PENGANTAR PENERBIT
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat
dan salam-Nya semoga terlimpahkan kepada Rasul-Nya yang terpercaya,
Muhammad Al-Mushthafa dan keluarganya yang suci a.s.
Pembahasan mengenai iman bukanlah pembahasan
ulangan yang menjemukan sebagaimana isu-isu yang disebarkan oleh kaum
materialis yang saat kini sedang berada dalam masa keemasannya dan
sedang membangun asas tersendiri. Karena itu isu-isu tersebut secara
langsung berhadapan dengan nilai dan tuntunan-tuntunan iman yang tinggi.
Kesimpulan ini diambil dari pengalaman-pengalaman hidup yang
membuktikan bahwa propaganda-propaganda mereka hanya terbatas pada ide
yang tidak memiliki realita.
Karena itu mereka ingin menciptakan manusia yang
bukan manusia yang ada sekarang ini atau mereka menyangka bahwa agama
hanyalah khayalan belaka. Akan tetapi ketika mereka melihat bahwa
kenyataan bukan seperti yang mereka bayangkan, mereka menyadari selama
ini mereka hidup dalam khayalan. Mereka mengatakan bahwa manusia
hanyalah sekumpulan daging, darah dan tulang yang hanya hidup di alam
ini.
Pemikiran semacam ini dengan sendirinya akan hancur
menghadapi realita bahwa manusia adalah makhluk dwi-dimensi dan tidak
mungkin mematikan salah satu dimensinya.
Atas dasar ini, iman bukanlah khayalan belaka, akan
tetapi iman adalah sebuah realita yang membahas alam manusia dan
mengisi kehidupannya.
Dari sisi lain, ketika berbicara tentang iman, Al
Qur’an membahasnya dari berbagai sisi dan dimensi, dan tidak menjadikan
imam hanya sekedar sarana yang hanya digunakan hari ini demi ketenangan
di hari esok sebagaimana keyakinan para pengikut aliran sufi.
Al Qur’an ―pada satu sisi― mengungkapkan bahwa iman
adalah sebuah alat individu untuk bertemu Tuhannya dan kebahagiaan di
kehidupan akhirat. Allah swt berfirman :
﴿إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات اولئك هم خير البرية﴾
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, mereka adalah yang paling baik)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
﴿أفمن کان مؤمنا کمن کان فاسقا لا يستوون﴾
(Apakah manusia yang beriman sama seperti orang fasiq? Tentu mereka tidak sama)
﴿کنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنکر و تؤمنون بالله﴾
(Kamu adalah umat terbaik yang telah dilahirkan demi man usia. (Tugas kamu adalah) amar ma’ruf - nahi munkar dan beriman kepada Allah)
Dan Al Qur’an pada sisi yang lain mengungkapkan
bahwa iman adalah perangkat masyarakat dan umat yang memiliki peranan
penting dalam merancang masa depannya dan membangun eksistensinya di
muka bumi ini. Allah berfirman:
﴿ولو استقاموا علی الطريقة لأسقيناهم ماء غدقا﴾
(Seandainya mereka istiqamah memegang jalan (agama) ini, niscaya Kami akan memberikan minuman mereka air yang sejuk)
﴿ولو أن اهل القری آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم برکات من السماء والأرض ولکن کذبوا فأخذناهم بما کانوا يکسبون﴾
(Jika penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan menurunkan berkah yang berlimpah kepada mereka dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan, lalu Kami siksa mereka karena ulah mereka sendiri)
Begitu juga ia membahas iman sebagai norma-norma
kemanusiaan agung yang menjamin terbentuknya sebuah masyarakat ideal.
Allah berfirman:
﴿تلك الدّارُ الآخرة نجعلها ببذين لايريدون علوا في الأرض ولا فسادا والعاقبة للمتقين﴾
(Itulah kediaman (abadi) di akhirat. Kami peruntukkan kediaman itu untuk orang-orang yang tidak menyombongkan di muka bumi ini dan tidak berbuat kerusakan. Akibat (kemenangan terakhir) akan dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa)
Ini adalah gambaran, hakekat dan dimensi-dimensi iman menurut Al Qur’an.
Iman bukanlah sekedar “cinta sufi” yang
menganjurkan setiap manusia menyembunyikan dirinya di puncak-puncak
gunung yang tinggi (untuk beribadah) dan bukan sekedar kata-kata yang
manis diucapkan. Iman adalah sebuah cakrawala luas yang meliputi
pemikiran, suluk dan hubungan manusia dengan sesamanya. Iman adalah
sebuah lautan dalam yang sui it untuk diselami, apalagi
mengungkapkannya. Iman adalah rahasia kebangkitan dan berkembangnya
sebuah umat, sedang kufur adalah rahasia kehancuran dan kemusnahannya.
Atas dasar ini, ketika kita mempelajari hakekat
iman dan kufur, bukan hanya sekedar untuk menggembirakan jiwa kita
dengan harapan-harapan dan menakut-takutinya dengan siksaan-siksaan,
sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Akan tetapi, tujuan
kita sebenarnya adalah untuk menyeimbangkan kehidupan manusia sebagai
individu dan anggota masyarakat.
Maka dari itu, ketika kami memilih tema ini sebagai
bahan kajian, bukan berarti kami telah mengkaji seluruh tema tersebut
dari segala sisi dan dimensinya. Paling tidak kami telah menambah
khazanah dalam pembahasan keimanan dan sedikit menyingkap hakekatnya.
Tujuan sebenarnya bukan untuk memperluas wawasan
pembaca dalam bidang ini, ataupun membebani pikiran dengan pembahasan
yang ―sebenarnya― berat, akan tetapi tujuan utama kami adalah supaya
pengetahuan tersebut menjadi sebuah penggerak yang dapat mewarnai
kehidupan manusia, baik secara individu atau sosial masyarakat dengan
tuntunan-tuntunan iman yang murni.
Akhirnya hanya Allahlah tempat kita meminta pertolongan, dan Ialah satu-satunya penunjuk ke jalan yang lurus.
Mu’assasah Ar-Risalah
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah yang telah menanam benih
iman dalam hati hamba-hamba-Nya dan menghiasai hati mereka dengannya
serta memberikan rasa benci terhadap kekufuran, kefasikan dan maksiat.
Salawat dan salam-Nya semoga terlimpahkan kepada Penunjuk jalan dan
kiblat mukminin, pembasmi orang-orang kafir dan para pengikut mereka,
Muhammad Al-Musthafa dan keluarganya yang suci.
Amma ba’du. Iman kepada Allah, malaikat,
kitab-kitab dan para rasul-Nya adalah inti akidah yang hak dan agama
yang mulia ini. Keyakinan ini harus direalisasikan oleh muslimin dalam
setiap masa dan generasi dan hendaknya mereka menjadikan iman sebagai
tolok ukur hakiki dalam mengukur keistimewaan seseorang, bukan tolok
ukur lain yang tidak ada nilainya menurut penilaian Al Qur’an.
Iman bukanlah sekedar syi’ar yang hanya enak
digembar-gmborkan. Akan tetapi iman adalah suluk, tata krama dan akhlak
yang harus diterjemahkan dalam kehidupan individu yang menghendaki
kebaikan dan membenci kejelekan.
Jika bayi yang baru dilahirkan mempunyai keimanan
secara fitrah akan tetapi ayah-ibunyalah yang memiliki peranan utama
menjadikannya pengikut agama Yahudi, Kristen atau Majusi, fitrah semata
tidak cukup dengan sendirinya untuk mengantarkan manusia mencapai tujuan
iman seperti yang telah digariskan oleh Alquran, selama tidak disertai
dengan pengajaran yang benar dan pendidikan yang tepat.
Jika tidak demikian, tuntunan-tuntunan iman yang
tinggi ini akan musnah secara perlahan dan tidak akan membekas dalam
sanubari manusia.
Sara tidak menemukan orang berakal yang tidak
meyakini peranan iman dalam kehidupan individu dan sosial masyarakat.
Jika kita menengok kemenangan dan keberhasilan umat-umat terdahulu dalam
bidang materi, seperti menundukkan alam, kedokteran dan industri, hal
ini adalah bukti terbaik atas apa yang kami katakan itu. Karena kemajuan
dan keberhasilan-keberhasilan itu, dengan sendirinya tidak memiliki
pengaruh positif dalam jiwa mereka, dan akibatnya, mereka tidak akan
menemukan ketenanganjiwa dan kedamaian sejati hingga masa kita.sekarang
ini.
Oleh karena itu, mereka akan menghadapi gelombang
keraguan, kebimbangan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan yang
menyebabkan mereka lari dari realita atau bunuh diri yang merupakan
fenomena hangat yang sedang dihadapi oleh masyarakat Barat. Oleh karena
itu, para pemikir telah membunyikan lonceng bahaya sebagai peringatan
atas bahaya yang sedang mengancam ini.
Begitu juga, kemajuan dan keberhasilan-keberhasilan
secara materi ini, dengan sendirinya tidak memiliki pengaruh positif
bagi sisi etika mereka. Hal ini dapat kita lihat dati menggejalanya
dekadensi moral, meningkatnya kriminalitas dan penggunaan obat-obat
terlarang secara bebas yang menimpa mayoritas negara dunia ini.
Lebih dari itu, tidak adanya gambaran yang benar
bagi manusia mengenai tujuan wujud dan kehidupannya adalah hasil negatif
lain dari keberhasilan-keberhasilan tersebut.
Yang sangat menakjubkan adalah munculnya
model-model kekufuran baru yang didukung oleh yayasan-yayasan bergengsi,
yang berusaha memerangi Islam, memusnahkan tuntunan-tuntunan dan
menyimakan kedudukannya. Dengan bermunculannya golongan-golongan baru
yang tersebar di seantero dunia, ruang lingkup kekufuran ini makin
meluas dan secara terang-terangan mengajak manusia untuk meyembah
syetan.
Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, mereka
menciptakan ritus-ritus keagamaan baru dan tempat-tempat peribadatan
khusus yang dilengkapi dengan sarana-sarana media massa modem yang
digunakan untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka.
Atas dasar ini, kita sangat perlu membahas problema
iman dan kufur, karena problema ini adalah salah satu problema hayati
dan primer yang semestinya harus kita perhatikan.
Betul, ada sebagian orang yang sempit pemikirannya
dan tidak memiliki hasrat untuk membahas problema iman dan kufur (secara
tuntas). Karena mereka menganggap problema ini sebagai problema
sampingan yang tidak penting. Mereka menganggap di dunia ini ada
problema-problema lain yang lebih penting dan hayati.
Mereka lupa bahwa problema iman dan kufur adalah
salah satu problema yang menentukan masa depan individu dan sebuah
masyarakat. Lebih-lebih, karena iman adalah sumber kebaikan dan kufur
adalah sumber kerusakan bagi manusia.
Kekufuran telah memenuhi akal manusia dengan khurafat, memusnahkan etika dan mendatangkan permusuhan dan percekcokan.
Oleh karena itu, supaya dapat menyampaikan apa yang
menjadi tujuan kami (dari penulisan buku ini), kami membagi pembahasan
buku ini dalam empat pasal.
Kami berharap semoga buku kecil ini dapat membantu
pembaca dalam membedakan kekufuran dan iman serta pengaruh-pengaruhnya
atas kehidupan individu dan masyarakat. Setidaknya ini sebagai satu
langkah yang penuh berkah ―insya-Allah― demi menguatkan dan menjaga
fitrah manusia yang condang kepada iman dan tidak terjerumus ke dalam
jurang kehidupan material dan menuntun mukminin untuk mencapai
faktor-faktor yang dapat menguatkan iman dan mengangkat derajat mereka.
Akhirnya kepada Allah swt kami memohon pertolongan dan taufik.
-----------------------
-------------------------------
-----------------------
IMAN DAN KUFUR (1)
Markaz Risalah
PENGANTAR PENERBIT
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat
dan salam-Nya semoga terlimpahkan kepada Rasul-Nya yang terpercaya,
Muhammad Al-Mushthafa dan keluarganya yang suci a.s.
Pembahasan mengenai iman bukanlah pembahasan
ulangan yang menjemukan sebagaimana isu-isu yang disebarkan oleh kaum
materialis yang saat kini sedang berada dalam masa keemasannya dan
sedang membangun asas tersendiri. Karena itu isu-isu tersebut secara
langsung berhadapan dengan nilai dan tuntunan-tuntunan iman yang tinggi.
Kesimpulan ini diambil dari pengalaman-pengalaman hidup yang
membuktikan bahwa propaganda-propaganda mereka hanya terbatas pada ide
yang tidak memiliki realita.
Karena itu mereka ingin menciptakan manusia yang
bukan manusia yang ada sekarang ini atau mereka menyangka bahwa agama
hanyalah khayalan belaka. Akan tetapi ketika mereka melihat bahwa
kenyataan bukan seperti yang mereka bayangkan, mereka menyadari selama
ini mereka hidup dalam khayalan. Mereka mengatakan bahwa manusia
hanyalah sekumpulan daging, darah dan tulang yang hanya hidup di alam
ini.
Pemikiran semacam ini dengan sendirinya akan hancur
menghadapi realita bahwa manusia adalah makhluk dwi-dimensi dan tidak
mungkin mematikan salah satu dimensinya.
Atas dasar ini, iman bukanlah khayalan belaka, akan
tetapi iman adalah sebuah realita yang membahas alam manusia dan
mengisi kehidupannya.
Dari sisi lain, ketika berbicara tentang iman, Al
Qur’an membahasnya dari berbagai sisi dan dimensi, dan tidak menjadikan
imam hanya sekedar sarana yang hanya digunakan hari ini demi ketenangan
di hari esok sebagaimana keyakinan para pengikut aliran sufi.
Al Qur’an ―pada satu sisi― mengungkapkan bahwa iman
adalah sebuah alat individu untuk bertemu Tuhannya dan kebahagiaan di
kehidupan akhirat. Allah swt berfirman :
﴿إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات اولئك هم خير البرية﴾
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, mereka adalah yang paling baik)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
﴿أفمن کان مؤمنا کمن کان فاسقا لا يستوون﴾
(Apakah manusia yang beriman sama seperti orang fasiq? Tentu mereka tidak sama)
﴿کنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنکر و تؤمنون بالله﴾
(Kamu adalah umat terbaik yang telah dilahirkan
demi man usia. (Tugas kamu adalah) amar ma’ruf - nahi munkar dan beriman
kepada Allah)
Dan Al Qur’an pada sisi yang lain mengungkapkan
bahwa iman adalah perangkat masyarakat dan umat yang memiliki peranan
penting dalam merancang masa depannya dan membangun eksistensinya di
muka bumi ini. Allah berfirman:
﴿ولو استقاموا علی الطريقة لأسقيناهم ماء غدقا﴾
(Seandainya mereka istiqamah memegang jalan (agama) ini, niscaya Kami akan memberikan minuman mereka air yang sejuk)
﴿ولو أن اهل القری آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم برکات من السماء والأرض ولکن کذبوا فأخذناهم بما کانوا يکسبون﴾
(Jika penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa,
niscaya Kami akan menurunkan berkah yang berlimpah kepada mereka dari
langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan, lalu Kami siksa mereka
karena ulah mereka sendiri)
Begitu juga ia membahas iman sebagai norma-norma
kemanusiaan agung yang menjamin terbentuknya sebuah masyarakat ideal.
Allah berfirman:
﴿تلك الدّارُ الآخرة نجعلها ببذين لايريدون علوا في الأرض ولا فسادا والعاقبة للمتقين﴾
(Itulah kediaman (abadi) di akhirat. Kami
peruntukkan kediaman itu untuk orang-orang yang tidak menyombongkan di
muka bumi ini dan tidak berbuat kerusakan. Akibat (kemenangan terakhir)
akan dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa)
Ini adalah gambaran, hakekat dan dimensi-dimensi iman menurut Al Qur’an.
Iman bukanlah sekedar “cinta sufi” yang
menganjurkan setiap manusia menyembunyikan dirinya di puncak-puncak
gunung yang tinggi (untuk beribadah) dan bukan sekedar kata-kata yang
manis diucapkan. Iman adalah sebuah cakrawala luas yang meliputi
pemikiran, suluk dan hubungan manusia dengan sesamanya. Iman adalah
sebuah lautan dalam yang sui it untuk diselami, apalagi
mengungkapkannya. Iman adalah rahasia kebangkitan dan berkembangnya
sebuah umat, sedang kufur adalah rahasia kehancuran dan kemusnahannya.
Atas dasar ini, ketika kita mempelajari hakekat
iman dan kufur, bukan hanya sekedar untuk menggembirakan jiwa kita
dengan harapan-harapan dan menakut-takutinya dengan siksaan-siksaan,
sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Akan tetapi, tujuan
kita sebenarnya adalah untuk menyeimbangkan kehidupan manusia sebagai
individu dan anggota masyarakat.
Maka dari itu, ketika kami memilih tema ini sebagai
bahan kajian, bukan berarti kami telah mengkaji seluruh tema tersebut
dari segala sisi dan dimensinya. Paling tidak kami telah menambah
khazanah dalam pembahasan keimanan dan sedikit menyingkap hakekatnya.
Tujuan sebenarnya bukan untuk memperluas wawasan
pembaca dalam bidang ini, ataupun membebani pikiran dengan pembahasan
yang ―sebenarnya― berat, akan tetapi tujuan utama kami adalah supaya
pengetahuan tersebut menjadi sebuah penggerak yang dapat mewarnai
kehidupan manusia, baik secara individu atau sosial masyarakat dengan
tuntunan-tuntunan iman yang murni.
Akhirnya hanya Allahlah tempat kita meminta pertolongan, dan Ialah satu-satunya penunjuk ke jalan yang lurus.
Mu’assasah Ar-Risalah
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah yang telah menanam benih
iman dalam hati hamba-hamba-Nya dan menghiasai hati mereka dengannya
serta memberikan rasa benci terhadap kekufuran, kefasikan dan maksiat.
Salawat dan salam-Nya semoga terlimpahkan kepada Penunjuk jalan dan
kiblat mukminin, pembasmi orang-orang kafir dan para pengikut mereka,
Muhammad Al-Musthafa dan keluarganya yang suci.
Amma ba’du. Iman kepada Allah, malaikat,
kitab-kitab dan para rasul-Nya adalah inti akidah yang hak dan agama
yang mulia ini. Keyakinan ini harus direalisasikan oleh muslimin dalam
setiap masa dan generasi dan hendaknya mereka menjadikan iman sebagai
tolok ukur hakiki dalam mengukur keistimewaan seseorang, bukan tolok
ukur lain yang tidak ada nilainya menurut penilaian Al Qur’an.
Iman bukanlah sekedar syi’ar yang hanya enak
digembar-gmborkan. Akan tetapi iman adalah suluk, tata krama dan akhlak
yang harus diterjemahkan dalam kehidupan individu yang menghendaki
kebaikan dan membenci kejelekan.
Jika bayi yang baru dilahirkan mempunyai keimanan
secara fitrah akan tetapi ayah-ibunyalah yang memiliki peranan utama
menjadikannya pengikut agama Yahudi, Kristen atau Majusi, fitrah semata
tidak cukup dengan sendirinya untuk mengantarkan manusia mencapai tujuan
iman seperti yang telah digariskan oleh Alquran, selama tidak disertai
dengan pengajaran yang benar dan pendidikan yang tepat.
Jika tidak demikian, tuntunan-tuntunan iman yang
tinggi ini akan musnah secara perlahan dan tidak akan membekas dalam
sanubari manusia.
Sara tidak menemukan orang berakal yang tidak
meyakini peranan iman dalam kehidupan individu dan sosial masyarakat.
Jika kita menengok kemenangan dan keberhasilan umat-umat terdahulu dalam
bidang materi, seperti menundukkan alam, kedokteran dan industri, hal
ini adalah bukti terbaik atas apa yang kami katakan itu. Karena kemajuan
dan keberhasilan-keberhasilan itu, dengan sendirinya tidak memiliki
pengaruh positif dalam jiwa mereka, dan akibatnya, mereka tidak akan
menemukan ketenanganjiwa dan kedamaian sejati hingga masa kita.sekarang
ini.
Oleh karena itu, mereka akan menghadapi gelombang
keraguan, kebimbangan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan yang
menyebabkan mereka lari dari realita atau bunuh diri yang merupakan
fenomena hangat yang sedang dihadapi oleh masyarakat Barat. Oleh karena
itu, para pemikir telah membunyikan lonceng bahaya sebagai peringatan
atas bahaya yang sedang mengancam ini.
Begitu juga, kemajuan dan keberhasilan-keberhasilan
secara materi ini, dengan sendirinya tidak memiliki pengaruh positif
bagi sisi etika mereka. Hal ini dapat kita lihat dati menggejalanya
dekadensi moral, meningkatnya kriminalitas dan penggunaan obat-obat
terlarang secara bebas yang menimpa mayoritas negara dunia ini.
Lebih dari itu, tidak adanya gambaran yang benar
bagi manusia mengenai tujuan wujud dan kehidupannya adalah hasil negatif
lain dari keberhasilan-keberhasilan tersebut.
Yang sangat menakjubkan adalah munculnya
model-model kekufuran baru yang didukung oleh yayasan-yayasan bergengsi,
yang berusaha memerangi Islam, memusnahkan tuntunan-tuntunan dan
menyimakan kedudukannya. Dengan bermunculannya golongan-golongan baru
yang tersebar di seantero dunia, ruang lingkup kekufuran ini makin
meluas dan secara terang-terangan mengajak manusia untuk meyembah
syetan.
Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, mereka
menciptakan ritus-ritus keagamaan baru dan tempat-tempat peribadatan
khusus yang dilengkapi dengan sarana-sarana media massa modem yang
digunakan untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka.
Atas dasar ini, kita sangat perlu membahas problema
iman dan kufur, karena problema ini adalah salah satu problema hayati
dan primer yang semestinya harus kita perhatikan.
Betul, ada sebagian orang yang sempit pemikirannya
dan tidak memiliki hasrat untuk membahas problema iman dan kufur (secara
tuntas). Karena mereka menganggap problema ini sebagai problema
sampingan yang tidak penting. Mereka menganggap di dunia ini ada
problema-problema lain yang lebih penting dan hayati.
Mereka lupa bahwa problema iman dan kufur adalah
salah satu problema yang menentukan masa depan individu dan sebuah
masyarakat. Lebih-lebih, karena iman adalah sumber kebaikan dan kufur
adalah sumber kerusakan bagi manusia.
Kekufuran telah memenuhi akal manusia dengan khurafat, memusnahkan etika dan mendatangkan permusuhan dan percekcokan.
Oleh karena itu, supaya dapat menyampaikan apa yang
menjadi tujuan kami (dari penulisan buku ini), kami membagi pembahasan
buku ini dalam empat pasal.
