Filosofi Hukum dalam Islam
Bagian(1)
Filosofi Hukum dalam Islam (1)
Bulan Ramadhan adalah bulan mensucikan diri, ibadah dan penghambaan.
Dari zaman dahulu dan di antara para pengikut semua agama, pertanyaan selalu muncul dalam benak manusia bahwa apa tujuan dan filosofi dari hukum seperti puasa, shalat, zakat dan sejenisnya?
Apakah kita manusia dengan pengetahuan terbatas dan mengingat bahwa semua perintah ilahi memiliki maslahat yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana dan Yang Maha Tahu dengan tujuan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia, apakah kita berhak untuk bertanya filosofi hukum?
Masalah ini dapat dijawab dari tingkat yang berbeda, termasuk fakta bahwa pencipta alam semesta telah menganugerahi umat manusia dengan akal. Karena akal menjadi nikmat yang paling tinggi. Menggunakan akal, berpikir dan kontemplasi dalam sistem penciptaan dan perundangan akan membuat manusia memahami kebijaksanaan dan tujuannya.
Karenanya, bukan hanya boleh bertanya tentang filosofi hukum, tetapi jika seseorang secara sadar melakukan kewajiban keagamaannya, ia akan melakukan kewajibannya dengan motivasi dan antusiasme yang lebih besar. Mungkin inilah mengapa Imam Ali as berkata kepada Kumail, "Tidak ada gerakan (aksi dan program), kecuali Anda memerlukan pengetahuan dan makrifat." (Tuhaf al-Uqul: 171)
Meskipun perlunya makrifat dan pengetahuan sangat bernilai dan penting dalam semua urusan dan bidang, ia memiliki tempat khusus dalam semua masalah agama, terutama aturan ibadah. Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Satu jam perenungan bernilai lebih dari enam puluh tahun ibadah (tanpa berpikir dan kesadaran)."
Menurut riwayat yang sama dalam budaya konstruktif Islam, yang sangat penting dalam masalah agama adalah kualitas. Apalagi jika ada proses berpikir di baliknya. Imam Ridha as berkata, "Ibadah bukan masalah banyaknya shalat dan puasa, tetapi ibadah adalah berpikir dalam masalah Tuhan." (Al-Kafi, volume 2, halaman 55)
Lebih jauh, akal mendorong kita untuk bertanya kepada para pakar, cendekiawan, dan para ahli di bidang apa pun di mana kita tidak memiliki pengetahuan atau kesadaran tentang satu masalah. Seperti yang dikatakan al-Quran surat al-Nahl ayat 43, "... maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
Alasan lain yang memungkinkan manusia untuk bertanya tentang filosofi hukum adalah cara dan metode al-Quran dan cara praktis para nabi, Rasulullah Saw dan Ahlul Bayt as. Dengan kata lain, beberapa ayat telah menjelaskan filosofi hukum seperti shalat, puasa dan jihad. Buku-buku hadis penuh dengan pertanyaan yang diajukan orang di setiap masa kepada para Imam yang dipilih Allah dan mereka menjawabnya dengan argumen logis.
Sebagai kelanjutan dari metode dasar ini, para ulama dan cendekiawan Islam selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan dari orang-orang pada zaman mereka. Beberapa di antaranya telah dikompilasi dalam bentuk buku. Saat ini, di dunia maya yang begitu luas dan tidak punya batas, bukan saja dalam masalah filosofi hukum tetapi juga di semua bidang akidah, sosial, historis, politik, moral, yurisprudensi, teologis dan filsafats, banyak situs pusat keagamaan yang menjawab berbagai pertanyaan ini.
Dengan semua alasan ini, kita harus tahu bahwa ilmu pengetahuan manusia, menurut al-Quran, sangat kecil dan terbatas, dan ia tidak pernah dapat memahami semua dimensi dari perintah-perintah ilahi. Di sisi lain, kita harus yakin bahwa hukum-hukum agama dari sisi Allah telah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan demkian, semuanya dari segala sisi adalah bijak dan bertujuan, semua maslahat dunia dan akhirat dan kebahagiaan dan kesempurnaan kita di kedua dunia bergantung penuh pada pelaksanaan mutlak seluruh hukum Allah.
Selain itu kita harus mengetahui dan yakin bahwa di markas putaran seluruh harus dan tidak harus ilahi menjadikan prinsip penting adalah prinsip “penghambaan” yang menerangi jalan para ahli tauhid, arif dan pencinta Allah Swt. Ini juga yang mengilhami dan memberi harapan kepada mereka yang mengambil langkah teguh dan tak tergoyahkan dalam penghambaan kepada Allah Sang Pencipta dan Tuhan semesta alam.
Imam Ali as yang bersinar bak permata yang bersinar di pusat ibadah dan penghambaan mengatakan, "Cukup bagiku sebuah kemuliaan untuk menjadi hamba-Mu dan cukup bagiku sebuah kebanggaan Engkau menjadi Tuhanku." Kemudian Ali as untuk menunjukkan bahwa ungkapan pengabdian ini telah muncul dari kedalaman wujudnya dan mengungkapkan cinta serta kesadaran batinnya, seraya berkata, "Kamu sedemikian rupa sehingga aku mencintai-Mu. Jadi buat aku sedemikian rupa sehingga aku menjadi kecintaan-Mu."
Dengan demikian, meskipun tanggung jawab ini sangat membebani, di mana dengan pertanyaan dan pengetahuan kita merealisasikan hukum-hukum ilahi di semua bidang. Tetapi di atas semua itu, kita harus menganggap diri kita hamba yang, selain mengetahui kebijaksanaan dan maslahat, memiliki iman dan kepastian bahwa semua hukum berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana dan kami akan menerapkannya tanpa syarat apa pun dan dengan niat yang ikhlas untuk melaksanakannya. Hanya karena Allah telah memerintahkannya, dan dengan demikian untuk melembagakan budaya "penghambaan ilahi" dalam diri kita dan tatanan masyarakat.
Filosofi Hukum dalam Islam (2)
Sebelumnya, kita telah membahas masalah bahwa rasionalitas memiliki tempat khusus dalam budaya Islam, dan dalam pencerahan akal dan wahyu, seseorang dapat mengenali beberapa filosofi, kebijaksanaan, dan maslahat dari hukum ilahi.
Tetapi prinsip paling penting yang harus dipertimbangkan secara serius dalam proses ini adalah prinsip "ibadah dan penghambaan". yang diperlukan untuk fokus dan fondasi atas seluruh fungsi dalam menjalankan kewajiban agama di semua bidang pribadi dan sosial, ibadah dan politik, ilmu pengetahuan dan budaya dan perilaku serta ucapan setiap Muslim. Dan ayat surgawi ini akan menjadi pedoman dan inspirasi dari semua pasang surut kehidupan, yang mengatakan, "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An'am: 162)
Dengan sikap seperti itu, prinsip fundamental lain yang disebut "ikhlas dan ketulusan" muncul berdasarkan semua pengambilan sikap dan tindakan yang memiliki warna ilahi. Segala tindakan dalam catatan perbuatan manusia yang berpusat pada Tuhan, tidak akan terlihat tanda riya, tidak ingin menunjukkan diri dan tidak ada motif non-ilahi. Imam Sadiq as dalam hal ini mengatakan, "Siapa pun yang mencintai karena Allah dan marah karena Allah serta memberikan kepada orang yang butuh karena Allah, ia termasuk orang yang sempurna imannya."
Dalam dunia irfan, ibadah "ikhlas" memiliki tempat khusus. Imam Ali as berbicara tentang ini sebagai berikut, "Ya Allah! Saya menyembah-Mu bukan karena takut akan neraka dan bukan karena ingin surga, tetapi karena Engkau layak untuk disembah, maka saya menyembah-Mu." (Nahj al-Balaghah, Hikmah 290)
Mencapai posisi setinggi itu hanya mungkin bagi para arif dan orang-orang terkasih ilahi. Banyak manusia, yang tidak memiliki pemahaman dan perasaan lingkungan ibadah spiritual dan surgawi, memasuki bidang ini dengan motivasi dan tujuan yang berbeda. Seperti beberapa pemimpin pilihan Allah, termasuk Ali as dalam menggambar dan membagi kelompok-kelompok ini dengan mengatakan, "Beberapa orang menyembah Tuhan karena takut akan neraka, dan ini adalah penyembahan para budak. Sebagian lain menyembah Allah karena menginginkan surga, dan ini ibadah para pedagang. Dan sebagian lain berterima kasih kepada Allah (atas berkah-Nya yang tak terbatas), mereka menyembah-Nya, dan ini adalah penyembahan orang bebas." (Nahjul Balaghah, Hikmah 237)
Dalam konteks cara pandang seperti ini, dapat dikatakan bahwa tindakan ibadah kita terdiri dari dua bagian yang sama sekali berbeda. Bagian yang hanya mencakup penampilan lahiriah dan cangkang ibadah, dan dimensi lainnya adalah jiwa dan otak ibadah. Alasan mengapa banyak penyembah tidak mendapat banyak manfaat dari penyembahan mereka adalah karena mereka hanya memperhatikan etiket penyembahan lahiriah, dan sebagai akibatnya kehilangan pengaruh ibadah dan kesempurnaan perilaku ibadah. Tetapi tidak seperti kelompok ini, ada beberapa orang yang memperhatikan kedalaman dan semangat ibadah. Mereka begitu terbenam dalam ruang itu sehingga tidak ada kesenangan lain yang bisa dibayangkan oleh mereka.
Imam Ali as dengan indah menggambarkan wajah kedua kelompok ini dan berkata, "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapat manfaat dari puasa mereka selain dari menahan lapar dan haus. Dan berapa banyak orang yang beribadah di malam hari tidak mendapat manfaat dari ibadah malam mereka, kecuali kesulitan tidak tidur..." Kemudian, beliau menggambarkan kelompok lain yang secara sadar memperhatikan semangat ibadah dan kedalaman serta keluasannya. Imam Ali as berkata, "Betapa baik dan indahnya tidurnya orang cerdas, cermat dan bagaimana mereka memberi hidangan buka puasa bagi yang berpuasa." (Nahjul Balaghah, Hikmah 45)
Al-Quran menggambarkan wajah kedua kelompok ini secara berbeda. Manusia saleh dan sadar yang tidak lalai dari Allah oleh apapun, mengatakan, "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. Al-Nur: 37)
Berbeda dengan kelompok ini, yang menjadikan ingat Allah meliputi semua posisi material dan spiritual mereka dan memperhatikan semangat dan isi dari perbuatan mereka, al-Quran berbicara tentang kelompok lain yang hidup di masa awal Islam dan hanya memperhatikan penampakan perbuatan. Allah berfirman, "Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, 'Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan,' dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki." (QS. Al-Jumu'ah: 11)
Menurut -sumber-sumber tafsir, semua pelaku shalat yang lebih mementingkan sisi lahiriah, itupun dilakukan ketika yang berkhotbah adalah Nabi Muhammad Saw, mereka bergegas ke rombongan dagang dan penyelenggara acara yang melalaikan. Hanya ada 12 orang yang sadar akan batin ibadah yang tetap tinggal. Mereka secara lahiriah hadir dalam shalat Jumat, tetapi batin mereka tidak memahami keagungan dan peran ibadah dan sosial dari shalat Jumat, tanpa berpikir banyak, mereka meninggal Rasulullah Saw yang tengah berkhotbah untuk mencari tujuan materi.
Sementara mereka yang hadir di shalat Jumat dengan kesadaran dan pemikiran, tidak akan pernah meninggalkan ibadah ini dan melakukan perbuatan aneh dan menimbulkan pertanyaan. Tidak diragukan lagi bahwa tujuan al-Quran dengan menukil peristiwa yang patut disesalkan ini adalah agar kita mengambil pelajaran dan berlaku sebagai teladan konstruktif bagi generasi masa kini dan yang akan datang dalam melakukan kewajiban agama.
Filosofi Hukum dalam Islam (3)
Perbuatan ibadah harus dilandasi oleh dua pilar penting yaitu dikerjakan dengan makrifat dan kearifan, serta keikhlasan di hadapan Tuhan dengan memperlihatkan diri sebagai seorang hamba yang taat dan tulus.
Hari ini, kita akan mengkaji tentang kedudukan shalat di mata para aulia Allah Swt dan peran shalat dalam membentuk spiritualitas manusia. Rasulullah Saw selalu terlihat antusias dan memiliki keinginan yang besar untuk berkhalwat dengan Allah Swt.
Rasulullah bersabda, "Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang mencintai ibadah dan mendekapnya karena kecintaan yang besar, dan mencintainya dari lubuk hati."
Husein bin Ali as – imam ketiga Syiah – menghabiskan malam Asyura di Karbala dengan bermunajat kepada Allah Swt meskipun sedang dikepung oleh pasukan musuh. Ia berkata kepada Abul Fadhl Abbas, "Jika engkau sanggup mintalah mereka untuk menunda perang hingga esok hari dan beri kesempatan kami malam ini untuk bermunajat kepada Allah dan melaksanakan shalat. Allah Swt tahu aku sangat mencintai shalat dan membaca kitab-Nya."
Jadi, tidak berlebihan jika kita berkata bahwa filosofi terbesar shalat adalah menumbuhkan tunas kecintaan manusia kepada Tuhan dan kecintaan ini menembus lubuk hatinya, di mana kenikmatannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Al-Quran menggambarkan kecintaan suci ini dengan berkata, "Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…" (QS. Al-Baqarah, ayat 165)
Rasulullah adalah manifestasi sempurna dari wujud kecintaan dan kerinduan akan ibadah. Beliau dalam sebuah sabdanya tentang shalat berkata, "Allah Swt menjadikan shalat sebagai penyejuk mataku dan kesukaanku, sebagaimana menjadikan makanan sebagai dambaan orang lapar dan air dambaan orang dahaga. Orang lapar akan kenyang ketika makan dan orang yang dahaga akan terobati ketika minum, tetapi aku tidak pernah merasa puas (cukup) dari shalat dan beribadah kepada Allah."
Perlu dicatat bahwa salah satu titik kesamaan para nabi dan ajaran yang mereka terletak pada shalat. Mereka menjadikan shalat sebagai sarana untuk membangun puncak kedekatan dengan Allah serta menampakkan puncak penghambaan dan kekhusyukannya.
Dengan demikian, para nabi telah memberikan sebuah keteladanan praktis kepada pengikutnya sehingga mereka dapat mempelajari cara beribadah serta menjauhkan dirinya dari syirik dan penyimpangan.
Nabi Ibrahim as – salah satu pengibar panji tauhid – mengangkat tangannya kepada Allah sambil memohon, "Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim, ayat 40)
Nabi Isa as – ketika berada di gendongan ibunya, Sayidah Maryam as – berbicara untuk memberikan kesaksian atas kebesaran Allah dan kesucian ibunya, seraya berkata kepada masyarakat, "Berkata Isa, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup." (QS. Maryam, ayat 30-31).
Allah Swt memerintahkan Nabi Isa untuk mendirikan shalat dan memintanya menunaikan kewajiban ini hingga akhir hayatnya, ini menunjukkan betapa pentingnya shalat. Sebab, shalat adalah perintah langsung Tuhan dan manusia tunduk pasrah di hadapannya serta memandang hubungannya dengan Tuhan sebagai hubungan makhluk yang sangat kecil dengan sebuah Dzat Yang Maha Besar.
Salah satu nabi lain yang banyak dipuji dalam al-Quran adalah Nabi Ismail as, sosok yang besar di bawah asuhan dan bimbingan Ibrahim as. Allah Swt berfirman kepadanya, "Dan ia menyuruh keluarganya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya." (QS. Maryam, ayat 55)
Ada dua poin menarik dalam ayat tersebut yaitu: Pertama, Nabi Ismail as senantiasa memerintahkan keluarganya mendirikan shalat dan membayar zakat. Jadi, dapat dipahami bahwa budaya shalat harus dimulai dari keluarga dan keteladanan ini kemudian diterapkan di tengah masyarakat.
Kedua, salah satu objek keridhaan Tuhan adalah mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Orang yang telah mencapai derajat penghambaan yang tulus, maka tidak ada hal lain yang lebih tinggi selain mencari keridhaan Ilahi.
Mengenai upaya para nabi dalam membudayakan shalat di tengah masyarakat, al-Quran berkata, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah." (QS. Al-Anbiya, 73)
Dapat disimpulkan bahwa shalat memiliki kedudukan khusus dan seluruh para nabi dan pemuka agama – dengan makrifat dan kecintaan – selalu mengerjakannya dengan seluruh kekuatan dan wujud mereka.
Filosofi Hukum dalam Islam (4)
Orang yang beriman dengan makrifat dan menghambakan diri dengan tulus, tentu ia lebih memahami tentang kedudukan shalat. Mereka tahu bahwa shalat – di samping sebagai ibadah yang ditunaikan oleh seluruh nabi – juga merupakan perintah langsung Allah ketika mengutus para nabinya.
Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw dengan berfirman, "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman, "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan." (QS. Ibrahim, ayat 31)
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa para pendiri shalat hakiki memiliki hubungan dengan Tuhan dan sekaligus membangun ikatan dengan masyarakat lemah sehingga bisa merasakan penderitaan, dan kemudian berinfak untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Para pendiri shalat hakiki selain memandang dirinya sebagai hamba Allah Swt, juga menyadari bahwa amal ibadah dan menolong orang lain akan menjadi bekalnya di hari kiamat.
Ketika buku amal manusia telah ditutup dan ikhtiyar mereka dicabut, maka mereka tidak bisa lagi membebaskan dirinya dari setiap perbuatan buruk melalui suap atau nepotisme.
Jadi, shalat akan bernilai ketika disertai dengan iman kepada Allah dan hari akhirat serta mampu menghidupkan rasa empati dalam dirinya sehingga tergerak untuk membantu orang-orang yang lemah.
Allah Swt tentu saja akan memberikan balasan kepada hambanya yang berbuat kebajikan dan membantu orang lain. Dia berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al-Baqarah, ayat 277)
Pada dasarnya, shalat akan mendekatkan manusia kepada Tuhan dan memberikan ketenangan kepada jiwanya. Nuansa jiwa seperti ini tentu tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak beriman. Allah mewajibkan shalat kepada manusia dengan tujuan mendekatkan mereka kepada-Nya. Imam Ali as berkata, "Shalat merupakan wasilah setiap orang bertakwa untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt." (Bihar al-Anwar, jilid 10, hal 99)
Rasulullah Saw menganggap shalat sebagai penyejuk matanya dan beliau sangat mencintai amal ibadah. Rasulullah bersabda, "Shalat adalah bagian dari hukum Ilahi dan keridhaan-Nya bergantung pada shalat, dan ia merupakan tradisi para nabi. Para malaikat mencintai orang-orang yang shalat. Shalat berarti melangkahkan kaki di jalan hidayah dan iman kepada Allah dan ia mendatangkan berkah dalam rezeki, ketenangan dalam jiwa, kebencian syaitan, dan senjata untuk berperang dengan kaum kafir."
Salah satu kedudukan lain shalat dalam budaya Islam adalah memainkan peran kunci dalam kehidupan di akhirat. Ketika banyak manusia berada dalam kegelisahan, ketakutan, dan tidak tahu bagaimana nasib amalnya, maka amalan pertama yang menjadi penolongnya pada hari itu adalah shalat.
Sebab, shalat merupakan manifestasi sempurna dari keyakinan, akhlak, pendidikan, spiritualitas, serta dimensi individual dan sosial pelakunya. Ini juga menunjukkan tingkat komitmennya kepada landasan keyakinan dan ajaran agama.
Rasulullah Saw menaruh perhatian besar dalam masalah penegakan shalat dan bersabda, "Perbuatan pertama yang akan dihisab adalah shalat. Jika ia diterima, maka seluruh amal manusia akan diterima dan jika ia ditolak, maka semua amalan lain juga akan ditolak."
Mungkin karena alasan ini, shalat dianggap sebagai tiang agama yang memainkan peran fundamental dalam menegakkan agama dan nilai-nilai di tengah masyarakat.
Dengan memperhatikan peran konstruktif shalat, maka ia harus didirikan dengan sempurna dan tidak lagi hanya sebagai rutinitas. Dalam berbagai ayat dan riwayat, para hamba saleh tidak hanya diperintahkan untuk mendirikan shalat, tetapi juga diminta untuk menanamkan budaya shalat di tengah masyarakat.
Imam Muhammad al-Baqir as dalam menjelaskan peran sentral shalat, berkata, "Shalat adalah tiang agama atau seperti tiang kemah yaitu jika tiang-tiangnya kokoh, maka seluruh tiang lain (rukun) akan tegak berdiri dan jika ia lemah, maka seluruh tiang lain akan roboh."
Perlu dipahami bahwa shalat bukan sebuah kewajiban yang biasa, tetapi jika ia didirikan dengan tulus dan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, maka shalat dapat menjadi sarana untuk memperbaiki masyarakat, menciptakan persatuan, dan membangun ukhuwah, dan menanamkan budaya ibadah di masyarakat.
Filosofi Hukum dalam Islam (5)
Dalam sistem penciptaan, semua makhluk yang ada di alam semesta ini beribadah kepada Allah Swt sesuai dengan kapasitas mereka dan mereka tunduk pada perintah Sang Pencipta. Dengan kata lain, semua bertasbih kepada Allah dengan bahasanya masing-masing.
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (QS. Al-Israa', ayat 44)
Ayat ini menjelaskan bahwa semua makhluk di semesta ini memuji dan bertasbih kepada Allah Swt. Jadi, jika kita tidak punya kemampuan untuk memahami tasbih makhluk lain di alam ini, bukan berarti mereka mensucikan Tuhan tanpa disertai idrak (perasaan) dan makrifat.
Al-Quran menolak anggapan itu dengan berkata, "Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS. An-Nur, ayat 41)
Terlepas dari penelitian ilmiah tentang insting dan idrak yang dimiliki oleh semua makhluk, al-Quran telah memberikan banyak contoh mengenai fitrah kauniyah ini.
Salah satu kasus yang menakjubkan terjadi di masa pemerintahan Nabi Sulaiman as yaitu ketika baginda nabi tidak menemukan burung hud-hud dalam barisan burung-burung lain.
Nabi Sulaiman as memiliki pengetahuan yang sempurna tentang kondisi para pembantunya termasuk burung-burung. Ketika ia sedang memeriksa burung-burung, burung hud-hud tidak hadir sehingga sang baginda mencari-carinya. Dia mengancam jika si hud-hud absen tanpa alasan yang kuat, maka ia akan dihukum dengan keras.
Tidak lama kemudian, burung hud-hud pun tiba dan berkata kepada Baginda Sulaiman, "Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk." (QS. An-Naml, ayat 22-24)
Ayat ini dengan jelas membuktikan tentang idrak (perasaan) yang dimiliki oleh seekor burung. Kisah lain berhubungan dengan perjalanan Nabi Sulaiman dan bala tentaranya ke sebuah daerah. Ketika ia dan pasukannya melintasi sebuah lembah yang terdapat banyak sarang semut, raja semut berkata pada semut lain, "Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu…" (QS. An-Naml, ayat 18-19).
Contoh lain yang membuktikan adanya idrak pada semua makhluk hidup di semesta ini adalah kisah gunung-gunung dan burung-burung yang semuanya bertasbih bersama Nabi Daud as.
"Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya." (QS. Al-Anbiya’, ayat 80)
Para ulama dan mufasir al-Quran membuka sebuah kajian mengenai tasbih yang dilakukan makhluk lain yaitu: apakah mereka bertasbih dengan hati atau bahasa lisan?
Para ulama berkesimpulan, makhluk lain bertasbih dengan bahasa hati dan lisan. Seorang penyair berkata, "Setiap tumbuhan yang tumbuh dari tanah, berkata Tiada Tuhan Selain Allah." Setiap tumbuhan di bumi ini memberikan kesaksian atas Keesaan Tuhan dan ini merupakan bukti atas kekuasaan sebuah pengatur, sebuah pencipta, dan sebuah keteraturan di alam semesta.
Di sebagian kasus, makhluk berbicara dengan lisan dan menumpahkan isi hatinya, yang menjadi bukti atas kekuasaan dan kehendak Allah Swt.
Anggota badan manusia juga akan berbicara dan memberikan kesaksian di hari kiamat. Pada hari itu, Allah mengunci lisan dan mulut manusia sehingga ia tidak dapat menjustifikasi perkataan dan perbuatannya selama di dunia. Anggota badan kemudian berbicara dan menyampaikan apa yang diucapkan dan dilakukan oleh pemiliknya.
Allah Swt berfirman, "Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." (QS. Yasin, ayat 65)
Ketika itu, tidak ada satu pun yang mengira bahwa akan tiba suatu masa di mana tangan dan kaki memberikan kesaksian terhadap pemiliknya dan membuka aib mereka. Manusia terkejut dan memprotes kesaksian yang disampaikan oleh anggota badannya, mengapa kalian sekarang "berkhianat?"
"Dan mereka berkata kepada kulit mereka, "Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?" Kulit mereka menjawab, "Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dialah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan." (QS. Fussilat, ayat 21)
Semua peristiwa tersebut terjadi karena kehendak dan iradah Allah Swt. Para nabi mampu memahami tasbih yang diucapkan oleh semua makhluk lain dan kemampuan ini juga datangnya dari Allah. Dia maha kuasa atas segala sesuatu dan karena perintah-Nya, api yang dikobarkan Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim as, seketika berubah menjadi dingin dan tidak mencelakakan Ibrahim.
Dapat dikatakan bahwa ketika manusia melakukan ibadah dan memuji Tuhan dalam shalat dan ibadahnya, sebenarnya mereka sedang bergabung dengan makhluk lain di semesta ini, yang tidak pernah berhenti memuji Tuhan. Mereka semua khusyu' dan tunduk di hadapan keagungan Allah Swt.
Filosofi Hukum dalam Islam (6)
Sebelumnya, kita telah berbicara dengan Anda tentang posisi shalat dan pujian kepada Allah dalam sistem pensyariatan, yaitu, undang-undang Islam dan sistem penciptaan. Dalam program hari ini, dengan bantuan Tuhan Yang Maha Esa, kita akan membahas etiket dan rahasia shalat, yang meliputi dua bagian; lahiriah dan batiniah.
Dalam pandangan umum, dapat dikatakan bahwa shalat adalah piagam doktrinal dan praktis, dan peta jalan serta menggambarkan garis strategis dan praktis dari seorang Muslim yang sadar dan termotivasi, yang setiap harinya bermunajat kepada pencipta alam semesta. Awal dari rukun shalat adalah berdiri. Karena shalat harus ditegakkan dan dibudayakan.
Pada saat sensitif itu, orang yang shalat harus mengingat kebesaran ilahi dan berseru, "Allah lebih besar dari segala pensifatan yang diberikan, lebih besar dari segala kekuatan dan lebih unggul dari semua pusat ketakutan dan harapan." Setelah itu menafikan semua sesembahan palsu, kosong dan fana, lalu mengakui keesaan-Nya di seluruh alam semesta. Kemudian ia bersaksi tentang risalah ilahi Nabi Muhammad Saw.
Kemudian, dengan mengingat keyakinan prinsipnya dan menetapkan motivasi tujuannya yang pada saat itu tidak boleh ada tanda dari ingin menunjukkan dirinya atau riya, tetapi harus ikhlas dalam melakukannya, sehingga semangat dari shalat bisa dirasakan. Pada saat itulah, pelaku shalat siap dengan badan dan jiwanya dan merasa butuh kepada pencipta alam semesta, lalu memulai shalat dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kemudian lisannya mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah. Tuhan yang kekuasaan-Nya tidak terbatas dan mencakup seluruh alam semesta.
Ketika keagungan tak bertepi ini hinggap dalam benak manusia, ia akan kembli mengingat rahmat Allah yang tidak terbatas dan dari sisi lain, karena ia mengetahui bahwa Allah tidak menciptakan manusia sia-sia dan bahkan harus merasa bertanggung jawab dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tidak meragukan bahwa kehidupan setelah kematian ada dan harus menjawab semua perilaku di dunia, manusia akan mengingat wewenang dan kepemilikan mutlak ilahi di Hari Kiamat. Untaian ayat-ayat pertama surah al-Fatihah menunjukkan dimensi cara pandang manusia yang sedang melakukan shalat dan sejak saat ini berbagai kecenderungan juga muncul.
Prinsip paling penting dan mendasar yang dimanifestasikan di bagian shalat ini sebagai dimensi praktis yang memanifestasikan munajat kepada Allah adalah prinsip penghambaan pengabdian mutlak ilahi yang disampaikan oleh lisan semua orang yang melakukan shalat, "Hanya Engkaulah yang kami sembah."
Karena sulit untuk membebaskan diri dari jebakan sesembahan seperti kekuasaan, kekayaan, hawa nafsu, daya tarik dunia yang menipu dan godaan setan, bahkan tanpa bantuan Allah tidak mungkin dapat kita lakukan, orang yang shalat, dimana semua harapannya hanya Allah yang menjadi manifestasi seluruh kekuatan hakiki dunia, mengatakan, "Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus."
Yang mengilhami pelaku shalat di jalan yang naik dan turun ini adalah para panutan yang telah melewati jalan penghambaan dengan sukses. Allah mengingat mereka dengan sebutan; para nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh. (QS. Al-Nisa: 69), dimana mereka telah diberi nikmat dan ditolong, sehingga hanya menundukkan wajah untuk pengabdian ilahi.
Dalam sebuah pembagian umum, sekelompok individu mengikuti beberapa pribadi yang menjadi panutan masyarakat dan mengambil langkah di jalan yang lurus penghambaan. Sementara sebagian lain mengambil jarak dari mereka dan memilih untuk menyembah berhala dan manifestasi kekuatan dan kemunafikan yang keluar dari lingkaran rahmat ilahi yang akhirnya mendapat kemurkaan ilahi. Sebagian lain tanpa tujuan dan orientasi yang jelas memasuki lembah kesesatan dan kebingungan. Al-Quran hanya mengakui kelompok pertama yang mengikuti para teladan ilahi yang telah meraih keberuntungan dan keselamatan.
Dengan berakhirnya surah al-Fatihah dan dengan membaca surah al-Ikhlas atau Tauhid, pintu lain terbuka bagi pelaku shalat dan sekali lagi pandangan dunia tauhid terbentang di hadapan pelaku shalat. Ia mengakui monoteisme sebagai perintah Allah, Allah adalah Esa dan tidak memiliki sekutu serta mutlak tidak membutuhkan. Satu-satunya pencipta alam semesta, Esa dalam ketuhanan, rububiyah, penciptaan, kekuasaan dan satu dalam Zat dan Sifat. Tidak bisa membayangkan sekutu bagi-Nya. Karena bila alam semesta memiliki dua Tuhan, berarti ada dua kehendak dan dua kekuasaan yang pada akhirnya membuat sistem sempurna alam semesta menjadi hancur.
Pelaksana shalat dengan pandangan dunia monoteistiknya menundukkan kepalanya di hadapan keagungan Allah yang tidak tertandingi dan saat rukuk, ia mensucikan Zat Allah dari segala pemikiran syirik. Tuhan yang besar dan tidak tertandingi dalam segala dimensi-Nya. Agung dalam kekuasaan, ilmu, sabar, kemuliaan, rahmat, cahaya keutamaan dan dermawan, kesombongan, martabat dan posisi, jabarut, penguasa dan nikmat yang tidak bertepi yang telah dianugerahkan kepada manusia dan semua yang ada di alam semesta.
Dengan pandangan dunia monoteistiknya, penyembah berdiri melawan kebesaran Tuhan yang tak tertandingi dan menganggap (sujud) dalam ranah Qud Suci Suci Ilahi sebagai racun pemikiran politeistis, murni dan murni. , Pencerahan rahmat dan pengampunan, martabat, kesombongan, martabat dan status, paksaan, dominasi, dan berkah tak terbatas yang telah memberi manusia dan semua makhluk di alam semesta. Dengan visi seperti itu, penyembah dahi yang sadar bangkit berdiri dan memuji dia dalam sujud di hadapan semua kebesaran dan kebesaran ini.
Pelaku shalat yang melakukan rukuk dan sujud tidak akan pernah menundukkan kepalanya di hadapan manifestasi kekuasaan dan kemunafikan. Ia tidak akan mengorbankan martabat dan kebebasan yang dianugerahkan Allah kepadanya untuk mempersenjatai daya tarik kekuasaan, kekayaan dan syahwat. Dengan demikian, shalat memainkan peran konstruktif dalam segala gerakan dan cara pandangn teoritis dan praktis pelaku shalat untuk mengejawantahkan tauhid.
Senarai akhir shalat dengan mengucapkan salam dan kedamaian kepada Nabi, orang-orang saleh, malaikat dan semua yang melewati jalur penghambaan, yang berseiring dengan kemuliaan dan kebebasan, membawa pesan perdamaian dan persahabatan. Karena salam dalam budaya Islam yang damai berarti mengharapkan keselamatan dan keamanan serta terciptanya hubungan yang tulus dan keinginan yang baik dengan semua manusia.
Filosofi Hukum dalam Islam (7)
Kesucian tubuh dan jiwa sangat penting dalam shalat. Orang yang menunaikan shalat tentu saja harus memperhatikan pakaian yang dikenakannya dari najis dan hal lain yang membatalkannya. Selain itu, orang yang shalat juga harus memperhatikan kesucian jiwa dari kotoran dari dalam perkataan, perbuatan dan pikirannya.
Lebih jauh lagi, karena shalat merupakan ibadah yang memiliki tujuan, maka semua orang yang menunaikan shalat harus menghadirkan hatinya ketika menunaikan ibadah ini. Imam Sadiq berkata, "Siapapun yang shalat dua rakaat (dengan kehadiran hati) mengetahui apa yang dia katakan, maka ketika shalatnya selesai tidak akan ada dosa antara dia dan Tuhan." (Kafi 3/266/12).
Dalam shalat terdapat dua faktor, "khudhu" dan "khusyu", yang berperan penting dalam menciptakan dan memperkuat kehadiran hati. Khudhu yang berarti kerendahan hati, ketentraman dan ketenangan yang tampak nyata. Sedangkan khusyu adalah konsentrasi dengan ketulusan hati yang lahir dari ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Al-Qur'an dalam surat Al-Mukminun ayat 1 dan 2, Allah swt berfirman, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,".
Faktor penting lain yang berperan kunci dalam kualitas shalat adalah keikhlasan, yang merupakan tanda dibuangnya sega bentuk motif selain Tuhan, seperti riya, pamer dan motif-motif lainnya. Rasulullah Saw menjelaskan sebuah hadis Qudsi, "Setiap kali Aku [Allah swt] melihat hati hamba-Ku yang ikhlas dan ketaaannya dilakukan semata-mata demi meraih keridhaan-Ku, maka Aku akan mengatur segala urusannya." (Ghurar Al-Hikam, 8447)
Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw menjadi teladan dan tokoh panutan yang luar biasa bagi semua Muslim, terutama orang-orang yang bertakwa, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 162 surat Al-Anam, "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,".
Jiwa yang suci dari segala kotoran batin, kerendahan hati, ketulusan batin, keikhlasan, dan ketulusan dalam ibadah, akan menghidupkan spirit keceriaan dan cinta dalam penyembahan ilahi, karena dia tidak merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam ibadah yang ditunaikannya.
Sayidina Ali Bin Abi Thalib dalam salah satu perkataaanya menjelaskan kehadiran hati dalam ibadah. Beliau dalam Khutbah 220 Nahjul Balaghah berkata, "Tuhanku, Engkau lebih dekat dari siapapun, dan lebih siap untuk memenuhi segala urusan orang-orang yang mempercayai-Mu. Engkau juga mengetahui tingkat kecintaan dan pengetahuan mereka mengenai-Mu. Rahasia batin mereka begitu jelas di hadapan-Mu dan hati mereka tidak sabar atas perpisahan. Jika kesepian membuat mereka takut, maka mengingat-Mu menyebabkan ketenangan dan ketentraman. Ketika kesulitan menimpa, mereka akan berlindung kepada-Mu,".
Dengan kondisi spiritual demikian, shalat ditunaikan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, bahkan mereka menikmati ibadah tersebut. Dalam kondisi demikian, mereka tidak akan pernah meninggalkan shalat, bahkan ketika kondisi paling sulit sekalipun, sehingga pertolongan ilahi dalam kepada mereka.
Selama pertempuran Safin, salah satu sahabat Ali melihat bahwa Imam memandang matahari, lalu ia mendekati Imam dan berkata, "Apa yang Anda lakukan?" Beliau berkata, "Saya melihat matahari sudah menunjukkan waktu sholat tiba. Dia bertanya dengan nada terkejut, "Apakah mungkin shalat dalam kondisi seperti itu? Perang telah mencegah kita dari sholat,". Imam Ali berkata, "Mengapa kita memerangi tentara Mu'awiyah? Apakah perang ini bukan untuk menjaga supaya sholat tetap ditunaikan?".
Sebagaimana ayahnya, Sayidina Ali Bin Abi Thalib; Sayidina Husein pada hari Asyura memandang langit ketika pertempuran berkecamuk. Beliau bersama sejumlah pengikutnya meninggalkan pertempuran dan menunaikan shalat hingga selesai, sementara sejumlah anggota pasukannya sedang bertempur melawan serangan besar tentara Yazid. (Bihar al-Anwar vol. 45 hal. 21)
Pesan pentingnya bahwa shalat dalam kondisi apapun tidak boleh ditinggalkan, bahkan di medan perang sekalipun. Selain itu, orang yang menunaikan shalat harus berpikir bahwa ini adalah shalat terakhir dan kematian mungkin tidak memberinya kesempatan lagi untuk menunainya.
Filosofi Hukum dalam Islam (8)
Setelah mengkaji tentang filosofi, konsekuensi dan capaian shalat, kini kita akan mengenal pengaruh dan hasil shalat.
Ketika diundang untuk hadir ke perayaan atau pertemuan akbar, kita merencanakan bagaimana bisa tampil lebih baik dan indah. Kita mengenakan pakaian mewah, merias wajah dan menghadiri upacara dengan cara terbaik. Apalagi jika kita tahu bahwa seorang tokoh terkemuka ikut serta dalam acara tersebut dan sekelompok tokoh terkenal juga hadir. Selain tata rias fisik, kita juga memberikan perhatian khusus pada perilaku dan etiket bicara kami.
Sekarang, jika kita mempertimbangkan bahwa dalam shalat kita ingin bermunajat kepada Allah yang kebesaran-Nya meliputi seluruh alam semesta, Tuhan seluruh alam semesta dan kuasa-Nya adalah kekuatan tertinggi, dan semua partikel keberadaan dan semua malaikat dari alam malakut yang sibuk memuji-Nya. Dalam kondisi seperti ini, apakah kita akan hadir kehadirat Tuhan dalam kondisi lahiriah dan batiniah yang dihiasi dan indah?
Langkah pertama dalam hal ini, sesuai dengan budaya kesehatan Islam adalah mengenakan baju yang bersih dan suci dari segala kotoran. Setelah itu kita harus berwudhu yang dalam kamus bahasa berarti kecerahan dan dalam istilah fiqih adalah membasuh wajah dan kedua tangan setera mengusap kepala dan kaki. Jelas, membasuh wajah dan tangan, itupun dilakukan beberapa kali dalam sehari dan semalam dapat mengenyahkan debu dan seluruh kotoran dan penyakit, khususnya tangan, organ tubuh yang paling penting dalam memindahkan mikroba dan virus ke dalam badan.
Harus diperhatikan bahwa salah satu poin penting kesehatan dalam Islam yang disarankan sebelum berwudhu adalah mencudi dalam mulut dan hidung yang sangat berpengaruh penting dalam kesehatan manusia.
Imam Ridha as, Imam Kedelapan Syiah terkait filosofi wudhu mengatakan, "Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berwudhu sebelum menunaikan shalat, sehingga ketika bermunajat kehadirat Allah telah suci dari segala kotoran lahiriah, dan keluar dari kondisi malam dan kantuk. Ia berarti telah menyiapkan dirinya dengan penuh keceriaan dan kesiapan untuk hadir menghadap Allah yang Kebesaran dan Keagungannya tidak dapat dipahami."
Sebagaimana telah kami ingatkan sebelumnya, kesucian lahiriah saja tidak cukup dan harus memperhatikan serius kesucian batin. Karena hati yang menjadi pusat hubungan manusia dengan Allah, pencipta alam semesta.
Syahid Tsani, ulama besar dunia Islam terkait filosofi wudhu menulis, "Manusia yang berpikir, setelah mensucikan dirinya secara lahiriah, harus memberikan perhatian pada kesudian hati setelah berwudhu. Karena ketika melakukan munajat kepada Allah, hati harus suci dan harus mengikis segala kotoran moral dan jiwa seperti egois, sombong, merasa benar sendiri, menganggap yang lain buruk, berpikiran negatif, menindas dan melanggar hak-hak orang lain, sehingga shalat naik ke batas kesempurnaan puncak."
Jelas, pengulangan perilaku ibadah shalat di waktu pagi, siang dan malam bila dilakukan dengan memperhatikan tata cara lahiriah dan batiniah shalat akan sangat efektif dalam mensucikan diri, yakni mensucikan badan dan jiwa manusia. Rasulullah Saw ketika mengumpamakan peran shalat menggambarkan demikian, "Bila di rumah salah dari kalian ada sungai yang mengali dan setiap hari mandi di sana sebanyak lima kali, apakah ada kotoran yang tersisa di tubuhnya?" Sahabat menjawab, "Tidak." Nabi berkata lagi, "Shalat seperti sungai yang mengalir, setiap kali seseorang melaksanakan shalat, ia akan suci dari dosa." (Wasail al-Syiah, jilid 3, hal 7)
Salah satu pertanyaan terkait shalat yang sering disampaikan adalah mengapa shalat yang dilakukan setiap hari harus dilaksanakan lima kali? Jawab, dalam hal ini yang terbetik di benak adalah sudah selayaknya manusia memulai pagi harinya dengan mengingat Allah yang pengaruhnya lebih dari waktu yang lain. Sebab di pagi hari, manusia memiliki kesiapan dari sisi kejiwaan karena belum terpolusi oleh dosa dan ketergelinciran. Ia lebih siap untuk bermunajat lebih banyak kehadirat Allah, tetapi sayangnya, ketika waktu ini berlalu dan manusia terlibat dalam aktifitas keseharian dan sosial, manusia terkadang lalai mengingat Allah akibat sibuk dan bekerja.
Tetapi ketika tiba waktu Zuhur, waktu ini kembali membangkitkan ingatannya kepada Allah. Setelah itu, aktifitas kembali dimulai dan kemungkinan manusia begitu tenggelam dalam kehidupan, sehingga ia kembali melupakan Allah. Pada saat itulah tiba waktu shalat Ashar dan manusi a kembali melakukan munajat kepada Allah. Kehidupan manusia ini tetap berjalan dan berulang sehingga matahari terbenam. Saat itu mungkin saja manusia berada di puncak usaha atau kepenatan yang membuatnya lupa akan Allah, tetapi azab Maghrib membuatnya siap untuk melakukan shalat.
Dengan munculnya bulan dan tibanya malam yang berarti usaha hari itu berakhir, dengan melaksanakan shalat Isya, manusia perlahan-lahan menyiapkan waktu istirahatnya. Dengan demikian, dalam sehari semalam, manusia melewati harinya dengan mengingat Allah dan lima waktu shalat menjadi jelas baginya.
Terlepas dari semua itu, dalam sehari semalam manusia bermunajat kehadirat Allah maka secara alami seperti semua manusia yang hidup di tengah masyarakat, menghadapi naik turunnya pahit dan manisnya kehidupan dan banyak masalah ekonomi, politik, sosial dan berbagai masalah lainnya, hanya saja bedanya bahwa mereka yang melakukan shalat secara hakiki memiliki tempat berlindung yang aman dan dapat dipercaya. Ia tidak pernah berputus asa atau depresi menghadapi semua ini. Dengan inspirasi dari shalat yang dilakukannya dan hubungan dengan Allah yang memegang semua urusan, ia akan menghadapi segala masalah dengan tekad dan keinginan yang gigih dan akan melewati semua itu. Kekuatan itu semua berasal dari bimbingan Allah yang berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)
Filosofi Hukum dalam Islam (9)
Salah satu kekhawatiran ahli shalat adalah apakah ibadah yang mereka lakukan diterima oleh Allah Swt atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, kami mengajak Anda mengenali parameter penerimaan shalat seperti yang disebutkan oleh ayat dan riwayat.
Prinsip utama yang berperan penting dalam penerimaan shalat adalah meyakini pemimpin (imam) yang ditunjuk oleh Allah Swt. Karena kedudukan imam sama seperti posisi jantung bagi tubuh manusia, yaitu mentransfer darah ke seluruh anggota badan dan menjamin kelangsungan hidup manusia. Peran vital seperti ini juga dimainkan oleh imam dalam sistem takwini (penciptaan alam) dan sistem tasyri'i (penetapan hukum agama).
Mengenai prinsip akidah manakah yang paling berpengaruh dalam penerimaan shalat seseorang oleh Allah Swt, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as berkata, "Mencintai dan berwilayah (berimamah) serta berlepas tangan dari musuh-musuh kami." (Manaqib Ibnu Syahr Asyub, jilid 4, hal 131)
Tanda lain bahwa shalat seseorang diterima adalah sifat takwa yang tumbuh dalam dirinya. Takwa adalah kekuatan internal yang mencegah manusia dari melakukan dosa. Sifat ini sangat penting sehingga disebut hampir 110 kali dalam al-Quran.
Rasulullah Saw bersabda, "Jika engkau mendirikan shalat begitu banyak hingga membuatmu terlihat seperti tali anak panah (kurus) dan berpuasa begitu banyak hingga engkau terlihat seperti busur yang bungkuk, Allah tetap tidak akan menerimanya kecuali engkau bertakwa."
Imam Ali as berkata, "Shalat adalah pendekat setiap manusia yang bertakwa kepada Allah Swt."
Dalam Islam, kedudukan ilmu pengetahuan sangat tinggi sehingga ia tidak hanya memberikan nilai bagi shalat, tetapi juga bagi semua amal ibadah lainnya. Rasulullah – salah satu misinya adalah memberantas kebodohan – bersabda, "Satu rakaat shalat yang dikerjakan oleh orang yang mengetahui keagungan Tuhan, lebih baik daripada seribu shalat oleh orang yang tidak memiliki ilmu tentang kedudukan Tuhan."
Jelas bahwa ahli shalat yang berwilayah (berimamah), bertakwa, dan berilmu akan berusaha memberikan keteladanan perilaku yang baik kepada masyarakat sehingga semua orang tahu bahwa shalat diterima oleh Allah ketika pelakunya menyandang keutamaan spiritual dan kemanusiaan.
Imam Jakfar Shadiq as kepada salah satu sahabatnya berkata, "… Allah Swt berfirman, 'Sesungguhnya aku menerima shalat orang yang tunduk di hadapan kebesaran dan keagungan-Ku, menjaga dirinya dari godaan hawa nafsu demi memperoleh keridhaan-Ku, dan menghabiskan seluruh harinya dengan mengingat-Ku.'"
Ahli shalat memiliki tanggung jawab di hadapan Allah dan perlu selalu berusaha untuk meraih ridha-Nya, namun ia perlu mengetahui bahwa membangun hubungan dengan Sang Khalik saja tidak cukup, tetapi ia juga harus bersedia memikul tanggung jawab sosial.
Imam Shadiq as lebih lanjut berkata, "Aku menerima shalat seseorang yang tidak merasa sombong di hadapan masyarakat, mengenyangkan orang yang lapar, menutupi orang yang tanpa pakaian, membantu orang yang tertimpa musibah, bersikap lemah lembut, dan memberikan tempat tinggal kepada orang yang terasing. Cahaya kesucian dan spiritualitas terpancar ibarat matahari dari hamba seperti ini." (Kitab Tuhaf al-Uqul, hal 306)
Meski manusia memikul tanggung jawab di hadapan Tuhan dan orang lain, serta wajib mematuhi perintah dan larangan-Nya, tetapi dalam sistem hukum Islam, ayah dan ibu memiliki kedudukan yang luar biasa dan istimewa. Dalam al-Quran, Allah memerintahkan manusia untuk menaati diri-Nya dan kemudian mematuhi kedua orang tuanya serta berbuat baik kepada mereka.
Perintah ini ikut berpengaruh dalam penerimaan atau penolakan shalat seseorang. Imam Shadiq as berkata, "Barang siapa yang telah menzalimi ayah dan ibunya meskipun dengan tatapan yang tajam dan emosi kepada mereka, Allah tidak akan menerima shalatnya."
Pada intinya, sangat penting untuk menjaga hak-hak orang lain di semua dimensinya terutama akhlak sosial. Dapat dikatakan bahwa dalam akhlak Islami, tidak ada dosa yang lebih besar daripada ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain di belakangnya).
Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa dari laki-laki dan wanita Muslim melakukan ghibah, Allah tidak menerima shalat dan puasanya selama 40 hari, kecuali dia meminta kerelaan dari orang yang telah diumpatnya dan memperoleh maaf darinya."
Salah satu langkah yang sangat penting adalah menjaga shalat dari setiap noda. Sebab, nilai shalat akan berkurang jika dikotori dengan noda-noda seperti tidak menjaga larangan Allah, bermalas-malasan dalam shalat, dan sejenisnya.
Poin lain yang sangat ditekankan dalam shalat adalah menunaikan shalat tepat waktu dan tidak menundanya dengan alasan-alasan, yang tidak dibenarkan. Ahli shalat dituntut berkomitmen dengan masalah ini.
Komitmen ini sangat penting sehingga para nabi pun tetap melakukan shalat di awal waktu meskipun perang sedang berkecamuk. Rasulullah Saw bersabda, "Perbuatan yang paling dicintai di sisi Allah adalah mengerjakan shalat tepat waktu."
Imam Ali as berkata, "Jagalah waktu shalat kalian dan tunaikan ia dengan penuh semangat dan kegembiraan, dan dengannya carilah kedudukan yang dekat dengan Tuhan, di mana kewajiban Ilahi ini memiliki waktu yang telah ditetapkan bagi orang-orang yang beriman."
Filosofi Hukum dalam Islam (10)
Pada kesempatan ini akan dibahas seputar pengaruh dan manfaat shalat bagi yang melaksanakannya.
Salah satu tanda terperting dari pengaruh shalat pada manusia adalah penolakan atas seluruh sesembahan palsu dan fiktif, dan semua bentuk pemaksaan, penindasan serta kemunafikan yang masing-masing dengan cara tertentu menjauhkan manusia dari jalan yang lurus yaitu penghambaan kepada Allah Swt, dan menyanderanya.
Imam Ridha as mengatakan, falsafah shalat yaitu hanya Allah Swt sajalah yang kita sembah, dan kita terhindar dari semua bentuk kesyirikan dan penyembahan berhala, hanya di hadapan Pencipta Semesta sajalah kita menunjukkan kelemahan dan memohon, jangan sampai kita melupakan Pencipta kita, dan kebisingan dunia beserta semua daya tarik dan gemerlapnya membuat kita lalai serta membangkang.
Oleh karena itu para pelaksana shalat yang sebenarnya hidup dengan memegang teguh keyakinan kepada Tuhan, dan berporos pada-Nya, mereka selalu mengingat Tuhan dan menjalankan semua yang diperintahkan-Nya.
Sehubungan dengan hal ini Al Quran mengatakan, dirikanlah shalat agar kita selalu ingat. Maksudnya adalah ingat dalam ucapan, hati dan amal di seluruh segi kehidupan.
Dengan pandangan semacam ini, para pelaksana shalat hakiki dalam makna yang sebenarnya, terbebas dari belenggu semua kekuatan rapuh kekayaan materi, popularitas, hawa nafsu, dan bisikan setan, serta keluar sebagai pemenang.
Sebagaimana dikatakan oleh Iqbal Lahore, siapapun yang telah mengikat janji dengan Tuhan dan hanya menjadi hamba-Nya semata, tidak akan pernah tunduk pada sesembahan lain selain Tuhan Maha Esa, dan meraih kebebasannya.
Oleh karena itu manusia-manusia yang melaksanakan shalat dengan pandangan Tauhid akan sampai pada puncaknya di mana tidak ada tujuan lain selain Tuhan. Sebagaimana dalam ayat 6 Surat Al Inshiqaq, Allah Swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”
Imam Ali bin Abi Thalib as yang berhasil mencerap puncak maknawi ini dengan seluruh wujudnya, terkait orang-orang mukmin pelaksana shalat yang sebenarnya mengatakan, para malaikat mengajak mereka berbicara. Melimpahkan ketenangan Ilahi kepada mereka. Membukakan pintu-pintu alam malakut untuk mereka. Kedudukan kasih sayang tak terhingga Tuhan terhampar untuk mereka, Tuhan memperhatikan kedudukan dan derajat mereka yang dicapai berkat penghambaannya, dan menerima amal serta memuji kedudukan mereka. Saat mereka melantunkan nama Tuhan, mereka mencium semerbak magfirah dan ampunan-Nya. (Khutbah 220, Nahj Al Balaghah)
Orang-orang yang dekat dengan Allah Swt yakin bahwa mereka sedang berusaha menuju pada keabadian, mereka selalu berusaha mendekat ke pusaran keagungan Ilahi sehingga tidak ada lagi batas antara dimensi maknawi dan malakuti antara dirinya dengan Tuhan.
Dalam Munajat Syabaniah, lantunan para mukmin arif yang hakiki digambarkan sebagai berikut, Ya Allah, berikanlah kepada kami kesempurnaan terpisah dari seluruh ketergantungan untuk meraih kedekatan pada-Mu, dan arahkanlah pandangan hati kami kepada-Mu, sehingga semua tirai penghalang tersingkap, dan kami mencapai mata air keagungan-Mu, dan jiwa kami terbang mendekati pusara kemegahan kesucian-Mu.
Ya Allah jadikanlah aku bagian dari orang-orang yang Engkau panggil dan langsung menjawab, dan jadikanlah aku bagian dari orang-orang yang saat mendapat perhatian khusus dari-Mu, ia menjadi gila karena keagungan dan kebesaran-Mu.
Perlu diperhatikan bahwa para pecinta alam malakut yang mendekati Tuhan melalui shalat, dan munajat irfani, cara pandang, orientasi dan tujuan mereka berbeda dari berbagai sisi dengan orang-orang yang asing dengan alam malakut.
Imam Ali as di kitab Nahj Balaghah berkata, ahli dunia menganggap penting fisiknya, dan kematian jasmani sungguh besar di mata mereka, namun mereka sama sekali tidak memperhatikan kematian jiwa, dan tidak menghargainya.
Imam Ali menambahkan, jika kematian sudah ditakdirkan, dan atas kehendak Ilahi tidak diketahui kapan datangnya, ruh mereka dikarenakan kecintaan yang dalam pada keagungan Ilahi dan takut atas balasan-Nya, dalam satu kedipan mata akan sirna dari tubuh. (Khutbah 191, Nahj Al Balaghah)
Perbedaan lain antara para pesuluk jalan Ilahi dengan yang lainnya adalah cita-cita dan harapannya lebih kental warna Ilahi, dan semua upaya mereka dikerahkan supaya tidak tertinggal dalam hal nilai-nilai maknawi dan kemanusiaan.
Amirul Mukminin as dalam Doa Kumail mengatakan, Tuhanku tambahlah kekuatan dan kemampuanku, kokohkanlah hatiku dengan tekad dan kehendak baja, dan berikanlah kemampuan kepadaku untuk memahami keagungan-Mu, dan taufik yang tak pernah habis sehingga aku termasuk orang-orang yang terdepan dalam mengejar-Mu.
Dan termasuk orang-orang yang paling cepat mendekat ke haribaan-Mu, dan bergerak ke arah-Mu dengan segenap kebahagiaan sebagaimana para pecinta-Mu, dan seperti orang-orang ikhlas yang mendekat kepada-Mu, takut kepada-Mu seperti orang-orang yang yakin, masukkan aku ke dalam golongan orang-orang Mukmin di dekat-Mu.
Shalat dan permohonan manusia pelaksana shalat yang hakiki, akan membentuk pribadi unik yang dapat menjadi teladan bagi orang lain di semua bidang, dan memainkan peran efektif dalam membangun budaya shalat.
Filosofi Hukum dalam Islam (11)
Salah satu kajian penting di semua aspek kehidupan adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang bisa merusak nilai sebuah perbuatan. Dalam masalah ibadah, ia perlu mendapat perhatian serius khususnya perkara shalat yang punya peran sentral dalam Islam, sehingga amalan ini tidak rusak oleh faktor-faktor lain.
Allah Swt menyebutkan beberapa faktor yang bisa merusak ibadah melalui surat al-Ma’un yaitu:
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Menurut ayat ini, ketidakpedulian terhadap fakir-miskin dan orang yang membutuhkan, tidak memiliki kasih sayang, tidak punya pengetahuan tentang esensi shalat, dan bersikap riya’ – yang semuanya bersumber dari pengingkaran terhadap agama – adalah faktor-faktor yang merusak martabat orang yang shalat sehingga Allah Swt menghardiknya.
Kita harus tahu bahwa Islam tidak mengabulkan setiap shalat. Ayat tersebut mengandung pesan bahwa perilaku individual dan sosial orang-orang yang shalat harus kita jadikan sebagai parameter sehingga kita tahu mana ahli shalat sejati dan orang yang berpura-pura shalat, yang menjadikan shalat sebagai alat pencitraan.
Imam Jakfar Shadiq as dalam sebuah ucapannya menyingkap esensi dari orang-orang tersebut dengan berkata, “Janganlah kalian tertipu dengan shalat dan puasa sebagian orang, karena bagi mereka, shalat dan puasa hanya sebuah kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Jadi untuk (mengetahui hakikat mereka), mereka perlu diuji dengan tingkat komitmennya pada kejujuran dan amanah.”
Ahli shalat yang masih memelihara sifat-sifat tercela, biasanya tidak peduli dengan shalat dan dengan pandangan yang dangkal, mereka meremehkan shalatnya, yang tentu saja mengundang kemarahan Tuhan.
Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Janganlah meremehkan shalat kalian, karena Rasulullah Saw saat akan menjemput maut bersabda, ‘Barang siapa yang meremehkan shalatnya, maka ia bukanlah dari aku.’”
Poin yang sangat penting dari sabda ini bahwa sirah dan keteladanan yang diberikan Rasulullah Saw adalah jangan pernah meremehkan shalat, dan orang-orang semacam itu mungkin tidak layak disebut Muslim, karena shalat adalah kewajiban agama dan jalur komunikasi yang paling penting antara seorang hamba dan Tuhannya. Untuk itu, shalat harus mendapat perhatian khusus dari manusia. Orang yang shalat pada dasarnya sedang membangun hubungan dan bercengkrama dengan Tuhan.
Imam Shadiq as dalam sebuah wasiat menjelang kesyahidannya, menganggap bukan sebagai pengikutnya orang-orang yang meremehkan shalat. Di detik-detik terakhir ini, imam memanggil seluruh anggota keluarga dan orang-orang dekatnya, kemudian berkata kepada mereka, “Syafaat kami tidak akan sampai kepada orang yang meremehkan shalatnya.”
Jadi, salah satu faktor perusak pahala shalat adalah meremehkan shalat itu sendiri. Sebagian orang mungkin bertanya, apa tujuan dari ibadah yang dikerjakan secara riya’ dan penuh kemunafikan? Yaitu mereka yang berpura-pura shalat dan tidak memegang teguh nilai-nilai moral seperti, kejujuran dan amanah.
Al-Quran menjawab pertanyaan tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa, ayat 142)
Perlu dipahami bahwa salah satu peran konstruktif shalat adalah menjauhkan manusia dari perbuatan dosa dan memberikannya keterjagaan dari dosa.
Allah Swt memerintahkan Rasulullah dengan berfirman, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut, ayat 45)
Namun, syaitan telah membangkang dari perintah Ilahi sejak awal penciptaan manusia, ia bersikap takabbur dan akhirnya diusir dari sisi Allah Swt. Syaitan telah menjadi musuh besar bagi orang-orang yang shalat dan selalu berusaha menggoda mereka serta memperlemah tekad, dan menjerumuskan mereka ke dalam dosa.
Jika ini terjadi, maka shalat telah kehilangan fungsinya sebagai pencegah manusia dari perbuatan dosa. Dosa merupakan sebuah penyakit kronis bagi ahli shalat, yang akan menjauhkan mereka dari Allah.
Rasulullah Saw bersabda, “Shalat menghitamkan wajah syaitan.” Mengenai dampak buruk dosa, beliau berkata, “Barang siapa yang shalatnya tidak mencegah ia dari dosa dan keburukan, maka ia telah jauh dari (rahmat) Ilahi.”
Di samping meremehkan shalat dan berbuat dosa, ada faktor lain yang bisa membuat shalat tidak sempurna yaitu tanggungan kewajiban mal (harta) yang belum ditunaikan seperti khumus dan zakat atau haqqullah.
Faktor lain yang merusak shalat adalah hak-hak orang lain yang belum dipenuhi. Ahli shalat harus berkomitmen untuk menunaikan kewajiban tersebut, terutama hak-hak yang menyangkut dengan orang lain atau haqqunnas.
Rasulullah Saw bersabda, “Allah berfirman kepadaku, ‘Wahai penyambung silsilah para nabi dan pemberi peringatan, berilah peringatan kepada manusia bahwa selama mereka masih terlilit hak kepada hamba-Ku yang lain, maka jangan pernah mendatangi rumah-Ku. Karena meskipun ia sedang shalat di hadapan-Ku, Aku akan menjauhkannya dari rahmat-Ku, kecuali ia mengembalikan hak itu kepada pemiliknya.”
Filosofi Hukum dalam Islam (12)
Salah satu tujuan dan kebijakan strategis Islam adalah memperkuat dan memperdalam hubungan, mendekatkan hati dan menerapkan kesatuan pemikiaran serta tindakan dan menciptakan kovergensi di antara seluruh umat manusia, khususnya komunitas Islam.
Untuk merealisasikan nilai dan cita-cita besar yang menentukan ini, Islam memanfaatkan berbagai mekanisme dan di antaranya adalah menggelar shalat berjamaah di masjid di mana melalui ritual ini, umat muslim setiap hari berkumpul dan bersatu dalam sebuah saf shalat (barisan) dan selain menunaikan shalat berjamaah, mereka juga membahas berbagai kebutuhan primer dan vital di seluruh bidang baik ideologi, akhlak, budaya, politik, ekonomi dan militer.
Salah satu metode efektif untuk menanam dan membudayakan shalat berjamaah adalah memanfaatkan sarana persuasif dan menumbuhkan harapan. Rasulullah Saw melalui sarana wahyu sekuat tenaga berusaha menjaga persatuan umat Muslim dan di salah satu sabdanya berkata, "Sadarlah siapa saja yang berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah maka setiap langkahnya akan dihitung dengan 70 ribu kebaikan dan pahalahnya di catat di amal perbuatannya. Selain itu, 70 ribu dosanya akan dihapus. Oleh karena itu, tingkat spritualitasnya akan ditingkatkan. Tak hanya itu, 70 ribu malaikat ditugaskan untuk menemuinya di alam kubur dan menemaninya serta meminta ampunan baginya kepada Tuhan hingga hari kiamat ."
Meskipun riwayat ini menunjukkan betapa pentingnya shalat jamaah, namun angka dan nominal yang digunakan di dalamnya memiliki beberapa keterbatasan. Tapi riwayat lain dari Rasulullah Saw menunjukkan tidak adanya batasan pahala shalat berjamaah. Rasul bersabda, "Setelah shalat Dhuhur, malaikat Jibril bersama 70 ribu malaikat lainnya datang kepadaku dan berkata, Wahai Muhammad! Allah Swt mengirim salam kepadamu dan berfirman, Aku memberimu dua hadiah yang tidak kuberikan kepada nabi sebelummu. Rasul bertanya, Wahai Jibril, ada dua hadiah tersebut? Jibril menjawab: shalat lima waktu dan shalat berjamaah..."
"...Kemudian Rasul bertanya, apa pahala bagi shalat berjamaah? Jibril menjawab, Wahai Muhammad! Jika makmum satu orang, maka pahalanya sama seperti 150 shalat dan jika dua orang pahalanya 600 shalat. Semakin banyak jumlahnya maka pahalanya juga semakin besar. Jika jumlahnya lebih dari sepuluh orang jika laut langit dan bumi digabungkan dan seluruh pohon menjadi pensil serta seluruh jin, manusia dan malaikat menjadi penulisnya, maka mereka tetap tidak mampu menulis pahala shalat berjamaah."
Shalat berjamaah selain mendekatkan hati dan memperkuat hubungan manusia serta akhlak serta menumbuhkan spirit saling membantu di tengah masyarakat, juga memiliki dampak besar di hari Kiamat. Di hari ketika barisan manusia saleh dan baik dipisahkan dari barisan pendosa serta kriminal, mereka dapat dikenali melalui wajah-wajah mereka.
Rasul bersabda, "Sekelompok orang dibangkitkan di hari Kiamat di mana wajah mereka bersinar terang seperti bintang. Saat itu, malaikat bertanya, apa yang kalian lakukan di dunia sehingga wajah kalian bersinar terang? Mereka menjawah, "Ketika suara azan terdengar, kami langsung berbodong-bondong menunaikan shalat berjamaah dan kami mengedepankan shalat berjamaah dari hal-hal yang lain." Saat itu, sekelompok orang lainnya memasuki padang Mahsyar dan wajah mereka bersinar seperti bulan. Malaikat kembali bertanya kepada mereka alasan wajah bereka bersinar terang. Mereka menjawab bahwa kami mempersiapkan diri jauh sebelum shalat berjamaah digelar dan menuju masjid. Kemudian datang kelompok ketiga di hari Kiamat dengan wajah terang benderang seperti matahari. Malaikat bertanya kepada mereka alasan wajah mereka yang bersinar terang. Mereka menjawab, kami sebelum azan dikumandangkan telah berada di masjid untuk menunaikan shalat berjamaah."
Seluruh para nabi untuk memberi hidayah dan menarik manusia, terkadang memicu motivasi dengan memberi kabar gembira sehingga mereka terbebas dari kegelapan dan penyimpangan. Ketika putus asa dari memberi petunjuk mereka, maka para nabi memberi peringatan kepada manusia. Rasul yang menjadi manifestasi dari rahmat bagi dunia, juga mengikuti metode para nabi sebelumnya supaya membuat masjid menjadi pusat persatuan dan solidaritas umat Muslim, mendorong umat muslim aktif di shalat berjamaah dan ketika menyadari sejumlah muslim malas dan lalai, Rasul memperingatkan mereka dengan bersabda, "Ucapkan salam kepada umat Yahudi dan Nasrani, dan jangan ucapkan salam kepada Yahudi umatku. Sahabat bertanya, Wahai Rasulullah! Siapa Yahudi umatmu? Rasul menjawab, mereka yang mendengar suara azan, namun tidak menghadiri shalat berjamaah."
Pertanyaannya, mengapa Rasul menggunakan retorika seperti ini bagi mereka yang tidak menghadiri shalat berjamaah, padahal ia adalah manifestasi kesopanan dan akhlak mulia di setiap perilaku dan ucapan? Mungkin dapat dikatakan bahwa mengingat shalat berjamaah adalah simbol persatuan dan konvergensi umat Islam. Alasan lainnya adalah shalat berjamaah sebuah ritual ibadah dan spiritual bagi umat Muslim. Dan akhirnya, pelanggaran nyata terhadap perintah ilahi dan instruksi Nabi (SAW) dan para pemimpin yang dipilih ada di hadapan Allah, yang sangat menekankan pada sholat berjamaah.
Mari kita memohon kepada Allah Swt supaya kita diberi taufik dan hidayah untuk menunaikan shalat berjamaah dan menunjukkan lebih besar persatuan kita dihadapan musuh internal dan asing dunia Islam.
Untuk merealisasikan nilai dan cita-cita besar yang menentukan ini, Islam memanfaatkan berbagai mekanisme dan di antaranya adalah menggelar shalat berjamaah di masjid di mana melalui ritual ini, umat muslim setiap hari berkumpul dan bersatu dalam sebuah saf shalat (barisan) dan selain menunaikan shalat berjamaah, mereka juga membahas berbagai kebutuhan primer dan vital di seluruh bidang baik ideologi, akhlak, budaya, politik, ekonomi dan militer.
Salah satu metode efektif untuk menanam dan membudayakan shalat berjamaah adalah memanfaatkan sarana persuasif dan menumbuhkan harapan. Rasulullah Saw melalui sarana wahyu sekuat tenaga berusaha menjaga persatuan umat Muslim dan di salah satu sabdanya berkata, "Sadarlah siapa saja yang berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah maka setiap langkahnya akan dihitung dengan 70 ribu kebaikan dan pahalahnya di catat di amal perbuatannya. Selain itu, 70 ribu dosanya akan dihapus. Oleh karena itu, tingkat spritualitasnya akan ditingkatkan. Tak hanya itu, 70 ribu malaikat ditugaskan untuk menemuinya di alam kubur dan menemaninya serta meminta ampunan baginya kepada Tuhan hingga hari kiamat ."
Meskipun riwayat ini menunjukkan betapa pentingnya shalat jamaah, namun angka dan nominal yang digunakan di dalamnya memiliki beberapa keterbatasan. Tapi riwayat lain dari Rasulullah Saw menunjukkan tidak adanya batasan pahala shalat berjamaah. Rasul bersabda, "Setelah shalat Dhuhur, malaikat Jibril bersama 70 ribu malaikat lainnya datang kepadaku dan berkata, Wahai Muhammad! Allah Swt mengirim salam kepadamu dan berfirman, Aku memberimu dua hadiah yang tidak kuberikan kepada nabi sebelummu. Rasul bertanya, Wahai Jibril, ada dua hadiah tersebut? Jibril menjawab: shalat lima waktu dan shalat berjamaah..."
"...Kemudian Rasul bertanya, apa pahala bagi shalat berjamaah? Jibril menjawab, Wahai Muhammad! Jika makmum satu orang, maka pahalanya sama seperti 150 shalat dan jika dua orang pahalanya 600 shalat. Semakin banyak jumlahnya maka pahalanya juga semakin besar. Jika jumlahnya lebih dari sepuluh orang jika laut langit dan bumi digabungkan dan seluruh pohon menjadi pensil serta seluruh jin, manusia dan malaikat menjadi penulisnya, maka mereka tetap tidak mampu menulis pahala shalat berjamaah."
Shalat berjamaah selain mendekatkan hati dan memperkuat hubungan manusia serta akhlak serta menumbuhkan spirit saling membantu di tengah masyarakat, juga memiliki dampak besar di hari Kiamat. Di hari ketika barisan manusia saleh dan baik dipisahkan dari barisan pendosa serta kriminal, mereka dapat dikenali melalui wajah-wajah mereka.
Rasul bersabda, "Sekelompok orang dibangkitkan di hari Kiamat di mana wajah mereka bersinar terang seperti bintang. Saat itu, malaikat bertanya, apa yang kalian lakukan di dunia sehingga wajah kalian bersinar terang? Mereka menjawah, "Ketika suara azan terdengar, kami langsung berbodong-bondong menunaikan shalat berjamaah dan kami mengedepankan shalat berjamaah dari hal-hal yang lain." Saat itu, sekelompok orang lainnya memasuki padang Mahsyar dan wajah mereka bersinar seperti bulan. Malaikat kembali bertanya kepada mereka alasan wajah bereka bersinar terang. Mereka menjawab bahwa kami mempersiapkan diri jauh sebelum shalat berjamaah digelar dan menuju masjid. Kemudian datang kelompok ketiga di hari Kiamat dengan wajah terang benderang seperti matahari. Malaikat bertanya kepada mereka alasan wajah mereka yang bersinar terang. Mereka menjawab, kami sebelum azan dikumandangkan telah berada di masjid untuk menunaikan shalat berjamaah."
Seluruh para nabi untuk memberi hidayah dan menarik manusia, terkadang memicu motivasi dengan memberi kabar gembira sehingga mereka terbebas dari kegelapan dan penyimpangan. Ketika putus asa dari memberi petunjuk mereka, maka para nabi memberi peringatan kepada manusia. Rasul yang menjadi manifestasi dari rahmat bagi dunia, juga mengikuti metode para nabi sebelumnya supaya membuat masjid menjadi pusat persatuan dan solidaritas umat Muslim, mendorong umat muslim aktif di shalat berjamaah dan ketika menyadari sejumlah muslim malas dan lalai, Rasul memperingatkan mereka dengan bersabda, "Ucapkan salam kepada umat Yahudi dan Nasrani, dan jangan ucapkan salam kepada Yahudi umatku. Sahabat bertanya, Wahai Rasulullah! Siapa Yahudi umatmu? Rasul menjawab, mereka yang mendengar suara azan, namun tidak menghadiri shalat berjamaah."
Pertanyaannya, mengapa Rasul menggunakan retorika seperti ini bagi mereka yang tidak menghadiri shalat berjamaah, padahal ia adalah manifestasi kesopanan dan akhlak mulia di setiap perilaku dan ucapan? Mungkin dapat dikatakan bahwa mengingat shalat berjamaah adalah simbol persatuan dan konvergensi umat Islam. Alasan lainnya adalah shalat berjamaah sebuah ritual ibadah dan spiritual bagi umat Muslim. Dan akhirnya, pelanggaran nyata terhadap perintah ilahi dan instruksi Nabi (SAW) dan para pemimpin yang dipilih ada di hadapan Allah, yang sangat menekankan pada sholat berjamaah.
Mari kita memohon kepada Allah Swt supaya kita diberi taufik dan hidayah untuk menunaikan shalat berjamaah dan menunjukkan lebih besar persatuan kita dihadapan musuh internal dan asing dunia Islam.
Filosofi Hukum dalam Islam (13)
Salah satu tujuan politik Islam adalah menciptakan ikatan dan hubungan di antara hati dan pemikiran berlandaskan akidah dan iman sehingga umat Islam dengan cara ini dapat menjadi sebuah komunitas kokoh dan kuat di hadapan musuh.
Umat Islam akan berdiri melawan semua konspirasi luas musuh, dan dengan menggagalkan semua skenario mereka, ia membuka paluang terwujudnya cita-cita luhur Ilahi dan kemanusiaan.
Dengan visi semacam inilah shalat Jumat sebagai simbol agung masyarakat Islami dalam budaya politiknya, menempati kedudukan khusus di dalam Al Quran dan ajaran Nabi Muhammad Saw, serta keluarga sucinya. Terkait hal ini Al Quran mengatakan,
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Surat Al Jumu’ah ayat 9)
Poin pertama ayat ini menjelaskan keterkaitan shalat Jumat dan iman kepada Allah Swt, dan orang-orang yang memiliki keimanan secara sadar, setelah mendengar seruan untuk melaksanakan shalat Jumat, atas perintah Allah Swt bukan saja bergerak menyambut seruan tersebut, bahkan bersegera untuk menunjunkkan penghambaannya dalam aksi nyata.
Pasalnya mereka menganggap shalat sebagai manifestasi mengingat Tuhan, dan ketika seseorang bersiap bermunajat kepada Allah Swt mereka akan meninggalkan semua aktivitas perdagangan agar tidak sampai lalai mengingat Tuhannya.
Poin penting lainnya yang menarik adalah di akhir ayat disebutkan, Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Karena aktivitas perdagangan yang diwarnai spiritualitas Ilahi dan lebih kekal, tidak diragukan nilainya tidak bisa dibandingkan dengan aktivitas perdagangan yang murni materi.
Saat manusia tidak memiliki kekhawatiran yang dangkal bahwa dunia lebih utama dari akhirat, ia akan bersikap dengan kesadaran dan pemikiran yang tajam. Al Quran memuji orang-orang berpikiran jauh ini dan mengatakan,
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (Surat An Nur ayat 37)
Di akhir ayat ini dijelaskan bahwa shalat Jum'at menentukan nasib abadi manusia di Hari Kiamat.
Imam Jafar Shadiq as mengutip Rasulullah Saw bersabda, dan hari Jumat bertepatan dengan hari penghitungan dimana Allah Swt mengumpulkan semua manusia yang sudah dibangkitkan, dan tidak ada seorang berimanpun yang berangkat shalat Jum'at dengan berjalan kaki kecuali setelah berakhir shalat Jum'at, Allah Swt mempermudah rasa takut akan hari kiamat, dan hari Jum'at adalah hari besar di mana laki-laki dan perempuan beriman mendapatkan rahmat Ilahi. (Mustadrak jilid 6, hlmn 41)
Dalam riwayat lain Nabi Muhammad Saw bersabda, kedekatan manusia kepada Tuhan pada hari kiamat setara dengan tingkat keikutsertaannya dalam shalat Jumat. (Kanzul Umal, 21047)
Shalat Jumat sedemikian penting sampai Allah Swt mewajibkannya atas orang-orang yang tidak memiliki halangan serius, dan Rasulullah Saw bersabda, barangsiapa selama hidupnya, dan setelah kematianku hingga hari kiamat, meninggalkan shalat Jumat atas dasar pengingkaran dan meremehkannya, Allah Swt tidak akan pernah membereskan urusan kehidupannya, dan tidak memberkahinya, selain itu waspadalah shalat dan haji serta sedekahnya tidak akan terlalu bernilai. Kecuali ia bertobat, sampai Allah Swt menerimanya dan memandangnya dengan pandangan rahmat. (Mustadrak jilid 6, hlmn 11)
Salah satu adab penting shalat Jumat, adalah pelaksanaannya oleh seorang Imam Jum'at yang adil, artinya ia menjadi teladan nilai-nilai Ilahi, akhlak dan kemanusiaan. Seorang Imam Jum'at harus bersih dari segala dosa dan keburukan, ia sama sekali tidak boleh memiliki kecenderungan pada kekuasaan dan kekayaan.
Imam Jafar Shadiq as bersabda, shalat Jum'at harus dilakukan oleh seorang imam yang adil dan bertakwa. (Mustadrak jilid 6, hlm 14)
Salah satu kewajiban Imam Jum'at adalah menyampaikan dua khutbah yang pada keduanya setelah memuji Allah Swt, dan menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarga sucinya, ia harus mengajak masyarakat kepada ketakwaan dan menjalankan aturan Ilahi, serta berhias diri dengan keutamaan akhlak dan kemuliaan manusia.
Setelah itu ia menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia Islam, dan mengungkap kebusukan penguasa lalim, serta menjadi penyampai suara bangsa-bangsa tertindas yang karena kejahatan, ketidakadilan dan perang, serta perampokan terhadap mereka, tidak mampu menyuarakan protes dan menuntut keadilan.
Poin penting lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam shalat Jum'at, di khutbah pertama, Imam Jum'at harus membacakan Surat Jumuah yang diawali dengan tasbih dan penjelasan risalah Nabi Muhammad Saw, kemudian menjelaskan persekongkolan sebagian kaum Yahudi yang tidak pernah menjalankan satupun kewajibannya, lalu menafikan klaim-klaim tak berdasar orang-orang yang mengira dirinya wali Allah namun dalam amal tidak mampu membuktikan klaimnya, dan sangat takut mati, pada akhirnya Al Quran menjelaskan ada dua kelompok Muslim.
Kelompok pertama menyambut seruan Ilahi, dan melaksanakan shalat Jum'at, dan kelompok lainnya dikarenakan ketergantungan pada dunia, dan sifat oportunisnya, saat menyaksikan rombongan pedagang, langsung meninggalkan shalat Jum'at ketika Nabi Muhammad Saw masih menyampaikan khutbah, dan mereka dikecam oleh Allah Swt.
Imam Jum'at pada khutbah kedua harus membaca Surat Al Munafiqun yang menjelaskan orang-orang yang secara lahir tampak Muslim, dan Allah Swt membantah keimanan mereka, karena mereka merupakan musuh Islam yang paling berbahaya, mereka mengulurkan tangan persahabatan kepada kaum penjajah, dan dengan nafsu kekuasaannya hanya berpikir untuk melindungi kepentingan pribadi yang kotor dan anti-kemanusiaan.
Filosofi Hukum dalam Islam (14)
Shalat dalam budaya Islam memiliki kedudukan khusus dan jika pelaksanaannya disertai dengan makrifat dan kecintaan, maka ia berperan penting dalam membersihkan jiwa dan mengembangkan nilai-nilai Ilahi dan kemanusiaan dalam diri seseorang.
Namun menurut ayat dan riwayat, dapat dipahami bahwa shalat malam (tahajud) sangat penting dan memiliki kedudukan istimewa di mata Tuhan.
Secara umum, kata “malam” selain sebagai salah satu tanda-tanda dari kebesaran Allah Swt, juga menjadi saksi atas peristiwa penting dan menentukan dalam sejarah umat manusia seperti, turunnya al-Quran, isra’ mi’raj, dan hijrah Rasulullah Saw. Ini juga dapat menjadi indikasi atas rahasia dan misteri yang dimiliki malam.
Al-Quran dalam berbagai ayat mengangkat tema shalat malam dan dari ayat-ayat tersebut serta penjelasan Ahlul Bait, dapat dipahami bahwa shalat malam diwajibkan atas Rasulullah Saw.
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra, ayat 79)
Dari ayat ini jelas bahwa jika manusia ingin memiliki kedudukan yang tinggi dan terpuji di sisi Allah Swt, maka ia harus bangkit di tengah malam ketika semua orang tertidur, untuk mengerjakan shalat tahajud dan bermunajat kepada Tuhan.
Rasulullah Saw bersabda, “Malaikat Jibril selalu mewasiatkan kepadaku agar mengerjakan shalat malam, sampai aku mengira bahwa manusia terbaik umatku adalah mereka yang tidak tidur di malam hari.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda, “Rahmat Allah atas orang yang bangun di tengah malam dan bermunajat dengan Tuhan-nya. Allah akan terus memancarkan cahaya-Nya di hati hamba seperti itu. Dia berfirman kepada para malaikat, “Lihatlah hamba-Ku ini yang berkhalwat dengan-Ku di tengah malam ketika ahli batil sibuk mengikuti hawa nafsu dan melupakan-Ku. Aku jadikan kalian sebagai saksi bahwa Aku telah mengampuninya.”
Imam Ali as dikenal luas sebagai sosok yang selalu menghidupkan malamnya dengan ibadah, bermunajat kepada Allah Swt di semua malam, dan ia menjadi inspirasi bagi orang-orang yang meniti jalan penghambaan dan sairus suluk.
Dalam mensifati orang-orang yang menghidupkan malamnya, Imam Ali as berkata, “Di malam hari, mereka berdiri sambil membaca bagian-bagian dari al-Quran dan membacanya dengan cara yang terukur lagi baik, menciptakan darinya rasa sedih bagi diri mereka sendiri, yang dengan itu mereka mencari pengobatan bagi sakit mereka.
Apabila mereka menemukan suatu ayat yang menimbulkan gairah (untuk surga), mereka mengikutinya dengan ingin sekali mendapatkannya dan roh mereka fokus kepadanya dengan penuh gairah, dan mereka merasa seakan-akan (surga) itu berada di hadapannya.
Dan bila mereka menemukan ayat yang mengandung ketakutan (kepada neraka), mereka membungkukkan telinga hatinya kepadanya, dan meresa seakan-akan bunyi neraka dan jeritannya mencapai telinga mereka. Mereka membungkukkan diri dari punggung mereka, bersujud pada dahinya, telapak tangan mereka, lutut mereka dan jari-jari kaki mereka, dan memohon kepada Allah Yang Maha Mulia untuk keselamatan mereka.
Di siang hari, mereka tabah, terpelajar, bijak dan takwa. Takut (kepada Allah) telah membuat mereka kurus seperti anak panah. Apabila seseorang melihat mereka, dia akan percaya bahwa mereka sakit, walaupun mereka tidak sakit, dan dia akan mengatakan bahwa mereka telah menjadi gila. (Nahjul Balaghah, khutbah 192)
Kalimat terakhir ini menegaskan bahwa kedekatan dengan Allah Swt tidak boleh menjadikan seseorang mengisolasi diri dari masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Islam tidak mengenal rahbaniyat dan mengasingkan diri dari masyarakat.” Sabda lain berkata, “Rahbaniyat umatku adalah berjihad di jalan Allah Swt.”
Atas dasar prinsip inilah, Imam Ali as berkata, “Pada siang hari, mereka tabah, terpelajar, bijak dan takwa…” Pada kesempatan lain, beliau berkata, “Manusia yang beriman dan bertakwa, mereka adalah singa di siang hari dan abid di waktu malam.”
Keteladanan praktis Rasulullah Saw dan Imam Ali dalam menghidupkan malam telah menjadi inspirasi bagi para ulama dan auliya Ilahi. Mereka bermunajat di kegelapan malam, berkeluh kesah, dan bersimpuh di hadapan Tuhan. Namun di siang hari, mereka aktif di tengah masyarakat dan berjihad dengan penuh semangat.
Rasulullah Saw telah menunjukkan peran dan kedudukan shalat malam kepada Imam Ali as dengan bersabda, “Hendaklah engkau mendirikan shalat malam.” Kalimat ini diulangi sampai tiga atau empat kali.
Kajian kali ini kita akhiri dengan mengutip firman Allah Swt yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adh-Dhariyat, ayat 15-19)
Daftar Isi:
Filosofi Hukum dalam Islam1
Filosofi Hukum dalam Islam (1)2
Filosofi Hukum dalam Islam (2)6
Filosofi Hukum dalam Islam (3)10
Filosofi Hukum dalam Islam (4)14
Filosofi Hukum dalam Islam (5)18
Filosofi Hukum dalam Islam (6)23
Filosofi Hukum dalam Islam (7)28
Filosofi Hukum dalam Islam (8)31
Filosofi Hukum dalam Islam (9)35
Filosofi Hukum dalam Islam (10)39
Filosofi Hukum dalam Islam (11)43
Filosofi Hukum dalam Islam (12)47
Filosofi Hukum dalam Islam (13)54
Filosofi Hukum dalam Islam (14)
59
Filosofi Hukum dalam Islam Bagian (2)
Filosofi Hukum dalam Islam (15)
Hari ini tanggal 15 Ramadhan bertepatan dengan hari kelahiran salah satu cucu Rasulullah Saw, Imam Hasan Mujtaba as, akan manyajikan topik mengenai puasa yang memiliki sejarah panjang dan bukan hanya khusus untuk umat Islam, tapi juga sudah ada sejak umat terdahulu.
Allah Swt berfirman di surah al-Baqara ayat 183 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Ayat ini juga menunjukkan bahwa puasa juga termasuk ibadah agama besar Ilahi lainnya. Dengan mempelajari Taurat dan Injil yang ada juga disebutkan ibadah puasa telah diwajibkan di antara umat Yahudi dan Nasrani serta umat-umat lainnya.
Di Taurat disebutkan, Ketika saya datang ke gunung, di mana saya diberi lauh (tablet batu), yaitu lauh perjanjian yang Allah buat dengan kalian, saya tinggal di gunung selama empat puluh hari dan empat puluh malam, tidak makan atau minum air.
Selain itu juga disebutkan, Kebanyakan orang Yahudi berpuasa pada saat mereka ingin menunjukkan ketidakberdayaan mereka kepada Allah untuk mengakui dosa-dosa mereka. Dan dengan bertaubat mereka meraih keridhaan Allah Swt.
Puasa setahun sekali telah menjadi tradisi di antara umat Yahudi. Ada juga puasa harian dan wakut singkat untuk memperingati bencana Jerusalem serta kasus serupa.
Selain dari ajaran Yahudi, puasa juga menjadi tradisi di kaum Nasrani. "Ketika Isa diperintahkan Tuhan pergi ke padang belantara dan iblis meminta supaya dapat mengujinya...Kemudian ia berpuasa selama 40 hari. (Injil Matta, bab 4) Hawariyun , setelah Nabi Isa, juga berpuasa. Seperti disebutkan di Injil:"Mereka mengatakan bahwa bagaimana murid Yahya senantiasa berpuasa, namun murid dan pegikutmu makan dan minum?...Tapi akan datang suatu hari mereka juga berpuasa." (Injil, Bab 5)
Hal ini juga patut dicatat bahwa meski puasa seperti yang dijelaskan oleh al-Quran juga ada di umat sebelum Islam dan juga sebuah kewajiban, namun tidak ada kesamaan di tata caranya mengingat kondisi geografi dan waktu. Dapat dikatakan bahwa etika puasa di Islam tidak dapat disamakan dengan agama Samawi yang lain dan etika ini khusus untuk agama Islam. Misalnya di antara pengikut agama sebelumnya berpuasa terbatas pada menghindari memakan daging atau susu atau tidak makan dan minum secara total. Al-Quran juga menyebutkan kisah puasa Nabi Zakaria dan Sayidah Maryam (puasa tidak berbicara).
Kita juga mengetahui bahwa pengikut agama sebelumnya dan di antara kaum di berbegai belahan dunia seperti Mesir dan Yunani serta Romawi kuno, puasa juga marak dan bahkan penyembah berhala pun juga meyakini puasa serta saat ini mereka tetap menjalankan puasa menurut keyakinannya. Dengan demikian puasa dan berpuasa sebuah ibadah yang ada di seluruh agama Ilahi dan bahkan agama non Ilahi. Namun pertanyaannya adalah apa filosofi puasa dan berpuasa?
Di fase terakhir ayat 183 Surah al-Baqara yang sebelumnya telah kami sebutkan, dan setelah Allah berfirman Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...disebutkan alasan terpenting kewajiban puasa yakni supaya kamu bertakwa.
Meski ada banyak alasan untuk efek spiritual dan pendidikan dari puasa dalam teks dan riwayat Islam, namun al-Quran sangat menekankan efek takwa dari yang lainnya. Hal ini karena, jika takwa Ilahi telah tertanam pada seseorang, seluruh nilai moral dan manusiawi akan termanifestasi di manusia seperti ini dan mereka akan terhindar dari mereka.
Untuk memahami seberapa penting posisi dan peran menentukan takwa, kita cukup memahami bahwa di al-Quran kalimat takwa disebutkan sebanyak 17 kali. Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apa arti takwa? Takwa adalah kekuatan spiritual yang muncul dari pergulatan terus-menerus dengan hawa nafsu dan godaan setan. Kondisi ini membuat spiritual semakin kuat dan terlindungi.
Rasulullah Saw bersabda, "Siapa saja yang menjadikan takwa sebagai kondisi hariannya, maka ia mendapat kebaikan dunia dan akhirat." Imam Ali berkata, "Takwa kunci kebaikan dan cadangan hari Kiamat, faktor kebebasan dari segala bentuk perbudakan dan juga faktor keselamatan dari kehancuran."
Oleh karena itu, takwa memainkan peran penting di seluruh perilaku dan sikap individu serta masyarakat di seluruh bidang. Melalui takwa, para wali Allah meraih derajat tinggi malakuti.
Imam Ali as berkata,"Takwa Ilahi membuat para Wali Allah berada di bawah lindungan Tuhan serta mencegah mereka melanggar larangan-Nya dan hati mereka takut melanggar perintah-Nya."
Allah Swt di Surah Yunus ayat 62-64 berfirman, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar."
Mengingat ajaran ini akan jelas bahwa mengapa Tuhan menyebutkan takwa sebagai salah satu alasan terpenting dan filosofi kewajiban puasa. Yakni supaya kita mampu meraih derajat tinggi seperti wali Allah melalui rahmat Ilahi ini.
Filosofi Hukum dalam Islam (16)
Puasa jamak dilakukan di antara seluruh agama langit, kaum dan bangsa-bangsa, bahkan di kalangan para penyembah berhala, tetapi tidak diragukan bahwa puasa dalam Islam memiliki kelebihan tersendiri dalam dimensi kuantitas dan kualitas, sehingga membuatnya berbeda dari yang dilakukan di luar Islam.
Sebelumnya, kita telah mengingatkan bahwa puasa jamak dilakukan di antara seluruh agama langit, kaum dan bangsa-bangsa, bahkan di kalangan para penyembah berhala, tetapi tidak diragukan bahwa puasa dalam Islam memiliki kelebihan tersendiri dalam dimensi kuantitas dan kualitas, sehingga membuatnya berbeda dari yang dilakukan di luar Islam. Untuk mengetahui lebih lanjut dari posisi ini, akan dikutip sejumlah hadis. Allah Swt untuk menunjukkan keagungan puasa di sisi-Nya berfirman, "Puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahalanya." (Al-Kafi: 6/63/4)
Perlu diperhatikan bahwa Allah tidak pernah menyampaikan ungkapan seperti ini terkait ibadah yang lain. Dalam menganalisa masalah ini akan dibeberkan dua pandangan; pertama, semua ungkapan seperti shalat, khususnya shalat berjamaah dan jumat, atau ibadah haji memiliki tampilan lahiriah, di mana hama bernama riya bisa saja mempengaruhinya, sehingga merusak keikhlasan dan bahkan bercampur kesyirikan. Tetapi dalam puasa, munculnya kemungkinan seperti ini sangat kecil, karena tidak ada penampakan lahiriahnya. Dalam ibadah puasa prosentase keikhlasan dalam melaksanakannya sangat kuat. Karena Allah hanya menerima perbuatan yang didasari keikhlasan, Allah menisbatkan puasa kepada diri-Nya.
Pandangan kedua yang dapat disampaikan dalam masalah ini bahwa tidak ada perbuatan ibadah lain seperti puasa di mana manusia menunjukkan tahapan penghambaannya dengan menjaga semua keharusan dan ketidakharusa di sisi Allah. Seorang yang berpuasa akan melaksanakan apa saja yang diperintahkan Allah tanpa ada yang kurang. Karenanya dapat dikatakan bahwa bulan suci Ramadhan adalah bulan di mana manusia melatih dirinya melakukan ibadah dan penghambaan kepada Allah. Bahkan mungkin juga dengan alasan ini, Allah menisbatkan puasa kepada dirinya dan berfirman, "Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus." (QS. Yasin: 61)
Berpuasa yang seperti ini dengan meletakkan kepala pada penghambaan ilahi mendapat pujian para malaikat, khususnya ketika mereka menyaksikan ada sekelompok manusia yang bermaksiat dan keluar dari lingkaran penghambaan kepada Allah.
Rasulullah Saw dalam hal ini bersabda, "Tidak ada orang berpuasa yang melewati sekelompok orang yang menyepelekan kesucian bulan Ramadhan, yang sedang menyantap makanan, kecuali seluruh anggota badannya mengucapkan tasbih dan malaikat mengucapkan salam kepadanya. Salam mereka adalah memohon ampunan di sisi Allah." (Tsawab al-A'mal, 1/7701/75)
Dalam suasana yang begitu membangkitkan semangat dan penuh harapan, bagian spiritual, yang memiliki warna dan aroma surgawi, menemukan semua pencitraan khusus dan menunjukkan tahapan penghambaan manusia dalam seluruh perilaku manusia yang berpuasa yang dilakukan dengan keikhlasan dan tanpa dibuat-buat atau riya.
Berdasarkan cara pandang ini, Imam Shadiq as berkata, "Orang yang berpuasa, tidurnya terhitung ibadah, diammnya termasuk tasbih dan perbuatannya diterima serta doanya akan dikabulkan." (Al-Faqih: 2/76/1783)
Dalam sistem alam dan syariat ilahi, setiap perbuatan baik layak mendapat pahala dan Allah yang Maha Pengasih terkadang memberikan pahala kepada manusia lebih dari apa yang dilakukan dan kelayakannya berdasarkan keutaman dan kedermawanan-Nya. Rasulullah Saw yang merupakan perwujudan dari rahmat Allah yang tak terbatas, bersabda, "Siapa pun yang berpuasa suatu hari dengan cinta dan motivasi ilahi, jika ia diberi emas sebanyak seluruh (tambang) bumi, ia tidak akan menerima pahalanya secara penuh dan hanya di hari perhitungan (dan kiamat) dia akan menerima hadiah penuhnya." (Ma'ani al-Akhbar, 91/409)
Manifestasi lain dari janji-janji pasti Allah kepada orang beriman yang telah melakukan amal saleh adalah memasuki surga yang dijanjikan dan kekal. Surga di mana kita hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang semua dimensi kuantitatif dan kualitatifnya, dan setiap manusia ingin memasukinya di akhirat dan cita-cita ini terkait orang yang berpuasa akan menjadi kenyataan.
Dalam hal ini Imam Shadiq as berkata, "Manusia yang berpuasa sehari karena menginginkan pahala dari Allah, dengan sebab itu, Allah akan memasukannya ke surga." (Al-Kafi, 5/63/4)
Meskipun memberikan pahala dari Allah kepada manusia memotivasi, mengilhami dan menghibur mereka, tetapi sekelompok manusia yang berpikir mendalam yang memiliki tujuan dan cita-cita besar, motivasi mereka melampaui penyembahan surga dan semua daya tariknya, dan tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan ilahi. Yaitu, mereka tidak menyembah Tuhan dengan keserakahan surga dan sifat-sifatnya yang unik dan langgeng, juga tidak melaksanakan aturan penghambaan di hadapan Allah karena takut akan neraka dan api yang menyala-nyala, tetapi semua perhatian mereka adalah untuk mencapai posisi tinggi dari keridhaan Allah. Posisi agung yang ideal bagi semua orang suci ilahi yang istimewa.
Sekaitan dengan hal ini, al-Quran mengatakan, "Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar." (QS. Al-Taubah: 72)
Oleh karena itu, dengan pandangan yang tinggi ini, kita harus mencoba untuk memberikan tujuan dari semua tindakan ibadah kita, terutama di bulan suci Ramadhan, yang merupakan bulan Allah, didedikasikan kepada-Nya, seperti puasa, ibadah di malam hari, membaca doa dan bermunajat, membaca al-Quran dan bertadabur dan seluruh perilaku dan ucapan kita harus mendapat keridhaan Allah. Bila kita berhasil mencapainya, menurut al-Quran kita sampai pada kemenangan, kesuksesan dan keberhasilan besar.
Filosofi Hukum dalam Islam (17)
Pandangan dunia tauhid mengajarkan kepada kita untuk selalu memikirkan tujuan-tujuan transenden dan menghindari pandangan yang dangkal. Ini adalah indikator penting yang harus menjadi parameter dalam menyusun program kehidupan kita, khususnya hal-hal yang menyangkut perbuatan ibadah.
Dalam urusan ibadah, kita harus berusaha mencapai Dzat yang kita sembah dan kedekatan khusus dengan-Nya. Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Al-Inshiqaq, ayat 6)
Jelas bahwa untuk mencapai tujuan yang tinggi, manusia membutuhkan tekad yang kuat dan kerja keras. Tentu mereka tidak memiliki posisi yang sejajar dalam masalah ini dan tekad setiap orang berbeda-beda.
Di jalan penghambaan Tuhan, sebagian orang hanya puas dengan ibadah lahiriyah dan sebatas melaksanakan kewajiban, namun sebagian yang lain juga menaruh perhatian pada aspek batiniyah ibadah dan melalui cara ini, mereka berusaha mencapai derajat yang paling tinggi dan kedekatan dengan Tuhan.
Atas dasar ini, tingkatan berpuasa dapat dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, puasa yang dilakukan oleh orang awam dan hanya menghindari larangan lahiriyah yang bisa membatalkan puasa seperti, meninggalkan makan dan minum serta tidak berhubungan badan.
Imam Ali as mengenai golongan ini berkata, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga.”
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan Tuhan mewajibkan ibadah adalah supaya manusia tidak hanya merasa cukup pada aspek lahiriyah, tetapi tujuan utamanya adalah memperhatikan roh dan kualitas ibadah. Allah Swt berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adh-Dhariyat, ayat 56)
Pada ayat lain, Allah berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk, ayat 2)
Allah Swt tidak berfirman bahwa siapa yang paling banyak beramal (kuantitas), tetapi berkata bahwa Aku ingin menguji kalian siapa yang paling baik amalnya (kualitas). Salah satu cara efektif untuk meningkatkan kualitas ibadah adalah memahami dengan baik filosofi dan hakikat penghambaan Tuhan, yang biasanya luput dari perhatian orang-orang awam.
Imam Ali as berkata, “Ibadah yang tidak disertai dengan pengetahuan dan makrifat, maka tidak ada kebaikan di dalamnnya.” (Kitab Tuhaf al-Uqul, hal 204)
Namun, jangan salah mengambil kesimpulan sehingga meninggalkan kewajiban syar’i dengan alasan Tuhan menginginkan kualitas ibadah dari manusia. Di sini, kita diminta untuk berusaha meningkatkan kualitas ibadah secara terus-menerus.
Kedua, orang-orang yang berpuasa yang tidak hanya merasa puas dengan mengerjakan lahiriyah ibadah, tetapi mereka juga berusaha untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan untuk orang yang berpuasa.
Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniah yang disampaikan untuk menyambut bulan Ramadhan, menyebut beberapa tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh orang yang berpuasa.
Rasulullah dalam khutbahnya berkata, “Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fakir dan miskin, muliakanlah orang-orang tuamu, kasihanilah anak-anak kecil, dan sambunglah tali persaudaraanmu.
Jagalah lisanmu. Tahan pandanganmu dari yang tidak halal kami memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kami mendengarnya. Kasihanilah anak-anak yatim orang lain, seperti menyayangi anak-anak yatim kalian.
Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah kedua tanganmu untuk memanjatkan do’a dalam setiap waktu shalat, karena itu adalah waktu yang paling utama, di saat Allah memandang hamba-Nya dengan penuh rahmat. Dia menjawab mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan ketika mereka berdoa kepada-Nya.
Wahai Manusia! Sesungguhnya jiwa-jiwa kalian tergadaikan dengan amal perbuatan kalian, maka tebuslah dengan istighfar. Tulang punggung kalian berat karena dosa, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujud…”
Ketiga, puasa hati yaitu selain memenuhi kewajiban lahiriyah puasa dan meninggalkan larangannya, manusia juga memenuhi hatinya dengan iman kepada Allah Swt dan menenangkan hatinya dengan berzikir kepada-Nya.
Mereka membersihkan hatinya dari segala bentuk syirik dan pemikiran kotor. Hati mereka adalah manifestasi dari kesucian, keutamaan, serta nilai-nilai luhur akhlak dan kemanusiaan. Hati yang bersih ini akan diterima oleh Tuhan dan mendapat perhatian khusus dari-Nya.
Imam Ali as berkata, “Barang siapa yang membersihkan hatinya, Allah akan memandangnya dengan kasih sayang.”
Nabi Musa as dikenal dengan munajat irfani dan dialog-dialognya dengan Tuhan. Pada suatu hari, ia bertanya kepada Allah Swt, “Wahai Tuhanku, siapakah orang yang akan Engkau lindungi pada hari ketika tidak ada lagi tempat berlindung kecuali perlindungan-Mu?” Tuhan berfirman kepadanya, “Orang-orang yang bersih hatinya.”
Oleh karena itu Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniyah berkata, “Maka mintalah kepada Allah Rabbmu di hari-hari tersebut dengan niat yang tulus dan hati yang suci. Semoga Allah membimbingmu dalam menjalankan puasa-Nya dan membaca kitab suci-Nya.”
Orang-orang yang berpuasa dengan hati yang suci, berarti mereka telah memperhatikan aspek lahiriyah dan batiniyah puasa sekaligus. Mereka tidak hanya menjaga anggota badannya dari perbuatan dosa, tetapi tidak pernah memikirkan dosa dan memanfaatkan momentum Ramadhan dengan maksimal sehingga dengan bekal takwa, mempererat kedekatannya dengan Allah Swt.
Tingkatan puasa yang ketiga ini disebut sebagai puasa khawasul khawas yaitu puasa yang dilakukan oleh orang-orang khusus dan para ‘arif.
Filosofi Hukum dalam Islam (18)
Pada artikel sebelumnya telah disampaikan beberapa tema seperti puasa adalah ibadah yang telah lama ada di tengah umat manusia, khususnya di antara pengikut agama-agama samawi dan kaum yang lain, dan posisi puasa dalam budaya Islam serta derajat puasa.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membicarakan mengenai pengaruh konstruktif dan pendidikan puasa. Salah satu kelebihan pengaruh puasa yang paling penting adalah menciptakan budaya penghambaan ilahi. Yakni, orang yang berpuasa selama sebulan telah melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhkan dirinya dari larangan-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt berfirman, "Wahai hamba-Ku, taatilah Aku agar engkau kujadikan seperti-Ku. Aku berkehendak maka jadilah dan engkau juga seperti Aku ketika engkau berkehendak, maka jadilah." (Mizan al-Hikmat, 47/1176)
Tidak diragukan lagi, bila seorang hamba mencapai posisi seperti itu, ia harus memiliki karakteristik khusus dan menonjol. Rasulullah Saw dalam hal ini mengatakan, "Hamba hakiki Allah adalah seorang yang menaati dan melaksanakan perintah Allah menjadi manis di jiwanya dan tidak ada kelezatan yang lebih tinggi dari menyampaikan cinta kepada Allah. Ia menyampaikan hajatnya hanya kepada Allah yang tidak membutuhkan apa dan siapapun dan membuka hikayat hatinya kepada Allah serta bertawakal kepada-Nya." (Al-Bihar, 1/225)
Bulan Ramadhan yang merupakan bulan latihan penghambaan di hadapan Allah dapat memiliki peran efektif dalam membentuk ciri khas ini. Imam Husein as berkata, "Barangsiapa yang melaksanakan hak ibadah Allah, niscaya Allah akan memberikan lebih dari apa yang diinginkannya." (Al-Bihar, 68/184)
Putri Rasulullah Saw yang tumbuh dan dididik pusat kenabian dan imamah berkata, "Seseorang yang mengirimkan ibadahnya yang ikhlas kepada Allah, niscaya Allah yang Pengasih akan mengirimkan maslahat terbaik kepadanya. ('Iddah al-Da'i, 233)
Efek konstruktif lain dari puasa selama bulan suci Ramadhan adalah peran ajaran agama, terutama ajaran agama Islam. Dalam sistem Marxis, agama menjadi candu masyarakat. Beberapa orang yang mengenal agama-agama yang telah terdistorsi atau berbagai aliran yang dibuat manusia mempertanyakan mempertanyakan peran agama, yang dalam hal ini, bulan suci Ramadhan, sebagai contoh yang jelas dan menonjol dan tidak dapat disangkal, membatalkan semua kesalahpahaman yang anti-agama. Karena kenyataan bahwa di bulan ini, di samping berkembangnya spiritualisme, semangat empati dan kepatuhan terhadap nilai-nilai moral dan manusia yang tinggi serta penghindaran hal-hal yang anti nilai dalam semua perilaku individu dan sosial, dan sebagai hasilnya, statistik dari banyak kejahatan dan berbagai kerugian sangat berkurang dan mewujudkan peran agama lebih dari sebelumnya.
Lord Avibury, penulis Perancis menggambarkan peran agama dalam tulisannya, "Agama memberi tahu kita untuk bermartabat, terhormat, dan suci dalam hidup kita. Jangan menyerahkan ikhtiar kita pada hawa nafsu dan jangan membakar jiwa kita dalam api ketamakan dan jangan menghancurkan asa orang lain dengan penindasan. Agama mengajarkan kepada kita, "Mari kita habiskan hidup kita dengan kebajikan dan menjadikan kesalehan sebagai panduan kita, sehingga jiwa kita bisa tenang dan hati nurani kita bisa tenang, dan kita bisa disirami oleh sumber kebahagiaan."
Memperkuat kehendak dan kesabaran adalah efek pendidikan lain dari puasa. Dalam setiap kasus, ketika dua faktor ini ada, hasilnya selalu cemerlang dan memberikan harapan. Dalam urgensi keduanya, cukuplah ketika Allah berfirman kepada Nabi-Nya, "Maka bersabarlah kamu seperti para nabi Ulul Azmi bersabar." (QS. Al-Ahqaf: 35)
Sebenarnya, puasa adalah praktik kemauan dan kesabaran. Karena orang yang berpuasa secara sukarela memutuskan untuk menolak semua keinginannya selama dia berpuasa dengan menunggu. Menurut hierarki kesabaran yang digambarkan oleh Rasulullah Saw sebagai berikut, "Kesabaran untuk tugas, kesabaran untuk kepatuhan dan kesabaran untuk dosa."
Di satu sisi, orang yang berpuasa menaati perintah ilahi selama bulan Ramadhan, dan di sisi lain, ia menghindari dosa dan ketidaktaatan kepada Allah, yang membutuhkan kesabaran dari keduanya. Sebagaimana al-Quran menyebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)
Pada hari setelah kebangkitan, ketika perhitungan perbuatan baik akan dipertimbangkan untuk semua manusia, salah satu kelompok yang akan diberi ganjaran oleh Tuhan tanpa memperhitungkannya adalah yang bersabar. Allah Swt dalam al-Quran berfirman, "Sesungguhnya Allah memberikan pahala orang-orang yang bersabar tanpa dihitung." (QS. Al-Zumar: 10)
Tentu saja, persyaratan dari imbalan semacam itu adalah menanggung kesulitan atas kepatuhan dan menghindari segala jenis dosa dan maksiat, di mana orang yang berpuasa harus memiliki dua sifat ini.
Imam Baqir as berkata, "Surga tersembunyi di antara kesulitan dan kesabaran dan seseorangyang menunjukkan kesabarannya dalam menghadapi berbagai masalah di dunia akan memasuki surga."
"Hancurkan rantai kebiasaan" termasuk salah satu dari capaian lain puasa. Puasa faktor paling berpengaruh yang dapat membebaskankita dari berbagai rantai kebiasaan. Puasa mengajarkan manusia bahwa segala kebiasaannya tidak pernah menjadi hal yang prinsip dan alami, sehingga manusia tidak bisa meninggalkannya, tetapi semua itu adalah urusan yang dipaksakan kepada manusia.
Puasa menunjukkankepada manusia bahwa bila seseorang telah mengambil keputusan dan punya kehendak serius, ia dapat melepaskan rantai kebiasaan dari pundaknya tanpa mengalami kerugian. Ketika perubahan ini telah tampak dalam diri manusia, secara perlahan-lahan ia akan melangkah lebih di atas kebiasaan pribadi dan mampu untuk mengobati kebiasaan salah masyarakat dan sebabnya. Kebiasaan salah, terpolusi dosa dan khurafat merupakan kelemahan akan kehendak dan kesadaran serta hati nurani yang telah dipaksakan oleh sistem rusak arogan.
Filosofi Hukum dalam Islam (19)
Waktu subuh di Masjid Kufah hari ini, pedang kebodohan dan fanatisme membabi buta milik kelompok orang berpikiran dangkal itu, menebas kepala suci Imam Ali as, manifestasi iman dan keadilan, kesucian dan keutamaan, jihad dan keberanian, pengetahuan dan kesadaran, sehingga ratusan kali penyesalan muncul akibat aliran pemikiran menyimpang, dan membahayakan mereka sepanjang sejarah.
Kebodohan itu juga telah memberikan pukulan telak ke tubuh Dunia Islam, yang salah satu bukti paling jelas di masa kini adalah kelompok Takfiri dan Daesh yang mengaku suci, dan mendapat dukungan musuh Islam, mereka melakukan semua kejahatan, dan menumpahkan darah ribuan manusia tak bersalah.
Sebagaimana diketahui dalam sistem ideal dan adil Islam, tidak boleh ada sedikitpun tanda-tanda ketidakadilan, diskriminasi, dan kesejangan sosial, tidak boleh ada sedikitpun jejak kemiskinan, dan kesengsaraan dari kelompok tidak mampu. Lalu mengapa justru yang kita saksikan bertolak belakang dengan program dan kebijakan makro serta strategis Islam, mengapa kita tidak melihat tujuan dan cita-cita luhur Ilahi dan manusiawi di dunia Islam ?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita katakan bahwa dalam sistem ekonomi Islam yang adil, dengan sejumlah banyak aturan yang telah ditetapkan Allah Swt dalam hal kekayaan dan aset berlimpah orang-orang kaya, jika mereka mengamalkan kewajiban agama dan kemanusiaannya, dapat dipastikan tidak akan tampak sedikitpun jejak kemiskinan dalam masyarakat Islam.
Namun disayangkan hari ini, dikarenakan sifat menumpuk kekayaan yang dilakukan para konglomerat tak berperasaan, para penguasa otoriter yang menduduki kekuasaan secara tidak sah, melanggar hak kaum tertindas dan merampok aset publik, telah tercipta kesenjangan sosial yang dalam dan mengerikan di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan segelintir orang berada di puncak kesejahteraan, dan kenikmatan materi, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Pada kondisi mengenaskan, anti-Islam dan anti-kemanusiaan seperti ini, orang-orang beriman yang sedang berpuasa ingin membantu fakir miskin. Puncak kepedulian terhadap sesama ini muncul di bulan suci Ramadhan, ketika orang-orang yang berpuasa dengan sebenarnya merasakan tanggung jawab lebih besar dari sebelumya, dan terjun membantu orang-orang yang membutuhkan.
Agama Islam menggambarkan kewajiban praktis setiap manusia yang beriman sebagai berikut,
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Surat Al Baqarah ayat 177)
Oleh karena itu, perbuatan dan kewajiban ibadah akan bernilai ketika manusia merasa bertanggung jawab atas orang-orang lapar, orang-orang telanjang, orang-orang yang terlilit utang, dan tanpa perlindungan, bukan saja tidak tinggal diam, mereka juga membantu sesuai kemampuan. Jelas bahwa tanggung jawab ini berada di pundak orang-orang kaya, lebih dari kalangan masyarakat lainnya.
Jika seseorang tidak merasakan tanggung jawab agama dan kemanusiaan ini, maka ia tidak layak disebut Muslim. Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad Saw, barangsiapa bangun dari tidur, dan tidak berpikir untuk menyelesaikan permasalahan umat Islam, maka ia bukan Muslim.
Benar bahwa berpuasa menahan lapar dan haus selama sebulan penuh juga harus merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan dengan segenap wujudnya, dan bersegera menolong mereka. Rasulullah Saw bersabda, pekerjaan paling terpuji di sisi Allah Swt ada tiga, mengenyangkan Muslim yang lapar, membayarkan utang orang-orang yang dililit utang, dan menyingkirkan kesedihan mereka. (Al Mahasin, 294)
Terlepas bahwa memenuhi kebutuhan orang-orang fakir terutama mereka yang hidup secara terhormat adalah kewajiban agama dan kemanusiaan setiap Muslim, namun bagi orang-orang kaya yang diberikan nikmat oleh Allah Swt, hal itu adalah ujian Ilahi, dan sebagai bentuk rasa syukur, mereka menginfakkan, menyedakahkan dan membantu orang-orang yang membutuhkan yang terpaksa mengulurkan tangannya kepada orang lain karena sulitnya kehidupan.
Dikutip dari Imam Baqir as, dalam sebuah munajat, Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa as, Hai Musa hormatilah para peminta-minta dengan pemberian sedikit, dan perlakuan yang indah. Karena orang-orang yang memohon bantuan kepadamu, bukanlah manusia atau jin, mereka adalah para malaikat yang datang dari sisi Allah Swt, agar mereka mengujimu dengan apa yang sudah Kami berikan kepadamu, dan mereka meminta kepadamu sesuatu yang sudah Kami berikan. Maka dari itu wahai Putera Imran, berhati-hatilah bagaimana engkau memperlakukan mereka. (Al Kafi jilid 2 hlmn 15)
Salah satu bukti nyata dari munajat itu adalah kisah nazar Ahlul Bait as yang berpuasa selama tiga hari berturut-turut demi kesembuhan Imam Hassan dan Imam Hussein as. Dua hari pertama saat tiba waktu berbuka datang seorang miskin yang meminta bantuan. Saat itu Imam Ali, Sayidah Fatimah Zahra as dan kedua puteranya memberikan roti kepadanya, dan menjalani puasa dengan perut lapar.
Di hari kedua, saat tiba waktu berbuka, seorang yatim datang dan meminta bantuan, dan Ahul Bait as kembali memberikan roti yang akan mereka makan untuk berbuka, kepadanya. Hari ketiga kejadian serupa terjadi, seorang tawanan perang mendatangani Ahlul Bait as dan meminta bantuan saat berbuka, dan Ahlul Bait memberikan roti kepadanya.
Nabi Muhammad Saw di akhir peristiwa itu mendatangi Ahlul Bait as, dan menyaksikan mereka dalam keadaan yang sangat lapar sehingga tampak begitu pucat, saat itu turun Surat Al Insan kepada Rasulullah Saw, yang ayat 8-9 surat ini dikhususkan untuk kisah Ahlul Bait as yang memberikan makanan berbukanya kepada orang miskin, yatim dan tawanan perang.
Poin penting yang bisa kita petik dari ayat 9 surat Al Insan adalah Ahlul Bait as bersabda, kami memberikan makanan kepadamu hanya demi ridha Allah Swt, dan kami sama sekali tidak mengarapkan balasan atau terimakasih.
Filosofi Hukum dalam Islam (20)
Hari-hari dan malam-malam ini bertepatan dengan malam Lailatul Qadr yang salah satu artinya adalah perencanaan dan penetapan tujuan, sehingga dengan indikator yang berprinsip dan logis, kita dapat secara sadar menentukan nasib kita dengan bantuan Tuhan.
Salah satu parameter paling penting dalam budaya Islam adalah prinsip keseimbangan dan moderat di semua stragi dan aplikasi. Sebagai contoh, Islam dari satu sisi dengan mencermati keotentikan jiwa dalam ajaran ibadah, spiritual dan moral, dengan menjadikan Allah dan Ma'ad sebagai fokus, dan di sisi lain, sangat mementingkan kesehatan dan keselamatan badan.
Sebuah contoh jelas dari sikap seimbang ini adalah puasa selama bulan suci Ramadhan, yang disempurnakan dengan shalat, doa dan munajat, ibadah di malam hari, melaksanakan perintah ilahi, menghindari dosa-dosa pribadi dan sosial, dan mengekspresikan simpati kepada yang membutuhkan. Kenyataan ini terus membuat manusia semakin dekat dengan Allah dan ketika hari Idul Fitri tiba, manusia merayakan keberhasilannya ini.
Tentu saja, Islam, bertentangan dengan cara sufi salah dan sesat yang hanya peduli pada kesehatan jiwa dan tidak menghargai kesehatan tubuh, memiliki pedoman yang signifikan dalam hal ini dan tidak hanya memperhatikan kesehatan mental, tetapi juga kesehatan pribadi dan sosial untuk menjaga kesehatan tubuh.
Rasulullah Saw bersabda, "Berpuasalah agar kalian sehat." (Al-Da'wah, 76/170) Dan dalam bimbingan yang lain, beliau berkata, "Setiap segala sesuatu ada zakatnya dan zakat badan adalah puasa."
Dengan demikian, puasa selain untuk kesehatan jiwa, juga kesehatan fisik.
Dalam beberapa teks Islam, sejalan dengan permintaan untuk sukses dalam urusan spiritual, dari sudut pandang ilahi, kesehatan dan kesejahteraan juga telah dibahas. Di sebagian paragraf doa Kumail, Imam Ali as berkata, "Ya Allah! Berikan kekuatan pada anggta badanku, agar aku bisa melangkah di jalan penghambaan." Terlepas dari hal ini, adab seperti berwudhu, mandi, gosok gigi, pakaian bersih, menggunakan parfum dan memakan makanan yang sehat dan suci serta hal-hal lain yang semuanya itu menunjukkan Islam sangat mementingkan jiwa dan fisik. Inilah prinsip menjaga keseimbangan yang memberi perhatian pada keselamatan jiwa ddengan tanpa melalaikan kesehatan badan.
Sekarang kita beralih untuk membahas tentang pengaruh kesehatan puasa. Penelitian dan percobaan baru menunjukkan bahwa puasa memiliki efek menguntungkan untuk mengusir racun tubuh dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, yang merupakan salah satu faktor terbaik dalam meremajakan jaringan tubuh. Selain itu, puasa telah lama digunakan sebagai pengobatan untuk beberapa penyakit yang disebut "terapi puasa." Ini termasuk puasa dan minum sedikit air atau jus selama tiga atau tujuh hari atau lebih, yang dapat ditoleransi hingga tiga puluh hari.
Jenis perawatan ini telah digunakan sejak zaman kuno, di India dan Yunani dan Mesir kuno, yang telah dilupakan sejak abad ke-15 di Eropa. Tetapi pada tahun 1880-an, efeknya yang bermanfaat pada pengobatan beberapa penyakit kembali terbentuk dan secara bertahap menjadi luas, dan telah diresepkan secara teratur selama beberapa dekade. Ini sangat populer di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Penggunaan jenis perawatan ini lebih umum pada penyakit yang disebabkan oleh gangguan metabolisme. Seperti rematik kronis, banyak dari penyakit ginjal, penyumbatan pembuluh darah, alkoholik kronis dan beberapa penyakit saraf dan mental lainnya. (Rouzeh dar Eslam, 4-23)
Bagaimanapun, kita semua tahu bahwa banyak penyakit disebabkan oleh makan berlebihan, dan karena bahan-bahan tambahan yang tidak dapat diserap, mereka tetap sebagai lemak yang mengganggu di berbagai bagian tubuh, atau kelebihan lemak dan gula tetap ada dalam darah, akibatnya, bahan tambahan di berbagai bagian tubuh memberikan lingkungan yang baik untuk menumbuhkan berbagai mikroba patogen, dan salah satu cara terbaik untuk memerangi penyakit ini adalah dengan berpuasa.
Selain itu, puasa membakar zat berlebih dan tidak terserap dalam tubuh, dan pada dasarnya menyebabkan perubahan pada tubuh. Selain manfaatnya, puasa memberikan banyak istirahat bagi sistem pencernaan, dan mengingat organ-organ ini adalah bagian tubuh yang paling sensitif dan bekerja terus menerus sepanjang tahun, istirahat ini sangat diperlukan bagi mereka. Jelas bahwa orang yang berpuasa, sesuai dengan ajaran Islam dan pengobatan baru dan lama, tidak boleh makan berlebihan selama berbuka puasa dan sahur sehingga ia bisa mendapatkan hasil yang diinginkan dari efek kesehatan yang bermanfaat dan konstruktif. (Rouzeh Ravesh-e Nouvin Baraye Darman Bimari-ha, 65)
Dalam sebuah hadis terkenal dari Nabi Saw dinukil, "Lambung adalah rumah bagi semua penyakit dan tidak makan obat paling efektif."
Nabi Isa as berkata, "Puasa mengeluarkan penyakit dari tubuh."
Dinukil dari Luqman al-Hakim yang mengatakan, "Karena lambung sudah penuh, akal tertidur dan kebijaksanaan tidak bekerja, sementara anggota badan tidak mau melakukan ibadah."
Dan pada akhirnya, seorang psikolog Eropa mengatakan, "Berpuasa menyebabkan daya tarik spiritual." (Rouzeh dar Eslam, 4)
Filosofi Hukum dalam Islam (21)
Hari ini 21 Ramadhan bertepatan dengan hari syahadah Imam Ali bin Abi Thalib as. Imam Ali di akhir khutbah Jumat bulan Ramadhan terakhir bertanya kepada Rasulullah Saw, apa amal perbuatan terbaik di bulan suci Ramadhan? Rasul menjawab, Wahai Abul Hasan! Sebaik-baiknya amal perbuatan di bulan ini adalah wara', takwa dan menghindari hal-hal yang diharamkan Tuhan...
...Kemudian Rasul menangis. Imam Ali bertanya mengapa Rasul menangis. Nabi menjawab, "...Aku melihat ketika kamu tengah khusu' menjalankan shalat dan berdoa kepada Tuhanmu, orang paling celaka memukulkan pedangnya ke kepalamu dan jenggotmu berlumuran darah." Imam Ali berkata, Wahai Rasulullah, apakah ketika aku syahid, agamaku selamat? Rasul menjawab, agamamu tetap selamat.
Rasul menambahkan, Wahai Ali siapa saja yang membunuhmu, ia sama halnya dengan membunuhku dan siapa saja yang membuat kamu marah, maka ia juga membuat Aku murka serta siapa saja yang menghinamu, maka ia juga menghinaku. Karena kamu adalah bagian dari jiwaku, ruh dan jiwamu dari ruhku dan tanahmu (penciptaan) adalah dari tanahku juga. Sungguh, Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan aku bersamamu, memilihku bersamamu, dan memilihku menjadi nabi, dan memilihmu sebagai imam. Siapa saja yang mengingkari imamahmu, i ajuga mengingkari kenabianku. Perintahmu adalah perintahku dan laranganmu adalah laranganku. Saya bersumpah demi Tuhan yang memilih saya sebagai nabi dan menjadikan saya yang terbaik dari umatnya, kamu setia pada kebenaran, hujjah-Nya dan Kamu bisa dipercaya atas rahasia dan misteri-Nya, dan Anda adalah khalifah atas hamba-hamba-Nya. (Iqbalul A'mal: 15/19- Uyunul Akhbar al-Ridha: 1/295)
Hari ini kami akan mengkaji filsafat haji. Mengingat ahri ini bertepatan dengan peringatan hari gugur syahidnya Imam Ali bin Abi Thalib as, maka perlu dicatat bahwa Imam Ali meninggalkan wasiat komprehensif dan berharga di mana sebagiannya berkenaan dengan ibadah haji. Di wasiat ini disebutkan, ...Jagalah keagungan Baitullah dan selama kalian hidup jangan tinggalkan tempat suci ini, karena jika kalian lalai maka kalian akan terhina. (Nahjul Balaghah: surat ke 46)
Dari ucapan singkat ini ada sejumlah poin mendasar terkait filsafat haji. Pertama, pesan untuk menjaga posisi dan keagungan Baitullah. Tak diragukan tujuan dari ucapan ini bukan zhahir Ka'bah, tapi spirit Baitullah yang Tuhan bersumpah dengannya dan menyebutnya sebagai tanah yang aman (Surah at-Tin: 3) serta menjadikannya sebagai kiblat Nabi Saw dan seluruh pengikutnya serta berfirman, Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqara: 149)
Di awal ayat 150 Surah al-Baqara, Allah Swt memerintahkan semua orang untuk memalingkah wajahnya ke arah Masjid al-Haram demi menjelaskan urgensitas Ka'bah dan kemudian menjelaskan filosofi perintah ini dengan berfirman, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.( Al-Baqara: 150)
Di kelanjutan wasiatnya, Imam Ali berkata, Selama kalian hidup jangan membuat Ka'bah sepi. Dari ucapan ini dapat ditemukan filosofi lain ibadah haji adalah selama hidup dan mampu, umat Islam jangan meninggalkan Ka'bah dan membuatnya sepi. Dan setiap tahun mereka memamerkan keagungan Ka'bah, persatuan dan kekuatannya melalui ritual haji. Ini adalah epik yang membuat pemimpin kafir dan syirik sangat khawatir.
Gladstone, politikus Inggris mengatakan, "Selama umat Muslim membaca al-Quran dan tawaf di sekitar Ka'bah serta nama Muhammad pagi dan malam dikumandangkan para muazain di masjid, maka Kristen dalam bahaya besar. Kalian harus berusaha membakar al-Quran, menghancurkan Ka'bah dan menghapus nama Muhammad dari azan. (Tasir Nemoneh: 4/437)
Namun berbeda dengan tujuan busuk musuh Islam yang ingin menghancurkan Ka'bah dan dengan beragam konspirasi atau bahkan pembantaian massal para peziarah, berusaha menghancurkan keagungan ibadah haji. Allah Swt di al-Quran berkata kepada Nabi Ibrahim as, " Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.... supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka...(al-Hajj: 27-28)
Imam Ali di akhir wasiatnya memperingatkan, "Jika kalian lalai dan membiarkan Baitullah sepi maka kalian akan dipermalukan, dan sejumlah pensyarah Nahjul Balaghah mengatakan bahwa maksud dari dipermalukan adalah kalian akan mendapat azab Ilahi.
Peringatan ini dapat menjelaskan filosofi haji lainnya yakni jika kehormatan Ka'bah tidak dijaga dengan kehadiran luas Muslim maka dunia Islam akan kehilangan kekuatan dan kesolidannya serta terpaksa menelan kehinaan dan juga dimurkai Tuhan. Oleh karena itu, menurut al-Quran yang berkata, berbondong-bondonglah menuju Ka'bah baik berjalan kaki maupun berkendaraan supaya kalian menyaksikan manfaat besar di seluruh bidang maknawi dan materi, budaya dan politik. Kita harus berusaha melindungi keagungan Ka'bah dan menjaga kehormatan dunia Islam serta menghidupkan dan menyemarakkan Baitullah dengan kehadiran kita.
Filosofi Hukum dalam Islam (22)
Sesuai dengan bimbingan manusia pilihan Allah, kemungkinan malam 23 bulan suci Ramadhan sebagai Lailatul Qadr lebih dari malam-malam lainnya.
Malam Lailatul Qadr bukan untuk tidak tidur, tetapi untuk bangun agar kita dapat memiliki wawasan dan kesadaran berdasarkan peta jalan dan rencana pemberian hidup yang telah ditarik al-Quran untuk kita. Tidak hanya nasib satu tahun kita tetapi juga nasib kekal kita. Malam Lailatul Qadr adalah malam untuk mengenal lebih banyak sifat Jalal dan Jamal Allah Swt yang menjadi filosofi dari pengutusan seluruh nabi ilahi. Mereka diutus oleh Allah dengan risalah untuk membebaskan masyarakat manusia dari cengkeraman semua sesembahan palsu dari pusat-pusat kekuasaan dan kekayaan serta dualisme agama-agama surgawi yang telah diubah dan sekte kolonial, dan untuk menabur benih-benih iman kepada Allah yang Esa dalam hati manusia
Salah satu parameter manifestasi terpenting dari percaya kepada Allah dan keterpusatan pada Tuhan adalah melaksanakan dengan meriah manasik haji yang agung, yang merupakan filosofi terpenting dan mendasar haji. Sebenarnya, haji adalah sebuah arena dan pemandangan di mana jutaan umat Islam telah melewati kerangka tauhid teoretis dalam dimensi-dimensi teologis dan filosofis serta mewujudkan semua ritual haji praktis dalam praktik. Allah Swt memperkenalkan Ka'bah sebagai rumah manusia dan ketika menggambarkan posisinya, Allah berfirman, "Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud." (QS. Al-Baqarah: 125)
Dalam konteks pemikiran dan pandangan dunia tauhid, ada dua jenis penolakan atau penegasan, penolakan terhadap manifestasi emas, kekuatan dan kemunafikan, penolakan iblis, penolakan hawa nafsu dan penolakan berhala dan pencipta berhala yang berusaha keras untuk berkomplot dan menipu bangsa dan menjarah kekayaan masyarakat yang dianugerahi oleh Allah. Para jamaah haji melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah dengan visi yang sama, sehingga dengan ide yang berpusat pada Allah, mereka bukan hanya tidak kembali ke istana kekuasaan dan kekayaan, tetapi juga bangkit melawannya dan menghancurkan penindas. Sebagaimana Allah yang Esa berfirman, "Allah telah menjadikan Ka'bah sebagai tempat kebangkitan manusia." QS. Al-Maidah: 97)
Sumber cara pandang kebangkitan para nabi yang al-Quran menggambarkan filosofi pengutusan mereka seperti ini, "Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu." (QS. Al-Nahl: 36) Dengan demikian, Ka'bah mengajarkan kepada mereka yang melaksanakan ibadah haji agar bangkitlah dan dengan mengambil inspirasi dari para nabi serta dengan dukungan penyembahan dan penghambaan ilahi menghapus kekuasaan para taghut.
Penolakan dan penegasan ini termaktub dalam slogan La Ilaaha (tidak ada Tuhan) Illa Allah (selain Allah) yang termanifestasikan setiap hari dalam shalat di seluruh dunia. Al-Quran menunjukkan keaslian pemikiran tauhid ini dengan mengatakan, "Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 256)
Inilah filosofi yang ditegakkan oleh para pelaksana haji di Ka'bah, sehingga dengan tawaf mengelilingi Ka'bah yang dilakukan, dengan rujuk dan sujudnya, dengan Sa'i dari Shafa dan Marwahnya, dengan Ramy al-Jamarat melempar setan dan penyembah setan, dengan Wuquf di Masy'ar, Arafah dan Mina serta dengan semua munajat yang dilakukan, menunjukkan mereka hanya tunduk di hadapan Allah, hanya pelaksanan perintah Allah dan hanya menerima wilayah dan kekuasaan-Nya.
Imam Ali as yang lebih dahulu dari semua membuktikan komitmen dan loyalitasnya pada piagam tauhid ini, mengatakan, "Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi yang telah memilih Muhammad, salam Allah kepadanya dan keluarganya, dengan kebenaran risalah, di mana tujuannya agar manusia bebas dari ibadah dan penghambaan kekuasaan syirik dan mendorong manusia menuju penyembahan Allah serta mengeluarkan mereka dari perjanjian yang ada menuju perjanjian ilahi, mencegah mereka dari menaati mereka dan menaati Allah, dan menyelamatkan mereka dari kekuasaan taghut lalu memasukkan mereka di bawah wilayah dan kekuasaan Allah." ('Uyun Akhbar al-Ridha, 2/106)
Tidak diragukan lagi bahwa maksud Allah dari pensucian rumah-Nya yang dijelaskan dalam ayat 125 surat al-Baqarah mencakup pensucian lahiriah dan batiniah yang mencakup pensucian dari segala pemikiran dan tampilan lahiriah syirik, sehinggi para jamaah haji lebih memperhatikan semangat dan keaslian haji dari hal yang lain dan memastikan pemikiran dan keyakinan tauhid mereka terpatri dalam diri, lalu menghancurkan segala berhala yang hidup atau mati dengan kapak tauhid bak Ibrahim dan meruntuhkan Namrud zamannya, kemudian menyiapkan sarana untuk globalisasi pemikiran tauhidi.
Ini adalah janji pasti ilahi yang berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. Al-Nur: 55)
Filosofi Hukum dalam Islam (23)
Dalam banyak ayat al-Quran, di mana pun ada pembicaraan tentang shalat, segera disusul dengan zakat dan pembayarannya oleh orang beriman. Kenyataan ini menjelaskan bahwa dalam budaya Islam ada hubungan yang sangat dekat antara khalik dan makhluk. Allah yang Maha Esa kepada para hamba yang beribadah kepada-Nya berfirman, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'." (QS. Al-Baqarah: 43)
Shalat dan zakat juga ada dalam agama-agama samawi. Allah Swt menyebut salah satu risalah para nabi adalah melaksanakan dan menghidupkan kembali dua kewajiban mendasar dan penting ini dan berfirman, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah." (QS. Al-Anbiya: 73)
Dengan demikian, melaksanakan shalat dan membayarkan zakat termasuk perintah Allah Swt dan dari sisi lain cara dan jalan para nabi yang menunjukkan ini adalah pesan mendasar bahwa mereka yang melaksanakan shalat dengan benar dan komitmen pada shalat dan munajat kepada Allah, tidak pernah melupakan orang miskin dan mereka yang membutuhkan dengan memberikan zakat kepada mereka. Al-Quran menjelaskan mereka demikian, "laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. Al-Nur: 37)
Karena itu, selain percaya kepada Allah, prinsip kebangkitan harus dimasukkan, sehingga manusia dapat menjadi pendukung kuat kedua pilar akidah ini, hati akan mencuci dari semua ketergantungan finansial dan ekonomi, dan dengan motivasi ilahi, tanpa riya, pamrih dan gangguan dan pelecehan terhadap yang membutuhkan, martabat mereka akan dipertahankan dan mata pencaharian mereka akan disediakan. Tidak diragukan lagi, jika hak-hak yang Tuhan tempatkan pada harta orang kaya terpenuhi, tidak akan ada tanda-tanda kemiskinan dan kekurangan dalam masyarakat Islam. Imam Shadiq as berkata, "Zakat dijadikan ujian bagi yang mampu untuk membantu orang miskin. Bila orang kaya memberikan zakat hartanya, tidak ada lagi orang muslim yang membutuhkan dan dengan sebab itu, apa yang Allah wajibkan kepadanya, manusia tidak membutuhkan. Sesungguhnya manusia tidak akan lagi miskin, miskin dan telanjang, kecuali tanggung jawab dan dosanya ditanggung orang kaya."
Oleh karena itu, bagian dari filosofi zakat, ketaatan kepada Tuhan, mengikuti metode para nabi dan orang-orang pilihan Tuhan, menguji orang kaya, pengentasan kemiskinan dan menghilangkan perampasan dan akar diskriminasi dan kesenjangan ekonomi yang luas dan penyebaran penyimpangan dan korupsi yang disebabkan oleh kemiskinan dalam masyarakat harus dicari di harta orang kaya yang tidak punya nilai kemanusiaan dan agama.
Filosofi zakat lainnya adalah untuk memerangi penumpukan kekayaan yang disebutkan dalam berbagai surat dan ayat-ayat al-Quran sehingga tidak ada kelompok yang tenggelam dalam kemakmuran dan massa besar rakyat hidup dalam bencana. Allah yang Maha Pengasih telah mengancam para penyembah kekayaan dan berkata, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS/ Al-Taubah: 34-35)
Perlu diperhatikan bahwa hak-hak harta tidak terbatas pada khumus dan zakat, dan dalam budaya ekonomi dan ajarah Islam termasuk jihad dengan harta, infak, sedekah, hutang, bantuan tanpa bunga, bantuan kemanusiaan dan pengorbanan berarti mendahulukan kebutuhan orang miskin dari kebutuhan diri sendiri dan hal-hal ini sangat ditekankan.
Abu Dzar al-Ghifari, sahabat besar Nabi Saw selalu memrotes upaya penumpukan kekayaan yang dilakukan Bani Umayah. Suatu hari Mu'awiyah bertanya kepadanya, apakah selain khumus dan zakat, adakah hak harta lain yang berada dalam tanggungan umat Islam? Ka'ab al-Ahbar seorang Yahudi menjawab, "Tidak hak yang lain." Abu Dzar berdiri dan berkata, "Engkau tidak perlu memberi pendapat dalam hal ini." Setelah itu menghadapi Mu'awiyah dan berkata, "Hak harta tidak terbatas pada khumus dan zakat, tetapi hak-hak yang lain yang menjadi tanggung jawab umat Islam." Mu'awiyah berkata, "Apa dalilmu?"
Abu Dzar kemudian membacakan ayat 177 dari surat al-Baqarah yang menyebutkan, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Manabi' al-Fiqh)
Menurut pedoman langit ini, konsentrasi kekayaan dapat dicegah dengan distribusi kekayaan, sehingga kebutuhan banyak orang yang membutuhkan di masyarakat akan terpenuhi, dan ini bisa menjadi filosofi lain untuk membayar zakat dan hak keuangan. Tentu saja, penerapan kebijakan semacam itu tidak menyenangkan bagi orang-orang kaya yang tidak memiliki banyak kepercayaan pada Tuhan dan Hari Penghakiman, sehingga mereka mencoba mengosongkan diri dari kewajiban agama dan manusia di bawah dalih mereka sendiri atau pembenaran palsu. Mengenai mereka, al-Quran mengatakan, "Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata". (QS. Yasin: 47)
Filosofi Hukum dalam Islam (24)
Salah satu pertanyaan penting di benak sebagian orang adalah jika orang kaya mengeluarkan hartanya untuk pengentasan kemiskinan di masyarakat, maka mereka akan kehabisan dana untuk dipakai di sektor industri, pertanian, pendidikan, dan ekonomi?
Pandangan seperti ini tentu saja tidak punya tempat dalam sistem ekonomi Islam. Tujuan utama Islam adalah mencegah penumpukan harta, diskriminasi yang kejam, perbudakan, ketidakadilan, dan munculnya ketimpangan sosial yang tajam.
Untuk merealisasikan tujuan utama itu serta menggalakkan produksi dan etos kerja di semua sektor, menciptakan keadilan sosial, mengembangkan potensi ekonomi, mewujudkan motivasi yang sehat, dan mencapai kemandirian ekonomi, maka orang-orang yang mengelola urusan ekonomi di setiap negara harus memiliki keterampilan di berbagai bidang termasuk agama dan berkomitmen.
Ia juga harus memiliki perencanaan yang matang dan visioner untuk menyusun tujuan dan kebijakan makro ekonomi. Dengan demikian, Allah Swt berfirman, "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…" (QS. An-Nisa, ayat 5)
Imam Muhammad al-Baqir as – sosok yang menghidupkan kembali budaya pendidikan di masyarakat Islam – berkata, "Di antara penyebab tegaknya Islam dan kemuliaan kaum Muslim adalah menyerahkan manajemen keuangan dan sumber kekayaan publik kepada orang-orang yang amanah, berpegang pada kebenaran, dan terampil, di mana mampu menggunakan seluruh peluang dan kapasitas materi dan sumber daya manusia secara optimal.
Dan di antara faktor kesengsaraan kaum Muslim adalah menyerahkan tanggung jawab (atas kekayaan publik dan sumber ekonomi) kepada orang-orang yang tidak berkomitmen, tidak terampil, dan tidak memanfaatkan kapasitas yang ada. Dengan tata kelola yang buruk, ia menghancurkan semua peluang (sehingga menyebabkan sistem ekonomi Islam runtuh)."
Tidak diragukan lagi bahwa jika manajemen ekonomi dalam sistem Islam dipegang oleh orang-orang yang berkompeten, terampil, beriman, dan berkomitmen, maka kita tidak lagi menyaksikan praktik riba, suap, korupsi, pengkhianatan, dan berbagai perbuatan tercela yang merusak sendi-sendi ekonomi.
Dengan begitu, seluruh potensi akan berkembang di berbagai sektor ekonomi masyarakat dan menghapus kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, ketidakadilan, praktik korupsi, dan pelanggaran norma-norma perilaku di tengah masyarakat.
Salah satu faktor kemunduran ekonomi adalah budaya konsumtif, berlebih-lebihan, dan mengejar kemewahan khususnya dalam hal makanan dan barang konsumtif, yang merusak struktur dan sendi-sendi ekonomi. Islam memberantas semua perilaku semacam ini.
Semua penyimpangan ini bersumber dari pemerintahan otoriter yang menganggap dirinya pemilik mutlak kekayaan dan mengira dapat menggunakan kekayaan bangsa sesuka hati mereka. Mereka berbuat sesuka hati dan mengejar ambisi-ambisi jahatnya.
Untuk melawan praktik menyimpang ini, Islam menawarkan solusi yang tepat berdasarkan pandangan dunia tauhid. Semua orang khususnya para kapitalis perlu tahu bahwa pemilik hakiki alam semesta adalah Tuhan dan apa yang diberikannya kepada manusia merupakan sebuah amanah. Jadi, kekayaan ini hanya sebuah titipan dan tidak berhak digunakan suka-suka. Semua harus menjaga prinsip keadilan dan proporsional.
Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Kekayaan adalah milik Tuhan dan ia merupakan titipan di tangan manusia. Dia berpesan kepada manusia, manfaatkanlah kekayaan ini secara proporsional, makanlah, minumlah, dan kenakanlah pakaian. Menikahlah dan sediakanlah sarana transportasi untuk dirimu dan jika ada kelebihan rezeki, berilah ia kepada orang-orang fakir yang beriman.
Barang siapa yang tidak mengambil jalan tengah dan bersikap berlebih-lebihan dalam hal makanan, pakaian, minuman, pernikahan, dan sarana transportasi, maka ia telah berbuat sesuatu yang haram dan tidak pantas." (Mustadrak al-Wasail, jilid 10, hal 423)
Jadi, orang yang beriman harus merasa bertanggung jawab dalam membelanjakan hartanya dan perlu mengingat bahwa semua yang dilakukan di alam fana ini, akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat.
Imam Ali as berkata, "Di dalam harta yang diperoleh dengan cara yang halal, maka ada hisab Ilahi di dalamnya, dan di dalam harta yang didapatkan dengan cara haram, maka ada azab Ilahi di dalamnya." (Nahjul Balaghah, khutbah 82).
Namun, ini tidak boleh membuat orang takut untuk mengumpulkan harta secara sah dan mengeluarkan hartanya di jalan yang benar, karena Allah Swt berfirman, "… Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. Al-Anfal, ayat 60)
Filosofi Hukum dalam Islam (25)
Sebelumnya, kita telah membahas posisi shalat, puasa, haji dan zakat dalam sistem Islam dan filosofinya. Pada kesempatan kali ini, kita akan mengulas filosofi Amar Makruf dan Nahi Mungkar.
Bila artikel berseri ini diumpamakan seperti sebuah bangunan, kebutuhan untuk melindungi dan menguatkan mereka dari hama dan kerusakan dirasakan dalam segala hal. Untuk mencapai tujuan penting dan krusial ini, setiap orang harus merasa bertanggung jawab dan membuat kehadiran yang efektif di semua bidang.
Dalam budaya konstruktif Islam, untuk tujuan ini, telah dibahas dua faktor penting di bawah tema "Amar Makruf", yaitu memerintahkan nilai-nilai dan "Nahi mungkar", yaitu mencegah anti-nilai. Untuk mengetahui lebih banyak tentang posisi kedua kategori ini, kita mulai pembahasan kita dengan firman ilahi. Allah Swt berfirman, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)
Poin terpenting dari ayat ini adalah memerintahkan nilai-nilai yang seharusnya termanisfestasi dalam masyarakat Islam dan perjuangan melawan anti-nilai merupakan perintah Allah. Dengan demikian, seperti semua kewajiban Allah yang lain, harus mendapat perhatian dan menghargainya. Allah Swt menilai berkomitmen pada dua kewajiban ini termasuk ciri khas paling menonjol dari sistem Islam dan berfirman, "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110)
Tidak diragukan lagi bahwa selama umat Islam mempertahankan posisi ini, berarti mereka telah mengamalkan risalah besarnya dan melindungi kesucian nilai-nilai serta memerangi anti-nilai dengan keimanan kepada Allah. Sebagaimana al-Quran berbicara tentang pria dan wanita beriman membentuk satu front bersatu dengan ikatan akidah mereka dan berfirman, "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Taubah: 71)
Jelas dari isi dan pesan ayat tersebut bahwa jika orang-orang beriman menyeru masyarakat untuk menjaga nilai-nilai dan mencegah mereka dari melakukan perilaku yang melanggar norma-norma individu dan sosial, maka mereka yang seharusnya berada paling terdepan dan komitmen dengan semua dimensi praktis dan teoritis Islam sejati serta memunculkan semangat ketaatan kepada Allah dan Nabi. Karenanya, dengan ciri khas yang menonjol ini, mereka mendapat rahmat Allah.
Dalam pandangan umum, kami menyimpulkan bahwa Amar Makruf dan Nahi Mungkar memiliki tempat khusus dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang memerintahkan untuk menegakkan nilai-nilai dan mencegah terjadinya perilaku anti-nilai, ia menjadi pengganti allah dan Nabi-Nya di atas bumi." (Mustadrak al-Wasasil, 12/179/13817)
Imam Baqir as berkata, "Amar makruf dan nahi mungkar merupakan jalan dan perilaku para nabi ilahi dan cara dan kebijakan orang yang berbuat baik kedua kewajiban ini memiliki tempat yang agung dan menentukan yang di balik bayang-bayang kewajiban ini, semua kewajiban Allah yang lain dapat dilakukan. Jalan dan jalur lalu-lalang manusia menjadi aman (mencegah makan harta yang haram), pendapatan yang didapat menjadi halal, hak yang diinjak-injak dan harta yang diambil paksa akan dikembalikan kepada pemilik aslinya, tanah yang digunakan dengan paksa akan ditarik dari mereka dan digunakan agar masyarakat sejahtera, kemudian akan ada balas dendam kepada musuh Islam serta mengorganisir seluruh pekerjaan dan urusan masyarakat." (Al-Kafi: 5/56/1)
Dari riwayat ini dengan jelas dapat dipahami posisi amar makruf dan nahi mungkar yang sangat menentukan dan strategi dan mekanisme ini dapat membebaskan dunia Islam dari segala yang keluar dari norma, kelemahan, kemunduran dan kekacauan budaya, politik, ekonomi dan militer, kemudian mengembalikan kejayaan umat Islam yang hilang.
Rasulullah Saw dalam menggambarkan hakikat ini mengatakan, "Umatku selalu dalam kebaikan ketika mereka melakukan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar. Mereka bekerja sama satu dengan lainnya dalam perbuatan baik dengan dasar nilai-nilai agama dan manusia. Bila mereka tidak melakukan tanggung jawab besar ini, Allah akan mengangkat berkah-Nya dan perlahan-lahan satu kelompok mulai mendominasi kelompok yang lain. Dalam kondisi yang seperti ini, mereka tidak akan punya teman dan penolong baik di bumi maupun di langit." (Wasail, 11/398/18)
Ali as beriman kepada Muhammad di awal pengutusannya sebagai Nabi dan sepanjang pasang-surut sejarah Islam selalu bersama beliau dan menjelang syahadahnya di bagian dari surat wasiatnya, Imam Ali memperingatkan, "Jangan meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar. Bila kalian tidak melaksanakan kedua perintah ini, orang-orang jahat akan menguasai kalian dan ketika kalian akan berdoa kepada Allah, doa kalian tidak akan dikabulkan." (Nahjul Balaghah, Surat 47)
Filosofi Hukum dalam Islam (26)
Berbeda dengan pandangan dangkal sekelompok orang, perintah berbuat baik dan mencegah keburukan atau ammar makruf dan nahyi munkar, bukan hanya bagian dari ibadah dan akhlak, tapi mencakup seluruh masalah akidah, sosial, budaya, politik, ekonomi dan militer.
Poin penting lainnya, kita tahu ammar makruf dan nahyi munkar tidak hanya untuk kelompok masyarakat awam saja, ia bahkan harus dimulai dari kalangan elit seperti pemimpin politik dan pemimpin keagamaan yang memainkan peran determinan dalam perbaikan atau kerusakan sebuah masyarakat.
Rasulullah Saw bersabda, dua kelompok dari umatku yang jika diperbaiki, maka umatku akan baik, dan jika mereka rusak, umatku juga akan rusak. Rasulullah Saw kemudian ditanya, siapakah kedua kelompok itu, beliau berkata, para fakih dan penguasa. (Al Khisal jilid 12, hlmn 37)
Dari sabda Nabi Muhammad Saw di atas jelas bahwa peran pemuka agama dalam pengelolaan masyarakat lebih besar daripada para penguasa, pasalnya mereka dapat memberikan kesadaran pada masyarakat, dan mencegah terciptanya banyak penyimpangan terutama naiknya para penguasa otoriter, dan pembenci agama.
Salah satu contoh nyata yang dijelaskan Al Quran adalah para pemuka agama Yahudi dan Kristen yang kebungkamannya membuka jalan bagi sejumlah banyak penyimpangan dalam masyarakat.
Dalam surat Al Maidah ayat 62-63 Allah Sw berfirman, “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”
Imam Hussein bin Ali as saat berada di Mina, di hadapan sekitar 200 orang sahabat Nabi Muhammad Saw menyampaikan khutbah, dan dengan mengutip sejumlah ayat Al Quran beliau mengatakan, mengapa kalian tidak mengambil pelajaran dari kalam Ilahi, mengapa seperti para ulama Yahudi dan Nasrani, hanya diam dan tidak protes saat menyaksikan penyimpangan dan bid’ah yang bertentangan dengan teladan serta metode Nabi Muhammad Saw ?
Imam Hussein melanjutkan, kalian mengenal halal haram, kalian memiliki kedudukan yang diberkahi Tuhan di antara masyarakat awam dan kaum elit. Lalu mengapa hanya membisu, dan tidak melakukan apapun terhadap para penguasa tiran Bani Umayah ? Kalian pikir akan duduk bersama dengan Rasulullah Saw di surga dengan cara ini ? Sungguh bayangan yang keliru dan harapan kosong. (Tuhaful Uqul)
Dalam khutbah lainnya Imam Hussein as mengutip Rasulullah Saw dan berkata, siapapun yang menyaksikan ada penguasa dan sultan yang menghalalkan apa yang diharamkan Tuhan, mematahkan janjinya dengan Tuhan, menentang sunnah dan ajaran Nabi Muhammad Saw, serta berbuat dosa dan kejahatan di tengah hamba Allah Swt, namun ia tidak berbuat apapun dengan amal dan lisannya, maka Allah Swt akan melemparkan orang-orang semacam itu ke tengah api neraka bersama para penguasa lalim tersebut. (Tafsir Tabari jilid 7 hlmn 300)
Tidak diragukan, selain harus memiliki rasa tanggung jawab, para pemuka agama juga tidak boleh diam di hadapan penguasa otoriter, dan lalim, mereka harus bangkit dan memprotesnya, karena jika hanya diam mereka harus mempertanggung jawabkan sikapnya itu di hadapan Tuhan, dan layak mendapat hukuman.
Allah Swt berfirman tentang Bani Israel dalam Surat Al Maidah ayat 78-79, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”
Sebagian besar penyimpangan yang dilakukan Bani Israel sudah diketahui Rasulullah Saw bakal terulang di tengah umat Islam, di antaranya sikap pemuka agama yang bungkam, diam serta abai di hadapan kezaliman.
Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad Saw bersabda, sesungguhnya Tuhan membenci manusia-manusia beriman yang tak beragama, dan dimurkai oleh-Nya. Semua terkejut dan bertanya, Ya Rasulullah Saw siapakah manusia beriman yang tak beragama itu ? Rasulullah menjawab, orang yang tidak mencegah kemunkaran, dan keburukan. ( Al Kafi, jilid 5 hlmn 59)
Oleh karena itu, tidak mungkin ada orang yang benar-benar beragama tapi diam menyaksikan penyimpangan dengan semua pembenaran, cari aman dan sikap meremehkan. Dalam sebuah riwayat Imam Muhammad Baqir as berkata, di akhir zaman kelak, ada sekelompok masyarakat yang meninggalkan ammar makruf dan nahyi munkar karena takut bahaya. Orang-orang semacam ini jika kondisi masyarakat berubah sehingga ibadah seperti shalat dan puasa tidak lagi membahayakan, maka merekapun akan meninggalkannya.
Poin terakhir yang perlu diperhatikan adalah tahapan ammar makruf dan nahyi munkar. Nabi Muhammad Saw bersabda, siapapun yang menyaksikan perbuatan buruk dan tidak layak, maka ia harus mencegah dengan kekuatannya, jika tidak mampu, maka cegah dan ubahlah dengan lisannya dalam bentuk protes, jika itu tidak memungkinkan, maka kecamlah itu di dalam hatinya, dan ini adalah tahap keimanan paling lemah. (Al Taughib wa Al Tarhib, jilid 3 hlm 222)
Jika seseorang tidak mengamalkan satupun dari tiga tahapan ini, maka ia sebagaimana yang disampaikan Imam Ali as, barangsiapa yang tidak memprotes keburukan dengan tangan, lisan dan hatinya, ia seperti orang mati di tengah orang hidup (yang tidak memiliki semangat keagamaan dan kemanusiaan).
Filosofi Hukum dalam Islam (27)
Hari ini kita akan mengkaji tentang jihad dan kedudukannya dalam Islam. Setelah diutus menjadi nabi, Rasulullah Saw memulai kegiatan dakwahnya secara diam-diam selama tiga tahun.
Kegiatan dakwah kemudian dilakukan secara terbuka dan Rasulullah mulai menghadapi ancaman dan gangguan dari para pembesar Quraisy, yang merasa kepentingannya terancam.
Kafir Quraisy meningkatkan tekanannya terhadap Muhammad Saw dan kaum Muslim. Mereka bahkan diembargo secara ekonomi dan sosial selama tiga tahun di sebuah lembah yang bernama Syi'ib Abu Thalib di Arab Saudi.
Tekanan kuat mendorong Rasulullah Saw memerintahkan sekelompok kaum Muslim untuk mengungsi ke Habasyah. Di tengah meningkatnya tekanan, Rasulullah memilih hijrah ke Madinah dan tidak lama kemudian mendirikan pemerintahan Islam di kota itu.
Pada tahun kedua Hijriyah, para pemimpin kafir Makkah mengobarkan perang dengan agenda menghancurkan Islam untuk selamanya. Dalam situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan oleh Rasulullah dan kaum Muslim?
Apakah mereka harus menyerah dan melupakan cita-cita Islam atau bangkit melakukan jihad untuk mempertahankan eksistensi Islam? Dalam situasi yang menentukan ini, adakah jalan lain selain perang dan jihad?
Perang jelas tidak sejalan dengan ruh dan fitrah suci manusia. Islam memandang perang sebagai opsi terakhir setelah melakukan berbagai pendekatan dan mengambil langkah-langkah yang rasional, agama ini selalu mengedepankan jalan damai atas perang.
Namun ketika musuh-musuh bebal berniat menghancurkan Islam dan kaum Muslim, adakah opsi lain yang tersisa selain perang? Untuk menjawab pertanyaan ini, Allah Swt berfirman, "Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah, ayat 216)
Ketika musuh telah menabuhkan genderang perang, sementara pihak yang ditantang memilih diam, maka mereka akan terhina dan dipaksa untuk menerima semua tuntutan musuh, situasi seperti ini benar-benar sangat menyakitkan dan menghancurkan harga diri.
Al-Quran menawarkan solusi untuk keluar dari kebuntuan seperti itu. "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS. As-Saff, ayat 10-11)
Kalimat "Berjihad di jalan Allah" menunjukkan bahwa jihad dalam Islam tidak memiliki motivasi nasionalisme, wilayah geografi, ras, kabilah, balas dendam, fanatisme buta, dan tidak sebuah aksi yang tidak bertujuan.
Jihad memiliki ciri khas khusus dan ia berbeda dari semua perang lain. Jihad dipuji oleh Allah karena memiliki motivasi Ilahi, Dia berfirman, "Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (QS. As-Saff, ayat 4)
Imam Ali as berkata, "Jihad adalah salah satu pintu surga yang telah dibukakan Allah bagi sahabat-sahabat-Nya yang utama. la adalah baju takwa dan perisai pelindung dari Allah dan perisai terpercaya-Nya. Barang siapa meninggalkannya, maka Allah membusanainya dengan busana kehinaan dan baju bencana. la ditendang dengan hina dan ejekan, dan hatinya ditirai dengan layar [kelalaian]. Hak akan diambil dari dia karena meninggalkan jihad. la akan menderita kehinaan dan keadilan ditolak baginya." (Nahjul Balaghah, khutbah 27)
Oleh karena itu, kaum Muslim harus memperkuat dirinya untuk mencegah agresi musuh dan untuk mempertahankan kemerdekaan, kemuliaan, dan martabatnya. Konspirasi musuh dan syaitan harus dipatahkan sebelum terlaksana dan kaum Muslim harus membuat musuh tidak pernah berpikir untuk menyerang mereka dengan cara mendemonstrasikan kekuatannya.
Untuk tujuan ini, Allah Swt memerintahkan kaum Muslim dengan berfirman, "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya…" (QS. Al-Anfal, ayat 60)
Perlu dicatat bahwa perang memiliki biaya yang sangat besar dan di sini, orang-orang yang beriman dan berkomitmen harus melibatkan diri untuk memenuhi perlengkapan jihad.
Dalam kelanjutan ayat tersebut, Allah Swt berkata, "Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)."
Sekarang kita sudah sedikit mengetahui tentang filosofi jihad di jalan Allah dan budaya jihad dalam Islam. Jadi, jihad merupakan opsi terakhir yang dimiliki pemerintahan Islam dan mereka harus memperkuat diri untuk menghadapi ancaman dan gangguan dari musuh.
Filosofi Hukum dalam Islam (28)
Edisi kali ini kita akan mengkaji tentang adab dan kaidah-kaidah berjihad dalam Islam. Perang dan jihad dalam Islam dilakukan dengan motivasi dan tujuan Ilahi serta bertujuan untuk mencegah dan melawan agresi musuh.
Jihad dalam Islam sama sekali tidak bisa disamakan dengan perang yang dikobarkan oleh para penguasa lalim dan mereka yang mengaku membela hak asasi manusia dan perdamaian.
Salah satu ayat al-Quran secara gamblang menjelaskan tentang empat kriteria jihad. Allah Swt berfirman, "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-Baqarah, ayat 190)
Ayat ini menjelaskan empat landasan perang:
1. Opsi perang diambil jika pihak lain memerangi kita
2. Perang dilakukan atas motivasi Ilahi dan di jalan Allah
3. Tujuan perang adalah melawan serangan serta memelihara kemuliaan dan kekuatan Islam dan kaum Muslim
4. Dilarang melampaui batas-batas ketentuan Tuhan dalam perang.
Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Setiap kali Rasulullah ingin mengirim sebuah pasukan untuk berjihad, beliau mengumpulkan pasukan Islam dan bersabda kepada mereka, 'Berjihadlah atas nama Allah dan bergeraklah di jalan-Nya, jika kalian menang, maka janganlah saling berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang. Jangan memutilasi siapa pun yang telah terbunuh dan berkomitmenlah dengan janji yang telah kalian ucapkan.
Jangan membunuh para lelaki dan wanita tua dan anak-anak. Jangan menebang pohon manapun jika tidak darurat dan jika salah seorang tentara Islam memberikan jaminan kepada salah seorang tentara kafir untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, maka hormatilah ia. Jika ia menerima Islam dan menjadi Muslim, maka ia adalah saudara seagama kalian dan jika tidak, maka biarkanlah ia kembali ke barisan pasukannya dan mintalah pertolongan kepada Allah.'"
Dinukil dari Imam Ali as yang berkata, "Rasulullah Saw ketika ingin mengirim kami ke Yaman bersabda, 'Wahai Ali, sebelum engkau berperang dengan siapa pun, ajaklah ia kepada Islam. Aku bersumpah kepada Allah, jika Allah memberikan hidayah kepada satu orang lantaran engkau, itu lebih baik bagimu dari pada segala sesuatu yang tampak oleh matahari.'"
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as tahu betul bahwa misi jihad dalam Islam adalah memberikan hidayah kepada manusia dan membebaskan mereka dari syirik dan nifak sehingga mereka berjalan di jalan yang lurus.
Imam Shadiq as berkata, "Setiap kali perang pecah, Ali bin Abi Thalib selalu berusaha mengulur waktu agar mendekati terbenamnya matahari. Ketika ditanya alasan melakukan itu, ia menjawab, 'Pada masa itu pintu-pintu langit terbuka dan rahmat Tuhan turun bersama dengan pertolongan-Nya.
Masa itu lebih dekat dengan malam dan sungguh lebih baik jika orang-orang yang terbunuh lebih sedikit. Orang-orang yang mulai sadar dan menyesal, dapat memanfaatkan kegelapan malam dan meninggalkan jalan batil, sementara mereka yang kalah bisa melarikan diri dan meninggalkan medan perang.'"
Jadi, jelas bahwa perang dalam Islam bukanlah tujuan dan bukan prioritas utama. Islam selalu mengedepankan perdamaian, keamanan, keutamaan, dan kebebasan di tengah umat manusia sebagai sebuah prinsip yang abadi.
Jika musuh berhenti berperang dan memilih jalan damai, Allah Swt telah memberikan perintah dengan berfirman, "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Anfal, ayat 61)
Namun, para pemimpin Barat – yang mengaku mencari perdamaian dan membela HAM dan kebebasan – melancarkan propaganda untuk mencitrakan Islam sebagai agama pedang dan kekerasan. Padahal, mereka sendiri memainkan peran kunci dalam mengobarkan semua perang di dunia seperti, Perang Dunia I dan II.
Mereka juga menumpas semua gerakan kebebasan dan kebangkitan bangsa-bangsa dengan cara yang paling kejam. Darah ribuan dan bahkan jutaan manusia tak berdosa tumbah di tangan mereka.
Dalam Revolusi Aljazair, salah satu tindakan tragis yang dilakukan Prancis – yang menganggap dirinya sebagai pelopor kebebasan – selama periode 1954- 1962 adalah menggiring seluruh penduduk dari sebuah desa kecil ke sebuah kawah di padang pasir. Kawah ini telah disirami dengan bahan bakar untuk menyambut orang-orang yang ingin membebaskan dirinya dari imperialisme dan meraih kemerdekaan. Orang-orang Aljazair dilempar ke kawah tersebut dan kemudian disulut dengan api.
Selain pembantaian massal, pemboman desa-desa, dan aksi eksekusi terhadap tentara pembebasan Aljazair, pasukan Prancis juga melakukan penyiksaan terhadap masyarakat. Penyiksaan ini telah mengingatkan orang-orang pada kekejaman era inkuisisi Abad Pertengahan.
Selama Perang Vietnam, Amerika Serikat melanggar semua prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan dan perjanjian-perjanjian internasional. Kekejaman dan pembantaian yang mereka lakukan bahkan menyasar rumah sakit, sekolah, pusat medis, apotek, gereja, rumah penduduk, dan semua fasilitas publik yang ada di Vietnam.
Jadi, jelas bahwa Islam selalu mengejar perdamaian dan keamanan bagi umat manusia, sementara kekuatan-kekuatan arogan senantiasa mengobarkan perang di dunia.
Filosofi Hukum dalam Islam (29-Habis)
Edisi terakhir kajian Ramadhan ini kita tutup dengan mengkaji tema tawalli dan tabarri dalam Islam. Tawalli berarti kecintaan dan loyalitas, sementara tabarri bermakna menjauh dan berlepas diri dari musuh Tuhan, atau dengan kata lain daya tarik dan daya tolak.
Hukum tarik-menarik dan tolak-menolak dalam sistem penciptaan adalah sebuah hukum yang bersifat universal di alam semesta dan tidak ada partikel di alam semesta yang keluar dari ketentuan hukum ini.
Benda-benda di alam semesta mulai yang paling besar sampai yang terkecil memiliki daya tarik-menarik dan tolak-menolak. Hukum ini juga berlaku dalam interaksi manusia di semua aspek sosial, agama, budaya, dan politik. Oleh karena itu, individu dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok berdasarkan hukum daya tarik dan daya tolak.
Sebagian orang hanya memiliki daya tarik dan menarik semua individu dengan berbagai latar belakang akidah, karakter, dan perilaku ke arahnya. Kelompok lain hanya memiliki daya tolak dan sama sekali tidak menyimpan daya tarik.
Sebagian orang benar-benar berkarakter cuek serta tidak memiliki daya tarik dan daya tolak. Dan golongan terakhir orang yang menyimpan daya tarik dan daya tolak.
Pertanyaan penting di sini, tipe manakah dari empat kategori tersebut yang sejalan dengan ajaran Islam?
Tidak diragukan lagi bahwa manusia yang memiliki ideologi rasional, berprinsip, dan berketuhanan, menyimpan kekuatan daya tarik dan juga daya tolak. Ia akan menarik kekuatan yang sejalan dan sepemikiran ke arahnya. Karismanya menembus hati orang-orang dan menolak mereka yang tidak memiliki kecocokan.
Seorang cendekiawan Muslim, Syahid Murtadha Mutahhari menuturkan, "Seorang mukmin harus memiliki daya tarik dan daya tolak serta memiliki batasan, yang menspesifikasikan kedudukannya terhadap ahli iman dan ahli nifak, kufur dan syirik. Dia harus memiliki daya tarik terhadap kaum mukmin dan non-mukmin yang tidak menentang kebenaran dan tidak tahu terhadap hal itu serta harus memiliki daya tolak terhadap selain mereka."
Al-Quran memperkenalkan Rasulullah Saw sebagai teladan dan berkata, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS. Al-Fath, ayat 29)
Jadi, daya tarik dan daya tolak ini bersumber dari landasan ideologi dan keyakinan agama. Imam Jakfar Shadiq as pernah ditanya oleh seseorang apakah kecintaan dan kebencian (daya tarik dan daya tolak) bersumber dari iman? Imam menjawab, "Adakah iman sesuatu selain kecintaan dan kebencian?" Kemudian beliau membacakan ayat berikut, "… Allah menjadikan kamu "cinta" kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus." (QS. Al-Hujurat, ayat 7)
Poin penting lainnya adalah bahwa daya tarik dan daya tolak dalam budaya Islam harus dilakukan atas motivasi Ilahi dan mengesampingkan segala bentuk sikap emosi, fanatisme buta, dan motif balas dendam.
Suatu hari Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabatnya tentang tanda iman yang paling kuat, sebagian menjawab shalat, sebagian yang lain berkata zakat, dan sebagian lagi meyakini puasa, yang lain menjawab haji, dan sisanya berkata jihad.
Rasulullah kemudian bersabda, "Semua nama yang kalian sebut tadi memiliki keutamaan masing-masing, tetapi tanda iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan mengikuti para auliya dan orang-orang yang dikasihi-Nya serta membenci musuh-musuh Allah."
Mengenai pentingnya daya tarik dan daya tolak, mari kita simak firman Allah Swt dalam surat al-Mumtahina ayat 1, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…"
Allah kemudian mencela orang-orang yang melanggar perintah yang jelas ini dan berfirman, "Kalian menampakkan kasih sayang kepada mereka, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu."
Namun, orang-orang yang lemah imannya merasa takut kepada musuh dan dengan pemikiran dangkalnya mereka berpikir bahwa kita harus menampakkan kasih sayang kepada musuh agar kemuliaan kita terjaga.
Al-Quran menolak pemikiran yang hina ini yang bertentangan dengan ajaran tauhid dengan berkata, "(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." (QS. An-Nisa, ayat 139)
Orang-orang yang lemah imannya telah terperdaya dengan kekuatan musuh dan mereka takut dengannya, padahal kekuatan mereka sangat rapuh dan ketika sebuah makhluk kecil yang disebut virus Corona mewabah, kelemahan mereka tampak jelas di mata seluruh masyarakat dunia.
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui." (QS. Al-Ankabut, ayat 41)
Daftar Isi :
Filosofi Hukum dalam Islam1
Bagian(2)1
Filosofi Hukum dalam Islam (15)2
Filosofi Hukum dalam Islam (16)6
Filosofi Hukum dalam Islam (17)10
Filosofi Hukum dalam Islam (18)15
Filosofi Hukum dalam Islam (19)19
Filosofi Hukum dalam Islam (20)24
Filosofi Hukum dalam Islam (21)28
Filosofi Hukum dalam Islam (22)32
Filosofi Hukum dalam Islam (23)36
Filosofi Hukum dalam Islam (24)41
Filosofi Hukum dalam Islam (25)45
Filosofi Hukum dalam Islam (26)49
Filosofi Hukum dalam Islam (27)53
Filosofi Hukum dalam Islam (28)57
Filosofi Hukum dalam Islam (Bagian 2)
Filosofi Hukum dalam Islam (15)
Hari ini tanggal 15 Ramadhan bertepatan dengan hari kelahiran salah satu cucu Rasulullah Saw, Imam Hasan Mujtaba as, akan manyajikan topik mengenai puasa yang memiliki sejarah panjang dan bukan hanya khusus untuk umat Islam, tapi juga sudah ada sejak umat terdahulu.
Allah Swt berfirman di surah al-Baqara ayat 183 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Ayat ini juga menunjukkan bahwa puasa juga termasuk ibadah agama besar Ilahi lainnya. Dengan mempelajari Taurat dan Injil yang ada juga disebutkan ibadah puasa telah diwajibkan di antara umat Yahudi dan Nasrani serta umat-umat lainnya.
Di Taurat disebutkan, Ketika saya datang ke gunung, di mana saya diberi lauh (tablet batu), yaitu lauh perjanjian yang Allah buat dengan kalian, saya tinggal di gunung selama empat puluh hari dan empat puluh malam, tidak makan atau minum air.
Selain itu juga disebutkan, Kebanyakan orang Yahudi berpuasa pada saat mereka ingin menunjukkan ketidakberdayaan mereka kepada Allah untuk mengakui dosa-dosa mereka. Dan dengan bertaubat mereka meraih keridhaan Allah Swt.
Puasa setahun sekali telah menjadi tradisi di antara umat Yahudi. Ada juga puasa harian dan wakut singkat untuk memperingati bencana Jerusalem serta kasus serupa.
Selain dari ajaran Yahudi, puasa juga menjadi tradisi di kaum Nasrani. "Ketika Isa diperintahkan Tuhan pergi ke padang belantara dan iblis meminta supaya dapat mengujinya...Kemudian ia berpuasa selama 40 hari. (Injil Matta, bab 4) Hawariyun , setelah Nabi Isa, juga berpuasa. Seperti disebutkan di Injil:"Mereka mengatakan bahwa bagaimana murid Yahya senantiasa berpuasa, namun murid dan pegikutmu makan dan minum?...Tapi akan datang suatu hari mereka juga berpuasa." (Injil, Bab 5)
Hal ini juga patut dicatat bahwa meski puasa seperti yang dijelaskan oleh al-Quran juga ada di umat sebelum Islam dan juga sebuah kewajiban, namun tidak ada kesamaan di tata caranya mengingat kondisi geografi dan waktu. Dapat dikatakan bahwa etika puasa di Islam tidak dapat disamakan dengan agama Samawi yang lain dan etika ini khusus untuk agama Islam. Misalnya di antara pengikut agama sebelumnya berpuasa terbatas pada menghindari memakan daging atau susu atau tidak makan dan minum secara total. Al-Quran juga menyebutkan kisah puasa Nabi Zakaria dan Sayidah Maryam (puasa tidak berbicara).
Kita juga mengetahui bahwa pengikut agama sebelumnya dan di antara kaum di berbegai belahan dunia seperti Mesir dan Yunani serta Romawi kuno, puasa juga marak dan bahkan penyembah berhala pun juga meyakini puasa serta saat ini mereka tetap menjalankan puasa menurut keyakinannya. Dengan demikian puasa dan berpuasa sebuah ibadah yang ada di seluruh agama Ilahi dan bahkan agama non Ilahi. Namun pertanyaannya adalah apa filosofi puasa dan berpuasa?
Di fase terakhir ayat 183 Surah al-Baqara yang sebelumnya telah kami sebutkan, dan setelah Allah berfirman Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...disebutkan alasan terpenting kewajiban puasa yakni supaya kamu bertakwa.
Meski ada banyak alasan untuk efek spiritual dan pendidikan dari puasa dalam teks dan riwayat Islam, namun al-Quran sangat menekankan efek takwa dari yang lainnya. Hal ini karena, jika takwa Ilahi telah tertanam pada seseorang, seluruh nilai moral dan manusiawi akan termanifestasi di manusia seperti ini dan mereka akan terhindar dari mereka.
Untuk memahami seberapa penting posisi dan peran menentukan takwa, kita cukup memahami bahwa di al-Quran kalimat takwa disebutkan sebanyak 17 kali. Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apa arti takwa? Takwa adalah kekuatan spiritual yang muncul dari pergulatan terus-menerus dengan hawa nafsu dan godaan setan. Kondisi ini membuat spiritual semakin kuat dan terlindungi.
Rasulullah Saw bersabda, "Siapa saja yang menjadikan takwa sebagai kondisi hariannya, maka ia mendapat kebaikan dunia dan akhirat." Imam Ali berkata, "Takwa kunci kebaikan dan cadangan hari Kiamat, faktor kebebasan dari segala bentuk perbudakan dan juga faktor keselamatan dari kehancuran."
Oleh karena itu, takwa memainkan peran penting di seluruh perilaku dan sikap individu serta masyarakat di seluruh bidang. Melalui takwa, para wali Allah meraih derajat tinggi malakuti.
Imam Ali as berkata,"Takwa Ilahi membuat para Wali Allah berada di bawah lindungan Tuhan serta mencegah mereka melanggar larangan-Nya dan hati mereka takut melanggar perintah-Nya."
Allah Swt di Surah Yunus ayat 62-64 berfirman, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar."
Mengingat ajaran ini akan jelas bahwa mengapa Tuhan menyebutkan takwa sebagai salah satu alasan terpenting dan filosofi kewajiban puasa. Yakni supaya kita mampu meraih derajat tinggi seperti wali Allah melalui rahmat Ilahi ini.
Filosofi Hukum dalam Islam (16)
Puasa jamak dilakukan di antara seluruh agama langit, kaum dan bangsa-bangsa, bahkan di kalangan para penyembah berhala, tetapi tidak diragukan bahwa puasa dalam Islam memiliki kelebihan tersendiri dalam dimensi kuantitas dan kualitas, sehingga membuatnya berbeda dari yang dilakukan di luar Islam.
Sebelumnya, kita telah mengingatkan bahwa puasa jamak dilakukan di antara seluruh agama langit, kaum dan bangsa-bangsa, bahkan di kalangan para penyembah berhala, tetapi tidak diragukan bahwa puasa dalam Islam memiliki kelebihan tersendiri dalam dimensi kuantitas dan kualitas, sehingga membuatnya berbeda dari yang dilakukan di luar Islam. Untuk mengetahui lebih lanjut dari posisi ini, akan dikutip sejumlah hadis. Allah Swt untuk menunjukkan keagungan puasa di sisi-Nya berfirman, "Puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahalanya." (Al-Kafi: 6/63/4)
Perlu diperhatikan bahwa Allah tidak pernah menyampaikan ungkapan seperti ini terkait ibadah yang lain. Dalam menganalisa masalah ini akan dibeberkan dua pandangan; pertama, semua ungkapan seperti shalat, khususnya shalat berjamaah dan jumat, atau ibadah haji memiliki tampilan lahiriah, di mana hama bernama riya bisa saja mempengaruhinya, sehingga merusak keikhlasan dan bahkan bercampur kesyirikan. Tetapi dalam puasa, munculnya kemungkinan seperti ini sangat kecil, karena tidak ada penampakan lahiriahnya. Dalam ibadah puasa prosentase keikhlasan dalam melaksanakannya sangat kuat. Karena Allah hanya menerima perbuatan yang didasari keikhlasan, Allah menisbatkan puasa kepada diri-Nya.
Pandangan kedua yang dapat disampaikan dalam masalah ini bahwa tidak ada perbuatan ibadah lain seperti puasa di mana manusia menunjukkan tahapan penghambaannya dengan menjaga semua keharusan dan ketidakharusa di sisi Allah. Seorang yang berpuasa akan melaksanakan apa saja yang diperintahkan Allah tanpa ada yang kurang. Karenanya dapat dikatakan bahwa bulan suci Ramadhan adalah bulan di mana manusia melatih dirinya melakukan ibadah dan penghambaan kepada Allah. Bahkan mungkin juga dengan alasan ini, Allah menisbatkan puasa kepada dirinya dan berfirman, "Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus." (QS. Yasin: 61)
Berpuasa yang seperti ini dengan meletakkan kepala pada penghambaan ilahi mendapat pujian para malaikat, khususnya ketika mereka menyaksikan ada sekelompok manusia yang bermaksiat dan keluar dari lingkaran penghambaan kepada Allah.
Rasulullah Saw dalam hal ini bersabda, "Tidak ada orang berpuasa yang melewati sekelompok orang yang menyepelekan kesucian bulan Ramadhan, yang sedang menyantap makanan, kecuali seluruh anggota badannya mengucapkan tasbih dan malaikat mengucapkan salam kepadanya. Salam mereka adalah memohon ampunan di sisi Allah." (Tsawab al-A'mal, 1/7701/75)
Dalam suasana yang begitu membangkitkan semangat dan penuh harapan, bagian spiritual, yang memiliki warna dan aroma surgawi, menemukan semua pencitraan khusus dan menunjukkan tahapan penghambaan manusia dalam seluruh perilaku manusia yang berpuasa yang dilakukan dengan keikhlasan dan tanpa dibuat-buat atau riya.
Berdasarkan cara pandang ini, Imam Shadiq as berkata, "Orang yang berpuasa, tidurnya terhitung ibadah, diammnya termasuk tasbih dan perbuatannya diterima serta doanya akan dikabulkan." (Al-Faqih: 2/76/1783)
Dalam sistem alam dan syariat ilahi, setiap perbuatan baik layak mendapat pahala dan Allah yang Maha Pengasih terkadang memberikan pahala kepada manusia lebih dari apa yang dilakukan dan kelayakannya berdasarkan keutaman dan kedermawanan-Nya. Rasulullah Saw yang merupakan perwujudan dari rahmat Allah yang tak terbatas, bersabda, "Siapa pun yang berpuasa suatu hari dengan cinta dan motivasi ilahi, jika ia diberi emas sebanyak seluruh (tambang) bumi, ia tidak akan menerima pahalanya secara penuh dan hanya di hari perhitungan (dan kiamat) dia akan menerima hadiah penuhnya." (Ma'ani al-Akhbar, 91/409)
Manifestasi lain dari janji-janji pasti Allah kepada orang beriman yang telah melakukan amal saleh adalah memasuki surga yang dijanjikan dan kekal. Surga di mana kita hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang semua dimensi kuantitatif dan kualitatifnya, dan setiap manusia ingin memasukinya di akhirat dan cita-cita ini terkait orang yang berpuasa akan menjadi kenyataan.
Dalam hal ini Imam Shadiq as berkata, "Manusia yang berpuasa sehari karena menginginkan pahala dari Allah, dengan sebab itu, Allah akan memasukannya ke surga." (Al-Kafi, 5/63/4)
Meskipun memberikan pahala dari Allah kepada manusia memotivasi, mengilhami dan menghibur mereka, tetapi sekelompok manusia yang berpikir mendalam yang memiliki tujuan dan cita-cita besar, motivasi mereka melampaui penyembahan surga dan semua daya tariknya, dan tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan ilahi. Yaitu, mereka tidak menyembah Tuhan dengan keserakahan surga dan sifat-sifatnya yang unik dan langgeng, juga tidak melaksanakan aturan penghambaan di hadapan Allah karena takut akan neraka dan api yang menyala-nyala, tetapi semua perhatian mereka adalah untuk mencapai posisi tinggi dari keridhaan Allah. Posisi agung yang ideal bagi semua orang suci ilahi yang istimewa.
Sekaitan dengan hal ini, al-Quran mengatakan, "Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar." (QS. Al-Taubah: 72)
Oleh karena itu, dengan pandangan yang tinggi ini, kita harus mencoba untuk memberikan tujuan dari semua tindakan ibadah kita, terutama di bulan suci Ramadhan, yang merupakan bulan Allah, didedikasikan kepada-Nya, seperti puasa, ibadah di malam hari, membaca doa dan bermunajat, membaca al-Quran dan bertadabur dan seluruh perilaku dan ucapan kita harus mendapat keridhaan Allah. Bila kita berhasil mencapainya, menurut al-Quran kita sampai pada kemenangan, kesuksesan dan keberhasilan besar.
Filosofi Hukum dalam Islam (17)
Pandangan dunia tauhid mengajarkan kepada kita untuk selalu memikirkan tujuan-tujuan transenden dan menghindari pandangan yang dangkal. Ini adalah indikator penting yang harus menjadi parameter dalam menyusun program kehidupan kita, khususnya hal-hal yang menyangkut perbuatan ibadah.
Dalam urusan ibadah, kita harus berusaha mencapai Dzat yang kita sembah dan kedekatan khusus dengan-Nya. Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Al-Inshiqaq, ayat 6)
Jelas bahwa untuk mencapai tujuan yang tinggi, manusia membutuhkan tekad yang kuat dan kerja keras. Tentu mereka tidak memiliki posisi yang sejajar dalam masalah ini dan tekad setiap orang berbeda-beda.
Di jalan penghambaan Tuhan, sebagian orang hanya puas dengan ibadah lahiriyah dan sebatas melaksanakan kewajiban, namun sebagian yang lain juga menaruh perhatian pada aspek batiniyah ibadah dan melalui cara ini, mereka berusaha mencapai derajat yang paling tinggi dan kedekatan dengan Tuhan.
Atas dasar ini, tingkatan berpuasa dapat dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, puasa yang dilakukan oleh orang awam dan hanya menghindari larangan lahiriyah yang bisa membatalkan puasa seperti, meninggalkan makan dan minum serta tidak berhubungan badan.
Imam Ali as mengenai golongan ini berkata, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga.”
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan Tuhan mewajibkan ibadah adalah supaya manusia tidak hanya merasa cukup pada aspek lahiriyah, tetapi tujuan utamanya adalah memperhatikan roh dan kualitas ibadah. Allah Swt berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adh-Dhariyat, ayat 56)
Pada ayat lain, Allah berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk, ayat 2)
Allah Swt tidak berfirman bahwa siapa yang paling banyak beramal (kuantitas), tetapi berkata bahwa Aku ingin menguji kalian siapa yang paling baik amalnya (kualitas). Salah satu cara efektif untuk meningkatkan kualitas ibadah adalah memahami dengan baik filosofi dan hakikat penghambaan Tuhan, yang biasanya luput dari perhatian orang-orang awam.
Imam Ali as berkata, “Ibadah yang tidak disertai dengan pengetahuan dan makrifat, maka tidak ada kebaikan di dalamnnya.” (Kitab Tuhaf al-Uqul, hal 204)
Namun, jangan salah mengambil kesimpulan sehingga meninggalkan kewajiban syar’i dengan alasan Tuhan menginginkan kualitas ibadah dari manusia. Di sini, kita diminta untuk berusaha meningkatkan kualitas ibadah secara terus-menerus.
Kedua, orang-orang yang berpuasa yang tidak hanya merasa puas dengan mengerjakan lahiriyah ibadah, tetapi mereka juga berusaha untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan untuk orang yang berpuasa.
Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniah yang disampaikan untuk menyambut bulan Ramadhan, menyebut beberapa tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh orang yang berpuasa.
Rasulullah dalam khutbahnya berkata, “Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fakir dan miskin, muliakanlah orang-orang tuamu, kasihanilah anak-anak kecil, dan sambunglah tali persaudaraanmu.
Jagalah lisanmu. Tahan pandanganmu dari yang tidak halal kami memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kami mendengarnya. Kasihanilah anak-anak yatim orang lain, seperti menyayangi anak-anak yatim kalian.
Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah kedua tanganmu untuk memanjatkan do’a dalam setiap waktu shalat, karena itu adalah waktu yang paling utama, di saat Allah memandang hamba-Nya dengan penuh rahmat. Dia menjawab mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan ketika mereka berdoa kepada-Nya.
Wahai Manusia! Sesungguhnya jiwa-jiwa kalian tergadaikan dengan amal perbuatan kalian, maka tebuslah dengan istighfar. Tulang punggung kalian berat karena dosa, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujud…”
Ketiga, puasa hati yaitu selain memenuhi kewajiban lahiriyah puasa dan meninggalkan larangannya, manusia juga memenuhi hatinya dengan iman kepada Allah Swt dan menenangkan hatinya dengan berzikir kepada-Nya.
Mereka membersihkan hatinya dari segala bentuk syirik dan pemikiran kotor. Hati mereka adalah manifestasi dari kesucian, keutamaan, serta nilai-nilai luhur akhlak dan kemanusiaan. Hati yang bersih ini akan diterima oleh Tuhan dan mendapat perhatian khusus dari-Nya.
Imam Ali as berkata, “Barang siapa yang membersihkan hatinya, Allah akan memandangnya dengan kasih sayang.”
Nabi Musa as dikenal dengan munajat irfani dan dialog-dialognya dengan Tuhan. Pada suatu hari, ia bertanya kepada Allah Swt, “Wahai Tuhanku, siapakah orang yang akan Engkau lindungi pada hari ketika tidak ada lagi tempat berlindung kecuali perlindungan-Mu?” Tuhan berfirman kepadanya, “Orang-orang yang bersih hatinya.”
Oleh karena itu Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniyah berkata, “Maka mintalah kepada Allah Rabbmu di hari-hari tersebut dengan niat yang tulus dan hati yang suci. Semoga Allah membimbingmu dalam menjalankan puasa-Nya dan membaca kitab suci-Nya.”
Orang-orang yang berpuasa dengan hati yang suci, berarti mereka telah memperhatikan aspek lahiriyah dan batiniyah puasa sekaligus. Mereka tidak hanya menjaga anggota badannya dari perbuatan dosa, tetapi tidak pernah memikirkan dosa dan memanfaatkan momentum Ramadhan dengan maksimal sehingga dengan bekal takwa, mempererat kedekatannya dengan Allah Swt.
Tingkatan puasa yang ketiga ini disebut sebagai puasa khawasul khawas yaitu puasa yang dilakukan oleh orang-orang khusus dan para ‘arif.
Filosofi Hukum dalam Islam (18)
Pada artikel sebelumnya telah disampaikan beberapa tema seperti puasa adalah ibadah yang telah lama ada di tengah umat manusia, khususnya di antara pengikut agama-agama samawi dan kaum yang lain, dan posisi puasa dalam budaya Islam serta derajat puasa.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membicarakan mengenai pengaruh konstruktif dan pendidikan puasa. Salah satu kelebihan pengaruh puasa yang paling penting adalah menciptakan budaya penghambaan ilahi. Yakni, orang yang berpuasa selama sebulan telah melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhkan dirinya dari larangan-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt berfirman, "Wahai hamba-Ku, taatilah Aku agar engkau kujadikan seperti-Ku. Aku berkehendak maka jadilah dan engkau juga seperti Aku ketika engkau berkehendak, maka jadilah." (Mizan al-Hikmat, 47/1176)
Tidak diragukan lagi, bila seorang hamba mencapai posisi seperti itu, ia harus memiliki karakteristik khusus dan menonjol. Rasulullah Saw dalam hal ini mengatakan, "Hamba hakiki Allah adalah seorang yang menaati dan melaksanakan perintah Allah menjadi manis di jiwanya dan tidak ada kelezatan yang lebih tinggi dari menyampaikan cinta kepada Allah. Ia menyampaikan hajatnya hanya kepada Allah yang tidak membutuhkan apa dan siapapun dan membuka hikayat hatinya kepada Allah serta bertawakal kepada-Nya." (Al-Bihar, 1/225)
Bulan Ramadhan yang merupakan bulan latihan penghambaan di hadapan Allah dapat memiliki peran efektif dalam membentuk ciri khas ini. Imam Husein as berkata, "Barangsiapa yang melaksanakan hak ibadah Allah, niscaya Allah akan memberikan lebih dari apa yang diinginkannya." (Al-Bihar, 68/184)
Putri Rasulullah Saw yang tumbuh dan dididik pusat kenabian dan imamah berkata, "Seseorang yang mengirimkan ibadahnya yang ikhlas kepada Allah, niscaya Allah yang Pengasih akan mengirimkan maslahat terbaik kepadanya. ('Iddah al-Da'i, 233)
Efek konstruktif lain dari puasa selama bulan suci Ramadhan adalah peran ajaran agama, terutama ajaran agama Islam. Dalam sistem Marxis, agama menjadi candu masyarakat. Beberapa orang yang mengenal agama-agama yang telah terdistorsi atau berbagai aliran yang dibuat manusia mempertanyakan mempertanyakan peran agama, yang dalam hal ini, bulan suci Ramadhan, sebagai contoh yang jelas dan menonjol dan tidak dapat disangkal, membatalkan semua kesalahpahaman yang anti-agama. Karena kenyataan bahwa di bulan ini, di samping berkembangnya spiritualisme, semangat empati dan kepatuhan terhadap nilai-nilai moral dan manusia yang tinggi serta penghindaran hal-hal yang anti nilai dalam semua perilaku individu dan sosial, dan sebagai hasilnya, statistik dari banyak kejahatan dan berbagai kerugian sangat berkurang dan mewujudkan peran agama lebih dari sebelumnya.
Lord Avibury, penulis Perancis menggambarkan peran agama dalam tulisannya, "Agama memberi tahu kita untuk bermartabat, terhormat, dan suci dalam hidup kita. Jangan menyerahkan ikhtiar kita pada hawa nafsu dan jangan membakar jiwa kita dalam api ketamakan dan jangan menghancurkan asa orang lain dengan penindasan. Agama mengajarkan kepada kita, "Mari kita habiskan hidup kita dengan kebajikan dan menjadikan kesalehan sebagai panduan kita, sehingga jiwa kita bisa tenang dan hati nurani kita bisa tenang, dan kita bisa disirami oleh sumber kebahagiaan."
Memperkuat kehendak dan kesabaran adalah efek pendidikan lain dari puasa. Dalam setiap kasus, ketika dua faktor ini ada, hasilnya selalu cemerlang dan memberikan harapan. Dalam urgensi keduanya, cukuplah ketika Allah berfirman kepada Nabi-Nya, "Maka bersabarlah kamu seperti para nabi Ulul Azmi bersabar." (QS. Al-Ahqaf: 35)
Sebenarnya, puasa adalah praktik kemauan dan kesabaran. Karena orang yang berpuasa secara sukarela memutuskan untuk menolak semua keinginannya selama dia berpuasa dengan menunggu. Menurut hierarki kesabaran yang digambarkan oleh Rasulullah Saw sebagai berikut, "Kesabaran untuk tugas, kesabaran untuk kepatuhan dan kesabaran untuk dosa."
Di satu sisi, orang yang berpuasa menaati perintah ilahi selama bulan Ramadhan, dan di sisi lain, ia menghindari dosa dan ketidaktaatan kepada Allah, yang membutuhkan kesabaran dari keduanya. Sebagaimana al-Quran menyebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)
Pada hari setelah kebangkitan, ketika perhitungan perbuatan baik akan dipertimbangkan untuk semua manusia, salah satu kelompok yang akan diberi ganjaran oleh Tuhan tanpa memperhitungkannya adalah yang bersabar. Allah Swt dalam al-Quran berfirman, "Sesungguhnya Allah memberikan pahala orang-orang yang bersabar tanpa dihitung." (QS. Al-Zumar: 10)
Tentu saja, persyaratan dari imbalan semacam itu adalah menanggung kesulitan atas kepatuhan dan menghindari segala jenis dosa dan maksiat, di mana orang yang berpuasa harus memiliki dua sifat ini.
Imam Baqir as berkata, "Surga tersembunyi di antara kesulitan dan kesabaran dan seseorangyang menunjukkan kesabarannya dalam menghadapi berbagai masalah di dunia akan memasuki surga."
"Hancurkan rantai kebiasaan" termasuk salah satu dari capaian lain puasa. Puasa faktor paling berpengaruh yang dapat membebaskankita dari berbagai rantai kebiasaan. Puasa mengajarkan manusia bahwa segala kebiasaannya tidak pernah menjadi hal yang prinsip dan alami, sehingga manusia tidak bisa meninggalkannya, tetapi semua itu adalah urusan yang dipaksakan kepada manusia.
Puasa menunjukkankepada manusia bahwa bila seseorang telah mengambil keputusan dan punya kehendak serius, ia dapat melepaskan rantai kebiasaan dari pundaknya tanpa mengalami kerugian. Ketika perubahan ini telah tampak dalam diri manusia, secara perlahan-lahan ia akan melangkah lebih di atas kebiasaan pribadi dan mampu untuk mengobati kebiasaan salah masyarakat dan sebabnya. Kebiasaan salah, terpolusi dosa dan khurafat merupakan kelemahan akan kehendak dan kesadaran serta hati nurani yang telah dipaksakan oleh sistem rusak arogan.
Filosofi Hukum dalam Islam (19)
Waktu subuh di Masjid Kufah hari ini, pedang kebodohan dan fanatisme membabi buta milik kelompok orang berpikiran dangkal itu, menebas kepala suci Imam Ali as, manifestasi iman dan keadilan, kesucian dan keutamaan, jihad dan keberanian, pengetahuan dan kesadaran, sehingga ratusan kali penyesalan muncul akibat aliran pemikiran menyimpang, dan membahayakan mereka sepanjang sejarah.
Kebodohan itu juga telah memberikan pukulan telak ke tubuh Dunia Islam, yang salah satu bukti paling jelas di masa kini adalah kelompok Takfiri dan Daesh yang mengaku suci, dan mendapat dukungan musuh Islam, mereka melakukan semua kejahatan, dan menumpahkan darah ribuan manusia tak bersalah.
Sebagaimana diketahui dalam sistem ideal dan adil Islam, tidak boleh ada sedikitpun tanda-tanda ketidakadilan, diskriminasi, dan kesejangan sosial, tidak boleh ada sedikitpun jejak kemiskinan, dan kesengsaraan dari kelompok tidak mampu. Lalu mengapa justru yang kita saksikan bertolak belakang dengan program dan kebijakan makro serta strategis Islam, mengapa kita tidak melihat tujuan dan cita-cita luhur Ilahi dan manusiawi di dunia Islam ?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita katakan bahwa dalam sistem ekonomi Islam yang adil, dengan sejumlah banyak aturan yang telah ditetapkan Allah Swt dalam hal kekayaan dan aset berlimpah orang-orang kaya, jika mereka mengamalkan kewajiban agama dan kemanusiaannya, dapat dipastikan tidak akan tampak sedikitpun jejak kemiskinan dalam masyarakat Islam.
Namun disayangkan hari ini, dikarenakan sifat menumpuk kekayaan yang dilakukan para konglomerat tak berperasaan, para penguasa otoriter yang menduduki kekuasaan secara tidak sah, melanggar hak kaum tertindas dan merampok aset publik, telah tercipta kesenjangan sosial yang dalam dan mengerikan di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan segelintir orang berada di puncak kesejahteraan, dan kenikmatan materi, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Pada kondisi mengenaskan, anti-Islam dan anti-kemanusiaan seperti ini, orang-orang beriman yang sedang berpuasa ingin membantu fakir miskin. Puncak kepedulian terhadap sesama ini muncul di bulan suci Ramadhan, ketika orang-orang yang berpuasa dengan sebenarnya merasakan tanggung jawab lebih besar dari sebelumya, dan terjun membantu orang-orang yang membutuhkan.
Agama Islam menggambarkan kewajiban praktis setiap manusia yang beriman sebagai berikut
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَ
الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Surat Al Baqarah ayat 177)
Oleh karena itu, perbuatan dan kewajiban ibadah akan bernilai ketika manusia merasa bertanggung jawab atas orang-orang lapar, orang-orang telanjang, orang-orang yang terlilit utang, dan tanpa perlindungan, bukan saja tidak tinggal diam, mereka juga membantu sesuai kemampuan. Jelas bahwa tanggung jawab ini berada di pundak orang-orang kaya, lebih dari kalangan masyarakat lainnya.
Jika seseorang tidak merasakan tanggung jawab agama dan kemanusiaan ini, maka ia tidak layak disebut Muslim. Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad Saw, barangsiapa bangun dari tidur, dan tidak berpikir untuk menyelesaikan permasalahan umat Islam, maka ia bukan Muslim.
Benar bahwa berpuasa menahan lapar dan haus selama sebulan penuh juga harus merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan dengan segenap wujudnya, dan bersegera menolong mereka. Rasulullah Saw bersabda, pekerjaan paling terpuji di sisi Allah Swt ada tiga, mengenyangkan Muslim yang lapar, membayarkan utang orang-orang yang dililit utang, dan menyingkirkan kesedihan mereka. (Al Mahasin, 294)
Terlepas bahwa memenuhi kebutuhan orang-orang fakir terutama mereka yang hidup secara terhormat adalah kewajiban agama dan kemanusiaan setiap Muslim, namun bagi orang-orang kaya yang diberikan nikmat oleh Allah Swt, hal itu adalah ujian Ilahi, dan sebagai bentuk rasa syukur, mereka menginfakkan, menyedakahkan dan membantu orang-orang yang membutuhkan yang terpaksa mengulurkan tangannya kepada orang lain karena sulitnya kehidupan.
Dikutip dari Imam Baqir as, dalam sebuah munajat, Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa as, Hai Musa hormatilah para peminta-minta dengan pemberian sedikit, dan perlakuan yang indah. Karena orang-orang yang memohon bantuan kepadamu, bukanlah manusia atau jin, mereka adalah para malaikat yang datang dari sisi Allah Swt, agar mereka mengujimu dengan apa yang sudah Kami berikan kepadamu, dan mereka meminta kepadamu sesuatu yang sudah Kami berikan. Maka dari itu wahai Putera Imran, berhati-hatilah bagaimana engkau memperlakukan mereka. (Al Kafi jilid 2 hlmn 15)
Salah satu bukti nyata dari munajat itu adalah kisah nazar Ahlul Bait as yang berpuasa selama tiga hari berturut-turut demi kesembuhan Imam Hassan dan Imam Hussein as. Dua hari pertama saat tiba waktu berbuka datang seorang miskin yang meminta bantuan. Saat itu Imam Ali, Sayidah Fatimah Zahra as dan kedua puteranya memberikan roti kepadanya, dan menjalani puasa dengan perut lapar.
Di hari kedua, saat tiba waktu berbuka, seorang yatim datang dan meminta bantuan, dan Ahul Bait as kembali memberikan roti yang akan mereka makan untuk berbuka, kepadanya. Hari ketiga kejadian serupa terjadi, seorang tawanan perang mendatangani Ahlul Bait as dan meminta bantuan saat berbuka, dan Ahlul Bait memberikan roti kepadanya.
Nabi Muhammad Saw di akhir peristiwa itu mendatangi Ahlul Bait as, dan menyaksikan mereka dalam keadaan yang sangat lapar sehingga tampak begitu pucat, saat itu turun Surat Al Insan kepada Rasulullah Saw, yang ayat 8-9 surat ini dikhususkan untuk kisah Ahlul Bait as yang memberikan makanan berbukanya kepada orang miskin, yatim dan tawanan perang.
Poin penting yang bisa kita petik dari ayat 9 surat Al Insan adalah Ahlul Bait as bersabda, kami memberikan makanan kepadamu hanya demi ridha Allah Swt, dan kami sama sekali tidak mengarapkan balasan atau terimakasih.
Filosofi Hukum dalam Islam (20)
Hari-hari dan malam-malam ini bertepatan dengan malam Lailatul Qadr yang salah satu artinya adalah perencanaan dan penetapan tujuan, sehingga dengan indikator yang berprinsip dan logis, kita dapat secara sadar menentukan nasib kita dengan bantuan Tuhan.
Salah satu parameter paling penting dalam budaya Islam adalah prinsip keseimbangan dan moderat di semua stragi dan aplikasi. Sebagai contoh, Islam dari satu sisi dengan mencermati keotentikan jiwa dalam ajaran ibadah, spiritual dan moral, dengan menjadikan Allah dan Ma'ad sebagai fokus, dan di sisi lain, sangat mementingkan kesehatan dan keselamatan badan.
Sebuah contoh jelas dari sikap seimbang ini adalah puasa selama bulan suci Ramadhan, yang disempurnakan dengan shalat, doa dan munajat, ibadah di malam hari, melaksanakan perintah ilahi, menghindari dosa-dosa pribadi dan sosial, dan mengekspresikan simpati kepada yang membutuhkan. Kenyataan ini terus membuat manusia semakin dekat dengan Allah dan ketika hari Idul Fitri tiba, manusia merayakan keberhasilannya ini.
Tentu saja, Islam, bertentangan dengan cara sufi salah dan sesat yang hanya peduli pada kesehatan jiwa dan tidak menghargai kesehatan tubuh, memiliki pedoman yang signifikan dalam hal ini dan tidak hanya memperhatikan kesehatan mental, tetapi juga kesehatan pribadi dan sosial untuk menjaga kesehatan tubuh.
Rasulullah Saw bersabda, "Berpuasalah agar kalian sehat." (Al-Da'wah, 76/170) Dan dalam bimbingan yang lain, beliau berkata, "Setiap segala sesuatu ada zakatnya dan zakat badan adalah puasa."
Dengan demikian, puasa selain untuk kesehatan jiwa, juga kesehatan fisik.
Dalam beberapa teks Islam, sejalan dengan permintaan untuk sukses dalam urusan spiritual, dari sudut pandang ilahi, kesehatan dan kesejahteraan juga telah dibahas. Di sebagian paragraf doa Kumail, Imam Ali as berkata, "Ya Allah! Berikan kekuatan pada anggta badanku, agar aku bisa melangkah di jalan penghambaan." Terlepas dari hal ini, adab seperti berwudhu, mandi, gosok gigi, pakaian bersih, menggunakan parfum dan memakan makanan yang sehat dan suci serta hal-hal lain yang semuanya itu menunjukkan Islam sangat mementingkan jiwa dan fisik. Inilah prinsip menjaga keseimbangan yang memberi perhatian pada keselamatan jiwa ddengan tanpa melalaikan kesehatan badan.
Sekarang kita beralih untuk membahas tentang pengaruh kesehatan puasa. Penelitian dan percobaan baru menunjukkan bahwa puasa memiliki efek menguntungkan untuk mengusir racun tubuh dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, yang merupakan salah satu faktor terbaik dalam meremajakan jaringan tubuh. Selain itu, puasa telah lama digunakan sebagai pengobatan untuk beberapa penyakit yang disebut "terapi puasa." Ini termasuk puasa dan minum sedikit air atau jus selama tiga atau tujuh hari atau lebih, yang dapat ditoleransi hingga tiga puluh hari.
Jenis perawatan ini telah digunakan sejak zaman kuno, di India dan Yunani dan Mesir kuno, yang telah dilupakan sejak abad ke-15 di Eropa. Tetapi pada tahun 1880-an, efeknya yang bermanfaat pada pengobatan beberapa penyakit kembali terbentuk dan secara bertahap menjadi luas, dan telah diresepkan secara teratur selama beberapa dekade. Ini sangat populer di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Penggunaan jenis perawatan ini lebih umum pada penyakit yang disebabkan oleh gangguan metabolisme. Seperti rematik kronis, banyak dari penyakit ginjal, penyumbatan pembuluh darah, alkoholik kronis dan beberapa penyakit saraf dan mental lainnya. (Rouzeh dar Eslam, 4-23)
Bagaimanapun, kita semua tahu bahwa banyak penyakit disebabkan oleh makan berlebihan, dan karena bahan-bahan tambahan yang tidak dapat diserap, mereka tetap sebagai lemak yang mengganggu di berbagai bagian tubuh, atau kelebihan lemak dan gula tetap ada dalam darah, akibatnya, bahan tambahan di berbagai bagian tubuh memberikan lingkungan yang baik untuk menumbuhkan berbagai mikroba patogen, dan salah satu cara terbaik untuk memerangi penyakit ini adalah dengan berpuasa.
Selain itu, puasa membakar zat berlebih dan tidak terserap dalam tubuh, dan pada dasarnya menyebabkan perubahan pada tubuh. Selain manfaatnya, puasa memberikan banyak istirahat bagi sistem pencernaan, dan mengingat organ-organ ini adalah bagian tubuh yang paling sensitif dan bekerja terus menerus sepanjang tahun, istirahat ini sangat diperlukan bagi mereka. Jelas bahwa orang yang berpuasa, sesuai dengan ajaran Islam dan pengobatan baru dan lama, tidak boleh makan berlebihan selama berbuka puasa dan sahur sehingga ia bisa mendapatkan hasil yang diinginkan dari efek kesehatan yang bermanfaat dan konstruktif. (Rouzeh Ravesh-e Nouvin Baraye Darman Bimari-ha, 65)
Dalam sebuah hadis terkenal dari Nabi Saw dinukil, "Lambung adalah rumah bagi semua penyakit dan tidak makan obat paling efektif."
Nabi Isa as berkata, "Puasa mengeluarkan penyakit dari tubuh."
Dinukil dari Luqman al-Hakim yang mengatakan, "Karena lambung sudah penuh, akal tertidur dan kebijaksanaan tidak bekerja, sementara anggota badan tidak mau melakukan ibadah."
Dan pada akhirnya, seorang psikolog Eropa mengatakan, "Berpuasa menyebabkan daya tarik spiritual." (Rouzeh dar Eslam, 4)
Filosofi Hukum dalam Islam (21)
Hari ini 21 Ramadhan bertepatan dengan hari syahadah Imam Ali bin Abi Thalib as. Imam Ali di akhir khutbah Jumat bulan Ramadhan terakhir bertanya kepada Rasulullah Saw, apa amal perbuatan terbaik di bulan suci Ramadhan? Rasul menjawab, Wahai Abul Hasan! Sebaik-baiknya amal perbuatan di bulan ini adalah wara', takwa dan menghindari hal-hal yang diharamkan Tuhan...
...Kemudian Rasul menangis. Imam Ali bertanya mengapa Rasul menangis. Nabi menjawab, "...Aku melihat ketika kamu tengah khusu' menjalankan shalat dan berdoa kepada Tuhanmu, orang paling celaka memukulkan pedangnya ke kepalamu dan jenggotmu berlumuran darah." Imam Ali berkata, Wahai Rasulullah, apakah ketika aku syahid, agamaku selamat? Rasul menjawab, agamamu tetap selamat.
Rasul menambahkan, Wahai Ali siapa saja yang membunuhmu, ia sama halnya dengan membunuhku dan siapa saja yang membuat kamu marah, maka ia juga membuat Aku murka serta siapa saja yang menghinamu, maka ia juga menghinaku. Karena kamu adalah bagian dari jiwaku, ruh dan jiwamu dari ruhku dan tanahmu (penciptaan) adalah dari tanahku juga. Sungguh, Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan aku bersamamu, memilihku bersamamu, dan memilihku menjadi nabi, dan memilihmu sebagai imam. Siapa saja yang mengingkari imamahmu, i ajuga mengingkari kenabianku. Perintahmu adalah perintahku dan laranganmu adalah laranganku. Saya bersumpah demi Tuhan yang memilih saya sebagai nabi dan menjadikan saya yang terbaik dari umatnya, kamu setia pada kebenaran, hujjah-Nya dan Kamu bisa dipercaya atas rahasia dan misteri-Nya, dan Anda adalah khalifah atas hamba-hamba-Nya. (Iqbalul A'mal: 15/19- Uyunul Akhbar al-Ridha: 1/295)
Hari ini kami akan mengkaji filsafat haji. Mengingat ahri ini bertepatan dengan peringatan hari gugur syahidnya Imam Ali bin Abi Thalib as, maka perlu dicatat bahwa Imam Ali meninggalkan wasiat komprehensif dan berharga di mana sebagiannya berkenaan dengan ibadah haji. Di wasiat ini disebutkan, ...Jagalah keagungan Baitullah dan selama kalian hidup jangan tinggalkan tempat suci ini, karena jika kalian lalai maka kalian akan terhina. (Nahjul Balaghah: surat ke 46)
Dari ucapan singkat ini ada sejumlah poin mendasar terkait filsafat haji. Pertama, pesan untuk menjaga posisi dan keagungan Baitullah. Tak diragukan tujuan dari ucapan ini bukan zhahir Ka'bah, tapi spirit Baitullah yang Tuhan bersumpah dengannya dan menyebutnya sebagai tanah yang aman (Surah at-Tin: 3) serta menjadikannya sebagai kiblat Nabi Saw dan seluruh pengikutnya serta berfirman, Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqara: 149)
Di awal ayat 150 Surah al-Baqara, Allah Swt memerintahkan semua orang untuk memalingkah wajahnya ke arah Masjid al-Haram demi menjelaskan urgensitas Ka'bah dan kemudian menjelaskan filosofi perintah ini dengan berfirman, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.( Al-Baqara: 150)
Di kelanjutan wasiatnya, Imam Ali berkata, Selama kalian hidup jangan membuat Ka'bah sepi. Dari ucapan ini dapat ditemukan filosofi lain ibadah haji adalah selama hidup dan mampu, umat Islam jangan meninggalkan Ka'bah dan membuatnya sepi. Dan setiap tahun mereka memamerkan keagungan Ka'bah, persatuan dan kekuatannya melalui ritual haji. Ini adalah epik yang membuat pemimpin kafir dan syirik sangat khawatir.
Gladstone, politikus Inggris mengatakan, "Selama umat Muslim membaca al-Quran dan tawaf di sekitar Ka'bah serta nama Muhammad pagi dan malam dikumandangkan para muazain di masjid, maka Kristen dalam bahaya besar. Kalian harus berusaha membakar al-Quran, menghancurkan Ka'bah dan menghapus nama Muhammad dari azan. (Tasir Nemoneh: 4/437)
Namun berbeda dengan tujuan busuk musuh Islam yang ingin menghancurkan Ka'bah dan dengan beragam konspirasi atau bahkan pembantaian massal para peziarah, berusaha menghancurkan keagungan ibadah haji. Allah Swt di al-Quran berkata kepada Nabi Ibrahim as, " Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.... supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka...(al-Hajj: 27-28)
Imam Ali di akhir wasiatnya memperingatkan, "Jika kalian lalai dan membiarkan Baitullah sepi maka kalian akan dipermalukan, dan sejumlah pensyarah Nahjul Balaghah mengatakan bahwa maksud dari dipermalukan adalah kalian akan mendapat azab Ilahi.
Peringatan ini dapat menjelaskan filosofi haji lainnya yakni jika kehormatan Ka'bah tidak dijaga dengan kehadiran luas Muslim maka dunia Islam akan kehilangan kekuatan dan kesolidannya serta terpaksa menelan kehinaan dan juga dimurkai Tuhan. Oleh karena itu, menurut al-Quran yang berkata, berbondong-bondonglah menuju Ka'bah baik berjalan kaki maupun berkendaraan supaya kalian menyaksikan manfaat besar di seluruh bidang maknawi dan materi, budaya dan politik. Kita harus berusaha melindungi keagungan Ka'bah dan menjaga kehormatan dunia Islam serta menghidupkan dan menyemarakkan Baitullah dengan kehadiran kita.
Filosofi Hukum dalam Islam (22)
Sesuai dengan bimbingan manusia pilihan Allah, kemungkinan malam 23 bulan suci Ramadhan sebagai Lailatul Qadr lebih dari malam-malam lainnya.
Malam Lailatul Qadr bukan untuk tidak tidur, tetapi untuk bangun agar kita dapat memiliki wawasan dan kesadaran berdasarkan peta jalan dan rencana pemberian hidup yang telah ditarik al-Quran untuk kita. Tidak hanya nasib satu tahun kita tetapi juga nasib kekal kita. Malam Lailatul Qadr adalah malam untuk mengenal lebih banyak sifat Jalal dan Jamal Allah Swt yang menjadi filosofi dari pengutusan seluruh nabi ilahi. Mereka diutus oleh Allah dengan risalah untuk membebaskan masyarakat manusia dari cengkeraman semua sesembahan palsu dari pusat-pusat kekuasaan dan kekayaan serta dualisme agama-agama surgawi yang telah diubah dan sekte kolonial, dan untuk menabur benih-benih iman kepada Allah yang Esa dalam hati manusia
Salah satu parameter manifestasi terpenting dari percaya kepada Allah dan keterpusatan pada Tuhan adalah melaksanakan dengan meriah manasik haji yang agung, yang merupakan filosofi terpenting dan mendasar haji. Sebenarnya, haji adalah sebuah arena dan pemandangan di mana jutaan umat Islam telah melewati kerangka tauhid teoretis dalam dimensi-dimensi teologis dan filosofis serta mewujudkan semua ritual haji praktis dalam praktik. Allah Swt memperkenalkan Ka'bah sebagai rumah manusia dan ketika menggambarkan posisinya, Allah berfirman, "Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud." (QS. Al-Baqarah: 125)
Dalam konteks pemikiran dan pandangan dunia tauhid, ada dua jenis penolakan atau penegasan, penolakan terhadap manifestasi emas, kekuatan dan kemunafikan, penolakan iblis, penolakan hawa nafsu dan penolakan berhala dan pencipta berhala yang berusaha keras untuk berkomplot dan menipu bangsa dan menjarah kekayaan masyarakat yang dianugerahi oleh Allah. Para jamaah haji melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah dengan visi yang sama, sehingga dengan ide yang berpusat pada Allah, mereka bukan hanya tidak kembali ke istana kekuasaan dan kekayaan, tetapi juga bangkit melawannya dan menghancurkan penindas. Sebagaimana Allah yang Esa berfirman, "Allah telah menjadikan Ka'bah sebagai tempat kebangkitan manusia." QS. Al-Maidah: 97)
Sumber cara pandang kebangkitan para nabi yang al-Quran menggambarkan filosofi pengutusan mereka seperti ini, "Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu." (QS. Al-Nahl: 36) Dengan demikian, Ka'bah mengajarkan kepada mereka yang melaksanakan ibadah haji agar bangkitlah dan dengan mengambil inspirasi dari para nabi serta dengan dukungan penyembahan dan penghambaan ilahi menghapus kekuasaan para taghut.
Penolakan dan penegasan ini termaktub dalam slogan La Ilaaha (tidak ada Tuhan) Illa Allah (selain Allah) yang termanifestasikan setiap hari dalam shalat di seluruh dunia. Al-Quran menunjukkan keaslian pemikiran tauhid ini dengan mengatakan, "Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 256)
Inilah filosofi yang ditegakkan oleh para pelaksana haji di Ka'bah, sehingga dengan tawaf mengelilingi Ka'bah yang dilakukan, dengan rujuk dan sujudnya, dengan Sa'i dari Shafa dan Marwahnya, dengan Ramy al-Jamarat melempar setan dan penyembah setan, dengan Wuquf di Masy'ar, Arafah dan Mina serta dengan semua munajat yang dilakukan, menunjukkan mereka hanya tunduk di hadapan Allah, hanya pelaksanan perintah Allah dan hanya menerima wilayah dan kekuasaan-Nya.
Imam Ali as yang lebih dahulu dari semua membuktikan komitmen dan loyalitasnya pada piagam tauhid ini, mengatakan, "Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi yang telah memilih Muhammad, salam Allah kepadanya dan keluarganya, dengan kebenaran risalah, di mana tujuannya agar manusia bebas dari ibadah dan penghambaan kekuasaan syirik dan mendorong manusia menuju penyembahan Allah serta mengeluarkan mereka dari perjanjian yang ada menuju perjanjian ilahi, mencegah mereka dari menaati mereka dan menaati Allah, dan menyelamatkan mereka dari kekuasaan taghut lalu memasukkan mereka di bawah wilayah dan kekuasaan Allah." ('Uyun Akhbar al-Ridha, 2/106)
Tidak diragukan lagi bahwa maksud Allah dari pensucian rumah-Nya yang dijelaskan dalam ayat 125 surat al-Baqarah mencakup pensucian lahiriah dan batiniah yang mencakup pensucian dari segala pemikiran dan tampilan lahiriah syirik, sehinggi para jamaah haji lebih memperhatikan semangat dan keaslian haji dari hal yang lain dan memastikan pemikiran dan keyakinan tauhid mereka terpatri dalam diri, lalu menghancurkan segala berhala yang hidup atau mati dengan kapak tauhid bak Ibrahim dan meruntuhkan Namrud zamannya, kemudian menyiapkan sarana untuk globalisasi pemikiran tauhidi.
Ini adalah janji pasti ilahi yang berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. Al-Nur: 55)
Filosofi Hukum dalam Islam (23)
Dalam banyak ayat al-Quran, di mana pun ada pembicaraan tentang shalat, segera disusul dengan zakat dan pembayarannya oleh orang beriman. Kenyataan ini menjelaskan bahwa dalam budaya Islam ada hubungan yang sangat dekat antara khalik dan makhluk. Allah yang Maha Esa kepada para hamba yang beribadah kepada-Nya berfirman, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'." (QS. Al-Baqarah: 43)
Shalat dan zakat juga ada dalam agama-agama samawi. Allah Swt menyebut salah satu risalah para nabi adalah melaksanakan dan menghidupkan kembali dua kewajiban mendasar dan penting ini dan berfirman, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah." (QS. Al-Anbiya: 73)
Dengan demikian, melaksanakan shalat dan membayarkan zakat termasuk perintah Allah Swt dan dari sisi lain cara dan jalan para nabi yang menunjukkan ini adalah pesan mendasar bahwa mereka yang melaksanakan shalat dengan benar dan komitmen pada shalat dan munajat kepada Allah, tidak pernah melupakan orang miskin dan mereka yang membutuhkan dengan memberikan zakat kepada mereka. Al-Quran menjelaskan mereka demikian, "laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. Al-Nur: 37)
Karena itu, selain percaya kepada Allah, prinsip kebangkitan harus dimasukkan, sehingga manusia dapat menjadi pendukung kuat kedua pilar akidah ini, hati akan mencuci dari semua ketergantungan finansial dan ekonomi, dan dengan motivasi ilahi, tanpa riya, pamrih dan gangguan dan pelecehan terhadap yang membutuhkan, martabat mereka akan dipertahankan dan mata pencaharian mereka akan disediakan. Tidak diragukan lagi, jika hak-hak yang Tuhan tempatkan pada harta orang kaya terpenuhi, tidak akan ada tanda-tanda kemiskinan dan kekurangan dalam masyarakat Islam. Imam Shadiq as berkata, "Zakat dijadikan ujian bagi yang mampu untuk membantu orang miskin. Bila orang kaya memberikan zakat hartanya, tidak ada lagi orang muslim yang membutuhkan dan dengan sebab itu, apa yang Allah wajibkan kepadanya, manusia tidak membutuhkan. Sesungguhnya manusia tidak akan lagi miskin, miskin dan telanjang, kecuali tanggung jawab dan dosanya ditanggung orang kaya."
Oleh karena itu, bagian dari filosofi zakat, ketaatan kepada Tuhan, mengikuti metode para nabi dan orang-orang pilihan Tuhan, menguji orang kaya, pengentasan kemiskinan dan menghilangkan perampasan dan akar diskriminasi dan kesenjangan ekonomi yang luas dan penyebaran penyimpangan dan korupsi yang disebabkan oleh kemiskinan dalam masyarakat harus dicari di harta orang kaya yang tidak punya nilai kemanusiaan dan agama.
Filosofi zakat lainnya adalah untuk memerangi penumpukan kekayaan yang disebutkan dalam berbagai surat dan ayat-ayat al-Quran sehingga tidak ada kelompok yang tenggelam dalam kemakmuran dan massa besar rakyat hidup dalam bencana. Allah yang Maha Pengasih telah mengancam para penyembah kekayaan dan berkata, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS/ Al-Taubah: 34-35)
Perlu diperhatikan bahwa hak-hak harta tidak terbatas pada khumus dan zakat, dan dalam budaya ekonomi dan ajarah Islam termasuk jihad dengan harta, infak, sedekah, hutang, bantuan tanpa bunga, bantuan kemanusiaan dan pengorbanan berarti mendahulukan kebutuhan orang miskin dari kebutuhan diri sendiri dan hal-hal ini sangat ditekankan.
Abu Dzar al-Ghifari, sahabat besar Nabi Saw selalu memrotes upaya penumpukan kekayaan yang dilakukan Bani Umayah. Suatu hari Mu'awiyah bertanya kepadanya, apakah selain khumus dan zakat, adakah hak harta lain yang berada dalam tanggungan umat Islam? Ka'ab al-Ahbar seorang Yahudi menjawab, "Tidak hak yang lain." Abu Dzar berdiri dan berkata, "Engkau tidak perlu memberi pendapat dalam hal ini." Setelah itu menghadapi Mu'awiyah dan berkata, "Hak harta tidak terbatas pada khumus dan zakat, tetapi hak-hak yang lain yang menjadi tanggung jawab umat Islam." Mu'awiyah berkata, "Apa dalilmu?"
Abu Dzar kemudian membacakan ayat 177 dari surat al-Baqarah yang menyebutkan, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Manabi' al-Fiqh)
Menurut pedoman langit ini, konsentrasi kekayaan dapat dicegah dengan distribusi kekayaan, sehingga kebutuhan banyak orang yang membutuhkan di masyarakat akan terpenuhi, dan ini bisa menjadi filosofi lain untuk membayar zakat dan hak keuangan. Tentu saja, penerapan kebijakan semacam itu tidak menyenangkan bagi orang-orang kaya yang tidak memiliki banyak kepercayaan pada Tuhan dan Hari Penghakiman, sehingga mereka mencoba mengosongkan diri dari kewajiban agama dan manusia di bawah dalih mereka sendiri atau pembenaran palsu. Mengenai mereka, al-Quran mengatakan, "Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata". (QS. Yasin: 47)
Filosofi Hukum dalam Islam (24)
Salah satu pertanyaan penting di benak sebagian orang adalah jika orang kaya mengeluarkan hartanya untuk pengentasan kemiskinan di masyarakat, maka mereka akan kehabisan dana untuk dipakai di sektor industri, pertanian, pendidikan, dan ekonomi?
Pandangan seperti ini tentu saja tidak punya tempat dalam sistem ekonomi Islam. Tujuan utama Islam adalah mencegah penumpukan harta, diskriminasi yang kejam, perbudakan, ketidakadilan, dan munculnya ketimpangan sosial yang tajam.
Untuk merealisasikan tujuan utama itu serta menggalakkan produksi dan etos kerja di semua sektor, menciptakan keadilan sosial, mengembangkan potensi ekonomi, mewujudkan motivasi yang sehat, dan mencapai kemandirian ekonomi, maka orang-orang yang mengelola urusan ekonomi di setiap negara harus memiliki keterampilan di berbagai bidang termasuk agama dan berkomitmen.
Ia juga harus memiliki perencanaan yang matang dan visioner untuk menyusun tujuan dan kebijakan makro ekonomi. Dengan demikian, Allah Swt berfirman, "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…" (QS. An-Nisa, ayat 5)
Imam Muhammad al-Baqir as – sosok yang menghidupkan kembali budaya pendidikan di masyarakat Islam – berkata, "Di antara penyebab tegaknya Islam dan kemuliaan kaum Muslim adalah menyerahkan manajemen keuangan dan sumber kekayaan publik kepada orang-orang yang amanah, berpegang pada kebenaran, dan terampil, di mana mampu menggunakan seluruh peluang dan kapasitas materi dan sumber daya manusia secara optimal.
Dan di antara faktor kesengsaraan kaum Muslim adalah menyerahkan tanggung jawab (atas kekayaan publik dan sumber ekonomi) kepada orang-orang yang tidak berkomitmen, tidak terampil, dan tidak memanfaatkan kapasitas yang ada. Dengan tata kelola yang buruk, ia menghancurkan semua peluang (sehingga menyebabkan sistem ekonomi Islam runtuh)."
Tidak diragukan lagi bahwa jika manajemen ekonomi dalam sistem Islam dipegang oleh orang-orang yang berkompeten, terampil, beriman, dan berkomitmen, maka kita tidak lagi menyaksikan praktik riba, suap, korupsi, pengkhianatan, dan berbagai perbuatan tercela yang merusak sendi-sendi ekonomi.
Dengan begitu, seluruh potensi akan berkembang di berbagai sektor ekonomi masyarakat dan menghapus kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, ketidakadilan, praktik korupsi, dan pelanggaran norma-norma perilaku di tengah masyarakat.
Salah satu faktor kemunduran ekonomi adalah budaya konsumtif, berlebih-lebihan, dan mengejar kemewahan khususnya dalam hal makanan dan barang konsumtif, yang merusak struktur dan sendi-sendi ekonomi. Islam memberantas semua perilaku semacam ini.
Semua penyimpangan ini bersumber dari pemerintahan otoriter yang menganggap dirinya pemilik mutlak kekayaan dan mengira dapat menggunakan kekayaan bangsa sesuka hati mereka. Mereka berbuat sesuka hati dan mengejar ambisi-ambisi jahatnya.
Untuk melawan praktik menyimpang ini, Islam menawarkan solusi yang tepat berdasarkan pandangan dunia tauhid. Semua orang khususnya para kapitalis perlu tahu bahwa pemilik hakiki alam semesta adalah Tuhan dan apa yang diberikannya kepada manusia merupakan sebuah amanah. Jadi, kekayaan ini hanya sebuah titipan dan tidak berhak digunakan suka-suka. Semua harus menjaga prinsip keadilan dan proporsional.
Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Kekayaan adalah milik Tuhan dan ia merupakan titipan di tangan manusia. Dia berpesan kepada manusia, manfaatkanlah kekayaan ini secara proporsional, makanlah, minumlah, dan kenakanlah pakaian. Menikahlah dan sediakanlah sarana transportasi untuk dirimu dan jika ada kelebihan rezeki, berilah ia kepada orang-orang fakir yang beriman.
Barang siapa yang tidak mengambil jalan tengah dan bersikap berlebih-lebihan dalam hal makanan, pakaian, minuman, pernikahan, dan sarana transportasi, maka ia telah berbuat sesuatu yang haram dan tidak pantas." (Mustadrak al-Wasail, jilid 10, hal 423)
Jadi, orang yang beriman harus merasa bertanggung jawab dalam membelanjakan hartanya dan perlu mengingat bahwa semua yang dilakukan di alam fana ini, akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat.
Imam Ali as berkata, "Di dalam harta yang diperoleh dengan cara yang halal, maka ada hisab Ilahi di dalamnya, dan di dalam harta yang didapatkan dengan cara haram, maka ada azab Ilahi di dalamnya." (Nahjul Balaghah, khutbah 82).
Namun, ini tidak boleh membuat orang takut untuk mengumpulkan harta secara sah dan mengeluarkan hartanya di jalan yang benar, karena Allah Swt berfirman, "… Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. Al-Anfal, ayat 60)
Filosofi Hukum dalam Islam (25)
Sebelumnya, kita telah membahas posisi shalat, puasa, haji dan zakat dalam sistem Islam dan filosofinya. Pada kesempatan kali ini, kita akan mengulas filosofi Amar Makruf dan Nahi Mungkar.
Bila artikel berseri ini diumpamakan seperti sebuah bangunan, kebutuhan untuk melindungi dan menguatkan mereka dari hama dan kerusakan dirasakan dalam segala hal. Untuk mencapai tujuan penting dan krusial ini, setiap orang harus merasa bertanggung jawab dan membuat kehadiran yang efektif di semua bidang.
Dalam budaya konstruktif Islam, untuk tujuan ini, telah dibahas dua faktor penting di bawah tema "Amar Makruf", yaitu memerintahkan nilai-nilai dan "Nahi mungkar", yaitu mencegah anti-nilai. Untuk mengetahui lebih banyak tentang posisi kedua kategori ini, kita mulai pembahasan kita dengan firman ilahi. Allah Swt berfirman, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)
Poin terpenting dari ayat ini adalah memerintahkan nilai-nilai yang seharusnya termanisfestasi dalam masyarakat Islam dan perjuangan melawan anti-nilai merupakan perintah Allah. Dengan demikian, seperti semua kewajiban Allah yang lain, harus mendapat perhatian dan menghargainya. Allah Swt menilai berkomitmen pada dua kewajiban ini termasuk ciri khas paling menonjol dari sistem Islam dan berfirman, "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110)
Tidak diragukan lagi bahwa selama umat Islam mempertahankan posisi ini, berarti mereka telah mengamalkan risalah besarnya dan melindungi kesucian nilai-nilai serta memerangi anti-nilai dengan keimanan kepada Allah. Sebagaimana al-Quran berbicara tentang pria dan wanita beriman membentuk satu front bersatu dengan ikatan akidah mereka dan berfirman, "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Taubah: 71)
Jelas dari isi dan pesan ayat tersebut bahwa jika orang-orang beriman menyeru masyarakat untuk menjaga nilai-nilai dan mencegah mereka dari melakukan perilaku yang melanggar norma-norma individu dan sosial, maka mereka yang seharusnya berada paling terdepan dan komitmen dengan semua dimensi praktis dan teoritis Islam sejati serta memunculkan semangat ketaatan kepada Allah dan Nabi. Karenanya, dengan ciri khas yang menonjol ini, mereka mendapat rahmat Allah.
Dalam pandangan umum, kami menyimpulkan bahwa Amar Makruf dan Nahi Mungkar memiliki tempat khusus dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang memerintahkan untuk menegakkan nilai-nilai dan mencegah terjadinya perilaku anti-nilai, ia menjadi pengganti allah dan Nabi-Nya di atas bumi." (Mustadrak al-Wasasil, 12/179/13817)
Imam Baqir as berkata, "Amar makruf dan nahi mungkar merupakan jalan dan perilaku para nabi ilahi dan cara dan kebijakan orang yang berbuat baik kedua kewajiban ini memiliki tempat yang agung dan menentukan yang di balik bayang-bayang kewajiban ini, semua kewajiban Allah yang lain dapat dilakukan. Jalan dan jalur lalu-lalang manusia menjadi aman (mencegah makan harta yang haram), pendapatan yang didapat menjadi halal, hak yang diinjak-injak dan harta yang diambil paksa akan dikembalikan kepada pemilik aslinya, tanah yang digunakan dengan paksa akan ditarik dari mereka dan digunakan agar masyarakat sejahtera, kemudian akan ada balas dendam kepada musuh Islam serta mengorganisir seluruh pekerjaan dan urusan masyarakat." (Al-Kafi: 5/56/1)
Dari riwayat ini dengan jelas dapat dipahami posisi amar makruf dan nahi mungkar yang sangat menentukan dan strategi dan mekanisme ini dapat membebaskan dunia Islam dari segala yang keluar dari norma, kelemahan, kemunduran dan kekacauan budaya, politik, ekonomi dan militer, kemudian mengembalikan kejayaan umat Islam yang hilang.
Rasulullah Saw dalam menggambarkan hakikat ini mengatakan, "Umatku selalu dalam kebaikan ketika mereka melakukan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar. Mereka bekerja sama satu dengan lainnya dalam perbuatan baik dengan dasar nilai-nilai agama dan manusia. Bila mereka tidak melakukan tanggung jawab besar ini, Allah akan mengangkat berkah-Nya dan perlahan-lahan satu kelompok mulai mendominasi kelompok yang lain. Dalam kondisi yang seperti ini, mereka tidak akan punya teman dan penolong baik di bumi maupun di langit." (Wasail, 11/398/18)
Ali as beriman kepada Muhammad di awal pengutusannya sebagai Nabi dan sepanjang pasang-surut sejarah Islam selalu bersama beliau dan menjelang syahadahnya di bagian dari surat wasiatnya, Imam Ali memperingatkan, "Jangan meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar. Bila kalian tidak melaksanakan kedua perintah ini, orang-orang jahat akan menguasai kalian dan ketika kalian akan berdoa kepada Allah, doa kalian tidak akan dikabulkan." (Nahjul Balaghah, Surat 47)
Filosofi Hukum dalam Islam (26)
Berbeda dengan pandangan dangkal sekelompok orang, perintah berbuat baik dan mencegah keburukan atau ammar makruf dan nahyi munkar, bukan hanya bagian dari ibadah dan akhlak, tapi mencakup seluruh masalah akidah, sosial, budaya, politik, ekonomi dan militer.
Poin penting lainnya, kita tahu ammar makruf dan nahyi munkar tidak hanya untuk kelompok masyarakat awam saja, ia bahkan harus dimulai dari kalangan elit seperti pemimpin politik dan pemimpin keagamaan yang memainkan peran determinan dalam perbaikan atau kerusakan sebuah masyarakat.
Rasulullah Saw bersabda, dua kelompok dari umatku yang jika diperbaiki, maka umatku akan baik, dan jika mereka rusak, umatku juga akan rusak. Rasulullah Saw kemudian ditanya, siapakah kedua kelompok itu, beliau berkata, para fakih dan penguasa. (Al Khisal jilid 12, hlmn 37)
Dari sabda Nabi Muhammad Saw di atas jelas bahwa peran pemuka agama dalam pengelolaan masyarakat lebih besar daripada para penguasa, pasalnya mereka dapat memberikan kesadaran pada masyarakat, dan mencegah terciptanya banyak penyimpangan terutama naiknya para penguasa otoriter, dan pembenci agama.
Salah satu contoh nyata yang dijelaskan Al Quran adalah para pemuka agama Yahudi dan Kristen yang kebungkamannya membuka jalan bagi sejumlah banyak penyimpangan dalam masyarakat.
Dalam surat Al Maidah ayat 62-63 Allah Sw berfirman, “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”
Imam Hussein bin Ali as saat berada di Mina, di hadapan sekitar 200 orang sahabat Nabi Muhammad Saw menyampaikan khutbah, dan dengan mengutip sejumlah ayat Al Quran beliau mengatakan, mengapa kalian tidak mengambil pelajaran dari kalam Ilahi, mengapa seperti para ulama Yahudi dan Nasrani, hanya diam dan tidak protes saat menyaksikan penyimpangan dan bid’ah yang bertentangan dengan teladan serta metode Nabi Muhammad Saw ?
Imam Hussein melanjutkan, kalian mengenal halal haram, kalian memiliki kedudukan yang diberkahi Tuhan di antara masyarakat awam dan kaum elit. Lalu mengapa hanya membisu, dan tidak melakukan apapun terhadap para penguasa tiran Bani Umayah ? Kalian pikir akan duduk bersama dengan Rasulullah Saw di surga dengan cara ini ? Sungguh bayangan yang keliru dan harapan kosong. (Tuhaful Uqul)
Dalam khutbah lainnya Imam Hussein as mengutip Rasulullah Saw dan berkata, siapapun yang menyaksikan ada penguasa dan sultan yang menghalalkan apa yang diharamkan Tuhan, mematahkan janjinya dengan Tuhan, menentang sunnah dan ajaran Nabi Muhammad Saw, serta berbuat dosa dan kejahatan di tengah hamba Allah Swt, namun ia tidak berbuat apapun dengan amal dan lisannya, maka Allah Swt akan melemparkan orang-orang semacam itu ke tengah api neraka bersama para penguasa lalim tersebut. (Tafsir Tabari jilid 7 hlmn 300)
Tidak diragukan, selain harus memiliki rasa tanggung jawab, para pemuka agama juga tidak boleh diam di hadapan penguasa otoriter, dan lalim, mereka harus bangkit dan memprotesnya, karena jika hanya diam mereka harus mempertanggung jawabkan sikapnya itu di hadapan Tuhan, dan layak mendapat hukuman.
Allah Swt berfirman tentang Bani Israel dalam Surat Al Maidah ayat 78-79, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”
Sebagian besar penyimpangan yang dilakukan Bani Israel sudah diketahui Rasulullah Saw bakal terulang di tengah umat Islam, di antaranya sikap pemuka agama yang bungkam, diam serta abai di hadapan kezaliman.
Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad Saw bersabda, sesungguhnya Tuhan membenci manusia-manusia beriman yang tak beragama, dan dimurkai oleh-Nya. Semua terkejut dan bertanya, Ya Rasulullah Saw siapakah manusia beriman yang tak beragama itu ? Rasulullah menjawab, orang yang tidak mencegah kemunkaran, dan keburukan. ( Al Kafi, jilid 5 hlmn 59)
Oleh karena itu, tidak mungkin ada orang yang benar-benar beragama tapi diam menyaksikan penyimpangan dengan semua pembenaran, cari aman dan sikap meremehkan. Dalam sebuah riwayat Imam Muhammad Baqir as berkata, di akhir zaman kelak, ada sekelompok masyarakat yang meninggalkan ammar makruf dan nahyi munkar karena takut bahaya. Orang-orang semacam ini jika kondisi masyarakat berubah sehingga ibadah seperti shalat dan puasa tidak lagi membahayakan, maka merekapun akan meninggalkannya.
Poin terakhir yang perlu diperhatikan adalah tahapan ammar makruf dan nahyi munkar. Nabi Muhammad Saw bersabda, siapapun yang menyaksikan perbuatan buruk dan tidak layak, maka ia harus mencegah dengan kekuatannya, jika tidak mampu, maka cegah dan ubahlah dengan lisannya dalam bentuk protes, jika itu tidak memungkinkan, maka kecamlah itu di dalam hatinya, dan ini adalah tahap keimanan paling lemah. (Al Taughib wa Al Tarhib, jilid 3 hlm 222)
Jika seseorang tidak mengamalkan satupun dari tiga tahapan ini, maka ia sebagaimana yang disampaikan Imam Ali as, barangsiapa yang tidak memprotes keburukan dengan tangan, lisan dan hatinya, ia seperti orang mati di tengah orang hidup (yang tidak memiliki semangat keagamaan dan kemanusiaan).
Filosofi Hukum dalam Islam (27)
Hari ini kita akan mengkaji tentang jihad dan kedudukannya dalam Islam. Setelah diutus menjadi nabi, Rasulullah Saw memulai kegiatan dakwahnya secara diam-diam selama tiga tahun.
Kegiatan dakwah kemudian dilakukan secara terbuka dan Rasulullah mulai menghadapi ancaman dan gangguan dari para pembesar Quraisy, yang merasa kepentingannya terancam.
Kafir Quraisy meningkatkan tekanannya terhadap Muhammad Saw dan kaum Muslim. Mereka bahkan diembargo secara ekonomi dan sosial selama tiga tahun di sebuah lembah yang bernama Syi'ib Abu Thalib di Arab Saudi.
Tekanan kuat mendorong Rasulullah Saw memerintahkan sekelompok kaum Muslim untuk mengungsi ke Habasyah. Di tengah meningkatnya tekanan, Rasulullah memilih hijrah ke Madinah dan tidak lama kemudian mendirikan pemerintahan Islam di kota itu.
Pada tahun kedua Hijriyah, para pemimpin kafir Makkah mengobarkan perang dengan agenda menghancurkan Islam untuk selamanya. Dalam situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan oleh Rasulullah dan kaum Muslim?
Apakah mereka harus menyerah dan melupakan cita-cita Islam atau bangkit melakukan jihad untuk mempertahankan eksistensi Islam? Dalam situasi yang menentukan ini, adakah jalan lain selain perang dan jihad?
Perang jelas tidak sejalan dengan ruh dan fitrah suci manusia. Islam memandang perang sebagai opsi terakhir setelah melakukan berbagai pendekatan dan mengambil langkah-langkah yang rasional, agama ini selalu mengedepankan jalan damai atas perang.
Namun ketika musuh-musuh bebal berniat menghancurkan Islam dan kaum Muslim, adakah opsi lain yang tersisa selain perang? Untuk menjawab pertanyaan ini, Allah Swt berfirman, "Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah, ayat 216)
Ketika musuh telah menabuhkan genderang perang, sementara pihak yang ditantang memilih diam, maka mereka akan terhina dan dipaksa untuk menerima semua tuntutan musuh, situasi seperti ini benar-benar sangat menyakitkan dan menghancurkan harga diri.
Al-Quran menawarkan solusi untuk keluar dari kebuntuan seperti itu. "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS. As-Saff, ayat 10-11)
Kalimat "Berjihad di jalan Allah" menunjukkan bahwa jihad dalam Islam tidak memiliki motivasi nasionalisme, wilayah geografi, ras, kabilah, balas dendam, fanatisme buta, dan tidak sebuah aksi yang tidak bertujuan.
Jihad memiliki ciri khas khusus dan ia berbeda dari semua perang lain. Jihad dipuji oleh Allah karena memiliki motivasi Ilahi, Dia berfirman, "Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (QS. As-Saff, ayat 4)
Imam Ali as berkata, "Jihad adalah salah satu pintu surga yang telah dibukakan Allah bagi sahabat-sahabat-Nya yang utama. la adalah baju takwa dan perisai pelindung dari Allah dan perisai terpercaya-Nya. Barang siapa meninggalkannya, maka Allah membusanainya dengan busana kehinaan dan baju bencana. la ditendang dengan hina dan ejekan, dan hatinya ditirai dengan layar [kelalaian]. Hak akan diambil dari dia karena meninggalkan jihad. la akan menderita kehinaan dan keadilan ditolak baginya." (Nahjul Balaghah, khutbah 27)
Oleh karena itu, kaum Muslim harus memperkuat dirinya untuk mencegah agresi musuh dan untuk mempertahankan kemerdekaan, kemuliaan, dan martabatnya. Konspirasi musuh dan syaitan harus dipatahkan sebelum terlaksana dan kaum Muslim harus membuat musuh tidak pernah berpikir untuk menyerang mereka dengan cara mendemonstrasikan kekuatannya.
Untuk tujuan ini, Allah Swt memerintahkan kaum Muslim dengan berfirman, "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya…" (QS. Al-Anfal, ayat 60)
Perlu dicatat bahwa perang memiliki biaya yang sangat besar dan di sini, orang-orang yang beriman dan berkomitmen harus melibatkan diri untuk memenuhi perlengkapan jihad.
Dalam kelanjutan ayat tersebut, Allah Swt berkata, "Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)."
Sekarang kita sudah sedikit mengetahui tentang filosofi jihad di jalan Allah dan budaya jihad dalam Islam. Jadi, jihad merupakan opsi terakhir yang dimiliki pemerintahan Islam dan mereka harus memperkuat diri untuk menghadapi ancaman dan gangguan dari musuh.
Filosofi Hukum dalam Islam (28)
Edisi kali ini kita akan mengkaji tentang adab dan kaidah-kaidah berjihad dalam Islam. Perang dan jihad dalam Islam dilakukan dengan motivasi dan tujuan Ilahi serta bertujuan untuk mencegah dan melawan agresi musuh.
Jihad dalam Islam sama sekali tidak bisa disamakan dengan perang yang dikobarkan oleh para penguasa lalim dan mereka yang mengaku membela hak asasi manusia dan perdamaian.
Salah satu ayat al-Quran secara gamblang menjelaskan tentang empat kriteria jihad. Allah Swt berfirman, "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-Baqarah, ayat 190)
Ayat ini menjelaskan empat landasan perang:
1. Opsi perang diambil jika pihak lain memerangi kita
2. Perang dilakukan atas motivasi Ilahi dan di jalan Allah
3. Tujuan perang adalah melawan serangan serta memelihara kemuliaan dan kekuatan Islam dan kaum Muslim
4. Dilarang melampaui batas-batas ketentuan Tuhan dalam perang.
Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Setiap kali Rasulullah ingin mengirim sebuah pasukan untuk berjihad, beliau mengumpulkan pasukan Islam dan bersabda kepada mereka, 'Berjihadlah atas nama Allah dan bergeraklah di jalan-Nya, jika kalian menang, maka janganlah saling berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang. Jangan memutilasi siapa pun yang telah terbunuh dan berkomitmenlah dengan janji yang telah kalian ucapkan.
Jangan membunuh para lelaki dan wanita tua dan anak-anak. Jangan menebang pohon manapun jika tidak darurat dan jika salah seorang tentara Islam memberikan jaminan kepada salah seorang tentara kafir untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, maka hormatilah ia. Jika ia menerima Islam dan menjadi Muslim, maka ia adalah saudara seagama kalian dan jika tidak, maka biarkanlah ia kembali ke barisan pasukannya dan mintalah pertolongan kepada Allah.'"
Dinukil dari Imam Ali as yang berkata, "Rasulullah Saw ketika ingin mengirim kami ke Yaman bersabda, 'Wahai Ali, sebelum engkau berperang dengan siapa pun, ajaklah ia kepada Islam. Aku bersumpah kepada Allah, jika Allah memberikan hidayah kepada satu orang lantaran engkau, itu lebih baik bagimu dari pada segala sesuatu yang tampak oleh matahari.'"
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as tahu betul bahwa misi jihad dalam Islam adalah memberikan hidayah kepada manusia dan membebaskan mereka dari syirik dan nifak sehingga mereka berjalan di jalan yang lurus.
Imam Shadiq as berkata, "Setiap kali perang pecah, Ali bin Abi Thalib selalu berusaha mengulur waktu agar mendekati terbenamnya matahari. Ketika ditanya alasan melakukan itu, ia menjawab, 'Pada masa itu pintu-pintu langit terbuka dan rahmat Tuhan turun bersama dengan pertolongan-Nya.
Masa itu lebih dekat dengan malam dan sungguh lebih baik jika orang-orang yang terbunuh lebih sedikit. Orang-orang yang mulai sadar dan menyesal, dapat memanfaatkan kegelapan malam dan meninggalkan jalan batil, sementara mereka yang kalah bisa melarikan diri dan meninggalkan medan perang.'"
Jadi, jelas bahwa perang dalam Islam bukanlah tujuan dan bukan prioritas utama. Islam selalu mengedepankan perdamaian, keamanan, keutamaan, dan kebebasan di tengah umat manusia sebagai sebuah prinsip yang abadi.
Jika musuh berhenti berperang dan memilih jalan damai, Allah Swt telah memberikan perintah dengan berfirman, "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Anfal, ayat 61)
Namun, para pemimpin Barat – yang mengaku mencari perdamaian dan membela HAM dan kebebasan – melancarkan propaganda untuk mencitrakan Islam sebagai agama pedang dan kekerasan. Padahal, mereka sendiri memainkan peran kunci dalam mengobarkan semua perang di dunia seperti, Perang Dunia I dan II.
Mereka juga menumpas semua gerakan kebebasan dan kebangkitan bangsa-bangsa dengan cara yang paling kejam. Darah ribuan dan bahkan jutaan manusia tak berdosa tumbah di tangan mereka.
Dalam Revolusi Aljazair, salah satu tindakan tragis yang dilakukan Prancis – yang menganggap dirinya sebagai pelopor kebebasan – selama periode 1954- 1962 adalah menggiring seluruh penduduk dari sebuah desa kecil ke sebuah kawah di padang pasir. Kawah ini telah disirami dengan bahan bakar untuk menyambut orang-orang yang ingin membebaskan dirinya dari imperialisme dan meraih kemerdekaan. Orang-orang Aljazair dilempar ke kawah tersebut dan kemudian disulut dengan api.
Selain pembantaian massal, pemboman desa-desa, dan aksi eksekusi terhadap tentara pembebasan Aljazair, pasukan Prancis juga melakukan penyiksaan terhadap masyarakat. Penyiksaan ini telah mengingatkan orang-orang pada kekejaman era inkuisisi Abad Pertengahan.
Selama Perang Vietnam, Amerika Serikat melanggar semua prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan dan perjanjian-perjanjian internasional. Kekejaman dan pembantaian yang mereka lakukan bahkan menyasar rumah sakit, sekolah, pusat medis, apotek, gereja, rumah penduduk, dan semua fasilitas publik yang ada di Vietnam.
Jadi, jelas bahwa Islam selalu mengejar perdamaian dan keamanan bagi umat manusia, sementara kekuatan-kekuatan arogan senantiasa mengobarkan perang di dunia.
Filosofi Hukum dalam Islam (29-Habis)
Edisi terakhir kajian Ramadhan ini kita tutup dengan mengkaji tema tawalli dan tabarri dalam Islam. Tawalli berarti kecintaan dan loyalitas, sementara tabarri bermakna menjauh dan berlepas diri dari musuh Tuhan, atau dengan kata lain daya tarik dan daya tolak.
Hukum tarik-menarik dan tolak-menolak dalam sistem penciptaan adalah sebuah hukum yang bersifat universal di alam semesta dan tidak ada partikel di alam semesta yang keluar dari ketentuan hukum ini.
Benda-benda di alam semesta mulai yang paling besar sampai yang terkecil memiliki daya tarik-menarik dan tolak-menolak. Hukum ini juga berlaku dalam interaksi manusia di semua aspek sosial, agama, budaya, dan politik. Oleh karena itu, individu dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok berdasarkan hukum daya tarik dan daya tolak.
Sebagian orang hanya memiliki daya tarik dan menarik semua individu dengan berbagai latar belakang akidah, karakter, dan perilaku ke arahnya. Kelompok lain hanya memiliki daya tolak dan sama sekali tidak menyimpan daya tarik.
Sebagian orang benar-benar berkarakter cuek serta tidak memiliki daya tarik dan daya tolak. Dan golongan terakhir orang yang menyimpan daya tarik dan daya tolak.
Pertanyaan penting di sini, tipe manakah dari empat kategori tersebut yang sejalan dengan ajaran Islam?
Tidak diragukan lagi bahwa manusia yang memiliki ideologi rasional, berprinsip, dan berketuhanan, menyimpan kekuatan daya tarik dan juga daya tolak. Ia akan menarik kekuatan yang sejalan dan sepemikiran ke arahnya. Karismanya menembus hati orang-orang dan menolak mereka yang tidak memiliki kecocokan.
Seorang cendekiawan Muslim, Syahid Murtadha Mutahhari menuturkan, "Seorang mukmin harus memiliki daya tarik dan daya tolak serta memiliki batasan, yang menspesifikasikan kedudukannya terhadap ahli iman dan ahli nifak, kufur dan syirik. Dia harus memiliki daya tarik terhadap kaum mukmin dan non-mukmin yang tidak menentang kebenaran dan tidak tahu terhadap hal itu serta harus memiliki daya tolak terhadap selain mereka."
Al-Quran memperkenalkan Rasulullah Saw sebagai teladan dan berkata, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS. Al-Fath, ayat 29)
Jadi, daya tarik dan daya tolak ini bersumber dari landasan ideologi dan keyakinan agama. Imam Jakfar Shadiq as pernah ditanya oleh seseorang apakah kecintaan dan kebencian (daya tarik dan daya tolak) bersumber dari iman? Imam menjawab, "Adakah iman sesuatu selain kecintaan dan kebencian?" Kemudian beliau membacakan ayat berikut, "… Allah menjadikan kamu "cinta" kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus." (QS. Al-Hujurat, ayat 7)
Poin penting lainnya adalah bahwa daya tarik dan daya tolak dalam budaya Islam harus dilakukan atas motivasi Ilahi dan mengesampingkan segala bentuk sikap emosi, fanatisme buta, dan motif balas dendam.
Suatu hari Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabatnya tentang tanda iman yang paling kuat, sebagian menjawab shalat, sebagian yang lain berkata zakat, dan sebagian lagi meyakini puasa, yang lain menjawab haji, dan sisanya berkata jihad.
Rasulullah kemudian bersabda, "Semua nama yang kalian sebut tadi memiliki keutamaan masing-masing, tetapi tanda iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan mengikuti para auliya dan orang-orang yang dikasihi-Nya serta membenci musuh-musuh Allah."
Mengenai pentingnya daya tarik dan daya tolak, mari kita simak firman Allah Swt dalam surat al-Mumtahina ayat 1, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…"
Allah kemudian mencela orang-orang yang melanggar perintah yang jelas ini dan berfirman, "Kalian menampakkan kasih sayang kepada mereka, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu."
Namun, orang-orang yang lemah imannya merasa takut kepada musuh dan dengan pemikiran dangkalnya mereka berpikir bahwa kita harus menampakkan kasih sayang kepada musuh agar kemuliaan kita terjaga.
Al-Quran menolak pemikiran yang hina ini yang bertentangan dengan ajaran tauhid dengan berkata, "(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." (QS. An-Nisa, ayat 139)
Orang-orang yang lemah imannya telah terperdaya dengan kekuatan musuh dan mereka takut dengannya, padahal kekuatan mereka sangat rapuh dan ketika sebuah makhluk kecil yang disebut virus Corona mewabah, kelemahan mereka tampak jelas di mata seluruh masyarakat dunia.
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui." (QS. Al-Ankabut, ayat 41)
Daftar Isi :
Filosofi Hukum dalam Islam1
Bagian(2)1
Filosofi Hukum dalam Islam (15)2
Filosofi Hukum dalam Islam (16)6
Filosofi Hukum dalam Islam (17)10
Filosofi Hukum dalam Islam (18)15
Filosofi Hukum dalam Islam (19)19
Filosofi Hukum dalam Islam (20)24
Filosofi Hukum dalam Islam (21)28
Filosofi Hukum dalam Islam (22)32
Filosofi Hukum dalam Islam (23)36
Filosofi Hukum dalam Islam (24)41
Filosofi Hukum dalam Islam (25)45
Filosofi Hukum dalam Islam (26)49
Filosofi Hukum dalam Islam (27)53
Filosofi Hukum dalam Islam (28)57
Filosofi Hukum dalam Islam (29-Habis)61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar