KITAB SHAHIFAH AS-SAJJADIYAH MENGANDUNGI 54 DOA IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM
Doa-doa ini diamalkan oleh pengikut syiah Ali, begitupun ditemui riwayat yang mengatakan ada sebagian orang diluar mazhab Ja'fari serta kristen pengamal kitab taurat yang mengamalkan doa-doa ini sebagai penawar jiwa, sebagai kekuatan mental untuk meneruskan kehidupan yang berat, sukar dan penuh dugaan, tidak heran jika kitab ini terkenal sebaris kitab Nahjul Balaghah Imam Ali alaihis salam, berikut senarai judul doa-doanya:
1. Pujian kepada Allah swt
2. Shalawat kepada Rasulullah saw
3. Shalawat kepada Para Malaikat Muqarrabin
4. Doa untuk Para Pengikut Rasulullah saw
5. Doa untuk Diri Imam dan Para Ahli Wilayahnya
6. Doa Pagi dan Sore
7. Doa Ketika menghadapi Cobaan dan Kesulitan
8. Doa Berlindung Dari Akhlak Buruk
9. Doa Memohon Ampunan Allah SWT
10. Doa Memohon Perlindungan Kepada Allah SWT
11. Doa Untuk Hasil Yang Baik
12. Doa Menyampaikan Pengakuan dan Memohon Taubat
13. Doa Menyampaikan Permohonan Kepada Allah SWT
14. Doa Ketika Dimusuhi Orang Zalim
15. Doa Ketika Sakit
16. Doa Memohon Penghapusan Dosa
17. Doa Untuk Berlindung Dari Tipu Daya Setan
18. Doa Supaya Terhindar dari Bencana
19. Doa Memohon Hujan
20. Doa Untuk Memperoleh Akhlak Mulia
21. Doa Ketika Berduka
22. Doa Ketika Dalam Kesulitan
23. Doa Memohon Kesejahteraan
24. Doa Untuk Kedua Orang-tua
25. Doa Untuk Anak
26. Doa Untuk Tetangga dan Sahabat
27. Doa Untuk Para Pejuang
28. Doa Ketika Berserah Diri Kepada Allah SWT
29. Doa Ketika Disempitkan Rizki
30. Doa Untuk Membayar Hutang
31. Doa Taubat
32. Doa Sesudah Shalat Malam
33. Doa Dalam Istikharah
34. Doa Ketika Mendapat Ujian
35. Doa Saat Melihat Pecinta Dunia
36. Doa Ketika Melihat Awan, Kilat dan Mendengar Petir
37. Doa Mengakui Kekurangan dalam Bersyukur Kepada Allah SWT
38. Doa Memohon Maaf Atas Perbuatan Buruk Pada Manusia dan Kurang Bisa Memenuhi Hak-hak Mereka
39. Doa Memohon Ampunan dan Kasih Sayang Allah SWT
40. Doa Ketika Mendengar Berita Kematian atau Mengingat Mati
41. Doa Memohon Ditutupi Aib dan Perlindungan
42. Doa Ketika Selesai Membaca Al-Quran
43. Doa Ketikka Melihat Bulan Sabit
44. Doa Awal Bulan Ramadhan
45. Doa Berpisah Dengan Bulan Ramadhan
46. Doa Pada Idul Fitri dan Hari Jum'at
47. Doa Hari Arafahh (9 Dzulhijjah)
48. Doa Pada Idul Adha dan Hari Ju'mat
49. Doa Untuk Melawan Tipuan Musuh dan Menolak Kejahatan Mereka
50. Doa Dalam Ketakutan Kepada Allah SWT
51. Doa Ketika Merendah Dihadapan Allah SWT
52. Doa Ketika Merintih Kepada Allah SWT
53. Doa Ketika Menghinakan Diri Dihadapan Allah SWT
54. Doa Untuk Menghilangkan Kecemasan
Risalah Huquq Imam Sajjad as
Pengantar
Manusia adalah mutiara penciptaan dan kebanggaan
alam semesta. Keberadaan manusia telah membuat jagad raya menjadi indah
dan penuh arti. Setiap sudut bumi menjadi terang dengan pancaran cahaya
akal dan logika manusia dan dunia ini menjadi gelap jika pelita akal
dipadamkan. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia telah menampilkan
ciptaan dengan indah. Hal ini karena hubungan manusia dengan alam
semesta ibarat batu permata yang diikat di cincin. Keindahan dan
keagungan batu permata ini bersumber dari nama dan sifat-sifat Sang
Pencipta yang terukir padanya dan juga ruh Ilahi yang ditiupkan ke jasad
mereka. Dalam surat al-Baqarah ayat 31, Allah Swt berfirman, “Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman; “Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Manusia diciptakan dari tanah liat dan dari
ketiadaan melangkah ke alam wujud berkat ruh Tuhan. Karena kemuliaan
manusia, para Malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Allah Swt
dalam al-Quran membicarakan tentang keagungan manusia dan menampakkan
keindahan dan nila-nilai yang mereka miliki. Meski demikian, Allah Swt
juga mengingatkan orang-orang yang berbuat maksiat dan tidak bersyukur.
Oleh karena itu, Allah Swt memerintahkan Rasul-Nya untuk membantu
manusia mengenal Sang Pencipta dan meniti jalan kesempurnaan sehingga
mereka tidak tersesat dan tidak terampas hak-haknya.
Manusia harus memahami bahwa mereka mampu menggapai
kesempurnaan dan menjadi khalifah Allah di muka bumi dan menghiasi alam
ini dengan keindahan dan kesucian. Masalah ini akan terwujud jika
manusia mengenal hak dan kebutuhannya dalam menapak jalan kesempurnaan
dan kebahagiaan. Untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan, manusia harus
menyusun program dan langkah-langkah yang diperlukan. Mereka akan sampai
pada puncak kemuliaan dengan pengetahuan dan ilmu. Ini adalah logika
al-Quran bahwa manusia tidak diciptakan untuk kesia-siaan. Dalam surat
al-Mu’minun ayat 115, Allah Swt berfirman, “Maka apakah kamu mengira
bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan
bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Salah satu kriteria khusus manusia adalah
kemampuannya menciptakan dunianya sendiri. Dunia mereka adalah apa yang
terpahat dalam lembaran hati kecilnya. Jika mereka menghiasi batin
sucinya dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka mereka akan memiliki
dunia yang indah dan elok dipandang. Namun jika mereka mengotori diri
dengan berbagai kehinaan, maka mereka akan membangun dunia yang penuh
dengan penyimpangan dan kotoran. Oleh karena itu, masyarakat ideal dan
teladan tidak mungkin dapat dibangun selama kemanusiaan insan belum
mencapai puncaknya.
Langkah-langkah pertama yang harus diambil oleh
manusia adalah menghindari dosa dan tidak mengikuti dorongan hawa nafsu
sehingga mereka bisa sampai pada posisi yang aman dan meyakinkan.
Mutiara kemanusiaan harus dikembangkan dalam diri sehingga dapat
menerima pesan-pesan langit dan kandungan wahyu. Hal ini tidak akan
terwujud kecuali manusia mengenal dirinya dan Tuhannya dan memiliki
tujuan hidup.
Pesan para utusan Allah Swt tentang menjaga
kemuliaan dan hak-haknya akan menyadarkan manusia sehingga mereka
memiliki kehidupan yang bahagia dan mulia. Para Imam dan Ahlul Bait Nabi
as telah menunjukkan manusia tata cara dan ritual untuk menggapai
keberuntungan. Setiap Imam memiliki metode khusus dalam membimbing umat
manusia. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as, putra Imam Husein as,
selain memaparkan makrifat dan metode kehidupan dalam bentuk doa dan
munajat, juga mengenalkan manusia dengan hak-haknya lewat sebuah buku
panduan yang bernama “Risalah Huquq.”
Risalah itu memuat 15 hak yang berhubungan dengan
manusia. Hak-hak tersebut merupakan hak alamiah manusia dan tidak ada
pihak atau aturan apapun yang dapat merampas hak-hak itu dari manusia.
Manusia dapat menggapai kehidupan yang sehat dan mulia dengan
mempelajari dan menjaga hak-hak tersebut. Risalah Huquq Imam Sajjad as
membuka pembahasannya dengan sebuah kalimat yang ditujukan kepada
manusia, Imam Zainal Abidin as berkata, “Ketahuilah bahwa Allah Swt
telah menetapkan sejumlah hak atasmu. Setiap gerakan dan diammu, setiap
anggota badan yang engkau pergunakan dan setiap fasilitas yang engkau
gunakan pakai dan lain-lain, semuanya memiliki hak atas dirimu...Hak
Allah Swt yang paling besar atasmu adalah kewajibanmu menghormati
hak-hakNya. Hak-hak inilah adalah dasar dan akar bagi seluruh hak
lainnya. Dan apa yang diwajibkan Allah Swt atas kalian adalah hak-hak
kalian atas diri kalian sendiri, dan hak-hak itu meliputi diri kalian
dari kepala hingga kaki.”
Hak Allah
Kata “Hak” memiliki beberapa arti dan salah satu
pengertiannya adalah keistimewaan dan ketentuan yang ditetapkan bagi
seseorang yang sekaligus menuntut orang lain untuk menjaga dan
menghormatinya. Kriteria paling penting dari hak manusia adalah
kepemilikan individu yang dibawa sejak lahir dan bukan pemberian orang
lain. Setiap individu dengan sendirinya mengantongi segudang hak dan
pihak lain wajib menjaga dan menghormati hak-hak tersebut. Menurut Imam
Sajjad as, hak-hak yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia meliputi
seluruh kehidupan mereka, sebab semua yang dimiliki manusia berasal
dari Allah Swt. Kemampuan kita untuk bergerak, berbicara, melihat,
mendengar, atau membangun komunikasi dengan orang-orang sekitar, semua
berasal dari pemberian dan anugerah Tuhan. Oleh karena itu, kita
memiliki kewajiban untuk menjaga samudera nikmat yang dilimpahkan kepada
kita.
Dari sisi kedudukan, seluruh hak yang dimiliki
manusia tidak berada pada satu tingkatan, tapi masing-masing memiliki
posisi tersendiri. Karena itu, Imam Sajjad as menyebut “Hak Allah Swt”
sebagai hak yang paling besar. Berdasarkan konsep ini, individu yang
telah merampas hak orang lain, selain meminta maaf kepada pemilik hak,
juga harus memohon ampunan kepada Allah Swt. Misalnya, orang yang
mencela atau menuduh sembarang terhadap orang lain, ia harus meminta
maaf kepada orang yang bersangkutan karena telah menjatuhkan harga
dirinya. Namun pemberian maaf semata tidak akan menyelesaikan masalah.
Karena ia telah melecehkan hak sesama dan melanggar perintah Tuhan, maka
ia juga harus memohon maaf kepada Allah Swt.
Lewat kajian mendalam, Imam Sajjad as menilai
penyebab munculnya penyimpangan untuk mencegah manusia dari kesalahan
mengikuti hawa nafsu, menzalimi dan mencela orang lain. Oleh karena itu,
menistakan hak-hak orang lain sama dengan melanggar hak-hak Tuhan.
Namun perlu diketahui bahwa manusia baru dapat menunaikan kewajiban
Allah Swt ketika ia mengenal kebesaran dan keagungan-Nya.
Mustahil dapat memahami manusia dengan baik dan
memilah jalan kesempurnaan dari penyimpangan tanpa terlebih dahulu
mengenal Sang Pencipta. Allah Swt berfirman bahwa Ia lebih dekat kepada
manusia ketimbang dirinya sendiri. Dalam surat Qaaf ayat 16, Allah Swt
berfirman, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” Dalam
surat al-Anfaal ayat 24, Allah Swt juga berfirman, “Ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah ibarat dinding antara manusia dan hatinya.” Sang
Pencipta Maha Mengetahui segala kebutuhan hamba-Nya. Dia juga mengetahui
jalan yang akan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan atau jalan
yang akan menjerumuskannya ke dalam kehinaan.
Terkadang manusia menistakan Tuhan dan ajaran agama
serta melabuhkan dirinya dalam amukan badai kehidupan. Namun langkah
dan usahanya tidak akan disertai ketenangan dan kepuasaan karena tidak
memiliki sandaran yang kuat. Manusia modern merupakan contoh nyata dalam
masalah ini. Manusia telah mencicipi hidup tanpa agama selama
berabad-abad dan memusatkan perhatiannya kepada kapitalisme dan
sekularisme. Kini mereka mulai memahami realita ini bahwa jalan
keselamatan adalah kembali kepada ajaran agama. Jalan keselamatan adalah
mendengar kalam Ilahi tentang kedudukan manusia dan mengikutsertakan
Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah menyebut “Hak Allah Swt” sebagai hak yang
paling penting, Imam Sajjad as mengingatkan bahwa seluruh anggota badan
manusia seperti kepala, mata, dan lain-lain memiliki hak atas diri
manusia. Jika manusia tidak menjaga hak-haknya, maka ia tidak akan
pernah bisa menjaga hak-hak orang lain. Sebelum Imam Sajjad as
mengundang umat manusia untuk menyimak semua hak-hak yang berhubungan
dengan mereka, terlebih dahulu beliau menyebutkan daftar orang-orang
yang memiliki hak atas setiap manusia seperti ibu, ayah, keluarga,
tetangga, guru, saudara, dan masyarakat umum.
Imam Sajjad as berkata, “Sungguh beruntung
orang-orang yang mendapat pertolongan dan karunia Allah Swt sehingga
dapat menunaikan setiap hak yang diwajibkan atasnya.”
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 1)
Hak-hak manusia menurut Islam tidak hanya menyoroti
masalah hak sosial dan kemanusiaan seorang insan, tapi juga mengangkat
masalah kewajiban (taklif) dan tanggung jawab. Isu-isu ini termasuk
masalah yang kurang mendapat perhatian dalam kajian hak asasi manusia
produk Barat. Kemuliaan manusia menurut definisi Islam tidak hanya
terletak pada kepemilikan hak-hak maksimal, tapi kebesaran manusia
terletak pada penerimaan tanggung jawab dan pelaksanaan komitmen dan
janji-janjinya. Sebab tanggung jawab dan tugas yang sesuai dengan
kemampuan dan kapasitas manusia memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan dan kesempurnaan manusia itu sendiri.
Di era kekinian, para sosiolog dan pakar hukum
telah banyak mengetengahkan masalah hak-hak manusia dalam berbagai
kesempatan, namun kita sama sekali tidak menemukan kajian tentang hak
untuk mengembangkan dan meningkatkan spiritual manusia dalam
dokumen-dokumen Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal manusia yang memiliki
kemampuan dalam bidang sains dan juga telah mencapai kemajuan dalam
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dapat dan layak untuk mencapai
puncak kesempurnaan dan keutamaan dalam bidang spiritual.
Imam Sajjad as ketika menjelaskan hak pertama yang
ada pada pundak manusia, mengatakan, “Setelah hak Allah Swt sebagai hak
yang paling besar, engkau adalah semata-mata hamba-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dalam menjalankan ibadah dan penghambaan. Saat engkau
telah menjadi hamba yang ikhlas dan taat, maka Allah Swt akan
mencukupkan dunia dan akhiratmu dan Dia akan menjaga hal-hal yang engkau
cintai dari dunia dan akhirat ini untukmu.”
Jelas bahwa hak-hak Allah Swt atas hamba-Nya lebih
besar dari yang kita gambarkan. Dalam perspektif al-Quran, nikmat Tuhan
tidak dapat dikalkulasi dan juga manusia tidak akan mampu menunaikan
karunia pemberian Allah Swt. Seorang penyair mengatakan, “Aku tidak
mampu bertahan tanpa Engkau, Karunia-Mu tidak mampu aku hitung, Jika
setiap helai bulu di tubuhku menjadi lisan, Aku tetap tidak mampu
mensyukuri satu nikmat dari seribu nikmat yang Engkau anugerahkan.”
Karena itu, Imam Sajjad as menganggap sebagian
hak-hak Allah Swt lebih utama dari seluruh hak lain dan kewajiban
terbesar manusia terhadap Sang Pencipta adalah beribadah dan tidak
menyekutukan-Nya. Syirik dan politeisme ibarat sarang laba-laba yang
rapuh dan tidak memiliki pondasi dan orang-orang yang menyembah selain
Allah Swt, pada dasarnya telah bersandar pada tumpuan yang rapuh dan
keropos. Dalam pandangan al-Quran, barang siapa yang menyekutukan Allah
Swt, maka ia telah kehilangan sandaran dan basis yang aman dan tengah
melangkah cepat ke arah kehancuran.
Orang seperti ini seakan-akan tengah terjun bebas
dari langit dan disambar oleh burung-burung di tengah perjalanan sebagai
santapan mereka atau badai menerbangkannya ke tempat terasing. Dalam
surat al-Haj ayat 31, Allah Swt berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan
sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu
disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
Karena itu, orang musyrik akan menanggung kerugian
yang besar. Akan tetapi tauhid dan penghambaan adalah pembersih hati
dari kelalaian dan kebodohan. Tauhid mengajak kita memuji Sang Pencipta
dengan lisan dan hati dan menyingkirkan jauh-jauh rasa cinta kepada
selain Allah Swt dari lubuk hati kita. Jangan sampai kita lalai dari
mengingat Allah Swt dan juga tidak mencari selain-Nya dalam bertindak
dan beramal.
Hamba Allah Swt yang hakiki meyakini bahwa Sang
Pencipta tidak ada sekutu dan serupa yang menyamai-Nya. Semua makhluk
membutuhkan-Nya dan Dia tidak butuh terhadap segala sesuatu. Ia Maha
Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ke arah manapun kita
menatap, hanya wajah-Nya yang kita saksikan. Dunia adalah ciptaan-Nya
dan berdiri kokoh atas kehendak-Nya.
Pada dasarnya Tuhan yang diperkenalkan oleh Islam
adalah Sang Pencipta Yang Maha Pengatur dan Maha Bijaksana yang telah
menciptakan cinta dan semangat dalam diri manusia. Keyakinan terhadap
tauhid akan mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan derajat yang
tinggi. Untuk itu, sangat layak Dia menjadi tumpuan dan harapan
manusia. Oleh sebab itu, seruan pertama para Nabi terhadap umatnya
adalah mengesakan Tuhan dan mengucap kalimat syahadat.
Pada masa sekarang, para ilmuan juga menyinggung
poin tersebut, yaitu fitrah bertuhan dan kecenderungan kepada hal-hal
yang sakral telah tertanam dalam naluri manusia. Jika manusia tidak
menemukan Tuhan Yang Maha Esa, maka mereka akan mencari objek lain untuk
disembah dan diangungkan. Imam Sajjad as mengingatkan bahwa rasa haus
pengembaraan manusia mencari hakikat akan terobati ketika ia menemukan
Tuhan dan melakukan penghambaan dengan tulus di hadapan-Nya. Saat itu,
Sang Pencipta juga akan menjamin dunia dan akhirat hamba yang tulus tadi
dan menjaganya dari kejelekan setan dan godaan hawa nafsu yang merusak.
Namun jika manusia lalai terhadap Tuhan Yang Maha
Kuasa, pada dasarnya ia telah menghancurkan hakikat kemanusiaannya dan
mendidik selain dirinya. Menyangkut masalah ini, Ustad Syahid Murtadha
Muthahhari mengatakan, “Manusia yang mengira hakikat dirinya hanya
terbatas pada jasad dan apa yang dikerjakan hanya untuk kepentingan
raganya, maka ia telah melupakan dirinya sendiri dan menganggap orang
lain sebagai dirinya.”
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maulawi, “Ia
ibarat seorang yang memiliki sepetak tanah dan dengan kerja keras, ia
membangun rumah di atas tanah tersebut dan menghiasinya dengan permadani
dan kain hias, namun pada saat ia ingin menempati rumah itu, tiba-tiba
ia sadar telah membangun rumah di atas lahan milik orang lain, sementara
tanah miliknya dibiarkan kosong dan tidak terawat.”
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 2)
Salah satu syarat kesuksesan manusia adalah
pengenalan terhadap diri sendiri (mengenal diri). Seorang ilmuan besar
Islam, Imam Muhammad al-Ghazali mengatakan, “Tidak ada yang lebih dekat
dengan engkau selain dirimu sendiri, jika engkau tidak mengenal dirimu,
bagaimana engkau akan mengenal orang lain?” Pengenalan diri adalah
sebuah proses mengenali seluruh dimensi wujud kita dan kapasitas yang
kita miliki. Pengenalan diri seperti; “dari mana kita datang, untuk apa
kita datang, dan akan kemana kita melangkah”, adalah kunci mengenal Zat
Yang Maha Esa dan Maha Bijaksana. Imam Ali as berkata, “Barangsiapa yang
mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.”
Manusia dengan kemampuan luar biasanya, memiliki
dimensi materi (lahir) yang disebut dengan raga dan juga dimensi non
materi (batin) yang dinamakan jiwa dan ruh. Hakikat manusia terletak
pada ruh dan jiwanya. Jika ia bersih dan suci, maka akalnya juga akan
tercerahkan dan mampu membedakan antara jalan yang benar dengan yang
keliru. Dengan kata lain, kebahagiaan dan kesempurnaan luhur manusia
bergantung pada program pensucian dan pencerahan jiwa, sebab jasad
manusia lebih cenderung mengikuti hawa nafsu. Sebagai contoh, indera
penglihatan kita akan menelusuri sebuah pemandangan setelah menerima
dorongan hawa nafsu. Karena itu, manusia harus berupaya mengenal jiwanya
dan menjaganya dari polusi berupa noda dan dosa sehingga tidak
menyimpang dari jalan yang benar.
Menurut para ilmuan, saat ini psikoanalisis dan
pengenalan diri merupakan metode penting untuk memahami
penyakit-penyakit jiwa dan mental. Imam Ali as juga menganjurkan kita
untuk menyingkap berbagai macam penyakit jiwa dan mental lewat metode
pengenalan diri. Imam Ali as berkata, “Para pemikir wajib menelusuri dan
menyelami jiwanya dan harus mengenal penyakit-penyakit jiwa dan ruhnya
dalam konteks iman, akidah, akhlak, dan tatakrama. Selanjutnya, mereka
harus merekam dalam benaknya atau menulis dalam catatannya
penyakit-penyakit tersebut. Kemudian mereka harus mengambil langkah
serius untuk menghilangkan penyakit jiwa dan ruh itu.”
Secara umum, ketika para kekasih dan wali Allah Swt
ingin mendorong manusia untuk meraih nilai-nilai luhur, terlebih dahulu
mereka menyadarkan manusia pada batinnya sehingga mampu menyingkap
hakikat wujudnya. Manusia yang menyelami batinnya dengan teliti dan
mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dimensi internalnya, maka ia
akan menemukan kedudukannya di dunia ini. Manusia akan memahami bahwa
kehinaan, kebohongan, nifak dan kerusakan tidak selaras dengan esensi
wujudnya. Ia adalah sosok yang bebas dan punya ikhtiyar untuk menentukan
masa depannya dan menjaga keasrian dunia.
Manusia adalah ciptaan Tuhan dan keistimewaannya
tidak diperoleh secara kebetulan sehingga bisa bersikap arogan dan
mengeksploitasi segala yang diinginkan. Dari sisi lain, kapasitas dan
kedudukan manusia juga tidak mengizinkannya untuk meremehkan atau
menganggap rendah dirinya sendiri dan atau membiarkan orang-orang lain
menginjak-injak hak dan harga dirinya.
Pengenalan diri akan memberikan arti dan makna lain
bagi kehidupan manusia dan akan membuka peluang untuk meraih kebaikan
dan keutamaan moral. Dalam kitab suci al-Quran, Allah Swt menyinggung
masalah tersebut dan menyatakan bahwa jiwa manusia diciptakan dengan
baik dan juga telah diilhami dengan kecenderungan untuk berbuat baik dan
taqwa, namun keberuntungan hanya milik orang-orang yang mensucikan
diri.
Pengenalan diri dan pensucian jiwa (Tazkiyyatun
Nafs) memiliki beragam cara. Salah satu metode penting dalam masalah ini
adalah perenungan atau kontemplasi (tafakkur) dan menyendiri. Manusia
perlu melakukan instrospeksi diri dan mengevaluasi setiap tindakan yang
telah dilakukan.
Menyangkut masalah ini, para pakar psikologi
menyarankan kita untuk berdiam diri di sebuh ruangan yang jauh dari
gangguan dan kebisingan guna memusatkan pikiran. Kita dapat mengubah
kepribadian kita dengan cara mengeveluasi pekerjaan sehari-hari. Selain
itu, dengan mewujudkan energi positif dalam diri sendiri, kita akan
mampu memilih nilai-nilai dan tujuan-tujuan baru bagi kehidupan kita.
Ketika Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as ditanya
tentang orang yang paling penting dan memiliki karakter sempurna di
tengah seluruh masyarakat, Imam menjawab, “Orang yang tidak menilai
dunia sama dengan jiwanya.” Artinya ia adalah orang menghargai kemuliaan
dan harga diri. Dan jika seluruh isi dunia berada di salah satu
timbangan, sementara kemuliaan dan harga diri berada di bagian lain,
maka ia tidak akan bersedia melakukan transaksi dalam masalah ini.
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 3)
Dalam diri manusia tertanam potensi kebahagiaan dan
kesengsaraan. Barang siapa yang menjaga jiwanya dari bisikan hawa nafsu
dan berbagai macam godaan, maka ia telah mempermudah langkahnya menuju
jalan kesempurnaan dan akan menemukan kebenaran dan hakikat.
Saat itu, cahaya kebenaran akan menerangi setiap
sisi manusia, menghadirkan kebahagiaan dan mensucikan jiwa dan raga dari
debu-debu dosa dan kotoran. Kebenaran akan memusnahkan rasa iri,
dengki, dan seluruh penyakit jiwa dan moral dari masyarakat. Manusia
yang haus kebenaran tidak akan pernah merasa puas kecuali setelah
mengenal dirinya dan melangkah di jalan yang benar.
Manusia yang mengabaikan sifat-sifat batinnya akan
terseret ke dalam lembah kesesatan, sebab polusi dan gangguan jiwa dan
batin sangat merusak diri manusia. Oleh karena itu, kebahagiaan manusia
tidak mungkin terwujud tanpa kesehatan dan kesucian jiwa dan
keseimbangan potensi-potensi jiwa. Hawa nafsu berupa ketamakan, amarah,
iri dan seluruh kecenderungan-kecenderungan negatif lain harus dibenahi.
Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as dalam kitab
“Risalatul Huquq” menilai langkah menyucikan jiwa atau tazkiyatun-nafs
sebagai tugas manusia. Setelah menjelaskan hak dan kewajiban terhadap
Allah Swt, Imam Sajjad as menyebutkan kewajiban kedua manusia yaitu
kewajiban atas jiwanya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Kewajibanmu
atas dirimu adalah memanfaatkan seluruh potensi dan kemampuan yang
diberikan Allah Swt dan melangkah di jalan ketaatan. Karena itu,
tunaikanlah hak lisanmu, pendengaranmu, penglihatanmu, kedua tanganmu,
kedua kakimu, dan...Mintalah pertolongan Allah Swt dalam menunaikan
hak-hak tersebut dan bertawakkallah kepada-Nya.”
Kecenderungan dan daya tarik akan menciptakan
sebuah ikatan dan ketertarikan antara manusia dengan lingkungan sekitar.
Manusia akan terdorong untuk mendekati obyek luar tadi. Manusia yang
tunduk di hadapan tuntutan hawa nafsunya, maka ia telah menyerahkan
nasibnya kepada sebuah kekuatan luar. Sebuah kekuatan yang akan menyeret
manusia ke segala arah. Namun di sisi lain, menguasai hawa nafsu dan
membentuk diri akan membangun kepribadian manusia. Ketika manusia mampu
menguasai hawa nafsunya dengan tekad dan semangat, maka ia dapat
membebaskan diri dari segala macam bahaya. Menguasai diri dan hawa nafsu
merupakan tujuan utama pendidikan agama khususnya Islam.
Imam Sajjad as menilai langkah mensucikan diri atau
tazkiyatun-nafs sebagai sebuah hak dan kewajiban manusia sehingga
mereka tidak terpesona oleh berbagai hiasan dunia sekaligus dapat
menjaga kemuliaan dirinya. Karena itu, manusia harus menemukan kebesaran
dan keagungan dirinya dan perlu berpikir tentang esensi wujudnya.
Imam Ali bin Abi Thalib as dalam sebuah untaian
kata yang indah berkata, “Wahai manusia, penawar penyakit pada dirimu
ada dalam dirimu sendiri. Engkau tidak melihat penawar itu. Rasa sakitmu
juga berasal dari dirimu sendiri tapi engkau tidak menyadarinya. Engkau
ibarat buku alam semesta dan jika engkau menyelami dirimu dengan
teliti, maka sebagian besar hakikat akan nampak. Apakah engkau mengira
bahwa dirimu hanya sebuah benda kecil di alam semesta, padahal dalam
dirimu terdapat sebuah alam besar.”
Manusia perlu mengenal hakikat eksistensi dirinya
dan berjalan pada jalur yang benar hingga bisa sampai pada tujuan
penciptaan, yaitu ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Dalam surat
adz-Dzaariyaat ayat 56, Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Melihat tujuan penciptaan yang dipaparkan al-Quran,
Imam Sajjad as menilai hak jiwa manusia yang paling besar adalah
mematuhi dan menghambakan diri kepada Allah Swt dan tujuan luhur ini
tidak boleh dilupakan begitu saja, terlebih badai kehidupan sekarang
membuat manusia lalai untuk memikirkan tujuan penciptaan.
Paham-paham berbahaya berupa pemikiran dan budaya
telah mengepung umat manusia dan kita selalu menyaksikan
peristiwa-peristiwa baru yang lahir dari “Manusia Berperadaban”. Imam
Sajjad as yakin bahwa orang-orang yang melangkah meraih tujuan
penciptaan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, ia termasuk golongan yang
menunaikan kewajiban atas dirinya. Manusia yang memahami penghambaan dan
keagungan Sang Pencipta akan sampai pada kebesaran dan saat itulah ia
akan mencapai derajat yang lebih tinggi dibanding makhluk-makhluk yang
lain. Sementara orang yang melalaikan tujuan penciptaan, maka ia telah
mendahulukan penghambaan kepada selain Tuhan dan melecehkan hakikat
kemanusiaannya.
Kebergantungan terhadap pangkat, jabatan, dan harta
benda dan bersandar pada kekuatan-kekuatan besar termasuk contoh
penyembahan kepada selain Allah Swt. Pada dasarnya, manusia yang
menyembah selain Allah Swt tidak mengenal hak dan kewajibannya. Manusia
perlu menggunakan berbagai sarana pendukung guna menunaikan
kewajiban-kewajibannya termasuk anggota badan yang ia miliki. Allah Swt
dengan menciptakan dua tangan, kaki, penglihatan dan lain-lain,
bermaksud mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan membebaskannya
dari berbagai belenggu duniawi.
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 4)
Konsep pembentukan diri dan mensucikan jiwa
memainkan peran penting dalam kebahagiaan manusia. Karena itu seluruh
utusan Allah Swt menempatkan masalah pensucian jiwa dan pendidikan
generasi umat manusia sebagai misi utama mereka. Para nabi as berupaya
mendidik manusia untuk mencapai derajat kesempurnaan dan derajat yang
tinggi. Keberadaan naluri dan hawa nafsu dalam diri manusia juga sebagai
kelaziman hidup mereka dan dipandang perlu demi meniti jalan
kesempurnaan. Namun jika naluri ini keluar dari batas-batas kewajaran
dan lepas dari kontrol, maka ia akan menguasai dan menentukan
langkah-langkah pemiliknya.
Al-Quran menilai fenomena ini sebagai bentuk
penghambaan terhadap hawa nafsu dan sumber kelalaian dan kekufuran.
Sebab dimana saja hawa nafsu berkuasa, maka agama dan akal akan
terpinggirkan.
Menurut perspektif al-Quran, manusia yang dibekali
naluri berada di persimpangan jalan dan harus memilih antara jalan yang
lurus dengan jalan yang menyimpang. Dari satu sisi, ada daya tarik
positif yang mengarahkan manusia kepada kesucian dan kesempurnaan. Daya
tarik lain berupa kecenderungan negatif dan godaan syaitan yang akan
menyeret manusia ke lembah kehinaan dan materialis. Kedua potensi utama
ini ada dalam diri manusia.
Kitab suci al-Quran menilai nafs memiliki beberapa
tingkatan dan sifat-sifat tertentu. Ada tiga jenis nafs sebagaimana yang
digambarkan oleh Al-Quran, salah satunya adalah “al-Nafs al-Ammarah”.
Nafsu jenis ini akan mendorong manusia pada kejelekan dan kejehatan.
Dalam surat Yusuf ayat 53, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku.”
Al-Nafs al-Ammarah terdapat dalam setiap diri
manusia dan terkadang menguasai perilaku mereka, tapi kadang-kadang
manusia yang mengalahkan nafsu itu. Jika keinginan dan nafsu manusia
tidak disalurkan melalui aturan tertentu dan dibiarkan lepas tanpa
kontrol, maka setan dan godaannya akan menancapkan kakinya di lubuk hati
dan jiwa manusia dan merampas tali kekang pikiran dan kehendak
manusia.
Jenis lain nafsu manusia yang disinggung al-Quran
adalah “al-Nafs al-Lawwamah” atau jiwa yang mencela dirinya. Al-Nafs
al-Lawwamah akan mereaksi setiap perbuatan menyimpang dan mencela
manusia karena melakukan perbuatan jelek. Nafsu seperti ini juga
terdapat dalam diri setiap manusia dan mencegahnya agar tidak melakukan
perbuatan kotor. Nafsu jenis ini memiliki pengaruh penting terhadap
nasib manusia hingga al-Quran pun dalam salah satu suratnya bersumpah
dengan al-Nafs al-Lawwamah.
Al-Nafs al-Lawwamah akan memperkuat keyakinan
manusia tentang Sang Pencipta dan Hari Kiamat. Nafsu ini juga
memperingatkan manusia terhadap perilaku keliru dan menyimpang.
Karenanya, al-Nafs al-Lawwamah berperan memperbaiki diri manusia
khususnya bagi orang-orang yang yakin bahwa Allah Swt selalu mengawasi
perbuatan mereka.
Jenis lain nafsu manusia versi al-Quran adalah
al-Nafs al-Mutmainnah. Pada tahap ini, manusia sudah terlepas dari
barbagai keraguan yang bersumber dari al-Nafs al-Ammarah dan membuatnya
tenang dan damai karena punya hubungan dengan Allah Swt. Dalam al-Quran
ayat 27-30 surat al-Farj, Allah Swt berfirman, “Hai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam
surga-Ku.”
Al-Nafs al-Mutmainnah akan menghadirkan sebuah
ketenangan yang didapat dari keimanan yang tulus dan murni. Orang-orang
yang berjiwa tenang yakin terhadap jalan yang dipilihnya dan juga
meyakini janji-janji Tuhan. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang
yang menaati perintah Sang Pencipta dan selalu bersikap tenang dalam
menghadapi badai kehidupan, sebab mereka menyandarkan diri kepada
sandaran yang sangat meyakinkan.
Secara umum dapat kita katakan bahwa benih-benih
petunjuk dan kesempurnaan begitu juga dengan dekadensi dan kemerosotan
terdapat dalam diri manusia. Manusia harus mengambil manfaat dari
sumber-sumber petunjuk hingga terbebas dari kesesatan dan keterpurukan.
Imam Sajjad as dalam kitab “Risalatul Huquq”
memperingatkan manusia untuk menjaga dan menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Imam as juga mengingatkan manusia untuk
menunaikan hak-hak anggota badan hingga dapat meraih keberuntungan dan
kebahagiaan.
Hak Lisan (Bagian 1)
Setelah membahas bersama tentang tiga jenis nafsu
yang terdapat dalam diri manusia yaitu, al-Nafs al-Ammarah, al-Nafs
al-Lawwamah, dan al-Nafs al-Muthmainnah. Kini kita akan mempelajari
lebih jauh hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh manusia terhadap
anggota badannya.
Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as berkata, “Hak
dan kewajiban lisan atas engkau adalah mencegahnya dari ucapan kotor dan
membiasakannya dengan perkataan yang baik dan paksalah ia untuk
berbicara dengan baik dan sopan. Hindarkan lisanmu dari banyak ucapan
yang tidak berguna dengan membiasakan berdiam kecuali ketika diperlukan
dan berguna bagi dunia dan akhirat.”
Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian
lantai mulut sebagai sarana untuk mengecap rasa makanan dan berbicara.
Lidah dikenal sebagai indera pengecap untuk mencicipi berbagai rasa
seperti, manis, pahit, asin, asam, dan lainnya. Meski lidah memiliki
multi fungsi, namun Imam Sajjad as lebih menekankan pada kegunaan lidah
sebagai alat untuk berbicara dan berucap. Sebab lidah berperan penting
dalam mentransfer pemahaman, nilai-nilai pendidikan dan konsep
kesempurnaan manusia.
Manusia memperoleh berbagai informasi lewat dialog,
percakapan, dan pertanyaan sekaligus memperkuat kepribadiannya dengan
cara itu. Dengan kata lain, akal dan pikiran manusia merupakan harta
karun dan kunci pembukanya adalah lisan. Kedudukan dan posisi manusia
akan tampak ketika lidah bergerak mengeluarkan kata-kata. Oleh karena
itu Imam Ali as menganggap organ sensitif ini sebagai tanda-tanda
kebesaran Allah Swt dan parameter untuk mengukur kepribadian manusia.
Imam Ali as berkata, “Kepribadian manusia tersembunyi di balik
lisannya.”
Atas dasar ucapan itu, seorang penyair kenamaan Iran, Saadi Shirazi berkata:
“Apa arti lisan di mulut pemikir?
Kunci peti harta sang seniman
Kala tertutup tak ada yang tahu
Penjual mutiarakah ia atau perajut sutra”
Kitab suci al-Quran setelah memaparkan proses
penciptaan manusia, mengetengahkan masalah pentingnya penjelasan dan
bayan (kepandaian berbicara). Seakan-akan salah satu bentuk kemurahan
dan kasih sayang Tuhan kepada manusia adalah anugerah nikmat bayan
kepadanya. Pada ayat 1-4 surat ar-Rahmaan, Allah Swt berfirman, “Tuhan
Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan
manusia. Mengajarkannya pandai berbicara.”
Lisan dalam al-Quran adalah petunjuk kepribadian
manusia. Ketika kita membaca kisah Nabi Yusuf as dengan Zulaikha dan
sebelum utusan Allah Swt ini menceritakan kejadian yang menimpa dirinya,
kepribadian Nabi Yusuf as tersembunyi di balik tirai-tirai kebungkaman
dan tidak ada yang tahu. Namun setelah Yusuf dibebaskan dari penjara dan
ketika menceritakan pengkhianatan yang dilakukan istri pembesar Mesir
dan kesucian dirinya, Raja Mesir berkata kepada Nabi Yusuf as bahwa
mulai saat ini engkau memiliki kedudukan istimewa dan menjadi
kepercayaan raja.
Rasul Saw juga mengajak manusia untuk bertutur kata
dengan lemah lembut dan sopan dalam menjalin interaksi. Rasul Saw
bersabda, “Kalian akan dikenali ketika berbicara.”
Hal yang sangat penting menyangkut lisan adalah
bagaimana cara bertutur kata dan memanfaatkannya dengan baik. Organ
kecil ini dapat mengantar manusia kepada kebahagiaan dan kesenangan
dengan cara mengeluarkan kata-kata yang indah dan pada tempatnya.
Sebaliknya, organ ini juga dapat menjerumuskan manusia pada kesesatan
dan kesengsaraan jika digunakan secara tidak benar.
Ketika Luqman al-Hakim menjadi pelayan, tuannya
meminta kepadanya untuk menghidangkan bagian tubuh kambing yang paling
baik. Luqman menyajikan lidah dan hati kambing kepada tuannya. Hari
berikutnya, sang tuan meminta Luqman untuk membawakan bagian tubuh
kambing yang paling buruk, lagi-lagi Luqman menghadirkan lidah dan hati
kambing kepada majikannya itu.
Kemudian sang tuan bertanya, “Mengapa dalam dua
hari ini engkau menghidangkan kepadaku dua jenis hidangan yang sama?
Bagaimana mungkin lidah dan hati kambing sama-sama organ yang paling
baik dan paling buruk?”
Luqman menjawab, “Lidah dan hati yang bersih dan
suci lebih baik dari segala hal, dan jika ternodai dan kotor, maka ia
lebih buruk dari semuanya.”
Sebagian besar perbuatan baik dan buruk bermuara
pada lidah. Perkataan baik dan buruk yang keluar dari lisan seseorang
adalah cerminan kedudukannya. Oleh sebab itu, Imam Sajjad as meminta
umat manusia untuk mengendalikan lisan dan menunaikan hak-haknya. Di
antara hak-hak lisan adalah menghormatinya dan tidak menodainya dengan
kata-kata kotor, celaan, dan makian.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada suatu
hari seekor babi mendekati Nabi Isa as. Lalu putra Maryam ini berkata,
“Pergilah dengan selamat.”
Para sahabat Nabi Isa as memprotes dan berkata,
“Wahai Nabi Allah, mengapa engkau bertutur kata seperti itu kepada
binatang seperti babi?”
Nabi Isa as menjawab: “Aku tidak suka mengeluarkan kata-kata kotor.”
Ucapan yang baik dan penuh pertimbangan memiliki
berkah yang sangat banyak. Berkah ini hanya milik orang-orang yang
membiasakan lidahnya dengan kata-kata baik. Imam Sajjad as ketika
memaparkan dampak-dampak bertutur kata dengan baik, berkata, “Ucapan
yang indah akan memperbanyak harta, menambah rezeki, menunda kematian,
menjadikan seseorang dicintai oleh anggota keluarganya dan akan
mengantarkannya ke surga.”
Hak Lisan (Bagian 2)
Pada pembahasan sebelumnya kita telah membahas
bersama tentang hak dan kewajiban lisan manusia. Pada kesempatan kali
ini, kita berusaha mengetahui lebih jauh tentang hak dan kewajiban yang
harus ditunaikan oleh manusia terhadap anggota badannya.
Seorang ilmuwan, sastrawan sekaligus pemikir dari
Mesir, Sayid Qutb menulis, "Sungguh! Kemampuan berbicara adalah kekuatan
yang menakjubkan. Kekuatan kalam atau perkataan lebih besar dibanding
kekuatan yang lain. Ketika kita bertutur kata dengan indah, seakan
pintu-pintu langit terbuka lebar dan seluruh realita tampak dengan
jelas. Kekuatan perkataan akan mengoyak tirai yang tersembunyi dan
menghalau segala rintangan. Rahasia kekuatan kalam tidak hanya terletak
pada keindahan kata atau ungkapan yang berirama, tapi tersimpan dalam
kekuatan iman yang mengarahkan dan membentuk kata-kata itu. Kemampuan
berbicara bahkan menghidupkan kata-kata dan kalimat. Tulisan merupakan
bentuk lain dari kalam yang akan membangunkan orang-orang yang terlelap
dan menggerakkan manusia yang tak bernyawa. Oleh karena itu rahasia
kalam dan kemampuannya ada pada wawasan dan pemikiran manusia."
Dapat kita katakan bahwa lisan dan ucapan memiliki
pengaruh luas. Lidah berbicara tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran
dan kebatilan, dan lain-lain. Namun jika lidah tidak terkendali dan
manajemen kehidupan manusia diserahkan secara bulat kepada organ ini,
maka masa depan manusia akan terancam.
Imam Ali as berkata, “Lidah bagi pemiliknya ibarat
kuda liar. Orang yang bertakwa akan memperoleh manfaat dari ketakwaan
ketika mampu menjaga lisannya.” Kitab suci al-Quran dalam surat Qaaf
juga berbicara tentang keberadaan para pengawas bagi manusia yang
merekam setiap ucapan manusia untuk menjadi saksi di hari kebangkitan.
Cara terbaik mencegah penyakit-penyakit lisan
adalah berpikir sebelum berbicara dan mengeluarkan kata-kata. Imam Ali
as berkata, “Lisan seorang ilmuan terletak di balik hatinya dan hati
seorang dungu ada di balik lisannya.” Dalam ungkapan ini, Imam Ali as
mengingatkan kita bahwa manusia berakal tidak akan angkat bicara tanpa
berpikir dan bermusyawarah. Namun orang bodoh akan mengeluarkan setiap
ucapan tanpa berpikir dan menimbang.
Menyangkut hal ini, para nabi dan utusan Allah
memperingatkan umat manusia bahwa lisan adalah sumber dari sebagian
besar kesalahan dan dosa. Berbohong, mengupat, mencela, menghina, dan
menghitung kekurangan orang lain merupakan bentuk kesalahan yang
bersumber dari lisan.
Setiap sifat jelek tersebut dengan sendirinya akan
memperluas kebiasaan buruk di tengah masyarakat. Padahal salah satu
tanda orang mukmin adalah tidak menyakiti orang lain baik dengan tangan
atau lisan. Imam Sajjad as mengingatkan kita untuk bertutur kata dengan
baik. Berbicara tentang hak-hak lisan manusia, Imam Sajjad as berkata,
“Jangan biarkan sebuah ucapan keluar dari lisanmu yang hanya akan
merugikan dan akal menjadi petunjuk atas untung dan ruginya ucapan tadi.
Sebab, hiasan orang berakal adalah tutur katanya yang baik.”
Kendati lidah memiliki kemampuan, pengaruh, dan
multi fungsi yang luas, namun menurut para pakar, kita dapat mencegah
penyakit-penyakit lisan. Orang yang berakal adalah individu yang
senantiasa berusaha menjauhkan diri dari penyakit dan dosa yang lahir
dari lisan. Berbicaralah dengan penuh pertimbangan, dan jika tidak
mampu, maka diam merupakan jalan terbaik untuk lari dari kesalahan dan
menjaga kepribadian kita.
Ketika Imam Sajjad as ditanya, “Mana yang lebih utama, berbicara ataukah diam?”
Imam as menjawab, “Tanpa ragu keduanya memiliki
nilai negatif masing-masing dan selama keduanya bisa menghindari
penyakit lisan, maka berbicara itu lebih baik.”
Lalu Imam Sajjad as ditanya lagi, “Mengapa berbicara lebih baik?”
Beliau menjawab, “Allah Swt tidak mengutus para
rasul dan wasinya untuk diam, tapi memerintahkan mereka untuk berbicara.
Surga tidak akan pernah diperoleh dengan diam, begitu juga dengan
neraka. Semua itu diperoleh dengan ucapan dan perkataan.”
Hak Telinga (Bagian 1)
Bila pada kesempatan sebelumnya kita telah membahas
bersama tentang hak dan kewajiban lisan manusia, kita kita coba untuk
menyelami potensi lain yang dimiliki manusia.
Menurut pandangan Islam, manusia adalah makhluk
yang memiliki segudang potensi dan kapasitas yang jika diaktualisasikan,
ia akan mencapai puncak kemuliaan dan mampu menaklukkan dunia. Untuk
mewujudkannya, manusia memerlukan pengetahuan dan pendidikan
keterampilan-keterampilan penting bagi kehidupan. Keterampilan ini akan
meningkatkan kemampuan manusia hingga dapat meminimalkan dampak-dampak
negatif berbagai krisis dalam menjalani kehidupan ini dan meningkatkan
kepuasan kehidupan individual dan sosial.
Keterampilan yang paling penting dan mendasar dalam
kehidupan adalah mengenali hak-hak dan tanggung jawab terhadap diri
sendiri dan orang lain. Sepertinya jika manusia mampu mengenali hak dan
tanggung jawabnya dan berupaya menunaikannya, maka kita akan menyaksikan
hubungan yang lebih akrab di lingkungan keluarga dan sosial.
Salah satu cara mengenal hak dan tanggung jawab
adalah dengan memahami secara baik berbagai potensi diri dan karunia
Allah Swt yang diberikan kepada kita. Pada pertemuan sebelumnya kita
telah membahas tentang sebuah organ kecil yang kita miliki dan kecakapan
menggunakannya. Kini kita ingin mengkaji bersama tentang organ lain
manusia, yaitu telinga dan hak-haknya menurut Imam Sajjad as.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mendeteksi dan
mendengar berbagai macam suara, seperti suara tiupan angin, kicau
burung, percakapan orang-orang di sekitar kita dan suara-suara lain yang
menghibur telinga atau mengusik ketenangannya, namun apakah kita perlu
menyimak setiap suara yang lewat di telinga kita?
Ada perbedaan antara mendengar dengan menyimak yang
berarti mendengar secara khusus dan terpusat pada objek tertentu.
Sebab, mendengar adalah pekerjaan di luar kehendak kita dan mencakup
seluruh suara yang sampai ke telinga kita tanpa perlu mempelajarinya.
Sementara menyimak adalah sebuah kegiatan nalar yang dilakukan atas
kehendak dan keinginan kita dan membutuhkan konsentrasi.
Mendengar dengan baik merupakan sebuah seni dan
keterampilan yang dibarengi dengan upaya menarik kepercayaan dan
memahami lawan bicara. Tindakan ini akan membantu kita mengidentifikasi
dengan baik liku-liku sisi kepribadian dan kejiwaan lawan bicara. Pada
dasarnya ketika manusia menyimak dengan baik pembicaraan lawan
bicaranya, saat itu ia telah membangun sebuah komunikasi yang baik dan
efektif dengan orang lain.
Metode menyimak seperti ini akan mencegah munculnya
sebagian besar kesalahpahaman. Karena, menyimak dengan baik merupakan
keterampilan yang akan membantu kita memahami dengan benar dan tepat
pembicaraan dan perasaan orang lain. Orang-orang yang mampu mempelajari
keterampilan menyimak dengan baik akan mencapai banyak kesuksesan dalam
hidupnya.
Poin penting lainnya adalah menyangkut hal-hal yang
perlu kita dengar. Masalah ini memiliki dampak yang besar pada
kepribadian, perilaku dan keyakinan batin seseorang. Imam Sajjad as
senantiasa menekankan kepada kita untuk menyimak perkataan yang baik dan
berguna. Sejatinya, Imam Sajjad as menilai hak telinga adalah menyimak
hal-hal yang baik. Beliau berkata, “Adapun hak telinga atas engkau
adalah membersihkan dan mensucikannya serta tidak membuka pintu bagi
setiap ucapan untuk merasuk ke hati, kecuali dengan mendengar ucapan
yang baik dan berguna. Sebab, perkataan yang baik akan menciptakan
kebaikan bagi hatimu atau mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Telinga
adalah gerbang kata-kata menuju hati dan akan menyebabkan masuknya
berbagai makna ke dalam hati.”
Berdasarkan ucapan Imam Sajjad as tersebut, telinga
merupakan sebuah sarana untuk mendengar dan memahami pendapat dan
pandangan orang lain dan dapat menjadi gerbang untuk menerima kebaikan
atau keburukan. Lewat telinga, kita akan mengerti baik-buruknya
perbuatan orang lain.
Selain itu, lewat telinga kita menimba ilmu dan
sopan santun. Perkataan dan ucapan para guru dan pendidik akan memasuki
hati jika kita menyimaknya baik-baik. Cara ini juga akan menambah ilmu
dan makrifat kita. Dalam surat an-Nahl ayat 78, Allah Swt berfirman,
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati agar kamu bersyukur.”
Imam Jakfar Shadiq as juga mengajak manusia
menjadikan pendengaran sebagai alat untuk mentransfer kebaikan, ilmu dan
makrifat ke hati. Imam Shadiq as berkata, “Mendengar perkataan yang
baik dan berguna serta mengamalkan kebaikan itu akan membuka pintu surga
bagi manusia.”
Hak Telinga (Bagian 2)
Kita telah membahas bersama tentang hak dan
kewajiban telinga yang berfungsi sebagai alat pendengar bagi manusia.
Mendengar perkataan baik dan suci akan mendorong ruh dan jiwa kita pada
kebaikan dan keindahan. Lantunan ayat suci al-Quran dan azan akan
menembus dan merasuki jiwa dan hati kita. Rasul Saw bersabda, “Mendengar
suara azan akan membuat manusia berlaku baik dan menjadikan mereka
sebagai penduduk langit.”
Menurut Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as,
telinga yang mendengar kebenaran akan menyebabkan keselamatan dan
keberuntungan, namun ada sebagian manusia yang menutup jalan petunjuk
bagi dirinya. Pada masa permulaan Islam, sebagian pembangkang menutup
telinganya agar tidak mengengarkan lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang
membawa cahaya makrifat dan cinta.
Dalam surat al-Mulk ayat 8-10, Allah Swt berfirman,
“Penjaga-penjaga (negara itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum
pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?”
“Mereka menjawab: “Benar ada, sesunggunya telah datang kepada kami
seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami katakan:
Allah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah di dalam
kesesatan yang besar.” “Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengar
atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Pada dasarnya, penyebab utama kesengsaraan manusia
karena tidak mau mendengarkan dan memikirkan nasehat dan berita-berita
gembira dari Allah Swt. Betapa banyak orang-orang yang telah sampai
petunjuk para nabi ke telinga mereka, namun mereka enggan merenungkannya
karena tidak bermaksud mengamalkan ajaran-ajaran luhur para utusan
Allah Swt. Mereka tidak mendapatkan petunjuk karena sikap kerasnya.
Dalam surat al-A’raaf ayat 179, Allah Swt berfirman, “…Dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah).”
Penyesalan para penghuni neraka di hari kiamat juga
dikarenakan tidak mendengar seruan para nabi. Sebuah realita menyatakan
bahwa selama mental mencari kebenaran tidak ada dalam diri manusia,
maka ucapan orang lain tidak akan berdampak bagi mereka.
Setelah memaparkan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt,
kitab suci al-Quran menggolongkan masalah itu sebagai peringatan bagi
orang-orang yang mau mendengar. Allah Swt dalam surat Ar-Ruum ayat 23
berfirman, “…Sesunggunya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.”
Salah satu faktor lain penyebab penyesalan para
penghuni neraka karena tidak selama di dunia tidak menggunakan akalnya.
Maksud akal di sini adalah kemampuan membedakan antara yang baik dengan
yang buruk dan antara yang benar denga yang salah. Allah Swt telah
menanamkan modal berharga ini dalam diri setiap manusia sebagai amanah.
Lewat bantuan akal, manusia dapat membedakan antara yang benar dengan
yang salah dan mendapatkan petunjuk.
Kitab suci al-Quran meminta umat manusia untuk
tidak mendengarkan perkataan orang lain tanpa mengkaji dan menganalisa
terlebih dahulu dan setiap ucapan harus ditimbangkan dengan akal.
Mengkritik dan mengkaji ucapan orang lain merupakan salah satu metode
paling penting untuk mengembangkan akal dan pikiran. Dalam surat
az-Zumar ayat 17 dan 18, Allah Swt berfirman, “…Bagi mereka berita
gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang teleh diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Sebenarnya salah satu tanda kebodohan seseorang
adalah langsung menerima setiap perkataan yang didengarnya. Seorang
filosof besar Iran, Ibnu Sina (Avicenna) mengatakan, “Setiap ucapan aneh
dan asing yang sampai ke telingamu, tempatkanlah ia sebagai kemungkinan
selama belum kamu belum memiliki argumentasi dan dalil untuk
menerimanya.”
Pada bagian lain ucapannya, Ibnu Sina berkata,
“Barang siapa yang membiasakan diri untuk menerima perkataan orang lain
tanpa argumentasi, maka ia telah menanggalkan baju kemanusiaannya.”
Perkataan ini merupakan masalah yang selalu ditegaskan oleh Imam Sajjad
as. Beliau as senantiasa meminta manusia untuk tidak membuka hatinya
terhadap setiap perkataan dan ucapan.
Agama melarang manusia mendengar perkataan dan
ucapan yang sia-sia dan merusak karena dampak negatif yang dimilikinya.
Adalah sebuah keahlian jika tidak menyimak atau mendengar orang-orang
yang tengah mengumpat dan membicarakan kejelekan orang lain. Mempelajari
keahlian ini akan menjamin keselamatan jiwa dan mental kita.
Harga diri adalah modal besar manusia dalam
kehidupannya. Setiap tindakan yang membahayakan harga dirinya sama
dengan merusak kepribadiaannya, sebab mengumpat orang lain atau hanya
ikut mendengarkan, sama tergolong dosa besar. Jika manusia mengenal
posisi, kedudukan dan kapasitasnya dengan baik, maka ia akan meniti
jalan kesuksesan dengan penglihatan dan pendengarannya.
Hak Penglihatan (Bagian 1)
Islam sebagai agama komprehensif yang memperhatikan
berbagai dimensi sosial kehidupan manusia, menaruh perhatian khusus
terhadap faktor-faktor munculnya kesehatan mental manusia. Allah Swt
selain mengingatkan kemuliaan manusia, juga mencegah mereka dari hal-hal
yang menyebabkan runtuhnya pilar-pilar moral di tengah masyarakat. Para
pemimpin agama telah menunjukkan jalan keberuntungan kepada masyarakat
sehingga mereka dapat meniti jalan kesempurnaan dalam atmosfir yang
sehat.
Terkait masalah ini, Imam Sajjad as mengajak
manusia untuk mensucikan diri. Beliau menjelaskan hak-hak anggota badan
yang harus ditunaikan oleh manusia dalam buku “Risalatul Huquq.” Salah
satu nikmat Allah Swt yang harus ditunaikan hak-haknya oleh manusia
adalah mata atau organ penglihatan. Dalam pandangan Imam Sajjad as, alat
penglihatan memainkan peran yang sangat sensitif bagi kebahagiaan atau
kesengsaraan manusia.
Karena itu, salah satu tugas-tugas mendasar manusia
dalam menjalin interaksi dan relasi dengan orang lain adalah menjaga
tingkah lakunya bahkan dalam masalah memandang. Imam Sajjad as berkata,
“Hak penglihatan atas engkau adalah berpaling dari hal-hal yang dilarang
Allah Swt untuk melihatnya. Janganlah memandang ke segala arah tanpa
alasan, kecuali mendatangkan pelajaran dan ibrah atau menyebabkan engkau
sadar atau penglihatan itu akan menambah pengetahuanmu. Sebab, mata
adalah gerbang nasehat dan pelajaran.”
Memandang merupakan cara termudah untuk menjalin
komunikasi dan interaksi dengan orang lain. Kashefi, penulis kontemporer
Iran mengungkapkan, “Anak panah yang paling tajam bagi setan dalam
wujud manusia adalah mata, sebab indera-indera yang lain menempati
tempatnya masing-masing dan tidak akan menuntutnya selama belum dekat
dengannya, tapi mata mampu menjangkau hal-hal yang buruk dari dekat
maupun jauh.”
Para psikolog meyakini bahwa kebahagiaan manusia
akan terwujud ketika mereka tidak bersikap ekstrim atau teledor dalam
memenuhi berbagai keinginannya dan tidak tunduk di hadapan naluri
alamiahnya. Oleh karena itu, setiap perbuatan harus dipertimbangkan
dengan akal dan logika sehingga berbagai hawa nafsu dapat dipenuhi lewat
jalan yang benar dan logis dan nilai-nilai moral juga dapat berkembang.
Kemampuan akal dan logika ibarat bendungan yang kokoh dalam menghadapi
berbagai tuntutan hawa nafsu dan akan menghadang amukan badai nafsu yang
mencari kenikmatan sesaat. Untuk itu, setiap individu harus
mengidentifikasi jalan yang lurus dan yang menyimpang.
Masalah tersebut juga berlaku bagi penglihatan.
Ketika manusia dikalahkan oleh hawa nafsunya, maka penglihatan akan
keluar dari batas kewajaran dan membuka peluang bagi penyimpangan. Namun
perlu diketahui bahwa ada beragam bentuk dan jenis memandang, terkadang
manusia mendapatkan kenikmatan dan keceriaan saat memandang wajah
seseorang atau sebuah pemandangan indah.
Memandang keindahan alam dan keagungan penciptaan
akan memberi kesegaran kepada seseorang jika pandangan itu bertujuan
untuk mengambil pelajaran. Pandangan seperti ini juga akan membuka pintu
hikmah dan makrifat bagi manusia. Manusia akan memahami keagungan dan
kekuasaan mutlak Sang Pencipta dengan memandang fenomena-fenomena
mengagumkan ini. Karena itu dalam ajaran agama disebutkan bahwa
memandang dan memikirkan keagungan penciptaan serta merenungkan
keindahan semesta tergolong ibadah.
Di sisi lain, sebagian bentuk penglihatan laksana
peluru beracun yang merusak dan mengancam kesehatan jiwa manusia,
seperti menatap lawan jenis selain istri atau suami dengan niat mencari
kenikmatan. Secara alamiah dan dalam kehidupan sehari-hari, manusia
memandang beragam fenomena di sekelilingnya, namun terkadang ia
menyaksikan pemandangan dosa di jalan-jalan, taman, atau juga siaran
televisi satelit dan bersikeras menonton pemandangan yang mengundang
dosa itu.
Bentuk penglihatan seperti ini bersifat merusak dan
mendorong seseorang untuk berbuat dosa khususnya bagi kalangan muda dan
sumber berbagai penyimpangan dan kejahatan individual dan sosial. Oleh
sebab itu, seluruh agama ilahi menaruh perhatian terhadap prinsip
mengontrol penglihatan. Imam Jakfar Shadiq as melarang manusia memandang
hal-hal yang tidak layak dan berkata, “Pandangan pertama
menguntungkanmu, sementara pandangan kedua merugikanmu bukan
menguntungkanmu, dan pandangan ketiga berujung kehancuran.”
Di tengah masyarakat yang sarat dengan berbagai
fenomena tidak sehat, kekacauan dan kerusakan akan menggantikan keamanan
dan ketenangan. Di tengah masyarakat seperti ini, wanita ibarat barang
pajangan yang selalu dilirik oleh pemangsa. Menurut pandangan Imam
Sajjad as, melihat sesuatu yang tidak memiliki sisi positif bagi manusia
dan menyebabkan mereka lalai dan jauh dari Tuhan, atau memperhatikan
pekerjaan orang lain dengan tujuan mencari kekurangannya adalah bentuk
penglihatan yang menyesatkan dan merugikan.
Hak Penglihatan (Bagian 2)
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang
mulia dan diciptakan untuk mencapai kesempurnaan. Manusia harus terus
berupaya mensucikan jiwa dan membersihkan diri untuk mencapai tujuan
penciptaan. Menurut para pakar psikologi, panca indera khususnya indera
penglihatan berperan dominan dalam memberi asupan pemikiran dan
memancing afeksi.
Mata merupakan sebuah sarana yang menyiapkan
bahan-bahan dasar untuk berpikir dan pikiran akan membentuk kepribadian
nyata seseorang. Seorang penyair Iran, Maulawi merangkum manusia dalam
akal dan pikirannya. Bentuk perbuatan manusia juga sangat tergantung
pada pola pikir dan keyakinannya, yaitu tindakan dan perbuatan manusia
berhubungan dengan pikiran dan pola pandanganya.
Indera manusia dipengaruhi oleh lingkungan, rumah,
sekolah, masalah-masalah yang ia dengar dan juga fenomena yang ia
saksikan. Pengaruh ini menciptakan peluang lahirnya sebagian tindakan
dan perbuatan. Karena itu sebagian besar strategi dan keputusan diambil
setelah malalui proses pengamatan. Bentuk-bentuk reaksi ini sangat
bergantung pada sesuatu yang disaksikan oleh mata.
Jika manusia punya hubungan dengan lingkungan yang
rusak dan senantiasa mempertontonkan adegan-adegan yang mengundang
nafsu, maka pikirannya juga akan ternodai dan menyimpang. Individu
seperti ini akan merasa asing dengan keutamaan dan nilai-nilai moral.
Sebaliknya, orang yang menyaksikan sesuatu dengan tujuan mengambil
pelajaran dan mengadopsi nilai-nilai baik dan keutamaan, maka ia akan
memiliki pikiran yang bersih dan sehat.
Ketika kepribadian seseorang dibangun atas dasar
pemikiran dan ideologi tertentu, maka tidak mudah untuk mengubahnya,
sebab ia membangun relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar atas
dasar naluri internalnya. Pada ujungnya, ia menjadi lebih komitmen dan
tangguh dalam meniti jalan yang menjadi pilihannya.
Sebelumnya, telah dibahas bersama bahwa memandang
atau melihat memiliki dampak dan pengaruh yang berbeda-beda. Cara
memandang dan mendengar akan menentukan kualitas nilai perbuatan
seseorang, apakah perbuatannya dianggap sesuai dengan koridor agama atau
keluar dari koridor itu, dan apakah perbuatannya mengandung nilai-nilai
positif atau sebaliknya. Karena itu, agama melarang manusia untuk
melihat dan menjalin hubungan dengan hal-hal yang berbahaya dan
menghalangi gerakannya menuju kesempurnaan. Sebaliknya, agama mendorong
manusia untuk menciptakan hubungan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi
perkembangan dan kemajuannya.
Agama melarang manusia melihat sebagian objek dan
menyarankan mereka menyaksikan sebagian fenomena lain mengingat masalah
melihat berpengaruh pada kepribadian seseorang. Dalam al-Quran surat
an-Nuur ayat 30 dan 31, Allah Swt berfirman, “Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya…”
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya…” Masyarakat adalah tempat melakukan aktivitas dan para
anggotanya harus terhindar dari pandangan-pandangan yang menyimpang dan
merusak.
Hak Kaki
Sejak dulu hingga sekarang ada banyak buku dan
makalah yang ditulis tentang akhlak dan hak-hak makhluk hidup, namun
sangat sedikit ditemukan penulis atau buku yang mengupas secara sempurna
masalah tersebut kecuali dari lisan Rasul Saw dan para khalifahnya.
Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as termasuk salah satu figur agung ini
dan meyakini bahwa masyarakat akan lestari dan sejahtera selama menjaga
hak-hak hakiki manusia dan memperhatikan kemuliaan-kemuliaan mereka.
Imam Sajjad as dalam bukunya “Risalatul Huquq”
memaparkan berbagai hak dan kewajiban yang harus ditunaikan manusia
termasuk hak dan kewajiban anggota tubuh yang digunakan untuk berjalan,
yaitu kaki. Beliau berkata, “Hak kaki atas dirimu adalah engkau tidak
melangkahkan kaki ke tempat yang tidak layak bagimu. Jangan jadikan kaki
tunggangan untuk bergerak ke arah yang membuatmu terhina. Kaki adalah
organ tubuh yang memikul dirimu maka sudah seharusnya engkau
menggunakannya untuk kepentingan agama dan untuk pekerjaan yang baik.”
Para ilmuan dan psikolog mengatakan, ketika sebuah
perbuatan tercatat sebagai kebiasan maka ia akan mudah dilakukan.
Berjalan adalah sebuah perbuatan yang mengandung nilai seni. Namun
karena itu dilakukan oleh manusia sejak kanak-kanak sehingga terbiasa
dengannya, maka berjalan tidak lagi dipandang sebagai hal yang penting.
Meski mudah dan termasuk kebiasaan, berjalan kaki bisa menunjukkan
kondisi kejiwaan seseorang bahkan kepribadiannya. Sebab, kejiwaan
seseorang akan terjelma dalam perilaku. Bahkan terkadang satu perbuatan
yang kecil menunjukkan tabiat khas seseorang.
Dalam pandangan Imam Zainal Abidin as orang yang
menggunakan kaki untuk berjalan menuju ke tempat maksiat berarti ia
telah mengabaikan dan menistakan hak kaki. Tak hanya itu perbuatan
tersebut juga menodai kepribadiannya sendiri. Allah Swt menganugerahkan
kaki sebagai sarana untuk berjalan menuju pekerjaan yang bisa
mendatangkan faedah buat kehidupannya. Dengan kaki, orang bisa melangkah
bersafari untuk menyaksikan nikmat-nikmat anugerah Allah yang terhampar
di bumi yang luas ini. Dengan kaki, orang bisa mengais rezeki halal
yang diridhai Allah. Dengan kaki pula orang bisa pergi untuk menimba
ilmu pengetahuan, atau berjalan-jalan mencari hiburan yang bisa melepas
penat dan mengembalikan kegairahan hidup.
Berjalan dilakukan oleh orang untuk berbagai macam
tujuan tergantung niat masing-masing. Ada yang berjalan dengan membusung
dada dengan langkah congkak untuk menunjukkan kesombongannya. Orang
semacam ini tentu tidak akan mau melihat ada orang lain yang di atasnya.
Ia cenderung meremahkan orang lain dan memandang mereka hina. Dalam
surah al-Furqan Allah Swt menjelaskan sejumlah kriteria hamba-hamba
Allah yang disebut dengan gelar ‘Ibadur Rahman’. Salah satu kriteria
kelompok ini terkait cara berjalan mereka. Disebutkan bahwa ‘Ibadur
Rahman’ berjalan dengan penuh ketenangan dan tanpa takabur.
Menurut perspektif Islam, kaki sama dengan organ
dan anggota tubuh yang lain, yang bakal menjadi saksi kelak di Hari
Kiamat. Karena itu, kaki harus digunakan untuk melangkah menuju
kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Anak muda yang berjalan menuntut
ilmu dengan menanggung kesusahan menurut Imam Zainal Abidin as adalah
orang yang telah menunaikan hak kaki dengan baik. Nabi Muhammad Saw
dalam sebuah hadisnya bersabda, “Barang siapa bergerak dua langkah untuk
mencari ilmu dan duduk dua masa di sisi orang yang pandai dan
mendengarkan darinya dua patah kata yang mengandung ilmu, maka Allah
akan memberinya dua surga.”
Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa orang yang
melangkah secara tulus untuk mengatasi kesulitan orang lain dan memenuhi
kebutuhan mereka, maka berarti dia telah menghargai nikmat kaki yang
Allah berikan kepadanya. Kaki selain membawa kita dari satu tempat ke
tempat yang lain juga menjadi sarana untuk berjuang memerangi kaum zalim
dan agresor. Banyak orang yang hidup di sebuah lingkungan dengan
kondisi spiritual dan etika yang bobrok sementara nilai-nilai keimanan
juga tidak bisa dipertahankan. Allah Swt memerintahkan orang-orang
seperti ini untuk berhijrah meninggalkan negerinya dan berpindah ke
negeri lain sehingga mereka bisa menjaga agama.
Selain itu agama juga memerintahkan untuk bangkit
berjuang. Ketika sekelompok agresor menyerang kedaulatan sebuah bangsa
dan negeri maka bangsa terkait dan penduduk negeri itu harus bangkit
melawan untuak menyingkirkan kezaliman. Jelas bahwa dalam masalah
perjuangan diperlukan kaki-kaki para pejuang yang melangkah dengan
mantap untuk memerangi kaum zalim. Karena itu dalam terminologi Islam
para pejuang yang disebut mujahidin mendapat kedudukan yang agung di
sisi Allah. Nabi Saw, para imam dan ulama Islam menyebut jihad sebagai
salah satu pintu surga yang dibuka oleh Allah untuk hamba-hambaNya yang
khusus.
Kata-kata Imam Ali Zainal Abidin as tentang hak
kaki adalah penjelasan dari apa yang diajarkan oleh Islam secara utuh.
Beliau mengingatkan kepada umat bahwa kaki adalah kenikmatan dari Allah
yang harus digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia. Jangan
sampai nikmat Allah ini digunakan untuk bermaksiat kepada Allah.
Hak Tangan
Setelah membahas bersama tentang hak kaki seperti
yang dijelaskan oleh Imam Ali Zainal Abidin dalam ‘Risalatul Huquq’.
Tiba saatnya untuk berpikir mengenai hak tangan atas diri manusia.
Tangan adalah organ tubuh yang sering terabaikan
dalam perhitungan kita. Padahal dengan tangan, kita bisa menuntun orang
tua, membelai anak yatim, atau membuat bibir kaum papa menyungging
senyum. Dengan mengulurkan tangan, kita menyampaikan pesan persahabatan
kepada orang lain. Dengan tangan pula kita memberikan hadiah dan cidera
mata kepada sahabat dan mereka yang kita cintai atau menyampaikan
sedekah dan pemberian kepada orang kaum fakir. Tangan merupakan salah
satu alat terpenting untuk menciptakan karya indah dan merangkai
kata-kata lewat tulisan. Rangkaian kata yang ditulis dengan tangan
menjadi ungkapan terindah dan penuh cahaya yang menjadi media untuk
menyebarkan ilmu. Sebagian besar traksaksi dilakukan dengan organ tubuh
ini.
Imam Ali as, sosok insan termulia setelah Nabi Saw,
menggunakan tangannya untuk menggarap ladang dan kebunnya. Hasil dari
beliau peroleh dari kebun itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangannya dan menyantuni kaum miskin. Betapa banyak hamba sahaya yang
telah dibeli dan dimerdekakan oleh Imam Ali as dari hasil kebun yang
dirawat dengan tangan beliau. Saat terbuka kesempatan bermunajat dengan
Allah, kita mengangkat tangan ke atas untuk berdoa dan memohon ampunan,
rahmat dan kasih sayang-Nya.
Semua yang telah disebutkan tadi adalah satu sisi
dari kegunaan tangan. Sebagian orang menggunakan tangan untuk melakukan
kejahatan dan kezaliman. Untuk hal itu tangan juga punya peran kunci.
Terkadang, orang menggunakan tangan di jalur yang salah karena terdorong
oleh faktor pandangan dan pemikiran yang keliru. Mencuri, ghasab atau
menggunakan hak orang lain tanpa izin, kesewenang-wenangan terhadap
orang, melecehkan kesucian lewat tulisan, dan hal-hal semisal adalah
kejahatan dan kesalahan yang dilakukan orang dengan tangannya.
Kesalahan atau kejahatan yang dilakukan oleh tangan
bisa berakibat sangat buruk yang dampaknya dapat mengganggu dan merusak
kondisi sosial. Kondisi kemasyarakatan bisa dikendalikan dan dibimbing
ke arah yang benar. Akan tetapi hal itu menuntut pengenalan akan
patologi sosial dan penggunaan metode ilmiah dalam mengatasi masalah
sosial. Namun yang menjadi panduan adalah, semakin sempurna nilai-nilai
spiritual dan etika di sebuah masyarakat, maka penyimpangan di tengah
masyarakat itu akan semakin menurun.
Masing-masing orang harus mengenal hak dan
kewajibannya di tengah masyarakat lalu menghormati dan menjalankannya.
Salah satu hal alamiah bagi setiap orang adalah hak untuk hidup bebas.
Para filsuf dan cendekiawan dunia meyakini bahwa hak hidup adalah salah
satu hak yang paling mendasar bagi semua orang. Hak ini harus dihormati
dan dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat. Menurut persepsi
al-Quran, tidak ada seorang pun yang berhak merampas hak alamiah ini
dari siapapun. Jiwa setiap manusia punya kehormatan tersendiri. Tidak
ada seorangpun yang berhak mencabut kehidupan orang lain atau
mencederainya.
Imam Ali Zainal Abidin dalam ‘Risalah al-Huquq’
menjelaskan hak tangan dan menyatakan, “Hak tanganmu atas dirimu adalah
bahwa engkau tidak boleh menggunakan untuk perbuatan haram. Sebab hal
itu dapat mendatangkan azab Ilahi di hari akhirat dan kecaman orang lain
di dunia. Jangan cegah tanganmu dari melakukan apa yang telah Allah
perintahkan kepadanya. Hormatilah tangan dengan menggunakannya di jalan
yang benar dan sah. Artinya, hindarkanlah ia dari perbuatan haram dan
gunakannya ia untuk meraih yang yang bermanfaat. Jika itu engku lakukan
maka engkau akan dihormati orang di dunia dan diganjar dengan pahala
Allah di akhirat.”
Kondisi kehidupan kita akan menemukan kesegaran
baru jika pesan Imam Zainul Abidin tadi dilaksanakan dengan benar.
Sayangnya, manusia cenderung menyia-nyiakan kesempatan emas dan modal
berharga yang dimilikinya. Akibatnya, banyak orang yang merugi dan
kehilangan modal dan kekayaannya yang berharga. Imam Ali Zainul Abidin
as mengingatkan bahwa manusia harus menghormati anggota tubuhnya dan
tidak menggunakannya untuk perbuatan yang salah dan buruk. Kita, harus
memanfaatkan potensi sehingga kita bisa menghargai diri sendiri.
Manusia akan merasakan indahnya kesucian kala ia
bisa mendekatkan diri dengan prinsip kehidupan murni yang dipandu ajaran
spiritual dan etika. Dengan itu, berarti ia telah menjejakkan kaki di
jalan membangun kepribadian insani dan dalam menjalin hubungan dengan
sesama. Menurut Imam Ali Sajjad as, manusia yang berjalan menggunakan
logika akal dan kemuliaan serta menjalankan perintah Allah, ia pasti
akan meraih kejayaan di dunia dan akhirat.
Hak Perut (Bagian 1)
Risalatul Huquq menerangkan tugas-tugas terpenting
yang telah ditetapkan oleh Allah dan menjadi tugas normatif. Menghormati
dan melaksanakan aturan dan prinsip etika berperan besar dalam
memperbaiki kondisi masyarakat. Untuk itu Risalatul Huquq Imam Sajjad as
sangat bermanfaat bagi kita kita semua.
Imam Sajjad as menerangkan bahwa perut punya
serangkaian hak atas diri manusia. Beliau berkata, “Hak perut atas
dirimu adalah jangan engkau jadikan ia sebagai wadah penampung makanan
haram, banyak maupun sedikit. Bahkan untuk makanan yang halal pun
jagalah keseimbangan. Makanlah untuk menguatkan tubuhmu. Jangan pernah
berpikir untuk memenuhi perut hingga kerongkongan, jangan melalaikan
orang lain dan jangan lupa akan kemurahan hati dan kebaikan. Sebab,
kekenyangan akan mengakibatkan kemalasan dan mencegahmu dari perbuatan
baik dan amal saleh. Demikian juga dengan minum berlebihan yang akan
mengakibatkan kebodohan dan menghilangkan akal.”
Di sini Imam Ali Sajjad as menyinggung keseimbangan
dalam mengkonsumsi makanan dan mengingatkan kita untuk tidak banyak
makan. Imbauan tersebut dikukuhkan oleh ilmu kedokteran saat ini.
Menurut para dokter, faktor utama yang menyebabkan munculnya berbagai
penyakit adalah makan secara berlebihan. Apalagi di zaman ini tubuh
manusia kurang beraktivitas dan mesin telah menggantikan posisi manusia
dalam banyak hal. Kurang gerak akan menyebabkan penimbunan lemak yang
berbahaya bagi kesehatan. Dengan menumpuknya lemak di badan, kerja
jantung akan terganggu dan ginjal pun mengalami masalah. Para dokter
mengatakan bahwa untuk menjaga kesehatan ada dua hal yang harus
dilakukan, menahan diri dalam pola makan dan melakukan akvitas badan.
Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, “Makanlah dan
minumlah dan jangan kalian berlebih-lebihan…” (QS. al-A’raf: 31) Firman
Allah ini nampak sangat sederhana. Namun hakikatnya, hari ini terbukti
bahwa pesan Qurani itu adalah salah satu imbauan terpenting dalam ilmu
kedokteran. Para ilmuan mengatakan, pola makan yang berlebihan adalah
penyebab munculnya banyak penyakit.
Dikisahkan bahwa Khalifah Harun al-Rasyid punya
dokter khusus yang beragama Kristen. Dia dikenal sebagai dokter yang
sangat mahir. Suatu hari ia terlibat pembicaraan dengan seorang
cendekiawan Muslim.
Sang tabib berkata, “Saya tidak menemukan satupun
tema kedokteran di kitab suci kalian. Padahal engkau meyakini bahwa ilmu
yang berguna adalah dua jenis ilmu, ilmu agama dan ilmu raga.”
Menjawab pernyataan itu, sang cendekiawan Muslim
berkata, “Allah Swt telah menjelaskan aturan kesehatan untuk manusia
dalam sepenggal ayatnya. Dia berfirman, “Makanlah dan minumlah dan
jangan kalian berlebih-lebihan…” Rasulullah Saw juga menerangkan dalam
hadisnya bahwa perut adalah sarang semua penyakit, dan menahan diri
adalah obat penawar bagi semua.”
Mendengar jawaban itu sang tabib tercengang. Seraya
menundukkan kepala ia berkata, “Sungguh al-Quran dan Nabi kalian tak
ubahnya seperti Jalinus, Sang Tabib terkenal yang telah menjelaskan
semua hal tentang kedokteran.”
Imam Ali bin Abi Thalib as saat menjelaskan
hubungan antara penyakit dan pola makan berlebihan, berkata, “Kurangi
makan, maka engkau telah mengurangi penyakit.” Menurut para ahli, pola
makan berlebihan mengancam kesehatan dan bisa memendekkan usia seseorang
dan mengurangi kebugarannya. Sebab, dengan pola makan berlebihan asid
dalam tubuh meningkatkan kolesterol darah. Semakin banyak makan,
kolesterol akan semakin meningkat. Akibatnya, jantung bermasalah dan
kebugaran tubuh terganggu.
Selain itu, pola makan berlebihan bisa berdampak
buruk pada daya pikir seseorang. Ketika lambung seseorang menerima
makanan yang berlebihan, dinding lambung akan terkena rembesan yang
berfungsi membantu menggiling makanan. Akibatnya darah akan mengalir ke
dalam organ itu dalam jumlah yang berlebihan. Dalam kondisi seperti itu,
sistem kontrol darah yang mengatur alirannya ke otak akan terganggu.
Oksigen dan makanan yang tersalurkan ke otak akan berkurang. Akhirnya,
daya pikir orang akan mengalami penurunan.
Diriwayatkan bahwa Luqman al-Hakim pernah berkata
kepada anaknya; “Kelebihan makan akan membuat otak tertidur, lisan
kebijaksanaan akan tersendat, dan anggota badan akan lesu untuk
beribadah.”
Dari penjelasan tadi dapat disimpulkan mengapa Imam
Ali Zainal Abidin as mengingatkan agar kita tidak memenuhi perut dengan
makanan berlebihan. Seperti tadi dikatakan, pola makan berlebihan akan
membuat orang malas bekerja dan mencegah orang dari ibadah.
Hak Perut (Bagian 2)
Pekan lalu kita telah berbicara tentang perut,
hak-haknya dan bahaya pola makan yang berlebihan. Terkadang orang
berlebihan dalam menyantap makanan karena dirasa nikmat, sehingga ia
lupa untuk tujuan apa ia datang ke dunia ini. Imam Sajjad as dalam
penjelasannya menegaskan bahwa manusia seharusnya tidak berlebih-lebihan
dalam urusan makanan. Karena, hal itu akan membuat orang malas,
kesehatannya terganggu dan kegesitannya melemah. Imam Sajjad as
menekankan untuk menjaga keseimbangan dalam semua hal.
Keseimbangan dalam segala hal, terutama dalam soal
makanan adalah perkara yang terpuji. Sebab, hal itu akan menjamin
kesehatan fisik, kegairahan jiwa dan membantu orang untuk memanfaatkan
peluang yang ada dengan lebih baik. Orang dengan pola makan yang sedikit
dan tidak pasrah kepada tuntutan hawa nafsunya cenderung punya
kepedulian kepada orang lain. Menjaga keseimbangan pola makan akan
membuat perasaan orang menjadi peka dan kian menghidupkan daya pikir dan
nalarnya.
Penyair Iran, Syeikh Musliuddin Sa’di Shirazi dalam
buku Golestan, menulis, “Salah seorang raja mengutus seorang tabib yang
mahir untuk mengabdi kepada Rasulullah Saw. Setahun lamanya ia hidup di
negeri Arab dan selama itu jarang ada orang yang datang mengeluhkan
penyakit kepadanya. Tabib tersebut akhirnya mendatangi Nabi dan
mengeluhkan keadaannya. Dia berkata, “Aku diutus kemari untuk membantu
mengobati masyarakat yang sakit. Tapi tidak ada orang yang datang
kepadaku untuk berobat.” Nabi Saw bersabda, “Kabilah yang engkau hadapi
adalah orang-orang yang tidak makan kecuali bila nafsu makan sudah
menguasai mereka. Dan mereka berhenti makan ketika nafsu makan masih
ada.” Mendengar jawaban itu, sang tabib berkata, “Memang itulah kunci
menjaga kesehatan.””
Jelas yang dimaksud dengan makan sedikit bukan
berarti kita menahan lapar hingga jatuh lemah. Namun kita tidak boleh
makan secara berlebihan hingga terserang berbagai jenis penyakit. Para
ulama juga senantiasa menyarankan kita untuk makan secukupnya sehingga
kita mendapatkan kejernihan kalbu dan kesucian jiwa.
Poin lain yang ditekankan Imam Sajjad as adalah
tidak memenuhi perut dengan makanan yang diperoleh dengan cara tidak
benar dan jalan haram. Imam Sajjad as berkata, “Tidak pantas menggunakan
perutmu sebagai wadah untuk barang haram baik sedikit atau banyak.”
Anjuran ini akan terlihat lebih penting ketika kita mempelajari
ayat-ayat al-Quran. Surat ‘Abasa ayat 24, Allah Swt berfirman, “Maka
hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.”
Makanan punya pengaruh kuat terhadap kepribadian
dan jiwa manusia. Seseorang yang selalu mengkonsumsi makanan haram, maka
akan berdampak negatif terhadap tingkah dan perilakunya. Menurut
keyakinan sejumlah pakar, penyebab dan akar kebodohan dan menurunnya
daya pikir terletak pada pola konsumsi seseorang.
Pada dasarnya, peringatan Imam Sajjad as untuk
tidak mengkonsumsi makanan haram, secara tidak langsung juga menyinggung
pada bentuk pekerjaan dan cara seseorang mencari nafkah. Perbedaan
mendasar antara ekonomi Islam dengan teori-teori ekonomi lain adalah
adanya hubungan erat antara kegiatan ekonomi seorang muslim dengan
masalah-masalah kemanusiaan dan moral. Sebenarnya bentuk pekerjaan
menunjukkan kepribadian seseorang.
Pada masa sekarang, tujuan bekerja adalah meraup
keuntungan sebesar-besarnya. Namun seorang muslim tidak boleh merampas
atau menistakan hak-hak orang lain demi kepentingannya. Ia harus
menjauhi transaksi yang merugikan orang lain atau mengancam keselamatan
masyarakat. Transaksi sesuatu yang berbahaya seperti narkotika,
perdagangan manusia dan menjual sesuatu yang dapat memperkuat
orang-orang zalim, termasuk jual-beli yang dilarang oleh Islam. Islam
juga menetapkan hukuman di dunia dan akhirat terhadap para pelaku
kriminal seperti mencuri dan menerima suap.
Orang-orang yang memutar roda kehidupannya dengan
transaksi-transaksi haram, maka masyarakat tidak memperoleh sesuatu
kecuali kerugian. Rasul Saw bersabda, “Ada empat hal yang jika kalian
memilikinya, maka jangan bersedih karena tidak memiliki hal lain yaitu,
kejujuran, amanah, akhlak mulia, dan kesucian dalam makanan.” Oleh
karena itu, mereka yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh
ambisinya dan merampas harta orang lain, maka mereka senantiasa berada
di jurang kehancuran dan kebinasaan. Menurut Imam Sajjad as, makanan
yang sehat, suci dan halal dapat menyehatkan seseorang, menjernihkan
akal dan mensucikan jiwa.
Hak Syahwat
Hasrat dan kecenderungan alamiah adalah anugerah
berharga dari Allah yang berbaur dengan tabiat manusia dan membuatnya
bergairah dalam mengarungi kehidupan. Namun kecenderungan ini tidak
punya nalar yang bisa menuntunnya dalam membedakan antara baik dan
buruk. Karena itu, kecenderungan alamiah dan hasrat biologis itu harus
dipandu oleh akal dan agama supaya berjalan dengan benar.
Membebaskan dorongan alamiah dan syahwat ini tanpa
kendali jelas bertentangan kemuliaan maknawiyah dan kenyamanan kehidupan
sosial umat manusia. Cara-cara menyimpang dan keliru dalam memenuhi
dorongan syahwat akan merusak tata kehidupan, menciptakan ketidakamanan
dan kekacauan serta membawa masyarakat kepada kebobrokan dan amoralitas.
Pertanyaan yang selalu mengemuka terkait pembahasan ini adalah, apa
yang harus dilakukan untuk mengendalikan syahwat dan tuntutan biologis?
Menurut para ahli, berbagai hal seperti pendidikan
di masa kanak-kanak dan penanaman norma-norma suci pada diri seseorang
punya pengaruh besar dalam meningkatkan kemampuan mengontrol tuntutan
biologis. Meski demikian, hal-hal tadi tetaplah bukan faktor penentu.
Ada faktor kuat lainnya yang diperlukan untuk memperkuatkan daya kontrol
orang terhadap hawa nafsu, yang dengannya orang akan menjauhi
praktik-praktik yang menyimpang dan salah. Salah satunya adalah faktor
keimanan dan rasa bertanggung jawab di hadapan Allah. Orang-orang yang
hidup di lingkungan agamis akan lebih terpanggil untuk menghormati
hak-hak orang lain. Mereka akan mendahulukan kerja daripada menuruti
panggilan setan. Mereka akan lebih jarang menyentuh dosa.
Islam memandang kecenderungan alamiah termasuk
dorongan seksual sebagai anugerah Ilahi. Karena itu Islam tidak sama
dengan agama-agama lain dalam memperlakukan dorongan ini. Islam melarang
kita mematikan nafsu seksual dan hanya memerintahkan kita untuk
mengontrolnya. Dalam kaitan ini, para nabi menjalankan misi memperbaiki
masyarakat dari dalam dengan menanamkan benih keimanan di dalam kalbu
mereka serta mengajarkan ilmu dan hikmah kepada mereka. Para nabi
mengajarkan cara yang benar untuk menyalurkan tuntutan biologis sehingga
fasad dan amoralitas di tengah masyarakat pun tercegah.
Pernikahan dan pembentukan rumah tangga dipandang
oleh agama Islam sebagai ikatan yang suci. Tujuannya agar setiap orang
bisa menyalurkan gejolak jiwa dan biologis dalam kehangatan keluarga
yang dibangun dengan cinta. Islam menentang keras kebebasan yang tanpa
batas, tapi di saat yang sama agama ini memerintahkan pasangan suami
istri untuk saling mencinta dan memberikan kasih sayang. Rasulullah Saw
bersabda, “Pernikahan adalah sunnahku, siapa yang menolak sunnahku bukan
dari golonganku.”
Dalam Risalatul Huquq Imam Ali Zainal Abidin
As-Sajjad as menjelaskan anggota badan yang terakhir dan berhubungan
dengan kebutuhan biologis. Beliau mengatakan, “Tentang hak syahwat,
adalah bahwa engkau harus menjaganya dari keharaman. Untuk menjaganya,
engkau harus menutup mata dari pandangan yang haram sebab mata sangat
membantu dalam hal ini. Perbanyaklah mengingat kematian dan takutilah
dirimu sendiri dari azab Allah. Tengadahkanlah tangan kepada Sang Khaliq
yang tak memerlukan apapun dan mintalah bantuan dari-Nya.”
Imam Sajjad as menjelaskan cara yang tepat untuk
menghindari munculnya dorongan syahwat. Pertama beliau mengajarkan
supaya meminta bantuan mata. Sebab, jika mata tidak digunakan memandang
hal-hal yang bisa memancing syahwat, maka ia tidak akan tergoda ke arah
sana. Hasilnya, ia akan terjauhkan dari dosa. Langkah kedua adalah
dengan banyak-banyak mengingat kematian dan azab Allah. Dengan cara itu
orang akan tercegah dari perbuatan dosa. Dalam sebuah hadisnya,
Rasulullah Saw bersabda, “Mengingat kematian adalah nasehat yang cukup
bagi manusia.”
Dalam riwayat lain, Imam Ali bin Abi Thalib as
berkata, “Ketika hendak melakukan perbuatan tak terpuji segeralah
mengingat kematian yang menghancurkan kenikmatan, menenggelamkan syahwat
dan melenyapkan impian.”
Di zaman ini, di masyarakat yang menyebarkan budaya
bebas tanpa batas, etika dan norma insani yang tidak lagi diindahkan,
dan kesusilaan serta kesucian tidak lagi mendapat tempat. Akibatnya,
amoralitas menyebar dan kejahatanpun menjamur. Munculnya krisis sosial
yang mencemaskan ini menjadi femomena paling menakutkan bagi
negara-negara industri maju saat ini. Tak dipungkiri bahwa krisis sosial
terjadi karena banyak faktor. Namun faktor paling dominan adalah krisis
keimanan, moral dan tanggung jawab. Orang yang memandang segala sesuatu
dengan mata materi tak akan pernah melirik sisi spiritual dan insani.
Di akhir perkataannya, Imam Sajjad as mengingatkan supaya kita menjalin
hubungan yang akrab dengan Allah Swt. Sebab, hanya Allahlah yang bisa
membantu manusia dalam meniti jalan kehidupan yang berliku-liku ini.
Hak Shalat (Bagian 1)
Sebagaimana yang kita tahu, Risalatul Huquq adalah
buku kumpulan penjelasan Imam Ali Zainul Abidin as-Sajjad tentang
hak-hak yang harus ditunaikan oleh manusia. Termasuk diantaranya hak
Allah, hak masing-masing anggota tubuh dan hak-hak orang-orang sekitar.
Semua hak itu menunjukkan kemuliaan dan keagungan manusia. Sejak dahulu
Risalatul Huquq menjadi bahan telaah para peneliti dan sosiolog Muslim.
Setelah membahas tentang hak-hak anggota tubuh yang
harus dihormati dan dilaksanakan, Risalatul Huquq mengulas masalah
ibadah. Tentang shalat yang merupakan ibadah paling penting, Imam Sajjad
as mengatakan, “Adapun hak shalat, maka ketahuilah bahwa shalat
menghadap Allah. Engkau berdiri di hadapan Allah. Jika hal itu telah
engkau sadari maka bersikaplah seperti seorang hamba sahaya kerdil yang
berharap bisa mendekat kepada tuannya. Seiring dengan rasa takut
kepada-Nya, berharaplah akan kemurahan dan kebaikan-Nya. Tunduklah
engkau kepada-Nya dengan khusyuk. Yakinilah kehadiranmu di hadapan-Nya
sebagai sebuah amalan yang agung...”
Secara fitrah manusia punya kecenderungan untuk
menyembah kepada wujud yang dianggap punya kekuatan lebih. Kecenderungan
ini ada pada setiap orang. Tak heran jika sejarah menceritakan kepada
kita akan kaum-kaum yang melakukan penyembahan kepada tuhan yang beragam
bentuk dan rupanya. Ada yang menyembah matahari, bintang, berhala,
bahkan binatang. Meski salah dalam menyalurkan kecenderungan itu, namun
yang jelas fakta ini membuktikan bahwa manusia sepanjang sejarah selalu
merasakan adanya tuntutan dari dalam jiwanya untuk melakukan
penyembahan. Hal itu pula yang disinggung oleh al-Quran surat al-Rum
ayat 30, “Itulah fitrah Allah yang Allah menciptakan manusia atas dasar
itu. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah.”
Agama Islam menghendaki agar setiap manusia
mengenal sesembahan yang hakiki sebatas kemampuannya. Jangan sampai
naluri beribadah dan menyembah ini tersalurkan di jalan yang salah.
Tuhan yang dikenalkan Islam kepada umat manusia adalah Tuhan yang Maha
Hidup, Maha Tinggi, Maha Bijaksana, Maha Tahu, Maha Mendengar dan Maha
Mengatur. Dialah yang mengatur alam semesta dan membantu manusia saat
menghadapi kesulitan.
Islam menjelaskan cara yang benar untuk menjalin
hubungan dengan Sang Tuhan dalam bentuk ibadah yang salah satunya dan
sekaligus ibadah yang terindah adalah shalat. Shalat adalah jalinan
hubungan antara manusia dengan Sang Khaliq. Jelas hubungan dengan Zat
yang memberi dan menciptakan segalanya adalah hubungan terindah yang
bisa dibayangkan.
Shalat adalah tali kokoh yang menghubungkan seluruh
eksistensi manusia dengan alam malakut. Shalat adalah perwujudan dari
penghambaan murni kepada Sang Ma’bud. Nabi Saw dalam sebuah hadis
bersabda, “Segala sesuatu punya wajahnya tersendiri, dan wajah agama
adalah shalat. Upayakan agar wajah ini selalu nampak indah, menawan dan
sempurna.”
Menurut ungkapan Rasul Saw, sebagaimana dalam
sebuah bangunan, pilar-pilarnya berfungsi sebagai penyokong dan
penyangga bagunan itu. Shalat juga berperan sebagai pilar bagi bangunan
agama. Meski tembok dan jendela sebuah bangunan sangat kokoh, namun
ketika pilar-pilarnya runtuh, kekokohan itu tidak mampu menjaga keutuhan
bangunan. Bangunan keimanan seseorang juga akan runtuh selama
hubungannya dengan Tuhan melalui shalat tidak permanen dan seluruh amal
ibadahnya tidak akan memberi pengaruh sama sekali.
Dengan kata lain, shalat akan memberi nilai dan
arti kepada seluruh perbuatan manusia, sebab shalat merupakan sekumpulan
ucapan, perbuatan, dan motivasi yang suci dan ikhlas. Shalat yang
dilakukan secara rutin dapat menanamkan benih-benih perbuatan baik dalam
jiwa manusia sekaligus mensucikan jiwanya. Imam Sajjad as meminta para
pendiri shalat untuk merenungkan, “Dengan siapa ia sedang menghadap dan
interaksi ini sejauh mana mampu menumbuhkan kebaikan dan memusnahkan
keburukan dalam dirinya.”
Imam Sajjad as mengingatkan bahwa selama shalat
tidak dilakukan dengan benar dan manusia juga tidak merasa kerdil di
hadapan Sang Pencipta, maka shalatnya hanya sebuah ibadah lahiriyah dan
tidak punya pengaruh apa-apa. Rasa khusyu dan tawadhu dalam shalat
diperlukan untuk memahami kemuliaan dan keangunan Tuhan. Sebab Sang
Pencipta sama sekali tidak butuh terhadap amal perbuatan
hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, ruhnya shalat adalah rasa khusyu saat
bermunajat. Salah satu pengaruh paling penting shalat adalah keterjagaan
dari dosa dan maksiat dan kecenderungan ke arah kebaikan. Dalam surat
al-Ankabuut ayat 45, Allah Swt berfirman: “…
Dirikanlah shalat,
sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).”
Hak Shalat (Bagian 2)
Untuk melengkapi pembahasan sebelumnya, kali ini
kita kembali membahas tentang sebuah ibadah yang digolongkan sebagai
pilar agama. Shalat merupakan jawaban atas kebutuhan internal manusia
terhadap doa dan munajat dengan Sang Pencipta. Saat larut dalam munajat,
jiwa seseorang dipenuhi rasa tentram dan damai sampai-sampai cahaya
ibadah tampak dalam raut wajahnya. Mengingat dampak-dampak konstruktif
shalat, Imam Sajjad as dalam buku Risalatul Huquq memaparkan kedudukan
penting ibadah tersebut. Imam as berharap para pendiri shalat menunaikan
ibadah ini secara hakiki. Dirikanlah shalat dengan penuh ketenangan,
ketentraman, kekhusyukan, dan dengan lisan yang indah. Konsentrasikanlah
hati dan jiwa kalian menghadap Allah Swt.
Shalat merupakan sarana untuk menyucikan dosa dan
menggapai ampunan Tuhan, sebab shalat menyeru manusia untuk bertaubat
dan memperbaiki perbuatan-perbuatan masa lalunya. Dalam sebuah hadis
disebutkan bahwa Rasul Saw bertanya kepada para sahabatnya, “Jika di
depan pintu rumah salah seorang dari kalian mengalir sungai yang jernih
dan kalian mandi di sana lima kali sehari, masih tersisakah kotoran di
tubuh kalian?” Para sahabat menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Nabi Saw
kemudian bersabda, “Shalat ibarat air sungai yang mengalir tadi. Setiap
kali orang melaksanakan shalat semua dosa yang ia lakukan antara shalat
itu dengan shalat sebelumnya akan terhapuskan dan setiap luka yang
menggores di ruh manusia akibat dosa akan terobati dengan shalat.”
Shalat yang menghasilkan keimanan kokoh adalah
benteng kuat yang melindungi seseorang dari perbuatan dosa, selain juga
menumbuhkan jiwa penyabar dan kerendahan hati di kalbu. Bahaya terbesar
yang mengancam para pengikut kebenaran adalah kelalaian akan tujuan
penciptaan dan ketenggalaman dalam kehidupan duniawi dan kenikmatan
materi. Shalat yang dilaksanakan lima kali sehari dalam waktu-waktu yang
berbeda berperan menjadi pengingat bagi manusia akan spiritualitas dan
tujuan hidup yang sebenarnya. Setiap hari, kita diperintah untuk
menunaikan shalat sebanyak 17 rakaat. Di setiap rakaatnya kita diajarkan
untuk tunduk di hadapan kebesaran Allah dengan meletakkan dahi dan
wajah di atas tanah. Dengan demikian kita disadarkan akan kehinaan dan
kelemahan yang sebenarnya sehingga tidak lagi terjebak dalam
kesombongan. Imam Ali as berkata, “Allah Swt mewajibkan shalat agar
manusia terlepas dari syirik, dan shalat adalah ibadah yang mengusir
kesombongan.”
Shalat adalah sarana untuk mengembangkan keutamaan
akhlak dan kesempurnaan spiritualitas manusia. Sebab, ibadah ini membawa
manusia keluar dari batas-batasan materi ke alam yang jauh lebih luas.
Pengulangan amalan ini dan fokus kepada sifat-sifat Ilahiyah yang indah
seperti rahmat dan kemurahan yang luas, adalah penyeru terbaik kepada
kebaikan dan kesucian. Dalam riwayat disebutkan, di Hari Kiamat kelak
yang bakal pertama kali ditanyakan kepada manusia adalah shalat. Jika
shalatnya diterima maka semua amalannya akan diterima dan jika shalatnya
ditolak maka semua amalannya juga akan ditolak. Mungkin rahasianya
adalah karena shalat merupakan kunci hubungan antara manusia dengan
Allah. Jika sarana hubungan ini dilaksanakan dengan baik dan benar, maka
ia akan menghidupkan keikhlasan dan kesucian pada orang yang
melaksanakannya.
Selain kandungan shalat yang sarat dengan
nilai-nilai yang tinggi, tata krama shalat juga berpengaruh besar pada
pembentukan jiwa manusia. Tata krama ibadah ini mengajarkan kesucian dan
penghormatan kepada hak-hak orang lain. Salah satu syarat sahnya shalat
adalah halalnya pakaian, tempat dan air yang digunakan untuk berwudhu.
Halal artinya bukan didapatkan secara tidak sah semisal ghasab atau
mencuri. Pesan yang didapat dari aturan ini adalah hak-hak orang lain
harus diperhatikan oleh setiap orang yang hendak melaksanakan shalat.
Dalam riwayat disebutkan bahwa shalat seorang pemimpin yang menzalimi
hak rakyatnya tidak akan diterima oleh Allah. Shalat juga mengajarkan
ketertiban dalam diri manusia karena harus dilaksanakan dalam
waktu-waktu tertentu.
Shalat adalah ibadah yang mengandung sejumlah
kemuliaan praktis yang harus diperhatikan oleh semua orang. Mungkin
karena faktor inilah, Allah Swt dalam al-Quran memerintahkan kita yang
dililit kesulitan untuk meminta pertolongan dari shalat dan kesabaran.
Dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 153 Allah Swt berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.” Ketika orang ditimpa masalah ia memerlukan bantuan yang
bisa menenangkan hati. Bantuan itu dapat ia perolehi pada kesabaran dan
shalat. Dengan demikian, shalat adalah benteng kokoh yang bisa
melindungi seseorang dari himpitan masalah.”
Secara umum, shalat adalah ibadah yang
keseluruhannya berisi penghambaan kepada Allah Swt. Karena itu shalat
juga disebut sebagai zikir bahkan zikir paling utama. Tentunya, zikir
yang benar adalah zikir yang keluar dari hati dan keikhlasan yang dalam.
Shalat yang dilaksanakan dengan khusyuk dan zikir yang mendalam di
kalbu laksana eliksir yang dapat mengubah besi menjadi emas dan
keburukan menjadi kebaikan. Shalat semacam ini akan memandu pikiran dan
perilaku manusia. Karena itulah Imam Sajjad as mengajak kita untuk
melaksanakan shalat dengan baik, benar dan penuh rasa penghambaan.
Hak Puasa
Setelah menjelaskan hak shalat, Imam Ali Sajjad as
membahas tentang hak puasa. Sebab, puasa adalah ibadah yang punya
pengaruh besar jasmani dan rohani. Puasa juga sarat dengan pesan-pesan
penting pendidikan, sosial dan kesehatan. Islam mewajibkan puasa sebulan
penuh pada bulan Ramadhan setiap tahunnya. Puasa dilakukan pada waktu
yang jelas yakni antara terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Selama menjalankan puasa orang dilarang makan, minum dan melakukan
hal-hal yang dapat membatalkan ibadah ini.
Salah satu pelajaran utama yang didapatkan dari
puasa adalah kesetaraan umat. Artinya, dengan menahan lapar dan dahaga
orang -sekaya apapun dia- akan merasakan derita kaum fakir. Dengan
merasakan lapar dan dahaga, hati akan menjadi luluh dan rasa kemanusiaan
akan tergugah. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Puasa diwajibkan dalam
Islam supaya orang mampu dan orang miskin bisa setara.”
Puasa menguatkan tekad dan kemauan serta mengontrol
nafsu. Bisa dikatakan bahwa tujuan utama dari diwajibkannya puasa
adalah supaya orang bisa mengendalikan diri dan hawa nafsunya. Hawa
nafsu adalah dorongan alamiah yang ada dalam diri setiap manusia.
Dorongan itu harus dipenuhi namun dalam batas yang logis dan benar. Hawa
nafsu harus dikendalikan supaya orang tidak terseret kepada sikap dan
tindakan ekstrim dalam menuruti atau meredamnya. Semakin kuat orang
dalam mengendalikan dorongan hawa nafsu, maka semakin kuat pula
kepribadiannya. Sebaliknya, semakin orang tunduk kepada hawa nafsu, maka
semakin lemahlah kepribadiannya.
Orang yang tak pernah punya masalah pengadaan air
minum, makanan dan apa saja yang diperlukannya, akan sulit beradaptasi
dengan goncangan dan penderitaan seperti rasa lapar dan dahaga. Orang
seperti itu mirip dengan pohon yang tumbuh di tempat yang teduh dan
sejuk di tepi aliran sungai. Tumbuhan ini tak punya kekuatan dan mudah
layu. Sejenak saja tidak mendapat siraman air, tumbuhan ini layu dan tak
mustahil akan mati kekeringan. Beda halnya dengan tanaman yang tumbuh
di atas batu yang keras, selalu diombang-ambingkan oleh angin kencang
yang bertiup di lereng pegunungan dan langsung diterpa panas dan dingin.
Tumbuhan jenis ini sangat kokoh dan tidak mudah layu. Puasa adalah
ibadah yang membatasi insan muslim dari beberapa perbuatan yang
sebenarnya halal baginya. Hal itu akan sangat berpengaruh untuk
memperkuat daya tahan manusia serta membuat jiwanya semakin tercerahkan
oleh cahaya dan kesucian.
Dari sisi lain, puasa punya banyak manfaat
kesehatan. Jarang ada dokter yang tidak menekankan soal faedah menahan
diri dari makan dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Nabi Saw
dalam sebuah ungkapan singkat bersabda, “Berpuasalah niscaya kalian
tetap sehat.” Puasa membakar kalori dan kelebihan lemak di badan
sekaligus memberikan kesempatan bagi organ pencernaan untuk
beristirahat. Organ pencernaan ini perlu diistirahatkan setelah bekerja
secara kontinyu sepanjang tahun. Pengistirahatan organ pencernaan dan
lambung untuk sementara waktu akan menyehatkan kondisi umum badan.
Puasa yang dilakukan dengan niat ikhlas untuk
menjalankan perintah Allah Swt akan membersihkan jiwa dan menjauhkan
orang dari riya’ dan kemunafikan. Imam Sajjad as dalam kaitan ini
berkata, “Ketahuilah bahwa puasa adalah tabir yang dijulurkan oleh Allah
untuk menutupi lisan, telinga, mata, aurat dan perutmu supaya kamu
terselamatkan dari sengatan api azab. Dalam sebuah hadis nabawi
disebutkan bahwa puasa adalah tameng dari api negara. Karenanya, jika
anggota tubuhmu tenang di balik tabir itu maka optimislah bahwa engkau
akan mendapat perlindungan. Tapi jika engkau melepaskan kendali dan
membiarkan organ-organ tubuhmu terus memberontak mengoyak tabir Ilahi
dan melanggar batas-batas yang telah Allah tentukan, maka jangan merasa
aman dari balasan terkoyaknya tabir Ilahi.”
Dalam ungkapan tadi, Imam Ali Zainal Abidin as
menerangkan hak puasa yang sebenarnya. Imam mengatakan bahwa puasa bukan
hanya menghindari makan dan minum. Bentuk lahiriyah puasa memang
meninggalkan makan dan minum, tapi yang lebih penting dari itu adalah
bentuk batinnya. Menurut Imam Sajjad, orang yang berpuasa hendaknya
tidak mencukupkan diri dengan menghindari makan dan minum tapi lebih
dari itu, ia juga harus menjaga mata, lisan, telinga, dan hati dari
perbuatan dosa. Artinya, orang yang berpuasa jangan sampai menggunakan
lidahnya untuk berkata yang tidak benar, menggunjing atau melontarkan
tuduhan terhadap orang lain. Telinga juga jangan sampai digunakan untuk
mendengar suara-suara yang mengandung dosa. Demikian pula organ-organ
tubuh yang lain.
Allah Swt telah menjadikan puasa sebagai tameng
pelindung dari api neraka. Tentunya, puasa yang demikian adalah puasa
yang dijalankan dengan benar dan ikhlas demi ketaatan kepada Allah.
Dusta, ghibah, menuduh, dan mengikuti syahwat dapat menjauhkan orang
dari makna puasa yang sebenarnya. Sebaliknya, jiwa dan ruh seseorang
akan semakin sempurna jika ia mengekang hawa nafsu. Saat itulah orang
akan kian mendekat kepada Allah. Inilah yang dalam terminologi agama
disebut dengan istilah takwa. Puasa adalah ibadah yang mendatangkan
ketakwaan. Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Hak Sedekah
Sebagian besar cenderung menyisihkan sebagian
pendapatan harian, mingguan atau bulanannya untuk ditabung sebagai
simpanan hari tua atau cadangan saat ada kebutuhan mendesak. Tujuannya
adalah supaya kelak di hari tua atau saat memerlukan tidak harus
menyusahkan orang lain. Menabung tidak dilarang dalam Islam bahkan agama
ini memandangnya sebagai salah satu bentuk dari pemikiran dan
perencanaan ke depan yang baik. Islam menekankan kepada umatnya untuk
memikirkan masa depan.
Namun dalam perspektif Islam, tabungan tidak
terbatas pada tabungan dalam bentuk materi. Ada pula tabungan yang mesti
dititipkan manusia di sisi Allah, yaitu pahala dari amal kebajikan yang
dilakukan manusia. Tidak ada kata rugi dan nihil dalam tabungan jenis
ini. Bahkan sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah, Dia akan
melipatgandakan amal kebaikan manusia.
Ada sebagian orang yang menyisihkan hartanya
membangun sekolah atau membelanjakan uangnya untuk membantu biaya
sekolah anak-anak miskin, atau membangun sarana umum seperti klinik dan
rumah sakit, berarti telah menabung hartanya di sisi Allah. Sedekah dan
sumbangan yang keluar dari sakunya tidak akan hilang sia-sia karena
Allah lah yang akan menerima dan menyimpannya dalam bentuk pahala
berlimpah di sisi-Nya. Kebiasaan bersedekah dan berderma adalah salah
satu tradisi terpuji yang mendapat perhatian dalam agama Islam.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad
Saw bersabda, “Barang siapa menciptakan tradisi yang baik di tengah
masyarakat sehingga ditiru oleh orang-orang yang lain, maka ia berhak
menerima pahala dari setiap kebajikan yang dilakukan orang lain yang
mengikuti tradisi itu.“ Pahala seperti ini biasanya disebut sebagai
pahala jariyah yang terus mengalir ke lembaran amalnya meski ia telah
meninggalkan dunia ini. Sebaliknya menciptakan tradisi yang buruk akan
membuat seseorang terus mendapatkan dosa orang-orang yang mengikuti
tradisi itu bahkan sampai setelah kematiannya.
Komunitas dan perkumpulan seklompok manusia sering
diibaratkan umpama satu tubuh. Orang sehat adalah orang yang seluruh
anggota tubuhnya sehat. Demikian pula halnya dengan sebuah komunitas
atau masyarakat manusia yang akan disebut jika seluruh anggotanya sehat.
Untuk itu, dalam sebuah masyarakat, orang yang mampu hendaknya membantu
orang-orang yang tidak mampu sehingga kondisi masyarakat akan stabil
dari sisi ekonomi. Sedekah dan derma adalah salah satu manifestasi dari
amal salih dan infak di jalan Allah. Sedekah dan derma bisa menekan
kesenjangan sosial dan jurang antara miskin dan kaya.
Dengan berderma kepekaan orang terhadap nasib orang
lain akan semakin tinggi dan ia akan semakin mengasihi sesama. Akan
tetapi karena manusia adalah makhluk yang rakus dan gemar menumpuk harta
untuk dirinya, maka Islam mensyariatkan amalan sedekah dalam bentuk
zakat dan khumus yang wajib dibayarkan oleh setiap orang yang kaya dan
memenuhi kriteria kewajibannya. Ada juga derma yang sunnah seperti
sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Dalam surah al-Baqarah ayat 261
Allah Swt berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir:
Seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Di dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as
mengenai sedekah dan dampaknya dalam kehidupan manusia berkata, “Hak
sedekah adalah hendaknya engkau mengetahui bahwa (sedekah) adalah
simpananmu di sisi Allah dan amanat yang dititipkan tanpa perlu
kehadiran saksi. Jika hal itu telah engkau ketahui maka hendaknya engkau
lebih merasa tentram saat menitipkan amanat di sisi Allah secara
diam-diam lebih dari ketentaramanmu kala menitipkannya secara
terang-terangan.
Seyogyanya, amal ini hanya diketahui oleh dirimu dan
Tuhanmu, dan jangan libatkan telinga dan mata menjadi saksi…Ketahuilah
bahwa sedekah menjauhkan berbagai musibah dan penyakit dari dirimu dan
akan menyelamatkanmu dari siksa api neraka. Jangan pula engkau
mengungkit-ungkit derma yang engkau berikan dengan itu engkau akan dapat
memanfaatkan derma itu, sedangkan jika engkau ungkit maka berarti
engkau telah menempatkan diri dalam kehinaan. Sebab, dengan mengungkit
berarti engkau mengejar kepentingan sendiri saat berderma…”
Dalam ucapan tadi Imam Sajjad as mengingatkan orang
yang berderma bahwa uang yang dia belanjakan di jalan Allah adalah
tabungan akhirat baginya di sisi Allah. Derma harus selalu diiringi
dengan niat yang tulus dan ikhlas untuk mendapat ridho Allah, bukan
karena faktor ingin dipuji dan dikenal. Selain itu, orang harus yakin
bahwa manfaat dan keuntungan dari sedekah yang ia berikan akan kembali
kepada dirinya. Karena itu sedekah tidak boleh diungkit-ungkit atau
diumbar untuk mencari nama. Agama mensyariatkan sedekah dan infak dan
memandangnya sebagai amalan dengan pahala berlimpah di sisi Allah Swt.
Hak Pemimpin
Imam Sajjad as berkata, “Mengenai hak orang yang
memimpin dan berkuasa atasmu maka ketahuilah bahwa engkau adalah cobaan
baginya dan sedang diuji dengan perantaraan dirimu. Karena itu, berilah
nasehat kepadanya secara tulus dan jangan masuk lewat pintu
pembangkangan terhadapnya, sebab itu hanya akan membinasakanmu.
Perlakukanlah ia dengan rendah hati dan lemah lembut supaya engkau
merebut hatinya dan agamamu terhindari dari gangguannya. Untuk itu
mintalah bantuan dari Allah…”
Setelah menjelaskan hak-hak hukum agama dan ibadah,
Imam Sajjad as menerangkan tentang hak-hak sosial dan politik. Hak
pertama yang beliau singgung adalah hak pemimpin dan penguasa. Dalam
sistem sosial dan politik, sejak zaman dahulu di setiap masyarakat
selalu ada orang yang dijadikan pimpinan. Supaya masyarakat terkontrol
dengan baik, kepemimpinan harus diemban oleh figur yang mumpuni. Tidak
ada satupun negara bahkan masyarakat yang bisa tertata tanpa adanya
sistem kepemimpinan. Sebab kepemimpinan itulah yang menjadi sentra
sistem sosial yang tanpanya kekacauan dan ketidakberaturanlah yang bakal
berkuasa.
Ada masyarakat yang dipimpin oleh figur-figur ilahi
sehingga menjadi masyarakat yang baik dan ada pula yang dipimpin oleh
manusia zalim dan durjana yang hanya membawa kesengsaraan dan
ketidakadilan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Di zaman kita, dua macam
figur pemimpin ini dapat kita jumpai. Islam selalu menekankan bahwa
kepemimpinan suatu masyarakat dan umat harus dipikul oleh manusia yang
cakap, mumpuni, bijak dan salih. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk
peduli terhadap nasib dan masa depan diri dan masyarakatnya. Islam
mengajarkan agar kita memilih orang yang memandang kekuasaan sebagai
sarana untuk mengikis ketidakadilan dan kesengsaraan, serta media untuk
membangun dan memakmurkan masyarakat.
Pemimpin dengan kriteria yang salih punya kedudukan
tinggi di sisi Allah dan Islam memerintahkan kaum muslimin untuk
menghormati dn menghargai pemimpin yang seperti ini. Nabi Muhammad Saw
dalam sebuah hadisnya bersabda, “Hormatilah para pemimpin sebab
merekalah yang mendatangkan kemuliaan, kekuatan dan naungan lindungan
Allah di muka bumi, ketika mereka bertindak adil.”
Imam Musa al-Kazhim as dalam sebuah riwayat
menyebut pemimpin yang adil sebagai ayah yang penyayang bagi masyarakat.
Sebagaimana ayah yang baik akan mendidik anaknya sehingga menjadi
salih, pemimpin yang adil juga berusaha sekuat tenaga untuk membuat
masyarakat dan umat yang dipimpinnya menjadi masyarakat dan umat yang
baik dan selalu bergerak ke arah kesempurnaan.
Menjelaskan hak-hak para pemimpin kenegaraan atau
sosial politik, Imam Ali As-Sajjad memandang kondisi para pemimpin
dengan pandangan yang obyektif dan menerangkan hak-hak mereka.
Tentunya
yang dimaksud pertama kali adalah pemimpin yang kepemimpinannya sah.
Pemimpin yang sah adalah pemimpin yang diangkat oleh Allah sebagai
pemimpin atau mendapat mandat yang sah dari masyarakat.
Dalam ungkapannya, Imam Sajjad as mengingatkan kita
akan satu fakta penting, bahwa seorang mengemban sebuah amanat yang
berat yaitu amanat kepemimpinan. Dia diuji oleh Allah dengan menjalankan
amanat ini. Sungguhnya ketelodoran dan kebodohan besar jika orang
berbangga dan angkuh dengan menyombongkan ujian yang sedang ia jalani.
Memang, yang menjadi materi ujian adalah kedudukan duniawi yang memang
menipu. Jika dia tidak mampu melalui ujian ini dengan baik, maka
kesengsaraan dan kehancuranlah yang menantinya. Sebab, ia harus
mempertanggungjawabkan setiap ketidakadilan dan atau penistaan hak yang
terjadi di ruang kekuasaannya.
Imam Sajjad as juga mengingatkan agar masyarakat
tidak menjadi sasaran kemarahan para penguasa. Beliau menjelaskan bahwa
penguasa biasanya akan melakukan tindakan yang merugikan rakyat jika
merasa ditentang. Hal itu tentu akan membuat rakyat sengsara dan
memunculkan masalah sosial. Imbauan Imam Sajjad as adalah upaya
pencegahan jangan sampai kesulitan dan kesengsaraan itu menimpa
masyarakat yang tidak kuat menanggung derita. Akan tetapi menghindari
kemarahan penguasa bukan berarti menutup mata dari kesalahan dan
penyimpangan yang mungkin terjadi, atau lari dari tanggung jawab melawan
ketidakadilan. Sebab, Islam tidak membolehkan siapapun juga untuk diam
menyaksikan ketidakadilan.
Menurut Imam Sajjad as, jika pemerintahan berjalan
di rel yang tidak benar dan menyimpang ke arah kebatilan, kaum ulama,
tokoh masyarakat dan semua elemen umat wajib bangkit melawan. Namun jika
pemerintahan berjalan dengan benar dan sah, tidak ada hak bagi umat
untuk melawan dan menentangnya. Jika ada yang bangkit melawan berarti
dia layak dicap sebagai pembangkang yang harus ditumpas. Sebab
pembangkangan hanya akan membawa masyarakat kepada kehancuran dan
merongrong kekuatan pemerintahan yang sah. Meski tunduk kepada
pemerintahan, masyarakat tetap punya hak untuk mengkritik kebijakan
pemerintah yang dianggap salah.
Imam Sajjad as menambahkan dengan menyinggung
kebiasaan para penguasa yang memberikan hadiah kepada orang untuk
menarik hati dan dukungannya. Praktik seperti ini jelas tidak benar.
Misalnya, seorang penguasa memberi hadiah kepada seseorang dengan
imbalan orang itu harus melakukan hal-hal yang tidak benar, menistakan
hak orang lain atau mengerjakan satu hal yang bertentangan dengan
kepentingan umum. Hadiah yang diberikan oleh penguasa untuk hal-hal
seperti itu haram diterima. Namun apabila hadiah itu diberikan tanpa ada
imbalan melakukan yang tidak benar, maka kita harus menerima pemberian
itu dengan rendah hati dan tidak lupa berterima kasih.
Hak Guru
Salah satu hak yang ditekankan dalam kitab
Risalatul Huquq adalah hal pembimbing keilmuan atau hak guru atas
muridnya. Tentunya hak guru hanya bisa dimengerti oleh mereka yang
mengerti dengan baik kedudukan ilmu dan orang yang berilmu. Islam
memandang ilmu tak ubahnya bagai air kehidupan yang memberikan kesegaran
pada kehidupan manusia. Ilmu adalah pelita terang yang cahayanya
menyinari jalan kehidupan manusia sehingga jalan kebahagiaan akan mudah
dikenali dan dilewati. Allah Swt bersumpah dengan nama pena saat
menurunkan ayat-ayat sucinya di kalbu Nabi Muhammad Saw di awal-awal
masa kenabian beliau. Turunnya ayat tadi menunjukkan bahwa salah satu
misi yang dibawa oleh agama Islam adalah untuk meningkatkan taraf budaya
dan keilmuan umat. Tak heran jika Nabi Muhammad Saw dalam salah satu
hadisnya memerintahkan umatnya untuk mengajarkan baca tulis kepada anak,
dan pengajaran itu beliau sebut sebagai hak anak atas orang tuanya.
Dalam al-Quran al-Karim disebutkan pula bahwa salah
satu cara terpenting untuk meyakini keesaan Allah adalah ilmu dan
pengetahuan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Islam memandang ilmu
dengan pandangan penuh hormat. Surat Ali Imran ayat 18 menyatakan,
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Ayat ini menjelaskan kedudukan ilmu dan
makrifat dalam membantu manusia mengenal Allah dan menyembahnya sebagai
Tuhan Yang Esa.”
Imam Jakfar Shadiq as pernah mengibaratkan
masyarakat seperti sungai dengan airnya yang mengalir deras. Orang yang
menimba ilmu ibarat ombak sungai itu yang bergelombang dan menciptakan
arus dari dirinya. Arus itulah yang membawa kemakmuran. Tapi ada pula
yang bukan masuk golongan orang berilmu dan tidak pula mencari ilmu.
Mereka tak lebih dari buih dan ranting-ranting yang tidak punya gerakan
dari diri sendiri dan hanya bergerak mengikuti arus yang membawa mereka.
Ranting-ranting itu terkadang berkumpul menjadi satu dan menghalangi
gerak arus air sungai. Kepada kelompok ini Imam as mengimbau untuk
mencari ilmu dan mengingatkan mereka untuk tidak bergerak tanpa arah dan
tujuan yang jelas.
Penghormatan kepada ilmu tentunya meniscayakan
penghormatan kepada para ilmuan, kaum cendekia dan ulama. Hanya saja
dalam kacamata Islam, hanya orang yang mengamalkan ilmunya yang berhak
mencapai kedudukan makrifat yang tinggi. Mereka inilah yang layak
menjadi panutan dan teladan bagi umat masyarakat umum. Dalam sebuah
hadis, Nabi Saw bersabda, “Barang siapa melangkahkan kaki untuk mencari
ilmu maka Allah Swt akan membukakan jalan baginya menuju surga dan para
malaikat menghamparkan sayap untuk pijakan kakinya dengan penuh suka
cita. Barang siapa melangkahkan kaki untuk mencari ilmu maka seluruh
penduduk langit dan bumi akan memintakan ampunan dan maghfirah baginya.”
Dalam sebuah hadis yang lain, Nabi Saw bersabda,
“Kelebihan orang yang berilmu dibanding orang yang taat beribadah
seperti kelebihan sinar bulan purnama dibanding bintang-bintang di
langit.” Hadis ini mengandung arti bahwa orang yang beribadah hanya
menyelamatkan diri sendiri dengan ibadahnya, akan tetapi peran orang
yang berilmu sama seperti pelita yang menerangi masyarakat sekitarnya.
Orang yang alim dengan nasehat dan ilmunya dapat menyingkirkan kesesatan
dan kebodohan serta mencegah masyarakat dari keterjerumusan ke dalam
jurang kehancuran.
Imam Sajjad menjelaskan bahwa orang yang mengetahui
kedudukan ilmu pasti akan menghormati orang alim. Karena itu, mahasiswa
dan maupun pelajar yang sedang menuntut ilmu harus menghargai guru yang
membimbingnya di jalan keilmuan. Artinya, guru dan orang alim punya hak
atas para pelajar dan murid-muridnya yang berupa penghormatan mereka
kepada guru. Selain itu, kata-kata guru ketika sedang mengajar dan
memberikan penjelasan harus didengar dengan baik supaya materi ilmiah
yang disampaikannya bisa dipahami dan dimengerti.
Orang yang mendengar kata-kata kebenaran atau
penjelasan ilmiah hendaknya menyampaikan materi yang diterima secara
sempurna tanpa kekurangan sedikitpun. Dengan demikian, orang lain bisa
memanfaatkan ilmu dan kebenaran itu. Ketika berada di sisi guru, seorang
murid dituntut untuk bersikap sopan dan menghindari perkataan kosong
yang tidak berguna.
Nabi Saw dan para Imam Ahlul Bait serta para ulama
menekankan untuk menjaga tata krama dalam berhubungan dengan guru. Imam
Ali bin Abi Thalib as sangat menekankan soal kerendahan hati dan tawadhu
di depan guru. Dalam sebuah riwayat beliau berkata, “Barang siapa
mengajarkan kepadaku barang satu kata, berarti dia telah menjadikanku
budaknya.”
Dalam Risalatul Huquq, Imam Sajjad as memerintahkan
para pelajar dan pencari ilmu untuk menghormati guru. Imam as
menekankan untuk menjaga amanat dalam apa yang ia pelajari. Sebab,
terkadang kebenaran dan kesalahan sebuah masalah akan menjadi jelas
lantaran nisbatnya kepada Nabi atau para imam. Karena itu amanat harus
dijaga sehingga kebenaran akan terjaga pula.
Hak Rakyat
Imam Sajjad as dalam Risalatul Huquq menyerukan
kepada para penguasa untuk menjaga dan melindungi hak rakyat. Beliau
berkata, “Hak mereka yang ada di bawah kekuasaan dan pemerintahanmu
adalah engkau harus menyadari bahwa mereka ada dalam kekuasaanmu karena
kelemahannya dan kekuatanmu. Karena itu, sebaiknya engkau menjaga hak
mereka yang melaksanakan perintahmu dan tidak mampu meraih haknya dengan
cara bangkit melawan dirimu. Untuk itu, bersikaplah lemah lembut
terhadap rakyat dan maafkan kesalahan yang mungkin mereka lakukan karena
kebodohan mereka. Jangan tergesa-gesa menjatuhkan vonis atas mereka dan
bersyukurlah kepada Allah yang telah memberimu kekuatan dan kemampuan.”
Penghormatan kepada kemuliaan dan kepribadian
seseorang di sebuah komunitas merupakan tanda kemajuan umum dan indikasi
kesejahteraan sebuah masyarakat. Sebaliknya, pelecehan kepribadian dan
harga diri anggota masyarakat dipandang sebagai pertanda keterbelakangan
sebuah komunitas. Di sebuah masyarakat yang hubungannya dengan
pemerintah terjalin berdasarkan aturan yang adil sehingga seluruh
anggotanya menyadari tugas masing-masing, tentu tidak akan ada yang
mengizinkan pelanggaran terhadap hak orang lain. Masyarakat yang seperti
ini akan menjadi masyarakat yang aman dan stabil sebab hukum dan aturan
ditegakkan di sana.
Rasulullah Saw membentuk masyarakat dan
pemerintahan baru di kota Madinah dengan dilandasi oleh hukum yang adil.
Dalam konsep ini, hak masing-masing sudah diatur. Tugas dan wewenang
pemerintah sudah terjelaskan, sementara hak dan kewajiban rakyat juga
sudah diatur. Rasulullah Saw memandang semua orang punya kehormatan
tersendiri yang harus dijunjung tinggi. Beliau memerintahkan masyarakat
untuk saling hormat terdapat sesama. Sebab, Allah Swt telah menegaskan
bahwa kehormatan dan kemuliaan adalah milik Allah, Rasul dan kaum
mukmin. Di ayat kedelapan surah al-Munafiqun Allah berfirman, “Dan
Sesungguhnya kemuliaan itu adalah milik Allah, RasulNya dan kaum
mukmin.”
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk
menghormati harga diri dan kepribadian orang. Islam bahkan memandang
orang miskin yang terhormat lebih mulia dibanding orang kaya yang hina.
Imam Sajjad dalam kaitan ini berkata, “Aku tidak suka memperoleh sesuatu
yang paling berharga sekalipun dengan cara menghinakan diri sendiri.”
Rasulullah Saw membentuk pemerintahan Islam untuk
menghidupkan kepribadian insani serta kebebasan dan martabat masyarakat.
Dalam pemerintahannya, beliau melarang orang membuka celah untuk
kehinaan diri sendiri atau orang lain. Rasul menentang keras praktik
menjilat pemerintah. Ketika sedang berkendara, Nabi Saw tidak
mengizinkan seseorang menyertai beliau dengan berjalan kaki. Karena itu
beliau sering menaikkan orang membonceng tunggangannya. Ketika orang
yang bersangkutan menolak, beliau akan memerintahkannya agar berjalan
terlebih dahulu untuk bertemu di satu tempat yang disepakati berdua.
Imam Ali bin Abi Thalib as dikenal dengan pemimpin
yang adil. Beliau sangat peka terhadap keadilan dan mengedepankan
persamaan hak di antara masyarakat. Dalam sebuah suratnya kepada salah
seorang gubernurnya, Imam Ali as menulis, “Perlakukanlah rakyat dengan
rendah hati, muka manis dan lemah lembut. Jangan sampai engkau hanya
melirik satu orang dan menatap dengan penuh perhatian kepada orang lain.
Tataplah mereka dengan penghormatan. Jangan engkau jawab seseorang
dengan anggukan namun menjawab orang lain dengan penuh hormat.
Perlakukanlah mereka secara adil dan merata, sehingga tidak ada orang
yang ambisi memprovokasimu untuk melakukan kezaliman terhadap orang yang
lemah dan jangan sampai orang lemah putus asa akan keadilan yang mereka
harapkan darimu.”
Orang-orang yang berkuasa di berbagai bangsa dan
negeri terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka
memimpin karena dipilih oleh masyarakat sehingga kekuasaan menjadi
amanat dari masyarakat kepadanya. Sedangkan kelompok kedua berkuasa
karena kekerasan dan paksaan. Di masyarakat yang pemimpinnya dipilih
oleh rakyat, pemimpin akan berusaha memuaskan hati rakyat dan menarik
simpati mereka. Sebab jika tidak puas, rakyat bisa menurunkan mereka dan
menyerahkan kekuasaan kepada orang lain. Sementara, mereka yang merebut
kekuasaan dengan kekuatan tangan atau harta harus menyadari bahwa
mereka memperoleh kekuasaan karena kelemahan rakyat. Karena itu jangan
sampai mereka melakukan kezaliman kepada rakyat.
Mungkin dapat dikatakan bahwa yang menjadi sasaran
imbauan dan seruan Imam Sajjad as yang disebutkan di awal tadi adalah
kelompok kedua, yakni mereka yang berkuasa karena kekuatan lebih yang
mereka miliki. Mereka inilah yang diseru Imam Sajjad as untuk melindungi
hak-hak rakyat serta memperlakukan mereka dengan lemah lembut dan
memaafkan kesalahan mereka. Para penguasa hendaknya menyadari bahwa
kekuasaan ini ada di tangan mereka berkat adanya rakyat. Karena itu,
rakyat harus dihargai dan dihormati. Imam as mengingatkan bahwa
kezaliman terhadap rakyat bisa mengancam kekuasaan mereka. Sebab hal itu
bisa memancing rakyat bangkit melawan ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan. Allah juga tidak akan membiarkan kaum zalim berbuat
aniaya tanpa balasan.
Hak Murid
Orang yang pandai dan berilmu ibarat cahaya yang
menerangi masyarakat dengan ilmu dan kebijaksanaannya. Ia menjadi
penggugah jiwa-jiwa yang terlelap dan membekalinya dengan pengetahuan.
Ia pula yang menyingkirkan kebodohan dari tengah masyarakat. Karena itu
ia memiliki hak atas diri muridnya.
Namun demikian, hak tersebut bukan hak yang searah.
Sebab, murid juga punya hak yang harus diperhatikan oleh gurunya. Kita
banyak menyaksikan adanya orang-orang pandai yang enggan mengajarkan
ilmu mereka kepada orang lain. Mereka tenggelam ke dalam kecongkakan dan
sikap takabur sehingga tak bersedia berbagi ilmu kepada masyarakat.
Padahal ilmu adalah cahaya benderang dan guru adalah orang yang
menyalakan cahaya itu di hati mereka yang ingin mendapat pengetahuan dan
hakikat. Karena itu, tugas guru adalah menyulut cahaya ilmu dan
membantu pertumbuhan dan kemajuan masyarakat dengan ilmu.
Dalam budaya Islam, ilmu dan akhlak laksana dua
sayap kokoh yang membantu manusia terbang tinggi ke puncak kesempurnaan.
Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang bisa mengkombasikan dua
unsur ilmu dan akhlak. Jelas bahwa masyarakat yang berbudi luhur tapi
tak berbekal ilmu akan menjadi masyarakat terbelakang, meski mungkin
saja di sana akan tegak hubungan kemanusiaan yang baik dan hangat.
Sebaliknya, masyarakat yang berilmu tanpa akhlak
dan iman akan menjadi masyarakat yang maju secara lahiriyah namun
dililit banyak masalah dan kesulitan. Kondisi terakhir inilah yang kita
saksikan di Dunia Barat yang meski maju namun terjebak dalam banyak
masalah akibat keterasingan dari nilai-nilai insani. Karena itu, guru
dan pembimbing selain menyampaikan ilmu juga memikul tugas dan tanggung
jawab besar untuk mendidik masyarakatnya. Pendidik yang sebenarnya
adalah orang yang berjuang untuk menyingkirkan tabir kebodohan, mendidik
dan mengembangkan moral dan etika muridnya serta melaksanakan apa yang
diucapkannya.
Imam Sajjad dalam sebuah penggalan kata-katanya
dalam kitab Risalatul Huquq menyinggung hak murid dan berkata, “Adapun
hak mereka yang berada di bawah bimbingan keilmuanmu adalah, kau harus
menyadari bahwa kau telah ditetapkan untuk membimbingnya lantaran ilmu
dan khazanah pengetahuan yang Allah amanatkan kepadamu. Karena itu, jika
kau mengajarkan dengan baik dan berlaku laksana pemegang amanat atau
bendahara yang dipercaya membagikan harta tuannya dan tidak
memperlakukannya dengan kasar, niscaya Allah dengan kemurahan-Nya akan
menambah ilmumu. Sebab kau telah mencurahkan perhatian untuk
membimbingnya dengan penuh keyakinan dan harapan. Namun apabila kau
bersikap kasar terhadapnya saat mengajar berarti kau telah mengkhianati
amanat Ilahi dan berbuat zalim terhadap hamba-Nya. Jika itu terjadi,
maka Allah berhak mencabut ilmu dan kemuliaanNya dari dirimu dan
menjatuhkan derajatmu dari hati hamba-hamba-Nya.”
Imam Ali as berkata, “Setiap kekayaan pasti ada
zakatnya. Dan zakat ilmu adalah mengajarkan dan menyebarkannya.” Ilmu
dipandang sebagai kekayaan yang sangat bernilai karena dengannya
kesulitan hidup dan tabir-tabir ketidaktahuan disingkap. Imam Sajjad as
mengimbau para ulama, ilmuan dan kalangan cendekia untuk menyebarkan
ilmu dengan kesabaran dan rendah hati. Mereka diimbau agar mengajarkan
ilmu dan tidak memendamnya untuk diri sendiri. Dalam sebuah hadis,
Rasulullah Saw bersabda, “Ilmu yang tidak bisa dimanfaatkan oleh
masyarakat laksana harta karun yang terpendam di perut bumi.”
Hak murid yang lain seperti dijelaskan oleh Imam
Sajjad adalah bahwa guru harus menyampaikan materi yang diajarkan dengan
bahasa yang jelas dan menarik. Sebab, berbicara dengan bahasa yang
jelas, mudah dan menarik memiliki kesan yang lebih besar pada diri
pendengarnya dan tentunya berbeda jauh dengan pembicaraan dengan bahasa
yang sulit dipahami. Nabi Saw adalah sebaik-baik contoh orang yang
berbicara tanpa dibuat-buat. Bahasa yang beliau gunakan jelas dan mudah
dimengerti. Berbicara dengan siapapun, beliau menggunakan bahasa yang
sesuai dengan pemahamannya. Bahkan bisa dikatakan bahwa salah satu
faktor yang membuat Islam menyebar dengan cepat di zaman Nabi Saw adalah
penjelasan dan kata-kata beliau yang mudah dimengerti.
Hak Istri
Imam Sajjad berkata, “Hak istri adalah bahwa engkau
harus menyadari Allah telah menjadikannya pelipur lara dan penghibur
bagi dirimu. Karena itu masing-masing dari suami dan istri harus
bersyukur kepada Allah atas nikmat yang didapat berupa pasangannya
seraya memandangnya sebagai nikmat yang Allah berikan kepadanya. Oleh
sebab itu, anugerah ini harus dihargai dan diperlakukan dengan baik,
meskipun hakmu atas dirinya lebih besar. … Perempuan memiliki untuk
engkau perlakukan dengan lembut dan kasih sayang.”
Kata-kata Imam Sajjad tadi berkenaan dengan hak
suami dan istri yang harus diperhatikan oleh pasangannya. Suami dan
istri adalah dua unsur pertama yang membangun sebuah keluarga. Dengan
kata lain, jika tak ada jalinan pernikahan tak ada hubungan di antara
umat manusia dan masyarakat manusia tidak akan menemukan bentuknya
seperti yang ada saat ini. Karena itu, salah satu lembaga kemasyarakatan
yang punya posisi vital dan hubungan di dalamnya harus diupayakan
semakin kokoh adalah keluarga. Keluarga adalah tempat pendidikan
generasi yang bakal membangun masyarakat dan negara. jika hubungan
antara anggota keluarga, khususnya antara suami dan istri renggang,
anak-anak yang terlahir dan terdidik di dalamnya tidak bisa diharapkan
menjadi anak-anak yang berguna bagi masyarakat. Dari sisi lain, lemahnya
institusi keluarga menimbulkan dampak yang negatif terhadap seluruh
lembaga sipil dan sosial.
Poin penting yang disinggung Imam Sajjad as adalah
cinta dan kasih sayang yang menjadi landasan utama bagi sebuah keluarga.
Hubungan yang didasari cinta dan kasih sayang menjadi faktor utama
lahirnya ketenangan bagi suami dan istri untuk hidup berdampingan. Tak
heran jika Imam lantas menyebutnya sebagai anugerah ilahi seraya
mengimbau suami dan istri untuk mensyukuri nikmat tersebut dan
memperlakukan pihak lain dengan sebaik mungkin.
Masyarakat dunia saat ini sedang disibukkan oleh
masalah Hak Asasi Manusia. Bahkan sebagian negara tampil dengan
mengesankan diri sebagai pembela HAM, walaupun dalam tindakan sering
kali mereka justeru menutup mata darinya. Di negara-negara tersebut,
sendi-sendi keluarga nampak sangat rapuh. Cinta dan kasih sayang insani
seakan kata yang asing bagi kebanyakan orang di sana. Krisis kepercayaan
telah menggerogoti ketenangan dan tindak kekerasan terhadap perempuan
justeru sering terjadi dalam keluarga. Jelas bahwa kondisi seperti itu
menjadi faktor paling dominan dalam menghancurkan keluarga.
Dari sisi lain, rapuhnya fondasi keluarga berdampak
pada munculnya berbagai kesulitan dan masalah sosial. Fenomena keluarga
dengan satu orang tua, atau orang tua yang tak peduli dengan anak,
serta merebaknya budaya seks bebas telah menenggelamkan para remaja ke
dalam krisis kepribadian. Mereka terjebak dalam lingkaran keluarga yang
tak memberikan kehangatan kasih sayang. Artinya, dalam masyarakat
seperti itu, lingkungan keluarga telah kehilangan makna keberadaannya.
Menelaah ajaran Islam akan mengenalkan kita kepada
faktor-faktor yang dapat memperkokoh bangunan keluarga. Islam telah
menentukan hak dan kewajiban bagi suami dan istri. Dalam ajaran Islam,
keluarga adalah bangunan yang didirikan di atas pondasi cinta dan kasih
sayang. Dikisahkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw mendatangi rumah
putrinya, Fatimah az-Zahra as. Beliau Saw menyaksikan Ali bin Abi Thalib
as sedang membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah. Nabi Saw
lantas memuji menantunya itu dan memberinya kabar gembira akan pahala
besar di sisi Allah. Beliau bersabda, “Wahai Ali! Membantu istri
menghapuskan dosa-dosa besar, memadamkan api kemarahan Allah, dan akan
menjadi mas kawin untuk menikahi bidadari di surga. Bantuan itu akan
mendatangkan kebaikan yang berlimpah dan meninggikan derajat.”
Dalam pernyataannya, Imam Sajjad as menyeru seluruh
anggota keluarga untuk menghargai kedudukan insani perempuan. Sebagai
manusia, perempuan memiliki kedudukan yang khusus dan kemuliaan serta
derajat yang tinggi di sisi Allah. Karena itu, kedudukan perempuan dalam
keluarga harus diperhatikan dan dihargai. Kepada kaum pria, Imam Sajjad
as mengimbau mereka untuk memberikan kasih sayang dan cinta kepada
istri. Sebab, sikap kasar dan beringas terhadap istri berarti
mengabaikan kemuliaan dan kedudukannya.
Banyak sekali keluarga yang melalaikan masalah
sepenting ini. Namun Islam dalam ajarannya menyeru kepada kaum Muslimin
untuk bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap istri. Dalam
sebuah hadis dikatakan, “Perempuan adalah bunga bukan pekerja yang
harus melakukan pekerjaan berat.” Sikap suami dan istri yang saling
menjaga hak-hak pasangannya akan membuat suasana rumah tangga penuh
cinta dan kasih sayang. Di tempat itulah, anak-anak yang salih dan
berguna bagi agama dan masyarakat akan terdidik dengan baik.
Hak Ibu
Hubungan emosi terkuat yang ada pada diri manusia
adalah hubungan antara anak dan kedua orang tuanya. Afeksi ini lebih
kuat pada orang tua terlebih ibu. Secara alamiah, ibu menyayangi anaknya
tanpa pamrih. Ayah dan ibu hanya berharap keselamatan dan kesehatan
anak mereka. Keduanya sangat menikmati segara jerih payah yang harus
dilakukan dalam merawat anak. Mereka terus memantau dan mengawasi
perkembangan anak dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keistimewaan
ini menambah kesucian hubungan antara mereka.
Kehidupan manusia tidak pernah bisa dilepaskan dari
pengorbanan kedua insan mulia yang disebut ayah dan ibu. Karena itu,
agama memandang pengabdian kepada orang tua sebagai pengabdian terbesar
yang bisa dilakukan seseorang kepada orang lain. Jasa orang tua
sedemikian besarnya sehingga pengabdian dan kebaikan apapun yang
dilakukan anak kepada ayah dan ibunya tetap tidak bisa membalas semua
jasa itu. Nilai-nilai agama punya peran besar dalam menghidupkan emosi
dan perasaan insani di tengah masyarakat. Nilai yang agung ini semakin
suci ketika menyentuh masalah hubungan dengan ayah dan ibu. Memandang
wajah ayah dan ibu dengan rasa cinta dan kasih sayang juga tergolong
sebagai ibadah. Islam menekankan kepada anak untuk berbakti kepada ayah
dan ibu serta selalu menghormati mereka.
Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah
Saw dengan mengatakan, “Ya Rasulullah! Ayah dan ibuku sudah uzur dan
sangat memerlukan bantuan dalam melakukan urusan pribadinya. Aku
mendampingi mereka dan membantu serta memperlakukan mereka dengan lemah
lembut seperti mereka memperlakukanku di masa aku kecil. Aku menyuapkan
makan ke mulut mereka dan memenuhi apa saja yang mereka perlukan. Apakah
dengan begitu aku sudah melaksanakan apa yang menjadi hak mereka?”
Rasul Saw menjawab, “Tidak. Sebab mereka telah
menanggung segala derita dan kesusahan ketika merawat dan membesarkanmu,
tanpa pamrih. Mereka berharap engkau sehat dan panjang umur. Engkau
telah memperlakukan mereka dengan baik namun yang engkau nantikan adalah
ajal yang menjemput mereka. Karena itu, engkau tidak akan pernah bisa
melaksanakan apa yang menjadi hak mereka.”
Dalam pandangan Imam Sajjad as ayah dan ibu
mempunyai hak yang sangat besar terhadap anak mereka. Dalam menjelaskan
hak itu Imam mengusik pikiran orang untuk mengingat pengorbanan besar
dari ayah dan ibu dalam merawat dan membesarkan anak. Imam memberikan
gambaran sedemikian rupa dari jerih payah dan kesabaran ibu dalam
merawat anaknya. Penjelasan Imam Sajjad as menggugah setiap kalbu dan
mendorongnya untuk berbakti kepada ayah dan ibu.
Mengenai peghormatan kepada ibu, Imam Sajjad as
berkata, “Hak ibu atas dirimu adalah bahwa engkau harus menyadari bahwa
ibulah yang menjagamu di suatu tempat yang tidak mungkin ada orang lain
yang bisa melakukan itu untukmu. Dia memberimu makan dari jiwanya dan
menjagamu sepenuh jiwa, dengan telinga, mata, tangan, rambut bahkan
kulitnya. Dia rela merasakan semua kesusahan demi supaya anaknya
gembira dan senang. Dia rela menahan lapar untuk membuat anaknya
kenyang. Dia rela berjemur di bawah sengatan matahari supaya anaknya
berada di tempat yang teduh. Dia rela terjaga supaya anaknya bisa tidur
dengan nyenyak.”
Selanjutnya Imam Sajjad as berkata, “Perut ibu
adalah wadah bagi wujudmu dan pangkuannya adalah tempat berlindung yang
aman buatmu. Dia rela merasakan panas dan dingin demi dirimu. Karena
itu, hendaknya engkau berterima kasih kepadanya atas segala curahan
kasih sayang yang dia berikan kepadamu. Dan engkau tidak mungkin bisa
berterima kasih kepadanya kecuali jika Allah membantumu.”
Dengan kedatangan Islam dan turunnya ayat-ayat
al-Quran bakti kepada orang tua menjadi satu prinsip yang dipandang
sakral. Al-Quran melarang anak mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti
hati orang tuanya. Dalam surat al-Isra ayat 23-24 Allah Swt berfirman,
“Dan Rab (Tuhan) mu telah memerintahkan supaya kamu jangan
mempertuhankan selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu
bapak kamu. Jika salah seorang antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan hamparkanlah sayap
kerendahan dirimu terhadap mereka berdua dengan kasih sayang dan
ucapkanlah: "Rabbi (wahai Tuhanku)! Kasihanilah mereka berdua,
sebagaimana mereka telah memeliharaku di waktu kecil".
Penekanan akan penghormatan kepada orang tua dalam
Islam bukan hanya disebabkan oleh faktor keharusan berbalas budi kepada
pendidik dan orang yang merawat kita, tetapi juga membawa pesan penting
lainnya, yaitu keharusan untuk memperkokoh bangunan keluarga. Kekokohan
sebuah masyarakat sangat bergantung pada kekokohan semua elemen yang
membentuknya, yang salah satunya adalah keluarga. Islam sangat
mementingkan kasih sayang dalam berhubungan khususnya dalam hubungan
anak dengan orang tua, supaya afeksi yang baik ini terus tumbuh
berkembang dan kokoh dalam kehidupan.
Rasa hormat dan kasih sayang di tengah anggota
keluarga akan menciptakan suasana yang ceria dan kehangatan yang
menambah keharmonisan hidup. Ketika ayah dan ibu ditempatkan di posisi
yang benar dan mendapat penghargaan yang semestinya, maka keluarga itu
akan menjadi keluarga yang harmonis.
Hak Ayah
Rekan setia, pada pembahasan yang lalu kita telah
berbicara tentang posisi ayah dan ibu yang harus dihormati oleh setiap
orang. Agama mengajarkan kepada kita semua untuk menghormati kedua orang
tua dan taat kepada mereka. Jika Allah Sang Pencipta Alam telah
menciptakan manusia maka yang mendidik dan mengasuhnya adalah ayah dan
ibu. Mereka berdualah yang bekerja keras mengaktivasi potensinya.
Tentunya yang dimaksud dengan kebaikan, cinta,
kasih sayang dan penghormatan kepada ayah dan ibu bukanlah ungkapan rasa
kasih yang kering atau senyuman lahir saja. Anak dituntut untuk
mencintai kedua orang tuanya dengan setulus mungkin dan menunjukkan
cinta itu kepada mereka. Allah Swt sangat mengagungkan kedudukan orang
tua dan memerintahkan anak supaya merendah di hadapan ayah dan ibunya,
berbuat baik kepada mereka dan membuat mereka rela kepadanya. Di dalam
al-Quran Allah Swt berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil". (Q.S al-Isra: 24) Nabi Isa as tatkala hendak mengenalkan
dirinya, juga menyinggung tentang pentingnya ketaatan kepada ibu. Hal
itu diabadikan oleh Allah dalam surat Maryam ayat 32.
Selain masalah penghormatan dan kasih sayang, poin
penting yang harus mendapat perhatian terkait ayah dan ibu adalah soal
ketaatan kepada mereka. Sebab, ketaatan itu akan membuat mereka ridha
dan senang terhadap anak. Akan tetapi untuk ketaatan kepada ayah dan ibu
ada batasan-batasannya. Dalam kitab suci al-Quran Allah Swt berfirman,
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
(Q.S. Luqman: 15)
Meski Islam menekankan untuk menghormati kedua
orang tua, namun yang kita juga dilarang menjadikan kecintaan dan kasih
sayang itu penghalang bagi tegaknya kebenaran. Dalam surat al-Nisa ayat
135 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.”
Dalam kitab Risalatul Huquq yang memuat kata-kata
Imam Ali bin Husain as-Sajjad as disebutkan bahwa beliau menekankan soal
cinta, penghormatan dan ketaatan kepada ayah dan ibu. Beliau berkata,
“Hak ayah atas dirimu adalah bahwa engkau harus tahu akan dia adalah
asal dan akar dari dirimu sedangkan engkau adalah anak cabang darinya.
Jika dia tak ada maka engkaupun tak akan pernah ada. Karena itu setiap
kali menyaksikan apa-apa yang menenangkan diri ketahuilah bahwa
kenikmatan itu berasal dari ayahmu, dan pujilah Allah atas nikmat itu
dan bersyukurlah kepadaNya.”
Dalam penjelasannya, Imam as bukan hanya
menyinggung soal penghormatan dan kasih sayang kepada ayah dan ibu
tetapi juga menyebut mereka sebagai asal usul kita. Karena itu ayah
mempunyai hak yang besar atas anak. Orang tua telah menanggung beban
berat dan kesulitan dalam membebarkan dan mendidik anak supaya menjadi
insan yang berguna bagi masyarakat. Inti persoalan yang diangkat Imam
Sajjad dalam pernyataan tadi adalah bahwa asal usul setiap orang adalah
orang tuanya.
Sains saat ini telah membuktikan peran besar gen
dan keturunan dalam membentuk karakter, sifat dan kepribadian seseorang.
Bahkan kecenderungan perilaku dan tata krama banyak diwariskan orang
tua kepada anak. Yang menarik, masalah yang diungkap sains saat ini
telah dijelaskan oleh para pemuka agama kita sejak lebih dari seribu
tahun yang lalu. Kita semua diingatkan bahwa sifat-sifat terpuji dan
baik yang ada pada diri kita adalah buah dari pohon asalnya yaitu oirang
tua kita.
Imam Sajjad as mengingatkan bahwa jika pada
tahun-tahun berikut kita tumbuh besar, mencapai kesempurnaan, dan
menjadi orang yang dewasa, tampan, dan pandai semua itu adalah berkat
jerih payah orang tua dalam mendidik dan membesarkan kita. Orang tua
melakukan semua itu dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun.
Tanpa mereka, kita tidak akan pernah ada dan tanpa jerih payah mereka
kita akan pernah menjadi apa-apa. Atas dasar itu kita mesti menghormati
dan menghargai orang tua.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di hari
Asyura Imam Husain as yang sudah sendirian dengan gagah berani mengoyak
barisan musuh yang berjumlah ribuan orang. Saat itu Umar Bin Saad,
komandan pasukan musuh berseru, “Sungguh ruh ayahnya menjelma pada diri
al-Husein.” Keberanian dan ketangguhan dalam berperang diwarisi
al-Husein dari ayahnya Ali bin Abi Thalib as.
Di akhir pembahasan ini, kami mengajak anda untuk
menyimak sabda Nabi Saw tentang hak ayah dan ibu. Kepada Imam Ali bin
Abi Thalib as, Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ali, barang siapa membuat
sakit hati ayah dan ibumu berarti telah memperlakukan mereka dengan
buruk.”
Hak Orang Tua
Pembahasan mengenai hak ayah dan ibu telah selesai.
Islam menjelaskan bahwa kedudukan ayah dan ibu yang tinggi di sisi
Allah. Bahkan, Imam Ali Zainal Abidin as menekankan kepada setiap anak
untuk menjaga hak-hak kedua orang tua. Penekanan itu didasarkan pada
keakraban yang biasanya terjalin dalam hubungan anak dengan ayah dan
ibunya sehingga terkadang batas-batas penghormatan terabaikan.
Islam mengajarkan untuk menjaga batas hak dan
penghormatan kepada ayah dan ibu. Diantara yang diajarkan Islam adalah
penegasan untuk tidak memanggil ayah dan ibu dengan nama mereka, tidak
berjalan mendahului mereka, dan tidak duduk ketika berhadapan dengan
mereka saat sedang berdiri. Islam juga mengharuskan anak untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan orang tuanya. Para ulama menegaskan, jika ayah
dan ibu mengalami kesulitan materi maka anak harus mengulurkan
bantuannya. Dalam Islam juga diajarkan untuk membagi harta peninggalan
kepada ayah, ibu dan sanak keluarga sebagai warisan.
Imam Jakfar Shadiq as dalam sebuah riwayat berkata,
“Di hari kiamat Allah akan menyingkap salah satu tirai surga maka
seketika semua orang di padang Mahsyar akan mencium semerbak bau surga
yang wanginya bisa dicium dari jarak perjalanan 500 tahun. Hanya ada
sekelompok orang yang tidak mencium aroma itu.” Seseorang bertanya,
“Siapakah kelompok itu?”. Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang
yang tidak mengindahkan kehormatan ayah dan ibu dan memutus hubungan
dengan mereka.”
Menghormati ayah dan ibu memberikan kesan yang
besar dalam kehidupan dunia dan akhirat. Diantara kesannya yang paling
menonjol adalah umur yang panjang. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw
bersabda, “Barang siapa ingin memiliki umur yang panjang di dunia ini
maka hendaknya ia berbuat baik kepada ayah dan ibu.”
Dalam hadis yang lain beliau menjelaskan buah yang
didapat orang dari bersabda, “Siapa saja yang bersedia menjamin untuk
berbuat baik dan mengabdi kepada ayah dan ibu serta menyambung tali
kekerabatan maka aku akan menjamin baginya beberapa hal; rezeki yang
berlimpah, umur yang panjang dan ketiga kecintaan di hati masyarakat
kepadanya.”
Alam ini berdiri berdasarkan aturan penciptaan.
Diantara aturan itu adalah bahwa setiap perbuatan pasti akan
mendatangkan pengaruh yang sesuai. Berdasarkan aturan ini, siapa saja
yang melakukan kebaikan kepada orang lain maka ia akan mendapat kebaikan
dan siapa saja yang melakukan keburukan kepada orang lain maka ia akan
menuai keburukan pula. Karena itu, jika seseorang berbakti kepada orang
tuanya maka kelak ia akan mendapat pengabdian dan kebaikan dari
anak-anaknya.
Bakti kepada ayah dan ibu akan mendatangkan banyak
kebaikan dalam kehidupan akhirat. Rasulullah Saw bersabda, “Jika
seseorang melewati malam sampai pagi dalam keadaan diridhai oleh ayah
dan ibunya, maka Allah akan membukakan dua pintu surga baginya. Namun
jika ia melewatkan malam sementara ia mendapat keridhaan dari satu
diantara ayah dan ibunya maka Allah akan membukakan baginya satu pintu
surga.”
Kebalikan dari apa yang sudah disebutkan adalah
kedurhakaan dan kekurangajaran terhadap kedua orang tua yang akan
membawa keburukan. Kedurhakaan itu akan melenyapkan segala amal baiknya
dan ia akan mendapat kutukan dari orang tua. Dalam kitab Risalah
al-Huquq, Imam Sajjad as menekankan kewajiban berbakti kepada ayah dan
ibu. Beliau juga menjelaskan hak-hak orang tua yang harus dijaga oleh
anak.
Imam Sajjad as dalam doanya yang terabadikan dalam
Shahifah Sajjadiyyah dengan halus menyinggung beberapa poin penting
terkait bakti kepada orang tua. Dalam doanya beliau mengatakan,
“Tuhanku! Muliakanlah kedua orang tuaku dan khususkanlah kebaikan bagi
mereka, wahai Zat yang Maha Pemberi diantara semua yang memberi.
Tuhanku! Lembutkanlah suaraku di depan mereka, lunakkanlah kata-kataku
kepada mereka, perlembutlah perilakunya terhadap mereka, dan penuhlah
hatiku dengan kasih sayang kepada mereka berdua. Jadikanlah aku orang
yang berbakti dan penuh rasa sayang kepada mereka… Tuhanku! Berilah
taufik kepadaku untuk membalas belas kasih mereka dalam membesarkan dan
mendidikku.”
