”
Ibrahim tidak percaya bahwa Ali bersumpah demi dia sehingga dia membuka pintu rumahnya. Begitu pintu terbuka Ali masuk ke dalam dan bersimpuh memohon kepada Ibrahim dan berkata, “Ibrahim! Maulaku Imam Musa bin Jakfar as tidak mau menerimaku kecuali bila engkau memaafkan kesalahanku.”
Ibrahim berkata, “Allah yang harus mengampunimu.”
Sang menteri tidak puas dengan cara seperti ini. Dia meletakkan wajahnya ke tanah dan bersumpah demi Ibrahmi supaya meletakkan kakinya di wajahnya. Tapi Ibrahim tidak mau melakukan hal ini. Ali bersumpah yang kedua kalinya demi Ibrahim. Ibrahim mau menerima dan meletakkan kakinya di wajah Ali. Pada saat itu Ibrahim meletakkan kakinya di wajah Ali, Ali berkata, “Ya Allah! Jadilah saksi!”
Kemudian dia keluar dari rumah dan naik onta. Pada malam itu juga dia mendudukkan onta tersebut di depan pintu rumah Imam Musa bin Jakfar dan meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Imam. Kali ini Imam menginzinkan dan menerimanya.


Menjaga Harga Diri Seorang Mukmin

Seseorang datang menemui Imam Musa bin Jakfar as dan berkata, “Saya sebagai tebusan Anda. Orang-orang telah mengabarkan tentang perilaku salah satu saudara seagama, sehingga membuat saya sedih. Saya bertanya kepada dia sendiri ternyata dia mengingkarinya. Padahal sejumlah orang yang bisa dipercaya telah mengabarkannya tentang dia.”
Imam Musa bin Jakfar berkata, “Tutuplah mata dan telingamu di hadapan saudara muslimmu. Meski lima puluh orang bersumpah bahwa dia telah melakukannya dan dia mengatakan, aku tidak melakukannya. Terimalah ucapannya dan jangan terima ucapan mereka. Jangan sampai menyebarkan sesuatu yang membuatnya malu dan menjatuhkan harga dirinya di tengah-tengah masyarakat.”


Tawadhu dan Merendahkan Hati

Suatu hari Imam Kazhim as bertemu dengan seorang lelaki yang tinggal di pinggiran kota. Orang tersebut wajahnya sangat jelek. Beliau mengucapkan salam kepadanya dan lama duduk berbincang-bincang dengannya. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Bila engkau punya keperluan, saya siap untuk menyelesaikannya.”
Dikatakan kepada Imam, “Wahai putra Rasulullah! Apakah Anda akan duduk bersama orang jelek seperti ini kemudian menanyakan kebutuhannya?”
Imam Kazhim as berkata, “Dia adalah salah seorang hamba Allah dan saudara menurut hukum alquran, tetangga di bumi Allah. Yang menyatukan kita dengannya adalah sebaik-baiknya ayah yaitu Adam as dan sebaik-baiknya agama yaitu Islam. Boleh jadi suatu hari dialah yang menyelesaikan hajat dan kebutuhan kita. Itupun dia mendapati kita tawadhu dan merendahkan hati setelah bersikap takabur dan sombong di hadapannya.






BUDAK PEREMPUAN HARUN MENJADI AHLI IBADAH

Pemilik hasil karya buku Anwar meriwayatkan bahwa di hari-hari ketika Imam Musa Kazhim as berada di dalam penjara Harun, dikirimlah seorang wanita yang sangat cantik untuk beliau. Barang kali beliau menyukainya sehingga harga diri beliau turun di mata masyarakat dan untuk mencari alasan agar bisa menjatuhkan Imam Musa Kazhim.


Begitu budak perempuan itu dibawa menemui Imam Musa Kazhim, beliau berkata, “Aku tidak membutuhkan orang-orang seperti ini. Mereka ini punya posisi dan nilai di mata kalian, tapi bagi saya tidak penting."


Ketika kabar ini disampaikan kepada Harun, dia benar-benar marah dan berkata, “Katakan kepadanya “Kami tidak memenjarakanmu atas keridhaanmu dan kami tidak ada urusan dengan seleramu. Letakkan wanita itu di sana dan kembalilah!”


Setelah mereka meletakkan wanita itu di dalam ruangan penjara Imam Musa Kazhim dan kembali, Harun mengutus seorang pembantu untuk mendapatkan kabar tentang wanita tersebut. Pembantu itu pergi dan kembali seraya berkata, “Dia dalam kondisi bersujud dan mengatakan, Subhanaka...Subhanaka.”


Harun berkata, “Demi Allah! Musa bin Jakfar telah menaklukkannya dengan sihirnya. Bawa kepada wanita itu.”


Ketika di hadapan Harun, wanita itu gemetaran dan memandang ke atas.
Harun berkata, “Apa yang terjadi denganmu?”
Budak perempuan itu berkata, “Saya merasa asing. Saya berdiri di dekat Imam dan beliau sedang mengerjakan salat dan beliau tidak tahu akan keberadaan saya. Begitu selesai salat, beliau membaca tasbih dan memuji Allah. Saya mendekatinya dan berkata, “Wahai tuanku! Apakah Anda ada perlu dengan saya? Silahkan bila ada perlu! Beliau berkata, “Aku tidak memerlukanmu.” Saya katakan, “Saya dikirim ke sini untuk mengerjakan perintah Anda.”


Imam Musa Kazhim as berkata, “Lalu mereka ini untuk apa?” beliau mengisyaratkan pada sebuah arah. Ketika saya melihatnya, di sana tampak taman dan kebun yang ujungnya tidak kelihatan dan di sana banyak terdapat berbagai macam buah-buahan dan bidadari dan para pelayan yang tidak pernah saya lihat selama ini. Mereka memakai baju-baju dari sutera dan mahkota yang penuh dengan permata. Mereka sedang membawa berbagai macam makanan, buah-buahan dan minuman dan berdiri di dekat beliau.”


“Ketika saya menyaksikan pemandangan itu, langsung saya pingsan dan jatuh dalam keadaan sujud, sampai ketika pembantu Anda datang dan membawa saya ke sini.”
Harun berkata, “Hai orang kotor! Mungkin engkau tertidur dalam keadaan sujud dan engkau melihat semua itu dalam mimpi?!”


Wanita itu berkata, “Demi Allah! Saya melihat semua itu sebelum sujud dan saya bersujud karena keagungan yang saya lihat.”
Pada saat itu Harun berkata kepada salah satu pembantunya, “Jagalah wanita ini. Jangan sampai dia menceritakan kejadian ini kepada orang lain.” Setelah itu, wanita ini sibuk mengerjakan salat dan senantiasa dalam keadaan beribadah.


Saat dia ditanya tentang sebab salatnya, dia menjawab, “Saya melihat seorang hamba yang saleh yang senantiasa mengerjakan salat dan saya pun mengikutinya.”
Mereka mengatakan, “Dari mana engkau mengetahui nama ini?”


Wanita ini menjawab, “Para pelayan yang saya lihat di taman itu dan para bidadari yang saya saksikan di surga itu mengatakan kepada saya, “Menjauhlah dari hamba yang saleh, kami mau melayaninya. Karena kami adalah pelayannya bukan engkau. Karena ucapan mereka inilah saya tahu bahwa gelar beliau adalah hamba yang saleh.”


Dan budak wanita itu senantiasa dalam kondisi mengerjakan salat dan beribadah sampai dia meninggal dunia dan kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum syahadahnya Imam Musa Kazhim as.






BIARAWAN KRISTEN YANG MASUK ISLAM


Imam Baqir bersama putra sulungnya diasingkan dari Madinah ke Syam oleh Hisyam. Suatu hari ketika beliau berjalan, melihat banyak orang. Beliau bertanya, “Siapakah mereka dan untuk apa mereka berkumpul?”


Dikatakan, “Mereka adalah para pendeta Kristen. Setiap tahun di hari ini mereka selalu berkumpul di sini dan menziarahi seorang biarawan tua yang tempat peribadatannya ada di atas gunung ini dan menyampaikan pertanyaan kepadanya. Kemudian kembali ke rumahnya masing-masing.”


Imam Baqir as menutupi wajahnya dengan kain supaya orang lain tidak mengenalinya dan pergi ke menemui biarawan itu bersama mereka.


Para pendeta menghamparkan karpet merah yang dibawanya dan menyediakan tempat duduk untuk biarawan itu. Biarawan tua itu keluar dari tempat peribadatan dan duduk di tempat yang telah disediakan dan mereka duduk di depannya. Biarawan itu begitu tua sehingga alisnya yang sudah beruban sampai ke matanya. Dahinya diikat dengan kain sutra berwarna kuning dan menggerakkan matanya bak ular kobra. Hisyam mengirim mata-mata untuk melaporkan pertemuan Imam Baqir as dengan biarawan tua itu kepadanya. Biarawan memandang orang-orang yang hadir. Ketika dia melihat Imam Baqir as berada di antara orang-orang yang ada, antara dia dan Imam Baqir terjadi percakapan seperti ini:


Biarawan: Engkau bagian dari kami ataukah dari umat Islam?
Imam Baqir: Dari umat Islam.
Biarawan: Dari kalangan ulama Islam ataukah dari orang-orang yang buta hurufnya?
Imam Baqir: Saya bukan dari orang-orang yang buta hurufnya.
Biarawan: Apakah aku yang harus bertanya ataukah engkau?
Imam Baqir as: Bertanyalah engkau.
Biarawan: Hai orang-orang Kristen yang hadir! Aneh! Seorang lelaki dari umat Muhammad berani mengatakan, “Bertanyalah engkau. Sekarang sebaiknya aku menyampaikan beberapa pertanyaan padanya.”

Kemudian dia menghadap kepada Imam Baqir dan melanjutkan ucapannya:


1. Katakan padaku sehingga aku tahu; Waktu yang bukan malam dan juga bukan siang. Waktu apakah itu?

Imam Baqir as: Waktu itu adalah antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari.


2. Katakan sehingga aku tahu; waktu ini bukan siang, juga bukan malam, lalu waktu apa?
Imam Baqir: waktu itu adalah bagian dari waktu surga. Orang-orang yang sakit di waktu itu mendapatkan kesembuhan dan rasa sakit akan tenang.
Biarawan: Engkau benar.


3. Katakan padaku sehingga aku tahu; bila penghuni surga makan dan minum tapi tidak buang air kecil juga tidak buang air besar, apakah di dunia juga ada contoh semacam ini?
Imam Baqir: Iya, seperti janin yang ada di dalam rahim ibunya. Dia makan tapi tidak ada sesuatu yang terpisah darinya.
Biarawan: Engkau benar.


4. Katakan kepadaku; dikatakan bahwa di surga meski buah-buah dan makanan yang ada di sana dimakan, tidak akan ada yang berkurang darinya. Apakah ada contohnya di dunia?
Imam Baqir as: Contohnya adalah lentera dimana bila ribuan lentera dinyalakan pelitanya, maka cahayanya tidak akan berkurang.


5. Katakan padaku supaya aku tahu; siapakah dua saudara yang dalam satu waktu lahir dari ibunya sebagai anak kembar dan keduanya mati pada saat yang sama, tapi satu darinya berumur lima puluh tahun dan yang satunya berumur seratus lima puluh tahun?


Imam Baqir as: Dua saudara itu adalah Aziz dan Uzair; saudara kembar yang lahir dalam satu waktu dan mati bersama-sama dalam satu waktu juga. Allah telah mengambil ruh Uzair dan selama seratus tahun sebagai orang yang mati, kemudian ia dihidupkan kembali dan hidup bersama saudaranya selama dua puluh tahun, kemudian mati barengan dalam satu waktu. Kesimpulannya, Uzair berumur lima puluh tahun, tapi Aziz berumur lima puluh tahun.


Pada saat itu biarawan bangkit dari tempatnya dan berkata kepada orang-orang yang hadir:


“Kalian telah mendatangkan orang yang lebih pandai dari aku, supaya kalian mempermalukan aku. Demi Allah! Selama lelaki ini [Imam Baqir as] berada di Syam, aku tidak akan berbicara dengan kalian. Tanyakan apa saja kepadanya yang kalian maukan.”


Diriwayatkan bahwa ketika malam tiba, biarawan itu mendatangi Imam Baqir as dan dia menyaksikan sebuah mukjizat dan di situ juga dia masuk Islam. Ketika kabar menakjubkan ini sampai di telinga Hisyam, dan kabar dialog Imam Baqir dengan biarawan menyebar di Syam dan ilmu serta kesempurnaan Imam Baqir telah tampak di Syam, Hisyam merasa terancam. Ia mengirim hadiah untuk Imam Baqir as dan beliau dikembalikan ke Madinah. Dia [Hisyam] juga mengutus beberapa orang terlebih dahulu untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa jangan ada seseorang bertemu dengan dua putra Abu Turab [Imam Ali as]; Baqir dan Ja’far karena keduanya adalah tukang sihir. Aku meminta keduanya untuk ke Syam, tapi mereka cenderung kepada agama orang-orang Kristen. Barang siapa yang menjual sesuatu kepada keduanya atau mengucapkan salam, maka darahnya layak untuk ditumpahkan.






SILSILAH KETURUNAN SALMAN DAN KANTONG-KANTONG UANG EMAS

pengarang : Emi Nur Hayati
Sumber : Sad Pand va Hekayat  |  Imam Muhammad Baqir as 

Silsilah Keturunan Salman
Imam Baqir as berkata, “Suatu hari para sahabat Rasulullah Saw sedang berkumpul dan setiap orang bangga dengan silsilah keturunannya dan menceritakannya.

Dalam perbincangan sensitif ini, Umar bin Khattab berkata, “Engkau juga, ceritakan silsilah keturunanmu, hai Salman!”

Salman berkata, “Aku adalah hamba Allah! Aku dulu tersesat, miskin dan seorang budak. Karena berkah wujudnya Rasulullah Saw, Allah telah memberikan hidayah kepadaku, membuatku tidak membutuhkan dan memerdekakan aku. Inilah silsilah keturunanku, hai Umar!”

Pada saat itu juga Rasullah datang dan mengetahui kandungan perbincangan mereka. Beliau berkata kepada mereka, “Kemuliaan seseorang, ada pada agama dan keimanannya. Harga diri seseorang adalah karakternya. Akar dan asal muasal seseorang adalah akalnya. Kemudian beliau membacakan ayat 13 surat Hujurat:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu...”

Kantong-Kantong Uang Emas

Seorang lelaki miskin bernama Jabir bin Yazid datang menemui Imam Baqir as dan mengadukan kemiskinannya kepada beliau.
Imam Baqir as berkata, “Hai Jabir, aku tidak punya uang di rumah.”
Tidak lama kemudian datanglah Kumit; seorang penyair dan berkata, “Saya menjadi tebusan Anda. Bila Anda mengizinkan saya akan membacakan syair yang saya susun buat Anda.”
Imam Baqir as berkata, “Bacalah.”
Dia membaca syairnya. Begitu selesai bacaannya, Imam Baqir berkata, “Hai budak! Keluarkan satu kantong dari rumah ini dan berikan kepada Kumit. Sang budak membawa kantong dan memberikannya kepada Kumit.
Kumit berkata, “Saya menjadi tebusan Anda. Bila Anda mengizinkan, saya akan membacakan syair yang lainnya.”
Imam Baqir as berkata, “Bacalah.”
Kumit membacakan syair yang lainnya.
Imam Baqir berkata kepada budaknya, untuk mengeluarkan kantong lainnya dari rumah itu dan memberikannya kepada Kumit.
Kumit berkata, “Saya menjadi tebusan Anda. Bila Anda mengizinkan maka saya akan membaca syair yang ketiga.”

Imam Baqir as berkata, “Bacalah.”
Kumit membaca syair yang ketiga dan Imam Baqir berkata, “Hai budak! Keluarkanlah kantong yang lainnya lagi dan berikan kepada Kumit.”

Sang budakpun menjalankan perintah Imam dan mengeluarkan kantong yang lainnya lagi dan memberikannya kepada Kumit.

Kumit berkata, “Demi Allah! Saya tidak memuji Anda karena untuk mencari harta dan keuntungan duniawi. Saya tidak punya tujuan selain karena untuk menyambung hubungan dengan Rasulullah dan memenuhi hak Anda sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah kepada saya.”

Sebagai hak Kumit, Imam Baqir mendoakannya dan berkata, “Hai budak! Kembalikan kantong-kantong ini pada tempatnya.”

Jabir mengatakan, “Begitu saya menyaksikan pemandangan ini, saya berkata kepada diri saya sendiri, “Imam berkata kepadaku, “Aku tidak punya uang di rumah” tapi beliau memberikan uang tiga puluh ribu dirham kepada Kumit. Ketika Kumit keluar, saya berkata, “Saya menjadi tebusan Anda. Anda berkata kepada saya, “Aku tidak punya uang” tapi Anda memberikan uang tiga puluh ribu dirham kepada Kumit.”

Imam Baqir as berkata, “Hai Jabir! Bangkitlah dan masuklah ke rumah yang telah dikeluarkan dirham-dirham itu dan dikembalikan lagi ke sana.”

Jabir mengatakan:
“Aku bangkit dan masuk ke dalam rumah itu dan aku tidak menemui kantong-kantong uang emas itu. aku keluar dari rumah itu dan Imam Baqir as berkata, “Hai Jabir! Mukjizat dan keutamaan yang kami miliki dan tersembunyi darimu lebih besar dari yang kami tampakkan kepadamu.” Kemudian beliau memegang tanganku dan masuk ke dalam rumah tersebut. Imam Baqir menghentakkan kakinya ke tanah, tiba-tiba keluarlah dari dalam tanah emas yang berbentuk seperti lehernya onta. Imam Baqir berkata:

“Hai Jabir lihatlah mukjizat ini. Jangan engkau beritahukan rahasia ini selain kepada saudara-saudara seagamamu yang kau percayai keimanannya. Sesungguhnya Allah telah memberikan kekuatan kepada kami untuk melakukan segala yang kami maukan. Bila kita mau, maka akan kami taklukkan bumi."







BEBERAPA KATA PENUH HIKMAH DAN NASIHAT

pengarang : Emi Nur Hayati
Sumber : Sad Pand va Hekayat | Imam Muhammad Baqir as



Kata Penuh Hikmah

Imam Baqir as berkata, “Rasa takabbur tidak akan masuk ke dalam hati seseorang, baik itu sedikit maupun banyak, kecuali bila akalnya telah berkurang sebatas [rasa takabbur] itu juga.
- Kilat akan menyambar orang mukmin maupun non mukmin, tapi ia tidak akan berpengaruh pada orang yang berzikir menyebut nama Allah.
- Terkait ayat yang berbunyi, “Mereka yang bersabar maka akan diberi balasan surga” Imam Baqir as berkata, “Mereka adalah orang-orang yang bersabar ketika menghadapi kemiskinan di dunia.”
- Dan terkait ayat yang berbunyi, “Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” Beliau juga berkata, “Mereka adalah orang-orang yang kokoh dalam menghadapi kemiskinan dan kesulitan dunia.”
- Perkataan yang buruk adalah senjata orang-orang yang hina
- Segala sesuatu ada penyakitnya, dan penyakit ilmu adalah kelupaan
- Seorang ilmuwan yang ilmunya dimanfaatkan oleh masyarakat, lebih baik dari seribu orang yang ahli ibadah.
- Demi Allah! Kematian seorang ilmuwan bagi iblis lebih menyenangkan daripada kematian tujuh puluh orang yang ahli ibadah.


Beberapa Nasihat

Imam Baqir as berkata, “Putraku! Jangan sampai bermalas-malasan  dan bosan dalam mengerjakan pekerjaan. Karena keduanya ini awal dari segala keburukan. Bila engkau bermalas-malasan maka engkau tidak akan bisa memenuhi hak [seseorang] dan bila engkau bosan dan tidak stabil maka engkau tidak akan bisa bersabar atas satu hak pun.
Perilaku ada tiga macam:
1. Mengingat Allah dalam segala kondisi
2. Bersikap adil terhadap masyarakat
3. Empati dan menjadikan orang lain sebagai bagian dari dirinya dalam harta dan kekayaan.
4. Bila engkau melihat pembaca al-Quran mencintai orang yang kaya, ketahuilah bahwa dia adalah ahli dunia dan bila engkau melihat dia membarengi raja tanpa ada keharusan, ketahuilah bahwa dia adalah pencuri.
5, Para pengikut kami adalah orang yang menaati perintah Allah.
6. Hindarilah permusuhan dan kebencian, karena ia akan merusak hati dan menumbuhkan nifak [kemunafikan].
7. Mereka yang berdebat tentang ayat-ayat ilahi secara batil, adalah mereka yang cenderung pada kebencian dan permusuhan.
8. Beliau juga berkata, “Aku punya seorang saudara dan di mataku dia besar. Yang membuat di besar di mataku adalah kehinaan dunia di matanya.”
9. Siapa saja yang dianugerahi akhlak yang baik, karakter persahabatan dan toleransi, maka telah diberikan kepadanya semua kebaikan dan dia akan merasa tenang dan nyaman di dunia dan akhirat. Sedangkan, siapa saja yang tidak punya akhlak yang baik, karakter persahabatan dan toleransi, sungguh jalannya telah terbuka menuju pada segala keburukan dan musibah, kecuali orang yang dijaga oleh Allah.
10. Bila engkau ingin tahu kadar kecintaan hati temanmu kepadamu, maka lihatlah apa yang ada di hatimu terkait dia.








DIALOG 

pengarang : Emi Nur Hayati 
Sumber : Sad Pand va Hekayat | Imam Muhammad Baqir as 



Hisyam pada tahun tertentu pergi menunaikan ibadah haji. Imam Baqir dan Imam Shadiq as juga termasuk jemaah haji tahun itu.
Suatu hari Imam Shadiq as menyampaikan ceramahnya:


“Syukur kepada Allah yang telah mengutus Muhammad dengan kebenaran dan dengannya kami dimuliakan. Kami adalah orang-orang pilihan Allah di antara makhluk-makhluk-Nya dan wali-wali Allah di bumi. Beruntunglah orang yang mengikuti kami dan celakalah orang yang memusuhi kami.”


Imam Shadiq as berkata, “Ucapan ini disampaikan kepada Hisyam, tapi dia tidak menentang kami sampai dia kembali ke Damaskus dan kami juga kembali ke Madinah. Dia memerintahkan gubernur di Madinah untuk mengirim saya dan ayah saya ke Damaskus.”


Imam Shadiq as terkait masalah ini berkata, “Kami pergi ke Damaskus dan Hisyam tidak mengizinkan kami masuk sampai tiga hari. Hari keempat kami datang menemuinya dalam keadaan dia duduk di singgasana dan orang-orang sekelilingnya sedang sibuk bermain panah dan mengambil arah. Hisyam memanggil ayah dengan namanya saja dan berkata, “Memanahlah bersama para pembesar kabilahmu.”


Ayahku berkata, “Aku sudah tua. Masa memanah sudah lewat bagiku. Maafkanlah aku.”


Hisyam memaksa dan bersumpah bahwa engkau harus melakukannya dan dia berkata kepada seorang tua dari Bani Umayah, "Berikan busurmu kepadanya.”


Ayahku mengambil busur itu dan memasang anak panahnya dan memanahkannya. Anak panah pertama tepat menancap di tengah-tengah arah yang dituju. Kemudian memasang anak panah yang kedua ke busur. Begitu jarinya dilepas anak panah meluncur ke anak panah yang pertama dan terbelah. Anak panah ketiga menancap ke anak panah kedua dan anak panah keempat menancap ke anak panah ketiga dan seterusnya sampai anak panah kesembilan menancap ke anak panah kedelapan. Suara teriakan muncul dari orang-orang yang hadir. Hisyam tidak tenang dan berteriak, “Selamat Abu Jakfar! Engkau di kalangan Arab dan Ajam sebagai pemanah yang hebat. Bagaimana mungkin engkau berpikir masa memanah telah lewat bagimu...”


Pada saat itu juga dia merencanakan untuk membunuh ayahku dan menundukkan kepalanya untuk berpikir. Kami pun berdiri di hadapannya. Kami lama berdiri dan karena itulah ayahku marah. Begitu ayahku marah, beliau memandang ke langit dan kemarahannya tampak di wajahnya.


Hisyam memahami kemarahan ayahku dan dia mempersilahkan kami ke singgasananya. Dia bangkit dan memeluk ayahku dan mempersilahkan duduk di sebelah kanannya. Dia juga memelukku dan mempersilahkan aku duduk di sebelah kanan ayah. Dia berbincang-bincang dengan ayahku seraya berkata:


“Selama Quraisy memiliki orang sepertimu di sisinya, mereka akan bangga di hadapan Arab dan Ajam. Selamat untukmu. Engkau belajar dari siapa memanah seperti ini dan berapa lama?”


Ayahku berkata, “Engkau tahu orang-orang Madinah memanah dan aku ketika masa muda juga melakukannya, kemudian aku tinggalkan sampai saat ini engkau memintaku untuk memanah.”


Hisyam berkata, “Sejak aku mengenal diriku, selama ini aku tidak pernah melihat ada orang memanah sehebat ini. Aku tidak menyangka di muka bumi ini ada yang punya ketrampilan ini sepertimu. Apakah anakmu Jakfar juga bisa memanah seperti kamu?”


Ayahku berkata, “Kami menerima warisan secara sempurna dan penuh sebagaimana kesempurnaan yang diturunkan oleh Allah kepada nabi-Nya yang berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.”


Bumi tidak akan kosong dari orang yang benar-benar bisa melakukan pekerjaan ini.


Mendengar kata-kata ini mata Hisyam melotot dan wajahnya memerah karena marah.


Sejenak dia menunduk dan mengangkat kembali kepalanya dan berkata, “Bukankah kami dan kalian dari keturunan Abdi Manaf dan dari nasab yang sama?”


Ayahku berkata, “Iya, tapi Allah telah memberikan keistimewaan kepada kami yang tidak diberikan kepada yang lainnya.”


Hisyam bertanya, “Bukankah Allah mengutus Rasulullah dari keturunan Abdi Manaf kepada semua orang dan untuk semua orang; baik orang kulit putih, hitam dan merah? Kalian tahu dari mana kalau telah mewarisi pengetahuan ini. Padahal setelah Rasulullah tidak akan ada nabi dan kalian juga bukan nabi?”


Ayahku langsung menjawab, “Allah dalam al-Quran berfirman kepada Rasulullah Saw, “Jangan menggerakkan mulutmu untuk membaca al-Quran sebelum diwahyukan kepadamu. [tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)].


Dengan penjelasan ayat ini mulut Rasulullah mengikuti Allah dan memberikan keistimewaan kepada kami yang tidak diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu beliau menyampaikan rahasia kepada saudaranya; Ali yang tidak pernah disampaikan kepada orang lain. Dan dalam hal ini Allah berfirman, “Apa yang diwahyukan kepadamu, hanya telinga tertentu yang bisa mempelajari rahasiamu.”


Dan Rasulullah Saw berkata kepada Ali, “Aku memohonkan kepada Allah untuk menjadikan telingamu sebagai telinga yang dimaksud. Demikian juga Ali di Kufah mengatakan, “Rasulullah Saw telah membuka seribu pintu ilmu di hadapanku dan dari setiap pintu itu ada seribu pintu lainnya yang terbuka.”


Sebagaimana Allah telah memberikan kesempurnaan khusus kepada Rasulullah Saw, Rasulullah juga atas perintah Allah memilih Ali dan mengajarkan banyak hal kepadanya yang tidak diajarkan kepada yang lainnya dan ilmu kami bersumber dari sana. Dan hanya kami yang mewarisinya bukan orang lain.


Hisyam berkata, “Ali mengklaim punya ilmu gaib. Padahal Allah tidak menjadikan seseorang tahu ilmu gaib.”


Ayahku berkata, “Allah telah menurunkan sebuah kitab yang di dalamnya telah dijelaskan segalanya tentang masa lalu dan masa yang akan datang sampai Hari Kiamat. Karena di dalam kitab itu berfirman, “Kami telah mengirim sebuah kitab kepadamu yang menjelaskan segalanya.”


Dan juga berfirman, “Tidak ada sesuatu pun yang tidak kami masukkan dalam kitab ini.”


Dan Allah memerintahkan Rasulullah Saw untuk mengajarkan semua rahasia al-Quran kepada Ali dan Rasulullah Saw bersabda kepada umatnya, “Ali lebih pandai dalam menghukumi dari kalian semua...”


Hisyam diam dan Imam keluar dari istananya.






KISAH IMAM MUHAMMAD BAQIR AS

Makna Ridha

Suatu hari Jabir bin Abdullah Anshari menemui Imam Muhammad Baqir as di saat tua dan lemah.
Imam menanyakan kabar dia. Jabir berkata, “Saat ini saya dalam kondisi lebih mengenal tua daripada kemudaan, sakit daripada kesehatan dan kematian daripada hidup. Sementara Imam Baqir as berkata, “Bila Allah membuatku tua, aku meminta tua. Bila Allah membuatku muda, aku meminta muda. Bila Allah membuatku sakit, aku meminta sakit dan bila Allah membuatku sembuh, aku meminta kesehatan. Pada saat itu Jabir mencium wajah Imam beliau dan berkata, “Benar apa kata Rasulullah, “Hai Jabir! Umurmu akan panjang sampai engkau melihat salah satu putraku yang bernama Baqir dan pembelah ilmu. Sesungguhnya inilah makna ridha.”


Keutamaan Menuntut Ilmu

Imam Baqir as berkata, “Suatu hari seorang lelaki datang menemui Rasulullah Saw dan bertanya kepada beliau tentang hadir di majlisnya ulama lebih baik ataukah ikut acara mengiringi penguburan jenazah seorang muslim? Yang manakah yang lebih dicintai?”


Rasulullah Saw bersabda, “Bila sudah ada yang ikut mengiringi penguburan jenazah dan mengurusi pemakamannya, maka lebih baik engkau ikut dalam majlis ilmu. Karena hadir di majlis ilmu lebih utama dari ikut hadir dalam acara pemakanan seribu jenazah dan menjenguk seribu orang sakit dan berdiri untuk ibadah selama seribu malam dan bersedekah dalam seribu hari dan seribu ibadah haji. Tidakkah engkau tahu bahwa Allah akan ditaati melalui ilmu? Yakni orang bodoh tidak akan bisa beribadah kepada Allah dengan baik.”


Sebaik-Baiknya Masyarakat

Imam Baqir as mengenalkan masyarakat yang terbaik demikian; sebaik-baiknya masyarakat adalah orang yang mengenal Allah. Untuk itu mereka adalah orang yang paling ridha atas takdir ilahi.
Orang yang ridha atas takdir dan ketentuan Allah, maka Allah akan memberikan pahala yang banyak kepadanya. Tapi, orang yang tidak ridha akan ketentuan Allah, selain ketidakridhaannya tidak akan bisa menghalangi ketentuan Allah, pahalanya di sisi Allah juga akan hilang.


Apel Surga

Jabir bin Yazid mengatakan, “Saya pergi bersama Imam Baqir as ke Hirah. Ketika kami masuk ke Karbala, beliau berkata, “Hai Jabir! Tanah ini bagi kami dan para pengikut kami adalah taman dari taman-taman surga dan bagi musuh-musuh kami adalah sebuah lubang dari lubang-lubang neraka Jahannam.” Kemudian beliau menghadap kepada saya dan berkata, “Hai Jabir! Engkau mau makan?”
Saya berkata, “Iya. Saya melihat beliau memasukkan tangannya ke dalam bongkahan-bongkahan batu dan mengeluarkan apel dan memberikannya kepada saya dan saya tidak pernah melihat apel seharum apel tersebut dan tidak memiliki kesamaan sama sekali dengan buah-buah di dunia. Saya baru tahu kalau itu adalah buah surga. Kemudian saya memakannya dan rasanya sangat lezat dan yang menakjubkan adalah saya tidak membutuhkan makan sampai empat hari.”


Burung Skylark Dan Burung Gereja

Salah satu sahabat Imam Baqir berkata, “Suatu hari kami bersama beliau melewati tanah yang kering. Tanah ini benar-benar panas dan kering, seakan-akan keluar uap panas dari dalamnya. Di daerah itu banyak burung gereja. Begitu mereka melihat kami langsung datang menuju kepada kami dan terbang mengelilingi onta Imam Baqir as. Imam Baqir berkata kepada mereka, “Saya tidak punya makanan untuk kalian.”


Besoknya kami kembali pergi ke daerah tersebut. Kembali kami merasakan panas itu dan melihat burung-burung gereja itu. Mereka kembali mendatangi Imam Baqir as dan terbang mengelilinginya. Pada saat itu saya melihat banyak air di tengah padang sahara dan Imam Baqir memberikan air kepada mereka. Saya bertanya, “Wahai maulaku! Kemarin Anda tidak memberikan air kepada mereka, tapi sekarang Anda memberikan air kepada mereka.”


Imam Baqir as memandang saya dan berkata, “Bila mereka tidak bersama burung skylark, maka hari ini aku juga tidak akan memberikan air kepada mereka.”
Saya bertanya, “Memangnya ada perbedaan antara burung gereja dan burung skylark?”
Beliau berkata, “Ah kamu ini! Burung gereja adalah pecinta para musuh kami. Sementara burung skylark adalah para pecinta kami. Karena wujudnya burung-burung skylark aku memberikan air kepada mereka.”


Nasihat

Imam Baqir as berkata, “Tiga perkara merupakan kemuliaan dunia dan akhirat:
Pertama, maafkanlah orang yang menzalimimu.

Kedua, sambunglah hubungan kepada orang yang memutuskan hubungan denganmu.
Ketiga, bersabarlah atas sikap yang dilakukan padamu karena dasar kebodohan pelakunya.


Balasan Tidak Membantu Orang lain

Bila seseorang tidak mau membantu saudara semuslimnya dan tidak mau memenuhi kebutuhannya, maka ia akan tertimpa kondisi yang sama seperti dia dalam usaha atau pekerjaannya yang menyebabkan jatuhnya dia ke dalam dosa dan mendapatkan balasannya.


Dan bila seseorang tidak mau menginfakkan hartanya di jalan Allah maka ia akan berkali-kali lipat mengeluarkan hartanya di jalan yang tidak diridhai oleh Allah.






KESEMPURNAAN IBU DAN NASIHAT IMAM BAQIR AS

Ibu Imam Baqir as bernama Fathimah [Ummu Abdillah]. Dia adalah putri Imam Hasan as. Dari sisi spiritual, beliau mencapai derajat kesempurnaan.


Suatu hari Imam Baqir as mengingatnya dan berkata, “Beliau benar-benar jujur dan di dalam kalangan keluarga Imam Hasan, tidak terlihat seorang wanita seperti beliau.”
Suatu hari dia duduk di samping dinding. Tiba-tiba dinding itu retak dan terbelah dan suara jatuhnya dinding terdengar mengerikan. Pada saat itu dia berkata, “Tidak. Bihaqqi Musthafa, Allah tidak mengizinkan engkau untuk roboh.”
Dinding mengantung di udara. Kemudian dia keluar dari bawah dinding. Kemudian Imam Baqir as bersedekah seratus dinar karena terhindarnya ibunya dari bahaya.


Nasihat

Sejumlah orang dari para pengikut Ahlul Bait Rasulullah Saw bermaksud untuk pergi dari Hijaz menuju ke Irak. Sampai di Madinah, mereka menemui Imam Baqir as dan meminta beliau agar menasihati mereka.


Imam Baqir as menasihati mereka demikian:
1. Yang Kuat dari kalian harus membantu yang lemah.
2. Yang Kaya dari kalian harus membantu yang miskin.
3. Ketika sebuah hadis dari kami sampai kepada kalian, perhatikan dan telitilah. Bila kalian menemukan satu atau dua dalil dari al-Quran, maka terimalah [hadis itu], bila tidak maka bersabarlah sampai kalian mendapatkan kesempatan yang tepat untuk menanyakan kepada kami supaya kebenarannya jelas bagi kalian.
4. Ketahuilah bahwa pahala setiap orang dari kalian yang menunggu perkara ini [kehadiran Imam Zaman af] sama seperti pahala orang yang berpuasa dan malamnya dipenuhi dengan ibadah dan barang siapa yang sampai pada masa Qaim kami [Imam Zaman af] dan memerangi musuh bersamanya serta membunuh musuh kami, maka pahalanya sebesar dua puluh syahid, dan barang siapa yang terbunuh di jalan ini, maka pahalanya sebesar dua puluh lima syahid.





KEHADIRAN ORANG YANG SUDAH MATI

pengarang : Emi Nur Hayati 
Sumber : Sad Pand va Hekayat | Imam Muhammad Baqir as 
Abu Ainiyah meriwayatkan: Saya berada bersama Imam Baqir as. Seorang lelaki datang dan berkata, “Saya adalah warga Syam. Saya mencintai Anda dan berlepas tangan dari musuh-musuh Anda. Ayah saya adalah pecinta Bani Umayah. Dia tidak punya anak selain saya. Dia punya kebun dan sering di sana. Ketika dia sudah mati, saya tidak menemukan harta kekayaannya sama sekali meski sudah saya cari-cari. Tidak diragukan bahwa ini karena permusuhannya terhadap saya. Sehingga dia menyembunyikan hartanya.


Imam Baqir as berkata, “Maukah engkau melihat ayahmu dan bertanya kepadanya di manakah hartanya?”


Dia berkata, “Iya. Demi Allah! Saya tidak memiliki apa-apa dan sangat membutuhkan.”
Imam Baqir as menulis surat dan menstempel dengan stempel cincinnya. Kemudian berkata kepada lelaki warga Syam ini, “Bawalah surat ini ke Baqi’ dan berdirilah di tengah-tengah kuburan, kemudian ucapkan dengan suara lantang “Aku adalah utusan Muhammad bin Ali bin Huseis as” akan datang seseorang yang memakai amamah [surban] di kepalanya dan bertanyalah kepadanya apa saja yang engkau inginkan.”


Lelaki Syam ini mengambil surat itu dan pergi. Abu Ainiyah mengatakan, “Keesokan harinya aku datang menemui Abu Ja’far [Imam Baqir as] untuk menanyakan kondisi lelaki Syam itu. saya melihat lelaki itu berdiri di depan pintu menunggu izin untuk masuk. Dia diizinkan untuk masuk dan kami masuk bersama-sama ke dalam rumah.


Lelaki Syam itu berkata, “Allah lebih tahu ilmu-Nya harus diletakkan di mana? Tadi malam saya pergi ke Baqi’ dan saya mengamalkan segala yang diperintahkan. Saat itu juga datang seseorang dan berkata, “Jangan pergi dari sini ke tempat lain, sehingga aku hadirkan ayahmu. Dia pergi dan hadir kembali dengan lelaki hitam dan berkata, “Ini adalah ayahmu. Tanyakan kepadanya apa saja yang engkau maukan.” Saya berkata, “Dia bukan ayahku.” Orang tersebut berkata, “Dia adalah ayahmu. Tapi kobaran api dan dukhan, jahim dan azab yang pedih telah mengubahnya.”


Saya berkata, “Engkau ayahku?”
Dia menjawab, “Iya.”
Saya berkata, “Kondisi apakah ini.”


Dia berkata, “Hai anakku! Aku dulu adalah pecinta Bani Umayah dan aku lebih mengutamakan mereka daripada keluarga Rasulullah Saw yang berasal dari Rasulullah sendiri. Oleh karena itu Allah telah mengazabku seperti ini. Karena engkau adalah pecinta keluarga Rasulullah Saw dan aku memusuhimu, aku tidak memberikan hartaku padamu. Sekarang aku menyesali keyakinanku ini. Hai anakku! Pergilah ke kebunku dan galilah tanah di bawah pohon zaitun dan ambillah uang seratus ribu dirham di sana. Berikan yang lima puluh ribu dirham kepada Imam Muhammad bin Ali dan ambillah sisanya.”


Kemudian lelaki Syam itu berkata, “Sekarang aku mau mengambil uang itu dan saya akan memberikan apa yang menjadi hak Anda.” Kemudian dia pergi.


Abu Ainiyah mengatakan, “Tahun berikutnya saya bertanya kepada Imam as , “Apa yang dilakukan oleh lelaki Syam terkait hartanya?”


Imam Baqir as berkata, “Lelaki itu memberikan lima puluh ribu dirham kepadaku, dan aku pakai membayar hutang yang menjadi tanggunganku. Aku beli tanah di sekitar Khaibar dari sebagian uang itu dan aku berikan sebagiannya untuk orang-orang yang membutuhkan dan sebagian aku berikan kepada keluargaku.”





SEORANG TUNANETRA YANG MENGENAL IMAM BAQIR AS

Abu Bashir mengatakan, “Saya bersama Imam Baqir as masuk masjid di Madinah. Masyarakat dalam kondisi lalu lalang. Kepada saya Imam Baqir as berkata, “Tanyakan kepada masyarakat, apakah mereka melihat aku?”


Setiap orang yang aku tanya mengatakan tidak melihat Abu Ja’far [Imam Baqir as] padahal Imam Bagir berdiri di sampingku. Pada saat itu datanglah salah seorang pecinta sejati Imam Baqir as yang tunanetra; namanya Abu Harun. Imam Baqir as berkata, “Tanyakan padanya.”


Abu Bashir mengatakan, “Saya bertanya kepada Abu Harun, Apakah engkau melihat Abu Ja’far?”
Dia berkata, “Bukannya beliau berdiri di sampingmu.”
Saya berkata, “Bagaimana engkau tahu?”
Dia berkata, “Bagaimana aku tidak tahu, sementara beliau adalah cahaya yang terang dan memancar.”



Penghambaan Kepada Allah

Seorang lelaki sedang melewati kebun kurma. Dia melihat Imam Baqir as sedang sibuk bertani di bawah suhu yang panas. Dia berpikir, sebaiknya aku nasihati Imam supaya dia tidak lagi bertani di bawah suhu yang panas dan membakar ini.


Dia mendekati Imam. Setelah mengucapkan salam, dia berkata, “Wahai putra Rasulullah! Apakah benar, karena untuk mendapatkan harta dunia Anda bekerja di bawa suhu yang panas? Bila kematian menjemput Anda, apa yang harus Anda lakukan?”




Setelah menjawab salamnya, Imam berkata, “Hai hamba Allah! Bila pada saat ini kematian mendatangiku, maka dengan bangga aku menyambutnya, karena aku dalam keadaan menghamba kepada Allah. Dengan pekerjaan ini, aku tidak lagi membutuhkan orang lain seperti kamu.”




Lelaki itu malu mendengar ucapan ini dan berkata, “Aku ingin menasihati Anda, namun Anda menasihati saya.”

Kemudian dia pergi dan telah jauh dari Imam Baqir as.





IMAM BAQIR AS MENGETAHUI PERISTIWA DAN PESAN BELIAU KEPADA JABIR JU'FI

Mengetahui Peristiwa

Abu Hamzah Tsumali salah seorang sahabat Imam Baqir as menukil bahwa suatu hari Imam Muhammad Baqir as pergi ke sebuah kebun di sekitar Madinah dan Sulaiman salah satu sahabatnya membarenginya.
Sulaiman bertanya kepada Imam Muhammad Baqir, “Apakah Imam mengetahui peristiwa yang terjadi di siang hari?”
Imam Baqir as berkata, “Demi Tuhan yang mengutus Muhammad Saw sebagai nabi, Imam mengetahui kejadian yang terjadi di sianh hari, kejadian yang terjadi di bulan bahkan yang akan terjadi di tahun yang akan datang.”
Setelah itu berkata, “Saat ini juga dua orang lelaki akan berhadap-hadapan dengan kita dan dia telah mencuri tapi mengingkarinya.”
Tidak lama kemudian muncullah dua orang dari kejauhan. Begitu mereka sudah dekat, Imam Baqir as berkata, “Kalian telah mencuri. Mereka bersumpah bahwa tidak mencuri.”


Imam Muhammad Baqir as berkata, “Demi Allah! Bila kalian tidak menyerahkan barang curian itu, maka aku akan menyuruh seseorang untuk mengambil barang curian itu dari tempat yang kalian sembunyikan dan akan aku panggil pemiliknya dan akan aku serahkan kalian kepada pengadilan, supaya tangan kalian dipotong.”


Kemudian beliau menyuruh para budaknya untuk mengikat kedua tangan mereka. Setelah itu beliau berkata kepada Sulaiman, “Engkau dan para budak ini pergilah ke atas gunung ini. Di puncak gunung itu ada sebuah goa dan engkau sendiri masuklah ke dalamnya dan keluarkan barang apa saja yang engkau lihat. Kemudian Sulaiman pergi ke sana dan mengeluarkan dua bungkus barang dari sana dan atas perintah Imam Muhammad Baqir as dia menyerahkan barang tersebut kepada pemiliknya dan pengadilan memotong tangan pencuri tersebut.


Pesan Kepada Jabir Ju’fi
Imam Muhammad Baqir as berkata kepada Jabir bin Yazid Ju’fi, “Aku menganjurkan lima amalan kepadamu di hadapan masyarakat:


1. Bila engkau dizalimi, maka jangan berbuat zalim terhadap mereka.
2. Bila engkau dikhianati, maka jangan khianati mereka.
3. Bila engkau dibohongi, maka jangan marah.
4. Bila engkau dipuji, maka jangan gembira.
5. Bila engkau dihina, maka jangan sedih.


Ketahuilah bahwa engkau tidak akan terhitung sebagai pecinta kami, sampai engkau tidak akan bersedih bila semua orang sekotamu berkumpul dan kompak mengatakan bahwa engkau adalah orang yang buruk dan tidak gembira bila semua orang mengatakan bahwa engkau adalah orang yang baik. Tapi jagalah dirimu di hadapan al-Quran, bila engkau bergerak berdasarkan al-Quran, dan tidak menginginkan apa yang tidak diinginkan al-Quran dan menginginkan apa yang diinginkan al-Quran dan takut akan apa yang diperingatkan oleh al-Quran, maka bersikukuhlah dan tetap tegaklah serta bergembiralah karena apa yang dikatakan tentang dirimu tidak merugikanmu dan bila engkau berpisah dan menjauh dari al-Quran, maka untuk apa engkau harus membanggakan diri?


Sesungguhnya seorang mukmin benar-benar sadar akan jihad menghadapai hawa nafsu sehingga dia bisa mengalahkan kemauan hawa nafsunya.


Oleh karena itu Allah berfirman, “Begitu orang yang bertakwa merasakan bahwa setan dan godaannya sampai ke hati, saat itu juga di langsung mengingat Allah dan pada saat itu juga di langsung peka hatinya dan waspada.”





MUNAJAT PARA NABI

Numair mengatakan, “Saya bersama sejumlah orang pergi ke rumah Imam Baqir as. Di sana kami mendengar suara munajat dengan bahasa Ibrani. Karena sedihnya suara yang kami dengarkan, air mata kami juga mengalir. Kami menyangka ada seorang dari Yahudi atau Kristen yang berada di rumah Imam Baqir as dan sedang membaca Taurat atau Injil.

Ketika kami sampai di sisi Imam Baqir as, kami tidak melihat seseorang ada di sisinya. Kepada beliau kami berkata, “Kami menyangka ada seseorang dari ahli kitab; Yahudi atau Kristen datang dan membaca ayat-ayat Taurat atau Injil.”
Imam Baqir as berkata, “Itu tadi suara saya. Saya tadi sedang membaca munajat “Ilya” salah satu nabi terdahulu yang berbahasa Ibrani.”
Kami berkata, “Munajat bagaimana bila dengan bahasa Arab.”
Imam Baqir as berkata, “Ya Allah! Apakah aku melihat-Mu sebagai penyiksa diriku sendiri? Padahal selama ini mataku tidak pernah terpejam di malam hari beribadah kepadamu dan melakukan salat. Dan dia terus menyebutkan pekerjaan-pekerjaan baiknya, dalam munajat ini dan meminta surga kepada Allah.”

Mengetahui Nama-Nama Para Pengikut Ahlul Bait Rasulullah Saw

 
Abu Bashir menukil bahwa Imam Baqir as kepadanya berkata, “Ketika engkau kembali ke Kufah, maka akan lahir anakmu lelaki bernama Isa kemudian akan lahir lagi anakmu dengan nama Muhammad. Keduanya adalah pengikut kami dan nama dua orang ini ada dalam shahifah kami dan siapa saja yang akan lahir sampai Hari Kiamat.

Abu Bashir berkata, “Kepada beliau saya berkata, ‘Apakah para pengikut Anda bersama Anda?”
Imam Baqir as berkata, “Iya, bila takut pada Allah dan bertakwa.”




MENJAGA PARA SAHABAT DARI SENGATAN MUSUH 

pengarang : emi nur hayati 
Sumber : Sad Pand va Hekayat | Imam Muhammad Baqir as

 


Imam Muhammad Baqir sekitar dua puluh tahun mengembang kepemimpinan. Dalam masa ini, beliau berhadapan dengan empat khalifah Bani Umayah. Khususnya pada sepuluh tahun terakhir kehidupan beliau yang berharga berhadapan dengan pemerintahan tagut Hisyam bin Abdul Malik.
Beliau tidak pernah menyerah di hadapan Hisyam dan dalam kesempatan yang tepat, beliau senantiasa menunjukkan ketidaksukaannya pada pemerintahan tagut Hisyam. Beliau seperti kakek-kakeknya senantiasa berjuang melawan para pemerintahan tagut. Meski fasilitas yang ada tidak mengizinkan perang berhadap-hadapan dengan mereka. Tapi dalam perang budaya, beliau melakukan aktivitas tepat di hadapan pemerintahan Bani Umayah.


Oleh karena itu, dalam masa itu Imam Baqir as dan para sahabatnya benar-benar berada di bawah pengawasan ketat. Safwan bin Yahya menukil dari kakeknya, “Saya pergi ke rumah Imam Baqir as dan meminta izin untuk masuk. Namun saya tidak dizinkan untuk masuk. Sementara yang lainnya diizinkan untuk masuk.


Saya kembali pulang ke rumah dalam kondisi sedih. Saya membujurkan kaki di atas sebuah amben di halaman dan tenggelam dalam berpikir; mengapa Imam tidak mempedulikanku? Aku berkata pada diriku sendiri, berbagai golongan seperti Zaidiyah, Haruriyah dan Qadariyah dan lain-lain datang menemu Imam dan berlama-lama di sana, sementar aku yang seorang pengikutnya demikian?


Ketika aku tenggelam dalam berpikir, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu. Aku buka pintu. Aku melihat utusan Imam Baqir as dan berkata, “Sekarang, marilah ketemu Imam. Aku memakai baju dan pergi menemui beliau. Imam Baqir as berkata:


“Hai Muhammad! Bukan masalah Qadariyah, Haruriyah dan Zaidiyah dan lain-lain. Tapi kami menghindar darimu karena ini dan itu. Yakni para mata-mata pemerintah jangan sampai tahu para pecinta kami yang menyebabkan mereka tersiksa.”


Aku menerima ucapan Imam Baqir as ini dan aku menjadi tenang.


Pengasingan Dan Penjara


Sikap dan cara Imam Baqir as meski bukan sebuah perjuangan terang-terangan dengan sistem pemerintahan tagut masa itu, namun semuanya menunjukkan perlawanan pada sistem zalim. Akhirnya Hisyam memutuskan untuk mengasingkan Imam Baqir dari Madinah ke Syam.


Para petugas membawa Imam bersama putranya, Imam Shadiq as dari Madinah ke Syam. Dengan tujuan menghina Imam, beliau tidak boleh menemui Hisyam selama tiga hari. Bahkan mereka ditempatkan di penampungan para budak.


Hisyam berkata kepada para pegawainya, “Ketika Muhammad bin Ali [Imam Baqir as] masuk ke pertemuan, pertama aku akan mencacinya. Ketika aku diam, kalian bersama-sama, cacilah dia.”


Atas perintah Hisyam, Imam Baqir as diizinkan untuk masuk. Imam masuk ke dalam istana dan memberikan isyarat kepada semua orang yang hadir di situ seraya berkata, “Assalamu alaikum.” Yakni satu samalm untuk semua yang hadir di situ dan duduklah beliau.


Hisyam melihat Imam Baqir tidak mengucapkan salam secara khusus untuknya. Apalagi beliau duduk tanpa seizinnya, oleh karena itu dia bertambah marah dan berkata, “Hai Muhammad bin Ali! Selalu ada seorang dari kalian menimbulkan perselisihan di antara umat Islam dan mengajak masyarakat untuk berbaiat padanya dan menganggap dirinya sebagai imam. Dan kesimpulannya dia benar-benar menghina imam.


Ketika Hisyam diam, orang-orang ada di situ bersama-sama menghina Imam Baqir sesuai dengan konspirasi sebelumnya. Setelah mereka diam, Imam Baqir berdiri dan berkata:


“Hai orang-orang! Kemanakah kalian pergi dan kemanakah kalian dibawa? Allah telah membimbing orang pertama dari kalian melalui kami dan hidayah orang yang terakhir dari kalian juga oleh kami. Bila kalian tergantung pada kerajaan beberapa hari, ketahuilah bahwa pemerintahan abadi bersama kami. Sebagaimana Allah telah berfirman, “Akibat bagi orang-orang yang bertakwa.”


Hisyam memerintahkan untuk memenjarakan Imam Baqir as.


Tapi tidak lama, cara Imam Baqir as di penjara membuat para penghuni penjara tertarik pada beliau. Kejadian yang ada dilaporkan kepada Hisyam. Akhirnya Hisyam memerintahkan untuk mengembalikan Imam Baqir as ke Madinah dengan dibawah pengawasan.





IMAM SHADIQ AS DAN PROBLEM SOSIAL

Salah seorang pembantu Imam Shadiq as berkata, “Karena jarangnya bahan makanan, harga barang-barang menjadi mahal.”
Imam Shadiq as berkata kepadaku, “Seberapa banyak bahan makanan yang ada di rumah?”
Aku menjawab, “Bisa dipakai dalam beberapa bulan.”
Imam Shadiq as berkata, “Juallah semuanya ke pasar.”
Aku heran dengan ucapan Imam Shadiq as, dan berkata, “Perintah apakah yang Anda sampaikan?”
Imam shadiq as mengulangi katak-katanya sampai dua kali dan menegaskan, "Bawa dan juallah semua barang yang ada di dalam rumah!"
Setelah bahan makanan yang ada di rumah saya jual, Imam Shadiq as berkata kepada saya, “Sekarang engkau punya kewajiban membeli bahan-bahan makanan. Makanan keluargaku harus disiapkan dari campuran separuh dari jelai [jenis gandum] dan separuhnya lagi dari gandum."

Hak Muslim Atas Muslim Lainnya
Mu’alla bin Khunais salah satu sahabat Imam Shadiq as berkata, “Saya berada di dekat Imam Shadiq as dan bertanya kepadanya, “Apa hak seorang muslim atas muslim lainnya?”
Imam Shadiq as berkata, “Setiap muslim atas muslim lainnya memiliki tujuh hak wajib [ditambah selain yang tidak wajib]. Bila salah satu dari hak tersebut diabaikannya, maka ia telah keluar dari naungan wilayah, kekuasan dan ketaatan Allah dan tidak mendapatkan keuntungan dari Allah.
Saya bertanya, “Apakah hak itu?”
Imam Shadiq as berkata, “Hai Mu’alla! Aku adalah teman yang penuh kasih sayang terkait padamu. Aku khawatir engkau mengabaikan hak ini sementara engkau tahu dan tidak mengamalkannya.”
Saya berkata, “Dengan pertolongan Allah, saya berharap bisa mengamalkannya.”
Pada saat itu beliau menjelaskan tentang tujuh hak itu dan berkata:
1. Yang paling sederhana dari hak-hak itu adalah sukailah bagi muslim lainnya, apa yang engkau sukai dan jangan engkau sukai bagi muslim lainnya, apa yang tidak engkau sukai.
2. Jangan marah terhadap muslim lainnya dan lakukanlah sesuatu yang membuatnya senang dan taatilah perintahnya selama dalam ketaatan kepada Allah.
3. Tolonglah dia dengan jiwa, harta, tangan dan kaki serta lisanmu.
4. Jadilah mata, pembimbing dan cermin baginya.
5. Jangan sampai engkau kenyang sementara dia lapar, jangan sampai engkau merasa segar sementara dia haus, jangan sampai engkau berpakaian sementara dia telanjang.
6. Bila engkau punya pembantu dan saudara muslimmu tidak punya pembantu, maka wajib bagimu untuk mengirim pembantu kepadanya, supaya pakaiannya dicuci, dan memasak makanannya dan membentangkan karpetnya.
7. Biarkan dia pada pertanggungjawabannya karena sumpah-sumpahnya. Terimalah undangannya. Bila dia sakit maka jenguklah. Jangan memperlambat dalam memenuhi kebutuhannya sehingga dia terpaksa mengungkapkannya. Tapi segeralah untuk melakukannya. Ketika engkau memenuhi hak ini, maka engkau telah mengikat persahabatanmu dengan persahabatannya dan persahabatannya dengan persahabatanmu.




LELAKI INI ADALAH BUDAK ZAINUL ABIDIN

Sudah berapa lama hujan tidak turun di Madinah. Kekeringan telah melanda tanah-tanah pertanian. Masyarakat telah mengalami kesusahan. Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan salat meminta hujan dan bermunajat kepada Allah supaya diturunkan hujan.



Said bin Musayib salah seorang warga Madinah pada saat itu pandangan matanya tertuju pada seorang budak kulit hitam yang sedang berada di atas bukit dan jauh dari orang-orang sedang bermunajat. Said memerhatikan sikap lelaki kulit hitam ini. Dia benar-benar tenggelam dalam munajat sehingga tidak tahu bahwa Said sedang berada di sisinya. Sebelum doanya selesai, awan hitang telah menyelimuti langit kota. Budak kulit hitam ini memandang ke langit. Begitu dia melihat awan tebal, dia bersyukur kepada Allah, tersenyum dan pergi.

Tidak lama kemudian, hujan turun begitu lebat sehingga khawatir terjadi banjir. Said merasa bahwa munajat budak kulit hitam itulah yang menyebabkan turunnya hujan di kota ini setelah lama terjadi kekeringan. Dia membuntuti budak tersebut, dalam upaya ingin mengetahui bahwa dibawah pendidikan siapakah budak ini?

Said sedang membuntuti budak ini sampai dia masuk ke rumahnya Ali bin Husein as dan dia juga meminta izin untuk masuk ke dalam rumah tuannya. Said berkata kepada Imam Zainul Abidin as, “Wahai putra Rasulullah! Saya datang untuk membeli budak ini dari Anda, bila Anda menyetujuinya.”


Imam berkata, “Saya bisa menjual budak ini kepadamu.”

Kemudian beliau berkata kepada budaknya, “Hai hamba Allah! Dari sejak saat ini engkau akan mengabdi kepada Said bin Musayib, maka ikutilah dia.”

Budak itu berkata kepada Said, “Apa yang menyebabkan engkau memisahkan aku dan maulaku?”
Said bin Musayib menjelaskan apa yang telah terjadi kepada budak dan Imam Sajjad as dan berkata, “Engkau mulia dan dekat di sisi Allah dan aku ingin memiliki budak seperti ini di rumahku.”

Kondisi budak menjadi berubah. Dia mengangkat tangannya ke langit dan berkata, “Ya Allah! Ada rahasia antara aku dan Engkau. Karena sekarang rahasia itu sudah terungkap, maka kembalikanlah aku pada diri-Mu.”

Imam, Said dan semua orang yang ada di rumah Imam merasa trenyuh dengan kata-kata budak ini dan mereka menangis. Said pun keluar dari rumah Imam dengan menangis dan pada saat yang sama dia menyesal.

Begitu Said bin Musayib sampai di rumahnya, salah seorang budak Imam menyampaikan pesan dan berkata, “Hai Said! Imam berkata, bila engkau mau, engkau bisa ikut acara pemakaman budak itu!”





KUTUKAN IMAM SAJJAD AS DAN GEMPA MADINAH

Bani Umayah adalah penguasa zalim yang banyak berbuat zalim terhadap masyarakat Islam dan para pengikut Imam Ali as. Jabir bin Abdullah Anshari salah seorang sahabat setia dan beriman kepada para Imam Maksum as berkata:


“Bani Umayah tidak segan-segan melakukan kezaliman apapun. Kaum pezalim ini dalam pemerintahannya telah menumpahkan banyak darah. Di atas mimbar-mimbar dan pidatonya selama seribu bulan telah melakukan pelaknatan dan kutukan terhadap Amirul Mukminin as. Para pengikut Ahlul Bait Rasulullah Saw telah mengalami musibah besar. Ketika kesabaran masyarakat habis, mereka mendatangi Imam Sajjad as dan mengeluhkan kondisi yang sangat parah ini dan berlindung kepada beliau.


Imam benar-benar sedih menyaksikan kondisi ini. Beliau menghadap ke langit dan berkata, ‘Ya Allah! Engkau Maha Suci. Engkau adalah zat yang memberikan kesempatan pada para musuh untuk menyempurnakah hujjah bagi mereka. Namun aku meminta kepada-Mu untuk menurunkan musibah besar pada para musuh yang tidak punya rasa kasih sayang ini...’

Malam itu terasa sangat lama bagi saya. Saya berpikir bagaimana Allah akan membalas dendam masyarakat ini. Keesokan harinya, gempa sanggat besar menimpa kota Madinah sedemikian rupa sehingga kebanyakan rumah-rumah rusak dan sekitar tiga ribu orang mati.

Saya terheran-heran memandang masyarakat dan saya menangis melihat rasa ketakutan mereka. Pada saat itu saya menemui Sayidina Baqir as. Beliau berkata, “Bagaimana keadaan masyarakat?”

Saya berkata, “Wahai putra Rasulullah! Jangan bertanya tentang keadaan masyarakat. Rumah-rumah telah rusak dan para penghuninya telah binasa dan hati saya sendiri kasihan pada mereka.”
Beliau berkata, “Semoga Allah tidak merahmati mereka.”


Jabir mengatakan, “Gubernur Madinah yang merasa keheranan dengan semua musibah ini menganjurkan masyarakat agar pergi ke rumahnya Ali bin Husein as untuk bertaubat dan menangis, barangkali Allah akan merahmati mereka. Kemudian mereka pergi ke rumah Sayidina Baqir as dengan tangisan dan berkata, “Wahai putra Rasulullah! Apakah Anda tidak melihat musibah yang telah diturunkan pada umat Rasulullah? Dimanakah ayah Anda sehingga kami bisa memohon kepada beliau agar datang ke masjid dan berdoa agar Allah menahan balak dan musibah dari umat Muhammad Saw.





SEORANG LELAKI YANG KELUAR PERMATA DARI TANGANNYA

Zuhri salah seorang sahabat Imam Sajjad as berkata tentang beliau:
“Pada hakikatnya saya tidak pernah melihat seorangpun yang lebih baik dari Ali bin Husein as. Demi Allah! Jarang orang yang saya kenal yang bisa menyembunyikan kecintaannya padanya, atau bila musuhnya, sedikit juga yang menunjukkan permusuhannya secara terang-terangan. Aku tidak pernah melihat seseorang menyembunyikan kebesaran Imam Sajjad. Perilakunya sedemikan rupa sehingga membuat orang lain iri. Imam Sajjad bersikap sedemikian rupa kepada para musuhnya sehingga membuat mereka malu atas perbuatannya.”


Seorang Lelaki Yang Keluar Permata Dari Tangannya
Lelaki itu adalah salah satu pemuka daerah Balkh. Biasanya setiap tahun dia selalu pergi menunaikan ibadah haji. Setiap kali datang untuk menziarahi makam Rasulullah Saw di Madinah, dia juga datang mengunjungi Imam Sajjad as dan membawa hadiah untuk beliau serta menanyakan keadaan dan kembali lagi ke daerahnya.

Suatu hari istri lelaki ini berkata, “Bagaimana mungkin setiap tahun engkau membawa dan memberikan hadiah untuk Ali bin Husein as, sementara dia tidak pernah memberikan hadiah kepadamu sebagai imbalannya?”
Lelaki itu berkata, “Beliau ini adalah maula kita dan putra Rasulullah Saw. Aku berkewajiban untuk menghormatinya dan tidak berharap atas hadiah-hadiah yang aku berikan kepadanya.”

Tahun berikutnya lelaki Balkh ini menunaikan ibadah haji lagi dan pergi menemui Imam Sajjad as.
Imam Sajjad as mengajak lelaki ini ke rumahnya dan makan bersama.

Imam Sajjad as membawa ember dan kendi. Lelaki itu bangkit dan mengambil kendi tersebut supaya Imam Sajjad mencuci tangannya. Namun Imam Sajjad berkata, “Hai hamba Allah! Engkau adalah tamuku, bagaimana aku akan mengizinkan engkau menyiramkan air ke tanganku?”

Lelaki itu berkata, “Aku menyukainya wahai maulaku. Izinkan saya untuk melakukannya dan ini menjadi kebanggaan bagiku.”
Imam Sajjad as berkata, “Baiklah. Kalau begitu sebagai ganti dari pengabdian ini, aku akan memberikan sesuatu padamu sehingga menyenangkanmu.”
Lelaki Balkh ini menyiramkan air sampai sepertiga dari ember itu penuh. Imam Berkata, “Apa yang engkau lihat dalam ember ini?”
Lelaki itu berkata, “Saya melihat air.”

Imam Sajjad as berkata, “Lebih jelilah! Apa yang engkau lihat adalah yakut merah.”
Lelaki itu memandang ember. Dia tidak percaya. Tapi kenyataannya dalam ember itu ada yakut merah.
Imam Sajjad as berkata, “Siramkan air.”

Lelaki itu menyiramkan air ke tangan Imam Sajjad as sampai sepertiganya lagi dari ember itu penuh dengan yakut hijau.
Imam Sajjad kembali berkata, “Siramkan air.”

Lelaki itu menyiramkan air ke tangan Imam Sajjad sampai ember itu penuh. Namun kali ini penuh dengan mutiara putih.
Imam Sajjad as tersenyum dan berkata, “Hai lelaki! Setiap kali engkau datang engkau selalu membawa hadiah untukku. Namun aku tidak punya sesuatu yang sejajar dengan hadiah-hadiahmu. Namun sekarang ambillah permata-permata ini dan berikanlah kepada istrimu dan mintakan maaf dari kami.”






PELAJARAN TAWADHU DARI IMAM AS-SAJJAD

Seseorang dengan wajah sedih dan hati yang penuh luka mendatangi Imam Zainul Abidin as dan berkata dengan bahasa keluhan, “Aku merasa sakit hati kepada orang-orang yang aku perlakukan dengan baik, tapi mereka menzalimi aku dan tidak menghargai kebaikan-kebaikanku.”

Imam Sajjad as berkata, “Bila engkau ingin bebas dari masalah ini, pertama jagalah mulutmu dan jangan ceritakan segalanya kepada siapa saja. Setelah itu, anggaplah semua orang muslim sebagai keluargamu sendiri. Yakni orang yang lebih tua darimu anggaplah sebagai ayahmu dan orang yang lebih kecil darimu anggaplah sebagai anakmu dan orang yang sebaya denganmu anggaplah sebagai saudaramu. Dengan demikian, engkau tidak akan sakit hati akan tingkah laku dan ucapan mereka, sebagaimana engkau tidak akan sakit hati dari anggota keluargamu.”

Kemudian beliau melanjutkan, “Setiap kali engkau menganggap dirimu lebih baik dari orang muslim lainnya, karena godaan dan waswas setan, maka bila orang itu lebih tua darimu, katakan pada dirimu, bagaimana mungkin aku lebih baik dari dia, sementara dia lebih tua, tentu saja amal kebaikannya lebih banyak dariku. Bila orang itu lebih kecil darimu, katakan pada dirimu, karena aku lebih tua darinya, tentu aku lebih banyak berdosa daripada dia. Bila usianya sebaya denganmu, maka katakapada dirimu, aku yakin pada perbuatan dosaku, sementara terkait perbuatan dosanya aku ragu. Untuk itu, dia lebih baik dariku. Karena aku yakin akan perbuatan dosaku, sementara aku tidak tahu akan perbuatan dosanya.

Bila engkau melihat orang lain menghormatimu, anggaplah bahwa dirimu bukan orang yang layak mendapatkan penghormatan ini. Tapi katakan pada dirimu, penghormatan mereka dengan alasan karena menghormati orang lain adalah perbuatan yang baik. Dan setiap kali engkau melihat mereka tidak peduli padamu, katakan pada dirimu, sikap ini alasannya karena dosa dan kesalahan yang aku lakukan terhadap mereka.

Lelaki ini  tidak berbicara apa-apa karena selain dia merasa takjub pada ucapan Imam as, dia juga telah mendapatkan ketenangan. Namun Imam Sajjad mengakhiri ucapannya demikian, “Bila engkau menjaga aturan ini, maka teman-temanmu akan banyak dan musuhmu sedikit. Bila mereka berbuat baik padamu, engkau akan senang, dan bila mereka berbuat buruk terhadapmu, engkau tidak akan sakit hati.”





INI ADALAH TEMPAT PERLINDUNGANKU

Pasca peristiwa tragis Karbala dan Syahadahnya Imam Husein as, warga Madinah bangkit melawan Yazid dan mengeluarkan penguasa yang ditetapkan oleh Yazid untuk kota Madinah dan mempersulit Bani Umayah sedemikian rupa sehingga kebanyakan mereka melarikan diri meninggalkan rumah dan kehidupannya.

Warga Madinah juga mengancam Marwan musuh bebuyutan keluarga Rasulullah agar segera meninggalkan Madinah. Namun karena Marwan punya banyak istri, anak dan kekayaan, ia takut akan jiwa dan harga dirinya serta keluarganya. Ia takut bila dirinya tidak ada maka warga Madinah akan menciderainya karena marah. Dengan demikian, Marwan memutuskan untuk menyerahkan keluarganya kepada salah satu pembesar Madinah untuk menjaga jiwa mereka. Pertama ia mendatangi Abdullah putranya Umar, namun Abdullah tidak menerimanya. Setelah itu ia mendatangi satu persatu rumah semua pembesar Madinah, namun karena beragam alasan, mereka tidak mau menerima Marwan dan keluarganya. Ketika ia merasa putus asa dari semuanya, Marwan mendatangi Imam Sajjad as.

Meski Marwan banyak menyakiti keluarga Rasulullah Saw, namun Imam Sajjad as melindungi keluarganya. Dengan demikian, Aisyah; istrinya Marwan yang juga putrinya Usman, bersama para wanita dan anak-anak Marwan berlindung di rumah Imam Sajjad as. Sementara Marwan sendiri keluar dari Madinah sampai kondisi tenang.

Setelah beberapa waktu Yazid mengutus pasukannya untuk menumpas warga Madinah. Pasukan Yazid mengepung kota dan kebangkitan warga hampir kalah. Semua tahu bahwa bila pasukan Yazid masuk ke dalam kota, maka tidak akan mengasihani siapapun. Dalam kondisi seperti ini, mayoritas wanita Madinah bersama anak-anaknya berlindung ke rumah Imam Sajjad as. Disebutkan bahwa dalam kekacauan ini, empat ratus orang wanita bersama anak-anaknya berada di rumah Imam Sajjad as. Beliau mengeluarkan para wanita ini dari Madinah dan pasukan Yazid tidak mampu menghalanginya karena kedudukan spiritual Imam Sajjad as.

Selama pertempuran berlangsung, makanan dan pakaian serta apa yang diperlukan para wanita dan anak-anak dijamin oleh Imam Sajjad as. Ketika fitnah itu berakhir, salah seorang wanita berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah mendapatkan ketenangan di sisi ayah dan ibuku dan suami sebagaimana yang akau dapatkan saat ini di bawah naungan Imam yang terhormat ini.”


Catatan Amal

Imam Sajjad as di rumahnya memiliki beberapa budak lelaki dan perempuan yang mengerjakan pekerjaan sehari-hari beliau. Sikap Imam Sajjad as terhadap para pembantunya sangat menarik dan penuh pelajaran. Misalnya, di bulan Ramadhan, beliau mencatat setiap kesalahan yang mereka lakukan. Setelah bulan Ramadhan, beliau mengumpulkan semua budaknya dan mengambil pengakuan dari mereka, apakah dalam hari-hari tertentu mereka melakukan kesalahan ataukah tidak?

Mereka juga tahu bahwa Imam Sajjad mengetahui perincian perilaku mereka, sehingga mereka mengakuinya. Imam Sajjad juga berdiri di antara mereka dan berkata, “Katakan dengan suara keras; Hai Ali bin Husein! Tuhanmu telah mencatat apa yang telah engkau lakukan di dalam catatan amalmu, sebagaimana engkau menulis kesalahan-kesalahan kami; Namun ketahuilah bahwa buku catatan yang ada di sisi Tuhanmu akan berbicara dengan benar padamu. Sebuah buku catatan yang memuat amal-amalmu baik yang kecil maupun yang besar, sebagaimana buku catatan kami yang memuat amal-amal kami yang kecil maupun yang besar. Untuk itu, Hai Zainul Abidin, Maafkanlah kami dan kesalahan-kesalahan kami, sebagimana engkau suka Allah memaafkan amal-amalmu...”

Kemudian menghadap ke arah para budak lelaki dan perempuan seraya berkata, “Aku memaafkan kesalahan-kesalahan kalian. Apakah kalian juga memaafkan aku?”

Secara serempak mereka mengatakan, “Iya kami maafkan, wahai pemimpin kami!”

Kemudian Imam Sajjad as berkata, “Katakan; Ya Allah! Ampunilah Ali bin Husein! Sebagaimana Dia telah memaafkan kami dan jauhkanlah dia dari api neraka Jahannam!”


Menepati Janji

Imam Sajjad mengalami kesempitan dalam keuangan. Beliau pergi menemui salah satu kerabatnya untuk meminjam uang. Lelaki itu menyiapkan uang yang diinginkan Imam Sajjad as dan berkata, “Apa yang Anda jadikan jaminan atas uang ini?”

Imam Sajjad pada saat itu tidak punya sesuatu yang berharga sebagai jaminan. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan benang dari ujung jubahnya dan memberikannya kepada lelaki tersebut seraya berkata, “Benang jubah ini sebagai amanat di sisimu.”

Lelaki itu mengambil benang dan memberikan uangnya kepada Imam Sajjad as. Tidak berapa lama, masalah keuangan Imam Sajjad terselesaikan. Beliau membawa uang untuk membayar hutangnya kepada lelaki tersebut. Ketika sampai pada pemilik uang, beliau berkata, “Hai lelaki, uangmu sudah siap. Berikan amanatku dan ambillah uangmu!”

Lelaki itu berkata, “Beberapa waktu telah berlalu dan aku tidak tahu benang itu aku letakkan di mana?!”

Imam Sajjad as berkata, “Kita berdua telah berjanji; mengambil uang di hadapan mengambil amanat. Bila engkau telah menghilangkan amanatku, maka jangan berharap aku akan mengembalikan uangmu.”

Ketika ucapan Imam Sajjad sampai di sini, lelaki itu dengan teliti mencari-cari [benang] di antara barang-barangnya, sampai akhirnya ia menemukan benang itu di antara kaleng kecil dan memberikannya kepada Imam Sajjad. Imam Sajjad memberikan uang lelaki itu dan membuang benang itu.


Tolonglah Kijang Ini

Imam Sajjad as sedang duduk bersama para sahabatnya dan membicarakan beragam masalah. Tiba-tiba seekor kijang mendatangi mereka dalam keadaan galau dan menghentak-hentakkan kakinya bagian depan ke tanah. Imam Sajjad dengan ilmu keimamahannya mendengarkan bahwa kijang itu sedang menjerit minta tolong kepada mereka.

Para sahabat Imam Sajjad penasaran; apa yang sedang dilakukan oleh kijang ini di situ dan apa yang diinginkannya. Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh kijang ini?

Orang-orang yang hadir di situ berkata, “Tidak. Kami tidak tahu.”

Imam Sajjad berkata, “Dia mengatakan, seorang pemburu telah mengambil anakku. Aku meminta kepada kalian untuk mengambilkan anakku supaya aku susui.”

Kemudian beliau berkata, “Mari kita pergi bersama-sama dan meminta sang pemburu itu untuk membebaskan anaknya kijang ini.”

Semuanya pergi dan ketika sampai pada sang pemburu, Imam berkata kepadanya, “Demi Allah! Bawalah ke sini anak kijang yang engkau buru hari ini, supaya disusui oleh induknya.”

Sang pemburu segera mengambil anak kijang dan membawanya kepada Imam Sajjad. Imam Sajjad as berkata, “Berikan anak kijang ini padaku.”

Pemburu memberikan anak kijang itu kepada Imam Sajjad as dan Imam membawanya ke padang sahara dan menyerahkannya kepada induknya. Induk kijang menyusui anaknya kemudian pergi bersama anaknya. Ketika pergi, kijang itu dengan senang menggoyangkan ekornya.

Imam Sajjad as berkata, “Tahukah kalian apa yang dikatakan kijang itu?”

Orang-orang yang hadir berkata, “Tidak. Kami tidak tahu.”

Imam Sajjad berkata, “Dia mengatakan, semoga Allah mengembali para musafir kalian kepada kalian, sebagaimana kalian telah mengembalikan anakku kepadaku dan semoga Allah mengampuni Ali bin Husein.”





SIAPAKAH PEMUDA INI?

Karavan haji dari Kufah bergerak menuju Mekah. Malam, gelap, angin dan rasa dingin, membuat karavan berpencar. Mata tidak bisa melihat mata. Hammad bin Habib di padang sahara itu tersesat dan melanjutkan perjalanannya tanpa arah dan tujuan.

Akhirnya di padang sahara tanpa air dan rerumputan itu dia sendirian bernaung di bawah sebuah pohon. Kondisi sudah sangat gelap dan tiba-tiba matanya tertuju pada seorang pemuda berpakaian putih dan berbau harum. Hammad berpikir, ia salah melihat. Tapi ternyata tidak, dia benar-benar melihat.

Pemuda itu memiliki wajah yang bercahaya. Hammad penasaran, apa tujuan kedatangan pemuda ini di sisi pohon. Pemuda ini sedang siap untuk mengerjakan salat dan bermunajat:

“Ya Allah! Dengan kekuatan-Mu, Engkau menguasai segalanya. Berikan padaku keindahan mengingat-Mu dan jadikan aku sebagai pengikut-Mu.”

Kemudian pemuda itu berdiri dan mengerjakan salat. Pemuda ini tidak bergerak dalam waktu yang lama, dan Hammad tahu bahwa ada sebuah mata air jernih memancar dari tempat pemuda ini. Hammad sekarang yakin bahwa dia sedang berada di sisi salah satu wali Allah. Diapun berwudhu dan berdiri mengerjakan salat di belakang pemuda ini. Dia mendengar munajat pemuda ini. Setiap kali pemuda ini sampai pada ayat yang menjelaskan tentang pahala atau azab ilahi, mengulangnya dengan suara tangisan dan kesedihan. Munajat ini berlanjut sampai mendekati subuh dan pemuda itu dalam munajatnya mengatakan:

“Ya Allah! Kegelapan malam telah berakhir. Tapi aku belum mendapatkan upah dari-Mu dan di lautan munajat-Mu aku belum sampai pada sebuah balasan. Sampaikan salam untuk Muhammad dan berikan padaku apa yang lebih baik...”

Kemudian pemuda itu mengakhiri salatnya. Hammad menggunakan kesempatan dan maju bertanya, “Hai lelaki mulia! Engkau bermunajat kepada Tuhanmu demikian, maka mintakan padanya agar menunjukkan jalan padaku. Karena aku sedang menjalani safar haji, sementara aku telah kehilangan jalanku.”

Pemuda itu berkata, “Bila engkau bertawakal kepada Allah, maka engkau tidak akan tersesat. Sekarang mari bersamaku!”

Kemudian pemuda itu memegang tangan Hammad dan bergerak dengan kecepatan yang sungguh menakjubkan. Begitu subuh tiba, pemuda itu kepadanya berkata, “Hai lelaki! sekarang kita sudah berada di Mekah.”

Hammad mendengar suara riuh orang-orang dan melihat sebuah jalan. Dia tidak percaya atas apa yang disaksikannya. Oleh karena itu dia menghadap kepada pemuda itu dan berkata, “Demi Allah! Katakan padaku, siapakah engkau?”

Pemuda itu berkata, “Karena engkau telah bersumpah, aku katakatan bahwa aku adalah Ali bin Husein.”






BETAPA LELAKI INI PUNYA SEMANGAT

Seorang lelaki beberapa saat memperhatikan Imam Hasan as. Imam Hasan sedang menunggang kuda muda dan bagus.  Dengan penuh kasih sayang dan senyuman manis, beliau menjawab salam anak-anak yang sedang sibuk bermain dan beramah tamah dengan mereka.

Lelaki itu bergumam, “Sungguh ajaib! Betapa lelaki ini punya semangat dan kewibawaan! Dengan semua masalah dan kesibukannya, dia tidak sampai lupa tersenyum pada anak-anak. Oh iya! Dia juga punya kuda yang begitu bagus. Para pria Arab berharap punya kuda semacam ini!
“Salamun Alaikum”

Lelaki itu terkejut. Imam terlebih dahulu mengucapkan salam. Lelaki itu salah tingkah dan berkata, “Salam dan kesejahteraan Allah untukmu, Wahai Putra Rasulullah!

Lelaki itu tercengang melihat kuda. Imam Hasan merasa bahwa lelaki ini benar-benar tertarik pada kudanya. Namun beliau bersabar sampai lelaki ini berbicara. Sebentar kemudian lelaki itu berkata kepada Imam Hasan, “Tuan! Betapa bagus kuda Anda! Selama ini saya tidak pernah melihat kuda sebagus ini.”

Imam Hasan as berkata, “Baru aku beli kuda ini.”

Pada saat itu beliau turun dari kudanya dan memberikan tali kendalinya kepada lelaki itu seraya berkata, “Kuda ini mulai saat ini adalah milikmu.”

Lelaki itu kebingungan dan berkata, “Tuan! Apa yang Anda katakan?”

Dengan penuh kasih sayang Imam Hasan berkata, “Bahagiakanlah saudaramu dan terimalah hadiahnya.”

Lelaki itu tetap saja belum paham apa yang sedang terjadi. Dia memandang Imam Hasan tanpa mengedipkan matanya. Suasana menjadi hening sejenak. Kemudian lelaki itu berkata, “Dengan alasan apa kuda ini Anda hadiahkan kepada saya?”

Imam Hasan berkata, “Engkau tertarik pada kuda ini, dan aku menghadiahkannya kepadamu karena aku ingin menyenangkanmu. Untuk itu senangkanlah aku dengan menerima hadiah ini.”

Imam mengatakan hal ini dan berjalan menuju rumahnya. Tali kendali kuda ada di tangan lelaki ini dan dia memandang Imam Hasan sedang berbelok ke gang.
Tuan! Mengapa Anda Menjadi Demikian!?

Seorang lelaki, sejak dia datang ke rumah Imam Hasan as, dia tertarik pada akhlak dan perilaku beliau. Keduanya sedang berbincang-bincang, kemudian mendengar suara azan. Imam Hasan as yang sedang menunggu saat-saat seperti ini, segera bangkit dan berwudhu. Tamu lelaki itu pun bangkit mengikuti Imam Hasan. Wajah Imam Hasan menjadi pucat pasih seperti kapur dan beliau gemetaran. Air matanya menetes dan jatuh.

Lelaki itu tertegun dan menyaksikan gerakan Imam Hasan as. Akhirnya dia membuka mulut dan berbicara, “Tuan! Mengapa Anda menjadi demikian?!”

Dengan penuh kasih sayang, Imam Hasan as berkata, “Apakah gerakan dan perilaku ini tidak mungkin terjadi pada orang yang mau berdiri di hadapan Allah dan berbicara dengan-Nya?!”

Imam Hasan mengatakan hal ini dan berdiri mengerjakan salat. Lelaki itu juga berdiri di belakang beliau dan mengucapkan takbiratul ihram. Selama mengerjakan salat, badan Imam Hasan as bergetar.
Mengapa Anda Tidak Makan Makanan Ini?!

Mudrik bin Ziyad salah satu sahabat Imam Hasan menukil sebuah kenangan dari beliau:
“Suatu hari kami berada di kebun Ibnu Abbas. Imam Hasan dan Imam Husein as bersama para putra Ibnu Abbas datang ke kebun itu untuk istirahat dan piknik dan mereka duduk di tepi sungai. Pada saat itu Imam Hasan berkata kepada saya, “Hai Mudrik! Engkau punya makanan yang bisa kau bawa ke sini?!”
Saya ada sedikit roti dan lalapan. Saya memberikannya kepada beliau. Imam Hasan as makan roti dan lalapan itu dan berkata, “Hai Mudrik! Aku tadi sangat lapar, roti dan lalapan ini sangat lezat.”

Beberapa saat kemudian, budak Ibnu Abbas membawa makanan yang lezat untuk Imam. Imam Hasan as berkata, “Panggillah para budak dan buruh kebun untuk datang dan makan makanan ini.”

Atas perintah Imam Hasan para budak dan buruh datang dan makan makanan yang ada. Aku berkata, “Tuanku! Mengapa Anda tidak makan makanan ini?”

Imam Hasan as berkata, “Aku suka makanan yang sederhana, yaitu makanan orang-orang saleh dan miskin.”




ANJING INI JUGA HAMBA ALLAH!

Imam Hasan as melewati tepi kebun. Dari jauh beliau melihat seorang budak hitam menghamparkan taplak dan makan. Di samping taplak itu ada seekor anjing berdiri dan budak itu setiap suapan yang dia makan, dia juga memberikan suapan kepada anjing itu. Sikap budak ini menarik bagi Imam Hasan. Beliau maju dan dengan penuh kasih sayang berkata, “Hai hamba Allah! Dari makanan yang sedikit ini, bagaimana engkau juga memperhatikan sahamnya anjing ini?”

Budak ini berkata, “Anjing ini juga hambanya Allah. Saya malu bila saya makan sementara dia lapar dan melihat saya dengan sedih. Dari sisi lain, saya bisa menahan lapar. Namun boleh jadi dia tidak bisa menahan lapar.”

Dalam hati Imam Hasan mengatakan, “bagus” untuk lelaki bijak ini dan berkata, “Kamu di sini mengerjakan apa?”

Budak itu berkata, “Saya adalah budak pemilik kebun ini dan bekerja untuknya.

Imam berkata, “Tunggu di sini sampai saya kembali.”

Imam pergi menemui pemilik kebun dan beberapa menit kemudian datang menemui budak bersama pemilik kebun dan berkata, “Hai hamba Allah! Telah aku beli engkau dari pemilikmu. Sekarang engkau bebas dan bisa mencari kehidupanmu. Aku berikan modal padamu supaya engkau bisa bekerja dengannya.”

Lelaki itu saking gembiranya sampai tidak bisa berbicara apa-apa.

Beberapa saat kemudian kabar menyenangkan sampai ke telinganya.

“Wahai Putra Rasulullah! Karena berkat wujud Anda, dan demi keridhaan Allah saya berikan kebun ini kepadanya. Dia dari saat ini bisa bekerja di kebunnya sendiri dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.”





ADAB DAN TAWADHU

Satu lagi sifat baik Imam Hasan as adalah adab dan tawadhunya di hadapan masyarakat.
Dikatakan bahwa suatu hari Imam Hasan duduk di tengah masyarakat dan berbincang-bincang dengan para sahabatnya. Setelah obrolan selesai, beliau pulang ke rumahnya. Para sahabat bangkit untuk menghormati beliau. Pada saat itu juga datanglah seorang lelaki tua dengan memakai tongkat dan kelihatan sebagai orang miskin. Dengan penuh kasih sayang, Imam Hasan mengucapkan salam kepadanya. Lelaki tua itu menjawab salam Imam Hasan as. Kepadanya Imam Hasan berkata, “Bapak! Engkau datang saat kami sudah mau pergi, apakah Anda mengizinkan?”

Lelaki tua itu senang sekaligus merasa malu melihat sikap Imam Hasan as yang penuh kasih sayang. Sejenak dia bersabar untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab Imam Hasan. Kemudian dia berkata, “Iya...iya...Wahai Putra Rasulullah!”

Imam Hasan as dengan hangat pamitan dan pergi. Mata lelaki tua itu memandang Imam Hasan yang sedang meninggalkan tempat itu. Dia termenung berpikir.

Menolong Orang Yang Membutuhkan, Lebih Baik Dari Ibadah
Imam Hasan as sedang beri’tikaf di masjid. Pada saat itu tibalah seorang lelaki dan mendekati beliau seraya berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Saya ada masalah dan datang kepada Anda, barangkali Anda akan menyelesaikannya.”

Imam Hasan as berkata, “Hai Hamba Allah! Apa masalahmu? Katakan, barangkali aku bisa menolongmu.”

Lelaki itu berkata, “Saya ada hutang pada seseorang. Namun saya tidak mampu membayarnya. Pemilik uang itu akan melaporkan saya ke hakim dan menjatuhkan harga diri saya.”

Imam Hasan as berkata, “Sekarang aku tidak punya uang untuk menolongmu. Tapi bila ada urusan lainnya yang bisa aku lakukan, maka akan aku lakukan.”

Lelaki itu berkata, “Anda punya kepercayaan di mata masyarakat. Bila Anda berbicara dengan pemilik uang itu, maka dia akan menerimanya dan demi penghormatan kepada Anda, dia akan memberikan tenggang waktu pada saya.

Pada saat itu Imam Hasan langsung bangkit dan pergi dari masjid bersama lelaki tersebut. Salah satu sahabat beliau yang berada di masjid dan mendengar apa yang terjadi berkata kepada Imam Hasan as, “Wahai Putra Rasulullah! Apakah Anda lupa, Anda sedang beri’tikaf dan tidak boleh keluar dari masjid?!”

Imam Hasan as berkata, “Aku tidak lupa, tapi ayahku Amirul Mukminin Ali as menukil dari kakekku Rasulullah, “Orang yang berusaha menyelesaikan kebutuhan saudara muslimnya, sama seperti dia melakukan ibadah mustahab selama sembilan ribu tahun; yang siangnya diisi dengan berpuasa dan malamnya diisi dengan salat tahajjud dan ibadah.”


Pahala Perbuatan Baik

Salah satu karakter Imam Hasan as yang paling menonjol adalah kedermawanan beliau yang luar biasa. Dikatakan, suatu hari salah satu budak Imam Hasan memberikan hadiah berupa sekuntum bunga yang wangi kepada beliau. Imam Hasan as menyampaikan terima kasih dan berkata kepada budaknya, “Adalah baik seroang mukmin menerima hadiah saudara mukminnya dan sebagai gantinya, memberikan hadiah juga padanya. Sekarang aku menerima hadiahmu dan sebagai gantinya aku bebaskan engkau, sehingga engkau pergi mencari kehidupanmu.”

Orang-orang dekat Imam Hasan as berkata kepadanya, “Mengapa Anda membebaskannya, sebagai ganti dari hanya sekuntum bunga?

Imam Hasan menjawab, “Allah Swt berfirman, “Bila seseorang memberikan hadiah kepadamu, maka sebagai gantinya, berikanlah hadiah kepadanya yang lebih baik. Aku juga merasa bahwa hadiah yang paling baik untuk seorang budak adalah hadiahkan kebebasan kepadanya; akupun telah membebaskannya.”


Pertama Berpikirlah; Lalu Berbicaralah!

Seorang lelaki datang menemui Imam Hasan as dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Saya termasuk pengikut Anda.”

Imam Hasan berkata, “Hai lelaki! Pertama berpikirlah, kemudian berbicaralah! Bila engkau bersama kami mengerjakan kewajiban dan meninggalkan dosa, maka engkau benar. Tapi bila engkau tidak demikian, maka jangan memperbanyak dosamu dengan klaim bohongmu dan ketahuilah, mengikuti kami memerlukan kelayakan yang banyak. Sementara engkau tidak tahu kelayakan itu! Untuk itu, jangan katakan bahwa engkau sebagai pengikut kami. Tapi katakan aku sebagai pecinta kalian dan pembenci musuh-musuh kalian. Bila demikian, maka jalanmu menuju pada kebahagiaan.”

Lelaki ini tercengang mendengar ucapan Imam Hasan as. Namun beberapa saat kemudian, setelah berpikir dengan benar, ia tahu bahwa apa yang diucapkan oleh Imam Hasan itu benar. 

Kami Adalah Keluarga Rasulullah Saw

Imam Hasan asa memiliki wajah yang menarik dan tampan. Dikatakan bahwa beliau merupakan orang yang paling mirip dengan Rasulullah Saw. Kewibawaan dan daya tarik beliau membuat semua orang menjadi pengagumnya.

Suatu hari seseorang berkata kepada beliau, “Wahai Putra Rasulullah! Saya tertarik dengan wajah Anda yang bercahaya. Dalam perilaku dan pembicaraan Anda, ada keagungan dan kebesaran tersendiri...”

Imam Hasan as menjawab, “Iya. Kami adalah keluarga yang mulia. Karena Allah berfirman, “Kemuliaan itu bagi Allah, Rasulullah, dan orang-orang yang beriman.”





AMPUNAN DAN KEBESARAN

pengarang : Emi Nur Hayati
Sumber : Sad Pand va Hekayat | Imam Hasan as 
“... Aku telah meremehkan perintah maulaku; bila beliau mempertanyakanku, aku tidak berhak untuk protes. Meski Hasan bin Ali adalah seorang pemaaf, namun aku harus menyiapkan diri untuk dihukum. Karena dengan demikian, bertahan menghadapi hukuman maulaku, akan terasa lebih ringan...namun...namun..."

Demikianlah apa yang terlintas dalam pikiran budak Imam Hasan dan seketika itu juga Imam Hasan memanggilnya. Sang budak dengan langkah pelan-pelan menuju pada Imam Hasan as. Dia berpikir bagaimana caranya meminta maaf kepada maulanya. Begitu berhadap-hadapan dengan beliau, sang budak terpikir:

“Maulaku adalah orang yang akrab dengan al-Quran. Maka aku akan meminta bantuan al-Quran untuk menyelamatkan diriku.”

Saat itu juga terlintas dalam pikirannya untuk mengatakan, “Wal Kazdiminal Ghaizha.”

Imam Hasan tersenyum dan berkata, “Aku telah menekan kemarahanku.”

Sang budak tahu bahwa jalan keluarnya terlah terjawab. Dengan lebih tenang dia berkata, “Wal ‘Afina ‘Aninnas.”

Imam Hasan berkata, “Aku telah mengabaikan kesalahanmu.”

Sang budak merasa dirinya berhasil dan bergumam, “Aku akan melepaskan peluruku yang terakhir, seraya berkata, “Wallahu Yuhibbul Muhsinin.” (QS. Ali Imran: 134)

Kali ini Imam Hasan berkata, “Aku membebaskanmu di jalan Allah, agar aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.”


Tidak Membalas Keburukan dengan Keburukan

Salah satu dari budak Imam Hasan as sangat buruk akhlaknya. Namun Imam Hasan senantiasa memperlakukannya dengan baik dalam upaya dia bisa menjadi baik dan menyesali perilaku buruknya.

Imam Hasan memiliki seekor kambing di rumahnya. Dengan berjalannya waktu beliau menyayangi kambing itu. Suatu hari beliau tahu bahwa kaki kambing itu patah. Hatinya trenyuh melihat kambing itu dan bertanya kepada budaknya, “Mengapa kaki kambing ini jadi begini?”

Sang budak menjawab, “Aku yang mematahkannya.”

Dengan takjub Imam Hasan as berkata, “Mengapa engkau menzaliminya?”

Dengan nada congkak budak itu menjawab, “Karena aku ingin menyakitimu.”

Imam Hasan as sejenak berpikir dan berkata, “Ringkasi barang-barangmu dan pergilah dari rumah ini, dari saat ini engkau bebas.”

Budak itu terkejut dan berkata, “Mengapa Anda bebaskan aku?!”

Imam Hasan as berkata, “Agar aku menjawab perbuatan burukmu dengan perbuatan baik.”

Budak itu menundukkan kepalanya dan terdiam, sepertinya dia benar-benar malu.


Semua Kasih Sayang Ini?!

Seorang lelaki mendengar banyak cerita tentang kasih sayang dan kedermawanan Imam Hasan as. Namun dia ragu untuk menyelesaikan masalahnya, apakah harus pergi menemui Imam Hasan ataukah tidak. Pada akhirnya dia mengambil keputusan untuk mendatangi beliau.

Imam saat itu sedang duduk di masjid dan lelaki ini masuk mendekatinya. Imam tahu bahwa lelaki ini punya satu keperluan. Oleh karena itu beliau tersenyum padanya dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Hai lelaki! aku berpikir engkau ada masalah?” sebelum lelaki itu menjawab, Imam Hasan berkata, “Bersabarlah sedikit, aku akan menyelesaikan masalahmu.”

Imam Hasan memerintahkan kepada salah satu sahabatnya, “Berikanlah uang supaya dia bisa menyelesaikan masalahnya!”

Sabahat beliau memberikan uang kepada lelaki yang membutuhkan itu dan menyenangkan hatinya. Lelaki yang membutuhkan itu tidak percaya bahwa masalahnya bisa terselesaikan secepat ini. Dia menghadap kepada Imam Hasan dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Aku merasa takjub bahkan Anda tidak menanyakan apa masalahku. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus menyampaikan masalahku kepada Anda!”

Imam Hasan as berkata, “Ksatria yakni membantu seseorang yang membutuhkan sebelum orang tersebut menyampaikan masalahnya. Perbuatan seperti ini mencegah jatuhnya harga diri seorang mukmin dan tidak mengalirkan keringat malu di dahinya.”

Lelaki itu tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menjawab kasih sayang Imam Hasan. Butir-butir keringat memenuhi dahinya; namun keringat ini bukan keringat malu.


Memenuhi Hajat Seorang Mukmin

Begitu seorang lelaki menyampaikan masalahnya kepada Imam Hasan as, beliau langsung memakai sepatunya dan pergi menyelesaikan masalahnya. Di pertengahan jalan, mereka menyaksikan Imam Husein as sedang mengerjakan salat. Imam Hasan berkata kepada lelaki tersebut, “Mengapa engkau tidak mendatangi saudaraku untuk menyelesaikan masalahmu?”

Lelaki itu menjawab, “Beliau sedang sibuk salat dan ibadah, dan saya tidak ingin mengganggu beliau.”

Imam Hasan as berkata, “Sepertinya masalahmu harus selesai melalui bantuanku. Bagaimanapun juga, bila Husein mendapatkan taufik ini, memenuhi hajatmu baginya lebih besar dari satu bulan menjalani i’tikaf.”






BERSIAP-SIAP UNTUK SAFAR

Imam Hasan mendekati ajalnya. Semua mengetahui bahwa mereka akan kehilangan wujud beliau yang penuh berkah. Pada saat itu salah satu sahabat Imam ingin memanfaatkan keberadaan beliau yang terakhir kalinya. Ia mendatangi Imam Hasan dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Nasihatilah saya sehingga saya punya peninggalan dari Anda.”

Imam Hasan as berkata, “Siapkan dirimu untuk safar akhirat. Kumpulkan bekal dari dunia ini sebelum datang kematianmu. Kematian sedang mencarimu sebagaimana engkau sedang mencari dunia.  Jalanilah hari ini. Jangan rakus untuk mendapatkan apa yang sudah ditetapkan untuk hari esokmu. [maksud beliau adalah untuk mendapatkan rezeki, harus berusaha. Namun rakus dan tamak secara berlebihan tidak bagus. Karena Allah akan memberikan rezeki hamba-hamba-Nya tidak kurang dan tidak lebih] Dan ketahuilah bahwa bila engkau berpikir untuk menumpuk-numpuk harta kekayaan lebih dari apa yang diberikan oleh Allah kepadamu, maka engkau hanya sebagai bendahara saja bagi orang lain. [yakni orang yang rakus dalam mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan mengumpulkan harta lebih dari rezeki yang ditetapkan untuknya, maka kelebihan harta itu akan jatuh di tangan anak-anaknya dan tidak ada faedah baginya sama sekali].

Bila engkau mendapatkan harta kekayaan dari jalan yang halal, maka pada Hari Kiamat akan diperhitungkan. Bila engkau dapatkan dari jalan yang haram, maka engkau akan disiksa karenanya dan harta yang engkau dapatkan dari jalan yang tidak jelas, maka ia akan menjadi belenggu bagimu dan karenanya engkau akan disalahkan. Dengan demikian, senangilah harta kekayaan sesuai dengan kebutuhanmu, bila engkau melakukannya. Bila harta kekayaan itu halal dan engkau tidak mempedulikannya, maka engkau tidak merugi. Bila harta kekayaan itu haram [dan engkau tidak mempedulikannya], maka engkau telah menjauhi dosa.

Hiduplah sedemikian rupa seakan-akan engkau hidup selamanya. Terkait urusan akhirat, amalkan sedemikian rupa seakan-akan besok engkau akan meninggal dunia. [yakni seseorang harus senantiasa berharap dan berusaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Dari sisi lain, jangan lupa bahwa akhirnya juga harus mati dan di sana akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya].

Bila engkau ingin jangan sampai hina di mata orang lain, maka jangan pernah berbohong. Kokohkan dan kuatkan dirimu dengan menaati perintah Allah.

Bergaullah dengan orang-orang di tengah-tengah masyarakat yang membuatmu bangga dan ketika engkau mengalami kesusahan, dia akan menjadi penolong dan pendampingmu  dalam kesusahan. Bila engkau berbuat salah, maka dia akan memaafkanmu. Dia tidak akan melupakan kebaikanmu. Dia tidak akan pelit saat engkau membutuhkan sesuatu padanya. Dia akan mendekatimu, bila ada masalah di antara kalian. Dia tidak akan merugikanmu. Tidak menyusahkanmu dan menganggapmu sebagai kerabat.


Syarat Persabahatan

Seorang asing datang kepada Imam Hasan as dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Saya adalah penggemar akhlak dan perilaku Anda yang indah dan ikhlas. Saya ingin berada di sisi Anda dan bangga menjadi sahabat Anda.”
Imam Hasan as berkata, “Dari sejak saat ini aku dan engkau akan menjadi teman yang baik dengan syarat; jangan memujiku tanpa alasan. Karena aku lebih mengenal diriku sendiri. Jangan engkau menganggapku sebagai pembohong. Karena tukang bohong tidak layak untuk dijadikan teman. Jangan menggunjing seseorang di sisiku. Karena menggunjing adalah sebuah kezaliman yang besar dan tidak dimaafkan...”


Kaidah Persahabatan

Beberapa orang  dari sahabat Imam Hasan bekerjasama dalam hal perkebunan. Mereka menjalani kehidupannya dari hasil menjual buah-buahan yang dihasilkan. Dalam beberapa waktu mereka mengalami kesulitan finansial dan benar-benar memerlukan uang. Mereka memutuskan untuk menjual kebun itu untuk menutupi kebutuhannya. Imam Hasan as tahu bahwa harga kebun tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka semua. Karena saham mereka tidak seberapa. Imam Hasan membeli kebun mereka seharga empat ratus ribu dirham.

Beberapa waktu kemudian, para pemilik kebih ini bertambah miskin karena tidak punya penghasilan. Imam Hasan melihat kondisi mereka demikian, beliau memberikan kebun itu kepada mereka.


Tawadhu Ini Untuk Apa?!

Seorang lelaki datang menemui Imam Hasan as dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Anda di kalangan para pecinta keluarga Rasulullah termasuk orangyang tawadhu. Tawadhu ini untuk apa? Padahal kedudukan Anda di tengah-tengah masyarakat sangat tinggi dan Anda sebagai pemimpin mereka?

Imam Hasan as berkata, “Orang yang tawadhu, adalah orang yang mengenal hak masyarakat dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Barang siapa yang bersikap tawadhu di dunia ini, maka di dunia sana [akhirat] maka di sisi Allah sebagai orang yang jujur dan benar perilakunya dan termasuk sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib. Para pengikut Ali as juga semuanya akan dibangkitkan bersamanya.


Pertanyaan Yang Baik; Setengah Dari Pengetahuan

Imam Hasan as senantiasa berpesan kepada anak-anaknya, “Carilah ilmu. Karena kalian tidak selalu menjadi anak-anak tapi menjadi besar. Untuk hidup lebih baik, memerlukan ilmu. Ajarkan ilmu kalian pada orang lain dan belajarlah ilmu dari mereka. Dengan demikian kalian sedang menjaga ilmu kalian dan menambahkan ilmu orang lain pada ilmu kalian. Ketahuilah bahwa pertanyaan yang baik adalah setengah dari pengetahuan dan bertanya adalah seni...”


Sifat-Sifat Buruk

Salah satu sahabat Imam Hasan bertanya kepada beliau, “Wahai Putra Rasulullah! Apakah sifat terburuk manusia?”
Imam menjawab, “Tiga hal yang mencelakakan manusia; takabbur, rakus dan hasud.”

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya, “Takkabur menyebabkan rusaknya agama. Karena sifat inilah setan diusir oleh Allah [menolak perintah Allah untuk bersujud di hadapan manusia]. Rakus adalah musuh jiwa manusia. Karena inilah Adam diusir dari surga karena melanggar perintah Allah. Hasud bisa menyeret manusia pada perbuatan buruk. Karena inilah Qabil membunuh saudaranya; Habil.




NAMA DIA ADALAH QASIM

Senyuman manis ada dibibir budaknya Imam Hasan. Imam Hasan berkata, “Sepertinya engkau membawa kabar baik untukku, katakanlah! Katakan dan akan aku berikan hadiah padamu!”

Sang budak berkata, “Nufilah telah melahirkan seorang bayi lelaki yang tampan untuk Anda.”

Imam gembira dan berkata, “Alhamdulillah, atas kabar baik yang engkau bawa. Dari saat ini engkau bebas. Pergilah ke mana saja engkau suka.”

Sang budak berkata, “Memangnya ada tempat yang lebih baik selain rumah Anda sehingga budak Anda berlindung di sana? Memang ada majikan yang lebih baik dari Anda untuk budak ini?

Imam Hasan berkata, “Tidak mungkin tanpa hadiah. Katakan apa yang engkau minta?!”

Sang budak berkata, “Syafaatilah saya pada Hari Kiamat.”

Semua penghuni rumah berbahagia. Kegembiraan Imam Hasan juga membuat yang lain gembira. Bayi itu dibungkus dengan kain putih dan diserahkan kepada Imam. Begitu beliau melihat bayinya, segera mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa:

“Ya Allah! Aku bersyukur karena nikmat yang Engkau berikan kepadaku!”

Kemudian mengumandangkan azan dan iqomat di telinga bayi dan berkata, “Untuk mengenang putra kakekku, aku beri nama engkau; Qasim...”

Imam mengucapkan hal ini dan memandang wajah Qasim kecil dan mata beliau berlinang air mata. Orang-orang menyangka bahwa air mata Imam Hasan adalah air mata kegembiraan. Namun, boleh jadi hal ini memiliki alasan yang lain. Pasti beliau memikirkan saat-saat syahadah putranya.

Sayidina Qasim di hari Asyura bersama pamannya; Imam Husein as dan para sahabatnya yang setia berperang melawan musuh dan mencapai syahadah, sementara dia saat itu masih kanak-kanak.

Aku Sedang Berduka

Salah satu putri Imam Hasan as meninggal dunia karena sakit. Sejumlah orang dari sahabat Imam Hasan mengirim surat untuk beliau untuk menyampaikan belasungkawa dan berharap agar beliau bersabar.

Imam Hasan menjawab surat mereka, “Surat kalian telah sampai di tanganku. Aku telah memohon pahala dan kesabaran kepada Allah atas musibah ini dan ridha atas keridhaan-Nya. Namun yang lebih membuat saya berduka daripada musibah ini adalah kejadian “waktu”. Duka terpencarnya sahabat-sahabatku dari sisiku. Sahabat-sahabat yang pada suatu hari sebagai saudara-saudaraku dan aku senang bertemu mereka. Mereka juga senang bertemu denganku. Namun kejadian “waktu” telah mengambil mereka dariku. Duka karena kehilangan sahabat-sahabatku, dimana kematian telah memisahkan aku dan mereka.

Namun meski mereka tidak di sisiku, tapi mereka di sisi yang lain hidup dengan senang dan gembira.

Putriku ini adalah seorang pengabdi yang pergi ke jalan yang telah dilalui oleh orang-orang terdahulu dan akan dilalui oleh orang-orang yang akan datang.

Di Sisi Paman

Abdullah adalah salah satu putra Imam Hasan yang masih kecil. Setelah syahadah ayahnya dia hidup bersama Imam Husein as. Abdullah sangat mencintai pamannya. Imam Husein juga sangat mencintai Abdullah. Ketika Imam Husein memutuskan untuk berperang melawan Yazid, Abdullah datang kepada Imam Husein dan berkata, “Paman! Saya ingin berada di sisi Anda berperang melawan Yazid dan pasukannya.

Karena kecintaannya yang tinggi kepada Abdullah, Imam Husein tidak menginginkannya ikut berperang. Selain itu, Abdullah terlalu kecil. Bila dia ikut berperang maka begitu cepat mengalami kekalahan. Namun Abdullah ngotot untuk ikut bergabung di medan perang bersama Imam Husein as.

Abdullah tidak berhasil memaksakan kehendaknya. Imam Husein as berkata kepadanya, “Kamu harus berada jauh dari medan perang supaya musuh pezalim tidak sampai melukaimu.”

Hari Asyura telah tiba. Para sahabat Imam Husein as satu persatu menuju medan perang dan mencapai syahadah. Sampai ketika giliran yang paling akhir. Sahabat Imam Husein yang paling akhir juga mencapai syahadahnya. Saat ini tidak ada seorangpun di sisi Imam Husein. Abdullah mendengar pesan para sahabat Imam Husein bahwa ketika detik-detik terakhir perpisahan kepada yang lainnya berpesan, “Jangan sampai membiarkan sendirian pemimpin dan imam kalian.”

Sekarang sahabat Imam Husein as yang paling akhir juga mencapai syahadah. Abdullah menunggu kesempatan untuk pergi ke medan perang. Dia dari jauh di samping perkemahan memperhatikan pamannya. Dia ragu antara pergi ke medan perang ataukah tidak. Dari satu sisi dia ingin membantu pamannya dan dari sisi lain ia tidak ingin melanggar perintah beliau.

Akhirnya Abdullah mengambil keputusannya. Dia bergumam, “Sekali lagi aku akan menemui pamanku dan meminta kepadanya untuk mengizinkan aku berperang melawan musuh.”

Sayidah Zainab dan yang lainnya bagaimanapun juga tidak berhasil mencegah Abdullah. Abdullah lari menuju kepada pamannya. Begitu sampai di medan perang, dia melihat pamannya jatuh di atas tanah yang panas dengan badan berdarah dan penuh luka. Salah seorang musuh mengangkat pedangnya untuk dihantamkan ke badan Imam Husein as. Abdullah maju dan berkata, “Apakah engkau ingin membunuh pamanku? Hai pezalim!”

Dengan cepat ia menjadikan tangannya sebagai tameng bagi pamannya. Pedang musuh menyambar dan memotong tangan Abdullah. Tubuh berdarah Abdullah jatuh di dada Imam Husein as dan mencapai syahadah di sisi pamannya sebagaimana yang diharapkannya. ()





SIAPAKAH SEORANG POLITIKUS?

Seseorang kepada Imam Hasan as berkata, “Masyarakat menilai Muawiyah adalah seorang politikus yang dengan politiknya ia bisa mengubah segala urusan demi kepentingannya...Bagaimana pendapat Anda?”


Imam Hasan as berkata, “Menurut saya, politik adalah jagalah hak Allah, hak orang-orang yang masih hidup dan hak orang-orang yang sudah meninggal dunia.”

Kemudian, menjaga hak-hak mereka, perinciannya sebagai berikut: “Hak Allah adalah laksanakanlah apa yang diwajibakan-Nya dan tinggalkanlah apa yang diharamkan-Nya. Hak orang-orang yang masih hidup adalah laksanakanlah tugas-tugasmu terkait dengan saudara-saudara seagamamu dan bersikaplah secara ikhlas terhadap pemimpin umat Islam selama dia memiliki ikatan dengan masyarakat secara ikhlas dan bila ia menyimpang dari jalan yang benar maka proteslah dia.

Hak orang-orang yang sudah meninggal dunia adalah sebutlah kebaikan-kebaikan mereka dan tutupilah kejelekan-kejelekannya. Karena mereka memiliki Tuhan yang akan menghisab mereka.”





FATHIMAH TIDAK PERNAH BERBOHONG

Aisyah mengatakan, “Sepanjang umurku aku tidak pernah melihat seorang lelaki yang lebih menyenangkan dari Ali dan seorang perempuan yang menyenangkan dari istrinya; Fathimah.”

Dia juga berkata, setiap kali terjadi pembahasan dan perselisihan antara Rasulullah dan istrinya; Aisyah, Aisyah kepada Rasululullah Saw berkata, “Terkait masalah ini tanyakan kepada putrimu Fathimah, karena ia tidak pernah berbohong sama sekali dan tidak pernah membela seseorang kecuali berdasarkan kebenaran.”


Aku Lebih Mencintai Keluarga Ini Dari Semuanya

Aisyah; istrinya Rasulullah Saw berkata, “Aku di sisi Rasulullah membicarakan tentang Ali. Rasulullah Saw berkata, “Hai Aisyah! Di dunia ini tidak ada orang yang lebih aku cintai dari Ali, istrinya dan anak-anaknya; Hasan dan Husein.”

Hai Aisyah! Tahukah engkau, dengan mata hatiku apa yang aku lihat pada putriku dan suaminya?”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Katakanlah supaya saya tahu!”

Dan beliau berkata, “Putriku adalah penghulu para wanita surga dan suaminya tidak bisa dibandingkan dengan siapapun, kedua putranya bunga-bungaku di dunia dan di akhirat.”

Hai Aisyah! Di surga, aku, Fathimah, Hasan dan Husein, putra pamanku; Ali akan berada di sebuah tempat yang pilar-pilarnya di atas rahmat Allah dan sekelilingnya ditutupi oleh ridha ilahi. Antara Ali dan cahaya Allah ada sebuah pintu dimana Ali melihat Allah dan Allah melihat Ali dari pintu tersebut. Di atas kepala Ali ada mahkota cahaya yang menyinari Timur dan Barat. Dia memakai dua baju berwarna merah dan melangkah dengan pelan dan wibawa.” Pada saat itu Allah berfirman, “Hai Muhammad! Engkau dan Ali aku ciptakan dari tanah arsy-Ku dan para pecinta dan anak-anak para pecinta kalian aku ciptakan dari tanah bawahnya arsy dan musuh-musuh kalian aku ciptakan dari tanah khabal [Jahannam].”


Hai Ali! Engkau Adalah Suami Yang Baik Bagiku

Sayidah Fathimah sangat mencintai suaminya; Sayidina Ali as. Sebelum kematiannya, beliau berpesan kepada suaminya seraya berkata, “Ali sayang! Engkau adalah suami yang sangat baik bagiku. Aku sangat gembira karena hidup di sisi hamba pilihan Allah dan sahabat terbaik ayahku! Namun ayahku di akhir kehidupannya berkata kepadaku, “Putriku, jangan sedih atas kematianku. Bersabarlah. Karena engkau segera menyusulku.”

Ali sayang! Detik-detik perpisahan sudah dekat. Aku akan meninggalkanmu pergi ke sisi ayahku. Namun setiap suami memerlukan teman sehati. Untuk itu aku berwasiat kepadamu, setelah kematianku menikahlah dengan putri saudariku “Ummi Hani”. Dia adalah wanita yang penuh kasih sayang dimana dia tidak akan membiarkan engkau dan anak-anak kita sendirian tanpa siapa-siapa...”
Ada surat wasiat yang ditinggalkan oleh Sayidah Fathimah Zahra terkait pemakamannya:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang!

Ini adalah surat wasiat yang ditulis oleh Fathimah putri Rasulullah. Dalam kondisi bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dan bersaksi bahwa surga dan neraka adalah benar dan kiamat juga akan datang dan bersaksi bahwa Allah akan membangkitkan para mayit dari kuburannya.”

Hai Ali! Lakukan sendiri acara pengkafanan dan pemakamanku dan salatilah aku. Kuburkan aku di malam hari dan jangan beritahukan kepada siapapun. Aku serahkan engkau kepada Allah. Sampaikan salamku kepada anak-anak dimana pertemuan kita akan jatuh di Hari Kiamat.”


Engkau Segera Datang Menemui Ayahmu Di Surga

Rumah Rasulullah tenggelam dalam duka dan kesedihan. Beberapa hari warga Madinah berduka karena sakitnya Rasulullah Saw. Tidak seorangpun tahu apakah Rasulullah Saw akan sembuh ataukah tidak. Sejumlah orang mengatakan bahwa detik-detik perpisahan telah tiba dan hati-hati akan segera mengalami duka karena kepergian Rasulullah Saw. Sejumlah orang lainnya mengatakan, Rasulullah akan sembuh dan akan memberikan keberkahan pada negeri Hijaz dengan kehangatan nafasnya seperti semula.

Para sahabat dan umat Islam Madinah senantiasa bertamu menemui beliau dan menanyakan kondisinya. Rasulullah Saw berkata kepada mereka, “Jibril telah mengabarkan kepadaku bahwa aku akan segera pergi dari sisi kalian.”

Dalam saat seperti ini, Sayidah Fathimah Zahra benar-benar mengkhawatirkan kondisi ayahnya. Beliau tidak tenang memikirkan kepergian ayahnya. Rasulullah memanggil putrinya dan dalam kondisi menangis beliau berkata, “Putriku! Setelah kematianku, orang yang terburuk dari umatku akan menzalimi kamu dan anak-anakmu. Dari mulai saat ini aku melihat bahwa engkau memanggil ayahmu karena kezaliman mereka. Namun tidak seorangpun akan menolong kamu dan anak-anakmu.”

Pada saat itu Sayidah Fathimah menangis tersedu-sedu. Rasulullah Saw berkata, “Putriku! Jangan menangis, Allah bersamamu.”

Sayidah Fathimah berkata, “Tangisan saya bukan karena kezaliman masyarakat padaku setelah kematian Anda. Saya menangis karena perpisahan dengan Anda.”

Rasulullah Saw berkata, “Jangan menangis. Masa perpisahanku denganmu hanya sedikit.”

Kemudian beliau berkata, “Putriku sayang! Engkau akan menyusul ayahmu dalam selisih yang sangat pendek dari kematianku dan pada saat itu engkau akan kembali berada di sisiku.”

Sayidah Fathimah merasa tenang dengan ucapan ayahnya dan tersenyum karena gembira. Tujuh puluh lima hari kemudian Sayidah Fathimah mencapai syahadah karena kezaliman para penguasa zaman dan terbang menuju kepada ayahnya.

Terkait waktu syahadahnya Sayidah Fathimah, ada dua riwayat; berdasarkan satu riwayat menyebutkan bahwa beliau mencapai syahadah tujuh puluh lima hari setelah kematian Rasulullah Saw dan berdasarkan riwayat kedua, beliau mencapai syahadah sembilan puluh lima hari setelah kematian Rasulullah Saw.





MIMPI YANG TELAH DITAFSIRKAN

Sayidah Fathimah termenung dan sedih...seandainya saja mimpinya tidak diceritakan kepada ayahnya...supaya...namun apa faedahnya? Memangnya bisa menahan qadha dan qadar ilahi? Memangnya manusia bahkan Rasulullah pun bisa mengubah Sunnah Ilahi?

Mimpi yang dialami Sayidah Fathimah dan ditafsirkan oleh Rasulullah Saw berakhir dengan sebuah kenyataan pahit yang harus diterima dan tidak ada jalan lain.

Sayidah Fathimah bermimpi memegang sebuah Quran dan membacanya, namun tiba-tiba Quran itu jatuh dari tangannya dan menghilang. Setelah bangun dari tidur, beliau sangat khawatir dan tidak tahu apa makna mimpinya. Beliau merasa bahwa makna mimpinya buruk. Keesokan harinya beliau menemui ayahnya dan menceritakan mimpinya. Rasulullah Saw berkata, “Cahaya mataku! Quran yang ada di tanganmu itu adalah aku. Ketahuilah bahwa sebentar lagi aku akan menghilang dari pandangan.”
Ucapan ayah ini benar-benar pahit dan Sayidah fathimah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Beliau tidak tahu apa yang akan terjadi sepeninggal ayahnya dan yang terpenting adalah bagaimana beliau harus bersabar menghadapi musibah besar ini. Beliau tidak tahu harus bagaimana, karena sebelumnya tidak terpikirkan bahwa suatu hari akan kehilangan ayahnya.
 

Detik-Detik Perpisahan

Hari itu kondisi rumah Sayidah Fathimah lain daripada yang lain. Duka dan kesedihan telah meliputinya. Seakan-akan kejadian pahit akan mendatanginya.

Sayidah Fathimah memanggil Asma’ binti ‘Umais [istri Ja’far Thayyar, saudara Imam Ali]. Setelah menyampaikan pesannya, Sayidah Fathimah berkata, “Hai Asma’! Ini adalah detik-detik perpisahan.”
Sayidah Fathimah dalam kondisi berbaring di bawah. Kemudian menutupkan selimutnya ke wajahnya dan berkata, “Setelah beberapa detik panggillah aku! Bila aku tidak menjawab, ketahuilah bahwa aku telah pergi kepada ayahku...”

‘Asma bersedih dan duduk di samping putri Rasulullah Saw. Hatinya penuh kesedihan dan menangis sambil mengingat musibah yang menimpa putri Rasulullah Saw. Dia tidak percaya bahwa putri Rasulullah Saw dalam jarak waktu yang sangat pendek dari kematian ayahnya, sesegera ini menuju kepada ayahnya dan bertambahlah kesedihan umat Islam. Namun setelah beberapa detik sebagaimana yang dipesankan Sayidah Fathimah, Asma’ memanggil beliau. Tapi beliau tidak menjawabnya. Asma’ memanggil yang kedua kalinya. Tapi kali ini juga tidak mendapatkan jawaban. Begitu selimut itu disingkap dari wajahnya, Asma’ tahu bahwa Sayidah Fathimah telah meninggal dunia. Asma’ memeluk tubuh Sayidah Fathimah dan menciumnya, seraya berkata, “Fathimah sayang! Sampaikan salamku pada ayahmu!”

Asma’ dalam kondisi menangis dan penuh kesedihan keluar dari rumah mencari Hasan dan Husein. Kedua manusia mulia ini begitu menyaksikan Asma menangis dan sedih, bertanya, “Asma’ bagaimana keadaan ibu kami?!”

Asma’ tidak bisa menjawab. Keduanya paham bahwa telah terjadi kejadian tidak menyenangkan. Mereka menuju pada ibunya. Husein melihat ibunya sedang membujur menghadap kiblat. Begitu dia menggoyangnya, dia paham bahwa ibunya telah meninggal dunia. kesedihan telah menyelimuti hatinya, dia menghadap kepada saudaranya yang lebih besar Hasan dan berkata, “Saudaraku! Semoga Allah memberi kesabaran padamu! Ibu kita telah meninggal dunia.”

Hasan memeluk ibunya dan berkata, “Ibuku! Sebelum ruh dikeluarkan dari tubuhku, berbicaralah denganku...!”

Husein mencium kaki ibunya dan berkata, “Ibuku! Aku adalah anakmu. Sebelum hatiku robek, berbicaralah denganku...!”

Asma’ berkata, “Sayangku! Anak-anak Rasulullah! Pergilah dan beritahu ayahmu akan kematian istrinya!”

Keduanya keluar dari rumah. Di jalan keduanya menangis keras-keras dan berkata, “Ya Muhammad! Ya Muhammad! Sekarang musibah kematianmu menjadi baru bagi kami. Hari ini kami kehilangan ibu kami...”

Imam Ali as berada di masjid dan mendengar suara tangisa anak-anaknya. Hasan dan Husein menemui ayahnya dan mengucapkan belasungkawa padanya. Imam Ali pingsan mendengar kabar ini. Kemudian wajanya diperciki air dan siuman. Dengan hati yang hancur beliau berkata, “Fathimah sayang! Ketika engkau masih hidup, aku selalu menenangkan hatimu atas musibah kematian Rasulullah. Sekarang, setelah kematianmu, dari siapa aku harus mendapatkan ketenangan?”





SAYIDAH FATHIMAH : IBU AYAHNYA

Salah satu gelar Sayidah Fathimah adalah “Ummu Abiha”. Disebutkan bahwa sebab dipilihnya gelar ini untuk beliau adalah Sayidah Fathimah berperan sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang bagi ayahnya.

Sayidah Fathimah sangat mengkhawatirkan ayahnya. Sehingga orang-orang merasa bahwa Rasulullah Saw benar-benar terikat pada putrinya. Ketiadaan Sayidah Fathimah di sisi beliau, kerugian besar akan menimpa kehidupan beliau. Bila di tengah-tengah kondisi sulit dan membahayakan waktu itu, Sayidah Fathimah tidak berada di sisi ayahnya, maka bertahan di hadapan segala kesulitan menyampaikan dakwah agama Islam bagi Rasulullah lebih sulit.

Blokade ekonomi-sosial selama beberapa tahun di Sy’ibi Abu Thalib, kematian Sayidina Abu Thalib dan Sayidah Khadijah; ibunya Sayidah Fathimah dalam selisih waktu yang pendek, kekurangajaran para musuh Islam terhadap Rasulullah, sejumlah perang yang sulit dan terkadang berlangsung lama antara Rasulullah dan orang-orang musyrik, dan lain-lain. Semua ini adalah sedikit dari berbagai kesulitan yang dihadapi oleh Rasulullah dan Sayidah Fathimah selalu menjadi penolong yang berani dan pendamping yang penuh kasih sayang bagi ayahnya. Sebagai contoh bisa disebutkan beberapa kasus darinya:

Selama Abu Thalib; paman Rasulullah Saw masih hidup sedikit orang yang bersikap kurang ajar terhadap Rasulullah Saw. Namun sepeninggal Abu Thalib pada tahun kesepuluh hijriah, gangguan orang-orang Musyrik sangat tinggi. Sehingga suatu hari salah satu orang musyrik menumpahkan sampah ke atas kepala dan wajah Rasulullah Saw. Rasulullah tidak membalasnya sama sekali dan pulang ke rumah untuk membersihkan kepala dan wajahnya juga pakaiannya.

Sayidah Fathimah yang tidak tahan menahan kesedihan Rasulullah, karena kemazluman ayahnya, beliau menangis tersedu-sedu dan meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk membersihkan bajunya.

Rasulullah Saw bersabda, “Putriku! Jangan sedih dan menangis! Allah akan menjaga ayahmu dari kejahatan musuh dan mereka tidak akan bisa menciderai ayahmu.”

Putriku Bersabarlah!

Suatu hari Sayidah Fathimah berdiri di sisi kabah. Saat itu beliau melihat sejumlah orang musyrik sedang berbincang-bincang. Sayidah Fathimah merasa bahwa mereka sedang bermusyawarah tentang sesuatu dan ketahuan bahwa mereka sedang menyusun rencana jahat. Sayidah Fathimah penasaran dan ingin tahu apa rencana mereka, akhrinya tahu bahwa mereka bersumpah demi Latta dan Uzza; dua berhala besar orang-orang Quraisy untuk membunuh Rasulullah.

Sayidah Fathimah segera menemui Rasulullah dan menceritakan kejadian yang ada. Rasulullah membelai putrinya dan menenangkan hatinya. Kemudian Rasulullah berkata, “Putriku! Sebentar aku akan berwudhu.”

Sayidah Fathimah segera mengambil air dan Rasulullah Saw berwudhu kemudian pergi di sisi Ka’bah. Ketika Rasulullah Saw pergi menuju Ka’bah, orang-orang Musyrik berkata, “Bersiagalah. Muhammad datang.”

Namun begitu Rasulullah Saw sudah mendekat, semuanya tercengang menyaksikan wajah Rasulullah yang bercahaya dan mereka tidak bisa bergerak dari tempatnya. Rasulullah mendekati mereka dan mengambil sedikit tanah dari bumi dan menaburkannya kepada mereka seraya berkata, “Laknat Allah atas kalian!”

Disebutkan bahwa semua orang yang ditaburi tanah oleh Rasulullah terbunuh di dalam perang Badar.


Pendidikan Anak-Anak

Sayidah Fathimah sangat antusias dalam beribadah. Sebagian besar umurnya dipakai untuk beribadah. Dikatakan bahwa terkadang beliau mengerjakan salat dari malam sampai pagi dan bermunajat kepada Tuhannya.

Rasulullah Saw mengatakan, “Setiap kali putriku berdiri salat di mihrabnya, para malaikat berkata, “Lihatlah! Ini adalah cahayanya wajah Zahra yang bersinar dari bumi.”

Sayidah Fathimah memahami nilai sejati ibadah. Beliau berharap anak-anaknya juga menjadi orang mukmin yang sejati dan memahami lezatnya ibadah. Itulah mengapa beliau memutuskan untuk membiasakan anak-anaknya; Hasan dan Husein beribadah sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu beliau mengajari mereka untuk berlatih ibadah supaya kelezatan iman memenuhi jiwa mereka sedikit demi sedikit.

Terkadang di malam-malam Qadar beliau berkata kepada Hasan dan Husein agar beristirahat dengan baik di sore hari. Kemudian membangunkannya di pertengahan malam dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Anak-anakku sayang! Malam ini adalah malam yang mulia! Allah senang bila hamba-hambanya tidak tidur di malam ini dan bermunajat kepada-Nya...”

Terkadang juga menyuruh Hasan dan Husein ikut ayahnya ke masjid supaya salat di masjid bersama ayahnya dan mempelajari jalan dan cara ayahnya.


Para Pecintamu sebagai Ahli Surga

Sayidah Fathimah adalah pendamping yang baik bagi suaminya, sebagaimana pendamping yang baik bagi ayahnya ketika dalam kondisi sulit. Dalam berbagai kondisi beliau membela suaminya.

Setelah pernikahan Sayidah Fathimah dengan Sayidina Ali, para wanita Madinah berkata kepada Sayidah Fathimah, “Ayahmu telah menikahkan kamu dengan seorang lelaki yang tidak punya harta kekayaan. Kamu adalah putri Rasulullah dan harus hidup lebih baik...”

Dalam kondisi seperti ini, beliau menjawab mereka, “Ali adalah orang dekat pada Allah dan pendamping Rasulullah dan aku sangat senang sebagai istrinya Ali.”

Beliau juga berkata kepada ayahnya, “Ayah! Aku adalah putrimu. Tapi seperti masyarakat biasa, maharku uang dan dirham.”

Rasulullah Saw bersabda, “Mahar apakah yang layak dan sesuai denganmu?”

Sayidah Fathimah berkata, “Saya meminta kepada Anda, agar maharku bukan uang dan perak. Sebagai gantinya, mintakan kepada Allah agar para pecintaku tidak disiksa dengan api neraka!”

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya para pecintamu berada di dalam surga.”

Kemudian bersabda, “Bumi sebagai maharmu. Oleh karena itu siapa saja yang memusuhimu dan berjalan di muak bumi, maka dia akan berada di dalam api neraka.”





FATHIMAH : NAMA YANG HARUS DIHORMATI


Seorang lelaki menemui Imam Jakfar Shadiq untuk sebuah urusan. Imam merasakan bahwa lelaki ini kondisinya tidak baik dan sedih. Kepadanya Imam bertanya, 
“Hai lelaki! Mengapa Engkau sedih? Apakah kerugian telah menimpamu?”

Lelaki itu berkata, “Istriku telah melahirkan seorang anak perempuan.”

Dengan heran Imam berkata, “Semoga saja kita dijauhkan dari keyakinan jahiliyah ini, yang tampaknya tidak akan pernah dilupakan!”

Kemudian beliau berkata, “Mengapa Engkau khawatir? Allah yang akan memberikan rezekinya dan bumi akan menahan beratnya serta tidak akan ada yang kurang darimu...”

Kekhawatiran lelaki ini sedikit berkurang dan agak tenang. Imam berkata, “Katakan, apa nama yang Engkau pilih untuknya?”

Lelaki itu berkata, “Aku namakan dia, Fathimah.”

Mendengar nama neneknya, Imam teringat akan musibah-musibah yang menimpa Sayidah Fathimah as dan menarik napas panjang. Kemudian berkata, “Betapa bagusnya nama yang Engkau pilih untuknya! Namun tugasmu sekarang menjadi sangat berat. Hati-hatilah jangan sampai menghancurkan kehormatan nama Fathimah...jangan sampai  Engkau mengumpatnya, mengutuknya, dan memukulnya...”

APAKAH ENGKAU RELA DENGAN SUAMIMU?

Beberapa hari setelah pernikahan Sayidah Zahra as dengan Imam Ali as, Nabi Muhammad Saw mendatangi rumah mereka. Beliau bertanya kepada putrinya,
"Putriku!
Seperti apa suamimu?
Apakah engkau rela?"

Sayidah Zahra as menjawab, "Ayah! Suamiku adalah suami terbaik di dunia. Tapi sebagian perempuan Quraisy mendatangiku dan berkata,
"Rasulullah telah menikahkanmu dengan seorng pria miskin."

Nabi Saw berkata, "Putriku! Ayahmu tidak miskin, begitu juga dengan suamimu. Allah Swt meletakkan seluruh khazanah emas dan perak di seluruh dunia kepadaku.[1]

Tapi saya tidak menginginkannya. Karena aku lebih memilih pahala yang diberikan Allah... Putriku! Bila engkau mengetahui apa yang diketahui ayahmu, maka dunia menjadi tidak ada artinya di matamu. Demi Allah! 

Suamimu dalam keilmuan, kesabaran, akhlak dan keimanan lebih baik dari semua orang..."

Putriku! Allah memandang  ke bumi lalu memilih dua orang pria, seorang darinya adalah ayahmu dan satu lagi adalah suamimu... Putriku! Suamimu sangat baik. Oleh karenanya, engkau harus selalu menaatinya dan jangan sekali-kali meminta sesuatu kepadanya yang tidak mampu dipenuhinya atau membuatnya malu padamu..."

Setelah itu Nabi Saw memanggil Imam Ali as dan berkata kepadanya, "Wahai Ali! Fathimah adalah bagian dariku.
Barangsiapa yang mengganggunya berarti telah menggangguku dan siapa saja yang membuatnya gembira berarti telah menggembirakanku."

Catatan :

[1] . Maksud Nabi Saw, bila dirinya menginginkan maka dengan ilmunya dan memohon kepada Allah sudah pasti harta karun yang ada di dalam bumi akan ditemukannya. Begitu juga disebutkan bahwa setelah beliau diutus sebagai nabi, Jibril as mendatanginya dan berkata,
"Wahai Ahmad! Allah memberikan pilihan kepadamu menjadi raja dan nabi atau hamba dan nabi." Beliau menjawab,
"Saya memiliki sebagai hamba dan nabi-Nya.
" Jibril as kemudian berkata,
"Allah menerima, tapi mengatakan bahwa bila engkau menerima pilihan pertama juga akan diterima."





MEMIKIRKAN HIJAB, BAHKAN PASCA MENINGGAL DUNIA

Asma’, istri Ja’far at-Thayyar, saudara Imam Ali as, mengatakan:
“Sayidah Fathimah az-Zahra as di hari-hari terakhir kehidupannya berkata kepadaku, ‘Saya benar-benar takjub dengan masyarakat Madinah.’

Saya bertanya,  ‘Apa yang menyebabkan Anda takjub dengan mereka?’

Beliau menjawab, ‘Mereka meletakkan jenazah perempuan di atas pembaringan dan hanya menghamparkan sehelai kain di atasnya, tanpa pembungkus yang lain. Itulah mengapa ketika mereka membawa jenazahnya bentuk badan perempuan itu tampak oleh siapa yang melihatnya.’

Saya berkata kepada beliau, ‘Ketika saya bersama umat Islam yang lain berhijrah ke Habasyah, warga Kristen di sana meletakkan orang yang meninggal di dalam peti yang cukup tinggi, sehingga menutup badan mayit.’

Setelah saya membuatkan sebuah peti kecil dari kayu dan ranting pohon yang mirip dengan peti warga Habasyah. Ketika Sayidah Fathimah as melihat peti itu beliau berkata, ‘Bagus! Sepeninggalku nanti, tolong buatkan peti seperti ini agar saat dibawa, aku akan aman dari pandangan orang lain.”





APAKAH KITA AKAN DIBAKAR DI NERAKA?

Seorang wanita kota Madinah mendatangi Sayidah Fathimah as dan berkata, “Wahai putri Rasulullah! Suamiku yang mengutusku untuk menemuimu agar kutanyatakan kepadamu apa kami termasuk Syiahmu atau tidak?”

Sayidah Fathimah as menjawab, “Bila melakukan segala perintah kami secara keseluruhan, niscaya kalian termasuk dari Syiah kami dan sebaliknya, maka kalian tidak akan pernah!”

Wanita itu kemudian kembali menemui suaminya dan menyampaikan apa yang didengarnya. Setelah mendengarkan penjelasan istrinya, raut muka suami wanita itu tampak kusut dan berkata kepada dirinya, “Aku tidak akan pernah mampu melakukan perintah keluarga Nabi Saw secara sempurna. Dalam sebagian perintah, aku jelas bermalas-malasan dalam mengamalkan perintah mereka.

Kemalasan telah menjadi penghalang untuk melaksanakan seluruh perintah mereka... Celakalah aku bakal dibakar di neraka.”

Wanita itu menyaksikan kecemasan di wajah suaminya dan untuk kedua kalinya ia pergi menemui Sayidah Fathimah as dan menyampaikan apa yang dilihatnya dari perubahan raut wajah suaminya.

Sayidah Fathimah as berkata, “Sampaikan ucapanku ini kepada suamimu dan katakan kepadanya agar tidak perlu khawatir. Syiah kami merupakan penduduk terbaik surga dan semua pecinta kami, pecinta pecinta kami dan musuh dari musuh-musuh kami semuanya akan berada di surga.”

Setelah itu beliau menambahkan, “Barangsiapa yang hati dan lisannya pasrah dan tunduk kepada kami, tapi tidak mengamalkan perintah kami tentu saja tidak termasuk Syiah hakiki, sekalipun orang-orang seperti ini setelah menanggung siksa di Hari Kiamat dan merasakan azab kemudian bersih dari dosa akan dibawa ke surga. Benar, kami akan menyelamatkan mereka dikarenakan kecintaannya kepada kami.”






KUBURAN YANG TERSEMBUNYI SELAMA 130 TAHUN

Ketika Imam Ali mencapai syahadah, anak-anaknya menguburkan jenazahnya pada malam hari secara sembunyi-sembunyi. Setelah itu selama beberapa lama tempat pemakaman beliau tersembunyi. Karena khawatir para musuh pendendam khususnya para khawarij dan bani Umayah yang pada masa hidupnya telah menunjukkan permusuhannya, akan melalukan ketidakhormatan pada kuburan Imam Ali. Sampai pada masa khilafah Harun Rasyid, karena ada kejadian aneh, tempat penguburan itu ditemukan.

Suatu hari Harun Rasyid penguasa Bagdad bersama para pembantu dan pasukkannya  keluar dari Kufah untuk berburu. Di pertengahan jalan, dia sampai pada sebuah bukit; sebuah bukit yang subur dan di sana ada beberapa kijang sedang bermain di antara rerumputan.

Harun Rasyid merasa gembira karena dengan segera dia akan merasakan lezatnya daging kijang. Dia memerintahkan agar anjing-anjing buruan dan burung-burung elangnya dilepaskan untuk memburu kijang-kijang itu. Anjing-anjing buruan menyerang kijang-kijang yang ada. Kijang-kijang yang ketakutan itu naik lari menuju bukit. Burung-burung elang itu juga turun pelan-pelan di lereng bukit dan anjing-anjing itu kembali dari arah bukit.

Harun dan para pendampingnya merasa takjub dan tidak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya. Harun berkata, “Apa rahasianya, kijang-kijang itu berlindung ke bukit, namun burung-burung elang dan anjing-anjing kita tidak berani pergi ke sana?!”

Dia memandang yang lainnya barangkali ada yang menjawab pertanyaannya. Namun semuanya pada keheranan dan melihat ke bukit. Mereka melihat kijang-kijang turun dari bukit dan anjing-anjing itu kembali menyerang. Tapi kijang-kijang itu kembali lagi naik ke bukit dan burung-burung elang dan anjing-anjing tidak bisa naik ke atas bukit.

Kejadian itu terulang tiga kali. Harun menghadap kepada Abdullah dan berkata, “Segeralah mencari jawaban rahasia ini!”

Abdullah dan beberapa orang melakukan penelitian atas perintah sanga khalifah. Sampai akhrinya menemukan seorang lelaki tua yang tampaknya sebagai warga daerah itu. Lelaki tua itu dibawa ke Harun Rasyid. Harun menanyakan tentang asal usul keturunan lelaki tua ini. Begitu yakin bahwa dia mengatahui tentang daerah ini, dia ditanya, apa rahasianya teka teki ini?

Lelaki itu ragu apakah dia harus menyampaikan apa yang diketahuinya ataukah tidak. Akhirnya karena desakan Harun dan orang-orang sekitarnya, dia menyerah dan mengatakan, “Wahai Amir! Ayahku dari perkataan ayahnya mengatakan bahwa kuburan Sayidina Ali ada di bukit ini. dan tentunya Allah telah menjadikan tempat ini sebagai “Haram yang aman” dan siapa saja yang berlindung di sana, maka dia akan merasa aman.”

Lelaki tua paham atas kondisi pandangan Harun, dia melanjutkan pembicaraannya, “Hai Harun di sini adalah Haram Ilahi yang aman. Oleh karena itu bukan tanpa alasan kijang-kijang itu berlindung di sini dan anjing-anjing dan burung-burung elangmu tidak berani mendekatinya dan melanggar Haram suci Ali as...”

Harun Rasyid yang benar-benar terpengaruh oleh kejadian dan ucapan lelaki tua ini lantas turun dari kudanya dan minta air. Dia berwudhu dan pergi di sisi bukit dan mengerjakan salat di sana dan menjatuhkan dirinya ke tanah dan menangis.

Dengan demikian, makam suci Imam Ali as diketahui oleh semua orang setelah 130 tahun.





ALI PENGGANTI NABI

Hari Kamis 18 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, umat Islam setelah menunaikan ibadah haji, kembali pulang ke negerinya masing-masing. Rasulullah Saw bersama rombongannya juga menuju ke Madinah. Sampailah di sebuah padang sahara yang kering dan panas, yang bernama Ghadir Khum.
Ghadir adalah sebuah perempatan; dari utara ke Madinah, dari selatan ke Yaman, dari Timur ke Irak dan dari barat ke Mesir. Di waktu itu, tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Maidah: 67).

Setelah Rasulullah Saw menerima perintah ini, beliau memerintahkan untuk berhenti dan bersabda, “Panggillah orang-orang yang sudah terlebih dahulu berjalan dan tunggulah mereka yang masih tertinggal sampai mereka sampai.

Kemudian mengerjakan salat dan setelah salat Zuhur, beliau memerintahkan untuk membuat sebuah mimbar dari peralatan yang ada di atas onta. Beliau naik ke atas mimbar itu dan berbicara kepada para jemaah haji, “Dari semua orang, siapakah yang lebih layak atas mereka?

Orang-orang yang hadir menjawab, “Allah dan Rasulnya lebih tahu.”

Rasulullah Saw bersabda, “Allah adalah maula dan pemimpinku dan aku adalah maula dan pemimpin orang-orang mukmin dan lebih layak atas mereka dari diri mereka sendiri.”

Kemudian Rasulullah Saw memegang tangan Sayidina Ali dan mengangkatnya ke atas sedemikian rupa sehingga semua orang yang hadir melihatnya. Kemudian bersabda, “Barang siapa yang aku adalah maula dan pemimpinnya, ketahuilah bahwa Ali adalah maula dan pemimpinnya.”

Kemudian mengangkat tangannya berdoa, “Ya Allah cintailah orang-orang yang mencintai Ali, dan musuhilah orang-orang yang memusuhi Ali. Marahlah terhadap orang yang marah padanya. Tolonglah penolongnya dan jangan tolong orang yang tidak menolongnya. Jadikan kebenaran senantiasa bersamanya dan jangan pisahkan kebenaran darinya.”

Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Ketahuilah bahwa orang-orang yang hadir harus menyampaikan kabar ini kepada orang-orang yang tidak hadir.”

Pada saat itu juga turun kembali wahyu kepada Rasulullah Saw dan berkata, “...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Maidah: 3)

Rasulullah mengucapkan takbir dan orang-orang dengan hangat mendekati Sayidina Ali dan mengucapkan selamat kepadanya. Orang-orang terkenal seperti Abu Bakar dan Umar juga mendekati Sayidina Ali dan mengucapkan selamat.

“Selamat untukmu wahai Ali!

“Selamat untukmu wahai putra Abu Thalib engkau melewati pagi menuju malam, dalam kondisi engkau sebagai pemimpinku dan semua pria dan wanita muslim.”





INILAH YANG NAMANYA PERSAUDARAAN!

Perang Uhud adalah salah satu perang yang paling sulit yang terjadi antara umat Islam dan orang-orang Kafir.

Dalam perang ini, pasukan Islam berperang melawan para sahabat Abu Sofyan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pasukan Islam. Pasukan Islam mengalami kemenangan meski dengan jumlah yang sedikit dan peralatan yang terbatas. Namun mereka tidak mematuhi perintah sang komandan [Rasulullah] karena merasa sombong atas kemenangan ini dan rakus untuk mendapatkan ghanimah [harta rampasan perang], akhirnya mereka mengosongkan lorong sempit di antara dua gunung Uhud. Oleh karena itu, musuh menggunakan kesempatan dan menyerang umat Islam dari belakang dengan melewati lorong sempit ini dan berhasil mengalahkan mereka.

Ketika umat Islam melihat kondisinya seperti ini, lantas mereka melarikan diri. Namun hanya Sayidina Ali dan salah seorang sahabat Rasulullah  yang tetap tinggal dan berperang menghadapi musuh. Abu Sofyan merasa dirinya menang, dia terus menerus berorasi dan mendorong pasukannya untuk membunuh Rasulullah Saw yang mengalami banyak luka di tubuhnya.

Sayidina Ali menjaga Rasulullah Saw supaya musuh tidak bisa membunuhnya. Beliau sendirian berhasil membunuh beberapa orang musuh dan banyak juga mengalami luka. Pada saat itu malaikat Jibril turun kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Hai Muhammad! Inilah yang namanya persaudaraan dan pengorbanan!”

Rasulullah Saw bersabda, “Ali dari aku dan aku darinya.”

Malaikat Jibril juga berkata, “Dan aku dari kalian.”

Pada saat itu orang-orang yang hadir di situ mendengar suara dari langit yang mengatakan, “La Fataa Illa Ali, La Saifa Illa Dzulfiqar [tiada ksatria selain Ali, tiada pedang selain dzulfiqar].






KEBERANIAN ALI AS

Suatu hari pada tahun ke delapan setelah hijrah, tersebar sebuah berita di kota Madinah yang membuat seluruh penduduk merasa panik. Berita itu adalah, “Dua belas ribu penunggang kuda warga Wadi Yabas sedang menuju kota Madinah dan sepakat akan membunuh Rasulullah Saw dan Sayidina Ali.”

Dengan menyebarnya berita ini, masyarakat tidak bisa tidur. Gosip dan komentar menyebar ke mana-mana. Melihat kondisi ini, Rasulullah Saw mencari jalan keluar. Beliau mengutus Abu Bakar untuk menyiapkan pasukan sebanyak empat ribu orang dan pergi untuk menghadapi musuh dan memusnahkan mereka sebelum melakukan sesuatu.

Abu Bakar sudah siap dengan perintah Rasulullah Saw dan pergi bersama pasukannya. Namun di tengah perjalanan dia kembali. Rasulullah Saw bertanya kepadanya, “Hai Abu Bakar! Mengapa engkau kembali?!”

Abu Bakar merasa malu dan menyampaikan alasannya dan akhirnya jawaban Abu Bakar tidak memuaskan Rasulullah Saw. Kali ini Rasulullah Saw menyuruh Umar bin Khatthab dan setelah itu menyuruh Amr bin Ash untuk menghadapi musuh. Namun keduanya juga dengan berbagai alasan meminta agar tidak menghadapi musuh. Itulah mengapa Rasulullah Saw menyuruh Sayidina Ali.

Sayidina Ali menerima dengan penuh kepastian dan menuju Wadi Yabas untuk menghadapi musuh.

Sayidina Ali memiliki sapu tangan khusus. Beliau menggunakan sapu tangan itu di saat-saat perang yang sulit dan penting dan mengikatkannya di dahinya. Oleh karena itu, sebelum pergi, beliau pulang ke rumahnya dan meminta sapu tangan itu kepada istrinya; Sayidah Fathimah as.

Sayidah Fathimah memahami bahwa ada perang yang sulit di hadapan. Beliau mengkhawatirkan suaminya dan menangis. Rasulullah Saw menemui Sayidah Fathimah dan menyenangkan hati putrinya:

“Fathimah sayang! Mengapa engkau menangis? Dengan kehendak Allah, suamimu tidak akan terbunuh!”

Sayidina Ali berkata kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah! Jangan engkau jauhkan aku dari surga! Kemudian beliau mengambil bendera dari Rasulullah dan menuju Wadi Yabas bersama pasukannya.

Pasukan Sayidina Ali berjalan melalui jalan lain untuk mengelabui musuh. Malam hari melakukan perjalanan dan di siang hari bersembunyi di balik bebatuan dan jurang. Akhirnya pada waktu subuh berhasil membuat musuh kaget dan menyerang mereka. Musuh mengalami kekalahan. Pasukan musuh kocar kacir dan beberapa orang terbunuh di tangan Sayidina Ali. Pasukan Islam mengalami kemenangan dan kembali lagi ke Madinah.

Ummu Salamah, salah satu istri Rasulullah Saw berkata, “Rasulullah Saw tidur di rumah saya, tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Saya berkata, “Kami berlindung kepada Allah! Apa yang terjadi?!”
Rasulullah Saw berkata, “Engkau benar. Allah telah melindungiku. Sekarang Jibril mengabarkan kepadaku bahwa Ali sedang menuju ke Madinah.”

Pada saat itu Rasulullah Saw keluar dari rumah, beliau mengajak umat Islam berkumpul dan berdiri sampai jarak satu farsakh dari Madinah untuk menyambut Sayidina Ali dan para pasukan. Ketika Sayidina Ali melihat Rasulullah Saw, beliau turun dari kuda untuk menghormati Rasulullah Saw dan hendak mencium kaki Rasulullah, tapi Rasulullah Saw berkata kepadanya, “Naiklah! Allah dan Rasul-Nya meridhaimu.”

Sayidina Ali menangis karena saking gembiranya dan pergi ke rumahnya. Setelah kepergian Sayidina Ali, Rasulullah Saw bertanya kepada para pasukan, “Bagaimana kalian melihat komandan kalian?”
Mereka mengatakan, “Kami tidak melihat sesuatu selain kebaikan dan lainnya adalah di semua salat-salat yang diimaminya, beliau membaca surat Tauhid [al-Ikhlas].”

Rasulullah Saw mendatangi Sayidina Ali dan bertanya, “Mengapa engkau membaca surat Tauhid di semua salat-salat yang engkau kerjakan?”

Sayidina Ali menjawab, “Saya menyukai surat ini karena ada sifat-sifat Allah di dalamnya.”

Rasulullah Saw tersenyum dan bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukaimu sebagaimana engkau menyukai surat Tauhid.”

Kemudian bersabda, “Hai Ali! Bila aku tidak takut akan sekelompok orang muslim mengatakan tentang dirimu, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Kristen tentang Isa as bahwa Isa adalah putra Allah, hari ini aku pasti mengatakan tentang keagungan posisimu sehingga masyarakat bisa mengambil tanah di bawah telapan kakimu sebagai tabarruk [ngalap berkah].





MENCOPOT PINTU KHAIBAR

Perang Khaibar merupakan salah satu perang yang dimenangkan oleh umat Islam. Kenikmatan kemenangan ini juga telah dihadiahkan oleh Sayidina Ali kepada umat Islam.
Di pertengahan perang ini , Sayidina Ali berhasil mengalahkan pakar perang Arab yang terkenal bernama Marhab. Setelah kematiannya, para pasukannya masuk ke dalam benteng Khaibar dan menutup pintu gerbangnya.

Sayidina Ali dengan satu tangan berhasil mencopot pintu gerbang itu dan meletakkannya sebagai jembatan di atas khandaq yang mengelilingi benteng. Sehingga para pasukan muslim bisa melewatinya dan masuk ke dalam benteng; sebuah pintu gerbang yang untuk membuka dan menutupnya memerlukan beberapa orang.

Sayidina Ali sendiri mengatakan, “Demi Allah! Aku tidak mencopot pintu ini dengan kekuatan manusiawi, tapi aku mencopotnya dengan tawassul pada kekuatan ilahi dan di atas manusiawi.

Ali menghancurkan Berhala

Pasca kemenengan Mekah [Fathu Mekah] yang merupakan peristiwa paling besar dan paling berpengaruh dalam dunia Islam, Rasulullah Saw bersama para sahabatnya menuju ke kabah. Orang-orang kafir Quraisy telah meletakkan sebanyak 360 berhala besar dan kecil di sekeliling kabah. Rasulullah Saw sambil mengucapkan takbir, menurunkan berhala-berhala ke bawah dan menghancurkannya. Berhala terbesar yang bernama Hubal berada di bagian teratas kabah. Rasulullah Saw menghadap kepada Sayidina Ali dan berkata, “Hai Ali! Engkau yang harus naik ke pundakku atau aku yang harus naik ke pundakmu, kita turunkan Hubal dari atap kabah!”

Sayidina Ali berkata, “Wahai Rasulullah! Aduh..., bagaimana denganku, bila aku harus naik ke pundak penuh berkah Anda?!

Lalu Rasulullah Saw naik ke pundak Sayidina Ali. Namun Sayidina Ali tidak kuat menahan Rasulullah Saw dan gemetaran. Rasulullah Saw tersenyum dan turun ke bawah. Kali ini Sayidina Ali  yang naik ke pundak Rasulullah Saw dan memusnahkan Hubal.
Sayidina Ali sendiri mengatakan, “Demi Allah! Pada waktu itu saya begitu mendapatkan kekuatan, sehingga saya merasakan bisa menguasai langit, lalu saya mengambil Hubal dan menjatuhkannya ke bawah...”

Keberanian dan Keimanan

Perang Badar adalah salah satu perang yang paling sulit dan paling penting di masa permulaan Islam. Dalam perang ini, pasukan Islam berhasil mengalahkan musuh yang jumlah orang dan senjatanya jauh lebih besar dengan pertolongan gaib dan samawi.

Musuh-musuh Islam yang datang ke daerah Badar untuk melakukan perlawanan dengan pasukan Rasulullah Saw, beberapa hari sebelumnya telah memblokade sumur-sumur yang ada di sana supaya pasukan Islam tidak bisa menggunakan airnya.

Malam ketika esok harinya perang antara dua pasukan dimulai, terjadi keajaiban. Malam itu simpanan air umat Islam telah habis. Para sahabat Rasulullah Saw dan hewan-hewan yang ada merasa kehausan.

Rasulullah Saw menghadap kepada para sahabatnya dan berkata, “Siapakah di antara kalian yang siap membobol bendungan musuh dan mengambil air?”

Para sahabat diam dan menundukkan kepalanya, sampai ketika Ali datang dan berkata, “Wahai Rasulullah! Saya siap!”

Kemudian beliau mengambil tempat air yang masih kosong dan menuju salah satu sumur yang ada dan memenuhinya dengan air dan kembali lagi menuju pasukan Islam. Namun angin kencang menerpa dan tempat air jatuh dan airnya tumpah. Sayidina Ali tanpa rasa takut kembali lagi menuju sumur dan memenuhi tempat itu dengan air. Tapi angin kencang kembali menerpanya dan tempat air jatuh ke tanah. Sayidina Ali kembali lagi memenuhi tempat itu dengan air dan kembali lagi angin kencang menerpanya dan tempat air jatuh ke tanah. Sayidina Ali tidak putus asa dan mengisi kembali tempat air itu yang keempat kalinya dan kembali menuju ke pasukan Islam dan menceritakan kejadiannya kepada Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw tersenyum dan berkata, “Hai Ali! Angin yang pertama dari malaikat Jibril dengan seribu malaikat mendatangimu dan mengucapkan salam untukmu. Kali kedua dari malaikat Mikail dengan seribu malaikat mendatangimu dan mengucapkan salam untukmu. Kali ketiga dari malaikat Israfil dengan seribu malaikat mendatangimu dan mengucapkan salam untukmu. Ini semua karena keberanian dan keimananmu dimana engkau selalu menciptakan heroik di saat-saat sulit dan bahaya dan engkau buat pasukan Islam membanggakan...”

Penjagaan Ali Pada Rasulullah Saw Sejak Usia Remaja

Orang-orang Musyrik Mekah sedemikian rupa mengganggu dan menyiksa Rasulullah Saw, sehingga anak-anak mereka juga menjatuhi dan melempari kepala Rasulullah dengan batu. Rasulullah Saw merasa kesakitan atas gangguan dan siksaan mereka dan meminta bantuan kepada Sayidina Ali yang waktu itu masih remaja.

Sayidina Ali berkata, “Mulai sekarang, setiap kali Anda mau keluar dari rumah, bawalah saya sebagai pendamping!”

Mulai saat itu, seorang remaja yang berani dan paham ini senantiasa mendampingi Rasulullah Saw ke mana saja pergi. Setiap kali anak-anak ingin mengganggu Rasulullah Saw, Sayidina Ali mencegah dan menghukum mereka. Anak-anak itu menangis menuju kepada ayah-ayah mereka.

Sikap Sayidina Ali ini membuat anak-anak itu tidak lagi mengganggu Rasulullah Saw. Namun beliau dijuluki “Qudham” oleh mereka. yang berarti orang yang menggiggit.

Beberapa tahun kemudian, dalam peristiwa perang Uhud, ketika pembawa pertama panji musuh [Thalhah bin Abi Thalhah] menuju medan pertempuran dan melakukan orasinya dan meminta tandingan, Sayidina Ali maju untuk bertempur dengannya.

Thalhah berkata, “Hai pemuda! Siapakah engkau?”

Sayidina Ali berkata, “Aku Ali, putra Abu Thalib.”

Dengan menyindir Thalhah berkata, “Hai Qudham! Aku tahu, selain engkau tidak ada yang berani bertempur denganku.”

Pertempuran telah dimulai. Sayidina Ali menahan pukulan pedang Thalhah dengan tamengnya. Sayidina Ali memukul kedua kaki Thalhah dengan pedangnya dan patahlah kedua kaki itu dan membiarkannya dan berkata, “Aku telah memukulnya sedemikian rupa sehingga tidak bakal selamat jiwanya.”

Tidak lama kemudian Thalhah mati.






DIA ADALAH SAUDARAKU!

Nabi Muhammad Saw setelah diangkat sebagai nabi, atas perintah Allah Swt, mengajak masyarakat pada Islam secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun. Tentunya, alasannya adalah supaya masyarakat memiliki sedikit kesiapan dan aman dari kejahatan musuh. Pada saat itu, Sayidina Ali yang masih berusia sepuluh tahun beriman kepada Rasulullah. Setelah Sayidina Ali, Sayidah Khadijah; istri Rasulullah yang penuh kasih sayang dan setia beriman kepada Rasulullah Saw.

Setelah tiga tahun, Rasulullah Saw diutus untuk menyampaikan ajaran Islam secara terang-terangan. Untuk menjalankan tugas ilahi, beliau mengundang empat puluh orang dari keluarga dekatnya ke rumah Abu Thalib. Dalam undangan ini, hadir para paman dan anak pamannya. Mereka merasa takjub dengan undangan yang tanpa mukadimah ini.

Malam itu, setelah acara makan malam, Rasulullah Saw berpidato dan di sela-sela ucapannya, beliau menyampaikan tentang agama Allah dan tugas yang telah diserahkan kepadanya. Namun Abu Lahab salah seorang paman Rasulullah, merusak acara yang ada dan tidak mengizinkan Rasulullah Saw berbicara.

Keesokan harinya, Rasulullah Saw kembali mengundang sanak familinya. Sekali lagi Abu Lahab memprediksi bahwa Rasulullah Saw bermaksud menyampaikan dakwahnya dan dia kembali lagi berencana merusak acara itu. Namun dengan partisipasi Abu Thalib, rencana Abu Lahab tidak berhasil dan Rasulullah berhasil mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pembicaraannya kepada para tamu tentang perintah Allah.

“Wahai para anak-anak Abdul Muthalib! Aku telah diutus oleh Allah Yang Maha Esa untuk kalian. Aku mengabarkan kepada kalian tentang kemarahan-Nya dan api neraka dan mengabarkan kepada orang-orang yang meyakini ucapanku – yang semuanya berasal dari Allah – dan mengharapkan rahmat Allah... berimanlah kepadaku! Tolonglah aku supaya kalian beruntung dan di dunia, jadilah tuan bagi orang Arab dan orang Ajam dan di akhirat menjadi penghuni surga...kalian adalah keluarga dan familiku. Ketahuilah bahwa tidak ada orang seperti aku yang membawa kabar gembira ini untuk familinya...aku membawa kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kalian...apakah ada orang yang mau menjadi saudaraku dan menjadi penolong agamaku sehingga menjadi pengganti dan washiku dan di akhirat akan masuk ke dalam surga bersamaku?!”

Semuanya tercengang dan takjub. Tidak seorangpun dari para tamu percaya bahwa putra Abdullah dengan berani berbicara seperti ini tanpa rasa takut dan khawatir. Tidak ada seorang pun yang berani berbicara sepatah kata pun. Apalagi menjawab permintaan Muhammad Saw. Namun di antara para tamu, Ali; seorang remaja yang berusia 13 tahun anak didikan Rasulullah Saw dan dari sejak awal pengangangkatan sebagai nabi telah membantunya sekuat tenaga, mengangkat tangannya dan berkata, “Wahai Rasulullah! Aku akan menolongmu!”

Para pemuka Quraisy tidak percaya akan apa yang didengar dan dilihatnya. Ali as telah menyebut Muhammad Amin [yang bisa dipercaya] sebagai “Rasulullah” yakni siapakah Tuhan yang Muhammad telah mengklaim dirinya telah diangkat sebagai utusan dari sisi-Nya?!”

Rasulullah Saw menghadap kepada Ali dan berkata, “Duduklah hai Ali!”
Rasulullah Saw sekali lagi menyampaikan dakwahnya dan mengulangi permintaannya. Kali ini juga tidak ada suara yang keluar dari para tamu yang hadir. Kembali lagi Ali bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah! Saya. Saya siap berkerjasama dengan Anda dan saya beriman kepada ucapan Anda.”

Rasulullah Saw kembali meminta Ali as untuk duduk. Rasulullah Saw mengulangi lagi permintaannya yang ketiga kali dan hanya Ali as yang mengumumkan kesiapannya untuk menjadi penolong dan pendamping Rasulullah. Pada saat itu Rasulullah Saw berkata, “Ini [sambil mengisyaratkan pada Sayidina Ali] adalah saudara dan penggantiku. Dengarkanlah ucapannya dan taatilah dia!”

Terjadilah keributan dalam pertemuan itu. Para hadirin bangkit dan setiap orang berbicara. Abu Lahab yang sedang marah berkata kepada Abu Thalib, “Muhammad memerintahkan kamu untuk mendengarkan perintah anak lelaki remajamu dan kamu harus menaatinya!”

Abu Thalib berkata, “Diamlah dan jangan katakan sesuatu! Muhammad adalah utusan Allah dan aku serta putraku adalah pendukung ucapan-ucapannya dan kami akan mengorbankan diri untuknya.





Ali Adalah Anak Rasulullah Saw

Sayidina Ali adalah anak paman Rasulullah Saw. Namun Rasulullah Saw memiliki hak sebagai ayahnya. Karena Sayidina Ali sejak kecil ada di pangkuan Rasulullah Saw dan besar di rumahnya. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan bila Sayidina Ali merasa sangat dekat kepada Rasulullah dan dalam kondisi susah, dia sebagai penolong dan pendamping setia Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw dalam usia dua puluh lima tahun menikah dengan Sayidah Khadijah. Lima tahun kemudian, lahirlah Ali as putra keempat Abu Thalib [paman Rasulullah Saw]. Abu Thalib pasca wafat ayahnya; Abdul Muthalib, sebagai kepala suku Bani Hasyim dan mereka sangat menghormatinya. Namun dari sisi harta kekayaan, dia termasuk orang yang tidak punya harta dan hidup miskin. Rasulullah mengetahui hal ini. Oleh karena itu, suatu hari beliau mendatangi paman yang satunya yaitu Abbas; seorang lelaki kaya. Rasulullah mengusulkan kepadanya untuk membantu Abu Thalib dengan cara masing-masing mengambil dan mengasuh satu dari putra-putranya.

Abbas menerima usulan Rasulullah dan mengambil Ja’far saudara Sayidina Ali dan membawanya ke rumahnya. Rasulullah menerima untuk mengasuh Ali. Dari sejak saat itu Ali as berada di bawah asuhan Rasulullah Saw yang penuh keberkahan. Sayidina Ali menceritakan masa kecilnya demikian:

 “Ketika aku masih kanak-kanak, Rasulullah Saw mendudukkan aku di pangkuannya dan menempelkan aku ke dadanya. Beliau mengunyah makanan dan meletakkannya di mulutku dan menyampaikan bau harum wujudnya ke dalam jiwaku...Beliau tidak pernah mendapati aku berbohong dalam ucapanku dan salah dalam perbuatanku...Allah telah mengirim malaikat yang paling agung untuk membarengi Rasulullah Saw sejak masa menyusu untuk membimbingnya di semua kesempatan malam dan siang untuk mengerjakan pekerjaannya yang baik dan besar. Aku juga mengikuti Rasulullah sebagaimana anak kecil yang masih menyusu mengikuti ibunya. Beliau sendiri setiap hari memerintahkan aku untuk mengikuti semua perilakunya. Beliau setiap tahun pergi ke gua Hira selama beberapa hari dan ketika itu tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Di masa itu, ketika Islam belum masuk ke dalam rumah siapapun, hanya Rasulullah Saw dan istrinya; Khadijah yang muslim. Aku menerima dakwahnya dan aku menjadi muslim. Aku selalu melihat cahaya wahyu dan risalah dan mencium harumnya kenabian...”






TALANG AIR HUJAN RUMAHNYA ABBAS

Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah; katakan kepada umatmu agar menutup pintu-pintu rumahnya yang menghadap ke masjid, sehingga terjagalah kehormatan masjid dan seseorang tidak bisa melampaui batas kehormatan masjid. Di antara umat Rasulullah Saw, Ali dan Fathimah yang dikecualikan dan pintu rumahnya bisa dibuka menghadap ke masjid.

Abbas paman Rasulullah Saw meminta kepada beliau agar pintu rumahnya yang menghadap ke masjid tidak ditutup. Namun Rasulullah Saw menolaknya dan berkata, “Hukumnya adalah hukum Allah. Dengan demikian Abbas meminta bahwa paling tidak talang air hujan rumahnya yang bersambung pada atap masjid tidak dicopot.

Rasulullah Saw menyetujui dan kepada masyarakat beliau berkata, “Saya memberikan keistimewaan ini pada paman saya. Untuk itu jangan kalian ganggu dia. Karena dia adalah kenangan kakekku. Barang siapa yang menyakiti Abbas dan menginjak-injak haknya, maka laknat Allah baginya!”

Dari sejak hari itu sampai masa khalifah kedua, talang air hujan itu pada tempatnya. Sampai ketika peristiwa itu terjadi; hari itu Abbas sakit dan istirahat di dalam rumah. Budaknya naik ke atas atap mencuci pakaian. Air kotor mengalir di talang dan sedikit dari air itu mengena baju khalifah. Sang khalifah marah dan memerintakan agar talang itu dicabut dari tempatnya kemudian berkata, “Barang siapa yang kembali memasang talang ini, maka ia akan dihukum berat.” Menyaksikan kejadian ini, Abbas benar-benar sedih dan dengan bantuan anak-anaknya ia pegi ke rumahnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Begitu Imam Ali melihat pamannya, beliau sedih dan berkata, “Paman! Apa yang terjadi sehingga engkau datang ke rumahku dalam keadaan seperti ini?”

Abbas menceritakan kejadian yang ada dan berkata, “Sebelum ini aku punya dua mata; yang satu adalah Rasulullah dan aku sudah kehilangan dan yang lainnya adalah engkau. Aku berharap dengan keberadaanmu kehormatanku tidak hilang di tengah-tengah masyarakat ini.”

Imam Ali berkata, “Percayalah, aku akan mengambil kembali hakmu. Untuk itu kembalilah ke rumahmu dan jangan khawatir!”

Kemudian beliau berkata kepada Qanbar, “Ambilkan pedangku!”

Beliau meletakkan pedangnya di punggung dan pergi keluar dari rumah.

Atas perintah Imam Ali talang itu dipasang kembali. Kemudian Imam Ali berkata, “Demi hak pemilik kuburan [Rasulullah] dan mimbar ini! Siapa saja yang mencopot talang maka aku akan memenggal lehernya dan yang memerintahkannya dan aku akan menggantungnya di bawah terik matahari supaya terbakar!”

Kejadian itu sampai ke telinga khalifah dan dia datang ke masjid. Begitu ia melihat talang, berkata, “Kerjaan yang dilakukannya tidak membuat marah seseorang, sebagai gantinya sumpah, kami membayar kaffarahnya!”

Keesokan harinya, Imam Ali menjenguk Abbas dan menanyakan keadaannya. Abbas berkata, “Anak saudaraku! Selama aku punya engkau, aku tidak akan sedih.”

Imam Ali as berkata, “Tenanglah! Demi Allah! Bila penghuni bumi ini memusuhiku karena talang ini, maka dengan kekuatan ilahi, aku akan bertahan dan tidak mengizinkannya menyakitimu.”

Abbas mencium dahinya Imam Ali dan berkata, “Tidak akan berputus asa seseorang bila engkau sebagai penolongnya.”
Siapakah Malaikat Ini!

Rasulullah Saw berkata, “Malam ketika aku pergi ke Mi’raj, saya melihat seorang malaikat duduk di atas mimbar cahaya dan para malaikat lainnya berkerumun mengelilinginya. Aku bertanya, “Hai Jibril! Siapakah malaikat ini?” Dia berkata, “Mendekatlah dan ucapkan salam kepadanya! Kemudian aku mendekat, ternyata dia adalah saudaraku dan anak pamanku; Ali. Kemudian akau bertanya lagi, “Hai Jibril! Apakah dia mendahuluiku untuk sampai ke langit tingkat empat? Dia menjawab, “Tidak. Para malaikat benar-benar mencintai Ali bin Abi Thalib dan Allah menciptakan malaikat ini dari cahaya dan seperti Ali. Para malaikat setiap malam dan hari Jumat menziarahinya sebanyak tujuh ratus kali, membaca tasbih [subhanallah] dan menghadiahkan pahalanya kepada para pecinta Ali as.”

Malam Itu Ali Mengorbankan Dirinya Untuk Nabi

Keberanian Rasulullah Saw dalam menyebarkan agama Islam dan bergabungnya masyarakat Mekah membuat sempit arena para pemuka Quraisy sebagai kabilah yang paling berpengaruh. Sehingga keberadaan Rasulullah sangat berbahaya bagi mereka. Itulah mengapa mereka berkumpul di suatu tempat yang bernama “Darunnadwah” untuk mencari jalan keluar. Mereka memutuskan untuk membunuh Rasulullah. Supaya aman dari reaksi para sahabat Rasulullah Saw dan tidak ketahuan siapa yang membunuhnya, mereka memilih satu orang dari setiap kabilah dan menyerang dan membunuh Rasulullah Saw di malam hari.

Allah memberitahu Rasulullah Saw akan konspirasi ini dan memerintahkan beliau untuk keluar dari Mekah dan bergerak menuju ke Yatsrib. Yatsrib adalah kota yang kemudian diberi nama Madinah setelah hijrahnya Rasulullah bersama para sahabatnya ke sana.

Rasulullah menyampaikan pesan Allah ini kepada Sayidina Ali dan beliau siap untuk tidur di tempat tidur Rasulullah Saw. Sehingga mereka beranggapan bahwa Rasulullah Saw berada di rumah dan tidak ada yang tahu kepergian beliau.

Rasulullah Saw mendoakan Sayidina Ali dan memohon agar Allah menjaganya.

Malam yang gelap dan penuh bahaya telah tiba. Para petugas pembunuhan Rasulullah Saw mengepung rumah beliau tanpa tahu bahwa Rasulullah Saw telah pergi ke Madinah secara sembunyi-sembunyi.

Waktu sahar orang-orang Musyrik menyerang rumah Rasulullah. Dengan takjub mereka melihat Sayidina Ali berada di atas tempat tidur Rasulullah dan Rasulullah sendiri tidak ada.

Mereka yang saat itu terkecoh bertanya, “Muhammad di mana? Apa yang kau lakukan di rumah Muhammad?”

Sayidina Ali menjawab, “Memangnya kalian menyerahkannya padaku sehingga kalian menanyakan beliau kepadaku?”

Tanpa diragukan, keberanian Sayidina Ali ini telah mencegah kekalahan Islam dan pengorbanan ini adalah penyelamat jiwa Rasulullah Saw.

Allah dalam al-Quran memuji keberanian ini seraya berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّـهِ  وَاللَّـهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS. Baqarah: 207)





AKU LEBIH CERDAS DARI MUAWIYAH

Sekelompok orang menyindir Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Hai Ali! Engkau menilai dirimu cerdik, padahal Muawiyah lebih cerdik darimu dan lebih sukses dalam menarik hati masyarakat. Saat ini orang-orang kuat dan dan politikus seperti Amr bin Ash ada di sisi Muawiyah. Dia yang memberikan pengarahan kepada Muawiyah dan membantunya saat menemui kesulitan...”

Imam Ali berkata, “Hai orang-orang jahil! Demi Allah! Kalian tidak mengenalku juga tidak mengenal Muawiyah. Dia itu bermuka dua, pelanggar janji, dan pendosa dan untuk mengokohkan pilar-pilar kekuasaannya melakukan segala kezaliman. Demi Allah! Bila melanggar janji bukan hal yang buruk, bila tidak ada rasa takut pada Allah, maka aku lebih cerdik dan lebih berpolitik darinya...”


Jangan memaki musuh

Salah satu konspirasi yang dilakukan musuh di masa kekhilafahan Imam Ali adalah mereka menuduh beliau sebagai penyulut peperangan. Mereka mengatakan, “Untuk menjaga kekuasaannya, Ali siap menyulut peperangan dan mengalirkan darah saudara seagamanya. Namun Imam Ali dengan amalnya menunjukkan sebaliknya dari klaim ini kepada para musuh bahkan keada para sahabatnya sendiri.

Sebagai contoh, dalam perang Shiffin telah sampai ke telinga beliau bahwa sebagian sahabatnya yang ikut dalam perang memaki warga Syam yang berperang lawan mereka. Imam Ali pergi ke tengah-tengah para sahabatnya dan berkata, “Saya tidak suka kalian memaki para musuh kalian. Sebagai ganti memaki, doakanlah mereka dan sampaikan kepada Allah: Ya Allah! Selamatkanlah kami dan mereka dari kematian dan damaikanlah di antara kami dan mereka dan selamatkanlah mereka dari kesesatan...” supaya mereka yang tahu akan kebenaran, jadi mengenal kebenaran dan mereka yang pergi untuk memusuhi, tidak jadi.”


Jangan Susahkan Diri Kalian Karena Aku

Imam Ali as tidak suka menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. Dari sisi lain, beliau juga tidak suka orang lain menganggap beliau lebih hebat dari mereka.

Suatu hari Imam Ali melewati kota Anbar dekat Bagdad. Ketika para petani mendengar kabar masuknya beliau ke kota ini, mereka meninggalkan sawahnya dan menyambut Imam Ali. Kepada mereka Imam Ali berkata, “Mengapa kalian melakukan hal ini?!”

Para petani berkata, “Kami terbiasa menghormati para pemimpin dan pembesar kami. Begitu kami mendengar Anda bermaksud pergi ke Syam dan melewati kota kami, kami datang untuk menyambut Anda dan membuktikan kesetiaan kami.”

Imam Ali berkata, “Demi Allah! Para pemimpin kalian tidak memerlukan semua ini. Dengan sikap ini di dunia kalian telah merepotkan diri kalian dan dan merusak akhirat kalian. Tidak ada yang lebih buruk dari kesulitan yang akibatnya adalah siksaan dan tidak ada sesuatu yang lebih menguntungkan dari kenyamanan, yang menyelamatkan kalian dari api neraka.”


Membela Hak-Hak Umat Islam

Meskipun Imam Ali seorang lelaki yang sangat penuh kasih sayang dan pemaaf, namun ketika berkaitan dengan hak masyarakat, atau sebuah hak diinjak-injak dan seorang mukmin dizalimi, maka beliau tidak akan memaafkan dan akan menindaknya dengan keras.

Suatu hari “Saudah” putri Ammar Yasir sahabat Rasulullah Saw dan sahabat Imam Ali as pergi ke Istana Muawiyah. Sebelum Muawiyah bertanya kepada Saudah, untuk apa dia datang kepadanya, Muawiyah menyalahkan Saudah karena kesetiaannya kepada Amirul Mukminin dan dan usahanya dalam perang Shiffin. Kemudian baru bertanya, “Untuk apa engkau datang ke sini?”

Saudah berkata, “Hai Muawiyah! Allah akan meminta pertanggungjawabanmu karena engkau menginjak-injak hak-hak kami. Engkau selalu mengirim para gubernur kepada kami untuk menzalimi kami dan menekan jiwa kami. Sekarang engkau menjadikan seseorang sebagai penguasa dan dia membunuh para lelaki kami dan menjarah harta kekayaan kami. Bila engkau sendiri mau memecatnya, akan lebih baik. Tapi bila tidak, maka kami akan bangkit melawannya!

Melihat keberanian wanita itu, Muawiyah keheranan dan berkata, “Engkau menakut-nakuti aku dari kabilahmu sendiri? Aku akan mengirim engkau kepada Busr, penguasa yang ada supaya engkau disiksa sesuka hatinya.”

Saudah diam sejenak. Kemudian dengan suara lantang berkata, “Salam Allah untuk orang yang tidur di dalam kuburan dan dengan kematiannya, keadilan juga telah terkubur. Dia adalah simbol kebenaran dan kejujuran dan tidak menukar kebenaran dengan apapun.”

Muawiyah tahu siapa yang dimaksud oleh Saudah. Hanya saya dia pura-pura tidak tahu dan berkata, “Siapakah yang engkau maksudkan?”

Saudah menjawab, “Ali bin Abi Thalib!”

Kemudian dia melanjutkan, “Aku masih ingat, suatu hari aku datang kepadanya dan mengeluhkan para petugas yang mengumpulkan zakat. Ketika aku sampai kepadanya, beliau sedang mau mengerjakan salat. Namun begitu beliau melihatku, tidak memulai salatnya dan dengan ramah dan penuh kasih sayang berkata, “Apakah engkau ada urusan? Aku berkata, “Iya.” Dan aku menyampaikan keluhanku. Beliau langsung menangis dan menghadap ke langit seraya berkata, “Ya Allah! Engkau tahu dan menjadi saksi bahwa aku tidak pernah memerintahkan lelaki ini untuk menzalimi hamba-hamba-Mu!”

Kemudian beliau segera mengambil selembar kulit dan menulis kepada petugas tersebut: “Setelah engkau membaca suratku, maka bersiap-siaplah, sehingga aku utus seseorang untuk mengambil harta-harta yang ada darimu.” Kemudian beliau memberikan surat itu kepadaku. Demi Allah! Surat itu tidak ditutup juga tidak distempel. Aku memberikan surat itu kepada petugas tersebut dan ketika ia sudah dipecat, dia pergi dari sana...”

Muawiyah merasa malu setelah mendengar kisah ini dan terpaksa memerintahkan untuk menulis apa saja yang diinginkan Saudah.





KUCIUM KAKIMU!

Banyak kisah yang menceritakan tentang keksatriaan Imam Ali as. Antara lain kejadian dengan Amr bin Abdiwud dan semacamnya. Demikian juga disebutkan bahwa dalam salah satu perang. Lawan Imam Ali tertarik pada pedang beliau. Dia berkata kepada Imam Ali, “Hai Ali engkau punya pedang yang bagus dan enak dipegang. Setiap ahli perang pasti menginginkan pedang seperti pedangmu...”

Mendengar ucapan ini Imam Ali segera melemparkan pedangnya ke arah dia dan berkata, “Pedang ini milikmu!”

Lelaki itu merasa takjub dan tidak percaya seraya berkata, “Apakah di saat pertempuran Engkau memberikan pedangmu kepada musuhmu?”

Imam Ali berkata, “Iya. Kau telah meminta sesuatu padaku. Oleh karena itu, tidak ksatria bila ada seseorang meminta sesuatu padanya dan dia tidak mau memberikannya kepada sang peminta.”

Lelaki ini terpengaruh oleh keagungan perilaku Imam Ali sehingga dia menundukkan dirinya pada kaki Imam Ali dan berkata, “Yang menjadikan Engkau besar dan ksatria adalah agama dan keyakinanmu. Untuk itu, aku menerima agamamu dan aku akan mencium kakimu.”


Bersikap Ksatria di Hadapan Sikap Tidak Ksatria

Pasukan Imam Ali sampai di Shiffin [sebuah daerah di tepi sungai Dajlah, perang Shiffin terjadi di daerah ini dan pasukan Islam berhasil memukul telak musuh]. Beliau tahu bahwa para pasukan yang ada kelelahan dan haus. Untuk itu, kepada para pasukannya Imam Ali berkata, “Bukalah jalan itu supaya orang-orang yang haus menuju ke air dan menghilangkan rasa hausnya.”

Padahal para pasukan Muawiyah yang terlebih dahulu sampai di sungai Furat, mereka telah menutup jalan menuju Furat atas perintah Muawiyah. Dan tidak mengizinkan para sahabat Imam Ali untuk menggunakan air Furat.

Imam Ali marah melihat sikap tidak ksatria Muawiyah. Beliau mengirim utusan untuk menyampaikan ucapan kepada Muawiyah, “Pertengkaran dan permusuhan kita ada di medan perang. Yang menang dan yang kalah akan ditentukan di medan perang. Sekarang bukalah jalannya air supaya engkau tidak terkenal sebagai orang yang tidak ksatria.”

Muawiyah bermusyawarah dengan para komandannya dan hasilnya adalah tidak membuka jalan air. Agar barangkali para pasukan Imam Ali mengurungkan niatnya dari berperang karena kehausan dan kelemahan yang parah atau bila perang terjadi, kehausan akan menjadi sebab kekalahan mereka. Namun Amr bin Ash berkata, “Bukalah jalannya air, karena bila kalian tidak melakukan hal ini, maka mereka akan mengambilnya dengan paksa dan kalian akan terhina dan rendah.”

Muawiyah tidak menerima usulan Amr bin Ash. Salah seorang pasukan Muawiyah berkata, “Bila orang-orang Kafir Romawi meminta air kepada kita, maka kita wajib untuk memenuhi permintaan mereka. Apalgi ini para sahabat Rasulullah dan anak-anak beliau ada di sini. Jangan sampai mereka tidak diberi air.”

Muawiyah tidak menerima.

Malam itu para pasukan Imam Ali menahan haus sampai pagi. Namun kehausan membuat mereka kehabisan tenaga. Imam Ali berkata, “Sebelum terlambat, seranglah pasukan Muawiyah dan ambillah air!”

Para pasukan Imam Ali menyerang para pasukan Muawiyah dan berhasil mengambil air. Amr bin Ash berkata kepada Muawiyah, “Aku sudah berkata kepadamu, Ali akan mengambil air dan kita akan terhina.”

Muawiyah berkata, “Celakalah kita! Ali akan menutup air dan kita akan mati kehausan!”

Amr bin Ash berkata, “Tidak. Dia adalah seorang pemaaf dan ksatria. Yakinlah bahwa dia tidak akan menutup jalannya air.

Dan kenyataannya, kata-kata Amr bin Ash benar. Imam Ali tetap membuka jalannya air supaya siapa saja yang memerlukan, bisa menggunakannya.


Hukuman Sebelum Kejahatan, Jangan Pernah!

Thalhah dan Zubair adalah sahabat  Rasulullah Saw. Keduanya ikut serta di pelbagai peperangan bersama Rasulullah Saw. Namun kesombongannya membuat keduanya di zaman khilafah Imam Ali berada di barisan musuh Imam.

Perselisihan dan permusuhan keduanya dengan Amirul Mukminin bermula ketika Imam Ali as terpaksa harus menerima jabatan khalifah dan masyarakat berbaiat kepadanya.

Thalhah dan Zubair mengirim pesan kepada Imam Ali, mengapa ketika menerima khilafah tidak bermusyawarah dengannya.

Kemudian keduanya menemui Imam Ali dan berkata, “Kami akan berbaiat kepadamu dengan syarat Engkau menyertakan kami dalam khilafahmu!”

Alhasil, permusuhan mereka terhadap Imam Ali mencapai puncaknya. Suatu hari salah satu intel Imam Ali membawa kabar bahwa Thalhah dan Zubair sedang menyiapkan peperangan melawan Imam Ali.

Para sahabat Imam Ali berkata, “Wahai Ali! Waspadalah. Siapkan pasukan untuk menyerang mereka. Mereka harus ditekan sebelum melakukan konspirasi atau kirimlah seseorang untuk memberangusnya secara sembunyi-sembunyi. Supaya api fitnah mereka padam sebelum berkobar.

Namun Imam Ali berkata, “Jangan pernah! Saya takut kepada Allah untuk melakukan hukuman sebelum kejahatan. Bila keduanya secara terang-terangan menyerang kita, maka kita akan berperang melawan mereka dan akan kita potong tangan mereka.”

Kemudian dalam beberapa waktu ke depan, Thalhah dan Zubair dengan diketuai Aisyah menciptakan perang Jamal melawan Imam Ali dan ketahuan bahwa kabar yang dibawa intel itu benar.





MENGGANTI KERUGIAN SAMPAI PADA HAL-HAL SEPELEH

Ketika Khalid dan para pesertanya sampai pada kabilah ini, mereka menerima ajakan Rasulullah dan mengatakan, “Sebelum ini kami telah menulis surat untuk kami berikan kepada Rasulullah dan kami sampaikan bahwa kami menerima perintah Allah.”

Namun Khalid tidak mempedulikan ucapan warga kabilah ini dan keesokan harinya setelah melakukan shalat subuh, Khalid memerintahkan para pesertanya untuk menyerang mereka. Dalam serangan ini sejumlah warga terbunuh dan para peserta Khalid merampok harta kekayaan mereka dan kembali kepada Rasulullah dengan merasa menang.

Ketika Rasulullah mengetahui peristiwa yang terjadi, dengan hati yang hancur dan wajah bersedih beliau menghadap kiblat seraya berkata, “Ya Allah! Aku berlepas tangan dari perbuatan Khalid ini. Engkau sendiri tahu bahwa aku tidak memberikan perintah kepadanya untuk membunuh secara massal orang-orang yang tidak berdosa...”

Setelah itu beliau memanggil Sayidina Ali dan kepadanya beliau mengatakan, “Segeralah pergi ke kabilah Bani Khuzaimah dan mintalah maaf kepada mereka dan mintalah kerelaan kepada mereka. Jangan kembali kepadaku sebelum engkau selesai menebus kesalahan Khalid.

Sayidina Ali melaksanakan perintah Rasulullah Saw dan setelah beberapa lama kembali lagi kepada beliau.

Kepadanya Rasulullah Saw berkata, “Hai Ali, apa yang engkau lakukan?”

Sayidina Ali berkata, “Wahai Rasulullah! Saya telah membayar denda untuk setiap darah yang tumpah dari mereka. Bahkan saya juga membayar denda untuk janin-janin mereka yang gugur. Karena dana yang saya bawa masih tersisa banyak, saya juga membayar denda untuk mangkok anjing mereka yang pecah dan benang alat pel mereka yang patah. Dari dana tersebut masih juga ada sisanya banyak, sehingga saya memberikan uang tersebut untuk rasa ketakutan yang ada pada hati mereka. Itupun masih ada lagi sisanya dan saya menetapkan sejumlah uang untuk kerugian yang terlihat mata ataupun yang tidak terlihat mata. Dan masih saja ada sisanya, untuk itu saya memberikan banyak uang kepada mereka agar mereka rela kepada Anda.”

Rasulullah Saw bersabda, “Hai Ali! Semoga Allah juga meridhaimu! Hai Ali! Ketahuilah bahwa kaitanmu dengan diriku bagaikan kaitan Harun pada Musa, hanya saja setelahku tidak akan ada lagi seorang nabi.”





AKIBAT MENGHINA IMAM ALI AS!



Sekelompok orang berkumpul di sebuah tempat di kota Madinah dan membuat suara gaduh. Seseorang yang sedang berada di atas kuda dengan suara keras mencaci Ali as.

Saad bin Abi Waqqash tiba di tempat itu dan bertanya,

“Siapa pria sombong yang mencaci-maki seperti ini?” Pria itu tidak mempedulikan kehadiran dan pertanyaan

Saad bin Waqqash dan tetap melanjutkan caciannya.

Dengan nada marah, Saad bin Waqqash berkata, “Wahai pria! Mengapa engkau mengumpat Amirul Mukminin? Bukankah Ali adalah orang pertama yang memeluk Islam?

Bukankah Ali merupakan orang pertama yang melakukan salat bersama Rasulullah Saw? Bukankah ia orang paling zuhud? Bukankah ia orang paling pandai? Apakah ia bukan menantu Rasulullah?”

Setelah itu Saad berdiri menghadap kiblat dan mengangkat tangannya lalu berkata, “Ya Allah! Pria ini telah mencaci satu dari wali-Mu... Ya Allah! Sebelum orang-orang yang ada ini kembali ke rumahnya masing-masing, tunjukkan kekuasaan-Mu kepada mereka!”

Waktu itu juga tiba-tiba kuda pria itu menjadi liar dan bergerak sedemikian rupa sehingga pria itu terjatuh dari kudanya dan kepalanya terbentur batu lalu meninggal seketika.





JARAK ANTARA KEBENARAN DAN KEBATILAN

Ucapan para Imam as semuanya mengandung ilmu dan pencerahan, sehingga siapa saja yang mendengarkan ucapan mereka akan bertanya bagaimana mungkin seorang manusia dapat berbicara sedemikian indahnya dan pada saat yang sama memiliki pengaruh luar biasa. Selain itu, ilmu yang terkandung dalam ucapan mereka sangat dalam dan luas.

Tentu saja jawaban atas pernyataan semacam ini sangat mudah dan jelas. Para Imam Maksum as dikarenakan mereka senantiasa bersandar pada sumber ilmu yang tak terbatas, yaitu Allah Swt.

Satu dari ucapan indah dan penuh makna yang keluar dari lisan mubarak Imam Ali as disampaikannya dihadapan mereka yang ikut melaksanakan salat berjamaah dengannya. Waktu itu beliau berdiri di atas mimbar dan berbicara tentang mengikuti kebenaran dan menolak kebatilan. Beliau berusaha agar apa yang akan disampaikannya diingat oleh masyarakat dan mengamalkannya.

Imam Ali as berkata, “Wahai masyarakat! Hendaknya kalian merasa malu membicarakan keburukan saudara muslim kalian dan berbicara di belakangnya... Ketahuilah bahwa jarak antara kebenaran dan kebatilan hanya empat jari.”

Seorang yang hadir bertanya, “Wahai Ali! Bagaimana bisa jarak antara kebenaran dan kebatilan tidak lebih dari empat jari?”

Imam Ali as memang sejak awal menanti pertanyaan itu lalu meletakkan empat jarinya di antara telinga dan matanya. Setelah itu beliau berkata, “Kebatilan adalah ketika Anda mengatakan ‘Saya mendengar’ dan kebenaran adalah ketika Anda mengatakan, ‘Saya melihat’.”





ALI BIN ABI THALIB DAN ANAK YATIM

Seorang perempuan tua dengan fisik yang lemah sedang mengangkat tempat air besar. Dengan terseok-seok dan napas yang terengah-engah perempuan tua itu melangkah menuju rumahnya. Tiba-tiba ada seorang pria tak dikenal mendekatinya dan menawarkan untuk membawakan tempat air yang berat itu. Perempuan tua itu menggerakkan bibirnya dan berterima kasih kepada Allah Swt. Ia kemudian berkata pada pria yang tak dikenal itu, “Allah mengirim engkau untuk menolongku. Insya Allah, engkau akan mendapatkan pahala dari perbuatanmu ini dari Allah.”

Rumah perempuan tua itu tidak terlalu jauh. Ketika sampai, perempuan tua itu membukakan pintu. Anak-anaknya yang masih kecil begitu gembira setelah tahu ibu mereka telah kembali. Tapi rasa ingin tahu membuat mereka bertanya-tanya siapa orang asing ini.

Pria tak dikenal itu kemudian meletakkan tempat air di tanah dan bertanya kepada perempuan itu, “Jelas bahwa tidak ada pria di rumah ini, sehingga engkau sendiri yang mengangkat air. Apa yang terjadi sehingga engkau tinggal sendiri?”

Perempuan itu menarik napas panjang dan berkata, “Suamiku dulunya adalah seorang pejuang. Ia berperang bersama Ali bin Abi Thalib dalam sebuah perang dan di sana ia meninggal. Ia meninggalkan saya dengan beberapa orang anak.”

Mendengar ucapan perempuan tua, pria tak dikenal itu tidak dapat berkata apa-apa. Tapi dari wajahnya terlihat ia begitu sedih. Ia hanya bisa menundukkan kepala, kemudian meminta diri dan pergi dari situ. Tapi tidak berapa lama ia kembali ke sana sambil membawa sejumlah makanan.
Perempuan tua itu mengambil makanan dari pria tak dikenal itu dan berkata, “Semoga Allah meridhaimu!”

Pria asing itu berkata, “Saya ingin membantu pekerjaanmu. Perkenankan saya membuat adonan roti, membakarnya atau menjaga anak-anak ini.”

Perempuan itu berkata, “Baiklah! Jelas saya lebih baik dalam membuat adonan roti dan membakarnya. Engkau mengawasi anak-anak, sampai aku selesai membakar roti.”

Pria asing itu menerima dan pergi menemui anak-anak itu. Tapi sebelum itu ia menghampiri bungkusan yang dibawanya dan mengambil daging lalu membakarnya. Setelah matang, dengan sabar ia menyuapi anak-anak itu. Ia berkata, “Anak-anakku! Relakanlah Ali bin Abi Thalib, bila ada kekurangan yang dilakukan terkait kalian… Anak-anakku! Relakan Ali bin Abi Thalib…”

Adonan roti telah siap. Perempuan tua itu berkata, “Wahai hamba Allah! Nyalakan api untuk membakar roti ini…”

Pria itu beranjak dari tempatnya dan pergi untuk menyalakan api. Tungku telah menyala. Air mata telah menggenang di pelupuk mata pria asing itu. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke api sambil berkata, “Rasakan panasnya api! Inilah balasan orang yang tidak mengurusi anak-anak yatim dengan baik dan tidak tahu kondisi para wanita yang menjanda…”

Pada waktu itu, ada tetangga perempuan yang rumahnya bersebelahan dengan perempuan tua itu datang ke rumahnya. Ketika ia melihat pria tak dikenal itu, dengan segera ia menghadapi perempuan tua itu dan berkata, “Celakalah engkau! Tahukah siapa pria yang engkau perbantukan ini?”

Perempuan tua itu terkejut dan berkata, “Tidak. Saya tidak mengenalnya. Ketika hendak kembali ke rumah saya bertemu dengan dia dan langsung menawarkan diri untuk membantu saya.”

Tetangganya berkata, “Pria itu adalah Ali bin Abi Thalib, Amir al-Mukminin!”

Begitu mengetahui pria asing yang membantunya adalah Ali bin Abi Thalib, perempuan tua itu langsung menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan ia mendekati pria itu dan berkata, “Wahai pria penolong! Maafkan saya yang tidak mengenalmu dan memintamu untuk membantuku.”

Imam Ali berkata, “Tidak! Saya yang harus meminta maaf kepadamu. Karena saya tidak melaksanakan kewajibanku dengan baik kepadamu dan anak-anak yatim ini.”

Setelah itu, Imam Ali secara berkala mendatangi rumah perempuan tua itu dan menanyakan keadaan mereka, sambil membantu makanan dan uang sesuai kemampuan beliau kepada mereka.





ALLAH MERINDUKAN PERTEMUAN DENGANMU

Di Akhir usianya, Rasulullah Saw sakit parah dan akibatnya adalah beliau meninggal dunia. tiga hari sebelum wafat, Jibril datang menemui beliau dan berkata, “Hai Ahmad! Allah mengutusku kepadamu untuk menyampaikan salam-Nya dan kukatakan bahwa Dia mengetahui kondisimu.”

Tapi sekarang katakan bagaimana dengan kondisimu sendiri?

Rasulullah Saw berkata, “Hai Jibril, aku sedih dan suntuk.”

Tiga hari kemudian [di detik-detik terakhir usianya] Jibril datang menemui Rasulullah bersama Izrail dan seorang malaikat bernama Ismail dan tujuh puluh ribu malaikan lainnya. Jibril berkata, “Hai Ahmad, aku diutus Allah kepadamu untuk menyampaikan salam-Nya kepadamu dan kukatakan bahwa Dia mengetahui kondisimu. Tapi sekarang katakan bagaimana dengan kondisimu sendiri?

Rasulullah Saw berkata, “Hai Jibril, aku sedih dan suntuk.”

Jibril berkata, “Hai Ahmad, ini adalah malaikat maut. Dia datang untuk mengambil nyawamu dan dia meminta izin kepadamu. Padahal selama ini dia tidak pernah meminta izin kepada seseorang untuk mengambil nyawanya. Setelah ini juga tidak akan meminta izin kepada siapapun.”

Rasulullah Saw berkata, “Atas namaku, izinkan dia!”

Jibril memberikan izin kepada Izrail dan Izrail maju dan berdiri di depan Rasulullah Saw seraya berkata, “Hai Ahmad, Allah telah mengutusku kepadamu dan Dia memerintahkanku untuk menjalankan perintahmu. Bila engkau mengizinkan, maka akan aku bawa ruhmu. Bila tidak, maka aku tidak akan melakukannya.”

Kemudian Jibril berkata, “Hai Ahmad, Allah merindukan pertemuan denganmu.”

Rasulullah Saw tersenyum dan dengan gembira berkata, “Hai malaikat maut, Lalukanlah apa yang diperintahkan kepadamu!”





SALAM DARI SURGA

Agama Islam sangat memperhatikan adab pergaulan. Rasulullah senantiasa mengatakan, “Bila dua orang muslim berjumpa atau masuk pada sebuah perkumpulan sebaiknya mengucapkan salam. Supaya rajutan kasih sayang semakin kokoh di antara mereka.”

Dan di tempat lain beliau bersabda, “Mengucapkan salam bisa menjauhkan seseorang dari takabbur [kesombongan]...Bila ada seseorang mengucapkan salam maka yang orang yang dituju hendaknya menjawab dengan intonasi yang lebih baik...”

Tentunya terkait mengucapkan salam ada banyak hadis dan riwayat dan salah satunya adalah “Mengucapkan salam hukumnya sunnah dan menjawabnya wajib...”

Di hari-hari pertama pengutusan kenabian, masyarakat ketika berjumpa dengan yang lainnya, mengucapkan selamat pagi, selamat sore dan selamat malam. Sampai ketika Rasulullah Saw mendatangi mereka dan mengatakan, “Jibril turun kepadaku dan menyampaikan ucapan Allah seraya berkata, “Jangan mengucapkan salam dengan yang lain dengan cara tradisi Jahiliyah.”

Kemudian bersabda, “Allah telah memberikan hadiah yang lebih baik untuk kita dan memerintahkan kita untuk mengucapkan salam dengan yang lain dengan cara para penghuni surga. Oleh karena itu, untuk selanjutnya, ketika berjumpa dengan saudara-saudara seagama ucapkanlah “Salamun ‘Alaikum” dan dengan mengucapkan salam dan jawabannya, hadiahkan keselamatan pada saudara-saudara kalian!”





TIDAK ADA KERUGIAN DALAM ISLAM

Zurarah menukil dari Imam Baqir as:
Seorang lelaki memiliki sebuah pohon kurma di kebun salah satu orang Anshar. Rumah orang Anshar ini ada di permulaan kebun. Sedangkan lelaki pemilik pohon kurma ini tidak pernah meminta izin setiap kali mengunjungi pohon kurmanya. Orang Anshar ini meminta agar dia meminta izin terlebih dahulu setiap kali ingin masuk ke dalam kebun. Namun pemilik pohon kurma ini tidak menghiraukannya dan masuk dengan tanpa izin.

Orang Anshar ini mengadukan masalahnya kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw menyampaikan pengaduan orang Anshar ini dan memerintahkan, “Kapan saja engkau ingin masuk ke dalam kebun, mintalah izin terlebih dahulu.”

Namun pemilik pohon kurma menolak.

Rasulullah Saw  berkata, “Kalau begitu, juallah pohonmu.” Beliau menawarkan harga yang tinggi, tapi lelaki pemilik pohon ini tidak mau. Rasulullah terus menaikkan harganya dan lelaki ini tetap tidak mau menerima. Sampai akhirnya Rasulullah berkata, “Sebagai gantinya pohon ini aku menjamin engkau dengan sebuah pohon di surga.”

Namun lelaki ini tetap saja tidak mau.

Akhirnya Rasulullah Saw berkata, “Hai lelaki Anshar, tebanglah pohon itu dan jatuhkan di sisinya. Dalam Islam tidak ada kerugian dan juga tidak ada perilaku merugikan.”



JENIS KEMATIAN YANG PALING BURUK

Sayidina Ali mengalami sakit mata. Saking sakitnya beliau harus berbaring istirahat dan merasakan kesakitan. Rasulullah mendengar kabar bahwa Sayidina Ali sedang sakit. Kemudian beliau menjenguk Sayidina Ali. Karena beliau menyaksikan  rintihan Sayidina Ali, beliau berkata, “Hai Ali! Engkau sedang tidak tahan. Sepertinya sakitmu sangat parah.”

Sayidina Ali berkata, “Iya. Selama ini saya tidak pernah merasakan sakit seperti ini.”

Rasulullah Saw berkata, “Maukah aku ceritakan padamu tentang sebuah kenyataan yang lebih sakit dari sakit semacam ini?”

Sayidina Ali penasaran dan mengatakan, “Iya. Saya akan mendengarkan ucapan Anda dengan baik.”
Kemudian Rasulullah Saw berkata, “Ketika malaikat maut datang untuk mencabut nyawa orang yang fasik [pendosa], ia membawa tusuk besi panas. Dengan tusuk besi panas itu ia memisahkan ruh dari badannya. Kemudian, neraka teriak untuk menelannya.

Mendengar ucapan ini Sayidina Ali serentak bangun dan duduk di atas tempat tidur dan melupakan rasa sakitnya seraya berkata, “Apakah dari umat Anda, ada juga orang-orang yang mati demikian?”
Rasulullah Saw berkata, “Iya. Ada tiga kelompok orang yang mati demikian; Penguasa zalim, orang yang makan harta anak yatim dan orang yang bersaksi bohong.”

Ummu Salamah! Mengapa Engkau Menangis?!

Ummu Salamah istri Rasulullah Saw berkata, “Sekali di pertengahan malam saya terbangun dari tidur dan saya melihat Rasulullah tidak ada di tempat tidur. Dari suara munajatnya, saya tahu bahwa beliau sedang duduk di sudut ruangan sedang berbicara dengan Allah Swt. Menyaksikan kondisi spiritual ini saya merasa nyaman. Beliau dengan suaranya yang menyentuh, bermunajat kepada Allah seraya berkata, “Ya Allah! Jangan Engkau kembalikan aku pada keburukan yang Engkau bebaskan aku darinya. Ya Allah! Jangan Engkau jadikan aku sebagai orang yang menyenangkan musuh. Ya Allah! Jangan Engkau serahkan aku pada diriku sendiri meski hanya sekejap mata...”

Lantunan munajat Rasulullah sedemikian rupa sehingga membuatku menangis. Mendengar tangisan saya, Rasulullah menghentikan ibadahnya dan berkata, “Ummu Salamah! Mengapa Engkau menangis?!”

Saya berkata, “Ketika Anda bermunajat demikian, dan memohon kepada Allah agar tidak menyerahkan Anda pada diri Anda meski hanya sekejap mata, bagaimana dengan kami?!”
Beliau bersabda, “Iya. Demikianlah aku harus senantiasa memohon kepada Allah. Karena begitu Allah menyerahkan Yunus kepada dirinya sendiri, ia telah merugi dan kejadian itu terjadi padanya.”


Lelaki Dari Surga

Suatu hari para sahabat Rasulullah Saw duduk bersama beliau. Rasulullah Saw bersabda, “Sekarang seorang lelaki dari surga akan datang kepada kita.”

Para sahabat penasaran dan melihat ke arah jalan. Seorang lelaki yang bersih dan rapi yang telah berwudhu datang mendekat. Para sahabat Rasulullah Saw berkata, “Maksudnya Rasulullah adalah orang lelaki ini?!”

Keesokan harinya, para sahabat Rasulullah kembali duduk bersama beliau. Rasulullah Saw berkata, “Sekarang seorang lelaki dari surga sedang menuju kepada kita.”

Kali ini mereka juga melihat ke arah jalan. Sebentar kemudian, mereka melihat seorang lelaki yang kemarin itu, datang dan mengucapkan salam.

Hari ketiga, kejadian ini terulang kembali dan lelaki tersebut datang menemui Rasulullah Saw. Abdullah anaknya Amr bin Ash bangkit dan berkata kepada lelaki tersebut, “Hai lelaki! Aku meminta sesuatu kepadamu, semoga engkau mau menerima.”

Lelaki itu menjawab, “Katakan apa saja permintaanmu.”

Abdullah berkata, “Tanpa engkau harus penasaran, izinkan aku bersamamu untuk beberapa hari.”

Lelaki itu menerima dan Abdullah bersamanya selama tiga hari. Abdullah mengujinya dan tahu bahwa lelaki ini seperti orang-orang lainnya dan berbeda dengan harapannya, tidak bangun malam untuk salat tahajud. Hanya bangun di waktu subuh untuk mengerjakan salat subuh. Ibadahnya biasa dan tidak ada keistimewaan tersendiri. Itulah mengapa kepadanya Abdullah berkata, “Hai lelaki! Rasulullah menyebutmu sebagai lelaki surga. Aku penasaran; ingin menyaksikan ibadah-ibadahmu dari dekat. Aku ingin tahu, engkau punya kelebihan apa yang membuatmu menjadi penghuni surga. Namun dalam beberapa hari ini aku tidak melihat sesuatu yang luar biasa dan khas pada dirimu. Sekarang katakan, bagaimana Rasulullah menilaimu sebagai ahli surga?!

Lelaki itu berkata, “Rahasia aku menjadi ahli surga tidak pada apa yang engkau cari. Aku adalah seorang lelaki yang tidak pernah mengkhianati siapapun dari orang muslim dan tidak pernah hasud pada siapapun yang diberi nikmat yang banyak oleh Allah.”

Abdullah berkata, “Iya. Kelebihan inilah yang menjadikan engkau sebagai ahli surga. Engkau memiliki sifat dimana kami tidak mampu untuk mendapatkannya.





PENGANTIN LELAKI MISKIN, PENGANTIN WANITA KAYA

Juwaibir adalah salah satu Ashhah Shuffah; seorang lelaki pendek, berkulit hitam, dengan penambilan gembel. Suatu hari Rasulullah Saw kepada Juwaibir berkata, “Mengapa Engkau tidak menikah dan merapikan hidupmu?”

Juwaibir berkata, “Wahai Rasulullah! Saya adalah lelaki miskin, jelek, dan beperawakan buruk. Siapa yang mau menikahkan putrinya kepada saya?!”

Rasulullah Saw berkata, “Allah Swt telah mengganti nilai seseorang melalui Islam. Banyak orang di masa jahiliyah termasuk orang-orang yang terhormat dan Islam telah menurunkan nilai mereka dan sebaliknya, banyak orang yang hina dan tidak seberapa dan Islam telah memberikan nilai kepada mereka.”

Kemudian beliau berkata, “Pergi temuilah Ziyad bin Lubaid salah seorang saudagar kaya dan berpengaruh Madinah dan pinanglah putrinya!”

Juwaibir yang keheranan, dengan rasa tidak percaya pergi mendatangi Ziyad dan menyampaikan keinginan Rasulullah Saw. Ziyad berkata, “Adat istiadat kami adalah menikahkan putri-putri kami dengan lelaki sesama suku dan yang selevel dengan kami.”

Kabar ini sampai ke telinga Rasulullah Saw. Rasulullah Saw berkata, “Semua umat Islam selevel dan sederajat kecuali mereka yang lebih bertakwa.”

Ziyad berkata, “Terserah Anda. Kami akan melaksanakan apa saja yang Anda perintahkan.”

Kemudian Ziyad membeli sebuah rumah yang bagus untuk Juwaibir dan putrinya dan mengadakan acara pernikahan besar-besaran. Juwaibir tidak percaya bahwa suatu hari dirinya akan mendapatkan semua posisi ini. Oleh karenanya, sebagai rasa syukur atas nikmat besar ini dia berpuasa selama tiga hari dan beribadah.

Kemudian Juwaibir termasuk bagian dari sahabat Rasulullah dan senantiasa berada di samping beliau sampai pada akhirnya dia mencapai syahadah di salah satu perang dan dia telah mencapai cita-citanya.





ALLAH TIDAK MELUPAKANMU!

Beberapa waktu malaikat pembawa wahyu [Jibril] tidak turun kepada Rasulullah Saw dan tidak membawa pesan dari Allah untuk Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw sedih dan tidak tahu mengapa Allah tidak menurunkan ayat. Para musuh Islam yang sedang menunggu kesempatan untuk mengejek Rasullah pun menemukan alasan. dengan tanpa malu mereka mengatakan,
“Hai Muhammad! Gimana dengan aturan-aturan langitmu?
Jangan-jangan guru yang mengajarkan semua ini kepadamu telah melupakan pengetahuannya dan tidak lagi mengasihimu?!

Yang lainnya mengatakan, “Muhammad! Tuhanmu telah melupakanmu; sedangkan kau selalu mengatakan bahwa Dia selalu mengingatmu?!

Hati Rasulullah merasa sakit oleh semua kekurangajaran ini. Sudah empat puluh hari Jibril tidak membawakan kalimat Allah untuk beliau. Rasulullah lambat laun berpikir bahwa ‘jangan-jangan dirinya telah berbuat sesuatu sehingga Allah murka padanya? Tapi tidak! Memangnya dirinya berbuat apa?

Kekangenan Rasullah melebihi kadarnya. Makin lama beliau semakin tidak tahan. Sampai akhirnya pada suatu malam beliau mendengar suara; suara yang dikenal dan seperti biasanya penuh kasih sayang dimana mengatakan,
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Demi matahari yang telah naik sepenggalahan. Dan demi malam apabila telah gelap.
Tuhanmu sama sekali tidak pernah meninggalkanmu dan tidak pernah pula membencimu. Dan sesungguhnya akhirat lebih baik bagimu daripada dunia. Dan Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya padamu sehingga engkau puas. Dan bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lantas melindungimu? Dan bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, kemudian memberikan petunjuk? Dan bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lantas memberikan kecukupan? Untuk itu, jangan berlaku sewenang-wenang terhadap [kasihanilah] anak yatim. Dan janganlah kamu menghardik [penuhilah] orang yang meminta-minta. Maka ingatlah nikmat Tuhanmu.” (QS. Ad-Dhuha)





KATAKANLAH PADAKU, APA YANG HARUS KULAKUKAN?



Rasulullah Saw bersabda, “Semoga Allah merahmatimu. Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Sekarang engkau bisa membeli seorang tawanan atau budak dan bebaskannlah di jalan Allah sebagai kaffarah [tebusan] dari dosa ini!”

Lelaki tersebut berkata, “Kondisi keuanganku krisis dan saya tidak bisa membeli seorang budak.”

Rasulullah bersabda, “Kalau begitu berpuasalah selama enam puluh hari berturut-turut!”

Lelaki tersebut berkata, “Saya tidak bisa berpuasa sebanyak ini.”

Rasulullah Saw bersabda, “Berilah makan kepada enam puluh orang miskin!”

Lelaki tersebut berkata, “Saya juga tidak punya kemampuan untuk melaksanakan hal ini.”

Rasulullah Saw diam sejenak. Seketika itu datang seorang lelaki menemui Rasulullah Saw dan memberikan sekeranjang kurma kepada beliau. Rasulullah Saw memberikan kurma itu kepada lelaki tersebut seraya bersabda, “Kalau begitu, bawalah kurma ini dan bagi-bagikan kepada orang-orang miskin!”

Lelaki tersebut berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, di kota ini tidak ada orang yang lebih miskin dariku.”

Rasulullah Saw tertawa dan bersabda, “Baiklah. Bawalah kurma ini ke rumahmu dan bagikan kepada istri dan anak-anakmu!”

12 DIRHAM PENUH BERKAH!

Rasulullah Saw senantiasa memakai pakaian sederhana.
Dengan demikian, orang-orang miskin tidak merasa berbeda dan terhina berada di dekat beliau. Melihat pakaian sederhana Nabi Saw, mereka akan merasa beliau merupakan bagian dari kalangan mereka sendiri. Selain itu, pakaian sederhana membuat beliau lebih akrab dengan masyarakat. Nabi Saw memanfaatkan pakaiannya semaksimal mungkin, sehingga ketika tidak bisa lagi digunakan barulah memikirkan untuk membeli yang baru.
Hari itu Rasulullah Saw memberikan sejumlah uang kepada Ali as dan berkata, “Wahai Ali! Pergilah ke pasar dan belikan aku pakaian.”

Ali as menerima uang dari beliau dan langsung menuju pasar. Di sana Ali as membelikan pakaian seharga 12 dirham dan kembali menemui Nabi Saw. Menerima pakaian itu, beliau mengucapkan terima kasih dan berkata,
“Seandainya engkau membelikan aku baju yang lebih murah harganya dari ini.”

Ketika itu beliau bertanya, “Apakah penjualnya mau menerima pakaian ini bila dikembalikan?”

Ali as menjawab, “Saya tidak tahu. Perkenankan saya kembali kepadanya dan menyatakan masalah ini.”

Setelah itu Ali as pergi ke pasar. Ia mengembalikan pakaian itu, mengambil kembali uang yang diberikan dan kembali kepada Rasulullah Saw. Kemudian mereka berdua pergi ke pasar dan kali ini Nabi Saw sendiri yang akan memilih pakaian untuknya.

Di tengah jalan, mereka bertemu dengan budak perempuan kecil yang sedang duduk di atas tanah sambil menangis. Nabi Saw bertanya kepada gadis kecil itu, “Apa yang terjadi denganmu? Mengapa engkau menangis?”

Gadis kecil itu berkata, “Wahai Rasulullah! Tuanku memberikan uang sebanyak 4 dirham kepadaku agar membelikan kebutuhannya. Tapi saya tidak tahu bagaimana uang itu hilang dariku.”

Nabi Saw berkata kepadanya, “Jangan bersedih! Sekarang aku memberikanmu 4 dirham agar engkau bisa membelikan kebutuhan tuanmu.”

Beliau kemudian mengambil 4 dirham dari 12 dirham yang berada di tangan Ali as lalu memberikannya kepada gadis kecil itu.

Pemberian Nabi Saw membuat gadis kecil itu gembira kembali dan mendoakan beliau lalu pergi.

Nabi Saw dan Ali as kembali meneruskan jalannya.

Akhirnya Nabi Saw membeli sebuah pakaian sederhana seharga 4 dirham lalu memakainya dan bersyukur kepada Allah. Mereka berjalan menuju rumah.

Di tengah jalan, mereka melihat seorang miskin yang tidak memiliki baju dan berkata, “Barangsiapa yang memberikan aku baju dan badanku tertutup dengannya, insyaallah ia akan dipakaikan baju surga oleh Allah.”

Nabi Saw melepaskan baju yang baru saja dibelinya dan memberikannya kepada orang miskin itu dan tetap memakai pakaian lamanya. Setelah itu beliau bersama Ali as kembali ke pasar dan membeli satu lagi pakaian seharga 4 dirham untuk dirinya lalu memakainya.

Di tengah perjalanan menuju rumah, mereka kembali melihat gadis kecil yang diberi 4 dirham. Gadis kecil itu terduduk di atas tanah sambil menangis. Nabi Saw mendekatinya dan berkata, “Mengapa engkau belum kembali ke rumah?”

Gadis kecil itu menjawab, “Saya telah membeli apa yang diinginkan tuanku dengan uang yang Anda berikan kepadaku. Tapi saya sudah sangat terlambat. Saya khawatir tuanku akan memukulku akibat keterlambatan ini.”

Nabi Saw dengan sabar berkata kepadanya, “Saya akan mengantarmu ke rumah dan meminta tuanmu untuk tidak memukulmu.”

Gadis kecil itu berjalan bersama Nabi Saw dan Ali as hingga ke rumah tuannya.

Nabi Saw mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan suara tinggi, tapi tidak ada jawaban dari dalam rumah. Kembali Nabi Saw mengucapkan salam, tapi tetap saja tidak ada yang menjawab. Untuk ketiga kalinya Nabi Saw mengucapkan salam dan kali ini tuan rumah menjawab, “Assalamu Alaika Ya Rasulallah!”

Nabi Saw berkata, “Mengapa engkau tidak menjawab salamku?”

Tuan rumah menjawab, “Sejak awal saya telah mendengar suara Anda, tapi saya ingin sekali berkah salam anda dapat menjauhkan segala bencana dari rumah saya. Sekarang sampaikan apa yang dapat saya lakukan.”

Nabi Saw berkata, “Gadis kecil ini terlambat ke rumah. Saya datang bersamanya untuk meminta agar jangan memukulnya. Insyaallah, Allah akan memaafkan kesalahan yang engkau perbuat.”

Tuan rumah berkata, “Wahai Rasulullah! Langkah penuh berkahmu ke rumahku membuat aku memutuskan untuk membebaskan gadis kecil ini, sehingga Anda dan Allah Swt rela dengan perbuatanku.”

Nabi Saw sangat senang mendengarnya lalu memandang ke langit sambil mengangkat tangannya dan berkata, “Ya Allah! Aku bersyukur kepadamu disebabkan berkah uang 12 dirham yang Engkau berikan. 12 dirham yang mampu memberikan pakaian kepada dua orang dan membebaskan seorang budak perempuan.”




ONTA NABI MUHAMMAD SAW 

Sumber : Sad Pand va Hekayat  | Nabi Muhammad saw


Nabi Muhammad Saw menasihati para sahabatnya agar senantiasa siap dan waspada, sehingga kapan saja musuh-musuh menebar konspirasi jahatnya, mereka dapat tegar menghadapinya. Satu lagi dari pesan beliau, "Bagi setiap muslim wajib untuk mengajari anaknya memanah, menunggang kuda dan berenang."


Nabi Saw sendiri senantiasa siap dan ikut dalam perlombaan menunggang kuda dan onta serta memanah. Onta Nabi Saw masih muda, kuat dan sangat cepat larinya. Dalam setiap perlombaan onta beliau pasti menang. Tapi sejumlah orang yang polos membayangkan bahwa dikarenakan itu adalah onta utusan Allah, makanya ia pasti menang.


Kali ini Nabi Saw berusaha ingin mengajak mereka untuk tidak berpikir salah seperti itu. Tapi mereka tetap saja bersikeras dengan pendapatnya, sehingga suatu hari ada seseorang dengan ontanya menemui beliau dan berkata, "Saya ingin berlomba menunggang onta denganmu."

Nabi Saw menerima tantangan itu dan perlombaanpun disiapkan. Kali ini berbeda dengan yang diharapkan para sahabatnya, onta Nabi Saw kalah dan orang itu yang menjadi pemenangnya. Para sahabat beliau tampak sedih, tapi Nabi Saw berkata kepada mereka, "Jangan khawatir, ontaku selalu lebih cepat dari onta-onta yang lain. Tapi kali ini ontaku merasa sombong dan congkak dan akhirnya kalah. Ini sudah merupakan Sunnatullah bahwa bila ada yang merasa lebih dari yang lain, maka orang yang sombong akan kalah."

Dengan kejadian dan penjelasan Nabi Saw, para sahabatnya itu baru memahami kesalahan mereka selama ini.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...