Kami berharap semoga buku kecil ini dapat membantu
pembaca dalam membedakan kekufuran dan iman serta pengaruh-pengaruhnya
atas kehidupan individu dan masyarakat. Setidaknya ini sebagai satu
langkah yang penuh berkah ―insya-Allah― demi menguatkan dan menjaga
fitrah manusia yang condang kepada iman dan tidak terjerumus ke dalam
jurang kehidupan material dan menuntun mukminin untuk mencapai
faktor-faktor yang dapat menguatkan iman dan mengangkat derajat mereka.
Akhirnya kepada Allah swt kami memohon pertolongan dan taufik.
PASAL I
IMAN DAN TANDA-TANDA MUKMIN
Arti dan Maksud Iman
Asal arti iman adalah membenarkan dan meyakini
suatu kebenaran. Akan tetapi, kosa kata iman ini telah menjadi lambang
khusus syari’at Nabi kita Muhammad saw.[1]
Oleh karena itu, setiap mazhab dan aliran Islam berbeda pendapat dalam mengartikan kosa kata tersebut.
Mu’tazilah, Khawarij, Zaidiyah dan Ahlul Hadits
meyakini bahwa iman adalah nama untuk pekerjaan-pekerjaan hati dan
anggota badan yang disertai pernyataan lisan, dan iman meliputi ketaatan
kepada Allah dan mengenal-Nya disertai dengan argumen-argumen aqli dan
naqli. Oleh sebab itu, mengingkari salah satu dari hal-hal di atas
menyebabkan kekufuran.
Abu Hanifah dan (Abul Hasan) Al-Asy’Ari meyakini bahwa iman dapat dicapai dengan keyakinan hati dan pernyataan lisan.
Kelompok ketiga meyakini bahwa iman cukup dengan
keyakinan hati. Dari pendapat ini, muncul pendapat yang lebih ekstrim,
yang hanya membatasi iman hanya dalam ruang lingkup mengetahui Allah
dalam hati semata. Atas dasar ini, barang siapa telah meyakini Allah
(denganinya) kemudian mengingkari-Nya dengan lisannya saja lalu ia mati,
maka ia mati sebagai mu’min yang sempurna imannya.
Golongan keempat meyakini bahwa iman cukup dengan
pengakuan lisan semata. Dari golongan ini muncul kelompok cabang yang
meyakini bahwa iman di samping pengakuan lisan, harus disertai pula
dengan mengetahui (Allah) di dalam hati.[2]
Akan tetapi, kalau kita meneliti ayat-ayat Alquran,
kita akan menemukan hakekat iman yang berbeda dengan arti-arti yang
telah disebut di atas. Iman bukanlah sekedar memiliki pengetahuan
tentang sesuatu dan meyakini kebenarannya. Karena betapa banyak orang
yang telah mengetahui dan meyakini kebenaran Islam, akan tetapi hal itu
justru menjerumuskan mereka ke dalam jurang pengingkaran, kekufuran,
menghalangi-halangi orang lain untuk berjalan di atas jalan Allah dan
penentangan terhadap Rasulullah saw.
Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman:
﴿إن الذين ارتدوا علی أدبارهم من بعد ما تبين لهم الهدی إن الذين کفروا وصدوا عن سبيل الله وشاقوا الرسول من بعد ما تبين لهم الهدی﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang
(kepada kekufuran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syetan telah
menjadikan mereka mudah (berbuat dosa)...”, “Sesungguhnya orang-orang
kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah serta memusuhi
Rasulullah setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat
memberi mudlarat kepada Allah sedikitpun...”.[3]
Bahkan ada sebagian dari mereka yang disesatkan oleh Allah. Allah berfirman:
﴿وأضله الله علی علم﴾
“Dan Allah menyesatkannya dengan pengetahuan yang dimilikinya”.[4]
Oleh karena itu, pengetahuan dengan sendirinya
tidak cukup untuk dijadikan tolok ukur iman selama tidak disertai oleh
keyakinan hati yang mantap dan kemudian direalisasikannya dalam bentuk
perilaku dan amal.
Pernyataan “iman hanyalah amal belaka” juga tidak
dapat dibenarkan. Karena amal bisa tercampur dengan kemunafikan, bahkan
orang-orang munafik mengenal kebenaran secara argumentatif. Meskipun
demikian, orang munafik tidak termasuk golongan orang-orang beriman.[5]
Berkenaan dengan ini, telah sampai kepada kita
hadits-hadits shahih yang mengartikan iman secara tepat dan menyatakan
bahwa iman dapat ditegakan dengan tiga pilar utama: keyakinan,
pernyataan lisan dan amal.
Amirul Mu’minin a.s. pernah ditanya tentang definisi iman. Beliau menjawab:
الإيمان معرفة بالقلب وإقرار باللسان وعمل بالأرکان
“Iman adalah keyakinan hati, pernyataan lisan dan amal.”[6]
Imam Al-Baqir a.s. ketika membedakan antara Islam dan iman berkata:
الإيمان إقرار وعمل والإسلام إقرار بلا علم
“Iman adalah pengakuan dan amal, sedangkan Islam adalah pengakuan tanpa amal”.[7]
Imam Ash-Shadiq a.s. menekankan keserasian antara
perkataan dan amal demi terealisasikannya iman (dalam diri manusia).
Beliau berkata:
ليس الإيمان بالتحلي ولا بالتمني، ولکن الإيمان ما خلص في القلب وصدقته الأعمال
“Iman bukanlah sekedar pakaian untuk berhias dan
angan-angan. Akan tetapi, iman adalah keyakinan yang mantap di dalam
hati yang kemudian dibenarkan oleh amal”[8]
Salam Al-Ja’fi berkata: “Aku pernah bertanya kepada
Abu Abdillah a.s. tentang iman. Beliau berkata: “Iman adalah taat
kepada Allah dan tidak melanggar (perintah dan larangan-Nya)”[9]
Dari hadits-hadits di atas dan yang sejenisnya,
jelas bahwa Ahlul Bayt a.s. menolak iman yang hanya pernyataan lisan,
keyakinan hati atau kedua-keduanya (selama tidak disertai oleh amal).
Pemahaman iman semacam ini adalah pemahaman yang sangat dangkal. Iman
selama tidak disertai oleh ketaatan mutlak kepada Allah dengan
melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya adalah
iman yang tidak memiliki rub dan kehidupan.
Oleh karena itu, iman selain keyakinan hati dan
pernyataan lisan harus disertai oleh amal. Kita dapat melihat peluasan
ruang lingkup iman dalam hadits Imam Ash-Shadiq a.s. ketika beliau
menjawab pertanyaan, ‘Ajlan bin Shalih berkenaan dengan batas-batas
iman. Beliau berkata: “ (Iman adalah) bersaksi bahwa tiada tuhan seiain
Allah dan Muhammad Rasulullah, meyakini (kebenaran) segala yang beliau
bawa dari sisi-Nya, menunaikan shalat lima waktu, membayar zakat, puasa
di bulan Ramadlan, melaksanakan haji ke Baitullah, berwilayah kepada
wali kami, memusuhi musuh-musuh kami dan bersama orang-orang yang benar”[10]
Atas dasar ini, iman menurut pandangan Ahlul Bayt
a.s. bukan semata keyakinan hati yang tidak disertai oleh amal. Iman
memiliki tiga pondasi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dari yang
lainnya : keyakinan hati, pernyataan lisan sebagai konsekuensi dari
keyakinan hati tersebut dan amal sebagai konsekuensi dari dua pondasi
itu.
Dalam kaitannya dengan ini Imam Ash-Shadiq a.s.
berkata: “Iman adalah sebuah pengakuan yang tidak dibenarkan kecuali
dengan bukti. Dan bukti iman (seseorang) adalah amal dan niatnya”.[11]
Dalam hadits di atas Imam Ash-Shadiq a.s. telah
meletakkan tolok ukur paten bagi iman: pertama, tolok ukur batiniyah
yang mengacu kepada niat dan keyakinan hati seseorang, dan kedua, tolok
ukur lahiriah yang mengacu kepada penerjemahan keyakinan hati tersebut
dalam amal. Atas dasar ini, barang siapa yang ingin memisahkan iman dan
amal, ia akan terjerumus ke dalam jurang kemunafikan.
Oleh karena itu, para imam a.s. menekankan, iman
adalah satu kesatuan yang terbentuk dari tiga tonggak utama yang tidak
dapat dipisahkan: keyakinan hati, pernyataan lisan dan amal.
Abush Shalt Al-Hirawi berkata: “”Aku pernah bertanya kepada Imam Ar-Ridla a.s. mengenai iman. Beliau menjawab:
الإيمان عقد بالقلب ولفظ باللسان وعمل بالجوارح، ولايکون الإيمان إلا هکذا
“Iman adalah keyakinan hati, pernyataan lisan dan
amal. (Hakekat) iman tidak akan dicapai oleh seseorang kecuali dengan
ketiga perkara tersebut”.[12]
Ungkapan terakhir Imam Ar-Ridla a.s. tersebut adalah bukti jelas atas pandangan Ahlul Bayt a.s. di atas.
Pandangan Ahlul Bayt ini sebenarnya bersumber dari
ajaran-ajaran wahyu yang murni, bukan pandangan yang tidak berasas atau
yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran teologik (yang berkembang pada
masa kehidupan mereka). Ketika kita meneliti hadits-hadits Rasulullah
saw, akan kita temukan sebuah hadits yang berbunyi:
الإيمان والعمل شريکان في قرن، لايقبل الله تعالی أحدهما إلا بصاحبه
“Iman dan amal adalah dua sejoli (yang tidak dapat
dipisahkan). Allah tidak akan menerima salah satunya kecuali jika
disertai dengan yang lainnya”.[13]
Ayat-ayat Alquran menguatkan pandangan bahwa iman
adalah berdirinya tiga pilar tersebut. Allamah Ar-Raghib Al-Ishfahani
berkata: “Iman kadang-kadang digunakaIi sebagai nama semata bagi orang
yang memeluk Islam, mengakui Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad sebagai
Nabi-Nya. Allah berfirman:
﴿إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابئين﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi dan Shabi’in”[14]
Ayat ini menyebutkan sifat semua orang yang
menerima syari’at Allah adalah orang yang mengakui ketuhanan Allah dan
kenabian Muhammad. Ayat lain menegaskan:
﴿وما يؤمن أکثرهم بالله إلا وهم مشرکون﴾
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman
kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan (dengan
sesembahan-sesembahan lain)”.[15]
Dalam arti yang lain, iman berarti keyakinan ati
mengenai satu kebenaran. Arti ini memiliki tiga pondasi pokok: keyakinan
hati, pengakuan lisan dan amal. Allah berfirman:
﴿والذين آمنوا بالله ورسله أولئک هم الصديقون﴾
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah Shiddiqin”.[16]
Jika seseorang berkata, Allah dalam sebuah ayat berfirman :
﴿والذين آمنوا وعملوا الصالحات أولئك أصحاب الجنة﴾
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka adalah penduduk surga”.[17]
Dalam ayat di atas Allah memisahkan iman dari amal dengan kata “dan”. Ini menunjukkan bahwa amal bukan bagian pokok dari iman.[18]
Jawab: yang dimaksud dengan iman dalam ayat di atas
adalah sekedar keyakinan dan pembenaran, sebagaimana ayat yang
menceritakan peristiwa saudara-saudara Nabi Yusuf a.s.:
﴿وما أنت بمؤمن لنا ولو کنا صادقين﴾
“Dan kamu tidak akan membenarkan kami meskipun kami berkata benar”,[19]
, Adapun iman yang sempurna hendaknya si mu’min beramal sesuai dengan
tuntutan imannya, menjaga iman tersebut dari godaan hawa nafsu dan rela
memikul segala kesulitan demi menjaga imannya. Semua ini dapat dicapai
hanya dengan ketaatan mutlak kepada Allah swt.[20]
Kesimpulannya, iman memiliki dua ingkatan: pertama,
sekedar pengucapan dua kalimat syahadah. Ini adalah tingkatan terendah
dari iman. Setiap orang yang memeluk agama Islam dan mengakui Allah dan
Nabi-Nya, memiliki iman ini. Kedua, di samping keyakinan dan pembenaran
dengani, iman pada tingkatan ini juga disertai dengan pernyataan lisan
dan amal. Yang dimaksud dengan amal di sini adalah menjalankan seluruh
hukum Islam; melaksanakan kewajiban dan menjauhi kemunkaran. Iman
tingkat kedua inilah yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah, dan yang
akan menjadi titik pembahasan kita di dalam buku ini.
Atas dasar ini, iman adalah program kehidupan
manusia yang sempurna dan mencakup segala aspek kehidupan, bukan sekedar
keyakinan yang terpendam di dalam hati atau pernyataan lisan belaka.
Hakekat Iman
Iman bukanlah hakekat materi yang dapat dijangkau
oleh jiwa manusia melalui panca inderanya yang terbatas. Iman adalah
hakekat spiritual (ma’nawiyah) yang hanya dapat dijangkau oleh hati yang
bersih, terjelmakan dalam bentuk amal dan budi pekerti yang agung.
Hakekat inilah yang akan terpatri di dalam sanubari mu’minin. Oleh
karena itu, mereka memiliki karakter dan sifat-sifat agung yang dapat
kita saksikan dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari.
Di sini kami akan menyebutkan sebagian dari
karakter-karakter agung tersebut dengan berlandaskan hadits-hadits suci
para ma’shum a.s.
1. Menyerahkan Diri kepada Allah dan Rela atas segala Ketentuan-Nya
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya segala
sesuatu memiliki hakekat. Dan seorang hamba tidak akan dapat menjangkau
hakekat iman kecuali ia meyakini bahwa segala sesuatu yang akan
menimpanya, pasti akan terjadi”.[21]
Mu’min yang sejati adalah orang yang percaya kepada
Allah dan hikmah (seluruh pekerjaan)-Nya, dan pasrah diri di hadapan
qadla’ dan qadar Ilahi dengan penuh percaya diri.
Syeikh Shaduq r.a. meriwayatkan, dalam sebuah
perjalanan jauh Rasulullah saw berjumpa dengan sebuah rombongan.
Kemudian beliau bertanya kepada mereka: “Siapakah kalian?” “Kami
orang-orang mu’min”, jawab mereka tegas. Beliau bertanya kembali:
“Apakah tanda-tanda keimanan kalian?” Mereka menjawab: “Kami rela atas
qadla’ Allah, pasrah terhadap segala keputusan-Nya dan menyerahkan
segala urusan kepada-Nya”. Akhirnya Rasulullah bersabda: “Ulama yang
bijak hampir-hampir menjadi nabi karena hikmah yang mereka miliki. Jika
apa yang kalian katakan itu benar, maka janganlah kalian membangun rumah
yang tidak kalian diami, janganlah kalian kumpulkan makanan yang tidak
kalian makan dan takutlah kepada Allah karena kalian akan dikembalikan
kepada-Nya”.[22]
Rela atas qadla’ Allah dan pasrah diri terhadap
segala keputusan-Nya adalah jelmaan iman yang paling agung (yang
tercerminkan dalam kehidupan mu’minin sehari-hari). Barang siapa yang
memiliki kedua karakter di atas, ia akan mampu untuk sampai ke puncak
piramida iman dan merasakan manisnya ilmu dan hikmah. Kedua karakter
tersebut adalah karakter-karakter yang telah terjelmakan dalam diri para
nabi a.s.
Dalam kaitannya dengan ini Abu Abdillah a.s. pernah
ditanya: “Dengan tanda apa kita dapat mengetahui iman seseorang?”
Beliau menjawab: “Dengan kepasrahannya kepada Allah dan kerelaannya tas
segala peristiwa yang menimpanya, baik berupa kesenangan atau
kesusahan”.[23]
2. Cinta dan benci karena Allah
Ketika seseorang lebih mementingkan apa yang
dicintai oleh Allah daripada yang ia cintai dan membenci sesuatu karena
Allah, bukan karena kepentingan pribadinya, tidak diragukan lagi bahwa
sifat ini bersumber dari kedalaman dan kemantapan imannya.
Rasulullah saw bersabda: “Seorang hamba tidak akan
pernah menemukan hakekat iman kecuali ketika marah, ia marah karena
Allah dan ketika mencintai sesuatu, ia mencintainya karena Allah. Jika
ia telah melakukan hal itu, ia telah sampai kepada hakekat iman”.[24]
Imam Ash-Shadiq a.s. juga berkata: “Seseorang dari kalian tidak akan
sampai kepada hakekat iman kecuali jika ia telah mencintai orang yang
paling jauh darinya karena Allah dan membenci orang yang paling dekat
darinya karena Allah”.[25]
3. Memegang kebenaran secara mutlak
Amirul Mu’minin a.s. berkata:
إن من حقيقة الإيمان أن تؤثر الحق و إن ضرك علی الباطل وإن نفعك
“Di antara tanda-tanda iman, hendaknya amu ebih
mementingkan kebenaran meskipun kebenaran itu akan membahayakan dirimu
daripada kebatilan meskipun kebatilan tersebut akan mendatangkan manfaat
Baghmu”.[26]
Lebih mementingkan kebenaran yang mendatangkan
bahaya bagi jiwa eseorang atas kebatilan yang mendatangkan manfaat
baginya, tidak diragukan lagi ini adalah tanda kemantapan iman dalam
sanubarinya.
4. Cinta Ahlul Bayt a.s.
Cinta Ahlul Bayt a.s. adalah satu hakekat pembeda
antara iman sejati dan iman palsu. Zurr bin Hubaisy berkata: “Aku pernah
melihat Amirul Mu’minin duduk di atas mimbar dan berkata: ‘Demi Zat
yang menumbuhkan biji-bijian dan menciptakan makhluk, Nabi saw pernah
bersabda: “Tidak akan mencintaimu (wahai Ali) kecuali orang mukmin dan
tidal alan membencimu kecuali munafik”.[27]
Jabir bin Abdillah bin Hazam Al-Anshari berkata:
“Suatu hari kami sekelompok orang Anshar duduk bersama Rasulullah saw.
Beliau berkata kepada kami: “Wahai orang-orang Anshar, ujilah
anak-anakmu mencintai Ali. Jika mereka mencintainya, maka mereka telah
mendapat petunjuk dan jika mereka membencinya, maka mereka adalah
sesat”.[28]
Abu Zubair Al-Makkiy berkata: “Aku melihat Jabir
berkeliling di tempat perkumpulan orang-orang Anshar dengan berpandu
kepada tongkatnya sambil berteriak: Ali adalah manusia paling baik.
Barang siapa yang ingkar, ia telah kafir. Wahai orang-orang Anshar,
didiklah putera-putera kalian untuk mencintai Ali. Jika mereka enggan
mencintainya, maka lihatlah bagaimana ibunya”.[29]
Tsa’labi meriwayatkan sebuah hadits dalam tafsirnya
yang juga dinukil oleh Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kassyaf, Qurthubi
al-Maliki dalam dalam Al-Jami’ li Ahkamil Quran dan Fakhrur Razi dalam
At-Tafsir Al-Kabir bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa
meninggal dunia dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad; ia
meninggal dalam keadaan syahid. Barang siapa meninggal dengan membawa
kecintaan kepada keluarga Muhammad; ia meninggal dunia sedangkan dosanya
telah diampuni. Barang siapa meninggal dunia dengan membawa kecintaan
kepada keluarga Muhammad; ia meninggal dunia dalam keadaan telah
bertaubat. Barang siapa meninggal dunia dengan membawa kecintaan kepada
keluarga Muhammad; ia meninggal sebagai orang mu’min yang sempurna
imannya. Barang siapa meninggal dengan membawa kecintaan kepada keluarga
Muhammad; maka malaikat maul dan Munkar-Nakir akan memberikan kabar
gembira kepadanya dengan surga. Barang siapa meninggal dunia dengan
membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad; ia akan diarak menuju surga
sebagaimana pengantin wanita diarak menuju rumah suaminya. Barang siapa
meninggal dunia dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, akan
terbuka untuknya dua pintu menuju surga di kuburannya. Barang siapa
meninggal dunia dengan membawa kecintaan kepada keluraga Muhammad, maka
Allah akan menjadikan kuburannya sebagai tempat persinggahan malaikat
rahmat. Barang siapa meninggal dunia dengan membawa kecintaan kepada
keluarga Muhammad, ia meninggal dunia di atas jalan sunnah dan jamaah.
Dan barang siapa meninggal dunia dengan membawa kebencian kepada
keluarga Muhammad, di hari kiamat kelak akan tertulis di keningnya orang
yang putus asa dari rahmat Allah. Barang siapa meninggal dengan membawa
kebencian kepada keluarga Muhammad, ia meninggal dalam keadaan kafir.
Barang siapa meninggal dunia dengan membawa kebencian kepada keluarga
Muhammad, ia tidak akan mencium bau surga”.[30]
Dari .hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa
Ali dan keluarganya a.s. adalah lambang iman dan kesucian. Barang siapa
mencintai mereka, iman telah meresap di sanubarinya. Mereka adalah
lentera-lentera petunjuk dan hidayah. Barang siapa mencintai mereka, ia
telah merasakan manisnya iman.
Abu Abdillah a.s. berkata: “Seorang hamba tidak
akan menemukan hakekat iman kecuali jika ia meyakini bahwa kewajiban
berwilayah kepada pengganti kami yang terakhir (Imam Mahdi), juga
dimiliki oleh orang pertama dari kami (Imam Ali)”.[31]
Perlu diingat bahwa cinta belaka tidak akan
berguna. Cinta yang akan berguna adalah cinta yang disertai kesiapan
untuk memikul seluruh konsekuensinya. Abu Abdillah a.s. berkata:
إنا لا نعد الرجل مؤمنا حتی يکون بجميع أمرنا متبعا مريدا
“Kami tidak akan menganggap seseorang ebagai mu’min kecuali ia mengikuti kami sepenuhnya”.[32]
Imam Al-Baqir a.s. berkata: “Seseorang tidak akan
sampai kepada hakekat iman kecuali jika ia memiliki tiga karakter ini:
mati lebih ia sukai dari pada hidup, miskin lebih ia sukai dari pada
kaya dan sakit lebih ia sukai dari pada sehat”. Kami (sahabat) bertanya:
“Siapakah yang harus menyandang karakter-karakter tersebut?”. “Kalian
semua”, jawab beliau. Lalu beliau bertanya:
“Manakah yang lebih kalian cintai, mati dengan
membawa kecintaan kepada kami atau mati dengan tnembawa kebencian kepada
kami?” “Demi Allah, kami lebih suka mati dengan membawa kecintaan
kepada anda”, jawabku (perawi). Lantas Imam menimpali: “Berkenaan dengan
kemiskinan hendaknya begitu juga ...”. “Demi Allah, benar hal itu”,
bisikku”.[33]
Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa
tolok ukur hakekat iman adalah kecintaan kepada Ahlul Bayt a.s., taat
kepada mereka dan memusuhi musuh-musuh mereka.
5. Teliti dan pandai mengambil ‘Ibrah
Kadang-kadang hakekat iman seseorang tampak jelas
diketahui dari ketelitian dan kejeliaannya melihat perilaku orang-orang
sekitarnya. Ketika ia melihat orang-orang sekitarnya berlomba-lomba
memakmurkan dunia dan menelantarkan agama; lebih mementingkan hal-hal
yang fana dari hal-hal yang abadi, ia memahami bahwa mereka cerdik dalam
urusan dunia, akan tetapi bodoh dalam urusan agarna. Pemaharnan semacam
ini sebagai bukti bahwa ia telah sampai kepada hakekat iman sejati.
Rasulullah saw bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu
tidak akan sampai kepada hakekat iman kecuali jika kamu telah meyakini
seluruh manusia bodoh dalam urusan agama dan pintar dalam urusan dunia”.[34]
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
لن تکونوا مؤمنين حتی تعدوا البلاء نعمة والرخاء مصيبة
“Kalian tidak pantas menyandang gelar mu’min
kecuali jika kalian telah meyakini cobaan sebagai ni’mat dan ni’mat
sebagai musibah”.[35]
Perlu diingat, ketelitian dan kejelian memandang
perilaku orang lain semata, tidak cukup dijadikan tolok ukur
terealisasikannya iman di hati seseorang. Di samping itu, juga dituntut
satu reaksi kontradiktif atas perilaku umum tersebut. Artinya, jika ia
lebih mementingkan dunia dan melalaikan akherat, kita harus mementingkan
akherat daripada dunia.
Suatu hari Rasulullah saw berjumpa dengan Haritsah.
Beliau bertanya: “Wahai Haritsah, bagaimana keadaanmu pagi ini?” “Aku
dalam keadaan beriman dipagi ini, ya Rasulullah”, jawabnya. Lalu beliau
bertanya lagi: “Setiap iman memiliki hakekat. Apakah hakekat imanmu?” Ia
menjawab: “Aku telah memutuskan hubungan dengan dunia, tidak tidur
malam dan berpuasa di siang hari. Aku merasa seakan-akan berada di ‘Arsy
Tuhanku dan Dia siap memperhitungkan (semua amal-amalku). Aku merasa
seakan-akan berada di antara penduduk surga yang tenggelam dalam
keni’matan dan penduduk neraka yang tenggelam dalam siksaan”. Rasulullah
saw menimpali: “Kamu memang mu’min hakiki. Allah telah menerangkan
cahaya iman di hatimu. Semoga Allah menetapkan iman tersebut di hatimu”.[36]
6. Kontinuitas ibadah (istiqamah)
Hakekat Iman kadang-kadang tampak jelas dari
keaktifan seseorang menjalankan perintah-perintah Allah, menjauhi
larangan-larangan-Nya dan menasehati masyarakat untuk mencintai keluarga
Rasulullah saw.
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang
menyempurnakan wudlu’nya, memperbaiki shalatnya, membayar zakat
hartanya, tidak banyak berbicara, menahan amarahnya, meminta ampun dari
dosa-dosanya dan menasehati orang lain untuk mencintai Ahlul Bayt
Rasul-Nya, ia telah mencapai hakekat iman.
Pintu-pintu surga terbuka baginya (dan siap menerima kedatangannya)”.[37]
Kadang-kadan iman membuat seseorang lebih hati-hati
dan mengatur pembicaraannya. Dalam kaitannya dengan hal ini Rasulullah
saw bersabda:
لايعرف عبد حقيقة الإيمان حتی يخرج من لسانه
“Seorang hamba tidak akan mencicipi hakekat iman sebelum ia berhasil mengatur pembicaraannya”.[38]
7. Peka terhadap problem sosial
Hakekat iman kadang-kadang tampak jelas diketahui
dari kepeduliaan sosial seseorang, seperti memberi infaq kepada orang
yang lebih membutuhkan daripada dirinya, tidak menzalimi orang lain atau
mengajarkan ilmu kepada orang yang bodoh. Rasa peduli sosial ini dapat
mengantarkan seseorang untuk menaiki tangga-tangga hakekat dan
kesempurnaan iman.
Rasulullah saw bersabda:
ثلاث من الإيمان: الإنفاق من الإفتار، وبذل السلام للعالم، والإنصاف من نفسك
“Tiga karakter ini adalah tanda-tanda iman:
berinfaq meskipun dalam keadaan membutuhkan, mengucapkan salam kepada
orang alim dan sadar diri (sehingga tidak menzalimi orang lain)”.[39]
8. Khauf (takut) dan raja’ (berharap)
Kadang-kadang hakekat iman seseorang terlihat pada
kejeliaannya mengambil sikap dalam situasi takut dan pengharapan. Ketika
ia merasa takut akan murka Allah, ia berharap kepada-Nya supaya
dianugerahi rahmat dan ampunan-Nya, dan ketika ia berharap rahmat-Nya,
ia memohon dari-Nya untuk dijauhkan dari siksa-Nya yang pedih.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Imam Ash-Shadiq
a.s. berkata: “Tidak akan sempurna iman seseorang mu’min kecuali ia
memiliki dua sifat ini: rasa takut (terhadap kemurkaan Allah) dan rasa
berharap (atas ampunan-Nya). Dan ia tidak akan memiliki kedua sifat
tersebut kecuali ia berperilaku sesuai dengan tuntutan-tuntutan
keduanya”.[40]
Tingkatan-tingkatan Iman
Seperti yang telah kita ketahui bersama, iman
adalah pengetahuan dan keyakinan terhadap sesuatu yang disertai amal
sesuai dengan tuntutan-tuntutan iman tersebut. Telah kita ketahui pula
bahwa pengetahuan dan amal bisa bertambah dan bisa juga berkurang. Atas
dasar ini, iman yang terbentuk dari dua karakter di atas, bisa bertambah
dan bisa juga berkurang. Oleh karena itu, perbedaan tingkat dan derajat
iman adalah satu fenomena ang idak diragukan lagi. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama yang dikuatkan oleh ayat-ayat Alquran seperti:
﴿لیزدادوا ایمانا مع ایمانهم﴾
“Supaya iman mereka bertambah dari iman yang telah mereka miliki”,[41]
dan hadits-hadits para imam suci Ahlul Bayt, seperti yang diriwayatkan
oleh Abdul Aziz Al-Qarathisi bahwa Abu Abdillah a.s. berkata kepadanya:
“Wahai Abdul Aziz, iman memiliki sepuluh tangga seperti anak-anak
tangga. Orang yang berada di tangga atas, janganlah berkata kepada yang
berada di bawahnya: ‘Aku sudah tidak mampu lagi untuk naik lebih
tinggi’, kecuali jika ia telah sampai ke tangga yang kesepuluh”.
Dalam kesempatan lain Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
“Islam adalah satu tingkat. Iman lebih tinggi satu tingkat dari Islam.
Yakin lebih tnggi satu tingkat dari iman. Dan yakin adalah tingkatan
tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia”.
Berkaitan dengan hal ini pula, Abu ‘Amr Az-Zubaidi
meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Abdillah a.s. Beliau berkata: “...
Iman memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Ada iman yang sempurna
dan lemah serts iman yang tidak sempurna dan tidak lemah”. Aku bertanya:
“Apakah iman bisa bertambah dan berkurang?” “Ya”, jawab beliau. Aku
bertanya lagi: “Apakah penyebab bertambahnya iman itu?” Beliau enjawab:
“Firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Dan apabila diturunkan suatu surat, maka
di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di
antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) sural ini?’ Adapun
orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka
merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada
penyakit, maka dengan surat ini bertambahlah kekufuran mereka di samping
kekufurannya (yang telah ada)...”. Dan firman Allah yang lain:
‘Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan
mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk’. Sekiranya iman tidak
bertambah dan berkurang, niscaya seseorang tidak akan lebih utama dari
yang lain, dan manusia seluruhnya serta ni’mat-ni’mat yang mereka miliki
akan sama rata. Mu’minin masuk ke surga dengan iman yang mereka miliki.
Dengan kemungkinan bertambahnya iman, mereka memiliki kedudukan yang
berbeda di sisi Allah. Dan dengan berkurangnya iman, orang-orang yang
lalai akan masuk neraka”.[42]
Dari hadits-hadits di atas, dapat dipahami bahwa
iman memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda sesuai dengan tingkat
pengetahuan dan amal saleh yang dilakukan seseorang. Dengan ini, manusia
juga memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda sesuai dengan iman yang
dimilikinya. Allah berfirman: “Mereka memiliki kedudukan yang berbeda di
sisi Allah. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan”.[43]
Fudlail bin Yasar meriwayatkan sebuah hadits dari
Imam Ridla a.s. Beliau berkata: “Iman lebih tinggi satu tingkat dari
Islam. Taqwa lebih tinggi satu tingkat dari iman. Dan yakin adalah
tingkat tertinggi yang dianugerahkan kepada Bani Adam”.[44]
Tidak diragukan lagi bahwa para nabi dan washi a.s.
adalah orang yang paling sempurna imannya. Di bawah mereka, orang-orang
yang mengerjakan kebaikan, baik secara terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi yang dilatar belakangi keikhlasan karena Allah. Imam
Ash-Shadiq a.s. berkata: “Iman memiliki sepuluh tingkatan sebagaimana
anak-anak tangga yang kita harus menaikinya satu demi satu. Miqdad
berada di anak tangga kedua, Abu Dzar berada di anak tangga ke sembilan
dan Salman berada di anak tangga kesepuluh”.[45]
Dan di bawah mereka, orang-orang yang masih dapat diombang-ambingkan oleh topan keraguan ketika mereka tertimpa kesulitan.
Husein bin Al-Hakam berkata: “Aku pernah menulis
surat kepada Imam Kadzim a.s. Dalam surat itu aku bercerita kepada
beliau bahwa aku ragu (mengenai agamaku). Dan aku mohon beliau
memperlihatkan sesuatu kepadaku sehingga aku dapat memperoleh kembali
keyakinanku yang hilang itu, sebagaimana hal ini pernah terjadi atas
Nabi Ibrahim a.s. ketika beliau memohon
kepada Tuhan: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”.
Imam Al-Kadzim a.s. membalas suratku dan berkata:
“Nabi Ibrahim (ketika memohon hal tersebut) dalam keadaan beriman secara
sempurna dan beliau ingin bertambah imannya. Sedangkan kamu ragu. Dan
tidak pantas bagi orang yang ragu meminta seperti permintaan Nabi
Ibrahim”.[46]
Keraguan adalah penyebab keruntuhan iman, yang akhirnya akan menjauhkan seseorang dari Allah swt.
Penambah Iman
Ada beberapa faktor penting yang dapat mengantarkan manusia menuju puncak keimanan, antara lain:
1. Ilmu dan pengetahuan
Ilmu adalah puncak segala keutamaan yang dapat
digunakan sebagai tangga pengantar menuju derajat dan kedudukan yang
tinggi. Oleh karena itu, ilmu merupakan hal yang dicari oleh seorang
mu’min
Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman: “...
Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan”.[47]
Ilmu adalah perantara menuju kemuliaan. “Tidak ada kemuliaan seperti ilmu”, kata Amirul Mu’minin a.s.[48]
Dalam hadits yang lain beliau berwasiat agar ilmu
disertai dengan akhlak. Beliau berkata: “Wahai mu’min, ilmu dan akhlak
adalah harga dirimu. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah dalam
mempelajari keduanya. Ketika kualitas ilmu dan akhlakmu bertambah, nilai
dan kedudukanmu juga alan bertambah. Karena dengan ilmu kamu alan
mendapat petunjuk menuju Tuhanmu dan dengan akhlak kamu dapat
memperbaiki cara berkhidmat kepada-Nya”.[49]
Menurut hadits di atas, bertambah tingginya
kedudukan dan derajat seseorang tergantung kepada kualitas iman dan
akhlaknya. Atas dasar ini, orang ‘alim lebih dekat. kedudukannya dengan
kedudukan kenabian. Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling dekat
dengan kedudukan kenabian adalah ulama dan mujahid.
Karena ulamalah yang dapat menunjukkan manusia
kepada tuntunan dan ajaran-ajaran para rasul, dan mujahidlah yang
membela tuntunan dan ajaran-ajaran tersebut dengan pedangnya”.[50]
Dalam kesempatan yang lain, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa
yang meninggal dunia dalam keadaan menuntut ilmu, kedudukannya di sisi
Allah seperti kedudukan para nabi, hanya saja ia tidak memiliki wewenang
kenabian”.[51]
Di dalam Alquran pun terdapat beberapa ayat yang
menjelaskan peran dan pentingya ilmu dalam membentuk iman manusia kepada
Allah, kitab, malaikat dan para rasul-Nya. Di antara ayat-ayat Alquran
yang secara tegas mengungkapkan hal ini adalah ayat yang berbunyi:
“Hanya hamba-hamba Allah yang ‘alim yang takut kepada-Nya”.[52]
Oleh karena itu, kerap kali Rasulullah saw dan para
imam berwasiat (kepada para pengikutnya) untuk menuntut ilmu. Imam Ali
a.s. berkata: “Belajarlah ilmu. Karena mempelajarinya adalah hasanah
(kebaikan), menelaah (dan mendiskusikannya) adalah tasbih, mencarinya
dalah jihad dan engajarkannya kepada orang yang bodoh adalah sedekah.
Ilmu adalah perantara hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan
ilmu, Allah alan mengangkat derajat suatu kaum dan menjadikan mereka
sebagai pemuka dalam mengerjakan segala kebaikan”.[53]
2. Amal Saleh
Amal saleh adalah faktor kedua yang dapat
mengantarkan seorang mu’min menuju puncak iman. Allah berfirman: “Dan
barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman (dan) telah
beramal saleh, mereka itulah orang-orang yang memiliki derajat-derajat
yang tinggi (di sisi Tuhan)”.[54]
Jika iman menganugerahkan kepada seorang mu’min
pandangan dunia yang benar, pemikiran yang jitu dan keyakinan yang
murni, maka amal saleh sebagai syi’arnya mampu menumbuhkan daya
kreasinya untuk selalu giat bekerja sehingga ia dapat meni’mati
kehidupan sejahtera. Allah berfirman: “Barang siapa yang beramal saleh,
baik laki-laki atau wanita sedangkan ia beriman, maka Kami akan
menganugerahkan kepadanya kehidupan sejatera dan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka lakukan”.[55]
Oleh karena itu, Islam tidak menginginkan seorang
mu’min hidup menyendiri terpencil dari masyarakat dan hanya menjaga
imannya tanpa merealisasikannya dalam bentuk amal ―sebagaimana yang
diyakini oleh sebagian orang―, akan tetapi Islam menginginkannya untuk
merealisasikan iman tersebut dalam bentuk amal saleh.
Perlu diingat, yang penting adalah kualitas amal, bukan kuantitasnya. Oleh sebab itu, Allah dalam ayat:
﴿ويستخلفکم في الأرض فينظر کيف تعلمون﴾
“... Dan Dia menjadikanmu khalifah di muka bumi ini demi melihat ‘bagaimana’ perbuatanmu”[56]
menggunakan kosa kata کیف (bagaimana ― yang mengarah kepada arti
kualitas), bukan kosa kata کم (berapa ― yang mengarah kepada kepada arti
kuantitas).
Oleh karena itu tidurnya Imam Ali a.s. di atas
ranjang Rasulullah saw pada malam peristiwa Lailatul Mabit) yang
berhasil menyelamatkan beliau dan missi beliau, dan ayunan pedang beliau
di Perang Khandaq menyamai ibadah penduduk langit dan bumi.
Atas dasar ini, hanya kualitas amal seseorang yang
akan mengangkat derajatnya. Ahlul Baytpun telah berusaha untuk
membudayakan dua budaya berharga ini (iman dan amal) di tengah-tengan
masyarakat. Imam Ali a.s. berkata: “Janganlah kamu seperti seseorang
yang mengharap (pahala) akherat, akan tetapi tidak mau beramal, ia
mengaku mencintai orang-orang saleh, akan tetapi ia tidak pernah meniru
kelakuan mereka”.[57]
Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat,
sebagian orang mencari kedudukan sosial di mata masyarakat dengan
mengandalkan keturunannya yang mulia. Akan tetapi, Imam Ali a.s.
menjadikan amal sebagai tolok ukur utama dalam mencapai kesempurnaan dan
ketinggian derajat. Beliau berkata: “Barang siapa yang meremehkan amal,
maka nasab dan keturunannya tidak akan ban yak membantunya”.[58]
Meskipun para imam Ahlul Bayt a.s. memiliki nasab
keturuan yang mulia dan kedudukan sosial yang tinggi di mata masyarakat,
akan tetapi dalam beramal dan berkreatifitas mereka adalah sUfi
tauladan yang pantas ditiru. Sebagai bukti, Imam Ali a.s. pernah
memerdekakan budak yang tak terhitung jumlahnya, mewakafkan tanah yang
telah beliau makmurkan kembali dan sumber-sumber air yang telah beliau
gali dengan tangan beliau sendiri.[59]
Tradisi ini diteruskan oleh anak cucu beliau
sepeninggal beliau. Mereka memikul kantong-kantong beras yang berisi
tepung dan makanan untuk disumbangkan kepada para fakir miskin. Mereka
bekerja di bawah terik matahari yang menyengat hanya karena Allah dan
cinta bekerja, sehingga ada sebagian sahabat yang memprotes kebiasaan
ini.
Abu Abdillah As-Shadiq a.s. berkata: “Muhammad bin
Al-Munkadir sering berkata: ‘Aku tidak pernah melihat seorang dari
keturunan Ali bin Husein a.s. yang mewarisi keistimewaan beliau,
sehingga suatu hari aku melihat putera beliau, Muhammad bin Ali Al-Baqir
a.s.
Ketika aku melihatnya, hatiku tergerak untuk menasehatinya, tapi malah aku yang dinasehatinya.
Sahabat-sahabatnya bertanya: ‘Nasehat apa yang ia
hadiahkan kepadamu?’ Ia menjawab: ‘Di suatu hari yang panas menyengat,
aku pergi ke pinggiran kota Madinah. Di sana aku melihat Muhammad bin
Ali yang berbadan gemuk bekerja dengan dibantu dua orang pembantu atau
budaknya yang berkulit hitam. Aku berkata kepada diriku:
‘Seorang pemuka Qurasiy masih sempat mencari harta
dunia di bawah terik matahari yang menyengat ini. Akan kunasehati dia’.
Aku mendekat dan mengucapkan salam kepadanya.
Dalam keadaan bercucuran keringat ia menjawab
salamku. Aku memulai pembicaraan: ‘Pantaskah salah seorang pembesar
Quraisy mencari harta dunia di bawah terik matahari yang menyengat ini?
Sekiranya maut menjemputmu, sedangkan kamu dalam keadaan seperti ni,
(apa yang dapat kamu jadikan alasan di hadapan Allah)?’
Ia memisahkan diri dari kedua pembantunya itu lalu
bersandar dan berkata: “Demi Allah, sekiranya maut menjemputku sedangkan
aku dalam keadaan seperti ini, niscaya aku meninggal dunia dalam
keadaan melaksanakan taat kepada Allah. Karena dengan bekerja ini, aku
dapat mencukupi diriku dan tidak bergantung padamu dan pada orang lain.
Yang aku takutkan, jika maut menjemputku sedangkan aku dalam keadaan
melakukan maksiat”. Aku berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu.
Sebenarnya aku datang ingin menasehatimu, tapi malah engkau yang
menasehatiku”[60]
.
3. Lebih mementingkan orang lain
Rasa peduli dan lebih mementingkan orang lain
adalah sebuah sifat mulia yang dapat mengantarkan manusia menuju puncak
iman. Orang yang telah berhasil mengalahkan ego dan meletakkan
kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadinya, tidak diragukan
lagi bahwa hal ini adalah tanda-tanda kesempurnaan iman dan si
penyandangnya berhak untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Allah swt telah memuji orang-orang yang telah
berhasil mengalahkan ego dan menjunjung tinggi martabat manusia dengan
jalan lebih memperdulikan urusan-urusan mereka atas urusan pribadinya
eskipun ia dalam keadaan kekurangan. Allah berfirman: “Dan mereka
(orang-orang Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu)”.[61]
Rasulullah saw sangat memperhatikan karakter
tersebut, sehingga diriwayatkan bahwa beliau sering melalui hari-harinya
dalam keadaan lapar. Tradisi ini berlanjut hingga beliau wafat.
Seandainya beliau menghendaki, beliau tidak akan pernah menahan lapar
seperti itu.[62]
Imam Ali a.s., washi beliau, juga telah mencapai
puncak rasa peduli dan mementingkan orang lain. Dalam peristiwa lailatul
mabit, ketika beliau tidur di atas ranjang Rasulullah saw (sehingga
Rasulullah saw dapat dengan tenang hijrah ke Madinah), penduduk langit
sangat menghargai pengorbanan tersebut.
Allah berfirman kepada Malaikat Jibril dan Mikail:
“Aku menjadikan kalian berdua bersaudara. Umur salah satu dari kalian
lebih panjang dari yang lain. Siapakah di antara kalian yang siap hidup
pendek dan merelakan yang lain hidup lebih lama?” Mereka berdua tidak
mau mengalah dan memilih untuk hidup lebih panjang dari yang lainnya.
Akhirnya Allah berfirman: “Apakah kalian tidak ingin seperti Ali bin Abi
Thalib? Aku menjadikannya sebagai saudara Muhammad. Akan tetapi ia rela
tidur di atas ranjangnya demi mengorbankan jiwanya untuk Muhammad
sehingga ia bisa hidup lebih lama”. Kemudian Allah berfirman: “Dan di
antara manusia ada orang yang rela mengorbankan dirinya demi mencari
keridlaan Allah.
Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.[63]
Atas dasar ini, rasa peduli dan lebih mementingkan
orang lain adalah salah satu karakter yang dapat mengantarkan menusia
menuju puncak iman, sebagaimana hal tersebut terealisasikan dalam diri
Imam Ali a.s. sehingga Allah memujinya di hadapan para malaikat-Nya.
Ada sebagian hadits yang menegaskan bahwa berkata
benar meskipun membahayakan seseorang, lebih baik dari berkata bohong
meskipun mendatangkan manfaat baginya. Amirul Mu’minin a.s. berkata:
“(Di antara tanda-tanda) iman adalah hendaknya kamu berkata benar
meskipun membahayakan dirimu dan jangan berkata bohong meskipun
mendatangkan manfaat bagimu”.[64]
4. Akhlak yang terpuji
Sebagaimana yang tercantum di dalam sebuah hadits
Rasulullah saw, dengan akhlak yang terpuji, seorang hamba akan dapat
mencapai tingkatan dan kedudukan yang tinggi di akherat, meskipun
ibadahnya sedikit.[65]
Imam Abu Ja’far a.s. berkata: “Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling terpuji akhlaknya”.[66]
Amirul Mu’minin a.s. berwasiat: “Didiklah diri kalian untuk berahklak
yang terpuji. Karena dengan akhlak yang terpuji seorang hamba akan
dianugerahi derajat orang yang puasa dan beribadah malam”.[67]
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
akhlak yang terpuji adalah salah satu faktor bertambahnya iman yang
dengannya si mu’min dapat mencapai tingkatan spiritual yang tinggi.
Oleh sebab itu, Amirul Mu’minin a.s. pernah
berwasiat: “Hendaknya kalian berakhlak yang terpuji, karena akhlak yang
terpuji adalah sebuah kemuliaan. Dan janganlah kalian berakhlak yang
jelek, karena akhlak yang jelek itu akan menghinakan orang yang mulia”.[68]
Macam-macam Iman
Iman jika dilihat dari segi kemantapan atau tidaknya dalam hati, dibagi ke dalam tiga bagian:
1. Iman fitri
Iman ini tidak akan tergoncangkan oleh keraguan dan
rayuan-rayuan syetan, karena Allah telah mematri kokoh dalam sanubari
manusia, seperti iman para nabi dan washi mereka a.s.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Sesungguhnya Allah
telah menciptakan para nabi untuk mengemban tugas kenabian, dan mereka
tidak pernah menolak tugas tersebut. Ia telah menciptakan para washi
untuk mengemban wasiat-wasiat (tugas-tugas) yang telah dibebankan oleh
para para nabi kepada mereka, dan mereka tidak pernah menolak tugas
tersebut. Dan Allah telah menciptakan sebagian mu’minin untuk teguh
memegang iman, dan mereka tidak akan berpaling dari iman tersebut. Akan
tetapi ado sebagian mu’minin yang hanya dipinjami iman. Jika mereka
tekun berdoa supaya imannya ditetapkan, mereka akan meninggal dunia
dalam keadaan memegang iman tersebut”.[69]
2. Iman al-mustawda’ (tak tetap)
Iman ini tidak kokoh dan mudah digoncangkan oleh
angin keraguan dan rayuan-rayuan syetan. Oleh karena itu, iman ini juga
diberi nama iman al-mustawda’ (pinjaman). Sebagaimana seseorang yang
meminjam baju kemudian memakainya. Tidak lama berselang ia harus
melepaskannya karena harus mengembalikan baju tersebut kepada
pemiliknya.
Al-Fadl bin Yunus meriwayatkan sebuah hadits dari Abul Hasan a.s., beliau berkata: “Perbanyaklah membaca doa:
اللهم لاتجعلنی من المعارين ولاتخرجني من التقصير[70]
Para imam a.s. meminta dari para pengikut mereka
untuk sering membaca doa tersebut. Hal ini dikarenakan ada sebagian
sahabat yang goyah imannya oleh keraguan dan panggilan syahwatnya.
Sebagai bukti, Ja’far bin Marwan berkata: “Ketika
Rasulullah wafat, Zubair berdiri di depan khalayak dengan menghunus
pedang seraya berkata: ‘Aku tidak akan memasukkan pedangku ini ke dalam
sarungnya selama aku belum membaiat Ali’. (Setelah masa berlalu), ia
menghunus pedang tersebut untuk memerangi Ali.
Berdasarkan bukti ini, Zubair termasuk golongan
orang-orang yang dipinjami iman. (Dalam beberapa masa) ia berjalan di
atas cahaya imannya dan kemudian Allah mencabut cahaya iman tersebut
darinya.[71]
Ayat Alquran yang berbunyi:
﴿وهو الذي انشاکم من نفس واحدة فمستقر ومستودع﴾
“Dan Dialah yang menciptakan kamu dari satu jiwa, maka bagimu ada tempat tetap dan tempat simpanan”,[72]
menunjukkan adanya dua macam iman di atas. Begitu pula pernyataan Amirul
Mu’minin yang berbunyi: “Ada sebagian iman yang kokoh dan terpatri
dalam sanubari dan sebagian yang lain hanya menetap di dalamnya hingga
masa tertentu seperti sarang pinjaman.[73]
3. Iman kasbi
Iman ini dapat dikembangkan kualitasnya hingga
mencapai puncaknya dan menjadi iman yang tetap dan kokoh terpatri dalam
sanubari sebagaimana iman fitri. Oleh karena itu, iman memiliki
tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Di antara wasiat Amirul Mu’minin kepada Kumail:
“Wahai Kumail, ketahuilah iman itu ada yang kokoh terpatri (dalam
sanubari) dan ada yang pinjaman. Hati-hatilah jangan sampai kamu
termasuk golongan orang-orang yang dipinjami iman. Jika kamu mengikuti
jalan lurus yang tidak akan menjerumuskanmu ke dalam jurang kesesatan,
maka kamu telah memiliki iman yang kokoh itu”.[74]
Perlu diketahui, iman akan berdiri kokoh di atas
empat pondasi. Dalam kaitannya dengan ini, Amirul Mu’minin a.s. berkata:
“Iman memiliki empat pondasi: tawakkal kepada Allah, menyerahkan segala
urusan kepada-Nya, pasrah terhadap ketentuan-Nya dan melaksnakan segala
perintah-Nya azza wa jalla”.[75]
Begitu juga iman memiliki empat pilar penyangga.
Imam Ali a.s. berkata: “Iman dapat berdiri tegak di atas empat pilar:
sabar, yakin, adil dan jihad”.[76]
Di samping itu, iman juga memiliki simpul-simpul
kuat dan kokoh. Barang siapa yang berpegang teguh kepada tali-tali
tersebut, ia akan terselamatkan dati kesesatan. Di antara tali-tali itu
adalah takwa, cinta dan benci karena Allah, ber-wilayah kepada para
wali-Nya dan berlepas diri dati musuh-musuh-Nya.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Rasulullah saw
bersabda: “Tali-tali iman yang paling kokoh adalah berwilayah, cinta dan
benci karena Allah”.[77]
Suatu hari Rasulullah saw pernah bertanya kepada
sahabat beliau: “Apakah tali iman yang paling kokoh?” Sebagian mereka
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui hal itu”. Sebagian yang
lain berkata: “Shalat”. Dan sebagian yang lain lagi berkata: “Zakat”.
Rasulullah saw akhirnya berkata: “Semua yang kalian sebutkan itu
memiliki keistimewaan dan keutamaam tersendiri. Akan tetapi tali iman
yang paling kokoh bukan itu. Tali iman yang paling kokoh adalah cinta
dan benci karena Allah, berwilayah kepada para wali-Nya dan berlepas
diri dari para musuh-Nya”.[78]
Ahlul Bayt a.s. adalah salah satu dari tali-tali
kokoh yang akan menyelamatkan orang yang berpegang teguh kepada mereka
dari kesesatan itu. Oleh sebab itu, Amirul Mu’minin sering
mengulang-ulangi ucapan berikut: “Aku adalah tali Allah yang kokoh,
tempat berpegangan (menuju) Allah yang kuat dan kalimah-Nya”.[79]
Beliau sering mengulang-ulangi ucapan tersebut
bukan ingin membanggakan diri, akan tetapi ingin mengingatkan manusia
bahwa Ahlul Bayt a.s. adalah tali Allah yang kokoh.
Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw bersabda: “Barang siapa yang ingin berpegang teguh dengan tali yang
kuat dan tidak kenal putus, hendaknya ia berpegang teguh dengan tali
wilayah saudara dan kekasihku, Ali bin Abi Thalib. Karena orang yang
mencintai dan berwilayah kepadanya, ia tidak akan celaka, dan orang yang
membenci dan memusuhinya, ia tidak akan selamat”.[80]
Tanda-tanda Mu’min
Tanda-tanda pokok yang membedakan seorang mu’min dari selainnya, dapat digolongkan ke dalam empat bagian:
1. Praktek ritual
Ibadah adalah realisasi hakiki iman seorang mu’min.
Oleh karena itu, barang siapa yang beriman kepada Allah, secara
otomatis ia akan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan
ritus-ritus keagamaan sebagai ungkapan atas rasa penghambaan dan terima
kasihnya yang dalam terhadap Penciptanya.
Ibadah yang paling utama sebagai jelmaan iman
adalah melaksanakan semua kewajiban yang telah Allah bebankan di atas
pundaknya, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lainnya.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Amirul Mu’minin
a.s. berkata: “Tiada ibadah yang paling utama dari melaksanakan fara’idl
(kewajiban-kewajiban yang telah Allah bebankan kepada manusia)”.[81]
Abu Abdillah a,s. juga berkata: “(Suatu hari) malaikat Jibril turun
kepada Nabi saw (dengan membawa wahyu dari Allah) seraya berkata: ‘Wahai
Muhammad, hamba-Ku tidak akan dapat mendekatkan diri kepada-Ku kecuali
dengan melaksanakan fara’idl. Dan ketika ia juga melaksanakan
ibadah-ibadah sunnah (di samping fara’idl tersebut), Aku akan lebih
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya
yang ia mendengar (segala sesuatu) dengannya, menjadi matanya yang ia
melihat (segala sesuatu) dengannya dan menjadi tangannya yang ia
melaksanakan segala sesuatu dengannya”.[82]
Antara iman dan ibadah terdapat hubungan yang
sangat kokoh. Ketika iman seorang hamba bertambah, ia akan lebih tekun
beribadah, dan sebaliknya. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam
sejarah hidup Ahlul Bayt a.s. sebagai lambang utama dalam melaksanakan
ibadah.
Ketika waktu shalat tiba, badan mereka gemetar dan
pucat pasi karena takut kepada Allah. Sebagai contoh, Abu Abdillah
Ash-Shadiq a.s. berkata: “Ayahku (Imam Al-Baqir a.s.) berkata: ‘Ketika
Ali bin Husein berdiri untuk mengerjakan shalat, ia bak sebatang kayu
kering berdiri tegak tak bergerak kecuali (pakaiannya) berderai bergerak
ditiup angin”.[83]
Ibadah yang sejati dapat menimbulkan
keajaiban-keajaiban dan menganugerahi seorang mu’min karamah serta hati
yang bersih. Kadang-kadang ibadah tersebut dapat memberikan kemampuan
kepadanya untuk mengetahui isi hati orang lain.
Marilah kita simak bersama cerita di bawah ini yang
mengungkapkan sebagian karamah yang dimiliki oleh Imam Musa Al-Kadzim
a.s. (Cerita ini tertulis dalam buku-buku hadits Ahlus Sunnah).
Syaqiq Al-Balkhi berkata: “Pada tahun 149 H. aku
melaksanakan ibadah haji. Ketika aku sampai di Al-Qadisiyah, aku melihat
manusia yang begitu banyak dan berpakaian mewah. Tiba-tiba mataku
tertumpu pada seorang pemuda berwajah tampan, berjubah kulit dan duduk
menyendiri. Aku berkata dalam hatiku: Pemuda ini adalah pengikut aliran
sufi yang hanya menjadi beban masyarakat. Aku akan menghampiri dan
menasehatinya’.
Ketika aku telah dekat darinya, ia berkata
kepadaku: ‘Wahai Syaqiq, Jauhilah kebanyakan pransangka, karena
sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa’.[84]
Kemudian ia meninggalkanku sendirian. Aku terperanjat dan berkata dalam
hatiku: ‘Kejadian ini amatlah aneh. Ia telah mengungkapkan apa yang
terlintas dalam benakku dan menyebut namaku. Sungguh ia adalah seorang
hamba yang saleh. Aku harus mengejarnya demi memohon darinya untuk
meminta maaf atas prasangka jelekku itu’.
Aku sepat-cepat membututinya. Akan tetapi aku tidak dapat mengejarnya. Ia seakan-akan raib tertelan bumi.
Ketika kami sampai di Waqishah, aku melihatnya
sedang melaksanakan shalat. Semua anggota badannya gemetar dan air
matanya mengalir deras. Aku berkata dalam hatiku: ‘Inilah orang yang
kucari. Aku akan mohon darinya untuk menghalalkan prasangka jelekku
itu’. Aku menunggunya sehingga ia menyelesaikan shalatnya.
Ketika aku mendekat, ia berkata kepadaku: ‘Wahai
Syaqiq, bacalah “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang
bertaubat, beriman, dan beramal saleh kemudian tetap di jalan yang
benar”.[85]
Setelah berkata begitu ia meninggalkanku sendirian.
Aku berkata dalam hatiku: ‘Pemuda ini adalah pemuda istimewa. Ia telah
mengungkap apa yang terlintas dalam benakku untuk kedua kalinya’.
Ketika kami sampai di Mina, aku melihat pemuda itu
berdiri di samping sumur dan tangannya memegang timba dari kulit siap
untuk menimba air. Tiba-tiba timba itu terlepas dari tangannya dan jatuh
ke dalam sumur. Saat itu ia memandang ke langit seraya berkata:
‘Engkaulah Tuhanku jika aku kehausan, dan pemberi rizkiku jika aku
kelaparan. Wahai Tuhanku, wahai tuanku, Engkau mengetahui bahwa aku
tidak memiliki alat lain kecuali timba itu. Maka janganlah Kau binasakan
aku karenanya’.
Demi Allah, aku lihat air sumur meluap ke atas.
Lalu ia mengambil timba yang jatuh tersebut dan memenuhinya dengan air.
Selanjutnya ia berwudlu’ dari air timba tersebut dan mengerjakan shalat
empat rakaat. Setelah itu, ia mengambil segenggam pasir dan
menaburkannya ke dalam timba itu, lalu setelah ia menggerak-gerakkan
timba yang berisi air bercampur pasir itu, dan ia meminum air timba
tersebut. Kemudian aku menghampiri dan mengucapkan salam kepadanya. Ia
menjawab salamku. Aku berkata kepadanya: ‘Berilah aku seteguk air yang
telah Allah anugerahkan kepadamu itu’. Ia berkata: ‘Wahai Syaqiq, nikmat
Allah selalu bersama kami, baik nampak atau tidak. Oleh karena itu,
janganlah berburuk sangka kepada Tuhanmu’. Kemudian ia memberikan timba
itu kepadaku. Aku meminumnya. Alangkah lezat dan manisnya air itu. Demi
Allah, aku tidak pernah meminum air selezat dan seharum air itu. Aku
merasa kenyang dan tidak merasa kehausan selama beberapa hari. Oleh
karena itu, aku tidak nafsu makan dan minum.
Setelah kejadian itu, aku tidak pernah melihatnya
lagi sehingga kami sampai di Mekah. Pada suatu hari di tengah malam, aku
melihatnya kembali sedang melakukan shalat dengan penuh khusyu’ dan
cucuran air mata di samping Qubbatusy Syaraab hingga malam lewat. Ketika
fajar menyingsing, ia duduk di tempat shalatnya dan bertasbih. Kemudian
ia melaksanakan shalat shubuh. Setelah mengucapkan salam, ia bangkit
dan melaksanakan thawaf tujuh kali.
Selesai melaksanakan thawaf, ia berjalan keluar
Masjidil Haram. Aku membuntutinya. Ternyata ia memiliki harta yang
melimpah, tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Ia dikerumuni
khalayak yang mengucapkan salam kepadanya. Aku bertanya kepada salah
seorang yang berdiri dekat dariku: ‘Siapakah pemuda itu?’ Ia menjawab:
‘Pemuda ini adalah Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Al-Husein
a.s.’. Aku berkata dalam hatiku: Aku sudah menyangka sebelumnya bahwa
kejadian-kejadian aneh yang aku alami itu, pasti berhubungan dengan
keluarga ini”.[86]
Perlu diingat, ibadah tidak hanya terbatas pada
shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban lainnya. Terdapat ibadah lain yang
lebih tinggi dan mulia dari ibadah-ibadah di atas yang mengungkap
kedalaman iman seseorang, seperti tafakkur dan berdzikir.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Amirul Mu’minin
a.s. berkata: “Berpikir tentang ni’mat-ni’mat Allah adalah ibadah yang
terbaik”.[87]
Dalam kesempatan yang lain, beliau juga berkata: “Berpikir tentang
malakut langit dan bumi adalah ibadahnya mukhlashin (orang-orang yang
disucikan oleh Allah)”.[88]
Manusia yang selalu berpikir tentang ciptaan dan
ni’mat-ni’mat Allah, secara otomatis ia akan merealisasikan hasil
renungannya itu dalam bentuk dzikir yang penuh dengan pujian bagi-Nya
dan kandungan irfan yang dalam. Ini adalah jelmaan iman yang paling
nyata.
Oleh karena itu, pikiran manusia yang terjelmakan
dalam perkataan dan amal-amalnya akan menyingkap kepribadian dan
keyakinannya. Dalam kaitannya dengan ini para ahli psikologi berkata:
“Katakanlah kepada kami apa yang kau pikirkan, niscaya kami akan dapat
menebak siapa kamu”.
Atas dasar ini, Islam menganggap bahwa budaya
berpikir adalah penyulut utama berkobarnya api iman. Imam Ash-Shadiq
a.s. berkata: “Ibadah itu bukan hanya dengan memperbanyak shalat dan
puasa, alan tetapi ibadah itu adalah berpikir dan merenungkan tentang
urusan Allah (ciptaan-Nya misalnya)”.[89]
Ibu Abu Dzar pernah ditanya tentang ibadah
putranya. Ia berkata: “Seluruh waktunya ia habiskan dalam merenungkan
satu segi dari sekian banyak sisi yang dimiliki oleh manusia”.[90]
2. Tanda-tanda mental dan jiwa
Perbedaan seorang mu’min dengan selain mu’min dapat
dilihat dari karakter-karakter jiwa dan sikap yang dimilikinya.
Karakter-karakter tersebut antara lain:
a. Teguh dan kokoh
Seorang mu’min akan selalu kokoh dalam setiap
perilaku bagaikan gunung menjulang yang tidak akan tergoyahkan oleh
angin yang bertiup. Dengan kesadaran dan hati pasrah terhadap segala
ketentuan Allah, ia menghadapi segala kesulitan, selalu bersyukur kepada
Tuhannya dan menerima segala rezeki yang dianugerahkan kepadanya.
Ia lebih mementingkan ketentraman orang dari pada
ketentraman dirinya, bak pohon rindang yang tumbuh di tengah-tengah
padang pasir yang panas menyengat menaungi orang-orang yang berteduh di
bawahnya.
Imam Ash-Shadiq a,s. berkata: “Hendaknya seorang
mu’min memiliki delapan karakter di bawah ini: tenang dalam menghadapi
segala problema, sabar menghadapi segala cobaan, bersyukur ketika
makmur, menerima segala rezeki yang dianugerahkan Allah kepadanya, tidak
menzalimi para musuhnya, tidak membebani rekan-rekannya di atas
kemampuan mereka, selalu aktif (membantu orang lain) dan orang lain
merasa tentram hidup bersamanya”.[91]
Yang perlu diperhatikan di sini, seorang mu’min di
samping teguh dan tidak kenal kompromi dalam memegang imannya, ia juga
bersikap lemah lembut terhadap orang lain bak padang rumput lembut yang
bergerak seirama dengan gerakan angin sepoi akan tetapi tidak
terbinasakan oleh angin topan. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Seorang
mu’min tidak kenal kompromi dalam memegang agama, bersikap tegas dalam
kelemah lembutan dan beriman dengan dasar keyakinan[92]
.
b. Memegang teguh kebenaran
Seorang mu’min tidak akan mengikuti kehendak
hatinya yang dapat menjauhkannya dari kebenaran. Begitu juga, ia akan
menghadapi segala cobaan dan rintangan tanpa didasari oleh kemarahan
yang terpendam dalam jiwanya sehingga ia tidak terjerumus ke dalam
jurang kebatilan. Sebaliknya, ketika ia memiliki kekuasaan dan kekuatan,
ia tidak akan bertindak sewenang-wenang.
Karakter ini dapat kita lihat dalam diri Amirul
Mu’minin a.s. Beliau memandang bahwa mengambil secuil kulit gandum
secara paksa dari mulut seekor semut adalah sebuah kesewenang-wenangan
dan perbuatan yang dapat menjauhkan seseorang dari kebenaran.
Beliau berkata: “Demi Allah, jika aku diberi tujuh
langit beserta bintang-bintangnya supaya aku mencabut secuil kulit
gandum secara paksa dari mulut seekor semut, niscaya aku tidak akan
melakukan hal itu”.[93]
Atas dasar ini, seseorang telah menjadi mu’min
sejati jika ia sudah sampai pada tingkat spiritual yang tinggi, sehingga
dalam kondisi bagaimanapun ia tidak akan pernah menyeleweng dari jalan
kebenaran yang lurus.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Abu Hamzah
meriwayatkan, Fatimah puteri Imam Husein berkata: “Rasulullah saw
bersabda: ‘Barang siapa yang memiliki tiga sifat ini, maka telah
sempurnalah imannya: jika ia rela, kerelaannya tidak akan
menjerumuskannya ke dalam jurang kebatilan, jika ia marah, kemarahannya
tidak akan menyesatkannya dari jalan kebenaran dan jika ia berkuasa, ia
tidak akan mengambil apapun yang bukan haknya”.[94]
Kekuatan dan kekuasaan yang sejati adalah kekuatan
yang dibentuk oleh iman dan ditempa oleh keyakinan. Kekuatan itulah yang
membedakan orang mu’min dari lainnya. Dengan kekuatan tersebut, ia akan
mampu mengontrol gejolak jiwanya. Imam Ash-Shadiq a.s. meriwayatkan
sebuah had its dari ayah dan kakek beliau, beliau berkata: “(Suatu hari)
Rasulullah saw melewati satu kaum yang berlomba mengangkat batu. Ia
berkata: ‘Untuk apa kalian melakukan ini?’ Mereka menjawab: ‘Dengan ini
kami mengetahui orang yang paling kuat di antara kami’. Rasulullah
kembali bertanya: ‘Maukah kuberitahukan siapa yang terkuat dari kalian?’
‘Ya, wahai Rasulullah’, jawab mereka. Rasulullah bersabda: “Orang yang
paling kuat di antara kalian adalah jika ia rela, kerelaannya tidak akan
menjerumuskannya ke dalam jurang dosa dan kebatilan, ketika ia marah,
kemarahannya tidak akan menyerongkannya dari berkata benar dan ketika ia
berkuasa, ia tidak akan mengambil apa yang bukan haknya”.[95]
c. Ceria dan lapang dada
Keceriaan akan selalu menghiasi wajah seorang
mu’min walaupun sebenarnya ia memendam kesusahan dalam hatinya. Di
samping itu, ia selalu lapang dada dalam menghadapi segala cobaan.
Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Seorang mu’min
selalu ceria wajahnya dan memendam kesusahan di dalam hatinya, lapang
dada, merasa hina diri (di hadapan Allah), tidak menyukai popularitas,
selalu susah (memikirkan dosa-dosanya), banyak diam, tidak banyak
nganggur, selalu bersyukur, sabar, selalu berpikir, sedikit
kebutuhannya, lemah lembut dan mulia budi pekertinya. Jiwanya lebih
teras dari batu cadas, sedangkan (di hadapan Allah) ia merasa lebih hina
dari seorang budak”.[96]
Abi Abdillah a.s. berkata: “Seorang mu’min pasti
memiliki ‘du’abah’”. Saya bertanya: “Apakah ‘du’abah’ itu?” Beliau
berkata: “‘Du’abah’ adalah senda gurau”.[97]
Atas dasar ini, hendaknya keceriaan wajah selalu
menghiasi wajah seorang mu’min Keceriaan wajah inilah yang mengungkap
segala apa yang terpendam di hatinya. Dengan itu, ia akan membahagiakan
mu’minin yang lain.
Lain halnya dengan orang munafik yang selalu
memendam amarah dan kedengkian atas mu’minin. Secara otomatis, perasaan
tersebut akan tampak di wajahnya.
Rasulullah saw bersabda:
المؤمِنُ دَعِبٌ لعِبٌ والمُنَافِقَ قطِبٌ غضِبٌ
“Orang mu’min senang bersenda gurau. Sedang orang munafik selalu marah dan mengerutkan dahi”.[98]
Perlu diingat, senda gurau yang dianggap salah satu
tanda-tanda iman adalah canda gurau sehat yang tidak melampui batas
yang ditentukan oleh agama. Rasulullah saw selalu bersenda gurau dengan
para sahabat dan Ahlul Baytnya suka membahagiakan orang lain. Akan
tetapi hal itu melalui jalur yang benar yang sekiranya tidak
menghilangkan kewibawaan dan kehormatan.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Imam Ash-Shadiq s.a. meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda:
کثرة المزاج يذهب بماء الوجه وکثرة الضّحك يمحو الإيمان
“Bergurau yang melampui batas akan menghilangkan kewibawaan, dan tertawa yang melampaui batas akan membinasakan iman”.[99]
Abu Abdillah a.s. berkata: “Di Madinah ada seorang
penganggur yang kerjanya menertawakan orang lain. Ia pernah berkata:
‘Aku tidak mampu untuk menertawakan satu orang ini’. Yang ia maksud
adalah Ali bin Husein a.s. (Suatu hari) Ali bin Husein berjalan dengan
diikuti oleh dua orang pembantunya. Orang tersebut mencabut jubahnya
dari pundaknya (dengan maksud menertawakannya). Ali bin Husein berlalu
tanpa menggubrisnya. Sahabat-sahabatnya mengejar orang tersebut untuk
mengambil jubah itu darinya. Kemudian mereka m~nyelendangkan jubah itu
di pundak Ali bin Husein a.s. Ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya itu:
‘Siapakah orang ini?’ ‘Ini adalah penganggur yang kerjanya hanya
menertawakan penduduk Madinah’, jawab mereka. Ia menimpali: ‘Katakanlah
kepadanya bahwa akan datang suatu hari yang para penganggur akan rugi
pada hari itu”.[100]
d. Berkemauan keras
Ini adalah salah satu karakter seorang mu’min yang
dengannya ia dapat mengendalikan kehendak-kehendak hawa nafsunya.
Manusia tanpa kemauan bagaikan kapal laut tanpa kompas.
Di sini perlu kiranya disebutkan secara global
karakter-karakter lain yang seharusnya terjelmakan dalam sikap dan jiwa
seorang mu’min, sebagai sifat yang membedakan dari selain mu’min, antara
lain: cara pandangnya yang selektif terhadap segala sesuatu yang berada
di sekitarnya, banyak diam dan berdzikir, selalu memaafkan orang yang
menyakitinya dan menghendaki kebaikan orang lain.
Dalam kaitannya dengan di atas, Amirul Mu’minin
a.s. berkata: “Seorang mu’min jika melihat sesuatu, ia akan mengambil
pelajaran darinya, ketika diam, ia sadar (akan dosa-dosanya), ketika ia
berbicara, pembicaraannya penuh dengan dzikir, ketika merasa cukup, ia
bersyukur dan ketika ditimpa musibah, ia bersabar. Ia selalu memaajkan
(kesalahan orang lain) dan tidak mudah marah. Ia rela dengan pemberiaan
Allah walaupun sedikit dan tidak sombong ketika diberi anugerah yang
berlimpah. Ia selalu berniat untuk melaksanakan kebaikan sekaligus
melaksanakannya, dan sangat menyesal ketika tidak sempat untuk
melaksanakan kebaikan itu”.[101]
e. Pandai menggunakan waktu
Waktu memiliki nilai yang agung. Atas dasar ini,
orang mu’min selalu beriomba-lomba untuk menggunakan waktu itu
sebaik-baiknya. Karena waktu itu adalah modal utamanya yang besar.
Ditinjau dari kandungan hadits-hadits yang mulia,
orang mu’min hendaknya membagi waktunya dalam tiga bagian: waktu untuk
beribadah, waktu untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas yang positif dan
waktu untuk memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia yang halal.
Arnirul Mu’minin a.s. berkata: “Mu’min itu memiliki
tiga waktu: waktu untuk bermunajat dengan Tuhannya, waktu untuk
memakmurkan kehidupannya dan waktu untuk memanfaatkan
kenikmatan-kenikmatan dunia yang halal dan baik. Dan seorang yang
berakal tidak akan mulia kecuali jika ia melakukan salah satu dari tiga
hal berikut ini: memakmurkan kehidupannya, melangkah untuk menuju
akherat atau memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan yang halal”.[102]
Atas dasar ini, salah satu karakter utama orang mu’min adalah kepandaiannya memanfaatkan waktu.
3. Tanda-tanda akhlaki
Tidak diragukan lagi, terdapat hubungan yang erat
antara iman dan akhlak. Seseorang yang memiliki iman yang tinggi dan
dalam, maka akhlaknyapun akan bertambah terpuji. Dari satu sisi, akhlak
juga memiliki peran menjaga si mu’min supaya tidak terjerumus ke dalam
jurang kesesatan dan kehinaan.
Di antara wasiat-wasiat Imam Ash-Shadiq a.s. kepada
sahabat beliau, hendaknya kita jangan tertipu oleh lahiriyah ibadah
seseorang. Karena mungkin ia melaksanakan ibadah tersebut sebagai
kebiasaan yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Akan tetapi,
hendaknya kita melihat etika dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari akhlak itulah kita dapat mengetahui hakekat iman seseorang. Imam
Ash-Shadiq a.s. berkata: “Janganlah kalian terpedaya oleh panjangnya
ruku’ dan sujud seseorang, karena (mungkin) hal itu adalah satu
kebiasaan yang telah menjadi bagian hidupnya yang jika ia
meninggalkannya, ia akan merasa bersalah karena telah meninggalkan
kebiasaannya (bukan karena Allah). Akan tetapi, lihatlah perkataan dan
jiwa amanatnya”.[103]
Dalam kesempatan yang lain, beliau pernah berkata: “Orang mu’min tidak diciptakan untuk berbohong dan berkhianat”.[104]
Ahlul Bayt a.s. adalah contoh manusia yang
konsisten menjalankan tuntunan dan ajaran-ajaran akhlak. Abu Hamzah
Ats-Tsumali berkata: “Saya pernah mendengar Ali bin Husein, Sayyidus
Saajidiin berkata kepada pengikut beliau: ‘Tunaikanlah amanat kalian.
Demi Dzat yang telah mengutus Muhammad sebagai nabi, seandainya pembunuh
ayahku, Husein bin Ali bin Abi Thalib a.s. mengamanatkan pedang yang
telah digunakan untuk membunuhnya kepadaku, niscaya aku akan memegang
amanat tersebut”.[105]
Imam Ash-Shadiq a.s. juga memiliki karakter yang dimiliki oleh kakek
beliau. Beliau berkata: “Takutlah kalian kepada Allah dan tunaikanlah
amanat kalian kepada orang yang memilikinya. Seandainya pembunuh Amirul
Mu’minin a.s.
mengamanatkan sesuatu kepadaku, niscaya aku akan menunaikan amanat tersebut”.[106]
Selain karakter tersebut di atas, terdapat
karakter-karakter akhlaki lain yang membedakan seorang mu’min dari
lainnya, antara lain:
a. Malu
Rasa malu dan iman adalah dua sejoli yang tidak
dapat dipisahkan. Oleh karena itu, jika salah satunya hilang, yang
lainpun akan sirna pula. Imam Al-Baqir a.s. berkata:
الحياء والإيمان مقرونان في قرن فإذا ذهب أحدهما تبعه صاحبه
“Rasa malu dan iman adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satunya sirna, yang lainnyapun akan ikut sirna”.[107]
b. Penuh rasa kasih sayang
Rasulullah saw bersabda: “... Adapun tanda-tanda mu’min adalah rasa belas kasih, penuh pemahaman dan rasa malu”.[108]
c. Tidak dengki
Mu’min tidak akan hasud atas ni’mat yang telah
Allah anugerahkan kepada orang lain. Karena ia tahu bahwa rezeki ada di
tangan-Nya dan Ia akan membagikan kepada hamba-hamba-Nya berdasarkan
ilmu dan hikmah-Nya.
Abu Abdillah a.s. berkata: “Orang mu’min itu selalu
ghibthah (ingin keadaan dan kondisinya seperti orang lain dengan tidak
mengharapkan kemusnahan ni’mat yang dimiliki olehnya) dan tidak hasud;
sedangkan munafik selalu hasud dan tidak ghibthah”.[109]
d. Tidak pernah menyakiti orang lain
Mu’min tidak akan menyakiti orang lain, sehingga
harus meminta maaf. Sementara munafik kerjanya menyakiti orang lain.
Oleh karena itu, ia terpaksa harus meminta maaf.
Imam Husein a.s. berkata: “Hati-hatilah. Jangan
sampai kamu terpaksa harus meminta maaf dari orang lain). Orang mu’min
tidak akan menyakiti orang lain sehingga ia tidak harus minta maaf.
Sementara munafik setiap hari ia menyakiti orang lain sehingga ia
terpaksa untuk meminta maaf”.[110]
4. Perilaku sosial
Di antara karakter-karakter yang menunjukkan
kedalaman iman seseorang adalah kepeduliaannya terhadap sesama jenisnya.
Ia tidak akan acuh tak acuh terhadap segala fenomena yang terjadi di
masyarakatnya.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
المؤمن حسن المعونة وخفيف المؤونة
“Orang mu’min itu selalu suka menolong dan sedikit kebutuhan hidupnya”.[111]
Ahlul Bayt a.s. adalah satu-satunya teladan yang
dapat dicontoh dalam hal ini. Mereka menolong orang lain dengan
sembunyi-sembunyi dan tidak mau diketahui oleh orang yang ditolongnya.
Karena mereka hanya mengharapkan pahala dari Allah, menjauhi riya’ dan
pujian orang lain. Bagaikan sekuntum mawar yang tersembunyi di balik
semak belukar dan menebarkan bau wangi semerbak. Setiap orang yang lewat
di situ akan mencium bau semerbak wangi itu dan memujinya meskipun ia
tidak tabu bau itu datang dari bunga mawar tersebut.
Dalam kitab Al-Khishal, Imam Al-Baqir a.s. berkata:
“Ali bin Husein sering keluar rumah pada waktu tengah malam sambil
memanggul kantong kulit yang berisi bungkusan-bungkusan dinar dan
dirham. Kadang-kadang ia memanggul makanan atau kayu di atas pundaknya.
Ia mendatangi rumah demi rumah dan menyerahkan
barang-barang tersebut kepada penghuninya. Ketika ia mendatangi orang
miskin, ia menutupi wajahnya supaya tidak dikenal. Ketika ia meninggal
dunia, mereka tidak mendengar lagi orang datang mengetuk pintu rumah
mereka. Akhirnya penduduk memahami bahwa orang yang sering memberikan
bantuan kepada mereka di malam yang gulita adalah Ali bin Husein a.s.
Suatu hari ia keluar rumah dengan memakai baju
sutera bercampur bulu. Lalu seorang pengemis datang menghampirinya dan
memegang erat baju itu. Ali bin Hussein a.s. memberikan baju tersebut
kepadanya dan berlalu”.[112]
Oleh karena itu, hendaknya seorang mu’min selalu
berusaha utnuk berlemah lembut lepada orang lain dan mencintanya. Di
samping itu, ia juga harus berusaha dicintai oleh orang lain. Karena
“orang mu’min itu pasti dicintai oleh orang lain, dan tidak ada
kebaikannya orang yang tidak mencintai (orang lain) dan tidak beru-saha
untuk dicintai (oleh orang lain)”,[113]
kata Amirul Mu’minin a.s.
Atas dasar ini, tidak layak seorang mu’min hidup
mengucilkan diri di balik tembok tinggi jauh dari masyarakatnya.
Seyogyanya ia mengadakan interaksi dengan mereka, berusaha untuk
menyesuaikan diri dan berlemah lembut terhadap mereka.
Rasulullah saw berdabda:
مداراة الناس نصف الإيمان والرفق بهم نصف العيش
“Menyesuaikan diri dengan orang lain adalah setengahnya iman dan berlemah lembut terhadapnya adalah setengahnya kehidupan”.[114]
Ada satu tolok ukur lain yang dapat menyingkap dan
membedakan iman hakiki dari iman palsu. Tolok ukur tersebut adalah
kecintaan orang mu’min kepada para tetangganya. Abu Harnzah berkata:
“Aku mendengar Abu Abdillah a.s. berkata: ‘Mu’min adalah orang yang
tetangganya aman dari kejelekan dan kejahatannya’. Aku bertanya: ‘Apakah
(maksud anda dari) kejelekan dan kejahatan itu?’ ‘Kelaliman’, jawab
beliau.[115]
Dalam buku-buku sejarah tertulis bahwa Rasulullah
saw pernah didatangi oleh seorang Anshar. Ia berkata: “Aku telah membeli
rumah di satu kabilah. Aku merasa terganggu oleh tetanggaku yang paling
dekat rumahnya dengan rumahku”. Akhirnya beliau memerintahkan Ali,
Salman dan Abu Dzar untuk berbicara di masjid. Mereka berkata dengan
suara lantang: “Tidak beriman orang yang tetangganya tidak aman dari
kejahatannya”.[116]
Mereka mengatakan itu tiga kali.
Dalam kesempatan lain beliau juga pernah bersabda:
“Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan
tetangganya menahan lapar”.[117]
Daftar Isi
IMAN DAN KUFUR 1
Markaz Risalah 1
PENGANTAR PENERBIT 2
MUKADIMAH 7
PASAL I 11
IMAN DAN TANDA-TANDA MUKMIN 11
Arti dan Maksud Iman 11
Hakekat Iman 20
Tingkatan-tingkatan Iman 30
Penambah Iman 34
Macam-macam Iman 43
Tanda-tanda Mu’min 48
[1]
Adz-Dzari’Ah ila Makarim asy-Syari’Ah, karya ar-Raghib al-Ishfahani,
hal. 100, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, Mesir 1393 H, cetakan ke I.
[2]
At-Tafsir Al-Kabir, Fakhrur Razi, 1 : 23 dan 2: 25.
[3]
Surah Muhammad 47 : 25 dan 32.
[4]
Surah Al-Jatsiyah 45 : 23.
[5]
Tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathab’I, 18: 259, Muassasah Al-A’Iami, Beirut 1393 H, cetakan ke 2.
[6]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih, hal. 508, hikmah ke 227.
[7]
Tuhaful ‘Uqul: 297.
[8]
Tuhaful ‘Uqul: 370.
[9]
Ushulul Kafi 2 : 3/33, kitab al-iman wal kufr.
[10]
Ibid 2: 2/18.
[11]
Ibid 2 : 8/40.
[12]
Ma’anil Akhbar : 186, bab al-iman wal Islam.
[13]
Kanzul ‘Ummal 1 : 95/422.
[14]
Surah Al-Hajj 22 : 17.
[15]
Surah Yusuf 12: 106.
[16]
Surah Al-Hadid 57 : 17. Mufradat Alfadhil Quran, Ar-Raghib Al-Ishfahani : 26, Al-Maktabah Al-Murtadlawiyah.
[17]
Surah Al-Baqarah 2 : 82.
[18]
Jika amal adalah salah satu pondasi pokok iman, maka Allah tidak perlu
menyebutkan kedua-duanya dalam ayat tersebut. Cukup Ia berkata: والذين
آمنوا ,(pen.).
[19]
Surah Yusuf 12 : 17.
[20]
Fi Dhilal Ash-Shahifah As-Sajjadiyah, Syeikh Muhammad Jawad Mughniah: 181.
[21]
Kanzul ‘Ummal 1 : 12/25.
[22]
Ma’anil Akhbar, Syeikh Shaduq: 187. bab ma’nal Islam wal iman.
[23]
Ushulul Kafi, 2 : 12/62, kitab al-iman wal kufr.
[24]
Kanzul ‘Ummal 1 : 42/99.
[25]
Tuhaful ‘Uqul : 369.
[26]
Al-Khishal, Syeikh Shaduq : 53.
[27]
Al-Irsyad, Syeikh Mufid : 25.
[28]
Ibid:27.
[29]
Amali Ash-Shaduq : 71.
[30]
Al-Kasysyaf 3 : 467, At-Tafsirul Kabir 27 : 165-166, Al-Jami’ li Ahkamil Quran 16 : 23.
[31]
Al-Ikhtishash, Syeikh Mufid: 268.
[32]
Ushulul Kafi 2 : 13/78, kitab al-iman wal kufr.
[33]
Ma’anil Akhbar : 189.
[34]
Makarim Al-Akhlaq, Thabarsi: 465.
[35]
Thhaful ‘Uqul : 377.
[36]
Ibid.
[37]
Amali Ash-Shaduq : 273.
[38]
Ushulul Kafi 2 : 114/7.
[39]
Kanzul ‘Ummal 1 : 44/88.
[40]
Ushulul Kafi 2 : 71.
[41]
Surah Al-Fath 48 : 4.
[42]
Tafsir Al-Mizan 18 : 259. Dan hadits-hadits tersebut dapat dilihat dalam
kitab-kitab berikut: Ushulul Kafi 2 : 2/46, Kitab Al-Iman wal Kufr, Bab
Darajaatil Iman; Tuhaful ‘Uqul : 358; Ushulul Kafi 2 : 33. 1/37, Kitab
Al-Iman wal Kufr. Dan ayat-ayat yang terdapat di dalam had its tersebut
dapat dilihat di: surat At-Taubah 9 : 124-125; surat Al-Kahfi 18 : 13.
[43]
Surah Ali ‘Imran 3 : 163.
[44]
Tuhaful ‘Uqul : 445.
[45]
Al-Khishal, Syeikh Shaduq : 7/448, bab al-‘asyrah.
[46]
Ushulul Kafi 2 : 1/399, kitab al-iman wal kufr.
[47]
Surah Al-Mujadalah 58 : II.
[48]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih: 488, Hikmah : 113.
[49]
Raudlutul Wa’idhin, Al-Fattal An-Nisaburi 1 : 11, fadllul ‘ilm.
[50]
Al-Mahajiah Al-Baidla’, Al-Faidl Al-Kasyani
[51]
Kanzul ‘Ummal 10 : 160/28831.
[52]
Surah Fathir 25 : 28.
[53]
Raudlatul Wa’idhin : 9, fadlul ‘ilm.
[54]
Surah Thaha 20 : 75.
[55]
Surah An-Nahl 16 : 97.
[56]
Surah Al-A’raf 7 : 129.
[57]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 497, Hikmah: 150.
[58]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 472, Hikmah : 23.
[59]
Al-Fushul Al-Mukhtaarah : 103.
[60]
Al-Irsyad, Syeikh Mufid : 264.
[61]
Surah Al-Hasyr 59 : 9.
[62]
Tanbihul Khawathir 1 : 172.
[63]
Tanbihul Khawathir 1 : 173-174. Surat Al-Baqarah 2 : 207.
[64]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 556, Hikmah : 58.
[65]
Tuhaful ‘Uqul : 200; Al-Mahajiah Al-Baidla’ 5 : 93, riyadlah an-nafs.
[66]
Ushulul Kafi 2 : 99/1, kitab al-iman wal kufr.
[67]
Tuhaful ‘Uqul : 111.
[68]
Tuhaful ‘Uqul : 215.
[69]
Ushulul Kafi 2 : 419/5, kitab al-iman wal kufr.
[70]
Ibid 2 : 72/4.
[71]
Tafsir Al-’Ayasyi 1 : 371.
[72]
Surah Al-An’am 6: 98.
[73]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 279, Khotbah : 189.
[74]
Tuhaful ‘Uqul : 174.
[75]
Ushulul Kafi 2 : 47/2, Kitab Al-Iman wal Kufr.
[76]
Syarh Nahjil Balaghah, Ibnu Abil Hadid 18 : 142.
[77]
Kanzul ‘Ummal 15 : 890/43525.
[78]
Al-Ikhtishash, Syeikh Mufid : 365.
[79]
At-Tauhid, Syeikh Shaduq: 165.
[80]
Maa’anil Akhbar : 368-369, Bab arti al-‘urwah al-wutsqa.
[81]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 488, Hikmah : 113
[82]
Al-Mu’min, Asy-Syeikh Ats-Tsiqah Husein bin Sa’id Al-Kufi 32/61.
[83]
Furu’ Al-Kafi 3 : 300.
[84]
Surat Al-Hujurat 49 : 12.
[85]
Surah Thaha 20 : 82.
[86]
Raudlur Riyahin fi Hikayaatish Shalihin, Afifuddin Abis Sa’adat Abdullah
bin As’ad Al-Yafi’i Al-Yamani: 122, Hikayat ke 74, Mu’assasah
‘Imaduddin, Cyprus.
[87]
Ghurarul Hikam.
[88]
Ibid.
[89]
Ushulul Kafi 2 : 55/4, bab al-iman wal kufr.
[90]
Tanbihul Khawathir 1 : 250, bab at-tafakkur.
[91]
Ushulul Kafi 2 : 47/1, bab al-iman wal kufr.
[92]
Ushulul Kafi 2 : 231/4, bab al-iman wal kufr.
[93]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 347, Khotbah : 224.
[94]
Al-Ikhtishash : 233.
[95]
Ma’anil Akhbar : 366.
[96]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 533, Hikmah : 333.
[97]
Ma’anil Akhbar : 164.
[98]
Tuhaful ‘Uquul : 49.
[99]
Amali Ash-Shaduq : 223/4.
[100]
Amali Ash-Shaduq : 83/6.
[101]
Tuhaful ‘Uquul : 212.
[102]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 545, Hikmah : 390.
[103]
Ushulul Kafi 2 : 105/12, kitab al-iman wal kufr.
[104]
Tuhaful ‘Uquul : 367.
[105]
Amali Ash-Shaduq : 204.
[106]
Ibid. 2
[107]
Tuhaful ‘Uquul : 297.
[108]
Tuhaful ‘Uquul : 20.
[109]
Ushulul Kafi 2 : 307/7. kitab al-iman wal kufr.
[110]
Tuhaful ‘Uquul : 248.
[111]
Ushulul Kafi 2 : 241/38, kitab al-iman wal kufr.
[112]
Fi Rihab A’immah Ahlil Bayt a.s., karya Sayyid Muhsin Al-Amin 3: 194.
[113]
Ushulul Kafi 2 : 102/17, kitab al-iman wal kufr.
[114]
Ushulul Kafi 2 : 117/5.
[115]
Wasa’ilusy Syi’ah 8: 488, kitab al-hajj.
[116]
Ibid.
[117]
Ushulul Kafi 2 : 668/14, kitab al-‘Usyrah.
-------------------------------
PASAL IV
PENGARUH IMAN DAN KUFUR ATAS KEHIDUPAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Iman adalah sumber segala keutamaan sementara kufur
adalah sumber segala kehinaan. Seseorang yang telah berlumuran dosa,
syirik dan menjadi hamba hawa nafsu, patung-patung sesembahan dan
kekuatan-kekuatan sosial yang dimilikinya, berkat iman ia akan
tersucikan dari noda-noda kotor itu.
Dengan iman pula ia mampu menguasai hawa nafsunya
dan menemukan jalan yang benderang untuk mengikis karakter-karakter
jahiliyahnya.
Kita dapat saksikan pada masyarakat jahiliyah yang
terpecah belah menjadi beberapa kabilah dan golongan dan tidak ada
keadilan dalam hidup mereka, ketika mereka beriman dan akidah tauhid
terpatri kokoh di dalam sanubari mereka, mereka menjadi umat yang
bersatu atas dasar kebenaran dan keadilan.
Bukti sejarah yang menjelaskan dengan tegas
.terjadinya revolusi budaya atas kehidupan individu dan masyarakat yang
dikobarkan oleh iman, adalah dialog antara Ja’far bin Abi Thalib dengan
Najasyi, raja Habasyah ketika ia ditanya tentang sebab hijrah dan
‘murtad’ dari agama kaumnya.
Ia berkata: “Wahai Raja, (sebelum datangnya Islam)
kami adalah masyarakat jahiliyah yang menyembah berhala, memakan
bangkai, melakukan segala kejahatan dan kehinaan, memutuskan hubungan
dengan kerabat, mengganggu tetangga. Yang terkuat di antara kami
menindas yang lemah. Keadaan ini berjalan sehingga Allah mengutus
seorang Rasul dari kalangan kami yang kami kenal nasab keturunannya,
jujur, amanat dan punya harga dirinya.
Ia mengajak kami untuk mengesakan Allah dan
menyembah-Nya serta meninggalkan patung-patung yang disembah oleh kami
dan nenek moyang kami.
Ia memerintahkan kami untuk berkata benar,
menyampaikan amanat kepada pemiliknya, menyambung tali persaudaraan
dengan kerabat, menghormati tetangga dan menghentikan seluruh perbuatan
haram serta melarang menumpahkan darah orang yang tak berdosa.
Ia melarang kami dari berbuat keji, berkata bohong, memakan harta anak yatim dan menuduh berzina perempuan yang telah bersuami.
Ia memerintahkan kami untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya...”.[1]
Dengan ini terungkaplah bagi Najasyi revolusi
budaya yang dikobarkan oleh Islam dalam waktu yang relatif singkat. Hal
itu disebabkan Islam memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan
individu dan sosial masyarakat. Kita akan lebih memahami realita di atas
melalui pembahasan-pembahasan berikut.
Pengaruh Iman atas Kehidupan Individu
Islam adalah titik pennulaan kelahiran satu
generasi baru yang cinta akan nilai-nilai luhur dan hikrnah, mengarungi
samudra ilmu dan pengetahuan, tampil dengan penuh percaya diri dan rasa
kemanusiaan yang tinggi.
Perubahan drastis ini tidak timbul dari kehampaan
dan secara kebetulan, akan tetapi hal itu didasari oleh
tuntunan-tuntunan iman yang menyimpan nilai-nilai peradaban yang tinggi.
Dalam kesempatan ini selayaknya kita membahas tuntunan-tuntunan yang
tersimpan dalam iman melalui pengaruhnya yang besar dalam beberapa segi
dan dimensi kehidupan manusia.
1. Pengaruh ilmiah (intelektual)
Dengan cahayanya yang cemerlang, Islam telah
berhasil membuka pintu-pintu ilmu dan pengetahuan yang tertutup rapat di
hadapan masyarakat jahiliyah yang tidak mengenal ilmu dan pengetahuan
samawi.
Islam telah membentuk cara berpikir masyarakat yang
positif. Ia merangsang mereka untuk merenungkan segala kekuatan dan
rahasia alam yang tersembunyi di dunia yang luas ini.
Hal ini dilandasi oleh tujuan-tujuanyang
bermacam-macam. Yang terpenting adalah mengenal Allah Ta’ala dan
keberadaan-Nya melalui apa yang dapat dirasakan dan dilihat oleh
manusia. Begitu juga, dengan perenungan tersebut, agar mereka dapat
mengungkap hukum dan aturan-aturan yang mengatur alam semesta ini dengan
teliti dan jitu. Hal ini membantu tumbuhnya satu gerakan ilmiah yang
dapat dimanfaatkan oleh ulama dan para ilmuwan ilmu alam dari sejak
munculnya Islam hingga sekarang ini.
Pengaruh iman tidak hanya terbatas sampai di sini.
Terdapat pengaruh-pengaruh iman dalam bidang ekonomi, politik, ilmu
sosial, sejarah, filsafat dan teologi yang digunakan oleb para ahli
sebagai bahan rujukan dalam penelitian-penelitian mereka.
Lebih dari itu, Alquran juga memiliki aturan, perintah dan hukum-hukum politik yang tersusun secara teliti.
Ringkasnya, peradaban Islam yang dikagumi oleh
bangsa-bangsa Eropa selama beberapa abad terakhir, muncul oleh dinamisme
iman yang merangsang para pengikutnya untuk selalu berusaha keras dalam
menimba ilmu pengetahuan.
Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam usaha
membasmi buta huruf semenjak Islam berkembang. Rasulullah saw meminta
dari para tahanan perang Badar agar mengajar muslimin jika mau bebas.
Hal ini dikarenakan buta huruf adalah wahab
penyakit yang dapat menghancurkan satu umat. Oleh karena itu, telah
sampai kepada kita himbauan Islam agar orang-orang pintar bersedia
mengajar orang-orang bodoh.
Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Allah tidak
memerintahkan orang-orang bodoh untuk belajar kecuali sebelum itu telah
memerintahkan orang-orang alim untuk mengajarkan ilmunya”.[2]
Dan satu sisi, Islam juga menganjurkan para
pengikutnya untuk menambah ilmu yang bermanfaat dan dapat mendekatkan
dirinya kepada Allah.
Rasulullah saw bersabda: “Jika aku berada di suatu
hari dan pada hari itu aku tidak dapat menambah ilmu yang dapat
mendekatkan diriku kepada Alia Ta’ala, maka hari itu bukanlah hari yang
memiliki berkah bagiku”.[3]
Dalam sebuah hadits, Imam Ali a.s. menyebutkan
hasil-hasil positif iman dan peran pentingnya dalam kemajuan dan
kebahagiaan manusia. Beliau berkata : “Tuntutlah ilmu, niscaya ilmu
tersebut akan memberikan kehidupan kepada kalian”.[4]
Menurut Islam, ilmu memiliki peran yang sangat penting (dalam segala bidang). Atas dasar ini, ilmu lebih utama dari ibadah.
Rasulullah saw bersabda: “Keutamaan orang alim atas
ahli ibadah seperti keutamaanku dibanding dengan orang yang terendah
derajatnya dari kalian”.
Abu Hamzah meriwayatkan dari Abu Ja’far a.s.,
beliau berkata: “Seorang alim yang bermanfaat ilmunya lebih utama dari
tujuh puluh orang ahli ibadah”.[5]
Hadits-hadits di atas memberikan gambaran kepada
kita betapa Islam selalu mendorong setiap individu untuk berlomba-lomba
dalam menggali ilmu pengetahuan. Karena pengetahuan adalah satu
kepandaian dan kearifan, dan kepandaian adalah satu kekuatan.
2. Pengaruh amaliah
Pengaruh iman dapat dilihat dengan jelas dalam
akhlak dan perilaku seorang mu’min. Orang kafir akan menggunakan segala
cara dan perantara tanpa mempertimbangkan nilai dan norma-norma akhlak
untuk menggapai satu tujuan. Sedangkan orang mu’min, demi mencapai
tujuannya, ia akan meniti jalan yang dilandasi oleh norma-norma akhlak
yang mulia.
Atas dasar ini, orang yang sempurna imannya, akan
sempurna pula akhlaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Mu’minin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya”.[6]
Oleh karena itu, kita melihat tuntunan-tuntunan etik tersebar luas di
dalam ajaran-ajaran agama kita, hal itu tak lain karena adanya hubungan
antara iman dan akhlak.
Atas dasar ini, orang-orang yang hidup di dalam
masyarakat yang tak beriman, akan mengalami dekadensi moral yang dahsyat
(dengan tercerabutnya rasa malu dari hati mereka). Karena rasa malu
adalah cabang iman, bahkan dalam hadits Nabi saw: “Rasa malu dan iman
adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satunya
musnah, maka yang lainnyapun akan musnah”.[7]
Di samping itu, iman menganjurkan setiap individu
untuk beramal dan bekerja yang halal. Iman mencegah setiap pengikutnya
untuk bermalas-malasan dan menengadahkan tangan kepada orang lain.
Di antara wasiat Imam Ash-Shadiq a.s. kepada
muslimin secara umum dan kepada pengikut beliau: “Janganlah kalian malas
untuk mencari rezeki demi kehidupan kalian. Karena kakek-kakek kami
giat dalam mencari rezeki (demi memakmurkan kehidupan mereka)”. Beliau
telah merealisasikan wasiatnya tersebut dalam bentuk amal.
Al-Faudlail bin Abi Qurrah berkata: “Kami masuk ke
rumah Abu Abdillah a.s. dan beliau sedang bekerja di halaman. Kami
berkata berkata beliau: ‘Biarlah kami atau pembantu yang mengerjakannya
untuk anda!” Beliau menyanggah seraya berkata: ‘Jangan! Biarlah aku yang
mengerjakannya. Karena aku ingin Allah melihatku bekerja dengan kedua
tanganku dan mencari rezeki halal dengan jalan melelahkan diriku”.[8]
Selain menuntun para pengikutnya dengan perkataan,
Imam Ash-Shadiq a.s. juga menuntun mereka melalui praktek amaliah.
Inilah metode mendidik yang digunakan oleh Ahlul Bayt a.s. Hal ini
dikarenakan praktek amaliah memiliki peranan yang besar dalam membentuk
arah pandang dan kepribadian (seseorang), di samping itu, amal dan
praktek amaliah lebih kuat pengaruhnya dari perkataan.[9]
Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa iman mampu
mendorong setiap individu untuk berperilaku ideal yang terjelmakan dalam
akhlak yang terpuji dan amal saleh.
3. Pengaruh rohani (kejiwaan)
Ketika seorang mu’min mengingat Allah dan
mengadakan interaksi dengan kekuatan Ilahi yang agung, maka akan
sirnalah rasa takut dan kelemahannya, dengan demikian hatinya menjadi
tenang.
Allah berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allahlah hati menjadi tentram”. Dalam ayat yang lain Ia juga
berfirman: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman
mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang yang mendapatkan keamanan
dan petunjuk”.[10]
Iman membawa ketenangan jiwa dan memusnahkan rasa takut seseorang ketika cobaan-cobaan hidup datang silih berganti.
Dalam sejarah, banyak kita temukan bukti-bukti
kesimpulan ini. Qanbar, pembantu yang sangat mencintai Amirul Mu’minin
a.s., selalu membuntuti beliau dari belakang secara diam-diam sambil
menenteng pedang.
Suatu malam Imam Ali a.s. melihatnya sedang
membuntutinya. Beliau bertanya: “Wahai Qanbar, apa yang sedang kau
lakukan?” Ia menjawab: “Wahai Amirul Mu’minin, aku ingin mengawal anda
dari belakang. Karena masyarakat ―sebagaimana yang anda ketahui―,
memusuhi anda. Aku khawatir akan keselamatan anda”. Beliau bertanya
kembali: “Apakah kamu ingin menjagaku dari bahaya penghuni langit atau
penghuni bumi?” “Dari bahaya penghuni bumi”, jawabnya. Beliau berkata:
“Sesungguhnya penghuni bumi tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap
diriku tanpa izin Allah azza wa jalla dari langit. Karena itu,
pulanglah!”.[11]
Ya’Ia bin Murrah berkata: “Sudah menjadi kebiasaan
Imam Ali a.s. keluar malam menuju ke masjid untuk melaksanakan shalat
sunnah. Kami datang berkumpul untuk menjaga beliau. Setelah beliau
selesai melaksanakan shalat, beliau menghampiri kami seraya berkata:
“Mengapa kalian duduk di sini?” “Kami sedang menjaga anda”, jawab kami.
“Apakah kalian menjagaku dari (bahaya) penghuni langit atau penghuni
bumi?”, tanya beliau kembali. “Kami menjaga anda dari (bahaya) penghuni
bumi”, jawab kami. Beliau berkata: “Tidak akan terjadi suatu peristiwa
di bumi kecuali jika sudah ditentukan di langit. Setiap orang dijaga
oleh dua malaikat yang selalu menyertainya hingga datang ajalnya. Jika
ajalnya telah tiba, mereka akan pergi darinya. Sesungguhnya Allah telah
menganugerahkan sebuah perisai kokoh kepadaku. Jika ajalku telah tiba,
Allah akan mencabutnya dariku... Seseorang tidak akan merasakan manisnya
iman sehingga ia meyakini bahwa sesuatu yang telah ditentukan akan
menimpanya, tidak akan meleset dan sesuatu yang telah ditentukan tidak
akan menimpanya, hat itu tidak akan terjadi alas dirinya”.[12]
Iman akan mendorong orang mu’min untuk pasrah penuh
terhadap qadla’ dan qadar IIahi. Dengan itu, jiwanya akan teramankan
dari perasaan takut dan khawatir.
Atas dasar ini, iman adalah satu unsur penting yang
dapat menyembuhkan penyakit-penyakit jiwa. Hal ini telah diakui oleh
mayoritas ahli psikologi, antara lain Dr. Ernest Adolf, seorang asisten
dosen di universitas Sant Jhon’s, Amerika Serikat.
Ketika ia ditanya tentang faktor-faktor utama stres
ia berkata: “Faktor-faktor utama penyakit ini adalah rasa berdosa atau
bersalah, dengki, takut, khawatir, kesedihan, kebimbangan, keraguan dan
kejemuan.
Yang sangat disayangkan, para ahli pengobatan
penyakit jiwa sebetulnya mampu mendeteksi faktor-faktor kegoncangan jiwa
yang menyebabkan stres itu, akan tetapi mereka gagai total dalam usaha
mengobatinya. Hal ini dikarenakan mereka tidak menanamkan keimanan pada
Tuhan di dalam sanubari para penyandang penyakit ini ketika
mengobatinya”.[13]
Atas dasar ini, poin penting yang dapat membantu
penyembuhan penyakit-penyakit jiwa seseorang adalah kita harus
membantunya untuk mengakui kesalahan-kesalahannya. Karena mengakui semua
kesalahan yang pernah dilakukannya akan mengembalikan keseimbangan dan
ketenangan kepada jiwanya yang goncang itu.
Secara teori, Alquran mengakui keabsahan cara
pengobatan ini. Akan tetapi Alquran menegaskan supaya pengakuan tersebut
dilakukan di hadapan Tuhan di saat seseorang menyendiri dengannya,
bukan di hadapan orang lain.
Ketika seseorang berkata dalam qunut shalatnya:
﴿ربّنا ظلمتا أنفسنا وأن لم تغفر لنا وترحمنا لنکوتنّ من الخاسرين﴾
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi”.[14] ia akan merasa lega dan terbebas dari tekanan perasaan berdosa.
Alquran telah menukil beberapa pengakuan dari
hamba-hamba saleh dan para nabi. Seperti pengakuan Nabi Musa a.s. ketika
beliau membunuh seseorang tanpa sengaja:
﴿رب انی ظلمت نفسی فاغفرلی﴾
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu, ampunilah aku”.[15]
Lebih dari itu, keyakinan manusia bahwa ia tidak
sendiri dan Allah selalu menyertainya, akan menimbulkan suatu ketenangan
dan rasa percaya diri serta membasmi rasa takut, bimbang dan
kesendirian darinya. Hal ini dikarenakan Allah sendirilah yang
menenangkannya.
Ia berfirman: “Dan Ia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.[16]
Ringkasnya, iman akan memadamkan api ketakutan,
kebimbangan dan kegundahan seseorang. Sebagai gantinya, iman tersebut
akan memberikan kesehatan jiwa dan jasmani kepadanya.
Psikologi menegaskan bahwa ketika manusia ditimpa
oleh ketakutan, kesusahan atau kemarahan, akan terjadi perubahan dan
kegoncangan-kegoncangan psikologis yang berbahaya baginya jika hal itu
telah kronis.
Kegundahan yang telah mengeras dan kontinyu
kadang-kadang bisa menyebabkan luka lambung atau usus dua betas jari.
Sedang kebencian yang terpendam dalam waktu yang panjang dapat
menyebabkan tekanan darah.[17]
Di samping itu, iman juga mendatangkan ketentraman
dan ketenangan bagi jiwa seseorang sehingga ia tidak pernah merasa hidup
sendiri. Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Ya Allah, Engkau adalah teman
yang terbaik bagi para kekasih-Mu. Jika mereka mereka dilanda kesepian,
mereka akan tenteram dengan mengingat-Mu. Dan ketika mereka ditimpa
musibah, mereka akan berlindung di bawah naungan-Mu. Karena mereka
meyakini bahwa tali kendali segala urusan ada di tangan-Mu”.[18]
4. Pengaruh iman dalam membentuk kepribadian seorang mu’min
Iman adalah titik tolak manusia untuk mencapai
kemuliaan. Karena iman membekalinya dengan etika dan budi pekerti yang
luhur, dan membantunya untuk selalu percaya diri dan berjalan menuju
tujuan akhirnya dengan langkah yang pasti.
Lukman Al-Hakim pernah ditanya: “Bukankah kamu pembantu keluarga orang itu?”
“Ya”, jawabnya. Kemudian ia ditanya kembali: “Apakah yang menyebabkan kamu sampai kepada derajat yang kau miliki sekarang ini?”
Ia menjawab: “Berkata benar, memegang amanat,
meninggalkan sesuatu yang tidak kubutuhkan, menjaga mataku (dari melihat
hal-hal yang dilarang), menjaga mulutku, dan makan yang halal. Barang
siapa yang mengerjakan sebagian dari apa yang telah aku sebutkan itu,
maka ia berada di bawahku. Barang siapa yang melakukan lebih dari itu,
niscaya ia berada di atasku. Dan barang siapa yang mengerjakan segala
apa yang telah kusebutkan tadi, maka kedudukannya seperti kedudukanku”.[19]
Iman akan memberikan kemuliaan dan kedudukan yang
tinggi kepada manusia, dan dengan itu, kehinaan tidak akan pernah
menghampirinya. Dalam hal ini Allah berfirman: “Kemuliaan itu hanyalah
bagi Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mu’min. Tetapi orang-orang munafik
tidak mengetahui”. Imam Ash-Shadiq a.s. juga berkata: “Sesungguhnya
Allah telah menyerahkan kepada orang mu’min semua urusannya (yakni, ia
bisa melakukan segala yang ia sukai). Akan tetapi, Allah tidak rela jika
ia hina”.[20]
Iman juga menjadikan seseorang berwibawa sehingga
orang lain akan memandangnya dengan penuh hormat dan pengagungan.
Seseorang pernah berkata kepada Imam Hasan bin Ali a.s.: “Anda memiliki
keagungan”. Beliau membalas: “Tidak! Aku memiliki kemuliaan. Allah
berfirman: ‘Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan mu’minin”.[21]
Iman juga menimbulkan satu revolusi besar dalam
kehidupan manusia yang dapat membebaskannya dari perbudakan maksiat
menuju ketaatan. Dari iman itu ia akan mencapai anugerah-anugerah Ilahi
yang tidak dapat diperkirakan harganya.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Ketika Allah azza wa
Jalla telah menyelamatkan seorang hamba dari perbudakan maksiat menuju
kemuliaan takwa, maka Allah telah membuatnya kaya tanpa harta,
memuliakannya tanpa kerabat dan menenteramkannya tanpa manusia lain”.[22]
Atas dasar ini, penghambaan kepada Allah adalah
sumber kemuliaan, kebanggan dan ketinggian derajat. Amirul Mu’minin a.s.
berkata: “Tiada kemuliaan yang lebih tinggi dari pada Islam dan tiada
kemuliaan yang lebih mulia dari takwa”. Ketika bermunajat kepada Allah,
beliau berkata:
الهي، کفی بي عزّا أن أکون لك عبدا وکفی بي فخرا أن تکون لي ربّا
“Ya Tuhanku, alangkah mulianya aku ketika aku sebagai hamba-Mu, dan alangkah bangganya aku ketika Engkau sebagai Tuhanku”.[23]
Ringkasnya, iman akan meninggikan kedudukan manusia
(di mata manusia) dan mengangkat tingkat spiritualitasnya yang
tercennin dalam kekokohan dan keagungan pribadinya.
5. Pengaruh-pengaruh iman yang lain:
a. Memperkuat kontrol diri
Iman dapat memberikan kemampuan kepada seseorang
untuk mengontrol dirinya sehingga ia mampu menyembunyikan segala
musibah, kesusahan, penyakit yang menimpanya dan amal-amal baik yang
pernah dilakukannya karena takut riya’.
Allah swt memuji orang-orang yang dapat menguasai
diri dan memendam amarahnya. Ia berfirman:
“... Dan orang-orang yang menahan amarahnya”.[24]
“... Dan orang-orang yang menahan amarahnya”.[24]
Begitu juga iman akan memberikan kemampuan
kepadanya untuk mengontrol lidahnya sehingga ia tidak akan mengucapkan
sesuatu yang mengundang amarah Allah, karena ia hidup dengan penuh
perhitungan, baik dalam perkataan atau amal.
Berbeda dengan orang kafir. Dalam sebuah hadits
termaktub: “Lidah orang mu’min berada di belakang hatinya. Jika ia ingin
mengucapkan sesuatu, ia akan merenungkannya terlebih dahulu kemudian
mengucapkannya. Dan lidah orang munafik berada di depan hatinya. Jika ia
ingin mengucapkan sesuatu, ia akan mengucapkannya tanpa perenungan
sebelumnya”.[25]
b. Keteguhan dan Keberanian
Iman dapat menwnbuhkan keberanian dan keteguhan
dalam diri orang mu’min ketika ia berada di medan jihad. Dengan
keberanian dan keteguhan itu, ia akan mampu menguasai hawa nafsunya yang
condong kepada kehidupan dunia dan tidak mau sulit.
Pada peristiwa perang Badar, muslimin yang
berjumlah sedikit, dengan bekal dan persenjataan yang tidak memadai
mampu mengalahkan pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap dengan
kekuatan iman mereka.
Seorang orientalis modern, Jack Reizler, penulis
buku Yaqdhatul Islam (Kebangkitan Islam) dan Al-Hadlarah Al-‘Arabiyah
(Peradaban Arab) yang telab dicetak di Perancis pada tabun 1962 M
menulis: “Dengan munculnya agama Islam, peradaban Arab mulai berkembang
pesat. Perkembangan dan tersebaruya peradaban ini (di seantero dunia)
disebabkan oleh beberapa faktor, yang terpenting adalah meningginya
semangat spiritual di dada muslimin sebagai hadiah agama baru ini.
Semangat spiritual inilah yang memberikan keberanian kepada mereka sehingga mereka tidak takut mati dijalan Allah”.[26]
c. Waspada dan mawas diri
Iman dapat memberikan kepada seseorang suatu kemampuan untuk memandang kehidupan di sekitarnya dengan teliti.
Ia tidak akan tertipu oleh rayuan-rayuan dunia yang
menggiurkan. Ia akan mencari harta dunia hanya sekedar dapat hidup dan
tidak tergiurkan oleh kekayaan (yang menjadi dambaan mayoritas manusia).
Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Orang mu’min
memandang dunia demi mengambil pelajaran (‘ibrah), berbekal harta dunia
hanya sekedar dapat hidup dan (dalam sanubari) ia tidak mencintai dunia
sedikitpun”.[27]
Suwaid bin Ghaflah berkata: “Setelah Amirul
Mu’minin dibai’at menjadi khalifah, aku bertamu ke rumah beliau. (Ketika
aku masuk), beliau sedang duduk di atas tikar yang terbuat dari pelepah
kurma. Aku tidak melihat perabotan lain dalam rumah itu selain tikar
tersebut.
Aku berkata (dengan penuh keheranan): ‘Wahai Amirul
Mu’minin, harta Baitul Mal ada di tangan anda, tapi aku tidak melihat
perabotan di rumah ini yang layak dimiliki oleh sebuah rumah!’. Beliau
menjawab: ‘Wahai putera Ghaflah, orang yang berakal dan cerdik tidak
akan memenuhi rumah sementaranya dengan perabotan yang berwarna-warni.
Kami memiliki satu rumah abadi nan tenteram dan kami telah memindahkan
perabotan yang terbaik ke rumah tersebut, dan tidak lama lagi kami akan
pergi menuju ke sana”.[28]
Pengaruh Iman atas Kehidupan Sosial
Iman adalah salah satu unsur utama dalam kesatuan
dan persatuan sebuah masyarakat, karena iman tersebut akan mendorong
setiap individu yang hidup di masyarakat itu untuk saling
tolong-menolong antara yang satu dengan yang lain dan mencegah
permusuhan.
Kita dapat melihat pengaruh iman dan kufur atas kehidupan masyarakat melalui poin-poin berikut ini:
Pertama, rasa persaudaraan, saling menghormati dan menasehati
Iman memainkan peranan penting dalam mewujudkan
interaksi yang sehat antar manusia. Ia akan membebaskan manusia dari
jeratan permusuhan dan kebencian menuju dunia persaudaraan dan cinta.
Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu”.[29]
Allah mengingatkan mu’minin atas nikmat
persaudaraan yang telah berhasil mengubah wajah kehidupan mereka dari
kekufuran dan permusuhan menjadi kehidupan yang berlandaskan iman dan
persaudaraan.
Dalam kaitannya dengan ini Ia berfirman: “Dan
berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah
bercerai-berai. Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(di masa jahiliyah) saling bermusuhan, lalu Allah menjinakkan hatimu,
kemudian karena nikmat Allah itu kamu menjadi bersaudara; dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatknmu darinya”.[30]
Di samping itu, Islam juga memerintahkan para
pengikutnya untuk menghormati dan mencintai saudaranya yang lain dan
menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang melaksanakannya.
Abu ‘Ubaidah berkata: “Aku pernah mendengar Abu
Ja’far a.s. berkata: “Jika dua orang mu’min berjumpa kemudian mereka
berjabat tangan, niscaya Allah akan memperhatikan mereka dan dosa-dosa
yang mereka miliki akan terhapus selama mereka berjabatan tangan hingga
berpisah”. Islam tidak hanya menganjurkan mereka untuk menghormati dan
mencintai saudara mereka yang lain, akan tetapi juga menganjurkan mereka
untuk saling menasehati.
Rasulullah saw bersabda: “Mu’min adalah saudara
mu’min yang lain. Hendaknya ia selalu menasehatinya dalam setiap situasi
dan kesempatan”.[31]
Rasa persaudaraan ini dapat terealisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang dapat disimpulkan dalam poin-poin berikut ini:
a. Membahagiakan orang mu’min
Membahagiakan orang lain adalah salah satu amal
yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Rasulullah saw bersabda: “Amal
yang paling dicintai oleh Allah adalah membahagiakan mu’minin”. Oleh
karenanya, amal ini memiliki pahala yang sangat besar.
Berkenaan dengan hal di atas, Abu Abdillah a,s.
berkata: “Barang siapa yang membahagiakan seorang mu’min, maka Allah
akan membahagiakannya pada hari kiamat”.[32]
b. Menjaga rahasia orang mu’min
Menyebarkan rahasia saudara seiman kepada khalayak
ramai adalah perbuatan yang dapat mengeruhkan kejernihan hubungan
persaudaraan dan bahkan dapat memutuskan tali persaudaraan. Hal ini akan
menyebabkan sirnanya rasa saling mempercayai atara seorang mu’min
dengan saudara seimannya.
Demi menghindari efek-efek negatif tersebut, iman,
melalui wasita-wasiat yang diberikan kepada pengikutnya, mencegah keras
perbuatan tersebut. Abdullah bin Sinan berkata kepada Abu Abdillah a.s.:
“Apakah aurat seorang mu’min atas mu’min yang lain adalah haram”. “Ya”,
jawab beliau. Aku bertanya kembali: “Apakah maksudnya adalah
kemaluannya?” Beliau menjawab: “Maksudnya bukan seperti yang kamu
katakan. Maksudnya adalah (haram bagi seorang mu’min ) menyebarkan
rahasianya”.[33]
c. Menolong sesama mu’min
Iman mendorong para pengikutnya untuk saling tolong
menolong. Semangat saling tolong menolong inilah yang dapat mencegah
perpecahan dalam kehidupan manusia.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Jika seorang mu’min
menolong mu’min yang dizalimi, maka amal ini lebih utama dari berpuasa
satu bulan penuh dan i’tikaf di Masjidil Haram. Jika seorang mu’min
menolong saudara seimannya dan ia memang mampu untuk menolongnya, maka
Allah akan menolongnya di dunia dan akherat.
Dan jika seorang mu’min menelantarkan saudara
seimannya sedangkan ia mampu untuk menolongnya, maka Allah akan
menelantarkannya di dunia dan akherat”.[34]
d. Berbuat baik
Orang mu’min sejati akan melihat saudara-saudaranya
yang membutuhkan pertolongan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Allah
pun menganjurkan mu’minin untuk selalu peduli terhadap orang-orang yang
membutuhkan, dan akan memberikan pahala atas kepedulian sosial
tersebut.
Abu Harnzah Ats-Tsumali meriwayatkan bahwa Ali bin
Husein a.s. berkata: “Barang siapa yang menyelamatkan seorang mu’min
dari kelaparan, maka Allah akan mengenyangkannya dengan buah surga.
Barang siapa yang menyelamatkan seorang mu’min dari dahaga, maka Allah
akan memberikannya air minum dari Rahiqul Makhtum. Dan barang siapa yang
memberikan pakaian kepada seorang mu’min, maka Allah akan memberikan
kepadanya pakaian-pakaian surga yang berwarna hijau”.[35]
Di antara bukti-bukti yang menunjukkan bahwa para
imam Ahlul Bayt a.s. sebagai tauladan utama dalam berbuat baik terhadap
orang lain, menganjurkan supaya rasa kepeduliaan sosial ini menjadi
(budaya masyarakat muslim), adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Imam Ash-Shadiq a.s. bahwa beliau berkata: “Memberi makan kepada seorang
mu’min yang membutuhkan, lebih aku senangi daripada bertamu ke
rumahnya, dan berkunjung ke rumahnya lebih aku senangi daripada
membebaskan sepuluh budak”.[36]
Dari hadits ini, dapat diambil kesimpulan bahwa
perbuatan baik memiliki keutamaan yang berbeda dan pahala tertentu
sesuai dengan kadar khidmat kepada orang yang ditolong tersebut.
Yang pantas diperhatikan di sini, Imam Ash-Shadiq
a.s. memandang bahwa orang yang menerima perbuatan baik lebih utama dari
orang yang berbuat baik.
Perhatikanlah percakapan beliau dengan Husein bin
Na’im Ash-Shahhaf di bawah ini. Beliau berkata kepadanya: “Wahai Husein,
apakah kamu mencintai saudara-saudara (seimanmu)?” “Ya”, jawabku.
Beliau berkata kembali: “Apakah kamu membantu orang-orang miskin?” “Ya”,
jawabku kembali. Beliau menimpali: “Memang sudah selayaknya kamu
mencintai orang yang mencintai Allah. Dan demi Allah, kamu tidak akan
dapat membantunya (dengan sepenuh hati) kecuali jika kamu mencintainya.
Apakah kamu mengundang mereka ke rumahmu?” Aku
menjawab: “Ya. Aku tidak akan makan kecuali dua atau tiga dari mereka
makan bersamaku, bahkan kadang-kadang lebih atau kurang”. Beliau
berkata: “Ketahuilah, mereka lebih utama darimu”. Aku bertanya: “Aku
memberi makan kepada mereka dan menerima mereka di rumahku, bagaimana
mereka lebih agung dan keutamaanku?” Beliau menjawab: “Ya. Karena mereka
ketika masuk ke rumahmu, mereka masuk dengan membawa ampunan bagimu dan
keluargamu. Dan ketika mereka keluar dari rumahmu, mereka keluar dengan
membawa dosa-dosamu dan dosa-dosa keluargamu”.[37]
Berbuat baik kepada saudara-saudara seiman tidak
hanya terbatas pada satu amal (seperti mengundang mereka ke rumah kita).
Akan tetapi lebih dari itu, seperti memberikan pinjaman, sedekah kepada
mereka dan lain-lain. Karena mu’min adalah berkah bagi mu’min yang
lain, dan berkahnya tidak akan terfokus dalam satu amal saja. Imam
Al-Jawad a.s. berkata: “Orang mu’min adalah berkah bagi mu’min yang lain
dan hujjah bagi orang kafir”.[38]
Berkenaan dengan memberikan pinjaman kepada saudara
seiman yang membutuhkan pahalanya sangat besar, Abu Abdillah a.s.
berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Barang siapa yang memberikan
pinjaman kepada seorang mu’min dengan harapan semoga terselesaikan
kesulitannya, maka ia mendapatkan pahala zakat dan para malaikat
mengirimkan shalawat kepadanya sehingga orang mu’min tersebut
membayarnya”.[39]
Imam Ash-Shadiq a.s. menegaskan bahwa berbuat baik
kepada orang lain selain memiliki dimensi individu, seperti yang di
katakan oleh beliau: “Jika seorang hamba mu’min berbuat baik (kepada
orang lain), Allah akan melipat gandakan setiap perbuatan baiknya tujuh
ratus kali lipat. Dan inilah arti firman Allah: “Dan Allah melipat
gandakan (pahala) bagi siapa yang Ia kehendaki”,[40]
juga memiliki dimensi sosial yang terjelmakan dalam bentuk hak-hak (yang harus dipenuhi oleh seorang mu’min ).
Abul Ma’mun Al-Haritsi berkata: “Aku bertanya
kepada Abu Abdillah a.s.: “Apakah hak seorang mu’min atas mu’min yang
lain?” Beliau menjawab: “Di antara hak-hak seorang mu’min atas mu’min
yang lain, hendaklah mencintainya dengan sepenuh hati, menolongnya
dengan hartanya, membantu dan menjaga keluarganya sepeninggalnya,
menolongnya atas orang yang menzaliminya, jika ada harta (seperti
ghanimah perang) yang sedang dibagi di kalangan muslimin sedangkan ia
tidak hadir, hendaknya ia mengambilkan bagiannya, jika ia meninggal
dunia, hendaklah ia berziarah ke kuburnya.
Janganlah ia menzalimi, menipu, mengkhianati,
menelantarkan dan membohonginya. Janganlah ia mencacinya, karena jika ia
berkata begitu kepadanya, wilayah antara keduanya akan sirna.
Jika ia berkata kepadanya: ‘Kamu adalah musuhku’,
maka salah satunya telah kafir. Dan jika ia menuduhnya (dengan sebuah
tuduhan), maka imannya akan musnah sebagaimana garam larut di dalam
air”.[41]
Ahlul Bayt a.s. menganggap bahwa memenuhi hak-hak
orang, mu’min adalah ibadah yang paling utama. Dalam kaitannya dengan
ini, Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
ما عبدالله بشيئ أفضل من أداء حق المؤمن
“Amal yang paling utama sebagai penjelmaan ibadah kepada Allah adalah memenuhi hak-hak orang mu’min”.[42]
e. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan mu’min
Iman menganjurkan setiap mu’min untuk berk11idmat
kepada saudara-saudara seimannya. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
“Mu’minin adalah pembantu saudaranya yang lain”. Salah seorang sahabat
bertanya: “Bagaimana mereka membantu saudaranya yang lain?” Beliau
menjawab: “Saling memberikan manfaat kepada yang lain”.[43]
Oleh karena itu, persaudaraan yang terjalin antara
mu’minin menuntut mereka untuk memenuhi kebutullan-kebutuhan
saudara-saudara mereka yang lain.
Kepedulian sosial semacam ini lebih besar pahalanya
dari ibadah-ibadah yang lain, seperti memerdekakan budak, jihad dan
lain-lainnya. Abu Abbdiniah a.s. berkata: “Memenuhi kebutuhan orang
mu’min lebih bakt daripada memerdekakan seribu budak dan menghadiahkan
seribu kuda di jalan Allah”. Begitu juga memenuhi kebutuhan-kebutuhan
orang mu’min lebih dicintai oleh beliau dari pada ibadah haji.
Shafwan Al-Jammal berkata: “Aku duduk bersama Abu
Abdillah a.s., tiba-tiba seorang penduduk Makkah yang bernama Maimun
masuk. Ia mengadu kepada beliau sulitnya pembayaran ongkos (sewa onta
yang telah ia sewakan kepada salah seorang penduduk kota itu). Beliau
berkata kepadaku: ‘Pergi dan tolonglah saudararnu ini’. Lantas aku pergi
bersamanya, dan Allah memudahkan urusan pembayaran ongkos sewa onta
itu.
Setelah itu aku kembali ke tempatku semula.
(Setelah sampai), beliau bertanya kepadaku: ‘Apa yang kau lakukan untuk
saudaramu itu?’ ‘Demi ayah dan ibuku, Allah telah menyelesaikan
melunasinya, jawabku. Beliau berkata: “Saya lebih suka kamu menolong
saudara seagamamu dari pada berthawaf selama seminggu di Baitullah”.[44]
Ada beberapa hadits lain dari Ahlul Bayt a.s. yang
menegaskan berlipat gandanya pahala orang yang berjalan demi memenuhi
kebutuhan saudaranya. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
ما من مؤمن يمشي لأخيه المؤمن في حاجة إلا کتب الله
عزوجل له بکل خطوة حسنة وحط بها عنه سيئة ورفع له بها درجة وزيد بعد ذلك
عشر حسنات وشفع في عشر حاجات
“Seorang mu’min yang berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara seimannya, maka Allah akan menulis baginya satu hasanah, menghapuskan darinya satu kejelekan, menganugerahkan kepadanya satu derajat untuk setiap langkahnya, dan ditambahkan baginya sepuluh hasanah serta dikabulkan sepuluh hajatnya”.
Dalam kesempatan yang lain beliau juga berkata:
من قضی لأخيه المؤمن حاجة قضی الله له يوم القيامة ماة ألف حاجة
“Barang siapa yang memenuhi satu hajat saudara seimannya, niscaya Allah akan mengabulkan seratus ribu hajatnya pada hari kiamat”. Beliaujuga berkata: “... Allah akan selalu menolong seorang mu’min selama ia menolong saudaranya”.[45]
Ahlul Bayt a.s. mencela orang-orang yang tidak
peduli terhadap kebutuhan dan musibah-musibah yang menimpa
saudara-saudara mereka.
Al-Hasan bin Katsir berkata: “Aku mengutarakan
hajatku kepada Abu Ja’far, Muhammad bin Ali a.s., dan aku juga
mengadukan ketidakpedulian saudara-saudara seimanku terhadap hajat
tersebut.
Beliau berkata: “Saudara yang paling jelek adalah,
jika kamu kaya, ia selalu bersamamu dan jika kamu telah miskin, maka ia
meninggalkanmu”. Setelah berkata begitu, beliau memanggil pembantu
beliau dan memberikan sebuah kantong uang yang berisi 700 Dirham
kepadanya seraya berkata: “Infakkanlah uang ini. Jika uang itu telah
habis, beritahukan kepadaku”.[46]
Atas dasar ini, kita memahami bahwa rasa
persaudaraan dan saling tolong menolong sebagai konsekuensi rasa
persaudaraan tersebut, menjadi perhatian utama para imam a.s. Ini
dikarenakan hal ini adalah satu-satunya jaminan bagi terbentuknya sebuah
masyarakat yang bersatu. Oleh karena itu, mereka menganjurkan para
pengikutnya untuk merealisasikan rasa kepedulian sosial ini.
Imam Al-Bagir a.s. berkata kepada salah seorang
sahabat beliau: “Wahai Ismail, apakah pada masa-masa sebelum ini kamu
melihat seseorang yang tidak memiliki jubah sedang sebagian saudara
seimannya memiliki sebuah jubah, kemudian ia memberikan jubah tersebut
kepadanya dan mengharap jubah yang lain?” “Tidak”, jawabku.
Beliau bertanya kembali: “Apakah kamu melihat jika
ia memiliki pakaian sedangkan yang lain tidak memilikinya, kemudian ia
memberikannya kepadanya dan mengharapkan pakaian yang lain?” “Tidak”,
jawabku lagi. Lalu beliau menepuk pahanya seraya berkata: “(Ketahuilah)
mereka bukan saudara”.[47]
Dalam sebuah hadits Sa’id bin Al-Hasan meriwayatkan
bahwa Abu Ja’far a.s. berkata: “Apakah pernah terjadi seseorang dari
kalian datang kepada saudara seimannya, kemudian ia memasukkan uang ke
saku temannya tersebut untuk menyelesaikan kesulitannya dan si
saudaranya itu membiarkannya melakukan hal itu?” Aku menjawab: “Aku
tidak pernah melihat itu terjadi di antara kami”. Beliau berkata: “Jika
begitu, persaudaraan di antara mereka masih belum kuat”.[48]
Ringkasnya, iman mendorong para anggota sebuah
masyarakat untuk selalu berbuat baik kepada sesama dan saling tolong
menolong. Kepeduliaan sosial ini adalah hasil terpenting yang dibuahkan
oleh iman.
Adapun orang-orang kafir, karena tidak meyakini
tuntunan agama dalam kehidupan, mereka selalu kikir. Lebih parah dari
itu, mereka mengajak orang lain untuk kikir.
Alquran telah menceritakan kepada kita tentang
sikap mereka ini melalui sebuah percakapan yang pernah terjadi antara
mu’minin dan mereka. Ia berfirman:
﴿وإذا قيل لهم أنفقوا مما رزقکم الله قال الذين کفروا للذين آمنوا أنطعم من لو يشاء الله أطعمه إن أنتم إلا في ضلال مبين
﴾
“Dan jika dikatakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Ia akan memberi mereka makan? Kamu adalah dalam kesesatan yang nyata”.[49]
Berkaitan dengan hal di atas pula, Alquran juga
menceritakan sebuah percakapan yang terjadi di antara mereka yang
menggambarkan kepada kita mengapa orang-orang kafir masuk ke neraka. Ia
berfirman: “Apakah yang menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka Saqar?
Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat dan tidak pula memberi makan orang miskin”.[50]
Rasulullah saw bersabda: “Pada hari kiamat kelak,
orang-orang kafir alan ditanya: ‘Seandainya di dunia kamu memiliki emas
seluas bumi, apakah kamu rela untuk memberikannya kepada orang lain?’
Mereka alan mejawab: ‘Ya’. Pada saat itu (ada suara) yang berkata kepada
mereka: ‘Bohong, kamu pernah diminta untuk memberikan sesuatu yang
lebih sedikit dari emas itu kepada orang lain dan menolak untuk
memberikannya”.[51]
Kedua, perubahan sistem hubungan sosial
Ketika kufur melandasi hubungan sosial mereka
dengan fanatisme golongan, pertalian darah, kerabat, warna kulit, tempat
tinggal dan lain sebagainya, sebagaimana yang telah termaktub di dalam
Al Qur’an:
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu kesombongan Jahiliah)...”.[52]
sebaliknya, kita dapati iman membuka wawasan baru dalam membentuk
hubungan sosial antara sesama manusia yang berlandaskan persaudaraan dan
persamaan hak.
Tolok ukur utama keistimewaan salah satu anggota masyarakat itu atas yang lain adalah iman dan takwa. Allah berfirman:
﴿يا أيها الناس إنا خلقناکم من ذکر وأنثی وجعلناکم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أکرمکم عند الله أتقاکم﴾
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenai mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”.[53]
Rasulullah saw dalam kegiatan-kegiatan dakwah
beliau berusaha sekuat tenaga untuk memusnahkan fanatisme dan
budaya-budaya Jahiliah dari hati sahabat-sahabat beliau.
Sebagai bukti atas realitas ini, Salman Al-Farisi
yang telah diangkat oleh imannya dari kedudukan sosial yang rendah
menjadi seorang sahabat utama; sebelumnya ia adalah budak Persia
kemudian ia dimerdekakan setelah beriman dan menjadi salah seorang
anggota Ahlul Bayt a.s., muslimin menghormati dan mengagungkannya.
Hal ini membangkitkan kedengkian sebagian sahabat
yang masih memiliki rasa fanatisme dan budaya-budaya jahiliah, seperti
Umar bin Khattab.
Suatu hari Salman memasuki Mesjid Rasulullah saw.
Hadirin menyambutnya dengan penuh penghormatan lalu mendudukkannya (di
depan masjid), demi menghargai hak, menghormati usia dan keistimewaannya
di sisi Rasulullah dan keluarga beliau a.s.
Tidak lama kemudian Umar juga memasuki masjid dan
melihat kepada Salman seraya berteriak: “Siapakah orang ‘Ajam yang
berani lancang duduk membelakangi bangsa Arab ini?” Pada saat itu,
Rasulullah naik ke atas mimbar seraya berkata: “Sesungguhnya manusia
dari sejak zaman Adam hingga zaman kita sekarang ini bagaikan gigi-gigi
sisir. Tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atas orang ‘Ajam, dan bagi
orang yang berkulit merah atas orang yang berkulil hitam kecuali dengan
takwa”.[54]
Islam telah membekali orang mu’min dengan cara
pandang dan pemikiran yang benar sehingga ia tidak akan terjerumus ke
dalam fanatisme dan membanggakan keturunan, Sebagai bukti realita ini,
ketika bangsa Quraisy berbangga diri di hadapan Salman Al-Farisi, ia
hanya berkata: “Aku telah diciptakan dari air sperma yang kotor dan
menjijikkan. Setelah itu, aku akan menjadi bangkai yang menebarkan bau
menyengat hidung dan kelak aku akan dihadirkan di hari pertimbangan
amal. Jika timbangan amal baikku berat, maka aku akan mulia dan jika
ringan, maka aku akan hina”.[55]
Bukti jelas adanya perubahan sistem hubungan sosial
yang dibawa oleh iman ini, ada individu-individu dari halangan bawah
(sebelum beriman), lalu setelah masuk Islam mereka memiliki kedudukan
yang tinggi sehingga mereka berani mengawini wanita-wanita kelas atas
(di kalangan bangsa mereka).
Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda:
إنما زوجت مولاي زيد بن حارثة زينب بنت جحش وزوجت المقداد ضباعة بنت زبير لتعلموا أن أکرمکم عندالله أحسنکم إيمانا
“Sesungguhnya aku mengawinkan budakku, Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy dan Miqdad dengan Dlaba’ah binti Zubair supaya kamu mengetahui bahwa orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling baik imannya”.[56]
Begitu juga ada sebagian sahabat yang telah
menduduki kedudukan yang mulia dalam Islam, seperti Bilal Al-Habasyi
sebagai muazzin Rasulullah saw dan Usamah bin Zaid, seorang pemuda yang
masih belia kala itu memegang tampuk kepemimpinan tentara beliau yang
sedang menuju Mu’tah demi menghadapi serangan Romawi, dan beliau
menjadikan Abu Bakar, Umar, sahabat-sahabat besar Muhajirin dan Anshar
di bawah kepemimpinannya.
Di samping itu, iman telah berhasil mengubah adat
dan kebiasaan-kebiasaan yang lebih mementingkan harta dan ketenaran yang
berlaku kala itu secara total dengan adat dan kebiasaan-kebiasaan baru
yang berlandaskan kepada takwa, khususnya adat perkawinan yang kala itu
bertolok ukur pada harta dan kedudukan.
Dalam kaitannya dengan ini Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang mengawinkan anakknya dengan orang fasiq, maka ia
telah memutus rahimnya sendiri”.[57]
Seseorang datang kepada Imam Hasan a.s. untuk meminta pendapat beliau tentang perkawinan puterinya. Beliau berkata:
زوجها من رجل تقي، فإنه إن أحبها أکرمها وإن أبغضها لم يظلمها
“Kawinkanlah dengan seorang yang bertakwa. Karena jika ia mencintainya, maka ia akan Memuliakannya, dan jika ia membencinya, maka ia tidak akan menzaliminya”.[58]
Islam juga memerangi kebiasaan-kebiasaan buruk yang
tidak sesuai dengan anjuran kesederhanaan, tidak mendatangkan manfaat
sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan dan penghalang spiritual atau
sosial antara penguasa dan rakyat kecil.
Imam Ali a.s. adalah seorang pemimpin Islam ideal
yang menyukai kesederhanaan dan rasa rendah hati serta membenci suatu
pekerjaan yang dipaksa-paksa.
Ketika beliau menuju ke Syam (Syiria), di tengah
perjalanan beliau bertemu dengan para pembesar kota Al-Anbar. Mereka
turun dari tunggangan mereka dan bersimpuh di hadapan beliau. Beliau
berkata: “Apa yang sedang kalian kerjakan ini?” Mereka menjawab: “Kami
diciptakan untuk mengagungkan para pemimpin kami”. Beliau berkata lagi:
“Demi Allah, para pemimpinmu tidak akan mendapatkan faedah dari
kelakuanmu ini. (Dengan pekerjaan ini), kamu hanya melelahkan dirimu
sendiri di dunia dan akherat”.[59]
Ketiga, iman mendatangkan berkah dan kekuatan
Iman mendorong para pengikutnya untuk selalu maju dan pantang mundur.
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang dua
harinya sama, maka ia rugi, dan barang siapa yang hari esoknya lebih
jelek dari hari sekarangnya, maka ia terlaknat. Barang siapa yang tidak
meneliti kekurangan dirinya, maka ia berada dalam kekurangan, dan barang
siapa yang berada dalam kekurangan, maka mati lebih utama baginya”.
Ali bin Husein a.s. berkata: “Pada suatu hari
ketika Amirul Mu’minin a.s. sedang duduk-duduk bersama sahabat dan
menggerakkan hati mereka untuk berperang, datanglah seorang tua
menghampiri beliau seraya berkata: “Aku datang dari Syam dan aku telah
mendengar keutamaanmu yang tidak terhitung. Aku yakin sebentar lagi kamu
pasti akan dibunuh. Oleh karena itu, ajarkanlah kepadaku apa yang telah
Allah ajarkan kepadamu!” Beliau berkata: “Wahai orang tua. Barang siapa
yang dua harinya sama, maka ia rugi... Dan barang siapa yang berada
dalam kekurangan (yaitu tidak dapat memperoleh manfaat lebih baik dari
hari kemarinnya), maka mati lebih utama baginya”.[60]
Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa
iman selalu mendorong para anggota masyarakat untuk selalu maju ke depan
dan menggunakan kemampuannya demi mencapai kesempurnaan.
Atas dasar ini, efek-efek iman kepada Allah akan terjelmakan dalam lingkungan yang didiami oleh seorang mu’min.
Dengan izin Allah, lingkungan tersebut akan
terpenuhi segala kebaikan dan berkah. Hal ini berpengaruh dalam
bertambahnya kekuatan lingkungan tersebut, baik dalam bidang ekonomi,
sosial dan lain sebagainya.
Di antara bukti-bukti Alquran atas realita ini
adalah perkataan Nabi Daud a.s. kepada masyarakatnya yang kala itu
sedang ditimpa paceklik dahsyat yang disebabkan oleh kekufuran mereka.
Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman :
﴿ويا قوم الستغفروا ربکم ثم توبوا اليه يرسل السماء عليکم مدرارا ويزدکم قوة الی قوتکم ولا تتولوا مجرمين﴾
“Dan (ia berkata): “Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Ia akan menurunkan hujan yang amat deras atasmu dan akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”.[61]
Dari ayat di atas jelaslah, Nabi Hud a.s.
memberitahukan kepada kaumnya bahwa iman akan mendatangkan kebaikan dan
berkah bagi masyarakat dengan turunnya hujan yang deras dari langit dan
basil bumi yang melimpah, yang secara otomatis akan menambah kekuatan
mereka dua kali lipat.
Adapun berpaling dari jalan iman, akan menghapus
berkah yang telah dimiliki oleh sebuah masyarakat yang pada akhirnya
akan menghancurkan masyarakat tersebut.
Dalam kaitannya dengan hal ini Allah berfirman:
“Dan Allah telah memberikan perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya
aman nan tenteram, rezekinya datang melimpah ruah dari segala tempat.
Lalu penduduk negeri tersebut mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh
karena itu, Allah menimpakan kelaparan dan ketakutan kepada mereka
karena perbuatan mereka tersebut. Dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka seorang rasul dari mereka sendiri, lalu mereka mendustakannya.
Oleh karena mereka dimusnahkan oleh siksa, dan mereka adalah orang-orang
zalim”.[62]
Atas dasar ini, kufur adalah faktor utama musnahnya
sebuah masyarakat. Dan Allah telah memusnahkan umat-umat terdahulu yang
kafir melalui macam-macam siksaan.
Allah Ta’ala memperingatkan orang-orang kafir untuk
tidak berbangga diri dengan merasa aman dan tenang terhadap janji ini.
Karena kebiasaan Allah swt adalah menunda turunnya siksa.
Allah berfirman kepada mereka: “Maka apakah kamu
merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian
daratan bersamamu atau Ia meniupkan (angin keras yang menerbangkan)
batu-batu kerikil, kemudian kamu tidak akan menemukan seorang
pelindungpun bagi dirimu? Atau apakah kamu merasa aman jika Allah
mengembalikanmu ke laut sekali lagi, lalu Ia mengirimkan angin topan,
kemudian Ia menenggelamkanmu disebabkan oleh kekafiranmu, dan
selanjutnya kamu tidak akan mendapatkan seorang penolongpun dalam hal
ini terhadap (siksaan) Kami?”.[63]
Dan barang siapa yang membaca (dan menelaah) surat
Hud, ia akan menemukan rentetan cerita kebinasaan yang pernah menimpa
masyarakat-masyarakat kafir, dimulai dari cerita kaum ‘Add hingga
Fir’aun.
Selanjutnya surat di atas menyimpulkan sebuah
pelajaran penting dan berharga bagi kita bahwa kezaliman adalah faktor
utama kehancuran masyarakat-masyarakat tersebut.
Allah berfirman:
﴿وکذلك أخذ ربك إذا أخذ القری وهي ظالمة أن أخذه أليم شديد﴾
“Begitulah azab Tuhanmu apabila Ia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat kelaliman. Sesungguhnya azab-Nya itu sangat pedih lagi keras”.[64]
Sebaliknya iman, berkah dan buahnya tidak hanya
terbatas pada kehidupan si mu’min belaka, bahkan berkah dan buah itu
dapat dinikmati oleh anak cucu dan keturunannya.
Di antara wasiat-wasiat atau pesan-pesan abadi
Rasulullah saw kepada Abu Dzar: “Wahai Abu Dzar, dengan kesalehan
seorang hamba Allah akan memperbaiki (kehidupan) anak dan cucu-cucunya,
dan menjaganya di sisi-Nya. Namanya akan selalu dikenang selama anak
cucunya masih hidup”.[65]
Ringkasnya, iman adalah sebuah tembok pengaman yang
menjaga sebuah masyarakat dari kehancuran, sedang kufur serta yang
sejenisnya, seperti kelaliman adalah sumber kehancuran sebuah mayarakat.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam dan
salawat serta salam-Nya semoga terlimpahkan kepada makhluk terbaik-Nya,
Muhammad dan keluarganya yang suci a.s.
RUJUKAN
1. Al Qur’an
2. Nahjul Balaghah, Shubhi Shaleh, Entesyarat-e Hejrat, Qom.
3. Tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, Mu’assasah Al-A’lami, Beirut 1393 H, cetakan ke 2.
4. Tuhaful ‘Uqul, Ibnu Syu’bah Al-Harani, Mu’assasah An-Nasyrul Islami, Qom, cetakan ke 2.
5. Ushulul Kafi, Al-Kulaini, Dar Sha’b, Beirut 1401 H, cetakan ke 4.
6. Ma’anil Akhbar, ash-Shaduq, Mansyurat Jama’atil Mudarrisin, Qom 1379 H.
7. Kanzul ‘Ummal, Al-Muttaqiy Al-Hindi, Mu’assasah Ar-Risalah 1405 H, cetakan ke 5.
8. Adz-Dzari’ah ila Makarimisy Syari’ah, Ar-Raghib Al-Ishfahani, Maktabah Al-Kulliyat Al-Azhariyah, Mesir 1393 H, cetakan ke 1.
9. At-Tafsir Al-Kabir, Al-Fakhrur Razi, cetakan ke 3.
10. Mufradat Alfadhil Quran, Ar-Raghib Al-Ishfahani, Al-Maktabah Al-Murtadlawiyah.
11. Al-Khishal, Syeikh Shaduq, Mansyurat Jama’atil Mudarrisin, Qom 1403 H.
12. Makarimul Akhlaq, Ath-Thabarsi, Mu’assasah Al-A’lami, Beirut 1392 H, cetakan ke 6.
13. Al-Amali, Syeikh Shaduq, Mu’assasah Al-A’lami, Beirut 1400 H, cetakan ke 5.
14. Al-Irsyad, Syeikh Mufid, Mansyurat Bashirati, Qom.
15. Al-Ikhtishash, Syeikh Mufid, Intisyarat Maktabah Az-Zaura’, Qom 1402 H.
16. Al-Fushulul Mukhtarah minal ‘Uyun wal Mahasin, Sayyid Al-Murtadla, Mansyurat Maktabah Ad-Dawari, Qom 1397 H, cetakan ke 4.
17. Raudlatul Wa’idhin, Al-Fattal An-Naisaburi, Mansyurat Ar-Radli, Qom.
18. Al-Mahajiatul Baidla’, Al-Muhaqqiq Al-Kasyani, Muassasah Al-A’lami, Beirut 1403, cetakan ke 2.
19. Tanbihul Khawathir yang lebih dikenal dengan nama Majmu’ah Warram, Dar Sha’b.
20. Fi Dhilal Ash-Shahifah As-Sajjadiyah, Syeikh Mughniah, Darut Ta’aruf Beirut, cetakan ke 2.
21. Akhlaq Ahlil Bayt as, Sayyid Mahdi ash-Shadr.
22. Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, Dar Iya’it Turats Al-‘Arabi, cetakan ke 2.
23. At-Tauhid, Syeikh Shaduq, Mu’assasah An-Nasyril Islami, Qom.
24. Al-Mukmin. Asy-Syeikh ats-Tsiqah Husein bin Sa’id Al-Kufi Al-Ahwazi, Madrasah Al-Imam Al-Mahdi as, Qom 1404 H
25. Furu’ Al-Kafi, Al-Kulaini, Dar Sha’b, Beirut 1401 H, cetakan ke 4.
26. Raudlur Riyahin fi Hikayaat Ash-Shalihin, Abdullah bin As’ad Al-Yafi’i Al-Yamani, Mu’assasah ‘Imaduddin, Cyprus.
27. Fi Rihab Ahlil Bayt as, Sayyid Muhsen Al-Amin, Darut Ta’aruf Mathbu’at, Beirut 1400 H.
28. Wasail Asy-Syi’ah, Al-Hur Al-‘Amili, Dar Ihya’it Turats Al-‘Arabi, Beirut 1403 H, cetakan ke 5.
29. Al-Manaqib, Al-Kharazmi, Maktabah Nainawa Al-Haditsah, Teheran, Nasher Khosrou.
30. Asy-Syi’ah bainal Haqa’iq wal Awham, Sayyid Muhsin Al-Amin, Muassasah Al-A’lami, cetakan ke 2.
31. Qishashul Quran, Muhammad Ahmad Jadal Maula, Dar Ar-Ra’id Al-‘Arabi, Beirut 1406 H.
32. Majma’ul Bahrain, Syeikh Ath-Thuraihi, Al-Maktabah Al-Murtadlawiyah, Teheran.
33. Al-Amtsal fil Quran, Dr. Mahmud bin Syarif, Dar Maktabah Al-Hilal, Beirut, cetakan ke 5.
34. Tsawabul A’mal wa ‘Iqabul A’mal, Shaduq, Mu’assasah Al-A’lami, Beirut, cetakan ke 4.
35. At-Tafsirul Kasyif. Syeikh Mughniah, Darul ‘Ilm lil Malayin, Beirut, cetakan ke 3.
36. As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, Darul Fikr, Kairo.
37. Man laa Yahdluruhul Faqih, Syeikh Shaduq, Dar Sha’b, Beirut 1981 M.
38. Ushul ‘Ilmin Nafs, Dr. Ahmad ‘Izzat Rajih, Al-Maktabul Mishri Al-Hadits, Alexandria 1970 M, cetakan ke 8.
39. Al-Khathaya fil Islam, ‘Afif Abdul Fattah Thabarah, Darul ‘Ilm lil Malayin, Beirut, cetakan ke 1.
40. Sunan Abi Dawud, Darul Fikr, dikoreksi kembali oleh Muhammad Muhyiddin.
41. Shahih Muslim, Dar Ihya’it Turats Al-‘Arabi, cetakan ke 1.
42. Ash-Shahifah As-Sajjadiyah Al-Jami’ah, Mu’assasah Al-Imam Al-Mahdi, Qom 1411 H, cetakan ke 1.
Daftar Isi
IMAN DAN KUFUR 1
Markaz Risalah 1
PENGANTAR PENERBIT 2
MUKADIMAH 7
PASAL IV 11
PENGARUH IMAN DAN KUFUR ATAS KEHIDUPAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT 11
Pengaruh Iman atas Kehidupan Individu 13
Pengaruh Iman atas Kehidupan Sosial 28
RUJUKAN 49
[1]
As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam 1 : 349, Darul Fikr, Kairo.
[2]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 559, Hikmah : 478.
[3]
Kanzul ‘Ummal 10 : 136/28687.
[4]
Ghurarul Hikam.
[5]
Kanzul ‘Ummal 10 : 145/28740; UshululKafi 1 : 33/8, kitab fadlul ‘ilm.
[6]
Kanzul ‘Ummal 1 : 38/77.
[7]
Ibid. 2 : 120/5766.
[8]
Man la Yahdluruhul Faqih 3: 95, Dar Sha’b, Beirut 1981 M; Ibid. 3 : 99.
[9]
Ushul ‘Ilmin Nafs, Dr. Ahmad Izzat Rajih : 120, Al-Maktab Al-Mishri Al-Hadits, Alexandria 1970 M, cetakan ke 8.
[10]
Surah Ar-Ra’d 13 : 28; Al-An’am 6: 82.
[11]
Tauhid Ash-Shaduq : 338.
[12]
Kanzul ‘Ummal 1 : 347/1564.
[13]
Al-Khathaya fil Islam, Latif Abdul Fattah Thabarah : 22-23, Darul ‘Ilm lil Malayin, Beirut, cetakan ke 1.
[14]
Surah Al-A’raf 7 : 23.
[15]
Surah Al-Qashash 28 : 16.
[16]
Surah Al-Hadid 57 : 4.
[17]
Ushul ‘Ilmin Nafs : 12.
[18]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih: 349, Khotbah: 227.
[19]
Tanbihul Khawathir, Amir Warram 2 : 230.
[20]
Surah Al-Munafiqun 63 : 8; at-Tahdzib, Syeikh Tuhsi 6 : 179; Biharul Anwar 100 : 93.
[21]
Tuhaful ‘Uquul : 234.
[22]
Ushulul Kafi 2 : 86/8.
[23]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 540, Hikmah : 371; Al-Khishal, Shaduq: 420, Bab at-Tis’ah.
[24]
Surah Ali Imran 3 : 134.
[25]
Al-Mahajjah Al-Baidla’ 5: 195.
[26]
At-Tafsir Al-Kasyif, Syeikh Mughniah 6: 265, Darul ‘Ilm lil Malayin, Beirut 1981 M, cetakan ke 2.
[27]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 539, Hikmah : 376.
[28]
Tanbihul Khawathir : 275; Al-Bihar 70 : 321-322.
[29]
Surah Al-Hujurat 49 : 10.
[30]
Surah Ali Imran 3 : 103.
[31]
UshululKafi 2 : 182/17; Kanzul ‘Ummal 142/687.
[32]
Ushulul Kafi 2 : 189; Tsawabul A’mal, Shaduq : 181.
[33]
Ma’anil Akhbar : 255.
[34]
Tsawabul A’mal, Shaduq : 179.
[35]
Ibid. : 166.
[36]
Ushulul Kafi 2 : 203/18, kitab al-iman wal kufr.
[37]
Ibid. 2 : 201-202/8.
[38]
Tuhaful ‘Uquul : 489.
[39]
Tsawabul A’mal : 168.
[40]
Ibid. : 202; Surah Al-Baqarah 2 : 261.
[41]
Ushulul Kafi 2 : 171/7, kitab al-iman wal kufr.
[42]
Ibid. 2 : 170/4.
[43]
Ibid. 2 : 167/9.
[44]
Ibid. 2 : 193/2; Ibid. 2 : 198.
[45]
Ibid. 2 : 197/5; 2 : 192-193/1; 2 : 200/5.
[46]
Al-Irsyad, Syeikh Mufid : 266.
[47]
Tanbihul Khawathir 2 : 85.
[48]
Ushulul Kafi 2 : 173-174/13, kitab al-iman wal kufr.
[49]
Surah Yasiin 36: 47.
[50]
Surah Al-Muddatstsir 74 : 42-44.
[51]
Tanbihul Khawathir 2 : 226.
[52]
Surah Al-Fath 48 : 26.
[53]
Surah Al-Hujurat 49 : 13.
[54]
Al-Ikhtishash, Syeikh Mufid : 341.
[55]
Tanbihul Khawathir 1 : 203.
[56]
Kanzul ‘Ummal 1 : 78/313.
[57]
Makarimul Akhlaq, Thabarsi : 204.
[58]
Makarimul Akhlaq, Thabarsi : 204.
[59]
Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 475, Hikmah : 37.
[60]
Tanbihul Khawathir 2 : 229; Ibid. 2 : 173.
[61]
Surah Hud 11: 52.
[62]
SurahAn-Nahl 16: 112-113.
[63]
Surah Al-Isra’ 17 : 68-69.
[64]
Surah Hud 11 : 102.
[65]
Makarimul Akhlaq, Thabarsi : 456, Mansyurat Al-A’lami, Beirut 1403 H, cetakan ke 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar