Minggu, 06 Januari 2019

SIAPA AHLUL-BAIT RASULULLAH (SAW)






ilustrasi hiasan:



Berdasarkan dalil-dalil dari ayat-ayat Qur'an dan Hadith Rasulullah SAWA - kebanyakan kitab tafsir dan Hadith menjelaskan bahawa yang dimaksudkan dengan Ahlul Bayt Rasulullah SAWA ialah lima orang iaitu Rasulullah SAWA, Ali, Fatimah, Hassan dan Husayn.


Riwayat al-Tarmidzi dari Ummu Salamah menyatakan bahawa ayat:


" Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kotoran dari kalian, Ahlul Bayt dan menyucikan kalian dengan sebersih-bersihnya (Quran:33:33)" turun untuk Rasulullah SAWA di rumahku ketika aku sedang duduk di sebelah pintu, aku bertanya: " Ya Rasulullah, bukankah aku juga dari Ahlul Baytmu, beliau mejawab: engkau berada dalam kebaikan, engkau dari isteri-isteriku. Ketika itu Rasulullah SAWA di rumah bersama Ali, Fatimah, Hassan dan Husayn.Kemudian beliau memasukkan mereka di bawah serban beliau seraya bersabda: " Ya Allah,merekalah Ahlul Baytku, maka hilangkan kotoran dari mereka dan sucikanlah mreka sesuci-sucinya."


Muslim dalam Sahihnya meriwayatkan dalam Kitab Fada'il Sahabat bab Fada'il Ahlul Bayt Nabi SAWA, berkata Aisyah bahawa telah keluar Rasulullah SAWA pada suatu hari dengan memakai mard marhal daripada bulu berwarna hitam, kemudian datang Hassan bin Ali lalu dimasukkannya ke dalamnya, kemudian datang Husayn lalu dimasukkannya ke dalamnya, kemudian datang Fatimah dan dimasukkan dia ke dalamnya dan akhir sekali datang Ali dan dimasukkan ke dalamnya, lalu beliau SAWA membaca ayat Quran:33:33, yang bermaksud:


" Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kalian dari kekotoran dan menyucikan kalian dengan sebersih-bersihnya."


Dalam tafsir Al-Dur Al-Mantsur, Jalaluddin al-Suyuti menyebut dua puluh sanad hadith dengan jalan yang beragam, yang semuanya menunjukkan bahawa yang dimaksudkan dengan Ahlul Bayt di dalam ayat di atas adalah lima orang seperti di atas.


Adakah para isteri Nabi (saw) termasuk dalam Ahlul-Bait ?


Para isteri Nabi (saw) tidak termasuk dalam Ahlul Bayt dalam pengertian yang khusus seperti maksud dan kehendak ayat di atas. Riwayat dari Muslim dari Zaid bin Arqam bahawa:


Pada suatu hari Rasul berpidato di hadapan kami dekat suatu danau bernama Khum di antara Mekah dan Madinah, setelah memuji Allah, beliau mulai menasihati kami dan bersabda yang bermaskud: " Wahai manusia.....ketahuilah bahawa aku meninggalkan pada kalian dua benda yang sangat berharga, Kitabullahyang mengandung cahaya dan bimbingan, maka ambillah Kitabullah dan berpeganglah padanya....beliau meneruskan: " Dan Ahlul Baytku, aku memperingatkan kalian tentang Ahlul Baytku, Aku memperingatkan kalian tentang Ahlul Baytku, aku memperingatkan kalian tentang Ahlul Baytku...."


Perawi hadith bertanya kepada Zaid bin Arqam,


" Siapakah Ahlul Bayt Rasul, adakah isteri-isteri beliau termasuk Ahlul Baytnya? " Zaid menjawab," Tidak, demi Allah, seorang isteri hidup bersama suaminya untuk beberapa waktu dan ketika dicerai ia kembali kepada kaumnya sendiri."


Kesimpulannya


Seperti yang diungkapkan oleh Syed Syarafuddin al-Musawi dalam bukunya al-Kalimah al-Gharra' fi Tafdhil al-Zahra' wal Aqilah al-Wahy bahawa tidak diragukan lagi Ahlul Bayt yang dinyatakan oleh ayat di atas adalah lima orang bergelar " Ashab al-Kisa."


Kenyataan ini cukup untuk menyimpulkan bahawa mereka adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan seluruh entiti yang mendiami bumi dan langit.


Selain dari Rasulullah SAWA, Ali sepupu Nabi yang dinyatakan dalam al-Qur'an (seperti yang dinyatakan dalam Hadith al-Manzillah) sama kedudukannya seperti kedudukan Nabi (Nabi Harun di sisi Nabi Musa), Fatimah al-Zahra merupakan darah daging Nabi yang Nabi SAWA menyatakan bahawa Allah akan marah kerana kemarahannya serta akan rela kerana kerelaannya dan dua buah hati Nabi SAWA di dunia serta cucu kandungnya, al-Hassan dan al-Husayn yang terbunuh syahid dan kelak akan menjadi penghulu pemuda disyurga, berdasarkan dalil yang kukuh dan tidak terbantah.




MENGIMANI WILAYAH AHLULBAIT ALAIHIS SALAM ADALAH JAMINAN KESELAMATAN DARI API NERAKA JAHANNAM





Allah SWT berfirman:

و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ

"Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai." (QS. ash Shaffat:24)


Keterangan:


Di antara peristiwa-peristiwa mengerikan nun menentukan nasib di hari kiamat adalah diberhentikannya manusia di jembatan pemeriksaan di atas neraka Jahim. Allah memerintahkan para malaikat-Nya agar menahan umat manusia karena akan ada pertanyaan yang mesti mereka jawab. Pertanyaan yang akan mengungkap jati diri setiap orang. Allah berfiaman, "Hentikan (tahan) mereka karena mereka akan ditanyai."


Tentang apa yang akan ditanyakan kepada umat manusia kelak di hari kiamat, di antara para ulama dan ahli tafsir ada yang mengatakan pertanyaan itu terkait dengan konsep Tauhid; Lâ Ilâha Illallah/Tiada Tuhan selain Allah! Ada pula yangt mengatakan mereka akan ditayai dan dimintai pertanggung-jawaban tentang Wilâyah Imam Ali as.


Akan tetapi di sini perlu diketahui bahwa apa yang disebutkan di atas adalah penyebutan mishdâq dari apa yang akan ditanyakan… ia tidak sedang membatasai… bukan hanya itu yang akan ditanyakan…. Inti dari pertanyaan itu tentang kebenaran apapun yang mereka abaikan di dunia, baik ia berupa I'tiqâd/keyakinan yang intinya adalah Syahâdatain…Tentunya dan juga tentang Wilâyah Imam Ali as. yang akan menentukan nilai Syahâdatain di sisi Allah SWT. … Atau berupa amal shaleh yang mereka tinggalkan kerena keangkuhan dan sikap takabbur kepada atasnya.


Riwayat Tafsir Nabi saw.


Para muhaddis telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. telah menyebut bahwa di antara pertanyaan penting yang akan ditanyakan adalah tentang Wilâyah Imam Ali as., karenanya para ulama Ahlusunnah meriwayatkan dari para mufassir Salaf; sahabat dan tabi'în, di antara mereka Abu Said al Khadri, Ibnu Abbas, Abu Ishaq as Subai'i, Jabir al Ju'fi, Mujahid, Imam Muhammad al Baqir as. dan Mandal bahwa kelak pada hari kiamat Allah SWT akan menanyai setiap orang akan sikapnya terhadap wilayah/kepemimpinan Ali dan Ahlulbait as.


Riwayat Abu Sa'id al Khadri:


Ibnu Hajar (dan juga para ulama lainnya) menggolongkan ayat di atas sebagai ayat yang turun menjelaskan keagungan, keutamaan dan maqam mulia Ahlulbait as., ia berkata: "(Ayat Keempat) Firman Allah -Ta'âlâ-:


و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ

"Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai."


Ad Dailami meriwayatkan dari Abu Sa'id al Khadri bahwa Nabi saw. bersabda:


{و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ} عن وِلايَةِ علِيٍّ.

"Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai."tentang wilayah Ali."


Sepertinya sabda ini yang dimaksud oleh al Wâhidi dengan ucapannya, '"Dan Hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai." tentang wilayah Ali dan Ahlubait, sebab Allah telah memerintah Nabi-Nya saw. agar memberitahui umat manusia bahwa ia tidak meminta upah atas jerih payah mentablîghkan Risalah (agama) kecuali kecintaan kepada keluarga beliau. Maknanya, bahwa mereka akan ditanyai apakah mereka mengakui Wilâyah mereka dengan sepenuh arti seperti yang diwasiatkan Nabi saw. kepada mereka atau mereka menyia-nyiakan dan mengabaikannya, maka mereka akan dituntut dan dikenakan sanksi.'


Dan dengan ucapannya 'seperti yang diwasiatkan Nabi saw. kepada mereka' ia menunjuk kepada hadis-hadis yang datang dalam masalah ini, dan ia sangat banyak sebagainnya akan kami sebutkan pada pasal kedua nanti."[1]


Sumber Riwayat:


Hadis Abu Sa'id telah diriwayatkan para ulama Ahlusunnah dari banyak jalur. Dalam riwayat al Wâhidi di atas hadis itu diriwayatkan dari jalur: Qais ibn Rabî'i dari'Athiyyah dari Abu Sa'id dari Nabi saw.


Al Hakim al Hiskâni meriwayatkannya dari dua jalur; 1) dari Qais ibn Rabî' dari Abu Harun al Abdi dari Abu Sa'id dari Nabi saw…. 2) dari Isa ibn Maimun dari Abu Harun al Abdi dari Abu Sa'id dari Nabi saw. hadis


Riwayat Ibnu Abbas ra.


Al Hakim al Hiskâni juga meriwayatkan tafsir serupa dari Nabi saw. dari riwayat Ibnu Abbas ra….. Dari 'Athâ' ibn Sâib dari Sa'id ibn Jubair dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda:


"Kelak di hari kiamat aku dan Ali diberdirikan di atas Shirâth (jembatan pemeriksaan), maka tiada seorang pun yang melewatinya melainkan kami tanyai tentang Wilâyah Ali. Maka barang siapa memilikinya (maka ia boleh berjalan terus), dan yang tidak akan kami lemparkan ke dalam api neraka. Itu adalah firman Allah:

و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ

"Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai."[2]


Dalam riwayat lain, Al Hakim meriwayatkan tentang firman Allah SWT.:

و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ

"Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai." Tentang Wilayah Ali ibn Abi Thalib."[3]


Status Hadis:


Seperti Anda saksikan bahwa Nabi saw.[4] sendirilah yang menafsirkan ayat di atas dengan Wilâyah Ali as…. Bahwa perkara terpenting yang akan ditanyakan kepada setiap manusia kelak di hari kiamat setelah tentang keesaan Allah dan kerasulan Mahammad saw. adalah Wilayah/kepemimpinan Ali dan Ahlulbait as. dan berdasarkan sikap setiap orang, nasib mereka akan ditentukan di sana!


Apabila seorang dalam hidupnya mengimani Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad ibn Abdillah sebagai Rasul penutup Allah serta mengimani Ali dan Ahlulbait as. sebagai para Wali (pemimpin)nya, maka ia akan mendapat rahmat dan nikmat dari Allah dan apabila tidak maka Allah akan memintainya pertangung-jawaban atas sikapnya tersebut dan memberinya sanksi, seperti yang ditegaskan Al Wâhidi di atas.


Lalu bagaimana sikap Anda? Apakah Anda telah mempersiapkan jawaban untuk intrograsi para malaikat Allah kelak di hari Pengadilan Akbar; hari kiamat terkait dengan sikap Anda terhadap kepemimpinan Imam Ali dan Ahlulbait as.?


Apakah Anda termasuk orang yang peduli akan nasib abadi Anda di alam akhirat sana? Atau Anda termasuk mereka yang acuh terhadap apapun tentang tanggung jawab di hadapan Tuhan?


Jawabnya terserah Anda!!


Catatan:


Hadis Abu Sa'id dan keterangan Al Wâhidi, selain dikutip dan dibenarkan oleh Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab ash Shawâiq-nya juga dikutip dan dibenarkan oleh banyak ulama Ahlusunnah lainnya, di antaranya:

A) Syihâbuddîn al Khaffâji dalam kitab tafsir Ayat al Mawaddah-nya:82, seperti disebutkan dengan lengkap oleh az Zarandi dalam Nadzm Durar as Simthain:109.

B) Syeikhul Islam al Hamawaini dalam Farâid as Simthain,1/78-79 ketika menyebut hadis no.46 dan 47.

C) As Samhûdi dalam Jawâhir al Iqdain,2/108.

Mereka menyebut dan menukilnya serta mendukungnya dengan beberapa bukti pendukung lainnya.


Tafsir Para Sahabat Dan Mufassir Salaf


Selain dua sahabat yang telah kami sebutkan tafsir mereka, para mufassir Salaf juga menafsirkan ayat di atas sesuai denga tafsir Nabi saw. di antara tafsir yang diriwayatkan dari mereka adalah sebagai berikut:


(1) Abu Ishaq as Subai'i

Al Khawârizmi meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Abu Ahwash dari Abu Ishaq as Subai'i tentang ayat: "Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai." Yaitu tentang Wilâyah Ali.[5]


(2) Mujahid

Adz Dzahabi menykil riwayat dari jalur Israil dari Ibnu Najîh dari Mujahid tentang ayat: "Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai." Yaitu tentang Wilâyah Ali.[6]


(3) Imam Muhammad al Baqir as.

Al Hiskani meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Daud ibn Hasan ibn Hasan dari ayahnya dari (Imam) Abu Ja'far tentang ayat: "Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai." Yaitu tentang Wilâyah Ali.

Hadis serupa juga diriwayatkan dari jalur Abu Ishaq as Subai'i dari Jabir al Ju'fi.[7]


Hadis-hadis Pendukung!


Selain itu hadis tafsir Nabi saw. di atas dan juga tafsir para sahabat telah dikuatkan dan didukung oleh banyak bukti… di antara bukti-bukti itu adalah:


" Hadis-hadis yang menegaskan bahwa kelak di hari kiamat Nabi saw. akan meminta dari umat Islam pertanggung-jawaban sikap terhadap Kitabullah dan Ahlulbait as. Di antara hadis-hadis itu dalah sebagai berikut ini:


Dari Abu Thufail Amir ibn Watsilah dari Hudzaifah ibn Usaid al Giffari dalam sebuah hadis panjang di antaranya beliau saw. bersabda:

يَا أيُّها الناسُ إِنِّيْ فَرَطُكُمْ, إِنَّكُمْ وَارِدُونَ عَلَيَّ الْحَوْضَ أَعْرَضَ مِمَّا بين بُصْرَى إلى صَنْعاءَ فيهِ عَدَدُ النُّجُومِ قَدْحانَ فِضَّةٍ، و إِنِّيْ سائِلُكُمْ حين تَرِدُوْنَ عَنِ الثَّقَليْنَ ، فَانْظُرُوا كيفَ تَخْلُفُونِيْ فيهِما: الثقل ألأكْبَرُ كتابَ اللهِ عز و جلَّ سببٌ طَرَفُهُ بِيَدِ اللهِ و طرفُهُ بِأَيْدِيْكُمْ، فاسْتَمْسِكُوا بِهِ و لا تَضِلُّوا و لا تُبَدِّلُوا، وَعِتْرتِيْ أَهلَ بيتِيْ، فَإِنَِّ اللطيفَ الخبيرَنَبَّأَنِيْ أَنَّهُما لَنْ يَنْقَضِيا حتى يرِدَا عليَّ الْحَوْضَ.

"Wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku akan mendahului kalian menuju telaga dan kalian pasti mendatangiku di telaga, sebuah telaga yang lebih lebar dari kota Bushra hingga kota Shan'a', di dalamnya terdapat cawan-cawan sejumlah bintang di langit. Aku akan meminta pertanggung-jawaban kalian ketika menjumpaiku akan Tsaqalaian. Maka perhatikan, bagaimana perlakuan kalian terhadap keduanya. Tsaqal pertama adalah Kitabullah 'Azza wa Jalla, sebab penyambung yang satu ujungnya di tangan Allah dan satu ujungnya lagi di tangan kalian, maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah; jangan kalian menyimpang dan mencari ganti selainnya, dan kedua adalah Itrah-ku yaitu Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui telah memberitauku bahwa keduanya tidak akan berakhir sehingga menjumpaiku di haudh (telaga)."[8]


" Hadis akan ditanyakannya empat perkara di hari kiamat. Di antaranya adalah riwayat di bawah ini:


Al Hafidz al Haitsami berkata, "dan dari Ibnu Abbbas, ia berkata, 'Rasulullah saw. bersabda:

لاَ تزولُ قَدَما عبْدٍ يومَ القيامة حتَّى يُسْأَلَ عَن أربَع: عَن عُمُرِهِ فِيمَ أفناه عَن جسدِه فِيمَ أبلاهُ و عن ماله فِيمَ أنْفَقَهُ و مِنْ أين إكْتَسَبَهُ و عن حُبِّنا أَهْلَ البيتِ.

"Tiada akan beranjak dua kaki seorang pada hari kiamat sehingga ia ditanyai tentang empat perkara; tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk ia pakai, tentang hartanya untuk apa ia belanjakan dan dari mana ia perolah dan tentang kecintaan kepada kami Ahlulbait."


Hadis ini diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al Mu'jam al Awsath, dan pada sanadnya terdapat Husain al Asyqar, ia dianggap lemah oleh sebagian ulama, akan tetapi Ibnu Hibbân mentsiqahkannya.


Al Haitsami juga meriwayatkannya dari jalur lain dari Abu Barzah, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda:

تزولُ قَدَما عبْدٍ حتَّى يُسْأَلَ عَن أربَع: عَن جسدِه فِيمَ أبلاهُ وَ عَن عُمُرِهِ فِيمَ أفناه و عن ماله مِنْ أين إكْتَسَبَهُ وَ فِيمَ أنْفَقَهُ و عن حُبِّنا أَهْلَ البيتِ.

"Tiada akan beranjak dua kaki seorang sehingga ia ditanyai tentang empat perkara; tentang jasadnya untuk ia pakai, tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang harta dari mana ia perolahnya dan untuk apa ia belanjakan dan tentang kecintaan kepada kami Ahlulbait."


Lalu ada yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa tanda kecintaan kepada kalian Ahlulbait?'


Maka beliau menunjuk Ali sambil menepuk pundaknya."


Ia berkata, "Hadis ini diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam Awsath.


Perhatikan di sini, al Haitsami hanya mencacat hadis dengan jalur pertama yaitu disebabkan Husain al Asyqar. Sementara terhadap hadis dengan jalur kedua ia mendiamkan dan tidak mencacatnya dengan sepatah kata pun..


Dan dalam sumber aslinya disebutkan bahwa Nabi menjawab si penanya dengan sabda beliau, "Tanda kecintaan kepada kami adalah kecintaan kepada orang ini sepeninggalaku." Sabda ini tidak disebutkan oleh al Haitsami. Adapun pencacatannya atas Husain al Asyqar sangat tidak berdasar. Perawi yang satu ini tsiqah dan adil seperti telah dibuktikan pada tempatnya.


Ikhtisar kata, hadis ini termasuk dari hadis-hadis terkuat tentang keutamaan Ali dan Ahlulbait as. tidak ada tempat untuk pencacatan!


" Hadis yang mengatakan bahwa manusia tidak akan diizinkan melewati jembatan penyeberangan di Shirâth kelak kecuali setelah terbutki ia meyakini Wilayah Imam Ali as.


Di antara hadis-hadis itu adalah sebagai berikut:

A) Hadis riwayat Imam Ali as.


Al Hafidz Abul Khair al Hâkimi ath Thâliqâni berkata, "Dan dengannya al Hâkim berkata…. Dari Ali, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا جمَع اللهُ الأولين و الآخرين يوم القيامة و نصب الصراطَ على جسر جهنمَ ما جازاها أحدٌ حتى كانت معه برآءَةٌ بِولايةِ عليِّ بن أبي طالبِ.

"Jika kelak pada hari kiamat Allah mengumpulkan manusia yang pertama hingga yang terakhir dan Dia menegakkan Shirâth di atas jembatan neraka Jahannam, maka tidak seorang pun melewatinya sehingga ia memiliki surat jalan berupa (keyakinan akan) Wilâyah Ali ibn Abi Thalib."[9]


B) Hadis Anas ibn Malik.


Ibnu al Maghâzili meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Anas ibn Malik, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:

إذا كان يوم القيامة و نُصِبَ الصراطُ على شَفِير جهنمَ لَمْ يَجُزْ إلاَّ مَن معه كتابُ بِولايةِ عليِّ بن أبي طالبِ.

"Jika kiamat terjadi dan Shirath dibentangkan di atas bantaran nereka Jahannam, maka tidak ada yang dapat melewatinya kecuali orang memiliki catatan berupa Wilayah kepada Ali ibn Abi Thalib."[10]


Dan selain dua hadis di atas banyak hadis lainnya dari riwayat Abdullah ibn Mas'ud, Ibnu Abbas dan Abu Bakar.


Setelah ini semua adalah sebuah sikap gegabah jika ada yang meragukan kesahaihan tafsir ayat di atas dengan Wilayah Imam Ali ibn Abi Thalib as., apalagi mengatakannya sebagai hadis palsu!!

Wallahu A'lam.


Catatan Kaki:


[1] Ash Shawâiq al Muhriqah:149. Cet. Maktabah al Qahirah. Thn.1385 H/1965 M. dengan tahqiq Abdul Wahhâb Abdul Lathîf..

[2] Syawâhid at Tanzîl,2/162 hadis no..789.

[3] Ibid. no790.

[4] Pada riwayat-riwayat Abu Sa'id dan Ibnu Abbas ra. di atas Anda dapat saksikan bahwa sesekali mereka menukil tafsir ayat tersebut dari Nabi saw. dan sesekali mereka memauqufkan (tidak menyandarkannya) kepada Nabi saw.! Untuk bentuk yang kedua (yang mauqûf) para ulama Ahlusunnah telah membangun sebuah kaidah bahwa ucapan para sahabat tentang tafsir ayat-ayat Al Qur'an yang tidak ada ruang bagi ijtihad dan pendapat maka dihukumi marfû' (diambil dari Nabi saw.) sebab tidak mungkin para sahabat itu membuat-buat keterangan palsu tentang masalah yang tidak ada ruang bagi berijtihad. Dan kasus kita sekarang ini termasuk darinya… pertanyaan di hari kaimat termasuk berita ghaib, maka pastilah ucapan Abu Sa'id dan Ibnu Abbas dalam masalah ini bersumber dari Nabi saw. Apalgi telah terbukti bahwa Nabi saw. telah menafsirkan sendiri makna ayat tersebut seperti mereka berdua sampaikan!

[5] Manâqib:275 hadis no.256.

[6] Mâzân al I'tidâl,5/145 ketika menyebut sejarah hidup Ali ibn Hatim.

[7] Syawâhid at Tanzîl,2/164 hadis no.790.

[8] Hadis ini telah diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir, Hilyah al Awliyâ',1/355 dan 9/64, Tarikh Damasqus,1/45 tentang sejarah hidup Imam Ali as., 3/180, hadis no. 3052, Al Haitsami dalam Majma' az Zawaid, 9/165, Tarikh Ibnu Katsir,7/348, as Sirah al Halabiyah,3/301, ash Shaw^aiq al Muhriqah:25, Farâid as Simthain,2/274, Nadzm Durar as Simthain:231 dan al Fushûl al Muhimmah:23.

[9] Kitâb al Arba'în al Muntaqâ Min Manâqib Ali al Murtadhâ, hadis no 40.

[10] Manâqib Ali ibn Abi Thalib:243.




SYARAT-SYARAT MUBAHALAH


Pertanyaan


Apakah mubahâlah itu memiliki syarat-syarat sehingga ketika kita ingin menetapkan dan membuktikan keyakinan dan iman kita dapat bermubahâlah dengan siapa saja? Dalam hal apa saja orang dapat melakukan mubahâlah? Apakah peristiwa mubahâlah benar-benar pernah terjadi dalam sejarah Islam? Yang terkandung dalam al-Qur'an adalah persitiwa tantangan untuk melakukan mubahâlah dari Rasulullah Saw namun (akibat) mubahâla tersebut benar-benar tidak terjadi lantaran pihak Kristen Najran menampik tantangan itu. Apakah benar demikian adanya?


Jawaban


Mubahâlah artinya melaknat satu sama lain sehingga siapa saja yang berada di atas rel kebatilan mendapatkan murka dari Allah Swt dan orang yang berada di pihak kebenaran akan dikenal. Dengan demikian orang dapat membedakan antara yang benar dan yang batil.


Mubahâlah adalah sejenis doa dan memiliki selaksa syarat dan tipologi khusus. Di sini kami akan menyebutkan beberapa syarat dan ciri khas mubahâlah tersebut:


Orang yang ingin melakukan mubahâlah maka seyogyanya ia memperbaiki akhlaknya selama tiga hari (sebelumnya), berpuasa dan mandi (ritual), pergi ke sahara dengan orang yang ingin melakukan mubahâlah dengannya dan seterusnya dan melakukan mubahâlah pada saat antara waktu subuh hingga menyingsingnya mentari pagi.


Mubahâlah tidak terkhusus semata pada masa Rasulullah Saw. Orang-orang beriman juga dapat melakukan mubahâlah. Karena itu, tiada halangan bagi orang-orang beriman untuk ber-mubahâlah dengan siapa saja untuk menetapkan dan membuktikan kebenarannya di hadapan musuh-musuh agama sepanjang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan sebelumnya. Akan tetapi harus dipahami bahwa syarat-syarat mubahâlah yang diperlukan, keikhlasan dan self-confident (percaya diri) tidak mudah diperoleh oleh setiap orang. Dan orang yang ingin ber-mubahâlah tidak boleh tergesa-gesa untuk menyatakan ingin melakukan mubahâlah karena boleh jadi yang dihasilkan adalah sebaliknya. Dalam pada itu, harus diketahui bahwa mubahâlah terkhusus perbedaan dan perdebatan dalam masalah agama dan mazhab dimana pihak lawan, meski dengan adanya dialog dan diskusi ilmiah, logis dan rasional, namun ia tetap menampik kebenaran dan bersikeras dengan keyakinannya yang batil. Dengan memperhatikan pelbagai penafsiran ayat mubahâlah menjadi jelas bahwa ujung dari mubahâlah Nabi Saw berakhir dengan kedamaian dan ketenteraman.


Mubahal secara leksikal


Mubahâlah derivatnya dari klausul "bahl" (dengan timbangan ahl) yang bermakna membebaskan, melepaskan ikatan dan belenggu dari sesuatu. Atas dasar ini, tatkala seekor induk hewan dilepaskan untuk menyusui anaknya secara bebas maka ia disebut sebagai "bâhil." "Ibtihâl" dalam doa bermakna bermohon dan melepaskan urusan kepada Tuhan.


Mubahâla secara teknikal 


Dari definisi yang secara umum digunakan dari ayat mubahâlah, mubahâlah bermakna saling mengutuk dan melaknat antara dua orang sedemikian sehingga orang-orang yang berdialog tentang satu masalah agama atau mazhab dapat mencapai satu kata sepakat dan bermohon kepada Allah Swt supaya menghukum dan membongkar kedok orang yang berdusta.[1]


Mubahâlah artinya saling melaknat sehingga siapa pun yang berada di atas rel kebatilan mendapatkan murka dari Allah Swt dan orang yang berada di pihak kebenaran akan dikenal. Dengan cara demikian orang-orang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.[2] 


Adalah suatu hal yang wajar bahwa kedua belah pihak yang melakukan mubahâlah harus beriman kepada Allah Swt sehingga keduanya dapat melakukan hal ini, lantaran orang yang tidak beriman kepada Allah Swt tidak dapat bermohon kepada-Nya.


Adapun terkait dengan jawaban atas pertanyaan yang Anda kemukakan akan dijelaskan secara runut sebagai berikut:


Apakah terdapat syarat-syarat yang harus dimiliki tatkala orang ingin ber-mubahâlah? Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam defenisi di atas bahwa mubahâlah adalah sejenis doa dan permohonan. Karena itu, syarat-syarat yang disebutkan untuk berdoa juga diperlukan dalam melakukan mubâlahah.[3] Akan tetapi mengingat bahwa mubahâlah merupakan permohonan khusus maka ia tentu saja memiliki tipologi dan syarat-syarat tertentu yang akan kami sebutkan sebagian darinya di bawah ini:


Orang yang ingin melakukan mubahâlah seyogyanya memperbaiki akhlaknya selama tiga hari sebelumnya. Berpuasa Mandi (ritual) Pergi ke sahara dengan orang yang ingin melakukan mubahâlah dengannya Melakukan mubahâlah pada saat antara waktu subuh (fajar shadiq) hingga menyingsingnya mentari pagi. Masing-masing saling mencengkraman kedua tangan kanannya. Ia memulai dari dirinya dan berkata: Tuhanku! Engkau adalah Tuhan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi. Engkau mengetahui segala rahasia wujud, mahapenyayang dan mahapengasih. Sekiranya orang yang menentangku (ini) mengingkari kebenaran dan mengklaim kebatilan maka turunkanlah petaka dan musibah dari langit. Dan jerumuskan ia ke dalam azab yang pedih! Dan setelah itu ia mengulang lagi doa ini dan berkata: Sekiranya orang yang menentangku (ini) mengingkari kebenaran dan mengklaim kebatilan maka turunkanlah petaka dan musibah dari langit. Dan jerumuskan ia ke dalam azab yang pedih![4] 


Adapun pertanyaan Anda yang lain terkait dengan apakah setiap orang dapat melakukan mubahâlah untuk menetapkan dan membuktikan (kebenaran) imannya? Dengan ungkapan lain, apakah mubahâlah merupakan sebuah hukum yang bersifat umum atau hanya khusus berlaku pada masa Nabi Saw? Dengan memperhatikan sebab-sebab diturunkannya ayat mubahâlah yang redaksinya berbicara kepada Nabi Saw, .maka boleh jadi disebutkan bahwa mubahâlah hanya terkhusus pada masa Nabi Saw. Akan tetapi ucapan seperti ini tidaklah dapat dibenarkan. Mubahâlah dapat dipandang khusus berlaku pada masa Nabi Saw akan tetapi orang-orang beriman juga dapat melakukan mubahâlah. Karena pertama berdasarkan kaidah pasti ilmu ushul bahwa sebab-sebab diturunkannya ayat tidak dapat menjadi pengkhusus (mukhashish) ayat.[5] Kedua, tidak dapat diragukan bahwa ayat mubahâlah bukan merupakan satu perintah universal bagi kaum Muslimin untuk ber-mubahâlah, melainkan seruannya hanya kepada Nabi Saw. Namun demikian persoalan ini tidak menjadi penghalang bahwa dalam ber-mubahâlah dengan para penentang menjadi satu hukum umum dan orang-orang beriman yang taat dan bertakwa dapat ber-mubahâlah tatkala adu-argumen tidak lagi berguna di hadapan musuh-musuh yang lantaran keras kepala menolak kebenaran.[6]


Ketiga, terdapat banyak riwayat dari sumber-sumber Islam yang dinukil atas keumuman hukum ini: Kulaini, dalam Al-Kâfi, menukil sebuah hadis dari Imam Shadiq As yang bersabda kepada salah seorang sahabatnya: "Apabila para penentangmu tidak menerima kebenaran yang engkau sampaikan maka ajaklah ia untuk ber-mubahâlah."[7]


Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa saja dapat melakukan mubahâlah sepanjang memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan yang digunakan untuk menetapkan kebenaran imannya di hadapan para musuh.[8]



Terkait dengan pertanyaan Anda berikutnya tentang dalam hal apa saja orang dapat melakukan mubahâlah? Sebagaimana yang dapat disimpulkan dari ayat mubahâlah bahwa hal-hal yang dibolehkan untuk ber-mubahâla adalah terkait masalah-masalah agama dan mazhab tatkala masalah kebenaran tidak dapat dibuktikan dengan dialog sehingga berujung pada pengingkaran dan penentangan.[9]


Dan pada pertanyaan Anda yang terakhir Anda berkata: Yang terdapat dalam al-Qur'an adalah peristiwa tantangan untuk ber-mubahâlah yang dilontarkan Rasulullah Saw karena pihak musuh menampik tantangan ini. Apakah hal ini benar adanya? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dijelaskan dengan mengemukakan inti mubahâlah:


Terkait dengan sebab-sebab diturunkannya ayat mubahâlah dimana ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya diturunkan berkaitan dengan delegasi Najran dan seterusnya serta pada waktu Nabi Saw menantang mereka untuk ber-mubahâlah. Mereka meminta waktu dari Nabi Saw hingga keesokan harinya. Selepas mereka bertemu dengan para pembesar Najran, uskup (pendeta besar) berkata kepada mereka: "Besok Anda perhatikan Muhammad. Apabila ia datang bersama anak-anak dan keluarganya untuk ber-mubahâlah, maka urungkanlah niat kalian untuk bermubahâlah dengannya. Namun apabila ia datang bersama para sahabatnya maka lakukanlah mubahâlah dengannya. Karena sesungguhnya ia tidak memiliki sesuatu (untuk dipertaruhkan). Keesokan harinya tiba, Rasulullah Saw datang sembari menggandeng tangan Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain berjalan di hadapannya dan Fatimah di belakangnya. Orang-orang Kristen juga keluar disertai dengan uskup mereka. Tatkala ia melihat Nabi Saw datang dengan beberapa orang, ia bertanya tentang siapa gerangan yang bersama Muhammad. Orang-orang berkata: Ini adalah putra paman dan menantunya. Dialah orang yang paling dicintai di sisinya. Dan dua anak kecil ini adalah anak-anak dari putrinya buah pernikahan dengan Ali As. Dan wanita itu adalah puterinya Fatimah As yang merupakan orang yang paling disayangi di sisinya. Dan orang yang paling lekat kepada hatinya. Seseorang berkata kepada Uskup: "Majulah ke depan untuk ber-mubahâlah." Uskup itu berkata: "Tidak. Aku melihat orang yang maju untuk bermubahala (ini) dengan gagah berani dan aku takut jangan-jangan ia berkata benar. Apabila apa yang dikatakannya adalah benar. Demi Allah! Setahun tidak kita lewati kecuali kita semua akan binasa. Uskup itu berkata kepada Nabi Muhammad Saw: "Wahai Abul Qasim! Kami tidak akan ber-mubahâlah dengan Anda. Kami akan berdamai dengan Anda. Berdamailah dengan kami." Rasulullah Saw berdamai dengan mereka dan mereka harus menyerahkan kepada Rasulullah dua ribu hullah (selembar kain bagus untuk pakaian) dimana minimal harga setiap hullah itu senilai dengan empat puluh dirham. Meminjamkan tiga puluh buah tameng, tiga puluh tombak, dan tiga puluh ekor kuda. Dan sepanjang tidak terjadi konspirasi atas kaum Muslimin di Yaman, Rasulullah Saw sendiri yang menjamin pinjaman-pinjaman itu hingga beliau memulangkannya dan surat perjanjian (perdamaian) ditulis terkait dengan hal ini.[10]


Karena itu harus disimpulkan bahwa seluruh pendahuluan untuk melakukan mubahâlah telah disiapkan. Akan tetapi pihak lawan sangat ketakutan menghadapi kepercayaan diri Rasulullah Saw dan pada hakikatnya mereka menyerah tanpa melakukan mubahâlah. Karena mubahâlah tidak lagi diperlukan. Adapun berkenaan dengan mubahâlah yang benar-benar terjadi kita tidak temukan dalam sejarah Islam. [iQuest]


Catatan Kaki:


[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 578, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1374 S, cetakan pertama.

[2]. Ali Dawwani, Mahdi Mau'ud – terjemahan jilid 13 Bihâr al-Anwâr, hal. 636, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1378 S, cetakan ke-28.

[3]. Silahkan lihat, pertanyaan-pertanyaan no. 197 (Site: 983, Indeks: Syarat-syarat Pasti Diterimanya Doa) dan no. 2145 (Site: 2269, Syarat dan Cara Diterimanya Doa).

[4]. Muhammad Baqir Kumrai, Ushûl Kâfi, terjemahan Kumrai, jil. 2, hal. 513 dan 514, jil. 6, hal. 145, Intisyarat-e Uswah, Qum, 1375 S, cetakan ketiga.

[5]. Al-Mawrid laa yukhashish al-wârid, Sayid Muhsin Hakim, Haqaiq al-Ushul, jil. 2, hal. 412, Beiruti, 1408 H.

[6]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 589.

[7]. Kulaini, Al-Kâfi, jil. 2, hal. 513.

[8]. Kendati dalam al-Qur'an dijelaskan persoalan mubahâla antara Rasulullah dan orang-orang Kristen Najran, akan tetapi terkait dengan perbedaan antara suami dan istri khususnya ketika suami menuding istri telah melakukan tindakan asusila dengan pria lainnya yang disebut sebagai mulâ'anah sejatinya satu jenis mubahâlah dengan syarat-syarat harus hadir seorang marja' taklid. Ushul Kafi, terjemahan Kumrai, jil. 6, hal. 630.

[9]. Ushul Kafi, terjemahan Kumrai, jil. 6, hal. 629.

[10]. Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Umar (Fakhrurazi), Mafâtih al-Ghaib, jil. 8, hal. 248. Asbabun nuzul ayat ini dengan beberapa perbedaan kecil disebutkan dalam kitab-kitab hadis seperti, Shahih Muslim, juz 12, hal. 129, no. 4420; Sunan Tirmidzi, juz 10, hal. 260, no. 2925 dan juz al-wird 12, hal. 187, no. 3658; Musnad Ahmad, juz 4, hal. 32, no. 1422. Hakim, al-Mustadrak 'ala al-Shahihain, juz 11, hal. 26, no. 4702, Hakim berkata bahwa hadis ini termasuk hadis sahih sesuai dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim); Anwâr al-Tanzil wa Asrâr al-Ta'wil, jil. 2, hal. 20; juga disebutkan pada Mu'jam Kabir Thabari; Shahih ibn Hayyan, Musykil al-Atsar Thahawi, Abu al-Futuh Razi, Tafsir Kabir. Fakhrurazi pada ayat yang dimaksud setelah menjelaskan asbâbun nuzul ayat tathir berkenaan dengan Imam Hasan, Imam Husain, Fatimah dan Ali As berkata: Riwayat ini disepakati oleh seluruh ulama tafsir dan hadis.



MUBAHALAH BUKTI KEMENANGAN AHLULBAYT




Ada begitu banyak hari raya dalam kalender Islam, dua yang paling terkenal adalah Idul Fitri dan Idul Adha. Tapi masih ada beberapa hari raya yang sebenarnya patut untuk dirayakan. Ketika pada tanggal 18 Zulhijah kemarin adalah Hari Idul Ghadir, maka tanggal 24 Zulhijah ini merupakan hari kemenangan bagi umat Islam, sekaligus bukti kebenaran Ahlulbait dalam Islam.


Surat Ajakan untuk Kristen Najran


Nabi Muhammad saw. menulis surat kepada Abdul Hars bin Alqamah, Uskup Agung Najran, yang merupakan wakil resmi Geraja Romawi di Hijaz dan mengajak masyarakat wilayah tersebut untuk memeluk Islam. Surat tersebut berbunyi:


Dengan nama Tuhannya Ibrahim, Ishak, dan Yakub


Inilah surat dari Muhammad, Nabi dan Utusan Allah kepada Uskup Najran: Saya memuji dan mengagungkan Tuhannya Ibrahim, Ishak dan Yakub, dan mengajak kalian semua untuk beribadah kepada Allah daripada menyembah ciptaan-Nya, sehingga kalian bisa keluar dari perlindungan makhluk Allah dan mengambil tempat dalam perlindungan Allah. Jika Anda tidak menerima ajakan ini, maka Anda harus (setidaknya) membayar jizyah (upeti) kepada Pemerintahan Islam (sebagai ganti atas perlindungan hidup dan harta), yang dengannya akan mengurangi konsekuensi berbahaya.


Nabi Muhammad berkata kepada pengikut Injil, “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah’. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)’.” (Surah Ali Imran: 64)


Nabi saw. Bersiap-Siap untuk Mubahalah



Menjelang tahun kesembilan Hijriah, para duta dari seluruh wilayah Arabia tak henti-hentinya datang kepada Nabi Muhammad di Madinah untuk mengakui Islam dan menyatakan kesetiaan suku mereka kepada Nabi Muhammad. (Sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nashr). “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.”


Sampai saat itu, Kristen Najran (sebuah kota di provinsi Yaman) tetap menjauhkan diri mereka. Nabi Muhammad saw. mengirim sebuah surat, mengajak mereka memeluk Islam. Menanggapi surat tersebut, kaum Kristiani bermusyawarah di antara mereka tentang sikapnya dan akhirnya mengirim wakil utusan dari empat belas anggota ke Madinah untuk mempelajari fakta tentang Nabi Muhammad dan misinya. Tiga pemimpin Kristiani, Abdul Masih Aquib, Saiyed, dan Abdul Haris mengepalai utusan.


Ketika utusan ini sampai di Madinah, mereka mengganti pakaian yang mereka gunakan dalam perjalanan, kemudian berpakaian dengan sutra, memakai cincin emas di jari mereka, dan menuju masjid untuk menemui Nabi Muhammad. Semuanya mengucapkan salam seperti biasa, tapi Rasulullah tidak merespon dan mengabaikannya. Mereka meninggalkan masjid dan menemui Utsman dan Abdurrahman bin Auf, mengeluh, “Nabi kalian menulis kepada kami dan mengundang kami, tapi ketika kami pergi menemuinya dan memenuhi keinginannya, ia tidak membalas atau menjawab kami. Sekarang apa saran Anda untuk kami lakukan? Haruskah kami kembali atau menunggu kesempatan lain?” Utsman dan Abdurrahman tidak dapat memahami situasi yang terjadi.


Akhirnya mereka membawa permasalahan kepada Ali, yang menyarankan mereka untuk menyingkirkan pakaian sutra dan cincin emas yang mereka gunakan serta menggunakan jubah pendeta. Nabi Muhammad baru kemudian berkeinginan menemui mereka. Setelah itu delegasi Kristiani mengganti dengan pakaian sederhana dan mendatangi Rasul yang kemudian menanggapi salam mereka dan berkata, “Demi Tuhan yang menetapkan bagiku utusan-Nya, ketika mereka datang pertama kali mereka ditemani oleh setan.”


Setelah itu Nabi mengajarkan kepada mereka dan meminta mereka untuk menerima Islam. Mereka bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang Yesus Kristus?” Nabi menjawab, “Anda dapat beristirahat hari ini di kota ini dan setelah kembali segar Anda akan mendapat balasan terhadap semua jawaban Anda kepada saya.” Rasul menunggu wahyu atas permasalahan ini dan hari berikutnya ayat 59-60 dari surah Ali Imran turun untuk menunjukkan posisi Yesus sebenarnya.


“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya ‘Jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.”.


Setelah mereka kembali sebelum Nabi Muhammad, Nabi membacakan ayat di atas sebelum kedatangan kaum Kristian, yang menjelaskan bahwa Yesus [Nabi Isa as.] adalah Nabi seperti Adam yang diciptakan dari tanah dan karenanya tidak bisa menjadi putra Tuhan. Setelah itu, Nabi mengajak mereka untuk memeluk Islam. Kaum Kristiani tetap keras kepala dan menolak untuk diyakinkan dengan apapun. Lalu ayat 61 berikut dari surah ketiga turun:


“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta’.”


Sekarang Nabi Muhammad membacakan ayat Quran sebelum utusan Kristiani dan mengumumkan tantangan mubahalah. Istilah “mubahalah” berasal dari akar bahasa Arab bahlah yang berartik “kutukan”. Karenanya kata “mubahalah” secara bahasa berarti saling mengutuk satu sama lain. Kaum Kristiani saling bermusyawarah dan akhirnya mengumumkan bahwa mereka menerima tantangan tersebut.


Pagi berikutnya Nabi Muhammad saw. mengirim Salman Farisi [Muhammadi] ra. ke tempat terbuka, tepat di luar kota kejadian bersejarah ini, untuk mendirikan tempat perlindungan baginya dan untuk mereka yang beliau ajak untuk mubahalah. Pagi hari tanggal 24 Zulhijah, Nabi muncul pada tempat dan waktu yang dijanjikan dari rumahnya yang mulia dengan Imam Husain di tangannya dan memegang tangan Imam Hasan dan sebelahnya Fatimah diikuti oleh Imam Ali. Kemudian Nabi memerintahkan mereka untuk mengucapkan “amin” ketika beliau berdoa kepada Allah.


Dengan segera kafilah suci Nabi muncul dihadapan kelompok Kristiani Najran. Mereka terkejut sambil terpesona. Abdul Haris bin Alqamah, uskup besar di antara mereka, berbicara kepada pengikutnya:


“Sungguh saya melihat cahaya ketuhanan di wajah lawan kita; saya memandang wajah-wajah seperti mereka dapat membuat pegunungan berpindah jika mereka berdoa kepada Tuhan. Jangan pernah menentang mereka, atau kalian akan binasa dan seluruh bangsa Kristiani akan kalah dalam kepunahan!”


Kemudian Nabi menyatakan kembali, “Demi Allah! Jika Kristiani Najran melawan kami, mereka akan diubah menjadi kera dan angsa. Api akan menghujani mereka dari langit dan mereka akan menemui ajalnya.”


.Ketika kaum Kristiani menahan diri dari mubahalah, Nabi menawarkan mereka dua alternatif: memeluk Islam atau bersiap-siap memenuhi syarat. Tapi kaum Kristiani tidak akan setuju sampai permasalahan akhirnya diputuskan dengan sebuah tawaran perjanjian dari pihak mereka. Hingga perjanjian perdamaian ditandatangani dengan kesepakatan bahwa Kristiani Najran bersedia membayar kepada Nabi upeti tahunan terdiri atas dua ribu: empat puluh ribu dinar, tiga puluh kuda, tiga puluh onta, tiga puluh pakaian perang dan tiga puluh tombak (Mi’raj An-Nubuwah)


.Bukti otentik disebutkan di bawah ini mengenai surah ketiga ayat 61 sebagaimana dijelaskan pada halaman 73 Imam Fakhruddin Razi menulis dalam Tafsîr Al-Kabîr (jilid 2): “Ketika ayat ini turun kepada Nabi Suci, Kristiani Najran menerima tantangan mubahalah dan Nabi mengambil bersamanya Imam Husain, Imam Hasan, Fatimah dan Ali menuju tanah mubahalah.”


Mengutip Allamah Zamakhsyari dalam Tafsîr Al-Kasysyaf, “Tidak ada bukti otentik yang lebih kuat dari pada ini tentang integritas Ashabul Kisa, seperti Ali, Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husain pada ayat ini. Untuk memenuhi perintah Allah, Nabi memanggil Ahlulbaitnya, mengambil Imam Husain dilengannya dan menggenggam tangan Imam Hasan, meminta Fatimah mengikutinya dan Ali mengikuti Fatimah. Hal ini membuktikan bahwa Ahlulbait suci adalah mereka yang ayat Quran maksud.”


Diriwayatkan oleh Suad bin Waqas bahwa, “Ketika ayat ini turun, Nabi mengirim Ali, Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husain dan berdoa kepada Tuhan, ‘Wahai Tuhanku, inilah Ahlulbaitku!” (Shahîh Muslim, jilid 1, Shahîh Tirmizi)


Abdullah bin Umar mengutip Nabi, “Apakah ada jiwa lain di muka bumi yang lebih baik daripada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain? Tuhan memerintahkan aku untuk mengambil mereka bersamaku untuk bermubahalah. Tapi sebagaimana kedudukan mulia mereka dan penghormatan terhadap seluruh manusia, Tuhan mengurung pilihan-Nya hanya untuk berpartisipasi dalam mubahalah.” (Tafsîr Al-Baizayi)


Menurut beberapa versi [riwayat] disebutkan bahwa pada pagi hari tanggal 24 Zulhijah, sejumlah orang memenuhi pintu rumah Nabi, setiap orang mengharapkan kesempatannya untuk dipilih sebagai kelompok mubahalah. Tapi ketika Nabi keluar dari rumahnya bersama Ahlulbait, mereka semua heran.


Peristiwa Mubahalah merupakan hal penting karena alasan berikut:


Peristiwa itu merupakan bukti pelajaran yang melenyapkan bagi seluruh Kristiani Arab yang tidak lagi berani melawan Nabi Muhammad saw.


Ajakan mubahalah telah diarahkan oleh Tuhan, dan dipenuhi dengan Perintah-Nya bahwa Nabi mengambil Ahlulbait bersamanya ke tanah mubahalah. Hal ini menjelaskan bagaimana masalah ini menyinggung nubuat dan agama Tuhan ditentukan oleh Kehendak Allah; membiarkan tidak adanya kesempatan campur tangan masyarakat biasa. Masalah pengganti Ali yang diikuti oleh sebelas imam sebagai jabatan pemimpin agama harus dilihat dari perspektif ini.


Pentingnya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. tidak bisa lagi diperdebatkan.


Walaupun mereka masih anak-anak, Hasan dan Husain tetaplah [diikuti], mengabdi sebagai pihak aktif bagi Nabi di tanah mubahalah. Hal ini menyimpulkan bahwa usia bukanlah kriteria bagi kebesaran kesempurnaan (maksum). Mereka telah lahir dihiasi dengan kebaikan dan pengetahuan.


Bahwa tindakan Nabi yang memilih beberapa orang itu dengan sangat jelas meninggikan status mereka di antara yang lain.


Ketika Islam telah muncul dengan kejayaan melawan Kristianitas pada peristiwa mubahalah, maka hari ini diterima sebagai sebuah hari raya (eid) penting dalam sejarah Islam.


Mengapa Imam Ali Dimasukkan?


Allah memerintahkan rasul-Nya untuk mengatakan kepada utusan Najran, “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu…”


Untuk menjalani perintah ini, Nabi membawa bersamanya Hasan dan Husain karena mereka adalah putra dari putrinya, Fatimah, dan karena hal ini mereka adalah anaknya. Beliau juga mengajak Fatimah bersamanya karena ia mewakili wanita dari anggota keluarganya. Tapi mengapa beliau membawa bersamanya Ali yang bukan bagian dari anak-anak atau perempuan?


Imam Ali tidak mempunyai tempat dalam ayat ini kecuali ia termasuk dalam kalimat “diri kami”. Membawa Imam Ali bersamanya menunjukkan bahwa Rasulullah menganggap Ali sebagai perpanjangan dari kepribadiannya. Dengan demikian, kedudukannya lebih tinggi dari seluruh umat muslim.


Rasul berkata dalam beberapa kesempatan, “Ali adalah dariku dan aku adalah darinya.” Hubsyi bin Janadah meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “Ali adalah dariku dan aku darinya, dan tidak ada seorang pun yang mewakili aku kecuali Ali.”



AHLUL BAIT DI DALAM AYAT MUBAHALAH (KETINGGIAN MAQAM YANG TIDAK MUNGKIN DIRAIH OLEH SELAIN MEREKA



Ketika Rasulullah saw berdebat dengan cara yang paling baik dengan para pendeta Nasrani, Rasulullah saw tidak mendapati dari mereka kecuali kekufuran, pengingkaran dan pembangkangan, dan tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain dari bermubahalah. Yaitu dengan cara masing-masing dari mereka memanggil orang-orang mereka, dan kemudian menjadikan laknat Allah menimpa orang-orang yang dusta. Pada saat itulah datang perintah dari Allah SWT,


"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya, 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.'" (QS. Ali 'lmran: 61)


Ketika para pendeta menerima tantangan Rasulullah saw ini, sehingga akan menjadi peperangan penentu di antara mereka, maka para pendeta mengumpulkan orang-orang khusus mereka untuk bersiap-siap menghadapi hari yang telah ditentukan. Ketika telah tiba hari yang ditentukan maka berkumpullah sekelompok besar dari kalangan kaum Nasrani. Mereka maju dengan keyakinan bahwa Rasulullah saw akan keluar menghadapi mereka dengan sekumpulan besar para sahabatnya, sementara istri-istrinya di belakang dia.


Rasulullah saw maju dengan langkah pasti bersama bintang kecil dari Ahlul Bait, yaitu Hasan di sebelah kanannya dan Husain di sebelah kirinya, sementara Ali dan Fatimah di belakangnya. Ketika orang-orang Nasrani melihat wajah-wajah yang bercahaya ini, mereka gemetar ketakutan.


Maka mereka semua pun menoleh ke arah Uskup, pemimpin mereka seraya bertanya, "Wahai Abu Harits, bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?"


Uskup itu menjawab, "Saya melihat wajah-wajah yang jika salah seorang dari mereka memohon kepada Allah supaya gunung dihilangkan dari tempatnya, maka Allah akan menghilangkan gunung itu."


Bertambahlah ketercengangan mereka. Ketika Uskup merasakan yang demikian itu dari mereka, maka dia pun berkata, "Tidakkah engkau melihat Muhammad sedang mengangkat kedua tangannya sambil menunggu terkabulnya doanya. Demi al-Masih, jika dia menggerakkan mulutnya dengan satu kata saja, maka kita tidak akan bisa kembali kepada keluarga dan harta kita."[1]


Akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang dan meninggalkan arena mubahalah. Mereka rela walau pun harus menanggung kehinaan dan memberikan jizyah (denda).


Dengan mereka yang lima Rasulullah saw mampu mengalahkan orang-orang Nasrani dan menjadikan mereka kecil. Rasulullah saw bersabda, "Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggamannya, sesungguhnya azab tengah bergantung di atas kepala para penduduk Najran. Kalaulah tidak ada ampunan-Nya niscaya mereka telah diubah menjadi kera dan babi, dan dinyalakan atas mereka lembah menjadi lautan api, serta Allah binasakan perkampungan Najran dan seluruh penghuninya, bahkan burung-burung yang berada di pepohonan sekali pun."


Pertanyaannya , kenapa Rasulullah saw menghadirkan mereka yang lima saja, dan tidak menghadirkan para sahabat dan istri-istrinya?


Pertanyaan itu dapat dijawab dengan satu kalimat, yaitu bahwa Ahlul Bait adalah seutama-utamanya makhluk setelah Rasulullah, dan manusia-manusia yang paling suci. Sifat-sifat yang telah Allah SWT tetapkan bagi Ahlul Bait di dalam ayat Tathhir ini tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, di dalam menerapkan ayat ini kita mendapati bagaimana Rasulullah menarik perhatian umat kepada kedudukan Ahlul Bait.


Rasulullah menafsirkan firman Allah yang berbunyi "abna'ana" (anak-anak kami) dengan Hasan dan Husain, "nisa'ana" (istri-istri kami) dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra as, dan "anfusana" (diri-diri kami) dengan Ali as. Itu dikarenakan imam Ali tidak masuk ke dalam kategori istri-istri dan tidak termasuk ke dalam kategori anak-anak, melainkan hanya masuk ke dalam kata "diri-diri kami". Karena ungkapan "anfusana" (diri-diri kami) akan menjadi buruk jika seruan itu hanya ditujukan kepada diri Rasulullah saw saja.


Bagaimana mungkin Rasulullah saw memanggil dirinya?! Ini diperkuat dengan hadis Rasulullah saw yang berbunyi, "Aku dan Ali berasal dari pohon yang sama, sedangkan seluruh manusia yang lain berasal dari pohon yang bermacam-macam."


Jika Imam Ali adalah diri Rasulullah saw sendiri, maka Imam Ali memiliki apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw, berupa kepemimpinan atas kaum Muslimin, kecuali satu kedudukan yaitu kedudukan kenabian. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah saw di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, "Wahai Ali, kedudukan engkau di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku."[2]


Sesungguhnya argumentasi kita dengan ayat ini bukan untuk menjelaskan peristiwa mubahalah, melainkan semata-mata dalam rangka menjelaskan siapakah Ahlul Bait itu. Dan alhamdulillah, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ayat ini turun kepada Ashabul Kisa`. Terdapat banyak riwayat dan hadis di dalam masalah ini. Muslim dan Turmudzi telah meriwayatkan di dalam bab keutamaan-keutamaan Ali:


Dari Sa'ad bin Abi Waqash yang berkata, "Ketika ayat ini turun, 'Katakanlah, 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu...' Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah saw berkata, 'Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku."'[3]•


Catatan Kaki:


1. Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 2, pembahasan tafsir surat Ali 'lmran ayat 61.

2. Sahih Bukhari, kitab Manaqib; Sahih Muslim, kitab keutamaan-keutamaan sahabat; dan Musnad Ahmad, riwayat nomer 1463.

3. Sahih Muslim, jld 2, hal 360; Isa al-Halabi, jld 15, hal 176; Sahih Turmudzi, jld 4, hal 293, hadir nomer 3085; al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jld 3, hal 150.




HARI MUBAHALAH : PERAN POLITIK SAYYIDAH FATHIMAH AZ-ZAHRA (A.S.)





Mubahalah dalam definisinya adalah dua orang yang saling melaknat dan mengutuk. Berdasarkan ayat 61 surat Ali Imran mubahalah dilakukan bila terjadi perselisihan pendapat antara dua orang atau lebih dan masing-masing tidak mempercayai argumentasi lainnya,kemudian mereka sepakat untuk berkumpul di sebuah tempat memohon kepada Allah untuk mempermalukan orang-orang yang berdusta di antara mereka. Nah,dalam sejarah kehidupan Rasulullah Saw, di awal kerasulannya, beliau senantiasa mengajak para pemimpin negara-negara di dunia untuk memeluk agama Islam melalui surat-surat yang dikirimnya. Salah satunya adalah surat yang dikirim untuk uskup Najran dalam rangka mengajak orang-orang Kristen untuk memeluk agama Islam. Najran adalah sebuah daerah yang terletak di perbatasan Hijaz (Arab Saudi) dan Yaman. Di masa permulaan Islam daerah ini adalah tempat tinggal orang-orang Kristen.


Pertemuan Para Pemuka Kristen Najran bersama Rasulullah Saw


Pada tahun 10 Hq sebuah rombongan terdiri dari 60 orang Kristen Najran datang menemui Rasulullah Saw bersama 3 orang pembesar bernama ‘Aqib, Sayyid dan seorang uskup Abu Haritsah. Dalam pertemuan itu mereka melakukan dialog dengan Rasulullah Saw tentang Allah, Nabi Isa dan Maryam as. Mereka meyakini akan ketuhanan Nabi Isa as dan tidak mempercayai kelahiran Nabi Isa as yang tanpa ayah. Uskup bertanya: "Hai Muhammad, bagaimana pendapatmu tentang Nabi Isa as?" Rasulullah Saw menjawab: "Sesungguhnya penciptaan Isa di sisi Allah sama seperti penciptaan Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah kemudian Allah berfirman "Jadilah" (seorang manusia) maka jadilah dia."(Ali Imran ayat 59)


Meski Rasulullah Saw telah menjawabnya dengan jelas, mereka tetap ngotot dan tidak mau menerima apa yang disampaikan Rasulullah Saw sampai akhirnya Allah menurunkan ayat mubahalah (surat al-Maidah ayat 61) yang berbunyi, "Maka barang siapa yang membantahmu tentang kisah Isa setelah datang ilmu yang meyakinkan kamu, maka katakan, "Mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita bermubahalah (saling melaknat dan mengutuk) dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta."


Bersama Siapa Rasulullah Saw Bermubahalah?


Berdasarkan perintah Allah Swt, Rasulullah Saw mengajak orang-orang Kristen Najran untuk bermubahalah. Mereka menerima ajakan Rasulullah Saw untuk bermubahalah namun meminta agar waktunya ditunda sampai besok.


Orang-orang Kristen Najran mengadakan musyawarah dengan mereka sendiri. Abu Haritsah berkata, "Kita tunggu saja sampai besok, sampai kita tahu Muhammad akan datang bermubahalah bersama siapa? Kalau ia datang bersama keluarganya, berarti dia yakin dengan ucapannya, karena dia telah membawa orang-orang tercintanya dalam bahaya. Dengan demikian, kita jangan datang untuk bermubahalah. Kalau ia datang bersama sahabat-sahabatnya, berarti ia ragu dengan ucapannya dan kita harus datang untuk bermubahalah dengannya."


Keesokan harinya Rasulullah Saw datang di tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Rasulullah Saw datang bersama Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan san Husein as. Melihat pemandangan ini orang-orang Kristen Najran mengurungkan niatnya untuk bermubahalah dengan Rasulullah Saw karena kalau sampai terjadi mubahalah, maka tidak satu orang pun dari orang-orang Kristen akan hidup. Akhirnya mereka menyerah dan berdamai dengan Rasulullah Saw dan siap membayar pajak setiap tahun. (Ibrahim Amini, Banu-e Namuneh Islam Fathimah az-Zahra)


Keagungan Sayidah Fathimah az-Zahra as


Sayidah Fathimah adalah salah satu anggota dari lima orang keluarga Rasulullah Saw yang hadir dalam peristiwa mubahalah dengan orang-orang Kristen Najran.


Di zaman jahiliyah, perempuan tidak memiliki peran sama sekali di tengah-tengah masyarakat. Perempuan hanya sekedar budak dan alat pemuas laki-laki. Perempuan tidak berhak ikut campur dalam urusan politik, sosial dan ekonomi. Di saat perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari anggota masyarakat, di saat anak perempuan dikubur hidup-hidup, di saat perempuan hanya dianggap sebagai alat pemuas laki-laki dan tidak dihargai sama sekali sebagai manusia, Sayyidah Fathimah az-Zahra muncul ditengah-tengah masyarakat.


Sayidah Fathimah mendapatkan penghormatan khusus dari ayah, suami dan anak-anaknya. Karena keagungan dan ketinggian kepribadian dan posisi spiritualnya serta kedekatannya kepada Allah, beliau ikut serta untuk bermubahalah bersama Rasulullah Saw. Mubahalah bukan perkara biasa dan sederhana sehingga yang ikut harus sosok pribadi yang benar-benar memiliki kedudukan dan posisi di hadapan Allah, karena laknat dan kutukannya pasti dikabulkan oleh Allah.


Abu Haritsah sendiri di hadapan rombongannya mengakui, "Demi Allah, dengan keyakinan dan keberaniannya Muhammad seperti para nabi duduk dan siap bermubahalah. Aku menyaksikan wajah-wajah yang bila memohon kepada Allah, gunung pun akan lepas dari tempatnya. Aku takut bila mereka melaknat dan mengutuk kami, pasti orang-orang Kristen di muka bumi akan binasa." (IRIB Indonesia)




MENGAPA MERUJUK AHLUL BAIT


Sempena kelahiran Rasulullah saw saya merayu tuan-tuan dengan sepenuh hati supaya memerhatikan ahlul bait (kaum keluarga Rasulullah saw). Inilah hadiah kita untuk Rasulullah saw sempena kelahiran baginda. Kerana Rasulullah saw tidak pernah meminta upah dalam menyebarkan agama suci ini.


Dalil untuk merujuk warisan ahlul bait ini adalah berdasarkan hadis yang dikutip oleh at-Tirmidzi dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi; ‘Nashr bin Abdurrahman al-Kufi menceritakan kepada kami, Zaid bin al Hasan – iaitu al Anmathi – menceritakan kepada kami, daripada Ja’far bin Muhammad, daripada ayah Ja’far iaitu Muhammad, daripada Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji pada hari Arafah, saat itu beliau sedang berkhutbah di atas untanya; al Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan (sesuatu) untuk kalian, sepanjang kalian berpegang teguh kepada sesuatu itu nescaya kalian tidak akan pernah tersesat, iaitu kitab Allah dan itrati keluargaku.’ Lihat Sahih Sunan at-Tirmidzi, hadis nombor 3786, bab sifat-sifat utama keluarga Nabi saw.


Dalam memahami siapakah yang dimaksudkan dengan ahlul bait, kajian merujuk kepada hadis dari kitab yang sama, ‘Qutaibah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Sulaiman al Ashbahani menceritakan kepada kami daripada Yahya bin Ubaid, daripada ‘Atha’ bin Abu Rabah, daripada Umar bin AbuSalamah – anak tiri nabi -, ia berkata: Ayat ini diturunkan kepada nabi, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa darimu, hai ahlul bait, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya,’ (al-Ahzab: 33) tentang keluarga beliau. Beliau kemudian memanggil Fatimah, Hasan dan Hussain, dan menutupi mereka dengan pakaian. Sementara itu, Ali berada di belakang beliau, dan beliau pun menutupinya dengan pakaian. Beliau kemudian berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluargaku. Maka hilangkanlah dosa daripada mereka, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’ Ummu Salamah berkata, ‘(Apakah) Aku bersama mereka ya Nabi Allah.’ Rasulullah menjawab, ‘Engkau tetap pada tempatmu, dan engkau tetap dalam kebaikan.’ Lihat Sahih Sunan at-Tirmidzi, hadis nombor 3787, bab sifat-sifat utama keluarga Nabi saw.


Pemilihan ahlul bait sebagai sumber rujukan ini dapat dikira tepat berdasarkan dua hadis di atas memandangkan terdapat hadis Rasulullah saw yang menuntut sahabat baginda dan umat Islam berwaspada kepada ‘kesesatan’ yang terjadi dalam kalangan sahabat selepas kewafatan beliau.


Hadis yang dimaksudkan ialah, ‘Daripada Ibnu ‘Abbas r.a katanya: ‘Pada suatu ketika Rasulullah saw berkhutbah memberi pengajaran kepada kami. Sabda beliau, ‘Hai sekalian manusia! Kamu semuanya akan dikumpulkan ke hadapan Allah tanpa alas kaki, tanpa pakaian, dan tanpa dikhitan. (Bacalah firman Allah): ‘Seperti Kami ciptakan pada awal ciptaan, begitulah Kami kembalikan dia, itulah janji Kami yang pasti Kami tepati.’ (al Anbiya: 104). Ketahuilah! Makhluk yang mula-mula diberi pakaian pada hari kiamat adalah Ibrahim alaihissalam. Dan ketahuilah, bahawa beberapa umatku akan dihadapkan, lalu mereka ditarik ke kiri. Kataku, ‘Wahai Tuhanku! Mereka itu adalah sahabat-sahabatku!’ Lalu dijawab oleh Allah, ‘Engkau tidak tahu apa-apa yang mereka perbuat sepeninggalanmu.’ Maka kujawab seperti jawapan hamba Allah yang saleh (Nabi Isa a.s), ‘Aku menjadi saksi bagi mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah aku wafat, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Maha Menyaksikan segala-galanya. Jika Engkau siksa mereka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau ampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ (al Maidah: 117-118). Lalu dikatakan kepadaku, ‘Mereka telah murtad semenjak engkau tinggalkan.’ Lihat Sahih Muslim, hadis nombor 2440, bab orang-orang murtad.


Hadis lain yang dapat dirujuk ialah, ‘Daripada Uqbah bin Amir r.a katanya: Nabi saw pernah bersabda mengenai para korban perang Uhud. Beliau naik ke mimbar seolah-olah memberi amanat kepada yang masih hidup dan yang telah syahid. Sabda beliau, ‘Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak menyangsikan bahawa kamu akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kemudian kamu berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat yang sebelum kalian.’ kata Uqbah, ‘Itulah yang terakhir kali aku melihat Rasulullah saw berkhutbah di mimbar.’ Lihat Sahih Muslim, hadis nombor 2133, bab telaga Rasulullah. Hadis ini turut diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dengan versi lain. Lihat Sahih Bukhari hadis nombor 1771, bab syurga dan neraka dan hadis nombor 1856, bab mimpi. 


Oleh kerana itu saya berpandangan adalah lebih baik merujuk tradisi ahlul bait untuk mendapatkan sumber hukum selepas al-Quran, dan hadis Rasulullah saw. Saya akan mendatangkan tiga bukti dari sahih Bukhari dan Muslim bahawa belum tentu selamat untuk merujuk selain ahlul bait. Sekiranya kita hanya merujuk sahabat Nabi Muhammad, ternyata sahabat-sahabat telah banyak berubah selepas kewafatan Rasulullah saw, ada yang terlupa atau tidak tahu ‘urusan’ yang paling mudah, dan ada yang memang merubah hukum tanpa rasa bersalah. Malah ketika hidup Rasulullah saw sendiri, terdapat sahabat yang tidak menghormati Rasulullah saw. Buktinya terdapat dalam Sahih Muslim sendiri.


1. Sahabat biadab, dan kurang ajar meninggalkan Nabi Muhammad ketika baginda sedang memberi khutbah Jumaat di atas mimbar sehingga yang tinggal hanyalah dua belas orang:


Daripada Jabir bin Abdullah r.a, katanya: ‘Pada suatu ketika Nabi saw sedang berdiri mengucapkan khutbah. Sekonyong-konyong tiba satu kafilah dari Syam; maka jamaah berlarian menyambut kedatangan kafilah itu sehingga yang tinggal di masjid hanya dua belas orang saja lagi. Kerana itu maka turunlah ayat: ‘wa idz ra-au tijaratan au lahwanin fadhdhu ilaiha wa tarakuka qaima’ (ayat 11 surah al Jumuah iaitu: Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya, dan mereka tinggalkan kamu berdiri sedang berkhutbah.) Lihat Sahih Muslim hadis nombor 817, bab turunnya ayat sebelas surah al Jumu’ah. 


2. Sahabat merubah hukum:


Daripada Abu Sa’id al Khudri r.a katanya: ‘Pada masa Rasulullah masih hidup, kami membayar zakat fitrah untuk setiap orang, baik anak kecil mahupun dewasa, merdeka mahupun hamba, iaitu satu gantang makanan berupa keju, atau gandum, atau kurma, atau anggur kering. Pada masa pemerintahan Mua’wiyah bin Abu Sufyan, dia berpidato di hadapan jemaah haji atau ‘umrah, katanya antara lain: ‘Dua mud gandum negeri Syam sama dengan segantang kurma’. Kerana pidatonya itu maka orang banya membayar zakat fitrahnya sepert itu. Kata Abu Sa’id, “Tetapi aku tetap saja membayar seperti apa yang telah kulakukan sejak zaman Nabi sampai akhir hayatku.” Lihat Sahih Muslim hadis nombor 938, bab waktu membayar zakat fithrah.


Lagi perubahan hukum:


Daripada Ibnu Thawus r.a, daripada bapanya, katanya Abu Shahba’ bertanya kepada Ibnu ‘Abbas r.a, ‘Tahukah anda bahawa talak tiga yang diucapkan sekaligus, pada masa Rasulullah saw dihukumkan hanya jatuh satu kali, begitu pula pada masa pemerintahan Abu Bakar. Kemudian pada masa pemerintahan ‘Umar dinyatakan jatuh tiga kali?’ Jawab ‘Ibnu Abbas r.a: ‘Ya, benar begitu!’ Lihat Sahih Muslim, hadis nombor 1420, bab Talak Tiga.


3. Ada sahabat mudah lupa atau memang tidak tahu:


Daripada Ubaidillah bin Abdullah r.a katanya ‘Umar bin Khattab r.a pernah bertanya kepada Abu Waqid al Laitsi tentang bacaan yang dibaca Rasulullah saw dalam solat idul adha dan idul fitri. Jawab Abu Waqid, ‘Beliau pernah membaca dalam kedua solat eid itu surah Qaf dan surah al Qamar.’ Lihat Sahih Muslim hadis nombor 839, bab surah (ayat) yang dibaca dalam solat eid.


Terdapat juga sahabat yang bermulut celupar terhadap Rasulullah saw:


Daripada ‘Aisyah r.a katanya: ‘Abu Bakar datang ke rumahku dan ketika itu di rumahku ada dua orang gadis Ansar sedang menyanyikan lagu yang pernah dinyanyikan orang dalam peperangan Bu’ats. Dan keduanya bukanlah gadis penyanyi yang sesungguhnya. Maka berkata Abu Bakar, ‘Kenapa sampai ada suling setan di rumah Rasulullah saw?’ Hari itu adalah hari eid. Maka bersabda Rasulullah saw, ‘Hai Abu Bakar! Setiap kaum mempunyai hari raya. Dan hari ini adalah hari raya kita.’ Lihat Sahih Muslim hadis nombor 840 bab boleh bergembira ria.


Sekiranya saya menziarahi Rasulullah saw saya tidak akan tergamak mengucapkan kata-kata di atas, seakan menuduh Rasulullah saw jahil, tidak tahu sambil mengaitkan isi rumah baginda dengan syaitan. 


Hal-hal di atas mungkin sahaja berlaku kerana tatkala Nabi Muhammad sedang berkhutbah Jumaat pun ada sahabat yang keluar berlari-larian mendapatkan barang dagangan, meninggalkan baginda terkontang-kanting di atas mimbar. Mujur ada dua belas orang sahabat yang setia.


Sekali lagi, adalah lebih baik merujuk ahlul bait dalam persoalan apa pun di dunia hari ini. Sumber seperti qiyas, istihsan (memerhatikan pelbagai hukum yang ada jika terdapat titik persamaan lalu memilih yang paling dekat dengan kebenaran dan keadilan berdasarkan akal dan perasaan), istislah (mendahulukan satu kemaslahatan atas kemaslahatan yang lain) dan ta’awul (iaitu meskipun hukum ditemui dalam al-Quran atau sunnah tetapi jika ada sesuatu keadaan dan pertimbangan, kita dibenarkan berpaling dari apa yang disarankan nas lalu mendahulukan ijtihad berdasarkan pendapat) tidak dapat menandingi kekuatan dan kebenaran merujuk al-Quran, Rasulullah saw dan ahlul bait seperti yang telah saya buktikan di atas.


Secara dasarnya seseorang muslim tidak boleh mencipta hukum syariat sendiri. Allah berfirman pada ayat 1 surah al-Hujurat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya (dalam masalah syariat) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”


Akhir sekali, sempena kelahiran Rasulullah saw marilah kita berselawat untuk baginda dan ahli keluarga baginda. Dalil untuk berselawat kepada ahli keluarga baginda ini datang dari Sahih Bukhari sendiri:


Daripada Abu Humaid Assa’idi r.a: Sahabat-sahabat bertanya: ‘Hai Rasulullah! Bagaimanakah caranya kami selawat kepada tuan?’ Rasulullah saw bersabda : ‘Bacalah yang ertinya: ‘Wahai Tuhan! Berilah rahmat atas Muhammad, keluarganya dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat atas keluarga Ibrahim. Berilah keberkatan atas Muhammad, keluarganya dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan keberkatan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.’ Lihat Sahih Bukhari, hadis nombor 1476, dan 1477, bab Nabi Ibrahim dan Ismail.



KEWAJIBAN IKUT MAZHAB AHLUL-BAIT ALAIHIS SALAM


Dalil dari Al-Quran :

1. Ayat al-Wilayah (QS. al-Maidah: 54)


" Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang yang beriman yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan ruku."


Al-Tabrani telah menulisnya di dalam al-Ausat.2 Ibn Mardawaih daripada 'Ammar bin Yassir berkata: Seorang peminta sadqah berdiri di sisi Ali yang sedang rukuk di dalam sembahyang sunat. Lalu beliau mencabutkan cincinnya dan memberikannya kepada peminta tersebut. Kemudian dia memberitahukan Rasulullah SAWAW mengenainya. Lalu ayat tersebut diturunkan. Kemudian Nabi SAWAW membacakannya kepada para sahabatnya. Beliau bersabda: Siapa yang telah menjadikan aku maulanya, maka Ali adalah maulanya. Wahai Tuhanku, hormatilah orang yang memperwalikannya dan musuhilah orang yang memusuhinya, cintailah orang orang mencintainya, bencilah orang yang membencinya, tolonglah orang yang menolongnya, tinggallah orang yang meninggalkannya dan penuhilah kebenaran bersamanya di mana saja dia berada."


2. Ayat at-Tathir (Surah al-Ahzab (33): 33):


“ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala dosa dari kamu ('an-kum) wahai Ahlu l-Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Wahai Ahlu l-Bait Rasulullah cintamu suatu fardhu daripada Tuhan di dalam al-Qur'an telah diturunkan. Memadailah kebesaran Nabimu sesungguhnya siapa yang tidak bersalawat ke atas kamu tidak sah sembahyangnya.


Dimaksudkan dengan Ahlu l-Bait AS ialah 'Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain AS. Demikianlah juga para ulama Ahlu s-Sunnah menjelaskan bahawa maksud Ahlu l-Bait ialah Nabi SAWAW dan keturunan 'Ali yang disucikan.


3. Ayat al-Mubahalah (surah Ali Imran (3): 61)


“ Sesiapa yang membantahmu mengenai (kisah 'Isa) sesudah datang ilmu (yang menyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubalahah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."


Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya53 berkata:'Abdullah telah memberitahukan kami dia berkata:Bapaku memberitahuku dia berkata: Qutaibah bin Sa'id dan Hatim bin Isma'il telah memberitahukan kami daripada Bakir bin Mismar daripada Amir bin Saad daripada bapanya dia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAWAW bersabda kepadanya: Dia berkata: Manakala turun ayat al-Mubahalah maka beliau SAWAW menyeru 'Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan bersabda:Wahai Tuhanku, mereka itulah keluargaku.


4. Ayat al-Muwaddah (Surah al-Syu'ara (42): 23):


“ Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan (al-qurba). Dan siapa yang mengerjakan kebaikan (al-Hasanah) akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri."


Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan di dalam Manaqib, al-Tabrani, al-Hakim dan Ibn Abi Hatim daripada 'Abbas sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam pentafsiran ayat 14 daripada ayat-ayat yang telah dinyatakan di dalam fasal pertama daripada bab sebelas daripada al-Sawa'iqnya dia berkata: Manakala turunnya ayat ini mereka bertanya: Wahai Rasulullah! Siapakah kerabat anda yang diwajibkan ke atas kami mengasihi mereka? Beliau SAWAW menjawab: 'Ali, Fatimah dan dua anak lelaki mereka berdua.


5. Ayat Salawat (Surah al-Ahzab (33):56):


“ Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."


Imam Syafi'i dalam Musnadnya berkata: Ibrahim bin Muhammad telah memberitahukan kami bahawa Safwan bin Sulaiman telah memberitahukan kami daripada Abi Salmah daripada 'Abdu r-Rahman daripada Abu Hurairah dia bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana kami bersalawat ke atas anda?


Maka Rasulullah SAWAW menjawab: Kalian berkata: Allahumma Salli 'Ala Muhammad wa Ali Muhammad.104

6. Ayat Tabligh atau Hadith al-Ghadir (Surah al-Mai'dah (5:67)


“ Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, (bererti) kamu tidak menyampaikan anamatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir."


Fakhruddin al-Razi di dalam Mafatih al-Ghaib122 berkata: Ahli Tafsir telah menyebutkan bahawa sebab turun ayat ini sehingga dia berkata: (kesepuluh) ayat ini telah diturunkan tentang kelebihan 'Ali bin Abi Talib AS. Manakala ayat ini diturunkan Nabi SAWAW memegang tangan 'Ali AS dan bersabda: Siapa yang telah menjadikan aku maulanya, maka 'Ali adalah maulanya. Hormatilah orang yang mewalikannya dan musuhilah orang yang memusuhinya.


Kemudian Umar (RD) memujinya dan berkata: Tahniah kepada anda wahai anak Abu Talib. Anda telah menjadi maulaku dan maula semua mukmin dan mukminah. Ini adalah riwayat Ibn 'Abbas, al-Barra' bin Azib dan Muhammad bin Ali.


Al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur128 mengaitkan riwayat Ibn Mardawaih daripada Ibn Asakir kepada Abu Sai'd al-Khudri. Dia berkata: Manakala Rasulullah SAWAW melantik 'Ali AS pada hari Ghadir Khum, maka beliau SAWAW mengisytiharkan wilayah 'Ali AS. Lalu Jibra'il AS menurunkan ayat Ikmalu d-Din (Surah al-Mai'dah(5):3)"Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu."


Dalil dari Hadiths Rasulullah (saw) :


Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata:


"Aneh sekali mereka berkata: Mereka mengambil ilmu mereka semuanya daripada Rasulullah SAWAW. Lantas mereka mengetahui dan mendapat petunjuk daripadanya. Mereka fikir kami Ahlu l-Bait tidak mengambil ilmunya dan kami tidak mendapat petunjuk daripadanya. Sedangkan kami keluarganya dan zuriatnya. Di rumah kamilah turunnya wahyu. Dan dari kamilah ia mengalir kepada orang ramai. Adakah anda fikir merekalah yang mengetahui dan mendapat petunjuk sementara kami jahil dan sesat?


Imam Baqir AS berkata:


"Sekiranya kami memberitahukan kepada orang ramai menurut pendapat dan hawa nafsu kami, nescaya kami binasa. Tetapi kami memberitahukan mereka dengan hadith-hadith yang kami kumpulkannya daripada Rasulullah SAWAW sebagaimana mereka mengumpulkan emas dan perak."Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata:"Hadithku adalah hadith bapaku. Hadith bapaku adalah hadith datukku. Hadith datukku adalah hadith Husain. Hadith Husain adalah Hadith Hasan. Hadith Hasan adalah hadith Amiru l-Mukminin. Hadith Amiru l-Mukminin adalah hadith Rasulullah SAWAW. Dan hadith-hadith Rasulullah SAWAW adalah firman Allah SWT.1


Dan beliau AS berkata:


"Siapa yang meriwayatkan hadith tentang kami, maka kami akan bertanya kepadanya mengenainya di suatu hari. Sekiranya dia meriwayatkan kebenaran terhadap kami, seolah-olah dia meriwayatkan kebenaran terhadap Allah dan RasulNya. Dan sekiranya ia berbohong terhadap kami, seolah-olah dia berbohong terhadap Allah dan RasulNya, kerana kami apabila meriwayatkan hadith, kami tidak berkata: Fulan bin Fulan telah berkata, tetapi apa yang kami katakan: Allah berfirman dan RasulNya bersabda."

1. Hadith al-Dar atau al-Indhar (Hadith jemputan di rumah atau hadith peringatan)


Sabda Nabi SAWAW:"Ini 'Ali saudaraku, wazirku, wasiku dan khalifahku selepasku."
Nabi (saw) bersabda :"Sesungguhnya ini adalah saudaraku, wasiku dan khalifahku pada kalian. Maka dengarlah kalian kepadanya, dan patuhilah." Beliau berkata: Orang ramai bangun dan ketawa sambil berkata kepada Abu Talib, sesungguhnya beliau telah memerintahkan anda supaya mendengar anak anda dan mematuhinya.

2. Hadith Thaqalain (Hadith dua perkara yang berharga)


Sabda Nabi SAWAW
"Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian thaqalain (dua perkara yang berharga) Kitab Allah dan itrah Ahlu l-Baitku. Sekiranya kalian berpegang kepada kedua-duanya nescaya kalian tidak akan sesat selepasku selama-lamanya."

Sayyid Syarafuddin al-Musawi di dalam Muraja'at59nya menegaskan bahawa mafhum sabda Nabi SAWAW: Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian sekiranya kalian berpegang kepadanya, kalian tidak akan sesat selamanya; Kitab Allah dan 'itrahku. Iaitu orang yang tidak berpegang kepada kedua-duanya adalah berada di dalam kesesatan. Sebagaimana diperkuatkan oleh Hadith Nabi SAWAW: Janganlah kalian mendahului kedua-duanya nescaya kalian akan binasa dan janganlah kalian mengabaikan kedua-duanya nescaya kalian juga akan binasa. Dan janganlah kalian mengajar mereka kerana mereka itu lebih mengetahui daripada kalian.


3. Hadith al-Manzilah (Hadith mengenai kedudukan 'Ali dan Harun)


Sabdanya SAWAW:
"Tidakkah anda meridhai wahai 'Ali, anda di sisiku seperti Manzilah (kedudukan) Harun di sisi Musa hanya tidak ada nabi selepasku."

Lantaran itu 'Ali, menurut ayat ini, adalah khalifah Rasulullah pada kaumnya, wazirnya pada keluarganya dan rakan kongsinya di dalam urusannya sebagai penggantinya dan bukan sebagai nabi. Beliau adalah orang yang paling layak pada ummatnya semasa hidup dan mati. Oleh itu mereka wajib mentaatinya semasa beliau menjadi pembantunya seperti Harun kepada ummat Musa di zaman Musa.


4. Hadith al-Safinah (Hadith Bahtera)


Sabda Nabi SAWAW:

"Umpama Ahlul-Baitku samalah seperti bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya berjaya. Dan siapa yang enggan atau terlambat akan tenggelam."
Al-Tabrani telah mencatatkan di dalam al-Ausat64 daripada Abu Sa'id, Nabi SAWAW bersabda: Umpama Ahlu l-Baitku pada kalian sepertilah bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya berjaya dan siapa yang enggan atau terlambat akan tenggelam. Dan umpama Ahlul-Baitku pada kalian sepertilah pintu pengampunan bagi Bani Isra'il. Siapa yang memasukinya akan diampun.
Di antara orang yang mengakui kesahihannya ialah Imam al-Syafi'i sendiri. Al-Ujaili telah mengaitkan kata-kata Syafi'i di dalam Dhakhirah al-Mal:
Manakala aku melihat manusia telah berpegang kepada mazhab yang bermacam-macam di lautan kebodohan dan kejahilan Aku menaiki dengan nama Allah bahtera kejayaan mereka itulah Ahlul-Bait al-Mustafa dan penamat segala Rasul.


5. Hadith Madinah al-'Ilm (Hadith Bandar Ilmu)


Sabda Nabi SAWAW:

"Aku adalah bandar ilmu dan 'Ali adalah pintunya."

Atau kebinasaan jika ia menyalahi dan mendurhakai perintah orang yang memerintah. Sebagaimana sabdanya:'Siapa yang inginkan ilmu, maka hendaklah datang melalui pintunya dan siapa yang datang bukan melalui pintunya dikira pencuri dan dia adalah dari parti 'iblis.'


Rasulullah SAWAW:"Anda wahai 'Ali! Pewaris ilmuku, suami anak perempuanku, pelaksana agamaku dan khalifahku selepasku."


Justeru itu Amirul Mukminin telah menunjuk kepada dadanya di suatu hari di atas mimbar Masjid di Kufah sebanyak tiga kali sambil berkata:
"Disinilah sifat ilmu. Bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku. Demi Allah sekiranya kalian bertanya kepadaku tentang jalan-jalan langit dan bumi, nescaya aku akan memberitahukan kalian mengenainya. Maka sesungguhnya aku lebih mengetahui jalan-jalan langit dan bumi."


Hadith-hadith seumpama ini memanglah banyak, maka di manakah nilainya wahai Muslimun!, fakir dan renungkanlah !




PINANGAN IMAM ALI ALAIHIS SALAM ATAS SAYYIDAH FATHIMAH (A.S.) YAUMUL MAHABBAH


Imam Ali (as) datang untuk meminang Sayyidah Fathimah Az-Zahra (as).


Dalam riwayat disebutkan, Imam Ali menemui Rasulullah (saww) yang saat itu brada di rumah Ummu Salamah, ketika sampai didepan rumah Rasulullah (saww) Imam Ali mengetuk pintunya. Rasul (saww) berkata kepada Ummu Salamah;


“Bukalah pintu, orang yang mengetuk pintu adalah orang yang dicintai Allah dan Rasul-NYA, dan dia jiga mencintai Allah dan Rasul-NYA”


Ummu Salamah bertanya : “Wahai Rasulullah, Ayah dan ibuku menjadi tebusan anda, siapakah yang anda maksud?”


Rasulullah (saww) bersabda : “Wahai Ummu Salamah, diamlah, Dia Ksatria, lelaki pemberani, saudara putra paman, dan orang tercinta di sisiku”


Ummu Salamah bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu. Imam Ali (as) masuk dan mengucapkan salam kepada Rasulullah (saww), beliau duduk dekat Rasulullah (saww). Wajah Imam Ali (as) memerah lantaran malu. Beliau menundukkan kepala terdiam; tak mampu mengutarakan niatnya.


Beberapa saat berlalu dan keduanya tetap diam. Rasulullah (saww) memecah keheningan itu dengan bersabda; “Wahai Ali, tampaknya engkau datang menemuiku untuk suatu keperluan, namun engkau malu mengutarakannya. Sampaikanlah keperluanmu tanpa malu dan yakinlah keinginanmu pasti diterima”


Imam Ali (as) menjawab, “Wahai Rasulullah (saww), ayah dan ibu saya menjadi tebusan Anda..! Saya tumbuh besar di rumah Anda dan beroleh pendidikan dari Anda. Anda lebih baik ketimbang ayah dan ibu saya dalam mendidik saya. Saya beroleh hidayah melalui berkah keberadaan Anda. Wahai Rasulullah, Demi Allah, Anda adalah kekayaan dunia dan akhirat saya. Sekarang, telah tiba saatnya untuk membina sebuah rumah tangga, sehingga beroleh keterangan darinya. Jika Anda memandang baik, nikahkanlah saya dengan Fathimah. Sesungguhnya itu kebahagiaan terbesar bagi saya.”


Rasulullah merasa senang mendengar pernyataan Imam Ali (as). Beliau berkata : “Sabarlah, saya ingin tahu bagaimana pendapat Fathimah tentang hal ini”


Kemudian Rasulullah (saww) menemui Sayyidah Fathimah (as) dan berkata kepadanya : “Wahai putriku, Ali bin Abi Thalib datang meminangmu, setujukah bila aku menikahkanmu dengannya?”


Sayyidah Fathimah terdiam lantaran malu, namun tidak menunjukkan sikap menolak. Rasulullah (saww) paham bahwa diamnya Sayyidah Fathimah (as) merupakan tanda persetujuan darinya. Oleh karena itu Rasulullah (saww) berkata : “Allahu Akbar..! Diamnya Fathimah adalah setuju” (Abbas Azizi, 360 Fadhail Mashaib wa Karamat-e Fatimaeh)

Rasuullah saw bersabda : “Wahai Ali, orang-orang telah mendahuluimu meminang Fathimah kepadaku. Setiap kali ku sampaikan (itu) kepada putriku, tidak tampak persetujuan darinya. Karena itu biarlah aku berbicara padanya tentangmu”


Setelah itu, Nabi (saww) menemui Sayyidah Fathimah (as) dan berkata : “Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib telah masyhur keluarga dan keutamaannya dalam Islam. Aku mohon kepada Tuhanku untuk menikahkanmu dengan makhluk-NYA yang paling baik dan paling dicintai-NYA. Bagaimana pendapatmu wahai Fathimah.?”


Sayyidah Fathimah (as) terdiam, dan Rasulullah (saww) pun keluar seraya berkata; “Allahu Akbar..! Diamnya Fathimah (as) adalah persetujuan darinya”


Rasulullah (saww) kembali menemui Imam Ali (as) dan menyampaikan kabar gembira perihal persetujuan Sayyidah Fathimah (as).



Dalam kitab Hilyah al Auliya (5/59) Hafidz Abu Nu’aim menukilkan dr Ibn Mas’ud :


Acara pernikahan Sayyidah Fathimah dilangsungkan malam hari.


Keesokan harinya, Sayyidah Fathimah (as) menderita demam. Untuk menghibur putrinya, Rasulullah (saww) berkata kpd putrinya :


“Wahai Fathimah, aku menikahkanmu dengan seorang laki-laki yang di dunia ini merupakan pemimpin dan orang besar, sedangkan di akahirat dia termasuk orang-orang shaleh dan baik. Wahai Fathimah, takala Allah berkehendak menikahkanmu dengan Ali, Dia memerintahkan Malaikat Jibril agar berdiri di langit keempat dan membacakan khutbah nikah dihadapan para malaikat yang berbaris-baris. Kemudian Allah memerintahkan kepada pohon-pohon surga agar membawa mutiara-mutiara dan menebarkannya kepada para malaikat. Setiap malaikat yang beroleh mutiara lebih banyak, maka dia membanggakan diri atas malaikat lain hingga hari kiamat”


Ummu Salamah menuturkan : “Sayyidah Fathimah membanggakan diri diatas para wanita lain, lantaran beliau adalah wanita pertama yang khutbah nikahnya dibacakan malaikat Jibril.


Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aaali Muhammad ..


Ya Allah..Andai Kau berkenan Limpahkanlah rasa cinta pada kami, yang Kau jadikan pengikut Rindu Rasulullah (saww) dan Khadijah Al Kubra (as), yang Kau jadikan mata air kasih sayang Ali bin Abi Thalib (as) dan Fathimah Az-Zahra (as), dan yang Kau jadikan Penghias keluarga Nabi-MU yang suci..


Semoga sepercik kebahagiaan kedua Manusia Agung itu akan kita rasakan juga kelak bersama seseorang yang kita cintai..


Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad ..


Selamat Yaumul Mahabbah bagi pecinta Imam Ali (as) dan Sayyidah Fathimah (as).




SEPULUH KRITERIA SUAMI ISTRI YANG BAIK DALAM SIRAH RASULULLAH

Sumber : Bashgah-e Khabarenegaran





Pernikahan adalah sebuah tindakan suci yang memperoleh penekanan penting dalam ajaran Islam. Begitu pula, membentuk diri menjadi seorang suami istri yang baik adalah sebuah tugas setiap orang yang sangat ditekankan oleh ajaran Islam.
Untuk menjadi seorang suami istri yang baik, ada baiknya kita menengok kembali sepuluh kriteria yang pernah diungkapkan oleh sabda dan sirah Rasulullah saw berikut ini:


1. Senantiasa berpakaian rapi dan bersih dihadapan pasangan
Berpakaian rapi dan bersih serta membersihkan diri adalah sebuah sirah Rasulullah saw yang tidak pernah beliau tinggalkan. Setiap tiba di rumah, Rasulullah saw senantiasa menyikat gigi dan memakai minyak wangi.


2. Memanggil dengan menyebut nama yang bagus
Tindakan ini dapat menambah kecintaan di antara suami istri, dan Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan sirah yang satu ini.


3. Mengenal poin positif
Banyak poin dan titik positif yang dimiliki oleh masing-masing suami dan istri. Istri setiap hari sibuk mengurusi rumah dan suami sibuk mencari nafkah di luar rumah. Menghargai kinerja dan poin positif masing-masing dapat menambah keharmonisan rumah tangga.


4. Diam melihat kekeliruan
Aksi diam melihat kekeliruan remeh yang dilakukan oleh pasangan dapat memberikan kesempatan kepadanya untuk membenahi kekeliruan tersebut dengan mudah. Ini adalah sirah Rasulullah saw yang selalu beliau lakukan ketika melihat kekeliruan remeh istri-istri beliau.


5. Senyum menghadapi pasangan
Setiap kali pandangan kita tertuju kepada pasangan, usahakanlah untuk selalu tersenyum kasih. Tindakan seperti ini selalu memperoleh perhatian khusus dari Rasulullah saw.


6. Ungkapan terima kasih
Kita harus selalu berterima kasih kepada pasangan lantaran khidmat yang senantiasa ia lakukan untuk kita. Coba kita bayangkan, pasangan kita telah sibuk mengurus rumah dan anak-anak di rumah, lalu kita hanya bisa melontarkan protes. Apa gerangan yang akan terjadi?


7. Menggembirakan pasangan
Coba kita minta pasangan kita menuliskan sepuluh tindakan yang dapat menyenangkannya. Janganlah kita hanya menyangka bahwa sebuah tindakan dapat menyenangkannya, tetapi kita harus bertanya kepadanya.


8. Menguatkan kemauan
Jangan sampai kita menghina setiap keinginan yang dimiliki oleh pasangan kita. Kita bicarakan bersama setiap keinginan yang ia inginkan.


9. Jangan lupa bersenda gurau
Jangan kita lupakan senda gurau di rumah. Jadikanlah rumah kita sebagai “tempat rekreasi” yang menyenangkan.


10. Jadilah kita sebagai orang terbaik
Janganlah kita lupakan sabda Rasulullah saw ini, “Orang terbaik di kalangan kalian adalah orang yang memperlakukan keluarganyaa sebaik mungkin, dan saya adalah orang terbaik di kalangan kalian dalam memperlakukan keluarga saya.”






MENENGOK TARBIYAH PARA MA'SHUM ALAIHIS SALAM



Dunia sebagai tempat hidup kita memiliki peranan penting dalam proses pembentukan jatidiri manusia, sehingga sudah menjadi lazim bahwa kehidupan memerlukan suatu pola pembentukan diri dari generasi ke generasi berikutnya.


Tarbiah bagian dari kehidupan manusia


Tarbiah sering digunakan dalam istilah organisasi, dakwah, tabligh dan juga pendidikan. Dalam kehidupan manusia, tarbiah merupakan bagian yang menyatu dalam dimensi manusia itu sendiri. Dimana ada manusia maka disana mereka melakukan proses yang dinamai “tarbiah”. Manusia terhadap dirinya pun melakukan tarbiah, misalnya dengan membentuk pribadi yang baik dan pemberani dengan cara melatih diri sendiri, dan menjadikan dirinya menjadi objek yang ditarbiati. Dalam keluarga misalnya kita sering mendengar tarbiah keluarga dan rumah tangga serta anak kecil. Bahkan yang lebih luas lagi dalam ruang lingkup masyarakat.


Tarbiah memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, terutama dalam menentukan bentuk prilaku serta nasib generasi berikutnya. Dan hal ini menjadi kunci akan cita-cita Islam menuju kejayaan di masa yang akan datang.


Tarbiah Dalam Terminologi


Ibnu Atsir berpendapat bahwa tarbiah berasal dari kata "rabb” yakni:


“Dikatakan bahwa hal itu (tarbiah) berasal dari kata rabb dengan makna tarbiah yakni menambahkan kepada para “muta’allim" dari ilmu yang sedikit sampai ilmu yang banyak”.(1)


Adapun Raghib Isfahani berpendapat :


“Aslinya kata Rabb adalah “Tarbiat” yakni terbentuknya sesuatu dari suatu keadaan ke keadaan lainnya sampai sempurna”(2)


Kedua pendefinisian tersebut mengandung makna bahwa tarbiah berjalan secara bertahap. Secara umum tarbiah berasal dari kata “rabawa” yang bermakna bertambah, berkembang. Dalam terminologinya banyak sekali para mutafakkirin menulis dengan terminologi yang khusus, salah satunya adalah :


“Kumpulan dari perbuatan atau pengamalan yang disengaja, dan yang memiliki tujuan akan tarbiat tersebut (Murabbi) dengan maksud untuk memberikan pengaruh dengan pengetahuan, keyakinan, perasaan, kelembutan, pada prilaku manusia atau manusia yang lainnya (mutarabbi/mutarabbiyan) dengan berdasarkan program yang terlatih yang terukur.”(3)


Definisi murabbi disana bukan hanya diperuntukkan untuk “mu’allim” atau dosen universitas, atau guru-guru sekolah, tetapi setiap orang dengan dasar program yang terukur dan terlatih yang dilaksanakannya, sampai tujuan tersebut tercapai.


Selain dari pada itu ruang lingkup tarbiat bukan hanya pada madrasah, sekolah, atau universitas saja, tetapi setiap lingkungan yang menyediakan keadaan tersebut dapat juga dilaksanakan.


Kesempurnaan Sebagai Tujuan Tarbiah



Dalam terminologi tarbiah diatas telah disinggung masalah tujuan secara umum dari tarbiah itu sendiri. Adapun tujuan hakiki dari tarbiah tersebut dapat kita lihat dari objek atau isinya. Secara umum memang seluruh bidang kehidupan manusia dapat dijadikan objek tarbiah. Tetapi ada titik yang dimana menjadi permulaan dan juga tujuan utama serta yang paling penting dari proses tarbiah itu sendiri yaitu penyadaran fitrah menuju kesempurnaan, maksudnya penggugahan fitrah sebagai modal untuk mencapai kesempurnaan, tentunya dalam hal ini kesempurnaan takkan dicapai kalau tidak dengan jalan proses tarbiat pengetahuan. Dan pengetahuan menuju kesempurnaan takkan dapat dicapai tanpa jalan “tazkiah” atau pembersihan diri, sehingga pembersihan diri juga merupakan isi dari tarbiah itu sendiri.


“Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari kalangan kamu (sendiri) yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, menyucikanmu, mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, dan mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.”(4)


Siapakah Murabbi?


Tugas untuk mentarbiah memanglah berat, selain dari pada bekal ilmu yang mumpuni harus juga memiliki syarat-syarat kesempurnaan lainnya sehingga tujuan tarbiah dapat tercapai. Adapun “Murabbi” pertama yang menjadi tolak ukur seluruh makhluk di alam ini adalah Allah Swt. Sebab Allah-lah yang memiliki seluruh kesempurnaan tak terbatas. Allah-lah Rabb semesta alam ini, Allah-lah yang memberikan tarbiah kepada seluruh makhluknya dengan Rahman dan RahimNya dan kasih sayangNya. Adapun Pengejawantahan dari tarbiat Allah Swt adalah dengan diutusnya Rasulullah Saw, dan untuk melanjutkan dari “kemurabbian” Rasullullah Saw adalah dengan diutusnya para imam maksum as.


Seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an:


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam.”(5)


“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, meskipun mereka sebelum itu benar-benar terjerumus dalam jurang kesesatan yang nyata.”(6)


Dan Juga Imam Ali bersabda:


“Kami lah hasil tarbiahnya Allah Swt dan manusia hasil tarbiahnya kami”(7)


“Wahai Kumail sesungguhnya Allah Swt mentarbiah Rasulullah Saw dan dia (rasul) mentarbiahku dan saya mentarbiah mukminin dan yang mewarisi adab yang terhormat.(8)


Seseorang yang menjadi murabbi memang tidak terbatas hanya pada Allah, rasul dan para imam maksum saja tetapi kepada seluruh manusia yang memiliki syarat-syarat kesempurnaan tersebut, minimal mendekati kesempurnaan tersebut, misalnya para alim ulama, di zaman sekarang ini. Adapun yang menjadi ukuran dan dasar rujukan adab dan cara tarbiah tentunya para maksumin tersebut. Sehingga Maksumin As sebagai Murabbi di muka bumi ini yang merupakan tajalliat dari kemurabian Tuhan serta memiliki kewenangan secara mutlak mentarbiah manusia. Akal kita dapat memahaminya bahwa kemurabbian para maksumin merupakan wujud dari kasih sayang Tuhan untuk membina makhluk menuju-Nya.


Pandangan Mengenai Pola Maksumin Mentarbiah Ummat


Pandangan mengenai pola maksumin dalam mentarbiah umat berbeda-beda, dan sangat banyak sekali, tergantung dari sudut pandang para ahli sejarah dan ulama dalam masalah tersebut. Jikalau kita melihat sejarah para nabi as dan para Imam Ahlulbait As kita akan memahami bahwa zaman dan medan tarbiah mereka berbeda-beda, sehingga cara yang ditempuhpun berbeda pula. Misalnya Imam Zainal Abidin As yang dengan lembutnya mentarbiah umat melalui doa, yang dimana didalam doa tersebut mengandung banyak pelajaran yang dibutuhkan oleh umat, baik itu pelajaran agama, ketuhanan, akhlaq, bahkan kehidupan manusia melalui “Shahifah Sajjadiah”. Adapun Imam Ja’far Shadiq As yang pada saat itu mempunyai kesempatan untuk membuka hauzah besar, sehingga proses tarbiah umat lebih luas pola geraknya. Walaupun demikian dari seluruh pola tarbiah para maksumin tersebut terdapat ciri-ciri kesamaan yang menjadi tolak ukur bagi kita semua. Pola-pola tersebut diantaranya mau’idzah, targhib dan tarhib, irsyad, tadzakur, amr dan nahi(9)


1. Pola Mau’izhah, yakni menuntun manusia kepada ketaatan dan menjauhkan mereka dari perbuatan dosa baik dengan memberitakan khabar yang menakutkan akan siksa ataupun dengan memberikan harapan kebahagiaan akhirat atau dengan memberikan bekal pengetahuan.(10)


Kalau merujuk pada asal katanya “mau’izhah” berasal dari kata "wa’azha" dengan makna yang berbeda beda, ada yang memaknai dengan mencegah dan menjauhi bersamaan dengan menakuti-nakuti, ada juga dengan makna mengingatkan dengan pahala dan balasan dimana dapat mempengaruhi kondisi hati, ada juga dengan makna nasihat dan mengingatkan dari akibat-akibat yang akan terjadi. Atau dengan kata yang lebih umum adalah Khutbah dimana kata tersebut sering kita gunakan. Dan Mau’izhah itu sendiri menjadi cara yang paling umum dari pola lainnya.


Kita dapat melihat pola ini dalam hadits atau riwayat , misalnya diceritakan dalam Nahj Al-Balaghah ketika sahabat Imam Ali as menginginkan penjelasan dari beliau mengenai orang mukmin, dan Imam Ali As memberikan penjelasan yang singkat, tetapi sahabat tersebut terus menerus menginginkan penjelasan lebih luas lagi , dan pada akhirnya sang Imam memberikan penjelasan yang panjang lebar, setelah mendengar hal itu sahabat Imam as tersebut meninggal dunia. Dan Imam Ali As bersabda: “Seperti itulah akibat dari “mau’izhah"”(11). Disinilah contoh mau’izhah yang terbaik dan mengandung nilai yang tinggi kepada pendengarnya. Dimana seorang Imam As memiliki kemampuan untuk membuka tabir hakikat orang mukmin dengan mau’izhah yang tepat, sehingga fitrah manusia terbang mengikuti maknawiah dari mau’izhah yang digambarkannya. 


Dalam riwayat lain misalnya ketika Imam Ali As melihat rumah salah satu pengikutnya yang besar Imam As menasihatinya dan bersabda: “Dengan rumah luas ini di dunia apa yang kamu perbuat? Lebih dari seperti rumah ini di dunia kamu akan membutuhkannya di akhirat, kalau kamu menginginkan dengan rumah ini dapat membangun rumahmu di akhirat, di rumah ini terimalah para tamu, dan jalinlah silaturahmi dan laksanakan haknya, dalam hal ini kamu telah mempersiapkan rumahmu di akhirat.(12)


Contoh diatas merupakan mau’izhah yang menggugah manusia untuk melaksanakan amal yang lebih baik tanpa menjauhi apa-apa yang manusia telah miliki di dunia. Contoh diatas merupakan contoh kecil saja dari sekian banyak contoh mau’izhah yang dilakukan oleh Maksumin As.


Dalam mencapai melaksanakan pola mau’izhah disini diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi baik bagi wa’izh (pelaku), mutta’izh )pendengar nasihat) dan wa’zhu (nasihat) itu sendiri.


Adapun syarat-syarat dari wa’izh diantaranya :



1. Iman yang kuat disertai dengan amal.


“Setiap alim jika tidak beramal dengan ilmunya mau’izhahnya akan berlalu dari hatinya (tak akan sampai pada pendengar), seperti berlalunya air hujan pada tempat licin” (13)


2. Pengetahuan agama yang luas.


Pernah suatu ketika ketika Imam Shadiq As mengenakan pakaian putih yang bagus, dan pengikutnya memprotes kepada beliau dan beliau menjelaskan bahwa memang rasul tidak menggunakan pakaian ini, tetapi bukan berarti tidak boleh , sebab pada zaman rasul taraf ekonomi masyarakat tidak seperti pada zamannya, yang dimana pakaian tersebut sudah biasa dipakai (14) Bagaimana mungkin jikalau pengetahuan yang tidak luas bisa memberikan pencerahan kepada orang lain.


3. Menjadi hujjah pagi kaumnya, karena apabila seorang tak dianggap hujjah, maka bagaimana nasihat bisa diterima oleh orang lain.


Syarat-syarat dari pendengar nasihat diantaranya:


1. Kondisi awal keimanan pendengar, misalnya kita dapat melihat pada latar belakang pendengar tersebut berbeda-beda keimanannya, serta pengetahuan akan keberagamaan juga berbeda-beda. Sudah tentu tingkat keimanan yang lebih baik lebih mudah untuk menerima nasihat.


2. Kemungkinan penerimaan dari pendengar. Disini kita bisa memahami tingkat keefektifan dari nasihat yang akan didengar oleh pendengar. Bukan berarti kita menghukum terlebih dahulu bahwa orang ini atau itu tak mungkin menerima nasihat, tetapi kita juga sebaiknya melihat dari sisi diri kita juga, apakah kita sudah menjadi hujjah bagi mereka, apakah juga mereka itu siap dalam mendengar nasihat kita. Mungkin saja terjadi ketidakcocokan keadaan atau kondisi sang pendengar yang tak kondusif dengan nasihat yang akan disampaikan.



Syarat-syarat isi dari nasihat tersebut :


1. Memperhatikan sensitifitas pemikiran dan perasaan sang pendengar. Bisa jadi kita sudah menjadi hujjah atau ilmu sudah cukup tetapi isi dari nasihat tersebut menyinggung perasaan sang pendengar, hal ini bisa berakibat fatal. Dalam sebuah riwayat diceritakan mengenai seorang majikan yang memiliki budak yang banyak dan para budak setiap harinya sibuk untuk melayani sang majikan dalam pekerjaan rumahnya, sedangkan Islam telah menganjurkan untuk membebaskan budak dan beramal dengan kekayaan yang lebih. Ketika itu Imam Kazhim As lewat sebuah rumah yang dimana disana terdapat barang-barang mewah dan penuh dengan hidup senang-senang dan para budak disana sedang membersihkan rumah yang ada di sana, setelah itu Imam As bertanya kepada seorang budak, siapakah yang memiliki ini semua, budak atau orang merdeka, budak tersebut menjawab, orang merdeka, Imam As bersabda tentunya adalah orang merdeka, sebab jikalau budak tak mungkin melawan perintah Tuhannya, setelah mendengar tersebut dari budaknya majikan tersebut bertaubat.(15)


2. Berhubungan langsung dengan kondisi kehidupan sang pendengar. Dalam masalah khusus kadang maksumin menasihati secara khusus, misalnya Rasul Saw menasihati masalah kewanitaan khusus bagi wanita pada zaman itu dipisahkan dengan pria.(16)


3. Mempersiapkan kondisinya, baik itu tempatnya maupun waktunya. Ketika Rasul saw bersama sahabatnya dalam perjalanan di padang pasir yang kering, lalu Rasul Saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk mengumpulkan kayu bakar. Sahabat Rasul berkata bahwa di padang pasir ini tak ada kayu bakar, kalaupun ada mungkin sedikit, lalu Rasul Saw memerintahkan mereka untuk mencarinya dan mengumpulkan di satu tempat walaupun sedikit. Setelah terkumpul dan semua berkumpul dekat Rasul Saw, beliau menasihati sahabatnya akan dosa kecil jikalau ditumpuk dan dibiarkan maka akan menjadi besar (seperti kayu bakar ini), karena Tuhan merekam semua perbuatan kita.(17)

4. Kadang menggunakan nasihat pribadi kepada seseorang ataupun secara tersembunyi tidak diketahui orang lain.

5. Mengulang-ulang isi dari nasihat tersebut

6. Menggunakan bahasa yang tidak menghina tetapi menggunakan bahasa yang dapat mengikat hati orang lain.


2. Targhib dan Tarhib


“Targhib” yang berasal dari kata rughbah dan “tarhib” yang berasal dari kata rahbah atau ruhb. Rughbah mengandung makna rasa ingin (ketertarikan) dan rahbat mengandung makna rasa takut. Secara terminologi Targhib adalah menumbuhkan keinginan dan kesukaan yang dinisbahkan kepada sesuatu atau orang tertentu, sedangkan Tarhib adalah menumbuhkan rasa takut yang dinisbahkan pada sesuatu atau orang tertentu. (18)


Metode ini sangatlah penting bagi proses tarbiah, karena isi tarbiah akan lebih sesuai dengan keadaan manusia pada umumnya, dan juga memperkecil jurang pemisah antara tujuan dari tarbiah dan keinginan manusia itu sendiri. Jikalau kita lihat secara umum manusia memiliki kebutuhan dalam kehidupannya baik itu kebutuhan jasmani maupun kebutuhan maknawi, jasmani maupun rohani. Kita sering menemukan kebutuhan jasmani manusia jauh dari kebutuhan tarbiah itu sendiri, apalagi jikalau proses tarbiah yang terlalu kaku tanpa memperhatikan kondisi tersebut. Tetapi keseimbangan diperlukan juga, proses targhib harus diseimbangkan dengan proses tarhib, sebab jikalau tidak diseimbangkan maka justru tujuan dari tarbiah itu sediri akan hilang.


Riwayat yang memberikan contoh Targhib dimana menceritakan ketika Rasulullah saww melewati sebuah perkebunan tanaman , dan pemiliknya sedang menanamnya, Rasul Saw berdiri dan bersabda : Apakah kamu menginginkan saya tunjukkan kepada suatu tanaman dimana lebih kuat dan lebih rindang serta berbuah banyak , dia menjawab : iya, bimbinglah saya. Rasul bersabda : bacalah “subhanallahi wal hamdulillahi walaailaahaillallahu allahu akbar” dan jikalau dzikir ini kamu ucapkan maka setiap tasbih tersebut sebanding dengan sepuluh tanaman buah secara permanen di surga yang akan diberikan kepadamu. Pemuda tersebut berkata : ya Rasulullah (Saw) andalah menjadi saksi bahwa perkebunan ini saya wakafkan kepada para fuqara.(19)


Riwayat lain yang memberikan contoh Tarhib dimana setelah kembali dari perang tabuk Amru ibnu Ma’di Karb salah seorang pemuda yang pemberani di kaum arab datang kepada Rasullullah Saw , dan Rasul Saw mengajaknya kepada Islam, bersabda Rasul Saw:


“Masuklah kamu pada Islam wahai Amru sampai Tuhan menjaga kamu dari ketakutan yang besar (neraka)”. Lalu Amru berkata : apakah ketakutan itu? Setelah itu Rasulullah menceritakan tentang keadaan neraka dan keadaan hari kiamat yang sangat mengerikan, selepas setelah selesai menceritakan hal itu Amru menyatakan dirinya muslim.(20)


Pelaksanaan dari Pola Targhib dan Tarhib ini dapat dilaksanakan diantaranya dengan:


1. Memberitakan berita gembira berupa pahala dan syurga dan memberikan berita ancaman neraka.

2. Memberikan janji kebaikan berupa pahala tentunya dengan janji Tuhan yang menjanjikan kebaikan yang berlimpah bagi orang-orang yang beramal saleh, dan juga mengancam kepada orang-orang yang beramal buruk. Ancaman disini tergantung dari tingkatan keburukan yang dilakukannya. Tentunya ancaman tak mungkin diberikan jikalau khabar gembira dan khabar ancaman murka Allah Swt dan neraka belum diberikan.

3. Menggambarkan tentang baik buruknya suatu amal secara lengkap baik itu manfaat dan mudharat suatu amal, ataupun menceritakan tentang kedudukan suatu amal didepan Allah Swt serta memberitakan hakikat dari suatu amal baik yang biasanya bisa dipandang dengan tinjauan falsafi.

4. Memperhatikan kapan pola ini digunakan kapan pula tidak digunakan

5. Memperhatikan keseimbangan antara targhib dan tarhib.


3. Irsyad


Irsyad mengandung makna memberikan bimbingan menuju arah tertentu atau memberikan pengetahuan dan hidayah kepada seseorang untuk melaksanakan amal yang benar dan baik. Perbedaannya disini dengan sebelumnya selain daripada memberikan pengetahuan yang lebih disertai juga dengan membimbing dalam arti membawa bersama-sama menuju tujuan kesempurnaan tersebut.


Memang kenyataannya dalam memberikan pengetahuan merupakan suatu proses yang berat dibandingkan dengan yang lainnya, sebab disini diperlukan suatu tahapan pengetahuan. Dalam hal ini Maksumin As membuat suatu kumpulan ataupun masyarakat ilmu yang membentuk suatu madrasah ilmiah di Madinah seperti pada zaman Rasul Saw dan yang tercatat dalam sejarah adalah madrasah di zaman Imam Ja’far Shadiq As. Proses inipun menjadi ciri yang khas dalam penyebaran tarbiah islamiah, sebab tarbiah islamiah merupakan transformasi, dan regenerasi ajaran islam itu sendiri dan manusia tak akan mengenal Islam secara sempurna jikalau tidak mengenal ilmu-ilmu islam.


Dalam pola Irsyad disertai dengan tadzakur dan Amr ma’ruf nahi munkar yag akan dijelaskan selanjutnya, memiliki keuntungan yang besar dalam perkembangan syiar dalam kehidupan masyarakat diantaranya:


1. Dapat menumbuhkan suatu komunitas atau kumpulan yang sangat bernilai bagi perkembangan syiar. Pembinaan dan bimbingan yang kontinyu bersama-sama akan melahirkan ikatan kebersamaan saling memahami satu sama lainnya dan bertukar pikiran.


2. Memunculkan kebutuhan untuk menyatu dalam satu bendera dalam kehidupan siasat. Kenapa tidak , kemunculan suatu tempat menuntut ilmu bersama-sama dalam masyarakat dan bimbingan yang berkesinambungan dari sang murabbi, akan menemukan pola pikir yang cenderung sama tujuan dan arahnya.


3. Melahirkan kewaspadaan bersama dengan segala yang membahayakan kehidupan masyarakat berupa keyakinan, kepercayaan serta penghidupan baik itu dari dalam ataupun dari luar. Seperti yang bisa kita lihat pada kehidupan Rasulullah Saw di Madinah.



4. Tadzakkur


Tadzakkur mengandung makna mengingatkan dan juga dekat dengan makna menggugah dengan cara memberikan “pelajaran”. Tadzakkur sebenarnya lebih dari sekedar mengingatkan atas perbuatan salah, dan tidak lebih dari suatu penggugah dengan memberikan “pelajaran”. Sehingga Tadzakkur ada diantara mengingatkan dan memberikan “pelajaran”.


Ada beberapa cara dalam memberikan pelajaran kepada orang lain jikalau kita merujuk pada perkataan dan perbuatan Maksumin As, diantaranya:


1. Dengan perkataan: Artinya ketika seseorang berbuat salah maka baik secara langsung ataupun tidak langsung disampaikan kepadanya dan diberikan penjelasan mengenai yang benar.


2. Dengan Perbuatan: Tidak selalu tadzakur bisa diselesaikan dengan perkataan bahkan lebih banyak memberikan perubahan adalah dengan perbuatan. Dimana dengan perbuatan yang memberikan gambaran hal yang benar maka orang yang berbuat salah tersebut dapat menerimanya secara tidak langsung, seperti halnya Imam Husein dan Imam Hasan As ketika ingin menyalahkan dan memberikan solusi kepada orang tua yang salah dalam wudhu.


5. Amr dan Nahi


Amr dan Nahi adalah perintah dan larangan, yakni memerintahkan untuk berbuat kebaikan dan melarang dari perbuatan buruk. Bedanya dengan pola sebelumnya adalah disini kita perlu memperhatikan adanya suatu ketegasan dalam perintah dan ketegasan dalam larangan. Larangan dan perintah inipun harus disesuaikan dengan perintah dan larangan Tuhan. Tentunya perintah dan larangan merupakan bagian yang tak terpisah dari pola-pola sebelumnya.


Pada dasarnya kelima pola tersebut memberikan cara dan efek yang berbeda-beda akan tetapi hal tersebut bisa disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada. Dan hal-hal yang menjadi syarat Murabbi dan orang-orang yang akan diberikan tarbiah pada umumnya kembali kepada poin-poin yang tertulis pada pola Mau’izhah.

Sumber Bacaan


1. Tarikh Falsafah , jilid-1, hal ke-13

2. Tarikh Falsafah, bagian fadhilah ilmu

3. Merujuk ke “Sireye Tarbiyatie Payambar va Ahlulbait”, jilid ke-2, hal ke-22

4. Qs. Al-Baqarah : 181

5. Qs. Al-’Alaq : 1-4

6. Qs. Al-Jumu’ah : 2

7. Nahjul Balaghah, surat ke-28

8. Bihar Al-Anwar, jilid-77, hal ke-268

9. Sireye Tarbiyatie Payambar va Ahlulbait, jilid ke-2, hal ke-160

10. Sireye Tarbiyatie Payambar va Ahlulbait, jilid ke-2, hal ke-191

11. Nahj Al-Balaghah, khutbah ke-193

12. Bihar Al-Anwar, Jilid ke-4, hal ke-334, riwayat ke-19

13. Bihar Al-Anwar, Jilid ke-2, hal ke-39, riwayat ke-68

14. Al-Kafi, jilid ke-5, hal ke- 65, riwayat ke-1

15. Alkania wa Al-‘Uqbah, Syeikh Abbas, hal ke-168

16. Sahih Bukhari, jilid ke-1, hal ke-34

17. Al-Kafi, jilid ke-2, hal ke-218, riwayat ke-3

18. Mujma’ Al-Washith, bagian Raghb

19. Al-Kafi, Jilid ke-2, hal-368, riwayat ke-4

20. Bihar Al-Anwar, jilid ke-21, hal ke-354, riwayat ke-1



AKAL DALAM CAHAYA WAHYU DAN HADIS MAKSUMIN ALAIHIS SALAM


"Akal juga dalam riwayat merupakan maujud yang paling dicintai Tuhan dan menjadi parameter untuk pahala dan dosa anak-anak Adam, serta merupakan hujjah bathin bagi manusia. Abu Abdillah As berkata: "Ketika Tuhan menciptakan akal, Tuhan berkata padanya: menghadaplah, maka akal menghadap, kemudian berkata padanya: membelakanglah, maka akal membelakang, kemudian Tuhan berkata: "Demi kemuliaanku dan keagunganku, tidak aku ciptakan makhluk yang lebih aku cintai darimu, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, dan denganmu Aku mengumpulkan (membangkitkan)."


Kitab Al-Quran adalah suatu kitab suci yang sangat memberi penekanan dan kontribusi besar bagi akal dalam berbagai lapangan pengetahuan dan kehidupan. 


Dalam agama islam menerima keyakinan agama harus lewat pemikiran dan perenungan akal, dan Al-Qur'an dalam hal ini senantiasa mengajak untuk berpikir, bertadabbur, dan menjauhi taqlid buta dalam berbagai masalah akidah dan keyakinan, serta memandang sangat buruk orang-orang yang tidak menggunakan akalnya (Q.S : Yunus :100). 


Akal juga dalam riwayat merupakan maujud yang paling dicintai Tuhan dan menjadi parameter untuk pahala dan dosa anak-anak Adam, serta merupakan hujjah bathin bagi manusia. Abu Abdillah As berkata: "Ketika Tuhan menciptakan akal, Tuhan berkata padanya: menghadaplah, maka akal menghadap, kemudian berkata padanya: membelakanglah, maka akal membelakang, kemudian Tuhan berkata: "Demi kemuliaanku dan keagunganku, tidak aku ciptakan makhluk yang lebih aku cintai darimu, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, dan denganmu Aku mengumpulkan (membangkitkan) (Bihâr al-Anwâr Juz 196)


Demikian pentingnya fungsi akal bagi manusia, maka Al-Qur'an menekankan pada manusia untuk memanpaatkan nikmat besar Tuhan ini dengan cara mengajak manusia menghilangkan dan menghancurkan berhala-berhala yang menjadi penghalang penggunaan akal supaya akal mampu mengutarakan argumen-argumen rasional.


Adapun hal-hal yang bisa menghalangi manusia menggunakan akal rasionalnya menurut Al-Qur'an : 

1. Berpandangan empirisme; 

2. Taqlid buta; 

3. Mengikuti hawa nafsu. 


1. Berpandangan empirisisme


Ayat-ayat suci Al-Qur'an yang berbicara tentang masalah-masalah ini seperti: "Dan berkata orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami (hari akhirat), mengapa tidak diturunkan atas kami malaikat atau kami melihat (dengan mata lahiriah) Tuhan kami…"(Q.S: Al-Furqan :21). Dan ayat yang serupa dalam (Q.S : Al-Baqarah :55) : "Dan ingatlah ketika kamu (Bani Israil) berkata wahai Musa! kami tidak akan beriman padamu hingga kami melihat Allah secara jelas(dengan mata lahiriah)…". Jadi orang-orang seperti ini berpandangan empirisme, menolak pandangan-pandangan yang tidak dijangkau oleh panca indera dan pengalaman empirik, yakni mereka tidak meyakini adanya wujud-wujud non materi dan gaib dari panca indera. 


Dunia kita dewasa ini dipenuhi orang-orang yang berpandangan seperti ini, terutama peradaban barat yang dikuasai pandangan dunia materialisme dan filsafat materialisme, serta orang-orang timur (termasuk kaum muslimin) yang dipengaruhi oleh pandangan barat dan kebarat-baratan (Westernisasi).


2. Taqlid buta 


Dan adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenan mencela taqlid buta dan melarang manusia dari perbuatan tersebut seperti: "Atau Kami mendatangkan kitab pada mereka sebelumnya dan mereka berpegang? Bahkan mereka berkata sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami dalam satu ummah (tradisi, budaya, kepercayaan), dan sesungguhnya kami juga mendapat petunjuk untuk mengikuti mereka. Dan demikian tidak Kami mengutus dari sebelum kamu dalam suatu Qaryah (daerah) dari seorang pengingat kecuali berkata orang-orang kaya diantara mereka sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami dalam suatu ummah dan sesungguhnya kami melaksanakan (melanjutkan) peninggalan-peninggalan mereka. (Nabi-nabi mereka) berkata : apakah jika aku membawa petunjuk yang lebih memberi hidayah padamu dari apa yang kamu dapati dari bapak-bapak kamu (kamu juga akan tetap mengingkari)? Mereka berkata (ya!) sesungguhnya kami dengan apa yang kamu diutus dengannya adalah kafir" (Q.S As-Zukhruf : 21-24). Orang-orang seperti ini tidak lagi menggunakan logika dan rasio akalnya, tetapi mereka hanya mencukupkan diri dengan apa yang mereka dapatkan dalam bentuk budaya, tradisi, dan kepercayaan dari nenek-nenek moyang mereka, meskipun pada dasarnya tradisi dan budaya tersebut sangat bertolak belakang dengan akal sehat mereka. 


Tapi perlu juga kami kemukakan di sini bahwa taqlid yang dicela oleh agama adalah taqlid buta yang tak berdasar, yang tak memiliki manpaat memperbaiki kehidupan individu dan masyarakat. Sebab tak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan kita, taqlid itu sendiri banyak memiliki peran dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dan merupakan tabiat manusia bahwa taqlid dari orang jahil kepada orang berilmu merupakan keharusan, dan sesuai dengan logika serta akal. Misalnya taqlid orang sakit pada dokter, taqlid orang yang membutuhkan bangunan rumah pada arsitektur, dan dalam konteks agama taqlid orang-orang yang tak belajar fiqhi secara khusus dan mendalam (sampai maqam mujtahid) pada marja taqlid (fuqaha). Model dan cara taqlid seperti ini tidak dicela oleh akal, bahkan akal menjadi dasar logis bertaqlid dalam konteks tersebut.


3. Mengikuti hawa nafsu 


Al-Qur'an juga melarang manusia mengikuti hawa nafsu, sebab dengan mengikutinya akal dan rasio menjadi tertutup. Ayat-ayat yang berkenan masalah ini seperti: " Tapi orang-orang dzalim dengan tanpa ilmu mengikuti hawa nafsu mereka, maka siapa yang dapat memberi petunjuk pada orang yang Allah telah sesatkan? Dan bagi mereka tidak ada lagi penolong" (Q.S Ar-Rum :29). Dan ayat: "Maka jika mereka tidak mengijabah kamu (menerima usulan kamu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak menerima petunjuk dan hidayah Tuhan? Dan sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk pada orang-orang dzalim" (Q.S : Al-Qishas :50). Pada dasarnya sangat banyak orang-orang yang dengan pikiran dan akalnya mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan yang dibawa oleh para Nabi-nabi Tuhan as, tetapi karena kepentingan dan kecenderungan mereka untuk mengikuti hawa nafsu mereka, maka kebenaran dan kebaikan yang cahayanya seterang mentari disiang hari yang tak bermega ini ditolak dan diabaikan. 


Dan adapun pekerjaan akal dalam hal kemampuan berargumen dan berdalil, terdapat ayat-ayat Al-Qur'an dalam masalah-masalah tersebut, misalnya kemampuan akal memberi pendekatan yang sipatnya rasio dengan sipat yang inderawi dengan permisalan dan penganalogian. Ayat yang berkenan hal ini seperti: "Kemudian hati-hati kamu sesudah itu keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi, sebab sesungguhnya sebagian dari pada batu, ada yang terbelah dan darinya mengalir sungai-sungai, dan sesungguhnya sebagian lagi dari pada batu, ada yang terpecah dan keluar darinya air, dan sebagian lagi terjatuh dan terjerembab karena takutnya pada Tuhan , (dan adapun hati-hati kamu sama sekali tidak pernah bergetar karena takut pada Tuhan, dan juga tidak pernah menjadi sumber ilmu, pengetahuan dan kasih sayang kemanusiaan), dan Allah tidak pernah lalai dari apa yang kamu lakukan" (Q.S : Al-Baqarah: 74).


Juga terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang mengajak berdalil dan berargumen akal dengan cara memperlihatkan kelemahan dan kekurangan apa yang diperbuat manusia dalam masalah dan subyek tersebut. Seperti ayat: "Katakanlah siapakah Tuhan langit dan bumi? Katakanlah Allah! (kemudian) Katakanlah apakah kamu mengambil auliya (wali-wali atau tuhan-tuhan) selain Tuhan, yang mana mereka itu tidak memiliki manpaat dan darar (mudharat) bagi diri mereka sendiri (sehingga bagaimana hal itu bisa sampai padamu?!) Katakanlah apakah sama orang buta dengan orang melihat? Ataukah sama kegelapan dan cahaya? Apakah mereka menjadikan untuk Allah sekutu-sekutu dikarenakan mereka (sekutu-sekutu tersebut) seperti Tuhan mempunyai suatu ciptaan, dan ciptaan ini serupa mereka?! Katakanlah Allah pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Esa serta maha menang" (Q.S : Ar-Ra'd:16). Dan mari kita simak ayat lain yang serupa tentang hal ini dalam kisah nabi Ibrahim As: " Berkata mereka siapa yang melakukan ini pada tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya dia niscaya orang-orang zalim. Kami dengar seorang pemuda yang dia menyebut tentang berhala-berhala, disebut padanya (namanya) Ibrahim. Berkata mereka datangkanlah dia disaksikan masyarakat, sehingga mereka menyaksikan. Berkata mereka apakah engkau yang melakukan ini pada tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim? Berkata(nabi Ibrahim a.s) yang melakukannya adalah yang paling besar diantara mereka ini, maka bertanyalah kamu pada mereka jika mereka berbicara? Maka merujuk mereka dalam diri mereka, maka berkata mereka sesungguhnya kamu orang-orang zalim. Kemudian mereka berbalik atas kepala-kepala mereka (menarik kembali pendapatnya, dan melupakan secara keseluruhan kata hatinya ) pada hakikatnya kamu tahu bahwa mereka ini tidak berbicara. Baerkata (Ibrahim a.s) apakah kamu menyembah selain Allah yang tidak memberi manpaat pada kamu sedikitpun dan juga tidak memberi mudharat pada kamu? Uffi atas kamu, dan mengapa kamu menyembah selain Allah, apakah kamu tidak berakal? (Q.S: Al-Anbiyaa:59-67). Yakni apa yang diperbuat manusia dalam masalah ini tidak lain karena akal dan logika sehat mereka tidak bekerja dan berfungsi, sehingga mengambil sekutu untuk Tuhan yang mana sekutu tersebut sendiri tidak mampu memberikan manpaat pada diri mereka sendiri dan juga tidak mampu membuat mudharat pada diri mereka sendiri, apatah lagi pada manusia dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. 


Dan salah satu diantaranya lagi cara Al-Qur'an untuk membangunkan akal manusia supaya befungsi dan berpikir logis serta berargumen untuk menundukkan pihak lawan adalah menukar dalil sebelumnya dengan dalil lainnya sesuai starata pihak yang dihadapi, dan cara ini dapat kita saksikan contohnya dalam ayat: "Apakah tidak kamu lihat kepada orang yang berhujjah (Namrud) dengan nabi Ibrahim tentang Tuhannya? Sebab Tuhan telah memberikan padanya mulk (kekuasaan) (dan karenanya dia menjadi congkak dan takabbur), ketika berkata Ibrahim as Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan, berkata (Namrud) aku menghidupkan dan mematikan ( dan untuk membuktikan ucapannya dia memerintahkan pada pengawalnya untuk mengeluarkan dua orang narapidananya, satu diantaranya dia bebaskan dan biarkan hidup dan satu lagi dia tidak biarkan hidup dan dibunuhnya), Nabi Ibrahim as berkata sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari ufuk Timur (dan jika benar apa yang kamu katakana bahwa kamu adalah hakim alam eksistensi dan Tuhan), maka terbitkanlah kamu matahari itu dari ufuk Barat, (dalam keadaan ini) Namrud yang kafir tersebut tinggal dalam keadaan terperanjat, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang dzalim" (Q.S:Al-Baqarah:258). Tapi meskipun ayat-ayat Al-Qur'an telah memberikan hidayahnya dan petunjuknya pada akal manusia, namun jika manusianya itu sendiri tidak mau menuruti dan mengikuti pikiran dan renungan akalnya, dia selamanya akan tetap dalam kegelapan dan kedzaliman, sebab manusia sendiri yang mempunyai kemampuan untuk merubah nasibnya dengan ikhtiyar dan pilihannya.


Masih banyak masalah-masalah dimana ayat Al-Qur'an mencahayai akal manusia supaya manusia mau mengikuti akal dan rasio sehatnya yang dapat membawanya pada kebenaran hakiki dan kesempurnaan akhir. Namun tentu pembahasan ini tidak akan sedemikian luasnya, sebab pembahasan kita ini terbatas dan bukan proporsi bahasan seluas masalah-masalah tersebut. 


Dan diakhir pembahasan ini kami membawakan beberapa hadits ma'sumin berkenan tentang akal dan kebaikannya. Seseorang bertanya pada Abu Abdillah a.s, dia berkata:" Aku berkata padanya (Abu Abdillah a.s) apakah akal itu"? Beliau menjawab: "Apa yang dengannya Rahman (Tuhan maha Rahman) disembah dan apa yang dengannya jinan (jamaknya surga) diusahakan" (Al-Kâfi, 111) Dan juga hadits dari Nabi saww. beliau bersabda: "Tegaknya seseorang adalah akalnya, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal" (Bihâr al-Anwâr, juz 194). Barkata imam Shadiq as: "Barang siapa yang berakal maka baginya agama, dan barang siapa punya agama maka masuk surga" (Bihâr al-Anwâr, 191). 


Dari cahaya sabda dan perkataan ma'sumin a.s tersebut di atas, maka dapat kita pahami bahwa dasar dan landasan untuk menerima agama dan parameter kebenaran suatu keyakinan dan akidah agama, tidak lain adalah akal yang merupakan anugerah termulia Tuhan pada manusia.[]




MENGAPA KITA HARUS MENCINTAI AHLUL BAIT NABI?





"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya." (Qs. Al-Ahzab : 33)


"Jika dengan mencintai keluarga Nabi Saw aku disebut Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah sesungguhnya aku seorang Rafidhi (Syiah) dan cukuplah shalatku menjadi tidak sah dengan tidak menyertakan shalawat kepada mereka." (Imam Syafi'i ra)


Sebagaimana pernyataan Imam Syafi'i ra di atas, akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait) yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi? mengapa dalam redaksi shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada keluarganya? Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka? Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini, namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan dalam kehidupan religius kita sehari-hari?


Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.


Keistimewaan Keluarga Para Nabi*


Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur'an menjelaskan masalah ini :


"Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya." (Qs. Al-An'am : 84).


"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq" (Qs. Al-Hadid : 26).


"Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh" ( Qs. Al-Ankabut : 27)


Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur'an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.


Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.


Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Qs. Al-Baqarah: 124)


Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci?


Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?


Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur'an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.


"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami." (Qs. Fathir : 32). 


Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, "Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami." Allah berfirman : "Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa." (Qs. Thaha : 29-36).


Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad' yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.


Imamah dan Ahlul Bait*


Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di dalam Al-Qur'an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan Allah atas keluarganya.


Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123, cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, "Pada suatu hari Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama "Khum", yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, "Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan."


Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku." Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada', "Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur'an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh." Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, "Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim)."


Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi, Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai'iq telah menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat, lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, " Ketahuilah, sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang sahabat."


Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur'an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur'an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab "Al-Ilmu" (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini. 


Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur'an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?.


Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. " (Qs. Ibrahim: 4).


Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur'an secara mendetail? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur'an secara terperinci.


Sementara Allah SWT berfirman, " Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti". (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, "Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini." (Qs. Al-An'am : 38).


Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur'an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu." (Qs. Al-Maidah : 3 ). Sebab, "Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah)." (Qs. Al-Maidah : 99). Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, "Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. " (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur'an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur'an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.


Al-Qur'an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. "Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur'an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Qs. Al-A'raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur'an.


Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, "Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu".


Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, "Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya" Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati'i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, "Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, "Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya" Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur'an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, "Sebenarnya (Al-Qur'an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu." (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.


Dan dengan firman Allah SWT, "Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi." (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, "Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran." Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki 'Roh Tuhan' yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib. 


Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, "Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. " (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, "Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa."


Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, "Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan." Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.


Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur'an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah." Dan dalam Al-qur'an Allah SWT berfirman, "(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya." (Qs. Al-Isra': 71).


Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa, bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, "Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya."Wallahu 'alam bishshawwab


*) Mahasiswa Universitas Internasional Al Mustafa Qom Republik Islam Iran, Program Studi Ulumul Qur'an dan Ilmu Hadits




AHLI BAYT YANG DIMAKSUD DALAM AYAT TATHHIR


Ahli Bayt yang dimaksud oleh Ayat Tathhir


Persoalan bahwa Ayat Tathhir dan hadis-hadis yang tersebut di atas adalah menjelaskan keutamaan yang luar biasa bagi Ahli Bayt diterima baik oleh kalangan Ahli Sunnah maupun Syi’ah, akan tetapi berkenaan dengan personal mereka ada dua pendapat: Menurut Syi’ah Imamiah, keutamaan ini hanya dimiliki oleh manusia-manusia yang maksum atau suci dari dosa dan kesalahan, mereka adalah para imam maksum as. dan Fatimah Zahra as.
Adapun menurut Ahli Sunnah, disesuaikan dengan pandangan-pandangan ideologis mereka, yang dimaksud dengan Ahli bayt di dalam Ayat Tathhir adalah istri-istri Rasulullah saw.
Tentunya pendapat yang kedua ini mengundang banyak kritikan, sebab kehendak formatif Allah swt. tidak mungkin menyimpang dari kenyataan, sejarah menjadi saksi bagaimana sebagian dari istri-istri Rasulullah saw. melanggar perintah dan larangan Allah swt., Aisyah setelah Rasulullah saw. wafat melanggar wasiat beliau sekaligus ayat al-Qur’an yang ditujukan kepada istri-istri beliau:


وَ قَرنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَ لَا تَبَرُّجنَ تَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِ الاُولَى‏ / الاحزاب: 33.


Artinya: “Dan tetaplah kalian di rumah kalian dan janganlah kalian berhias seperti orang-orang jahiliah dahulu”. (QS. 33: 33), dia keluar dari rumah dan mengerahkan pasukan untuk berperang melawan Amirul Mukminin Ali as., dialah penyebab terjadinya perang Jamal yang menjatuhkan ribuan korban, dia kalah dalam peperangan itu dan Amirul Mukminin Ali as. memulangkannya ke Madinah.
Ini bukan satu-satunya kesalahan Aisyah, di masa kekhalifahan Utsman bin Affan dia termasuk orang yang paling getol dalam memusuhi Utsman, dia pula yang rajin menggerakkan masa untuk menentang Utsman, dia tunjukkan baju Rasulullah saw. kepada masyarakat seraya berkata: “Baju Rasulullah masih belum usang tapi Utsman sudah berani menghapus sunnah beliau”. Aisyah tidak henti-hentinya menjelek-jelekkan Utsman bin Affan bahkan menurut dia Utsman harus segera dibunuh, dia pun keluar dari Madinah menuju ke Mekkah sebagai langkah protesnya terhadap Utsman. Ketika sampai di Mekkah dia mendengar berita pembunuhan Utsman, dan karena dia beranggapan bahwa Thalhah akan menggantikan Utsman sebagai khalifah maka dia pulang ke Madinah dengan rasa gembira, tapi ketika dia melihat masyarakat berbaiat kepada Ali dia betul-betul gelisah seraya bersumpah bahwa Utsman terbunuh secara teraniaya, dia berbalik dari posisi sebagai penentang Utsman menjadi orang yang mengibarkan bendera keteraniayaan Utsman dan penuntutan balas atas darah Utsman, hal itu dia lakukan tidak lain adalah untuk menentang kekhalifahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.


Berdasarkan bukti terjadinya kesalahan atau bahkan pelanggaran yang disengaja, maka istri-istri Rasulullah saw. atau semua anggota keluarga dan yang berada di bawah tanggung jawab beliau tidak bisa menjadi maksud dari Ahli Bayt dalam Ayat Tathhir, dan tentunya ketaatan terhadap mereka tidak bisa menjamin seseorang terhindar dari kesesatan, karena itu sama dengan menapaki jalan orang-orang yang masih mungkin salah bahkan sudah terbukti bersalah atau melakukan pelanggaran secara sengaja. Ahli Bayt adalah manusia-manusia yang sepenuhnya menguasai firman-firman Allah swt. dan terjaga dari segala bentuk dosa, noda dan kesalahan, dan kriteria ini tidak dimiliki oleh semua anggota keluarga Rasulullah saw. melainkan hanya orang-orang tertentu di antara mereka.


Dari beberapa penelitian terbukti bahwa orang pertama yang mencetuskan pandangan Ahli Bayt adalah istri-istri Nabi saw. adalah Ikrimah dan Muqatil. Allamah Wahid mengatakan: “Ikrimah berteriak di tengah pasar sesungguhnya Ayat Tatthir turun berkenaan dengan istri-istri Nabi”. Di dalam kitab tafsir ad-Durul Mantsur disebutkan bahwa Ikrimah mengatakan: “Silahkan siapa saja bermubahalah denganku tentang Ayat Tathhir, menurutku ayat itu turun berkenaan dengan istri-istri Nabi”.


Dengan memperhatikan cara-cara yang digunakan oleh Ikrimah dalam menyatakan pandangan Ayat Tathhir turun berkenaan dengan istri-istri Nabi saw., begitu pula tantangan dia kepada yang lain untuk bermubahalah tentang masalah tersebut, setiap ahli dapat menangkap sebuah kenyataan di tengah masyarakat bahwa pandangan itu asing bagi mereka, masyarakat meyakini hal yang sama sekali berbeda dengan pandangan yang dicetuskan oleh Ikrimah tersebut, itulah sebabnya Jalaluddin Suyuthi meriwayatkan dalam kitab tafsirnya ad-Durul Mantsur bahwa Ikrimah berkata kepada masyarakat: “Yang dimaksud dengan Ahli Bayt di dalam Ayat Tathhir bukan seperti yang kalian ketahui sebelumnya, Ahli Bayt di sini adalah istri-istri Nabi”.


Para ahli ilmu rijal menyebutkan Ikrimah sebagai penentang Amirul Mukminin Ali as., banyak sekali hadis-hadis palsu yang dia karang dan kemudian dia alamatkan hadis-hadis itu kepada Ibnu Abbas, maka itu besar kemungkinan pernyataan dia di atas juga termasuk hadis-hadis palsu buatannya.


Selain itu, ucapan orang-orang seperti Ikrimah dan Muqatil tidak lagi berarti ketika dihadapkan pada hadis-hadis sahih dan terpercaya yang menentang ucapan mereka. Di dalam kitab tafsir Thabari diriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ayat Tathhir turun berkenaan dengan lima orang; aku, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein”. Diriwayatkan pula dari Ummu Salamah, Aisyah, dan Umar bin Abi Salamah bahwa Ayat Tathhir turun di rumah Ummu Salamah, pada waktu itu Rasulullah saw. mengumpulkan Ali, Fatimah, Hasan dan Husein serta menutupi mereka dalam satu selimut, lalu beliau bersabda “Mereka ini adalah Ahli baytku yang telah dihindarkan oleh Allah swt. dari kotoran dan dosa serta disucikan sesuci-sucinya”.


Tafsir ad-Durul Mantsur menukil dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. setiap hari selama sembilan bulan, tepatnya setiap kali datang waktu shalat, selalu menghampiri pintu rumah Ali bin Abi Thalib seraya bersabda:


السّلامُ عليكم و رحمة الله ‏و بركاتُه، اِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذهِبَ عَنكُمُ الرِّجسَ اَهلَ البَيتِ وَ يُطَهِّرَكُم تَطهِيرًا، اَلصَّلَاةُ‏ يَرحَمُكُمُ اللهُ كُلَّ يَومٍ.


Artinya: “Salam dan rahmat Allah serta berkah-berkah-Nya senantiasa tercurahkan kepada kalian, sesungguhnya Allah hanyalah hendak menyingkirkan kotoran dari kalian Ahli Bayt dan menyucikan kalian sesuci-sucinya, –telah datang waktunya– shalat, semoga Allah merahmati kalian setiap hari”, dan beliau mengulangi sabda itu sebanyak lima kali.


Di kitab yang sama Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. senantiasa menghampiri pintu rumah Fatimah sampai empat puluh hari, beliau mendoakan salam dan rahmat Allah swt. semoga selalu tercurahkan kepada Ahli Bayt seraya bersabda:


اِنَّمَايُرِيدُ اللهُ لِيُذهِبَ عَنكُمُ الرِّجسَ (اَهلَ البَيتِ) وَ يُطَهِّرَكُم تَطهِيرًا اَنَا حَربٌ لِمَن حَارَبتُم ‏وَ سِلمٌ لِمَن سَالَمتُم


Artinya: “Sesungguhnya Allah hanyalah hendak menyingkirkan kotoran dari kalian Ahli Bayt dan menyucikan kalian sesuci-sucinya, aku memerangi siapa saja yang kalian perangi dan aku berdamai dengan siapa saja yang kalian berdamai dengan mereka ...”.


Haskani di dalam bukunya Syawahidut Tanzil menukil dari Jami’ Tamimi yang menceritakan suatu hari aku beserta ibuku pergi menemui Aisyah, ibuku bertanya tentang Ali bin Abi Thalib kepada Aisyah dan Aisyah menjawab: “Apa yang bisa kamu bayangkan tentang seorang lelaki yang Fatimah adalah istrinya dan Hasan serta Husein adalah anak-anaknya, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri Rasulullah swt. menyelimuti mereka dengan kain seraya bersabda: “Ya Allah! mereka adalah Ahli Baytku, hindarkanlah kotoran dari mereka dan sucikan mereka sesuci-sucinya”.


Di kitab yang sama diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Ayat Tathhir turun kepada Rasulullah saw. di rumahku, pada waktu itu Ali, Fatimah, Hasan dan Husein berada di sisi beliau, sementara aku berdiri di depan pintu rumah, aku katakan kepada Rasulullah apakah aku juga tergolong Ahli Baytmu? Beliau menjawab: “Tidak, kamu tergolong istri-istri nabi”.


Hadis-hadis seperti ini banyak sekali didapatkan dalam buku-buku Ahli Sunnah, tentunya artikel ini bukan tempatnya untuk menukil dan mengulas buku-buku tersebut.

Kesatuan Konteks


Salah satu persoalan yang muncul tentang Ayat Tathhir dan yang menyebabkan munculnya anggapan bahwa maksud dari Ahli Bayt di dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi saw., adalah persoalan konteks ayat-ayat sebelum dan sesudah Ayat Tathhir. Menurut sebagian pendapat, ayat-ayat itu berbicara tentang istri-istri Nabi saw., dan kesatuan konteks ayat-ayat sebelum dan sesudah Ayat Tathhir menuntutnya juga berbicara tentang istri-istri Nabi saw.


Ada beberapa catatan penting yang melemahkan bahkan menolak pendapat di atas:

Pertama. Dalam percakapan bahasa Arab, kata ahl tidak digunakan untuk arti istri, dan kalaupun digunakan maka penggunaan itu bersifat majasi, di samping itu riwayat-riwayat juga membuktikan hal yang sama.
Di Sahih Muslim, bab Keutamaan Ali bin Abi Thalib as. diriwayatkan:


ان زيد بن ‏ارقم سئل عن المراد باهل البيت، هل هم النساء، قال لا وايم الله، ان المراءه تكون مع الرجل، العصر من الدهر ثم يطلقها فترجع الى ابيها و قومها


Artinya: "Suatu saat Zaid bin Arqam ditanya oleh seseorang tentang Ahli Bayt, apakah mereka istri-istri Nabi? Zaid menjawab: "Demi Allah Tidak, wanita hanya bersama lelaki dalam waktu yang sementara, dan ketika lelaki itu mencerainya maka dia kembali lagi kepada ayah dan sanak familinya".
Ummu Salamah meriwayatkan:

نزلت هذه الايه فى بيتى ... و فى البيت ‏سبعه ‏جبرئيل و ميكائيل و على و فاطمه و الحسن و الحسين و انا على باب الباب. قلت ‏ألست من اهل البيت؟ قال انك على خير انك من ازواج النبي

Artinya: "Ayat ini turun di rumahku, … dan pada waktu itu ada tujuh person di dalam rumahku, mereka adalah malaikat Jibrail, malaikat Mikail, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein, sedangkan aku berdiri di pintu rumah, lalu aku bertanya –kepada Rasulullah saw.– apakah aku termasuk Ahli Bayt? Beliau menjawab: "Kamu orang yang baik dan kamu termasuk istri-istri Nabi".


Kedua. Anggap saja jawaban yang pertama tidak diterima dan anggap saja arti kata ahl mencakup juga istri-istri, akan tetapi mengingat bahwa tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi saw. yang mengaku Ayat Tathhir turun untuk mereka, bahkan sebaliknya sebagian istri beliau seperti Ummu Salamah menyatakan ayat itu turun berkenaan dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, maka anggapan itu dengan sendirinya tertolak, karena jika memang benar ayat itu turun untuk istri-istri Nabi tentu mereka akan selalu mengangkat keutamaan itu ke permukaan dan sama sekali tidak melalaikannya.


Sahih Muslim menukil riwayat dari Aisyah berkata:

خرج النبى(ص) غداه وعليه مرط مرحل من شعرا سود فجاء الحسن بن‏على فادخله ثم جاء الحسين فدخل معه‏ثم جائت فاطمه فادخلها ثم جاء علي فادخله ثم قال انما يريد الله ليذهب عنكم‏الرجس اهل البيت و يطهركم تطهيرا


Artinya: "Di suatu pagi, Nabi saw. keluar dari rumahnya sambil mengenakan kain yang terbuat dari bulu hitam, Hasan bin Ali menghampiri beliau maka beliau masukkan dia dalam kain itu, kemudian Husein datang dan beliau juga memasukkannya dalam kain, setelah itu Fatimah datang dan beliau juga memasukkannya dalam kain, dan yang terakhir Ali datang dan beliau pun memasukkannya dalam kain, lalu beliau bersabda Sesungguhnya Allah hanyalah hendak menyingkirkan kotoran dari kalian Ahli Bayt dan menyucikan kalian sesuci-sucinya".


Meskipun ada juga versi lain Hadis Kisa' (kain selimut) yang menyebutkan orang-orang selain yang disebutkan di atas, tapi versi hadis itu mempunyai sanad (silsilah perawi) yang lemah dan isinya juga tidak bisa dipertahankan.


Ketiga. Kesatuan konteks tidak bisa dijadikan standar untuk memahami ayat selama ada nash (teks yang sahih dan kuat) yang otentik, karena dengan adanya nash pendapat yang berdasarkan kesatuan konteks adalah salah dan terhitung sebagai ijtihad melawan nash.


Keempat. Kesatuan konteks bisa menjadi standar apabila himpunan ayat atau perkataan mempunyai keterikatan dan urutan yang pasti, sementara ayat-ayat al-Qur'an yang ada tidak dihimpun atas dasar sebab atau urutan turunnya ayat-ayat tersebut, maka itu dalam hal ini kesatuan konteks tidak punya kekuatan.


Sebaliknya Ayat Tathhir sendiri memisahkan dirinya dari konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya dengan kata ganti yang dia gunakan; kata ganti yang digunakan oleh ayat-ayat sebelum dan sesudahnya serta berkenaan dengan istri-istri Nabi saw. adalah kata ganti majemuk untuk perempuan seperti فى بيوتـكن، لسـتن، ان‏اتقيـتن، فلا تخضعـن، قلـن و ... , sementara kata ganti yang digunakan oleh Ayat Tathhir adalah kata ganti majmuk untuk lelaki, yaitu عنـكم dan يطهركم .


Tidak menutup kemungkinan seorang keberatan atas pemaknaan Ahli Bayt kepada selain istri-istri Nabi saw. dengan alasan kalau saja Ayat Tathhir dipisahkan secara total dari ayat-ayat sebelum dan sesudahnya maka pemaknaan itu mudah diterima, tapi kita melihat bahwa Ayat Tathhir bukan ayat yang terpisah secara utuh melainkan satu bagian dari ayat, dan permulaan ayat itu bahkan mayoritas ayat sebelumnya juga berbicara tentang istri-istri Nabi saw., dan apabila kita paksakan bahwa potongan yang disebut dengan Ayat Tathhir tersebut terpisah dari ujungnya maka itu berarti adanya kalimat asing yang tanpa alasan di tengah kalimat yang lain, dan ini bertentangan dengan kefasihan ayat-ayat al-Qur'an.


Sekilas alasan itu mengenai sasaran, tapi jika diteliti lebih lanjut ternyata hal itu tidak mampu melandasi keberatan di atas, karena di samping bahwa memasukkan kalimat terpisah atau asing di tengah kalimat yang lain tidak selamanya bertentangan dengan kefasihan, al-Qur'an sendiri di beberapa tempat melakukan hal tersebut, seperti:


فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِن دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِن كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ يُوسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا / يوسف: 28-29


Artinya: "Maka tatkala suaminya melihat baju Yusuf terkoyak dari belakang, dia berkata 'Sesungguhnya perbuatan ini adalah sebahagian dari tipu-daya kamu, sesungguhnya tipu-daya kamu besar'. Hai Yusuf, berpalinglah dari ini". (QS. 12: 28-29). Kalimat " يوسف اعرض عن هذا" adalah contoh kalimat terpisah yang dimasukkan di tengah kalimat yang lain.


قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِم بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ / النمل: 34-35


Artinya: "—Ratu— berkata 'Sesungguhnya raja-raja itu apabila memasuki suatu negeri mereka merusaknya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina', dan demikianlah yang akan mereka perbuat. 'Dan sesungguhnya aku akan mengirimkan hadiah kepada mereka, lalu –aku— akan menunggu dengan apakah orang-orang yang diutus itu kembali'". (QS. 27: 34-35). Dua ujung ayat-ayat ini menukil perkataan Bilqis, tapi kalimat " و كذلك يفعلون" adalah kalimat terpisah yang dimasukkan di tengah perkataan Bilqis sebagai dukungan Allah swt. terhadap dia.


Adapun mengenai ayat-ayat yang sedang kita perbincangkan, mengingat bahwa konteks ayat-ayat itu sedang membicarakan istri-istri Nabi saw. maka ada kemungkinan muncul sebuah anggapan pembicaraan itu juga mencakup Ahli Bayt, oleh karena itu Allah swt. mengecualikan Ahli Bayt dari pembicaraan itu dengan kalimat pendek yang menjelaskan kedudukan, keagungan, kemuliaan, dan kesucian Ahli Bayt serta memisahkan mereka dari level istri-istri Nabi saw. Dan tentunya ini merupakan tujuan yang masuk akal untuk memasukkan kalimat yang terpisah di tengah kalimat yang lain dan sama sekali tidak bertentangan dengan kefasihan al-Qur'an.

Soal dan Jawaban


Kenapa sahabat-sahabat Nabi saw. tidak bertanya kepada beliau tentang Ahli Bayt as. dan beliau pun tidak memberikan jawaban yang terperinci?


Dengan mempelajari hadis-hadis yang terkait, khususnya hadis yang menceritakan Rasulullah saw. mendatangi pintu rumah Fatimah Zahra as. selama empat puluh hari sambil mendoakan salam dan rahmat Allah swt. bagi mereka, dapat ditarik kesimpulan bahwa di sisi para sahabat Nabi saw. Ahli Bayt bukan hal yang asing lagi, itulah sebabnya mereka tidak perlu lagi menanyakan siapakah yang dimaksud dengan Ahli Bayt beliau.


Ayat Mubahalah juga menunjukkan bagaimana Rasulullah saw. mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husein sebagai Ahli Baytnya untuk bermubahalah sehingga malaikat Jibril datang dengan menyampaikan Ayat Mubahalah yang berkenaan dengan Rasulullah saw. beserta Ahli Bayt beliau tersebut. Kejadian ini disaksikan oleh umum dan beritanya didengar oleh sahabat serta umat Rasulullah saw.


Muslim bin Hajjaj Nisyaburi mengatakan ketika ayat –Mubahalah–:


فَقُلْ تَعَالَوْاْ نَدْعُ أَبْنَاءنَا وَأَبْنَاءكُمْ وَنِسَاءنَا وَنِسَاءكُمْ / آل عمران: 61


Artinya: "Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kalian". (QS. 3: 61) turun, maka Rasulullah saw. mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husein seraya bersabda: " اللهم هؤلاء اهلي"; ya Allah! Mereka adalah Ahli Baytku". Riwayat yang sama juga dinukil oleh Tirmidzi, Hakim, Baihaqi dan lain sebagainya.
Masih banyak lagi hadis-hadis lain yang membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah menentukan maksud dari Ahli Bayt beliau adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husein sehingga muslimin pada waktu itu tidak perlu lagi bertanya siapa mereka.



Poin penting


Sebagai penutup, kami memandang harus untuk mengingatkan pembaca pada poin berikut: hadis-hadis yang tercantum maupun yang tidak tercantum di atas membuktikan Ahli Bayt Rasulullah saw. adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, tapi kemudian muncul pertanyaan bagaimana dengan sembilan imam yang lain, apa buktinya mereka juga termasuk Ahli bayt beliau?
Pembuktiannya dengan hadis. Dan hadis tersebut ada dua macam: pertama. Hadis-hadis yang menyebutkan satu persatu nama para imam dan dinukil pula oleh kalangan Ahli Sunnah. Kedua. Hadis-hadis yang dinukil dalam buku-buku induk hadis Sahih dan Musnad dari kalangan Ahli Sunnah tapi hanya menyebutkan jumlah para imam tersebut adalah 12 dan tidak menyebutkan nama-nama mereka, misalnya:
Muhammad bin Isma'il Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya dari Jabir bin Samurah berkata:


سمعت‏ النبى(ص) يقول يكون اثناعشر اميرا فقال: كلمه لم اسمعها، فقال ابى انه قال: كلهم من قريش


Artinya: "Aku mendengar Nabi saw. bersabda: "Akan ada dua belas pemimpin" lalu beliau berkata sesuatu yang tidak bisa kudengar". Ayahku berkata: "Sesungguhnya beliau bersabda: "Semua pemimpin itu berasal dari Quraisy".
Dia juga menukil sabda Rasulullah saw.:

لا يزال الدين قائما حتى تقوم الساعة، اويكون عليكم اثناعشر خليفة كلهم من قريش.


Artinya: "Agama Islam senantiasa berdiri sampai bangkitnya hari kiamat atau telah lengkap dua belas khalifah di antara kalian, dan semua khalifah itu berasal dari Quraisy".
لا يزال هذا الامر في ‏قريش ما بقي من الناس اثنان


Artinya: "Urusan ini senantiasa ada di tangan Quraisy walaupun manusia hanya tinggal dua".
Dalam kitab Dala'ilus Shidq dinukil dari Musnad Ahmad bin Hanbal Syibani bahwa Ahmad bin Masruk berkata:

كنا جلوسا عند عبدالله بن‏مسعود و هو يقرئناالقرآن، فقال له رجل: يا ابا عبد الرحمان هل ساءلتم رسول الله كم يملك هذه‏الامة من خليفة؟ فقال عبدالله: ما سالني عنها احد منذ قدمت العراق قبلك، ثم‏قال: نعم و لقد ساكنا رسول الله اثنى عشر كعدة نقباء بنى‏اسرائيل


Artinya: "Suatu saat kami duduk bersama dengan Abdullah bin Mas'ud, dia membacakan al-Qur'an kepada kami, tiba-tiba ada seorang lelaki bertanya kepada dia: Wahai Abu Abdir Rahman! Apa pernah kalian bertanya kepada Rasulullah berapa jumlah khalifah yang dimiliki oleh umat ini? Abdullah bin Mas'ud menjawab: "Sejak aku datang ke Irak, tidak ada seorangpun yang menanyakan hal ini kepadaku selain kamu" lalu Abdullah bin Mas'ud berkata: "Iya –kami pernah menanyakannya– dan Rasulullah menyebutkan dua belas khalifah seperti jumlah pemimpin Bani Israil". Riwayat yang mirip juga dinukil oleh Abu Dawud, Thabrani dan lain-lain.
Kandungan hadis-hadis ini adalah:
1. Khalifah Rasulullah saw. tidak lebih dari dua belas orang;
2. Semua khalifah Rasulullah saw. berasal dari Quraisy;
3. Khalifah-khalifah itu sudah jelas dan sudah ditentukan melalui nash, karena penyerupaan mereka dengan pemimpin-pemimpin Bani Israil berarti kejelasan dan ketentuan mereka, Allah swt. berfirman:

وَلَقَدْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَآئِيلَ وَبَعَثْنَا مِنهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا / المائدة: 12


Artinya: "Dan sungguh Allah telah mengambil perjajian Bani Israil dan Kami telah mengangkat di antara mereka dua belas pemimpin". (QS. 5: 12).
4. Harus adanya khalifah Rasulullah saw. selama agama Islam masih ada di muka bumi dan sampai kebangkitan hari kiamat.
Hal ini sesuai dengan apa yang tertera dalam Hadis Tsaqolain bahwa "al-Qur'an dan Ahli Bayt tidak akan berpisah satu sama yang lain sampai mereka datang kepadaku di telaga".




MENGAPA MERASA ANEH KETIKA ABU KHURAIRAH MERAWIKAN RIWAYAT SANGAT BANYAK JIKA ORANG SYIAH SENDIRI YAKIN IMAM HASAN MENGUASAI SELURUH BAHASA-BAHASA MANUSIA


Pada sebagian riwayat Syiah disebutkan sebagai berikut:
Abu Bashir berkata, "Saya berkata kepada Imam Musa al-Kazhim As, "Semoga jiwaku menjadi tebusanmu! Dengan apakah seorang imam itu dapat dikenal?" tanyaku. Imam Musa menjawab, ‘Dengan beberapa sifat utama.[1] 1. Dengan sesuatu dari ayah yang menunjuknya sehingga menjadi dalil imamah (seperti nash untuknya dan penyerahan ilmu imam kepadanya). 2. Apa pun yang ditanyakan kepadanya maka ia akan menjawab dan apabila mereka diam maka ia yang akan memulai pembicaraan. 3. Ia dapat memberikan berita tentang apa yang akan terjadi di masa datang. 4. Ia dapat berbicara dengan siapa saja dengan bahasa apa saja. Dan setiap bangsa tertentu dapat berbicara dengannya tanpa penerjemah." Imam Musa al-Kazhim kemudian menghimbuhkan, ‘Wahai Aba Muhammad! Sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu, saya akan memberikan sebuah alamat kepadamu. Tidak lama setelah itu, seseorang dari Khurasan memasuki majelis dan orang Khurasan tersebut berbicara dengan Imam Musa dalam bahasa Arab namun Imam menjawabnya dalam bahasa Persia. Orang Khurasan itu berkata, "Semoga jiwaku menjadi tebusanmu! Demi Allah. Saya ragu untuk bercakap-cakap dengan Anda dalam bahasa Persia karena Anda tidak tahu bahasa Persia." Imam Musa menjawab, "Subhanallah! Apabila Aku tidak dapat menjawabmu (dalam bahasamu) lantas keutamaan apa yang Aku miliki?" "Wahai Abu Muhammad! Tiada satu pun ucapan yang tersembunyi bagi imam, tidak percakapan burung, tidak makhluk hidup dan tiada satu pun makhluk yang memiliki ruh (yang tidak diketahui oleh imam). Barang siapa yang tidak memiliki keutamaan ini maka ia bukanlah seorang imam." Pungkas Imam Musa al-Kazhim."[2]


Terapat riwayat lainnya yang memiliki kandungan sama:

Inti riwayat dinukil demikian, "Imam Hasan As bersabda, "Allah Swt memiliki dua kota. Pertama di Timur dan lainnya di Barat. Sekelilingnya terdapat tembok dari besi dan masing-masing memiliki sejuta gerbang dan di dalam setiap gerbang terdapat tujuh puluh juta bahasa. Pembicaraan mereka berdasarkan satu bahasa dan berbeda dengan yang lainnya dan saya mengetahui seluruh bahasa mereka dan apa yang ada pada dua kota itu dan yang mengantarai. Mereka tidak memiliki seorang hujjah selain Aku dan saudaraku, Husain."


Beberapa orang dari Khurasan datang menghadap kepada Imam Shadiq As. Sebelum mereka bertanya berkata dalam dialek bahasa Arab, "Man jama'a malan yahrusuhu adzzabaLlahu ‘ala miqdarihi." (Barang siapa yang menumpuk-numpuk harta maka Allah Swt akan mengazabnya seukuran harta yang ia tumpuk). Orang-orang Khurasan berkata, "Kami tidak paham apa yang Anda sampaikan." Imam Shadiq As berkata dalam bahasa Persia, "har ke daram anduzad jazâyasy dusakh bâsyad" (Barang siapa yang menumpuk-numpuk harta maka Allah Swt akan mengazabnya seukuran harta yang ia tumpuk) kemudian menambahkan, "Allah Swt menciptakan dua kota. Pertama di Barat dan lainnya di Timur yang masing-masing memiliki tujuh puluh ribu penduduk. Setiap kotanya memiliki gerbang besi yang memiliki satu juta pintu dari emas. Masing-masing darinya memiliki dua helai pintu. Tujuh puluh ribu penduduk ini memiliki ragam dialek yang kesemuanya aku ketahui. Tiada hujjah (imam) pada dua kota ini dan pada kota selainnya selain aku dan ayahku serta anak-anakku."[3]

Nah, dalam menjawab pertanyaan di atas, dengan memperhatikan beberapa riwayat, harus dikatakan bahwa:

Para nabi dan imam maksum As memiliki ilmu Ilahi. Artinya ilmu mereka bersambung dengan sumber asli ilmu yaitu Allah Swt. Mereka menerima ilmu-ilmu dari Allah Swt.[4] Karena itu, apabila mereka mau dan kondisi menuntut demikian, mereka dapat berkata-kata dengan ragam bahasa. Demikian juga dalam menetapkan urusan (imam memiliki ilmu Ilahi) ini tidak memerlukan penjelasan riwayat. Dengan menerima inti penjelasan imamah dan ilmu Ilahi para Imam Maksum As maka kita dapat sampai pada keyakinan atas persoalan ini.


Penguasaan para Imam Maksum As atas bahasa-bahasa ini tidak serta-merta bermakna bahwa mereka menyimpan bahasa-bahasa dunia dalam diri mereka. Penguasaan ini bermakna bahwa mereka menyimpan pokok-pokoknya dalam benak mereka dan mereka dapat menggunakannya sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Seperti komputer yang di dalamnya terinstal software ragam bahasa dan dapat digunakan sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Demikian juga mereka dapat menggunakannya apabila dibutuhkan misalnya pada riwayat pertama, orang-orang yang diajak bicara oleh imam tidak mengetahui bahasa Arab dan pada riwayat kedua, imam menggunakan ilmunya ini sebagai bukti atas imamahnya.


Apabila kita menerima sanad riwayat yang menjadi obyek bahasan, maka dapat dikatakan bahwa maksud dari jumlah tertentu kota-kota dan bahasa-bahasa ini, dan lain sebagainya adalah menjelaskan bilangan banyak yang tersebar di pelbagai belahan dunia dan diketahui oleh imam dengan ilmu ladunni yang dimiliki. Karena itu, apabila jumlah bahasa dan dialek, kurang-lebihnya dari jumlah ini tentu saja tidak akan menciderai tuturan dan sabda imam dalam riwayat ini.


Dengan penjelasan ini, jawaban pertanyaan kedua juga menjadi jelas. Abu Huraira berkata bahwa hadis-hadis yang ia nukil adalah hadis-hadis yang didengar dari Rasulullah Saw, meski ia tidak terlalu lama bersama Rasulullah Saw. Hal ini tentu saja menjadi kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Kritikan yang dilontarkan atas riwayat-riwayat yang menjadi obyek bahasan (ilmu ladunni imam) tentu tidak relevan. Karena sesuai dengan keyakinan Syiah, imam berdasarkan ilmu Ilahinya mengetahui bahasa-bahasa ini. Mereka tidak ikut kelas tertentu, mendengar dan mempelajarinya atau belajar dari seseorang. Sebagai bandingannya, Abu Huraira dijelaskan mendengar dari Rasulullah Saw dan setelah mendengarnya ia menghafalkannya dan hal ini yang mengurangi kepercayaan kita atas riwayat-riwayatnya. . Di samping itu, pribadi Abu Huraira tidak begitu dapat dipercaya dan ucapan-ucapannya tidak dapat dijadikan sebagai sandaran.[5] [iQuest]


[1]. Muhammad Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 1, hal. 285, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H. Muhammad Baqir Majlisi, Mir'ât al-‘Uqul fi Syarh Akhbâr Âli al-Rasûl, Riset dan edit oleh Sayid Hasyim Rasuli, jil. 3, hal. 208, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Kedua, 1404 H.


[2]. Muhammad Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 1, hal. 462, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H.


«إِنَّ لِلَّهِ مَدِینَتَیْنِ‏ إِحْدَاهُمَا بِالْمَشْرِقِ‏ وَ الْأُخْرَى‏ بِالْمَغْرِبِ عَلَیْهِمَا سُورٌ مِنْ حَدِیدٍ وَ عَلَى کُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَلْفُ أَلْفِ مِصْرَاعٍ وَ فِیهَا سَبْعُونَ أَلْفَ أَلْفِ لُغَةٍ یَتَکَلَّمُ کُلُّ لُغَةٍ بِخِلَافِ لُغَةِ صَاحِبِهَا وَ أَنَا أَعْرِفُ جَمِیعَ اللُّغَاتِ وَ مَا فِیهِمَا وَ مَا بَیْنَهُمَا وَ مَا عَلَیْهِمَا حُجَّةٌ غَیْرِی وَ غَیْرُ الْحُسَیْنِ أَخِی».


[3]. Sa'id bin Abdullah Quthbuddin Rawandi, al-Kharâij wa al-Jarâih, jil. 2, hal. 753, Muassasah Imam Mahdi Ajf, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 47, hal. 119, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.


[4] . Silahkan lihat, Ilmu Gaib Para Imam As, Pertanyaan 2775; Ilmu Para Wali Allah, Pertanyaan 189.


[5]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, 973, Kepribadian Abu Hurairah Menurut Para Sahabat.



TAREKAT AHLUL BAIT



Apa sebetulnya tarekat itu? Mengapa pula kita harus membahas tarekat Ahlul Bait? Sebelumnya, saya akan berbicara tentang tarekat. Tarekat itu sendiri berhubungan erat dengan tasawuf. Kalau kita bicara tarekat, maka kemudian kita akan dibawa dan diantar orang menuju tasawuf. Karena itu, kita akan membicarakan tasawuf lebih dahulu.


Dalam bahasa Inggris, tasawuf disebut mistisme (mysticism). Kata mistisme (mysticism), misteri (mystery), dan mitos (myth) berasal dari satu kata dalam bahasa Yunani mystheon, yang artinya menutup mulut. Karena itu, mistisme, misteri, dan mitos adalah sesuatu yang disampaikan sambil tutup mulut. Akan tetapi, memang, kata tasawuf tidak berasal dari mistisme. Ada banyak teori tentang asal-usul kata tasawuf. Sebagian mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti baju bulu atau wol yang dulu dipakai oleh orang-orang fakir. Ada yang mengatakan kalau tasawuf berasal dari kata shafa, yang artinya membersiahkan diri, dan sufi adalah orang yang membersihkan dirinya. Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu theos dan sophos. Theos berarti Tuhan dan sophos bermakna mencintai. Jadi, tasawuf bisa kita artikan mencintai Tuhan. Memang ada betulnya juga, karena tasawuf adalah sebuah mazhab yang ditegakkan di atas kecintaan kepada Tuhan. Tasawuf adalah mazhab cinta.


Saya mulai pembahasan ini dengan doa munajat penempuh jalan tarekat. Doa ini berasal dari Imam Zainal ‘Abidin. Saya kutipkan sebagai kecil darinya. “Dengan asma’ Allah Yang Mahakasih dan mahasayang. Mahasuci Engkau—Subhanaka. Alangkah sempitnya jalan bagi orang yang tidak memiliki jalan. Alangkah terangnya kebenaran bagi orang yang Kau tunjuki jalan. Ilahi, bimbinglah kami menuju ke banyak jalan menuju-Mu. Lapangkanlah kepada kami jalan terdekat ke arah-Mu. Dekatkan bagi kami yang jauh. Mudahkan bagi kami yang berat dan sulit. Gabungkan kami dengan hamba-hamba-Mu yang berlari cepat mencapai-Mu, yang selalu mengetuk pintu-Mu, yang malam dan siangnya selalu beribadah kepada-Mu, yang bergetar takut karena keagungan-Mu, yang Kau bersihkan tempat minumnya, yang Kau sampaikan keinginannya, yang Kau penuhi permintaan-Nya, yang Kau puaskan—dengan karunia-Mu—kedambaannya, yang Kau penuhi—dengan kasih-Mu—sanubarinya, yang kau hilangkan dahaganya dengan kemurnian minuman-Mu.”


Pada bagian awal doa ini sebenarnya tersimpul inti dari tasawuf. Jadi, tasawuf adalah perjalanan menuju Allah Swt. Istilah tasawuf dikenakan untuk orang yang tengah menempuh jalan tarekat, yang tenagh melangkahkan kaki menuju perjalanan tak terhingga menuju Allah Swt. Jalan ini tidak gampang dan sangat tidak mudah, sebagaimana diungkapkan Imam Zainal ‘Abidin, “Alangkah sempitnya jalan bagi orang yang tidak punya jalan.” Kalau tidak ada dalil, petunjuk atau pembimbing, sempit betul rasanya jalan ini. Akan tetapi, di antara kafilah ruhani yang berjalan menuju Allah itu, ada sebagian dari mereka yang sudah mencapai rumah Tuhan, yang sudah mengetuk pintu-Nya, yang telah disambut Tuhan dengan anugerah-Nya, dan diberinya minum kecintaan-Nya, dan mereka pun melepaskan dahaga di sana. Itulah kelompok wali (auliya’) Allah dan kekasih-kekasih-Nya.


Saya kutipkan lagi doa Imam Ali Zainal ‘Abidin, yang menggambarkan situasi kejiwaan orang yang sudah sampai ke rumah Tuhan, sudah mengetuk pintu-Nya, dan sudah dibukakan. Saya percaya bahwa Anda sekalian sudah mengalami pencerahan yang cukup tinggi sehingga tidk menafsirkan ucapan saya dengan pemahaman orang awam. Inilah ungkapan orang yang sudah dekat dengan Allah Swt. “Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku. Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku. Kepada-Mu kedambaanku. Pada cinta-Mu tumpuanku. Pada kasih-Mu gelora rinduku. Ridha-Mu tujuanku. Melihat-Mu keperluanku. Mendampingi-Mu keinginanku. Mendekati-Mu puncak permohonanku. Dalam menyeru-Mu damai dan tenteramku.”


Inilah kelompok kekasih Tuhan, para wali Allah. Di dalam menyeru Tuhan, ketika menyebut nama-Nya, waktu berzikir dan berdoa kepada-Nya, mereka menikmati dan merasakan kedamaian serta ketenteraman. Mereka laksana bayi-bayi lapar yang menghentikan tangisannya dalam dekapan bundanya. Lalu, dengan penuh kebahagiaan, mereka memandang wajah bundanya itu. Mereka adalah orang-orang yang menderita, yang menemukan kawan yang mau mendengar jeritannya, yang memahami kesulitannya dan memberikan jalan keluar. Mereka seperti pengelana di padang pasir, yang berkali-kali dikecoh fatamorgana dan kemudian berhasil menemukan oase yang memancarkan air bening, bersih, dan sejuk.


Nah, doa ini—seperti kita ketahui berasal dari Imam Ali Zainal ‘Abidin, salah seorang di antara mereka yang sudah singgah di halaman rumah Tuhan. Beliau digelari As-Sajjad karena banyaknya melakukan sujud. Dikisahkan bahwa ada banyak tempat di kota Madinah yang tanahnya menjadi keras karena seringnya Imam Ali Zainal ‘Abidin bersujud di situ. Padahal, ketika bersujud, tanah itu beliau siram dan basahi dengan linangan air mata. Dulu banyak orang yang datang ke temapt itu untuk meminta berkah. Setiap malam bintang-gemintang menyaksikan beliau merintih di rumah Tuhan atau di tempat shalatnya. Padahal, beliau termasuk keluarga Rasulullah saw. (Ahlul Bait) yang disucikan sesuci-sucinya. …Innama yuridullah li-yudzhiba ‘ankum al-rijsa ahl al-bait wa yuthahhirakum tathhiran. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa-dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. (QS Al-Ahzab [33]: 33)


Berikut ini saya bacakan sebuah doa yang dibaca Imam Ali Zainal ‘Abidin ketika beliau bersujud disudut Kabah di bawah mizab, yaitu pancuran air. Nah, di bahwa pancuran iar inilah Imam Ali Zainal ‘Abidin berdoa sambil bersujud. “Inilah hamba sahaya-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si malang-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si fakir-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah pengemis-Mu di halaman kebesaran-Mu. Tuhanku, demi kebesaran-Mu, keagungan-Mu, dan kemuliaan-Mu, sekiranya sejak Engkau menciptakan aku, sejak masa permulaanku aku menyembah-Mu sekekal badai rububiyah-Mu, dengan setiap lembar rambutku, setiap kejam mataku sepanjang masa, dengan pujian dna syukur segenap makhluk-Mu, maka aku takkan mampu mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang paling tersembunyi padaku. Sekiranya aku menggali tambang besi dunia dengan gigiku, dan menanami buminya dengan lmbar-lembar alis mataku, dan menangis takut kepada-Mu dengan air mata dan darah sebanyak samudera langit dan bumi, maka semua itu kecil dibandingkan dengan banyaknya kewajibanku atas-Mu. Sekiranya, setelah itu, Engkau menyiksaku dengan azab seluruh makhluk, Engkau besarkan tubuh dan ragaku, Engkau penuhi Jahanam pada seluruh sudutnya dengan tubuhku sehingga di sana tidak ada lagi yang disiksa selainku, tidak ada lagi kayu bakar selain diriku, maka semua itu kecil dibandingkan dengan keadilan-Mu dan besarnya hukuman-Mu yang harus kuterima mengingat dosa-dosa yang kulakukan.”


Doa ini sangat indah dan menyentuh. Kepada Imam Ali Zainal ‘Abidin ini bersambung hampir semua silsilah tarekat. Lewat beliau, silsilah itu naik kepada ayahnya, dan kepada kakeknya, yaitu Rasulullah saw. Dari beliau, para penempuh jalan kesucian belajar mengetuk pintu Tuhan. Dari beliau, mereka belajar doa yang mengungkapkan kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan. Dari beliau pula, mereka belajar mensucikan batin agar layak berdampingan dengan Dzat Yang Mahasuci.


Imam Ja’far Ash-Shaddiq—cucu Imam Zainal ‘Abidin yang melanjutkan tradisnya—menyimpulkan inti tarekat beliau, tarekat keluarga Nabi saw., “Ad-dinu huwa al-hubb.” Agama itu cinta. Para filosof pun menyimpulakn keberagaman mereka dengan mengatakan, “Ad-dînu huwal ‘aqlu. La dina liman la aqla lahu.” Agama itu akal. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.


Ketika Islam dimaknai dengan berserah diri atau pasrah, maka para pengikut tarekat menambahkan cinta sebagai syarat mutlak penyerahan diri dan kepasrahan. Para filosof menyerahkan diri kepada Tuhan setelah akal mereka menunjukkan mereka kepada-Nya. Para fakih atau ahli hukum Islam pasrah kepada-Nya setelah mengetahui hukum-hukum-Nya, seperti taatnya warga negara kepada hukum negerinya. Para sufi merbahkan diri di hadapan-Nya, mau melakuka apa pun yang diperintahkan oleh-Nya, asalkan mereka tidak diusir dari sisi-Nya—sebagaimana seorang pecinta yang pasrah di depan kekasihnya. Karena boleh jadi, seseorang pasrah kepada-Nya karena takut siksa, hukuman, atau kekuasaan-Nya. Mungkin juga ia menyerahkan diri karena mengharapkan pamrih, pahala, atau ganjaran. Para sufi menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada Tuhan karena cinta. Ketika mereka berdoa, mereka memohonkan agar semua balasan itu diberikan kepada orang lain, sebagaimana diungkapkan dengan indah oleh L.A.Ara, seorang penyair muslim dari Aceh, dalam puisinya yang berjudul Doa Orang Buta.


Tuhan, beri sinar kepada mereka yang awas matanya.
Tuhan, beri cahaya kepada mereka yang memandnag dunia dengan mata terbuka.
Tuhan, kepadaku kirim saja percik kasih-Mu, tidak untuk membuka mataku, tapi untuk menyiram hatiku.


Salahkah dia yang pasrah kepada-Nya karena akalnya? Tidak. Dia diberi sinar untuk membuka matanya. Salahkah dia yang pasrah karena takut akan hukuman-Nya, atau karena takut menginginkan pahala-Nya? Tidak. Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi, yaitu mereka yang ingin dikirimi percik kasih Tuhan untuk menyiram hatinya.


Jadi, secara singkat, tasawuf adalah sebentuk keberagamaan yang didasarkan pada cinta. Kalau orang bertanya apa mazhab tasawuf, maka tasawuf itu akan menjawab, “Madzhabuna madzhab al-hubb”. Mazhab kami adalah mazhab cinta.


Tasawuf : Mazhab Cinta


Cinta dan kerinduan, mahammad dan ‘isyq, adalah inti keberagamaan yang disebut tasawuf. Apa arti cinta? Dalam bahasa Arab, cinta disebut hubb. Kata Abdurrahman Al-Sulami, seorang sufi besar abad ke-5, “Hubb terdiri dari dua huruf, ha dan ba’. Ha adalah huruf akhir pada ruh, dan ba’ adalah huruf awal pada kata badan. Badan menjadi ruh tanpa badan. Badan menjadi badan tanpa ruh. Segala sesuatu bisa dijelaskan kecuali cinta. Cinta itu terlalu lembut dan terlalu halus untuk diterangkan. Karena itulah, Allah Swt. menciptakan malaikat untuk berkhidmat, jin untuk kekuasaan, setan untuk laknat, dan menciptakan para arif untuk cinta.” Saya juga tidak mengerti apa yang dimaksud Al-Sulami. Simpanlah ini untuk bahan renungan Anda.


Akan tetapi, Al-Sulami memberikan anekdot-anekdot sufi tentang cinta. Junaid Al-Baghdadi, salah seorang sufi terkemuka, menjelaskan cinta dengan cinta. “Aku melihat seorang anak memukuli orang tua. Tetapi orang tua itu hanya tertawa. Aku bertanya, “Mengapa Anda tertawa?” Orang tua itu menjawab, “Bagaimana aku tidak tertawa, tangannya ruhku, cambuknya hatiku, hidupnya hidupku. Bagaimana mungkin aku mengadukan diriku kepada diriku?”


Pada waktu yang lain, Abul Al-Husain Al-Nuri bertanya kepada Junaid tentang cinta yang menjadi dasar tasawuf. Kata Junaid, “Akan aku kisahkan sebuah cerita. Pada suatu hari aku bersama sekelompok orang berada di kebun. Kami menunggu seseorang yang akan menemui kami. Orang itu rupanya datang terlambat. Kami pun naik untuk melihat-lihat. Tiba-tiba kami melihat ada orang buta berjalan bersama anak yang sangat cantik sekali rupanya. Orang buta itu berkata, “Engkau perintahkan aku begini dan begini. Semuanya aku lakukan. Engkau melarang, semuanya aku tinggalkan. Aku tidak pernah membantahku. Sekarang, apa lagi yang engkau inginkan?” Anak itu menjawab, “Aku ingin engkau mati”. Si buta itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan mati”. Lalu ia berbaring dan menutup wajahnya. Aku pun berkata kepada sahabat-sahabatku, “Lihat, si buta itu tidak bergerak sama skali. Keadaannya seperti sudah mati. Padahal tidak mungkin ia mati”. Kami segera menghampirinya. Kami gerak-gerakkan tubuhnya. Ia betul-betul telah mati.


Kisah-kisah Junaid Al-Baghdadi tampaknya sukar kita cerna. Marilah kita ngatkan Dzunnun Al-Mishri. Ia berkunjung kepada orang sakit dan ia dapatkan si sakit sedang mengaduh. Dzunnun berkata, “Tidak sejati ia mencintai jika tidak sabar akan pukulannya.” Si sakit berkata, “Tidak sabar dalam mencintai jika tidak menikmati pukulannya.” Dari sudut rumah ada suara, “Tidaklah mncintai Kami secara sejati orang yang masih mengharap kecintaan selain Kami.” Ketika ditanya bagaimana ia mencintai sahabatnya, ia menjawab, “Jika aku melihatnya, aku ingin agar aku tidak melihat apa pun selain dia. Jika aku mendengar suaranya, aku ingin tidak mendengar apa pun selain suaranya.” Al-Mutanabbi bersyair, “Sekiranya aku bisa mengendalikan mataku, aku tidak akan membukanya kecuali ketika melihatmu.”


Kita akhiri perbincangan tentang cinta dengan penjelasan singkat dari Al-Syibli (walaupun katanya, cinta itu tidak dapat dijelaskan). Ia berkata, “Hakikat cinta adalah engkau berikan seluruh dirimu kepada yang engaku cintai sehingga tidak tersisa milikmu padamu sedikit pun.”


Memang, semua sufi sepakat bahwa tasawuf adalah mazhab cinta. Tetapi cinta adalah maqam tertinggi dalam perjalanan tasawuf. Dan memang, cinta sangat sulit untuk dijelaskan. Cinta—dengan memakai istilah filosof agama, Trueblood—bukanlah “a matter of contemplatoin” (sesuatu untuk direnungkan). Cinta adalah “a matter of enjoyment” (sesuatu untuk dinikmati). Karena itu, sebaiknya kita melihat tasawuf dalam artinya yang paling sederhana dan rujukannya dalam hadits-hadits Rasulullah saw.

Tasawuf : Mazhab Ali



Ketika menjelaskan arti tasawuf, Al-Suhrawardi mengutip sabda Rasulullah saw., “Perumpamaan risalah yang aku bawa dari Allah berupa petunjuk dan ilmu seperti hujan deras yang jatuh ke bumi. Ada sebagian dari bumi yang menerima air dan menumbuhkan tanaman dan pohon-pohonan yang banyak. Ada sebagian lagi yang menyerap, menampung air, yang dengan air itu Allah memberikan manfaat kepada manusia. Dari air itulah mereka minum, menyiram, dan bercocok tanam. Ada juga bagian bumi lain yang gersang, tidak dapat menampung air, dan tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah, (yang pertama adalah) perumpamaan orang yang mengerti agama Allah dan memperoleh manfaat dari risalah yang aku bawa dari Allah berupa petunjuk ilmu. (Yang kedua adalah) perumpamaan orang yang tidak mau memerhatikan dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.”


Kemudian, ia menjelaskan hadits itu: “Untuk menerima apa yang dibawa Rasulullah saw., Tuhan telah mempersiapkan hati yang paling suci dan diri yang paling bersih. Maka, tampaklah perbedaan tingkat kesucian dan kebersihan karena perbedaan faidah dan manfaat. Ada hati yang kedudukannya seperti tanah yang baik, subur dengan pepohonan dan tanaman. Inilah hati orang yang memperoleh manfaat dari ilmunya untuk dirinya dan memperoleh petunjuk. Ilmunya berguna bagi dia, membimbingnya ke jalan yang lurus dengan mengikuti Rasulullah saw. Ada hati yang kedudukannya seperti tanah penyerap (akhadzat), yaitu seperti kolam, ia mengumpulkan dan menampung air. Inilah perumpamaan kebersihan diri para ulama yang zahid dari kalangan sufi dan syuyukh (guru-guru sufi) serta kesucian hati mereka. Hati mereka berlimpah dengan faedah dan jadilah mereka akhadzat. Masruq berkata, “Aku pernah bergaul dengan sahabat Nabi saw. Aku dapatkan mereka itu seperti akhadzat. Hati mereka menjadi penyimpan ilmu dan diberi kesucian pemahaman.”


Untuk memberi contoh hati yang menyimpan, Al-Suhrawardi membawakan hadits Nabi saw. Ketika turun ayat, “Agar kamu jadikan peristiwa itu pelajaran dan agar disimpan oleh telinga yang bersifat penyimpan.” (QS 69: 12). Telinga yang bersifat penyimpanan adalah terjemahan yang kurang tepat untuk udzunun wa’iyah. Wa’iyyah bermakna mengandung, yang menyimpan, yang memeilihara dalam ingatan, yang mengingat, yang mengetahui dengan hati, yang menyadari, yang memperhatikan, yang melihat dengan jelas.


Rasulullah saw. pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Aku bermohon kepada Allah Swt. agar Dia menjadikan telinga penyimpanan itu adalah telingamu.” Kata Ali, “Sejak itu, aku tidak pernah melupakan apa pun. Tidaklah mungkin bagiku untuk lupa.” Kata Abu Bakar Al-Wasithi, “Itulah telinga yang menyimpan rahasia Allah.” (Lihat Abdul Qahir Al-Suhrawardi, ‘Awarif Al-Ma’araif, Darul Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1983: 12-13).


Para sahabat Nabi saw., kata Masruq, mempunyai hati yang wa’iyyah. Dalama kemampuan menyimpan rahasia Allah, di antara mereka, ‘Ali bin Abi Thalib adalah puncaknya. Ia digelari Taj Al-‘Arifin atau “mahkota orang-orang arif”. Ia disebut oleh mahagurunya, yaitu Rasulullah saw. sebagai “pintu kota ilmu”. Beliau bersabda, “Aku kota ilmu dan Ali pintunya. Siapa yang menginginkan ilmu, datangilah pintunya. Siapa yang datang tidak melewati pintu, ia dihitung sebagai pencuri dan ia menjadi tentara iblis.” (Lihat Al-Hakim dalam Mustadarak, 3: 126; Al-Khatib, Tarikh Baghdad, 2:377; Al-Qanzudi Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm 183; Ibnu Hajar, Shawa’iq Al-Muhriqah, hlm 37; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wal Nihayah, 7: 358; Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz Al-’Ummal, 5: 30, dan sebagainya). Ia menyimpan rahasia Allah Swt. yang disampaikan kepadanya oleh Rasulullah saw. yang mulia, atau yang ia peroleh selama perjalannya menuju Allah Swt.


Rasulullah saw. dididik Allah Swt. secara langsung. Kepada beliau berguru Ali bin Abi Thalib. Kepada beliau dan Ali berguru para sahabat Nabi untuk memperoleh petunjuk dalam mengarungi samudera Ilahi. Abu Bakar ra. berkata, “Tinggalkan aku. Aku bukan yang paling baik di antara kamu selama ada Ali di tengah-tengah kamu.” Ucapan ini bukan hanya menunjukkan kerendahan hati yang berbicara, tetapi juga menunjukkan keutaman orang yang dibicarakannya. Berkata At-Tirmidzi, yang meriwayatkan hadist ini, “Ia (Abu Bakar) mengatakan itu karena ia tahu keadaan Ali kw., dan martabatnya dalam khilafah sebenarnya, yang pokok dan yang pasti, berdasarkan urutan, secara hakikat, meurut akal, dan atas keterikatan kepada Allah Swt. (takhallufan, wa tahaqquqan, wa ta’aqquqan, wa ta’alluqan) (Lihat Al-Bahrani, Ghayat Al-Maram, bab 53).


Umar berkata, “Tentang Ali, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda dan menyebut tiga hal. Sekiranya satu saja dari yang tiga itu berkenaan dengan aku, ia lebih berharga dari apa pun yang dinaungi cahaya matahari. Waktu itu, aku berada bersama Abu ‘Ubadah, Abu Bakar, dan banyak sahabat lainnya. Tiba-tiba Nabi saw. menepuk bahu ‘Ali seraya berkata, “wahai Ali. Kamu adalah Mukmin yang pertama beriman, Muslim yang pertama berisalam, dan kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa’.” (Ibnu Ali Al-Hadid, Syarh Najh Al-Balaghah. Al-Khawarizmi juga meriwayatkan hadits ini dalam Al-Manaqib).


Tidak cukup tempat dalam tulisan ini untuk memuat penilaian sahabat lain tentang Ali. Cukuplah di sini dikutip ucapan Mu’awiyah, yang sepanjang hidupnya memusuhi Ali. Sekali waktu, demi menyenangkan hati Mu’awiyyah, Al-Dhabi menceritakan kedatangannya dari pertemuan dengan Ali, “Aku datang kepadamu dari manusia yang paling bakhil (maksudnya Ali).” Di luar dugaan, Mu’awiyyah berkata, “Celakalah kamu. Bagaimana mungkin kamu menyebut dia manusia yang paling bakhil, padahal sekiranya ia memiliki rumah dari emas dan rumah dari jerami, ia akan memberikan rumah emasnya sebelum rumah jeraminya. Dia sendiri yang menyapu Baitul Mal dan melakukan shalat di dalamnya. Dia juga yang berbicara kepada emas dan perak, ‘Wahai kuning dan putih. Tipulah orang selainku!’ Dialah yang tidak akan meninggalkan warisan, walaupun seluruh dunia menjadi miliknya.”


Sebenarnya, Mu’awiyah hanya mengulang apa yang pernah dilaporkan kepadanya oleh Dhahar bin Dhamrah. Ketika Dhahar berada di istana Mu’awiyah, ia diminta untuk menceritakan sifat-sifat Ali. Anda tahu, pada waktu itu, Mu’awiyah mengharuskan para khatib Jumat mengutuk Ali di mimbar-mimbar dan menghukum orang yang tidak mau melakukannya. Siapa saja yang memuji Ali, maka ia akan dianggap subversif. Bahkan diam saja, tidak mengecam Ali, akan dipandang menentang penguasa. Misalnya, Hujur bin ‘Adi dan kawan-kawannya, mereka dihukum mati (sebagian dikubur hidup-hidup) karena tidak mau mengutuk Ali pada waktu shalat Jumat. Dalam kadaan seperti itu, tentu saja Dharar keberatan. Jika ia menceritakan yang sebenarnya, ia akan dianggap memuji dan mengkultuskan Ali. Bagi yang tidak senang bunga mawar, menyebut mawar itu harus sudah dianggap pujian, padahal harum adalah sifat mawar.


“Bebaskan saya,” kata dharar, “Tidak akan aku bebaskan,” tegas Mu’awiyah. Berkatalah Dharar, “Jika harus tetap aku ucapkan juga—demi Allah—Ali adalah orang yang cendikia lagi perkasa, berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari segenap pribadinya. Hikmah berbicara dari seluruh dirinya. Ia menjauhkan diri dari dunia dengan segala perhiasannya. Ia menyendiri di malam hari bersama kegelapannya. Ia—demi Allah—banyak berurai air mata dan banyak berpikir. Ia membolak-balik tangannya seraya meneysali dirinya. Ia senang pakaian yang kasar dan makanan yang keras. Ia, demi Allah, seperti orang kebayakan. Jika kita minta tolong, ia memenuhinya. Jika kita undang, ia mendatanginya. Walaupun begitu, demi Allah, walaupun ia dekat dan akrab dengan kami, kami tidak sanggup berbicara kepadanya karena kewibawannya. Kami tak mampu mulai berkata karena kemuliannya. Jika ia tersenyum, senyumnya bagaikan untaian mutiara. Ia memuliakan ahli agam. Ia mencintai orang miskin. Di hadapannya, yang kuat tidak mau melakukan kebatilan, dan yang lemah tidak putus asa akan keadilan. Aku bersaksi kepada Allah, aku pernah menyaksikannya dalam bberapa penggalan malam. Ketika malam sudah menjulurkan tirainya, gemintang sudah tenggelam, ia berada di mihrab shalatnya. Ia memegang janggutnya. Ia menggigil seperti orang sakit yang menderita demam. Ia menangis seperti tangisan orang yang menderita. Seakan-akan masih kudengar ia berkata, ‘Hai dunia, tipulah orang selainku. Di depanku kamu berhias? Di hadapanku kamu mencumbu? Menjauhlah dariku. Aku sudah mentalakmu tiga kali. Tidak mungkin lagi rujuk. Usiamu singkat. Hidupmu rendah. Bahayamu besar. Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan’.”


Dalam keluhan Ali, “Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan” tercermin makna tasawuf. Al-Suhrawardi menghimpun banyak definisi tentang tasawuf dan mengakhirinya dengan mengatakan, “Pendapat para guru sufi tentang definisi tasawuf lebih dari seribu. Akan terlalu panjang mengutipnya.” Di sini, cukuplah bagi kita menjelaskan tasawuf tidak dengan definisi, tetapi dengan perilaku dan ucapan Ali. Lalu mengapa tidak mencontoh Rasulullah saw. saja secara langsung?


Mengapa Harus Mencontoh Ali?



Ada dua jawaban: yang sederhana dan yang sulit. Pertama, yang sederhana. Dari manakah kita belajar sunnah Nabi? Jawabnya, dari para sahabat. Dari ‘Aisyah ra., kita tahu bahwa Rasulullah saw. menangis ketika melakukan shalat malam sampai janggut beliau menjadi basah. Dari Umar ra., kita tahu kalau Nabi saw. berbaring pada tikar yang kasar sehingga tikar itu meninggalkan bakas pada wajahnya. Dari Ibnu ‘Abbas ra., kita tahu kalau Rasulullah saw. pernah menjama’ shalat Zuhur dan Asahr di Madinah bukan karena sakit, bukan karena bepergian, dan bukan karena hujan. Hanya melalui ucapan dan perilaku sahabatlah kita dapat meneladani sunnah-sunnah beliau.


Walhasil, Anda tidak dapat mencontoh Rasulullah saw. secara langsung. Karena itulah, untuk memperoleh petunjuk jalan dalam safar ruhani kita yang panjang, ikutilah Ali. Ia pasti sudah sudah mengikuti Rasulullah saw. Kalimat yang benar bukan pertanyaan, “Apakah kita meneladani Nabi saw. atau Ali?” Yang benar adalah pernyataan, “Kita meneladani Nabi saw. dengan meneladani Ali.”


Jawaban kedua agak sulit dijelaskan. Ketika saya ingin mengikuti Imam Ali, Anda pasti bertanya mengapa tidak mengikuti Rasulullah saw. saja? Baiklah, Anda mengikuti Rasulullah saw. Saya pun akan balik bertanya, “Mengapa tidak mengikuti Allah saja?” Pertanyaan semacam ini pernah diajukan kepada saya, ketika saya mendirikan Pesantren Muthahhari. Saya ingin mendidik para santri agar mereka kelak menjadi ulama seperti Muthahhari: pemikir, aktivis, ahli agama, dan ahli ilmu sekaligus. Kawan saya menegur, mengapa tidak langsung mencontoh Nabi Muhammad saw. saja? Ketika saudara saya mengikuti Imam Syafi’i, ia juga bertanya, mengapa tidak mengikuti Nabi saw. saja.


Saya menjawab kalau Rasulullah saw. adalah sumber syariat yang kedua setelah Allah. Pada Allah dan Rasul-Nya berpangkal semua pemahaman kita tentang agama. Allah dan Rasul-Nya adalah Islam itu sendiri. Islam adalah air hujan yang turun drai langit. Kita adalh tanah yang menerima tetesan dan curahan hujan itu. Di antara bidang-bidang tanah itu ada petak demo yang menjadi percontohan bagi tanah-tanah yang lain. Perilaku Rasulullah saw. adalah sunnah. Kita mengamalkan pemahaman kita tentang sunnah. Sebagaimana tanah yang memiliki kemampuan menampung air yang berbeda, seperti itulah penerimaan kita pada sunnah. Sepanjang sejarah, kaum Mukmin berusaha memahami dan menjalankan sunnah Nabi saw. Sebagian kecil dari mereka ada yang sudah memahami sunnah dengan baik, menjadi akhadzat. Mereka mengamalkan sunnah itu dalam kehidupannya, dan sebagian besar kaum Mukmin mencontoh mereka yang disebut pertama. Dari madrasah Nabi saw., murid tladan yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib. Kepadanya para sahabat merujuk. “Law la ‘Ali, lahalak ‘Umar, kata Umar bin Khathab. “Sekiranya tidak ada Ali, celakalah Umar.”


Ketika kawan saya tidak paham atau tidak mau paham, saya hrus menjelaskannya dengan konsep isnad dalam ilmu hadits atau silsilah dalam tarekat.


Perhatikan hadits Nabi saw. berikut, “Perumpamaanku dan perumpamaan apa yang aku bawa seperti lelaki yang mendatangi kaumnya: ‘Hai kaumku, aku melihat pasukan musuh dengan mataku sendiri…’.” Al-Suhrawardi menurunkan hadits ini dalam kitab ‘Awarif Al-Ma’arif. Ia menerima hadits itu dari Al-Husain bin Muhammad Al-zaini, yang menerimanya dari Karimah binti Ahmad, dari Abu Al-Haitsam, dari Muhammad bin Yusuf Al-farbari, dari Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Al-Bukhari menerimanya dari Abu Akrib, dari Abu Usamah, dari Abu Barid, dari Abu Burdah, dari Abu Musa Al-Anshari, dari Rasulullah saw. Rangkaian nama yang panjang ini disebut sanad. Untuk pertanggungjawaban ilmiah, Al-Suhrawardi tidak langsung mengatakan ia mendengar hadits dari Nabi saw. Ia merinci jalur periwayatan hadits itu dari gurunya, dari guru gurunya, dan seterusnya. “Tidak ada agama tanpa isnad,” kata ahli hadits. “Cukuplah meniru Nabi saw., tidak perlu meniru Muthahhari,” kata kawan saya.


Dalam tarekat, sanad itu disebut silsilah—mata rantai yang menghubungkan guru kita dan guru-guru sebelumnya sampai kepada Rasulullah saw. Misalnya silsilah tarekat Qadiriyyah-Naqsyabadiyyah, ada guru-guru yang sampai kepada Ali Ar-Ridha. Ia menerima dari ayahnya, kakeknya, sampai kepada Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. Dari Ali Ar-Ridha, tarikat Qadariyah-Naqsyabandiyyah bersambung dengan apa yang dikenal sebagai silsilah emas (al-silsilah al-dzahabiyyah), yaitu untaian mata rantai keluarga Nabi saw. yang terkenal dalam kemakrifatannya dan kesalehannya. Inilah rangkaian imam yang oleh Nabi saw. disebut Safinah Nuh (Perahu Nuh) dan gemintang umat. “Terekat yang tidak bersambung kepada Rasulullah saw. tidak boleh diikuti. Ikutilah guru (mursyid), yang memperoleh ilmunya dari rangkaian guru yang bersambung kepada Ali bin Abi Thalib dan sampai kepada Rasulullah saw.,” kata pengikut tarekat. Kawan saya masih bertanya, “Mengapa harus melewati rantai yang panjang? Ikuti saja langsung Rasulullah saw.? Mengapa harus melewati Ali?” Saya tidak bisa menjelaskan lagi keculai mengatakan peribahasa Melayu lama: mengeja dari awal, mengaji dari alif.


“Tinggalkan semua hal yang berkaitan dengan guru atau keharusan mengikuti Ali. Yang jelas, tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah. Pada zaman Nabi saw. dan para sahabatnya, tidak dikenal kata tasawuf. Jadi, untuk apa mengikuti tasawuf, siapa pun gurunya, atau siapa pun imamnya. Tugas kita adalah menjalankan Al-Quran dan sunnah. Titik. Tidak perlu nama-nama itu,” argumen kawan saya yang lain.


Betul, kata tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah secara spesifik, sebagaimana juga kata ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tauhid, rkun iman, atau rukun Islam. Apakah karena tidak ada kata tauhid dalam Al-Quran dan sunnah, akidah kita tidak perlu ditegakkan di atas dasar tauhid? Apakah karena tidak ada kata fikih dalam Al-Quran dan sunnah, kita tidak perlu memelajarinya? Anda lupa bahwa ilmu tasawuf, seperti juga fikih, tafsir, dan tauhid muncul dan berkembang dari upaya umat Islam untuk menjalankan Al-Quran dan sunnah?


Kita akan mengakhiri tulisan ini dengan mempersilahkan pemuka tasawuf, Al-Suhrawardi, berkata, “Ketahuilah bahwa semua keadaan mulia yang dinisbatkan kepada sufi dalam buku ini adalah keadan orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah Swt. sufi adalah nama muqarrab. Di dalam Al-Quran tidak ada kata sufi. Nama sufi dikenakan kepada setiap muqarrab seperti yang akan kita jelaskan dalam bab tentang itu. Tidak dikenal istilah sufi untuk orang yang mendekatkan diri kepada Allah di berbagai negeri Islam, baik di Timur maupun di Barat. Betapa banyaknya kaum muqarrabin di Maghribi, Turkistan, atau di negeri seberang sungai. Mereka tidak disebut sufi karena tidak memakai pakaian sufi… semua guru sufi yang nama-namanya disebut dalam kitab-kitab tasawuf adalah orang yang sedang menempuh jalan kaum muqarrabin dan ilmu mereka berkenaan dengan keadaan (ahwal) muqarrabin.”


Sumber : Ahmadsamantho Institute

[*] Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia




MAZHAB AHLUL BAIT, MAZHAB CINTA


Malam sudah larut, dinihari sudah hampir, angin dingin sahara berhembus dalam kesepian. Bukit2 batu, rumah2 tanah, pepohonan semua tak bergerak; berdiri kaku dalam rangkaian silhuet. Tapi ditengah Masjidil Haram, seorang pemuda berjalan mengitari ka’bah sambil bergantung pada tirainya. Matanya menatap langit yang sunyi. Tak seorang pun berada disitu, kecuali Thawus Al-Yamani, yang menceritakan peristiwa ini kepada kita. 


Thawus mendengar pemuda itu merintih:


“Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam Semua mata makhluk-Mu telah tertidur tapi pintu-Mu terbuka lebar, buat pemohon kasihmu. Aku datang menghadap-Mu memohon ampunan-Mu kasihilah daku perlihatkan padaku wajah kakekku Muhammad SAAW pada mahkamah hari kiamat. (kemudian ia menangis) Demi kemuliaan dan kebesaran-Mu Maksiatku tidaklah untuk menentang-Mu Kala kulakukan maksiat kulakukan bukan karena meragukan-Mu bukan karena mengabaikan siksa-Mu bukan karena menentang hukum-Mu Kulakukan karena pengaruh hawa nafsuku dan karena Kau ulurkan tirai untuk menutub aibku. Kini siapakah yang akan menyelamatkan aku dari azab-Mu kepada tali siapa aku akan bergantung, kalau Kau putuskan tali-Mu malang nian daku kelak ketika bersimpuh dihadapan-Mu kala si ringan dosa dipanggil : jalanlah! kala siberat dosa dipanggil : berangkatlah! Aku tak tahu apakah aku berjalan dengan si ringan atau dengan si berat. Duhai celakalah aku bertambah umurku dan bertumpuk dosaku tak sempat aku bertobat kepada-Mu sekarang aku malu menghadap pada-Mu. (ia menangis lagi) Akankah Kaubakar aku dengan api-Mu wahai Tujuan segala kedambaan lalu, kemana harapku kemana cintaku Aku menemui-Mu dengan memikul amal buruk dan hina diantara segenap makhluk-Mu tak ada orang sejahat aku. (ia menangis lagi) Mahasuci Engkau Engkau dilawan seakan-akan engkau tiada Engkau tetap pemurah seakan-akan Engkau tak pernah dilawan Engkau curahkan kasih-Mu kepada makhluk-Mu seakan-akan Engkau memerlukan mereka padahal Engkau wahai Junjunganku tak memerlukan semua itu. 


Kemudian ia merebahkan diri bersujud. Thawus bercerita: Aku dekati dia. Aku angkat kepalanya dan kuletakan pada pangkuanku. Aku menangis sampai airmataku membasahi pipinya. Ia bangun dan berkata, “Siapa yang menggangu dzikirku?” Aku berkata, “Aku Thawus, wahai putra Rasulullah. Untuk apa segala rintihan ini? Kamilah yang seharusnya berbuat seperti ini, karena hidup kami bergelimang dosa. Sedangkan ayahmu Husain bin Ali, ibumu Fathimah Az-Zahra dan kakekmu Rasulullah SAAW. Ia memandangku seraya berkata,”Keliru kau Thawus. Jangan sebut-sebut perihal ayahku,ibuku dan kakekku. Allah menciptakan surga bagi yang menaati-Nya dan berbuat baik, walaupun ia budak dari Habsyi. Ia menciptakan neraka buat yang melawan-Nya walaupun ia bangsawan Qurasy. Tidakkah engkau ingat firman Allah-Ketika sangakala ditiup, tidaklah ada hubungan lagi diantara mereka hari itu dan tidak saling tolong-menolong. Demi Allah esok tidak ada yang bermanfaat selain amal shaleh yang telah engkau lakukan.”


Yang diceritakan Thawus dalam riwayat ini tidak lain Imam Ali Zainal Abidin as. Imam keempat dalam rangkaian imam Ahli Bait Al-Mushtafa yang terkenal sebagai As-Sajjad, yang banyak bersujud.


Doa-doanya dikumpulkan dalam ah-Shahifah As-Sajjadiyah; berisi kalimah-kalimah yang indah dan mengharukan. berbeda dengan doa doa yang biasa kita ucapkan, doa-doa As-Sajjad lebih merupakan ‘percakapan ruhaniyah’ dengan Allah SWT. 


Doa-doa yang biasa kita baca biasanya berisi perintah2 halus kepada Allah SWT seperti “ya Allah, berilah daku rizki, panjangkan usiaku, naikkan pangkatku, dll”. Doa diatas berisi kesadaran akan kehinaan diri dan kemuliaan Allah, kemaksiatan diri dan kasih sayang Allah.


Doa-doa As-Sajjad lebih mirip rintihan ketimbang permohonan. Kalimah-kalimahnya lebih mirip hubungan cintakasih antara hamba dengan Tuhan, ketimbang hubungan kekuasaan.


Ada dua cara memandang Tuhan. Kita dapat memandang Dia sebagai Zat yang jauh dari kita, berbeda sama sekali dengan kita,memiliki sifat mukhalafat lil-hawadits, mempunyai jarak dengan makhluk-Nya. Inilah Tuhan transenden dalam pandangan para filsuf dan ahli kalam. Kita juga dapat melihat Dia sebagai Zat yang lebih dekat dengan kita dari urat leher kita, selalu beserta kita, kemanapun wajah kita menghadap, disitulah wajah Allah berada. Inila Tuhan yang immanen dalam pandangan para wali-Nya. Inilah Tuhan dalam pandangan Ahli Bait. Inilah Tuhan dalam doa Ahli Bait. 


Jika para filsuf berkata “Agama itu akal, tiada agama bagi orang yang tiada akal”, maka Imam Baqir as (Imam kelima Ahli Bait) berkata “Agama itu cinta, dan cinta itu agama.” Bila para filsuf sibuk menajamkan akalnya untuk menjelaskan sifat-sifat Tuhan (dan dipastikan mereka akan pusing), maka para Imam Ahli Bait membimbing para pengikutnya untuk membersihkan hatinya agar dapat menyaksikan keindahan-keindahan sifat Tuhan. Tujuan para filsuf adalah makrifat (pengenalan), dan tujuan Ahli Bait Al-Mushtafa adalah mahabbat (cinta). 


Pernah seorang darwis (sufi) bertanya kepada Imam Ali as berkenaan dengan derajat para pecinta-Nya. Beliau as berkata,” Derajat kecintaan paling rendah ialah memandang kecil ketaatanya dan memandang besar dosanya. Ia mengira tidak ada orang disiksa seperti dia baik didunia maupaun diakhirat.” Mendengar itu sang darwis pun pingsan. Ketika sadar lagi, ia bertanya,”Adakah derajat-derajat lain diatas itu.” Imam Ali as menjawab, “Ada. tujuh puluh derajat lagi.”


Perjalanan beragama sesungguhnya tidak lain dari perjalanan seorang hamba menggapai derajat demi derajat itu, sampai ke derajat yang paling dekat dg Dia. Dalam seluruh perjalannya itu, cinta Allah menjadi sumber energinya. Imam Ali as melukiskan cinta kepada Allah dengan indahnya : Cinta kepada Allah itu laksana api apapun yang dilewatinya akan terbakar. Cinta kepada Allah itu laksana cahaya apapun yang dikenainya akan bersinar. Cinta kepada Allah itu langit apapun yang dibawahnya akan ditutupnya. Cinta kepada Allah itu laksana angin apapun yang ditiupnya akan digerakkannya. Cinta kepada Allah itu laksana air dengannya Allah menghidupkan segalanya. Cinta kepada Allah itu laksana bumi dari situ Allah menumbuhkan segalanya. Kepada siapa yang mencintai Allah, Dia berikan kekuasaan dan kekayaan. ‘Al-Mulk’ (kekuasaan) dan ‘al-milk’ (kekayaan) diberikan Allah kepada kekasih-Nya. Kata lain kekuasaan adalah ‘wilyah’, yang juga berarti kecintaan. 


Mazhab Ahli Bait ditegakkan diatas prinsip wilayah : Kekuasaan hanya boleh dipegang oleh orang-orang yang dicintai Allah. Imam Ali as adalah waliyullah. ke-waliyannya tidak diragukan lagi. Dia dicintai Allah, maka Rasulullah SAAW (sholallahu ‘alaihi wa alihi wassalim) pun sangat mencintainya.


Ummul mukminin ‘Aisyah menceritakan saat-saat terakhir Rasulullah SAAW. Beliau SAAW berkata “Panggilkan kekasihku.” Orang2 memanggil Abu Bakar. Beliau hanya memandang kepadanya dan meletakkan kepalanya lagi. Beliau berkata lagi,”Panggilkan kekasihku.” Orang2 memanggil Umar. beliau memandangnya dan meletakkan kepalanya. Beliau berkata ,”Panggilkan kekasihku.” Orang-orang memanggil Ali. Ketika Nabi SAAW melihat Ali, beliau memasukkan Ali keselimutnya. Tiada henti-hentinya Rasulullah SAAW memeluk Ali hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir dan tangan beliau berada diatas tangannya.


Secara terbuka Nabi SAAW mengumumkan bahwa Ali adalah orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah. “Besok akan kuserahkan bendera ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberikan kemenangan kepadanya,” kata Rasuullah SAAW pada perang Khaibar. Bendera itupun diserahkan kepada Imam Ali. Anas bin Malik, khadam Rasulullah SAAW bercerita: Nabi SAAW mendapat hadiah daging burung. Beliau berdoa,” ya Allah, datangkanlah orang yang paling Engkau cintai supaya ia makan burung ini bersamaku.” Kemudian datanglah Ali. “Aku tolak dia.” kata Anas.Ia datang lagi, dan kutolak lagi. Ia datang lagi dan kutolak lagi. Ali masuk pada ketiga atau keempat kalinya. Nabi SAAW berkata kepadanya,”Apa yang menahanmu untuk datang kepadaku?” Ali menjawab,”Demi Yang Mengutusmu dengan hak sebagai Nabi. Aku mengetuk pintu tiga kali, tapi Anas selalu menolaknya.” (at-Turmudzi)


Perjalanan menuju kecintaan kepada Allah harus dimulai dengan mencintai Rasulullah SAAW, manusia yang palin dicintai Allah SWT. Tapi sebelum memasuki kecintaan kepada Rasulullah SAAW, kita harus mencintai orang yang paling dicintai Rasulullah SAAW (sebuah logika yang logis). Bukankan Nabi SAAW pernah berdoa,”Cintailah Allah atas nikmat-Nya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaan kepada Allah. Dan cintailah Ahli Baitku karena kecintanmu kepadaku.” Allah berfirman,”


Katakanlah (olehmu Muhammad) aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (Al-Quran)


Pintu pertama untuk mencintai Allah adalah mencintai Ahli Bait Nabi. Tidak perlu disebutkan lagi bahwa Nabi SAAW tentu saja adalah orang yang paling mencintai Allah. Beliau-lah pembawa risalah. Seluruh hidupnya merupakan bagian tak terpisakan dari Firman Tuhan. Untuk memasuki kota Nubuwwah, kita harus me- masuki pintunya. Dan pintu itu adalah kecintaan kepada Imam Ali as. Lewatnya lah kita bisa mengetahui ciri-ciri orang munafik. “Tidak mencintai-mu,hai Ali, kecuali orang mukmin. Dan tidak membencimu kecuali orang munafik.”Sabda Rasulullah SAAW (Shahih Muslim).


Tidak mengherankan kalau kecintaan kepada Ahli Bait telah mempersatukan kaum muslimin, apapun mazhabnya. Al-Zamakhsyari, sufi pengikut mazhab mu’tazilah menggubah puisi dengan sangat indahnya: Sudah banyak kebimbangan dan ikhtilaf Semua menyatakan mazhabnya yang paing benar. Kupegang teguh kalimah ‘La ilaha illallah’ dan kecintaan kepada Ahmad dan Ali. Beruntung Anjing karena mencintai Ashhabul Kahfi mana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi. Imam Syafi’i juga memberikan hujjahnya tentang kecintaanya kepada Ahli Bait Nabi dengan puisinya: Wahai Ahli Bait Rasulullah, kecintaan kepadamu Allah wajibkan atas kami dalam Al-Quran yang diturunkan Cukuplah tanda kebesaranmu tidak sah sholat tanpa salawat kepadamu. Kecintaan kepada Imam Ali as secara khusus dan kecintaan kpd Ahli Bait secara umum adalah dasar utama untuk mencintai Allah dan Rasul-ya. Karena seluruh alam semesta ini sebetulnya bergerak menuju Allah untuk meraih kecintaan-Nya, maka Allah mewajibkan kecintaan kepada Allah bagi semuanya. Boleh jadi riwayat Anas bin Malik ini harus dipahami seara metaforis. Pada suatu hari Imam Ali as memberi Bilal satu dirham untuk membeli semangka. Ketika semangka itu dibelah, dan mereka makan sedikit dan terasa pahit. Imam Ali as berkata,”Kembalikan semangka ini kepada penjualnya. Rasulullah SAAW pernah bersabda “Sesunggunya Allah mewajibkan manusia, pepohonan, buah-buahan, biji-bijian untuk mencintaimu. Siapa yang memenuhi perintah mencintaimu, ia akan menjadi bagus dan manis. Siapa yang tidak mencintaimu, ia akan menjadi buruk dan pahit. Aku kira semangka ini termasuk yang menolak mencintaiku.” Mazhab Ahli Bait memilih perjalanan mereka kekota ilmu Rasulullah SAAW dan seterusnya keistana kecintaan Allah, melalui pintu kecintaan kepada Imam Ali as. mengapa? karena Imam Ali dan Ahli Baitnya memberikan cara mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan seluruh perilakunya. 


Imam Ali lah sebagai gurunya fikih para Imam mazhab empat. Dari Imam Ali turun kepada Muhammad Al-Hanafi (putranya) dan Abdullah bin Abbas. Dari keduanya lahir pula Imam Hanafi dan seterusnya Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Imam Ali as pula sebagai gurunya para Sufi. Dari beliau as lahir pribadi macam Imam Husain as, Imam Ja’far as, dan Hasan Al-Basri. Tidak pelak lagi ketiganya adalah pendekar2 dalam bidang tasawuf.


Dari Imam Ali dan kemudian dari para Imam Ahli Bait Al-Mushtafa, kita belajar mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah bintang yang memberikan keamanan kepada penduduk bumi. Mereka adalah perahu nabi Nuh as, siapa yang menaikinya akan selamat,dan siapa yang meninggalkannya akan tenggelam (al-Hakim).


Mereka adalah salah satu dari dua pusaka, siapa yang berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat. Terakhir, mari kita lihat salah satu doa dari Imam Ali as yang juga sama indah nya dengan doa-doa Imam Ali as lainnya. 


ya Allah, Junjunganku, Pelindungku, Tuhanku Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu. dan Sekiranya aku dapat bersabar panas api-Mu, mana mungkin aku dapat bersabar untuk tidak melihat kemulian-Mu. mana mungkin aku tinggal neraka padahal harapanku hanya maaf-Mu. Demi kemulian-Mu wahai Junjunganku dan Pelindungku, aku bersumpah dengan tulus, Sekiranya Engkau biarkan aku berbicara disana, ditengah penghuninya, aku akan menangis tangisan mereka yang menyimpan harapan aku akan menjerit jeritan mereka yang menyimpan pertolongan aku akan merintih rintihan rang yang kehilangan. Sungguh, aku akan menyeru-Mu dimanapun Engkau berada Wahai pelindung kaum mukminin Wahai Tujuan harapan kaum arifin Wahai Pelindung kaum yang memohon perlindungan Wahai Kekasih kalbu para pecinta kebenaran Wahai Tuhan seru sekalian Alam. 


[*] Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...