Imam Sajjad as dalam munajatnya lantas meminta
kepada Allah untuk membuat dirinya lebih menyenangi bakti kepada orang
tua dibanding kesenangan orang yang kurang tidur kepada pembaringan yang
nyaman. Beliau juga memohon agar ketaatan kepada kedua orang tua
dimatanya lebih nikmat dari air segar di mata orang yang dicekik dahaga.
Dengan adanya pandangan seperti itu, kita akan merasa mudah
mengedepankan keinginan orang tua di atas keinginan kita. Imam Sajjad as
lebih lanjut memohon kepada Allah untuk diberi kekuatan yang bisa
digunakan untuk melaksanakan semua kewajiban dan berbakti kepada kedua
orang tua. Kita berharap dapat meneladani Imam Sajjad dan menjadi anak
yang berbakti kepada ayah dan ibunya.
Hak Anak
Sekaitan dengan hak anak, Imam Ali as-Sajjad as
berkata, “Hak anak adalah bahwa dia berhak tahu bahwa dia berasal darimu
dan bahwa dalam segala kebaikan dan keburukan di dunia dia dinisbatkan
kepadamu. Karena itu, sebagai wali dan pengurusnya, engkau bertanggung
jawab mendidiknya dengan benar, mengajarkan kepada perilaku yang baik,
mengenalkannya kepada Tuhan yang Esa dan membantunya untuk taat kepada
Allah. Jika melaksanakan tugas ini, maka engkau mendapat pahala dan jika
melalaikannya maka engkau akan diganjar siksa. Karenanya, dalam urusan
dunia usahakan membuat dia seakan engkau menciptakan sebuah karya dan
telah engkau perindah, sedangkan untuk urusan akhirat upayakan supaya
engkau tidak tertunduk malu di depan Tuhanmu.”
Imam Sajjad as menjelaskan hak-hak anak yang sangat
penting. Penjelasan itu mengungkap berbagai sisi emosional dan sosial.
Dari sisi emosional, beliau mengingatkan bahwa anak adalah bagian dari
wujud ayah dan ibunya. Karena itu secara alamiah, anak memiliki hubungan
emosi yang kuat dengan kedua orang tuanya. Emosi itu lantas membentuk
jalinan cinta dan kasih sayang. Imam Sajjad as dalam ungkapannya yang
indah mengarahkan emosi dan cinta itu ke arah yang benar dengan
menjadikannya sebagai sarana memberikan pendidikan yang benar dan
mengajarkan kepada budi pekerti, keimanan dan kesalehan. Pendidikan
adalah pintu yang membawa manusia ke arah kebahagiaan atau kesengsaraan.
Dengan memberikan pendidikan yang baik kepada masing-masing individu,
maka akan terwujud masyarakat yang terhiasi keindahan ilmu, iman dan
akhlak sementara potensi diri, emosi dan akal akan teraktualisasikan.
Islam sangat menekankan pentingnya kasih sayang
terhadap anak. Banyak riwayat yang memerintahkan kita untuk menunjukkan
cinta dan kasih sayang kepada anak secara terbuka. Cium dan
perlakukanlah mereka dengan baik. Perlakuan yang demikian kepada anak
akan mendatangkan pengaruh positif yang telah dibuktikan secara ilmiah.
Para psikolog dan pakar pendidikan meyakini bahwa mendapat cinta dan
kasih sayang atau tidak mendapatkannya dari kedua orang tua atau salah
satu dari keduanya akan berpengaruh besar pada psikologis anak yang bisa
dirasakan di masa kecil dan berlanjut sampai masa tua. Mereka lantas
membawakan berbagai temuan diantaranya data yang menunjukkan bahwa
kebanyakan tindak kejahatan di berbagai negara dilakukan oleh mereka
yang kurang mendapat cinta dan kasih sayang di masa kecil. Untuk
kriminalitas yang dilakukan anak-anak ditemukan bahwa mereka yang
melakukan tindak kriminal adalah anak-anak yang tidak memiliki orang tua
atau salah satu dari keduanya atau singkatnya tidak memperoleh
kehangatan kasih sayang ayah dan ibu.
Nabi Saw dan para Imam Maksum as mendasarkan ajaran
mereka pada cinta dan kasih sayang. Dalam pandangan mereka, cinta tak
ubahnya bagai air kehidupan yang mengurai berbagai masalah dan kesulitan
psikologi dan kejiwaan. Nabi Saw bersabda, “Hormatilah yang lebih besar
dan sayangilah yang lebih kecil dari kalian.”
Dengan mengusik sisi emosional hubungan anak dan
ayah, Imam Sajjad as dalam Risalatul Huquq mengingkatkan tugas dan
kewajiban ayah untuk mengurus dan mendidik anak. Beliau menekankan bahwa
anak adalah bagian dari wujud ayahnya. Tak dipungkiri bahwa ada
sebagian orang yang kurang memiliki hubungan emosional dengan anaknya.
Tapi tak ada yang ragu bahwa semua orang pasti menyukai dirinya dan
mustahil akan bersikap acuh tak acuh terhadap kehormatan sosial dan
harga dirinya. Dia pasti akan melawan apa dan siapa saja yang
merendahkan kehormatannya. Ayah dan ibu tidak mungkin bisa memungkiri
hubungan mereka dengan anak atau menutup mata dari nasibnya. Sudah
seharusnya, demi harga diri dan kehormatan, mereka mendidik anak mereka
dan menghadiahkannya kepada masyarakat sebagai insan-insan yang baik,
berbudi dan cakap. Untuk orang tua yang demikian, Rasulullah Saw
mendoakannya dalam sebuah hadis. Beliau bersabda, “Semoga Allah
merahmati ayah yang mendidik anaknya dengan baik dan membimbingnya di
jalan kebaikan.”
Poin lain yang disinggung oleh Imam Sajjad as dalam
Risalatul Huquq adalah sisi tanggung yang diemban oleh orang tua
terhadap anaknya. Dalam pandangan Imam Sajjad as, anak adalah hadiah
pemberian dari Allah Swt dan orang tua harus mempertanggungjawabkan
pemberian ini di hadapan Allah kelak. Beliau menjelaskan, “Jika ingin
lepas dari beban berat di Hari Kiamat nanti, ayah dan ibu harus
melaksanakan tugasnya dalam mendidik anak mereka dengan pendidikan yang
baik dan benar.”
Diantara tugas dan kewajiban orang tua adalah
mengajarkan budi pekerti yang luhur dan mengenalkan ketuhanan kepada
anaknya. Dengan begitu berarti ia telah mempersiapkan anaknya untuk
melangkah ke arah kejayaan dan kebahagiaan. Melaksanakan tugas dan
kewajiban akan mendatangkan inayah dan kemurahan Allah Swt.
Singkatnya, Imam Sajjad as menggariskan tugas orang
tua atas mereka dengan singkat namun padat. Orang tua memiliki
kekuasaan atas anak dan kekuasaan itu harus dimanfaatkan untuk mendidik
dan membimbing sang anak. Anak harus dididik dengan pendidikan yang
baik, diarahkan untuk mengenal Allah dan menjadi hamba Allah yang taat.
Hak Saudara
Mengkikis dendam dan permusuhan serta mengubahnya
menjadi toleransi dan persahabatan merupakan salah satu hal yang
ditekankan dalam Islam terkait hubungan sosial kemasyarakatan.
Memperbaiki hubungan dan memperkokoh jalinan ini bahkan dipandang
sebagai salah satu ibadah yang punya nilai urgensitas tinggi. Sebab, hal
itu adalah kunci bagi menjaga kehormatan individu dan masyarakat secara
umum. Dengan ungkapan lain, dengan adanya toleransi dan gotong royong
di antara sesama maka akan tercipta sebuah masyarakat yang terhormat dan
kuat.
Perselisihan dan pertikaian antar manusia memang
suatu hal yang tak bisa dihindari. Namun, jika perselisihan kecil tidak
segera diselesaikan, maka hati akan ditumbuhi oleh kebencian, permusuhan
dan dendam yang mengancam keutuhan dan persatuan masyarakat bahkan
bangsa. Karena itu, adalah tugas bagi semua orang untuk ikut membantu
meningkatkan keakraban dan tali persahabatan di tengah masyarakat. Agama
Islam mengajarkan bahwa kaum mukmin adalah saudara bagi sesama. Karena
itu, orang mukmin dari etnis, bangsa dan suku manapun bersaudara dengan
mukmin yang lain, meskipun yang satu ada di timur sementara yang lain
ada di belahan barat dunia.
Saat melaksanakan ibadah haji di tanah suci, kaum
muslimin dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong pergi ke sana
untuk hadir di pusat tauhid. Momen itu adalah pentas dari persatuan
akbar umat Islam. Dengan ungkapan lain, dalam ajaran agama, umat Islam
ibarat sebuah keluarga yang masing-masing anggota menjalin hubungan
cinta dan kasih di antara mereka demi membantu mereka mencapai tingkat
kesempurnaan insani dan spiritual yang tinggi.
Nabi Muhammad Saw di awal risalahnya
mempersaudarakan antara para sahabatnya. Dengan demikian, segala bentuk
dendam dan permusuhan diantara mereka lenyap dan berubah menjadi cinta
dan persaudaraan. Al-Quran al-Karim terkait persaudaraan kaum Muslimin
menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara maka
damaikanlah di antara dua saudara kalian.” (Q.S. al-Hujurat: 10)
Perhatian besar Imam Sajjad as kepada hak-hak
persaudaraan menunjukkan pentingnya masalah ini dalam perspektif Islam.
Beliau berkata, “Hak saudaramu atasmu adalah bahwa ia adalah tanganmu
yang kau gunakan untuk membuka (dan bekerja), punggung dan benteng
tempat kau berlindung, harga diri yang kau percayai, dan kekuatan untuk
menyerang (musuhmu). Jangan sampai kau menjadikannya alat kedurhakaan
kepada Allah atau memilih jalan kezaliman karenanya. Bantulah dia selalu
dan tolonglah dia terhadap musuhnya. Jadilah kau penghalang antara ia
dan setan. Berilah nasihat kepadanya dan perhatikanlah dia untuk mencari
ridha Allah. Semua itu selama dia taat dan patuh kepada Tuhannya.”
Dalam ungkapan Imam Sajjad as tadi disebutkan bahwa
saudara adalah orang yang menambah kekuatan seseorang dan sandaran yang
kokoh. Untuk menghargai nikmat ini kita harus memanfaatkan untuk
kebaikan. Al-Quran menceritakan, ketika Allah Swt menurunkan wahyu
kepada Nabi Musa dan mengamanatkan risalah kenabian kepadanya supaya
mendatangi Firaun, Musa memohon kepada Allah untuk juga mengangkat
saudaranya yang bernama Harun sebagai nabi. Bersama saudaranya itu, Musa
merasa lebih kuat dalam menyampaikan risalah. Permohonan Musa itu
dikabulkan Allah dengan berfirman, “Kami akan membantumu dengan
saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka
mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa
mu'jizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang
menang." (QS.al-Qashash: 35)
Dalam ajaran al-Quran, persaudaraan punya akar yang
kuat. Dua orang yang bersaudara memiliki kepentingan bersama.
Menghargai saudara adalah dengan membantu dan selalu siap menolongnya.
Ketika bujukan setan dan hawa nafsu nampak mulai menguasai saudara kita,
tugas kita adalah mengingatkan dan menasehatinya. Dalam pernyataannya,
Imam Sajjad menyinggung sisi emosional untuk memperkuat tali
persaudaraan di tengah masyarakat.
Contoh nyata dari tali persaudaraan kuat itu dapat
disaksikan di awal-awal lembar sejarah Islam. Dalam salah satu
peperangan yang terjadi di zaman Nabi Saw, salah seorang sahabat
mengalami luka yang cukup parah. Dengan suara lirih dia meminta air.
Salah seorang anggota pasukan Muslim segera mendatanginya dan
mengulurkan kirbah air kepadanya. Belum sempat air menyentuh bibirnya
ketika ia mendengar suara lirih dari seorang Muslim lainnya yang
mengalami hal yang sama. Sahabat pertama menolak air itu dan menyerahkan
kembali kirbah seraya menunjuk ke arah saudaranya yang kedua. Kondisi
serupa terjadi ketika orang kedua menyaksikan saudaranya yang juga
memerlukan air dalam keadaan luka parah. Ketika pembawa air mendatangi
orang ketiga sang sahabat itu telah terlebih dahulu menelan cawan
syahadah dan gugur syahid. Iapun segera kembali ke orang kedua dan
pertama, namun keduanya juga telah menghembuskan nafas yang terakhir
bersama kesyahidan.
Di zaman ini, hubungan antar manusia biasanya
didasari oleh faktor kepentingan dan keuntungan. Dalam kondisi seperti
ini mengungkap sisi emosi dan perasaan manusia yang tidak menyertakan
keuntungan materi dalam hubungan persaudaraan tentu punya sisi menarik.
Hubungan yang murni seperti ini punya andil besar dalam memperbaiki
banyak masalah afeksi dan keamanan individu dan sosial. Karena itu, para
pemimpin agama yang juga guru bagi kemanusiaan mendorong umat manusia
untuk menjalin hubungan di antara mereka dengan landasan spiritualitas
dan keimanan. Dalam banyak perkataan mereka, persahabatan dan kasih
sayang di antara manusia disebut sebagai nilai yang dimuliakan.
Imam Ali Ridha as dalam sebuah seb uah berkata,
“Untuk setiap saudara seiman yang dipilih seseorang, Allah akan
membangunkan baginya rumah di surga.” Dalam riwayat lain, Imam Jakfar
Shadiq as berkata, “Pilihlah saudara untuk dirimu. Setiap senyuman yang
disunggingkan untuk saudara mukmin terhitung kebaikan.”
Hak Pelaku Kebaikan
Para ulama dan pakar agama mengatakan bahwa salah
satu kunci kelestarian Islam adalah karena agama ini menyeru dan
menggiring umat manusia kepada hal yang diinginkan oleh akal yang sehat.
Akal tentunya menghendaki nilai-nilai etika dan norma yang diantaranya
adalah perbuatan baik kepada masyarakat umum. Hal itu pula yang
ditekankan berulang kali di dalam kitab suci al-Quran. Di ayat 26 surat
Yunus Allah Swt berfirman, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak
ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya.”
Berbuat baik kepada orang lain akan melahirkan
hubungan kasih sayang di antara sesama. Secara alamiah manusia
menyenangi orang yang berbuat baik dan menjauhi orang yang berbuat
jahat. Perbuatan buruk seseorang dan penyimpangan yang dilakukannya
muncul dari perangi buruk pada dirinya. Artinya, perangai buruk mencegah
orang untuk berbuat baik kepada orang lain atau menghargai kebaikan
orang lain.
Perbuatan baik ada banyak bentuknya. Singkatnya
semua bentuk yang memberikan keuntungan kepada orang lain, membantu
kemajuan dan pendidikan, serta memenuhi kebutuhannya masuk ke dalam
kategori perbuatan baik kepada orang lain. Dikisahkan bahwa suatu hari
seorang hamba sahaya menghadiahkan setangkai bunga kepada Imam Hasan
Mujtaba as. Sebagai balasannya, beliau memerdekakan hamba sahaya itu.
Orang-orang yang bersama Imam bertanya dengan keheranan, apakah
setangkai bunga mesti dibalas dengan balasan yang sangat besar seperti
itu? Imam Mujtaba as membawakan ayat ke 86 surat al-Nisa dalam menjawab
keheranan mereka. “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan,
maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan
yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Prinsip mengapresiasi dan menyampaikan penghargaan
adalah salah satu metode manajemen yang diakui saat ini. Menurut para
pakar manajemen, menghargai perbuatan baik adalah salah satu modus
manajemen yang sukses. Cara itu dapat memacu etos kerja. Memberi
penghargaan kepada perbuatan yang baik akan mendorong sosialsi perbuatan
baik di tengah masyarakat. Imam Ali as dalam sebuah riwayat
menjelaskan, faedah menghargai kebajikan untuk orang lain seraya
menyinggung dua dimensi kejiwaannya. Kepada sahabatnya yang setia
bernama Malik Asytar, beliau mengingatkan, “Pujilah selalu orang-orang
yang ikut mengabdi dalam pemerintahanmu baik tentara maupun sipil.
Berterima kasihlah kepada mereka. Ungkap dan jelaskan kepada umum
pekerjaan baik yang mereka lakukan. Membalas kebaikan orang akan
menghasilkan dua hal. Pertama, dengan itu engkau mendorong orang-orang
yang punya keberanian untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Sebab,
penghargaanmu membuat mereka terpacu untuk melanjutkan pekerjaan itu.
Kedua, dengan penghargaanmu engkau menggugah hati orang-orang yang tidak
peduli akan masalah-masalah ini untuk terpacu melakukan pekerjaan yang
baik.”
Di bagian lain Risalatul Huquq Imam Sajjad as
menjelaskan hak orang yang berbuat kebajikan dan mendorong kita untuk
menghargainya. Beliau berkata, “Hak orang yang berbuat baik kepadamu
adalah bahwa engkau harus berterima kasih kepadanya dan selalu mengingat
kebaikannya. Dengan kata-kata yang baik harumkan namanya dengan
kebaikan dan saat berdoa ingatlah ia dengan tulus di hadapan Tuhanmu.
Jika itu kau lakukan berarti kau telah melaksanakan kewajibanmu untuk
berterima kasih secara terbuka maupun sembunyi. Jika memungkinkan maka
balaslah kebaikannya dengan tindakan, jika tidak maka nantikan saat
untuk membalas kebaikannya.”
Dalam penjelasan Imam Sajjad as menyebut balasan
kebaikan lewat tindakan, berdoa, dan menyebarkan namanya dengan baik
sebagai hak orang yang telah melakukan kebaikan kepada kita. Imam juga
mengimbau kita untuk menghargai nilai perbuatan baik. Sebab, orang yang
baik adalah orang yang bisa menghargai kebaikan dan orang yang melakukan
kebaikan itu. Dengan demikian ia bisa membalas kebaikan tersebut.
Salah satu hal yang ditekankan dalam masalah hak
orang yang berbuat baik adalah hak para duta kebenaran yang para utusan
Allah yang datang membimbing kita ke jalan yang benar. Dengan rahmat dan
kemurahan-Nya, Allah memilih insan-insan terbaik sebagai duta dengan
mengamanatkan kenabian dan risalah kepada mereka. Mereka mendapat tugas
untuk mengajak dan membimbing umat manusia kepada kebenaran dan
menyelamatkan mereka dari kebodohan dan kezaliman. Para duta Ilahi itu
melaksanakan titah Allah tersebut tanpa pamrih. Dengan hikmah, makriofat
dan akhlak yang mulia mereka menebar benih spiritualitas, akhlak dan
ilmu di tengah umat serta mendidik dan menyucikan manusia. Karena itulah
mereka memiliki hak yang amat besar di pundak semua orang.
Ketika Nabi Muhammad Saw tiba di Madinah lalu
menegakkan sendi-sendi pemerintahan Islam di sana, kaum Anshar yang
merupakan penduduk asli Madinah mengumumkan akan menghadiahkan harta
mereka sebagai hadiah bagi Nabi atas jerih payah beliau dalam berdakwah.
Harta itu bisa dimanfaatkan untuk mengarasi kesulitan masyarakat. Meski
demikian, Allah Swt menjawab hal itu dengan firman-Nya di surat
al-Shura ayat 23 yang artinya, “[Wahai Nabi] katakankah bahwa aku tidak
mengharapkan upah dari kalian kecuali kecintaan kalian kepada
keluargaku…”
Tak diragukan bahwa membimbing umat manusia di
jalan kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi bagi umat. Menurut para
mufassir Quran, kecintaan kepada Ahlul Bait yang dinyatakan dalam ayat
tadi sebagai bentuk balasan atas kebaikan Nabi Muhammad Saw disebabkan
karena Ahlul Bait adalah insan-insan yang melanjutkan jejak Nabi Saw.
Mereka mirip dengan Rasulullah yang mengajak umat manusia kepada
kebenaran dan mengajarkan budi pekerti luhur serta menyebarkan ilmu dan
makrifat.
Hak Muazin
Setiap aliran dan kepercayaan pasti punya syiar
tersendiri. Kaum Yahudi, Nasrani dan para pemeluk agama-agama yang lain
mengajak orang untuk melaksanakan ritual dan menghadiri upacara
keagamaan. Di Islam, syiar keagamaan dikemas dalam bentuk yang indah
yang salah satunya dalam bentuk ibadah yang agung bernama shalat.
Syiar keagamaan menunjukkan arah jalan menuju
puncak yang menjadi tujuan semua agama. Saat ini ada sekitar satu
setengah miliar di dunia yang memeluk agama Islam. Di waktu-waktu yang
telah ditentukan, ketika suara azan mengumandang umat Islam mendatangi
masjid-masjid dan mushalla untuk melaksanakan shalat dalam suasana
khusyuk penuh cinta kepada Allah. Shalat membawa mereka menuju
kebahagiaan yang hakiki.
Dalam Islam, azan adalah seruan yang menjadi awal
dari ibadah shalat. Seruan ini memiliki sisi pengumuman dan panggilan
kepada umat untuk melaksanakan shalat. Orang yang mendengar adzan seakan
menerima kabar gembira panggilan menghadap Allah. Ia mesti bersiap-siap
untuk memenuhi panggilan Sang Maha Agung. Karena itulah azan dengan
kalimat-kalimatnya yang pendek meninggalkan kesan mendalam di kalbu
manusia. Mary, wanita warga Inggris yang kini telah mengubah nama
menjadi Zahra menceritakan kisahnya memeluk agama Islam. Dia mengatakan,
“Aku pertama kali mengenal Islam setelah terkesima mendengar suara
azan. Suara itu sedemikian merasuk ke dalam hati sehingga menarikku ke
arah Tuhan semesta alam.”
Azan dimulai dengan takbir yang berarti menyebut
kebesaran Allah Swt. Lalu muazin melanjutkan dengan kesaksikan akan
keesaan Allah dan bahwa semua yang ada di dunia ini berasal dariNya dan
akan kembali kepadaNya. Dialah yang mengatur segala sesuatu dan memiliki
sifat-sifat kesempurnaan. Tak ada yang menyamai-Nya dan tak ada sekutu
bagi-Nya. Kemudian, muazin menyuarakan kesaksian akan kenabian Muhammad
Saw. Beliaulah utusan Allah kepada umat manusia dengan membawa wahyu
Ilahi. Selanjutnya azan mengikrarkan bahwa shalat adalah amalan terbaik
yag menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Untuk itu,
masyarakat diseru untuk bersegera melaksanakan ibadah ini.
Azan pertama kali dikumandangkan di zaman Nabi
Muhammad Saw. Setelah hijrah ke Madinah, para sahabat membicarakan
masalah shalat dan bagaimana caranya mengumumkan bahwa sudah tiba waktu
shalat. Masing-masing menyampaikan usulannya yang kebanyakan meniru apa
yang dilakukan agama-agama yang lain. Tak lama, malaikat Jibril datang
kepada Nabi Saw dan memerintahkan untuk mengajarkan azan kepada umat.
Nabi Saw lalu mengajarkannya kepada Ali bin Abi Thalib dan menyuruhnya
untuk mengajarkan azan kepada Bilal. Sejak saat itu, Bilal bekas budak
berkulit hitam asal negeri Habasyah secara resmi menjadi muazin kaum
muslimin.
Sejak awal Islam, azan dipandang sebagai salah satu
syiar penting agama Islam. Azan sarat dengan zikir dan ikrar tauhid
yang merasuk ke kalbu yang paling dalam. Karena itu, Islam juga
menghormati para muazin. Dalam sebuah riwayat Imam Ali Ridha as berkata,
Rasulullah Saw bersabda, “Di hari kiamat nanti, para muazin punya
kedudukan yang lebih tinggi di antara semua orang. Muazin adalah sahabat
setia bagi setiap orang yang mengingatkannya akan kewajibannya.”
Kehidupan manusia tak bisa dilepaskan dari
kesibukan dan urusan materi yang terkadang membuatnya lupa akan
kewajiban yang mesti dijalankan. Dalam kondisi seperti ini, tentunya ia
akan sangat berhutang budi kepada orang yang menyadarkan akan
kewajibannya. Karena itu orang tersebut memiliki hak yang besar di atas
pundaknya. Dalam Risalatul Huquq Imam Sajjad as menyebutkan adanya
sejumlah hak bagi muazin. Beliau berkata, “Hak muazin atas dirimu adalah
hendaknya kau menyadari bahwa dialah yang mengingatkanmu akan Tuhanmu.
Dialah yang menyerumu kepada kebaikanmu. Dia adalah sebaik-baik yang
memberi pertolongan kepadamu dalam menjalankan kewajiban yang telah
Allah pikulkan atas dirimu. Maka berterimakasihlah kepadanya sebagaimana
kau berterima kasih kepada orang yang berbuat baik kepadamu di hadapan
Allah. Engkau harus menyadari pula bahwa dia adalah anugerah dan nikmat
dari Allah yang harus kau perlakukan dengan baik dan dalam segala
keadaan syukurilah nikmat Allah.”
Nilai-nilai agung yang ada dalam azan menunjukkan
bahwa Allah pasti akan memberi pahala yang besar disisi-Nya kepada orang
yang mengumandangkan syiar tauhid dan penghambaan ini. Imam Sajjad as
menyebut orang memanfaatkan suara indahnya untuk mengumandangkan azan
sebagai nikmat dari Allah. Imam Jafar Shadiq as dalam sebuah hadis juga
menjelaskan fadhilah muazin dan kedudukan maknawiyahnya di sisi Allah.
Beliau berkata, “Selama suaranya masih mengumandang Allah mengampuni
dosa muazin sejauh matanya memandang…Allah juga akan memberikan pahala
dan kebaikan kepada siapa saja yang memerhatikan azan itu dan
melaksanakan shalat setelah mendengarnya.”
Azan adalah syiar Islam yang kaya akan makrifat.
Alangkah baiknya jika kita bisa merenungkan manka-makna agung tauhid dan
penafian syirik yang terkandung di dalamnya. Dengan merenungkannya,
keimanan kita akan bertambah dan semakin bersemangat untuk memasyarakat
dan menyebarkan syiar Islam ini.
Hak Sahabat (Bagian 1)
Biasanya untuk menempuh satu perjalanan, orang
memerlukan pendamping dan penolong. Dan untuk bisa sampai ke tujuan
dengan selamat orang harus mengenal dengan baik kawan seperjalanannya.
Kehidupan tak ubahnya bagi sebuah perjalanan sementara teman adalah
kawan seperjalanan. Kita harus mengenal dengan baik kawan kita apakah
dia termasuk orang yang setia menemani hingga akhr, atau hanya mengejar
keuntungan sendiri dalam berteman. Kita tak mungkin bisa mengingkari
pengaruh persahabatan.
Bergaul dengan orang-orang yang baik dan saleh akan
membantu orang mencapai derajat ketinggian insani sementara bergaul
dengan orang yang jahat dan bejat akan menenggelamkan orang ke dalam
keterpurukan dan kehancuran. Hal itu juga disinggung oleh al-Quran
al-Karim bahwa sebagian orang tersesat lantaran pergualan dengan
orang-orang yang sesat. Kelak mereka akan menyesal karena kesalahan
dalam memilih kawan. “Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu)
tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah
menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran telah datang kepadaku. Dan
syaitan itu tidak akan menolong manusia.” (Q.S. Al-Furqan: 28-29)
Memilih kawan yang tepat, benar dan baik adalah
langkah awal yang dapat mencegah seseorang dari penyimpangan dan
kesesatan. Adalah tindakan logis untuk tidak mudah tergoda berkawan
dengan orang sebelum mengenalnya dengan baik. Imam Jakfar Shadiq as
berkata, “Hindarilah persahabatan dengan tiga kelompok manusia; orang
pengkhianat karena ketika suatu hari siap berkhianat demi kepentinganmu
di hari yang lain ia akan berkhianat yang merugikanmu. Kedua, orang yang
zalim. Sebab, ketika dia siap berbuat zalim terhadap orang lain demi
dirimu maka diapun tak akan segan menzalimimu. Ketiga, orang yang gemar
mengumpat. Sebab, ketika dia gemar mengumpat orang lain di depanmu tentu
ia tak keberatan untuk mengumpatmu di depan orang lain.”
Sahabat yang baik laksana harta sangat berharga
yang memberikan kebahagiaan untuk manusia. Para pemimpin agama Islam dan
Ahlul Bait mewanti-wanti para pengikuti mereka untuk pandai-pandai
memilih kawan yang cerdas, berwawasan luas, bijak dan beriman. Sahabat
dengan sifat-sifat seperti ini sangat menguntungkan kita. Imam Ali as
berkata, “Perkokohlah jalinan persahabatanmu dengan saudara seiman sebab
dialah kekayaanmu yang berharga di dunia dan akhirat.”
Persahabatan jika dijalin karena unsur etika dan
kemuliaan akan membuat hati orang ceria. Sahabat yang baik akan selalu
menjaga perasaan sahabatnya dan menghormati hak-hak dan privasinya.
Lebih dari itu, persahabatan yang akrab akan membuat orang menginginkan
untuk sahabatnya apa yang dia inginkan untuk dirinya. Jika melihat
sahabatnya berbuat kesalahan, ia akan menegurnya dengan niat yang tulus.
Mengingat peran besar dari seorang kawan dan
sahabat dalam mempengaruhi perilaku sahabatnya, Imam Ali as-Sajjad as
mengatakan, “Hak sahabat adalah bahwa engkau harus memperlakukannya
dengan baik. Sambutlah ia dengan hangat, jujurlah dalam berbicara
dengannya dan jangan engkau palingkan wajah darinya.”
Orang memang terkadang melakukan kesalahan, tak
terkecuali sahabat dan kawan kita. Dalam pernyataannya, Imam Sajjad
mengingatkan kita untuk menutup mata dan memaafkan sahabat kala ia
melakukan kesalahan terhadap diri kita. Dengan tetap memperlakukannya
secara baik hendaknya kita menyadarkannya akan kesalahan yang telah ia
lakukan. Bukan tindakan yang logis jika kita memutuskan tali
persahabatan hanya karena kesalahan kecil yang dilakukan kawan kita.
Sebab antara kita dan mereka ada jalinan ikatan yang meniscayakan
sejumlah hak dan kewajiban.
Imam Sajjad as dalam ungkapannya menjelaskan hak
kawan yang jauh lebih besar. Beliau mengingatkan akan etika dan tata
krama yang harus kita perhatikan dalam pergaulan dengan sahabat dan
kawan kita. Beliau berkata, “Jika engkau duduk dan menemani seseorang
maka engkau berhak untuk berdiri dan meninggalkannya kapanpun juga.
Namun, jika dia yang datang dan menemanimu maka dialah yang berhak untuk
memutuskan kapan beranjak dari sisimu. Dalam keadaan seperti itu jangan
pernah engkau berdiri meninggalkannya kecuali setelah meminta izin
darinya.”
Islam sangat mementingkan kemajuan dan kesempurnaan
individu dan masyarakat. Karena itu agama Ilahi ini menaruh perhatian
pada semua hal termasuk masalah-masalah yang kecil dan remeh sekalipun.
Dalam masalah berteman, Islam mengajarkan untuk memilih kawan dan
sahabat yang bisa menambah ilmu dan makrifat serta bisa membimbing kita
dalam mengarungi kehidupan dunia. Karena itu, sebaik-baik kawan adalah
para ulama dan orang-orang bijak. Kelompok lainnya yang baik untuk
dijadikan kawan adalah kaum fakir. Sebab, meski papa dan tak berharta,
mereka umumnya adalah orang-orang yang tulus dan berhati mulia. Duduk
bersama orang-orang yang baik akan memberikan kesenangan dan ketenangan
batin. karena itu, pandai-pandailah kita dalam memilih kawan.
Hak Sahabat (Bagian 2)
Seorang bijak mengatakan, kunci kebahagiaan
terletak pada hubungan kita yang bersahabat dengan dunia luar, bukan
hubungan yang dilandaskan permusuhan. Manusia yang tidak dapat memandang
orang lain sebagai kawan tak akan pernah merasakan hidup tanpa
kegelisahan.
Kata-kata ini menunjukkan bahwa interaksi dan
hubungan di tengah masyarakat dibangun dengan landasan persahabatan,
kehangatan, cinta dan kasih sayang.
Dalam pergaulan, pemikiran dan pengetahuan orang
akan meningkat. Keriangan dan keceriaan akan memenuhi hidupnya sementara
kebaikan akan menghiasi perilakunya. Karena itu, persahabatan dipandang
sebagai sumber ketenangan dan ketentraman jiwa yang semakin menguat
dengan berlalunya waktu. Para pakar pendidikan mengimbau untuk
pandai-pandai memilih kawan. Sebab, secara tak disadari, kejiwaan dan
kepribadian orang akan terpengaruhi oleh kepribadian kawan dan
sahabatnya. Karena itu, sahabat akan sangat berpengaruh pada kebaikan
dan keburukan seseorang.
Mungkin Anda pernah berhadapan dengan orang yang
sebenarnya tidak memiliki karakter baik tapi berpura-pura baik di depan
Anda untuk bisa menjalin persahabatan dengan Anda. Tujuannya adalah
supaya dia bisa melayangkan pukulan telaknya terhadap Anda. Persahabatan
yang berharga adalah yang didasari oleh kejujuran dan ketulusan.
Persahabatan inilah yang dapat memenuhi kebutuhan afeksi kedua pihak.
Salah satu menifestasinya adalah persahabatan dengan orang-orang yang
baik, saleh dan bijak. Orang-orang seperti itulah yang akan membawa
sahabatnya kepada kebijaksanaan, kebaikan dan kesalehan.
Mengenai sahabat, Imam Ali Zainal Abidin as
berkata, “Hak sahabat dan orang yang menyertaimu adalah hendaknya engkau
menjalin persahabatan dengannya sebanyak mungkin. Jika tidak mampu,
setidaknya engkau memperlakukannya dengan adil dan jujur. Hormatilah ia
sebagaimana ia menghormati dan memuliakanmu. Lindungi dan belalah ia
sebagaimana ia melindungi dan membelamu. Jangan biarkan ia mendahuluimu
dalam berbuat kebaikan, jika itu terjadi maka usahakan untuk membalas
kebaikannya. Lakukan semampumu untuk memberinya kasih sayang dan cinta…”
Kata-kata Imam Sajjad tadi menitikberatkan pada dua
hal, kebaikan dan kejujuran dalam memperlakukan sahabat dan kawan.
Beliau menekankan bahwa pada tahap awal, kebaikan harus menjadi landasan
perilaku kita terhadap kawan. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi Saw
menunggang sebuah kendaraan dengan ditemani oleh salah seorang sahabat
beliau. Memasuki sebuah kebun beliau mencabut dua akar dari sebuah
tanaman, yang salah satunya cacat dan yang lain tidak. Beliau
menyerahkan akar yang tidak cacat itu kepada sahabatnya. Sahabat itu
berkata, “Ya Rasulullah, engkau lebih layak untuk menerima yang ini”.
Nabi Saw menjawab, “Setiap orang punya kewajiban atas kawannya meski
hanya menemaninya untuk masa sepenggal hari.”
Imam Sajjad juga menyebutkan soal kejujuran yang
harus dijaga dalam bergaul dengan sahabat. Beliau menekankan untuk
memperlakukan sahabat dengan sebaik mungkin dan membalas kebaikannya
dengan lebih baik. Beliau menyeru kita untuk berbagi kasih sayang dengan
sahabat kita dan membantunya untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan
yang hakiki.
Ajaran agama selain memperkokoh hubungan
persahabatan antara manusia juga mencegah persahabatan dengan
orang-orang yang tidak baik. Ibnu Atsir, sejarawan dan ulama besar
Muslim dalam sebuah tulisannya menjelaskan pesan Imam Sajjad kepada
anak-anaknya. Dia menulis, Ali bin Husein (Imam Sajjad) memperingatkan
umat terutama anak-anak muda untuk tidak menjalin tali persahabatan
dengan orang-orang yang bobrok. Beliau mengatakan, “Anakku! Jangan
engkau bergaul dengan orang fasik, sebab ia akan mencampakkanmu hanya
dengan imbalan makanan atau harta yang remeh padahal ia tak akan
mendapatkannya. Jangan engkau bergaul dengan orang yang kikir. Sebab ia
akan menghinakanmu saat engkau memerlukan bantuan keuangannya. Jangan
pula bergaul dengan pembohong sebab ia tak ubahnya bagai fatamorgana
yang menampakkan hal-hal yang jauh seakan dekat di matamu dan menjauhkan
yang dekat. Janganlah bersahabat dengan orang yang dungu sebab ia akan
merugikanmu saat berniat memberimu keuntungan.”
Kita berharap supaya dapat menjalankan bimbingan Imam Sajjad ini dan bisa mendapat sahabat yang baik.
Hak Tetangga
Salah satu hal yang mendapat perhatian besar dalam
Islam adalah masalah emosi, gotong royong dan upaya saling membantu.
Masalah-masalah ini semakin menemukan tempatnya saat manusia memasuki
era seperti sekarang ini, yaitu era modern yang menjerumuskan manusia ke
dalam kehidupan mesin. Islam berusaha membangun tatanan dan kehidupan
sosial yang baik dan sehat dengan hubungan yang hangat dan saling
percaya di antara semua elemen masyarakatnya. Untuk itu, Islam
menekankan semua hal yang bisa memperkuat hubungan sosial di antara
anggota masyarakat serta melarang apa saja yang bisa melemahkannya.
Dalam perspektif Islam, hubungan di antara manusia
harus tercipta dengan landasan ketulusan dan kejujuran tanpa ada noda
tipu daya dan kecurangan. Pergaulan yang baik akan melahirkan keamanan
dan ketenangan hati sementara penyalahgunaan kepercayaan akan memicu
kemerosotan akhlak dan menimbulkan banyak dilema sosial lainnya. Menurut
para ahli, kemunduran dan dekandensi akhlak di tengah masyarakat
biasanya disebabkan oleh kesalahan individu yang lantas menemukan
bentuknya dalam hubungan sosial. Fenomena itu secara perlahan akan
menggerus tatanan sosial dan membawanya kearah penyimpangan.
Untuk mempererat hubungan di antara manusia, agama
menganjurkan kita untuk berbuat baik kepada sejumlah kelompok,
diantaranya tetangga. Berbuat baik kepada tetangga sangat berkesan dalam
menciptakan ketenangan dan mendatangkan rasa aman bagi anggota
keluarga. Limpahan berkah akan datang ketika orang-orang yang
bertetangga menjalin hubungan yang baik di antara mereka. Salah satu
berkahnya adalah kian menguatnya jiwa kebersamaan dan rasa saling
menolong untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sehat. Hal itu akan
menimbulkan kesan yang baik pada jiwa dan memperpanjang usia. Tetangga
yang baik adalah nikmat Ilahi yang sangat berharga. Hati akan tertambat
saat hubungan antartetangga terbina dengan penuh kasih sayang. Karena
itu, Islam menekankan hubungan baik ini. Imam Ali as berkata, “Tetangga
yang baik akan memakmurkan negeri dan memperpanjang usia.”
Bersikap baik, menolong kala diperlukan,
mengunjungi saat sakit, mengulurkan bantuan keuangan dan berbagi rasa,
adalah tanda-tanda bagi hubungan cinta sesama di antara manusia dan
tugas yang diemban masing-masing orang terhadap tetangganya. Rasulullah
Saw dalam sebuah hadisnya bersabda, bahwa banyak sekali perintah Allah
untuk menjaga hak tetangga sampai-sampai muncul anggapan bahwa tetangga
akan saling mewarisi.
Dalam sebuah hadis yang lain, Rasulullah Saw
bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya
berbuat baik kepada tetangganya.” Berbuat baik dalam hadis itu memiliki
makna yang luas. Menurut beliau, seseorang yang ingin meninggikan atap
rumahnya supaya meminta persetujuan tetangganya agar peninggian atap
rumah itu tidak menghalangi tiupan angin atau masuknya cahaya ke dalam
rumah tetangganya. Jika tetangga mendapat suatu anugerah hendaknya ia
datang untuk mengucapkan selamat. Ucapan itu akan menyenangkan hati
tetangganya.
Imam Sajjad dalam Risalatul Huquq menyebutkan
beberapa hak bagi tetangga. Beliau mengatakan, “Hak tetangga adalah
hendaknya engkau menjadi penjaga baginya saat ia tidak ada. Saat ia ada
hendaknya engkau menghormatinya dan membantunya dalam semua hal. Jangan
memata-matainya untuk mengetahui rahasia dan kejelekannya. Jika
mengetahui keburukannya maka jadilah engkau benteng atau tabir yang
menutupinya. Jangan engkau dengarkan kata-kata yang menyudutkannya.
Jangan biarkan ia sendirian mengatasi kesulitan. Janganlah iri saat
melihat ia mendapat kesenangan. Maafkanlah jika ia melakukan kesalahan.
Perlakukanlah ia dengan lemah lembut meski ia melakukan tindakan bodoh
terhadap dirimu. Jangan pernah engkau mencemoohnya dengan kata-kata. Dan
perlakukanlah ia dengan penghormatan.”
Sejatinya, gesekan adalah satu yang tidak bisa
dihindari dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika sekelompok manusia hidup
bersama dalam sebuah lingkungan mungkin ada sejumlah oknum yang tidak
mengindahkan prinsip pergaulan dan hubungan yang baik. Tindakan itu akan
menghilangkan kenyamanan dan membuat banyak orang terganggu. Kondisi
itu memicu munculnya ketidakharmonisan dan kekeruhan hubungan di tengah
masyarakat. Imam Sajjad mewanti kita untuk tidak mencari-cari kesalahan
dan kekurangan orang lain serta selalu berusaha menjaga keamanan mereka.
Rumah adalah tempat berlindung yang aman bagi semua orang. Beliau juga
menekankan bahwa semua orang hendaknya memerhatikan ketegangan dan
kenyamanan anggota masyarakat lainnya, terutama tetangga. Jangan sampai
mengganggu dan jika ada kesalahan kita diimbau untuk berlapang dada dan
memaafkan.
Hak Harta
Imam Sajjad mengatakan, “Hak harta dan kekayaan
adalah hendaknya ia tidak diperoleh kecuali melalui jalan yang halal dan
jangan digunakan kecuali untuk keperluan yang halal. Jangan engkau
belanjakan harta bukan pada tempatnya dan jangan engkau alihkan kepada
orang lain melalui jalan yang tidak benar. Karena harta itu engkau
dapatkan dari Allah maka jangan engkau gunakan kecuali untuk mendekatkan
dirimu kepada Allah. Jangan engkau dahulukan orang yang tidak berterima
kasih kepadamu dari dirimu dengan hartamu, sebab bisa jadi ia akan
menggunakannya di jalan yang tidak diridhai Tuhanmu.”
Kali ini kita akan menyimak penjelasan tentang hak
harta kekayaan sebagaimana yang diajarkan Imam Ali Zainal Abidin as
dalam Risalatul Huquq. Mencari harta, beraktivitas ekonomi, bekerja
untuk memenuhi keperluan hidup adalah sebuah keniscayaan bagi manusia
untuk hidup terhormat. Nabi Saw dan Ahlul Bait as mendorong umat untuk
giat bekerja dan mencari nafkah guna menghidupi keluarga. Aktivitas
ekonomi dalam persepsi insan-insan agung itu adalah aktivitas yang
membuat manusia menjadi terhormat dan tidak memerlukan uluran bantuan
orang lain. Bekerja akan menyalurkan energi dan kekuatan yang tersimpan
pada tubuh dan jiwa manusia lewat cara yang baik. Ketika seseorang aktif
bekerja, maka pikirannya akan terfokus dan kepribadiannya akan semakin
kokoh.
Bekerja mencari rezeki adalah aktivitas yang
membuat keceriaan dan menjadi tonggak penopang kehidupan. Dengan bekerja
orang akan terhindar dari keterhinaan di depan orang lain. Al-Quran
al-Karim menyebut harta sebagai hiasan kehidupan dunia. Dalam pandangan
Islam, orang yang memiliki harta berlimpah tetap tidak boleh
bermalas-malasan. Islam mengimbau umatnya untuk tetap bekerja sampai
detik-detik akhir kehidupannya. Suatu hari, Rasulullah Saw mengangkat
tangan seorang buruh yang tangannya bengkak karena terlalu banyak
bekerja, lalu bersabda, “Tangan ini tak akan pernah tersentuh api
neraka. Inilah tangan yang dicintai oleh Allah dan RasulNya. Orang yang
menghidupi diri dengan kerja kerasnya akan ditatap oleh Allah dengan
pandangan penuh rahmat.”
Dalam Risalatul Huquq, Imam Sajjad as bahwa harta
dan kekayaan adalah milik Allah. Karena itu, harta hendaknya didapat
dari jalan yang halal dan diridhai Allah. Dari sisi lain, manusia
adalah makhluk yang rakus dan sangat mencintai harta. Banyak orang yang
gemar menumpuk harta. Manusia gemar berbangga-bangga dengan kekayaan.
Semakin banyak kekayaan yang ditimbun orang akan merasa memiliki
kekuasaan yang lebih besar. Banyak orang yang berambisi meraih kekuasaan
lewat kekayaan yang berlimpah. Mereka berharap harta bisa membuat
seseorang lebih berpengaruh di depan masyarakat. Orang-orang yang
seperti ini tak akan menikmati ketenangan hidup. Sebab, berapapun
banyaknya harta yang telah dikumpulkan, mereka tetap tak merasakan
kepuasan.
Dikisahkan bahwa suatu hari seseorang yang gemar
mengumpulkan harta mengeluhkan kondisinya tak pernah tenang. Dia
mendatangi Imam Jafar Shadiq as dan berkata, “Aku selalu sibuk mencari
harta tapi tak pernah merasa puas. Hawa nafsu selalu mendorongku untuk
lebih banyak mengejar harta. Ajarilah aku satu hal supaya aku bisa
meraih manfaat spiritual dan keluar dari kondisiku ini.” Imam
mengajaknya untuk mengubah cara pandang terhadap kehidupan. Beliau
berkata, “Jika engkau merasa cukup dengan apa yang memenuhi keperluan
hidup, maka harta yang sedikit akan membuatmu puas. Tapi jika engkau
tidak merasa cukup maka seluruh harta di dunia ini tak akan pernah bisa
memuaskan jiwamu yang serakah.”
Di zaman ini, banyak orang memandang harta dan
kekayaan sebagai segala-galanya. Di sejumlah masyarakat harta telah
menggeser nilai-nilai etika dan spiritualitas dan menjadi acuan dalam
menilai seseorang. Imam Sajjad as menyeru manusia untuk memikirkan
pekerjaan dan pendapatan yang layak dan sesuai baginya. Beliau juga
mengimbau supaya memperhatikan kenetralan dalam membelanjakan harta.
Harta bukanlah untuk berbelanja lebih banyak. Sebab, manusia tak akan
pernah puas dengan pembelanjaan hartanya sebesar apapun uang yang sudah
ia keluarkan.
Topik lain yang disinggung Imam Sajjad as sebagai
hak harta adalah orang hendaknya membelanjakan hartanya di jalan yang
baik. Ia juga mesti memerhatikan harta yang ia tinggalkan untuk orang
lain setelah ia meninggal. Orang yang memiliki kekayaan harus menyadari
bahwa harta punya hak lain yaitu hak untuk dibelanjakan demi kebaikan
masyarakat. Setiap orang bisa menggunakan harta yang ia miliki untuk
kebaikan demi membangun kehidupan akhirat yang lebih baik. Menyantuni
orang lain, membayar zakat dan khumus, memberi pinjaman kepada orang
lain yang tertimpa masalah keuangan, membangun pusat-pusat pendidikan
dan layanan medis, serta hal-hal yang seperti itu, adalah amalan-amalan
yang bisa dilakukan harta dan memberikan kesenangan maknawiyah. Amalan
inilah yang termasuk amal saleh yang pahalanya akan dilipatgandakan di
sisi Allah.
Hak Penggugat dan Tergugat
Dalam buku Risalatul Huquq, Imam Sajjad menjelaskan
pula hak-hak orang yang menggugat dan orang yang tergugat. Tapi yang
patut digarisbawahi adalah bahwa apa yang disebutkan dalam kitab ini
adalah imbauan dari sisi etika. Sebab, dalam masalah gugatan yang
tentunya ditangani oleh hakim Islam telah menggariskan ketentuannya dan
hukumnya yang tepat dan bisa menyelesaikan permasalahan dengan prinsip
keadilan.
Al-Quran al-Karim menaruh perhatian yang besar pada
masalah keadilan dalam menghakimi dan menyebutnya sebagai salah satu
syarat dan tanda kemusliman seseorang. Al-Quran lantas menyebut Allah
Swt sebagai Ahkamul Hakimin atau Hakim yang seadil-adilnya dan Khairul
Hakimin yang berarti sebaik-baik hakim.
Dalam masalah peradilan yang tentunya berhubungan
dengan nasib manusia, salah satu prinsip yang mesti dikedepankan adalah
kesehatan pikiran, keimanan dan loyalitas hakim kepada prinsip-prinsip
etika. Fikih Islam menyatakan bahwa untuk menjadi hakim orang harus alim
yang berarti berwawasan luas dan adil. Dengan ilmu, kejujuran dan
kebenarannya itu ia akan memberikan putusan dalam suatu kasus
peradilan. Dia harus memandang apa yang dilakukan dalam persidangan
sebagai amal ibadah yang diganjar oleh Allah dengan pahalaNya. Islam
mengimbau seseorang yang sedang didera kemalasan, rasa kantuk, juga
kegembiraan meluap atau kesedihan mendalam dan kemarahan untuk tidak
duduk di kursi hakim. Dalam persidangan ia mesti menyamakan pandangan
kepada dua belah pihak yang bersengketa. Yang menarik, Islam juga
mengimbau supaya hakim memiliki kebebasan finansial dan berpendapatan
yang cukup sehingga ia tidak bisa diiming-imingi suap atau digertak
dengan ancaman.
Diriwayatkan bahwa di zaman khilafah Imam Ali bin
Abi Thalib as seseorang datang dan bertemu di rumah beliau selama
beberapa hari. Suatu saat dari pembicaraannya, Imam Ali as yang juga
duduk sebagai hakim menyadari bahwa orang tersebut adalah salah satu
pihak yang urusannya sedang diproses di pengadilan. Kepada tamunya
beliau berkata, “Sekarang juga aku memintamu untuk mengakhiri
persinggahan di rumahku ini. Sebab, Rasulullah Saw melarang seorang
hakim menjamu salah satu pihak yang bertikai tanpa kehadiran pihak yang
lain.”
Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as
menyampaikan pesan-pesan etikanya untuk mengajak manusia untuk semakin
matang dan dewasa dalam berhubungan dengan masyarakat sekitar khususnya
orang-orang dekatnya, seperti ayah, ibu, sanak famili, kawan bahkan
lawan. Poin penting yang ditekankan oleh Imam Sajjad adalah kejujuran
yang mesti selalu diperhatikan dalam setiap langkah, tindakan dan
keputusan. Kejujuran, sikap fair dan adil itu mesti dijalankan bahkan
dalam menghadapi lawan sekalipun.
Bukan rahasia lagi bahwa undang-undang buatan
manusia saat ini bahkan yang nampaknya dibuat dengan adil terkadang
tidak mampu menyelesaikan masalah dengan adil. Dalam banyak kasus
terkadang orang yang hadir di persidangan tidak merasa bersalah saat
berbohong walaupun dia berada di bawah sumpah. Tidak sedikit hakim yang
justeru menjadi andil ternistakannya hak orang. Banyak kasus yang
terungkap ke publik tentang hakim-hakim yang membuat vonis tak adil
karena diancam dan diintimidasi. Dalam kondisi seperti ini kejujuran
akan menjadi faktor penentu.
Imam Sajjad as berkata, “Hak orang yang mengadu
adalah mengakui kebenarannya jika ia memang benar dan jangan menolak
pengaduannya dari awal.” Lebih lanjut Imam menambahkan, “Jika memang dia
dalam posisi yang benar hendaknya engkau beri keputusan yang memihak
kepadanya meski untuk itu kau harus membuat keputusan yang merugikan
dirimu sendiri atau atau memvonis tanpa perlu mendatangkan saksi lagi
karena engkau telah bersaksi akan kebenaran dakwaannya, dan inilah hak
Allah atasmu.”
Apa yang dijelaskan oleh Imam Sajjad itu hanya bisa
terlaksana jika manusia bisa melatih dan mendidik jiwanya dengan
keimanan, kebenaran dan kejujuran. Jika itu tercapai orang akan rela
tunduk kepada kebenaran dan keadilan meski sikap itu bisa merugikan
dirinya sendiri. Ini tentunya dalam hal jika dakwaan yang diangkat
adalah dakwaan yang benar. Namun terkadang apa yang diklaim penggugat
tak lebih dari kebohongan dan dakwaan yang tidak benar. Hal itu sudah
tentu akan menjadi pemicu timbulnya sengketa dan tindakan anarkhis.
Karena itu, Imam Sajjad as dalam kitab Risalatul Huquq mengimbau pihak
kedua yakni yang tergugat untuk menahan diri jika terjadi gugatan tidak
benar atas dirinya. Imam Sajjad berkata, “Jika klaim dan gugatannya
tidak benar maka perlakukanlah ia dengan lemah lembut dan ajaklah ia
untuk takut kepada Allah.”
Imam Sajjad as dalam kata-katanya ini menekankan
untuk tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, melontarkan tuduhan dan
menyerang penggugat dengan cercaan. Kita diseru untuk menghindarkan
tindakan-tindakan seperti itu agar diri kita selalu rerhiasi dengan
sifat dan perilaku yang mulia.
Hak Bermusyawarah
Manusia terbiasa untuk bermusyawarah dan meminta
saran atau masukan dari orang-orang yang dianggap berwawasan,
berpengalaman dan yang lebih tua. Orang yang bijaksana dan berpandangan
ke depan akan meminta pendapat dan arahan terkait kehidupan individu
maupun sosial dari orang yang menurutnya pintar dan bijak. Orang-orang
seperti inilah yang dinilai bakal mampu membantu menyelesaikan berbagai
permasalahan.
Dengan datangnya risalah agama Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw bermusyawarah menjadi masalah yang penting dan
ditekankan dalam ajaran agama ini. Di ayat 159 surat Ali Imran, Allah
Swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu.” Padahal Nabi Saw adalah insan yang memiliki akal paling
sempurna dan paling bijak. Meski demikian beliau diperintah oleh Allah
untuk bermusyawarah dengan kalangan bijak dan pandai dari para
sahabatnya. Dengan demikian beliau bisa memanfaatkan hasil pemikiran
mereka. Nabi Saw sangat menghargai pendapat umatnya. Jika beliau
memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat kebanyakan sahabat, maka
beliau dengan lapang dada menerima pendapat mayoritas. Dalam tutur kata
dan perilaku, beliau mengajarkan musyawarah dan mendidik umatnya untuk
bertukar pikiran di antara mereka.
Di dunia modern, seorang manager atau pimpinan
sebuah instansi pasti memiliki orang-orang yang bekerja untuknya sebagai
penasehat yang membantu memberinya masukan demi kelancaran kerja dan
memperbaiki kinerja. Penasehat itu umumnya adalah para pakar yang punya
keahlian khusus sehingga bisa membantu kelancaran dan perbaikan kerja.
Masukan yang diberikan oleh para penasehat jika dijalankan dengan baik
dan benar akan mengurangi resiko kesalahan sementara peluang
keberhasilan akan semakin besar.
Imam Sajjad as dalam Risalatul Huquq mengenai
signifikansi musyawarah menjelaskan hak orang orang yang memintas
nasehat dan arahan. Beliau berkata, “Hak orang yang memerlukan nasehat
darimu adalah hendaknya engkau memberi pandangan yang jelas dan baik
kepadanya. Saat menasehatinya, perlakukanlah dia sebaik engkau
memperlakukan dirimu jika berada pada posisinya. Berikan nasehat itu
dengan lemah lembut sehingga kecemasannya berubah menjadi ketenangan.
Jika engkau tidak mengerti apa yang mesti engkau sampaikan arahkanlah
dia kepada orang yang engkau menjadi kepercayaanmu saat engkau
memerlukan nasehat.”
Musyawarah mendatangkan banyak manfaat baik untuk
pribadi orang dalam lingkup kehidupannya maupun untuk masyarakat dalam
kehidupan sosial. Selain itu, musyawarah akan mencegah terjadinya
kediktatoran dalam berpendapat. Orang yang hanya mementingkan
pendapatnya saja berarti telah terjebak ke dalam salah satu petaka
besar. Jika petaka ini menyebar di tengah masyarakat maka orang akan
mudah melupakan kepribadiannya dan akibatnya, masyarakat akan terperosok
ke dalam dekandensi yang mengerikan. Orang yang hanya mementingkan
pendapatnya saja tak akan peduli dengan pendapat orang lain. Ia tak
ubahnya bagai kayu yang tak lentur yang akan patah jika dipaksa untuk
dilenturkan. Sementara, orang yang bisa menghargai orang lain akan
memiliki sifat yang fleksibel dan bisa menempatkan diri dengan pandangan
orang lain. Orang yang seperti ini akan mudah diarahkan ke jalan yang
benar.
Ketika musyawarah menjadi tradisi di sebuah
masyarakat, pemikiran akan berkembang dan dari berbagai pandangan dan
ide yang terbaiklah yang akan dipilih. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis
bersabda, “Ketika penguasa kalian adalah dari kalangan orang-orang yang
baik, orang kuat kalian dari kalangan dermawan, dan pekerjaan kalian
dilakukan dengan musyawarah maka saat itu muka ini akan lebih baik bagi
kalian dari kandungan di dalamnya.”
Musyawarah akan menjadikan orang lebih siap dalam
mengambil keputusan pada kondisi yang sulit. Hal itu akan semakin
membuka jalan bagi aktualisasi potensi di tengah masyarakat. Dengan kata
lain, lewat musyawarah pemikiran dan ide akan semakin matang. Di
tingkat sosial partisipasi masyarakat di dewan-dewan dan perkumpulan
untuk bertukar pandangan membantu mereka untuk terlibat dalam menentukan
perjalanan masyarakat. Dalam sebuah hadis Nabi Saw bersabda, “Tak ada
satupun masyarakat yang bermusyawarah di antara mereka kecuali
memperoleh petunjuk terbaik dalam urusannya.”
Manusia tidak akan pernah mengetahui semua masalah
yang ia hadapi juga akibat dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Karena itu ia memerlukan musyawarah. Akal memang menjadi pemandu manusia
dalam membuka jalan baginya. Tetapi sangat mungkin ia tidak melihat apa
yang terjadi di ujung perjalanan sana atau tak mampu menganalisa
permasalahan secara sempurna. Karena itu ia memerlukan pandangan orang
lain sebagai masukan. Imam Ali as menyebut musyawarah sebagai tindakan
menyertakan akal orang-orang lain dalam sebuah masalah. Kata-kata Imam
Ali ini mengingatkan bahwa akal dan pemikiran beberapa orang akan lebih
sempurna dibanding pemikiran satu orang. Manusia memerlukan akal yang
lebih tinggi dan suci khususnya dari para nabi dan manusia-manusia
pilihan Allah.
Tentunya bermusyawarah tidak bisa dilakukan dengan
sembarang orang. Ada sekelompok orang yang justeru akan mencelakakan
kita jika diajak untuk bermusyawarah. Dalam kaitan ini Imam Ali as
berkata, “Jangan pernah bemusyawarah dengan tiga kelompok manusia,
pertama, orang-orang kikir, sebab mereka akan mencegahmu berbuat baik
kepada orang lain dan menakut-nakutimu akan kemiskinan. Kedua,
orang-orang penakut sebab mereka akan mencegah langkahmu melakukan
pekerjaan-pekerjaan penting. Ketiga, orang-orang yang rakus sebab mereka
akan menggambarkan orang yang zalim layaknya orang baik demi meraih
kekayaan atau kedudukan.”
Hak Orang Lanjut Usia
Sejak pertama kali menjejakkan kaki di alam
kehidupan ini, manusia adalah wujud yang lemah. Setahap demi setahap
periode kehidupan dia lalui sampai tumbuh dewasa dengan fisik yang
semakin kuat di masa muda. Dengan berlalunya usia, dia memasuki masa
paruh baya yang dibarengi dengan kematangan nalar dan pikirannya.
Menginjak usia senja ia akan kehilangan kemampuan fisiknya yang semakin
melemah. Al-Quran al-Karim menggambarkan kondisi itu dalam surat Rum
ayat 54. Allah Swt berfirman yang artinya, “Allah, Dialah yang
menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Dalam sejumlah riwayat hadis disebutkan bahwa usia
tua adalah satu bentuk manifestasi dari cahaya ilahi. Orang yang berusia
tua mendapat kehormatan khusus karena ia telah mengemban risalah
kemanusiaan sejak lama dengan naik turun kondisi kehidupan di dunia dan
kini di usia senja ia hidup mendampingi orang-orang yang masih muda
untuk menyampaikan kepada mereka segudang pengalaman yang dimilikinya.
Jelas bahwa setiap pengalaman akan membuka pintu pengetahuan bagi
manusia. Terkait hal ini, Imam Ali as menyatakan bahwa di balik
pengalaman ada ilmu dan pengetahuan yang baru. Salah seorang cendekiawan
berkata, “Dalam mencapai kemajuan etikanya umat manusia berhutang budi
kepada kaum tua. Ketika menginjak usia tua, orang akan semakin baik dan
matang, dan ia siap menyampaikan pengalamannya kepada generasi yang
lebih muda. Tanpa kaum tua, manusia akan mengalami stagnasi.”
Skinner, psikolog Amerika mengatakan, “Usia senja
ibarat safari ke negeri lain. Jika sebelum safari Anda telah
mempersiapkan bekal maka saat menginjak usia senja kondisi kalian akan
lebih baik.” Ungkapan ini menyebutkan bahwa usia senja adalah satu
periode kesempurnaan manusia. Karena itu, saat menginjak usia senja kita
mesti menyesuaikan diri dengan kondisi di usia itu dengan semangat,
keceriaan dan kebersyukuran kepada Allah Swt.
Di setiap masyarakat ada sekelompok orang yang
sudah berusia lanjut. Tentunya, masyarakat memiliki serangkaian
kewajiban dan tanggung jawab terhadap mereka. Salah satunya adalah
penghargaan anggota masyarakat kepada orang-orang tua. Penghormatan
dilakukan dengan menghormati kaum tua dan memahami kondisi fisik dan
kejiwaan mereka. Masyarakat mesti memerhatikan kebutuhan kelompok usia
senja ini dan berusaha untuk menyelesaikan semua kesulitan yang mereka
hadapi. Kaum tua juga harus disertakan dalam kegiatan sosial dengan
diberi tugas yang bisa mereka lakukan. Memang sepintas hal itu seakan
memberatkan tapi sebenarnya pelimpahan tugas tersebut akan membuat
mereka merasa memiliki andil dalam masyarakat. Perasaan itu akan
mendatangkan rasa percaya diri dan mengobati masalah kejiwaan yang
biasanya diderita kaum tua. Satu hal yang harus diperhatikan adalah
dahaga akan perhatian, kasih sayang dan cinta yang dirasakan oleh
kebanyakan orang yang berusia lanjut.
Mengenai kaum tua, Imam Sajjad as menjelaskan, “Hak
kaum tua adalah hendaknya engkau menghormati ketuaannya. Jika dia
memiliki prestasi keterdahuluan dalam Islam maka hormatilah ia
karenanya. Dahulukanlah dia. Jika terlibat perselisihan dengannya jangan
sampai engkau bersikap frontal terhadapnya. Saat berjalan, jangan
engkau mendahuluinya dan jangan berjalan di depannya. Jangan engkau
anggap dia seperti orang bodoh. Jika ia melakukan kesalahan hendaknya
engkau bersabar atasnya. Hormati pula dia karena usianya sebab hak usia
sama seperti hak Islam baginya.”
Di sini, Imam Sajjad as menitikberatkan masalah
penghormatan kepada kaum tua. Mereka tak lain adalah orang-orang yang
dahulu dimasa muda membangun rumah tangga dan menghabiskan usia, tenaga
dan harta untuk membesarkan anak-anak dan mendidik mereka. Bisa
dibayangkan betapa beratnya pukulan kejiwaan yang menimpa mereka jika di
masa tua diperlakukan dengan tidak baik dan tidak terhormat. Dalam
perspektif Imam Sajjad as, salah satu bentuk penghormatan kepada kaum
tua adalah dengan tidak memusuhi mereka. Orang yang sudah menginjak usia
tua dengan fisik yang semakin melemah berharap banyak dari orang-orang
yang lebih muda. Terkadang harapan mereka memang berlebihan dan tidak
wajar.
Imam Sajjad menyinggung hal itu sambil menasehati
untuk bersabar jika hal itu terjadi. Beliau memerintahkan kita untuk
tetap menjaga rasa hormat kepada mereka dan tidak terlibat konfrontasi
langsung dengan mereka. Beliau mengajarkan pula untuk tidak berjalan
mendahului orang tua dan tidak memperlakukan mereka dengan tidak sopan.
Dalam hal ini yang harus diperhatikan dan bisa membuka mata kita dalam
bergaul dengan kaum tua adalah bahwa kita bakal mengalami masa seperti
itu, saat usia sudah menginjak senja dan tubuh sudah semakin rapuh
ditelan masa.
Hak Anak Kecil
Manusia lahir dan tumbuh besar di sebuah lingkungan
kecil yang disebut keluarga. Kepribadiannya akan terbentuk sedikit demi
sedikit di bawah pengaruh berbagai faktor yang berhubungan dengan
dirinya. Dengan kata lain, kumpulan potensi dan kemampuan yang ada diri
seorang anak dan dipengaruhi oleh pendidikan keluarga akan menjadi
faktor yang dominan dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang.
Mengingat dominasi faktor-faktor tersebut dalam membentuk kepribadian
manusia, Islam menetapkan serangkaian hak untuk anak dalam keluarga
sehingga ia akan tumbuh di tengah keluarga dengan pendidikan yang benar
untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakatnya.
Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as
menjelaskan beberapa hal mengenal pendidikan anak. Beliau berkata,
“Tentang hak anak, cintai dan sayangilah ia. Didiklah ia dan maafkanlah
kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya selaku anak kecil, perlakukanlah
dengan lemah lembut dan bantulah ia. Sebab cara itu bisa mencegah
terulangnya kesalahan, melahirkan kasih sayang dan tidak
memprovokasinya. Cara itu adalah jalan paling pintas untuk
perkembangannya.”
Imam Sajjad menekankan bahwa kasih sayang terhadap
anak kecil adalah hak baginya yang merupakan tanggung jawab dan
kewajiban orang yang dewasa. Sebab, anak kecil memiliki jiwa yang sangat
lembut dan suci. Cinta dan kasih sayang terhadapnya adalah pemenuhan
tuntutan fitrah suci yang ada pada diri mereka. Cinta dan kasih sayang
ibarat air kehidupan yang mengurai kesulitan-kesulitan jiwa manusia.
Kasih sayang yang diiringi dengan keramahan adalah faktor pemikat hati
dalam hubungan antar manusia. Imam Ali as menyebut keramahan dan
persahabatan sebagai separuh kebijaksanaan. Beliau mengingatkan bahwa
seorang pendidik mesti memerhatikan raut muka yang harus selalu dihiasi
senyuman dan nada pembicaraan yang baik.
Salah satu unsur penting dalam pendidikan adalah
mengajarkan ilmu dan akhlak kepada anak yang dibarengi dengan sikap
memaafkan kesalahan yang mungkin dilakukannya. Hal itu akan membantu
pertumbuhan dan aktualisasi potensi anak. Orang tua hendaknya menanamkan
keimanan dan akhlak pada diri anak karena hal itu akan memprotek
keselamatan dan kesucian jiwanya yang pada gilirannya akan menjauhkannya
dari penyimpangan dan keburukan. Karena itu, Imam Sajjad as
mengingatkan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara
perlahan dan berkesinambungan. Anak harus lebih dikenalkan kepada
kebaikan dan sifat-sifat terpuji dibanding melarangnya dari perbuatan
buruk dan sifat-sifat keji.
Salah satu faktor utama dalam membantu perkembangan
dan pendidikan anak adalah rasa aman dan kebebasan di lingkungan
keluarga. Sebaliknya, suasana ancaman dan kekerasan akan mengganggu
pertumbuhan dan kematangan jiwanya. ketenangan dan kebebasan yang cukup
ada di lingkungan keluarga, anak akan mudah mengembangkan potensi yang
ada pada dirinya. Karena itu, dalam ajaran Islam pendidik diarahkan
untuk tidak menjadikan paksaan dan kekerasan sebagai jalan alternatif
paling akhir. Islam mengajarkan untuk menghormati anak.
Dalam Islam, anak sejak kecil sudah harus mendapat
penghormatan sebagai manusia. Sejumlah riwayat dan hadis menekankan
kepada kita untuk memperlakukan anak dengan kasih sayang dan lemah
lembut khususnya di saat ia masih kecil dengan fisiknya yang sangat
lemah. Perlakuan Rasulullah Saw terhadap cucu-cucunya adalah teladan
bagi kita semua. Dalam sebuah riwayat beliau menyebut masa tujuh tahun
pertama usia anak sebagai masa untuk memperlakukannya bagai tuan.
Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari dikenal
penyayang kepada anak-anak. Jika melewati lorong-lorong kota atau pasar
dan berpapasan dengan anak-anak, wajah beliau akan nampak berseri-seri.
Tak jarang beliau diajak bermain oleh anak-anak. Setiap berjumpa dengan
anak-anak beliau selalu mengucapkan salam kepada mereka. Dalam sebuah
hadis yang mengandung sisi psikologis, Nabi Saw bersabda, “Orang yang
memiliki anak kecil hendaknya berlaku seperti anak kecil bersamanya.”
Dalam hadis lain beliau bersabda, “Semoga Allah
merahmati ayah yang mengajarkan jalan kebaikan kepada anaknya, berbuat
baik kepadanya, memperlakukannya seakan kawan di masa kecil dan
membantunya untuk tumbuh menjadi orang yang berilmu dan berakhlak.”
Tak diragukan bahwa dalam rangka menjaga hak-hak
anak, ayah dan ibu harus menjadi orang yang paling mengenal tugas dan
tanggung jawab dalam mendidik anak mereka. Keberadaan ayah dan ibu yang
bijak akan menguatkan tekad dan semangat pada diri anak serta
menjadikannya manusia yang berperilaku baik. Anak yang seperti ini akan
terpacu untuk mempelajari banyak hal yang bisa membantunya menjadi insan
yang berguna bagi masyarakat dan umat manusia.
Di akhir pembahasan ini kita simak doa Imam Sajjad
berikut ini, “Ya Allah bantulah kami dalam mendidik anak kami dengan
pendidikan yang baik.”
Hak Pengemis
Membantu kaum fakir dan papa adalah tugas bagi
seluruh umat Islam. Karena itu, Islam menjelaskan pahala besar yang
bakal diterima orang yang menolong kaum fakir dan peduli dengan keadaan
mereka. Allah suka dengan orang-orang yang mengulurkan bantuan kepada
mereka yang memerlukan dan perbuatan itu akan membantu meningkatkan
kesempurnaan insani dan derajat kemuliaannya. Orang yang dalam kehidupan
duniawi ini mendahulukan ridha Allah di atas upaya memperkaya diri dan
memilih jalan membantu meringankan beban derita kaum fakir miskin, maka
Allah memberinya pahala yang berlimpah.
Dari sisi lain, al-Quran al-Karim meski menyebut
dunia dan kekayaannya sebagai anugerah Allah kepada manusia, tapi juga
mengecam praktik menumpuk kekayaan dan keengganan berinfak. Tentunya tak
dipungkiri bahwa sebagian orang melarat karena kemalasan atau
ketidakpandaiannya dalam mencari nafkah atau mungkin karena masalah
lain. Tapi ada faktor lain yang dominan dalam menciptakan kefakiran
yaitu tertumpuknya kekayaan di tangan sekelompok orang tertentu. Di
surat Taubah ayat 34 Allah Swt berfirman, “…Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih.”
Bantuan untuk kaum fakir yang paling bernilai
adalah bantuan yang diberikan lebih dari apa yang diperlukan. Pemberian
bantuan itu hendaknya dilakukan dengan menjaga kehormatan dan harga diri
orang yang menerimanya. Dalam kaitan ini Imam Jakfar Shadiq as berkata,
“Memenuhi hajat seorang mukmin lebih disukai Allah dari haji dua puluh
kali yang dilakukan dengan biaya setiap hajinya 100 ribu dinar.”
Seorang ulama ditanya apa yang akan dia lakukan
jika tahu bahwa beberapa jam lagi dia akan meninggal dunia? Dia
menjawab, “Aku akan duduk di atas teras rumah untuk memenuhi hajat siapa
saja yang memerlukan. Mungkin akan ada orang yang datang untuk
memintaku membantu memenuhi kebutuhannya meski nilainya kecil.”
Mengenai kebajikan dan kedermawanan Imam Sajjad as
berkata, “Hak peminta-minta adalah memberinya sedekah jika engkau bisa
memenuhi hajatnya, dan doakan supaya kesulitannya bisa terselesaikan.
Bantulah dia. Jika engkau meragukan kebenaran pengakuannya, maka
ketahuilah bahwa keraguan itu adalah jaring syaitan yang memang
menginginkanmu jauh dari Allah. Perlakukan dia dengan rasa hormat dan
kata-kata yang lembut. Jika hal itu engkau lakukan sambil memberinya
sesuatu maka engkau telah melakukan hal yang benar.”
Di sini Imam Sajjad as menekankan bahwa orang yang
bersedekah harus memperkuat niatnya dengan kasih sayang, kesopanan dan
kedermawanan. Imam mendorong kita untuk berderma dan membantu orang
lain. Adanya orang-orang yang meminta-minta padahal mereka sebenarnya
tidak berhak untuk mendapat uluran tangan, juga disinggung oleh Imam
Sajjad. Beliau tidak menafikan adanya orang seperti itu namun tetap
menekankan bahwa yang penting adalah keinginan orang untuk berderma dan
membantu orang yang memerlukan dalam kondisi apapun.
Memelas dan meminta bantuan dari sana sini akan
membuat orang dipandang sebelah mata. Tindakan itu akan menurunkan harga
dirinya di depan masyarakat. Untuk mencegah terjadi hal seperti itu
yang tentunya juga menimbulkan dampak buruk pada kejiwaan dan mental
orang, Islam mengajarkan kepada kita untuk saling mengenal kondisi
sesama dan bergegas dalam membantu siapa saja yang memerlukan bantuan.
Dalam sebuah riwayat hadis dari Imam Ali Ridha as disebutkan bahwa
beliau berkata, “Kebajikan kepada orang lain tak akan sempurna kecuali
dengan tiga hal. Pertama, orang yang berderma hendaknya bersegera dalam
berderma. Kedua, hendaknya dia memandang bantuan yang diberikannya
kepada orang lain sebagai hal yang remeh dan kecil. Ketiga, merahasiakan
amal itu dari orang lain. Bersegera dalam memenuhi permintaan orang
yang memerlukan bantuan akan menambah manisnya amal. Menatap remeh amal
baik akan menjadikannya besar (di sisi Allah). Dan merahasiakan amal
baik dari orang lain akan menyempurnakan kebaikannya.”
Imam Sajjad as menjelaskan pula tentang hak
orang-orang yang berderma. Beliau mengatakan, “Hak penderma adalah
menerima pemberiannya jika dia memberi sesuatu dengan berterima kasih
kepadanya. Jika dia menolak memberi bantuan terimalah alasannya dan
bersangka baiklah kepadanya. Ketahuilah bahwa ketika dia tidak
memberikan apa-apa tidak ada kecaman apapun yang bisa diarahkan
kepadanya. Sebab dia tidak memberikan apa yang menjadi miliknya sendiri.
Walaupun dia telah berbuat zalim seperti layaknya orang lalim dan orang
yang tak tahu budi.”
Berterima kasih dan menghargai orang lain adalah
sifat utama manusia. Orang yang dirinya terhiasi dengan akhlak mulia
akan berterima kasih kepada siapa saja yang memberikan kebaikan
kepadanya. Sikap tak tahu budi memiliki dampak buruk. Memang perderma
sejati tak akan pernah mengharap terima kasih dari orang lain. Sebab,
saat mengulurkan bantuan dia hanya mengharap keridhaan Allah dan
teratasinya kesulitan masyarakat. Namun demikian, dia berhak untuk
mendapat penghargaan dan ucapan terima kasih.
Hak Orang yang Menyenangkan Orang Lain
Salah satu bagian dari masyarakat adalah orang yang
membuat senang orang lain. Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as
menjelaskan hak orang yang telah menyenangkan hati orang lain. Beliau
berkata, “Hak orang yang dengannya Allah telah membuatmu gembira adalah
engkau mesti berterima kasih kepadanya setelah mengucapkan syukur kepada
Allah, jika dia melakukannya memang karena ingin membuatmu gembira…
Berilah ia balasan dan upayakan untuk membalasnya dengan kebaikan…
Cintailah orang yang membuatmu gembira dan doakan kebaikan untuknya
sebab dia telah menjadi penyebab datangnya nikmat dan berkah dari
Allah.”
Menggembirakan orang lain dipandang oleh Imam
Sajjad as sebagai hal yang harus mendapat perhatian. Ini menunjukkan
bahwa Islam memandang penting masalah kegembiraan dan keceriaan. Dalam
mengarungi kehidupan, bahtera kehidupan manusia terkadang menghadapi
gelombang ombak yang mengombang-ambingkan dan membawanya ke sana ke
mari. Akibatnya, ia didera kesedihan dan kegundahan. Saat keadaan
seperti itu, Islam menganjurkan kita untuk membantu menyelesaikan
kesulitan yang dihadapi orang lain dan membuatnya bisa menyungging
senyum gembira. Jiwa manusia memerlukan keceriaan. Tanpa keceriaan orang
akan sulit menghadapi gelombang pasang surut dalam kehidupan. Imam Ali
dalam sebuah riwayat berkata, “Kegembiraan akan membuka jiwa manusia dan
membangkitkan kegairahannya.”
Agama mengajak manusia untuk menikmati pemandangan
alam dan keindahan ciptaan Allah demi memperoleh kebugaran dan
keceriaan. Salah satu yang dianjurkan agama adalah melakukan safari atau
berpetualang untuk mencari kesenangan dan keceriaan. Islam juga
menganjurkan kita untuk menebar senyum dan berwajah ramah kala
berhubungan dengan masyarakat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw
bersabda, “Barang siapa menggembirakan hati seorang mukmin berarti dia
telah menggembirakan hatiku. Dan barang siapa membuatku gembira berarti
ia telah memperoleh janji hidayah dan kebahagiaan dari Allah.”
Nabi Saw dalam pergaulannya sehari-hari adalah
teladan bagi umat. Beliau selalu tampil dengan muka berseri kepada siapa
saja, baik orang-orang dekatnya atau sahabat-sahabatnya. Beliau dikenal
dengan akhlaknya yang sangat mulia dan wajah yang selalu menyungging
senyum. Dalam riwayat disebutkan bahwa sebagian sahabat mengatakan tidak
ada orang yang tersenyum lebih indah dari Nabi Saw. Perlakuan Nabi Saw
kepada sahabat-sahabatnya sedemikian memukau sehingga mereka yang
menghadapi kesulitan dan kesedihan pun akan terhibur hati dan merasakan
keceriaan.
Menggembirakan hati orang bisa diwujudkan dengan
berbagai cara. Terkadang orang larut dalam pikiran karena dililit utang,
atau karena masalah tempat tinggal atau juga karena menderita penyakit.
Membantu meringankan derita mereka bisa dilakukan dengan membuat riang
hati mereka. Terkadang orang tidak menunjukkan derita di wajah, tapi
batinnya penuh gejolak dan guncangan. Dengan kata-kata yang indah,
menceritakan kisah-kisah menarik atau dengan perbuatan yang baik, kita
bisa membantu meringankan beban derita mereka. Imam Ali berkata, “Hati
dan jiwa manusia sama dengan badannya yang juga bisa terkena kejenuhan
dan penyakit. Hilangkan kegundahan dan penyakit ini dengan hikmah-hikmah
yang baru.”
Ketika menjelaskan hak orang yang membuat gembira
orang lain, Imam Sajjad as memaparkan masalah yang lebih luas dari
sekedar menggembirakan orang. Beliau menganjurkan kita untuk selalu
menjaga akhlak, kesopanan dan wajah berseri dalam berhubungan dengan
orang lain. Dengan demikian orang akan merasa senang dan riang hati saat
melihat kita. Beliau lantas mengatakan, berterimakasihlah kepada orang
yang telah membuatmu senang, walaupun dia melakukannya tidak dengan
sengaja, dan pujilah Allah karena telah menjadikannya wasilah
kegembiraanmu.
Secara umum, keriangan dan keceriaan akan
melahirkan gairah dan energi pada diri manusia.
Selanjutnya, hal itu
akan membuat badan dan jiwa siap untuk bekerja dan berusaha. Karena itu,
keceriaan jiwa adalah motor penggerak bagi, pemompa kekuatan dan faktor
yang menggerakkan potensi dan bakat pada diri seseorang. Tentunya, ada
sejumlah kesenangan dan hiburan yang dilarang oleh Islam karena membuat
manusia jauh dari kemanusiaan dan dari Allah. Sebagian orang terbiasa
melucu dengan cara mengejek atau meledek orang lain. Padahal menciptakan
keceriaan dengan cara-cara seperti itu jauh dari kehormatan insani dan
memicu permusuhan di tengah masyarakat. Karena itu, Islam melarangnya.
Hak Pelaku Keburukan
Manusia adalah makhluk sosial yang memenuhi
kebutuhan hidupnya lewat interaksi, hubungan dan kerjasama dengan
sesama. Kehidupan sosial atau kehidupan bermasyarakat memainkan peran
dalam membangun kepribadian manusia. Karena itu, kita mesti memerhatikan
perilaku dan tindakan dalam berhubungan dengan orang lain. Salah satu
syarat utama dalam kehidupan bermasyarakat adalah memiliki jiwa pemaaf
dan melupakan kesalahan orang lain terhadap kita. Orang yang pemaaf akan
memiliki jiwa yang tenang. Tentunya memaafkan hanya bisa dibenarkan
jika tidak melanggar hak-hak orang lain atau membuat orang yang
melakukan kesalahan semakin terdorong untuk berbuat salah.
Di sisi lain, di dunia ini tak ada orang yang
sempurna dan tanpa cacat atau kesalahan. Karena itu, sebisa mungkin kita
mesti bisa bersabar jika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Memaafkan dan mengampuni kesalahan adalah salah satu sifat Allah.
Memaafkan adalah sifat ksatria dan orang-orang yang berjiwa besar. Orang
yang menyandang sifat ini akan mudah memaafkan orang lain padahal
dirinya mampu membalas kesalahan orang lain. Memaafkan akan membesarkan
jiwa dan membebaskan diri manusia dari kekangan ego dan kesombongan.
Memang, menutup mata dari gangguan orang sulit dilakukan. Tetapi kita
diajarkan untuk bersabar sejauh kemampuan. Agama mengajarkan kepada kita
untuk semampunya memadamkan amarah dan gejolak di hati. Dengan melatih
diri, orang akan terbiasa sehingga ia akan terhiasi dengan sifat pemaaf.
Dalam sebuah hadis, Imam Ali as berkata, “Memaafkan
adalah wajah insani yang paling indah.” Membalas keburukan dan
kesalahan orang dengan maaf dan ampunan, akan mendatangkan kesan yang
sangat konstruktif pada diri manusia. Bahkan memaafkan akan membuat
orang yang telah melakukan kesalahan dan keburukan akan merenungkan
kesalahannya. Pada gilirannya hal itu akan membuatnya berpikir mengubah
perilaku. Seorang ilmuan mengatakan, “Engkau memiliki kesempatan untuk
memaafkan orang yang telah mengganggumu dan menikmati pemberian maaf
itu. Ketika memilih untuk membalas kesalahannya berarti engkau telah
menempatkan diri di tempat orang itu. Namun jika memaafkannya berarti
engkau telah meraih posisi yang lebih baik darinya. Dia telah berbuat
jahat sementara engkau memaafkan. Sebenarnya, memaafkan adalah
pembalasan yang paling baik. Dengan memaafkan kita bisa mengalahkan
lawan tanpa bentrokan dan memaksanya untuk tunduk di hadapan kita.”
Memaafkan punya peran yang besar dalam menjaga
kedamaian kehidupan bermasyarakat. Untuk itu Imam Sajjad dalam Risalatul
Huquq menyinggung pula hak orang yang berbuat jahat kepada orang lain.
Beliau mengatakan, “Hak orang yang karena takdir telah berbuat buruk
terhadapmu dengan lisan atau perbuatan adalah, jika dia melakukannya
karena sengaja hendaknya engkau memaafkannya supaya akar kebencian di
antara kalian tercabut. Perlakukanlah masyarakat dengan akhlak yang
seperti itu… Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah
dengan balasan yang sama dengan apa yang ditimpakan kepadamu. Akan
tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang sabar.” (Q.S. al-Nahl:126)
Imam Sajjad as dikenal sebagai figur manusia
pemaaf. Beliau menyatakan bahwa kejahatan adalah tindakan yang dilakukan
manusia karena kebodohannya. Dikisahkan bahwa suatu hari, sekelompok
sahabat Imam Sajjad duduk bersama beliau. Tiba-tiba seseorang datang.
Dengan tanpa mengindahkan akhlak, dia memaki dan menghujat Imam dengan
kata-kata hinaan. Imam Sajjad as hanya berdiam diri dan mendengarkan
kata-kata orang itu sampai selesai. Sementara, para sahabat Imam
terbakar emosi karena kekurangajaran orang yang tiba-tiba datang dan
masuk ke perkumpulan mereka itu. Imam meminta mereka untuk menahan diri.
Orangpun lantas bergegas meninggalkan Imam dan para sahabatnya.
Beberapa saat setelah itu, Imam Sajjad bersama
beberapa sahabatnya mendatangi rumah orang itu dan memanggilnya keluar.
Orang tersebut keluar dengan congkak. Kepadanya Imam berkata,
“Saudaraku, semua tuduhan yang kau nisbatkan kepadaku jika benar, maka
aku memohon kepada Allah untuk memaafkanku. Tapi jika tuduhan itu tidak
benar maka kepada Allah aku memohon untuk meliputimu dengan rahmatNya
yang luas.” Kata-kata lembut dari Imam Sajjad itu menimbulkan kesan yang
sangat besar pada diri lelaki itu. Dia menyesali apa yang telah
dilakukannya terhadap Imam. Dengan nada penuh hormat dan penyesalan dia
berkata, “Wujudmu yang suci dan mulia sungguh jauh dari tuduhan-tuduhan
itu. Akulah yang lebih pantas dengan sifat-sifat yang aku tuduhkan lewat
lisanku itu.”
Memaafkan akan lebih bernilai ketika seseorang
mampu dan berkesempatan untuk membalas tapi dia memilih untuk memaafkan.
Peristiwa penaklukan kota Mekah adalah pentas pemaafan dalam skala
besar yang dilakukan oleh Nabi Saw. Saat itu beliau memasuki kota Mekah
dengan pasukan besar yang tak mungkin bisa dilawan oleh kaum kafir
Quraisy. Lawan-lawan Nabi Saw membayangkan tak lama lagi mereka bakal
dibalas karena kejahatan yang mereka lakukan terhadap Nabi. Akan tetapi
semua terkejut ketika Nabi Saw mengumumkan bahwa beliau telah memaafkan
mereka semua. Kisah itu terabadikan dalam sejarah yang menunjukkan
kebesaran jiwa insan suci utusan Allah itu.
Hak Orang Seagama
Manusia yang sehat memiliki semangat sosial yang
tinggi. Dia tidak lari dari kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupannya
ia memanfaatkan pengalaman orang lain dan siap berbagi kesenangan dan
pengalaman dengan orang lain. Namun yang perlu dicatat bahwa kehidupan
sosial ini terkadang hanya memiliki bentuk luar tanpa kedalaman sama
sekali.
Di zaman ini, banyak orang yang secara lahiriyah
hidup di sebuah lingkungan sosial. Padahal, mereka tidak saling mengenal
kondisi masing-masing. Atau karena merasa lebih unggul dibanding orang
lain mereka membatasi hubungan dengan sesama anggota masyarakat. Hal itu
dipandang oleh para pakar ilmu sosial sebagai bencana bagi kehidupan
sosial manusia di zaman ini yang tentunya punya dampak buruk. Diantara
dampak buruk dari kondisi itu adalah menguatkan egoisme dan
kecenderungan untuk mengejar kepentingan pribadi.
Islam adalah agama yang menganjurkan kita untuk
hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan sosial yang dianjurkan Islam,
adalah kehidupan yang dinamis, bergairah dan penuh keakraban, dengan
anggota masyarakat yang saling mengasihi, membantu dan peduli. Dalam
sebuah hadis, Nabi Saw bersabda, “Setelah keberagamaan, sebaik-baik
tindakan logis adalah mengasihi masyarakat dan melakukan amal baik
terhadap semua orang, baik mereka yang tergolong kelompok orang baik
atau orang jahat.”
Untuk mengokohkan hubungan kasih sayang di antara
masyarakat sehingga melahirkan kepeduliaan dan rasa tanggung jawab di
antara mereka, Islam telah menggariskan hubungan yang mendalam di tengah
umat. Salah satu syiar penting dalam Islam adalah syair yang diusung
oleh ayat, innamal mu’minuna ikhwah yang berarti sesungguhnya
orang-orang Mukmin itu bersaudara.
Ayat di surat al-Hujurat ini mengandung makna dan
pengertian yang jelas tentang tali hubungan persaudaraan di antara kaum
Mukmin. Berdasarkan ayat ini, umat Islam dari ras, bangsa dan suku
apapun memiliki hubungan bersaudaraan dengan sesama muslim. Hubungan
persaudaraan dan kesetaraan ini terjelma dalam bentuknya yang nyata
ketika mereka melakukan ibadah haji. Saat itu, semua hujjaj dari
berbagai belahan dunia bersama-sama berada di pusat tauhid untuk
melaksanakan ibadah haji.
Islam memandang seluruh umat Islam layaknya sebuah
keluarga. Kondisi baik dan buruk salah satu anggotanya berhubungan erat
dengan seluruh anggota yang lain. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan
bahwa Allah Swt berfirman, “Seluruh manusia adalah keluargaKu. Yang
paling terkasihi di sisiKu di antara mereka adalah orang yang paling
pengasih kepada yang lain.”
Agama Islam menolak sikap acuh terhadap masyarakat
dan nasib orang lain serta memandangnya sebagai hal yang kontra
normatif. Karena itu, Islam mengimbau kita untuk peduli akan nasib
sesama dan berusaha terlibat menyelesaikan masalah yang dihadapi orang
lain. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang
tidak memikirkan urusan kaum muslimin berarti dia bukan tergolong
muslim.”
Memerhatikan kondisi saudara seagama tentu
meniscayakan sejumlah tanggung jawab dan kewajiban, termasuk tata krama
yang mesti diperhatikan. Dalam kaitan ini, Imam Sajjad as menjelaskan
sejumlah hal. Beliau berkata, “Hak saudara seagamamu adalah engkau harus
mengharapkan keselamatan baginya di hatimu; memberikan kasih sayangmu
kepadanya; terhadap orang yang buruk di antara mereka hendaknya engkau
bersabar, memperlakukannya dengan baik dan berusaha memperbaiki
perilakunya; sementara terhadap orang-orang yang baik diantara mereka
hendaknya engkau menghargainya.. Jangan pernah menyakiti mereka.
Sukailah untuk mereka apa yang engkau sukai untuk dirimu sendiri; dan
bencilah untuk mereka apa yang engkau benci untuk dirimu; doakan mereka;
bantu mereka dan hormati mereka sesuai dengan kedudukan masing-masing…”
Islam menghendaki adanya hubungan yang harmonis di
antara anggota masyarakat Islam. Karena itu, agama ini menyerukan
hubungan yang hangat dan sikap saling peduli antara sesama muslim.
Dengan demikian, masyarakat akan memperoleh rasa aman bukan hanya dalam
kondisi fisikal, tapi juga rasa aman dalam pemikiran dan tutur kata.
Salah satu hal yang membuat manusia istimewa dibanding binatang adalah
semangat kerjasama di antara mereka yang akan terwujud jika kepercayaan
diantara anggota masyarakat menguat.
Al-Quran al-Karim dalam surat al-Hujurat ayat 11
dan 12 menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan akhlak di tengah
masyarakat. Dengan melaksanakannya, akan tercipta masyarakat yang baik
dengan masing-masing anggotanya yang saling menghormati hak sesama.
Ayat-ayat di surat itu melarang umat Islam dari perbuatan-perbuatan
tercela seperti mencela, menuduh, mencari kesalahan, berburuk sangka,
mengumpat dan memaki. Tak hanya melarang dari perbuatan-perbuatan itu,
Islam juga memerintahkan umatnya untuk menghias diri dengan sifat-sifat
mulia yang bisa mempererat tali hubungan dan kasih sayang di antara
sesama anggota masyarakat.
Hak Menasehati
Anda tentunya pernah dinasehati oleh orang lain
atau dikritik oleh teman, sahabat dan kenalan. Mungkin Anda juga
termasuk orang yang menasehati orang lain. Tahukah Anda, menasehati dan
dinasehati punya hak-haknya tersendiri? Dalam hal ini Imam Sajjad
berkata, “Hak orang yang meminta nasehat darimu adalah berilah dia
nasehat sesuai dengan kapasitasnya. Mulailah pembicaraan dengan sesuatu
yang dia suka dan berbicaralah sebatas pemahaman dan akalnya. Sebab
setiap akal punya batas ketentuan tersendiri dalam pembicaraan yang bisa
dipahami dan diterimanya. Engkau harus melandasi masalah ini dengan
kasih sayang dan kelembutan.”
Salah satu cara untuk memperbaiki cela dan
kesalahan adalah memperhatikan kritik dan nasehat orang lain. Meskipun
manusia dibekali akal dan pemikiran, namun unsure-unsur seperti egoisme
yang terkadang melampaui batas kewajaran membawanya keluar dari
keseimbangan sikap dan pemahaman akan fenomena yang nyata.
Dari sisi lain, manusia mudah terpengaruh oleh
lingkungan sekitarnya tempat ia tumbuh besar dan membentuk kepribadian.
Unsur-unsur ini membuatnya terkadang lalai akan kebaikan dan
kemestiannya berbuat baik. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang dekat,
sahabat dan keluarga yang bergaul dengannya akan mengingatkannya akan
kesalahan dan keburukan yang ada pada dirinya untuk diperbaiki. Karena
itu pepatah mengatakan, orang yang bijak dan mulia di tengah masyarakat
ibarat cermin yang memantulkan keindahan dan menampakkan keburukan.
Orang yang menginginkan kesucian dan kemuliaan
mesti menerima nasehat orang lain yang disampaikan dengan tulus untuk
kemudian melangkah memperbaiki kesalahannya. Nabi Saw dalam sebuah hadis
bersabda, “Seorang mukmin ibarat cermin bagi saudaranya. Dia akan
menjauhkan ketidakbaikan dan keburukan darinya.”
Namun ada satu poin penting terkait nasehat, yaitu
cara penyampaiannya. Ketidakpedulian akan masalah ini justeru akan
membuat orang yang dinasehati semakin membangkang dan terus menerus
melakukan kesalahan. Penyampaian nasehat dengan cara yang benar akan
membawa orang dan masyarakat ke arah kesempurnaan, memperbaiki pemikiran
dan menyingkirkan keragu-raguan.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa suatu hari
seorang laki-laki tua sedang berwudhu. Imam Hasan dan Imam Husein as
yang saat itu masih kanak-kanak menyadari kesalahan yang dilakukan orang
tua itu dalam wudhunya. Mereka lantas mendekati orang itu dan
memintanya untuk menilai mana diantara keduanya yang benar dalam
berwudhu. Dengan cara ini, kedua cucu Nabi Saw itu ingin mengajarkan
secara tidak langsung cara berwudhu yang benar. Orang tua itu menyadari
kesalahannya dan berkata, “Wudhu kalian berdua benar. Sayalah yang salah
dalam berwudhu.”
Poin penting yang disinggung Imam Sajjad dalam
ungkapan tadi adalah metode menyampaikan nasehat. Menurut beliau, dalam
menasehati kita harus melihat kesiapan orang dalam menerima nasehat juga
tingkat akal dan pemahamannya. Metode inilah yang diajarkan oleh
agama-agama samawi saat berbicara kepada manusia. Dengan kata lain, ini
adalah strategi para nabi dalam menyampaikan risalah kenabian mereka.
Al-Quran al-Karim menyebut para nabi dan rasul
sebagai para pemberi nasehat di tengah masyarakat yang dengan tulus
membimbing umat ke jalan kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Dalam
surat al-A’raf ayat 62 diceritakan bahwa Nabi Nuh berkata, “Aku
menyampaikan risalah Tuhanku kepada kalian dan aku adalah orang yang
menasehati kalian. Aku mengetahui dari Allah apa-apa yang tidak kalian
ketahui.”
Rasulullah saw, sebagai utusan Allah yang terakhir
menekankan akan adanya perbedaan kapasitas pemikiran manusia. Beliau
bersabda, “Kami para nabi diperintah untuk berbicara dengan masyarakat
sebatas kemampuan akal mereka.” Kata-kata yang ringkas tapi sangat
bijaksana ini harus menjadi panduan kita dalam berbicara dengan setiap
orang.
Poin penting lain yang disinggung Imam Sajjad as
adalah tentang kasih sayang dan kelemahlembutan. Beliau mengatakan bahwa
dalam menasehati orang harus berbicara dengan lembut sehingga berkenan
di hati pendengarnya yang pada gilirannya akan membuatnya terpacu untuk
memperbaiki kesalahan dan menguruskan perilakunya. Akhlak yang baik dan
kesopanan akan mendatangkan hasil yang positif, termasuk ketika
menasehati orang lain. Akhlak yang baik akan membuat kehidupan menjadi
indah dan mendekatkan hati. Rasulullah saw adalah contoh teladan paling
sempurna untuk kesopanan dan kemuliaan akhlak. Salah satu daya tarik
beliau dalam berdakwah dan menyampaikan risalah agama Islam adalah
akhlak beliau yang indah yang merasuk ke dalam jiwa orang yang
berhadapan dengannya.
Hak Ahlu Dzimmah (Bagian 1)
Bermacam-macamnya akidah dan kepercayaan yang ada
di dunia ditambah dengan keberagaman etnis, suku bangsa dan bahasa
menciptakan istilah mayoritas dan minoritas dalam sebuah masyarakat.
Istilah minoritas yang saat ini dikenal menunjuk kepada sekelompok
manusia yang berbeda dengan kebanyakan anggota masyarakat dan tidak
terlibat dalam sistem politik dan sosial. Perbedaan kelompok ini dari
kebanyakan orang bisa disebabkan oleh unsur kesukuan atau keyakinan dan
agama.
Ketika menilik pandangan Islam terkait hubungan
antar manusia, kita akan berkesimpulan bahwa Islam menolak pengelompokan
masyarakat berdasarkan kesukuan dan ras. Dalam ideologi Islam,
kebangsaan diatur berdasarkan dua kriteria; keimanan dan perjanjian.
Karena itu di sebuah negara Islam para pemeluk agama ilahi yang lain
bisa menjadi bagian dari masyarakat dengan ketentuan dan syarat-syarat
tertentu yang diatur dalam perjanjian dengan masyarakat Muslim. Dengan
demikian mereka berhak masuk menjadi bagian dari bangsa dan masyarakat
itu meski dalam bentuk kelompok minoritas.
Salah satu keistimewaan yang ada pada Islam adalah
bahwa agama ini tidak pernah memaksa orang untuk mengikuti Islam. Dulu,
ketika menyampaikan misi risalah kenabiannya, Rasulullah Saw juga
membiarkan masyarakat untuk menentukan sendiri pilihan mereka. Al-Quran
menyinggung hal itu dalam banyak kesempatan diantara dalam surat
al-Kafirun. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada kaum
kafir, “Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalianpun tidak
menyembah apa yang aku sembah.” Di akhir surat itu ditegaskan, “Bagimu
agamamu dan bagiku agamaku.”
Kaum muslimin sebagaimana diserukan oleh al-Quran
mengimani risalah para nabi sebelumnya Rasulullah Saw dan kitab-kitab
Ilahi yang turun untuk umat-umat sebelumnya. Umat Islam memandang cara
nabi terdahulu sebagai insan-insan saleh dan hamba-hamba pilihan Allah.
Karena itu, Islam menghormati pemeluk agama-agama Ilahi yang terdahulu
dan menyeru kaum muslimin untuk menjaga etika insani dalam pergaulan
dengan mereka. Islam menyebut kelompok agama lain dengan sebutan dzimmi,
Ahlul Kitab atau mu’ahad yang berarti kelompok yang menjalin perjanjian
dengan pemerintahan Islam. Pemerintahan Islam harus melindungi hak-hak
insani mereka. Imam Ali as dalam mandatnya kepada Malik Asytar
menegaskan, “Masyarakat terbagi dua, saudaramu seagama atau padananmu
dalam penciptaan. Sebagaimana engkau suka jika Allah memaafkanmu dan
menutup mata dari kesalahanmu, maka perlakukan mereka dengan kasih
sayang dan lemah lembut.”
Diriwayatkan bahwa suatu hari Imam Ali as yang saat
itu menjabat sebagai khalifah umat Islam melihat seorang lelaki tua
yang buta. Imam bertanya tentang orang itu. Para sahabat beliau
menjawab, “Dia adalah lelaki Nasrani yang dulu ketika masih muda dan
punya penglihatan yang baik menghabiskan waktunya untuk mengabdi kepada
pemerintahan. Imam Ali as berkata, “Saat muda kalian memanfaatkannya dan
kini saat renta dan tak berdaya kalian tidak memberinya apa yang
menjadi haknya.” Beliau lantas memerintahkan bendahara Baitul Mal untuk
memenuhi kebutuhan lelaki tua itu dari khazanah kekayaan kaum muslimin.
Islam sangat memerhatikan kondisi seluruh anggota
masyarakat. Imam Sajjad dalam kitab Risalatul Huquq menjelaskan hak-hak
Ahlu Dzimmah. Mereka adalah kelompok non Muslim yang hidup di tengah
masyarakat Islam dengan tetap memegang teguh agama dan kepercayaannya.
Dalam aturan Islam, mereka terikat perjanjian untuk membayar upeti
sebagai jaminan perlindungan atas hak-hak mereka.
Mengenai kelompok Ahlu Dzimmah atau kafir dzimmi,
Imam Sajjad as berkata, “Hak Ahlu Dzimmah adalah bahwa engkau harus
menerima dari mereka apa yang Allah terima dari mereka dan engkau harus
setia dengan perjanjian yang telah Allah tentukan bagi mereka.
Perlakukan mereka sesuai hukum Allah dan jauhilah kezaliman terhadap
mereka sebab mereka berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Dari
Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa beliau bersabda, Siapa saja yang
menzalimi kaum dzimmi berarti dia musuhku. Karena itu, takutlah kepada
Allah dalam hal ini.”
Poin penting yang disinggung oleh Imam Sajjad
adalah masalah kesetiaan terhadap perjanjian yang telah diikat
pemerintahan Islam dengan kaum Dzimmi.
Hak Ahlu Dzimmah (Bagian 2)
Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajad menyorot
satu masalah yang diabaikan oleh perundang-undangan dunia modern saat
ini, padahal masalah tersebut sangat penting dalam hubungan antara
manusia. Imam Sajjad selalu menekankan bahwa dalam hubungan antara
manusia ada serangkaian hak yang mesti diperhatikan. Memerhatikan dan
menjaga hak-hak ini akan menciptakan masyarakat yang damai tanpa
ketidakadilan dan permusuhan yang terhiasi oleh akhlak-akhlak luhur
insani.
Dalam pembahasan yang lalu kita telah membicarakan
tentang hak kaum minoritas dalam Islam. Telah dijelaskan bahwa Islam
sangat menghormati hak-hak anggota masyarakat dan bahwa setiap manusia
memiliki kehormatan tersendiri yang harus dijaga oleh orang lain. Allah
Swt dalam al-Quran juga telah menegaskan akan kehormatan dan kemuliaan
manusia. Dalam sebuah riwayat Imam Muhammad Baqir as berkata, “Wahai
anak-anakku! Jangan sampai kalian melanggar hak-hak manusia dan hak-hak
Allah.” Islam menggariskan aturan tentang keadilan yang mesti dijaga
dalam hubungan antara manusia. Menurut Islam perbedaan agama tidak
meniscayakan terkoyaknya nilai-nilai keadilan dalam hubungan tersebut.
Karenanya, mengenai kelompok non muslim yang menjadi moniritas di tengah
masyarakat Islam, hak-hak mereka mesti dihormati dan hendaknya mereka
diperlakukan secara adil.
Diriwayatkan bahwa Imam Ali as marah ketika
mendengar bahwa tentara Muawiyah dengan mudah merampas harta dan
melanggar hak-hak kaum Ahlul Kitab. Beliau berkata, “Jika seorang muslim
mati dalam kesedihan yang mendalam karena menyaksikan kezaliman
terhadap muslim dan Ahlu Dzimmah yang berada di negeri Muslim tak ada
yang berhak mencelanya.”
Menurut ajaran Islam para pengikut agama-agama
Ilahi yang berada di tengah masyarakat Muslim terhitung sebagai anggota
dari masyarakat itu. Mereka bisa hidup tenang dan damai di sana dengan
tetap memegang teguh keyakinan dan ajaran agamanya. Pemerintahan Islam
akan melindungi hak-hak mereka sesuai dengan perjanjian yang dijalin
antara pemerintah dengan kelompok Ahlu Dzimmah. Di dalam pemerintahan
Islam di Iran, minoritas agama bisa menjalankan ajaran agama mereka
dengan leluasa, mengajarkan agama mereka di sekolah-sekolah khusus dan
memiliki wakil di parlemen.
Saat menjelaskan hak-hak kaum minoritas, Imam
Sajjad as menyampaikan kata-kata yang menghormati mereka dan meminta
kaum muslimin untuk tidak bersikap zalim kepada mereka serta menjaga hak
yang sudah diatur dalam kesempatan Ahlu Dzimmah. Sebab, mereka berada
dalam lindungan Allah dan Rasul-Nya. Kezaliman terhadap mereka bakal
dipermasalahkan kelak oleh Rasulullah di Hari Kiamat. Umat Islam
dituntut untuk setia dengan perjanjian yang telah mereka buat khususnya
terhadap kaum non Muslim. Kesetiaan adalah salah satu norma yang mulia
dalam berakhlak. Islam menyeru kita semua untuk menghormati perjanjian
dan tidak mengkhianatinya. Dalam sebuah ayat al-Quran ditegaskan, “Wahai
orang-orang yang beriman tepatilah janji-janji kalian.”
Komitmen dengan perjanjian akan menciptakan
keamanan dan keadilan sosial serta terjaganya hak-hak seluruh anggota
masyarakat Islam menyeru kaum Ahlul Kitab untuk bekerjasama dan mengajak
mereka untuk hidup berdampingan secara damai bersama umat Islam dengan
memerhatikan titik-titik kesamaan yang ada di antara mereka. Di ayat 64
surat Ali Imran Allah Swt berfirman, “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab,
marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan
antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak
kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain daripada Allah. Jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)”.
Dengan demikian, pengikut agama-agama yang lain
bisa hidup dengan damai dan aman bersama kaum muslimin. Mereka berhak
memperoleh keamanan dan kedamaian seperti yang didapat oleh warga Muslim
di tengah masyarakatnya. Prinsip inilah yang diyakini oleh Islam
terkait dengan penghormatan kepada hak-hak manusia dari kelompok agama
yang lain.
Sheikh Shaltut, Ulama Besar Mesir yang pernah
menjabat sebagai Sheikh al-Azhar mengatakan, Islam menyeru kepada
pengikutnya untuk mengedepankan prinsip perdamaian dalam hubungan di
antara mereka dan hubungan mereka dengan umat-umat lain. Dengan
demikian, perdamaian adalah tali yang mengaitkan manusia dalam hubungan
antara mereka yang membuka jalan bagi mereka untuk bekerjasama. Islam
hanya meminta satu hal dari kelompok non Muslim yaitu tidak mengganggu
umat Islam, dan Islam tidak pernah memaksa mereka untuk mengikuti agama
ini.
Hak Imam Jamaah
Masjid adalah rumah Allah di muka bumi, yang
menjadi tempat ibadah dan penghambaan kepada Allah Swt. Senandung
munajat dan shalat dalam suasana ruhani dan nuansa spiritual di dalam
masjid bak belaian lembut yang membelai kalbu manusia. Selain itu,
masjid juga menjadi tempat perkumpulan umat Islam untuk menjalin
komunikasi, hubungan dan memupuk solidaritas di antara mereka. Di zaman
Rasul Saw, masjid memiliki fungsi yang bermacam-macam diantaranya
menjadi pusat pendidikan umat Islam Karena itu, Islam menyeru
pengikutnya untuk selalu hadir di masjid dan memakmurkan tempat yang
suci ini.
Banyak orang yang terlibat dalam memakmurkan dan
membangun masjid. Diantara mereka yang secara aktif terlibat di dalam
masjid adalah imam jamaah yang meramaikan kehidupan masjid dengan
berbagai program budaya, ibadah, sosial bahkan politik. Imam adalah
orang yang berdiri di depan dalam barisan shaf shalat dan gerakannya
diikuti oleh mereka yang menjadi makmun.
Dalam Islam, imam jamaah haruslah orang yang
memiliki serangkaian sifat mulia yang menjadi contoh bagi orang-orang
lain di sekitarnya. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Doronglah orang yang
paling mulia dan paling baik di antara kalian untuk maju dan ikutilah
ia.”
Dengan kata lain, imam harus mengetahui agama dan
komitmen dengan ajaran agama. Dia mesti memainkan peran sebagai panutan
yang kata-katanya diikuti dan menarik hati masyarakat. Dengan demikian
ia akan mampu melaksanakan tugas memakmurkan masjid dengan berbagai
aktivitas keagamaan dan keilmuan. Keberadaan imam di masjid akan membuat
rumah suci ini ibarat media komunikasi dan pengetahuan bagi masyarakat
akan kondisi dunia Islam dan persatuan di antara kaum muslimin. Dalam
kondisi yang genting, masjid bisa menjadi pusat mobilisasi massa untuk
melawan ancaman yang mungkin datang dari pihak musuh.
Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Ali as-Sajjad as
setelah membicarakan hak-hak berbagai kelompok manusia menerangkan hak
imam jamaah. Beliau menyeru umat untuk menghormati dan berterima kasih
kepadanya, dan berkata, “Adapun hak imam jamaah adalah bahwa hendaknya
engkau mengetahui bahwa dia adalah orang yang mewakilimu di hadapan
Allah dan berbicara mewakilimu sementara engkau tidak berbicara
mewakilinya. Dia berdoa untukmu dan engkau tidak berdoa untuknya….karena
itu, jika dalam hal ini dia melakukan kesalahan maka kesalahan itu
mutlak kesalahannya bukan kesalahanmu. Jika dia berbuat dosa engkau
tidak menanggung dosa itu bersamanya dan dia tidak lebih unggul darimu.
Karena itu, engkau harus berterima kasih kepadanya atau tugas berat yang
ia pikul ini.”
Dengan tugas berat inilah imam harus memiliki
sejumlah kriteria khusus diantaranya mengenal ajaran Islam, berperangai
mulia dalam bergaul dengan orang lain, dan peduli untuk membantu
masyarakat menyelesaikan kesulitan yang mereka hadapi. Rasa hormat
kepada pandangan jamaah masjid akan menarik hati masyarakat untuk
terlibat secara aktif dalam kegiatan masjid. Sementara kesabaran dan
kesederhanaan serta menghindari kehidupan mewah akan membantu imam dalam
menyukseskan kewajibannya sebagai panutan dan imam di masjid.
Sifat-sifat dan kriteria itu selain merupakan sifat yang mulia juga
menjadi modal dalam menarik hati orang lain dan membantu misi membimbing
masyarakat.
Kriteria lain yang mesti dimiliki imam jamaah
adalah kesalehan. Yang dimaksud dengan kesalehan ini adalah keterjauhan
dari perilaku yang bertolak belakang dengan kesucian dan kemanusiaan.
Kesalehan adalah kondisi kejiwaan yang membuat manusia menjauhi dosa dan
tidak menistakan hak-hak orang lain. Kesalehan yang dalam bahasa fiqih
disebut dengan keadilan ini akan menciptakan keakraban dalam hubungan
umat dengan imam.
Dari sekian kriteria yang mesti dimiliki oleh imam
jamaah, masalah keilmuan dan pengetahuan akan agama Islam menjadi
prioritas utama. Keilmuan ini akan membuat masyarakat yang menjadi
makmum terbawa kepada nuansa keilmuan dan bisa memuaskan dahaga mereka
akan pengetahuan agama. Dengan demikian, masjid akan benar-benar menjadi
pusat kegiatan keislaman dan pengetahuan akan agama Ilahi ini.
Masjid adalah tempat perkumpulan yang mempertemukan
umat Islam dengan latar belakang yang berbeda-beda. Pria, wanita, tua,
muda, belia dan remaja, semuanya hadir bersama-sama di dalam masjid.
Latar belakang sosial mereka pun berbeda-beda. Namun mereka mengikuti
dan menjadi makmum untuk satu orang yang berdiri sebagai imam dalam
jamaah shalat. Saat menunaikan ibadah ini secara berjamaan semua orang
akan mengikuti gerakan imam dan mengiringinya dalam bertasbih dan memuji
keagungan Allah untuk bersama-sama meraih kenikmatan maknawiyah dan
spiritual.
Para wali Allah memandang imam jamaah sebagai sosok
pribadi yang memiliki keutamaan besar di antara umat. Imam Ali Zainul
Abidin misalnya, menekankan kepada masyarakat untuk menghormati dan
berterima kasih kepada imam jamaah. Dalam sebuah riwayat Imam Jakfar
Shadiq as berkata, “Imam jamaah adalah pemimpin yang membimbing kalian
dalam perjalanan menuju Allah. Karena itu, perhatikanlah kepada siapa
engkau bermakmum.”
Penutup
Hak Asasi Manusia atau HAM adalah istilah yang
dikenal oleh semua orang. Masalah ini selalu dibahas kapan saja dan
dimana saja tanpa ada batasan ruang dan waktu. Banyak kelompok
cendekiawan dan intelektual dunia yang berbicara dengan nada kritik atas
perjanjian-perjanjian hukum yang ada di dunia. Kritik utamanya adalah
karena undang-undang itu dibuat hanya dengan memerhatikan satu dimensi
dari wujud manusia. Akibatnya, hukum dan aturan itu sarat dengan
kekurangan dan kelemahan. Lebih dari itu, aturan yang dibuat terkait
dengan hak asasi manusia tak lebih hanya sekedar slogan tanpa
implementasi di alam nyata.
Menurut para pakar hukum, sebagai mahkluk yang
multi dimensi, hak-hak yang ditetapkan untuk manusia haruslah
komprehensif dan selain mengatur hak juga menetapkan kewajiban yang
mesti dilaksanakannya. Ketika manusia tidak merasa bertanggung jawab
terhadap pihak lain, ia tak akan pernah memahami makna hakiki dari
hak-haknya.
Menilik secara sekilas akan hak-hak yang dijelaskan
dalam buku Risalatul Huquq, tentu kita dapat memahami bahwa sistem
hukum Islam memandang kehormatan manusia sebagai masalah prinsip. Islam
telah meletakkan hak-hak individu dan kemasyarakatan pada landasan dan
dasar yang benar. Agama ilahi ini dengan menolak aturan yang didasarkan
pada masalah kesukuan dan ras memandang semua manusia ibarat satu badan.
Hanya keimanan dan ketakwaanlah yang mengunggulkan kedudukan satu orang
atas orang yang lain. Islam membimbing manusia di jalan yang netral
dalam memenuhi kebutuhan dan menuruti kecenderungannya.
Risalatul Huquq adalah buku tentang hak-hak yang
diatur oleh Islam dan disampaikan oleh Imam Ali Zainal Abidin yang juga
dikenal dengan gelar as-Sajjad as. Beliau adalah cicit Nabi Saw dan imam
keempat dari silsilah para imam Ahlul Bait as. Imam Sajjad meninggalkan
warisan keilmuan yang agung untuk umat Islam dalam bentuk doa dan
munajat yang dikumpulkan dalam kitab Sahifah Sajjadiyah, sementara
penjelasan beliau tentang berbagai hak yang diatur oleh Islam
terkumpulkan dalam kitab Risalatul Huquq. Risalah ini membahas tentang
50 hak yang sudah kita bahas dalam seri acara ini. Jika hak-hak itu
diperhatikan dan bimbingan beliau dijalankan dengan baik, akan tercipta
masyarakat yang damai dengan insan-insannya yang saleh.
Risalatul Huquq menitikberatkan bimbingan pada sisi
etika dan akhlak insani. Di awal risalah Imam Sajjad mengatakan,
“Semoga Allah merahmatimu. Ketahuilah bahwa Allah Yang Maha Perkasa dan
berkuasa atasmu dalam semua kondisi dan waktu telah menetapkan kewajiban
atas dirimu terhadap seluruh anggota badanmu, perilaku dan kata-katamu
terhadap Allah, dirimu, orang lain…dan seluruh lapisan masyarakat.”
Imam Sajjad as memperingatkan bahwa Allah Swt yang
telah menciptakan manusia dan alam semesta memiliki hak, dan hak-Nya
yang paling penting dan utama adalah hak ibadah dengan ikhlas serta
penuh makrifat dan cinta kepadaNya. Allah juga telah menciptakan anggota
badan yang meliputi tangan, kaki, mata, telinga dan lainnya yang
masing-masing adalah anugerah dan nikmatNya. Semuanya memiliki hak yang
harus diperhatikan dan dijaga. Misalnya, hak tangan adalah tidak
menggunakannya di jalan yang salah dan kejahatan, seperti pencurian dan
perbuatan dosa.
Dalam masalah hubungan sosial, Imam Sajjad
menjelaskan hak-hak yang sering kali kita abaikan. Misalnya, di dunia
saat ini, umumnya manusia memandang diri sebagai poros segalanya.
Akibatnya banyak yang tidak peduli dengan hak kawan dan tetangga. Imam
mengingatkan kita untuk berperilaku baik terhadap kawan dan tetangga dan
membantunya kala dibutuhkan. Dengan penjelasan kitab Risalatul Huquq,
kehidupan manusia akan menjadi damai dan sentosa.
Imam Sajjad bukan hanya menyampaikan bimbingan
pendidikan yang baik bagi umat manusia tetapi memberikan teladan dalam
perilaku. Salah satunya adalah tindakan beliau dalam masalah perbudakan.
Islam memang menafikan perbudakan manusia. akan tetapi di zaman itu,
perbudakan merupakan fenomena yang nyata dalam kehidupan umat manusia.
Untuk menyelamatkan para budak dari belenggu perbudakan beliau sering
kali membelanjakan hartanya untuk membeli budak untuk dimerdekakan
setelah mendidik mereka. Dengan cara itu, Imam memberikan kebebasan
kepada mereka dan mengakhiri derita perbudakan mereka. Sejarah
menyebutkan bahwa banyak dari budak yang dimerdekakan Imam Sajjad
berhasil mencapai derajat kemuliaan insani yang tinggi. Banyak pula dari
mereka yang tampil sebagai figur-figur keilmuan yang disegani. Setelah
merdeka mereka masih menjalin hubungan dengan Imam Sajjad untuk menimba
makrifat dan ilmu dari beliau.
Kita berharap semua keteladanan yang diberikan oleh
insan-insan suci seperti Imam Sajjad bisa menjadi pelita bagi kita
dalam mengarungi kehidupan ini.[]
Daftar Isi
Risalah Huquq Imam Sajjad as 1
Pengantar1
Hak Allah 5
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 1)8
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 2)12
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 3)15
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 4)19
Hak Lisan (Bagian 1)22
Hak Lisan (Bagian 2)26
Hak Telinga (Bagian 1)29
Hak Telinga (Bagian 2)33
Hak Penglihatan (Bagian 1)37
Hak Penglihatan (Bagian 2)41
Hak Kaki43
Hak Tangan 47
Hak Perut (Bagian 1)50
Hak Perut (Bagian 2)53
Hak Syahwat56
Hak Shalat (Bagian 1)60
Hak Shalat (Bagian 2)63
Hak Puasa 67
Hak Sedekah 71
Hak Pemimpin 75
Hak Guru 79
Hak Rakyat83
Hak Murid 87
Hak Istri90
Hak Ibu 93
Hak Ayah 97
Hak Orang Tua 101
Hak Anak 105
Hak Saudara 109
Hak Pelaku Kebaikan 113
Hak Muazin 117
Hak Sahabat (Bagian 1)121
Hak Sahabat (Bagian 2)124
Hak Tetangga 127
Hak Harta 130
Hak Penggugat dan Tergugat133
Hak Bermusyawarah 137
Hak Orang Lanjut Usia 141
Hak Anak Kecil144
Hak Pengemis 148
Hak Orang yang Menyenangkan Orang Lain 152
Hak Pelaku Keburukan 155
Hak Orang Seagama 159
Hak Menasehati163
Hak Ahlu Dzimmah (Bagian 1)166
Hak Ahlu Dzimmah (Bagian 2)169
Hak Imam Jamaah 172
Penutup 17
KISAH SAHAYA IMAM ALI AS-SAJJAD YANG MENOLAK MERDEKA
- Sumber : safinah-online.com
Di antara kemuliaan perilaku Imam Ali as-Sajjad, Zainal Abidin a.s.
adalah kebiasaan beliau yang setiap tahun membeli sekumpulan sahaya
dengan tujuan memerdekakan mereka pada hari raya setelah beliau
mengajari mereka Alquran, hukum-hukum Islam, dan ajaran-ajaran kebaikan
di dalamnya.
Imam memperlakukan mereka seperti anak atau saudaranya sendiri sehingga tidak membedakan antara dirinya dan para sahayanya.
Pada suatu hari raya, Imam mendirikan salat Ied bersama keluarga dan para sahayanya. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Anda semua hari ini telah merdeka di jalan Allah.”
Salah satu sahaya berkata, “Merdeka? Kami telah merdeka? Terima kasih, Tuanku! Sungguh aku merasa seolah Allah baru saja menciptakanku hari ini.”
Sementara sahaya lain berkata, “Sungguh Anda telah menganugerahi kami semua sebuah karunia yang tidak mampu kami lupakan selamanya.”
Seorang sahaya ketiga berkata, “Semoga Allah membalas jasamu dengan yang terbaik, wahai Putra Rasulillah Saw. Sungguh perbuatan Anda adalah salah satu perbuatan para Nabi dan washi yang saleh.”
Kebahagiaan menyelimuti kalbu-kalbu para sahaya tersebut. Rona sumringah terpancar pada raut wajah mereka. Senyum kebebasan berpendar pada bibir mereka, kecuali satu sahaya yang dirundung tangisan dan airmata membasahi pipinya.
Salah satu dari mereka bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu? Apakah engkau menangis bahagia karena telah meraih kemerdekaan?”
Yang lain juga bertanya-tanya alasan tangisannya, namun dia tetap saja menangis dan tidak menjawab satu pun pertanyaan mereka.
Imam Sajjad a.s. pun memperhatikannya dan menanyakan alasan tangisannya.
Sang sahaya pun menghapus air matanya, dan berkata, “Tuanku, memang kami telah menerima kemerdekaan dari Anda, namun aku menangis karena akan berpisah dari Anda, seorang ayah yang lembut, tuan yang penyayang dan pemimpin agung. Demi Allah, Tuanku. Aku hanya merasa bahwa Anda telah memisahkan diri dari anak-anak Anda. Anda tidak lagi memuliakanku untuk menyiapkan makan dan pakaian Anda. Karena itu, izinkanlah aku tetap menjadi sahayamu, karena itu lebih utama ketimbang merdeka darimu.”
Imam pun segera menciumi kepala sahaya yang telah merdeka itu, memeluknya dan berkata kepadanya, “Jika kamu mau, tetaplah bersamaku, wahai putraku. Tetaplah bersama kami sebagai saudara yang merdeka dan kawan setia.”
Demikianlah, hamba saleh ini tetap melayani Imam dan belajar darinya perangai dan perbuatan mulia setiap hari.
Imam memperlakukan mereka seperti anak atau saudaranya sendiri sehingga tidak membedakan antara dirinya dan para sahayanya.
Pada suatu hari raya, Imam mendirikan salat Ied bersama keluarga dan para sahayanya. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Anda semua hari ini telah merdeka di jalan Allah.”
Salah satu sahaya berkata, “Merdeka? Kami telah merdeka? Terima kasih, Tuanku! Sungguh aku merasa seolah Allah baru saja menciptakanku hari ini.”
Sementara sahaya lain berkata, “Sungguh Anda telah menganugerahi kami semua sebuah karunia yang tidak mampu kami lupakan selamanya.”
Seorang sahaya ketiga berkata, “Semoga Allah membalas jasamu dengan yang terbaik, wahai Putra Rasulillah Saw. Sungguh perbuatan Anda adalah salah satu perbuatan para Nabi dan washi yang saleh.”
Kebahagiaan menyelimuti kalbu-kalbu para sahaya tersebut. Rona sumringah terpancar pada raut wajah mereka. Senyum kebebasan berpendar pada bibir mereka, kecuali satu sahaya yang dirundung tangisan dan airmata membasahi pipinya.
Salah satu dari mereka bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu? Apakah engkau menangis bahagia karena telah meraih kemerdekaan?”
Yang lain juga bertanya-tanya alasan tangisannya, namun dia tetap saja menangis dan tidak menjawab satu pun pertanyaan mereka.
Imam Sajjad a.s. pun memperhatikannya dan menanyakan alasan tangisannya.
Sang sahaya pun menghapus air matanya, dan berkata, “Tuanku, memang kami telah menerima kemerdekaan dari Anda, namun aku menangis karena akan berpisah dari Anda, seorang ayah yang lembut, tuan yang penyayang dan pemimpin agung. Demi Allah, Tuanku. Aku hanya merasa bahwa Anda telah memisahkan diri dari anak-anak Anda. Anda tidak lagi memuliakanku untuk menyiapkan makan dan pakaian Anda. Karena itu, izinkanlah aku tetap menjadi sahayamu, karena itu lebih utama ketimbang merdeka darimu.”
Imam pun segera menciumi kepala sahaya yang telah merdeka itu, memeluknya dan berkata kepadanya, “Jika kamu mau, tetaplah bersamaku, wahai putraku. Tetaplah bersama kami sebagai saudara yang merdeka dan kawan setia.”
Demikianlah, hamba saleh ini tetap melayani Imam dan belajar darinya perangai dan perbuatan mulia setiap hari.
KISAH IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM DAN PECINTANYA
- Sumber : islammenjawab.com
Seseorang berkata kepada Imam Ali bin Husain (Imam Sajjad a.s): Aku
sangat mencintai-mu karena Allah. Imam (as) menunduk lalu berkata, “Ya
Allah aku berlindung kepada-Mu jika aku dicintai karena-Mu, sedangkan
Engkau membenciku.” Beliau lalu berkata, “Aku juga mencintaimu karena
Dia yang engkau mencintaiku karena-Nya.” (Tuhaf Al-Uqul halaman 282)
من مواعظ علی بن الحسین علیه السلام
و قال رجل له: إنی لأحبّک فی الله حباّ شدیدا. فنکس علیه السلام ثم قال: اللهم إنی أعوذ بک من ان أحبّ فیک و أنت لی مبغض. ثم قال: أحبک للذی تحبنی فیه.
تحف العقول 281
Poin terpenting dalam keterangan hadist ini dan yang menjadi pelajaran sangat berharga bagi kita semua adalah perhatian pada bahaya yang mungkin mengancam dalam kondisi seperti ini, yaitu ketika seseorang dicintai karena Allah.
Karena itu, ketika lelaki tersebut datang kepada Imam dan mengutarakan isi hatinya bahwa ia mencintai Imam karena Allah, beliau tidak menjawab dengan kata-kata terima kasih atau menjawab dengan mengatakan, “Aku bersyukur kepada Allah karena kecintaan ini.”
Tetapi beliau malah menengadahkan tangan kepada Allah dan mengatakan, “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu, jika aku dicintai orang karena-Mu sedangkan Engkau membenciku.”
Ini adalah ancaman dan bahaya besar yang selalu mengintai kita. Jangan sampai orang menyangka kita tulus dalam berbuat hanya untuk Allah Swt, sementara kita sebenarnya tidak ikhlas, lahir dan batin tidak sama, atau kita justeru telah melakukan hal-hal yang mendatangkan murka Allah.
Dan jika itu terjadi, yakni orang lain mencintai kita karena Allah sedangkan Allah membenci kita -naudzu billah-.[]
من مواعظ علی بن الحسین علیه السلام
و قال رجل له: إنی لأحبّک فی الله حباّ شدیدا. فنکس علیه السلام ثم قال: اللهم إنی أعوذ بک من ان أحبّ فیک و أنت لی مبغض. ثم قال: أحبک للذی تحبنی فیه.
تحف العقول 281
Poin terpenting dalam keterangan hadist ini dan yang menjadi pelajaran sangat berharga bagi kita semua adalah perhatian pada bahaya yang mungkin mengancam dalam kondisi seperti ini, yaitu ketika seseorang dicintai karena Allah.
Karena itu, ketika lelaki tersebut datang kepada Imam dan mengutarakan isi hatinya bahwa ia mencintai Imam karena Allah, beliau tidak menjawab dengan kata-kata terima kasih atau menjawab dengan mengatakan, “Aku bersyukur kepada Allah karena kecintaan ini.”
Tetapi beliau malah menengadahkan tangan kepada Allah dan mengatakan, “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu, jika aku dicintai orang karena-Mu sedangkan Engkau membenciku.”
Ini adalah ancaman dan bahaya besar yang selalu mengintai kita. Jangan sampai orang menyangka kita tulus dalam berbuat hanya untuk Allah Swt, sementara kita sebenarnya tidak ikhlas, lahir dan batin tidak sama, atau kita justeru telah melakukan hal-hal yang mendatangkan murka Allah.
Dan jika itu terjadi, yakni orang lain mencintai kita karena Allah sedangkan Allah membenci kita -naudzu billah-.[]
IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM, PENERUS RISALAH ASYURA (1)
- Sumber : parstoday.com
Suatu hari Allamah Thabathabai dalam pertemuan dengan professor
Henry Corbin, berkata, “Kami orang-orang Syiah bermunajat, berdoa dan
menangis! Jika kami ditimpa kesulitan, kami mencoba berbicara dengan
Tuhan dan hati kami tentram. Bagaimana dengan Anda ketika ditimpa
masalah di Perancis ?”.
“Saya juga menangis. Saya pun memiliki kitab Sahifah Sajadiyah. Ketika ditimpa masalah, saya membuka dan membacanya disertai terjemahan. Saya menangis. Munajat menentramkanku,” jawab Corbin.
Jawaban filsuf Perancis ini memperlihatkan bagaimana perhatiannya terhadap kitab Sahifah Sajadiyah. Tentu saja, ini hanya satu dari sekian pengakuan sarjana Barat yang tertarik terhadap karya Imam Ali Zainal Abidin. Di luar dari apresiasi para sarjana Barat terhadap kitab Sahifah Sajadiyah, kandungan isinya sangat tinggi dan agung, dengan gaya bahasa yang fasih dan menawan. Semua itu buah dari kebesaran sang empu kitab, Imam Sajjad. Dan di hari ini kita memperingati kesyahidannya.
Salah satu peran dan jasa berharga Imam Sajjad pasca tragedi Asyura ialah penyebaran risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam satu kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat imam Sajjad merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup dan penciptaan, keyakinan, etika pribadi dan sosial, serta masalah politik.
Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Di salah satu doanya, Imam Sajjad berkata, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan penyelewengan, serta melaksanakan kewajiban Amar Makruf dan Nahi Munkar."
Tanggal 12 Muharam merupakan hari syahadah Imam Sajjad as. Dua hari pasca peringatan Asyura. Imam Sajjad as sebagai saksi mata pembantaian Karbala setelah peristiwa itu bertanggung jawab memimpin umat Islam. Beliau adalah Ali bin al-Husein as yang lebih dikenal dengan panggilan Sajjad. Pada peristiwa Karbala, beliau ditakdirkan oleh Allah Swt sebagai salah satu orang yang hidup demi melanjutkan pesan Asyura.
Imam Sajjad as adalah putra Imam Husein as yang lahir pada tahun 36 Hijriah. Beliau hidup hingga usia 57 tahun. Periode penting dalam hidup beliau dimulai di masa Imamah-nya pasca syahadah Imam Husein as. Ketika peristiwa Karbala terjadi, beliau dalam keadaan sakit. Itulah mengapa beliau waktu itu tidak pergi ke medan perang.
Hamid bin Muslim, sejarawan Karbala menulis, “Di hari Asyura, pasca kesyahidan Imam Husein as, pasukan Yazid mendatangi Ali bin Husein as yang tengah berada di atas pembaringan karena sakit. Mereka mendapat perintah untuk membunuh seluruh laki-laki dari keluarga Imam Husein as. Kedatangan mereka dengan niat membunuhnya. Tapi ketika melihatnya dalam kondisi sakit, mereka kemudian membiarkannya. Jelas di balik penyakit beliau di hari Asyura tersimpan rahasia ilahi, agar dapat melanjutkan jalan ayahnya.”
“Saya juga menangis. Saya pun memiliki kitab Sahifah Sajadiyah. Ketika ditimpa masalah, saya membuka dan membacanya disertai terjemahan. Saya menangis. Munajat menentramkanku,” jawab Corbin.
Jawaban filsuf Perancis ini memperlihatkan bagaimana perhatiannya terhadap kitab Sahifah Sajadiyah. Tentu saja, ini hanya satu dari sekian pengakuan sarjana Barat yang tertarik terhadap karya Imam Ali Zainal Abidin. Di luar dari apresiasi para sarjana Barat terhadap kitab Sahifah Sajadiyah, kandungan isinya sangat tinggi dan agung, dengan gaya bahasa yang fasih dan menawan. Semua itu buah dari kebesaran sang empu kitab, Imam Sajjad. Dan di hari ini kita memperingati kesyahidannya.
Salah satu peran dan jasa berharga Imam Sajjad pasca tragedi Asyura ialah penyebaran risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam satu kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat imam Sajjad merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup dan penciptaan, keyakinan, etika pribadi dan sosial, serta masalah politik.
Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Di salah satu doanya, Imam Sajjad berkata, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan penyelewengan, serta melaksanakan kewajiban Amar Makruf dan Nahi Munkar."
Tanggal 12 Muharam merupakan hari syahadah Imam Sajjad as. Dua hari pasca peringatan Asyura. Imam Sajjad as sebagai saksi mata pembantaian Karbala setelah peristiwa itu bertanggung jawab memimpin umat Islam. Beliau adalah Ali bin al-Husein as yang lebih dikenal dengan panggilan Sajjad. Pada peristiwa Karbala, beliau ditakdirkan oleh Allah Swt sebagai salah satu orang yang hidup demi melanjutkan pesan Asyura.
Imam Sajjad as adalah putra Imam Husein as yang lahir pada tahun 36 Hijriah. Beliau hidup hingga usia 57 tahun. Periode penting dalam hidup beliau dimulai di masa Imamah-nya pasca syahadah Imam Husein as. Ketika peristiwa Karbala terjadi, beliau dalam keadaan sakit. Itulah mengapa beliau waktu itu tidak pergi ke medan perang.
Hamid bin Muslim, sejarawan Karbala menulis, “Di hari Asyura, pasca kesyahidan Imam Husein as, pasukan Yazid mendatangi Ali bin Husein as yang tengah berada di atas pembaringan karena sakit. Mereka mendapat perintah untuk membunuh seluruh laki-laki dari keluarga Imam Husein as. Kedatangan mereka dengan niat membunuhnya. Tapi ketika melihatnya dalam kondisi sakit, mereka kemudian membiarkannya. Jelas di balik penyakit beliau di hari Asyura tersimpan rahasia ilahi, agar dapat melanjutkan jalan ayahnya.”
IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM, PENERUS RISALAH ASYURA (2)
- Sumber : parstoday.com
Pasca tragedi Karbala dan kesyahidan Imam Husein, kondisi masyarakat
Islam berada dalam periode yang sensitif. Di satu sisi, berbagai
dimensi kebangkitan Imam Husein harus dijelaskan kepada masyarakat,
sekaligus menghadapi propaganda bohong Bani Umayah. Sementara dari sisi
lain, perjuangan melawan penyimpangan akidah dan moral harus dilakukan
demi menegakkan nilai-nilai agama.
Dalam kondisi demikian, Imam Sajjad menjalankan berbagai programnya dengan mengatur skala prioritas. Pada awalnya, beliau menerapkan program jangka pendek untuk meredam kondisi penuh ketegangan pasca kesyahidan ayahnya. Imam Ali Zainal Abidin menyampaikan pidato mencerahkan mengenai kebenaran jalan Imam Husein. Sedangkan untuk program jangka panjang, beliau berusaha memperkaya serta menguatkan pemikiran dan akhlak masyarakat Muslim dengan mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Pada 12 Muharam 61 Hijriah, rombongan tawanan Karbala yang terdiri dari perempuan dan anak-anak tiba di kota Kufah. Di antara tawanan itu ada dua pribadi agung; Imam Sajjad dan Sayidah Zainab. Keberadaan keduanya mampu menentramkan para tawanan Karbala. Ketika rombongan memasuki kota Kufah, sudah banyak orang berkumpul di sana. Imam Sajjad memanfaatkan kesempatan ini dengan menyampaikan pidatonya.
Beliau berkata, “Wahai warga Kufah! Saya Ali putra Husein. Anak dari orang yang kalian hancurkan kehormatannya. Ingatkah kalian, Allah Swt menyebutkan kebaikan kami Ahlul Bait. Kemenangan, keadilan dan ketakwaan bersama kami, sementara kesesatan dan kehancuran berada pada musuh kami. Apakah kalian tidak menulis surat berisi baiat kepada ayahku? Tapi kalian licik setelah itu dan bangkit menentangnya. Betapa perilaku dan pikiran kalian sangat buruk. Bila Rasulullah berkata mengapa kalian membunuh keturunanku, menghancurkan kehormatanku dan bukan umatku, bagaimana rupa kalian menangis di hadapannya?”
Di lain waktu, ketika tiba di Syam (Suriah saat ini), yang menjadi pusat kekuasaan Yazid, Imam Ali Zainal Abidin menyampaikan pidato. Sedemikian tegas pidato yang disampaikan, sehingga rezim Bani Umayah menghadapi kondisi yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Pidato beliau sangat mempengaruhi opini masyarakat waktu itu. Pidato Imam Sajjad dan Sayidah Zainab di istana Yazid mampu menyadarkan masyarakat, sehingga sebagian orang setelah mendengar langsung bangkit memrotes Yazid.
Dalam pidatonya, beliau berkata,“Wahai warga Syam! Barang siapa yang mengenalku, berarti telah mengetahui siapa diriku. Tapi mereka yang tidak tahu, perlu mengetahui bahwa aku putra dari orang yang terhormat. Pribadi yang paling baik dalam menunaikan haji…. Aku putra wanita terbaik, Fatimah az-Zahra as. Aku putra orang yang syahid berlumuran darah di tanah Karbala.”
Ketika pidatonya sampai pada ucapan tersebut, masyarakat yang mendengarnya sangat terpengaruh, sehingga sebagian berteriak mengungkapkan kesedihan. Pidato yang menjelaskan hakikat dirinya mampu membangkitkan kebencian masyarakat kepada Bani Umayah. Yazid yang menyaksikan kondisi tersebut merubah sikap. Untuk menghentikan pidato Imam Sajjad dan mengubah keadaan, ia memerintahkan seseorang untuk mengumandangkan azan.
Ketika mendengar suara azan, Imam Sajjad diam sejenak mendengarkannya. Ketika ucapan muazin sampai pada kalimat “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, dengan segera Imam Sajjad menatap Yazid. Beliau berkata, “Apakah Nabi yang disebutkan dalam azan itu kakekku atau kakekmu? Bila engkau menjawab itu adalah kakekku, semua orang tahu bahwa engkau telah berdusta. Dan bila engkau mengatakan itu adalah kakekmu, lalu apa dosa ayahku yang merupakan cucu Nabi Saw, sehingga kau bunuh, hartanya kau rampas dan istrinya kau tawan? Betapa celakanya engkau di Hari Kiamat!”
Sejarawan mencatat, Ahlul Bait Imam Husein dalam pertemuan itu membawakan kidung kesedihan tentang Imam Husein dan syuhada Karbala. Yazid yang berusaha memanfaatkan kondisi tersebut untuk meningkatkan popularitasnya ternyata harus menerima kenyataan yang lain. Tapi tetap saja berusaha untuk membohongi masyarakat. Yazid mengubah strateginya dengan mencoba mendekati para tawanan dan memberikan penghormatannya kepada mereka.
Yazid jelas takut masyarakat bangkit melawan kekuasaannya. Oleh karenanya ia berusaha menenangkan para tawanan.Menurutnya, apa yang dilakukannya dapat menutupi dosanya. Untuk itu, ia menerima permintaan para tawanan membacakan kidung kesedihan tentang Imam Husein dan syuhada Karbala.
Yazid mempersiapkan sebuah tempat bernama Dar al-Hijarah. Para tawanan selama sepekan berada di sana membacakan kidung kesedihan. Masyarakat mulai berdatangan dan perlahan-lahan masyarakat semakin tahu akan hakikat kebangkitan Imam Husein. Yazid semakin ketakutan menyaksikan apa yang terjadi. Ia terpaksa memindahkan para tawanan ke Madinah.
Di Madinah, Imam Sajjad kembali melaksanakan tanggung jawab yang diembannya. Masyarakat Madinah menyambut mereka. Di tengah masyarakat Madinah, Imam Sajjad naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya.
Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt, beliau berkata, “Wahai warga Madinah! Allah Swt menguji kami dengan musibah yang agung. Tidak ada musibah yang dapat menyamainya. Wahai warga Madinah! Siapa yang hatinya dapat bergembira ketika mendengar tragedi besar ini? Hati siapa yang tidak sedih setelah mengetahui kesyahidan Husein bin Ali? Mata siapa yang tidak menangis? Kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari musibah luar biasa ini. Kami mengorbankan jiwa di jalan Allah demi menghadapi segala musibah. Karena kami tahu Allah akan membalas semuanya.”
Dalam kondisi demikian, Imam Sajjad menjalankan berbagai programnya dengan mengatur skala prioritas. Pada awalnya, beliau menerapkan program jangka pendek untuk meredam kondisi penuh ketegangan pasca kesyahidan ayahnya. Imam Ali Zainal Abidin menyampaikan pidato mencerahkan mengenai kebenaran jalan Imam Husein. Sedangkan untuk program jangka panjang, beliau berusaha memperkaya serta menguatkan pemikiran dan akhlak masyarakat Muslim dengan mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Pada 12 Muharam 61 Hijriah, rombongan tawanan Karbala yang terdiri dari perempuan dan anak-anak tiba di kota Kufah. Di antara tawanan itu ada dua pribadi agung; Imam Sajjad dan Sayidah Zainab. Keberadaan keduanya mampu menentramkan para tawanan Karbala. Ketika rombongan memasuki kota Kufah, sudah banyak orang berkumpul di sana. Imam Sajjad memanfaatkan kesempatan ini dengan menyampaikan pidatonya.
Beliau berkata, “Wahai warga Kufah! Saya Ali putra Husein. Anak dari orang yang kalian hancurkan kehormatannya. Ingatkah kalian, Allah Swt menyebutkan kebaikan kami Ahlul Bait. Kemenangan, keadilan dan ketakwaan bersama kami, sementara kesesatan dan kehancuran berada pada musuh kami. Apakah kalian tidak menulis surat berisi baiat kepada ayahku? Tapi kalian licik setelah itu dan bangkit menentangnya. Betapa perilaku dan pikiran kalian sangat buruk. Bila Rasulullah berkata mengapa kalian membunuh keturunanku, menghancurkan kehormatanku dan bukan umatku, bagaimana rupa kalian menangis di hadapannya?”
Di lain waktu, ketika tiba di Syam (Suriah saat ini), yang menjadi pusat kekuasaan Yazid, Imam Ali Zainal Abidin menyampaikan pidato. Sedemikian tegas pidato yang disampaikan, sehingga rezim Bani Umayah menghadapi kondisi yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Pidato beliau sangat mempengaruhi opini masyarakat waktu itu. Pidato Imam Sajjad dan Sayidah Zainab di istana Yazid mampu menyadarkan masyarakat, sehingga sebagian orang setelah mendengar langsung bangkit memrotes Yazid.
Dalam pidatonya, beliau berkata,“Wahai warga Syam! Barang siapa yang mengenalku, berarti telah mengetahui siapa diriku. Tapi mereka yang tidak tahu, perlu mengetahui bahwa aku putra dari orang yang terhormat. Pribadi yang paling baik dalam menunaikan haji…. Aku putra wanita terbaik, Fatimah az-Zahra as. Aku putra orang yang syahid berlumuran darah di tanah Karbala.”
Ketika pidatonya sampai pada ucapan tersebut, masyarakat yang mendengarnya sangat terpengaruh, sehingga sebagian berteriak mengungkapkan kesedihan. Pidato yang menjelaskan hakikat dirinya mampu membangkitkan kebencian masyarakat kepada Bani Umayah. Yazid yang menyaksikan kondisi tersebut merubah sikap. Untuk menghentikan pidato Imam Sajjad dan mengubah keadaan, ia memerintahkan seseorang untuk mengumandangkan azan.
Ketika mendengar suara azan, Imam Sajjad diam sejenak mendengarkannya. Ketika ucapan muazin sampai pada kalimat “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, dengan segera Imam Sajjad menatap Yazid. Beliau berkata, “Apakah Nabi yang disebutkan dalam azan itu kakekku atau kakekmu? Bila engkau menjawab itu adalah kakekku, semua orang tahu bahwa engkau telah berdusta. Dan bila engkau mengatakan itu adalah kakekmu, lalu apa dosa ayahku yang merupakan cucu Nabi Saw, sehingga kau bunuh, hartanya kau rampas dan istrinya kau tawan? Betapa celakanya engkau di Hari Kiamat!”
Sejarawan mencatat, Ahlul Bait Imam Husein dalam pertemuan itu membawakan kidung kesedihan tentang Imam Husein dan syuhada Karbala. Yazid yang berusaha memanfaatkan kondisi tersebut untuk meningkatkan popularitasnya ternyata harus menerima kenyataan yang lain. Tapi tetap saja berusaha untuk membohongi masyarakat. Yazid mengubah strateginya dengan mencoba mendekati para tawanan dan memberikan penghormatannya kepada mereka.
Yazid jelas takut masyarakat bangkit melawan kekuasaannya. Oleh karenanya ia berusaha menenangkan para tawanan.Menurutnya, apa yang dilakukannya dapat menutupi dosanya. Untuk itu, ia menerima permintaan para tawanan membacakan kidung kesedihan tentang Imam Husein dan syuhada Karbala.
Yazid mempersiapkan sebuah tempat bernama Dar al-Hijarah. Para tawanan selama sepekan berada di sana membacakan kidung kesedihan. Masyarakat mulai berdatangan dan perlahan-lahan masyarakat semakin tahu akan hakikat kebangkitan Imam Husein. Yazid semakin ketakutan menyaksikan apa yang terjadi. Ia terpaksa memindahkan para tawanan ke Madinah.
Di Madinah, Imam Sajjad kembali melaksanakan tanggung jawab yang diembannya. Masyarakat Madinah menyambut mereka. Di tengah masyarakat Madinah, Imam Sajjad naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya.
Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt, beliau berkata, “Wahai warga Madinah! Allah Swt menguji kami dengan musibah yang agung. Tidak ada musibah yang dapat menyamainya. Wahai warga Madinah! Siapa yang hatinya dapat bergembira ketika mendengar tragedi besar ini? Hati siapa yang tidak sedih setelah mengetahui kesyahidan Husein bin Ali? Mata siapa yang tidak menangis? Kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari musibah luar biasa ini. Kami mengorbankan jiwa di jalan Allah demi menghadapi segala musibah. Karena kami tahu Allah akan membalas semuanya.”
PERJUANGAN PEMIKIRAN IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM
- Sumber : IRIB-Parstoday
Di bulan Sya’ban, kota Madinah kembali bersuka cita atas kelahiran
seorang manusia suci dari Ahlul Bait Nabi as. Rumah sederhana Imam
Husein as memancarkan cahaya karena kelahiran seorang anak yang tampak
jelas aura kewibawaan di wajahnya.
Ali Zainal Abidin as dilahirkan di Madinah pada 5 Sya’ban tahun 38 Hijriah dari seorang ayah yang mulia, Imam Husein as dan seorang ibu yang salehah, Shahrbanu. Karena memiliki orang tua seperti ini, Ali bin Husein as dipanggil dengan sebutan Ibn al-Khairatain (putra dari dua kebaikan).
Ali bin Husein as memiliki beberapa gelar dan yang paling populer adalah as-Sajjad. Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Ali bin Husein tidak mengingat sebuah nikmat Allah kecuali ia melakukan sujud. Ia tidak membaca ayat al-Quran yang mengandung ayat sajdah kecuali ia melakukan sujud. Allah tidak menyelamatkannya dari keburukan yang dikhawatirkannya kecuali ia melakukan sujud. Ketika usai mengerjakan shalat wajib, ia melakukan sujud. Bekas-bekas sujud terlihat pada seluruh anggota sujudnya. Oleh karena itu, ia diberi gelar al-Sajjad.”
Ali bin Husein kehilangan ibunya hanya beberapa hari dari kelahirannya dan ia kemudian diasuh oleh sang ayah. Ia sempat merasakan era kepemimpinan (imamah) kakeknya, Imam Ali bin Abi Thalib as selama dua tahun. Karena rasa cintanya yang besar kepada pamannya, Imam Hasan as, ia sering mendatangi beliau untuk mempelajari nilai-nilai moral dan spiritual.
Periode imamah ayahnya, Imam Husein as dimulai ketika ia berusia 12 tahun. Ia selalu mendapatkan bimbingan dan pengajaran dari ayahnya dan ia mulai bertugas memimpin umat pada tahun 61 Hijriah. Jadi, setelah ayahnya gugur syahid di Karbala, Imam Sajjad as secara praktis memainkan peran penting dan menentukan. Ia hidup selama 34 tahun setelah peristiwa itu dan memikul tugas sebagai pemimpin umat Islam. Selama periode ini, Imam Sajjad as aktif memerangi kezaliman dan kebodohan dengan berbagai cara.
Imam Sajjad as adalah sosok yang paling mirip dengan kakeknya, Ali bin Abi Thalib, dan dalam perkara ibadah, ia juga sama seperti kakeknya, membaca takbir 70 kali setiap malam dan sangat tekun membaca al-Quran.
Imam Sajjad as selalu berbagi makanan dengan orang-orang fakir miskin dan anak yatim. Kantong kulit yang penuh air selalu berada di pundaknya dan air itu ia didistribusikan ke rumah-rumah anak yatim dan orang miskin. Ia mengatur kebutuhan air dan roti untuk hampir 300 keluarga yang tidak mampu. Para penerima bantuan ini bahkan tidak mengetahui siapa sosok penyedia makanan untuk mereka.
Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as melewati hari-harinya dengan berpuasa dan memakan roti yang keras ketika berbuka. Doa dan zikir-zikir yang ia panjatkan mengandung banyak pelajaran dan nilai-nilai akhlak, dan nilai-nilai ini ia ajarkan kepada masyarakat di sepanjang hidupnya.
Mengenai ketakwaannya, Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Ali bin Husein tidak pernah makan satu suap pun dari barang haram selama hidupnya dan tidak pernah melangkah satu langkah pun ke arah perkara haram, tidak pernah berkata selain kebenaran walaupun satu kata dan tidak pernah melakukan sebuah pekerjaan untuk selain Allah Swt.”
Salah satu tugas utama seorang imam adalah menyampaikan pesan Ilahi dan ajaran murni agama kepada masyarakat. Imam Sajjad as mengemban tanggung jawab yang sama seperti yang dipikul oleh kakeknya, Amirul Mukminin as. Pada dasarnya, misi dan tugas para imam adalah sama secara prinsip, tetapi kondisi, tuntutan zaman, dan kebutuhan masyarakat selalu berbeda di setiap masa.
Perbedaan kondisi dan tuntutan ini tentu saja menuntut perubahan metode dan cara dalam menunaikan misi imamah. Sebagai contoh, Imam Ali as fokus memerangi kezaliman dan penyimpangan serta memberi pencerahan kepada umat tentang posisinya sebagai khalifah yang sah. Beliau membimbing masyarakat ke arah sistem akidah, politik, dan moral berdasarkan ajaran Islam murni. Misi yang sama juga dipikul oleh Imam Hasan dan Imam Husein as.
Sejarah mencatat bahwa para imam maksum masing-masing mengadopsi cara tertentu dalam menunaikan risalah dan tanggung jawabnya. Namun, misi, pesan, dan tujuan mereka sama sekali tidak ada perbedaan satu dengan yang lain. Pada periode imamah Imam Sajjad as, situasi sudah tidak memungkinkan untuk memulai sebuah perlawanan baru terhadap Dinasti Bani Umayyah. Pukulan berat dirasakan masyarakat sejak hari pertama perampasan posisi khalifah, pecahnya perang Siffin, Jamal, dan Nahrawan serta periode kelam kekuasaan Mu’awiyah dan Yazid, dan juga peristiwa syahidnya Imam Husein as dan para sahabatnya di Karbala.
Pesimisme dan keputusasaan telah menghantui masyarakat akibat tekanan masif para penguasa Bani Umayyah. Dalam situasi seperti ini, Imam Sajjad as tidak bisa terang-terangan – seperti yang dilakukan Imam Baqir dan Imam Shadiq – mengajari dan mendidik murid-muridnya, dan juga tidak memungkinkan untuk menyusun kekuatan terhadap penguasa zalim, seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib as.
Dua persoalan ini bisa membuat pemikiran Syiah di bidang budaya, sosial, dan politik terlupakan untuk waktu yang lama. Di sini, diperlukan sebuah gerakan ijtihadi untuk memperluas ufuk pemikiran kaum Muslim dalam kerangka ajaran Islam dan inilah yang dilakukan oleh Imam Sajjad as ketika itu. Ia menyadari bahwa masyarakat telah menyimpang dan mereka terpasung oleh kemewahan dunia, kerusakan politik, moral, dan sosial, serta kondisi represif yang tidak mungkin untuk memulai sebuah gerakan baru.
Oleh karena itu, Imam Sajjad memanfaatkan media doa untuk menjelaskan sebagian dari akidahnya dan kembali membangunkan masyarakat agar mereka perhatian pada masalah makrifat, ibadah, dan penghambaan. Dalam situasi seperti ini, Imam Sajjad fokus pada masalah ibadah dan salah satu pengaruh sosial terpenting adalah terciptanya hubungan masyarakat dengan Allah Swt lewat doa.
Hubungan kontinyu dengan Tuhan dan munajat kepada-Nya akan membuka ruang untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia. Jelas bahwa dimensi spiritual ini muncul dari kebutuhan fitrah manusia kepada Allah Swt. Kegiatan ibadah ini akan mempengaruhi kehidupan manusia dan membawa manfaat bagi mereka. Orang-orang yang sujud dan ruku' di hadapan keagungan Tuhan, mereka akan memperoleh kemuliaan jiwa dan terhormat.
Di tengah situasi kritis ini, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad melakukan upaya luas untuk mentansfer makrifat agama kepada masyarakat melalui untaian doa. Ia menjelaskan banyak tujuan dan misinya dalam format doa dan munajat. Doa-doa Imam Sajjad kemudian dikumpulkan dalam kitab Sahifah Sajjadiyah, yang dianggap sebagai khazanah makrifat Ilahi setelah al-Quran dan Nahjul Balaghah.
Banyak dari ulama dan perawi hadis menimba ilmu dari Imam Sajjad as. Sebut saja, Ibn Shihab al-Zuhri, meskipun ia loyalis Bani Umayyah dan ulama besar Sunni, tapi ia termasuk salah seorang ulama yang berguru kepada Imam Sajjad dan ia memuji Imam dalam banyak ucapannya.
Doa-doa Imam Sajjad as menjelaskan tentang berbagai peristiwa yang terjadi masa itu. Sahifah Sajjadiyah adalah simbol irfan yang bersumber dari pemikiran epistemologi Imam Sajjad, yang dikenal sebagai Zabur Al Muhammad Saw. Dengan mempelajari kitab ini, seseorang dapat mengenali keagungan ibadah yang dilakukan dengan penuh makrifat oleh sang imam.
Sahifah Sajjadiyah adalah sebuah mahakarya yang selalu mendapat perhatian dari para ulama, peneliti, dan tokoh di Dunia Islam. Lewat kitab ini, Imam Sajjad mengajari semua orang di seluruh masa, dan setiap individu akan mencapai derajat tertentu sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Dari mihrab ibadah, Imam telah mendirikan sebuah madrasah pengajaran yang akan mengantarkan orang-orang mengenal hakikat.
Ilmuwan Amerika dan penerjemah kita Sahifah Sajjadiyah, Profesor William Chittick mengatakan, "Sahifah ini mengajarkan banyak pelajaran di berbagai bidang mulai dari tauhid sampai masalah sosial… Imam (dalam Sahifah) menyinggung perkara syariat dalam makna yang luas. Ia selalu menekankan pentingnya mengikuti perintah Allah yang terdapat dalam al-Quran dan hadis untuk kehidupan individu dan sosial. Sahifah juga memuat banyak pelajaran sosial yang khas dan juga perintah yang umum, termasuk urgensitas untuk menegakkan keadilan di masyarakat."
Dengan bait-bait doanya, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad tidak hanya mengajarkan budaya Syiah kepada para pengikutnya pada masa itu, tapi juga mewariskan mutiara berharga ini kepada masyarakat Syiah setelahnya.
Ali Zainal Abidin as dilahirkan di Madinah pada 5 Sya’ban tahun 38 Hijriah dari seorang ayah yang mulia, Imam Husein as dan seorang ibu yang salehah, Shahrbanu. Karena memiliki orang tua seperti ini, Ali bin Husein as dipanggil dengan sebutan Ibn al-Khairatain (putra dari dua kebaikan).
Ali bin Husein as memiliki beberapa gelar dan yang paling populer adalah as-Sajjad. Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Ali bin Husein tidak mengingat sebuah nikmat Allah kecuali ia melakukan sujud. Ia tidak membaca ayat al-Quran yang mengandung ayat sajdah kecuali ia melakukan sujud. Allah tidak menyelamatkannya dari keburukan yang dikhawatirkannya kecuali ia melakukan sujud. Ketika usai mengerjakan shalat wajib, ia melakukan sujud. Bekas-bekas sujud terlihat pada seluruh anggota sujudnya. Oleh karena itu, ia diberi gelar al-Sajjad.”
Ali bin Husein kehilangan ibunya hanya beberapa hari dari kelahirannya dan ia kemudian diasuh oleh sang ayah. Ia sempat merasakan era kepemimpinan (imamah) kakeknya, Imam Ali bin Abi Thalib as selama dua tahun. Karena rasa cintanya yang besar kepada pamannya, Imam Hasan as, ia sering mendatangi beliau untuk mempelajari nilai-nilai moral dan spiritual.
Periode imamah ayahnya, Imam Husein as dimulai ketika ia berusia 12 tahun. Ia selalu mendapatkan bimbingan dan pengajaran dari ayahnya dan ia mulai bertugas memimpin umat pada tahun 61 Hijriah. Jadi, setelah ayahnya gugur syahid di Karbala, Imam Sajjad as secara praktis memainkan peran penting dan menentukan. Ia hidup selama 34 tahun setelah peristiwa itu dan memikul tugas sebagai pemimpin umat Islam. Selama periode ini, Imam Sajjad as aktif memerangi kezaliman dan kebodohan dengan berbagai cara.
Imam Sajjad as adalah sosok yang paling mirip dengan kakeknya, Ali bin Abi Thalib, dan dalam perkara ibadah, ia juga sama seperti kakeknya, membaca takbir 70 kali setiap malam dan sangat tekun membaca al-Quran.
Imam Sajjad as selalu berbagi makanan dengan orang-orang fakir miskin dan anak yatim. Kantong kulit yang penuh air selalu berada di pundaknya dan air itu ia didistribusikan ke rumah-rumah anak yatim dan orang miskin. Ia mengatur kebutuhan air dan roti untuk hampir 300 keluarga yang tidak mampu. Para penerima bantuan ini bahkan tidak mengetahui siapa sosok penyedia makanan untuk mereka.
Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as melewati hari-harinya dengan berpuasa dan memakan roti yang keras ketika berbuka. Doa dan zikir-zikir yang ia panjatkan mengandung banyak pelajaran dan nilai-nilai akhlak, dan nilai-nilai ini ia ajarkan kepada masyarakat di sepanjang hidupnya.
Mengenai ketakwaannya, Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Ali bin Husein tidak pernah makan satu suap pun dari barang haram selama hidupnya dan tidak pernah melangkah satu langkah pun ke arah perkara haram, tidak pernah berkata selain kebenaran walaupun satu kata dan tidak pernah melakukan sebuah pekerjaan untuk selain Allah Swt.”
Salah satu tugas utama seorang imam adalah menyampaikan pesan Ilahi dan ajaran murni agama kepada masyarakat. Imam Sajjad as mengemban tanggung jawab yang sama seperti yang dipikul oleh kakeknya, Amirul Mukminin as. Pada dasarnya, misi dan tugas para imam adalah sama secara prinsip, tetapi kondisi, tuntutan zaman, dan kebutuhan masyarakat selalu berbeda di setiap masa.
Perbedaan kondisi dan tuntutan ini tentu saja menuntut perubahan metode dan cara dalam menunaikan misi imamah. Sebagai contoh, Imam Ali as fokus memerangi kezaliman dan penyimpangan serta memberi pencerahan kepada umat tentang posisinya sebagai khalifah yang sah. Beliau membimbing masyarakat ke arah sistem akidah, politik, dan moral berdasarkan ajaran Islam murni. Misi yang sama juga dipikul oleh Imam Hasan dan Imam Husein as.
Sejarah mencatat bahwa para imam maksum masing-masing mengadopsi cara tertentu dalam menunaikan risalah dan tanggung jawabnya. Namun, misi, pesan, dan tujuan mereka sama sekali tidak ada perbedaan satu dengan yang lain. Pada periode imamah Imam Sajjad as, situasi sudah tidak memungkinkan untuk memulai sebuah perlawanan baru terhadap Dinasti Bani Umayyah. Pukulan berat dirasakan masyarakat sejak hari pertama perampasan posisi khalifah, pecahnya perang Siffin, Jamal, dan Nahrawan serta periode kelam kekuasaan Mu’awiyah dan Yazid, dan juga peristiwa syahidnya Imam Husein as dan para sahabatnya di Karbala.
Pesimisme dan keputusasaan telah menghantui masyarakat akibat tekanan masif para penguasa Bani Umayyah. Dalam situasi seperti ini, Imam Sajjad as tidak bisa terang-terangan – seperti yang dilakukan Imam Baqir dan Imam Shadiq – mengajari dan mendidik murid-muridnya, dan juga tidak memungkinkan untuk menyusun kekuatan terhadap penguasa zalim, seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib as.
Dua persoalan ini bisa membuat pemikiran Syiah di bidang budaya, sosial, dan politik terlupakan untuk waktu yang lama. Di sini, diperlukan sebuah gerakan ijtihadi untuk memperluas ufuk pemikiran kaum Muslim dalam kerangka ajaran Islam dan inilah yang dilakukan oleh Imam Sajjad as ketika itu. Ia menyadari bahwa masyarakat telah menyimpang dan mereka terpasung oleh kemewahan dunia, kerusakan politik, moral, dan sosial, serta kondisi represif yang tidak mungkin untuk memulai sebuah gerakan baru.
Oleh karena itu, Imam Sajjad memanfaatkan media doa untuk menjelaskan sebagian dari akidahnya dan kembali membangunkan masyarakat agar mereka perhatian pada masalah makrifat, ibadah, dan penghambaan. Dalam situasi seperti ini, Imam Sajjad fokus pada masalah ibadah dan salah satu pengaruh sosial terpenting adalah terciptanya hubungan masyarakat dengan Allah Swt lewat doa.
Hubungan kontinyu dengan Tuhan dan munajat kepada-Nya akan membuka ruang untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia. Jelas bahwa dimensi spiritual ini muncul dari kebutuhan fitrah manusia kepada Allah Swt. Kegiatan ibadah ini akan mempengaruhi kehidupan manusia dan membawa manfaat bagi mereka. Orang-orang yang sujud dan ruku' di hadapan keagungan Tuhan, mereka akan memperoleh kemuliaan jiwa dan terhormat.
Di tengah situasi kritis ini, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad melakukan upaya luas untuk mentansfer makrifat agama kepada masyarakat melalui untaian doa. Ia menjelaskan banyak tujuan dan misinya dalam format doa dan munajat. Doa-doa Imam Sajjad kemudian dikumpulkan dalam kitab Sahifah Sajjadiyah, yang dianggap sebagai khazanah makrifat Ilahi setelah al-Quran dan Nahjul Balaghah.
Banyak dari ulama dan perawi hadis menimba ilmu dari Imam Sajjad as. Sebut saja, Ibn Shihab al-Zuhri, meskipun ia loyalis Bani Umayyah dan ulama besar Sunni, tapi ia termasuk salah seorang ulama yang berguru kepada Imam Sajjad dan ia memuji Imam dalam banyak ucapannya.
Doa-doa Imam Sajjad as menjelaskan tentang berbagai peristiwa yang terjadi masa itu. Sahifah Sajjadiyah adalah simbol irfan yang bersumber dari pemikiran epistemologi Imam Sajjad, yang dikenal sebagai Zabur Al Muhammad Saw. Dengan mempelajari kitab ini, seseorang dapat mengenali keagungan ibadah yang dilakukan dengan penuh makrifat oleh sang imam.
Sahifah Sajjadiyah adalah sebuah mahakarya yang selalu mendapat perhatian dari para ulama, peneliti, dan tokoh di Dunia Islam. Lewat kitab ini, Imam Sajjad mengajari semua orang di seluruh masa, dan setiap individu akan mencapai derajat tertentu sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Dari mihrab ibadah, Imam telah mendirikan sebuah madrasah pengajaran yang akan mengantarkan orang-orang mengenal hakikat.
Ilmuwan Amerika dan penerjemah kita Sahifah Sajjadiyah, Profesor William Chittick mengatakan, "Sahifah ini mengajarkan banyak pelajaran di berbagai bidang mulai dari tauhid sampai masalah sosial… Imam (dalam Sahifah) menyinggung perkara syariat dalam makna yang luas. Ia selalu menekankan pentingnya mengikuti perintah Allah yang terdapat dalam al-Quran dan hadis untuk kehidupan individu dan sosial. Sahifah juga memuat banyak pelajaran sosial yang khas dan juga perintah yang umum, termasuk urgensitas untuk menegakkan keadilan di masyarakat."
Dengan bait-bait doanya, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad tidak hanya mengajarkan budaya Syiah kepada para pengikutnya pada masa itu, tapi juga mewariskan mutiara berharga ini kepada masyarakat Syiah setelahnya.
IMAM ALI AS-SAJJAD ALAIHIS SALAM DAN SEEKOR UNTA LEMAH
- Sumber : safinah-online.com
Imam Ali as-Sajjad ‘alaihissalam
Satu kafilah bergerak menuju Mekah al-Mukarramah.
Bergabung dalam kafilah ini, Imam Ali bin Husein –‘alaihimassalam.
Dikarenakan unta Imam dalam keadaan lemah, beliau tertinggal jauh dari kafilah. Beliau disertai seorang sahabat setianya. Sebelum tiba malam, dua unta mereka terus berjalan hingga unta Imam terasa berat berjalan. Geraknya lamban. Sahabatnya berkata, “Pukullah unta Anda wahai tuanku.., tepuklah dia! Teriaki dia supaya berjalan cepat. Ambillah pecut ini, pecutlah dia..!”
Imam mengambil pecut sahabatnya itu, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi untuk memecut untanya. Namun unta itu berhenti, dan beliau tidak juga memecutnya. Imam angkat lagi pecut di tangannya untuk mengayunkan padanya, tapi tidak beliau lakukan dan merasa ragu-ragu.
Imam Sajjad ‘alaihissalam berkata: “Aa…sekiranya tak ada qishash pasti aku sudah memukulnya…”
Mana mungkin beliau melakukan itu? Sementara diri beliau penuh kasih sayang dan berhati lembut.
Sampai sahabatnya bertanya, “Mengapa Anda tidak memukulnya juga wahai tuanku! Anda sudah mengangkat pecut itu tapi tidak jadi memukulnya. Ada apa dengan semua ini?”
Imam menjawab dengan meneteskan airmata, “Untaku ini telah melewati masa bersamaku 20 kali pergi haji. Demi Allah, satukali pun tak pernah aku memukulnya. Tidak pernah sekalipun aku membentaknya. Walau dia hewan yang tidak berakal, aku takut dia akan membalasku atas tindakan memukulnya karena kecerobohanku terhadap satu makhluk yang lemah.”
Sang sahabat tercengang dan takjub pada ucapan beliau.
Ia mengungkapkan, “Sungguh demi Allah, wahai tuanku, aku pernah menyaksikan Anda saat berjalan melewati orang-orang fakir di masjid. Lalu Anda membawakan makanan untuk mereka dan Anda pun makan bersama mereka. Namun ketika saya melihat dan mendengar dari Anda langsung, sesuatu yang sama sekali belum pernah saya dengar. Ternyata kasih sayang Anda meliputi segalanya.. Alangkah bahagianya Saya bisa menemani Anda yang menjelaskan wahyu menuju satu tujuan…”
“Inilah Ali Sajjad, datuknya adalah Rasulullah.. Dengan cahaya hidayahnya umat manusia mendapat petunjuk.”
Satu kafilah bergerak menuju Mekah al-Mukarramah.
Bergabung dalam kafilah ini, Imam Ali bin Husein –‘alaihimassalam.
Dikarenakan unta Imam dalam keadaan lemah, beliau tertinggal jauh dari kafilah. Beliau disertai seorang sahabat setianya. Sebelum tiba malam, dua unta mereka terus berjalan hingga unta Imam terasa berat berjalan. Geraknya lamban. Sahabatnya berkata, “Pukullah unta Anda wahai tuanku.., tepuklah dia! Teriaki dia supaya berjalan cepat. Ambillah pecut ini, pecutlah dia..!”
Imam mengambil pecut sahabatnya itu, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi untuk memecut untanya. Namun unta itu berhenti, dan beliau tidak juga memecutnya. Imam angkat lagi pecut di tangannya untuk mengayunkan padanya, tapi tidak beliau lakukan dan merasa ragu-ragu.
Imam Sajjad ‘alaihissalam berkata: “Aa…sekiranya tak ada qishash pasti aku sudah memukulnya…”
Mana mungkin beliau melakukan itu? Sementara diri beliau penuh kasih sayang dan berhati lembut.
Sampai sahabatnya bertanya, “Mengapa Anda tidak memukulnya juga wahai tuanku! Anda sudah mengangkat pecut itu tapi tidak jadi memukulnya. Ada apa dengan semua ini?”
Imam menjawab dengan meneteskan airmata, “Untaku ini telah melewati masa bersamaku 20 kali pergi haji. Demi Allah, satukali pun tak pernah aku memukulnya. Tidak pernah sekalipun aku membentaknya. Walau dia hewan yang tidak berakal, aku takut dia akan membalasku atas tindakan memukulnya karena kecerobohanku terhadap satu makhluk yang lemah.”
Sang sahabat tercengang dan takjub pada ucapan beliau.
Ia mengungkapkan, “Sungguh demi Allah, wahai tuanku, aku pernah menyaksikan Anda saat berjalan melewati orang-orang fakir di masjid. Lalu Anda membawakan makanan untuk mereka dan Anda pun makan bersama mereka. Namun ketika saya melihat dan mendengar dari Anda langsung, sesuatu yang sama sekali belum pernah saya dengar. Ternyata kasih sayang Anda meliputi segalanya.. Alangkah bahagianya Saya bisa menemani Anda yang menjelaskan wahyu menuju satu tujuan…”
“Inilah Ali Sajjad, datuknya adalah Rasulullah.. Dengan cahaya hidayahnya umat manusia mendapat petunjuk.”
BERDOA DIDALAM "ISTANA" SANG MAHA KUASA
- pengarang : Abu Syirin Al Hasan
- Sumber : islammenjawab.com
Imam Zainal Abidin mengajarkan kita adab dalam berdoa. Berdoa Irfani
yang memahamkan siapa kita (Makhluk) dan siapa Allah swt. (Khalik)
Berdoa adalah pengakuan esensi kita sebagai makhluk hina, papa, rendah dan tidak memiliki apa-apa yang meminta kepada dzat yang maha tidak terbatas dan sumber segala kesempurnaan.
Berdoa dengan kesadaran penuh tauhid bahwa segala sesuatu hanyalah milikNya, bahkan diri dan jiwa kita.
Seseorang yang memimpin doa seharusnya mengajak masyarakat kepada kerendahan dan kehinaan diri dihadapan sang maha kuasa dalam rangka mengenal kembali esensi manusia yang kerap kita lupakan.
Berdoa tanpa makrifat tak ada bedanya dengan hewan, bahkan hewan pun memiliki adab berdoa kepada penciptanya. Sebagaimana Allah swt tegaskan bahwa seluruh alam bertasbih, bertahmid dan berdoa kepadaNya.
Maha benar Allah swt yang mengatakan bahwa orang-orang yang tidak memakai akal dan fitrah, esensinya lebih rendah dan buruk dari hewan.
Semakin kita merendah, semakin tinggi pula doa kita. Semakin kita mengenal esensi diri kita, semakin murni doa kita yang akhirnya menjadi sebab diijabahnya sebuah doa.
Namun sebaliknya, semakin sombong dan tinggi, semakin jatuh doa kita. Terlebih ketika berdoa tidak datang dari makrifat diri, semakin kotor doa kita dan pada akhirnya, doa-doa yang dipanjatkan berapa juta kalipun tidak akan pernah diijabah oleh Allah swt.
Untuk itu kita berdoa dengan doa-doa para Nabi, Rasul dan Imam-imam maksum, karena doa mereka adalah doa terbaik yang menggambarkan kesempurnaan Khalik dan kerendahan serta kehinaan makhluk.
Kita tahu diri tidak mengenal Allah swt dengan sebenar-benarnya seperti para manusia suci. Untuk itu kita mengikuti mereka dan tidak “berijtihad” dalam berdoa.
Berdoa adalah pengakuan esensi kita sebagai makhluk hina, papa, rendah dan tidak memiliki apa-apa yang meminta kepada dzat yang maha tidak terbatas dan sumber segala kesempurnaan.
Berdoa dengan kesadaran penuh tauhid bahwa segala sesuatu hanyalah milikNya, bahkan diri dan jiwa kita.
Seseorang yang memimpin doa seharusnya mengajak masyarakat kepada kerendahan dan kehinaan diri dihadapan sang maha kuasa dalam rangka mengenal kembali esensi manusia yang kerap kita lupakan.
Berdoa tanpa makrifat tak ada bedanya dengan hewan, bahkan hewan pun memiliki adab berdoa kepada penciptanya. Sebagaimana Allah swt tegaskan bahwa seluruh alam bertasbih, bertahmid dan berdoa kepadaNya.
Maha benar Allah swt yang mengatakan bahwa orang-orang yang tidak memakai akal dan fitrah, esensinya lebih rendah dan buruk dari hewan.
Semakin kita merendah, semakin tinggi pula doa kita. Semakin kita mengenal esensi diri kita, semakin murni doa kita yang akhirnya menjadi sebab diijabahnya sebuah doa.
Namun sebaliknya, semakin sombong dan tinggi, semakin jatuh doa kita. Terlebih ketika berdoa tidak datang dari makrifat diri, semakin kotor doa kita dan pada akhirnya, doa-doa yang dipanjatkan berapa juta kalipun tidak akan pernah diijabah oleh Allah swt.
Untuk itu kita berdoa dengan doa-doa para Nabi, Rasul dan Imam-imam maksum, karena doa mereka adalah doa terbaik yang menggambarkan kesempurnaan Khalik dan kerendahan serta kehinaan makhluk.
Kita tahu diri tidak mengenal Allah swt dengan sebenar-benarnya seperti para manusia suci. Untuk itu kita mengikuti mereka dan tidak “berijtihad” dalam berdoa.
DOA YANG MENJADI 'PEDANG' (1)
- Sumber : safinah-online.com
Imam Ali bin Husain as dikenal dengan sejumlah gelar seperti
as-Sajjad (yang banyak bersujud) dan Zain al-Abidin (hiasan para ahli
ibadah). Gelar-gelar ini menyiratkan ketekunan beliau dalam beribadah.
Wajar jika sebagian orang berpikir, beliau tipe orang yang menghindari
kehidupan sosial lantaran hanya sibuk dengan urusan akhirat.
Benarkah Imam Sajjad as tidak pernah melawan penguasa zalim? Dan apakah perjuangan melawan penguasa zalim hanya sebatas mengangkat senjata? Jawabannya penting untuk diketahui, sebab sejumlah mazhab (seperti Zaidiyah) menjadikan perlawanan senjata sebagai salah satu syarat seorang imam.
Kita perlu melihat sejumlah faktor historis yang melatarbelakangi ‘diamnya’ Imam Sajjad as. Berikut sejumlah faktor-faktor tersebut:
1) Tekanan dari pihak penguasa: Imam Sajjad as hidup di masa dua penguasa Bani Umayah yang dikenal kejam. Mereka adalah Abdul Malik bin Marwan dan putranya, Walid bin Abdul Malik. Juga ditambah seorang panglima haus darah, yaitu Hajjaj bin Yusuf.
Nama yang disebut terakhir ini merupakan momok menakutkan. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata tentang Hajjaj,”Jika tiap kaum membawa orang terkejamnya, lalu kami (Bani Umayah) membawa Hajjaj, niscaya kami yang menang.”
Keberadaan orang-orang ini membuat Imam as tidak leluasa untuk bergerak. Segala bentuk intimidasi dan teror digunakan mereka guna menekan tiap orang yang mencintai Ahlulbait as. Maka, orang akan berpikir dua kali untuk menunjukkan dukungannya terhadap Imam Sajjad as.
2) Sedikitnya jumlah pendukung: Faktor pertama-lah yang bisa jadi menyebabkan Imam as begitu sedikit mendapat dukungan. Bahkan dikatakan bahwa di masa itu, pecinta sejati Ahlulbait as di Makkah dan Madinah hanya sebanyak 20 orang!
Imam Sajjad as pernah berkata kepada Sahal bin Syuaib,”Kondisi kami (Ahlulbait) seperti Bani Israil di masa Firaun. Orang-orang mencerca para leluhur kami demi mendekatkan diri kepada musuh-musuh kami.”[1]
Dengan jumlah pembela seminim ini, mana mungkin Imam Sajjad as melakukan perlawanan bersenjata?
3) Kerusakan moral masyarakat: Sejak dahulu, salah satu sarana terefektif untuk membungkam masyarakat adalah menyebarkan kerusakan moral. Ketika sebuah masyarakat telah larut dalam maksiat dan kenikmatan duniawi, mereka tidak akan peka lagi dengan kezaliman di sekitar mereka.
Kebejatan para khalifah Bani Umayyah telah ditularkan dari Syam ke daerah-daerah Islam lain. Bahkan, dua kota suci Makkah dan Madinah pun tak terkecuali.
Para sejarawan seperti menyebutkan, dua kota yang seharusnya menjadi teladan kota-kota lain ini, justru dinodai majlis-majlis pesta dan nyanyian. Lebih parah lagi, sejumlah oknum ulama juga turut menghadiri majlis-majlis ini.[2]
Kisah berikut menggambarkan betapa bobroknya moral muslimin di masa itu:
Di masa itu, ada seorang wanita penyanyi terkenal bernama Jamilah. Ia tinggal di Madinah. Suatu kali, ia berniat pergi ke Makkah untuk ibadah haji. Saat hendak berangkat, sejumlah orang, pria dan wanita, mengiringinya hingga gerbang Madinah. Bahkan ada pula yang mengantarnya hingga Makkah.
Sepanjang perjalanan, dia mendapat sambutan luar biasa; sambutan yang bahkan tak pernah diberikan untuk seorang fakih, ahli hadis, atau ahli tafsir!
Saat mendekati gerbang Makkah, sejumlah bangsawan Makkah juga datang menyambutnya. Waktu ia pulang ke Madinah, warga menyambutnya dengan antusias. Sambutan mereka begitu meriah hingga penduduk berbaris menonton penyambutan ini dari pintu-pintu rumah mereka.[3]
Inilah sejumlah faktor yang membuat Imam Sajjad as tidak mengangkat senjata melawan penguasa saat itu. Beliau memilih untuk berjuang dengan cara-cara lain, yang akan diutarakan dalam artikel berikutnya. (Bersambung...)
[2] Tarikh al-Adab al-Arabi juz 2 hal 347.
[3] Sireye Pishvayan 267.
Benarkah Imam Sajjad as tidak pernah melawan penguasa zalim? Dan apakah perjuangan melawan penguasa zalim hanya sebatas mengangkat senjata? Jawabannya penting untuk diketahui, sebab sejumlah mazhab (seperti Zaidiyah) menjadikan perlawanan senjata sebagai salah satu syarat seorang imam.
Kita perlu melihat sejumlah faktor historis yang melatarbelakangi ‘diamnya’ Imam Sajjad as. Berikut sejumlah faktor-faktor tersebut:
1) Tekanan dari pihak penguasa: Imam Sajjad as hidup di masa dua penguasa Bani Umayah yang dikenal kejam. Mereka adalah Abdul Malik bin Marwan dan putranya, Walid bin Abdul Malik. Juga ditambah seorang panglima haus darah, yaitu Hajjaj bin Yusuf.
Nama yang disebut terakhir ini merupakan momok menakutkan. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata tentang Hajjaj,”Jika tiap kaum membawa orang terkejamnya, lalu kami (Bani Umayah) membawa Hajjaj, niscaya kami yang menang.”
Keberadaan orang-orang ini membuat Imam as tidak leluasa untuk bergerak. Segala bentuk intimidasi dan teror digunakan mereka guna menekan tiap orang yang mencintai Ahlulbait as. Maka, orang akan berpikir dua kali untuk menunjukkan dukungannya terhadap Imam Sajjad as.
2) Sedikitnya jumlah pendukung: Faktor pertama-lah yang bisa jadi menyebabkan Imam as begitu sedikit mendapat dukungan. Bahkan dikatakan bahwa di masa itu, pecinta sejati Ahlulbait as di Makkah dan Madinah hanya sebanyak 20 orang!
Imam Sajjad as pernah berkata kepada Sahal bin Syuaib,”Kondisi kami (Ahlulbait) seperti Bani Israil di masa Firaun. Orang-orang mencerca para leluhur kami demi mendekatkan diri kepada musuh-musuh kami.”[1]
Dengan jumlah pembela seminim ini, mana mungkin Imam Sajjad as melakukan perlawanan bersenjata?
3) Kerusakan moral masyarakat: Sejak dahulu, salah satu sarana terefektif untuk membungkam masyarakat adalah menyebarkan kerusakan moral. Ketika sebuah masyarakat telah larut dalam maksiat dan kenikmatan duniawi, mereka tidak akan peka lagi dengan kezaliman di sekitar mereka.
Kebejatan para khalifah Bani Umayyah telah ditularkan dari Syam ke daerah-daerah Islam lain. Bahkan, dua kota suci Makkah dan Madinah pun tak terkecuali.
Para sejarawan seperti menyebutkan, dua kota yang seharusnya menjadi teladan kota-kota lain ini, justru dinodai majlis-majlis pesta dan nyanyian. Lebih parah lagi, sejumlah oknum ulama juga turut menghadiri majlis-majlis ini.[2]
Kisah berikut menggambarkan betapa bobroknya moral muslimin di masa itu:
Di masa itu, ada seorang wanita penyanyi terkenal bernama Jamilah. Ia tinggal di Madinah. Suatu kali, ia berniat pergi ke Makkah untuk ibadah haji. Saat hendak berangkat, sejumlah orang, pria dan wanita, mengiringinya hingga gerbang Madinah. Bahkan ada pula yang mengantarnya hingga Makkah.
Sepanjang perjalanan, dia mendapat sambutan luar biasa; sambutan yang bahkan tak pernah diberikan untuk seorang fakih, ahli hadis, atau ahli tafsir!
Saat mendekati gerbang Makkah, sejumlah bangsawan Makkah juga datang menyambutnya. Waktu ia pulang ke Madinah, warga menyambutnya dengan antusias. Sambutan mereka begitu meriah hingga penduduk berbaris menonton penyambutan ini dari pintu-pintu rumah mereka.[3]
Inilah sejumlah faktor yang membuat Imam Sajjad as tidak mengangkat senjata melawan penguasa saat itu. Beliau memilih untuk berjuang dengan cara-cara lain, yang akan diutarakan dalam artikel berikutnya. (Bersambung...)
CATATAN :
[1] Sireye Pishvayan 261.[2] Tarikh al-Adab al-Arabi juz 2 hal 347.
[3] Sireye Pishvayan 267.
DOA YANG MENJADI 'PEDANG' (2)
- Sumber : safinah-online.com
Ketika perlawanan bersenjata bukan sebuah pilihan, Imam Sajjad as
menggunakan cara lain untuk berjuang dan melawan penguasa. Berikut ini
adalah sejumlah metode yang digunakan beliau dalam rangka ini.
Salah satunya, saat Imam as melewati seorang penjual ternak, beliau bertanya,”Apakah kau memberi minum kambingmu sebelum disembelih?” Ketika orang itu mengiyakan, beliau menangis dan berkata,”Ayahku dibunuh kehausan tanpa ada yang memberinya air.”
Atau, ketika seorang pembantu bertanya,”Tidakkah duka Anda akan berakhir?” Imam menjawab,”Ya’qub menangisi Yusuf hingga matanya buta, padahal putranya masih hidup. Sedangkan aku menyaksikan ayah dan kerabatku dibantai di hadapanku. Bagaimana mungkin dukaku akan berakhir?”[1]
Walau benar tangisan-tangisan ini adalah luapan emosi, namun di baliknya terdapat tujuan-tujuan strategis. Dengan cara ini, Imam as ingin agar muslimin tidak melupakan kekejaman dan kezaliman Yazid. Secara tidak langsung, beliau telah mempersiapkan lahan terkikisnya kekuasaan Bani Umayah.
Seperti diketahui, tiap pemberontakan terhadap Bani Umayah selalu bermotifkan pembalasan terhadap kezaliman atas Ahlulbait as (minimal itulah yang coba dikesankan kepada umat). Isu ini pula yang diangkat Bani Abbas saat mereka berhasil menggulingkan Bani Umayah.
Sebab itu, Imam as kerap mengadakan majlis-majlis akhlak di Madinah. Dalam majlis-majlis ini, beliau menyampaikan wejangan-wejangan akhlak guna memperbaiki moralitas masyarakat.
Di sela-sela wejangan ini, beliau juga menyisipkan poin-poin akidah, khususnya yang berkaitan dengan imamah. Secara tidak langsung, beliau menunjukkan ketidaklayakan Bani Umayah memegang tampuk kekhalifahan dan bahwa yang berhak adalah Ahlulbait as.
Misalnya, dalam wejangan yang selalu diulang-ulang Imam Sajjad as tiap hari Jumat di Masjid Madinah, ketika menasihati orang-orang untuk bersiap menyambut kematian, beliau berkata,”Salah satu hal yang akan ditanyakan dalam kubur adalah ‘siapa imam yang kau taati di dunia.’”[2]
Namun, kitab doa ini bukan hanya berisikan ungkapan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Jika dicermati, di dalamnya juga terkandung pesan-pesan politis dan perlawanan terhadap penguasa zalim.
Misalnya, dalam doa Makarim al-Akhlaq (doa no 20 Shahifah Sajjadiyah), Imam Sajjad as mengatakan:
“Ya Allah, sampaikan shalawat atas Muhammad dan keluarganya. Beri aku kekuatan menghadapi orang yang menzalimi dan memerangiku; beri aku kemenangan atas orang yang memusuhiku; ajari aku siasat menghadapi orang yang berniat jahat dan mengelabuiku; anugerahi aku daya untuk melawan orang yang menyakitiku; jadikan aku mampu menyanggah orang yang memfitnah dan mencari-cari aibku, dan lindungi aku dari ancaman musuh-musuhku.”
Siapa lagi yang dimaksud Imam as dalam doa ini, kalau bukan para penguasa Bani Umayah dan antek mereka?
Dalam doa yang dibaca di hari Jumat dan Idul Adha, Imam as menyampaikan, yang berhak menjadi imam salat di dua hari mulia ini adalah pemimpin pilihan Allah. Namun, kedudukan ini telah dirampas oleh para penguasa tiran.
Melalui doa ini, Imam Sajjad as mengajarkan kepada muslimin salah satu tugas seorang imam pilihan Allah, sekaligus menafikan legalitas para khalifah Bani Umayah.[3]
Ya, dengan cara-cara inilah Imam Sajjad as melakukan jihad melawan penguasa, bukan dengan mengangkat senjata. Jika dianalogikan, wejangan-wejangan akhlak beliau adalah ‘tameng’ guna melindungi umat, dan tangis serta doa beliau adalah ‘pedang’ yang menikam jantung kekuasaan Bani Umayah tanpa mereka sadari.
CATATAN :
[1] Sireye Pishvayan 260.
[2] Sireye Pishvayan 262.
[3] Ibid, 276.
Menjaga Tragedi Asyura Tetap Diingat
Dalam beberapa riwayat disebutkan, Imam Sajjad as selalu menangis saat melihat hal-hal yang mengingatkannya akan tragedi Karbala.Salah satunya, saat Imam as melewati seorang penjual ternak, beliau bertanya,”Apakah kau memberi minum kambingmu sebelum disembelih?” Ketika orang itu mengiyakan, beliau menangis dan berkata,”Ayahku dibunuh kehausan tanpa ada yang memberinya air.”
Atau, ketika seorang pembantu bertanya,”Tidakkah duka Anda akan berakhir?” Imam menjawab,”Ya’qub menangisi Yusuf hingga matanya buta, padahal putranya masih hidup. Sedangkan aku menyaksikan ayah dan kerabatku dibantai di hadapanku. Bagaimana mungkin dukaku akan berakhir?”[1]
Walau benar tangisan-tangisan ini adalah luapan emosi, namun di baliknya terdapat tujuan-tujuan strategis. Dengan cara ini, Imam as ingin agar muslimin tidak melupakan kekejaman dan kezaliman Yazid. Secara tidak langsung, beliau telah mempersiapkan lahan terkikisnya kekuasaan Bani Umayah.
Seperti diketahui, tiap pemberontakan terhadap Bani Umayah selalu bermotifkan pembalasan terhadap kezaliman atas Ahlulbait as (minimal itulah yang coba dikesankan kepada umat). Isu ini pula yang diangkat Bani Abbas saat mereka berhasil menggulingkan Bani Umayah.
Mencerahkan Umat Melalui Wejangan Moral
Sebelum ini telah disampaikan, kebobrokan moral menjadi salah satu sebab tumpulnya kepekaan sosial-politik umat Islam, hingga mustahil bagi Imam Sajjad as untuk menghimpun pengikut guna melakukan perlawanan bersenjata.Sebab itu, Imam as kerap mengadakan majlis-majlis akhlak di Madinah. Dalam majlis-majlis ini, beliau menyampaikan wejangan-wejangan akhlak guna memperbaiki moralitas masyarakat.
Di sela-sela wejangan ini, beliau juga menyisipkan poin-poin akidah, khususnya yang berkaitan dengan imamah. Secara tidak langsung, beliau menunjukkan ketidaklayakan Bani Umayah memegang tampuk kekhalifahan dan bahwa yang berhak adalah Ahlulbait as.
Misalnya, dalam wejangan yang selalu diulang-ulang Imam Sajjad as tiap hari Jumat di Masjid Madinah, ketika menasihati orang-orang untuk bersiap menyambut kematian, beliau berkata,”Salah satu hal yang akan ditanyakan dalam kubur adalah ‘siapa imam yang kau taati di dunia.’”[2]
Jihad Melalui Doa-doa
Shahifah Sajjadiyah adalah kitab yang menghimpun doa-doa Imam Ali bin Husain as. Himpunan doa ini juga dijuluki Zabur Al Muhammad (Zabur keluarga Muhammad). Untaian-untaian doa indah nan menyentuh dalam kitab ini menunjukkan tingginya makrifat Imam Sajjad as terhadap Sang Khalik.Namun, kitab doa ini bukan hanya berisikan ungkapan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Jika dicermati, di dalamnya juga terkandung pesan-pesan politis dan perlawanan terhadap penguasa zalim.
Misalnya, dalam doa Makarim al-Akhlaq (doa no 20 Shahifah Sajjadiyah), Imam Sajjad as mengatakan:
“Ya Allah, sampaikan shalawat atas Muhammad dan keluarganya. Beri aku kekuatan menghadapi orang yang menzalimi dan memerangiku; beri aku kemenangan atas orang yang memusuhiku; ajari aku siasat menghadapi orang yang berniat jahat dan mengelabuiku; anugerahi aku daya untuk melawan orang yang menyakitiku; jadikan aku mampu menyanggah orang yang memfitnah dan mencari-cari aibku, dan lindungi aku dari ancaman musuh-musuhku.”
Siapa lagi yang dimaksud Imam as dalam doa ini, kalau bukan para penguasa Bani Umayah dan antek mereka?
Dalam doa yang dibaca di hari Jumat dan Idul Adha, Imam as menyampaikan, yang berhak menjadi imam salat di dua hari mulia ini adalah pemimpin pilihan Allah. Namun, kedudukan ini telah dirampas oleh para penguasa tiran.
Melalui doa ini, Imam Sajjad as mengajarkan kepada muslimin salah satu tugas seorang imam pilihan Allah, sekaligus menafikan legalitas para khalifah Bani Umayah.[3]
Ya, dengan cara-cara inilah Imam Sajjad as melakukan jihad melawan penguasa, bukan dengan mengangkat senjata. Jika dianalogikan, wejangan-wejangan akhlak beliau adalah ‘tameng’ guna melindungi umat, dan tangis serta doa beliau adalah ‘pedang’ yang menikam jantung kekuasaan Bani Umayah tanpa mereka sadari.
CATATAN :
[1] Sireye Pishvayan 260.
[2] Sireye Pishvayan 262.
[3] Ibid, 276.
LELAKI INI ADALAH BUDAK ZAINUL ABIDIN
- pengarang : Emi Nur Hayati
- Sumber : Sad Pand va Hekayat; Imam Sajjad as
Sudah berapa lama hujan tidak turun di Madinah. Kekeringan telah
melanda tanah-tanah pertanian. Masyarakat telah mengalami kesusahan.
Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan salat meminta hujan dan
bermunajat kepada Allah supaya diturunkan hujan.
Said bin Musayib salah seorang warga Madinah pada saat itu pandangan matanya tertuju pada seorang budak kulit hitam yang sedang berada di atas bukit dan jauh dari orang-orang sedang bermunajat. Said memerhatikan sikap lelaki kulit hitam ini. Dia benar-benar tenggelam dalam munajat sehingga tidak tahu bahwa Said sedang berada di sisinya. Sebelum doanya selesai, awan hitang telah menyelimuti langit kota. Budak kulit hitam ini memandang ke langit. Begitu dia melihat awan tebal, dia bersyukur kepada Allah, tersenyum dan pergi.
Tidak lama kemudian, hujan turun begitu lebat sehingga khawatir terjadi banjir. Said merasa bahwa munajat budak kulit hitam itulah yang menyebabkan turunnya hujan di kota ini setelah lama terjadi kekeringan. Dia membuntuti budak tersebut, dalam upaya ingin mengetahui bahwa dibawah pendidikan siapakah budak ini?
Said sedang membuntuti budak ini sampai dia masuk ke rumahnya Ali bin Husein as dan dia juga meminta izin untuk masuk ke dalam rumah tuannya. Said berkata kepada Imam Zainul Abidin as, “Wahai putra Rasulullah! Saya datang untuk membeli budak ini dari Anda, bila Anda menyetujuinya.”
Imam berkata, “Saya bisa menjual budak ini kepadamu.”
Kemudian beliau berkata kepada budaknya, “Hai hamba Allah! Dari sejak saat ini engkau akan mengabdi kepada Said bin Musayib, maka ikutilah dia.”
Budak itu berkata kepada Said, “Apa yang menyebabkan engkau memisahkan aku dan maulaku?”
Said bin Musayib menjelaskan apa yang telah terjadi kepada budak dan Imam Sajjad as dan berkata, “Engkau mulia dan dekat di sisi Allah dan aku ingin memiliki budak seperti ini di rumahku.”
Kondisi budak menjadi berubah. Dia mengangkat tangannya ke langit dan berkata, “Ya Allah! Ada rahasia antara aku dan Engkau. Karena sekarang rahasia itu sudah terungkap, maka kembalikanlah aku pada diri-Mu.”
Imam, Said dan semua orang yang ada di rumah Imam merasa trenyuh dengan kata-kata budak ini dan mereka menangis. Said pun keluar dari rumah Imam dengan menangis dan pada saat yang sama dia menyesal.
Begitu Said bin Musayib sampai di rumahnya, salah seorang budak Imam menyampaikan pesan dan berkata, “Hai Said! Imam berkata, bila engkau mau, engkau bisa ikut acara pemakaman budak itu!”
Said bin Musayib salah seorang warga Madinah pada saat itu pandangan matanya tertuju pada seorang budak kulit hitam yang sedang berada di atas bukit dan jauh dari orang-orang sedang bermunajat. Said memerhatikan sikap lelaki kulit hitam ini. Dia benar-benar tenggelam dalam munajat sehingga tidak tahu bahwa Said sedang berada di sisinya. Sebelum doanya selesai, awan hitang telah menyelimuti langit kota. Budak kulit hitam ini memandang ke langit. Begitu dia melihat awan tebal, dia bersyukur kepada Allah, tersenyum dan pergi.
Tidak lama kemudian, hujan turun begitu lebat sehingga khawatir terjadi banjir. Said merasa bahwa munajat budak kulit hitam itulah yang menyebabkan turunnya hujan di kota ini setelah lama terjadi kekeringan. Dia membuntuti budak tersebut, dalam upaya ingin mengetahui bahwa dibawah pendidikan siapakah budak ini?
Said sedang membuntuti budak ini sampai dia masuk ke rumahnya Ali bin Husein as dan dia juga meminta izin untuk masuk ke dalam rumah tuannya. Said berkata kepada Imam Zainul Abidin as, “Wahai putra Rasulullah! Saya datang untuk membeli budak ini dari Anda, bila Anda menyetujuinya.”
Imam berkata, “Saya bisa menjual budak ini kepadamu.”
Kemudian beliau berkata kepada budaknya, “Hai hamba Allah! Dari sejak saat ini engkau akan mengabdi kepada Said bin Musayib, maka ikutilah dia.”
Budak itu berkata kepada Said, “Apa yang menyebabkan engkau memisahkan aku dan maulaku?”
Said bin Musayib menjelaskan apa yang telah terjadi kepada budak dan Imam Sajjad as dan berkata, “Engkau mulia dan dekat di sisi Allah dan aku ingin memiliki budak seperti ini di rumahku.”
Kondisi budak menjadi berubah. Dia mengangkat tangannya ke langit dan berkata, “Ya Allah! Ada rahasia antara aku dan Engkau. Karena sekarang rahasia itu sudah terungkap, maka kembalikanlah aku pada diri-Mu.”
Imam, Said dan semua orang yang ada di rumah Imam merasa trenyuh dengan kata-kata budak ini dan mereka menangis. Said pun keluar dari rumah Imam dengan menangis dan pada saat yang sama dia menyesal.
Begitu Said bin Musayib sampai di rumahnya, salah seorang budak Imam menyampaikan pesan dan berkata, “Hai Said! Imam berkata, bila engkau mau, engkau bisa ikut acara pemakaman budak itu!”
KUTUKAN IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM DAN GEMPA MADINAH
- pengarang : Emi Nur Hayati
- Sumber : Sad Pand va Hekayat; Imam Sajjad as
Bani Umayah adalah penguasa zalim yang banyak berbuat zalim terhadap
masyarakat Islam dan para pengikut Imam Ali as. Jabir bin Abdullah
Anshari salah seorang sahabat setia dan beriman kepada para Imam Maksum
as berkata:
“Bani Umayah tidak segan-segan melakukan kezaliman apapun. Kaum pezalim ini dalam pemerintahannya telah menumpahkan banyak darah. Di atas mimbar-mimbar dan pidatonya selama seribu bulan telah melakukan pelaknatan dan kutukan terhadap Amirul Mukminin as. Para pengikut Ahlul Bait Rasulullah Saw telah mengalami musibah besar. Ketika kesabaran masyarakat habis, mereka mendatangi Imam Sajjad as dan mengeluhkan kondisi yang sangat parah ini dan berlindung kepada beliau.
Imam benar-benar sedih menyaksikan kondisi ini. Beliau menghadap ke langit dan berkata, ‘Ya Allah! Engkau Maha Suci. Engkau adalah zat yang memberikan kesempatan pada para musuh untuk menyempurnakah hujjah bagi mereka. Namun aku meminta kepada-Mu untuk menurunkan musibah besar pada para musuh yang tidak punya rasa kasih sayang ini...’
Malam itu terasa sangat lama bagi saya. Saya berpikir bagaimana Allah akan membalas dendam masyarakat ini. Keesokan harinya, gempa sanggat besar menimpa kota Madinah sedemikian rupa sehingga kebanyakan rumah-rumah rusak dan sekitar tiga ribu orang mati.
Saya terheran-heran memandang masyarakat dan saya menangis melihat rasa ketakutan mereka. Pada saat itu saya menemui Sayidina Baqir as. Beliau berkata, “Bagaimana keadaan masyarakat?”
Saya berkata, “Wahai putra Rasulullah! Jangan bertanya tentang keadaan masyarakat. Rumah-rumah telah rusak dan para penghuninya telah binasa dan hati saya sendiri kasihan pada mereka.”
Beliau berkata, “Semoga Allah tidak merahmati mereka.”
Jabir mengatakan, “Gubernur Madinah yang merasa keheranan dengan semua musibah ini menganjurkan masyarakat agar pergi ke rumahnya Ali bin Husein as untuk bertaubat dan menangis, barangkali Allah akan merahmati mereka. Kemudian mereka pergi ke rumah Sayidina Baqir as dengan tangisan dan berkata, “Wahai putra Rasulullah! Apakah Anda tidak melihat musibah yang telah diturunkan pada umat Rasulullah? Dimanakah ayah Anda sehingga kami bisa memohon kepada beliau agar datang ke masjid dan berdoa agar Allah menahan balak dan musibah dari umat Muhammad Saw.
“Bani Umayah tidak segan-segan melakukan kezaliman apapun. Kaum pezalim ini dalam pemerintahannya telah menumpahkan banyak darah. Di atas mimbar-mimbar dan pidatonya selama seribu bulan telah melakukan pelaknatan dan kutukan terhadap Amirul Mukminin as. Para pengikut Ahlul Bait Rasulullah Saw telah mengalami musibah besar. Ketika kesabaran masyarakat habis, mereka mendatangi Imam Sajjad as dan mengeluhkan kondisi yang sangat parah ini dan berlindung kepada beliau.
Imam benar-benar sedih menyaksikan kondisi ini. Beliau menghadap ke langit dan berkata, ‘Ya Allah! Engkau Maha Suci. Engkau adalah zat yang memberikan kesempatan pada para musuh untuk menyempurnakah hujjah bagi mereka. Namun aku meminta kepada-Mu untuk menurunkan musibah besar pada para musuh yang tidak punya rasa kasih sayang ini...’
Malam itu terasa sangat lama bagi saya. Saya berpikir bagaimana Allah akan membalas dendam masyarakat ini. Keesokan harinya, gempa sanggat besar menimpa kota Madinah sedemikian rupa sehingga kebanyakan rumah-rumah rusak dan sekitar tiga ribu orang mati.
Saya terheran-heran memandang masyarakat dan saya menangis melihat rasa ketakutan mereka. Pada saat itu saya menemui Sayidina Baqir as. Beliau berkata, “Bagaimana keadaan masyarakat?”
Saya berkata, “Wahai putra Rasulullah! Jangan bertanya tentang keadaan masyarakat. Rumah-rumah telah rusak dan para penghuninya telah binasa dan hati saya sendiri kasihan pada mereka.”
Beliau berkata, “Semoga Allah tidak merahmati mereka.”
Jabir mengatakan, “Gubernur Madinah yang merasa keheranan dengan semua musibah ini menganjurkan masyarakat agar pergi ke rumahnya Ali bin Husein as untuk bertaubat dan menangis, barangkali Allah akan merahmati mereka. Kemudian mereka pergi ke rumah Sayidina Baqir as dengan tangisan dan berkata, “Wahai putra Rasulullah! Apakah Anda tidak melihat musibah yang telah diturunkan pada umat Rasulullah? Dimanakah ayah Anda sehingga kami bisa memohon kepada beliau agar datang ke masjid dan berdoa agar Allah menahan balak dan musibah dari umat Muhammad Saw.
MUTIARA HADIS IMAM ALI ZAINAL ABIDIN ALAIHIS SALAM
- Sumber : syiahahlulbait.com
“Wahai anakku! Waspadalah terhadap lima macam manusia, dan janganlah kau bersahabat dan seperjalanan dengan mereka:
“Jauhilah bersahabat dengan pendusta karena dia seperti fatamorgana mendekatkan orang yang jauh dari engkau dan menjauhkan orang dekatmu.
“Jauhilah bersahabat dengan orang fasik karena dia akan menjualmu dengan sesuap nasi atau selainnya.
“Jauhilah bersahabat dengan orang kikir karena dia akan membiarkanmu ketika engkau membutuhkannya.
Jauhilah bersahabat dengan orang dungu (tolol) karena dia hanya ingin memanfaatkanmu dan mencelakakanmu.
“Dan jauhilah bersahabat dengan orang yang suka memutuskan silaturahmi, karena aku mendapatinya terlaknat di kitab Allah.
Dalam pesannya kepada sang putra Imam Muhammad Al-Baqir as., Imam Ali Zainal Abidin as. mengatakan, “Berbuat baiklah kepada setiap orang yang menuntut kebaikan.
Jika ia adalah orang yang berhak menerima kebaikanmu, maka engkau telah melakukan hal yang semestinya, tapi jika ia tidak berhak menerima kebaikanmu, maka engkau sungguh telah berhak mendapatkan kebaikan.
“Jika seseorang mencacimu dari sebelah kanan dan beralih ke sebelah kiri, lalu meminta maafmu, maka terimalah permintaannya”.
“Jauhilah bersahabat dengan pendusta karena dia seperti fatamorgana mendekatkan orang yang jauh dari engkau dan menjauhkan orang dekatmu.
“Jauhilah bersahabat dengan orang fasik karena dia akan menjualmu dengan sesuap nasi atau selainnya.
“Jauhilah bersahabat dengan orang kikir karena dia akan membiarkanmu ketika engkau membutuhkannya.
Jauhilah bersahabat dengan orang dungu (tolol) karena dia hanya ingin memanfaatkanmu dan mencelakakanmu.
“Dan jauhilah bersahabat dengan orang yang suka memutuskan silaturahmi, karena aku mendapatinya terlaknat di kitab Allah.
Dalam pesannya kepada sang putra Imam Muhammad Al-Baqir as., Imam Ali Zainal Abidin as. mengatakan, “Berbuat baiklah kepada setiap orang yang menuntut kebaikan.
Jika ia adalah orang yang berhak menerima kebaikanmu, maka engkau telah melakukan hal yang semestinya, tapi jika ia tidak berhak menerima kebaikanmu, maka engkau sungguh telah berhak mendapatkan kebaikan.
“Jika seseorang mencacimu dari sebelah kanan dan beralih ke sebelah kiri, lalu meminta maafmu, maka terimalah permintaannya”.
PELAJARAN TAWADHU DARI IMAM AS-SAJJAD
- pengarang : Emi Nur Hayati
- Sumber : Sad Pand va Hekayat; Imam Sajjad as
Seseorang dengan wajah sedih dan hati yang penuh luka mendatangi
Imam Zainul Abidin as dan berkata dengan bahasa keluhan, “Aku merasa
sakit hati kepada orang-orang yang aku perlakukan dengan baik, tapi
mereka menzalimi aku dan tidak menghargai kebaikan-kebaikanku.”
Imam Sajjad as berkata, “Bila engkau ingin bebas dari masalah ini, pertama jagalah mulutmu dan jangan ceritakan segalanya kepada siapa saja. Setelah itu, anggaplah semua orang muslim sebagai keluargamu sendiri. Yakni orang yang lebih tua darimu anggaplah sebagai ayahmu dan orang yang lebih kecil darimu anggaplah sebagai anakmu dan orang yang sebaya denganmu anggaplah sebagai saudaramu. Dengan demikian, engkau tidak akan sakit hati akan tingkah laku dan ucapan mereka, sebagaimana engkau tidak akan sakit hati dari anggota keluargamu.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Setiap kali engkau menganggap dirimu lebih baik dari orang muslim lainnya, karena godaan dan waswas setan, maka bila orang itu lebih tua darimu, katakan pada dirimu, bagaimana mungkin aku lebih baik dari dia, sementara dia lebih tua, tentu saja amal kebaikannya lebih banyak dariku. Bila orang itu lebih kecil darimu, katakan pada dirimu, karena aku lebih tua darinya, tentu aku lebih banyak berdosa daripada dia. Bila usianya sebaya denganmu, maka katakan pada dirimu, aku yakin pada perbuatan dosaku, sementara terkait perbuatan dosanya aku ragu. Untuk itu, dia lebih baik dariku. Karena aku yakin akan perbuatan dosaku, sementara aku tidak tahu akan perbuatan dosanya.
Bila engkau melihat orang lain menghormatimu, anggaplah bahwa dirimu bukan orang yang layak mendapatkan penghormatan ini. Tapi katakan pada dirimu, penghormatan mereka dengan alasan karena menghormati orang lain adalah perbuatan yang baik. Dan setiap kali engkau melihat mereka tidak peduli padamu, katakan pada dirimu, sikap ini alasannya karena dosa dan kesalahan yang aku lakukan terhadap mereka.
Lelaki ini tidak berbicara apa-apa karena selain dia merasa takjub pada ucapan Imam as, dia juga telah mendapatkan ketenangan. Namun Imam Sajjad mengakhiri ucapannya demikian, “Bila engkau menjaga aturan ini, maka teman-temanmu akan banyak dan musuhmu sedikit. Bila mereka berbuat baik padamu, engkau akan senang, dan bila mereka berbuat buruk terhadapmu, engkau tidak akan sakit hati.”
Suatu hari istri lelaki ini berkata, “Bagaimana mungkin setiap tahun engkau membawa dan memberikan hadiah untuk Ali bin Husein as, sementara dia tidak pernah memberikan hadiah kepadamu sebagai imbalannya?”
Lelaki itu berkata, “Beliau ini adalah maula kita dan putra Rasulullah Saw. Aku berkewajiban untuk menghormatinya dan tidak berharap atas hadiah-hadiah yang aku berikan kepadanya.”
Tahun berikutnya lelaki Balkh ini menunaikan ibadah haji lagi dan pergi menemui Imam Sajjad as.
Imam Sajjad as mengajak lelaki ini ke rumahnya dan makan bersama.
Imam Sajjad as membawa ember dan kendi. Lelaki itu bangkit dan mengambil kendi tersebut supaya Imam Sajjad mencuci tangannya. Namun Imam Sajjad berkata, “Hai hamba Allah! Engkau adalah tamuku, bagaimana aku akan mengizinkan engkau menyiramkan air ke tanganku?”
Lelaki itu berkata, “Aku menyukainya wahai maulaku. Izinkan saya untuk melakukannya dan ini menjadi kebanggaan bagiku.”
Imam Sajjad as berkata, “Baiklah. Kalau begitu sebagai ganti dari pengabdian ini, aku akan memberikan sesuatu padamu sehingga menyenangkanmu.”
Lelaki itu berkata, “Saya melihat air.”
Imam Sajjad as berkata, “Lebih jelilah! Apa yang engkau lihat adalah yakut merah.”
Lelaki itu memandang ember. Dia tidak percaya. Tapi kenyataannya dalam ember itu ada yakut merah.
Imam Sajjad as berkata, “Siramkan air.”
Lelaki itu menyiramkan air ke tangan Imam Sajjad as sampai sepertiganya lagi dari ember itu penuh dengan yakut hijau.
Imam Sajjad kembali berkata, “Siramkan air.”
Lelaki itu menyiramkan air ke tangan Imam Sajjad sampai ember itu penuh. Namun kali ini penuh dengan mutiara putih.
Imam Sajjad as tersenyum dan berkata, “Hai lelaki! Setiap kali engkau datang engkau selalu membawa hadiah untukku. Namun aku tidak punya sesuatu yang sejajar dengan hadiah-hadiahmu. Namun sekarang ambillah permata-permata ini dan berikanlah kepada istrimu dan mintakan maaf dari kami.”
Imam Sajjad as berkata, “Bila engkau ingin bebas dari masalah ini, pertama jagalah mulutmu dan jangan ceritakan segalanya kepada siapa saja. Setelah itu, anggaplah semua orang muslim sebagai keluargamu sendiri. Yakni orang yang lebih tua darimu anggaplah sebagai ayahmu dan orang yang lebih kecil darimu anggaplah sebagai anakmu dan orang yang sebaya denganmu anggaplah sebagai saudaramu. Dengan demikian, engkau tidak akan sakit hati akan tingkah laku dan ucapan mereka, sebagaimana engkau tidak akan sakit hati dari anggota keluargamu.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Setiap kali engkau menganggap dirimu lebih baik dari orang muslim lainnya, karena godaan dan waswas setan, maka bila orang itu lebih tua darimu, katakan pada dirimu, bagaimana mungkin aku lebih baik dari dia, sementara dia lebih tua, tentu saja amal kebaikannya lebih banyak dariku. Bila orang itu lebih kecil darimu, katakan pada dirimu, karena aku lebih tua darinya, tentu aku lebih banyak berdosa daripada dia. Bila usianya sebaya denganmu, maka katakan pada dirimu, aku yakin pada perbuatan dosaku, sementara terkait perbuatan dosanya aku ragu. Untuk itu, dia lebih baik dariku. Karena aku yakin akan perbuatan dosaku, sementara aku tidak tahu akan perbuatan dosanya.
Bila engkau melihat orang lain menghormatimu, anggaplah bahwa dirimu bukan orang yang layak mendapatkan penghormatan ini. Tapi katakan pada dirimu, penghormatan mereka dengan alasan karena menghormati orang lain adalah perbuatan yang baik. Dan setiap kali engkau melihat mereka tidak peduli padamu, katakan pada dirimu, sikap ini alasannya karena dosa dan kesalahan yang aku lakukan terhadap mereka.
Lelaki ini tidak berbicara apa-apa karena selain dia merasa takjub pada ucapan Imam as, dia juga telah mendapatkan ketenangan. Namun Imam Sajjad mengakhiri ucapannya demikian, “Bila engkau menjaga aturan ini, maka teman-temanmu akan banyak dan musuhmu sedikit. Bila mereka berbuat baik padamu, engkau akan senang, dan bila mereka berbuat buruk terhadapmu, engkau tidak akan sakit hati.”
SEORANG LELAKI YANG KELUAR PERMATA DARI TANGANNYA
- pengarang : Emi Nur Hayati
- Sumber : Sad Pand va Hekayat; Imam Sajjad as
Zuhri salah seorang sahabat Imam Sajjad as berkata tentang beliau:
“Pada hakikatnya saya tidak pernah melihat seorangpun yang lebih baik dari Ali bin Husein as. Demi Allah! Jarang orang yang saya kenal yang bisa menyembunyikan kecintaannya padanya, atau bila musuhnya, sedikit juga yang menunjukkan permusuhannya secara terang-terangan. Aku tidak pernah melihat seseorang menyembunyikan kebesaran Imam Sajjad. Perilakunya sedemikan rupa sehingga membuat orang lain iri. Imam Sajjad bersikap sedemikian rupa kepada para musuhnya sehingga membuat mereka malu atas perbuatannya.”
“Pada hakikatnya saya tidak pernah melihat seorangpun yang lebih baik dari Ali bin Husein as. Demi Allah! Jarang orang yang saya kenal yang bisa menyembunyikan kecintaannya padanya, atau bila musuhnya, sedikit juga yang menunjukkan permusuhannya secara terang-terangan. Aku tidak pernah melihat seseorang menyembunyikan kebesaran Imam Sajjad. Perilakunya sedemikan rupa sehingga membuat orang lain iri. Imam Sajjad bersikap sedemikian rupa kepada para musuhnya sehingga membuat mereka malu atas perbuatannya.”
Seorang Lelaki Yang Keluar Permata Dari Tangannya
Lelaki itu adalah salah satu pemuka daerah Balkh. Biasanya setiap
tahun dia selalu pergi menunaikan ibadah haji. Setiap kali datang untuk
menziarahi makam Rasulullah Saw di Madinah, dia juga datang mengunjungi
Imam Sajjad as dan membawa hadiah untuk beliau serta menanyakan keadaan
dan kembali lagi ke daerahnya.
Suatu hari istri lelaki ini berkata, “Bagaimana mungkin setiap tahun engkau membawa dan memberikan hadiah untuk Ali bin Husein as, sementara dia tidak pernah memberikan hadiah kepadamu sebagai imbalannya?”
Lelaki itu berkata, “Beliau ini adalah maula kita dan putra Rasulullah Saw. Aku berkewajiban untuk menghormatinya dan tidak berharap atas hadiah-hadiah yang aku berikan kepadanya.”
Tahun berikutnya lelaki Balkh ini menunaikan ibadah haji lagi dan pergi menemui Imam Sajjad as.
Imam Sajjad as mengajak lelaki ini ke rumahnya dan makan bersama.
Imam Sajjad as membawa ember dan kendi. Lelaki itu bangkit dan mengambil kendi tersebut supaya Imam Sajjad mencuci tangannya. Namun Imam Sajjad berkata, “Hai hamba Allah! Engkau adalah tamuku, bagaimana aku akan mengizinkan engkau menyiramkan air ke tanganku?”
Lelaki itu berkata, “Aku menyukainya wahai maulaku. Izinkan saya untuk melakukannya dan ini menjadi kebanggaan bagiku.”
Imam Sajjad as berkata, “Baiklah. Kalau begitu sebagai ganti dari pengabdian ini, aku akan memberikan sesuatu padamu sehingga menyenangkanmu.”
Lelaki Balkh ini menyiramkan air sampai sepertiga dari ember itu penuh. Imam Berkata, “Apa yang engkau lihat dalam ember ini?
Lelaki itu berkata, “Saya melihat air.”
Imam Sajjad as berkata, “Lebih jelilah! Apa yang engkau lihat adalah yakut merah.”
Lelaki itu memandang ember. Dia tidak percaya. Tapi kenyataannya dalam ember itu ada yakut merah.
Imam Sajjad as berkata, “Siramkan air.”
Lelaki itu menyiramkan air ke tangan Imam Sajjad as sampai sepertiganya lagi dari ember itu penuh dengan yakut hijau.
Imam Sajjad kembali berkata, “Siramkan air.”
Lelaki itu menyiramkan air ke tangan Imam Sajjad sampai ember itu penuh. Namun kali ini penuh dengan mutiara putih.
Imam Sajjad as tersenyum dan berkata, “Hai lelaki! Setiap kali engkau datang engkau selalu membawa hadiah untukku. Namun aku tidak punya sesuatu yang sejajar dengan hadiah-hadiahmu. Namun sekarang ambillah permata-permata ini dan berikanlah kepada istrimu dan mintakan maaf dari kami.”
INI ADALAH TEMPAT PERLINDUNGANKU
- pengarang : Emi Nur Hayati
- Sumber : Sad Pand va Hekayat; Imam Sajjad as
Pasca peristiwa tragis Karbala dan Syahadahnya Imam Husein as, warga
Madinah bangkit melawan Yazid dan mengeluarkan penguasa yang ditetapkan
oleh Yazid untuk kota Madinah dan mempersulit Bani Umayah sedemikian
rupa sehingga kebanyakan mereka melarikan diri meninggalkan rumah dan
kehidupannya.
Warga Madinah juga mengancam Marwan musuh bebuyutan keluarga Rasulullah agar segera meninggalkan Madinah. Namun karena Marwan punya banyak istri, anak dan kekayaan, ia takut akan jiwa dan harga dirinya serta keluarganya. Ia takut bila dirinya tidak ada maka warga Madinah akan menciderainya karena marah. Dengan demikian, Marwan memutuskan untuk menyerahkan keluarganya kepada salah satu pembesar Madinah untuk menjaga jiwa mereka. Pertama ia mendatangi Abdullah putranya Umar, namun Abdullah tidak menerimanya. Setelah itu ia mendatangi satu persatu rumah semua pembesar Madinah, namun karena beragam alasan, mereka tidak mau menerima Marwan dan keluarganya. Ketika ia merasa putus asa dari semuanya, Marwan mendatangi Imam Sajjad as.
Meski Marwan banyak menyakiti keluarga Rasulullah Saw, namun Imam Sajjad as melindungi keluarganya. Dengan demikian, Aisyah; istrinya Marwan yang juga putrinya Usman, bersama para wanita dan anak-anak Marwan berlindung di rumah Imam Sajjad as. Sementara Marwan sendiri keluar dari Madinah sampai kondisi tenang.
Setelah beberapa waktu Yazid mengutus pasukannya untuk menumpas warga Madinah. Pasukan Yazid mengepung kota dan kebangkitan warga hampir kalah. Semua tahu bahwa bila pasukan Yazid masuk ke dalam kota, maka tidak akan mengasihani siapapun. Dalam kondisi seperti ini, mayoritas wanita Madinah bersama anak-anaknya berlindung ke rumah Imam Sajjad as. Disebutkan bahwa dalam kekacauan ini, empat ratus orang wanita bersama anak-anaknya berada di rumah Imam Sajjad as. Beliau mengeluarkan para wanita ini dari Madinah dan pasukan Yazid tidak mampu menghalanginya karena kedudukan spiritual Imam Sajjad as.
Selama pertempuran berlangsung, makanan dan pakaian serta apa yang diperlukan para wanita dan anak-anak dijamin oleh Imam Sajjad as. Ketika fitnah itu berakhir, salah seorang wanita berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah mendapatkan ketenangan di sisi ayah dan ibuku dan suami sebagaimana yang akau dapatkan saat ini di bawah naungan Imam yang terhormat ini.”
Imam Sajjad as di rumahnya memiliki beberapa budak lelaki dan perempuan yang mengerjakan pekerjaan sehari-hari beliau. Sikap Imam Sajjad as terhadap para pembantunya sangat menarik dan penuh pelajaran. Misalnya, di bulan Ramadhan, beliau mencatat setiap kesalahan yang mereka lakukan. Setelah bulan Ramadhan, beliau mengumpulkan semua budaknya dan mengambil pengakuan dari mereka, apakah dalam hari-hari tertentu mereka melakukan kesalahan ataukah tidak?
Mereka juga tahu bahwa Imam Sajjad mengetahui perincian perilaku mereka, sehingga mereka mengakuinya. Imam Sajjad juga berdiri di antara mereka dan berkata, “Katakan dengan suara keras; Hai Ali bin Husein! Tuhanmu telah mencatat apa yang telah engkau lakukan di dalam catatan amalmu, sebagaimana engkau menulis kesalahan-kesalahan kami; Namun ketahuilah bahwa buku catatan yang ada di sisi Tuhanmu akan berbicara dengan benar padamu. Sebuah buku catatan yang memuat amal-amalmu baik yang kecil maupun yang besar, sebagaimana buku catatan kami yang memuat amal-amal kami yang kecil maupun yang besar. Untuk itu, Hai Zainul Abidin, Maafkanlah kami dan kesalahan-kesalahan kami, sebagimana engkau suka Allah memaafkan amal-amalmu...”
Kemudian menghadap ke arah para budak lelaki dan perempuan seraya berkata, “Aku memaafkan kesalahan-kesalahan kalian. Apakah kalian juga memaafkan aku?”
Secara serempak mereka mengatakan, “Iya kami maafkan, wahai pemimpin kami!”
Kemudian Imam Sajjad as berkata, “Katakan; Ya Allah! Ampunilah Ali bin Husein! Sebagaimana Dia telah memaafkan kami dan jauhkanlah dia dari api neraka Jahannam!”
Imam Sajjad mengalami kesempitan dalam keuangan. Beliau pergi menemui salah satu kerabatnya untuk meminjam uang. Lelaki itu menyiapkan uang yang diinginkan Imam Sajjad as dan berkata, “Apa yang Anda jadikan jaminan atas uang ini?”
Imam Sajjad pada saat itu tidak punya sesuatu yang berharga sebagai jaminan. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan benang dari ujung jubahnya dan memberikannya kepada lelaki tersebut seraya berkata, “Benang jubah ini sebagai amanat di sisimu.”
Lelaki itu mengambil benang dan memberikan uangnya kepada Imam Sajjad as. Tidak berapa lama, masalah keuangan Imam Sajjad terselesaikan. Beliau membawa uang untuk membayar hutangnya kepada lelaki tersebut. Ketika sampai pada pemilik uang, beliau berkata, “Hai lelaki, uangmu sudah siap. Berikan amanatku dan ambillah uangmu!”
Lelaki itu berkata, “Beberapa waktu telah berlalu dan aku tidak tahu benang itu aku letakkan di mana?!”
Imam Sajjad as berkata, “Kita berdua telah berjanji; mengambil uang di hadapan mengambil amanat. Bila engkau telah menghilangkan amanatku, maka jangan berharap aku akan mengembalikan uangmu.”
Ketika ucapan Imam Sajjad sampai di sini, lelaki itu dengan teliti mencari-cari [benang] di antara barang-barangnya, sampai akhirnya ia menemukan benang itu di antara kaleng kecil dan memberikannya kepada Imam Sajjad. Imam Sajjad memberikan uang lelaki itu dan membuang benang itu.
Imam Sajjad as sedang duduk bersama para sahabatnya dan membicarakan beragam masalah. Tiba-tiba seekor kijang mendatangi mereka dalam keadaan galau dan menghentak-hentakkan kakinya bagian depan ke tanah. Imam Sajjad dengan ilmu keimamahannya mendengarkan bahwa kijang itu sedang menjerit minta tolong kepada mereka.
Para sahabat Imam Sajjad penasaran; apa yang sedang dilakukan oleh kijang ini di situ dan apa yang diinginkannya. Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh kijang ini?
Orang-orang yang hadir di situ berkata, “Tidak. Kami tidak tahu.”
Imam Sajjad berkata, “Dia mengatakan, seorang pemburu telah mengambil anakku. Aku meminta kepada kalian untuk mengambilkan anakku supaya aku susui.”
Kemudian beliau berkata, “Mari kita pergi bersama-sama dan meminta sang pemburu itu untuk membebaskan anaknya kijang ini.”
Semuanya pergi dan ketika sampai pada sang pemburu, Imam berkata kepadanya, “Demi Allah! Bawalah ke sini anak kijang yang engkau buru hari ini, supaya disusui oleh induknya.”
Sang pemburu segera mengambil anak kijang dan membawanya kepada Imam Sajjad. Imam Sajjad as berkata, “Berikan anak kijang ini padaku.”
Pemburu memberikan anak kijang itu kepada Imam Sajjad as dan Imam membawanya ke padang sahara dan menyerahkannya kepada induknya. Induk kijang menyusui anaknya kemudian pergi bersama anaknya. Ketika pergi, kijang itu dengan senang menggoyangkan ekornya.
Imam Sajjad as berkata, “Tahukah kalian apa yang dikatakan kijang itu?”
Orang-orang yang hadir berkata, “Tidak. Kami tidak tahu.”
Imam Sajjad berkata, “Dia mengatakan, semoga Allah mengembali para musafir kalian kepada kalian, sebagaimana kalian telah mengembalikan anakku kepadaku dan semoga Allah mengampuni Ali bin Husein.”
Warga Madinah juga mengancam Marwan musuh bebuyutan keluarga Rasulullah agar segera meninggalkan Madinah. Namun karena Marwan punya banyak istri, anak dan kekayaan, ia takut akan jiwa dan harga dirinya serta keluarganya. Ia takut bila dirinya tidak ada maka warga Madinah akan menciderainya karena marah. Dengan demikian, Marwan memutuskan untuk menyerahkan keluarganya kepada salah satu pembesar Madinah untuk menjaga jiwa mereka. Pertama ia mendatangi Abdullah putranya Umar, namun Abdullah tidak menerimanya. Setelah itu ia mendatangi satu persatu rumah semua pembesar Madinah, namun karena beragam alasan, mereka tidak mau menerima Marwan dan keluarganya. Ketika ia merasa putus asa dari semuanya, Marwan mendatangi Imam Sajjad as.
Meski Marwan banyak menyakiti keluarga Rasulullah Saw, namun Imam Sajjad as melindungi keluarganya. Dengan demikian, Aisyah; istrinya Marwan yang juga putrinya Usman, bersama para wanita dan anak-anak Marwan berlindung di rumah Imam Sajjad as. Sementara Marwan sendiri keluar dari Madinah sampai kondisi tenang.
Setelah beberapa waktu Yazid mengutus pasukannya untuk menumpas warga Madinah. Pasukan Yazid mengepung kota dan kebangkitan warga hampir kalah. Semua tahu bahwa bila pasukan Yazid masuk ke dalam kota, maka tidak akan mengasihani siapapun. Dalam kondisi seperti ini, mayoritas wanita Madinah bersama anak-anaknya berlindung ke rumah Imam Sajjad as. Disebutkan bahwa dalam kekacauan ini, empat ratus orang wanita bersama anak-anaknya berada di rumah Imam Sajjad as. Beliau mengeluarkan para wanita ini dari Madinah dan pasukan Yazid tidak mampu menghalanginya karena kedudukan spiritual Imam Sajjad as.
Selama pertempuran berlangsung, makanan dan pakaian serta apa yang diperlukan para wanita dan anak-anak dijamin oleh Imam Sajjad as. Ketika fitnah itu berakhir, salah seorang wanita berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah mendapatkan ketenangan di sisi ayah dan ibuku dan suami sebagaimana yang akau dapatkan saat ini di bawah naungan Imam yang terhormat ini.”
Catatan Amal
Imam Sajjad as di rumahnya memiliki beberapa budak lelaki dan perempuan yang mengerjakan pekerjaan sehari-hari beliau. Sikap Imam Sajjad as terhadap para pembantunya sangat menarik dan penuh pelajaran. Misalnya, di bulan Ramadhan, beliau mencatat setiap kesalahan yang mereka lakukan. Setelah bulan Ramadhan, beliau mengumpulkan semua budaknya dan mengambil pengakuan dari mereka, apakah dalam hari-hari tertentu mereka melakukan kesalahan ataukah tidak?
Mereka juga tahu bahwa Imam Sajjad mengetahui perincian perilaku mereka, sehingga mereka mengakuinya. Imam Sajjad juga berdiri di antara mereka dan berkata, “Katakan dengan suara keras; Hai Ali bin Husein! Tuhanmu telah mencatat apa yang telah engkau lakukan di dalam catatan amalmu, sebagaimana engkau menulis kesalahan-kesalahan kami; Namun ketahuilah bahwa buku catatan yang ada di sisi Tuhanmu akan berbicara dengan benar padamu. Sebuah buku catatan yang memuat amal-amalmu baik yang kecil maupun yang besar, sebagaimana buku catatan kami yang memuat amal-amal kami yang kecil maupun yang besar. Untuk itu, Hai Zainul Abidin, Maafkanlah kami dan kesalahan-kesalahan kami, sebagimana engkau suka Allah memaafkan amal-amalmu...”
Kemudian menghadap ke arah para budak lelaki dan perempuan seraya berkata, “Aku memaafkan kesalahan-kesalahan kalian. Apakah kalian juga memaafkan aku?”
Secara serempak mereka mengatakan, “Iya kami maafkan, wahai pemimpin kami!”
Kemudian Imam Sajjad as berkata, “Katakan; Ya Allah! Ampunilah Ali bin Husein! Sebagaimana Dia telah memaafkan kami dan jauhkanlah dia dari api neraka Jahannam!”
Menepati Janji
Imam Sajjad mengalami kesempitan dalam keuangan. Beliau pergi menemui salah satu kerabatnya untuk meminjam uang. Lelaki itu menyiapkan uang yang diinginkan Imam Sajjad as dan berkata, “Apa yang Anda jadikan jaminan atas uang ini?”
Imam Sajjad pada saat itu tidak punya sesuatu yang berharga sebagai jaminan. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan benang dari ujung jubahnya dan memberikannya kepada lelaki tersebut seraya berkata, “Benang jubah ini sebagai amanat di sisimu.”
Lelaki itu mengambil benang dan memberikan uangnya kepada Imam Sajjad as. Tidak berapa lama, masalah keuangan Imam Sajjad terselesaikan. Beliau membawa uang untuk membayar hutangnya kepada lelaki tersebut. Ketika sampai pada pemilik uang, beliau berkata, “Hai lelaki, uangmu sudah siap. Berikan amanatku dan ambillah uangmu!”
Lelaki itu berkata, “Beberapa waktu telah berlalu dan aku tidak tahu benang itu aku letakkan di mana?!”
Imam Sajjad as berkata, “Kita berdua telah berjanji; mengambil uang di hadapan mengambil amanat. Bila engkau telah menghilangkan amanatku, maka jangan berharap aku akan mengembalikan uangmu.”
Ketika ucapan Imam Sajjad sampai di sini, lelaki itu dengan teliti mencari-cari [benang] di antara barang-barangnya, sampai akhirnya ia menemukan benang itu di antara kaleng kecil dan memberikannya kepada Imam Sajjad. Imam Sajjad memberikan uang lelaki itu dan membuang benang itu.
Tolonglah Kijang Ini
Imam Sajjad as sedang duduk bersama para sahabatnya dan membicarakan beragam masalah. Tiba-tiba seekor kijang mendatangi mereka dalam keadaan galau dan menghentak-hentakkan kakinya bagian depan ke tanah. Imam Sajjad dengan ilmu keimamahannya mendengarkan bahwa kijang itu sedang menjerit minta tolong kepada mereka.
Para sahabat Imam Sajjad penasaran; apa yang sedang dilakukan oleh kijang ini di situ dan apa yang diinginkannya. Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh kijang ini?
Orang-orang yang hadir di situ berkata, “Tidak. Kami tidak tahu.”
Imam Sajjad berkata, “Dia mengatakan, seorang pemburu telah mengambil anakku. Aku meminta kepada kalian untuk mengambilkan anakku supaya aku susui.”
Kemudian beliau berkata, “Mari kita pergi bersama-sama dan meminta sang pemburu itu untuk membebaskan anaknya kijang ini.”
Semuanya pergi dan ketika sampai pada sang pemburu, Imam berkata kepadanya, “Demi Allah! Bawalah ke sini anak kijang yang engkau buru hari ini, supaya disusui oleh induknya.”
Sang pemburu segera mengambil anak kijang dan membawanya kepada Imam Sajjad. Imam Sajjad as berkata, “Berikan anak kijang ini padaku.”
Pemburu memberikan anak kijang itu kepada Imam Sajjad as dan Imam membawanya ke padang sahara dan menyerahkannya kepada induknya. Induk kijang menyusui anaknya kemudian pergi bersama anaknya. Ketika pergi, kijang itu dengan senang menggoyangkan ekornya.
Imam Sajjad as berkata, “Tahukah kalian apa yang dikatakan kijang itu?”
Orang-orang yang hadir berkata, “Tidak. Kami tidak tahu.”
Imam Sajjad berkata, “Dia mengatakan, semoga Allah mengembali para musafir kalian kepada kalian, sebagaimana kalian telah mengembalikan anakku kepadaku dan semoga Allah mengampuni Ali bin Husein.”
SIAPAKAH PEMUDA INI?
- pengarang : Emi Nur Hayati
- Sumber : Sad Pand va Hekayat; Imam Sajjad as
Karavan haji dari Kufah bergerak menuju Mekah. Malam, gelap, angin
dan rasa dingin, membuat karavan berpencar. Mata tidak bisa melihat
mata. Hammad bin Habib di padang sahara itu tersesat dan melanjutkan
perjalanannya tanpa arah dan tujuan.
Akhirnya di padang sahara tanpa air dan rerumputan itu dia sendirian bernaung di bawah sebuah pohon. Kondisi sudah sangat gelap dan tiba-tiba matanya tertuju pada seorang pemuda berpakaian putih dan berbau harum. Hammad berpikir, ia salah melihat. Tapi ternyata tidak, dia benar-benar melihat.
Pemuda itu memiliki wajah yang bercahaya. Hammad penasaran, apa tujuan kedatangan pemuda ini di sisi pohon. Pemuda ini sedang siap untuk mengerjakan salat dan bermunajat:
“Ya Allah! Dengan kekuatan-Mu, Engkau menguasai segalanya. Berikan padaku keindahan mengingat-Mu dan jadikan aku sebagai pengikut-Mu.”
Kemudian pemuda itu berdiri dan mengerjakan salat. Pemuda ini tidak bergerak dalam waktu yang lama, dan Hammad tahu bahwa ada sebuah mata air jernih memancar dari tempat pemuda ini. Hammad sekarang yakin bahwa dia sedang berada di sisi salah satu wali Allah. Diapun berwudhu dan berdiri mengerjakan salat di belakang pemuda ini. Dia mendengar munajat pemuda ini. Setiap kali pemuda ini sampai pada ayat yang menjelaskan tentang pahala atau azab ilahi, mengulangnya dengan suara tangisan dan kesedihan. Munajat ini berlanjut sampai mendekati subuh dan pemuda itu dalam munajatnya mengatakan:
“Ya Allah! Kegelapan malam telah berakhir. Tapi aku belum mendapatkan upah dari-Mu dan di lautan munajat-Mu aku belum sampai pada sebuah balasan. Sampaikan salam untuk Muhammad dan berikan padaku apa yang lebih baik...”
Kemudian pemuda itu mengakhiri salatnya. Hammad menggunakan kesempatan dan maju bertanya, “Hai lelaki mulia! Engkau bermunajat kepada Tuhanmu demikian, maka mintakan padanya agar menunjukkan jalan padaku. Karena aku sedang menjalani safar haji, sementara aku telah kehilangan jalanku.”
Pemuda itu berkata, “Bila engkau bertawakal kepada Allah, maka engkau tidak akan tersesat. Sekarang mari bersamaku!”
Kemudian pemuda itu memegang tangan Hammad dan bergerak dengan kecepatan yang sungguh menakjubkan. Begitu subuh tiba, pemuda itu kepadanya berkata, “Hai lelaki! sekarang kita sudah berada di Mekah.”
Hammad mendengar suara riuh orang-orang dan melihat sebuah jalan. Dia tidak percaya atas apa yang disaksikannya. Oleh karena itu dia menghadap kepada pemuda itu dan berkata, “Demi Allah! Katakan padaku, siapakah engkau?”
Pemuda itu berkata, “Karena engkau telah bersumpah, aku katakatan bahwa aku adalah Ali bin Husein.”
Ibu Imam Ali As-Sajjad adalah Ghazalah yang berasal dari kota Sanad atau Sajistan. Dan ia juga dikenal dengan nama Salafah atau Salamah. Akan tetapi, sebagian sumber sejarah menyatakan bahwa namanya adalah Shahr-banuweh, Shah-zanan, Shahr-naz, Jahan-Banuweh dan Khuleh.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. hidup pada masa paling kritis yang pernah dialami oleh Ahlul Bayt a.s. Ia hidup sezaman dengan memuncaknya penyelewengan setelah Rasulullah SAWW wafat.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan tiga tahun sebelum syahadah Imam Ali a.s. Ketika ia lahir, kakeknya sedang sibuk menghadapi perang Jamal. Setelah itu ia selalu menemani ayah tercintanya dalam setiap pergolakan negara.
Imam Sajjad a.s. memainkan peran yang sangat menentukan dalam menggalangkan kekuatan masyarakat untuk membenci Bani Umaiyah dan memberontak melawan mereka. Setiap kali mendapatkan kesempatan untuk itu, ia tidak pernah membuang-buang kesempatan. Dengan penuh hati-hati, ia selalu mengawasi semua program pemerintahan masa itu. Untuk mengenalkan masyarakat (dengan segala problema yang terjadi di masyarakat) ia memilih metode doa. Di dalam doa-doanya ia mengungkapkan dan menafsirkan segala problema yang sedang menimpa masyarakat kala itu. Shahifah Sajjadiah yang dikenal dengan Zabur Ahlul Bayt a.s. adalah sebuah peninggalan berharga dunia Islam yang sangat mendapat perhatian seluruh ulama setelah Al Quran dan Nahjul Balaghah.
Salah satu peninggalan berharga Imam Sajjad a.s. lainnya adalah buku kecil yang berisi masalah-masalah pendidikan dan etika. Peninggalan ini dikenal dengan nama Risalatul Huquq. Dalam buku kecil ini yang memuat lima puluh satu hak, ia menerangkan tugas-tugas manusia, baik di hadapan Tuhannya, dirinya dan orang lain.
Akan tetapi, ia tidak memiliki semua itu, dan karena ketidaktahuan mereka ia pernah mengeluh: “Ya Allah, dalam setiap problema yang terjadi aku telah melihat kelemahanku, aku telah menyadari ketidakmampuanku untuk mencari bantuan masyarakat dalam menghadapi orang-orang yang memerangiku, dan kuakui kesendirianku dalam menghadapi banyaknya orang yang memusuhiku”.
Secara global dapat dikatakan bahwa situasi sosial masyarakat yang dialami oleh setiap imam ma’shum a.s. pasti membatasi ruang gerak politiknya.
Dengan adanya segala bentuk teror yang dijalankan oleh para musuh Islam demi menjauhkan mereka dari lingkaran pemerintahan, para imam ma’shum a.s. telah menjalankan segala tugas mereka dengan baik dalam menjaga risalah Islam dari terjerumus ke dalam jurang penyelewengan dari nilai-nilai murninya. Setiap kali mereka melihat penyelewengan beranjak makin parah, mereka selalu sigap mengambil sebuah solusi yang jitu.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. setiap malam memikul goni-goni yang penuh dengan bahan pangan dan roti lalu ia membagikannya kepada para fakir dan miskin seraya berbisik kepada dirinya: “Bersedekah secara diam-diam akan memadamkan api murka Allah”. Setelah ia meninggal dunia, penduduk Madinah berkata: “kami telah kehilangan sedekah secara diam-diam, karena Ali bin Husein telah meninggal dunia”.
Di sepanjang tahun karena seringnya ia memikul bahan-bahan pangan, bahunya mengapal. Ketika ia dimandikan, bahunya yang mengapal itu menarik perhatian khalayak ramai.
Ali bin Thawus dalam kitab Iqbaalul A’maal ketika menjelaskan amalan-amalan bulan Ramadhan berkata: “Ali bin Husein a.s. di malam terakhir bulan Ramadhan membebaskan dua puluh orang budak seraya berkata: “Aku ingin Allah melihatku membebaskan budak-budakku sehingga Ia akan membebaskanku dari api neraka kelak di hari kebangkitan “.
Ia tidak pernah menahan budak lebih dari satu tahun. Ketika ia membawa seorang budak ke rumahnya di awal atau pertengahan tahun, ia pasti membebaskannya pada malam hari raya Idul Fitri. Ia sering membeli budak-budak berkulit hitam. Ketika musim haji tiba, ia membawa mereka bersamanya ke padang Arafah. Setelah itu, ia membebaskan mereka di tanah padang Masy’ar dan membekali mereka dengan hadiah uang. Dengan demikian, sangat banyak budak-budak di kota Madinah yang telah dibebaskan oleh Imam Sajjad a.s. Dan setelah bebas, mereka tidak memutuskan hubungan spiritual dengannya.
Pada kesempatan ini, kami akan mengajak para pembaca yang budiman untuk menelaah hadis-hadis yang pernah diucapkannya selama ia hidup.
1. Jiwa yang mulia
“Barang siapa memiliki jiwa yang mulia, maka dunia akan hina dalam pandangannya”.
2. Dunia bukan tolak ukur nilai
“Sangat berbahaya bagi seseorang ketika ia tidak melihat dunia sebagai suatu bahaya bagi dirinya”.
3. Menghindari berkata bohong
“Jauhilah berkata bohong, baik untuk hal sepele maupun untuk hal yang besar, baik serius maupun bergurau. Karena seseorang jika ia telah berani berbohong untuk hal-hal kecil, ia akan berani untuk berbohong untuk hal yang besar”.
4. Sahabat tidak baik
“Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang pembohong, karena ia akan mendekatkan kepadamu suatu yang jauh dan menjauhkan dalam pandanganmu sesuatu yang dekat. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang fasik, karena ia akan memperjual-belikanmu dengan sesuap nasi atau lebih sedikit dari itu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang kikir, karena ia akan meninggalkanmu ketika engkau merasa membutuhkan bantuannya. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang tolol, karena –menurut kata hatinya– ia ingin membantumu, akan tetapi malahan ia melakukan sesuatu yang membahayakanmu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang memutus tali silaturahmi, karena aku melihatnya terlaknat di dalam kitab Allah”.
5. Jangan berbicara kecuali diperlukan
“Sesungguhnya pengetahuan dan kesempurnaan agama seorang muslim (dapat dilihat ketika) ia meninggalkan setiap ucapan yang tidak penting, jarang berdebat, sabar dan berakhlak yang terpuji”.
6. Introspeksi diri dan mengingat hari kiamat
“Wahai anak Adam, kebaikan akan selalu bersamamu selama engkau memiliki penasihat dari dalam dirimu, mengintrospeksi diri, rasa takut (kepada Allah) menjadi syiarmu dan bertindak hati-hati menjadi bagian dari hidupmu. Wahai anak Adam, engkau akan mati, dibangkitkan dan disidang di hadapan Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, persiapkanlah jawaban untuk-Nya”.
7. Hasil doa
“Seorang mukmin ketika berdoa akan mendapatkan salah satu dari tiga hal ini: doa itu akan disimpan untuknya di akhirat, dikabulkan saat itu juga atau satu bala` yang akan menimpanya dijauhkan darinya”.
8. Faktor-faktor keselamatan
“Tiga hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin: menutup mulut untuk tidak mengghibah orang lain, menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang bermanfaat bagi akhirat dan dunianya, dan banyak menangis karena mengenang kesalahan-kesalahannya”.
9. Rindu surga
“Barang siapa yang rindu kepada surga, ia akan bergegas mengerjakan kebajikan dan mengekang hawa nafsunya, dan barang siapa yang takut siksa neraka, ia akan bergegas untuk bertaubat kepada Allah dari dosa-dosanya dan tidak mengerjakan kembali hal-hal yang haram”.
10. Pahala melihat
“Seorang mukmin yang melihat wajah saudara seimannya karena ia mencintainya adalah ibadah”.
11. Harga diri dan doa
“Sesuatu yang paling disukai oleh Allah setelah mengenal-Nya adalah menjaga perut dan kemaluan, dan sesuatu yang paling dicintainya adalah doa seorang hamba kepada-Nya”.
12. Menerima permintaan maaf orang lain
“Jika seseorang mencelamu dari sebelah kananmu, lalu ia berpindah mencela dari samping kirimu, kemudian ia meminta maaf kepadamu, maka terimalah permintaan maafnya”.
13. Hak Allah atas hamba-Nya
“Hak Allah yang paling besar adalah hendaknya engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya. Jika engkau telah melaksanakannya dengan penuh ikhlas, Dia telah berjanji kepada diri-Nya untuk mencukupi segala urusan dunia dan akhiratmu serta menjaga segala yang kau cintai”.
14. Hak ayah atas anak
“Hak seorang ayah adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia adalah asal-muasalmu dan engkau adalah cabangnya (baca : keturunannya). Jika ia tidak ada, niscaya engkau pun tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, jika engkau melihat dalam dirimu sesuatu yang membuatmu bahagia, ketahuilah bahwa ayahmu adalah asal nikmat tersebut, bersyukurlah kepada Allah dan berterima kasihlah kepada ayahmu karena itu”.
15. Taat kepada Allah adalah segalanya
“Dahulukanlah menaati Allah dan orang-orang yang diwajibkan oleh-Nya untuk menaati mereka atas segala urusan”.
16. Hak ibu atas anak
“Hak ibumu adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia telah:
- mengandungmu,
- memberimu makan dari buah hatinya ketika tidak seorang pun siap untuk melakukan hal itu, dan
- menjagamu dengan telinga, mata, tangan, kaki, rambut, kulit dan seluruh anggota badannya.
Ia melakukan itu semua dengan penuh bahagia, gembira, dan rela menanggung segala derita dan susah-payah yang ada di dalamnya sehingga engkau lahir di dunia. Ia rela engkau kenyang meskipun ia sendiri kelaparan, engkau berpakaian meskipun ia sendiri telanjang, engkau tidak kehausan meskipun ia sendiri menahan dahaga, dan engkau bernaung meskipun ia sendiri kepanasan. Ia rela menyediakan kehidupan berlimpah nikmat bagimu dengan segala kesusahan yang dideritanya dan menidurkanmu meskipun ia harus berjaga sepanjang malam. Perutnya adalah tempat wujudmu, buiannya adalah tempatmu bermanja-manja, susunya adalah penebus dahagamu, dan jiwanya adalah tempat kamu berlindung. Ia rela menahan panas dan dinginnya dunia demi kamu dan untukmu. Dengan demikian, bersyukurlah kepadanya atas semua itu, dan engkau tidak akan dapat melakukan itu kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah”.
17. Anjuran mencari ilmu
“Jika seluruh manusia mengetahui keistimewaan yang tersembunyi di balik mencari ilmu, niscaya mereka akan mencarinya meskipun dengan mencurahkan darah dan menantang ombak”.
18. Nilai duduk bersama orang-orang saleh
“Duduk bersama orang-orang saleh akan mengajak kepada kebajikan dan tata krama ulama dapat menambah akal”.
19. Dosa penghambat doa
“Dosa-dosa yang menghambat terkabulnya doa adalah jeleknya niat, kotornya hati, bersikap munafik terhadap saudara seiman, tidak yakin dengan diterimanya doa, mengakhirkan shalat wajib hingga waktunya habis, tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan baik dan sedekah, mencela dan mempergunakan kata-kata yang tidak senonoh dalam ucapan”.
20. Lebih mementingkan yang fana
“Sangatlah aneh seseorang yang beramal untuk dunia yang fana ini dan tidak memperdulikan dunia yang kekal”.
21. Akibat menuduh
“Barang siapa yang menuduh orang lain dengan aib yang dimilikinya, maka ia akan dituduh dengan aib yang tidak pernah dimilikinya”.
22. Dunia adalah perantara, bukan tujuan
“Para wali Allah tidak pernah melelahkan diri di dunia untuk kepentingan dunia. Akan tetapi, mereka melakukan itu untuk kepentingan akhirat”.
23. Aku berlindung kepada Allah!
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tamak, kemarahan, kedengkian, … dan kebejatan memimpin atas orang-orang yang berada di bawah wilayah kami”.
24. Menjauhlah dari mereka!
“Hati-hatilah, jangan bersahabat dengan orang-orang yang berlumuran maksiat, jangan membantu orang-orang zalim, dan jangan mendekati orang-orang fasik. Hati-hatilah akan fitnah mereka dan menjauhlah dari mereka”.
25. Akibat menentang wali Allah
“Ketahuilah bahwa barang siapa yang menentang wali-wali Allah, memeluk selain agama-Nya dan ingin pendapatnya selalu diikuti, bukan perintah wali-Nya, maka ia akan masuk ke dalam neraka yang membara”.
26. Takut dan malulah!
“Takutlah kepada Allah karena kekuasaan-Nya atas dirimu dan malulah kepada-Nya karena ia dekat darimu”.
27. Buah terbaik
“Setiap sesuatu memiliki buah, dan buah untuk telinga adalah ucapan yang baik”.
28. Faedah diam
“Tidak mengganggu orang lain dapat dilakukan dengan meninggalkan ucapan yang tidak senonoh. Cegahlah ucapanmu dengan diam, karena setiap ucapan memiliki intonasi beraneka ragam yang membahayakan. Oleh karena itu, waspadalah terhadap orang yang tolol”.
29. Jujur dan menepati janji
“Kunci yang terbaik bagi setiap urusan adalah kejujuran, dan amalan penutup yang terbaik baginya adalah menepati janji”.
30. Ghibah
“Jauhilah hibah, karena ghibah adalah makanan anjing neraka”.
31. Si mulia dan si hina
“Orang yang mulia akan bahagia dengan derma yang diberikannya dan orang yang hina akan berbangga dengan hartanya”
32. Pahala berbuat baik
“Barang siapa yang memberi pakaian kepada seorang mukmin, maka Allah akan memberikan kepadanya pakaian dari surga”.
33. Akhlak seorang mukmin
“Di antara akhlak seorang mukmin adalah ia akan berinfak sesuai dengan kadar kemiskinannya, memperbanyak (infak) sesuai kekayaan yang dimilikinya, memahami orang lain dan mengucapkan salam terlebih dahulu kepadanya”.
34. Tentang afiat
“Sesungguhnya aku tidak suka seseorang selalu nyaman hidup di dunia dan tidak pernah ditimpa satu musibah pun”.
35. Pahala dan azab yang paling cepat tiba
“Pahala kebaikan yang paling cepat diberikan adalah berbuat kebajikan dan azab yang paling cepat tiba adalah bertindak lalim”.
36. Doa adalah pencegah bala`
“Sesungguhnya doa dapat mencegah bala` meskipun bala` itu sudah ditentukan dengan pasti, dan doa dapat mencegah bala`, baik yang sudah turun maupun belum turun”.
Akhirnya di padang sahara tanpa air dan rerumputan itu dia sendirian bernaung di bawah sebuah pohon. Kondisi sudah sangat gelap dan tiba-tiba matanya tertuju pada seorang pemuda berpakaian putih dan berbau harum. Hammad berpikir, ia salah melihat. Tapi ternyata tidak, dia benar-benar melihat.
Pemuda itu memiliki wajah yang bercahaya. Hammad penasaran, apa tujuan kedatangan pemuda ini di sisi pohon. Pemuda ini sedang siap untuk mengerjakan salat dan bermunajat:
“Ya Allah! Dengan kekuatan-Mu, Engkau menguasai segalanya. Berikan padaku keindahan mengingat-Mu dan jadikan aku sebagai pengikut-Mu.”
Kemudian pemuda itu berdiri dan mengerjakan salat. Pemuda ini tidak bergerak dalam waktu yang lama, dan Hammad tahu bahwa ada sebuah mata air jernih memancar dari tempat pemuda ini. Hammad sekarang yakin bahwa dia sedang berada di sisi salah satu wali Allah. Diapun berwudhu dan berdiri mengerjakan salat di belakang pemuda ini. Dia mendengar munajat pemuda ini. Setiap kali pemuda ini sampai pada ayat yang menjelaskan tentang pahala atau azab ilahi, mengulangnya dengan suara tangisan dan kesedihan. Munajat ini berlanjut sampai mendekati subuh dan pemuda itu dalam munajatnya mengatakan:
“Ya Allah! Kegelapan malam telah berakhir. Tapi aku belum mendapatkan upah dari-Mu dan di lautan munajat-Mu aku belum sampai pada sebuah balasan. Sampaikan salam untuk Muhammad dan berikan padaku apa yang lebih baik...”
Kemudian pemuda itu mengakhiri salatnya. Hammad menggunakan kesempatan dan maju bertanya, “Hai lelaki mulia! Engkau bermunajat kepada Tuhanmu demikian, maka mintakan padanya agar menunjukkan jalan padaku. Karena aku sedang menjalani safar haji, sementara aku telah kehilangan jalanku.”
Pemuda itu berkata, “Bila engkau bertawakal kepada Allah, maka engkau tidak akan tersesat. Sekarang mari bersamaku!”
Kemudian pemuda itu memegang tangan Hammad dan bergerak dengan kecepatan yang sungguh menakjubkan. Begitu subuh tiba, pemuda itu kepadanya berkata, “Hai lelaki! sekarang kita sudah berada di Mekah.”
Hammad mendengar suara riuh orang-orang dan melihat sebuah jalan. Dia tidak percaya atas apa yang disaksikannya. Oleh karena itu dia menghadap kepada pemuda itu dan berkata, “Demi Allah! Katakan padaku, siapakah engkau?”
Pemuda itu berkata, “Karena engkau telah bersumpah, aku katakatan bahwa aku adalah Ali bin Husein.”
MENGENAL IMAM ALI ZAINAL ABIDIN
- pengarang : Mahdi Alhusaini
- Sumber : www.nurmadinah.com
A. Biografi Singkat Imam Zainal Abidin As-Sajjad a.s.
Imam Ali bin Husein a.s. yang lebih dikenal dengan julukan as-sajjad dan zauinal abidin dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Jumadil Ula 38 H. atau 5 Sya’ban 38 H. Dan pada tanggal 12 atau 25 Muharam 95 H. ia diracun oleh Hisyam bin Abdul Malik dan meneguk cawan syahadah pada usia 56 tahun. Ia dikuburkan di Baqi’, Madinah.Ibu Imam Ali As-Sajjad adalah Ghazalah yang berasal dari kota Sanad atau Sajistan. Dan ia juga dikenal dengan nama Salafah atau Salamah. Akan tetapi, sebagian sumber sejarah menyatakan bahwa namanya adalah Shahr-banuweh, Shah-zanan, Shahr-naz, Jahan-Banuweh dan Khuleh.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. hidup pada masa paling kritis yang pernah dialami oleh Ahlul Bayt a.s. Ia hidup sezaman dengan memuncaknya penyelewengan setelah Rasulullah SAWW wafat.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan tiga tahun sebelum syahadah Imam Ali a.s. Ketika ia lahir, kakeknya sedang sibuk menghadapi perang Jamal. Setelah itu ia selalu menemani ayah tercintanya dalam setiap pergolakan negara.
Imam Sajjad a.s. memainkan peran yang sangat menentukan dalam menggalangkan kekuatan masyarakat untuk membenci Bani Umaiyah dan memberontak melawan mereka. Setiap kali mendapatkan kesempatan untuk itu, ia tidak pernah membuang-buang kesempatan. Dengan penuh hati-hati, ia selalu mengawasi semua program pemerintahan masa itu. Untuk mengenalkan masyarakat (dengan segala problema yang terjadi di masyarakat) ia memilih metode doa. Di dalam doa-doanya ia mengungkapkan dan menafsirkan segala problema yang sedang menimpa masyarakat kala itu. Shahifah Sajjadiah yang dikenal dengan Zabur Ahlul Bayt a.s. adalah sebuah peninggalan berharga dunia Islam yang sangat mendapat perhatian seluruh ulama setelah Al Quran dan Nahjul Balaghah.
Salah satu peninggalan berharga Imam Sajjad a.s. lainnya adalah buku kecil yang berisi masalah-masalah pendidikan dan etika. Peninggalan ini dikenal dengan nama Risalatul Huquq. Dalam buku kecil ini yang memuat lima puluh satu hak, ia menerangkan tugas-tugas manusia, baik di hadapan Tuhannya, dirinya dan orang lain.
B. Imam Sajjad a.s. dan Pemerintahan yang Berkuasa Saat itu
Imam Sajjad a.s. mengakui bahwa tanpa adanya dukungan masyarakat umum, kekuasaan tidak akan dapat banyak membantu dalam merombak kehidupan masyarakat Islam kala itu. Masyarakat umum juga harus tahu tujuan-tujuan negara, percaya penuh kepada teori-teorinya berkenaan pemerintahan dan membelanya lahir dan batin. Imam Sajjad a.s. merasa harus menjelaskan semua itu kepada mereka sehingga mereka tetap tegar dalam menghadapi setiap gejolak yang terjadi.Akan tetapi, ia tidak memiliki semua itu, dan karena ketidaktahuan mereka ia pernah mengeluh: “Ya Allah, dalam setiap problema yang terjadi aku telah melihat kelemahanku, aku telah menyadari ketidakmampuanku untuk mencari bantuan masyarakat dalam menghadapi orang-orang yang memerangiku, dan kuakui kesendirianku dalam menghadapi banyaknya orang yang memusuhiku”.
Secara global dapat dikatakan bahwa situasi sosial masyarakat yang dialami oleh setiap imam ma’shum a.s. pasti membatasi ruang gerak politiknya.
Dengan adanya segala bentuk teror yang dijalankan oleh para musuh Islam demi menjauhkan mereka dari lingkaran pemerintahan, para imam ma’shum a.s. telah menjalankan segala tugas mereka dengan baik dalam menjaga risalah Islam dari terjerumus ke dalam jurang penyelewengan dari nilai-nilai murninya. Setiap kali mereka melihat penyelewengan beranjak makin parah, mereka selalu sigap mengambil sebuah solusi yang jitu.
C. Kepedulian Imam Sajjad a.s. terhadap Fakir dan Miskin
Salah satu khidmat besar kepada masyarakat yang pernah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin a.s. adalah kepeduliannya terhadap anak yatim, fakir dan miskin serta hamba sahaya. Diriwayatkan bahwa ia membiayai kehidupan seratus keluarga miskin. Sebagian penduduk Madinah selalu menerima bahan pangan pada malam hari dan mereka pergunakan untuk menjalankan kehidupan mereka. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahan pangan tersebut berasal dari mana. Setelah Imam Sajjad a.s. meninggal dunia, baru mereka mengetahui siapa yang memberi bahan pangan kepada mereka setiap malam.Imam Ali Zainal Abidin a.s. setiap malam memikul goni-goni yang penuh dengan bahan pangan dan roti lalu ia membagikannya kepada para fakir dan miskin seraya berbisik kepada dirinya: “Bersedekah secara diam-diam akan memadamkan api murka Allah”. Setelah ia meninggal dunia, penduduk Madinah berkata: “kami telah kehilangan sedekah secara diam-diam, karena Ali bin Husein telah meninggal dunia”.
Di sepanjang tahun karena seringnya ia memikul bahan-bahan pangan, bahunya mengapal. Ketika ia dimandikan, bahunya yang mengapal itu menarik perhatian khalayak ramai.
Ali bin Thawus dalam kitab Iqbaalul A’maal ketika menjelaskan amalan-amalan bulan Ramadhan berkata: “Ali bin Husein a.s. di malam terakhir bulan Ramadhan membebaskan dua puluh orang budak seraya berkata: “Aku ingin Allah melihatku membebaskan budak-budakku sehingga Ia akan membebaskanku dari api neraka kelak di hari kebangkitan “.
Ia tidak pernah menahan budak lebih dari satu tahun. Ketika ia membawa seorang budak ke rumahnya di awal atau pertengahan tahun, ia pasti membebaskannya pada malam hari raya Idul Fitri. Ia sering membeli budak-budak berkulit hitam. Ketika musim haji tiba, ia membawa mereka bersamanya ke padang Arafah. Setelah itu, ia membebaskan mereka di tanah padang Masy’ar dan membekali mereka dengan hadiah uang. Dengan demikian, sangat banyak budak-budak di kota Madinah yang telah dibebaskan oleh Imam Sajjad a.s. Dan setelah bebas, mereka tidak memutuskan hubungan spiritual dengannya.
Pada kesempatan ini, kami akan mengajak para pembaca yang budiman untuk menelaah hadis-hadis yang pernah diucapkannya selama ia hidup.
1. Jiwa yang mulia
“Barang siapa memiliki jiwa yang mulia, maka dunia akan hina dalam pandangannya”.
2. Dunia bukan tolak ukur nilai
“Sangat berbahaya bagi seseorang ketika ia tidak melihat dunia sebagai suatu bahaya bagi dirinya”.
3. Menghindari berkata bohong
“Jauhilah berkata bohong, baik untuk hal sepele maupun untuk hal yang besar, baik serius maupun bergurau. Karena seseorang jika ia telah berani berbohong untuk hal-hal kecil, ia akan berani untuk berbohong untuk hal yang besar”.
4. Sahabat tidak baik
“Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang pembohong, karena ia akan mendekatkan kepadamu suatu yang jauh dan menjauhkan dalam pandanganmu sesuatu yang dekat. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang fasik, karena ia akan memperjual-belikanmu dengan sesuap nasi atau lebih sedikit dari itu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang kikir, karena ia akan meninggalkanmu ketika engkau merasa membutuhkan bantuannya. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang tolol, karena –menurut kata hatinya– ia ingin membantumu, akan tetapi malahan ia melakukan sesuatu yang membahayakanmu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang memutus tali silaturahmi, karena aku melihatnya terlaknat di dalam kitab Allah”.
5. Jangan berbicara kecuali diperlukan
“Sesungguhnya pengetahuan dan kesempurnaan agama seorang muslim (dapat dilihat ketika) ia meninggalkan setiap ucapan yang tidak penting, jarang berdebat, sabar dan berakhlak yang terpuji”.
6. Introspeksi diri dan mengingat hari kiamat
“Wahai anak Adam, kebaikan akan selalu bersamamu selama engkau memiliki penasihat dari dalam dirimu, mengintrospeksi diri, rasa takut (kepada Allah) menjadi syiarmu dan bertindak hati-hati menjadi bagian dari hidupmu. Wahai anak Adam, engkau akan mati, dibangkitkan dan disidang di hadapan Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, persiapkanlah jawaban untuk-Nya”.
7. Hasil doa
“Seorang mukmin ketika berdoa akan mendapatkan salah satu dari tiga hal ini: doa itu akan disimpan untuknya di akhirat, dikabulkan saat itu juga atau satu bala` yang akan menimpanya dijauhkan darinya”.
8. Faktor-faktor keselamatan
“Tiga hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin: menutup mulut untuk tidak mengghibah orang lain, menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang bermanfaat bagi akhirat dan dunianya, dan banyak menangis karena mengenang kesalahan-kesalahannya”.
9. Rindu surga
“Barang siapa yang rindu kepada surga, ia akan bergegas mengerjakan kebajikan dan mengekang hawa nafsunya, dan barang siapa yang takut siksa neraka, ia akan bergegas untuk bertaubat kepada Allah dari dosa-dosanya dan tidak mengerjakan kembali hal-hal yang haram”.
10. Pahala melihat
“Seorang mukmin yang melihat wajah saudara seimannya karena ia mencintainya adalah ibadah”.
11. Harga diri dan doa
“Sesuatu yang paling disukai oleh Allah setelah mengenal-Nya adalah menjaga perut dan kemaluan, dan sesuatu yang paling dicintainya adalah doa seorang hamba kepada-Nya”.
12. Menerima permintaan maaf orang lain
“Jika seseorang mencelamu dari sebelah kananmu, lalu ia berpindah mencela dari samping kirimu, kemudian ia meminta maaf kepadamu, maka terimalah permintaan maafnya”.
13. Hak Allah atas hamba-Nya
“Hak Allah yang paling besar adalah hendaknya engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya. Jika engkau telah melaksanakannya dengan penuh ikhlas, Dia telah berjanji kepada diri-Nya untuk mencukupi segala urusan dunia dan akhiratmu serta menjaga segala yang kau cintai”.
14. Hak ayah atas anak
“Hak seorang ayah adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia adalah asal-muasalmu dan engkau adalah cabangnya (baca : keturunannya). Jika ia tidak ada, niscaya engkau pun tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, jika engkau melihat dalam dirimu sesuatu yang membuatmu bahagia, ketahuilah bahwa ayahmu adalah asal nikmat tersebut, bersyukurlah kepada Allah dan berterima kasihlah kepada ayahmu karena itu”.
15. Taat kepada Allah adalah segalanya
“Dahulukanlah menaati Allah dan orang-orang yang diwajibkan oleh-Nya untuk menaati mereka atas segala urusan”.
16. Hak ibu atas anak
“Hak ibumu adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia telah:
- mengandungmu,
- memberimu makan dari buah hatinya ketika tidak seorang pun siap untuk melakukan hal itu, dan
- menjagamu dengan telinga, mata, tangan, kaki, rambut, kulit dan seluruh anggota badannya.
Ia melakukan itu semua dengan penuh bahagia, gembira, dan rela menanggung segala derita dan susah-payah yang ada di dalamnya sehingga engkau lahir di dunia. Ia rela engkau kenyang meskipun ia sendiri kelaparan, engkau berpakaian meskipun ia sendiri telanjang, engkau tidak kehausan meskipun ia sendiri menahan dahaga, dan engkau bernaung meskipun ia sendiri kepanasan. Ia rela menyediakan kehidupan berlimpah nikmat bagimu dengan segala kesusahan yang dideritanya dan menidurkanmu meskipun ia harus berjaga sepanjang malam. Perutnya adalah tempat wujudmu, buiannya adalah tempatmu bermanja-manja, susunya adalah penebus dahagamu, dan jiwanya adalah tempat kamu berlindung. Ia rela menahan panas dan dinginnya dunia demi kamu dan untukmu. Dengan demikian, bersyukurlah kepadanya atas semua itu, dan engkau tidak akan dapat melakukan itu kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah”.
17. Anjuran mencari ilmu
“Jika seluruh manusia mengetahui keistimewaan yang tersembunyi di balik mencari ilmu, niscaya mereka akan mencarinya meskipun dengan mencurahkan darah dan menantang ombak”.
18. Nilai duduk bersama orang-orang saleh
“Duduk bersama orang-orang saleh akan mengajak kepada kebajikan dan tata krama ulama dapat menambah akal”.
19. Dosa penghambat doa
“Dosa-dosa yang menghambat terkabulnya doa adalah jeleknya niat, kotornya hati, bersikap munafik terhadap saudara seiman, tidak yakin dengan diterimanya doa, mengakhirkan shalat wajib hingga waktunya habis, tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan baik dan sedekah, mencela dan mempergunakan kata-kata yang tidak senonoh dalam ucapan”.
20. Lebih mementingkan yang fana
“Sangatlah aneh seseorang yang beramal untuk dunia yang fana ini dan tidak memperdulikan dunia yang kekal”.
21. Akibat menuduh
“Barang siapa yang menuduh orang lain dengan aib yang dimilikinya, maka ia akan dituduh dengan aib yang tidak pernah dimilikinya”.
22. Dunia adalah perantara, bukan tujuan
“Para wali Allah tidak pernah melelahkan diri di dunia untuk kepentingan dunia. Akan tetapi, mereka melakukan itu untuk kepentingan akhirat”.
23. Aku berlindung kepada Allah!
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tamak, kemarahan, kedengkian, … dan kebejatan memimpin atas orang-orang yang berada di bawah wilayah kami”.
24. Menjauhlah dari mereka!
“Hati-hatilah, jangan bersahabat dengan orang-orang yang berlumuran maksiat, jangan membantu orang-orang zalim, dan jangan mendekati orang-orang fasik. Hati-hatilah akan fitnah mereka dan menjauhlah dari mereka”.
25. Akibat menentang wali Allah
“Ketahuilah bahwa barang siapa yang menentang wali-wali Allah, memeluk selain agama-Nya dan ingin pendapatnya selalu diikuti, bukan perintah wali-Nya, maka ia akan masuk ke dalam neraka yang membara”.
26. Takut dan malulah!
“Takutlah kepada Allah karena kekuasaan-Nya atas dirimu dan malulah kepada-Nya karena ia dekat darimu”.
27. Buah terbaik
“Setiap sesuatu memiliki buah, dan buah untuk telinga adalah ucapan yang baik”.
28. Faedah diam
“Tidak mengganggu orang lain dapat dilakukan dengan meninggalkan ucapan yang tidak senonoh. Cegahlah ucapanmu dengan diam, karena setiap ucapan memiliki intonasi beraneka ragam yang membahayakan. Oleh karena itu, waspadalah terhadap orang yang tolol”.
29. Jujur dan menepati janji
“Kunci yang terbaik bagi setiap urusan adalah kejujuran, dan amalan penutup yang terbaik baginya adalah menepati janji”.
30. Ghibah
“Jauhilah hibah, karena ghibah adalah makanan anjing neraka”.
31. Si mulia dan si hina
“Orang yang mulia akan bahagia dengan derma yang diberikannya dan orang yang hina akan berbangga dengan hartanya”
32. Pahala berbuat baik
“Barang siapa yang memberi pakaian kepada seorang mukmin, maka Allah akan memberikan kepadanya pakaian dari surga”.
33. Akhlak seorang mukmin
“Di antara akhlak seorang mukmin adalah ia akan berinfak sesuai dengan kadar kemiskinannya, memperbanyak (infak) sesuai kekayaan yang dimilikinya, memahami orang lain dan mengucapkan salam terlebih dahulu kepadanya”.
34. Tentang afiat
“Sesungguhnya aku tidak suka seseorang selalu nyaman hidup di dunia dan tidak pernah ditimpa satu musibah pun”.
35. Pahala dan azab yang paling cepat tiba
“Pahala kebaikan yang paling cepat diberikan adalah berbuat kebajikan dan azab yang paling cepat tiba adalah bertindak lalim”.
36. Doa adalah pencegah bala`
“Sesungguhnya doa dapat mencegah bala` meskipun bala` itu sudah ditentukan dengan pasti, dan doa dapat mencegah bala`, baik yang sudah turun maupun belum turun”.
PESAN QUR'ANI DARI CUCUNDA NABI
- Pengarang : ustd. muhamad bin alwi
- Sumber : khazanahalquran.com
Sayyidina Ali Zainal Abidin, putra dari Sayyidina Husain
pernah berkata,
♦ Janganlah duduk bersama siapapun yang kau inginkan,
karena Allah swt Berfirman,
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ
الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan
jika setan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan
larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau
duduk bersama orang-orang yang zalim.” (QS.Al-An’am:68)
♦ Dan janganlah berbicara sekehendak hatimu, karena
Allah swt Berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui.” (QS.Al-Isra’:36)
Dan karena Rasulullah saw bersabda,
“Semoga Allah Merahmati seorang hamba yang jika
berbicara kebaikan akan meraih keuntungan, atau ketika
diam akan meraih keselamatan.”
♦ Dan janganlah mendengar semua yang kau inginkan,
karena Allah Berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua
itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS.Al-
Isra’:36)
Semoga bermanfaat.
pernah berkata,
♦ Janganlah duduk bersama siapapun yang kau inginkan,
karena Allah swt Berfirman,
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ
الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan
jika setan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan
larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau
duduk bersama orang-orang yang zalim.” (QS.Al-An’am:68)
♦ Dan janganlah berbicara sekehendak hatimu, karena
Allah swt Berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui.” (QS.Al-Isra’:36)
Dan karena Rasulullah saw bersabda,
“Semoga Allah Merahmati seorang hamba yang jika
berbicara kebaikan akan meraih keuntungan, atau ketika
diam akan meraih keselamatan.”
♦ Dan janganlah mendengar semua yang kau inginkan,
karena Allah Berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua
itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS.Al-
Isra’:36)
Semoga bermanfaat.
PROGRAM IMAM ZAINAL ABIDIN ALAIHIS SALAM DI MADINAH PASCA TERTAWAN
- pengarang : Ayatullah Ibrahim Amini
Programnya yang pertama adalah menjaga, memelihara, serta mengayomi sisa Ahlulbait dan keluarga syuhada yang terlantar.
Program yang kedua adalah melanjutkan pengungkapan dan penyebaran propaganda serta berita mengenai peristiwa menyedihkan Asyura dan tertawannya Ahlulbait kepada penduduk Madinah dan tetap menghidupkan peristiwa tragis itu agar tidak dilupakan. Dituliskan tentang keadaan Imam bahwa dia senantiasa menangis dalam setiap acara dan peringatan bagi syuhada, khsusnya ayahnya, Imam Husain, dan menceritakan kepedihan Asyura kepada masyarakat.
Imam Shadiq berkata, “Ali bin Husain menangis selama dua puluh tahun,” dan di riwayat yang lain empat puluh tahun. Setiap kali makanan dibawa ke sisinya, ia menangis. Pada suatu hari, pembantu Imam berkata, “Jiwaku kukorbankan bagimu, wahai putra Rasulullah! Aku takut engkau membahayakan nyawamu lantaran terlalu banyak menangis.”
Dalam jawabannya, Imam berkata, “Aku memasrahkan kesedihan dan kepedihanku kepada Allah. Apa yang kuketahui tidaklah engkau kctahui. Setiap saat atau mengingat syahidnya, salah seorang dari anak- anak Fatimah. Maka, tidak terasa air mata mengalir.”
Ketika ingin minum, Imam menangis sehingga air matanya meleleh di tempat air. Imam ditanya mengapa selalu demikian. Imam berkata, “Bagaimana mungkin aku tidak menangis sementara ayahku dibunuh dalam kedaan dahaga dan air yang diperbolehkan untuk binatang di gurun pun terlarang bagi ayahku.”
Tangisan dan kepedihan Imam Sajjad bukan hanya sebagai pertanda kesedihan dan duka, melainkan juga sejenis propaganda dan ungkapan atas kezaliman dan kekejaman Bani Umayyah.
Tanggung jawab ketiga Imam Sajjad adalah mendirikan pemerintah Islam dan mengelola masyarakat sesuai dengan hukum Islam. Mendirikan pemerintahan dan mengelola mayarakat merupakan salah satu kewajiban terbesar seorang imam. Imam memiliki kesiapan untuk menunaikannya tetapi karena makar-makar jahat para perampas pemerintahan, kaum Muslimin tidak dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan secukupnya dari Imam.
Dari satu sisi, dengan propaganda yang luas, mereka menyerang Ali bin Abi Thalib dengan tuduhan-tuduhan bohong dan mencacinya. Mereka juga memburuk-burukkan nama Ahlulbait di depan masyarakat. Dari sisi yang lain, mereka begitu sensitif terhadap para Syi’ah dan pengikut Ahlulbait sehingga mengawasi semua perilaku dan ucapan mereka. Jangan sampai para Syi’ah dapat keluar dan masuk ke rumah Ahlulbait atau mendengar hadis dan menukilkannya kepada orang lain atau memberikan pujian terhadap Ahlulbait.
Apabila ada yang melanggar, mereka akan dihadapkan kepada berbagai sanksi dan hukuman. Dalam kondisi yang menyeramkan dan terkungkung seperti ini, maka siapakah yang akan berani merujuk kepada Imam Saijad untuk memperoleh ilmu darinya? Bagaimana mungkin pula, Imam mampu menyebarkan ilmunya kepada masyarakat dalam batasan yang dikehendakinya? Namun dengan semua keterbatasan itu, Imam tetap memanfaatkan peluang dan dengan kapasitas yang memungkinkan, Imam menyirami para pecintanya dengan ilmu. Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis di berbagai bidang masih tersisa dari Imam dan tercatat dalam kitab hadis.
Yang terpenting, di antaranya, adalah risalah hak-hak asasi (risalat al-huquq). Imam Saijad, dalam makalah yang pendek dan penuh kandungan itu, menghitung semua yang berhak dan mengisyaratkan tiap-tiap hak. Dalam kaitan ini, Imam tidak hanya menyinggung hak manusia, bahkan anggota tubuh manusia seperti mata, telinga, lidah, tangan, perut, dan perbuatan manusia seperti shalat, puasa, sedekah, dan ihsan disebutnya sebagai yang berhak dan semua hak mereka disebutkan satu persatu. Risalah atau makalah ini merupakan sebuah risalah yang kaya dan penuh kandungan sehingga langka dan sangat bernilai bagi siapa saja yang berminat untuk mengamalkannya.
Program yang kedua adalah melanjutkan pengungkapan dan penyebaran propaganda serta berita mengenai peristiwa menyedihkan Asyura dan tertawannya Ahlulbait kepada penduduk Madinah dan tetap menghidupkan peristiwa tragis itu agar tidak dilupakan. Dituliskan tentang keadaan Imam bahwa dia senantiasa menangis dalam setiap acara dan peringatan bagi syuhada, khsusnya ayahnya, Imam Husain, dan menceritakan kepedihan Asyura kepada masyarakat.
Imam Shadiq berkata, “Ali bin Husain menangis selama dua puluh tahun,” dan di riwayat yang lain empat puluh tahun. Setiap kali makanan dibawa ke sisinya, ia menangis. Pada suatu hari, pembantu Imam berkata, “Jiwaku kukorbankan bagimu, wahai putra Rasulullah! Aku takut engkau membahayakan nyawamu lantaran terlalu banyak menangis.”
Dalam jawabannya, Imam berkata, “Aku memasrahkan kesedihan dan kepedihanku kepada Allah. Apa yang kuketahui tidaklah engkau kctahui. Setiap saat atau mengingat syahidnya, salah seorang dari anak- anak Fatimah. Maka, tidak terasa air mata mengalir.”
Ketika ingin minum, Imam menangis sehingga air matanya meleleh di tempat air. Imam ditanya mengapa selalu demikian. Imam berkata, “Bagaimana mungkin aku tidak menangis sementara ayahku dibunuh dalam kedaan dahaga dan air yang diperbolehkan untuk binatang di gurun pun terlarang bagi ayahku.”
Tangisan dan kepedihan Imam Sajjad bukan hanya sebagai pertanda kesedihan dan duka, melainkan juga sejenis propaganda dan ungkapan atas kezaliman dan kekejaman Bani Umayyah.
Tanggung jawab ketiga Imam Sajjad adalah mendirikan pemerintah Islam dan mengelola masyarakat sesuai dengan hukum Islam. Mendirikan pemerintahan dan mengelola mayarakat merupakan salah satu kewajiban terbesar seorang imam. Imam memiliki kesiapan untuk menunaikannya tetapi karena makar-makar jahat para perampas pemerintahan, kaum Muslimin tidak dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan secukupnya dari Imam.
Dari satu sisi, dengan propaganda yang luas, mereka menyerang Ali bin Abi Thalib dengan tuduhan-tuduhan bohong dan mencacinya. Mereka juga memburuk-burukkan nama Ahlulbait di depan masyarakat. Dari sisi yang lain, mereka begitu sensitif terhadap para Syi’ah dan pengikut Ahlulbait sehingga mengawasi semua perilaku dan ucapan mereka. Jangan sampai para Syi’ah dapat keluar dan masuk ke rumah Ahlulbait atau mendengar hadis dan menukilkannya kepada orang lain atau memberikan pujian terhadap Ahlulbait.
Apabila ada yang melanggar, mereka akan dihadapkan kepada berbagai sanksi dan hukuman. Dalam kondisi yang menyeramkan dan terkungkung seperti ini, maka siapakah yang akan berani merujuk kepada Imam Saijad untuk memperoleh ilmu darinya? Bagaimana mungkin pula, Imam mampu menyebarkan ilmunya kepada masyarakat dalam batasan yang dikehendakinya? Namun dengan semua keterbatasan itu, Imam tetap memanfaatkan peluang dan dengan kapasitas yang memungkinkan, Imam menyirami para pecintanya dengan ilmu. Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis di berbagai bidang masih tersisa dari Imam dan tercatat dalam kitab hadis.
Yang terpenting, di antaranya, adalah risalah hak-hak asasi (risalat al-huquq). Imam Saijad, dalam makalah yang pendek dan penuh kandungan itu, menghitung semua yang berhak dan mengisyaratkan tiap-tiap hak. Dalam kaitan ini, Imam tidak hanya menyinggung hak manusia, bahkan anggota tubuh manusia seperti mata, telinga, lidah, tangan, perut, dan perbuatan manusia seperti shalat, puasa, sedekah, dan ihsan disebutnya sebagai yang berhak dan semua hak mereka disebutkan satu persatu. Risalah atau makalah ini merupakan sebuah risalah yang kaya dan penuh kandungan sehingga langka dan sangat bernilai bagi siapa saja yang berminat untuk mengamalkannya.
IMAM ALI ZAINAL ABIDIN SELALU BERBUAT BAIK KEPADA ORANG-ORANG MISKIN
- pengarang : Ayatullah Ibrahim Amini
Ali bin Husain memenuhi sebuah kantung dengan roti dan makanan lalu
membagikannya kepada fakir-miskin seraya berkata, “Sedekah memadamkan
api kemarahan.”
Umar bin Dinar berkata, “Ketika Zaid bin Usamah sakit keras, Ali bin Husain yang berada di situ bertanya sebab sakitnya. Usamah berkata, “Aku berutang sebanyak lima belas ribu dinar dan tidak dapat membayarnya. Aku khawatir mati dalam keadaan berutang.” Imam Sajjad berkata, “Janganlah engkau bersedih karena aku akan mengemban utangmu dan akan kubayar.”
Abdullah yang dalam keadaan sekarat didatangi oleh para penangih utang. Ia berkata, “Aku tidak memiliki sesuatu untuk kuberikan kepada kalian. Namun, aku berwasiat kepada salah seorang anak pamanku, Ali bin Husain dan Abdullah bin Ja’far, agar membayar utang kalian. Pilihlah yang kalian suka! Mereka berkata, “Abdullah bin Ja’far memang kaya tetapi Ali bin Husain ―walaupun tidak memiliki banyak harta, jujur dan kami lebih memilihnya.”
Hal ini diberitakan kepada Ali bin Husain. Imam Ali Zainal Abidin berkata, “Piutang kalian akan kubayar saat ladangku panen.” Kebetulan, ketika panen, Allah Swt memberikan panen yang melimpah sehingga Imam dapat menunaikan utang Abdullah.
Imam Muhammad Baqir berkata, “Ayahku di malam-malam yang gelap memanggul kantung yang dipenuhi dengan kantung-kantung dinar, dirham, serta makanan. Beliau mengetuk pintu-pintu rumah orang-orang miskin dan membagikan dirham, dinar, dan makanan itu kepada mereka dalam keadaan mukanya tertutup agar tidak dikenali.
Sepeninggal Imam, Orang-orang fakir baru memahami bahwa lelaki yang tak dikenal itu adalah Ali bin Husain.”
Zuhri berkata, “Pada suatu malam yang dingin dan hujan, aku menyaksikan Ali bin Husain sedang membawa gandum. Sementara ia berjalan, aku bertanya, “Wahai putra Rasulullah! Apa yang engkau pikul?” Beliau berkata, “Aku berniat melakukan perjalanan. Aku akan membawa bekalku ini ke tempat yang aman.” Aku bertanya, “Izinkanlah budakku membantumu membawa barangmu itu.” Beliau tidak mengizinkannya. Aku berkata, “Izinkanlah aku sendiri yang membantumu.” Imam berkata, “Aku sendiri yang harus memikulnya dan menyampaikannya kepada tujuannya. Demi Allah! Tinggalkan aku sendiri dan pergilah mengurus urusanmu sendiri!” Setelah beberapa hari, aku melihat Imam Ali bin Husain belum pergi. Aku bertanya, “Wahai putra Rasulullah! Engkau belum juga pergi?” Beliau berkata, “Wahai Zuhri! Perjalanan itu bukanlah seperti yang kaupikirkan, melainkan perjalanan akhirat yang kupersiapkan sendiri untuk menempuhnya. Persiapan untuk mati dengan dua hal: menjauhi yang haram dan membelanjakan harta di jalan kebaikan.”
Tatkala Madinah diserang oleh pasukan Yazid (di bawah pimpinan Muslim bin Aqabah), Ali bin Husain menjamin penghidupan empat ratus keluarga hingga pasukan Muslim bin Aqabah meninggalkan Madinah.
Umar bin Dinar berkata, “Ketika Zaid bin Usamah sakit keras, Ali bin Husain yang berada di situ bertanya sebab sakitnya. Usamah berkata, “Aku berutang sebanyak lima belas ribu dinar dan tidak dapat membayarnya. Aku khawatir mati dalam keadaan berutang.” Imam Sajjad berkata, “Janganlah engkau bersedih karena aku akan mengemban utangmu dan akan kubayar.”
Abdullah yang dalam keadaan sekarat didatangi oleh para penangih utang. Ia berkata, “Aku tidak memiliki sesuatu untuk kuberikan kepada kalian. Namun, aku berwasiat kepada salah seorang anak pamanku, Ali bin Husain dan Abdullah bin Ja’far, agar membayar utang kalian. Pilihlah yang kalian suka! Mereka berkata, “Abdullah bin Ja’far memang kaya tetapi Ali bin Husain ―walaupun tidak memiliki banyak harta, jujur dan kami lebih memilihnya.”
Hal ini diberitakan kepada Ali bin Husain. Imam Ali Zainal Abidin berkata, “Piutang kalian akan kubayar saat ladangku panen.” Kebetulan, ketika panen, Allah Swt memberikan panen yang melimpah sehingga Imam dapat menunaikan utang Abdullah.
Imam Muhammad Baqir berkata, “Ayahku di malam-malam yang gelap memanggul kantung yang dipenuhi dengan kantung-kantung dinar, dirham, serta makanan. Beliau mengetuk pintu-pintu rumah orang-orang miskin dan membagikan dirham, dinar, dan makanan itu kepada mereka dalam keadaan mukanya tertutup agar tidak dikenali.
Sepeninggal Imam, Orang-orang fakir baru memahami bahwa lelaki yang tak dikenal itu adalah Ali bin Husain.”
Zuhri berkata, “Pada suatu malam yang dingin dan hujan, aku menyaksikan Ali bin Husain sedang membawa gandum. Sementara ia berjalan, aku bertanya, “Wahai putra Rasulullah! Apa yang engkau pikul?” Beliau berkata, “Aku berniat melakukan perjalanan. Aku akan membawa bekalku ini ke tempat yang aman.” Aku bertanya, “Izinkanlah budakku membantumu membawa barangmu itu.” Beliau tidak mengizinkannya. Aku berkata, “Izinkanlah aku sendiri yang membantumu.” Imam berkata, “Aku sendiri yang harus memikulnya dan menyampaikannya kepada tujuannya. Demi Allah! Tinggalkan aku sendiri dan pergilah mengurus urusanmu sendiri!” Setelah beberapa hari, aku melihat Imam Ali bin Husain belum pergi. Aku bertanya, “Wahai putra Rasulullah! Engkau belum juga pergi?” Beliau berkata, “Wahai Zuhri! Perjalanan itu bukanlah seperti yang kaupikirkan, melainkan perjalanan akhirat yang kupersiapkan sendiri untuk menempuhnya. Persiapan untuk mati dengan dua hal: menjauhi yang haram dan membelanjakan harta di jalan kebaikan.”
Tatkala Madinah diserang oleh pasukan Yazid (di bawah pimpinan Muslim bin Aqabah), Ali bin Husain menjamin penghidupan empat ratus keluarga hingga pasukan Muslim bin Aqabah meninggalkan Madinah.
IBADAH IMAM AS SAJJAD
- Pengarang : Ayatullah Ibrahim Amini
Imam Baqir berkata, “Aku melihat Ali bin Husain yang dalam keadaan
shalat. Aba’ah-nya ‘jubahnya’ jatuh dari pundaknya tetapi dia tidak
membetulkannya hingga shalatnya usai. Aku menanyakan hal itu kepadanya.
Dia berkata, “Apakah engkau tahu di depan siapakah aku tadi berdiri?
Sesungguhnya shalat seseorang tidak akan diterima, kecuali sebatas
perhatian atau konsentrasi hatinya kepada Allah Swt.”
Tatkala Imam Zainal Abidin berdiri untuk shalat, warna wajahnya berubah, tubuhnya gemetar, dan keadaannya berubah. Anakalanya ketika ditanya tentang penyebab perubahan keadaan itu, dia mengatakan, “Aku akan berdiri di hadapan seorang Raja yang Mahaagung.”
Ketika sibuk dengan shalat, ia berpaling dari semuanya dan tidak mendengar suara apa pun.
Abdullah, putra Imam Sajjad, mengatakan, “Ayahku begitu tenggelam dalam shalat hingga penat dan kemudian tidur di atas tanah layaknya seorang anak kecil yang lelah kemudian tertidur.”
Ali bin Husain jika tertinggal dalam shalat sunah di siang hari akan menggantikannya dan mengatakan kepada anak-anaknya, “Meskipun shalat nawafil ‘sunah’ itu tidak wajib tetapi aku menyukai segala perbuatan baik yang kalian lakukan. Maka, hendaknya kalian lanjutkan. Ayahku tidak meninggalkan shalat malam di dalam perjalanan dan juga ketika hadir.”
Ayah Abu Tsumali mengatakan, “Aku melihat Ali bin Husain di sisi Ka’bah sedang sibuk menunaikan shalat. Begitu lama beliau memanjangkan rukuknya hingga penat dan anakalanya kakinya hampir jatuh karena tak kuat menahan letih. Aku mendengar beliau berdoa, ‘Ya Tuhanku! Apakah Engkau akan menyiksaku padahal hatiku bergelimang dengan kecintaan terhadap-Mu? Sungguh demi kemuliaan-Mu, bila Engkau menyiksaku, latajma’anna baini wa baina qaumin thala ma adaitahum fika.
Zuhri berkata, “Ali bin Husain berkata, ‘Bila sekiranya masyarakat Timur dan Barat mati tetapi al-Quran tetap menyertaiku, aku tidak akan pernah takut.’ Manakala sampai pada ayat “maliki yaumiddin”, Imam mengulanginya hingga hampir saja meninggalkan dunia ini.
Imam Muhammad Baqir berkata, “Fatimah, putri Ali bin Abi Thalib, melihat Ali bin Husain yang kepenatan karena banyak beribadah. Lantas ia menjumpai Jabir bin Abdullah Anshari seraya berkata, “Wahai sahabat Rasulullah saw! Kami memiliki hak terhadapmu. Sekiranya salah seorang dari kami hampir saja membunuh dirinya sendiri karena banyak beribadah, engkau harus menasihatinya agar ia menjaga kesehatannya. Kini, Ali bin Husain, yang merupakan peninggalan ayah kami, kening, lutut, dan tangannya telah menebal. Datanglah dan bicaralah kepadanya! Mungkin ia dapat mengurangi kepenatan dan keletihan terhadap dirinya sendiri karena ibadah.”
Jabir mendatangi Ali Zainal Abidin. Dia menyaksikan Imam Ali Zainal Abidin sedang tenggelam dalam ibadah. Ali bin Husain bangkit sebagai penghormatan terhadap Jabir dan mendudukkannya di sisinya.
Jabir berkata, “Wahai putra Rasulullah saw! Tidakkah kalian (Ahlulbait) mengetahui bahwa Allah Swt menciptakan surga untuk kalian dan pecinta kalian sementara menciptakan neraka untuk musuh- musuh kalian? Lalu, mengapa engkau membuat dirimu sepenat ini dalam beribadah?”
Ali bin Husain menjawab, “Wahai sahabat Rasulullah! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kakekku, Rasulullah saw, telah Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang. Namun demikian, Rasulullah bersungguh-sungguh beribadah sehingga telapak kaki dan betisnya membengkak dan sebagai jawaban terhadap orang-orang yang menasihatinya beliau mengatakan, ‘Tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur.’”
Tatkala melihat nasihatnya tidak mempengaruhi Ali Zainal Abidin, Jabir mengatakan, “Wahai putra Rasulullah! Jagalah kesehatan jasmanimu karena engkau berasal dari keluarga yang karena keberadaannya malapetaka dihindarkan dari bumi dan hujan diturunkan.”
Imam Sajjad berkata, “Wahai Jabir! Selagi masih hidup. Aku tidak akan meninggalkan sunah dan cara ayah-ayahku hingga aku bertemu dengan mereka.”
Ali bin Husain pergi ke haji dengan berjalan kaki dan menempuh perjalanan antara Madinah ke Mekkah selama dua puluh hari.
Tatkala Imam Zainal Abidin berdiri untuk shalat, warna wajahnya berubah, tubuhnya gemetar, dan keadaannya berubah. Anakalanya ketika ditanya tentang penyebab perubahan keadaan itu, dia mengatakan, “Aku akan berdiri di hadapan seorang Raja yang Mahaagung.”
Ketika sibuk dengan shalat, ia berpaling dari semuanya dan tidak mendengar suara apa pun.
Abdullah, putra Imam Sajjad, mengatakan, “Ayahku begitu tenggelam dalam shalat hingga penat dan kemudian tidur di atas tanah layaknya seorang anak kecil yang lelah kemudian tertidur.”
Ali bin Husain jika tertinggal dalam shalat sunah di siang hari akan menggantikannya dan mengatakan kepada anak-anaknya, “Meskipun shalat nawafil ‘sunah’ itu tidak wajib tetapi aku menyukai segala perbuatan baik yang kalian lakukan. Maka, hendaknya kalian lanjutkan. Ayahku tidak meninggalkan shalat malam di dalam perjalanan dan juga ketika hadir.”
Ayah Abu Tsumali mengatakan, “Aku melihat Ali bin Husain di sisi Ka’bah sedang sibuk menunaikan shalat. Begitu lama beliau memanjangkan rukuknya hingga penat dan anakalanya kakinya hampir jatuh karena tak kuat menahan letih. Aku mendengar beliau berdoa, ‘Ya Tuhanku! Apakah Engkau akan menyiksaku padahal hatiku bergelimang dengan kecintaan terhadap-Mu? Sungguh demi kemuliaan-Mu, bila Engkau menyiksaku, latajma’anna baini wa baina qaumin thala ma adaitahum fika.
Zuhri berkata, “Ali bin Husain berkata, ‘Bila sekiranya masyarakat Timur dan Barat mati tetapi al-Quran tetap menyertaiku, aku tidak akan pernah takut.’ Manakala sampai pada ayat “maliki yaumiddin”, Imam mengulanginya hingga hampir saja meninggalkan dunia ini.
Imam Muhammad Baqir berkata, “Fatimah, putri Ali bin Abi Thalib, melihat Ali bin Husain yang kepenatan karena banyak beribadah. Lantas ia menjumpai Jabir bin Abdullah Anshari seraya berkata, “Wahai sahabat Rasulullah saw! Kami memiliki hak terhadapmu. Sekiranya salah seorang dari kami hampir saja membunuh dirinya sendiri karena banyak beribadah, engkau harus menasihatinya agar ia menjaga kesehatannya. Kini, Ali bin Husain, yang merupakan peninggalan ayah kami, kening, lutut, dan tangannya telah menebal. Datanglah dan bicaralah kepadanya! Mungkin ia dapat mengurangi kepenatan dan keletihan terhadap dirinya sendiri karena ibadah.”
Jabir mendatangi Ali Zainal Abidin. Dia menyaksikan Imam Ali Zainal Abidin sedang tenggelam dalam ibadah. Ali bin Husain bangkit sebagai penghormatan terhadap Jabir dan mendudukkannya di sisinya.
Jabir berkata, “Wahai putra Rasulullah saw! Tidakkah kalian (Ahlulbait) mengetahui bahwa Allah Swt menciptakan surga untuk kalian dan pecinta kalian sementara menciptakan neraka untuk musuh- musuh kalian? Lalu, mengapa engkau membuat dirimu sepenat ini dalam beribadah?”
Ali bin Husain menjawab, “Wahai sahabat Rasulullah! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kakekku, Rasulullah saw, telah Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang. Namun demikian, Rasulullah bersungguh-sungguh beribadah sehingga telapak kaki dan betisnya membengkak dan sebagai jawaban terhadap orang-orang yang menasihatinya beliau mengatakan, ‘Tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur.’”
Tatkala melihat nasihatnya tidak mempengaruhi Ali Zainal Abidin, Jabir mengatakan, “Wahai putra Rasulullah! Jagalah kesehatan jasmanimu karena engkau berasal dari keluarga yang karena keberadaannya malapetaka dihindarkan dari bumi dan hujan diturunkan.”
Imam Sajjad berkata, “Wahai Jabir! Selagi masih hidup. Aku tidak akan meninggalkan sunah dan cara ayah-ayahku hingga aku bertemu dengan mereka.”
Ali bin Husain pergi ke haji dengan berjalan kaki dan menempuh perjalanan antara Madinah ke Mekkah selama dua puluh hari.
NAS IMAMAH ALI BIN HUSEIN ALAIHIS SALAM
- Pengarang : ayatullah Ibrahim Amini
Abu Bakar Khadrami menukil dari Imam Ja’far Shadiq yang berkata,
“Tatkala hendak pergi ke Irak, Husain bin Ali menitipkan surat wasiat,
kitab, serta hal-hal lainnya kepada Ummu Salamah, istri Nabi saw, dan
mengatakan, “Ketika anakku yang tertua nanti datang kepadamu,
serahkanlah amanah ini kepadanya!” Di kemudian hari, sepeninggal Imam
Husain, putranya, Ali Zainal Abidin, mendatangi Ummu Salamah dan
mengambil amanah tersebut.”
Abu Jarud menukil dari Imam Muhammad Baqir yang berkata, “Imam Husain, sebelum syahadah, memanggil putrinya yang bernama Fatimah dan menitipkan sebuah buku yang dilipat beserta sebuah wasiat yang tampak jelas kepadanya. Saat itu, Ali Zainal Abidin sakit keras. Setelah itu, Fatimah menyerahkan amanah itu kepada Ali bin Husain. Demi Allah! Kitab itu ada di tangan kami.”
Abu Jarud berkata, “Apa yang terkandung dalam kitab itu, demi jiwaku yang kukorbankan untukmu, adalah semua hukum dan hudud, bahkan denda sebuah goresan.”
Abdullah bin Atabah mengatakan, “Suatu hari, aku berada di sisi Husain bin Ali yang tiba-tiba Ali bin Husain datang. Aku mengatakan kepada Imam Husain, sekiranya ―semoga Allah menjauhkannya― ajalmu tiba, sipakah yang dapat kami jadikan rujukan sepeninggalmu?” Imam Husain mengatakan, “Merujuklah kepada anakku. Dia adalah imam dan ayah para imam.”
Dalam kitab Itshalul Washiah, Mas’udi menulis, “Husain di Karbala memanggil anaknya, Ali bin Husain, yang sedang sakit dan mengajarkan kepadanya ismul a’zham dan warisan-warisan para nabi lalu memberitahukan kepadanya bahwa telah dititipkan ilmu, shahifah, serta senjata kepada Ummu Salamah. Imam Husain pun mewasiatkan agar Ummu Salamah menyerahkannya kepada Ali bin Husain.”
Sayyid Murtadho dalam kitab Uyunul Mukjizat menulis, “Para perawi hadis meriwayatkan bahwa Husain bin Ali mewasiatkan ismul a’zham dan warisan para nabi kepada putranya Ali bin Husain dan mengatakan bahwa Ali bin Husain akan menjadi imam sepeninggalnya nanti.”
Muhammad bin Muslim mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq, ‘Cincin Husain bin Ali sampai kepada siapa? Aku mendengar bahwa cincin beliau pada hari Karbala dikeluarkan dari jarinya.’ Imam Ja’far menjawab, ‘Tidaklah seperti itu, melainkan Husain berwasiat kepada putranya yang bernama Ali bin Husain dan memberikan cincinnya serta menyerahkan urusan imamah kepada Ali bin Husain sebagaimana Rasulullah melakukan hal yang sama terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Ali as melakukannya terhadap Imam Hasan dan Imam Hasan terhadap saudaranya, Imam Husain. Setelah Ali bin Husain, cincin itu sampai ke tangan ayahku dan setelah ayahku, sampai ke tanganku. Setiap hari Jumat aku mengenakan cincin itu dan shalat dengan memakainya.’”
Muhammad bin Muslim mengatakan, “Pada hari Jumat, aku tiba di sisi Imam Ja’far Shadiq. Imam Ja’far dalam keadaan shalat. Ketika selesai dari shalatnya, Imam menjulurkan jarinya kepadaku. Aku menyaksikan sebuah cincin di tangannya yang mulia. Cincin itu bertuliskan lâ ilâha illa Allâh iddatun liliqa illâh. Sewaktu itu, Imam berkata, ‘Ini adalah cincin kakekku Abu Abdullah, Husain bin Ali.’”
Penulis kitab Kasyful Ghummah, untuk membuktikan imamah Ali bin Husain, membawakan sejumlah argumentasi lain.
Pertama, Imam Sajjad, setelah ayahnya, dan segi ilmu dan amal, merupakan manusia yang paling mulia. Dengan keberadaan manusia yang paling utama, maka yang tidak utama tidak dapat menjadi imam. Ini berlandaskan akal.
Kedua, dengan argumentasi aqliyah dan naqliyah, telah terbuktikan bahwa wujud imam diperlukan di semua masa dan tidak ada satu masa pun di bumi ini yang kosong dari keberadaan hujah. Di sisi lain, orang yang, di zaman Ali bin Husain, mengaku sebagai imam tidak memiliki argumen yang benar terhadap imamahnya dan klaimnya adalah batil. Oleh karena itulah, imamah Ali bin Husain terbuktikan sebab bumi tidak akan sunyi dari seorang imam.
Ketiga, dari Rasulullah saw telah datang nas yang menyatakan imamah Ali bin Husain. Contohnya adalah lauh yang dinukilkan oleh Jabir dari Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Baqir dari ayahnya, dan ayahnya dari kakeknya, dan kakeknya dari Fatimah, putri Rasulullah saw. Di dalamnya, tertulis nama-nama dua belas imam dan di antaranya nama Imam Sajjad tercatat di dalamnya.
Amirul Mukminin di masa kehidupan Husain bin Ali memberitahukan imamah cucunya Ali bin Husain as, sebagaimana dapat disimpulkan dari hadis-hadis.
Begitu juga, Husain bin Ali sebelum syahadah-nya, mewasiatkan imamah putranya dan menyerahkan surat wasiat tersebut kepada Ummu Salamah agar nanti sepeninggalnya diserahkan kepada Ali bin Husain yang akan memintanya dari Ummu Salamah. Ini merupakan salah satu tanda kebenaran klaim imamah Ali bin Husain.
Jabir bin Abdullah Anshari mengatakan, “Wahai Rasulullah! Para Imam dari putra Ali bin Abi Thalib, siapakah mereka?” Nabi saw mengatakan, “Hasan dan Husain adalah pemuka ahli surga. Setelah itu, Sayyid Abidin Ali bin Husain. Setelah itu, Baqir Muhammad bin Ali. Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Sampaikanlah salamku kepadanya! Setelah itu, ash-Shadiq, Ja’far bin Muhammad. Setelah itu, al-Kazhim, Musa bin Ja’far. Setelah itu, ar-Ridha, Ali bin Musa. Setelah itu, at-Taqi, Muhammad bin Ali. Setelah itu, an-Naqi, Ali bin Muhammad.
Setelah itu, az-Zaki, Hasan bin Ali. Setelah itu, putranya yang bernama Imam Mahdi, yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah bumi dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang- wenangan. Wahai Jabir! Mereka adalah para khalifah, aushiya, anak- anak, serta itrah-ku. Barangsiapa yang mematuhi mereka artinya mematuhiku dan barangsiapa yang menentang mereka artinya menentangku. Barangsiapa yang menentang atau memungkiri salah seorang dari mereka berarti telah mengingkariku. Dengan berkah wujud mereka, Allah Swt menjaga bumi dan tidak menenggelamkan penduduknya.”
Tanggal 12 Muharam tahun 95 Hijriah (dalam sebuah riwayat), Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husain as, yang terkenal dengan nama Imam Sajjad, gugur syahid. Imam Sajjad adalah salah satu saksi peristiwa Karbala.
Saat itu, beliau sakit keras sehingga tidak bisa ikut bertarung melawan pasukan Yazid. Setelah gugur syahidnya Imam Husein di Karbala, tampuk imamah diambil alih oleh Imam Sajjad as.
Sepanjang hidupnya, Imam Sajjad selalu berjuang menyebarkan ajaran Islam yang hakiki dan menyampaikan pesan perjuangan Karbala.
Imam Sajjad dikenal sebagai orang yang sangat rajin beribadah dan bermunajat kepada Allah. Doa-doa indah yang sering beliau ucapkan, dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul "Sahifah Sajjadiah".
Abu Jarud menukil dari Imam Muhammad Baqir yang berkata, “Imam Husain, sebelum syahadah, memanggil putrinya yang bernama Fatimah dan menitipkan sebuah buku yang dilipat beserta sebuah wasiat yang tampak jelas kepadanya. Saat itu, Ali Zainal Abidin sakit keras. Setelah itu, Fatimah menyerahkan amanah itu kepada Ali bin Husain. Demi Allah! Kitab itu ada di tangan kami.”
Abu Jarud berkata, “Apa yang terkandung dalam kitab itu, demi jiwaku yang kukorbankan untukmu, adalah semua hukum dan hudud, bahkan denda sebuah goresan.”
Abdullah bin Atabah mengatakan, “Suatu hari, aku berada di sisi Husain bin Ali yang tiba-tiba Ali bin Husain datang. Aku mengatakan kepada Imam Husain, sekiranya ―semoga Allah menjauhkannya― ajalmu tiba, sipakah yang dapat kami jadikan rujukan sepeninggalmu?” Imam Husain mengatakan, “Merujuklah kepada anakku. Dia adalah imam dan ayah para imam.”
Dalam kitab Itshalul Washiah, Mas’udi menulis, “Husain di Karbala memanggil anaknya, Ali bin Husain, yang sedang sakit dan mengajarkan kepadanya ismul a’zham dan warisan-warisan para nabi lalu memberitahukan kepadanya bahwa telah dititipkan ilmu, shahifah, serta senjata kepada Ummu Salamah. Imam Husain pun mewasiatkan agar Ummu Salamah menyerahkannya kepada Ali bin Husain.”
Sayyid Murtadho dalam kitab Uyunul Mukjizat menulis, “Para perawi hadis meriwayatkan bahwa Husain bin Ali mewasiatkan ismul a’zham dan warisan para nabi kepada putranya Ali bin Husain dan mengatakan bahwa Ali bin Husain akan menjadi imam sepeninggalnya nanti.”
Muhammad bin Muslim mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq, ‘Cincin Husain bin Ali sampai kepada siapa? Aku mendengar bahwa cincin beliau pada hari Karbala dikeluarkan dari jarinya.’ Imam Ja’far menjawab, ‘Tidaklah seperti itu, melainkan Husain berwasiat kepada putranya yang bernama Ali bin Husain dan memberikan cincinnya serta menyerahkan urusan imamah kepada Ali bin Husain sebagaimana Rasulullah melakukan hal yang sama terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Ali as melakukannya terhadap Imam Hasan dan Imam Hasan terhadap saudaranya, Imam Husain. Setelah Ali bin Husain, cincin itu sampai ke tangan ayahku dan setelah ayahku, sampai ke tanganku. Setiap hari Jumat aku mengenakan cincin itu dan shalat dengan memakainya.’”
Muhammad bin Muslim mengatakan, “Pada hari Jumat, aku tiba di sisi Imam Ja’far Shadiq. Imam Ja’far dalam keadaan shalat. Ketika selesai dari shalatnya, Imam menjulurkan jarinya kepadaku. Aku menyaksikan sebuah cincin di tangannya yang mulia. Cincin itu bertuliskan lâ ilâha illa Allâh iddatun liliqa illâh. Sewaktu itu, Imam berkata, ‘Ini adalah cincin kakekku Abu Abdullah, Husain bin Ali.’”
Penulis kitab Kasyful Ghummah, untuk membuktikan imamah Ali bin Husain, membawakan sejumlah argumentasi lain.
Pertama, Imam Sajjad, setelah ayahnya, dan segi ilmu dan amal, merupakan manusia yang paling mulia. Dengan keberadaan manusia yang paling utama, maka yang tidak utama tidak dapat menjadi imam. Ini berlandaskan akal.
Kedua, dengan argumentasi aqliyah dan naqliyah, telah terbuktikan bahwa wujud imam diperlukan di semua masa dan tidak ada satu masa pun di bumi ini yang kosong dari keberadaan hujah. Di sisi lain, orang yang, di zaman Ali bin Husain, mengaku sebagai imam tidak memiliki argumen yang benar terhadap imamahnya dan klaimnya adalah batil. Oleh karena itulah, imamah Ali bin Husain terbuktikan sebab bumi tidak akan sunyi dari seorang imam.
Ketiga, dari Rasulullah saw telah datang nas yang menyatakan imamah Ali bin Husain. Contohnya adalah lauh yang dinukilkan oleh Jabir dari Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Baqir dari ayahnya, dan ayahnya dari kakeknya, dan kakeknya dari Fatimah, putri Rasulullah saw. Di dalamnya, tertulis nama-nama dua belas imam dan di antaranya nama Imam Sajjad tercatat di dalamnya.
Amirul Mukminin di masa kehidupan Husain bin Ali memberitahukan imamah cucunya Ali bin Husain as, sebagaimana dapat disimpulkan dari hadis-hadis.
Begitu juga, Husain bin Ali sebelum syahadah-nya, mewasiatkan imamah putranya dan menyerahkan surat wasiat tersebut kepada Ummu Salamah agar nanti sepeninggalnya diserahkan kepada Ali bin Husain yang akan memintanya dari Ummu Salamah. Ini merupakan salah satu tanda kebenaran klaim imamah Ali bin Husain.
Jabir bin Abdullah Anshari mengatakan, “Wahai Rasulullah! Para Imam dari putra Ali bin Abi Thalib, siapakah mereka?” Nabi saw mengatakan, “Hasan dan Husain adalah pemuka ahli surga. Setelah itu, Sayyid Abidin Ali bin Husain. Setelah itu, Baqir Muhammad bin Ali. Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Sampaikanlah salamku kepadanya! Setelah itu, ash-Shadiq, Ja’far bin Muhammad. Setelah itu, al-Kazhim, Musa bin Ja’far. Setelah itu, ar-Ridha, Ali bin Musa. Setelah itu, at-Taqi, Muhammad bin Ali. Setelah itu, an-Naqi, Ali bin Muhammad.
Setelah itu, az-Zaki, Hasan bin Ali. Setelah itu, putranya yang bernama Imam Mahdi, yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah bumi dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang- wenangan. Wahai Jabir! Mereka adalah para khalifah, aushiya, anak- anak, serta itrah-ku. Barangsiapa yang mematuhi mereka artinya mematuhiku dan barangsiapa yang menentang mereka artinya menentangku. Barangsiapa yang menentang atau memungkiri salah seorang dari mereka berarti telah mengingkariku. Dengan berkah wujud mereka, Allah Swt menjaga bumi dan tidak menenggelamkan penduduknya.”
IMAM SAJJAD GUGUR SYAHID
- Sumber : irib indonesia
Imam Ali Zainal Abidin as adalah putra dari Imam Husein as, cucu
Rasulullah. Beliau dikenal amat rajin beribadah dan bersujud di hadapan
Allah, sehingga dijuluki as-Sajjad yang berarti banyak bersujud.
Imam Sajjad lahir tahun 38 Hijriah di Madinah. Pada tahun 61 Hijriah, Imam Sajjad turut menyertai ayah beliau yang berjuang melawan kezaliman pemerintahan Yazid, di Padang Karbala. Atas kehendak Allah, saat itu beliau jatuh sakit sehingga tidak bisa ikut bertempur. Setelah Imam Husain gugur syahid, tampuk imamah diemban oleh Imam Sajjad.
Imam Sajjad lahir tahun 38 Hijriah di Madinah. Pada tahun 61 Hijriah, Imam Sajjad turut menyertai ayah beliau yang berjuang melawan kezaliman pemerintahan Yazid, di Padang Karbala. Atas kehendak Allah, saat itu beliau jatuh sakit sehingga tidak bisa ikut bertempur. Setelah Imam Husain gugur syahid, tampuk imamah diemban oleh Imam Sajjad.
Tanggal 12 Muharam tahun 95 Hijriah (dalam sebuah riwayat), Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husain as, yang terkenal dengan nama Imam Sajjad, gugur syahid. Imam Sajjad adalah salah satu saksi peristiwa Karbala.
Saat itu, beliau sakit keras sehingga tidak bisa ikut bertarung melawan pasukan Yazid. Setelah gugur syahidnya Imam Husein di Karbala, tampuk imamah diambil alih oleh Imam Sajjad as.
Sepanjang hidupnya, Imam Sajjad selalu berjuang menyebarkan ajaran Islam yang hakiki dan menyampaikan pesan perjuangan Karbala.
Imam Sajjad dikenal sebagai orang yang sangat rajin beribadah dan bermunajat kepada Allah. Doa-doa indah yang sering beliau ucapkan, dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul "Sahifah Sajjadiah".
MUNAJAT SUNYI IMAM ALI ZAINAL ABIDIN ASSAJJAD
- Pengarang : Dr. Jalaluddin Rakhmat
Saat itu, malam sudah larut, dinihari sudah hampir tiba, angin
dingin sahara berhembus dalam kesepian. Bukit-bukit batu, rumah-rumah
tanah, pepohonan semua tak bergerak, berdiri kaku dalam rangkaian
silhuet. Namun di tengah Masjidil Haram, seorang pemuda berjalan
mengitari Ka’bah sambil bergantung pada tirainya. Matanya menatap langit
yang sunyi. Tak seorang pun berada di situ, kecuali Thawus Al-Yamani,
yang menceritakan peristiwa ini kepada kita.
Tepat pada saat itulah Thawus mendengar pemuda itu merintih: “Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam. Semua mata makhluk-Mu telah tertidur, tapi pintu-Mu terbuka lebar, buat pemohon kasihmu. Aku datang menghadap-Mu memohon ampunan-Mu, kasihilah daku, perlihatkan padaku wajah kakekku Muhammad SAW pada mahkamah hari kiamat. (Kemudian ia menangis). Demi kemuliaan dan kebesaran-Mu, maksiatku tidaklah untuk menentang-Mu, kala kulakukan maksiat kulakukan bukan karena meragukan-Mu, bukan karena mengabaikan siksa-Mu, bukan karena menentang hukum-Mu. Kulakukan karena pengaruh hawa nafsuku, dan karena Kau ulurkan tirai untuk menutub aibku. Kini siapakah yang akan menyelamatkan aku dari azab-Mu, kepada tali siapa aku akan bergantung, jikalau Kau putuskan tali-Mu malang nian daku kelak ketika bersimpuh dihadapan-Mu, kala si ringan dosa dipanggil: jalanlah! Kala si berat dosa dipanggil: berangkatlah! Aku tak tahu apakah aku berjalan dengan si ringan atau dengan si berat. Duhai celakalah aku bertambah umurku dan bertumpuk dosaku tak sempat aku bertobat kepada-Mu, sekarang aku malu menghadap pada-Mu. (Ia menangis lagi). Akankah Kaubakar aku dengan api-Mu wahai Tujuan segala kedambaan lalu, kemana harapku kemana cintaku. Aku menemui-Mu dengan memikul amal buruk dan hina diantara segenap makhluk-Mu, tak ada orang sejahat aku. (Ia menangis lagi). Mahasuci Engkau! Engkau dilawan seakan-akan engkau tiada. Engkau tetap pemurah seakan-akan Engkau tak pernah dilawan. Engkau curahkan kasih-Mu kepada makhluk-Mu seakan-akan Engkau memerlukan mereka, padahal Engkau wahai Junjunganku tak memerlukan semua itu. (Kemudian ia merebahkan diri bersujud)
Thawus pun bercerita: Aku dekati dia. Aku angkat kepalanya dan kuletakan pada pangkuanku. Aku menangis sampai airmataku membasahi pipinya. Ia bangun dan berkata, “Siapa yang menggangu dzikirku?” Aku berkata, “Aku Thawus, wahai putra Rasulullah. Untuk apa segala rintihan ini? Kamilah yang seharusnya berbuat seperti ini, karena hidup kami bergelimang dosa. Sedangkan ayahmu Husain bin Ali, ibumu Fathimah Az-Zahra dan kakekmu Rasulullah SAW. Ia memandangku seraya berkata,”Keliru kau Thawus. Jangan sebut-sebut perihal ayahku, ibuku dan kakekku. Allah menciptakan surga bagi yang menaati-Nya dan berbuat baik, walaupun ia budak dari Habsyi. Ia menciptakan neraka buat yang melawan-Nya walaupun ia bangsawan Quraisy. Tidakkah engkau ingat firman Allah-Ketika sangakala ditiup, tidaklah ada hubungan lagi diantara mereka hari itu dan tidak saling tolong-menolong. Demi Allah esok tidak ada yang bermanfaat selain amal shaleh yang telah engkau lakukan.”
Yang diceritakan Thawus dalam riwayat ini tidak lain Imam Ali Zainal Abidin. Imam keempat dalam rangkaian imam Ahlul Bayt Al-Mushtafa yang terkenal sebagai As-Sajjad, yang banyak bersujud. Doa-doanya dikumpulkan dalam ah-Shahifah As-Sajjadiyah; berisi kalimah-kalimah yang indah dan mengharukan. Berbeda dengan doa doa yang biasa kita ucapkan, doa-doa As-Sajjad lebih merupakan “percakapan ruhaniyah” dengan Allah SWT. Doa-doa yang biasa kita baca biasanya berisi perintah-perintah halus kepada Allah SWT seperti “Ya Allah, berilah daku rizki, panjangkan usiaku, naikkan pangkatku, dll”. Sementara doanya Imam Ali Zainal Abidin berisi kesadaran akan kehinaan diri dan kemuliaan Allah, kemaksiatan diri dan kasih sayang Allah.
Doa-doa Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad lebih mirip rintihan ketimbang permohonan. Kalimah-kalimahnya lebih mirip hubungan cinta kasih antara hamba dengan Tuhan, ketimbang hubungan kekuasaan.
Dari situlah terpancar dan tercermin dua cara dalam memandang Tuhan. Kita dapat memandang Dia sebagai Zat yang jauh dari kita, berbeda sama sekali dengan kita, memiliki sifat mukhalafat lil-hawadits, mempunyai jarak dengan makhluk-Nya. Inilah Tuhan transenden dalam pandangan para filsuf dan ahli kalam. Kita juga dapat melihat Dia sebagai Zat yang lebih dekat dengan kita dari urat leher kita, selalu beserta kita, kemanapun wajah kita menghadap, di situlah wajah Allah berada. Inilah Tuhan yang immanen dalam pandangan para wali-Nya. Inilah Tuhan dalam pandangan Ahlul Bayt. Inilah Tuhan dalam doa Ahlul Bayt.
Tepat pada saat itulah Thawus mendengar pemuda itu merintih: “Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam. Semua mata makhluk-Mu telah tertidur, tapi pintu-Mu terbuka lebar, buat pemohon kasihmu. Aku datang menghadap-Mu memohon ampunan-Mu, kasihilah daku, perlihatkan padaku wajah kakekku Muhammad SAW pada mahkamah hari kiamat. (Kemudian ia menangis). Demi kemuliaan dan kebesaran-Mu, maksiatku tidaklah untuk menentang-Mu, kala kulakukan maksiat kulakukan bukan karena meragukan-Mu, bukan karena mengabaikan siksa-Mu, bukan karena menentang hukum-Mu. Kulakukan karena pengaruh hawa nafsuku, dan karena Kau ulurkan tirai untuk menutub aibku. Kini siapakah yang akan menyelamatkan aku dari azab-Mu, kepada tali siapa aku akan bergantung, jikalau Kau putuskan tali-Mu malang nian daku kelak ketika bersimpuh dihadapan-Mu, kala si ringan dosa dipanggil: jalanlah! Kala si berat dosa dipanggil: berangkatlah! Aku tak tahu apakah aku berjalan dengan si ringan atau dengan si berat. Duhai celakalah aku bertambah umurku dan bertumpuk dosaku tak sempat aku bertobat kepada-Mu, sekarang aku malu menghadap pada-Mu. (Ia menangis lagi). Akankah Kaubakar aku dengan api-Mu wahai Tujuan segala kedambaan lalu, kemana harapku kemana cintaku. Aku menemui-Mu dengan memikul amal buruk dan hina diantara segenap makhluk-Mu, tak ada orang sejahat aku. (Ia menangis lagi). Mahasuci Engkau! Engkau dilawan seakan-akan engkau tiada. Engkau tetap pemurah seakan-akan Engkau tak pernah dilawan. Engkau curahkan kasih-Mu kepada makhluk-Mu seakan-akan Engkau memerlukan mereka, padahal Engkau wahai Junjunganku tak memerlukan semua itu. (Kemudian ia merebahkan diri bersujud)
Thawus pun bercerita: Aku dekati dia. Aku angkat kepalanya dan kuletakan pada pangkuanku. Aku menangis sampai airmataku membasahi pipinya. Ia bangun dan berkata, “Siapa yang menggangu dzikirku?” Aku berkata, “Aku Thawus, wahai putra Rasulullah. Untuk apa segala rintihan ini? Kamilah yang seharusnya berbuat seperti ini, karena hidup kami bergelimang dosa. Sedangkan ayahmu Husain bin Ali, ibumu Fathimah Az-Zahra dan kakekmu Rasulullah SAW. Ia memandangku seraya berkata,”Keliru kau Thawus. Jangan sebut-sebut perihal ayahku, ibuku dan kakekku. Allah menciptakan surga bagi yang menaati-Nya dan berbuat baik, walaupun ia budak dari Habsyi. Ia menciptakan neraka buat yang melawan-Nya walaupun ia bangsawan Quraisy. Tidakkah engkau ingat firman Allah-Ketika sangakala ditiup, tidaklah ada hubungan lagi diantara mereka hari itu dan tidak saling tolong-menolong. Demi Allah esok tidak ada yang bermanfaat selain amal shaleh yang telah engkau lakukan.”
Yang diceritakan Thawus dalam riwayat ini tidak lain Imam Ali Zainal Abidin. Imam keempat dalam rangkaian imam Ahlul Bayt Al-Mushtafa yang terkenal sebagai As-Sajjad, yang banyak bersujud. Doa-doanya dikumpulkan dalam ah-Shahifah As-Sajjadiyah; berisi kalimah-kalimah yang indah dan mengharukan. Berbeda dengan doa doa yang biasa kita ucapkan, doa-doa As-Sajjad lebih merupakan “percakapan ruhaniyah” dengan Allah SWT. Doa-doa yang biasa kita baca biasanya berisi perintah-perintah halus kepada Allah SWT seperti “Ya Allah, berilah daku rizki, panjangkan usiaku, naikkan pangkatku, dll”. Sementara doanya Imam Ali Zainal Abidin berisi kesadaran akan kehinaan diri dan kemuliaan Allah, kemaksiatan diri dan kasih sayang Allah.
Doa-doa Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad lebih mirip rintihan ketimbang permohonan. Kalimah-kalimahnya lebih mirip hubungan cinta kasih antara hamba dengan Tuhan, ketimbang hubungan kekuasaan.
Dari situlah terpancar dan tercermin dua cara dalam memandang Tuhan. Kita dapat memandang Dia sebagai Zat yang jauh dari kita, berbeda sama sekali dengan kita, memiliki sifat mukhalafat lil-hawadits, mempunyai jarak dengan makhluk-Nya. Inilah Tuhan transenden dalam pandangan para filsuf dan ahli kalam. Kita juga dapat melihat Dia sebagai Zat yang lebih dekat dengan kita dari urat leher kita, selalu beserta kita, kemanapun wajah kita menghadap, di situlah wajah Allah berada. Inilah Tuhan yang immanen dalam pandangan para wali-Nya. Inilah Tuhan dalam pandangan Ahlul Bayt. Inilah Tuhan dalam doa Ahlul Bayt.
MEMETIK KISAH TELADAN DARI KEHIDUPAN IMAM SAJJAD (1)
- Sumber : Hilyat al-Awliya, vol. 3, hal. 136
Di Luar Rumah pada Kegelapan Malam
Imam Keempat kita, Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin As merupakan orang yang
paling baik kepada kaum Muslimin yang miskin dan membutuhkan. Beliau
senantiasa keluar dengan jalan apa saja untuk membantu mereka.
Tatkala kegelapan malam menyelimuti kota dan orang-orang sedang tertidur, Imam As terjaga, menaruh beberapa makan dalam sebuah karung dan memikul di pundaknya untuk dibawa ke rumah-rumaha orang miskin.
Meskipun dalam keadaan gelap dan orang-orang sedang tertidur, Imam menutup wajahnya khawatir kalau-kalau ada yang melihatnya. Beliau tidak ingin orang-orang yang dia tolong mengetahuinya sehingga membuat mereka malu.
Dengan cara diam-diam, Imam merawat kurang-lebih 100 keluarga tanpa mereka ketahui siapa yang menolong mereka.
Imam Sajjad (gelar Imam Zainal Abidin As) berkata, “Menolong orang dengan diam-diam menghilangkan murka Allah Swt pada Hari Kiamat.”
Ketika beliau menolong seorang pengemis, beliau mencium tangan si pengemis sehingga si penerima tidak akan merasa malu. Imam berkata, “Aku tidak memberikannya kepadamu, akan tetapi aku memberikannya kepada Allah Swt.”
Imam Sajjad As merawat keluarga-keluarga miskin seperti keluarganya sendiri. Imam Baqir As meriwayatkan bahwa, “Ayahku membeli sebuah mantel tebal untuk musim dingin. Ketika musim panas tiba, beliau memerintahkannya untuk dijual dan menyerahkan uangnya sebagai sedekah.”
Hal ini menunjukkan bahwa Imam Sajjad As menggunakan uang ekstra yang beliau miliki untuk menolong kaum miskin.
Hanya tatkala beliau wafat dan orang-orang lama tidak lagi menerima makanan, mereka mengetahui bahwa pastilah Imam Zainal Abidin As yang telah menolong mereka selama ini.
Tatkala kegelapan malam menyelimuti kota dan orang-orang sedang tertidur, Imam As terjaga, menaruh beberapa makan dalam sebuah karung dan memikul di pundaknya untuk dibawa ke rumah-rumaha orang miskin.
Meskipun dalam keadaan gelap dan orang-orang sedang tertidur, Imam menutup wajahnya khawatir kalau-kalau ada yang melihatnya. Beliau tidak ingin orang-orang yang dia tolong mengetahuinya sehingga membuat mereka malu.
Dengan cara diam-diam, Imam merawat kurang-lebih 100 keluarga tanpa mereka ketahui siapa yang menolong mereka.
Imam Sajjad (gelar Imam Zainal Abidin As) berkata, “Menolong orang dengan diam-diam menghilangkan murka Allah Swt pada Hari Kiamat.”
Ketika beliau menolong seorang pengemis, beliau mencium tangan si pengemis sehingga si penerima tidak akan merasa malu. Imam berkata, “Aku tidak memberikannya kepadamu, akan tetapi aku memberikannya kepada Allah Swt.”
Imam Sajjad As merawat keluarga-keluarga miskin seperti keluarganya sendiri. Imam Baqir As meriwayatkan bahwa, “Ayahku membeli sebuah mantel tebal untuk musim dingin. Ketika musim panas tiba, beliau memerintahkannya untuk dijual dan menyerahkan uangnya sebagai sedekah.”
Hal ini menunjukkan bahwa Imam Sajjad As menggunakan uang ekstra yang beliau miliki untuk menolong kaum miskin.
Hanya tatkala beliau wafat dan orang-orang lama tidak lagi menerima makanan, mereka mengetahui bahwa pastilah Imam Zainal Abidin As yang telah menolong mereka selama ini.
MEMETIK KISAH TELADAN DARI KEHIDUPAN IMAM SAJJAD (2)
- Sumber : Syaikh Kulaini, al-Kafi, vol. 1, hal. 348
Hajar Aswad yang Berbicara
Setelah syahadah Imam Husain As, Imam Keempat kita, Imam Zainal
Abidin As dan seluruh wanita di Karbala dibawa ke Damaskus oleh
orang-orang kejam Yazid dan menjebloskan mereka ke dalam penjara di
Damaskus.
Setelah setahun berlalu, Imam Sajjad As diizinkan untuk meninggalkan Damaskus, dan beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah tempat tinggalnya. Di Madinah, Imam memiliki banyak kerabat dan sahabat, termasuk pamannya, Muhammad al-Hanafiyyah.
Suatu hari, tatkala mereka berdua pergi ke Makkah, pamannya meminta untuk bersua dengan Imam Sajjad As secara khusus. Ketika mereka bertemu, Muhammad al-Hanafiyyah berkata bahwa lantaran dia adalah saudara Imam Husain As dan putra Imam Ali As, seyogyanya dialah yang menjadi Imam selepas Imam Husain As. Muhammad al-Hanafiyyah juga mengingatkan Imam bahwa dia lebih tua darinya dan sepanjang yang ia ketahui bahwa, Imam Husain As belum mengumumkan siapa yang kelak menjadi Imam selepasnya.
Imam Sajjad As berkata, “Wahai Paman, takutlah kepada Allah, percayalah kepadaku bahwa masalah Imamah adalah kepunyaanku bukan untukmu.”
Namun, Muhammad al-Hanafiyah tetap saja membantah Imam Sajjad As hingga mereka tiba di Ka’bah.
Imam Sajjad As berkata, “Jika engkau ingin bukti bahwa aku adalah Imam yang sesungguhnya, mengapa kita tidak bertanya kepada Hajar al-Aswad untuk memberitahukannya kepada kita.”
Muhammad al-Hanafiyyah setuju dan berdiri di hadapan Hajar al-Aswad dan berulang kali dia bertanya untuk mendapatkan penegasan dari batu hitam tersebut bahwa dialah imam. Tidak ada respon dari batu hitam tersebut.
Kemudian Imam As maju dan berkata, “Wahai Hajar al-Aswad! Aku bertanya kepadamu, Demi Allah yang telah mengajarkanmu nama-nama para nabi dan imam, katakanlah kepada kami dalam bahasa Arab yang jelas, siapakah Imam Zaman sekarang ini?”
Tiba-tiba Hajar al-Aswad mulai bergetar dan bergoyang, seakan-akan hendak keluar dari Ka’bah. Lalu, dengan izin Allah Swt, Hajar al-Aswad berbicara dengan suara yang lantang dan berkata, “Imam zaman adalah Ali bin Husain bin Ali.”
Kala mendengar pesan yang menakjubkan ini, Muhammad al-Hanafiyah berbalik ke arah Imam Sajjad As dan berkata, “Wahai anak saudaraku! Memang benar bahwa engkau adalah Imam dan aku adalah pengikutmu”.
Setelah setahun berlalu, Imam Sajjad As diizinkan untuk meninggalkan Damaskus, dan beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah tempat tinggalnya. Di Madinah, Imam memiliki banyak kerabat dan sahabat, termasuk pamannya, Muhammad al-Hanafiyyah.
Suatu hari, tatkala mereka berdua pergi ke Makkah, pamannya meminta untuk bersua dengan Imam Sajjad As secara khusus. Ketika mereka bertemu, Muhammad al-Hanafiyyah berkata bahwa lantaran dia adalah saudara Imam Husain As dan putra Imam Ali As, seyogyanya dialah yang menjadi Imam selepas Imam Husain As. Muhammad al-Hanafiyyah juga mengingatkan Imam bahwa dia lebih tua darinya dan sepanjang yang ia ketahui bahwa, Imam Husain As belum mengumumkan siapa yang kelak menjadi Imam selepasnya.
Imam Sajjad As berkata, “Wahai Paman, takutlah kepada Allah, percayalah kepadaku bahwa masalah Imamah adalah kepunyaanku bukan untukmu.”
Namun, Muhammad al-Hanafiyah tetap saja membantah Imam Sajjad As hingga mereka tiba di Ka’bah.
Imam Sajjad As berkata, “Jika engkau ingin bukti bahwa aku adalah Imam yang sesungguhnya, mengapa kita tidak bertanya kepada Hajar al-Aswad untuk memberitahukannya kepada kita.”
Muhammad al-Hanafiyyah setuju dan berdiri di hadapan Hajar al-Aswad dan berulang kali dia bertanya untuk mendapatkan penegasan dari batu hitam tersebut bahwa dialah imam. Tidak ada respon dari batu hitam tersebut.
Kemudian Imam As maju dan berkata, “Wahai Hajar al-Aswad! Aku bertanya kepadamu, Demi Allah yang telah mengajarkanmu nama-nama para nabi dan imam, katakanlah kepada kami dalam bahasa Arab yang jelas, siapakah Imam Zaman sekarang ini?”
Tiba-tiba Hajar al-Aswad mulai bergetar dan bergoyang, seakan-akan hendak keluar dari Ka’bah. Lalu, dengan izin Allah Swt, Hajar al-Aswad berbicara dengan suara yang lantang dan berkata, “Imam zaman adalah Ali bin Husain bin Ali.”
Kala mendengar pesan yang menakjubkan ini, Muhammad al-Hanafiyah berbalik ke arah Imam Sajjad As dan berkata, “Wahai anak saudaraku! Memang benar bahwa engkau adalah Imam dan aku adalah pengikutmu”.
MEMETIK KISAH TELADAN DARI KEHIDUPAN IMAM SAJJAD (3)
- Sumber : Sahifah as-Sajjadiyah,
Doa No. 20, Makarimul Akhlaq
Zabur Keluarga Nabi
Setelah tragedi pilu Karbala, Imam Keempat kita, Imam ‘Ali Zainal
‘Abidin As, kembali ke Madinah setelah menghabiskan masa setahun dalam
penjara Yazid di Damaskus.
Di Madinah, Imam Sajjad As secara ketat diawasi oleh orang-orang Yazid, yang ingin mencari tahu kalau-kalau Imam Sajjad As memulai kegiatan yang merongrong pemerintahan Yazid.
Imam Ali Zainal Abidin As bertugas untuk mengajarkan dan membimbing kaum Muslimin, dan ia melakukannya dengan berbagai cara.
Imam Sajjad As dikenal oleh para ulama sebagai seorang yang ahli dalam bidang hadits Nabi Muhamamd Saw. Banyak ulama datang ke hadiratnya untuk menuntut ilmu darinya.
Salah satu jalan yang ditempuh oleh Imam untuk membimbing umat adalah melalui jalan doa dan munajat kepada Allah Swt. Ia membaca doa dan umat akan ikut serta bersamanya berdoa. Pada saat yang sama umat dapat belajar banyak tentang Islam berkat doa-doa yang memuat banyak pesan dan ajaran itu.
Sebagai hasilnya, hari ini kita memiliki kumpulan doa dalam sebuah buku yang disebut sebagai, “as-Sahifah al-Kamilah al-Sajjadiyah.” Imam Ali Zainal Abidin As dikenal sebagai as-Sajjad. Kitab doa ini juga dikenal sebagai Zabur Ahlul Bait As.”
Salah satu doa yang terkenal dari kitab doa ini adalah Makarimul Akhlaq.
Dalam satu bait doanya, Imam Sajjad As bersenandung:
Allahumma (Ya Allah)!
Sampaikan salawat dan salam ke atas Muhamamad dan keluarganya yang kudus,
Janganlah Engkau angkat aku satu derajat pun di hadapan manusia,
Tanpa Engkau turunkan aku juga semisal dengan itu dalam diriku,
Dan jangan Engkau datangkan kepadaku kemegahan lahir
Tanpa Engkau berikan kerendahan batin dalam diriku
Demikianlah doa yang dilantunkan oleh Imam kita yang mulia.
Di Madinah, Imam Sajjad As secara ketat diawasi oleh orang-orang Yazid, yang ingin mencari tahu kalau-kalau Imam Sajjad As memulai kegiatan yang merongrong pemerintahan Yazid.
Imam Ali Zainal Abidin As bertugas untuk mengajarkan dan membimbing kaum Muslimin, dan ia melakukannya dengan berbagai cara.
Imam Sajjad As dikenal oleh para ulama sebagai seorang yang ahli dalam bidang hadits Nabi Muhamamd Saw. Banyak ulama datang ke hadiratnya untuk menuntut ilmu darinya.
Salah satu jalan yang ditempuh oleh Imam untuk membimbing umat adalah melalui jalan doa dan munajat kepada Allah Swt. Ia membaca doa dan umat akan ikut serta bersamanya berdoa. Pada saat yang sama umat dapat belajar banyak tentang Islam berkat doa-doa yang memuat banyak pesan dan ajaran itu.
Sebagai hasilnya, hari ini kita memiliki kumpulan doa dalam sebuah buku yang disebut sebagai, “as-Sahifah al-Kamilah al-Sajjadiyah.” Imam Ali Zainal Abidin As dikenal sebagai as-Sajjad. Kitab doa ini juga dikenal sebagai Zabur Ahlul Bait As.”
Salah satu doa yang terkenal dari kitab doa ini adalah Makarimul Akhlaq.
Dalam satu bait doanya, Imam Sajjad As bersenandung:
Allahumma (Ya Allah)!
Sampaikan salawat dan salam ke atas Muhamamad dan keluarganya yang kudus,
Janganlah Engkau angkat aku satu derajat pun di hadapan manusia,
Tanpa Engkau turunkan aku juga semisal dengan itu dalam diriku,
Dan jangan Engkau datangkan kepadaku kemegahan lahir
Tanpa Engkau berikan kerendahan batin dalam diriku
Demikianlah doa yang dilantunkan oleh Imam kita yang mulia.
KEPEMIMPINAN IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM DI ERA GENTING SEJARAH ISLAM
Yang banyak dinukil tentang Imam Sajjad as adalah ibadah dan sujud
panjang beliau dan oleh karena itu beliau dijuluki dengan as-Sajjad yang
berarti orang yang banyak sujud. Beliau juga dijuluki dengan Zainul
Abidin yang berarti perhiasan orang-orang yang beribadah. Atas dasar itu
pula sebagian orang berpendapat bahwa Imam Sajjad as berada di luar
lingkup politik dan sosial dan sebagian besar waktunya dihabiskan beliau
untuk beribadah. Padahal gerakan dan sikap Imam Sajjad as sesuai dengan
jalur gerakan para imam terdahulu dalam mewujdukan pemerintahan ilahi
di buka bumi dan merealisasikan Islam sejati.
Cucu Rasulullah Saw ini sama seperti para nabi dan auliya Allah, menjaga politik, keberanian dan ketelitian dalam setiap masalah dan setelah 35 tahun berjuang tanpa lelah melaksanakan tugas luhurnya, beliau meneguk cawan syahadah,
Pada tahun 61 Hijriah, Imam Sajjad as ikut dalam kafilah Imam Husein as yang bergerak menuju Kufah. Sebelum sampai ke Karbala, Imam Sajjad as mendadak sakit keras dan kondisi beliau berlanjut hingga beberapa hari setelah tragedi di Karbala. Namun sakit Imam Sajjad as tersebut adalah kehendak Allah Swt yang akhirnya menyelamatkan beliau dari tragedi Karbala, sehingga beliau dapat melanjutkan risalah yang diemban sang ayah, Imam Husein as, untuk menghidupkan agama Islam.
Kondisi lahiriyah masyarakat Islam pada masa itu, termasuk salah satu masa tersulit dalam sejarah Islam. Meski jauh hari sebelumnya pemerintahan Islam telah berubah menjadi rezim despotik, akan tetapi perbedaannya adalah pada era kepemimpinan Imam Sajjad as, para penguasa Dinasti Umawiyah secara terang-terangan menistakan kehormatan Islam. Mereka tidak segan-segan lagi di hadapan masyarakat melanggar semua pedoman dalam Islam dan tidak ada seorang pun yang berani menyoal. Tragedi Asyura telah menguak fakta tersebut di mana para penguasa Umawiyah khususnya Yazid bin Muawiyah, tidak ragu untuk membunuh Husein bin Ali as, cucu Rasulullah Saw, manusia suci dan terhormat di dunia Islam.
Masalah penting lainnya adalah bahwa dunia Islam kala itu menghadapi keterbelakangan pemikiran. Ketidakpedulian terhadap ajaran agama, israf dalam memanfaatkan nikmat dunia serta memudarnya hubungan dengan Allah Swt dan spiritualitas, telah membuat masyarakat Islam tergelincir ke jurang kehancuran. Masyarakat hanya mengedepankan lahiriyah Islam dan mereka tidak lagi mementingkan esensi keimanan.
Puncak kehancuran spiritualitas umat Muslim dapat ditelaah dalam gemerlap dunia malam Mekkah dan Madinah kala itu. Cerita tentang tawaf Aisyah binti Talhah, seorang penyanyi yang mampu menguasai afeksi dan perhatian audien, berkaitan dengan era ini. Disebutkan bahwa perempuan itu sedang bertawaf ketika waktu azan tiba. Kepada Harits bin Khaled Makhzumi, penguasa Mekkah, Aisyah bin Talhah mengatakan agar azan ditangguhkan dahulu hingga tawafnya selesai. Haritsh pun menginstruksikan agar pengumandangan azan ditangguhkan. Dia diprotes mengapa harus menangguhkan azan hanya karena seorang sedang bertawaf dan menangguhkan shalat masyarakat. Harits menjawab, “Demi Tuhan jika tawafnya sampai besok pagi maka aku katakan jangan dikumandangkan azan.”
Contoh lain adalah kisah Umar bin Abi Rabiah. Dia adalah seorang penyair terkenal di masa itu. Pada musim haji dan di saat ia sedang mengenakan pakaian ihram, tanpa rasa malu dia duduk di satu sudut mengamati para gadis dan istri-istri para Muslim dan setiap kali dia melihat perempuan cantik, dia melantunkan puisi untuk menyifati kecantikan perempuan itu. Ketika dia meninggal, seluruh kota Madinah berduka dan semua orang menangisi kematiannya.
Imam Sajjad as memikul tanggung jawab membimbing umat yang telah terjerumus dalam jurang penyimpangan. Pasca tragedi Asyura, Imam Sajjad, bergerak menuju Kufah dan dengan mengenakan baju sebagai tawanan, beliau mengungkap kebobrokan para pelaku tragedi tersebut. Ubaidullah bin Ziyad, penguasa Kufah yang menginstruksikan pembunuhan semua laki-laki dari keluarga Imam Husein as, terkejut melihat Imam Sajjad as dan berkata, “Bukankah Ali bin Husein telah dibunuh oleh Tuhan?” Imam Sajjad menjawab, “Aku punya kakak yang bernama Ali dan masyarakat telah membunuhnya.” Ibn Ziyad dengan congkak berkata, “Masyarakat tidak membunuhnya melainkan Tuhan.” Imam Sajjad as menjawab ucapan itu dengan membacakan ayat 42 surat al-Zumar, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.”
Mendengar jawaban tersebut, Ibn Ziyad menginstruksikan pemenggalan kepala Imam Sajjad as. Beliau berkata, “Apakah kau mengancam membunuh kami? Sementara kemuliaan kami adalah syahadah. Kami menilai terbunuh di jalan Allah swt sebagai kehormatan dan kami tidak takut mati.” Jawaban tersebut membuat Ubaidullah mundur dan mengirim Imam Sajjad as berserta kafilahnya menuju Syam, pusat pemerintahan Yazid.
Di Syam, ketika khatib istana Yazid naik ke atas mimbar dan mulai mengecam dan menghina Imam Ali dan Husein as, serta memuji para khalifah Bani Umayyah, Imam Sajjad as tidak diam diri dan berseru, “Celakalah kau khatib! Kau telah menukar keridhoan makhluk dengan murka Allah Swt dan kau telah menetapkan tempatmu di neraka jahannam?”
Kemudian Imam Sajjad as naik ke atas mimbar atas ijin Yazid. Beliau kemudian menjelaskan filsafat imamah kepada masyarakat dan menceritakan kesyahidan Imam Husein serta mengungkap peran rezim Umawiyah dalam kejahatan tersebut. Itu semua dijelaskan Imam Sajjad as di jantung kekuasaan Yazid.
Sebagian besar era kepemimpinan Imam Sajjad as pada masa khilafah Abdul Malik bin Marwan, yang berlangsung selama 21 tahun. Abdul Malik sedemikian haus darah dan tidak beragama sehingga dalam khutbahnya dia mengancam akan memenggal kepala orang yang menyerunya pada ketakwaan. Dia menunjuk Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, seorang kriminal terkenal dan musuh Ahlul Bait, sebagai algojonya.
Dalam kondisi seperti ini, Imam Sajjad menggunakan cara sangat bijak dalam menghidupkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Untuk mengenalkan masyarakat dengan Islam yang benar, beliau menyisipkan pesannya dalam bentuk nasehat dan wejangan. Cara ini memperkecil sensitivitas dari pihak penguasa. Melalui cara ini, beliau mampu menyampaikan pesannya bahkan kepada seorang kriminal terkenal seperti Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi.
Selain itu, Imam Sajjad as juga menyampaikan pesannya melalui doa dan munajat. Kumpulan doa Imam Sajjad as tercantum dalam kitab Sahifah Sajjadiyah. Tangisan beliau untuk para syuhada Karbala merupakan salah satu upaya dalam menjaga kenangan tragedi Karbala tetap hidup. Pada suatu hari, seseorang mendatangi Ima mdan berkata, “Apakah kesedihanmu tidak ada akhirnya?” Imam Sajjad as berkata, “Celakalah kau, Nabi Ya’qub yang satu dari 13 putranya hilang, menangisi perpisahan dengan anaknya itu sampai dia buta, padahal Yusuf masih hidup! Akan tetapi aku menyaksikan terbunuhnya ayahku, saudara-saudaraku, paman-pamanku dan 17 orang keluargaku yang jenazah mereka tergeletak di tanah. Lalu bagaimana kesedihanku berakhir?”
Air mata dan tangisan Imam Sajjad as menjadi salah satu faktor efektif dalam melestarikan dan memperkokoh tujuan Imam Husein as serta mengguncang istana rezim despotik Bani Umawiyah.
Pada hari Asyura tahun 61 hijriah, padang Karbala saat itu menyaksikan peristiwa heroik yang ditampilkan oleh cucu kesayangan Rasulullah Saw, Imam Husein as dan para sahabatnya yang setia. Pada saat yang sama, Imam Ali Zainal Abidin as, putra Imam Husein as, tergeletak sakit di kemah. Kondisi itu membuat Imam Ali Zainal Abidin as tidak dapat bangkit membantu ayahnya dan para pejuang Karbala. Akan tetapi jiwa Imam Ali Zainal Abidin as yang juga dikenal al-Sajjad atau orang yang banyak bersujud, tak dapat ditahan untuk membantu ayahnya, tapi raga sama sekali tak mengizinkan.
Kondisi sakit Imam Ali Zainal Abidin pada hari Asyura mengandung hikmah ilahi dan rahasia Tuhan. Setelah peristiwa Asyura, Imam al-Sajjad mengemban tanggung jawab kepemimpinan demi menjaga risalah kenabian Rasulullah Saw.
Sejarah mencatat, tatkala pertempuran di padang Karbala bergolak, Imam Sajjad as mendengar suara ayahnya, Imam Husein as yang berkata: "Siapakah yang menolongku?", dalam keadaan lemah beliau pun berusaha bangkit seakan hendak memenuhi panggilan ayahnya. Namun melihat hal itu, Ummi Kultsum, bibi beliau pun berusaha menahannya pergi lantaran masih lemahnya kondisi kesehatan Imam Sajjad as. Dengan penuh harapan, beliau berkata, "Bibi, ijinkan aku pergi berjihad bersama putra Rasulullah saw". Akan tetapi, karena lemahnya kondisi jasmani beliau, Imam pun tak mampu mengantarkan dirinya ke garis pertempuran. Hingga akhirnya takdir pun menyelamatkan beliau dan cita-cita kebangkitan Imam Husein dapat terus diperjuangkan.
Imam al-Sajjad menerima tanggung jawab kepemimpinan atau imamah pada umur 23 tahun. Tanggung jawab itu diterima saat kondisi sangat pelik. Pada masa itu, Dinasti Bani Umayyah berkuasa. Masyarakat saat itu jauh dari ajaran murni agama Islam. Akan tetapi penguasa saat itu berpenampilan religius, tapi pada dasarnya bertujuan membabat habis nilai-nilai agama.
Dinasti Umayyah di masa itu juga berusaha mengesankan kebangkitan Imam Husein sebagai langkah ekstrim yang keluar dari ajaran agama. Bani Umayyah berupaya menghapuskan pesan Imam Husein di padang Karbala supaya tidak sampai ke masyarakat. Di tengah kondisi seperti itu, Imam Ali Zainal Abidin as berusaha menjelaskan tujuan-tujuan penting kebangkitan Imam Husein as sehingga konspirasi musuh yang berupaya memojokkan posisi Ahlul Bait as dihadapkan pada kegagalan total.
Imam Ali Zainal Abidin as bersama Sayidah Zainab as memegang peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan gerakan Imam Husein as kepada masyarakat. Salah satu lembaran penting dalam sejarah pasca Peristiwa Karbala adalah pidato tegas Imam al-Sajjad di masjid Bani Umayyah, Syam. Dengan pidatonya, Imam al-Sajjad mampu menyampaikan pesan revolusionernya dengan landasan argumentasi kuat dan logis.
Saat Imam as digelandang bersama para tawanan Karbala dan sampai di kota Kufah, beliau melontarkan orasi yang sangat memukau dan menyentuh, sampai-sampai seluruh warga kota Kufah seakan tersihir oleh orasi beliau. Setelah memaparkan tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi dan Imam Husein as, beliau berbicara kepada warga Kufah: "Wahai umat manusia, demi Allah aku bersumpah dengan kalian, apakah kalian ingat, kalian sendiri yang telah menulis surat kepada ayahku, namun setelah itu kalian menipunya? Kalian menjalin janji dan berbaiat kepadanya, namun kalian juga yang memeranginya? Lantas dengan mata yang mana lagi kalian akan melihat saat Rasulullah Saw di hari Kiamat kelak berkata, ‘Kalian telah bunuh Ahlul Baitku dan mematahkan kehormatanku!'"
Puncak orasi Imam Sajjad as saat beliau berpidato di hadapan khalifah zalim, Yazid bin Muawiyah di Syam. Seluruh kejahatan dan kebobrokan penguasa zalim itupun diungkap secara jelas oleh Imam as hingga Yazid kehilangan muka. Dalam salah satu bagian pidatonya, Imam Sajjad as menuturkan, "Wahai umat manusia, Allah Swt menganugerahkan keutamaan-keutamaan seperti keilmuan, kesabaran, kedermawanan, kelugasan dan keberanian kepada Ahlul Bait Rasulullah Saw. Allah juga menganugerahkan kecintaan kepada Ahlul Bait pada hati orang-orang mukmin."
Cucu Rasulullah Saw ini sama seperti para nabi dan auliya Allah, menjaga politik, keberanian dan ketelitian dalam setiap masalah dan setelah 35 tahun berjuang tanpa lelah melaksanakan tugas luhurnya, beliau meneguk cawan syahadah,
Pada tahun 61 Hijriah, Imam Sajjad as ikut dalam kafilah Imam Husein as yang bergerak menuju Kufah. Sebelum sampai ke Karbala, Imam Sajjad as mendadak sakit keras dan kondisi beliau berlanjut hingga beberapa hari setelah tragedi di Karbala. Namun sakit Imam Sajjad as tersebut adalah kehendak Allah Swt yang akhirnya menyelamatkan beliau dari tragedi Karbala, sehingga beliau dapat melanjutkan risalah yang diemban sang ayah, Imam Husein as, untuk menghidupkan agama Islam.
Kondisi lahiriyah masyarakat Islam pada masa itu, termasuk salah satu masa tersulit dalam sejarah Islam. Meski jauh hari sebelumnya pemerintahan Islam telah berubah menjadi rezim despotik, akan tetapi perbedaannya adalah pada era kepemimpinan Imam Sajjad as, para penguasa Dinasti Umawiyah secara terang-terangan menistakan kehormatan Islam. Mereka tidak segan-segan lagi di hadapan masyarakat melanggar semua pedoman dalam Islam dan tidak ada seorang pun yang berani menyoal. Tragedi Asyura telah menguak fakta tersebut di mana para penguasa Umawiyah khususnya Yazid bin Muawiyah, tidak ragu untuk membunuh Husein bin Ali as, cucu Rasulullah Saw, manusia suci dan terhormat di dunia Islam.
Masalah penting lainnya adalah bahwa dunia Islam kala itu menghadapi keterbelakangan pemikiran. Ketidakpedulian terhadap ajaran agama, israf dalam memanfaatkan nikmat dunia serta memudarnya hubungan dengan Allah Swt dan spiritualitas, telah membuat masyarakat Islam tergelincir ke jurang kehancuran. Masyarakat hanya mengedepankan lahiriyah Islam dan mereka tidak lagi mementingkan esensi keimanan.
Puncak kehancuran spiritualitas umat Muslim dapat ditelaah dalam gemerlap dunia malam Mekkah dan Madinah kala itu. Cerita tentang tawaf Aisyah binti Talhah, seorang penyanyi yang mampu menguasai afeksi dan perhatian audien, berkaitan dengan era ini. Disebutkan bahwa perempuan itu sedang bertawaf ketika waktu azan tiba. Kepada Harits bin Khaled Makhzumi, penguasa Mekkah, Aisyah bin Talhah mengatakan agar azan ditangguhkan dahulu hingga tawafnya selesai. Haritsh pun menginstruksikan agar pengumandangan azan ditangguhkan. Dia diprotes mengapa harus menangguhkan azan hanya karena seorang sedang bertawaf dan menangguhkan shalat masyarakat. Harits menjawab, “Demi Tuhan jika tawafnya sampai besok pagi maka aku katakan jangan dikumandangkan azan.”
Contoh lain adalah kisah Umar bin Abi Rabiah. Dia adalah seorang penyair terkenal di masa itu. Pada musim haji dan di saat ia sedang mengenakan pakaian ihram, tanpa rasa malu dia duduk di satu sudut mengamati para gadis dan istri-istri para Muslim dan setiap kali dia melihat perempuan cantik, dia melantunkan puisi untuk menyifati kecantikan perempuan itu. Ketika dia meninggal, seluruh kota Madinah berduka dan semua orang menangisi kematiannya.
Imam Sajjad as memikul tanggung jawab membimbing umat yang telah terjerumus dalam jurang penyimpangan. Pasca tragedi Asyura, Imam Sajjad, bergerak menuju Kufah dan dengan mengenakan baju sebagai tawanan, beliau mengungkap kebobrokan para pelaku tragedi tersebut. Ubaidullah bin Ziyad, penguasa Kufah yang menginstruksikan pembunuhan semua laki-laki dari keluarga Imam Husein as, terkejut melihat Imam Sajjad as dan berkata, “Bukankah Ali bin Husein telah dibunuh oleh Tuhan?” Imam Sajjad menjawab, “Aku punya kakak yang bernama Ali dan masyarakat telah membunuhnya.” Ibn Ziyad dengan congkak berkata, “Masyarakat tidak membunuhnya melainkan Tuhan.” Imam Sajjad as menjawab ucapan itu dengan membacakan ayat 42 surat al-Zumar, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.”
Mendengar jawaban tersebut, Ibn Ziyad menginstruksikan pemenggalan kepala Imam Sajjad as. Beliau berkata, “Apakah kau mengancam membunuh kami? Sementara kemuliaan kami adalah syahadah. Kami menilai terbunuh di jalan Allah swt sebagai kehormatan dan kami tidak takut mati.” Jawaban tersebut membuat Ubaidullah mundur dan mengirim Imam Sajjad as berserta kafilahnya menuju Syam, pusat pemerintahan Yazid.
Di Syam, ketika khatib istana Yazid naik ke atas mimbar dan mulai mengecam dan menghina Imam Ali dan Husein as, serta memuji para khalifah Bani Umayyah, Imam Sajjad as tidak diam diri dan berseru, “Celakalah kau khatib! Kau telah menukar keridhoan makhluk dengan murka Allah Swt dan kau telah menetapkan tempatmu di neraka jahannam?”
Kemudian Imam Sajjad as naik ke atas mimbar atas ijin Yazid. Beliau kemudian menjelaskan filsafat imamah kepada masyarakat dan menceritakan kesyahidan Imam Husein serta mengungkap peran rezim Umawiyah dalam kejahatan tersebut. Itu semua dijelaskan Imam Sajjad as di jantung kekuasaan Yazid.
Sebagian besar era kepemimpinan Imam Sajjad as pada masa khilafah Abdul Malik bin Marwan, yang berlangsung selama 21 tahun. Abdul Malik sedemikian haus darah dan tidak beragama sehingga dalam khutbahnya dia mengancam akan memenggal kepala orang yang menyerunya pada ketakwaan. Dia menunjuk Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, seorang kriminal terkenal dan musuh Ahlul Bait, sebagai algojonya.
Dalam kondisi seperti ini, Imam Sajjad menggunakan cara sangat bijak dalam menghidupkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Untuk mengenalkan masyarakat dengan Islam yang benar, beliau menyisipkan pesannya dalam bentuk nasehat dan wejangan. Cara ini memperkecil sensitivitas dari pihak penguasa. Melalui cara ini, beliau mampu menyampaikan pesannya bahkan kepada seorang kriminal terkenal seperti Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi.
Selain itu, Imam Sajjad as juga menyampaikan pesannya melalui doa dan munajat. Kumpulan doa Imam Sajjad as tercantum dalam kitab Sahifah Sajjadiyah. Tangisan beliau untuk para syuhada Karbala merupakan salah satu upaya dalam menjaga kenangan tragedi Karbala tetap hidup. Pada suatu hari, seseorang mendatangi Ima mdan berkata, “Apakah kesedihanmu tidak ada akhirnya?” Imam Sajjad as berkata, “Celakalah kau, Nabi Ya’qub yang satu dari 13 putranya hilang, menangisi perpisahan dengan anaknya itu sampai dia buta, padahal Yusuf masih hidup! Akan tetapi aku menyaksikan terbunuhnya ayahku, saudara-saudaraku, paman-pamanku dan 17 orang keluargaku yang jenazah mereka tergeletak di tanah. Lalu bagaimana kesedihanku berakhir?”
Air mata dan tangisan Imam Sajjad as menjadi salah satu faktor efektif dalam melestarikan dan memperkokoh tujuan Imam Husein as serta mengguncang istana rezim despotik Bani Umawiyah.
SUMBANGSIH IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM DIBALIK KEPEDIHAN DEMI KEPEDIHAN
- Pengarang : SS
- Sumber : Islamic-source.com
Kehidupan
Imam Husain as penuh dengan ajaran dan panutan, salah satu hal yang
harus tidak dilupakan adalah adanya anak laki-laki yang akhirnya menjadi
penyambung risalah dari datuk-datuknya yaitu Ali Zainal Abidin As Sajad
as, salah satu makhluk istimewa yang pernah terlahirkan didunia ini,
baqirun darul ibadah, salah satu imam yang telah membukakan mata umat
manusia bagaimana bermesraan dengan sembahan, bagaimana memantaskan diri
dihadapan Tuhan dalam beribadah dalam melakukan salik menuju hakikat
hakiki, sebut saja Shahifah Sajadiah, sebuah buku doa, tidak teramat
tebal namun jika ingin diuraikan isi dan kandungannya pasti hal itu
dibutuhkan berjilid-jilid buku, sebab selain doa-doa beliau tidak pernah
bertentangan dengan Quran ucapan-ucapan doa beliau adalah tafsiran
khusus untuk beberapa banyak ayat Quran, manusia biasa yang tidak
sekelaliber imam maksum pun mampu merasakan dan mencicipi nikmat
penyembahan dan penghambatan dihadapannya.
Salah satu hal poin yang diajarkan Imam Sajjad as adalah bagaimana mensifati dan memuji Allah swt, Allah swt sebagai wujud yang sangat jelas bagi seluruh manusia, manusia dengan apa yang dimiliki sebenarnya tidak mampu mensifati Allah swt dengan kemampuan mereka, ketika manusia harus mensifati Allah swt secara bebas sangat tidak aneh jika mereka akan melakukan berbagai kesalahan entah pensifatan itu terlalu kurang untuk mensifatiNya atau sebaliknya terlalu berlebih hingga melewati seolah-olah mereka sedang mensifati salah satu makhluk dari makhluk-Nya. Karena alasan inilah mengapa para imam maksum as sendiri berulang kali menasihatkan untuk mensifati Allah sebagaimana Allah mensifati Dirinya sendiri, sehingga manusia tidak akan tersesat dalam mensifati-Nya.
Mensifati Allah adalah hal sederhana namun hal ini sangatlah besar kaitannya, karena setiap manusia pasti ingin mensifatiNya terutama ketika manusia itu ingin mengungkapkan rasa sukur terhadapNya.
Pada kesempatan ini mempertegas artikel teman-teman yang lain perlu disampaikan juga bahwa Imam Sajjad as adalah sosok cerdas yang benar-benar menempatkan diri beliau sebagaimana seharusnya, sangat salah semua pihak yang mengatakan bahwa beliau adalah maaf-maaf penge***t karena beliau tidak bangkit melawan penguasa waktu itu, tidak mengikuti jalan ayahnya sendiri. Kondisi yang dihadapi beliau serba sulit, bahkan beliau selalu dipantau, dan ketika beliau salah langkah sedikit pun maka bukan hanya beliau saja yang akan kehilangan nyawa bahkan seluruh pengikut beliau pun sama, dan perlu diketahui jika hal itu benar-benar terjadi maka apa yang akan dihadapi islam, jelas islam akan hilang tanpa bekas sedikitpun, kita tahu dalam peristiwa asyura beliau juga mendesak dan meminta ijin ayahanda untuk maju kemedan laga, meneguk air sejuk syahadah.
Salah satu hal poin yang diajarkan Imam Sajjad as adalah bagaimana mensifati dan memuji Allah swt, Allah swt sebagai wujud yang sangat jelas bagi seluruh manusia, manusia dengan apa yang dimiliki sebenarnya tidak mampu mensifati Allah swt dengan kemampuan mereka, ketika manusia harus mensifati Allah swt secara bebas sangat tidak aneh jika mereka akan melakukan berbagai kesalahan entah pensifatan itu terlalu kurang untuk mensifatiNya atau sebaliknya terlalu berlebih hingga melewati seolah-olah mereka sedang mensifati salah satu makhluk dari makhluk-Nya. Karena alasan inilah mengapa para imam maksum as sendiri berulang kali menasihatkan untuk mensifati Allah sebagaimana Allah mensifati Dirinya sendiri, sehingga manusia tidak akan tersesat dalam mensifati-Nya.
Mensifati Allah adalah hal sederhana namun hal ini sangatlah besar kaitannya, karena setiap manusia pasti ingin mensifatiNya terutama ketika manusia itu ingin mengungkapkan rasa sukur terhadapNya.
Pada kesempatan ini mempertegas artikel teman-teman yang lain perlu disampaikan juga bahwa Imam Sajjad as adalah sosok cerdas yang benar-benar menempatkan diri beliau sebagaimana seharusnya, sangat salah semua pihak yang mengatakan bahwa beliau adalah maaf-maaf penge***t karena beliau tidak bangkit melawan penguasa waktu itu, tidak mengikuti jalan ayahnya sendiri. Kondisi yang dihadapi beliau serba sulit, bahkan beliau selalu dipantau, dan ketika beliau salah langkah sedikit pun maka bukan hanya beliau saja yang akan kehilangan nyawa bahkan seluruh pengikut beliau pun sama, dan perlu diketahui jika hal itu benar-benar terjadi maka apa yang akan dihadapi islam, jelas islam akan hilang tanpa bekas sedikitpun, kita tahu dalam peristiwa asyura beliau juga mendesak dan meminta ijin ayahanda untuk maju kemedan laga, meneguk air sejuk syahadah.
Namun beliau tidak mendapat kesempatan itu, karena ada
tanggungan yang lebih besar dibandingkan harus kemedan laga, walau
memang beliau pada waktu itu sedang sakit sehingga kewajiban jihad tidak
ada dipundak beliau, namun beliau adalah salah satu umat yang
benar-benar tidak rela sang imam dan pimpinan utusan ilahi harus
sendirian membela ajaran agama ilahi, jadi beliau meminta untuk
diperbolehkan maju kemedan laga, tapi Allah melalui Imamnya
memerintahkan dia untuk tetap hidup meneruskan risalah keimamahhan,
pilihan yang sangat berat, beliau harus bersabar menghadapi berbagai
kenyataan pedih.
AL-SAJJAD, PENERUS MISI ASYURA
Pada hari Asyura tahun 61 hijriah, padang Karbala saat itu menyaksikan peristiwa heroik yang ditampilkan oleh cucu kesayangan Rasulullah Saw, Imam Husein as dan para sahabatnya yang setia. Pada saat yang sama, Imam Ali Zainal Abidin as, putra Imam Husein as, tergeletak sakit di kemah. Kondisi itu membuat Imam Ali Zainal Abidin as tidak dapat bangkit membantu ayahnya dan para pejuang Karbala. Akan tetapi jiwa Imam Ali Zainal Abidin as yang juga dikenal al-Sajjad atau orang yang banyak bersujud, tak dapat ditahan untuk membantu ayahnya, tapi raga sama sekali tak mengizinkan.
Kondisi sakit Imam Ali Zainal Abidin pada hari Asyura mengandung hikmah ilahi dan rahasia Tuhan. Setelah peristiwa Asyura, Imam al-Sajjad mengemban tanggung jawab kepemimpinan demi menjaga risalah kenabian Rasulullah Saw.
Sejarah mencatat, tatkala pertempuran di padang Karbala bergolak, Imam Sajjad as mendengar suara ayahnya, Imam Husein as yang berkata: "Siapakah yang menolongku?", dalam keadaan lemah beliau pun berusaha bangkit seakan hendak memenuhi panggilan ayahnya. Namun melihat hal itu, Ummi Kultsum, bibi beliau pun berusaha menahannya pergi lantaran masih lemahnya kondisi kesehatan Imam Sajjad as. Dengan penuh harapan, beliau berkata, "Bibi, ijinkan aku pergi berjihad bersama putra Rasulullah saw". Akan tetapi, karena lemahnya kondisi jasmani beliau, Imam pun tak mampu mengantarkan dirinya ke garis pertempuran. Hingga akhirnya takdir pun menyelamatkan beliau dan cita-cita kebangkitan Imam Husein dapat terus diperjuangkan.
Imam al-Sajjad menerima tanggung jawab kepemimpinan atau imamah pada umur 23 tahun. Tanggung jawab itu diterima saat kondisi sangat pelik. Pada masa itu, Dinasti Bani Umayyah berkuasa. Masyarakat saat itu jauh dari ajaran murni agama Islam. Akan tetapi penguasa saat itu berpenampilan religius, tapi pada dasarnya bertujuan membabat habis nilai-nilai agama.
Dinasti Umayyah di masa itu juga berusaha mengesankan kebangkitan Imam Husein sebagai langkah ekstrim yang keluar dari ajaran agama. Bani Umayyah berupaya menghapuskan pesan Imam Husein di padang Karbala supaya tidak sampai ke masyarakat. Di tengah kondisi seperti itu, Imam Ali Zainal Abidin as berusaha menjelaskan tujuan-tujuan penting kebangkitan Imam Husein as sehingga konspirasi musuh yang berupaya memojokkan posisi Ahlul Bait as dihadapkan pada kegagalan total.
Imam Ali Zainal Abidin as bersama Sayidah Zainab as memegang peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan gerakan Imam Husein as kepada masyarakat. Salah satu lembaran penting dalam sejarah pasca Peristiwa Karbala adalah pidato tegas Imam al-Sajjad di masjid Bani Umayyah, Syam. Dengan pidatonya, Imam al-Sajjad mampu menyampaikan pesan revolusionernya dengan landasan argumentasi kuat dan logis.
Saat Imam as digelandang bersama para tawanan Karbala dan sampai di kota Kufah, beliau melontarkan orasi yang sangat memukau dan menyentuh, sampai-sampai seluruh warga kota Kufah seakan tersihir oleh orasi beliau. Setelah memaparkan tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi dan Imam Husein as, beliau berbicara kepada warga Kufah: "Wahai umat manusia, demi Allah aku bersumpah dengan kalian, apakah kalian ingat, kalian sendiri yang telah menulis surat kepada ayahku, namun setelah itu kalian menipunya? Kalian menjalin janji dan berbaiat kepadanya, namun kalian juga yang memeranginya? Lantas dengan mata yang mana lagi kalian akan melihat saat Rasulullah Saw di hari Kiamat kelak berkata, ‘Kalian telah bunuh Ahlul Baitku dan mematahkan kehormatanku!'"
Puncak orasi Imam Sajjad as saat beliau berpidato di hadapan khalifah zalim, Yazid bin Muawiyah di Syam. Seluruh kejahatan dan kebobrokan penguasa zalim itupun diungkap secara jelas oleh Imam as hingga Yazid kehilangan muka. Dalam salah satu bagian pidatonya, Imam Sajjad as menuturkan, "Wahai umat manusia, Allah Swt menganugerahkan keutamaan-keutamaan seperti keilmuan, kesabaran, kedermawanan, kelugasan dan keberanian kepada Ahlul Bait Rasulullah Saw. Allah juga menganugerahkan kecintaan kepada Ahlul Bait pada hati orang-orang mukmin."
Beliau menambahkan,
"Wahai umat manusia, barangsiapa yang tidak
mengenal aku, maka aku akan mengenalkan diriku." Dikatakannya,
"Akulah
putra Fatimah, akulah putra seorang yang syahid saat bibirnya kering
kehausan".
Imam pun terus menegaskan keutamaan diri dan keluarganya hingga masyarakat Syam pun menangis penuh penyesalan. Untuk memotong pidato Imam Sajjad, Yazid pun memerintahkan untuk melantunkan azan.
Pidato Imam al-Sajjad membuat kondisi kota Syam yang juga pusat pemerintahan dinasti Umayyah saat itu menjadi kalang kabut. Bahkan para petinggi Bani Umayyah memutuskan untuk segara membawa Imam Husein dan para tawanan keluarga Nabi lainnya ke Madinah. Tak dapat dipungkiri, pidato Imam Sajjad berhasil membangkitkan nurani masyarakat kota Syam yang selama ini dikuasai Dinasti Bani Umayyah. Di pusat pemerintahan, para petinggi Bani Umayyah tidak mampu menghalau pidato-pidato Imam Ali Zainal Abidin as yang memancarkan semangat revolusi dan gerakan anti-arogansi. Pencerahan Imam Sajjad as secara perlahan, mampu membangkitkan semangat umat Islam untuk melawan kezaliman di berbagai penjuru. Karena itu, pasca tragedi Karbala muncul belbagai gerakan kebangkitan menentang ketidakadilan pemerinatahan Bani Umayyah.
Setiba di kota Madinah, Imam al-Sajjad terus melanjutkan pidato-pidato pencerahannya yang isinya menyingkap kezaliman penguasa Bani Umayyah. Sementara itu, para penguasa Bani Umayyah kian bersikap sewenang-wenang. Saat itu, perjuangan utama Imam Sajjad as mempunyai misi untuk meluruskan pandangan masyarakat dan meningkatkan kesadaran umat.
Peran dan jasa berharga Imam Sajjad as pasca tragedi Asyura adalah menyebarkan risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam sebuah kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat Imam Husein merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup, penciptaan, keyakinan, moral dan politik.
Imam al-Sajjad as dalam salah satu doanya mengatakan, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan bid'ah-bid'ah, serta melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar."
Al-Sajjad dalam sejarah hidupnya selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengungkap misteri di balik tragedi Karbala. Imam Ali Zainal Abidin as selalu meneteskan air mata dan menunjukkan duka yang mendalam saat menceritakan peristiwa pembantaian terhadap keluarga Nabi pada hari Asyura. Duka yang ditunjukkan Imam Sajjad as itulah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat juang umat Islam dalam melawan kezaliman Bani Umayyah. Imam al-Sajjad as juga dikenal sebagai sosok pemaaf, pengasih dan populis.
Imam Ali Zainal Abidin as gugur syahid pada tahun 95 hijrah setelah penguasa Bani Umayyah, Walid bin Abdul Malik mengeluarkan perintah untuk meracuni al-Sajjad as. (IRIB/AR/SL)
Imam pun terus menegaskan keutamaan diri dan keluarganya hingga masyarakat Syam pun menangis penuh penyesalan. Untuk memotong pidato Imam Sajjad, Yazid pun memerintahkan untuk melantunkan azan.
Pidato Imam al-Sajjad membuat kondisi kota Syam yang juga pusat pemerintahan dinasti Umayyah saat itu menjadi kalang kabut. Bahkan para petinggi Bani Umayyah memutuskan untuk segara membawa Imam Husein dan para tawanan keluarga Nabi lainnya ke Madinah. Tak dapat dipungkiri, pidato Imam Sajjad berhasil membangkitkan nurani masyarakat kota Syam yang selama ini dikuasai Dinasti Bani Umayyah. Di pusat pemerintahan, para petinggi Bani Umayyah tidak mampu menghalau pidato-pidato Imam Ali Zainal Abidin as yang memancarkan semangat revolusi dan gerakan anti-arogansi. Pencerahan Imam Sajjad as secara perlahan, mampu membangkitkan semangat umat Islam untuk melawan kezaliman di berbagai penjuru. Karena itu, pasca tragedi Karbala muncul belbagai gerakan kebangkitan menentang ketidakadilan pemerinatahan Bani Umayyah.
Setiba di kota Madinah, Imam al-Sajjad terus melanjutkan pidato-pidato pencerahannya yang isinya menyingkap kezaliman penguasa Bani Umayyah. Sementara itu, para penguasa Bani Umayyah kian bersikap sewenang-wenang. Saat itu, perjuangan utama Imam Sajjad as mempunyai misi untuk meluruskan pandangan masyarakat dan meningkatkan kesadaran umat.
Peran dan jasa berharga Imam Sajjad as pasca tragedi Asyura adalah menyebarkan risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam sebuah kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat Imam Husein merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup, penciptaan, keyakinan, moral dan politik.
Imam al-Sajjad as dalam salah satu doanya mengatakan, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan bid'ah-bid'ah, serta melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar."
Al-Sajjad dalam sejarah hidupnya selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengungkap misteri di balik tragedi Karbala. Imam Ali Zainal Abidin as selalu meneteskan air mata dan menunjukkan duka yang mendalam saat menceritakan peristiwa pembantaian terhadap keluarga Nabi pada hari Asyura. Duka yang ditunjukkan Imam Sajjad as itulah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat juang umat Islam dalam melawan kezaliman Bani Umayyah. Imam al-Sajjad as juga dikenal sebagai sosok pemaaf, pengasih dan populis.
Imam Ali Zainal Abidin as gugur syahid pada tahun 95 hijrah setelah penguasa Bani Umayyah, Walid bin Abdul Malik mengeluarkan perintah untuk meracuni al-Sajjad as. (IRIB/AR/SL)
IMAM SAJJAD, PENYEBAR MISI ASYURA
Hari ini bertepatan dengan peringatan hari syahidnya. Imam Ali bin
Husein Zainal Abidin Al-Sajjad. Ia merupakan salah satu saksi hidup
tragedi pembantaian Imam Husein as dan keluarganya di padang Karbala.
Namun berkat ijin ilahi, beliau berhasil bertahan hidup, sehingga jejak
perjuangan ayahnya, Imam Husein as tetap bisa dilanjutkan.
Imam Ali Zainal Abidin Al-Sajjad as lahir di kota Madinah pada tahun 38 H. Ketika tragedi Karbala tahun 61 H terjadi, beliau berumur 23 tahun. Saat itu, beliau tengah menderita sakit parah sehingga hanya bisa terbaring dan tidak mampu ke medan laga.
Imam Ali Zainal Abidin Al-Sajjad as lahir di kota Madinah pada tahun 38 H. Ketika tragedi Karbala tahun 61 H terjadi, beliau berumur 23 tahun. Saat itu, beliau tengah menderita sakit parah sehingga hanya bisa terbaring dan tidak mampu ke medan laga.
Sejarah mencatat, tatkala pertempuran di
padang Karbala bergolak, Imam Sajjad as mendengar suara ayahnya, Imam
Husein as yang berkata: "Siapakah yang menolongku?", dalam keadaan lemah
beliau pun berusaha bangkit seakan hendak memenuhi panggilan ayahnya.
Namun melihat hal itu, Ummi Kultsum, bibi beliau pun berusaha menahannya
pergi lantaran masih lemahnya kondisi kesehatan Imam Sajjad as.
Dengan
penuh harapan, beliau berkata,
"Bibi, ijinkan aku pergi berjihad bersama
putra Rasulullah saw".
Akan tetapi, karena lemahnya kondisi jasmani
beliau, Imam pun tak mampu mengantarkan dirinya ke garis pertempuran.
Hingga akhirnya takdir pun menyelamatkan beliau dan cita-cita
kebangkitan Imam Husein dapat terus diperjuangkan.
Sejarah kehidupan sosial, budaya, dan politik Imam Sajjad as bisa ditinjau dari berbagai sisi. Tragedi berdarah Asyura yang berakhir dengan syahidnya Imam Husein as pada tanggal 10 Muharram 61 H di padang Karbala, merupakan tonggak awal perjuangan Imam Sajjad as. Kondisi kritis pasca tragedi Karbala menempatkan Imam as pada situasi baru. Dengan kata lain, sejak saat itulah masa penyebaran misi kebangkitan Imam Husein as atau Revolusi Huseini dan penegakan cita-citabnya pun dimulai.
Peran dan aksi Imam Zainil Abidin as dalam menyebarkan pesan dan misi Revolusi Huseini patut dipuji. Beliau bersama dengan bibinya, Zainab as, dengan piawainya dan tanpa kenal menyerah terus menyebarkan pesan keadilan Imam Husein di tengah kondisi yang sangat sulit dan penuh ancaman. Tuturan dan gerak juang Imam Sajjad as pasca tragedi Asyura menunjukkan kebijaksanaan dan keluhuran hikmah yang beliau miliki.
Sejatinya, orasi, khotbah dan peringatan yang mengungkap tragedi dalam peristiwa Asyura semuanya itu memiliki arah dan tujuan. Saat Imam as digelandang bersama para tawanan Karbala dan sampai di kota Kufah, beliau melontarkan orasi yang sangat memukau dan menyentuh, sampai-sampai seluruh warga kota Kufah seakan tersihir oleh orasi beliau. Setelah memaparkan tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi dan Imam Husein as, beliau berbicara kepada warga Kufah:
Sejarah kehidupan sosial, budaya, dan politik Imam Sajjad as bisa ditinjau dari berbagai sisi. Tragedi berdarah Asyura yang berakhir dengan syahidnya Imam Husein as pada tanggal 10 Muharram 61 H di padang Karbala, merupakan tonggak awal perjuangan Imam Sajjad as. Kondisi kritis pasca tragedi Karbala menempatkan Imam as pada situasi baru. Dengan kata lain, sejak saat itulah masa penyebaran misi kebangkitan Imam Husein as atau Revolusi Huseini dan penegakan cita-citabnya pun dimulai.
Peran dan aksi Imam Zainil Abidin as dalam menyebarkan pesan dan misi Revolusi Huseini patut dipuji. Beliau bersama dengan bibinya, Zainab as, dengan piawainya dan tanpa kenal menyerah terus menyebarkan pesan keadilan Imam Husein di tengah kondisi yang sangat sulit dan penuh ancaman. Tuturan dan gerak juang Imam Sajjad as pasca tragedi Asyura menunjukkan kebijaksanaan dan keluhuran hikmah yang beliau miliki.
Sejatinya, orasi, khotbah dan peringatan yang mengungkap tragedi dalam peristiwa Asyura semuanya itu memiliki arah dan tujuan. Saat Imam as digelandang bersama para tawanan Karbala dan sampai di kota Kufah, beliau melontarkan orasi yang sangat memukau dan menyentuh, sampai-sampai seluruh warga kota Kufah seakan tersihir oleh orasi beliau. Setelah memaparkan tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi dan Imam Husein as, beliau berbicara kepada warga Kufah:
"Wahai umat manusia,
demi Allah aku bersumpah dengan kalian, apakah kalian ingat, kalian
sendiri yang telah menulis surat kepada ayahku, namun setelah itu kalian
menipunya? Kalian menjalin janji dan berbaiat kepadanya, namun kalian
juga yang memeranginya? Lantas dengan mata yang mana lagi kalian akan
melihat saat Rasulullah saw di hari Kiamat kelak berkata, ‘Kalian telah
bunuh Ahlul Baitku dan mematahkan kehormatanku!'"
Puncak orasi Imam Sajjad as saat beliau berpidato di hadapan khalifah zalim, Yazid bin Muawiyah di Syam. Seluruh kejahatan dan kebobrokan penguasa zalim itupun diungkap secara jelas oleh Imam as sampai-sampai Yazid pun kehilangan muka. Dalam salah satu bagian pidatonya, Imam Sajjad as menuturkan:
Puncak orasi Imam Sajjad as saat beliau berpidato di hadapan khalifah zalim, Yazid bin Muawiyah di Syam. Seluruh kejahatan dan kebobrokan penguasa zalim itupun diungkap secara jelas oleh Imam as sampai-sampai Yazid pun kehilangan muka. Dalam salah satu bagian pidatonya, Imam Sajjad as menuturkan:
"Wahai umat manusia, Akulah putra Fatimah, akulah putra
seorang yang syahid saat bibirnya kering kehausan". Imam pun terus
menegaskan keutamaan diri dan keluarganya hingga masyarakat Syam pun
menangis penuh penyesalan. Untuk memotong pidato Imam Sajjad, Yazid pun
memerintahkan untuk membacakan adzan.
Tentu saja, putusnya pidato Imam as membuat kondisi kota Syam sebagai pusat pemerintahan dinasti Umayah menjadi makin tidak menentu. Sampai-sampai para petinggi Bani Umayyah memutuskan untuk segara membawa Imam Husein dan para tawanan keluarga Nabi lainnya ke Madinah. Dengan demikian, pidato Imam Sajjad berhasil membangkitkan nurani masyarakat kota Syam yang selama ini dikuasai kekelaman. Bahkan di wilayah pusat pemerintahan Bani Umayah sekalipun. Perlahan aksi pencerahan Imam Sajjad as telah membangkitkan semangat perlawanan umat Isma di berbagai kota untuk bangkit menentang kezaliman. Karena itu, pasca tragedi Karbala muncul pelbagai gerakan kebangkitan menentang ketidakadilan pemerinatahan Bani Umayyah.
Saat memasuki kota Madinah, Imam Sajjad terus melanjutkan aksi pencerahan dalam mengungkap kezaliman penguasa Bani Umayyah. Sementara di sisi lain, para penguasa Umawi pun makin berlaku sewenang-wenang. Dalam kondisi yang sangat sulit itu, perjuangan utama Imam Sajjad as bertumpu pada upaya untuk meluruskan pandangan masyarakat dan meningkatkan taraf pengetahuan dan kesadaran mereka.
Salah satu peran dan jasa berharga Imam Sajjad as dalam tahun-tahun pasca tragedi Asyura ialah menyebarkan risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam satu kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat Imam Husein merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup dan penciptaan, masalah keyakinan, etika pribadi dan sosial serta beberapa masalah politik.
Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad as mengatakan,
Tentu saja, putusnya pidato Imam as membuat kondisi kota Syam sebagai pusat pemerintahan dinasti Umayah menjadi makin tidak menentu. Sampai-sampai para petinggi Bani Umayyah memutuskan untuk segara membawa Imam Husein dan para tawanan keluarga Nabi lainnya ke Madinah. Dengan demikian, pidato Imam Sajjad berhasil membangkitkan nurani masyarakat kota Syam yang selama ini dikuasai kekelaman. Bahkan di wilayah pusat pemerintahan Bani Umayah sekalipun. Perlahan aksi pencerahan Imam Sajjad as telah membangkitkan semangat perlawanan umat Isma di berbagai kota untuk bangkit menentang kezaliman. Karena itu, pasca tragedi Karbala muncul pelbagai gerakan kebangkitan menentang ketidakadilan pemerinatahan Bani Umayyah.
Saat memasuki kota Madinah, Imam Sajjad terus melanjutkan aksi pencerahan dalam mengungkap kezaliman penguasa Bani Umayyah. Sementara di sisi lain, para penguasa Umawi pun makin berlaku sewenang-wenang. Dalam kondisi yang sangat sulit itu, perjuangan utama Imam Sajjad as bertumpu pada upaya untuk meluruskan pandangan masyarakat dan meningkatkan taraf pengetahuan dan kesadaran mereka.
Salah satu peran dan jasa berharga Imam Sajjad as dalam tahun-tahun pasca tragedi Asyura ialah menyebarkan risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam satu kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat Imam Husein merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup dan penciptaan, masalah keyakinan, etika pribadi dan sosial serta beberapa masalah politik.
Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad as mengatakan,
"Ya
Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan
berjuang melawan bid'ah-bid'ah, serta melaksanakan kewajiban amar ma'ruh
nahi munkar."
Sejarah hidup Imam Sajjad menunjukkan bahwa beliau selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mengungkap misteri di balik tragedi Karbala. Terkadang ia merinstiskan air matanya saat menceritakan peristiwa pembantaian yang menimpa keluarga Nabi di hari Asyura. Duka yang ditunjukkan Imam Sajjad as itulah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat juang umat Islam untuk bergerak menentang kezaliman Bani Umayyah.
Imam Sajjad as dikenal sebagai sosok yang sangat pemaafm pengasih dan merakyat. Sedemikian menyatunya Imam Sajjad as dengan duka yang dihadapi umatnya, dan sedemkian cintanya beliau untuk berkhidmat kepada rakyat, sampai-sampai hampir tiap malam beliau memikul karung-karung makanan dan membagikannya kepada warga miskin. Beliau melakukan hal itu secara diam-diam, di tengah kegelapan malam, dan dengan pakaian samaran. Anehnya, setelah beliau meninggal barulah perbuatan mulia beliau ini diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah beliau tidak pernah menghalangi beliau dari langkah-langkah kemanusiaan dan penyebaran keutamaan-keutamaan akhlak secara praktis.
Kemuliaan akhlak dan perilaku Imam yang demikian bijak itu membuat siapapun mengagumi beliau. Sejarawan muslim terkenal, Ibnu Syahri Asyub, menuturkan,
Sejarah hidup Imam Sajjad menunjukkan bahwa beliau selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mengungkap misteri di balik tragedi Karbala. Terkadang ia merinstiskan air matanya saat menceritakan peristiwa pembantaian yang menimpa keluarga Nabi di hari Asyura. Duka yang ditunjukkan Imam Sajjad as itulah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat juang umat Islam untuk bergerak menentang kezaliman Bani Umayyah.
Imam Sajjad as dikenal sebagai sosok yang sangat pemaafm pengasih dan merakyat. Sedemikian menyatunya Imam Sajjad as dengan duka yang dihadapi umatnya, dan sedemkian cintanya beliau untuk berkhidmat kepada rakyat, sampai-sampai hampir tiap malam beliau memikul karung-karung makanan dan membagikannya kepada warga miskin. Beliau melakukan hal itu secara diam-diam, di tengah kegelapan malam, dan dengan pakaian samaran. Anehnya, setelah beliau meninggal barulah perbuatan mulia beliau ini diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah beliau tidak pernah menghalangi beliau dari langkah-langkah kemanusiaan dan penyebaran keutamaan-keutamaan akhlak secara praktis.
Kemuliaan akhlak dan perilaku Imam yang demikian bijak itu membuat siapapun mengagumi beliau. Sejarawan muslim terkenal, Ibnu Syahri Asyub, menuturkan,
"Suatu ketika Imam Sajjad as
menghadiri acara pertemuan yang digelar Khalifah Umayyah, Umar bin Abdul
Aziz. Saat Imam as meninggalkan pertemuan itu, Umar bin Abdul Aziz
bertanya kepada orang-orang di sekitarnya dan berkata:
‘Siapakah orang
yang paling mulia di sisi kalian? Semuanya berkata, ‘Anda wahai
khalifah!'. Namun ia balik menjawab,
"Bukan sama sekali. Orang yang
paling mulia adalah sosok yang baru saja meninggalkan pertemuan kita.
Semua kalbu dibuat terpesona kepadanya, hingga siapapun ingin menjadi
seperti dia".
Marilah kita menyimak beberapa kata-kata bijak dari Imam Sajjad as. Beliau berkata,
Marilah kita menyimak beberapa kata-kata bijak dari Imam Sajjad as. Beliau berkata,
"Salah satu ciri dari ma'rifat dan
tanda kesempurnaan agama seseorang adalah menghindari ucapan yang
sia-sia, sedikit berdebat, dan selalu bersikap sabar dan santun".
Beliau
juga menuturkan,
"Berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepada
manusia kebaikan dan keburukan dirinya".
Para pemimpin agama sejatinya bagaikan pancaran cahaya mentari yang menyinari dunia dan menciptakan kehidupan. Mereka adalah khazanah agung ilmu pengetahuan dan makrifat yang memandu umat manusia menuju kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki. Mereka semua adalah kekasih Allah, penerang kebenaran dan kebatilan, jelmaan keindahan dan kebaikan. Karena itu, hari kelahiran mereka adalah hari kehidupan dan pencerahan, hari kebahagiaan dan puji syukur.
Hari ini, 5 Sya'ban adalah hari kelahiran Imam Sajjad, putra Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib as, salah seorang Imam terkemuka dari Ahlul Bait Nabi as. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah saw menuturkan, "Barang siapa yang meninggal dunia dengan kecintaan kepada Ahluk Bait, maka ia meninggal dalam keadaan iman yang sempurna."
Ketika sebagian besar wilayah negeri Persia berhasil dikuasai oleh kaum muslimin, dua putri raja Persia, Yazd Gerd, ditawan oleh pasukan Islam dan membawanya ke Madinah. Khalifah Umar di masa itu, berniat menjual kedua putri Iran tersebut. Namun Imam Ali, menolak rencana itu dan mengusulkan agar kedua putri kerajaan Persia tersebut diberi kebebasan untuk memilih calon suaminya. Salah seorang dari dua putri itu bernama Sharbanu. Ia memilih Imam Husein as menjadi suaminya. Dari hasil pernikahan itu, lahirlah Imam Sajjad yang lahir pada tanggal 5 Sya'ban 38 H.
Imam Sajjad yang bernama Ali bin Husein adalah putra kedua Imam Husein. Di mata beliau, seluruh keindahan adalah baik dan luhur. Namun beribadah dengan indah lebih utama di sisi Allah. Sebegitu syahdu dan indahnya laku ibadah beliau kepada Sang Khaliq, hingga ia pun dijuluki sebagai "Zainal Abidin", perhiasan orang-orang beribadah.Saat sendiri menyepi, rintihan-rintihan sufistik Imam Sajjad selalu mengiringi malam-malam manusia higga pagi dan mengantarkannya pada kedamaian. Rintihan dan munajatnya itu mengingatkan manusia bahwa percintaab yang terindah adalah bercinta dengan Sang Ilahi.
Dari segi ketakwaan, Imam Sajjad memiliki derajad yang begitu tinggi. Ia selalu berhasrat untuk berbuat kebajikan, hingga terkadang ia berbuat baik kepada orang lain secara diam-diam. Saat ia menjadi teman seperjalanan seseorang yang tak mengenalnya, Imam Sajjad berusaha menyembunyikan jatidirnya. Langkah itu sengaja ia lakukan agar ia tidak mendapat perlakuan istimewa lantaran hubungan darahnya dengan Rasulullah saw. Dalam logika Imam Sajjad, memberi hidayah dan mendidik manusia yang suci dan layak merupakan tujuan utama.
Di saat era perbudakan masih berlaku, Imam Sajjad menerapkan cara tersendiri untuk menentang perbudakan. Ia banyak membeli para budak lantas mendidik dan merawat mereka. Ketika mereka dirasa siap untuk hidup mandiri, Imam Sajjad pun lantas membebaskan budak-budak hasil didikannya itu, hingga meraka pun bisa menikmati kembali hidup sebagai manusia yang bebas.
Al-Quran adalah kitab suci terakhir dan pedoman hidup paling sempurna bagi manusia. Saat ayat-ayat suci Al-Quran dilantunkan dengan indah, maka kalbu yang muram dan kelam pun bakal tercerahkan kembali dan memudahkannya untuk menerima hakikat. Imam Sajjad banyak berjasa besar dalam menyebarkan pengetahuan Al-Quran. Ia pun dikenal sebagai qari Al-Quran yang begitu indah dalam melantunkan kalam ilahi. Suara Imam Sajjad begitu indah dan menenangkan jiwa. Siapapun yang mendengar qiraat Al-Quran Imam Sajjad, niscaya akan terpesona dengan keindahan bacaan Al-Quran Imam Sajjad.
Kepribadian mulia Imam Sajjad as memiliki pososi yang luhur di mata masyarakat. Farazdak, seorang pujangga Arab saat memuji kepribadian beliau, menuturkan, "Inilah dia yang tapaknya dikenal oleh kota Mekkah. Ka'bah, Masjidil Haram dan negeri-negeri yang jauh juga mengenalnya. Ia adalah pribadi yang bertakwa, suci, dan terkenal. Mata menjadi silau menyaksikan wibawanya. Kedermawanannya meliputi seluruh mahluk. Segala kesesatan dan kegelapan terjauhkan darinya. Sikapnya begitu lembut, tak ada kemarahan dan kekerasan dalam dirinya. Kesabaran dan ketabahan menghiasi pribadinya. Ia tak pernah melanggar janji. Kehadiranya penuh berkah. Siapapun yang mengenal Allah, niscaya akan mengenal ayah beliau. Umat memperoleh agama dan hidayah dari rumah tokoh agung ini. Ia adalah Ali bin Husein, putra Rasulullah saw."
Kehidupan Imam Sajjad as bisa dirangkum ke dalam dua fase. Pada fase pertama, kehidupan beliau berjalan dalam aktifitas yang relatif damai dan banyak difokuskan untuk mendidik orang-orang saleh bagi masyarakat serta upaya untuk memperkaya pemikiran Islam dan memerangi segala bentuk penyimpangan. Sementara fase lainnya berkaitan erat dengan masa-masa pasca tragedi Karbala. Suatu fase yang benar-benar menentukan dan banyak memberikan pelajaran.
Pada saat meletusnya peristiwa pembantaian keluarga Nabi di Karbala, Imam Sajjad masih berusia 23 tahun. Dalam tragedi itu, ayah beliau, Imam Husein beserta keluarga dan sahabat setianya gugur syahid dibantai pasukan Yazid bin Muawiyah. Ketika perang berkecamuk, Imam Sajjad tengah jatuh sakit sehingga tak bisa ikut perang dan terselamatkan dari serangan musuh. Meski demikian ia pun ditawan musuh. Selama ditawan dan digiring dari Kufah menuju Syam, Imam Sajjad tak pernah berhenti melontarkan pidato-pidato revolusionernya untuk mendorong umat bangkit melawan ketidakadilan.
Kitab "Shahifah Sajjadiyah" merupakan himpunan doa dan munajat Imam Sajjad yang begitu bernilai dan indah. Kitab doa ini mengajarkan pandangan dunia, teologi, dan pengetahuan diri secara mendalam lewat bait-bait doa. Muatan doa dan munajat Imam Sajjad merupakan refleksi dari pengetahuan dan semangat mencari kebenaran.
Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad menuturkan, "Ilahi, berikan aku kekuatan sehingga aku bisa meraih kemenangan terhadap orang-orang yang menzalimiku. Anugerahkan padaku lidah yang bisa menundukkan argumentasi lawan. Karuniakan pula padaku pemikiran yang bisa mengalahkan tipu daya musuh dan tangan-tangan zalim yang berbuat lalim."
Imam Sajjad bukan hanya dikenal sebagai tokoh spiritual, tapi juga seorang pakar ekonomi dan politik. Ia adalah tokoh yang pertama kalinya menggagas dicetuskannya kemandirian ekonomi dunia Islam di era khalifah Abdul Malak Umawi, dengan mengusulkan dibuatnya mata uang lokal dunia Islam, menggantikan mata uang Romawi. Sehingga perekonimian umat Islam pun bisa mandiri dan lepas dari ketergantungan terhadap mata uang asing.
Mempelajari sejarah hidup manusia-manusia yang mencontohkan kesucian dan kebenaran sejati, meski sekilas dan singkat, akan membawa kita ke dunia kemuliaan dan keutamaan. Hari ini kita berada di hari peringatan syahadah Imam Sajjad as. Setelah syahadah ayahanda beliau dalam tragedi Karbala, Imam Sajjad, Ali Zainalabidin as, memegang peran penting dan menentukan. Pada saat peristiwa Karbala, Imam Sajjad as berusia sekitar 24 tahun. Setelah peristiwa besar tersebut, beliau hidup selama 34 tahun. Selama masa itu, beliau memangku jabatan Imamah dan berjuang membasmi berbagai kezaliman dan kejahilan dengan berbagai cara. Di sepanjang perjuangan beliau, hal yang paling mencolok dari semuanya ialah usaha beliau mempertahankan nilai-nilai perjuangan Karbala dan menyebarluaskannya sebagai hasil sebuah kebangkitan besar dan abadi. Imam Sajjad as, pada tahun 95 HQ, gugur syahid setelah diracun, dengan racun yang disusupkan oleh kaki tangan dan suruhan Walid bin Abdulmalik, penguasa Bani Umayyah.
Hamid bin Muslim, salah seorang penulis kisah tragedi Karbala, menulis, "Di hari Asyura, setelah syahadah Imam Husein as, bala tentara Yazid pergi menemui Ali bin Husein as. Beliau tengah berbaring karena sakit. Oleh karena mereka mendapat perintah untuk membunuh semua lelaki keluarga Imam Husein as, maka mereka pun berniat membunuh beliau. Akan tetapi, ketika mereka melihatnya tengah terbaring dalam keadaan sakit, mereka membiarkan beliau."
Jelas sekali bahwa sakitnya Imam Sajjad as di hari Asyura mengandung hikmah dan maslahat Ilahi, sehingga beliau selamat dari pembantaian, untuk melanjutkan jalan perjuangan ayah beliau, Imam Husein as.
Melihat munculnya suasana serba sulit bagi kaum Syiah setelah tragedi Karbala dan syahadah Imam Husein as, maka pelaksanaan tugas Imamah pun menghadapi kesulitan besar. Setelah peristiwa Asyura, Imam Sajjad as, beserta rombongan keluarga yang masih tersisa, dan di samping bibi beliau, Sayidah Zainab as, bergerak dari Karbala, di Irak, menuju ke Damaskus di Syam, yang merupakan pusat pemerintahan Yazid. Dari hari-hari pertama setelah tragedi Karbala, Imam Sajjad as berusaha menyampaikan pesan kebangkitan ayah beliau ke seluruh umat manusia. Meski kesedihan syahadah ayah dan para pengikut setia, telah melukai hati Imam Sajjad, akan tetapi, dengan ilmu yang luas dan tekad yang kuat, dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menyebarkan keutamaan Ahlul Bait as. Dengan demikian tahap lain dari kebangkitan Karbala, telah terbentuk di bawah kepemimpinan Imam Sajjad as, dengan tujuan mengokohkan dasar-dasar pemikiran kebangkitan Imam Husein as.
Dalam sejarah disebutkan, pada saat rombongan keluarga Imam Sajjad as tiba di Kufah, beliau menjelaskan dengan sangat indah, kebenaran kebangkitan Imam Husein as untuk rakyat Kufah. Dalam pidatonya, beliau menyebut Ahlul Bait sebagai simbol keadilan, ketakwaan dan kemenangan. Pidato beliau berhasil menggugah semangat-semangat yang tengah terlena. Kata-kata beliau, "Dengan wajah yang bagaimanakah kalian akan menghadap Rasul Allah saaw di hari kiamat, ketika beliau berkata, "Kalian telah membunuh putraku dan mencabik-cabik kemuliaanku."
Di negeri Syam pun, Imam juga menyampaikan pidato yang sangat menarik dan tegas, sehingga mematahkan propaganda Bani Umayyah untuk mendiskreditkan keluarga Rasul saaw. Dengan menyebutkan berbagai keutamaan Ahlul Bait dan hakekat jalan perjuangan ayah beliau, kata-kata Imam Sajjad as merasuk ke dalam sanubari semua yang hadir. Pengaruh pidato Imam Sajjad as sedemikian kuat, membuat Yazid ketakutan dan berpikir keras untuk menemukan cara guna menghentikan pidato beliau. Akhirnya Yazid memerintahkan orangnya untuk mengucapkan adzan. Karena menghormati adzan, Imam Sajjad as menghentikan pidatonya. Akan tetapi ketika muadzin sampai kalimat "asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", Imam Sajjad menoleh ke arah Yazid dan bertanya, Hei yazid, Muhammad ini kakekku atau kakekmu. Jika engkau katakan bahwa ia adalah kakekmu, maka engkau telah membuat kebohongan besar. Jika engkau katakan bahwa ia adalah kakekku, mengapa engkau membunuhi anak keturunannya?
Dengan penjelasan-penjelasan Imam Sajjad as dan terungkapnya wajah-wajah sebenarnya para penguasa Bani Umayyah, maka tidak ada pilihan lain bagi Yazid kecuali menjauhkan keluarga Imam Sajjad as secepatnya dari pusat pemerintahannya. Untuk itulah ia mengembalikan mereka ke Madinah. Tentu saja perlu diketahui bahwa sejarah mencatat, Yazid dan para pejabat pemerintahannya memperlakukan keturunan Rasul saaw, yang tersisa dari pembantaian Karbala, sebagai tawanan perang. Padahal peristiwa Karbala sama sekali tidak tepat dikatakan sebagai peperangan. Ia lebih dikatakan sebagai pembantaian, karena jumlah kedua belah pihak yang sangat tidak seimbang; demikian pula peralatan perang, dan kondisi kedua pihak. Rombongan Imam Husein as berjumlah 72 orang lelaki yang semuanya gugur syahid. Sedangkan tentara Yazid berjumlah lebih dari 30.000 orang. Imam Husein as dan rombongannya memiliki peralatan perang yang terbatas, sebaliknya tentara Yazid. Rombongan Imam Husein as sudah kelaparan dan kehausan selama beberapa hari di padang pasir yang kering kerontang, sementara pasukan Yazid menguasai dan memonopoli air sungai Furat, dan memiliki perbekalan makanan yang melimpah.
Di masa itu, masyarakat Islam tengah dilanda krisis idiologi dan akidah. Setelah peristiwa Karbala, penguasa Bani Umayyah, lebih terbuka dan lebih berani daripada sebelumnya, dalam melakukan berbagai kezaliman dan penyebaran fasad. Pemerintahan Bani Umayyah berusaha menyibukkan rakyat dengan hal-hal yang bersifat sampingan. Akan tetapi Imam Sajjad as juga telah memulai gerakan tersusunnya untuk menjelaskan dasar-dasar idiolgi Islam dan berusaha mengembalikan umat muslimin kepada ajaran-ajaran agama yang murni. Imam Sajjad as, berusaha keras menyebarkan hukum-hukum Islam dan ajaran-ajaran pendidikan dan akhlak. Dalam hal ini beliau telah mengambil langkah-langkah penting, membuat banyak kalangan cendekiawan dan ulama memuji dan mengagumi beliau.
Syekh Mufid ra, salah seorang tokoh besar ulama Islam, menulis, "Fuqaha Ahlussunah sedemikian luas menukil berbagai ilmu dan pengetahuan Islam dari Imam Sajjad as, sehingga tak terhitung lagi. Nasehat-nasehat, doa, keutamaan Al-Quran, halal dan haram dalam hukum Islam, telah dinukil dari beliau, sehingga sangat dikenal di kalangan ulama." Demikian Syekh Mufid. Contoh dari ajaran akhlak Imam Sajjad as yang hingga kini masih bisa diperoleh, ialah sebuah kumpulan pandangan-pandangan beliau yang dibukukan dengan "Risaalatul Huquuq". Dalam kitab ini, Imam Sajjad as menjelaskan hak-hak dan kewajiban berbagai macam manusia, baik antara manusia dengan Tuhannya, maupun diantara sesama manusia.
Satu lagi karya Imam Sajjad yang terabadikan, dalam rangka usaha beliau menjelaskan dasar-dasar agama, ialah ajaran-ajaran yang beliau sampaikan dalam bentuk doa dan munajat, yang sangat indah. Gaya penyampaian seperti ini memiliki daya tarik luar biasa, sehingga menyedot perhatian ulama dan cendekiawan Islam. Doa-doa Imam Sajjad as yang disusun dengan kata-kata yang sangat indah, penuh dengan makna dan ajaran Islam, baik akidah, filsafat, ahkam, bahkan politk dan pemerintahan. Doa-doa beliau ini dikumpulkan dalam sebuah kitab berjudul Shahifah Sajjaadiyyah.
Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad as mengatakan, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan bid'ah-bid'ah, serta melaksanakan kewajiban amar ma'ruh nahi munkar."
Disebutkan dalam sejarah bahwa dalam berbagai kesempatan, Imam Sajjad as selalu menghidupkan kenangan tentang tragedi Karbala. Setiap kali seseorang menyodorkan makanan kepada beliau, atau setiap kali beliau melihat air minum, beliau pasti menunjukkan kesedihan, mengingat ayah beliau, keluarga dan para pengikut setia, bahkan bayi dan kaum perempuan, yang kelaparan dan kehausan di padang Karbala. Beliau mengatakan, "Setiap kali mengingat putra-putra Fatimah yang terbunuh, tiba-tiba leherku tercekik oleh rasa pedih, dan tanpa dapat ditahan lagi, air mataku meleleh."
Di tengah masyarakat, Imam Sajjad as dikenal sebagai dermawan, pengasih dan sangat merakyat. Sedemikian menyatunya Imam Sajjad as dengan kesedihan-kesedihan yang terjadi di tengah masyarakat, dan sedemkian cintanya beliau untuk berkhidmat kepada rakyat, membuat beliau tiap malam memikul karung-karung makanan dan membagikannya kepada warga miskin. Beliau melakukan hal itu secara diam-diam, di tengah kegelapan malam, dan dengan pakaian samaran. Setelah beliau meninggal barulah perbuatan mulia beliau ini diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah beliau tidak pernah menghalangi beliau dari langkah-langkah kemanusiaan dan penyebaran keutamaan-keutamaan akhlak secara praktis.
Imam Ali bin Husein a.s. yang lebih dikenal dengan julukan as-sajjad dan zauinal abidin dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Jumadil Ula 38 H. atau 5 Sya'ban 38 H. Dan pada tanggal 12 atau 25 Muharam 95 H. ia diracun oleh Hisyam bin Abdul Malik dan meneguk cawan syahadah pada usia 56 tahun. Ia dikuburkan di Baqi', Madinah.
Ibu Imam Ali As-Sajjad adalah Ghazalah yang berasal dari kota Sanad atau Sajistan. Dan ia juga dikenal dengan nama Salafah atau Salamah. Akan tetapi, sebagian sumber sejarah menyatakan bahwa namanya adalah Shahr-banuweh, Shah-zanan, Shahr-naz, Jahan-Banuweh dan Khuleh.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. hidup pada masa paling kritis yang pernah dialami oleh Ahlul Bayt a.s. Ia hidup sezaman dengan memuncaknya penyelewengan setelah Rasulullah SAWW wafat.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan tiga tahun sebelum syahadah Imam Ali a.s. Ketika ia lahir, kakeknya sedang sibuk menghadapi perang Jamal. Setelah itu ia selalu menemani ayah tercintanya dalam setiap pergolakan negara.
Imam Sajjad a.s. memainkan peran yang sangat menentukan dalam menggalangkan kekuatan masyarakat untuk membenci Bani Umaiyah dan memberontak melawan mereka. Setiap kali mendapatkan kesempatan untuk itu, ia tidak pernah membuang-buang kesempatan. Dengan penuh hati-hati, ia selalu mengawasi semua program pemerintahan masa itu. Untuk mengenalkan masyarakat (dengan segala problema yang terjadi di masyarakat) ia memilih metode doa. Di dalam doa-doanya ia mengungkapkan dan menafsirkan segala problema yang sedang menimpa masyarakat kala itu. Shahifah Sajjadiah yang dikenal dengan Zabur Ahlul Bayt a.s. adalah sebuah peninggalan berharga dunia Islam yang sangat mendapat perhatian seluruh ulama setelah Al Quran dan Nahjul Balaghah.
Salah satu peninggalan berharga Imam Sajjad a.s. lainnya adalah buku kecil yang berisi masalah-masalah pendidikan dan etika. Peninggalan ini dikenal dengan nama Risalatul Huquq. Dalam buku kecil ini yang memuat lima puluh satu hak, ia menerangkan tugas-tugas manusia, baik di hadapan Tuhannya, dirinya dan orang lain.
Imam Sajjad a.s. mengakui bahwa tanpa adanya dukungan masyarakat umum, kekuasaan tidak akan dapat banyak membantu dalam merombak kehidupan masyarakat Islam kala itu. Masyarakat umum juga harus tahu tujuan-tujuan negara, percaya penuh kepada teori-teorinya berkenaan pemerintahan dan membelanya lahir dan batin. Imam Sajjad a.s. merasa harus menjelaskan semua itu kepada mereka sehingga mereka tetap tegar dalam menghadapi setiap gejolak yang terjadi.
Akan tetapi, ia tidak memiliki semua itu, dan karena ketidaktahuan mereka ia pernah mengeluh: "Ya Allah, dalam setiap problema yang terjadi aku telah melihat kelemahanku, aku telah menyadari ketidakmampuanku untuk mencari bantuan masyarakat dalam menghadapi orang-orang yang memerangiku, dan kuakui kesendirianku dalam menghadapi banyaknya orang yang memusuhiku".
Secara global dapat dikatakan bahwa situasi sosial masyarakat yang dialami oleh setiap imam ma'shum a.s. pasti membatasi ruang gerak politiknya.
Dengan adanya segala bentuk teror yang dijalankan oleh para musuh Islam demi menjauhkan mereka dari lingkaran pemerintahan, para imam ma'shum a.s. telah menjalankan segala tugas mereka dengan baik dalam menjaga risalah Islam dari terjerumus ke dalam jurang penyelewengan dari nilai-nilai murninya. Setiap kali mereka melihat penyelewengan beranjak makin parah, mereka selalu sigap mengambil sebuah solusi yang jitu.
Salah satu khidmat besar kepada masyarakat yang pernah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin a.s. adalah kepeduliannya terhadap anak yatim, fakir dan miskin serta hamba sahaya. Diriwayatkan bahwa ia membiayai kehidupan seratus keluarga miskin. Sebagian penduduk Madinah selalu menerima bahan pangan pada malam hari dan mereka pergunakan untuk menjalankan kehidupan mereka. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahan pangan tersebut berasal dari mana. Setelah Imam Sajjad a.s. meninggal dunia, baru mereka mengetahui siapa yang memberi bahan pangan kepada mereka setiap malam.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. setiap malam memikul goni-goni yang penuh dengan bahan pangan dan roti lalu ia membagikannya kepada para fakir dan miskin seraya berbisik kepada dirinya: "Bersedekah secara diam-diam akan memadamkan api murka Allah". Setelah ia meninggal dunia, penduduk Madinah berkata: "kami telah kehilangan sedekah secara diam-diam, karena Ali bin Husein telah meninggal dunia".
Di sepanjang tahun karena seringnya ia memikul bahan-bahan pangan, bahunya mengapal. Ketika ia dimandikan, bahunya yang mengapal itu menarik perhatian khalayak ramai.
Ali bin Thawus dalam kitab Iqbaalul A'maal ketika menjelaskan amalan-amalan bulan Ramadhan berkata: "Ali bin Husein a.s. di malam terakhir bulan Ramadhan membebaskan dua puluh orang budak seraya berkata: "Aku ingin Allah melihatku membebaskan budak-budakku sehingga Ia akan membebaskanku dari api neraka kelak di hari kebangkitan ".
Ia tidak pernah menahan budak lebih dari satu tahun. Ketika ia membawa seorang budak ke rumahnya di awal atau pertengahan tahun, ia pasti membebaskannya pada malam hari raya Idul Fitri. Ia sering membeli budak-budak berkulit hitam. Ketika musim haji tiba, ia membawa mereka bersamanya ke padang Arafah. Setelah itu, ia membebaskan mereka di tanah padang Masy'ar dan membekali mereka dengan hadiah uang. Dengan demikian, sangat banyak budak-budak di kota Madinah yang telah dibebaskan oleh Imam Sajjad a.s. Dan setelah bebas, mereka tidak memutuskan hubungan spiritual dengannya.
Pada kesempatan ini, kami akan mengajak para pembaca yang budiman untuk menelaah hadis-hadis yang pernah diucapkannya selama ia hidup.
"Barang siapa memiliki jiwa yang mulia, maka dunia akan hina dalam pandangannya".
"Sangat berbahaya bagi seseorang ketika ia tidak melihat dunia sebagai suatu bahaya bagi dirinya".
"Jauhilah berkata bohong, baik untuk hal sepele maupun untuk hal yang besar, baik serius maupun bergurau. Karena seseorang jika ia telah berani berbohong untuk hal-hal kecil, ia akan berani untuk berbohong untuk hal yang besar".
"Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang pembohong, karena ia akan mendekatkan kepadamu suatu yang jauh dan menjauhkan dalam pandanganmu sesuatu yang dekat. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang fasik, karena ia akan memperjual-belikanmu dengan sesuap nasi atau lebih sedikit dari itu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang kikir, karena ia akan meninggalkanmu ketika engkau merasa membutuhkan bantuannya. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang tolol, karena --menurut kata hatinya-- ia ingin membantumu, akan tetapi malahan ia melakukan sesuatu yang membahayakanmu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang memutus tali silaturahmi, karena aku melihatnya terlaknat di dalam kitab Allah".
"Sesungguhnya pengetahuan dan kesempurnaan agama seorang muslim (dapat dilihat ketika) ia meninggalkan setiap ucapan yang tidak penting, jarang berdebat, sabar dan berakhlak yang terpuji".
6.Introspeksi diri dan mengingat hari kiamat
"Wahai anak Adam, kebaikan akan selalu bersamamu selama engkau memiliki penasihat dari dalam dirimu, mengintrospeksi diri, rasa takut (kepada Allah) menjadi syiarmu dan bertindak hati-hati menjadi bagian dari hidupmu. Wahai anak Adam, engkau akan mati, dibangkitkan dan disidang di hadapan Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, persiapkanlah jawaban untuk-Nya".
7.Hasil doa
"Seorang mukmin ketika berdoa akan mendapatkan salah satu dari tiga hal ini: doa itu akan disimpan untuknya di akhirat, dikabulkan saat itu juga atau satu bala` yang akan menimpanya dijauhkan darinya".
8.Faktor-faktor keselamatan
"Tiga hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin: menutup mulut untuk tidak mengghibah orang lain, menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang bermanfaat bagi akhirat dan dunianya, dan banyak menangis karena mengenang kesalahan-kesalahannya".
9.Rindu surga
"Barang siapa yang rindu kepada surga, ia akan bergegas mengerjakan kebajikan dan mengekang hawa nafsunya, dan barang siapa yang takut siksa neraka, ia akan bergegas untuk bertaubat kepada Allah dari dosa-dosanya dan tidak mengerjakan kembali hal-hal yang haram".
10.Pahala melihat
"Seorang mukmin yang melihat wajah saudara seimannya karena ia mencintainya adalah ibadah".
11.Harga diri dan doa
"Sesuatu yang paling disukai oleh Allah setelah mengenal-Nya adalah menjaga perut dan kemaluan, dan sesuatu yang paling dicintainya adalah doa seorang hamba kepada-Nya".
12.Menerima permintaan maaf orang lain
"Jika seseorang mencelamu dari sebelah kananmu, lalu ia berpindah mencela dari samping kirimu, kemudian ia meminta maaf kepadamu, maka terimalah permintaan maafnya".
13.Hak Allah atas hamba-Nya
"Hak Allah yang paling besar adalah hendaknya engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya. Jika engkau telah melaksanakannya dengan penuh ikhlas, Dia telah berjanji kepada diri-Nya untuk mencukupi segala urusan dunia dan akhiratmu serta menjaga segala yang kau cintai".
14.Hak ayah atas anak
"Hak seorang ayah adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia adalah asal-muasalmu dan engkau adalah cabangnya (baca : keturunannya). Jika ia tidak ada, niscaya engkau pun tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, jika engkau melihat dalam dirimu sesuatu yang membuatmu bahagia, ketahuilah bahwa ayahmu adalah asal nikmat tersebut, bersyukurlah kepada Allah dan berterima kasihlah kepada ayahmu karena itu".
15.Taat kepada Allah adalah segalanya
"Dahulukanlah menaati Allah dan orang-orang yang diwajibkan oleh-Nya untuk menaati mereka atas segala urusan".
16.Hak ibu atas anak
"Hak ibumu adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia telah:
- mengandungmu,
- memberimu makan dari buah hatinya ketika tidak seorang pun siap untuk melakukan hal itu, dan
- menjagamu dengan telinga, mata, tangan, kaki, rambut, kulit dan seluruh anggota badannya.
Ia melakukan itu semua dengan penuh bahagia, gembira, dan rela menanggung segala derita dan susah-payah yang ada di dalamnya sehingga engkau lahir di dunia. Ia rela engkau kenyang meskipun ia sendiri kelaparan, engkau berpakaian meskipun ia sendiri telanjang, engkau tidak kehausan meskipun ia sendiri menahan dahaga, dan engkau bernaung meskipun ia sendiri kepanasan. Ia rela menyediakan kehidupan berlimpah nikmat bagimu dengan segala kesusahan yang dideritanya dan menidurkanmu meskipun ia harus berjaga sepanjang malam. Perutnya adalah tempat wujudmu, buiannya adalah tempatmu bermanja-manja, susunya adalah penebus dahagamu, dan jiwanya adalah tempat kamu berlindung. Ia rela menahan panas dan dinginnya dunia demi kamu dan untukmu. Dengan demikian, bersyukurlah kepadanya atas semua itu, dan engkau tidak akan dapat melakukan itu kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah".
17.Anjuran mencari ilmu
"Jika seluruh manusia mengetahui keistimewaan yang tersembunyi di balik mencari ilmu, niscaya mereka akan mencarinya meskipun dengan mencurahkan darah dan menantang ombak".
18.Nilai duduk bersama orang-orang saleh
"Duduk bersama orang-orang saleh akan mengajak kepada kebajikan dan tata krama ulama dapat menambah akal".
19.Dosa penghambat doa
"Dosa-dosa yang menghambat terkabulnya doa adalah jeleknya niat, kotornya hati, bersikap munafik terhadap saudara seiman, tidak yakin dengan diterimanya doa, mengakhirkan shalat wajib hingga waktunya habis, tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan baik dan sedekah, mencela dan mempergunakan kata-kata yang tidak senonoh dalam ucapan".
20.Lebih mementingkan yang fana
"Sangatlah aneh seseorang yang beramal untuk dunia yang fana ini dan tidak memperdulikan dunia yang kekal".
21.Akibat menuduh
"Barang siapa yang menuduh orang lain dengan aib yang dimilikinya, maka ia akan dituduh dengan aib yang tidak pernah dimilikinya".
22.Dunia adalah perantara, bukan tujuan
"Para wali Allah tidak pernah melelahkan diri di dunia untuk kepentingan dunia. Akan tetapi, mereka melakukan itu untuk kepentingan akhirat".
23.Aku berlindung kepada Allah!
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tamak, kemarahan, kedengkian, ... dan kebejatan memimpin atas orang-orang yang berada di bawah wilayah kami".
24.Menjauhlah dari mereka!
"Hati-hatilah, jangan bersahabat dengan orang-orang yang berlumuran maksiat, jangan membantu orang-orang zalim, dan jangan mendekati orang-orang fasik. Hati-hatilah akan fitnah mereka dan menjauhlah dari mereka".
25.Akibat menentang wali Allah
"Ketahuilah bahwa barang siapa yang menentang wali-wali Allah, memeluk selain agama-Nya dan ingin pendapatnya selalu diikuti, bukan perintah wali-Nya, maka ia akan masuk ke dalam neraka yang membara".
26.Takut dan malulah!
"Takutlah kepada Allah karena kekuasaan-Nya atas dirimu dan malulah kepada-Nya karena ia dekat darimu".
27.Buah terbaik
"Setiap sesuatu memiliki buah, dan buah untuk telinga adalah ucapan yang baik".
28.Faedah diam
"Tidak mengganggu orang lain dapat dilakukan dengan meninggalkan ucapan yang tidak senonoh. Cegahlah ucapanmu dengan diam, karena setiap ucapan memiliki intonasi beraneka ragam yang membahayakan. Oleh karena itu, waspadalah terhadap orang yang tolol".
29.Jujur dan menepati janji
"Kunci yang terbaik bagi setiap urusan adalah kejujuran, dan amalan penutup yang terbaik baginya adalah menepati janji".
30.Ghibah
"Jauhilah hibah, karena ghibah adalah makanan anjing neraka".
31.Si mulia dan si hina
"Orang yang mulia akan bahagia dengan derma yang diberikannya dan orang yang hina akan berbangga dengan hartanya"
32.Pahala berbuat baik
"Barang siapa yang memberi pakaian kepada seorang mukmin, maka Allah akan memberikan kepadanya pakaian dari surga".
33.Akhlak seorang mukmin
"Di antara akhlak seorang mukmin adalah ia akan berinfak sesuai dengan kadar kemiskinannya, memperbanyak (infak) sesuai kekayaan yang dimilikinya, memahami orang lain dan mengucapkan salam terlebih dahulu kepadanya".
34.Tentang afiat
"Sesungguhnya aku tidak suka seseorang selalu nyaman hidup di dunia dan tidak pernah ditimpa satu musibah pun".
35.Pahala dan azab yang paling cepat tiba
"Pahala kebaikan yang paling cepat diberikan adalah berbuat kebajikan dan azab yang paling cepat tiba adalah bertindak lalim".
36.Doa adalah pencegah bala`
"Sesungguhnya doa dapat mencegah bala` meskipun bala` itu sudah ditentukan dengan pasti, dan doa dapat mencegah bala`, baik yang sudah turun maupun belum turun".
IMAM SAJJAD, GURU BESAR KEUTAMAAN
Kemuliaan bulan Sya'ban turut dihiasi dengan kelahiran
manusia-manusia agung dalam sejarah Islam. Hari kelima bulan Sya'ban
bertepatan dengan hari kelahiran salah satu keluarga suci Rasul Saw
yaitu Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as. Saat ini, kita merayakan dan
mengenang figur-figur agung ini karena perilaku dan cara hidup mereka
merupakan petunjuk menuju jalan kebahagiaan dan kesuksesan. Meski
mempelajari kembali sejarah kehidupan mereka secara singkat, namun dapat
menyegarkan jiwa kita dan mengantarkan manusia pada dunia keindahan.
Imam Sajjad as dilahirkan pada tanggal 5 Sya'ban tahun 38 Hijriah di kota Madinah. Beliau as selama hidupnya mempertahankan pelita petunjuk agama Islam di masa yang suram dan penuh dengan fitnah, sekaligus meneruskan revolusi agung ayahnya Imam Husein as. Imam Sajjad as menyandang sifat-sifat mulia dan keutamaan luhur yang diwariskan dari ayahnya. Peristiwa Karbala terjadi saat Imam Sajjad as belum berumur 23 tahun. Saat itu, beliau tidak mampu turun ke medan perang karena berada dalam kondisi sakit.
Sejarah menunjukkan bahwa peristiwa itu merupakan kehendak Tuhan agar Imam Sajjad as tetap hidup untuk meneruskan pengibaran bendera petunjuk umat Islam setelah ayahnya, Imam Husein as. Masa kehidupan Imam Sajjad as dibarengi dengan kondisi yang sangat sulit dan rumit bagi Ahlul Bait Rasulullah. Pada masa genting itu, para khalifah Dinasti Bani Umaiyah berupaya menjatuhkan kedudukan dan martabat Ahlul Bait as di mata masyarakat. Keadaan ini sangat menyusahkan Ahlul Bait Nabi as termasuk Imam Sajjad as.
Dalam kondisi ini, Imam Sajjad dituntut mengambil langkah yang bijak dan arif. Imam Sajjad as selain memberantas propaganda miring para khalifah Bani Umaiyah dan mengikis pengkaburan realita di tengah masyarakat, juga menyebarluaskan dan mengokohkan pemikiran-pemikiran Islam. Imam Sajjad as di masa penawanan setelah peristiwa Karbala, selalu menekankan perang melawan kezaliman, penindasan, dan ketidakadilan. Dengan metode cakap, Imam Sajjad as mampu mengabadikan peristiwa kebangkitan Imam Husein as di tengah masyarakat. Program Imam Sajjad as kala itu adalah berupaya melestarikan peristiwa Karbala dan mengokohkan nilai-nilai kebangkitan Imam Husein as. Selain itu, beliau juga memaparkan pengetahuan agama Islam serta memerangi bid'ah dan penyimpangan.
Sajjad berartikan orang yang banyak bersujud. Ini merupakan salah satu gelar Sang Imam. Dalam masalah ibadah, Imam Sajjad as sangat menonjol. Detik-detik kehidupan beliau as yang paling indah adalah kesendirian bersama Sang Pencipta dan sibuk bermunajat dengan Dzat Yang Maha Agung. Seorang Pesuluk dan Arif terkenal, Hasan Basri mengatakan: "Pada suatu hari, aku sibuk berdoa dekat Ka'bah. Saat itu, aku menyaksikan Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as tengah larut dalam doa dan dialog dengan Sang Pencipta. Beliau as bermunajat dengan Tuhan dengan kata-katanya yang indah. Ucapan Imam Sajjad begitu menyejukkan hati hingga aku tertarik kepadanya."
Dikisahkan pula, suatu hari salah seorang khalifah Bani Umaiyah, Hisyam ibn Abdul Malik datang ke Mekkah dengan tujuan melakukan ibadah dekat Ka'bah. Karena keramaian para jamaah, Hisyam tidak berhasil menyentuh Hajar Aswad. Akhirnya ia duduk di atas singgasana di sebuah sudut Masjidil Haram. Pada saat itu, Imam Sajjad as memasuki Masjidil Haram dan memulai tawaf. Saat beliau as sampai di hadapan Hajar Aswad, para jamaah yang melihat wajah purnama Sang Imam as, langsung membuka jalan sehingga beliau as dengan mudah mendekati Hajar Aswad.
Salah seorang warga Syam (Suriah) yang bersama rombongan Hisyam bin Abdul Malik, bertanya: "Siapakah dia hingga mendapat penghormatan warga sedemikian rupa? Hisyam terpaksa berbohong dan mengaku tidak mengenalnya karena khawatir masyarakat mengetahui sosok Imam Sajjad as. Pada saat itu, Penyair Arab, Farazdaq bangkit dan berkata: "Saya mengenal beliau as." Kemudian Farazdaq memperkenalkan Imam Sajjad as lewat syairnya yang indah. Ia berkata: "Ia adalah sosok yang jejak langkahnya dikenal oleh kerikil-kerikil kota Makkah. Mata juga menunduk karena kewibawaanya. Ia sangat lembut dan penuh kasih sayang. Ia dihiasi dua sifat yaitu kesabaran dan keagungan. Ia tidak pernah mengingkari janji. Keberadaannya membawa keberkahan bagi semua. Jika semua orang takwa bertaqwa dihitung, maka ia adalah pemimpin mereka. Jika orang-orang bertanya siapa manusia terbaik di atas muka bumi, mereka akan menunjuknya. Jika engkau tidak mengenalnya, aku akan berkata bahwa ia adalah putra Fatimah Az-Zahra as dan cucu Rasulullah Saw."
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, doa adalah media penghubung antara makhluk dengan penciptanya dan agama Islam sangat menganjurkan umatnya berdoa. Doa selain memiliki pengaruh spiritual luar biasa bagi manusia, juga dapat memberi pengaruh kepada seluruh dimensi keberadaan manusia mulai dari perilaku personal hingga sosial dan politik. Kontak dengan Allah Swt akan menjaga manusia dari gangguan dan kerusakan jiwa.
Salah satu strategi Imam Sajjad as adalah mentransfer pengetahuan agama lewat budaya doa dan munajat. Beliau as telah memaparkan sebagian besar maksud dan kehendaknya lewat bait-bait doa dan munajat yang menggugah hati. Kumpulan doa-doa beliau disatukan dalam kitab "Shahifah Sajjadiyah" yang merupakan harta karun pengetahuan dan hakikat agama. Kitab tersebut adalah kumpulan samudera pengetahuan Islam di bidang tauhid, akhlak, dan pendidikan yang telah mengundang perhatian seluruh ulama.
Salah satu dimensi gemilang kehidupan Imam Sajjad as adalah kegiatan sosial beliau as. Kendati memiliki kedudukan yang tinggi, tapi Imam Sajjad as selalu menekankan perbuatan membantu kepada masyarakat. Setiap malam, orang-orang miskin yang tidak bisa tidur karena kelaparan selalu menunggu uluran tangan. Ketika malam gelap gulita, Imam Sajjad as bangkit dan memasukkan makanan ke dalam karung, kemudian secara diam-diam meletakkannya di depan pintu rumah orang-orang miskin.
Salah satu tokoh terkenal di masa Imam as, Zuhri mengatakan: "Pada suatu malam yang dingin dan hujan, aku melihat Imam Sajjad as di kegelapan malam sambil membawa karung. Aku berkata: "Wahai putra Rasul Saw! Apa yang sedang engkau bawa? Beliau as menjawab: "Aku ingin bepergian dan karung ini adalah makanan buat bekal di jalan." Aku berkata: "Budakku ada di sini dan ia dapat membantumu." Imam as menjawab: "Tidak, aku akan membawanya sendiri."
Zuhri berkata: "Selang beberapa hari setelah peristiwa itu, Imam as tidak pergi kemana-mana. Kemudian aku melihat Imam as dan berkata kepadanya: "Apakah engkau tidak jadi bepergian?" Imam as menjawab: "Wahai Zuhri! maksud bepergian pada waktu itu bukan yang engkau pahami, tapi maksudku adalah perjalanan akhirat. Bersiaplah untuk perjalanan ini! Persiapan perjalanan ini adalah menjauhi dosa dan melakukan perbuatan baik." Zuhri akhirnya memahami maksud Imam as dan karung yang dibawa malam itu berisi makanan yang akan dibagikan untuk orang-orang miskin.
Jiwa manusia sebagaimana raganya juga membutuhkan makanan. Ruh untuk mencapai jenjang spiritual membutuhkan makanan berupa ilmu, iman, dan makrifat. Salah satu kebutuhan ruh manusia adalah berdoa dan menjalin hubungan permanen dengan Sang Pencipta. Imam Sajjad as dalam sebuah doa yang indah menyebut zikir dan mengingat Allah Swt sebagai penyebab ketenangan dan kebugaran jiwa. Imam as menyeru kepada Tuhan dengan berkata: "Wahai Tuhanku, hati dan relungku hidup dengan mengingat-Mu dan api kegelisahan hanya akan padam dengan bermunajat kepada-Mu.
Tentunya, hati yang menjadi persinggahan kasih sayang Tuhan, memiliki kemurnian dan cahaya tersendiri, dan pemiliknya akan terjaga dari kerusakan jiwa dan mental. Pada bagian lain doanya, Imam Sajjad as berkata: "Wahai Tuhanku, sampaikanlah shalawat dan salam kepada junjungan-Mu Nabi Muhammad Saw dan keluarganya dan jadikanlah keselamatan hati kami dalam mengingat keagungan-Mu." Dalam seluruh munajat dan doa Imam Sajjad as, pengharapan kepada Tuhan merupakan poin dominan yang patut direnungkan dan dicermati.
Pada dasarnya, Imam as mentransfer ajaran irfan ini secara tersirat dan halus.
Allah Swt tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang menyerahkan hatinya kepada-Nya dan hidup sesuai dengan keridhaan-Nya. Dalam penggalan doanya, Imam Sajjad as berkata: "Wahai Tuhanku, aku menyerumu sebelum menyeru selain-Mu, aku tidak menemukan selain-Mu dalam mengabulkan kebutuhanku, Dalam doaku, aku tidak akan menyertakan selain-Mu. Seruanku hanya kepada-Mu.
Imam Sajjad as dilahirkan pada tanggal 5 Sya'ban tahun 38 Hijriah di kota Madinah. Beliau as selama hidupnya mempertahankan pelita petunjuk agama Islam di masa yang suram dan penuh dengan fitnah, sekaligus meneruskan revolusi agung ayahnya Imam Husein as. Imam Sajjad as menyandang sifat-sifat mulia dan keutamaan luhur yang diwariskan dari ayahnya. Peristiwa Karbala terjadi saat Imam Sajjad as belum berumur 23 tahun. Saat itu, beliau tidak mampu turun ke medan perang karena berada dalam kondisi sakit.
Sejarah menunjukkan bahwa peristiwa itu merupakan kehendak Tuhan agar Imam Sajjad as tetap hidup untuk meneruskan pengibaran bendera petunjuk umat Islam setelah ayahnya, Imam Husein as. Masa kehidupan Imam Sajjad as dibarengi dengan kondisi yang sangat sulit dan rumit bagi Ahlul Bait Rasulullah. Pada masa genting itu, para khalifah Dinasti Bani Umaiyah berupaya menjatuhkan kedudukan dan martabat Ahlul Bait as di mata masyarakat. Keadaan ini sangat menyusahkan Ahlul Bait Nabi as termasuk Imam Sajjad as.
Dalam kondisi ini, Imam Sajjad dituntut mengambil langkah yang bijak dan arif. Imam Sajjad as selain memberantas propaganda miring para khalifah Bani Umaiyah dan mengikis pengkaburan realita di tengah masyarakat, juga menyebarluaskan dan mengokohkan pemikiran-pemikiran Islam. Imam Sajjad as di masa penawanan setelah peristiwa Karbala, selalu menekankan perang melawan kezaliman, penindasan, dan ketidakadilan. Dengan metode cakap, Imam Sajjad as mampu mengabadikan peristiwa kebangkitan Imam Husein as di tengah masyarakat. Program Imam Sajjad as kala itu adalah berupaya melestarikan peristiwa Karbala dan mengokohkan nilai-nilai kebangkitan Imam Husein as. Selain itu, beliau juga memaparkan pengetahuan agama Islam serta memerangi bid'ah dan penyimpangan.
Sajjad berartikan orang yang banyak bersujud. Ini merupakan salah satu gelar Sang Imam. Dalam masalah ibadah, Imam Sajjad as sangat menonjol. Detik-detik kehidupan beliau as yang paling indah adalah kesendirian bersama Sang Pencipta dan sibuk bermunajat dengan Dzat Yang Maha Agung. Seorang Pesuluk dan Arif terkenal, Hasan Basri mengatakan: "Pada suatu hari, aku sibuk berdoa dekat Ka'bah. Saat itu, aku menyaksikan Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as tengah larut dalam doa dan dialog dengan Sang Pencipta. Beliau as bermunajat dengan Tuhan dengan kata-katanya yang indah. Ucapan Imam Sajjad begitu menyejukkan hati hingga aku tertarik kepadanya."
Dikisahkan pula, suatu hari salah seorang khalifah Bani Umaiyah, Hisyam ibn Abdul Malik datang ke Mekkah dengan tujuan melakukan ibadah dekat Ka'bah. Karena keramaian para jamaah, Hisyam tidak berhasil menyentuh Hajar Aswad. Akhirnya ia duduk di atas singgasana di sebuah sudut Masjidil Haram. Pada saat itu, Imam Sajjad as memasuki Masjidil Haram dan memulai tawaf. Saat beliau as sampai di hadapan Hajar Aswad, para jamaah yang melihat wajah purnama Sang Imam as, langsung membuka jalan sehingga beliau as dengan mudah mendekati Hajar Aswad.
Salah seorang warga Syam (Suriah) yang bersama rombongan Hisyam bin Abdul Malik, bertanya: "Siapakah dia hingga mendapat penghormatan warga sedemikian rupa? Hisyam terpaksa berbohong dan mengaku tidak mengenalnya karena khawatir masyarakat mengetahui sosok Imam Sajjad as. Pada saat itu, Penyair Arab, Farazdaq bangkit dan berkata: "Saya mengenal beliau as." Kemudian Farazdaq memperkenalkan Imam Sajjad as lewat syairnya yang indah. Ia berkata: "Ia adalah sosok yang jejak langkahnya dikenal oleh kerikil-kerikil kota Makkah. Mata juga menunduk karena kewibawaanya. Ia sangat lembut dan penuh kasih sayang. Ia dihiasi dua sifat yaitu kesabaran dan keagungan. Ia tidak pernah mengingkari janji. Keberadaannya membawa keberkahan bagi semua. Jika semua orang takwa bertaqwa dihitung, maka ia adalah pemimpin mereka. Jika orang-orang bertanya siapa manusia terbaik di atas muka bumi, mereka akan menunjuknya. Jika engkau tidak mengenalnya, aku akan berkata bahwa ia adalah putra Fatimah Az-Zahra as dan cucu Rasulullah Saw."
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, doa adalah media penghubung antara makhluk dengan penciptanya dan agama Islam sangat menganjurkan umatnya berdoa. Doa selain memiliki pengaruh spiritual luar biasa bagi manusia, juga dapat memberi pengaruh kepada seluruh dimensi keberadaan manusia mulai dari perilaku personal hingga sosial dan politik. Kontak dengan Allah Swt akan menjaga manusia dari gangguan dan kerusakan jiwa.
Salah satu strategi Imam Sajjad as adalah mentransfer pengetahuan agama lewat budaya doa dan munajat. Beliau as telah memaparkan sebagian besar maksud dan kehendaknya lewat bait-bait doa dan munajat yang menggugah hati. Kumpulan doa-doa beliau disatukan dalam kitab "Shahifah Sajjadiyah" yang merupakan harta karun pengetahuan dan hakikat agama. Kitab tersebut adalah kumpulan samudera pengetahuan Islam di bidang tauhid, akhlak, dan pendidikan yang telah mengundang perhatian seluruh ulama.
Salah satu dimensi gemilang kehidupan Imam Sajjad as adalah kegiatan sosial beliau as. Kendati memiliki kedudukan yang tinggi, tapi Imam Sajjad as selalu menekankan perbuatan membantu kepada masyarakat. Setiap malam, orang-orang miskin yang tidak bisa tidur karena kelaparan selalu menunggu uluran tangan. Ketika malam gelap gulita, Imam Sajjad as bangkit dan memasukkan makanan ke dalam karung, kemudian secara diam-diam meletakkannya di depan pintu rumah orang-orang miskin.
Salah satu tokoh terkenal di masa Imam as, Zuhri mengatakan: "Pada suatu malam yang dingin dan hujan, aku melihat Imam Sajjad as di kegelapan malam sambil membawa karung. Aku berkata: "Wahai putra Rasul Saw! Apa yang sedang engkau bawa? Beliau as menjawab: "Aku ingin bepergian dan karung ini adalah makanan buat bekal di jalan." Aku berkata: "Budakku ada di sini dan ia dapat membantumu." Imam as menjawab: "Tidak, aku akan membawanya sendiri."
Zuhri berkata: "Selang beberapa hari setelah peristiwa itu, Imam as tidak pergi kemana-mana. Kemudian aku melihat Imam as dan berkata kepadanya: "Apakah engkau tidak jadi bepergian?" Imam as menjawab: "Wahai Zuhri! maksud bepergian pada waktu itu bukan yang engkau pahami, tapi maksudku adalah perjalanan akhirat. Bersiaplah untuk perjalanan ini! Persiapan perjalanan ini adalah menjauhi dosa dan melakukan perbuatan baik." Zuhri akhirnya memahami maksud Imam as dan karung yang dibawa malam itu berisi makanan yang akan dibagikan untuk orang-orang miskin.
Jiwa manusia sebagaimana raganya juga membutuhkan makanan. Ruh untuk mencapai jenjang spiritual membutuhkan makanan berupa ilmu, iman, dan makrifat. Salah satu kebutuhan ruh manusia adalah berdoa dan menjalin hubungan permanen dengan Sang Pencipta. Imam Sajjad as dalam sebuah doa yang indah menyebut zikir dan mengingat Allah Swt sebagai penyebab ketenangan dan kebugaran jiwa. Imam as menyeru kepada Tuhan dengan berkata: "Wahai Tuhanku, hati dan relungku hidup dengan mengingat-Mu dan api kegelisahan hanya akan padam dengan bermunajat kepada-Mu.
Tentunya, hati yang menjadi persinggahan kasih sayang Tuhan, memiliki kemurnian dan cahaya tersendiri, dan pemiliknya akan terjaga dari kerusakan jiwa dan mental. Pada bagian lain doanya, Imam Sajjad as berkata: "Wahai Tuhanku, sampaikanlah shalawat dan salam kepada junjungan-Mu Nabi Muhammad Saw dan keluarganya dan jadikanlah keselamatan hati kami dalam mengingat keagungan-Mu." Dalam seluruh munajat dan doa Imam Sajjad as, pengharapan kepada Tuhan merupakan poin dominan yang patut direnungkan dan dicermati.
Pada dasarnya, Imam as mentransfer ajaran irfan ini secara tersirat dan halus.
Allah Swt tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang menyerahkan hatinya kepada-Nya dan hidup sesuai dengan keridhaan-Nya. Dalam penggalan doanya, Imam Sajjad as berkata: "Wahai Tuhanku, aku menyerumu sebelum menyeru selain-Mu, aku tidak menemukan selain-Mu dalam mengabulkan kebutuhanku, Dalam doaku, aku tidak akan menyertakan selain-Mu. Seruanku hanya kepada-Mu.
MENGENANG KEMBALI IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM
Para pemimpin agama sejatinya bagaikan pancaran cahaya mentari yang menyinari dunia dan menciptakan kehidupan. Mereka adalah khazanah agung ilmu pengetahuan dan makrifat yang memandu umat manusia menuju kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki. Mereka semua adalah kekasih Allah, penerang kebenaran dan kebatilan, jelmaan keindahan dan kebaikan. Karena itu, hari kelahiran mereka adalah hari kehidupan dan pencerahan, hari kebahagiaan dan puji syukur.
Hari ini, 5 Sya'ban adalah hari kelahiran Imam Sajjad, putra Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib as, salah seorang Imam terkemuka dari Ahlul Bait Nabi as. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah saw menuturkan, "Barang siapa yang meninggal dunia dengan kecintaan kepada Ahluk Bait, maka ia meninggal dalam keadaan iman yang sempurna."
Ketika sebagian besar wilayah negeri Persia berhasil dikuasai oleh kaum muslimin, dua putri raja Persia, Yazd Gerd, ditawan oleh pasukan Islam dan membawanya ke Madinah. Khalifah Umar di masa itu, berniat menjual kedua putri Iran tersebut. Namun Imam Ali, menolak rencana itu dan mengusulkan agar kedua putri kerajaan Persia tersebut diberi kebebasan untuk memilih calon suaminya. Salah seorang dari dua putri itu bernama Sharbanu. Ia memilih Imam Husein as menjadi suaminya. Dari hasil pernikahan itu, lahirlah Imam Sajjad yang lahir pada tanggal 5 Sya'ban 38 H.
Imam Sajjad yang bernama Ali bin Husein adalah putra kedua Imam Husein. Di mata beliau, seluruh keindahan adalah baik dan luhur. Namun beribadah dengan indah lebih utama di sisi Allah. Sebegitu syahdu dan indahnya laku ibadah beliau kepada Sang Khaliq, hingga ia pun dijuluki sebagai "Zainal Abidin", perhiasan orang-orang beribadah.Saat sendiri menyepi, rintihan-rintihan sufistik Imam Sajjad selalu mengiringi malam-malam manusia higga pagi dan mengantarkannya pada kedamaian. Rintihan dan munajatnya itu mengingatkan manusia bahwa percintaab yang terindah adalah bercinta dengan Sang Ilahi.
Dari segi ketakwaan, Imam Sajjad memiliki derajad yang begitu tinggi. Ia selalu berhasrat untuk berbuat kebajikan, hingga terkadang ia berbuat baik kepada orang lain secara diam-diam. Saat ia menjadi teman seperjalanan seseorang yang tak mengenalnya, Imam Sajjad berusaha menyembunyikan jatidirnya. Langkah itu sengaja ia lakukan agar ia tidak mendapat perlakuan istimewa lantaran hubungan darahnya dengan Rasulullah saw. Dalam logika Imam Sajjad, memberi hidayah dan mendidik manusia yang suci dan layak merupakan tujuan utama.
Di saat era perbudakan masih berlaku, Imam Sajjad menerapkan cara tersendiri untuk menentang perbudakan. Ia banyak membeli para budak lantas mendidik dan merawat mereka. Ketika mereka dirasa siap untuk hidup mandiri, Imam Sajjad pun lantas membebaskan budak-budak hasil didikannya itu, hingga meraka pun bisa menikmati kembali hidup sebagai manusia yang bebas.
Al-Quran adalah kitab suci terakhir dan pedoman hidup paling sempurna bagi manusia. Saat ayat-ayat suci Al-Quran dilantunkan dengan indah, maka kalbu yang muram dan kelam pun bakal tercerahkan kembali dan memudahkannya untuk menerima hakikat. Imam Sajjad banyak berjasa besar dalam menyebarkan pengetahuan Al-Quran. Ia pun dikenal sebagai qari Al-Quran yang begitu indah dalam melantunkan kalam ilahi. Suara Imam Sajjad begitu indah dan menenangkan jiwa. Siapapun yang mendengar qiraat Al-Quran Imam Sajjad, niscaya akan terpesona dengan keindahan bacaan Al-Quran Imam Sajjad.
Kepribadian mulia Imam Sajjad as memiliki pososi yang luhur di mata masyarakat. Farazdak, seorang pujangga Arab saat memuji kepribadian beliau, menuturkan, "Inilah dia yang tapaknya dikenal oleh kota Mekkah. Ka'bah, Masjidil Haram dan negeri-negeri yang jauh juga mengenalnya. Ia adalah pribadi yang bertakwa, suci, dan terkenal. Mata menjadi silau menyaksikan wibawanya. Kedermawanannya meliputi seluruh mahluk. Segala kesesatan dan kegelapan terjauhkan darinya. Sikapnya begitu lembut, tak ada kemarahan dan kekerasan dalam dirinya. Kesabaran dan ketabahan menghiasi pribadinya. Ia tak pernah melanggar janji. Kehadiranya penuh berkah. Siapapun yang mengenal Allah, niscaya akan mengenal ayah beliau. Umat memperoleh agama dan hidayah dari rumah tokoh agung ini. Ia adalah Ali bin Husein, putra Rasulullah saw."
Kehidupan Imam Sajjad as bisa dirangkum ke dalam dua fase. Pada fase pertama, kehidupan beliau berjalan dalam aktifitas yang relatif damai dan banyak difokuskan untuk mendidik orang-orang saleh bagi masyarakat serta upaya untuk memperkaya pemikiran Islam dan memerangi segala bentuk penyimpangan. Sementara fase lainnya berkaitan erat dengan masa-masa pasca tragedi Karbala. Suatu fase yang benar-benar menentukan dan banyak memberikan pelajaran.
Pada saat meletusnya peristiwa pembantaian keluarga Nabi di Karbala, Imam Sajjad masih berusia 23 tahun. Dalam tragedi itu, ayah beliau, Imam Husein beserta keluarga dan sahabat setianya gugur syahid dibantai pasukan Yazid bin Muawiyah. Ketika perang berkecamuk, Imam Sajjad tengah jatuh sakit sehingga tak bisa ikut perang dan terselamatkan dari serangan musuh. Meski demikian ia pun ditawan musuh. Selama ditawan dan digiring dari Kufah menuju Syam, Imam Sajjad tak pernah berhenti melontarkan pidato-pidato revolusionernya untuk mendorong umat bangkit melawan ketidakadilan.
Kitab "Shahifah Sajjadiyah" merupakan himpunan doa dan munajat Imam Sajjad yang begitu bernilai dan indah. Kitab doa ini mengajarkan pandangan dunia, teologi, dan pengetahuan diri secara mendalam lewat bait-bait doa. Muatan doa dan munajat Imam Sajjad merupakan refleksi dari pengetahuan dan semangat mencari kebenaran.
Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad menuturkan, "Ilahi, berikan aku kekuatan sehingga aku bisa meraih kemenangan terhadap orang-orang yang menzalimiku. Anugerahkan padaku lidah yang bisa menundukkan argumentasi lawan. Karuniakan pula padaku pemikiran yang bisa mengalahkan tipu daya musuh dan tangan-tangan zalim yang berbuat lalim."
Imam Sajjad bukan hanya dikenal sebagai tokoh spiritual, tapi juga seorang pakar ekonomi dan politik. Ia adalah tokoh yang pertama kalinya menggagas dicetuskannya kemandirian ekonomi dunia Islam di era khalifah Abdul Malak Umawi, dengan mengusulkan dibuatnya mata uang lokal dunia Islam, menggantikan mata uang Romawi. Sehingga perekonimian umat Islam pun bisa mandiri dan lepas dari ketergantungan terhadap mata uang asing.
IMAM SAJJAD ALAIHIS SALAM PENERUS KEBANGKITAN HUSEINI
Mempelajari sejarah hidup manusia-manusia yang mencontohkan kesucian dan kebenaran sejati, meski sekilas dan singkat, akan membawa kita ke dunia kemuliaan dan keutamaan. Hari ini kita berada di hari peringatan syahadah Imam Sajjad as. Setelah syahadah ayahanda beliau dalam tragedi Karbala, Imam Sajjad, Ali Zainalabidin as, memegang peran penting dan menentukan. Pada saat peristiwa Karbala, Imam Sajjad as berusia sekitar 24 tahun. Setelah peristiwa besar tersebut, beliau hidup selama 34 tahun. Selama masa itu, beliau memangku jabatan Imamah dan berjuang membasmi berbagai kezaliman dan kejahilan dengan berbagai cara. Di sepanjang perjuangan beliau, hal yang paling mencolok dari semuanya ialah usaha beliau mempertahankan nilai-nilai perjuangan Karbala dan menyebarluaskannya sebagai hasil sebuah kebangkitan besar dan abadi. Imam Sajjad as, pada tahun 95 HQ, gugur syahid setelah diracun, dengan racun yang disusupkan oleh kaki tangan dan suruhan Walid bin Abdulmalik, penguasa Bani Umayyah.
Hamid bin Muslim, salah seorang penulis kisah tragedi Karbala, menulis, "Di hari Asyura, setelah syahadah Imam Husein as, bala tentara Yazid pergi menemui Ali bin Husein as. Beliau tengah berbaring karena sakit. Oleh karena mereka mendapat perintah untuk membunuh semua lelaki keluarga Imam Husein as, maka mereka pun berniat membunuh beliau. Akan tetapi, ketika mereka melihatnya tengah terbaring dalam keadaan sakit, mereka membiarkan beliau."
Jelas sekali bahwa sakitnya Imam Sajjad as di hari Asyura mengandung hikmah dan maslahat Ilahi, sehingga beliau selamat dari pembantaian, untuk melanjutkan jalan perjuangan ayah beliau, Imam Husein as.
Melihat munculnya suasana serba sulit bagi kaum Syiah setelah tragedi Karbala dan syahadah Imam Husein as, maka pelaksanaan tugas Imamah pun menghadapi kesulitan besar. Setelah peristiwa Asyura, Imam Sajjad as, beserta rombongan keluarga yang masih tersisa, dan di samping bibi beliau, Sayidah Zainab as, bergerak dari Karbala, di Irak, menuju ke Damaskus di Syam, yang merupakan pusat pemerintahan Yazid. Dari hari-hari pertama setelah tragedi Karbala, Imam Sajjad as berusaha menyampaikan pesan kebangkitan ayah beliau ke seluruh umat manusia. Meski kesedihan syahadah ayah dan para pengikut setia, telah melukai hati Imam Sajjad, akan tetapi, dengan ilmu yang luas dan tekad yang kuat, dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menyebarkan keutamaan Ahlul Bait as. Dengan demikian tahap lain dari kebangkitan Karbala, telah terbentuk di bawah kepemimpinan Imam Sajjad as, dengan tujuan mengokohkan dasar-dasar pemikiran kebangkitan Imam Husein as.
Dalam sejarah disebutkan, pada saat rombongan keluarga Imam Sajjad as tiba di Kufah, beliau menjelaskan dengan sangat indah, kebenaran kebangkitan Imam Husein as untuk rakyat Kufah. Dalam pidatonya, beliau menyebut Ahlul Bait sebagai simbol keadilan, ketakwaan dan kemenangan. Pidato beliau berhasil menggugah semangat-semangat yang tengah terlena. Kata-kata beliau, "Dengan wajah yang bagaimanakah kalian akan menghadap Rasul Allah saaw di hari kiamat, ketika beliau berkata, "Kalian telah membunuh putraku dan mencabik-cabik kemuliaanku."
Di negeri Syam pun, Imam juga menyampaikan pidato yang sangat menarik dan tegas, sehingga mematahkan propaganda Bani Umayyah untuk mendiskreditkan keluarga Rasul saaw. Dengan menyebutkan berbagai keutamaan Ahlul Bait dan hakekat jalan perjuangan ayah beliau, kata-kata Imam Sajjad as merasuk ke dalam sanubari semua yang hadir. Pengaruh pidato Imam Sajjad as sedemikian kuat, membuat Yazid ketakutan dan berpikir keras untuk menemukan cara guna menghentikan pidato beliau. Akhirnya Yazid memerintahkan orangnya untuk mengucapkan adzan. Karena menghormati adzan, Imam Sajjad as menghentikan pidatonya. Akan tetapi ketika muadzin sampai kalimat "asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", Imam Sajjad menoleh ke arah Yazid dan bertanya, Hei yazid, Muhammad ini kakekku atau kakekmu. Jika engkau katakan bahwa ia adalah kakekmu, maka engkau telah membuat kebohongan besar. Jika engkau katakan bahwa ia adalah kakekku, mengapa engkau membunuhi anak keturunannya?
Dengan penjelasan-penjelasan Imam Sajjad as dan terungkapnya wajah-wajah sebenarnya para penguasa Bani Umayyah, maka tidak ada pilihan lain bagi Yazid kecuali menjauhkan keluarga Imam Sajjad as secepatnya dari pusat pemerintahannya. Untuk itulah ia mengembalikan mereka ke Madinah. Tentu saja perlu diketahui bahwa sejarah mencatat, Yazid dan para pejabat pemerintahannya memperlakukan keturunan Rasul saaw, yang tersisa dari pembantaian Karbala, sebagai tawanan perang. Padahal peristiwa Karbala sama sekali tidak tepat dikatakan sebagai peperangan. Ia lebih dikatakan sebagai pembantaian, karena jumlah kedua belah pihak yang sangat tidak seimbang; demikian pula peralatan perang, dan kondisi kedua pihak. Rombongan Imam Husein as berjumlah 72 orang lelaki yang semuanya gugur syahid. Sedangkan tentara Yazid berjumlah lebih dari 30.000 orang. Imam Husein as dan rombongannya memiliki peralatan perang yang terbatas, sebaliknya tentara Yazid. Rombongan Imam Husein as sudah kelaparan dan kehausan selama beberapa hari di padang pasir yang kering kerontang, sementara pasukan Yazid menguasai dan memonopoli air sungai Furat, dan memiliki perbekalan makanan yang melimpah.
Di masa itu, masyarakat Islam tengah dilanda krisis idiologi dan akidah. Setelah peristiwa Karbala, penguasa Bani Umayyah, lebih terbuka dan lebih berani daripada sebelumnya, dalam melakukan berbagai kezaliman dan penyebaran fasad. Pemerintahan Bani Umayyah berusaha menyibukkan rakyat dengan hal-hal yang bersifat sampingan. Akan tetapi Imam Sajjad as juga telah memulai gerakan tersusunnya untuk menjelaskan dasar-dasar idiolgi Islam dan berusaha mengembalikan umat muslimin kepada ajaran-ajaran agama yang murni. Imam Sajjad as, berusaha keras menyebarkan hukum-hukum Islam dan ajaran-ajaran pendidikan dan akhlak. Dalam hal ini beliau telah mengambil langkah-langkah penting, membuat banyak kalangan cendekiawan dan ulama memuji dan mengagumi beliau.
Syekh Mufid ra, salah seorang tokoh besar ulama Islam, menulis, "Fuqaha Ahlussunah sedemikian luas menukil berbagai ilmu dan pengetahuan Islam dari Imam Sajjad as, sehingga tak terhitung lagi. Nasehat-nasehat, doa, keutamaan Al-Quran, halal dan haram dalam hukum Islam, telah dinukil dari beliau, sehingga sangat dikenal di kalangan ulama." Demikian Syekh Mufid. Contoh dari ajaran akhlak Imam Sajjad as yang hingga kini masih bisa diperoleh, ialah sebuah kumpulan pandangan-pandangan beliau yang dibukukan dengan "Risaalatul Huquuq". Dalam kitab ini, Imam Sajjad as menjelaskan hak-hak dan kewajiban berbagai macam manusia, baik antara manusia dengan Tuhannya, maupun diantara sesama manusia.
Satu lagi karya Imam Sajjad yang terabadikan, dalam rangka usaha beliau menjelaskan dasar-dasar agama, ialah ajaran-ajaran yang beliau sampaikan dalam bentuk doa dan munajat, yang sangat indah. Gaya penyampaian seperti ini memiliki daya tarik luar biasa, sehingga menyedot perhatian ulama dan cendekiawan Islam. Doa-doa Imam Sajjad as yang disusun dengan kata-kata yang sangat indah, penuh dengan makna dan ajaran Islam, baik akidah, filsafat, ahkam, bahkan politk dan pemerintahan. Doa-doa beliau ini dikumpulkan dalam sebuah kitab berjudul Shahifah Sajjaadiyyah.
Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad as mengatakan, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan bid'ah-bid'ah, serta melaksanakan kewajiban amar ma'ruh nahi munkar."
Disebutkan dalam sejarah bahwa dalam berbagai kesempatan, Imam Sajjad as selalu menghidupkan kenangan tentang tragedi Karbala. Setiap kali seseorang menyodorkan makanan kepada beliau, atau setiap kali beliau melihat air minum, beliau pasti menunjukkan kesedihan, mengingat ayah beliau, keluarga dan para pengikut setia, bahkan bayi dan kaum perempuan, yang kelaparan dan kehausan di padang Karbala. Beliau mengatakan, "Setiap kali mengingat putra-putra Fatimah yang terbunuh, tiba-tiba leherku tercekik oleh rasa pedih, dan tanpa dapat ditahan lagi, air mataku meleleh."
Di tengah masyarakat, Imam Sajjad as dikenal sebagai dermawan, pengasih dan sangat merakyat. Sedemikian menyatunya Imam Sajjad as dengan kesedihan-kesedihan yang terjadi di tengah masyarakat, dan sedemkian cintanya beliau untuk berkhidmat kepada rakyat, membuat beliau tiap malam memikul karung-karung makanan dan membagikannya kepada warga miskin. Beliau melakukan hal itu secara diam-diam, di tengah kegelapan malam, dan dengan pakaian samaran. Setelah beliau meninggal barulah perbuatan mulia beliau ini diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah beliau tidak pernah menghalangi beliau dari langkah-langkah kemanusiaan dan penyebaran keutamaan-keutamaan akhlak secara praktis.
IMAM ALI ZAINAL ABIDIN ALAIHIS SALAM (Imam Sajjad)
a. Biografi Singkat Imam Zainal Abidin As-Sajjad a.s.
Imam Ali bin Husein a.s. yang lebih dikenal dengan julukan as-sajjad dan zauinal abidin dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Jumadil Ula 38 H. atau 5 Sya'ban 38 H. Dan pada tanggal 12 atau 25 Muharam 95 H. ia diracun oleh Hisyam bin Abdul Malik dan meneguk cawan syahadah pada usia 56 tahun. Ia dikuburkan di Baqi', Madinah.
Ibu Imam Ali As-Sajjad adalah Ghazalah yang berasal dari kota Sanad atau Sajistan. Dan ia juga dikenal dengan nama Salafah atau Salamah. Akan tetapi, sebagian sumber sejarah menyatakan bahwa namanya adalah Shahr-banuweh, Shah-zanan, Shahr-naz, Jahan-Banuweh dan Khuleh.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. hidup pada masa paling kritis yang pernah dialami oleh Ahlul Bayt a.s. Ia hidup sezaman dengan memuncaknya penyelewengan setelah Rasulullah SAWW wafat.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan tiga tahun sebelum syahadah Imam Ali a.s. Ketika ia lahir, kakeknya sedang sibuk menghadapi perang Jamal. Setelah itu ia selalu menemani ayah tercintanya dalam setiap pergolakan negara.
Imam Sajjad a.s. memainkan peran yang sangat menentukan dalam menggalangkan kekuatan masyarakat untuk membenci Bani Umaiyah dan memberontak melawan mereka. Setiap kali mendapatkan kesempatan untuk itu, ia tidak pernah membuang-buang kesempatan. Dengan penuh hati-hati, ia selalu mengawasi semua program pemerintahan masa itu. Untuk mengenalkan masyarakat (dengan segala problema yang terjadi di masyarakat) ia memilih metode doa. Di dalam doa-doanya ia mengungkapkan dan menafsirkan segala problema yang sedang menimpa masyarakat kala itu. Shahifah Sajjadiah yang dikenal dengan Zabur Ahlul Bayt a.s. adalah sebuah peninggalan berharga dunia Islam yang sangat mendapat perhatian seluruh ulama setelah Al Quran dan Nahjul Balaghah.
Salah satu peninggalan berharga Imam Sajjad a.s. lainnya adalah buku kecil yang berisi masalah-masalah pendidikan dan etika. Peninggalan ini dikenal dengan nama Risalatul Huquq. Dalam buku kecil ini yang memuat lima puluh satu hak, ia menerangkan tugas-tugas manusia, baik di hadapan Tuhannya, dirinya dan orang lain.
b. Imam Sajjad a.s. dan Pemerintahan yang Berkuasa Saat itu
Imam Sajjad a.s. mengakui bahwa tanpa adanya dukungan masyarakat umum, kekuasaan tidak akan dapat banyak membantu dalam merombak kehidupan masyarakat Islam kala itu. Masyarakat umum juga harus tahu tujuan-tujuan negara, percaya penuh kepada teori-teorinya berkenaan pemerintahan dan membelanya lahir dan batin. Imam Sajjad a.s. merasa harus menjelaskan semua itu kepada mereka sehingga mereka tetap tegar dalam menghadapi setiap gejolak yang terjadi.
Akan tetapi, ia tidak memiliki semua itu, dan karena ketidaktahuan mereka ia pernah mengeluh: "Ya Allah, dalam setiap problema yang terjadi aku telah melihat kelemahanku, aku telah menyadari ketidakmampuanku untuk mencari bantuan masyarakat dalam menghadapi orang-orang yang memerangiku, dan kuakui kesendirianku dalam menghadapi banyaknya orang yang memusuhiku".
Secara global dapat dikatakan bahwa situasi sosial masyarakat yang dialami oleh setiap imam ma'shum a.s. pasti membatasi ruang gerak politiknya.
Dengan adanya segala bentuk teror yang dijalankan oleh para musuh Islam demi menjauhkan mereka dari lingkaran pemerintahan, para imam ma'shum a.s. telah menjalankan segala tugas mereka dengan baik dalam menjaga risalah Islam dari terjerumus ke dalam jurang penyelewengan dari nilai-nilai murninya. Setiap kali mereka melihat penyelewengan beranjak makin parah, mereka selalu sigap mengambil sebuah solusi yang jitu.
c. Kepedulian Imam Sajjad a.s. terhadap Fakir dan Miskin
Salah satu khidmat besar kepada masyarakat yang pernah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin a.s. adalah kepeduliannya terhadap anak yatim, fakir dan miskin serta hamba sahaya. Diriwayatkan bahwa ia membiayai kehidupan seratus keluarga miskin. Sebagian penduduk Madinah selalu menerima bahan pangan pada malam hari dan mereka pergunakan untuk menjalankan kehidupan mereka. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahan pangan tersebut berasal dari mana. Setelah Imam Sajjad a.s. meninggal dunia, baru mereka mengetahui siapa yang memberi bahan pangan kepada mereka setiap malam.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. setiap malam memikul goni-goni yang penuh dengan bahan pangan dan roti lalu ia membagikannya kepada para fakir dan miskin seraya berbisik kepada dirinya: "Bersedekah secara diam-diam akan memadamkan api murka Allah". Setelah ia meninggal dunia, penduduk Madinah berkata: "kami telah kehilangan sedekah secara diam-diam, karena Ali bin Husein telah meninggal dunia".
Di sepanjang tahun karena seringnya ia memikul bahan-bahan pangan, bahunya mengapal. Ketika ia dimandikan, bahunya yang mengapal itu menarik perhatian khalayak ramai.
Ali bin Thawus dalam kitab Iqbaalul A'maal ketika menjelaskan amalan-amalan bulan Ramadhan berkata: "Ali bin Husein a.s. di malam terakhir bulan Ramadhan membebaskan dua puluh orang budak seraya berkata: "Aku ingin Allah melihatku membebaskan budak-budakku sehingga Ia akan membebaskanku dari api neraka kelak di hari kebangkitan ".
Ia tidak pernah menahan budak lebih dari satu tahun. Ketika ia membawa seorang budak ke rumahnya di awal atau pertengahan tahun, ia pasti membebaskannya pada malam hari raya Idul Fitri. Ia sering membeli budak-budak berkulit hitam. Ketika musim haji tiba, ia membawa mereka bersamanya ke padang Arafah. Setelah itu, ia membebaskan mereka di tanah padang Masy'ar dan membekali mereka dengan hadiah uang. Dengan demikian, sangat banyak budak-budak di kota Madinah yang telah dibebaskan oleh Imam Sajjad a.s. Dan setelah bebas, mereka tidak memutuskan hubungan spiritual dengannya.
Pada kesempatan ini, kami akan mengajak para pembaca yang budiman untuk menelaah hadis-hadis yang pernah diucapkannya selama ia hidup.
1.Jiwa yang mulia
"Barang siapa memiliki jiwa yang mulia, maka dunia akan hina dalam pandangannya".
2.Dunia bukan tolak ukur nilai
"Sangat berbahaya bagi seseorang ketika ia tidak melihat dunia sebagai suatu bahaya bagi dirinya".
3.Menghindari berkata bohong
"Jauhilah berkata bohong, baik untuk hal sepele maupun untuk hal yang besar, baik serius maupun bergurau. Karena seseorang jika ia telah berani berbohong untuk hal-hal kecil, ia akan berani untuk berbohong untuk hal yang besar".
4.Sahabat tidak baik
"Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang pembohong, karena ia akan mendekatkan kepadamu suatu yang jauh dan menjauhkan dalam pandanganmu sesuatu yang dekat. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang fasik, karena ia akan memperjual-belikanmu dengan sesuap nasi atau lebih sedikit dari itu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang kikir, karena ia akan meninggalkanmu ketika engkau merasa membutuhkan bantuannya. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang tolol, karena --menurut kata hatinya-- ia ingin membantumu, akan tetapi malahan ia melakukan sesuatu yang membahayakanmu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang memutus tali silaturahmi, karena aku melihatnya terlaknat di dalam kitab Allah".
5.Jangan berbicara kecuali diperlukan
"Sesungguhnya pengetahuan dan kesempurnaan agama seorang muslim (dapat dilihat ketika) ia meninggalkan setiap ucapan yang tidak penting, jarang berdebat, sabar dan berakhlak yang terpuji".
6.Introspeksi diri dan mengingat hari kiamat
"Wahai anak Adam, kebaikan akan selalu bersamamu selama engkau memiliki penasihat dari dalam dirimu, mengintrospeksi diri, rasa takut (kepada Allah) menjadi syiarmu dan bertindak hati-hati menjadi bagian dari hidupmu. Wahai anak Adam, engkau akan mati, dibangkitkan dan disidang di hadapan Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, persiapkanlah jawaban untuk-Nya".
7.Hasil doa
"Seorang mukmin ketika berdoa akan mendapatkan salah satu dari tiga hal ini: doa itu akan disimpan untuknya di akhirat, dikabulkan saat itu juga atau satu bala` yang akan menimpanya dijauhkan darinya".
8.Faktor-faktor keselamatan
"Tiga hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin: menutup mulut untuk tidak mengghibah orang lain, menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang bermanfaat bagi akhirat dan dunianya, dan banyak menangis karena mengenang kesalahan-kesalahannya".
9.Rindu surga
"Barang siapa yang rindu kepada surga, ia akan bergegas mengerjakan kebajikan dan mengekang hawa nafsunya, dan barang siapa yang takut siksa neraka, ia akan bergegas untuk bertaubat kepada Allah dari dosa-dosanya dan tidak mengerjakan kembali hal-hal yang haram".
10.Pahala melihat
"Seorang mukmin yang melihat wajah saudara seimannya karena ia mencintainya adalah ibadah".
11.Harga diri dan doa
"Sesuatu yang paling disukai oleh Allah setelah mengenal-Nya adalah menjaga perut dan kemaluan, dan sesuatu yang paling dicintainya adalah doa seorang hamba kepada-Nya".
12.Menerima permintaan maaf orang lain
"Jika seseorang mencelamu dari sebelah kananmu, lalu ia berpindah mencela dari samping kirimu, kemudian ia meminta maaf kepadamu, maka terimalah permintaan maafnya".
13.Hak Allah atas hamba-Nya
"Hak Allah yang paling besar adalah hendaknya engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya. Jika engkau telah melaksanakannya dengan penuh ikhlas, Dia telah berjanji kepada diri-Nya untuk mencukupi segala urusan dunia dan akhiratmu serta menjaga segala yang kau cintai".
14.Hak ayah atas anak
"Hak seorang ayah adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia adalah asal-muasalmu dan engkau adalah cabangnya (baca : keturunannya). Jika ia tidak ada, niscaya engkau pun tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, jika engkau melihat dalam dirimu sesuatu yang membuatmu bahagia, ketahuilah bahwa ayahmu adalah asal nikmat tersebut, bersyukurlah kepada Allah dan berterima kasihlah kepada ayahmu karena itu".
15.Taat kepada Allah adalah segalanya
"Dahulukanlah menaati Allah dan orang-orang yang diwajibkan oleh-Nya untuk menaati mereka atas segala urusan".
16.Hak ibu atas anak
"Hak ibumu adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia telah:
- mengandungmu,
- memberimu makan dari buah hatinya ketika tidak seorang pun siap untuk melakukan hal itu, dan
- menjagamu dengan telinga, mata, tangan, kaki, rambut, kulit dan seluruh anggota badannya.
Ia melakukan itu semua dengan penuh bahagia, gembira, dan rela menanggung segala derita dan susah-payah yang ada di dalamnya sehingga engkau lahir di dunia. Ia rela engkau kenyang meskipun ia sendiri kelaparan, engkau berpakaian meskipun ia sendiri telanjang, engkau tidak kehausan meskipun ia sendiri menahan dahaga, dan engkau bernaung meskipun ia sendiri kepanasan. Ia rela menyediakan kehidupan berlimpah nikmat bagimu dengan segala kesusahan yang dideritanya dan menidurkanmu meskipun ia harus berjaga sepanjang malam. Perutnya adalah tempat wujudmu, buiannya adalah tempatmu bermanja-manja, susunya adalah penebus dahagamu, dan jiwanya adalah tempat kamu berlindung. Ia rela menahan panas dan dinginnya dunia demi kamu dan untukmu. Dengan demikian, bersyukurlah kepadanya atas semua itu, dan engkau tidak akan dapat melakukan itu kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah".
17.Anjuran mencari ilmu
"Jika seluruh manusia mengetahui keistimewaan yang tersembunyi di balik mencari ilmu, niscaya mereka akan mencarinya meskipun dengan mencurahkan darah dan menantang ombak".
18.Nilai duduk bersama orang-orang saleh
"Duduk bersama orang-orang saleh akan mengajak kepada kebajikan dan tata krama ulama dapat menambah akal".
19.Dosa penghambat doa
"Dosa-dosa yang menghambat terkabulnya doa adalah jeleknya niat, kotornya hati, bersikap munafik terhadap saudara seiman, tidak yakin dengan diterimanya doa, mengakhirkan shalat wajib hingga waktunya habis, tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan baik dan sedekah, mencela dan mempergunakan kata-kata yang tidak senonoh dalam ucapan".
20.Lebih mementingkan yang fana
"Sangatlah aneh seseorang yang beramal untuk dunia yang fana ini dan tidak memperdulikan dunia yang kekal".
21.Akibat menuduh
"Barang siapa yang menuduh orang lain dengan aib yang dimilikinya, maka ia akan dituduh dengan aib yang tidak pernah dimilikinya".
22.Dunia adalah perantara, bukan tujuan
"Para wali Allah tidak pernah melelahkan diri di dunia untuk kepentingan dunia. Akan tetapi, mereka melakukan itu untuk kepentingan akhirat".
23.Aku berlindung kepada Allah!
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tamak, kemarahan, kedengkian, ... dan kebejatan memimpin atas orang-orang yang berada di bawah wilayah kami".
24.Menjauhlah dari mereka!
"Hati-hatilah, jangan bersahabat dengan orang-orang yang berlumuran maksiat, jangan membantu orang-orang zalim, dan jangan mendekati orang-orang fasik. Hati-hatilah akan fitnah mereka dan menjauhlah dari mereka".
25.Akibat menentang wali Allah
"Ketahuilah bahwa barang siapa yang menentang wali-wali Allah, memeluk selain agama-Nya dan ingin pendapatnya selalu diikuti, bukan perintah wali-Nya, maka ia akan masuk ke dalam neraka yang membara".
26.Takut dan malulah!
"Takutlah kepada Allah karena kekuasaan-Nya atas dirimu dan malulah kepada-Nya karena ia dekat darimu".
27.Buah terbaik
"Setiap sesuatu memiliki buah, dan buah untuk telinga adalah ucapan yang baik".
28.Faedah diam
"Tidak mengganggu orang lain dapat dilakukan dengan meninggalkan ucapan yang tidak senonoh. Cegahlah ucapanmu dengan diam, karena setiap ucapan memiliki intonasi beraneka ragam yang membahayakan. Oleh karena itu, waspadalah terhadap orang yang tolol".
29.Jujur dan menepati janji
"Kunci yang terbaik bagi setiap urusan adalah kejujuran, dan amalan penutup yang terbaik baginya adalah menepati janji".
30.Ghibah
"Jauhilah hibah, karena ghibah adalah makanan anjing neraka".
31.Si mulia dan si hina
"Orang yang mulia akan bahagia dengan derma yang diberikannya dan orang yang hina akan berbangga dengan hartanya"
32.Pahala berbuat baik
"Barang siapa yang memberi pakaian kepada seorang mukmin, maka Allah akan memberikan kepadanya pakaian dari surga".
33.Akhlak seorang mukmin
"Di antara akhlak seorang mukmin adalah ia akan berinfak sesuai dengan kadar kemiskinannya, memperbanyak (infak) sesuai kekayaan yang dimilikinya, memahami orang lain dan mengucapkan salam terlebih dahulu kepadanya".
34.Tentang afiat
"Sesungguhnya aku tidak suka seseorang selalu nyaman hidup di dunia dan tidak pernah ditimpa satu musibah pun".
35.Pahala dan azab yang paling cepat tiba
"Pahala kebaikan yang paling cepat diberikan adalah berbuat kebajikan dan azab yang paling cepat tiba adalah bertindak lalim".
36.Doa adalah pencegah bala`
"Sesungguhnya doa dapat mencegah bala` meskipun bala` itu sudah ditentukan dengan pasti, dan doa dapat mencegah bala`, baik yang sudah turun maupun belum turun".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar