SEKILAS RIWAYAT IMAM KE-11 SYIAH IMAM HASAN AL-ASKARI DENGAN PUTRI KEKAISARAN IMPERIUM ROMAWI MALIKHA NARGIS IBUNDA IMAM MAHDI
Imperium Romawi Timur atau kekaisaran Bizantium telah menjadikan Konstantinopel sebagai ibu kota dan pusat pemerintahannya. Pada tahun 312 M, Kaisar Konstantinus I telah menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi Negara. Konstatinopel (sekarang bernama Istanbul di Turki) sebagai pusat kota kekaisaran Romawi Timur, selama kurang lebih sampai sepuluh abad, dari segi kebesaran, kemegahan dan keindahan, di antara kota-kota besar di dunia saat itu, menempati urutan pertama. Konstatinopel juga dianggap sebagai pusat politik, pusat budaya dan pusat keagamaan bagi agama Kristen. Dalam sejarah kekaisaran Romawi Timur, telah terjadi berbagai peperangan, di antaranya peperangan dengan Kekaisaran Sasania Persia yang saat itu juga merupakan imperium dan kekuatan besar di dunia. Pada awal kemunculan Islam, Rasulullah saw mengirimkan surat yang berisikan ajakan untuk masuk Islam, namun surat tersebut dtolak mentah-mentah. Ini menjadi awal percikan peperangan berkelanjutan antara pasukan Romawi dan pasukan Islam. Pada masa Rasulullah saw terjadi perang Tabuk dan perang Mu’tah, dan peperangan antara pasukan Romawi dan pasukan Islam ini masih terus berkelanjutan hingga pada masa Bani Abbasiyyah, dan bahkan setelahnya.
Di antara peperangan yang terjadi antara tahun 240 HQ-253 HQ, hiduplah Putri Malika yang merupakan keturunan dari kaisar Romawi Timur, Kaisar Mikhael III (228 HQ-253 HQ) dan ia tinggal di Konstatinopel. Ayah putri Malika bernama Yusya’[1]. Yusya’ menikah dengan perempuan mulia yang merupakan keturunan dari Syam’un, washi Nabi Isa as yang juga dikenal dengan nama Petrus[2].
Oleh karena itu, putri Malika dari pihak ayah merupakan seorang putri keturunan dari kekaisaran Romawi Timur, sedangkan dari pihak ibu merupakan keturunan dari Washi Nabi Isa as, Syam’un atau Petrus. Putri Malika juga dikenal dengan nama Susan dan Raihanah[3].
Pendidikan dan Perjodohan Sang Putri
Putri Malika menghabiskan masa kanak-kanaknya hingga remaja di istana. Ibundanya sering menceritakan kisah-kisah Syam’un, Sang Washi Nabi Isa as untuknya. Hal tersebut terekam dalam pikiran dan hatinya yang menjadi kenangan indah dalam hidupnya dan menjadikannya seorang pribadi yang religius yang sangat mencintai Tuhan dan para pecinta Tuhan.
Kaisar memberikan perhatian khusus dan menunjukkan kecintaan khusus kepada Putri Malika. Karena itu, para pembesar istana menitipkan pendidikan dan pengajaran akhlak serta etika sosial kepada guru-guru terbaik di Konstatinopel. Mereka juga menetapkan pelajaran Bahasa Romawi dan Bahasa Arab, hingga Putri Malika dapat menguasai Bahasa Arab dengan baik[4].
Ketika Putri Malika berusia tiga belas tahun, kaisar menyarankan agar Putri Malika dijodohkan dengan pangeran lainnya dari cucunya. Karena hal tersebut merupakan keputusan Kaisar maka semua harus menerimanya. Tidak lama setelah itu, maka ditentukan hari pernikahan Putri Malika. Semua hal telah dipersiapkan dengan baik termasuk undangan untuk para tamu. Hari pernikahan pun tiba, semua orang duduk di tempat yang sudah disediakan. 300 orang tamu undangan dari kalangan keturunan Hawwari (dari keturunan 12 murid Nabi Isa as), para Rahib dan Pendeta. 700 orang berasal dari kalangan para pembesar Romawi, dan 400 orang berasal dari para panglima, para jendral dan para ketua kabilah. Istana dihiasi dengan gambar-gambar salib, gambar-gambar religius dan dekorasi indah[5].
Halaman istana dan tiang-tiangnya pun didekor dengan indah. Setelah kaisar tiba, prosesi akad pernikahan pun akan segera dimulai, kedua mempelai telah siap, Uskup Agung pun telah siap untuk membacakan akad pernikahan mereka. Tiba-tiba, perisiwa menakutkan terjadi dalam istana seperti gempa yang menggoncang istana, tiang-tiang salib berjatuhan, dekorasi menjadi berantakan, tahta untuk kedua mempelai pun patah rusak, mempelai laki-laki terjatuh pingsan, wajah semua orang pucat pasi ketakutan. Wajah Uskup Agung pun tampak pucat pasi. Setelah suasana kembali tenang, Uskup Agung menghadap ke arah Kaisar seraya berkata, “Tuanku, maafkan kami tidak dapat melanjutkan pertalian jodoh ini. Pertalian jodoh ini akan membawa kebinasaan agama Kristen dan Kekaisaran Romawi.” Kaisar pun setuju dengan pendapatnya dan menganggap hal itu sebagai firasat buruk.
Namun, tidak lama kemudian Kaisar memerintahkan untuk kembali menjodohkan Putri Malika dengan pangeran lainnya. Atas perintah Kaisar Istana kembali didekor dengan indah, tiang-tiang salib kembali dipersiapkan juga para tamu kembali diundang. Prosesi pernikahan Putri Malika akan dimulai, Kaisar sudah hadir di Majlis, Uskup Agung pun telah memimpin acara. Namun, tiba-tiba seperti sebelumnya, peristiwa menakutkan kembali terjadi. Istana kembali digoncang, tiang-tiang salib berjatuhan, dekorasi pun rusak, tahta untuk kedua mempelai patah, mempelai pria kembali terjatuh dan pingsan. Semua orang ketakutan lari berhamburan meninggalkan istana. Kaisar sangat sedih dan terpukul menyaksikan kedua peristiwa yang terjadi saat prosesi pernikahan cucunya tercintanya. Beliau pun pergi meninggalkan majlis menuju istananya dalam keadaan sangat sedih[6]. Putri Malika pun sangat sedih dan terpukul mengalami kedua peristiwa tersebut dan terus memikirkannya.
Mimpi Sang Putri
Peristiwa dua prosesi akad pernikahannya yang batal, juga kejadian yang menakutkan pada saat itu, senantiasa mengganggu pikiran Putri Malika dan tak henti memikirkannya. Dalam benaknya selalu bertanya-tanya, “Kenapa hal itu terjadi padanya? Apa rahasia di balik semua kejadian itu?” Pada suatu hari, begitu dalam beliau berpikir hingga larut dalam pikirannya dan tertidur pulas. Dalam mimpinya beliau melihat suasana dalam istana Kekaisaran Romawi namun orang-orang yang hadir bukanlah orang-orang istana yang dikenalnya. Beliau melihat Nabi Isa as bersama Washinya, Syamun (Petrus) beserta Hawwarri (12 Rasul/murid khusus Nabi Isa as) lainnya. Di tempat yang Kaisar memerintahkan agar membuat singgasana untuk mempelai, terdapat sebuah mimbar, dan orang-orang di sampingnya tengah berdiri menanti kedatangan seseorang.
Tiba-tiba, masuklah sosok agung, Nabi Muhamad saw beserta mempelai pria dan keturunannya ke dalam istana. Kemudian Nabi Isa as berdiri menyambutnya. Setelah semuanya duduk, kemudian Nabi Muhamad saw menghadap ke arah Nabi Isa as seraya berkata, “Wahai Ruhullah, Aku datang untuk melamar Malika, putri Syam’un, Washimu untuk dinikahkan dengan putraku ini (seraya beliau melihat kea rah Hasan al-Askari).”
Nabi Isa as menoleh ke arah Syam’un seraya berkata, “Kemuliaan dan keaguangan telah menghampirimu. Terimalah pertalian jodoh keturunanmu dengan keturunan Muhamad saw.” Syam’un pun langsung menyetujuinya.
Setelah diterima lamarannya oleh Syam’un, Nabi Muhamad saw langsung naik ke atas mimbar dan menyampaikan khutbah pernikahan Hasan al-Askari dan Putri Malka di hadapan para hadirin.
Putri Malika terbangun dan kembali mengingat mimpi yang dialaminya. Mimpi yang aneh yang tak bisa hilang dari pikirannya. Pertalian jodohnya dengan Hasan al-Askari dari keturunan Nabi Muhamad saw terus membuatnya hanyut dalam pikiran adan rasa bahagia muncul dalam dirinya.
Putri Malika tidak pernah menceritakan mimpinya kepada ayahnya juga Kaisar, dan berusaha untuk menyembunyikannya. Namun dengan sebab yang tidak diketahui perlahan-lahan beliau tidak mau makan dan minum hingga akhirnya tubuhnya menjadi lemah dan sakit. Ayah Sang Putri dan Kaisar sangat bersedih melihat kondisinya. Untuk kesembuhan Sang Putri, semua tabib terbaik didatangkan untuk mengobatinya, namun tidak ada yang berhasil. Akhirnya Kaisar menjenguknya dan berkata, “Wahai cahaya mataku, apakah engkau punya keinginan agar aku dapat memenuhinya?”
“Kakek, aku melihat semua sarana pengobatan tertutup untukku. Aku tak bisa sembuh. jika engkau berhenti menyiksa tahanan dan tawanan muslim, membuka rantai kaki dan borgol tangan mereka, engkau pun menyiapkan kebebasan mereka, aku berharap Nabi Isa dan Bunda Maryam akan memberikan kesembuhan kepadaku.” Jawab Sang Putri lembut.
Kaisar pun demi kesembuhan cucu tercintanya berusaha memenuhi semua permohonannya, memberikan perintah untuk berhenti menyiksa para tawanan muslim dan membebaskannya. Putri Malika sangat senang saat mengetahui kebijakan-kebijakan positif yang diambil Kaisar, kakeknya. Kondisinya pun perlahan membaik.
Tak lama setelah mimpi pertama, Putri Malika kembali bermimpi. Sayidah Fathimah as mendatangi Putri Malika, bersamanya Sayidah Maryam binti Imron yang diiringi ribuan perempuan surga. Sayidah Maryam melihat ke arah Putri Malika memperkenalkan Sayidah Fathimah seraya berkata, “Ini penghulu perempuan, ibu dari suamimu, Abu Muhamad (Hasan).”
Setelah mendengar hal itu kemudian Putri Malika menatap Sayidah Fathimah dan menangis, sembari mengadu kepada beliau, “Kenapa Abu Muhamad tidak mau bertemu denganku dan tidak datang menemuiku?”
“Anakku, Abu Muhamad tidak akan menemuimu selama engkau masih menyekutukan Allah (konsep Trinitas dalam agama Kristen). Saudariku, Maryam juga berlepas tangan dari keyakinan seperti itu. Jika engkau ingin meraih keridhoan Tuhan, keridhoan Isa, keridhoan Maryam, dan juga berharap bertemu dengan Abu Muhamad, maka ucapkanlah, “ Sesungguhnya aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhamad utusan Allah.”
Setelah Putri Malika mungucapkan syahadat, kemudian Sayidah Fathimah as memeluknya seraya berkata, “Sekarang tunggulah pertemuan dengan Abu Muhamad, aku akan mengirimnya kepadamu!”
Rasa senang dan bahagia Putri Malika karena kabar gembira dalam mimpinya membuatnya terbangun, seraya berguman, “Betapa indah dan bahagianya pertemuan dengan Abu Muhamad, aku sangat merindukan pertemuan ini.”
Tiga hari kemudian, penantian Putri Malika pun berakhir. Pada mimpi ketiganya, Putri Malika bertemu dengan Abu Muhamad, yang membuatnya sangat bahagia[7].
Dalam sebuah mimpinya kembali, Abu Muhamad (Imam Hasan al-Askari) memberitahukan tentang rencana Kaisar dan arahan-arahan yang harus dilakukan oleh Putri Malika, “Kakekmu pada hari tersebut akan melakukan penyerangan besar-besaran kepada pasukan Islam. Pada saat perang, kenakanlah baju pelayan istana dan bergabunglah dengan pasukan Romawi, sedemikian rupa buatlah dirimu menjadi seorang tawanan pasukan Islam.”
Setelah bangun, Putri Malika telah mendapat info dari mimpinya tersebut tentang penyerangan dan peperangan yang akan terjadi antara Pasukan Romawi dan pasukan Islam. Oleh karena itu, beliau mempersiapkan semua rencana yang akan dilakukan sesuai arahan Imam Hasan al-Askari. Untuk mencapai tujuannya Sang Putri harus menangung semua derita dan kesulitan[8].
Banyak terjadi peperangan antara pasukan Romawi Timur dan pasukan Islam. Misalnya antara tahun 239-253 HQ terjadi beberapa peperangan besar yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan harta dari kedua pasukan[9]. Peperangan tersebut terjadi pada masa khalifah Mutawakkil, Muntasir, Musta’in dan Mu’taz Dinasti Abbasi yang berbarengan dengan kekuasaan Kaisar Mikhael III Romawi Timur[10]
Putri Malika dengan arahan Imam Hasan al-Askari dalam mimpinya, ikut dalam salah satu peperangan tersebut hingga akhirnya menjadi tawanan bersama para pelayan dan tentara Romawai lainnya. Usai peperangan, Ghanimah atau harta rampasan perang pun dibagikan di antara pasukan Islam. Tanpa memberitahukan identitas dirinya, Putri Malika pun jatuh ke tangan seorang muslim tua. Orang tua itu pun kemudian menanyakan namanya. Karena tidak ingin diketahui identitasnya, Sang Putri pun memperkenalkan dirinya dengan nama ‘Nargis’. Pasukan Islam kemudian membawa bagiannya masing-masing hingga mendekati kota Bagdad dan perahu-perahu pembawa para budak pun berhenti di tepi jembatan sungat Furat. Sebagian membawa sendiri budak-budak hasil tawanannya, sebagain dititipkan untuk dijual di tempat penjualan budak. Para pembeli budak sudah berkumpul menunggu di tepi sungai Furat. Sementara Sayidah Nargis dengan menutupi wajahnya tengah menunggu utusan dari Samara yang bertanggungjawab untuk membeli dan membawanya ke Samara[11]
Pada masa Mu’tashim Abbasi pusat pemerintahan dipindahkan dari Bagdad ke Samara, dan pada tahun 235 HQ Imam Ali al-Hadi as, dengan tekanan penguasa dipaksa untuk tinggal di Samara. Kota Samara juga menjadi markaz militer, semua gerak-gerik Imam Ali al-Hadi dipantau ketat oleh intel.
Imam Ali al-Hadi as bertetangga dengan Basyar bin Sulaiman yang merupakan keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari sahabat Nabi saw. Basyar juga merupakan pecinta Imam Ali al-Hadi as dan kepercayaannya beliau. Ia bekerja sebagai penjual-beli budak, ia dipanggil oleh Imam Ali al-Hadi as bertugas untuk membeli Putri Malika yang saat itu berada di tempat penjualan budak.
Basyar menceritakan bahwa pada saat itu Imam as menulis surat dengan bahasa Romawi dan memberikannya stempel. Beliau menyerahkan surat itu sembari memberikan tempat uang yang berisikan 220 Dinar seraya berkata, “Ambilah surat dan uang ini, lalu berangkatlah ke Bagdad! Datanglah pada pagi hari ke tepian sungai Furat, pada saat itu akan terlihat perahu-perahu menepi di tepi Sungai Furat dan para budak akan diturunkan di sana… Diamlah di tempat yang tidak jauh dari sana, kemudian pantaulah seorang penjual budak yang bernama Umar bin Yazid, perhatikan ia dalam penjualannya, sampai ia menawarkan seorang budak perempuan yang mengenakan dua pakain sutra. Budak perempuan tersebut selalu berusaha menjauhkan dirinya dari para pembeli dan melarang mereka untuk memandangnya…”
Imam as menjelaskan semua yang akan terjadi di arena penjualan budak tersebut, beliau juga memberikan petunjuk dan arahan untuk membawa Putri Malika ke Samara, dan harus bergerak cepat. Basyar bin Sulaiman mendengarkan semua arahan dan petunjuk Imam as dengan seksama, kemudian dia pun memulai perjalanannya menuju Bagdad.
Sesampainya di dekat sungai Furat, ia menyaksikan semua kejadian yang telah diceritakan Imam Ali al-Hadi as kepadanya. Ia pun menemukan Umar bin Yazid, penjual budak dan budak perempuan (Putri Malika) yang ciri-cirinya telah disebutkan oleh Imam as.
Kharismatik dan kesucian Sayidah Nargis menarik perhatian para pembeli, namun Sayidah Nargis menolak mereka dengan menutup wajahnya. Umar bin Yazid dengan emosi dan kasar memintanya untuk membuka penutup wajahnya. Namun Sayidah Nargis menolaknya dan memohon kepadanya agar mengizinkannya untuk tidak membuka penutup wajahnya. Ia pun meminta agar memberikan waktu untuk menunggu pembeli yang diinginkannya. Umar bin Yazid pun akhirnya dengan berat hati menyetujuinya.
Salah seorang pembeli tertarik dengan kharisma Sayidah Nargis dan menawarnya membeli dengan harga tertingi, 300 Dinar.
Sayidah Nargis menoleh ke arah pembeli dan berkata dengan Bahasa Arab, “Jika pun engkau seperti Nabi Sulaiman dan memiliki kemegahan sepertinya, aku tidak akan tertarik denganmu, lihatlah hartamu, jangan kau keluarkan untuk hal ini!”
Penjual budak kecewa dengan jawaban Sayidah Nargis dan berkata, “Wahai gadis, apa solusimu, aku tetap harus menjualmu?”
“Sabarlah dan janganlah tergesa-gesa, aku harus memilih pembeli yang akan membuat hatiku tenang. Pembeli yang aku yakin akan keamanahannya dan agamanya.” Jawab Sayidah Nargis.
Pada saat terjadi perdebatan antara Sayidah Nargis dan Umar bin Yazid, Basyar bin Sulaiman pun berjalan mendekati Umar bin Yazid seraya berkata, “Aku membawa surat dari seorang pembesar yang ditulis dengan bahasa Romawi. Dalam surat tersebut ia menjelaskan tentang kemuliaan, kedermawanan, keutamaan dan keamanahannya dalam menepati anji. Ambilah surat ini, berikan kepadanya agar ia mengetahui akhlak dan kemulian penulisnya. Jika ia menerimanya, maka aku akan menjadi wakil dari pemilik surat ini untuk membelinya.”
Umar bin Yazid tidak punya lagi cara lain untuk dapat menjualnya kecuali ia harus menyetujuinya. Kemudian ia pun menyerahkan surat kepada Sayidah Nargis. Sayidah Nargis kemudian membuka dan membaca isi surat tersebut, beliau menangis bahagia saat membacanya, karena penantiannya akan berakhir. “Juallah aku ke pemilik surat ini!” pinta Sayidah Nargis.
Umar bin Yazid pun akhirnya menjual budaknya ke Basyar bin Sulaiman dengan harga yang telah ditentukan oleh Imam Ali al-Hadi as, 220 Dinar. Sayidah Nargis nampak sangat bahagia, kemudian beliau berangkat menuju Bagdad bersama utusan Imam Ali al-Hadi as tersebut. selama perjalanan Basyar bin Sulaiman menyaksikan Sayidah Nargis berkali-kali mengeluarkan surat Imam Ali al-Hadi as, menciumnya dan mengusap-ngusapkan ke tubuhnya untuk bertabarruk. Basyar bin Sulaiman heran menyaksikan hal tersebut dan berkata, “Aku heran, bagaimana engkau berkali-kali mencium surat ini padahal engkau tidak mengenal pemiliknya?”
“Wahai yang tidak mengenal kedudukan Kuturunan para nabi, dengarkan baik-baik, perhatikan kata-kataku, Aku adalah Putri Malika, putri Yusya’ yang merupakan putra Kaisar Romawi Timur… “ jawabnya sembari menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di istana Romawi dan mimpi-mimpi benar yang dialaminya hingga akhirnya menjadi tawanan dan dijual di pasar budak.
Setelah mendengar semua cerita Sayidah Nargis, pandangan dan pemikiran utusan Imam as ini pun berubah. Ia sekarang dapat memahami tentang rahasia misi pentingnya ini. Ia memberikan perhatian lebih dan berusaha keras dalam menjaga amanahnya. Sampainya di kota Samara, ia pun bergegas cepat untuk menyampaikan amanat tersebut kepada pemiliknya, Imam Ali al-hadi as.[12]
Imam Ali al-Hadi as menyambut kedatangan Sayidah Nargis dengan hangat. Kemudian beliau berdialog dengannya.
“Bagaimana Allah menunjukkan kepadamu keagungan Islam dan kemuliaan Ahlulbait Nabi Muhamad saw?” tanya Imam as.
“Wahai putra Rasul, bagaimana aku dapat menceritakannnya sedangkan engkau lebih tahu dariku.” Jawab Sayidah Nargis.
“Aku ingin berbuat baik kepadamu, pilihlah yang engkau sukai; 10.000 Dirham ataukah kabar gembira yang akan memberikan kemulian abadi kepadamu?” tanya Imam as lanjutnya.
“Aku memilih kabar gembira.” Jawab Sayidah Nargis.
“Aku memberikan kabar gembira kepadamu bahwa engkau akan memiliki seorang putra pemilik Timur dan Barat seluruh dunia. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya bumi dipenuhi dengan kezaliman.” Lanjut Imam as.
“Siapakah ayah anak itu?” tanya Sayidah Nargis.
“Pada mimpi pertamamu, setelah peristiwa di istana, dari siapa engkau telah dilamar?” ucap Imam Ali al-Hadi as balik bertanya.
“Dilamar dari Nabi Isa dan washinya, Syam’un.” Jawab Sayidah Nargis.
“Nabi Isa dan Syam’un menyetujuimu untuk dinikahkan dengan siapa?” lanjut Imam as.
“Dengan putramu, Abu Muhamad.” Jawabnya.
“Apakah engkau telah mengenalnya?” tanya Imam as.
“Sejak pada suatu malam aku memeluk Islam melalui ibundanya, Sayidah Fathimah, aku mengenalnya dan ia mendatangiku dalam mimpi.” Jawabnya.
Setelah dialog, kemudian Imam Ali al-Hadi as menyuruh pelayannya untuk memanggil Sayidah Hakimah, saudarinya. Tidak lama kemudian Sayidah Hakimah datang menghadap saudaranya.
“Saudariku, perempuan ini adalah orang yang telah aku ceritakan kepadamu.” Ucap Imam Ali al-Hadi kepada Sayidah Hakimah.
Sayidah Hakimah kemudian memeluknya dengan penuh rindu dan bahagia, ia tak melepaskan pelukannya dengan cepat, telah beberapa lama ia menanti pertemuan ini. Imam Ali al-Hadi as pun kemudian memperkenalkan Sayidah Hakimah kepada Sayidah Nargis. Imam Ali al-Hadi as meminta Sayidah Hakimah untuk membimbing Sayidah Nargis.
“Saudariku, ajaklah ia ke rumahmu, ajarkan Islam kepadanya, ajarkan kewajiban, sunah dan adab Islam kepadanya, karena ia akan menjadi istri Abu Muhamad dan Ibu al-Mahdi.”[13]
Sayidah Hakimah wanita yang sangat agung, semua kemuliaan, keutamaan, ibadah, ketakwaan, keilmuan, hikmah berkumpul padanya. Beliau merupakan penjaga rahasia keimamahan[14].
Imam Ali al-Hadi as memberikan tanggungjawab kepada Sayidah Hakimah untuk membimbing dan mengajarkan ajaran Islam kepada Sayidah Nargis. Di samping mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam, Sayidah Nargis juga mengenal tentang keagungan dan kemuliaan Abu Muhamad dari Sayidah Hakimah.
Imam Ali al-Hadi hidup di bawah tekanan dan kontrol ketat penguasa. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan putranya dan keberlangsungkan garis keimamahan, beliau sangat jarang menunjukkan putranya, Abu Muhamad di hadapan umum.
Sejak Sayidah Nargis tinggal di Samara, beliau tinggal di rumah Sayidah Hakimah dan hidup di bawah bimbingannya. Namun, hingga saat itu Sayidah Nargis belum pernah bertemu dengan Abu Muhamad, putra Imam Ali al-Hadi as yang telah dikenalnya dalam mimpi. Hingga suatu saat Abu Muhamad datang ke rumah bibinya. Tak sengaja pandangannya jatuh ke Sayidah Nargis yang tinggal di rumah bibinya, beliau tampak takjub dan kemudian memalingkan pandangannya. Sayidah Hakimah menangkap suasana tersebut dan memiliki alasan untuk mempercepat menikahkan Sayidah Nargis dengan kemenakannya. Apalagi Sayidah Hakimah melihat bahwa Sayidah Nargis sudah menguasai ajaran Islam dengan bimbingannya dan siap untuk menjadi istri kemenakannya.
“Tuanku, apakah engkau merasa cocok dengannya?” tanya Sayidah Hakimah
“Kami pengganti Nabi saw tidak memandang seseorang karena syahwat, namun karena rasa takjub, takjub atas anak yang akan lahir dari perempuan mulia ini.” Jawab Abu Muhamad.”[15]
“Tuanku, apakah aku harus membawa dia untuk menikah denganmu?” tanya Sayidah Hakimah.
“Dalam hal ini engkau harus meminta ijin kepada ayahku.” Jawab Abu Muhamad.
Setelah selesai bicara dengan bibinya, kemudian Abu Muhamad pun pamit pulang.
Sayidah Hakimah bersiap-siap untuk pergi menghadap Imam Ali al-Hadi as dalam rangka membicarakan pernikahan Sayidah Nargis dan kemenakannya. Setibanya di rumah Imam Ali al-Hadi as beliau mengucapkan salam dan memulai perbincangannya. Sebelum mulai bicara, Imam Ali al-Hadi as berkata, “Hakimah, bawalah Nargis untuk dinikahkan dengan Abu Muhamad, putraku!”
“Tuanku, untuk urusan ini juga aku datang menghadapmu, ingin meminta ijin kepadamu.” Jawab Sayidah Hakimah.
“Wahai orang yang diberkahi, sesungguhnya Allah mencintaimu, engkau turut mendapatkan pahala ini dan Allah menetapkan kebaikan untukmu.” Lanjut Imam as.
Sayidah Hakimah dengan sangat bahagia keluar dari rumah Imam Ali al-Hadi as dan pamit pulang. Setibanya di rumahnya, beliau menyampaikan kabar baik tersebut kepada Sayidah Nargis. Sayidah Nargis tak mampu menyembunyikan kebahagiannya. Kemudian Sayidah Hakimah menyiapkan Sayidah Nargis untuk melakukan prosesi pernikahan dengan kemenakannya. Prosesi pernikahan Sayidah Nargis dan Imam Hasan al-Askari dilakukan dengan sangat sederhana di rumah Sayidah Hakimah[16]. Kemudian setelah itu beliau berdua tinggal di rumah Imam Ali al-Hadi as dan memulai kehidupan rumah tangganya di rumah yang penuh berkah tersebut[17].
Sayidah Hakimah berkata, “Setelah pernikahan Nargis, tiap kali aku datang menemuinya, maka ia kan mencium dahiku dan aku pun akan mencium kepalanya. Ia juga mencium tanganku… ia akan berusaha membukakan alas kakiku, namun aku tidak mengizinkannya untuk melakukan hal itu. Aku akan mencium tangannya karena kedudukan dan kemuliaan yang Allah berikan kepadanya. Aku sangat menghormati dan memuliakannya[18].”
Kehidupan rumah tangga Sayidah Nargis dan Imam Hasan al-Askari sangatlah indah dan romantis meskipun banyak diterpa kesulitan karena kondisi yang mencekam. Imam Hasan al-Askari as penerus Imam Ali al-Hadi as yang syahid karena diracuni. Imam Hasan al-Askari as menjadi imam pada usia 22 tahun yang akan membimbing umat setelah ayahnya. Sayidah Nargis pun sebagai istri berusaha mempersiapkan dirinya untuk berkorban dan menerima semua bahaya dan ancaman yang akan menimpa suaminya.
Dimulai dari awal masa keimamahannya, penguasa memerintahkan untuk mengontrol dan mengawasi gerak-gerik Imam as dengan ketat. Imam Hasan al-Askari pun disuruh datang ke istana untuk melaporkan diri pada tiap hari Senin dan Kamis. Tidak cukup sampai di situ, bahkan kemudian surat perintah untuk menahan dan memenjarakan beliau pun dikeluarkan oleh penguasa.
Sayidah Nargis menghadapi semua kesulitan ini dengan ketangguhan dan kesabaran. Pada masa Imam as dipenjara, beliau berusaha menjaga semua rahasia Imam Hasan al-Askari as dengan baik. Pada masa-masa sulit tersebut, Sayidah Hakimah sering datang menemui Sayidah Nargis untuk menghibur dan berusaha sedikit meringankan beban berat yang ditanggung istri kemenakannya itu.
Pada suatu hari, Isa bin Shubaih yang sepenjara dengan Imam Ali al-Hadi as, dan juga merupakan pengikut beliau, berbincang-bincang dengan beliau.
“Tuanku, apakah engkau memiliki seorang putra?” tanya Isa bin Shubaih.
“Sumpah demi Tuhan, tidak akan lama lagi akan dianugrahkan seorang anak kepadaku yang akan memenuhi dunia dengan keadilan. Namun, sekarang aku belum punya anak.” Jawab Imam Ali al-Hadi as.
Imam Hasan al-Askari berusaha menyembunyikan berita seorang putra yang akan terlahir darinya di hadapan para musuh, dan membiarkan mereka dalam kebingungan. Namun, beliau memberikan kabar kelahiran putranya yang akan menjadi imam dan pengganti setelahnya kepada sebagian pengikut setianya. Pada suatu hari, Muhamad bin Abdul Jabbar datang menemui Imam Hasan al-Askari as dan berkata, “Wahai putra Rasul, jiwa kami sebagai tebusannya, aku ingin mengetahui imam dan pemimpin setelahmu?”
“Imam dan pengganti setelahku adalah putraku, nama dan gelar(kunyah)nya seperti Rasulullah. Ia adalah penutup hujjah Allah dan khalifah terakhir.” Jawab Imam Hasan al-Askari as.
“Siapakah ibunya, wahai Putra Rasul?” tanya Muhamad bin Abdul Jabbar.
“Ia adalah putri dari putra kaisar Romawi. Putraku akan lahir ke dunia, kemudian ia akan mengalami kegaiban yang panjang sampai tiba waktu kemunculannya.” Jawab Imam Hasan al-Askari as.
Keluarga Imam Hasan al-Askari as dan Sayidah Nargis sangat mengenal kedudukan dan keagungan mereka berdua. Dari keduanya akan lahir sosok yang dijanjikan. Mereka sangat menantikan kelahiran sosok yang dijanjikan tersebut.
Disebutkan dalam menggambarkan kondisi Sayidah Hakimah bahwa ia datang menghadap Imam Hasan al-Askari as, berkali-kali ia mendoakannya dan mohon agar Allah swt segera menganugrahkan seorang anak kepadanya. Seorang anak tersebut tidak akan terlahir kecuali dari Sayidah Nargis. Dalam Sahifah Fathimah disebutkan tentang nama ibu dari al-Mahdi afs.
“Ummuhu jaariyah, ismuha Narjis.”
“Ibunya seorang budak, namanya adalah Nargis.”
Malam 15 Sya’ban, Kelahiran Sang Juru Selamat; Putra Sayidah Nargis
Pada tanggal 14 Sya’ban 255, Sayidah Hakimah seperti biasa datang menemui Imam Hasan al-Askari as dan Sayidah Nargis yang disambut hangat oleh mereka berdua. Sayidah Nargis bangkit mendekati Sayidah Hakimah hendak membukakan alas kakinya. Namun Sayidah Hakimah menolaknya dengan sopan seraya berkata, “Engkau adalah junjunganku, sumpah demi Allah aku tidak akan membiarkan engkau membukakan alas kakiku dan melayaniku seperti ini. Namun aku yang harus melayanimu.”
Mendekati Magrib, Sayidah Hakimah pamit pulang. Namun Imam Hasan al-Askari menahannya dan memintanya untuk tinggal.
“Bibiku, tinggallah di sini, kita buka puasa bersama. Ini pertengahan malam bulan Sya’ban, tidak lama lagi akan lahir sosok yang dijanjikan…”
“Tuanku, siapa yang akan melahirkan? Aku tidak melihat tanda-tanda kehamilan pada Nargis?” tanya Sayidah Hakimah.
“Dari Nargis, tidak dari selainnya.” Jawab Imam as singkat.
Sayidah Hakimah kemudian pergi mendekati Nargis, mendekati tubuhnya dan melihat tanda-tanda kehamilan padanya. Namun ia tidak melihat tanda-tandanya. Sayidah Hakimah kembali menghadap Imam Hasan al-Askari as. Imam as tersenyum seraya berkata, “Ketika waktu fajar tiba, maka akan menjadi jelas bagimu. Karena kehamilannya seperti kehamilan ibu Nabi Musa as yang tidak terlihat tanda-tanda kehamilannya. Tidak ada yang mengetahuinya sampai kelahirannya karena Firaun akan menyobek perut perempuan yang hamil untuk mencari Nabi Musa as. Anakku juga seperti Nabi Musa as.”
Sayidah Hakimah kembali mendekati Sayidah Nargis dan menanyakan kondisinya.
“Bibiku yang mulia, aku tidak merasakan adanya janin dalam rahimku.” Ucap Sayidah Nargis.
“Allah akan menganugrahkan seorang anak kepadamu yang akan lahir malam ini.” Timpal Sayidah Hakimah.
Sayidah Nargis sangat bahagia mendengarnya, dan tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya.
Dalam menceritakan peristiwa malam pertengahan Sya’ban Sayidah Hakimah berkata, “Setelah mendirikan solat dan berbuka, kemudian aku tidur. Tengah malam aku terbangun untuk melakukan solat Tahajud. Setelah solat Tahajud, aku melihat ke arah Nargis yang tengah tertidur pulas tubuhnya tidak bergerak. Aku tidak melihat tanda kehamilan padanya. Kemudian aku duduk lagi dan melanjutkan membaca doa. Nargis pun terbangun untuk melakukan solat Tahajud. Setelah solat, Nargis kembali tertidur. Aku mulai ragu atas ucapan kemenakanku. Namun, tiba-tiba aku mendengar suaranya dan berkata, “Bibiku, jangan tergesa-gesa, sebentar lagi hal itu akan terwujud.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Sayidah Hakimah berkata, “Aku malu pada Imam Hasan al-Askari, kenapa harus meragukannya? Dalam keadaan malu aku pun masuk ke dalam kamar.”
Aku kembali duduk dan membaca surah as-Sajdah dan surah Yasin. Tiba-tiba Nargis terbangun dalam keadaan gemetar. Aku langsung mendekatinya dan mendekapnya sembari membaca doa. “Apakah engkau merasakan sakit?” tanyaku.
“Iya, Bibiku.” Jawabnya.
Aku berkata, “Yakinlah dan bertahanlah, ini adalah sebagaimana yang telah aku katakan kepadamu.” Kemudian aku memanggil Imam Hasan al-Askari, beliau pun membacakan surah al-Ikhlas, al-Qodar, dan ayat Kursi untuk Nargis. Aku pun membaca surah-surah tersebut atas perintahnya. Janin yang ada di Rahim Nargis pun ikut membacanya, ia pun mengucapkan salam kepadaku, dan aku gemetar saat mendengar suaranya.
Imam Hasan al-Askari as berkata, “Jangan heran dengan keajaiban Allah, sesungguhnya Allah memberikan kemampuan kepada kami pada saat kecil dapat menyampaikan hikmah dan saat dewasa menjadi hujjah-Nya di muka bumi.”
Sayidah Hakimah kembali menjelaskan, “Pada saat kondisi kritis, Nargis memegang tanganku dengan sangat erat, berteriak dan mengucapkan syahadat.”
Berkaitan dengan proses kelahiran Imam Mahdi afs terdapat beberapa riwayat yang berbeda, meskipun secara umum kandungannya sama yang dinukil dari Sayidah Hakimah, di antaranya:
“Tiba-tiba, saat itu aku dan Nargis menjadi lemas, pada saat itu aku melihat bayi terlahir.”
“Tiba-tiba, Nargis hilang dari pandanganku seolah-olah ada tirai yang menghalanginya. Aku pun berlari menuju Imam Hasan al-Askari dan memanggilnya.
“Bibiku, kembalilah ke tempatmu, engkau akan melihatnya kembali.” Ucap Imam Hasan al-Askari.
“Aku melihat cahaya yang menyilaukan dari bayi Nargis, bayi tersebut menghadap kiblat dan bersujud.”
Imam Hasan al-Askari as berkata, “Saat ia terlahir dari Rahim ibunya langsung menghadap kiblat dan bersujud, kemudian duduk dan mengangkat jari-jarinya ke arah langit dan bersin seraya mengucapkan,
“Alhamdulillah Robbil alamin, shollallahu ‘ala Muhamad wa alihi ‘abdan daakhiran ghaira mustangkifin wa la mustakbirin.”
Nasim, pelayan Imam Hasan al-Askari as pun menyinggung tentang bersin Imam Mahdi afs saat lahir.
Usman bin Said (salah satu wakil Imam Mahdi afs pada masa ‘Ghaib Shugra’) menceritakan bahwa pada saat itu menyaksikan cahaya berasal dari rumah Imam Hasan al-Askari as yang membentang hingga ke langit.
Imam Hasan al-Askari as memanggil bibinya, “Bibiku, bawalah kemari bayi itu!”
Sayidah Hakimah pun mengambil bayi tersebut dan menggendongnya. Dilihatnya bayi sudah bersih dan suci. Bayi pun dibedong dengan kain dan diserahkan kepada Imam Hasan al-Askari as. Imam as meletakkan bayinya di atas telapak tangan kiri dan meletakkan telapak tangan kanannya di atas perutnya. Beliau meletakkan lidahnya di mulutnya, mengusap-ngusap punggung, telinga dan bagian tubuh lainnya. Kemudian mengumandangkan adzan di telinganya dan setelahnya mengusap kepalanya seraya berkata, “Putraku, berbicaralah!”
Bayi itu pun berbicara,
“Asyhadu an la ilaha illah, wa asyhadu anna Muhamad Rasulullah, wa anna ‘Aliyyan Amiral Mukminin waliyyullah…”
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhamad utusan Allah, dan Ali waliyullah…” bayi tersebut menyebut nama-nama para Imam as dan berhenti setelah menyebut nama Imam Hasan al-Askari as.
“Bibiku, bawalah bayi itu ke ibunya, agar ia mengucapkan salam kepadanya, kemudian bawa lagi kepadaku!” perintah Imam Hasan al-Askari kepada Sayidah Hakimah.
Sayidah Hakimah pun memberikan bayi itu kepada Sayidah Nargis. Bayi mengucapkan salam kepada ibundanya. Kemudian bayi tersebut diserahkan kembali kepada Imam Hasan al-Askari as. Beliau memberikan nama dan julukan kepadanya seperti nama dan julukan Rasulullah saw. Muhamad dan Abul Qosim adalah nama dan julukannya yang telah dikabarkan sebelumnya oleh Rasulullah saw.
-------------------
Catatan Kaki :
[12] Ibid, hal 622-623
[13] Ibid, hal 625.
[14] Muntahal Amal, jil 2, hal. 625; Safinatul Bihar, jil 1, hal 294; Riyahan asy-Syariah, jil 4, hal. 157; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.625.
[15] Dalailul Imamah, hal 269; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.628.
[16] Ibid, hal 629
[17] Kamaludin, jil 2, hal 426; Biharul Anwar, jil 51, hal 11; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.628.
[18] Dalailul Imamah, hal 289; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.629.
19 Kasyful Haq, hal. 15; Mustadrak Wasail, jil 12, hal 280; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.632.
20 Biharul Anwar, jil 51, hal 24; Hilyatul Abrar, jil 2, hal 529; ibid.
21 Kamaludin, jil 1, hal 307; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.633.
22 Hidayatul Qubra, hal 353; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.634.
23 Kamaludin, jil 2, hal 424; ibid
24 Kitabul Ghaibah, hal 141; Biharul Anwar, jil 51, hal 17; ibid hal 635.
25Kasyful Ghummah, jil 2, hal 498; ibid.
26 Kamaludin, jil 2, hal 425; Biharul Anwar, jil 51, hal 2 & 11; ibid.
27 Kitabul Ghaibah, hal 141; Biharul Anwar, jil 51, hal 17; ibid hal 636.
28 Kamaludin, jil 2, hal 425; Kitabul Ghaibah, hal 141; ibid hal 636.
29 Ibid, jil 2, hal 426; ibid.
30 Ibid.
31 Ibid hal 403; Ibid hal 147; ibid hal 637.
32 Muntakhabul Atsar, hal 342; Ibid.
33 Majmaul Bayan, jil 6, hal 511; ibid 678.
34Kamaludin, jil 2, hal 425; Kitabul Ghaibah, hal 141; ibid.
35Ibid, hal 431; Biharul Anwar, jil 51, hal 5.
36 Al-Irsyad, jil 2, hal 339; ‘Alamul Wara’ , jil 2, hal 213.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar